USM TANGGUNG JAWAB HUKUM PERUSAHAAN ASURANSI TERHADAP … · Asuransi dalam bahasa Belanda di sebut...
Transcript of USM TANGGUNG JAWAB HUKUM PERUSAHAAN ASURANSI TERHADAP … · Asuransi dalam bahasa Belanda di sebut...
i
USM
TANGGUNG JAWAB HUKUM PERUSAHAAN ASURANSI
TERHADAP TINDAKAN WANPRESTASI KAITANNYA DENGAN
PERLINDUNGAN KONSUMEN
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas
dan memenuhi syarat-syarat guna menyelesaikan
Program Studi Strata 1 Ilmu Hukum
Oleh
Nama : M. Yoga Setyawan
NIM : A.111.15.0079
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG
TAHUN 2019
v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala yang
telah memberikan banyak nikmat, taufik dan hidayah. Sehingga Penulis dapat
menyelesaikan Skripsi dengan judul “Tanggung Jawab Hukum Perusahaan
Asuransi Terhadap Tindakan Wanprestasi Kaitanya Dengan Perlindungan
Konsumen ” untuk melengkapi tugas dan syarat mata kuliah Skripsi.
Penulis banyak menyadari berbagai kesulitan dan hambatan yang penulis
hadapi, mengingat keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penulis dalam
penyusunan Skripsi ini, namun berkat bantuan, petunjuk, serta saran-saran
maupun arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan rasa
terima kasih yang sedalam-dalamnya dan rasa hormat kepada:
1. Bapak Andy Kridasusila, S.E., M.M., selaku Rektor Universitas Semarang
beserta segenap jajarannya.
2. Ibu B. Rini Heryanti, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Semarang dan selaku dosen pembimbing utama yang telah
banyak memberikan penggarahan sehingga tersusunlah skripsi ini.
3. Ibu Dharu Triasih, S.H.,M.H. selaku dosen Pembimbing II yang telah
meluangkan waktu dalam memberikan bimbingannya dan nasehat-
nasehatnya yang diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan penelitian ini.
4. Bapak Muhammad Iftar Arya Putra, S.H, M.H. selaku Dosen Wali yang
telah membimbing dan memberi arahan kepada penulis dalam menempuh
pendidikan Strata Satu (S-1) Fakultas Hukum Universitas Semarang;
vii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Motto :
“Barang siapa yang mempelajari ilmu pengetahuan yang seharusnya yang di
tujukan untuk mencari ridho Allah bahkan hanya untuk mendapatkan kedudukan/
kekayaan duniawi maka ia tidak akan mendapatkan baunya surge nanti pada hari
kiamat.”
(Riwayat Abu Hurairah radhiallahu anhu)
“Intelligence plus character- that is the goal of thrue education”
(Martin Lauther King Jr)
Kupersembahkan Untuk :
1. Ibu saya Sri Sukarsih. 2. Ayah saya Subur.
3. Kakak saya Elsa Setyasih dan adik saya Annisa Septyani. 4. Dosen Fakultas Hukum.
5. Teman-Teman Seperjuangan Kelas B. 6. Alamamater.
viii
ABSTRAK
Perusahaan asuransi adalah lembaga sanggup menanggung setiap risiko yang akan dihadapi nasabahnya. Suatu perjanjian asuransi dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak telah memenuhi prestasinya masing-masing. Adakalanya didalam perjanjian tersebut tidak terlaksana dengan baik karena adanya wanprestasi yang dilakukan salah satu pihak. Namun bagaimana apabila perusahaan asuransi yang melakukan wanprestasi dan melanggar perjanjian kepada pemegang polis, contohnya klaim asuransi yang sukar diperoleh atau berbelit-belit pengurusannya. Permasalahan dari penelitian ini adalah bagaimana tanggung jawab hukum atas tindakan wanprestasi yang dilakukan perusahaan asuransi serta bentuk penyelesaian bila timbul sengketa. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Data yang dipergunakan adalah data sekunder, teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab hukum atas tindakan wanprestasi perusahaan asuransi yaitu perusahaan asuransi harus memenuhi kewajibannya terhadap pemegang polis yang mengalami kerugian dalam hal pengajuan klaim, sepanjang tertanggung dapat membuktikan telah melakukan kewajibannya untuk membayar premi maupun syarat-syarat lain yang telah ditentukan, serta adanya sanksi administratif yang telah diatur dalam Pasal 71 Undang- Undang Nomor 40 tahun 2014. Apabila timbul sengketa asuransi dapat di selesaikan melalui pengadilan dan luar pengadilan. Melalui pengadilan apabila sengketa asuransi tidak menemukan titik temu antara penanggung dan tertanggung, penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat ditempuh melalui lembaga penyelesaian sengketa BMAI dengan mediasi, ajudikasi, dan arbitrase. Pemerintah juga membentuk OJK yang salah satu tugasnya adalah untuk menyelesaikan sengketa kontrak asuransi.
Kata kunci : tanggung jawab, asuransi ,wanprestasi.
ix
ABSTRACT
Insurance companies are institutions that are able to approve any risks that will be accounted for. Each insurance agreement can be completed with the approval of the parties that have been approved respectively. Sometimes the agreement is not carried out due to a default by one of the parties. But how to ask an insurance company that defaults and wins an agreement with the policyholder, for example an insurance claim that is difficult to obtain or complicated management. This study uses normative juridical methods. The data used are secondary data types and the technique used in this study is descriptive analysis. The problem of this research is the legal liability for default actions taken by insurance companies and the form of settlement if a dispute arises. Based on the results of research can conclude legal liability for default actions of insurance companies that is the insurance company must be responsible for the policyholders who spend losses in the case of filing a claim, running the insured can help increase spending for payment of premiums according to specified requirements, Article 71 of Law Number 40 of 2014. If there is, then licensing regulations can be resolved through courts and foreign courts. Through the court, with the court's approval not finding a meeting point between the guarantor and the insured, the resolution of disputes outside the court can be resolved through the BMAI dispute resolution agency through mediation, adjudication, and arbitration. The government also made OJK, one of its tasks is to resolve insurance contract dispute.
Keyword: responsibility, insurance, default.
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………….………………i
HALAMAN ORISINALITAS……..………………..……………….……………ii
HALAMAN PENGESAHAN…..…………….....………………………….……iii
A. PENGESAHAN MEMPERBANYAK…………………………….………….iii
B. PENGESAHAN UJIAN…………………………………………….…………iv
KATA PENGANTAR…..………………………………………....……………...v
HALAMAN MOTO DAN PERSEMBAHAN…………………………………..vii
ABSTRAK………………………………………………………………………viii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………....x
BAB I PENDAHULUAN……………………………………….………….….….1
1.1 Latar Belakang…………...........……………………………..……....….1
1.2 Perumusan Masalah………………...………………………….…....…..5
1.3 Tujuan Dan Manfaat Penelitian ..……………………....…..…….....…..5
1.4 Keaslian Penelitian………………………………………………...…....6
1.5 Sistematika………………………....……………………..……………..7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………….……………………………….9
2.1 Pengertian Asuransi……………………………………………..…...….9
2.2 Syarat Sahnya Perjanjian Asuransi………………..………………...…12
2.3 Jenis-Jenis Asuransi…………………………………...…..…………...15
2.4 Prinsip-Prinsip Asuransi………….……………………..………….….16
2.5 Tujuan dan Manfaat Asuransi…………………………...………...…...18
2.6 Tinjauan Umum Mengenai Wanprestasi……………….....….………..22
BAB III METODE PENELITIAN………………….……………………………27
3.1 Jenis Penelitian……………………...…………………………..……..27
3.2 Spesifikasi Penelitian………………………...………………...………28
3.3 Metode Pengumpulan Data……………………………...…..………....28
3.4 Metode Analisis Data……………..………...……………...….…..…..29
BAB IV HASIL PENILITIAN DAN PEMBAHASAN…………………………30
4.1 Penyelesaian Sengketa Apabila Perusahaan Asuransi Melakukan
Wanprestasi Dalam Kaitanya Dengan Perlindungan Konsumen…...…..30
xi
4.2 Tanggung Jawab Hukum Perusahaan Asuransi Atas Tindakan
Wanprestasi Kaitanya Dengan Perlindungan Konsumen……………....46
BAB V PENUTUP……………………………………………………………….60
5.1 Simpulan……………………………………………………………….60
5.2 Saran…………………………………………………………...………61
DAFTAR PUSTAKA……………………………………….…………………...62
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Asuransi dalam bahasa Belanda di sebut verzekering yang berarti
pertanggungan atau asuransi dan dalam bahasa Inggris disebut Insurance 1 .
Asuransi pada umumnya adalah suatu perjanjian dalam mana pihak yang
menjamin berjanji terhadap pihak yang dijamin, untuk menerima sejumlah uang
premi pengganti kerugian, yang mungkin di derita oleh yang dijamin selaku akibat
dari suatu peristiwa yang belum tentu terjadi. Di masa kehidupan, manusia tidak
dapat meramalkan apa yang akan terjadi diwaktu yang akan datang secara
sempurna, meskipun dengan menggunakan berbagai alat analisis. Hal itu pula
yang terjadi pada perusahaan maupun individu. Risiko dimasa datang dapat terjadi
terhadap kehidupan seseorang misalnya saja kematian, sakit, atau risiko dipecat
dari pekerjaan. Dalam dunia bisnis risiko yang dihadapi dapat berupa kerugian
akibat kebakaran, kerusakan atau kehilangan. Oleh karena itu setiap risiko yang
akan dihadapi harus ditanggulangi, sehingga tidak menimbulkan kerugian yang
lebih besar lagi. Perusahaan asuransi adalah lembaga yang mau dan sanggup
menanggung setiap risiko yang akan dihadapi nasabahnya baik perorangan
maupun badan usaha.
Dalam kondisi demikian, kehadiran asuransi tentu akan membuat risiko
dimasa yang akan datang dapat teratasi dengan baik. Pada prinsipnya asuransi
adalah suatu perjanjian antar tertanggung dan penanggung untuk merundingkan
ganti rugi yang diderita tertanggung yang akan diganti oleh penanggung
1 Simorangkir, dkk., Kamus Hukum (Jakarta: Sinar Grafika 2009), halaman 182.
2
(perusahaan asuransi) setelah tertanggung menyepakati pembayaran sejumlah
uang yang disebut premi. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian Pasal 1 menjelaskan definisi asuransi yang berisi ”asuransi adalah
perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang
menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan
untuk :
a. Memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena
kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau
tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita
tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang
tidak pasti.
b. Memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya
tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung
dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada
hasil pengelolaan dana”.
Perusahaan asuransi sebagai pihak penanggung risiko atas ketidak pastian
yang dialami pihak tertanggung dalam hal ini nasabahnya mempunyai perjanjian
ataupun perikatan yang menjadi modal dasar keterikatan hubungan antara pihak
asuransi dengan nasabahnya. Hubungan keterikatan pihak asuransi dengan
nasabahnya sudah otomatis berkaitan dengan bentuk layanan perlindungan
asuransi yang diberikan oleh pihak asuransi kepada nasabahnya, selanjutnya pihak
nasabah akan memberikan premi atau kompensasi atas layanan perlindungan
perusahan asuransi tersebut kepada diri nasabah tersebut.
3
Suatu perjanjian asuransi dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak
yaitu tertanggung dan penanggung telah memenuhi prestasinya masing-masing
seperti yang telah diperjanjikan tanpa ada pihak yang dirugikan. Tetapi
adakalanya didalam perjanjian tersebut tidak terlaksana dengan baik karena
adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak. Perkataan wanprestasi
berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Adapun yang dimaksud
wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya,
dimana salah satu pihak tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah
ditentukan dalam perjanjian2. Adapun bentuk-bentuk dari wanprestasi yaitu 3:
a. Tidak memenuhi prestasi sama sekali.
b. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.
c. Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru.
Sedangkan menurut Subekti, bentuk wanprestasi ada empat macam yaitu4:
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan.
b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana
dijanjikannya.
c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Namun bagaimana apabila perusahaan asuransilah yang melakukan
wanprestasi dan melanggar perjanjian asuransi kepada pemegang polis, contohnya
klaim asuransi yang sukar diperoleh atau berbelit-belit pengurusannya, merupakan
2 Nindyo Pramono, Hukum Komersil (Jakarta: Pusat Penerbitan UT, 2003), halaman 221. 3 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian (Jakarta: Putra Abadin, 1999), halaman
18. 4 Subekti, Hukum Perjanjian (Jakarta: Intermasa, 2004), halaman 45.
4
titik awal adanya persengketaan di antara para pihak oleh karena telah terjadi
wanprestasi dengan segala konsekuensi atau akibat hukumnya.
Salah satu institusi yang berwenang dan berfungsi di dalam memberikan
pertanggung jawaban hukum tersebut ialah Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011, yang pada
Pasal 55 ayat (1) menyatakan bahwa: “Sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi,
tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di
sektor pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan
lembaga jasa keuangan lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK”. Defenisi pelaku usaha
jasa keuangan menurut Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor:
1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan Pasal 1
angka 1 adalah : ”Pelaku usaha Jasa Keuangan adalah Bank Umum, Bank
Perkreditan Rakyat, Bank Kustodian, Dana Pensiun, Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Reasuransi, Lembaga Pembiayaan ,Perusahaan Gadai, dan Perusahaan
Penjaminan, baik yang melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional
maupun secara syariah.”
Manakala timbul perselisihan atau persengketaan di antara pemegang polis
asuransi dengan perusahaan asuransi, seperti halnya yang pernah terjadi pada
PT.Prudential Life yang menolak klaim asuransi terhadap pemegang polis yaitu
Ibu Hotmauli Manurung, penolakan klaim juga pernah dilakukan oleh PT.Allianz
terhadap pemegang polis bernama Ifranius dan masih banyak lagi kasus yang lain.
Sesuai dengan fungsi, tugas dan kewenangannya pada Otoritas Jasa Keuangan
5
melakukan mekanisme penyelesaian sengketa konsumen baik melalui peradilan
atau litigasi, maupun penyelesaian sengketa di luar peradilan atau non-litigasi.
Melalui penelitian ini, penulis tertarik untuk menganalisis hal yang
berkaitan dengan tanggung jawab hukum perusahaan asuransi yang melakukan
tindakan wanprestasi dikaitkan dengan perlindungan konsumen.
1.2. Perumusan Masalah
1. Bagaimana bentuk penyelesaian sengketa apabila perusahaan asuransi
melakukan wanprestasi terhadap pemegang polis?
2. Bagaimana tanggung jawab hukum perusahaan asuransi atas tindakan
wanprestasi dalam kaitanya dengan perlindungan konsumen ?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
A. Tujuan penelitian:
1. Untuk mengetahui bentuk penyelesain sengketa apabila perusahaan
asuransi melakukan wanprestasi terhadap pemegang polis.
2. Untuk mengetahui lebih mendalam tanggung jawab hukum atas tindakan
wanprestasi yang dilakukan perusahaan asuransi dalam kaitanya dengan
perlindungan konsumen.
B. Manfaat penelitian:
1. Manfaat teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan
ilmu pengetahuan pada umumnya, hasil penelitian ini dapat di gunakan
sebagai acuan untuk mmperbaiki dan mengembangkan peraturan tentang
asuransi, dan sebagai referensi serta tambahan bagi para akademisi yang
nantinya digunakan untuk penelitian kepada pihak-pihak yang
membutuhkan.
6
2. Manfaat praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi
aparatur hukum dan upaya penyelesaian masalah wanprestasi kepada
pemegang polis atau pihak tertanggung.
1.4. Keaslian Penelitian
Keaslian penulis dapat diuji dari beberapa peniliti terdahulu yang
mempunyai karakteristik yang relatif sama dalam hal tema kajian, namun berbeda
dalam hal pemfokusan dalam penilitian serta metode analisis yang digunakan.
Berdasarkan hasil penelusuran yang dilakukan, penulis menemukan judul yang
memiliki tema kajian yang sama yaitu :
a. Andy Wirawan Salim Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 2011
tentang ”Wanprestasi Dalam Perjanjian Asuransi Kebakaran: Studi Kasus
Putusan Mahkamah Agung-RI Nomor: 911 K/Pdt/2009” yang memfokuskan
pada hak dan kewajiban penanggung dan tertanggung dalam perasuransian
serta bentuk wanprestasi dalam perjanjian asuransi di dalam Putusan
Mahkamah Agung-RI Nomor: 911 K/Pdt/2009.
b. Dewa Ayu Widiastuti Meranggi Fakultas Hukum Universitas Udayana tentang
“Wanprestasi Dalam Pembayaran Premi Asuransi Dihubungkan Dengan
Tanggung Jawab Penanggung Asuransi Jiwa” yang berfokus pada faktor- faktor
yang menyebabkan terjadinya wanprestasi dalam pembayaran premi serta
pelaksanaan penggantian kerugian.
c. Satriyo Bagus Pamungkas Fakultas Hukum Universitas Diponegoro 2017
tentang “ Tanggung Jawab Perusahaan Asuransi Pt. Asuransi Mitra Maparya
Cabang Semarang Terhadap Klaim Kebakaran Yang Menimpa CV.
Indoprinting Semarang” yang memfokuskan pada tanggung jawab perusahaan
7
asuransi PT.Asuransi Mitra Maparya Cabang Semarang terhadap ganti rugi
klaim kebakaran pada CV.Indoprinting Semarang.
Dalam penulisan skripsi ini penulis mengambil judul tentang “Tanggung Jawab
Hukum Perusahaan Asuransi Terhadap Tindakan Wanprestasi Kaitannya Dengan
Perlindungan Konsumen”. Kajian penelitian skripsi ini berbeda dari penelitian
sebelumnya, penulis mengkaji dan mengambil rumusan masalah tentang
bagaimana bentuk penyelesaian sengketa apabila perusahaan asuransi melakukan
wanprestasi terhadap pemegang polis dan bagaimana tanggung jawab hukum
perusahaan asuransi atas tindakan wanprestasi dalam kaitanya dengan
perlindungan konsumen, maka penulis tertarik untuk mengambil judul ini sebagai
judul skripsi.
1.5. Sistematika
Penyusunan penelitian ini akan disajikan dalam sistematika pembahasan
yang terdiri dari 3 bab, yaitu:
BAB I : Pendahuluan
Dalam Bab ini diuraikan mengenai latar belakang penelitian, perumusan
masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian, serta sistematika
penulisan.
BAB II :Tinjauan Pustaka
Dalam Bab ini menguraikan tentang tinjauan tentang definisi asuransi,
syarat sahnya perjanjian asuransi, jenis-jenis asuransi, prinsip-prinsip
asuransi, tujuan dan manfaat asuransi, serta tinjaun umum megenai
wanprestasi.
8
BAB III: Metode Penelitian
Dalam Bab ini menguraikan mengenai metode penelitian untuk
menjelaskan prosedur penelitian secara mendetail mengenai metode
penelitian apa yang digunakan. Bab ini berisi empat sub Bab yaitu terdiri
dari jenis penelitian, spesifikasi penelitian, metode pengumpulan data,
dan metode analisis data.
BAB IV: Hasil Penelitian Dan Pembahasan
Uraian mengenai hasil penelitian yang menganalisis permasalahan-
permasalahan yang ditemukan dengan teori-teori hukum serta undang-
undang, adapun permasalahan yang dianalisis yaitu bagaimana bentuk
penyelesaian sengketa apabila perusahaan asuransi melakukan
wanprestasi dan tanggung jawab hukum perusahaan asuransi atas
tindakan wanprestasi dalam kaitanya dengan perlindungan konsumen.
BAB V: Penutup
Menguraikan simpulan dari hasil penelitian serta saran peneliti terhadap
pihak terkait yang berhubungan dengan hasil temuan penelitian.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Asuransi
Subekti, dalam bukunya memberikan definisi mengenai asuransi yaitu,
asuransi atau pertanggungan sebagai suatu perjanjian yang termasuk dalam
golongan perjanjian untung-untungan (kansovereenkomst). Suatu perjanjian
untung-untungan ialah suatu perjanjian yang dengan sengaja digantungkan pada
suatu kejadian yang belum tentu terjadi, kejadian mana akan menentukan untung-
ruginya salah satu pihak5. Ada 2 (dua) pihak yang terlibat dalam asuransi, yaitu
pihak penanggung sebagai pihak yang sanggup menjamin serta menanggung
pihak lain yang akan mendapat suatu penggantian kerugian yang mungkin akan
dideritanya sebagai suatu akibat dari suatu peristiwa yang belum tentu terjadi dan
pihak tertanggung akan menerima ganti kerugian, yang mana pihak tertanggung
diwajibkan membayar sejumlah uang kepada pihak penanggung 6 . Sedangkan
Abbas Salim, dalam bukunya memberikan definisi sebagai berikut, asuransi ialah
suatu kemauan untuk menetapkan kerugian-kerugian kecil (sedikit) yang sudah
pasti sebagai pengganti kerugian-kerugian besar yang belum pasti. Dapat ditarik
kesimpulan bahwa, orang bersedia membayar kerugian yang sedikit untuk masa
sekarang, agar biasa menghadapi kerugian-kerugian besar yang mungkin terjadi
pada waktu mendatang7
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) Bab
Kesembilan Pasal 246 dijelaskan tentang pengertian asuransi yang berisi :
5 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata (Jakarta: PT. Intermasa, 2001), halaman 217. 6 Ibid. 7 Abbas Salim, Asuransi dan Manejemen Resiko (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,
2003), halaman 1.
10
”Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang
penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima
suatu premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian,
kerusakan atau kehilangan keuntungan yang di harapkan, yang mungkin akan
dideritanya karena suatu peristiwa yang tidak tentu.”
Dalam pengertian yang terdapat dalam Pasal 246 Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang (KUHD) tersebut dapat di simpulkan adanya 3 (tiga) unsur
penting dalam asuransi, yaitu:
a. Pihak tertanggung atau dalam bahasa Belanda disebut verzekerde
mengikatkan kepada pihak penanggung atau dalam bahasa Belanda
disebut verzekeraar.
b. Pihak penanggung mempunyai kewajiban untuk membayar sejumlah uang
kepada pihak tertanggung, karena suatu kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan.
c. Suatu kejadian atau peristiwa yang tidak tentu jelas akan terjadi.
Ada 2 (dua) pihak yang terlibat di dalam perjanjian asuransi, yaitu8:
a. Penanggung atau verzekeraar, asuradur, penjamin; ialah mereka yang
dengan mendapat premi, berjanji akan mengganti kerugian atau membayar
sejumlah uang yang telah disetujui, jika terjadi peristiwa yang tidak dapat
diduga sebelumnya, yang mengakibatkan kerugian bagi tertanggung. Jadi
penanggung adalah sebagai subjek yang berhadapan dengan tertanggung,
dan yang biasanya menjadi penanggung adalah suatu badan usaha yang
memperhitungkan untung rugi dalam tindakan-tindakannya.
8 Mashudi dan Moch.Chaidir Ali, Hukum Asuransi (Bandung: Mandar Maju, 1995),
halaman 25.
11
b. Tertanggung atau terjamin verzekerde, insured, adalah manusia dan badan
hukum, sebagai pihak yang berhak dan berkewajiban, dalam perjanjiaan
asuransi, dengan membanyar premi. Tertanggung ini dapat dirinya sendiri,
seorang ketiga, dan dengan perantaraan seorang makelar.
Selain dari pengertian-pengertian asuransi yang diuraikan di atas, dapat juga di
lihat rumusan asuransi dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian.
Perjanjian asuransi terjadi seketika setelah tercapai kesepakatan antara
tertanggung dan penanggung, hak dan kewajiban timbal balik timbul sejak saat itu.
Perjanjian asuransi harus diwujudkan dalam dokumen yang lazim disebut dengan
polis, berdasarkan Pasal 255 KUHD asuransi harus dibuat secara tertulis dalam
bentuk akta yang disebut polis yang merupakan satu-satunya alat bukti tertulis
untuk membuktikan bahwa asuransi telah terjadi, di dalam polis tertuang
perjanjian serta persyaratan asuransi antara penanggung dan tertanggung,
meskipun pada hakikatnya persyaratan ini ditentukan secara sepihak oleh
penanggung saja, namun tertanggung setelah memberikan persetujuan tentang
ditutupnya perjanjian asuransi tersebut dianggap menyetujui segala persyaratan
yang diajukan dalam polis tersebut. Oleh karena itu, biasanya polis hanya
ditandatangani oleh pihak penanggung saja.
Apabila dilihat dari uraian-uraian dari pengertian asuransi diatas, maka
dari sudut pandang hukum dapat disimpulkan bahwa asuransi merupakan suatu
kontrak (perjanjian) pertanggungan risiko antara tertanggung dengan penanggung,
dimana penanggung berjanji untuk membayar kerugian yang disebabkan risiko
12
yang dipertanggungkan kepada tertanggung, sedangkan tertanggung membayar
secara periodik kepada penanggung untuk mendapatkan pembayaran kerugian.
2.2. Syarat Sahnya Perjanjian Asuransi
Asuransi merupakan salah satu jenis perjanjian khusus yang diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang sebagai perjanjian, maka ketentuan syarat-
syarat sah suatu perjanjian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berlaku
juga terhadap perjanjian asuransi. Syarat-syarat sah suatu perjanjian diatur dalam
Pasal 1320 KUHPerdata, ada 4 syarat sah suatu perjanjian yaitu kesepakatan para
pihak, kewenangan berbuat, objek tertentu, dan kausa yang halal.
a. Kesepakatan (Consensus)
Kesepakatan antara tertanggung dan penanggung dibuat secara bebas, artinya
tidak berada dibawah pengaruh, tekanan, atau paksaan pihak tertentu. Kedua
belah pihak sepakat menentukan syarat-syarat perjanjian asuransi sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
b. Kewenangan (Authority)
Kedua pihak tertanggung dan penanggung wenang melakukan perbuatan
hukum yang diakui oleh Undang-Undang. Kewenangan berbuat tersebut ada
yang bersifat subjektif artinya kedua pihak sudah dewasa, sehat ingatan, tidak
berada di bawah pewalian (trusteeship), atau pemegang kuasa yang sah. Kedua
belah pihak harus cakap menurut hukum untuk bertindak sendiri. Kewenangan
objektif artinya tertanggung mempunyai hubungan yang sah dengan benda
objek asuransi karena benda-benda tersebut adalah kekayaannya sendiri.
Kewenangan pihak tertanggung dan penanggung tersebut tidak hanya dalam
rangka mengadakan perjanjian asuransi, tetapi juga dalam hubungan internal di
13
lingkungan perusahaan asuransi bagi penanggung dan hubungan dengan pihak
ketiga bagi tertanggung.
c. Objek tertentu (fixed object)
Objek tertentu dalam perjanjian asuransi adalah objek yang diasuransikan,
dapat berupa harta kekayaan dan kepentingan yang melekat pada harta
kekayaan, dapat pula berupa raga atau jiwa manusia. Objek tertentu berupa
harta kekayaan dan kepentingan yang melekat pada harta kekayaan terdapat
pada perjanjian asuransi kerugian. Karena yang mengasuransikan objek itu
adalah tertanggung, maka dia harus mempunyai hubungan langsung atau tidak
langsung dengan objek asuransi itu. Dikatakan ada hubungan langsung apabila
tertanggung memiliki sendiri harta kekayaan, jiwa atau raga yang menjadi
objek asuransi. Dikatakan ada hubungan tidak langsung apabila tertanggung
hanya mempunyai kepentingan atas objek asuransi. Menurut ketentuan Pasal
599 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, dianggap tidak mempunyai
kepentingan adalah orang yang mengasuransikan benda oleh Undang-Undang
dilarang diperdagangkan dan kapal yang mengangkut barang yang dilarang
tersebut. Apabila diasuransikan juga, maka asuransi tersebut batal.9
d. Kausa yang Halal (Legal Cause)
Kausa yang halal maksudnya adalah isi perjanjian asuransi itu tidak dilarang
Undang-Undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak
bertentangan dengan kesusilaan. Berdasarkan kausa yang halal itu, tujuan yang
hendak dicapai oleh tertanggung dan penanggung adalah beralihnya risiko atas
objek asuransi yang diimbangi dengan pembayaran premi. Jadi, kedua belah
9 Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia (Bandung: Citra Aditya, 1999),
halaman 52.
14
pihak berprestasi, tertanggung membayar premi, penanggung menerima
peralihan risiko atas objek asuransi. Jika premi dibayar maka risiko beralih,
jika premi tidak dibayar, risiko tidak beralih.
e. Pemberitahuan (Notification)
Kewajiban pemberitahuan ini diatur di dalam Pasal 251 Kitab Undang- Undang
Hukum Dagang yang berisi:“Setiap keterangan yang keliru atau tidak benar,
ataupun setiap tidak memberitahukan hal-hal yang diketahui oleh si
tertanggung, betapapun itikad baik ada padanya, yang demikian sifafnya,
sehingga, seandainya si penanggung telah mengetahui keadaan yang
sebenarnya, perjanjian itu tidak akan ditutup atau tidak ditutup dengan syarat-
syarat yang sama, mengakibatkan batalnya pertanggungan”.
Tertanggung wajib memberitahukan kepada penanggung mengenai keadaan objek
asuransi. Kewajiban ini dilakukan pada saat mengadakan asuransi. Apabila
tertanggung lalai, maka akibat hukumnya asuransi batal. Menurut ketentuan Pasal
251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, semua pemberitahuan yang salah,
atau tidak benar, atau penyembunyian keadaan yang diketahui oleh tertanggung
tentang objek asuransi, mengakibatkan asuransi itu batal. Kewajiban
pemberitahuan itu berlaku juga apabila setelah diadakan asuransi terjadi
pemberatan risiko atas objek asuransi. Kewajiban pemberitahuan tidak bergantung
pada ada itikad baik atau tidak dari tertanggung. Apabila tertanggung keliru
memberitahukan, tanpa kesengajaan, juga mengakibatkan batalnya asuransi,
kecuali jika tertanggung dan penanggung telah memperjanjikan lain. Biasanya
15
perjanjian seperti ini dinyatakan dengan tegas dalam polis dengan klausula “sudah
diketahui”. 10
2.3. Jenis-Jenis Asuransi
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang di dalam Pasal 247 menyebutkan
tentang 5 (lima) macam asuransi, yaitu:
a. Asuransi terhadap kebakaran
b. Asuransi terhadap bahaya hasil-hasil pertanian
c. Asuransi terhadap kematian orang (asuransi jiwa)
d. Asuransi terhadap bahaya di laut dan perbudakan
e. Asuransi terhadap bahaya dalam pengangkutan di darat dan di sungai-
sungai.
Pada saat ini telah banyak berkembang jenis-jenis asuransi yang ada di
masyarakat yaitu asuransi yang sudah diatur dalam KUHD seperti yang
disebutkan di atas dan asuransi yang di atur diluar KUHD. Berdasarkan ilmu
pengetahuan asuransi dapat di golongkan menjadi tiga kelompok yaitu,
pertanggungan kerugian, pertanggungan sejumlah uang, dan pertanggungan
sosial.
Molengraaff membedakan 2 (dua) bentuk utama asuransi, yaitu11 :
a. Asuransi kerugian
Merupakan pertanggungan hak-hak kekayaan, bagian-bagian dari kekayaan.
1. Ini adalah asuransi untuk mendapatkan ganti rugi jika kekayaan
mengalami kekurangan. Demikian ini disebut juga asuransi kekayaan.
10 Ibid., halaman 54. 11 Mashudi, Moch. Chidir Ali, Pengertian Elementer Hukum Perjanjian Perdata
(Bandung: Mandar Maju, 2001), halaman 22.
16
2. Kerugian yang diderita akan diganti, sebab itu untuk asuransi ini
disyaratkan adanya kemungkinan kerugian yang dapat dinilai dengan uang
(kehilangan atau untung yang seharusnya diterima).
b. Asuransi sejumlah uang (sommen verzekering)
Merupakan pertanggungan untuk mendapatkan sejumlah uang tertentu, terlepas
dari kerugian yang diderita, terhadap suatu kejadian (biasanya mengenai diri
tertanggung atau orang lain) yang belum tentu kapan akan terjadi, ini juga
dinamakan asuransi orang (jiwa, sakit, cacat, dan lain-lain).
Jika dilihat dari jenis asuransi yang di kemukakan oleh Molengraaff tersebut,
maka asuransi kecelakaan lalu lintas jalan dapat digolongkan ke dalam jenis
asuransi sejumlah uang (sommen verzekering), yaitu dimana asuransi ini
merupakan pertanggungan untuk mendapatkan sejumlah uang tertentu, yang
belum tentu kapan terjadi diderita yang mana juga di namakan asuransi orang
yang meliputi jiwa, sakit, cacat dan lain- lain, di mana dalam asuransi kecelakaan
lalu lintas jalan meliputi pertanggungan asuransi meninggal dunia, luka-luka, dan
cacat tetap akibat adanya peristiwa kecelakaan yang belum pasti terjadi.
2.4. Prinsip-Prinsip Asuransi
Prinsip-prinsip hukum yang terdapat didalam asuransi ini, membantu
menjelaskan tentang dasar-dasar kontrak asuransi. Pemahaman karakteristik
prinsip-prinsip asuransi tersebut akan membantu konsumen asuransi dalam
membaca dan memahami kontrak asuransi serta mendalami konsepsi hukum yang
melatar belakangi kontrak asuransi pada umumnya.
17
Prinsip-prinsip perjanjian asuransi, yaitu12 :
1. Prinsip keseimbangan (indemnity)
Suatu mekanisme dimana penanggung menyediakan kompensasi finansial
dalam upayanya ia menempatkan tertanggung dalam posisi keuangan yang
ia miliki sesaat sebelum terjadinya kerugian
2. Prinsip kepentingan terhadap objek yang diasuransikan (insurable interest)
Hak untuk mengasuransikan, yang timbul dari suatu hubungan keuangan,
antara tertanggung dengan yang diasuransikan dan diakui secara hukum.
3. Prinsip itikad baik yang sempurna (utmost goodfaith)
Suatu tindakan untuk mengungkapkan secara akurat dan lengkap, semua
fakta material mengenai sesuatu yang akan diasuransikan, baik diminta
maupun tidak. Artinya adalah si penanggung harus dengan jujur
menerangkan dengan jelas segala sesuatu tentang luasnya syarat atau
kondisi dari asuransi dan si tertanggung juga harus memberikan
keterangan yang jelas dan benar atas objek atau kepentingan yang
dipertanggungkan.
4. Prinsip subrogasi bagi penanggung (subrogation)
Terhadap orang-orang ketiga, berhubung dengan penerbitan kerugian
tersebut, dan si tertanggung itu adalah bertanggung jawab untuk setiap
perbuatan yang dapat merugikan hak si penanggung terhadap orang-orang
ketiga itu.
5. Penyebab utama (proximate cause)
12 Muchlisin Riadi, “Pengertian, Unsur, dan Manfaat Asuransi”,
https://www.Kajianpustaka.Com/2017/10/Pengertian -Unsur-Prinsip-Manfaat-Asuransi.Html
(Diakses 6 Januari 2019) 2019.
18
Suatu penyebab aktif dan efisien yang mengakibatkan rangkaian kejadian
yang menimbulkan suatu akibat tanpa adanya intervensi suatu yang mulai
dan secara aktif dari sumber yang baru.
6. Kontribusi (contribution)
Hak penanggung untuk mengajak penanggung lainnya yang sama-sama
menanggung, tetapi tidak harus sama kewajibannya terhadap tertanggung
untuk ikut memberikan ganti ruginya.
2.5. Tujuan dan Manfaat Asuransi
a. Tujuan asuransi
Perjanjian asuransi itu mempunyai tujuan untuk mengganti kerugian pada
tertanggung, jadi tertanggung harus dapat menunjukkan bahwa dia menderita
kerugian dan benar-benar menderita kerugian. Di dalam asuransi itu setiap waktu
selalu dijaga supaya jangan sampai seorang tertanggung yang hanya bermaksud
menyingkirkan suatu kerugian saja dan mengharapkan suatu untung menikmati
asuransi itu dengan cara memakai spekulasi, yang penting ialah bahwa
tertanggung harus mempunyai kepentingan bahwa kerugian untuk mana ia
mempertanggungkan dirinya itu tidak menimpanya. Secara umum asuransi
mempunyai tujuan sebagai berikut13 :
1. Pegalihan risiko
Menurut teori pengalihan risiko (risk transfer theory), tertanggung
menyadari bahwa ada ancaman bahaya terhadap harta kekayaan miliknya
atau terhadap jiwanya. Jika bahaya tersebut menimpa harta kekayaannya
atau jiwanya, dia akan menderita kerugian atau korban jiwa atau cacat
13 Abdulkadir Muhammad, op.cit., halaman 12.
19
raganya. Secara ekonomi, kerugian material atau korban jiwa atau cacat
raga akan mempengaruhi perjalanan hidup seseorang atau ahli warisnya.
Untuk mengurangi atau menghilangkan beban risiko tersebut pihak
tertanggung berupaya mencari jalan kalau ada pihak lain yang bersedia
mengambil alih beban risiko ancaman bahaya dan dia sanggup membayar
kontra prestasi yang disebut premi. Tertanggung mengadakan asuransi
dengan tujuan mengalihkan risiko yang mengancam harta kekayaan atau
jiwanya. Dengan membayar sejumlah premi kepada perusahaan asuransi
(penanggung), sejak itu pula risiko beralih kepada penanggung. Apabila
sampai berakhirnya jangka waktu asuransi tidak terjadi peristiwa yang
merugikan, penanggung beruntung memiliki dan menikmati premi yang
telah diterimanya dari tertanggung14.
2. Pembayaran ganti kerugian.
Jika pada suatu ketika sungguh-sungguh terjadi peristiwa yang
menimbulkan kerugian (risiko berubah menjadi kerugian), maka kepada
tertanggung yang bersangkutan akan dibayarkan ganti kerugian seimbang
dengan jumlah asuransinya. Dalam praktiknya, kerugian yang timbul itu
bersifat sebagian (partial loss), tidak semuanya berupa kerugian total (total
loss). Dengan demikian, tertanggung mengadakan asuransi bertujuan
untuk memperoleh pembayaran ganti kerugian yang sungguh-sungguh
dideritanya. Jika dibandingkan dengan jumlah premi diterima dari
beberapa tertanggung maka jumlah ganti kerugian yang dibayarkan kepada
tertanggung yang menderita kerugian itu tidaklah begitu besar jumlahnya.
14 Ibid., halaman 13.
20
Kerugian yang diganti oleh penanggung itu hanya sebagian kecil dari
jumlah premi yang diterima dari seluruh tertanggung. Dari sudut
perhitungan ekonomi, keadaan ini merupakan faktor pendorong
perkembangan perusahaan asuransi disamping faktor tingginya pendapatan
perkapita warga negara.
b. Manfaat asuransi
Asuransi selaku lembaga keuangan bukan bank mempunyai peranan cukup
besar sekali baik bagi masyarakat maupun bagi pembangunan. Adapun peranan
tersebut berupa manfaatnya yang dapat disimpulkan sebagai berikut15 :
1. Asuransi dapat memberikan rasa terjamin atau rasa aman dalam
menjalankan usaha. Hal ini karena seseorang akan terlepas dari
kekhawatiran akan tertimpa kerugian akibat suatu peristiwa yang tidak
diharapkan, sebab walaupun tertimpa kerugian akan mendapat ganti rugi
dari perusahaan asuransi.
2. Asuransi dapat menaikkan efisiensi dan kegiatan perusahaan, sebab
dengan memperalihkan risiko yang lebih besar kepada perusahaan
asuransi, perusahaan itu akan mencurahkan perhatian dan pikirannya pada
peningkatan usahanya.
3. Asuransi cenderung kearah perkiraan penilaiaan biaya yang layak. Dengan
adanya perkiraan akan suatu risiko yang jumlahnya dapat dikira-kira
sebelumnya maka suatu perusahaan akan memperhitungkan adanya ganti
rugi dari asuransi di dalam ia menilai biaya yang harus dikeluarkan oleh
perusahaan.
15 Man Suparman, Dkk, Hukum Asuransi Perlindungan Tertanggung, Asuransi Deposito,
Usaha Perasuransian (Bandung: Alumni Bandung, 1997), halaman 70.
21
4. Asuransi merupakan dasar pertimbangan dari pemberian suatu kredit.
Apabila seseorang meminjam kredit bank, maka bank biasanya meminta
kepada debitur untuk menutup asuransi benda jamin.
5. Asuransi dapat mengurangi timbulnya kerugian-kerugian. Dengan
ditutupnya perjanjian asuransi, maka risiko yang mungkin dialami
seseorang dapat ditutup oleh perusahaan asuransi.
6. Asuransi merupakan alat untuk membentuk modal pendapatan atau untuk
harapan masa depan. Dalam hal ini fungsi menabung dari asuransi
terutama dalam asuransi jiwa.
7. Asuransi merupakan alat pembangunan. Dalam hal ini premi yang
terkumpul oleh perusahaan asuransi dapat dipakai sebagai dana investasi
dalam pembangunan, bantuan kredit jangka pendek menengah maupun
jangka panjang, bagi usaha-usaha pembangunan.
Herman Darmawi, dalam bukunya menyebutkan salah satu manfaat
asuransi yaitu asuransi dapat mengurangi kekhawatiran, fungsi primer dari
asuransi adalah mengurangi kekhawatiran akibat ketidak pastian. Bila seseorang
telah membayar premi asuransi, mereka terbebas dari kekhawatiran kerugian
besar dengan memikul suatu kerugian kecil (dalam hal ini berupa premi yang
telah di bayar). Kerugian kecil itu sesunggungnya merupakan bagian yang di
pikulnya untuk kerugian kelompok itu. Dengan membayar premi, ia memperoleh
kepastian biaya kemungkinan kerugian, jika tidak ada asuransi maka mereka yang
menghadapi risiko tidak akan dapat meramalkan apakah mereka akan tertimpa
kerugian besar, kerugian kecil atau tidak16.
16 Herman Darmawi, Manejemen Asuransi (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), halaman 7.
22
2.6. Tinjaun Umum Megenai Wanprestasi
Wanprestasi adalah kelalaian debitur untuk memenuhi kewajiban sesuai
dengan perjanjian yang telah disepakati. Apabila debitur tidak melakukan apa
yang dijalankanya, maka dikatakan ia melakukan wanprestasi, debitur dikatakan
juga telah alpa, lalai, atau ingkar janji. Debitur juga dapat dikatakan wanprestasi
apabila ia melanggar perjanjian dengan melakukan atau berbuat sesuatu yang
seharusnya tiak boleh dilakukanya. Wanprestasi seorang debitur dapat berupa 4
macam, yaitu17:
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukanya.
2. Melaksanakan apa yang dijanjikanya tapi terlambat.
3. Melaksanakan apa yang dijanjikan, tapi tidak sebagaimana dijanjikan.
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian yang tidak boleh dilakukanya.
Terhadap kelalaian atau kealpaan debitur diancam beberapa sanksi atau huk uman.
Hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang lalai ada 4 macam, yaitu 18 :
1. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat
dinamakan ganti rugi.
2. Pembatalan perjanjian aau juga dinamakan pemecahan perjanjian
3. Peralihan risiko.
4. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.
Selain diperlakukan sanksi-sanksi di atas, pada saat terjadi wanprestasi
pihak kreditur juga masih dapat menuntut pemenuhan perjanjian terhadap pihak
debitur. Namun perlu diperhatikan bahwa pemenuhan perjanjian tersebut
bukanlah suatu sanksi dari wanprestasi, sebab hal itu memang sudah dari semula
17 Subekti, Hukum Perjanjian (Jakarta: PT Intermasa, 2004), halaman 45. 18 Ibid.
23
sebagai kesanggupan si debitur, hal ini diatur dalam pasal KUHPerdata 1267 yang
berisi:”pihak yang merasa perjanjian tidak dipenuhi, boleh memilih apakah ia, jika
hal itu masih dapat dilakukan akan memaksa pihak yang lainya untuk memenuhi
perjanjian, ataukah ia akan menuntut pembatalan perjanjian itu disertai
penggantian biaya rugi dan bunga”
Apabila kreditur tidak memilih untuk menuntut pemenuhan perjanjian dari
debitur, melainkan menuntut ditetapkanya sanksi-sanksi yang telah disebut diatas,
maka harus ditetapkan lebih dahulu apakah si berhutang melakukan wanprestasi
atau lalai, dan kalau hal itu disangkal olehnya, harus dibuktikan dimuka hakim.
Terkadang tidak mudah untuk mengatakan bahwa seseorang telah melakukan
wanprestasi, karena seringkali dalam perjanjian tidak dijanjikan dengan tepat
kapan suatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang dijanjikan. Penentuan
apakah seorang melakukan wanprestasi paling mudah dilakukan dalam perjanjian
yang bertujuan untuk tidak melakukan suatu perbuatan. Apabila orang itu
melakukanya berarti ia melanggari perjanjian tanpa perlu memperhatikan kapan
terjadinya.
Jika dalam perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk
melakukan suatu perbuatan tidak ditetapkan batas waktunya, maka untuk
menyatakan siberutang melakukan wanprestasi, pelaksanaan prestasi itu harus
ditagih terlebih dahulu. Kepada debitur itu harus diperingatkan bahwa kreditur
menghendaki pelaksanaan perjanjian. Kalau prestasi dapat seketika dilakukan
misalnya dalam jual beli suatu barang tertentu sudah di tangan si penjual maka
prestasi tadi dapat dituntut seketika. Apabila prestasi tidak dapat seketika
dilakukan, maka si berutang perlu diberikan waktu yang pantas, misalnya dalam
24
jual beli barang yang belum berada di tangan penjual atau pembayaranya kembali
uang pinjaman, dan lain sebagainya.
Berikut akan dijelaskan mengenai sanksi-sanki dari wanprestasi tersebut19 :
a. Ganti rugi
Ganti rugi setidak-tidaknya terdiri dari 3 unsur yaitu biaya, rugi, dan bunga.
Dalam soal penuntutan ganti rugi Undang-Undang memberikan ketentuan-
ketentuan tentang apa yang dapat dimasukan dalam ganti rugi tersebut, dengan
demikian seorang debitur yang melakukan wanprestasi masih dilindungi oleh
Undang-Undang terhadap kesewenang-wenangan si kreditur. Jadi dapat dilihat
bahwa ganti rugi itu dibatasi hanya meliputi kerugian yang dapat diduga dan
merupakan akibat langsung dari wanprestasi.
b. Pembatalan perjanjian
Pembatalan perjanjian bertujuan untuk membawa kedua belah pihak kembali
pada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Kalau suatu pihak sudah menerima
sesuatu dari pihak yang lain, baik uang maupun barang maka itu harus
dikembalikan. Masalah pembatalan perjanjian karena lalai ini diatur dalam
Pasal 1266 KUHPerdata yang mengatur mengenai perikatan bersyarat. Hal ini
karena pembatalan perjanjian akibat wanprestasi terjadi dalam perjanjian yang
mengandung syarat batal dimana syarat batal tersebut menurut Undang-
Undang dicantumkan dalam setiap perjanjian. Pasal 1266 KUHPerdata
menyebutkan:
19 Ibid., halaman 50.
25
1. Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam perjnjian-perjanjian
yang timbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi
kewajibanya.
2. Dalam hal demikian perjanjian tidak batal demi hukum, te tapi
pembatalan harus dimintakan kepada hakim.
3. Permintaan ini harus juga dilakukan meskipun syarat batal mengenai
tidak dipenuhinya kewajiban itu dinyatakan dalam perjanjian.
4. Jika syarat batal dinyatakan dalam perjajian, hakim leluasa menurut
keadaan atas permintaan si tergugat untuk memberika suatu jangka
waktu guna kesempatan memenuhi kewajibnya jangka waktu dimana
tidak boleh lebih dari satu bulan.
Dengan adanya ketentuan bahwa pembatalan perjanjian itu harus diminta
kepada hakim, tidak mungkin perjanjian itu batal secara otomatis pada waktu
debitur secara nyata melalaikan kewajibanya. Putusan hakim tidak bersifat
declaratoir tetapi constitutuf yang secara aktif membatalkan perjanjian itu20.
c. Peralihan risiko
Risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa
diluar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi objek
perjanjian21. Peralihan risiko dapat digambarkan dalam jual beli, menurut Pasal
1460 KUHPerdata, maka risiko dalam jual beli barang tertentu dipikulkan
kepada si pembeli meskipun barangnya belum diserahkan. Kalau si penjual itu
terlambat menyerahkan barangnya. Maka kelalaian itu diancam dengan
mengalihkan risiko tadi dari si pembeli kepada si penjual. Jadi dengan lalainya
20 Ibid. 21 Ibid., halaman 52.
26
si penjual risiko itu beralih kepada dia. Perihal peralihan risiko ini tidak
berlaku dalam hal perjanjian sepihak mengingat tidak adanya kewajiban secara
timbal balik atau kontra prestasi22.
d. Membayar biaya perkara
Pihak yang dikalahkan dalam pengadilan diwajibkan membayar perkara.
Seorang debitur yang lalai tentu akan dikalahkan kalau sampai terjadi suatu
perkara didepan hakim, sehingga debitur yang lalai tersebut hsrus membayar
biaya perkara. Oleh karena itu pembayaran ongkos biaya perkara disimpulkan
sebagai sanksi bagi debitur yang melakukan wanprestasi.
22 Cahyono, Akhmad Budi Dan Surini Ahlan Sjarif, Mengenal Hukum Perdata (Jakarta:
CV Gitama Jaya, 2008), halaman 45.
27
BAB III
METODE PENELITIAN
Menurut Soerjono Soekanto penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah
yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan
untuk mempelajari satu atau beberapa gejala umum hukum tertentu dengan jalan
menganalisisnya. Di samping itu juga diadakan pemeriksaan mendalam terhadap
fakta hukum tersebut kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas
permasalahan-permasalahan23.
Metode penelitian merupakan ilmu yang menyajikan bagaimana cara atau
prosedur maupun langkah-langkah yang harus di ambil dalam suatu penelitian
secara sistematis dan logis sehingga dapat dipertanggung jawabkan kebenaranya.
Dalam suatu penelitian metode merupakan salah satu faktor untuk membahas
suatu permasalahan, dimana metode penelitian merupakan cara utama yang
bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodelogis, dan
kosisten. Dalam penelitian suatu kegiatan ilmiah didasarkan pada sistematik dan
pemikiran tertentu deng jalan menganalisanya. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
3.1. Jenis Penelitian
Pemilihan metode penelitian disesuaikan batasan isu hukum yang akan
dicari jawabanya yaitu tentang tanggung jawab hukum perusahaan asuransi yang
melakukan tindakan wanprestasi. Untuk dapat memberikan jawaban atas isu
hukum tersebut digunakan jenis penelitian hukum normatif, suatu penelitian yang
bertumpu pada telaah yuridis normatif peraturan perundang-undangan yang
23 Zaenudin Ali, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), halaman 18.
28
berlaku yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang dibahas. Prinsip metode
penelitian yuridis normatif adalah menemukan masalah kemudian menuju kepada
identifikasi masalah dan pada akhirnya menuju pada penyelesain masalah24.
3.2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif analitis, yaitu penelitian yang menggambarkan peraturan perundang-
undangang yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum positif yang
menyangkut permasalahan yang sedang diteliti 25 . Dalam spesifikasi penelitian
yang menggunakan penelitian deskriptif analitis ini berusaha menguraikan hasil
penelitian sesuai permasalahan yang diangkat sehingga diharapkan mendapatkan
gambaran yang jelas, rinci, dan sistematis. Kemudian dari gambaran tersebut
dianalisa yang bertujuan untuk mendapatkan hasil atau jalan keluar yang lebih
spesifik yang sesuai dengan produk hukum atau peraturan yang berlaku.
3.3. Metode Pengumpulan Data
Karena penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif
maka data yang digunakan adalah jenis data sekunder, yang diambil dengan cara
studi pustaka dan studi dokumentasi. Data sekunder yang dipakai dalam penelitian
ini terdiri dari:
a. Bahan hukum primer, yaitu:
a. KUHPerdata
b. KUHD
c. Sekertariat Negara Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian.
24Roni Hanit ijo Sumitro, Metodelogi Penelitian Hukum (Jakarta: Ghalia, 2010), halaman
34. 25 Ibid., halaman 105.
29
d. Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
e. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor:1/POJK.07/2013 tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
b. Bahan hukum sekunder
Bahan-bahan yang berhubungan dengan bahan hukum primer dan dapat
membantu menganalisis serta memahami bahan hukum primer, seperti buku-
buku hasil karya para pakar, hasil-hasil penelitian, atau kegiatan ilmiah lainya
yang memiliki kaitan atau hubungan dengan permasalahan penelitian ini.
3.4. Metode Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif, dimana
pembahasan serta hasil penelitian diuraikan dengan kata-kata berdasarkan data
yang diperoleh. Data yang terkumpul akan di analisis dengan cara mencari dan
menentukan hubungan antara data yang diperoleh dari penelitian dengan
permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.
30
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Penyelesaian Sengketa Apabila Perusahaan Asuransi Melakukan
Wanprestasi Dalam Kaitanya Dengan Perlindungan Konsumen
Perjanjian asuransi sebagai bukti adanya hubungan hukum antara
perusahaan asuransi dengan pemegang polis, didapat ketika penandatanganan
perjanjian asuransi, bentuk perjanjian asuransi adalah perjanjian baku yang di
dalamnya terdapat klausula-klausula baku yang menempatkan pemegang polis
pada posisi yang kurang seimbang dengan perusahaan asuransi. Munir Fuady
menjelaskan beberapa faktor penyebab kontrak baku sering menjadi berat sebelah,
adalah sebagai berikut26:
a. Kurang adanya atau bahkan tidak adanya kesempatan bagi salah satu pihak
untuk melakukan tawar-menawar, sehingga pihak yang kepadanya
disodorkan kontrak tidak banyak kesempatan untuk mengetahui isi kontrak
tersebut, apalagi ada kontrak yang ditulis dengan huruf-huruf yang sangat
kecil.
b. Karena penyusunan kontrak yang sepihak, maka pihak penyedia dokumen
biasanya memiliki cukup banyak, waktu untuk memikirkan mengenai
klausula-klausula dalam dokumen tersebut, bahkan mungkin saja sudah
berkonsultasi dengan para ahli, sedangkan pihak yang kepadanya
disodorkan dokumen tidak banyak kesempatan dan seringkali tidak
familiar dengan klausula-klausula tersebut.
26 Munir Fuady, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis (Bandung: Citra
Aditya Bakti), halaman 78.
31
c. Pihak yang kepadanya disodorkan kontrak baku menempati kedudukan
yang sangat tertekan, sehingga hanya dapat bersifat “take it or leave it”.
Karakteristik perjanjian baku dalam hubungan hukum perasuransian
menyebabkan perlindungan terhadap pemegang Polis menjadi lemah, sehingga
hukum diharapkan dapat memberikan jaminan dan perlindungan hukum yang
jelas. Sejak penandatangan perjanjian asuransi sudah tercantum unsur perjanjian
baku atau kontrak baku yang berpotensi merugikan, dan ditambah dengan
pelaksanaan isi perjanjian asuransi yang juga berbelit-belit dan cenderung
dipersukar, maka kedudukan pemegang polis menjadi lebih lemah dan tidak
berdaya.
Dalam setiap perjanjian selalu terdapat potensi adanya sengketa. Ketika
terciptanya sebuah perjanjian maka hak dan kewajiban para pihak mulai
diberlakukan, saat salah satu pihak menolak untuk melaksanakan kewajibannya
maka pihak yang berhak atas kewajiban tersebut akan menutut haknya sehingga
terjadilah wanprestasi dan menyebabkan sengketa. Penyebab sering timbul
sengketa- sengketa hukum pada perusahaan asuransi adalah :27
a) Terjadi perbedaan interpretasi terhadap pelaksanaan kewajiban yang telah
disepakati kedua belah pihak
b) Perusahaan asuransi tidak melakukan kewajiban sesuai pembayaran klaim
kepada tertanggung
c) Penanggung menolak pengganti kerugian yang diderita tertanggung
d) Melakukan penjualan produk yang belum mendapat ijin pihak otoritas
27 Rifky Haryo Anggoro, “Penyelesaian Sengketa Klaim Asuransi Kerugian Pada PT
Allianz Utama Di Semarang” ( Skripsi Fakultas Hukum, Universitas Semarang, 2013), Halaman
40.
32
e) Melakukan penanggungan melebihi dari kewenangan tanpa melakukan
reasuransi
Apabila sudah timbul suatu sengketa antara penanggung dan tertanggung, maka
penyelesaian sengketa asuransi dapat dilakukan dengan melalui beberapa cara
yaitu:
A. Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI)
Salah satu upaya penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan oleh
tertanggung adalah dengan meminta bantuan BMAI sebagai salah satu lembaga
penyelesaian sengketa alternatif, BMAI bersifat imparsial karena dibentuk
dengan tujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi konsumen asuransi,
meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada perasuransian dan dapat
mendukung perasuransian yang lebih baik pada masa yang akan datang28 ,
Dalam menyelesaikan sengketa BMAI tidak berfungsi sebagai pihak yang
memberikan nasehat hukum namun lebih sebagai penengah perselisihan
diantara kedua pihak yang bersengketa. BMAI memberikan pelayanan untuk
menyelesaikan sengketa antara perusahaan asuransi dan tertanggung atau
pemegang polis. BMAI memiliki beberapa cara dalam menyelesaikan
sengketanya yaitu :
1. Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui upaya musyawarah
dan mufakat yang melibatkan pihak ketiga sebagai penengah yang di
fasilitasi mediator. Mediator setelah menerima permohonan penyelesaian
sengketa dari pemohon beserta bukti pendukungnya akan menghubungi
28 Tioma Roniuli Hariandja, “Penyelesaian Sengketa Asuransi Melalui Badan Mediasi
Asuransi Indonesia”(Tesis Fakultas Hukum,Universitas Airlangga Surabaya, tahun 2007,halaman
47.
33
termohon guna mendapatkan keterangan terkait sengketa yang diajukan
pemohon, lalu mengadakan investigasi dan mengetahui duduk perkara.
Setelah itu, mediator mengadakan pertemuan bersama dengan para pihak
dan berupaya memberikan masukan agar proses negosiasi menjadi lebih
mudah untuk mencapai kesepakatan di antara para pihak. Setelah pertemuan
dan negosiasi, para pihak diharapkan mempunyai kesamaan pendapat yaitu
apakah termohon mengubah keputusan penolakan klaim dan dengan
demikian membayar klaim ataukah pemohon dapat menerima alasan
penolakan klaimnya oleh termohon dan dengan demikian tidak mendapat
pembayaran atas klaimnya. Dalam proses mediasi, keputusan akhir ada di
tangan para pihak dan bukan pada mediator. Mediator hanya berfungsi
sebagai fasilitator untuk memudahkan para pihak bernegosiasi untuk
mengambil keputusan. Jika mediasi berhasil dan tercapai kesepakatan antara
para pihak, maka akan dibuat perjanjian mediasi yang berisi semua hal yang
disepakati pemohon dan termohon. Namun apabila tidak berhasil, maka
pemohon dapat mengajukan permohonan ke Ketua BMAI untuk
melanjutkan ke tingkat Ajudikasi atau memilih upaya hukum lain (Arbitrase
atau Pengadilan).
Menurut Suyud Margono mediasi mengandung unsur-unsur 29:
a) Proses penyelesaian sengketa berdasarkan perundingan.
b) Pihak ketiga yang menengahi disebut mediator. Mediator terlibat dan
diterima para pihak yang bersengketa didalam proses.
29 Purwanto, “Efektifitas Penerapan Alternative Dispute Resolution (ADR) Pada
Penyelesian Sengketa Bisnis Asuransi di Indonesia”, Jurnal Risalah Hukum 2005, halaman 11.
34
c) Mediator tidak memiliki kewenangan untuk membuat keputusan selama
perundingan.
d) Tujuan mediasi adalah untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan
yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa.
Syarat- syarat suatu sengketa asuransi agar dapat di selesaikan melalui
mediasi dan dapat di terima oleh BMAI telah diatur dalam Pasal 4 Surat
Keputusan No.008/SK-BMAI/11.2014 Tentang: Peraturan Dan Prosedur
Mediasi BMAI yang berisi :
1)Semua Sengketa dapat diajukan dan ditangani oleh BMAI, dengan
ketentuan:
a) Pemohon yang mengajukan adalah pihak yang berkepentingan.
b) Anggota yang terlibat dalam Sengketa harus merupakan pihak yang
tunduk pada yurisdiksi BMAI karena masih terdaftar sebagai
Anggota.
c) Sengketa yang timbul dari permasalahan berkaitan dengan hubungan
Pemohon dengan Anggota.
d) Lingkup Sengketa yang diajukan harus berada dalam yurisdiksi BMAI
sejak BMAI didirikan.
e) Anggota tidak dapat menyelesaikan Sengketa secara langsung dengan
Pemohon sesuai dengan tuntutan Pemohon dalam jangka waktu 30
(tiga puluh) hari sejak disampaikannya keberatan oleh Pemohon
kepada Anggota.
Kemudian untuk batas nilai tuntutan ganti rugi atau manfaat polis yang
dipersengketakan tidak melebihi Rp. 750.000.000 (tujuh ratus lima puluh
35
juta rupiah) per klaim, untuk asuransi kerugian/umum dan Rp. 500.000.000
(lima ratus juta rupiah) per klaim untuk asuransi jiwa atau Asuransi jaminan
sosial. Dalam surat keputusan tersebut juga di jelaskan mengenai sengketa
yang tidak dapat diterima/ diproses oleh BMAI yang tercantum dalam Pasal
5, yang berbunyi :
Sengketa berikut tidak dapat diproses oleh BMAI:
1) Keputusan yang dibuat atas dasar pertimbangan komersial;
2) Kebijakan harga dan kebijakan lainnya, seperti suku premi, biaya dan
kurs valuta asing;
3) Kasus yang sedang dalam proses investigasi oleh pihak yang berwajib,
termasuk kasus-kasus dengan tuduhan adanya penipuan atau tindakan
kriminal dan kasus tersebut telah dilaporkan kepada yang berwajib
untuk dilakukan investigasi;
4) Sengketa yang telah lebih dari 6 (enam) bulan sejak Anggota
memberikan surat Penolakan Final;
5) Sengketa yang sebelumnya telah diselesaikan secara langsung antara
Pemohon dengan Anggota;
6) Sengketa yang belum mendapat Penolakan Final dari Anggota.
7) Sengketa yang berkaitan dengan Anggota yang dikenakan sanksi
Pembatasan Kegiatan Usaha (PKU) dan/atau Pencabutan Izin Usaha
Perasuransian.
8) Sengketa yang pernah atau sedang disidangkan di Pengadilan.
2. Ajudikasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui pihak ketiga yang
mana pihak ketiga ini di tunjuk oleh pihak yang bersengketa untuk
36
menetepkan suatu keputusan. Ajudikasi merupakan cara selanjutnya yang
dapat dilakukan para pihak yang bersengketa apabila dalam mediasi tidak
menemukan kesepakatan. Mediator akan meminta persetujuan kepada ketua
BMAI untuk melanjutkan ke ajudikasi namun para pihak dapat menolak dan
mencari cara penyelesaian sengketa lainnya. Proses persidangan ajudikasi di
BMAI dibuat sesuai prinsip cepat dan murah. Pemeriksaan sengketa
dilakukan secara tertulis yaitu dokumen permohonan permohon dan
jawaban penanggung, masing-masing berikut buktinya. Pemeriksaan secara
lisan atau tatap muka dapat dilakukan apabila perlu. Tidak ada replik
maupun duplik atau kesimpulan. Setiap pemeriksaan dilakukan secara
tertutup dan kehadiran pihak lain harus sesuai persetujuan majelis serta para
pihak. Hukum yang berlaku adalah hukum tempat ajudikasi dilakukan.
Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Indonesia dan bahasa lain yang
disetujui oleh Majelis.
Syarat agar sengketa asuransi dapat di selesaikan melalui ajudikasi
memiliki ketentuan yang sama dengan syarat-syarat penyelesaian melalui
mediasi yaitu :
a) Pemohon yang mengajukan adalah pihak yang berkepentingan.
b) Anggota yang terlibat dalam Sengketa harus merupakan pihak yang
tunduk pada yurisdiksi BMAI karena masih terdaftar sebagai Anggota.
c) Sengketa yang timbul dari permasalahan berkaitan dengan hubungan
Pemohon dengan Anggota.
d) Lingkup Sengketa yang diajukan harus berada dalam yurisdiksi BMAI
sejak BMAI didirikan.
37
e) Anggota tidak dapat menyelesaikan Sengketa secara langsung dengan
Pemohon sesuai dengan tuntutan Pemohon dalam jangka waktu 30 (tiga
puluh) hari sejak disampaikannya keberatan oleh Pemohon kepada
Anggota.
Nilai tuntutan ganti rugi atau manfaat polis yang dipersengketakan agar
dapat di selesaikan melalui ajudikasi harus tidak melebihi Rp750.000.000
(tujuhratus lima puluh juta rupiah) per klaim untuk asuransi
kerugian/umum dan Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah) per klaim
untuk asuransi jiwa atau asuransi jaminan sosial
3. Arbitrase adalah adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar
peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa ini
dilakukan dengan cara para pihak menyerahkan kepada pihak ketiga yang
netral untuk memutuskan sengketa. Hal yang membedakan dengan
pengadilan adalah arbitrase ini bersifat tertutup sehingga kerahasiaan dan
nama baik para pihak yang bersengketa tetap terjaga. Syarat agar arbitrase
bisa dilakukan yakni dengan membuat perjanjian arbitrase yang berisi
klausula arbitrase. Dalam perjanjian tersebut, harus disebutkan secara tegas
mengenai penunjukkannya atas forum Arbitrase BMAI. Para pihak yang
telah terikat tersebut dianggap telah sepakat dan meniadakan proses
pemeriksaan perkara melalui Pengadilan Negeri dan/a tau lembaga alternatif
penyelesaian sengketa lainnya. sengketa diperiksa dan diadili oleh seorang
Arbiter Tunggal atau sebuah Majelis Arbiter yang terdiri dari 3 orang
Arbiter. Pemilihan Arbiter Tunggal dilakukan berdasarkan kesepakatan para
38
pihak. Sementara untuk Majelis Arbitrase, masing-masing pihak memilih
sendiri arbiter dan satu arbiter yang berdasarkan pemilihan dua arbiter
tersebut untuk bertindak sbagai Ketua Majelis yang mana bertugas untuk
memimpin dan mengatur jalannya persidangan. Ketiga arbiter tersebut
mempunyai hak yang sama dalam menetapkan putusan perkara dan
keputusan majelis diambil berdasarkan pendapat suara terbanyak yaitu
pendapat dua atau tiga arbiter. Putusan majelis arbitrase bersifat final dan
mengikat. Putusan tersebut didaftarkan BMAI ke panitera Pengadilan
Negeri tempat Pemohon berasa. Para arbiter harus dipilih oleh para pihak
dari nama-nama orang yang tercantum dalam daftar arbiter BMAI, orang-
orang yang namanya tidak terdaftar di BMAI tidak boleh ditunjuk, kecuali
jika tidak terdapat keahlian pada arbiter terdaftar untuk memeriksa perkara
yang disengketakan.
Nilai tuntutan ganti rugi atau manfaat polis yang dipersengketakan
agar dapat di selesaikan melalui arbitrase harus tidak melebihi Rp
750.000.000 (tujuhratus lima puluh juta rupiah) per klaim untuk asuransi
kerugian/umum dan Rp 500.000.000 (limaratus juta rupiah) per klaim untuk
asuransi jiwa atau asuransi jaminan social
B. Pengadilan Negeri
Menurut data dari BMAI tahun 2017 menunjukkan, jumlah sengketa yang
ditangani oleh BMAI melalui mediasi dan ajudikasi mencapai sebanyak 276
kasus sengketa asuransi umum, 226 kasus sengketa asuransi jiwa, dan 3 kasus
sengeketa asuransi sosial. Pada asuransi umum, kasus dimana asuransi harus
membayar klaim mencapai sebanyak 145 kasus , sementara untuk yang tidak
39
membayar klaim mencapai 131 kasus, di asuransi jiwa, harus membayar klaim
mencapai 105 kasus , dan tidak membayar klaim sebanyak 121 kasus, dan pada
asuransi sosial tidak membayar klaim sebanyak 3 kasus 30 . Dari sini dapat
dilihat bahwa lebih banyak penolakan klaim oleh perusahaaan asuransi
dilakukan, sehingga banyak dari sengketa asuransi berakhir di Pengadilan. Hal
ini disebabkan karena masyarakat menilai bahwa pengadilan memiliki
kekuatan yang lebih besar dalam memaksa pihak lawan untuk memenuhi
kewajibannya. Sengketa asuransi yang masuk dalam pengadilan akan masuk
pada hukum perdata dimana para pihak yang bersengketa berharap jika pihak
lawan dapat dipaksa untuk melakukan kewajibannya. Penyelesaian sengketa di
pengadilan memiliki kekurangan seperti proses yang lama karena para pihak
dapat melakukan upaya hukum apabila putusan pengadilan dianggap tidak adil.
Upaya hukum ini dapat berlangsung dari Pengadilan Tinggi hingga Mahkamah
Agung, setelah diputus oleh Mahkamah Agung pun para pihak masih dapat
mengajukan Peninjauan Kembali. Proses yang dilalui sangat lama sehingga
biaya yang dikeluarkan juga besar.
C. Penyelesaian Sengketa Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen.
Dalam perjanjian perasuransian penanggung disebut dengan pelaku usaha
dan tertanggung disebut dengan konsumen. Pasal 251 KUHD lebih berpihak
kepada penanggung sedangkan tertanggung memiliki posisi yang lebih lemah
karena didalam Pasal tersebut berisi :
30 http://www.bmai.or.id/Content.aspx?id=17, diakses 30 Juli, 2019.
40
”Semua pemberitahuan yang keliru atau tidak benar, atau semua
penyembunyian keadaan yang diketahui oleh tertanggung, meskipun dilakukannya dengan itikad baik, yang sifatnya sedemikian, sehingga
perjanjian itu tidak akan diadakan, atau tidak diadakan dengan syarat-syarat yang sama, bila penanggung mengetahui keadaan yang sesungguhnya dari semua hal itu, membuat pertanggungan itu batal.”
Berdasarkan Pasal 251 KUHD tersebut penanggung selalu menjadikanya
sebagai alasan untuk menolak membayar klaim, oleh karena itu Undang-
Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan
dasar hukum bagi konsumen untuk mempertahankan haknya. Dalam Pasal 23
Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan pelaku usaha yang
menolak dan atau tidak memberi tanggapan dan atau tidak memenuhi ganti
rugi atas tuntutan konsumen dapat digugat melalui Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (selanjutnya akan disebut BPSK) atau mengajukan di
peradilan ditempat kedudukan konsumen, Pasal 23 UUPK ini di perkuat
dengan Pasal 45 yang menyebutkan bahwa konsumen dapat menggugat pelaku
usaha melalui jalur pengadilan maupun non pengadilan.
Dengan demikian kedudukan pemegang polis bila di ka itkan dengan
Undang- Undang Perlindungan Konsumen di samakan dengan konsumen,
namun dalam hal penyelesaian sengketa kontrak atau perjanjian asuransi telah
terbentuk lembaga yang dapat menyelesaiakan sengketa tersebut, maka
Undang- Undang Perlindungan Konsumen yang didalamnya terdapat Pasal-
Pasal mengenai penyelesaian sengketa konsumen dapat dipakai sebagai paying
hukum untuk menyelesaikan sengketa perjanjian asuransi.
Selain adanya badan- badan penyelesaiakan sengketa yang telah di bentuk
oleh pemerintah yang sudah diuraikan didepan, pemerintah juga membentuk
lembaga Otoritas Jasa Keuangan yang independen dan imparsial dengan di
41
keluarkanya Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan.
D. Penyelesaian Sengketa Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
1/POJK. 07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga pengawas usaha
peransurasian juga memberikan peraturan untuk menjamin perlindungan
kepada konsumen yang terdapat dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 1 POJK.07/2013, Dalam aturan ini prinsip itikad baik menjadi hal yang
sangat mendasar, hal ini terdapat dalam Pasal 3 Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 1 POJK. 07/2013 mengenai perlindungan Konsumen Pasal 3
menyebutkan bahwa Pelaku Jasa Keuangan berhak untuk memastikan adanya
itikad baik dari konsumen dengan cara mendapatkan informasi dan/atau
dokumen mengenai Konsumen yang akurat, jujur, jelas dan tidak menyesatkan.
Disisi lain dalam Pasal 4 Peraturan OJK Nomor 1 POJK. 07/2013 Pelaku Jasa
Keuangan juga wajib untuk melakukan itikad baik dengan cara menyediakan
dan/atau menyampaikan informasi mengenai produk dan layanan yang akurat
jujur jelas dan tidak menyesatkan serta memberikan penjelasan kepada
konsumen mengenai hak dan kewajiban yang akan didapatkan oleh konsumen.
Apabila dikemudian hari konsumen menemukan adanya pelanggaran dan
menyebabkan sengketa dengan Pelaku Usaha Keuangan, maka berdasarkan
ketentuan Pasal 40 (3) Peraturan Jasa Keuangan mengenai Perlindungan
Konsumen, konsumen berhak untuk mengadukan kepada Anggota Dewan
Komisioner Otoritas Jasa Keungan yang membidangi edukasi dan
perlindungan Konsumen.
42
Pengaduan konsumen harus memenuhi beberapa persyaratan agar dapat
diproses oleh pihak OJK dan difasilitasi agar sengketa tersebut dapat
diselesaikan. Pasal 41 Peraturan Jasa Keuangan Nomor 1 POJK. 07/2013
menjelaskan antara lain:
1) Konsumen mengalami kerugian finansial yang ditimbulkan oleh:
a) Pelaku Usaha Jasa Keuangan di bidang Perbankan, Pasar Modal,
Dana Pensiun, Asuransi Jiwa, Pembiayaan, Perusahaan Gadai, atau
Penjaminan, paling banyak sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah);
b) Pelaku Usaha Jasa Keuangan di bidang asuransi umum paling
banyak sebesar Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta
rupiah);
2) Konsumen mengajukan permohonan secara tertulis disertai dengan
dokumen pendukung yang berkaitan dengan pengaduan;
3) Pelaku Usaha Jasa Keuangan telah melakukan upaya penyelesaian
pengaduan namun Konsumen tidak dapat menerima penyelesaian
tersebut atau telah melewati batas waktu sebagaimana ditetapkan dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini;
4) Pengaduan yang diajukan bukan merupakan sengketa sedang dalam
proses atau pernah diputus oleh lembaga arbritrase atau peradilan, atau
lembaga mediasi lainnya;
5) Pengaduan yang diajukan bersifat keperdataan
6) Pengaduan yang diajukan belum pernah difasilitasi oleh Otoritas Jasa
Keuangan; dan
43
7) Pengajuan penyelesaian pengaduan tidak melebihi 60 (enam puluh) hari
kerja sejak tanggal surat hasil penyelesaian Pengaduan yang
disampaikan Pelaku Usaha Jasa Keuangan kepada Konsumen.
Apabila telah memenuhi syarat dalam pasal selanjutnya dijelaskan bahwa OJK
akan memfasilitasi penyelesaian sengketa dengan cara menunjuk fasilitator dan
mempertemukan konsumen dengan Pelaku Jasa Keuangan untuk mengkaji
ulang permasalahan secara mendasar dalam rangka memperoleh kesepakatan
penyelesaian. Apabila kedua pihak sepakat untuk memulai proses fasilitasi
maka sesuai dengan Pasal 44 POJK mengenai Perlindungan Konsumen
kesepakatan tersebut akan dituangkan kedalam perjanjian fasilitasi yang
memuat kesepakatan untuk memilih penyelesaian pengaduan yang difasilitasi
oleh Otoritas Jasa Keuangan dan persetujuan untuk patuh dan tunduk pada
aturan fasilitasi yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Pelaksanaan
fasilitasi sampai dengan ditandatanganinya akta kesepakatan dilakukan dengan
jangka waktu maksimal 30 hari kerja sejak Konsumen dan Pelaku Usaha Jasa
Keuangan menandatangani Perjanjian Fasilitasi dan dapat diperpanjang sampai
dengan 30 hari kerja.
Pada Pasal 46 POJK mengenai Perlindungan Konsumen kedua belah pihak
menemukan maupun tidak menemukan kesepakatan maka hal tersebut harus
dituangkan dalam berita acara hasil fasilitasi Otoritas Jasa Keuangan yang
ditandatangani oleh Konsumen dan Pelaku Usaha Jasa Keuangan.
Ketentuan lainnya yang penting sehubungan pembahasan ini ialah yang
diatur dalam POJK No. 1/POJK.07/2013 yang berkaitan dengan perjanjian baku,
sebagaimana ditentukan pada Pasal 22 ayat- ayatnya, bahwa:
44
(1)Dalam hal pelaku usaha jasa keuangan menggunakan perjanjian baku,
perjanjian baku tersebut wajib disusun sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
(2)Perjanjian baku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk digital
atau elektronik untuk ditawarkan oleh pelaku usaha jasa keuangan melalui
media elektronik.
(3)Perjanjian baku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang digunakan oleh
pelaku usaha jasa keuangan dilarang:
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab atau kewajiban pelaku usaha jasa
keuangan kepada konsumen;
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha jasa keuangan berhak menolak
pengembalian uang yang telah dibayar oleh konsumen atas produk dan/atau
layanan yang dibeli;
c. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha jasa
keuangan, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk melakukan
segala tindakan sepihak atas barang yang diagunkan oleh konsumen, kecuali
tindakan sepihak tersebut dilakukan berdasarkan peraturan perundang-
undangan;
d. Mengatur tentang kewajiban pembuktian oleh konsumen, jika pelaku usaha
jasa keuangan menyatakan bahwa hilangnya kegunaan produk dan/atau
layanan yang dibeli oleh konsumen, bukan merupakan tanggung jawab
pelaku usaha jasa keuangan;
45
e. Memberikan hak kepada pelaku usaha jasa keuangan untuk mengurangi
kegunaan produk dan/atau layanan atau mengurangi harta kekayaan
konsumen yang menjadi objek perjanjian produk atau layanan;
f. Menyatakan bahwa konsumen tunduk pada peraturan baru, tambahan,
lanjutan dan/atau perubahan yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha
jasa keuangan dalam masa konsumen memanfaatkan produkdan/atau
layanan yang dibelinya; dan
g. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha jasa
keuangan untuk pembenahan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan
atas produk dan/atau layanan yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
Ketentuan Pasal 22 yang mengatur tentang perjanjian baku tersebut
merupakan bagian dari perlindungan konsumen berhadapan dengan pelaku usaha,
sebagaimana perusahaan asuransi yang di dalam perjanjian baku tersebut terkait
erat dengan klausul eksonerasi. Ahmadi Miru menjelaskan bahwa31:
“Klausul eksonerasi yang biasanya dimuat dalam perjanjian sebagai tambahan atas unsur esensial dari suatu perjanjian, pada umumnya
ditemukan dalam kontrak baru. Klausul tersebut merupakan klausul yang sangat merugikan konsumen yang umumnya memiliki posisi lemah jika dibandingkan dengan produsen karena beban yang seharusnya dipikul
produsen dengan adanya klausul tersebut menjadi beban konsumen.”
Sengketa konsumen tersebut dalam hal terjadi wanprestasi dari perusahaan
asuransi berkenaan dengan tuntutan atau klaim asuransi yang menimbulkan
masalah, dapat diselesaikan melalui jalur pengadilan atau di luar pengadilan.
Tuntutan atau klaim asuransi yang merupakan lingkup perjanjian asuransi oleh
karena wanprestasi perusahaan asuransi, adalah akibat hukum tidak dipenuhinya
31 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2014), halaman 40.
46
perjanjian asuransi tersebut. Manakala pemenuhan perjanjian adalah suatu prestasi,
maka tidak dilakukannya perjanjian merupakan wanprestasi. Abdulkadir
Muhammad menjelaskan, wanprestasi berasal dari istilah bahasa Belanda,
“wanpretatie”, artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam
perikatan, baik perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang
timbul karena undang-undang 32 . Akibat hukum tidak dipenuhinya perjanjian
asuransi dengan sendirinya telah merugikan pemegang polis asuransi, dan karena
pemegang polis telah dirugikan dalam pemanfaatan polis yang merupakan haknya,
maka bergantung pada pihak pemegang polis apakah menyelesaikannya menurut
konsep penyelesaian sengketa yang berlaku, baik melalui pengadilan atau
penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
4.2. Tanggung Jawab Hukum Perusahaan Asuransi Atas Tindakan Wanprestasi
Kaitanya Dengan Perlindungan Konsumen.
Hukum perasuransian di Indonesia sudah cukup lama dikenal dan diatur
dalam sejumlah peraturan perundang-undangan semenjak belum terwujudnya
negara Republik Indonesia. Sejumlah peraturan perundang-undanganm warisan
penguasa kolonial Belanda seperti KUHD, dan ordonantie op het
Levensverzekeringbedrijf, yang diatur dalam Staatsblad tahun 1941 nomor 101,
adalah pengaturan-pengaturan warisan kolonial Belanda tentang perasuransian.
Berdasarkan pada KUHD dan ordonnantie op het Levenszekeringbedrijf tersebut,
diberlakukan pengaturan-pengaturan tentang berbagai aspek mengenai
perasuransian hingga tercapainya kemerdekaan negara Republik Indonesia. Kedua
peraturan perundangundangan tersebut berbeda eksistensinya pasca kemerdekaan
32 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1990),halaman 20.
47
Negara Republik Indonesia, oleh karena berdasarkan pada Undang-Undang No. 2
Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, dinyatakan pada Pasal 27, bahwa
“dengan berlakunya undang-undang ini, maka Ordonnantie op het
Levenszekeringbedrijf. (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 101), dinyatakan tidak
berlaku lagi.”
Eksistensi pengaturan asuransi dalam KUHD tetap berlanjut, karena tidak
dicabut oleh peraturan perundang-undangan lainnya. Undang-Undang No. 2
Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian adalah peraturan perundangan pertama
sebagai karya bangsa dan negara Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat,
tetapi tidak mencabut keberadaan KUHD di dalam mengatur berbagai aspek
tentang perasuransian. Pada perkembangan selanjutnya dilakukan perubahan
terhadap Undang-Undang No. 2 Tahun 1992, antara lainnya karena lebih banyak
mengatur tentang usaha perasuransian, kemudian dilakukan perubahan terakhir
pada Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian yang dirinci atas
XVIII Bab dan 92 Pasal, maka kedudukan Undang-Undang No. 40 Tahun 2014
adalah hukum positif yang mengatur perasuransian di Indonesia.
Konsep asuransi atau pertanggungan di dalam kepustakaan hukum di
Indonesia juga ditempatkan sebagai bagian dari perjanjian untung-untungan,
sebagaimana diatur dalam Pasal 1774 KUHPerdata yang menyatakan bahwa 33:
“Suatu perjanjian untung-untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya,
mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak maupun bagi sementara pihak
bergantung pada suatu kejadian yang belum tentu. Demikian adalah :
- perjanjian penanggungan;
33 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2014), halaman 455.
48
- bunga cagak hidup;
- perjudian atau pertaruhan.
Perjanjian yang pertama diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang”.
Abdulkadir Muhammad menjelaskan perjanjian asuransi dengan perjanjian
untung-untungan, sebagai berikut:
“Dalam perjanjian asuransi, pengalihan risiko dari tertanggung kepada
penanggung diimbangi pembayaran premi oleh tertanggung yang seimbang dengan beratnya risiko yang dialihkan, meskipun dapat
diperjanjikan kemungkinan prestasi itu tidak perlu seimbang. Dalam perjanjian untung-untungan (chance agreement) para pihak sengaja melakukan perbuatan untunguntungan yang tidak digantungkan pada
prestasi yang seimbang, misalnya pada perjudian atau pertaruhan.”34
Suatu perjanjian asuransi dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak
yaitu tertanggung dan penanggung telah memenuhi prestasinya masing-masing
seperti yang telah diperjanjikan tanpa ada pihak yang dirugikan. Tetapi
adakalanya didalam perjanjian tersebut tidak terlaksana dengan baik karena
adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak. Perkataan wanprestasi
berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Adapun yang dimaksud
wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya,
dimana salah satu pihak tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah
ditentukan dalam perjanjian35. Adapun bentuk-bentuk dari wanprestasi yaitu 36:
d. Tidak memenuhi prestasi sama sekali.
e. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.
f. Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru.
34 Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakt i
2011) halaman 16. 35 Nindyo Pramono, Hukum Komersil (Jakarta: Pusat Penerbitan UT, 2003), halaman 221. 36 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian (Jakarta: Putra Abadin, 1999), halaman
18.
49
Sedangkan menurut Subekti, bentuk wanprestasi ada empat macam yaitu37:
e. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan.
f. Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana
dijanjikannya.
g. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.
h. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Prestasi pada perjanjian asuransi terjelma pada Polis Asuransi yang
bersifat seimbang, dalam arti kata misalnya kewajiban membayar premi asuransi
secara berkala oleh tertanggung atau peserta adalah seimbang dengan manfaat
yang diharapkan, semakin besar nilai preminya yang harus dibayar secara berkala,
semakin besar pula nilai risiko yang dialihkan, atau dalam perkataan lain
ditentukan prestasinya di dalam klasifikasi, misalnya pada perjanjian asuransi
kesehatan tercantum item tertentu apakah pengalihan risiko karena semua
penyakit termasuk biaya operasi kesehatan, atau tidak, bergantung dari besarnya
nilai prestasi. Bagi perusahaan asuransi selaku penanggung pada perjanjian
asuransi kesehatan misalnya, adalah suatu hal yang wajar bilamana seseorang itu
sangat memperhatikan kesehatannya, tidak jatuh sakit bahkan tidak sampai di
operasi oleh karena biayanya yang sangat mahal. Sakit- sakit berat yang
membutuhkan biaya operasi mahal antara lainnya operasi jantung, operasi
kandungan, dan lain sebagainya. Tetapi, setiap orang yang normal berusaha untuk
sehat, tidak jatuh sakit hingga bertahun-tahun lamanya tidak pernah menderita
sakit, tidak pernah dioperasi, akan tetapi sebagai tertanggung tetap berkewajiban
membayar premi asuransi. Keadaan tidak sakit atau tidak dioperasinya seorang
37 Subekti, Hukum Perjanjian (Jakarta: Intermasa, 2004), halaman 45.
50
tertanggung dan tetap membayar premi asuransi kepada penanggung atau
perusahaan asuransi, merupakan nilai lebih atau yang menguntungkan bagi
penanggung atau perusahaan asuransi tersebut. Meskipun tidak seorang pun yang
ingin sakit atau ingin dioperasi penyakitnya, manakala pembayaran premi asuransi
berjalan tepat pada waktunya, hal tersebut telah menjamin pihak tertanggung jika
di kemudian hari menderita sakit atau di operasi, maka ada pengalihan risiko
kepada penanggung atau perusahaan asuransi. Menurut Abdulkadir Muhammad,
dalam dunia bisnis perusahaan asuransi, selalu siap menerima tawaran dari pihak
tertanggung untuk mengambil alih risiko dengan imbalan pembayaran premi 38.
Pertanggung jawaban hukum bagi pemegang Polis asuransi penting sekali
karena polis merupakan satu-satunya alat bukti tertulis untuk membuktikan bahwa
asuransi telah terjadi. Polis asuransi sebagai bukti terjadinya perjanjian asuransi
mengikat melalui perjanjian asuransi yang dibuktikan dengan Polis asuransi telah
terjadi pemindahan risiko misalnya asuransi jiwa atau asuransi kerugian kepada
perusahaan asuransi. Abdul Kadir Muhammad menjelaskan, melalui perjanjian
asuransi risiko kemungkinan terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian yang
mengancam kepentingan tertanggung itu dialihkan kepada perusahaan asuransi
kerugian selaku penanggung39. Klaim yang diajukan oleh pemegang polis asuransi
terhadap perusahaan asuransi tidak jarang berbelit-belit, dan ditolak dengan
berbagai alasan sehingga perlindungan bagi kepentingan pemegang Polis asuransi
menjadi bagian penting dan berkaitan dengan fungsi Otoritas Jasa Keuangan
dalam menjalankan fungsi pengaturan dan pengawasan serta perlindungan
konsumen jasa asuransi.
38 Ibid, halaman 12. 39 Ibid, halaman 166.
51
Otoritas Jasa Keuangan merupakan lembaga independen dan bebas dari
campur tangan pihak lain dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya,
selanjutnya Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga yang mempunyai wewenang
pada jasa keuangan termasuk perasuransian. Dalam melaksanakan tugas
pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa perasuransian memiliki
wewenang seperti yang disebutkan dalam Pasal 8 UU No. 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan antara lain:
a) Menetapkan peraturan pelaksanaan Undang-undang ini;
b) Menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
c) Menetapkan peraturan dan keputusan OJK;
d) Menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan;
e) Menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK;
f) Menetapkanperaturan engenai tata cara penetapan perintah tertulis
terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu;
g) Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelolaan statute
pada Lembaga Jasa Keuangan;
h) Menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola,
memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan
i) Menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan
Ketentuan-ketentuan dalam POJK No.1/PJOK.07/2013 lebih banyak
memberikan perlindungan hukum bagi konsumen dibandingkan bagi pelaku usaha,
termasuk dalam hubungan hukum perjanjian asuransi. Ditentukan pula pada Pasal
7 ayat- ayatnya dari PJOK No. 1/POJK.07/2013, bahwa:
52
(1) Pelaku usaha jasa keuangan wajib menggunakan istilah, frasa, dan atau
kalimat yang sederhana dalam Bahasa Indonesia yang mudah dimengerti oleh
konsumen dalam setiap dokumen yang:
a. Memuat hak dan kewajiban konsumen;
b. Dapat digunakan konsumen untuk mengambil keputusan; dan
c. Memuat persyaratan dan dapat mengikat konsumen secara hukum.
(2)Bahasa Indonesia dalam dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
disandingkan dengan bahasa lain jika diperlukan.
(3)Pelaku usaha jasa keuangan wajib memberikan penjelasan atas istilah, frasa,
kalimat dan/atau simbol, diagram dan tanda yang belum dipahami oleh
konsumen.
(4)Dalam hal dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan menggunakan bahasa asing, bahasa
asing tersebut harus disandingkan dengan bahasa Indonesia.
Sesuai aturan Pasal 70 Undang- Undang Nomor 40 tahun 2014 bahwa
Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif kepada
lembaga asuransi yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan, dan untuk hal-hal yang tidak dapat dilanggar telah
disebutkan satu persatu dengan jelas dalam Pasal 71 Undang- Undang Nomor 40
tahun 2014, jika melanggar akan memperoleh sanksi administratif berupa:
a) Peringatan tertulis
b) Pembatasan kegiatan usha, untuk sebagian atau seluruh kegiatan usaha
53
c) Larangan untuk memasarkan produk asuransi atau produk asuransi syariah
untuk lini usaha tertentu
d) Pencabutan izin usaha
e) Pembatalan pernyataan pendaftaran bagi pialang asuransi, pialang
reasuransi, dan agen asuransi
f) Pembatalan pernyataan pendaftaran bagi konsultan aktuaria, akuntan
public, penilai atau pihak lain yang mmemberikan jasa bagi perusahaan
perasuransian
g) Pembatalan persetujuan bagi lembaga mediasi atau asosiasi
h) Denda administratif
i) Larangan menjadi pemegang saham, pengendali, direksi, dewan komisaris,
atau yang setara dengan pemegang saham, pengendali, direksi dan dewan
komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama
sebagai aman dimksud pasal 6 ayat 1 huruf c, dewan pengawas syariah,
atau menduduki jabatan eksekutif dibawah direksi, atau yang setara
dengan jabatan eksekutif dibawah direksi pada badan hukum berbentuk
koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat 1
huruf c, pada perusahaan perasuransian
Sanksi administratif diatur dalam Undang- Undang Nomor 40 tahun 2014
tentang Perasuransian pada Bab 15 secara jelas disebutkan aturan apa saja yang
tidak dapat dilanggar dan disebutkan sanksi-sanksi administratif apa saja yang
dapat dikenakan pada perusahaan asuransi yang melanggar, termasuk tindakan
wanprestasi yang di lakukan perusahaan asuransi. Telah disebutkan mengenai
54
sanksi atau pertanggung jawaban yang dapat diterima oleh pihak perusahaan
asuransi jika tidak memenuhi tanggung jawabnya atau melanggar ketentuan-
ketentuan yang berlaku.
Selanjutnya berkaitan dengan ketentuan pidana diatur dalam Bab 16
Undang-Undamg Nomor 40 tahun 2014 tentang Perasuransian. Dalam Bab
tersebut bukan hanya pidana badan yang diatur akan tetapi disertai pidana denda
untuk tiap perbuatan yang dilanggar. Pidana penjara ada dari yang terendah
maksimal 5 tahun sampai maksimal 15 tahun. Disertai dengan p idana denda dari
maksimal 1 miliar rupiah sampai ada pidana denda maksimal mencapai 600 miliar
rupiah.
Subekti menjelaskan mengenai sanksi-sanki dari wanprestasi40 :
a. Ganti rugi
Ganti rugi setidak-tidaknya terdiri dari 3 unsur yaitu biaya, rugi, dan bunga.
Dalam soal penuntutan ganti rugi Undang-Undang memberikan ketentuan-
ketentuan tentang apa yang dapat dimasukan dalam ganti rugi tersebut, dengan
demikian seorang debitur yang melakukan wanprestasi masih dilindungi oleh
Undang-Undang terhadap kesewenang-wenangan si kreditur. Jadi dapat dilihat
bahwa ganti rugi itu dibatasi hanya meliputi kerugian yang dapat diduga dan
merupakan akibat langsung dari wanprestasi.
b. Pembatalan perjanjian
Pembatalan perjanjian bertujuan untuk membawa kedua belah pihak
kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Kalau suatu pihak sudah
40 Subekti, Hukum Perjanjian (Jakarta: PT Intermasa, 2004), halaman 50.
55
menerima sesuatu dari pihak yang lain, baik uang maupun barang maka itu
harus dikembalikan. Masalah pembatalan perjanjian karena lalai ini diatur
dalam Pasal 1266 KUHPerdata yang mengatur mengenai perikatan bersyarat.
Hal ini karena pembatalan perjanjian akibat wanprestasi terjadi dalam
perjanjian yang mengandung syarat batal dimana syarat batal tersebut menurut
Undang-Undang dicantumkan dalam setiap perjanjian.
c. Peralihan risiko
Risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa
diluar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi objek
perjanjian41. Peralihan risiko dapat digambarkan dalam jual beli, menurut Pasal
1460 KUHPerdata, maka risiko dalam jual beli barang tertentu dipikulkan
kepada si pembeli meskipun barangnya belum diserahkan. Kalau si penjual itu
terlambat menyerahkan barangnya. Maka kelalaian itu diancam dengan
mengalihkan risiko tadi dari si pembeli kepada si penjual. Jadi dengan lalainya
si penjual risiko itu beralih kepada dia. Perihal peralihan risiko ini tidak
berlaku dalam hal perjanjian sepihak mengingat tidak adanya kewajiban secara
timbal balik atau kontra prestasi42.
d. Membayar biaya perkara
Pihak yang dikalahkan dalam pengadilan diwajibkan membayar perkara.
Seorang debitur yang lalai tentu akan dikalahkan kalau sampai terjadi suatu
perkara didepan hakim, sehingga debitur yang lalai tersebut hsrus membayar
biaya perkara. Oleh karena itu pembayaran ongkos biaya perkara disimpulka n
sebagai sanksi bagi debitur yang melakukan wanprestasi.
41 Ibid., halaman 52. 42 Cahyono, Akhmad Budi Dan Surini Ahlan Sjarif, Mengenal Hukum Perdata (Jakarta:
CV Gitama Jaya, 2008), halaman 45.
56
Contoh perusahaan asuransi yang melakukan tindakan wanprestasi dapat
dilihat dalam Putusan Pengadilan Tinggi Medan NOMOR: 64/PDT/2017/PT
MDN Tahun 2017 Tentang Setiadil H Melawan PT. Mitsui Leasing Capital
Indonesia Dan PT. Asuransi Central Asia dengan duduk perkara sebagai berikut,
Penggugat (Setiadil. H) adalah pemilik yang sah dan berhak secara hukum atas1 (satu)
Unit mobil Merk/Type/Jenis Daihatsu / Xenia 1.3 Deluxe/Minibus dengan nomor polisi
BK 1077 IY bagaimana terbukti dari Buku Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB)
Nomor K.05903329 yang dikeluarkan oleh Direktur Lalu Lintas Kepolisian Daerah
Sumatera Utara Tanggal 7 Desember 2013, Mobil minibus Daihasu Xenia BK 1077 IY
tersebut diatas diperoleh Penggugat berdasarkan jual beli antara Penggugat selaku
Pembeli dengan Auto Mobil selaku Penjual, dengan harga pembelian mobil on the road
(OTR) sebesar Rp 182.000.000,dimana pembayaran dan pelunasan harga mobil yang
dimaksud telah dibayarkan lunas oleh Tergugat-I kepada Penjual (Auto Mobil) untuk dan
atas nama serta kepentingan dari Penggugat, sebelum Tergugat-I membayar lunas harga
pembelian mobil kepunyaan Penggugat kepada Penjual Auto Mobil sebesar Rp
182.000.000,diantara Penggugat dan Tergugat-I sebelumnya telah membuat dan menanda
tangani Surat Perjanjian Pembiayaan Konsumen Nomor 311311619 Tanggal 27
November 2013, dalam isi Surat Perjanjian Pembiayaan Konsumen tersebut ditentukan
Penggugat berkewajiban melakukan pembayaran secara cicilan kepada Tergugat-I
sebesar Rp.2.713.000,- setiap bulannya selama 48 bulan, dalam isi Surat Perjanjian
Pembiayaan Konsumen juga secara tegas ditentukan Tergugat-I wajib untuk
mengasuransikan Mobil Minibus Daihatsu Xenia BK 1077 IY dimaksud, dan dalam hal
ini Tergugat-I telah mengasuransikan Mobil dimaksud kepada Tergugat-II yaitu
PT.Asuransi Central Asia Cabang Medan, sesuai dengan Sertifikat Asuransi Kendaraan
Bermotor Tanggal 27 November 2013, Noomor Polis Induk : 007/B2/XI/MOU-LSG,
Nomor Sertifikat:21-41-13-003915, Nomor: Pelanggan 41- 09-000234, Nama
57
Tertanggung Setiadil H, Tanggal Pertanggungan 27 November 2013 s/d 27 November
2017. Pada Tanggal 28 Juni 2014, Mobil Minibus Daihatsu Xenia Nomor Polisi BK
1077 IY yang terdaftar atas nama SETIADIL H (ic.Penggugat) tersebut hilang, kemudian
telah dibuat Laporan/Pengaduan kepada Pihak Kepolisian Negara Republik Indonesia
Daerah Sumatera Utara Resor (Polres) Kota Medan sesuai dengan Surat Tanda Terima
Laporan Polisi Nomor: STTPL : 2905/K/VIII/2014/RESTA MEDAN tanggal 22 Agustus
2014. Bahwa, terjadinya Kehilangan Mobil Minibus Daihatsu Xenia, Penggugat mencoba
mengajukan Permohonan untuk mengklaim pembayaran biaya asuransi dari Tergugat-I
dan Tergugat-II, tindakan Tergugat-I dan Tergugat-II yang tidak melakukan Pembayaran
atas klaim asuransi atas kehilangan mobil minibus daihatsu Xenia jelas telah
membuktikan bahwa tergugat-I dan Tergugat-II telah melakukan perbuatan melawan
hukum (onrechtmatigedaad) terhadap Penggugat, yang tentunya sangat merugikan
Penggugat. Kerugian materil dan immateril yang dialami oleh Penggugat yang
keseluruhannya sebesar Rp. 482.000.000, harus dibayarkan oleh Tergugat-I dan Tergugat
II secara tanggung renteng dan secara sekaligus dan tunai kepada Penggugat.43
Melihat dari kasus tersebut diatas, pihak asuransi dapat dikenakan sanksi
secara hukum, karena dianggap telah melakukan wanprestasi. KUHPerdata
mengatur tentang pelanggaran perjanjian yang dilakukan oleh salah satu pihak
yang melanggar, yaitu:
a. Sesuai dengan Pasal 1243 KUHPerdata, yang menyebutkan penggantian
biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai
diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk
memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau
43 Putusan Pengadilan Tinggi Medan NOMOR: 64/PDT/2017/PT MDN Tahun 2017
Tentang Setiadil H Melawan PT. Mitsui Leasing Capital Indonesia dan PT. Asuransi Central Asia ,
halaman 2.
58
dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang
melampaui waktu yang telah ditentukan, maka dapat diajukan gugatan
perdata atas dasar wanprestasi.
b. Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga. bila ia
tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau
tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh
sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya.
walaupun tidak ada itikat buruk kepadanya, hal ini sesuai yang tercantum
dalam Pasal 1244 KUHPerdata.
c. Debitur hanya diwajibkan mengganti biaya, kerugian dan bunga, yang
diharap atau sedianya dapat diduga pada waktu perikatan diadakan,
kecuali jika tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan oleh tipu daya
yang dilakukannya. Bahkan jika tidak dipenuhinya perikatan itu
disebabkan oleh tipu daya debitur, maka penggantian biaya, kerugian dan
bunga, yang menyebabkan kreditur menderita kerugian dan kehilangan
keuntungan, hanya mencakup hal-hal yang menjadi akibat langsung dari
tidak dilaksanakannya perikatan itu (sesuai Pasal 1247 dan Pasal 1248
KUHPerdata).
d. Jika dalam suatu perikatan ditentukan bahwa pihak yang lalai
memenuhinya harus membayar suatu jumlah uang tertentu sebagai ganti
kerugian, maka kepada pihak lain- lain tak boleh diberikan suatu jumlah
yang lebih ataupun yang kurang dari jumlah itu (Pasal 1249 KUHPerdata).
e. Dalam perikatan yang hanya berhubungan dengan pembayaran sejumlah
uang, penggantian biaya, kerugian dan bunga yang timbul karena
59
keterlambatan pelaksanaannya, hanya terdiri atas bunga yang ditentukan
oleh undang-undang tanpa mengurangi berlakunya peraturan undang-
undang khusus. Penggantian biaya, kerugian dan bunga itu wajib dibayar,
tanpa perlu dibuktikan adanya suatu kerugian o!eh kreditur. Penggantian
biaya, kerugian dan bunga itu baru wajib dibayar sejak diminta di muka
Pengadilan, kecuali bila undang-undang menetapkan bahwa hal itu berlaku
demi hukum (Pasal 1250 KUHPerdata).
f. Selanjutnya, bunga uang pokok yang dapat ditagih dapat pula
menghasilkan bunga, baik karena suatu permohonan di muka pengadilan,
maupun karena suatu persetujuan yang khusus, asal saja permintaan atau
persetujuan tersebut adalah mengenai bunga yang harus dibayar untuk satu
tahun. Walaupun demikian, penghasilan yang dapat ditagih, seperti uang
upah tanah dan uang sewa lain, bunga abadi atau bunga sepanjang hidup
seseorang, menghasilkan bunga mulai hari dilakukan penuntutan atau
dibuat persetujuan. Peraturan yang sama berlaku terhadap pengembalian
hasil-hasil sewa dan bunga yang dibayar oleh seorang pihak ketiga kepada
kreditur untuk pembebasan debitur (Pasal 1251 dan Pasal 1252
KUHPerdata).
Aturan-aturan tersebut dibuat agar adanya keseimbangan, dimana bukan
hanya saja tertanggung yang diharuskan memenuhi kewajibannya, akan tetapi
sebagi pihak penyedia jasa pertanggungan juga memiliki kewajiban yang diatur
dengan peraturan dan memiliki lembaga pengawas, dalam mengawasi berjalannya
perusahaan asuransi tersebut
60
BAB V
PENUTUP
V.I. SIMPULAN
a. Bentuk penyelesain sengketa apabila perusahaan asuransi melakukan
wanprestasi terhadap pemegang polis dapat diselesaikan melalui beberapa cara
yaitu melalui pengadilan dan luar pengadilan. Pertama melalui pengadilan
apabila sengketa asuransi tidak menemukan titik temu antara penanggung
(perusahaan asuransi) dan tertanggung (pemegang polis), kedua melakukan
penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat di tempuh melalui lembaga
penyelesaian sengketa yang sah yaitu BMAI dengan mediasi, ajudikasi, dan
arbitrase. Di samping itu pemerintah juga telah membentuk Otoritas Jasa
Keuangan yang salah satunya tugasnya adalah untuk menyelesaikan sengketa
kontrak asuransi dengan kriteria kerugian untuk asuransi jiwa maksimal Rp
500.000.000 dan untuk asuransi umum kerugian maksimal Rp 750.000.000.
b. Bentuk pertanggung jawaban hukum perusahaan asuransi atas tindakan
wanprestasi yaitu perusahaan asuransi harus memenuhi kewajibannya terhadap
pemegang polis yang mengalami kerugian dalam hal pengajuan klaim,
sepanjang pemegang polis dapat membuktikan telah melakukan
kewajibannya untuk membayar premi maupun syarat-syarat lain yang telah
ditentukan, serta adanya sanksi administratif sebagai mana yang telah diatur
dalam Pasal 71 Undang- Undang Nomor 40 tahun 2014 tentang Perasuransian
yaitu berupa peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pencabutan izin
61
usaha dan ganti rugi. Berdasarkan penelitian juga di temukan beberapa
peraturan yang melindungi pemegang polis seperti dalam Undang-Undang No.
21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Undang-Undang No. 40 Tahun
2014 tentang Perasuransian, serta dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.
1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
V.II. SARAN
Calon pemegang polis asuransi harus lebih cepat, cermat dan akurat dalam
mendalami dan memahami draf perjanjian asuransi agar terhindar dari akibat
hukum di kemudian hari yang merugikannya. Perlu peningkatan kemampuan
aparat otoritas jasa keuangan melakukan sosialisasi dan edukasi terhadap warga
masyarakat pengguna sektor jasa keuangan khususnya di sector perasuransian.
Pelibatan perguruan tinggi dalam sosialisasi dan edukasi seperti itu perlu
dilakukan.
62
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ali, Moch. Chaidir dan Mashudi. Pengertian Elementer Hukum Perjanjian
Perdata. Bandung: Mandar Maju, 2001.
. Hukum Asuransi. Bandung: Mandar Maju, 1995.
Ali, Zaenudi. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Cahyono, Akhmad Budi dan Surini Ahlan Sjarif. Mengenal Hukum Perdata. Jakarta: CV. Gitama Jaya, 2008.
Darmawi, Herman .Manejemen Asuransi. Jakarta: Bumi Aksara, 2004.
Fuady, Munir. Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis). Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2003.
Muhammad, Abdulkadir. Hukum Asuransi Indonesia. Bandung: Citra Aditya,1999.
. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2014.
Pramono, Nindyo. Hukum Komersil. Jakarta: Pusat Penerbitan UT, 2003.
R. Setiawan. Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, Jakarta: Purta Abadin, 1999.
Sastrawidjaja, Man Suparman. Aspek-Aspek Hukum Asuransi dan Surat Berharga.
Bandung: Alumni Bandung, 1997.
Simorangkir, Rudy Erwin dan Prasetyo. Kamus Hukum. Sinar Grafika: Jakarta,
2009.
Subekti. Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 2004.
. Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermasa, 2001.
Suharnoko. Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus. Jakarta: Kencana, 2004.
Sumitro, Roni Hanitijo. Metodelogi Penelitian Hukum. Jakarta: Ghalia, 2010.
Suparman, Man, Dkk. Hukum Asuransi Perlindungan Tertanggung, Asuransi Deposito, Usaha Perasuransian. Bandung: Alumni Bandung, 1997.
Peraturan Perundang – undang
Kitab Undang- Undang Hukum Perdata.
63
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Jakarta, 2013.
Putusan Pengadilan Tinggi Medan NOMOR: 64/PDT/2017/PT MDN Tahun 2017 Tentang Setiadil H Melawan PT. Mitsui Leasing Capital Indonesia dan PT. Asuransi Central Asia. Medan, 2017
Surat Keputusan No.008/SK-BMAI/11.2014 Tentang: Peraturan Dan Prosedur Mediasi BMAI. Jakarta, 2014.
Seketariat Negara RI. Undang- Undang RI Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan. Jakarta, 2011.
Seketriat Negara RI. Undang-Undang RI No 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian. Jakarta, 2014.
Internet
Riadi, Muchlisin. “Pengertian, Unsur, dan Manfaat Asuransi”, (https://www.Kajianpustaka.com/2017/10/ Pengertian-Unsur-Prinsip-
Manfaat-Asuransi.html, diakses 6 Januari 2019).
http://www.bmai.or.id/Content.aspx?id=17, diakses 30 Juli 2019)
Karya Ilmiah
Hariandja, Tioma Roniuli. “Penyelesaian Sengketa Asuransi Melalui Badan
Mediasi AsuransiIndonesia”. Tesis Fakultas Hukum, Universitas Airlangga Surabaya, 2007.
Haryo Anggoro, Rifky . “ Penyelesaian Sengketa Klaim Asuransi Kerugian Pada PT Allianz Utama Di Semarang”. Skripsi Fakultas Hukum, Universitas Semarang, 2013.
Purwanto, “Efektifitas Penerapan Alternative Dispute Resolution (ADR) Pada Penyelesian Sengketa Bisnis Asuransi di Indonesia”, Jurnal Risalah
Hukum 2005.