unud-149-436938797-bab ii

23
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Evaluasi Evaluasi adalah penilaian secara sistemik untuk menentukan atau menilai kegunaan, keefektifan sesuatu yang didasarkan pada kriteria tertentu dari program. Evaluasi harus memiliki tujuan yang jelas, sesuai dengan tujuan yang ditetapkan dalam program. Ada tiga elemen penting dalam evaluasi yaitu (1) kriteria/pembanding yaitu merupakan ciri ideal dari situasi yang diinginkan yang dapat dirumuskan melalui tujuan operasional, (2) bukti /kejadian adalah kenyataan yang ada yang diperoleh dari hasil penelitian, dan (3) penilaian (judgement) yang dibentuk dengan membandingkan kriteria dengan kejadian (Sutjipta, 2009). Lebih lanjut Sutjipta (2009) mengatakan lima ciri dalam evaluasi adalah (1) kualitas: apakah program baik atau tidak baik, kualitas isi program, kegiatan pendidik, media yang digunakan, penampilan pelaksana program, (2) kesesuaian (suitability) : pemenuhan kebutuhan dan harapan masyarakat. Program tidak menyulitkan atau membebani masyarakat, sesuai dengan tingkat teknis, sosial dan ekonomis masyarakat, (3) keefektifan : seberapa jauh tujuan tercapai, (4) efisiensi : penggunaan sumber daya dengan baik, dan (5) kegunaan (importance): kegunaan bagi masyarakat yang ikut terlibat dalam program. Evaluasi yang efektif dapat dinilai dari beberapa kriteria yaitu : (1) memiliki tujuan evaluasi yang didefinisikan dengan jelas; (2) pengukuran dilakukan dengan saksama menggunakan alat ukur yang valid; (3) evaluasi dilakukan seobyektif mungkin yaitu bebas dari penilaian yang bersifat pribadi; 6

Transcript of unud-149-436938797-bab ii

6

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Evaluasi

Evaluasi adalah penilaian secara sistemik untuk menentukan atau menilai

kegunaan, keefektifan sesuatu yang didasarkan pada kriteria tertentu dari

program. Evaluasi harus memiliki tujuan yang jelas, sesuai dengan tujuan

yang ditetapkan dalam program. Ada tiga elemen penting dalam evaluasi yaitu

(1) kriteria/pembanding yaitu merupakan ciri ideal dari situasi yang diinginkan yang

dapat dirumuskan melalui tujuan operasional, (2) bukti /kejadian adalah kenyataan

yang ada yang diperoleh dari hasil penelitian, dan (3) penilaian (judgement) yang

dibentuk dengan membandingkan kriteria dengan kejadian (Sutjipta, 2009).

Lebih lanjut Sutjipta (2009) mengatakan lima ciri dalam evaluasi adalah

(1) kualitas: apakah program baik atau tidak baik, kualitas isi program, kegiatan

pendidik, media yang digunakan, penampilan pelaksana program, (2) kesesuaian

(suitability) : pemenuhan kebutuhan dan harapan masyarakat. Program tidak

menyulitkan atau membebani masyarakat, sesuai dengan tingkat teknis, sosial dan

ekonomis masyarakat, (3) keefektifan : seberapa jauh tujuan tercapai, (4) efisiensi :

penggunaan sumber daya dengan baik, dan (5) kegunaan (importance): kegunaan

bagi masyarakat yang ikut terlibat dalam program.

Evaluasi yang efektif dapat dinilai dari beberapa kriteria yaitu :

(1) memiliki tujuan evaluasi yang didefinisikan dengan jelas;

(2) pengukuran dilakukan dengan saksama menggunakan alat ukur yang valid;

(3) evaluasi dilakukan seobyektif mungkin yaitu bebas dari penilaian yang

bersifat pribadi;

7

6

7

(4) kriteria yang digunakan sebagai standar harus spesifik;

(5) evaluasi harus menggunakan metode ilmiah yang pantas sehingga memiliki nilai

kepercayaan yang tinggi;

(6) evaluasi harus dapat mengukur perubahan yang terjadi; dan

(7) evaluasi harus bersifat praktis.

2.2 Konsep Agribisnis Penyuluhan Pertanian

Istilah penyuluhan pada dasarnya diturunkan dari kata “Extension” yang

dipakai secara meluas dibanyak kalangan. Penyuluhan berasal dari kata dasar

“Suluh” yang berarti pemberi terang ditengah kegelapan. Menurut Zakaria (2006,

dalam Deptan, 2010) penyuluhan pertanian adalah upaya pemberdayaan petani dan

nelayan beserta keluarganya melalui peningkatan pengetahuan, ketrampilan, sikap,

dan kemandirian agar mereka mau dan mampu, sanggup berswadaya memperbaiki

/meningkatkan daya saing usahanya, kesejahteraan sendiri serta masyarakatnya.

Dalam UU RI No. 16, tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan,

dan Kehutanan (SP3K), tahun 2006 disebutkan bahwa penyuluh adalah perorangan

warga Indonesia yang melakukan kegiatan penyuluhan di bidang pertanian, baik

merupakan penyuluh PNS, swasta, maupun swadaya. Adapun yang menjadi tugas

pokok penyuluhan adalah menyiapkan, melaksanakan, mengembangkan,

mengevaluasi, dan melaporkan kegiatan penyuluhan pertanian, sehingga penyuluh

dituntut mampu melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai penyuluh di lapangan

dengan mitra kerja petani yang berperan sebagai fasilitator. Penyuluhan adalah

sistem penyuluhan pertanian merupakan seluruh rangkaian pengembangan

8

kemampuan, pengetahuan, ketrampilan serta sikap pelaku utama (pelaku kegiatan

pertanian) dan pelaku usaha melalui penyuluhan.

Tujuan penyuluhan adalah mengubah perilaku (pengetahuan, ketrampilan,

dan sikap) petani agar dapat bertani lebih baik (better farming), berusahatani lebih

menguntungkan (better business), hidup lebih sejahtera (better living), dan

bermasyarakat lebih baik (better community) (Deptan, 2010).

Supartha (2005) mengatakan bahwa untuk meningkatkan perilaku

agribisnis diperlukan pendekatan penyuluhan sistem agribisnis, yang materi

penyuluhannya mencakup keseluruhan aspek teknis produksi, aspek manajemen

agribisnis, dan aspek manajemen hubungan sistem agribisnis dengan wawasan

industri, terutama etika kesisteman, kemampuan kewirausahaan, dan kepribadian

sebagai pengusaha agribisnis agar para pelaku sistem agribisnis dapat memiliki

persepsi dan sikap yang sama tentang: visi, misi, etika bisnis, tujuan, sasaran, dan

rencana kerja bersama yang dirumuskan dengan cara terbuka. Metode penyuluhan

maupun media komunikasi yang digunakan agar lebih beragam, inovatif, dan kreatif

sesuai dengan kebutuhan sasaran penyuluhan.

Penyuluhan sistem agribisnis adalah jasa layanan dan informasi agribisnis

yang dilakukan melalui proses pendidikan non formal untuk petani dan pihak-pihak

terkait yang memerlukan, agar kemampuannya dapat berkembang secara dinamis

untuk menyelesaikan sendiri setiap permasalahan yang dihadapinya dengan baik,

menguntungkan, dan memuaskan. Mutu jasa layanan dilihat dari segi keterpercayaan

(realibility), keterjaminan (assurance), penampilan (tangiability), kepemerhatian

(empaty), dan ketanggapan (responsiveness) (Supartha, 2005).

9

Supari (2002) mendefinisikan agribisnis sebagai unit bisnis yang berbasis

agroindustri dan terkait dengan produk agroindustri mulai dari hulu (up stream ),

ditingkat usaha tani (on farm), hilir (down stream) agribisnis, dan layanan

perdagangan. Agribisnis merupakan bentuk pendekatan pembangunan sektor

pertanian yang dikembangkan di Indonesia dewasa ini. Agribisnis yang dilihat

sebagai suatu sistem yang holistik, merupakan suatu proses yang utuh dari proses

pertanian di daerah hulu sampai ke daerah hilir, atau proses dari penyediaan input

sampai pemasaran.

Arsyad, dkk (dalam Soekartawi, 2003) menjelaskan bahwa agribisnis

sebagai suatu kesatuan kegiatan usaha yang meliputi salah satu atau keseluruhan dari

mata rantai produksi, pengolahan hasil, dan pemasaran yang ada hubungannya

dengan pertanian dalam arti luas. Mata rantai kegiatan agribisnis yang dipandang

sebagai suatu konsep sistem dapat dibagi menjadi empat subsistem yaitu : (1)

subsistem produksi, (2) subsistem pengolahan, (3) subsistem pemasaran, dan (4)

subsistem lembaga penunjang. Keempat subsistem ini mempunyai kaitan yang erat

antara salah satu subsistem berpengaruh terhadap subsistem lainnya.

Supartha (2005) mengatakan bahwa uraian dari subsistem agribisnis antara

lain subsistem perusahaan agribisnis hulu berfungsi menghasilkan dan menyediakan

sarana produksi pertanian terbaik agar mampu menghasilkan produk usahatani yang

berkualitas, melakukan pelayanan yang bermutu kepada usahatani, memberikan

bimbingan teknis produksi, memberikan bimbingan manajemen dan hubungan sistem

agribisnis, memfasilitasi proses pembelajaran atau pelatihan bagi petani, menyaring

10

dan mensintesis informasi agribisnis praktis untuk petani, mengembangkan

kerjasama bisnis (kemitraan) yang dapat memberikan keuntungan bagi semua pihak.

Subsistem perusahaan usahatani sebagai produsen pertanian berfungsi

melakukan kegiatan teknis produksi agar produknya dapat dipertanggungjawabkan

baik secara kualitas maupun kuantitas. Mampu melakukan manajemen agribisnis

secara baik agar proses produksi menjadi efisien sehingga mampu bersaing di pasar.

Petani umumnya memerlukan penyuluhan, informasi agribisnis, teknologi, dan

inovasi lainnya dalam proses produksi, bimbingan teknis atau pendampingan

agar petani dapat melakukan proses produksi secara efisien dan bernilai

tambah lebih tinggi.

Subsistem perusahaan agribisnis hilir, berfungsi melakukan pengolahan

lanjut (baik tingkat primer, sekunder maupun tersier) untuk mengurangi susut nilai

atau meningkatkan mutu produk agar dapat memenuhi kebutuhan dan selera

konsumen, serta berfungsi memperlancar pemasaran hasil melalui perencanaan

sistem pemasaran yang baik. Subsistem jasa penunjang (penyuluhan, penelitian,

informasi agribisnis, peraturan, kredit modal, dan transportasi) secara aktif ataupun

pasif berfungsi menyediakan layanan bagi kebutuhan pelaku sistem agribisnis untuk

memperlancar aktivitas perusahaan dan sistem agribisnis.

Agar semua pelaku sistem agribisnis mendapat peluang yang adil dalam

memperoleh keuntungan, maka cara pandang terhadap agribisnis secara makro

artinya aktivitas agribisnis adalah suatu sistem yang terdiri dari beberapa subsistem,

dimana antara satu subsistem dengan subsistem lainnya saling terkait dan terpadu

11

untuk memperoleh nilai tambah yang maksimal bagi para pelakunya (Badan

Agribisnis, 1995), (Saragih, 1998 dalam Supartha, 2005).

Keberhasilan pengembangan agribisnis sangat ditentukan oeh

keharmonisan kerjasama tim sumber daya manusia yang berada pada semua

subsistem agribisnis. Kunci keberhasilan kerjasama tim adalah SDM yang terlibat

dalam agribisnis, disamping memiliki perilaku yang cukup di bidang pekerjaannya

sendiri (on job skill), harus juga mempunyai perilaku positif tentang posisi dirinya

dalam perusahaan agribisnis, dan posisi perusahaannya dalam integrasi vertikal

agribisnis, serta wawasan ekonomi secara makro (macro behavior) (Saragih, 1998

dalam Supartha, 2005).

Konsep perusahaan dan sistem agribisnis dimunculkan untuk mengubah

paradigma petani, bahwa petani adalah manajer perusahaan agribisnis yang

berkedudukan setara dengan perusahaan agribisnis yang berada di hulu maupun di

hilir. Petani agar mulai dari memperhatikan kebutuhan pasar, bersinergi dengan

perusahaan agribisnis lain untuk memproduksi barang yang dibutuhkan pasar. Jika

hal ini dapat dilakukan, maka tercapailah peningkatan pendapatan dan

kesejahteraan petani. Untuk mengubah sikap dan perilaku itulah, diperlukan

penyuluhan pertanian dengan pendekatan penyuluhan sistem agribisnis serta

penyuluhan profesional (Supartha, 2005).

Lebih lanjut Supartha (2005) perilaku agribisnis yaitu (1) aspek perilaku

teknis produksi, (2) manajemen agribisnis (perencanaan usaha, pemanfaatan sumber

daya agribisnis, peningkatan efisiensi, peningkatan produktivitas, perbaikan mutu

12

hasil, perekayasaan teknologi, perekayasaan kelompok atau koperasi, dan pemuasan

pelanggan; dan (3) aspek perilaku hubungan sistem agribisnis.

2.3 Uraian Kegiatan FMA

FMA adalah proses perubahan perilaku, pola pikir, dan sikap petani dari

petani subsisten tradisional menjadi petani modern berwawasan agribisnis melalui

pembelajaran yang berkelanjutan dilaksanakan dengan pendekatan belajar sambil

berusaha (learning by doing) yang menitikberatkan pada pengembangan kapasitas

managerial, kepemimpinan, dan kewirausahaan pelaku utama dalam rangka

mewujudkan wirausahawan (enterpreneur) agribisnis yang handal. Output yang

diharapkan bukan sekedar pengembangan aspek PKS (pengetahuan, ketrampilan, dan

sikap) petani dalam hal produksi pertanian, akan tetapi dari proses pembelajaran ini

secara rill diharapkan mampu membangun agribisnis dari hulu sampai ke hilir.

Tujuan umum pelaksanaan FMA adalah untuk meningkatkan kemampuan

petani sebagai wirausaha agribisnis dalam mengelola kegiatan penyuluhan/

pembelajaran di desa dalam mengembangkan agribisnisnya sehingga pelaku utama

mampu melaksanakan prinsip-prinsip agribisnis dalam melaksanakan usahanya

dalam rangka peningkatan pendapatan dan kesejahteraan pelaku utama.

Tujuan khusus pelaksanaan FMA adalah meningkatkan kemampuan

pelaku utama dan pelaku usaha dalam:

(1) mengidentifikasi peluang dan kebutuhan pasar yang potensial sebagai dasar

untuk menyusun rencana agribisnisnya (business plan);

(2) mengidentifikasi potensi sumberdaya yang dimiliki, masalah-masalah yang

dihadapi dalam pengelolaan agribisnis, dan alternatif-alternatif pemecahannya;

13

(3) memilih usaha yang paling menguntungkan serta mengidentifikasi kebutuhan

informasi, teknologi, dan sarana yang diperlukan untuk mendukung

pengembangan usahanya secara berkelanjutan;

(4) menerapkan prinsip - prinsip agribisnis (orientasi pasar, menguntungkan,

memiliki kepercayaan jangka panjang, kemandirian, dan daya saing usaha,

komitmen terhadap kontrak usaha) dalam pelaksanaan usahanya;

(5) mengembangkan jejaring dengan berbagai sumber informasi teknologi,

pemasaran, permodalan dalam rangka pengembangan agribisnisnya;

(6) mengembangkan kemitraan usaha dengan berbagai pihak;

(7) mengembangkan dirinya menjadi pengusaha agribisnis yang

profesional (enterpreneur);

(8) menumbuhkan dan mengembangkan wadah pembelajaran bagi pelaku utama

dan organisasi petani (kelompoktani/gapoktan/asosiasi), untuk menghasilkan

pelaku utama sebagai enterpreneur yang mandiri di bidang pertanian;

(9) menciptakan penyuluh swadaya sebagai motivator di perdesaan, terutama untuk

menggerakkan, membimbing dalam pelaksanaan agribisnis yang mampu

membangun jaringan antar pelaku agribisnis pada satuan wilayah Desa

dan Kecamatan; serta

(10) menumbuhkan dan mengembangkan kelembagaan pembelajaran /penyuluhan di

Desa (pos penyuluhan pertanian) untuk menjamin keberlanjutan penyuluhan

oleh, dari, dan untuk pelaku utama dalam pengembangan agribisnis.

14

2.3.1 Prinsip-prinsip dasar pelaksanaan FMA

(1) Partisipatif : kegiatan FMA harus melibatkan pelaku utama dan pelaku usaha

untuk berperan secara aktif dalam setiap pengambilan keputusan dan

pelaksanaan kegiatan penyuluhan pertanian, termasuk kelompok terpinggirkan

(disadvantaged groups) yaitu keluarga miskin dan perempuan. Partisipasi akan

berkembang dalam berbagai cara sesuai keadaan spesifik lokasi, dan pelibatan

sejak proses perencanaan akan menumbuhkan perasaan memiliki dan jaminan

keberlanjutan program.

(2) Demokratis : setiap keputusan dibuat melalui musyawarah atau kesepakatan

sebagian besar pelaku utama dan pelaku usaha untuk menjamin dukungan yang

berkelanjutan dan rasa memiliki dari masyarakat. Seluruh kegiatan FMA, dari

perencanaan, pelaksanaan sampai evaluasi dilaksanakan dengan prinsip “dari

petani ke petani dan untuk petani”.

(3) Desentralisasi : kegiatan penyuluhan pertanian direncanakan dan dilaksanakan

berdasarkan kebutuhan pelaku utama dan pelaku usaha (laki-laki dan

perempuan) untuk memperbaiki dan mengembangkan agribisnisnya serta

meningkatkan rasa memiliki terhadap pelaksanaan dan hasil-hasil dari

kegiatan penyuluhan.

(4) Keterbukaan : manajemen dan administrasi penggunaan dana FMA harus

diketahui dan diumumkan ke masyarakat baik di tingkat Desa.

(5) Akuntabilitas : pelaksanaan kegiatan dan pengelolaan dana untuk

pelaksanaan FMA harus dilaporkan dan dipertanggung jawabkan kepada

seluruh masyarakat Desa.

15

(6) Sensitif gender : kegiatan FMA memberikan manfaat kepada pelaku utama dan

pelaku usaha, baik laki-laki maupun perempuan termasuk mereka berasal dari

kelompok yang terpinggirkan dalam pelaksanaan agribisnisnya.

(7) Kemandirian: pelaku utama dan pelaku usaha, keluarga dan masyarakat

tani, serta seluruh anggota organisasi petani ( laki-laki dan perempuan )

memiliki kesempatan dan kemampuan untuk mengembangkan usahatani yang

menguntungkan dan berkelanjutan tanpa harus bergantung kepada

bantuan Pemerintah.

(8) Belajar sambil berusaha : kegiatan pembelajaran dirancang terintegrasi dengan

pelaksanaan usaha untuk memenuhi kebutuhan belajar.

2.3.2 Fasilitator

Fasilitator terdiri atas penyuluh swadaya, praktisi, peneliti dan petugas /

penyuluh pertanian lapangan.

2.3.3 Ciri-ciri pembelajaran agribisnis dalam FMA

(1) Kegiatan pembelajaran di perdesaan sesuai dengan produk/komoditi yang

dibutuhkan pasar dan disepakati dalam rembugtani Desa/organisasi petani dalam

rangka mengembangkan agribisnis berskala ekonomi.

(2) Kegiatan pembelajaran yang diajukan berdasarkan pada kebutuhan pelaku

utama dan pelaku usaha (laki-laki dan perempuan) dalam melaksanakan

agribisnisnya dan disepakati dalam rembugtani di tingkat Desa/organisasi petani.

(3) Proses pembelajaran diutamakan difasilitasi oleh pelaku usaha yang berhasil /

praktisi ahli/penyuluh swadaya yang berkaitan dengan produk/komoditi sesuai

dengan keahlian yang berkaitan dengan topik pembelajaran yang diusulkan.

16

(4) Proses pembelajaran di Desa dilaksanakan sambil melaksanakan kegiatan

agribisnisnya (learning by doing).

(5) Proses pembelajaran dilakukan melalui pendekatan belajar berdasarkan

pengalaman dan menemukan sendiri dalam pengembangan agribisnisnya

(discovery learning).

(6) Materi, metode dan durasi/waktu pembelajaran disesuaikan dengan kebutuhan

dan aspirasi pelaku utama dan pelaku usaha serta produk/komoditi yang

diusahakan dalam satu siklus usaha.

2.3.4 Indikator keberhasilan FMA meliputi

2.3.4.1 Indikator proses pelaksanaan kegiatan FMA

(1) Kepuasaan petani terhadap proses pembelajaran FMA dan rencana usaha

berkelompok sesuai dengan kebutuhan pasar.

(2) Adanya kesepakatan dalam rembugtani tentang penetapan produk /

komoditi unggulan.

(3) Kegiatan belajar pelaku utama dalam FMA terintegrasi dengan pelaksanaan

agribisnis yang ditetapkan sesuai dengan skala usaha ekonomi.

(4) Seluruh proses pembelajaran diselenggarakan/dikelola oleh pelaku utama.

(5) Jumlah dan jenis pembelajaran partisipatif petani.

2.3.4.2 Indikator hasil pelaksanaan kegiatan FMA

(1) Kepuasan petani tentang produk/komoditi yang dihasilkan melalui proses

pembelajaran agribisnis diterima oleh pasar.

(2) Pelaku utama dapat merencanakan, melaksanakan agribisnis berdasarkan

peluang pasar.

17

(3) Kepuasan petani atas metode dan proses belajar untuk meningkatkan

kemampuan dalam pengembangan agribisnis.

(4) Kepuasan anggota organisasi petani atas metode dan proses pembelajaran

perencanaan penyuluhan partisipatif.

(5) Kepuasan petani atas pelayanan kelembagaan penyuluhan Kabupaten.

(6) Jumlah penyuluh swadaya yang ada di desa meningkat dan memiliki berbagai

keahlian dalam memfasilitasi pengembangan agribisnis di Desa.

(7) Jumlah kelompok pembelajaran yang berfungsi dalam memfasilitasi

pengembangan agribisnis di Desa.

(8) Persentase petani termasuk wanita dan pemuda yang melaksanakan usaha

berorientasi agribisnis.

2.3.4.3 Dampak keberhasilan FMA :

Berkembangnya aktivitas agribisnis di perdesaan lokasi kegiatan FMA

yang dicirikan sebagai berikut :

(1) Adanya kontrak permintaan pasar terhadap produk/komoditi yang dihasilkan

dalam satuan waktu tertentu secara berkesinambungan.

(2) Meningkatnya pendapatan dari pelaku utama agribisnis dan keluarga.

(3) Peningkatan produktivitas komoditi unggulan dan diversifikasi usaha.

(4) Penerapan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan pasar, ramah lingkungan,

dan lebih menguntungkan.

(5) Peningkatan jaringan kemitraan agribisnis antar organisasi petani dengan pelaku

usaha lainnya dalam mengembangkan agribisnis diberbagai tingkatan mulai di

tingkat Desa, Kabupaten, dan seterusnya.

18

(6) Meningkatnya kemandirian dan keswadayaan organisasi petani dalam

mengembangkan agribisnis dan penyuluhan berdasarkan kebutuhan petani

(Farmer Led Extension).

(7) Pemilihan produk/komoditi yang diusahakan menjadi unggulan Desa.

(8) Produk yang akan dihasilkan sudah terjamin pemasarannya.

(9) Berperannya organisasi petani dalam mengelola penyuluhan di Desa.

(10) Hasil pelaksanaan agribisnis menguntungkan.

(11) Tumbuhnya organisasi petani yang berorientasi agribisnis.

(12) Tumbuhnya organisasi petani yang menerapkan prinsip-prinsip penyuluhan

berdasarkan kebutuhan petani.

(13) Jumlah organisasi petani baru yang berfungsi dengan baik.

2.3.5 Proses pelaksanaan FMA

Rembugtani Desa adalah forum yang anggotanya terdiri dari pengurus

kelompok tani ditambah dengan dua orang perwakilan dari masing - masing

kelompok tani serta wakil dusun ( laki-laki dan perempuan) yang dipilih secara

demokratis oleh anggotanya. Rembug tani bertugas untuk :

(1) memilih pengurus pengelola FMA dan penyuluh swadaya;

(2) menetapkan rencana usaha berkelompok (business plan) sesuai dengan hasil

kajian pengembangan agribisnis perdesaan;

(3) menetapkan kegiatan pembelajaran yang akan diusulkan untuk didanai P3TIP

berdasarkan programa penyuluhan Desa sesuai hasil identifikasi dan analisis

kajian pengembangan agribisnis perdesaan; dan

19

(4) memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan penyuluhan dan pemanfaatan dana

stimulant penguatan permodalan di Desa baik yang didanai oleh dana FMA

maupun dari sumber-sumber lain.

Mengelola FMA Desa, perlu dibentuk unit yang akan mengelola kegiatan

penyuluhan Desa yang pengurusnya dipilih secara demokratis oleh rembugtani Desa.

Unit pengelola FMA bertanggung jawab untuk :

(1) mengkoordinasikan kegiatan pembelajaran agribisnis dan pemanfaatan dana

stimulant penguatan permodalan yang dibiayai dari dana FMA;

(2) mengadministrasikan pelaksanaan kegiatan, membuat pembukuan terhadap

penerimaan/ pengeluaran dana untuk pembelajaran agribisnis dan pemanfaatan

dana stimulan penguatan permodalan yang dibiayai dari dana FMA;

(3) menjamin transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana FMA Desa melalui

penyediaan informasi tentang penggunaan dana FMA kepada masyarakat Desa

(bebas dari korupsi);

(4) menjamin tersedianya peluang yang sama untuk keikutsertaan seluruh

komponen masyarakat Desa dalam pemanfaatan dana FMA (bebas dari

nepotisme dan kolusi);

(5) menjamin keberlanjutan dan penyebarluasan FMA;

(6) memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan FMA Desa; dan

(7) membuat laporan teknis kegiatan dan keuangan FMA.

Pengurus unit pengelola FMA minimal terdiri dari ketua, sekretaris,

bendahara, dan penyuluh swadaya. Persyaratan pengurus harus memiliki kriteria

sebagai berikut :

20

(1) jujur, berwawasan luas tentang organisasi kemasyarakatan;

(2) berdedikasi untuk mengelola kegiatan FMA;

(3) tidak mempunyai tunggakan hutang dengan pihak lain;

(4) memiliki kemampuan untuk membantu proses pembelajaran petani dalam

mengembangkan usahanya; dan

(5) bersedia meluangkan waktu untuk mengelola seluruh kegiatan.

Tugas masing-masing pengurus adalah sebagai berikut:

(1) Ketua : bertanggungjawab pada aspek - aspek FMA baik teknis

maupun administrasi.

(2) Sekretaris: bertanggungjawab untuk memonitor dan mencatat pelaksanaan

kegiatan penyuluhan di Desa dan pemanfaatan dana stimulan penguatan

permodalan dalam pelaksanaan kegiatan agribisnis.

(3) Bendahara: bertanggungjawab secara administrasi atas penerimaan/ pengeluaran

dana dan masalah keuangan lainnya sesuai dengan dana FMA.

(4) Penyuluh swadaya : bertanggungjawab untuk merencanakan, memandu proses

kegiatan pembelajaran dan pelaksanaan agribisnis.

Pengurus unit pengelola FMA dan penyuluh swadaya dilatih melalui

pelatihan teknik fasilitasi FMA, pelatihan bagi unit pengelola FMA, pembinaan, dan

bimbingan teknik lainnya yang dilakukan secara rutin oleh tim pemandu lapang.

Pelatihan reorientasi pengelolaan FMA untuk meningkatkan kualitas kemampuan

unit pengelola FMA dan penyuluh swadaya.

Kegiatan pembelajaran FMA dilaksanakan terintegrasi dengan pelaksanaan

agribisnis berdasarkan produk/ komoditi sesuai dengan permintaan pasar dalam satu

21

siklus usaha dengan skala ekonomi untuk produk/komoditi yang diusahakan. Kriteria

peserta pembelajaran adalah :

(1) pelaku utama yang melaksanakan agribisnis sesuai dengan produk/komoditi

yang diperlukan pasar dan telah ditetapkan melalui pertemuan rembugtani Desa;

(2) bersedia untuk mengikuti pembelajaran dalam satu siklus usaha;

(3) berkomitmen untuk menerapkan hasil pembelajaran dalam kegiatan usahanya;

(4) bersedia bekerjasama antar anggota kelompok belajar dalam penyediaan sarana

usaha, pemasaran, dan lain-lain; serta

(5) bersedia untuk menyertakan sumberdaya yang dimiliki secara swadaya dalam

satuan pelaksanaan agribisnis berskala ekonomi.

Kriteria keanggotaan FMA tingkat Kecamatan adalah tim penyuluh

lapangan sebagai berikut :

(1) Anggota tim penyuluhan lapangan terdiri dari penyuluh pertanian pada setiap

Kecamatan lokasi P3TIP. Apabila diperlukan dan tersedia di kecamatan, dapat

ditambah dengan anggota masyarakat (penyuluh swadaya dan swasta) yang

memiliki keahlian teknis agribisnis dan mampu memfasilitasi kegiatan

pembelajaran yang diperlukan para pelaku utama.

(2) Tim penyuluhan lapangan berkedudukan di Balai Penyuluhan Pertanian (BPP),

dibentuk oleh Kepala Lembaga Penyuluhan Kabupaten, yang dikoordinir oleh

koordinator penyuluh.

Tim Penyuluh Lapangan bertugas untuk :

(1) Mensosialisasikan FMA.

22

(2) Membantu penyuluh swadaya dan pengurus unit pengelola FMA dalam

memfasilitasi perencanaan, pelaksanaan, memonitor serta melakukan evaluasi

kegiatan penyuluhan pertanian.

(3) Mengembangkan kemitraan diantara pelaku utama dan pelaku usaha dibidang

hasil produksi pertanian, teknologi, proses, dan pemasaran di tingkat Kecamatan.

(4) Memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan kegiatan penyuluhan di tingkat

Kecamatan secara partisipatif dan mempersiapkan laporan bulanan untuk

diserahkan ke Badan Pelaksana Penyuluhan Kabupaten.

(5) Melaksanakan pertemuan koordinasi FMA di tingkat Kecamatan setiap bulan

yang dihadiri pengurus unit pengelola FMA dengan biaya APBD.

(6) Memfasilitasi pelatihan untuk penyuluh swadaya.

(7) Menilai kemajuan/kinerja unit pengelola FMA dalam pelaksanaan kegiatan FMA

yang sudah atau sedang berjalan.

Kriteria keanggotaan FMA tingkat Kabupaten sebagai berikut :

(1) Komisi penyuluhan Kabupaten

Komisi penyuluhan Kabupaten dibentuk oleh Bupati yang berkedudukan

di tingkat Kabupaten. Keanggotaan komisi penyuluhan terdiri dari wakil Pemerintah

dan non Pemerintah yang memiliki keterkaitan dan kepedulian terhadap

penyelenggaraan penyuluhan di Kabupaten. Perbandingan perwakilan organisasi

Pemerintah dan non Pemerintah harus seimbang, dengan jumlah anggota perempuan

minimal 30% yang dapat menyuarakan kaum perempuan yang berusaha

disektor pertanian.

23

Komposisi keanggotaan komisi penyuluhan Kabupaten mewakili unsur

Pemerintah, organisasi petani/LSM, perguruan tinggi, lembaga penelitian serta

perwakilan organisasi yang bergerak di bidang usaha yang berkaitan dengan

pertanian/agribisnis. Komisi penyuluhan Kabupaten bertanggung jawab untuk

memberikan rekomendasi terhadap penilaian proposal FMA yang disampaikan oleh

tim verifikasi FMA Kabupaten yang selanjutnya disampaikan ke PPK P3TIP

Kabupaten untuk didanai kegiatannya melalui dana hibah FMA.

(2) Tim verifikasi proposal FMA

Tim verifikasi terdiri dari staf senior yang memiliki keahlian teknis di

bidang pertanian, dan keuangan yang berasal dari lembaga penyuluhan Kabupaten,

perguruan tinggi, dan lembaga penelitian, yang ditugaskan oleh komisi penyuluhan

Kabupaten untuk membantu sekretariat komisi penyuluhan Kabupaten dalam

penyelenggaraan FMA di Desa. Tim verifikasi bertugas melakukan penilaian

terhadap proposal FMA yang disampaikan oleh pengurus unit pengelola FMA

Desa, penilaian mencakup :

(1) kelayakan dari segi teknis dan keuangan, serta manfaat dari kegiatan yang

diusulkan dalam proposal;

(2) kesesuaian dengan persyaratan untuk memperoleh dana FMA; dan

(3) aspek lingkungan yang tidak membahayakan.

Dana FMA Desa, hanya digunakan untuk membiayai kegiatan penyuluhan pertanian

yang dikelola oleh kelompok tani/gapoktan desa yang bersifat strategis sesuai dengan

ruang lingkup dan materi FMA. Dana pembelajaran yang tersedia digunakan untuk

kegiatan sebagai berikut :

24

(1) biaya pembelajaran sesuai dengan proposal yang telah disetujui (studi petani,

sekolah lapangan, demonstrasi, magang, pelatihan, dll)

(2) modal usaha untuk keperluan seluruh proses usaha yang dilaksanakan oleh

peserta pembelajaran

(3) biaya Operasional

a. Gaji, upah yang rutin diberikan mingguan/bulanan bagi pengurus FMA dan

b. Tranpor bagi peserta rapat/pertemuan/rembugtani yang dilaksanakan di Desa

yang bersangkutan.

(4) Transport kegiatan FMA

a. Transport bagi tenaga harian lepas - tenaga bantu PPL dan

b. Transport bagi peserta pembelajaran kecuali sewa kendaraan untuk studi

banding, magang, dan kunjungan petani antar Desa.

(5) Kegiatan yang terkait dengan FMA dan tidak dibiayai dari dana FMA, antara lain

kajian pengembangan agribisnis perdesaan, penyusunan rencana usaha

berkelompok (business plan), penyusunan programa penyuluhan Desa, serta

penyelenggaraan forum penyuluhan pertanian perdesaan. Pelaksanaan kegiatan-

kegiatan ini dibiayai FMA Desa dari sumber lain, yaitu dari swadaya

masyarakat, APBN, dan APBD (Deptan, 2009).

2.4 Participatory Rural Appraisal (PRA)

Kegiatan Pemahaman Pedesaan secara Partisipatif (PPsP) atau

Participatory Rural Appraisal (PRA) merupakan suatu metode untuk memahami

secara partisipatif kondisi pedesaan dan masalah pembangunan serta upaya antisipasi

25

yang dibutuhkan dengan memperhitungkan kendala dan seluruh potensi sumber daya

yang tersedia (Irawan dan Priyanto, 2006 dalam Deptan, 2010).

PRA adalah pengalaman belajar bersama yang intensif, sistematis, semi

struktural, dilakukan di masyarakat dengan tim multidisiplin dimana anggota

masyarakat termasuk dalam peserta (Rangkuti, et al, 1998 dalam Deptan, 2010).

Dalam PRA peranan orang luar adalah sebagai katalis, fasilitator dan pemersatu

terhadap suatu proses dalam komuniti, terjadi proses transformasi peran-peran dan

pengenalan penduduk lokal pria dan wanita, sebagai analisis yang aktif, perencanaan

dan organisatoris (Chambers dan Guut, 1995 dalam Deptan, 2010).

Participatory Rural Appraisal / Pemahaman Pedesaan Secara Partisipatif,

dilakukan secara sistematis tetapi fleksibel (semi-terstruktur) untuk menggali

persepsi/ tanggapan masyarakat setempat tentang keadaan lingkungan/wilayahnya

dan pengaruh terhadap kehidupan masyarakat tersebut (permasalahan, potensi, dll)

PRA berusaha untuk mengidentifikasi potensi dan masalah-masalah yang

dihadapi dalam bidang pertanian sehingga memberikan arah teknologi atau inovasi

apa yang diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut dengan menggunakan potensi

yang ada. Masalah-masalah pertanian di lokasi tersebut tidak hanya pada tataran on

farm saja, tetapi mencakup kelembagaan (input, output, penunjang) dalam kerangka

mewujudkan agribisnis industrial. Agribisnis industrial adalah sistem yang

memanfaatkan keseluruhan potensi yang ada untuk meningkatkan pertumbuhan

ekonomi dan pendapatan petani (Sinar Tani,1-7 Nop 06 dalam Deptan, 2010).

Keluaran PRA adalah (1) pemahaman potensi, masalah, dan peluang pengembangan

26

agribisnis, (2) penetapan rencana definitif kegiatan kelompok, dan (3) teknologi yang

diintrodusir antara lain :

(1) manajemen produksi (pemangkasan, pemupukan, pengendalian hama/penyakit,

introduksi klon unggul (sambung pucuk dan tempel samping);

(2) penanganan pasca panen biji kakao untuk meningkatkan mutu melalui

fermentasi biji; dan

(3) pengolahan kulit kakao menjadi pakan ternak dan pupuk bokashi.

2.5 Kondisi Sosial Budaya Petani Indonesia

Soetrisno (2002) mengatakan bahwa kondisi sosial budaya petani

merupakan masalah dalam fungsi sektor pertanian di dalam pembangunan nasional

dan kemampuan sektor tersebut untuk bersaing abad yang akan datang. Berdasarkan

data statistik, sekitar 75% penduduk Indonesia tinggal di wilayah pedesaan. Lebih

dari 54% diantaranya menggantungkan hidup pada sektor pertanian, dengan tingkat

pendapatan yang relatif rendah. Perbedaan pendapatan tersebut berkaitan erat dengan

produktivitas para petani Indonesia, antara lain luas lahan, rendahnya mutu sumber

daya manusia, dan kebijakan Pemerintah.

Lebih lanjut Soetrisno (2002) mengatakan konsep petani dalam sosiologi

barat mengenai petani yaitu peasants dan farmers. Peasants (subsistence farmers)

adalah petani yang memiliki lahan sempit dan memanfaatkan sebagian terbesar dari

hasil pertanian yang diperoleh untuk kepentingan mereka sendiri. Farmers adalah

orang-orang yang hidup dari pertanian dan memanfaatkan sebagian besar hasil

pertanian yang diperoleh untuk dijual. Farmers telah akrab dengan teknologi

modern, misalnya perbankan. Para sosiolog pertanian Indonesia memperoleh

27

kesulitan dalam mengaplikasikan dua konsep tersebut, karena mengandung arti yang

sama yaitu semua orang yang hidup dari pertanian disebut petani.

Jumlah rumah tangga pertanian di Indonesia didominasi oleh petani yang

memiliki luas lahan kurang dari 0,5 ha. Jika dilihat dari luas lahan yang dimiliki,

dapat dikatakan bahwa petani Indonesia dapat digolongan sebagai peasants atau

subsistence farmers. Sebagian besar petani di Indonesia, yakni 40,37%

berpendidikan sekolah dasar; 4,62% berpendidikan SLTA; dan hanya 0,39% yang

berpendidikan akademi/universitas. Kelompok yang tidak berpendidikan (tidak

sekolah) dan tidak tamat SD mencapai 47,33%. Maka dikatakan petani Indonesia

adalah petani gurem untuk menggantikan istilah peasant (Soetrisno, 2002).

Umur petani Indonesia cenderung tua, sangat berpengaruh terhadap

produktivitas sektor pertanian. Petani yang berusia tua biasanya cenderung

konservatif dalam menyikapi perubahan atau inovasi teknologi. Namun untuk

menyikapi hal ini diperlukan sikap yang hati-hati. Petani Indonesia pada umumnya

adalah petani gurem dan usahatani di lingkungan tropika yang penuh resiko,

misalnya hama dan penyakit, tidak menentu curah hujan, dan sebagainya. Dalam

kondisi yang penuh resiko, petani lebih berhati-hati dalam menerima inovasi, karena

kegagalan berarti penderitaan bagi seluruh keluarga. Sementara di Indonesia belum

terdapat asuransi yang dapat melindungi para petani dari kegagalan dalam

pengembangan usaha tani. Agar lebih survive pada abad yang akan datang, petani

harus berani mengambil risiko dalam berinovasi (Soetrisno, 2002).

28

2.6 Penelitian – Penelitian yang Relevan

Penelitian Mahyuni (2003) dengan judul Efektivitas Pola Kemitraan

Agribisnis Ayam Ras Pedaging di Bali (Kasus Pada PT. Aneka Satwa Perkasa)

menyimpulkan bahwa efektivitas kemitraan antara peternak plasma dengan PT.

Aneka Satwa Perkasa telah berjalan efektif yang ditunjukkan dengan menggunakan

tiga indikator efektivitas yaitu indikator hubungan sistem kemitraan dengan hasil

kriteria baik, indikator produktivitas tenaga kerja, kandang dan peralatan dengan

hasil nilai produktif dan indikator efisiensi usaha ternak plasma dengan hasil

yang efisien.

Hasil penelitian Kartika (2005) dengan judul Evaluasi Kinerja Kemitraan

Agribisnis Komoditas Kopi di Kabupaten Bangli (Studi Kasus Pada CV. Tri Agung

Mulia) menyimpulkan bahwa kemitraan antara CV. Tri Agung Mulia dengan

Pemerintah Kabupaten Bangli menguntungkan secara signifikan dan efektif

berdasarkan analisis finansial dan non finansial. Kemitraan juga memberikan

manfaat finansial terhadap pemerintah Kabupaten, perusahaan dan petani/kelompok

tani. Berdasarkan hasil analisis Fishbein dan Likert pelayanan perusahaan dirasakan

belum optimal oleh petani dalam hal kapasitas tampung dan sosialisasi kualitas buah

kopi. Tetapi petani memberikan sikap positip terhadap kemitraan dan dinilai

puas terhadap atribut/aspek kemitraan, yaitu pembinaan Pemerintah Kabupaten,

penetapan kualitas, mekanisme penentuan barang, harga jual, pola insentif dan

proses pemasaran.