Urbanisasi Pasca-Lebaran Momentum Membenahi Jakarta filebaik akibat urbanisasi. Penataan kota harus...

1
[JAKARTA] Urbanisasi yang selalu terjadi setelah Hari Raya Idul Fitri, bakal menjadi beban bagi Jakarta dan wilayah pe- nyangga di sekitarnya. Untuk itu, Idul Fitri harus menjadi momentum membenahi Jakarta agar lebih siap mengantisipasi lonjakan jumlah penduduk, baik akibat urbanisasi. Penataan kota harus dia- rahkan dengan memperbanyak hunian vertikal, sehingga meskipun kepadatan penduduk cukup tinggi, tidak menurunkan kualitas hidup warga. Demi- kian pula transportasi massal dalam kota dan antarkota harus dipercepat penyelesaiannya agar mobilitas manusia tetap lancar. Hal penting lainnya ada- lah mendorong pengembang untuk membangun kawasan permukiman di wilayah penyangga yang terintegrasi dengan transportasi umum, serta dengan tempat kerja, seperti kawasan industri dan perkantoran. Pengembangan hunian terintegrasi semacam ini sangat penting untuk membantu mengurangi tekanan komuter yang bekerja di Jakarta. Demikian rangkuman pandangan pengamat perkotaan Jehansyah Siregar dan Yayat Supriatna, secara terpisah, Senin (3/7). Menurut Jehansyah, fenomena urbanisasi yang terjadi setiap tahun terutama saat arus balik Lebaran tidak bisa dihindari. Hal ini meru- pakan konsekuensi Jakarta sebagai wilayah terbuka, dan masih adanya ketimpangan pembangunan antarwilayah di Tanah Air. “Urbanisasi akan menjadi beban bila Pemprov DKI Ja- karta tidak mampu mengelola kota dengan baik. Pengelo- laan terkait dengan masalah penyediaan lapangan kerja, permukiman, transportasi, air bersih, energi, dan kebutuhan lainnya,” ujarnya. Jehansyah menilai, masalah urbanisasi bukan persoalan Pemprov DKI Jakarta saja. “Ini sudah menjadi masalah nasional, jadi seharusnya peme - rintah ikut serta menanggulangi masalah ini. Tidak cukup hanya mendata pendatang. Karena ini bukan hanya terkait masalah administrasi kependudukan. Banyak pihak yang terkait di dalamnya, karena urbanisasi pada dasarnya hak setiap WNI untuk mencari penghidupan de - ngan bermigrasi ke daerah lain di wilayah NKRI,” jelasnya. Di sisi lain, dia melihat, kebijakan Pemprov DKI Jakar - ta belum sepenuhnya mampu mengatasi masalah kependu- dukan, termasuk menghadapi gelombang urbanisasi. “Sampai saat ini kita bisa melihat masih banyak warga yang hidup tidak layak atau tidak tertampung di rumah tinggal yang layak. Banyaknya pengangguran dan tuna wisma itu menjadi cermin Pemprov belum sepenuhnya mampu mengelola kapasitas ruang yang ada,” ujarnya. Jehansyah membanding- kan, Tokyo dengan jumlah pen- duduk mencapai 30 juta jiwa, seluruh warganya tertampung di permukiman-permukiman yang layak. Sebaliknya, Jakarta dengan 10 juta jiwa, masih banyak warga yang hidup di permukiman kumuh liar di area yang bukan peruntukannya. “Ini menunjukkan Jakarta memang punya rencana tata ruang wilayah, namun belum mampu mengelola kapasitas ruang dengan baik,” tuturnya. Menurutnya, titik kritis urbanisasi di Jakarta sudah terjadi. “Titik kritis itu sudah terjadi, dibuktikan dengan sekitar 3 juta penduduk Jakarta yang tidak tertangani dengan baik. Ada sekitar 10 juta pen- duduk, tetapi hanya 6 hingga 7 juta warga yang bisa bekerja dan tinggal di Jakarta dengan layak,” tukasnya. Dengan kondisi tersebut, hendaknya menjadi momentum untuk membenahi Jakarta. Tugas ini tidak hanya tanggung jawab Pemprov DKI Jakarta tetapi juga pemerintah pusat. Pembenahan antara lain mencakup penataan hunian dengan memperbanyak ru- mah susun, meningkatkan infrastruktur transportasi, menambah ruah terbuka hijau agar Jakarta tidak berubah menjadi perkampungan kumuh, serta mengurangi tekanan urbanisasi dengan mendorong partisipasi pengembang swasta membangun kawasan hunian terintegrasi di wilayah Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek). Senada dengan itu, Yayat Supriatna menyatakan sudah saatnya hunian vertikal yang terintegrasi dengan transportasi dipercepat pembangunannya. “Saat ini penduduk DKI Ja- karta sudah mencapai 10 juta jiwa, kalau hunian vertikal tidak segera dibangun, akan menjadi beban yang berat bagi Jakarta. Pada 2030 Jakarta akan mengalami ketimpangan antara jumlah penduduk dengan huni - an. Namun, bangunan vertikal itu harus terintegrasi dengan akses ke moda transportasi dan terjangkau,” katanya. Banyaknya kaum komu- ter yang bekerja di Jakarta, sambung Yayat, juga harus diimbangi dengan pemba- ngunan hunian yang layak. “Persoalannya sekarang bagai - mana membangun hunian yang murah di Jakarta sehingga tidak ada lagi permukiman kumuh. Orang mau bekerja di Jakarta karena kebutuhan hidup dan penghasilan. Kalau hunian itu dibangun di pinggiran Jakarta maka itu pun harus terintegrasi dengan alat transportasi. Juga dibangun industri di sana. Ini bisa mengurangi beban Jakarta,” ujarnya. Selain itu, Yayat me - nekankan, Pemprov perlu mendata migran yang datang. “Pendataan itu merupakan kewajiban, dari mana asal mereka. Kalau mereka tidak punya KTP mereka tidak berhak mendapatkan haknya. Namun untuk pengurusan KTP jangan dipersulit,” katanya. Pendataan warga migran tersebut penting, apalagi terkait dengan situasi kamtibmas saat ini, di mana ancaman teror meningkat. Aparat harus me- ngetahui siapa saja warga baru dan apa aktivitasnya. Terkait syarat ruang terbu- ka hijau 30%, Yayat sepakat itu harus dipatuhi. “Namun, masalahnya di Jakarta tidak mudah mendapatkan lahan, masih ada persoalan tanah kepemilikan dan sebagainya. Sehingga penyediaan RTH 30% tersebut tidak mudah dilakukan,” ujarnya. Daya Tarik Secara terpisah, Kepala Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) Institut Pertanian Bogor Ernan Rustiadi berpendapat, urbanisasi terjadi karena Jakarta memiliki daya tarik tersendiri. “Para pendatang tertarik mengadu nasib di Jakarta karena selama ini pemerintah lebih memusatkan sektor pembangunan di Jakarta. Seharusnya, pembangunan di daerah lain yang memasok para pendatang juga ditingkatkan. Selain itu daerah penyangga seperti Bodetabek juga harus dibantu pembiayaan infra- struktur dan pembangunan kotanya. Ini bukan charity tapi justru akan mengurangi beban Jakarta itu sendiri,” tukasnya. Pembangunan yang tim- pang, tidak merata di kawasan lain itulah, yang memicu terjadinya urbanisasi di Ja- karta. Ernan juga menyatakan, masalah urbanisasi di Jakarta adalah juga masalah Nasional. “Pemerintah harus turun tangan mengatasi masalah ini, tidak bisa diserahkan pada Pemprov DKI Jakarta saja. Saat ini titik kritis bahkan telah melampaui batas. Indikasinya adalah terjadinya bencana ka- rena daya dukung lingkungan yang rendah. Selain itu masalah lain seperti pengangguran, kri - minalitas, penyandang masalah kesejahteraan sosial di Jakarta merupakan dampak dari tidak tertampungnya pendatang di sektor tenaga kerja, selain juga keterampilan yang rendah,” ujarnya. [161] P embahasan revisi UU 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang semula diren- canakan cepat selesai, ternyata molor. Bahkan pembahasan- nya terancam terbengkalai. Pembahasan yang antara lain menyangkut rencana penam- bahan kursi pimpinan MPR dan DPR tersebut masih alot menyangkut penentuan jumlah penambahan kursi pimpinan. Sumber SP mengungkap- kan, terancam terbelangkainya pembahasan karena DPR juga tengah fokus menun- taskan pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu. Pasalnya, di RUU Pemilu ada satu klausul yang sangat alot, yakni menyangkut syarat ambang batas pengajuan capres-cawapres (presiden- tial threshold/Pres-T). Pres-T menyita energi anggota Dewan lantaran semua fraksi sangat berkepentingan dengan isu tersebut. “Ada sejumlah agenda bakal molor, termasuk revisi UU MD3. Semua fraksi- fraksi berkonsentrasi pada RUU Pemilu,” katanya, Senin (3/7). Wakil Ketua Badan Legis- lasi (Baleg) DPR RI, Firman Soebagyo pada pertengahan Mei lalu mengakui bahwa pembahasan itu bersifat dinamis. “Yang alot itu ada usulan penambahan pimpinan DPR sebanyak dua pimpinan, jadi nanti totalnya tujuh pimpinan DPR. Terus MPR itu ditambah jadi enam sehingga totalnya jadi sebelas. Dan untuk pimpinan DPD ditam- bah dua lagi, jadi totalnya jadi lima,” katanya. [H-12] Utam a 2 Suara Pembaruan Senin, 3 Juli 2017 Revisi UU MD3 Molor? Urbanisasi Pasca-Lebaran Momentum Membenahi Jakarta ANTARA/APRILLIO AKBAR Suasana permukiman padat di kawasan Tanah Abang, Jakarta. Dengan rata-rata laju pertumbuhan penduduk mencapai 1,4 persen per tahun atau 135.000 jiwa per tahun serta kepadatan penduduk di wilayah DKI Jakarta rata-rata lebih dari 15.000 jiwa per kilometer persegi mampu memicu berbagai masalah khas perkotaan seperti tata ruang, kesehatan, kemiskinan, dan kriminalitas.

Transcript of Urbanisasi Pasca-Lebaran Momentum Membenahi Jakarta filebaik akibat urbanisasi. Penataan kota harus...

Page 1: Urbanisasi Pasca-Lebaran Momentum Membenahi Jakarta filebaik akibat urbanisasi. Penataan kota harus dia-rahkan dengan memperbanyak hunian vertikal, sehingga ... dari mana asal mereka.

[JAKARTA] Urbanisasi yang selalu terjadi setelah Hari Raya Idul Fitri, bakal menjadi beban bagi Jakarta dan wilayah pe-nyangga di sekitarnya. Untuk itu, Idul Fitri harus menjadi momentum membenahi Jakarta agar lebih siap mengantisipasi lonjakan jumlah penduduk, baik akibat urbanisasi.

Penataan kota harus dia-rahkan dengan memperbanyak hunian vertikal, sehingga meskipun kepadatan penduduk cukup tinggi, tidak menurunkan kualitas hidup warga. Demi-kian pula transportasi massal dalam kota dan antarkota harus dipercepat penyelesaiannya agar mobilitas manusia tetap lancar.

Hal penting lainnya ada-lah mendorong pengembang untuk membangun kawasan permukiman di wilayah penyangga yang terintegrasi dengan transportasi umum, serta dengan tempat kerja, seperti kawasan industri dan perkantoran. Pengembangan hunian terintegrasi semacam ini sangat penting untuk membantu mengurangi tekanan komuter yang bekerja di Jakarta.

Demikian rangkuman pandangan pengamat perkotaan Jehansyah Siregar dan Yayat Supriatna, secara terpisah, Senin (3/7).

Menurut Jehansyah, fenomena urbanisasi yang terjadi setiap tahun terutama saat arus balik Lebaran tidak bisa dihindari. Hal ini meru-pakan konsekuensi Jakarta sebagai wilayah terbuka, dan masih adanya ketimpangan pembangunan antarwilayah di Tanah Air.

“Urbanisasi akan menjadi beban bila Pemprov DKI Ja-karta tidak mampu mengelola kota dengan baik. Pengelo-laan terkait dengan masalah penyediaan lapangan kerja, permukiman, transportasi, air bersih, energi, dan kebutuhan lainnya,” ujarnya.

Jehansyah menilai, masalah urbanisasi bukan persoalan Pemprov DKI Jakarta saja. “Ini sudah menjadi masalah nasional, jadi seharusnya peme-

rintah ikut serta menanggulangi masalah ini. Tidak cukup hanya mendata pendatang. Karena ini bukan hanya terkait masalah administrasi kependudukan. Banyak pihak yang terkait di dalamnya, karena urbanisasi pada dasarnya hak setiap WNI untuk mencari penghidupan de-ngan bermigrasi ke daerah lain di wilayah NKRI,” jelasnya.

Di sisi lain, dia melihat, kebijakan Pemprov DKI Jakar-ta belum sepenuhnya mampu mengatasi masalah kependu-dukan, termasuk menghadapi gelombang urbanisasi. “Sampai saat ini kita bisa melihat masih banyak warga yang hidup tidak layak atau tidak tertampung di rumah tinggal yang layak. Banyaknya pengangguran dan tuna wisma itu menjadi cermin Pemprov belum sepenuhnya mampu mengelola kapasitas ruang yang ada,” ujarnya.

Jehansyah membanding-kan, Tokyo dengan jumlah pen-duduk mencapai 30 juta jiwa, seluruh warganya tertampung di permukiman-permukiman yang layak. Sebaliknya, Jakarta dengan 10 juta jiwa, masih banyak warga yang hidup di permukiman kumuh liar di area yang bukan peruntukannya.

“Ini menunjukkan Jakarta memang punya rencana tata ruang wilayah, namun belum mampu mengelola kapasitas ruang dengan baik,” tuturnya.

Menurutnya, titik kritis urbanisasi di Jakarta sudah terjadi. “Titik kritis itu sudah terjadi, dibuktikan dengan sekitar 3 juta penduduk Jakarta yang tidak tertangani dengan baik. Ada sekitar 10 juta pen-duduk, tetapi hanya 6 hingga 7 juta warga yang bisa bekerja dan tinggal di Jakarta dengan layak,” tukasnya.

Dengan kondisi tersebut, hendaknya menjadi momentum untuk membenahi Jakarta. Tugas ini tidak hanya tanggung jawab Pemprov DKI Jakarta tetapi juga pemerintah pusat.

Pembenahan antara lain mencakup penataan hunian dengan memperbanyak ru-mah susun, meningkatkan infrastruktur transportasi,

menambah ruah terbuka hijau agar Jakarta tidak berubah menjadi perkampungan kumuh, serta mengurangi tekanan urbanisasi dengan mendorong partisipasi pengembang swasta membangun kawasan hunian terintegrasi di wilayah Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek).

Senada dengan itu, Yayat Supriatna menyatakan sudah saatnya hunian vertikal yang terintegrasi dengan transportasi dipercepat pembangunannya. “Saat ini penduduk DKI Ja-karta sudah mencapai 10 juta jiwa, kalau hunian vertikal tidak segera dibangun, akan menjadi beban yang berat bagi Jakarta. Pada 2030 Jakarta akan mengalami ketimpangan antara jumlah penduduk dengan huni-an. Namun, bangunan vertikal itu harus terintegrasi dengan akses ke moda transportasi dan terjangkau,” katanya.

Banyaknya kaum komu-ter yang bekerja di Jakarta, sambung Yayat, juga harus

diimbangi dengan pemba-ngunan hunian yang layak. “Persoalannya sekarang bagai-mana membangun hunian yang murah di Jakarta sehingga tidak ada lagi permukiman kumuh. Orang mau bekerja di Jakarta karena kebutuhan hidup dan penghasilan. Kalau hunian itu dibangun di pinggiran Jakarta maka itu pun harus terintegrasi dengan alat transportasi. Juga dibangun industri di sana. Ini bisa mengurangi beban Jakarta,” ujarnya.

Selain itu, Yayat me-nekankan, Pemprov perlu mendata migran yang datang. “Pendataan itu merupakan kewajiban, dari mana asal mereka. Kalau mereka tidak punya KTP mereka tidak berhak mendapatkan haknya. Namun untuk pengurusan KTP jangan dipersulit,” katanya.

Pendataan warga migran tersebut penting, apalagi terkait dengan situasi kamtibmas saat ini, di mana ancaman teror meningkat. Aparat harus me-

ngetahui siapa saja warga baru dan apa aktivitasnya.

Terkait syarat ruang terbu-ka hijau 30%, Yayat sepakat itu harus dipatuhi. “Namun, masalahnya di Jakarta tidak mudah mendapatkan lahan, masih ada persoalan tanah kepemilikan dan sebagainya. Sehingga penyediaan RTH 30% tersebut tidak mudah dilakukan,” ujarnya.

Daya TarikSecara terpisah, Kepala

Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) Institut Pertanian Bogor Ernan Rustiadi berpendapat, urbanisasi terjadi karena Jakarta memiliki daya tarik tersendiri. “Para pendatang tertarik mengadu nasib di Jakarta karena selama ini pemerintah lebih memusatkan sektor pembangunan di Jakarta. Seharusnya, pembangunan di daerah lain yang memasok para pendatang juga ditingkatkan. Selain itu daerah penyangga

seperti Bodetabek juga harus dibantu pembiayaan infra-struktur dan pembangunan kotanya. Ini bukan charity tapi justru akan mengurangi beban Jakarta itu sendiri,” tukasnya.

Pembangunan yang tim-pang, tidak merata di kawasan lain itulah, yang memicu terjadinya urbanisasi di Ja-karta. Ernan juga menyatakan, masalah urbanisasi di Jakarta adalah juga masalah Nasional.

“Pemerintah harus turun tangan mengatasi masalah ini, tidak bisa diserahkan pada Pemprov DKI Jakarta saja. Saat ini titik kritis bahkan telah melampaui batas. Indikasinya adalah terjadinya bencana ka-rena daya dukung lingkungan yang rendah. Selain itu masalah lain seperti pengangguran, kri-minalitas, penyandang masalah kesejahteraan sosial di Jakarta merupakan dampak dari tidak tertampungnya pendatang di sektor tenaga kerja, selain juga keterampilan yang rendah,” ujarnya. [161]

Pembahasan revisi UU 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD

(UU MD3) yang semula diren-canakan cepat selesai, ternyata molor. Bahkan pembahasan-nya terancam terbengkalai. Pembahasan yang antara lain menyangkut rencana penam-bahan kursi pimpinan MPR dan DPR tersebut masih alot menyangkut penentuan jumlah penambahan kursi pimpinan.

Sumber SP mengungkap-kan, terancam terbelangkainya pembahasan karena DPR juga tengah fokus menun-taskan pembahasan RUU PenyelenggaraanPemilu. Pasalnya, di RUU Pemilu ada satu klausul yang sangat alot, yakni menyangkut syarat ambang batas pengajuan capres-cawapres (presiden-tial threshold/Pres-T). Pres-T

menyita energi anggota Dewan lantaran semua fraksi sangat berkepentingan dengan isu tersebut.

“Ada sejumlah agenda bakal molor, termasuk revisi UU MD3. Semua fraksi-

fraksi berkonsentrasi padaRUU Pemilu,” katanya, Senin (3/7).

Wakil Ketua Badan Legis-lasi (Baleg) DPR RI, Firman

Soebagyo pada pertengahan Mei lalu mengakui bahwa pembahasan itu bersifat dinamis. “Yang alot itu ada usulan penambahan pimpinan DPR sebanyak dua pimpinan, jadi nanti totalnya tujuh pimpinan DPR. Terus MPR itu ditambah jadi enam sehingga totalnya jadi sebelas. Dan untuk pimpinan DPD ditam-bah dua lagi, jadi totalnya jadi lima,” katanya. [H-12]

Utam a2 Suara Pembaruan Senin, 3 Juli 2017

agenda bakal molor,

MD3. Semua fraksi-

Revisi UU MD3 Molor?

Urbanisasi Pasca-Lebaran

Momentum Membenahi Jakarta

ANTARA/APRILLIO AKBAR

Suasana permukiman padat di kawasan Tanah Abang, Jakarta. Dengan rata-rata laju pertumbuhan penduduk mencapai 1,4 persen per tahun atau 135.000 jiwa per tahun serta kepadatan penduduk di wilayah DKI Jakarta rata-rata lebih dari 15.000 jiwa per kilometer persegi mampu memicu berbagai masalah khas perkotaan seperti tata ruang, kesehatan, kemiskinan, dan kriminalitas.