‘Urf Potensi Tradisi Lokal dalam Menjawab Problematika Hukum Islam

35
‘Urf : Potensi Tradisi Lokal dalam Menjawab Problematika Hukum Islam Abstrak Hukum Islam mengakomodir tradisi shahih yang berkembang dalam masyarakat. Dalam proses pensyari’atan hukum Islam, Rasulullah mengadopsi tradisi shahih masyarakat Arab pra Islam. Ulama Malikiyah pun banyak melestarikan tradisi (a’mal) ahl al-madinah—sebagai masyarakat yang mewarisi tradisi kenabian dalam ketetapan hukum mereka. Banyak tradisi-tradisi yang telah mengakar dalam masyarakat kita, tradisi yang telah menjadi bahagian dan tidak dapat dipisahkan dari mereka. Tradisi-tradisi tersebut yang telah lulus “penyeleksian” melalui persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan dalam kajian Ushul-al-Fiqh dapat dinyatakan sebagai tradisi Islam yang bercorak kedaerahan kita—ke-Indonesiaan. Tradisi ini dijadikan rujukan dalam menyelesaikan persoalan hukum Islam yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Kata kunci: ‘urf, tradisi masyarakat, hukum Islam A. Pendahuluan

description

Hukum Islam mengakomodir tradisi shahih yang berkembang dalam masyarakat. Dalam proses pensyari’atan hukum Islam, Rasulullah mengadopsi tradisi shahih masyarakat Arab pra Islam. Ulama Malikiyah pun banyak melestarikan tradisi (a’mal) ahl al-madinah—sebagai masyarakat yang mewarisi tradisi kenabian dalam ketetapan hukum mereka. Banyak tradisi-tradisi yang telah mengakar dalam masyarakat kita, tradisi yang telah menjadi bahagian dan tidak dapat dipisahkan dari mereka. Tradisi-tradisi tersebut yang telah lulus “penyeleksian” melalui persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan dalam kajian Ushul-al-Fiqh dapat dinyatakan sebagai tradisi Islam yang bercorak kedaerahan kita—ke-Indonesiaan. Tradisi ini dijadikan rujukan dalam menyelesaikan persoalan hukum Islam yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Transcript of ‘Urf Potensi Tradisi Lokal dalam Menjawab Problematika Hukum Islam

Page 1: ‘Urf   Potensi Tradisi Lokal dalam Menjawab Problematika Hukum Islam

‘Urf : Potensi Tradisi Lokal dalam Menjawab Problematika Hukum Islam

Abstrak

Hukum Islam mengakomodir tradisi shahih yang berkembang dalam

masyarakat. Dalam proses pensyari’atan hukum Islam, Rasulullah mengadopsi tradisi

shahih masyarakat Arab pra Islam. Ulama Malikiyah pun banyak melestarikan tradisi

(a’mal) ahl al-madinah—sebagai masyarakat yang mewarisi tradisi kenabian dalam

ketetapan hukum mereka.

Banyak tradisi-tradisi yang telah mengakar dalam masyarakat kita, tradisi

yang telah menjadi bahagian dan tidak dapat dipisahkan dari mereka. Tradisi-tradisi

tersebut yang telah lulus “penyeleksian” melalui persyaratan-persyaratan yang telah

ditentukan dalam kajian Ushul-al-Fiqh dapat dinyatakan sebagai tradisi Islam yang

bercorak kedaerahan kita—ke-Indonesiaan. Tradisi ini dijadikan rujukan dalam

menyelesaikan persoalan hukum Islam yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Kata kunci: ‘urf, tradisi masyarakat, hukum Islam

A. Pendahuluan

Ajaran Islam itu diwahyukan pada nabi Muhammad saw diturunkan pada

masyarakat Arab yang tentu saja bukan suatu masyarakat yang “hampa budaya”.

Masyarakat Arab itu tentu saja memiliki tradisi-tradisi—dalam istilah hukum Islam

dikenal dengan istilah ‘urf atau ‘adah-- yang telah membudaya, melekat erat dan

menjadi bagian dari kehidupan mereka.

Ketika ajaran Islam datang, tradisi-tradisi bangsa Arab itu yang baik lalu

diakomodir ke dalam ajaran Islam. Sebaliknya tradisi-tradisi yang tidak sesuai dengan

ajararan Islam lalu dilarang.

Kita perlu melihat bagaimana hukum Islam berinteraksi dengan tradisi yang ada

di masyarakat. Di satu sisi ada ajaran-ajaran agama yang sifatnya permanen, tetap

karena merupakan dasar atau pondasi agama Islam. Pada sisi yang lain ada ajaran-

ajaran agama yang bersifat fleksibel; dapat berubah ketika terjadinya perubahan

dalam masyarakat. Dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut pengertian ‘urf,

Page 2: ‘Urf   Potensi Tradisi Lokal dalam Menjawab Problematika Hukum Islam

macam, landasan pensyari’atan, syarat penerimaan, serta posisinya dalam legislasi

hukum Islam.

B. Pengertian ‘Urf

Kata ‘urf secara etimologi berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu berarti sesuatu yang

dikenal1, sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat 2. Sedangkan

secara terminologi, sebagaimana dinyatakan Abdul Karim Zaidan ‘urf berarti: sesuatu

yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan

menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan3. Abu

Zahrah menyatakan ‘urf adalah kebiasaan manusia dalam urusan muamalat dan

menegakkan urusan-urusan mereka4.

Di antara para ulama, ada yang menyatakan bahwa pengertian ‘urf sama dengan

‘adah, keduanya muradif5. Selanjutnya Amir Syarifuddin menyatakan bila

diperhatikan kedua kata tersebut dari segi asal penggunaan dan akar katanya, maka

terdapat perbedaan antara keduanya. Kata ‘adah berasal dari kata ‘ada, ya’udu yang

mengandung arti pengulangan (tikrar). Sesuatu dikatakan sebagai ‘adah jika telah

dilakukan secara berulang. Namun tidak ada ukuran dan banyaknya pengulangan

sehingga perbuatan tersebut dinyatakan sebagai ‘adah. Kata ‘urf tidak mengacu pada

segi berulang kalinya suatu perbuatan itu dilakukan tetapi dari segi bahwa perbuatan

tersebut sudah sama-sama dikenal dan diakui oleh orang banyak6.

Jika kita telusuri sebenarnya tidak ada perbedaan yang prinsip karena pengertian

kedua kata tersebut tidak ada perbedaan yang prinsip. Keduanya mempunyai

pengertian yang sama yaitu suatu perbuatan yang telah berulang-ulang dilakukan

menjadi dikenal dan diakui orang banyak; sebaliknya karena perbuatan tersebut telah

dikenal dan diakui orang banyak, maka perbuatan itu dilakukan orang secara

berulang-ulang7.

Dari segi kandungan artinya kedua kata tersebut memiliki perbedaan makna. Kata

‘adah hanya memandang dari segi pengulangan suatu perbuatan itu dilakukan dan

tidak meliputi penilaian segi baik atau buruknya perbuatan tersebut sehingga dapat

dinyatakan ia berkonotasi netral. Sedangkan ‘urf digunakan dengan memandang segi

1 Syarifuddin, Amir, 2001, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Logos, cet.ke-2, h. 3632 Zein, Satria Effendi M, 2005, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, Cet.ke-1, h. 1533 Zaidan, Abd al-Karim, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, Beirut: Ma’asasah ar-Risalah, 1986, h. 2524 Zahrah, al-Imam Muhammad Abu, 1958, Ushul al-Fiqh, Tt: Dar al-Fikr al-‘Arabi, h. 2735 Zein, op.cit, h. 153 dan Syarifuddin, op.cit, h. 3636 Ibid7 Ibid, h. 363-364

2

Page 3: ‘Urf   Potensi Tradisi Lokal dalam Menjawab Problematika Hukum Islam

pengakuan terhadap suatu perbuatan, diketahui dan diterima oleh orang banyak.

Dengan demikian kata ‘urf mengandung konotasi baiknya perbuatan tersebut sebagai

mana penggunaannya dalam QS. al-A’raf/7: 199. Lain lagi tinjauan Musthafa Syalabi

yang membedakan keduanya dari segi ruang lingkup penggunaannya. Kata ‘urf selalu

digunanakan untuk jamaah atau golongan sedang kata ‘adah dapat saja berlaku pada

perorangan, sebagian orang di samping pada golongan 8 .

Ketentuan harus sesuatu yang dikenal, diakui dan diterima oleh orang banyak

pada ‘urf dan ‘adah di atas memiliki kemiripan dengan ijma’. Namun terdapat

perbedaan-perbedaan sebagai berikut:

1. Dari segi ruang lingkupnya, ijma’ harus diakui dan diterima semua pihak.

Ijma’ tidak terwujud jika terdapat segelintir orang yang tidak setuju atau

menolak. Sedangkan ‘urf dan ‘adah cukup dilakukan atau dikenal oleh

sebagian besar orang saja.

2. Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid bukan masyarakat pada umumnya

berbeda dengan ‘urf dan ‘adah melibatkan seluruh anggota masyarakat

termasuk di antaranya adalah para mujtahid.

3. ‘Adah dan ‘urf bisa mengalami perubahan karena perubahan situasi dan

kondisi masyarakat. Sedang ijma’ sebagai sebuah dalil hukum tidak

mengalami perubahan9.

Selanjutnya dalam makalah ini penulis menggunakan istilah ‘urf saja untuk

mewakili ‘urf dan ‘adah mengingat keduanya memiliki makna yang hampir sama

dan untuk konsistensi dan keseragaman penulisan.

C. Macam- Macam ‘Urf

Penggolongan ‘urf dapat ditinjau dari berbagai segi:

1. Ruang lingkup penggunaannya, terbagi menjadi:

a. Al-‘Urf al-‘am (adat kebiasaan umum), adat kebiasaan mayoritas dari

berbagai negeri pada satu masa. Contoh kebiasaan menyewa kamar mandi

umum dengan jumlah sewa tertentu tanpa menentukan secara pasti berapa

lamanya mandi dan banyaknya air yang digunakan, ketika memasuki

kolam renang/pemandian umum terkadang tak bisa dihindari terlihatnya

8 ? Ibid, h. 364-3659 Ibid, h. 365

3

Page 4: ‘Urf   Potensi Tradisi Lokal dalam Menjawab Problematika Hukum Islam

aurat sebagian pengunjung oleh yang lain, dan memakan buah-buahan

yang jatuh dari pohon yang terdapat di jalan umum.

b. Al-‘Urf al-khash (adat kebiasaan khusus), yaitu adat istiadat yang berlaku

pada masyarakat atau negeri, iklim, dan kelompok tertentu. Contoh catatan

jual beli yang dipegang oleh penjual sebagai alat bukti ketika terjadi

permasalah hutang piutang, kebiasaan tertentu dalam berjual beli, garapan

lahan pertanian10.

Al-‘Urf al-khash ini juga mencakup pengertian-pengertian tentang

suatu hal atau masalah tertentu menurut terminologi ilmu tertentu pula11.

Misal kita mengetahui pengertian sunnah menurut fuqaha, ushuliyun dan

muhadditsun. Masing-masing mereka memberikan definisi yang berbeda

untuk pengertian sunnah.

Dalam ilmu Falak kita juga mengenal metode hisab ‘urfi sebagai salah

satu metode perhitungan awal bulan Qamariyah. Hisab ‘Urfi adalah suatu

sistem perhitungan awal bulan yang didasarkan pada peredaran rata-rata

bulan mengelilingi Bumi dan ditetapkan secara konvensional.

Perhitungannya bersifat tetap seperti dalam penanggalan masehi. Dalam

artian bahwa bilangan hari pada tiap-tiap bulan dalam setiap bulannya

bersifat tetap. kecuali ada penambahan hari pada tahun kabisat. Model

perhitungan ini tidak sesuai dengan perhitugan sebenarnya peredaran

bulan. Karena perhitungan bulan dalam perhitungn tahun Qamariyah tidak

selamanya tetap tapi dapat berubah-ubah sesuai dengan kondisi riilnya.

Berdasarkan hal tersebut perhitungan hisab ‘urfi ini tidak dapat dijadikan

dasar dalam hal ibadah12.

Berikut ini penuliskan beberapa ‘urf yang menjadi tradisi dalam

masyarakat Minangkabau, wilayah teritorial Sumatera Barat sekarang:

1) Di pesantren-pesantren seperti Diniyah Putri, Thawalib Padang

Panjang, Sumatera Thawalib Parabek, Tarbiyah Islamiyah Candung,

dan lainnya ada suatu tradisi menutup kepala bagi perempuan yang

disebut dengan mudawarah. Yakni dengan metode melilitkan

10 Zein, op.cit, h. 154 dan Zahrah, op.cit, h. 27411 Zuhaili, op.cit, h. 83412 Murtadho, Moh, 2008, Ilmu Falak Praktis, Malang: UIN Malang, 2008, cet.ke-1, h. 224

4

Page 5: ‘Urf   Potensi Tradisi Lokal dalam Menjawab Problematika Hukum Islam

selendang di kepala. Inilah identitas santri putri di pesantren-pesantren

tersebut .

2) Tradisi lama dalam masyarakat Minangkabau, anak laki-laki yang

telah baligh tidur di surau. Biasanya mereka tidak lagi tidur di rumah

orang tuanya tapi di masjid/surau berkumpul dengan teman-teman

mereka lainnya. Ini dapat kita baca misalnya dalam buku Kenang-

Kenangan Hidup karya Hamka.

3) Tradisi lainnya adalah merantau, meninggalkan kampung halaman

untuk pergi ke daerah lain. Merantau ini dilakukan berdasarkan

berbagai macam motif, mulai dari dari menuntut ilmu pengetahuan,

mencari pekerjaan atau penghidupan yang lebih baik, menambah

pengalaman, dan motif-motif lainnya. Hal ini bisa kita telusuri lebih

jauh dari buku hasil disertasinya Mukhtar Na’im yang berjudul

Merantau.

4) Dalam pembagian harta pusaka dalam masyarakat Minangkabau ada

yang namanya Harta Pusaka Tinggi. Harta Pusaka Tinggi adalah harta

yang merupakan peninggalan suku/kaum secara turun temurun13. Harta

Pusaka tinggi ini hanya diwariskan melalui jalur matrilinial. Dari

nenek diwariskan ke ibu dan saudara-saudara perempuan ibu (bibi),

selanjutnya diwariskan pada anak perempuan mereka dan seterusnya.

5) Satu lagi tradisi masyarakat Minangkabau yang akan dijelaskan adalah

tradisi “jemputan” dalam tradisi perkawinan masyarakat daerah

Pariaman—sebuah kabupaten di Sumatera Barat. Tradisi ini kadang

difahami orang di luar Sumatera Barat secara simpang siur. Dalam

tradisi masyarakat Pariaman, jika seorang pemuda akan menikah

dengan perempuan yang berasal dari daerah yang sama (sama-sama

berasal dari daerah Pariaman) biasanya pemuda itu akan memperoleh

“jemputan”. “Jemputan” ini biasanya berbentuk uang atau benda

berharga lainnya yang diberikan oleh pihak keluarga perempuan

kepada pihak keluarga pemuda itu. Besaran “jemputan” itu tergantung

status sosial si pemuda. Semakin tinggi satus sosialnya, maka samakin

13 Kalau Harta Pusaka Tinggi diwariskan hanya melaui jalur perempuan, berbeda dengan harta hasil pencaharia dalam suatu perkawinan, yang dikenal dengan Harta Pusaka Rendah. Harta ini biasanya diwariskan kepada anak baik perempuan maupun laki-laki meurut ketentuan hukum Faraid, hukm kewarisan Islam.

5

Page 6: ‘Urf   Potensi Tradisi Lokal dalam Menjawab Problematika Hukum Islam

tinggi nilai “jemputan”nya. Setelah keduanya menikah, “jemputan” ini

merupakan modal mereka dalam berumah tangga. Tradisi ini tidak

berlaku atau lebih longgar sifatnya jika pemuda tersebut menikah

dengan perempuan yang berasal dari luar daerah itu.

2. Materi yang biasa dilakukan, terbagi menjadi:

a. ‘Urf qawli/ lughawi, yaitu kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata-

kata atau ucapan bukan pengertiannya secara kebahasaan.

1) Seperti penggunaan kata walad dalam QS an-Nisa/4: 11-12

pengertiannya mengacu pada anak laki-laki dan perempuan. Sedangkan

dalam kebiasaan bangsa Arab menggunakannya khusus untuk anak laki-

laki saja. ‘Urf qauli ini misalnya digunakan ketika memahami QS. an-

Nisa/4: 176

pengertian walad dalam ayat tersebut hanya mengacu pada anak laki-laki

saja tidak anak perempuan.

2) Penggunaan kata lahm yang berarti daging hanya untuk daging sapi

dan kambing. Jika seseorang itu bersumpah atas nama Allah tidak akan

makan lahm lalu ternyata ia makan ikan, tidaklah ia dianggap

malanggar sumpahnya. Karena menurut ‘urf dalam masyarakat

pengertian lahm itu hanya untuk daging sapi dan kambing, tidak

termasuk ikan. Pada hal secara bahasa pengertian lahm mencakup

6

Page 7: ‘Urf   Potensi Tradisi Lokal dalam Menjawab Problematika Hukum Islam

berbagai macam daging termasuk di dalamnya ikan sebagaimana

Firman Allah QS an-Nahl/16: 14 berikut:

14

Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur.

3) Kata daabbah digunakan untuk keledai saja pada sebagian daerah di

Mesir atau pengertiannya adalah kuda pada sebagian daerah di Irak dan

Sudan15 pada hal pengartiannya dalam bahasa Arab mencakup semua

yang hewan berkaki empat.

Fuqaha dari kalangan mazhab Hanafi menyatakan, “al-‘urf qadhin ‘ala

al-lughah.” (pengertian menurut ‘urf itu yang digunakan dalam memahami

suatu istilah)16

b. ‘Urf ‘amali/ fi’li, yaitu kebiasaan yang berlaku dalam perbuatan. Berikut

contoh ‘urf ‘amali:

1) Umpamanya kebiasaan jual beli barang-barang yang murah atau

kurang berharga biasanya transaksi antara penjual dan pembeli cukup

hanya dengan menunjukkan barang serta serah terima barang dan uang

tanpa terjadi akad apa-apa. Kebiasaan ini tidak menyalahi aturan akad

dalam jual beli karena telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat 17

2) Kriteria ‘adalah untuk diterimanya kesaksian seseorang. Firman Allah

QS ath-Thalaq/ : 2

‘Adalah diartikan sifat yang melekat pada diri seseorang sehingga ia

senantiasa bertaqwa pada Allah dan menjaga muru’ahnya. Tentang menjaga

14 Hasaballah, ‘Ali, Ushul at-Tasyri’ al-Islami, Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi,1998, h. 27315 Barriy, al, Zakariya, Mashadir al-Ahkam al-Islamiyah, Kairo:Dar al-Ittihad al-Arabiy: 1975,

h. 148

16 Zuhaili, op.cit, h. 84017 Syarifuddin, op.cit, h. 366-367

7

Page 8: ‘Urf   Potensi Tradisi Lokal dalam Menjawab Problematika Hukum Islam

muru’ah ini, di daerah Timur orang yang tidak menutup kepalanya dianggap

tidak menjaga muru’ah. Namun persepsinya berbeda dengan orang di Barat.

Ini sesuai dengan kaedah: al-‘adah muhakkamah, at-ta’yin bi al-‘urf ka

at-ta’yin bi an-nash, ats-tsabit bi al-‘urf tsabit bi dalilin syar’iyyin, dan al-

ma’ruf ‘urfan ka al-masyruth syarthan 18.

‘Urf mempengaruhi pertimbangan dalam penetapan hukum. Pengaruh

itu terutama berkenaan dengan makna yang harus diberikan pada ungkapan

yang digunakan dalam hukum. Banyak ungkapan dalam bidang perikatan,

muamalat, munakahat, sumpah, nazar dan lainnya yang harus diartikan

menurut ‘urf si pembicaranya. Suatu ungkapan yang pada tempat dan

waktu tertentu dipandang jelas (sharih) mungkin saja mengalami

perubahan makna pada waktu atau tempat yang lain. Perubahan ‘urf

tentang penggunaan suatu ungkapan dapat mempengaruhi hukum 19.

3. Penilaian baik dan buruk, terdiri atas:

a. ‘Urf shahih (adat kebiasaan yang benar), yaitu suatu hal yang baik yang

menjadi kebiasaan suatu masyarakat, tidak bertentangan dengan ajaran

agama, sopan santun, dan budaya yang luhur. Misalnya pemberian pihak

laki-laki kepada calon istrinya dalam pelaksanaan pinangan dianggap

hadiah bukanlah mahar. Kebiasaan penduduk Baghdad dulunya untuk

menyiapkan makan siang bagi tukang yang bekerja dalam pembangunan

rumah.

b. ‘Urf fasid (adat kebiasaan yang tidak benar), yaitu suatu yang menjadi

kebiasaan yang sampai pada penghalalan sesuatu yang diharamkan Allah

(bertentangan dengan ajaran agama), undang-undang negara, dan sopan

santun. Seperti menyediakan hiburan perempuan yang tidak memelihara

aurat dan kehormatannya dalam perayaan suatu perhelatan, dan akad

perniagaan yang mengandung riba20.

18 Zuhaili, op.cit, h. 84219 ? Nasution, Lahmuddin, 2001, Pembaharuan Hukum Islam dalam Mazhab Syafi’i, Jakarta:

PT Remaja Rosda Karya, Cet.ke-1, h. 150

20 ? Zein, op.cit, h. 154-155 dan Syarifudin, op.cit, h. 368

8

Page 9: ‘Urf   Potensi Tradisi Lokal dalam Menjawab Problematika Hukum Islam

Para Ushuliyun memiliki pola yang berbeda-beda dalam pengklasifikasian

macam-macam ‘urf ini. Ada yang mempolakannya seperti pola di atas,

adapula yang pula yang membagi ‘urf berdasarkan benar atau salahnya lalu

‘urf yang shahih dan ‘urf fasid itu masing-masingnya terdiri dari ‘urf ‘am-

khash dan ‘urf lafzhi-‘amali. Atau mereka yang mempolakannya dengan

bentuk pemolaan lainnya.

D. Landasan Pensyari’atan ‘Urf Menjadi Landasan Hukum

Para Ushuliyun sepakat menolak ‘urf fasid untuk dijadikan landasan hukum.

Menurut ath-Thayyib Khudari as-Sayyid, guru besar Ushul Fiqh universitas al-

Azhar Kairo, menyatakan bahwa pada prinsipnya mazhab yang empat sepakat

menerima adat istiadat sebagai landasan pembentukan hukum. Walaupun dalam

jumlah dan rinciannya terdapat perbedaan di antara mereka. Sehingga ‘urf

dimasukkan dalam dalil hukum yang diperselisihkan oleh para Ushuliyun21.

Di antara dalil pensyari’atan ‘urf adalah.

1. QS. al-A’raf/7: 199

Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta

berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.

Kata ‘urf dalam ayat di atas oleh Ushuliyun difahami sebagai sesuatu yang

baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Maka ayat di atas menjadi

landasan untuk mengerjakan sesuatu yang dianggap baik yang menjadi tradisi

dalam suatu masyarakat22.

Pada prinsipnya syari’at Islam menerima dan mengakui adat dan tradisi

selama tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Islam tidak serta

merta menghapus tradisi dalam masyarakat Arab ketika ia diturunkan. Tradisi

yang baik dilestarikan sedang tradisi yang buruk secara bertahap dihapuskan.

Sebagi contoh tradisi masyarakat Arab yang dilestarikan adalah praktek bagi

hasil dalam perdagangan (mudharabah), jual beli salam yang merupakan

kebiasaan masyarakat Madinah, dan jual beli ‘araya (jual beli kurma yang

masih “basah” yang masih di pohon dengan kurma yang sudah kering)23.

21 Zein, op.cit, h. 15522 Ibid, h. 155-15623 Ibid, h. 156 dan Zaidan, op.cit, h. 254-255

9

Page 10: ‘Urf   Potensi Tradisi Lokal dalam Menjawab Problematika Hukum Islam

2. Hadis nabi ,”Segala sesuatu yang dianggap kaum muslimin baik, maka

demikian itu di sisi Allah adalah perbuatan yang baik”. Menurut hadis ini

perbuatan yang telah menjadi kebiasaan kaum muslimin yang dipandang baik

maka di sisi Allah merupakan perbuatan yang baik. Perbuatan yang menyalahi

kebiasaan yang dipandang baik tersebut akan menyebabkan terjadinya

kesulitan dan kesempitan dalam hidup mereka. Mazhab Hanafi dan Maliki

menyatakan bahwa sesuatu yang ditetapkan berdasarkan ‘urf yang shahih

setara dengan penetapan dengan dalil syara’24. Dan hadis Rasulullah saw.

tentang kisah Hindun; istri Abu Sufyan yang mengadukan kebakhilan

suaminya dalam memberikan nafkah. Rasul bersabda,”khudzi min mali Abi

Sufyan ma yakfiki wa waladaki bi al-ma’ruf.”(ambillah dari harta Abi Sufyan

sesuai kebutuhan yang pantas untukmu dan anakmu). Menurut al-Qurthubi

dalam hadis ini dijadikannya ‘urf sebagai pertimbangan penetapan hukum

Syari’at oleh Rasulullah saw 25.

3. Para ulama dari masa yang berbeda, berhujjah dengan ‘urf dengan

memasukkan pertimbangan ‘urf dalam ijtihad mereka. Ini sebagai pertanda

sahnya penggunaannya, ini posisinya sama dengan ijma’ sukuti. Sebagian

mereka secara tegas menggunakannya sedang yang lain tidak

membantahnya26. Lebih lanjut ia menyatakan sesungguhnya ‘urf pada

hakikatnya berdasarkan pada dalil Syara’ yang mu’tabarah, seperti Ijma’,

mashlahah mursalah dan adz-dzri’ah. ‘Urf yang berdasarkan Ijma’ antara

lain: jual beli secara pesanan, ketentuan tentang penyewaan kamar mandi

umum27. Syatibi mendasarkan bahwasan ijma’ ulama menyatakan bahwa

sesungguhnya syari’at Islam itu datang untuk memelihara kemaslahatan

manusia. Untuk itu wajib memperhatikan tradisi-tradisi mereka karena di

dalamnyalah terwujudnya kemaslahatan tersebut28.

4. Keberlakuan ‘urf dalam kehidupan manusia merupakan sebagai dalil bahwa ia

mendatangkan kemaslahatan bagi mereka atau melenyapkan kesulitan.

Mashlahah merupakan dalil syar’i demikian juga melenyapkan kesulitan

adalah tujuan syar’i. Ajaran Islam datang dengan mengakomodir

24 Zahrah, op.cit, h. 27325 Barry, op.cit h. 14626 Zaidan, op.cit, h. 25527 Ibid28 Zuhaili, op.cit,h. 837-838

10

Page 11: ‘Urf   Potensi Tradisi Lokal dalam Menjawab Problematika Hukum Islam

kemashlahatan yang telah menjadi ‘urf bangsa Arab pra Islam seperti dalam

masalah kafaah dalam perkawinan, ashabiyyah dalah perwalian dan waris, dan

kewajiban membayar diyat bagi orang membunuh secara tidak sengaja

(khatha’)29.

Berdasarkan dalil-dalil di atas, secara istiqra’ dapat dinyatakan kehujjahan ‘urf

sebagai dalil syar’i itu tidak dapat dibantah lagi.

E. Penyerapan ‘Urf dalam Hukum Islam

Pada bagian ini kita akan melihat lebih jauh bagaimana bentuk akulturasi

hukum Islam dengan kebiasaan bangsa Arab ketika proses pewahyuan

berlangsung. Proses penyeleksian kebiasaan masyarakat tersebut berdasarkan

pada kemashlahatan yang diakui oleh syari’at. Bersadarkan penyeleksian tersebut,

‘urf dapat di kelompokkan sebagai berikut:

1. ‘Urf yang di dalamnya terdapat unsur manfaat dan tidak ada unsur

mudharahnya; atau unsur manfaatnya lebih besar dari unsur mudharahnya.

Kebiasaan dalam bentuk ini diterima sepenuhnya dalam hukum Islam. Sebagai

contoh hukum diyat yang harus dibayarkan oleh pelaku pembunuhan kepada

pihak keluarga yang dibunuh. Ketentuan ini berlaku dalam masyarakat Arab

pra Islam. Setelah Islam datang lalu ditetapkanlah ketentuan tersebut sebagai

bagian dari syari’at Islam.

2. ‘Urf yang secara substansial mengandung unsur mashlahah; tidak

mengandung unsur mafsadah dan mudharah. Namun dalam pelaksanaannya

tidak dipandang baik oleh syari’at Islam. Kebiasaan ini diterima sebagai

bagian dari syari’at Islam dengan mengalami perubahan dan penyesuaian.

Seperti kebiasaan menzhihar istri. Dalam tradisi bangsa Arab zhihar adalah

salah satu bentuk ungkapan suami untuk menceraikan istrinya. Namun dalam

Islam, zhihar tidak memutuskan hubungan perkawinan tetapi ia menyebabkan

terlarangnya melakukan hubungan sexual antara suami istri tersebut. Bila

keduanya ingin berhubungan lagi haruslah membayar kafarah, sebagaimana

firman Allah:

29 Barry, loc.cit

11

Page 12: ‘Urf   Potensi Tradisi Lokal dalam Menjawab Problematika Hukum Islam

Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, Kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih. QS. al-Mujadilah/58: 2-4

3. ‘Urf yang prinsip dan pelaksanaannya mengandung unsur mafsadah, tidak

memiliki unsur manfaat; atau unsur mafsadahnya lebih besar atau dominan

dari manfaatnya. Seperti kebiasaan berjudi, minum minuman yang

memabukkan, sebagimana Firman Allah:

Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah30, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.

dan praktik riba, yang dilarang Allah dalam firman-Nya:

30 Al-Azlaam artinya: anak panah yang belum pakai bulu. orang Arab Jahiliyah menggunakan anak panah yang belum pakai bulu untuk menentukan apakah mereka akan melakukan suatu perbuatan atau tidak. Caranya ialah: mereka ambil tiga buah anak panah yang belum pakai bulu. setelah ditulis masing-masing yaitu dengan: lakukanlah, Jangan lakukan, sedang yang ketiga tidak ditulis apa-apa, diletakkan dalam sebuah tempat dan disimpan dalam Ka'bah. bila mereka hendak melakukan sesuatu Maka mereka meminta supaya juru kunci ka'bah mengambil sebuah anak panah itu. Terserahlah nanti apakah mereka akan melakukan atau tidak melakukan sesuatu, sesuai dengan tulisan anak panah yang diambil itu. kalau yang terambil anak panah yang tidak ada tulisannya, Maka undian diulang sekali lagi.

12

Page 13: ‘Urf   Potensi Tradisi Lokal dalam Menjawab Problematika Hukum Islam

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan

berlipat ganda31 dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat

keberuntungan. QS. Ali Imram/3:130

Syari’at Islam datang melarang dan mengharamkan praktik-praktik tersebut.

4. ‘Urf yang secara prinsip mengandung unsur manfaat dan tidak terdapat di

dalamnya unsur mafsadah dengan pengertian tidak bertentangan dengan dalil

syara’. Namun keberadaannya belum terserap ke dalam syara’ baik secara

langsung maupun tidak langsung 32.

‘Urf bentuk pertama dan kedua merupakan ‘urf shahih. Keduanya diterima

dan menjadi bagian dari hukum Islam itu sendiri. Eksistensinya diakui dengan

menerimaan secara eksplisit oleh nash. Sedangkan ‘urf bentuk ketiga para ulama

sepakat menolaknya karena merupakan ‘urf fasid. Karena kebiasaan yang

bertentangan dengan syari’at Islam, budaya yang luhur, sopan santun dan undang-

undang negara harus ditinggalkan meskipun kebiasaan atau tradisi itu diterima

oleh orang banyak.

F. Perbenturan dalam ‘Urf

Berikut ini bentuk ta’arudh terkait dengan masalah ‘urf:

1. Jika ‘urf bertentangan dengan hukum yang bersifat umum yang didasarkan

pada dalil yang zhanni.

a. Jika ‘urf itu adalah ‘urf lafzhi maka ia memahami nash itu berdasarkan

pemahaman ‘urf tersebut. Seperti dalam memahami makna salat, nikah, jual

beli dan sebagainya.

31 Yang dimaksud riba di sini ialah riba nasi'ah. menurut sebagian besar ulama bahwa riba nasi'ah itu selamanya haram, walaupun tidak berlipat ganda. Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya Karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. riba yang dimaksud dalam ayat Ini riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman Jahiliyah.

32 Syarifuddin, op.cit, h. 369-370

13

Page 14: ‘Urf   Potensi Tradisi Lokal dalam Menjawab Problematika Hukum Islam

b. Jika dengan ‘urf ‘amali, maka ia mentakhshish dalil zhanni

itu 33. Berikut ini beberapa contoh:

1) Membolehkan istishnaa’ berdasarkan ‘urf yang berkembang di

masyarakat yang mentakhshish hadis tetang larangan praktik jual beli

sesuatu yang belum ada bendanya.

2) Di kalangan Hanafiyah dan Malikiyah membolehkan pempersyaratkan

sesuatu hal dalam berjual beli. Persyaratan itu haruslah persyaratan yang

telah menjadi ‘urf dalam masyarakat tersebut. Ini mentakhshish hadis Nabi

yang melarang jual beli bersyarat.

3) Demikian juga keumuman yang terdapat dalam QS. al-Baqarah/2:233

tentang persusuan yang ditakhshish dengan kebiasaan wanita bangsawan

Arab yang tidak menyusui sendiri anak-anak mereka34.

2. Jika ‘urf yang datang belakangan bertentangan dengan nash yang bersifat

umum. Maka berdasarkan kesepakatan para Ushuliyun maka ‘urf tersebut

tidak boleh mentakhshish nash tersebut35.

3. Jika ‘urf bertentangan dengan nash yang bersifat khusus. Jika suatu berbuatan

itu dilarang oleh syara’ karena terdapat kerusakan dan kemudharatan di

dalamnya, kemudian terdapat tradisi dalam masyarakat yang menganggap baik

larang tersebut, maka tradisi itu harus ditolak36.

4. Jika ‘urf bertentangan dengan qiyas, para ulama sepakat mengabaikan qiyas

dan mengamalkan ‘urf; sekalipun’urf itu datangnya belakangan. Karena ‘urf

itu biasanya menjadi dalil berdasarkan kebutuhan padanya dan memelihara

kemaslahatan, demikian itu lebih kuat dari qiyas. Inilah yang disebut oleh

kalangan Hanafiyah dan Malikiyah dengan Istihsan37.

G. ‘Urf dalam Legislasi Hukum Islam

Hukum-hukum yang dibangun berdasarkan Qiyas yang bersifat Zhanni

berubah sesuai dengan perubahan zaman. Dibolehkan para ulama muta’akhirin

berbeda dengan ulama mutaqaddimin ketika pendapat ulama mutaqaddimin

tersebut didasarkan pada qiyas yang disandarkan pada ‘urf/ kebiasaan-kebiasaan

33 Zuhaili, op.cit,h. 85034 Barry, loc.cit 35 Zuhaili, op.cit,h. 85136 Ibid, h. 85237 Ibid, h. 856

14

Page 15: ‘Urf   Potensi Tradisi Lokal dalam Menjawab Problematika Hukum Islam

mereka 38. Ali Hasaballah menyatakan, hukum-hukum yang dibangun berdasarkan

‘urf berubah dengan perubahan waktu dan tempat, yang mencakup persoalan-

persoalan yang mubah karena hukum itu tidak mungkin sampai pada penghalalan

sesuatu yang diharamkan atau mengharamkan sesuatu yang halal39.

Perubahan ‘urf yang menyebabkan perubahan hukum adalah hukum-hukum

yang dibangun berdasarkan ‘urf. Tidak demikian halnya dengan hukum-hukum

yang ditetapkan oleh syara’ secara qath’i. Perubahan itu tidak boleh menghapus

hukum syari’ah karena hukum kategori ini bersifat kekal. Dalam hal terjadi

perubahan ‘urf dengan pengertian mesti diberlakukannya hukum yang lain atau

bahwa hukum yang sebelumnya bersifat kekal tetapi perubahan ‘urf menyebabkan

perlunya penyempurnaan dalam pelaksanaan hukum tersebut seperti masalah

‘adalah dalam persaksian (pada bagian perubahan hukum disebabkan perubahan

‘urf dalam Masyarakat).

Pengetahuan tentang kondisi masyarakat ini sangat urgen dimiliki dan

merupakan persyaratan seorang mujtahid. Banyak hukum yang berubah sesuai

dengan terjadinya perubahan zaman. Memaksakan pelaksanaan hukum yang lama

sementara hukum tersebut tidak sesuai lagi dengan perubahan zaman akan

menimbulkan kesulitan dan kesusahan bagi manusia. Hal ini tidak sesuai dengan

ketentuan dasar syari’ah yang dibangun berlandaskan ringan, mudah, menolak

kemudaratan dan kerusakan bagi manusia40.

Fiqh itu sebagian besarnya disandarkan para fuqaha kepada ‘urf yang berlaku

pada masyarakat semasa mereka hidup. Al-Qarafi menyatakan bahwa menetapkan

hukum yang disandarkan kepada ‘urf yang telah berubah (namun hukum tersebut

tidak turut berubah) adalah perbuatan menyalahi ijma’dan merupakan suatu

kebodohan dalam agama. Setiap hukum dalam syari’at itu mengikuti ‘urf.

Terjadinya perubahan hukum ketika ‘urf itu berubah sesuai dengan tuntutan dari

‘urf yang baru. Seseorang yang berijtihad dalam hal ini harus memiliki kapabilitas

sebagai mujtahid41. ‘Urf harus dijadikan pertimbangan dalam penetapan suatu

keputusan dan fatwa.

38 Zahrah, op.cit, h. 27539 Hasaballah, op.cit, h. 27440 Zahrah, loc.cit dan Barry, op.cit h. 15041 Zahrah, loc.cit dan Barry, op.cit h. 150

? Ibid, h. 152

15

Page 16: ‘Urf   Potensi Tradisi Lokal dalam Menjawab Problematika Hukum Islam

Seorang Faqih tidak boleh menetapkan hukum atau berfatwa dengan

mendasarkan pada ‘urf yang bertentangan dengan ajaran-ajaran pokok dalam

agama. Kecuali pemberlakuan ‘urf itu merupakan sesuatu yang dharurah, tidak

boleh berdasarkan pada suatu kebodohan dan keinginan hawa nafsu semata

Hukum yang didasari oleh suatu keadaan yang dharurah diberlakukanlah

dispensasi; yang dikenal dengan rukhshah. Hal ini harus berdasarkan ijtihad dari

si faqih 42.

‘Urf yang termasuk kategori shahih atau fasid telah jelas posisinya dalam

ajaran Islam. Untuk mengikapi tentang ‘urf yang secara prinsip mengandung

unsur manfaat dan tidak terdapat di dalamnya unsur mafsadah dengan pengertian

tidak bertentangan dengan dalil syara’. Namun keberadaannya belum terserap ke

dalam syara’ baik secara langsung maupun tidak langsung, para ulama

memberikan standar dalam penerimaan ‘urf tersebut sebagai berikut:

1. Termasuk ‘urf shahih, dengan pengertian tidak bertentangan dengan al-Qur’an

dan Sunnah, sopan santun, dan budaya yang luhur.

2. Bersifat umum—minimal telah menjadi kebiasaan mayoritas penduduk suatu

negeri.

3. ‘Urf itu sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang akan dilandaskan

kepadanya.

4. Tidak terdapat ketegasan dari pihak-pihak terkait yang berlainan dengan

kehendak ‘urf tersebut. Sebab jika terdapat dua orang yang melakukan suatu

akad kesepakatan untuk tidak terikat dengan kebiasaan yang berlaku umum.

Maka yang diberlakukan adalah hasil kesepakatan bukan ‘urf 43. Hal ini sesuai

dengan kaedah ,”la ‘ibrah li ad-dalalah fi maqam at-tashrih” dan “al-ma’ruf

syarthan ka al-masyruth syarthan”44. Misalnya ketika seseorang membeli

sebuah lemari es. Terjadi kesepakatan antara penjual dan pembeli bahwa

lemari es tersebut akan dibawa pulang sendiri oleh si pembeli. Adapun

kebiasaan atau tradisi yang berlaku bahwa setiap pembeliaan lemari atau alat

elektronika tertentu yang besar ukurannya mendapatkan service antar dari

pihak toko dalam hal ini penjual ke alamat pembeli. Namun dalam kasus ini

42 Khallaf, Abd a-Wahhab, Mashadir at-Tasyri’ al-Islami fiimaa laa Nashsha fiihaa, Beirut: Dar al-Qalam, 1972, h. 147

43 ? Haroen, Nasrun, 1997, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos, cet. Ke-2, h. 143-14444 ? Zuhaili, op.cit,h. 848-849

16

Page 17: ‘Urf   Potensi Tradisi Lokal dalam Menjawab Problematika Hukum Islam

tidak berlaku ‘urf atau kebiasaan tersebut yang berlaku adalah kesepakatan

yang terjadi antara mereka yang bertransaksi.

Berikut ini disajikan beberapa contoh hukum yang mengalami perubahan

karena terjadinya perubahan zaman sehingga ‘urf masyarakatpun berubah.

1. Pembukuan sunnah terwujud pada abad kedua hijriyah atas perintah khalifah

Umar ibn Abd al-‘Aziz. Ini berdasarkan pada kekhawirannya akan hilang

lenyapnya sunnah dengan meninggalnya para penghafalnya. Larangan nabi

sebelumnya dalam penulisan sunnah ini karena kekhawatiran tercampurnya

dengan al-Qur’an. Sabda beliau, “man kataba ‘anni ghair al-Qur’an

falyamhuh.”45

2. Dalam mazhab Hanafi tidak membolehkan menerima upah dari mengajarkan

al-Qur’an dan dalam menjalankan tugas syi’ar agama. Karena yang demikian

dikategorikan sebagai ibadah dan dalam hal ibadah tidak boleh mengambil

upah/ imbalan. Tetapi tatkala manusia itu enggan mengajarkan al-Qur’an dan

menjalankan tugas syi’ar agama kecuali dengan menerima imbalan maka para

fuqaha lalu membolehkannya untuk kontinuitas pemeliharaan al-Qur’an dan

syi’ar agama46. Dalam versi yang berbeda Abd al-Karim Zaidan menyatakan

dulunya orang-orang yang mengajarkan al-Qur’an itu mendapat sokongan dari

bait al-mal. Ketika bantuan itu terputus maka dibolehkan untuk menerima

upah dari tugas mengajar tersebut. Jika tidak diperbolehkan dikhawatirkan

kesibukan mereka mencari nafkah menyebabkan mereka tak dapat lagi

mengajarkan al-Qur’an47.

3. Pada masa Abu Hanifah, ia menerima persaksian seseorang tanpa ada

klarifikasi lebih lanjut kecuali dalam kasus pidana dan qishsash. Tapi pada

Abu Yusuf dan Muhammad terjadi banyak kebohongan dalam masyarakat

sehingga dalam menerima setiap kesaksian seseorang mereka mengadakan

recek dan klarifikasi terlebih dahulu 48.

4. Penerapan ayat QS al-Baqarah/2: 233

45 Zuhaili, op.cit,h. h.85646 Zahrah, op.cit, h. 27647 Zaidan, op.cit, h. 25948 Ibid

17

Page 18: ‘Urf   Potensi Tradisi Lokal dalam Menjawab Problematika Hukum Islam

Al-Jashash dalam kitabnya Akam al-Qur’an, apabila serang perempuan

menuntut nafkah melebihi dari pada kebiasaan yang berkembang di tengah-

tengah masyarakat, maka jangan diberi. Demikian juga yang pelit sehingga

memberikan nafkah yang tidak sesuai dengan kebiasaan yang berkembang

yang ada dalam masyarakat harus dipaksa untuk menunaikan hak istrinya

tersebut49.

5. Penyewaan barang wakaf dalam mazhab Hanafi tidak ditentukan jangka

waktunya. Lalu para ulama yang belakangan memberikan batasan waktu

tertentu. Seperti penyewaan penginapan dan gedung bertingkat tidak melebihi

satu tahun, penyewaan tanah untuk lahan pertanian biasanya selama tiga

tahun. Hal ini berdasarkan pada ‘urf yang berlaku dalam masyarakat 50.

6. Abu Hanifah melarang menjual lebah dan ulat sutra karena keduanya tidak

dikategorikan sebagai harta. Demikian ketika menqiyaskannya dengan hama

seperti katak dan tokek. Kemudian Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani

menfatwakan kebolehannya berdasarkan ‘urf 51.

7. Sebagian fuqaha menyatakan dalam pembelian rumah (yang memiliki ruang di

bagian plafonnya) yang tidak ada pernyataan termasuk dalam transaksi itu

tangganya, maka tangga tersebut tidak termasuk dalam pembelian rumah itu.

‘Urf lalu berubah dengan memasukkan tangga tersebut dalam transaksi

pembelian rumah walaupun tanpa pembuat pernyataan secara eksplisit. Karena

pemanfaatan ruangan di bagian atas rumah itu akan menyulitkan tanpa adanya

tangga itu52.

Dari contoh-contoh di atas kita melihat bahwasanya begitu akomodatifnya

hukum Islam itu dalam menyikapi perubahan-perubahan dalam masyarakat.

Perubahan tradisi dalam masyarakat--tradisi yang menjadi landasan penetapan

suatu hukum, tentu memerlukan peninjauan ulang terhadap hukum yang tersebut

sesuai dengan telah terjadinya perubahan-perubahan dalam tradisi mereka. Hal ini

sesuai dengan kaedah dalam Ushul Fiqh,”al-hukm yaduuru ma’a ‘illatin wujudan

wa ‘adaman”.

49 Ibid,. 25550 Barry, op.cit h. 15151 Ibid

52 ? Ibid

18

Page 19: ‘Urf   Potensi Tradisi Lokal dalam Menjawab Problematika Hukum Islam

Jika suatu hukum yang dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan

masyarakat itu tidak sejalan lagi dengan ritme dan tradisi yang terus berkembang

dalam masyarakat tersebut tentulah akan menimbulkan pertentangan atau

menghilangkan kemaslahatan dan menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam hidup

mereka. Tentu saja ini tidak sejalan dengan ketentuan dasar syari’ah yang

dibangun berlandaskan ringan, mudah, menolak kemudaratan dan kerusakan bagi

manusia.

Ini bukan berarti Hukum Islam itu tidak punya prinsip. Karena sebagaimana

telah dijelaskan pada bagian terdahulu bahwa ‘urf yang dapat dijadikan sandaran

hukum dalam Islam adalah ‘urf yang shahih-- suatu hal yang baik yang menjadi

kebiasaan suatu masyarakat, tidak bertentangan dengan ajaran agama, sopan

santun, dan budaya yang luhur. Adapun ‘urf yang fasid tidak dapat dijadikan

sebagai sandaran dalam penetapan hukum Islam.

Demikian juga dengan hukum-hukum dasar dalam syari’at Islam yang

ditetapkan berdasarkan dalil yang qath’i, tidak dapat berubah. Hukum-hukum

yang masuk kategori ini adalah hukum-hukum yang bersifat abadi sebagai sendi

dan dasar ajaran Islam. Ia menjadi identitas dan ciri ajaran Islam. Misalnya

kewajiban melaksanakan salat lima waktu, menjalankan puasa di bulan

Ramadhan, menunaikan zakat, dan yang lainnya. Kewajiban-kewajiban itu tidak

dapat berubah walaupun misalnya terjadinya perubahan-perubahan tradisi pada

suatu masyarakat.

H. Kaedah Ushuliyyah yang Terkait dengan Pemberlakuan ‘Urf

Diterimanya ‘urf sebagai salah satu dalil dalam penetapan hukum Islam

memberi peluang bagi dinamisasi hukum Islam. Sebab banyak permasalahan yang

tidak tertampung dalam metode qiyas, istihsan, mashlahah mursalah dan yang

lainnya dapat ditampung oleh ‘urf. Di antara kaedah ushuliyah yang terkait

dengan pembahasan ‘urf antara lain53:

1. Kaedah yang menyatakan bahwa hukum yang dalam pembentukannya oleh

mujtahid berdasarkan ‘urf, akan berubah jika ‘urf itu berubah. Ibnu Qayyim al-

Jauziyah (w. 751H) menyatakan, taghayyur al-ahkam bitaghayyur al-azminah

wa al-amkinah (hukum itu berubah karena ada perubahan waktu dan tempat).

53 Cek lebih lanjut Zuhaili, op.cit, h. 858-863

19

Page 20: ‘Urf   Potensi Tradisi Lokal dalam Menjawab Problematika Hukum Islam

Sebagai contoh ketentuan pemberian nafkah istri dan anak. Ini dapat dengan

merujuk kepada adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat tempat

seseorang itu berada 54. Dalam bahasa yang sedikit berbeda, ada ulama yang

menyatakan,’ la yunkir taghayyur al-ahkam bitaghayyur al-azman”55.

Begitulah kiranya memahami ayat berikut:

2. Kaedah al-adah muhakkamah (adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum)

3. Kaedah Isti’mal an-nash hujjatun yajibu al-‘amal biha. Kaedah ini sama

pengertiannya dengan kaedah nomor dua.

4. Kaedah al-ma’ruf ‘urfan ka al-masyruth syarthan (sesuatu yang baik itu

menjadi ‘urf, sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat). Sesuatu yang

telah menjadi ‘urf dalam masyarakat baik berupa perbuatan maupun perkataan

adalah untuk pengaturan hidup dan kebutuhan mereka. Apabila mereka

berkata atau menulis sesuatu yang dimaksudkan adalah sesuai dengan

pengertian yang telah mereka kenal (telah menjadi ‘urf di antara mereka).

Apabila mereka berbuat sesuatu maka mereka berbuat sesuai dengan

kebiasaan yang telah melembaga di kalangan mereka. Dan apabila mereka

mendiamkan; tidak memberi ketegasan tentang sesuatu maka yang

dimaksudkan adalah sesuatu yang sesuai dengan ‘urf mereka. Oleh sebab itu

para fuqaha menyatakan: al-ma’ruf ‘urfan ka al-masyruth syarthan (sesuatu

yang baik itu menjadi ‘urf, sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat).

Dan sesungguhnya syarat dalam sebuah akad itu dipandang sah jika

merupakan keharusan dari akad itu sendiri, telah ditentkan oleh Syara’, atau

sesuatu yang berlaku dalam ‘urf 56.

5. Kaedah al-ma’ruf bain at-tujjar ka al-masyruth bainahum (kebiasaan yang

berlaku di kalangan pedagang kedudukannya sama dengan berlakunya

persyaratan di antara mereka). Kaedah ini semakna dengan kaedah

sebelumnya.

6. Kaedah at-ta’yin bi al-‘urf ka at-ta’yin bi an-nash

54 Haroen, op.cit, h. 14355 Zuhaili, op.cit, h. 861

56 Khallaf, op.cit, 146-147

20

Page 21: ‘Urf   Potensi Tradisi Lokal dalam Menjawab Problematika Hukum Islam

7. Kaedah ats-tsabit bi al-‘urf ka ats-tsabit bi an-nash ( sesuatu yang ditetapkan

berdasarkan ‘urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash) 57. Ulama yang

mensyarah kitab Asybah wa an-Nazhai-ir, menyatakan “ats-tsabit bi

al-‘urf tsabit bi ad-dalil syar’i” dan dalam bahasa yang senada Sarakhsi

menyatakan, “ats-tsabit bi al-‘urf tsabit bi an-nash” bahwa permasalahan yang

ditetapkan berdasarkan ‘urf merupakan penetapan dengan dalil yang diyakini

sebagaimana halnya nash (al-Qur’an dan hadis) ketika tidak ditemukannya

nash tentang persoalan tersebut58.

8. Fuqaha dari kalangan mazhab Hanafi menyatakan, “al-‘urf qadhin ‘ala al-

lughah.” (pengertian menurut ‘urf (‘urf lafzhi) itu yang digunakan dalam

memahami suatu istilah)59.

9. Kaedah al-haqiqah tutrak bi dilalah al-‘adah berlaku hanya pada ‘urf lafzhi.

Artinya yang dipakai adalah pengertian kata tersebut dalam kebiasaan

masyarakat bukan maknanya yang hakiki.

10. Kaedah al-isyarat al-ma’hudah li al-akhras ka al-bayan bi al-lisan (bahasa

isyarat yang diungkapkan oleh orang tuna wicara itu kedudukannya sama

dengan penjelasan secara lisan).

11. Kaedah al-kitab ka al-khitab berlaku pada ‘urf lafzhi . Kaedah kedua sampai

dengan kesebelas ini terkait dengan ‘urf lafzhi.

12. Kaedah Innama tu’tabar al-‘adah idza iththaradat aw ghalabat, artinya suatu

‘urf itu barulah dapat dijadikan landasan hukum jika ia telah menjadi tradisi

serta dipraktikkan oleh masyarakat secara umum.

13. Kaedah al-‘Ibrah li al-ghalib la li an-nadir. Kaedah ini dan kaedah kesepuluh

menjadi qayyid dari kaedah al-adah muhakkamah.

I. Penutup

Demikianlah, penulis telah berusaha menjabarkan tentang proses selektif dan

akomodatif hukum Islam terhadap tradisi-tradisi yang telah melembaga di tengah-

tengah masyarakat. Sikap inilah yang menjadikan hukum Islam itu “shalihun li

kulli zaman wa makan.”

57 Haroen, loc.cit

58 Zahrah, op.cit, h. 27359 Zuhaili, op.cit, h. 840

21

Page 22: ‘Urf   Potensi Tradisi Lokal dalam Menjawab Problematika Hukum Islam

Kiranya kita perlu menggali lebih lanjut tradisi dan potensi yang terdapat

dalam masyarakat. Proses kreatif ini untuk menjadi solusi alternatif untuk

menyelesaikan dan menjawab persoalan-persoalan yang terdapat dalam

masyarakat yang sesuai dengan tuntunan Islam dus sesuai dengan local wisdom.

Daftar Pustaka

Barriy, al, Zakariya, Mashadir al-Ahkam al-Islamiyah, Kairo:Dar al-Ittihad al-Arabiy: 1975

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: Gema Risalah Press, 1992

Haroen, Nasrun, 1997, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos, cet. Ke-2

Hasaballah, ‘Ali, Ushul at-Tasyri’ al-Islami, Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi,1998

Khallaf, Abd a-Wahhab, Mashadir at-Tasyri’ al-Islami fiimaa laa Nashsha fiihaa, Beirut: Dar al-Qalam, 1972

22

Page 23: ‘Urf   Potensi Tradisi Lokal dalam Menjawab Problematika Hukum Islam

____________, Ushul Fiqh, Beirut: Dar al-Fikr, 1986, cet.ke-20

Murtadho, Moh, 2008, Ilmu Falak Praktis, Malang: UIN Malang, 2008, cet.ke-1

Nasution, Lahmuddin, 2001, Pembaharuan Hukum Islam dalam Mazhab Syafi’i, Jakarta: PT Remaja Rosda Karya, Cet.ke-1

Syarifuddin, Amir, 2001, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Logos, cet.ke-2

Zahrah, al-Imam Muhammad Abu, 1958, Ushul al-Fiqh, Tt: Dar al-Fikr al-‘Arabi.

Zaidan, Abd al-Karim, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, Beirut: Ma’asasah ar-Risalah, 1986

Zein, Satria Effendi M, 2005, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, Cet.ke-1

Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami Juz II, Beirut: Dar al-Fikr, 2001

23