Upload Scrib

37
KARAKTERISASI KITIN DAN PEMANFAATANNYA SEBAGAI MEDIA PENDUKUNG AMOBILISASI ENZIM I. KITIN DAN KITINASE Kitin Kitin adalah polimer kedua terbanyak di alam setelah selulosa. Kitin merupakan komponen penyusun tubuh serangga, udang, kepiting, cumi-cumi, dan artropoda lainnya, serta bagian dari dinding sel kebanyakan fungi dan alga. Kitin memiliki struktur yang mirip selulosa. Bila selulosa tersusun atas monomer glukosa, maka kitin tersusun dari monomer N-asetilglukosamin. Keduanya memiliki kelarutan sangat rendah dalam air serta mengalami biodegradasi melalui mekanisme yang hampir serupa dengan melibatkan komplek enzim. Penghilangan gugus asetil (deasetilasi) dari kitin menghasilkan kitosan. Kitin dan kitosan memiliki kandungan nitrogen sekitar 6.98%, jauh lebih tinggi dibanding polimer sintetik yang hanya 1.25%. Oleh karenanya, keduanya menarik secara komersial karena bisa dipakai sebagai agen pengkelat. Selain itu, karena kitin dan kitosan merupakan bahan alam maka keduanya lebih bersifat biocompatible dan biodegradable 1

Transcript of Upload Scrib

Page 1: Upload Scrib

KARAKTERISASI KITIN DAN PEMANFAATANNYA SEBAGAI MEDIA PENDUKUNG AMOBILISASI ENZIM

I. KITIN DAN KITINASE

Kitin

Kitin adalah polimer kedua terbanyak di alam setelah selulosa. Kitin merupakan

komponen penyusun tubuh serangga, udang, kepiting, cumi-cumi, dan artropoda lainnya,

serta bagian dari dinding sel kebanyakan fungi dan alga. Kitin memiliki struktur yang

mirip selulosa. Bila selulosa tersusun atas monomer glukosa, maka kitin tersusun dari

monomer N-asetilglukosamin. Keduanya memiliki kelarutan sangat rendah dalam air serta

mengalami biodegradasi melalui mekanisme yang hampir serupa dengan melibatkan

komplek enzim.

Penghilangan gugus asetil (deasetilasi) dari kitin menghasilkan kitosan. Kitin dan

kitosan memiliki kandungan nitrogen sekitar 6.98%, jauh lebih tinggi dibanding polimer

sintetik yang hanya 1.25%. Oleh karenanya, keduanya menarik secara komersial karena

bisa dipakai sebagai agen pengkelat. Selain itu, karena kitin dan kitosan merupakan bahan

alam maka keduanya lebih bersifat biocompatible dan biodegradable dibanding polimer

sintetik. Kitin, kitosan, serta senyawa turunannya telah banyak diaplikasikan dalam

berbagai industri (Table 1). Nilai total perdagangan bahan-bahan tersebut pada tahun 2002

mencapai 1.2 trilyun rupiah.

Kitinase

Kitinase (EC 3.2.1.14) merupakan enzim yang mampu menghidrolisa polimer

kitin menjadi kitin oligosakarida atau monomer N-asetilglukosamin. Enzim ini dihasilkan

oleh bakteri, fungi, tanaman, dan hewan. Atas dasar cara kerjanya dalam mendegradasi

1

Page 2: Upload Scrib

substrat, kitinase dibedakan kedalam 2 kelompok utama: endokitinase dan eksokitinase.

Endokitinase memotong polimer kitin secara acak menghasilkan dimer, trimer, tetramer

dan atau oligomer gula. Eksokitinase memotong kitin hanya dari ujung non reduksi. Bila

hasil potongan berupa monomer maka enzim tersebut dinamakan

Nacetylheksosaminidase, namun bila potongan yang dihasilkan berupa dimer maka enzim

tersebut disebut sitobiosidase (Cohen-Kupiec and Chet, 1998).

Berdasarkan homologi sekuen asam aminonya, kitinase dibedakan atas famili 18

dan 19. Famili 18 meliputi kitinase dari bakteri, fungi, serangga, tanaman (kelas III dan

V), hewan (Gijzen et al, 2001) dan satu kitinase dari Streptomyces griseus (Ohno et al,

1996). Kitinase tanaman kelas I tersusun atas sekuen yang conserved pada struktur

utamanya, serta domain kaya cystein pada ujung N. Kitinase kelas II secara struktural

homolog dengan kelas I, tetapi tidak memiliki domain kaya cystein. Sementara, kitinase

kelas III dan V tidak memiliki homologi dengan kitinase kelas I, II dan IV (Fukamizo.

2000).

2

Page 3: Upload Scrib

Tabel 1. Beberapa Aplikasi Kitin dalam Industri

Bidang Aplikasi

Nutrisi Serat yang dapat dikonsumsi

Pangan Pengawet dan pengkaya rasa

Perbaikan tektur

Bahan emulsi

Bahan penjernih

Biomedis Obat luka Kontak lensa

Membran dialisa darah

Antitumor

Antikolesterol

Pelangsing tubuh

Perawatan Kulit dan Rambut Lotion dan krimpelembab

Produk-roduk perawatan rambut

Pertanian dan Lingkungan Fungisida

Pemupukan

Perawatan benih

Pengolahan limbah

Lain-lain Industri kertas

Penyerap warna

Baterai padat

Aditif pakan

Kromatografi

Selain oleh kitinase, polimer kitin juga bisa didegradasi oleh enzim kitin

deasetilase dan kitosanase. Kitin deasetilase (EC 3.5.1.41) menghilangkan gugus asetil

dari kitin menghasilkan kitosan. Kitosan akan dipotong-potong oleh kitosanase (EC

3.2.1.1.32) menghasilkan kitosan oligomer kitosan. Oligomer kitosan kemudian dipotong-

3

Page 4: Upload Scrib

potong lagi oleh â-D-glukosaminidase menghasilkan monomer glukosamin. Oleh karena

itu, kitin dan kitosan memiliki struktur yang serupa tetapi disusun oleh monomer gula

yang berlainan. Kitin tersusun atas monomer N-asetil glukosamin, sementara kitosan

disusun oleh monomer glukosamin.

II. BEBERAPA PENELITIAN TENTANG KITIN DAN APLIKASINYA

A. KARAKTERISASI KITIN DARI LIMBAH RAJUNGAN

PENDAHULUAN

Wilayah perairan Indonesia merupakan sumber cangkang hewan invertebrate laut

berkulit keras (Crustacea) yang mengandung kitin secara berlimpah. Kitin

yang terkandung dalam Crustacea berada dalam kadar yang cukup tinggi berkisar

20-60% tergantung spesies. Limbah berkitin di Indonesia yang dihasilkan saat ini

sekitar 56.200 ton pertahun ( Departemen Kelautan dan Perikanan, 2000). Rajungan

merupakan salah satu komoditas penting bagi hasil perikanan Indonesia. Pada

umumnya rajungan diekspor dalam bentuk dagingnya yang telah dipasteurisasi.

Hasil samping pengolahan daging rajungan berupa limbah cangkang (kulit dan

kepala). Limbah ini belum termanfaatkan secara baik dan berdaya guna, bahkan

sebagian besar merupakan buangan yang juga turut mencemari lingkungan.

Salah satu alternatif upaya pemanfaatan limbah cangkang rajungan agar memiliki

nilai dan daya guna limbah rajungan menjadi produk yang bernilai ekonomis tinggi

adalah pengolahan menjadi kitin dan kitosan. Kitin adalah biopolimer tersusun oleh

unit-unit N- asetil-D-glukosamin berikatan β(1-4) yang paling banyak dijumpai di

alam setelah selulosa. Produksi alamiah kitin di dunia diperkirakan mencapai 109

metrik ton per tahun.

4

Page 5: Upload Scrib

Senyawa ini dijumpai sebagai komponen eksoskeleton kelompok Crustaceae, dinding

sel insekta, kapang dan kamir (Patil et al, 2000). Kitosan merupakan senyawa

hasil deasetilasi kitin, terdiri dari unit N-asetil glukosamin dan N glukosamin.

Adanya gugus reaktif amino pada atom C-2 dan gugus hidroksil pada atom C-3 dan

C-6 pada kitosan bermanfaat dalam aplikasinya yang luas yaitu sebagai pengawet

hasil perikanan dan penstabil warna produk pangan, sebagai flokulan dan membantu

proses reverse osmosis dalam penjernihan air, aditif untuk produk agrokimia dan

pengawet benih (Muzzarelli et al, 1997; Shahidi et al, 1999).

Aplikasi kitin dan kitosan di berbagai bidang sangat ditentukan oleh karakterisasi

mutu keduanya yang meliputi derajat deasetilasi, kelarutan, viskositas, dan berat

molekul. Untuk itu maka penelitian ini sangat penting dilakukan sehingga

pemanfaatan limbah khususnya rajungan menjadi produk bernilai ekonomis dapat

dilakukan secara maksimal.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkarakterisasi mutu kitin asal limbah

rajungan hasil samping proses pengolahan daging rajungan yang meliputi

parameter rendemen, derajat deasetilasi, kelarutan, viskositas, dan berat molekul.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada penelitian pendahuluan dilakukan persiapan, pencucian, pengeringan dan

penggilingan bahan baku sampai menjadi tepung cangkang rajungan• Hasil

analisis proksimat tepung cangkang rajungan menunjukkan kadar air (bk) sebesar

5,48%; kadar abu (bk) 42,61%; kadar protein 10,43%l; kadar lemak 2,08%;

karbiohidrat 37,40% dan komponen lainnya 2%.

5

Page 6: Upload Scrib

Berdasarkan data tersebut di atas terlihat bahwa kadar air tepung cangkang

rajungan cukup rendah (5,48%)• Hal ini karena dilakukan pengeringan terlebih

dahulu sebelum penggilingan• Kadar abu tepung cangkang rajungan cukup

tinggi yang menunjukkan bahwa kandungan mineralnya cukup besar. Sebagian

besar kandungan mineral yang terdapat pada limbah rajungan berupa kalsium

karbonat, dan sebagian kecil berupa kalsium posfat• Keberadaan kedua jenis mineral

tersebut sangat dipengaruhi oleh habitat tempat hidupnya• Selain itu karena

demineralisasi yang belum dilakukan• Bila kadar kitin yang merupakan bahan

awal pembuatan kitosan diperoleh dari persentase polisakaridanya, maka diperoleh

kadar kitin 37,40%• Nilai ini ternyata lebih rendah dari hasil penelitian Muzzarelli

(2000), yang menyatakan bahwa cangkang kepiting/rajungan mengandung kitin

sampai 70%, namun lebih tinggi jika dibandingkan dengan cangkang udang (35%)

dan cumi-cumi (20%)• Menurut Whistler (1973), limbah udang dan rajungan

mengandung 15-30% kitin•

Jika dibandingkan dengan hasil uji proksimat dari penelitian M• Saleh dkk (1999)

terhadap kulit udang windu (Penaeus monodon) menunjukkan bahwa kadar air

cangkang rajungan lebih rendah dari kulit udang windu (10,57%)• Adapun kadar abu,

kadar protein kasar dan kadar lemak cangkang rajungan lebih tinggi dari udang

windu (masing-masing 20,31%; 32,74% dan 2%)•

Produksi Kitin

Penelitian utama dilakukan untuk mengekstraksi kitin dari tepung cangkang

rajungan melalui proses demineralisasi menggunakan asam klorida dan

deproteinasi menggunakan natrium hidroksida dengan pemanasan tinggi•

Rendemen hasil proses demineralisasi sebesar 60%• Pada proses demineralisasi,

6

Page 7: Upload Scrib

senyawa kalsium akan bereaksi dengan asam klorida yang larut dalam air

(Bastaman, 1989)• Protein, lemak, posfor, magnesium dan besi turut terbuang dalam

proses ini•

Deproteinasi bertujuan untuk memutuskan ikatan antara protein dan kitin, dengan

cara menambahkan natrium hidroksida• Rendemen setelah

deproteinasi sebesar 32%• Rendemen ini merupakan rendemen

kitin• Protein yang terekstrak dalam bentuk Na-proteinat dimana ion

Na+ mengikat ujung rantai protein yang bermuatan negatif sehingga mengendap•

Hasil karakterisasi kitin yang meliputi kelarutan, derajat deasetilasi, viskositas intrinsik

dan berat molekul masing-masing adalah 28 %; 38,02 %; 8,57 ml/g dan 11 x 103

Rendemen berupa tepung kering cangkang rajungan menunjukkan nilai yang lebih

tinggi jika dibandingkan dengan tepung kulit udang windu (48,57%) (M• Saleh dkk,

1999)• Hal ini kemungkinan disebabkan perbedaan lamanya pemanasan

selama proses demineralisasi•

Keduanya dilarutkan masing-masing dalam larutan asam klorida 1 N, setelah itu

dipanaskan pada suhu berbeda yaitu untuk cangkang rajungan pada 90 oC,

sedangkan kulit udang windu pada 70 oC selama satu jam•

Kelarutan Kitin

Kitin termasuk polisakarida yang sangat sukar dilarutkan pada pH netral seperti air

sehingga pelarutan dilakukan dalam suasana asam atau basa• Berdasarkan h a s i l

p e n g a m a t a n terlihat bahwa kelarutan kitin relatif lebih tinggi dari standar Lab•

7

Page 8: Upload Scrib

Protan (1989) yang menyatakan bahwa kitin tidak larut dalam asam encer• Hal ini

disebabkan kitin secara alami berbentuk kristal yang mengandung rantai-rantai

polimer berkerapatan tinggi yang terikat satu sama lain dengan ikatan hidrogen yang

sangat kuat (Bartnicki-Garcia, 1989). Kitin bersifat mudah mengalami degradasi

secara biologis, tidak beracun, tidak larut air, asam anorganik encer dan asam-asam

organik tetapi larut dalam larutan dimetil asetamida dan litium klorida (Ornum, 1992)•

Kelarutan berhubungan erat dengan derajat deasetilasi• Deasetilasi akan memotong

gugus asetil pada kitin, menyisakan gugus amina• Adanya H pada amina

memudahkan interaksi dengan air melalui ikatan hidrogen• Tetapi kitin maupun

kitosan tidak dapat larut hanya dalam air, kecuali dengan substitusi. Keduanya dapat

larut dalam asam encer, seperti asam asetat. Adanya gugus karboksil dalam asam

asetat akan memudahkan pelarutan kitin dan kitosan karena terjadinya interaksi

hidrogen antara gugus karboksil dengan gugus amina dari keduanya (Dunn et al,

1997)•

Derajat Deasetilasi Kitin

Derajat deasetilasi adalah suatu parameter mutu kitosan yang menunjukkan

persentase gugus asetil yang dapat dihilangkan dari rendemen kitin maupun

kitosan. Semakin tinggi derajat deasetilasi kitosan, maka gugus asetil kitosan

semakin rendah sehingga interaksi antar ion dan ikatan hidrogennya akan semakin

kuat (Knoor, 1982). Pelepasan gugus asetil dari kitosan menyebabkan kitosan

bermuatan positif yang mampu mengikat senyawa bermuatan negatif seperti protein,

anion polisakarida membentuk ion netral (Suhartono, 1989)•

Derajat deasetilasi kitosan dipengaruhi konsentrasi natrium hidroksida (NaOH) dan

8

Page 9: Upload Scrib

suhu proses (Benjakul, 1993). Larutan NaOH konsentrasi tinggi ( ≥ 40%)

berfungsi memutuskan ikatan antar gugus karboksil dengan atom nitrogen dari kitin

yang memiliki struktur kristal tebal dan panjang (Angka dan Suhartono, 2000)•

Tingginya konsentrasi NaOH menyebabkan gugus fungsional amino (-NH3+) yang

mensubstitusi gugus asetil kitin di dalam sistem larutan semakin aktif sehingga proses

deasetilasi semakin baik. .Berdasarkan h a s i l p e n e l i t i a n y a n g d i p e r o l e h

nampak bahwa derajat deasetilasi kitin masih rendah, yang menunjukkan bahwa

gugus asetil yang masih cukup besar pada rantai polimernya. Demineralisasi dan

deproteinasi terhadap kitin yang dilakukan sebelumnya ternyata belum mampu

menghilangkan gugus asetil.

Viskositas dan Berat Molekul Kitin

Viskositas intrinsik menunjukkan kemampuan polimer untuk meningkatkan

viskositas larutan. Viskositas intrinsik diperoleh dari kurva isp/C yang

diekstrapolasi hingga C mendekati 0, sehingga meniadakan pengaruh konsentrasi

(Hwang et al., 1997).

Berat molekul berhubungan dengan derajat polimerisasi. Polimer rantai lurus

seperti kitosan akan menunjukkan peningkatan densitas jika derajat

polimerisasi bertambah. Dengan demikian, viskositas intrinsik juga akan meningkat.

Wang et. al (1991) menunjukkan hubungan linier antara nilai log viskositas

intrinsik dengan nilai log berat molekul, untuk larutan kitosan dengan derajat deasetilasi

sama.

B. PEMANFAATAN LIMBAH UDANG

9

Page 10: Upload Scrib

Penelitian juga dilakukan BPPT terhadap pengolahan limbah binatang laut, seperti udang

dan kepiting, untuk dijadikan kitin dan kitosan yang juga berfungsi sebagai biokatalis

sejumlah industri. Untuk industri tekstil, misalnya, kitosan berfungsi memperkuat warna.

Sementara dalam industri kertas, kitosan mampu membuat kertas menjadi licin. Di

industri makanan, kitosan berfungsi sebagai antibakteri dan antijamur dan juga mampu

menjernihkan air.

Penelitian menunjukkan bahwa limbah dari berbagai binatang laut mengandung kitin, tapi

kandungan kitin terbesar terdapat pada udang dan kepiting. Menurut Setyahadi (2003),

kandungan kitin pada limbah kepiting mencapai 50 - 60 persen, sementara limbah udang

menghasilkan 42 - 57 persen kitin. Sedangkan cumi-cumi dan kerang, masing-masing 40

persen dan 14 - 35 persen. Namun karena bahan baku yang gampang diperoleh adalah

udang, maka proses kitin dan kitosan biasanya lebih memanfaatkan limbah udang.

Menurut Setyahadi (2003), penelitian BPPT terhadap kitin mengandalkan proses biologis

dibanding kimiawi karena itu diklaim lebih ramah lingkungan. Penelitian tahap awal

dilakukan BPPT bekerja sama dengan PT Windika Utama dari Indonesia serta Hamburg

University dan SeeLab dari Jerman..

C. STUDY PEMANFAATAN POLIMER KITIN SEBAGAI MEDIA PENDUKUNG AMOBILISASI ENZIM α-AMILASE

1. PENDAHULUAN

Pemanfaatan enzim secara komersial terus dipelajari dan diterapkan, seperti yang dilakukan

oleh Bailey dan Ollis (1988), yaitu pemanfaatan enzim untuk proses enzimatik pada

industri makanan, minuman, farmasi dan biokimia. Salah satu contoh

pemanfaatan tersebut adalah pematangan buah-buahan hijau yang dipanen, pelayuan

daging yang diinginkan, pengawetan keju, pencegahan kekeruhan bir, pembentukan

10

Page 11: Upload Scrib

tekstur gula, pengobatan luka, dan penanganan limbah.

Secara umum enzim larut dalam air, sehingga banyak enzim tidak ekonomis untuk

digunakan pada pengoperasian tipe batch dalam skala besar, karena hanya dapat

digunakan satu kali proses dengan biaya yang cukup mahal. Tetapi dalam tahun-tahun

belakangan ini berbagai teknik telah ditemukan untuk memperbaiki kerja enzim, yaitu

dengan cara mengikatkan enzim pada bahan-bahan yang tidak larut dalam air, dimana

bahan-bahan tersebut dapat dipisahkan dari produk dengan mudah. Hal itu

memungkinkan penggunaan kembali bahan-bahan tak larut yang mengandung enzim

tersebut atau disebut amobilisasi enzim (Johnson, 1979).

Menurut Bailey dan Ollis (1988), amobilisasi enzim menjadi menarik jika substrat yang

dibutuhkan sangat banyak atau enzim yang bersangkutan mahal. Wirawan

(1988), juga menjelaskan bahwa penggunaan enzim teramobilisasi dibatasi oleh

mahalnya harga bahan pendukung, oleh karena itu diperlukan bahan pendukung yang

murah, tersedia dalam jumlah besar serta memiliki sifat menguntungkan.

Kitin adalah polisakarida paling melimpah kedua di alam setelah selulosa. Kitin

terdapat dalam komponen srtuktural eksoskeleton dari serangga dan krustacea, juga

terdapat di dalam dinding sel ragi dan jamur yang jumlahnya berkisar antara 30-60 %.

Kitin dilaporkan telah dapat digunakan sebagai bahan pendukung untuk beberapa enzim,

seperti papain, laktase, kimotripsin, asam pospatase, dan glukosa isomerase. Sebagai

bahan pendukung enzim penggunaannya yang terbesar adalah pada industri makanan

dan kosmetik (Peter,1995).

Amobilisasi enzim pada kitin dapat dilakukan dengan metode adsorpsi sederhana,

11

Page 12: Upload Scrib

dengan adsorpsi pada kitin yang diaktifkan dengan glutaraldehid, atau dengan ikatan

silang dari enzim dan pendukung dengan glutaraldehid. Ikatan silang dengan

glutaraldehid menyebabkan penurunan aktivitas enzim sebesar 14 – 60%

(Synowiecki,1982). Metode adsorpsi fisik merupakan salah satu metode amobilisasi

enzim yang sederhana dan efektif karena sedikit atau tidak menyebabkan perubahan

konformasi enzim, atau destruksi pada pusat aktif enzim.

Pada penelitian ini telah berhasil dilakukan amobilisasi enzim α-amilase dengan

bahan pendukung polimer kitin menggunakan metode adsorpsi fisik, dan didapatkan

kondisi optimum untuk enzim α-amilase bebas dan amobil, yang meliputi pH optimum,

suhu optimum, dan waktu inkubasi optimum.

2. METODOLOGI

Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan adalah oven, inkubator, sentrifuga, penangas air,

neraca elektronik, pH meter, termometer, lemari pendingin, spektrofotometer UV-Vis,

dan peralatan gelas.

Bahan-bahan dan reagen kimia yang digunakan antara lain enzim α- amilase

didapat dari UPT-BPPT Sulusuban, amilum, asam 3,5-dinitrosalisilat, reagen Folin-

Ciocalteu, glukosa, BSA, fenol, Na-K tartarat, HCl, NaOH, Na-bisulfit CuSO4.5H2O,

Na2CO3, dan kitin.

Prosedur Penelitian

Pembuatan larutan pereaksi

(a) Larutan dinitrosalisilat (DNS)

Sebanyak 1 gr asam 3,5 –dinitrosalisilat dan 1 gr NaOH dilarutkan dalam

aquades, kemudian ditambahkan 0,2 gr fenol, 0,4 g Na/K-tartarat, dan 0,05 gr Na-

bisulfit.

Larutan diaduk hingga merata dan diencerkan hingga 100 ml.

(b) Larutan pereaksi Lowry

12

Page 13: Upload Scrib

Larutan A, 2 gr Na2CO3 dalam 100 ml NaOH 0,1 N. Larutan B, 5 ml larutan CuSO4.

5H2O 1% dalam 5 ml larutan Na/K-tartarat 1%. Larutan C, campuran 50 ml larutan A

dan 1 ml larutan B. Larutan D, reagen Folin-Ciocelteau 1:1.

Penentuan kadar protein (Metode Lowry)

Sebanyak 1 ml larutan enzim direaksikan dengan 5 ml larutan C dan didiamkan selama 10

menit pada suhu kamar, kemudian ditambahkan larutan D dan didiamkan kembali selama

30 menit pada suhu kamar. Warna yang terbentuk diukur serapannya

menggunakan spektrofotometerUV-Vis pada panjang gelombang 600 nm. Kadar protein

ditentukan dengan membuat kurva standar bovin serum albumin (BSA) pada konsentrasi

20 – 100 µg/ml.

Penentuan aktivitas enzim amilase

Untuk enzim bebas, sebanyak 0,5 ml larutan pati 1% pH 7 didiamkan pada suhu 30°C

selama 5 menit, kemudian ditambahkan 0,5 ml enzim dan diaduk perlahan-lahan.

Campuran diinkubasi selama 70 menit pada suhu 55oC. Reaksi dihentikan dengan cara

memanaskan campuran hingga mendidih. Untuk enzim amobil digunakan larutan pati 1%

pH 5,5 dan reaksi dihentikan dengan cara memisahkan campuran dengan disentrifugasi

pada kecepatan 4500 rpm selama 15 menit untuk diambil filtratnya. Filtrat yang

diperoleh ditambahkan 3 ml pereaksi DNS dan ditempatkan dalam air mendidih selama 5

menit. Campuran dibiarkan dingin sampai suhu kamar dan diukur serapannya

menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 538 nm. Kadar glukosa

ditentukan pada konsentrasi 0,1 – 0,5 mg/ml.

13

Page 14: Upload Scrib

Amobilisasi enzim amilase

Sebanyak 30 mg kitin berukuran 20-44 mesh ditambahkan ke dalam 10 ml larutan

enzim yang telah ditentukan kadar proteinnya. Campuran didiamkan pada suhu kamar

selama 1 jam dengan sesekali pengadukan. Kemudian campuran didiamkan pada suhu

4oC selama 12 jam. Setelah 12 jam campuran disaring dan dicuci dengan 100 ml

aquades. Filtrat yang diperoleh diukur kadar proteinnya. Endapan yang diperoleh

merupakan enzim amobil.

Karakterisasi Enzim α-Amilase bebas dan Amobil

Karakterisasi Enzim α-amilase bebas dan amobil yang dilakukan meliputi :

1. pH reaksi

Variasi pH yang digunakan adalah mulai dari 5,5 sampai 7,5 untuk enzim bebas dan 5,0 sampai 7,5 untuk enzim amobil.

2. Suhu

Variasi suhu yang digunakan adalah mulai 50oC sampai 70oC untuk enzim bebas

dan 60oC sampai 95oC untuk enzim amobil

3. Waktu inkubasi

Variasi yang digunakan adalah mulai dari 60 sampai 80 menit untuk enzim bebas dan 60 sampai 85 menit untuk enzim amobil.

Penentuan stabilitas enzim

Untuk mengetahui stabilitas enzim bebas terhadap waktu penyimpanan

pada suhu kamar, dilakukan pengukuran aktifitas setiap hari. Sedangkan untuk enzim

amobil pengukuran dilakukan setiap dua hari. Pengukuran aktifitas dilakukan sampai

terlihat penurunan aktifitas baik enzim bebas maupun amobil dapat diabaikan. Untuk

mengetahui stabilitas enzim amobil pada pemakaian berulang, dilakukan pemakaian

berulang sampai terlihat penurunan aktivitas terabaikan.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Amobilisasi Enzim α-Amilase

Umumnya proses amobilisasi enzim menyebabkan peningkatan stabilitas enzim

14

Page 15: Upload Scrib

namun menyebabkan penurunan aktivitas enzim. Tetapi dengan menggunakan metode

adsorpsi fisik hanya terjadi sedikit penurunan aktivitas enzim yaitu 3,69%. Hal ini

dapat dilihat dari aktivitas spesifik enzim bebas yaitu 93,95 x 10-2 unit/mg dan

aktivitas enzim amobilnya adalah 90,48 x 10-2 unit/mg.

Kitin dapat mengikat enzim α-amilase sebanyak 0,0194; 0,0190; 0,0205 (mg

protein/ mg kitin) dengan rerata 0,0196 mg protein/mg kitin. Banyaknya enzim yang

diserap ini dihitung dari selisih antara kadar protein enzim bebas dengan kadar

protein filtrat pada proses amobilisasi. Kadar protein enzim bebas adalah 1,038 mg,

kadar protein filtrat yaitu 0,449 mg. Dengan kata lain protein enzim yang diikat oleh

kitin adalah 56,74%.

Menurut J. Synoweicki, et.al. (1981) kesesuaian kitin sebagai bahan pendukung

untuk amobilisasi enzim tergantung pada derajat deproteinasi, keberadaan gugus

amino, kandungan mineral, ukuran partikel, struktur permukaan, dan konformasi molekul

kitin.

Karakterisasi Enzim α-Amilase bebas dan Amobil pH Optimum

Penentuan pH optimum dilakukan dengan mengukur aktivitas enzim α-amilase pada

berbagai variasi substrat amilum. pH optimum enzim α-amilase bebas diperoleh pada

pH 7,0 dengan aktivitas unit sebesar 38,98 x 10-2unit/ml, untuk enzim α-amilase amobil,

aktivitas tertinggi diperoleh pada pH 5,5 dengan aktivitas unit sebesar 4,55 x 10-2 unit/ml,

seperti yang terlihat pada Gambar 3.

15

Page 16: Upload Scrib

Ak

tivi

tas

Un

it (

unit

/ml)

x 10

-245

40

35

30

25

20

15

10

5

0

4.5 5 5.5 6 6.5 7 7.5 8

pH

Enzim Bebas

Enzim Amobil

Gambar 1. Kurva hubungan antara pH reaksi dengan aktivitas enzim α-amilasebebas dan amobil (diukur pada kondisi reaksi, enzim bebas T : 55oC; t = 60 menit; dan enzim amobil T = 60oC; t = 60 menit).

Aktivitas enzim α–amilase bebas terlihat naik dengan naiknya pH sampai dengan pH 7, pada

pH 7,5 aktivitas enzim menurun. Hal ini menunjukkan bahwa pada pH 7 gugus pemberi atau

penerima elektron yang penting pada sisi katalitik enzim berada dalam tingkat ionisasi yang

diinginkan (Lehninger,1988). Enzim seperti umumnya protein, memiliki gugus yang dapat

berionisasi sehingga perubahan pH dapat mempengaruhi konformasi enzim, ikatan enzim

dengan substrat, serta gugus aktif pada pusat aktif enzim, sehingga aktivitas enzim juga

terpengaruh (Wiseman, 1985 dalam Asroni, dkk., 1996).

Enzim α–amilase amobil memiliki pH optimum yang lebih rendah dari enzim bebas yaitu

5,5, perubahan pH enzim amobil ke arah asam ini disebabkan oleh muatan bahan pendukungnya

(kitin) bersifat negatif, seperti dikatakan Suhartono (1989) dan Mubarok (1996) dalam Derita

(1997) pH aktivitas enzim akan bergeser ke arah asam jika muatan bahan pendukungnya

bersifat negatif dan akan bergeser ke arah basa jika bahan pendukungnya bersifat positif.

16

Page 17: Upload Scrib

Suhu Optimum

Suhu optimum adalah suhu yang diperlukan agar aktivitas enzim optimum. Suhu

mempengaruhi laju reaksi karena suhu dapat merubah laju pemecahan kompleks enzim-substrat

menjadi produk. Aktivitas enzim α-amilase bebas dan amobil pada berbagai variasi suhu

dapat dilihat pada Gambar 4. Suhu optimum enzim α-amilase bebas adalah 55oC dengan

aktivitas unit sebesar 48,76 x 10-2 unit/ml. Sedangkan enzim α-amilase amobil optimum pada

suhu 90oC dengan aktivitas unit sebesar 74,42 x 10-2 unit/ml.

17

Page 18: Upload Scrib

Ak

tivi

tas

Un

it (

un

it/m

l)x

10-2

80

70

60

50

40

30

20

10

0

45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Suhu (oC

)

EnzimBebas

EnzimAmobil

Gambar 2. Kurva hubungan antara suhu inkubasi dengan aktivitas enzim α-amilase bebasdan amobil (diukur pada kondisi reaksi, enzim bebas pH = 7; t = 70 menit; enzim amobil pH= 5,5; t = 60 menit).

Pada Gambar 4 dapat kita lihat bahwa aktivitas enzim bebas dan amobil bertambah

dengan bertambahnya suhu. Kecepatan reaksi sangat tergantung dari energi kinetik molekul-

molekul yang bereaksi. Kecepatan reaksi enzim dibawah suhu optimum adalah hasil datri

bertambahnya energi kinetik molekul-molekul yang bereaksi, tetapi bila suhu dinaikkan terus,

energi kinetik molekul-molekul enzim menjadi demikian besar sehingga melampaui penghalang

energi untuk memecah ikatan sekunder yang mempertahankan enzim dalam keadaan mantap

atau keadaan katalitik aktif, berubahnya struktur sekunder dan tersier menyebabkan

hilangnya aktivitas enzim (Martin, 1983 dalam Sriana, 2003).

Suhu optimum enzim amobil jauh lebih tinggi dibanding dengan suhu optimum enzim

bebas. Kenaikan suhu optimum pada enzim amobil dikarenakan adanya tambahan energi yang

dibutuhkan agar substrat dapat menembus halangan ruang yang disebabkan oleh bahan

pendukung polimer kitin.

18

Page 19: Upload Scrib

Waktu Inkubasi Optimum

Penentuan waktu inkubasi optimum bertujuan untuk mengetahui pada waktu inkubasi

berapa enzim dapat bekerja maksimum menghasilkan produk tertinggi. Aktivitas enzim α-

amilase bebas dan amobil pada berbagai waktu inkubasi dapat dilihat pada Gambar 5.

19

Page 20: Upload Scrib

Ak

tivi

tas

Un

it (

un

it/m

l)x

10-2

55

50

45

40

35

30

25

20

15

10

5

0

50 55 60 65 70 75 80 85 90

t (menit)

Enzim Bebas

Enzim Amobil

Gambar 3. Kurva hubungan antara waktu inkubasi dengan aktivitas enzim α-amilase bebasdan amobil (diukur pada kondisi reaksi, enzim bebas pH = 7; T = 55oC; enzim amobil pH = 6,5; T = 60oC).

Berdasarkan gambar waktu inkubasi enzim α-amilase bebas adalah 70 menit dengan

aktivitas unit sebesar 48,76 x 10-2 unit/ml, dan enzim α-amilse amobil 90 menit dengan aktivitas

unit sebesar 2,36 x 10-2 unit/ml. Karena adanya halangan ruang yang dibentuk

oleh bahan pendukung, maka enzim amobil memerlukan waktu yang lebih lama untuk

bereaksi dengan substat dibanding dengan enzim bebas. Turunnya aktivitas enzim

setelah waktu inkubasi optimum disebabkan oleh perubakan kondisi reaksi yaitu

perubahan pH yang disebabkan bertambahnya produk pada akhir reaksi.

Stabilitas Enzim Bebas dan Amobil

Kesetabilan enzim α-amilase amobil terhadap penyimpanan pada suhu ruang

meningkat dibandingkan dengan enzim α-amilase bebas. Aktivitas enzim α-amilase

bebas pada penyimpanan hari keempat mengalami penurunan sebesar 79,22% dari hari ke nol

(mula-mula), sedangkan enzim α-amilase amobil pada hari keempat hanya mengalami

penurunan aktivitas sebesar 29,12% dan pada hari ke-10 mengalami penurunan sebesar

49,45% dari hari ke nol (mula-mula). Penurunan aktivitas enzim α-amilase bebas dan amobil

pada penyimpanan suhu ruang dapat dilihat pada Gambar 6.

20

Page 21: Upload Scrib

Ak

tivi

tas

Un

it (

unit

/ml)

x 10

-2

60555045

4035

2520

1510

50

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

Waktu Penyimpanan (Hari)

Enzim Bebas

Enzim Amobil

Gambar 4. Kurva hubungan antara stabilitas enzim terhadap penyimpanan pada suhu ruangdengan aktivitas enzim α-amilase amobil (diukur pada kondisi reaksi, enzim bebas pH = 7; T = 55oC; t = 70 menit; enzim amobil pH = 5,5; T = 90 menit; t = 80 menit).

Seperti telah diungkapkan sebelumnya bahwa keunggulan dari amobilisasi enzim adalah

enzim amobil dapat digunakan berulang kali, tetapi tentu saja dengan aktivitas yang menurun.

Penurunan aktivitas enzim α-amilase amobil pada pemakain berulang dapat dilihat pada

Gambar 7. Penurunan aktivitas ini disebabkan oleh faktor tidak kuatnya ikatan antara enzim

dengan bahan pendukung, sehingga terjadi pelepasan enzim selama pemakaian. Hal ini seperti

dikatakan oleh Chibata (1978) bahwa kelemahan metode adsorbsi adalah lemahnya ikatan

antara enzim dengan bahan pendukung.

21

Page 22: Upload Scrib

Akt

ivit

as

Un

it (

un

it/m

lx10-2

575451484542393633302724211815129630

0 1 2 3 4 5 6 7

Pemakaian

Gambar 5. Kurva hubungan antara stabilitas enzim α-amilase amobil terhadap pemakaian

berulang dengan aktivitas enzim amobil (diukur pada kondisi reaksi pH = 5,5; T = 90oC; t = 80menit

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa amobilisasi

enzim α-amilase dengan bahan pendukung polimer kitin dengan metode adsorpsi fisik dapat

meningkatkan stabilitas enzim dengan penurunan aktivitas enzim yang sangat kecil, yaitu

3,69%. Hasil karakterisasi enzim α-amilase bebas adalah suhu optimum 55oC, pH optimum 7,0,

dan waktu inkubasi optimum 70 menit,dengan aktifitas unit sebesar 48,76 x 10-2 unit/ml. Hasil

karakterisasi enzim α-amilase amobil adalah suhu optimum 90oC, pH optimum 5,5, dan waktu

inkubasi optimum 80 menit, dengan aktivitas unit sebesar 53,33 x 10-2 unit/ml. Stabilitas enzim

α-amilase bebas terhadap penyimpanan pada suhu ruang mengalami penurunan aktivitas

22

Page 23: Upload Scrib

sebesar

63,02% setelah hari ke-4 penyimpanan. Sedangkan enzim α-amilase amobil

mengalami penurunan aktivitas sebesar 49,45% setelah hari ke-10 penyimpanan. Stabilitas enzim

α-amilase amobil terhadap pemakaian berulang mengalami penurunan aktivitas sebesar

88,56% setelah pemakaian ke-6.

Pemanfaatan Limbah Cair Ekstraksi Kitin Dari Kulit Udang Produk Proses Kimiawi Dan Biologis Sebagai Imbuhan Pakan Dan Implikasinya

Terhadap Pertumbuhan Ayam Broiler

Ransum merupakan faktor penentu terhadap pertumbuhan, disamping bibit dan

tatalaksana pemeliharaan. Optimalitas performan ayam broiler dapat terealisasi bila diberi

ransum bermutu yang memenuhi persyaratan tertentu dalam jumlah yang cukup.

Pemenuhan kebutuhan zat makanan dalam ransum dapat dilakukan dengan

menambahkan imbuhan pakan (feed suplement) guna meningkatkan kualitas dan efisiensi

ransum. Salah satunya adalah pemanfaatan limbah cair ekstraksi kitin dari limbah udang

yang diolah secara kimiawi dan biologis melalui tahapan deproteinasi-demineralisasi.

Proses deproteinasi dan demineralisasi dapat dilakukan secara kimiawi dan biologis. Cara

kimiawi pada tahap deproteinasi menggunakan NaOH, dan pada tahap demineralisasi

menggunakan H2SO4. Adapun cara biologis pada tahap deproteinasi menggunakan

bakteri Bacillus licheniformis, dan pada tahap demineralisasi menggunakan kapang

Aspergillus niger. Produk cair ekstraksi kitin tersebut digunakan sebagai imbuhan pakan

pada ransum ayam broiler.

Penelitian telah dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ternak Unggas, Non Ruminansia dan

Industri Makanan Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Jatinangor-

23

Page 24: Upload Scrib

Sumedang selama lima bulan, yaitu dari Bulan Mei sampai dengan Oktober 2006. Tujuan

penelitian adalah untuk mendapatkan kondisi proses (dosis zat kimia atau mikroba dan

lama proses pengoalhan) yang optimal pada tahapan deproteinas-i deminerlisasi secara

kimiawi dan biologis terhadap protein dan mineral terlarut dari ekstraksi kitin. Produk

ekstraksi kitin dijadikan imbuhan pakan untuk mendapatkan tingkat penggunaan yang

optimal dalam ransum terhadap nilai kecernaan dan performan ayam broiler. Percobaan

dilakukan dalam tiga tahap dengan menggunakan metode eksperimental di laboratorium.

Tahap pertama, menggunakan rancangan tersarang (3X3) yang diulang 3 kali. Tahap

kedua dan ketiga, menggunakan rancangan acak lengkap, terdiri atas 8 perlakuan dan

diulang 4 kali. Peubah yang diamati pada tahap pertama: kandungan protein, kalsium dan

fosfor terlarut produk cair ekstraksi kitin; tahap kedua: kecernaan bahan kering, protein

dan bahan organik ransum; tahap ketiga: konsumsi ransum, pertambahan berat badan dan

konversi ransum ayam broiler. Hasil yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam dan

perbedaan antar perlakuan diuji dengan uji jarak berganda Duncan. Kesimpulan hasil

penelitian: Ekstaksi kitin limbah udang secara biologis melalui proses deproteinasi oleh

Bacillus licheniformis pada dosis 4% selama 48 jam, dan dilanjutkan dengan

demineralisasi oleh Aspergillus niger pada dosis 2% selama 48 jam menghasilkan protein

dan mineral terlarut terbaik. Produk cair ekstraksi kitin secara biologis dapat dijadikan

imbuhan pakan, dan digunakan sebesar 3% dalam ransum ayam broiler untuk

menghasilkan nilai kecernaan dan performan yang optimal.

24

Page 25: Upload Scrib

DAFTAR PUSTAKA

A b u n,. T. Aisjah, dan D. Saefulhadjar, 2006. Pemanfaatan Limbah Cair Ekstraksi Kitin Dari Kulit Udang Produk Proses Kimiawi Dan Biologis Sebagai Imbuhan Pakan Dan Implikasinya Terhadap Pertumbuhan Ayam Broiler. Universitas Padjadjaran. www.pustaka ilmiah.com

Krissetiana H., 2004. Kitin dan Kitosan dari Limbah Udang. www.suara Merdeka.com di akses 1 Desember 2009

Laila A., dan J. Hendri, 2008. Study Pemanfaatan Polimer Kitin Sebagai Media Pendukung Amobilisasi Enzim Α-Milase. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008 Universitas Lampung, 17-18 November 2008

Rochima E., 2006. Karakterisasi Kitin Dan Kitosan Asal Limbah Rajungan Cirebon

Jawa Barat. www.google.com

Rahayu S., 2004. Karakteristik Biokimiawi Enzim Termostabil. Penghidrolisis Kitin. Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS 702) Sekolah Pasca Sarjana / S3. Institut Pertanian Bogor. Posted 21 December 2004

25