Unud 15 1492312087 Bab II Disertasi

49
23 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan studi pustaka yang telah dilakukan ada beberapa pustaka yang relevan untuk dikaji dalam penelitian ini. Semuanya dijelaskan di bawah ini. Wijaya (1991) dalam bukunya berjudul ”Pembangunan dan Sosial Budaya Hindu Perilaku Keagamaan Umat Hindu di Denpasar 1980-1990” mengungkapkan bahwa telah terjadi perubahan-perubahan sosial budaya akibat pertumbuhan ekonomi masyarakat Denpasar. Berbagai perlengkapan upacara keagamaan sudah biasa diperjualbelikan di antaranya: banten. lawar, sate, babi guling, wadah atau bade, serta perlengkapan-perlengkapan lainnya. Bahkan ada yang membeli seluruh upakara dalam bentuk jadi, lengkap dengan peralatan- peralatan ritual lainnya, seperti penjor, tamiang lengkap dengan sulinggih. Tulisan Wijaya tersebut menyiratkan telah terjadi komodifikasi berbagai perlengkapan upacara keagamaan di Denpasar, tanpa dijelaskan bagaimana hal tersebut terjadi dan berlangsung dengan analisis pendekatan sejarah. Penelitian peneliti tentang komodifikasi upacara ngaben di Desa Pakraman Sanur, Denpasar hendak menunjukkan bagaimana bentuk komodifikasi upacara ngaben, faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya komodifikasi, dan dampak serta makna komodifikasi upacara ngaben itu di era globalisasi. Selanjutnya, akan diteliti pula proses produksi, proses distribusi, dan proses konsumsi dalam

Transcript of Unud 15 1492312087 Bab II Disertasi

23

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI,

DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Berdasarkan studi pustaka yang telah dilakukan ada beberapa pustaka yang

relevan untuk dikaji dalam penelitian ini. Semuanya dijelaskan di bawah ini.

Wijaya (1991) dalam bukunya berjudul ”Pembangunan dan Sosial Budaya

Hindu Perilaku Keagamaan Umat Hindu di Denpasar 1980-1990”

mengungkapkan bahwa telah terjadi perubahan-perubahan sosial budaya akibat

pertumbuhan ekonomi masyarakat Denpasar. Berbagai perlengkapan upacara

keagamaan sudah biasa diperjualbelikan di antaranya: banten. lawar, sate, babi

guling, wadah atau bade, serta perlengkapan-perlengkapan lainnya. Bahkan ada

yang membeli seluruh upakara dalam bentuk jadi, lengkap dengan peralatan-

peralatan ritual lainnya, seperti penjor, tamiang lengkap dengan sulinggih.

Tulisan Wijaya tersebut menyiratkan telah terjadi komodifikasi berbagai

perlengkapan upacara keagamaan di Denpasar, tanpa dijelaskan bagaimana hal

tersebut terjadi dan berlangsung dengan analisis pendekatan sejarah. Penelitian

peneliti tentang komodifikasi upacara ngaben di Desa Pakraman Sanur,

Denpasar hendak menunjukkan bagaimana bentuk komodifikasi upacara ngaben,

faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya komodifikasi, dan dampak serta

makna komodifikasi upacara ngaben itu di era globalisasi. Selanjutnya, akan

diteliti pula proses produksi, proses distribusi, dan proses konsumsi dalam

24

komodifikasi upacara ngaben tersebut. Tulisan ini memberi inspirasi dan

membuka wawasan peneliti untuk meneliti lebih komprehensif.

Titib (2005) dalam disertasinya yang sudah diterbitkan menjadi buku

dengan judul ”Persepsi Umat Hindu di Bali terhadap Svarga, Naraka, dan Moksa

dalam Svargarohan Parva Perspektif Kajian Budaya” menyatakan bahwa terdapat

persamaan persepsi umat Hindu tentang Svarga, Naraka, Moksa (selanjutnya

disingkat SNM) dengan persepsi SNM dalam Svargarohanaparva, yakni

pengembangan tentang penggambaran SNM. Persepsinya tentang svarga

merupakan pahala perbuatan baik, naraka sebagai pahala dari perbuatan buruk,

serta moksa hanya dapat dicapai oleh orang yang baik dan suci. Selanjutnya,

dalam penggambaran svarga dan naraka terdapat berbagai perbedaan tetapi tidak

terlalu jauh dengan sumber-sumber Sanskerta dan Jawa Kuna. Di samping itu,

kurangnya sosialisasi upacara nuntun atau ngalinggihang Dewahyang

(Atmapratista) mengakibatkan umat Hindu yang melakukan upacara tersebut

tidak mengikuti ketentuan yang berlaku di Pura Besakih.

Lebih lanjut Titib menyinggung juga upacara pitra yajña terutama

pelaksanaan upacara pitra yajña di Bali tidak jauh maknanya dengan upacara

pitra yajña di India. Di India, upacara bagi orang yang baru meninggal dan

langsung dikremasi namanya upacara antyesti atau ativahika. Upacara ini sangat

dekat maknanya dengan upacara ngaben, sedangkan upacara pitrapinda dekat

maknanya dengan upacara nyekah. Oleh karena dalam upacara nyekah atau

mamukur, persembahan inti juga berupa bubur beras yang disajikan tidak terlalu

banyak dan juga ditujukan kepada roh yang diupacarai dan yang tidak diketahui

25

disebut sange. Upacara sraddha dekat dengan upacara devapitrapratista (nuntun

setelah atau mamukur untuk distanakan di pamerajan). Upacara sraddha secara

besar-besaran dilaksanakan pada zaman Majapahit oleh raja Hayam Wuruk untuk

neneknya, yakni Tri Bhuvana Tunggadewi dan tempat pelaksanaan upacara kini

dikenal dengan Candi Penataran.

Dalam disertasinya tersebut, Titib melakukan wawancara dengan Ida

Pandita Mpu Mahabhirudaksa. Beliau mengatakan bahwa upacara atau sesajen

tidaklah mutlak harus besar, tetapi yang terpenting ketulusan yang punya keluarga

tersebut, kekhusukan pandita memuja dan karma baik yang bersangkutan

sehingga dapat mengantarkan roh orang yang diupacarai mencapai svarga atau

kedamaian.

Relevansi penelitian Titib dengan penelitian ini adalah walaupun Titib

melakukan penelitian teks dengan metode penelitian kepustakaan dengan

intertektualitas, tetapi ada juga disinggung tentang upacara pitra yajña dengan

esensi upakaranya berupa bubur beras. Hal ini menambah wawasan penulis

tentang upacara pitra yajña, yaitu upacara ngaben merupakan salah satu bagian

dari upacara pitra yajña.

Sukarsa (2005) dalam disertasinya yang sudah diterbitkan menjadi buku

dengan judul “Pengaruh Pendapatan Keluarga dan Pemahaman Agama terhadap

Pengeluaran Konsumsi Ritual Masyarakat Hindu di Bali Ditinjau dari Berbagai

Dimensi Waktu” mengatakan bahwa ada sepuluh analisisnya tentang pengaruh,

baik itu signifikan maupun tidak, pendapatan keluarga terhadap pengeluaran

konsumsi ritual masyarakat Hindu di Bali.

26

1. Terdapat pengaruh signifikan pendapatan keluarga terhadap filsafat agama/tattwa. Besar kecilnya pendapatan keluarga akan mempengaruhi pelaksanaan filsafat agama seperti melakukan pemahaman isi buku agama dan lontar dimiliki. Logikanya dengan adanya kenaikan pendapatan akan terdapar kemampuan daya beli yang bertambah untuk memiliki buku agama. Demikian pula ada kemauan untuk melaksanakan isi dari buku peneliti.

2. Terdapat pengaruh, tetapi tidak signifikan pendapatan terhadap susila. Ini berarti besar kecilnya pendapatan keluarga tidak ada pengaruh terhadap kegiatan menghadiri undangan, kegiatan gotong royong, dan frekuensi denda seseorang dalam perkumpulan banjar mereka.

3. Terdapat pengaruh, tetapi tidak signifikan pendapatan keluarga terhadap upacara. Jumlah, tandingan banten yang dipakai persembahyangan rutin tergantung dari jumlah bangunan/palinggih yang ada. Dalam kurun waktu yang cukup lama (paling tidak lima tahun) jumlah ini relatif tetap. Dengan demikian, jumlah tandingan banten relatif tetap selama kurun waktu tersebut. Jadi, wajar perubahan pendapatan selama enam bulan tidak akan mempengaruhi jumlah perlengkapan upacara.

4. Terdapat pengaruh signifikan pendapatan keluarga terhadap pengeluaran ritual. Hasil studi ini memperkuat beberapa hasil temuan sebelumnya yang mengatakan bahwa pendapatan mempunyai pengaruh positif dan langsung terhadap pengeluaran konsumsi. Bedanya dalam penelitian ini jenis pengeluaran konsumsi adalah konsumsi ritual. Di samping pendapatan keluarga dominan dibentuk oleh indikator pendapatan transitory/sementara. Dengan demikian banyak sedikitnya pendapatan transitori/sementara yang diperoleh keluarga akan mempengaruhi besar kecilnya pengeluaran ritual di Bali.

5. Terdapat pengaruh signifikan filsafat agama/tattwa terhadap susila. Ini berarti pemahaman isi buku agama dan lontar serta kemampuan untuk mempraktikkannya akan mempengaruhi pelaksanaan susila menjadi lebih baik. Hal ini sesuai dengan dugaan semula, yaitu secara normatif memang demikian adanya. Dengan demikian, pemahaman agama yang lebih baik mempengaruhi prilaku masyarakat yang lebih baik pula.

6. Terdapat pengaruh susila terhadap upacara, tetapi tidak signifikan. Baik buruknya pergaulan seseorang di masyarakat tidak mempunyai hubungan dan pengaruh terhadap jumlah tandingan banten serta perlengkapan upacara orang tersebut. Walaupun sangat jarang menghadiri undangan dan melakukan gotong royong, tetapi hal ini tidak mempengaruhi besar kecilnya jumlah tandingan banten dan jumlah pelinggih di pekarangannya.

7. Terdapat pengaruh, tetapi tidak signifikan filsafat agama/tattwa terhadap upacara. Penguasaan filsafat agama yang ditandai dengan pemilikan buku agama, lontar, serta kemampuan mempraktikkannya tidak mempunyai hubungan dan pengaruh terhadap besar kecilnya upacara yang ditandai dengan banyaknya tandingan banten dan perlengkapan upacara.

8. Terdapat pengaruh signifikan filsafat agama/tattwa terhadap pengeluaran ritual. Penguasaan materi buku agama dan lontar mempunyai hubungan dan pengaruh terhadap besar kecilnya pengeluaran ritual bagi keluarga di Bali,

27

tetapi pengaruhnya ini bersifat negatif atau mempunyai arah yang terbalik. Seseorang yang penguasaan filsafat agamanya tinggi akan cenderung mempunyai pengeluaran untuk ritual lebih sedikit.

9. Terdapat pengaruh, tetapi tidak signifikan susila terhadap pengeluaran ritual. Baik buruknya pergaulan seseorang di masyarakat tidak mempunyai hubungan dan pengaruh terhadap pengeluaran ritual orang tersebut. Walaupun frekuensi menghadiri undangan sedikit dan jarang melakukan gotong royong, hal ini tidak mempengaruhi besar kecilnya pengeluaran ritual atau hubungan mereka dengan Tuhan.

10. Terdapat pengaruh, tetapi tidak signifikan upacara terhadap pengeluaran ritual. Kelengkapan upacara seperti jumlah tandingan banten, jumlah pelinggih tidak ada hubungannya dan tidak berpengaruh terhadap pengeluaran ritual.

Berdasarkan kesepuluh pengaruh di atas dapat disimpulkan secara

terintegrasi bahwa pendapatan dan pemahaman agama secara langsung dan tidak

langsung berpengaruh secara nyata terhadap pengeluaran ritual. Kajian ini

memberi wawasan bahwa faktor pendapatan ikut menentukan kemegahan,

kelengkapan, dan tingkatan upacara keagamaan umat Hindu di Bali. Perbedaan

tulisan di atas dengan penelitian ini adalah penelitian ini ingin mendapatkan

tentang komodifikasi upacara ngaben di Desa Pakraman Sanur Denpasar dalam

era globalisasi yang menyangkut proses, faktor-faktor penyebab, dan dampak

serta makna komodifikasi tersebut.

Rica (2005) dalam tesisnya yang berjudul “Perubahan Pola Hubungan

Pasisiyan pada Masyarakat Hindu Etnis Bali-Lombok” mengatakan dalam

analisisnya bahwa pola hubungan pasisyan dikaitkan dengan landasan sastra

seharusnya simbolik antara Siwa sebagai perwujudan Tuhan dengan para Sisya

sebagai daksita, kenyataannya hubungan pasisyan terjadi perubahan. Terjadinya

perubahan struktur di pihak Siwa dan sisya, setidaknya akan berpengaruh terhadap

perubahan fungsinya masing-masing dan korelasi fungsional. Mencermati

perubahan hubungan simbolik merupakan suatu kebutuhan dalam usaha

28

mempertahankan nilai-nilai spiritual pemaknaan terhadap simbol-simbol, bersifat

vertikal dan horizontal seharusnya bersifat sakral sehingga fungsi tiap-tiap Siwa

maupun Sisya dan beberapa hal perlu diketahui arah perubahannya. Fungsi-fungsi

yang diperankan Siwa dan sisya ini antara lain: pertama Siwa berfungsi

memberikan perlindungan spiritual, pengetahuan, dan jasa keagamaan serta

dalam kasus tertentu memberikan perlindungan instrumental, bentuk hubungan

pasisyan menguatkan pemahaman dengan perlindungan spiritual dibuktikan

dengan adanya keterikatan sisya untuk memohon restu dalam bentuk simbolik

berupa tirtha dan jatu kepada Siwa. Terarahnya pola hubungan mewujudkan

perlindungan instrumen dapat dipahami adanya konsep panjak yang berarti

pekerja. Perlindungan spiritual, pengetahuan keagamaan, dan praktik hidup

beragama telah membentuk hubungan ketidaksamaan antara Siwa dan sisya.

Kedua, pengaruh pertukaran hubungan Siwa sisya secara simbolik dengan

beberapa faktor dalam perubahan pola hubungan pasisyan menjadi terwujud pola

hubungan yang baru. Dari struktural dan kultural menimbulkan perkembangan

berarti pada fungsi struktur dan fungsi pasisyan di antaranya sebagian tugas Siwa

mulai dilaksanakan oleh para walaka yang telah mawinten. Ketiga, terarahnya

pola hubungan pasisyan sebagai fungsi membentuk struktur baru yaitu primus

inter pares yang dimiliki oleh seorang peranda kemudian ditularkan kepada para

walaka sehingga dalam memerankan fungsi Siwa, walaka diperlakukan berbeda

dengan kedudukan anggota masyarakat biasa, dalam rangkaian proses adaptasi

kultural dengan terakomodasinya perubahan fungsi Siwa kepada walaka tanpa

29

harus menurunkan makna ideal Siwa itu sendiri. Hal ini untuk menstrukturkan

kebudayaan masyarakat Hindu etnis Bali di Kecamatan Cakranegara.

Penelitian Rica di Lombok tidak jauh berbeda dengan hubungan Siwa

Sisya yang ada di Bali. Pada dasarnya konsep hubungan ini dilandasi oleh

bhisama para leluhur mereka untuk menempatkan Siwa selaku Dewa pada Siwa

sekala di dunia ini. Peran Siwa sekala adalah sebagai pengayom bagi sisya yang

dilandasi rasa bhakti. Akan tetapi, perubahan terjadi karena ternyata hubungan

tersebut sekarang termasuk Siwa menyiapkan banten sesuai permintaan sisya dan

sebagai pengganti sebagai alat tukar adalah sisya membayar dengan harga tertentu

banten yang dibeli pada Siwanya.

Suweta (2006) dalam disertasinya yang berjudul ”Aksara pada Kajang

dalam Upacara Ngaben Masyarakat Hindu di Bali (Sebuah Kajian Linguistik

Kebudayaan)” mengatakan bahwa kajang adalah sejumlah tulisan bahasa Bali

ragam khusus dengan huruf Bali dalam wujud wijaksara sebagai lambang

manifestasi Tuhan, yang ditulis dalam selembar kain blacu, tetoron, dan lain-lain

dengan ukuran tertentu, yang sering dilengkapi dengan rerajahan dan gambar,

yang digunakan untuk menutup jenazah pada saat upacara ngaben, agar atma

orang yang meninggal mendapat tempat bersatu dengan Tuhan (amor ing

acintya).

Aksara Pada Kajang dalam penelitian ini selanjutnya disingkat APK.

Aksara suci yang ada dalam lukisan kajang merupakan tanda legisigns, karena

secara konvensional memiliki bentuk dan makna tertentu, yang dalam aktivitas

sosial religius (upacara ngaben) berfungsi sebagai simbol komunikasi, secara

30

immanent dan transendental yang dipedomani oleh masyarakat Hindu di Bali.

Bentuk aksara suci pada kajang dibedakan menjadi empat, yaitu (1) bentuk

aksara suci APK berdasarkan kesejarahan aksara Bali (semua aksara APK

tergolong bulat/bundar); (2) bentuk aksara suci APK berdasarkan struktur aksara

(aksara suara, pengangge aksara suara, aksara pangangge aksara wyanjana); (3)

bentuk akasara suci APK berdasarkan macam aksara wyanjana,dibedakan

menjadi delapan, yaitu ekaksara, dwyaksara, triaksara, panca brahma.panca

aksara, dasaksara, catur dasaksara, saddasaksara; (4) bentuk aksara suci APK

aksara sebagai singkatan; bentuk APK berdasarkan tata letak/komposisi.

Beberapa fungsi aksara suci APK. (1) Fungsi referensial yaitu fungsi

bahasa yang mereferensikan objek sebagai acuan makna. (2) Fungsi emotif/

ekspresif, yakni mengekspresikan bahasa sesuai dengan keinginan seperti

pembuat kajang (pendeta) dan pengguna kajang (orang yang mengadakan upacara

ngaben). Ada beberapa penggolongan kajang masing-masing memiliki aksara suci

sebagai ciri pembesda: Kajang Brahmana, Kajang Ksatrya, Kajang Wesya,

Kajang Sudra, Kajang Pasek, Kajang Pande. (3) Fungsi metalinguistik adalah

fungsi bahasa yang dikaitkan dengan faktior di luar bahasa, dalam APK secara

metalinguistik fungsi bahasa dikaitkan dengan hakikat kehidupan, manusia

sesuai keyakinan umat Hindu di Bali. Terlihat dari aksara suci yang dijadikan

kode/sandi terkait dengan badan manusia. (4) Fungsi magis, yaitu APK yang

dikaitkan dengan sesuatu yang sakral (aksara suci APK dikaitkan dengan nama-

nama Dewa manifestasi Tuhan).

31

Makna akasara suci APK meliputi: (1) makna pemujaan kepada Tuhan:

Tuhan yang tunggal, Tuhan sebagai Purusa Pradana, Tuhan sebagai Tri Murt,

Tuhan sebagai Pancadewata, Tuhan sebagai Siwa, dan Tuhan sebagai Dewata

Nawa Sanga; dan (2) makna permohonan kepada Tuhan yaitu untuk mencapai

kesucian, mencapai kebahagiaan abadi, mendapat perlindungan Tuhan, kembali

ke alam asal, dan bersatu dengan leluhur yang suci.

Nilai APK dikelompokkan menjadi empat. (1) Nilai religius yaitu

penyadaran akan hakikat hidup sebagai manusia, penyucian diri, yakin kepada

Tuhan dalam berbagai manifestasi. (2) Nilai sosiologis, yaitu memupuk

kebersamaan, menghormati perbedaan, menghormati pendeta. (3) Nilai didaktis

paedagogik yaitu meningkatkan keimanan, pengendalian diri, hormat kepada

leluhur. (4) Hubungan antara nilai dengan bentuk, fungsi, dan makna APK sangat

erat. Tanpa adanya bentuk APK, tidak mungkin bisa melihat fungsi dan

maknanya.

Penelitian di atas mengkaji kajang sebagai salah satu bagian dari sarana

ngaben dari perspektif linguistik kebudayaan, sedangkan penulis meneliti kajang

sebagai sebuah komoditas yang tergolong ke dalam produk dalam sebuah

komodifikasi upacara ngaben. Penelitian di atas memberikan kontribusi sehingga

penulis mendapat tambahan wawasan dalam kajang.

Ningrat (2006) dalam tesisnya yang berjudul ”Banten Panjang Ilang

dalam Upacara Ngaben di Mataram (Kajian Bentuk Fungsi, dan Makna)”

mengatakan bahwa salah satu elemen dari aspek upacara yang belakangan ini

mendapatkan perhatian dalam aktivitas keagamaan adalah upakara. Fenomena

32

tersebut bertalian dengan wacana simplikasi dalam tatanan upakara di

masyarakat Hindu khususnya di Mataram. Pada hakikatnya munculnya wacana

semacam itu sebagian besar diakibatkan oleh pemahaman masyarakat terhadap

fungsi dan makna sarana upacara tersebut. Dalam upaya mewujudkan dan

menyosialisasikan maksud tersebut, maka diteliti aspek sarana upacara pitra

yajña yaitu banten panjang ilang.

Bentuk banten panjang ilang secara fisik tidak ditemukan secara tepat.

Dalam penggunaannya disesuaikan dengan budaya pembuatan jenis-jenis

banten setempat. Bentuk simbolik dalam banten panjang ilang menyiratkan

tinginya tingkat adaptasi budaya lokal terhadap ajaran Agama Hindu. Bentuknya

rumit, tetapi sangat indah kelihatannya. Realitas ini mengindikasikan betapa tinggi

nilai estetik yang terdapat dalam sarana upacara. Bertalian dengan nilai estetik

yang tinggi, maka pembuatannya memerlukan juga orang-orang yang berjiwa seni

dan terampil dalam bidang ini.

Adapun fungsi banten panjang ilang yang dipergunakan dalam upacara

ngaben adalah sebagai banten pengadang-adangan yang ditujukan kepada butha

kala yang menghambat perjalanan sang atma. Kesucian proses pembuatan banten

panjang ilang sangat berpengaruh terhadap mereka yang diupacarai/di-aben.

Banten panjang ilang sangat penting dalam upacara ngaben walaupun tingkat

kanista.

Berkaitan dengan makna banten panjang ilang dalam upacara pitra yajña

di Mataram pada hakikatnya adalah sebagai oleh-oleh dari sang atma kepada

sang catur sanak untuk mempercepat proses perjalanan menemui kedua

33

orangtuanya. Panjang ilang sebagai persembahan kepada Sang Suratma dengan

kaki tangan beliau pada saat pembersihan atau pebaktian dan dipersembahkan

pada saat pengiriman. Selain itu sebagai media pembinaan moral dan budaya

Hindu yang menekankan pada kesusilaan dan bersumber pada nilai budaya yang

telah diwarisi secara turun-temurun yang masih berupa lontar atau dalam wujud

panjang ilang.

Dari tesis Ningrat tentang salah satu banten pitra yajña yaitu panjang

ilang yang digunakan umat Hindu di Mataram dalam upacara ngaben, ditemukan

adanya bentuk, fungsi, dan makna terhadap banten tersebut. Bentuknya yang

rumit dan indah berfungsi sebagai pengadang-adang yang ditujukan pada sang

butha kala dan maknanya sebagai oleh-oleh dari sang atma kepada catur sanak.

Asmyta Surbakti (2006) dalam tulisannya berjudul ”Komodifikasi dalam

Pariwisata Hegemoni Budaya Populer” dalam Jurnal Kajian Budaya Vol.3 No.6

mengungkapkan bahwa telah terjadi komodifikasi budaya populer dan hegemoni

pariwisata. Bali sebagai daerah tujuan pariwisata dunia berada dalam proses

komodifikasi sebagai bentuk-bentuk budaya populer, misalnya ”Nyepi di hotel”

melalui paket Nyepi. Tiga pilar yang menjadi pemicu proses komodifikasi ini,

yaitu negara, pengusaha, dan konsumen. Negara dan pengusaha di satu sisi,

bekerjasama untuk mendapat pembagian keuntungan dan kepuasan ekonomi,

sedangkan di sisi lain, konsumen yaitu wisatawan mendapatkan layanan dan

suasana eksotis.

Tulisan Surbakti di atas berbeda dengan penelitian penulis. Tulisan

tersebut menjelaskan komodifikasi dalam dunia kepariwisataan yang melibatkan

34

tiga pilar utama dalam dunia kepariwisataan dengan mendapatkan keuntungan

masing-masing. Penelitian penulis menekankan pada komodifikasi dalam bidang

agama khususnya upacara ngaben yang melibatkan orang lokal (Bali) sebagai

produsen, distributor yang mendapatkan kepuasan dan keuntungan ekonomis,

konsumennya adalah orang lokal (juga orang Bali) yang menikmati kepuasaan

religius dan spiritual. Oleh karena Desa Pakraman Sanur menjadi salah satu

kawasan pariwisata, maka komodifikasi upacara ngaben ini dikonsumsi pula oleh

wisatawan yang dapat menikmati dalam pengalamannya di Bali upacara ngaben

tersebut. Dengan demikian, maka umat Hindu di Sanur akan berusaha untuk

tampil semaksimal-maksimalnya karena upacara ngaben ditonton oleh wisatawan.

Kedua tulisan ini memiliki persamaan terutama dalam penggunaan konsep dan

teori komodifikasi. Kegunaan tulisan ini dapat menambah dan mempertajam

konsep dan teori penelitian peneliti.

Penelitian tentang komodifikasi dilakukan oleh Rahayu (2006) dalam

tesisnya yang berjudul ”Komodifikasi Kerajinan Patung Kayu dalam Konteks

Pariwisata di Desa Singakerta Kecamatan Ubud Kabupaten Gianyar. Rahayu

mengungkapkan bahwa terdapat beberapa jenis patung yang telah mengalami

komodifikasi yaitu patung rama shita, patung ganesha, patung oleg, patung janger,

patung garuda, patung singa, patung dolphin, dan patung naga. Komodifikasi

produksi kerajinan patung kayu di Desa Singakerta terdiri atas perubahan bentuk,

warna, dan bahan kayu yang digunakan. Saluran distribusi kerajinan patung kayu

saat ini didominasi oleh saluran distribusi tidak langsung dengan target market

pengusaha asing dan domestik. Pola konsumsi kerajinan patung kayu sebagian

35

besar pola konsumsi massal. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya

komodifikasi kerajinan patung kayu antara lain faktor internal dan eksternal.

Komodifikasi kerajinan patung kayu dapat menimbulkan dampak terhadap sosial

ekonomi dan sosial budaya masyarakat.

Tulisan Rahayu di atas memiliki perbedaan dengan peneliti dalam subjek

penelitian. Penulis menekankan subjek pada komodifikasi upacara ngaben di

Desa Pakraman Sanur sebagai salah satu kawasan wisata di Bali. Komodifikasi

terhadap upacara ngaben tersebut dilakukan, baik oleh umat Hindu di Sanur

maupun oleh umat Hindu yang berada di luar Sanur yang melakukan pemesanan

terhadap perlengkapan upacara ngaben tersebut dalam sebuah griya di Sanur.

Relevansi tulisan Rahayu dengan penelitian penulis adalah persamaan dalam

konsep dan teori komodifikasi yang tentunya bermanfaat bagi wawasan peneliti

dalam mengkaji komodifikasi upacara ngaben. Perbedaannya terletak dalam

perspektif atau tinjauan. Rahayu menganalis dalam perspektif parisiwisata,

sedangkan penelitian ini ditinjau dari perspektif kajian budaya dengan teori-teori

kritis.

Dalam orasi ilmiah dengan judul Pitra Sukta saat pengukuhan guru besar

tetap di Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar, Titib (2007) mengatakan bahwa

bila diperhatikan dengan seksama, pemujaan kepada roh leluhur di Bali rupanya

lebih dominan dibandingkan dengan pemujaan kepada Tuhan yang Mahaesa,

Sang Hyang Widhi atau para Dewa manifestasi-Nya. Pemujaan kepada roh suci

leluhur tampak dari aktivitas umat Hindu yang melaksanakan upacara Pitra Yajña

dan di samping itu adalah tersebar banyak pura tempat memuja roh leluhur dalam

36

tingkatan yang terkecil yakni sanggah atau pemerajan yang juga sebagai hulunya

pekarangan (halaman rumah) dan dalam tingkatan yang lebih tinggi seperti pura

dadia, ibu, dadia agung, merajan agung, panti, dan pedharman.

Berbeda halnya dengan umat Hindu di India atau di belahan bumi lainnya,

pemujaan kepada roh leluhur tampak lebih sederhana dibandingkan dengan di

Bali. Para roh leluhur dipuja cukup melalui altar di rumah di samping arca devata

yang menjadi istadewata umat yang bersangkutan. Tradisi pemujaan roh leluhur

ternyata telah berlangsung sangat lama yakni sejak perkembangan agama Hindu

di India tertulis di dalam kitab suci Veda tepatnya dalam kitab Rgveda samhita.

Pemujaan itu ternyata berlangsung sampai ke Bali di samping dalam bentuk ritual

(upacara pitra yajna) ternyata beberapa mantra puja, stuti, stava para pendeta di

Bali ditemukan cukup banyak mantra pemujaan kepada roh leluhur yang

digunakan dalam rangka upacara pitra yajña. Selanjutnya tentang upacara dan

upakara yang dipersembahkan dalam upacara Pitra Yajña, baik di India maupun

di Bali terdapat perbedaan yang sangat bervariasi. Variasi atau perbedaannya

sangat tajam. Pelaksanaan upacara Pitra Yajña di Bali tidak jauh maknanya

dengan upacara Pitra Yajña di India. Di India upacara bagi orang yang baru

meninggal dan langsung diupacarai dekat maknanya dengan ngaben di Bali,

upacara pitrapinda dekat maknanya dengan upacara nyekah. Dalam upacara

nyekah atau mamukur, persembahan inti berupa bubur beras yang disajikan

sedemikian rupa tidak terlalu banyak dan juga ditujukan kepada roh leluhur yang

diupacarai.

37

Dalam orasi ilmiahnya tersebut, Titib membandingkan upacara pitra yajña

di Bali dengan di India. Pada dasarnya ada persamaan makna, tetapi upacara

tersebut di India dilakukan lebih sederhana. Inti upacara itu adalah adanya

pembuatan bubur pitara. Setelah upacara ngaben dilanjutkan pula dengan upacara

atma wadana atau di Bali disebut nyekah. Walaupun Titib tidak menyinggung

tentang komodifikasi, tetapi tulisan Titib menambah wawasan penulis tentang

upacara pitra yajña di India yang jauh lebih sederhana pelaksanaannya

dibandingkan di Bali.

Kajian Winarti (2007) dalam tesisnya yang berjudul ”Kremasi dalam

Upacara Pitra Yajña Tinjauan Sosioreligius” mengungkapkan bahwa saat ini

kremasi menjadi salah satu alternatif pilihan bagi sejumlah orang Bali sebagai

cara melaksanakan upacara ngaben. Dipilihnya cara ini karena (1) sang yajamana

mempunyai masalah dengan Banjar/Desa Pakramannya, (2) ketatnya aturan

banjar/desa pakraman sampai akhirnya menghambat orang yang ingin

melangsungkan upacara penguburan mayat atau ngaben, dan (3) karena pilihan

sendiri.

Kajian di atas menunjukkan bahwa telah terdapat pilihan dalam

melaksanakan upacara ngaben bagi umat Hindu yang ada di Bali karena mereka

telah melaksanakannya melalui kremasi dalam sebuah krematorium demi

terlaksananya penghormatan kepada leluhur dan keharmonisan dengan desa

pakraman, sedangkan penelitian peneliti, upacara ngaben ini disebabkan karena

alasan praktis dan pragmatis.

38

Disertasi Pemayun (2009) yang berjudul ”Komodifikasi Patung Garuda

di Banjar Pakudui Desa Kedisan, Sebuah Kajian Budaya” menjelaskan bahwa

komodifikasi patung garuda terjadi karena ada proses sebagai produksi, ternyata

di dalamnya terdapat sistem produksi yang meliputi benda produksi, di dalamnya

terdapat sistem produksi yang meliputi sistem individu dan sistem berantai untuk

mengejar produktivitas agar cepat mendapatkan hasil produksi untuk

selanjutnya ditukar dengan uang. Selain itu, tingkat produktivitas dengan

beragam material jenis kayu yang digunakan menyebabkan harga jual produk

patung garuda berbeda-beda. Di samping itu, kebutuhan yang mendesak

menyebabkan para pematung melepas atau menjual produk patungnya dengan

harga murah. Pemasaran produk patung garuda mencakup pemasaran di tempat

kerja, pasar seni, gallery, kios seni, dan web-site internet.

Faktor- faktor yang mempengaruhi komodifikasi patung garuda di Banjar

Pakudui, Desa Kedisan, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal

ada di dalam tiap-tiap pencipta produk komodifikasi patung garuda yang

meliputi munculnya imajinasi baru pembuat patung, motivasi untuk meningkatkan

kebutuhan hidup, aktualisasi diri, dan kreativitas untuk menciptakan yang baru

untuk menunjang kebutuhan hidup, aktualisasi, dan pencitraan diri. Kemudian,

faktor eksternal yang mempengaruhi komodifikasi patung garuda mencakup

beragamnya permintaan konsumen, perkembangan selera pasar, kondisi

perkembangan pariwisata, dan kondisi ekonomi. Selain itu, tidak adanya standar

harga yang memadai dan munculnya perantara penjualan patung, menjadi

ganjalan dalam distribusi produk patung garuda kepada konsumen.

39

Dampak komodifikasi patung garuda temuan penelitian ini, mencakup

rendahnya upah pelaku produksi patung, memberikan keuntungan kepada para

penjual, dan konsumen dalam menggunakan produk patung garuda sesuai

kehendaknya. Persaingan antara pematung garuda di sekitar Banjar Pakudui,

Desa Kedisan menyebabkan munculnya varian-varian patung garuda yang

dihasilkan. Keberagaman ini mengidentifikasikan bahwa pembuatnya ingin

mnampilkan identitas sebagai pematung yang pada akhirnya mereka berlomba-

lomba membuat modifikasi patung garuda baru dengan imajinasi dan kreativitas

mereka masing-masing untuk menarik minat konsumen sehingga berdampak

kepada sosial budaya dan kebutuhan sosial ekonomi. Berkaitan dengan memaknai

komodifikasi patung garuda, ternyata makna estetika posmodern diterapkan

untuk memperoleh keuntungan individu bagi pemilik modal. Di samping itu,

muncul makna menciptakan peluang kerja bagi masyarakat. Kemudian makna

profan yang mengarah pada nilai jual produk untuk kebutuhan pasar dan makna

kesejahteraan personal yang pada akhirnya mengarah pada pelestarian tradisi

untuk identitas budaya.

Penelitian Pemayun di atas adalah dengan objek patung garuda sedangkan

penulis meneliti upacara ngaben yaitu sebuah upacara di dalam agama Hindu

untuk membakar jenazah. Jadi, penulis meneliti tentang produk religi yang

dikomodifikasi oleh sulinggih selaku produsen di Desa Pakraman Sanur. Tulisan

di atas memberi kontribusi kepada penulis tentang komodifikasi.

Disertasi Kebayantini (2010) berjudul ” Komodifikasi Upacara Ngaben

Gotong Royong di Gerya Tamansari Lingga, Kelurahan Banyuasri, Kabupaten

40

Buleleng” menjelaskan bahwa upacara ngaben gotong royong adalah sebuah

wacana yang diproduksi oleh sulinggih Gerya Tamansari Lingga sebagai sebuah

bentuk pelaksanaan upacara ngaben secara bersama-sama dengan biaya murah

sehingga dapat dijangkau oleh warga masyarakat yang kurang mampu. Upacara

ngaben ini sengaja digagas, diproduksi, kemudian didistribusikan atau

diperkenalkan kepada umat secara meluas agar dapat menarik minat dan mau

mengonsumsinya. Diproduksi dan dilangsungkan di Gerya Tamansari Lingga,

dipimpin (dipuput) langsung oleh sulinggihnya, dan terbuka untuk umum, artinya

siapa saja dapat dan boleh mengonsumsi. Agar dapat mengonsumsi, setiap

konsumen dikenakan biaya yang penghitungannya berdasarkan setiap sawa

(jasad) yang akan diaben. Bentuk komodifikasi upacara ngaben gotong royong

di Gerya Tamansari Lingga dipahami dari kegiatan produksi, distribusi, dan

konsumsi. Berbagai perlengkapan yang dibutuhkan dalam upacara ngaben

gotong-royong diproduksi atas hubungan-hubungan produksi. Berkenaan dengan

itu setiap objek dianggap sebagai komoditas diproduksi dengan tujuan dijual atau

nilai tukar, bukan semata-mata untuk nilai guna. Para pekerja bekerja dengan

manajemen dan teknologi yang telah diregulasikan dengan tujuan efisiensi dan

efektivitas produksi. Upacara ngaben gotong-royong sebagai komoditas harus

didistribusikan agar diketahui dan dapat menarik minat orang lain untuk

mengonsumsi. Berkenan dengan itu, ada beberapa cara yang telah ditempuh,

yaitu melalui dharma wacana, media elektronik, media massa cetak, dan

komunikasi lisan. Konsumsi upacara ngaben gotong royong menunjukkan

konsumennya yang beragam. Mengonsumsi upacara ngaben gotong-royong

41

berarti terjadi pembentukan identitas, mengomunikasikan kebersamaan dan

kesederhanaan.

Hasil penelitian juga menunjukkan setidaknya ada tiga faktor penyebab

terjadinya komodifikasi upacara ngaben gotong-royong. (1) Faktor habitus, yaitu

kebiasaan/kecenderungan orang Bali-Hindu melaksanakan upacara ngaben karena

dalam struktur kognitifnya tersimpan pandangan dan kepercayaan bahwa upacara

ngaben adalah sebagai upacara kematian, sebagai simbolisasi penyucian atman,

dan sebagai bentuk sradha-bhakti kepada orang tua/leluhur yang telah meninggal

dunia. (2) Faktor modal, yaitu modal budaya dan simbolik yang dikuasai

sulinggih Gerya Tamansari Lingga, seperti benda-benda/kode-kode budaya,

pengetahuan ilmiah, pengetahuan keagamaan, status sulinggih, dan legitimasi

serta kewenangan di bidang keagamaan. Melalui ngaben gotong royong sulinggih

dapat merebut dan mengonversi modal lainnya. Pemilikan dan penguasaan atas

sejumlah modal, menempatkan sulinggih Gerya Tamansari Lingga di posisi

hierarkhis tertinggi dan kekuasaannya terejawantahkan.

(3) Faktor ranah, antara lain di Singaraja terjadi perkembangan

modernitas sosial, terdapat individu-individu yang memiliki keterbatasan

ketrampilan dan pengetahuan tentang upacara ngaben, keterbatasan ekonomi,

waktu, tenaga, dan pengaruh ideologi pasar menyebabkan mereka memilih

mengonsumsi upacara ngaben gotong royong.

Komodifikasi upacara ngaben gotong royong dapat dimaknai melalui dan

di dalam simbol-simbol atau tanda yang ada di dalamnya. Ada makna pendalaman

42

nilai-nilai religius, makna pelemahan tradisi, makna egalitarian, makna efisiensi,

dan makna kesejahteraan

Disertasi di atas menjelaskan tentang komodifikasi upacara ngaben

gotong-royong di sebuah griya di Singaraja sedangkan penelitian penulis adalah di

sejumlah griya di Desa Pakraman Sanur yang melaksanakan komodifikasi

upacara ngaben. Karakteristik dan habitus yang berbeda di dua lokasi tersebut

menyebabkan penelitian penulis berbeda pula karena di Desa Pakraman Sanur

para konsumen adalah para sisya griya itu sendiri. Hubungan Siwa sisya yang

demikian erat menyebabkan sisya terhegemoni oleh Siwanya.

Berdasarkan kajian terhadap beberapa pustaka yang telah disebutkan,

belum ada yang meneliti tentang komodifikasi upacara ngaben di Desa Pakraman

Sanur Denpasar dalam era globalisasi. Dengan demikian, penelitian tersebut

menjadi penting untuk dilaksanakan dengan pendekatan kajian budaya.

2.2 Konsep

Dalam sebuah penelitian konsep sangat penting agar dapat membangun

teori. Ahimsa Putra (2001:6) mengatakan bahwa sebuah teori dapat dibangun

apabila telah ada pemahaman dengan baik tentang konsep-konsep analitis serta

diketahui cara penerapannya dalam penelitian. Dalam penelitian ini akan

dikemukakan tiga konsep yang mendukung peneltian, yaitu konsep komodifikasi

upacara ngaben, konsep Desa Pakraman Sanur, dan konsep era globalisasi.

43

2.2.1 Komodifikasi Upacara Ngaben

Piliang (2006:21) mengatakan bahwa komodifikasi (comodification)

adalah sebuah proses menjadikan sesuatu yang sebelumnya bukan komoditi

sehingga kini menjadi komoditi. Sementara itu Barker (2005: 517)

mendefinisikan komodifikasi adalah proses yang diasosiaikan dengan

kapitalisme. Objek, kualitas, dan tanda dijadikan sebagai komoditas dan

komoditas adalah sesuatu yang tujuan utamanya adalah untuk dijual di pasar.

Marx memberi makna, apa pun yang diproduksi dan untuk diperjualbelikan.

Produk dari kerja yang dibuat bukan untuk dipergunakan, tetapi untuk

diperjualbelikan. Sebagai komoditas ia tidak hanya penting untuk berguna, tetapi

juga berdaya jual ( Smith & Evans, 2004:32-33).

Komodifikasi tidak lain adalah menjadikan sesuatu secara langsung dan

sengaja, dengan penuh kesadaran dan penghitungan matang, sebagai sebuah

komoditas belaka. Dengan komodifikasi, setiap hal dapat menjadi produk yang

siap untuk dijual, mulai dari benda-benda konkret sampai keabstrakan-

keabstrakan yang tersembunyi, dari kapal terbang sampai bagian-bagian “tubuh

privat” (Mudana, 2005).

Komodifikasi memiliki makna yang luas dan tidak hanya menyangkut

masalah produksi komoditas tentang barang dan jasa yang diperjualbelikan.

Permasalahan bagaimana barang dan jasa tersebut didistribusikan dan dikonsumsi

termasuk juga di dalamnya. Menurut Fairclough (1995: 207) komodifikasi adalah

proses. Domain-domain dan institusi-institusi sosial yang perhatiannya tidak

hanya memproduksi komoditas dalam pengertian ekonomi yang sempit mengenai

44

barang-barang yang akan dijual, tetapi bagaimana diorganisasikan dan

dikonseptualisasikan dari segi produksi, distribusi, dan konsumsi komoditas.

Secara operasional, komodifikasi yang dimaksud adalah menjadikan

upacara ngaben sebagai komoditas yaitu dijual kepada konsumen (masyarakat

umum dan sisya) oleh Pedanda di sebuah griya. Pedanda selaku produsen dengan

perhitungan matang telah mengorganisasikan produk yang akan didistribusikan

kepada konsumen untuk memenuhi pola konsumsi masyarakat.

Upacara ngaben terdiri atas kata upacara dan ngaben. Menurut Keputusan

Pesamuhan Agung Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat di Denpasar tanggal

4 Nopember 2007 upacara berasal dari bahasa Sanskerta suku kata “upa” yang

berarti “hubungan” dan “car” yang berarti ’gerak’ atau ’action’ mendapat akhiran

’a’ menjadi kata benda ”cara” yang berarti ’gerakan’. Jadi, upacara adalah

sesuatu yang ada hubungannya dengan gerakan (pelaksanaan) dari suatu yajña

(tindakan). Sejalan dengan itu, Titib (1998: 147) menjelaskan bahwa secara

harfiah tata pelaksanaan suatu yadnya disebut upacara. Kata upacara dalam

bahasa Sanskerta berarti mendekati. Dalam kegiatan upacara agama diharapkan

terjadinya suatu upaya untuk mendekatkan diri kepada Hyang Widhi Wasa,

kepada sesama manusia, kepada alam lingkungan, pitara dan resi. Pendekatan itu

diwujudkan dengan berbagai bentuk persembahan dan tata pelaksanaan

sebagaimana yang telah diatur dalam ajaran agama Hindu. Kesucian adalah sifat

Tuhan. Orang harus suci lahir dan batin bila ingin memanjatkan doa dan

mendekatkan diri kepada Tuhan. Upacara memberikan identitas tersendiri bagi

45

agama-agama tertentu yang membedakannya dengan agama yang lainnya. Tiap-

tiap agama memiliki aturan dalam tata pelaksanaan upacaranya.

Dalam melaksanakan upacara yadnya, umat Hindu (di Bali) menggunakan

sarana yang disebut upakara. Kata upakara berasal dari bahasa Sansekerta suku

kata “upa” yang artinya ’hubungan dengan’, “kara” yang artinya ’pekerjaan

tangan’. Jadi, upakara berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan

tangan yang pada umumnya berbentuk pengolahan materi, seperti daun, kembang,

buah, kayu, air, dan api (Keputusan Pesamuhan Agung PHDI Pusat, 2007).

Pada umumnya upakara adalah berbentuk materi. Bentuk materi upakara

itulah yang disebut banten (Surayin, 1992:4). Oleh karena banten di Bali

merupakan ciri khas yang unik yang mengaitkan daya cipta yang religius yang

mengandung magis, yang mengandung budaya seni dan adat, yang berciri desa,

kala, dan patra serta nista, madya, dan utama, maka terungkaplah suatu nilai luhur

yang tiada tandingannya. Banten membuat orang terpesona dan memburu

keinginan orang yang mempunyai daya seni dan keagungan yang luhur sehingga

memberi andil untuk menjadikan Bali terkenal di seluruh dunia.

Pemeluk agama Hindu di Bali mengenal sarana-sarana sebagai

perlengkapan upacara agama Hindu. Sarana upacara agama Hindu terdiri atas

berbagai jenis lambang yang mencakup tataran aksara, gambar lambang, dan

berbagai jenis bentuk sesaji di dalam banten. Sarana upacara tersebut diyakini

memiliki kekuatan yang berhubungan dengan religiusitas dan dianggap sebagai

sesuatu yang sakral oleh pemeluk agama Hindu. Upacara diimplementasikan

pelaksanaannya melalui yajña. Pengertian yajña menurut Titib (1998:147) berasal

46

dari kata ”yaj” (bahasa Sanskerta) yang berarti ”pemujaan, memuja,

mengorbankan, memberi”. Yajña berarti mengorbankan, berkorban. Sebagai suatu

pemujaan yang memakai korban suci, maka yadnya memerlukan dukungan sikap

mental yang suci pula, di samping adanya sarana yang akan

dipersembahkan/dikorbankan. Makna dan tujuan pelaksanaan yadnya adalah

sebagai pengejawantahan ajaran Veda, sebagai cetusan rasa terima kasih, untuk

meningkatkan kualitas diri, sebagai salah satu cara untuk menghubungkan diri

dengan Tuhan yang dipuja dan untuk menyucikan.

Jenis atau penggolongan yadnya yang telah umum dikenal adalah

berdasarkan tujuan atau sasaran yadnya itu dipersembahkan. Di bawah ini dipetik

penjelasan Agastya Parwa tentang jenis dan penggolongan yadnya.

”Kunan ikan yajña lima pratekanya, lwirnya: deva yajña, rsi yajña, pitra yajña, bhuta yajña, menusa yajña; nahan tan panca yajña rin loka. Deva yajña naranya taila pwa krama ri bhatara siwagni makagelaran in mandala rin bhatara, yeka deva yajña naranya, rsi yajña naranya, kapujan san pandita mwan san wruh ri kalinganin dadi wwan ya rsi yajña naranya. Pitra yajña naranya tilemin bwat hyan siwasraddha, yeka pitra yajña naranya. Butha yajña naranya tawur wwan kapujan in tuwuh ada pamuwan kunda wulan makadi walikrama, ekadasa dewata mandala, ya bhuta yajña naranya. Aweh amanan rin kraman ya ta manusa yajña naranya; ika ta liman wiji i sdennin lokacara manabhyasa ika makabheda lima.”

Terjemahannya:

’Adapun yang disebut yadnya lima bentuknya, yaitu dewa yadnya,resi yadnya, pitra yadnya, bhuta yadnya, manusa yadnya semuanya disebut panca yadnya. Dewa yadnya adalah upacara persembahan kepada api suci Siwa (Siwagni) dengan membuat mandala yadnya, resi yadnya adalah pemujaan kepada para pendeta dan orang-orang yang memahami makna hakikat hidup, pitra yadnya adalah pemujaan kepada roh suci leluhur, bhuta yadnya adalah tawur dan upacara kepada tumbuh-tumbuhan, antara lain dalam bentuk upacara

47

walikrama dan Eka Dasa Rudra dan memberi makanan kepada masyarakat itu disebut manusa yadnya; itulah disebut panca yadnya, lima jumlahnya, pelaksanaannya berbeda satu sama lain.’

Kelima yadnya tersebut dilaksanakan melalui upacara dan upakara

sebagai dasar pengembalian tiga hutang manusia (Tri Rna). Umat Hindu di Bali

menganut kepercayaan adanya roh masih hidup setelah badan kasar takbergerak

dan terbentang kaku. Untuk itu dilaksanakan upacara yang khas yaitu upacara

penyelenggaraan jasat yang berpulang yang disebut Pitra yadnya (Surayin,

2002:1).

Menurut Wiana (2004: 25-27; Purwita, 1992:4) ) upacara ngaben

termasuk ke dalam upacara pitra yajña Ngaben berasal dari bahasa Bali dari asal

kata “api” mendapat prefiks nasal “ng” dan sufiks “an” sehingga menjadi

“ngapian”, kemudian mengalami sandi sehingga menjadi “ngapen”. Terjadi

perubahan bunyi konsonan “p” menjadi “b” menurut hukum perubahan bunyi “p,

b, m, w (rumpun huruf bilabial) sehingga kata “ngapen” berubah menjadi

“ngaben”. Kemudian kata ngaben diberi arti ’menuju api’. Dalam ajaran agama

Hindu api adalah lambang kekuatan Dewa Brahma, jadi ”ngaben” berarti ’menuju

Brahma’. Maksud dan tujuan ngaben adalah melepaskan atma dari unsur Panca

Maha Butha dan mengantarkan sang atman menuju alam Brahman atau alam

ketuhanan

Dilihat dari keadaan jasat orang yang di-aben, maka upacara ngaben itu

dapat dibagi menjadi tiga jenis. Ada yang disebut sawa wadana, asti wadana, dan

swasta. Perbedaan jenis ngaben tersebut terletak pada pangawak. Dalam ngaben

sawa wadana ada jasat (sawa) orang yang baru meninggal sebagai pangawak.

48

Ngaben asti wadana adalah upacara ngaben yang menggunakan tulang belulang

orang yang sudah lama meninggal dan sudah lama dikuburkan. Tulang belulang

itu diangkat dari kuburan dan tulang belulang yang tersisa itulah yang dijadikan

pangawak. Ngaben swasta adalah upacara ngaben yang tidak ditemukan

jenazahnya, pangawaknya menggunakan simbol dalam bentuk Tirtha atau Kusa

( daun alang-alang).

Dalam lontar Sundarigama (Wiana, 2004:27) pe-ngaben-an dalam

upacara pitra yadnya dapat dibedakan menjadi lima tingkatan yang disebut Panca

Wikrama. Lima jenis ngaben tersebut dari yang paling utama sampai yang

upacaranya sederhana. (1) Sawa prateka, upacara ngaben ini dari segi bentuk

upacaranya merupakan ngaben yang paling besar secara sekala. Ngaben sawa

prateka ini arah surga yang dituju disebutkan ring daksina artinya ’di Selatan’.

Dewatanya Dewa Brahma, wikunya Bhagawan Rama Parasu, tirtanya Merta

Kamandalu, bidadarinya Dewi Gagar Mayang. Menggunakan wadah atau bade

dan damar kurung, patulangan, gamelan gambang, menggunakan banten teben,

panjang ilang yang lengkap. (2) Sawa wedana, menggunakan damar angenan,

pengawak kayu cendana, surganya ring pascima (Barat), dewatanya Dewa

Mahadewa, bidadarinya Dewi Sulasih, wikunya Bhagawan Kanwa, tirtanya Merta

Kundalini, gamelan gong trompong, boleh memakai wadah atau bade dan damar

kurung. (3) Pranawa, boleh menggunakan wadah dan juga boleh tidak, memakai

banten teben, damar kurung dan patulangan, pangawak tirta. Cukup memakai

bale salunglung, surganya ring uttara dewatanya Dewa Wisnu, bidadarinya Dewi

Tunjung Biru, wikunya Bhagawan Jenaka, tirtanya Merta Pawitra. Gamelannya

49

Saron. (4) Ngaben swasta, tidak menggunakan wadah atau bade, tidak

menggunakan damar kurung, tanpa banten teben, dan tanpa patulangan. Saji

lengkap dengan nasi angkeb, caru ayam putih lima ekor, sorganya ring wetan

(Timur), dewatanya Sang Hyang Iswara, bidadarinya Dewi Supraba, wikunya

Bhagawan Bhrgu. Menggunakan tirta Maha Merta dan gamelan Turas. (5)

Ngaben mitra yajña, dari segi bentuk ngaben inilah yang paling sederhana, tetapi

dari segi spiritual paling utama. Ngaben ini jarang dianjurkan oleh para pendeta

kecuali Ida Pedanda Made Sidemen dari Griya Taman Sanur. Setelah beliau tiada

penggunaan ngaben mitra yajña yang paling sederhana ini hampir-hampir tidak

terdengar lagi dianjurkan oleh para Pandita. Ngaben ini dengan pangawak

Daksina, sorganya ring madhya (tengah), dewatanya Dewa Siwa, bidadarinya

Dewi Supini, wikunya Bhagawan Wararuci, tirtanya Sanjiwani, cukup memakai

saji lengkap dan nasi angkeb.

Yang dimaksud upacara ngaben dalam penelitian ini adalah upacara

pembakaran jenazah yang dilengkapi dengan sarana banten, dipimpin oleh

yajamana (Pandita) yang dlaksanakan oleh manggala upacara (keturunan) yang

akan di-aben baik ngaben itu dilaksanakan dengan ngwangun maupun

mapranawa.

Jadi, yang dimaksud komodifikasi upacara ngaben dalam penelitian ini

adalah suatu proses menjadikan sarana upacara ngaben sebagai barang

dagangan, diperjualbelikan. Perwujudan upacara ngaben dalam era globalisasi

merupakan suatu upaya sadar dengan perhitungan matang seperti griya-griya di

Desa Pakraman Sanur memproduksi suatu rangkaian upacara ngaben menjadi

50

sebuah komoditi yang kemudian diperjualbelikan kepada sisya dan umat Hindu

pada umumnya. Sebagai konseptor dan organisator griya di Sanur mempunyai

tujuan untuk mencari keuntungan. Dengan demikian upacara ngaben yang

dilaksanakan, baik ngaben perorangan maupun dengan ngiring di griya sudah

dimasuki unsur-unsur ekonomi karena hampir semua upakara tersebut diperoleh

dengan membelinya di griya tersebut. Di samping itu, karena Desa Pakraman

Sanur merupakan bagian dari kawasan wisata Sanur, maka upacara ngaben itu

pun menjadi dikomersialisasikan kepada wisatawan. Dengan demikian, upacara

ngaben tersebut dikemas untuk memenuhi selera pasar dalam konteks popularitas,

pencitraan diri, kelompok, lembaga, dan kegiatan pariwisata yang pada

hakikatnya bersifat sebagai komoditas.

2.2.3 Desa Pakraman Sanur

Raka (Gorda, 1999:2) mengatakan bahwa Desa Adat adalah suatu

kesatuan wilayah yang warga negaranya secara bersama-sama mengonsepsikan

dan mengaktifkan upacara keagamaan untuk memelihara kesucian desa. Rasa

kesatuan sebagai warga Desa Adat terikat karena adanya karang desa (wilayah

teritorial), awig-awig Desa Adat (sistem aturan desa dengan peraturan

pelaksanaannya). Di samping itu, adanya Pura Kahyangan Tiga (Pura Desa

sebagai suatu sistem tempat persembahyangan bagi warga Desa Adat).

Dari deskripsi Desa Adat tersebut di atas, terungkap bahwa fungsi utama

Desa Adat adalah mengonsepkan dan mengaktifkan upacara keagamaan untuk

memelihara kesucian desa. Pura Kahyangan Tiga merupakan unsur yang mengikat

51

rasa kesatuan warga Desa Adat. Swellengrebel (1960) dan Covarrubias (1972)

dalam Gorda (1992:2) mengatakan bahwa kesatuan pemujaan di Pura Kahyangan

Tiga merupakan unsur pengikat sebuah Desa Adat. Dengan demikian, Desa Adat

merupakan organisasi khusus orang Bali yang beragama Hindu.

Sejak dikeluarkannya Perda Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang

Desa Pakraman, sebutan ”Desa Adat” diganti menjadi ”Desa Pakraman. Desa

Pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Bali yang

mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan masyarakat umat

Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa

yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak

mengurus rumah tangganya sendiri.

Dengan memperhatikan pengertian di atas, maka secara sederhana dapat

dikatakan bahwa Desa Adat atau Desa Pakraman merupakan organisasi

masyarakat Hindu di Bali yang berdasarkan kesatuan wilayah tempat tinggal

bersama dan spiritual keagamaan yang paling mendasar bagi pola hubungan dan

pola interaksi sosial masyarakat Bali. Sebuah Desa Adat/Pakraman, terdiri atas

tiga unsur, yaitu (1) unsur parahyangan (berupa pura atau tempat suci agama

Hindu), (2) unsur pawongan ( warga desa yang beragama Hindu), dan (3) unsur

palemahan (wilayah desa yang berupa karang ayahan desa dan karang

gunakaya).

Desa Pakraman Sanur merupakan satu dari tiga Desa Pakraman yang

terdapat di Kelurahan Sanur. Dua Desa Pakraman lainnya adalah Desa Pakraman

Intaran dan Penyaringan. Keunikan Desa Pakraman di Sanur adalah keterikatan

52

sebagai krama desa di Pura Kahyangan Tiga yang ternyata setiap upacara

piodalan di pura-pura tersebut krama desa tidak mengeluarkan biaya. Yang

mengeluarkan biaya upacara piodalan adalah Desa Pakraman dan Griya Jro Gede

Sanur. Jadi, dari segi finansial krama Desa Pakraman tidak mengeluarkan biaya

hanya tenaga untuk ngayah di Pura Kahyangan Tiga tersebut.

2.2.4 Era Globalisasi

Era berarti suatu masa, zaman atau periode tertentu, yang dalam penelitian

ini adalah masa atau zaman globalisasi. Istilah globalisasi berasal dari kata globe

atau global yang artinya dunia atau mendunia. Istilah globalisasi kemudian

menjadi fenomena para pakar dalam pengkajian berbagai disiplin termasuk dalam

kajian budaya. Konsep ini dibicarakan dalam ruang dan waktu dan dimaknai

berbeda-beda, tetapi cenderung kepada konsep ekonomi karena salah satu wujud

globalisasi adalah kapitalisme

Tilaar (2003:190) mengatakan bahwa globalisasi merupakan suatu proses

yang dinamis dari berbagai sektor dalam sejarah manusia. Dari segi proses

globalisasi ditandai dengan pesatnya perkembangan kapitalisme, yakni kian

terbukanya pasar global yang dalam sistem ekonomi hanya mengakui satu

hukum, yaitu hukum tawar menawar di pasar. Salah satu wujud globalisasi adalah

kapitalisme. Kapitalisme adalah ekonomi bebas tidak ada pembatasan, orang

boleh membeli dan menjual bebas dari pembatasan produksi artinya orang bebas

memproduksi apa pun yang dikehendakinya, untuk mncari keutungan yang lebih

besar. Hukum yang lain dari kapitalisme adalah persaingan dan itu berarti

53

menurut Abdullah (2006: 165) memerlukan strategi pengumpulan kekayaan bagi

berbagai kelompok masyarakat.

Banyak proses globalisasi berciri ekonomi dan globalisasi mengacu pada

sekumpulan aktivitas ekonomi sebagai praktik-praktik kapitalisme. Bukan saja

masalah ekonomi, tetapi terkait juga dengan isu-isu makna kultural dengan adanya

proses-proses kultural global (Barker, 2005:150-151).

Menurut Putra (1998:3-4) globalisasi dalam arti yang nyata berarti

kegiatan yang mengabaikan batas-batas negara. Globalisasi, yaitu suatu gerakan

internasional yang mengarah pada kerjasama untuk mewujudkan tujuan-tujuan

bersama. Akan tetapi, materi globalisasi sesungguhnya bukanlah kerjasama

melainkan kompetisi secara jujur, terbuka, dan nondiskrimimatif. Globalisasi

melahirkan paham globalisme atau isme tentang kepentingan bersama serta usaha-

usaha bersama yang memandang manusia sebagai masyarakat universal.

Ritzer dan Godman (2007:598) mengatakan bahwa globalisasi adalah

satu kata yang menjadi pusat ketertarikan, tetapi juga kecemasan publik.

Kecemasan itu berkaitan dengan sifat karakteristik globalisasi yang

mendramatisasi seluruh aspek kehidupan manusia di seluruh dunia, tetapi tidak

dirasakan. Kemudian kalau mengacu pada konsep globalisasi menurut

Appadurai, globalisasi terkait dengan etnoscape (pergerakan manusia),

mediascape (pergerakan media), technoscape (pergerakan teknologi), financscape

( pergerakan uang), dan ideoscape (pergerakan ideologi).

Secara umum Waspodo ( 2004:88-91) membagi era globalisasi dalam tiga

fase atau tahapan-tahapan perkembangan. Fase pertama dimulai sejak abad ke-15

54

yang dimulai dengan ekspansi negara-negara Eropa ke beberapa wilayah Asia,

Afrika, dan Amerika Latin. Fase kedua disebut sebagai era pembangunan atau era

developmentalisme. Era ini ditandai dengan masa kemerdekaan Negara-negara

yang dikoloni. Kemudian fase ketiga terjadi menjelang abad ke-21 atau

penghujung abad ke-20 ditandai dengan liberalisasi di segala bidang dan

dipaksakan melalui transnasional, lembaga-lembaga keuangan global.

Era globalisasi yang dimaksud di sini adalah fase abad ke-21 atau

penghujung abad ke-20 yang ditandai dengan kecenderungan kehidupan pada

konsep ekonomi yang terwujud dalam kapitalisme. Hal ini dapat dirujuk pada

masyarakat Desa Pakraman Sanur yang mulai melaksanakan komodifikasi saat

booming pariwaisata pada era 1980-an dan lebih kompak melaksanakan mulai

tahun 1990-an sampai keberadaannya pada abad ke-21 ini.

2.3 Landasan Teori

Pada dasarnya yang disebut teori adalah asas, konsep dasar, pendapat yang

telah menjadi hukum umum sehingga dipergunakan untuk membahas suatu

peristiwa atau fenomena dalam kehidupan manusia. Menurut Kerlinger (2004:16-

17) sebuah teori adalah seperangkat konstruk atau konsep, batasan, dan proposisi

yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci

hubungan-hubungan antara variabel dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi

fenomena itu.

55

Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori-teori kritis

cultural studies. Adapun teori-teori yang digunakan, yaitu (1) teori komodifikasi ;

(2) teori hegemoni; (3) teori praktik ; dan (4) dekonstruksi.

2.3.1 Teori Komodifikasi

Teori komodifikasi gejalanya dapat dirujuk dari pemikiran Karl Marx dan

George Simmel (Turner, 1992: 115-132) yang sepakat bahwa akibat ekonomi

uang yang berdasarkan semangat menciptakan keuntungan yang sebanyak-

banyaknya mengakibatkan munculnya gejala komodifikasi di berbagai sektor

kehidupan. Komodifikasi merupakan suatu konsep yang luas, tidak hanya

menyangkut masalah produksi komoditas dalam pengertian perekonomian yang

sangat sempit tentang barang-barang yang diperjualbelikan. Permasalahannya

juga menyangkut pendistribusian barang-barang tersebut dan barang tersebut

dikonsumsi.

Komodifikasi memunculkan budaya populer yang berawal dari konsumsi

massa, masyarakat komoditas atau masyarakat konsumenlah sebagai

penyebabnya. Lebih lanjut menurut Piliang (1999: 245-246) bahwa perkembangan

masyarakat postindustri dan kebudayaan postmodern tidak dapat dipisahkan dari

perkembangan konsumerisme dalam diskursus kapitalis mutakhir. Dalam

pengertian masyarakat posindustri juga masyarakat konsumen, berkenaan dengan

masyarakat konsumen, mereka lebih menyenangi hasil produksi pabrik atau

massal dibandingkan dengan yang mereka hasilkan sendiri.

56

Menurut Adorno ( Piliang, 2003: 94-95) komodifikasi tidak saja menunjuk

pada barang-barang kebutuhan konsumerisme, tetapi telah merambat ke bidang

seni dan kebudayaan pada umumnya. Apa yang dilakukan oleh masyarakat

kapitalisme terhadap kebudayaan adalah menjadikannya patuh pada hukum

komoditi kapitalisme. Masyarakat seperti ini hanya menghasilkan kebudayaan

industri (culture industry) satu bentuk kebudayaan yang ditujukan untuk massa

dan produksinya berdasarkan mekanisme kekuasaan sang produser dalam

penentuan bentuk, gaya, dan maknanya.

Perkembangan masyarakat konsumen mempengaruhi cara-cara

pengungkapan nilai estetik. Perkembangan tentang model konsumsi baru dalam

konsep nilai estetik sangat penting karena terjadi perubahan mendasar terhadap

cara dan bentuk hasil produksi. Produsen penghasil suatu produk dituntut

kreativitasnya untuk merekayasa dan menyesuaikan dengan selera pasar. Dalam

membentuk masyarakat konsumen yang mengarah pada budaya populer,

setidaknya ada tiga kekuasaan yang mempengaruhinya yaitu: kekuasaan kapital,

produser, dan media massa (Piliang, 1999:246).

Dalam kaitan dengan tema penelitian ini, upacara ngaben dengan berbagai

peralatannya telah muncul menjadi barang dagangan atau diperdagangkan dengan

suatu jaringan antara elemen-elemen yang berkepentingan. Di sini peralatan

upacara tidak lagi dikerjakan secara gotong royong seperti sebelumnya, tetapi

muncul dalam bentuk-bentuk jasa yang diperdagangkan

Komodifikasi upacara ngaben di Desa Pakraman Sanur telah dikemas

oleh Pedanda di griya yang melakukan kemasan komoditi terhadap upacara

57

tersebut. Mereka dengan perhitungan matang telah mengorganisasikan dan

memenejemennya sehingga menjadi satu paket upacara ngaben, antara upakara,

upacara, dan pemimpin upacara yaitu Pedanda itu sendiri.

Dalam penelitian ini teori komodifikasi diposisisikan sebagai teori payung

dan digunakan sebagai landasan kajian untuk membedah rumusan masalah yang

telah ditetapkan. Upacara ngaben dapat dikomersialisasikan untuk kepentingan

konsumen yaitu masyarakat Sanur dan masyarakat Bali akibat budaya instan

dapat memesan (made to order ) sarana upacara ngaben di Griya para Pedanda.

2.3.2 Teori Hegemoni

Gramsci dengan teorinya ini menyatakan bahwa hegemoni merupakan

sistem kekuasaan yang didasarkan pada konsensus yang diciptakan atau diajarkan

oleh penguasa dalam suatu Negara. Kekuasaan Negara menurut Gramsci dapat

dikaji dari dua hal pokok, yaitu (1) oposisi kekuasaan yang berorientasi pada

kekuasaan yang pernah eksis sebelumnya, (2) oposisi masyarakat baru yakni

kelompok masyarakat yang kepentingannya sudah sejalan dengan kekuasaan

atau penguasa. Dalam teori hegemoni ini disebutkan bahwa ada kecenderungan

lembaga Negara (penguasa) melakukan kekuasaan di luar wilayah privat yakni

adanya campur tangan pemerintah (penguasa) di luar wilayah kekuasaannya.

Teori Hegemoni dikenalkan oleh filsuf Marxis Italia Antonio Gramsci

(1891-1937). Hegemoni yang berasal dari bahasa Yunani “Hegeisthai” artinya

’pemimpin atau kepemimpinan’, pertama kali digunakan dalam buku Antonio

Gramsci berjudul Selections from Prison Notebooks. Menurut Simon ( 1999:20)

58

penggunaan kata hegemoni dalam pengertian Gramsci harus dibedakan dari

makna asalnya dalam bahasa Yunani, yaitu penguasaan satu bangsa atas bangsa

lain. Mengutip pendapat Gramsci dalam buku tersebut, (Sugiono, 2007:31;

Barker,2005 467) mengemukakan bahwa teori hegemoni Gramsci dibangun di

atas premis pentingnya ide-ide dan tidak mencukupinya kekuatan fisik belaka

dalam kontrol sosial politik. Di mata Gramsci agar pihak yang dikuasai mematuhi

penguasa, yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai dan

menginternalisasi nilai-nilai dan norma penguasa, tetapi lebih dari itu mereka juga

harus memberi persetujuan atas subordinasi mereka. Inilah yang dimaksudkan

dengan hegemoni atau menguasai dengan kepemimpinan moral dan intelektual

secara konsesual. Dalam konteks ini, Gramsci secara berlawanan mendudukkan

hegemoni satu bentuk supremasi satu kelompok atau beberapa kelompok atas

yang lainnya, dengan bentuk supremasi lain yang dinamakan “dominasi”, yaitu

kekuasaan yang ditopang oleh kekuatan fisik.

Ideologi memegang peranan penting dalam teori hegemoni karena teori

hegemoni ingin merevisi kelemahan ideologi Marxisme yang berkaitan dengan

kebudayaan sebagai sebuah ideologi. Menurut Gramsci kehidupan manusia tidak

ditentukan oleh keadaan individual, tetapi oleh kesadaran sosial. Individu tidak

mendahului kondisi sosial, setiap subjeknya hanya berfungsi sebagai agen dari

sistem sosial yang sedang berlangsung. Konsep inilah yang pada akhirnya

mengarah pada (1) ide kelas yang berkuasa, jelas yang merupakan kekuatan

material dan dengan demikian merupakan kekuatan intelektual, ide dominan

59

diciptakan demi kepentingan kelas yang berkuasa dan (2) dikotomi yang sangat

terkenal yang disebut model superstruktur ideologis dan infrastruktur material.

Gramsci membedakan dominasi (kekuasaan) dengan kepemimpinan moral

dengan intelektual. Menurut Gramsci suatu kelompok sosial bisa bahkan harus

menjalankan kepemimpinan sebelum merebut kekuasaan pemerintahan (hal ini

jelas merupakan syarat utama untuk memperoleh kekuasaan tersebut), kesiapan

itu pada gilirannya menjadi sangat penting ketika kelompok itu menjalankan

kekuasaan bahkan seandainya kekuasaan tetap berada di tangan kelompok, maka

mereka harus tetap memimpin.

Dengan demikian, hegemoni bukanlah dominasi dengan kekuasaan

melainkan hubungan persetujuan dengan menggunakan pendekatan

kepemimpinan politik dan ideologi. Hegemoni adalah organisasi konsensus

(Simon, 2004:19).

Dikaitkan dengan tema penelitian ini bahwa kepercayaan kepada pandita

(pedanda) yang mampu menyelesaikan segala macam upacara, dengan adanya

pandangan bahwa semua itu dapat dibayar dengan uang telah menghegemoni

pikiran masyarakat di Desa Pakraman Sanur atau para sisya dari Griya tersebut

Dalam penelitian ini teori hegemoni digunakan untuk membedah masalah

kedua karena Pedanda dengan kekuasaannya dapat menghegemoni masyarakat

yang memesan banten di Griya dari mulai nunasang banten sehingga upacara

ngaben menjadi semakin mahal dan upacaranya adalah upacara besar.

Dalam era globalisasi ini negara-negara besar memiliki kekuasaan di

bidang politik, ekonomi, dan budaya yang dominan sehingga mempengaruhi

60

prilaku masyarakat di negara berkembang secara tidak terkendali. Pengaruhnya

yang besar terutama ditunjukkan dari kekuatan modal yang bersumber dari dunia

internasional dalam pembangunan di bidang pariwisata yang akhirnya

mempengaruhi gaya hidup masyarakat (Ratna, 2007:185).

Abdullah (2006:17) mengatakan bahwa perubahan gaya hidup masyarakat

khususnya di perkotaan memberikan dampak yang luas terutama ditinjau dari

kenyamanan hidup. Tidak semua masyarakat menikmati manfaat kapitalisme

global, hanya sebagian kecil sehingga yang mendapatkan manfaat akan meraih

keuntungan dari arus modal global sehingga dominasi terjadi antara kelompok

kaya terhadap kelompok miskin.

Dalam konteks komodifikasi upacara ngaben di Desa Pakraman Sanur

dalam era globalisasi, Griya-griya yang memiliki Pedanda dengan modal

simbolik yang dimiliki telah melakukan praktik hegemoni terhadap sisya atau

masyarakat umum. Oleh karena dengan kekuasaan kapital sebagai Siwa dan

Pedanda dengan leluasa mereka memainkan pasar dalam hal upacara ngaben.

Sisya akan menerima dengan persetujuan apa pun kata Siwa karena hubungan

yang dibina sejak laluhurnya dulu membawa keterikatan mereka dalam sebuah

Griya terutama dalam hal upacara termasuk dalam hal ini upakara-nya.

Berdasarkan teori hegemoni, komodifikasi upacara ngaben di Desa

Pakraman Sanur Denpasar akan ditelaah secara mendalam untuk memahami

hegemoni Pedanda di sebuah griya dalam memanfaatkan peluang pasar yang

dikaitkan dengan ideologi dominan yang dibawa oleh arus globalisasi seperti

materialisme, konsumerisme, dan hedonisme yang mempengaruhi gaya hidup

61

masyarakat. Dengan demikian, maka teori hegemoni digunakan sebagai landasan

kajian untuk mengungkap faktor-faktor yang menyebabkan komodifikasi upacara

ngaben.

2.3.3 Teori Praktik

Pierre Bourdieu mengemukakan secara singkat tentang teori praktik

(practise) dan keterlibatan si subjek dalam proses konstruksi budaya. Teori

praktik tersebut menggugat subjektivisme yang meletakkan subjek intelektual

pada peran utama pembentukan dunia tanpa memperhitungkan konteks ruang dan

waktu yang melatarbelakanginya dan objektivisme yang dianggap tidak

memperhitungkan peran dan posisi subjek intelektual sosial dalam pembentukan

struktur dan praktik sosial. Dalam rumusannya tentang teori praktik tersebut

Bourdieu menyatakan bahwa praktik sosial sebagai hasil dinamika dialektis

antara internalisasi eksterior dengan eksternalisasi interior, atau dinamika dialketis

antara internalisasi yang dialami dan diamati dari luar diri pelaku sosial dengan

pengungkapan dari segala sesuatu yang telah terinternalisasi dan menjadi bagian

dari diri pelaku sosial.

Apabila interior itu adalah pelaku sosial dan semua yang melekat pada

dirinya dibentuk oleh habitus, maka eksterior adalah struktur objektif yang ada di

luar diri pelaku sosial, yaitu arena. Dengan demikian, praktik sosial dengan

sendirinya tidak otonom karena merupakan produk interaksi antara pelaku sosial

dan stuktur sosial, produk interaksi dialektis antara habitus dan struktur (Rusdiati,

2003:33-34).

62

Bourdieu dalam teori praktiknya menunjukkan bagaimana tindakan

(praktik) merupakan produk relasi antara habitus (yang merupakan produk

sejarah) dan ranah yang juga merupakan produk sejarah. Habitus dan ranah juga

merupakan produk dari medan daya-daya yang ada dalam masyarakat. Habitus

adalah struktur kognitif yang memperantarai individu dengan relasi sosial.

Habitus merupakan struktur subjektif yang terbentuk dari pengalaman individu

berhubungan dengan individu lain dalam jaringan struktur objektif yang ada

dalam ruang sosial. Habitus diindikasikan oleh skema-skema yang merupakan

perwakilan konseptual dari benda-benda dengan realitas hidup. Melalui skema-

skema tersebut individu mempersepsi, memahami, menghargai, dan mengevaluasi

realitas sosial. Itulah sebabnya habitus dapat dikatakan sebagai ketidaksadaran

kultural. Menurut Fashri (2007: 83) habitus adalah kebiasaan-kebiasaan,

merupakan hasil pembelajaran secara halus, takdisadari dan tampil sebagai hal

yang wajar sehingga seolah-olah sesuatu yang alamiah, seakan-akan diberi oleh

alam, atau ’sudah dari sananya’.

Menurut Fashri (2007: 96) dalam suatu ranah terdapat pertaruhan,

kekuatan-kekuatan, dan orang, baik yang memiliki maupun yang tidak memiliki

modal, sehingga di sini modal merupakan sebuah konsentrasi kekuatan. Ranah

adalah hubungan yang terstruktur dan tanpa disadari mengatur posisi-posisi

individu dan kelompok dalam tatanan masyarakat yang terbentuk secara spontan.

Bourdieu menggunakan ranah sebagai metafora untuk menggambarkan kondisi

masyarakat yang terstruktur dan dinamis dengan daya-daya yang dikandungnya.

63

Modal adalah suatu kekuatan yang spesifik yang beroperasi di dalam

ranah. Setiap ranah menuntut individu untuk memiliki modal-modal khusus

untuk dapat secara baik dan bertahan di dalamnya (Takwin, T.Th.:xx). Menurut

Bourdieu (Fashri, 2007-98-99) modal dapat digolongkan menjadi empat.

Pertama, modal ekonomi adalah mencakup alat-alat produksi (mesin, tanah,

buruh), materi (pendapatan dan benda-benda), dan uang yang dengan mudah

digunakan dengan segala tujuan serta diwariskan dari satu generasi ke generasi

berikutnya. Kedua, modal budaya adalah keseluruhan kualifikasi intelektual yang

bisa diproduksi, baik melalui pendidikan formal maupun warisan keluarga.

Termasuk modal budaya antara lain, kemampuan menampilkan diri di depan

publik, pemilikan benda/kode budaya bernilai tinggi, pengetahuan dan keahlian

tertentu dari hasil pendidikan, dan sertifikat (gelar kesarjanaan). Ketiga, modal

sosial menunjuk pada jaringan sosial yang dimiliki pelaku (baik individu maupun

kelompok) dalam hubungannya dengan pihak lain yang memiliki kuasa. Keempat,

modal simbolik adalah segala bentuk prestise, status, otoritas, dan legitimasi.

Hubungan habitus, ranah, dan modal bertautan secara langsung dan

bertujuan menerangkan praktik sosial. Berdasar atas ketiga konsep tersebut,

Bourdieu menyususn teorinya ke dalam rumus (Habitus x Modal) + Ranah =

Praktik (Fashri, 2007: 100).

Teori praktik dari Bourdieu seperti dipaparkan di atas menjelaskan bahwa

terjadinya praktik komodifikasi upacara ngaben tidak lepas dari faktor habitus,

yaitu kebiasaan-kebiasaan yang terjadi sudah sejak lama yang merupakan hasil

pembelajaran secara halus, melaksanakan upacara ngaben berdasarkan ajaran

64

acara, susila, dan tattwa agama Hindu. Kepemilikan dan penguasaan modal

budaya dan simbolik oleh Pedanda di Desa Pakraman Sanur merupakan faktor

munculnya komodifikasi upacara ngaben. Di dalam ranah ada perkembangan

modernitas sosial, karena beberapa orang menjatuhkan pilihan untuk mengikuti

ngaben ngirng di sebuah Griya. Jadi komodifikasi upacara ngaben di Desa

Pakraman Sanur terjadi karena faktor habitus, modal, dan adanya ranah yang

dihadapi oleh sebagian warga masyarakat Hindu. Teori praktik digunakan untuk

mengungkap faktor-faktor yang menyebabkan komodifikasi upacara ngaben.

2.3.4 Dekonstruksi

Dekonstruksi adalah sebuah kata yang terbentuk dari kata : ”de” dan

”constructio” (bahasa Latin). Prefik “de” berarti ke bawah, pengurangan, atau

terlepas/melepaskan dari. Sementara kata benda constructio berasal dari kata kerja

dasar : co dan structure. "Co" berarti bersama dengan, menyertai, atau

bekerjasama dengan. Struere artinya membentuk, menyusun, mengatur dan

membangun. Jadi construere artinya : membentuk, menyusun, mengatur dan

membangun sesuatu secara bersama-sama dan seterusnya. Dari kata kerja ini

terbentuklah constructum, constructio yang berarti : bentuk, susunan, bangunan,

hal menyusun, hal mengatur dan membangun sesuatu secara bersama-sama.

Dekonstruksi lalu diartikan sebagai pembongkaran, perlucutan,

penghancuran atau penolakan terhadap struktur, susunan serta bangunan. Dalam

hubungan dengan akar kata di atas, dekonstruksi diartikan sebagai pengurangan

atau penurunan intensitas konstruksi itu (Ratna, 2007 : 244). Jadi, dekonstruksi

65

mengandung arti mengurangi, rnelepaskan, membongkar suatu bagian atau

keseluruhan dari suatu susunan, bangunan, dan struktur yang telah dibangun

bersama sehingga intensitasnya berkurang, menyusut, dan sebagainya.

Menurut Hoed (2008: 14-15) proses dekonstruksi memahami tanda tidak

sesederhana menemukan makna. Suatu hal yang dimaknai adalah suatu proses

dengan cara membongkar (to dismantle) dan menganalisis secara kritis (critical

analysis) tidak bersifat tetap melainkan dalam kenyataannya dapat bersifat

’ditunda’ untuk memperoleh hubungan yang lain atau baru. Apa yang terjadi

dalam proses differance penundaan ini, untuk menemukan makna lain atau makna

baru itulah proses dekonstruksi. Struktur makna suatu tanda bukan sesuatu yang

objektif dan bukan sesuatu yang subjektif. Tanda yang terdiri atas penanda dan

petanda adalah suatu struktur yang dinamis, yang berkehidupan sendiri. Makna itu

dihasilkan dari suatu proses yang menghasilkan makna yang berbeda-beda

menurut setiap individu.

Oleh Jaques Derrida (Barker, 2005: 79) mendekonstruksi berarti

memisahkan, melepaskan, dalam rangka mencari dan membeberkan asumsi dari

suatu teks. Dekonstruksi melibatkan perlucutan/pembongkaran, terhadap oposisi

biner hirarkis seperti tuturan/tulisan, realitas/kenampakan, alam/kebudayaan,

nalar/kegilaan, dan lain-lain yang berfungsi menjamin kebenaran dengan cara

mengesampingkan dan mengevaluasi bagian "inferior" oposisi biner tersebut.

Derrida sebagai seorang pemikir posmodern sebenarnya sangat

dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran irasional Nietzhe dan Heidgger. Teori

dekonstruksi Derrida bermain bebas dalam pertandaan dan menghancurkan tapal-

66

tapal disiplin yang ketat. Teori dekonstruksi, sistem kerjanya bersifat subversif,

merusak dan terkesan tidak bertanggung jawab yang secara ideologis lebih dekat

dengan anarkisme, menghancurkan segala sesuatu yang dibangun oleh sejarah dan

peradaban (Piliang, 2006: 221-222). Selanjutnya, Ratna (2007:246-247) menyebut

teori dekonstruksi sebagai teori yang radikal dan revolusioner. Lubis (2004:103)

menyebut Derrida sebagai posmodernis garis keras (strong postmodernist).

Dekonstruksi (deconstruction) menurut Piliang (2004 : 16), adalah suatu

teori atau metode analisis yang dikembangkan oleh Derrida dengan membongkar

struktur dan kode-kode bahasa, khususnya struktur oposisi biner sedemikian rupa

sehingga menciptakan satu permainan tanda yang tanpa akhir dan tanpa makna

akhir. Di sini dekonstruksi berusaha mengekspos ruang-ruang kosong dalam teks

akibat adanya oposisi biner, berupa asumsi, ideologi, yang tidak disadari dan

menjadi landasan kerja mereka.

Jadi dekonstruksi yang dikembangkan Derrida adalah penyangkalan

terhadap oposisi ucapan atau tulisan, ada atau tidak ada, murni atau tercemar, dan

akhirnya penolakan terhadap kebenaran tunggal atau logos itu sendiri. Secara

singkat dapat dikatakan bahwa penganut aliran dekonstruksi berpendapat ketika

membaca penanda (signifier) agar menjadi petanda (signified), maka penafsiran

harus ditunda agar mendapat makna yang berbeda (differance) dari petanda yang

sudah menjadi mitos. Oleh karena sifatnya yang mengaitkan tiga segi yakni

penanda, petanda, dan penafsiran (interpretasi), maka hal ini dikatakan bersifat

trikotomis.

67

Pemaknaan terhadap komodifikasi upacara ngaben dalam era globalisasi

di Desa Pakraman Sanur Denpasar dilakukan melalui asas-asas yang

dikembangkan Barthes (2007:xiii) yakni dengan membuka kemungkinan untuk

membaca peringkat-peringkat penandaan yang real dan yang hipotesis, baik yang

muncul di permukaan maupun yang ada di balik tanda, berupa petanda yang

mencerminkan makna yang sebenarnya. Makna komodifikasi upacara ngaben

dicermati dari adanya nilai-nilai oleh masyarakat tentang upacara ngaben, seperti

nilai-nilai berbakti pada leluhur yang dihubungkan dengan prilaku masyarakat

dalam melaksanakan upacara ngaben secara besar-besaran serta pengaruh

kapitalisme global terhadap dorongan prilaku yang mengabaikan filosofi religius.

Prilaku masyarakat dalam melaksanakan upacara ngaben sangat

ditentukan oleh citra lingkungan yang mereka miliki. Menurut Lacan (2005:30)

pencitraan diri seseorang sangat dipengaruhi oleh hasrat diri yang bersangkutan

yang meliputi hasrat narsisistik, yakni seseorang berhasrat untuk menjadi objek

kekaguman, idealisasi atau pengakuan; hasrat narsisistik aktif, yakni seseorang

berhasrat sebagai bentuk pemujaan terhadap cinta, hasrat anaklitik aktif yakni

seseorang ingin selalu mendapatkan kepuasan dari apa pun yang dilakukan; dan

hasrat anaklitik pasif, yakni seseorang ingin menjadi objek dari sumber kepuasan.

Dalam kaitannya dengan tema penelitian ini dapat disebutkan bahwa

komodifikasi upacara ngaben telah dilakukan oleh kelompok Griya ( Pedanda dan

tukang banten) dengan aksi mayajña, membantu yang miskin, meringankan beban

pelaku upacara, tetapi di balik itu, tidak lepas bahwa prilaku itu dilakukan juga

demi kepentingan kelompok griya.

68

Teori dekonstruksi digunakan dalam penelitian ini untuk mengungkap

dampak dan makna upacara ngaben. Berkenaan dengan itu teori dekonstruksi

digunakan adalah untuk melihat, mengkritisi, membongkar, dan menafsirkan

kembali berbagai hal yang berhubungan dengan komodifikasi upacara ngaben. Di

samping itu dekonstruksi juga digunakan untuk memberikan makna baru terhadap

upacara ngaben itu sendiri. Demikian pula dengan dekonstruksi akan dibongkar,

ditafsirkan, dan dimaknai kembali konsep dan makna pola hubungan pasisyan,

pola hubungan di Desa Pakraman, pemahaman tentang upakara dalam sebuah

upacara. Berbagai wacana dan konsep yang muncul berhubungan dengan upacara

ngaben dicoba untuk dibongkar dan dimaknai sesuai dengan tempat, ruang,

waktu, dan orang yang memakainya.

2.4 Model Penelitian

Model penelitian adalah sintesis atau abstraksi yang dirumuskan

berdasarkan teori-teori terpilih dengan masalah penelitian. Dengan kata lain

model penelitian yang dibuat dalam bentuk diagram merupakan kerangka pikir

yang memuat arah yang jelas dari tema atau objek yang dibahas. Secara skematis

atau diagramatis model penelitian ini dapat digambarkan di bawah ini.

69

Gambar 2.1

Model Penelitian Keterangan : : Hubungan langsung satu arah : Hubungan langsung dua arah

Penjelasan Model

Dalam melaksanakan ajaran agama Hindu secara tradisi dalam

kebudayaan Bali, masyarakat di Bali hidup secara bersama-sama atau komunal.

Dalam kehidupan tersebut mereka melaksanakan upacara agama sebagai wujud

Komodifikasi Upacara Ngaben dalam Rangka

Emasnsipasi Masyarakat Sanur/Umat Hindu di

Era Global

Bentuk komodifikasi Faktor-Faktor penyebab komodifikasi

Dampak dan makna komodifikasi

Upacara Ngaben di Bali

Upacara agama hidup komunal

tata krama kesenian

Pariwisata Kapitalisme Materialisme Teknologi Budaya konsumen (pencitraan, gaya hidup)

Globalisasi Tradisi Agama Hindu dan Kebudayaan Bali

Komodifikasi Upacara Ngaben dalam Era Globalisasi di Desa

Pakraman Sanur, Denpasar

70

bakti baik kepada Dewa, Pitra, Manusia, Resi, dan Butha. Pada masyarakat

agraris ketika itu waktu luang diisi dengan berkesenian dan mereka hidup dalam

solidaritas terhadap sesama krama dalam sebuah desa pakraman. Akibat

globalisasi yang muncul akhir abad kedua puluh menyebabkan perubahan pada

masyarakat Bali. Oleh karena Bali menjadi daerah tujuan parwisata domestik dan

internasional, maka masyarakat sudah hidup lebih mementingkan diri sendiri atau

individualitas, masyarakat sudah diperbudak materi, hidup yang serba praktis dan

efisien, munculnya teknologi dan budaya pencitraan serta gaya hidup dalam

budaya konsumen. Semua itu memunculkan komodifikasi yaitu komodifikasi

upacara ngaben. Fenomena di atas akan dikaji secara kritis melalui kajian budaya

dengan berbagai konsep dan landasan teori untuk menjawab rumusan masalah

sebagai berikut: (1) Bagaimana bentuk upacara ngaben di Desa Pakraman Sanur

Denpasar dalam era globalisasi, (2) Apa faktor-faktor yang menyebabkan

sehingga terjadi komodifikasi, (3) Apa dampak dan makna komodifikasi upacara

ngaben di Desa Pakraman Sanur Denpasar dalam era globalisasi.

Data akan dianalisis secara deskiptif kualitatif dengan teori yang

mendukung untuk menggambarkan realitas yang terjadi di lapangan relasinya

dengan komodifiksi upacara ngaben sehingga dengan metode dan metodelogi

yang jelas dalam domain kajian budaya. Dalam era globalisasi ini untuk

pelaksanaan upacara ngaben dengan upakara-nya hendaknya disertai dengan

peningkatan pemahaman akan makna upacara ngaben dengan upakara-nya.

Melaksanakan ritual bukan harus mewah atau besar-besaran, tetapi tidak

memahami makna yang terkandung di balik upacara tersebut. Walaupun dibuat

71

sederhana, tetapi dengan ketulusan hati dan perasaan yang halus (ekspresif) dan

memahami makna upacara tersebut, maka akan membawa perasaan estetis,

kedamaian, religius, dan spiritual.

Pemahaman tentang hal tersebut secara menyeluruh menimbulkan

emansipasi komodifikasi upacara ngaben. Maksud emansipasi di sini, yaitu

secara politis, masih tetap dapat menjaga identitasnya sebagai orang Bali-Hindu

dan secara religius, dapat melaksanakan kewajiban sucinya sebagai pelanjut

keturunan (pretisentana), yaitu menyucikan atman orang tua atau leluhurnya yang

telah meninggal dunia.