USULAN PENELITIAN Gambaran Faal Paru Asma Pasca Eksaserbasi

download USULAN PENELITIAN Gambaran Faal Paru Asma Pasca Eksaserbasi

of 28

Transcript of USULAN PENELITIAN Gambaran Faal Paru Asma Pasca Eksaserbasi

USULAN PENELITIAN

GAMBARAN FAAL PARU PENDERITA ASMA PASCA EKSASERBASI SETELAH RAWAT INAP DI RSUD Dr. SOETOMO

RINA DWI RAKHMA 010911068

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2011

1

2

USULAN PENELITIAN

GAMBARAN FAAL PARU PENDERITA ASMA PASCA EKSASERBASI SETELAH RAWAT INAP DI RSUD Dr. SOETOMO

RINA DWI RAKHMA 010911068

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2011

3

LEMBAR PERSETUJUAN

Telah setuju untuk diujikan

Pembimbing I

Choesnan Effendi, dr., AIF. NIP. 19471208 197403 1 002

Pembimbing II

Daniel Maranatha, dr., Sp.P (K) NIP 19550623 198303 1 004

4

DAFTAR ISI

Sampul depan Sampul dalam Lembar persetujuan DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR SINGKATAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1.2 Rumusan masalah 1.3 Tujuan penelitian 1.3.1 Tujuan umum 1.3.2 Tujuan khusus 1.4 Manfaat penelitian 1.4.1 Manfaat teoritis 1.4.2 Manfaat praktis BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi dan fisiologi saluran pernafasan 2.2 Asma 2.2.1 Patogenesis asma 2.2.2 Gejala klinis asma 5 6 6 9 3 4 3 3 1 2 ii iii iv v vi vii

5

2.2.3 Klasifikasi dan derajat asma 2.2.4 Eksaserbasi asma 2.2.5 Faktor-faktor pemicu terjadinya eksaserbasi asma 2.2.6 Terapi dan penatalaksanaan eksaserbasi asma 2.3 Uji faal paru spirometer 2.3.1 Uji faal paru gangguan obstruksi 2.3.2 Uji faal paru gangguan restriksi BAB III KERANGKA KONSEPTUAL BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Jenis dan rancangan penelitian 4.2 Populasi, besar sampel, dan teknik pengambilan sampel 4.2.1 Populasi 4.2.2 Sampel 4.2.3 Teknik pengambilan sampel 4.3 Variabel penelitian dan definisi operasional variabel 4.3.1 Variabel penelitian 4.3.2 Definisi operasional variabel 4.4 Instrumen penelitian 4.5 Lokasi dan waktu penelitian 4.6 Prosedur pengambilan data 4.7 Teknik analisis data DAFTAR PUSTAKA

10 11 12 14 16 19 19 21

23

23 23 23

23 23 24 24 24 25 26

6

DAFTAR TABEL

2.1 2.2 2.3

Klasifikasi asma oleh GINA (Global Iniative for Asthma) tahun 2006 Interpretasi nilai FEV1 Interpretasi nilai VC atau FVC

11 19 20

7

DAFTAR GAMBAR

2.1 2.2 2.3 2.4

Saluran nafas atas dan saluran nafas bawah Mekanisme imunologi pada asma Skema penatalaksanaan asma eksaserbasi di rumah sakit Diagram pernafasan

6 8 15 18

8

DAFTAR SINGKATAN

AHR FEV1 FVC GINA Ig IL KPM pCO2 VC

Airway Hyperresponsiveness Forced Expiration Volume 1 Forced Vital Capacity Global Iniative for Asthma Immunoglobulin Interleukin Kapasitas Pernafasan Maksimal Pressure CO2 Vital Capacity

9

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar belakang Asma merupakan penyakit inflamasi (peradangan) kronik saluran napas yang

ditandai adanya wheezing episodik, batuk, dan rasa sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas, dan termasuk dalam kelompok penyakit saluran pernapasan kronik (KepMenkes RI; 2008). Inflamasi kronik ini menyebabkan peningkatan kepekaan atau hiperaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan. Pada individu yang sensitif, inflamasi kronik ini memberikan gejala-gejalan yang timbul akibat penyempitan saluran nafas dengan derajat yang bervariasi. Gejala asma bronkial dapat ditimbulkan oleh

10

berbagai rangsangan, misalnya infeksi, alergen, obat-obatan, beban kerja, pendinginan saluran nafas, dan bahan kimia (Rumbiana; 2004) Di negara berkembang, prevalensi asma relatif rendah, namun berbagai penelitian terakhir menunjukkan kecenderungan adanya peningkatan. Prevalensi wheezing selama 12 bulan terakhir untuk usia 13-14 tahun yang diperoleh dari ISAAC (International Study of Asthma and Allergies in Childhood) melaporkan prevalensi yang sangat bervariasi, di Indonesia dan China berkisar anatara 2,1% 4,4% (Pramita; 2006). Di Indonesia, hasil survey kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1986 menunjukkan bahwa asma bronchial, bronkitis,dan penyakit saluran lainnya menduduki urutan kelima pola kesakitan (6,4/1000) penduduk) serta urutan kesepuluh penyebab kematian (27/100.000 penduduk). Angka ini menunjukkan peningkatan pada tahun 1992 yaitu urutan ketujuh penyebab kematian (Rumbiana; 2004) Eksaserbasi asma adalah episode peningkatan progresivitas secara cepat dengan pernapasan pendek, batuk, wheezing, rasa berat di dada atau beberapa kombinasi dari gejala-gejala ini. Episode eksaserbasi merupakan masalah yang sering dalam penanganan asma. Seseorang yang mengalami episode ini seringkali harus libur bekerja atau bersekolah dan seringkali harus mendapatkan penanganan darurat dari rumah sakit. Episode eksaserbasi asma ini merupakan masalah yang sering dan peminimalan resiko berulangnya merupakan tujuan utama terapi. Episode ini juga akan berdampak pada peningkatan angka morbiditas dan biaya perawatan pada pasien asma. (Melintira,dkk; 2003, Brinke et al; 2005). Salah satu tujuan dari penatalaksanaan asma ialah mencegah terjadinya eksaserbasi akut serta mengembalikan faal paru ke kondisi normal secepat mungkin.

11

(Yunus; 2009). Berbagai kajian mengenai gangguan faal paru pada penderita asma telah banyak dilaporkan. Namun dalam rangka tatalaksana penderita asma baik pencegahan, pengobatan, maupun rehabilitasinya, diperlukan gambaran faal paru untuk mengetahui berbagai tingkat obstruksi maupun kemungkinan restriksi yang terjadi. Gambaran faal paru ini juga diperlukan dalam mengevaluasi tingkat keamanan kondisi pasien untuk mencegah terjadinya eksaserbasi berulang. Hal ini menjadi dasar diperlukannya penelitian mengenai gambaran faal paru penderita asma pasca eksaserbasi setelah diterapi atau rawat inap.

1.2 Rumusan masalah 1. Apakah terdapat gangguan faal paru pada penderita asma pasca eksaserbasi setelah rawat inap? 2. Apakah kelainan faal paru tersebut dalam tingkat aman bagi penderita sehingga dapat dilakukan perawatan secara rawat jalan?

1.3 Tujuan penelitian 1.3.1 Tujuan umum 1. Mengetahui tingkat gangguan faal paru pada penderita asma pasca eksaserbasi setelah rawat inap

12

2. Mengetahui apakah kelainan faal paru tersebut dalam tingkat aman bagi penderita sehingga dapat dilakukan perawatan secara rawat jalan

1.3.2 Tujuan khusus 1. Mengetahui tingkat obstruksi pada pengukuran faal paru penderita asma pasca eksaserbasi setelah rawat inap 2. Mengetahui tingkat restriksi pada pengukuran faal paru penderita asma pasca eksaserbasi setelah rawat inap 3. Mengetahui apakah hasil pemeriksaan faal paru penderita asma pasca eksaserbasi setelah rawat inap memenuhi syarat FEV1 > 60% nilai prediksi

1.4 Manfaat penelitian 1.4.1 Manfaat teoritis Menambah dasar ilmu serta penelitian mengenai tingkat keamanan dan kelainan faal paru penderita asma pasca ekseserbasi setelah rawat inap.

1.4.2 Manfaat praktis Dengan mengetahui gambaran faal paru penderita asma pasca eksaserbasi setelah rawat inap maka diharapkan terdapat analisa ulang mengenai efektivitas terapi asma sehingga dapat meminimalkan terjadinya kelainan faal paru dan mencegah eksaserbasi kembali.

13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Anatomi dan fisiologi saluran nafas Sistem pernapasan atau sistem respirasi adalah sistem organ yang digunakan

untuk pertukaran gas. Saluran pernapasan atas dimulai dari hidung hingga pharynk atau tenggorokan, Sedangkan saluran pernafasan bawah dimulai dari larynk atau pita suara, trakea, selanjutnya bercabang menjadi dua bronkus lalu bronkiolus. Udara mengalir dari larynk ke trakea, sebuah saluran sepanjang 12-15 cm di bawah larynk. Trakea ini dibentuk oleh 15 hingga 20 cincin kartilago berbentuk huruf C dan bagian terpisah pada C terhubung oleh otot polos. Akhir dari trakea terletak sedikit di

14

bawah pertemuan pertemuan antara leher dengan bagian tubuh. Disini trakea akan bercabang menjadi dua saluran bronkus kanan dan bronkus kiri, yang masing-masing mengalirkan udara ke paru kanan dan paru kiri. Di dalam paru, bronkus akan bercabang menjadi saluran-saluran yang lebih kecil yaitu bronkiolus (Effendi & Herawati; 2011)

Gambar 2.1 Saluran nafas atas dan saluran nafas bawah (Effendi & Herawati; 2011) 2.2 Asma

2.2.1 Patogenesis asma Kelainan anatomik pada asma menyangkut semua lapisan dinding saluran nafas, termasuk lumen, mukosa, submukosa dan otot polos. 1. Lumen. Sering ditemukan adanya sumbatan mukus yang kental dan liat, yang sulit untuk dikeluarkan, yang terdiri dari bagian mukus, serus dan seluler. Bagian seluler berasal dari sel eosinofil, kristal Charcot-Leyden yang berasal dari sel eosinofil dan epitel bronkus. 2. Mukus

15

Mukus trakeobronkial terdiri dari golongan glikoprotein. Pada penderita asma terjadi peninggian sintesis dari mukopolisakarida. Mukus penderita asma mengandung lebih banyak protein serum. 3. Epitel bronkus Pada status asmatikus tidak ditemukan adanya silia, karena terlepas oleh desakan sel ke lumen dan diganti dengan sel goblet hiperplastik yang membentuk mukus. Juga terjadi infiltrasi sel, terutama eosinofil dan edem mukosa. 4. Submukosa Edema dan infiltrasi sel lebih sering dijumpai pada sub mukosa dibandingkan dengan epitel. Disini sel-selnya lebih heterogen, seperti limfosit, histiosit, sel plasma dan eosinofil. Kelenjar submukosa membesar, seperti juga halnya pada bronkitis kronis dan penebalan membran basal adalah khas untuk asma. Hal ini disebabkan karena deposit IgA, IgG dan IgM di membran basal.

5. Otot polos bronkus Ada bukti jelas bahwa pada asma, otot polos bronkus bertambah akibat hiperplasi dan hipertrofi. Hal ini dapat terjadi akibat adanya bronkokonstriksi yang lama. Oot polos orang asma mengandung lebih sedikit reseptor adrenergik Beta sehingga akan lebih cepat terjadi bronkokonstriksi karena rangsangan kolinergik atau mediator yang dikeluarkan pada reaksi alergi (Baratawidjaja & Sundaru; 1981). Pada saat timbul serangan asma terjadi obstruksi jalan napas secara luas yang merupakan kombinasi dari spasme otot polos bronkus, edema mukosa akibat inflamasi saluran napas, dan sumbatan mukus (Tehuteru, 2003). Asma merupakan inflamasi kronik

16

saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan,terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, netrofil dan sel epitel (Depkes RI, 2007). Asma ditandai dengan kontraksi spastik dari otot polos bronkiolus yang menyebabkan sukar bernafas. Penyebab yang umum adalah adanya reaksi hipersensitivitas bronkiolus terhadap benda-benda asing di udara (Tanjung, 2003) Pada asma tipe alergi penderita akan memiliki kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar yang nantinya akan berikatan spesifik dengan antigen atau alergen pemicunya. Hal ini menyebabkan dikeluarkannya berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan leukotrient), faktor kemotaktik eosinofilik dan bradikinin. Efek gabungan dari semua faktor-faktor ini akan menghasilkan edema lokal pada dinding bronkiolus, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus sehingga tahanan saluran napas akan meningkat (Tanjung, 2003)

17

Gambar 2.2 Mekanisme imunologi pada asma (Rahmawati, dkk; 2003)

Inflamasi saluran napas pada asma merupakan proses yang sangat kompleks, melibatkan faktor genetik, antigen, berbagai sel inflamasi, interaksi antar sel dan mediator yang membentuk proses inflamasi kronik dan remodelling. Hiperesponsivitas saluran napas adalah respons bronkus berlebihan yaitu berupa penyempitan bronkus akibat berbagai rangsangan spesifik maupun nonspesifik. Respons inflamasi dapat secara langsung meningkatkan gejala asma seperti batuk dan rasa berat di dada karena sensitisasi dan aktivasi saraf sensorik saluran napas. Hubungan antara AHR dengan proses inflamasi saluran napas melalui beberapa mekanisme; antara lain

peningkatan permeabilitas epitel saluran napas, penurunan diameter saluran napas akibat edema mukosa sekresi kelenjar, kontraksi otot polos akibat pengaruh kontrol saraf otonom dan perubahan sel otot polos saluran napas. Setelah limfosit T teraktivasi akan mengeluarkan sitokin IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-13 dan GM-CSF. Sitokin bersama sel inflamasi yang lain akan saling berinteraksi membentuk proses inflamasi yang kompleks, degranulasi eosinofil, pengeluaran berbagai protein toksik yang merusak epitel saluran napas sehingga terjadi proses hiperesponsivitas dan sesak (Rahmawati, dkk; 2003)

2.2.2 Gejala klinis asma Gejala asma bersifat episodik, seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan. Gejala awalnya berupa : y y batuk terutama pada malam atau dini hari sesak napas

18

y y y

napas berbunyi (wheezing) yang terdengar jika pasien menghembuskan napasnya rasa berat di dada dahak sulit keluar

Gejala yang berat adalah keadaan gawat darurat yang mengancam jiwa. Yang termasuk gejala yang berat adalah: y y y y y Serangan batuk yang hebat Sesak napas yang berat dan tersengal-sengal Sianosis (kulit kebiruan, yang dimulai dari sekitar mulut) Sulit tidur dan posisi tidur yang nyaman adalah dalam keadaan duduk Kesadaran menurun

(Depkes RI; 2007, Tehuteru; 2003)

2.2.3 Klasifikasi dan derajat asma Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma semakin tinggi tingkat pengobatan (Depkes RI; 2007). Klasifikasi asma dapat ditentukan berdasar frekuensi serangan, serangan asma malam, gangguan aktivitas, nilai faal paru, dan variabilitas harian.

Tabel 2.1 Klasifikasi asma oleh GINA (Global Iniative for Asthma) tahun 2006

19

2.2.4 Eksaserbasi asma Eksaserbasi asma adalah episode peningkatan progresivitas secara cepat dengan pernapasan pendek, batuk, wheezing, rasa berat di dada atau beberapa kombinasi dari gejala-gejala ini. Episode eksaserbasi merupakan masalah yang sering dalam penanganan eksaserbasi asma (Melintira, dkk; 2003). Faktor penyebab eksaserbasi antara lain rangsangan penyebab bronkokonstriksi saja (inciter) seperti latihan, udara dingin, kabut

20

atau asap dan rangsangan penyebab inflamasi (inducer) seperti pajanan alergen, sensitisasi zat di tempat kerja, ozon dan infeksi saluran napas oleh virus (Rahmawati, Yunus, Wiyono; 2003). Seseorang yang mengalami episode ini seringkali harus libur bekerja atau bersekolah dan seringkali harus mendapatkan penanganan darurat dari rumah sakit. Peningkatan angka morbiditas dan biaya perawatan juga merupakan dampak kejadian ini. (Melintira, dkk; 2003, Brinke et al; 2005).

2.2.5 Faktor-faktor pemicu terjadinya eksaserbasi asma Serangan asma akan timbul apabila ada suatu faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya rangsangan terhadap saluran respiratorik yang berakibat terjadi

bronkokonstriksi, edema mukosa, dan hipersekresi. Penghindaran terhadap pencetus diharapkan dapat mengurangi rangsangan terhadap saluran respiratorik. (Supriyatno; 2005). Fakto-faktor yang dapat memicu terjadinya eksaserbasi asma akan dijelaskan sebagai berikut: 1. Genetik Faktor genetik termasuk atopi, hiperesponsivitas jalan napas intrinsik dan perbedaan struktur reseptor B2 pada jalan napas mungkin menunjang anak-anak menjadi penyandang asma. Peran gen-gen ini dipengaruhi oleh faktor lingkungan antara lain dengan bioalergen seperti kecoa, tungau debu dan partikel udara luar ruangan. Fungsi paru normal saat kelahiran bayi yang nantinya dapat berkembang menjadi asma. Saat

21

asma telah muncul maka pajanan lingkungan berperan sebagai pencetus disfungsi jalan napas dan eksaserbasi klinis. 2. Latihan dan hiperventilasi 3. Perubahan cuaca 4. Merokok Belum ada bukti bahwa perokok aktif merupakan faktor resiko terjadinya asma, namun perokok aktif berhubungan dengan penurunan fungsi paru yang lebih cepat pada penderita asma dan derajat asma yang lebih berat (Pramita; 2006). Rokok dapat memperburuk proses inflamasi, berpengaruh pada fisiologi asma dapat

mengakibatkan bronkokontriksi akut, menurunnya fungsi paru dengan menurunnya FEV1, dapat memperburuk manifestasi klinis serta berpengaruh terhadap respons pengobatan yaitu menurunnya respons terhadap kortikosteroid baik inhalasi maupun sistemik dan meningkatkan bersihan dari teofilin, serta menurunnya tercapainya asma terkontrol.Baik tidaknya respons pengobatan pada pasien asma yang dirawat dapat dinilai dengan mengukur lama rawat pasien asma yang dirawat di rumah sakit (Rai & Sajinadiyasa; 2008) 5. Infeksi virus Infeksi saluran napas mempunyai hubungan yang kompleks dengan asma. Infeksi pada awal kehidupan berhubungan dengan peningkatan risiko terbentuknya asma sedangkan infeksi yang terjadi pada tahap kehidupan selanjutnya dapat berhubungan dengan awitan (onset) eksaserbasi asma (Melintira, dkk; 2003) 6. Faktor Lingkungan

22

Faktor lingkungan termasuk mutu udara dianggap berperan penting pada asma sejak permulaan kehidupan dan sebagai pencetus eksaserbasi asma. Kondisi lingkungan mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti (Tanjung; 2003) 7. Polutan Pajanan SO2 dapat menyebabkan bronkokonstriksi. Pajanan ozon berhubungan dengan banyak tanda perburukan asma seperti penurunan fungsi paru, peradangan jalan napas, angka kunjungan gawat darurat dan rawat inap serta peningkatan respons terhadap alergen udara secara umum. PM (Particulate Matter) berhubungan dengan penurunan fungsi paru, peningkatan gejala gangguan respirasi, peningkatan penggunaan obat asma dan kunjungan tak terjadwal ke gawat darurat. Telah dijelaskan hubungan antara polutan udara spesifik dengan perburukan asma.

2.2.6 Terapi dan penatalaksanaan ekseserbasi asma Tatalaksana asma dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu tatalaksana pada saat serangan asma (eksaserbasi akut) atau aspek akut dan tatalaksana jangka panjang (aspek kronis) (Supriyatno; 2005). Tujuan dari tatalaksana asma eksaserbasi akut ialah menghilangkan obstruksi secepat mungkin, menghilangkan hipoksemi, mengembalikan faal paru ke kondisi normal secepat mungkin, serta mencegah kekambuhan. Penatalaksanaan eksaserbasi asma selama ini telah mengacu kepada panduan GINA

23

tahun 2006. Pasien dapat dipulangkan apabila telah memenuhi syarat nilai pengukuran FEV1 > 70% pada penanganan awal atau FEV1 >60% pasca rawat inap. (Yunus; 2009)

24

Gambar 2.3 Skema penatalaksanaan asma eksaserbasi di rumah sakit (Yunus; 2009) 2.3 Uji Faal Paru Spirometer

Volume paru dan kapasitas paru Adalah volume paru yang diukur tanpa kekuatan paksa. Volume paru adalah volume udara yang mengisi petak-petak ruangan udara di dalam paru. Volume paru yang diukur adalah: 1. Volume pasang surut (Tidal Volume = TV) adalah jumlah udara yang keluar masuk paru saat bernafas biasa. Pada orang dewasa muda normal pada umumnya s 500 ml. 2. Volume cadangan inspirasi (Inspiratory Reserve Volume=IRV) adalah jumlah udara yang masih bisa dihisap secara maksimal setelah menghisap udara pada pernafasan biasa, besarnya sekitar 2500- 3000 ml.

25

3. Volume Cadangan Ekspirasi (Expiratory Reserve Volume=ERV) adalah jumlah udara yang masih bisa dihembuskan secara maksimal setelah menghembuskan udara pada pernafasan biasa, besarnya sekitar 1100 ml. 4. Residual Volume (RV) adalah jumlah udara yang masih tertinggal dalam paru meskipun telah menghembuskan nafas secara maksimal, besarnya pada orang dewasa muda sehat s 1200 ml. 5. Kapasitas Paru a. Inspiratory Capacity (IC) = TV + IRV. adalah jumlah udara yang dihirup seseorang mulai dari ekpirasi normal sampai inspirasi maksimal. Jumlah udara sekitar 3500ml

b. Functional Reserve Capacity (FRC) atau KRF (Kapasitas Residu Fungsional) adalah jumlah udara yang tersisa dalam paru pada akhir ekspirasi normal. Jumlah udara sekitar 2300 ml c. Vital Capacity (VC) adalah jumlah udara maksimum yang dapat dikeluarkan seseorang dari paru, setelah terlebih dahulu inspirasi maksimal setelah itu diikuti ekspirasi maksimal. Jumlah udara sekitar 4600 mly

VCTwo Stage = IC + ERV = (TV + IRV) + ERV VCOne Stage , yang terdiri dari : VCose : volume udara yang dihembuskan secara maksimal setelah inspirasi maksimal.

y

26

VCosi : volume udara yang diisap maksimal setelah ekspirasi maksimal. d. Kapasitas total paru atau Total Lung Capacity (TLC) = IRV + TV + ERV + RV adalah volume maksimum udara yang dapat mengembangkan paru sebesar mungkin dengan inspirasi sekuat mungkin. Jumlah udara sekitar 5800 ml

Gambar 2.4 Diagram pernafasan (Effendi; 2011)

Volume paru paksa atau dinamik (Liben 2010) merupakan volume paru yang diukur pada relawan bernafas aktif dan dengan kekuatan penuh sesuai dengan kehendak instruktur. Volume dinamik ini digunakan untuk menentukan adanya obstruksi jalan nafas. Bila terdapat peningkatan tahanan jalan nafas maka kecepatan aliran udara keluar paru akan berkurang yang terlihat pada berkurangnya parameter volume dinamik. Volume paru paksa ini terdiri dari : 1. FEV1 (Forced Expiratory Volume one second)

27

adalah volume udara yang dikeluarkan maksimal selama detik pertama ekspirasi setelah relawan inspirasi maksimal. 2. FEV2 (Forced Expiratory Volume two second) adalah volume udara yang dikeluarkan maksimal selama dua detik ekspirasi setelah relawan inspirasi maksimal.

3. KPM (Kapasitas Pernafasan Maksimal) adalah jumlah udara yang keluar masuk paru maksimal selama satu menit. 4. FVC (Forced Vital Capacity) atau KVP (Kapasitas Vital Paksa) adalah kapasitas vital yang diperoleh dengan usaha semaksimal mungkin dengan bantuan kontraksi sekuat-kuatnya dari otot-otot pernafasan dan otot-otot

pernafasan tambahan. (Guyton & Hall; 2007, Liben; 2010)

2.3.1 Uji faal paru gangguan obstruksi Gangguan obstruksi ialah menyempitnya saluran nafas sehingga kecepatan aliran udara terganggu. Obstruksi saluran nafas pada asma merupakan kombinasi spasme otot bronkus, sumbatan mukus, edema dan inflamasi dinding bronkus. Hal ini mengakibatkan udara distal tempat terjadinya obtruksi terjebak tidak bisa diekspirasi, selanjutnya terjadi peningkatan volume residu. Hasil pemeriksaan spirometer yang dapat menunjukkan

adanya obstruksi ialah FEV1 dan KPM. Obstruksi terjadi bila FEV1< 75% nilai prediksi. Bila terdapat peningkatan tahanan jalan nafas maka kecepatan aliran udara keluar paru

28

akan berkurang yang terlihat pada berkurangnya parameter volume dinamik (Liben; 2010) Tabel 2.2 Interpretasi nilai FEV1 (Liben; 2010) No 1 2 3 4 5 Derajat kerusakan Normal Obstruksi ringan Obstruksi sedang Obstruksi berat Obstruksi sangat berat FEV1 75% < 75% - 60% < 60% - 50% < 50% - 40% < 40%

2.2.2 Uji faal paru gangguan restriksi Gangguan restriksi terjadi ketika jaringan elastis peribronkial digantikan oleh jaringan ikat sehingga terjadi gangguan pengembangan paru. Hasil pemeriksaan spirometer yang dapat menunjukkan adanya restriksi ialah VC dan FVC. Restriksi terjadi bila nilai VC atau FVC < 80% nilai prediksi. Bila jaringan elastik peribronchial diganti dengan dengan jaringan ikat maka dapat terjadi gangguan pengembangan paru yang disebut restriksi (Liben; 2010).

Tabel 2.3 Interpretasi nilai VC atau FVC No 1 2 3 4 Derajat kerusakan Normal Restriksi ringan Restriksi sedang Restriksi berat VC atau FVC 80% < 60% - 79% < 30% - 59% < 30%