UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL...dengan putusan yang bersifat final dan binding. Kedua,...

174
UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH) Oleh : FITRIANA NIM : 1111048000079 K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S PROGRAM STUDI I L M U HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1436 H/ 2015 M

Transcript of UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL...dengan putusan yang bersifat final dan binding. Kedua,...

  • UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

    (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014)

    Skripsi

    Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

    Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

    Gelar Sarjana Hukum (SH)

    Oleh :

    FITRIANA

    NIM : 1111048000079

    K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S

    PROGRAM STUDI I L M U HUKUM

    FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

    SYARIF HIDAYATULLAH

    J A K A R T A

    1436 H/ 2015 M

  • i

    UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

    (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014)

    SKRIPSI

    Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

    Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

    Gelar Sarjana Hukum (SH)

    Oleh:

    FITRIANA

    NIM : 1111048000079

    PEMBIMBING

    DWI PUTRI CAHYAWATI, S.H., M.H

    K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S

    PROGRAM STUDI I L M U HUKUM

    FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

    SYARIF HIDAYATULLAH

    J A K A R T A

    1436 H/2015 M

  • ii

  • iii

    LEMBAR PERNYATAAN

    Dengan ini saya menyatakan bahwa:

    1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah

    satu syarat memperoleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN)

    Syarif Hidayatullah Jakarta.

    2. Semua sumber yang saya gunakan telah tercantum sesuai dengan ketentuan yang

    berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

    3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa skripsi ini bukan karya asli saya atau

    jiplakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di

    Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

    Jakarta, 15 April 2015

  • iv

    ABSTRAK

    FITRIANA, NIM 1111048000079, “UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN

    ARBITRASE NASIONAL (ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH

    KONSTITUSI NOMOR 15/PUU-XII/2014)”. Konsentrasi Hukum Bisnis, Program

    Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif

    Hidayatullah Jakarta, 1436 H/ 2015 M. viii + 85 halaman + 77 hal lampiran.

    Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah upaya pembatalan putusan arbitrase

    berdasarkan UU No.30 Tahun 1999. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

    mekanisme pembatalan putusan arbitrase berdasarkan UU No.30 Tahun 1999, untuk

    mengetahui pertimbangan hukum putusan Mahkamah Kontitusi No.15/PUU-

    XII/2014 atas pengujian penjelasan pasal 70 UU No.30 Tahun 1999 dan untuk

    mengetahui akibat hukum atas lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi terhadap

    upaya pembatalan putusan arbitrase. Tipe penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu

    mengacu pada norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan

    yang berkaitan dengan pembatalan putusan arbitrase serta mengacu pada putusan

    Mahkamah Konstitusi No. 15/PUU-XII/2014. Pendekatan masalah yang digunakan

    yakni pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus

    (case approach). Selanjutnya ada tiga bahan hukum yang digunakan dalam

    penelitian ini yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan tertier.

    Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitan

    kepustakaan (library research). Hasil dari penenlitian ini adalah pertama, mengenai

    mekanisme pembatalan arbitrase berdasarkan UU No. 30 Tahun 1999 sebagaimana

    telah diatur dalam Ps.70 s.d Ps.72 yaitu para pihak dapat mengajukan permohonan

    pembatalan ke Pengadilan Negeri, dengan alasan pembatalan yang terdapat pada

    Ps.70 yang bersifat limitatif dan atas putusan PN terhadap permohonan pembatalan

    putusan arbitrase dapat dilakukan upaya hukum banding ke Mahkamah Agung

    dengan putusan yang bersifat final dan binding. Kedua, pertimbangan hukum pada

    putusan Mahkamah Konstitusi No. 15/PUU-XII/2014 terhadap pengujian penjelasan

    pasal 70 UU No.30 Tahun 1999 adalah bahwa pasal 70 sudah cukup jelas (expressis

    verbis), dan penjelasan pasal 70 telah mengubah norma pasal, menimbulkan norma

    baru dan multitafsir sehingga mengakibatkan ketidakpastian hukum dan bertentangan

    dengan pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Ketiga, akibat hukum atas lahirnya putusan

    MK No.15/PUU-XII/2014 adalah dalam hal mengajukan permohonan pembatalan

    putusan arbitrase atas adanya unsur pembatalan dalam pasal 70 tidak perlu

    dibuktikan terlebih dahulu melalui putusan pengadilan, sebagaimana ketentuan

    penjelasan pasal 70 yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan

    dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan amar putusan

    MK No.15/PUU-XII/2014.

    Kata Kunci: Putusan Arbitrase, Pembatalan, Pasal 70, Mahkamah Konstitusi.

    Dosen Pembimbing: Dwi Putri Cahyawati, S.H.,M.H

    Daftar Pustaka : Tahun 1987 – Tahun 2012

  • v

    KATA PENGANTAR

    Bismillahirrahmanirrahim...

    Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT. Berkat rahmat, nikmat serta

    anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ Upaya

    Pembatalan Putusan Arbitrase Nasional (Analisis Putusan Mahkamah

    Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014)”. Sholawat serta salam penulis sampaikan

    kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia dari

    zaman kegelapan ke zaman yang terang benderang ini.

    Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada

    Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini mungkin

    tidak dapat diselesaikan oleh penulis tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai

    pihak selama penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan

    terimakasih kepada yang terhormat:

    1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Dr.

    Asep Saepudin Jahar, MA,.

    2. Ketua dan Sekertaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah

    Jakarta Bapak Dr. Djawahir Hejjaziey, S.H.,MA, MH. dan Bapak Arip Purkon,

    SHI., MA.

    3. Pembimbing Skripsi penulis, ibu Dwi Putri Cahyawati, S.H.,M.H. Terimakasih

    atas waktu, arahan dan kritik serta saran yang diberikan.

    4. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    khususnya dosen program studi Ilmu Hukum yang telah memberikan ilmu

    pengetahuan yang sangat bermanfaat kepada penulis, khususnya kepada Bapak

    Nur Rohim Yunus, LLM dan Andi Syafrani, SH., MCCL. yang telah

    memberikan arahan terhadap skripsi penulis.

    5. Kepada staff Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan

    Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

  • vi

    6. Kedua orang tua tercinta Ayahanda Ahmad dan Ibunda Euis Hamidah,

    terimakasih atas segala doa dan kasih sayang, motivasi, perhatian dan bantuan

    yang telah dicurahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. kepada

    Kedua Kakak tercinta Yuni Mega Rahayu, S.E dan Nur Rianti A.md terimakasih

    atas segala support, kasih sayang dan doa yang kalian berikan.

    7. Teman-teman Ilmu Hukum angkatan 2011. Khususnya Sahabat-sahabatku

    tercinta Neysa Sabila, Verina Pradita, Citra Chandrika Gita Putri, Clara Fenty

    Zahara, Lidia Asrida dan Syahirah Banun dan teman-teman seperjuangan

    konsentrasi hukum bisnis yang telah sama sama berjuang dan saling memberikan

    motivasi serta semangat dalam menyelesaikan studi demi meraih cita-cita.

    8. Kepada Sahabat-sahabatku tersayang Amaliah, Fitria Tanzila, Sindy Pariamanda,

    Tuti Purwaningsih, Serta Gusti Anugrah, Eko, Rudy dan Rano yang telah

    memberikan support dan semangat tiada henti kepada penulis dalam

    menyelesaikan studi yang penulis tempuh.

    9. Semua Pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini,

    yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu.

    Semoga Allah SWT membalas seluruh kebaikan pihak-pihak yang telah

    mendukung dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, untuk itu

    penulis haturkan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya. Semoga skripsi ini

    bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya.

    Sekian dan terimakasih.

    Wassalamu’alaikum Wr. Wb

    Jakarta, 15 April 2015

    Fitriana

  • vii

    DAFTAR ISI

    LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................ i

    LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .................................................................. ii

    LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... iii

    ABSTRAK ............................................................................................................. iv

    KATA PENGANTAR ........................................................................................... v

    DAFTAR ISI .......................................................................................................... vi

    BAB I : PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1

    B. Pembatasan Masalah dan Permusan Masalah .......................... 6

    C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................ 6

    D. Tinjauan (Riview) Studi Terdahulu .......................................... 8

    E. Kerangka Konseptual ............................................................... 10

    F. Metode Penelitian ..................................................................... 12

    G. Sistematika Penulisan .............................................................. 15

    BAB II : TINJAUAN UMUM ARBITRASE

    A. Pengertian Arbitrase ................................................................. 18

    B. Sumber Hukum Arbitrase ........................................................ 20

    C. Asas-asas Dalam Arbitrase ...................................................... 24

    D. Keunggulan dan Kelemahasan Arbitrase ................................. 27

    E. Jenis-Jenis Arbitrase ................................................................. 30

    F. Perjanjian Arbitrase .................................................................. 32

    G. Kewenangan Arbitrase ............................................................. 35

  • viii

    BAB III : PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE

    A. Jenis Putusan Arbitrase ............................................................ 39

    B. Pelaksanaan Putusan Arbitrase ................................................ 40

    C. Pembatalan Putusan Arbitrase ................................................. 45

    BAB IV :UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

    (ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.

    15/PUU-XII/2014)

    A. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 15/PUU-XII/2014

    1. Posisi Kasus ....................................................................... 53

    2. Pertimbangan dan Amar Putusan Mahkamah Konstitusi

    No.15/PUU-XII/2014 ......................................................... 59

    3. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014

    ............................................................................................. 65

    B. Akibat hukum putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-

    XII/2014 terhadap upaya pembatalan putusan arbitrase .......... 75

    BAB V : PENUTUP

    A. Kesimpulan ............................................................................... 80

    B. Saran ......................................................................................... 83

    DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 85

    LAMPIRAN

    Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Pada kegiatan perdagangan, tak jarang timbul suatu konflik atau sengketa

    dengan bentuk yang beraneka ragam. Sengketa pada dasarnya, hal yang harus

    dihindari, karena akibat yang akan ditimbulkan. Sehingga, dalam hubungan

    kerjasama perdagangan harus diantisipasi kemungkinan-kemungkinan timbulnya

    suatu sengketa. Sebelum timbulnya sengketa, langkah terlebih dahulu yang dapat

    dilakukan yaitu dengan membuat suatu perjanjian atau memasukan suatu klausul

    penyelesaian sengketa dengan memilih upaya yang akan ditempuh sesuai

    kesepakatan bersama melalui pengadilan atau luar pengadilan.1 Upaya penyelesaian

    sengketa yang dapat ditempuh selain melalui pengadilan yakni melalui jalur non

    litigasi atau di luar pengadilan yaitu melalui mediasi, negosiasi, dan konsiliasi serta

    arbitrase.

    Penyelesaian sengketa melalui litigasi di pengadilan, cenderung dapat

    menghasilkan masalah baru karena sifatnya yang win-lose, tidak responsif, time

    consuming proses berperkaranya, dan terbuka untuk umum.2 Untuk itu penggunaan

    1 Meria Utama, Hukum Ekonomi Internasional (Jakarta: PT. Fikahati Aneska, 2012), h.54.

    2 Frans hendra Winarta, Hukum Penyelesaian sengketa; Arbitrase nasional Indonesia dan

    Internasional (Jakarta: PT Sinar Grafika, 2011), h.9.

  • 2

    mekanisme penyelesaian sengketa diluar pengadilan mulai di minati oleh pelaku

    usaha bidang perdagangan, khususnya mekanisme penyelesaian melalui arbitrase.

    Arbitrase merupakan sebuah pilihan alternatif penyelesaian sengketa yang

    paling menarik, khususnya bagi kalangan atau pihak dalam kegiatan perdagangan

    kerena arbitrase dinilai sebagai suatu penyelesaian sengketa yang independen dan

    sesuai dengan keinginan dan kebutuhan.

    Arbitrase pada umumnya merupakan pemeriksaan suatu sengketa yang

    dilakukan secara judisial, walaupun disederhanakan seperti yang dikehendaki oleh

    para pihak yang bersengketa, dalam pemecahannya didasarkan kepada bukti-bukti

    yang diajukan oleh para pihak tersebut.3 Sebagai alternatif penyelesaian sengketa

    arbitrase menawarkan beberapa kelebihan di banding ranah pengadilan yaitu

    penyelesaian yang relatif lebih cepat, sifat kerahasiaan sengketa terjamin dan para

    pihak memiliki kebebasan untuk memilih hakimnya (arbiter) yang netral dan ahli

    mengenai pokok sengketa yang dihadapi para pihak serta tentunya dengan biaya

    terukur.4

    Pada penyelesaian melalui arbitrase, para pihak harus menyatakan dalam

    perjanjian yang memuat klausul bahwa para pihak menyetujui suatu sengketa yang

    terjadi atau akan terjadi di antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase dengan

    3 Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa Sengketa (APS),

    (Jakarta: PT. Fikahati Aneska, 2011), h.12

    4 Meria Utama, Hukum Ekonomi Internasional, h.59.

  • 3

    suatu perjanjian yang tertulis yang telah disepakati para pihak. Dengan begitu

    penyelesaian sengketa yang timbul merupakan kewenangan dari arbitrase.

    Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan

    Alternatif penyelesaian sengketa, arbitrase dan Pengadilan tetap mempunyai

    keterkaitan. Dalam hal ini, keterkaitan atau peranan pengadilan dalam penyelesaian

    sengketa melalui arbitrase disebut dalam beberapa pasal, sebagai bentuk memperkuat

    proses arbitrase sampai pelaksanaan putusan arbitrase. Dalam hal pelaksanaan

    putusan arbitrase nasional, putusan arbitrase wajib diserahkan dan didaftarkan ke

    Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal putusan

    di ucapkan, agar putusan arbitrase dapat dilaksanakan.

    Putusan arbitrase bersifat final dan mengikat (binding), sehingga tidak dapat

    diajukan upaya hukum banding dan kasasi. Namun, terhadap putusan Arbitrase dapat

    diajukan upaya pembatalan putusan arbitrase apabila mengandung unsur-unsur, yang

    telah diatur dalam pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

    Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang berbunyi :

    “Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan

    pemohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengadung unsur-

    unsur antara lain sebagai berikut :

    a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu.

    b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau

    c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa

    Selanjutnya penjelasan pasal 70 mengenai unsur pembatalan putusan

    arbitrase, yang berbunyi :

  • 4

    “Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan

    arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. alasan-alasan pembohonan

    pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan

    pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut

    terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan

    sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak

    permohonan.”

    Dengan demikian, Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan

    Alternatif Penyelesaian Sengketa memberikan ruang dalam upaya pembatalan

    putusan arbitrase yang didasarkan atas terpenuhinya Pasal 70 serta penjelasan pasal

    70. Persyaratan pembatalan putusan arbitrase yang tertuang dalam Pasal 70 beserta

    Pejelasannya sebenarnya harus dipandang dalam satu kesatuan, hal tersebut dilakukan

    untuk membatasi secara tegas agar putusan arbitrase tidak dengan mudah dibatalkan.5

    Namun dalam perkembangannya, mengenai penjelasan pasal 70 Undang-

    Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,

    telah diajukan permohonan uji materil ke Mahkamah Konstitusi oleh pemohon yaitu

    Ir.Darma Ambiar, M.M., Direktur PT Minerina Cipta Guna sebagai pihak pemohon

    I, dan Drs.Sujana Sulaeman, Direktur utama PT. Bangun Bumi Bersatu sebagai

    pihak pemohon II. Dalam hal ini kedua pemohon mempersoalkan penjelasan pasal 70

    Undang-undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

    Sengketa karena dianggap rancu karena mengandung norma baru dan selanjutnya,

    menurut pemohon karena disebabkan oleh penjelasan tersebut, norma pokok Pasal 70

    sendiri menjadi tidak operasional dan menghalangi hak hukum pemohon memperoleh

    5 Media Indonesia, Pembatalan Putusan Arbitrase Munculkan Kesangsian, Artikel diakses

    Pada 4 Februari 2015 dari http://www.mediaindonesia.com/mipagi/read/3333/Pembatalan-Putusan-

    Arbitrase-Munculkan-Kesangsian/2014/08/27

    http://www.mediaindonesia.com/mipagi/read/3333/Pembatalan-Putusan-Arbitrase-Munculkan-Kesangsian/2014/08/27http://www.mediaindonesia.com/mipagi/read/3333/Pembatalan-Putusan-Arbitrase-Munculkan-Kesangsian/2014/08/27

  • 5

    keadilan dengan mengajukan pembatalan putusan arbitarase.6 Atas permohonan uji

    materil penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

    Alternatif Penyelesaian Sengketa yang telah diajukan kepada Mahkamah Konstitusi,

    kemudian lahirlah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014

    menyatakan Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang

    Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa bertentangan dengan Undang-Undang

    Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

    Berdasarkan hal tersebut diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian

    yang membahas mengenai mekanisme dari upaya pembatalan putusan arbitrase

    berdasarkan Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif

    Penyelesaian Sengketa, pertimbangan hukum hakim majelis Mahkamah Konstitusi

    dalam Putusan No. 15/PUU-XII/2014 dan akibat hukum putusan Mahkamah

    Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014 terhadap upaya pembatalan putusan arbitrase,

    sehingga penulis tuangkan dalam bentuk penelitian skripsi dengan judul “Upaya

    Pembatalan Putusan Arbitrase Nasional (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi

    Nomor 15/PUU-XII/2014).”

    6 Hukum Online, MK Perjelas Alasan Pembatalan Putusan Arbitrase Dihapusnya,

    Penjelasan Pasal 70 AAPS tidak ada lagi hambatan bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan atas

    putusan arbritase Artikel di akses 5 Februari 2015 dari

    http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54623aa3a6d07/mk-perjelas-alasan-pembatalan-putusan-

    arbitrase.

    http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54623aa3a6d07/mk-perjelas-alasan-pembatalan-putusan-arbitrasehttp://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54623aa3a6d07/mk-perjelas-alasan-pembatalan-putusan-arbitrase

  • 6

    B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

    1. Pembatasan Masalah

    Agar pembahasan pada penelitian ini terarah dan tidak meluas maka

    penulis hanya memfokuskan pembahasan pada substansi pengaturan hukum yang

    terkait dengan pembatalan putusan arbitrase pada Undang-undang No.30 Tahun

    1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan analisis Putusan

    Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014.

    2. Perumusan Masalah

    Berdasarkan uraian yang penulis jelaskan dalam latar belakang

    masalah, penulis merumuskan permasalahan ke dalam beberapa pertanyaan,

    sebagai berikut:

    a. Bagaimana mekanisme pembatalan putusan arbitrase berdasarkan Undang-

    undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

    Sengketa?

    b. Bagaimana pertimbangan hukum dalam putusan nomor 15/PUU-XII/2014?

    c. Bagaimana akibat hukum atas putusan Mahkamah konstitusi Nomor 15/PUU-

    XII/2014, terhadap upaya pembatalan putusan arbitrase?

    C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

    Berdasarkan penelitian yang dilakukan, berikut penjelasan tujuan dan manfaat

    dari penelitian ini :

  • 7

    1. Tujuan Penelitian

    Sesuai dengan perumusan masalah yang telah diketengahkan oleh penulis,

    maka tujuan penulisan pada penelitian ini yakni sebagai berikut :

    a. Untuk mengetahui mekanisme pembatalan putusan arbitrase berdasarkan

    Undang-undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan APS.

    b. Untuk mengetahui pertimbangan hukum dalam putusan Mahkamah Konstitusi

    No. 15/PUU-XII/2014.

    c. Untuk mengetahui akibat hukum setelah lahirnya putusan Mahkamah

    konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014, terhadap upaya pembatalan putusan

    arbitrase.

    2. Manfaat Penelitian

    Adapun manfaat dari penulisan penelitian ini, dibedakan menjadi dua,

    yakni :

    a. Manfaat Teoritis

    Manfaat dari hasil penelitian ini secara teoritis, diharapkan dapat memberikan

    kontribusi dalam Ilmu Hukum, khususnya dalam Hukum Bisnis yang

    berkaitan dengan penyelesaian sengketa melalui arbitrase.

    b. Manfaat Praktis

    Manfaat dari hasil penelitian ini secara praktik, diharapkan dapat menambah

    wawasan dan pengetahuan serta dapat menambah bahan rujukan bagi

    mahasiswa dalam memahami upaya pembatalan putusan arbitrase.

  • 8

    D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu

    Untuk menghindari kesamaan dalam penelitian ini, penulis melakukan

    pelusuran kajian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini, berikut kajian

    terdahulu yang penulis temukan:

    1. Tesis Program Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro 2005, yang

    disusun oleh Abdul Wahid, SH., dengan judul “Mekanisme Penyelesaian

    Sengketa Bisnis Melalui Arbitrase”, pada penelitian ini membahas mengenai

    mekanisme penyelesaian sengeketa melalui arbitrase dan pada penelitian ini juga

    menelaah mengenai mekanisme penyelesaian sengketa bisnis melalui arbitrase

    dari pengaturan dalam peraturan perundang-undangan maupun aturan prosedural

    (rules) arbitrase institusional, menelaah pada penerapan dari berbagai kasus-kasus

    arbitrase. Berbeda dengan penelitian penulis yang membahas mengenai

    mekanisme upaya pembatalan putusan arbitrase nasional berdasarkan Undang-

    undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

    Sengketa dan Akibat Hukum putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-

    XII/2014 terhadap upaya pembatalan putusan arbitrase.

    2. Tesis Fakultas Pascasarjana, Program studi kajian ilmu kepolisian, Universitas

    Indonesia Jakarta Juni 2011, yang disusun oleh Arman, SIK., dengan judul

    “Analisis Yuridis Terhadap Pembatalan Putusan Arbitrase Di Pengadilan

    Negeri Indonesia Dalam Hal Adanya Dugaan Pemalsuan Dikaitkan dengan

    Sistem Peradilan Pidana Indonesia”, pada penelitian membahas pada

    permasalahan utamanya mengenai kasus arbitrase antara PT. Krakatau Steel dan

  • 9

    International Piping Product (IPP) dan meneliti penerapan Undang-undang No.30

    Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa khususnya

    dalam hal pembatalan putusan arbitrase karena adanya dugaan pemalsuan

    dokumen. Berbeda halnya, dengan penelitian penulis yang ingin membahas

    mengenai mekanisme pembatalan putusan arbitrase berdasarkan Undang-undang

    No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dan

    khususnya menganalisis terhadap putusan Mahkamah Konstitusi No. 15/PUU-

    XII/2014 dengan meneliti dasar dari putusan tersebut yaitu pertimbangan hukum

    hakim majelis Mahkamah konsitusi serta meneliti akibat hukum dari lahirnya

    putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014.

    3. Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

    Hidayatullah Jakarta 2014, yang disusun oleh Atiek AF’Idata dengan judul

    “Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional (Analisis Putusan Mahkamah

    Agung No. 631 K/Pdt.Sus/2012), pada penelitian ini membahas peraturan

    mengenai pembatalan putusan arbitrase Internasional serta praktek beracara yang

    dilakukan oleh lembaga peradilan di Indonesia terutama terkait hukum acara

    arbitrase asing. Berbeda halnya, dengan penelitian penulis yang ingin membahas

    mengenai mekanisme pembatalan putusan arbitrase berdasarkan Undang-undang

    No.30 Tahu 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dan

    khususnya menganalisis terhadap putusan Mahkamah Konstitusi No. 15/PUU-

    XII/2014 dengan meneliti dasar dari putusan tersebut yaitu pertimbangan hukum

  • 10

    hakim majelis Mahkamah konsitusi serta meneliti akibat hukum dari lahirnya

    putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014.

    E. Kerangka Konseptual

    Suatu kerangka konseptual, merupakan kerangka yang menggambarkan

    hubungan antara konsep-konsep khusus, yang ingin atau akan diteliti.7 Dalam

    kerangka konseptual ini dituangkan beberapa konsepsi atau pengertian yang

    digunakan sebagai dasar dari penelitian hukum. berikut kerangka konsepsi yang

    digunakan dalam penulisan skripsi ini :

    1. Alternatif Penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda

    pendapat melalui prosedur yang disepakati oleh para pihak, yakni penyelesaian di

    luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau

    penilaian ahli. (Pasal 1 angka 10 UU No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan

    APS)

    2. Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum

    yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para

    pihak yang bersengketa. (pasal 1 angka 1 UU No.30 Tahun 1999 Tentang

    Arbitrase dan APS)

    3. Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausul arbitrase yang

    tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum

    7 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: UI PRESS, 2010), h. 132.

  • 11

    timbulnnya sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para

    pihak setelah timbul sengketa. (pasal 1 angka 3 UU No.30 Tahun 1999 Tentang

    Arbitrase dan APS)

    4. Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa

    atau yang ditunjuk oleh pengadilan negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk

    memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan

    penyelesaiannya melalui arbitrase. (Pasal 1 angka 7 UU No.30 Tahun 1999

    Tentang Arbitrase dan APS)

    5. Lembaga arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa

    untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu; lembaga tersebut juga

    dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum

    tertentu dalam hal belum timbulnya sengketa. (pasal 1 angka 8 UU No.30 Tahun

    1999 Tentang Arbitrase dan APS).

    6. Putusan Arbitrase Internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu

    lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik

    Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang

    menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan

    arbitrase international. (pasal 1 angka 9 UU No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase

    dan APS).

    7. Pengadilan Negeri adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi

    tempat tinggal termohon. (pasal 1 angka 4 UU No.30 Tahun 1999 Tentang

    Arbitrase dan APS).

  • 12

    F. Metode Penelitian

    Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada

    metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu

    atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya.8 Selanjutnya,

    langkah-langkah yang diambil dalam suatu penelitian hukum harus jelas serta ada

    pembatasan-pembatasan tertentu untuk menghindari jalan yang menyesatkan dan

    tidak terkendali.9 berikut uraian mengenai metode penelitian yang akan penulis

    gunakan:

    1. Tipe Penelitian

    Tipe penelitian yang penulis gunakan adalah yuridis normatif, yaitu

    penelitian di fokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-

    norma dalam hukum positif.10 Pada penelitian ini, penulis mengacu pada norma

    hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan, berkaitan dengan

    pembatalan putusan arbitrase nasional serta mengacu pada putusan Mahkamah

    Konstitusi No. 15/PUU-XII/2014.

    2. Pendekatan Masalah

    Dalam penelitian hukum memiliki beberapa pendekatan yaitu pendekatan

    perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach),

    pendekatan historis (historical approach) dan pendekatan komparatif

    8 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum h. 43.

    9 Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. (Malang: Bayumedia) h.

    294

    10 Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. h.295

  • 13

    (comparative approach) serta pendekatan konseptual (conceptual approach).11

    Pendekatan-pendekatan masalah tersebut digunakan tujuannya untuk mendapatkan

    informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang akan diteliti.

    Pendekatan masalah yang akan penulis gunakan yakni pendekatan

    perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach).

    Pendekatan perundang-undangan merupakan suatu pendekatan yang melakukan

    pengkajian peraturan perundang-undangan yang menjadi tema sentral penelitian,12

    dalam penelitian ini peraturan yang menjadi tema sentral penelitian adalah

    Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif

    Penyelesaian Sengketa. Selanjutnya, pendekatan kasus (case approach) yang

    penulis gunakan yaitu mengacu pada pendekatan kasus pada putusan Mahkamah

    Kontitusi No.15/PUU-XII/2014.

    3. Bahan Hukum

    Pada penelitian hukum normatif yang diteliti adalah bahan pustaka atau

    data sekunder,13 yang terdiri dari :

    a. Bahan hukum primer, adalah bahan hukum primer merupakan bahan hukum

    yang bersifat autoritatif artinya yang mempunyai otoritas, yang terdiri dari

    perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan

    11

    Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005)

    h.133.

    12 Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. h. 295

    13 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum h. 5.

  • 14

    perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.14 Dalam penelitian ini bahan

    hukum yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

    Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Putusan MK

    No.15/PUU-XII/2014 dan peraturan hukum lainnya yang berkaitan dengan

    pembatalan putusan arbitrase.

    b. Bahan hukum sekunder, yakni bahan hukum yang memberikan penjelasan

    mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang penulis gunakan

    terdiri dari buku-buku, artikel-artikel dalam jurnal dan karya ilmiah lainnya.

    yang berkaitan dengan Arbitrase .

    c. Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun

    penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,15 contohnya adalah

    kamus hukum, indeks artikel, ensiklopedia yang berkaitan dengan Arbitrase.

    4. Teknik Pengumpulan data

    Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu

    penelitan kepustakaan (library research) dengan melakukan penelusuran untuk

    mencari bahan-bahan hukum yang relevan yang dapat terdiri dari literatur

    kepustakaan, peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan sumber

    lainnya.

    14

    Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h.181.

    15 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. h. 5.

  • 15

    5. Pengolahan dan analisis bahan hukum

    Adapun bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum

    sekunder yang telah diperoleh melalui penelitian kepustakaan serta peraturan

    perundang-undangan penulis uraikan dan hubungkan, sehingga disajikan dalam

    penulisan yang lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang telah

    dirumuskan. Kemudian, cara pengolahan bahan hukum dilakukan dilakukan secara

    deduktif yaitu menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum

    terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.

    6. Teknik Penulisan

    Dalam penulisan penelitian ini, mengacu pada buku “Pedoman Penulisan

    Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan

    Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah Jakarta, tahun 2012.16

    G. Sistematika Penulisan

    Untuk mempermudah penulis dalam mengkaji dan menelaah skripsi yang

    berjudul “Upaya Pembatalan Putusan Arbitrase Nasional (Analisis Putusan

    Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014), Maka dirasa perlu untuk

    menguraikan kedalam sistematika penulisan sebagai gambaran singkat skripsi, yakni

    sebagai berikut :

    16

    Tim Penyusun FSH, Pedoman penulisan Skripsi, (Jakarta: Pusat Peningkatan dan Jamian

    Mutu (PPJM), 2012). h. 11- 46.

  • 16

    BAB I PENDAHULUAN

    Dalam bab pertama ini penjelasannya meliputi, latar belakang

    masalah, Pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat

    penelitian, kerangka konseptual, tinjauan (review) kajian terdahulu,

    dan metode penelitian serta sistematika penelitian. Dengan demikian

    pada bab I ini merupakan gambaran kecil pada proses menelaah

    penelitian hukum.

    BAB II TINJAUAN UMUM ARBITRASE

    Dalam bab Kedua ini akan dibahas mengenai tinjauan umum arbitrase

    yakni dengan membahas pengertian arbitrase, sumber hukum arbitrase,

    asas-asas dalam arbitrase, keunggulan dan kelemahan arbitrase, jenis-

    jenis arbitrase, dan perjanjian arbitrase serta kewenangan arbitrase.

    BAB III PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE

    Dalam bab ketiga akan dibahas mengenai jenis putusan arbitrase,

    pelaksanaan putusan arbitrase dan pembatalan putusan arbitrase

    berdasarkan Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase

    dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

    BAB IV UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE (ANALISIS

    PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 15/PUU-XII/2014)

  • 17

    Dalam bab keempat ini akan dipaparkan hasil penelitian yakni, bagian

    pertama, menelaah Putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-

    XII/2014 yang terdiri dari posisi kasus, pertimbangan hukum dan amar

    putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014 dan analisis

    putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014. Bagian kedua,

    mengetahui akibat hukum putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-

    XII/2014 terhadap upaya pembatalan putusan arbitrase.

    BAB V PENUTUP

    Dalam bab kelima merupakan bab penutup berisi tentang kesimpulan

    dan saran atas hasil dari penelitian yang telah dilakukan oleh penulis.

  • 18

    BAB II

    TINJAUAN UMUM ARBITRASE

    A. Pengertian Arbitrase

    Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

    Alternatif Penyelesaian Sengketa, definisi arbitrase pada pasal 1 ayat berbunyi:

    “Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan

    umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh

    para pihak yang bersengketa”.

    Mengenai arbitrase para ahli hukum juga memberikan definisinya, yakni

    sebagai berikut:

    Pertama, menurut Subekti arbitrase merupakan suatu penyelesaian atau

    pemutusan sengketa oleh seorang wasit atau para wasit yang berdasarkan persetujuan

    bahwa mereka akan tunduk atau menaati keputusan yang akan diberikan wasit atau

    para wasit yang mereka pilih atau yang ditunjuk.17

    Kedua, Abdulkadir Muhammad, memberikan definisi arbitrase adalah suatu

    badan peradilan swasta diluar lingkungan peradilan umum yang dikenal khusus

    dalam dunia perusahaan.18

    17

    R. Subekti, Arbitrase Perdagangan, (Bandung: Bina Cipta, 1987), h.1

    18 Elsi Kartika dan Advendi Simangunsong. Hukum Dalam Ekonomi, (Jakarta: PT Gramedia

    Widiasarana,2008). h. 202

  • 19

    Ketiga, Sudikno Mertokusumo memberikan definisi yaitu arbitrase adalah

    suatu prosedur penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan persetujuan

    para pihak yang berkepentingan untuk menyerahkan sengketa mereka kepada seorang

    wasit atau arbiter.19

    Keempat, menurut Priyatna Abdurrasyid, arbitrase merupakan suatu

    tindakan hukum dimana ada pihak yang menyerahkan sengketa atau selisih pendapat

    antara dua orang (atau lebih) maupun dua kelompok (atau lebih) kepada seorang atau

    beberapa ahli yang disepakati bersama dengan tujuan memperoleh satu keputusan

    final dan mengikat.20

    Kelima, menurut Meria Utama, dalam bukunya hukum ekonomi internasional

    memberika definisi arbitrase adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada

    pihak ketiga yang netral.21

    Keenam, Gunawan Widjaja mendefinsikan arbitrase merupakan suatu

    perjanjian yang melibatkan dua pihak yang saling bersengketa untuk mecari

    penyelesaian sengketa di luar pengadilan.22

    Dengan merujuk pada definisi diatas, arbitrase merupakan suatu upaya

    penyelesaian sengketa di luar badan peradilan, yang dapat ditempuh oleh para pihak

    19

    Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia

    PustakaUtama, 2006) h. 25, mengutip sudikno mertokusumo, mengenal hukum: suatu pengantar

    (yogyakarta: penerbit Liberty), h. 144

    20 Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS); Suatu

    Pengantar (Jakarta: PT.Fikahati Aneska, 2011), h.61

    21 Meria Utama, Hukum Ekonomi Internasional, h.58

    22 Gunawan Widjaja, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis; Arbitrase VS Pengadilan Persoalan

    Kompetensi (Absolut) yang Tidak Pernah Selesai (Jakarta:Kencana, 2008), h. 182

  • 20

    yang bersengketa berdasarkan suatu perjanjian yang dibuat sebelum atau setelah

    terjadinya sengketa, dan dalam proses penyelesaiannya ditengahi oleh pihak ketiga

    yaitu arbiter.

    B. Sumber Hukum Arbitrase

    Sumber hukum yang mengatur keberadaan arbitrase dalam sistem tata hukum

    Indonesia, yaitu bertitik tolak pada pasal 377 Herzien Inlandsch Reglement (HIR)

    atau Pasal 705 Rechtsreglement Buitengewesten (RBG), yang berbunyi: “Jika orang

    Indonesia dan orang timur asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh

    juru pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan yang berlaku bagi

    bangsa eropa.”

    Pasal ini menegaskan mengenai kebolehan pihak-pihak yang bersengketa

    untuk: 23

    1. Menyelesaikan sengketa melalui “juru pisah” atau arbitrase;

    2. Arbitrase diberi fungsi dan kewenangan untuk menyelesaikannya dalam bentuk

    “keputusan”;

    3. Untuk itu, baik para pihak maupun arbitrator atau arbiter, wajib tunduk menuruti

    peraturan hukum acara yang berlaku bagi bangsa atau golongan eropa

    Dengan demikian, berdasarkan pasal 377 HIR/705 RBG memberikan ruang

    kepada para pihak untuk dapat membawa dan menyelesaikan perkara yang timbul di

    luar jalur kekuasaan pengadilan, apabila menghendakinya dengan begitu penyelesaian

    23

    Yahya harahap, Arbitrase ditinjau dari Reglemen Acara Perdata (RV), Peraturan dan

    prosedur BANI, International Center For the Settlement Of Investment Dispute (ICSID), UNCITRAL

    Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Award, Perma

    No.1 Tahun 1990, (Jakarta: Sinar Grafika,2006). h.1

  • 21

    dan keputusannya dapat mereka serahkan sepenuhnya kepada juru pisah yang lazim

    dikenal dengan nama arbitrase.24

    Pada pasal 377/705 RBG yang merupakan landasan dari penyelesaian

    arbitrase ini tidak memberikan aturan lebih lanjut mengenai arbitrase, hanya dalam

    pasal tersebut menyebutkan “maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan

    yang berlaku bagi bangsa eropa”. Maka selanjutnya mengikuti aturan yang mengatur

    golongan penduduk eropa, yakni kitab undang-undang hukum acara perdata

    (Reglement op de Bergerlijk rechsvordering atau RV), arbitrase diatur pada buku

    ketiga tentang aneka acara.

    Mengenai arbitrase, undang-undang hukum acara perdata (Reglement op de

    Bergerlijk rechsvordering atau RV) mengaturnya dalam lima bagian pokok:25

    1. Bagian pertama (615-623 Rv): persetujuan arbitrase dan pengangkatan arbitrator atau arbiter.

    2. Bagian kedua (624-630 Rv): pemeriksaan di muka badan arbitrase 3. Bagian ketiga (631-640 Rv): putusan arbitrase 4. Bagian keempat (641-647 Rv): upaya-upaya terhadap putusan arbitrase. 5. Bagian kelima (647-651 Rv): berakhirnya Acara-acara arbitrase

    Kebolehan penyelesaian sengketa diluar pengadilan juga termaktub dalam

    Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, undang-undang

    tersebut mengatur mengenai penyelenggara kekuasaan kehakiman di Indonesia yaitu

    yang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya

    24

    Yahya harahap, Arbitrase ditinjau dari Reglemen Acara Perdata (RV), Peraturan dan

    prosedur BANI, International Center For the Settlement Of Investment Dispute (ICSID), UNCITRAL

    Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Award, Perma

    No.1 Tahun 1990, h.2

    25 Yahya Harahap, h.2.

  • 22

    dilingkup peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha

    negara dan oleh Mahkamah Konstitusi. Dan mengenai kebolehan penyelesaian

    sengketa melalui arbitrase termaktub dalam pasal 58 yang berbunyi: “Upaya

    penyelesaian sengketa perdata dapat dilaksanakan melalui arbitrase atau alternatif

    penyelesaian sengketa.”.

    Mengenai arbitrase, Indonesia telah lama membahas tentang perubahan

    pedoman arbitrase yang sesuai dan dapat diterima, baik secara nasional dan

    internasional serta perlunya pelembagaan alternatif penyelesaian sengketa, maka

    melalui perangkat perundang-undangan pada tanggal 12 Agustus 1999 pemerintah

    mengesahkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan

    Alternatif Penyelesaian Sengketa.26

    Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan

    Alternatif Penyelesaian Sengketa pasal 5, objek sengketa arbitrase hanya sengketa

    dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan

    perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa dan

    sengketa yang dapat diselesaikan melalui perdamaian. Dalam undang-undang ini

    pun diatur mengenai alternatif penyelesaian sengketa ke dalam beberapa jenis yaitu

    konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.

    Selanjutnya, pengaturan mengenai arbitrase asing di Indonesia dapat dilihat

    dengan disahkannya UU No.3 Tahun 1968 yang merupakan persetujuan atas

    26

    Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa; Arbitrase Nasional Indonesia dan

    Internasional (Jakarta: Sinar Grafika,2011), h.7

  • 23

    Konvensi tentang Penyelesaian Perselisihan Antar negara dan Warga Negara Asing

    Mengenai Penanaman Modal (Convention on the Settlement of Investment Disputes

    Between States and national of Other States/ (ICSID)). Tujuan menetapkan

    persetujuan ratifikasi atas konvensi tersebut untuk mendorong dan membina

    perkembangan penanaman modal asing atau joint venture di Indonesia. Sebab dengan

    diakui konvensi tersebut oleh Pemeritah Indonesia sedikit banyak akan memberikan

    banyak keyakinan kepada pihak pemodal asing bahwa sengketa yang timbul kelak

    dapat dibawa ke forum arbitrase. 27

    Pengaturan lain mengenai keberlakuan arbitrase asing ialah Keputusan

    Presiden (Keppres) No.34 Tahun 1981. Keppres ini mengatur tentang pengesahan

    Covention on the Recognition and Enforment of Foreign Arbitral Award yang lazim

    disebut Konvensi New York 1958. Dengan berlakunya Keppres ini Indonesia telah

    mengikatkan diri dengan suatu kewajiban hukum, untuk mengakui dan mematuhi

    pelaksanaan eksekusi atas setiap putusan arbitrase asing di Indonesia namun tidak

    terlepas dengan asas resiprositas, dengan kata lain pelaksanaan putusan arbitrase

    asing di Indonesia didasarkan atas asas ikatan “bilateral” atau “multilateral”.

    Selanjutnya, pada tanggal 1 maret 1990 telah berlaku Peraturan Mahkamah Agung

    No.1 Tahun 1999 (Selanjutnya disebut Perma No. 1 Tahun 1990). Perma No. 1

    Tahun 1999 mengatur tata cara pelaksanaan putusan arbitrase asing, yang bertujuan

    27

    Yahya harahap, Arbitrase ditinjau dari Reglemen Acara Perdata (RV), Peraturan dan prosedur BANI, International Center For the Settlement Of Investment Dispute (ICSID), UNCITRAL

    Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Award, Perma

    No.1 Tahun 1990, h.5

  • 24

    untuk mengantisipasi hambatan atau permasalahan pengakuan dan pelaksanaan

    eksekusi putusan arbitrase asing.

    C. Asas-asas dalam Arbitrase

    Berikut ini merupakan asas-asas umum dalam arbitrase, yaitu antara lain:28

    1. Asas final dan mengikat (binding)

    Asas final dan mengikat (binding) terhadap putusan arbitrase, jelas diatur

    pada pasal 60 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

    Alternatif Penyelesaian Sengketa, pada bab VI mengenai pelaksanaan putusan

    arbitrase, yang menyatakan: “putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai

    kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak” dan dalam ketentuan pasal 68

    ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif

    Penyelesaian Sengketa, yang menyatakan bahwa: “terhadap putusan ketua

    pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam pasal 66 huruf d yang

    mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase internasional, tidak dapat

    diajukan banding atau kasasi”.

    Menurut asas ini, putusan dari arbitrase tidak dapat diganggu gugat

    walaupun oleh pengadilan, karena dalam putusan arbitrase tidak dapat dilakukan

    upaya banding dan kasasi. Di sini pengadilan hanya berfungsi sebagai eksekutor,

    yang hanya meneliti apakah ada pelanggaran atas asas-asas tersebut, maka

    pengadilan dapat menolak pemberian eksekutor.

    28

    Gunawan Widjaja, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis; Arbitrase VS. Pengadilan – Persoalan

    Kompetensi (Absolut) Yang Tidak Pernah Selesai, h.188.

  • 25

    2. Asas resiprositas

    Asas ini tercermin dalam ketentuan pasal 66 huruf a, Undang-undang

    No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang

    menyatakan bahwa putusan arbitrase internasional hanya diakui serta dapat

    dilaksanakan di wilayah hukum Indonesia. Asas ini mempunyai arti adanya ikatan

    hubungan timbal balik antara suatu negara dengan negara lain dimana dalam

    hubungan tersebut antara negara sama-sama mengakui putusan arbitrase negara,

    begitu juga sebaliknya. Menurut asas resiprositas tidak semua putusan arbitrase

    asing dapat diakui (recognize) dan dieksekusi (enforcement), hanya terbatas pada

    putusan yang diambil di negara asing yang mempuyai ikatan bilateral dengan

    Indonesia dan terkait bersama dengan negara Indonesia dalam suatu konvensi

    internasional.29

    3. Asas ketertiban umum

    Asas ketertiban umum tercermin dalam ketentuan pasal 66 huruh c,

    Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif

    Penyelesaian Sengketa yang menentukan bahwa putusan arbitrase internasional

    hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada ketentuan yang tidak

    bertentangan dengan ketertiban umum. Asas ini mempunyai arti, bahwa apabila

    ada putusan arbitrase yang bertentangan dengan ketertiban umum di Indonesia,

    permintaan eksekusinya dapat ditolak.

    29

    Tim Pengkaji, Masalah Hukum Arbitrase Online, (Jakarta: BPHN- KEMENKUMHAM RI,

    2010), h.20

  • 26

    4. Asas separabilitas

    Dalam suatu perjanjian yang dibuat oleh, para pihak dapat memasukan

    perjanjian arbitrase yang berupa klasula arbitrase, yang merupakan bagian dari

    perjanjian tersebut atau merupakan perjanjian yang terpisah dari perjanjian pokok.

    Apabila perjanjian arbitrase menjadi bagian dari perjanjian, maka hal ini sering

    disebut klausul arbitrase.

    Asas separabilitas atau lebih dikenal dengan severable clause ini,

    mempunyai arti bahwa dalam suatu perjanjian, jika ada salah satu perikatan

    dalam perjanjian tersebut batal, maka pembatalan tersebut tidak mengakibatkan

    perikatan yang lain menjadi batal. Penerapan asas ini pada perjanjian arbitrase

    artinya jika perjanjian pokok tersebut berakhir atau batal, klausul atau pasal

    mengenai arbitrase masih tetap eksis.30

    Mengenai perjanjian arbitrase Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999

    Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, telah mengatur dalam

    pasal 10 Tentang suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh

    keadaan, yaitu :

    a. Meninggalnya salah satu pihak b. Bangkrutnya salah satu pihak c. Novasi d. Insolvensi salah satu pihak e. Pewarisan f. Berlakunya Syarat-syarat hapusnya perikatan pokok;

    30

    Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia

    PustakaUtama, 2006), h. 25.

  • 27

    g. Bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase

    tersebut; atau

    h. berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.

    Jadi, apabila suatu perjanjian pokok batal, tidak menjadikan klausul

    arbitrase yang ada didalam perjanjian pokok tersebut ikut batal namun klasul

    arbitrase harus tetap dilaksanakan. Karena klausul arbitrase adalah independen

    terhadap pemenuhan kewajiban atau perikatan lain dalam perjanjian tersebut dan

    karenanya berlakulah asas separabilitas terhadapnya.31

    D. Keunggulan dan Kelemahan Arbitrase

    Upaya hukum dalam penyelesaian sengketa, para pihak dengan menimbang

    keunggulan dan kelemahan suatu jalur yang akan ditempuhnya agar terakomodir

    keinginan-keinginan para pihak. Dalam hal ini akan dibahas mengenai keunggulan

    dan kelemahan arbitrase. Berikut penjelasan keunggulan dan kelemahan arbitrase,

    menurut pendapat para ahli:32

    1. Menurut Subekti, untuk dunia perdagangan atau bisnis, penyelesaian sengketa

    lewat arbitrase atau perwasitan mempunyai beberapa keuntungan yaitu bahwa

    dapat dilakukan dengan cepat, oleh para ahli dan secara rahasia.

    2. HMN Purwosutjipto, memberikan pendapat mengenai arti penting peradilan wasit

    (arbitrase) yaitu

    31

    Gunawan Widjaja, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis; Arbitrase VS Pengadilan Persoalan

    Kompetensi (Absolut) yang Tidak Pernah Selesai. h.43

    32 Tim Pengkaji, Masalah Hukum Arbitrase Online. h.24

  • 28

    a. Penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan dengan cepat

    b. Para wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam bidang yang dipersengketakan,

    yang diharapkan mampu membuat putusan yang memuaskan para pihak.

    c. Putusan akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan para pihak.

    d. Putusan Peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum tidak mengetahui

    tentang kelemahan-kelemahan perusahaan yang bersangkutan. Sifat rahasia

    inilah yang dikehendaki oleh para pihak.

    3. Gatot Sumartono, memberikan kesimpulan bahwa penyelesaian sengketa melalui

    arbitrase selalu didasarkan pada asumsi-asumsi, sebagai berikut:33

    a. Lebih cepat, karena putusannya bersifat final dan mengikat, sehingga

    menghemat waktu, biaya, dan tenaga;

    b. Dilakukan oleh ahli di bidangnya, karena arbitrase menyediakan para pakar

    dalam bidang tertentu yang menguasai persoalan yang disengketakannya,

    sehingga hasilnya (putusan arbitrase) dapat lebih dipertanggungjawabkan; dan

    c. Kerahasiaan terjamin karena proses pemeriksaan dan putusannya tidak

    terbuka untuk umum, sehingga kegiatan usaha tidak terpengaruh.

    4. Frans Hendra Winarta, memberikan pedapat bahwa lembaga arbitrase mempunyai

    kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan umum, yaitu sebagai berikut:34

    a. Sidang arbitrase tertutup untuk umum, sehingga kerahasiaan sengketa para

    pihak terjamin.

    b. Kelambatan yang diakibatkan oleh hal prosedural dan adminstratif dapat

    dihindari.

    c. Para pihak yang bersengketa dapat memilih arbiter yang menurut keyakinan

    mempunyai pengalaman, pengetahuan, jujur dan adil serta latar belakang yang

    cukup mengenai masalah yang disengketakan.

    33

    Gatot sumartono Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia (Jakarta: PT

    Gramedia PustakaUtama, 2006) h. 13.

    34 Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa; Arbitrase Nasional Indonesia dan

    Internasional. h. 62-63.

  • 29

    d. Sikap arbiter atau majelis arbiter dalam menangani perkara arbitrase

    didasarkan pada sikap yang mengusahakan win-win solution terhadap pihak

    yang bersengketa.

    e. Pilihan hukum untuk menyelesaikan sengketa serta proses dan tempat

    penyelenggaraan arbitrase dapat ditentukan oleh para pihak.

    f. Putusan arbitrase mengikat para pihak (Final and binding) dangan melalui

    tata cara (prosedur) sederhana ataupun langsung dapat dilaksanakan.

    g. Suatu perjanjian arbitrase (klausul arbitrase) tidak menjadi batal karena

    berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.

    h. Di dalam proses arbitrase, arbiter atau majelis arbitrase harus mengutamakan

    perdamaian diantara para pihak yang bersengketa.

    Berdasarkan keunggulan yang dikemukaan oleh para ahli, maka penyelesaian

    melalui arbitrase lebih disukai dan semakin dipertimbangkan selain melalui badan

    peradilan. Namun selain memiliki keunggulan, Penyelesaian sengketa melalui

    arbitrase juga memiliki kelemahan yaitu:35

    1. Putusan arbitrase ditentukan oleh kemampuan teknis arbiter untuk memberikan

    keputusan yang memuaskan dan sesuai dengan rasa keadilan para pihak.

    2. Apabila pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan arbitrase, maka

    diperlukan perintah dari pengadilan untuk melakukan eksekusi atas putusan

    arbitrase tersebut.

    3. Pada praktiknya pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing masih

    menjadi hal yang sulit.

    4. Pada umumnya pihak-pihak yang bersengketa di arbitrase adalah perusahaan-

    perusahaan besar. Oleh karena itu untuk, mempertemukan kehendak para pihak

    yang bersengketa dan membawanya ke badan arbitrase tidaklah mudah.

    5. Tidak adanya legal precendence atau keterikatan terhadap putusan arbitrase

    sebelumnya.36

    35

    Frans Hendra Winarta, h.63

    36 Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. h.15

  • 30

    E. Jenis-Jenis Arbitrase

    Arbitrase merupakan penyelesaian sengketa di luar peradilan. Dalam Hal ini

    arbitrase mempunyai dua jenis yaitu arbitrase ad hoc (arbitrase Volunter) dan

    arbitrase institusional. Yang dimaksud dengan jenis arbitrase adalah macam-macam

    arbitrase yang diakui eksistensinya dan kewenangannya untuk memeriksa dan

    memutus perselisihan yang terjadi antara para pihak yang mengadakan perjanjian.37

    Berikut penjelasannya dari kedua jenis arbitrase :38

    1. Abitrase ad hoc (arbitrase volunter)

    Arbitrase ad hoc atau arbitrase volunter merupakan arbitrase yang

    dibentuk secara khusus untuk menyelesaikan atau memutuskan perselisihan

    tertentu.39 Arbitrase ad hoc pada dasarnya dibentuk setelah sengketa timbul, dan

    akan berakhir apabila sudah selesai dan diputuskannya sengketa. Penyelesaian

    melalui arbitrase ad hoc, pada umumnya ditentukan berdasarkan perjanjian yang

    menyebutkan penunjukan majelis arbitrase serta prosedur pelaksanaan yang

    disepakati oleh para pihak, untuk itu perlu disebutkan dalam klausul arbitrase.40

    Sebuah arbitrase ad hoc pada dasarnya dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan

    37

    Yahya Harahap, Arbitrase ditinjau dari Reglemen Acara Perdata (RV), Peraturan dan

    prosedur BANI, International Center For the Settlement Of Investment Dispute (ICSID), UNCITRAL

    Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Award, Perma

    No.1 Tahun 1990, h.104

    38 Elsi Kartika Sari dan Advendi simangunsong, Hukum dalam ekonomi. h. 204

    39 Yahya harahap, Arbitrase ditinjau dari Reglemen Acara Perdata (RV), Peraturan dan

    prosedur BANI, International Center For the Settlement Of Investment Dispute (ICSID), UNCITRAL

    Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Award, Perma

    No.1 Tahun 1990, h.105

    40 Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia h.27

  • 31

    yang sengaja dibentuk untuk tujuan arbitrase, yakni Misal Undang-Undang

    Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,

    UNCITRAL Arbitration rules dan ICC Rules.

    2. Arbitrase institusional

    Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase

    dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 ayat 8 yang dimaksud dengan

    lembaga arbitrase adalah: “Badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa

    untuk memberikan putusan mengenai sengeta tertentu; Lembaga tersebut juga

    dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum

    tertentu dalam hal yang timbul sengketa”

    Arbitrase institusional merupakan suatu lembaga permanen yang dikelola

    oleh berbagai badan arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan

    sendiri.41 Badan atau lembaga dalam arbitrase institusional ini tetap berdiri,

    meskipun perselisihan yang ditangani telah selesai diputus.42 Arbitrase

    institusional dapat ditempuh sebagai penyelesaian sengketa apabila para pihak

    sepakat dan menuangkannya ke dalam perjanjian dalam hal penyelesaian

    sengketa.

    Arbitrase institusional, ada yang bersifat nasional dan internasional yaitu

    suatu badan atau lembaga arbitrase yang berbeda ruang lingkup keberadaannya

    serta yuridiksinya. Arbitrase institusional yang bersifat nasional, misalnya Badan

    41

    Gatot Soemartono, h.27.

    42 Meria utama, Hukum Ekonomi Internsional, h.59

  • 32

    Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Badan Arbitrase Syariah Nasional

    (BASYARNAS), Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI), Badan

    Arbitrase Perdagangan Berjangka Komoditi (BAKTI) di Indonesia, Nederlands

    Arbitrage Institut di Belanda, dan The Japan Commercial Arbitration

    Association di Jepang. Selanjutnya Contoh dari Arbitrase institusional yang

    bersifat internasional, yakni Court Arbitration of the international chamber of

    commerce (ICC), The International Centre For Settlement of Investment

    Disputes (ICSID).

    Badan atau lembaga arbitrase institusional yang bersifat nasional dan

    internasional tersebut memiliki peraturan dan sistem arbitrase sendiri, jadi para

    pihak terikat segala pengaturan arbitrase, dari mulai biaya, pemilihan arbiter,

    prosedur serta tata cara pelaksanaan arbitrase dan lainnya.

    F. Perjanjian Arbitrase

    Kebolehan para pihak dalam menentukan penyelesaian suatu sengketa yang

    timbul maupun yang akan timbul melalui arbitrase didasari pada pasal 7 Undang-

    Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

    Sengketa. Dalam menentukan penyelesaian sengketa melalui arbitrase, harus didasari

    kesepakatan para pihak yang dituangkan secara tertulis melalui suatu perjanjian yakni

    perjanjian arbitrase. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang

    Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 ayat 3 yang dimaksud

    Perjanjian Arbitrase adalah : “suatu kesepakatan berupa klausul arbitrase yang

  • 33

    tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbulnya

    sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah

    timbulnya sengketa.”

    Pada dasarnya perjanjian arbitrase adalah sebuah ikatan dan kesepakatan di

    antara para pihak, bahwa mereka akan menyelesaikan perselisihan yang timbul dari

    perjanjian melalui mekanisme arbitrase dan mengenyampingkan penyelesaian

    melalui badan peradilan.43

    Perjanjian arbitrase tidak melekat menjadi suatu kesatuan dengan materi

    pokok perjanjian. Perjanjian arbitrase yang lazim disebut “klausul arbitrase”,

    merupakan tambahan yang diletakkan pada perjanjian pokok. meskipun

    keberadaannya hanya sebagai tambahan pada perjanjian pokok, dan sama sekali tidak

    mempengaruhi pelaksanaan pemenuhan perjanjian.

    Jadi, pada prinsipnya kontrak arbitrase merupakan suatu kontrak tambahan

    (accesoir), tetapi ada beberapa sifat yang menyebabkan sifatnya sebagai accesoir

    tersebut tidak diikuti secara penuh, yaitu jika perjanjian pokok batal maka kontrak

    arbitrase tidak menjadi batal (Pasal 10 huruf h Undang-Undang Nomor 30 Tahun

    1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa). Perjanjian arbitrase

    terdiri dari dua bentuk, yaitu:

    1. Klausul arbitrase atau clause compromissoire (Pactum De Compromittendo)

    43

    Yahya Harahap, h.62

  • 34

    Klausul arbitrase merupakan suatu ketentuan yang tercantum di dalam

    perjanjian atau kontrak yang menyebutkan bahwa setiap perselisihan yang timbul

    di kemudian hari sehubungan dengan perjanjian atau kontrak tersebut akan

    diserahkan pada arbitrase untuk diputuskan.44 Dapat diketahui bahwa klausul

    arbitrase dipersiapkan untuk mengantisipasi perselisihan yang timbul di masa

    yang akan datang.

    Dalam klausul arbitrase para pihak bebas menentukan sesuai kesepakatan

    dengan menunjuk sebuah badan arbitrase tertentu, lokasi arbitrase berlangsung,

    hukum dan aturan-aturan yang akan digunakan, kualifikasi para arbiter dan

    bahasa yang dipakai dalam proses arbitrase.45

    Jadi, pactum de compromittendo atau klausul arbitrase yang tercantum

    dalam perjanjian pokok pada dasarnya dibuat untuk penyelesaian sengketa yang

    mungkin timbul dimasa mendatang atau dibuat sebelum adanya suatu sengketa

    dengan dilengkapi semua hal yang terkait penyelesaian sengketa yang akan

    ditempuh sesuai kesepakatan para pihak.

    2. Akta Kompromis

    Akta kompromis adalah suatu kesepakatan di antara para pihak yang telah

    terlibat dalam suatu sengketa, untuk mengajukan sengketa mereka agar

    44

    Gatot soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka

    Utama, 2006) h.32

    45 Gatot soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. h.32

  • 35

    diputuskan oleh arbitrase.46 Akta kompromis pada dasarnya sebuah perjanjian

    arbitrase yang dibuat setelah timbulnya perselisihan antara para pihak dalam

    sebuah perjanjian tertulis yang telah ditandatangani oleh para pihak atau dibuat

    dalam bentuk akta notaris. Mengenai akta kompromis telah diatur dalam pasal 9

    ayat 1 s.d 4 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

    Alternatif Penyelesaian Sengketa, berdasarkan ayat 3 mengenai persyaratan

    dalam hal pembuatan akta kompromis harus memuat :

    a. Masalah yang dipersengketakan; b. Nama lengkap dan tempat tinggal para pihak; c. Nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase; d. Tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan; e. Nama lengkap sekretaris; f. Jangka waktu penyelesaian sengketa; g. Pernyataan kesediaan dari arbiter; dan h. Pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung

    segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui

    arbitrase;

    Persyaratan dalam hal pembuatan akta kompromis ini, bersifat wajib dan

    jika tidak dipenuhi akan batal demi hukum berdasarkan pasal 9 ayat 4 Undang-

    undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

    Sengketa

    G. Kewenangan Arbitrase

    Kewenangan arbitrase pada dasarnya lahir dari suatu perjanjian arbitrase

    yang dibuat oleh para pihak sehingga menghapuskan kewenangan dari pengadilan

    untuk menyelesaikan setiap perselisihan atau yang sengketa yang timbul dari

    46

    Gatot soemartono, h. 32

  • 36

    perjanjian yang memuat klasusula arbitrase tersebut atau yang telah timbul sebelum

    ditandatanganinya perjanjian arbitrase oleh para pihak.47 Hal tersebut senada dengan

    pasal 3 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif

    Penyelesaian Sengketa, yang berbunyi: “Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk

    mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.”

    Mengenai objek sengketa arbitrase, dalam hal ini telah diatur dalam Pasal 5

    Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

    Sengketa, yang berbunyi:

    Pasal 5 ayat (1): “Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase

    hanya sengketa dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut

    hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak

    yang bersengketa”.

    Pasal 5 ayat (2): “Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui

    arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan

    tidak dapat diadakan perdamaian”

    Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan antara lain: perniagaan,

    perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual.48 Jadi,

    suatu sengketa bidang perdagangan, dan mengenai hak yang menurut hukum dan

    peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa dan

    suatu sengketa yang dapat diadakannya perdamaian, dapat diselesaikan melalui

    arbitrase jika telah disepakati melalui perjanjian arbitrase yang mereka buat. Dengan

    demikian telah lahir kewenangan arbitrase dan menghapuskan kewenangan

    pengadilan untuk menyelesaikan sengketa yang timbul.

    47

    Gunawan Widjaja, h. 117

    48 Tim Pengkaji, Masalah Hukum Arbitrase Online, h. 22.

  • 37

    Namun, dalam penyelesaian melalui arbitrase, pengadilan mempunyai

    beberapa keterkaitan yakni dapat dilihat dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

    Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang mencantumkan

    beberapa keterkaitan serta peranan pengadilan untuk memperkuat proses arbitrase

    dari awal proses arbitrase dimulai sampai pelaksanaan putusan arbitrase.49

    Keterkaitan diawali dengan kewenangan arbitrase dengan penegasan

    pengadilan wajib menolak dan tidak turut campur dalam penyelesaian sengketa,

    yang termaktub dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun

    1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dan dalam proses

    Pemilihan arbiter khususnya untuk arbitrase ad hoc yang diatur dalam pasal 13 ayat

    (1) dan pasal 15 ayat (4), serta diatur pula pada pasal Pasal 22 Sampai dengan Pasal

    25 untuk arbitase ad hoc mengenai hak ingkar. Peranan lain dari pengadilan dalam

    arbitrase yaitu pengadilan merupakan tempat pendaftaran putusan arbitrase dalam

    rangka pelaksanaan putusan arbitrase nasional yang dinyatakan dalam pasal 59 ayat

    (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif

    Penyelesaian Sengketa dan khusus untuk pelaksanaan putusan arbitrase internasional,

    tempat pendaftaran pelaksanaan putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan ke

    Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

    Berdasarkan uraian diatas, dapat diketengahkan bahwa kewenangan arbitrase

    dilandasi oleh pada perjanjian arbitrase dengan objek sengketa bidang perdagangan.

    49

    Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa – Arbitrase Nasional Indonesia &

    Internasional, ( Jakarta: Sinar Grafika,2011) h.65.

  • 38

    Dengan adanya perjanjian arbitrase tersebut menghapus kewenangan pengadilan,

    namun penyelesaian arbitrase tetap terkait dengan pengadilan dalam hal pelaksanaan

    atau pengeksekusian dari putusan arbitrase.

  • 39

    BAB III

    PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE

    A. Jenis Putusan Arbitrase

    Putusan dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dibedakan atas

    putusan arbitrase nasional dan putusan arbitrase internasional. Undang-Undang No.30

    Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak

    merumuskan definisi putusan arbitrase nasional, namun hanya memberikan definisi

    terhadap putusan arbitrase internasional pada pasal 1 angka 9, yang berbunyi:

    “Putusan Arbitrase Internasional adalah putusan yang dijatuhkan

    oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum

    Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter

    perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap

    sebagai suatu putusan arbitrase international”

    Dari rumusan tersebut, jelas bahwa untuk menentukan apakah putusan

    arbitrase merupakan putusan arbitrase nasional atau internasional digunakan faktor

    tertorial.50 Senada dengan pendapat Gatot sumartono, bahwa putusan arbitrase yang

    dapat dikategorikan sebagai putusan arbitrase internasional, jika diputuskan diluar

    wilayah dari negara yang diminta pengakuan (recognition) dan eksekusi

    (enforcement), ia pun menambahkan bahwa ciri selanjutnya mengenai putusan

    arbitrase internasional adalah penggunaan pilihan hukum dalam proses penyelesaian

    50

    Yahya harahap, Arbitrase ditinjau dari Reglemen Acara Perdata (RV), Peraturan dan

    prosedur BANI, International Center For the Settlement Of Investment Dispute (ICSID), UNCITRAL

    Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Award, Perma

    No.1 Tahun 1990, (Jakarta: Sinar Grafika,2006). h.336

  • 40

    sengketa melalui arbitrase. Artinya apabila para pihak menggunakan hukum asing

    sebagai dasar penyelesaian sengketa, walaupun putusannya dijatuhkan di wilayah

    hukum Indonesia, putusan tersebut tetap merupakan putusan arbitrase internasional.51

    Dengan demikian, dapat diketahui bahwa yang menjadi ciri putusan arbitrase

    internasional didasarkan pada faktor wilayah atau territory dan penggunaan pilihan

    hukum dalam proses arbitrase. Sehingga dapat dikatakan bahwa, putusan arbitrase

    nasional adalah putusan arbitrase yang diputuskan oleh jenis arbitrase ad hoc maupun

    institusional yang dijatuhkan di wilayah hukum Indonesia dan mempergunakan

    hukum yang berlaku di Indonesia.

    B. Pelaksanaan Putusan Arbitrase

    Dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase, dapat dilaksanakan sesuai dari jenis

    putusan arbitrase yaitu putusan arbitrase nasional atau arbitrase internasional, yang

    akan dijelaskan sebagai berikut:

    1. Pelaksanaan putusan arbitrase nasional

    Pada pelaksanaan putusan arbitrase nasional, para pihak harus memenuhi

    apa yang telah diatur dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

    tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang berbunyi:

    a. Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase

    diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada

    panitera pengadilan negeri.

    51

    Gatot Sumartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, h. 70

  • 41

    b. Penyerahan dan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan dengan pencatatan dan penandatanganan pada bagian

    akhir atau di pinggir putusan oleh panitera pengadilan negeri dan

    arbiter atau kuasanya yang menyerahkan, dan catatan tersebut

    merupakan akta pendaftaran.

    c. Arbiter atau kuasanya wajib menyerahkan putusan dan lembar asli pengangkatan sebagai arbiter atau salinan otentiknya kepada

    panitera pengadilan negeri.

    d. Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan.

    e. Semua biaya yang berhubungan dengan pembuatan akta pendaftaram dibebankan kepada para pihak.

    Jadi, agar putusan arbitrase dapat dilaksanakan harus memenuhi pasal 59

    yakni dengan mendaftarkan putusan arbitrase berupa lembar asli atau salinan

    otentik, dalam waktu paling 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan

    diucapkan, kepada panitera pengadilan negeri.

    Putusan arbitrase pada dasarnya harus dilakukan secara sukarela, namun

    jika tidak putusan dilaksanakan berdasarkan peritah ketua pengadilan negeri atas

    permohonan salah satu pihak sebagaimana yang disebutkan pada pasal 61, namun

    dengan memenuhi pasal 62 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang

    Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang berbunyi:

    1. Perintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 61 diberikan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan eksekusi

    didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri.

    2. Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebelum memberikan perintah pelaksanaan, memeriksa terlebih

    dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi ketentuan pasal 4 dan

    Pasal 5, serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban

    umum.

    3. Dalam hal putusan arbitrase tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Ketua Pengadilan Negeri menolak

    permohonan pelaksanaan eksekusi dan terhadap putusan Ketua

    Pengadilan Negeri tersebut tdak terbuka upaya hukum apa pun.

  • 42

    4. Ketua Pengadilan Negeri tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase.

    Pelaksanan putusan arbitrase yang didasarkan atas permohonan salah satu

    pihak agar dapat dapat dieksekusi atas perintah Ketua Pengadilan Negeri, Pada

    permohonan tersebut, harus diperiksa terlebih dahulu apakah putusan arbitrase

    memenuhi kriteria, sebagai berikut:52

    1. Para pihak menyutujui bahwa sengketa di antara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase.

    2. Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dimuat dalam suatu dokumen yang ditandatangani oleh para pihak.

    3. Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan

    perundang-undangan.

    4. Sengketa lain yang dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah yang tidak bertentangan dengan kesusilan dan ketertiban umum.

    Jika permohonan memenuhi ketentuan tersebut, perintah Ketua

    Pengadilan dilaksanakan sesuai ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara

    perdata yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Namun,

    apabila pada putusan arbitrase tidak memenuhi ketentuan-ketentuan pasal 62 ayat

    (2), Ketua Pengadilan Negeri dapat menolak permohonan pelaksanaan eksekusi,

    atas penolakan yang menjadi putusan Ketua Pengadilan Negeri tidak dapat

    dilakukan upaya hukum apapun.

    52

    Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian sengketa; Arbitrase nasional Indonesia dan

    Internasional. h. 71.

  • 43

    2. Pelaksanaan putusan arbitrase internasional

    Semua pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing di Indonesia

    didasarkan pada ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa 1927, dan pada

    perkembangannya Indonesia telah meratifikasi konvensi New York dan telah

    mengaksesi Konvensi New York tersebut dengan Keputusan Presiden Nomor 34

    Tahun 1981 dan diterbitkannya Mahkamah Agung mengeluarkan peraturan

    Nomor 1 Tahun 1990 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing

    Sehubungan dengan disahkannya Konvensi New York 1958, dan selanjutnya

    mengenai pengaturan tentang pelaksanaan arbitarase internasional di Indonesia

    terdapat di dalam pasal 65 s.d pasal 69 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999

    tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.53

    Kewenangan untuk menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan

    putusan arbitrase Internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

    Permohonan pelaksanaan dapat dilakukan setelah putusan arbitrase internasional

    diserahkan dan didaftarkan ke Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dengan

    disertai dengan hal-hal yang tercantum dalam pasal 67 angka (2) yang bersifat

    administratif. Tetapi sebelum itu perlu diketahui syarat-syarat yang diperlukan

    atas putusan arbitrase internasional, untuk dapat diakui dan dilaksanakan di

    Indonesia sesuai pasal 66 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase

    dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang berbunyi, sebagai berikut:

    53

    Tim pengkaji, Masalah Hukum Arbitrase Online, (Jakarta: BPHN- KEMENKUMHAM RI,

    2010), h.27

  • 44

    a. Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada

    perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai

    pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.

    b. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia

    termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan.

    c. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang

    tidak bertentangan dengan ketertiban umum.

    d. Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta

    Pusat; dan

    e. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu

    pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh

    eksekuatur dari mahkamah Agung Republik Indonesia yang

    selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

    Setelah didaftarkannya putusan arbitrase Internasional kepada Panitera

    Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, selanjutnya dapat diajukan permohonan

    pelaksanaan arbitrase internasional ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Atas

    putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengakui dan melaksanakan

    putusan arbitrase Internasional tidak dapat ajukan upaya hukum banding atau

    kasasi. Namun, apabila permohonan pelaksanaaan di tolak untuk diakui dan

    dilaksanakan, terbuka upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung dengan jangka

    waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari untuk mempertimbangkan dan

    memutuskan sejak permohonan kasasi tersebut diterima oleh Mahkamah Agung.

    Namun, eksekusi terhadap pelaksanaan putusan arbitrase internasional di

    Indonesia sering kali dapat penolakan dari pengadilan sehingga putusan arbitrase

    masih sulit untuk dilaksanakan di Indonesia, walaupun Undang-Undang No.30

  • 45

    Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa telah diatur

    dengan tegas. Menurut M. Husseyn Umar, yang merupakan wakil ketua Badan

    Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) Masalah utama yang sering dipersoalkan

    dalam pelaksanaan putusan arbitrase internasional, sehingga mendapat penolakan

    dari pengadilan adalah dengan adanya alasan bahwa putusan bertentangan dengan

    public policy atau ketertiban umum, namun menurutnya penerapan kriteria

    tersebut secara konkret tidak selalui jelas dan menimbulkan suatu ketidakpastian

    hukum.54

    Sehingga Indonesia masih sering menuai kritik dari dunia internasional

    mengenai pelaksanaan putusan arbitrase internasional dan memberikan kesan

    umum bahwa Indonesia masih merupakan “an arbitration unfriendly country”

    dimana sulit untuk dapat melaksanakan putusan arbitrase internasional di

    Indonesia.

    C. Pembatalan Putusan Arbitrase

    Pada dasarnya putusan arbitrase bersifat final dan mengikat, atau merupakan

    putusan pada tingkat terakhir serta mengikat para pihak sehingga tidak dapat diajukan

    upaya hukum apapun. Namun menurut Yahya Harahap, mengenai putusan arbitrase

    yang bersifat final dan mengikat tersebut, terdapat pengecualian atas alasan yang

    sangat eksepsional sehingga dapat diajukan perlawanan atau plea dalam bentuk

    54

    M. Husseyn Umar, Pokok-pokok Masalah Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di

    Indonesia, artikel diakses 25 April 2015

    http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4bbd785494fc7/pokokpokok-masalah-pelaksanaan-

    putusan-arbitrase-internasional-di-indonesia-br-oleh-m-husseyn-umar-.

    http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4bbd785494fc7/pokokpokok-masalah-pelaksanaan-putusan-arbitrase-internasional-di-indonesia-br-oleh-m-husseyn-umar-http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4bbd785494fc7/pokokpokok-masalah-pelaksanaan-putusan-arbitrase-internasional-di-indonesia-br-oleh-m-husseyn-umar-

  • 46

    permintaan annulment atau pembatalan putusan,55

    hal tersebut senada dengan

    pernyataan dari Bambang Sutiyoso dalam bukunya penyelesaian sengketa bisnis,

    bahwa pada putusan arbitrase dapat dilakukan pembatalan jika terdapat hal-hal yang

    bersifat luar biasa.56

    Akibat dari adanya pembatalan putusan arbitrase adalah putusan

    tersebut sudah dianggap lenyap secara keseluruhan wujud fisik maupun nilai

    yuridisnya, atau seolah-olah sengketa tersebut belum pernah diproses dan diputus dan

    secara mutlak putusan arbitrase tersebut dianggap belum pernah ada.57

    Mengenai pembatalan putusan arbitrase, tentunya tak semudah yang dikira

    karena harus memenuhi unsur-unsur yang dianggap patut untuk dijadikan alasan

    terhadap pembatalan. Menurut ketentuan Reglement of de rechtsvordering,

    Staatsblaad 1847:52 (R.V) yang berlaku, sebelum berlakunya Undang-undang No.30

    Tahun1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang merupakan

    pedoman beracara bagi pemeriksaan sengketa melalui lembaga arbitrase di Indonesia,

    alasan-alasan yang dapat dipakai oleh para pihak untuk mengajukkan bantahan atau

    perlawanan terhadap putusan arbitrase lebih bervariasi. Menurut pasal 643 R.v.,

    putusan arbitrase hanya dapat dilawan atau dibantah sebagai tidak sah dalam hal-hal

    sebagai berikut :58

    55

    Yahya Harahap, Arbitrase ditinjau dari Reglemen Acara Perdata