Utang Pemerintah Masih Aman - · PDF filenilai utang tersebut belum memberi ... Demikian...

1
[JAKARTA] Utang pemerintah yang mencapai Rp 3.600 triliun dinilai masih dalam batas aman. Dari sejumlah indikator utama, nilai utang tersebut belum memberi tekanan terhadap fiskal, meskipun pembayaran cicilan pokok dan bunganya menyerap porsi terbesar dalam belanja APBN. Sebaliknya, utang tersebut mampu mendongkrak belanja infrastruktur dalam tiga tahun terakhir hingga dua kali lipat dari sebelumnya. Hal ini sejalan dengan program prioritas pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) untuk mengejar ketertinggalan infrastruktur dasar. Dengan demikian, diyakini akan memberi nilai tambah yang lebih besar terhadap perekonomian. Demikian rangkuman pandangan ekonom Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Maxensius Tri Sambodo, ekonom Bank Cen- tral Asia (BCA) David Sumual, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudistira, dan politisi DPR, saat dihubungi Minggu (30/7) dan Senin (31/7). Mereka menanggapi sorotan sejumlah kalangan terhadap kebijakan utang diambil pemerin- tahan Jokowi. Menurut Maxensius, sejumlah rasio menunjukkan tingkat utang pemerintah masih dalam level aman. Di antaranya rasio utang luar negeri terhadap cadangan devisa terus menurun dalam 10 tahun terakhir, dari 7% ke kisaran 5%. Hal itu lantaran struktur utang pemerintah saat ini didominasi dalam bentuk surat berharga negara dalam rupiah. “Struktur utang sekitar 80% dalam bentuk surat berharga negara dan sisanya dalam bentuk pinjaman. Dari 80% surat utang negara, 21% dalam bentuk donasi valas dan 59% dalam rupiah. Kondisi saat ini menunjukkan rasio pinjaman luar negeri terhadap cadangan devisi terus menurun menjadi 5%,” ungkapnya. Porsi pembayaran cicilan pokok dan bunga utang tahun ini menca- pai Rp 552 triliun, atau 42% dari belanja APBN, atau merupakan pos pengeluaran terbesar, meru- pakan hal yang tak bisa dihindari. Sebab, hal itu juga untuk menjaga kepercayaan negara kreditur yang juga adalah investor. Apalagi, hal itu memengaruhi peringkat utang Indonesia, yang mempengaruhi apakah layak sebagai negara tujuan investasi atau tidak. “Sehingga jangan terlalu di- takutkan dengan kebutuhan utang yang terus meningkat. Karena per- tumbuhan utang juga dikendalikan oleh aturan 3% (defisit APBN) dari PDB,” jelasnya. Di sisi lain, menurutnya, selama ini utang dirahkan untuk penguatan infrastruktur logistik, infrastruktur dasar, pendidikan, kesehatan, dan proyek pembangunan lainnya. Proyek tersebut akan menambah kapasitas dan daya saing ekonomi dalam jangka menengah dan panjang. “Hal ini penting untuk men- ciptakan kemampuan membayar. Yang terpenting, dana utang perlu diawasi secara baik, transparan, efektif, dan akuntabel. Harus zero corruption,” tegasnya. Senada dengan itu, David Su- mual menilai, selama peningkatan utang diimbangi dengan naiknya pertumbuhan ekonomi dalam negeri, tidak akan menjadi masalah. Ada- pun kebijakan belanja pemerintah diharapkan fokus untuk mendanai pembangunan infrastruktur yang prioritas. “Jangan ada juga isu-isu proyek mercusuar, wacana pem- indahan Ibu Kota harus dikaji lebih saksama,” katanya. Secara khusus dia juga menyoroti meningkatnya utang luar negeri swasta, yang merupakan sinyal positif bagi perekonomian. Sebab tren dalam dua tahun belakangan menunjukkan utang swasta terus turun. “Setelah berakhirnya comod- ity booming era 2009-2014, utang menurun. Dulu kebanyakan utang luar negeri dipicu perusahaan di sektor komoditas yang mau ekspansi usahanya,” jelasnya. David menambahkan, kenaikan utang luar negeri juga terpengaruh oleh realisasi proyek infrastruktur pemerintah yang banyak bermitra dengan swasta. Belanja Infrastruktur Sementara itu, Bhima Yudis- tira berpandangan, penambahan utang di era Jokowi berkorelasi terhadap kenaikan belanja infras- truktur. Tahun 2014 porsi belanja infrastruktur terhadap total APBN mencapai 8,7%, pada 2017 sudah lebih dari 18,6%. “Kenaikan ini perlu diapresiasi,” jelasnya. Dengan kenaikan tersebut, alokasi dana utang diarahkan pada kegiatan investasi yang menjadi me- sin pertumbuhan. Dengan demikian, dalam jangka panjang akan tercipta nilai ekonomi yang jauh lebih besar daripada nilai utang. Namun, dia mengingatkan, naiknya anggaran infrastruktur yang didanai utang, mesti diim- bangi dengan perbaikan penyerapan belanja infrastruktur. Dia menyebut, belanja modal selama dua tahun terakhir hanya terserap 78%-80% dari alokasi anggaran. Tantangan lainnya, realisasi infrastruktur secara keseluruhan masih terbilang lambat. Data Bank Indonesia per Februari 2017 men- gungkapkan bahwa proyek infras- truktur yang sudah berjalan hanya 2%, kemudian sisanya sebagian masih berada ditahap perencanaan dan lelang. “Ini pekerjaan rumah besarnya yaitu mengejar realisasi proyek infrastruktur sehingga seluruh dana termasuk dari utang bisa diman- faatkan secara optimal,” harapnya. Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengklaim nilai maupun rasio utang Indo- nesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dalam kondisi sehat dibandingkan dengan negara lain, yaitu India, Yunani, Jepang, dan Amerika Serikat (AS). Dengan total utang Rp 3.600 triliun per Mei lalu, rasio utang terhadap PDB tercatat 28%. Rasio ini jauh di bawah Jepang yang mencapai 248% dan AS yang sebesar 106%. “Rasio utang Indonesia memang cukup tinggi. Tapi tidak tinggi-tinggi amat dibandingkan dengan negara lain,” katanya. Dia memberi ilustrasi, pertum- buhan ekonomi India merupakan yang paling tinggi saat ini, yakni sekitar 6,8%-7%. Namun defisit fiskalnya mencapai 7,2% terhadap PDB. “Itu artinya kenaikan utang di India sebesar 25%. Itu setara dengan seluruh utang Indonesia saat ini. Jadi defisit fiskal (di APBN) 2,41% dan pertumbuhan ekonomi 5,1%, rasio utang Indonesia makin mengecil,” jelasnya. Menkeu menambahkan, dengan beban utang tersebut, Indonesia masih lebih beruntung karena mengalami bonus demografi. Rata- rata penduduk Indonesia berada di golongan usia produktif. “Semen- tara di Jepang dengan utang yang besar, populasinya didominasi oleh masyarakat tua,” ungkapnya. Akumulasi Secara terpisah, Ketua Badan Anggaran DPR, Azis Syamsuddin berpandangan, rasio utang Indo- nesia sampai hari ini masih aman. “Kenapa dalam posisi aman? Kita masuk dalam kategori potensi pa- jak masih bisa dimungkinkan kita kejar, potensi cukai masih bisa kita kejar,” katanya. Sementara itu, anggota Badan Anggaran Charles Honoris meng- ingatkan, terkait utang pemerintah, Presiden Jokowi sudah memberikan bukti konkrit hasil kerjanya terkait banyaknya pembangunan infrastruk- tur yang merata dan dapat dirasakan oleh rakyat Indonesia. “Lalu, apa salahnya berutang? Justru paradigma yang semestinya dibangun adalah bagaimana men- ingkatkan nilai produktivitas dalam negeri,” jelasnya. Dia lantas membandingkan capaian kinerja Jokowi dengan pendahulunya, yang juga mem- bangun infrastruktur dari utang. Namun, pembangunan tersebut belum merata dan hanya dirasakan di sebagian wilayah. Data dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menunjukkan, selama tiga tahun Jokowi memerintah hingga akhir 2017, ada penambahan 568 km jalan tol. Jumlah itu lebih panjang di era Soeharto selama 32 tahun yang hanya 490 km, dan di era Susilo Bambang Yudhoyono selama 10 tahun sepanjang 212 km. “Maka, sudah pasti efektif dan dapat meningkatkan laju pereko- nomian maupun perkembangan wilayah. Pembangunan yang mer- ata di Indonesia dapat terwujud,” tegasnya. Sedangkan, anggota Badan Anggaran Andreas Hugo Pareira mengungkapkan, jumlah utang yang tercatat di bawah pemerintahan Jokowi saat ini pada dasarnya mer- upakan akumulasi dari utang yang dilakukan pemerintahan sebelumnya. Terhitung sejak memerintah, atau mulai 2015 hingga saat ini, tamba- han utang tercatat Rp 1.000 triliun. Namun, Andreas mengingatkan, yang harus dilihat adalah perun- tukan utang itu serta output-nya. Pemerintah Jokowi mengambil utang dan menggunakannya dengan baik, sehingga masyarakat pun bisa merasakannya. “Terutama melalui gebrakan pembangunan infras- truktur di semua sektor,” tegasnya. [MJS/O-2] P emilihan presiden dan wa- kil presiden (pilpres) bakal digelar serentak dengan pemilihan anggota legislatif pada 2019. Sejumlah partai politik (parpol) telah mendeklarasikan dukungan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk kembali memimpin Indonesia, yakni Partai Golkar, Partai Persa- tuan Pembangunan (PPP), Partai Nasdem, serta Partai Keadilan Persatuan Indonesia (PKPI). Selain partai yang pernah ikut pemilu sebelumnya, ada partai baru yang juga telah menyata- kan dukungan terhadap Jokowi, yakni Partai Solidaritas Indone- sia (PSI). Menurut informasi, partai baru yang akan mengu- sung Jokowi tidak hanya PSI. Dalam waktu dekat akan parpol baru yang segera mengumumkan sikapnya itu. “Salah satu ketua umum parpol baru itu kini diam-diam dukung kepada Pak Jokowi. In- fonya akan ada deklarasi dukungan, kalau tidak tahun ini, paling lama awal tahun depan,” kata sumber SP di Jakarta, Senin (31/7). Sumber itu enggan menye- butkan, ketua umum dan parpol yang dimaksud. Dia hanya mengatakan, terdapat beberapa alasan sehingga parpol baru itu memutuskan ikut mendukung Jokowi. “Kepercayaan masyara- kat terhadap Pak Jokowi sangat tinggi. Itu salah satu alasannya,” ujar sumber itu. Sekadar diketahui, Indonesia memang menduduki peringkat pertama dalam hal tingkat kepercayaan masyarakat ter- hadap pemerintah berdasarkan hasil survei Gallup World Poll (GWP). Sebanyak 80% respon- den menyatakan, pemerintah Indonesia dapat diandalkan, cepat, tanggap, adil, serta mam- pu melindungi masyarakat dari risiko sekaligus memberikan pelayanan publik secara efektif. “Pencapaian positif Jokowi dan pemerintah itu tentu ber- pengaruh bagi siapa pun yang mendukung,” tandas sumber itu. Selain PSI, sampai saat ini sudah ada tiga parpol baru lain yang lolos verikasi di Kementerian Hukum dan HAM (Kemkum- ham), yakni Partai Islam Damai Aman (Idaman), Partai Persatuan Indonesia (Perindo), dan Partai Berkarya. Sebelum mengikuti Pemilu 2019, parpol-parpol tersebut masih harus menjalani verifikasi peserta pemilu. [C-6] Utama 2 Suara Pembaruan Senin, 31 Juli 2017 Partai Pengusung Jokowi Bertambah? Utang Pemerintah Masih Aman

Transcript of Utang Pemerintah Masih Aman - · PDF filenilai utang tersebut belum memberi ... Demikian...

Page 1: Utang Pemerintah Masih Aman -  · PDF filenilai utang tersebut belum memberi ... Demikian rangkuman pandangan ... dalam jangka panjang akan tercipta

[JAKARTA] Utang pemerintah yang mencapai Rp 3.600 triliun dinilai masih dalam batas aman. Dari sejumlah indikator utama, nilai utang tersebut belum memberi tekanan terhadap fiskal, meskipun pembayaran cicilan pokok dan bunganya menyerap porsi terbesar dalam belanja APBN.

Sebaliknya, utang tersebut mampu mendongkrak belanja infrastruktur dalam tiga tahun terakhir hingga dua kali lipat dari sebelumnya. Hal ini sejalan dengan program prioritas pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) untuk mengejar ketertinggalan infrastruktur dasar. Dengan demikian, diyakini akan memberi nilai tambah yang lebih besar terhadap perekonomian.

Demikian rangkuman pandangan ekonom Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Maxensius Tri Sambodo, ekonom Bank Cen-tral Asia (BCA) David Sumual, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudistira, dan politisi DPR, saat dihubungi Minggu (30/7) dan Senin (31/7). Mereka menanggapi sorotan sejumlah kalangan terhadap kebijakan utang diambil pemerin-tahan Jokowi.

Menurut Maxensius, sejumlah rasio menunjukkan tingkat utang pemerintah masih dalam level aman. Di antaranya rasio utang luar negeri terhadap cadangan devisa terus menurun dalam 10 tahun terakhir, dari 7% ke kisaran 5%. Hal itu lantaran struktur utang pemerintah saat ini didominasi dalam bentuk surat berharga negara dalam rupiah. “Struktur utang sekitar 80% dalam bentuk surat berharga negara dan sisanya dalam bentuk pinjaman. Dari 80% surat utang negara, 21% dalam bentuk donasi valas dan 59% dalam rupiah. Kondisi saat ini menunjukkan rasio pinjaman luar negeri terhadap cadangan devisi terus menurun menjadi 5%,” ungkapnya.

Porsi pembayaran cicilan pokok dan bunga utang tahun ini menca-pai Rp 552 triliun, atau 42% dari belanja APBN, atau merupakan pos pengeluaran terbesar, meru-pakan hal yang tak bisa dihindari. Sebab, hal itu juga untuk menjaga kepercayaan negara kreditur yang juga adalah investor. Apalagi, hal itu memengaruhi peringkat utang

Indonesia, yang mempengaruhi apakah layak sebagai negara tujuan investasi atau tidak.

“Sehingga jangan terlalu di-takutkan dengan kebutuhan utang yang terus meningkat. Karena per-tumbuhan utang juga dikendalikan oleh aturan 3% (defisit APBN) dari PDB,” jelasnya.

Di sisi lain, menurutnya, selama ini utang dirahkan untuk penguatan infrastruktur logistik, infrastruktur dasar, pendidikan, kesehatan, dan proyek pembangunan lainnya. Proyek tersebut akan menambah kapasitas dan daya saing ekonomi dalam jangka menengah dan panjang.

“Hal ini penting untuk men-ciptakan kemampuan membayar. Yang terpenting, dana utang perlu diawasi secara baik, transparan, efektif, dan akuntabel. Harus zero corruption,” tegasnya.

Senada dengan itu, David Su-mual menilai, selama peningkatan utang diimbangi dengan naiknya pertumbuhan ekonomi dalam negeri, tidak akan menjadi masalah. Ada-pun kebijakan belanja pemerintah diharapkan fokus untuk mendanai pembangunan infrastruktur yang prioritas. “Jangan ada juga isu-isu proyek mercusuar, wacana pem-indahan Ibu Kota harus dikaji lebih saksama,” katanya.

Secara khusus dia juga menyoroti meningkatnya utang luar negeri swasta, yang merupakan sinyal positif bagi perekonomian. Sebab tren dalam dua tahun belakangan menunjukkan utang swasta terus turun. “Setelah berakhirnya comod-ity booming era 2009-2014, utang menurun. Dulu kebanyakan utang luar negeri dipicu perusahaan di sektor komoditas yang mau ekspansi usahanya,” jelasnya.

David menambahkan, kenaikan utang luar negeri juga terpengaruh oleh realisasi proyek infrastruktur pemerintah yang banyak bermitra dengan swasta.

Belanja InfrastrukturSementara itu, Bhima Yudis-

tira berpandangan, penambahan utang di era Jokowi berkorelasi terhadap kenaikan belanja infras-truktur. Tahun 2014 porsi belanja infrastruktur terhadap total APBN mencapai 8,7%, pada 2017 sudah lebih dari 18,6%. “Kenaikan ini

perlu diapresiasi,” jelasnya.Dengan kenaikan tersebut,

alokasi dana utang diarahkan pada kegiatan investasi yang menjadi me-sin pertumbuhan. Dengan demikian, dalam jangka panjang akan tercipta nilai ekonomi yang jauh lebih besar daripada nilai utang.

Namun, dia mengingatkan, naiknya anggaran infrastruktur yang didanai utang, mesti diim-bangi dengan perbaikan penyerapan belanja infrastruktur. Dia menyebut, belanja modal selama dua tahun terakhir hanya terserap 78%-80% dari alokasi anggaran.

Tantangan lainnya, realisasi infrastruktur secara keseluruhan masih terbilang lambat. Data Bank Indonesia per Februari 2017 men-gungkapkan bahwa proyek infras-truktur yang sudah berjalan hanya 2%, kemudian sisanya sebagian masih berada ditahap perencanaan dan lelang.

“Ini pekerjaan rumah besarnya yaitu mengejar realisasi proyek infrastruktur sehingga seluruh dana termasuk dari utang bisa diman-faatkan secara optimal,” harapnya.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengklaim nilai maupun rasio utang Indo-nesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dalam kondisi sehat dibandingkan dengan negara lain, yaitu India, Yunani, Jepang, dan Amerika Serikat (AS). Dengan total utang Rp 3.600 triliun per Mei lalu, rasio utang terhadap PDB tercatat 28%. Rasio ini jauh di bawah Jepang yang mencapai 248% dan AS yang sebesar 106%.

“Rasio utang Indonesia memang cukup tinggi. Tapi tidak tinggi-tinggi

amat dibandingkan dengan negara lain,” katanya.

Dia memberi ilustrasi, pertum-buhan ekonomi India merupakan yang paling tinggi saat ini, yakni sekitar 6,8%-7%. Namun defisit fiskalnya mencapai 7,2% terhadap PDB. “Itu artinya kenaikan utang di India sebesar 25%. Itu setara dengan seluruh utang Indonesia saat ini. Jadi defisit fiskal (di APBN) 2,41% dan pertumbuhan ekonomi 5,1%, rasio utang Indonesia makin mengecil,” jelasnya.

Menkeu menambahkan, dengan beban utang tersebut, Indonesia masih lebih beruntung karena mengalami bonus demografi. Rata-rata penduduk Indonesia berada di golongan usia produktif. “Semen-tara di Jepang dengan utang yang besar, populasinya didominasi oleh masyarakat tua,” ungkapnya.

AkumulasiSecara terpisah, Ketua Badan

Anggaran DPR, Azis Syamsuddin berpandangan, rasio utang Indo-nesia sampai hari ini masih aman. “Kenapa dalam posisi aman? Kita masuk dalam kategori potensi pa-jak masih bisa dimungkinkan kita kejar, potensi cukai masih bisa kita kejar,” katanya.

Sementara itu, anggota Badan Anggaran Charles Honoris meng-ingatkan, terkait utang pemerintah, Presiden Jokowi sudah memberikan bukti konkrit hasil kerjanya terkait banyaknya pembangunan infrastruk-tur yang merata dan dapat dirasakan oleh rakyat Indonesia.

“Lalu, apa salahnya berutang? Justru paradigma yang semestinya dibangun adalah bagaimana men-

ingkatkan nilai produktivitas dalam negeri,” jelasnya.

Dia lantas membandingkan capaian kinerja Jokowi dengan pendahulunya, yang juga mem-bangun infrastruktur dari utang. Namun, pembangunan tersebut belum merata dan hanya dirasakan di sebagian wilayah.

Data dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menunjukkan, selama tiga tahun Jokowi memerintah hingga akhir 2017, ada penambahan 568 km jalan tol. Jumlah itu lebih panjang di era Soeharto selama 32 tahun yang hanya 490 km, dan di era Susilo Bambang Yudhoyono selama 10 tahun sepanjang 212 km.

“Maka, sudah pasti efektif dan dapat meningkatkan laju pereko-nomian maupun perkembangan wilayah. Pembangunan yang mer-ata di Indonesia dapat terwujud,” tegasnya.

Sedangkan, anggota Badan Anggaran Andreas Hugo Pareira mengungkapkan, jumlah utang yang tercatat di bawah pemerintahan Jokowi saat ini pada dasarnya mer-upakan akumulasi dari utang yang dilakukan pemerintahan sebelumnya. Terhitung sejak memerintah, atau mulai 2015 hingga saat ini, tamba-han utang tercatat Rp 1.000 triliun.

Namun, Andreas mengingatkan, yang harus dilihat adalah perun-tukan utang itu serta output-nya. Pemerintah Jokowi mengambil utang dan menggunakannya dengan baik, sehingga masyarakat pun bisa merasakannya. “Terutama melalui gebrakan pembangunan infras-truktur di semua sektor,” tegasnya. [MJS/O-2]

Pemilihan presiden dan wa-kil presiden (pilpres) bakal digelar serentak dengan

pemilihan anggota legislatif pada 2019. Sejumlah partai politik (parpol) telah mendeklarasikan dukungan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk kembali memimpin Indonesia, yakni Partai Golkar, Partai Persa-tuan Pembangunan (PPP), Partai Nasdem, serta Partai Keadilan Persatuan Indonesia (PKPI).

Selain partai yang pernah ikut pemilu sebelumnya, ada partai baru yang juga telah menyata-kan dukungan terhadap Jokowi, yakni Partai Solidaritas Indone-

sia (PSI). Menurut informasi, partai baru yang akan mengu-sung Jokowi tidak hanya PSI. Dalam waktu dekat akan parpol baru yang segera mengumumkan sikapnya itu.

“Salah satu ketua umum parpol baru itu kini diam-diam dukung kepada Pak Jokowi. In-fonya akan ada deklarasi dukungan, kalau tidak tahun ini, paling lama awal tahun depan,” kata sumber SP di Jakarta, Senin (31/7).

Sumber itu enggan menye-butkan, ketua umum dan parpol yang dimaksud. Dia hanya

mengatakan, terdapat beberapa alasan sehingga parpol baru itu memutuskan ikut mendukung Jokowi. “Kepercayaan masyara-kat terhadap Pak Jokowi sangat tinggi. Itu salah satu alasannya,”

ujar sumber itu.Sekadar diketahui,

Indonesia memang menduduki peringkat

pertama dalam hal tingkat kepercayaan masyarakat ter-hadap pemerintah berdasarkan hasil survei Gallup World Poll (GWP). Sebanyak 80% respon-den menyatakan, pemerintah Indonesia dapat diandalkan, cepat, tanggap, adil, serta mam-

pu melindungi masyarakat dari risiko sekaligus memberikan pelayanan publik secara efektif.

“Pencapaian positif Jokowi dan pemerintah itu tentu ber-pengaruh bagi siapa pun yang mendukung,” tandas sumber itu. Selain PSI, sampai saat ini sudah ada tiga parpol baru lain yang lolos verikasi di Kementerian Hukum dan HAM (Kemkum-ham), yakni Partai Islam Damai Aman (Idaman), Partai Persatuan Indonesia (Perindo), dan Partai Berkarya. Sebelum mengikuti Pemilu 2019, parpol-parpol tersebut masih harus menjalani verifikasi peserta pemilu. [C-6]

Utama2 Sua ra Pem ba ru an Senin, 31 Juli 2017

Partai Pengusung Jokowi Bertambah?

Utang Pemerintah Masih Aman