Upaya bnnp diy dalam p4 gn
-
Upload
-widyaiswara-tenaga-pengajar-di-bidang-pencegahan-dan-pemberantasan-penyalahgunaan-dan-peredaran-gelap-narkotika -
Category
Self Improvement
-
view
257 -
download
1
Transcript of Upaya bnnp diy dalam p4 gn
UPAYA BADAN NARKOTIKA NASIONAL PROVINSIDAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DALAM
PENCEGAHAN PEMBERANTASAN PENYALAHGUNAANDAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA BERDASARKAN
UNDANG - UNDANG NO.35 TAHUN 2009 TENTANGNARKOTIKA
Penulisan Hukum (Skripsi ) S1
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Syarat-Syarat
Guna Memperoleh Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Oleh
PRABOWO CAHYANDARU
NIM : E0008407
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2013
Penulisan Hukum (Skripsi)
UPAYA BADAN NARKOTIKA NASIONAL PROVINSI DARAH
ISTIMEWA YOGYAKARTA DALAM PENCEGAHAN
PEMBERANTASAN DAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA
BERDASARKAN UNDANG – UNDANG NO.35 TAHUN 2009 TENTANG
NARKOTIKA
Disusun oleh :Prabowo Cahyandaru
NIM : E 0008407
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, 12 Juli 2013
Dosen Pembimbing
Pembimbing II,
NIP. 195512121983032001 NIP. 196410221989032002
ii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
UPAYA BADAN NARKOTIKA NASIONAL PROVINSI DARAHISTIMEWA YOGYAKARTA DALAM PENCEGAHAN
PEMBERANTASAN DAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKABERDASARKAN UNDANG – UNDANG NO.35 TAHUN 2009 TENTANG
NARKOTIKAOleh
Prabowo CahyandaruNIM : E 0008407
Telah diterima dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada :
Hari : Senin
Tanggal : 29 Juli 2013
DEWAN PENGUJI
1. Winarno Budyatmojo, S.H., M.S.
Ketua
2. Subekti, S.H., M.H.
Sekretaris
3. Rofikah, S.H., M.H.
Anggota
Mengetahui
Dekan,
iii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
UPAYA BADAN NARKOTIKA NASIONAL PROVINSI DARAHISTIMEWA YOGYAKARTA DALAM PENCEGAHAN
PEMBERANTASAN DAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKABERDASARKAN UNDANG – UNDANG NO.35 TAHUN 2009 TENTANG
NARKOTIKAOleh
Prabowo CahyandaruNIM : E 0008407
Telah diterima dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada :
Hari : Senin
Tanggal : 29 Juli 2013
DEWAN PENGUJI
1. Winarno Budyatmojo, S.H., M.S.
Ketua
2. Subekti, S.H., M.H.
Sekretaris
3. Rofikah, S.H., M.H.
Anggota
Mengetahui
Dekan,
iii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
UPAYA BADAN NARKOTIKA NASIONAL PROVINSI DARAHISTIMEWA YOGYAKARTA DALAM PENCEGAHAN
PEMBERANTASAN DAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKABERDASARKAN UNDANG – UNDANG NO.35 TAHUN 2009 TENTANG
NARKOTIKAOleh
Prabowo CahyandaruNIM : E 0008407
Telah diterima dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada :
Hari : Senin
Tanggal : 29 Juli 2013
DEWAN PENGUJI
1. Winarno Budyatmojo, S.H., M.S.
Ketua
2. Subekti, S.H., M.H.
Sekretaris
3. Rofikah, S.H., M.H.
Anggota
Mengetahui
Dekan,
iii
MOTTO
Sesuatu yang belum dikerjakan, seringkali tampak mustahil; kita baru yakin kalau
kita telah berhasil melakukannya dengan baik
(Evelyn Underhill)
Banyak kegagalan dalam hidup ini dikarenakan orang-orang tidak menyadari
betapa dekatnya mereka dengan keberhasilan saat mereka menyerah
(Thomas Alva Edison)
iv
PERSEMBAHAN
Kepada Allah SWT Maha Pemberi Bantuan dan Maha Penolong
Orang Tuaku Tersayang, Bapak Budiharso dan Ibu Sulistyowati Budiharso.
Kakakku dan adikku Tersayang, Mas Anang Sulung Wicaksono dan Adik WisnuAdi Cahya.
Keluarga Besar Fakultas Hukum dan Universitas Sebelas Maret Surakartatercinta.
v
KATA PENGANTAR
Mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Penulisan Hukum (skripsi) yang
berjudul : “UPAYA BNNP DIY DALAM PENCEGAHAN
PEMBERANTASAN PENYALAHGUNAAN DAN PEREDARAN
GELAP NARKOTIKA BERDASARKAN UNDANG – UNDANG NO.
35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA”
Penulisan Hukum (skripsi) ini membahas tentang upaya – upaya
Pencegahan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran gelap
Narkotika berdasarkan Undang – undang No.35 Tahun 2009 di wilayah
hukum Dearah Istimewa Yogyakarta.
Dengan terselesaikannya Penulisan Hukum ini, penulis
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu:
1. Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah
memberikan ijin Penulisan Hukum (Skripsi) ini.
2. Ibu Rofikah, S.H.,M.H., selaku Pembimbing I, atas bimbingannya
Sehingga Penulisan Hukum (Skripsi) dapat selasai.
3. Ibu Subekti, S.H.,M.H., selaku Pembimbing II atas bantuan dan
dorongan yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan
Penulisan Hukum (Skripsi) ini.
4. Bapak Ismunarno, S.H.,Mhum., selaku Pembimbing Akademik
atas bimbingannya selama penulis menumpuh kuliah di Fakultas
Hukum Universitas Sebalas Maret Surakarta.
5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah membagikan ilmu dan pengalamannya.
vi
6. Bapak Drs. Budiharso, M.Si. selaku Kepala BNNP DIY yang telah
memberikan ijin untuk melakukan penelitian di Kantor BNNP DIY
7. Bapak Sumargiono, SST. FT., S.H. selaku Kepala Bagian
Pemberantasan BNNP DIY yang telah membantu Penulis
memperoleh data.
8. Bapak Bambang Wiryanto, S.Si. selaku Kepala Seksi
Pemberdayaan Masyarakat BNNP DIY yang telah membantu
Penulis memperoleh data.
9. Bapak dan Ibuku tercinta yang telah memberi dukungan baik
berupa doa, dan dana guna terselesainya skripsi ini.
10. Mas Anang dan Adik Wisnu yang telah memberikan support dan
doa guna terselesainya skripsi ini.
11. Bapak Wiryomartono dan teman – teman kost terimakasih atas
bantuan dan dukungan doanya.
12. Teman – teman Fakultas Hukum angkatan 2008 terimakasih atas
dukungan doanya.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan, maka penulis
mengharapkan koreksi dan tanggapan, baik berupa saran maupun kritik
yang positif dan membangun demi sempurnanya Penulisan Hukum ini.
Penulis berharap semoga Penulisan Hukum ini dapat memberikan
manfaat bagi semua pembaca serta sumbangan pada almamater.
Surakarta, 12 Juli 2013
Penulis
Prabowo Cahyandaru
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………….…… i
HALAMAN PERSETUJUAN ………………….…………………………. ii
HALAMAN PENGESAHAN …………..…………………………………. iii
HALAMAN MOTTO ………………..……………………………………. iv
PERSEMBAHAN ………………….……………………………………… v
KATA PENGANTAR ………..…………………………………………… vi
DAFTAR ISI ………………………………………………………........... viii
DAFTAR TABEL …….…………………………………………………… xi
DAFTAR GAMBAR… …………………………………………………… xii
PERNYATAAN …………………………………………………………… xiii
ABSTRAK ………………………………………………………………… xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ……………………………… 1
B. Perumusan Masalah ………………………………….. 5
C. Tujuan Penelitian ……………………………………... 5
D. Manfaat Penelitian ……………………………………. 6
E. Metode Penelitian …………………………………….. 7
1. Jenis Penelitian ………………………………... 7
2. Sifat Penelitian ………………………………… 7
3. Pendekatan Penelitian ………………………… 7
4. Jenis dan Sumber Daya Penelitian ……………. 8
5. Tehnik Pengumpulan Data .…………………… 8
6. Teknik Analisis Data ………………………….. 9
F. Sistematika Penulisan ………………………………… 10
Viii
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian dan Dampak Narkotika …………………… 11
1. Pengertian Narkotika ………………………….. 11
2. Penggolongan Narkotika ..…………………… 11
3. Dampak Narkotika terhadap Sistem Susunan
Saraf ………………………………………… 13
4. Dampak Penyalahgunaan Narkotika ………….. 14
B. Tindak Pidana Narkotika sebagai Kejahatan
Transnasional …………………………………………. 20
C. Tindak Pidana Narkotika sebagai Kejahatan
Terorganisir …………………………………………… 22
D. Fungsi Hukum dan Kebijakan Kriminal dalam
Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Berdasarkan
UU No. 35 Tahun 2009 …….…….............................. 26
E. Kerangka Pemikiran ………………………………….. 34
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian .………………………………………... 35
1. Gambaran Umum Badan Narkotika Nasional
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ………… 35
2. Upaya BNNP DIY dalam Pencegahan dan
Pemberantasan Penyalahgunaan dan
Peredaran Gelap Narkotika …………………. 44
B. Pembahasan ……... ……………………………………. 59
1. Upaya BNNP DIY dalam Pencegahan
Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap
Narkotika …………………... 59
ix
2. Hambatan BNNP DIY dalam Upaya
Pencegahan dan Pemberantasan
Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap
Narkotika .……………………………………… 80
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan ………...……………………………………... 85
B. SARAN ………………………………………………… 86
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
x
DAFTAR TABEL
TABEL 1 JUMLAH WILAYAH ADMINISTRATIF DIY TAHUN
2010 – 2012 ……………………………………………….. 48
TABEL 2 DAFTAR KASUS PIDANA NARKOTIKA DAERAH
ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN 2010 – 2012 ……. 56
TABEL 3 DAFTAR TERSANGKA TINDAK PIDANA
NARKOTIKA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
TAHUN 2010 – 2012 ………………………………………. 57
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Model Analisis Interaksi ……………………………… 9
Gambar 2 Visualisasi Organisasi Kejahatan Narkotika …………………. 23
Gambar 3 Visualisasi Organisasi Kejahatan Narkotika Bali Nine Th.
2005 ………………….………………….……………………. 24
Gambar 4 Hasil Analisa Data Elektronik Komunikasi Melalui Seluler …. 25
Gambar 5 Kerangka Pemikiran …………………………………………. 34
Gambar 6 Struktur Organisasi BNNP ………………………………….… 41
xii
PERNYATAAN
Nama : Prabowo Cahyandaru
NIM : E0008407
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul :
UPAYA BADAN NARKOTIKA NASIONAL PROVINSI DAERAHISTIMEWA YOGYAKARTA DALAM PENCEGAHANPEMBERANTASAN PENYALAHGUNAAN DAN PEREDARANGELAP NARKOTIKA BERDASARKAN UNDANG - UNDANG NO.35TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA adalah betul-betul karyasendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum(skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, makasaya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisanhukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum(skripsi) ini.
Surakarta, 12 Juli 2013Yang membuat pernyataan
Prabowo CahyandaruNIM. E0008407
xiii
ABSTRAK
PRABOWO CAHYANDARU, E0008407, UPAYA BADANNARKOTIKA NASIONAL PROVINSI DAERAH ISTIMEWAYOGYAKARTA DALAM PENCEGAHAN PEMBERANTASANPENYALAHGUNAAN DAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKABERDASARKAN UNDANG - UNDANG NO.35 TAHUN 2009TENTANG NARKOTIKA. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui upaya Badan NarkotikaNasional Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (BNNP DIY) dalampencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika(P4GN) berdasarkan Undang-Undang No.35 tahun 2009 tentang Narkotika,berikut hambatannya, serta hal-hal positif yang memungkinkan untuk dapatdikembangkan sebagai model.
Penelitian ini dilaksanakan di BNNP DIY merupakan jenis penelitianhukum normatif. Jenis dan sumber daya penelitian terdiri dari bahan hukumprimer yang berupa Undang-Undang No.35 tahun 2009 tentang Narkotika,dan bahan hukum sekunder yaitu Peraturan Pemerintah, Peraturan Kepala BNN,Peraturan Menteri dan dokumen-dokumen lainnya yang erat hubungannya denganpermasalahan. Tehnik pengumpulan bahan hukum menggunakan studi dokumen,kemudian dianalisa secara kualitatif dengan model analisis interaktif.
Hasil penelitian menunjukan bahwa Upaya Badan Narkotika NasionalProvinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (BNNP DIY) dalam PencegahanPemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN) melaluikebijakan pemidanaan (penal policy) yang diterapkan melalui upayapemberantasan atau penegakan hukum, dan kebijakan bukan pemidanaan (nonpenal policy) yang diterapkan melalui upaya pencegahan dan rehabilitasi. BNNPDIY dalam upaya pemberantasan penyalahgunaan narkotika tidak semata-matamenerapkan sanksi pidana, namun lebih cenderung untuk menerapkan upayarehabilitasi agar pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika sembuh.Hambatan BNNP DIY dalam upaya P4GN antara lain masih kekuranganpersonel, sehingga dalam penugasan sehari-hari terjadi penugasan rangkap. BNNPDIY secara kelembagaan belum didukung adanya Badan Narkotika Kabupaten /Kota, akibatnya lembaga BNNP DIY kurang dapat memberikan pelayanan P4GNkepada masyarakat luas secara cepat, selain itu juga kurang dapat memantausituasi dan kondisi wilayah secara obyektif, akibat selanjutnya adalahpermasalahan narkoba sulit untuk bisa dituntaskan dalam waktu dekat.
Kata Kunci: BNNP DIY, P4GN, UU NO. 35 TAHUN 2009 tentang Narkotika.
xiv
ABSTRACT
PRABOWO CAHYANDARU, E0008407, THE EFFORT OF NATIONALNARCOTICS BOARD PROVINCE SPECIAL REGION OFYOGYAKARTA IN THE PREVENTION AND ELIMINATION OF THEABUSE AND ILLICIT TRAFFICKING IN NARCOTICS (P4GN) REFERTO ACT 35 YEAR 2009 ABOUT NARCOTIC. Faculty of Law, Universityof Sebelas Maret.
This research aims to determine the efforts of the National NarcoticsBoard Province Special Region of Yogyakarta (BNNP DIY) in the prevention andelimination of the abuse and illicit trafficking in narcotics (P4GN) refer to ActNumber 35 year 2009 about Narkotic, including the following constraints, as wellas the positive things that could be developed as a model.
The research was conducted in BNNP DIY is normative legal research.Research resources consist of primary legal materials in the form of Act Number35 year 2009 about Narkotic, and secondary legal materials such as GovernmentRegulation, Regulation of the Chief of BNN, Regulation of Minister and otherdocuments that are closely related to the problem. Data Collection technique usingstudy material legal documents, and then analyzed qualitatively with theinteractive model.
The result of the research shows that the efforts of BNNP DIY in theprevention and elimination of the abuse and illicit trafficking in narcotics (P4GN)through a penal policy which is implemented through the law enforcement, andnot penal policy which is implemented through prevention and rehabilitation.BNNP DIY in his efforts to combat narcotics abuse is not solely apply criminalsanctions, however, are more likely to implement the rehabilitation efforts inorder to recover narcotics addicts and the victim of narcotics abusers. BNNP DIYhas constraints in an effort of P4GN such as lack of personnel, resulting in thedaily job occurs double assignment. BNNP DIY is not supported by the NationalNarcotics Board Resort or City (BNNK), consequently BNNP DIY less able toprovide services to the community quickly in the effort of P4GN, it is also lessable to monitor the situation and condition of the region objectively, in the end isa hard narcotics problem to be resolved in the near future.
Keywords: BNNP DIY, P4GN, Act number 35 year 2009 about Narcotic.
xv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dari tahun ke tahun
menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat, bahkan sampai saat ini
penyalahgunaan narkotika di dunia tidak pernah kunjung berkurang. Menurut
United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), yaitu organisasi PBB
yang menengani masalah narkotika dan kriminalitas memperkirakan bahwa pada
tahun 2011 penduduk dunia telah mencapai tujuh triliun, dan sekitar 230 milyar
menggunakan narkotika secara tidak legal, paling tidak sekali dalam setahun.
Pada usia antara 15 – 64 tahun diperkirakan satu diantara 20 orang menggunakan
narkotika tidak legal. Pernyataan UNODC dalam bahasa Inggris dikutip sebagai
berikut: “The world population has reached 7 billion people. Of these, the United
Nations Office on Drugs and Crime estimates that about 230 million use an
illegal drug at least once a year. This represents about 1 in 20 persons between
the ages of 15 and 64”. ( United Nations Office on Drugs and Crime. 2012 : 59 ).
Masalah narkotika di Indonesia bukanlah hal baru, namun telah ada
sejak jaman penjajahan. Hal ini terbukti dengan adanya peraturan yang ada
pada saat itu. Pada jaman Hindia Belanda telah diterbitkan Verdoovende
Middelen Ordonatie (V.M.O) Stbl. 1927 No.278 Jo. no.536 yang telah diubah dan
ditambah yang dikenal dengan Undang-Undang Obat Bius. Peraturan tersebut
karena sudah tidak mengikuti perkembangan permasalahan narkotika dan
teknologi maka diganti dengan Undang-Undang nomor 9 tahun 1976 tentang
Narkotika (UU No. 9 Tahun 1976: Pertimbangan huruf d). Undang-Undang
nomor 9 tahun 1976 digunakan sebagai pedoman penanggulangan tindak pidana
narkotika selama kurang lebih 21 tahun, dan dinyatakan tidak berlaku lagi sejak
diundangkannya Undang-Undang nomor 22 tahun 1997, selanjutnya Undang-
Undang Narkotika yang terbaru dan berlaku di Indonesia sekarang adalah UU
2
No. 35 tahun 2009. Undang-Undang narkotika yang baru ini memberlakukan
korban sebagaimana orang sakit yang harus disembuhkan, tidak dipandang
sebagai pelaku pidana, namun sebaliknya bagi pengedar dan petugas yang terlibat
peredaran gelap narkotika harus diberikan hukuman seberat-beratnya.
Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika di Indonesia tidak pernah
surut. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian Badan Narkotika Nasional (BNN)
dan Universitas Indonesia (UI) yang dilakukan setiap empat tahun sekali
mengemukakan data bahwa pada tahun 2004 terdapat prevalensi sebanyak 1,75
% kemudian pada tahun 2008 terdapat prevalensi 1,99% dan terakhir tahun 2011
sebanyak 2,20%. Prevalensi penyalahgunaan narkotika dihitung berdasarkan
persentase dari jumlah pengguna dibandingkan dengan jumlah penduduk rentan
yaitu berumur 10 – 59 tahun.
Dari hasil penelitian 2011 diperkirakan sebanyak 9,6 sampai 12,9 juta
orang atau 5,9% dari populasi yang berusia 10-59 tahun di Indonesia pernah
mencoba pakai narkoba minimal satu kali sepanjang hidupnya, atau sekitar 1 dari
17 orang di Indonesia yang berusia 10-59 tahun pernah pakai narkotika sepanjang
hidupnya. Dari sejumlah itu, ada sekitar 3,7 sampai 4,7 juta orang (2,2%) yang
masih menggunakan narkoba dalam satu tahun terakhir atau ada 1 dari 45 orang
yang masih pakai narkoba. (Badan Narkotika Nasional Bekerjasama dengan
Pusat Penelitian KesehatanUniversitas Indonesia, 2011 : 19).
Penggunaan narkotika tidak legal tersebut berdampak pada kerugian
sosial ekonomi, sehingga mengakibatkan terhambatnya program pembangunan.
Prakiraan kerugian sosial ekonomi akibat dari kasus-kasus penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika di Indonesia adalah sebesar Rp.23,6 trilyun pada
tahun 2004 meningkat menjadi Rp.32,4 trilyun pada tahun 2008 dan pada tahun
2011 sebanyak 48,2 trilyun (Badan Narkotika Nasional Bekerjasama dengan
Pusat Penelitian KesehatanUniversitas Indonesia, UI, 2004, 2008, dan 2011).
Total kerugian pada tahun 2011 meliputi 44,4 trilyun biaya pribadi dan 3,8 triyun
biaya sosial. Pada biaya pribadi sekitar 39% diperuntukkan bagi biaya konsumsi
narkoba. Pada biaya sosial sebagian besar (90%) digunakan untuk biaya kematian
3
dini akibat narkotika. Anggaran sebesar itu hilang begitu saja, tidak bisa untuk
membangun.
Menyikapi semakin meningkatnya penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika, maka Pemerintah Republik Indonesia bertekat mewujudkan negara
Indonesia bebas dari penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika pada tahun
2015 (Drug Free 2015). Untuk mewujudkan Drug Free 2015 Presiden Republik
Indonesia telah mengeluarkan Instruksi Presiden No. 12 tahun 2011 tentang
Pelaksanaan Kebijakasanaan dan Strategi Nasional Pencegahan dan
Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba Tahun 2011 -
2015.
Untuk melaksanakan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika di Indonesia telah dibentuk Badan Narkotika Nasional
(BNN). Selanjutnya di setiap provinsi dibentuk Badan Narkotika Nasional
Provinsi (BNNP) sebagai perwakilan BNN di setiap provinsi. Pada tahun 2010
telah dibentuk Badan Narkotika Nasional Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
(BNNP DIY).
Daerah Istimewa Yogyakarta adalah salah satu Propinsi dari 33 Propinsi
di wilayah Indonesia, terdiri dari empat kabupaten dan satu wilayah kota. Secara
keseluruhan luas Daerah Istimewa Yogyakarta 3.185,80 km2, dengan jumlah
penduduk hasil sensus tahun 2010 diperkirakan sebanyak 3.452.390 jiwa.
Sebagian besar penduduknya adalah usia muda terutama pelajar yang berasal dari
berbagai wilayah di Indonesia. Selain itu Daerah Istimewa Yogyakarta dikenal
juga sebagai daerah wisata yang menarik wisatawan lokal maupun mancanegara.
Daerah Istimewa Yogyakarta ditengarai sebagai daerah yang sangat
rawan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Dari hasil
penelitian BNN dengan Lembaga Penelitian Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia, pada tahun 2008, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ditempatkan
pada urutan 27 dari 33 provinsi di Indonesia untuk kategori pemasok, yang saat
itu terdapat 44 tersangka dari 2,537,100 jumlah penduduk yang rentan di DIY.
Berarti setiap 57,661 orang terdapat satu pemasok / pengedar. Sedangkan untuk
4
kategori pemakai, DIY ditempatkan pada urutan ke dua dengan prevalensi
2.72%, yaitu terdapat sejumlah 68,980 orang pemakai narkoba dari 2,537,100
jumlah penduduk yang rentan. Berarti setiap 36 orang penduduk terdapat satu
pemakai narkoba (Badan Narkotika Nasional Bekerjasama dengan Pusat
Penelitian KesehatanUniversitas Indonesia, 2008: 13). Selain dari pada itu di DIY
diproyeksikan penyalahgunaan narkotika dari tahun 2008 hingga 20013 sebagai
berikut 688.691 pada tahun 2008, 73.662 pada tahun 2009, 78.508 pada tahun
2010, 83.514 pada tahun 2011, 88.691 pada tahun 2012 dan 94.031 pada tahun
2013 (Badan Narkotika Nasional, 2009: 69)
Hasil penelitian tahun 2011 di DIY didapatkan angka prevalensi 2,8 yang
diperkirakan jumlah pengguna narkoba sebanyak antara 45.062 – 94.337 dengan
titik tengah 69.699 dari jumlah penduduk rentan diperkirakan 2.998.250
orang.(Badan Narkotika Nasional Bekerjasama dengan Pusat Penelitian
KesehatanUniversitas Indonesia, 2011: 25)
Keberadaan BNNP DIY yang relatif masih baru telah dituntut untuk
semaksimal mungkin dapat menekan prevalensi penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika di DIY. Proyeksi penyalahgunaan narkotika yang
diperkirakan pada tahun 2008, untuk kurun waktu hingga tahun 2011
mencapai 83.514 orang namun setelah diadakan penelitian diketemukan
angka 69.699 orang. Data tersebut menunjukkan keberhasilan DIY dalam
upaya P4GN, oleh karena itu penulis tertarik dan ingin memahami
bagaimana cara BNNP DIY berupaya menyelesaikan permasalahan
Narkotika dalam mendukung terwujudnya Indonesia bebas dari
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika tahun 2015. Oleh karena itu
penulis mengajukan penelitian dengan judul “UPAYA BADAN
NARKOTIKA NASIONAL PROVINSI DAERAH ISTIMEWA
YOGYAKARTA DALAM PENCEGAHAN PEMBERANTASAN
PENYALAHGUNAAN DAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA
BERDASARKAN UNDANG - UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009
TENTANG NARKOTIKA”.
5
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, dirumuskan beberapa permasalahan
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah upaya pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan
dan peredaran gelap narkotika di wilayah hukum Badan Narkotika
Nasional Provinsi Yogyakarta (DIY)?
2. Apakah hambatan-hambatan dalam pencegahan, pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika di wilayah hukum
Badan Narkotika Nasional Provinsi Yogyakarta (DIY)?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian untuk memberikan arah yang tepat dalam penelitian,
sehingga penelitian dapat berjalan dengan terarah dan menjawab permasalahan
yang telah dirumuskan. Tujuan dari penelitian ini adalah:
1 Tujuan obyektif
a. Untuk mengetahui upaya Badan Narkotika Nasional Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta dalam pencegahan,
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika
berdasarkan undang undang no.35 tahun 2009.
b. Untuk mengetahui hambatan Badan Narkotika Nasional Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta dalam pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika berdasarkan
undang undang no.35 tahun 2009 untuk dicarikan jalan
keluarnya.
c. Untuk mengetahui hal-hal positif yang dilaksanakan Badan
Narkotika Nasional Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika
6
yang memungkinkan untuk dapat dikembangkan sebagai
model.
2. Tujuan Subyektif
a. Sebagai sarana untuk meningkatkan pengetahuan penulis tentang
pelaksanaan UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, agar dapat
memberikan masukan secara tepat dalam penanganan suatu kasus
pidana narkotika.
b. Untuk memberikan sumbangan pemikiran baik kepada pemerintah,
praktisi hukum, dan akademisi, dan masyarakat pada umumnya
dalam bidang ilmu hukum terkait dengan narkotika.
c. Untuk memenuhi persyaratan bagi penulis untuk menyelesaikan
perkuliahan dan sekaligus mendapatkan gelar sarjana dibidang
ilmu hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis
Mengembangkan dan memperkaya pemikiran di bidang
hukum pidana terutama yang berhubungan dengan upaya
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkotika.
b. Manfaat Praktis
1) Bagi BNNP DIY maupun BNNP lainnya dapat sebagai
masukan dalam mengembangkan upaya Pencegahan
dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran
Gelap Narkotika.
2) Bagi penulis sebagai tambahan pengetahuan dalam
bidang hukum pidana terkait dengan Badan Narkotika
Nasional Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam
7
upaya pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkotika.
3) Bagi para peneliti dapat diambil manfaat dari penelitian
ini sebagai dasar penelitian lebih lanjut ataupun sebagai
dasar perbandingan.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian hukum
normatif yaitu penelitian yang menggambarkan secara sistematis fakta-
fakta terhadap permasalahan yang telah dikemukakan dengan tujuan untuk
membatasi kerangka studi kepada analisis atau suatu klasifikasi tanpa
secara langsung bertujuan untuk menguji hipotesa-hipotesa atau teori-
teori.
2. Sifat Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka
sifat penelitian ini adalah preskriptif yaitu penelitian yang memberikan
gambaran atau merumuskan masalah sesuai dengan fakta yang ada.
3. Pendekatan Penelitian
Pada penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan
(statute approach), yaitu pendekatan yang dilakukan dengan
mengidentifikasi serta membahas peraturan perundang-undangan
yang berlaku dalam hal ini antara lain menggunakan UU No. 35 tahun
2009 dan peraturan yang terkait.
4. Jenis dan Sumber Daya Penelitian
Jenis dan sumber daya penelitian terdiri dari bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder.
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat,
berupa peraturan perundang-undangan dalam hal ini UU No. 35
8
Tahun 2009 tentang Narkotika dan peraturan yang mengikutinya,
serta informasi tentang kegiatan P4GN yang dilaksanakan BNNP
DIY.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang erat
hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu
menganalisis dan memahami bahan hukum primer, yaitu literatur
maupun dokumen-dokumen yang berkaitan dengan permasalahan.
F. Tehnik Pengumpulan Data
Pengumpulan bahan hukum dalam tulisan ini melalui studi dokumen, yaitu
suatu alat pengumpulan bahan hukum yang dilakukan melalui bahan hukum
tertulis dengan mempergunakan conten analysis (Peter Mahmud Marzuki, 2006 :
21). Langkah pengumpulan bahan hukum pada penelitian ini diawali dengan
inventarisasi semua bahan hukum yang terkait dengan pokok permasalahan,
kemudian diadakan klasifikasi bahan hukum yang terkait, dan selanjutnya bahan
hukum tersebut disusun dengan sistematis agar lebih mudah dipahami.
Langkah pembahasan dilakukan dengan menggunakan penalaran deduksi,
dan untuk sampai pada jawaban permasalahan digunakan penafsiran sistematis,
yaitu penelitian dilakukan dengan menelaah pengertian-pengertian dasar dalam
sistem hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.
G. Teknik Analisis Data
Data primer dan data sekunder yang telah terkumpul disusun kembali
secara teratur kemudian dianalisa, analisa yang dilakukan secara kualitatif dengan
dasar ilmu hukum dilengkapi kajian pustaka untuk memperjelas serta melengkapi
kajian yang komplit dan mendalam.
Ketepatan dari sebuah analisis data ditentukan oleh jenis data yang
diperoleh oleh peneliti. Jika data itu valid maka penelitian akan cenderung
mengarah kepada hasil yang valid juga, demikian juga sebaliknya. Adapun teknik
9
analisa data yang digunakan :
1. Trianggulation, yaitu peneliti menggunakan beberapa data untuk
mengumpulkan data yang sama. Data yang digunakan dari sumber primer
dan sekunder diharapkan diperoleh hasil penelitian yang valid serta
mendekati kesempurnaan. (Soerjono Soekamto, 2004 : 56).
2. Data yang telah terkumpul yang merupakan bukti penelitian disusun
dengan harapan memudahkan review kembali jika diperlukan. Data dapat
berupa diskripsi, gambar, skema, rekaman dan lain-lain.
3. Memelihara rantai kaitan dari semua bukti penelitian, hal ini dilakukan
untuk meningkatkan nilai penelitian dan beberapa informasi dalam
penelitian serta kejelasan bukti sehingga penelitian ini sesuai dengan
konsep, teori atau kaidah yang berlaku dalam persoalan ini.
Setelah data dari lapangan selesai dikumpulkan dengan lengkap, tahap
yang berikutnya adalah tahap analisa data. Tahap ini merupakan tahap yang
penting dan menentukan. Teknik analisa data ini tidak dapat dipisahkan dari jenis
data yang dikumpulkan dalam suatu penelitian. Analisis yang penulis gunakan
adalah analisis interaktif, yaitu model analisis yang terdiri dari reduksi data,
penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Dilakukan pula suatu proses siklus
antara tahap-tahap tersebut sehingga data-data yang terkumpul akan berhubungan
satu dengan yang lainnya secara sistematis (H.B Sutopo, 2002 : 96 ).
Di bawah ini penulis sajikan suatu bagan yang menggambarkan alur
analisis data, sebagai berikut :
(HB. Sutopo, 2002 : 96)
Gambar: 1
Bagan Model Analisis Interaksi
9
analisa data yang digunakan :
1. Trianggulation, yaitu peneliti menggunakan beberapa data untuk
mengumpulkan data yang sama. Data yang digunakan dari sumber primer
dan sekunder diharapkan diperoleh hasil penelitian yang valid serta
mendekati kesempurnaan. (Soerjono Soekamto, 2004 : 56).
2. Data yang telah terkumpul yang merupakan bukti penelitian disusun
dengan harapan memudahkan review kembali jika diperlukan. Data dapat
berupa diskripsi, gambar, skema, rekaman dan lain-lain.
3. Memelihara rantai kaitan dari semua bukti penelitian, hal ini dilakukan
untuk meningkatkan nilai penelitian dan beberapa informasi dalam
penelitian serta kejelasan bukti sehingga penelitian ini sesuai dengan
konsep, teori atau kaidah yang berlaku dalam persoalan ini.
Setelah data dari lapangan selesai dikumpulkan dengan lengkap, tahap
yang berikutnya adalah tahap analisa data. Tahap ini merupakan tahap yang
penting dan menentukan. Teknik analisa data ini tidak dapat dipisahkan dari jenis
data yang dikumpulkan dalam suatu penelitian. Analisis yang penulis gunakan
adalah analisis interaktif, yaitu model analisis yang terdiri dari reduksi data,
penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Dilakukan pula suatu proses siklus
antara tahap-tahap tersebut sehingga data-data yang terkumpul akan berhubungan
satu dengan yang lainnya secara sistematis (H.B Sutopo, 2002 : 96 ).
Di bawah ini penulis sajikan suatu bagan yang menggambarkan alur
analisis data, sebagai berikut :
(HB. Sutopo, 2002 : 96)
Gambar: 1
Bagan Model Analisis Interaksi
9
analisa data yang digunakan :
1. Trianggulation, yaitu peneliti menggunakan beberapa data untuk
mengumpulkan data yang sama. Data yang digunakan dari sumber primer
dan sekunder diharapkan diperoleh hasil penelitian yang valid serta
mendekati kesempurnaan. (Soerjono Soekamto, 2004 : 56).
2. Data yang telah terkumpul yang merupakan bukti penelitian disusun
dengan harapan memudahkan review kembali jika diperlukan. Data dapat
berupa diskripsi, gambar, skema, rekaman dan lain-lain.
3. Memelihara rantai kaitan dari semua bukti penelitian, hal ini dilakukan
untuk meningkatkan nilai penelitian dan beberapa informasi dalam
penelitian serta kejelasan bukti sehingga penelitian ini sesuai dengan
konsep, teori atau kaidah yang berlaku dalam persoalan ini.
Setelah data dari lapangan selesai dikumpulkan dengan lengkap, tahap
yang berikutnya adalah tahap analisa data. Tahap ini merupakan tahap yang
penting dan menentukan. Teknik analisa data ini tidak dapat dipisahkan dari jenis
data yang dikumpulkan dalam suatu penelitian. Analisis yang penulis gunakan
adalah analisis interaktif, yaitu model analisis yang terdiri dari reduksi data,
penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Dilakukan pula suatu proses siklus
antara tahap-tahap tersebut sehingga data-data yang terkumpul akan berhubungan
satu dengan yang lainnya secara sistematis (H.B Sutopo, 2002 : 96 ).
Di bawah ini penulis sajikan suatu bagan yang menggambarkan alur
analisis data, sebagai berikut :
(HB. Sutopo, 2002 : 96)
Gambar: 1
Bagan Model Analisis Interaksi
10
Keterangan :
Bagan di atas menggambarkan proses analisis model interaktif yang
berputar dan saling melengkapi. Setelah data terkumpul kemudian direduksi
dengan seleksi dan penyederhanaan secara terus menerus selama pemilihan,
kemudian diambil kesimpulan. Tahap-tahap ini tidak harus urut, apabila
memperoleh data yang sudah lengkap tanpa direduksi, data dapat langsung
disajikan. Dan apabila sampai pada tahap penarikan kesimpulan mengalami
kesulitan karena kekurangan data maka dapat kembali ke tahap pengumpulan
data. Jadi antara tahap satu dengan tahap yang lain tidak harus berurutan tapi
berhubungan terus dengan membentuk siklus. Dengan cara ini kesimpulan yang
didapat sebagai hasil akhir benarbenar merupakan hasil kesimpulan yang
dipertanggungjawabkan.
H. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran sacara menyeluruh serta untuk
mempermudah pemahaman mengenai seluruh isi penulisan hukum ini, maka
peneliti menjabarkan dalam bentuk sistimatika penulisan hukum yang terdiri dari
4 (empat) bab dimana tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian. Bab I berisi
Pendahuluan, pada bab ini penulis menguraikan latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan
sistemetika penulisan hukum (skripsi). Bab II berisi Tinjauan Pustaka, pada bab
ini penulis akan memberikan landasan teori atau memberikan penjelasan secara
teoritik yang bersumber pada badan hukum yang penulis gunakan dan doktrin
ilmu hukum yang dianut secara universal mengenai persoalan yang sedang penulis
teliti. Bab III berisi Hasil Penelitian dan Pembahasan, pada bab ini penulis
menguraikan dan menyajikan pembahasan berdasarkan rumusan masalah. Bab IV
Penutup, yang menguraikan simpulan dan saran terkait dengan permasalahan yang
diteliti, selanjutnya untuk melengkapi tulusan ini juga disertakan Daftar Pustaka
dan Lampiran dokumen yang diperlukan untuk mendukung penelitian.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
F. Pengertian dan Dampak Narkotika
5. Pengertian Narkotika
Undang-undang 35 tahun 2009 menyebutkan dengan jelas
pengertian narkotika, yaitu: “Narkotika adalah zat atau obat yang berasal
dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang
dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan
sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini. (UU No 35 Tahun
2009, Pasal 1 angka 1).
6. Penggolongan Narkotika
Narkotika digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu Narkotika
Golongan I, Narkotika Golongan II, dan Narkotika Golongan III (UU No
35 Tahun 2009 Pasal 6).
a. Narkotika Golongan I tidak boleh untuk layanan kesehatan, hanya
diperbolehkan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan
tehnologi dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia
laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas
rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (UU No
35 Tahun 2009 pasal 7 dan 8). Terdapat 65 Narkotika Golongan I,
yang dapat dilihat pada lampiran 1, dari sekian banyak jenis
narkotika yang sering disalahgunakan antara lain adalah :
1) Tanaman Papaver Somniferum L dan semua bagian-
bagiannya termasuk buah dan jeraminya, kecuali bijinya.
12
2) Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri,
diperoleh dari buah tanaman Papaver Somniferum L yang
hanya mengalami pengolahan sekadar untuk pembungkus
dan pengangkutan tanpa memperhatikan kadar morfinnya.
3) Opium masak terdiri dari :
a) candu, hasil yang diperoleh dari opium mentah
melalui suatu rentetan pengolahan khususnya
dengan pelarutan, pemanasan dan peragian dengan
atau tanpa penambahan bahan-bahan lain, dengan
maksud mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang
cocok untuk pemadatan.
b) jicing, sisa-sisa dari candu setelah dihisap, tanpa
memperhatikan apakah candu itu dicampur dengan
daun atau bahan lain.
c) jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan
jicing.
4) Tanaman koka, tanaman dari semua genus Erythroxylon
dari keluarga Erythroxylaceae termasuk buah dan bijinya.
5) Daun koka, daun yang belum atau sudah dikeringkan atau
dalam bentuk serbuk dari semua tanaman genus
Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae yang
menghasilkan kokain secara langsung atau melalui
perubahan kimia.
6) Kokain mentah, semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun
koka yang dapat diolah secara langsung untuk mendapatkan
kokaina.
7) Kokaina, metil ester-1-bensoil ekgonina.
8) Tanaman ganja, semua tanaman genus genus cannabis dan
semua bagian dari tanaman termasuk biji, buah, jerami,
hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja
termasuk damar ganja dan hasis.
13
9) MDMA: (±)-N, α -dimetil-3,4- (metilendioksi)
fenetilamina.
10) AMFETAMINA : (±)- α –metilfenetilamina
11) METAMFETAMINA : (+ )-(S)-N, α –dimetilfenetilamina.
b. Narkotika Golongan II dijelaskan dalam penjelasan Pasal 6 ayat 1
huruf b yaitu ”Narkotika Golongan II” adalah Narkotika
berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan
dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan
ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan
ketergantungan”.Narkotika Golongan II ada 86 macam yang dapat
dibaca pada lampiran 1.
c. Narkotika Golongan III dijelaskan dalam penjelasan Pasal 6 ayat 1
huruf c yaitu “Narkotika Golongan III adalah Narkotika berkhasiat
pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk
tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi
ringan mengakibatkan ketergantungan”. Narkotika Golongan II ada
14 macam yang dapat dibaca pada lampiran 1.
7. Dampak Narkotika terhadap Sistem Susunan Saraf
Dampak penggunaan narkotika pada system saraf pusat dibedakan menjadi
3 (tiga) jenis :
a. Depresan
Narkotika jenis ini menekan atau memperlambat fungsi system
saraf pusat sehingga dapat mengurangi aktivitas fungsional tubuh,
bahkan membuat tertidur atau tidak sadarkan diri. Contoh
opida/opiate (opium, morphin, heroin, kodein), obat tidur
trankuiliser atau obat penenang.
b. Stimulan
Narkotika jenis ini merangsang system saraf pusat untuk bekerja
lebih cepat, oleh karena itu orang yang mengkonsumsinya akan
14
terpacu lebih cepat detak jantungnya sehingga mempercepat
tekanan darah dan pernafasan.
c. Halusinogen
Hampir seluruh jenis narkotika memiliki efek halosinogen, yaitu
merubah perasaan dan pikiran sehingga menimbulkan kesan palsu
atau halusinasi.
8. Dampak Penyalahgunaan Narkotika
Banyak literatur yang telah mengulas tentang bahaya
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, yang akhirnya
dikeluarkannya aturan-aturan yang ketat tentang produksi, peredaran,
maupun penggunaannya. Di bawah ini penulis kemukakan beberapa
dampak dari penyalahgunaan narkotika:
a. Dampak Penyalahgunaan Narkotika pada Bidang Kesehatan
Penyalahgunaan narkotika dapat merusak/menghancurkan
kesehatan manusia baik secara jasmani maupun kejiwaan
seseorang. Pada penggunaan narkotika jangka panjang pengaruh
pada fisik antara lain sebagai berikut:
1) Gangguan pada system saraf (neurologies) kerusakan saraf
tepi, kerusakan susunan syaraf pusat di otak, yang
menimbulkan gejala seperti kejang-kejang, gangguan
kesadaran, halusinasi.
2) Gangguan pada jantung dan pembuluh darah
(cardiovasculer), seperti infeksi akut pada otot jantung,
gangguan pada peredaran darah, meningkatnya tekanan
darah.
3) Gangguan pada paru-paru (pulmoner), seperti tertekannya
fungsi pernafasan, sukar bernafas, pengerasan jaringan
paru-paru.
15
4) Gangguan pada kulit (dermatologies), seperti alergi, abses,
eksim.
5) Sering sakit kepala, mual-mual dan muntah, suhu tubuh
meningkat, pengecilan hati, sulit tidur.
6) Dampak pada kesehatan reproduksi adalah gangguan pada
endokrin, seperti penurunan hormone reproduksi (estrogen,
progesterone, tetosteron), serta gangguan seksual.
7) Penyalahguna narkotika merusak sistem reproduksi, seperti
produksi sperma menurun, penurunan hormon testosterone,
kerusakan kromosom, kelainan sex, keguguran dan lain-
lain. Dampak bagi remaja perempuan antara lain perubahan
periode menstruasi, ketidakteraturan menstruasi, dan tidak
haid (amenorhoe).
8) Bagi pengguna narkotika melalui jarum suntik, khususnya
pemakaian jarum suntik secara bergantian, resikonya
adalah tertular penyakit seperti hepatitis B, C, dan HIV-
Aids yang hingga kini belum ada obatnya.
9) Penyalahgunaan narkotika menimbulkan gangguan psikis
pada perkembangan normal remaja, daya ingat, perasaan,
persepsi dan kendali diri.
10) penyalahguna narkotika dapat menimbulkan penyakit
AIDS. (Badan Narkotika Nasional. Mahasiswa dan Bahaya
Narkotika, 2010: 14 – 15).
b. Dampak penggunaan narkotika secara psikhis bagi penggunanya
antara laian:
1) Sulit berkonsentrasi, perasaan kesal dan tertekan
2) Hilang percaya diri, apatis, pengkhayal, penuh curiga
3) Malas belajar, ceroboh, sering tegang dan gelisah
11) Agitatif, menjadi ganas dan tingkah laku brutal, perasaan
tidak aman, cenderung menyakiti diri, bahkan bunuh diri.
16
(Badan Narkotika Nasional. Mahasiswa dan Bahaya
Narkotika, 2010: 15).
c. Dampak Penyalahgunaan Narkotika pada Bidang Ekonomi
Kerugian ekonomi yang ditimbulkan akibat
penyalahgunaan narkotika sangat besar. Kerugian tersebut dapat
menimpa diri sendiri, keluarga, masyarakat, bahkan Negara. Hasil
penelitian tahun 2011 kerugian ekonomi akibat penyalahgunaan
narkotika di Indonesia diprakirakan sebesar 48.277.963.000 rupiah.
Biaya ekonomi yang dimaksud meliputi biaya yang dikeluarkan
langsung dan biaya tidak langsung terkait dengan penyalahgunaan
narkotika. Biaya langsung meliputi Konsumsi jenis narkoba,
Pengobatan dan perawatan overdosis, Pengobatan karena sakit
(HIV/AIDS, TB, hepatitis, dsb), Rehabilitasi dan detoksifikasi,
Kecelakaan lalulintas, Urusan dengan penegak hukum, Penjara,
Waktu yang hilang karena aktivitasnya terganggu, kematian akibat
narkoba. Biaya tidak langsung meliputi biaya yang secara tidak
langsung dikeluarkan akibat penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika seperti Kriminalitas, Waktu yang hilang karena
overdosis, Waktu yang hilang karena kesakitan, Waktu yang
hilang karena detok & rehab, Waktu yang hilang karena
kecelakaan, Waktu yang hilang karena urusan dengan penegak
hukum, Waktu yang hilang karena urusan penjara. (Badan
Narkotika Nasional Bekerjasama dengan Pusat Penelitian
Kesehatan Universitas Indonesia, 2011: 12 dan 34).
Dampak yang tidak kalah serius adalah terhadap aspek
produktifitas. Para pecandu terganggu produktifitasnya karena
seringnya mangkir, atau kurangnya motivasi kerja, bagi mereka
yang telah parah akan kehilangan produktifitas karena kehilangan
waktu sebagai mana tersebut paragraf di atas. Kondisi yang
demikian ini apabila terjadi pada suatu perusahaan tentunya akan
17
mempengaruhi kualitas produk dan jasa yang dihasilkan.
Menurunnya kualitas suatu produk akan berpengaruh pada
rendahnya daya saing suatu produk dan memungkinkan
menimbulkan kerugian perusahaan, bahkan secara nasional dapat
berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi.
d. Dampak Penyalahgunaan Narkotika pada Bidang Sosial
Dampak sosial dari penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika tidak hanya mempengaruhi masalah kesehatan dan
ekonomi, bahkan dari kedua factor tersebut dapat berdampak pada
kehidupan sosial kemasyarakatan lainnya.
Dampak dari kerusakan susunan saraf membuat seseorang
pecandu menderita gangguan mental, yang ditunjukkan adanya
perubahan perilaku, ketidakstabilan emosi, kesalahan persepsi.
Hal-hal tersebut sering kali pecandu mengganggu orang lain yang
akhirnya pecandu tersebut juga akan dihindari atau dikucilkan
orang lain. Di sisi lain akibat dari pengaruh narkotika
mengakibatkan pecandu depresi, dan pada umumnya menjadi
orang yang anti sosial.
Dampak dari penyalahgunaan narkoba juga mengganggu
aktivitas keseharian. Hasil penelitian di kalangan pelajar/
mahasiswa menunjukkan bahwa penyalahguna seringkali mudah
merasa sedih / murung, sulit tidur nyenyak, pernah mengalami
kecelakaan dan pernah di rawat atau masuk gawat darurat. Resiko
terhadap terganggunya aktivitas keseharian 2-3 kali lipat lebih
tinggi pada pelajar / mahasiswa penyalahguna dibandingkan
dengan bukan penyalahguna, (Badan Narkotika Nasional
Bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas
Indonesia. 2011 : 10 ).
18
Faktor kerugian ekonomi para pecandu dapat berpengaruh
pada kehidupan social lainnya, yaitu berawal dari pemenuhan
kebutuah biaya untuk membeli narkoba sedangkan kondisi
pecandu yang tidak produktif. Lambat laun para pecandu akan
kehabisan biaya untuk membeli narkoba, yang akhirnya mereka
tidak segan-segan melakukan tindak kriminal untuk mendapatkan
uang guna membeli narkoba.
Timbulnya kriminalitas yang dikarenakan penyalahgunaan
dan peredaran gelap narkotika dikemukakan oleh UNODC sebagai
berikut: Illicit drug use is also closely linked to crime, in
variousways. For example, drug users often resort to acquisitive
crime to finance their drug habits, thus incurring substantial costs
for society. Moreover, many criminals are under the influence of
illicit drugs when they commit crime.Criminals, in general, tend to
show far higher levels of druguse than the rest of the population.
Crime and drugs are also linked through drug trafficking.
Competition between different trafficking groups can generate
violence. In some cases, the profits generated from involvement in
the illicit drug trade have also been used to finance the activities
ofillegal armed groups. (United Nations Office on Drugs and
Crime. 2012: 98).
Kutipan tersebut diterjemahkan secara bebas bahwa
penggunaan narkoba dalam berbagai hal juga terkait erat dengan
kejahatan. Misalnya, pengguna narkoba sering melakukan
kejahatan untuk membiayai kebiasaan penggunaan obat mereka,
sehingga menimbulkan biaya yang besar bagi masyarakat. Selain
itu, banyak penjahat berada di bawah pengaruh obat-obatan
terlarang ketika mereka melakukan crime. Criminals, pada
umumnya, cenderung menunjukkan tingkat yang jauh lebih tinggi
dari penyalahguna narkoba dari seluruh populasi. Kejahatan dan
19
obat-obatan juga terkait dengan situasi perdagangan narkoba.
Persaingan antara kelompok-kelompok perdagangan yang berbeda
dapat menghasilkan kekerasan. Dalam beberapa kasus, keuntungan
yang dihasilkan dari keterlibatan dalam perdagangan obat-obatan
terlarang juga telah digunakan untuk membiayai kegiatan
kelompok bersenjata tidak legal.
Pengaruh negatif dari penyalahgunaan narkoba juga
mengakibatkan terhadap tindakan agresif. Hasil penelitian terhadap
para pelajar/mahasiswa menunjukkan bahwa penyalahguna
mempunyai risiko melakukan tindakan agresivitas sosial 3-4 kali
lebih tinggi dibanding bukan penyalahguna. Tindakan agresif yang
paling banyak dilakukan oleh pelajar penyalahguna adalah
berkelahi, terutama pada jenjang SLTA. (Badan Narkotika
Nasional Bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kesehatan
Universitas Indonesia. 2011 : 10 ).
e. Dampak Penyalahgunaan Narkotika pada Bidang Sosiokultural
Penyalahgunaan narkotika yang semakin bertambah dan
apabila tidak dapat terkendali maka akan berpengaruh pada
kebiasaan dan berdampak pada demensi kultural. Tingkah laku,
perilaku dan norma-norma mereka, lama kelamaan akan
membudaya sebagai suatu sub kultur yang membahayakan.
Jika sudah menjadi sub kultur maka sudah berakar di
sebagian masyarakat dan memungkinkan suatu saat orang
menerima kenyataan bahwa para pemimpinnya adalah pecandu.
Hal ini sudah terjadi pada kasus penggunaan tembakau yang telah
mengakar dalam kehidupan masyarakat, sehingga sulit untuk
mengatasinya. Hal tersebut di atas adalah sangat berbahaya bagi
kelangsungan hidup bangsa dan Negara.
Pada dunia pendidikan, ternyata penggunaan narkotika
dapat menurunkan prestasi belajar yang sangat signifikan. Hasil
20
survei pada tahun 2011 menunjukkan bahwa salah satu efek
menyalahgunakan narkoba adalah mengalami terganggunya
aktivitas dan prestasi di sekolah. Angka pelajar / mahasiswa yang
pernah tidak naik kelas dua kali lebih banyak pada mereka yang
menyalahgunakan narkoba dibanding yang bukan penyalahguna
dengan perbandingan 17% : 8%. Demikian juga dengan jumlah
pelajar / mahasiswa yang mempunyai nilai dibawah rata-rata kelas
dua kali lebih banyak pada penyalahguna dengan perbandingan 7%
: 3%. (Badan Narkotika Nasional Bekerjasama dengan Pusat
Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia. 2011 : 10 ).
G. Tindak Pidana Narkotika sebagai Kejahatan Transnasional
Tindak pidana narkotika merupakan kejahatan transnasional, yaitu
bersifat lintas negara atau melampaui batas-batas wilayah negara, baik
mengenai tempat terjadinya, akibat-akibat yang ditimbulkannya, maupun
tujuan kejahatan itu sendiri, dan/atau dimungkinkan pelakunya juga dapat
melibatkan individu-individu dari berbagai negara.
Ciri – ciri kejahatan transnational dibatasi dalam Konvensi
Transnational Organized Crime 2000, yang diratifikasi dengan UU RI No.
5 tahun 2009. Dalam Konvensi ini disebutkan suatu kejahatan dikatakan
bersifat transnational apabila memiliki ciri ciri :
(1) it is committed in more than one state; (dilakukan di lebih dari
satu Negara)
(2) it is preparation, planning, direction or control takes place in
another state; (kegiatan persiapan, perencanaan, pengarahan atau
kontrol terjadi di Negara lain)
(3) it is committed in one state but involves an organized in criminal
activities in more than one state or; (dilakukan di satu Negara
tetapi melibatkan suatu kelompok penjahat yang melakukan
kegiatan kriminal di lebih dari satu negara)
21
(4) it is committed in one state but has substantial effect in another
state (dilakukan di satu Negara namun memiliki akibat utama di
Negara lain). (United Nations. 2000: Article 3 point 2; Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2009 dalam Lampiran
Pasal 3 Angka 2).
Penegakan hukum pidana narkotika terkait dengan tindak pidana
transnasional pada dasarnya mengacu pada asas “pacta sunt servanda”,
adalah istilah latin yang berarti perjanjian harus ditegakkan. Asas tersebut
adalah prinsip dalam hukum internasional yang mengatakan bahwa
perjanjian internasional harus ditegakkan oleh semua penandatangan.
Aturan pacta sunt servanda didasarkan pada prinsip itikad baik. Dasar
itikad baik menunjukkan bahwa pihak yang terlibat perjanjian tidak dapat
memaksa ketentuan hukum nasionalnya sebagai alasan pembenar.
Asas berlakunya hukum pidana nasional seperti : (asas teritorial,
asas nasionalitas aktif dan pasif, asas perlindungan dan asas universal)
adalah merupakan sumber hukum formal dari hukum pidana internasional.
Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah
Internasional “the general principle of law recognized by civilized
nations” (prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa
beradab).
Dalam penanganan kasus narkotika yang melibatkan negara lain
bukan berarti mengesampingkan hukum nasional. Hal ini juga tergantung
pada adanya perjanjian atau tidaknya antar suatu negara dengan negara
lain. Pelaku tindak pidana narkotika termasuk tindak pidana transnasional
dapat dipidana oleh negara tempat locus delicti terjadi dalam batas
teritorial negara tersebut atau diserahkan melalui prosedur ekstradisi
kepada negara peminta yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili pelaku
tindak pidana tersebut.
22
H. Tindak Pidana Narkotika sebagai Kejahatan Terorganisir
Kejahatan terorganisir merupakan kejahatan yang melibatkan lebih
dari satu orang yang terorganisir untuk mendapatkan suatu keuntungan.
Didalam suatu organisasi kejahatan tersebut tentunya ada tujuan atas
dilakukan kejahatan tersebut, aturan-aturan atau mekanisme dalam
organisasi tersebut. United Nations Convention Against Transnational
Organized Crime memberikan batasan tentang kelompok kejahatan
terorganisir adalah sebagai berikut: “Organized criminal group” shall
mean a structured group of three or more persons, existing for a period of
time and acting in concert with the aim of committing one or more serious
crimes or offences established in accordance with this Convention, in
order to obtain, directly or indirectly, a financial or other material
benefit; (United Nations. 2000: Article 2. Huruf a).
Konvensi tersebut telah diratifikasi dengan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2009, selanjutnya pada lampirannya
menyebutkan pengertian kelompok pelaku tindak pidana terorganisir yang
merupakan terjemahan dari pengertian dalam konvensi tersebut di atas,
yaitu "Kelompok pelaku tindak pidana terorganisasi" berarti suatu
kelompok terstruktur yang terdiri dari tiga orang atau lebih, terbentuk
dalam satu periode waktu dan bertindak secara terpadu dengan tujuan
untuk melakukan satu atau lebih tindak pidana serius atau pelanggaran
yang ditetapkan menurut Konvensi ini, untuk mendapatkan, secara
langsung atau tidak langsung, keuntungan keuangan atau materi lainnya;
(Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2009 dalam
Lampiran Pasal 3 Angka 2. Huruf a ).
Suatu kelompok kejahatan terorganisir terkait dengan
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dikatakan oleh Kepala
BNNP DIY bahwa antara pelaku satu dengan lainnya bisa tidak saling
mengenal, beberapa orang diantaranya bisa mengenal namun
23
menggunakan identitas palsu; arus keuangan antara pembeli dengan
penjual, dan juga pemberian upah kecuali upah kepada kurir melalui
perbankan sehingga mereka tidak saling bertemu; komunikasi
menggunakan telepon sehingga mereka tidak saling bertemu; barang
diambil dari tempat penyimpanan oleh orang yang benar terpercaya dan
bersifat rahasia, kemudian diserahkan kepada kurir ditempat yang
ditentukan di luar tempat penyimpanan dan kurir tidak mengenal orang
yang menitipkan / menyerahkan barang. Semuanya digerakkan oleh
seseorang yang bertindak sebagai operator yang dalam kasus tersebut
digerakkan dari dalam lembaga pemasyarakatan. Berikut ilustrasi
kejahatan terorganisir terkait tindak pidana narkotika sebagai berikut di
bawah ini (Kepala BNNP DIY ketika memberikan ceramah kepada
mahasiswa Amikom pada tanggal 1 Desember 2012).
BG1 BG2 BG3 BG4
pengedarbarang
pembuat
pengirimpenyimpanKSbarang
Tdk pegangBarang di NK
Saling kenal
Saling kenal
Penyimpanuang
pembeli
Saling kenal
Arus uang
Tdk saling kenal Tdk saling kenal
barang
LP sel blok A3/24 bRek BCA an KT : 171.060.xxx.x
Gambar: 2Visualisasi Organisasi Kejahatan Narkotika
24
Contoh kejahatan narkotika yang secara terorganisir sebagaimana
yang pernah terungkap di Bali pada tahun 2005. Pengungkapannya
memerlukan waktu lama, lebih dari satu tahun. Kejahatan terorganisir
yang telah terungkap di Bali melibatkan orang-orang asing dan salah satu
kurirnya diketemukan di DIY.
Sumber: BNNP DIYGambar : 3
Visualisasi Organisasi Kejahatan NarkotikaBali Nine Th. 2005
Pengungkapan kejahatan terorganisir harus menggunakan
tehnologi tinggi, terutama penggunaan peralatan tehnologi informatika
(IT), terutama komputer, telepon seluler, jaringan internet, jaringan
telepon yang didukung dengan alat analisis data elektronik. Guna
menemukan pelaku tindak pidana, UU No 35 tahun 2009 memberikan
kewenangan kepada penyidik untuk melakukan penyadapan. (Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009: Pasal 75 huruf i).
Di bawah ini salah satu contoh bagan komunikasi hasil
penyelidikan yang dilakukan BNNP DIY bekerja sama dengan BNN pusat
dalam rangka pengungkapan kasus penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada bagan di bawah ini
tergambar jelas arus komunikasi antara tersangaka dengan orang lain.
24
Contoh kejahatan narkotika yang secara terorganisir sebagaimana
yang pernah terungkap di Bali pada tahun 2005. Pengungkapannya
memerlukan waktu lama, lebih dari satu tahun. Kejahatan terorganisir
yang telah terungkap di Bali melibatkan orang-orang asing dan salah satu
kurirnya diketemukan di DIY.
Sumber: BNNP DIYGambar : 3
Visualisasi Organisasi Kejahatan NarkotikaBali Nine Th. 2005
Pengungkapan kejahatan terorganisir harus menggunakan
tehnologi tinggi, terutama penggunaan peralatan tehnologi informatika
(IT), terutama komputer, telepon seluler, jaringan internet, jaringan
telepon yang didukung dengan alat analisis data elektronik. Guna
menemukan pelaku tindak pidana, UU No 35 tahun 2009 memberikan
kewenangan kepada penyidik untuk melakukan penyadapan. (Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009: Pasal 75 huruf i).
Di bawah ini salah satu contoh bagan komunikasi hasil
penyelidikan yang dilakukan BNNP DIY bekerja sama dengan BNN pusat
dalam rangka pengungkapan kasus penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada bagan di bawah ini
tergambar jelas arus komunikasi antara tersangaka dengan orang lain.
24
Contoh kejahatan narkotika yang secara terorganisir sebagaimana
yang pernah terungkap di Bali pada tahun 2005. Pengungkapannya
memerlukan waktu lama, lebih dari satu tahun. Kejahatan terorganisir
yang telah terungkap di Bali melibatkan orang-orang asing dan salah satu
kurirnya diketemukan di DIY.
Sumber: BNNP DIYGambar : 3
Visualisasi Organisasi Kejahatan NarkotikaBali Nine Th. 2005
Pengungkapan kejahatan terorganisir harus menggunakan
tehnologi tinggi, terutama penggunaan peralatan tehnologi informatika
(IT), terutama komputer, telepon seluler, jaringan internet, jaringan
telepon yang didukung dengan alat analisis data elektronik. Guna
menemukan pelaku tindak pidana, UU No 35 tahun 2009 memberikan
kewenangan kepada penyidik untuk melakukan penyadapan. (Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009: Pasal 75 huruf i).
Di bawah ini salah satu contoh bagan komunikasi hasil
penyelidikan yang dilakukan BNNP DIY bekerja sama dengan BNN pusat
dalam rangka pengungkapan kasus penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada bagan di bawah ini
tergambar jelas arus komunikasi antara tersangaka dengan orang lain.
25
Sumber: BNNP DIY
Gambar: 4Hasil Analisa Data ElektronikKomunikasi Melalui Seluler
Pergerakan kejahatan terorganisasi terkait narkotika sangat
bergantung dari pendanaan, yang pada umumnya juga diperoleh dari
kejahatannya. Oleh karena itu, sangat penting bagi BNNP DIY untuk
melacak kejahatan narkotika ini dengan menelusuri lalu lintas keuangan
tersangka dan yang terkait. Penyidik di BNNP DIY dalam melakukan
penyelidikan dan penyidikan di bidang tindak pidana narkotika antara lain
memiliki kewenangan untuk meminta data kekayaan dan data perpajakan
tersangka kepada instansi terkait, dan menghentikan sementara suatu
transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau
mencabut sementara izin, lisensi, serta konsesi yang dilakukan atau
dimiliki oleh tersangka yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup
ada hubungannya dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
dan Prekursor Narkotika yang sedang diperiksa; (Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009. Pasal 80. Huruf f dan g).
26
I. Fungsi Hukum dan Kebijakan Kriminal dalam
Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Berdasarkan UU No. 35
Tahun 2009
BNN maupun BNNP DIY dalam melaksanakan pencegahan,
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika berdasar kepada
UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, dengan demikian badan tersebut
menerapkan hukum yang fungsinya merupakan bagian dari konsep struktur
hukum. Ada 4 (empat) fungsi sistem hukum menurut Friedman, yaitu:
1. Fungsi kontrol sosial (social control), bahwa semua hukum adalah
berfungsi sebagai kontrol sosial dari pemerintah.
2. Berfungsi sebagai cara penyelesaian sengketa (dispute setlement) dan
konflik (conflict). Penyelesaian sengketa ini biasanya untuk penyelesaian
yang sifatnya berbentuk pertentangan lokal berskala kecil (micro).
Sebaliknya pertentangan-pertentangan yang bersifat makro dinamakan
konflik.
3. Fungsi retribusi atau fungsi rekayasa sosial (retribution function and social
engineering function). Fungsi ini mengarahkan pada penggunaan hukum
untuk mengadakan perubahan sosial yang berencana yang ditentukan oleh
pemerintah.
4. Fungsi pemeliharaan sosial (social maintenance function). Fungsi ini
berguna untuk menegakkan struktur hukum agar tetap berjalan sesuai
dengan aturan mainnya (rule of the game). (Wishnu Basuki, 2001: 11-18).
Teori Friedman sebagai kontrol sosial (social control), dalam
hubungannya dengan UU No.35 tahun 2009 diharapkan pengaturan tentang
segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang berhubungan dengan Narkotika
dapat berfungsi untuk mempertahankan dan menjaga suatu keadaan pada
masyarakat agar tetap berada dalam pola tingkah laku yang diterima oleh
masyarakat yang bersangkutan, yaitu untuk mencapai kehidupan yang aman,
tentram, tertib dan adil dalam masyarakat. UU No 35 tahun 2009 harus mampu
27
memaksa warga masyarakat agar berperilaku sesuai dengan aturan-aturan di
dalamnya, dapat bersifat preventif maupun represif, oleh karena itu uandang-
undang tersebut memuat ancaman hukum bagi yang melanggarnya. Preventif
merupakan suatu upaya untuk mencegah perilaku yang menyimpang, sedangkan
represif bertujuan untuk mengembalikan keserasian yang terganggu.
Fungsi Undang-Undang Narkotika menurut teori Friedman harus bisa
sebagai sarana penyelesaian sengketa dan konflik (dispute settlement and
conflict). Di dalam masyarakat berbagai persengketaan dapat terjadi, misalnya
antara penyalur resmi narkotika dapat meretakkan hubungan antara mereka dalam
suatu urusan bersama (company), yang dapat membubarkan kerjasama. Sengketa
juga dapat mengenai pengadaan, impor dan ekspor, peredaran, pelabelan dan
publikasi, hingga penggunaan narkotika sebagai pengobatan dan rehabilitasi.
Konflik juga dapat terjadi antar sesama instansi pemerintah atau aparat yang ada
di dalamnya. Konflik dapat melibatkan petugas di dalam satu organisasi atau antar
organisasi, yang pada umumnya mereka berebut prestasi untuk menunjukkan
kinerjanya, namun tidak menutup kemungkinan konflik juga dipicu dengan
adanya kepentingan lainnya.
Cara-cara penyelesaian sengketa terkait dengan narkotika dalam suatu
masyarakat, ada yang diselesaikan melalui lembaga formal yang disebut dengan
pengadilan, dan ada yang diselesaikan secara sendiri oleh orang-orang yang
bersangkutan dengan mendapat bantuan dari orang yang ada di sekitarnya. oleh
karena itu Undang-Undang No. 35 tahun 2009 mengatur tentang pembinaan dan
pengawasan narkotika. Hal ini bertujuan untuk mengukur sejauh terjadi
pelanggaran norma dan apa yang harus diwajibkan kepada pelanggar supaya yang
telah dilanggar itu dapat diluruskan kembali. Keterlibatan masyarakat sangat
penting, oleh karena itu dalam undang-undang narkotika diamanatkan adanya
peran serta masyarakat sebagaimana sebagaimana diatur dalam pasal 104 – 108
Undang-Undang No. 35 tahun 2009.
Teori Friedman menjelaskan bahwa hukum dapat sebagai sarana rekayasa
sosial (social engineering), apabila diterapkan pada UU No 35 tahun 2009 tentang
28
Narkotika maka pengaturan tentang segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan
yang berhubungan dengan Narkotika harus dapat digunakan untuk mengarahkan
pada tujuan yang dikehendaki, menghapuskan kebiasaan yang dipandang tidak
sesuai lagi dengan pola-pola kelakuan baru dan juga untuk mengukuhkan pola-
pola kebiasaan dan tingkah laku yang telah ada dalam masyarakat. UU No. 35
tahun 2009 tentang Narkotika memasukkan psikotropika golongan I dan II yang
tertuang dalam UU No. 5 Tahun 1997 ke dalam golongan narkotika, sehingga
kebiasaan penanganan mulai produksi, penyimpanan, pendistribusian,
pengangkutan, penyaluran, penyerahan dan sebagainya harus berubah dan
menyesuaikan dengan penanganan narkotika. Dengan demikian, hukum dapat
berfungsi menjadi sarana untuk melakukan perubahan-perubahan dalam
masyarakat. Contoh lainnya adalah perlakuan terhadap korban yang menurut
undang-undang sebelumnya diberlakukan sebagai pelaku criminal murni, namun
UU NO 35 tahun 2009 mengamanatkan bahwa korban harus diobati / dipulihkan
dan apabila terpaksa berurusan dengan pidana, maka ancaman hukumannya tidak
berat. Pengedar dan petugas yang terlibat dalam peredaran narkotika tidak legal
akan mendapat sanksi berat.
Penerapan teori Friedman sebagai pemeliharaan sosial (social
maintenance function), ke dalam UU No 35 tahun 2009 tentang Narkotika
mengisyaratkan bahwa undang-undang tersebut harus dapat menjamin agar
struktur hukum tetap berjalan sesuai dengan aturan mainnya (rule of the game).
Jaminan agar struktur hukum pada UU NO 35 tahun 2009 tetap berjalan sesuai
dengan aturan mainnya, maka kepada semua pihak yang terkait termasuk
masyarakat harus saling mengontrol. Hal tersebut ditunjukkan adanya ketentuan-
ketentuan yang mengikat bagi setiap petugas, yang diikuti dengan ketentuan
ancaman pidana bagi pelanggaranya. Kontrol yang telah terbukti efektif adalah
kontrol dari masyarakat, yang mana masyarakat memiliki hak-hak dalam upaya
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
sebagaimana disebutkan dalam pasal 106 sebagai berikut:
29
1. mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah
terjadi tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;
2. memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan
informasi tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana Narkotika dan
Prekursor Narkotika kepada penegak hukum atau BNN yang menangani
perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;
3. menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada
penegak hukum atau BNN yang menangani perkara tindak pidana
Narkotika dan Prekursor Narkotika;
4. memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan
kepada penegak hukum atau BNN;
5. memperoleh perlindungan hukum pada saat yang bersangkutan
melaksanakan haknya atau diminta hadir dalam proses peradilan. (UU NO
35 tahun 2009: Pasal 106)
Ketentuan pemidanaan yang terdapat di dalam undang-undang UU No. 35
tahun 2009 tentang Narkotika merubah ketentuan pemidanaan pada undang-
undang narkotika sebelumnya yaitu Undang-Undang nomor 22 tahun 1997.
Perubahan tersebut antara lain memberikan hukuman lebih berat bagi pengedar
dan petugas yang melanggarnya, namun memberikan hukuman ringan bagi
korban dan memberikan kesempatan untuk berobat / rehabilitasi bagi korban
penyalahgunaan narkotika.
Terkait dengan teori hukum pidana dikenal dalil Ultimum Remedium.
Teori tersebut menjelaskan tentang sarana terakhir dalam rangka menentukan
perbuatan apa saja yang akan dijadikan delik atau perbuatan yang apabila
dilakukan akan berhadapan dengan pemidanaan atau kriminalisasi. Sedangkan
langkah kriminalisasi sendiri termasuk dalam teori kebijakan kriminal (criminal
policy). Peter G Hoefnagels mengemukakan bahwa criminal policy is the rational
organization of the control of crime by society yang diartikan sebagai upaya
rasional dari suatu Negara untuk menanggulangi kejahatan. Dalam kebijakan
kriminal tersebut selanjutnya diuraikan bahwa Criminal policy sebagai a science
30
of responses, science of crime prevention, policy of designating human behavior
as a crime dan rational total of the responses to crime. Selain terdapat persyaratan
bahwa menentukan perbuatan mana yang akan dikriminalisasi yaitu bahwa
perbuatan itu tercela, merugikan dan mendapat pengakuan secara kemasyarakatan
bahwa ada kesepakatan untuk mengkriminalisasi dan mempertimbangkan cost
and beneft principle,tetapi juga harus dipikirkan jangan sampai terjadi over
criminalization, (Barda Nawawi Arief, 1984: 31-32)
Von Liszt, Priens, Van Hammel pendiri Internationale Association for
Criminology maka untuk menghindari over criminalization memberikan beberapa
rambu rambu yang antara lain bahwa:
1. Fungsi Hukum pidana adalah memerangi kejahatan sebagai suatu gejala
masyarakat.
2. Ilmu Hukum pidana dan perundang-undangan hukum pidana harus
memperhatikan hasil-hasil penelitian anthropologis dan sosiologis.
3. Pidana merupakan alat yang paling ampuh yang dimiliki Negara untuk
memerangi kejahatan namun pidana bukan merupkan satu-satunya alat,
sehingga pidana jangan diterapkan terpisah, melainkan selalu dalam
kombinasi dengan tindakan-tindakan social lainnya, khususnya dalam
kombinasi dengan tindakan-tindakan preventif. (Barda Nawawi Arief,
1984: hal.31-32)
Kebijakan kriminal terkait dengan permasalahan narkotika di Indonesia
secara jelas tertuang pada penjelasan UU No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika.
Kebijakan tersebut dimulai dari pernyataan politik bahwa untuk mencegah dan
memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika yang sangat
merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara, pada
Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2002
melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
VI/MPR/2002 merekomendasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia untuk melakukan
31
perubahan atas Undang-Undang Narkotika yang telah ada, yaitu UU No. 22
Tahun 1997.
UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sebagai pengganti UU No. 22
Tahun 1997 mengisyaratkan adanya pengaturan narkotika mulai dari pengadaan,
import, eksport, peredaran, pelabelan, publikasi, penggunaan untuk pengobatan
dan rehabilitasi, penggunaan untuk keperluan ilmu pengetahuan dan tehnologi.
Hal ini juga untuk mengantisipasi bahaya penyalahgunaan zat tersebut, yang
kenyataannya perkembangan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika
menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif
maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak,
remaja, dan generasi muda pada umumnya.
UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dikatakan lebih humanis karena
tidak semua kasus pidana dianggap kriminal sebagaimana UU Narkotika
sebelumnya. Dalam penentuan perbuatan yang dikriminalisasikan telah ada
kesepakatan antara pemerintah RI dengan rakyat yang melalui perwakilannya di
DPR RI dan juga mempertimbangkan cost and beneft principle, serta telah
dipikirkan jangan sampai terjadi over criminalization.
Kebijakan kriminal dalam UU No. 35 Tahun 2009, membedakan antara
penyalah guna, pecandu, dan korban penyalahgunaan narkotika. Penyalah Guna
adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum.
Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan
Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik
maupun psikis. (Undang-Undang No. 35 tahun 2009: Pasal 1).
Ketentuan tentang korban yang antara lain tertuang dalam pasal 54 – 59
UU No 35 Tahun 2009 mewajibkan bahwa korban untuk diobati dan
direhabilitasi, dikecualikan bagi mereka yang tidak melaksanakan kewajibannya
akan dikenai sanksi pidana. Sanksi pidana dimaksud sebenarnya hanya digunakan
untuk memaksa berbagai pihak untuk menyembuhkan dan merehabilitasi pecandu
sesuai hak dan kewajibannya.
32
Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, (Undang-Undang No. 35 tahun 2009:
Pasal 54). Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika pada dasarnya
bukanlah pelaku pidana oleh karena itu tidak perlu dipidana. Mereka perlu
disembuhkan dengan cara melalui rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial.
Kebijakan ini dimaksudkan agar pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika
dapat pulih atau sembuh dan diupayakan tidak kambuh kembali (relapse).
Pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika yang sudah pulih atau sembuh
diharapkan dapat produktif kembali dan tidak menjadikan beban orang lain.
Kebijakan kriminal selanjutnya adalah bagi penyalah guna diberikan
sanksi pidana sesuai dengan penggolongan narkotika. Ketentuan Pidana diberikan
ketentuan minimal dan maksimal, dengan pemberatan bahkan terdapat hukuman
seumur hidup dan hukuman mati sesuai jumlah dan penggolongan jenis
narkotikanya.
Kebijakan lain, untuk melindungi masyarakat dari bahaya
penyalahgunaan Narkotika dan mencegah serta memberantas peredaran gelap
Narkotika, dalam Undang-Undang No. 35 tahun 2009 diatur juga mengenai zat
atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan
Narkotika (Prekursor Narkotika), dan diatur pula mengenai sanksi pidana bagi
penyalahgunaan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika. Untuk
menimbulkan efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika, diatur mengenai pemberatan sanksi pidana,
baik dalam bentuk pidana minimum khusus, pidana penjara 20 (dua puluh) tahun,
pidana penjara seumur hidup, maupun pidana mati. Pemberatan pidana tersebut
dilakukan dengan mendasarkan pada golongan, jenis, ukuran, dan jumlah
Narkotika.
Kebijakan yang keras dalam rangka pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, diatur pula mengenai seluruh
harta kekayaan atau harta benda yang merupakan hasil tindak pidana Narkotika
dan Prekursor Narkotika dan tindak pidana pencucian uang dari tindak pidana
33
Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap dirampas untuk negara dan digunakan
untuk kepentingan pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika dan upaya rehabilitasi medis
dan sosial.
Kebijakan untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang modus operandinya
semakin canggih, dalam Undang-Undang No. 35 tahun 2009 diatur mengenai
perluasan teknik penyidikan penyadapan (wiretapping), teknik pembelian
terselubung (under cover buy), dan teknik penyerahan yang diawasi (controlled
delevery), serta teknik penyidikan lainnya guna melacak dan mengungkap
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Kebijakan guna menjamin terlaksananya penyidikan dengan baik dan
mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang bagi penyidik maka pada
undang-undang tersebut diatur proses acara pidananya, sedangkan acara pidana
yang tidak diatur dalam uandang-undang tersebut masih menggunakan UU No. 8
tahun 1981 tentang KUHAP.
Dalam rangka mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran
gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dilakukan secara terorganisasi
dan memiliki jaringan yang luas melampaui batas negara, dalam Undang-Undang
No. 35 tahun 2009 diatur mengenai kerja sama, baik bilateral, regional, maupun
internasional.
Undang-Undang No. 35 tahun 2009 juga mengatur peran serta masyarakat
dalam usaha pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan
Prekursor Narkotika termasuk pemberian penghargaan bagi anggota
masyarakat yang berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika Penghargaan tersebut
diberikan kepada penegak hukum dan masyarakat yang telah berjasa dalam upaya
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
dan Prekursor Narkotika.
34
E. Kerangka Pemikiran
Dalam penelitian ini peneliti ingin mengetahui suatu proses kerja BNNP
DIY dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkotika di DIY. Upaya tersebut tentunya didukung oleh peraturan
perundangan yang menjadi dasar hukumnya yang antara lain adalah UU No. 35
tahun 2009, Peraturan Presiden No. 23 tahun 2010, Peraturan Kepala BNN No.:
PER / 04 / V / 2010 / BNN.
BNNP DIY merupakan perwakilan BNN di tingkat Provinsi, oleh karena
itu tugas pokok dan fungsi BNN harus diemban oleh BNNP DIY. Kebijakan-
kebijakan yang ditetapkan oleh BNN merupakan dasar bertindak bagi BNNP
DIY. Upaya-upaya yang dilaksanakan BNNP DIY meliputi upaya pencegahan
dan pemberantasan yang merupakan hasil kinerjanya dalam mendukung
mewujudkan Indonesia bebas dari penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika
(Drugs Free). Upaya-upaya BNNP DIY tidak terlepas dari kendala-kendala, oleh
karena itu penulis ingin mengetahui kendala-kendala tersebut baik dalam bidang
pencegahan maupun dalam bidang pemberantasan, dan bagaimana cara mengatasi
hambatan tersebut. Di bawah ini dikemukakan gambar untuk memperjelas
kerangka pemikiran, sebagai berikut:
Gambar 5 : Kerangka Pemikiran
34
E. Kerangka Pemikiran
Dalam penelitian ini peneliti ingin mengetahui suatu proses kerja BNNP
DIY dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkotika di DIY. Upaya tersebut tentunya didukung oleh peraturan
perundangan yang menjadi dasar hukumnya yang antara lain adalah UU No. 35
tahun 2009, Peraturan Presiden No. 23 tahun 2010, Peraturan Kepala BNN No.:
PER / 04 / V / 2010 / BNN.
BNNP DIY merupakan perwakilan BNN di tingkat Provinsi, oleh karena
itu tugas pokok dan fungsi BNN harus diemban oleh BNNP DIY. Kebijakan-
kebijakan yang ditetapkan oleh BNN merupakan dasar bertindak bagi BNNP
DIY. Upaya-upaya yang dilaksanakan BNNP DIY meliputi upaya pencegahan
dan pemberantasan yang merupakan hasil kinerjanya dalam mendukung
mewujudkan Indonesia bebas dari penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika
(Drugs Free). Upaya-upaya BNNP DIY tidak terlepas dari kendala-kendala, oleh
karena itu penulis ingin mengetahui kendala-kendala tersebut baik dalam bidang
pencegahan maupun dalam bidang pemberantasan, dan bagaimana cara mengatasi
hambatan tersebut. Di bawah ini dikemukakan gambar untuk memperjelas
kerangka pemikiran, sebagai berikut:
Gambar 5 : Kerangka Pemikiran
34
E. Kerangka Pemikiran
Dalam penelitian ini peneliti ingin mengetahui suatu proses kerja BNNP
DIY dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkotika di DIY. Upaya tersebut tentunya didukung oleh peraturan
perundangan yang menjadi dasar hukumnya yang antara lain adalah UU No. 35
tahun 2009, Peraturan Presiden No. 23 tahun 2010, Peraturan Kepala BNN No.:
PER / 04 / V / 2010 / BNN.
BNNP DIY merupakan perwakilan BNN di tingkat Provinsi, oleh karena
itu tugas pokok dan fungsi BNN harus diemban oleh BNNP DIY. Kebijakan-
kebijakan yang ditetapkan oleh BNN merupakan dasar bertindak bagi BNNP
DIY. Upaya-upaya yang dilaksanakan BNNP DIY meliputi upaya pencegahan
dan pemberantasan yang merupakan hasil kinerjanya dalam mendukung
mewujudkan Indonesia bebas dari penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika
(Drugs Free). Upaya-upaya BNNP DIY tidak terlepas dari kendala-kendala, oleh
karena itu penulis ingin mengetahui kendala-kendala tersebut baik dalam bidang
pencegahan maupun dalam bidang pemberantasan, dan bagaimana cara mengatasi
hambatan tersebut. Di bawah ini dikemukakan gambar untuk memperjelas
kerangka pemikiran, sebagai berikut:
Gambar 5 : Kerangka Pemikiran
35
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
B. Hasil Penelitian
1. Gambaran Umum Badan Narkotika Nasional Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta
Badan Narkotika Nasional Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
(BNNP DIY) adalah salah satu Badan Narkotika Nasional Provinsi
sebagai perwakilan Badan Narkotika Nasional (BNN). Keduanya dibentuk
dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika (UU No 35 Tahun
2009, Pasal 64 - 67).
a. Kedudukan Badan Narkotika Nasional Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta.
Badan Narkotika Nasional Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta (BNNP DIY) sebagaimana Badan Narkotika Nasional
Provinsi lainnya berada di bawah dan bertanggung jawab kepada
Kepala Badan Narkotika Nasional, dan berkedudukan di ibu kota
provinsi yaitu di kota Yogyakarta. Wilayah kerja BNNP DIY
meliputi satu kota dan empat kabupaten, yaitu Kota Yogyakarta,
Kabupaten Sleman, Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaeten Bantul,
dan Kabupaten Kulon Progo.
b. Tugas, Fungsi dan Wewenang Badan Narkotika Nasional
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
BNNP DIY sebagaimana BNNP lainnya melaksanakan
tugas, fungsi, dan wewenang BNN dalam wilayah Provinsi.
36
1) Tugas BNN yang juga merupakan tugas BNNP termasuk
dilaksanakan oleh BNNP DIY disebutkan pada Pasal 70
UU 35 tahun 2009 dan Pasal 2 Perpres No. 23 tahun 2010
sebagai berikut:
a) Menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional
mengenai pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
b) Mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
c) Berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia dalam pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika;
d) Meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial pecandu Narkotika,
baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun
masyarakat;
e) Memberdayakan masyarakat dalam pencegahan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
f) Memantau, mengarahkan, dan meningkatkan
kegiatan masyarakat dalam pencegahan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
g) Melakukan kerja sama bilateral dan multilateral,
baik regional maupun internasional, guna mencegah
dan memberantas peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
h) Mengembangkan laboratorium Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
37
i) Melaksanakan administrasi penyelidikan dan
penyidikan terhadap perkara penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
j) Membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan
tugas dan wewenang (UU 35 tahun 2009: Pasal 70
dan Perpres No. 23 tahun 2010: Pasal 2).
2) Fungsi Badan Narkotika Nasional Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta.
Fungsi BNN yang juga merupakan fungsi BNNP
termasuk dilaksanakan oleh BNNP DIY disebutkan pada
Pasal 3 Perpres No. 23 tahun 2010 sebagai berikut:
a) penyusunan dan perumusan kebijakan nasional di
bidang pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika,
psikotropika, dan prekursor serta bahan adiktif
lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan
alkohol yang selanjutnya disingkat dengan P4GN;
b) penyusunan, perumusan dan penetapan norma,
standar, kriteria, dan prosedur P4GN;
c) penyusunan perencanaan, program, dan anggaran
BNN;
d) penyusunan dan perumusan kebijakan teknis
pencegahan, pemberdayaan masyarakat,
pemberantasan, rehabilitasi, hukum dan kerja sama
di bidang P4GN;
e) pelaksanaan kebijakan nasional dan kebijakan
teknis P4GN di bidang Pencegahan, Pemberdayaan
Masyarakat, Pemberantasan, Rehabilitasi, Hukum,
dan Kerja Sama;
38
f) pelaksanaan pembinaan teknis di bidang P4GN
kepada instansi vertikal di lingkungan BNN;
g) pengoordinasian instansi pemerintah terkait dan
komponen masyarakat dalam rangka penyusunan
dan perumusan serta pelaksanaan kebijakan
nasional di bidang P4GN;
h) penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan
administrasi di lingkungan BNN;
i) pelaksanaan fasilitasi dan pengoordinasian wadah
peran serta masyarakat;
j) pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan
prekursor narkotika;
k) pelaksanaan pemutusan jaringan kejahatan
terorganisasi di bidang narkotika, psikotropika, dan
prekursor serta bahan adiktif lainnya, kecuali bahan
adiktif untuk tembakau dan alkohol;
l) pengoordinasian instansi pemerintah terkait maupun
komponen masyarakat dalam pelaksanaan
rehabilitasi dan penyatuan kembali ke dalam
masyarakat serta perawatan lanjutan bagi
penyalahguna dan/atau pecandu narkotika dan
psikotropika serta bahan adiktif lainnya kecuali
bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol di tingkat
pusat dan daerah;
m) pengoordinasian peningkatan kemampuan lembaga
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pecandu
narkotika dan psikotropika serta bahan adiktif
lainnya, kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan
39
alkohol yang diselenggarakan oleh pemerintah
maupun masyarakat;
n) peningkatan kemampuan lembaga rehabilitasi
penyalahguna dan/atau pecandu narkotika dan
psikotropika serta bahan adiktif lainnya, kecuali
bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol berbasis
komunitas terapeutik atau metode lain yang telah
teruji keberhasilannya;
o) pelaksanaan penyusunan, pengkajian, dan
perumusan peraturan perundang-undangan serta
pemberian bantuan hukum di bidang P4GN;
p) pelaksanaan kerja sama nasional, regional, dan
internasional di bidang P4GN;
q) pelaksanaan pengawasan fungsional terhadap
pelaksanaan P4GN di lingkungan BNN;
r) pelaksanaan koordinasi pengawasan fungsional
instansi pemerintah terkait dan komponen
masyarakat di bidang P4GN;
s) pelaksanaan penegakkan disiplin, kode etik pegawai
BNN, dan kode etik profesi penyidik BNN;
t) pelaksanaan pendataan dan informasi nasional,
penelitian dan pengembangan, dan pendidikan dan
pelatihan di bidang P4GN;
u) pelaksanaan pengujian narkotika, psikotropika, dan
prekursor serta bahan adiktif lainnya, kecuali bahan
adiktif untuk tembakau dan alkohol;
v) pengembangan laboratorium uji narkotika,
psikotropika, dan prekursor serta bahan adiktif
40
lainnya, kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan
alkohol;
w) pelaksanaan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan
kebijakan nasional di bidang P4GN. (Perpres No. 23
tahun 2010, Pasal 3)
Fungsi sebagaimana tersebut di atas disederhanakanoleh Kepala BNN dan dituangkan dalam Pasal 3 PeraturanKepala BNN No.: PER / 04 / V/ 2010 / BNN, bahwa BNNPmenyelenggarakan fungsi:
a) Pelaksanaan kebijakan teknis P4GN di bidang
pencegahan, pemberdayaan masyarakat,
pemberantasan, dan rehabilitasi;
b) Pelaksanaan penyiapan bantuan hukum dan kerja
sama;
c) Pelaksanaan pembinaan teknis di bidang P4GN
kepada Badan Narkotika Nasional Kabupaten/Kota;
d) Penyusunan rencana program dan anggaran BNNP;
e) Evaluasi dan penyusunan laporan BNNP; dan
f) Pelayanan administrasi BNNP (Peraturan Kepala
BNN No.: PER / 04 / V/ 2010 / BNN, Pasal 3)
3) Wewenang Badan Narkotika Nasional Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta.
Wewenang BNNP tentunya melekat pada tugas
pokok dan fungsinya sebagaimana tersebut di atas.
Kewenangan lainnya yaitu di bidang pemberantasan,
BNNP DIY berwenang melakukan penyelidikan dan
penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
dan Prekursor Narkotika. (UU No. 35 Tahun 2009 Pasal 71
dan Perpres No. 23 tahun 2010 Pasal 4).
41
c. Struktur Organisasi Badan Narkotika Nasional Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta.
Struktur Organisasi Badan Narkotika Nasional Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta (BNNP DIY) dan juga struktur
organisasi BNNP lainnya secara umum tertuang dalam Peraturan
Presiden Republik Indonesia No. 23 tahun 2010 dan diuraikan
secara rinci di dalam Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional
Nomor : PER / 04 / V / 2010 / BNN tentang Organisasi dan Tata
Kerja Badan Narkotika Nasional Provinsi dan Badan Narkotika
Nasional Kabupaten/Kota.
Struktur Organisasi BNNP DIY terdiri dari Kepala, Bagian
Tata Usaha, Bidang Pencegahan, Bidang Pemberdayaan
Masyarakat, dan Bidang Pemberantasan. Di bawah ini ditampilkan
gambar struktur organisasi BNNP DIY, tersusun secara lini sesuai
dengan tingkat jabatan masing-masing personel, yang sekaligus
menggambarkan garis komando sesuai tugas dan tanggung
jawabnya, yaitu:
Sumber: Peraturan Kepala BNN No.: PER / 04 / V/ 2010 / BNN
Gambar 6: Struktur Organisasi BNNP
42
Keterangan Gambar:
1) Kepala BNNP mempunyai tugas (1) memimpin BNNP dalam
pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang BNN dalam wilayah
Provinsi, (2) mewakili Kepala BNN dalam melaksanakan
hubungan kerjasama P4GN dengan instansi pemerintah terkait dan
komponen masyarakat dalam wilayah Provinsi.
2) Bagian Tata Usaha dipimpin oleh Kepala Bagian Tata Usaha
mempunyai tugas melaksanakan penyusunan rencana program dan
anggaran, evaluasi dan penyusunan laporan, serta pelayanan
administrasi. Kepala Bagian Tata Usaha dalam melaksanakan
tugasnya dibantu oleh (1) Kepala Subbagian Perencanaan, yang
mempunyai tugas melakukan penyiapan penyusunan rencana
program dan anggaran, bahan bantuan hukum dan kerja sama,
serta evaluasi dan penyusunan laporan; (2) Kepala Subbagian
Logistik, mempunyai tugas melakukan urusan tata persuratan,
pengelolaan logistik, dan urusan rumah tangga BNNP; dan (3)
Kepala Subbagian Admininstrasi, mempunyai tugas melakukan
urusan kepegawaian, keuangan, kearsipan, dokumentasi, dan
hubungan masyarakat.
3) Bidang Pencegahan dipimpin oleh Kepala Bidang Pencegahan,
mempunyai tugas melaksanakan kebijakan teknis P4GN di bidang
pencegahan dalam wilayah Provinsi. Kepala Bidang Pencegahan
dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh (1) Kepala Seksi
Desiminasi Informasi, mempunyai tugas melakukan penyiapan
desiminasi informasi P4GN di bidang pencegahan dalam wilayah
Provinsi, dan penyiapan bimbingan teknis desiminasi informasi
kepada Badan Narkotika Nasional Kabupaten/Kota.; dan (2)
Kepala Seksi Advokasi, mempunyai tugas melakukan penyiapan
advokasi P4GN di bidang pencegahan dalam wilayah Provinsi,
dan penyiapan bimbingan teknis advokasi kepada Badan
43
Narkotika Nasional Kabupaten/Kota.
4) Bidang Pemberdayaan Masyarakat dipimpin oleh Kepala Bidang
Pemberdayaan Masyarakat, mempunyai tugas tugas melaksanakan
kebijakan teknis P4GN di bidang pemberdayaan masyarakat dan
rehabilitasi dalam wilayah Provinsi, dalam melaksanakan
tugasnya dibantu oleh (1) Kepala Seksi Peran Serta Masyarakat,
mempunyai tugas melakukan penyiapan peran serta masyarakat
P4GN di bidang pemberdayaan masyarakat dan rehabilitasi dalam
wilayah Provinsi dan penyiapan bimbingan teknis peran serta
masyarakat kepada Badan Narkotika Nasional Kabupaten/Kota;
dan (2) Kepala Seksi Pemberdayaan Alternatif, mempunyai tugas
melakukan penyiapan pemberdayaan alternatif P4GN di bidang
pemberdayaan masyarakat dalam wilayah Provinsi, dan penyiapan
bimbingan teknis advokasi kepada Badan Narkotika Nasional
Kabupaten/Kota.
5) Bidang Pemberantasan dipimpin oleh Kepala Bidang
Pemberantasan, mempunyai tugas melaksanakan P4GN di bidang
pemberantasan dalam wilayah Provinsi. Kepala Bidang
Pemberantasan dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh (1)
Kepala Seksi Intelijen, mempunyai tugas melakukan penyiapan
pelaksanaan kegiatan intelijen berbasis teknologi dalam wilayah
Provinsi dan penyiapan bimbingan teknis kegiatan intelijen
berbasis teknologi kepada Badan Narkotika Nasional
Kabupaten/Kota; (2) Kepala Seksi Penyidikan, Penindakan, dan
Pengejaran memiliki tugas melakukan penyiapan pelaksanaan
penyidikan, penindakan, dan pengejaran dalam rangka pemutusan
jaringan kejahatan terorganisasi penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkotika, psikotropika, prekursor, dan bahan adiktif lainnya
kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol dalam wilayah
Provinsi dan penyiapan bimbingan teknis kegiatan interdiksi
44
kepada Badan Narkotika Nasional Kabupaten/Kota; dan (3)
Kepala Seksi Pengawasan Tahanan, Barang Bukti, dan Aset
mempunyai tugas melakukan penyiapan pelaksanaan pengawasan
tahanan, barang bukti, dan aset dalam wilayah Provinsi.
(Peraturan Kepala BNN No.: PER / 04 / V/ 2010 / BNN, Pasal 5 -
21).
2. Upaya BNNP DIY dalam Pencegahan dan Pemberantasan
Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika
Upaya dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika yang dilakukan BNNP DIY adalah
menggunakan kebijakan penal (kebijakan pemidanaan), di samping itu
juga menggunakan kebijakan non penal (bukan pemidanaan). Upaya yang
dilakukan BNNP DIY dalam pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika berhasil penulis catat
sedemikian rupa sehingga terumuskan sebagai berikut di bawah ini.
3. Upaya BNNP DIY dalam Pencegahan Penyalahgunaan
dan Peredaran Gelap Narkotika
Kegiatan pencegahan yang dilakukan BNNP DIY terutama
dilaksanakan dalam bentuk penyuluhan, penerangan dan
pendidikan. Data yang dapat peneliti kumpulkan, pada tahun 2012
BNNP DIY telah melaksanakan kegiatan pencegahan sebagaimana
berikut:
1) Pementasan seni budaya dilingkungan pelajar dua kali .
2) Sosialisasi P4GN dilingkungan pelajar, ada 10 (sepuluh)
kali kegiatan, setiap satu kali kegiatan diikuti 100 (seratus)
peserta .
3) Sosialisasi P4GN terhadap para mahasiswa, ada 10
(sepuluh) kali kegiatan, setiap satu kali kegiatan dihadiri
lebih dari 120 (seratus dua puluh) peserta.
45
4) Sosialisasi P4GN terhadap para pekerja (swasta), ada 10
(sepuluh) kali kegiatan, setiap 1 (satu) kali kegiatan diikuti
110 (seratus sepuluh) orang .
5) Sosialisasi P4GN terhadap pegawai negeri ada 5 (lima)
kali, setiap 1 (satu) kali kegiatan diikuti lebih dari 100
(seratus) orang.
6) Pembentukan kader penyuluhan anti Narkotika di
lingkungan pelajar, dilakukan 7(tujuh) kali kegiatan, setiap
1 (satu) kegiatan dihadiri 40 (empat puluh) orang.
7) Pembentukan kader penyuluh anti Narkotika dilingkungan
pekerja (swasta) dilakukan 6 (enam) kali, setiap 1 (satu)
kegiatan dihadiri 40 (empat puluh) peserta.
8) Advokasi tentang implementasi Inpres No 12 tahun 2011
(pelaksanaan strategi nasional dalam P4GN) kepada
instansi pemerintah, ada 2 (dua) kali kegiatan, setiap 1
(satu) kali dihadiri 50 (lima puluh) peserta.
9) Advokasi P4GN bagi lingkungan perguruan tinggi, ada 2
(dua) kegiatan setiap 1 (satu) kali kegiatan dihadiri lebih
dari 150 (seratus lima puluh) peserta.
10) Advokasi P4GN bagi pelajar, ada 8 (delapan) kali kegiatan,
setiap 1(satu) kali kegiatan dihadiri lebih dari 150 (seratus
lima puluh) pelajar.
11) Advokasi tentang Inpres No 12 tahun 2011 dilingkungan
pegawai swasta, dilakukan 10 (sepuluh) kali kegiatan
dengan peserta 100 (seratus) orang.
12) Penyebaran Leaflet yang berisi pesan bahaya
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
13) Penyebaran sticker anti penyalahgunaan narkotika.
14) Pemasangan banner / spanduk di tempat-tempat strategis
15) Penyuluhan melalui media cetak maupun elektronik.
(Badan Narkotika Nasional Provinsi DIY. 2013: 11-30).
46
Upaya pencegahan juga ditujukan kepada orang-orang yang
sudah memulai menggunakan narkotika agar sesegera mungkin
menghentikan penggunaannya supaya mereka tidak kecanduan
narkotika. Kegiatan ditikberatkan pada kegiatan deteksi secara dini
terhadap orang yang menyalahgunakan Narkotika melalui tes
urine. Hasil tes yang menunjukkan seseorang positif menggunakan
narkotika, diajak untuk menghentikan mengkonsumsi narkotika.
Mereka diberikan konseling perorangan dan keluarga bermasalah
penyalahgunaan Narkotika, bimbingan sosial melalui sosialisasi
tentang bahaya Narkotika.
Upaya pencegahan selanjutnya juga ditujukan untuk
mengurangi resiko yang lebih fatal dari penderitaan kecanduan
narkotika dengan cara mengupayakan pemulihan kondisi fisik,
psikis, moral dan sosial korban penyalahgunaan Narkotika dengan
tujuan untuk mencegah jangan sampai mereka kambuh kembali
atau relapse. Kegiatan pencegahan ini dilaksanakan oleh BNNP
DIY antara lain adalah mengajak para pecandu atau keluarganya
untuk mendapatkan layanan rehabilitasi. Kegiatan lainnya adalah
mengumpulkan mantan pecandu untuk memberi penguatan
terhadap mantan pecandu agar mereka tidak kambuh (relapse),
dalam bentuk diskusi (fokus group discussion), kemudian BNNP
DIY juga mencarikan jalan keluar bagi mereka agar hidup
produktif untuk dapat membiayai kebutuhannya. Jalan yang
ditempuh BNNP DIY adalah berkoordinasi dan bekerja sama
dengan Dinas Sosial DIY agar mantan pecandu tersebut diberikan
pelatihan keterampilan untuk bekal hidup.
Kepala Seksi Pemberdayaan Alternatif, Bambang
Wiryanto, menjelaskan bahwa pada tahun 2012 BNNP DIY telah
melaksanakan pertemuan terhadap pecandu secara berkala
47
sejumlah 35 orang dua kali sebulan, selama tiga bulan dengan
orang yang berbeda. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan
penguatan mental agar para pecandu tersebut tidak kambuh
kembali / relapse. Rencana tindak lanjut dari pertemuan tersebut
BNNP DIY pada tahun 2013 akan memberikan pendampingan
terhadap 40 orang mantan pecandu untuk penguatan dalam
penghidupannya, berupa pelatihan dan peralatan kerja, yang antara
lain mesin cetak, mesin jahit dsb. (Bambang Wiryanto dalam
wawancara hari Kamis, tanggal 10 Januari 2013 jam 08.30).
BNNP DIY dalam upaya pencegahan juga mengunjungi
tempat-tempat rehabilitasi untuk memantau dan memberikan
bimbingan dalam rangka pemulihan pecandu. Salah satu staf di
Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Bapak Sudiyono mengatakan
bahwa setiap bulan secara bergantian staf Bidang Pemberdayaan
Masyarakat mengunjungi tempat-tempat rehabilitasi di DIY, yang
jumlahnya ada 13. Di tempat rehabilitasi tersebut diadakan diskusi
baik dengan pengelolanya maupun kepada residen (sebutan orang
yang dirawat), dalam diskusi tersebut terjadi suatu interaksi yang
saling memberikan masukan sehingga pemulihan korban dapat
berjalan baik dan upaya pencegahan agar tidak kambuh tertanam
pada residen. (Bapak Sudiyono dalam wawancara hari Kamis,
tanggal 10 Januari 2013 jam 15.00).
BNNP DIY menyadari bahwa dalam upaya P4GN tidak
mungkin akan dapat menjangkau seluruh penduduk di wilayah
DIY dalam waktu yang singkat. Data jumlah penduduk hasil
sensus tahun 2010 diperkirakan sebanyak 3.452.390 jiwa. Jumlah
penduduk tersebut berdomisili di wilayah administratif DIY di
empat kabupaten dan satu kota, yaitu Kabupaten Kulon Progo
sejumlah 388 869 orang, Kabupaten Bantul 911 503 orang,
Kabupaten Gunung Kidul 675 382 orang, Kabupaten Sleman 1 093
48
110 orang, dan Kota Yogyakarta 388 627 orang. (Badan Pusat
Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 2010: 7).
Jumlah wilayah administratif DIY dari tingkat
Kabupaten/Kota hingga RT penulis sajikan sebagaimana tabel
berikut.
TABEL: 1
JUMLAH WILAYAH ADMINISTRATIF DIY
TAHUN 2010 – 2012
No Kab / Kota
Pembagian Wilayah
KecamatanKelurahan
/Desa
Dukuh/
DusunRW RT
1. Kulonprogo 12 88 930 1.884 4.462
2. Bantul 17 75 934 - 5.681
3 Gunungkidul 18 144 1.432 1.671 6.864
4. Sleman 17 86 1.212 2.933 7.364
5. KotaYogyakarta
14 45 - 614 2.525
Jumlah SeluruhDIY
78 438 4.508 7.102 26.896
Sumber: Dinas Kependudukan DIY
Kepala Seksi Pemberdayaan Alternatif, Bambang
Wiryanto, SSi mengatakan bahwa tidak mungkin BNNP DIY yang
secara fertikal dan belum memiliki Badan Narkotika Nasional
Kabupaten/Kota (BNNK) dapat berkunjung dan menjangkau
seluruh RT yang ada pada kurun satu tahun anggaran, bahkan ke
setiap desa pun juga berat. Oleh karena itu perlu keterlibatan
masyarakat luas di dalam P4GN. Jumlah RT yang ada tersebut
apabila sehari BNNP DIY mampu mengunjungi tiga RT, maka
49
dalam setahun menurut kalender Gregorian yang terdapat 365 hari,
baru dapat menjangkau sekitar 1.095 RT, sehingga untuk
menjangkau 26.896 RT diperlukan waktu sekitar 24 tahun tanpa
istirahat / libur.
Upaya memberdayakan masyarakat dalam program P4GN
yang dilaksanakan BNNP DIY, mulai dari membentuk kader
penyuluh bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba dan
memberdayakan kader tersebut. Kader yang dibentuk adalah dari
perwakilan desa, instansi pemerintah, perusahaan swasta, kalangan
sekolah dan perguruan tinggi yang secara selektif sesuai tingkat
kerawanannya.
Pembentukan kader dari perwakilan desa juga
diikutsertakan para Babinkamtibmas (Bintara Pembina Keamanan
dan Ketertiban Masayarakat), yaitu petugas kepolisian yang
ditempatkan pada setiap desa. Babinkamtibmas dibekali oleh
BNNP DIY tentang upaya pencegahan dan penyalahgunaan
narkotika, termasuk cara-cara menghadapi korban.
Kader-kader yang telah dibentuk oleh BNN tersebut
diberdayagunakan oleh masyarakat dimana mereka berada, kalau
kader dari para pelajar untuk diberdayakan oleh sekolah tempat
mereka belajar, begitu pula para pekerja diberdayakan oleh
lembaga tempat kerjanya, kader di instansi pemerintah
diberdayakan oleh instansinya. BNNP DIY dalam pemberdayaan
masyarakat mendampingi para kader dan perwakilan masyarakat.
Pendampingan dapat berupa konsultansi tentang permasalahan
yang dihadapi, pemberian dukungan materi baik dalam bentuk
buku, spanduk, poster, leaflet, sticker yang berisi pesan anti
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba, dan lain sebagainya.
50
Upaya pencegahan lainnya yang dikembangkan BNNP DIY
adalah Lomba Sekolah Bebas Narkoba, untuk mendorong gerakan
yang serentak dalam waktu singkat di seluruh sekolah di DIY agar
sekolah-sekolah tersebut berupaya melakukan aktifitas
membebaskan sekolahnya dari penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkotika.
Jumlah sekolah di DIY adalah 5.280 satuan pendidikan,
terdiri dari 132 Perguruan Tinggi, 415 SLTA, 507 SLTP, 2.017
SD, dan 2.209 TK (Dinas Kependudukan DIY. 2010).
Kepala BNNP DIY mengatakan bahwa apabila BNNP DIY
melakukan sosialisasi ke setiap sekolah setiap hari satu sekolah
saja secara terus menerus tanpa memperhitungkan hari libur, maka
dalam satu tahun baru dapat mendatangi 360 sekolah, sedang
sekolah dan perguruan tinggi yang harus dilayani sebanyak 3.091
dari SD hingga perguruan tinggi. Oleh karena itu tanpa partisipasi
aktif masyarakat P4GN tidak dapat menyentuh ke setiap lapisan
masyarakat. (Drs. Budiharso dalam wawancara hari Senin, tanggal
14 Januari 2013 jam 10.00).
BNNP juga melakukan pengembangan pencegahan
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika melalui lomba
sekolah. Pada tahun 2012 lomba sekolah tersebut diperuntukkan
pada jenjang Sekolah Lanjutan Menengah Atas (SMA) sederajat.
Jumlah SMA sederajat di DIY sejumlah 415 sekolah, setelah
diadakan penilaian pada tingkat kabupaten/kota tersaring 165
sekolah yang dianggap baik, yaitu aktif dalam program P4GN.
Penilai berasal dari perwakilan Dikpora, LSM, Perguruan Tinggi,
Media, Sekretariat DPRD, dan BNNP DIY. 165 sekolah tersebut
otomatis masih aktif melaksanakan kegiatan P4GN, sedangkan
sekolah lainnya tetap aktif melaksanakan P4GN karena penilaian
51
tersebut tidak semata-mata diumumkan selayaknya lomba dengan
system gugur.
Sejumlah 165 sekolah dipantau terus oleh tim yuri bersama
masyarakat jangan sampai ada warga sekolah yang terlibat
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Setelah penilaian
dilakukan terjaring 25 sekolah yang terdiri perwakilan
kabupaten/kota masing-masing 5 sekolah dinominatorkan sebagai
sekolah yang dianggap konsisten dalam pelaksanaan P4GN. Dari
jumlah tersebut setelah diminta untuk memaparkan programnya di
tingkat provinsi terjaring 12 sekolah nominator terbaik. 12 sekolah
tersebut selanjutnya dilakukan kunjungan lapangan untuk
menentukan 5 sekolah yang berhak mendapatkan uang pembinaan
sesuai rankingnya.
4. Upaya BNNP DIY dalam Pemberantasan Penyalahgunaan
dan Peredaran Gelap Narkotika
Tugas Pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika yang diamanatkan kepada BNN termasuk BNNP DIY
dilakukan oleh penyidik BNN (Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 35 Tahun 2009. Pasal 72 huruf a) . Penyidik
BNN yang ditugaskan di BNNP DIY diorganisir dalam suatu sub
organisasi yang ditangani Bidang Pemberantasan, yang secara
hirarkis berada di bawah Kepala BNNP.
Kewenangan-kewenangan penyidik BNN dalam
melaksanakan tugasnya tidak saja terbatas pada penyelidikan dan
penyidikan narkotika dan prekursor narkotika, namun lebih luas
dari itu juga termasuk tindak pidana yang terkait dengan narkotika
dan prekursor narkotika. Ajun Komisaris Besar Sumargiyono
menjelaskan bahwa Penyidik BNN berwenang untuk menyita harta
kekayaan yang dimiliki pelaku pidana narkotika dan prekursor
narkotika sejauh ada kaitannya dengan kasus tersebut, oleh karena
itu Penyidik BNN juga diperbolehkan untuk menyidik tindak
52
pidana pencucian uang. (AKBP Sumargiyono dalam wawancara
hari Kamis, tanggal 17 Januari 2013 jam 11.00).
Kewenangan Penyidik BNN termasuk yang ditugaskan di
BNNP DIY dalam melakukan penyidikan sebagai berikut:
1) melakukan penyelidikan atas kebenaran laporan serta
keterangan tentang adanya penyalahgunaan dan peredaran
gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
2) memeriksa orang atau korporasi yang diduga melakukan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
3) memanggil orang untuk didengar keterangannya sebagai
saksi;
4) menyuruh berhenti orang yang diduga melakukan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika serta memeriksa tanda pengenal diri
tersangka;
5) memeriksa, menggeledah, dan menyita barang bukti tindak
pidana dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika;
6) memeriksa surat dan/atau dokumen lain tentang
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
7) menangkap dan menahan orang yang diduga melakukan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
8) melakukan interdiksi terhadap peredaran gelap Narkotika
dan Prekursor Narkotika di seluruh wilayah juridiksi
nasional;
9) melakukan penyadapan yang terkait dengan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
53
Prekursor Narkotika setelah terdapat bukti awal yang
cukup;
10) melakukan teknik penyidikan pembelian terselubung dan
penyerahan di bawah pengawasan;
11) memusnahkan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
12) melakukan tes urine, tes darah, tes rambut, tes asam
dioksiribonukleat (DNA), dan/atau tes bagian tubuh
lainnya;
13) mengambil sidik jari dan memotret tersangka;
14) melakukan pemindaian terhadap orang, barang, binatang,
dan tanaman;
15) membuka dan memeriksa setiap barang kiriman melalui
pos dan alat-alat perhubungan lainnya yang diduga
mempunyai hubungan dengan penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
16) melakukan penyegelan terhadap Narkotika dan Prekursor
Narkotika yang disita;
17) melakukan uji laboratorium terhadap sampel dan barang
bukti Narkotika dan Prekursor Narkotika;
18) meminta bantuan tenaga ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan tugas penyidikan penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
19) menghentikan penyidikan apabila tidak cukup bukti adanya
dugaan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika. (Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 35 Tahun 2009. Pasal 75).
Pelaksanaan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkotika oleh BNNP DIY dilaksanakan dengan cara
melakukan operasi rutin dan operasi khusus. Operasi rutin
memiliki tujuan untuk mempersempit ruang gerak pengedar
narkotika dan penyalahgunaan narkotika serta lebih cenderung
54
untuk melakukan tindakan preventif. Tujuan lainnya adalah untuk
mendapatkan informasi terkait dengan keberadaan pengedar
Narkotika dan jaringannya. Operasi rutin dilaksanakan di tempat-
tempat hiburan, tempat penginapan termasuk tempat indekos
pelajar dan mahasiswa, dan juga tempat-tempat lain yang dianggap
rawan seperti warung kopi dan tempat berkumpul (tempat
nongkrong) pemuda.
Operasi rutin melibatkan berbagai unsur aparat pemerintah
dan lembaga kemasyarakatan. Pelaksanaannya tidak diberitahukan
secara luas tentang hari, tanggal, waktunya, dan juga sasaran yang
akan dioperasi. Jangka waktu operasi juga tidak tetap, demikian
juga personel pelaksana operasi tidak selalu sama.
Hasil pelaksanaan operasi rutin mendapat tanggapan positif
dari warga masyarakat bahkan kontinuitas operasi di tengah-tengah
masyarakat sangat diharapkan oleh warga, karena mampu
membatasi pergerakan penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika. Di sisi lain BNNP DIY merasa tidak mampu untuk
menyelenggarakan operasi ke seluruh tempat di DIY. Hal ini
sebagaimana dikemukakan salah satu penyidik di BNNP, Kompol
Mulyadi mengharapkan bahwa para pejabat pemerintahan
khususnya di tingkat kelurahan terutama pengurus RT / RW dapat
melakukan operasi yang sifatnya preventif dengan melibatkan
aparat keamanan yang bertugas di desa, yaitu Babinkamtibmas dan
Babinsa”. (Kompol Mulyadi, dalam wawancara hari Senin, tanggal
14 Januari 2013 jam 13.00).
Hasil operasi rutin dapat ditindak lanjuti dengan operasi
khusus. Pelaksanaan operasi khusus ditujukan untuk mengungkap
peredaran gelap narkotika terutama menangkap pelakukanya dan
jaringannya. Target sasaran pada operasi khusus sudah ditentukan
dengan perhitungan yang matang. Operasi khusus dilakukan oleh
55
petugas-petugas Bidang Pemberantasan yang terpilih secara
khusus, menggunakan cara bertindak atau metode tertentu,
peralatan tertentu dan didukung anggaran khusus yang cukup.
Kekuatan personel yang dilibatkan pada operasi khusus juga
didukung oleh personel kepolisian dan/atau personel dari BNN
pusat.
Penyelesaian Kasus tindak pidana narkotika di BNNP DIY
dilakukan oleh penyidik yang bertugas di BNNP DIY yang selama
ini bekerja sama dengan penyidik Polri (Polda DIY) maupun
instansi terkait. Penyidik di BNNP DIY sangat berhati-hati dalam
menangani kasus terkait dengan narkotika. AKBP Sumargiyono
mengatakan bahwa perlunya hati-hati dalam menyikapi suatu kasus
narkotika adalah jangan sampai penyidik salah menilai seseorang,
jangan sampai seseorang korban penyalahgunaan disangka sebagai
pengedar atau sebaliknya dan juga menghindari kesalahan
penerapan pasal pidananya yang berujung pada kesalahan
menerapkan sanksi pidana (Kepala Bidang Pemberantasan BNNP
DIY, AKBP Sumargiyono dalam wawancara hari Senin, tanggal 14
Januari 2013 jam 10.00).
BNNP DIY dalam penyelesaian kasus narkotika ada yang
diselesaikan melalui jalur hukum, namun ada juga yang langsung
diusahakan agar mendapat layanan rehabilitasi. Mereka yang
tertangkap dan apabila dilakukan tes urin ternyata yang
bersangkutan positif menggunakan narkotika sedangkan tidak
diketemukan bukti cukup untuk dilakukan penyidikan maka
penyidik berkoordinasi dengan keluarga atau orang tuanya agar
mendapatkan layanan rehabilitasi.
Mereka yang tertangkap dengan bukti cukup sebagai
pengedar tentu diterapkan hokum sesuai pasal yang dilanggarnya.
56
Bagi mereka yang memenuhi unsur keduanya, yaitu sebagai
pengguna dan pengedar maka selain dilakukan penyidikan juga
diupayakan untuk mendapatkan layanan rehabilitasi.
BNNP DIY dalam hal rehabilitasi tidak membedakan
antara pecandu, penyalahguna, dan korban penyalahgunaan
narkotika, semuanya harus segera direhabilitasi. Contoh kasus
yaitu pada tanggal 22 Januari 2013 bahwa penyidik menangkap
seseorang dengan initial nama “GR” ketika dilakukan tes ternyata
mendapatkan hasil positif yang menunjukkan bahwa orang tersebut
menggunakan narkotika dan tidak diketemukan bukti cukup
sebagai pengedar maka yang bersangkutan dibawa oleh BNNP
DIY ke tempat rehabilitasi, yaitu Rumah Sakit Grasia.
Kasus tindak pidana narkotika dari tahun ke tahun semakin
meningkat. Jenis dan jumlah kasus tindak pidana narkotika di
Daerah Istimewa Yogyakarta dari tahun 2010 sampai dengan tahun
2012 penulis sajikan sebagaimana tabel di bawah ini.
TABEL: 2
DAFTAR KASUS PIDANA NARKOTIKA
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
TAHUN 2010 – 2012
NO JENIS KASUS TAHUN2010
TAHUN2011
TAHUN2012 JUMLAH
1. GANJA 130 86 123 339
2. PUTAW 3 6 6 15
3. EXTACY - - 6 6
4. SHABU 44 72 62 178
JUMLAH KASUS 177 164 197 538Sumber: Data BNNP DIY Desember, Tahun 2012
57
TABEL: 3
DAFTAR TERSANGKA TINDAK PIDANA NARKOTIKA
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
TAHUN 2010 – 2012
NO TERSANGKA TAHUN2010
TAHUN2011
TAHUN2012 JUMLAH
1. GANJA 156 105 170 413
2. PUTAW 3 7 7 17
3. EXTACY - - 14 14
4. SHABU 51 49 33 113
JUMLAHTERSANGKA 210 209 250 669
Sumber: Data BNNP DIY Desember, Tahun 2012
Kasus-kasus tindak pidana sebagaimana tergambar tersebut di atas
ternyata yang paling banyak dari setiap tahunnya adalah penggunaan
narkotika jenis ganja. Pada tahun 2012 kasus penggunaan ganja di DIY
yaitu 62,4 %. Kasus-kasus tersebut melibatkan tersangka yang pada
umumnya sebagai pengguna (Komisaris Polisi Mulyadi, dalam wawancara
pada hari Senin, tanggal 14 Januari 2013 jam 11.00 – 12.00). Data
tersangka sesuai dengan jenis narkotika yang disalahgunakan adalah
sebagai berikut di bawah ini.
Jumlah tersangka sebanyak 250 orang tersebut tidak semuanya
direhabilitasi di rumah sakit. Rehabilitasi di rumah sakit hanya apabila
pecandu memerlukan rehabilitasi medis. Rehabilitasi dapat dilaksanakan
di tempat tahanan terutama melalui upaya rehabilitasi sosial dengan
memberikan sentuhan-sentuhan psikologis (Komisaris Polisi Mulyadi,
dalam wawancara pada hari Senin, tanggal 14 Januari 2013 jam 11.00 –
12.00).
58
Tindak pidana terkait dengan masalah narkotika tidak hanya terjadi
secara perorangan, namun dapat juga melibatkan kelompok orang, bahkan
organisasi, bahkan kelompok organisasi. Tindak pidana narkotika yang
dilakukan secara terorganisir atau melibatkan kelompok organisasi dapat
disebut organize crime. BNNP DIY telah menyiapkan suatu strategi dalam
mengungkap pelaku kejahatan narkotika yang dilakukan secara
terorganisir. Di DIY telah terjalin kerja sama dengan instansi terkait
terutama dengan Polda DIY, Keimigrasian, Bea Cukai, Angkasa Pura
sebagai pengelola Bandara Adi Sucipto, Balai Pengawasan Obat dan
Makanan DIY, Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di DIY seperti
Dinas Kesehatan DIY, Dinas Sosial, dll. Berkaitan dengan perbankan
BNNP DIY menindaklanjuti apa yang telah dilakukan BNN Pusat yang
telah bekerja sama dengan berbagai industri perbankan dan lembaga
keuangan.
BNNP DIY yang telah bekerja sama dengan Polda DIY dan
dengan berbagai pihak menggunakan pendekatan psikologis dalam
mengungkap kasus narkotika yang dilakukan secara terorganisir. Kepala
Bidang Pemberantasan BNNP DIY, Sumargiyono mengatakan bahwa
kalau tidak menggunakan pendekatan psikologis akan kesulitan
mengungkap kejahatan narkotika yang dilakukan secara terorganisir antara
lain adalah sistem operasi kejahatan dilakukan secara terputus. Antara
pelaku yang satu dengan pelaku yang lain belum tentu saling mengenal,
komunikasi menggunakan telepon seluler yang selalu berubah nomor
maupun alat komunikasinya. Transaksi keuangan menggunakan perbankan
atau lembaga keuangan lainnya, dan menggunakan nomor rekening orang
lain atau menggunakan identitas palsu. Pelaku tindak pidana narkotika
selalu menghilangkan jejak agar tidak mudah dilacak petugas
(Sumargiyono dalam wawancara tanggal 3 Januari 2013).
59
C. Pembahasan
1. Pembahasan tentang Upaya BNNP DIY dalam Pencegahan dan
Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika
Upaya dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika yang dilakukan Badan Narkotika Nasional
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (BNNP DIY) adalah menggunakan
kebijakan penal (kebijakan pemidanaan), di samping itu juga
menggunakan kebijakan non penal (bukan pemidanaan). Kebijakan
semacam ini juga diamanatkan oleh Undang – Undang Nomor 35 tahun
2009 tentang Narkotika. Undang – undang tersebut di samping
memberikan ancaman berupa sanksi pidana dalam kebijakan penal, juga
menerapkan kebijakan non penal yang berupa pencegahan dan pemberian
rehabilitasi bagi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika.
Kebijakan politik tentang penggunaan cara pemidanaan (penal) dan bukan
pemidanaan (non penal) yang tertuang dalam Undang – Undang Nomor 35
tahun 2009 tentang Narkotika pada dasarnya memiliki tujuan:
“a. menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentinganpelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmupengetahuan dan teknologi;
b. mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsaIndonesia dari penyalahgunaan Narkotika;
c. memberantas peredaran gelap Narkotika dan PrekursorNarkotika;
d. dan menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dansosial bagi penyalah guna dan pecandu Narkotika”(Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun2009. Pasal 4).
BNNP DIY hingga saat penelitian dilakukan telah berupaya
dengan berbagai cara melaksanakan pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, selanjutnya akan penulis
bahas secara mendalam pada uraian di bawah ini.
60
a. Pembahasan tentang Upaya BNNP DIY dalam Pencegahan
Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika
Pencegahan bahaya penyalagunaan dan peredaran gelap
narkotika merupakan salah satu tujuan disusunnya dan
diundangkannya UU No 35 tahun 2009, yang bunyinya “Undang-
Undang tentang Narkotika bertujuan: “mencegah, melindungi, dan
menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika”
(Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009. Pasal
4 huruf b)
UU No. 35 tahun 2009 tentang narkotika tidak secara rinci
memberikan arah tindakan-tindakan khusus yang harus
dilaksanakan BNN termasuk BNNP DIY dalam upaya pencegahan
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. BNN sebagai
lembaga yang sudah terbentuk mulai tahun 2010 tersebut sehingga
penelitian ini dilaksanakan belum mengeluarkan petunjuk-petunjuk
teknis yang berbentuk surat keputusan maupun peraturan kepala
BNN tentang pelaksanaan pencegahan penyalahgunaan narkotika.
Produk tertulis yang disusun BNN dalam bentuk buku dengan
berbagai judul. Buku tersebut tidak memiliki kekuatan memaksa
untuk digunakan bagi BNNP dan BNNK dalam pelaksanaan
P4GN.
Secara teoritis, upaya pecegahan penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika meliputi (1) Pencegahan primer
(primary prevention), (2) pencegahan sekunder (secondary
prevention), (3) pencegahan tertier (tertiary prevention). (Tim Ahli
BNN. 2009: 26-28). Hal ini dilakukan oleh BNNP DIY dengan
bervariasi kegiatan.
1) Pencegahan Primer (Primary Prevention)
Pencegahan primair adalah suatu kegiatan untuk
mempertahankan agar orang yang belum menggunakan
61
narkotika tetap dalam kondisi semula tidak menggunakan
narkotika. Cara yang ditempuh dalam melaksanakan
pencegahan primer adalah mengupayakan agar seseorang
dapat menghindarkan diri dari pengaruh lingkungan
kehidupan penyalahgunaan Narkotika. Sasaran; pencegahan
primer ditujukan terutama kepada anak-anak dan generasi
muda yang belum menyalahgunakan Narkotika, baik
dilingkungan sekolah / lembaga pendidikan maupun diluar
lingkungan sekolah/lembaga pendidikan. Pencegahan
primer juga ditujukan kepada semua lapisan masyarakat
agar terhindar dari penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika.
Kegiatan pencegahan primer dilakukan BNNP DIY
terutama dalam bentuk sosialisasi P4GN dengan berbagai
wahana seperti pementasan seni budaya, sosialisasi P4GN
terhadap lingkungan pelajar, mahasiswa, pekerja swasta
dan pegawai negeri, penyebaran leaflet, penyebaran poster,
pemasangan spanduk/banner, dan juga sosialisasi melalui
media cetak dan media elektronik, dan juga pembentukan
kader, serta advokasi ke sekolah, perguruan tinggi dan
pekerja (Badan Narkotika Nasional Provinsi DIY. 2013:
11-30).
Kegiatan-kegiatan tersebut kalau dilihat dari
kuantitasnya dirasa masih kurang apabila dibandingkan
dengan besarnya jumlah penduduk yang harus
dipertahankan agar tetap dalam kondisi semula tidak
menggunakan narkotika dan tidak mengedarkan narkotika.
2) Pencegahan Sekunder (Secondary Prevention)
Pencegahan sekunder adalah suatu kegiatan untuk
mengupayakan agar orang yang sudah memulai
62
menggunakan narkotika sesegera mungkin menghentikan
penggunaan narkotika tersebut supaya mereka tidak
kecanduan narkotika. Sasaran: pencegahan sekunder
terutama ditujukan kepada mereka yang sudah mulai
mencoba-coba menggunakan Narkotika.
Kegiatan pencegahan sekunder dilaksanakan oleh
BNNP DIY dengan menitikberatkan pada kegiatan deteksi
secara dini terhadap orang yang menyalahgunakan
Narkotika melalui tes urine. Hasil tes yang menunjukkan
seseorang positif menggunakan narkotika, diajak untuk
menghentikan mengkonsumsi narkotika. Mereka diberikan
konseling perorangan dan keluarga bermasalah
penyalahgunaan Narkotika, bimbingan sosial melalui
sosialisasi tenang bahaya Narkotika.
Dalam praktek sehari-hari sulit kiranya BNNP DIY
menerapkan sasaran sebagai target pencegahan sekunder.
Petugas mengalami kesulitan memilih orang yang baru
mencoba pakai kecuali mereka yang telah tertangkap dan
diperiksa dan mereka mengaku baru mencoba. Pengguna
yang telah tertangkap pun sulit untuk mengkategorikan
apakah dia sebagai orang yang baru mencoba menggunakan
atau telah lama menggunakan narkotika, kecuali orang
tersebut telah kecanduan hingga sakau. Ada suatu alat
untuk mengetes rambut sehingga seseorang dapat
ditentukan lamanya telah mengkonsumsi narkotika, namun
biaya operasionalnya mahal.
Kepala Bidang Pencegahan BNNP DIY mengatasi
kesulitan sebagaimana tersebut alinia di atas, menjelaskan
bahwa pelaksanaan sosialisasi/desiminasi bahaya
penyalahgunaan narkoba dengan berbagai wahana tidak
membedakan siapa yang menghadirinya. Semua yang hadir
63
diberlakukan sama dan diberi penjelasan untuk memberikan
pemahaman akan bahaya penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkotika, sehingga mereka sadar akan bahaya yang
mengancam dirinya, keluarga, masyarakat dan negara, dan
selanjutnya diharapkan mereka tidak mencoba
mengkonsumsi narkotika atau segera menghentikan bagi
yang sudah pernah mengkonsumsi narkotika. (Kepala
Bidang Pencegahan BNNP DIY wawancara pada hari
Kamis, 10 Januari 2013 jam 11.15)
3) Pencegahan Tertier (Tertiary Prevention)
Pencegahan tertier adalah suatu kegiatan untuk
mengupayakan pemulihan kondisi fisik, psikis, moral dan
sosial bekas korban penyalahgunaan Narkotika dengan
tujuan untuk mencegah jangan sampai mereka kambuh
kembali “relapse” dan terjerumus kembali kedalam masalah
penyalahgunaan Narkotika. Pencegahan tertier dilakukan
untuk membantu korban Narkotika kembali kepada
masyarakat dengan keadaan sehat dan produktif sehingga
dapat menjalankan fungsi sosialnya kembali di dalam
masyarakat. Sasaran pencegahan tertier terutama ditujukan
kepada korban Narkotika yang sudah pulih (ex-addicts).
Kegiatan pencegahan tertier terutama dilaksanakan
dalam bentuk bimbingan sosial dan konseling terhadap
yang bersangkutan dan keluarga serta kelompok sebayanya;
penciptaan lingkungan sosial dan pengawasan sosial yang
menguntungkan bekas korban Narkotika; pengembangan
minat, bakat, dan keterampilan bekerja bekas korban
Narkotika; bantuan pelayanan penempatan kerja;
pembinaan orang tua, keluarga, teman sebaya, para guru
dan masyarakat dimana korban tinggal, agar siap menerima
64
bekas korban dengan baik, memperlakukannya dengan
wajar dan turut membina dan mengawaasinya jangan
sampai bekas korban kembali kedalam penyalahgunaan
Narkotika.
Upaya pencegahan tertier bahaya penyalagunaan
dan peredaran gelap narkotika yang dilaksanakan oleh
BNNP DIY antara lain adalah mengumpulkan mantan
pecandu, dan kemudian dilakukan diskusi (fokus group
discussion) untuk memberi penguatan terhadap mantan
pecandu agar mereka tidak kambuh (relapse). BNNP DIY
juga mencarikan jalan keluar bagi mereka yang belum bisa
bekerja untuk membiayai kebutuhannya. Jalan yang
ditempuh BNNP DIY adalah berkoordinasi dan bekerja
sama dengan Dinas Sosial DIY agar mantan pecandu
tersebut diberikan pelatihan keterampilan untuk bekal
hidup.
BNNP DIY melaksanakan pertemuan terhadap
pecandu secara berkala sejumlah 35 orang dua kali sebulan,
selama tiga bulan dengan orang yang berbeda untuk
mengupayakan pecandu yang sudah pulih agar tidak
kambuh kembali atau relapse, (Bambang Wiryanto dalam
wawancara hari Kamis, tanggal 10 Januari 2013 jam
08.30). Pertemuan tersebut berarti selama tahun 2012 baru
dapat menjangkau 210 orang eks pecandu, padahal korban
penyalahgunaan narkotika di DIY jauh lebih banyak.
Korban penyalahgunaan narkotika di DIY diperkirakan
antara 45.062 – 94.337 orang dengan titik tengah 69.699
(Badan Narkotika Nasional Bekerjasama dengan Pusat
Penelitian KesehatanUniversitas Indonesia, 2011: 25).
Pertemuan semacam ini apabila ditambah jumlah orang dan
65
frekuensi pertemuannya akan lebih dapat menekan angka
kekambuhan.
Pada tahun 2013 BNNP DIY merencanakan
memberikan pendampingan terhadap mantan pecandu
untuk penguatan dalam membantu penghidupannya, berupa
pelatihan dan memberikan peralatan kerja, yang antara lain
mesin cetak, mesin jahit terhadap 40 orang mantan pecandu
agar dapat hidup mandiri. Hal ini tentunya tidak menutup
kemungkinan adanya protes dari warga karena adanya
kecemburuan social terhadap bantuan tersebut. Orang
miskin yang juga perlu mendapat bantuan pun banyak,
mengapa bantuan tersebut tidak diberikan orang-orang
miskin yang juga perlu pekerjaan.
Kemungkinan yang lebih fatal adalah upaya-upaya
pemberian bantuan terhadap pecandu dapat memicu
keinginan menjadi pecandu hanya sekadar untuk mendapat
bantuan hidup. Hal ini tidak harus terjadi, sebab bagi orang
miskin telah diupayakan bantuan oleh Dinas Sosial melalui
bantuan jaminan sosial; dan melalui Dinas Kesehatan
berupa jaminan kesehatan masyarakat, dan jaminan
kesehatan daerah.
BNNP DIY dalam upaya pencegahan tertier juga
mengunjungi tempat-tempat rehabilitasi untuk memantau
dan memberikan bimbingan dalam rangka pemulihan
pecandu. Di tempat rehabilitasi tersebut diadakan diskusi
baik dengan pengelolanya maupun kepada residen (sebutan
orang yang dirawat), dalam diskusi tersebut terjadi suatu
interaksi yang saling memberikan masukan sehingga
pemulihan korban dapat berjalan baik dan upaya
pencegahan agar tidak kambuh tertanam pada residen.
66
Upaya pencegahan tertier lebih cenderung pada
pelaksanaan pemulihan / penyembuhan pecandu dan
memeliharanya agar tidak kambuh. Upaya tersebut
menerapkan amanat Undang-undang Narkotika Pasal 54
yang berbunyi: “Pecandu Narkotika dan korban
penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial (Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 35 Tahun 2009: Pasal 54).
Upaya-upaya pencegahan penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkotika terus dikembangkan oleh BNNP DIY, yang natara
lain adalah:
1) Pengembangan Cara Pencegahan Melalui Perubahan
Pola Pikir Masyarakat
Penerapan pemidanaan yang telah bertahun-tahun
dikedepankan sebagai upaya penanggulangan
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika ternyata
tidak efektif, bahkan penggunaan narkotika semakin
bertambah pada setiap tahunnya dan banyak petugas yang
terlibat.( Badan Narkotika Nasional Bekerjasama dengan
Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia. 2008).
Penegakan hukum yang diidam-idamkan
masyarakat yang mengharap dapat menyelesaikan
permasalahan narkotika, belum berhasil secara maksimal
bahkan dapat dikatakan gagal. Masyarakat selalu diliputi
rasa ketakutan, karena semua perkara terkait dengan
narkotika, apakah pecandu, korban penyalahgunaan,
maupun pengedar semuanya diperlakukan kriminal yang
harus diselesaikan dengan proses pidana.
Masyarakat takut melapor kepada petugas
walaupun mereka mengetahui bahwa disekitarnya ada
67
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Orang
takut dijadikan sebagai saksi, orang takut akan ancaman
penyalahguna maupun pengedar, yang akhirnya masyarakat
tidak berbuat sesuatu untuk menghentikan penyalahgunaan
dan perdaran gelap narkotika.
Para pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika
yang telah sadar dan menginginkan sembuh pun takut untuk
berobat. Mereka takut kalau berobat ketahuan sebagai
pecandu dan dilabel sebagai pelaku pidana, takut jangan-
jangan berurusan dengan dan/atau ditangkap petugas.
Keluarga pecandu juga takut kalau salah satu anggota
keluarganya ketahuan sebagai pecandu kemudian diberi
label oleh masyarakat luas sebagai keluarga kriminal,
keluarga juga takut dikucilkan lingkungannya.
BNNP DIY dalam menyikapi gejala di masyarakat
tersebut berupaya untuk melakukan perubahan pola pikir
terhadap masyarakat DIY. Masyarakat didorong untuk
berani berobat apabila dirinya atau keluarganya telah
kecanduan, berani melaporkan kepada aparat penegak
hukum apabila di sekitarnya diketahui ada suatu peristiwa
yang patut diduga sebagai penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkotika, termasuk berani mengawasi petugas
penegak hukum agar tidak menyalahgunakan
kewenangannya dan juga tidak terperdaya untuk masuk
dalam jaringan peredaran gelap narkotika.
Keberanian untuk melapor agar mendapatkan
layanan pengobatan / rehabilitasi dijamin oleh hukum.
Pecandu maupun keluarganya, orang tua atau wali pecandu
yang belum cukup umur, yang telah melapor tidak akan
68
dituntut pidana, untuk pecandu dewasa diberi batasan
waktu dua kali masa perawatan. (Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 35 Tahun 2009: Pasal 128).
Pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika
yang telah melapor akan mendapatkan layanan rehabilitasi.
Mereka yang mendapatkan layanan rehabilitasi
kemungkinan sembuh / pulih sangat besar dari pada yang
tidak mendapat layanan rehabilitasi. Pecandu dan korban
penyalahgunaan narkotika yang telah sembuh dan tidak
kambuh tidak akan meminta pasokan narkotika, dengan
demikian upaya rehabilitasi akan memutus peredaran gelap
narkotika.
Keberanian masyarakat melapor apabila di
sekitarnya diketahui terdapat suatu peristiwa yang patut
diduga sebagai penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika, akan mencegah terjadinya tindak pidana
narkotika. Keberanian masyarakat mengawasi petugas,
akan mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh
petugas pada saat memproses suatu kasus pidana dan juga
membatasi keterlibatan petugas menggunakan dan
mengedarkan narkotika.
BNNP DIY juga mendorong masyarakat untuk
berani menggunakan hak-haknya. Undang-undang telah
menjamin hak-hak masyarakat termasuk hak untuk
mendapatkan perlindungan hukum dalam berpartisipasi
dalam pemberantasan dan penyalahgunaan narkotika.
(Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun
2009: Pasal 106).
69
2) Pengembangan Cara Pencegahan Melalui
Pemberdayaan Masyarakat
BNNP DIY sadar atas ketidakmampuannya
menjangkau penduduk di wilayah DIY dalam waktu yang
singkat, maka BNNP memberdayakan masyarakat.
Undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika
telah memberikan ruang seluas-luasnya bagi masyarakat
untuk berpartisipasi dalam P4GN, sebagaimana tertuang
dalam pasal 104 yang berbunyi “Masyarakat mempunyai
kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta
membantu pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan
dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika”.
(Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun
2009. Pasal 104).
Ruang bagi masyarakat dalam berpartisipasi dalam
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika yang selama ini belum dipahami
oleh masyarakat, terus disosialisasikan BNNP DIY agar
masyarakat terdorong untuk berpartisipasi.
Upaya memberdayakan masyarakat dalam program
P4GN yang dilaksanakan BNNP DIY, mulai dari
membentuk kader penyuluh bahaya penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkoba dan memberdayakan kader
tersebut. Kader yang dibentuk adalah dari perwakilan desa,
instansi pemerintah, perusahaan swasta, kalangan sekolah
dan perguruan tinggi yang secara selektif sesuai tingkat
kerawanannya.
Pembentukan kader dari perwakilan desa juga
diikutsertakan para Babinkamtibmas (Bintara Pembina
70
Keamanan dan Ketertiban Masayarakat), yaitu petugas
kepolisian yang ditempatkan pada setiap desa.
Babinkamtibmas dibekali oleh BNNP DIY tentang upaya
pencegahan dan penyalahgunaan narkotika, termasuk cara-
cara menghadapi korban.
Keikutsertaan Babinkamtibmas sebagai kader dalam
program P4GN merupakan hal yang strategis. Babin
kamtibmas yang bertugas di setiap desa diharapkan dapat
sebagai motor menggerakkan masyarakat dalam program
P4GN, mereka dapat membina masyarakat khususnya para
remaja di desa agar tidak menyalahgunakan narkoba.
Kader-kader yang telah dibentuk oleh BNN tersebut
diharapkan diberdayagunakan oleh masyarakat dimana
mereka berada, kalau kader dari para pelajar untuk
diberdayakan oleh sekolah tempat mereka belajar, begitu
pula para pekerja diberdayakan oleh lembaga tempat
kerjanya, kader di instansi pemerintah diberdayakan oleh
instansinya. Pendmpingan kader oleh BNNP DIY
merupakan suatu hal yang konstruktif, karena tanpa ada
upaya pendampingan dari BNNP mereka kemungkinan
besar terhenti, mereka kurang termotifasi dan memiliki
sikap masa bodoh.
Pendampingan berupa konsultansi tentang
permasalahan yang dihadapi, pemberian dukungan materi
baik dalam bentuk buku, spanduk, poster, leaflet, sticker
yang berisi pesan anti penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkoba, dapat mendorong motifasi para kader dan mereka
merasa upayanya mendapatkan penghargaan dari instansi
pemerintah yang memiliki legitimasi.
71
3) Pengembangan Cara Pencegahan Melalui Lomba
Sekolah Bebas Narkoba
Lomba Sekolah Bebas Narkoba adalah suatu
terminologi untuk menyebut suatu program yang diadakan
BNNP DIY untuk mendorong gerakan yang serentak dalam
waktu singkat di seluruh sekolah di DIY agar sekolah-
sekolah tersebut berupaya melakukan aktifitas
membebaskan sekolahnya dari penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika.
Bentuk pemberdayaan sekolah guna melakukan
pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika
yang dikembangkan BNNP DIY pada tahun 2012 adalah
pelaksanaan lomba sekolah bersih dari penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika (LSBN). Upaya ini telah terbukti
menimbulkan gerakan yang sangat masif , dalam waktu
singkat secara bersama-sama program P4GN dapat
menjangkau seluruh SMA dan sederajat, yang jumlahnya
415 sekolah.
LSBN sangat menarik dan patut sebagai inspirasi
atau suatu model pemberdayaan pendidikan yang baik.
Lomba tidak seperti pelaksanaan lomba pada umumnya,
yang hanya merebutkan hadih, dan setelah mendapatkan
hadiah selesai. LSBN mewajibkan semua peserta lomba
yaitu semua SLTA yang ada diminta untuk membuat
perencanaan dalam bidang P4GN, kemudian perencanaan
tersebut diharapkan diimplementasikan secara konsekwen,
dan dilihat kontinuitasnya. Pemberdayaan sekolah dalam
bentuk LSBN ini tidak hanya terfokus pada siswa saja,
melainkan semua warga sekolah terlibat di dalamnya.
72
Proses penilaian dilakukan oleh penilai berasal dari
berbagai instansi yang kredibel, yaitu berasal dari
perwakilan Dikpora, LSM, Perguruan Tinggi, Media,
Sekretariat DPRD, dan BNNP DIY menimbulkan
kebanggaan tersendiri, sekaligus sebagai hadiah bagi
sekolah yang dikunjungi penilai tersebut. Penilaian dengan
tidak mnggunakan system gugur berdampak pada aktifitas
P4GN selama proses penilaian tetap aktif.
Proses LSBN tersebut telah dapat diberdayakan
sekolah dalam P4GN selama tahun 2012. Pelaksanaan hasil
tes urin dan pantauan terus menerus dari berbagai pihak,
serta upaya sekolah yang terencanakan dan
diimplementasikan dengan baik maka pada tahun 2012 ini
BNNP menetapkan 20 sekolah tingkat SLTA bebas dari
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba.
Pemberian uang pembinaan setelah berakhirnya
penilaian tidak berarti program pemberdayaan sekolah
selesai. Sekolah yang mendapatkan uang pembinaan
dituntut untuk melanjutkan programnya dan melaporkan
pelaksanaan kegiatannya kepada Bupati c.q Dinas Dikpora
dan ditembuskan kepada BNNP DIY.
Atribut-atribut yang dikonotasikan sebagai
penghargaan diberikan oleh BNNP DIY sebagimana
amanat undang-undang narkotika yang berbunyi:
“Pemerintah memberikan penghargaan kepada penegak
hokum dan masyarakat yang telah berjasa dalam upaya
pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkotika dan prekursor narkotika”. (Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009. Pasal 109).
73
b. Pembahasan tentang Upaya BNNP DIY dalam
Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap
Narkotika
Kata pemberantasan secara etimologi berasal dari kata be-
ran-tas mendapat awalan me menjadi mem-be-ran-tas sebagai
kata kerja yang berarti membasmi; memusnahkan. Kata
be·ran·tas mendapat imbuhan pe-an berubah menjadi kata benda
pem·be·ran·tas·an yang berarti proses, cara, perbuatan
memberantas (Departemen Pendidikan Nasional. 2001: 138).
Pengertian dalam kamus tersebut tentunya digunakan dalam
penyusunan UU No. 35 tahun 2009 tentang narkotika, karena
bahasa yang digunakan dalam undang-undang tersebut adalah
bahasa resmi dan kamus tersebut dikeluarkan oleh Departemen
Pendidikan Nasional sebagai lembaga resmi pemerintah. Kata
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika
dalam undang-undang narkotika dengan demikian mengandung
pengertian sebagaimana tertuang dalam kamus tersebut yaitu
proses atau cara atau perbuatan membasmi; memusnahkan
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
Upaya pemberantasan dalam pengertian membasmi atau
memusnahkan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang
dijelaskan pada undang-undang narkotika lebih cenderung kepada
kebijakan pemidanaan (penal). Penerapan kebijakan penal dalam
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika
merupakan salah satu cara untuk memutus jaringan dan/atau
menghentikan peredaran gelap narkotika. BNNP DIY dalam upaya
melaksanakan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap
nerkotika tidak akan terlepas dari tugas dan kewenangan yang
diberikan oleh undang-undang, sebagaimana tersebut pada
halaman 52 dalam Bab ini.
74
Kewenangan-kewenangan penyidik BNN dalam
melaksanakan tugasnya sangat luas dan tidak terbatas pada
penyelidikan dan penyidikan narkotika dan prekursor narkotika
saja, namun termasuk tindak pidana yang terkait dengan narkotika
dan prekursor narkotika. Sebagai contoh adalah kewenangan
Penyidik BNN untuk menyita harta kekayaan yang dimiliki pelaku
pidana narkotika dan prekursor narkotika sejauh ada kaitannya
dengan kasus narkotika dan prekursor narkotika. Penyidik BNN
juga diperbolehkan untuk menyidik tindak pidana pencucian uang
sejauh ada kaitannya dengan tindak pidana narkotika.
Kewenangan yang luas tersebut apabila tidak diawasi
dengan ketat sangat memungkinkan menimbulkan peluang bagi
penyidik untuk menyalahgunakan kewenangannya. Misalnya
dalam hal penyadapan, kewenangan penyidik “melakukan
penyadapan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran
gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika setelah terdapat bukti
awal yang cukup” (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
35 Tahun 2009. Pasal 75.huruf i).
Von Liszt, Priens, Van Hammel pendiri Internationale
Association for Criminology memberikan rambu-rambu untuk
menghidari kriminalisasi yang berlebihan (over criminalization)
sebagaimana tertuang dalam Bab II halaman 26, dan acara untuk
melakukan penyadapan juga telah diatur dalam UU no. 35 tahun
2009, yang yang penulis kutip sbb.:
“(1) Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf idilaksanakan setelah terdapat bukti permulaan yangcukup dan dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitungsejak surat penyadapan diterima penyidik.
(2) Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanyadilaksanakan atas izin tertulis dari ketua pengadilan.
(3) Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapatdiperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu yang sama.
(4) Tata cara penyadapan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
75
peraturan perundang-undangan. (Undang-Undang RepublikIndonesia Nomor 35 Tahun 2009. Pasal 77).
Proses penyadapan telah diatur sedemikian rupa, namun
tidak menutup kemungkinan dalam penyadapan tersebut ada pihak-
pihak lain yang ikut tersadap, misalnya percakapan atau tulisan
pesan singkat (sms) dalam telepon seluler yang tidak ada kaitannya
dengan tindak pidana narkotika maupun tindak pidana precursor
narkotika. Hal yang menarik bagi penyidik dapat dimanfaatkan
untuk kepentingannya.
Pelaksanaan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkotika oleh BNNP DIY dilaksanakan dengan cara
melakukan operasi rutin dan operasi khusus. Operasi rutin
memiliki tujuan untuk mempersempit ruang gerak pengedar
narkotika dan penyalahgunaan narkotika serta lebih cenderung
untuk melakukan tindakan preventif. Tujuan lainnya adalah untuk
mendapatkan informasi terkait dengan keberadaan pengedar
Narkotika dan jaringannya. Operasi rutin dilaksanakan di tempat-
tempat hiburan, tempat penginapan termasuk tempat indekos
pelajar dan mahasiswa, dan juga tempat-tempat lain yang dianggap
rawan seperti warung kopi dan tempat berkumpul (tempat
nongkrong) pemuda.
Pelaksanaan operasi rutin tersebut sesuai dengan apa yang
tertuang dalam buku “Fixing Broken Windows” yang
diterjemahkan oleh Kunarto yang secara ringkas mengatakan
“Apabila ketidakteraturan, ketidaktertiban dan kejahatan sekecil
apa pun apabila dibiarkan dan tidak segera diatasi maka lama
kelamaan akan lebih banyak lagi orang melakukan hal yang sama
bahkan menyebabkan terjadinya kejahatan dalam skala besar dan
luas” (Kelling, George L. and Catherine M. C. 1998: 373-394)
Operasi rutin melibatkan berbagai unsur aparat pemerintah
dan lembaga kemasyarakatan mengindikasikan adanya
76
keterpaduan dalam mengatasi suatu permasalahan yang
diakibatkan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
Pelaksanaan operasi tidak diberitahukan secara luas tentang hari,
tanggal, waktunya, dan juga sasaran yang akan dioperasi. Jangka
waktu operasi juga tidak tetap, demikian juga personel pelaksana
operasi tidak selalu sama. Operasi semacam ini apabila dilakukan
secara terus menerus benar-benar mempersempit peluang
masyarakat untuk menyalahgunakan narkotika.
Pelaksanaan operasi rutin juga harus mendapat dukungan
warga masyarakat bahkan kontinuitas operasi di tengah-tengah
masyarakat jangan hanya diserahkan kepada aparat penegak
hukum. Peran serta masyarakat akan sangat terasa manfaatnya,
karena mampu membatasi pergerakan penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika. Pejabat pemerintahan khususnya di
tingkat kelurahan terutama pengurus RT / RW dapat melakukan
operasi yang sifatnya preventif dengan melibatkan aparat
keamanan yang bertugas di desa, yaitu Babinkamtibmas dan
Babinsa”. Masyarakat memiliki hak dan kewajiban yang sama
sebagaimana termuat dalam Undang-undang Narkotika
sebagaimana penulis kutip sebagai berikut:
“Masyarakat mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upayapencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan danperedaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika”. (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009. Pasal 105).
Tindak lanjut operasi rutin dapat berupa operasi khusus,
apabila menemukan informasi atau petunjuk yang akurat untuk
pengungkapan jaringan sindikat narkotika. Pelaksanaan operasi
khusus ditujukan untuk mengungkap peredaran gelap narkotika
terutama menangkap pelakukanya dan jaringannya. Target sasaran
pada operasi khusus sudah ditentukan dengan perhitungan yang
matang. Operasi khusus dilakukan oleh petugas-petugas Bidang
Pemberantasan yang terpilih secara khusus, menggunakan cara
77
bertindak atau metode tertentu, peralatan tertentu dan didukung
anggaran khusus yang cukup. Kekuatan personel yang dilibatkan
pada operasi khusus juga didukung oleh personel kepolisian
dan/atau personel dari BNN pusat.
Penyelesaian Kasus tindak pidana narkotika di BNNP DIY
dilakukan oleh penyidik yang bertugas di BNNP DIY yang selama
ini bekerja sama dengan penyidik Polri (Polda DIY) maupun
instansi terkait. Kerja sama yang baik antara aparat penegak hukum
yaitu penyidik BNN yang bertugas di BNNP DIY dan Penyidik
Polri yang bertugas di Polda DIY dapat mengeliminir persaingan
perebutan prestasi, selain itu juga menambah kekuatan yang
semakin solid dalam proses penegakan hukum. Hal ini sesuai
dengan amanat Undang-Undang Narkotika tahun 2009 yang
berbunyi: ” Penyidik dapat melakukan kerja sama untuk mencegah
dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
dan Prekursor Narkotika. (Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 35 Tahun 2009. Pasal 83).
BNNP DIY dalam menerapkan pasal-pasal yang berisi
sanksi-sanksi pidana tidak secara dokmatis, namun sangat
menjunjung tinggi ketentuan bahwa pecandu narkotika dan korban
penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35
Tahun 2009: Pasal 54).
Kebijakan BNNP DIY untuk mengimplementasikan
ketentuan Pasal 54 Undang-Undang Narkotika tahun 2009
membuat warna baru di DIY. Kebijakan BNNP DIY secara rinci
adalah apabila diketemukan seseorang tersangka ketika dilakukan
tes ternyata positif menggunakan narkotika dan tidak diketemukan
bukti cukup sebagai pengedar maka tersangka tersebut harus
dilakukan rehabilitasi. Apabila seseorang selain positif
menggunakan narkotika juga diketemukan bukti cukup yang patut
78
diduga sebagai pengedar maka tersangka tersebut tetap
direhabilitasi dan kasusnya terus diproses sesuai ketentuan.
Kasus tindak pidana narkotika pada tahun pertama sejak
diberlakukan pada tahun 2012 terlihat adanya peningkatan dari
tahun-tahun sebelumnya. Jumlah kasus pada tahun 2010 sebanyak
177 kasus, pada tahun 2011 turun menjadi 164 kasus, dan pada
tahun 2012 diketemukan 197 kasus. Data pada tabel 2 dan tabel 3
tersebut di atas mengindikasikan bahwa penyalahgunaan narkotika
di DIY yang paling banyak adalah jenis ganja, shabu, putaw, dan
ekstasi. Data tersebut oleh BNNP DIY seharusnya digunakan
sebagai dasar prioritas penanganan, mulai dari pencegahan,
rehabilitasi, maupun penyelesaian kasus.
Kebijakan Kepala BNNP DIY dalam menerapkan amanat
Pasal 54 UU No. 35 tahun 2009 yaitu kewajiban untuk
merehabilitasi pecandu maupun korban penyalahgunaan Narkotika
tersebut pada dasarnya menerapkan hukum dalam fungsi sebagai
rekayasa sosial (social engineering function). Fungsi ini
mengarahkan pada penggunaan hukum untuk mengadakan
perubahan sosial yang berencana yang ditentukan oleh pemerintah.
(Wishnu Basuki, 2001: 11-18). BNNP DIY ingin mengatasi
permasalahan penyalahgunaan dan perdaran gelap narkotika tidak
semata-mata menerapkan ketententuan pemidanaan. Tidak semua
orang yang terlibat kasus narkotika adalah perilaku kriminal
sebagaimana yang diberlakukan sebelum adanya UU No. 35 tahun
2009.
Stigma sosial yang negatif terhadap pecandu dan korban
penyalahgunaan narkotika hingga saat ini masih melekat pada
sebagian besar masyarakat bahwa mereka adalah pelaku kriminal
yang perlu dijauhi atau dihindari. Stigma tersebut telah
menimbulkan ketakutan bagi pecandu dan korban untuk
menyembuhkan diri ke tempat rehabilitasi, dan juga takut ketahuan
79
orang lain, takut ditangkap apabila ketahuan aparat penegak
hukum. Keluarganya juga menderita ketakutan akan stigma negatif
masyarakat apabila ketahuan ada anggota keluarganya yang
kecanduan atau sebagai korban penyalahgunaan narkotika. Kondisi
seperti ini telah mempersulit penyelesaian masalah narkotika di
Indonesia, karena pecandu dan korban tidak pulih, pecandu dan
korban yang tidak pulih tidak akan produktif dan selalu tergantung
pada orang lain, bahkan untuk memenuhi kebutuhannya tidak
jarang mereka melakukan tindak pidana.
Perubahan sosial agar masyarakat tidak menganggap
pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika sebagai perbuatan
kriminal, namun sebagai orang sakit yang harus disembuhkan
sangat berdampak positif. Dengan menghilangkan stigma negatif
maka pecandu dan keluarganya berani muncul ke permukaan dan
berobat untuk pulih. Pecandu yang telah pulih diharapkan dapat
produktif dan tidak lagi tergantung pada orang lain. Di sisi lain
pecandu yang telah pulih dan tidak lagi minta pasokan narkotika
lagi secara otomatis memutus mata rantai peredaran gelap
narkotika. Hukum pasar mengatakan bahwa kalau tidak ada
permintaan (demand) maka penawaran (supply) akan turun.
Kerja sama antara BNNP DIY dengan instansi terkait
terutama dengan Polda DIY, Keimigrasian, Bea Cukai, Angkasa
Pura sebagai pengelola Bandara Adi Sucipto, Balai Pengawasan
Obat dan Makanan DIY, Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
di DIY seperti Dinas Kesehatan DIY, Dinas Sosial, dengan
berbagai industri perbankan dan lembaga keuangan merupakan
suatu yang harus dilakukan guna mengungkap jaringan tindak
pidana narkotika yang terorganisir.
BNNP DIY yang telah bekerja sama dengan Polda DIY dan
dengan berbagai pihak menggunakan pendekatan psikologis dalam
mengungkap kasus narkotika yang dilakukan secara terorganisir.
80
Pengalaman selama ini para pelaku tindak pidana narkotika
mengaku tidak mengenal dengan pelaku yang lain, komunikasi
menggunakan telepon seluler yang selalu berubah nomor maupun
alat komunikasinya, dan juga menggunakan internet. Transaksi
keuangan menggunakan perbankan atau lembaga keuangan
lainnya, dan menggunakan nomor rekening orang lain atau
menggunakan identitas palsu. Pelaku tindak pidana narkotika
selalu menghilangkan jejak agar tidak mudah dilacak petugas.
Pendekatan psikologis diharapkan dapat membongkar kerahasiaan
yang disimpan oleh masing-masing pelaku pidana.
2. Hambatan BNNP DIY dalam Upaya Pencegahan dan
Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika
BNNP DIY sebagai organisasi baru, tidak terlepas dari hambatan
dalam upaya pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika. Hambatan – hambatan utama yang
dihadapi BNNP DIY antara lain (1) hambatan terkait dengan
organisasi dan sumber daya manusia, (2) hambatan prosedural
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika, (3) hambatan terkait dengan sarana dan prasarana.
1. Hambatan Terkait dengan Organisasi dan Sumber Daya
Manusia
BNNP DIY masih kekurangan personel baik secara
kuantitas maupun kualitas. Data jumlah personel hingga saat
penelitian berjalan baru ada 35 personel atau 18% dari yang
seharusnya 190 orang (BNNP DIY. Data Personel 2013). Pada
pelaksanaan tugas sehari-hari terjadi penugasan rangkap baik
dalam urusan administrasi maupun penugasan operasional
lapangan. Petugas yang rangkap jabatan antara lain Kabid
Pemberantasan merangkap sebagai Pejabat Pembuat Komitmen,
81
Kabag TU merangkap sebagai Pejabat Pemeriksa dan
Penandatangan Surat Perintah Membayar (PPSPM), Kasubbag
Administrasi menjabat sebagai Bendahara, dan lain sebagainya.
Para personel berasal dari anggota Polri, anggota
Pemerintah Daerah, dan hasil rekruitmen baru BNN. Mereka
memiliki latar belakang penugasan yang berbeda. Bagi personel
yang berasal dari Pemerintah Daerah dan mereka yang baru
diangkat sebagai pegawai di BNNP DIY masih ragu-ragu untuk
bertindak.
BNNP DIY secara kelembagaan belum didukung adanya
Badan Narkotika Kabupaten / Kota (BNNK), yang seharusnya
sebagai instansi vertikal di bawah BNNP. Kondisi ini menuntut
BNNP yang berkedudukan di Provinsi harus dapat menjangkau
seluruh lapisan masyarakat di tingkat kabupaten/kota, kecamatan,
hingga pedesaan. Hal tersebut sulit kiranya dilaksanakan oleh
BNNP DIY yang jumlah personelnya masih terbatas, akibatnya
BNNP DIY kurang dapat memberikan pelayanan P4GN kepada
masyarakat luas secara cepat, selain itu juga kurang dapat
memantau situasi dan kondisi wilayah secara obyektif, akibat
selanjutnya adalah permasalahan narkoba sulit untuk bisa
dituntaskan dalam waktu dekat.
Upaya terobosan untuk mengatasi masalah kekurangan
sumber daya manusia adalah diadakannya kerja sama dengan
Lembaga Swadaya Masyarakat yang peduli dengan bahaya
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika untuk membantu
BNNP DIY, selain itu juga mempekerjakan tenaga kontrak
terutama untuk petugas kebersihan dan pengamanan.
Upaya untuk mengatasi masalah kelembagaan dilakukan
BNNP DIY dengan memberdayakan instansi pemerintah dan
lembaga swadaya masyarakat untuk ikut serta di dalam program
P4GN.
82
2. Hambatan Prosedural Pencegahan dan Pemberantasan
Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika
Hambatan yang dihadapi BNNP DIY dalam P4GN
terutama ditemui pada proses penyidikan. Salah satu contoh adalah
dalam memenuhi ketentuan kata wajib menjalani rehabilitasi medis
dan rehabilitasi sosial bagi pecandu narkotika dan korban
penyalahgunaan narkotika dalam perumusan Pasal 54.
Hambatannya adalah mengalami kesulitan mengenai cara
menentukan seorang pecandu narkotika dikatakan sebagai korban
dari penyalahgunaan narkotika. Penjelasan tentang pengertian
korban penyalahgunaan narkotika adalah seseorang yang tidak
sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu,
dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika.
(Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009:
Penjelasan Pasal 54).
Penyidik pada BNNP DIY Komisaris Polisi Mulyadi,
membenarkan bahwa sulitnya menentukan bahwa seseorang
sebagai korban adalah sulit membuktikan bahwa seseorang tidak
sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu,
dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika. Kalau
toh ada tersangka mengaku dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa juga
sulit mencari orang untuk dikonfirmasi atas kebenaran pengakuan
tersebut, (Komisaris Polisi Mulyadi, dalam wawancara pada hari
Senin, tanggal 14 Januari 2013 jam 11.00-12.00). Kesulitan seperti
ini tergantung pada hati nurani penyidik, bagi penyidik yang komit
untuk mengatasi permasalahan penyalahgunaan narkotika maka dia
akan memberlakukan seseorang tersebut untuk direhabilitasi. Bagi
penyidik yang berpegang teguh pada aturan pidana maka seseorang
dapat diproses sebagai pelaku pidana.
Hambatan berikutnya adalah penempatan pecandu yang
mengalami proses pidana. Penyidik dalam penanganan perkara
83
tindak pidana narkotika dapat menempatkan pecandu narkotika di
lembaga rehabilitasi, setelah mendapatkan rekomendasi dari Tim
Dokter. (Peraturan Menteri Kesehatan No. 2415 tahun 2011 pasal
21 ayat (1) dan (2)). Hal ini masih terkendala karena belum ada
Tim Dokter yang dibentuk. Tim Dokter tersebut harus ditetapkan
oleh Dinas Kesehatan Provinsi atau Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota (Peraturan Menteri Kesehatan No. 2415 tahun
2011 pasal 21 ayat (5). Akibatnya pecandu yang sedang mengalami
proses pidana tidak ditempatkan di lembaga rehabilitasi. Upaya
untuk mengatasi permasalahan ini maka BNNP DIY berkoordinasi
dengan Puskesmas yang telah ditunjuk sebagai Institusi Wajib
Lapor atau dengan Rumah Sakit Jiwa Grasia untuk melakukan
rehabilitasi pecandu di ruang tahanan.
Hambatan selanjutnya adanya kemungkinan dampak
negatif dari kebijakan penerapan rehabilitasi bagi pecandu maupun
korban penyalahgunaan narkotika, bahwa kemungkinan kebijakan
tersebut digunakan sebagai perlindungan penyalahguna agar tidak
diproses hukum. Dampak negatif lainnya dari kebijakan tersebut di
atas yaitu sangat memungkinkan timbulnya penyalahgunaan
kewenangan anggota, yang berbentuk perbuatan kolusi antara
petugas dengan seseorang yang sedang diperiksanya untuk
menghilangkan barang bukti sehingga seseorang tidak diproses
hukum namun hanya direhabilitasi.
BNNP DIY memiliki cara untuk mengatasi kemungkinan
timbulnya penyalahgunaan kewenangan anggota yaitu dengan cara
memberlakukan kontrol yang ketat dan juga meminta masyarakat
untuk berani melakukan kontrol kepada setiap aparat penegak
hukum, serta masyarakat didorong untuk berani melapor langsung
kepada Kepala BNNP DIY. Masyarakat diberitahu akan hak-
haknya sebagaimana disebut dalam pasal 106 UU No. 35 tahun
2009, yang salah satunya adalah hak untuk mendapatkan
84
perlindungan hukum (Drs. Budiharso, MSi. Wawancara hari
Kamis, tanggal 24 Januari 2013 jam 09.30).
Kendala dalam melakukan pelacakan perbankan, karena
Indonesia masih memegang prinsip kerahasiaan bank. Hal ini
bukan berarti BNNP DIY menyerah dalam upaya pengungkapan
tindak pidana narkotika yang melibatkan perbankan. BNNP DIY
telah melakukan koordinasi dengan berbagai lembaga keuangan
terutama perbankan. Ka BNNP DIY menjelaskan bahwa dalam
mengungkap kasus narkotika yang melibatkan transaksi keuangan
BNNP DIY didukung BNN pusat yang telah melakukan membuat
nota kesepahaman dengan Kementerian Keuangan, Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Bank
Indonesia (BI) dan juga berbaga lembaga keuangan lainnya.
3. Hambatan Terkait dengan Sarana dan Prasarana.
BNNP DIY merupakan organisasi baru, sehingga
pemenuhan sarana dan prasarana masih di dalam proses. Hambatan
yang sangat dirasakan belum adanya kelengkapan identifikasi
mengakibatkan terhambatnya pelaksanaan penyidikan.
Upaya mengatasai permasalahan tersebut adalah dengan
berkoordinasi untuk mendapatkan bantuan layanan dengan instansi
/ lembaga yang ada di DIY, yang antara lain yaitu Polda DIY,
Laboratorium Kesehatan Daerah DIY, Balai Pengawasan Obat dan
Makanan DIY, bahkan dalam BNNP DIY minta bantuan ke BNN
pusat. Upaya-upaya tersebut tentunya menimbulkan konsekwensi
terhadap bertambahnya pengeluaran anggaran terutama untuk
pembiayaan pemeriksaan laboratorium dan biaya perjalanan.
85
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1. Upaya Badan Narkotika Nasional Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta (BNNP DIY) dalam Pencegahan Pemberantasan
Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika dilakukan melalui
(1) kebijakan pemidanaan (penal policy) yang diterapkan melalui
upaya pemberantasan. Pelaksanaannya dilakukan BNNP DIY bekerja
sama dengan Direktorat Reserse Narkotika Polda DIY dan jajarannya
baik di tingkat Polda maupun Polres, serta juga bekerja sama dengan
Penyidik Pegawai Negeri Sipil dari instansi terkait. dan (2) kebijakan
bukan pemidanaan (non penal policy) diterapkan melalui upaya
pencegahan dan rehabilitasi. Pendekatan non penal dilakukan BNNP
DIY bekerjasama dengan instansi terkait di DIY, para akademisi, dan
juga Lembaga Swadaya Masyarakat dan Organisasi Massa yang
peduli terhadap bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika.
2. BNNP DIY dalam upaya Pencegahan, pemberantasan
Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika berdasarkan undang
undang no.35 tahun 2009 sering kali mendapatkan hambatan
sehingga upaya P4GN belum mencapai sebagaimana yang
diharapkan. Hambatan yang utama antara lain : (1) hambatan terkait
dengan organisasi, yaitu belum didukung adanya BNNK yang
merupakan instansi vertical dibawah BNNP DIY dan kekurangan
sumber daya manusia baik secara kuantitas maupun kualitas; (2)
hambatan prosedural pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan
dan peredaran gelap narkotika antara lain adalah cara menentukan
86
seorang pecandu narkotika dikatakan sebagai korban dari penyalahgunaan
narkotika; belum adanya tim dokter untuk melakukan assesemen agar
pecandu atau korban penyalahgunaan narkotika dapat direhabilitasi;
kendala dalam melakukan pelacakan perbankan, karena Indonesia masih
memegang prinsip kerahasiaan bank.; hambatan selanjutnya adanya
kemungkinan dampak negatif dari kebijakan penerapan rehabilitasi bagi
pecandu maupun korban penyalahgunaan narkotika, bahwa kemungkinan
kebijakan tersebut digunakan sebagai perlindungan penyalahguna agar
tidak diproses hokum; (3) hambatan terkait dengan sarana dan
prasarana terutama belum adanya kelengkapan identifikasi
mengakibatkan terhambatnya pelaksanaan penyidikan..
B. Saran
1. Saran kepada Kepala Badan Narkotika Nasional Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta agar membuat suatu sistem pengawasan guna
mengawasi penyidik, terutama yang sedang menangani suatu kasus
pidana narkotika. Hal ini diperlukan karena pelaksanaan kebijakan
non penal sangat memungkinkan memberikan celah bagi penyidik
untuk melakukan penyimpangan.
2. Saran kepada para Kepala BNNP / BNNK dan Kepala Dinas
Pendidikan dan jajaran serta Kepala Sekolah, sekiranya dapat
mencontoh model Pemberdayaan Masyarakat berupa lomba sekolah
bebas dari penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Model
lomba tersebut tidak semata-mata mencari pemenang sesaat, namun
penilaian lebih ditekankan terhadap proses P4GN mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, evaluasi/kontrol serta kontunuitas
kegiatan. Penilaian semacam ini lebih berdampak positif untuk
mendorong upaya P4GN secara berkelanjutan.
3. Saran kepada masyarakat umum hendaknya lebih memberanikan diri
untuk ikut serta di dalam program P4GN, karena bahaya
87
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika mengancam siapa pun
warga masyarakat dengan tidak mengenal status. Warga masyarakat
hendaknya lebih berani melapor kepada aparat penegak hukum
termasuk kepada BNN/ BNNP/BNNK apabila disekitarnya diketahui
suatu peristiwa yang patut diduga adanya penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika.
4. Saran kepada warga masyarakat yang anggota keluarganya telah
kecanduan narkotika hendaknya segera menghubungi tempat-tempat
rehabilitasi untuk mendapatkan layanan penyembuhan. Pecandu yang
direhabilitasi kemungkinan untuk pulih / sembuh lebih besar dari
pada pecandu yang tidak mendapatkan layanan rehabilitasi. Pecandu
yang telah melapor tidak dituntut pidana. Pecandu yang telah sembuh
tidak akan meminta pasokan narkotika lagi, dengan demikian akan
terjadi pemutusan peredaran gelap narkotika.
88
DAFTAR PUSTAKA
Badan Narkotika Nasional Bekerjasama dengan Pusat Penelitian KesehatanUniversitas Indonesia. 2008. Laporan Survei Penyalahgunaan Narkoba DiIndonesia: Studi Kerugian Ekonomi Dan Sosial Akibat Narkoba, Tahun2008. Jakarta: BNN.
Badan Narkotika Nasional Bekerjasama dengan Pusat Penelitian KesehatanUniversitas Indonesia. 2011. Ringkasan EksekutifLaporan SurveiPenyalahgunaan Narkoba Di Indonesia: Studi Kerugian Ekonomi DanSosial Akibat Narkoba, Tahun 2011. Jakarta: BNN.
Badan Narkotika Nasional Provinsi DIY. 2012. Rencana Strategis BadanNasional Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2012 - 2014.Yogyakarta: BNNP DIY.
Badan Narkotika Nasional Provinsi DIY. 2013. Laporan Akuntabelitas KinerjaInstansi Pemerintah Badan Narkotika Nasional Provinsi Daerah IstimewaYogyakarta Tahun 2012. Yogyakarta.
Badan Narkotika Nasional. 2009. Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba SejakUsia Dini. Jakarta: BNN.
Badan Narkotika Nasional. 2010. Buku P4GN Bidang PemberdayaanMasyarakat. Jakarta: BNN.
Badan Narkotika Nasional. 2010. Mahasiswa dan Bahaya Narkotika. Jakarta:BNN.
Badan Pusat Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 2010. LaporanEksekutif Hasil Sensus Penduduk Th. 2010 Provinsi Daerah IstimewaYogyakarta, Yogyakarta: Pemprov DIY.
Barda Nawawi Arief, 2005, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung:Citra Aditya Bakti, hal. 21
Barda Nawawi Arief. 1984. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung:Alumni.
Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. EdisiKetiga. Balai Pustaka: Jakarta.
Direktorat Advokasi deputi Bidang Pencegahan Badan Narkotika Nasional. 2010.Advokasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba. Jakarta: BadanNarkotika Nasional.
89
Direktorat Tenaga Kependidikan. 2008. Strategi Pembelajaran danPemilihannya, Jakarta: Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidikdan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional.
HB, Sutopo. 2002. Metode Penelitian Kualitatif : Dasar Teori dan Terapannyadalam Penelitian. Surakarta : Universitas Sebelas Maret Press.
Kelling, George L. and Catherine M. C. 1998. Fixing Broken WindowsMemperbaiki Jendela Rusak. (Edisi Terjemahan Oleh Kunarto). Jakarta:PT Cipta Manunggal.
Wishnu Basuki. 2001. Terjemahan dari Lawrence M. Friedman. 1984. AmericanLaw An Introduction Second Edition (Hukum Amerika Sebuah Pengantar).Jakarta: PT. Tatanusa.
Mardjono Reksodiputro. 1997. Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana.Jakarta:Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia.
Pengelola Penulisan Hukum (PPH) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.2009. Buku Pedoman Penulisan Hukum Mahasiswa Fakultas Hukum.Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum Normatif. Jawa Timur: BanyuMedia.
Puslitbang & Info Lakhar BNN. 2007. Kumpulan hasil-hasil PenelitianPenyalahgunaan dan Peredaran gelap narkoba di Indonesia Ttahun 2003 -2006. Jakarta: BNN.
Satgas Luhpen Narkoba Mabes Polri. 2001. Penanggulangan PenyalahgunaanNarkoba. Jakarta: Dit Bimas Deops Polri.
Siswanto Sunarso. 2004. Penegakan Hukum Psikotropika Dalam KajianSosiologi Hukum. Jakarta :PT.Rajagrafindo Persada,2004.
Tim Ahli BNN. 2009. Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Apa yang BisaAnda Lakukan. Jakarta: BNN.
Tim Ahli BNN. 2010. Petunjuk Teknis Advokasi Bidang PencegahanPenyalahgunaan Narkoba Bagi Masyarakat. Jakarta: Direktorat AdvokasiDeputi Bidang Pencegahan Badan Narkotika Nasional.
Tim Penyusun. 2009. Advokasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba BagiPetugas Lapas/rutan. Jakarta: Pusat Pencegahan Lakhar BNN.
90
Tim Penyusun. 2009. Norma, Standard dan Prosedur (NSP) PemberdayaanMasyarakat. Jakarta: Badan Narkotika Nasional Pusat Pencegahan.
United Nations Office on Drugs and Crime. 2012. World Drug Report 2012.NewYork: United Nations.
91
PERATURAN PERUNDANGAN
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2011 Tenang Pelaksanaankebijakan dan Strategi Nasional Pencegahan dan PemberantasanPenyalahgunaa dan Peredaran Gelap Narkoba Tahun 2011-2015
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor2415/MENKES/PER/XII/Tahun 2011 Tentang REhabilitasi MedisPecandu, Penyalahguna dan Korban Penyalahgunaan Narkotika. Jakarta:Kementerian Kesehatan RI
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2011 TentangPelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika. Jakarta: KementerianSekretariat Negara RI
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2006 tentang TataCara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional, Jakarta: Mensetneg
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 tentang BadanNarkotika Nasional. Jakarta: Kementerian Sekretariat Negara RI
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5062).Yogyakarta: BNNP DIY.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.Jakarta: Mensetneg
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2009 tentang PengesahanUnited Nations Convention Against Transnational Organized Crime(Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak PidanaTransnasional Yang Terorganisasi)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika.Jakarta: Mensetneg
United Nations. 2000. United Nations Convention Against TransnationalOrganized Crime
92
MAJALAH ATAU JURNAL
Ratu Annisa. 2011. “Peran Aktif BNNP Yogyakarta dan Masyarakat dalamP4GN”. Sinar.Edisi 5. Jakarta: PT Trubus Swadaya.
Ratu Annisa. 2011. “Klinik Narkoba Pondok Pesantren Al Munawir”. Sinar.Edisi5. Jakarta: PT Trubus Swadaya.
Sofyan Efendi. 2011. “Rokok Gerbang Menuju Narkoba”. Sinar.Edisi 7. Jakarta:PT Trubus Swadaya.
Veroninica Colondam. 2011. “Perang Narkoba, Siapa Musuhnya?”. Sinar.Edisi 7.Jakarta: PT Trubus Swadaya.
Ahwil Lutan. 2010. “Memberantas Narkoba Harus lewat Tiga Jalur”. Sinar.Edisi4. Jakarta: PT Trubus Swadaya.
Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia. 2009. Jurnal Data P4GNPencegahan, Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran GelapNarkoba (P4GN).Jakarta: BNN
Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia. 2010. Jurnal Data P4GNPencegahan, Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran GelapNarkoba (P4GN).Jakarta: BNN
Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia. 2011. Jurnal Data P4GNPencegahan, Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran GelapNarkoba (P4GN).Jakarta: BNN
PRESIDENREPUBLIK INDONESIA
LAMPIRAN IUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 35 TAHUN 2009TENTANG NARKOTIKA
DAFTAR NARKOTIKA GOLONGAN I
1. Tanaman Papaver Somniferum L dan semua bagian-bagiannya termasuk buah dan jeraminya, kecualibijinya.
2. Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah tanaman PapaverSomniferum L yang hanya mengalami pengolahan sekedar untuk pembungkus dan pengangkutan tanpamemperhatikan kadar morfinnya.
3. Opium masak terdiri dari :a. candu, hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu rentetan pengolahan khususnya
dengan pelarutan, pemanasan dan peragian dengan atau tanpa penambahan bahan-bahan lain,dengan maksud mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok untuk pemadatan.
b. jicing, sisa-sisa dari candu setelah dihisap, tanpa memperhatikan apakah candu itu dicampur dengandaun atau bahan lain.
c. jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.4. Tanaman koka, tanaman dari semua genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae termasuk buah
dan bijinya.5. Daun koka, daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk serbuk dari semua tanaman genus
Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae yang menghasilkan kokain secara langsung atau melaluiperubahan kimia.
6. Kokain mentah, semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun koka yang dapat diolah secara langsung untukmendapatkan kokaina.
7. Kokaina, metil ester-1-bensoil ekgonina.8. Tanaman ganja, semua tanaman genus genus cannabis dan semua bagian dari tanaman termasuk biji,
buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis.9. Tetrahydrocannabinol, dan semua isomer serta semua bentuk stereo kimianya.10. Delta 9 tetrahydrocannabinol, dan semua bentuk stereo kimianya.11. Asetorfina : 3-0-acetiltetrahidro-7α-(1-hidroksi-1-metilbutil)-6, 14-endoeteno-oripavina.12. Acetil – alfa – metil fentanil N-[1-(α-metilfenetil)-4-piperidil] asetanilida.13. Alfa-metilfentanil : N-[1 (α-metilfenetil)-4-piperidil] propionanilida14. Alfa-metiltiofentanil : N-[1-] 1-metil-2-(2-tienil) etil]-4-iperidil] priopionanilida15. Beta-hidroksifentanil : N-[1-(beta-hidroksifenetil)-4-piperidil] propionanilida16. Beta-hidroksi-3-metil-fentanil : N-[1-(beta-hidroksifenetil)-3-metil-4 piperidil] propio-nanilida.17. Desmorfina : Dihidrodeoksimorfina18. Etorfina : tetrahidro-7α-(1-hidroksi-1-metilbutil)-6, 14-endoeteno-oripavina19. Heroina : Diacetilmorfina20. Ketobemidona : 4-meta-hidroksifenil-1-metil-4propionilpiperidina21. 3-metilfentanil : N-(3-metil-1-fenetil-4-piperidil) propionanilida22. 3-metiltiofentanil : N-[3-metil-1-[2-(2-tienil) etil]-4-piperidil] propionanilida
LAMPIRAN I
PRESIDENREPUBLIK INDONESIA
LAMPIRAN IUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 35 TAHUN 2009TENTANG NARKOTIKA
DAFTAR NARKOTIKA GOLONGAN I
1. Tanaman Papaver Somniferum L dan semua bagian-bagiannya termasuk buah dan jeraminya, kecualibijinya.
2. Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah tanaman PapaverSomniferum L yang hanya mengalami pengolahan sekedar untuk pembungkus dan pengangkutan tanpamemperhatikan kadar morfinnya.
3. Opium masak terdiri dari :a. candu, hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu rentetan pengolahan khususnya
dengan pelarutan, pemanasan dan peragian dengan atau tanpa penambahan bahan-bahan lain,dengan maksud mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok untuk pemadatan.
b. jicing, sisa-sisa dari candu setelah dihisap, tanpa memperhatikan apakah candu itu dicampur dengandaun atau bahan lain.
c. jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.4. Tanaman koka, tanaman dari semua genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae termasuk buah
dan bijinya.5. Daun koka, daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk serbuk dari semua tanaman genus
Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae yang menghasilkan kokain secara langsung atau melaluiperubahan kimia.
6. Kokain mentah, semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun koka yang dapat diolah secara langsung untukmendapatkan kokaina.
7. Kokaina, metil ester-1-bensoil ekgonina.8. Tanaman ganja, semua tanaman genus genus cannabis dan semua bagian dari tanaman termasuk biji,
buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis.9. Tetrahydrocannabinol, dan semua isomer serta semua bentuk stereo kimianya.10. Delta 9 tetrahydrocannabinol, dan semua bentuk stereo kimianya.11. Asetorfina : 3-0-acetiltetrahidro-7α-(1-hidroksi-1-metilbutil)-6, 14-endoeteno-oripavina.12. Acetil – alfa – metil fentanil N-[1-(α-metilfenetil)-4-piperidil] asetanilida.13. Alfa-metilfentanil : N-[1 (α-metilfenetil)-4-piperidil] propionanilida14. Alfa-metiltiofentanil : N-[1-] 1-metil-2-(2-tienil) etil]-4-iperidil] priopionanilida15. Beta-hidroksifentanil : N-[1-(beta-hidroksifenetil)-4-piperidil] propionanilida16. Beta-hidroksi-3-metil-fentanil : N-[1-(beta-hidroksifenetil)-3-metil-4 piperidil] propio-nanilida.17. Desmorfina : Dihidrodeoksimorfina18. Etorfina : tetrahidro-7α-(1-hidroksi-1-metilbutil)-6, 14-endoeteno-oripavina19. Heroina : Diacetilmorfina20. Ketobemidona : 4-meta-hidroksifenil-1-metil-4propionilpiperidina21. 3-metilfentanil : N-(3-metil-1-fenetil-4-piperidil) propionanilida22. 3-metiltiofentanil : N-[3-metil-1-[2-(2-tienil) etil]-4-piperidil] propionanilida
LAMPIRAN I
PRESIDENREPUBLIK INDONESIA
LAMPIRAN IUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 35 TAHUN 2009TENTANG NARKOTIKA
DAFTAR NARKOTIKA GOLONGAN I
1. Tanaman Papaver Somniferum L dan semua bagian-bagiannya termasuk buah dan jeraminya, kecualibijinya.
2. Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah tanaman PapaverSomniferum L yang hanya mengalami pengolahan sekedar untuk pembungkus dan pengangkutan tanpamemperhatikan kadar morfinnya.
3. Opium masak terdiri dari :a. candu, hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu rentetan pengolahan khususnya
dengan pelarutan, pemanasan dan peragian dengan atau tanpa penambahan bahan-bahan lain,dengan maksud mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok untuk pemadatan.
b. jicing, sisa-sisa dari candu setelah dihisap, tanpa memperhatikan apakah candu itu dicampur dengandaun atau bahan lain.
c. jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.4. Tanaman koka, tanaman dari semua genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae termasuk buah
dan bijinya.5. Daun koka, daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk serbuk dari semua tanaman genus
Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae yang menghasilkan kokain secara langsung atau melaluiperubahan kimia.
6. Kokain mentah, semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun koka yang dapat diolah secara langsung untukmendapatkan kokaina.
7. Kokaina, metil ester-1-bensoil ekgonina.8. Tanaman ganja, semua tanaman genus genus cannabis dan semua bagian dari tanaman termasuk biji,
buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis.9. Tetrahydrocannabinol, dan semua isomer serta semua bentuk stereo kimianya.10. Delta 9 tetrahydrocannabinol, dan semua bentuk stereo kimianya.11. Asetorfina : 3-0-acetiltetrahidro-7α-(1-hidroksi-1-metilbutil)-6, 14-endoeteno-oripavina.12. Acetil – alfa – metil fentanil N-[1-(α-metilfenetil)-4-piperidil] asetanilida.13. Alfa-metilfentanil : N-[1 (α-metilfenetil)-4-piperidil] propionanilida14. Alfa-metiltiofentanil : N-[1-] 1-metil-2-(2-tienil) etil]-4-iperidil] priopionanilida15. Beta-hidroksifentanil : N-[1-(beta-hidroksifenetil)-4-piperidil] propionanilida16. Beta-hidroksi-3-metil-fentanil : N-[1-(beta-hidroksifenetil)-3-metil-4 piperidil] propio-nanilida.17. Desmorfina : Dihidrodeoksimorfina18. Etorfina : tetrahidro-7α-(1-hidroksi-1-metilbutil)-6, 14-endoeteno-oripavina19. Heroina : Diacetilmorfina20. Ketobemidona : 4-meta-hidroksifenil-1-metil-4propionilpiperidina21. 3-metilfentanil : N-(3-metil-1-fenetil-4-piperidil) propionanilida22. 3-metiltiofentanil : N-[3-metil-1-[2-(2-tienil) etil]-4-piperidil] propionanilida
LAMPIRAN I
PRESIDENREPUBLIK INDONESIA
LAMPIRAN IUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 35 TAHUN 2009TENTANG NARKOTIKA
DAFTAR NARKOTIKA GOLONGAN I
1. Tanaman Papaver Somniferum L dan semua bagian-bagiannya termasuk buah dan jeraminya, kecualibijinya.
2. Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah tanaman PapaverSomniferum L yang hanya mengalami pengolahan sekedar untuk pembungkus dan pengangkutan tanpamemperhatikan kadar morfinnya.
3. Opium masak terdiri dari :a. candu, hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu rentetan pengolahan khususnya
dengan pelarutan, pemanasan dan peragian dengan atau tanpa penambahan bahan-bahan lain,dengan maksud mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok untuk pemadatan.
b. jicing, sisa-sisa dari candu setelah dihisap, tanpa memperhatikan apakah candu itu dicampur dengandaun atau bahan lain.
c. jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.4. Tanaman koka, tanaman dari semua genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae termasuk buah
dan bijinya.5. Daun koka, daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk serbuk dari semua tanaman genus
Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae yang menghasilkan kokain secara langsung atau melaluiperubahan kimia.
6. Kokain mentah, semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun koka yang dapat diolah secara langsung untukmendapatkan kokaina.
7. Kokaina, metil ester-1-bensoil ekgonina.8. Tanaman ganja, semua tanaman genus genus cannabis dan semua bagian dari tanaman termasuk biji,
buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis.9. Tetrahydrocannabinol, dan semua isomer serta semua bentuk stereo kimianya.10. Delta 9 tetrahydrocannabinol, dan semua bentuk stereo kimianya.11. Asetorfina : 3-0-acetiltetrahidro-7α-(1-hidroksi-1-metilbutil)-6, 14-endoeteno-oripavina.12. Acetil – alfa – metil fentanil N-[1-(α-metilfenetil)-4-piperidil] asetanilida.13. Alfa-metilfentanil : N-[1 (α-metilfenetil)-4-piperidil] propionanilida14. Alfa-metiltiofentanil : N-[1-] 1-metil-2-(2-tienil) etil]-4-iperidil] priopionanilida15. Beta-hidroksifentanil : N-[1-(beta-hidroksifenetil)-4-piperidil] propionanilida16. Beta-hidroksi-3-metil-fentanil : N-[1-(beta-hidroksifenetil)-3-metil-4 piperidil] propio-nanilida.17. Desmorfina : Dihidrodeoksimorfina18. Etorfina : tetrahidro-7α-(1-hidroksi-1-metilbutil)-6, 14-endoeteno-oripavina19. Heroina : Diacetilmorfina20. Ketobemidona : 4-meta-hidroksifenil-1-metil-4propionilpiperidina21. 3-metilfentanil : N-(3-metil-1-fenetil-4-piperidil) propionanilida22. 3-metiltiofentanil : N-[3-metil-1-[2-(2-tienil) etil]-4-piperidil] propionanilida
LAMPIRAN I
45. PMA : p-metoksi- α -metilfenetilamina46. psilosina, psilotsin : 3-[2-( dimetilamino )etil]indol-4-ol47. PSILOSIBINA : 3-[2-(dimetilamino)etil]indol-4-il dihidrogen fosfat48. ROLISIKLIDINA, nama lain : 1-( 1- fenilsikloheksil)pirolidina
PHP,PCPY49. STP, DOM : 2,5-dimetoksi- α ,4-dimetilfenetilamina50. TENAMFETAMINA, nama lain : α -metil-3,4-(metilendioksi)fenetilamina
MDA51. TENOSIKLIDINA, nama lain TCP : 1- [1-(2-tienil) sikloheksil]piperidina52. TMA : (±)-3,4,5-trimetoksi- α -metilfenetilamina53. AMFETAMINA : (±)- α –metilfenetilamina54. DEKSAMFETAMINA : ( + )- α –metilfenetilamina55. FENETILINA : 7-[2-[( α -metilfenetil)amino]etil]teofilina56. FENMETRAZINA : 3- metil- 2 fenilmorfolin57. FENSIKLIDINA, nama lain PCP : 1-( 1- fenilsikloheksil)piperidina
PRESIDEN REPUBLIKINDONESIA
23. MPPP : 1-metil-4-fenil-4-piperidinol propianat (ester)24. Para-fluorofentanil : 4‘-fluoro-N-(1-fenetil-4-piperidil) propionanilida25. PEPAP : 1-fenetil-4-fenil-4-piperidinolasetat (ester)26. Tiofentanil : N-[1-[2-(2-tienil)etil]-4-piperidil] propionanilida27. BROLAMFETAMINA, nama lain : (±)-4-bromo-2,5-dimetoksi- α -metilfenetilamina
DOB28. DET : 3-[2-( dietilamino )etil] indol29. DMA : ( + )-2,5-dimetoksi- α -metilfenetilamina30. DMHP : 3-(1 ,2-dimetilheptil)-7 ,8,9, 10-tetrahidro-6,6,9-trimetil-6H-
dibenzo[b, d]piran-1-ol
31. DMT : 3-[2-( dimetilamino )etil] indol32. DOET : (±)-4-etil-2,5-dimetoksi- α –metilfenetilamina33. ETISIKLIDINA, nama lain PCE : N-etil-1-fenilsikloheksilamina34. ETRIPTAMINA. : 3-(2aminobutil) indole
35. KATINONA : (-)-(S)- 2-aminopropiofenon36. ( + )-LISERGIDA, nama lain : 9,10-didehidro-N, N-dietil-6-metilergolina-8 β –
LSD, LSD-25 karboksamida37. MDMA : (±)-N, α -dimetil-3,4-(metilendioksi)fenetilamina38. Meskalina : 3,4,5-trimetoksifenetilamina39. METKATINONA : 2-(metilamino )-1- fenilpropan-1-on40. 4- metilaminoreks : (±)-sis- 2-amino-4-metil- 5- fenil- 2-oksazolina41. MMDA : 5-metoksi- α -metil-3,4-(metilendioksi)fenetilamina42. N-etil MDA : (±)-N-etil- α -metil-3,4-(metilendioksi)fenetilamin43. N-hidroksi MDA : (±)-N-[ α -metil-3,4-(metilendioksi)fenetil]hidroksilamina
44. Paraheksil : 3-heksil-7,8,9, 10-tetrahidro-6,6, 9-trimetil-6H-dibenzo[b,d] piran-1-ol
PRESIDENREPUBLIK INDONESIA
17. Diampromida : N-[2-(metilfenetilamino)-propil]propionanilida18. Dietiltiambutena : 3-dietilamino-1,1-di(2’-tienil)-1-butena19. Difenoksilat : asam 1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4fenilpiperidina-4-
karboksilat etil ester
20. Difenoksin : asam 1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4-fenilisonipekotik21. Dihidromorfina22. Dimefheptanol : 6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heptanol23. Dimenoksadol : 2-dimetilaminoetil-1-etoksi-1,1-difenilasetat24. Dimetiltiambutena : 3-dimetilamino-1,1-di-(2'-tienil)-1-butena25. Dioksafetil butirat : etil-4-morfolino-2, 2-difenilbutirat
58. LEVAMFETAMINA, nama lain : (- )-(R)- α -metilfenetilaminalevamfetamina
59. Levometamfetamina : ( -)- N, α -dimetilfenetilamina60. MEKLOKUALON : 3-( o-klorofenil)- 2-metil-4(3H)- kuinazolinon61. METAMFETAMINA : (+ )-(S)-N, α –dimetilfenetilamina62. METAKUALON : 2- metil- 3-o-to lil-4(3H)- kuinazolinon63. ZIPEPPROL : α - ( α metoksibenzil)-4-( β-metoksifenetil )-1-
64. Opium Obatpiperazinetano
65. Campuran atau sediaan opium obat dengan bahan lain bukan narkotika
DAFTAR NARKOTIKA GOLONGAN II
1. Alfasetilmetadol : Alfa-3-asetoksi-6-dimetil amino-4,4-difenilheptana2. Alfameprodina : Alfa-3-etil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipiperidina3. Alfametadol : alfa-6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heptanol4. Alfaprodina : alfa-l, 3-dimetil-4-fenil-4-propionoksipiperidina
5. Alfentanil : N-[1-[2-(4-etil-4,5-dihidro-5-okso-l H-tetrazol-1-il)etil]-4-(metoksimetil)-4-pipe ridinil]-N-fenilpropanamida
6. Allilprodina : 3-allil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipiperidina
7. Anileridina : Asam 1-para-aminofenetil-4-fenilpiperidina)-4-karboksilat etil ester
8. Asetilmetadol : 3-asetoksi-6-dimetilamino-4, 4-difenilheptana9. Benzetidin : asam 1-(2-benziloksietil)-4-fenilpiperidina-4-
karboksilat etil ester
10. Benzilmorfina : 3-benzilmorfina11. Betameprodina : beta-3-etil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipipe ridina12. Betametadol : beta-6-dimetilamino-4,4-difenil-3–heptanol13. Betaprodina : beta-1,3-dimetil-4-fenil-4-propionoksipipe ridina14. Betasetilmetadol : beta-3-asetoksi-6-dimetilamino-4, 4-difenilheptana15. Bezitramida : 1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4-(2-okso-3-propionil-1-
benzimidazolinil)-piperidina16. Dekstromoramida : (+)-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1-pirolidinil)butil]-
morfolina
PRESIDENREPUBLIK INDONESIA
62. Nikomorfina : 3,6-dinikotinilmorfina63. Norasimetadol : (±)-alfa-3-asetoksi-6metilamino-4,4-difenilheptana64. Norlevorfanol : (-)-3-hidroksimorfinan
26. Dipipanona : 4, 4-difenil-6-piperidina-3-heptanona
27. Drotebanol : 3,4-dimetoksi-17-metilmorfinan-6ß,14-diol28. Ekgonina, termasuk ester dan derivatnya yang setara dengan ekgonina dan kokaina.29. Etilmetiltiambutena : 3-etilmetilamino-1, 1-di-(2'-tienil)-1-butena30. Etokseridina : asam1-[2-(2-hidroksietoksi)-etil]-4fenilpiperidina-4-
karboksilat etil ester
31. Etonitazena : 1-dietilaminoetil-2-para-etoksibenzil-5nitrobenzimedazol32. Furetidina : asam 1-(2-tetrahidrofurfuriloksietil)4 fenilpiperidina-4-
karboksilat etil ester)
33. Hidrokodona : dihidrokodeinona34. Hidroksipetidina : asam 4-meta-hidroksifenil-1-metilpiperidina-4-karboksilat etil
ester
35. Hidromorfinol : 14-hidroksidihidromorfina36. Hidromorfona : dihidrimorfinona37. Isometadona : 6-dimetilamino- 5 -metil-4, 4-difenil-3-heksanona38. Fenadoksona : 6-morfolino-4, 4-difenil-3-heptanona39. Fenampromida : N-(1-metil-2-piperidinoetil)-propionanilida40. Fenazosina : 2'-hidroksi-5,9-dimetil- 2-fenetil-6,7-benzomorfan41. Fenomorfan : 3-hidroksi-N–fenetilmorfinan42. Fenoperidina : asam1-(3-hidroksi-3-fenilpropil)-4-fenilpiperidina-4-karboksilat
Etil ester43. Fentanil : 1-fenetil-4-N-propionilanilinopiperidina44. Klonitazena : 2-para-klorbenzil-1-dietilaminoetil-5-nitrobenzimidazol45. Kodoksima : dihidrokodeinona-6-karboksimetiloksima46. Levofenasilmorfan : (1)-3-hidroksi-N-fenasilmorfinan47. Levomoramida : (-)-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1pirolidinil)butil] morfolina48. Levometorfan : (-)-3-metoksi-N-metilmorfinan49. Levorfanol : (-)-3-hidroksi-N-metilmorfinan50. Metadona : 6-dimetilamino-4, 4-difenil-3-heptanona51. Metadona intermediate : 4-siano-2-dimetilamino-4, 4-difenilbutana52. Metazosina : 2'-hidroksi-2,5,9-trimetil-6, 7-benzomorfan53. Metildesorfina : 6-metil-delta-6-deoksimorfina54. Metildihidromorfina : 6-metildihidromorfina55. Metopon : 5-metildihidromorfinona56. Mirofina : Miristilbenzilmorfina57. Moramida intermediate : asam (2-metil-3-morfolino-1, 1difenilpropana karboksilat58. Morferidina : asam 1-(2-morfolinoetil)-4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester59. Morfina-N-oksida
60. Morfin metobromida dan turunan morfina nitrogen pentafalent lainnya termasuk bagian turunanmorfina-N-oksida, salah satunya kodeina-N-oksida
61. Morfina
PRESIDEN REPUBLIKINDONESIA
65. Normetadona : 6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heksanona66. Normorfina : dimetilmorfina atau N-demetilatedmorfina67. Norpipanona : 4,4-difenil-6-piperidino-3-heksanona68. Oksikodona : 14-hidroksidihidrokodeinona69. Oksimorfona : 14-hidroksidihidromorfinona70. Petidina intermediat A : 4-siano-1-metil-4-fenilpiperidina71. Petidina intermediat B : asam4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester72. Petidina intermediat C : Asam1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat73. Petidina : Asam1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester74. Piminodina : asam 4-fenil-1-( 3-fenilaminopropil)- pipe ridina-4-karboksilat etil
ester75. Piritramida : asam1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4(1-piperidino)-piperdina-4-
Karbosilat armida76. Proheptasina : 1,3-dimetil-4-fenil-4-propionoksiazasikloheptana77. Properidina : asam1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat isopropil ester78. Rasemetorfan : (±)-3-metoksi-N-metilmorfinan79. Rasemoramida : (±)-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1-pirolidinil)-butil]-morfolina80. Rasemorfan : (±)-3-hidroksi-N-metilmorfinan81. Sufentanil : N-[4-(metoksimetil)-1-[2-(2-tienil)-etil -4-piperidil]propionanilida82. Tebaina83. Tebakon : asetildihidrokodeinona84. Tilidina : (±)-etil-trans-2-(dimetilamino)-1-fenil-3-sikloheksena-1-
karboksilat85. Trimeperidina : 1,2,5-trimetil-4-fenil-4-propionoksipiperidina86. Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut di atas
DAFTAR NARKOTIKA GOLONGAN III
1. Asetildihidrokodeina2. Dekstropropoksifena : α-(+)-4-dimetilamino-1,2-difenil-3-metil-2-butanol propionat3. Dihidrokodeina4. Etilmorfina : 3-etil morfina5. Kodeina : 3-metil morfina6. Nikodikodina : 6-nikotinildihidrokodeina7. Nikokodina : 6-nikotinilkodeina8. Norkodeina : N-demetilkodeina9. Polkodina : Morfoliniletilmorfina10. Propiram : N-(1-metil-2-piperidinoetil)-N-2-piridilpropionamida11. Buprenorfina : 21-siklopropil-7-α-[(S)-1-hidroksi-1,2,2-trimetilpropil]-
6,14-endo-entano-6,7,8,14-tetrahidrooripavina
PRESIDENREPUBLIKINDONESIA
12. Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut diatas13. Campuran atau sediaan difenoksin dengan bahan lain bukan narkotika14. Campuran atau sediaan difenoksilat dengan bahan lain bukan narkotika
PRESIDEN REPUBLIKINDONESIA
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANGYUDOYONO
(Dikutip dari UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika)
PRESIDENREPUBLIKINDONESIA
12. Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut diatas13. Campuran atau sediaan difenoksin dengan bahan lain bukan narkotika14. Campuran atau sediaan difenoksilat dengan bahan lain bukan narkotika
PRESIDEN REPUBLIKINDONESIA
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANGYUDOYONO
(Dikutip dari UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika)
PRESIDENREPUBLIKINDONESIA
12. Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut diatas13. Campuran atau sediaan difenoksin dengan bahan lain bukan narkotika14. Campuran atau sediaan difenoksilat dengan bahan lain bukan narkotika
PRESIDEN REPUBLIKINDONESIA
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANGYUDOYONO
(Dikutip dari UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika)