Upaya bnnp diy dalam p4 gn

113
UPAYA BADAN NARKOTIKA NASIONAL PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DALAM PENCEGAHAN PEMBERANTASAN PENYALAHGUNAAN DAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA BERDASARKAN UNDANG - UNDANG NO.35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA Penulisan Hukum (Skripsi ) S1 Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Oleh PRABOWO CAHYANDARU NIM : E0008407 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2013

Transcript of Upaya bnnp diy dalam p4 gn

UPAYA BADAN NARKOTIKA NASIONAL PROVINSIDAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DALAM

PENCEGAHAN PEMBERANTASAN PENYALAHGUNAANDAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA BERDASARKAN

UNDANG - UNDANG NO.35 TAHUN 2009 TENTANGNARKOTIKA

Penulisan Hukum (Skripsi ) S1

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Syarat-Syarat

Guna Memperoleh Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Oleh

PRABOWO CAHYANDARU

NIM : E0008407

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2013

Penulisan Hukum (Skripsi)

UPAYA BADAN NARKOTIKA NASIONAL PROVINSI DARAH

ISTIMEWA YOGYAKARTA DALAM PENCEGAHAN

PEMBERANTASAN DAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA

BERDASARKAN UNDANG – UNDANG NO.35 TAHUN 2009 TENTANG

NARKOTIKA

Disusun oleh :Prabowo Cahyandaru

NIM : E 0008407

Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum

(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Surakarta, 12 Juli 2013

Dosen Pembimbing

Pembimbing II,

NIP. 195512121983032001 NIP. 196410221989032002

ii

PENGESAHAN PENGUJI

Penulisan Hukum (Skripsi)

UPAYA BADAN NARKOTIKA NASIONAL PROVINSI DARAHISTIMEWA YOGYAKARTA DALAM PENCEGAHAN

PEMBERANTASAN DAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKABERDASARKAN UNDANG – UNDANG NO.35 TAHUN 2009 TENTANG

NARKOTIKAOleh

Prabowo CahyandaruNIM : E 0008407

Telah diterima dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada :

Hari : Senin

Tanggal : 29 Juli 2013

DEWAN PENGUJI

1. Winarno Budyatmojo, S.H., M.S.

Ketua

2. Subekti, S.H., M.H.

Sekretaris

3. Rofikah, S.H., M.H.

Anggota

Mengetahui

Dekan,

iii

PENGESAHAN PENGUJI

Penulisan Hukum (Skripsi)

UPAYA BADAN NARKOTIKA NASIONAL PROVINSI DARAHISTIMEWA YOGYAKARTA DALAM PENCEGAHAN

PEMBERANTASAN DAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKABERDASARKAN UNDANG – UNDANG NO.35 TAHUN 2009 TENTANG

NARKOTIKAOleh

Prabowo CahyandaruNIM : E 0008407

Telah diterima dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada :

Hari : Senin

Tanggal : 29 Juli 2013

DEWAN PENGUJI

1. Winarno Budyatmojo, S.H., M.S.

Ketua

2. Subekti, S.H., M.H.

Sekretaris

3. Rofikah, S.H., M.H.

Anggota

Mengetahui

Dekan,

iii

PENGESAHAN PENGUJI

Penulisan Hukum (Skripsi)

UPAYA BADAN NARKOTIKA NASIONAL PROVINSI DARAHISTIMEWA YOGYAKARTA DALAM PENCEGAHAN

PEMBERANTASAN DAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKABERDASARKAN UNDANG – UNDANG NO.35 TAHUN 2009 TENTANG

NARKOTIKAOleh

Prabowo CahyandaruNIM : E 0008407

Telah diterima dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada :

Hari : Senin

Tanggal : 29 Juli 2013

DEWAN PENGUJI

1. Winarno Budyatmojo, S.H., M.S.

Ketua

2. Subekti, S.H., M.H.

Sekretaris

3. Rofikah, S.H., M.H.

Anggota

Mengetahui

Dekan,

iii

MOTTO

Sesuatu yang belum dikerjakan, seringkali tampak mustahil; kita baru yakin kalau

kita telah berhasil melakukannya dengan baik

(Evelyn Underhill)

Banyak kegagalan dalam hidup ini dikarenakan orang-orang tidak menyadari

betapa dekatnya mereka dengan keberhasilan saat mereka menyerah

(Thomas Alva Edison)

iv

PERSEMBAHAN

Kepada Allah SWT Maha Pemberi Bantuan dan Maha Penolong

Orang Tuaku Tersayang, Bapak Budiharso dan Ibu Sulistyowati Budiharso.

Kakakku dan adikku Tersayang, Mas Anang Sulung Wicaksono dan Adik WisnuAdi Cahya.

Keluarga Besar Fakultas Hukum dan Universitas Sebelas Maret Surakartatercinta.

v

KATA PENGANTAR

Mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas

karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Penulisan Hukum (skripsi) yang

berjudul : “UPAYA BNNP DIY DALAM PENCEGAHAN

PEMBERANTASAN PENYALAHGUNAAN DAN PEREDARAN

GELAP NARKOTIKA BERDASARKAN UNDANG – UNDANG NO.

35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA”

Penulisan Hukum (skripsi) ini membahas tentang upaya – upaya

Pencegahan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran gelap

Narkotika berdasarkan Undang – undang No.35 Tahun 2009 di wilayah

hukum Dearah Istimewa Yogyakarta.

Dengan terselesaikannya Penulisan Hukum ini, penulis

mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu:

1. Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah

memberikan ijin Penulisan Hukum (Skripsi) ini.

2. Ibu Rofikah, S.H.,M.H., selaku Pembimbing I, atas bimbingannya

Sehingga Penulisan Hukum (Skripsi) dapat selasai.

3. Ibu Subekti, S.H.,M.H., selaku Pembimbing II atas bantuan dan

dorongan yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan

Penulisan Hukum (Skripsi) ini.

4. Bapak Ismunarno, S.H.,Mhum., selaku Pembimbing Akademik

atas bimbingannya selama penulis menumpuh kuliah di Fakultas

Hukum Universitas Sebalas Maret Surakarta.

5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta yang telah membagikan ilmu dan pengalamannya.

vi

6. Bapak Drs. Budiharso, M.Si. selaku Kepala BNNP DIY yang telah

memberikan ijin untuk melakukan penelitian di Kantor BNNP DIY

7. Bapak Sumargiono, SST. FT., S.H. selaku Kepala Bagian

Pemberantasan BNNP DIY yang telah membantu Penulis

memperoleh data.

8. Bapak Bambang Wiryanto, S.Si. selaku Kepala Seksi

Pemberdayaan Masyarakat BNNP DIY yang telah membantu

Penulis memperoleh data.

9. Bapak dan Ibuku tercinta yang telah memberi dukungan baik

berupa doa, dan dana guna terselesainya skripsi ini.

10. Mas Anang dan Adik Wisnu yang telah memberikan support dan

doa guna terselesainya skripsi ini.

11. Bapak Wiryomartono dan teman – teman kost terimakasih atas

bantuan dan dukungan doanya.

12. Teman – teman Fakultas Hukum angkatan 2008 terimakasih atas

dukungan doanya.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan, maka penulis

mengharapkan koreksi dan tanggapan, baik berupa saran maupun kritik

yang positif dan membangun demi sempurnanya Penulisan Hukum ini.

Penulis berharap semoga Penulisan Hukum ini dapat memberikan

manfaat bagi semua pembaca serta sumbangan pada almamater.

Surakarta, 12 Juli 2013

Penulis

Prabowo Cahyandaru

vii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………………………………………………….…… i

HALAMAN PERSETUJUAN ………………….…………………………. ii

HALAMAN PENGESAHAN …………..…………………………………. iii

HALAMAN MOTTO ………………..……………………………………. iv

PERSEMBAHAN ………………….……………………………………… v

KATA PENGANTAR ………..…………………………………………… vi

DAFTAR ISI ………………………………………………………........... viii

DAFTAR TABEL …….…………………………………………………… xi

DAFTAR GAMBAR… …………………………………………………… xii

PERNYATAAN …………………………………………………………… xiii

ABSTRAK ………………………………………………………………… xiv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ……………………………… 1

B. Perumusan Masalah ………………………………….. 5

C. Tujuan Penelitian ……………………………………... 5

D. Manfaat Penelitian ……………………………………. 6

E. Metode Penelitian …………………………………….. 7

1. Jenis Penelitian ………………………………... 7

2. Sifat Penelitian ………………………………… 7

3. Pendekatan Penelitian ………………………… 7

4. Jenis dan Sumber Daya Penelitian ……………. 8

5. Tehnik Pengumpulan Data .…………………… 8

6. Teknik Analisis Data ………………………….. 9

F. Sistematika Penulisan ………………………………… 10

Viii

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian dan Dampak Narkotika …………………… 11

1. Pengertian Narkotika ………………………….. 11

2. Penggolongan Narkotika ..…………………… 11

3. Dampak Narkotika terhadap Sistem Susunan

Saraf ………………………………………… 13

4. Dampak Penyalahgunaan Narkotika ………….. 14

B. Tindak Pidana Narkotika sebagai Kejahatan

Transnasional …………………………………………. 20

C. Tindak Pidana Narkotika sebagai Kejahatan

Terorganisir …………………………………………… 22

D. Fungsi Hukum dan Kebijakan Kriminal dalam

Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Berdasarkan

UU No. 35 Tahun 2009 …….…….............................. 26

E. Kerangka Pemikiran ………………………………….. 34

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian .………………………………………... 35

1. Gambaran Umum Badan Narkotika Nasional

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ………… 35

2. Upaya BNNP DIY dalam Pencegahan dan

Pemberantasan Penyalahgunaan dan

Peredaran Gelap Narkotika …………………. 44

B. Pembahasan ……... ……………………………………. 59

1. Upaya BNNP DIY dalam Pencegahan

Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap

Narkotika …………………... 59

ix

2. Hambatan BNNP DIY dalam Upaya

Pencegahan dan Pemberantasan

Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap

Narkotika .……………………………………… 80

BAB IV PENUTUP

A. Simpulan ………...……………………………………... 85

B. SARAN ………………………………………………… 86

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

x

DAFTAR TABEL

TABEL 1 JUMLAH WILAYAH ADMINISTRATIF DIY TAHUN

2010 – 2012 ……………………………………………….. 48

TABEL 2 DAFTAR KASUS PIDANA NARKOTIKA DAERAH

ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN 2010 – 2012 ……. 56

TABEL 3 DAFTAR TERSANGKA TINDAK PIDANA

NARKOTIKA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

TAHUN 2010 – 2012 ………………………………………. 57

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Model Analisis Interaksi ……………………………… 9

Gambar 2 Visualisasi Organisasi Kejahatan Narkotika …………………. 23

Gambar 3 Visualisasi Organisasi Kejahatan Narkotika Bali Nine Th.

2005 ………………….………………….……………………. 24

Gambar 4 Hasil Analisa Data Elektronik Komunikasi Melalui Seluler …. 25

Gambar 5 Kerangka Pemikiran …………………………………………. 34

Gambar 6 Struktur Organisasi BNNP ………………………………….… 41

xii

PERNYATAAN

Nama : Prabowo Cahyandaru

NIM : E0008407

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul :

UPAYA BADAN NARKOTIKA NASIONAL PROVINSI DAERAHISTIMEWA YOGYAKARTA DALAM PENCEGAHANPEMBERANTASAN PENYALAHGUNAAN DAN PEREDARANGELAP NARKOTIKA BERDASARKAN UNDANG - UNDANG NO.35TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA adalah betul-betul karyasendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum(skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, makasaya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisanhukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum(skripsi) ini.

Surakarta, 12 Juli 2013Yang membuat pernyataan

Prabowo CahyandaruNIM. E0008407

xiii

ABSTRAK

PRABOWO CAHYANDARU, E0008407, UPAYA BADANNARKOTIKA NASIONAL PROVINSI DAERAH ISTIMEWAYOGYAKARTA DALAM PENCEGAHAN PEMBERANTASANPENYALAHGUNAAN DAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKABERDASARKAN UNDANG - UNDANG NO.35 TAHUN 2009TENTANG NARKOTIKA. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui upaya Badan NarkotikaNasional Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (BNNP DIY) dalampencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika(P4GN) berdasarkan Undang-Undang No.35 tahun 2009 tentang Narkotika,berikut hambatannya, serta hal-hal positif yang memungkinkan untuk dapatdikembangkan sebagai model.

Penelitian ini dilaksanakan di BNNP DIY merupakan jenis penelitianhukum normatif. Jenis dan sumber daya penelitian terdiri dari bahan hukumprimer yang berupa Undang-Undang No.35 tahun 2009 tentang Narkotika,dan bahan hukum sekunder yaitu Peraturan Pemerintah, Peraturan Kepala BNN,Peraturan Menteri dan dokumen-dokumen lainnya yang erat hubungannya denganpermasalahan. Tehnik pengumpulan bahan hukum menggunakan studi dokumen,kemudian dianalisa secara kualitatif dengan model analisis interaktif.

Hasil penelitian menunjukan bahwa Upaya Badan Narkotika NasionalProvinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (BNNP DIY) dalam PencegahanPemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN) melaluikebijakan pemidanaan (penal policy) yang diterapkan melalui upayapemberantasan atau penegakan hukum, dan kebijakan bukan pemidanaan (nonpenal policy) yang diterapkan melalui upaya pencegahan dan rehabilitasi. BNNPDIY dalam upaya pemberantasan penyalahgunaan narkotika tidak semata-matamenerapkan sanksi pidana, namun lebih cenderung untuk menerapkan upayarehabilitasi agar pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika sembuh.Hambatan BNNP DIY dalam upaya P4GN antara lain masih kekuranganpersonel, sehingga dalam penugasan sehari-hari terjadi penugasan rangkap. BNNPDIY secara kelembagaan belum didukung adanya Badan Narkotika Kabupaten /Kota, akibatnya lembaga BNNP DIY kurang dapat memberikan pelayanan P4GNkepada masyarakat luas secara cepat, selain itu juga kurang dapat memantausituasi dan kondisi wilayah secara obyektif, akibat selanjutnya adalahpermasalahan narkoba sulit untuk bisa dituntaskan dalam waktu dekat.

Kata Kunci: BNNP DIY, P4GN, UU NO. 35 TAHUN 2009 tentang Narkotika.

xiv

ABSTRACT

PRABOWO CAHYANDARU, E0008407, THE EFFORT OF NATIONALNARCOTICS BOARD PROVINCE SPECIAL REGION OFYOGYAKARTA IN THE PREVENTION AND ELIMINATION OF THEABUSE AND ILLICIT TRAFFICKING IN NARCOTICS (P4GN) REFERTO ACT 35 YEAR 2009 ABOUT NARCOTIC. Faculty of Law, Universityof Sebelas Maret.

This research aims to determine the efforts of the National NarcoticsBoard Province Special Region of Yogyakarta (BNNP DIY) in the prevention andelimination of the abuse and illicit trafficking in narcotics (P4GN) refer to ActNumber 35 year 2009 about Narkotic, including the following constraints, as wellas the positive things that could be developed as a model.

The research was conducted in BNNP DIY is normative legal research.Research resources consist of primary legal materials in the form of Act Number35 year 2009 about Narkotic, and secondary legal materials such as GovernmentRegulation, Regulation of the Chief of BNN, Regulation of Minister and otherdocuments that are closely related to the problem. Data Collection technique usingstudy material legal documents, and then analyzed qualitatively with theinteractive model.

The result of the research shows that the efforts of BNNP DIY in theprevention and elimination of the abuse and illicit trafficking in narcotics (P4GN)through a penal policy which is implemented through the law enforcement, andnot penal policy which is implemented through prevention and rehabilitation.BNNP DIY in his efforts to combat narcotics abuse is not solely apply criminalsanctions, however, are more likely to implement the rehabilitation efforts inorder to recover narcotics addicts and the victim of narcotics abusers. BNNP DIYhas constraints in an effort of P4GN such as lack of personnel, resulting in thedaily job occurs double assignment. BNNP DIY is not supported by the NationalNarcotics Board Resort or City (BNNK), consequently BNNP DIY less able toprovide services to the community quickly in the effort of P4GN, it is also lessable to monitor the situation and condition of the region objectively, in the end isa hard narcotics problem to be resolved in the near future.

Keywords: BNNP DIY, P4GN, Act number 35 year 2009 about Narcotic.

xv

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dari tahun ke tahun

menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat, bahkan sampai saat ini

penyalahgunaan narkotika di dunia tidak pernah kunjung berkurang. Menurut

United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), yaitu organisasi PBB

yang menengani masalah narkotika dan kriminalitas memperkirakan bahwa pada

tahun 2011 penduduk dunia telah mencapai tujuh triliun, dan sekitar 230 milyar

menggunakan narkotika secara tidak legal, paling tidak sekali dalam setahun.

Pada usia antara 15 – 64 tahun diperkirakan satu diantara 20 orang menggunakan

narkotika tidak legal. Pernyataan UNODC dalam bahasa Inggris dikutip sebagai

berikut: “The world population has reached 7 billion people. Of these, the United

Nations Office on Drugs and Crime estimates that about 230 million use an

illegal drug at least once a year. This represents about 1 in 20 persons between

the ages of 15 and 64”. ( United Nations Office on Drugs and Crime. 2012 : 59 ).

Masalah narkotika di Indonesia bukanlah hal baru, namun telah ada

sejak jaman penjajahan. Hal ini terbukti dengan adanya peraturan yang ada

pada saat itu. Pada jaman Hindia Belanda telah diterbitkan Verdoovende

Middelen Ordonatie (V.M.O) Stbl. 1927 No.278 Jo. no.536 yang telah diubah dan

ditambah yang dikenal dengan Undang-Undang Obat Bius. Peraturan tersebut

karena sudah tidak mengikuti perkembangan permasalahan narkotika dan

teknologi maka diganti dengan Undang-Undang nomor 9 tahun 1976 tentang

Narkotika (UU No. 9 Tahun 1976: Pertimbangan huruf d). Undang-Undang

nomor 9 tahun 1976 digunakan sebagai pedoman penanggulangan tindak pidana

narkotika selama kurang lebih 21 tahun, dan dinyatakan tidak berlaku lagi sejak

diundangkannya Undang-Undang nomor 22 tahun 1997, selanjutnya Undang-

Undang Narkotika yang terbaru dan berlaku di Indonesia sekarang adalah UU

2

No. 35 tahun 2009. Undang-Undang narkotika yang baru ini memberlakukan

korban sebagaimana orang sakit yang harus disembuhkan, tidak dipandang

sebagai pelaku pidana, namun sebaliknya bagi pengedar dan petugas yang terlibat

peredaran gelap narkotika harus diberikan hukuman seberat-beratnya.

Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika di Indonesia tidak pernah

surut. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian Badan Narkotika Nasional (BNN)

dan Universitas Indonesia (UI) yang dilakukan setiap empat tahun sekali

mengemukakan data bahwa pada tahun 2004 terdapat prevalensi sebanyak 1,75

% kemudian pada tahun 2008 terdapat prevalensi 1,99% dan terakhir tahun 2011

sebanyak 2,20%. Prevalensi penyalahgunaan narkotika dihitung berdasarkan

persentase dari jumlah pengguna dibandingkan dengan jumlah penduduk rentan

yaitu berumur 10 – 59 tahun.

Dari hasil penelitian 2011 diperkirakan sebanyak 9,6 sampai 12,9 juta

orang atau 5,9% dari populasi yang berusia 10-59 tahun di Indonesia pernah

mencoba pakai narkoba minimal satu kali sepanjang hidupnya, atau sekitar 1 dari

17 orang di Indonesia yang berusia 10-59 tahun pernah pakai narkotika sepanjang

hidupnya. Dari sejumlah itu, ada sekitar 3,7 sampai 4,7 juta orang (2,2%) yang

masih menggunakan narkoba dalam satu tahun terakhir atau ada 1 dari 45 orang

yang masih pakai narkoba. (Badan Narkotika Nasional Bekerjasama dengan

Pusat Penelitian KesehatanUniversitas Indonesia, 2011 : 19).

Penggunaan narkotika tidak legal tersebut berdampak pada kerugian

sosial ekonomi, sehingga mengakibatkan terhambatnya program pembangunan.

Prakiraan kerugian sosial ekonomi akibat dari kasus-kasus penyalahgunaan dan

peredaran gelap narkotika di Indonesia adalah sebesar Rp.23,6 trilyun pada

tahun 2004 meningkat menjadi Rp.32,4 trilyun pada tahun 2008 dan pada tahun

2011 sebanyak 48,2 trilyun (Badan Narkotika Nasional Bekerjasama dengan

Pusat Penelitian KesehatanUniversitas Indonesia, UI, 2004, 2008, dan 2011).

Total kerugian pada tahun 2011 meliputi 44,4 trilyun biaya pribadi dan 3,8 triyun

biaya sosial. Pada biaya pribadi sekitar 39% diperuntukkan bagi biaya konsumsi

narkoba. Pada biaya sosial sebagian besar (90%) digunakan untuk biaya kematian

3

dini akibat narkotika. Anggaran sebesar itu hilang begitu saja, tidak bisa untuk

membangun.

Menyikapi semakin meningkatnya penyalahgunaan dan peredaran gelap

narkotika, maka Pemerintah Republik Indonesia bertekat mewujudkan negara

Indonesia bebas dari penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika pada tahun

2015 (Drug Free 2015). Untuk mewujudkan Drug Free 2015 Presiden Republik

Indonesia telah mengeluarkan Instruksi Presiden No. 12 tahun 2011 tentang

Pelaksanaan Kebijakasanaan dan Strategi Nasional Pencegahan dan

Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba Tahun 2011 -

2015.

Untuk melaksanakan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan

peredaran gelap narkotika di Indonesia telah dibentuk Badan Narkotika Nasional

(BNN). Selanjutnya di setiap provinsi dibentuk Badan Narkotika Nasional

Provinsi (BNNP) sebagai perwakilan BNN di setiap provinsi. Pada tahun 2010

telah dibentuk Badan Narkotika Nasional Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

(BNNP DIY).

Daerah Istimewa Yogyakarta adalah salah satu Propinsi dari 33 Propinsi

di wilayah Indonesia, terdiri dari empat kabupaten dan satu wilayah kota. Secara

keseluruhan luas Daerah Istimewa Yogyakarta 3.185,80 km2, dengan jumlah

penduduk hasil sensus tahun 2010 diperkirakan sebanyak 3.452.390 jiwa.

Sebagian besar penduduknya adalah usia muda terutama pelajar yang berasal dari

berbagai wilayah di Indonesia. Selain itu Daerah Istimewa Yogyakarta dikenal

juga sebagai daerah wisata yang menarik wisatawan lokal maupun mancanegara.

Daerah Istimewa Yogyakarta ditengarai sebagai daerah yang sangat

rawan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Dari hasil

penelitian BNN dengan Lembaga Penelitian Kesehatan Masyarakat Universitas

Indonesia, pada tahun 2008, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ditempatkan

pada urutan 27 dari 33 provinsi di Indonesia untuk kategori pemasok, yang saat

itu terdapat 44 tersangka dari 2,537,100 jumlah penduduk yang rentan di DIY.

Berarti setiap 57,661 orang terdapat satu pemasok / pengedar. Sedangkan untuk

4

kategori pemakai, DIY ditempatkan pada urutan ke dua dengan prevalensi

2.72%, yaitu terdapat sejumlah 68,980 orang pemakai narkoba dari 2,537,100

jumlah penduduk yang rentan. Berarti setiap 36 orang penduduk terdapat satu

pemakai narkoba (Badan Narkotika Nasional Bekerjasama dengan Pusat

Penelitian KesehatanUniversitas Indonesia, 2008: 13). Selain dari pada itu di DIY

diproyeksikan penyalahgunaan narkotika dari tahun 2008 hingga 20013 sebagai

berikut 688.691 pada tahun 2008, 73.662 pada tahun 2009, 78.508 pada tahun

2010, 83.514 pada tahun 2011, 88.691 pada tahun 2012 dan 94.031 pada tahun

2013 (Badan Narkotika Nasional, 2009: 69)

Hasil penelitian tahun 2011 di DIY didapatkan angka prevalensi 2,8 yang

diperkirakan jumlah pengguna narkoba sebanyak antara 45.062 – 94.337 dengan

titik tengah 69.699 dari jumlah penduduk rentan diperkirakan 2.998.250

orang.(Badan Narkotika Nasional Bekerjasama dengan Pusat Penelitian

KesehatanUniversitas Indonesia, 2011: 25)

Keberadaan BNNP DIY yang relatif masih baru telah dituntut untuk

semaksimal mungkin dapat menekan prevalensi penyalahgunaan dan

peredaran gelap narkotika di DIY. Proyeksi penyalahgunaan narkotika yang

diperkirakan pada tahun 2008, untuk kurun waktu hingga tahun 2011

mencapai 83.514 orang namun setelah diadakan penelitian diketemukan

angka 69.699 orang. Data tersebut menunjukkan keberhasilan DIY dalam

upaya P4GN, oleh karena itu penulis tertarik dan ingin memahami

bagaimana cara BNNP DIY berupaya menyelesaikan permasalahan

Narkotika dalam mendukung terwujudnya Indonesia bebas dari

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika tahun 2015. Oleh karena itu

penulis mengajukan penelitian dengan judul “UPAYA BADAN

NARKOTIKA NASIONAL PROVINSI DAERAH ISTIMEWA

YOGYAKARTA DALAM PENCEGAHAN PEMBERANTASAN

PENYALAHGUNAAN DAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA

BERDASARKAN UNDANG - UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009

TENTANG NARKOTIKA”.

5

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, dirumuskan beberapa permasalahan

sebagai berikut:

1. Bagaimanakah upaya pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan

dan peredaran gelap narkotika di wilayah hukum Badan Narkotika

Nasional Provinsi Yogyakarta (DIY)?

2. Apakah hambatan-hambatan dalam pencegahan, pemberantasan

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika di wilayah hukum

Badan Narkotika Nasional Provinsi Yogyakarta (DIY)?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian untuk memberikan arah yang tepat dalam penelitian,

sehingga penelitian dapat berjalan dengan terarah dan menjawab permasalahan

yang telah dirumuskan. Tujuan dari penelitian ini adalah:

1 Tujuan obyektif

a. Untuk mengetahui upaya Badan Narkotika Nasional Provinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta dalam pencegahan,

pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika

berdasarkan undang undang no.35 tahun 2009.

b. Untuk mengetahui hambatan Badan Narkotika Nasional Provinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta dalam pemberantasan

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika berdasarkan

undang undang no.35 tahun 2009 untuk dicarikan jalan

keluarnya.

c. Untuk mengetahui hal-hal positif yang dilaksanakan Badan

Narkotika Nasional Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam

pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika

6

yang memungkinkan untuk dapat dikembangkan sebagai

model.

2. Tujuan Subyektif

a. Sebagai sarana untuk meningkatkan pengetahuan penulis tentang

pelaksanaan UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, agar dapat

memberikan masukan secara tepat dalam penanganan suatu kasus

pidana narkotika.

b. Untuk memberikan sumbangan pemikiran baik kepada pemerintah,

praktisi hukum, dan akademisi, dan masyarakat pada umumnya

dalam bidang ilmu hukum terkait dengan narkotika.

c. Untuk memenuhi persyaratan bagi penulis untuk menyelesaikan

perkuliahan dan sekaligus mendapatkan gelar sarjana dibidang

ilmu hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Manfaat Teoritis

Mengembangkan dan memperkaya pemikiran di bidang

hukum pidana terutama yang berhubungan dengan upaya

pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran

gelap narkotika.

b. Manfaat Praktis

1) Bagi BNNP DIY maupun BNNP lainnya dapat sebagai

masukan dalam mengembangkan upaya Pencegahan

dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran

Gelap Narkotika.

2) Bagi penulis sebagai tambahan pengetahuan dalam

bidang hukum pidana terkait dengan Badan Narkotika

Nasional Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam

7

upaya pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran

gelap narkotika.

3) Bagi para peneliti dapat diambil manfaat dari penelitian

ini sebagai dasar penelitian lebih lanjut ataupun sebagai

dasar perbandingan.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian hukum

normatif yaitu penelitian yang menggambarkan secara sistematis fakta-

fakta terhadap permasalahan yang telah dikemukakan dengan tujuan untuk

membatasi kerangka studi kepada analisis atau suatu klasifikasi tanpa

secara langsung bertujuan untuk menguji hipotesa-hipotesa atau teori-

teori.

2. Sifat Penelitian

Sesuai dengan perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka

sifat penelitian ini adalah preskriptif yaitu penelitian yang memberikan

gambaran atau merumuskan masalah sesuai dengan fakta yang ada.

3. Pendekatan Penelitian

Pada penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan

(statute approach), yaitu pendekatan yang dilakukan dengan

mengidentifikasi serta membahas peraturan perundang-undangan

yang berlaku dalam hal ini antara lain menggunakan UU No. 35 tahun

2009 dan peraturan yang terkait.

4. Jenis dan Sumber Daya Penelitian

Jenis dan sumber daya penelitian terdiri dari bahan hukum primer

dan bahan hukum sekunder.

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat,

berupa peraturan perundang-undangan dalam hal ini UU No. 35

8

Tahun 2009 tentang Narkotika dan peraturan yang mengikutinya,

serta informasi tentang kegiatan P4GN yang dilaksanakan BNNP

DIY.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang erat

hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu

menganalisis dan memahami bahan hukum primer, yaitu literatur

maupun dokumen-dokumen yang berkaitan dengan permasalahan.

F. Tehnik Pengumpulan Data

Pengumpulan bahan hukum dalam tulisan ini melalui studi dokumen, yaitu

suatu alat pengumpulan bahan hukum yang dilakukan melalui bahan hukum

tertulis dengan mempergunakan conten analysis (Peter Mahmud Marzuki, 2006 :

21). Langkah pengumpulan bahan hukum pada penelitian ini diawali dengan

inventarisasi semua bahan hukum yang terkait dengan pokok permasalahan,

kemudian diadakan klasifikasi bahan hukum yang terkait, dan selanjutnya bahan

hukum tersebut disusun dengan sistematis agar lebih mudah dipahami.

Langkah pembahasan dilakukan dengan menggunakan penalaran deduksi,

dan untuk sampai pada jawaban permasalahan digunakan penafsiran sistematis,

yaitu penelitian dilakukan dengan menelaah pengertian-pengertian dasar dalam

sistem hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.

G. Teknik Analisis Data

Data primer dan data sekunder yang telah terkumpul disusun kembali

secara teratur kemudian dianalisa, analisa yang dilakukan secara kualitatif dengan

dasar ilmu hukum dilengkapi kajian pustaka untuk memperjelas serta melengkapi

kajian yang komplit dan mendalam.

Ketepatan dari sebuah analisis data ditentukan oleh jenis data yang

diperoleh oleh peneliti. Jika data itu valid maka penelitian akan cenderung

mengarah kepada hasil yang valid juga, demikian juga sebaliknya. Adapun teknik

9

analisa data yang digunakan :

1. Trianggulation, yaitu peneliti menggunakan beberapa data untuk

mengumpulkan data yang sama. Data yang digunakan dari sumber primer

dan sekunder diharapkan diperoleh hasil penelitian yang valid serta

mendekati kesempurnaan. (Soerjono Soekamto, 2004 : 56).

2. Data yang telah terkumpul yang merupakan bukti penelitian disusun

dengan harapan memudahkan review kembali jika diperlukan. Data dapat

berupa diskripsi, gambar, skema, rekaman dan lain-lain.

3. Memelihara rantai kaitan dari semua bukti penelitian, hal ini dilakukan

untuk meningkatkan nilai penelitian dan beberapa informasi dalam

penelitian serta kejelasan bukti sehingga penelitian ini sesuai dengan

konsep, teori atau kaidah yang berlaku dalam persoalan ini.

Setelah data dari lapangan selesai dikumpulkan dengan lengkap, tahap

yang berikutnya adalah tahap analisa data. Tahap ini merupakan tahap yang

penting dan menentukan. Teknik analisa data ini tidak dapat dipisahkan dari jenis

data yang dikumpulkan dalam suatu penelitian. Analisis yang penulis gunakan

adalah analisis interaktif, yaitu model analisis yang terdiri dari reduksi data,

penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Dilakukan pula suatu proses siklus

antara tahap-tahap tersebut sehingga data-data yang terkumpul akan berhubungan

satu dengan yang lainnya secara sistematis (H.B Sutopo, 2002 : 96 ).

Di bawah ini penulis sajikan suatu bagan yang menggambarkan alur

analisis data, sebagai berikut :

(HB. Sutopo, 2002 : 96)

Gambar: 1

Bagan Model Analisis Interaksi

9

analisa data yang digunakan :

1. Trianggulation, yaitu peneliti menggunakan beberapa data untuk

mengumpulkan data yang sama. Data yang digunakan dari sumber primer

dan sekunder diharapkan diperoleh hasil penelitian yang valid serta

mendekati kesempurnaan. (Soerjono Soekamto, 2004 : 56).

2. Data yang telah terkumpul yang merupakan bukti penelitian disusun

dengan harapan memudahkan review kembali jika diperlukan. Data dapat

berupa diskripsi, gambar, skema, rekaman dan lain-lain.

3. Memelihara rantai kaitan dari semua bukti penelitian, hal ini dilakukan

untuk meningkatkan nilai penelitian dan beberapa informasi dalam

penelitian serta kejelasan bukti sehingga penelitian ini sesuai dengan

konsep, teori atau kaidah yang berlaku dalam persoalan ini.

Setelah data dari lapangan selesai dikumpulkan dengan lengkap, tahap

yang berikutnya adalah tahap analisa data. Tahap ini merupakan tahap yang

penting dan menentukan. Teknik analisa data ini tidak dapat dipisahkan dari jenis

data yang dikumpulkan dalam suatu penelitian. Analisis yang penulis gunakan

adalah analisis interaktif, yaitu model analisis yang terdiri dari reduksi data,

penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Dilakukan pula suatu proses siklus

antara tahap-tahap tersebut sehingga data-data yang terkumpul akan berhubungan

satu dengan yang lainnya secara sistematis (H.B Sutopo, 2002 : 96 ).

Di bawah ini penulis sajikan suatu bagan yang menggambarkan alur

analisis data, sebagai berikut :

(HB. Sutopo, 2002 : 96)

Gambar: 1

Bagan Model Analisis Interaksi

9

analisa data yang digunakan :

1. Trianggulation, yaitu peneliti menggunakan beberapa data untuk

mengumpulkan data yang sama. Data yang digunakan dari sumber primer

dan sekunder diharapkan diperoleh hasil penelitian yang valid serta

mendekati kesempurnaan. (Soerjono Soekamto, 2004 : 56).

2. Data yang telah terkumpul yang merupakan bukti penelitian disusun

dengan harapan memudahkan review kembali jika diperlukan. Data dapat

berupa diskripsi, gambar, skema, rekaman dan lain-lain.

3. Memelihara rantai kaitan dari semua bukti penelitian, hal ini dilakukan

untuk meningkatkan nilai penelitian dan beberapa informasi dalam

penelitian serta kejelasan bukti sehingga penelitian ini sesuai dengan

konsep, teori atau kaidah yang berlaku dalam persoalan ini.

Setelah data dari lapangan selesai dikumpulkan dengan lengkap, tahap

yang berikutnya adalah tahap analisa data. Tahap ini merupakan tahap yang

penting dan menentukan. Teknik analisa data ini tidak dapat dipisahkan dari jenis

data yang dikumpulkan dalam suatu penelitian. Analisis yang penulis gunakan

adalah analisis interaktif, yaitu model analisis yang terdiri dari reduksi data,

penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Dilakukan pula suatu proses siklus

antara tahap-tahap tersebut sehingga data-data yang terkumpul akan berhubungan

satu dengan yang lainnya secara sistematis (H.B Sutopo, 2002 : 96 ).

Di bawah ini penulis sajikan suatu bagan yang menggambarkan alur

analisis data, sebagai berikut :

(HB. Sutopo, 2002 : 96)

Gambar: 1

Bagan Model Analisis Interaksi

10

Keterangan :

Bagan di atas menggambarkan proses analisis model interaktif yang

berputar dan saling melengkapi. Setelah data terkumpul kemudian direduksi

dengan seleksi dan penyederhanaan secara terus menerus selama pemilihan,

kemudian diambil kesimpulan. Tahap-tahap ini tidak harus urut, apabila

memperoleh data yang sudah lengkap tanpa direduksi, data dapat langsung

disajikan. Dan apabila sampai pada tahap penarikan kesimpulan mengalami

kesulitan karena kekurangan data maka dapat kembali ke tahap pengumpulan

data. Jadi antara tahap satu dengan tahap yang lain tidak harus berurutan tapi

berhubungan terus dengan membentuk siklus. Dengan cara ini kesimpulan yang

didapat sebagai hasil akhir benarbenar merupakan hasil kesimpulan yang

dipertanggungjawabkan.

H. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran sacara menyeluruh serta untuk

mempermudah pemahaman mengenai seluruh isi penulisan hukum ini, maka

peneliti menjabarkan dalam bentuk sistimatika penulisan hukum yang terdiri dari

4 (empat) bab dimana tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian. Bab I berisi

Pendahuluan, pada bab ini penulis menguraikan latar belakang masalah,

perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan

sistemetika penulisan hukum (skripsi). Bab II berisi Tinjauan Pustaka, pada bab

ini penulis akan memberikan landasan teori atau memberikan penjelasan secara

teoritik yang bersumber pada badan hukum yang penulis gunakan dan doktrin

ilmu hukum yang dianut secara universal mengenai persoalan yang sedang penulis

teliti. Bab III berisi Hasil Penelitian dan Pembahasan, pada bab ini penulis

menguraikan dan menyajikan pembahasan berdasarkan rumusan masalah. Bab IV

Penutup, yang menguraikan simpulan dan saran terkait dengan permasalahan yang

diteliti, selanjutnya untuk melengkapi tulusan ini juga disertakan Daftar Pustaka

dan Lampiran dokumen yang diperlukan untuk mendukung penelitian.

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

F. Pengertian dan Dampak Narkotika

5. Pengertian Narkotika

Undang-undang 35 tahun 2009 menyebutkan dengan jelas

pengertian narkotika, yaitu: “Narkotika adalah zat atau obat yang berasal

dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang

dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,

mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan

ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan

sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini. (UU No 35 Tahun

2009, Pasal 1 angka 1).

6. Penggolongan Narkotika

Narkotika digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu Narkotika

Golongan I, Narkotika Golongan II, dan Narkotika Golongan III (UU No

35 Tahun 2009 Pasal 6).

a. Narkotika Golongan I tidak boleh untuk layanan kesehatan, hanya

diperbolehkan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan

tehnologi dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia

laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas

rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (UU No

35 Tahun 2009 pasal 7 dan 8). Terdapat 65 Narkotika Golongan I,

yang dapat dilihat pada lampiran 1, dari sekian banyak jenis

narkotika yang sering disalahgunakan antara lain adalah :

1) Tanaman Papaver Somniferum L dan semua bagian-

bagiannya termasuk buah dan jeraminya, kecuali bijinya.

12

2) Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri,

diperoleh dari buah tanaman Papaver Somniferum L yang

hanya mengalami pengolahan sekadar untuk pembungkus

dan pengangkutan tanpa memperhatikan kadar morfinnya.

3) Opium masak terdiri dari :

a) candu, hasil yang diperoleh dari opium mentah

melalui suatu rentetan pengolahan khususnya

dengan pelarutan, pemanasan dan peragian dengan

atau tanpa penambahan bahan-bahan lain, dengan

maksud mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang

cocok untuk pemadatan.

b) jicing, sisa-sisa dari candu setelah dihisap, tanpa

memperhatikan apakah candu itu dicampur dengan

daun atau bahan lain.

c) jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan

jicing.

4) Tanaman koka, tanaman dari semua genus Erythroxylon

dari keluarga Erythroxylaceae termasuk buah dan bijinya.

5) Daun koka, daun yang belum atau sudah dikeringkan atau

dalam bentuk serbuk dari semua tanaman genus

Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae yang

menghasilkan kokain secara langsung atau melalui

perubahan kimia.

6) Kokain mentah, semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun

koka yang dapat diolah secara langsung untuk mendapatkan

kokaina.

7) Kokaina, metil ester-1-bensoil ekgonina.

8) Tanaman ganja, semua tanaman genus genus cannabis dan

semua bagian dari tanaman termasuk biji, buah, jerami,

hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja

termasuk damar ganja dan hasis.

13

9) MDMA: (±)-N, α -dimetil-3,4- (metilendioksi)

fenetilamina.

10) AMFETAMINA : (±)- α –metilfenetilamina

11) METAMFETAMINA : (+ )-(S)-N, α –dimetilfenetilamina.

b. Narkotika Golongan II dijelaskan dalam penjelasan Pasal 6 ayat 1

huruf b yaitu ”Narkotika Golongan II” adalah Narkotika

berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan

dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan

ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan

ketergantungan”.Narkotika Golongan II ada 86 macam yang dapat

dibaca pada lampiran 1.

c. Narkotika Golongan III dijelaskan dalam penjelasan Pasal 6 ayat 1

huruf c yaitu “Narkotika Golongan III adalah Narkotika berkhasiat

pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk

tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi

ringan mengakibatkan ketergantungan”. Narkotika Golongan II ada

14 macam yang dapat dibaca pada lampiran 1.

7. Dampak Narkotika terhadap Sistem Susunan Saraf

Dampak penggunaan narkotika pada system saraf pusat dibedakan menjadi

3 (tiga) jenis :

a. Depresan

Narkotika jenis ini menekan atau memperlambat fungsi system

saraf pusat sehingga dapat mengurangi aktivitas fungsional tubuh,

bahkan membuat tertidur atau tidak sadarkan diri. Contoh

opida/opiate (opium, morphin, heroin, kodein), obat tidur

trankuiliser atau obat penenang.

b. Stimulan

Narkotika jenis ini merangsang system saraf pusat untuk bekerja

lebih cepat, oleh karena itu orang yang mengkonsumsinya akan

14

terpacu lebih cepat detak jantungnya sehingga mempercepat

tekanan darah dan pernafasan.

c. Halusinogen

Hampir seluruh jenis narkotika memiliki efek halosinogen, yaitu

merubah perasaan dan pikiran sehingga menimbulkan kesan palsu

atau halusinasi.

8. Dampak Penyalahgunaan Narkotika

Banyak literatur yang telah mengulas tentang bahaya

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, yang akhirnya

dikeluarkannya aturan-aturan yang ketat tentang produksi, peredaran,

maupun penggunaannya. Di bawah ini penulis kemukakan beberapa

dampak dari penyalahgunaan narkotika:

a. Dampak Penyalahgunaan Narkotika pada Bidang Kesehatan

Penyalahgunaan narkotika dapat merusak/menghancurkan

kesehatan manusia baik secara jasmani maupun kejiwaan

seseorang. Pada penggunaan narkotika jangka panjang pengaruh

pada fisik antara lain sebagai berikut:

1) Gangguan pada system saraf (neurologies) kerusakan saraf

tepi, kerusakan susunan syaraf pusat di otak, yang

menimbulkan gejala seperti kejang-kejang, gangguan

kesadaran, halusinasi.

2) Gangguan pada jantung dan pembuluh darah

(cardiovasculer), seperti infeksi akut pada otot jantung,

gangguan pada peredaran darah, meningkatnya tekanan

darah.

3) Gangguan pada paru-paru (pulmoner), seperti tertekannya

fungsi pernafasan, sukar bernafas, pengerasan jaringan

paru-paru.

15

4) Gangguan pada kulit (dermatologies), seperti alergi, abses,

eksim.

5) Sering sakit kepala, mual-mual dan muntah, suhu tubuh

meningkat, pengecilan hati, sulit tidur.

6) Dampak pada kesehatan reproduksi adalah gangguan pada

endokrin, seperti penurunan hormone reproduksi (estrogen,

progesterone, tetosteron), serta gangguan seksual.

7) Penyalahguna narkotika merusak sistem reproduksi, seperti

produksi sperma menurun, penurunan hormon testosterone,

kerusakan kromosom, kelainan sex, keguguran dan lain-

lain. Dampak bagi remaja perempuan antara lain perubahan

periode menstruasi, ketidakteraturan menstruasi, dan tidak

haid (amenorhoe).

8) Bagi pengguna narkotika melalui jarum suntik, khususnya

pemakaian jarum suntik secara bergantian, resikonya

adalah tertular penyakit seperti hepatitis B, C, dan HIV-

Aids yang hingga kini belum ada obatnya.

9) Penyalahgunaan narkotika menimbulkan gangguan psikis

pada perkembangan normal remaja, daya ingat, perasaan,

persepsi dan kendali diri.

10) penyalahguna narkotika dapat menimbulkan penyakit

AIDS. (Badan Narkotika Nasional. Mahasiswa dan Bahaya

Narkotika, 2010: 14 – 15).

b. Dampak penggunaan narkotika secara psikhis bagi penggunanya

antara laian:

1) Sulit berkonsentrasi, perasaan kesal dan tertekan

2) Hilang percaya diri, apatis, pengkhayal, penuh curiga

3) Malas belajar, ceroboh, sering tegang dan gelisah

11) Agitatif, menjadi ganas dan tingkah laku brutal, perasaan

tidak aman, cenderung menyakiti diri, bahkan bunuh diri.

16

(Badan Narkotika Nasional. Mahasiswa dan Bahaya

Narkotika, 2010: 15).

c. Dampak Penyalahgunaan Narkotika pada Bidang Ekonomi

Kerugian ekonomi yang ditimbulkan akibat

penyalahgunaan narkotika sangat besar. Kerugian tersebut dapat

menimpa diri sendiri, keluarga, masyarakat, bahkan Negara. Hasil

penelitian tahun 2011 kerugian ekonomi akibat penyalahgunaan

narkotika di Indonesia diprakirakan sebesar 48.277.963.000 rupiah.

Biaya ekonomi yang dimaksud meliputi biaya yang dikeluarkan

langsung dan biaya tidak langsung terkait dengan penyalahgunaan

narkotika. Biaya langsung meliputi Konsumsi jenis narkoba,

Pengobatan dan perawatan overdosis, Pengobatan karena sakit

(HIV/AIDS, TB, hepatitis, dsb), Rehabilitasi dan detoksifikasi,

Kecelakaan lalulintas, Urusan dengan penegak hukum, Penjara,

Waktu yang hilang karena aktivitasnya terganggu, kematian akibat

narkoba. Biaya tidak langsung meliputi biaya yang secara tidak

langsung dikeluarkan akibat penyalahgunaan dan peredaran gelap

narkotika seperti Kriminalitas, Waktu yang hilang karena

overdosis, Waktu yang hilang karena kesakitan, Waktu yang

hilang karena detok & rehab, Waktu yang hilang karena

kecelakaan, Waktu yang hilang karena urusan dengan penegak

hukum, Waktu yang hilang karena urusan penjara. (Badan

Narkotika Nasional Bekerjasama dengan Pusat Penelitian

Kesehatan Universitas Indonesia, 2011: 12 dan 34).

Dampak yang tidak kalah serius adalah terhadap aspek

produktifitas. Para pecandu terganggu produktifitasnya karena

seringnya mangkir, atau kurangnya motivasi kerja, bagi mereka

yang telah parah akan kehilangan produktifitas karena kehilangan

waktu sebagai mana tersebut paragraf di atas. Kondisi yang

demikian ini apabila terjadi pada suatu perusahaan tentunya akan

17

mempengaruhi kualitas produk dan jasa yang dihasilkan.

Menurunnya kualitas suatu produk akan berpengaruh pada

rendahnya daya saing suatu produk dan memungkinkan

menimbulkan kerugian perusahaan, bahkan secara nasional dapat

berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi.

d. Dampak Penyalahgunaan Narkotika pada Bidang Sosial

Dampak sosial dari penyalahgunaan dan peredaran gelap

narkotika tidak hanya mempengaruhi masalah kesehatan dan

ekonomi, bahkan dari kedua factor tersebut dapat berdampak pada

kehidupan sosial kemasyarakatan lainnya.

Dampak dari kerusakan susunan saraf membuat seseorang

pecandu menderita gangguan mental, yang ditunjukkan adanya

perubahan perilaku, ketidakstabilan emosi, kesalahan persepsi.

Hal-hal tersebut sering kali pecandu mengganggu orang lain yang

akhirnya pecandu tersebut juga akan dihindari atau dikucilkan

orang lain. Di sisi lain akibat dari pengaruh narkotika

mengakibatkan pecandu depresi, dan pada umumnya menjadi

orang yang anti sosial.

Dampak dari penyalahgunaan narkoba juga mengganggu

aktivitas keseharian. Hasil penelitian di kalangan pelajar/

mahasiswa menunjukkan bahwa penyalahguna seringkali mudah

merasa sedih / murung, sulit tidur nyenyak, pernah mengalami

kecelakaan dan pernah di rawat atau masuk gawat darurat. Resiko

terhadap terganggunya aktivitas keseharian 2-3 kali lipat lebih

tinggi pada pelajar / mahasiswa penyalahguna dibandingkan

dengan bukan penyalahguna, (Badan Narkotika Nasional

Bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas

Indonesia. 2011 : 10 ).

18

Faktor kerugian ekonomi para pecandu dapat berpengaruh

pada kehidupan social lainnya, yaitu berawal dari pemenuhan

kebutuah biaya untuk membeli narkoba sedangkan kondisi

pecandu yang tidak produktif. Lambat laun para pecandu akan

kehabisan biaya untuk membeli narkoba, yang akhirnya mereka

tidak segan-segan melakukan tindak kriminal untuk mendapatkan

uang guna membeli narkoba.

Timbulnya kriminalitas yang dikarenakan penyalahgunaan

dan peredaran gelap narkotika dikemukakan oleh UNODC sebagai

berikut: Illicit drug use is also closely linked to crime, in

variousways. For example, drug users often resort to acquisitive

crime to finance their drug habits, thus incurring substantial costs

for society. Moreover, many criminals are under the influence of

illicit drugs when they commit crime.Criminals, in general, tend to

show far higher levels of druguse than the rest of the population.

Crime and drugs are also linked through drug trafficking.

Competition between different trafficking groups can generate

violence. In some cases, the profits generated from involvement in

the illicit drug trade have also been used to finance the activities

ofillegal armed groups. (United Nations Office on Drugs and

Crime. 2012: 98).

Kutipan tersebut diterjemahkan secara bebas bahwa

penggunaan narkoba dalam berbagai hal juga terkait erat dengan

kejahatan. Misalnya, pengguna narkoba sering melakukan

kejahatan untuk membiayai kebiasaan penggunaan obat mereka,

sehingga menimbulkan biaya yang besar bagi masyarakat. Selain

itu, banyak penjahat berada di bawah pengaruh obat-obatan

terlarang ketika mereka melakukan crime. Criminals, pada

umumnya, cenderung menunjukkan tingkat yang jauh lebih tinggi

dari penyalahguna narkoba dari seluruh populasi. Kejahatan dan

19

obat-obatan juga terkait dengan situasi perdagangan narkoba.

Persaingan antara kelompok-kelompok perdagangan yang berbeda

dapat menghasilkan kekerasan. Dalam beberapa kasus, keuntungan

yang dihasilkan dari keterlibatan dalam perdagangan obat-obatan

terlarang juga telah digunakan untuk membiayai kegiatan

kelompok bersenjata tidak legal.

Pengaruh negatif dari penyalahgunaan narkoba juga

mengakibatkan terhadap tindakan agresif. Hasil penelitian terhadap

para pelajar/mahasiswa menunjukkan bahwa penyalahguna

mempunyai risiko melakukan tindakan agresivitas sosial 3-4 kali

lebih tinggi dibanding bukan penyalahguna. Tindakan agresif yang

paling banyak dilakukan oleh pelajar penyalahguna adalah

berkelahi, terutama pada jenjang SLTA. (Badan Narkotika

Nasional Bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kesehatan

Universitas Indonesia. 2011 : 10 ).

e. Dampak Penyalahgunaan Narkotika pada Bidang Sosiokultural

Penyalahgunaan narkotika yang semakin bertambah dan

apabila tidak dapat terkendali maka akan berpengaruh pada

kebiasaan dan berdampak pada demensi kultural. Tingkah laku,

perilaku dan norma-norma mereka, lama kelamaan akan

membudaya sebagai suatu sub kultur yang membahayakan.

Jika sudah menjadi sub kultur maka sudah berakar di

sebagian masyarakat dan memungkinkan suatu saat orang

menerima kenyataan bahwa para pemimpinnya adalah pecandu.

Hal ini sudah terjadi pada kasus penggunaan tembakau yang telah

mengakar dalam kehidupan masyarakat, sehingga sulit untuk

mengatasinya. Hal tersebut di atas adalah sangat berbahaya bagi

kelangsungan hidup bangsa dan Negara.

Pada dunia pendidikan, ternyata penggunaan narkotika

dapat menurunkan prestasi belajar yang sangat signifikan. Hasil

20

survei pada tahun 2011 menunjukkan bahwa salah satu efek

menyalahgunakan narkoba adalah mengalami terganggunya

aktivitas dan prestasi di sekolah. Angka pelajar / mahasiswa yang

pernah tidak naik kelas dua kali lebih banyak pada mereka yang

menyalahgunakan narkoba dibanding yang bukan penyalahguna

dengan perbandingan 17% : 8%. Demikian juga dengan jumlah

pelajar / mahasiswa yang mempunyai nilai dibawah rata-rata kelas

dua kali lebih banyak pada penyalahguna dengan perbandingan 7%

: 3%. (Badan Narkotika Nasional Bekerjasama dengan Pusat

Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia. 2011 : 10 ).

G. Tindak Pidana Narkotika sebagai Kejahatan Transnasional

Tindak pidana narkotika merupakan kejahatan transnasional, yaitu

bersifat lintas negara atau melampaui batas-batas wilayah negara, baik

mengenai tempat terjadinya, akibat-akibat yang ditimbulkannya, maupun

tujuan kejahatan itu sendiri, dan/atau dimungkinkan pelakunya juga dapat

melibatkan individu-individu dari berbagai negara.

Ciri – ciri kejahatan transnational dibatasi dalam Konvensi

Transnational Organized Crime 2000, yang diratifikasi dengan UU RI No.

5 tahun 2009. Dalam Konvensi ini disebutkan suatu kejahatan dikatakan

bersifat transnational apabila memiliki ciri ciri :

(1) it is committed in more than one state; (dilakukan di lebih dari

satu Negara)

(2) it is preparation, planning, direction or control takes place in

another state; (kegiatan persiapan, perencanaan, pengarahan atau

kontrol terjadi di Negara lain)

(3) it is committed in one state but involves an organized in criminal

activities in more than one state or; (dilakukan di satu Negara

tetapi melibatkan suatu kelompok penjahat yang melakukan

kegiatan kriminal di lebih dari satu negara)

21

(4) it is committed in one state but has substantial effect in another

state (dilakukan di satu Negara namun memiliki akibat utama di

Negara lain). (United Nations. 2000: Article 3 point 2; Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2009 dalam Lampiran

Pasal 3 Angka 2).

Penegakan hukum pidana narkotika terkait dengan tindak pidana

transnasional pada dasarnya mengacu pada asas “pacta sunt servanda”,

adalah istilah latin yang berarti perjanjian harus ditegakkan. Asas tersebut

adalah prinsip dalam hukum internasional yang mengatakan bahwa

perjanjian internasional harus ditegakkan oleh semua penandatangan.

Aturan pacta sunt servanda didasarkan pada prinsip itikad baik. Dasar

itikad baik menunjukkan bahwa pihak yang terlibat perjanjian tidak dapat

memaksa ketentuan hukum nasionalnya sebagai alasan pembenar.

Asas berlakunya hukum pidana nasional seperti : (asas teritorial,

asas nasionalitas aktif dan pasif, asas perlindungan dan asas universal)

adalah merupakan sumber hukum formal dari hukum pidana internasional.

Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah

Internasional “the general principle of law recognized by civilized

nations” (prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa

beradab).

Dalam penanganan kasus narkotika yang melibatkan negara lain

bukan berarti mengesampingkan hukum nasional. Hal ini juga tergantung

pada adanya perjanjian atau tidaknya antar suatu negara dengan negara

lain. Pelaku tindak pidana narkotika termasuk tindak pidana transnasional

dapat dipidana oleh negara tempat locus delicti terjadi dalam batas

teritorial negara tersebut atau diserahkan melalui prosedur ekstradisi

kepada negara peminta yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili pelaku

tindak pidana tersebut.

22

H. Tindak Pidana Narkotika sebagai Kejahatan Terorganisir

Kejahatan terorganisir merupakan kejahatan yang melibatkan lebih

dari satu orang yang terorganisir untuk mendapatkan suatu keuntungan.

Didalam suatu organisasi kejahatan tersebut tentunya ada tujuan atas

dilakukan kejahatan tersebut, aturan-aturan atau mekanisme dalam

organisasi tersebut. United Nations Convention Against Transnational

Organized Crime memberikan batasan tentang kelompok kejahatan

terorganisir adalah sebagai berikut: “Organized criminal group” shall

mean a structured group of three or more persons, existing for a period of

time and acting in concert with the aim of committing one or more serious

crimes or offences established in accordance with this Convention, in

order to obtain, directly or indirectly, a financial or other material

benefit; (United Nations. 2000: Article 2. Huruf a).

Konvensi tersebut telah diratifikasi dengan Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2009, selanjutnya pada lampirannya

menyebutkan pengertian kelompok pelaku tindak pidana terorganisir yang

merupakan terjemahan dari pengertian dalam konvensi tersebut di atas,

yaitu "Kelompok pelaku tindak pidana terorganisasi" berarti suatu

kelompok terstruktur yang terdiri dari tiga orang atau lebih, terbentuk

dalam satu periode waktu dan bertindak secara terpadu dengan tujuan

untuk melakukan satu atau lebih tindak pidana serius atau pelanggaran

yang ditetapkan menurut Konvensi ini, untuk mendapatkan, secara

langsung atau tidak langsung, keuntungan keuangan atau materi lainnya;

(Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2009 dalam

Lampiran Pasal 3 Angka 2. Huruf a ).

Suatu kelompok kejahatan terorganisir terkait dengan

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dikatakan oleh Kepala

BNNP DIY bahwa antara pelaku satu dengan lainnya bisa tidak saling

mengenal, beberapa orang diantaranya bisa mengenal namun

23

menggunakan identitas palsu; arus keuangan antara pembeli dengan

penjual, dan juga pemberian upah kecuali upah kepada kurir melalui

perbankan sehingga mereka tidak saling bertemu; komunikasi

menggunakan telepon sehingga mereka tidak saling bertemu; barang

diambil dari tempat penyimpanan oleh orang yang benar terpercaya dan

bersifat rahasia, kemudian diserahkan kepada kurir ditempat yang

ditentukan di luar tempat penyimpanan dan kurir tidak mengenal orang

yang menitipkan / menyerahkan barang. Semuanya digerakkan oleh

seseorang yang bertindak sebagai operator yang dalam kasus tersebut

digerakkan dari dalam lembaga pemasyarakatan. Berikut ilustrasi

kejahatan terorganisir terkait tindak pidana narkotika sebagai berikut di

bawah ini (Kepala BNNP DIY ketika memberikan ceramah kepada

mahasiswa Amikom pada tanggal 1 Desember 2012).

BG1 BG2 BG3 BG4

pengedarbarang

pembuat

pengirimpenyimpanKSbarang

Tdk pegangBarang di NK

Saling kenal

Saling kenal

Penyimpanuang

pembeli

Saling kenal

Arus uang

Tdk saling kenal Tdk saling kenal

barang

LP sel blok A3/24 bRek BCA an KT : 171.060.xxx.x

Gambar: 2Visualisasi Organisasi Kejahatan Narkotika

24

Contoh kejahatan narkotika yang secara terorganisir sebagaimana

yang pernah terungkap di Bali pada tahun 2005. Pengungkapannya

memerlukan waktu lama, lebih dari satu tahun. Kejahatan terorganisir

yang telah terungkap di Bali melibatkan orang-orang asing dan salah satu

kurirnya diketemukan di DIY.

Sumber: BNNP DIYGambar : 3

Visualisasi Organisasi Kejahatan NarkotikaBali Nine Th. 2005

Pengungkapan kejahatan terorganisir harus menggunakan

tehnologi tinggi, terutama penggunaan peralatan tehnologi informatika

(IT), terutama komputer, telepon seluler, jaringan internet, jaringan

telepon yang didukung dengan alat analisis data elektronik. Guna

menemukan pelaku tindak pidana, UU No 35 tahun 2009 memberikan

kewenangan kepada penyidik untuk melakukan penyadapan. (Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009: Pasal 75 huruf i).

Di bawah ini salah satu contoh bagan komunikasi hasil

penyelidikan yang dilakukan BNNP DIY bekerja sama dengan BNN pusat

dalam rangka pengungkapan kasus penyalahgunaan dan peredaran gelap

narkotika di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada bagan di bawah ini

tergambar jelas arus komunikasi antara tersangaka dengan orang lain.

24

Contoh kejahatan narkotika yang secara terorganisir sebagaimana

yang pernah terungkap di Bali pada tahun 2005. Pengungkapannya

memerlukan waktu lama, lebih dari satu tahun. Kejahatan terorganisir

yang telah terungkap di Bali melibatkan orang-orang asing dan salah satu

kurirnya diketemukan di DIY.

Sumber: BNNP DIYGambar : 3

Visualisasi Organisasi Kejahatan NarkotikaBali Nine Th. 2005

Pengungkapan kejahatan terorganisir harus menggunakan

tehnologi tinggi, terutama penggunaan peralatan tehnologi informatika

(IT), terutama komputer, telepon seluler, jaringan internet, jaringan

telepon yang didukung dengan alat analisis data elektronik. Guna

menemukan pelaku tindak pidana, UU No 35 tahun 2009 memberikan

kewenangan kepada penyidik untuk melakukan penyadapan. (Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009: Pasal 75 huruf i).

Di bawah ini salah satu contoh bagan komunikasi hasil

penyelidikan yang dilakukan BNNP DIY bekerja sama dengan BNN pusat

dalam rangka pengungkapan kasus penyalahgunaan dan peredaran gelap

narkotika di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada bagan di bawah ini

tergambar jelas arus komunikasi antara tersangaka dengan orang lain.

24

Contoh kejahatan narkotika yang secara terorganisir sebagaimana

yang pernah terungkap di Bali pada tahun 2005. Pengungkapannya

memerlukan waktu lama, lebih dari satu tahun. Kejahatan terorganisir

yang telah terungkap di Bali melibatkan orang-orang asing dan salah satu

kurirnya diketemukan di DIY.

Sumber: BNNP DIYGambar : 3

Visualisasi Organisasi Kejahatan NarkotikaBali Nine Th. 2005

Pengungkapan kejahatan terorganisir harus menggunakan

tehnologi tinggi, terutama penggunaan peralatan tehnologi informatika

(IT), terutama komputer, telepon seluler, jaringan internet, jaringan

telepon yang didukung dengan alat analisis data elektronik. Guna

menemukan pelaku tindak pidana, UU No 35 tahun 2009 memberikan

kewenangan kepada penyidik untuk melakukan penyadapan. (Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009: Pasal 75 huruf i).

Di bawah ini salah satu contoh bagan komunikasi hasil

penyelidikan yang dilakukan BNNP DIY bekerja sama dengan BNN pusat

dalam rangka pengungkapan kasus penyalahgunaan dan peredaran gelap

narkotika di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada bagan di bawah ini

tergambar jelas arus komunikasi antara tersangaka dengan orang lain.

25

Sumber: BNNP DIY

Gambar: 4Hasil Analisa Data ElektronikKomunikasi Melalui Seluler

Pergerakan kejahatan terorganisasi terkait narkotika sangat

bergantung dari pendanaan, yang pada umumnya juga diperoleh dari

kejahatannya. Oleh karena itu, sangat penting bagi BNNP DIY untuk

melacak kejahatan narkotika ini dengan menelusuri lalu lintas keuangan

tersangka dan yang terkait. Penyidik di BNNP DIY dalam melakukan

penyelidikan dan penyidikan di bidang tindak pidana narkotika antara lain

memiliki kewenangan untuk meminta data kekayaan dan data perpajakan

tersangka kepada instansi terkait, dan menghentikan sementara suatu

transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau

mencabut sementara izin, lisensi, serta konsesi yang dilakukan atau

dimiliki oleh tersangka yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup

ada hubungannya dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika

dan Prekursor Narkotika yang sedang diperiksa; (Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009. Pasal 80. Huruf f dan g).

26

I. Fungsi Hukum dan Kebijakan Kriminal dalam

Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Berdasarkan UU No. 35

Tahun 2009

BNN maupun BNNP DIY dalam melaksanakan pencegahan,

pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika berdasar kepada

UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, dengan demikian badan tersebut

menerapkan hukum yang fungsinya merupakan bagian dari konsep struktur

hukum. Ada 4 (empat) fungsi sistem hukum menurut Friedman, yaitu:

1. Fungsi kontrol sosial (social control), bahwa semua hukum adalah

berfungsi sebagai kontrol sosial dari pemerintah.

2. Berfungsi sebagai cara penyelesaian sengketa (dispute setlement) dan

konflik (conflict). Penyelesaian sengketa ini biasanya untuk penyelesaian

yang sifatnya berbentuk pertentangan lokal berskala kecil (micro).

Sebaliknya pertentangan-pertentangan yang bersifat makro dinamakan

konflik.

3. Fungsi retribusi atau fungsi rekayasa sosial (retribution function and social

engineering function). Fungsi ini mengarahkan pada penggunaan hukum

untuk mengadakan perubahan sosial yang berencana yang ditentukan oleh

pemerintah.

4. Fungsi pemeliharaan sosial (social maintenance function). Fungsi ini

berguna untuk menegakkan struktur hukum agar tetap berjalan sesuai

dengan aturan mainnya (rule of the game). (Wishnu Basuki, 2001: 11-18).

Teori Friedman sebagai kontrol sosial (social control), dalam

hubungannya dengan UU No.35 tahun 2009 diharapkan pengaturan tentang

segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang berhubungan dengan Narkotika

dapat berfungsi untuk mempertahankan dan menjaga suatu keadaan pada

masyarakat agar tetap berada dalam pola tingkah laku yang diterima oleh

masyarakat yang bersangkutan, yaitu untuk mencapai kehidupan yang aman,

tentram, tertib dan adil dalam masyarakat. UU No 35 tahun 2009 harus mampu

27

memaksa warga masyarakat agar berperilaku sesuai dengan aturan-aturan di

dalamnya, dapat bersifat preventif maupun represif, oleh karena itu uandang-

undang tersebut memuat ancaman hukum bagi yang melanggarnya. Preventif

merupakan suatu upaya untuk mencegah perilaku yang menyimpang, sedangkan

represif bertujuan untuk mengembalikan keserasian yang terganggu.

Fungsi Undang-Undang Narkotika menurut teori Friedman harus bisa

sebagai sarana penyelesaian sengketa dan konflik (dispute settlement and

conflict). Di dalam masyarakat berbagai persengketaan dapat terjadi, misalnya

antara penyalur resmi narkotika dapat meretakkan hubungan antara mereka dalam

suatu urusan bersama (company), yang dapat membubarkan kerjasama. Sengketa

juga dapat mengenai pengadaan, impor dan ekspor, peredaran, pelabelan dan

publikasi, hingga penggunaan narkotika sebagai pengobatan dan rehabilitasi.

Konflik juga dapat terjadi antar sesama instansi pemerintah atau aparat yang ada

di dalamnya. Konflik dapat melibatkan petugas di dalam satu organisasi atau antar

organisasi, yang pada umumnya mereka berebut prestasi untuk menunjukkan

kinerjanya, namun tidak menutup kemungkinan konflik juga dipicu dengan

adanya kepentingan lainnya.

Cara-cara penyelesaian sengketa terkait dengan narkotika dalam suatu

masyarakat, ada yang diselesaikan melalui lembaga formal yang disebut dengan

pengadilan, dan ada yang diselesaikan secara sendiri oleh orang-orang yang

bersangkutan dengan mendapat bantuan dari orang yang ada di sekitarnya. oleh

karena itu Undang-Undang No. 35 tahun 2009 mengatur tentang pembinaan dan

pengawasan narkotika. Hal ini bertujuan untuk mengukur sejauh terjadi

pelanggaran norma dan apa yang harus diwajibkan kepada pelanggar supaya yang

telah dilanggar itu dapat diluruskan kembali. Keterlibatan masyarakat sangat

penting, oleh karena itu dalam undang-undang narkotika diamanatkan adanya

peran serta masyarakat sebagaimana sebagaimana diatur dalam pasal 104 – 108

Undang-Undang No. 35 tahun 2009.

Teori Friedman menjelaskan bahwa hukum dapat sebagai sarana rekayasa

sosial (social engineering), apabila diterapkan pada UU No 35 tahun 2009 tentang

28

Narkotika maka pengaturan tentang segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan

yang berhubungan dengan Narkotika harus dapat digunakan untuk mengarahkan

pada tujuan yang dikehendaki, menghapuskan kebiasaan yang dipandang tidak

sesuai lagi dengan pola-pola kelakuan baru dan juga untuk mengukuhkan pola-

pola kebiasaan dan tingkah laku yang telah ada dalam masyarakat. UU No. 35

tahun 2009 tentang Narkotika memasukkan psikotropika golongan I dan II yang

tertuang dalam UU No. 5 Tahun 1997 ke dalam golongan narkotika, sehingga

kebiasaan penanganan mulai produksi, penyimpanan, pendistribusian,

pengangkutan, penyaluran, penyerahan dan sebagainya harus berubah dan

menyesuaikan dengan penanganan narkotika. Dengan demikian, hukum dapat

berfungsi menjadi sarana untuk melakukan perubahan-perubahan dalam

masyarakat. Contoh lainnya adalah perlakuan terhadap korban yang menurut

undang-undang sebelumnya diberlakukan sebagai pelaku criminal murni, namun

UU NO 35 tahun 2009 mengamanatkan bahwa korban harus diobati / dipulihkan

dan apabila terpaksa berurusan dengan pidana, maka ancaman hukumannya tidak

berat. Pengedar dan petugas yang terlibat dalam peredaran narkotika tidak legal

akan mendapat sanksi berat.

Penerapan teori Friedman sebagai pemeliharaan sosial (social

maintenance function), ke dalam UU No 35 tahun 2009 tentang Narkotika

mengisyaratkan bahwa undang-undang tersebut harus dapat menjamin agar

struktur hukum tetap berjalan sesuai dengan aturan mainnya (rule of the game).

Jaminan agar struktur hukum pada UU NO 35 tahun 2009 tetap berjalan sesuai

dengan aturan mainnya, maka kepada semua pihak yang terkait termasuk

masyarakat harus saling mengontrol. Hal tersebut ditunjukkan adanya ketentuan-

ketentuan yang mengikat bagi setiap petugas, yang diikuti dengan ketentuan

ancaman pidana bagi pelanggaranya. Kontrol yang telah terbukti efektif adalah

kontrol dari masyarakat, yang mana masyarakat memiliki hak-hak dalam upaya

pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika

sebagaimana disebutkan dalam pasal 106 sebagai berikut:

29

1. mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah

terjadi tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;

2. memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan

informasi tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana Narkotika dan

Prekursor Narkotika kepada penegak hukum atau BNN yang menangani

perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;

3. menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada

penegak hukum atau BNN yang menangani perkara tindak pidana

Narkotika dan Prekursor Narkotika;

4. memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan

kepada penegak hukum atau BNN;

5. memperoleh perlindungan hukum pada saat yang bersangkutan

melaksanakan haknya atau diminta hadir dalam proses peradilan. (UU NO

35 tahun 2009: Pasal 106)

Ketentuan pemidanaan yang terdapat di dalam undang-undang UU No. 35

tahun 2009 tentang Narkotika merubah ketentuan pemidanaan pada undang-

undang narkotika sebelumnya yaitu Undang-Undang nomor 22 tahun 1997.

Perubahan tersebut antara lain memberikan hukuman lebih berat bagi pengedar

dan petugas yang melanggarnya, namun memberikan hukuman ringan bagi

korban dan memberikan kesempatan untuk berobat / rehabilitasi bagi korban

penyalahgunaan narkotika.

Terkait dengan teori hukum pidana dikenal dalil Ultimum Remedium.

Teori tersebut menjelaskan tentang sarana terakhir dalam rangka menentukan

perbuatan apa saja yang akan dijadikan delik atau perbuatan yang apabila

dilakukan akan berhadapan dengan pemidanaan atau kriminalisasi. Sedangkan

langkah kriminalisasi sendiri termasuk dalam teori kebijakan kriminal (criminal

policy). Peter G Hoefnagels mengemukakan bahwa criminal policy is the rational

organization of the control of crime by society yang diartikan sebagai upaya

rasional dari suatu Negara untuk menanggulangi kejahatan. Dalam kebijakan

kriminal tersebut selanjutnya diuraikan bahwa Criminal policy sebagai a science

30

of responses, science of crime prevention, policy of designating human behavior

as a crime dan rational total of the responses to crime. Selain terdapat persyaratan

bahwa menentukan perbuatan mana yang akan dikriminalisasi yaitu bahwa

perbuatan itu tercela, merugikan dan mendapat pengakuan secara kemasyarakatan

bahwa ada kesepakatan untuk mengkriminalisasi dan mempertimbangkan cost

and beneft principle,tetapi juga harus dipikirkan jangan sampai terjadi over

criminalization, (Barda Nawawi Arief, 1984: 31-32)

Von Liszt, Priens, Van Hammel pendiri Internationale Association for

Criminology maka untuk menghindari over criminalization memberikan beberapa

rambu rambu yang antara lain bahwa:

1. Fungsi Hukum pidana adalah memerangi kejahatan sebagai suatu gejala

masyarakat.

2. Ilmu Hukum pidana dan perundang-undangan hukum pidana harus

memperhatikan hasil-hasil penelitian anthropologis dan sosiologis.

3. Pidana merupakan alat yang paling ampuh yang dimiliki Negara untuk

memerangi kejahatan namun pidana bukan merupkan satu-satunya alat,

sehingga pidana jangan diterapkan terpisah, melainkan selalu dalam

kombinasi dengan tindakan-tindakan social lainnya, khususnya dalam

kombinasi dengan tindakan-tindakan preventif. (Barda Nawawi Arief,

1984: hal.31-32)

Kebijakan kriminal terkait dengan permasalahan narkotika di Indonesia

secara jelas tertuang pada penjelasan UU No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika.

Kebijakan tersebut dimulai dari pernyataan politik bahwa untuk mencegah dan

memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika yang sangat

merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara, pada

Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2002

melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor

VI/MPR/2002 merekomendasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat

Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia untuk melakukan

31

perubahan atas Undang-Undang Narkotika yang telah ada, yaitu UU No. 22

Tahun 1997.

UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sebagai pengganti UU No. 22

Tahun 1997 mengisyaratkan adanya pengaturan narkotika mulai dari pengadaan,

import, eksport, peredaran, pelabelan, publikasi, penggunaan untuk pengobatan

dan rehabilitasi, penggunaan untuk keperluan ilmu pengetahuan dan tehnologi.

Hal ini juga untuk mengantisipasi bahaya penyalahgunaan zat tersebut, yang

kenyataannya perkembangan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika

menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif

maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak,

remaja, dan generasi muda pada umumnya.

UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dikatakan lebih humanis karena

tidak semua kasus pidana dianggap kriminal sebagaimana UU Narkotika

sebelumnya. Dalam penentuan perbuatan yang dikriminalisasikan telah ada

kesepakatan antara pemerintah RI dengan rakyat yang melalui perwakilannya di

DPR RI dan juga mempertimbangkan cost and beneft principle, serta telah

dipikirkan jangan sampai terjadi over criminalization.

Kebijakan kriminal dalam UU No. 35 Tahun 2009, membedakan antara

penyalah guna, pecandu, dan korban penyalahgunaan narkotika. Penyalah Guna

adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum.

Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan

Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik

maupun psikis. (Undang-Undang No. 35 tahun 2009: Pasal 1).

Ketentuan tentang korban yang antara lain tertuang dalam pasal 54 – 59

UU No 35 Tahun 2009 mewajibkan bahwa korban untuk diobati dan

direhabilitasi, dikecualikan bagi mereka yang tidak melaksanakan kewajibannya

akan dikenai sanksi pidana. Sanksi pidana dimaksud sebenarnya hanya digunakan

untuk memaksa berbagai pihak untuk menyembuhkan dan merehabilitasi pecandu

sesuai hak dan kewajibannya.

32

Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani

rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, (Undang-Undang No. 35 tahun 2009:

Pasal 54). Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika pada dasarnya

bukanlah pelaku pidana oleh karena itu tidak perlu dipidana. Mereka perlu

disembuhkan dengan cara melalui rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial.

Kebijakan ini dimaksudkan agar pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika

dapat pulih atau sembuh dan diupayakan tidak kambuh kembali (relapse).

Pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika yang sudah pulih atau sembuh

diharapkan dapat produktif kembali dan tidak menjadikan beban orang lain.

Kebijakan kriminal selanjutnya adalah bagi penyalah guna diberikan

sanksi pidana sesuai dengan penggolongan narkotika. Ketentuan Pidana diberikan

ketentuan minimal dan maksimal, dengan pemberatan bahkan terdapat hukuman

seumur hidup dan hukuman mati sesuai jumlah dan penggolongan jenis

narkotikanya.

Kebijakan lain, untuk melindungi masyarakat dari bahaya

penyalahgunaan Narkotika dan mencegah serta memberantas peredaran gelap

Narkotika, dalam Undang-Undang No. 35 tahun 2009 diatur juga mengenai zat

atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan

Narkotika (Prekursor Narkotika), dan diatur pula mengenai sanksi pidana bagi

penyalahgunaan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika. Untuk

menimbulkan efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan peredaran gelap

Narkotika dan Prekursor Narkotika, diatur mengenai pemberatan sanksi pidana,

baik dalam bentuk pidana minimum khusus, pidana penjara 20 (dua puluh) tahun,

pidana penjara seumur hidup, maupun pidana mati. Pemberatan pidana tersebut

dilakukan dengan mendasarkan pada golongan, jenis, ukuran, dan jumlah

Narkotika.

Kebijakan yang keras dalam rangka pencegahan dan pemberantasan

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, diatur pula mengenai seluruh

harta kekayaan atau harta benda yang merupakan hasil tindak pidana Narkotika

dan Prekursor Narkotika dan tindak pidana pencucian uang dari tindak pidana

33

Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap dirampas untuk negara dan digunakan

untuk kepentingan pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan

peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika dan upaya rehabilitasi medis

dan sosial.

Kebijakan untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan

peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang modus operandinya

semakin canggih, dalam Undang-Undang No. 35 tahun 2009 diatur mengenai

perluasan teknik penyidikan penyadapan (wiretapping), teknik pembelian

terselubung (under cover buy), dan teknik penyerahan yang diawasi (controlled

delevery), serta teknik penyidikan lainnya guna melacak dan mengungkap

penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

Kebijakan guna menjamin terlaksananya penyidikan dengan baik dan

mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang bagi penyidik maka pada

undang-undang tersebut diatur proses acara pidananya, sedangkan acara pidana

yang tidak diatur dalam uandang-undang tersebut masih menggunakan UU No. 8

tahun 1981 tentang KUHAP.

Dalam rangka mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran

gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dilakukan secara terorganisasi

dan memiliki jaringan yang luas melampaui batas negara, dalam Undang-Undang

No. 35 tahun 2009 diatur mengenai kerja sama, baik bilateral, regional, maupun

internasional.

Undang-Undang No. 35 tahun 2009 juga mengatur peran serta masyarakat

dalam usaha pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan

Prekursor Narkotika termasuk pemberian penghargaan bagi anggota

masyarakat yang berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan

penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika Penghargaan tersebut

diberikan kepada penegak hukum dan masyarakat yang telah berjasa dalam upaya

pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika

dan Prekursor Narkotika.

34

E. Kerangka Pemikiran

Dalam penelitian ini peneliti ingin mengetahui suatu proses kerja BNNP

DIY dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran

gelap narkotika di DIY. Upaya tersebut tentunya didukung oleh peraturan

perundangan yang menjadi dasar hukumnya yang antara lain adalah UU No. 35

tahun 2009, Peraturan Presiden No. 23 tahun 2010, Peraturan Kepala BNN No.:

PER / 04 / V / 2010 / BNN.

BNNP DIY merupakan perwakilan BNN di tingkat Provinsi, oleh karena

itu tugas pokok dan fungsi BNN harus diemban oleh BNNP DIY. Kebijakan-

kebijakan yang ditetapkan oleh BNN merupakan dasar bertindak bagi BNNP

DIY. Upaya-upaya yang dilaksanakan BNNP DIY meliputi upaya pencegahan

dan pemberantasan yang merupakan hasil kinerjanya dalam mendukung

mewujudkan Indonesia bebas dari penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika

(Drugs Free). Upaya-upaya BNNP DIY tidak terlepas dari kendala-kendala, oleh

karena itu penulis ingin mengetahui kendala-kendala tersebut baik dalam bidang

pencegahan maupun dalam bidang pemberantasan, dan bagaimana cara mengatasi

hambatan tersebut. Di bawah ini dikemukakan gambar untuk memperjelas

kerangka pemikiran, sebagai berikut:

Gambar 5 : Kerangka Pemikiran

34

E. Kerangka Pemikiran

Dalam penelitian ini peneliti ingin mengetahui suatu proses kerja BNNP

DIY dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran

gelap narkotika di DIY. Upaya tersebut tentunya didukung oleh peraturan

perundangan yang menjadi dasar hukumnya yang antara lain adalah UU No. 35

tahun 2009, Peraturan Presiden No. 23 tahun 2010, Peraturan Kepala BNN No.:

PER / 04 / V / 2010 / BNN.

BNNP DIY merupakan perwakilan BNN di tingkat Provinsi, oleh karena

itu tugas pokok dan fungsi BNN harus diemban oleh BNNP DIY. Kebijakan-

kebijakan yang ditetapkan oleh BNN merupakan dasar bertindak bagi BNNP

DIY. Upaya-upaya yang dilaksanakan BNNP DIY meliputi upaya pencegahan

dan pemberantasan yang merupakan hasil kinerjanya dalam mendukung

mewujudkan Indonesia bebas dari penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika

(Drugs Free). Upaya-upaya BNNP DIY tidak terlepas dari kendala-kendala, oleh

karena itu penulis ingin mengetahui kendala-kendala tersebut baik dalam bidang

pencegahan maupun dalam bidang pemberantasan, dan bagaimana cara mengatasi

hambatan tersebut. Di bawah ini dikemukakan gambar untuk memperjelas

kerangka pemikiran, sebagai berikut:

Gambar 5 : Kerangka Pemikiran

34

E. Kerangka Pemikiran

Dalam penelitian ini peneliti ingin mengetahui suatu proses kerja BNNP

DIY dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran

gelap narkotika di DIY. Upaya tersebut tentunya didukung oleh peraturan

perundangan yang menjadi dasar hukumnya yang antara lain adalah UU No. 35

tahun 2009, Peraturan Presiden No. 23 tahun 2010, Peraturan Kepala BNN No.:

PER / 04 / V / 2010 / BNN.

BNNP DIY merupakan perwakilan BNN di tingkat Provinsi, oleh karena

itu tugas pokok dan fungsi BNN harus diemban oleh BNNP DIY. Kebijakan-

kebijakan yang ditetapkan oleh BNN merupakan dasar bertindak bagi BNNP

DIY. Upaya-upaya yang dilaksanakan BNNP DIY meliputi upaya pencegahan

dan pemberantasan yang merupakan hasil kinerjanya dalam mendukung

mewujudkan Indonesia bebas dari penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika

(Drugs Free). Upaya-upaya BNNP DIY tidak terlepas dari kendala-kendala, oleh

karena itu penulis ingin mengetahui kendala-kendala tersebut baik dalam bidang

pencegahan maupun dalam bidang pemberantasan, dan bagaimana cara mengatasi

hambatan tersebut. Di bawah ini dikemukakan gambar untuk memperjelas

kerangka pemikiran, sebagai berikut:

Gambar 5 : Kerangka Pemikiran

35

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. Hasil Penelitian

1. Gambaran Umum Badan Narkotika Nasional Provinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta

Badan Narkotika Nasional Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

(BNNP DIY) adalah salah satu Badan Narkotika Nasional Provinsi

sebagai perwakilan Badan Narkotika Nasional (BNN). Keduanya dibentuk

dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan

peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika (UU No 35 Tahun

2009, Pasal 64 - 67).

a. Kedudukan Badan Narkotika Nasional Provinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta.

Badan Narkotika Nasional Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta (BNNP DIY) sebagaimana Badan Narkotika Nasional

Provinsi lainnya berada di bawah dan bertanggung jawab kepada

Kepala Badan Narkotika Nasional, dan berkedudukan di ibu kota

provinsi yaitu di kota Yogyakarta. Wilayah kerja BNNP DIY

meliputi satu kota dan empat kabupaten, yaitu Kota Yogyakarta,

Kabupaten Sleman, Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaeten Bantul,

dan Kabupaten Kulon Progo.

b. Tugas, Fungsi dan Wewenang Badan Narkotika Nasional

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

BNNP DIY sebagaimana BNNP lainnya melaksanakan

tugas, fungsi, dan wewenang BNN dalam wilayah Provinsi.

36

1) Tugas BNN yang juga merupakan tugas BNNP termasuk

dilaksanakan oleh BNNP DIY disebutkan pada Pasal 70

UU 35 tahun 2009 dan Pasal 2 Perpres No. 23 tahun 2010

sebagai berikut:

a) Menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional

mengenai pencegahan dan pemberantasan

penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan

Prekursor Narkotika;

b) Mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan

peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;

c) Berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Negara

Republik Indonesia dalam pencegahan dan

pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap

Narkotika dan Prekursor Narkotika;

d) Meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi

medis dan rehabilitasi sosial pecandu Narkotika,

baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun

masyarakat;

e) Memberdayakan masyarakat dalam pencegahan

penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan

Prekursor Narkotika;

f) Memantau, mengarahkan, dan meningkatkan

kegiatan masyarakat dalam pencegahan

penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan

Prekursor Narkotika;

g) Melakukan kerja sama bilateral dan multilateral,

baik regional maupun internasional, guna mencegah

dan memberantas peredaran gelap Narkotika dan

Prekursor Narkotika;

h) Mengembangkan laboratorium Narkotika dan

Prekursor Narkotika;

37

i) Melaksanakan administrasi penyelidikan dan

penyidikan terhadap perkara penyalahgunaan dan

peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;

j) Membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan

tugas dan wewenang (UU 35 tahun 2009: Pasal 70

dan Perpres No. 23 tahun 2010: Pasal 2).

2) Fungsi Badan Narkotika Nasional Provinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta.

Fungsi BNN yang juga merupakan fungsi BNNP

termasuk dilaksanakan oleh BNNP DIY disebutkan pada

Pasal 3 Perpres No. 23 tahun 2010 sebagai berikut:

a) penyusunan dan perumusan kebijakan nasional di

bidang pencegahan dan pemberantasan

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika,

psikotropika, dan prekursor serta bahan adiktif

lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan

alkohol yang selanjutnya disingkat dengan P4GN;

b) penyusunan, perumusan dan penetapan norma,

standar, kriteria, dan prosedur P4GN;

c) penyusunan perencanaan, program, dan anggaran

BNN;

d) penyusunan dan perumusan kebijakan teknis

pencegahan, pemberdayaan masyarakat,

pemberantasan, rehabilitasi, hukum dan kerja sama

di bidang P4GN;

e) pelaksanaan kebijakan nasional dan kebijakan

teknis P4GN di bidang Pencegahan, Pemberdayaan

Masyarakat, Pemberantasan, Rehabilitasi, Hukum,

dan Kerja Sama;

38

f) pelaksanaan pembinaan teknis di bidang P4GN

kepada instansi vertikal di lingkungan BNN;

g) pengoordinasian instansi pemerintah terkait dan

komponen masyarakat dalam rangka penyusunan

dan perumusan serta pelaksanaan kebijakan

nasional di bidang P4GN;

h) penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan

administrasi di lingkungan BNN;

i) pelaksanaan fasilitasi dan pengoordinasian wadah

peran serta masyarakat;

j) pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan

prekursor narkotika;

k) pelaksanaan pemutusan jaringan kejahatan

terorganisasi di bidang narkotika, psikotropika, dan

prekursor serta bahan adiktif lainnya, kecuali bahan

adiktif untuk tembakau dan alkohol;

l) pengoordinasian instansi pemerintah terkait maupun

komponen masyarakat dalam pelaksanaan

rehabilitasi dan penyatuan kembali ke dalam

masyarakat serta perawatan lanjutan bagi

penyalahguna dan/atau pecandu narkotika dan

psikotropika serta bahan adiktif lainnya kecuali

bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol di tingkat

pusat dan daerah;

m) pengoordinasian peningkatan kemampuan lembaga

rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pecandu

narkotika dan psikotropika serta bahan adiktif

lainnya, kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan

39

alkohol yang diselenggarakan oleh pemerintah

maupun masyarakat;

n) peningkatan kemampuan lembaga rehabilitasi

penyalahguna dan/atau pecandu narkotika dan

psikotropika serta bahan adiktif lainnya, kecuali

bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol berbasis

komunitas terapeutik atau metode lain yang telah

teruji keberhasilannya;

o) pelaksanaan penyusunan, pengkajian, dan

perumusan peraturan perundang-undangan serta

pemberian bantuan hukum di bidang P4GN;

p) pelaksanaan kerja sama nasional, regional, dan

internasional di bidang P4GN;

q) pelaksanaan pengawasan fungsional terhadap

pelaksanaan P4GN di lingkungan BNN;

r) pelaksanaan koordinasi pengawasan fungsional

instansi pemerintah terkait dan komponen

masyarakat di bidang P4GN;

s) pelaksanaan penegakkan disiplin, kode etik pegawai

BNN, dan kode etik profesi penyidik BNN;

t) pelaksanaan pendataan dan informasi nasional,

penelitian dan pengembangan, dan pendidikan dan

pelatihan di bidang P4GN;

u) pelaksanaan pengujian narkotika, psikotropika, dan

prekursor serta bahan adiktif lainnya, kecuali bahan

adiktif untuk tembakau dan alkohol;

v) pengembangan laboratorium uji narkotika,

psikotropika, dan prekursor serta bahan adiktif

40

lainnya, kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan

alkohol;

w) pelaksanaan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan

kebijakan nasional di bidang P4GN. (Perpres No. 23

tahun 2010, Pasal 3)

Fungsi sebagaimana tersebut di atas disederhanakanoleh Kepala BNN dan dituangkan dalam Pasal 3 PeraturanKepala BNN No.: PER / 04 / V/ 2010 / BNN, bahwa BNNPmenyelenggarakan fungsi:

a) Pelaksanaan kebijakan teknis P4GN di bidang

pencegahan, pemberdayaan masyarakat,

pemberantasan, dan rehabilitasi;

b) Pelaksanaan penyiapan bantuan hukum dan kerja

sama;

c) Pelaksanaan pembinaan teknis di bidang P4GN

kepada Badan Narkotika Nasional Kabupaten/Kota;

d) Penyusunan rencana program dan anggaran BNNP;

e) Evaluasi dan penyusunan laporan BNNP; dan

f) Pelayanan administrasi BNNP (Peraturan Kepala

BNN No.: PER / 04 / V/ 2010 / BNN, Pasal 3)

3) Wewenang Badan Narkotika Nasional Provinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta.

Wewenang BNNP tentunya melekat pada tugas

pokok dan fungsinya sebagaimana tersebut di atas.

Kewenangan lainnya yaitu di bidang pemberantasan,

BNNP DIY berwenang melakukan penyelidikan dan

penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika

dan Prekursor Narkotika. (UU No. 35 Tahun 2009 Pasal 71

dan Perpres No. 23 tahun 2010 Pasal 4).

41

c. Struktur Organisasi Badan Narkotika Nasional Provinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta.

Struktur Organisasi Badan Narkotika Nasional Provinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta (BNNP DIY) dan juga struktur

organisasi BNNP lainnya secara umum tertuang dalam Peraturan

Presiden Republik Indonesia No. 23 tahun 2010 dan diuraikan

secara rinci di dalam Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional

Nomor : PER / 04 / V / 2010 / BNN tentang Organisasi dan Tata

Kerja Badan Narkotika Nasional Provinsi dan Badan Narkotika

Nasional Kabupaten/Kota.

Struktur Organisasi BNNP DIY terdiri dari Kepala, Bagian

Tata Usaha, Bidang Pencegahan, Bidang Pemberdayaan

Masyarakat, dan Bidang Pemberantasan. Di bawah ini ditampilkan

gambar struktur organisasi BNNP DIY, tersusun secara lini sesuai

dengan tingkat jabatan masing-masing personel, yang sekaligus

menggambarkan garis komando sesuai tugas dan tanggung

jawabnya, yaitu:

Sumber: Peraturan Kepala BNN No.: PER / 04 / V/ 2010 / BNN

Gambar 6: Struktur Organisasi BNNP

42

Keterangan Gambar:

1) Kepala BNNP mempunyai tugas (1) memimpin BNNP dalam

pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang BNN dalam wilayah

Provinsi, (2) mewakili Kepala BNN dalam melaksanakan

hubungan kerjasama P4GN dengan instansi pemerintah terkait dan

komponen masyarakat dalam wilayah Provinsi.

2) Bagian Tata Usaha dipimpin oleh Kepala Bagian Tata Usaha

mempunyai tugas melaksanakan penyusunan rencana program dan

anggaran, evaluasi dan penyusunan laporan, serta pelayanan

administrasi. Kepala Bagian Tata Usaha dalam melaksanakan

tugasnya dibantu oleh (1) Kepala Subbagian Perencanaan, yang

mempunyai tugas melakukan penyiapan penyusunan rencana

program dan anggaran, bahan bantuan hukum dan kerja sama,

serta evaluasi dan penyusunan laporan; (2) Kepala Subbagian

Logistik, mempunyai tugas melakukan urusan tata persuratan,

pengelolaan logistik, dan urusan rumah tangga BNNP; dan (3)

Kepala Subbagian Admininstrasi, mempunyai tugas melakukan

urusan kepegawaian, keuangan, kearsipan, dokumentasi, dan

hubungan masyarakat.

3) Bidang Pencegahan dipimpin oleh Kepala Bidang Pencegahan,

mempunyai tugas melaksanakan kebijakan teknis P4GN di bidang

pencegahan dalam wilayah Provinsi. Kepala Bidang Pencegahan

dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh (1) Kepala Seksi

Desiminasi Informasi, mempunyai tugas melakukan penyiapan

desiminasi informasi P4GN di bidang pencegahan dalam wilayah

Provinsi, dan penyiapan bimbingan teknis desiminasi informasi

kepada Badan Narkotika Nasional Kabupaten/Kota.; dan (2)

Kepala Seksi Advokasi, mempunyai tugas melakukan penyiapan

advokasi P4GN di bidang pencegahan dalam wilayah Provinsi,

dan penyiapan bimbingan teknis advokasi kepada Badan

43

Narkotika Nasional Kabupaten/Kota.

4) Bidang Pemberdayaan Masyarakat dipimpin oleh Kepala Bidang

Pemberdayaan Masyarakat, mempunyai tugas tugas melaksanakan

kebijakan teknis P4GN di bidang pemberdayaan masyarakat dan

rehabilitasi dalam wilayah Provinsi, dalam melaksanakan

tugasnya dibantu oleh (1) Kepala Seksi Peran Serta Masyarakat,

mempunyai tugas melakukan penyiapan peran serta masyarakat

P4GN di bidang pemberdayaan masyarakat dan rehabilitasi dalam

wilayah Provinsi dan penyiapan bimbingan teknis peran serta

masyarakat kepada Badan Narkotika Nasional Kabupaten/Kota;

dan (2) Kepala Seksi Pemberdayaan Alternatif, mempunyai tugas

melakukan penyiapan pemberdayaan alternatif P4GN di bidang

pemberdayaan masyarakat dalam wilayah Provinsi, dan penyiapan

bimbingan teknis advokasi kepada Badan Narkotika Nasional

Kabupaten/Kota.

5) Bidang Pemberantasan dipimpin oleh Kepala Bidang

Pemberantasan, mempunyai tugas melaksanakan P4GN di bidang

pemberantasan dalam wilayah Provinsi. Kepala Bidang

Pemberantasan dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh (1)

Kepala Seksi Intelijen, mempunyai tugas melakukan penyiapan

pelaksanaan kegiatan intelijen berbasis teknologi dalam wilayah

Provinsi dan penyiapan bimbingan teknis kegiatan intelijen

berbasis teknologi kepada Badan Narkotika Nasional

Kabupaten/Kota; (2) Kepala Seksi Penyidikan, Penindakan, dan

Pengejaran memiliki tugas melakukan penyiapan pelaksanaan

penyidikan, penindakan, dan pengejaran dalam rangka pemutusan

jaringan kejahatan terorganisasi penyalahgunaan dan peredaran

gelap narkotika, psikotropika, prekursor, dan bahan adiktif lainnya

kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol dalam wilayah

Provinsi dan penyiapan bimbingan teknis kegiatan interdiksi

44

kepada Badan Narkotika Nasional Kabupaten/Kota; dan (3)

Kepala Seksi Pengawasan Tahanan, Barang Bukti, dan Aset

mempunyai tugas melakukan penyiapan pelaksanaan pengawasan

tahanan, barang bukti, dan aset dalam wilayah Provinsi.

(Peraturan Kepala BNN No.: PER / 04 / V/ 2010 / BNN, Pasal 5 -

21).

2. Upaya BNNP DIY dalam Pencegahan dan Pemberantasan

Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika

Upaya dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan

peredaran gelap narkotika yang dilakukan BNNP DIY adalah

menggunakan kebijakan penal (kebijakan pemidanaan), di samping itu

juga menggunakan kebijakan non penal (bukan pemidanaan). Upaya yang

dilakukan BNNP DIY dalam pencegahan dan pemberantasan

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika berhasil penulis catat

sedemikian rupa sehingga terumuskan sebagai berikut di bawah ini.

3. Upaya BNNP DIY dalam Pencegahan Penyalahgunaan

dan Peredaran Gelap Narkotika

Kegiatan pencegahan yang dilakukan BNNP DIY terutama

dilaksanakan dalam bentuk penyuluhan, penerangan dan

pendidikan. Data yang dapat peneliti kumpulkan, pada tahun 2012

BNNP DIY telah melaksanakan kegiatan pencegahan sebagaimana

berikut:

1) Pementasan seni budaya dilingkungan pelajar dua kali .

2) Sosialisasi P4GN dilingkungan pelajar, ada 10 (sepuluh)

kali kegiatan, setiap satu kali kegiatan diikuti 100 (seratus)

peserta .

3) Sosialisasi P4GN terhadap para mahasiswa, ada 10

(sepuluh) kali kegiatan, setiap satu kali kegiatan dihadiri

lebih dari 120 (seratus dua puluh) peserta.

45

4) Sosialisasi P4GN terhadap para pekerja (swasta), ada 10

(sepuluh) kali kegiatan, setiap 1 (satu) kali kegiatan diikuti

110 (seratus sepuluh) orang .

5) Sosialisasi P4GN terhadap pegawai negeri ada 5 (lima)

kali, setiap 1 (satu) kali kegiatan diikuti lebih dari 100

(seratus) orang.

6) Pembentukan kader penyuluhan anti Narkotika di

lingkungan pelajar, dilakukan 7(tujuh) kali kegiatan, setiap

1 (satu) kegiatan dihadiri 40 (empat puluh) orang.

7) Pembentukan kader penyuluh anti Narkotika dilingkungan

pekerja (swasta) dilakukan 6 (enam) kali, setiap 1 (satu)

kegiatan dihadiri 40 (empat puluh) peserta.

8) Advokasi tentang implementasi Inpres No 12 tahun 2011

(pelaksanaan strategi nasional dalam P4GN) kepada

instansi pemerintah, ada 2 (dua) kali kegiatan, setiap 1

(satu) kali dihadiri 50 (lima puluh) peserta.

9) Advokasi P4GN bagi lingkungan perguruan tinggi, ada 2

(dua) kegiatan setiap 1 (satu) kali kegiatan dihadiri lebih

dari 150 (seratus lima puluh) peserta.

10) Advokasi P4GN bagi pelajar, ada 8 (delapan) kali kegiatan,

setiap 1(satu) kali kegiatan dihadiri lebih dari 150 (seratus

lima puluh) pelajar.

11) Advokasi tentang Inpres No 12 tahun 2011 dilingkungan

pegawai swasta, dilakukan 10 (sepuluh) kali kegiatan

dengan peserta 100 (seratus) orang.

12) Penyebaran Leaflet yang berisi pesan bahaya

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.

13) Penyebaran sticker anti penyalahgunaan narkotika.

14) Pemasangan banner / spanduk di tempat-tempat strategis

15) Penyuluhan melalui media cetak maupun elektronik.

(Badan Narkotika Nasional Provinsi DIY. 2013: 11-30).

46

Upaya pencegahan juga ditujukan kepada orang-orang yang

sudah memulai menggunakan narkotika agar sesegera mungkin

menghentikan penggunaannya supaya mereka tidak kecanduan

narkotika. Kegiatan ditikberatkan pada kegiatan deteksi secara dini

terhadap orang yang menyalahgunakan Narkotika melalui tes

urine. Hasil tes yang menunjukkan seseorang positif menggunakan

narkotika, diajak untuk menghentikan mengkonsumsi narkotika.

Mereka diberikan konseling perorangan dan keluarga bermasalah

penyalahgunaan Narkotika, bimbingan sosial melalui sosialisasi

tentang bahaya Narkotika.

Upaya pencegahan selanjutnya juga ditujukan untuk

mengurangi resiko yang lebih fatal dari penderitaan kecanduan

narkotika dengan cara mengupayakan pemulihan kondisi fisik,

psikis, moral dan sosial korban penyalahgunaan Narkotika dengan

tujuan untuk mencegah jangan sampai mereka kambuh kembali

atau relapse. Kegiatan pencegahan ini dilaksanakan oleh BNNP

DIY antara lain adalah mengajak para pecandu atau keluarganya

untuk mendapatkan layanan rehabilitasi. Kegiatan lainnya adalah

mengumpulkan mantan pecandu untuk memberi penguatan

terhadap mantan pecandu agar mereka tidak kambuh (relapse),

dalam bentuk diskusi (fokus group discussion), kemudian BNNP

DIY juga mencarikan jalan keluar bagi mereka agar hidup

produktif untuk dapat membiayai kebutuhannya. Jalan yang

ditempuh BNNP DIY adalah berkoordinasi dan bekerja sama

dengan Dinas Sosial DIY agar mantan pecandu tersebut diberikan

pelatihan keterampilan untuk bekal hidup.

Kepala Seksi Pemberdayaan Alternatif, Bambang

Wiryanto, menjelaskan bahwa pada tahun 2012 BNNP DIY telah

melaksanakan pertemuan terhadap pecandu secara berkala

47

sejumlah 35 orang dua kali sebulan, selama tiga bulan dengan

orang yang berbeda. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan

penguatan mental agar para pecandu tersebut tidak kambuh

kembali / relapse. Rencana tindak lanjut dari pertemuan tersebut

BNNP DIY pada tahun 2013 akan memberikan pendampingan

terhadap 40 orang mantan pecandu untuk penguatan dalam

penghidupannya, berupa pelatihan dan peralatan kerja, yang antara

lain mesin cetak, mesin jahit dsb. (Bambang Wiryanto dalam

wawancara hari Kamis, tanggal 10 Januari 2013 jam 08.30).

BNNP DIY dalam upaya pencegahan juga mengunjungi

tempat-tempat rehabilitasi untuk memantau dan memberikan

bimbingan dalam rangka pemulihan pecandu. Salah satu staf di

Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Bapak Sudiyono mengatakan

bahwa setiap bulan secara bergantian staf Bidang Pemberdayaan

Masyarakat mengunjungi tempat-tempat rehabilitasi di DIY, yang

jumlahnya ada 13. Di tempat rehabilitasi tersebut diadakan diskusi

baik dengan pengelolanya maupun kepada residen (sebutan orang

yang dirawat), dalam diskusi tersebut terjadi suatu interaksi yang

saling memberikan masukan sehingga pemulihan korban dapat

berjalan baik dan upaya pencegahan agar tidak kambuh tertanam

pada residen. (Bapak Sudiyono dalam wawancara hari Kamis,

tanggal 10 Januari 2013 jam 15.00).

BNNP DIY menyadari bahwa dalam upaya P4GN tidak

mungkin akan dapat menjangkau seluruh penduduk di wilayah

DIY dalam waktu yang singkat. Data jumlah penduduk hasil

sensus tahun 2010 diperkirakan sebanyak 3.452.390 jiwa. Jumlah

penduduk tersebut berdomisili di wilayah administratif DIY di

empat kabupaten dan satu kota, yaitu Kabupaten Kulon Progo

sejumlah 388 869 orang, Kabupaten Bantul 911 503 orang,

Kabupaten Gunung Kidul 675 382 orang, Kabupaten Sleman 1 093

48

110 orang, dan Kota Yogyakarta 388 627 orang. (Badan Pusat

Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 2010: 7).

Jumlah wilayah administratif DIY dari tingkat

Kabupaten/Kota hingga RT penulis sajikan sebagaimana tabel

berikut.

TABEL: 1

JUMLAH WILAYAH ADMINISTRATIF DIY

TAHUN 2010 – 2012

No Kab / Kota

Pembagian Wilayah

KecamatanKelurahan

/Desa

Dukuh/

DusunRW RT

1. Kulonprogo 12 88 930 1.884 4.462

2. Bantul 17 75 934 - 5.681

3 Gunungkidul 18 144 1.432 1.671 6.864

4. Sleman 17 86 1.212 2.933 7.364

5. KotaYogyakarta

14 45 - 614 2.525

Jumlah SeluruhDIY

78 438 4.508 7.102 26.896

Sumber: Dinas Kependudukan DIY

Kepala Seksi Pemberdayaan Alternatif, Bambang

Wiryanto, SSi mengatakan bahwa tidak mungkin BNNP DIY yang

secara fertikal dan belum memiliki Badan Narkotika Nasional

Kabupaten/Kota (BNNK) dapat berkunjung dan menjangkau

seluruh RT yang ada pada kurun satu tahun anggaran, bahkan ke

setiap desa pun juga berat. Oleh karena itu perlu keterlibatan

masyarakat luas di dalam P4GN. Jumlah RT yang ada tersebut

apabila sehari BNNP DIY mampu mengunjungi tiga RT, maka

49

dalam setahun menurut kalender Gregorian yang terdapat 365 hari,

baru dapat menjangkau sekitar 1.095 RT, sehingga untuk

menjangkau 26.896 RT diperlukan waktu sekitar 24 tahun tanpa

istirahat / libur.

Upaya memberdayakan masyarakat dalam program P4GN

yang dilaksanakan BNNP DIY, mulai dari membentuk kader

penyuluh bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba dan

memberdayakan kader tersebut. Kader yang dibentuk adalah dari

perwakilan desa, instansi pemerintah, perusahaan swasta, kalangan

sekolah dan perguruan tinggi yang secara selektif sesuai tingkat

kerawanannya.

Pembentukan kader dari perwakilan desa juga

diikutsertakan para Babinkamtibmas (Bintara Pembina Keamanan

dan Ketertiban Masayarakat), yaitu petugas kepolisian yang

ditempatkan pada setiap desa. Babinkamtibmas dibekali oleh

BNNP DIY tentang upaya pencegahan dan penyalahgunaan

narkotika, termasuk cara-cara menghadapi korban.

Kader-kader yang telah dibentuk oleh BNN tersebut

diberdayagunakan oleh masyarakat dimana mereka berada, kalau

kader dari para pelajar untuk diberdayakan oleh sekolah tempat

mereka belajar, begitu pula para pekerja diberdayakan oleh

lembaga tempat kerjanya, kader di instansi pemerintah

diberdayakan oleh instansinya. BNNP DIY dalam pemberdayaan

masyarakat mendampingi para kader dan perwakilan masyarakat.

Pendampingan dapat berupa konsultansi tentang permasalahan

yang dihadapi, pemberian dukungan materi baik dalam bentuk

buku, spanduk, poster, leaflet, sticker yang berisi pesan anti

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba, dan lain sebagainya.

50

Upaya pencegahan lainnya yang dikembangkan BNNP DIY

adalah Lomba Sekolah Bebas Narkoba, untuk mendorong gerakan

yang serentak dalam waktu singkat di seluruh sekolah di DIY agar

sekolah-sekolah tersebut berupaya melakukan aktifitas

membebaskan sekolahnya dari penyalahgunaan dan peredaran

gelap narkotika.

Jumlah sekolah di DIY adalah 5.280 satuan pendidikan,

terdiri dari 132 Perguruan Tinggi, 415 SLTA, 507 SLTP, 2.017

SD, dan 2.209 TK (Dinas Kependudukan DIY. 2010).

Kepala BNNP DIY mengatakan bahwa apabila BNNP DIY

melakukan sosialisasi ke setiap sekolah setiap hari satu sekolah

saja secara terus menerus tanpa memperhitungkan hari libur, maka

dalam satu tahun baru dapat mendatangi 360 sekolah, sedang

sekolah dan perguruan tinggi yang harus dilayani sebanyak 3.091

dari SD hingga perguruan tinggi. Oleh karena itu tanpa partisipasi

aktif masyarakat P4GN tidak dapat menyentuh ke setiap lapisan

masyarakat. (Drs. Budiharso dalam wawancara hari Senin, tanggal

14 Januari 2013 jam 10.00).

BNNP juga melakukan pengembangan pencegahan

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika melalui lomba

sekolah. Pada tahun 2012 lomba sekolah tersebut diperuntukkan

pada jenjang Sekolah Lanjutan Menengah Atas (SMA) sederajat.

Jumlah SMA sederajat di DIY sejumlah 415 sekolah, setelah

diadakan penilaian pada tingkat kabupaten/kota tersaring 165

sekolah yang dianggap baik, yaitu aktif dalam program P4GN.

Penilai berasal dari perwakilan Dikpora, LSM, Perguruan Tinggi,

Media, Sekretariat DPRD, dan BNNP DIY. 165 sekolah tersebut

otomatis masih aktif melaksanakan kegiatan P4GN, sedangkan

sekolah lainnya tetap aktif melaksanakan P4GN karena penilaian

51

tersebut tidak semata-mata diumumkan selayaknya lomba dengan

system gugur.

Sejumlah 165 sekolah dipantau terus oleh tim yuri bersama

masyarakat jangan sampai ada warga sekolah yang terlibat

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Setelah penilaian

dilakukan terjaring 25 sekolah yang terdiri perwakilan

kabupaten/kota masing-masing 5 sekolah dinominatorkan sebagai

sekolah yang dianggap konsisten dalam pelaksanaan P4GN. Dari

jumlah tersebut setelah diminta untuk memaparkan programnya di

tingkat provinsi terjaring 12 sekolah nominator terbaik. 12 sekolah

tersebut selanjutnya dilakukan kunjungan lapangan untuk

menentukan 5 sekolah yang berhak mendapatkan uang pembinaan

sesuai rankingnya.

4. Upaya BNNP DIY dalam Pemberantasan Penyalahgunaan

dan Peredaran Gelap Narkotika

Tugas Pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap

narkotika yang diamanatkan kepada BNN termasuk BNNP DIY

dilakukan oleh penyidik BNN (Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 35 Tahun 2009. Pasal 72 huruf a) . Penyidik

BNN yang ditugaskan di BNNP DIY diorganisir dalam suatu sub

organisasi yang ditangani Bidang Pemberantasan, yang secara

hirarkis berada di bawah Kepala BNNP.

Kewenangan-kewenangan penyidik BNN dalam

melaksanakan tugasnya tidak saja terbatas pada penyelidikan dan

penyidikan narkotika dan prekursor narkotika, namun lebih luas

dari itu juga termasuk tindak pidana yang terkait dengan narkotika

dan prekursor narkotika. Ajun Komisaris Besar Sumargiyono

menjelaskan bahwa Penyidik BNN berwenang untuk menyita harta

kekayaan yang dimiliki pelaku pidana narkotika dan prekursor

narkotika sejauh ada kaitannya dengan kasus tersebut, oleh karena

itu Penyidik BNN juga diperbolehkan untuk menyidik tindak

52

pidana pencucian uang. (AKBP Sumargiyono dalam wawancara

hari Kamis, tanggal 17 Januari 2013 jam 11.00).

Kewenangan Penyidik BNN termasuk yang ditugaskan di

BNNP DIY dalam melakukan penyidikan sebagai berikut:

1) melakukan penyelidikan atas kebenaran laporan serta

keterangan tentang adanya penyalahgunaan dan peredaran

gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;

2) memeriksa orang atau korporasi yang diduga melakukan

penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan

Prekursor Narkotika;

3) memanggil orang untuk didengar keterangannya sebagai

saksi;

4) menyuruh berhenti orang yang diduga melakukan

penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan

Prekursor Narkotika serta memeriksa tanda pengenal diri

tersangka;

5) memeriksa, menggeledah, dan menyita barang bukti tindak

pidana dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap

Narkotika dan Prekursor Narkotika;

6) memeriksa surat dan/atau dokumen lain tentang

penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan

Prekursor Narkotika;

7) menangkap dan menahan orang yang diduga melakukan

penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan

Prekursor Narkotika;

8) melakukan interdiksi terhadap peredaran gelap Narkotika

dan Prekursor Narkotika di seluruh wilayah juridiksi

nasional;

9) melakukan penyadapan yang terkait dengan

penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan

53

Prekursor Narkotika setelah terdapat bukti awal yang

cukup;

10) melakukan teknik penyidikan pembelian terselubung dan

penyerahan di bawah pengawasan;

11) memusnahkan Narkotika dan Prekursor Narkotika;

12) melakukan tes urine, tes darah, tes rambut, tes asam

dioksiribonukleat (DNA), dan/atau tes bagian tubuh

lainnya;

13) mengambil sidik jari dan memotret tersangka;

14) melakukan pemindaian terhadap orang, barang, binatang,

dan tanaman;

15) membuka dan memeriksa setiap barang kiriman melalui

pos dan alat-alat perhubungan lainnya yang diduga

mempunyai hubungan dengan penyalahgunaan dan

peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;

16) melakukan penyegelan terhadap Narkotika dan Prekursor

Narkotika yang disita;

17) melakukan uji laboratorium terhadap sampel dan barang

bukti Narkotika dan Prekursor Narkotika;

18) meminta bantuan tenaga ahli yang diperlukan dalam

hubungannya dengan tugas penyidikan penyalahgunaan dan

peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan

19) menghentikan penyidikan apabila tidak cukup bukti adanya

dugaan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan

Prekursor Narkotika. (Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 35 Tahun 2009. Pasal 75).

Pelaksanaan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran

gelap narkotika oleh BNNP DIY dilaksanakan dengan cara

melakukan operasi rutin dan operasi khusus. Operasi rutin

memiliki tujuan untuk mempersempit ruang gerak pengedar

narkotika dan penyalahgunaan narkotika serta lebih cenderung

54

untuk melakukan tindakan preventif. Tujuan lainnya adalah untuk

mendapatkan informasi terkait dengan keberadaan pengedar

Narkotika dan jaringannya. Operasi rutin dilaksanakan di tempat-

tempat hiburan, tempat penginapan termasuk tempat indekos

pelajar dan mahasiswa, dan juga tempat-tempat lain yang dianggap

rawan seperti warung kopi dan tempat berkumpul (tempat

nongkrong) pemuda.

Operasi rutin melibatkan berbagai unsur aparat pemerintah

dan lembaga kemasyarakatan. Pelaksanaannya tidak diberitahukan

secara luas tentang hari, tanggal, waktunya, dan juga sasaran yang

akan dioperasi. Jangka waktu operasi juga tidak tetap, demikian

juga personel pelaksana operasi tidak selalu sama.

Hasil pelaksanaan operasi rutin mendapat tanggapan positif

dari warga masyarakat bahkan kontinuitas operasi di tengah-tengah

masyarakat sangat diharapkan oleh warga, karena mampu

membatasi pergerakan penyalahgunaan dan peredaran gelap

narkotika. Di sisi lain BNNP DIY merasa tidak mampu untuk

menyelenggarakan operasi ke seluruh tempat di DIY. Hal ini

sebagaimana dikemukakan salah satu penyidik di BNNP, Kompol

Mulyadi mengharapkan bahwa para pejabat pemerintahan

khususnya di tingkat kelurahan terutama pengurus RT / RW dapat

melakukan operasi yang sifatnya preventif dengan melibatkan

aparat keamanan yang bertugas di desa, yaitu Babinkamtibmas dan

Babinsa”. (Kompol Mulyadi, dalam wawancara hari Senin, tanggal

14 Januari 2013 jam 13.00).

Hasil operasi rutin dapat ditindak lanjuti dengan operasi

khusus. Pelaksanaan operasi khusus ditujukan untuk mengungkap

peredaran gelap narkotika terutama menangkap pelakukanya dan

jaringannya. Target sasaran pada operasi khusus sudah ditentukan

dengan perhitungan yang matang. Operasi khusus dilakukan oleh

55

petugas-petugas Bidang Pemberantasan yang terpilih secara

khusus, menggunakan cara bertindak atau metode tertentu,

peralatan tertentu dan didukung anggaran khusus yang cukup.

Kekuatan personel yang dilibatkan pada operasi khusus juga

didukung oleh personel kepolisian dan/atau personel dari BNN

pusat.

Penyelesaian Kasus tindak pidana narkotika di BNNP DIY

dilakukan oleh penyidik yang bertugas di BNNP DIY yang selama

ini bekerja sama dengan penyidik Polri (Polda DIY) maupun

instansi terkait. Penyidik di BNNP DIY sangat berhati-hati dalam

menangani kasus terkait dengan narkotika. AKBP Sumargiyono

mengatakan bahwa perlunya hati-hati dalam menyikapi suatu kasus

narkotika adalah jangan sampai penyidik salah menilai seseorang,

jangan sampai seseorang korban penyalahgunaan disangka sebagai

pengedar atau sebaliknya dan juga menghindari kesalahan

penerapan pasal pidananya yang berujung pada kesalahan

menerapkan sanksi pidana (Kepala Bidang Pemberantasan BNNP

DIY, AKBP Sumargiyono dalam wawancara hari Senin, tanggal 14

Januari 2013 jam 10.00).

BNNP DIY dalam penyelesaian kasus narkotika ada yang

diselesaikan melalui jalur hukum, namun ada juga yang langsung

diusahakan agar mendapat layanan rehabilitasi. Mereka yang

tertangkap dan apabila dilakukan tes urin ternyata yang

bersangkutan positif menggunakan narkotika sedangkan tidak

diketemukan bukti cukup untuk dilakukan penyidikan maka

penyidik berkoordinasi dengan keluarga atau orang tuanya agar

mendapatkan layanan rehabilitasi.

Mereka yang tertangkap dengan bukti cukup sebagai

pengedar tentu diterapkan hokum sesuai pasal yang dilanggarnya.

56

Bagi mereka yang memenuhi unsur keduanya, yaitu sebagai

pengguna dan pengedar maka selain dilakukan penyidikan juga

diupayakan untuk mendapatkan layanan rehabilitasi.

BNNP DIY dalam hal rehabilitasi tidak membedakan

antara pecandu, penyalahguna, dan korban penyalahgunaan

narkotika, semuanya harus segera direhabilitasi. Contoh kasus

yaitu pada tanggal 22 Januari 2013 bahwa penyidik menangkap

seseorang dengan initial nama “GR” ketika dilakukan tes ternyata

mendapatkan hasil positif yang menunjukkan bahwa orang tersebut

menggunakan narkotika dan tidak diketemukan bukti cukup

sebagai pengedar maka yang bersangkutan dibawa oleh BNNP

DIY ke tempat rehabilitasi, yaitu Rumah Sakit Grasia.

Kasus tindak pidana narkotika dari tahun ke tahun semakin

meningkat. Jenis dan jumlah kasus tindak pidana narkotika di

Daerah Istimewa Yogyakarta dari tahun 2010 sampai dengan tahun

2012 penulis sajikan sebagaimana tabel di bawah ini.

TABEL: 2

DAFTAR KASUS PIDANA NARKOTIKA

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

TAHUN 2010 – 2012

NO JENIS KASUS TAHUN2010

TAHUN2011

TAHUN2012 JUMLAH

1. GANJA 130 86 123 339

2. PUTAW 3 6 6 15

3. EXTACY - - 6 6

4. SHABU 44 72 62 178

JUMLAH KASUS 177 164 197 538Sumber: Data BNNP DIY Desember, Tahun 2012

57

TABEL: 3

DAFTAR TERSANGKA TINDAK PIDANA NARKOTIKA

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

TAHUN 2010 – 2012

NO TERSANGKA TAHUN2010

TAHUN2011

TAHUN2012 JUMLAH

1. GANJA 156 105 170 413

2. PUTAW 3 7 7 17

3. EXTACY - - 14 14

4. SHABU 51 49 33 113

JUMLAHTERSANGKA 210 209 250 669

Sumber: Data BNNP DIY Desember, Tahun 2012

Kasus-kasus tindak pidana sebagaimana tergambar tersebut di atas

ternyata yang paling banyak dari setiap tahunnya adalah penggunaan

narkotika jenis ganja. Pada tahun 2012 kasus penggunaan ganja di DIY

yaitu 62,4 %. Kasus-kasus tersebut melibatkan tersangka yang pada

umumnya sebagai pengguna (Komisaris Polisi Mulyadi, dalam wawancara

pada hari Senin, tanggal 14 Januari 2013 jam 11.00 – 12.00). Data

tersangka sesuai dengan jenis narkotika yang disalahgunakan adalah

sebagai berikut di bawah ini.

Jumlah tersangka sebanyak 250 orang tersebut tidak semuanya

direhabilitasi di rumah sakit. Rehabilitasi di rumah sakit hanya apabila

pecandu memerlukan rehabilitasi medis. Rehabilitasi dapat dilaksanakan

di tempat tahanan terutama melalui upaya rehabilitasi sosial dengan

memberikan sentuhan-sentuhan psikologis (Komisaris Polisi Mulyadi,

dalam wawancara pada hari Senin, tanggal 14 Januari 2013 jam 11.00 –

12.00).

58

Tindak pidana terkait dengan masalah narkotika tidak hanya terjadi

secara perorangan, namun dapat juga melibatkan kelompok orang, bahkan

organisasi, bahkan kelompok organisasi. Tindak pidana narkotika yang

dilakukan secara terorganisir atau melibatkan kelompok organisasi dapat

disebut organize crime. BNNP DIY telah menyiapkan suatu strategi dalam

mengungkap pelaku kejahatan narkotika yang dilakukan secara

terorganisir. Di DIY telah terjalin kerja sama dengan instansi terkait

terutama dengan Polda DIY, Keimigrasian, Bea Cukai, Angkasa Pura

sebagai pengelola Bandara Adi Sucipto, Balai Pengawasan Obat dan

Makanan DIY, Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di DIY seperti

Dinas Kesehatan DIY, Dinas Sosial, dll. Berkaitan dengan perbankan

BNNP DIY menindaklanjuti apa yang telah dilakukan BNN Pusat yang

telah bekerja sama dengan berbagai industri perbankan dan lembaga

keuangan.

BNNP DIY yang telah bekerja sama dengan Polda DIY dan

dengan berbagai pihak menggunakan pendekatan psikologis dalam

mengungkap kasus narkotika yang dilakukan secara terorganisir. Kepala

Bidang Pemberantasan BNNP DIY, Sumargiyono mengatakan bahwa

kalau tidak menggunakan pendekatan psikologis akan kesulitan

mengungkap kejahatan narkotika yang dilakukan secara terorganisir antara

lain adalah sistem operasi kejahatan dilakukan secara terputus. Antara

pelaku yang satu dengan pelaku yang lain belum tentu saling mengenal,

komunikasi menggunakan telepon seluler yang selalu berubah nomor

maupun alat komunikasinya. Transaksi keuangan menggunakan perbankan

atau lembaga keuangan lainnya, dan menggunakan nomor rekening orang

lain atau menggunakan identitas palsu. Pelaku tindak pidana narkotika

selalu menghilangkan jejak agar tidak mudah dilacak petugas

(Sumargiyono dalam wawancara tanggal 3 Januari 2013).

59

C. Pembahasan

1. Pembahasan tentang Upaya BNNP DIY dalam Pencegahan dan

Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika

Upaya dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan

peredaran gelap narkotika yang dilakukan Badan Narkotika Nasional

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (BNNP DIY) adalah menggunakan

kebijakan penal (kebijakan pemidanaan), di samping itu juga

menggunakan kebijakan non penal (bukan pemidanaan). Kebijakan

semacam ini juga diamanatkan oleh Undang – Undang Nomor 35 tahun

2009 tentang Narkotika. Undang – undang tersebut di samping

memberikan ancaman berupa sanksi pidana dalam kebijakan penal, juga

menerapkan kebijakan non penal yang berupa pencegahan dan pemberian

rehabilitasi bagi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika.

Kebijakan politik tentang penggunaan cara pemidanaan (penal) dan bukan

pemidanaan (non penal) yang tertuang dalam Undang – Undang Nomor 35

tahun 2009 tentang Narkotika pada dasarnya memiliki tujuan:

“a. menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentinganpelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmupengetahuan dan teknologi;

b. mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsaIndonesia dari penyalahgunaan Narkotika;

c. memberantas peredaran gelap Narkotika dan PrekursorNarkotika;

d. dan menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dansosial bagi penyalah guna dan pecandu Narkotika”(Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun2009. Pasal 4).

BNNP DIY hingga saat penelitian dilakukan telah berupaya

dengan berbagai cara melaksanakan pencegahan dan pemberantasan

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, selanjutnya akan penulis

bahas secara mendalam pada uraian di bawah ini.

60

a. Pembahasan tentang Upaya BNNP DIY dalam Pencegahan

Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika

Pencegahan bahaya penyalagunaan dan peredaran gelap

narkotika merupakan salah satu tujuan disusunnya dan

diundangkannya UU No 35 tahun 2009, yang bunyinya “Undang-

Undang tentang Narkotika bertujuan: “mencegah, melindungi, dan

menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika”

(Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009. Pasal

4 huruf b)

UU No. 35 tahun 2009 tentang narkotika tidak secara rinci

memberikan arah tindakan-tindakan khusus yang harus

dilaksanakan BNN termasuk BNNP DIY dalam upaya pencegahan

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. BNN sebagai

lembaga yang sudah terbentuk mulai tahun 2010 tersebut sehingga

penelitian ini dilaksanakan belum mengeluarkan petunjuk-petunjuk

teknis yang berbentuk surat keputusan maupun peraturan kepala

BNN tentang pelaksanaan pencegahan penyalahgunaan narkotika.

Produk tertulis yang disusun BNN dalam bentuk buku dengan

berbagai judul. Buku tersebut tidak memiliki kekuatan memaksa

untuk digunakan bagi BNNP dan BNNK dalam pelaksanaan

P4GN.

Secara teoritis, upaya pecegahan penyalahgunaan dan

peredaran gelap narkotika meliputi (1) Pencegahan primer

(primary prevention), (2) pencegahan sekunder (secondary

prevention), (3) pencegahan tertier (tertiary prevention). (Tim Ahli

BNN. 2009: 26-28). Hal ini dilakukan oleh BNNP DIY dengan

bervariasi kegiatan.

1) Pencegahan Primer (Primary Prevention)

Pencegahan primair adalah suatu kegiatan untuk

mempertahankan agar orang yang belum menggunakan

61

narkotika tetap dalam kondisi semula tidak menggunakan

narkotika. Cara yang ditempuh dalam melaksanakan

pencegahan primer adalah mengupayakan agar seseorang

dapat menghindarkan diri dari pengaruh lingkungan

kehidupan penyalahgunaan Narkotika. Sasaran; pencegahan

primer ditujukan terutama kepada anak-anak dan generasi

muda yang belum menyalahgunakan Narkotika, baik

dilingkungan sekolah / lembaga pendidikan maupun diluar

lingkungan sekolah/lembaga pendidikan. Pencegahan

primer juga ditujukan kepada semua lapisan masyarakat

agar terhindar dari penyalahgunaan dan peredaran gelap

narkotika.

Kegiatan pencegahan primer dilakukan BNNP DIY

terutama dalam bentuk sosialisasi P4GN dengan berbagai

wahana seperti pementasan seni budaya, sosialisasi P4GN

terhadap lingkungan pelajar, mahasiswa, pekerja swasta

dan pegawai negeri, penyebaran leaflet, penyebaran poster,

pemasangan spanduk/banner, dan juga sosialisasi melalui

media cetak dan media elektronik, dan juga pembentukan

kader, serta advokasi ke sekolah, perguruan tinggi dan

pekerja (Badan Narkotika Nasional Provinsi DIY. 2013:

11-30).

Kegiatan-kegiatan tersebut kalau dilihat dari

kuantitasnya dirasa masih kurang apabila dibandingkan

dengan besarnya jumlah penduduk yang harus

dipertahankan agar tetap dalam kondisi semula tidak

menggunakan narkotika dan tidak mengedarkan narkotika.

2) Pencegahan Sekunder (Secondary Prevention)

Pencegahan sekunder adalah suatu kegiatan untuk

mengupayakan agar orang yang sudah memulai

62

menggunakan narkotika sesegera mungkin menghentikan

penggunaan narkotika tersebut supaya mereka tidak

kecanduan narkotika. Sasaran: pencegahan sekunder

terutama ditujukan kepada mereka yang sudah mulai

mencoba-coba menggunakan Narkotika.

Kegiatan pencegahan sekunder dilaksanakan oleh

BNNP DIY dengan menitikberatkan pada kegiatan deteksi

secara dini terhadap orang yang menyalahgunakan

Narkotika melalui tes urine. Hasil tes yang menunjukkan

seseorang positif menggunakan narkotika, diajak untuk

menghentikan mengkonsumsi narkotika. Mereka diberikan

konseling perorangan dan keluarga bermasalah

penyalahgunaan Narkotika, bimbingan sosial melalui

sosialisasi tenang bahaya Narkotika.

Dalam praktek sehari-hari sulit kiranya BNNP DIY

menerapkan sasaran sebagai target pencegahan sekunder.

Petugas mengalami kesulitan memilih orang yang baru

mencoba pakai kecuali mereka yang telah tertangkap dan

diperiksa dan mereka mengaku baru mencoba. Pengguna

yang telah tertangkap pun sulit untuk mengkategorikan

apakah dia sebagai orang yang baru mencoba menggunakan

atau telah lama menggunakan narkotika, kecuali orang

tersebut telah kecanduan hingga sakau. Ada suatu alat

untuk mengetes rambut sehingga seseorang dapat

ditentukan lamanya telah mengkonsumsi narkotika, namun

biaya operasionalnya mahal.

Kepala Bidang Pencegahan BNNP DIY mengatasi

kesulitan sebagaimana tersebut alinia di atas, menjelaskan

bahwa pelaksanaan sosialisasi/desiminasi bahaya

penyalahgunaan narkoba dengan berbagai wahana tidak

membedakan siapa yang menghadirinya. Semua yang hadir

63

diberlakukan sama dan diberi penjelasan untuk memberikan

pemahaman akan bahaya penyalahgunaan dan peredaran

gelap narkotika, sehingga mereka sadar akan bahaya yang

mengancam dirinya, keluarga, masyarakat dan negara, dan

selanjutnya diharapkan mereka tidak mencoba

mengkonsumsi narkotika atau segera menghentikan bagi

yang sudah pernah mengkonsumsi narkotika. (Kepala

Bidang Pencegahan BNNP DIY wawancara pada hari

Kamis, 10 Januari 2013 jam 11.15)

3) Pencegahan Tertier (Tertiary Prevention)

Pencegahan tertier adalah suatu kegiatan untuk

mengupayakan pemulihan kondisi fisik, psikis, moral dan

sosial bekas korban penyalahgunaan Narkotika dengan

tujuan untuk mencegah jangan sampai mereka kambuh

kembali “relapse” dan terjerumus kembali kedalam masalah

penyalahgunaan Narkotika. Pencegahan tertier dilakukan

untuk membantu korban Narkotika kembali kepada

masyarakat dengan keadaan sehat dan produktif sehingga

dapat menjalankan fungsi sosialnya kembali di dalam

masyarakat. Sasaran pencegahan tertier terutama ditujukan

kepada korban Narkotika yang sudah pulih (ex-addicts).

Kegiatan pencegahan tertier terutama dilaksanakan

dalam bentuk bimbingan sosial dan konseling terhadap

yang bersangkutan dan keluarga serta kelompok sebayanya;

penciptaan lingkungan sosial dan pengawasan sosial yang

menguntungkan bekas korban Narkotika; pengembangan

minat, bakat, dan keterampilan bekerja bekas korban

Narkotika; bantuan pelayanan penempatan kerja;

pembinaan orang tua, keluarga, teman sebaya, para guru

dan masyarakat dimana korban tinggal, agar siap menerima

64

bekas korban dengan baik, memperlakukannya dengan

wajar dan turut membina dan mengawaasinya jangan

sampai bekas korban kembali kedalam penyalahgunaan

Narkotika.

Upaya pencegahan tertier bahaya penyalagunaan

dan peredaran gelap narkotika yang dilaksanakan oleh

BNNP DIY antara lain adalah mengumpulkan mantan

pecandu, dan kemudian dilakukan diskusi (fokus group

discussion) untuk memberi penguatan terhadap mantan

pecandu agar mereka tidak kambuh (relapse). BNNP DIY

juga mencarikan jalan keluar bagi mereka yang belum bisa

bekerja untuk membiayai kebutuhannya. Jalan yang

ditempuh BNNP DIY adalah berkoordinasi dan bekerja

sama dengan Dinas Sosial DIY agar mantan pecandu

tersebut diberikan pelatihan keterampilan untuk bekal

hidup.

BNNP DIY melaksanakan pertemuan terhadap

pecandu secara berkala sejumlah 35 orang dua kali sebulan,

selama tiga bulan dengan orang yang berbeda untuk

mengupayakan pecandu yang sudah pulih agar tidak

kambuh kembali atau relapse, (Bambang Wiryanto dalam

wawancara hari Kamis, tanggal 10 Januari 2013 jam

08.30). Pertemuan tersebut berarti selama tahun 2012 baru

dapat menjangkau 210 orang eks pecandu, padahal korban

penyalahgunaan narkotika di DIY jauh lebih banyak.

Korban penyalahgunaan narkotika di DIY diperkirakan

antara 45.062 – 94.337 orang dengan titik tengah 69.699

(Badan Narkotika Nasional Bekerjasama dengan Pusat

Penelitian KesehatanUniversitas Indonesia, 2011: 25).

Pertemuan semacam ini apabila ditambah jumlah orang dan

65

frekuensi pertemuannya akan lebih dapat menekan angka

kekambuhan.

Pada tahun 2013 BNNP DIY merencanakan

memberikan pendampingan terhadap mantan pecandu

untuk penguatan dalam membantu penghidupannya, berupa

pelatihan dan memberikan peralatan kerja, yang antara lain

mesin cetak, mesin jahit terhadap 40 orang mantan pecandu

agar dapat hidup mandiri. Hal ini tentunya tidak menutup

kemungkinan adanya protes dari warga karena adanya

kecemburuan social terhadap bantuan tersebut. Orang

miskin yang juga perlu mendapat bantuan pun banyak,

mengapa bantuan tersebut tidak diberikan orang-orang

miskin yang juga perlu pekerjaan.

Kemungkinan yang lebih fatal adalah upaya-upaya

pemberian bantuan terhadap pecandu dapat memicu

keinginan menjadi pecandu hanya sekadar untuk mendapat

bantuan hidup. Hal ini tidak harus terjadi, sebab bagi orang

miskin telah diupayakan bantuan oleh Dinas Sosial melalui

bantuan jaminan sosial; dan melalui Dinas Kesehatan

berupa jaminan kesehatan masyarakat, dan jaminan

kesehatan daerah.

BNNP DIY dalam upaya pencegahan tertier juga

mengunjungi tempat-tempat rehabilitasi untuk memantau

dan memberikan bimbingan dalam rangka pemulihan

pecandu. Di tempat rehabilitasi tersebut diadakan diskusi

baik dengan pengelolanya maupun kepada residen (sebutan

orang yang dirawat), dalam diskusi tersebut terjadi suatu

interaksi yang saling memberikan masukan sehingga

pemulihan korban dapat berjalan baik dan upaya

pencegahan agar tidak kambuh tertanam pada residen.

66

Upaya pencegahan tertier lebih cenderung pada

pelaksanaan pemulihan / penyembuhan pecandu dan

memeliharanya agar tidak kambuh. Upaya tersebut

menerapkan amanat Undang-undang Narkotika Pasal 54

yang berbunyi: “Pecandu Narkotika dan korban

penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi

medis dan rehabilitasi sosial (Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 35 Tahun 2009: Pasal 54).

Upaya-upaya pencegahan penyalahgunaan dan peredaran

gelap narkotika terus dikembangkan oleh BNNP DIY, yang natara

lain adalah:

1) Pengembangan Cara Pencegahan Melalui Perubahan

Pola Pikir Masyarakat

Penerapan pemidanaan yang telah bertahun-tahun

dikedepankan sebagai upaya penanggulangan

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika ternyata

tidak efektif, bahkan penggunaan narkotika semakin

bertambah pada setiap tahunnya dan banyak petugas yang

terlibat.( Badan Narkotika Nasional Bekerjasama dengan

Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia. 2008).

Penegakan hukum yang diidam-idamkan

masyarakat yang mengharap dapat menyelesaikan

permasalahan narkotika, belum berhasil secara maksimal

bahkan dapat dikatakan gagal. Masyarakat selalu diliputi

rasa ketakutan, karena semua perkara terkait dengan

narkotika, apakah pecandu, korban penyalahgunaan,

maupun pengedar semuanya diperlakukan kriminal yang

harus diselesaikan dengan proses pidana.

Masyarakat takut melapor kepada petugas

walaupun mereka mengetahui bahwa disekitarnya ada

67

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Orang

takut dijadikan sebagai saksi, orang takut akan ancaman

penyalahguna maupun pengedar, yang akhirnya masyarakat

tidak berbuat sesuatu untuk menghentikan penyalahgunaan

dan perdaran gelap narkotika.

Para pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika

yang telah sadar dan menginginkan sembuh pun takut untuk

berobat. Mereka takut kalau berobat ketahuan sebagai

pecandu dan dilabel sebagai pelaku pidana, takut jangan-

jangan berurusan dengan dan/atau ditangkap petugas.

Keluarga pecandu juga takut kalau salah satu anggota

keluarganya ketahuan sebagai pecandu kemudian diberi

label oleh masyarakat luas sebagai keluarga kriminal,

keluarga juga takut dikucilkan lingkungannya.

BNNP DIY dalam menyikapi gejala di masyarakat

tersebut berupaya untuk melakukan perubahan pola pikir

terhadap masyarakat DIY. Masyarakat didorong untuk

berani berobat apabila dirinya atau keluarganya telah

kecanduan, berani melaporkan kepada aparat penegak

hukum apabila di sekitarnya diketahui ada suatu peristiwa

yang patut diduga sebagai penyalahgunaan dan peredaran

gelap narkotika, termasuk berani mengawasi petugas

penegak hukum agar tidak menyalahgunakan

kewenangannya dan juga tidak terperdaya untuk masuk

dalam jaringan peredaran gelap narkotika.

Keberanian untuk melapor agar mendapatkan

layanan pengobatan / rehabilitasi dijamin oleh hukum.

Pecandu maupun keluarganya, orang tua atau wali pecandu

yang belum cukup umur, yang telah melapor tidak akan

68

dituntut pidana, untuk pecandu dewasa diberi batasan

waktu dua kali masa perawatan. (Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 35 Tahun 2009: Pasal 128).

Pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika

yang telah melapor akan mendapatkan layanan rehabilitasi.

Mereka yang mendapatkan layanan rehabilitasi

kemungkinan sembuh / pulih sangat besar dari pada yang

tidak mendapat layanan rehabilitasi. Pecandu dan korban

penyalahgunaan narkotika yang telah sembuh dan tidak

kambuh tidak akan meminta pasokan narkotika, dengan

demikian upaya rehabilitasi akan memutus peredaran gelap

narkotika.

Keberanian masyarakat melapor apabila di

sekitarnya diketahui terdapat suatu peristiwa yang patut

diduga sebagai penyalahgunaan dan peredaran gelap

narkotika, akan mencegah terjadinya tindak pidana

narkotika. Keberanian masyarakat mengawasi petugas,

akan mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh

petugas pada saat memproses suatu kasus pidana dan juga

membatasi keterlibatan petugas menggunakan dan

mengedarkan narkotika.

BNNP DIY juga mendorong masyarakat untuk

berani menggunakan hak-haknya. Undang-undang telah

menjamin hak-hak masyarakat termasuk hak untuk

mendapatkan perlindungan hukum dalam berpartisipasi

dalam pemberantasan dan penyalahgunaan narkotika.

(Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun

2009: Pasal 106).

69

2) Pengembangan Cara Pencegahan Melalui

Pemberdayaan Masyarakat

BNNP DIY sadar atas ketidakmampuannya

menjangkau penduduk di wilayah DIY dalam waktu yang

singkat, maka BNNP memberdayakan masyarakat.

Undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika

telah memberikan ruang seluas-luasnya bagi masyarakat

untuk berpartisipasi dalam P4GN, sebagaimana tertuang

dalam pasal 104 yang berbunyi “Masyarakat mempunyai

kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta

membantu pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan

dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika”.

(Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun

2009. Pasal 104).

Ruang bagi masyarakat dalam berpartisipasi dalam

pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan

peredaran gelap narkotika yang selama ini belum dipahami

oleh masyarakat, terus disosialisasikan BNNP DIY agar

masyarakat terdorong untuk berpartisipasi.

Upaya memberdayakan masyarakat dalam program

P4GN yang dilaksanakan BNNP DIY, mulai dari

membentuk kader penyuluh bahaya penyalahgunaan dan

peredaran gelap narkoba dan memberdayakan kader

tersebut. Kader yang dibentuk adalah dari perwakilan desa,

instansi pemerintah, perusahaan swasta, kalangan sekolah

dan perguruan tinggi yang secara selektif sesuai tingkat

kerawanannya.

Pembentukan kader dari perwakilan desa juga

diikutsertakan para Babinkamtibmas (Bintara Pembina

70

Keamanan dan Ketertiban Masayarakat), yaitu petugas

kepolisian yang ditempatkan pada setiap desa.

Babinkamtibmas dibekali oleh BNNP DIY tentang upaya

pencegahan dan penyalahgunaan narkotika, termasuk cara-

cara menghadapi korban.

Keikutsertaan Babinkamtibmas sebagai kader dalam

program P4GN merupakan hal yang strategis. Babin

kamtibmas yang bertugas di setiap desa diharapkan dapat

sebagai motor menggerakkan masyarakat dalam program

P4GN, mereka dapat membina masyarakat khususnya para

remaja di desa agar tidak menyalahgunakan narkoba.

Kader-kader yang telah dibentuk oleh BNN tersebut

diharapkan diberdayagunakan oleh masyarakat dimana

mereka berada, kalau kader dari para pelajar untuk

diberdayakan oleh sekolah tempat mereka belajar, begitu

pula para pekerja diberdayakan oleh lembaga tempat

kerjanya, kader di instansi pemerintah diberdayakan oleh

instansinya. Pendmpingan kader oleh BNNP DIY

merupakan suatu hal yang konstruktif, karena tanpa ada

upaya pendampingan dari BNNP mereka kemungkinan

besar terhenti, mereka kurang termotifasi dan memiliki

sikap masa bodoh.

Pendampingan berupa konsultansi tentang

permasalahan yang dihadapi, pemberian dukungan materi

baik dalam bentuk buku, spanduk, poster, leaflet, sticker

yang berisi pesan anti penyalahgunaan dan peredaran gelap

narkoba, dapat mendorong motifasi para kader dan mereka

merasa upayanya mendapatkan penghargaan dari instansi

pemerintah yang memiliki legitimasi.

71

3) Pengembangan Cara Pencegahan Melalui Lomba

Sekolah Bebas Narkoba

Lomba Sekolah Bebas Narkoba adalah suatu

terminologi untuk menyebut suatu program yang diadakan

BNNP DIY untuk mendorong gerakan yang serentak dalam

waktu singkat di seluruh sekolah di DIY agar sekolah-

sekolah tersebut berupaya melakukan aktifitas

membebaskan sekolahnya dari penyalahgunaan dan

peredaran gelap narkotika.

Bentuk pemberdayaan sekolah guna melakukan

pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika

yang dikembangkan BNNP DIY pada tahun 2012 adalah

pelaksanaan lomba sekolah bersih dari penyalahgunaan dan

peredaran gelap narkotika (LSBN). Upaya ini telah terbukti

menimbulkan gerakan yang sangat masif , dalam waktu

singkat secara bersama-sama program P4GN dapat

menjangkau seluruh SMA dan sederajat, yang jumlahnya

415 sekolah.

LSBN sangat menarik dan patut sebagai inspirasi

atau suatu model pemberdayaan pendidikan yang baik.

Lomba tidak seperti pelaksanaan lomba pada umumnya,

yang hanya merebutkan hadih, dan setelah mendapatkan

hadiah selesai. LSBN mewajibkan semua peserta lomba

yaitu semua SLTA yang ada diminta untuk membuat

perencanaan dalam bidang P4GN, kemudian perencanaan

tersebut diharapkan diimplementasikan secara konsekwen,

dan dilihat kontinuitasnya. Pemberdayaan sekolah dalam

bentuk LSBN ini tidak hanya terfokus pada siswa saja,

melainkan semua warga sekolah terlibat di dalamnya.

72

Proses penilaian dilakukan oleh penilai berasal dari

berbagai instansi yang kredibel, yaitu berasal dari

perwakilan Dikpora, LSM, Perguruan Tinggi, Media,

Sekretariat DPRD, dan BNNP DIY menimbulkan

kebanggaan tersendiri, sekaligus sebagai hadiah bagi

sekolah yang dikunjungi penilai tersebut. Penilaian dengan

tidak mnggunakan system gugur berdampak pada aktifitas

P4GN selama proses penilaian tetap aktif.

Proses LSBN tersebut telah dapat diberdayakan

sekolah dalam P4GN selama tahun 2012. Pelaksanaan hasil

tes urin dan pantauan terus menerus dari berbagai pihak,

serta upaya sekolah yang terencanakan dan

diimplementasikan dengan baik maka pada tahun 2012 ini

BNNP menetapkan 20 sekolah tingkat SLTA bebas dari

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba.

Pemberian uang pembinaan setelah berakhirnya

penilaian tidak berarti program pemberdayaan sekolah

selesai. Sekolah yang mendapatkan uang pembinaan

dituntut untuk melanjutkan programnya dan melaporkan

pelaksanaan kegiatannya kepada Bupati c.q Dinas Dikpora

dan ditembuskan kepada BNNP DIY.

Atribut-atribut yang dikonotasikan sebagai

penghargaan diberikan oleh BNNP DIY sebagimana

amanat undang-undang narkotika yang berbunyi:

“Pemerintah memberikan penghargaan kepada penegak

hokum dan masyarakat yang telah berjasa dalam upaya

pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran

gelap narkotika dan prekursor narkotika”. (Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009. Pasal 109).

73

b. Pembahasan tentang Upaya BNNP DIY dalam

Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap

Narkotika

Kata pemberantasan secara etimologi berasal dari kata be-

ran-tas mendapat awalan me menjadi mem-be-ran-tas sebagai

kata kerja yang berarti membasmi; memusnahkan. Kata

be·ran·tas mendapat imbuhan pe-an berubah menjadi kata benda

pem·be·ran·tas·an yang berarti proses, cara, perbuatan

memberantas (Departemen Pendidikan Nasional. 2001: 138).

Pengertian dalam kamus tersebut tentunya digunakan dalam

penyusunan UU No. 35 tahun 2009 tentang narkotika, karena

bahasa yang digunakan dalam undang-undang tersebut adalah

bahasa resmi dan kamus tersebut dikeluarkan oleh Departemen

Pendidikan Nasional sebagai lembaga resmi pemerintah. Kata

pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika

dalam undang-undang narkotika dengan demikian mengandung

pengertian sebagaimana tertuang dalam kamus tersebut yaitu

proses atau cara atau perbuatan membasmi; memusnahkan

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.

Upaya pemberantasan dalam pengertian membasmi atau

memusnahkan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang

dijelaskan pada undang-undang narkotika lebih cenderung kepada

kebijakan pemidanaan (penal). Penerapan kebijakan penal dalam

pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika

merupakan salah satu cara untuk memutus jaringan dan/atau

menghentikan peredaran gelap narkotika. BNNP DIY dalam upaya

melaksanakan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap

nerkotika tidak akan terlepas dari tugas dan kewenangan yang

diberikan oleh undang-undang, sebagaimana tersebut pada

halaman 52 dalam Bab ini.

74

Kewenangan-kewenangan penyidik BNN dalam

melaksanakan tugasnya sangat luas dan tidak terbatas pada

penyelidikan dan penyidikan narkotika dan prekursor narkotika

saja, namun termasuk tindak pidana yang terkait dengan narkotika

dan prekursor narkotika. Sebagai contoh adalah kewenangan

Penyidik BNN untuk menyita harta kekayaan yang dimiliki pelaku

pidana narkotika dan prekursor narkotika sejauh ada kaitannya

dengan kasus narkotika dan prekursor narkotika. Penyidik BNN

juga diperbolehkan untuk menyidik tindak pidana pencucian uang

sejauh ada kaitannya dengan tindak pidana narkotika.

Kewenangan yang luas tersebut apabila tidak diawasi

dengan ketat sangat memungkinkan menimbulkan peluang bagi

penyidik untuk menyalahgunakan kewenangannya. Misalnya

dalam hal penyadapan, kewenangan penyidik “melakukan

penyadapan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran

gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika setelah terdapat bukti

awal yang cukup” (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

35 Tahun 2009. Pasal 75.huruf i).

Von Liszt, Priens, Van Hammel pendiri Internationale

Association for Criminology memberikan rambu-rambu untuk

menghidari kriminalisasi yang berlebihan (over criminalization)

sebagaimana tertuang dalam Bab II halaman 26, dan acara untuk

melakukan penyadapan juga telah diatur dalam UU no. 35 tahun

2009, yang yang penulis kutip sbb.:

“(1) Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf idilaksanakan setelah terdapat bukti permulaan yangcukup dan dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitungsejak surat penyadapan diterima penyidik.

(2) Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanyadilaksanakan atas izin tertulis dari ketua pengadilan.

(3) Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapatdiperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu yang sama.

(4) Tata cara penyadapan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan

75

peraturan perundang-undangan. (Undang-Undang RepublikIndonesia Nomor 35 Tahun 2009. Pasal 77).

Proses penyadapan telah diatur sedemikian rupa, namun

tidak menutup kemungkinan dalam penyadapan tersebut ada pihak-

pihak lain yang ikut tersadap, misalnya percakapan atau tulisan

pesan singkat (sms) dalam telepon seluler yang tidak ada kaitannya

dengan tindak pidana narkotika maupun tindak pidana precursor

narkotika. Hal yang menarik bagi penyidik dapat dimanfaatkan

untuk kepentingannya.

Pelaksanaan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran

gelap narkotika oleh BNNP DIY dilaksanakan dengan cara

melakukan operasi rutin dan operasi khusus. Operasi rutin

memiliki tujuan untuk mempersempit ruang gerak pengedar

narkotika dan penyalahgunaan narkotika serta lebih cenderung

untuk melakukan tindakan preventif. Tujuan lainnya adalah untuk

mendapatkan informasi terkait dengan keberadaan pengedar

Narkotika dan jaringannya. Operasi rutin dilaksanakan di tempat-

tempat hiburan, tempat penginapan termasuk tempat indekos

pelajar dan mahasiswa, dan juga tempat-tempat lain yang dianggap

rawan seperti warung kopi dan tempat berkumpul (tempat

nongkrong) pemuda.

Pelaksanaan operasi rutin tersebut sesuai dengan apa yang

tertuang dalam buku “Fixing Broken Windows” yang

diterjemahkan oleh Kunarto yang secara ringkas mengatakan

“Apabila ketidakteraturan, ketidaktertiban dan kejahatan sekecil

apa pun apabila dibiarkan dan tidak segera diatasi maka lama

kelamaan akan lebih banyak lagi orang melakukan hal yang sama

bahkan menyebabkan terjadinya kejahatan dalam skala besar dan

luas” (Kelling, George L. and Catherine M. C. 1998: 373-394)

Operasi rutin melibatkan berbagai unsur aparat pemerintah

dan lembaga kemasyarakatan mengindikasikan adanya

76

keterpaduan dalam mengatasi suatu permasalahan yang

diakibatkan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.

Pelaksanaan operasi tidak diberitahukan secara luas tentang hari,

tanggal, waktunya, dan juga sasaran yang akan dioperasi. Jangka

waktu operasi juga tidak tetap, demikian juga personel pelaksana

operasi tidak selalu sama. Operasi semacam ini apabila dilakukan

secara terus menerus benar-benar mempersempit peluang

masyarakat untuk menyalahgunakan narkotika.

Pelaksanaan operasi rutin juga harus mendapat dukungan

warga masyarakat bahkan kontinuitas operasi di tengah-tengah

masyarakat jangan hanya diserahkan kepada aparat penegak

hukum. Peran serta masyarakat akan sangat terasa manfaatnya,

karena mampu membatasi pergerakan penyalahgunaan dan

peredaran gelap narkotika. Pejabat pemerintahan khususnya di

tingkat kelurahan terutama pengurus RT / RW dapat melakukan

operasi yang sifatnya preventif dengan melibatkan aparat

keamanan yang bertugas di desa, yaitu Babinkamtibmas dan

Babinsa”. Masyarakat memiliki hak dan kewajiban yang sama

sebagaimana termuat dalam Undang-undang Narkotika

sebagaimana penulis kutip sebagai berikut:

“Masyarakat mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upayapencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan danperedaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika”. (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009. Pasal 105).

Tindak lanjut operasi rutin dapat berupa operasi khusus,

apabila menemukan informasi atau petunjuk yang akurat untuk

pengungkapan jaringan sindikat narkotika. Pelaksanaan operasi

khusus ditujukan untuk mengungkap peredaran gelap narkotika

terutama menangkap pelakukanya dan jaringannya. Target sasaran

pada operasi khusus sudah ditentukan dengan perhitungan yang

matang. Operasi khusus dilakukan oleh petugas-petugas Bidang

Pemberantasan yang terpilih secara khusus, menggunakan cara

77

bertindak atau metode tertentu, peralatan tertentu dan didukung

anggaran khusus yang cukup. Kekuatan personel yang dilibatkan

pada operasi khusus juga didukung oleh personel kepolisian

dan/atau personel dari BNN pusat.

Penyelesaian Kasus tindak pidana narkotika di BNNP DIY

dilakukan oleh penyidik yang bertugas di BNNP DIY yang selama

ini bekerja sama dengan penyidik Polri (Polda DIY) maupun

instansi terkait. Kerja sama yang baik antara aparat penegak hukum

yaitu penyidik BNN yang bertugas di BNNP DIY dan Penyidik

Polri yang bertugas di Polda DIY dapat mengeliminir persaingan

perebutan prestasi, selain itu juga menambah kekuatan yang

semakin solid dalam proses penegakan hukum. Hal ini sesuai

dengan amanat Undang-Undang Narkotika tahun 2009 yang

berbunyi: ” Penyidik dapat melakukan kerja sama untuk mencegah

dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika

dan Prekursor Narkotika. (Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 35 Tahun 2009. Pasal 83).

BNNP DIY dalam menerapkan pasal-pasal yang berisi

sanksi-sanksi pidana tidak secara dokmatis, namun sangat

menjunjung tinggi ketentuan bahwa pecandu narkotika dan korban

penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan

rehabilitasi sosial (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35

Tahun 2009: Pasal 54).

Kebijakan BNNP DIY untuk mengimplementasikan

ketentuan Pasal 54 Undang-Undang Narkotika tahun 2009

membuat warna baru di DIY. Kebijakan BNNP DIY secara rinci

adalah apabila diketemukan seseorang tersangka ketika dilakukan

tes ternyata positif menggunakan narkotika dan tidak diketemukan

bukti cukup sebagai pengedar maka tersangka tersebut harus

dilakukan rehabilitasi. Apabila seseorang selain positif

menggunakan narkotika juga diketemukan bukti cukup yang patut

78

diduga sebagai pengedar maka tersangka tersebut tetap

direhabilitasi dan kasusnya terus diproses sesuai ketentuan.

Kasus tindak pidana narkotika pada tahun pertama sejak

diberlakukan pada tahun 2012 terlihat adanya peningkatan dari

tahun-tahun sebelumnya. Jumlah kasus pada tahun 2010 sebanyak

177 kasus, pada tahun 2011 turun menjadi 164 kasus, dan pada

tahun 2012 diketemukan 197 kasus. Data pada tabel 2 dan tabel 3

tersebut di atas mengindikasikan bahwa penyalahgunaan narkotika

di DIY yang paling banyak adalah jenis ganja, shabu, putaw, dan

ekstasi. Data tersebut oleh BNNP DIY seharusnya digunakan

sebagai dasar prioritas penanganan, mulai dari pencegahan,

rehabilitasi, maupun penyelesaian kasus.

Kebijakan Kepala BNNP DIY dalam menerapkan amanat

Pasal 54 UU No. 35 tahun 2009 yaitu kewajiban untuk

merehabilitasi pecandu maupun korban penyalahgunaan Narkotika

tersebut pada dasarnya menerapkan hukum dalam fungsi sebagai

rekayasa sosial (social engineering function). Fungsi ini

mengarahkan pada penggunaan hukum untuk mengadakan

perubahan sosial yang berencana yang ditentukan oleh pemerintah.

(Wishnu Basuki, 2001: 11-18). BNNP DIY ingin mengatasi

permasalahan penyalahgunaan dan perdaran gelap narkotika tidak

semata-mata menerapkan ketententuan pemidanaan. Tidak semua

orang yang terlibat kasus narkotika adalah perilaku kriminal

sebagaimana yang diberlakukan sebelum adanya UU No. 35 tahun

2009.

Stigma sosial yang negatif terhadap pecandu dan korban

penyalahgunaan narkotika hingga saat ini masih melekat pada

sebagian besar masyarakat bahwa mereka adalah pelaku kriminal

yang perlu dijauhi atau dihindari. Stigma tersebut telah

menimbulkan ketakutan bagi pecandu dan korban untuk

menyembuhkan diri ke tempat rehabilitasi, dan juga takut ketahuan

79

orang lain, takut ditangkap apabila ketahuan aparat penegak

hukum. Keluarganya juga menderita ketakutan akan stigma negatif

masyarakat apabila ketahuan ada anggota keluarganya yang

kecanduan atau sebagai korban penyalahgunaan narkotika. Kondisi

seperti ini telah mempersulit penyelesaian masalah narkotika di

Indonesia, karena pecandu dan korban tidak pulih, pecandu dan

korban yang tidak pulih tidak akan produktif dan selalu tergantung

pada orang lain, bahkan untuk memenuhi kebutuhannya tidak

jarang mereka melakukan tindak pidana.

Perubahan sosial agar masyarakat tidak menganggap

pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika sebagai perbuatan

kriminal, namun sebagai orang sakit yang harus disembuhkan

sangat berdampak positif. Dengan menghilangkan stigma negatif

maka pecandu dan keluarganya berani muncul ke permukaan dan

berobat untuk pulih. Pecandu yang telah pulih diharapkan dapat

produktif dan tidak lagi tergantung pada orang lain. Di sisi lain

pecandu yang telah pulih dan tidak lagi minta pasokan narkotika

lagi secara otomatis memutus mata rantai peredaran gelap

narkotika. Hukum pasar mengatakan bahwa kalau tidak ada

permintaan (demand) maka penawaran (supply) akan turun.

Kerja sama antara BNNP DIY dengan instansi terkait

terutama dengan Polda DIY, Keimigrasian, Bea Cukai, Angkasa

Pura sebagai pengelola Bandara Adi Sucipto, Balai Pengawasan

Obat dan Makanan DIY, Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)

di DIY seperti Dinas Kesehatan DIY, Dinas Sosial, dengan

berbagai industri perbankan dan lembaga keuangan merupakan

suatu yang harus dilakukan guna mengungkap jaringan tindak

pidana narkotika yang terorganisir.

BNNP DIY yang telah bekerja sama dengan Polda DIY dan

dengan berbagai pihak menggunakan pendekatan psikologis dalam

mengungkap kasus narkotika yang dilakukan secara terorganisir.

80

Pengalaman selama ini para pelaku tindak pidana narkotika

mengaku tidak mengenal dengan pelaku yang lain, komunikasi

menggunakan telepon seluler yang selalu berubah nomor maupun

alat komunikasinya, dan juga menggunakan internet. Transaksi

keuangan menggunakan perbankan atau lembaga keuangan

lainnya, dan menggunakan nomor rekening orang lain atau

menggunakan identitas palsu. Pelaku tindak pidana narkotika

selalu menghilangkan jejak agar tidak mudah dilacak petugas.

Pendekatan psikologis diharapkan dapat membongkar kerahasiaan

yang disimpan oleh masing-masing pelaku pidana.

2. Hambatan BNNP DIY dalam Upaya Pencegahan dan

Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika

BNNP DIY sebagai organisasi baru, tidak terlepas dari hambatan

dalam upaya pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan

peredaran gelap narkotika. Hambatan – hambatan utama yang

dihadapi BNNP DIY antara lain (1) hambatan terkait dengan

organisasi dan sumber daya manusia, (2) hambatan prosedural

pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap

narkotika, (3) hambatan terkait dengan sarana dan prasarana.

1. Hambatan Terkait dengan Organisasi dan Sumber Daya

Manusia

BNNP DIY masih kekurangan personel baik secara

kuantitas maupun kualitas. Data jumlah personel hingga saat

penelitian berjalan baru ada 35 personel atau 18% dari yang

seharusnya 190 orang (BNNP DIY. Data Personel 2013). Pada

pelaksanaan tugas sehari-hari terjadi penugasan rangkap baik

dalam urusan administrasi maupun penugasan operasional

lapangan. Petugas yang rangkap jabatan antara lain Kabid

Pemberantasan merangkap sebagai Pejabat Pembuat Komitmen,

81

Kabag TU merangkap sebagai Pejabat Pemeriksa dan

Penandatangan Surat Perintah Membayar (PPSPM), Kasubbag

Administrasi menjabat sebagai Bendahara, dan lain sebagainya.

Para personel berasal dari anggota Polri, anggota

Pemerintah Daerah, dan hasil rekruitmen baru BNN. Mereka

memiliki latar belakang penugasan yang berbeda. Bagi personel

yang berasal dari Pemerintah Daerah dan mereka yang baru

diangkat sebagai pegawai di BNNP DIY masih ragu-ragu untuk

bertindak.

BNNP DIY secara kelembagaan belum didukung adanya

Badan Narkotika Kabupaten / Kota (BNNK), yang seharusnya

sebagai instansi vertikal di bawah BNNP. Kondisi ini menuntut

BNNP yang berkedudukan di Provinsi harus dapat menjangkau

seluruh lapisan masyarakat di tingkat kabupaten/kota, kecamatan,

hingga pedesaan. Hal tersebut sulit kiranya dilaksanakan oleh

BNNP DIY yang jumlah personelnya masih terbatas, akibatnya

BNNP DIY kurang dapat memberikan pelayanan P4GN kepada

masyarakat luas secara cepat, selain itu juga kurang dapat

memantau situasi dan kondisi wilayah secara obyektif, akibat

selanjutnya adalah permasalahan narkoba sulit untuk bisa

dituntaskan dalam waktu dekat.

Upaya terobosan untuk mengatasi masalah kekurangan

sumber daya manusia adalah diadakannya kerja sama dengan

Lembaga Swadaya Masyarakat yang peduli dengan bahaya

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika untuk membantu

BNNP DIY, selain itu juga mempekerjakan tenaga kontrak

terutama untuk petugas kebersihan dan pengamanan.

Upaya untuk mengatasi masalah kelembagaan dilakukan

BNNP DIY dengan memberdayakan instansi pemerintah dan

lembaga swadaya masyarakat untuk ikut serta di dalam program

P4GN.

82

2. Hambatan Prosedural Pencegahan dan Pemberantasan

Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika

Hambatan yang dihadapi BNNP DIY dalam P4GN

terutama ditemui pada proses penyidikan. Salah satu contoh adalah

dalam memenuhi ketentuan kata wajib menjalani rehabilitasi medis

dan rehabilitasi sosial bagi pecandu narkotika dan korban

penyalahgunaan narkotika dalam perumusan Pasal 54.

Hambatannya adalah mengalami kesulitan mengenai cara

menentukan seorang pecandu narkotika dikatakan sebagai korban

dari penyalahgunaan narkotika. Penjelasan tentang pengertian

korban penyalahgunaan narkotika adalah seseorang yang tidak

sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu,

dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika.

(Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009:

Penjelasan Pasal 54).

Penyidik pada BNNP DIY Komisaris Polisi Mulyadi,

membenarkan bahwa sulitnya menentukan bahwa seseorang

sebagai korban adalah sulit membuktikan bahwa seseorang tidak

sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu,

dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika. Kalau

toh ada tersangka mengaku dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa juga

sulit mencari orang untuk dikonfirmasi atas kebenaran pengakuan

tersebut, (Komisaris Polisi Mulyadi, dalam wawancara pada hari

Senin, tanggal 14 Januari 2013 jam 11.00-12.00). Kesulitan seperti

ini tergantung pada hati nurani penyidik, bagi penyidik yang komit

untuk mengatasi permasalahan penyalahgunaan narkotika maka dia

akan memberlakukan seseorang tersebut untuk direhabilitasi. Bagi

penyidik yang berpegang teguh pada aturan pidana maka seseorang

dapat diproses sebagai pelaku pidana.

Hambatan berikutnya adalah penempatan pecandu yang

mengalami proses pidana. Penyidik dalam penanganan perkara

83

tindak pidana narkotika dapat menempatkan pecandu narkotika di

lembaga rehabilitasi, setelah mendapatkan rekomendasi dari Tim

Dokter. (Peraturan Menteri Kesehatan No. 2415 tahun 2011 pasal

21 ayat (1) dan (2)). Hal ini masih terkendala karena belum ada

Tim Dokter yang dibentuk. Tim Dokter tersebut harus ditetapkan

oleh Dinas Kesehatan Provinsi atau Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota (Peraturan Menteri Kesehatan No. 2415 tahun

2011 pasal 21 ayat (5). Akibatnya pecandu yang sedang mengalami

proses pidana tidak ditempatkan di lembaga rehabilitasi. Upaya

untuk mengatasi permasalahan ini maka BNNP DIY berkoordinasi

dengan Puskesmas yang telah ditunjuk sebagai Institusi Wajib

Lapor atau dengan Rumah Sakit Jiwa Grasia untuk melakukan

rehabilitasi pecandu di ruang tahanan.

Hambatan selanjutnya adanya kemungkinan dampak

negatif dari kebijakan penerapan rehabilitasi bagi pecandu maupun

korban penyalahgunaan narkotika, bahwa kemungkinan kebijakan

tersebut digunakan sebagai perlindungan penyalahguna agar tidak

diproses hukum. Dampak negatif lainnya dari kebijakan tersebut di

atas yaitu sangat memungkinkan timbulnya penyalahgunaan

kewenangan anggota, yang berbentuk perbuatan kolusi antara

petugas dengan seseorang yang sedang diperiksanya untuk

menghilangkan barang bukti sehingga seseorang tidak diproses

hukum namun hanya direhabilitasi.

BNNP DIY memiliki cara untuk mengatasi kemungkinan

timbulnya penyalahgunaan kewenangan anggota yaitu dengan cara

memberlakukan kontrol yang ketat dan juga meminta masyarakat

untuk berani melakukan kontrol kepada setiap aparat penegak

hukum, serta masyarakat didorong untuk berani melapor langsung

kepada Kepala BNNP DIY. Masyarakat diberitahu akan hak-

haknya sebagaimana disebut dalam pasal 106 UU No. 35 tahun

2009, yang salah satunya adalah hak untuk mendapatkan

84

perlindungan hukum (Drs. Budiharso, MSi. Wawancara hari

Kamis, tanggal 24 Januari 2013 jam 09.30).

Kendala dalam melakukan pelacakan perbankan, karena

Indonesia masih memegang prinsip kerahasiaan bank. Hal ini

bukan berarti BNNP DIY menyerah dalam upaya pengungkapan

tindak pidana narkotika yang melibatkan perbankan. BNNP DIY

telah melakukan koordinasi dengan berbagai lembaga keuangan

terutama perbankan. Ka BNNP DIY menjelaskan bahwa dalam

mengungkap kasus narkotika yang melibatkan transaksi keuangan

BNNP DIY didukung BNN pusat yang telah melakukan membuat

nota kesepahaman dengan Kementerian Keuangan, Pusat

Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Bank

Indonesia (BI) dan juga berbaga lembaga keuangan lainnya.

3. Hambatan Terkait dengan Sarana dan Prasarana.

BNNP DIY merupakan organisasi baru, sehingga

pemenuhan sarana dan prasarana masih di dalam proses. Hambatan

yang sangat dirasakan belum adanya kelengkapan identifikasi

mengakibatkan terhambatnya pelaksanaan penyidikan.

Upaya mengatasai permasalahan tersebut adalah dengan

berkoordinasi untuk mendapatkan bantuan layanan dengan instansi

/ lembaga yang ada di DIY, yang antara lain yaitu Polda DIY,

Laboratorium Kesehatan Daerah DIY, Balai Pengawasan Obat dan

Makanan DIY, bahkan dalam BNNP DIY minta bantuan ke BNN

pusat. Upaya-upaya tersebut tentunya menimbulkan konsekwensi

terhadap bertambahnya pengeluaran anggaran terutama untuk

pembiayaan pemeriksaan laboratorium dan biaya perjalanan.

85

BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai

berikut :

1. Upaya Badan Narkotika Nasional Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta (BNNP DIY) dalam Pencegahan Pemberantasan

Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika dilakukan melalui

(1) kebijakan pemidanaan (penal policy) yang diterapkan melalui

upaya pemberantasan. Pelaksanaannya dilakukan BNNP DIY bekerja

sama dengan Direktorat Reserse Narkotika Polda DIY dan jajarannya

baik di tingkat Polda maupun Polres, serta juga bekerja sama dengan

Penyidik Pegawai Negeri Sipil dari instansi terkait. dan (2) kebijakan

bukan pemidanaan (non penal policy) diterapkan melalui upaya

pencegahan dan rehabilitasi. Pendekatan non penal dilakukan BNNP

DIY bekerjasama dengan instansi terkait di DIY, para akademisi, dan

juga Lembaga Swadaya Masyarakat dan Organisasi Massa yang

peduli terhadap bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap

narkotika.

2. BNNP DIY dalam upaya Pencegahan, pemberantasan

Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika berdasarkan undang

undang no.35 tahun 2009 sering kali mendapatkan hambatan

sehingga upaya P4GN belum mencapai sebagaimana yang

diharapkan. Hambatan yang utama antara lain : (1) hambatan terkait

dengan organisasi, yaitu belum didukung adanya BNNK yang

merupakan instansi vertical dibawah BNNP DIY dan kekurangan

sumber daya manusia baik secara kuantitas maupun kualitas; (2)

hambatan prosedural pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan

dan peredaran gelap narkotika antara lain adalah cara menentukan

86

seorang pecandu narkotika dikatakan sebagai korban dari penyalahgunaan

narkotika; belum adanya tim dokter untuk melakukan assesemen agar

pecandu atau korban penyalahgunaan narkotika dapat direhabilitasi;

kendala dalam melakukan pelacakan perbankan, karena Indonesia masih

memegang prinsip kerahasiaan bank.; hambatan selanjutnya adanya

kemungkinan dampak negatif dari kebijakan penerapan rehabilitasi bagi

pecandu maupun korban penyalahgunaan narkotika, bahwa kemungkinan

kebijakan tersebut digunakan sebagai perlindungan penyalahguna agar

tidak diproses hokum; (3) hambatan terkait dengan sarana dan

prasarana terutama belum adanya kelengkapan identifikasi

mengakibatkan terhambatnya pelaksanaan penyidikan..

B. Saran

1. Saran kepada Kepala Badan Narkotika Nasional Provinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta agar membuat suatu sistem pengawasan guna

mengawasi penyidik, terutama yang sedang menangani suatu kasus

pidana narkotika. Hal ini diperlukan karena pelaksanaan kebijakan

non penal sangat memungkinkan memberikan celah bagi penyidik

untuk melakukan penyimpangan.

2. Saran kepada para Kepala BNNP / BNNK dan Kepala Dinas

Pendidikan dan jajaran serta Kepala Sekolah, sekiranya dapat

mencontoh model Pemberdayaan Masyarakat berupa lomba sekolah

bebas dari penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Model

lomba tersebut tidak semata-mata mencari pemenang sesaat, namun

penilaian lebih ditekankan terhadap proses P4GN mulai dari

perencanaan, pelaksanaan, evaluasi/kontrol serta kontunuitas

kegiatan. Penilaian semacam ini lebih berdampak positif untuk

mendorong upaya P4GN secara berkelanjutan.

3. Saran kepada masyarakat umum hendaknya lebih memberanikan diri

untuk ikut serta di dalam program P4GN, karena bahaya

87

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika mengancam siapa pun

warga masyarakat dengan tidak mengenal status. Warga masyarakat

hendaknya lebih berani melapor kepada aparat penegak hukum

termasuk kepada BNN/ BNNP/BNNK apabila disekitarnya diketahui

suatu peristiwa yang patut diduga adanya penyalahgunaan dan

peredaran gelap narkotika.

4. Saran kepada warga masyarakat yang anggota keluarganya telah

kecanduan narkotika hendaknya segera menghubungi tempat-tempat

rehabilitasi untuk mendapatkan layanan penyembuhan. Pecandu yang

direhabilitasi kemungkinan untuk pulih / sembuh lebih besar dari

pada pecandu yang tidak mendapatkan layanan rehabilitasi. Pecandu

yang telah melapor tidak dituntut pidana. Pecandu yang telah sembuh

tidak akan meminta pasokan narkotika lagi, dengan demikian akan

terjadi pemutusan peredaran gelap narkotika.

88

DAFTAR PUSTAKA

Badan Narkotika Nasional Bekerjasama dengan Pusat Penelitian KesehatanUniversitas Indonesia. 2008. Laporan Survei Penyalahgunaan Narkoba DiIndonesia: Studi Kerugian Ekonomi Dan Sosial Akibat Narkoba, Tahun2008. Jakarta: BNN.

Badan Narkotika Nasional Bekerjasama dengan Pusat Penelitian KesehatanUniversitas Indonesia. 2011. Ringkasan EksekutifLaporan SurveiPenyalahgunaan Narkoba Di Indonesia: Studi Kerugian Ekonomi DanSosial Akibat Narkoba, Tahun 2011. Jakarta: BNN.

Badan Narkotika Nasional Provinsi DIY. 2012. Rencana Strategis BadanNasional Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2012 - 2014.Yogyakarta: BNNP DIY.

Badan Narkotika Nasional Provinsi DIY. 2013. Laporan Akuntabelitas KinerjaInstansi Pemerintah Badan Narkotika Nasional Provinsi Daerah IstimewaYogyakarta Tahun 2012. Yogyakarta.

Badan Narkotika Nasional. 2009. Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba SejakUsia Dini. Jakarta: BNN.

Badan Narkotika Nasional. 2010. Buku P4GN Bidang PemberdayaanMasyarakat. Jakarta: BNN.

Badan Narkotika Nasional. 2010. Mahasiswa dan Bahaya Narkotika. Jakarta:BNN.

Badan Pusat Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 2010. LaporanEksekutif Hasil Sensus Penduduk Th. 2010 Provinsi Daerah IstimewaYogyakarta, Yogyakarta: Pemprov DIY.

Barda Nawawi Arief, 2005, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung:Citra Aditya Bakti, hal. 21

Barda Nawawi Arief. 1984. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung:Alumni.

Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. EdisiKetiga. Balai Pustaka: Jakarta.

Direktorat Advokasi deputi Bidang Pencegahan Badan Narkotika Nasional. 2010.Advokasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba. Jakarta: BadanNarkotika Nasional.

89

Direktorat Tenaga Kependidikan. 2008. Strategi Pembelajaran danPemilihannya, Jakarta: Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidikdan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional.

HB, Sutopo. 2002. Metode Penelitian Kualitatif : Dasar Teori dan Terapannyadalam Penelitian. Surakarta : Universitas Sebelas Maret Press.

Kelling, George L. and Catherine M. C. 1998. Fixing Broken WindowsMemperbaiki Jendela Rusak. (Edisi Terjemahan Oleh Kunarto). Jakarta:PT Cipta Manunggal.

Wishnu Basuki. 2001. Terjemahan dari Lawrence M. Friedman. 1984. AmericanLaw An Introduction Second Edition (Hukum Amerika Sebuah Pengantar).Jakarta: PT. Tatanusa.

Mardjono Reksodiputro. 1997. Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana.Jakarta:Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia.

Pengelola Penulisan Hukum (PPH) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.2009. Buku Pedoman Penulisan Hukum Mahasiswa Fakultas Hukum.Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum Normatif. Jawa Timur: BanyuMedia.

Puslitbang & Info Lakhar BNN. 2007. Kumpulan hasil-hasil PenelitianPenyalahgunaan dan Peredaran gelap narkoba di Indonesia Ttahun 2003 -2006. Jakarta: BNN.

Satgas Luhpen Narkoba Mabes Polri. 2001. Penanggulangan PenyalahgunaanNarkoba. Jakarta: Dit Bimas Deops Polri.

Siswanto Sunarso. 2004. Penegakan Hukum Psikotropika Dalam KajianSosiologi Hukum. Jakarta :PT.Rajagrafindo Persada,2004.

Tim Ahli BNN. 2009. Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Apa yang BisaAnda Lakukan. Jakarta: BNN.

Tim Ahli BNN. 2010. Petunjuk Teknis Advokasi Bidang PencegahanPenyalahgunaan Narkoba Bagi Masyarakat. Jakarta: Direktorat AdvokasiDeputi Bidang Pencegahan Badan Narkotika Nasional.

Tim Penyusun. 2009. Advokasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba BagiPetugas Lapas/rutan. Jakarta: Pusat Pencegahan Lakhar BNN.

90

Tim Penyusun. 2009. Norma, Standard dan Prosedur (NSP) PemberdayaanMasyarakat. Jakarta: Badan Narkotika Nasional Pusat Pencegahan.

United Nations Office on Drugs and Crime. 2012. World Drug Report 2012.NewYork: United Nations.

91

PERATURAN PERUNDANGAN

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2011 Tenang Pelaksanaankebijakan dan Strategi Nasional Pencegahan dan PemberantasanPenyalahgunaa dan Peredaran Gelap Narkoba Tahun 2011-2015

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor2415/MENKES/PER/XII/Tahun 2011 Tentang REhabilitasi MedisPecandu, Penyalahguna dan Korban Penyalahgunaan Narkotika. Jakarta:Kementerian Kesehatan RI

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2011 TentangPelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika. Jakarta: KementerianSekretariat Negara RI

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2006 tentang TataCara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional, Jakarta: Mensetneg

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 tentang BadanNarkotika Nasional. Jakarta: Kementerian Sekretariat Negara RI

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5062).Yogyakarta: BNNP DIY.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.Jakarta: Mensetneg

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2009 tentang PengesahanUnited Nations Convention Against Transnational Organized Crime(Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak PidanaTransnasional Yang Terorganisasi)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika.Jakarta: Mensetneg

United Nations. 2000. United Nations Convention Against TransnationalOrganized Crime

92

MAJALAH ATAU JURNAL

Ratu Annisa. 2011. “Peran Aktif BNNP Yogyakarta dan Masyarakat dalamP4GN”. Sinar.Edisi 5. Jakarta: PT Trubus Swadaya.

Ratu Annisa. 2011. “Klinik Narkoba Pondok Pesantren Al Munawir”. Sinar.Edisi5. Jakarta: PT Trubus Swadaya.

Sofyan Efendi. 2011. “Rokok Gerbang Menuju Narkoba”. Sinar.Edisi 7. Jakarta:PT Trubus Swadaya.

Veroninica Colondam. 2011. “Perang Narkoba, Siapa Musuhnya?”. Sinar.Edisi 7.Jakarta: PT Trubus Swadaya.

Ahwil Lutan. 2010. “Memberantas Narkoba Harus lewat Tiga Jalur”. Sinar.Edisi4. Jakarta: PT Trubus Swadaya.

Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia. 2009. Jurnal Data P4GNPencegahan, Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran GelapNarkoba (P4GN).Jakarta: BNN

Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia. 2010. Jurnal Data P4GNPencegahan, Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran GelapNarkoba (P4GN).Jakarta: BNN

Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia. 2011. Jurnal Data P4GNPencegahan, Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran GelapNarkoba (P4GN).Jakarta: BNN

PRESIDENREPUBLIK INDONESIA

LAMPIRAN IUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 35 TAHUN 2009TENTANG NARKOTIKA

DAFTAR NARKOTIKA GOLONGAN I

1. Tanaman Papaver Somniferum L dan semua bagian-bagiannya termasuk buah dan jeraminya, kecualibijinya.

2. Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah tanaman PapaverSomniferum L yang hanya mengalami pengolahan sekedar untuk pembungkus dan pengangkutan tanpamemperhatikan kadar morfinnya.

3. Opium masak terdiri dari :a. candu, hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu rentetan pengolahan khususnya

dengan pelarutan, pemanasan dan peragian dengan atau tanpa penambahan bahan-bahan lain,dengan maksud mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok untuk pemadatan.

b. jicing, sisa-sisa dari candu setelah dihisap, tanpa memperhatikan apakah candu itu dicampur dengandaun atau bahan lain.

c. jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.4. Tanaman koka, tanaman dari semua genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae termasuk buah

dan bijinya.5. Daun koka, daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk serbuk dari semua tanaman genus

Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae yang menghasilkan kokain secara langsung atau melaluiperubahan kimia.

6. Kokain mentah, semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun koka yang dapat diolah secara langsung untukmendapatkan kokaina.

7. Kokaina, metil ester-1-bensoil ekgonina.8. Tanaman ganja, semua tanaman genus genus cannabis dan semua bagian dari tanaman termasuk biji,

buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis.9. Tetrahydrocannabinol, dan semua isomer serta semua bentuk stereo kimianya.10. Delta 9 tetrahydrocannabinol, dan semua bentuk stereo kimianya.11. Asetorfina : 3-0-acetiltetrahidro-7α-(1-hidroksi-1-metilbutil)-6, 14-endoeteno-oripavina.12. Acetil – alfa – metil fentanil N-[1-(α-metilfenetil)-4-piperidil] asetanilida.13. Alfa-metilfentanil : N-[1 (α-metilfenetil)-4-piperidil] propionanilida14. Alfa-metiltiofentanil : N-[1-] 1-metil-2-(2-tienil) etil]-4-iperidil] priopionanilida15. Beta-hidroksifentanil : N-[1-(beta-hidroksifenetil)-4-piperidil] propionanilida16. Beta-hidroksi-3-metil-fentanil : N-[1-(beta-hidroksifenetil)-3-metil-4 piperidil] propio-nanilida.17. Desmorfina : Dihidrodeoksimorfina18. Etorfina : tetrahidro-7α-(1-hidroksi-1-metilbutil)-6, 14-endoeteno-oripavina19. Heroina : Diacetilmorfina20. Ketobemidona : 4-meta-hidroksifenil-1-metil-4propionilpiperidina21. 3-metilfentanil : N-(3-metil-1-fenetil-4-piperidil) propionanilida22. 3-metiltiofentanil : N-[3-metil-1-[2-(2-tienil) etil]-4-piperidil] propionanilida

LAMPIRAN I

PRESIDENREPUBLIK INDONESIA

LAMPIRAN IUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 35 TAHUN 2009TENTANG NARKOTIKA

DAFTAR NARKOTIKA GOLONGAN I

1. Tanaman Papaver Somniferum L dan semua bagian-bagiannya termasuk buah dan jeraminya, kecualibijinya.

2. Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah tanaman PapaverSomniferum L yang hanya mengalami pengolahan sekedar untuk pembungkus dan pengangkutan tanpamemperhatikan kadar morfinnya.

3. Opium masak terdiri dari :a. candu, hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu rentetan pengolahan khususnya

dengan pelarutan, pemanasan dan peragian dengan atau tanpa penambahan bahan-bahan lain,dengan maksud mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok untuk pemadatan.

b. jicing, sisa-sisa dari candu setelah dihisap, tanpa memperhatikan apakah candu itu dicampur dengandaun atau bahan lain.

c. jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.4. Tanaman koka, tanaman dari semua genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae termasuk buah

dan bijinya.5. Daun koka, daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk serbuk dari semua tanaman genus

Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae yang menghasilkan kokain secara langsung atau melaluiperubahan kimia.

6. Kokain mentah, semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun koka yang dapat diolah secara langsung untukmendapatkan kokaina.

7. Kokaina, metil ester-1-bensoil ekgonina.8. Tanaman ganja, semua tanaman genus genus cannabis dan semua bagian dari tanaman termasuk biji,

buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis.9. Tetrahydrocannabinol, dan semua isomer serta semua bentuk stereo kimianya.10. Delta 9 tetrahydrocannabinol, dan semua bentuk stereo kimianya.11. Asetorfina : 3-0-acetiltetrahidro-7α-(1-hidroksi-1-metilbutil)-6, 14-endoeteno-oripavina.12. Acetil – alfa – metil fentanil N-[1-(α-metilfenetil)-4-piperidil] asetanilida.13. Alfa-metilfentanil : N-[1 (α-metilfenetil)-4-piperidil] propionanilida14. Alfa-metiltiofentanil : N-[1-] 1-metil-2-(2-tienil) etil]-4-iperidil] priopionanilida15. Beta-hidroksifentanil : N-[1-(beta-hidroksifenetil)-4-piperidil] propionanilida16. Beta-hidroksi-3-metil-fentanil : N-[1-(beta-hidroksifenetil)-3-metil-4 piperidil] propio-nanilida.17. Desmorfina : Dihidrodeoksimorfina18. Etorfina : tetrahidro-7α-(1-hidroksi-1-metilbutil)-6, 14-endoeteno-oripavina19. Heroina : Diacetilmorfina20. Ketobemidona : 4-meta-hidroksifenil-1-metil-4propionilpiperidina21. 3-metilfentanil : N-(3-metil-1-fenetil-4-piperidil) propionanilida22. 3-metiltiofentanil : N-[3-metil-1-[2-(2-tienil) etil]-4-piperidil] propionanilida

LAMPIRAN I

PRESIDENREPUBLIK INDONESIA

LAMPIRAN IUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 35 TAHUN 2009TENTANG NARKOTIKA

DAFTAR NARKOTIKA GOLONGAN I

1. Tanaman Papaver Somniferum L dan semua bagian-bagiannya termasuk buah dan jeraminya, kecualibijinya.

2. Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah tanaman PapaverSomniferum L yang hanya mengalami pengolahan sekedar untuk pembungkus dan pengangkutan tanpamemperhatikan kadar morfinnya.

3. Opium masak terdiri dari :a. candu, hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu rentetan pengolahan khususnya

dengan pelarutan, pemanasan dan peragian dengan atau tanpa penambahan bahan-bahan lain,dengan maksud mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok untuk pemadatan.

b. jicing, sisa-sisa dari candu setelah dihisap, tanpa memperhatikan apakah candu itu dicampur dengandaun atau bahan lain.

c. jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.4. Tanaman koka, tanaman dari semua genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae termasuk buah

dan bijinya.5. Daun koka, daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk serbuk dari semua tanaman genus

Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae yang menghasilkan kokain secara langsung atau melaluiperubahan kimia.

6. Kokain mentah, semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun koka yang dapat diolah secara langsung untukmendapatkan kokaina.

7. Kokaina, metil ester-1-bensoil ekgonina.8. Tanaman ganja, semua tanaman genus genus cannabis dan semua bagian dari tanaman termasuk biji,

buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis.9. Tetrahydrocannabinol, dan semua isomer serta semua bentuk stereo kimianya.10. Delta 9 tetrahydrocannabinol, dan semua bentuk stereo kimianya.11. Asetorfina : 3-0-acetiltetrahidro-7α-(1-hidroksi-1-metilbutil)-6, 14-endoeteno-oripavina.12. Acetil – alfa – metil fentanil N-[1-(α-metilfenetil)-4-piperidil] asetanilida.13. Alfa-metilfentanil : N-[1 (α-metilfenetil)-4-piperidil] propionanilida14. Alfa-metiltiofentanil : N-[1-] 1-metil-2-(2-tienil) etil]-4-iperidil] priopionanilida15. Beta-hidroksifentanil : N-[1-(beta-hidroksifenetil)-4-piperidil] propionanilida16. Beta-hidroksi-3-metil-fentanil : N-[1-(beta-hidroksifenetil)-3-metil-4 piperidil] propio-nanilida.17. Desmorfina : Dihidrodeoksimorfina18. Etorfina : tetrahidro-7α-(1-hidroksi-1-metilbutil)-6, 14-endoeteno-oripavina19. Heroina : Diacetilmorfina20. Ketobemidona : 4-meta-hidroksifenil-1-metil-4propionilpiperidina21. 3-metilfentanil : N-(3-metil-1-fenetil-4-piperidil) propionanilida22. 3-metiltiofentanil : N-[3-metil-1-[2-(2-tienil) etil]-4-piperidil] propionanilida

LAMPIRAN I

PRESIDENREPUBLIK INDONESIA

LAMPIRAN IUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 35 TAHUN 2009TENTANG NARKOTIKA

DAFTAR NARKOTIKA GOLONGAN I

1. Tanaman Papaver Somniferum L dan semua bagian-bagiannya termasuk buah dan jeraminya, kecualibijinya.

2. Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah tanaman PapaverSomniferum L yang hanya mengalami pengolahan sekedar untuk pembungkus dan pengangkutan tanpamemperhatikan kadar morfinnya.

3. Opium masak terdiri dari :a. candu, hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu rentetan pengolahan khususnya

dengan pelarutan, pemanasan dan peragian dengan atau tanpa penambahan bahan-bahan lain,dengan maksud mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok untuk pemadatan.

b. jicing, sisa-sisa dari candu setelah dihisap, tanpa memperhatikan apakah candu itu dicampur dengandaun atau bahan lain.

c. jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.4. Tanaman koka, tanaman dari semua genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae termasuk buah

dan bijinya.5. Daun koka, daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk serbuk dari semua tanaman genus

Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae yang menghasilkan kokain secara langsung atau melaluiperubahan kimia.

6. Kokain mentah, semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun koka yang dapat diolah secara langsung untukmendapatkan kokaina.

7. Kokaina, metil ester-1-bensoil ekgonina.8. Tanaman ganja, semua tanaman genus genus cannabis dan semua bagian dari tanaman termasuk biji,

buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis.9. Tetrahydrocannabinol, dan semua isomer serta semua bentuk stereo kimianya.10. Delta 9 tetrahydrocannabinol, dan semua bentuk stereo kimianya.11. Asetorfina : 3-0-acetiltetrahidro-7α-(1-hidroksi-1-metilbutil)-6, 14-endoeteno-oripavina.12. Acetil – alfa – metil fentanil N-[1-(α-metilfenetil)-4-piperidil] asetanilida.13. Alfa-metilfentanil : N-[1 (α-metilfenetil)-4-piperidil] propionanilida14. Alfa-metiltiofentanil : N-[1-] 1-metil-2-(2-tienil) etil]-4-iperidil] priopionanilida15. Beta-hidroksifentanil : N-[1-(beta-hidroksifenetil)-4-piperidil] propionanilida16. Beta-hidroksi-3-metil-fentanil : N-[1-(beta-hidroksifenetil)-3-metil-4 piperidil] propio-nanilida.17. Desmorfina : Dihidrodeoksimorfina18. Etorfina : tetrahidro-7α-(1-hidroksi-1-metilbutil)-6, 14-endoeteno-oripavina19. Heroina : Diacetilmorfina20. Ketobemidona : 4-meta-hidroksifenil-1-metil-4propionilpiperidina21. 3-metilfentanil : N-(3-metil-1-fenetil-4-piperidil) propionanilida22. 3-metiltiofentanil : N-[3-metil-1-[2-(2-tienil) etil]-4-piperidil] propionanilida

LAMPIRAN I

45. PMA : p-metoksi- α -metilfenetilamina46. psilosina, psilotsin : 3-[2-( dimetilamino )etil]indol-4-ol47. PSILOSIBINA : 3-[2-(dimetilamino)etil]indol-4-il dihidrogen fosfat48. ROLISIKLIDINA, nama lain : 1-( 1- fenilsikloheksil)pirolidina

PHP,PCPY49. STP, DOM : 2,5-dimetoksi- α ,4-dimetilfenetilamina50. TENAMFETAMINA, nama lain : α -metil-3,4-(metilendioksi)fenetilamina

MDA51. TENOSIKLIDINA, nama lain TCP : 1- [1-(2-tienil) sikloheksil]piperidina52. TMA : (±)-3,4,5-trimetoksi- α -metilfenetilamina53. AMFETAMINA : (±)- α –metilfenetilamina54. DEKSAMFETAMINA : ( + )- α –metilfenetilamina55. FENETILINA : 7-[2-[( α -metilfenetil)amino]etil]teofilina56. FENMETRAZINA : 3- metil- 2 fenilmorfolin57. FENSIKLIDINA, nama lain PCP : 1-( 1- fenilsikloheksil)piperidina

PRESIDEN REPUBLIKINDONESIA

23. MPPP : 1-metil-4-fenil-4-piperidinol propianat (ester)24. Para-fluorofentanil : 4‘-fluoro-N-(1-fenetil-4-piperidil) propionanilida25. PEPAP : 1-fenetil-4-fenil-4-piperidinolasetat (ester)26. Tiofentanil : N-[1-[2-(2-tienil)etil]-4-piperidil] propionanilida27. BROLAMFETAMINA, nama lain : (±)-4-bromo-2,5-dimetoksi- α -metilfenetilamina

DOB28. DET : 3-[2-( dietilamino )etil] indol29. DMA : ( + )-2,5-dimetoksi- α -metilfenetilamina30. DMHP : 3-(1 ,2-dimetilheptil)-7 ,8,9, 10-tetrahidro-6,6,9-trimetil-6H-

dibenzo[b, d]piran-1-ol

31. DMT : 3-[2-( dimetilamino )etil] indol32. DOET : (±)-4-etil-2,5-dimetoksi- α –metilfenetilamina33. ETISIKLIDINA, nama lain PCE : N-etil-1-fenilsikloheksilamina34. ETRIPTAMINA. : 3-(2aminobutil) indole

35. KATINONA : (-)-(S)- 2-aminopropiofenon36. ( + )-LISERGIDA, nama lain : 9,10-didehidro-N, N-dietil-6-metilergolina-8 β –

LSD, LSD-25 karboksamida37. MDMA : (±)-N, α -dimetil-3,4-(metilendioksi)fenetilamina38. Meskalina : 3,4,5-trimetoksifenetilamina39. METKATINONA : 2-(metilamino )-1- fenilpropan-1-on40. 4- metilaminoreks : (±)-sis- 2-amino-4-metil- 5- fenil- 2-oksazolina41. MMDA : 5-metoksi- α -metil-3,4-(metilendioksi)fenetilamina42. N-etil MDA : (±)-N-etil- α -metil-3,4-(metilendioksi)fenetilamin43. N-hidroksi MDA : (±)-N-[ α -metil-3,4-(metilendioksi)fenetil]hidroksilamina

44. Paraheksil : 3-heksil-7,8,9, 10-tetrahidro-6,6, 9-trimetil-6H-dibenzo[b,d] piran-1-ol

PRESIDENREPUBLIK INDONESIA

17. Diampromida : N-[2-(metilfenetilamino)-propil]propionanilida18. Dietiltiambutena : 3-dietilamino-1,1-di(2’-tienil)-1-butena19. Difenoksilat : asam 1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4fenilpiperidina-4-

karboksilat etil ester

20. Difenoksin : asam 1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4-fenilisonipekotik21. Dihidromorfina22. Dimefheptanol : 6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heptanol23. Dimenoksadol : 2-dimetilaminoetil-1-etoksi-1,1-difenilasetat24. Dimetiltiambutena : 3-dimetilamino-1,1-di-(2'-tienil)-1-butena25. Dioksafetil butirat : etil-4-morfolino-2, 2-difenilbutirat

58. LEVAMFETAMINA, nama lain : (- )-(R)- α -metilfenetilaminalevamfetamina

59. Levometamfetamina : ( -)- N, α -dimetilfenetilamina60. MEKLOKUALON : 3-( o-klorofenil)- 2-metil-4(3H)- kuinazolinon61. METAMFETAMINA : (+ )-(S)-N, α –dimetilfenetilamina62. METAKUALON : 2- metil- 3-o-to lil-4(3H)- kuinazolinon63. ZIPEPPROL : α - ( α metoksibenzil)-4-( β-metoksifenetil )-1-

64. Opium Obatpiperazinetano

65. Campuran atau sediaan opium obat dengan bahan lain bukan narkotika

DAFTAR NARKOTIKA GOLONGAN II

1. Alfasetilmetadol : Alfa-3-asetoksi-6-dimetil amino-4,4-difenilheptana2. Alfameprodina : Alfa-3-etil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipiperidina3. Alfametadol : alfa-6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heptanol4. Alfaprodina : alfa-l, 3-dimetil-4-fenil-4-propionoksipiperidina

5. Alfentanil : N-[1-[2-(4-etil-4,5-dihidro-5-okso-l H-tetrazol-1-il)etil]-4-(metoksimetil)-4-pipe ridinil]-N-fenilpropanamida

6. Allilprodina : 3-allil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipiperidina

7. Anileridina : Asam 1-para-aminofenetil-4-fenilpiperidina)-4-karboksilat etil ester

8. Asetilmetadol : 3-asetoksi-6-dimetilamino-4, 4-difenilheptana9. Benzetidin : asam 1-(2-benziloksietil)-4-fenilpiperidina-4-

karboksilat etil ester

10. Benzilmorfina : 3-benzilmorfina11. Betameprodina : beta-3-etil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipipe ridina12. Betametadol : beta-6-dimetilamino-4,4-difenil-3–heptanol13. Betaprodina : beta-1,3-dimetil-4-fenil-4-propionoksipipe ridina14. Betasetilmetadol : beta-3-asetoksi-6-dimetilamino-4, 4-difenilheptana15. Bezitramida : 1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4-(2-okso-3-propionil-1-

benzimidazolinil)-piperidina16. Dekstromoramida : (+)-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1-pirolidinil)butil]-

morfolina

PRESIDENREPUBLIK INDONESIA

62. Nikomorfina : 3,6-dinikotinilmorfina63. Norasimetadol : (±)-alfa-3-asetoksi-6metilamino-4,4-difenilheptana64. Norlevorfanol : (-)-3-hidroksimorfinan

26. Dipipanona : 4, 4-difenil-6-piperidina-3-heptanona

27. Drotebanol : 3,4-dimetoksi-17-metilmorfinan-6ß,14-diol28. Ekgonina, termasuk ester dan derivatnya yang setara dengan ekgonina dan kokaina.29. Etilmetiltiambutena : 3-etilmetilamino-1, 1-di-(2'-tienil)-1-butena30. Etokseridina : asam1-[2-(2-hidroksietoksi)-etil]-4fenilpiperidina-4-

karboksilat etil ester

31. Etonitazena : 1-dietilaminoetil-2-para-etoksibenzil-5nitrobenzimedazol32. Furetidina : asam 1-(2-tetrahidrofurfuriloksietil)4 fenilpiperidina-4-

karboksilat etil ester)

33. Hidrokodona : dihidrokodeinona34. Hidroksipetidina : asam 4-meta-hidroksifenil-1-metilpiperidina-4-karboksilat etil

ester

35. Hidromorfinol : 14-hidroksidihidromorfina36. Hidromorfona : dihidrimorfinona37. Isometadona : 6-dimetilamino- 5 -metil-4, 4-difenil-3-heksanona38. Fenadoksona : 6-morfolino-4, 4-difenil-3-heptanona39. Fenampromida : N-(1-metil-2-piperidinoetil)-propionanilida40. Fenazosina : 2'-hidroksi-5,9-dimetil- 2-fenetil-6,7-benzomorfan41. Fenomorfan : 3-hidroksi-N–fenetilmorfinan42. Fenoperidina : asam1-(3-hidroksi-3-fenilpropil)-4-fenilpiperidina-4-karboksilat

Etil ester43. Fentanil : 1-fenetil-4-N-propionilanilinopiperidina44. Klonitazena : 2-para-klorbenzil-1-dietilaminoetil-5-nitrobenzimidazol45. Kodoksima : dihidrokodeinona-6-karboksimetiloksima46. Levofenasilmorfan : (1)-3-hidroksi-N-fenasilmorfinan47. Levomoramida : (-)-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1pirolidinil)butil] morfolina48. Levometorfan : (-)-3-metoksi-N-metilmorfinan49. Levorfanol : (-)-3-hidroksi-N-metilmorfinan50. Metadona : 6-dimetilamino-4, 4-difenil-3-heptanona51. Metadona intermediate : 4-siano-2-dimetilamino-4, 4-difenilbutana52. Metazosina : 2'-hidroksi-2,5,9-trimetil-6, 7-benzomorfan53. Metildesorfina : 6-metil-delta-6-deoksimorfina54. Metildihidromorfina : 6-metildihidromorfina55. Metopon : 5-metildihidromorfinona56. Mirofina : Miristilbenzilmorfina57. Moramida intermediate : asam (2-metil-3-morfolino-1, 1difenilpropana karboksilat58. Morferidina : asam 1-(2-morfolinoetil)-4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester59. Morfina-N-oksida

60. Morfin metobromida dan turunan morfina nitrogen pentafalent lainnya termasuk bagian turunanmorfina-N-oksida, salah satunya kodeina-N-oksida

61. Morfina

PRESIDEN REPUBLIKINDONESIA

65. Normetadona : 6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heksanona66. Normorfina : dimetilmorfina atau N-demetilatedmorfina67. Norpipanona : 4,4-difenil-6-piperidino-3-heksanona68. Oksikodona : 14-hidroksidihidrokodeinona69. Oksimorfona : 14-hidroksidihidromorfinona70. Petidina intermediat A : 4-siano-1-metil-4-fenilpiperidina71. Petidina intermediat B : asam4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester72. Petidina intermediat C : Asam1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat73. Petidina : Asam1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester74. Piminodina : asam 4-fenil-1-( 3-fenilaminopropil)- pipe ridina-4-karboksilat etil

ester75. Piritramida : asam1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4(1-piperidino)-piperdina-4-

Karbosilat armida76. Proheptasina : 1,3-dimetil-4-fenil-4-propionoksiazasikloheptana77. Properidina : asam1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat isopropil ester78. Rasemetorfan : (±)-3-metoksi-N-metilmorfinan79. Rasemoramida : (±)-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1-pirolidinil)-butil]-morfolina80. Rasemorfan : (±)-3-hidroksi-N-metilmorfinan81. Sufentanil : N-[4-(metoksimetil)-1-[2-(2-tienil)-etil -4-piperidil]propionanilida82. Tebaina83. Tebakon : asetildihidrokodeinona84. Tilidina : (±)-etil-trans-2-(dimetilamino)-1-fenil-3-sikloheksena-1-

karboksilat85. Trimeperidina : 1,2,5-trimetil-4-fenil-4-propionoksipiperidina86. Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut di atas

DAFTAR NARKOTIKA GOLONGAN III

1. Asetildihidrokodeina2. Dekstropropoksifena : α-(+)-4-dimetilamino-1,2-difenil-3-metil-2-butanol propionat3. Dihidrokodeina4. Etilmorfina : 3-etil morfina5. Kodeina : 3-metil morfina6. Nikodikodina : 6-nikotinildihidrokodeina7. Nikokodina : 6-nikotinilkodeina8. Norkodeina : N-demetilkodeina9. Polkodina : Morfoliniletilmorfina10. Propiram : N-(1-metil-2-piperidinoetil)-N-2-piridilpropionamida11. Buprenorfina : 21-siklopropil-7-α-[(S)-1-hidroksi-1,2,2-trimetilpropil]-

6,14-endo-entano-6,7,8,14-tetrahidrooripavina

PRESIDENREPUBLIKINDONESIA

12. Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut diatas13. Campuran atau sediaan difenoksin dengan bahan lain bukan narkotika14. Campuran atau sediaan difenoksilat dengan bahan lain bukan narkotika

PRESIDEN REPUBLIKINDONESIA

ttd

DR. H. SUSILO BAMBANGYUDOYONO

(Dikutip dari UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika)

PRESIDENREPUBLIKINDONESIA

12. Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut diatas13. Campuran atau sediaan difenoksin dengan bahan lain bukan narkotika14. Campuran atau sediaan difenoksilat dengan bahan lain bukan narkotika

PRESIDEN REPUBLIKINDONESIA

ttd

DR. H. SUSILO BAMBANGYUDOYONO

(Dikutip dari UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika)

PRESIDENREPUBLIKINDONESIA

12. Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut diatas13. Campuran atau sediaan difenoksin dengan bahan lain bukan narkotika14. Campuran atau sediaan difenoksilat dengan bahan lain bukan narkotika

PRESIDEN REPUBLIKINDONESIA

ttd

DR. H. SUSILO BAMBANGYUDOYONO

(Dikutip dari UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika)