Upaya Penggalian Situs Megalitikum Gunung Padang Dan Aspek Dampak Lingkungan

16
Upaya Penggalian Situs Megalitikum Gunung Padang dan Aspek Dampak Lingkungan 1. PENDAHULUAN Situs Gunung Padang merupakan situs prasejarah peninggalan kebudayaan Megalitikum di Jawa Barat. Tepatnya berada di perbatasan Dusun Gunung padang dan Panggulan, Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur.Lokasi dapat dicapai 20 kilometer dari persimpangan kota kecamatan Warung Kondang, dijalan antara Kota Kabupaten Cianjur dan Sukabumi. Luas kompleks "bangunan" kurang lebih 900 m², terletak pada ketinggian 885 m dpl, dan areal situs ini sekitar 3 ha, menjadikanya sebagai kompleks punden berundak terbesar di Asia Tenggara. Laporan pertama mengenai keberadaan situs ini dimuat pada Rapporten van de Oudheidkundige Dienst (ROD, "Buletin Dinas Kepurbakalaan") tahun 1914. Sejarawan Belanda, N. J. Krom juga telah menyinggungnya pada tahun 1949. Setelah sempat "terlupakan", pada tahun 1979 tiga penduduk setempat, Endi, Soma, dan Abidin, melaporkan kepada Edi,

description

gunung padang

Transcript of Upaya Penggalian Situs Megalitikum Gunung Padang Dan Aspek Dampak Lingkungan

Upaya Penggalian Situs Megalitikum Gunung Padang dan Aspek Dampak Lingkungan

1. PENDAHULUANSitus Gunung Padang merupakan situs prasejarah peninggalan kebudayaan Megalitikum di Jawa Barat. Tepatnya berada di perbatasan Dusun Gunung padang dan Panggulan, Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur.Lokasi dapat dicapai 20 kilometer dari persimpangan kota kecamatan Warung Kondang, dijalan antara Kota Kabupaten Cianjur dan Sukabumi. Luas kompleks "bangunan" kurang lebih 900 m, terletak pada ketinggian 885 m dpl, dan areal situs ini sekitar 3 ha, menjadikanya sebagai kompleks punden berundak terbesar di Asia Tenggara.Laporan pertama mengenai keberadaan situs ini dimuat pada Rapporten van de Oudheidkundige Dienst (ROD, "Buletin Dinas Kepurbakalaan") tahun 1914. Sejarawan Belanda, N. J. Krom juga telah menyinggungnya pada tahun 1949. Setelah sempat "terlupakan", pada tahun 1979 tiga penduduk setempat, Endi, Soma, dan Abidin, melaporkan kepada Edi, Penilik Kebudayaan Kecamatan Campaka, mengenai keberadaan tumpukan batu-batu persegi besar dengan berbagai ukuran yang tersusun dalam suatu tempat berundak yang mengarah ke Gunung Gede. Selanjutnya, bersama-sama dengan Kepala Seksi Kebudayaan Departemen Pendidikan Kebudayaan Kabupaten Cianjur, R. Adang Suwanda, ia mengadakan pengecekan. Tindak lanjutnya adalah kajian arkeologi, sejarah, dan geologi yang dilakukan Puslit Arkenas pada tahun 1979 terhadap situs ini.

Cagar budaya Situs Gunung Padang adalah situs megalitik yang tersusun dari batu-batu kekar kolom (columnar joints) membentuk lima teras seluas 3 hektar di atas bukit. Wajah situs Gunung Padang masih terbenam dalam tanah. Namun diyakini para ahli, beberapa tahun kemudian tempat tersebut akan cantik melebihi Candi Borobudur. Situs zaman prasejarah yang berada di Cianjur itu kini baru terlihat bebatuannya saja. Menurut para ahli yang tergabung dalam Tim Terpadu Riset Mandiri (TTRM), dengan pemugaran, Gunung Padang akan menjadi situs yang menarik di dunia.

Gambar 1. Situs Gunung Padang

Kelestarian kawasan Gunung Padang terancam sejak Tim Terpadu Riset Mandiri Gunung Padang yang dibentuk oleh Sekretariat Kabinetmenyatakan bahwa di bawah situs tersebut terpendam piramid dan bukti adanya kehidupan masa 10.000 tahun silam. Tim Terpadu Riset Mandiri pun pernah memaparkan bahwa di bawah Gunung Padang terdapat bangunan utama seluas 15 hektar dengan tinggi 110 meter. Upaya restorasi yang akan dilakukan terhadap Situs Gunung Padang dikhawatirkan akan merusak lingkungan sekitar sebab pada akhirnya upaya penelitian tersebut ke depan akan terbengkalai, sehingga merusak keutuhan cagar budaya. Staff Wahana Lingkungan Hidup. Seperti yang dikatakan oleh TTRM bahwa masih terdapat struktur bangunan setinggi 110 meter dibawah tanah yang apabila dilakukannya restorasi dikhawatirkan akan merusak ekosistem, cagar budaya, serta penggalian tanah yang bisa menyebabkan kerusakan pada struktur Situs Gunung Padang tersebut. Namun disisi lain, upaya restorasi ini dapat bermanfaat untuk kejayaan dan kemakmuran bangsa dan negara. Dan untuk mengungkap sejarah dan jati diri serta membangun karakter bangsa yang lebih kuat. Kata Dr. Ali Akbar Ketua Tim Terpadu Riset Mandiri Gunung Padang.Pro dan kontra mengenai kepastian situs megalitikum Gunung Padang masih terjadi hingga kini. Sebagian pakar berpendapat bahwa Gunung Padang bukanlah sebuah piramida seperti yang diyakini oleh para arkeolog. Penelitian terus dilakukan secara berkelanjutan oleh para ahli. Terhitung sejak bulan Maret 2011, Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana membentuk tim peneliti yang diberi nama Tim Katastrofi Purba yang diketuai oleh Dr. Danny Hilman Natawidjaja dan terdiri dari pakar kebumian. Seorang arkeolog yang juga dikenal sebagai pakar piramida dunia asal Bosnia, Prof. Dr. Oppenheimer, sangat mengapresiasi dan tertarik untuk ikut terlibat dalam penelitian situs Gunung Padang ini.

2. Pro dan Kontra pada Penelitian LanjutanPerkembangan penelitian akhirnya menginisiasi Tim Katastrofi Purba untuk melakukan studi lanjutan dengan memperluas bidang disiplin ilmu dan berbagai keahlian, maka dibentuklah Tim Terpadu Penelitian Mandiri Gunung Padang. Tim ini terdiri dari beberapa pakar di bidang ilmu lain, seperti Dr. Ali Akbar yang merupakan peneliti prasejarah dari Universitas Indonesia, Pon Purajatnika, M.Sc. sebagai pemimpin penelitian bidang arsitektur dan kewilayahan, Dr. Budianto Ontowirjo sebagai pemimpin penelitian sipil struktur, dan Dr. Andang Bachtiar yang merupakan pakar paleosedimentologi sebagai pemimpin penelitian lapisan-lapisan sedimen di Gunung Padang. Upaya pemugaran situs Gunung Padang terus dilakukan oleh pemerintah, sebab jika terbukti benar bahwa Gunung Padang merupakan piramida tertua di dunia, tentu hal ini akan berdampak besar bagi perubahan sejarah dunia. Peradaban tertua dunia bisa saja terjadi di Indonesia. Hal ini akan menjadi simbol kebesaran bangsa Indonesia, destinasi wisata budaya yang nyata bahkan terbesar di duniaDi dalam ilmu arkeologi, untuk mengetahui usia situs secara akurat menggunakan uji pertanggalan absolut, misalnya carbon dating (C-14) dan tentu saja dilakukan di situs tersebut. Carbon dating merupakan salah satu metode pengujian usia dengan meneliti karbon yang masih tersisa pada material organik misalnya kayu dari masa lalu. Sampel-sampel yang diperoleh Tim Katastropik Purba dan TTRM (Tim Terpadu Riset Mandiri) berasal dari situs Gunung Padang. Sampel diperoleh dengan metode ilmiah, yakni pengeboran dan ekskavasi arkeologi. Sampel diuji di laboratorium Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) di Jakarta dan sebagai pembanding juga diuji di Laboratorium Beta Analytic di Miami, Amerika Serikat.Berikut merupakan hasil penelitian dari berbagai bidang disiplin ilmu yang menguatkan pernyataan bahwa Gunung Padang merupakan sebuah situs piramida, sekaligus menjadi yang tertua di dunia.a. Salah satu sampel paleosoil berusia 4700 Sebelum Masehi (SM). Usia sampel tersebut lebih tua dibandingkan piramida di Mesir yang berusia sekitar 2500 SM maupun peradaban Mesopotamia yang berusia sekitar 4000 SM. Selain itu, hasil ekskavasi arkeologi memperoleh sampel karbon tepat di atas struktur batu susunan manusia masa lalu. Pada kedalaman 2 meter diperoleh arang sisa pembakaran aktivitas manusia yang setelah diuji di laboratorium menghasilkan usia 7.095 (plus-minus --AGZ) 60 tahun BP (sekitar 5200 SM atau 7.200 tahun yang lalu).b. Berdasarkan pemindaian geofisika oleh ahli geologi Dr. Danny Hilman dan para geolog TTRM menggunakan geolistrik, georadar, dan geomagnet, diperoleh citra-citra di bawah permukaan tanah (subsurface) situs Gunung Padang terdapat anomali atau bentuk-bentuk yang tidak alamiah.c. Berdasarkan hasil pengeboran yang dilakukan mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Dr. Andang Bachtiar juga terdapat indikasi campur tangan manusia masa lalu sampai kedalaman 7 meter.d. Berdasarkan hasil lab metalurgi, "ancient cemen" atau perekat (suar) Gunung Padang ditemukan di antara tumpukan batu-bantu andesit kekar kolom pada sisi lereng yang curam di daerah batas antara teras 1 dan 2 yang dilakukan tim arkeologi. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa komposisi yang terkandung dalam semen perekat adalah; 41 persen kuarsa mono kristalin, 45 persen oksida besi magnesium dan 14 persen lempung. Sementara oksida terdiri dari hematite 11 persen, magnetite 29 persen dan beberapa jenis oksida besi yang tidak spesifik sebanyak 5 persen. Hal ini diperkuat analisis lab difraksi X ray, belum ditambah hasil petrografi. Oksida besi di semen dan pasir piramid Gunung Padang menjelaskan adanya proses intervensi manusia dengan pemanasan dan pembakaran untuk memurnikan konsentrasi.e. Menurut Pon Purajatniko, anggota dari TTRM menyatakan bahwa struktur teras-teras Gunung Padang mirip situs Machu Picchu di Peru. Hasil survei geolistrik, dan georadar juga sudah dapat memperlihatkan struktur (geologi) bawah permukaan yang membentuk morfologi bukit Gunung Padang adalah lapisan batuan dengan ketebalan 30-50 meter yang mempunyai nilai tahanan listrik (resistivitas) sangat tinggi (ribuan Ohm-Meter) berbentuk seperti lidah dengan posisi hampir horisontal, selaras dengan bukit memanjang utara-selatan, dan miring landai ke arah utara. Jadi selaras juga dengan undak-undak teras yang dibangun di atasnya.

Namun pernyataan-pernyataan tersebut juga disanggah oleh beberapa ahli. Misalnya saja pernyataan Danny Hilman Natawidjaja, geolog dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang termasuk dalam TTRM, bahwa Gunung Padang menyimpan ruangan bagian bangunan yang berasal dari masa lebih dari 10.000 Sebelum Masehi. Ruangan itu berada di zona yang disebut lapisan budaya tiga dan empat dalam penelitian. temuan tersebut dibuat berdasarkan analisis georadar, geolistrik, pengeboran, serta tomografi yang dilakukan hingga Juli 2013. Pada dasarnya metode tomografi adalah pemindaian dengan menggunakan bantuan gelombang suara. Lewat cara ini, tim bisa mengetahui karakteristik lapisan batuan serta struktur buatan yang mungkin ada di dalam tanah. Tomografi menganalisis berdasarkan kecepatan rambat suara. Jika di zona yang padat, suara akan bergerak cepat. Sementara kalau di daerah yang kosong atau tidak padat, suara bergerak lebih lambat. Berdasarkan analisis tomografi, tim menemukan adanya zona dengan kecepatan rambat suara yang sangat lambat. Keberadaan zona tersebut menunjukkan adanya rongga di bawah situs Gunung Padang. Hasil pengeboran, analisis geolistrik, dan georadar memperkuat hasil analisis tomografi. Pada pengeboran hingga kedalaman 10 meter, tim menjumpaiwater loss, di mana ketika dibor, air langsung mengalir dan meresap di dalam tanah. Danny Hilman Natawidjaja yang juga banyak meneliti tentang kegempaan di Sumatera dan Jawa Barat menjelaskan, volume air yang hilang mencapai 32.000 liter. Ia memperkirakan, air mengalir ke ruangan yang volumenya mencapai 32 meter kubik.Selama penelitian geologis, Danny dan tim juga menemukan lapisan tanah di antara lapisan batuan dan dikatakan bukan merupakan hasil pelapukan. Tanah sengaja dikumpulkan sebagai lapisan bangunan. Danny menyatakan bahwa jika tanah pelapukan, biasanya ada gradasi, ada yang sudah lapuk sempurna sampai yang belum lapuk. Namun tanah di Gunung Padang merupakan tanah yang seragam. Pernyataan-pernyataan Danny Hilman tersebut disanggah oleh geolog senior ESDM, Awang Harun, yang mengungkapkan bahwa zona dengan kecepatan suara rendah sertawater lossyang besar tidak selalu menunjukkan adanya ruangan buatan manusia, bisa saja hanya petunjuk akan fenomena alam tertentu. Wilayah Gunung Padang adalah zona vulkanik. Batuan terbentuk dari lava. Dalam prosesnya, sangat lazim pembekuan batuan tidak seragam. Hasil tomografi bisa merujuk pada lava yang belum benar-benar membeku. Di sisi lain, bisa jadi zona dengan kecepatan suara rendah memang sebuah ruangan. Namun, belum tentu ruangan itu buatan manusia. Bisa saja itu hanya sebuah gua alami. Sementara water loss tidak selalu terjadi karena adanya rongga di bawah permukaan. Water loss besar bisa terjadi bila batuan bersifat porous (memiliki pori-pori besar dan banyak) sehingga air mudah "hilang".Dr. Ali Akbar, seorang arkeolog sekaligus anggota TTRM juga menyatakan bahwa hasil ekskavasi arkeologi sampai kedalaman 4,2 meter terdapat kesesuaian fakta arkeologi dengan data geofisika dan data pengeboran yang diperoleh para ahli geologi TTRM. Berdasarkan temuan di kotak gali, pada kedalaman 2 meter terdapat struktur batu buatan manusia. Struktur ini masih ditemukan sampai kedalaman 4,2 meter dan belum diketahui akan berlanjut sampai kedalaman berapa meter.

3. Upaya Penyelamatan Situs Gunung PadangMenurut UU no. 11 Tahun 2010 mengenai cagar budaya, Situs cagar budaya adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau Struktur Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu. Sejak Maret 2011 Tim peneliti Katastrofi Purba mengadakan survei untuk melihat aktifitas sesar aktif Cimandiri yang melintas dari Pelabuhan Ratu sampai Padalarang melewati Gunung Padang. Ketika tim melakukan survei bawah permukaan Gunung Padang diketahui tidak ada intrusi magma. Setelah survey ke dalam permukaan tanah, semakin meyakinkan bahwa Gunung Padang sebuah bukit yang dibuat atau dibentuk oleh manusia (man-made). Pada November 2011, tim yang dipimpin oleh Dr. Danny Hilman Natawidjaja, terdiri dari pakar kebumian ini semakin meyakini bahwa Gunung Padang dibuat oleh manusia masa lampau yang pernah hidup di wilayah itu. Dengan hasil penelitian tersebut maka Gunung Padang dapat dinyatakan sebagai situs cagar budaya.Untuk penyelamatan cagar budaya, peraturannya ada di RPP tentang pelestarian cagar budaya BAB V bagian kedua mengenai penyelamatan. Berikut sebagian dari pasal pada peraturan tersebut :Pasal 74(1) Penyelamatan Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya dilakukan sesuai kaidah keilmuan dan etika pelestarian, dengan meminimalisir dampak kerusakannya. (2) Kegiatan Penyelamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah diketahui adanya indikasi dan/atau ancaman kerusakan, kehancuran, dan kemusnahan pada Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya baik yang berasal dari faktor internal maupun faktor eksternal. (3) Faktor internal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi faktor usia, kualitas bahan, dan teknologi pengerjaan. (4) Faktor eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi faktor alam, binatang, tumbuhan dan/atau manusia. (5) Penyelamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam keadaan biasa dan keadaan darurat.

Pasal 75(1) Penyelamatan Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya dalam keadaan biasa dilakukan dengan cara: a. perawatan; b. perkuatan; dan/atau c. konsolidasi; (2)Penyelamatan Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya yang disebabkan oleh faktor eksternal selain dilakukan dengan cara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dilakukan dengan: a. memberi talud; b. memberi atap; c. memberi pagar; d. menempatkan petugas Pengamanan; dan/atau e. pemindahan ke tempat yang aman. (3) Penyelamatan Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya dalam keadaan biasa karena dampak kegiatan pembangunan harus dilakukan melalui kegiatan terencana dengan: a. didahului kajian; b. dilakukan oleh Tenaga Ahli Pelestarian; dan c. mempertahankan nilai penting Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya. (4) Penyelamatan Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis dan/atau instansi Pemerintah Daerah yang berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya. (5)Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat yang memiliki, menguasai, atau mengelolanya dapat melakukan Penyelamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dengan Unit Pelaksana Teknis dan/atau instansi Pemerintah Daerah yang berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya.

Pada kasus situs Gunung Padang, yaitu upaya penyelamatan yang terhambat akibat skeptisme dari para ahli dan penolakan dari masyarakat yang akan terkena dampaknya, perlu diketahui bahwa Pemerintah berkewajiban melakukan pencarian benda, bangunan, struktur, dan/atau lokasi yang diduga sebagai Cagar Budaya, dan setiap orang dilarang melakukan pencarian Cagar Budaya atau yang diduga Cagar Budaya dengan penggalian, penyelaman, dan/atau pengangkatan di darat dan/atau di air, kecuali dengan izin Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya. Selain itu perlu juga sosialisasi dengan warga sekitar situs tersebut sehingga tidak ada kesalah pahaman dalam prosesnya. Untuk perlu atau tidaknya kajian Amdal untuk kegiatan ini, perlu ditinjau dari PerMen LH 05 tahun 2012 mengenai jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib Amdal. Karena kegiatan ini mengenai kawasan lindung maka sesuai dengan pasal 3, wajib memiliki Amdal.