Upaya Pokok Puskesmas P2M

download Upaya Pokok Puskesmas P2M

If you can't read please download the document

description

upaya pokok puskesmas

Transcript of Upaya Pokok Puskesmas P2M

20

UPAYA POKOK PUSKESMAS

PEMBERANTASAN PENYAKIT MENULAR (ISPA) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SUNGAI BESAR BANJARBARU

Oleh :

Lina Rahmiati, S.KedI1A008007

Adelia Anggraini Utama, S.KedI1A008025

Fiqih Fakhriana Kartini, S.KedI1A008028

Yosi Rizal, S.KedI1A008036

BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN UNLAM

BANJARBARU

November, 2013

UPAYA POKOK PUSKESMAS

PEMBERANTASAN PENYAKIT MENULAR DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SUNGAI BESAR BANJARBARU

Latar Belakang

Sebagai perwujudan Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010 (RPKMIS), telah disusun pokok-pokok program pembangunan kesehatan yang salah satunya adalah program upaya kesehatan yang antara lain mencakup program penyakit menular. Pelaksanaan program pemberantasan penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) adalah bagian dari pembangunan kesehatan, dan merupakan upaya yang mendukung peningkatan kualitas sumber daya manusia serta merupakan bagian dari upaya pemberantasan dan pencegahan penyakit menular.

Penyakit ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak. Episode penyakit batuk pilek pada balita di Indonesia diperkirakan 3-6 kali per tahun. ISPA juga merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien di sarana kesehatan. Sebanyak 40%-60% kunjungan berobat di Puskesmas dan 15%-30% kunjungan berobat di bagian rawat jalan dan rawat inap di Rumah Sakit disebabkan oleh ISPA.

Program Pengendalian Penyakit ISPA (P2ISPA) di Indonesia mulai pada tahun 1984, bersamaan dengan dimulainya P2 ISPA di tingkat global oleh WHO. Dalam perjalanannya, P2 ISPA telah mengalami beberapa perkembangan. Pada Periode pra-implementasi telah dilaksanakan 2 kali lokakarya ISPA Nasional, yaitu tahun 1984 dan tahun 1988. Pada lokakarya ISPA Nasional tahun1984, menghasilkan pengembangan sistem dan pengklasifikasian penyakit ISPA menjadi ISPA ringan, sedang dan berat sedangkan pada lokakarya ISPA Nasional tahun 1988, disosialisasikan pola baru tata laksana kasus ISPA. Tatalaksana pola baru ini selain menggunakan tata cara klasifikasi gejala penyakit yang praktis dan sederhana dengan teknologi tepat guna, juga memisahkan antara tata laksana penyakit Pneumonia dan tata laksana penderita penyakit infeksi akut telinga dan tenggorok.

Lokakarya Nasional III tahun 1990 di Cimacan telah menyepakati untuk menerapkan pola baru tata laksana kasus ISPA di Indonesia dengan melakukan adaptasi sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Dengan penerapan pola baru ini, maka sejak tahun 1990 Pngendalian Penyakit ISPA menitikberatkan atau memfokuskan kegiatan penanggulangannya pada Pneumonia balita.

Pada tahun 1997 WHO memublikasikan tatalaksanan penderita Balita dengan menggunakan pendekatan Integrated Management of Childhood (IMCI) atau Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) yang merupakan model tata laksana kasus terpadu utnutk berbagai penyakit anak, yaitu : Pneumonia, Diare, Campak, Gizi Kurang, dan Kecacingan.

Dalam pertemuan Revisi Modul tata laksana Standar Penyakit ISPA yang dihadiri oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dan Dokter Spesialis Anak dari 14 Fakultas Kedokteran di Indonesia untuk merevisi tata laksana Pneumonia Balita sesuai dengan perkembangan terbaru khususnya perubahan pemberian antibiotik dari 5 hari menjadi 3 hari pengobatan.

Peningkatan pelaksanaan P2 ISPA perlu didukung dengan peningkatan sumber daya termasuk dana. Semua sumber dana pendukung program yang tersedia baik APBN, APBD kabupaten/kota/provinsi dan dana kerja sama harus di manfaatkan sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan program dan target yang telah ditentukan.

Sejalan dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah Daerah dan UU No. 33 tahun 2004 tentang Pembangunan Keuangan Pusat dan Daerah maka daerah otonomi harus mempunyai kemampuan menentukan skala prioritas pembangunan di daerahnya masing-masing sesuai dengan kebutuhan setempat dan mencari sumber-sumber pembiayaan di samping memperhatikan komitmen global/internasional dan nasional.

Di samping itu sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) RI No. 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) menyatakan bahwa kabupaten/kota wajib menyelenggarakan pelayanan kesehatan sesuai dengan SPM yang telah ditetapkan, salah satunya adalah Pencegahan dan Pengendalian Penyakit ISPA.

Hasil eksplorasi data SKRT 2001 menunjukkan bahwa Angka Kematian Bayi akibat penyakit sistem pernafasan adalah 4,9/1.000 balita, yang berarti ada sekitar 5 dari 1.000 balita yang meninggal setiap tahunnya akibat pneumonia, atau rata-rata 1 anak balita meninggal akibat pneumonia setiap 5 menit.

Program pemberantasan penyakit ISPA dicanangkan tahun 1984 dengan dibentuknya Subdit ISPA berdasarkan Kepmenkes No.558 Th.1984.

Pelaksanaan program pemberantasan penyakit infeksi saluran pernafasan akut adalah bagian dari pembangunan kesehatan, dan merupakan upaya yang mendukung peningkatan kualitas sumber daya manusia serta merupakan bagian dari upaya pemberantasan dan pencegahan penyakit menular.

Tujuan Penulisan

Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui upaya penanggulangan penyakit menular khususnya ISPA pada masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Sungai Besar Banjarbaru melalui Program Pemberantasan dan Penanggulangan ISPA (P2 ISPA)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ISPA

2.1. Definisi ISPA

Istilah ISPA yang merupakan singkatan dari infeksi saluran pernafasan akut mulai diperkenalkan pada tahun 1984 setelah dibahas dalam lokakarya Nasional ISPA di Cipanas. Istilah ini merupakan padanan istilah Inggris Accute Respiratory Infections (ARI). ISPA merupakan penyakit infeksi yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran nafas, mulai dari hidung (saluran nafas atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya seperti sinus, rongga telinga, dan pleura.

Etiologi

Etiologi ISPA terdiri dari lebih dari 300 jenis bakteri, virus, dan riketsia, seperti:

Bakteri, antara lain genus Streptokokus, Stafilokokus, Pneumokokus, Hemofillus, Bordetella, dan KorinebakteriumVirus, antara lain golongan Miksovirus, Adenovirus, Koronavirus, Pikornavirus, Mikoplasma, Herpesvirus, dan lain-lain

Diagnosis etiologi pneumonia pada balita sukar ditegakkan karena dahak biasanya sukar diperoleh, sedangkan prosedur pemeriksaan imunologi belum memberikan hasil yang memuaskan untuk menentukan adanya bakteri sebagai penyebab pneumonia. Hanya biakan dari spesimen pungsi atau aspirasi paru serta pemeriksaan spesimen darah yang dapat diandalkan untuk membantu menegakkan diagnosis etiologi pneumonia. Meskipun pemeriksaan spesimen pungsi paru merupakan cara yang sensitif untuk mendapatkan dan menentukan bakteri penyebab pneumonia pada balita akan tetapi pungsi paru merupakan prosedur berbahaya dan bertentangan dengan etika, terutama jika hanya dimaksudkan untuk penelitian.

2.3. Epidemiologi

ISPA khususnya pneumonia masih merupakan penyakit utama penyebab kesakitan dan kematian bayi dan balita. Pneumonia menyebabkan empat juta kematian pada anak anak balita di dunia, dan ini merupakan 30% dari seluruh kematian yang ada. Di negara-negara berkembang pneumonia merupakan penyebab kematian utama. Keadaan ini berkaitan dengan berbagai kondisi seperti malnutrisi, kondisi lingkungan juga polusi di dalam rumah seperti asap, debu, dan sebagainya.

Angka kematian ISPA menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 1994, 1997, dan 2002 menunjukkan bahwa angka kematian balita cenderung mangalami penurunan secara signifikan. Berdasarkan hasil SUKERNAS 2001 tampak bahwa proporsi kematian bayi karena penyakit saluran pernafasan pada bayi (usia < 1 tahun) sebesar 23,9% di Jawa dan Bali, 15,8% di Sumatra, serta 42,6% di kawasan Timur Indonesia; dan pada anak balita sebesar 16,7% di Jawa-Bali, 29,4% di Sumatra, 30,3% di kawasan Tinur Indonesia.

Kurang lebih 10% kasus ISPA berlanjut atau terjadi dalam bentuk ISPA sedang dan berat yang memerlukan antimikroba. Dari seluruh kasus ISPA, 1-3% diantaranya dalam bentuk ISPA berat yang perlu dirawat. Sebab utama kematian ISPA berat adalah pneumonia, yang menjadi perhatian utama dalam upaya pemberantasan ISPA.

Klasifikasi ISPA

Klasifikasi Batuk dan Kesukaran Bernafas

Kriteria untuk menggunakan pola tatalaksana penderita ISPA adalah balita dengan gejala batuk dan atau kesukaran bernafas. Pola tatalaksana ini terdiri dari 4 bagian yaitu:

PemeriksaanPenentuan ada tidaknya tanda bahayaPenentuan klasifikasi penyakitPengobatan dan tindakan

Dalam penentuan klasifikasi penyakit dibedakan atas dua kelompok, yaitu kelompok untuk umur 2 bulan - < 5 tahun dan kelompok untuk umur < 2 tahun.

Tabel 1. Klasifikasi Pneumonia Berdasarkan Kelompok Umur

KELOMPOK UMUR

KLASIFIKASI

> 2 Bulan - < 5 tahun

Pneumonia Berat

Pneumonia

Bukan Pneumonia

< 2 Bulan

Pneumonia Berat

Bukan Pneumonia

Dalam pendekatan MTBS, klasifikasi pneumonia berat pada kelompok umur < 2 bulan adalah gangguan nafas dan mungkin infeksi bakteri sistemik.

Klasifikasi Pneumonia Berat

Berdasarkan adanya batuk dan atau kesukaran bernafas disertai sesak nafas atau tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest indrawing) pada anak usia 2 bulan -