UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua,...

95
i UNIVERSITAS INDONESIA UJI DIAGNOSTIK TORONTO CLINICAL SCORING SYSTEM TERHADAP DIAGNOSIS NEUROPATI PERIFER TERINDUKSI KEMOTERAPI TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SPESIALIS-1 NEUROLOGI ALDY NOVRIANSYAH 0806485000 FAKULTAS KEDOKTERAN PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS NEUROLOGI JAKARTA JANUARI 2014 Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Transcript of UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua,...

Page 1: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

i

UNIVERSITAS INDONESIA

UJI DIAGNOSTIK TORONTO CLINICAL SCORING SYSTEM

TERHADAP DIAGNOSIS NEUROPATI PERIFER TERINDUKSI

KEMOTERAPI

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SPESIALIS-1 NEUROLOGI

ALDY NOVRIANSYAH

0806485000

FAKULTAS KEDOKTERAN

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS NEUROLOGI

JAKARTA

JANUARI 2014

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 2: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

ii

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 3: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

iii

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 4: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

iv

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 5: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT karena atas berkat dan

rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Shalawat dan salam

selalu saya panjatkan kepada junjungan saya Nabi Besar Muhammad SAW.

Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat

untuk mencapai gelar Spesialis Neurologi pada Program Studi Pendidikan Dokter

Spesialis Neurologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Saya menyadari

bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan

sampai pada penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan

tesis ini. Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih kepada :

1. Rektor Universitas Indonesia, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia, Direktur Utama RSCM, Direktur Instalasi Rawat Jalan RSCM,

Koordinator Pendidikan Dokter Spesialis FKUI/RSCM beserta seluruh

jajarannya, terima kasih untuk kesempatan yang telah diberikan kepada

saya untuk menempuh pendidikan spesialis di FKUI/RSCM.

2. Ketua Departemen Neurologi dr. Diatri Nari Lastri, SpS(K), saya

menyampaikan rasa hormat dan terima kasih atas kesempatan, bimbingan,

dorongan, bantuan dan kemudahan yang diberikan kepada saya untuk

mengeyam pendidikan di bawah naungan Departemen yang beliau pimpin.

3. Ketua Program Studi PPDS Neurologi dr. Eva Dewati,SpS(K), yang telah

memberikan kepercayaan, bimbingan dan perhatian yang diberikan selama

saya menjalani masa studi di Departemen Neurologi. Tak lupa saya

ucapkan terima kasih yang mendalam kepada para Staf Program Studi dan

Koordinator Pendidikan, seluruh Ketua Divisi dan staf Pengajar

lingkungan Departemen Neurologi yang telah memberi dukungan, sarana

dan prasarana selama proses pendidikan saya.

4. Kepada Koordinator penelitian terdahulu, dr. Lyna Soertidewi,SpS(K),

M.Epid dan wakil koordinator penelitian dr. Al Rasyid,SpS(K); terima

kasih untuk inspirasi, waktu, bimbingan, motivasi, dan arahan dalam

pengerjaan tesis ini. Kepada Koordinator penelitian saat ini, DR.dr. Tiara

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 6: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

vi

Anindhita,SpS(K) terima kasih untuk arahan, bantuan, dan bimbingan

dalam pengerjaan tesis ini.

5. DR. dr. Yetty Ramli,SpS(K) selaku dosen pembimbing akademik yang

selalu mengingatkan dan memberikan dorongan untuk dapat menjalankan

dan melaksanakan semua tugas-tugas selama pendidikan di neurologi, dan

seluruh guru saya di Departemen Neurologi FKUI, atas bimbingan dan

dukungan yang diberikan untuk memahami segala seluk beluk penyakit

saraf dan pemahaman terhadap kondisi pasien yang komprehensif. Semua

itu kelak akan menjadi bekal saya dalam pelayanan terhadap masyarakat

dan memajukan bidang Neurologi.

6. Para pembimbing, dr. Manfaluthy Hakim,SpS(K), terima kasih sedalam-

dalamnya atas kesempatan melaksanakan penelitian ini dan kesediaan

untuk membimbing dan saran-saran yang diberikan dalam mengarahkan

saya pada penyusunan tesis ini. DR. dr. Aru W Sudoyo, SpPD, KHOM

terima kasih banyak dan penghargaan yang tidak terhingga atas waktu,

perhatian, kesabaran, motivasi dan nasihat yang diberikan kepada saya

hingga dapat melaksanakan dan menyelesaikan penelitian ini. DR.dr.

Herqutanto, MPH, MARS selaku pembimbing statistik, terima kasih dan

rasa hormat atas waktu dan pikiran yang telah diberikan dalam membantu

saya selama proses penelitian.

7. DR. dr. Siti Airiza,Sp.S(K); dr. Al Rasyid,Sp.S(K) dan DR. dr. Tiara

Anindhita ,Sp.S(K) selaku penguji yang telah memberikan saran dan

pemikiran dalam tiap tahap ujian tesis ini. dr. Fitri

Octaviana,Sp.S(K),Mpd.Ked selaku moderator yang juga banyak

memberikan banyak masukan.

8. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tidak terhingga saya haturkan

kepada guru-guru saya: dr. Silvia F. Lumempouw, SpS(K); dr. Salim

Haris, SpS(K), FICA; dr. Adre Mayza, SpS(K); dr. Freddy Sitorus,

Sp.S(K); dr. Mursyid Bustami, SpS-KIC; dr. Darma Imran, Sp.S(K);

dr. Riwanti Estiasaridr. Fitri Octaviania, SpS(K), Mpd. Ked; dr. Eka

Musridharta, SpS-KIC; dr. Amanda Tiksnadi, SpS; dr. Taufik

Mesiano, SpS; dr. Ahmad Yanuar, SpS; dr. Nurul Komari, SpS; dr.

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 7: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

vii

Rakhmat Hidayat; SpS, dan dr. Pukovisa Prawiroharjo, SpS. Terima

kasih atas segala bimbingan selama menjalani pendidikan.

9. Kepada dr. Fitri Octaviana,SpS(K), MPd.Ked terima kasih banyak atas

saran dan masukannya, dan kepada perawat di ruang pemeriksaan EMG

dan juga kepada seluruh pegawai Unit Rawat Jalan Ilmu Penyakit Saraf

Rumah Sakit Ciptomangunkusumo, terima kasih banyak atas bantuan dan

kerjasamanya.

10. Kepada para perawat dan post unit rawat jalan kemoterapi lantai 4 dan

ruang perawatan kemoterapi gedung A lantai 8 RSCM, terima kasih

banyak atas kesabaran dan bantuannya.

11. Kepada pegawai neurologi yang sangat banyak membantu saya dalam

menjalani pendidikan selama di neurologi, bu Ning, mbak Diana, mbak

Rini, mbak Wiwied, mbak Wiwi, mbak Ade, mbak Dini, mas Anto, pak

Edi dan Bu Kamtinah terima kasih yang sebesar-besarnya.

12. Para pasien rawat jalan unit kemoterapi lantai 4 dan pasien rawat inap

ruang perawatan kemoterapi gedung A lantai 8 Rumah Sakit

CiptoMangunkusumo, terima kasih tidak terhingga atas kesediaannya

meluangkan waktu berpartisipasi dalam penelitian ini dan atas pelajaran

hidup yang amat berharga yang saya dapatkan.

13. Rekan-rekan satu angkatan, dr. Sri Utami,SpS, dr. Dian Cahyani, SpS,

dr. Winnugroho Wiratman, SpS, dr. Linda Suryakusuma, SpS, dr.

Izati Rahmi, dr. Uly Indrasari, dr. Asri Saraswati, dr. Karolina

Margaretha, terima kasih atas dukungan, kerjasama dan kebersamaan kita

selama ini, dan tak lupa terima kasih sebesar-besarnya kepada dr.

Winnugroho Wiratman, Sp.S atas ide penelitian dan bantuan yang tak

terhingga atas keberlangsungan penelitian ini. Terima kasih juga buat

teman lama dr. Rahmat Syah, SpS dan juga buat sahabatku dr. Liesya

Hartiansyah. Tim OSCE Yogyakarta, dr. Uly Indrasari, terima kasih

banyak untuk bimbingan, kerjasama dan jembatan-jembatan keledainya

itu, dr. Izati Rahmi, dr. Asri Saraswati, dr. Yusi Amalia, dr. Marlon

Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima

kasih banyak atas bantuan, kerjasama dan waktu-waktu kebersamaan yang

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 8: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

viii

luar biasa, menegangkan dan juga menyenangkan selama menghadapi

persiapan dan ujian OSCE serta ujian mental di Yogyakarta. Rekan-rekan

dan senior yang sama-sama berjuang menyelesaikan tesis ini dr. Cut

Antara Keumala, dr. Donna Octaviani, dr. Mery Krismato, dr. Allan,

dr. Marlon Tua, dr. Meidy Camelia dan dr. Shinta Wulandhari, terima

kasih untuk sama-sama saling membantu dan mengingatkan, kepada dr.

Rahmi Ulfa, dr. Rima Anindita Primandari, dr. Andira Larasari,

dr.Teuku Reyhan Gamal, dr. Andre, dr. Hendra Samanta, dr. Lilir

Amalini, terima kasih banyak atas segala bantuannya sehingga penelitian

ini dapat berjalan dengan baik dan seluruh rekan–rekan junior dan senior

kerukunan PPDS Neurologi, terima kasih untuk persahabatan,

kebersamaan serta bantuannya. Semoga persahabatan dan persaudaraan

senantiasa terjalin dalam hubungan kesejawatan sepanjang hidup kita.

14. Kedua orang tua saya, Ir. Rizal Ismael dan Wirda Mansur, tiada kalimat

yang cukup untuk melukiskan betapa besarnya cinta kasih dan dukungan

yang telah kalian berikan kepada saya hingga detik ini. Doa, pengorbanan,

bimbingan, dorongan dan teladan yang diberikan sejak kecil membuat

saya bisa melangkah sejauh ini. Kepada kakak-kakak tercinta, Astrid

Febrina dan Nuzirman Nurdin, Arif Marendra dan Dyah Mardiasih,

terima kasih atas semua cinta kasih, doa, dukungan, dan bantuan kalian

yang tiada henti.

15. Kepada sahabat-sahabat terdekat, zulfan, lidya, rondang, fresti, husni,

kiky, dhany, nugi, ressa, leo dan vera, terima kasih atas dukungan,

keceriaan dan kebersamaan yang telah kalian berikan, sehingga saya dapat

menjalani pendidikan spesialis ini dengan baik dan penuh semangat.

Akhir kata, kepada semua pihak yang telah membantu mnyelesaikan

pendidikan Spesialis dan penerbitan tesis ini, setulus hati saya ucapkan terima

kasih dan penghargaan. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan dengan

pahala yang berlipat ganda. Semoga tesis ini dengan segala kekurangannya dapat

membawa manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan dunia kesehatan.

Jakarta, 20 Januari 2014

Penulis

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 9: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

ix

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 10: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

Universitas Indonesia

ABSTRAK

Nama : Aldi Novriansyah

Program Studi : Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi

Judul : Uji diagnostik Toronto Clinical Scoring System terhadap

diagnosis neuropati perifer terinduksi kemoterapi

Latar belakang: Neuropati perifer terinduksi kemoterapi (NPTK) merupakan

efek samping kemoterapi neurotoksik yang menurunkan kualitas hidup penderita

dan menghalangi pemberian kemoterapi yang optimal. Suatu alat skrining dengan

tingkat akurasi mendekati alat elektroneurografi (ENG) dibutuhkan untuk

mendeteksi NPTK secara dini. Skor Toronto clinical scoring system (TCSS)

merupakan alat skrining sederhana dan terbukti unggul untuk pemeriksaan

neuropati pada diabetes melitus (DM). Kesamaan gambaran klinis antara

neuropati DM dengan NPTK dapat menjadikan TCSS sebagai alat skrining untuk

NPTK.

Tujuan: Mencari nilai ROC, senstivitas dan spesifisitas TCSS dibandingkan

dengan standar baku pemeriksaan ENG

Metode penelitian: Penelitian berupa uji diagnostik skor TCSS pada penderita

keganasan yang mendapat kemoterapi cisplatin di poli hematoonkologi dan ruang

perawatan kemoterapi RS Ciptomangunkusumo. Pemeriksaan ENG dan skor

TCSS dilakukan pada setiap subjek. Hasil dianalisa untuk mendapatkan kurva

ROC, sensitivitas dan spesifisitas.

Hasil: Dari 77 subjek, terdapat 66 yang dapat dianalisa. Diagnosis polineuropati

dengan menggunakan ENG sebanyak 34 (51,5%), begitu juga dengan

menggunakan TCSS (51,5%). Komponen abnormal TCSS terbanyak adalah

komponen pemeriksaan refleks tendon (78,8%). Dari analisa uji diagnostik

didapatkan nilai AUC 75,4%, sensitivitas 79,4%, spesifisitas 59,4%, nilai prediksi

positif 67,5% dan nilai prediksi negatif 73,1%, dengan titik potong optimal ≥ 5.

Kesimpulan: Skor TCSS memiliki nilai diagnostik yang cukup baik sebagai alat

skrining pada NPTK. Skor ini juga memiliki nilai titik potong optimal yang sesuai

dengan karakteristik klinis NPTK dan komponen yang dapat digunakan untuk

mendeteksi gejala awal NPTK.

Kata Kunci : ENG; kemoterapi; NPTK; TCSS

x

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 11: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

Universitas Indonesia

ABSTRACT

Name : Aldi Novriansyah

Program Studi : Neurology Specialization Educational Programme

Judul : Diagnostic test study of The Toronto clinical scoring

system for the diagnosis of Chemotherapy induced

peripheral neuropathy.

Background: Chemotherapy induced peripheral neuropathy (CIPN) is an

adverse effect of neurotoxic chemotherapy that lower the patient’s quality of life

and prevent optimal chemotherapy. Early detection by a screening tool that have a

near accuracy to electroneurography (ENG) is needed. The Toronto clinical

scoring system (TCSS) is a simple and superior tool for screening diabetic

neuropathy. Similarity between diabetic neuropathy and CIPN’s clinical picture

could make the TCSS as screening tool for CIPN.

Purpose: to discover the ROC, sensitivity and specificity of TCSS compared to

the ENG as gold standard

Methodology: the study is a diagnostic test of TCSS in cancer patients with

cisplatin from Hematooncology clinic and chemotherapy ward of RSCM. ENG

test and TCSS examination were done for each subject. Results were analyzed for

ROC, sensitivity and specificity.

Result: out of 77 subjects, only 66 were analyzed. CIPN were diagnosed in 34

(51,5%) by ENG, and also in 34 (51,5%) by TCSS. The most abnormal

component of TCSS is the tendon reflex examination (78,8%). The diagnostic

analysis acquire the AUC 75,4%, 79,4% sensitivity, 59,4% specificity, positive

predictive value of 67,5% and negative predictive value of 73,1%. The optimal

cut off point is ≥ 5.

Conclusion: The TCSS is a passable screening tool for CIPN. It also have optimal

cut-off point which resemble CIPN’s clinical characteristics and component

which can be use to detect early signs.

Keywords : ENG; chemoterapy; NPTK; TCSS

xi

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 12: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

Universitas Indonesia

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................

i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .......................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN......................................................................... iii

KATA PENGANTAR .................................................................................... v

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ................... ix

ABSTRAK ....................................................................................................... x

ABSTRACT..................................................................................................... xi

DAFTAR ISI ................................................................................................... xii

DAFTAR TABEL ........................................................................................... xiv

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xv

DAFTAR LAMPIRAN................................................................................... xvi

DAFTAR SINGKATAN ................................................................................ xvii

BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................... 1

1.1 Latar Belakang masalah ....................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ................................................................ 3

1.3 Tujuan penelitian .................................................................. 3

1.4 Manfaat penelitian ................................................................ 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.................................................................. 5

2.1 Neuropati perifer................................................................... 5

2.1.1 Definisi ..................................................................... 5

2.2 Neuropati perifer terinduksi kemoterapi .............................. 8

2.2.1 Epidemiologi ............................................................. 8

2.2.2 Patofisiologi .............................................................. 9

2.2.3 Gambaran klinis ........................................................ 13

2.2.2.1. Golongan Platinum ..................................... 13

2.2.4 Diagnosis banding .................................................... 16

2.2.4.1 Neuropati sensorik paraneoplastik………..... 16

2.2.4.2 Neuropati sensorik diabetikum…………….. 17

2.2.4.3 Neuropati sensorik akibat toksisitas obat...... 18

2.2.4.4 Neuropati sensorik akibat hipotiroidisme...... 18

2.2.5 Metode diagnosis ...................................................... 19

2.2.5.1 Pemeriksaan Elektroneurofisiologi ............... 19

2.2.5.2 Pemeriksaan neuropatologis ......................... 21

2.2.5.3 Penilaian dengan skala 22

2.5 Uji Diagnostik....................................................................... 30

2.5.1 Langkah-langkah Uji Diagnostik............................ 31

2.5.2. Kurva Receiver Operating Characteristic (ROC) 33

2.6 Kerangka teori ...................................................................... 35

2.5 Kerangka konsep…............................................................... 36

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ................................................... 37

3.1

3.2

3.3

Rancangan Penelitian ...........................................................

Tempat dan Waktu Penelitian...............................................

Populasi Penelitian................................................................

3.3.1. Kriteria Inklusi.............................................................

37

37

37

37

xii

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 13: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

Universitas Indonesia

3.4

3.5

3.6

3.7

3.8

3.9

3.3.2. Kriteria Eksklusi .........................................................

3.3.3. Sampel dan pemilihan sampel ...................................

Estimasi besar sampel ...........................................................

Cara Kerja..............................................................................

Variabel penelitian ...............................................................

Definisi operasional ..............................................................

Ijin subyek penelitian............................................................

Kerangka operasional ...........................................................

37

38

38

39

41

42

49

50

BAB 4 HASIL PENELITIAN……………………………………………. 51

4.1

4.2

4.3

4.4

Karakteristik Demografis Subyek Penelitian…....................

Karakteristik subjek berdasarkan klinis ................................

Receiver Operating Characteristic (ROC) dan Area Under

the Curve (AUC)...................................................................

Penentuan titik potong ......................................……………

51

52

53

54

BAB 5 PEMBAHASAN………………………………………….............. 56

5.1

5.2

5.3

5.4

5.5

5.6

Dinamika Penelitian..............................................................

Karakteristik Demografis Subyek Penelitian…....................

Karakteristik klinis subjek penelitian ...................................

Receiver Operating Characteristic (ROC) dan Area Under

the Curve (AUC)...................................................................

Penentuan titik potong, Sensitivits, Spesifisitas, NPP dan

NPN ......................................……………............................

Keterbatasan penelitian ........................................................

56

56

56

58

59

62

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN....................................................... 64

6.1

6.2

Kesimpulan…………..………………………….……….....

Saran…………………………………………..……………

64

64

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 65

LAMPIRAN..................................................................................................... 68

xiii

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 14: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

Universitas Indonesia

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Beberapa kumpulan gejala NPTK sesuai agen kemoterapi ....... 15

Tabel 2.2. Karakteristik elektroneurografi neuropati perifer ...................... 20

Tabel 2.3. Nilai normal KHS motorik dan sensorik ................................... 21

Tabel 2.4 Skala Common Toxicity Criteria ................................................ 24

Tabel 2.5. Total Neuropathy Score ............................................................. 27

Tabel 2.6. Toronto Clinical Scoring System ............................................... 29

Tabel 2.7. Tabel Uji Diagnostik 2x2 ...........................................................

Tabel 4.1. Sebaran subjek menurut karakteristik demografis......................

Tabel 4.2. Sebaran subjek menurut diagnosis polineuropati berdasarkan

ENG dan TCSS...........................................................................

Tabel 4.3. Tabel kooridnat titik kurva..........................................................

Tabel 4.4. Uji diagnostik Polineuropati perifer menurut TCSS

berdasarkan pemeriksaan menggunakan alat ENG.....................

Tabel 4.5. kurva ROC dan efisiensi statistik TCSS untuk diagnosa

polineuropati perifer berdasarkan pemeriksaan dengan alat

ENG............................................................................................

33

51

52

54

55

55

xiv

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 15: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

Universitas Indonesia

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Mekanisme Umum NPTK ..................................................... 22

Gambar 4.1. Kurva ROC ............................................................................ 53

Gambar 4.2. Grafik titik potong sensitifitas dan spesifisitas ...................... 54

xv

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 16: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

Universitas Indonesia

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Kuosioner Penelitian dan Skor Toronto Clinical Scoring

System....................................................................................

68

Lampiran 2. Lembar informasi subyek penelitian ..................................... 71

Lampiran 3. Lembar persetujuan ............................................................. 74

Lampiran 4. Anggaran Penelitian .............................................................. 75

Lampiran 5. Jadwal Penelitian ................................................................... 76

Lampiran 6. Keterangan lolos kaji etik ...................................................... 77

xvi

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 17: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

Universitas Indonesia

DAFTAR SINGKATAN

KNF Karsinoma Nasofaring

NPTK Neuropati Perifer Terinduksi Kemoterapi

ENG Elektroneurografi

CTC Common Toxicity Criteria

WHO World Health Organiozation

ECOG Eastern Cooperative Oncology Group

NCI National Cancer Institute

TNS Total Neuropathy Score

TCSS Toronto Clinical Scoring System

DM Diabetes Mellitus

ROC Receiver Operating Characteristic

AIDP Acute Inflammatory Demyelinating

Polyradiculopathy

DRG Dorsal Root Ganglion

NMDA N-Metyl D-Aspartate

TRPV Transient Receptor Potential Vanilloid

mPTP mitochondrial permeability transition pore

TNF-α Tumor Necrosis Factor – α

IL-1, IL-6 Interleukin

PKC\ Protein Kinase C

GTP Guanosine triphosphate

LMN Lower Motor Neuron

SCLC Small cell lung cancer

SSN Subacute sensoric neuropathy

KHS Kecepatan hantar saraf

Ig Immunoglobulin

HIV Human Immunodeficiency Virus

TSH Thyroid stimulating hormone

CMAP Compound motoric action potential

xvii

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 18: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

Universitas Indonesia

SNAP Sensory nerve action potential

IENF Intra epidermal nerve fiber

TNSr reduced Total neuropathy score

TNSc clinical Total neuropathy score

PPV Positive predictive value

NPV Negative predictive value

AUC Area under the curve

IPD Ilmu penyakit dalam

RSUPN Rumah sakit umum pusat nasional

KTP Kartu tanda penduduk

CI Confidence Interval

MNSI Michigan neuropathy screening instrument

xviii

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 19: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

1

Universitas Indonesia

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Neuropati perifer merupakan gangguan yang terjadi pada struktur saraf

perifer atau tepi terutama pada akson dan myelin.1 Gangguan tersebut dapat

bermanifestasi sebagai rasa nyeri, panas, kebas dan tertusuk-tusuk pada keempat

ekstremitas dengan etiologi yang bervariasi mulai dari gangguan metabolik

(diabetes mellitus, hipotiroidisme, uremia), defisiensi vitamin, hingga kelainan

genetik.2 Salah satu penyebab neuropati perifer adalah toksisitas sebagai akibat

pemakaian agen kemoterapi pada keganasan.2

Kemajuan dalam tatalaksana pada penyakit keganasan telah membuahkan

agen-agen kemoterapi yang semakin beragam seperti vincristin, taxane, dan zat

platinum beserta turunannya (cisplatin, carboplatin dan oxaliplatin). Agen-agen

tersebut telah lama dipakai secara luas dan terbukti efektif dalam mengatasi

berbagai jenis keganasan, namun di sisi lain efek samping pada saraf tepi yang

terjadi karena toksisitas juga sudah dikenal luas. Hal tersebut dapat terjadi pada

30% hingga 70% penderita yang menjalani kemoterapi dan sangat bergantung

pada jenis agen yang digunakan dan total dosis yang diberikan. Cisplatin

merupakan agen kemoterapi tertua dan paling toksik terutama pada pemakaian

kombinasi.3 Cisplatin juga banyak digunakan pada terapi Karsinoma Nasofaring

(KNF), salah satu jenis keganasan kepala dan leher yang paling banyak terdapat di

Indonesia.4, 5

Neuropati perifer yang disebabkan toksisitas anti keganasan merupakan

efek samping yang jika diabaikan dapat menurunkan kualitas hidup penderita dan

menjadi faktor penghambat dalam pemberian dosis optimal dari agen-agen

kemoterapi tersebut. Karena itu, deteksi dini menjadi hal yang penting

dilakukan.3, 6

Diagnosis penderita yang mengalami Chemotherapy Induced Peripheral

Neuropathy atau Neuropati Perifer Terinduksi Kemoterapi (NPTK) sebagian besar

dibuat berdasarkan gambaran klinis yang muncul. Gejala yang timbul dapat

murni sensorik ataupun predominan sensorik seperti rasa baal, kesemutan dan

bahkan dapat menjadi nyeri neuropatik. Gejala neuropati motorik dan neuropati

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 20: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

2

Universitas Indonesia

otonom dapat muncul namun sangat jarang bahkan tidak ada.3, 7

Gejala tersebut

dapat membaik (reversible) maupun tidak tergantung pada jenis agen yang

diberikan.8

Eksklusi penyebab neuropati lain seperti diabetes mellitus,

alkoholisme, defisiensi vitamin B, dan gangguan tiroid dapat lebih mendukung

diagnosis neuropati yang diinduksi oleh kemoterapi, walaupun hal-hal tersebut

dapat pula menjadi faktor risiko terjadinya NPTK.3,6,8

Pemeriksaan menggunakan

alat elektroneurografi (ENG) masih merupakan baku emas dalam mendiagnosis

neuropati perifer, terutama untuk menentukan jenis neuropati yang terjadi seperti

aksonal atau demielinisasi.3, 9

Pada beberapa kasus, ENG dapat mendeteksi

neuropati perifer pada penderita dengan gejala yang belum jelas (sub klinis).10

Kenyataannya, alat ENG masih belum merupakan pemeriksaan rutin. Hal

ini dapat disebabkan kurangnya kewaspadaan dari klinisi, gejala neuropati yang

belum jelas dan ketersediaan alat yang masih terbatas.8,9

Dengan demikian

dibutuhkan suatu perangkat diagnostik secara klinis yang memiliki tingkat akurasi

yang mendekati dengan pemeriksaan ENG. Salah satu dari perangkat tersebut

adalah penilaian secara scoring atau skala. Termasuk kedalam skala-skala tersebut

adalah skala yang sering digunakan pada NPTK seperti skala common toxicity

criteria (CTC) dari World Health Organization (WHO), Eastern Cooperative

Oncology Group (ECOG) dan National Cancer Institute (NCI), dan Total

Neuropathy Score. (TNS). 3, 9

Skala-skala tersebut dapat dengan akurat menilai

beratnya gejala NPTK terutama pada tahap awal perjalanan penyakit, namun

penggunaannya tidak cukup praktis dan memakan waktu sehingga penggunaannya

sebagian besar masih terbatas pada studi klinis. 3, 9

Toronto Clinical Scoring System (TCSS) adalah skala penilaian neuropati

yang terdiri atas penilaian gejala, refleks tendon dan tes sensoris.11

Skala ini telah

terbukti efektif dalam mendeteksi dan menilai beratnya gejala pada neuropati

yang disebabkan oleh Diabetes Mellitus (DM) dan juga berhubungan erat dengan

pemeriksaan ENG pada penderita neuropati perifer DM. Polinueropati perifer

yang disebabkan oleh DM merupakan suatu polineuropati simetrik distal yang

memiliki kesamaan manifestasi klinis dengan NPTK, sehingga TCSS diharapkan

juga dapat mendeteksi gangguan neuropati tersebut. Selain itu, penggunaannya

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 21: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

3

Universitas Indonesia

sederhana dan dapat digunakkan baik untuk studi klinis maupun pada keadaan

praktek sehari-hari.11

Penilaian terhadap adanya NPTK terutama yang dapat dideteksi secara

dini dapat dijadikan pertimbangan dalam keputusan untuk pemberian kemoterapi

sehingga penderita dapat terhindar dari efek samping yang dapat menurunkan

kualitas hidup. TCSS diduga dapat menjadi suatu alternatif dalam mendiagnosis

NPTK dengn cara yang lebih sederhana, cepat, dan dengan tingkat akurasi yang

mendekati dengan alat ENG

Sampai saat ini, belum dilakukan suatu studi yang menggunakan TCSS

untuk mendiagnosis NPTK dibandingkan dengan pemeriksaan ENG. Oleh karena

itu, penelitian ini dilakukan sebagai uji diagnostik TCSS guna mendeteksi NPTK

pada penderita KNF yang mendapatkan kemoterapi Cisplatin.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian, maka dirumuskan masalah yang

akan diteliti, yaitu: bagaimanakah tingkat sensitivitas, spesifitas dan nilai

Receiver Operating Characteristic (ROC) TCSS dalam mendiagnosis NPTK?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Melakukan Uji Diagnostik TCSS sebagai alat dalam mendiagnosis NPTK

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mendapatkan nilai ROC dari TCSS sebagai alat dalam mendiagnosa NPTK

2. Mendapatkan nilai sensitivitas TCSS sebagai alat dalam mendiagnosa NPTK

3. Mendapatkan nilai spesifisitas TCSS sebagai alat dalam mendiagnosa NPTK

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Bidang Penelitian

Mengetahui cara penelitian, pengumpulan data, pengolahan dan analisis

data, serta meningkatkan wawasan dalam bidang saraf tepi dan

elektroneurofisiologi.

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 22: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

4

Universitas Indonesia

1.4.2 Manfaat Bidang Pendidikan

1. Meningkatkan pengetahuan mengenai peran pemeriksaan klinis dengan

menggunakan TCSS dalam mendiagnosa NPTK

2. Meningkatkan pengetahuan tentang peranan elektroneurografi (ENG) pada

pasien tumor dengan kemoterapi cisplatin yang mengalami polineuropati.

1.4.3 Bidang Pelayanan Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperlihatkan peran TCSS sebagai

alat dalam diagnosis NPTK, terutama di rumah sakit yang tidak memiliki fasilitas

elektroneurografi.

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 23: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

5

Universitas Indonesia

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Neuropati Perifer

2.1.1 Definisi

Neuropati perifer dapat didefinisikan sebagai gangguan yang terjadi pada

struktur sistem saraf tepi terutama yang terjadi pada badan sel, akson dan

selubung myelinnya.12

Sistem saraf tepi adalah susunan struktur serabut saraf yang tersebar keluar

dari medulla spinalis dan batang otak dengan pengecualian N Olfactorius dan N

Optikus.12

Sebagian besar dari serabut saraf ini (dengan pengecualian Nervus

kranialis) terbagi menjadi serabut saraf sensorik yang keluar dari radiks posterior

medulla spinalis lalu berkumpul di ganglia posterior sebelum ke reseptor terminal,

saraf motorik dari radiks anterior medulla spinalis dan ganglia saraf simpatis dan

parasimpatis.12

Struktur saraf tepi terutama terdiri atas akson-akson yang

merupakan perpanjangan dari badan sel saraf motorik maupun sensorik. Akson-

akson tersebut terbagi menjadi dua jenis, yang memiliki selubung myelin dan

tidak terselubung myelin dimana hal ini akan berhubungan erat dengan kecepatan

hantar sinyal dari serabut saraf tersebut.12

Beberapa mekanisme mendasari terjadinya gangguan pada saraf tepi:

- Degenerasi Wallerian

Degenerasi Wallerian adalah terdapatnya kematian atau degenerasi pada

struktur akson setelah terjadinya suatu cedera, dalam hal ini adalah adanya

suatu transeksi dari serabut saraf. Struktur akson distal dari transeksi

tersebut akan mengalami degenerasi yang akan diikuti oleh struktur myelin

yang melingkupinya.12

- Demyelinisasi segmental

Gangguan ini terjadi pada kerusakan yang mengenai langsung kepada

selubung myelin maupun sel Schwann. Pada demyelinisasi segmental,

serabut akson dapat tidak terpengaruh sehingga sebagian besar tidak

menimbulkan atrofi otot.12

- Degenerasi neuronal (aksonal)

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 24: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

6

Universitas Indonesia

Degenerasi ini terjadi sebagai akibat dari gangguan yang terjadi pada

badan sel, dimana pada akhirnya serabut akson yang paling distal akan

mulai mengalami degenerasi dan akan diikuti oleh degenerasi dari

selubung myelin.12

Neuropati perifer juga dapat diklasifikasikan menurut distribusi anatomisnya:

1. Neuropati Generalisata Simetris (Polineuropati)

- Degenerasi aksonal distal

Tipe gangguan ini paling umum terjadi pada saraf perifer. Pada tipe ini

terjadi suatu abnormalitas pada metabolisme badan sel, dimana terjadi

gangguan pada transport retrograde neurofilamen dari akson terminal ke

badan sel sehingga jika berlanjut akan terjadi gangguan metabolism secara

keseluruhan. Bagian distal akson adalah struktur yang paling pertama kali

terkena dan akan berlanjut ke arah proksimal (dying back). Diameter dan

panjang serabut mempengaruhi beratnya gangguan ini. Beberapa keadaan

dengan mekanisme tersebut adalah pada keadaan gangguan metabolik

umum seperti uremia dan diabetes mellitus.13,14

- Myelinopati segmental (non-uniformis)

Pada myelinopati segmental, kerusakan secara primer terjadi pada

selubung myelin dan juga terhadap sel Schwann. Gangguan ini terjadi

secara segmental terutama pada selubung myelin intermodal (di antara dua

nodus ranvier). Diduga penyebab dari gangguan ini adalah proses

inflamasi yang disebabkan mekanisme autoimun seperti yang terjadi pada

Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculopathy (AIDP).13,14

- Myelinopati Difus (Uniformis)

Pada tipe ini, kerusakan terjadi secara difus atau menyeluruh pada seluruh

sel Schwann, dimana terjadi suatu demyelinisasi yang progresif dan secara

lambat. Gangguan ini terutama disebabkan oleh kelainan neuropati

sensorik dan motorik herediter seperti Charcot marie-Tooth dan juga

gangguan dari metabolism lipid herediter seperti leukodistrofi.13,14

- Neuronopati (Gangliopati)

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 25: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

7

Universitas Indonesia

Kerusakan yang terjadi pada tipe ini secara primer terjadi di badan sel.

Gangguan saraf tepi yang terjadi sesuai dengan segmen yang dipersarafi

oleh badan sel tersebut, hal ini dapat terjadi secara fokal (herpes zoster),

multiple segmen motorik (poliomilelitis) ataupun secara difus sensorik

(toksisitas obat kemoterapi). Pada tipe ini terjadi degenerasi pada

keseluruhan akson dari badan sel yang terkena namun sel Schwann relatif

tidak terkena.13,14

2. Neuropati fokal dan multifokal

- Iskemia

Iskemia dapat terjadi pada saraf tepi jika terdapat suatu gangguan yang

merata dari arteri medium hingga kecil. Gangguan ini terutama disebabkan

oleh mekanisme autoimun yang menyebabkan suatu inflamasi atau

vaskulitis secara fokal pada komponen dinding pembuluh darah. Beberapa

contoh untuk keadaan ini adalah vaskulitis yang disebabkan imunitas dan

juga diabetes mellitus.13,14

- Infiltrasi

Keadaan ini disebabkan oleh adanya infiltrasi dari struktur patologis

seperti granuloma yang akan mendesak serabut saraf tepid dan jaringan

sekitarnya sehingga akhirnya akan merusak keseluruhan struktur dari saraf

tepi. Lepra, amyloidosis, sarkoidosis, infiltrasi leukemik dan limfomatosa,

perineural xanthoma dan schwannoma merupakan contoh dari keadaan

tersebut.13,14

- Traumatik

Saraf tepi diketahui sangat rentan terhadap kerusakan yang disebabkan

oleh cedera traumatik. Beratnya kerusakan yang ditimbulkan oleh cedera

traumatik berbanding lurus dengan besarnya kekuatan dan durasi yang

ditimbulkan oleh penyebab trauma. Kerusakan yang ditimbulakn oleh

trauma dapat diklasifikasikan menurut struktur yang paling rentan terkena

sesuai beratnya trauma yaitu myelin, akson dan jaringan ikat

sekitarnya.13,14

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 26: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

8

Universitas Indonesia

2.2 Neuropati Perifer Terinduksi Kemoterapi (NPTK)

NPTK adalah gangguan saraf tepi pada penderita yang menerima

kemoterapi dengan menggunakan agen kemoterapi yang diketahui memiliki efek

neurotoksik atau dapat juga dikatakan bahwa NPTK merupakan efek samping

neurotoksik yang diakibatkan oleh terapi kemoterapi anti keganasan.3 6,15

Seperti diketahui, keganasan merupakan penyakit yang menjadi penyebab

kematian utama di Negara maju dan penyebab kematian kedua di Negara-negara

berkembang.5

Walaupun insidensi tampak lebih rendah pada negara berkembang

dibandingkan dengan negara maju, namun tingkat mortalitas tetaplah sama, hal ini

dikatakan dapat diturunkan dengan pencegahan faktor resiko, vaksinasi, diagnosis

dan tatalaksana pada stadium yang lebih dini.5 Dari beberapa jenis keganasan

yang memiliki tingkat mortalitas tinggi, Karsinoma Nasofaring (KNF)

merupakan salah satu jenis keganasan yang memiliki tingkat insidensi tinggi di

asia tenggara dengan Indonesia menjadi salah satu Negara dengan tingkat

insidensi KNF tertinggi bersama Malaysia dan Singapura.5 Hal ini juga

menggambarkan suatu paparan yang tinggi terhadap penderita oleh salah satu dari

cara tatalaksana penyakit ini yaitu kemoterapi. Kemoterapi pada keganasan masih

merupakan salah satu cara yang cukup efektif dalam menurunkan tingkat

mortalitas, namun di sisi lain, zat yang digunakan pada kemoterapi juga dapat

menimbulkan efek samping dan komplikasi yang tidak jarang dapat menghambat

pemberian kemoterapi itu sendiri dan bahkan dapat lebih menurunkan kualitas

hidup penderita.3, 6

2.2.1 Epidemiologi

Angka kejadian dari NPTK belum dapat diterapkan secara universal, hal

ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan dari cara penilaian dan pelaporan

dalam studi klinis dan praktek sehari-hari.3 Pada dasarnya, insidensi dari NPTK

dapat dibedakan menurut tipe dan dosis dari agen kemoterapi yang digunakan,

komorbiditas dan beberapa faktor resiko lain yang belum dapat di identifikasi.3 6, 8

Pada penggunaan agen platinum, terdapat tiga yang sering digunakan yaitu

cisplatin, carboplatin dan oxaliplatin. Insidensi NPTK pada pemakaian cisplatin

sangat tergantung pada intensitas dosis yang diberikan dimana terdapat kejadian

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 27: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

9

Universitas Indonesia

24% hingga 92% pada pemberian dosis total melebihi 300 mg/m2 dan pada long

survivor dapat terjadi sebesar 61%.7 Hal ini juga berlaku untuk agen yang lebih

baru dimana terdapat angka kejadian sebanyak 18% hingga 60% pada pemakaian

oxaliplatin yang sangat bergantung pada jumlah dosis yang diberikan.6 Pada

penggunaan Taxane (paclitaxel, docetaxel), pemberian dosis kumulatif yang

tinggi (> 1000 mg/m2 untuk paclitaxel dan > 370 mg/m2 untuk docetaxel)

dihubungkan dengan insidensi NPTK yang meningkat dan pada pemakaian

kombinasi dengan cisplatin atau carboplatin, angka kejadian dapat meningkat

hingga 70%.6 Pada penggunaan epothilones, angka kejadian NPTK berkisar antara

13% hingga 20%, dan insidensi neurotoksisitas secara keseluruhan dapat

mencapai di atas 70%.3 Kelompok agen vinca alkaloid seperti vincristine dapat

menyebabkan NPTK pada sekitar 30% penderita. Bortezomib juga dapat

menyebabkan NPTK pada 30% penderita dan pada penderita yang mendapatkan

thalidomide, NPTK dapat terjadi sebanyak 10% jika dosis kumulatif kurang dari

20 gr, namun angka tersebut akan meningkat sejalan dengan penambahan dosis.3

2.2.2 Patofisiologi

Mekanisme utama dari kemoterapi pada keganasan adalah dengan

mempengaruhi salah satu fase dari siklus replikasi sel ataupun dengan cara

mempengaruhi integritas dari struktur sel sehingga akan terjadinya kerusakan

ataupun kematian sel.16

Sebagian besar dari agen kemoterapi yang menyebabkan

NPTK merupakan agen non-spesifik siklus atau agen yang memiliki efek

sitotoksik terhadap sel tumor tanpa mempengaruhi siklus replikasi sel, namun

dengan cara mempengaruhi struktur di dalam sel sehingga akan terjadi kerusakan.

Efek sitotoksik dari agen-agen tersebut sangat bergantung terhadap dosis yang

diberikan dimana semakin besar besar dosis yang diberikan maka semakin besar

pula efek sitotoksiknya.16

Cara pemberian ini pada akhirnya berpengaruh terhadap

meningkatnya kejadian NPTK, dimana telah dijelaskan bahwa kejadian NPTK

berbanding lurus dengan besar dan intensitas dosis yang diberikan.3, 6, 8

Beberapa

agen kemoterapi yang sering menimbulkan NPTK adalah golongan platinum

(Cisplatin, Carboplatin, Oxaliplatin), Taxane (paclitaxel, Docetaxel), Vinca

Alkaloid (Vincristine), Bortezomib, Suramin dan Thalidomide.3, 6, 8, 9

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 28: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

10

Universitas Indonesia

Secara umum, agen kemoterapi dapat menimbulkan NPTK dengan jalan

mengganggu metabolisme pada badan sel neuron yang terletak di Dorsal Root

Ganglion (DRG). Mekanisme gangguan ini antara lain adalah: 17

- Peningkatan pembukaan pada kanal Na pada sel DRG sehingga

meningkatkan konsentrasi ion Na intraseluler yang akan meningkatkan

pembukaan dari kanal Ca

- Peningkatan Ca intraseluler juga dapat disebabkan oleh aktivasi dari

reseptor NMDA (N-methyl-D-aspartat) oleh karena peningkatan pelepasan

glutamate pre-sinaptik

- Peningkatan Ca intraseluler akan berperan sebagai pemicu lepasnya

penyimpanan Ca intraseluler di mitokondria

- Peningkatan Ca intraseluler juga mengaktivasi protein kinase C yang akan

menfosforilasi dan mengaktivasi dari TRPV (Transient Receptor Potential

Vanilloid), TRPV berpengaruh langsung terhadap perubahan

hiperrensponsif pada neuron sensorik

- Produksi dari nitrat oksida dan radikal bebas juga di cetuskan oleh

peningkatan Ca intraseluler dan hal ini akhirnya akan menimbulkan

sitotoksisitas pada akson terminal dan badan sel

- Terjadi pembukaan dari mPTP pada mitokondria yang akan melepaskan

sitokrom C dan akan memulai kaskade apoptosis dengan pengaktivasian

calpains/caspases.

- Sitokin inflamasi yang dilepaskan oleh sel glial akibat respon terhadap

agen kemoterapi seperti TNF-α, IL-1 dan IL-6 juga berpatisipasi dalam

kaskade apoptosis dengan berikatan dengan reseptor sitokin yang akan

mengaktivasi Protein Kinase C (PKC) dan MAP Kinase.

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 29: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

11

Universitas Indonesia

Gambar 2.1 Mekanisme umum NPTK 17

Selain menyebabkan neurotoksisitas pada DRG, beberapa studi terakhir

menyimpulkan bahwa NPTK juga disebabkan karena terdapatnya gangguan pada

mikrotubuli aksonal. Beberapa mekanisme diketahui sehubungan dengan

gangguan terhadap struktur mikrotubuli tersebut, yaitu dengan jalan inhibisi dari

pengumpulan (assembly) mikrotubuli (depolimerisasi) dan polimerisasi

mikrotubuli. Pada badan sel DRG, mikrotubuli di sintesa oleh poliribosom bebas

dan akan ditransport secara anterograde sepanjang akson. Pada serabut saraf,

mikrotubuli berfungsi sebagai transpor nutrisi ke sepanjang akson.3,8,18

mikrotubuli sendiri terdiri atas dimer dari subunit αβ tubulin, dimana masing-

masing subunit terikat pada satu molekul GTP yang akan berperan dalam proses

elongasi dan hidrolisa mikrotubuli itu sendiri.18

- Agen kemoterapi yang menghambat pembentukan mikrotubuli diduga

bekerja dengan jalan berikatan langsung dengan GTP sehingga pada

akhirnya akan menyebabkan penghambatan dari proses elongasi atau

penambahan subunit baru pada mikrotubuli.18

Agen kemoterapi yang

diduga menyebabkan NPTK dengan mekanisme tersebut adalah dari

golongan platinum terutama cisplatin.18

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 30: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

12

Universitas Indonesia

- Agen kemoterapi taxane (paclitaxel dan Docetaxel) dan Vinca Alkaloid

berikatan dengan subunit tubulin β dan akan meningkatkan interaksi

diantara subunit tubulin. Peningkatan interaksi ini akan menstabilisasi

mikrotubuli sehingga dinamika pemendekan dan pemanjangan yang

seharusnya terjadi akan dihambat. Hal ini pada akhirnya akan

mengakibatkan suatu aggregasi dari mikrotubuli.18

Golongan suramin masih merupakan agen kemoterapi eksperimental yang

banyak digunakan sebagai anti neoplastik pada sejumlah studi klinis. Mekanisme

neurotoksisitas suramin pada saraf perifer belum secara pasti diketahui, namun

diduga bahwa suramin dapat menjadi zat antagonis untuk reseptor purinergik P2X

dan P2Y. Pada saraf perifer, reseptor tersebut terdapat pada sel DRG (P2X) dan

pada sel Schwann (P2Y). Reseptor tersebut jika diaktivasi, dapat memulai suatu

influks ion Ca ke intraseluler yang akan berpengaruh terhadap konduksi sinyal.

Inhibisi terhadap reseptor tersebut dapat menyebabkan gangguan terhadap

konduksi dan pada akhirnya akan menyebabkan kerusakan sel.6, 19

Bortezomib bekerja dengan jalan menurunkan ekspresi atau produksi protein

yang digunakan untuk replikasi sel. Mekanisme neurotokisitas saraf perifer pada

penggunaan bortezomib belum dapat diketahui dengan pasti namun diduga terjadi

karena terjadinya peningkatan polimerisasi intraseluler dan aksonal.6

Beberapa mekanisme juga dikemukakan sehubungan dengan gejala klinis

NPTK yang merupakan predominan sensorik dan jarang mengenai motorik

maupun otonom.8

1. Sebagian besar agen kemoterapi yang dapat menyebabkan NPTK

diketahui tidak dapat menembus sawar darah otak, sehingga tidak

memungkinkan adanya keterlibatan sistem saraf pusat dalam patogenesis

NPTK

2. Badan sel dari Lower Motor Neuron (LMN) terletak di dalam bagian

anterior dari medulla spinalis yang sangat terlindungi oleh sawar darah

otak, sehingga hanya sedikit atau bagian perifer dari akson saraf motorik

saja yang dapat terpapar oleh agen kemoterapi

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 31: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

13

Universitas Indonesia

3. Badan sel dari saraf sensorik terletak di luar dari medulla spinalis yaitu di

DRG, sehingga semua struktur anatomis dari saraf sensorik dapat terpapar

oleh efek neurotoksik dari agen kemoterapi

4. Serabut saraf motorik merupakan serabut saraf dengan diameter besar dan

dengan myelin yang tebal (tipe A-α) sehingga diduga lebih memiliki

ketahanan terhadap efek neurotoksik dibandingkan dengan serabut saraf

sensorik yang lebih kecil dan dengan myelin yang lebih tipis atau tanpa

myelin sama sekali (tipeA-β -ɤ dan –δ dan tipe B dan C).8

2.2.3 Gambaran Klinis

Gambaran klinis pada NPTK dapat ditemukan secara berbeda tergantung

pada agen kemoterapi, dosis dan lama pemberian, namun terdapat beberapa

prinsip dalam mendiagnosis suatu NPTK.3,6,8

, yaitu:

- Gambaran distribusi yang tergantung dengan panjang akson (distribusi

stocking dan glove)

- Gambaran penyebaran yang simetris

- Onset dari NPTK yang sangat berhubungan dengan pemberian kemoterapi,

dalam hal ini dapat dibagi menjadi dua:

a. Onset progresif dengan remisi sementara ataupun terjadi perburukan

secara progresif (aksonopati)

b. Onset yang segera setelah beberapa saat pemberian kemoterapi

(neuronopati)

- Terdapatnya gejala dan tanda gangguan sensorik seperti parestesia,

disestesia, hipestesi, hiperestesia, hipoestesia dan nyeri.

- Gejala kelemahan motorik yang cenderung ringan sedang bila

dibandingkan dengan gejala sensorik yang terjadi dan dapat terdistribusi

bersama dengan gejala sensorik.

2.2.3.1 Golongan Platinum

Gambaran klinis pada penggunaan golongan platinum (cisplatin,

carboplatin dan oxaliplatin) seperti telah dijelaskan sebelumnya sangat

dipengaruhi oleh total dosis dan intensitas dosis yang diberikan, dalam hal ini

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 32: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

14

Universitas Indonesia

diketahui bahwa NPTK dapat muncul pada pemberian cisplatin dengan dosis

kumulatif melebihi 300 mg/m2, ataupun dosis sekali pemberian sekitar 100

mg/m2. Gangguan sensorik merupakan gejala klinis utama yang terjadi pada

NPTK karena pemberian platinum, dengan bentuk parestesia atau kesemutan

dan rasa baal dengan distribusi simetris kaus kaki dan sarung tangan, terutama

pada pemakaian oxaliplatin, neuropati sensorik dapat terjadi pada 85%-95%

penderita.8 Gejala ini dapat disertai dengan penurunan refleks tendon pada

anggota gerak yang terkena. Selain gejala sensorik, cisplatin juga dapat

menyebabkan kelemahan motorik, dan juga beberapa temuan neuropati

otonom seperti lhermitte’s sign, mielopati kolumna dorsalis dan nyeri rahang

bilateral.8 Gejala-gejala tersebut umumnya terjadi setelah beberapa kali

pemberian (dosis akumulatif) namun dapat juga terjadi secara cepat setelah

pemberian sekali dosis yang tinggi. Gejala masih dapat terjadi dan dapat

memburuk 6 bulan setelah dosis terakhir diberikan.3,6,8,20,21

Sebagian besar

dari gejala NPTK pada cisplatin akan menjadi reversibel walaupun diketahui

bahwa konsentrasi cisplatin di DRG berkurang dengan lambat sejalan dengan

waktu.21

Cisplatin dan carboplatin memiliki karakteristik gambaran klinis

yang serupa walau dikatakan bahwa Carboplatin memiliki toksisitas yang

lebih rendah dibandingkan dengan cisplatin. Oxaliplatin memiliki manifestasi

gejala yang sedikit berbeda dimana gejala sensorik yang terjadi dapat

diperparah dengan suhu yang rendah.6,20

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 33: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

15

Universitas Indonesia

Tabel 2.1 Beberapa Kumpulan Gejala NPTK sesuai Agen Kemoterapi 6

Jenis Zat Dosis

neurotoksik

Gejala Klinis

Sensorik Motorik Autonom

Vincristine

Taxane (Taxol,

Docetaxel)

Cisplatin

Carboplatin

Oxaliplatin

Lebih dari 4 mg

dosis kumulatif

>175-200 mg/m2

dosis kumulatif

>300 mg/m2

dosis kumulatif

>400 mg/m2

dosis kumulatif

Tidak ada

ambang dosis

untuk gejala

awal, >300

mg/m2 dosis

kumulatif onset

lambat

Selalu ada

Manifestasi awal

dari rasa kebas

dan kesemutan

pada kaki dan

tangan,

hilangnya refleks

tendon dan rasa

nyeri

Sering

Parestesia

simetris distal,

hipestesia,

hilangnya rasa

posisi, diestesia

yang nyeri, tanda

lhermitte, rasa

nyeri

Sering

Rasa kesemutan

pada tangan dan

kaki, hilangnya

refleks tendon,

gangguan dari

rasa posisi dan

sendi, ataksia,

tanda lhermitte

Kurang sering

Rasa kesemutan

pada tangan dan

kaki, hilangnya

refleks tendon,

gangguan dari

rasa posisi dan

sendi, ataksia,

tanda lhermitte

Selalu ada

Parestesia,

diestesia dan

nyeri yang

dicetuskan dan di

perberat oleh

suhu dingin,

gejala lanjut

sama dengan

Cisplatin

Jarang

Rasa kram dan

kelemahan pada

otot distal

Kurang sering

Kelemahan distal

dan/atau

proksimal

progresif,

mialgia dan

kasus jarang

miopati

Hampir tidak

pernah

Kelemahan otot

yang sangat

jarang

Tidak pernah

Kurang sering

Miotonia, rasa

keram, spasme

tetanik,

kelemahan otot

yang jarang

Sering

Ileus paralitik,

hipotensi

postural,

disfungsi

urogenital

Jarang

Ileus paralitik,

Hipotensi

postural, aritmia

Jarang

Disregulasi

ortostatik

Tidak diketahui

Tidak diketahui

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 34: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

16

Universitas Indonesia

2.2.4 Diagnosis Banding

Gejala neuropati pada NPTK juga dapat disebabkan oleh kelainan lain dan

hal ini dapat dibedakan mulai dari riwayat penyakit dan perbandingannya dengan

temuan dasar (baseline) dan juga onset dari gejala neurosensorik yang baru.3

Neuropati paraneoplastik, neuropati diabetikum dan neuropati metabolik lainnya

dapat menjadi diagnosis differensial untuk NPTK, namun pada keganasan dengan

sumber neoplasma yang jelas, neuropati sensorik paraneoplastik dapat menjadi

diagnosis diffrensial utama.22

2.2.4.1 Neuropati Sensorik Paraneoplastik

Neuropati yang disebabkan oleh paraneoplastik merupakan salah satu dari

komplikasi neurologis yang dapat terjadi pada keganasan. Neuropati ini

kemungkinan disebabkan oleh kelainan autoimun, dimana pada sel tumor terdapat

antigen onkoneural yang memiliki kesamaan antigenitas dengan beberapa molekul

yang di paparkan oleh sel saraf tepi yang normal, sehingga antibodi anti tumor

yang terbentuk dapat pula menyerang sel saraf tepi yang memiliki kemiripan

antigenitas dengan antigen onkoneural tersebut.22, 23

Neuropati paraneoplastik dapat terjadi pada sekitar 17% penderita yang

mengalami gejala neurologis disebabkan oleh keganasan.22,23

Small Cell Lung

Cancer (SCLC) merupakan keganasan yang paling banyak terkait dengan

kejadian neuropati paraneoplastik dengan angka kejadian sekitar 1,7% hingga

16% dimana neuropati sensorik merupakan jenis neuropati yang tersering pada

paraneoplastik.22, 23

Neuropati sensorik pada paraneoplastik dapat juga disebut dengan

Subacute Sensoric Neuropathy (SSN). Sebagian besar (71% hingga 88%) awitan

dari gejala SSN terjadi jauh sebelum diagnosis tumor ditegakkan (1 hingga 47

bulan). Gejala awal dari kelainan ini adalah rasa baal dan parestesia yang tersebar

secara acak atau asimetris dan sering melibatkan anggota gerak proksimal, wajah

dan batang tubuh. Diestesia dengan rasa terbakar dan rasa nyeri yang berat dan

tajam merupakan hal yang umum terjadi dan merupakan hal yang memberatkan

pada kelainan ini. Sebagian besar penderita juga mengalami keterlibatan

multifokal dari sistem limbik, serebellum, batang otak dan medulla spinalis.

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 35: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

17

Universitas Indonesia

Gejala tersebut terjadi secara cepat dan progresif (subakut).22,23

Pada pemeriksaan

dapat ditemukan ataksia sensorik yang berat, gangguan dari sensasi getar dan

propioseptif, pseudoathetosis, dan juga reflex tendon yang berkurang atau hilang

sama sekali.22, 23

Pada pemeriksaan neurofisiologi didapatkan penurunan amplitudo

sensorik atau menghilangnya aksi potensial sensorik, dengan kecepatan hantar

saraf (KHS) yang normal atau sedikit menurun. Pada sebagian penderita dapat

juga ditemukan penurunan dari KHS motorik walaupun tanpa adanya gejala

motorik.22, 23

Ditemukannya antibody (IgG) anti-Hu pada keganasan SCLC lebih

mengarahkan kepada diagnose SSN, karena sebanyak 90% penderita SSN yang

ditemukan antibodi anti Hu mengalami SCLS, dengan sisanya diketahui

mengalami neuroblastoma, non SCLC, karsinoma mammae, prostat atau

tymoma.22, 23

2.2.4.2 Neuropati Sensorik Diabetikum

Diabetes mellitus merupakan penyebab terbanyak daripada neuropati

perifer dengan prevalensi yang semakin meningkat sejalan dengan lamanya

perjalanan penyakit, yaitu 10% hingga 50%. Dari semua jenis neuropati pada

diabetes, sekitar 90% penderita mengalami neuropati sensorik diabetes dengan

bentuk polineuropati sensorimotor distal kronis.12

Gejala umum dari neuropati sensorik ini berawal dari jari pertama tungkai

bawah secara bilateral, dengan sensasi akan nyeri dan temperatur yang terkena

lebih dahulu. Hilangnya sensasi tersebut memiliki penyebaran dari distal ke

proksimal (sesuai dengan panjang akson) dan sebagian besar akan berakibat pada

meningkatnya kejadian ulkus diabetikum dan juga terjadinya gangguan

keseimbangan.12

Gejala sensoris lainnya juga dapat terjadi seperti parestesia,

hiperestesia, nyeri rasa terbakar, tersetrum maupun nyeri yang dalam.12

Penegakkan diabetes pada penderita yang mengalami gejala neuropati

seperti poliuri, polidipsi, polifagi dan juga beberapa pemeriksaan penunjang lain

(Glukosa darah puasa > 7 mmol atau 126 mg/dl dan Gula darah 2 jam Post

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 36: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

18

Universitas Indonesia

Prandial > 11 mmol atau 200 mg/dl) , dapat lebih menunjukkan neuropati yang

disebabkan oleh diabetes.24

Pada keganasan, Diabetes Mellitus diketahui dapat meningkatkan tingkat

mortalitas pada penderita yang menjalani kemoterapi. Hal tersebut dapat

disebabkan oleh berbagai macam faktor dimana salah satunya adalah bahwa

diabetes mellitus dapat meningkatkan toksisitas yang diakibatkan oleh agen

kemoterapi, salah satunya adalah toksisitas pada saraf tepi.25

2.2.4.3. Neuropati sensorik akibat toksisitas obat

Beberapa obat telah diketahui dapat menyebabkan toksisitas pada sistem saraf

perifer. Sebagian dari obat-obatan tersebut menimbulkan neuropati perifer dengan

gejala sensorik distal ataupun sensorimotor distal. Gejala – gejala tersebut

umumnya muncul pada pemakaian jangka panjang atau pada dosis yang tinggi.

Termasuk dalam golongan obat terseut adalah fenitoin (anti epilepsi), colcichine

(anti gout), isoniazid (anti tuberculosis), ethambutol (anti tuberculosis),

amiodaron (anti aritmia jantung), metronidazol (anti biotik) dan stavudin (anti

HIV).12,26

2.2.4.4. Neuropati sensorik akibat hipotiroidisme

Hipotiroidisme merupakan kelainan yang terjadi pada kelenjar tiroid

sehingga terjadi penurunan dari sekresi hormon tiroid. Keadaan ini dapat terjadi

secara kongenital ataupun autoimun. Beberapa gejala klinis umum yang dapat

terjadi pada hipotiroid adalah berdebar-debar dan keringat berlebih, atau keluhan

lain seperti berat badan turun, tremor dan massa pada leher. Diagnosis hipotiroid

dapat ditegakkan dengan memeriksa kadar dari hormon Thyroid Stimulating

Hormone (TSH) dan juga kadar hormon bebas T4.27

Neuropati perifer merupakan

salah satu gejala yang dapat timbul akibat hipotiroidisme. Gejala neuropati perifer

tersering pada hipotiroidisme adalah gejala polineuropati sensorik distal dimana

terdapat penurunan dari sensasi raba, vibrasi dan posisi pada ekstremitas distal.28

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 37: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

19

Universitas Indonesia

2.2.5 Metoda Diagnosis

Sebagian besar gejala pada NPTK merupakan gejala sensorik yang

subjektif atau hanya dapat dirasakan beratnya oleh penderita, sehingga penilaian

dari NPTK itu sendiri banyak bergantung kepada laporan penderita, walau ada

beberapa hal yang dapat dinilai secara obyektif.9 Beberapa metode telah

diciptakan untuk dapat membantu menegakkan diagnosa NPTK dan juga

sekaligus menilai beratnya gejala tersebut, namun belum terdapat satu metode

yang dapat dijadikan sebagai acuan standar.9 Meskipun begitu, metode-metode

tersebut tetap memiliki keunggulan dan kelemahannya masing-masing dan tetap

secara luas digunakan baik dalam studi klinis maupun praktek sehari-hari.9

2.2.5.1 Pemeriksaan Elektroneurofisiologi

Pemeriksaan elektroneurofisiologi merupakan baku emas (golden

standard) yang digunakan untuk mendeteksi adanya suatu neropati perifer.

Pemeriksaan ini menggunakan aliran listrik untuk mengetahui keutuhan dari

serabut saraf perifer dan abnormalitas yang ditemukan dapat berupa tipe aksonal,

demyelinisasi atau tipe campuran.3, 6

Pada neuropati perifer, terutama jika kerusakan yang dicurigai adalah

suatu demyelinisasi (Sindroma Guilain Barre), maka pemeriksaan ini sangatlah

penting karena berhubungan erat dengan keputusan diberikannya terapi.29

Pada NPTK, elektroneurofisiologi digunakan terutama untuk mengetahui

tipe dari kerusakan yang terjadi, namun dikatakan bahwa pemeriksaan ini tidak

dianjurkan untuk digunakan secara rutin untuk penilaian NPTK jika dibandingkan

dengan penilaian secara klinis. Beberapa penjelasan atas keterbatasan ini adalah

sebagai berikut:

- Hasil pemeriksaan elektroneurofisiologi mencerminkan keadaan dari

serabut saraf yang paling dapat bertahan, sehingga jika hanya sedikit dari

serabut yang terkena, maka hasil akan terlihat normal.29

- Pemeriksaan rutin dari elektroneurofisoliogi cenderung memiliki area

anatomis pemeriksaan yang cenderung lebih proksimal dibandingkan

distribusi stocking and gloves pada NPTK.29

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 38: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

20

Universitas Indonesia

- Pemeriksaan elektroneurofisiologi yang standar tidak dapat menilai

neuropati pada serabut yang kecil.29

- Pemeriksaan elektorneurofisiologi sulit untuk menilai kelainan yang

terjadi pada DRG, dimana DRG berperan penting pada patogenesis

NPTK.29

Walau dengan segala keterbatasan tersebut, elektroneurofisiologi masih sangat

penting untuk dilakukan terutama untuk gejala polineuropati dengan etiologi yang

belum jelas, untuk menentukan diagnosis pada neuropati dengan gejala murni

neuropati sensorik dan khusus pada NPTK, elektroneurofisiologi dapat digunakan

sebagai penilaian kuantitatif dalam mengkonfirmasi beratnya gejala NPTK yang

telah dinilai secara klinis.3, 6, 29

Beberapa komponen yang diukur pada pemeriksaan elektroneurografi (ENG)

dalam menentukan suatu neuropati perifer adalah Latensi distal, Amplitudo

Gelombang Motorik (Compound Motoric Action Potential (CMAP)) maupun

sensorik (Sensori Nerve Action Potential (SNAP)), F-Wave dan Kecepatan Hantar

Saraf (KHS) baik motorik maupun sensorik.30

Dari pengukuran tersebut dapat

diketahui beberapa jenis neuropati yaitu yang disebakan karena degenerasi

aksonal atau karena demielinisasi.30

Tabel 2.2 Karakteristik elektroneurografi neuropati perifer 30

Degenerasi Aksonal Segmental Demielinisasi

Konduksi Hantaran Saraf Sensorik

Amplitudo SNAP Menurun Normal

Latensi distal Normal Memanjang

Kecepatan Hantar Saraf Normal Melambat

Konduksi Hantaran Saraf Motorik

Amplitudo CMAP Menurun Normal (kecuali Blok Konduksi)

Latensi distal Normal Memanjang

Kecepatan Hantar Saraf Normal Melambat

Blok konduksi Menghilang Ada

Dispersi temporal Menghilang Ada

F wave Normal Memanjang atau menghilang

H refleks Normal Memanjang atau menghilang

Dasar diagnosis polineuropati perifer adalah adanya defisit neurologis

sistem saraf perifer motorik maupun sensorik yang relatif simetris pada minimal

tiga dari empat ekstremitas, sehingga diagnosis polineuropati perifer secara

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 39: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

21

Universitas Indonesia

elektrodiagnostik dapat ditegakkan bila terdapat gambaran abnormal pada lebih

dari 2 segmen saraf pada minimal 3 dari 4 ekstremitas yang diperiksa.30

Tabel 2.3 Nilai Normal KHS Motorik dan Sensorik 30

Saraf 10–35 tahun 36–50 th 51–80 th

Sensorik Motorik Sensorik Motorik Sensorik Motorik

Medianus

Digit-wrist 67.5±4.7 65.8±5.7 59.4±4.9

Wrist-elbow 67.7±4.4 59.3±3.5 65.8±3.1 55.9±2.6 62.8±5.4 54.5±4.0

Elbow-axilla 70.4±4.8 65.9±5.0 70.4±3.4 65.1±4.2 66.2±3.6 63.6±4.4

Ulnaris

Digit-wrist 64.7±3.9 66.5±3.4 57.5±6.6

Wrist-elbow 64.8±3.8 58.9±2.2 67.1±4.7 57.8±2.1 56.7±3.7 53.3±3.2

Elbow-axilla 69.1±4.3 64.4±2.6 70.6±2.4 63.3±2.0 64.4±3.0 59.9±0.7

Peroneus

Ankle-knee 53.0±5.9 49.5±5.6 50.4±1.0 43.6±5.1 46.1±4.0 43.9±4.3

Tibialis Posterior

Ankle-knee 56.9±4.4 45.5±3.8 49.0±3.8 42.9±4.9 48.9±2.6 41.8±5.1 * Latensi dalam milisekon, dalam rerata + 1SD

2.2.5.2 Penilaian Neuropatologis

Penilaian neuropatologis pada NPTK dapat dilakukan dengan melakukan

biopsi pada nervus suralis. Tindakan ini diketahui dapat memberikan informasi

yang berguna mengenai perubahan patologis yang terjadi pada NPTK, namun

sampai saat ini biopsi nervus suralis belum direkomendasikan sebagai

pemeriksaan rutin. Pemeriksaan neuropatologis lainnya adalah pemeriksaan biopsi

kulit yang telah dilakukan pada studi hewan dengan neuropati toksik, dimana pada

studi tersebut ditemukan berkurangnya Intra Epidermal Nerve Fiber (IENF) pada

hewan yang mengalami neuropati dibandingkan dengan kontrol dan hal ini

sebanding dengan pemeriksaan KHS yang dilakukan.31

Hasil dari studi tersebut

menunjukkan bahwa biopsi kulit merupakan pemeriksaan yang dapat memberikan

gambaran yang lebih mengenai NPTK , selain biopsi kulit juga merupakan

pemeriksaan dengan minimally invasive. Dengan segala kelebihannya, biopsi kulit

masih merupakan prosedur yang mahal dan sangat memakan waktu sehingga

penggunaan rutin belum dapat dianjurkan.3, 6

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 40: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

22

Universitas Indonesia

2.2.5.3 Penilaian dengan skala

Dengan segala keterbatasan akan pemeriksaan objektif untuk diagnosis

dari NPTK, maka telah dibuat beberapa perangkat diagnosis yang berdasarkan

dari gejala klinis yang ada. Beberapa dari perangkat tersebut dibuat dalam bentuk

scoring atau skala. Skala-skala tersebut telah banyak digunakan oleh klinisi untuk

mendeteksi dan menilai progresifitas gejala dari NPTK dan tiap skala memiliki

kelebihan dan kelemahannya masing-masing.9

2.2.5.3.1 Common Toxicity Criteria (CTC) Scale

Skala CTC pertama kali dikembangkan oleh World Health Organization

(WHO) untuk mencatat data mengenai toksisitas yang dapat terjadi pada saat

terapi keganasan. Pencatatan data tersebut juga mencakup mengenai toksisitas

yang dapat terjadi pada sistem saraf perifer seperti terdapatnya gejala parestesia,

hilangnya refleks tendon dalam dan gejala kelemahan motorik. Beberapa

kelompok lain seperti Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG) dan

National Cancer Institute (NCI) juga mengembangkan CTC tersebut yang

didasarkan pada CTC dari WHO namun dengan pengembangan masing-masing

seperti gejala autonom dan kriteria disabling sensory loss pada ECOG, dan

penambahan penilaian neuropati pada saraf kranial pada NCI . Skala Ajani

dikembangkan oleh grup studi neuroonkologi di Houston Cancer Centre dengan

mengembangkan CTC dari WHO sehingga juga memiliki suatu penialaian

morbiditas spesifik yang dapat dijadikan acuan untuk terapi selanjutnya,

sedangkan untuk penialaian saraf perifer skala Ajani mengembangkan penilaian

gejala sensorik dan motorik, dan juga penilaian abnormalitas dari fungsi penderita

untuk ambulasi.3, 9

Beberapa studi menggunakan skala CTC pada pasien yang menjalani

kemoterapi dan diduga mengalami suatu gejala neuropati (dengan mengeksklusi

pasien tanpa gejala neuropati dari pemeriksaan fisik), studi tersebut membuktikan

bahwa terdapat perbedaan penilaian yang signifikan diantara para pemeriksa yang

menggunakan beberapa skala CTC yang berbeda, hal ini kemungkinan

dikarenakan beberapa parameter dari skala CTC tersebut yang cukup sulit untuk

diintepretasi secara obyektif maupun seragam seperti “abnormalitas fungsional

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 41: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

23

Universitas Indonesia

berat” pada skala Ajani, “keadaan cacat pada hilangnya fungsi sensorik” pada

skala ECOG, “parestesia yang tidak dapat ditoleransi” pada WHO dan “ hilangnya

fungsi sensorik objektif berat atau parestesia yang mengganggu fungsi” pada

NCI.9, 32

Dapat disimpulkan bahwa skala CTC adalah skala yang dapat digunakan

dengan cepat dan mudah, namun karena banyaknya variabilitas interpretasi

diantara parameter yang digunakan, maka skala tersebut lebih tepat digunakan

untuk menskrining pasien kemoterapi yang kemungkinan membutuhkan

pemeriksaan neurologis lebih lanjut dibandingkan untuk benar-benar mendeteksi

dan menilai beratnya gejala pada NPTK.9, 32

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 42: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

24

Universitas Indonesia

Tabel 2.4 Skala Common Toxicity Criteria 32

Skala Grade 0 Grade 1 Grade 2 Grade 3 Grade 4

WHO

ECOG

NCI-CTC

Neurosensorik

Neuromotorik

Ajani

Sensorik

Motorik

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

atau tanpa

perubahan

Tidak ada

atau tanpa

perubahan

Tidak ada

Parestesia

dan/atau

berkurangnya

refleks tendon

Refleks

tendon yang

berkurang,

parestesia

ringan,

konstipasi

ringan

Parestesia

ringan dan

hilangnya

refleks tendon

Kelemahan

subjektif,

tidak ada

temuan

obyektif

Parestesia,

penurunan

refleks tendon

dalam

Kelemahan

otot ringan

Paresetsia berat

dan/atau

kelemahan

ringan

Refleks tendon

menghilang,

parestesia

berat,

konstipasi

berat,

kelemahan

ringan

Gangguan

sensorik

obyektif ringan

atau sedang,

parestesia

sedang

Gangguan

motorik

obyektif ringan

namun tanpa

gangguan

fungsional

signifikan

Abnormalitas

obyektif

ringan,

menghilangnya

refleks tendon,

abnormalitas

fungsional

ringan hingga

sedang

Kelemahan

sedang

persisten

namun masih

dapat ambulasi

Parestesia

yang tidak

dapat

ditoleransi

dan/atau

gangguan

motorik

signifikan

Gangguan

sensorik yang

membuat

kecacatan,

nyeri

neuropatik

berat,

obstipasi,

kelemahan

berat,

disfungsi

kandung

kemih

Gangguan

sensorik

obyektif berat

atau

parestesia

yang

menggannggu

fungsional

Parestesia,

abnormalitas

obyektif

sedang,

gangguan

fungsional

berat

Parestesia

berat,

abnormalitas

obyektif

sedang,

abnormalitas

fungsional

berat

Tidak dapat

ambulasi

Paralisis

Disfungsi

respiratorik

karena

kelemahan,

obstipasi yang

membutuhkan

operasi,

paralisis yang

menyebabkan

harus di

tempat

tidur/kursi

roda

-

Paralisis

Hilangnya

fungsi

sensorik

Paralisis

komplit

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 43: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

25

Universitas Indonesia

2.2.5.3.2 Total Neuropathy Score (TNS)

Beberapa skala pengukuran neuropati telah dikembangkan untuk menilai

gejala neuropati secara efektif dan akurat. Salah satu skala yang telah banyak

dipelajari dalam penilaian NPTK adalah total neuropathy score (TNS). Skala ini

terdiri dari penialaian gejala dan tanda sensorik maupun motorik, pengukuran

kecepatan hantar saraf menggunakan alat elektroneurofisiologi dan pengukuran

ambang vibrasi dengan menggunakan alat Vibrothesiometer.33

Parameter-

parameter tersebut dapat diperiksa oleh seorang ahli saraf maupun perawat dengan

rentang total skor 0 hingga 44. Beberapa studi telah mengembangkan versi yang

lebih sederhana dari TNS yaitu TNSr (reduced Total Neuropathy Score) dengan

rentang skor 0 hingga 36 (tanpa mengukur ambang vibrasi) dan TNSc (clinical

Total Neuropathy Score) dengan rentang 0 hingga 28 (dengan hanya menilai

gejala dan tanda sensorik maupun motorik).3,9,33 34

Studi untuk menguji efektivitas dan keakuratan TNS telah banyak

dilakukan, beberapa diantaranya adalah studi yang dilakukan dengan

membandingkan TNS dengan skala CTC dari NCI, ECOG dan Ajani. Studi ini

membuktikan bahwa penilaian progresifitas gejala NPTK dengan menggunakan

TNS memiliki hubungan yang signifikan dengan hasil penilaian yang dilakukan

dengan menggunakan CTC. Skala TNSr yang dikembangkan pada studi ini

diketahui juga memiliki hubungan yang signifikan dengan hasil dari TNS dan

dianggap lebih sederhana untuk digunakan.9,33

Pada studi lainnya, skala TNS dan

TNSc digunakan dan dibandingkan dengan skala CTC NCI 2.0 untuk menilai

pasien dengan NPTK pada saat baseline dan selama kemoterapi. Pada studi ini

disimpulkan bahwa skala TNS dan TNSc dapat lebih sensitif dan akurat dalam

mendeteksi dan menilai perubahan yang terjadi pada tingkat beratnya NPTK yang

terjadi, dimana TNSc dianggap lebih sederhana untuk digunakan namun dengan

tingkat akurasi yang sama.9,35

Pada semua studi yang pernah dilakukan, subjek

yang diperiksa merupakan pasien yang menjalani kemoterapi dengan

mengeksklusi semua kemungkinan penyebab neuropati yang lain dengan jalan

wawancara dan pemeriksaan laboratorium.33, 34, 35

Kelebihan dari TNS dan semua versinya adalah bahwa skala ini memiliki

parameter penilaian yang cukup detil secara klinis dalam menilai dan mendeteksi

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 44: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

26

Universitas Indonesia

neuropati perifer (membedakan antara tipe gangguan sensorik yang berbeda,

memberikan lokalisasi pada gejala dan tanda yang dirasakan, memungkinkan

untuk melakukan pendekatan multimodal termasuk dengan menanyakan gejala

penderita, menyediakan pemeriksaan yang obyektif bagi pemeriksa, dan juga

tambahan evaluasi dengan pemeriksaan penunjang).9

Kekurangan dari skala ini

kemungkinan adalah bahwa walau TNS dan skala turunannya telah dibandingkan

dengan beberapa skala neuropati lain dan juga skala CTC dan terbukti merupakan

skala yang lebih akurat, namun skala tersebut lebih banyak digunakan untuk

menilai beratnya gejala dan mendeteksi perubahan yang terjadi dibandingkan

dengan mendeteksi ada atau tidaknya neuropati. Selain itu, parameter klinis yang

digunakan dalam TNS masih dianggap terlalu rumit dan cukup memakan waktu,

penggunaan pemeriksaan penunjang pada skala ini juga membatasi penggunaan

skala ini pada praktek sehari-hari.9

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 45: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

27

Universitas Indonesia

Tabel 2.5 Total Neuropathy Score 9

Parameter Skor

0 1 2 3 4 Gejala

Sensorik

Gejala

motorik

Gejala

Autonom

Sensibilitas

Pin

Sensibilitas

vibrasi

Kekuatan

Vibrasi

(QST)

Amplitudo

Suralis

Amplitudo

Peroneal

Tidak ada

Tidak ada

0

Normal

Normal

Normal

Normal

hingga

125% dari

BAN

Normal/

<5% dari

BBN

Normal/

<5% dari

BBN

terbatas pada

jari atau ibu jari

kaki

kesulitan ringan

1

Berkurang di

jari atau ibu jari

kaki

Berkurang di

jari atau ibu jari

kaki

Kelemahan

ringan

126%-150%

BAN

76%-95% BBN

76%-95% BBN

Hingga

setinggi tumit

atau

pergelangan

tangan

Kesulitan

sedang

2

Berkurang

hingga tumit

atau

pergelangan

tangan

Berkurang

hingga tumit

atau

pergelangan

tangan

Kelemahan

sedang

151%-200%

BAN

51%-75%

BBN

51%-75%

BBN

Hingga

setinggi lutut

atau sikut

Membutuhkan

bantuan

3

Berkurang

hingga lutut

atau sikut

Berkurang

hingga lutut

atau sikut

Kelemahan

berat

201%-300%

BAN

26%-50%

BBN

26%-50%

BBN

Diatas lutut

atau lengan

atau

menganggu

secara

fungsional

Paralisis

4 atau 5

Berkurang

hingga diatas

lutut atau

sikut

Berkurang

hingga diatas

lutut atau

sikut

Paralisis

>300% BAN

0-25% BBN

0-25% BBN

QST : Quantitative Sensory Testing; BAN: Batas Atas Normal; BBN: Batas Bawah

Normal

2.2.5.3.3 Toronto Clinical Scoring System (TCSS)

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, telah banyak metode yang

dikembangkan untuk mendeteksi dan menilai beratnya gejala suatu neuropati

perifer khususnya pada NPTK dimana berbagai metode tersebut memiliki

keuntungan dan kerugian masing-masing, namun pada sebagian besar

kegunaannya masih terbatas pada penyaringan untuk studi klinis dan juga masih

memakan waktu yang lama.3,6 8, 9

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 46: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

28

Universitas Indonesia

Toronto Clinical Scoring System (TCSS) pertama kali digunakan pada

sebuah studi untuk menemukan tes penyaring yang sederhana pada neuropati

sensorik diabetikum. Pada studi tersebut, TCSS digunakan sebagai cara sederhana

untuk menstratifikasi subjek penelitian guna memastikan populasi studi yang

beragam dengan spektrum neuropati sensorik diabetikum yang luas dapat

diikutsertakan pada studi tersebut dengan jumlah minimum tiap grup sekitar 50

orang.36

TCSS dibuat berdasarkan tehnik anamnesa dan pemeriksaan fisik

neurologis klasik dan dirancang untuk menjadi metode yang sederhana dan

relevan kepada para klinisi.36

Hampir seluruh variabel yang terdapat pada TCSS

dibuat secara dikotomus terkecuali untuk penilaian refleks tendon dan semua

elemen tersebut berasal dari pendapat para ahli yang berdasarkan consensus ahli

neurologi dan diabetologi.36

Pada studi yang dilakukan oleh Bril dan Perkin, TCSS digunakan untuk

mendeteksi dan menilai beratnya gejala pada neuropati sensorik dan

membandingkannya dengan hasil pemeriksaan neuroelektrofisiologi dan hasil

pemeriksaan biopsy nervus suralis.37

Subjek pada studi tersebut adalah penderita

dengan Diabetes Mellitus tipe 1 atau 2, memiliki HbA1C ≥ 5,9 %, dan memenuhi

kriteria untuk neuropati perifer yang ditentukan dengan pemenuhan atas 2 dari 4

kategori (Gejala, Tanda, pemeriksaan elektroneurofisiologi dan pemeriksaan

kuantitatif ambang vibrasi). Pada semua subjek dilakukan pemeriksaan TCSS

yang terdiri atas skor gejala (ada atau tidaknya gejala nyeri, rasa kebas,

kesemutan, kelemahan pada kaki, rasa tidak seimbang dan gejala pada anggota

gerak atas), skor refleks (refleks patella dan achiles yang dinialai dengan ada,

berkurang ataupun tidak ada) dan skor pemeriksaan sensorik (rasa tusuk, suhu,

raba ringan, vibrasi dan posisi). Rentang nilai dari TCSS adalah dari 0 hingga 19

dengan pembagian 0-5 tidak ada neuropati, 6-8 neuropati ringan, 9-11 neuropati

sedang dan 12-19 neuropati berat.37

Untuk membuktikan penggunaan ulang

(reproducibility) dari TCSS, maka pemeriksaan dilakukan pada 10 subjek pada

hari yang sama dengan 3 pemeriksa yang berbeda, dan setiap subjek melakukan

pemeriksaan yang sama selama 3 hari yang berbeda dengan pemeriksa yang sama.

Dari hasil tersebut didapatkan variabilitas dari intra-observer (1 subjek diperiksa

pada hari berbeda dengan pemeriksa yang sama) adalah 7,3% dan variabilitas

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 47: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

29

Universitas Indonesia

inter-observer (1 subjek diperiksa pada hari yang sama dengan pemeriksa yang

berbeda) 6,3%. Pemeriksaan elektroneurofisologi dan pemeriksaan biopsi nervus

suralis juga dilakukan pada semua subjek studi.37

Tabel 2.6 Toronto Clinical Scoring System37

SKOR KETERANGAN

Gejala

1. Kaki

2. Ataksia

3. Lengan

Refleks

Kanan

Kiri

Sensorik

a. Nyeri

b. Rasa baal

c. Kesemutan

d. Kelemahan

a. Patella

b. Achilles

a. Patella

b. Achilles

a. Nyeri tusuk

b. Suhu

c. Raba

d. Vibrasi

e. Posisi

0 1

0 1

0 1

0 1

0 1

0 1

0 1 2

0 1 2

0 1 2

0 1 2

0 1

0 1

0 1

0 1

0 1

0 : tidak ada keluhan

1 : ada keluhan

0 : normal

1 :Menurun

2 : Negatif

0: Normal

1: Abnormal

Penentuan ada tidaknya dan beratnya neuropati perifer yaitu: 0-5 tidak ada neuropati; >5 :

Neuropati : 6-8: neuropati ringan; 9-11: Neuropati Sedang: 12-19: neuropati Berat

Hasil dari studi tersebut adalah bahwa pemeriksaan TCSS memiliki

korelasi yang negativ dengan hasil biopsi nervus suralis (R2 = 0,256, P < 0,0001),

dan hasil pemeriksaan biopsy dan TCSS berkorelasi erat dengan hasil

pemeriksaan elektroneurofisiologi dalam hal nilai rerata amplitudo dan kecepatan

hantar saraf.37

Hal ini menyatakan bahwa TCSS dapat menjadi instrumen atau

metode yang valid dalam mendeteksi dan menilai beratnya gejala pada neuropati

sensorik diabetikum sebagaimana yang telah diperiksakan dengan menggunakan

biopsi maupun elektornneurofisiologi.37

TCSS juga pernah digunakan pada studi lainnya yang juga menggunakan

metode ini untuk mendapatkan nilai diagnostik pada penderita neuropati

diabetikum. Pada studi tersebut, semua subjek dinilai dengan menggunakan TCSS

dan hasil tersebut dibandingkan hasil pemeriksaan elektroneurofisiologi pada

subjek yang sama. Didapatkan hasil nilai diagnostik (sensitivitas dan spesifisitas)

terutama untuk skor 4, skor 5 dan skor 6, dimana nilai masing-masing adalah

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 48: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

30

Universitas Indonesia

untuk skor 4 memiliki sensifisitas 96% dan spesifisitas 58,8%, skor 5 dengan

sensifisitas 92% dan spesifisitas 70,6% dan skor 6 dengan sensifisitas 86,6% dan

spesifisitas 88,0%. Kesimpulan pada studi tersebut adalah bahwa TCSS memiliki

sensifisitas dan spesifisitas yang cukup tinggi untuk penilaian pada neuropati

diabetikum dimana skor 4 dikatakan paling baik untuk skrining dan skor 6 paling

baik untuk diagnostik.38

Skala ini memang belum pernah digunakan untuk mendeteksi neuropati

perifer pada kemoterapi, namun skala ini dapat mendeteksi dengan baik gangguan

yang terjadi pada neuropati pada DM yang juga memiliki gambaran klinis sama

dengan NPTK yaitu polineuropati distal simetris.3,6,8

Selain dapat mendeteksi

neuropati perifer dengan nilai diagnostik yang cukup tinggi, skala TCSS dapat

juga dipakai untuk menilai beratnya gejala dan menilai perubahan yang

terjadi.37,38

Parameter yang digunakan pada TCSS dibuat secara dikotomus

sehingga diharapkan dapat menjadi skala alternativ yang lebih sederhana dan

tidak terlalu menghabiskan banyak waktu jika dibandingkan dengan skala yang

lebih sering digunakan seperti TNS.

2.3. Uji Diagnostik

Uji diagnostik merupakan teknik untuk menilai keakuratan modalitas

diagnostik baru dibandingkan dengan modalitas diagnostik standar, yang disebut

sebagai baku emas. Berdasarkan kegunaanya uji diagnostik dibagi atas yang

berfungsi sebagai skrining, untuk memastikan atau menyingkirkan diagnosis,

untuk memantau perjalanan penyakit, dan menentukan prognosis.39

Uji diagnostik yang ideal jarang sekali ditemukan, yaitu uji yang

memberikan hasil positif pada semua subjek yang sakit dan memberikan hasil

negative pada semua subjek yang tidak sakit. Hampir pada semua jenis penyakit

atau keadaan abnormal dilakukan penelitian untuk memperoleh uji diagnostik

baru. Pertanyaanya adalah apakah penelitian tersebut telah dilaksanakan dengan

baik, hasilnya penting, dan dapat diterapkan dalam tata laksana pasien. Dalam

bahasa evidence-based medicine pertanyaan yang harus dijawab apakah penelitian

uji diagnostik tersebut sahih (valid), hasilnya penting, dan dapat diterapkan dalam

praktek.39

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 49: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

31

Universitas Indonesia

2.3.1. Langkah-langkah Uji Diagnostik

a. Menentukan mengapa diperlukan uji diagnostik baru

Suatu uji diagnostik baru diharapkan memberikan manfaat yang lebih

dibandingkan uji yang sudah ada. Namun tidak jarang penelitian dilakukan untuk

memperoleh uji diagnostik yang nilainya tidak lebih dari uji diagnostik yang

sudah ada dengan catatan :

- nilai diagnostik tidak jauh berbeda

- lebih nyaman bagi pasien (misalnya tidak invasif)

- lebih mudah dan lebih sederhana

- lebih murah atau dapat mendiagnosis pada fase dini.

b. Menetapkan tujuan utama uji diagnostik

Tentukan apakah uji diagnostik yang baru akan digunakan untuk keperluan

skrining, diagnostik, atau untuk menyingkirkan suatu penyakit. Uji diagnostik

untuk skrining memerlukan sensitivitas yang tinggi; bila uji diagnostik untuk

skrining memberikan hasil positif, maka perlu dikonfirmasi dengan pemeriksaan

lain. Uji diagnostik untuk konfirmasi diagnosis juga memerlukan nilai sensitivitas

yang tinggi dengan spesifisitasb yang cukup, sedangkan untuk menyingkirkan

penyakit, diperlukan uji dengan spesifisitas yang tinggi.

c. Menetapkan subjek penelitian

Subjek yang direkrut untuk keperluan penelitian uji diagnostik sangat

ditentukan oleh tujuan uji diagnostik tesrbut. Peserta dapat direkrut dari relawan

(skrining), pasien yang berobat untuk penyakit lain (case finding), atu pasien yang

datang dengan keluhan tertentu (diagnosis). Jelaskan tempat uji diagnostic

dilakukan, apakah dilakukan di masyarakat, puskesma, atau rumah sakit rujukan.

Subjek harus terdiri dari orang sehat, mereka yang sakit ringan, dan sakit berat

d. Menetapkan baku emas

Baku emas merupakan suatu hal yang mutlak dalam setiap penelitian uji

diagnostif. Telah disebutkan bahwa baku emas merupakan suatu uji diagnostik

terbaik yang tersedia. Kadang suatu alat diagnosis secare teoritis ideal dipakai

sebagai baku emas, namun kenyataanya tidak baik dipakai karena memberikan

hasil yang salah. Dalam prektek sehari-hari hanya sedikit baku emas yang ideal,

sehingga kita harus memakai uji diagnostik terbaik yang ada sebagai baku emas.

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 50: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

32

Universitas Indonesia

Kata terbaik disini berarti uji diagnostik yang mempunyai sensitivitas dan

spesifisitas tertinggi. Baku emas dapat berupa uji diagnostik lain. Dalam kaitan

dengan baku emas, bila ingin menguji suatu uji diagnostik baru diperlukan

beberapa syarat umum, yaitu :

1. Baku emas yang dipakai sebagai pembanding tidak boleh mengandung

unsure atau komponen yang diuji.

2. Baku emas tidak boleh mempunyai sensitivitas dan atau spesifisitas yang

lebih rendah dari pada uji diagnostik yang akan diteliti, atau paling tidak

sama dengan uji diagnostik yang akan diteliti 39

b. Melaksanakan pengukuran

Pengukuran terhadap variabel prediktor (alat diagnostik yang diuji)

maupun variabel efek (baku emas) harus dilakukan dengan cara standar, dan harus

diusahakan pengukuran dilakukan secara tersamar (masked, blinded), yakni

pemeriksa variable perdiktor (uji) tidak boleh mengetahui hasil pemeriksaan

variable efek (baku emas), dan sebaliknya. Karena itu sebaiknya ada 2 peneliti

atau lebih, satu untuk menentukan hasil positif atau negatif. Dapat saja peneliti

hanya satu orang, tetapi harus didesain sedemikian sehungga ia tidak mengetahui

hasil alat diagnostik yang diuji pada saat ia melakukan pemeriksaan dengan baku

emas, dan sebaliknya.

c. Melakukan Analisis

Hasil yang dipeoleh dari suatu uji diagnostik adalah Sensitivitas,

Spesivisitas, nilai prediksi positif dan negative, serta rasio kemungkinan positif

dan negative.39

Sensitivitas dalam uji diagnostik adalah kemampuan suatu uji untuk

menentukan kelainan bila kelainan tersebut ada (positif benar), sedangkan

Spesivisitas adalah kemampuan uji untuk menyingkirkan suatu kelainan bila

kelaianan tersebut tidak ada (negative benar). PPV (positf prediktif value) atau

nilai prediksi positif seberapa besar kemungkinan suatu hasil positif benar-benar

positif, NPV (negative predictive value) atau nilai prediksi negative adalah

seberapa besar kemungkinan suatu hasil negatif adalah benar-benar negatif. 39

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 51: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

33

Universitas Indonesia

Tabel 2.7 Tabel Uji diagnostik 2x239

Baku Emas

Uji

Positif Negatif Jumlah

Positif A B a + b

Negatif C D c + d

Jumlah a + c b + d a + b + c + d

Sensitivitas = a : (a+c); Spesifisitas= d : (b+d); Nilai Prediktif Positif = a : (a+b)Nilai ;

Prediktif negatif= d : (c+d)

2.3.2. Kurva Receiver Operating Characteristic (ROC)

Receiver Operator Curve (ROC) merupakan suatu cara menetukan titik

potong dalam uji diagnostik berupa grafik yang menggambarkan tawar-menawar

antara sensitivitas dan spesifisitas. Sensitivitas digambarkan pada ordinat Y

sedangkan (1 – Spesifitas) digambarkan pada absis X. Makin tinggi nilai

sensitivitas akan makin rendah nilai spesifisitas, dan sebaliknya.39

Dari prosedur

ROC, akan didapatkan nilai Area Under the Curve (AUC). Nilai AUC secara

teoritis berada antara 50% sampai 100%. Nilai 50% merupakan nilai AUC

terburuk sementara 100% merupakan nilai AUC terbaik. Bila suatu pemmeriksaan

diagnostik mempunyai nilai AUC sebesar 50% artinya bila pemeriksaan tersebut

dilakukan terhadap 100 orang pasien maka pemeriksaan tersebut akan

memberikan kesimpulan yang benar dalam menentukan ada atau tidaknya

penyakit pada 50 orang pasien. Selain itu juga didapatkan nilai interval

kepercayaan.

Selanjutnya perlu ditentukan titik potong (cut-off point), yaitu batas antara

normal dan abnormal, atau batas hasil positif dan hasil uji negatif. Bila

pengukuran variable prediktor (hasil uji) maupun efek (hasil baku emas)

dilakukan dalam skala dikotom yaitu positif dan negatif, maka tidak diperlukan

titik potong. Bila skala hasil pemeriksaan berbentuk ordinal, misalnya +, ++, +++,

maka dapat ditentukan titik potongnya, misalnya sampai ++ dianggap normal, dan

+++ adalah abnormal. Demikian pula bila hasil pemeriksaan bersakala numerik,

harus ditetapkan terlebih dahulu titik potongnya.39

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 52: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

34

Universitas Indonesia

Terdapat dua cara untuk menentukan titik potong. Pertama, titik potong

ditentukan secara klinis. Kedua titik potong ditentukan secara statistik. Penentuan

titik potong secara klinis merupakan penentuan titik potong yang ditetapkan oleh

peneliti sesuai dengan harapan peneliti dan kepentingan klinis. Apabila skor

pemeriksaan digunakan untuk tujuan skrining, titik potong yang dipilih adalah

yang memiliki nilai sensitivitas yang tinggi. tetapi, bila skor pemeriksaan

digunakan untuk tahap akhir pemeriksaan akan ditentukan titik potong dengan

spesifisitas yang tinggi.

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 53: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

35

Universitas Indonesia

2.4 Kerangka Teori 8, 17, 18

Kemoterapi (Cisplatin)

Gangguan

struktur

mikrotubulus

Pembentukan

Radikal Bebas

Apoptosis

Toksisitas sel

DRG Gangguan

Transport

aksonal

Gangguan

akson

Sitokin

inflamasi dari

sel Glial

Gejala Sensorik

(parestesia,

hipoestesia, nyeri)

Penurunan refleks

tendon

Penurunan

amplitudo CMAP

dan SNAP

Perlambatan KHS

NEUROPATI PERIFER

TERINDUKSI

KEMOTERAPI

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 54: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

36

Universitas Indonesia

2.5 Kerangka Konsep

= variabel yang diteliti

= variabel yang tidak diteliti

Dosis

kemoterapi

Kemoterapi

Cisplatin

Elektroneurografi

Neuropati perifer

terinduksi

kemoterapi

Usia, tinggi

badan, jenis

kelamin

Diabetes Mellitus

Trauma langsung saraf

Gangguan sistim saraf pusat

Gangguan Tiroid

Obat-obatan lain

Toronto Clinical

Scoring System

Sensitivitas

Spesifisitas

Nilai ROC

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 55: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

37

Universitas Indonesia

BAB 3

METODE PENELITIAN

3. 1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan uji diagnostik untuk mencari

tingkat sensitivitas, spesifisitas dan nilai ROC Toronto Clinical Scoring System

untuk diagnosis Polineuropati perifer yang diinduksi kemoterapi di Rumah Sakit

Cipto Mangunkusumo.

3.2. Tempat dan waktu penelitian

Penelitian dilakukan di Poliklinik Elektroneurografi Departemen

Neurologi, Poliklinik Hemato-Onkologi dan ruang rawat Departemen Ilmu

Penyakit Dalam (IPD), RS Cipto Mangunkusumo. Pengumpulan data dimulai

setelah memperoleh ijin komisi Etik sampai jumlah sampel penelitian terpenuhi.

Penelitian dilakukan dari bulan Juli – November 2013.

3.3. Populasi penelitian

Populasi penelitian adalah semua pasien penderita penyakit KNF dan jenis

keganasan lain pasca kemoterapi cisplatin yang datang ke Poliklinik Hemato-

Onkologi dan ruang rawat Ilmu Penyakit Dalam (IPD), RS Cipto Mangunkusumo.

3.3.1. Kriteria inklusi

1. Pasien dengan penyakit KNF yang dikemoterapi dengan cisplatin, baik

tunggal sebagai adjuvan, maupun kombinasi dengan agen lain yang tidak

menyebabkan neuropati perifer (selain golongan Taxane, Vinca Alkaloid,

Bortezomib, Suramin , Thalidomide) sesuai kepustakaan.

2. Telah dilakukan kemoterapi dengan dosis total minimal 300 mg/m2.

3. Telah dilakukan kemoterapi hingga maskimal 6 bulan dari dosis terakhir.

4. Usia 19 - 60 tahun.

3.3.2. Kriteria eksklusi

1. Pasien dengan penyakit neurologis yang melibatkan sistim saraf pusat

maupun perifer yang menyebabkan gejala sisa berupa gangguan sensorik,

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 56: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

38

Universitas Indonesia

motorik maupun otonom (stroke, tumor, trauma atau infeksi yang

melibatkan intrakranial, medulla spinalis maupun sistem saraf perifer).

2. Deformitas yang mengakibatkan salah satu ekstremitas diamputasi.

3. Pasien Diabetes Mellitus.

4. Pasien dengan gejala neuropati paraneoplastik

5. Pasien dengan riwayat gangguan tiroid atau memiliki gejala dan tanda

gangguan tiroid.

6. Pasien yang sedang menggunakan obat-obatan yang dapat menimbulkan

neuropati: Colchicine, stavudin, fenitoin, isoniazid, ethambutol,

metronidazol atau amiodaron.

3.3.3. Sampel dan pemilihan sampel

Sampel penelitian adalah sebagian dari pasien kemoterapi yang memenuhi

syarat penelitian. Pengambilan sampel penelitian dilakukan menurut metode non-

random sampling jenis konsekutif, yaitu subjek yang memenuhi syarat penelitian

diambil menjadi subjek penelitian, sehingga tercapai jumlah sampel yang

diperlukan sesuai dengan perhitungan.

3.4. Estimasi Besar Sampel

N = Zα2 Sen (1 – Sen)/d

2P

N = jumlah sampel

Zα = Z pada tingkat kemaknaan α (α=0,05 Zα=1,96)

Sen = Sensitivitas yang diinginkan, ditetapkan sebesar 80%

d = presisi penelitian ditetapkan sebesar 10%

P = Prevalensi NPTK = 80% 7, 8

(kepustakaan)

N = 1,962x0,8x0,2/0,10

2x0,8

= 76,83 ~ 77

Untuk mengantisipasi terjadinya suatu drop-out, maka jumlah sampel akan

ditambahkan dengan 10% dari jumlah total yaitu 77 + (77x10%) = 84,7 ~ 85

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 57: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

39

Universitas Indonesia

3.5. Cara kerja

Penelitian dilakukan dengan urutan langkah sebagai berikut:

1. Dilakukan pencatatan pasien kemoterapi di poli hemato-onkologi RSCM

dan ruang rawat IPD secara singkat mengenai nama, usia, jenis kelamin,

pendidikan, status perkawinan, alamat dan nomor telepon.

2. Dilakukan pemeriksaan kesesuaian pasien dengan kriteria inklusi.

3. Dilakukan pemeriksaan faktor-faktor yang membuat pasien tidak dapat

diikutsertakan dalam penelitian (berdasarkan kriteria eksklusi).

4. Pasien kemudian diperiksa dengan menggunakan metode yang terdapat

pada Toronto Clinical Scoring System.

5. Metode pemeriksaan dengan menggunakan Toronto Clinical Scoring

System sebagai berikut:

a. Pemeriksaan Skor gejala pada tungkai bawah (nyeri, kesemutan,

rasa baal dan kelemahan) dilakukan dengan jalan menanyakan

gejala-gejala tersebut yang terjadi pada bagian ekstremitas distal

kepada subjek dan skor dinilai untuk tiap masing-masing gejala

dengan 0 (tidak ada keluhan) atau 1 (ada keluhan)

b. Pemeriksaan skor gejala ataksia dilakukan dengan cara

menanyakan kepada subjek mengenai rasa goyah atau tidak

seimbang yang dialami semenjak mendapatkan kemoterapi,

terutama pada saat berdiri atau berjalan dan atau pada saat menutup

mata. Skor dinilai dengan 0 (tidak ada keluhan) atau 1 (ada

keluhan)

c. Pemeriksaan skor gejala pada tungkai atas (nyeri, kesemutan, rasa

baal dan kelemahan) dilakukan dengan jalan menanyakan kepada

subjek mengenai gejala tersebut yang terjadi pada ekstremitas

distal dan skor dinilai jika terdapat salah satu dari keempat gejala

tersebut, dinilai dengan 0 (tidak ada keluhan) atau 1 (ada keluhan)

d. Pemeriksaan skor refleks tendon tungkai bawah dilakukan dengan

cara memukulkan palu refleks kepada tendon patella dan achilles

tungkai kiri dan kanan. Skor dinilai untuk masing – masing refleks

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 58: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

40

Universitas Indonesia

yang didapatkan pada kedua tungkai. Skor dinilai dengan normal

(0), menurun (1) atau negatif (2)

e. Pemeriksaan skor pemeriksaan sensorik raba dilakukan dengan

cara menyentuhkan monofilamen 10-g Semmes Weinstein kepada

dorsum ibu jari kaki tungkai bawah dan menanyakan kepada

subjek mengenai sensasi yang dirasakan. Skor dinilai dengan 0

(normal) atau 1 (abnormal)

f. Pemeriksaan skor pemeriksaan sensorik suhu dilakukan dengan

cara menyetuhkan tabung reaksi yang diisi air dingin atau ujung

garputala kepada dorsum ibu jari kaki tungkai bawah dan

menanyakan kepada subjek sensasi yang dirasakan. Skor dinilai

dengan 0 (ada rasa perubahan suhu) atau 1 (tidak ada rasa

perubahan suhu)

g. Pemeriksaan skor pemeriksaan sensorik nyeri dilakukan dengan

cara menyetuhkan ujung neurotip® kepada dorsum ibu jari kaki

tungkai bawah dan menanyakan kepada subjek mengenai sensasi

yang dirasakan. Skor dinilai dengan 0 ( ada nyeri) atau 1 (tidak

ada nyeri)

h. Pemeriksaan skor pemeriksaan sensorik vibrasi dilakukan dengan

cara menggunakan garputala 128 Hz yang digetarkan dan

meletakkan ujung garputala tersebut diatas maleolus medialis

tungkai bawah dan menanyakan kepada subjek mengenai sensasi

getar yang dirasakan. Skor dinilai dengan 0 (ada rasa getar) atau 1

(tidak ada rasa getar)

i. Pemeriksaan skor sensorik posisi dilakukan dengan cara

memegang jari kedua tungkai bawah dengan satu tangan dan

memisahkan ibu jari dan jari tengah dengan cara meregangkannya

menggunakan tangan yang lain, pemeriksa lalu menggerakkan jari

kedua ke atas dan ke bawah dan menanyakan kepada subjek posisi

dari jari yang tengah digerakkan. Skor dinilai dengan ada 0 (bila

subjek dapat dengan benar menebak 2 dari 3 posisi yang

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 59: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

41

Universitas Indonesia

ditnujukkan pemeriksa) atau 1 (bila subjek tidak dapat menebak

posisi yang ditunjukkan oleh pemeriksa).

6. Pasien didatangkan ke laboratorium elektrofisiologi departemen neurologi

RSUPN Ciptomangunkusumo untuk dilakukan pemeriksaan

elektroneurografi pada ekstremitas dengan menggunakan mesin XLTEK

7. Prosedur pemeriksaan ENG adalah sebagai berikut:

a. KHS motorik diperiksa pada empat saraf bilateral yaitu ulnaris,

medianus, peroneus dan tibialis anterior. Stimulasi listrik

supramaksimal diberikan di permukaan kulit dengan stimulator pada

dua titik yang berbeda, yaitu distal dan proksimal. Elektroda perekam

menggunakan elektroda tempel, diletakkan pada belly dan tendon otot

yang dipersarafi. Nilai KHS didapatkan dengan mengukur jarak

antara titik stimulasi distal dan proksimal, kemudian membagi jarak

tersebut dengan selisih latensi proksimal dan distal. Suhu permukaan

kulit harus dipertahankan 32-340 C.

b. KHS sensorik diperiksa pada tiga saraf bilateral yaitu ulnaris,

medianus, dan suralis. Stimulasi listrik diberikan di permukaan kulit

dengan stimulator pada satu titik secara antidromik untuk saraf

ulnaris dan medianus, dan secara orthodromik untuk saraf suralis.

Elektroda perekam diletakkan pada Digiti II, V dan 14 cm proksimal

dari maleolus lateralis. Nilai KHS didapatkan dengan mengukur jarak

antara titik stimulasi dan elektroda perekam, kemudian membagi

jarak tersebut dengan latensi saraf. Suhu permukaan kulit harus

dipertahankan 32-340 C.

8. Hasil anamnesis, pemeriksaan TCSS dan ENG dicatat dalam formulir

penelitian.

3.6. Variabel Penelitian

1. variabel dependen: Sensitivitas, Spesifisitas dan nilai ROC TCSS

2. variabel independen:

Elektroneurografi (baku emas)

Toronto Clinical Scoring System (instrumen yg sedang diuji)

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 60: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

42

Universitas Indonesia

3.7. Definisi Operasional

Definisi Operasional pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Usia

Usia merupakan usia subjek pada saat pemeriksaan, dapat diketahui

dengan menghitung dari tahun kelahiran subjek yang terdapat pada Kartu

Tanda Penduduk (KTP), dinyatakan dalam tahun.

2. Dosis Kemoterapi

Dosis adalah jumlah dosis total kemoterapi cisplatin yang diterima pasien

sampai pemeriksaan ENG dan TCSS. dosis total yang diterima pasien

minimal 300 mg/m2.

3. Diabetes Mellitus

Neuropati perifer yang disebabkan oleh DM didapatkan melalui

anamnesis keluhan polidipsi, polifagi dan poliuri dan penurunan berat

badan yang tak dapat dijelaskan penyebabnya serta riwayat DM pada

keluarga, atau jika ditemukan abnormalitas sesuai kriteria DM pada

pemeriksaan gula darah puasa (GDP) dan gula darah 2 jam post prandial

(GD2JPP)

4. Neuropati paraneoplastik

Neuropati karena paraneoplastik didapatkan dengan cara anamnesa

mengenai gejala rasa baal dan parestesia yang tersebar secara acak atau

asimetris dan sering melibatkan anggota gerak proksimal, wajah dan

batang tubuh, dan juga dari awitan gejala yang terjadi sebelum diagnosis

tumor ditegakkan dan tidak berhubungan dengan awitan pemberian

kemoterapi.

5. Trauma langsung saraf

Neuropati perifer karena trauma langsung didapatkan dengan cara

anamnesis keluhan nyeri, baal, kesemutan, kelemahan setelah adanya

trauma.

6. Gangguan Sistem Saraf Pusat

Pasien dengan gangguan saraf yang dapat menyebabkan gejala yang

menyerupai neuropati, didapatkan berdasarkan anamnesis pernah

didiagnosa stroke, tumor, infeksi dan trauma yang melibatkan otak,

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 61: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

43

Universitas Indonesia

medulla spinalis dan sistem saraf perifer yang masih memiliki gejala sisa

gangguan kekuatan otot, sensorik dan otonom

7. Gangguan tiroid

Neuropati perifer akibat gangguan tiroid didapatkan melalui anamnesis

adanya keluhan gejala menyerupai gangguan sistim saraf otonom, seperti

berdebar-debar dan keringat berlebih, atau keluhan lain seperti berat

badan turun, tremor dan massa pada leher, atau jika ada catatan rekam

medis yang menyatakan mengalami gangguan tiroid.

8. Penggunaan obat-obat lain

Neuropati perifer karena penggunaan obat-obatan dalam jangka lama

seperti colcichine, fenitoin, stavudin, amiodaron, metronidazol,

ethambutol dan isoniazid didapatkan melalui anamnesis mengenai obat-

obat yang pernah dikonsumsi pasien dalam waktu lama.

9. Alat Elektroneurografi

Alat Elektroneurografi (ENG) merupakan alat diagnostik yang digunakan

untuk mengetahui fisiologi saraf tepi dan merupakan standar baku untuk

mendiagnosa suatu neuropati perifer. Keluaran dari pemeriksaan ENG

dalam mendiagnosa neuropati perifer adalah dalam bentuk Kecepatan

Hantar Saraf (KHS), Latensi dan Amplitudo

9.1. KHS (Kecepatan Hantar Saraf)

Kecepatan hantar saraf (KHS) adalah jarak yang ditempuh suatu

stimulus pada saraf tiap satuan waktu (milisekon). Didapatkan dari hasil

pembagian jarak dengan selisih latensi proksimal dan distal

9.2. Latensi

Latensi (ms) adalah waktu yang diukur dari stimulus artefak

sampai defleksi pertama dari garis dasar

9.3. Amplitudo

Amplitudo (mV) adalah voltase yang diukur dari garis dasar

(baseline) sampai puncak negatif

9.4. Diagnosis Polineuropati perifer

Diagnosis NPTK secara Elektroneurografi (ENG) ditegakkan bila

ditemukan gambaran abnormal lebih dari 2 segmen saraf pada minimal 3

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 62: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

44

Universitas Indonesia

dari 4 ekstremitas yang diperiksa, pada penderita KNF yang mendapatkan

kemoterapi cisplatin. Dibagi menjadi neuropati motorik dan neuropati

sensorik berdasarkan segmen saraf yang diperiksa.

9.5. Neuropati tipe Demielinisasi

Diagnosis neuropati tipe demielinisasi ditegakkan bila didapatkan

peningkatan latensi saraf atau perlambatan KHS dibandingkan nilai

normal masing-masing. Nilai normal latensi (dalam milisecond (ms)) dan

KHS (dalam meter per second (m/s)) untuk masing-masing saraf (rentang

usia 11- 74 tahun) sebagai berikut: 35

a. N. Medianus

Motorik

Palm : Latensi 1,86 ± 0,28 (2,4)

Wrist : Latensi 3,49 ± 0,34 (4,2) , KHS 48,8 ± 5,3 (38)

Elbow : Latensi 7,39 ± 0,69 (8,8) , KHS 57,7 ± 4,9 (48)

Axilla : Latensi 9,81 ± 0,89 (11,6), KHS 63,5 ± 6,2 (51)

Sensorik

Digit : KHS 58,8 ± 5,8 (47)

Palm : Latensi 1,37 ± 0,24 (1,39), KHS 58,8 ± 5,8 (47)

Wrist : Latensi 2,84 ± 0,34 (3,5), KHS 61,9 ± 4,2 (53)

Elbow : Latensi 6,46 ± 0,21 (0,7)

b. N. Ulnaris

Motorik

Wrist : Latensi 2,59 ± 0,39 (3,4)

Below Elbow : Latensi 6,10 ± 0,69 (7,5), KHS 58,7 ± 5,1 (49)

Above Elbow : Latensi 8,04 ± 0,76 (9,6), KHS 61,0 ± 5,5 (59)

Axilla : Latensi 9,90 ± 0,91 (11,7), KHS 66,5 ± 6,3 (54)

Sensorik

Digit : KHS 54,8 ± 5,3 (44)

Wrist : Latensi 2,54 ± 0,29 (3,1), KHS 64,7 ± 5,4 (53)

Below Elbow : Latensi 5,67 ± 0,59 (6,9), KHS 66,7 ± 6,4 (54)

Above Elbow : Latensi 7,46 ± 0,64 (8,7)

c. N. Tibialis

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 63: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

45

Universitas Indonesia

Ankle : Latensi 3,96 ± 1,00 (6,0), KHS 48,5 ± 3,6 (41)

Knee : Latensi 12,05 ± 1,53 (15,1)

d. N. Peroneus

Ankle : Latensi 3,77 ± 0,86 (5,5), KHS 48,3 ± 3,9 (40)

Below Knee : Latensi 10,79 ± 1,06 (12,9), KHS 52,0 ± 6,2 (40)

Above Knee : Latensi 12,51 ± 1,17 (14,9)

9.6. Neuropati tipe aksonal

Diagnosis neuropati tipe aksonal ditegakkan bila didapatkan

penurunan amplitudo dibandingkan nilai normal masing-masing saraf.

Nilai normal amplitudo ( motorik dalam miliVolt (mV) dan sensorik

dalam mikroVolt (µV)) untuk masing-masing saraf (rentang usia 11 – 78

tahun) sebagai berikut:

a. N. Medianus

Motorik

Palm : 6,9 ± 3,2 (3,5)

Wrist : 7,0 ± 3,0 (3,5)

Elbow : 7,0 ± 2,7 (3,5)

Axilla : 7,2 ± 2,9 (3,5)

Sensorik

Palm : 39,0 ± 16,8 (20)

Wrist : 38,5 ± 15,6 (19)

Elbow : 32,0 ± 15,5 (16)

b. N.Ulnaris

Motorik

Wrist : 5,7 ± 2,0 (2,8)

Below Elbow : 5,5 ± 2,0 (2,7)

Above Elbow : 5,5 ± 1,9 (2,7)

Axilla : 5,6 ± 2,1 (2,7)

Sensorik

Wrist : 35,0 ± 14,7 (18)

Below Elbow : 28,8 ± 12,2 (15)

Above Elbow : 28,3 ± 11,8 (14)

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 64: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

46

Universitas Indonesia

c. N. Tibialis

Ankle : 5,8 ± 1,9 (2,9)

Knee : 5,1 ± 2,2 (2,5)

d. N. Peroneus

Ankle : 5,1 ± 2,3 (2,5)

Below Knee : 5,1 ± 2,0 (2,5)

Above Knee : 5,1 ± 1,9 (2,5)

9.7. Neuropati tipe campuran

Diagnosis neuropati tipe campuran ditegakkan bila didapatkan

kombinasi antara neuropati tipe demielinisasi dan tipe aksonal pada satu

segmen saraf secara bersamaan

10. Toronto Clinical Scoring System (TCSS)

Toronto Clinical Scoring System merupakan sistem skor yang digunakan

untuk mendeteksi dan mengukur derajat berat suatu neuropati perifer

dalam hal ini yang disebabkan oleh kemoterapi. Pada TCSS neuropati di

diagnosis dengan menggunakan sistem skor yang terdiri dari 4 skor gejala

(rasa nyeri, baal, kesemutan dan kelemahan) yang dirasa pada tungkai

bawah, 1 skor gejala ataksia, 1 skor salah satu dari 4 gejala tersebut yang

dirasa pada tungkai atas, 4 skor pemeriksaan refleks patella dan achilles

untuk tungkai kiri dan kanan, dan 5 skor untuk pemeriksaan sensorik

(raba, suhu, nyeri, posisi dan vibrasi). Diagnosis NPTK dengan TCSS

ditegakkan bila terdapat total skor > 5 pada penderita KNF yang

mendapatkan kemoterapi cisplatin, dimana skor < 5 dinyatakan bukan

neuropati.

10.1. Skor Gejala

Skor Gejala merupakan Gejala subjektif seperti rasa nyeri, baal,

kesemutan dan kelemahan yang dirasakan subjek penelitian pada tungkai

bawah maupun tungkai atas, diketahui dengan jalan wawancara dan

dinyatakan dalam bentuk skor 0 (tidak ada keluhan) atau 1 (ada keluhan)

10.2. Skor Ataksia

Skor Ataksia adalah gejala ataksia yang merupakan ataksia

sensorik, disebabkan oleh gangguan dari serabut besar saraf sensorik.

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 65: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

47

Universitas Indonesia

Diketahui dengan menanyakan mengenai gejala rasa tidak seimbang atau

goyah yang dialami subjek terutama pada saat mereka menutup mata.

Dinyatakan dengan 1 (ada keluhan) atau 0 (tidak ada keluhan)

10.3. Skor Pemeriksaan Refleks

Skor Pemeriksaan Refleks adalah Hasil Pemeriksaan Refleks

Patella dan Achilles pada kedua tungkai. Diketahui dengan cara

memeriksa refleks menggunakan palu refleks pada tendon patella dan

akhilles, dan dibandingkan pada kedua tungkai. Dinyatakan dengan skor 0

(normal), 1 (menurun) atau 2 (negatif).

10.4. Skor Sensorik

Skor Sensorik adalah hasil pemeriksaan 5 modalitas sensorik yaitu

nyeri, suhu, posisi, raba dan vibrasi. Pemeriksaan raba menggunakan

monofilamen 10-g Semme Wenstein pada dorsum ibu jari tungkai bawah,

pemeriksaan nyeri dengan menggunakan jarum neurotip® dan

menyentuhkan ke dorsum ibu jari, pemeriksaan suhu dengan

menggunakan tabung reaksi yang diisi air dingin atau dengan

menggunakan garputala dan menyentuhkannya pada dorsum ibu jari

tungkai bawah, pemeriksaan vibrasi dengan menggunakan garputala 128

Hz yang diletakkan pada tonjolan tulang tungkai bawah tepatnya di

maleolus medialis, Pemeriksaan Posisi dengan cara menggerakan jari

kedua tungkai bawah keatas dan kebawah. Hasil pemeriksaan dinyatakan

dengan skor 0 (normal) atau 1 (abnormal).

11. Uji Diagnostik

Uji diagnostik merupakan uji yang dilakukan untuk menilai tingkat

keakuratan teknik pemeriksaan baru dibandingkan dengan teknik

pemeriksaan yang sudah dianggap sebagai baku emas. Uji ini dilakukan

dengan cara melakukan perhitungan dengan menggunakan tabel 2x2.

Hasil dari uji ini dinyatakan dalam nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai

prediksi positif, nilai prediksi negatif dan nilai ROC.

12. Sensitivitas

Sensitivitas merupakan kemampuan dari suatu pemeriksaan (TCSS) untuk

menghasilkan suatu hasil positif. Diketahui dengan membagi jumlah hasil

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 66: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

48

Universitas Indonesia

positif oleh pemeriksaan standar baku (ENG) dan alat pemeriksaan

(TCSS) dengan jumlah total dari hasil positif oleh standar baku dan alat

pemeriksaan, dan hasil positif oleh standar baku dan negatif oleh alat

pemeriksaan . Dinyatakan dalam bentuk persentase

13. Spesifisitas

Spesifistas merupakan kemampuan suatu pemeriksaan (TCSS) untuk

menghasilkan suatu hasil negatif. Diketahui dengan membagi jumlah hasil

negatif oleh standar baku (ENG) dan alat pemeriksaan (TCSS) dengan

jumlah total hasil negatif oleh standar baku dan alat pemeriksaan, dan

hasil negatif oleh standar baku dan positif oleh alat pemeriksaan.

Dinyatakan dalam bentuk persentase.

14. Nilai prediksi positif

Nilai prediksi positif adalah nilai yang menyatakan seberapa besar hasil

pemeriksaan yang positif benar-benar positif. Nilai ini didapatkan dengan

cara membagi jumlah hasil pemeriksaan yang positif oleh baku emas dan

baku uji dengan total jumlah yang positif oleh baku uji. Hasil dinyatakan

dalam bentuk presentase

15. Nilai prediksi negatif

Nilai prediksi negatif adalah nilai yang menyatakan seberapa besar hasil

pemeriksaan yang negatif adalah benar-benar negatif. Nilai ini didapatkan

dengan cara membagi jumlah hasil yang negatif dengan pemeriksaan baku

emas maupun baku uji dengan total jumlah hasil yang negatif oleh baku

uji. Hasil dinyatakan dalam bentuk presentase.

16. Nilai ROC

Nilai ROC merupakan suatu nilai yang ditentukan guna mendapatkan

sensitivitas dan spesifisitas suatu pemeriksaan. Diketahui dengan cara

melakukan perhitungan dengan menggunakan kurva receiver operating

characteristic (ROC). Dinyatakan dalam bentuk rentang nilai.

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 67: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

49

Universitas Indonesia

3.8. Izin subjek penelitian

Semua calon sampel penelitian terlebih dahulu mendapat penjelasan secara

lisan mengenai tujuan, cara kerja, dan manfaat penelitian. Bila memahami dan

setuju untuk ikut penelitian kemudian mereka diminta menandatangani izin

penelitian secara tertulis. Dan selanjutnya akan didaftarkan ke Komite Etik

Kedokteran.

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 68: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

50

Universitas Indonesia

3.9. Kerangka Operasional

Pasien keganasan +

Cisplatin

Kriteria Inklusi

Eksklusi

Anamnesis + Pemeriksaan

fisik (66 subjek)

Bandingkan

Penyajian Hasil Penelitian

Informed consent

Bersedia

Tidak bersedia

Pemeriksaan Elektroneurografi

Pemeriksaan Toronto

Clinical Scoring System

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 69: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

51

Universitas Indonesia

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1. Karakteristik demografik subjek penelitian

Telah dilakukan penelitian terhadap 66 penderita penyakit keganasan yang

mendapatkan kemoterapi Cisplatin di Poliklinik kemoterapi dan ruang perawatan

kemoterapi Ilmu Penyakit Dalam RSCM antara bulan September 2013 hingga

Januari 2014. Sebaran subjek menurut karakteristik demografik diuraikan dalam

tabel 4.1. Dari 66 subjek penelitian didapatkan 43 pria (65,2%) dan 23 wanita

(34,8%) dengan rerata usia 45,76 ± 10,53 tahun. Sebagian besar subjek memiliki

tingkat pendidikan sedang (54,5%) dan sebagian besar masih memiliki pekerjaan

(57,6%). Jenis keganasan terbanyak adalah KNF (65,2%) diikuti karsinoma

mammae (16,7%).

Tabel 4.1 Sebaran subjek menurut karateristik demografik

Karakteristik Demografis Jumlah (N) %

Jenis kelamin

Pria

Wanita

Usia (rerata) (± SD)

Tingkat Pendidikan

Rendah

Sedang

Tinggi

Status pekerjaan

Bekerja

Tidak bekerja

Jenis keganasan

KNF

Karsinoma mammae

Kasinoma sinonasal

Limfoma maligna non-hodgkin

Karsinoma lidah

Karsinoma parotis

Karsinoma tonsil

Karsinoma prostat

43

23

45,76 ± 10,53

19

36

11

38

28

43

11

4

2

2

2

1

1

65,2

34,8

28,8

54,5

16,7

57,6

42,4

65,2

16,7

6,1

3,0

3,0

3,0

1,5

1,5

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 70: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

52

Universitas Indonesia

4.2 Karateristik subjek berdasarkan klinis

Semua subjek penelitian mendapatkan terapi kemoterapi cisplatin baik

secara tunggal maupun kombinasi dengan rerata dosis maksimal saat subjek

diperiksa 442,1 ± 80,098 mg dan rerata durasi saat subjek diperiksa setelah

mendapatkan dosis > 300 mg/m2 adalah 31,81 ± 36,734 hari.

Dari hasil pemeriksaan dengan menggunakan alat ENG dan skor TCSS

terhadap 66 subjek penelitian, diagnosis polineuropati ditegakkan pada 34

(51,5%) subjek dengan pemeriksaan alat ENG, pria lebih banyak daripada wanita

(73,5% vs 26,5%) dan polineuropati campuran (motorik dan sensorik) merupakan

jenis polineuropati yang terbanyak (47,1%) . Hasil yang sama juga didapatkan

dengan menggunakan skor TCSS, yaitu pada 34 (51,5%) subjek, pria lebih banyak

daripada wanita (67,65% vs 32,35%) dengan hasil terbanyak pada tingkat

polineuropati ringan (64,7%). Sebaran subjek menurut diagnosis polineuropati

dengan menggunakan pemeriksaan alat ENG dan skor TCSS dijelaskan pada tabel

4.3. Komponen dengan abnormalitas terbanyak yang didapatkan dari hasil

pemeriksaan skor TCSS adalah komponen refleks (tendon patella dan achilles)

(78,8%), diikuti oleh komponen pemeriksaan sensorik (68,2%) dan komponen

gejala (48,5%).

Tabel 4.2 Sebaran subjek berdasarkan diagnosis polineuropati menggunakan ENG dan

TCSS

Karakteristik neuropati Berdasarkan ENG

(n= 66)

Berdasarkan TCSS

(n= 66)

Polineuropati

Pria

Wanita

Bukan Polineuropati

Pria

Wanita

Jenis Neuropati (n=34)

Sensorik

Motorik

Sensorik dan motorik

Tingkat neuropati (n=34)

Ringan (6-8)

Sedang (9-11)

Berat (12-19)

34 (51,5%)

25 (73,5%)

9 (26,5%)

32 (48,5%)

18 (56,25%)

14 (43,75%)

11 (32,3%)

7 (20,6%)

16 (47,1%)

34 (51,5%)

23 (67,65%)

11 (32,35%)

32 (48,5%)

20 (62,5%)

12 (37,5%)

22 (64,7%)

11 (32,3%)

1 (2,9%)

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 71: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

53

Universitas Indonesia

4.3 receiver operating characteristic (ROC) dan area under the curve (AUC)

Metode ROC adalah metode statistik yang merupakan hasil tarik ulur

antara nilai sensitivitas dengan spesifisitas pada berbagai alternatif titik potong

yang disajikan dalam bentuk grafik. Sensitivitas digambarkan pada ordinat Y,

sedangkan (1-Sensitivitas) digambarkan pada aksis X. Makin tinggi nilai

sensitivitas maka akan makin rendah spesifisitasnya dan sebaliknya. Dari prosedur

ROC akan didapatkan nilai AUC.

Gambar 4.1 Kurva ROC

Dari kurva ROC, didapatkan bahwa skor TCSS memiliki nilai diagnostik

yang cukup baik karena sebagian besar kurva ROC menjauhi 50% dan mendekati

100%.

Nilai AUC yang diperoleh dengan metode ROC adalah sebesar 75,4%

(95% CI 62,9%-87,9%), dengan p < 0,001. Secara statitsik nilai 75,4% termasuk

sedang. Nilai AUC sebesar 75,4% artinya adalah apabila skor TCSS digunakan

untuk mendiagnosa polineuropati pada 100 penderita keganasan yang

mendapatkan kemoterapi cisplatin, maka kesimpulan yang tepat didapatkan pada

sekitar 75 orang. Berdasarkan interval kepercayaan, diketahui bahwa nilai AUC

skor TCSS pada populasi penderita keganasan yang mendapatkan kemoterapi

cisplatin berkisar antara 62,9%-87,9%.

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 72: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

54

Universitas Indonesia

Selanjutnya dari kurva ROC didapatkan beberpa nilai titik potong,

sensitivitas dan spesifisitas seperti yang ditampilkan pada tabel 4.5 berikut

Tabel 4.3 Tabel koordinat kurva

no Titik potong sensitivity specificity

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

≥ -1,0

≥ 0,5

≥ 1,5

≥ 2,5

≥ 3,5

≥ 4,5

≥ 5,5

≥ 6,5

≥ 7,5

≥ 8,5

≥ 9,5

≥ 10,5

≥ 11,5

≥ 13

1,000

0,971

0,882

0,824

0,794

0,794

0,735

0,588

0,500

0,294

0,206

0,088

0,029

0,000

0,000

0,125

0,125

0,187

0,344

0,594

0,719

0,937

0,937

0,937

0,969

1,000

1,000

1,000

4.4. Penentuan titik potong

Pada penentuan titik potong, bila bertujuan sebagai skrining, maka akan

dipilih titik potong dengan nilai sensitivitas yang tinggi. Dari tabel titik potong

kurva (tabel 4.4), didapatkan kurva sebagai berikut:

Gambar 4.2 Grafik titik potong sensitivitas dan spesifisitas

Titik potong optimal berada pada angka 6 dan 7 atau pada skor 4,5 dan

5,5. Berdasarkan tabel 4.5, skor TCSS 4,5 memiliki sensitivitas 79,4% dan

spesifisitas 59,4%, dan skor TCSS 5,5 memiliki sensitivitas 73,5% dan spesifisitas

71,9%. Skor 4,5 memiliki sensitivitas lebih tinggi sesuai dengan tujuan skor TCSS

untuk skrining polineuropati pada penderita keganasan yang mendapat kemoterapi

0

0,2

0,4

0,6

0,8

1

1,2

1 3 5 7 9 11 13

Sensitivity

specificity

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 73: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

55

Universitas Indonesia

cisplatin. Hal ini berarti penderita dengan skor TCSS ≥ 4,5 atau ≥ 5 akan

didiagnosa sebagai Polineuropati perifer.

Berikut adalah tabel uji diagnostik polineuropati perifer berdasarkan TCSS

dengan standar baku yang biasa digunakan yaitu menggunakan alat ENG.

Tabel 4.4 Uji Diagnostik Polineuropati perifer menurut TCSS berdasarkan pemeriksaan

menggunakan alat ENG

Polineuropati perifer

dengan TCSS

Polineuropati perifer dengan ENG

Ya Tidak Total

Ya 27 13 40

Tidak 7 19 26

Total 34 32 66

Berdasarkan tabel 2x2 diatas, dengan cut-off point atau titik potong adalah

≥ 5, didapatkan subjek yang didiagnosis polineuropati oleh ENG dan TCSS

sebanyak 27 orang, subjek yang didiagnosis polineuropati oleh ENG namun tidak

dengan TCSS sebanyak 7 orang, subjek yang didiagnosis polineuropati oelh

TCSS namun tidak dengan ENG sebanyak 13 orang dan subjek yang tidak

didiagnosis polieneuropati baik oleh ENG maupun TCSS sebanyak 19 orang.

Setelah dilakukan perhitungan dengan menggunakan tabel 2x2, maka didapatkan

sensitivitas 79,4% dan spesifisitas 59,4%, dan juga dapat ditentukan nilai prediksi

positif (NPP) dan nilai prediksi negatif (NPN) sebagai berikut:

Sensitivitas = a : (a + c) = 25 : (27 + 7) = 25 : 34 = 0,794 (sesuai pada tabel 4.5)

Spesifisitas = d : (b + d) = 19 : (13 + 19) = 19 : 32 = 0,594 (sesuai seperti pada tabel

4.5)

NPP = a : (a + b) = 27 : (27 + 13) = 27 : 40 = 0,675

NPN = d : (c + d) = 19 : (7 + 19) = 19 : 26 = 0,731

Tabel 4.5 kurva ROC dan efisiensi statistik TCSS untuk diagnosa polineuropati perifer

berdasarkan pemeriksaan dengan alat ENG

Titik

potong

NPN NPP Spec Sen AUC SE 95% CI p

≥ 4

≥ 5

≥ 6

0,731

0,675

0,344

0,594

0,735

0,788

0,794

0,719

0,754

0,064

95% CI

(62,9%-

87,9%)

< 0,001

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 74: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

56

Universitas Indonesia

BAB 5

PEMBAHASAN

5.1. Dinamika Penelitian

Pada penelitian ini didapatkan beberapa perubahan yang menyebabkan

penyajian penelitian kurang sesuai dengan rencana awal. Beberapa dari hambatan

tersebut adalah sulitnya mendapatkan penderita KNF yang sesuai dengan kriteria

inklusi dan eksklusi, sehingga diputuskan untuk memperluas kriteria inklusi

sehingga mencakup seluruh keganasan.

5.2. Karateristik demografik subjek penelitian

Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan terhadap 66 penderita

keganasan yang mendapatkan kemoterapi cisplatin selama bulan September 2013

hingga Januari 2014. Pada sebaran subjek menurut karakteristik demografik

didapatkan subjek pria (n=43) lebih banyak dibandingkan wanita (n=23). Hal ini

dapat sesuai dengan angka kejadian keganasan terutama pada negara-negara

berkembang menurut global cancer statistic dimana angka kejadian pada pria

untuk seluruh jenis keganasan (160 per 100.000) lebih tinggi dibandingkan

dengan wanita (138 per 100.000).5

Rentang usia subjek pada penelitian ini adalah

19 hingga 60 tahun dengan rerata usia 45,76 ± 10,53 tahun. Rentang usia tersebut

adalah rentang usia tersering pada insidensi keganasan. Penelitian yang dilakukan

Roezin pada penderita KNF di RSCM mendapatkan subjek dengan rentang usia

termuda 14 tahun dan tertua 74 tahun, begitu juga pada penelitian Hilkens,

didapatkan rentang subjek populasi keganasan dengan neuropati dengan rentang

usia 18 hingga 74 tahun.7, 40, 41

5.3. Karateristik klinis subjek penelitian

Penelitian ini menggunakan pemeriksaan dengan alat ENG sebagai standar

baku dan skor TCSS untuk mengetahui adanya polineuropati perifer pada subjek

penelitian. Berdasarkan pemeriksaan menggunakan alat ENG, didapatkan

diagnosis polineuropati perifer pada 34 (51,5%) subjek, dengan jumlah pria lebih

banyak dari wanita (73,5% vs 26,5%). Hal ini dapat sesuai dengan prevalensi

NPTK yang terjadi pada penderita keganasan yang mendapatkan cisplatin

melebihi dosis 300 mg/m2 , yaitu sebesar 24% hingga 92%.

7 Prevalensi pria yang

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 75: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

57

Universitas Indonesia

lebih banyak kemungkinan disebabkan pengaruh dari jenis kelamin terhadap

hantaran saraf, dimana diketahui wanita memiliki KHS dan amplitudo yang lebih

tinggi daripada pria.30, 41

Meskipun begitu, hal tersebut kemungkinan juga

disebabkan oleh prevalensi subjek pria yang lebih banyak.

Pada pemeriksaan ENG, dari 34 subjek yang mengalami polineuropati

perifer didapatkan jenis polineuropati campuran antara sensorik dan motorik

merupakan jenis polineuropati terbanyak (47,1%) diikuti polineuropati sensorik

murni sebesar 32,3%. Neuropati sensorik merupakan jenis neuropati yang paling

banyak terjadi pada pemakaian cisplatin, baik yang terjadi secara klinis maupun

secara sub-klinis.3,6,9,41

Terdapatnya komponen motorik kemungkinan disebabkan

stadium klinis yang lebih lanjut, dimana diketahui bahwa neuropati motorik

dengan tanda denervasi pada pemeriksaan elektrofisiologi dapat ditemukan saat

stadium lanjut pada neuropati yang disebabkan pemberian cisplatin.21

Pada pemeriksaan dengan menggunakan TCSS didapatkan polineuropati

pada 34 (51,5%) subjek dengan derajat neuropati terbanyak yaitu derajat neuropati

yang ringan (64,7%). Belum ada studi lain yang diketahui menggunakan TCSS

sebagai alat diagnosa terhadap NPTK, sehingga prevalensi neuropati yang lebih

banyak kemungkinan juga disebabkan karena prevalensi NPTK secara

keseluruhan yang tinggi, seperti pada penelitian Hilkens yang berkisar antara 24%

hingga 92% dan juga pada penelitian Wiratman (2013) yang mendapatkan

prevalensi NPTK hingga 76%.7, 41

Jika ingin dibandingkan penggunaan skor

TCSS pada studi serupa namun digunakan pada populasi DM, maka didapatkan

hasil yang mendekati, dimana pada studi oleh Supriyanta didapatkan prevalensi

neuropati perifer berdasarkan TCSS sebanyak 71,7 %.38

Tingkat neuropati ringan

didapatkan paling banyak, hal ini kemungkinan disebabkan banyak subjek yang

baru merasakan gejala awal pada NPTK, dimana gejala awal ini umumya terjadi

pada 3 bulan pertama setelah dosis > 300 mg/m2

dan rerata durasi (± SD) dari

sejak dosis mencapai > 300 mg/m2 hingga pemeriksaan pada penelitian ini adalah

31,27 ± 36,73 hari.41

Hilkens juga menggunakan metode pemeriksaan neurologis

klinis dan pemeriksaan getar kuantitatif untuk memeriksa tingkat keparahan pada

NPTK setelah penggunaan cisplatin dan menemukan sebanyak 71% subjek berada

pada tingkat neuropati ringan hingga sedang.7

Perbandingan antara prevalensi

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 76: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

58

Universitas Indonesia

pada subjek yang terdiagnosis polineuropati dengan ENG dan TCSS sama (n=34).

Hal tersebut dapat memperlihatkan secara sederhana kemampuan skor TCSS

dalam mendiagnosis polineuropati sebaik kemampuan ENG.

Pada NPTK karena cisplatin, penurunan refleks tendon merupakan salah

satu gejala awal yang dapat terjadi karena cisplatin lebih banyak mempengaruhi

fungsi serabut saraf diameter besar bermielin. Komponen yang terdapat dalam

skor TCSS terdiri dari komponen gejala, pemeriksaan sensorik dan komponen

refleks tendon. Komponen tersebut mewakili pemeriksaan terhadap fungsi serabut

saraf dengan diameter besar dan kecil, bermielin dan tanpa mielin.2,37

Studi oleh

Perkins menemukan bahwa komponen pemeriksaan refleks tendon skor TCSS

pada penderita polineuropati DM berkorelasi erat dengan tingkat keparahan

polineuropati yang didapatkan dari pemeriksaan ENG.37

Pada penelitian ini

didapatkan komponen abnormal terbanyak pada komponen pemeriksaan refleks

tendon (78,8%), hal ini dapat membuktikan bahwa skor TCSS memiliki

komponen pemeriksaan yang dapat digunakan untuk pemeriksaan pada NPTK

karena cisplatin, khususnya untuk menilai gejala awal.

5.4 Reciever operating curve (ROC) dan area under the curve (AUC)

Pada perhitungan menggunakan metode ROC pada penelitian ini,

didapatkan nilai AUC yaitu sebesar 75,4%. Hal ini berarti bahwa TCSS

digunakan untuk mendiagnosa polineuropati pada 100 orang penderita keganasan

yang mendapatkan cisplatin, maka kesimpulan yang tepat dapat diambil pada 75

orang. Berdasarkan kurva ROC, skor TCSS memiliki nilai diagnostik yang cukup

baik karena sebagian besar kurva menjauhi 50% dan mendekati 100%. Selain itu

berdasarkan metode ROC juga didapatkan nilai Confidence Interval (CI) yaitu

(95% IK 62,9%-87,9%), hal ini berarti bahwa nilai AUC skor TCSS pada

populasi keganasan berkisar antara 62,9% - 87,9%, dengan nilai p < 0,001.

Beberapa studi lain yang menggunakan TCSS sebagai alat diagnostik

adalah studi uji diagnostik TCSS terhadap diagnosis polineuropati pada DM,

dimana terdapatnya kesamaan akan pola neuropati (polineuropati sistemik) dan

gejala (polineuropati simetrik distal) dengan NPTK membuat skor TCSS

diharapkan memiliki kemampuan yang sama terhadap diagnosis NPTK.12

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 77: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

59

Universitas Indonesia

Supriyanta (2004) telah melakukan studi uji diagnostik menggunakan TCSS

dibandingkan denga standar baku ENG pada penderita DM, pada studi tersebut

didapatkan nilai AUC sebesar 88,0% dengan interval IK 95% 81,4%- 94,6%.

Kurva ROC yang didapatkan menjauhi 50% dan mendekati 100%.38, 42

Hal ini

membuktikan bahwa TCSS memiliki tingkat akurasi yang tinggi pada populasi

DM. Tingkat akurasi TCSS pada studi ini tampak kurang kuat jika dibandingkan

dengan studi serupa pada DM, namun nilainya cukup mendekati dan memiliki

kekuatan sedang.39

5.5 Penentuan titik potong, sensitivitas, spesifisitas, NPP dan NPN

Setelah dilakukan metode ROC, maka selanjutnya akan ditentukan nilai

titik potong atau cut-off point yang akan menentukan batas antara normal dan

abnormal, atau batas antara hasil positif dan negatif. Pada penentuan titik potong

secara statistik yang bertujuan untuk skrining, maka akan diambil titik potong

dengan nilai sensitivtas yang tertinggi.

Pada penelitian ini didapatkan titik potong optimal berada pada angka 6

dan 7 (lihat tabel 4.4), dimana didapatkan titik potong ≥ 4,5 dan ≥ 5,5. Titik

potong pada ≥ 4,5 atau ≥ 5 diketahui memiliki sensitivtas 79,4% dan spesifisitas

59,4%, dan titik potong ≥ 5,5atau ≥ 6 memiliki sensitivtas 73,5% dan spesifisitas

71,9%. Titik potong skor TCSS ≥ 5 memiliki sensitivitas yang lebih tinggi

sehingga lebih cocok untuk tujuan skrining. Hal ini berarti penderita yang

memiliki skor TCSS ≥ 5 akan didiagnosa sebagai polineuropati perifer.

Dari tabel uji diagnostik polineuropati perifer menggunakan skor TCSS

dengan pembanding standar baku menggunakan alat ENG dan menggunakan titik

potong skor TCSS ≥ 5 terhadap 66 subjek, dua puluh tujuh subjek terdiagnosa

polineuropati baik dengan ENG ataupun dengan skor TCSS. Sebanyak 13 subjek

terdiagnosa polineuropati dengan skor TCSS namun tidak dengan pemeriksaan

ENG, 7 subjek terdiagnosa polineuropati oleh pemeriksaan ENG, namun tidak

dengan skor TCSS dan 19 tidak terdiagnosa polineuropati baik dengan ENG

maupun dengan skor TCSS.

Dari hasil uji diagnostik tabel 2x2 diatas, maka didapatkan sensitivtas dan

spesifisitas untuk titik potong ≥ 5. Sensitivitas sebesar 79,4%, yang berarti bahwa

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 78: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

60

Universitas Indonesia

skor TCSS dapat menentukan sebesar 79,4% gangguan polineuropati perifer bila

gangguan tersebut memang benar ada (positif benar). Spesifisitas dari titik potong

ini adalah 59,4%, yang berarti bahwa skor TCSS dapat menyingkirkan sebesar

59,4% gangguan polineuropati perifer bila memang gangguan tersebut benar-

benar tidak ada (negatif benar). Selain itu didapatkan pula NPP sebesar 67,5%,

yang berarti bahwa skor TCSS dapat menentukan 67,5% kemungkinan

polineuropati perifer ada (positif) bila memang benar-benar ada. Terdapat pula

NPN sebesar 73,1%, yang berarti skor TCSS dapat menentukan sebesar 73,1%

bahwa polineuropati perifer tidak ada (negatif) bila memang benar-benar tidak

ada.

Secara statistik, nilai sensitivitas dan spesifisitas dengan titik potong

optimal pada penelitian ini cukup baik. Namun nilai ini belum cukup untuk

menjadikan skor TCSS sebagai alat diagnostik yang unggul terutama untuk

skrining NPTK.

Pada Polineuropati perifer yang disebabkan oleh DM, skor TCSS

merupakan salah satu alat skrining yang baik jika dibandingkan dengan alat

skrining berdasar skor lainnya. Alat skrining lain yang telah dilakukan uji

diagnostik terhadap polineuropati DM dengan ENG sebagai standar baku adalah

skor Michigan neuropathy screening instrument (MNSI). MNSI merupakan alat

skrining yang terdiri dari komponen pemeriksaan refleks tendon, pemeriksaan

sensasi getar dan pemeriksaan status vaskular perifer (ulkus).42

Pada studi MNSI

yang dilakukan oleh Moghtaderi (2005), didapatkan sensitivitas sebesar 65% dan

spesifisitas sebesar 83% dengan titik potong optimal skor ≥ 2 (maksimal 8).42

Pada studi oleh Supriyanta, skor TCSS memiliki sensitivitas sebesar 86,6% dan

spesifisitas 94,1% dengan titik potong optimal pada skor ≥ 6.38

Perbandingan dari

dua hasil studi tersebut menerangkan bahwa skor TCSS lebih unggul sebagai alat

skrining untuk polineuropati pada DM.

Jika dibandingkan dengan studi tersebut, maka kekuatan diagnostik skor

TCSS pada studi ini belum mencapai nilai yang maksimal, meskipun begitu, harus

diingat bahwa penelitian ini menggunakan TCSS untuk populasi yang berbeda.

Perbedaan ini dapat terlihat pada perbedaan titik potong yang diperoleh.

Supriyanta mendapatkan nilai sensitivitas tertinggi pada titik potong optimal ≥ 6

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 79: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

61

Universitas Indonesia

dengan sensitivitas 86,6% dan spesifisitas 94,1%, sedangkan penelitian ini

mendapatkan sensitivitas tertinggi pada titik potong optimal ≥ 5 dengan

sensitivitas 79,4% dan spesifisitas 59,4%. Titik potong yang optimal didapatkan

berdasar dari perhitungan kurva ROC dan tarik menarik antara sensitivitas dan

spesifisitas. Titik potong dengan nilai sensitivitas tertinggi kemudian dipilih untuk

dijadikan sebagai acuan diagnosis untuk alat yang diuji.39

Perbedaan titik potong

yang terjadi untuk skor TCSS tersebut kemungkinan lebih berhubungan dengan

beratnya gambaran klinis polineuropati yang muncul, semakin rendah titik potong

maka semakin tinggi sensitivitas untuk mendapatkan diagnosis polineuropati.39

Hal ini terbukti pada studi TCSS yang dilakukan oleh Supriyanta pada populasi

DM, didapatkan tingkat keparahan neuropati terbanyak dengan menggunakan

TCSS adalah tingkat neuropati yang berat (54,1%), sedangkan pada populasi

NPTK di penelitian ini, tingkat keparahan neuropati terbanyak adalah yang ringan

(64,7%).38

Tingkat keparahan dari suatu polineuropati bergantung pada beberapa

faktor yang berbeda. Pada polineuropati yang disebabkan DM, Hiperglikemi

merupakan faktor utama penyebab kerusakan saraf. Hiperglikemi dapat

menyebabkan penurunan konduksi saraf dengan peningkatan kadar sorbitol dalam

sel, menyebakan peningkatan radikal bebas dan juga menyebabkan iskemi pada

serabut saraf yang disebabkan oleh perubahan mikrovaskularisasi.43

Gangguan

pada serabut saraf tersebut dapat terjadi pada serabut saraf yang bermielin maupun

tidak bermielin, dan semakin lama hal ini berlangsung, maka semakin luas

kerusakan yang terjadi.43

Gejala klinis yang terjadi sebanding dengan kerusakan

saraf yang ada, semakin lama penderita mengalami keadaan hiperglikemi, maka

semakin parah gejalanya. Tingkat keparahan gejala pada akhirnya sangat

berhubungan erat dengan kontrol dari kadar glukosa penderita. Pengaturan kadar

gula dikatakan dapat memperlambat perburukan gejala namun tidak dapat

memperbaikinya, terutama pada penderita DM tipe 2.28,43

Selain dari terdapatnya

persistensi gejala polineuropati, tingkat keparahan polineuropati DM juga dapat

dipengaruhi dari kurang tepatnya tatalaksana terhadap kadar gula darah. Studi dari

The international diabetes management practices study menjelaskan bahwa

sebagian besar penderita DM di Indonesia belum mendapatkan tatalaksana

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 80: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

62

Universitas Indonesia

pengendalian gula darah yang sesuai dengan konsensus yang ada.44

Terakhir,

gejala klinis yang dialami penderita berjalan secara progresif dengan hasil variatif

namun dengan 81% tidak mengalami perbaikan dan 10% bahkan akan terus

memburuk.28,43

Pada NPTK, beratnya gejala klinis bergantung pada jenis agen kemoterapi

dan dosis yang diberikan. Cisplatin merupakan jenis agen kemoterapi yang paling

banyak menyebabkan neuropati, meskipun begitu gejala klinis yang ditimbulkan

tidak seberat bila dibandingkan dengan agen kemoterapi lain seperti taxane dan

vincristine.7,9,21

Gejala klinis yang timbul umumnya terjadi saat 1 hingga 3 bulan

setelah dosis akumulasi mencapai > 300 mg/m2

dan gejala ini dapat terus

dirasakan hingga 6 bulan setelah kemoterapi dihentikan, meskipun demikian

gejala dapat mengalami perbaikan setelah 12 bulan dan akan terus membaik

hingga 48 bulan.21

Rerata durasi pada penelitian ini adalah 31,27 ± 36,73 hari

setelah tercapai dosis kumulatif > 300 mg/m2 dengan rerata usia 45,76 ± 10,53

tahun. Kedua faktor tersebut kemungkinan dapat mempengaruhi derajat neuropati

yang ada pada penelitian ini, namun terdapat beberapa studi lain yang mendukung

ringannya gejala NPTK yang ditimbulkan oleh cisplatin. Wiratman menemukan

bahwa semua penderita NPTK dengan usia dibawah 50 tahun sama sekali tidak

mengalami gejala klinis dan kurang lebih setengah (51,02%) dari penderita yang

berusia diatas 50 yang mengalami gejala klinis setelah dosis akumulasi > 300

mg/m2.41

Hilkens juga menemukan derajat NPTK yang ringan hingga sedang pada

71% subjek bahkan setelah kemoterapi dihentikan hingga 6 bulan.7

Hal ini dapat

menunjukkan bahwa walaupun kekuatan diagnostik TCSS pada NPTK belum

mencapai nilai yang maksimal, telah didapatkan titik potong optimal untuk tujuan

skrining yang sesuai dengan karakteristik klinis dari populasi NPTK, khususnya

yang mendapat kemoterapi cisplatin.

5.6 Keterbatasan penelitian

Kemungkinan terbesar dari kurang maksimalnya nilai diagnostik dari

penelitian ini adalah tidak tercapainya jumlah sampel yang diinginkan (66 dari

total 77 subjek). Hal ini disebabkan hambatan dalam pengumpulan sampel,

seperti kesulitan menemukan penderita KNF yang memenuhi syarat inklusi dan

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 81: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

63

Universitas Indonesia

eksklusi. Diputuskan oleh peneliti dan para pembimbing untuk memperluas

kriteria inklusi dengan memasukan semua jenis penderita keganasan. Hambatan

lainnya adalah kesulitan dalam mendatangkan subjek untuk diperiksa; banyak

subjek yang sudah memenuhi kriteria tidak dapat dimasukan ke dalam

perhitungan penelitian.

Beberapa keterbatasan tersebut memang membuat kekuatan diagnostik

skor TCSS kurang maksimal dalam mendiagnosa NPTK. Skor TCSS tetap dapat

diusulkan untuk dipakai sebagai salah satu alat skrining terhadap NPTK karena

skor tersebut memiliki sensitivitas yang cukup baik dan belum ada studi uji

diagnostik lain yang menggunakan skor untuk mendiagnosis NPTK.

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 82: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

64

Universitas Indonesia

BAB 6

KESIMPULAN

6.1. Kesimpulan

Pada penelitian ini didapatkan nilai diagnostik untuk skor TCSS berupa

1. Didapatkan titik potong optimal ≥ 5 yang sesuai dengan karakteristik

gambaran klinis NPTK

2. Sensitivitas sebesar 79,4%

3. Spesifisitas sebesar 59,4%.

4. Komponen skor dalam TCSS juga dianggap mampu untuk menilai gejala

awal yang terjadi pada NPTK

5. Nilai diagnostik yang didapatkan cukup baik. Skor TCSS dapat digunakan

sebagai alternatif dalam skrining NPTK karena skor TCSS memiliki nilai

titik potong yang sesuai dengan karakteristik klinis NPTK dan belum ada

studi uji diagnostik lain yang diketahui menggunakan sistem skor terhadap

diagnosis NPTK.

6.2. Saran

1. Penelitian ini mengalami keterbatasan dalam hasil karena sampel yang kurang

mencukupi, karena itu diperlukan suatu penelitian lanjutan dengan metode yang

sama, namun dengan jumlah sampel yang mencukupi, sehingga diharapkan nilai

diagnostik yang didapatkan dapat lebih tinggi dan lebih baik.

2. Menggunakan skor TCSS sebagai alat skrining NPTK pada kegiatan praktek

sehari-hari.

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 83: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

65

Universitas Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

1. NL. Peripheral neuropathy: when the numbness, weakness and pain won’t

stop New York. Demos. MedPub; 2007.

2. Harati Y, Kwan J, Smyth S. Peripheral neuropathies and motor neuron

disease. Dalam Neurology secrets. Philadelphia: Elsevier; 2010.p. 97-120.

3. Al Cge. Chemotherapy induced neuropathy. Current treatment in

neurology. 2011; 13. p. 180-190.

4. Moould RF, Thai THP. Nasopharyngeal carcinoma: treatment and

outcome in the 20th century. British journal of radiology. 2002; 75:p. 307-

339.

5. Al Jae. Global cancer statistic. Cancer J Clin 2011;61: p. 69-90.

6. Quasthoff. Hartung HP. Chemotherapy induced peripheral neuropathy. J

neurol. 2002;249:p. 9-17.

7. Hilkens PHE, Van de ben MJ. Chemotherapy-induced peripheral

neuropathy. Journal of peripheral nervous system 2. 1997;:p. 350-361.

8. Hausheer FH, Schilsky RL. Bain S, Berghron EJ, Lieberman F. Diganosis,

management and evaluation of chemotherapy induced peripheral

neuropathy. Semin oncol. 2006; 33: p. 15-49.

9. Al Cge. Chemotherapy induced peripheral neurotoxicity assessment: a

critical revision of the currently available tools. EJCA. 2010; 46:p. 479-

494.

10. Al Hae. Neuroal involvement in cisplatin neuropathy: prospective clinical

and neurophysiological studies. Brain. 2007; 130:p.1076-1088.

11. Brill V, Tomioka S, Buchanan RA, Perkins BA. Reliability and validity of

the modified Toronto clinical neuropathy score in diabetic sensorimotor

neuropathy. Diabet Med. 2009; 26:p.240-6.

12. Davis LE, King MK, Schultz JL. Disorders of peripheral neuropathy.

Dalam Davis LE. Neurology in clinical practice. New york: Demos Pub;

2010. P.9-23.

13. HH S. Anatomic classification of peripheral nervous disorders. Dalam

Dyck. Peripheral neuropathy in clinical practice. New york: Oxford; 2010.

P.9-23

14. Thompson PD TP. Clinical patterns of peripheral neuropathy. Dalam

Dyck. Peripheral neuropathy. Philadelphia: Elsevier; 2005.p.1137-1163.

15. Wampler MA, Rosenbaum MH.Chemotherapy induced peripheral

neuropathy fact sheet. [Online}.;2006. Available

from:www.cancersupportivecare.com/nervepain.php.

16. Takimono CH CE. Principle of oncologic pharmacotherapy. Cancer

management. 2009;:p. 1-9.

17. Jaggis AS SN. Mechanism in cancer chemotherapic drug-induced

peripheral neuropathy. Toxicology. 2012; 291:p.1-9.

18. Sing P RKMRPD. Microtubule assembly dynamics: an attractive target for

anti cancer drugs. IUMBlife. 2008;6096):p.368-375. 19. Herskovitz S SH. Neuropathy caused by drugs. Dalam Dyck. Peripheral

neuropathy. Philadelphia: Elsevier; 2005.p.2553-2583.

20. JAW. Metal neuropathy. Dalam Dyck. Peripheral neuropathy. Phiadelphia:

Elsevier; 2005.p.2527-2551.

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 84: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

66

Universitas Indonesia

21. A F. Peripheral neuropathy: symptoms secondary to cancer and its

treatment.

22. EJ D. Remote neurologic manifestation of cancer. Neurolo clin.

2002;2091):p.85-122.

23. Spies JM M. Paraneoplastic neuropathy. Dalam Dyck. Peripherl

neuropathy. Philadelphia: Elsevier; 2005.p.2471-2487

24. World Health Organization. Definition, diagnosis and classification of

diabetes mellitus and its complications; 1999.

25. Srowkosky TP FSHGGS. Impact of diabtes mellitus on cimplications and

outcome of adjuvant chemotherapy in older patients with breast cancer. J

Clin Onc. 2009; 7:p.2170-2176.

26. HH S. The toxic neuropathy: principle of general and peripheral

neurotoxicology agents. Dalam peripheral neuropathy in clinical practice.

New york: Oxford; 2010.p.287-300.

27. Jameson JL WA. Disorders of the thyroid gland. Dalam Harrison;s

principle of internal medicine. USA: McGraw Hill; 2005.p.2104-2127.

28. HH S. Diabetic and other endocrine neuropathies. Dalam Gilamn S.

Peripheral neuropathy in clinical practice. New york : Oxford; 2010.p.159-

168.

29. Rosenberg NH PPVMVM. Diagnostic investigationwith chronic

polyneuropathy: evaluation of clinical guideline. J Neurol Neurosurg

Psychiatri. 2001; 71:p. 205-209.

30. JK. Nerve conduction and needle electromyography. Dalam Dyck.

Peripheral neuropathy. Philadelphia; 2005.p.899-969.

31. aL Lge. Intraepidermal nerve fiber density in rat footpad: neuropathologic-

neurophysiologic correlation. JPNS.2005; 10:p. 202-208.

32. Al Pte. Pitfall in grading chemotherapy-induced peripheral neuropathy.

Ann of onc. 1998;9: p.739-744.

33. Cavaletti G BGML. Grading of chemotherapy induced peripheral

neurotoxicity using the total neuropathy scale. Neurology. 2003; 61:

p.1297

34. al Cge. Multi-centre assessment of the total neuropathy score for

chemotherapy induced peripheral neurotoxicity. JPNS.2006; 11:p. 135-

141.

35. al Cge. The total neuropathy score as an assessment tool for grading the

course of chemotherapy-induced peripheral neurotoxicity: comparison

with the national cancer institute- common toxicity criteria. Journal of

peripheral nerve. 2007;12:p. 210-215.

36. Perkin BA OID. Simple screening test for peripheral neuropathy in the

diabetes clinics. Diabetic care. 2001;24:p. 250-256.

37. Bril V PB. Validation of the toronto clinical scoring system for diabetic

polyneuropathy. Diabetic care. 2002;25: p. 2048-2052.

38. A S. Nilai diagnostik toronto clinical scoring system pada neuropati

perifer Semarang: Ilmu Penyakit Dalam FK Universitas Diponegoro;

2004.

39. Pusponegoro HD WIPABJZS. Uji diagnostik. Dalam ID SS. Dasar-dasar

metodologi penelitian klinis. Jakarta: Sagung seto; 2008.p. 193-216.

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 85: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

67

Universitas Indonesia

40. Roezin A. Deteksi dan pencegahan karsinoma nasofaring. Perhimpunan

onkologi indonesia pencegahan dan deteksi dini penyakit keganasan. UI

Press.1996: p.286-292.

41. Wiratman W. Neuropati perifer pada karsinoma nasofaring yang mendapat

kemoterapi cisplatin dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Tesis.

Jakarta: Departemen Neurologi FK Universitas Indonesia; 2013.

42. Moghtaderi A et al. Validation of Michigan neuropathy screening

instrument for diabetic peripheral neuropathy. Clin Neuro and

Neurosurg.2006;108:p.477-481.

43. Llewelyn JG. Thomlinson DR.Thomas PK. Diabetic neuropathies. Dalam

Dyck. Peripheral neuropathy. Philadelphia; 2005:p. 1951-91.

44. Suwondo P.Current practice in the management of type 2 diabetes in

Indonesia: results from the international diabtes management practices

study. J Indon Med Assoc.2011;61:p.12.

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 86: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

68

Universitas Indonesia

Lampiran 1

KUISIONER PENELITIAN

Judul Penelitian:

“Uji diagnostik Toronto Clinical Scoring System terhadap diagnosis neuropati perifer

terinduksi kemoterapi”

Instruksi:

1. Isilah titik-titik sesuai dengan jawaban respoden

2. Tuliskan jawaban yang tidak ada dalam pilihan, di tempat yang tersedia

3. Cek kembali jawaban responden, jangan ada yang terlewat

Nomer Kuisioner:

Tanggal Wawancara:

I. IDENTITAS

1. Nama :

2. Jenis Kelamin :

3. Usia :

4. Alamat :

5. Pendidikan :

6. Pekerjaan :

7. Status pernikahan :

8. No. Telepon :

II. RIWAYAT KEBIASAAN & PENYAKITSELAIN KNF (EKSKLUSI)

Keluhan Tidak Keterangan

Pernah didiagnosa Diabetes Mellitus atau memiliki riwayat DM

di keluarga (orang tua, kakek atau nenek, paman atau bibi)

Pernah mengalami deformitas yang mengakibatkn salah satu

ekstremitas di amputasi (atas atau bawah)

Pernah mengalami penyakit saraf karena stroke, infeksi, tumor

yang melibatkan saraf pusat dan saraf perifer dengan gejala sisa

Pernah keluhan nyeri, baal, kesemutan, kelemahan setelah

adanya trauma pada tulang

Pernah mengalami rasa baal, kesemutan yang melibatkan

anggota gerak proksimal, wajah dan batang tubuh dengan onset

sebelum pemberian kemoterapi

Pernah mengalami rasa berdebar serta keringat berlebih,

penurunan berat badan dan massa pada leher atau pernah

didiagnosa dengan gangguan tiroid

Sedang dalam pengobatan Colchicine, stavudin, fenitoin,

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 87: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

69

Universitas Indonesia

isoniazid, ethambutol, metronidazol atau amiodaron untuk

jangka panjang.

Nilai GDP :

Nilai GD2JPP :

III. RIWAYAT KNF

1. Tipe KNF : WHO

a. Tipe 1 (keratinizing squamous cell carcinoma)

b. Tipe 2 (non-keratinizing)

c. Tipe 3 (undifferentiated)

2. Timbul keluhan KNF

pertama kali

:

3. Total dosis cisplatin :

4. Regimen terapi :

a. Cisplatin 40 mg/m2/minggu selama 7 minggu

(dosis total 280 mg/m2)+ Concurrentradioterapi

b. Cisplatin 100 mg/m2 hari 1, 22, 43 (dosis total 300

mg/m2) + radioterapi

c. Kemoterapi adjuvant: Cisplatin 80 mg/m2hari 71,

99, 127 (dosis total 240 mg/m2)

d. Kombinasi cisplatin lainnya (jenis, dosis)

5. Mulai kemoterapi (tgl) :

6. Selesai kemoterapi (tgl) :

7. Dosis mencapai ≥ 300

mg/m2 (tgl)

:

Hasil Pemeriksaan TCSS

GEJALA

Komponen

Pemeriksaan

Hasil Keterangan

Ada ( 1 ) Tidak ( 0 )

Tungkai bawah:

Rasa nyeri

Gejala yang

ditanyakan terjadi

pada kedua

ekstremitas dan

terutama pada

daerah distal

Rasa baal

Rasa kesemutan

Kelemahan

Tungkai atas:

Rasa nyeri/ baal/

kesemutan/

kelemahan

Ataksia

Rasa goyah pada

saat berdiri atau

jalan dan pada saat

menutup mata

Pemeriksaan nyeri

Abnormal (1) Normal (0) raba menggunakan

monofilamen 10 g,

nyeri

Pemeriksaan suhu

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 88: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

70

Universitas Indonesia

Pemeriksaan

Sensorik

Pemeriksaan raba menggunakan

neurotip, suhu

menggunakan air

dingin; dilakukan

pada dorsum ibu

jari

Vibrasi dengan

garputala 128 Hz

pada maleolus

medialis

Posisi dengan

menggerakan

dengan

menggerakan jari

kedua ke atas dan

ke bawah dan

menanykan kepada

subjek posisi dari

jari tsb

Pemeriksaan vibrasi

Pemeriksaan posisi

Pemeriksaan

Refleks

tendon

Tungkai kanan:

Tendon patella

Negatif

(2)

Menurun

(1)

Normal

(0)

Tendon achilles

Tungkai kiri:

Tendon patella

Tendon achilles

Total skor

Interpretasi: skor ≤ 5 : bukan neuropati; skor > 5 : neuropati; (6-8): neuropati ringan; (9-

11): neuropati sedang; (12-19) : neuropati berat

Pemeriksaan dilakukan tanggal :

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 89: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

71

Universitas Indonesia

Lampiran 2

LEMBAR INFORMASI SUBJEK PENELITIAN

Peneliti Utama : dr. Aldy Novriansyah *

Peneliti Lain : dr.Manfaluthy Hakim, SpS(K)**

Dr. dr. Aru W Sudoyo, SpPD, KHOM***

Dr. dr. Herqutanto, MPH****

Alamat : Departemen Neurologi FKUI/RSUPN dr.Cipto Mangunkusumo

Jl. Salemba 6, Jakarta Pusat

Telepon : 021-31935044

Bapak/Ibu Yth,

Saat ini kami dari Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia /RSUPN dr.Cipto Mangunkusumo sedang melakukan penelitian

mengenai

UJI DIAGNOSTIK TORONTO CLINICAL SCORING SYSTEM

TERHADAP DIAGNOSIS NEUROPATI PERIFER TERINDUKSI

KEMOTERAPI

Penjelasan kepada calon peserta penelitian

Polineuropati perifer merupakan salah satu gangguan pada serabut saraf tepi

ditandai diantaranya dengan rasa kesemutan, baal, nyeri, pada ujung-ujung kaki

dan tangan atau kelemahan otot-otot ujung tangan dan kaki, atau gangguan

berkeringat atau gangguan buang air besar maupun berkemih. Polineuropati

perifer dapat terjadi pada pasien yang mendapat regimen kemoterapi cisplatin,

penyakit ini jarang sekali fatal, namun bila lambat terdeteksi kecacatan serius dan

rasa nyeri kronis dapat terjadi.

Polineuropati perifer karena kemoterapi cisplatin penting dinilai karena

melibatkan saraf pada kaki dan tangan, dapat menjadi penyebab kecacatan atau

nyeri yang kronis sehingga menurunkan kualitas hidup. Cara untuk menilai ada

atau tidaknya gangguan adalah melalui pemeriksaan klinis neurologis dan

pemeriksaan elektroneurografi (ENG). Penilaian ini idealnya dilakukan pada

semua pasien yang mendapat kemoterapi cisplatin karena gangguan saraf pada

pasien dapat terjadi selama atau bahkan setelah kemoterapi cisplatin yang efektif.

Pemeriksaan ENG untuk gangguan saraf tepi pada pasien yang diterapi dengan

kemoterapi cisplatin telah dilaporkan sejak tahun 1990an. Alat tersebut masih

merupakan alat yang utama dalam mendeteksi polineuropati perifer, namun

karena ketersediaan yang terbatas, maka pemeriksaan ENG belum menjadi suatu

pemeriksaan yang rutin. Oleh karena itu, peneliti mengusulkan suatu instrumen

pemeriksaan klinis dengan nama Toronto Clinical Scoring System (TCSS) yang

menggunakan cara pemeriksaan klinis yang lebih sederhana dan lebih cepat

dengan tingkat akurasi yang mendekati alat ENG dalam mendeteksi polineuropati perifer. TCSS sendiri merupakan instrumen pemeriksaan berdasarkan skoring

yang terdiri dari wawancara mengenai gejala penderita, pemeriksaan refleks kaki

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 90: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

72

Universitas Indonesia

dan pemeriksaan saraf indera perasa/sensorik seperti rasa nyeri, raba, suhu, getar

dan posisi tanpa membuat perlukaan (non-invasif).

Melalui penelitian ini diharapkan dapat diketahui tingkat akurasi dari instrumen

TCSS dibandingkan dengan alat ENG dalam mendeteksi adanya polineuropati

perifer khususnya pada penderita Karsinoma Nsofaring (KNF) yang mendapatkan

kemoterapi cisplatin. Dengan hasil penelitian ini diharapkan TCSS dapat

digunakan sebagai instrumen diagnostik alternatif untuk mendeteksi secara dini

polineuropati perifer pada penderita yang mendapatkan kemoterapi cisplatin

dengan cara yang lebih sederhana, cepat dan nyaman, sehingga penderita dapat

terhindar dari komplikasi kecacatan ataupun nyeri kronis yang tidak diinginkan.

Penelitian ini meliputi: wawancara, pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan saraf

dan pemeriksaan fungsi saraf tepi dengan menggunakan instrumen TCSS dan

mesin XLtec. Pemeriksaan ini tidak dipungut biaya.Biaya pemeriksaan

sepenuhnya ditanggung oleh peneliti.

Bapak/ ibu berhak menolak untuk ikut dalam penelitian ini tanpa mengurangi

kualitas pelayanan dokter terhadap anda. Semua data penelitian ini akan

diperlakukan secara rahasia sehingga tidak memungkinkan orang lain untuk

mengetahuinya. Bila anda bersedia ikut serta, mohon membubuhkan tanda tangan

di formulir persetujuan yang telah disediakan.

Bapak/ ibu berhak untuk menanyakan semua hal yang belum jelas sehubungan

dengan penelitian ini. Jika dibutuhkan penjelasan lebih lanjut dapat menghubungi

dr. Aldy Novriansyah, Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia / Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo, Jakarta.

Nomor telpon yang dapat dihubungi: 08111014724.

Bila Bapak/ibu telah memahami isi lembar informasi ini dan bersedia

diikutsertakan dalam penelitian ini, Bapak/ibu dapat menandatangani lembar

persetujuan mengikuti penelitian.

Terima kasih.

Hormat saya,

Jakarta 2013

dr. Aldy Novriansyah

*Dokter yang sedang mengambil Pendidikan Program Spesialis-I di Departemen

Neurologi FKUI/RSUPN dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta.

**Konsultan ahli di Departemen Neurologi FKUI/RSUPN dr.Cipto

Mangunkusumo dan staf pengajar di Program Spesialis-I iImu Penyakit Saraf

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 91: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

73

Universitas Indonesia

***Konsultan ahli di Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN dr.Cipto

Mangunkusumo dan staf pengajar di Program Spesialis-I Departemen Ilmu

Penyakit Dalam

****Konsultan ahli statistik di Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI/

RSUPN dr.Cipto Mangunkusumo

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 92: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

74

Universitas Indonesia

Lampiran 3

Departemen Neurologi

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo

Jakarta

LEMBAR PERSETUJUAN MENGIKUTI PENELITIAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama :

Umur :

Jenis kelamin : Laki-laki Perempuan

Alamat :

No. Responden :

Setelah mendapat keterangan secukupnya dan mengerti manfaat dan tujuan

penelitian tersebut di bawah ini dengan judul:

UJI DIAGNOSTIK TORONTO CLINICAL SCORING SYSTEM

TERHADAP DIAGNOSIS NEUROPATI PERIFER TERINDUKSI

KEMOTERAPI

Dengan ini saya setuju untuk ikut dalam penelitian ini secara sukarela

Jakarta, 2013

Yang memberi penjelasan Yang menyetujui,

(___________________) (__________________

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 93: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

75

Universitas Indonesia

Lampiran 4

Anggaran Penelitian

1. Pencarian literatur (internet, jurnal bebayar, penggandaan) Rp.

500.000

2. Penggandaan referat penelitian 30 eks @ Rp. 5000 Rp.

150.000

3. Penggandaan praproposal penelitian 10 eks @ Rp. 10.000 Rp.

100.000

4. Penggandaan proposal penelitian 10 eks @ Rp. 10.000 Rp.

100.000

5. Penggandaan formulir isian penelitian 85 eks @ Rp. 1000 Rp.

85.000

6. Penggandaan hasil penelitian 40 eks @ Rp. 25.000 Rp.

1.000.000

7. Administrasi dan penggandaan untuk perizinan komite etik Rp.

250.000

8. Biaya alat penelitian Rp.

750.000

9. Biaya presentasi referat penelitian Rp.

100.000

10. Biaya presentasi praproposal penelitian Rp.

700.000

11. Biaya presentasi proposal penelitian Rp.

700.000

12. Biaya presentasi seminar hasil penelitian Rp.

2.000.000

13. Biaya konsultasi dan transportasi ahli statistik Rp.

2.000.000

Total Rp.

8.455.000

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 94: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

76

Universitas Indonesia

Lampiran 5

Jadwal penelitian

Bulan April

2013

Mei

2013

Juni

2013

Juli

2013

Agustus

2013

Sept

2013

Okt

2013

Nov

2013

Des

2013

Referat Penelitian

Inisiasi rencana

Penelitian

Proposal penelitian

Pengurusan Etik

penelitian

Pengumpulan Data

Pengolahan Data

Seminar Hasil

Penelitian

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Page 95: UNIVERSITAS INDONESIA TERHADAP DIAGNOSIS ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367194-SP-Aldi...Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak atas

77

Universitas Indonesia

Lampiran 6

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014