Untuk SMA N 1 Bukittinggi
-
Upload
pinto-buana-putra -
Category
Documents
-
view
41 -
download
4
Transcript of Untuk SMA N 1 Bukittinggi
Saya diminta menulis ini untuk adik-adik di almamater saya. Ayo, Uda dan Uni, kita beri
semangat pada adik-adik kita untuk menuntut ilmu dengan sebaik-baiknya
Konsisten... dan Itu Cukup
Tak ada yang spesial dengan anak itu. Kala itu pertengahan tahun 2004. Tengah tahun
masehi berarti awal tahun ajaran baru pendidikan pada umumnya. Di lokasi sebuah sekolah
dasar kawasan Birugo – Bukittinggi, jam 14.00 WIB, pengumuman itu ditempelkan di depan
kaca jendela. Diantar oleh bapaknya, ia ada di sana. Anak itu berbaur dalam kerumunan
siswa dan orang tua yang berdesak-desakan di depan kertas pengumuman. Sesaat sebelum
masuk dalam kerumunan, ia buka lipatan kertas yang ia keluarkan dari saku jaket. Dia
hafalkan nomor urut registrasi yang tertera di kertas tersebut, lalu bergegas mencocokkan
nomor tersebut dengan satu persatu baris nama dan nomor siswa yang tertera di kertas
pengumuman. Namanya ada di sana. Lalu, anak itu keluar dari kerumunan dan segera
berjalan ke arah bapaknya yang menunggu di belakang sana. “Baa pengumumannyo?” suara
bapaknya terdengar serak. “Alhamdulillah, Pa. Ditarimo di SMA N 1 Bukittinggi.”
***
Masa orientasi siswa tahun ajaran 2004 telah berakhir. Saat itu, para siswa telah
diberitahu tentang pembagian kelas masing-masing. Nama anak itu ternyata masuk ke dalam
siswa di rintisan kelas berstandar internasional SMA tersebut. Kelas SSI (sekolah standar
internasional) namanya. Kelas jenis ini pertama kali ada di tahun itu. Target jangka
panjangnya adalah kelak sejumlah proses belajar mengajar akan menggunakan bahasa
Inggris. Itu jangka panjang. Konon kabarnya, untuk membuat keputusan daftar siswa yang
masuk ke dalam kelas tersebut, pihak sekolah melakukan seleksi awal. Dan, saat tau namanya
masuk ke dalam kelompok siswa kelas SSI, hari itu ia pulang dengan wajah muram.
Sesampai di rumah, ia menangis dan bercerita pada ibunya. Ia minta ibunya datang ke
sekolah, bernegosiasi dengan pihak sekolah untuk mengeluarkannya dari kelas tersebut.
Terlalu tinggi, kata anak itu. Ia takut tidak mampu bertahan di kelas tersebut, bersaing
performa akademik dengan siswa-siswa lain. Ia ingin ditempatkan di kelas lain saja. Maka,
keesokan harinya, sang ibu dan bapak datang ke sekolah, menemui Pak Yusrizal, wakil
kepala sekolah mereka. Pak Yus tersenyum dan berkata, “Tenang, Bu. Anak Ibu akan baik-
baik saja ditempatkan di kelas ini. Kami yakin, anak Ibu akan bisa menghasilkan nilai
akademis yang baik seperti teman-temannya.”
***
Hampir tiga tahun berlalu di sekolah itu. Dengan semua suka dukanya. Rutinitas yang
dijalani anak itu relatif sama dengan siswa-siswa lain dari Senin hingga Jumat. Pagi, pukul
setengah 7, anak itu bersiap berangkat dari rumah. Dilepas dengan pamitan dan cium tangan
pada sang ibu, lalu diantar ke sekolah oleh sang bapak. Selalu demikian setiap pagi. Masuk
sekolah pukul setengah 8, proses belajar mengajar di kelas hingga sore hari, lalu kembali
pulang ke rumah. Hingga tibalah saatnya masa-masa menuju ujian akhir nasional (UAN) dan
seleksi penerimaaan mahasiswa baru (SPMB – sejak tahun 2008 berganti nama menjadi
SNMPTN). Si anak itu punya mimpi yang besar, mungkin sama pula dengan teman-temannya
yang lain. Ia ingin jadi insinyur. Masuk kampus UI di pulau Jawa. Merantau. Berbaur dan
berkenalan dengan teman-teman dari daerah lain di seluruh Indonesia. Itu mimpinya. Maka,
sejak awal tahun terakhirnya di SMA, di awal kelas 3 SMA, ia telah giat mengumpulkan
materi soal UAN dan SPMB. Tiap hari, ia jadwalkan secara pasti rutinitas hidupnya. Bangun
sebelum subuh di pagi hari, mandi, sarapan, mengerjakan sejumlah soal, lalu bersiap ke
sekolah, mengikuti proses belajar mengajar, bermain bersama teman-teman, lalu kembali
pulang ke rumah, bersantai bersama kedua orang tua, lalu kembali mengerjakan soal.
Demikian seterusnya hampir tiap hari. Ia sadar betul, dirinya hanyalah satu di antara puluh
ribu atau mungkin ratusan ribu siswa di seluruh Indonesia, yang juga punya mimpi yang
sama untuk berkuliah di kampus yang sama. Dirinya hanyalah satu di antara semua itu.
Bahkan, boleh jadi ia merendahkan diri dibandingkan siswa di kota besar lainnya yang
mungkin mendapat aksesibilitas lebih baik dalam persiapan ujian yang akan dihadapi.
Kesadaran itu yang membuatnya ingin tidak berhenti berusaha. Yang penting usaha hari ini,
berdoa, lalu lihat saja hasilnya esok hari.
***
Agustus 2007. Jam 20.00. Saat pertama ketika pengumuman SPMB di seluruh
Indonesia ditampilan lewat media internet. Ia tidak bisa mengakses internet kala itu. Jika
harus, ia butuh waktu untuk pergi ke warnet. Harap-harap cemas, ia tidak bisa jauh dari
telepon. Kakak kandungnya yang kebetulan kuliah di Fakultas Ilmu Komputer UI yang akan
melihat pengumuman via internet dari kampusnya. Jam 20.05, telepon itu berdering. Hening
sejenak. “Teknik Kimia UI.” Singkat, padat, jelas, ia mendengar suara kakaknya dari
seberang sana. Sontak, ia tersungkur di depan ruang tamu tersebut, berucap hamdalah
puluhan kali, sujud syukur. Alhamdulillah Ya Allah. Alhamdulillah.
***
Hari-hari yang ia jalani di kampus berlambang makara itu selalu berwarna. Dengan
beragam kegiatan akademis, disambung dengan aktivitas non-akademis dan aktualisasi diri.
Saat pertama kali dulu menginjakkan kaki di Teknik Kimia UI, ada rasa minder ketika
pertama kali berkenalan dengan 54 mahasiswa lain yang juga menjadi mahasiswa baru. Ia
khawatir cengkok bahasa ibunya akan membuatnya berbeda dibanding anak lain di kota
besar. Ia juga takut bila semua mahasiswa seangkatannya ternyata lebih pintar dari
mahasiswa asal daerah sepertinya. Ia kadang gelisah tak mampu bersaing dan selevel dengan
mereka. Kesadarannya itu yang membuatnya selalu berusaha melakukan semua hal yang
terbaik dari dirinya. Hingga akhirnya, ia tak lagi merasa minder dan rendah diri. Ia merasa
sangat bersyukur dan beruntung ada di antara komunitas itu. Komunitas yang telah
mengajarkan banyak hal, tentang pendidikan tinggi, arti teman, dan kehidupan keseharian.
September 2011, 4 tahun perjalanan di kampus itu berakhir di sebuah gedung
balairung di kampus UI. Upacara wisuda di hari itu. Hari itu, senyum mengembang tak henti-
henti di wajah anak itu. Bersama seorang wisudawan lain dari Fakultas Teknik UI, anak itu
duduk di barisan terdepan dari ratusan baris wisudawan asal Fakultas Teknik UI. Nama anak
itu dipanggil oleh moderator upacara wisuda. Lalu, anak itu bangkit dari tempat duduknya,
bersama wisudawan yang duduk di sebelahnya. Sejenak, mereka tersenyum satu sama lain.
Lalu, bersiap maju dan naik ke panggung upacara wisuda. Rektor dan Dekan Fakultas Teknik
menanti di depan sana. Hari itu, mereka diberi penghargaan sebagai wisudawan terbaik
Fakultas Teknik UI tahun 2011.
***
Tidak ada yang spesial dengan anak itu. Tidak sama sekali. Yang dimiliki oleh anak
itu hanyalah sejumlah rasa takut dan rendah diri, yang membuatnya terus ingin memperbaiki
diri dan berkompetisi secara sehat di dalam komunitasnya. Ia sadar betul bahwa ia sama saja
dengan anak lain, bahkan mungkin tak lebih baik. Namun, ia ingin punya banyak mimpi.
Mungkin apa yang dilakukan hari ini terkesan nihil sama sekali. Kembali mengingat
masa SMA, mungkin pembelajaran tiap hari begitu membosankan. Tiap hari belajar dan
belajar tanpa tahu hasil seperti apa saat UAN dan SPMB di depan. Namun, yang ia yakini,
satu langkah kecil tiap hari, suatu waktu di masa depan akan menghasilkan perubahan yang
besar. Maka, jangan pernah putus asa dengan mimpi-mimpi. Konsisten. Lakukan semua hal
dengan konsisten. Jika tugas seorang siswa adalah menjadi seorang pembelajar, lakukanlah
dengan sepenuh hati. Suatu hari, nantikan diri ini terkagum-kagum pada hasil pembelajaran
tersebut. Hanya hal ini yang diyakini anak tersebut untuk menggapai semua hal yang ia
inginkan.
***
Tak ada yang spesial dengan anak itu. Tidak, tidak sama sekali. Hari ini, di dalam
kamar berpenghangat ruangan itu, ia berdiri di depan jendela. Di tangannya, ia genggam
secangkir kopi hangat, cukup untuk menghangatkan badannya. Tatapannya lurus ke luar
jendela, menikmati pemandangan taman di belakang rumah. Suhu hari ini minus 10 celcius.
Pagi ini salju telah menutup semua taman halaman rumah. Putih, indah. Anak itu tersenyum
menyambut hari ini. Anak itu..aku.
Selamat pagi, Belanda. Selamat pagi, adik-adik SMA N 1 Bukittinggi.
Enschede, Belanda, Winter 2012
Tulisan ini didedikasikan khusus untuk menambah semangat adik-adik SMA N 1 Bukittinggi
yang tengah menggarap mimpi. Spesial didekasikan untuk Almh. Ibunda Zefliwer, S.Pd.
Rahma Muthia, S.T
Mahasiswa Master Teknik Kimia, University of Twente, Belanda
FB : Rahma Muthia
twitter : @rahma_muthia