Usaha Tani

28
PROGRAM INTENSIFIKASI PERTANIAN (REVOLUSI HIJAU) Pelaksanaan Revolusi Hijau di Indonesia dimulai sejak tahun 1960-an. Revolusi Hijau sebenarnya mengacu pada program intensifikasi pertanian tanaman pangan. Di Indonesia sendiri sebenarnya program intensifikasi sudah mulai dicoba pada waktu sebelum Indonesia merdeka pada tahun 1937. Tujuan program ini adalah untuk meningkatkan produksi tanaman padi yang untungnya juga peningkatan tersebut dapat diusahakan tanpa mengubah struktur social pedesaan. Pikiran dasarnya adalah produksi padi harus naik, sedangkan soal pembagian hasil pada gilirannya akan diatur oleh kekuatan atau mekanisme pasar sendiri. Hasil Revolusi Hijau, ditunjang oleh aneka program-program seperti perkreditan rakyat, koperasi, rehabilitasi

description

OLd Memoy

Transcript of Usaha Tani

Page 1: Usaha Tani

PROGRAM INTENSIFIKASI PERTANIAN (REVOLUSI HIJAU)

Pelaksanaan Revolusi Hijau di Indonesia dimulai sejak tahun 1960-an. Revolusi

Hijau sebenarnya mengacu pada program intensifikasi pertanian tanaman pangan. Di

Indonesia sendiri sebenarnya program intensifikasi sudah mulai dicoba pada waktu

sebelum Indonesia merdeka pada tahun 1937. Tujuan program ini adalah untuk

meningkatkan produksi tanaman padi yang untungnya juga peningkatan tersebut

dapat diusahakan tanpa mengubah struktur social pedesaan. Pikiran dasarnya adalah

produksi padi harus naik, sedangkan soal pembagian hasil pada gilirannya akan diatur

oleh kekuatan atau mekanisme pasar sendiri. Hasil Revolusi Hijau, ditunjang oleh

aneka program-program seperti perkreditan rakyat, koperasi, rehabilitasi pengairan,

dan sebagainya.

Revolusi hijau sebenarnya suatu program intensifikasi tanaman pangan yang

membawa ide modernisasi. Karena melalui program ini diintrodusir beberapa

teknologi baru dalam pertanian.Tetapi selain itu yang ditonjolkan dalam pertukaran

ini, ide modernisasi itu dilihat dalam kontekskelembagaan baru yang diterapkan

dalam mengatur kelembagaan produksi. Dengan demikian pendekatan perubahan

sosial yang digunakan dalam tulisan ini adalah pendekatan fungsional.

Pada tingkat implementasi program, dibentuk beberapa organisasi yang member

pelayanan kepada masyarakat, antara lain KOPERTA. Organisasi usaha ini tidak

dikelola secara profesional. Pengurusnya bukan dari kalangan interpreneur, melainkan

ditangani langsung oleh Lurah dan Pamong Desa.Organisasi ini tidak bertahan lama

karena praktik-praktik pamong desa tidak disegani petani.Karena dianggap gagal,

maka pemerintah Orde Baru mengganti nama koperasi dengan BadanUsaha Unit Desa

(BUUD). Organisasi baru ini dianggap berhasil dan ditingkatkan menjadi KUD.

Namun perkembangan KUD ini tidak menggembirakan karena 93% petani lemah

tidak berminat menjadi anggota. Kemudian diperankan lagi pendekatan Bimbingan

Massal (BIMAS).Program ini berhasil dengan baik dengan tercapainya peningkatan

hasil panen. Dan pada gilirannya, pelayanan BIMAS ditingkatkan. Tetapi pada

Page 2: Usaha Tani

akhirnya juga sistem ini gagal karena praktik penyimpangan yang terjadi dalam

mekanisme penyaluran paket-paket bantuan. Selain itu di kalangan petani kecil ada

yang ragu memanfaatkan bantuan kredit. Catatan Franke dalam Tjondronegoro

membuktikan adanya hubungan system BIMAS dengan pelapisan sosial.Dampaknya

ialah petani kaya lebih mampu mengakses kredit karena aset tanah dan modal

yangdimilikinya dibanding petani kecil.

Pada akhirnya petani kaya menyewa tanah dari mereka, dan selanjutnya semakin

mengakumulasi penguasaan tanah. Hubungan patron-klient semakin mengarah pada

hubungan eksplotatif.Dengan demikian program ini tidak menambah kemandirian

petani kecil bahkan menambah ketergantungannya pada patron karena kekuatan

kapitalnya.Polarisasi pemilikan mungkin tidak terjadi di sini, tetapi penguasaan tanah

menumpuk dikalangan petani kaya dalam arti ekonomis.

Dengan pengertian bahwa mereka yang memilikimodal kuat mampu mengakses

teknologi dan fasilitas lain untuk memperluas usaha taninya. Ide modernisasi melalui

revolusi hijau berhasil dilihat dari sudut peningkatan produksi pertanian.tetapi hal ini

tidak diikuti oleh perubahan kelembagaan yang diadaptasi secara kuat dalam

olehmasyarakat.Modernisasi di daerah pedesaan berlangsung tanpa pembangunan,

didasarkan atas pengamatan bahwa kelembagaan desa tidak dikembangkan menjadi

organisasi yang mutakhir.

Pesimisme terhadap perubahan sosial pedesaan yang disiratkan dalam buku milik

Tjondronegoro menunjukkan pendekatannya yang lebih cenderung mengikuti aliran

modernisasi baru, yang berpijak pada kekuatan perubahan yang berakar dari nilai

kelembagaan tradisional.

Ini merupakan usaha dini untuk melihat perilaku lapisan-lapisan petani dalam era

Revolusi Hijau. Perbedaan dampak Bimas kepada masyarakat kecil, yakni

terungkapnya bahwa petani kaya lebih mampu memperbaiki nasibnya berdasarkan

aset tanah dan modal yang dimilikinya. Selain itu, resiko kegagalan panen karena

faktor-faktor yang tidak dikuasai oleh petani. Perbadaan dampak BIMAS bagi

masyarakat kecil yakni terungkapnya bahwa petani kaya lebih mampu memperbaiki

Page 3: Usaha Tani

nasibnya berdasarkan aset tanah dan modal yang dimilikinya dibandingkan dengan

petani kecil.

Lapisan teratas masyarakat petani mempunyai beberapa keuntungan, kecuali

meningkatkan luas tanahnya dan menarik kredit lebih banyak, lapisan tersebut tetap

memanfaatkan tenaga kerja yang cukup banyak tersedia. Lapisan atas juga bertambah

mampu unutk mengadakan usaha-usaha yang berkaitan dengan ekonomi perkotaan.

Sedangkan lapisan bawah masyarakat petani petani cenderung keluar dari masyarakat

pedesaan dan pindah ke kota untuk mencari pekerjaan di sektor informal seperti jasa

dan perdagangan kecil.

Dengan masuknya teknologi baru dibidang pertanian sudah jelas ada lapisan-

lapisan masyarakat desa yang bertambah kaya dan berkuasa atas sumbardaya

sehingga timbul gejala komersialisasi di masyarakat desa. Ada lima indikator yang

dipakai untuk mengukur tingkat komersialisasi dalam studi tersebut, yakni

penggunaan tanaga dalam produksi padi, uasaha mengurangi biaya, penen

terbuka/tertutup, yaitu derep atau upah tebas, penjualan padi dan upah buruh.

Persoalan yang mungkin juga tidak mengherankan adalah pola konsumsi daerah

pedesaan yang makin menyerupai ota dan ini dipercepat oleh komunikasi massa yang

berfungsi sebagai iklan dan penyebar gambaran pola hidup perkotaan.Perubahan-

perubahan sosial yang terjadi akibat “Revolusi Hijau” tampaknya ditunjang oleh

Revolusi pendidikan, Revolusi kesehatan, dan Revolusi Transport.Sebagai penunjang

Revolusi Hijau, sistem irigasi sangat diperlukan dan usaha pemerintah untuk

merehabilitasi peraian di Indonesia berhasil baik.

Ditinjau dari segi sarana ini Revolusi Hijau Indonesia tampaknya berhasil, tetapi

perlu disadari bahwa resiko petani kecil tetap relatif lebih tinggi dibandingkan dengan

petani kaya. Petani yang tergolong lapisan atas, setelah menjadi mandiri usahanya

merasa tidak tertarik lagi pada KUD. Sehingga dapat disimpulkan bahwa KUD belum

dapat dijadikan andalan organisasi mutakhir pada tingkat kelompok petani di

pedesaan.

Dampak sosial dari revolusi hijau adalah keterbatasan petani-petani kecil untuk

Page 4: Usaha Tani

mengembangkan dan melaksanakan proses intensifikasi pertanian pangan. Hal

tersebut dikarenakan mereka lebih berhati-hati dalam keikutsertaan mereka yang

menjadi pemikiran petani yang kurang menguasai sumber daya, kurang berpendidikan

dan kurang mempunyai modal. Perenggangan kelas antara petani kecil dan petani

kaya menimbulkan konflik mengenai penguasaan sumber daya. Hal lain yang menjadi

varian adalah penguasaan tanah yang menumpuk pada petani kaya dalam arti yang

lebih ekonomis.

Daerah pedesaan tidak mempunyai bentuk-bentuk organisasi yang menjadi wadah

mereka untuk memperjuangkan kepentingannya. Organisasi yang paling kuat adalah

organisasi para pamong desa. Dominansi organisasi justru ada pada birokrasi desa

yang diperkuat pembinaan militer. Hubungan antara desa dan luar desa adalah melalui

jalur tersebut. Hubungan antara patron-klien semakin melemahdan mengurangi

ikatan-ikatan yang terlibat dengan revolusi hijau. Pengendalian yang efisien adalah

dengan melalui organisasi. Pertambahan lapisan sosial mengakibatkan munculnya

suatu lapisan menengah. Gejala ini umum sekali terjadi di negar-negara yang sedang

berkembang dan melaksanakan Revolusi Hijau. Lapisan menengah tersebut mengiblat

pada kota dan ekonomi uang.

Apabila hal ini yang menjadi tujuan pembangunan, maka model pembangunan

tersebut berhasil diterapkan. Tetapi, apabila pemerataan yang dituju, maka hasilnya

justru berlawanan.Peningkatan produksi akan mensejahterakan semua petani secara

merata, ternyata tidak sepenuhya benar. Dengan timbulnya proses stratifikasi,

penguasaan atas sumber daya dan berbagai fasilitas oleh petani kaya juga berjalan

terus. Artinya pemerataan sehubungan dengan berbagai kemudahan dan sarana,

maupun produk akhir belum tercapai.

1) Deskripsi perubahan sosial

Revolusi Hijau dengan beberapa program paketnya, mengakibatkan adanya

perubahan sosial dalam masyarakat yaitu perubahan pola budaya dan struktur sosial.

Perubahan pola budaya tampak pada perubahan nilai tradisional yang bersifat

kekerabatan pada mulanya berubah nilai ekonomi yang memperhitungkan untung dan

Page 5: Usaha Tani

rugi.

Hubungan yang mulanya sakap-menyakap menjadi sewa-menyewa, gejala

komersialisasi, penggunaan sarana-sarana transportasi, komunikasi informasi dengan

teknologi yang lebih maju dan pola konsumsi ala perkotaan, serta memodernisasi

dalam pertanian. Perubahan struktur sosial tampak pada perubahan dalam organisasi

sosial, sistem pelapisan sosial, dan kelembagaan sosial (Bimas, Inmas, sistem

pengairan, dan sistem sewa walau belum ada organisasi baru dari masyarakat).

Perubahan tersebut meliputi perubahan struktur dan kuantitas, kecuali pada pelapisan

sosial dimana yang berubah hanya komposisinya.

2) Bentuk perubahan dari struktur sosial

Perubahan biasanya diikuti dengan berubahnya jumlah masyarakat yang ada di

desa karena sebagian dari mereka pindah ke kota. Yang terjadi adalah perubahan mata

pencaharian dari petani menjadi penjual jasa atau pedagang kecil.Perubahan pada ciri

hubungan antara bagian-bagian dari struktur sosial, tampak pada hubungan antara

petani yang semula hubungan sakap-menyakap menjadi sewa menyewa, hubungan

patron-klien yang semula kekeluargaan menjadi hutang piutang.

Perubahan fungsi-fungsi dari struktur sosial tampak para petani yang sudah tidak

dapat bercocok tanam lagi karena penguasaan lahan oleh petani kaya, akan cenderung

menuju kota akibat pandangan kehidupan kota yang lebih menjajikan, walaupun

berbeda dalam kenyataan.Perubahan dalam hubungan diantara beragam struktur

dalam bacaan tampak pada perubahan jumlah serta komposisi lapisan petani yang

menyebabkan adanya perubahan keanggotaan KUD. Petani lapisan atas dan bawah

memilih tidak menjadi anggota KUD, sedangkan petani lapisan menengah banyak

yang menjadi anggota KUD karena bermanfaat untuk mereka.Berkembangnya

struktur sosial baru dalam bacaan tampak pada komersialisme dan pola konsumsi ala

masyarakat perkotaan, juga perkembangan masyarakat yang semakin individualistik.

Daftar Pustaka:

Tjondronegoro,Soediono M.P. 1990.Revolusi Hijau dan Perubahan Sosial di Pedesaan

Jawa. LP3ES : Jakarta

Ritzer,George dan Douglas J.Goodman.2009.Teori Sosiologi.Kreasi Wacana :

Page 6: Usaha Tani

Yogjakarta

Sanderson,K.Stephen.1993.Sosiologi Makro.Raja Grafindo Persada : Jakarta

INTENSIFIKASI PERTANIAN

PANCA USAHA TANI DAN PERKEMBANGANNYA (DARI BIMAS HINGGA

PTT)

Pada tahun 1950 an upaya pemerintah untuk meningkatkan produksi padi

ditekankan pada perluasan areal sawah dan pembangunan dan perluasan system

irigasi. Pada era tersebut peningkatan luas lahan sawah di indonesia meningkat cepat

karena ada konversi lahan tebu menjadi lahan padi. Rata-rata produksi padi pada

tahun 1956-1960 hanya mencapai 2 ton per hektar (Jatileksono, 1987).

Swasembada beras sudah menjadi program utama pemerintah pada tahun 1960.

Sehingga pemerintah berupaya keras untuk meningkatkan produksi padi guna

memenuhi kebutuhan dikarenakan pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi.

Program Intesifikasi pertanian terutama untuk meningkatkan produksi padi mulai

dilakukan pada tahun 1960 an melalui program BIMAS (Bimbingan Masal).

Program ini memiliki lima kegiatan utama dalam pertanian atau disebut Panca

Usaha Tani, yang meliputi lima paket teknologi yaitu :

1. Penggunaan varietas unggul

2. Pemupukan

3. Pengendalian hama dan penyakit

4. Irigasi

5. Pengolahan tanah yang baik

Pada pertengahan tahun 1960 program BIMAS digalakan secara nasional. Pada

tahun1968 program ini telah mencapai satu juta hektar. Kemudian pemerintah

mengucurkan dana bantuan kredit dan subsidi melalui program INMAS (Intensifikasi

Masal).

Pada tahun 1979 pemerintah meluncurkan program INSUS (Intensifikasi

Page 7: Usaha Tani

Khusus), yang meningkatkan efektifitas penerapan teknologi Pasca Usaha Tani

melalui kelompok-kelompok tani dengan luas areal per kelompok rata-rata 50

hektar,setiap kelompok diberi bantuan kredit modal dalam menjalankan usaha

pertaniannya. (Lokollo, 2002)

Kemudian pada tahun 1980 an pemerintah meluncurkan program SUPRAINSUS

(SI). Program ini merupakan pengembangan dari Panca Usaha Tani untuk

mewujudkan peningkatan produktivitas tanaman padi. Secara umum dengan

menerapkan teknologi S I Paket D yang meliputi 10 teknik budidaya padi yang baku,

yaitu:

1. Penanaman varietas unggul

2. Penyiapan tanah secara sempurna, (air : tanah = 1:1)

3. Penggunaan benih bermutu dan berlabel biru

4. Pemupukan berimbang

5. Penggunaan ZPT atau pupuk cair

6. Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) dengan konsep PHT

7. Penggunaan air secara teratur dan efisien

8. Penerapan pola tanam

9. Perbaikan pascapanen

10. Populasi tanaman >200.000/ha

Pada tahun 2002 pemerintah meluncurkan program Pengelolaan Tanaman

Terpada (PTT), program ini berbeda dengan SI dalam hal penekanan terhadap

komponen teknologi yang diterapkan (Suyamto et al, 2007). PTT lebih menekankan

komponen teknologi yang mempunyai efek sinergis. Sebagai contoh, pemakaian

benih bermutu dan berlabel dalam SI dirinci menjadi pemakaian varietas unggul,

benih bermutu, bibit muda, dan populasi tanaman optimal.

Pemupukan berimbang dalam SI dirinci menjadi pemupukan N berdasarkan

BWD, pemupukan P&K berdasarkan Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS), dan

penggunaan bahan organik. Pengendalian OPT dan PHT dalam SI dirinci menjadi

pengendalian gulma terpadu, dan pengendalian hama penyakit terpadu. Penggunaan

Page 8: Usaha Tani

air secara teratur dan efisien dalam SI dirinci menjadi penerapan pengairan berselang

(intermittent).

Selanjutnya, pengurangan kehilangan hasil waktu panen dan pascapanen

diarahkan kepada penggunaan kelompok pemanen dan alsintan. Namun, sistem

komando yang top down dirasakan sangat kental dalam pelaksanaan SI tidak

dilaksanakan dalam pemasyarakatan PTT.

Urutan anjuran teknologi produksi padi pada PTT adalah:

1. Penggunaan varietas padi unggul atau varietas padi berdaya hasil tinggi dan atau

bernilai ekonomi tinggi.

2. Penggunaan benih bersertifikat dengan mutu bibit tinggi.

3. Penggunaan pupuk berimbang spesifik lokasi.

4. Penggunaan kompos bahan organik dan atau pupuk kandang sebagai pupuk dan

pembenah tanah.

5. Pengelolaan bibit dan tanaman padi sehat melalui:

· pengaturan tanam sistem legowo, tegel, maupun sistem tebar benih langsung,

dengan tetap mempertahankan populasi minimum.

· penggunaan bibit dengan daya tumbuh tinggi, cepat dan serempak yang

diperoleh melalui pemisahan benih padi bernas (berisi penuh),

· nanaman bibit umur muda dengan jumlah bibit terbatas yaitu antara 1-3 bibit per

lubang.

· pengaturan pengairan dan pengeringan berselang, dan

· pengendalian gulma.

6. Pengendalian hama dan penyakit dengan pendekatan terpadu.

7. Penggunaan alat perontok gabah mekanis ataupun mesin.

Selama tahun 2006 program PTT telah diadopsi di tingkat petani seluas 0,5 juta

hektar, dan diharapkan dapat mencapai 2,5 juta hektar lima tahun berikutnya.

Bersama dengan program PTT muncul program Sytem Rice Intensification (SRI)

yang diinisiasi oleh Dr. Norman Upoff, dari Cornell University Amerika. Dia

melakukan penelitian di Madagaskar dan telah menerapkan SRI dibeberapa Negara

Page 9: Usaha Tani

penghasil beras di dunia termasuk di Indonesia. SRI secara intensif disebar luaskan

oleh beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat yang ada di Indonesia. Pada dasarnya

teknologi yang diterapkan oleh model PTT dan SRI sama, hanya strateginya berbeda.

Strategi SRI lebih dipusatkan pada penggunaan bahan organik.

Penggunaan bahan organik yang diintegrasikan dengan teknik pengairan berkala

akan mampu menyediakan hara untuk kebutuhan tanaman padi. Namun peneliti dari

IRRI menyatakan banyak kelemahan yang ada dalam SRI, yaitu pertama pemberian

bahan organic/pupuk kandang sebanyak 10 ton per hektar tidak efesien dan yang

kedua penggunaan jarak tanam renggang mengakibatkan kurangnya populasi

tanaman, sehingga tangkapan radiasi matahari untuk dikonversikan menjadi hasil

gabah padi menjadi kurang.

PERKEMBANGAN VARIETAS UNGGUL PADI DALAM PROGRAM

INTENSIFIKASI PADI DI INDONESIA.

Kegiatan pemuliaan tanaman padi di Indonesia telah dimulai sejak 1905 dengan

berdirinya General Agricultural Research Station (GARS) at Bogor. Dengan

menggunakan gen pool plasma nutfah padi yang seadanya persilangan tanaman padi

telah tercatat sejak tahun 1920an (Darwanto,1993). Pada tahun 1941, Lembaga Pusat

Penelitia Pertanian (LP3) merakit beberapa varietas padi seperti Bengawan, Fajar,

Peta, kemudian diikuti Sigadis (1953), Remaja (1954) dan Jelita (1955). Pada tahun

1960 varietas berdaya hasil tinggi Dara, kemudian diikuti oleh Shinta (1963), Dewi

Tara (1964), Arimbi dan Bathara (1965).

Bersamaan dengan program BIMAS maka diintroduksi varietas IR8 dan IR5 dari

Internatioal Rice Research Institute (IRRI). Pada tahun 1969 dilepas varietas semi

dwarf pertama hasil rakitan Indonesia yaitu Dewi Ratih. Pada tahun 1970 di rakit

varietas Pelita 1/I dan Pelita 1/II yang mempunyai rasa nasi enak.

Pada tahun 1970 terjadi ledakan hama wereng, sejumlah varietas padi yang ada di

Indonesia tidak tahan terhadap hama itu. Mulai lah introduksi varietas IR26 dan IR28

untuk mengatasi hama tersebut pada tahun 1978. Beberapa Varietas menjadi varietas

Page 10: Usaha Tani

anjuran dalam program INSUS dan SUPRA INSUS. Varietas-varietas tersebut tahan

terhadap hama wereng jenis biotipe

1. Program penyeragaman varietas pada INSUS dan SI, mengakibatkan hama wereng

dapat mematahkan ketahanan varietas-varietas tersebut menjadi biotipe.

2. Maka terjadilah ledakan hama wereng biotpe 2 di awal tahun 1980an.

Kemudian diIntroduksi IR30, IR32, dan IR36, sedangkan varietas yang dirakit

sendiri adalah Semeru, Citarum, Cimandiri dan Cisadane yang memiliki rasa nasi baik

untuk mengatasi serangan wereng biotipe 2.

Pada tahun 1986 terjadi perubahan hama wereng menjadi biotipe 3, untuk

mengatasi hal tersebut diintroduksi varietas tahan biotipe 3 yaitu IR66. Namun yang

paling fenomenal adalah varietas IR64 dilepas pada tahun 1986. Varietas ini

menempati urutan pertama hingga saat ini dalam luas penyebarannya. Varietas rakitan

sendiri yang tahan biotipe 3 adalah Barumun (1991) dan Memberamo (1999). Pada

tahun 2000 an sejumlah varietas padi dirilis dengan latar belakang genetik IR64,

seperti way apo buru, Ciherang, Cisantana, Angke, Code, Ciujung, Cibogo, Cigeulis,

dan Mekongga.

Pada tahun 2003 dilepas padi tipe baru, yang merupakan idiotipe padi masa depan

dengan anakan sedikit tetapi jumlah gabah per malai banyak. Pada tahun 2001 dilepas

varietas hibrida pertama Intani 1 dan 2 dari PT Biji, sedangkan dari institusi

pemerintah Maro dan Rokan, hingga 2007 telah dilepas 30 varietas hibrida di

Indonesia. Pada level pengujian varietas hibrida memiliki hasil lebih tinggi 10-20%

dibanding dengan inbrida.

Hingga tahun 2007 jumlah varietas padi yang telah dilepas sebanyak 190 buah

dari berbagai macam zona agro ekosistem (ZAE) padi dan karakter-karakter unik

yang dimilikinya. Namun demikian dominansi hanya pada beberapa varietas yaitu

IR64 , Ciherang, Way apo buru dan Memberamo. Hal tersebut sangat mengkwatirkan

mengingat perkembangan hama penyakit sangat dinamis terlebih jika adanya

keseragaman genetik di lapangan.

Menurut Darwanto (1993) berdasarkan analisis faktor produksi, adopsi varietas

unggul dalam peningkatan produksi padi nasional berada pada peringkat pertama

Page 11: Usaha Tani

selanjutnya adalah penggunaan pupuk, pembangunan irrigasi dan angka buta huruf

petani.

DAFTAR PUSTAKA

Darwanto, D.H. 1993. Rice Varietal Improvement and Productivity Growth in

Indonesia. Unpublished Ph.D. Dissertation. University of The Philippines, Los Banos

IRRI. 2007. Varietas unggul padi sawah 1943-2007 Informasi Ringkas Teknologi

Padi.Rice Knowedge Bank.IRRI

Jatileksono, T. 1987. Equity Achievement in the Indonesian Rice Economy.

Yogyakarta. Gajah Mada University Press

LITBANG DEPTAN. 2007. Petunjuk Teknis PTT :Pedoman Bagi Penyuluh

Pertanian. Badan Litbang Departemen Pertanian .Jakarta.

Lokollo E.M. 2002.Adoptionand Productivity Impacts of Modern Rice Technology in

Indonesia. Paper presented on the Workshop on Green Revolution in Asia and Its

Transferability to Africa,December 7-10, 2002, Tokyo, Japan

Suyamto, I.Las, H.Sembiring dan M.Syam. 2007. Tanya Jawab Tentang PTT.

PUSLITBANGTAN.Bogor.