UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki...
Transcript of UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki...
UNIVERSITAS INDONESIA
RELEVANSI ANTARA PERJANJIAN PENETAPAN HARGA
DENGAN KARTEL DALAM PRAKTEK PERSAINGAN
USAHA TIDAK SEHAT
(Studi Terhadap Putusan-Putusan KPPU Pada Tahun 2009 Hingga 2010)
TESIS
RIZKI AFRIADI WIBOWO
NPM : 1006829151
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS INDONESIA
JAKARTA
2013
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
RELEVANSI ANTARA PERJANJIAN PENETAPAN HARGA
DENGAN KARTEL DALAM PRAKTEK PERSAINGAN
USAHA TIDAK SEHAT
(Studi Terhadap Putusan-Putusan KPPU Pada Tahun 2009 Hingga 2010)
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Magister Hukum (M.H)
RIZKI AFRIADI WIBOWO
NPM : 1006829151
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
JAKARTA
JANUARI 2013
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya sendiri,
Dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
Telah saya nyatakan dengan benar
Nama : Rizki Afriadi Wibowo, S.H.
NPM : 1006829151
Tanda Tangan :
Tanggal : 21 Januari 2013
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
iii
HALAMAN PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh :
Nama : Rizki Afriadi Wibowo, S.H.
NPM : 1006829151
Program Studi : Hukum Ekonomi
Judul Tesis : Relevansi Antara Perjanjian Penetapan Harga Dengan
Kartel Dalam Praktek Persaingan Usaha Tidak Sehat (Studi
Terhadap Putusan-Putusan KPPU Pada Tahun 2009 Hingga
2010)
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima
sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar
Magister Hukum pada Program Studi Hukum Ekonomi Fakultas Hukum
Universitas Indonesia
DEWAN PENGUJI
Pembimbing : Dr. A.M. Tri Anggraini, S.H., M.H.
Penguji : Dr. Tri Hayati, S.H., M.H
Penguji : Teddy Anggoro, S.H., M.H
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 21 Januari 2013
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
iv
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan
rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis dalam rangka memenuhi
persyaratan guna memperoleh gelar magister Ilmu Hukum di Universitas
Indonesia. Tesis ini berjudul “Relevansi Antara Perjanjian Penetapan Harga
Dengan Kartel Dalam Praktek Persaingan Usaha Tidak Sehat (Studi Terhadap
Putusan-Putusan KPPU Pada Tahun 2009 Hingga 2010)”. Penulis menyadari
sepenuhnya tanpa bantuan, masukan, semangat dan dorongan dari berbagai pihak
maka tidaklah mungkin tesis ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu Penulis tidak
lupa mengucapkan terima kasih.
Ucapan terima kasih yang khusus penulis berikan kepada Ibu Dr. A.M. Tri
Anggraini, S.H., M.H., yang telah memberikan waktunya untuk membimbing
Penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Saran, kritik, dan masukan untuk tesis ini
sangat berguna sehingga tesis ini dapat selesai tepat waktu.
Selanjutnya ucapan terima kasih Penulis haturkan kepada para penguji Ibu
Dr. Tri Hayati, S.H., M.H., dan Bapak Teddy Anggoro, S.H., M.H., yang telah
memberikan banyak kritik dan saran yang sangat berguna untuk perbaikan tesis
ini.
Tidak lupa ucapan terima kasih Penulis berikan kepada Dosen-dosen yang
telah mengajar dan mencurahkan ilmunya selama Penulis menempuh studi, serta
kepada karyawan sekretariat Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas
Indonesia yang telah banyak membantu selama proses studi.
Kepada teman-teman seperjuangan satu angkatan di Program Magister
Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Margie, Devina, Ibrahim, Axel, Bang Ramon,
Cornel, Jandi, Indra, Candra, Grace, Rini, Mbak Lucky, Mbak Nana, Mas Alpha,
Mas Ibnu, Mas Simon, Mas Gunawan, Mas Hermawanto, Mas Andiko, Mas
Asep, Mas Ian, Anita, Rado, Yunan, Cory, Djun, dan Niko, terima kasih atas
kebersamaannya yang sarat makna dalam suka dan duka selama 4 semester,
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
v
terutama Omar, Yurista dan Mas Arif yang selalu memberi semangat, motivasi,
bantuan, saran, dan kritik, mulai dari awal semester hingga akhir penulisan tesis
ini, dari kalian aku belajar banyak hal baru tentang kehiduan, terima kasih.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Mas Andri, Mbak
Monique, Mas Basori, Nenny, Irma, Fajar, karena sudah memberi motivasi dan
membantu Penulis.
Teristimewa Penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak, Ibu, Adikku
tersayang, Eyang Uti, dan Alm. Eyang Kakung yang menjadi sumber inspirasi,
kebanggaan, pengabdian diri Penulis dan juga telah memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya untuk beraktivitas positif. Insya Allah yang selama ini dilakukan
adalah demi kebaikan diri Penulis.
Akhirnya Penulis menyadari kekurangan yang terdapat dalam tesis ini,
kritik dan saran sangat Penulis harapkan untuk kesempurnaan tesis ini. Semoga
penulisan hukum ini bermanfaat.
Jakarta, 21 Januari 2013
Rizki Afriadi Wibowo
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
vi
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di
bawah ini:
Nama : Rizki Afriadi Wibowo
NPM : 1006829151
Program Studi : Hukum Ekonomi
Fakultas : Hukum
Jenis Karya : Tesis
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non-exclusive Royalty-
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
“Relevansi Antara Perjanjian Penetapan Harga Dengan Kartel Dalam
Praktek Persaingan Usaha Tidak Sehat (Studi Terhadap Putusan-Putusan
KPPU Pada Tahun 2009 Hingga 2010)”
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama
saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di: Jakarta
Pada Tanggal : 21 Januari 2013
Yang Menyatakan
(Rizki Afriadi Wibowo)
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
vii
ABSTRAK
Nama : Rizki Afriadi Wibowo
Program Studi : Hukum Ekonomi
Judul : Relevansi Antara Perjanjian Penetapan Harga Dengan
Kartel Dalam Praktek Persaingan Usaha Tidak Sehat
(Studi Terhadap Putusan-Putusan KPPU Pada Tahun 2009
Hingga 2010)
Hukum Persaingan Usaha melindungi persaingan dan proses persaingan yang
sehat dengan mencegah dan memberikan sanksi terhadap tindakan-tindakan yang
anti-persaingan. Kartel sangat merugikan perekonomian karena para pelaku usaha
anggota kartel akan setuju untuk melakukan kegiatan yang berdampak pada
pengendalian harga, seperti pembatasan jumlah produksi yang akan menyebabkan
inefisiensi alokasi. Kartel juga dapat menyebabkan inefisiensi dalam produksi
ketika mereka melindungi pabrik yang tidak efisien, sehingga menaikkan biaya
rata-rata produksi suatu barang atau jasa dalam suatu industri. Penelitian dalam
penyusunan tesis ini mengacu pada teori tentang campur tangan negara dalam
bidang perekonomian, khususnya pengaturan pasar dalam konsep negara
kesejahteraan (welfare state). Metode penelitian yang digunakan dalam tesis ini
adalah normatif dengan teknik pengumpulan data sekunder dan metode analisis
data kualitatif serta metode penalaran deduktif. Pengaturan tentang larangan
perjanjian penetapan harga di Indonesia dicantumkan dalam Pasal 5 sedangkan
larangan perjanjian kartel di Indonesia dicantumkan dalam Pasal 11 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat. Penetapan harga termasuk bentuk kartel dan
sesungguhnya Pasal 5 pada hakikatnya juga merupakan pengaturan tentang kartel,
hanya saja kartel yang dimaksud adalah kartel harga. Sementara kartel dalam
Pasal 11 yang diatur adalah kartel produksi dan pemasaran yang tujuan akhirnya
mempengaruhi harga. Jadi kalau Pasal 5 mengatur secara langsung larangan
pengaturan harga, maka dalam Pasal 11 yang diatur adalah kartel produksi dan
pemasaran yang akhirnya berpengaruh pada harga produk. Putusan KPPU yang
berkaitan dengan perjanjian penetapan harga dan kartel pada tahun 2009 hingga
2010 terdapat 4 (empat). Dari 4 (empat) putusan KPPU tersebut memiliki
karakter yang berbeda-beda. Untuk itulah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
berserta Peraturan KPPU mengenai Pedoman Pasal 5 dan Pasal 11 menjadi sangat
penting dalam penegakan hukum persaingan usaha di Indonesia.
Kata Kunci : Perjanjian Penetapan Harga, Kartel, Komisi Pengawas Persaingan
Usaha
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
viii
ABSTRACT
Name : Rizki Afriadi Wibowo
Study Program : Economic Law
Title : Relevance between Price Determination Agreement and
Cartels in the Unhealthy Business Competition Practice
(The Study of KPPU Decisions from 2009 to 2010)
The Business Competition Law protects competition and the healthy competition
process by preventing and giving sanctions to the anti-competition acts. Cartels
are very detrimental to the economy because the business doers as the cartel
members will agree to do activities having impact on price control, such as the
limitation of production amount which will cause allocation inefficiency. Cartels
also can cause inefficiency in production when they protect inefficient factories so
that they increase the costs of the production in average of a product or service in
an industry. Research in this thesis refers to the theory on the state’s interference
in economy, particularly the market arrangement in the concept of welfare state.
The research method used in this thesis is normative with the secondary data
collection technique, the qualitative data analysis method, and the deductive
reasoning method. The regulation on the prohibition of the price determination
agreement in Indonesia is set forth in Article 5, while the prohibition of the cartel
agreement is set forth in Article 11 of the Law Number 5 of the Year 1999 on
Prohibition of Monopoly Practice and Unhealthy Business Competition. The price
determination includes cartels, and actually Article 5 basically is also the
regulation about cartels, but the cartels referred to here are the price cartels.
Meanwhile, cartels governed in Article 11 are production and marketing cartels
having an end goal to influence prices. Hence, if Article 5 governs directly the
prohibition of price arrangement, what is governed in Article 11 is the production
and marketing cartels which eventually influence the product prices. KPPU’s
decisions related to the price determination agreement and cartels from 2009 to
2010 consist of 4 (four) decisions. Those 4 (four) KPPU’s decisions have different
characters. Therefore, the Law Number 5 of the Year 1999 and the KPPU’s
regulation on Guidelines Article 5 and Article 11 become very significant in the
business competition law enforcement in Indonesia.
Key words: Price Determination Agreement, Cartels, Business Competition
Supervising Committee
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS.......................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ iii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
KARYA ILMIAH........................................................................................... vi
ABSTRAK ...................................................................................................... vii
ABSTRACT .................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL........................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xii
BAB 1 PENDAHULUAN ....................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ..................................................................... 1
1.2 Pokok Permasalahan ............................................................ 13
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................. 14
1.4 Kegunaan Penelitian ............................................................ 14
1.5 Kerangka Teori .................................................................... 14
1.6 Kerangka Konsepsional ....................................................... 21
1.7 Metode Penelitian ................................................................ 24
1.8 Metode Pendekatan .............................................................. 25
1.9 Tipologi Penelitian ............................................................... 25
1.10 Jenis Data ............................................................................. 25
1.11 Teknik Pengumpulan Data................................................... 27
1.12 Metode Analisis Data........................................................... 27
1.13 Sistematika Penulisan .......................................................... 27
BAB 2 PERJANJIAN PENETAPAN HARGA DAN KARTEL
MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 29
2.1 Perjanjian Menurut Hukum Persaingan usaha ..................... 29
2.2 Kajian Umum tentang Penetapan Harga ............................. 36
2.3 Kajian Umum tentang Kartel ............................................... 52
2.4 Pembuktian oleh KPPU ........................................................ 65
BAB 3 RELEVANSI ANTARA PERJANJIAN PENETAPAN
HARGA DENGAN KARTEL .................................................... 81 3.1 Pendekatan Rule of Reason dan Per Se Illegal dalam
Penetapan Harga dan Kartel ................................................. 81
3.2 Regulasi Kartel di Beberapa Negara ..................................... 85
3.3 Pendeteksian Terhadap Adanya Kartel ................................. 95
3.4 Penetapan Harga Termasuk Bentuk Kartel ........................... 99
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
x
BAB 4 KARAKTERISTIK DAN ANALISIS TERHADAP
PUTUSAN KPPU TENTANG PERJANJIAN PENETAPAN
HARGA DAN KARTEL DI INDONESIA PADA TAHUN 2009
HINGGA 2010............................................................................. 107
4.1 Gambaran Umum Perkara Penetapan Harga dan Kartel
dalam Putusan KPPU Tahun 2009 hingga 2010 di Indonesia 107
4.1.1 Perkara tentang Kartel Minyak Goreng ..................... 107
4.1.2 Perkara Penetapan Harga Fuel Surcharge Dalam
Industri Jasa Penerbangan Domestik ........................ 118
4.1.3 Perkara Penetapan Harga dan Kartel dalam Industri
Semen ......................................................................... 138
4.1.4 Perkara Industri Farmasi Kelas Terapi Amlodipine...... 149
4.2 Karakteristik dan Analisis terhadap Putusan KPPU
dalam Penetapan Harga dan Kartel di Indonesia .................. 155
4.2.1 Aspek Formal Putusan KPPU dalam Perkara
Perjanjian Penetapan Harga dan Kartel ..................... 157
4.2.1.1 Indikasi Awal Pelanggaran ......................... 157
4.2.1.2 Struktur Putusan .......................................... 166
4.2.2 Aspek Material Putusan KPPU dalam Perkara
Perjanjian Penetapan Harga dan Kartel ..................... 176
4.2.2.1 Pembuktian Perilaku Pelaku Usaha............. 176
4.2.2.2 Pembuktian Unsur-Unsur dalam Pasal
yang digunakan oleh KPPU ....................... 184
4.2.2.3 Pendekatan Hukum yang digunakan oleh
KPPU ......................................................... 190
4.2.2.4 Pengenaan Sanksi ........................................ 198
BAB 5 PENUTUP .................................................................................... 215 5.1 Kesimpulan ............................................................................ 215
5.2 Saran ...................................................................................... 219
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 220
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1. Harga Avtur Penerbangan Domestik Dalam Rupiah
(Termasuk PPn 10%) Tahun 2000-2008.................................. 121
Tabel 4.2. Nilai Pungutan Fuel Surcharge ................................................ 122
Tabel 4.3. Perjanjian Penetapan Harga dan Kartel Terbukti dan
Tidak Terbukti .......................................................................... 156
Tabel 4.4. Indikasi Awal Pelanggaran....................................................... 163
Tabel 4.5. Struktur Putusan Perjanjian Penetapan Harga dan Kartel
pada Periode 2009 hingga 2010 ................................................ 166
Tabel 4.6. Perilaku Pelaku Usaha dalam Perjanjian Penetapan Harga
Dan Kartel .................................................................................. 183
Tabel 4.7. Unsur-Unsur Pasal yang digunakan oleh KPPU
dalam menjatuhkan Putusan ................................................... 187
Tabel 4.8. Pendekatan yang digunakan oleh KPPU pada Putusan
mengenai Perjanjian Penetapan Harga dan Kartel ............... 196
Tabel 4.9. Pengenaan Tindakan Administratif pada Putusan
mengenai Perjanjian Penetapan Harga dan Kartel ............... 200
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1. Pendekatan Per Se Illegal ..................................................... 84
Gambar 3.2. Pendekatan Rule of Reason .................................................. 84
Gambar 4.1. Tingkat Konsentrasi Pasar Minyak Goreng Curah .......... 111
Gambar 4.2. Tingkat Konsentrasi Pasar Minyak Goreng Kemasan ..... 112
Gambar 4.3. Pergerakan Fuel Surcharge 0 sampai dengan 1 Jam
Sriwijaya, Garuda, Mandala, Lion, Batavia, Kartika,
Merpati dan Wings Air Mei 2006 – Oktober 2009 ............ 124
Gambar 4.4. Pergerakan Fuel Surcharge 1 sampai dengan 2 Jam
Sriwijaya, Garuda Mandala, Lion, Batavia, Kartika,
Merpati, Ekspress Air dan Wings Air Mei 2006 –
Oktober 2009 ......................................................................... 125
Gambar 4.5. Pergerakan Fuel Surcharge 2 sampai dengan 3 Jam
Sriwijaya, Garuda, Mandala, Lion, Batavia, Kartika,
Merpati dan Wings AirMei 2006 – Oktober 2009 ............ 125
Gambar 4.6. Perbandingan Fuel Surcharge Aktual v.s Fuel Surcharge
Acuan Estimasi Mei 2006 sampai dengan Oktober 2009
(Penerbangan 0 sampai dengan 1 jam ............................... 126
Gambar 4.7. Perbandingan Fuel Surcharge Aktual v.s Fuel Surcharge
Acuan Estimasi Mei 2006 sampai dengan Oktober 2009
(Penerbangan 1 sampai dengan 2 jam ............................... 127
Gambar 4.8. Perbandingan Fuel Surcharge Aktual v.s Fuel Surcharge
Acuan Estimasi Mei 2006 sampai dengan Oktober 2009
(Penerbangan 2 sampai dengan 3 jam ............................... 127
Gambar 4.9. Perbandingan Fuel Surcharge Aktual v.s Fuel Surcharge
Acuan Dephub Maret 2008 sampai dengan Oktober 2009
(Penerbangan 0 sampai dengan 1 jam ............................... 128
Gambar 4.10. Perbandingan Fuel Surcharge Aktual v.s Fuel Surcharge
Acuan Dephub Maret 2008 sampai dengan Oktober 2009
(Penerbangan 1 sampai dengan 2jam) .............................. 128
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
xiii
Gambar 4.11. Perbandingan Fuel Surcharge Aktual v.s Fuel Surcharge
Acuan Dephub Maret 2008 sampai dengan Oktober 2009
(Penerbangan 2 sampai dengan 3 jam) .............................. 129
Gambar 4.12. Biaya Per Ton Semua Jenis Semen Diproduksi (2004-2009) 146
Gambar 4.13. Pergerakan Harga Norvask dan Tensivask 5 mg Per Unit 152
Gambar 4.14. Pergerakan Harga Norvask dan Tensivask 10 mg Per Unit 153
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
1
Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan yang timbul dari proses globalisasi memunculkan
fenomena dan tantangan baru yang memerlukan solusi tersendiri, termasuk yang
berkaitan dengan bidang hukum. Pembangunan Hukum Ekonomi Indonesia pada
hakikatnya haruslah mengacu pada rumusan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945
dimana dijelaskan bahwa perekonomian disusun berdasarkan asas kekeluargaan,
dan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan masyarakat dikuasai
oleh negara, serta semua kekayaan alam dipergunakan sepenuhnya untuk
kesejahteraan rakyat banyak. Tetapi dalam pelaksanaannya banyak sekali
deregulasi di bidang pembangunan hukum ekonomi yang bersebrangan dengan
substansi dan jiwa Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.
Sebenarnya secara pragmatis, batasan-batasan yuridis terhadap praktek
persaingan usaha yang tidak sehat dapat diketemukan secara tersebar dalam
berbagai hukum positif. Namun, penulisannya belum terkodifikasi dalam satu
buku atau kitab hukum dan sifat pengaturannya masih sangat general serta
sektoral. Hal ini menyebabkan perundang-undangan tersebut menjadi sangat tidak
efektif untuk dapat memenuhi maksud dan tujuan yang hendak dicapai dengan
adanya undang-undang tersebut. Untuk itulah diperlukan sebuah undang-undang
yang secara khusus mengatur persaingan usaha tidak sehat dan antimonopoli yang
sudah sejak lama dipikirkan oleh para pakar, partai politik, lembaga swadaya
masyarakat, instansi pemerintah dan tentunya adalah pelaku usaha.1
Segala kegiatan usaha yang disertai dengan persaingan di antara para
pelaku usaha, merupakan hal yang mutlak dalam pelaksanaan kegiatan ekonomi
yang telah mengglobal pada saat ini. Wacana pelaksanaan kegiatan ekonomi
melalui persaingan usaha yang sehat merupakan sebuah fenomena yang positif
1Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2004), hlm. 2.
1
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
2
Universitas Indonesia
dalam rangka perwujudan pembangunan ekonomi secara menyeluruh mencakup
efisiensi dan kesejahteraan konsumen.2
Dalam persaingan usaha yang sehat terdapat kegiatan usaha yang
mengedepankan keadilan dalam mengelola bidang usaha, sehingga secara tidak
langsung akan memberikan kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi semua
pelaku usaha. Persaingan usaha yang sehat juga akan menciptakan transparansi
serta desentralisasi pengambilan keputusan ekonomi yang membuka partisipasi
dan keterlibatan banyak pihak.3
Pengalaman di negara-negara lain membuktikan bahwa persaingan usaha
yang sehat akan mendorong sumber daya ekonomi termasuk modal menjadi lebih
meningkat dan untuk selanjutnya dapat digunakan secara produktif bagi
peningkatan pembangunan ekonomi.4
2Erman Radjagukguk, “Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dan KPPU”, Prosiding
2004, cet.1, (Jakarta: Pusat Pengkajian hukum, 2005), hlm. 14. Efisiensi berarti jika terdapat
persaingan dimana terdapat lebih dari satu pelaku usaha, maka harga akan menjadi lebih murah
output akan menjadi lebih baik kualitasnya dan mendorong dilakukannya inovasi. Jika tidak
terdapat persaingan maka harga akan semakin tinggi, kualitas hasil produksi akan rendah,
kurangnya inovasi dan terjadi pemborosan sumber daya. Selain dari segi efisiensi, konsumen
memperoleh keuntungan dalam pemilihan produk-produk yang ada di pasar, dengan adanya
pilihan maka konsumen bisa mendapatkan harga yang murah. Dengan begitu konsumen biasa
mengalokasikan dananya untuk keperluan yang lain seperti: menabung dan investasi sehingga
kesejahteraan masyarakat dapat menjadi lebih baik.
3Knud Hansen, et al., Law Concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair
Business Competition, (Berlin: GTZ-Katalis Publishing Media Services, 2001), hlm. 6. Inti dari
ekonomi pasar adalah desentralisasi keputusan berkaitan dengan “apa”, “berapa banyak”, dan
“bagaimana” dari proses-proses produksi. Ini berarti bahwa individu harus diberi ruang gerak
tertentu untuk pengambilan keputusan. Suatu proses pasar hanya dapat dikembangkan di dalam
suatu struktur pengambilan keputusan yang terdesentralisasi, artinya bahwa terdapat individu-
individu yang independent dalam jumlah secukupnya, yang menyediakan pemasokan dan
permintaan dalam suatu pasar, karena proses-proses pasar memerlukan saat-saat aksi dan reaksi
pelaku-pelaku pasar yang tidak dapat diprediksi. Ini adalah satu-satunya cara untuk menjamin
bahwa kekeliruan-kekeliruan perencananaan oleh individu tidak semakin terakumulasi sehingga
akhirnya menghentikan fungsi pasar sebagai umpan balik kibernetis.
4Cides, Undang-Undang Persaingan: Suatu Upaya mendorong persaingan sehat,
(Jakarta: Center for Information and Developments Studies-Konrad Adenauer Stiftung, 1997),
hlm. 4. Ekonomi pasar sosial di Jerman bertumpu pada konsep bahwa persaingan yang efektif
adalah proses yang paling baik untuk mencapai prestasi ekonomi. Prestasi ekonomi yang baik
merupakan persyaratan kebijaksanaan sosial yang memuaskan. Karena itu persaingan efektif
merupakan bagian sentral dalam sistem ekonomi pasar sosial. Namun persaingan tidak dapat
dibiarkan bekerja dengan sendirinya, dalam sistem ekonomi pasar sosial agar persaingan dapat
berjalan dengan fair dibutuhkan dukungan pemerintah. Perlindungan terhadap praktek-praktek
anti persaingan dapat diberikan kepada perusahaan swasta atau negara. Undang-undang
memberikan perlindungan terhadap keduanya. Jika pihak swasta merasa dirugikan oleh
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
3
Universitas Indonesia
Persaingan juga berlaku di kalangan pelaku usaha. Persaingan dilakukan
secara positif dan negatif. Persaingan usaha negatif atau tidak sehat dapat
menyebabkan timbulnya praktek monopoli di mana pasar hanya dikuasai oleh
pelaku usaha tersebut. Selain itu akibat lain yang timbul adalah kecenderungan
pelaku usaha menjual barang yang mahal tanpa kualitas yang memadai.5
Ilmu ekonomi dapat memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai
jenis perbuatan yang dapat mengakibatkan hambatan terhadap persaingan,
mengenai manfaat apabila hambatan untuk bersaing dihilangkan, dan peranan
kebijakan persaingan dalam mendapatkan manfaat tadi. Ada kesamaan pendapat
yang luas antara para ekonom dan praktisi hukum persaingan bahwa efisiensi dan
kesejahteraan konsumen merupakan tujuan utama dari kebijakan persaingan.
Dalam beberapa hal tujuan ini dapat bertentangan antara satu dengan yang
lainnya.6
Seringkali suatu industri hanya mempunyai beberapa pemain yang
mendominasi pasar. Keadaan yang demikian dapat mendorong mereka untuk
mengambil tindakan bersama dengan tujuan memperkuat kekuatan ekonomi
mereka dan mempertinggi keuntungan. Ini mendorong mereka untuk membatasi
tingkat produksi maupun tingkat harga melalui kesepakatan bersama di antara
diskriminasi atau diboikot maka ia dapat mengajukan tindakan tersebut ke pengadilan untuk
melarang praktek tersebut atau mendapatkan ganti rugi. 5Hikmahanto Juwana, “Sekilas tentang Hukum Persaingan dan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999,” Jurnal Magister Hukum (September 1999), hlm. 32.
6Banyak pihak di Amerika Serikat percaya bahwa pendukung Mahzab Chicago seperti
Aaron Director, Henry Simons, George Stigler, Robert Bork, Richard Posner, dan yang lainnya,
adalah orang-orang pertama yang melekatkan aspek ekonomi pada tujuan Hukum Persaingan.
Bork dalam pandangan pada prosiding Kongres yang berakhir dengan diundangkannya Sherman
Act pada tahun 1890, menyimpulkan bahwa:
“…the policy the courts intended to apply is the maximization of wealth or consumer
want satisfaction. This requires courts to distinguish between agreements or activities
that increase wealth through efficiency and those that decrease it through restriction of
output.”
Banyak ekonom mendukung pendapat bahwa efisiensi adalah tujuan utama dari kebijakan
kompetisi. Tidak demikian dengan pendapat sebagian pihak maksimalisasi / kesejahteraan
konsumen, dimana pelaku usaha seharusnya tidak menaikkan harga dan sebaliknya mencoba
menurunkannya supaya lebih kompetitif, dan konsumen lebih diuntungan apabila mutu,
ketersediaan dan pilihan barang dapat ditingkatkan.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
4
Universitas Indonesia
mereka. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari persaingan yang terjadi yang
nantinya akan merugikan mereka sendiri.
Apabila persaingan secara sehat dilaksanakan, maka pelaku pasar dituntut
untuk memperbaiki produk atau jasa yang dihasilkan dan terus melakukan inovasi,
berupaya keras memberi produk atau jasa yang terbaik bagi konsumen,
menghasilkan produk atau jasa secara efisien. Di sisi lain, konsumen mempunyai
pilihan dalam membeli barang atau jasa tertentu dengan harga yang murah namun
berkualitas tinggi. Selain itu, pengaturan ini akan melindungi para konsumen
dengan harga yang bersaing dan produk alternatif yang dapat dibeli dengan mutu
tinggi di pasar.7
Sebaliknya, apabila monopoli yang berkembang, pelaku usaha menjadi
inefisien dalam menghasilkan produk atau jasa karena tidak adanya pesaing,
inovasi produk barang atau jasa tidak terjadi. Monopolistik di bidang ekonomi
menjadi sangat berbahaya dan merugikan kepentingan umum secara keseluruhan
apabila diciptakan dan didukung oleh pemerintah, mematikan jalannya
mekanisme pasar yang sehat dan kompetitif serta pada akhirnya akan dapat
melumpuhkan sistem politik demokratis.8
Persaingan usaha merupakan ekspresi kebebasan yang dimilki setiap
individu dalam rangka bertindak untuk melakukan transaksi perdagangan dipasar.
Persaingan usaha diyakini sebagai mekanisme untuk dapat mewujudkan efisiensi
dan kesejahteraan masyarakat. Bila persaingan dipelihara secara konsisten, akan
tercipta kemanfaatan bagi masyarakat konsumen, yaitu berupa pilihan produk
yang bervariatif dengan harga pasar serta dengan kualitas tinggi. Sebaliknya, bila
persaingan dibelenggu oleh peraturan-peraturan, atau dihambat oleh perilaku-
perilaku usaha tidak sehat dari perilaku pasar, maka akan muncul dampak
kerugian pada konsumen.9
7Teguh Sulistia, “Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Dalam
Ekonomi Pasar Bebas,” Jurnal Hukum Bisnis (Volume 22, Nomor 5 Tahun 2003), hlm. 64.
8Ridwan Khairandy, “Membudayakan Persaingan Sehat,” Jurnal Hukum Bisnis (19 Juni
2002), hlm. 4.
9Irna Nurhayati, “Kajian Hukum Persaingan Usaha: Kartel Antara Teori dan Praktik,”
Jurnal Hukum Bisnis (Volume 30, Nomor 2 Tahun 2011), hlm. 6.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
5
Universitas Indonesia
Hukum persaingan (hukum anti monopoli) diperlukan tidak hanya dalam
rangka menjamin kebebasan untuk bertindak seluas mungkin bagi pelaku usaha,
tetapi juga menentukan garis pembatas antara pelaksanaan kebebasan pelaku
usaha tersebut dengan penyalahgunaan kebebasannya itu (freedom paradox). Jadi
hukum anti monopoli membangun kerangka kerja dalam upaya mengatur
keseimbangan kepentingan diantara para pelaku usaha, juga keseimbangan
kepentingan pelaku usaha dengan kepentingan masyarakat konsumen. Agar
hukum anti monopoli dapat tetap terjaga keharmonisan kepentingan diantara
pelaku usaha dengan masyarakat, maka hukum anti monopoli harus dapat
menjaga efektivitas dari persaingan usaha. Hal ini patut diperhatikan Karena
seringkali kebijakan persaingan usaha justru mengancam persaingan dengan
aturan-aturan yang membelenggu dan menghambat persaingan. Ancaman
persaingan usaha lainnya juga datang dari para pelaku usaha sendiri yang secara
sengaja melakukan berbagai strategi bisnis yang menghambat persaingan.10
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 199911
tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, untuk pertama kalinya dalam
sejarah Indonesia mengundangkan hukum persaingan usaha yang komprehensif ,
tepatnya pada tanggal 5 Maret 1990, yang termuat dalam Lembaran Negara RI
Tahun 1999 Nomor 33. Secara tegas dalam substansinya, Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1999 menetapkan tujuan yang hendak dicapai dari pemberlakuannya
yaitu untuk menjamin kepentingan umum, meningkatkan efisiensi perekonomian
nasional, meningkatkan kesejahteraan rakyat, mewujudkan iklim usaha yang
kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin
adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, kecil
dan menengah, mencegah praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat
10
Ibid. 11
Undang-Undang tersebut merupakan hasil inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
yang diundangkan pada tanggal 5 Maret 1999 dan berlaku sejak tanggal 5 Maret 2000, lihat dalam
Sutan Remy Sjahdeni, “Latar Belakang, Sejarah, dan Tujuan UU Larangan Monopoli,” Jurnal
Hukum Bisnis (Mei-Juni 2002), hlm. 5. Sebelum lahirnya Undang-Undang tersebut, pengaturan
persaingan usaha dapat kita jumpai dalam Pasal 382 bis KUHP, Pasal 1365 KUH Perdata, dan
lainnya, lihat dalam Susanti Adi Nugroho, Pengaturan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia,
(Jakarta: Puslitbang Mahkamah Agung, 2001), hlm. 13-14.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
6
Universitas Indonesia
yang ditimbulkan pelaku usaha demi terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam
kegiatan usaha.12
Pembahasan tentang persaingan tidak sehat dan tindak pidana monopoli,
selama ini diatur baik secara eksplisit maupun implisit oleh pemerintah dalam
berbagai perundang-undangan yang ada. Misalnya dalam Pasal 382 bis W.V.S.
(KUHP),13
Pasal 1365 KUHPerdata,14
Pasal 81 dan 82 Undang-Undang Nomor 19
Tahun 1992 yang telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997.15
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang perindustrian,16
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas khususnya dalam Bab VII (Pasal
102 sampai dengan 109),17
Undang-Undang Koperasi Nomor 5 Tahun 1992.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, Undang-Undang
12
Insan Budi Maulana, Catatan Singkat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2000), hlm. 12.
13
Barang siapa mendapatkan, melangsungkan atau memperluas hasil perdagangan atau
perusahaan milik sendiri atau orang lain, melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan
khalayak umum atau seseorang tertentu, diancam karena persaingan curang dengan pidana paling
lama satu (1) tahun empat bulan atau denda paling banyak Rp. 13.500,- jika hal itu dapat
menimbulkan kerugian bagi saingannya sendiri atau saingan orang lain. 14
Setiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang menimbulkan suatu kerugian tersebut karena kesalahannya untuk
mengganti kerugian tersebut. 15
Pasal 81 dan 82 pada intinya melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak
menggunakan merek yang sama dengan merek terdaftar milik orang lain atau milik badan hukum
untuk barang dan jasa sejenis yang diproduksi dan atau diperdagangkan. Menurut Pasal 82
perbuatan yang diatur dalam Pasal 81 dan 82 merupakan kejahatan. 16
Dalam Pasal 7 memuat ketentuan kewenangan pemerintah untuk melakukan
pengaturan, pembinaan dan pengembangan terhadap industri untuk: (1) mewujudkan
pengembangan industri yang lebih baik, secara sehat dan berhasil guna, (2) mengembangkan
persaingan yang baik dan sehat serta mencegah persaingan tidak jujur, (3) mencegah pemutusan
atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perorangan dalam bentuk monopoli yang
merugikan masyarakat. 17
Pasal 102 sampai dengan 109 yang mengenai penggabungan (merger), peleburan
(konsolidasi), pengambilalihan (akuisisi). Dalam Pasal 104 ayat 1 disebutkan bahwa
penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan perseroan harus memperhatikan: (a). Kepentingan
perseroan, pemegang saham minoritas, dan karyawan perusahaan. (b) kepentingan masyarakat dan
persaingan sehat dalam melakukan usaha. Ketentuan ini menegaskan bahwa penggabungan
(merger), peleburan (konsolidasi), dan pengambilalihan (akuisisi) tidak dapat dilakukan kalau
merugikan kepentingan pihak-pihak tertentu dan harus dicegah terjadinya berbagai bentuk
monopoli dan monopsoni.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
7
Universitas Indonesia
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan dalam berbagai
putusan hakim di pengadilan.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 maka dibentuk pula
Komisi Pengawas Persaingan Usaha. KPPU memegang peranan yang sangat
penting yang mana dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
dikatakan bahwa komisi dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang
ini. Selain melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, komisi juga
bertugas melakukan penilaian terhadap kegiatan atau aktivitas pelaku usaha yang
bertentangan dengan undang-undang.18
Tujuan hukum persaingan usaha itu hanya akan dapat dicapai jika segala
bentuk praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dapat dicegah. Sekali
lagi ditegaskan bahwa yang dilindungi dalam hukum persaingan adalah proses
persaingan itu sendiri agar dapat berjalan sehat tanpa kecurangan. Untuk itu
undang-undang melarang tindakan-tindakan dan perjanjian-perjanjian tertentu
yang anti persaingan.19
Pengertian Persaingan Usaha Tidak Sehat menurut Pasal 1 angka 6
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah Persaingan antar pelaku usaha
dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa
yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat
persaingan usaha.
Salah satu ancaman dari pelaku usaha tersebut adalah dengan melakukan
praktik kartel. Kartel merupakan jenis perjanjian yang dilakukan oleh para pelaku
usaha yang anti terhadap persaingan. Para pelaku usaha ini melakukan perjanjian
untuk mempengaruhi harga melalui pengaturan proses produksi maupun
pengaturan wilayah pemasaran produk, sebagai akibat daripada perjanjian tersebut
dapat menimbulkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang dapat
merugikan konsumen selaku pemakai barang dan jasa juga kepada pemerintah dan
terlebih bagi pelaku usaha lainnnya yang tidak termasuk dalam Cartellist. Padahal
18
Kurnia Toha, “Implikasi UU No. 5 Tahun 1999 terhadap Hukum Acara Pidana,” Jurnal
Hukum Bisnis (Volume 19, Mei - Juni 2002), hlm. 21. 19
Ibid.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
8
Universitas Indonesia
kegiatan kartel merupakan sebuah perjanjian yang jelas-jelas dilarang dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Begitu juga dengan Perjanjian Penetapan Harga. Competition Law tertua
adalah Sherman Act yang diberlakukan Amerika Serikat pada tahun 1890.20
Perjanjian penetapan harga merupakan ketentuan pertama yang dilarang dalam
Sherman Act. Selengkapnya Pasal 1 Sherman Act menyatakan:“Every contract,
combination in the form of trust or otherwise, or conspiracy, in restraint of trade
or commerce among the several State, or with foreign nations, is declared to be
illegal”. Secara eksplisit, Pasal 1 dari Sherman Act tidak memunculkan
terminologi perjanjian penetapan harga. Tetapi dengan melakukan penafsiran dan
intepretasi yang luas, kita dapat melihat apakah perjanjian penetapan harga
dikategorikan sebagai ketentuan yang dilarang dalam Sherman Act yang termasuk
sebagai ketentuan yang dilarang adalah setiap perjanjian (every contract, termasuk
perjanjian penetapan harga) yang dilakukan oleh pelaku usaha, yang bersifat
menghambat dan/atau membatasi perdagangan (restraint of trade). Perjanjian
penetapan harga yang mempunyai sifat menghambat inilah yang umumnya
dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya. Isi dari perjanjian
tersebut adalah menaikkan harga atau menetapkan harga pada level tertentu yang
bertujuan untuk meningkatkan harga barang atau jasa setinggi mungkin dan
memaksimalkan keuntungan.21
Perjanjian penetapan harga memiliki potensi untuk mendistorsi pasar
karena menimbulkan kenaikan harga yang sangat tinggi. Harga yang mahal akibat
perjanjian penetapan harga dikarenakan harga yang terbentuk tidak melalui
20
Amerika Serikat merupakan negara yang konon paling tua hukum persaingan usahanya.
Pengaturan persaingan usaha di Amerika Serikat telah eksis sejak diterbitkannya Sherman Act
pada tahun 1889. Akan tetapi, Kanada sesungguhnya sudah memiliki hukum sejenis itu setahun
sebelumnya, yakni Combines Investigation Act (CIA) pada tahun 1889. Namun ketentuan
persaingan usaha yang komprehensif baru dimiliki Kanada pada saat diundangkannya Competition
Act tahun 1986 yang kemudian diperbaruhi pada tahun 1976. Lihat Firoz Gaffar, “Hukum Acara
Persaingan Usaha: Telaah Kritis Atas Sejumlah Problem,” Jurnal Hukum Bisnis (Januari 2006),
hlm. 60.
21
R.S. Khemani dan D.M. Shapiro, Glossary of Industrial Organization Economics and
Competition Law, (Paris: Organization for Economic Co-Operation and Development, 1990), hlm.
69.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
9
Universitas Indonesia
mekanisme pasar atau hukum supply dan demand sebagaimana mestinya.
Perjanjian penetapan harga mengakibatkan tidak terjadinya mekanisme
penyesuaian secara otomatis (automatic adjustment).22
Akibatnya konsumen tidak
mempunyai pilihan lain selain harus membayar pada level harga yang telah
ditentukan.23
Kartel sendiri kadangkala diartikan secara sempit, namun di sisi lain juga
diartikan secara luas. Dalam arti sempit, kartel adalah sekelompok perusahaan
yang seharusnya saling bersaing, tetapi mereka justru menyetujui satu sama lain
untuk ”menetapkan harga” guna meraih keuntungan monopolistis. Sedangkan
dalam pengertian luas, kartel meliputi perjanjian antara para pesaing untuk
membagi pasar, mengalokasikan pelanggan, dan menetapkan harga. Jenis kartel
yang paling umum terjadi di kalangan penjual adalah perjanjian penetapan harga,
perjanjian pembagian wilayah pasar atau pelanggan, dan perjanjian pembatasan
output. Sedangkan yang paling sering terjadi di kalangan pembeli adalah
perjanjian penetapan harga, perjanjian alokasi wilayah dan big rigging.24
Para
pengusaha sejenis dapat mengadakan kesepakatan untuk menyatukan perilakunya
sedemikian rupa, sehingga mereka terhadap konsumen berhadapan sebagai satu
kesatuan, yang dampaknya adalah seperti memegang monopoli. Hal yang
demikian disebut “kartel ofensif”. Pengaturan persaingan juga bisa diadakan
untuk menghindarkan diri dari cara-cara bersaing yang sudah menjurus pada
penghancuran diri sendiri, karena sudah menjurus pada perang harga dengan
harga yang lebih rendah daripada harga pokoknya. Persaingan sudah terjerumus
pada “cut throat competition“. Dalam keadaan yang demikian, semua perusahaan
22
Automatic adjustment adalah proses penyesuaian secara otomatis berdasarkan
keseimbangan penawaran dan permintaan dengan harga sebagai signal. Jika permintaan meningkat
sedangkan penawaran tetap maka akan berdampak pada kenaikan harga. Kenaikan harga inilah
yang menjadi signal bagi pendatang baru untuk masuk ke pasar. Sebaliknya, jika permintaan
berkurang sementara penawaran tetap maka akan berdampak pada penurunan harga. Penurunan
harga ini akan menjadi signal bagi produsen untuk mengurangi penawaran atau keluar dari pasar.
Lihat: Dendi Ramdani, “Analisis Persaingan Usaha Industri Penerbangan,” Jurnal Hukum
Persaingan Usaha, Lembaga Kajian Persaingan dan Kebijakan Usaha Fakultas Hukum
Universitas Indonesia (Volume 1, mei 2004), hlm. 10. 23
R.S. Khemani dan DM. Shapiro. Op. Cit., hlm. 51.
24
Ridwan Khairandy, “Analisis Putusan KPPU dan Pengadilan Negeri dalam
Persekongkolan Tender PT. Indomobil,” Jurnal Hukum Bisnis (Volume 24, Tahun 2005), hlm.
263.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
10
Universitas Indonesia
akan merugi, dan akhirnya bangkrut. Kalau pengaturan persaingan di antara
perusahaan sejenis dimaksudkan untuk menghindarkan diri dari keadaan yang
demikian, namanya adalah “kartel defensif”. Kalau kartelnya defensif, pemerintah
justru memberikan kekuatan hukum kepada kartel defensif tersebut, sehingga
yang tidak ikut di dalam kesepakatan dipaksa oleh kekuatan undang-undang untuk
ikut mematuhi kesepakatan mereka.
Kondisi yang menguntungkan kartel meliputi hambatan atau lambannya
masuk pasar, termasuk biaya terbuang (sunk cost) dan permintaan yang tidak
elastis pada harga bersaing. Biaya tinggi masuk pasar merupakan hambatan jika
pendatang baru harus memikul beban lebih tinggi dibanding dengan peserta/
anggota (kartel) yang sudah ada. Rendahnya kecepatan masuk pasar dapat
mendorong kartelisasi, walaupun jika hanya mengizinkan pelaku usaha yang ada
meraih keuntungan jangka pendek. Hambatan lain masuk pasar dapat mencakup
masalah-masalah biaya dan permintaan, termasuk paten dan perizinan, langkanya
sumber daya, dan diferensiasi produk atau kesetiaan konsumen. Kondisi lain yang
menguntungkan kartel ialah biaya pelaksanaan dan kebijakan yang rendah –
semakin sedikit pelaku usaha peserta, semakin mudah melaksanakannya.25
Hukum persaingan usaha memiliki aturan-aturan yang digunakan untuk
membatasi tingkah laku dari pelaku usaha. Pembatasan tersebut seperti perjanjian
yang dilarang, kegiatan yang dilarang dan tentang penyalahgunaan posisi
dominan. Dalam kategorisasi larangan, kartel masuk ke dalam kelompok
horizontal restraint.26
Horizontal restraint merupakan restraint of trade atau praktek persaingan
usaha tidak sehat yang berakibat merugikan sesama pelaku usaha dalam derajat
horizontal yang sama. Yang termasuk horizontal restraint adalah upaya di antara
beberapa pelaku usaha untuk membentuk kartel, sehingga memiliki kekuasaan
untuk membatasi output dan untuk mendikte harga jual. Kartel juga memiliki
kemampuan untuk mengadakan kesepakatan guna melakukan pemboikotan para
25
Luis Tineo and Maria Coppola, Competition Policy and Economic Growth in
Indonesia: A Report on Issues and Options, (Washington DC: World Bank, 2001), hlm. 13.
26
Sutan Remy Sjahdeni, “Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat,” Jurnal Hukum Bisnis (Volume 10, Tahun 2000), hlm. 11.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
11
Universitas Indonesia
pelaku usaha pesaingnya, upaya melakukan banting harga guna mematikan usaha
pesaingnya, upaya melakukan diskriminasi harga, dan melakukan price fixing
agreement (perjanjian penetapan harga).27
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 pada Bab III bagian kedua mulai
dari Pasal 5 sampai dengan Pasal 8 menempatkan perjanjian penetapan harga
sebagai bentuk perjanjian yang dilarang. Undang-undang ini nampaknya tidak
memisahkan struktur antara perjanjian penetapan harga yang bersifat horizontal
dan vertikal, hal ini terlihat dari pemakaian judul: “penetapan harga”.28
Perjanjian yang bersifat membatasi (restrictive agreements) adalah
terlarang jika dilakukan antara pelaku usaha privat maupun publik, dengan kata
lain bahwa perjanjian tersebut disetujui oleh semua individu, rekanan
(partnership), perusahaan yang melakukan kegiatan usaha tertentu dalam hal
penjualan barang atau jasa perdagangan berkaitan dengan pelaku usaha. Namun
demikian, perjanjian di antara pelaku usaha pengawas (controlling) dan yang
diawasi (controlled), misalnya antara perusahaan induk (parent companies) dan
anak perusahaan (subsidiary companies), atau antara perusahaan-perusahaan yang
terafiliasi bukan termasuk dalam jenis perjanjian ini, karena perjanjian tersebut
termasuk kesepakatan antara dua pelaku usaha yang berbeda tingkatannya, atau
disebut juga dengan perjanjian vertikal.29
Kartel sendiri adalah salah satu dari beberapa jenis perbuatan yang
dilarang dalam hukum persaingan.30
Berdasarkan hukum anti monopoli, kartel
dilarang di hampir semua Negara. Walaupun demikian, kartel tetap ada baik
27
Ibid.
28
Knud Hansen, et al., Op. Cit., hlm. 136-137. 29
Martin Heidenhain, et al., German Antitrust Law, (Frankfurt am Main: Verlap Fritz
Knapp Gmbh, 1999), hlm. 17.
30
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 33. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817. Lihat Pasal 11 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang menyatakan definisi Kartel adalah: suatu tindakan yang
dilakukan oleh pelaku usaha melalui perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya dengan maksud
untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan / atau pemasaran suatu barang dan atau
jasa, yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
12
Universitas Indonesia
dalam lingkup nasional maupun internasional, formal maupun informal.
Berdasarkan definisi ini, satu entitas bisnis tunggal yang memegang monopoli
tidak dapat dianggap bersalah jika menyalahgunakan monopoli yang dimilikinya.
Kartel biasanya timbul dalam kondisi oligopoli, dimana terdapat sejumlah
kecil penjual. Bila kesepakatan kartel dicapai antara pelaku usaha dan pesaingnya,
mereka dapat melakukan tindakan seperti penetapan harga, membatasi jumlah
produk (supply), pembagian wilayah dan konsumen, bergiliran menjadi pemenang
tender dan lain sebagainya.
Tidak dapat disangkal bahwa agar suatu aturan hukum dapat ditegakkan
secara baik, diperlukan organ penegak hukum yang memadai. Suatu aturan
hukum, betapapun baiknya secara substantif, tidak akan berjalan dengan baik
apabila tidak didukung oleh sistem penegak hukum yang baik pula.31
Untuk dapat terwujudnya ketentuan-ketentuan tentang anti monopoli ini ke
dalam praktek, maka dibutuhkan suatu badan yang tugas pokoknya adalah untuk
mengawasi pelaksanaan dari ketentuan-ketentuan tentang persaingan usaha. Oleh
karena itu, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 telah membentuk apa yang
disebut dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Melewati 10 Tahun penegakan hukum persaingan usaha di Indonesia,
terdapat berbagai perkembangan yang dapat dilihat, baik dari sisi jumlah
penanganan perkara maupun dari sisi substansi persaingan yang ditangani.
Berdasarkan statistik penanganan perkara dari tahun 2000 - 2010, kasus
persaingan masih didominasi oleh kasus tender yang persentasenya mencapai 69%
dari kasus yang masuk. Sisanya sebanyak 31% berupa kasus yang terkait dengan
penyalahgunaan posisi dominan, kartel, monopoli dan kepemilikan saham. Dari
31% kasus non tender, kasus kartel yang menjadi salah satu perhatian besar dalam
hukum persaingan usaha mencapai 2,2% dari jumlah kasus yang masuk.32
Kasus kartel merupakan salah satu kasus yang sulit untuk dibuktikan.
Meskipun dari jumlah perkara yang masuk kelihatan besar, akan tetapi
pembuktian kasus kartel sendiri sulit untuk dilakukan, sehingga tidak heran hanya
31
Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hlm. 49.
32
KPPU, Laporan Lima Tahun Komisi Pengawas Persaingan Usaha, (Jakarta: Komisi
Pengawas Persaingan Usaha, 2005), hlm. 34.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
13
Universitas Indonesia
sedikit jumlah kasus kartel yang ditangani. Kartel menjadi sulit dideteksi karena
pada faktanya perusahaan yang berkolusi berusaha menyembunyikan perjanjian
antar mereka dalam rangka menghindari hukum. Jarang sekali pelaku usaha yang
secara terang-terangan membuat perjanjian antar mereka, membuat dokumen
hukum, mengabadikan pertemuan, serta mempublikasikan perjanjian, sehingga di
mata hukum persaingan dapat dijadikan bukti langsung perjanjian.
Dari kasus perjanjian penetapan harga dan kartel yang ditangani KPPU
pada tahun 2009 hingga 2010, terdapat beberapa kasus, seperti kasus Penetapan
Harga Fuel Surcharge Dalam Industri Jasa Penerbangan Domestik, kasus minyak
goreng, kasus kartel dalam industri semen, dan kasus Industri Farmasi Kelas
Terapi Amlodipine. Dalam kasus-kasus tersebut, terdapat penafsiran mengenai
kondisi di pasar yang diperkuat dengan teori ekonomi bahwa terjadi parallel
behaviour yang merujuk terjadinya suatu kolusi dan juga penafsiran penetapan
harga menjadi sebuah kartel harga.
Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana telah diuraikan di atas
maka penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut, apakah ada keterkaitan antara
perjanjian penetapan harga dengan praktek kartel di Indonesia. Untuk itu penulis
ingin menuangkannya dalam bentuk tesis yang berjudul: “Relevansi Antara
Perjanjian Penetapan Harga Dengan Kartel Dalam Praktek Persaingan
Usaha Tidak Sehat: Studi Terhadap Putusan-Putusan KPPU Pada Tahun
2009 Hingga 2010”.
1.2 Pokok Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan
beberapa pokok permasalahan yang ingin diulas oleh penulis, yaitu sebagai
berikut:
1. Apakah terdapat hubungan yang signifikan antara perjanjian penetapan
harga dengan kartel dalam praktek persaingan usaha tidak sehat di
Indonesia?
2. Bagaimanakah karakteristik putusan KPPU dalam memutus penyelesaian
perkara perjanjian penetapan harga dan kartel di Indonesia pada tahun
2009 hingga 2010?
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
14
Universitas Indonesia
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk menggambarkan dan menganalisis apakah terdapat hubungan yang
signifikan antara perjanjian penetapan harga dengan terjadinya suatu kartel
dalam persaingan usaha di Indonesia.
2. Untuk menggambarkan dan menganalisis informasi mengenai karakteristik
putusan KPPU dalam memutus penyelesaian perkara kartel di Indonesia
terkait dengan adanya perjanjian penetapan harga.
1.4 Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan kegunaan secara teoritis
maupun praktis. Kegunaan teoritis dalam arti bahwa penelitian ini bermanfaat
bagi pengkajian konseptual disiplin hukum ekonomi khususnya dalam kartel
persaingan usaha tidak sehat. Penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh para
pengemban hukum secara teoritis untuk mengkritisi model penanganan perkara
kartel yang terjadi di Indonesia. Memahami karakteristik kartel yang terjadi pada
aspek hukum dan ekonomi sehingga memberi masukan dalam menciptakan
hukum yang lebih respon terhadap persaingan usaha tidak sehat.
Sedangkan secara praktis hasil penilitian diharapkan memberikan
pemahaman yang lebih komprehensif mengenai bentuk-bentuk kartel yang terjadi
sehingga penanganan perkara kartel dapat diketahui dan dijerat untuk
menciptakan persaingan usaha yang sehat. Dalam hal ini lembaga Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) khususnya yang mempunyai wewenang dan
peran strategis dalam menangani perkara baik secara inisiatif maupun laporan-
laporan yang diterima.
1.5 Kerangka Teori
Penelitian dalam penyusunan tesis ini mengacu pada kerangka teori
tentang campur tangan negara dalam bidang perekonomian, khususnya pengaturan
pasar dalam konsep negara kesejahteraan (welfare state).
Konsep negara kesejahteraan pada dasarnya dikembangkan dalam konteks
ekonomi pasar (market economy) dan dalam hubungannya dengan sistem ekonomi
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
15
Universitas Indonesia
campuran (mixed economy). Peranan negara dalam konsep negara kesejahteraan
menurut Briggs adalah “…to modify the play of market forces” (…
memodifikasikan berbagai kekuatan pasar)33
. Perlunya pengendalian dan
pembatasan terhadap bekerjanya kekuatan–kekuatan pasar tersebut adalah untuk
mengatasi unsur-unsur negatif yang tidak diharapkan sebagai hasil (outcome) atau
akibat bekerjanya kekuatan-kekuatan pasar tersebut. Menurut Goodin dalam
negara kesejahteraan, campur tangan negara dalam mengatur pasar dilukiskannya
sebagai “… a public intervention in private market economy” (… campur tangan
publik dalam ekonomi pasar swasta34
. Tujuannya tidak lain adalah guna
meningkatkan kesejahteraan umum (promoting public welfare) dan
memaksimumkan kesejahteraan sosial (to maximize social welfare) sehingga
memperkecil dampak kegagalan pasar (market failure) terhadap masyarakat yang
disebabkan oleh apa yang disebutnya moral hazard dan penggunaan yang keliru
terhadap berbagai sumber daya (misallocation of resources)35
Berkaitan dengan tujuan negara Indonesia, sebagaimana tercantum dalam
Penjelasan UUD 1945, yaitu:
Alinea kedua menyatakan: ... negara Indonesia, yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur, dan alinea keempat menyatakan: ...
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...
Dapat ditarik kesimpulan bahwa negara yang ingin dibentuk oleh bangsa
Indonesia ialah “Negara Kesejahteraan”. Negara Indonesia sebagai negara hukum
atau rechstaat tidak saja mengutamakan kesejahteraan rakyat sebagaimana
dimaksudkan dalam arti welfare state. Tujuan negara sebagaimana tercantum
33
A. Briggs, “The Welfare State in Historical Perspective” dalam Archives Europeenes de
Sociologie 2: 221 - 58 sebagaimana dikutip dalam Donald J. Moon, ed., Responsibility Rights &
Welfare, The theory of the Welfare State, (Colorado: Westview Press Inc., Boulder, 1988), hlm.
21. 34
Robert E. Goodin, “Reason for Welfare, Economic, Sociological and Political but
Ultimately Moral” dalam: Responsibility Right &Welfare, The Theory of the Welfare State,
Donald J. Moon (editor), Ibid., hlm. 22.
35
Ibid., hlm. 24 dan 33.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
16
Universitas Indonesia
dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut adalah untuk membentuk manusia
Indonesia seutuhnya berdasarkan Pancasila dalam alam masyarakat adil dan
makmur.36
Dari uraian di atas, baik mengenai negara hukum maupun negara
kesejahteraan secara eksplisit, terkandung makna bahwa negara atau pemerintah
mempunyai kewajiban yang mutlak untuk menyelenggarakan kesejahteraan
rakyat.
Iklim persaingan yang sehat merupakan conditio sine qua non (syarat
mutlak) bagi terselenggaranya ekonomi pasar.37
Lingkungan yang dinamis dan
kompetitif, didukung oleh undang-undang dan kebijakan yang sehat, adalah
karakteristik penting dari suatu ekonomi pasar yang berhasil. Dalam sistem
ekonomi pasar yang mengandalkan proses persaingan, maka setiap produsen atau
penjual akan berhasil bila bertindak efisien dan inovatif.38
Tetapi pada prakteknya,
pelaku pasar tidak bertindak efisien dalam upaya menguasai pasar, dimana pelaku
pasar cenderung untuk menghindari adanya persaingan dan melakukan hal-hal
yang merugikan konsumen.
Upaya penguasaan pasar dilakukan oleh pelaku pasar baik secara
independent maupun melalui kolaborasi dengan para pesaing secara bersama-
sama. Dalam kaitannya dengan persaingan yang sempurna, maka pesaing adalah
pelaku pasar potensial lainnya yang berkompetisi untuk menguasai pasar untuk
mengakomodasikan tindakan mereka, baik secara eksplisit maupun diam-diam
(tacit collusion).39
Salah satu cara untuk menguasai pasar adalah dengan cara menghambat
para pesaingnya untuk masuk di pasar bersangkutan. Hambatan dalam
36
Arifin P. Soeria Atmadja, Mekanisme Pertanggungjawaban Keuangan Negara,
(Jakarta: Gramedia, 1986), hlm. 3.
37
Norman S. Pakpahan, Pokok-Pokok Pikiran tentang Hukum Persaingan Usaha,
(Jakarta: ELIPS, 1994), hlm. 2. Lihat pula Abdul Hakim G. Nusantara dan Benny K. Harman,
Analisa dan Perbandingan Undang-Undang Anti Monopoli, (Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo, 1999), hlm. 2. 38
Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan di Indonesia, (Medan: Pustaka Bangsa
Press, 2004), hlm. 57. 39
Ibid.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
17
Universitas Indonesia
perdagangan biasanya dilakukan untuk mencegah terjadinya proses persaingan
yang wajar,40
sehingga dapat menimbulkan kerugian yang signifikan dalam
kegiatan usaha, terutama bagi para pihak yang berkaitan langsung dengan bidang-
bidang usaha yang bersangkutan.
Dalam menentukan terjadinya hambatan dalam persaingan, mensyaratkan
terlebih dahulu adanya hubungan persaingan usaha dalam pemasaran atau
produksi barang dan atau jasa.41
Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
persaingan usaha tidak sehat hanya dapat terjadi apabila ada hubungan persaingan
usaha diantara paling sedikit dua pelaku usaha.
Di antara pelaku usaha terdapat berbagai jenis hubungan persaingan usaha,
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 memuat semua hubungan persaingan
antara pelaku usaha yang dapat dipisahkan antara horizontal dan vertikal.
Hubungan vertikal terjadi di antara pelaku usaha di tingkat pasar berlainan,
sedangkan dalam hubungan persaingan usaha horizontal ada dua pelaku usaha
yang secara nyata atau berpotensi bersaing dalam suatu pasar yang relevan dari
segi jenis yang diperdagangkan maupun dari segi wilayah.42
Jadi pada dasarnya, terdapat dua jenis hambatan dalam perdagangan, yakni
hambatan horizontal dan vertikal. Hambatan horizontal adalah suatu tindakan
dimana ketika para pesaing dalam bidang usaha sejenis terlibat dalam perjanjian
yang mempengaruhi perdagangan di wilayah tertentu.43
Berbeda dengan jenis
hambatan horizontal, hambatan vertikal adalah hambatan perdagangan yang
terjadi di antara para pelaku usaha dari tingkatan yang berbeda dalam rangkaian
40
Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menyatakan, bahwa “Persaingan usaha tidak sehat
adalah persaingan antara pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran
barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau
menghambat persaingan usaha.” 41
Knud Hansen, et al, Op. Cit., hlm. 66. 42
Ibid.
43
E. Thomas Sullivan dan Jeffrey L. Harrison, Understanding and Its Economic
Implication, (New York: Matthew Bender & Co., 1994), hlm. 75.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
18
Universitas Indonesia
produksi dan distribusi atau tingkat perdagangan yang berbeda.44
Dalam kaitan
tersebut, yang dimaksud hambatan vertikal (vertical restraint) adalah suatu garis
vertikal imaginair (imaginary vertical line) yang dapat ditarik dari mulai proses
pengolahan bahan baku dalam tahapan produksi sampai menjadi barang jadi,
kemudian sampai kepada tahap-tahap pemasaran dan akhirnya sampai kepada
konsumen.45
Dalam hambatan yang telah diuraikan di atas, salah satu hambatan adalah
mengenai perjanjian di antara pelaku usaha yang dianggap dapat membatasi atau
anti persaingan. Perjanjian tersebut dapat dilakukan secara tertulis maupun tidak
tertulis. Salah satu bentuk perjanjian yang dilarang dalam Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1999 adalah Perjanjian Penetapan Harga. Perjanjian penetapan harga
sendiri dapat berbentuk horizontal maupun vertikal.
Untuk mengetahui apakah pelaku usaha telah melanggar Undang-Undang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 menerapkan pendekatan per se illegal atau rule of reason.
Per se illegal sering juga disebut per se violation, istilah ini mengandung maksud
bahwa jenis-jenis perjanjian tertentu, misalnya penetapan harga (horizontal price
fixing) dianggap secara inheren bersifat anti kompetitif dan merugikan masyarakat
tanpa perlu ada pembuktian bahwa perbuatan tersebut secara nyata telah merusak
persaingan. Dalam mengidentifikasi perilaku pelaku usaha. Dalam pendekatan ini,
yang penting diketahui adalah pembuktian tentang perjanjian yang dilarang baik
secara tertulis maupun tidak tertulis.
Sedangkan dalam pendekatan rule of reason suatu perbuatan yang
dituduhkan melanggar hukum persaingan, pencari fakta harus mempertimbangkan
keadaan disekitar kasus untuk menentukan apakah perbuatan itu membatasi
persaingan secara tidak patut dan untuk itu disyaratkan penggugat dapat
44
Lawrence Anthony Sullivan, Antitrust, (St. Paul Minnesota: West Publishing, Co.,
1977), hlm. 657. Lihat pula pendapat yang mengatakan bahwa hambatan vertikal adalah hubungan
antara pelaku usaha dengan pelaku usaha yang merupakan suatu jaringan proses produksi, yang
dapat terjadi dalam satu perusahaan maupun antara produser dengan distributor atau dealer, dalam
Ningrum Natasya Sirait, “Pembuktian dalam Pelanggaran Hukum Persaingan”, (Makalah
disampaikan pada Seminar KPPU dan JFTC-JICA, Karawaci, 30 Agustus 2006), hlm. 3. 45
Sutan Remy Sjahdeni, “Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat”, Loc. Cit.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
19
Universitas Indonesia
menunjukkan akibat anti kompetitif, atau kerugian yang nyata terhadap
persaingan dan tidak berupa apakah perbuatan itu tidak adil maupun melawan
hukum.46
Pada pendekatan ini diperlukan analisis ekonomi untuk mengetahui
apakah perilaku pelaku usaha telah menghambat persaingan. Dalam hal inilah
diperlukan analisa ekonomi terhadap hukum.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebut bentuk-
bentuk larangan. Dalam hal ini ada beberapa bentuk, pertama adalah prinsip
larangan terhadap penguasaan (dalam jumlah presentase tertentu) struktur pasar
tertentu. Dalam hal ini undang-undang yang menentukan presentase tertentu untuk
mengkategorikan telah bertindak monopoli atau tidak. Kedua adalah prinsip
larangan terhadap prilaku dari pengusaha (behavioral practices), yakni adanya
perilaku yang menjurus kepada persaingan usaha tidak sehat atau tindak
monopoli. Dengan perilaku monopoli dan struktur pasar, maka dibutuhkan
peraturan yang dapat mengatur regulasi pasar secara fair dan terjadi persaingan
secara sehat. Secara umum, substansi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
dapat dilihat sebagai berikut:
1. Larangan terhadap yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli atau persaingan tidak sehat. Ketentuan ini diatur dalam Pasal
4; Pasal 7 sampai dengan 9; Pasal 10 sampai dengan Pasal 14; Pasal
22; Pasal 23.
2. Penetapan harga konsumen sampai tingkat tertentu, perjanjian
eksekutif, serta perjanjian lisensi dan know how. Ketentuan ini diatur
dalam pasal 5; Pasal 6; Pasal 15; dan Pasal 50 huruf b.
3. Larangan penggabungan atau peleburan badan usaha yang
menyebabkan terjadinya posisi dominan di pasar atau persaingan usaha
tidak sehat. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 26 sampai dengan Pasal
29.
4. Larangan tindakan merugikan konsumen, pemasok atau penerima
barang dengan cara menyalahgunakan posisi dominan di pasar.
ketentuan ini diatur dalam Pasal 17 dan Pasal 18.
46
Daniel V. Davidso, et al., Comprehensif Business Law, Principles and Cases, (London:
Kent Publishing Company, 2001), hlm. 1042.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
20
Universitas Indonesia
5. Larangan menghalangi pesaing dengan tindakan diskriminasi baik
melalui harga, syarat-syarat perdagangan atau penolakan melakukan
hubungan usaha. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 7; Pasal 8; Pasal 16;
dan Pasal 19 sampai dengan 21.
6. Pengaturan tentang lembaga pengontrol persaingan usaha yang
diserahkan kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Ketentuan ini diatur dalam Pasal 30 sampai dengan 37.
Penelitian ini dilakukan dengan terlebih dahulu memahami mengenai
konsep-konsep yang terdapat dalam kegiatan persaingan usaha, khusus
pemahaman mengenai perjanjian penetapan harga dan kartel, yang mana hal ini
dilakukan agar penggunaan landasan berpikir sesuai dengan judul yang
ditentukan. Pemahaman konsep yang dilakukan dalam penyusunan laporan
penelitian ini disesuaikan dengan pokok pikiran tentang persaingan usaha tidak
sehat.
Dari kasus kartel yang ditangani KPPU, perjanjian penetapan harga juga
pernah terbukti dilakukan pada beberapa kasus, seperti kasus Penetapan Harga
Fuel Surcharge dalam Industri Jasa Penerbangan Domestik, kasus minyak goreng
dan kasus Industri Farmasi Kelas Terapi Amlodipine. Sedangkan kasus kartel
industri semen tidak terbukti terdapat penetapan harga dan kartel. Kebanyakan
otoritas persaingan usaha di berbagai negara sangat hati-hati dalam pembuktian
kartel. Sebagai contoh, berbagai keadaan yang sering ditengarai sebagai indikator
adanya kartel sebenarnya perbedaannya sangat tipis dengan situasi dimana
persaingan secara sehat berlangsung. Misalnya, tentang indikasi harga yang
paralel (price parallelism) sering dianggap sebagai tindakan yang dilakukan
secara bersama-sama secara kolusif untuk menentukan harga (price fixing) oleh
para anggota kartel. Dalam praktiknya, terlalu banyak faktor yang menyebabkan
terjadinya parallelism harga, yang terjadi justru karena pasarnya bersaing secara
kompetitif.47
47
Sutrisno Iwantono. “Sulitnya Membuktikan Praktek Kartel”
http://www.kppu.go.id/id/sulitnya-membuktikan-praktik-kartel/, diunduh 25 April 2012.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
21
Universitas Indonesia
1.6 Kerangka Konsepsional
Untuk memudahkan dan membatasi permasalahan serta menghindari
perbedaan pengertian mengenai istilah-istilah yang dipergunakan dalam penelitian
tesis ini, dibawah ini diberikan definisi operasional dari istilah-istilah tersebut
sebagai berikut:
Monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau
atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok usaha.48
Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau pelaku
usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran barang dan
atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat
merugikan kepentingan umum.49
Pelaku usaha adalah setiap perorangan atau badan hukum baik yang berbentuk
badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan di
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.50
Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam
menjalankan kegaiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang
dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat
persaingan usaha.51
48
Republik Indonesia, Op. Cit., Pasal 1 angka 1.
49
Ibid., Pasal 1 angka 2.
50
Ibid., Pasal 1 angka 5. 51
Ibid., Pasal 1 angka 6.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
22
Universitas Indonesia
Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan
diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apa pun, baik tertulis
maupun tidak tertulis.52
Pasar adalah lembaga ekonomi di mana para pembeli dan penjual baik secara
langsung maupun tidak langsung dapat melakukan transaksi perdagangan barang
dan atau jasa.53
Pasar bersangkutan adalah pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah
pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau
sejenis atau substitusi dari barang dan atau jasa tersebut.54
Struktur pasar adalah keadaan pasar yang memberikan petunjuk tentang aspek-
aspek yang memiliki pengaruh penting terhadap perilaku usaha dan kinerja pasar,
antara lain jumlah penjual dan pembeli, hambatan masuk dan keluar pasar,
keragaman produk, sistem distribusi, dan penguasaan pangsa pasar.55
Konsumen adalah setiap pemakai dan atau pengguna barang dan/atau jasa baik
untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan bersama.56
Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak
maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau
dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.57
52
Ibid., Pasal 1 angka 7. Lihat juga pengertian perjanjian Pasal 1313 KUHPerdata.
53
Ibid., Pasal 1 angka 9.
54
Ibid., Pasal 1 angka 10.
55
Ibid., Pasal 1 angka 11.
56
Ibid., Pasal 1 angka 15. 57
Ibid., Pasal 1 angka 16.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
23
Universitas Indonesia
Jasa adalah setiap layanan, yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang
diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau
pelaku usaha.58
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah komisi yang dibentuk untuk
mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak
melakukan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.59
Kartel adalah suatu tindakan yang dilakuakan oleh pelaku usaha melalui
perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya dengan maksud untuk mempengaruhi
harga dengan mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan atau jasa,
yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.60
Perjanjian penetapan harga (price fixing agreement) adalah perjanjian diantara
(para) pihak penjual untuk menaikkan harga dengan tujuan membatasi persaingan
antar perusahaan dan meraih keuntungan yang lebih tinggi.61
Fuel Surcharge adalah biaya yang merupakan komponen tarif baru dalam jasa
penerbangan yang ditujukan untuk menutup biaya maskapai yang diakibatkan
oleh kenaikan avtur, yang penetapannya diserahkan kepada masing-masing
maskapai penerbangan domestik.62
58
Ibid., Pasal 1 angka 17. 59
Ibid., Pasal 1 angka 18. 60
Ibid., Pasal 1 angka 11. 61
Mustafa Kemal Rokan, Hukum Persaingan Usaha : Teori dan Praktinya di Indonesia,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 27. 62
Surat Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Departemen Perhubungan No.
37/DJU/V/2005 tanggal 27 Mei 2005.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
24
Universitas Indonesia
Bukti Langsung (direct evidence/hard evidence) adalah bukti yang dapat diamati
(observable elements) dan menunjukkan adanya suatu perjanjian penetapan harga
atas barang dan atau jasa oleh pelaku usaha yang bersaing. Di dalam bukti
langsung tersebut terdapat kesepakatan dan substansi dari kesepakatan tersebut.63
Bukti tidak langsung (indirect evidence/circumstantial evidence) adalah suatu
bentuk bukti yang tidak secara langsung menyatakan adanya kesepakatan
penetapan harga.64
1.7 Metode Penelitian
Menurut Soerjono Soekanto:
Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan, oleh karena penelitian
bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis,
metodelogis, dan konsisten melalui proses penelitian tersebut diadakan
analisa dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpul dan diolah.65
Untuk keberhasilan suatu penelitian baik dalam memberikan gambaran dan
jawaban terhadap permasalahan yang diangkat, tujuan serta manfaat penelitian
sangat ditentukan oleh metode yang dipergunakan dalam penelitian.
63
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Peraturan Komisi Pengawa Persaingan
Usaha tentang Pedoman Pasal 5 (Penetapan Harga) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Peraturan Komisi Pengawas
Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2011, (Jakarta: Komisi Pengawas Persaingan Usaha, 2011),
hlm. 16
64
Ibid. 65
Soerdjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Pers, 2008), hlm. 1.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
25
Universitas Indonesia
1. Metode Pendekatan
Penulis memilih metode penelitian normatif sebagai metode yang
dipergunakan dalam melakukan penelitian.66
2. Tipologi Penelitian
Tipologi penelitian ini bersifat deskriptif. Deskriptif artinya data hasil
penelitian diolah dan diuraikan untuk memberikan gambaran fakta-fakta
sehubungan dengan relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan
kartel.
3. Jenis Data
Penelitian ini menggunakan jenis data yang berasal dari sumber data sekunder
yang bersumber dari bahan pustaka sebagai berikut:
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat, berupa
peraturan perundang-undangan, yurisprudensi dan peraturan lainnya yang
dapat mendukung penelitian ini. Dalam hal ini peneliti menggunakan
bahan hukum primer berupa :
1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;
2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat;
3) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 1999
tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha;
4) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun
2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan
terhadap Putusan KPPU;
5) Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun
2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 47 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Tindakan Administratif.
66Metode penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal adalah penelitian-
penelitian atas hukum yang dikonsepsikan dan dikembangkan atas dasar doktrin yang dianut dan
dikembangkan dalam kajian-kajian hukum. Lihat M. Syamsudin, Operasionalisasi Penelitian
Hukum, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2007), hlm. 25.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
26
Universitas Indonesia
6) Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 04 Tahun
2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 11 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Kartel.
7) Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 04 Tahun
2011 tentang Pedoman Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 tentang Penetapan Harga.
8) Salinan Putusan KPPU atas Perkara Nomor : 24/KPPU-I/2009;
9) Salinan Putusan KPPU atas Perkara Nomor : 25/KPPU-I/2009;
10) Salinan Putusan KPPU atas Perkara Nomor : 01/KPPU-I/2010;
11) Salinan Putusan KPPU atas Perkara Nomor : 17/KPPU-I/2010;
12) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder, berupa bahan-bahan yang erat hubungannya
dengan bahan hukum primer dan dapat dipergunakan untuk menganalisis
bahan hukum primer, seperti buku-buku, karya ilmiah, tulisan para ahli
hukum dan makalah hasil seminar, serta dokumen-dokumen yang
memiliki relevansi yang signifikan dengan penelitian. Bahan hukum
sekunder yang digunakan dalam penelitian ini yaitu buku-buku teks yang
ditulis para ahli hukum, jurnal hukum (seperti jurnal hukum bisnis), artikel
(melalui koran dan majalah yang berkaitan dengan hukum persaingan
usaha, perjanjian penetapan harga dan kartel), internet (yang diperoleh
melalui internet), dan sumber lainnya yang memiliki korelasi untuk
mendukung penelitian ini.
c. Bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang, berupa majalah, jurnal,
surat kabar, kamus hukum, kamus bahasa Indonesia serta bahan-bahan
yang didapat dengan cara mengakses beberapa situs website melalui
internet.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
27
Universitas Indonesia
4. Teknik Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data yang dipergunakan adalah studi kepustakaan dengan
cara mengumpulkan, menelaah, dan mempelajari data sekunder yang berupa
hukum positif dan kepustakaan seperti buku-buku, karya ilmiah, makalah
seminar, serta bahan-bahan terkait yang didapat dengan membaca majalah-
majalah, jurnal-jurnal, surat kabar, kamus, bahan-bahan bacaan lepas lainnya,
serta dengan mengakses beberapa situs website melalui internet.
5. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat
kualitatif. Metode kualitatif ini yaitu bentuk analisis dan penelaahan yang
mendalam, tidak semata-mata berpihak pada statistik. Namun lebih
menitikberatkan pada perhatian yang mendalam terhadap makna, interaksi,
dan perilaku berdasarkan suatu realitas yang terjadi. Pada tahap selanjutnya
diupayakan untuk menjawab pokok permasalahan serta memperoleh
kesimpulan dan saran. Pengambilan kesimpulan di dalam penelitian ini
dilakukan dengan menggunakan metode penalaran deduktif, yaitu proses
bernalar yang bermula dari statement umum untuk tiba pada suatu
kesimpulan yang khusus tentang suatu hal tertentu67
. Dalam hal ini Penulis
meneliti peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat untuk kemudian ditarik kesimpulan yang sifatnya khusus terkait pokok
permasalahan dalam penelitian ini.
1.8 Sistematika Penulisan
Disini Penulis terlebih dahulu mengemukakan sistematika yang
dipergunakan agar yang dibahas akan tersusun sistematis serta mengarah pada
tujuan pokok permasalahan yang akan dibahas. Oleh karena itu di dalam
penyusunan tesis ini Penulis membaginya dalam 5 (lima) BAB dengan sistematika
sebagai berikut:
67
Sulistyo Irianto dan Shidarta, Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi,
(Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), hlm. 98.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
28
Universitas Indonesia
BAB 1 PENDAHULUAN
Di dalam bab 1 Penulis menguraikan mengenai latar belakang,
rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teori,
kerangka konsepsional, metode penelitian dan sistematika
penulisan.
BAB 2 PERJANJIAN PENETAPAN HARGA DAN KARTEL
MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999
Di dalam bab ini dibahas teori mengenai perjanjian penetapan
harga dan kartel di Indonesia berserta unsur-unsurnya menurut
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
BAB 3 RELEVANSI ANTARA PERJANJIAN PENETAPAN
HARGA DENGAN KARTEL
Dalam bab ini akan menjelaskan perjanjian penetapan harga dalam
kaitannya dengan terjadinya kartel dalam praktek persaingan usaha
tidak sehat. Di dalam bab ini juga disertai regulasi kartel di
beberapa negara yakni Jepang, Uni Eropa dan Amerika Serikat.
BAB 4 KARAKTERISTIK DAN ANALISIS TERHADAP PUTUSAN
KPPU TENTANG PENETAPAN HARGA DAN KARTEL DI
INDONESIA PADA TAHUN 2009 HINGGA 2010
Dalam bab ini akan diuraikan analisis dan karakter putusan
Perjanjian Penetapan Harga dan Kartel yang telah diputuskan oleh
KPPU pada Tahun 2009 hingga 2010. Dalam bab ini juga dapat
dilihat keterkaitan antara perjanjian penetapan harga dengan
praktek kartel yang terjadi di Indonesia.
BAB 5 PENUTUP
Bab ini akan menjelaskan mengenai kesimpulan dari relevansi
perjanjian penetapan harga dengan kartel, serta saran yang dapat
direkomendasikan dari penelitian ini.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
29
Universitas Indonesia
BAB 2
PERJANJIAN PENETAPAN HARGA DAN KARTEL MENURUT
UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999
2.1 Perjanjian Menurut Hukum Persaingan Usaha
Salah satu yang diatur dalam Undang-undang Anti Monopoli adalah
dilarangnya perjanjian-perjanjian tertentu yang dianggap dapat menimbulkan
monopoli dan atau persaingan tidak sehat. Yang dimaksud dengan kata
“perjanjian” ini, tidak berbeda dengan pengertian perjanjian pada umumnya,68
yakni sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999, yang menyatakan bahwa perjanjian adalah “Suatu perbuatan satu
atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku
usaha dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis”.
Apabila diperhatikan dari pengertian tersebut di atas, maka dapat
disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:69
1. Perjanjian tersebut tanpa menyebut tujuan;
2. Perjanjian tersebut terjadi karena ada perbuatan;
3. Ada pihak-pihak di dalam perjanjian yakni pelaku usaha;
4. Perjanjian bisa tertulis dan tidak tertulis.
Definisi perjanjian menurut Pasal 1 angka 7 tersebut tidak menyebutkan
tujuan untuk apa para pihak mengadakan perjanjian. Oleh karena itu pengertian
perjanjian menurut pasal ini tidak bisa dikatakan dengan jelas tanpa dihubungkan
dengan perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan perjanjian yang diatur pada
pasal-pasal berikutnya.70
Sulit untuk dibuktikan, namun perjanjian secara lisan secara hukum dapat
dianggap sebagai suatu perjanjian yang sah dan sempurna.71
Menurut teori
68
Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 51.
69
James L. Agee, III ed., Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya di Indonesia,
(Jakarta: Elips, 1999), hlm. 75.
70
Ibid.
71
Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat, Op. Cit.
29
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
30
Universitas Indonesia
persaingan usaha, perjanjian adalah strategi pasar bersama oleh beberapa pelaku
usaha.72
Esensi perjanjian adalah bahwa pesaing saling menyepakati tentang
tingkah laku pasar mereka secara keseluruhan ataupun bagian tertentu dari
keseluruhan perjanjian.73
Jika melihat definisi perjanjian dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999, maka dapat disimpulkan bahwa bentuk perjanjian dapat
tertulis maupun tidak tertulis. Perjanjian tertulis biasanya dituangkan dalam
kontrak tertulis yang berisi hal-hal yang telah disepakati diantara para pelaku
usaha secara rinci. Misalnya kesepakatan tariff All-In EMKL di Pelabuhan
Sorong.74
Perjanjian yang tidak tertulis dapat berupa kesepakatan lisan antara pelaku
usaha atau dengan praktek-praktek tertentu yang diketahui oleh peserta75
yang
dinyatakan dalam bentuk pertemuan dua pemikiran yang informal (meeting of
minds) maupun dengan melihat perubahan pada pasar secara terus menerus.76
Contoh dari perjanjian yang tidak tertulis adalah seperti yang dilakukan oleh
penjual elektronik di suatu kawasan pertokoan, pedagang-pedagang telepon
selular hingga penjual bakso yang melakukan perjanjian atau kesepakatan atas
harga jual dari produk mereka.
Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, objek perjanjian yang
dilarang untuk dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lain adalah
sebagai berikut:
a. Perjanjian Oligopoli
Perjanjian Oligopoli adalah perjanjian secara bersama-sama
melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat (Pasal 4 ayat 1);
72
Knud Hansen, et al, Op. Cit., hlm. 80.
73
Ibid.
74
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Putusan Nomor 32/KPPU-L/2008.
75
R. Syam Khemani, A Framework for The Design and Implementation of Competition
Law and Policy, (Washington DC: World Bank, OECD, 1998), hlm. 43.
76
Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Op,Cit., hlm 71.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
31
Universitas Indonesia
Tolak ukur yang dijadikan parameter oleh Undang-Undang untuk
menentukan apakah pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara
bersama-bersama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran
barang dan atau jasa apabila 2 atau 3 pelaku usaha atau kelompok
pelaku usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar satu jenis barang
atau jasa tertentu.
b. Perjanjian Penetapan Harga
Perjanjian penetapan harga adalah perjanjian menetapkan harga
tertentu atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh
konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama (Pasal 5
ayat 1), dengan pengecualian:
(1) Perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; dan
(2) Perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku (Pasal 5
ayat 2).
c. Perjanjian Diskriminasi Harga
Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar
dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli
lain untuk barang dan atau jasa yang sama (Pasal 6);
d. Penetapan Harga Pemangsa (Predatory Pricing)
Perjanjian penetapan harga adalah perjanjian menetapkan harga
dibawah pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha
yang tidak sehat (Pasal 7);
e. Perjanjian Penetapan Harga Jual Kembali (Resale Price Sale
Maintenance)
Perjanjian yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau
jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa
yang telah diterimanya tersebut, dengan harga yang lebih rendah
daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan
terjadinya persaingan usaha tidak sehat (Pasal 8);
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
32
Universitas Indonesia
f. Perjanjian Pembagian Wilayah
Perjanjian yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau
alokasi pasar terhadap suatu barang dan atau jasa tertentu, sehingga
dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat (Pasal 9);
Perjanjian ini dapat bersifat vertikal dan horizontal. Perjanjian ini
dilarang karena pelaku usaha meniadakan atau mengurangi persaingan
dengan cara membagi wilayah pasar atau lokasi pasar. Wilayah
pemasaran dapat berarti wilayah Republik Indonesia atau bagian
wilayah Negara Republik Indonesia misalnya kabupaten, provinsi, atau
wilayah regional lainnya. Membagi wilayah pemasaran atau lokasi
pasar berarti membagi wilayah untuk memperoleh atau memasok
barang, jasa atau barang dan jasa.
g. Perjanjian Pemboikotan
Perjanjian yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan
usaha yang sama, baik dengan tujuan pasar dalam negeri atau pasar
luar negeri (Pasal 10 ayat 1);
h. Perjanjian untuk menolak menjual setiap barang atau jasa dari pelaku
usaha lain yang mengakibatkan:
(1) Kerugian atau dapat diduga menerbitkan kerugian bagi pelaku
usaha lainnya; atau
(2) Pembatasan bagi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli
setiap barang dan atau jasa dari pasar bersangkutan (Pasal 10 ayat
2);
i. Perjanjian Kartel
Perjanjian yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur
produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat (Pasal 11);
j. Perjanjian Trust
Perjanjian melakukan kerjasama untuk melakukan kerja sama dengan
membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar,
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
33
Universitas Indonesia
dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup
masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan
mengontrol produksi dana atau pemasaran atas barang dan jasa,
sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan tidak sehat (Pasal 12);
k. Perjanjian Oligopsoni
Perjanjian yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai
pembelian dan penerimaan pasokan barang dan atau jasa tertentu, agar
dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa tertentu tersebut
dalam pasar yang bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat (Pasal 13 ayat
1);
l. Integrasi Vertikal
Perjanjian yang bertujuan untuk menguasai sejumlah produk yang
termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu,
dimana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau
proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak
langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak
sehat dan atau merugikan masyarakat (Pasal 14);
Yang dimaksud dengan menguasai sejumlah produk yang termasuk
dalam rangkaian produksi atau yang lazim disebut integrasi vertikal
adalah penguasaan serangkaian proses produksi atas barang tertentu
mulai dari hulu sampai hilir atau proses yang berlanjut atas suatu
layanan jasa tertentu oleh pelaku usaha tertentu. Praktek integrasi
vertikal meskipun dapat menghasilkan barang dan atau jasa dengan
harga murah, tetapi dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat
yang merusak sendi-sendi perekonomian masyarakat. Praktek seperti
ini dilarang sepanjang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan
atau merugikan masyarakat.
m. Perjanjian Tertutup
Perjanjian yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima
barang dan atau jasa hanya akan memasok kembali barang dan atau
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
34
Universitas Indonesia
jasa terebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu (Pasal
15 ayat 1);
Pengertian memasok adalah menyediakan pasokan, baik barang
maupun jasa, dalam kegiatan jual beli, sewa menyewa, sewa beli, dan
sewa guna usaha (leasing).
n. Perjanjian Tertutup
Perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak
yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli
barang dan atau jasa lain dari perilaku usaha pemasok (Pasal 15 ayat
2);
o. Perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang
dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang
menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok:
(1) Harus bersedia membeli barang dan atau jasa lebih dari pelaku
usaha pemasok; atau
(2) Tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis
dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha lain
yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok (Pasal 15 ayat 3).
p. Perjanjian dengan pihak lain di luar negeri
Perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat (Pasal 16).
Perjanjian tersebut dapat berbentuk horizontal maupun vertikal. Perjanjian
atau kesepakatan horizontal adalah perjanjian atau kesepakatan dua atau lebih
pelaku usaha yang bertujuan menutup persaingan usaha diantara mereka di pasar
yang bersangkutan, dimana perjanjian atau kesepakatan tersebut bersifat implisit
atau eksplisit yang membatasi kemampuan pesaing untuk bertindak sendiri.
Perjanjian atau kesepakatan tersebut mencakup jangkauan perilaku yang luas, dari
usaha patungan, iklan atau pemasaran bersama, atau kegiatan asosiasi
perdagangan sampai kepada pemasangan harga atau manipulasi lelang.77
Undang-
77
R. Syam Khemani, A Framework for the Design and Implementation of Competition
Law and Policy, Op. Cit., hlm. 24.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
35
Universitas Indonesia
Undang Nomor 5 Tahun 1999 juga mengatur mengenai larangan perjanjian
horizontal, yakni dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal
12, Pasal 13 dan Pasal 16. Indikasi adanya perjanjian horizontal adalah kata “…
pelaku usaha pesaingnya…”, yang menunjukkan para pelaku usaha tersebut
berada pada tingkat atau level perdagangan yang sama.78
Tidak semua perjanjian
atau kesepakatan di antara pesaing merugikan persaingan. Banyak kegiatan
bersama bermanfaat secara kompetitif, kegiatan-kegiatan tersebut dapat
mengembangkan efisiensi, mengurangi risiko, menciptakan produk atau metode
distribusi baru yang lebih baik, atau memperbaiki arus informasi dan dengan
demikian juga fungsi kompetitif pasar.
Sedangkan yang dimaksud dengan perjanjian vertikal adalah perjanjian
antara perusahaan hulu dan hilir yang dianggap termasuk dalam ruang lingkup
kebijakan persaingan.79
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 melarang jenis
perjanjian vertikal dalam Pasal 6, Pasal 8, Pasal 14 dan Pasal 16. Adapun salah
satu petunjuk bahwa ketentuan-ketentuan tersebut dapat dikategorikan sebagai
perjanjian vertikal adalah kata “…penerima barang…”, istilah tersebut
menunjukkan adanya tingkatan dan fungsi yang berbeda antara pemasok dan
penerima barang.80
Terlepas dari bentuk tertentu yang diambil oleh suatu perjanjian vertikal,
memperlakukan perusahaan-perusahaan hulu dan hilir yang berpartisipasi sebagai
vertikal tunggal sangat penting dalam menganalisis perjanjian tersebut secara
ekonomi.
Dari sudut pandang analisis ekonomi, bukan analisis hukum, perjanjian
vertikal dapat dianggap sebagai bentuk integrasi vertikal.81
Meskipun perusahaan-
78
A.M. Tri Anggraini, “Perspektif Perjanjian Penetapan Harga Menurut Hukum
Persaingan Usaha” dalam Ridwan Khairandy, Masalah-Masalah Hukum Ekonomi Kontemporer,
ed., cet.1, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi,
2006), hlm. 261. 79
R. Syam Khemani, A Framework for the Design and Implementation of Competition
Law and Policy, Op. Cit., hlm. 24.
80
A. M. Tri Anggraini, “Perspektif Perjanjian Penetapan Harga Menurut Hukum
Persaingan Usaha”, Op. Cit., hlm. 261.
81
R. Syam Khemani, A Framework for the Design and Implementation of Competition
Law and Policy, Op. Cit., hlm. 44.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
36
Universitas Indonesia
perusahaan tidak perlu terintegrasi dalam arti kepemilikan, perjanjian vertikal
dapat menghasilkan berbagai tingkat integrasi dan koordinasi de facto pembuatan
keputusan antara perusahaan-perusahaan hulu dan hilir.82
2.2 Kajian Umum Tentang Penetapan Harga
Salah satu perilaku dari pelaku usaha adalah mendapatkan keuntungan
(objective firm).83
Hadirnya pesaing membuat pelaku usaha akan mengubah
metode persaingan (competition method) yang dijalankan sebelumnya. Strategi
menghadapi pesaing bertujuan untuk meningkatkan atau mempertahankan
keuntungan, serta seminimal mungkin mencegah terjadinya kerugian yang
kemungkinan akan timbul.
Pelaku usaha kerap menganggap hadirnya pesaing sebagai suatu ancaman.
Pada satu sisi, kehadiran pesaing setidaknya akan mengurangi keuntungan yang
sebelumnya diperoleh. Lain halnya bagi konsumen yang diuntungkan dengan
ketersediaan barang substitusi dan variasi pilihan yang tersedia di pasar.
Anggapan seperti ini memiliki kecenderungan negatif dan berpotensi
mengarahkan para pelaku usaha untuk melakukan konspirasi, terlebih lagi apabila
struktur pasarnya monopoli atau oligopoli.84
Salah satu bentuk konspirasi yang dapat dilakukan adalah melakukan
perjanjian penetapan harga dengan pelaku usaha lain yang bertindak sebagai
pesaingnya. Khemani dan Shapiro memberikan definisi mengenai price fixing
(agreement), yaitu:
82
R. Syam Khemani, Ibid.
83
Perilaku usaha dapat dilihat dari 3 elemen, 1) tujuan perusahaan (firm objective), 2)
metode persaingan (competition method), 3) perilaku antar perusahaan (interfirm conduct). Johnny
Ibrahim, Hukum Persaingan Usaha: Filosofi, Teori dan Implikasi Penerapannya di Indonesia, cet.
II, (Malang: Bayumedia, 2007), hlm. 92. 84
Emmy Yuhassarie dan Tri Harnowo, ed., Filosofi dan Latar Belakang UU No. 5/1999
(secara ekonomis) dan Status/Kelembagaan, Wewenang & Tugas KPPU, (Jakarta: Pusat
Pengkajian Hukum, 2004), hlm 7.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
37
Universitas Indonesia
“An agreement between sellers to raise or fix prices in order to restrict
interfirm competition and earn higher profits. Price fixing agreements are
formed by firms in an attempt to collectively behave as a monopoly”85
Definisi tersebut memuat beberapa hal pokok dibawah ini, yaitu:
a. Perbuatan didahului dengan adanya kesepakatan;
b. Pihak yang melakukan kesepakatan adalah para penjual untuk
menaikkan atau menetapkan harga;
c. Tujuan dari tindakan tersebut adalah menghambat persaingan antar
perusahaan untuk mendapatkan keuntungan;
d. Tindakan tersebut digolongkan sebagai perilaku monopoli.
Aktivitas ekonomi selalu melalui proses yang bertahap dan berjenjang.
Proses itu merupakan perubahan terhadap barang yang belum jadi menjadi barang
jadi atau mengubah barang yang tidak berguna menjadi berguna. Pelaku usaha
adalah aktor yang sangat menentukan pada tiap tahapan tersebut. Tujuan utama
dari pelaku usaha tidak lain adalah mencapai keuntungan atau laba yang sebesar-
besarnya (profit maximization).86
Muculnya pesaing atau kompetitor (dengan asumsi tidak terdapat
hambatan). Membuat masing-masing pelaku usaha berkompetisi dengan cara
meningkatkan output, meningkatkan kualitas, menawarkan harga rendah dan
memperbanyak varietas barang yang ditawarkan. Apabila persaingan terjadi pada
struktur pasar yang kompetitif,87
pelaku usaha hanya bertindak sebagai penerima
harga (price taker), karena tidak bisa lagi menentukan besaran harga suatu barang
kepada konsumen. Harga suatu barang pada kondisi ini disebut harga
85
R.S. Khemani dan D.M. Shapiro, Op. Cit., hlm. 52.
86
Relativitas keuntungan dalam aktivitas bisnis adalah: 1) tolak ukur untuk menilai
kesehatan perusahaan atau efisiensi manajemen dalam perusahaan; 2) pertanda yang menunjukkan
bahwa produk atau jasanya dihargai oleh masyarakat; 3) cambuk untuk meningkatkan usaha; 4)
syarat kelangsungan perusahaan; dan 5) mengimbangi resiko dalam usaha. Lihat: Bertents,
Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm 147-167. 87
Ciri-ciri pasar yang kompetitif adalah: 1) perusahaan memproduksi barang yang
homogen (homogeneous product); 2) produsen dan konsumen memiliki pengetahuan atau
informasi sempurna (perfect knowledge); 3) output sebuah perusahaan relatif kecil di banding
output pasar (small relatively output), 4) perusahaan menerima harga yang ditentukan pasar (price
taker); 5) semua perusahaan bebas masuk dan keluar pasar (free entery and exit). Lihat: Prahatma
Rahardja dan Mandala Manurung, Teori Ekonomi Mikro: Suatu Pengantar, ed. II, (Jakarta:
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2001), hlm. 212-213.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
38
Universitas Indonesia
keseimbangan, yaitu harga di mana baik konsumen maupun produsen sama-sama
tidak ingin menambah atau mengurangi jumlah yang dikonsumsi dan dijual.88
Perjanjian penetapan harga merupakan hambatan dalam kegiatan
perdagangan karena perjanjian yang dilakukan pelaku usaha tersebut berkaitan
langsung dengan harga yang berpotensi merugikan pelaku usaha lain sebagai
pesaing dan konsumen.
Dalam pendekatan perilaku89
, harga merupakan salah satu indikator kunci
dalam mengamati adanya potensi perilaku yang mengganggu persaingan usaha.
Seperti diisyaratkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, pengawasan terhadap
potensi penetapan harga, diskriminasi harga, jual rugi, resale price maintenance,
kartel, oligopsoni, dilakukan dengan mengamati proses penentuan harga yang
terjadi pada suatu pasar.90
Untuk memahami pasar, perlu dimengerti bahwa terdapat dua pihak yang
selalu terlibat dalam setiap transaksi suatu pasar, yakni pembeli dan penjual atau
konsumen dan produsen.91
Hasil akhir atau harga, adalah tergantung dari kekuatan
relatif yang dimiliki oleh kedua belah pihak.
Penguasaan pasar dapat diukur dengan menggunakan harga sebagai
komponen utamanya, yaitu dengan melihat kemampuan pelaku usaha dalam
mempengaruhi harga pasar.92
jika harga sebagai salah satu strategi untuk
menguasai pasar, maka para pelaku dengan berbagai cara berupaya untuk
menguasai pasar dengan menggunakan harga. Salah satu caranya adalah dengan
melakukan perjanjian penetapan harga. Selain itu perjanjian penetapan harga
88
Ibid. hlm. 45. 89
Dalam hukum persaingan usaha, terdapat dua pendekatan untuk melihat apakah pelaku
usaha atau perusahaan diduga telah melakukan pelanggaran Undang-Undang Hukum Persaingan
atau tidak, yaitu melihat pada struktur pasar dan perilaku (behaviour), dalam Ningrum Natasya
Sirait, Hukum Persaingan di Indonesia, Op. Cit. hlm. 77.
90
Ayudha D. Prayoga, ed., Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya di
Indonesia, (Jakarta: Partnership for Business Competition, 2001), hlm. 73.
91
James L. Agee, III ed., Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya di Indonesia,
Op. Cit., hlm. 99.
92
Ibid. hlm. 73.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
39
Universitas Indonesia
dilakukan dengan tujuan membatasi persaingan antar pelaku usaha (perusahaan)
dan meraih keuntungan yang lebih tinggi.93
Penyebab timbulnya penetapan harga oleh para pelaku usaha adalah untuk
menguasai pasar sehingga memperoleh laba yang jauh lebih tinggi dari apa yang
dihasilkan, dimana produsen hanya menetapkan satu harga untuk semua
konsumen sehingga terjadilah persaingan usaha yang tidak sehat. Strategi
penetapan harga yang dapat menghasilkan laba yang lebih tinggi, yang mana
strategi ini dapat juga merusak persaingan usaha dengan strategi penetapan harga
yang bertujuan mendorong maksimalisasi laba pada kelompok pasar monopoli
dan oligopoli. Untuk mencapai maksimalisasi laba, produsen akan menarik
(menyerap) sebanyak mungkin surplus konsumen dari konsumen.94
Suatu usaha dalam mengurangi perang harga dalam pasar oligopoli dengan
strategi kepemimpinan harga. Kepemimpinan harga terjadi pada saat sebuah
perusahaan besar bertindak sebagai pemimpin dan perusahaan-perusahaan kecil
lainnya menjadi pengikut.95
Praktek penetapan harga ada juga yang Anti Kompetisi, tetapi cenderung
merusak persaingan usaha, yang akhirnya dapat merugikan konsumen karena
tidak mempunyai kesempatan yang cukup untuk memperoleh harga yang lebih
baik (rendah), yaitu:
1. Penetapan Harga Dibawah Harga Marginal
Penetapan harga di bawah ini biaya rata-rata adalah penetapan
harga yang disatu sisi akan menguntungkan konsumen dalam jangka
pendek, tetapi di pihak lain akan sangat merugikan pesaing (produsen
lain). Strategi yang tidak sehat ini pada umumnya beralasan bahwa
harga yang ditawarkan adalah merupakan hasil kinerja peningkatan
efisiensi perusahaan. Oleh karena itu tidak akan segera terdeteksi
93
A. M. Tri Anggraini, Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,
Per Se Illegal atau Rule of Reason, (Jakarta: Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2003), hlm. 19.
94
Ayudha D. Prayoga, Peran Lembaga Peradilan dalam Menangani Perkara Persaingan
Usaha, (Jakarta: Partnership for Business Competition, 2001), hlm. 84. 95
M. Suparmoko, et al., Pokok-Pokok Ekonomika, (Yogyakarta: BPFE, 2000), hlm. 144.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
40
Universitas Indonesia
sampai pesaing dapat mengukur dengan tepat berapa harga terendah
yang sesungguhnya dapat ditawarkan pada konsumen (harga = biaya
marginal).96
2. Penetapan Harga Maksimum
Strategi penetapan harga ini biasanya diterapkan oleh produsen
kepada distributor produk bersangkutan. Strategi bertujuan untuk
mengontrol distributor untuk tidak menjual diatas harga maksimum
yang ditawarkan. Hasil akhir yang diharapkan melalui strategi ini
adalah terkendalinya harga yang bersaing (sesuai keinginan produsen)
sampai pada tingkat penjualan eceran.
Sebagai contoh, beberapa pelaku usaha penerbangan udara
menerapkan harga maksimum untuk setiap tiket perjalanan udara.
Distributor diberikan fasilitas potongan sampai 30%, dari harga
maksimum tersebut. Jadi pihak biro perjalanan selaku distributor dapat
mengambil sebagian atau seluruhnya potongan 30% tapi tidak
diperkenankan untuk menjual lebih dari harga maksimum. Jika biro
perjalanan mengambil seluruhnya potongan yang diberikan, maka
konsumen akan memperoleh harga maksimum, sedangkan jika biro
perjalanan mengambil sebagian potongan misalnya 15% (dalam rangka
promosi menarik konsumen), maka konsumen akan memperoleh harga
15% lebih rendah dari harga maksimum yang ditetapkan.97
Strategi ini menguntungkan konsumen. Akan tetapi disisi lain,
strategi ini juga dapat berdampak sebagai penghalang bagi produsen
lain yang tidak dapat bersaing pada harga maksimum yang ditetapkan.
Produsen yang tidak memiliki jaringan pemasaran yang memadai tidak
akan dapat mengontrol harga akhir yang ditawarkan oleh
jaringannya.98
96
Ibid., hlm. 83. 97
Ibid., hlm. 84. 98
Ibid., hlm. 85.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
41
Universitas Indonesia
Untuk dapat menerapkan strategi ini, produsen harus dapat
menempatkan satu untuk penjualan perwakilan disetiap titik
(geografis) penjualan. Perwakilan ini akan menawarkan harga
maksimum, jadi jika terdapat distributor tidak terikat yang
menawarkan harga diatas harga maksimum, maka konsumen akan
beralih untuk memperoleh barang atau jasa bersangkutan dari
perwakilan produsen.
Akan tetapi pada prakteknya, kecenderungan distributor pada
umumnya adalah menetapkan harga sesuai dengan harga maksimum
atau dengan kata lain mengambil seluruh potongan yang disediakan
oleh produsen. Jika ini terjadi maka konsumen tentu saja akan
membayar harga yang tertinggi, setidaknya mendekati harga
maksimum yang ditetapkan untuk produk yang dimaksud.99
3. Penetapan Harga Minimum
Strategi penetapan harga ini pada umumnya memiliki dua tujuan
utama, yakni: mempertahankan nama baik (goodwill) produsen atau
merek tertentu dan untuk mencegah terjadinya persaingan tidak sehat
pada level distributor.
Produsen yang memiliki nama yang terkenal untuk produk tertentu
pada pasar tertentu, akan berusaha untuk mempertahankan nama
baiknya, tidak hanya melalui kualitas dan rancangan barang yang
diproduksinya, akan tetapi juga pada harga yang ditetapkan. Produk
yang berkelas biasanya juga memiliki kelas harga yang relatif tinggi
yang harus dipertahankan untuk menjaga citra produsen.100
Di sisi lain, pada level distributor, mereka juga bersaing untuk
memperebutkan pasar produk berkelas tersebut dari distributor
pesaing. Untuk menciptakan kesan (image) bahwa distributor
bersangkutan adalah merupakan pusat distribusi produk berkelas
tertentu. Dibutuhkan promosi yang memerlukan biaya tambahan. Hasil
99
Ibid.
100
Ibid., hlm. 87.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
42
Universitas Indonesia
akhir, distributor yang harus mengeluarkan biaya tambahan untuk
promosi sudah barang tentu akan menawarkan harga yang sedikit lebih
tinggi untuk produk berkelas yang sama dibandingkan dengan
distributor lain yang tidak melakukan upaya promosi. Akan tetapi
hampir dapat dipastikan konsumen akan lebih cenderung memilih
untuk memperoleh produk yang dimaksud dari distributor yang
menawarkan harga yang lebih rendah (karena tanpa biaya promosi).
Distributor yang memperoleh keuntungan (pangsa pasar) dalam situasi
macam ini disebut sebagai “free rider” pihak yang memperoleh
keuntungan secara cuma-cuma.
Dengan kedua alasan pokok tersebut, produsen biasanya
menetapkan harga minimum untuk produk yang dihasilkan. Strategi ini
selain dapat mengontrol bahwa produknya dijual pada tingkat harga
yang sesuai dengan kelasnya, juga untuk mencegah kemungkinan
munculnya “free rider”. Akan tetapi dipihak lain strategi ini
sesungguhnya mencegah persaingan antar distributor. Distributor yang
dapat melakukan efisiensi tidak dapat menetapkan harga yang lebih
rendah dari harga yang sudah ditetapkan oleh produsen, yang hasil
akhirnya adalah konsumen akan membayar dengan harga relatif tinggi
(melebihi biaya marjinal).101
Guna mengantisipasi terjadinya perjanjian penetapan harga, dibawah ini
terdapat karakteristik pasar guna mendukung terwujudnya penetapan harga (price
fixing):102
1. Konsentrasi Pasar (Market Concentration);
Adanya sejumlah kecil perusahaan sejenis yang beroperasi di pasar,
akan mempermudah terbentuknya kesepakatan di antara mereka.
Asumsi ini didasarkan pada dua alasan, pertama, bahwa perusahaan-
perusahaan tersebut harus melakukan pertemuan secara rahasia dan
101
Ibid.
102
Herbert Hovenkamp, Antitrust, (St. Paul Minnesota: West Publishing, Co., 1993). Hlm
71-72.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
43
Universitas Indonesia
mengkomunikasikan gagasan mereka satu sama lain. Sebaliknya,
semakin besar jumlah peserta kartel103
, akan semakin sulit melakukan
pertemuan secara rahasia, atau dengan kata lain, lebih mudah
mendeteksi pertemuan rahasia yang terdiri dari banyak anggota.
Alasan kedua, adalah bahwa berangkat dari perbedaan kondisi anggota
kartel, maka akan lebih mudah menyeragamkan harga jika kartel hanya
diikuti beberapa anggota.
2. Hambatan Masuk (Barriers to Entry);
Hambatan masuk (pasar) adalah beberapa faktor di pasar yang
membuat “biaya” melakukan kegiatan bisnis serupa bagi pelaku usaha
baru (new entrant) menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan biaya
yang dibebankan terhadap perusahaan yang telah eksis sebelumnya.
Hambatan masuk yang tinggi merupakan upaya esensial bagi kartel
yang efektif, karena ketika pasar kartel memperoleh profit yang tinggi,
hal ini akan menjadi daya tarik bagi pelaku usaha baru (new entrant)
untuk masuk pasar yang sama.
3. Metode Penjualan (Sales Methods);
Metode penjualan yang paling kondusif yang dapat mewujudkan
perjanjian penetapan harga adalah dalam suatu pelelangan, dimana
pihak penjual membuka harga melalui lelang, dan para anggota kartel
menanggapi dengan harga tertentu yang telah disepakati sebelumnya di
antara mereka.
4. Homogenitas Produk (Product Homogenity);
Adanya kesamaan produk mempermudah bekerjanya suatu kartel
harga, terutama bagi bidang-bidang usaha yang memiliki karakteristik
unik. Namum pada akhirnya konsumen akan menyangsikan produk
yang mereka beli, karena adanya keseragaman harga yang ditetapkan
oleh pelaku usaha. Sebaliknya, heterogenitas produk akan membuat
103
Kartel dalam arti sempit adalah sekelompok perusahaan yang seharusnya saling
bersaing, tetapi justru menyetujui satu sama lain untuk “menetapkan harga” guna meraih
keuntungan monopolis. Kartel yang berkaitan langsung dengan sejumlah penetapan harga disebut
juga dengan perjanjian penetapan harga, lebih jauh lihat Herbert Hovenkamp, Ibid. hlm. 71.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
44
Universitas Indonesia
konsumen mempunyai pilihan atau varian produk yang ditawarkan,
sehingga pada akhirnya mempersulit terjadinya kartel harga.
5. Adanya Sarana Fasilitasi (Facilitating Devices).
Bekerjanya suatu penetapan harga dapat secara efektif, jika terdapat
sarana untuk melakukan konspirasi, sebagai contoh adalah standarisasi
produk, integrasi vertikal dan pengaturan harga jual kembali, adanya
pengumuman harga penjualan (implisit maupun eksplisit), serta
pengiriman pola harga dasar. Kegiatan ini mudah dilakukan jika para
pengusaha tergabung dalam satu asosiasi dagang, seperti yang terjadi
pada asosiasi semen, elektronik, bahkan industri makanan yang
menguasai jenis makanan dari tingkat produksi sampai dengan
pemasarannya.
Dari penjelasan diatas, beberapa kerugian yang terjadi ketika pelaku usaha
melakukan perjanjian penetapan harga adalah pertama, harga yang dibayar oleh
konsumen lebih tinggi daripada harga pada saat pelaku usaha bersaing secara
kompetitif. Kedua, pelaku usaha berpotensi untuk mengurangi jumlah output yang
dapat menimbulkan kelangkaan. Ketiga, terjadi kerugian konsumen (consumer
loss), karena pelaku price fixing mendapat keuntungan lebih besar dengan
mengeksploitasi surplus konsumen dan surplus produsen.104
Penjatuhan sanksi dari badan pengawas persaingan di suatu negara juga
sangat menentukan. Apabila badan pengawas persaingan bersikap lemah dan
menerapkan jumlah denda yang ringan, maka potensi pelaku usaha untuk tetap
melakukan price fixing akan terus terjadi. Dengan jumlah denda yang relatif
ringan, maka hasil keuntungan pelaku usaha dari hasil price fixing lebih tinggi
dari jumlah denda yang harus dibayar, sehingga perusahaan tidak kehilangan
reputasinya.105
104
Lihat juga: Michael K. Vaska, “Conscious Parallelism and Price Fixing: Defining The
Boundary,” University of Chicago Law Review (Volume 52, Tahun 1985), hlm 508. 105
Khemani, R.S. dan D.M. Shapiro, Op. Cit.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
45
Universitas Indonesia
Perjanjian penetapan harga merupakan salah satu bentuk perjanjian yang
dilarang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, dalam Pasal 5, Pasal 6,
Pasal 7, dan Pasal 8. Dalam Pasal 5 Ayat (1) disebutkan bahwa:
“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan jasa yang harus
dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang
sama.”
Dalam Pasal 5 ayat (2) dikatakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) tidak berlaku bagi:
a. Suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau
b. Suatu perjanjian yang berdasarkan undang-undang yang berlaku.
Adapun penjabaran unsur-unsur yang ada dalam Pasal 5 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 adalah sebagai berikut:106
1. Unsur Pelaku Usaha;107
2. Unsur Perjanjian;108
3. Unsur Pelaku Usaha Pesaing;109
4. Unsur Harga Pasar;110
5. Unsur Barang;111
106
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Peraturan Komisi Pengawas Persaingan
Usaha tentang Pedoman Pasal 5 (Penetapan Harga) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Peraturan Komisi Persaingan
Usaha Nomor 4 Tahun 2011, Op. Cit., hlm. 6 sampai dengan 7. 107
Sesuai dengan Pasal 1 angka 5 dalam Ketentuan Umum UU No. 5 Tahun 1999, pelaku
usaha adalah “Setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau
bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah
hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian,
menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.” 108
Sesuai dengan Pasal 1 angka 7 dalam Ketentuan Umum UU No. 5 Tahun 1999, pelaku
usaha adalah “Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan
diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apa pun, baik tertulis maupun tidak
tertulis.”
109Pelaku usaha Pesaing adalah pelaku usaha lain dalam pasar bersangkutan yang sama.
110
Harga adalah biaya yang harus dibayar dalam suatu transaksi barang dan jasa sesuai
kesepakatan antara para pihak dipasar bersangkutan.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
46
Universitas Indonesia
6. Unsur Jasa;112
7. Unsur Konsumen;113
8. Unsur Pasar Bersangkutan;114
9. Unsur Usaha Patungan.115
Sedangkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, menyatakan
bahwa:
“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli
yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang
harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama.”
Adapun Pasal 7 menyatakan bahwa:
“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah pasar, yang mengakibatkan
terjadinya persaingan usaha tidak sehat”
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan sebagai
berikut:
111
Sesuai dengan Pasal 1 angka 16 dalam Ketentuan Umum UU No.5 Tahun 1999, pelaku
usaha adalah “Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak
maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan
oleh konsumen atau pelaku usaha”.
112
Sesuai dengan Pasal 1 angka 17 dalam Ketentuan Umum UU No.5 Tahun 1999, pelaku
usaha adalah “Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang
diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha”.
113Sesuai dengan Pasal 1 angka 15 dari UU No.5 Tahun 1999, Konsumen adalah setiap
pemakai dan atau pengguna barang dan atau jasa baik untuk kepentingan diri sendiri maupun
untuk kepentingan pihak lain.
114Pasar bersangkutan, menurut ketentuan Pasal 1 angka 10 dari UU No.5 Tahun 1999
adalah pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha
atas barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan atau jasa tersebut.
115Perusahaan patungan adalah sebuah perusahaan yang dibentuk melalui perjanjian oleh
2 (dua) pihak atau lebih untuk menjalankan aktivitas ekonomi bersama, dimana para pihak
bersepakat untuk membagi keuntungan dan menanggung kerugian yang dibagi secara proporsional
berdasarkan perjanjian tersebut.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
47
Universitas Indonesia
“pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha yang lain
yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan
menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya,
denga harga yang lebih rendah dari pada harga yang telah diperjanjikan,
sehingga mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.”
Dengan demikian, perjanjian penetapan harga yang dilarang oleh Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah sebagai berikut:116
1) Penetapan harga antar pelaku usaha;
2) Penetapan harga yang berbeda terhadap barang dan atau jasa yang
sama;
3) Penetapan harga dibawah harga pasar dengan pelaku usaha lain;
4) Penetapan harga jual kembali.
Pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut
menyiratkan bahwa terdapat dua jenis perjanjian penetapan harga dalam undang-
undang tersebut, yakni perjanjian horizontal dan perjanjian vertikal. Seperti bunyi
kalimat Pasal 5 dan Pasal 7 adalah perjanjian horizontal, karena terdapat kata
“…pelaku usaha pesaingnya…”, hal ini menunjukkan pelaku usaha dalam tingkat
perdagangan yang sama.117
Oleh karena itu, Pasal 5 tidak berlaku terhadap
perjanjian penetapan harga vertikal seperti perjanjian keagenan.118
Ketentuan dalam Pasal 6 melarang setiap pelaku usaha untuk membuat
perjanjian yang memberlakukan diskriminasi terhadap kedudukan konsumen yang
satu dengan yang lainnya, dengan memberikan harga yang berbeda-beda atas
barang dan atau jasa yang sama.
Sehingga Pasal 6 dapat dikategorikan sebagai perjanjian horizontal
maupun vertikal, karena lebih menitikberatkan kepada diskriminasi harga dan
tidak menentukan secara spesifik apakah “para pembeli” barang dan atau jasa
116
Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat, Op. Cit.,
hlm. 55.
117
A. M. Tri Anggraini, “Perspektif Perjanjian Penetapan Harga Menurut Hukum
Persaingan Usaha”, Op. Cit., hlm. 265.
118
Syamsul Maarif, “Perjanjian Penetapan Harga Dalam Perspektif UU No. 5 Tahun 1999
tentang larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat” dalam Prosiding UU No.
5 Tahun 1999 dan KPPU, cet. II, (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005), hlm. 159.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
48
Universitas Indonesia
yang sama itu menjual kembali (barang dan atau jasa) yang diterima dari
penjual.119
Diskriminasi harga selalu berdasarkan prinsip bahwa sesuatu yang sama
atau sejenis diperlakukan secara berbeda, untuk barang dan atau jasa yang sama
dikenakan harga yang berbeda.120
Sehubungan dengan pelarangan terhadap
diskriminasi harga, undang-undang anti monopoli harus secara bijak
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:121
a. Kesamaan biaya produksi (Marginal Cost);
b. Kesamaan kualitas dan kuantitas barang yang dijual;
c. Kesamaan biaya untuk memproduksi, menjual dan mengirimkan
barang;
d. Tidak ada perubahan harga yang karena perubahan atau perbedaan
waktu;
e. Aktivitas pemasaran (Marketability) dari barang tersebut harus sama;
f. Komponen harga yang berbeda, termasuk juga jika ada tunjangan,
bonus atau kemudahan/jasa dari penjual yang diberikan berbeda-beda
kepada satu pembeli dengan pembeli yang lain.
Pasal 8 dikategorikan sebagai perjanjian vertikal, karena terdapat kalimat
yang menyatakan, bahwa “…para penerima barang dan atau jasa yang
diterimanya…”, sehingga para penerima barang dan atau jasa tersebut merupakan
pelaku usaha yang berada dalam tingkat distribusi barang dan atau jasa yang
berbeda, seperti halnya distributor dan para pengecernya.122
119
A. M. Tri Anggraini, “Perspektif Perjanjian Penetapan Harga Menurut Hukum
Persaingan Usaha”, Op. Cit., hlm. 265.
120
Knud Hansen, et al., Law Concerning Prohibition of monopolistic Practices and
Unfair Business Competition, Op. Cit., hlm. 61.
121
Sayud Margono, Hukum Anti Monopoli,(Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 85.
122
A. M. Tri Anggraini, “Perspektif Perjanjian Penetapan Harga Menurut Hukum
Persaingan Usaha”, Op. Cit., hlm. 266.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
49
Universitas Indonesia
Jadi perjanjian penetapan harga dapat berupa:123
1. Horizontal Price Fixing
Adalah perjanjian penetapan harga umum yang terjadi antara sesama
pelaku usaha yang selevel seperti produsen (produsen dengan
produsen) terhadap produk barang dan atau jasa yang sama yang
diberlakukan pada pasar bersangkutan (relevant market) yang sama.
2. Vertical Price Fixing
Adalah perjanjian penetapan harga umum yang sama terjadi antara
pelaku usaha yang tidak selevel, misalnya antara produsen dan
distributor (wholeseller) atau dengan pengecer (retailer). Akibat dari
perjanjian ini akan mengurangi atau meniadakan persaingan antara
sesama pengecer atau meniadakan persaingan antara sesama
distributor. Hal ini bisa terjadi dalam perusahaan distributor yang
menentukan harga barang yang akan dijual kepada konsumen oleh
pengecer.
Sistem pemisahan ini berbeda dengan pengaturan perjanjian tentang harga
di berbagai negara maupun model UNCTAD (United Nations Conference on
Trade and Development), karena mereka mengatur secara umum tentang
perjanjian mengenai harga.124
Di Amerika Serikat, perjanjian mengenai harga diatur dalam ketentuan
Pasal (Section) 1 The Sherman Act 1890125
yang mengatur perjanjian secara
umum:
“Every contract, combination in the form of trust or otherwise, or
conspiracy, in restrain of trade or commerce among the several States, or
with foreign nations, is hereby declared to be illegal. Every person who
shall make any contract or engage in any combination or conspiracy
declared to be illegal shall be deemed guilty or felony, and, on conviction
thereof, shall be punished by fine not exceeding one million dollars if a
corporation, or, if any other person, one hundred thousand dollars, or by
123
Elyta Ras Ginting, Hukum Anti Monopoli di Indonesia, Analisis dan Perbandingan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 35. 124
A. M. Tri Anggraini, “Perspektif Perjanjian Penetapan Harga Menurut Hukum
Persaingan Usaha”, Op. Cit., hlm. 266.
125
The Sherman Act of 1890, 15 U.S.C.A. par. 1.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
50
Universitas Indonesia
imprisonment not exceeding three years, or by both saif punishment, in the
discretion of the court.”
Dalam Pasal (Section) 1 Sherman Act tersebut, ditentukan bahwa setiap
perjanjian yang menghambat perdagangan (trade and commerce) dinyatakan
sebagai perbuatan yang tidak sah dan dapat dikenakan sanksi denda maupun
kurungan penjara apabila terbukti.
Ketentuan ini diterapkan pertama kali pada tahun 1897 oleh Mahkamah
Agung Amerika Serikat dalam perkara yang melibatkan asosiasi perusahaan
kereta api yang mengelola perjalanan di sebelah barat Mississippi.126
Selanjutnya dalam Undang-undang Anti Monopoli Jepang, mengenai
penetapan harga masuk ke dalam kelompok hambatan tidak wajar pada
perdagangan (unreasonable of trade), yang diatur dalam Pasal 2 ayat (6) Undang-
Undang Anti Monopoli Jepang yang berbunyi:
“Such business activities by which entrepreneurs by contract, agreement,
or any other concerted activities mutually restrict or conduct their
bussines activities in such manner as to fix, maintain prenhace prices, or
to limit production, technology, products, facilities, or costumers, or
suppliers, thereby causing contrary to the public interest, a substantial
restraint of competition in any particular field of trade”
Dalam pasal tersebut, hambatan yang tidak wajar pada perdagangan dalam
Undang-Undang Anti Monopoli Jepang adalah kegiatan bisnis di mana pelaku
usaha bersama-sama membatasi atau melakukan kegiatan untuk menetapkan,
mempertahankan, atau menaikkan harga, atau membatasi produksi, teknologi,
barang, fasilitas atau konsumen atau pemasok yang bertentangan dengan
kepentingan publik dan persaingan.127
126
United States v. Trans. Missouri Freight Ass’n166 U.S. 290 (1897), dikutip dari A. M.
Tri Anggraini, Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Per Se Illegal
atau Rule of Reason, Op. Cit., hlm. 267.
127
Jacqueline Bos, Antitrust treatment of Cartels, A Comparative Survey of Competition
Law Exemptions in The United States, The European Union, Australia and Japan, 1 Wash. U.
Global Stud. L. Rev. 415, Washington University, 2002.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
51
Universitas Indonesia
Bentuk – bentuk lain atau variasi lain dalam praktik penetapan harga yaitu:
a. Resale Price Maintenance (RPM) Arrangements
RPM Arrangements merupakan praktek pemasaran dimana
seseorang (atau suatu perusahaan) pengecer atas dasar perjanjian
dengan distributor atau produsen setuju untuk menjual barang
atau jasa dengan harga tertentu atau harga minimum tertentu.128
b. Vertical Maximum Price Fixing
Mirip dengan RPM Arrangements, namun vertical maximum
price fixing terjadi dalam hal produsen atau distributor suatu
produk membuat kesepakatan dengan pengecer yang isinya
mewajibkan pengecer itu untuk menjual produk dibawah harga
maksimum yang ditetapkan oleh produsen atau
distributornya.129
c. Consignments
Praktek consignments dalam konteks usaha terjadi apabila suatu
perusahaan pengecer menjual barang yang secara legal masih
menjadi milik produsen dan sebagai imbalannya ia memperoleh
komisi penjualan. Yang menimbulkan persoalan bagi produsen
adalah untuk menentukan harga produk yang dititipkannya.
Memang salah satu prinsip hukum persaingan yang sudah
diakui, setidaknya di Amerika Serikat, adalah bahwa sekali
produsen atau distributor telah menjual produknya pada
pengecer, ia tidak bisa lagi menentukan berapa harga jual yang
harus dipasang oleh pengecer itu terhadap konsumen. Dalam
hubungan consignments prinsipnya dapat diterobos melalui
fakta bahwa meskipun secara nyata barang berada ditangan
pengecer, kepemilikan barang tersebut tidak berpindah pada si
pengecer.130
128
Arie Siswanto, Op. Cit., hlm. 40-41. 129
Ibid., hlm. 41.
130
Ibid., hlm. 41.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
52
Universitas Indonesia
Meskipun harga yang ditetapkan itu masih dalam taraf yang wajar atau
tidak terlalu mahal, namun prinsip pokok dari larangan ini adalah terjadinya
persekongkolan di atara pelaku bisnis untuk menguasai pasar barang atau jasa
tertentu. Persetujuan untuk penetapan harga ini merupakan pelanggaran, baik yang
dilakukan dengan penetapan harga tertinggi, maupun dengan penetapan harga
terendah, karena pada hakikatnya tujuan larangan ini adalah untuk menciptakan
harga yang kompetitif, bukan semata-mata harga yang paling murah. Dengan
adanya larangan ini para pelaku bisnis diharuskan untuk berhati-hati, karena
dalam prakteknya hal ini sering sekali terjadi.
2.3 Kajian Umum tentang Kartel
Dalam pandangan ekonomi, Kartel adalah bentuk khusus oligopoli suatu
extra-legal joint venture business yang dalam keadaan normal dan sendiri-sendiri,
mereka saling bersaing dalam industri pasar yang sama.131
Kartel dapat
didefinisikan:
“An association of two or more legally independent entities that explicitly
agree to coordinate their prices or output for the purpose of increasing
their collective profits”132
Definisi ini adalah definisi kartel secara luas. Kartel secara sempit adalah
sekelompok perusahaan yang seharusnya bersaing, tetapi mereka justru
menyetujui satu sama lain untuk “menetapkan harga” guna meraih keuntungan
monopolis.133
Inilah definisi kartel secara sempit yang sering membuat
kebingungan bagi pihak yang awam hukum persaingan, karena kartel harga
terlihat sangat mirip dengan penetapan harga, padahal dua hal ini diatur dalam 2
(dua) pasal yang berbeda di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Kartel
diatur di dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang berbunyi:
131
Shepherd W.G., The Economics of Industrial Organization. Fourth Eds, (New Jersey:
Prentice Hall, 1997), hlm. 28.
132
Ganner B. A. Black’s Law Dictionary, (St. Paul Minn: West Group, 1999), hlm. 206.
133
A. M. Tri Anggraini, “Perspektif Perjanjian Penetapan Harga Menurut Hukum
Persaingan Usaha”, Op. Cit., hlm. 258.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
53
Universitas Indonesia
“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesainganya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan
mengatur produksi dan/ atau pemasaran suatu barang dan/ atau jasa, yang
dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/ atau persaingan
usaha tidak sehat.”
Adapun penjabaran unsur-unsur yang ada dalam Pasal 11 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 adalah sebagai berikut:
1. Unsur Pelaku Usaha;134
2. Unsur Perjanjian;135
3. Unsur Pelaku Usaha Pesaingnya;136
4. Unsur Bermaksud Mempengaruhi Harga;137
5. Unsur Mengatur Produksi dan atau Pemasaran;138
6. Unsur Barang;139
7. Unsur Jasa;140
134
Pelaku usaha menurut Pasal 1 angka 5 adalah setiap orang perorangan atau badan
usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum
atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam
wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian,
menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. Dalam kartel, pelaku usaha
yang terlibat dalam perjanjian ini harus lebih dari dua pelaku usaha. Agar kartel sukses, kartel
membutuhkan keterlibatan sebagian besar pelaku usaha pada pasar yang bersangkutan.
135
Perjanjian menurut Pasal 1 angka 7 adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha
untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis
maupun tidak tertulis.
136
Pelaku usaha pesaing adalah pelaku usaha lain yang berada di dalam satu pasar
bersangkutan. Definisi pasar bersangkutan, dapat dilihat dalam Peraturan Komisi Pengawas
Persaingan Usaha Nomor 3 tahun 2009, tanggal 1 Juli 2009 mengenai Pedoman Pasal 1 angka 10
tentang Pasar Bersangkutan. 137
Sebagaimana dirumuskan dalam pasal 11 bahwa suatu kartel dimaksudkan untuk
mempengaruhi harga. Untuk mencapai tujuan tersebut anggota kartel setuju mengatur produksi
dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa.
138Mengatur produksi artinya adalah menentukan jumlah produksi baik bagi kartel secara
keseluruhan maupun bagi setiap anggota. Hal ini bisa lebih besar atau lebih kecil dari kapasitas
produksi perusahaan atau permintaan akan barang atau jasa yang bersangkutan. Sedangkan
mengatur pemasaran berarti mengatur jumlah yang akan dijual dan atau wilayah dimana para
anggota menjual produksinya.
139Barang menurut Pasal 1 angka 16 adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak
berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai,
dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
54
Universitas Indonesia
8. Unsur Dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli;141
9. Unsur Dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat.142
Harus digaris bawahi dari pasal tersebut adalah kata “mengatur produksi”,
“dan/ atau pemasaran”, “yang bertujuan untuk mempengaruhi harga”. Perjanjian
seperti ini meniadakan kesempatan pihak lawan dalam pasar untuk memilih secara
bebas di antara penawaran para angora kartel, namun selama kegiatan koordinasi
produksi serta pemasaran sering mempunyai manfaat persaingan sehingga pada
konteks kebijakan persaingan usaha sering ambivalen di mana kegiatan koordinasi
pemasaran yang murni selalu merupakan hambatan persaingan usaha yang serius.
Pasal 11 Undang-Undang Persaingan Usaha hanya mencakup produksi dan
penjualan, tidak meliputi penelitian dan pengembangan, atau pembelian.143
Kartel pada dasarnya adalah perjanjian satu pelaku usaha dengan pelaku
usaha pesaingnya untuk menghilangkan persaingan di antara keduanya. Secara
klasik, kartel dapat dilakukan melalui 3 (tiga) hal: harga, produksi, dan wilayah
pemasaran. Hal utama dari praktek kartel ini adalah pengaturan jumlah produksi
dan pemasaran secara bersama-sama dan sistematis dengan maksud untuk
mempengaruhi harga demi keuntungan para anggota-anggota kartel. Sebagai
140
Jasa menurut Pasal 1 angka 17 adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau
prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku
usaha.
141Praktek monopoli menurut Pasal 1 angka 2 adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh
satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas
barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat. Dengan kartel,
maka produksi dan pemasaran atas barang dan atau jasa akan dikuasai oleh anggota kartel. Karena
tujuan akhir dari kartel adalah untuk mendapatkan keuntungan yang besar bagi anggota kartel,
maka hal ini akan menyebabkan kerugian bagi kepentingan umum.
142
Pasal 1 angka 6 menyatakan bahwa persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan
antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa
yang dilakukan dengan cara tidak jujur. Kartel adalah suatu kolusi atau kolaborasi dari para pelaku
usaha. Oleh karena itu segala manfaat kartel hanya ditujukan untuk kepentingan para anggotanya
saja, sehingga tindakan-tindakan mereka ini dilakukan secara tidak sehat dan tidak jujur. Dalam
hal ini misalnya dengan mengurangi produksi atau melawan hukum atau menghambat persaingan
usaha, misalnya dengan penetapan harga atau pembagian wilayah. 143
Knud Hansen, et al., Law Concerning The Prohibition of Monopolistic Practices and
Unfair Competition), Op. Cit., hlm. 207.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
55
Universitas Indonesia
konsekuensi, perjanjian kartel tersebut secara tidak langsung membatasi
persaingan usaha.144
Menurut UNCTAD145
dalam Manual On The Formulation and
Application Of Competitive Law, untuk mendeteksi adanya kartel terdapat
beberapa hal yang dapat diamati, yaitu:
a. Adanya kecenderungan untuk membuat perjanjian tertulis;
b. Para peserta kartel akan secara bersama-sama mengurangi ataupun
menaikkan harga, agar tercapai tingkat harga yang sama;
c. Para pelaku usaha akan bekerjasama dengan pelaku usaha lainnya
untuk melakukan serangkaian tindakan tertentu.146
Selain itu kegiatan kartel juga dapat dideteksi dari:
a. Bukti-Bukti dari Konsumen;
b. Bukti-Bukti dari Whistleblower;
c. Bukti-Bukti dari para pelaku usaha atau pendatang baru atau pesaing
potensial;
d. Bukti-Bukti dari dokumentasi perjanjian;
e. Perilaku pasar yang bersangkutan.147
Akibat yang ditimbulkan adalah terciptanya praktek monopoli oleh para
pelaku kartel sehingga secara perekonomian mikro mengakibatkan inefisiensi
alokasi sumber daya yang dicerminkan dengan timbulnya deadweight loss. Dari
sisi konsumen, konsumen akan kehilangan hak atas pilihan harga, kualitas barang
yang bersaing, dan layanan purna jual yang baik.148
Mekanisme kartel adalah
144
Didik J. Rachbini, “Cartel and Merger in Control in Indonesia,” Jurnal Hukum Bisnis
(Volume 19 Mei-Juni 2002), hlm. 11-12. 145
United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) suatu badan dari
PBB yang dibentuk dengan tujuan: memajukan perdagangan internasional, dengan maksud untuk
mempercepat pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang; memformulasikan dan
melaksanakan prinsip-prinsip dan kebijakan-kebijakan perdagangan internasional dan masalah-
masalah pembangunan ekonomi yang terkait; dan sebagainya. 146
Wahyu Retno Dwi Sari, “Kartel: Upaya Damai Untuk meredam Konfrontasi Dalam
Persaingan Usaha,” Jurnal KPPU (Edisi 1 Tahun 2009)
http://www.kppu.go.id/docs/Jurnal_edisi_1_th_09.pdf, diunduh 6 Mei 2010.
147Ibid.
148
Didik J. Rachbini, Op. Cit., hlm. 4.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
56
Universitas Indonesia
dengan diawali kondisi dimana setiap pelaku usaha berupaya mencari keuntungan
yang maksimal dari transaksi yang dilakukannya. Sebagaimana dikatakan dalam
teori tentang harga bahwa perusahaan bermaksud mendapat keuntungan yang
maksimum, untuk memaksimumkan keuntungan. Akibatnya, produsen selalu
mengetahui biaya (cost) untuk memproduksi dalam menentukan keputusan untuk
kapan, berapa banyak, dan bagaimana memproduksinya.149
Perilaku kartel yang dilakukan oleh para pelaku usaha sebagian besar
dialasankan kerena ingin menstabilkan harga di pasar. ketidakstabilan harga
dipicu oleh timbulnya perang harga diantara perusahaan-perusahaan yang
bersaing sehingga perusahaan-perusahaan tersebut berupaya untuk mencapai
kesepakatan harga, biasanya dalam bentuk tarif minimal. Kesepakatan ini pada
umumnya terang-terangan dituangkan secara tertulis dan ditandatangani para
pelaku usaha yang menyepakatinya.
Seluruh produsen akan berupaya memperhitungkan bahan baku, biaya,
harga, dan menentukan jumlah output sesuai dengan perhitungan keuntungan
maksimum. Bila produsen bersama-sama setuju untuk menentukan harga dan
output, maka kelompok mereka akan bertindak sebagaimana seorang monopolis.
Industri akan menghadapi kendala karena jumlah output dibatasi, sementara
kebutuhan dan permintaan konsumen lebih besar dari output. Harga akan menjadi
lebih tinggi karena telah ditetapkan bersama dan mereka juga tidak menghadapi
persaingan yang berarti jenis perjanjian inilah yang disebut kartel.150
Meski begitu, ada beberapa pihak yang berpendapat bahwa dengan
terbentuknya kartel tidak selalu menimbulkan dampak yang buruk atau negatif
dalam dunia perdagangan atau dunia usaha, karena menurut mereka dalam
beberapa kasus terbentuknya kartel justru dapat menguntungkan. Menurut
mereka, kartel dapat melindungi industri tertentu dari persaingan yang
menghancurkan, dengan demikian memerlukan kemampuan untuk
memeliharanya, terutama dimana biaya tetap mempunyai prosentase yang besar
149
Ningrum Natasya Sirait, Op. Cit., hlm. 23 sebagaimana dikutip dari Buku Dennis W
Carlton and Jeffrey M. Perioff, Modern Industrial Organization, (Harper Collins Publisher, 1994),
hlm. 37 dan 66 yang mengatakan bahwa: “A Competitive firm’s objective its to maximize its profits
or equivalebtly, minimize its losses.”
150
Ningrum Natasya Sirait, Op. Cit., hlm. 79.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
57
Universitas Indonesia
dari total biaya (misalnya industri kereta api). Jika dibebaskan dari tekanan
persaingan tersebut maka perusahaan menjadi bebas untuk membiayai inovasi
yang didambakan dan mengadakan penelitian, termasuk untuk melindungi
kualitas produk agar tidak menurun.151
Dalam menilai apakah tindakan yang dilakukan oleh pelaku memiliki
karakteristik kartel atau tidak, KPPU juga menilai faktor-faktor dapat mendorong
atau memfasilitasi terjadinya kartel baik faktor struktural maupun perilaku.
Sebagian atau seluruh faktor tersebut dapat digunakan sebagai indikator dalam
melakukan identifikasi eksistensi sebuah kartel pada sektor bisnis tertentu.
Beberapa diantara faktor-faktor tersebut yaitu:
a. Faktor struktural:
1) Tingkat konsentrasi dan jumlah perusahaan
Secara prinsip, kartel akan lebih mudah jika jumlah perusahaan
tidak banyak. Pemusatan kekuatan ekonomi atau konsentrasi pasar
menunjukkan adanya pertumbuhan perusahaan dalam skala besar,
dan terjadinya penurunan tingkat kompetisi pada pasar
bersangkutan.152
Dalam hal ini indikator tingkat konsentrasi pasar
seperti misalnya CRn (jumlah pangsa pasar dan perusahaan
terbesar) dan HHI (Herfindahl-Hirschman Index) merupakan
indikator yang baik untuk melihat apakah secara struktur, pasar
tertentu mendorong eksisitensi kartel. HHI atau dikenal dengan
Herfindahl Index merupakan alat yang digunakan untuk mengukur
hubungan antara pelaku usaha dengan industri dan merupakan
indikator dari besarnya persaingan antara pelaku usaha. Penurunan
pada index Herfindahl pada umumnya menunjukkan adanya
pengurangan dalam kekuatan monopoli dalam menentukan harga
di pasar dan peningkatan persaingan yang cukup baik. Sebaliknya,
jika angka index menunjukkan kenaikan maka artinya terdapat
151
Ayudha Prayoga, et al., Op. Cit., hlm. 79.
152
Thomas W. Hazlett, “Is Antitrust Anticompetitive?,” 9 Harvard Journal of Law &
Public Policy 277 (1986), hlm. 283.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
58
Universitas Indonesia
konsentrasi yang tinggi di satu tangan pelaku usaha.153
Index HHI
bersifat manipulatif karena terlalu luas atau terlalu sempit dalam
menentukan pasar bersangkutan.154
2) Ukuran Perusahaan
Kartel akan lebih mudah terbentuk jika pendiri atau pelopornya
adalah beberapa perusahaan yang mempunyai ukuran setara.
Dengan demikian pembagian kuota produksi atau tingkat harga
yang disepakati dapat dicapai dengan lebih mudah dikarenakan
kapasitas produksi dan tingkat biaya produksi semua perusahaan
tersebut tidak berbeda jauh.
3) Homogenitas produk
Produk yang homogen, baik berupa barang atau jasa, menyebabkan
preferensi konsumen terhadap seluruh produk tidak berbeda jauh.
Hal ini menjadikan persaingan harga sebagai satu-satunya variabel
persaingan yang efektif. Dengan demikian dorongan para
pengusaha untuk bersepakat membentuk kartel akan semakin kuat
untuk menghindari perang harga yang menghancurkan tingkat laba
mereka. KPPU dapat melakukan survey kepada pelanggan produk
tertentu untuk mengetahui tingkat preferensi pelanggan dan
menyimpulkan tingkat homogenitas produk tersebut.
4) Kontak multi-pasar
Pemasaran yang luas dari suatu produk memungkinkan terjadinya
kontak multi-pasar dengan pesaingnya yang juga mempunyai
sasaran pasar yang luas. Multi-pasar dapat diartikan persaingan di
beberapa area pasar atau di beberapa segmen pasar dapat juga
kontak pada beberapa pasar bersangkutan yang berbeda. Kontak
yang berkali-kali ini dapat mendorong para pengusaha yang
seharusnya bersaing untuk melakukan kolaborasi, misalnya dengan
153
Sergio Baches Opi, “Merger Control in the United States and European Union: How
Should the United States Experience Influence the Enforcement of the Council Merger
Regulation?,” 6 Journal of Transnational Law & Policy 223 (1997), hlm. 278.
154Maurice E. Stucke, “Behavioral Economists At The Gate: Antitrust In the Twenty-First
Century,” 38 Loyola University Chicago Law Journal 513 (2007), hlm. 552.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
59
Universitas Indonesia
alokasi wilayah atau harga. Selain itu, tidak ada insentif bagi para
pelaku usaha tersebut untuk tidak ikut dalam kartel karena adanya
kekhawatiran “tindakan balasan” dari anggota kartel di seluruh
area atau segmen pasar sasaran.
5) Persediaan dan kapasitas produksi
Persediaan yang berlebihan di pasar menunjukkan telah terjadi
kelebihan penawaran (overstock). Begitu pula kapasitas terpasang
yang berada di atas permintaan menunjukkan kemampuan pasokan
berada di atas tingkat permintaan saat ini. Untuk mencegah
persaingan harga yang merugikan, pada kondisi ini para pelaku
usaha akan mudah terperangkap dalam perilaku kartel harga, yaitu
menyepakati harga tertentu atau harga minimum. Selain itu,
kelebihan pasokan ini mencegah anggota kartel untuk menyimpang
mengingat pasokan yang tersedia cukup banyak untuk
“menghukum” mereka yang menyimpang dengan membanjiri
pasar sehingga harga akan jatuh dan pengusaha akan kesulitan
memasarkan produknya. Data akan persediaan dan kapasitas
produksi dapat dijadikan indikator awal untuk mengindentifikasi
kartel.
6) Keterkaitan kepemilikan
Keterkaitan kepemilikan baik minoritas terlebih lagi mayoritas
mendorong pengusaha untuk mengoptimalkan laba melalui
keselarasan perilaku di antara perusahaan yang mereka kendalikan.
Pemegang saham dua atau lebih perusahaan yang semestinya
bersaing cenderung memanfaatkan kepemilikan silang ini untuk
memperkuat kartel dalam rangka mengoptimalkan keuntungan.
Berbagai pengaturan kartel akan berlangsung lebih mudah dengan
adanya kepemilikan silang ini.
7) Kemudahan masuk pasar
Tingginya entry barrier sebagai hambatan bagi perusahaan baru
untuk masuk pasar akan memperkuat keberadaan suatu kartel.
Peluang pendatang baru untuk mengisi kekosongan pasar akibat
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
60
Universitas Indonesia
harga kartel yang tinggi agak tertututp. Dengan demikian kartel
akan dapat bertahan dari persaingan pendatang baru. Tingginya
entry barrier dapat bersumber dari tingginya nilai investasi,
maupun teknologi.
8) Karakter permintaan: keteraturan, elastisitas, dan perubahan
Permintaan yang teratur dan inelastis dengan pertumbuhan yang
stabil akan memfasilitasi berdirinya kartel. Hal ini terjadi karena
adanya kemudahan bagi para peserta kartel untuk memprediksi dan
menghitung tingkat produksi serta tingkat harga yang dapat
mengoptimalkan keuntungan mereka. Sebaliknya jika permintaan
sangat fluktuatif, elastis dan tidak teratur akan menyulitkan
terbentuknya kartel. Selain itu permintaan yang inelastic
menunjukan bahwa konsumen sulit untuk mengurangi jumlah
permintaannya akibat kenaikan harga jual. Kondisi tersebut
mengakibatkan tindakan anti persaingan yang dilakukan oleh
pelaku usaha tidak dapat dikoreksi otomatis oleh berubahnya
pilihan konsumen. Oleh karena itu, kondisi inelastic akan
mengakibatkan tindakan kartel efektif merugikan konsumen dan
tidak dapat dikoreksi secara alamiah.
9) Lemahnya kekuatan tawar pembeli (buyer power)
Pembeli dengan posisi tawar yang kuat akan mampu melemahkan
dan akhirnya membubarkan kartel. Dengan posisi ini, pembeli akan
mudah mencari penjual yang mau memasok dengan harga rendah,
yang berarti mendorong penjual untuk tidak mematuhi harga
kesepakatan kartel. Pada akhirnya kartel tidak akan berjalan secara
efektif dan bubar dengan sendirinya. Namun sebaliknya lemahnya
kekuatan daya tawar pembeli, akan mengefektifkan tindakan anti
persaingan termasuk kartel dalam mengeksploitasi konsumen.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
61
Universitas Indonesia
b. Faktor perilaku
1) Transparansi dan Pertukaran Informasi
Kartel akan mudah terbentuk jika para pelaku usaha terbiasa
dengan pertukaran informasi dan transparansi diantara mereka.
Peran asosiasi yang kuat seringkali terlihat sebagai media
pertukaran ini. Data produksi dan harga jual yang dikirimkan ke
asosiasi secara periodik dapat digunakan sebagai sarana
pengendalian kepatuhan terhadap kesepakatan kartel. Terlebih lagi
jika ditemukan terjadinya pertukaran informasi harga dan data
produksi tanpa melalui asosiasi, yang mana akan terlihat janggal
jika sesama pelaku usaha saling memberikan harga dan data
produksi diantara mereka tanpa tujuan tertentu sehingga kecurigaan
akan eksistensi kartel akan menguat.
2) Peraturan Harga dan Kontrak
Beberapa perilaku pengaturan harga dan kontrak dapat
memperkuat dugaan adanya kartel di suatu industri. Misalnya
kebijakan one price policy dimana kesamaan harga di berbagai
daerah akan menjadi alat monitoring yang efektif antar anggota
kartel terhadap kesepakatan harga kartel. Begitu pula keharusan
memperoleh harga yang sama seperti klausul MFN (Most Favored
Nations) atau meet the competition dalam suatu kontrak akan
memudahkan kontrol terhadap anggota kartel yang menyimpang.
Oleh karena itu, walaupun bukan merupakan syarat perlu maupun
cukup dalam mengidentifikasi kartel, perilaku pengaturan harga
dan kontrak patut dicermati oleh KPPU sebagai bagian upaya
identifikasi eksistensi kartel.
Suatu kartel pada umumnya mempunyai beberapa karakteristik:155
155
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Peraturan Komisi Pengawas Persaingan
Usaha tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 11 tentang Kartel Berdasarkan Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Peraturan
Komisi Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2010, (Jakarta: Komisi Pengawas Persaingan Usaha,
2010), hlm. 9.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
62
Universitas Indonesia
a. Terdapat konspirasi diantara beberapa pelaku usaha.
b. Melibatkan para senior eksekutif dari perusahaan yang terlibat. Para
senior eksekutif inilah biasanya yang menghadiri pertemuan-
pertemuan dan membuat keputusan.
c. Biasanya dengan menggunakan asosiasi untuk menutupi kegiatan
mereka.
d. Melakukan price fixing atau penetapan harga. Agar penetapan harga
berjalan efektif, maka diikuti dengan alokasi konsumen atau
pembagian wilayah atau alokasi produksi. Biasanya kartel akan
menetapkan pengurangan produksi.
e. Adanya ancaman atau sanksi bagi anggota yang melanggar perjanjian.
Apabila tidak ada sanksi bagi pelanggar, maka suatu kartel rentan
terhadap penyelewengan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih
besar daripada anggota kartel lainnya.
f. Adanya distribusi informasi kepada seluruh anggota kartel. Bahkan
jika memungkinkan dapat menyelenggarakan audit dengan
menggunakan data laporan produksi dan penjualan pada periode
tertentu. Auditor akan membuat laporan produksi dan penjualan setiap
anggota kartel dan kemudian membagikan hasil audit tersebut kepada
seluruh anggota kartel.
g. Adanya mekanisme kompensasi dari anggota kartel yang produksinya
lebih besar atau melebihi kuota terhadap mereka yang produksinya
kecil atau mereka yang diminta untuk menghentikan kegiatan
usahanya. Sistem kompensasi ini tentu saja akan berhasil apabila para
pelaku usaha akan mendapatkan keuntungan lebih besar dibandingkan
dengan apabila mereka melakukan persaingan. Hal ini akan membuat
kepatuhan anggota kepada keputusan-keputusan kartel akan lebih
terjamin.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
63
Universitas Indonesia
Terdapat beberapa persyaratan agar suatu kartel dapat berjalan efektif,
diantaranya:156
a. Jumlah pelaku usaha. Semakin banyak pelaku usaha di pasar, semakin
sulit untuk terbentuknya suatu kartel. Kartel akan mudah dibentuk dan
berjalan lebih efektif apabila jumlah pelaku usaha sedikit atau pasar
terkonsentrasi.
b. Produk di pasar bersifat homogen. Karena produk homogen, maka
lebih mudah untuk mencapai kesepakatan mengenai harga.
c. Elastisitas terhadap permintaan barang. Permintaan akan produk
tersebut tidak berfluktuasi. Apabila permintaan sangat fluktuatif,
maka akan sulit untuk mencapai kesepakatan baik mengenai jumlah
produksi maupun harga.
d. Pencegahan masuknya pelaku usaha baru ke pasar.
e. Tindakan-tindakan anggota kartel mudah untuk diamati. Seperti telah
dijelaskan, bahwa dalam suatu kartel terdapat kecenderungan bagi
anggotanya untuk melakukan kecurangan. Apabila jumlah pelaku
usaha tidak terlalu banyak, maka mudah untuk diawasi.
f. Penyesuaian terhadap perubahan pasar dapat segera dilakukan. Kartel
membutuhkan komitmen dari anggota-anggotanya untuk menjalankan
kesepakatan kartel sesuai dengan permintaan dan penawaran di pasar.
Kartel akan semakin efektif jika dapat dengan cepat merespon kondisi
pasar dan membuat kesepakatan kartel baru jika diperlukan.
g. Investasi yang besar. Apabila suatu industri untuk masuk ke pasarnya
membutuhkan investasi yang besar, maka tidak akan banyak pelaku
usaha yang akan masuk ke pasar. Oleh karena itu, kartel diantara
pelaku usaha akan lebih mudah dilakukan.
Selain daripada itu, agar suatu kartel bisa efektif, maka para anggota kartel
harus memenuhi syarat-syarat, diantaranya adalah:157
156
Ibid., hlm. 9. 157
Ibid., hlm. 10.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
64
Universitas Indonesia
a. Anggota kartel harus setuju untuk mengurangi produksi barang dan
kemudian menaikkan harganya atau membagi wilayah. Perjanjian
kartel yang efektif dapat mengakibatkan kartel itu bertindak sebagai
monopolis yang dapat menaikkan dan atau menurunkan produksi dan
atau harga tanpa takut pangsa pasar dan keuntungannya berkurang.
b. Oleh karena kartel rentan terhadap kecurangan dari anggota kartel
untuk menjual lebih banyak dari yang disepakati atau menjual lebih
murah dari harga yang telah ditetapkan dalam kartel, maka diperlukan
monitoring atau mekanisme hukuman bagi anggota kartel yang
melakukan kecurangan.
c. Karena kartel pada prinsipnya melanggar undang-undang, maka perlu
dilakukan langkah-langkah untuk mendorong anggota kartel untuk
bekerja secara rahasia guna menghindari terungkapnya atau
diketahuinya kartel oleh otoritas pengawas persaingan usaha.
d. Agar kelangsungan kartel dapat terjaga, maka para anggota kartel
akan berupaya mencegah masuknya pelaku usaha baru yang tertarik
untuk ikut menikmati harga kartel.
Selanjutnya terdapat juga beberapa kondisi bagi para pelaku usaha
melakukan kartel antara lain:158
a. Dengan melakukan kartel, para pelaku usaha mampu menaikkan
harga. Apabila permintaan tidak elastis, maka akan menyebabkan
konsumen tidak mudah pindah ke produk atau jasa lain, hal ini akan
menyebabkan harga suatu produk atau jasa akan lebih tinggi. Begitu
pula, apabila terdapat kondisi dimana sulit bagi barang substitusi
masuk ke pasar, karena tidak ada barang atau jasa lain di pasar, maka
harga tetap akan tinggi.
b. Adanya kondisi dimana kecil kemungkinan kartel akan terungkap dan
kalaupun diketahui, maka hukuman yang akan dijatuhkan relatif
rendah, sehingga para anggota kartel masih merasa untung.
158
Ibid.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
65
Universitas Indonesia
c. Biaya yang dikeluarkan untuk terjadinya kartel dan biaya untuk
memelihara kartel lebih rendah dibandingkan dengan keuntungan
yang diharapkan.
2.4 Pembuktian oleh KPPU
Salah satu tugas Majelis Komisi adalah untuk menyelidiki apakah suatu
hubungan hukum yang menjadi dasar dari laporan dugaan mengenai pelanggaran,
benar-benar melanggar atau tidak melanggar ketentuan dari Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999.159
Adanya hubungan hukum inilah yang harus dibuktikan
apabila Pelapor menginginkan laporannya dikabulkan oleh komisi. Apabila
Pelapor tidak berhasil membuktikan dalil-dalilnya yang menjadi dasar laporannya,
hal itu bermakna bahwa laporannya akan ditolak atau tidak jadi dilanjutkan
pemeriksaannya. Sedangkan apabila berhasil membuktikan, maka laporan tersebut
akan dikabulkan oleh Majelis Komisi.
Tidak semua dalil yang menjadi dasar laporan harus dibuktikan
kebenarannya, sebab dalil-dalil yang tidak disangkal terlebih apalagi diakui
sepenuhnya oleh terlapor, maka tentu tidak perlu dibuktikan lagi.160
Dalam hal
Pelaku Usaha Terlapor mengakui kebenaran dan laporan Pelapor, hanya dengan
itu saja sudah cukup alasan bagi Majelis Komisi untuk menjatuhkan putusan
bahwa Pelaku Usaha Terlapor terbukti melakukan pelanggaran terhadap pasal
tertentu dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Dalam pembuktian di KPPU, yang berkepentingan bukan hanya pelapor
semata. Majelis Komisi akan menentukan siapa diantara pihak-pihak yang
berperkara yang diwajibkan untuk memberikan bukti, apakah itu pihak pelapor
atau sebaliknya pihak Pelaku Usaha Terlapor. Dengan perkataan lain, Majelis
Komisi sendiri yang akan menentukan pihak mana yang akan memikul beban
pembuktian. Di dalam menjatuhkan beban pembuktian, Majelis Komisi harus
159
Menurut Pasal 36 huruf (d) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 salah satu
wewenang KPPU adalah menyimpulkan hasil penyelidikan dan pemeriksaan tentang ada atau
tidaknya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. 160
Yang perlu dibuktikan adalah apa yang disangkal oleh Terlapor, sedangkan yang sudah
diakui kebenarannya oleh Terlapor, hal itu tidak perlu lagi dibuktikan.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
66
Universitas Indonesia
bertindak arif dan bijaksana, serta tidak boleh berat sebelah.161
Semua peristiwa
dan keadaan yang konkrit harus diperhatikan secara seksama oleh Majelis Komisi.
2.4.1 Alat-Alat Bukti Di KPPU
Untuk menentukan terbukti tidaknya pelanggaran terhadap
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 berdasarkan laporan atau hasil
monitoring, alat-alat bukti yang dipergunakan Tim Pemeriksa atau Majelis
Komisi adalah:
a. Keterangan Saksi
b. Keterangan Ahli
c. Surat dan/atau dokumen
d. Petunjuk
e. Keterangan Terlapor162
Majelis Komisi menentukan sah atau tidak sahnya suatu alat bukti
dan menentukan nilai pembuktian berdasarkan kesesuaian sekurang-
kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah.163
2.4.1.1 Keterangan Saksi
Dalam laporan di KPPU, pelapor berusaha untuk mendapatkan
saksi-saksi yang dapat membenarkan atau menguatkan dalil-dalil laporan
yang diajukannya di KPPU. Sebaliknya, pelaku usaha Terlapor akan
berusaha sebisa mungkin mendapatkan saksi-saksi yang mendukung
sanggahannya atas laporan dugaan pelanggaran terhadap Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1999. Pelaku usaha Terlapor akan berupaya semampu
mungkin untuk mematahkan ketidakbenaran dari laporan Pelapor.
161
Hal ini sesuai dengan asas dalam hukum yang mengatakan bahwa pihak yang
mengadili perkara harus mendengarkan kedua belah pihak yang berperkara secara seimbang. Audi
et alteram partem. 162
Pasal 42 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Lihat Juga Pasal 64 ayat (1) Peraturan
KPPU Nomor 1 Tahun 2006. 163
Pasal 64 ayat (2) Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun 2006.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
67
Universitas Indonesia
Saksi menurut Surat Keputusan KPPU Nomor 1 Tahun 2006
adalah setiap orang atau pihak yang mengetahui terjadinya pelanggaran
dan memberikan keterangan guna kepentingan pemeriksaan.
Saksi-saksi itu ada yang secara kebetulan melihat atau mengalami
sendiri peristiwa yang harus dibuktikan di muka Majelis Komisi, ada pula
yang memang dengan sengaja diminta menyaksikan suatu perbuatan
hukum yang sedang dilakukan, misalnya menyaksikan pembuatan akta
penggabungan atau merger perusahaan, akuisisi atau peleburan
perusahaan.
Seorang saksi diharapkan akan menerangkan tentang apa yang
diketahui, dilihat, dan dialaminya sendiri. Dan lagi tiap kesaksian itu harus
disertai dengan alasan-alasan bagaimana diketahuinya hal-hal yang
diterangkan itu. Pendapat maupun perkiraan-perkiraan yang diperoleh
dengan jalan pikiran bukanlah suatu kesaksian.164
Seorang saksi tidak boleh memberikan keterangan yang berupa
kesimpulan. Yang berwenang untuk menarik kesimpulan adalah Majelis
Komisi, bukan saksi. Misalnya seorang saksi tidak dapat menerangkan
bahwa pada waktu pelapor sedang berkunjung ke salah satu hotel
berbintang lima, pada saat itu saksi melihat dua orang pengusaha yang
diduga melakukan persekongkolan tender sedang makan malam bersama.
Beberapa saat setelah acara makan malam tersebut, kemudian salah satu
dari perusahaan Pelaku Usaha Terlapor dinyatakan sebagai pemenang
Tender yang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Hanya
dengan adanya makan malam bersama tersebut, kemudian saksi
berkesimpulan bahwa yang dibicarakan pada malam bersama tersebut
pastilah persekongkolan tender.
Pemeriksaan saksi di KPPU pada prinsipnya sama dengan
pemeriksaan saksi di Pengadilan Negeri. Sebelum saksi memberikan
keterangan, saksi bersangkutan terlebih dahulu harus mengangkat sumpah
164
Tiap-tiap kesaksian harus disertai dengan alasan-alasan bagaimana diketahuinya hal-
hal yang diterangkan. Pendapat-pendapat maupun perkiraan-perkiraan khusus, yang diperoleh
dengan jalan pikiran bukanlah kesaksian. (Pasal 1907 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
68
Universitas Indonesia
sesuai dengan agama dan kepercayaannya.165
Namun yang berbeda adalah
proses pemeriksaan saksi dalam perkara perdata di Pengadilan Negeri pada
umumnya dilaksanakan secara terbuka. Pemeriksaan saksi secara tertutup
dilakukan hanya terhadap perkara tertentu, seperti misalnya perkara
perceraian. Sedangkan pemeriksaan saksi di KPPU pada dasarnya
dilakukan secara tertutup. Pemeriksaan saksi atau saksi ahli pada
prinsipnya dilakukan secara tertutup. Pemeriksaan terhadap saksi atau
saksi ahli hanya boleh dilakukan secara terbuka apabila saksi atau saksi
ahli bersangkutan bersedia untuk menyatakan pemeriksaan terhadap
dirinya dilakukan secara terbuka.
Perlunya saksi mengangkat sumpah di KPPU adalah karena
bilamana terhadap putusan KPPU nantinya ada keberatan dari pihak
Pelaku Usaha Terlapor, Hakim tidak tidak perlu lagi melakukan
pemeriksaan terhadap saksi didahului dengan cara mengangkat sumpah.
Karena saksi sudah disumpah di KPPU, maka keterangan di depan KPPU
inilah yang akan dipertimbangkan hakim kelak bilamana terhadap putusan
KPPU ada keberatan dari Pelaku Usaha Terlapor. Dengan singkat dapat
dikatakan bahwa oleh karena pada waktu saksi memberikan keterangan di
KPPU sudah mengangkat sumpah, maka oleh karena itu pula keterangan
saksi di KPPU mengikat untuk pemeriksaan selanjutnya di Pengadilan
Negeri. Dalam memberikan kesaksian, seorang saksi tidak perlu dan tidak
pada tempatnya untuk mengangkat sumpah sebanyak dua kali di dalam
kaitannya memberikan kesaksian sebanyak 1 (satu) kali.166
2.4.1.2 Keterangan Ahli
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tidak memberikan arti atau
definisi dari ahli. Kerena itu untuk mendapatkan pemahaman yang lebih
165
Lihat Pasal 67 ayat (1) huruf d) Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor
05/KPPU/Kep/IX/2000 tanggal 8 September 2000 tentang Tata Cara Penyampaian Laporan dan
Penanganan Dugaan Pelanggaran Terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
166
Lihat pasal 5 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2005. Pemeriksan
keberatan dilakukan hanya atas dasar putusan KPPU dan berkas perkara.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
69
Universitas Indonesia
luas mengenai apa itu ahli dan keterangan ahli harus dicari dari peraturan
atau sumber lain.
Ahli menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah orang-orang
yang mahir, paham sekali disuatu ilmu; mahir benar. Saksi ahli adalah
seseorang yang memiliki keahlian khusus yang memberikan keterangan
kepada Majelis Komisi.167
Di dalam peraturan lain, yaitu di dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 bahwa yang dimaksud dengan
keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang
memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat
suatu terang perkara pidana guna pemeriksaan.168
Kalau membaca struktur keterangan ahli dalam hukum positif,
maka fungsi keterangan ahli bukanlah merupakan keterangan yang final.
Karena sebagai dasar memutus laporan dugaan mengenai pelanggaran
terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 (perkara) sepenuhnya
menjadi kewenangan Majelis Komisi. Kedua, keterangan ahli merupakan
penjelasan yang bersifat transnasional, maksudnya sebagai argumentasi
pada antara pembuktian dengan penilaian perkara.169
Hal ini dikarenakan
keterangan ahli merupakan keterangan yang diberikan seseorang atas dasar
pengetahuannya dan berhubungan dengan perkara yang sedang diperiksa.
Kalau keterangan yang diberikan berbentuk pendengaran, penglihatan,
atau pengalamannya sehubungan dengan peristiwa yang terjadi, maka
sekalipun diberikan oleh ahli, tidak bernilai sebagai bukti keterangan ahli,
tapi berubah menjadi alat bukti keterangan saksi.170
167
Lihat pasal 1 ayat (20) Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor
05/KPPU/Kep/IX/2000 tanggal 8 September 2000 tentang Tata Cara Penyampaian Laporan dan
Penanganan Dugaan Pelanggaran Terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Peraturan ini
telah dicabut oleh Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun 2006. Hanya di dalam Keputusan KPPU
Nomor 1 Tahun 2006 apa yang dimaksud dengan keterangan ahli tidak diatur. 168
Lihat pasal 1 ayat (28) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981.
169
Isharyanto, “Makalah Seminar Saksi Ahli UNTAG” http://isharyanto-
hukum.com/makalah_seminar/isharyanto MAKALAH_SEMINAR_AHLI_UNTAG.doc, diunduh
6 Oktober 2012. 170
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sapta Artha Jaya, 1996),
hlm. 283.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
70
Universitas Indonesia
Sebuah keterangan ahli tidak mutlak. Ada faktor-faktor yang
mempengaruhi mengapa atas suatu peristiwa hukum konkrit satu orang
ahli hukum ekonomi, misalnya, dengan ahli yang lain dapat menghasilkan
kesimpulan yang tidak sama.171
Menurut Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati172
praktik
hukum menyangkut 2 (dua) aspek utama yaitu pembentukan hukum dan
penerapan hukum. Dengan demikian, pengetahuan hukum secara praktis
bertujuan untuk memecahkan persoalan hukum tertentu atau memberikan
jalan keluar terhadap problema hukum (legal problem solving).173
Untuk
tujuan ini maka dibutuhkan suatu argumentasi hukum (legal
argumentation) yang mana dalam hal ini seringkali harus menggunakan
logika sebagai pisau analisis.
Sementara itu, argumentasi hukum itu sendiri mempunyai 2 (dua)
kekhususan mendasar yaitu: pertama, tidak ada ahli yang mulai
berargumentasi dari suatu keadaan hampa. Argumentasi hukum selalu
dimulai dari hukum positif dan hukum positif bukan merupakan suatu
keadaan yang tertutup atau statis, akan tetapi merupakan suatu
perkembangan yang berkelanjutan.174
Orang dapat bernalar dari ketentuan
hukum positif dari asas-asas yang terdapat di dalamnya untuk mengambil
argumentasi-argumentasi yang bermacam-macam.
Kedua, argumentasi hukum berkaitan dengan kerangka prosedural
berupa argumentasi rasional berupa lapisan logika, lapisan dialektik, dan
lapisan prosedural. Dengan metode tertentu, argumentasi hukum akan
melahirkan metode intepretasi atau penafsiran dan metode
171
Ada sebuah pemeo yang mengatakan bahwa kalau dua orang sarjana hukum
berkumpul, paling sedikit ada tiga pendapat (“Twee juristen drie meningen”). Lihat Soedargo
Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, (Bandung: Bina Cipta, 1987), hlm. 1. 172
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djamiati, Argumentasi Hukum, (Yogyakarta:Gajah
Mada University Press, 2005), hlm. 10. 173
Ibid., hlm. 12. 174
Ini khas corak hukum yang berkiblat kepada sistem Anglo Saxon. Lihat: Soetandyo
Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode, dan Masalahnya, (Jakarta: ELSAM dan Huma,
2002).
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
71
Universitas Indonesia
penalaran/konstruksi hukum. Metode intepretasi merupakan metode
penemuan hukum dalam hal peraturannya ada tetapi tidak jelas untuk
dapat diterapkan pada peristiwanya, atau bahkan sama sekali belum
diatur.175
Sementara itu penalaran/konstruksi hukum dapat berupa analogi,
penghalusan hukum (penyempitan hukum), dan metode a contrario.176
Dengan faktor diatas, maka sudah tentu dapat dimaklumi apabila
antara ahli yang satu dengan dengan ahli yang lain mempunyai pendapat
yang tidak harus sama untuk menganalisis suatu perkara hukum. Hal di
atas adalah faktor yang dilandasi alasan berpikir positif. Jangan sampai
perbedaan itu, seperti pernah diungkapkan oleh J.E. Sahetapy, karena
berlakunya asas “pendapat disesuaikan dengan pendapatan”.177
Dalam hal
ini yang menentukan pendapat dari ahli bersangkutan, buka kemampuan
atau keahliannya, akan tetapi lebih ditentukan oleh motif sosial, ekonomi
atau daya tarik kekuasaan dan pengaruh dari pihak yang meminta
bantuannya bertindak selaku saksi ahli. Disini saksi ahli bertindak sudah
seperti “tukang jahit” karena pendapatnya tergantung pada selera dan/atau
pesanan dari pihak mempergunakan pendapat atau keahliannya.
2.4.1.3 Surat dan/ atau dokumen
Alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat
tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau
untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai
pembuktian. Dengan demikian, maka segala sesuatu yang tidak memuat
175
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 21.
176
Lihat uraian selanjutnya dalam Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta,
Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum
(Buku 1), (Bandung: Alumni, 1999), hlm. 111-120. Lihat juga, Sudikno Mertokusumo, Penemuan
Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2003), hlm. 71.
177
Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam kesimpulannya pada perkara Temasek
mengemukakan keberatannya terhadap keterangan saksi ahli bernama Michael Montag dan
Michael Keden. KPPU menyebut kedua saksi ahli tersebut adalah “antek” Temasek. Keduanya
pernah memberikan kesaksian pada saat pemeriksaan di KPPU. Selain itu mereka juga menerima
upah dan fasilitas dari Temasek. Sehingga independensinya diragukan untuk menjadi ahli. Lihat
Hukum Online tanggal 22 April 2008.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
72
Universitas Indonesia
tanda-tanda bacaan, akan tetapi tidak mengandung buah pikiran, tidaklah
termasuk dalam pengertian alat bukti surat.
Potret atau gambar tidak memuat tanda-tanda bacaan atau buah
pikiran, demikian juga dengan denah atau peta, meskipun ada tanda
bacaannya, tetapi tidak mengandung suatu buah pikiran atau isi hati
seseorang. Itu semuanya hanya sekedar merupakan barang atau benda
untuk meyakinkan saja. Sebaliknya sepucuk surat yang berisi curahan hati
yang diajukan di muka Majelis Komisi ada kemungkinan tidak merupakan
alat bukti tertulis atau surat, tetapi sebagai sebuah benda untuk
meyakinkan saja, karena bukan kebenaran isi atau bunyi surat itu yang
harus dibuktikan atau digunakan sebagai bukti, melainkan eksistensi surat
itu menjadi bukti sebagai barang yang diperdagangkan.
Arti surat yang lebih mendetail dapat ditemukan dalam Peraturan
Prosedur Badan Nasional Indonesia. Menurut pasal 2 huruf (m) Peraturan
Prosedur BANI, yang dimaksud dengan tulisan adalah baik dibuat dalam
huruf besar atau huruf kecil, adalah dokumen-dokumen yang ditulis atau
dicetak diatas kertas, tetapi juga dokumen-dokumen yang dibuat dan/atau
dikirimkan secara elektronis, yang meliputi tidak saja perjanjian-
perjanjian, tetapi juga pertukaran korespondensi, catatan rapat, telex,
telefax, email, dan bentuk-bentuk komunikasi lainnya yang sedemikian;
dan tidak boleh ada perjanjian, dokumen korespondensi, surat
pemberitahuan atau instrumen lainnya yang dipersyaratkan untuk
diwajibkan secara tertulis ditolak secara hukum dengan alasan bahwa hal-
hal tersebut dibuat atau disampaikan secara elektronis.178
2.4.1.4 Dokumen Perusahaan
Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 dokumen
perusahaan adalah data, catatan dan atau keterangan yang dibuat dan atau
diterima oleh perusahaan dalam rangka pelaksanaan kegiatannya, baik
178
BANI, “Prosedur Bani” http://www.bani-arb.org/bani_prosedur_ind.html, diunduh 7
Oktober 2012.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
73
Universitas Indonesia
tertulis diatas kertas atau sarana lain maupun terekam dalam bentuk corak
apapun yang dapat dilihat, dibaca dan didengar.
Dokumen perusahaan terdiri dari dokumen keuangan dan dokumen
lainnya. Dokumen keuangan terdiri dari catatan, bukti pembukuan dan
data pendukung administrasi keuangan, yang merupakan bukti adanya hak
dan kewajiban serta kegiatan usaha suatu perusahaan. Sedangkan dokumen
lainnya terdiri dari data atau setiap tulisan yang berisi keterangan yang
mempunyai nilai guna bagi perusahaan meskipun tidak terkait lagsung
dengan dokumen keuangan.
Catatan terdiri dari neraca tahunan, perhitungan laba rugi tahunan,
rekening, jurnal transaksi harian, atau setiap tulisan yang berisi keterangan
mengenai hak dan kewajiban serta hal-hal lain yang berkaitan dengan
kegiatan usaha suatu perusahaan. Bukti pembukuan terdiri dari warkat-
warkat yang digunakan sebagai dasar pembukuan yang mempengaruhi
perubahan kekayaan, utang, dan modal.
Data pendukung administrasi keuangan merupakan data
administratif yang berkaitan dengan keuangan untuk digunakan sebagai
pendukung penyusunan dan pembuatan dokumen keuangan. Data
pendukung administrasi keuangan terdiri dari:179
a. Data pendukung yang merupakan bagian dari bukti
pembukuan.
b. Data pendukung yang tidak merupakan bagian dari bukti
pembukuan.
2.4.1.5 Pengalihan Bentuk Dokumen Perusahaan dan Legitimasi
Dokumen perusahaan dapat dialihkan ke dalam mikrofilm atau
media lainnya. Mikrofilm adalah film yang memuat rekaman bahan
tertulis, tercetak dan tergambar dalam ukuran yang sangat kecil. Media
lainnya adalah alat penyimpanan informasi yang bukan kertas dan
mempunyai tingkat pengamanan yang dapat menjamin keaslian dokumen
179
Binoto Nadapdap, Hukum Acara Persaingan Usaha, (Jakarta: Jala Permata Aksara,
2009), hlm. 66.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
74
Universitas Indonesia
yang dialihkan atau ditransformasikan, misalnya Compact Disk-Read Only
Memory (CD-ROM), dan Write-Once-Read-Many (WORM).
Pengalihan dokumen perusahaan atau media lainnya dapat
dilakukan sejak dokumen tersebut dibuat atau diterima oleh perusahaan
yang bersangkutan. Dalam mengalihkan dokumen perusahaan, pimpinan
perusahaan wajib mempertimbangkan kegunaan naskah asli dokumen
yang perlu tetap disimpan karena mengandung nilai tertentu demi
kepentingan perusahaan atau kepentingan nasional. Suatu dokumen
perusahaan mempunyai makna kepentingan nasional apabila dokumen
perusahaan tersebut memiliki nilai historis yang digunakan dalam rangka
kegiatan pemerintahan dan pembangunan serta kehidupan kebangsaan,
misalnya, rekening atau bukti iuran untuk pembangunan Monumen
Nasional.
Dalam hal dokumen perusahaan yang dialihkan ke dalam
mikrofilm atau media lainnya adalah naskah asli yang mempunyai
kekuatan pembuktian otentik dan masih mengandung kepentingan hukum
tertentu, pimpinan perusahaan tetap harus menyimpan naskah asli, apabila
dokumen tersebut masih mempunyai kekuatan pembuktian otentik dan
atau mengandung kepentingan hukum tertentu.
Legalisasi dilakukan oleh pimpinan perusahaan atau pejabat yang
ditunjuk dilingkungan perusahaan yang bersangkutan, dengan dibuatkan
berita acara. Berita acara sekurang-kurangnya memuat:180
a. Keterangan tempat, hari, tanggal, bulan dan tahun
dilakukannya legalisasi. Legalisasi adalah tindakan pengesahan
isi dokumen perusahaan yang dialihkan atau ditransformasikan
ke dalam mikrofilm atau media lain yang menerangkan atau
menyatakan bahwa isi dokumen perusahaan yang terkandung
di dalam mikrofilm atau media lain tersebut sesuai dengan
naskah aslinya;
180
Ibid., hlm. 67.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
75
Universitas Indonesia
b. Keterangan bahwa pengalihan dokumen perusahaan yang
dibuat diatas kertas ke dalam mikrofilm atau media lainnya
telah dilakukan sesuai dengan aslinya; dan
c. Tandatangan dan nama jelas pejabat yang bersangkutan.
Dokumen perusahaan yang telah dimuat dalam mikrofilm atau
media lainnya dan atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah.
Apabila dianggap perlu dalam hal tertentu dan untuk keperluan tertentu
dapat dilakukan legalisasi terhadap hasil cetak dokumen perusahaan yang
telah dimuat dalam mikrofilm atau media lainnya.
Kelalaian dalam melaksanakan kewajiban tersebut, pimpinan
perusahaan bertanggung jawab sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Penggunaan kata wajib dimaksudkan untuk
memberikan penekanan bahwa setiap pengalihan dokumen perusahaan
harus dilegalisasi. Legalisasi adalah tindakan pengesahan isi dokumen
perusahaan yang dialihkan atau ditransformasikan ke dalam mikrofilm
atau media lain yang menerangkan atau menyatakan bahwa isi dokumen
perusahaan yang terkandung didalam mikrofilm atau media lain tersebut
sesuai dengan naskah aslinya. Apabila pengalihan dokumen perusahaan
tidak dilegalisasi, maka dokumen perusahaan hasil pengalihan tersebut
secara hukum tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah.
2.4.1.6 Petunjuk
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 maupun Peraturan Komisi
Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2006 tidak mengatur dan
tidak memberikan penjelasan mengenai apa itu petunjuk dan bagaimana
petunjuk tersebut dipergunakan dalam pembuktian di KPPU.
Sebagai perbandingan dapat dikemukakan bahwa di dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP bahwa petunjuk
adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik
antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
76
Universitas Indonesia
sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa
pelakunya.181
Petunjuk hanya dapat diperoleh dari:
a. Keterangan saksi
b. Surat
c. Keterangan Terlapor
Dengan mengacu dalam rumusan dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tersebut diatas, maka petunjuk dalam perkara di KPPU dapat
diartikan sebagai perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena
persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan
laporan dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999, menandakan telah terjadi suatu pelanggaran Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1999 dan siapa pelakunya.
2.4.1.7 keterangan Pelaku Usaha (Terlapor)
keterangan Terlapor adalah apa yang Terlapor nyatakan di depan
Majelis Komisi tentang perjanjian, perbuatan ia lakukan sendiri, ketahui
sendiri dan alami sendiri.
2.4.2 Economic Evidence Sebagai Alat Bukti dalam Kasus Penetapan
Harga dan Kartel
Dalam melakukan pembuktian terhadap kasus penetapan harga dan
kartel, KPPU menggunakan 2 jenis alat bukti, yaitu Direct Evidence dan
Circumstantial Evidence atau disebut juga Indirect Evidence. Kedua jenis
alat bukti tersebut mempunyai peranan penting bagi KPPU dalam
melakukan pembuktian kasus penetapan harga dan kartel, dimana dalam
hal ini KPPU berpedoman pada The OECD Global Forum on Competition,
Policy Roundtables, Prosecuting Cartels Without Direct Evidence, 2006.
Seperti yang dikemukakan oleh KPPU dalam putusan terhadap perkara
Nomor 24/KPPU-I/2009 tentang kartel Minyak Goreng, mengenai Indirect
Evidence.
181
Pasal 188 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
77
Universitas Indonesia
Seperti di Indonesia, di sebagian negara, kartel (dan pelanggaran
lain dari hukum persaingan) diberlakukan hukum administratif. Prinsip
sanksi administratif yang diterapkan untuk melakukan ini adalah denda
(biasanya hanya dijatuhkan terhadap organisasi tapi kadang-kadang bisa
juga terhadap orang individu) dan perintah perbaikan. Dalam beberapa
negara, kartel dianggap tindak kriminal. Dalam kebanyakan kasus, beban
pembuktian yang dimiliki lembaga persaingan lebih tinggi dalam kasus
pidana. Akibatnya adalah penting adanya direct evidence (bukti langsung)
berupa perjanjian dalam kasus ini. Amerika serikat telah lama
menggunakan proses pidana oleh pemerintah dalam kasus-kasus kartel dan
hampir semua kasus didasari direct evidence. Namun, circumstantial
evidence tetap dapat diterima dan berguna di negara tersebut dan di
negara-negara lain.182
2.4.2.1 Pembuktian Langsung (Direct Evidence)
Jenis pembuktian langsung (direct evidence) adalah metode
pembuktian yang diarahkan pada eksistensi perjanjian dengan cara
membuktikan semua dokumen, notulen atau tempat pertemuan dari suatu
tindakan kartel. Maka sekali keberadaan pertemuan kartel para kompetitor
suatu produk barang atau jasa tertentu bisa dibuktikan, maka pengadilan
akan menetapkan bahwa telah terjadi pelanggaran ketentuan perundang-
undangan yang mengatur tentang kartel tanpa harus melihat terlebih
dahulu apakah hasil dari pertemuan yang dilaksanakan oleh para pelaku
usaha tersebut dengan para kompetitornya itu telah dilaksanakan atau tidak
dilapangan.
Jenis direct evidence dapat diklasifikasikan dalam 2 (dua) bentuk
yaitu:183
1. Dokumen mengenai perjanjian kartel dan identifikasi pihak-
pihak yang terkait (termasuk e-mail messages)
182
OECD, “Prosecuting Cartels without Direct Evidence of Agreement,” Policy Brief
(Juni 2008).
183
Ibid.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
78
Universitas Indonesia
2. Pernyataan tertulis maupun tidak tertulis dari pihak-pihak yang
terkait yang menjelaskan mengenai kegiatan perjanjian kartel
mereka dan keikutsertaan mereka didalamnya.
2.4.2.2 Pembuktian Berdasarkan Keadaan (Circumstantial Evidence)
Selain metode pembuktian secara langsung (direct evidence)
terdapat pula jenis metode pembuktian lain, yaitu metode pembuktian
berdasarkan keadaan (circumstantial evidence). Pembuktian berdasarkan
keadaan (circumstantial evidence) atau populer dengan istilah pembuktian
tidak langsung adalah pembuktian berdasarkan kesimpulan yang diambil
dari berbagai tindakan atau kondisi sistematis yang dilakukan oleh para
kompetitor komoditas barang atau jasa tertentu yang menunjukkan
keyakinan kuat bahwa telah terjadi koordinasi diantara para pelaku usaha
tersebut. Circumstantial evidence tidak kalah penting dari direct evidence.
Menurut The OECD Global Forum on Competition, Policy Roundtables,
Prosecuting Cartels Without Direct Evidence, 2006:
Circumstantial evidence is of no less value than direct evidence for
it is the general rule that the law makes no distinction between
direct and circumstantial evidence but simply requires that before
convicting a defendant the jury must be satisfied of the defendant’s
guilt beyond a reasonable doubt from all of the evidence in the
case.
In order to prove the conspiracy, it is not necessary for the
government to present proof of verbal or written agreements. Very
often in cases like this, such evidence is not available. You may find
that the required agreement or conspiracy existed from the course
of dealing between or among the individuals through the words
they exchanged or from their acts alone.
Banyak sekali kasus yang memang sulit atau tidak memiliki direct
evidence karena memang perjanjian kartel seringkali tidak dibuat
berdasarkan perjanjian tertulis diantara para pihak. Disinilah peranan
circumstantial evidence dibutuhkan untuk membuktikan adanya perjanjian
tersebut.
Circumstantial evidence terbagi menjadi dua kategori, yaitu
communication evidence (bukti komunikasi) dan economic evidence (bukti
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
79
Universitas Indonesia
ekonomi). Bukti dimana para pihak melakukan komunikasi, baik bertemu
atau berkomunikasi dengan cara lain yang membahas mengenai perjanjian
kartel disebut dengan communication evidence meskipun tidak terdapat
substansi dari pertemuan dan/atau komunikasi tersebut, mencakup:184
1. Rekaman telepon antara para pelaku usaha pesaing atau travel
dengan tempat tujuan yang sama, ataupun partisipasi dalam
meeting. Contohnya dalam suatu trade conference.
2. Bukti lain yang berhubungan dengan komunikasi antara para
pihak mengenai perjanjian tersebut, contoh note pada meeting
yang berisi diskusi mengenai penetapan harga, demand, dan
supply barang dan/atau jasa. Contoh lainnya dapat berupa
dokumen internal mengenai strategi harga dan pemasaran
pelaku usaha pesaing, seperti dokumen mengenai strategi untuk
menaikkan harga milik pelaku usaha pesaing.
Kategori yang lebih luas dalam circumstantial evidence adalah
economic evidence (bukti ekonomi). Bukti ekonomi tidak hanya
mengidentifikasi tindakan perusahaan yang mengesankan bahwa sebuah
kesepakatan dicapai, tetapi juga melakukan industri secara keseluruhan,
elemen-elemen struktur pasar yang menyatakan bahwa terdapat sebuah
perjanjian penetapan harga, dan praktek-praktek tertentu yang dapat
digunakan dalam perjanjian kartel.
Conduct evidence adalah jenis yang paling penting dalam perihal
economic evidence. Seperti disebutkan sebelumnya, berdasarkan observasi
tertentu, suatu perbuatan yang mencurigakan sering memicu investigasi
terhadap kartel. Analisis yang cermat terhadap perbuatan para pihak sangat
penting untuk mengidentifikasi tindakan yang dapat dicirikan sebagai
tindakan yang bertentangan dengan kepentingan pribadi para pihak, maka
hal tersebut menimbulkan dugaan mengenai adanya suatu perjanjian.
Conduct evidence meliputi:185
184
Ibid. 185
Ibid.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
80
Universitas Indonesia
1. Parallel pricing – perubahan harga yang identik antar para
pesaing, atau hampir identik. Ini termasuk bentuk lain dari
parallel conduct, seperti pengurangan kapasitas, adopsi
persyaratan standar penjualan, dan pola penawaran
mencurigakan. Misalnya, rotasi diprediksi memenangkan
panawar.
2. Kinerja industri juga dapat digambarkan sebagai conduct
evidence. Hal ini termasuk:
a) Tinggi laba yang tidak normal;
b) Pangsa pasar yang stabil;
c) Sejarah pelanggaran hukum persaingan.
3. Bukti yang berhubungan dengan struktur pasar juga dapat
digunakan terutama untuk membuat penemuan perjanjian kartel
lebih masuk akal, meskipun faktor struktur pasar tidak
membuktikan adanya kesepakatan tersebut. Bukti ekonomi
yang relevan dengan struktur pasar meliputi:
a) Konsentrasi tinggi;
b) Konsentrasi rendah di sisi berlawanan dari pasar;
c) Besarnya hambatan masuk;
d) Tingkat integrasi vertikal yang tinggi;
e) Produk standar atau homogen.
Jenis economic conduct evidence yang spesifik adalah facilitating
practices, yaitu kegiatan untuk memfasilitasi praktek-praktek yang dapat
mempermudah para pesaing untuk mencapai kesepakatan (perjanjian).
Penting untuk dicatat bahwa memfasilitasi praktek tidak selalu melanggar
hukum. Facilitating practices dapat dilakukan melalui price signaling
dalam kegaiatan promosi dalam waktu yang tidak bersamaan serta
pertemuan-pertemuan atau komunikasi antar pesaing melalui asosiasi.186
186
Ibid.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
81
Universitas Indonesia
BAB 3
RELEVANSI ANTARA PERJANJIAN PENETAPAN HARGA
DENGAN KARTEL
3.1 Pendekatan Rule of Reason dan Per Se Illegal dalam Penetapan Harga
dan Kartel
Hukum persaingan mengenal 2 (dua) kriteria pendekatan teori dalam
menentukan hambatan dalam suatu pasar yaitu dengan pendekatan yang disebut
per se illegal ataupun dengan pendekatan rule of reason.187
Pendekatan melalui
teori per se digunakan dalam rangka mengedepankan pembuktian atas suatu
kegiatan atau perjanjian seturut dengan ketentuan perundangan. Hal ini kemudian
lebih mengedepankan kepastian hukum, dikarenakan terdapat ketentuan jelas
mengenai pelarangan suatu tindakan atau kegiatan. Salah satu manfaat dari
pendekatan melalui per se illegal adalah terdapatnya kemudahan dalam
pelaksanaan proses administratif.188
Suatu perilaku yang ditetapkan oleh
pengadilan sebagai per se illegal, akan diadili tanpa proses penyelidikan yang
rumit. Jenis perilaku yang ditetapkan secara per se illegal hanya dilaksanakan
setelah pengadilan memiliki pemahaman atas suatu perbuatan hampir selalu
bersifat anti persaingan dan tidak pernah membawa manfaat sosial.189
Menurut Kissane and Benefore, bahwa suatu perbuatan dalam pengaturan
persaingan usaha dikatakan sebagai ilegal secara per se (per se illegal), apabila
“pengadilan telah memutuskan secara jelas adanya anti persaingan, dimana tidak
187
Ningrum Natasya Sirait, Op. Cit., hlm. 78. Dalam penanganan kasus-kasus persaingan,
penggunaan kedua pendekatan ini tidak mudah untuk diterapkan. Karena tidak semua orang
mempunyai persepsi yang sama terhadap pengertian yang menyatakan suatu tindakan dinyatakan
sama terhadap pengertian yang menyatakan sautu tindakan mutlak melanggar ataupun dapat
diputuskan setelah melihat argumentasi dan alasan rasional tindakannya.
188
Herbert Hovenkamp, Op. Cit., hlm. 106. Penggunaan pendekatan per se illegal dapat
memperpendek proses pada tingkatan tertentu dalam pelaksanaan suatu undang-undang. Suatu
proses dianggap relatif mudah dan sederhana, karena hanya meliputi identifikasi perilaku yang
tidak sah dan pembuktian atas perbuatan illegal. Dalam hal ini tidak diperlukan lagi penyelidikan
terhadap situasi serta karakteristik pasar. 189
Ibid, hlm. 21. Pendekatan per se illegal ditinjau dari proses administrasi adalah lebih
mudah. Hal ini disebabkan karena metode ini membolehkan pengadilan untuk menolak melakukan
penyelidikan secara rinci, yang biasanya memerlukan waktu lama dan biaya mahal guna mencari
fakta di pasar yang bersangkutan.
81
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
82
Universitas Indonesia
diperlukan lagi analisa terhadap fakta-fakta tertentu dari masalah yang ada guna
memutuskan, bahwa tindakan tersebut telah melanggar hukum”. Dengan demikian
dapat dikatakan, bahwa ada kategori terhadap perbuatan yang oleh pengadilan
dianggap secara konkret bersifat anti persaingan ataupun menjurus pada praktek
monopoli, sehingga analisis terhadap kenyataan yang ada di sekitar perbuatan
tersebut tidak diperlukan lagi atau tidak begitu penting untuk menentukan bahwa
perbuatan tersebut telah melanggar hukum. Sedangkan Yahya Harahap lebih
cenderung mengatakan bahwa per se illegal-pun artinya sejak semula tidak sah,
oleh karenanya perbuatan tersebut merupakan suatu perbuatan yang melanggar
hukum dan tanpa perlu adanya pembuktian.190
Jadi, per se illegal ditujukan pada suatu perbuatan atau tindakan yang
secara inheren bersifat dilarang atau ilegal, dapat diartikan juga suatu tindakan
dinyatakan melanggar hukum dan dilarang secara mutlak, serta tidak diperlukan
pembuktian apakah tindakan tersebut memiliki dampak negatif terhadap
persaingan usaha. Yang termasuk kategori per se illegal meliputi: perjanjian
penetapan harga, perjanjian pemboikotan, perjanjian pembagian wilayah,
persekongkolan untuk menghambat perdagangan, penyalahgunaan posisi
dominan, pemilikan saham mayoritas.
Rumusan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 berbunyi
bahwa: “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lainnya
untuk menetapkan harga atas suatu barang dan/ atau jasa yang harus dibayar oleh
konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama”.
Apabila dilihat dari rumusan pasalnya, maka pasal yang mengatur masalah
price fixing ini dirumuskan secara per se, sehingga secara umum para penegak
hukum dapat langsung menerapkan pasal ini kepada pelaku usaha yang
melakukan perjanjian price fixing tanpa harus menunggu munculnya akibat dari
perbuatan tersebut.191
Hal ini berarti bahwa perjanjian tersebut dilarang secara
mutlak tanpa memerlukan pembuktian apakah perbuatan tersebut menimbulkan
190
L. Budi Kagramanto. Larangan Persekongkolan Tender (Perspektif Hukum
Persaingan Usaha), (Surabaya: Srikandi, 2007), hlm. 223. 191
Ditha Wiradiputra, Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesia, (Depok: FHUI,
2003), hlm. 23.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
83
Universitas Indonesia
dampak negatif terhadap konsumen dan persaingan usaha. Pendekatan per se
dalam hal ini dianggap lebih dapat memberikan suatu kepastian hukum bagi para
pihak sehingga tidak perlu membuktikan dahulu kesalahan pelaku usaha.192
Pendekatan per se illegal, menurut Sutrisno Iwantono, dalam tulisannya
yang berjudul “Per se Illegal dan Rule of Reason” dalam Hukum Persaingan
Usaha yang dimaksud dengan per se atau per se illegal adalah suatu perbuatan
yang secara inheren bersifat dilarang atau illegal. Terhadap suatu perbuatan atau
tindakan atau praktik yang bersifat dilarang atau illegal tanpa perlu pembuktian
terhadap dampak dari perbuatan tersebut, sedangkan pendekatan rule of reason
yaitu penerapan hukum dengan mempertimbangkan alasan-alasan dilakukannya
suatu tindakan atau suatu perbuatan oleh pelaku usaha.193
Untuk menerapkan
prinsip ini tidak hanya diperlukan pengetahuan ilmu hukum, tetapi penguasaan
terhadap ilmu ekonomi. Dengan perkataan lain, melalui pendekatan rule of
reason, apabila suatu perbuatan dituduh melanggar hukum persaingan, maka
pencari fakta harus mempertimbangkan dan menentukan akibat terhadap proses
persaingan dan apakah perbuatan itu tidak adil atau mempunyai pertimbangan
lainnya. Argumentasi yang perlu dipertimbangkan antara lain adalah aspek
ekonomi, keadilan, efisiensi, perlindungan terhadap golongan ekonomi tertentu
dan fairness.194
Pendekatan per se illegal mirip dengan konsep “delik formal” di dalam
hukum pidana yang dianggap terjadi sekedar apabila unsur-unsur tindak pidana
yang dicantumkan dalam undang-undang telah terpenuhi tanpa melihat akibat
tindakan yang dilakukan. Sedangkan pendekatan rule of reason diterapkan
terhadap tindakan-tindakan yang tidak dapat secara mudah ilegalitasnya tanpa
menganalisis akibat tindakan itu terhadap kondisi persaingan. Jadi, jika di dalam
pendekatan per se illegal tidak perlu terlalu jauh melihat akibat yang ditimbulkan
suatu tindakan terhadap persaingan karena tindakan semacam itu dianggap selalu
192
Andi Fahmi Lubis, et al. Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks, (Jakarta:
KPPU bersama GTZ, 2009), hlm. 43. 193
Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2008), hlm. 78.
194
Ibid., hlm. 79.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
84
Universitas Indonesia
membawa akibat negatif sedangkan di dalam pendekatan rule of reason
pengadilan disyaratkan untuk mempertimbangkan faktor-faktor seperti latar
belakang dilakukannya tindakan, alasan bisnis dilakukannya tindakan serta posisi
si pelaku tindakan dalam industri tertentu. Setelah mempertimbangkan faktor-
faktor tersebut barulah dapat ditentukan apakah suatu tindakan bersifat ilegal atau
tidak.195
Selain itu, dalam hal tinggi atau rendahnya harga juga merupakan hal yang
tidak relevan. Dengan demikian, meski efek negatif dari perjanjian penetapan
harga terhadap persaingan usaha itu kecil, maka hal itu tetap saja dilarang. Hal ini
sekaligus mengandung pengertian bahwa market power para pihak juga tidak
begitu relevan untuk dipersoalkan walaupun kemungkinan terjadinya kenaikan
harga lebih besar apabila market share pelaku usaha tersebut besar.196
Berikut ini
adalah ilustrasinya:
Pendekatan Per se illegal
Gambar 3.1. Pendekatan Per Se Illegal
Pendekatan Rule of reason
Gambar 3.2. Pendekatan Rule of reason
195
Arie Siswanto, Op. Cit., hlm. 66. 196
Ayudha Prayoga, Persaingan Usaha dan Hukum yang mengaturnya di Indonesia, Op.
Cit., hlm. 80-81.
TINDAKAN TERBUKTI ILEGAL
TINDAKAN TERBUKTI FAKTOR-
FAKTOR
LAIN
UNREASO
NABLE ILEGAL
REASONABLE LEGAL
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
85
Universitas Indonesia
Sementara itu, kartel dikategorikan sebagai rule of reason dengan melihat
dari bunyi atau kalimat pasal kertel itu sendiri. Di dalam pasal yang masuk dalam
kategori per se rule biasanya terdapat kata “dilarang” tanpa ada frase “patut
diduga” atau “yang dapat mengakibatkan praktik monopoli atau persaingan usaha
tidak sehat”. Sementara itu, pasal rule of reason biasanya terdapat frase “dapat
mengakibatkan” atau “patut diduga” menimbulkakn praktik monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat.197
Adanya frase tersebut menunjukkan perlunya
pengkajian apakah tindakan tersebut akan menimbulkan suatu dampak negatif
bagi masyarakat luas dan dunia persaingan usaha, dan dampak itu sendiri.
Tim perancang Undang-Undang memang cenderung untuk lebih
melimpahkan penerapan alternatif dari kedua pendekatan ini kepada Komisi
Pengawas Persaingan Usaha, yang dinyatakan dalam Pasal 35 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999. Pada dasarnya, tugas KPPU antara lain adalah melakukan
penilaian terhadap semua perjanjian dan atau kegiatan yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.198
3.2 Regulasi Kartel di Beberapa Negara
3.2.1 Kartel di Jepang
Hukum persaingan di Jepang dikenal dengan istilah Antimonopoly
Law (Dokushen Kinshiho). Peraturan perundang-undangan yang utama
dalam hukum persaingan Jepang adalah Law concerning the prohibition of
Private monopoly and preservation of fair trade199
(selanjutnya disebut
dengan undang-undang Antimonopoli Jepang) yang diundangkan pada
tahun 1947.
197
Lihat A.M. Tri Anggraini, Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat: Per Se Illgeal atau Rule of Reason, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003),
hlm. 8, lihat juga Syamsul Maarif, “Persaingan Usaha dalam Perspektif Hukum”, makalah dalam
Seminar Anti Monopoli dan Persaigan Usaha, diselenggarakan oleh Asosiasi Advokat Indonesia
(AAI)- Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Jakarta: 21 April 2005. 198
Andi Fahmi Lubis, et al., Op. Cit., hlm. 56. 199
Dalam bahasa aslinya Undang-Undang ini disebut, “Shiteki dokusen no kinshi oyobi
kosei torihiki ni kansaru horitsu”: Prayoga et al., Loc. Cit.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
86
Universitas Indonesia
Masyarakat di Negara Jepang dikenal sebagai suatu masyarakat
yang didasarkan pada kolektivitas, dan konsensus hukum persaingan
merupakan hal yang baru,200
sehingga budaya bekerja mereka dilakukan
secara berkelompok dan mementingkan keharmonisan daripada
persaingan. Masyarakat Jepang baru mengenal hukum persaingan pada
saat Jepang diduduki oleh kekuatan sekutu yang dipimpin oleh Amerika
Serikat. Pada saat itu pemerintah pendudukan merasa bahwa salah satu
penyebab agresi Jepang pada tahun 1942 adalah dukungan dari
konglomerat. Oleh karena itu tujuan dibuatnya hukum persaingan pada
saat itu adalah untuk menghilangkan konglomerasi, melakukan
dekosentrasi terhadap perusahaan-perusahaan besar dan menghilangkan
kartel-kartel yang ada pada masa sebelum perang.
Pada mulanya hukum persaingan Jepang mengadopsi hukum
persaingan Amerika Serikat, namun dalam perkembangan Undang-
Undang Antimonopoli Jepang ini mengalami beberapa kali perubahan.
Salah satu hasil dari amandemen undang-undang ini adalah hilangnya
ketentuan-ketentuan yang penting dimana salah satunya adalah ketentuan
kartel yang dianggap sebagai per se illegal.201
Dalam hukum persaingan di Jepang yang dilarang adalah monopoli
yang dilakukan oleh swasta (private monopolization), hambatan tidak
wajar pada perdagangan (unreasonable restraint of trade) dan praktek
bisnis yang tidak sehat (unfair business practices). Monopoli swasta
terdapat pada pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Antimonopoli Jepang
dimana pelaku usaha (entrepreneur) menolak kehadiran atau
mengendalikan pelaku usaha lain yang bertentangan dengan kepentingan
publik dan menghambat persaingan.202
200
Mitsuo Matsushita mengatakan “Free enterprise and free competition are relatively
new concepts in the Japanese Business Community” Lihat Matsushita, introduction to Japanese
Antimonopoly Law, (Japan: Yuhikaku Publishing Co. Ltd, 1990), hlm. 1 201
Mitsuo Matsushita, “The Antimonopoly Law of Japan”, law of Japan (1978), hlm. 57.
202
Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Antimonopoli Jepang menyebutkan, “…business
activities by which any entrepreneur, individually, by combination or conspiracy with other
entrepreneurs, or in any other manner, excludes or controls he business acitivities of
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
87
Universitas Indonesia
Selanjutnya yang dimaksud dengan hambatan yang tidak wajar
pada perdagangan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 ayat (6) Undang-
Undang Antimonopoli Jepang adalah kegiatan bisnis dimana para pelaku
usaha bersama-sama membatasi atau melakukan kegiatan untuk
menetapkan, mempertahankan atau menaikkan harga atau membatasi
produksi, teknologi, barang, fasilitas atau konsumen atau pemasok yang
bertentangan dengan kepentingan publik dan persaingan.203
Dengan kata
lain, dapat dikatakan bahwa hambatan yang tidak wajar ini adalah kartel.
Praktek kartel dilarang sesuai dengan Pasal 3 Undang-Undang
Antimonopoli. Praktek kartel dapat terjadi melalui perjanjian atau
kesepakatan asosiasi-asosiasi perdagangan diantara pelaku usaha.204
Namun di Jepang, beberapa praktek kartel diizinkan secara hukum,
misalnya kartel yang berhubungan dengan ekspor dan impor, bisnis kartel
yang sederhana, dan lain sebagainya.205
Jepang mensyaratkan adanya “substancial restraint of competition”
yang “contrary to the public interest” dalam larangan terhadap kartel206
sehingga perjanjian kartel baru dikatakan illegal jika sudah dipraktekkan.
Fair Trade Commission (FTC) di Jepang, telah mengambil jalan tengah
tentang hal ini, yaitu mengambil tindakan ketika peserta kartel telah
melakukan langkah-langkah awal untuk melaksanakan perjanjian kartel.
entrepreneurs, thereby causing contrary to the public interest, a substantial restraint of
competition in any particular field of trade”
203
Pasal 2 ayat (6) Undang-Undang Antimonopoli Jepang menjelaskan, “…business
activies by which entrepreneurs by contract, agreement, or any other concerted activities mutually
restrict or conduct their business activities in such manners as to fix, maintain or enhance prices,
or to limit production, technology, products, facilities, or customers, or suppliers, thereby causing
contrary to the public interest, a substantial restraint of competition in any particular field of
trade.” 204
Mitsuo Matsushita, Internastional Trade and Competition Law in Japan, (New York:
Oxford University Press, 1993), hlm. 87.
205
Ibid., hlm. 88. 206
Ayudha D. Prayoga, Op. Cit., hlm. 84, dalam Section2 (6) UU Antimonopoli Jepang,
Lihat Undang-Undang Persaingan Jepang, Makalah pada Kursus Singkat Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Fakultas Hukum UNHAS, Ujung Pandang, 15-16
Mei 1999, hlm. 2.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
88
Universitas Indonesia
Dengan ini terdapat suatu anggapan bahwa ketika pelaku usaha
melaksanakan kartel maka kartel itu pasti mengurangi persaingan secara
substansial seandainya tidak diberhentikan atau dilarang.207
Adapun yang dimaksud dengan praktek bisnis yang tidak sehat
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (9) adalah tindakan-tindakan yang
dapat menghalangi persaingan yang sehat, di antaranya melakukan
diskriminasi secara tidak sah terhadap pelaku usaha lainnya, dan memaksa
konsumen untuk berhubungan dengan dirinya saja.208
Penegakan hukum persaingan di Jepang dilakukan oleh suatu
badan yang dinamakan Fair Trade Commission (FTC). Keberadaan badan
yang merupakan badan administratif independen ini terdapat pada sub 8
dari Undang-Undang Antimonopoli Jepang. Kewenangan FTC di Jepang
ini dibagi menjadi 3 (tiga) kategori, yaitu kewenangan yang bersifat
administratif, kewenangan yang bersifat quasi-legislatif dan kewenangan
yang bersifat quasi yudikatif.209
3.2.2 Kartel di Amerika Serikat
Hukum persaingan di Amerika Serikat dikenal dengan nama
“Antitrust Law”. Awalnya pembentukan hukum persaingan usaha di
Amerika Serikat adalah dalam rangka mengakomodasi keinginan akan hak
untuk bersaing (the right to compete). Peraturan yang pertama kali
mengatur tentang persaingan usaha adalah Act to Protect Trade and
Commerce Against Unlawful Restarints and Monopolies yang dikeluarkan
207
Matsushita, Op. Cit., hlm. 141-142. 208
Pasal 2 ayat (7) UU Antimonopoli Jepang menyatakan, “…any act coming any one of
the following paragraphs which tends to impede fair competition and which is designed by the
Fair Trade Commission as such: (i) Unduly discriminating against other entrepreneurs; (ii)
Dealing at undue prices; (iii) Unreasonably inducing or coercing customers of a competitor to
deal with oneself; (iv) Trading with another party on such conditions as well restrict unjustly
business activities of the said party; (v) Dealing with another party by unwarranted use of one’s
bargaining position.” 209
Ayudha D. Prayoga, Op. Cit., hlm. 36.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
89
Universitas Indonesia
oleh Kongres pada tahun 1890 yang kemudian lebih dikenal dengan nama
Sherman Act.210
Disamping Undang-Undang yang telah ada di Amerika Serikat,
perkembangan hukum persaingan usaha di negara tersebut banyak yang
berdasarkan putusan pengadilan (case law) mengingat hukum di Amerika
Serikat menganut sistem common law. Putusan-putusan pengadilan ini
berfungsi dalam menerjemahkan secara operasional ketentuan-ketentuan
dalam peraturan perundang-undangan.211
Amerika Serikat dalam berbagai peraturan perundang-undangan
dan putusan pengadilan melarang adanya praktek-praktek bisnis yang
dapat mengahambat perdagangan. Praktek-praktek bisnis yang dimaksud
dilakukan dengan menggunakan instrument perjanjian antara dua pelaku
usaha atau lebih atau hanya oleh satu pelaku usaha dengan cara melakukan
monopoli.
Dengan berdasarkan falsafah bahwa perdagangan bebas
bermanfaat bagi siapapun, maka perundang-undangan ini melarang
bentuk-bentuk pengendalian perdagangan, seperti praktek-praktek
pembatasan dan pengaturan harga serta monopoli.212
Persaingan di
Amerika Serikat merupakan cara yang paling baik untuk mencapai
pendayagunaan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan konsumen
maupun kemajuan teknis yang paling besar. Oleh karena itu, Antitrust Law
berusaha supaya pasar-pasar tetap murni dan perilaku tetap wajar. Hal ini
dilakukan dengan membatasi praktek-praktek pengekangan dari
perusahaan dan dengan menghambat pembentukan atau pemeliharaan
struktur pasar yang kurang kompetitif.
Dua puluh lima tahun setelah masa Perang Saudara, industrialisasi
yang tumbuh pesat disamping melahirkan berkah, sekaligus mendatangkan
210
Ibid., hlm. 31. 211
Ibid., hlm. 32. 212
T. Arifin dan Sandi Hambali, “Undang-Undang Antitrust Di Amerika Serikat,” Jurnal
Hukum Bisnis (Volume 5 Tahun 1990), hlm. 29.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
90
Universitas Indonesia
pula kutukan pada dunia bisnis. Pasar semakin berkembang dan
produktifitas kian tumbuh, tetapi hasil produksi melebihi jumlah
permintaan sehingga persaingan menjadi tajam. Para pesaing mencari
keamanan dan laba dengan berlindung dibawah kartel-kartel, yaitu
perjanjian diantara mereka untuk mengatur harga dan control atas output.
Perjanjian-perjanjian inilah yang menyebabkan munculnya trust.
Tanpa penyederhanaan yang berlebihan, Antitrust Law Amerika
Serikat berkenaan dengan (1) pengekangan perdagangan atau praktek yang
bersifat membatasi suatu perjanjian “mendatar” (horizontal restraint) atau
suatu perjanjian “menegak” (vertical restraint) antara pembeli dan penjual,
(2) struktur pasar yang tidak bersaing dari satu atau beberapa perusahaan
dengan cara penggabungan, dan (3) diskriminasi harga.213
Section I dari Sherman Act ditentukan bahwa setiap perjanjian yang
menghambat perdagangan (trade and commerce) dinyatakan tidak sah dan
dapat dikenai sanksi denda maupun kurungan penjara apabila terbukti.214
Pasal 2 mengatur tentang larangan melakukan monopoli yang juga dapat
dikenai sanksi denda dan atau kurungan penjara.215
Sementara Clayton Act mengatur tentang larangan terhadap
tindakan-tindakan yang mempunyai dampak terhadap persaingan. Ada
empat tindakan yang dianggap tidak sah (unlawful), yaitu diskriminasi
213
Phillip Areeda, “Hukum Antitrust Amerika,” dalam Ceramah Tentang Hukum Amerika
Serikat, (Jakarta: PT. Tata Nusa, 1996), hlm. 167.
214
Pasal 1 Sherman Act menyebutkan bahwa, “Every contract, combination in the form of
trust or otherwise, or conspiracy, in restraint of trade or commerce among several States, or with
foreign nations, is declared to be illegal. Every person who shall make any contract or engage in
any combination or conspiracy of hereby declared illegal, shall be deemed guilty of felony, and on
conviction thereof, shall be punished by fine not exceeding one million dollars if a corporation, or
if any other person, one hundred thousand dollars, or by imprisonment not exceeding three years
or by both said punishments, in the dicretion of the court.” 215 Pasal 2 Sherman Act menjelaskan bahwa, “Every person who shall monopolize, or
attempt to monopolize, or combine, or conspire with any other person or persons, to monopolize
any part of the trade or commerce among the several states, or with foreign nations, shall be
deemed guilty of felony, and on conviction there of, shall be punished by fine not exceeding one
million dollars if a corporation, or if any other person, one hundred thousand dollars, or by both
said punishments, in the discretion of the court”
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
91
Universitas Indonesia
harga (price discrimination)216
, kontrak-kontrak yang bersifat mengikat
(tying) dan tertutup (exclusive)217
, “merger” yang dilakukan oleh
perusahaan218
, dan rangkap jabatan.219
Tindakan-tindakan tersebut
dianggap tidak sah sepanjang berakibat pada berkurangnya persaingan
(lessen competition) atau menjurus kepada praktek monopoli. Sedangkan
Robinson-Patman Act mengatur lebih lanjut tentang diskriminasi harga
yang diatur dalam Pasal 2 Clayton Act.
Peraturan perundang-undangan yang ada dan kasus-kasus yang
pernah diputus oleh pengadilan dalam hukum persaingan Amerika Serikat
yang dilarang adalah praktek-praktek yang mematikan persaingan atau
persaingan tidak sehat, seperti kartel, kolusi diam-diam (tacit collusion),
usaha patungan dan penggabungan antar pesaing, monopoli dan percobaan
monopoli, harga predator (predatory pricing), integrasi vertikal, merger
vertikal, tie-ins, resiprositas, exclusive dealing, dan kontrak waralaba,
resale price maintenance, vertical nonprice restraints, refusal to deal,
merger horizontal, merger konglomerat, dan diskriminasi harga.220
Amerika Serikat menganggap kartel sebagaimana price fixing
sebagai naked restraint yang mempunyai tujuan tunggal untuk
mempengaruhi tingkat harga dan output. Oleh karena itu Section I The
Sherman Act memperlakukannya sebagai per se illegal, artinya perjanjian
kartel sendiri dilarang tanpa melihat kewajaran tingkat harga yang
disepakati, tanpa melihat apakah perjanjian tersebut sudah dilaksanakan
atau belum.
Alasan mengapa kartel diangap sebagai per se illegal yaitu karena
perbuatan seperti ini mempunyai dampak negatif terhadap harga dan
216
Pasal 2 Clayton Act. 217
Pasal 3 Clayton Act.
218
Pasal 7 Clayton Act. 219
Pasal 8 Clayton Act. 220
Ayudha D. Prayoga, Op. Cit., hlm. 33. Lihat Herbert Hovenkamp, Antitrust Edisi 2
(USA: West Publishing Co., 1993).
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
92
Universitas Indonesia
output jika dibandingkan dengan dampak pasar yang kompetitif. Kartel
sendiri jarang sekali menghasilkan efisiensi atau dengan kata lain
kemungkinan efisiensi yang dihasilkan sangat kecil dibandingkan dampak
negatif dari tindakan-tindakannya.
Badan yang memiliki wewenang untuk menangani administrasi
hukum persaingan di Amerika Serikat adalah Federal Trade Commission
(FTC). Kewenangan badan ini adalah untuk menafsirkan dan
melaksanakan ketentuan hukum persaingan, diantaranya Clayton Act,
Robinson-Patman Act, dan Unfair Trade Practices Act. Sedangkan
Sherman Act menjadi kewenangan eksklusif dari peradilan federal.221
Selain FTC, badan yang menangani masalah persaingan adalah
Departemen Kehakiman (Department of Justice).
3.2.3 Kartel di Uni Eropa
Negara-negara di Eropa memiliki hukum persaingan masing-
masing, misalnya seperti Negara Belanda yang memiliki Economic
Competition Act yang dikeluarkan pada tahun 1958.222
Di negara-negara
Eropa atau Uni Eropa menyebut hukum persaingan usaha dengan nama
Competition Law. Pengaturan terhadap masalah persaingan terdapat dalam
perjanjian UE karena dirasakan adanya kebutuhan untuk menjamin
persaingan bebas di pasar tunggal (single market) Eropa.
Perjanjian UE atau Uni Eropa sendiri didasarkan pada Treaty on
The European Union223
atau dikenal dengan nama Maastricht Treaty, yang
merupakan suatu perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 7 Februari
221
Ibid., lihat H. Zwarensteyn, Some Aspects of the Extraterritorial Reach of the
American Antitrust Law, (The Netherlands: Kluwer-Deventer, 1970), hlm. 25. 222
Ibid., hlm. 36. 223
Ibid. dalam sejarahnya perjanjian yang paling awal bagi pembentukan Uni Eropa
adalah European Coal and Steel Community Treaty atau yang dikenal dengan nama Treaty of
Paris pada tahun 1951 dan Euratom Treaty atau dikenal dengan nama Rome Treaty pada tahun
1957.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
93
Universitas Indonesia
1992 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1994. Maastricht Treaty ini
pada tanggal 1 Oktober 1997 diamandemen oleh Amsterdam Treaty.224
Sumber utama hukum persaingan di Uni Eropa adalah ketentuan
yang terdapat dalam perjanjian Uni Eropa (UE). Dalam perjanjian tersebut
terdapat pengaturan secara khusus tentang persaingan di bagian ketiga
dengan judul Policy of Community Bab 1 dengan judul Rules on
Competition dimana Section I mengatur tentang Rules Applying to
Undertakings.225
Larangan terhadap pelaku usaha (undertaking) diatur dalam Pasal
85 dan 86 perjanjian UE. Pasal 85 (1) pada intinya mengatur larangan
tentang perjanjian-perjanjian yang bersifat anti persaingan yang
mempunyai dampak (appreciable) terhadap perdagangan antar negara
anggota dan yang dapat menghalangi, membatasi atau mendistorsi
persaingan dalam pasar bersama (Common Market). Pasal 86 pada
dasarnya mengatur tentang penyalahgunaan posisi dominan oleh pelaku
usaha sepanjang hal itu mempunyai dampak terhadap perdagangan antar
negara anggota. Dalam prakteknya berdasarkan dua pasal yang terdapat
dalam Perjanjian UE, yang dilarang adalah perjanjian yang bersifat
vertikal, merger, usaha patungan dan penyalahgunaan posisi dominan.
Perjanjian yang bersifat horizontal diantaranya adalah perjanjian
pembagian wilayah (market sharing), perjanjian untuk mengalokasi kuota,
perjanjian untuk menetapkan harga (price fixing) dan perjanjian untuk
memboikot (collective boycott). Sedangkan perjanjian yang bersifat
vertikal adalah perjanjian distribusi dan pembelian ekslusif (exclusive
distribustion and exclusive purchasing), perjanjian yang mengatur resale
price maintenance, perjanjian keagenan yang ekslusif. Merger antar
perusahaan juga dilarang sepanjang merger tersebut berakibat pada
pemusatan kekuatan ekonomi. Dalam penyalahgunaan posisi dominan
224
Ibid.
225
Ibid., hlm. 37.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
94
Universitas Indonesia
yang dilarang adalah yang berkaitan dengan relevant product market,
relevant geographical market, dan dominasi.
Salah satu perbedaan antara aturan Uni Eropa dengan Amerika
Serikat adalah mengenai tindakan yang bersifat sosial. Di Uni Eropa,
tindakan yang bersifat sosial masih diperbolehkan walaupun berakibat
pada matinya persaingan. Hal ini dapat dilakukan dengan meminta
exemption atau pengecualian UE. Sedangkan di Amerika Serikat, alasan
tindakan yang bersifat sosial tidak dapat dijadikan dasar untuk
diperbolehkannya mematikan atau mengurangi persaingan.
Seperti di Amerika Serikat. Kartel di Uni Eropa juga dianggap
sebagai tindakan kejahatan. Sejarah kebijakan kartel di Uni Eropa dimulai
sejak permulaan abad ke-20, dimana beberapa pemerintah Eropa
mendorong dibentuknya kartel dengan maksud menstabilkan pasar.
beberapa kartel diizinkan dibuat tetapi diperlakukan sebagai peraturan
industri yang intinya tentang pengontrolan harga.226
Contohnya adalah kebijakan Jerman kurun waktu 1870-1945,
dimana kartel sering diperhatikan dan diberi mandat sebagai senjata negara
selama rezim Nazi. Bagi mereka lebih baik mengatur kartel daripada
melarang mereka. Ketika memasuki abad ke 20, muncul kesepakatan
tentang efek buruk kartel. Perubahan di Eropa ini diikuti setelah adanya
revolusi Amerika dan dikeluarkannya Sherman Act tahun 1890, dimana
kartel diperlakukan sebagai tindak kejahatan.
Setelah perang dunia kedua berakhir, pemerintah Eropa dari kedua
belah pihak, untuk alasan yang jauh berbeda, mulai mengatur kebijakan
kartel mereka. Pada saat itu, muncul banyak reaksi yang membawa bagian
yang signifikan dengan kenyataan bahwa sebelumnya kartel dilihat
sebagai rencana manajemen bisnis oleh negara-negara totaliter seperti
Jerman, Italia, dan Jepang. Jerman, yang pada saat itu dibawah dominasi
Amerika Serikat, mengembangkan kebijakan anti kartel yang bahkan lebih
kuat dari Inggris maupun Perancis.
226Christopher Harding and Julian Joshua, “Regulating Cartels In Europe – A Study Of
Legal Control Of Corporate Delinquency,” European Law Review (Sweet & Maxwell Limited and
Contributors, 2004).
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
95
Universitas Indonesia
3.3 Pendeteksian Terhadap Adanya Kartel
Deteksi terhadap kartel merupakan langkah awal dalam proses penegakan
hukum. Dalam hal ini diperlukan penentuan pimpinan (aktor utama) atas tindakan
kartel, karena tanpa mengetahui adanya pelaku utama, sulit melakukan investigasi
atas suatu kartel. Namun demikian, pendeteksian atas adanya pelaku utama kartel
bukanlah merupakan alat bukti yang cukup untuk menggugat suatu kartel. Guna
mendeteksi suatu kartel, paling tidak harus memenuhi prosedur berikut ini:
1. Deteksi atas pelaku utama kartel;
2. Mengumpulkan alat bukti tambahan (investigasi atas fakta);
3. Penilaian hukum atas fakta;
4. Keputusan atas lanjut atau tidak lanjutnya penyelidikan atas kartel;
5. Penanganan perkara terhadap kartel.
Penjelasan di atas menunjukkan, bahwa pencegahan yang paling ampuh atas suatu
kartel adalah mendeteksi perilaku kartel secara efektif serta menjelaskan
konsekuensi kepada pihak terkait jika terdapat tindakan kartel. Karena itu,
pertama, harus terdapat ancaman serius dari lembaga pengawas persaingan bagi
perusahaan yang tertangkap melakukan kartel. Kedua, pelaku-pelaku kartel harus
dibebani sanksi. Adanya konsekuensi yang jelas atas suatu kartel paling tidak
bermanfaat atas dua hal, yakni pertama, mencegah kartel yang terkonstruksi;
kedua, memperkuat efektivitas beberapa metode mendeteksi suatu kartel.227
Dalam mendeteksi kartel diperlukan petunjuk dan informasi atas pelopor
dalam kartel. Namun demikian, tanpa pengetahuan yang cukup tentang elemen-
elemen kunci atas kartel, yakni kemungkinan-kemungkinan cara tentang
bagaimana implementasi tindakan kartel, serta dampak negatif kartel terhadap
persaingan dan kesejahteraan konsumen. Hal ini merupakan langkah yang sangat
sulit untuk menemukan petunjuk atas tindakan kartel. Dalam hal ini, adalah suatu
keharusan dalam mendeteksi kartel, bahwa seseorang harus mengetahui tindakan
apa yang akan dicari dan bersikap hati-hati dalam menentukan perilaku mana
227
Serikat Karyawan TRISAKTI, dalam A.M. Tri Anggraini,
“Mekanisme Mendeteksi dan Mungungkap Kartel Dalam Hukum Persaingan”,
http://www.sekartrisakti.wordpress.com/2011/06/08/mekanisme-mendeteksi-dan-mengungkap-
kartel-dalam-hukum-persaingan/, diunduh 6 November 2012.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
96
Universitas Indonesia
yang dianggap illegal. Sikap dan tindakan inilah yang seharusnya dimiliki dan
dilakukan oleh otoritas persaingan.
Hal tersebut di atas selain dipahami oleh otoritas persaingan, juga
dimengerti oleh pelaku usaha, konsumen, dan stake holders lain yang
berpartisipasi dalam transaksi ekonomi. Secara umum, ketentuan ini sangat
berguna sebagai informasi terhadap otoritas persaingan dalam proses mendeteksi,
sehingga pihak-pihak terkait dapat menggugat atau paling tidak “meniupkan
peluit” (blow a whistle) tentang tindakan yang dicurigai sebagai kartel. Hal yang
paling penting untuk dipahami adalah bahwa pada hakekatnya kartel berdampak
negatif terhadap kesejahteraan konsumen, sehingga yang terpenting adalah jika
kartel dapat dideteksi dan digugat. Di samping itu, setiap orang dapat melaporkan,
atau “meniupkan peluit” atas adanya tindakan kartel terhadap otoritas persaingan.
Apabila tidak terdapat pemahaman dan pengetahuan dalam mendeteksi kartel,
juga tidak terdapat edukasi dan cara penanganan perkara yang tepat (secara
internal), serta tidak terdapat advokasi yang mencukupi terhadap stake holders
(secara eksternal), maka tidak akan tercipta suatu awareness atas tindakan kartel.
Bahkan, tindakan seperti penetapan harga atau pembagian pasar akan menjadi
praktek yang biasa dilakukan, yang pada akhirnya menjadi dilegitimasikan. Jika
hal ini terjadi, akan memakan banyak waktu untuk mengubah perilaku umum
(yang dilegitimasi) atas kartel illegal.
Guna mencapai efektivitas awareness atas kartel, otoritas persaingan dapat
melakukan langkah-langkah berikut:228
1. Mempublikasikan putusan-putusan (baik dalam website maupun majalah)
dan informasi yang relevan dengan kartel, mencakup pula press releases;
2. Membujuk warganegara, pelaku usaha pesaing, dan konsumen untuk
melaporkan tindakan yang dicurigai kartel kepada otoritas persaingan;
3. Berpartisipasi (sebagai pembicara) dalam konferensi dan seminar yang
diorganisasikan oleh industri dan sektor tertentu guna mempresentasikan
tugas otoritas persaingan;
228
Ibid.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
97
Universitas Indonesia
4. Melakukan pertemuan berkala dengan media.
Biasanya tindakan kartel dilakukan secara tertutup dan bersifat rahasia,
sehingga deteksi terhadap kartel bukanlah pekerjaan yang mudah. Dalam hal ini,
terdapat beberapa metode untuk mendeteksi penemuan atas tindakan kartel.
Namun tampaknya tergantung juga dari pengalaman masing-masing negara,
dimana terdapat tidak hanya satu pendekatan yang dapat digunakan untuk
menangani kartel dengan kondisi yang variatif. Artinya, bahwa otoritas persaingan
dapat menggunakan berbagai cara yang efektif dalam melakukan investigasi untuk
mendeteksi kartel, yang tidak hanya tergantung pada satu metode pendekatan
saja.229
Beberapa pendekatan dapat bersifat saling melengkapi satu sama lain, dan
efektivitas dari pendekatan adalah tergantung dari lebih-kurangnya kredibilitas
dan komitmen otoritas persaingan dalam penggunaan metode tersebut. Secara
umum, otoritas persaingan menggunakan kombinasi teknik dan alat (instrument)
untuk mengatur strategi yang tinggi untuk mendeteksi kartel. Sebaiknya, strategi
ini dimuat dalam aturan hukum yang mendasari kegiatan pengawasan oleh
otoritas persaingan di masing-masing negara.
Penting untuk diperhatikan, bahwa ruang lingkup tugas dan fungsi otoritas
persaingan akan mengalami perubahan yang sangat dinamis mengikuti
perkembangan dinamika ekonomi dan dunia usaha. Oleh karena itu, pelaku usaha
perlu mengantisipasi perkembangan teknik yang digunakan otoritas persaingan
untuk mendeteksi kartel. Dengan kata lain, strategi yang digunakan otoritas
persaingan dalam mendeteksi kartel harus senantiasa dikembangkan, dengan cara
mengubah kebijakan penegakan dengan menyesuaikan perubahan dan
perkembangan di dunia usaha.230
Secara umum, terdapat 2 (dua) metode pendekatan untuk mendeteksi
kartel, yakni Metode Reaktif dan Metode Proaktif. Metode Reaktif adalah metode
yang didasarkan pada beberapa kondisi eksternal yang terjadi sebelum otoritas
229
Ibid.
230
Ibid.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
98
Universitas Indonesia
persaingan menyadari beberapa kemungkinan atas issue kartel dan memulai suatu
investigasi. Dalam hal terdapat kartel yang dilakukan secara tersembunyi, maka
sangat efektif jika menggunakan informasi orang dalam (inside information)
untuk mendeteksi kartel. Informasi orang dalam dapat berasal dari perusahaan
(pelaku kartel) atau para individu yang mengetahui kartel tersebut, kemudian
melaporkannya kepada otoritas persaingan.231
Metode lainnya adalah Metode Proaktif, yakni metode pendekatan yang
diinisiasi oleh otoritas persaingan untuk mendeteksi kartel, dan tidak berkaitan
dengan peristiwa eksternal. Adapun bentuk penggunaan Metode Proaktif adalah
analisis/studi tentang ekonomi atau analisis/studi tentang pasar, penelusuran
melalui media, monitoring kegiatan industri atau sektor tertentu, serta pertukaran
pengalaman maupun best practices dari otoritas persaingan lainnya.
Terdapat berbagai alasan otoritas persaingan dalam menggunakan Metode
Proaktif. Alasan yang paling penting adalah bahwa kedudukan dan fungsi otoritas
persaingan yang independen, tidak tergantung pada kondisi atau peristiwa
eksternal, melainkan sangat mengatur dan terlibat dalam proses deteksi. Bahkan
dalam hal otoritas persaingan kekurangan atau bahkan kehilangan informasi
(inside information), yang berkaitan dengan kartel maka deteksi atas kartel masih
tetap dapat dilanjutkan. Metode Proaktif dapat menjadi pelengkap dari metode
Reaktif, seperti misalnya mendorong para pihak baik secara individual maupun
perusahaan untuk bertindak sebagai whistle blower atau bahkan untuk
menerapkan leniency.
Peraturan Komisi Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pasal 11 tentang Kartel berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Pedoman
tentang Kartel) juga memberikan petunjuk tentang indikator awal dalam
mengidentifikasi kartel, baik dari sisi perilaku (conduct) maupun struktural
(structure).232
Dari aspek perilaku, indikator yang mudah dilakukan deteksi adalah
231
Ibid. 232
Peraturan Komisi Nomor 4 Tahun 2010 tentang Kartel berdasarkan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,
hlm. 15-18.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
99
Universitas Indonesia
adanya transparansi dan kemudahan dalam melakukan pertukaran informasi
diantara anggota kartel, yang biasanya hal ini diakomodasi dalam asosiasi dagang.
Peran asosiasi akan menjadi penting ketika terdapat informasi data produksi dan
harga jual yang dikirimkan ke asosiasi secara periodik, sebagai sarana
pengendalian kepatuhan terhadap kesepakatan kartel.
Petunjuk lain dari aspek perilaku adalah pengaturan harga dalam suatu
industri, misalnya one price policy atau price parallelism dimana kesamaan
tingkat dan/atau pergerakan harga di beberapa daerah akan menjadi alat
monitoring yang efektif antar anggota atas kesepakatan kartel. Pada umumnya
harga yang ditetapkan oleh para anggota kartel adalah jauh di atas harga wajar,
dan guna mengetahui seberapa besar tingkat kewajaran harga produk tertentu,
perlu dilakukan beberapa metode pendekatan atas harga (benchmarking price).
Hal lain yang perlu diwaspadai dalam hal kebijakan harga dalam perilaku kartel
adalah pembatasan pasokan produk, yang dimaksudkan untuk menahan harga agar
tetap jauh di atas harga persaingan. Para anggota secara sengaja tidak
memproduksi barang secara optimal, sehingga akan terjadi kelangkaan yang
mengakibatkan harga eksesif, yang pada akhirnya konsumenlah yang dirugikan.
3.4 Penetapan Harga Termasuk Bentuk Kartel
Kartel dapat berarti sebagai suatu kerjasama dari pelaku usaha produk
tertentu yang bertujuan untuk mengawasi produksi, penjualan dan harga serta
untuk melakukan monopoli terhadap komoditas atau industri tertentu.233
Kerjasama para pelaku usaha sebagaimana dimaksud, biasanya dalam bentuk
asosiasi. Oleh karena itu, kartel dapat juga diartikan sebagai gabungan beberapa
perusahaan besar dalam suatu industri yang terselubung, berusaha untuk
mengendalikan pasar dimana mereka bergerak.234
Cara asosiasi mengendalikan pasar sebagaimana dimaksud antara lain:235
233
Henry Campbell, Black Law Dictionary sebagaimana dikutip oleh Munir Fuady, Op.
Cit., hlm. 63.
234
Thee Kian Wie, “Aspek-Aspek Ekonomi Yang Perlu Diperhatikan Dalam
Implementasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999,” Jurnal Hukum Bisnis (Volume 7, Tahun
1999), hlm. 67. 235
Ibid .
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
100
Universitas Indonesia
1. Penetapan harga pada suatu tingkat tertentu, oleh beberapa perusahaan
yang saling bersaing, yang berbeda dengan tingkat harga yang
terbentuk di pasar kompetitif dan yang memberikan laba lebih besar
dibandingkan dengan yang diperoleh jika hanya terbentuk pada tingkat
yang semata-mata ditentukan oleh kekuatan pasar kompetitif.
2. Pembagian pasar (market division), yaitu persetujuan yang sifatnya
rahasia di antara beberapa perusahaan yang saling bersaing untuk
membagi pasar diantara mereka.
3. Konspirasi dalam penawaran barang/jasa (bid rigging), yaitu suatu
persetujuan yang sifatnya rahasia diantara beberapa perusahaan yang
saling bersaing, untuk tidak bersaing dalam menawarkan barang
dan/atau jasa kepada pihak pembeli, tetapi menetapkan suatu harga
penawaran yang lebih tinggi daripada tingkat harga yang terbentuk di
pasar kompetitif.
Melalui kartel, anggota kartel dapat menentukan harga atau syarat-syarat
perdagangan lainnya untuk mengekang suatu persaingan sehingga hanya
menguntungkan para anggota kartel yang bersangkutan. Di sisi lain, kartel juga
dapat mengontrol atau mengekang masuknya pesaing baru dalam bisnis yang
bersangkutan.
Di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, istilah kartel digunakan
secara khusus pada Pasal 11, yaitu:
“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan
mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau jasa, yang
dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan
usaha tidak sehat.”
Istilah kartel yang digunakan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 terlalu sempit.236
Sebagai perbandingan di banyak negara , perjanjian untuk
membagi wilayah, mengalokasikan pelanggan atau menetapkan harga adalah
kartel.
236
A.M. Tri Anggraini, Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Per Se Illegal atau Rule Of Reason, Cet 1. Op. Cit., hlm. 402.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
101
Universitas Indonesia
Kartel sebenarnya memiliki pengertian yang luas. Dalam hal ini lebih
lanjut, R.S.Khemani menjelaskan bahwa Kartel adalah perjanjian formal, antara
perusahaan-perusahaan dalam sebuah industri oligopoli. Anggota kartel membuat
kesepakatan antara lain masalah harga, total produk industri, pembagian pasar,
pembagian konsumen, pembagian wilayah, persekongkolan, pembuatan agen
penjualan bersama dan pembagian keuntungan atau kombinasi hal tersebut secara
umum. Kartel atau tindakan yang mencerminkan kartel mencoba melakukan
monopoli dengan membatasi produk industri, meningkatkan atau menetapkan
harga dalam penawaran untuk memperoleh keuntungan tinggi.237
Oleh sebab itu dapat dikatakan disini bahwa pengaturan dalam Pasal 5 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang menentukan larangan terhadap
perjanjian penetapan harga secara horizontal, juga merupakan suatu bentuk kartel,
yaitu kartel harga. Dalam hal ini pelaku usaha atau produsen menetapkan harga
yang harus dibayar oleh penerima barang dan/atau jasa (konsumen) yang
diperdagangkan di pasar bersangkutan yang sama dari segi faktual dan geografis.
Penerapan perkara penetapan harga mulai dilakukan oleh KPPU238
sejak
dibentuknya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Contoh dari perjanjian penetapan
harga antara lain Putusan Nomor 02/KPPU-I/2003 tentang Penetapan Harga
Angkutan Kargo untuk Trayek Jakarta-Pontianak-Jakarta, Putusan Nomor
03/KPPU-I/2003 tentang Penetapan Tarif dan Kuota Angkutan Kapal Peti Kemas
Jalur Makassar-Surabaya-Makassar, dan Putusan Nomor 05/KPPU-I/2003 tentang
Penetapan Tarif Bus Kota Patas AC.
Perkara pertama adalah penetapan tarif kargo oleh pelaku usaha angkutan
laut khusus barang (kargo) untuk trayek Jakarta-Pontianak-Jakarta, yang
melibatkan empat (4) perusahaan, yakni PT Perusahaan Pelayaran Nusantara
Panurjwan, PT Pelayaran Tempuran Emas Tbk., PT Tanto Intim Line, dan PT
237
R.S.Khemani, Op. Cit., hlm. 7. 238
Keputusan Presiden RI Nomor 75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan
Usaha ditetapkan pada tanggal 8 Juli 1999, sedangkan pengangkatan anggota Komisi ditetapkan
pada tanggal 7 Juni 2000. Dalam Keputusan Presiden Nomor 162/M Tahun 2000 ditetapkan 11
anggota Komisi untuk menjalankan tugas serta memiliki kewenangan sesuai amanat Pasal 30
sampai dengan Pasal 37 UU Nomor 5 Tahun 1999.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
102
Universitas Indonesia
Perusahaan Pelayaran Wahana Barunakhatulistiwa. Perkara bermula dari adanya
perang tarif pada trayek Jakarta-Pontianak hingga mencapai Rp.800.000,- per-
Teus (twentieth equivalent units), di mana tingkat harga tersebut secara ekonomi
tidak lagi dapat menutupi kegiatan operasionalnya. Guna mengatasi hal ini, INSA
berinisiatif mengadakan pertemuan dengan empat perusahaan pelayaran yang
beroperasi pada trayek tersebut. Tujuan pertemuan di antara mereka adalah untuk
melakukan penyesuaian tarif secara transparan dalam hal biaya produksi, struktur
bisnis, dan lain-lain, untuk kemudian dituangkan dalam bentuk kesepakatan tarif
yang mengikat para pihak. Tarif uang tambang petikemas dari Jakarta ke
Pontianak yang disepakati bersama adalah sebesar Rp. 1.600.000,- per-Teus.
Dalam perjanjian tersebut juga diatur ketentuan mengenai sanksi apabila
melanggar kesepakatan, salah satunya adalah tidak diberikannya pelayanan
operasional di pelabuhan. Kesepakatan ini dibuat untuk jangka waktu tiga bulan,
dan dapat diadakan evaluasi serta dapat diperpanjang kembali. Berkaitan dengan
adanya kesepakatan tersebut, maka dalam Putusan Perkara Inisiatif Nomor
02/KPPU-I/2003, KPPU menyatakan pembatalan perjanjian tersebut. Perjanjian
yang dituangkan dalam bentuk Kesepakatan Bersama Tarif Uang Tambang Peti
Kemas Jakarta- Pontianak-Jakarta, ditanda-tangani oleh empat perusahaan
pelayaran, INSA, dan Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Laut sebagai pihak
regulator/fasilitator, dianggap bertentangan dengan Pasal 5 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Perkara yang kedua tentang penetapan tarif di bidang pelayaran
melibatkan tujuh (7) perusahaan, yakni PT Pelayaran Meratus, PT Tempuran
Emas Tbk., PT (Persero) Djakarta Lloyd, PT Jayakusuma Perdana Lines, PT
Samudera Indonesia Tbk., PT Tanto Intim Line, dan PT Lumintu Sinar Perkasa.
Dugaan adanya penetapan tarif berawal dari adanya ketidak-seimbangan antara
biaya produksi dengan pendapatan di saat low season, sehingga untuk merebut
pasar, para pengusaha cenderung memberikan diskon tinggi, bahkan untuk
mencapai break even point hampir seluruh perusahaan pelayaran melakukan
banting harga. Melihat kondisi ini, INSA (asosiasi perusahaan pelayaran nasional)
mengambil inisiatif untuk mengusulkan kesepakatan tarif dan kuota angkutan peti
kemas untuk jalur Makassar-Surabaya-Makassar, di mana pengawasan kuota akan
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
103
Universitas Indonesia
dilakukan oleh PT Pelindo IV. Besarnya kuota ditentukan oleh besarnya pangsa
pasar masing-masing perusahaan pelayaran. Apabila terdapat perusahaan
pelayaran yang melebihi kuota, maka dikenai sanksi harus membayar 50% kepada
perusahaan yang kehilangan kuotanya. Kesepakatan tersebut ditanda-tangani para
pengusaha pelayaran, dan akan dievaluasi setiap tiga bulan. Tarif minimum untuk
jalur Makassar-Surabaya-Makassar ditetapkan sebesar Rp. 2.000.000,-, dan
pelanggaran atas penetapan tersebut akan dikenai sanksi. Kesepakatan tersebut
kemudian direvisi menjadi Rp. 1.600.000,- untuk jalur Surabaya-Makassar, dan
Rp. 1.000.000,- untuk jalur Makassar-Surabaya.
Kesepakatan untuk menetapkan tarif angkutan kargo yang dilakukan oleh
beberapa perusahaan pelayaran tersebut dianggap merupakan pelanggaran
terhadap Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Guna
menguatkan argumentasinya, para terlapor menyatakan, bahwa mereka melakukan
kesepakatan dengan mendasarkan kebiasaan penyelenggaraan angkutan pelayaran
di tingkat internasional, serta pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992
tentang Pelayaran. Namun demikian KPPU berpendapat, bahwa Pasal 74 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 hanya mengatur tentang trayek angkutan
laut dalam negeri, sehingga undang-undang tersebut tidak memberi dasar hukum
untuk membentuk kesepakatan tarif dalam trayek tetap dan teratur ataupun trayek
tidak tetap dan tidak teratur. Demikian pula dalam Pasal 63 dan 64 Peraturan
Pemerintah Nomor 82 Tahun 1992 tentang Pelayaran, serta Pasal 33 ayat (3) dan
Pasal 34 Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 33 Tahun 2001 tentang
Penyelenggaraan dan Pengusahaan Angkutan Laut tidak memberikan dasar
hukum untuk mengatur kesepakatan tarif dalam trayek tersebut.
Di samping pelanggaran atas Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 5
Tahun 1999, perusahaan yang melakukan kesepakatan juga dianggap melakukan
pelanggaran terhadap Pasal 11 tentang Kartel, yang dibuktikan melalui adanya
bukti pengikatan diri secara tertulis dalam bentuk tertulis dalam pertemuan di
sebuah hotel di Surabaya. Dengan ditetapkannya kuota bongkar muat peti kemas
tersebut, mereka dianggap telah melakukan tindakan yang meniadakan persaingan
usaha antara anggota kartel, sehingga mengakibatkan persaingan usaha tidak
sehat.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
104
Universitas Indonesia
Perkara yang ketiga adalah perkara penetapan harga yang didukung oleh
asosiasi pengusaha angkutan jalan raya (Organda DKI Jakarta), didasarkan pada
Putusan Nomor 05/KPPU-I/2003 tentang Penetapan Harga Tarif Bus Kota Patas
AC. Dugaan penetapan harga ditujukan pada penyelenggara angkutan umum,
yakni PT Steady Safe, Tbk., PT Mayasari Bakti, Perum PPD, PT Bianglala
Metropolitan, PT Pahala Kencana, dan PT AJA Putra. Dugaan berawal dari
kesepakatan di antara pengusaha angkutan jalan raya yang tergabung dalam
Organda, untuk menaikkan tarif angkutan Bus Kota Patas AC sebesar Rp. 3.300,
dengan menerbitkan Surat Keputusan Nomor Skep-115/DPD/IX/2001 tentang
Penyesuaian Tarif Angkutan Umum Bus Kota Patas AC di Wilayah DKI Jakarta.
Berdasarkan surat ini, mereka yang tergabung dalam asosiasi, yakni DPD
Organda DKI Jakarta, kemudian mengajukan surat kepada Gubernur Propinsi
DKI Jakarta untuk konsultansi tarif Bus Kota Patas AC. Sesuai dengan
permohonan tersebut, maka Gubernur mengeluarkan Surat Nomor 2640/-1.811.33
tanggal 4 September 2001 mengenai Penyesuaian Tarif Angkutan, dari Rp.
2.500,- menjadi Rp. 3.300,-.
Alasan yang digunakan oleh para pengusaha angkutan tersebut antara lain
adalah meningkatnya harga bahan bakar dan spare parts, sehingga mereka
menganggap bahwa tarif yang berlaku saat ini terlalu rendah atau di bawah biaya
pokok angkutan. Oleh karena itu, mereka sepakat untuk menaikkan tarif secara
seragam, meskipun terdapat beberapa pengusaha angkutan yang hanya memiliki
sedikit armada bus, mengaku tidak memiliki kekuatan untuk menentukan
besarnya tarif angkutan tersebut, sehingga hanya mengikuti saja kesepakatan di
antara pihak penentu. Kesepakatan mengenai penyeragaman tarif ini diakui
beberapa penyelenggara angkutan sebagai bertentangan dengan jiwa persaingan,
karena seharusnya yang berhak menentukan besarnya tarif angkutan adalah para
penyelenggara, disesuaikan dengan biaya produksi masing-masing operator bus
kota.
Berdasarkan bukti-bukti dan pengakuan para pengusaha dan saksi-saksi,
maka Komisi Pengawas Persaingan Usaha memutuskan bahwa kesepakatan di
antara para penyelenggara angkutan Bus Kota tersebut di atas melanggar Pasal 5
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, dan menetapkan pembatalan kesepakatan
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
105
Universitas Indonesia
penyesuaian tarif bus kota Patas AC dari Rp. 2.500,- menjadi Rp. 3.300,- per-
penumpang.
Dari ketiga kasus tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa para pelaku
usaha dalam perkara pertama, kedua, maupun ketiga dianggap oleh KPPU
melakukan pelanggaran terhadap Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Digunakannya Pasal 5 sebagai dasar Putusan KPPU, disebabkan karena kasus-
kasus yang seringkali muncul di lapangan adalah penetapan harga yang difasilitasi
oleh asosiasi. Asosiasi yang merupakan gabungan dari pelaku usaha ini
merupakan unsur yang penting, mengingat perjanjian ini lebih cenderung pada
unsur perilaku (behaviour) dari pada struktur pasar itu sendiri.239
Sekilas Pasal 5 memiliki kesamaan dengan Pasal 11 yang mengatur
mengenai kartel, perbedaan antara Pasal 11 dengan Pasal 5 adalah dalam Pasal 5
pelaku usaha sepakat untuk menetapkan harga. Sedangkan pada kartel yang
disepakati oleh anggota adalah mempengaruhi harga dengan jalan mengatur
produksi dan atau pemasaran barang atau jasa. Jadi pada kartel para pelaku usaha
sepakat mengenai jumlah produksi dan atau pemasaran barang atau jasa, yang
melalui kesepakatan ini akan berpengaruh terhadap harga barang atau jasa yang
mereka produksi.240
Sesungguhnya Pasal 5 pada hakikatnya juga merupakan pengaturan
tentang kartel, hanya saja kartel yang dimaksud adalah kartel harga. Sementara
kartel dalam Pasal 11 yang diatur adalah kartel produksi dan pemasaran yang
tujuan akhirnya mempengaruhi harga. Jadi kalau Pasal 5 mengatur secara
langsung larangan pengaturan harga, maka dalam Pasal 11 yang diatur adalah
kartel produksi dan pemasaran yang akhirnya berpengaruh pada harga produk.241
239
R. S. Khemani and D. M. Shapiro, Op. Cit., hlm. 10. 240
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Peraturan Komisi Pengawas Persaingan
Usaha tentang Pedoman Pasal 11 tentang Kartel Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Peraturan Komisi
Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2010, Op. Cit., hlm. 17. 241
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Peraturan Komisi Pengawas Persaingan
Usaha tentang Pedoman Pasal 5 (Penetapan Harga) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Peraturan Komisi Persaingan
Usaha Nomor 4 Tahun 2011, Op. Cit., hlm. 9.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
106
Universitas Indonesia
Pengaruh buruk penetapan harga sudah tentu baku yaitu perjanjian
penetapan harga dapat menimbulkan harga yang terlalu tinggi. Oleh karena itu
dapat dipastikan bahwa harga tersebut pasti bukan harga pasar. Tekanan inilah
yang ditiadakan oleh suatu kartel melalui perjanjian penetapan harga. Dengan
demikian dapat mengakibatkan tidak adanya persaingan usaha.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
107
Universitas Indonesia
BAB 4
KARAKTERISTIK DAN ANALISIS TERHADAP PUTUSAN KPPU
TENTANG PERJANJIAN PENETAPAN HARGA DAN KARTEL DI
INDONESIA PADA TAHUN 2009 HINGGA 2010
4.1 Gambaran Umum Perkara Penetapan Harga dan Kartel dalam
Putusan KPPU Tahun 2009 hingga 2010 di Indonesia
4.1.1 Perkara tentang Kartel Minyak Goreng242
a. Kasus Posisi
Setelah menerima Hasil Monitoring Dugaan Kartel yang
dilakukan Pelaku Usaha di bidang industri minyak goreng, maka
Komisi Pengawas Persaingan Usaha menindaklanjuti hasil
monitoring ke tahap Pemeriksaan Pendahuluan. Berdasarkan Surat
Penetapan Nomor 135/KPPU/PEN/XI/2009 tentang Pemeriksaan
Pendahuluan Perkara Inisiatif Nomor 24/KPPU-I/2009 yang
menetapkan untuk dilakukan Pemeriksaan Pendahuluan terhitung
sejak tanggal 9 November 2009 sampai dengan tanggal 5 Februari
2010.
Industri Minyak goreng merupakan industri yang memiliki
nilai strategis karena berfungsi sebagai salah satu kebutuhan pokok
masyarakat Indonesia. Perkembangan industri minyak goreng di
Indonesia telah menempatkan minyak goreng dengan bahan baku
kelapa sawit sebagai komoditi yang paling banyak dikonsumsi oleh
masyarakat saat ini. Hal tersebut disebabkan oleh rendahnya
ketersediaan bahan baku lain selain kelapa sawit. Selain itu,
karakteristik kelapa sawit yang memiliki berbagai macam produk
turunan juga telah mempengaruhi perkembangan industri-industri
yang terkait dengan kelapa sawit dan turunannya termasuk
diantaranya adalah industri minyak goreng sawit (selanjutnya
disebut ”Minyak Goreng”). Namun demikian, struktur pasar
242
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Putusan Perkara Nomor: 24/KPPU-I/2009.
107
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
108
Universitas Indonesia
industri minyak goreng yang oligopoli telah mendorong perilaku
beberapa pelaku usaha produsen minyak goreng untuk menentukan
harga sehingga pergerakan harganya tidak responsif dengan
pergerakan harga CPO padahal CPO merupakan bahan baku utama
dari minyak goreng. Hal tersebut tercermin dari periode waktu
tahun 2007 hingga tahun 2009. Atas dasar hal tersebut, Tim
Pemeriksa menduga adanya indikasi pelanggaran Pasal 4, Pasal 5
dan Pasal 11 UU Nomor 5 Tahun 1999 yang dilakukan oleh 21
Pelaku Usaha yaitu: PT Multimas Nabati Asahan; PT Sinar Alam
Permai; PT Wilmar Nabati Indonesia; PT Multi Nabati Sulawesi;
PT Agrindo Indah Persada; PT Musim Mas; PT Intibenua
Perkasatama; PT Megasurya Mas; PT Agro Makmur Raya; PT
Mikie Oleo Nabati Industri; PT Indo Karya Internusa; PT Permata
Hijau Sawit; PT Nagamas Palmoil Lestari; PT Nubika Jaya; PT
Smart, Tbk; PT Salim Ivomas Pratama; PT Bina Karya Prima; PT
Tunas Baru Lampung; PT Berlian Eka Sakti Tangguh; PT Pacific
Palmindo Industri dan PT Asian Agro Agung Jaya.
Sistem pemasaran dalam minyak goreng dapat dilihat dari
jenis minyak goreng yang dipasarkan dimana untuk minyak goreng
kemasan (bermerek), produsen menunjuk satu perusahaan sebagai
distributor untuk melakukan distribusi ke seluruh wilayah
pemasarannya namun tidak terbatas ke seluruh retail modern.
Pemilihan distributor tersebut dapat dilakukan terhadap perusahaan
yang merupakan afiliasinya maupun perusahaan lain yang sama
sekali tidak memiliki afiliasi. Berdasarkan pemeriksaan, diperoleh
informasi bahwa kontrol produsen terhadap harga minyak goreng
kemasan (bermerek) hanya sampai distributornya saja dimana
distributor mendapatkan marketing fee berkisar 5%. Sebaliknya hal
tersebut tidak terjadi pada sistem pemasaran minyak goreng curah,
sebagian besar produsen tidak menunjuk distributor dan melakukan
penjualan secara langsung. Hal tersebut terkait dengan karakteristik
produk itu sendiri yang sangat berfluktuasi harganya dan daya
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
109
Universitas Indonesia
tahan produk yang tidak terlalu lama. Produsen biasanya hanya
melayani pembelian dalam jumlah besar kepada konsumen antara
(pembeli besar) dengan sistem jual beli putus. Oleh karena itu,
produsen tidak memiliki kontrol harga di tingkat konsumen akhir.
Kontrol harga dilakukan produsen minyak goreng curah hanya
pada harga jual langsung pada saat minyak goreng akan dijual dan
dikeluarkan dari gudang produsen.
b. Pembuktian yang digunakan KPPU
Dalam pembuktiannya Komisi Pengawas Persaingan Usaha
menggunakan Metode Uji Statistik (Uji Homogenity of Varians)
untuk menentukan ada atau tidaknya price parallelism dalam suatu
industri. Uji statistik dilakukan untuk membandingkan varians dari
harga minyak goreng masing-masing perusahaan, sehingga bisa
mengetahui kesamaan pola pergerakan harga antar perusahaan.
Apabila perubahan harga dari setiap pelaku usaha memiliki
probabilitas dibawah 5% maka ditolak dan tidak ada price
parallelism. Namun sebaliknya jika nilai probabilitas lebih besar
dari 5% maka perubahan variasi harga antar perusahaan sama atau
ada price parallelism. Selain itu, dalam perkara ini Indirect
Evidence yang digunakan berupa:
1. Bukti Komunikasi (Communication evidence)
Yaitu berupa adanya pertemuan dan/atau komunikasi
antar pesaing meskipun tidak terdapat substansi dari
pertemuan dan/atau komunikasi tersebut. Dalam
perkara ini, pertemuan dan/atau komunikasi baik secara
langsung maupun tidak langsung dilakukan oleh para
Terlapor pada tanggal 29 Februari 2008 dan tanggal 9
Februari 2009. Bahkan dalam pertemuan dan/atau
komunikasi tersebut dibahas antara lain mengenai
harga, kapasitas produksi, dan struktur biaya produksi.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
110
Universitas Indonesia
2. Bukti Ekonomi (Economic Evidence)
Terdapat 2 (dua) tipe bukti ekonomi yaitu bukti yang
terkait dengan struktur dan perilaku. Dalam perkara ini,
industri minyak goreng baik curah dan kemasan
memiliki struktur pasar yang terkonsentrasi pada
beberapa pelaku usaha (oligopoli). Adapun bukti
ekonomi yang berupa perilaku tercermin dari adanya
price parallelism.
3. Facilitating Practices
Dilakukan melalui price signaling dalam kegiatan
promosi dalam waktu yang tidak bersamaan serta
pertemuan-pertemuan atau komunikasi antar pesaing
melalui asosiasi.
Berdasarkan penjabaran unsur-unsur pasal dalam putusan
KPPU mengenai kartel minyak goreng ini, maka dapat dikatakan
bahwa praktik kartel belum dapat dibuktikan. Untuk dapat
membuktikan adanya kartel tidak hanya dilakukan dengan cara
pembuktian langsung melainkan dapat dilakukan dengan
pembuktian berdasarkan keadaan (circumstantial evidence), yaitu
pembuktian berdasarkan kesimpulan yang diambil dari berbagai
tindakan atau jasa tertentu yang menunjukkan keyakinan kuat
bahwa telah terjadi koordinasi diantara para pelaku usaha
tersebut.243
Secara umum jumlah pelaku usaha yang ada pada suatu
pasar akan menentukan tingkat konsentrasi pada pasar tersebut.
Sedikitnya jumlah pelaku usaha yang ada dalam suatu pasar akan
meningkatkan konsentrasinya pada pasar tersebut. Meskipun
demikian, ketika suatu pasar terdapat banyak pelaku usaha namun
penguasaan pasar hanya dilakukan oleh beberapa pelaku usaha
243
Junaidi, “Pembuktian Praktik Kartel Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999”,
Kompetisi 11 tahun 2008, hlm. 9
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
111
Universitas Indonesia
maka pasar tersebut juga memiliki tingkat konsentrasi yang tinggi.
Atas dasar tersebut, tingkat konsentrasi pasar minyak goreng curah
dan kemasan dapat dilihat sebagai berikut:
Gambar 4.1. Tingkat Konsentrasi Pasar Minyak Goreng Curah
Dari grafik diatas dapat dilihat struktur pasar minyak
goreng curah di Indonesia sangat terkonsentrasi, hal ini bisa dilihat
pada grafik perkembangan rasio konsentrasi 4 perusahaan terbesar
yang relatif stabil dengan interval 86,46% - 97,57%. Secara umum
Musim Mas Group dan Wilmar Group merupakan perusahaan
dengan pangsa pasar terbesar di pasar minyak goreng curah.
Selanjutnya pangsa pasar minyak goreng curah kedua kelompok
usaha tersebut diikuti oleh PT Smart, Tbk, dan Permata Hijau
Group.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
112
Universitas Indonesia
Gambar 4.2. Tingkat Konsentrasi Pasar Minyak Goreng Kemasan
Dari grafik diatas, struktur pasar minyak goreng kemasan di
Indonesia sangat terkonsentrasi. Perkembangan rasio konsentrasi 4
perusahaan terbesar dari bulan Januari tahun 2007 sampai dengan
bulan Agustus 2009 relatif stabil berada di interval 94,08% -
98,67%. PT Salim Ivomas, Wilmar Group, PT Smart, Tbk dan PT
Bina Karya Prima merupakan perusahaan dengan pangsa pasar
terbesar di pasar minyak goreng kemasan.
Pada umumnya, perusahaan yang mempunyai pangsa pasar
yang besar mempunyai kekuatan pasar sehingga dapat menentukan
tingkat harga yang terjadi dipasar (price maker). Sedangkan
perusahaan dengan pangsa pasar yang kecil akan mempunyai
kecenderungan untuk tidak bersaing secara langsung dengan
mengikuti harga yang ditetapkan oleh perusahaan yang mempunyai
kekuatan pasar (price follower).
Dalam kasus ini, pembuktian berdasarkan keadaan
dibuktikan oleh KPPU berupa fakta adanya pertemuan dan/atau
komunikasi antar pesaing, yang dilakukan oleh para Terlapor pada
tanggal 29 Februari 2008, dan tanggal 9 Februari 2009. Dalam
pertemuan tersebut dibahas mengenai harga, kapasitas produksi
dan struktur biaya produksi. Di dalam pertemuan tersebut memang
tidak disebutkan bahwa terjadi adanya kesepakatan diantara para
pelaku usaha, akan tetapi dari tindakan yang dilakukan oleh para
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
113
Universitas Indonesia
pelaku usaha tersebut bahwa mereka membahas mengenai harga,
kapasitas produksi dan struktur biaya produksi serta fakta bahwa
adanya price parallelsim telah menunjukkan keyakinan kuat bahwa
telah terjadi koordinasi diantara para pelaku usaha tersebut.
Tidak ditemukannya bukti langsung (direct evidence) untuk
membuktikan adanya kesepakatan melakukan kartel dalam kasus
tersebut, tidak menghilangkan kevalidan pembuktian berdasarkan
keadaan, karena hubungan diantara keduanya bersifat alternatif.244
Dengan demikian, pembuktian berdasarkan keadaan yang
dibuktikan oleh KPPU seperti yang sudah Penulis paparkan diatas
tetap bersifat valid dan karena pembuktian berdasarkan keadaan
telah membuktikan adanya kartel, maka dapat dikatakan bahwa
para Terlapor telah memenuhi unsur-unsur praktek kartel.
Dalam putusan KPPU mengenai kasus minyak goreng ini
juga menyatakan bahwa uji Homogenity of Varians telah
membuktikan adanya price parallelism. Bahkan, dengan adanya
hasil dari uji statistik tersebut KPPU juga menyimpulkan bahwa
ada kartel penetapan harga oleh perusahaan minyak goreng
curah.245
c. Putusan Perkara
1. Menyatakan Terlapor I: PT Multimas Nabati Asahan, Terlapor II:
PT Sinar Alam Permai, Terlapor III: PT Wilmar Nabati Indonesia,
Terlapor IV: PT Multi Nabati Sulawesi, Terlapor V: PT Agrindo
Indah Persada, Terlapor VI: PT Musim Mas, Terlapor VII: PT
Intibenua Perkasatama, Terlapor VIII: PT Megasurya Mas,
Terlapor IX: PT Agro Makmur Raya, Terlapor X: PT Mikie Oleo
Nabati Industri, Terlapor XI: PT Indo Karya Internusa, Terlapor
XV: PT Smart, Tbk, Terlapor XIX: PT Berlian Eka Sakti Tangguh,
dan Terlapor XXI: PT Asian Agro Agung Jaya terbukti secara sah
dan meyakinkan melanggar Pasal 4 UU Nomor 5 Tahun 1999
untuk pasar minyak goreng curah;
244
Ibid. 245
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Op. Cit., hlm. 40.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
114
Universitas Indonesia
2. Menyatakan Terlapor I: PT Multimas Nabati Asahan, Terlapor II:
PT Sinar Alam Permai, Terlapor IV: PT Multi Nabati Sulawesi,
Terlapor XV: PT Smart, Tbk, Terlapor XVI: PT Salim Ivomas
Pratama, dan Terlapor XVII: PT Bina Karya Prima terbukti secara
sah dan meyakinkan melanggar Pasal 4 UU Nomor 5 Tahun 1999
untuk pasar minyak goreng kemasan (bermerek);
3. Menyatakan Terlapor XII: PT Permata Hijau Sawit, Terlapor XIII:
PT Nagamas Palmoil Lestari, Terlapor XIV: PT Nubika Jaya,
Terlapor XVIII: PT Tunas Baru Lampung, Tbk, dan Terlapor XX:
PT Pacific Palmindo Industri tidak terbukti melanggar Pasal 4 UU
Nomor 5 Tahun 1999 dalam pasar minyak goreng curah;
4. Menyatakan Terlapor X: PT Mikie Oleo Nabati Industri, Terlapor
XVIII: PT Tunas Baru Lampung, Tbk, dan Terlapor XXI: PT
Asian Agro Agung Jaya tidak terbukti melanggar Pasal 4 UU
Nomor 5 Tahun 1999 dalam pasar minyak goreng kemasan
(bermerek);
5. Menyatakan Terlapor I: PT Multimas Nabati Asahan, Terlapor II:
PT Sinar Alam Permai, Terlapor III: PT Wilmar Nabati Indonesia,
Terlapor IV: PT Multi Nabati Sulawesi, Terlapor V: PT Agrindo
Indah Persada, Terlapor VI: PT Musim Mas, Terlapor VII: PT
Intibenua Perkasatama, Terlapor VIII: PT Megasurya Mas,
Terlapor IX: PT Agro Makmur Raya, Terlapor X: PT Mikie Oleo
Nabati Industri, Terlapor XI: PT Indo Karya Internusa, Terlapor
XII: PT Permata Hijau Sawit, Terlapor XIV: PT Nubika Jaya,
Terlapor XV: PT Smart, Tbk, Terlapor XVIII: PT Tunas Baru
Lampung, Tbk, Terlapor XIX: PT Berlian Eka Sakti Tangguh,
Terlapor XX: PT Pacific Palmindo Industri dan Terlapor XXI: PT
Asian Agro Agung Jaya terbukti secara sah dan meyakinkan
melanggar Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 untuk pasar minyak
goreng curah;
6. Menyatakan Terlapor I: PT Multimas Nabati Asahan, Terlapor II:
PT Sinar Alam Permai, Terlapor IV: PT Multi Nabati Sulawesi,
Terlapor X: PT Mikie Oleo Nabati Industri, Terlapor XV: PT
Smart, Tbk, Terlapor XVI: PT Salim Ivomas Pratama, dan
Terlapor XVII: PT Bina Karya Prima, Terlapor XVIII: PT Tunas
Baru Lampung, Tbk dan Terlapor XXI: PT Asian Agro Agung
Jaya terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5 UU
Nomor 5 Tahun 1999 untuk pasar minyak goreng kemasan
(bermerek);
7. Menyatakan Terlapor XIII: PT Nagamas Palmoil Lestari tidak
terbukti melanggar Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 untuk pasar
minyak goreng curah;
8. Menyatakan Terlapor I: PT Multimas Nabati Asahan, Terlapor II:
PT Sinar Alam Permai, Terlapor IV: PT Multi Nabati Sulawesi,
Terlapor X: PT Mikie Oleo Nabati Industri, Terlapor XV: PT
Smart, Tbk, Terlapor XVI: PT Salim Ivomas Pratama, dan
Terlapor XVII: PT Bina Karya Prima, Terlapor XVIII: PT Tunas
Baru Lampung, Tbk dan Terlapor XXI: PT Asian Agro Agung
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
115
Universitas Indonesia
Jaya terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 11 UU
Nomor 5 Tahun 1999 untuk pasar minyak goreng kemasan
(bermerek);
9. Menyatakan Terlapor I: PT Multimas Nabati Asahan, Terlapor II:
PT Sinar Alam Permai, Terlapor III: PT Wilmar Nabati Indonesia,
Terlapor IV: PT Multi Nabati Sulawesi, Terlapor V: PT Agrindo
Indah Persada, Terlapor VI: PT Musim Mas, Terlapor VII: PT
Intibenua Perkasatama, Terlapor VIII: PT Megasurya Mas,
Terlapor IX: PT Agro Makmur Raya, Terlapor X: PT Mikie Oleo
Nabati Industri, Terlapor XI: PT Indo Karya Internusa, Terlapor
XII: PT Permata Hijau Sawit, Terlapor XIII: PT Nagamas Palmoil
Lestari, Terlapor XIV: PT Nubika Jaya, Terlapor XV: PT Smart,
Tbk, Terlapor XVIII: PT Tunas Baru Lampung, Tbk, Terlapor
XIX: PT Berlian Eka Sakti Tangguh, Terlapor XX: PT Pacific
Palmindo Industri dan Terlapor XXI: PT Asian Agro Agung Jaya
tidak terbukti melanggar Pasal 11 UU Nomor 5 Tahun 1999 untuk
pasar minyak goreng curah;
10. Menghukum Terlapor I: PT Multimas Nabati Asahan untuk
membayar denda sebesar Rp. 25.000.000.000,00 (dua puluh lima
miliar rupiah) yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai
Setoran Pendapatan Denda Pelanggaran di bidang Persaingan
Usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui
Bank Pemerintah dengan Kode Penerimaan 423755 (Pendapatan
Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);
11. Menghukum Terlapor II: PT Sinar Alam Permai untuk membayar
denda sebesar Rp. 20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah)
yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai Setoran Pendapatan
Denda Pelanggaran di bidang Persaingan Usaha Satuan Kerja
Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui Bank Pemerintah
dengan Kode Penerimaan 423755 (Pendapatan Denda
Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);
12. Menghukum Terlapor III: PT Wilmar Nabati Indonesia untuk
membayar denda sebesar Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai Setoran
Pendapatan Denda Pelanggaran di bidang Persaingan Usaha
Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui Bank
Pemerintah dengan Kode Penerimaan 423755 (Pendapatan
Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);
13. Menghukum Terlapor IV: PT Multi Nabati Sulawesi untuk
membayar denda sebesar Rp. 25.000.000.000,00 (dua puluh lima
miliar rupiah) yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai
Setoran Pendapatan Denda Pelanggaran di bidang Persaingan
Usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui
Bank Pemerintah dengan Kode Penerimaan 423755 (Pendapatan
Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);
14. Menghukum Terlapor V: PT Agrindo Indah Persada untuk
membayar denda sebesar Rp. 25.000.000.000,00 (dua puluh lima
miliar rupiah) yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
116
Universitas Indonesia
Setoran Pendapatan Denda Pelanggaran di bidang Persaingan
Usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui
Bank Pemerintah dengan Kode Penerimaan 423755 (Pendapatan
Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);
15. Menghukum Terlapor VI: PT Musim Mas untuk membayar
denda sebesar Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah)
yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai Setoran Pendapatan
Denda Pelanggaran di bidang Persaingan Usaha Satuan Kerja
Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui Bank Pemerintah
dengan Kode Penerimaan 423755 (Pendapatan Denda
Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);
16. Menghukum Terlapor VII: PT Intibenua Perkasatama untuk
membayar denda sebesar Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar
rupiah) yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai Setoran
Pendapatan Denda Pelanggaran di bidang Persaingan Usaha
Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui Bank
Pemerintah dengan Kode Penerimaan 423755 (Pendapatan
Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);
17. Menghukum Terlapor VIII: PT Megasurya Mas untuk membayar
denda sebesar Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah)
yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai Setoran Pendapatan
Denda Pelanggaran di bidang Persaingan Usaha Satuan Kerja
Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui Bank Pemerintah
dengan Kode Penerimaan 423755 (Pendapatan Denda
Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);
18. Menghukum Terlapor IX: PT Agro Makmur Raya untuk
membayar denda sebesar Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah) yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai Setoran
Pendapatan Denda Pelanggaran di bidang Persaingan Usaha
Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui Bank
Pemerintah dengan Kode Penerimaan 423755 (Pendapatan
Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);
19. Menghukum Terlapor X: PT Mikie Oleo Nabati Industri untuk
membayar denda sebesar Rp. 20.000.000.000,00 (dua puluh
miliar rupiah) yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai
Setoran Pendapatan Denda Pelanggaran di bidang Persaingan
Usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui
Bank Pemerintah dengan Kode Penerimaan 423755 (Pendapatan
Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);
20. Menghukum Terlapor XI: PT Indo Karya Internusa untuk
membayar denda sebesar Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas
miliar rupiah) yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai
Setoran Pendapatan Denda Pelanggaran di bidang Persaingan
Usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui
Bank Pemerintah dengan Kode Penerimaan 423755 (Pendapatan
Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);
21. Menghukum Terlapor XII: PT Permata Hijau Sawit untuk
membayar denda sebesar Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
117
Universitas Indonesia
rupiah) yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai Setoran
Pendapatan Denda Pelanggaran di bidang Persaingan Usaha
Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui Bank
Pemerintah dengan Kode Penerimaan 423755 (Pendapatan
Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);
22. Menghukum Terlapor XIV: PT Nubika Jaya untuk membayar
denda sebesar Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) yang
harus disetorkan ke Kas Negara sebagai Setoran Pendapatan
Denda Pelanggaran di bidang Persaingan Usaha Satuan Kerja
Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui Bank Pemerintah
dengan Kode Penerimaan 423755 (Pendapatan Denda
Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);
23. Menghukum Terlapor XV: PT Smart, Tbk untuk membayar
denda sebesar Rp. 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar
rupiah) yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai Setoran
Pendapatan Denda Pelanggaran di bidang Persaingan Usaha
Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui Bank
Pemerintah dengan Kode Penerimaan 423755 (Pendapatan
Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);
24. Menghukum Terlapor XVI: PT Salim Ivomas Pratama untuk
membayar denda sebesar Rp. 25.000.000.000,00 (dua puluh lima
miliar rupiah) yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai
Setoran Pendapatan Denda Pelanggaran di bidang Persaingan
Usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui
Bank Pemerintah dengan Kode Penerimaan 423755 (Pendapatan
Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);
25. Menghukum Terlapor XVII: PT Bina Karya Prima untuk
membayar denda sebesar Rp. 25.000.000.000,00 (dua puluh lima
miliar rupiah) yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai
Setoran Pendapatan Denda Pelanggaran di bidang Persaingan
Usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui
Bank Pemerintah dengan Kode Penerimaan 423755 (Pendapatan
Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);
26. Menghukum Terlapor XVIII: PT Tunas Baru Lampung, Tbk
untuk membayar denda sebesar Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah) yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai
Setoran Pendapatan Denda Pelanggaran di bidang Persaingan
Usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui
Bank Pemerintah dengan Kode Penerimaan 423755 (Pendapatan
Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);
27. Menghukum Terlapor XIX: PT Berlian Eka Sakti Tangguh untuk
membayar denda sebesar Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah) yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai Setoran
Pendapatan Denda Pelanggaran di bidang Persaingan Usaha
Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui Bank
Pemerintah dengan Kode Penerimaan 423755 (Pendapatan
Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
118
Universitas Indonesia
28. Menghukum Terlapor XX: PT Pacific Palmindo Industri untuk
membayar denda sebesar Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah) yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai Setoran
Pendapatan Denda Pelanggaran di bidang Persaingan Usaha
Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui Bank
Pemerintah dengan Kode Penerimaan 423755 (Pendapatan
Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);
29. Menghukum Terlapor XXI: PT Asian Agro Agung Jaya untuk
membayar denda sebesar Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah) yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai Setoran
Pendapatan Denda Pelanggaran di bidang Persaingan Usaha
Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui Bank
Pemerintah dengan Kode Penerimaan 423755 (Pendapatan
Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha).
4.1.2 Perkara Penetapan Harga Fuel Surcharge Dalam Industri Jasa
Penerbangan Domestik246
a. Kasus Posisi
Setelah menerima Hasil Monitoring dugaan pelanggaran
Pasal 5 dan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
mengenai pemberlakuan Fuel Surcharge yang dilakukan Pelaku
Usaha di bidang industri maskapai penerbangan, maka Komisi
Pengawas Persaingan Usaha menindaklanjuti hasil monitoring ke
tahap Pemeriksaan Pendahuluan. Berdasarkan Surat Penetapan
Nomor 118/KPPU/PEN/IX/2009 tentang Pemeriksaan
Pendahuluan Perkara Inisiatif Nomor 25/KPPU-I/2009 menetapkan
untuk dilakukan Pemeriksaan Pendahuluan terhitung sejak tanggal
28 September 2009 sampai dengan tanggal 6 November 2009.
Pada awal tahun 2006, maskapai penerbangan
mempertimbangkan perlunya biaya kompensasi terhadap kenaikan
avtur yang sangat signifikan. Pada saat itu, Indonesia National Air
Association (INACA) mengusulkan kepada Pemerintah agar Fuel
Surcharge menjadi komponen tarif maskapai penerbangan dan
penetapannya seharusnya dilakukan oleh pemerintah dengan
membahas angka besarannya dengan industri maskapai
246
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Putusan Perkara Nomor: 25/KPPU-I/2009.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
119
Universitas Indonesia
penerbangan. Namun, pada kenyataannya kemudian INACA
menetapkannya sendiri. Oleh sebab itu, KPPU berinisiatif untuk
memonitoring tindakan INACA tersebut serta memberikan
berbagai masukan.
Hasilnya, setelah INACA membatalkan penetapan besaran
Fuel Surcharge, INACA menyerahkannya kepada maskapai
penerbangan. Akibat dari kondisi ini, penetapan harga avtur saat ini
dilakukan melalui mekanisme pasar.
Sesungguhnya kasus ini pertama kali dimonitor oleh KPPU
sejak awal Juli 2009. Kesimpulan awal KPPU menyatakan Fuel
Surcharge ini memang disengaja ditetapkan secara bersama-sama
oleh perusahaan maskapai penerbangan yaitu: PT Garuda
Indonesia (Persero); PT Sriwijaya Air; PT Merpati Nusantara
Airlines (Persero); PT Mandala Airlines; PT Riau Airlines; PT
Travel Express Aviation Services; PT Lion Mentari Airlines; PT
Wings Abadi Airlines; PT Metro Batavia; PT Kartika Airlines; PT
Linus Airways; PT Trigana Air Services dan PT Indonesia Air
Asia.
Dari penelusuran penetapan Fuel Surcharge, KPPU melihat
berlangsungnya penetapan harga Fuel Surcharge yang terus
menerus, terdapat indikasi memiliki fungsi lain. KPPU melihat
potensi penetapan Fuel Surcharge ini merugikan konsumen. Selain
untuk menutupi biaya yang muncul sebagai akibat kenaikan harga
avtur, dananya diduga digunakan untuk menutupi biaya lain.
Dugaan lainnya, termasuk untuk mendongkrak pendapatan para
maskapai penerbangan.
Selain konsumen, agen perjalanan yang menjual tiket
karena tarif Fuel Surcharge mengurangi komisi yang seharusnya
menjadi hak biro perjalanan. Oleh sebab itu, KPPU berupaya untuk
melakukan beberapa tindakan diantaranya penegakan hukum
apabila terbukti telah terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999. Selain itu, KPPU juga akan memberikan
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
120
Universitas Indonesia
saran dan pertimbangan kepada pemerintah agar turut serta dalam
pengaturan Fuel Surcharge.
Dari hasil pemantauan KPPU, harga Fuel Surcharge juga
terus naik, dengan presentase kenaikannya tidak sebanding dengan
presentase kenaikan harga avtur. Maskapai menetapkan besaran
Fuel Surcharge dengan melakukan perhitungan sendiri dan tidak
berlandaskan pada perhitungan yang akurat. Pemerintah kemudian
melakukan koordinasi untuk memberikan formula perhitungan
besaran Fuel Surcharge tersebut.
Fuel Surcharge merupakan sebuah komponen tarif baru
dalam maskapai penerbangan yang ditujukan untuk menutup biaya
yang diakibatkan oleh kenaikan harga avtur yang signifikan
sebagai imbas dari kenaikan harga minyak dunia. Fenomena
pemberlakuan Fuel Surcharge dalam industri penerbangan
sesungguhnya merupakan sebuah fenomena yang juga berlaku di
beberapa belahan dunia. Hal ini bisa dipahami mengingat biaya
yang diakibatkan oleh kenaikan avtur sangat signifikan bagi
maskapai penerbangan.
Semua stake holder penerbangan telah bersepakat bahwa
implementasi Fuel Surcharge sebagai komponen tarif penerbangan
merupakan sebuah hal yang bisa “dipahami”, selama Fuel
Surcharge tersebut memang ditujukan untuk menutup kenaikan
biaya yang diakibatkan oleh kenaikan harga avtur semata.
Dalam perkembangan di Indonesia, Fuel Surcharge
memperlihatkan perkembangan yang cukup mencengangkan.
Dimulai dengan harga Rp 20.000/ liter pada Mei 2006 pada saat
harga avtur Rp 5.920/liter kemudian merangkak naik dan menjadi
Rp 160.000-480.000 pada saat harga avtur Rp 8.206/liter pada
bulan Desember 2008. Kenaikan 8-24 kali, adalah sebuah kenaikan
yang luar biasa besar, sementara pada saat yang sama kenaikan
avtur tidak mencapai 2 kali lipatnya. Berikut adalah data harga
avtur dari tahun 2000-2008:
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
121
Universitas Indonesia
Tabel 4.1. Harga Avtur Penerbangan Domestik Dalam Rupiah
(Termasuk PPn 10%) Tahun 2000-2008247
Jenis
Tahun
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
2000 1320 1485 1575 1620 1700 1700 2000 2200 2430 2800 2800 2800
2001 2400 2200 2300 2300 2500 2700 2700 2600 2100 2300 2100 1900
2002 1800 1900 1800 1900 1800 1960 2020 2020 1826 1903 2013 2233
2003 2167 2332 2563 1969 1969 1892 1826 1892 2145 2090 2167 2310
2004 2409 2519 2409 2574 2574 3014 3047 3179 3542 3674 4070 3940
2005 3563 3471 3713 4494 4930 4630 4812 5137 5516 6327 6186 5397
2006 5460 5830 5667 5597 5920 6001 6434 6480 6584 6393 6011 5907
2007 6187 5720 5734 6010 6324 6310 6374 6667 6790 7074 7412 8762
2008 8846 8740 8740 9091 9957 11240 12081 12253
Sumber: www.dephub.go.id dan telah diolah kembali
Secara teori, pungutan Fuel Surcharge seharusnya bergerak
searah dengan harga avtur tetapi dalam prakteknya, pungutan Fuel
Surcharge yang dilakukan oleh perusahaan angkutan udara
berjadwal akhir-akhir ini semakin tinggi. Sepertinya Pemerintah
lepas kendali atas praktek pungutan tambahan tersebut sejak mulai
diberlakukan oleh Indonesia National Air Association (INACA)
bersama 10 perusahaan angkutan udara niaga berjadwal pada bulan
Mei 2006 dengan pungutan sebesar Rp. 20.000,- per tiket per rute
penerbangan. Kemudian nilai pungutan tersebut bertambah sejalan
dengan naiknya harga minyak mentah dunia. Berikut adalah tarif
Fuel Surcharge yang dibebankan kepada konsumen:
247
NN, “Harga Avtur 2008”, www.dephub.go.id, diunduh 24 November 2012.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
122
Universitas Indonesia
Tabel 4.2. Nilai Pungutan Fuel Surcharge248
No. Bulan Fuel Surcharge
1 Mei 2006 Rp. 20.000,-
2 Juni 2006 Rp. 20.000,-
3 Juli 2006 Rp. 20.000,-
4 Agustus 2006 Rp. 20.000,-
5 September 2006 Rp. 20.000,-
6 Oktober 2006 Rp. 40.000,-
7 November 2006 Rp. 40.000,-
8 Desember 2006 Rp. 40.000,-
9 Januari 2007 Rp. 40.000,-
10 Februari 2007 Rp. 40.000,-
11 Maret 2007 Rp. 40.000,-
12 April 2007 Rp. 40.000,-
13 Mei 2007 Rp. 40.000,-
14 Juni 2007 Rp. 40.000,-
15 Juli 2007 Rp. 40.000,-
16 Agustus 2007 Rp. 60.000,-
17 September 2007 Rp. 60.000,-
18 Oktober 2007 Rp. 80.000,-
19 November 2007 Rp. 100.000,-
20 Desember 2007 Rp. 145.000,-
Sumber: www.ylkb.com dan telah diolah kembali
Apabila dibandingkan dengan harga avtur, maka kenaikan
tarif Fuel Surcharge memang tidak seimbang. Bisa dilihat dari
harga avtur dari bulan November 2007 ke Desember 2007,
harganya naik dari Rp. 7.412,- menjadi Rp. 8.762,- sehingga
kenaikannya menjadi sekitar 20%. Sedangkan tarif Fuel Surcharge
dari November 2007 ke Desember 2007 harganya naik dari Rp.
248
NN, “Praktek Pungutan Fuel Surcharge merugikan Negara dan Konsumen Jasa
Angkutan Udara Niaga Berjadwal”, www.ylkb.com, diunduh 24 November 2012.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
123
Universitas Indonesia
100.000,- menjadi Rp. 145.000,- sehingga kenaikannya menjadi
sekitar 45%.
Memperhatikan hal tersebut, maka KPPU kemudian
memutuskan untuk melakukan kajian dan analisa terhadap
pemberlakuan Fuel Surcharge tersebut, dengan hipotesis sangat
dimungkinkan bahwa kenaikan yang sangat signifikan tersebut dan
menyebabkan tarif yang eksesif tersebut diakibatkan oleh perilaku
pelaku usaha yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 atau karena kebijakan yang tidak tepat.
Terdapat perjanjian tertulis terkait dengan penetapan Fuel
Surcharge pada tanggal 4 Mei 2006 yang ditandatangani oleh
Ketua Dewan INACA, Sekretaris Jenderal INACA dan 9
(sembilan) perusahaan angkutan udara niaga yaitu PT Mandala
Airlines, PT Merpati Nusantara Airlines (Persero), PT Dirgantara
Air Service, PT Sriwijaya Air, PT Pelita Air Service, PT Lion
Mentari Air, PT Batavia Air, PT Indonesia Air Transport dan PT
Garuda Indonesia (Persero), yang menyepakati pelaksanaan Fuel
Surcharge mulai diterapkan pada tanggal 10 Mei 2006 dengan
besaran yang diberlakukan pada setiap penerbangan dikenakan
rata-rata Rp 20.000,- (dua puluh ribu rupiah) per penumpang.
Awalnya Fuel Surcharge dilakukan sebagai kesepakatan
Indonesian National Air Carrier Association (INACA), dengan
menentukan besaran sebesar Rp. 20.000/penumpang pada bulan
Mei 2006. Besaran ini dibuat dengan berpatokan pada harga avtur
rata-rata yang naik ke posisi Rp 5.600/liter sejak 1 Mei 2006,
sehingga komposisi bahan bakar dalam biaya meningkat menjadi
sekitar 40%. Dasar perhitungan lainnya yang digunakan adalah tipe
pesawat Boeing 737-400 dengan tingkat isian (Load Factor) 70%.
Salah satu asumsi juga disampaikan oleh Menteri Perhubungan
saat itu, Bapak Hatta Radjasa yang menyatakan bahwa Fuel
Surcharge diterapkan dengan memperhitungkan kenaikan harga
avtur sebesar 14% dari posisi awal Rp. 4.912. Melalui asumsi ini,
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
124
Universitas Indonesia
maka disampaikan bahwa Fuel Surcharge akan hilang dengan
sendirinya apabila harga avtur kembali ke posisi tersebut.249
Menteri Perhubungan memperbolehkan pemberlakuan Fuel
Surcharge asal diterapkan secara transparan dan dipisahkan dari
harga tiket.
Majelis Komisi berpendapat bahwa setidak-tidaknya
terdapat 9 (sembilan) Terlapor yaitu PT Garuda Indonesia
(Persero), PT Sriwijaya Air, PT Merpati Nusantara Airlines
(Persero), PT Mandala Airlines, PT Travel Express Aviation
Services, PT Lion Mentari Airlines, PT Wings Abadi Airlines, PT
Metro Batavia, dan PT Kartika Airlines yang menetapkan Fuel
Surcharge secara terkoordinasi (concerted actions) dalam zona
penerbangan 0 sampai dengan 1 jam, 1 sampai dengan 2 jam dan 2
sampai dengan 3 jam sebagaimana ditunjukkan dalam Grafik-
grafik di bawah ini:
Gambar 4.3. Pergerakan Fuel Surcharge 0 sampai dengan 1 Jam Sriwijaya,
Garuda, Mandala, Lion, Batavia, Kartika, Merpati dan Wings Air
Mei 2006 – Oktober 2009
249
Positioning Paper KPPU, Loc. Cit.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
125
Universitas Indonesia
Gambar 4.4. Pergerakan Fuel Surcharge 1 sampai dengan 2 Jam Sriwijaya,
Garuda Mandala, Lion, Batavia, Kartika, Merpati, Ekspress Air dan Wings
Air Mei 2006 – Oktober 2009
Gambar 4.5. Pergerakan Fuel Surcharge 2 sampai dengan 3 Jam Sriwijaya,
Garuda, Mandala, Lion, Batavia, Kartika, Merpati dan Wings Air
Mei 2006 – Oktober 2009
Majelis Komisi berpendapat adanya penetapan Fuel
Surcharge yang eksesif berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
seperti melakukan perbandingan Fuel Surcharge aktual dengan
Fuel Surcharge acuan estimasi untuk PT Garuda Indonesia
(Persero), PT Sriwijaya Air, PT Merpati Nusantara Airlines
(Persero), PT Mandala Airlines, PT Travel Express Aviation
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
126
Universitas Indonesia
Services, PT Lion Mentari Airlines, PT Wings Abadi Airlines dan
PT Kartika Airlines untuk tahun 2006 sampai dengan 2009 pada
penerbangan 0 sampai dengan 1 jam dan 2 sampai dengan 3 jam.
Untuk penerbangan 1 sampai dengan 2 jam, Majelis Komisi
menambahkan PT Metro Batavia karena PT Metro Batavia hanya
melayani penerbangan antara 1 sampai dengan 2 jam. Fuel
Surcharge acuan estimasi dihitung berdasarkan acuan Fuel
Surcharge yang pertama kali diberlakukan pada bulan Mei 2006
yaitu sebesar Rp 20.000,- (dua puluh ribu rupiah) dengan tingkat
harga avtur sebesar Rp 5.921,- (lima ribu sembilan ratus dua puluh
satu rupiah). Dengan demikian Fuel Surcharge acuan estimasi
bergerak sesuai dengan fluktuasi harga avtur. Perbandingan antara
Fuel Surcharge aktual dengan Fuel Surcharge acuan estimasi
menunjukkan bahwa Fuel Surcharge yang diterapkan oleh para
Terlapor memiliki kecenderungan melampaui pergerakan Fuel
Surcharge acuan estimasi sebagaimana terlihat pada grafik berikut:
Gambar 4.6. Perbandingan Fuel Surcharge Aktual v.s Fuel Surcharge Acuan
Estimasi Mei 2006 sampai dengan Oktober 2009
(Penerbangan 0 sampai dengan 1 jam)
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
127
Universitas Indonesia
Gambar 4.7. Perbandingan Fuel Surcharge Aktual v.s Fuel Surcharge Acuan
Estimasi Mei 2006 sampai dengan Oktober 2009
(Penerbangan 1 sampai dengan 2 jam)
Gambar 4.8. Perbandingan Fuel Surcharge Aktual v.s Fuel Surcharge Acuan
Estimasi Mei 2006 sampai dengan Oktober 2009
(Penerbangan 2 sampai dengan 3 jam)
Selain melakukan perbandingan antara Fuel Surcharge
aktual dengan Fuel Surcharge acuan estimasi, Majelis Komisi juga
melakukan perbandingan antara Fuel Surcharge aktual dengan
Fuel Surcharge acuan Departemen Perhubungan (Dephub) untuk
PT Garuda Indonesia (Persero), PT Sriwijaya Air, PT Merpati
Nusantara Airlines (Persero), PT Mandala Airlines, PT Travel
Express Aviation Services, PT Lion Mentari Airlines, PT Wings
Abadi Airlines dan PT Kartika Airlines untuk tahun 2008 s/d 2009
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
128
Universitas Indonesia
pada penerbangan 0 sampai dengan 1 jam dan 2 sampai dengan 3
jam. Untuk penerbangan 1 sampai dengan 2 jam, Majelis Komisi
menambahkan PT Metro Batavia karena PT Metro Batavia hanya
melayani penerbangan antara 1 sampai dengan 2 jam perbandingan
antara Fuel Surcharge aktual dengan Fuel Surcharge acuan
Dephub juga menunjukkan bahwa Fuel Surcharge yang diterapkan
oleh para Terlapor memiliki kecenderungan melampaui pergerakan
Fuel Surcharge acuan Dephub sebagaimana terlihat pada grafik
berikut:
Gambar 4.9. Perbandingan Fuel Surcharge Aktual v.s Fuel Surcharge Acuan
Dephub Maret 2008 sampai dengan Oktober 2009
(Penerbangan 0 sampai dengan 1 jam)
Gambar 4.10. Perbandingan Fuel Surcharge Aktual v.s Fuel Surcharge
Acuan Dephub Maret 2008 sampai dengan Oktober 2009
(Penerbangan 1 sampai dengan 2 jam)
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
129
Universitas Indonesia
Gambar 4.11. Perbandingan Fuel Surcharge Aktual v.s Fuel Surcharge
Acuan Dephub Maret 2008 sampai dengan Oktober 2009
(Penerbangan 2 sampai dengan 3 jam)
Berdasarkan grafik-grafik perbandingan antara Fuel
Surcharge aktual dengan Fuel Surcharge estimasi di atas, Majelis
Komisi menemukan adanya excessive pricing yang dilakukan PT
Garuda Indonesia (Persero), PT Sriwijaya Air, PT Merpati
Nusantara Airlines (Persero), PT Mandala Airlines, PT Travel
Express Aviation Services, PT Lion Mentari Airlines, PT Wings
Abadi Airlines dan PT Kartika Airlines untuk tahun 2008 sampai
dengan 2009 pada penerbangan 0 sampai dengan 1 jam dan 2
sampai dengan 3 jam.
Penetapan Fuel Surcharge oleh INACA kemudian
mendapatkan penentangan, termasuk dari KPPU karena dianggap
merupakan bentuk nyata dari kartel. Menyikapi hal ini maka
kemudian INACA menyatakan keputusan menetapkan besaran
Fuel Surcharge dibatalkan dan besaran Fuel Surcharge diserahkan
sepenuhnya kepada mekanisme pasar oleh setiap maskapai
penerbangan.250
Berdasarkan Notulen Rapat No. 9100/57/V/2006, INACA
mengadakan Rapat Anggota dan Pengurus INACA pada tanggal 30
Mei 2006 yang pada intinya menyimpulkan penerapan dan besaran
250
Ibid.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
130
Universitas Indonesia
Fuel Surcharge diserahkan kembali kepada masing-masing
perusahaan penerbangan nasional Anggota INACA. Namun
meskipun sejak 30 Mei 2006, tidak ada kesepakatan tertulis di
antara para Terlapor dalam menetapkan Fuel Surcharge, namun
berdasarkan analisis pergerakan Fuel Surcharge, baik analisis
grafik, tabel, uji korelasi dan uji varians, menunjukkan adanya
trend yang sama korelasi positif dan variasi yang sama di antara
para Terlapor dalam menetapkan besaran Fuel Surcharge untuk
periode Mei 2006 sampai dengan Maret 2008 untuk zona waktu 0
sampai dengan 1 jam, 1 sampai dengan 2 jam dan 2 sampai dengan
3 jam. Oleh karena formula perhitungan Fuel Surcharge, asumsi
harga avtur, asumsi konsumsi avtur dan asumsi load factor yang
dibuat oleh masing-masing Terlapor berbeda-beda, Tim Pemeriksa
menilai seharusnya Fuel Surcharge yang ditetapkan oleh masing-
masing Terlapor juga berbeda-beda.
Dari adanya Fuel Surcharge ini terdapat excessive Fuel
Surcharge (FS) yang dinikmati oleh 9 (sembilan) Terlapor sejak
tahun 2006 sampai dengan 2009 yang merupakan kerugian atau
kehilangan kesejahteraan (welfare losses) dari konsumen antara Rp
5 Triliun sampai dengan Rp 13,8 Triliun. Adanya dampak terhadap
kerugian konsumen setidak-tidaknya sebesar Rp
5,081,739,669,158 (Lima Triliun Delapan Puluh Satu Miliar Tujuh
Ratus Tiga Puluh Sembilan Juta Enam Ratus Enam Puluh
Sembilan Ribu Seratus Lima Puluh Delapan Rupiah) sampai
dengan Rp 13,843,165,835,099 (Tiga Belas Triliun Delapan Ratus
Empat Puluh Tiga Miliar Seratus Enam Puluh Lima Juta Delapan
Ratus Tiga Puluh Lima Ribu Sembilan Puluh Sembilan Rupiah)
selama periode 2006 sampai dengan 2009.
b. Pembuktian yang digunakan KPPU
Dalam kasus kartel biaya tambahan atau Fuel Surcharge,
metode pembuktian yang digunakan oleh KPPU dalam kasus
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
131
Universitas Indonesia
tersebut adalah menggunakan metode pembuktian langsung (direct
evidence) dan metode pembuktian tidak langsung (indirect
evidence). Dalam prakteknya, KPPU memang diberikan
kewenangan yang luas untuk menggunakan berbagai macam
metode pembuktian yang ada untuk melakukan pembuktian
terhadap suatu kasus, tergantung pada kasus tersebut.
Untuk metode pembuktian langsung (direct evidence),
terdapat alasan yang kuat mengapa KPPU menggunakan metode
pembuktian tersebut, hal ini dapat dilihat dari ditemukannya
dokumen tertulis berupa persetujuan pelaksanaan Fuel Surcharge
yang ditandatangani oleh Ketua Dewan INACA, Sekretaris
Jenderal INACA, dan 9 (sembilan) perusahaan penerbangan
nasional anggota INACA (Berita Acara No. 9100/53/V/2006
tanggal 4 Mei 2006). Hal-hal yang disetujui dalam persetujuan
tersebut adalah kenaikan harga avtur yang berakibat pada
peningkatan biaya produksi yang cukup tajam, Surat Dirjen
Perhubungan Udara kepada Sekretariat Jenderal INACA tentang
penerapan Fuel Surcharge atas kenaikan harga avtur, IATA sudah
lama menerapkan Fuel Surcharge pada harga avtur untuk
penerbangan internasional dan Fuel Surcharge tidak diterapkan
pada penerbangan perintis, besarnya biaya Fuel Surcharge Rp.
20.000/penumpang, dilaksanakan oleh operator penerbangan dan
tidak dimasukkan dalam komponen harga tiket, dan terakhir
pengenaan Fuel Surcharge berdasarkan pada flight coupon/flight
number.
Meskipun ada kesepakatan membatalkan perjanjian sejak
tanggal 30 Mei 2006 dengan Notulen Rapat INACA No.
9100/57/V/2006 yaang kesimpulannya penerapan dan besaran Fuel
Surcharge diserahkan kembali pada masing-masing perusahaan
penerbangan nasional Anggota INACA, namun perjanjian tersebut
tetap dilaksanakan oleh masing-masing maskapai penerbangan.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
132
Universitas Indonesia
Dalam putusannya ini, karena formula perhitungan Fuel
Surcharge asumsi harga avtur, asumsi konsumsi avtur dan asumsi
load factor yang dibuat oleh masing-masing Terlapor berbeda-
beda, Tim Pemeriksa menilai seharusnya Fuel Surcharge yang
ditetapkan oleh masing-masing Terlapor juga berbeda-beda.
Tim pemeriksa menilai terdapat trend yang sama atas
pergerakan Fuel Surcharge di antara para Terlapor untuk masing-
masing zona waktu penerbangan. Selain melakukan analisis
terhadap grafik pergerakan Fuel Surcharge, tabel prosentase
pergerakan Fuel Surcharge di atas, Tim Pemeriksa juga melakukan
uji korelasi terhadap pergerakan Fuel Surcharge diantara para
Terlapor tersebut.
Tools yang digunakan dalam melakukan analisis tersebut
adalah uji Korelasi dan Uji Varians Barlette dan Levene Test. Uji
korelasi bertujuan untuk menguji hubungan antara dua variabel
yang tidak menunjukkan hubungan fungsional. Korelasi dinyatakan
dalam % (persentase) keeratan hubungan antara variabel yang
dinamakan dengan koefisien korelasi, yang menunjukkan derajat
keeratan hubungan antara dua variabel dan arah hubungannya (+
atau -). Dimana jika nilai r>0 artinya telah terjadi hubungan yang
linear positif, dan jika nilai variabel r<0 artinya telah terjadi
hubungan yang linear negatif, yang makin besar nilai variabel x
makin kecil nilai variabel y dan sebaliknya. Semakin tinggi nilai r,
berarti korelasinya semakin tinggi.
Uji Varians Bartletts Test (Snedcor and Cochran, 1983)
digunakan untuk menguji apakah sample memiliki varians yang
setara. Varians yang setara diantara sample disebut dengan
Homogenity of Variances. Bartletts test dapat juga digunakan untuk
menguji apakah varians diantara kelompok samples setara atau
tidak. Variasi harga dikatakan homogen bila hasil nilai uji (P-
Value) lebih besar dari nilai 0,05.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
133
Universitas Indonesia
Levene Test memiliki tujuan yang sama dengan Bartletts
namun Levene Test cenderung lebih tidak sensitif terhadap data
yang menjauhi Normal.
Meskipun sejak 30 Mei 2006, tidak ada kesepakatan tertulis
diantara para Terlapor dalam menetapkan Fuel Surcharge, namun
berdasarkan analisis pergerakan Fuel Surcharge, baik analisis
grafik, tabel, uji korelasi dan uji varians, menunjukkan adanya
trend yang sama di antara para Terlapor dalam menetapkan besaran
Fuel Surcharge untuk periode Mei 2006 sampai dengan Maret
2008 untuk zona waktu tempuh 0 sampai dengan 1 jam, 1 sampai
dengan 2 jam dan 2 sampai dengan 3 jam.
Dalam putusan tersebut dapat dilihat KPPU menggunakan
economic evidence untuk membuktikan penetapan harga yang
dilakukan oleh para Terlapor, dimana dalam hal ini KPPU
berpedoman pada The OECD Global Forum on Competition,
Policy Roundtables, Prosecuting Cartels Without Direct Evidence,
2006. Seperti yang dikemukakan oleh KPPU dalam putusan
terhadap Perkara Nomor 24/KPPU-I/2009 tentang Kartel Minyak
Goreng, mengenai indirect evidence.
Dalam hal membuktikan penetapan harga Fuel Surcharge
oleh maskapai-maskapai penerbangan domestik Indonesia,
memang diakui pernah terjadi kesepakatan antar anggota INACA
untuk menetapkan besarnya Fuel Surcharge, namun perjanjian
tersebut telah dibatalkan dan para maskapai diberi wewenang untuk
menetapkan sendiri besarnya Fuel Surcharge. Maka KPPU
menggunakan economic evidence untuk melakukan pembuktian
dimana tidak ditemukannya suatu perjanjian diantara para pelaku
usaha tersebut.
Sebagaimana diketahui bahwa tujuan dari pembuktian itu
sendiri adalah untuk memperoleh kebenaran terhadap suatu
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
134
Universitas Indonesia
peristiwa.251
Jadi dalam hal ini KPPU, dalam kasus penetapan
harga Fuel Surcharge, mencoba untuk mendasarkan pada alat-alat
bukti sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999, dimana bukti yang digunakan adalah economic evidence
yang termasuk bukti petunjuk.
Namun perlu diingat bahwa perjanjian penetapan harga
biasanya adalah perjanjian terselubung (tacit agreement) dan
sangatlah sulit untuk dideteksi. Maka dalam hal melakukan
pembuktian penetapan harga dibutuhkan naluri ekonomi yang baik
guna menciptakan penegakan hukum yang paling kondusif.
Dalam hal meneliti suatu perjanjian penetapan harga, maka
dibutuhkan suatu batasan/ukuran yang digunakan untuk
menganalisis perjanjian yang mendukung persaingan atau bahkan
anti persaingan ataupun seimbang diantara keduanya,
batasan/ukuran analisis perjanjian penetapan harga tersebut antara
lain:252
a. Berkenaan dengan pengekangan atau pengendalian
tersebut sifatnya akan membatasi dan menetapkan
harga;
b. Berkenaan dengan pengekangan atau pengendalian
tersebut sebenarnya atau ternyata berhubungan dengan
integrasi dari sumber-sumber ekonomi yang pro
persaingan;
c. Berkenaan dengan pengekangan atau pengendalian
tersebut membatasi produksi dan menaikkan harga atau
sebaliknya menciptakan atau memfasilitasi berjalannya
kegiatan pasar;
d. Berkenaan dengan pembatasan atau pengendalian
tersebut perlu untuk mencapai tujuan-tujuan untuk
menciptakan persaingan;
e. Berkenaan dengan pembatasan atau pengendalian
tersebut lebih menguntungkan persaingan daripada
resiko anti persaingan.
251
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit
Liberty, 1998), hlm. 106. 252
Erman Radjagukguk, Peranan Hukum di Indonesia: Menjaga Persatuan Bangsa
Memulihkan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial, (Jakarta: Pidato Dies Natalis 50
Tahun Universitas Indonesia, 2000), hlm. 9.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
135
Universitas Indonesia
c. Putusan Perkara
1. Menyatakan bahwa Terlapor I, PT Garuda Indonesia (Persero);
Terlapor II, PT Sriwijaya Air; Terlapor III, PT Merpati Nusantara
Airlines (Persero); Terlapor IV, PT Mandala Airlines; Terlapor VI,
PT Travel Express Aviation Service; Terlapor VII, PT Lion
Mentari Airlines; Terlapor VIII, PT Wing Abadi Airlines; Terlapor
IX, PT Metro Batavia; Terlapor X, PT Kartika Airlines terbukti
secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5 UU No. 5 Tahun
1999; 2. Menyatakan bahwa Terlapor V, PT Riau Airlines; Terlapor XI, PT
Linus Airways; Terlapor XII, PT Trigana Air Service; dan Terlapor
XIII, PT Indonesia AirAsia tidak terbukti melanggar Pasal 5 UU
No. 5 Tahun 1999;
3. Menyatakan bahwa Terlapor I, PT Garuda Indonesia (Persero);
Terlapor II, PT Sriwijaya Air; Terlapor III, PT Merpati Nusantara
Airlines (Persero); Terlapor IV, PT Mandala Airlines; Terlapor V,
PT Riau Airlines; Terlapor VI, PT Travel Express Aviation
Services; Terlapor VII, PT Lion Mentari Airlines,; Terlapor VIII,
PT Wings Abadi Airlines; Terlapor IX, PT Metro Batavia;
Terlapor X, PT Kartika Airlines; Terlapor XI, PT Linus Airways;
Terlapor XII, PT Trigana Air Service; dan Terlapor XIII, PT
Indonesia AirAsia tidak terbukti melanggar Pasal 21 UU No. 5
Tahun 1999;
4. Menetapkan adanya kerugian masyarakat setidak-tidaknya sebesar
Rp 5.081.739.669.158,- (lima triliun delapan puluh satu miliar
tujuh ratus tiga puluh sembilan juta enam ratus enam puluh
sembilan ribu seratus lima puluh delapan rupiah) sampai dengan
Rp 13.843.165.835.099,- (tiga belas triliun delapan ratus empat
puluh tiga miliar seratus enam puluh lima juta delapan ratus tiga
puluh lima ribu sembilan puluh sembilan rupiah) selama periode
2006 s/d 2009;
5. Memerintahkan pembatalan perjanjian penetapan fuel surcharge
baik secara tertulis maupun tidak tertulis yang dilakukan oleh
Terlapor I, PT Garuda Indonesia (Persero); Terlapor II, PT
Sriwijaya Air; Terlapor III, PT Merpati Nusantara Airlines
(Persero); Terlapor IV, PT Mandala Airlines; Terlapor VI, PT
Travel Express Aviation Services; Terlapor VII, PT Lion Mentari
Airlines; Terlapor VIII, PT Wings Abadi Airlines; Terlapor IX, PT
Metro Batavia; dan Terlapor X, PT Kartika Airlines;
6. Menghukum Terlapor I, PT Garuda Indonesia (Persero) membayar
denda sebesar Rp. 25.000.000.000,- (duapuluh lima milyar rupiah)
yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan
denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja
Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah
dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran
di Bidang Persaingan Usaha);
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
136
Universitas Indonesia
7. Menghukum Terlapor II, PT Sriwijaya Air membayar denda
sebesar Rp. 9.000.000.000,- (sembilan milyar rupiah) yang harus
disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda
pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi
Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode
penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang
Persaingan Usaha);
8. Menghukum Terlapor III, PT Merpati Nusantara Airlines (Persero)
membayar denda sebesar Rp. 8.000.000.000,- (delapan milyar
rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran
pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan
Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank
Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda
Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);
9. Menghukum Terlapor IV, PT Mandala Airlines membayar denda
sebesar Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) yang harus
disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda
pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi
Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode
penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang
Persaingan Usaha);
10. Menghukum Terlapor VI, PT Travel Express Aviation Service
membayar denda sebesar Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah)
yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan
denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja
Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah
dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran
di Bidang Persaingan Usaha);
11. Menghukum Terlapor VII, PT Lion Mentari Airlines membayar
denda sebesar Rp. 17.000.000.000,- (tujuhbelas milyar rupiah)
yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan
denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja
Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah
dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran
di Bidang Persaingan Usaha);
12. Menghukum Terlapor VIII, PT Wings Abadi Airlines membayar
denda sebesar Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) yang harus
disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda
pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi
Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode
penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang
Persaingan Usaha);
13. Menghukum Terlapor IX, PT Metro Batavia membayar denda
sebesar Rp. 9.000.000.000,- (sembilan milyar rupiah) yang harus
disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda
pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi
Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
137
Universitas Indonesia
penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang
Persaingan Usaha);
14. Menghukum Terlapor X, PT Kartika Airlines membayar denda
sebesar Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) yang harus disetor
ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di
bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas
Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode
penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang
Persaingan Usaha);
15. Menghukum Terlapor I, PT Garuda Indonesia (Persero) membayar
ganti rugi sebesar Rp. 162.000.000.000,- (seratus enam puluh dua
milyar rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran
pendapatan ganti rugi pelanggaran di bidang persaingan usaha
Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank
Pemerintah dengan kode penerimaan 423755;
16. Menghukum Terlapor II, PT Sriwijaya Air membayar ganti rugi
sebesar Rp. 60.000.000.000,- (enam puluh milyar rupiah) yang
harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan ganti rugi
pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi
Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode
penerimaan 423755;
17. Menghukum Terlapor III, PT Merpati Nusantara Airlines (Persero)
membayar ganti rugi sebesar Rp. 53.000.000.000,- (lima puluh tiga
milyar rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran
pendapatan ganti rugi pelanggaran di bidang persaingan usaha
Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank
Pemerintah dengan kode penerimaan 423755;
18. Menghukum Terlapor IV, PT Mandala Airlines membayar ganti
rugi sebesar Rp. 31.000.000.000,- (tiga puluh satu milyar rupiah)
yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan ganti
rugi pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi
Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode
penerimaan 423755;
19. Menghukum Terlapor VI, PT Travel Express Aviation Service
membayar ganti rugi sebesar Rp.1.900.000.000,- (satu miliar
sembilan ratus juta rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara
sebagai setoran pendapatan ganti rugi pelanggaran di bidang
persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan
Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755;
20. Menghukum Terlapor VII, PT Lion Mentari Airlines membayar
ganti rugi sebesar Rp. 107.000.000.000,- (seratus tujuh milyar
rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran
pendapatan ganti rugi pelanggaran di bidang persaingan usaha
Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank
Pemerintah dengan kode penerimaan 423755;
21. Menghukum Terlapor VIII, PT Wings Abadi Airlines membayar
ganti rugi sebesar Rp. 32.500.000.000,- (tiga puluh dua milyar lima
ratus juta rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
138
Universitas Indonesia
pendapatan ganti rugi pelanggaran di bidang persaingan usaha
Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank
Pemerintah dengan kode penerimaan 423755;
22. Menghukum Terlapor IX, PT Metro Batavia membayar ganti rugi
sebesar Rp. 56.000.000.000,- (lima puluh enam milyar rupiah)
yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan ganti
rugi pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi
Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode
penerimaan 423755;
23. Menghukum Terlapor X, PT Kartika Airlines membayar ganti rugi
sebesar Rp 1.600.000.000,- (satu miliar enam ratus juta rupiah)
yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan ganti
rugi pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi
Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode
penerimaan 423755;
4.1.3 Perkara Penetapan Harga dan Kartel dalam Industri Semen253
a. Kasus Posisi
Setelah menerima Hasil Monitoring Dugaan Kartel yang
dilakukan Pelaku Usaha di bidang industri semen, maka Komisi
Pengawas Persaingan Usaha menindaklanjuti hasil monitoring ke
tahap Pemeriksaan Pendahuluan. Berdasarkan Surat Penetapan
Nomor 05/KPPU/PEN/I/2010 tentang Pemeriksaan Pendahuluan
Perkara Inisiatif Nomor 01/KPPU-I/2010 menetapkan untuk
dilakukan Pemeriksaan Pendahuluan terhitung sejak tanggal 14
Januari 2010 sampai dengan tanggal 24 Februari 2010. Setelah itu
Tim Pemeriksa membuat Laporan Hasil Pemeriksaan Lanjutan
yang memuat fakta-fakta yang dilakukan oleh 8 Pelaku Usaha atas
dugaan pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat yaitu: PT Indocement Tunggal Prakarsa, Tbk;
PT Holcim Indonesia, Tbk; PT Semen Baturaja (Persero); PT
Semen Gresik (Persero) Tbk; PT Semen Andalas Indonesia; PT
Semen Tonasa; PT Semen Padang dan PT Semen Bosowa Maros.
Semenjak krisis moneter pada akhir 1990-an menyebabkan
industri semen nasional saat itu dan harga saham perusahaan semen
253
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Putusan Perkara Nomor: 01/KPPU-I/2010.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
139
Universitas Indonesia
di pasaran juga jatuh. Dengan adanya penurunan harga saham,
otomatis perusahaan-perusahaan semen menjadi undervalue
sehingga pada saat itu banyak penanaman modal asing masuk dan
mengambil alih saham perusahaan semen nasional. Saat ini,
pengusaan pasar industri semen juga ikut terpengaruh oleh para
penanam modal asing tersebut.
Permasalahan berlanjut, pada akhir tahun 2008 harga semen
sekitar Rp 38.500 per sak, pada saat itu, harga batu bara berada di
kisaran USD 150 per ton. Namun, yang menjadi pertanyaan, ketika
harga batu turun sampai pada harga USD 60 per ton, harga semen
tidak ikut turun, justru harga semen terus mengalami kenaikan dan
bahkan menembus angka Rp 50.000 lebih per sak. Mahalnya harga
semen di tanah air mengakibatkan terjadinya peningkatan terhadap
harga konstruksi bangunan yang pada akhirnya sudah tentu akan
merugikan konsumen individual, sehingga kemudian hal ini
membuat pelaku usaha sektor property dalam hal ini Real Estate
Indonesia (REI) serta Kamar Dagang dan Industri (Kadin) meminta
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk menyelidiki
dugaan persaingan tidak sehat dalam industri semen nasional.
Terus naiknya harga semen juga diduga karena dominasi
beberapa produsen semen nasional. Diantara 9 pabrik di Indonesia,
pangsa pasar dalam negeri hanya dikuasai oleh tiga pabrik, yakni
Semen Padang dan Gresik (43%), Semen Tiga Roda (31,7%), dan
Holcim (14,1%). Dengan adanya dominasi dari beberapa
perusahaan semen tersebut, dicurigai pula adanya penguasaan
pasar yang disalahgunakan serta adanya perjanjian kartel antar
pelaku usaha tersebut. 254
Ada beberapa hal yang dijadikan alasan adanya dugaan
kartel dalam industri semen nasional. Pertama, tidak adanya
disparitas harga antar satu produsen dan produsen lainnya atau
adanya keseragaman harga. Kedua, lonjakan harga yang tinggi,
254
“Kartel Semen”. Investor Daily Indonesia: 2 Desember 2009.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
140
Universitas Indonesia
khususnya pada bulai Mei sampai dengan Desember 2008. Ketiga,
perbandingan harga semen dalam negeri dengan negara tetangga.
Berdasarkan data KPPU, harga semen di beberapa negara ASEAN
selama 2007 lebih rendah dari harga semen di Indonesia. Harga
semen di Malaysia USD 62 per ton, Vietnam USD 57,75 per ton,
dan Thailand USD 67,87 per ton. Sementara itu, harga semen di
Indonesia berkisar USD 83,80 per ton.
Dalam kasus laporan adanya dugaan praktek persaingan
usaha tidak sehat industri nasional, terdapat beberapa indikasi yang
dapat menunjukan adanya hal tersebut. Pertama, berdasarkan data
Asosiasi Semen Indonesia (ASI), pada 2008, tiga produsen besar
semen menguasai 89,6% pasar semen, yakni Grup Semen Gresik
sebesar 43,8%, indocement 31,7%, dan Holcim Indonesia 14,1%.
Dalam keadaan suatu pasar seperti itu, maka banyak kemungkinan
yang dapat terjadi dan yang juga telah diatur dalam undang-
undang. Kemungkinan tersebut dapat berupa adanya oligopoli,
kartel, penyalahgunaan posisi dominan dan penguasaan pasar.
Pada suatu struktur pasar yang cenderung oligopoli seperti
pada insdustri semen nasional, terdapat larangan yang bersifat rule
of reason. Pada pasar yang berstruktur oligopoli ini ada juga
kecenderungan pelaku usaha yang ada di dalam struktur pasar
tersebut membentuk kartel. Suatu kartel juga tidak akan berjalan
secara efektif apabila tidak dibarengi dengan adanya penguasaan
pasar.
Selain kartel, dalam kondisi pasar yang memiliki keadaan
seperti kasus industri semen Indonesia, terdapat kemungkinan
terjadinya pengusaan pasar secara dominan. Penguasaan pasar
secara dominan diatur secara rule of reason pada pasal 19 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999. Pasar industri semen yang pangsa
pasarnnya dikuasai oleh tiga pelaku usaha yakni Grup Semen
Gresik sebesar 43,8%, indocement 31,7%, dan Holcim Indonesia
14,1% dapat dikatakan memiliki posisi dominan jika dibandingkan
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
141
Universitas Indonesia
dengan sisa pangsa pasar yang ada jika dibagi kepada sisa pelaku
usaha dalam industri semen tersebut. Namun dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999, selama para pelaku usaha tersebut
tidak menyalahgunakan posisi dominannya, maka hal tersebut
tidak dilarang oleh undang-undang. Hal-hal yang mungkin terjadi
dalam struktur pasar industri semen ini adalah adanya penetapan
harga, besarnya hasil produksi serta pemasaran. Apabila
berdasarkan hal di atas, maka industri semen dapat diduga telah
berada pada kondisi yang rentan terjadinya pelanggaran terhadap
ketentuan yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun
1999. Laporan yang diserahkan oleh REI dan Kadin dianggap
cukup berdasar karena dengan adanya suatu penguasaan pasar yang
besar, maka semakin besar pula kemungkinan untuk bekerja sama
demi meraup keuntungan yang sebesar-besarnya.
Dugaan terjadinya praktek anti persaingan yang diduga
dilakukan oleh perusahaan-perusahaan semen tersebut juga
dikuatkan dengan indikasi kedua, yaitu dimana dilihat dari
mekanisme pasar (supply and demand). Jika permintaannya tinggi,
sementara pasokannya kurang, maka harga akan naik. Namun jika
harga naik signifikan, namun kebutuhan menurun dan pasokan
tetap, maka diduga telah terjadi praktek kartel di dalam pasar
tersebut. Hal-hal yang mempengaruhi harga semen diantaranya
adalah biaya produksi, biaya pemasaran (jangka waktu
pembayaran), channel distribution, dan transportasi. Di setiap
daerah di Indonesia terdapat beberapa penguasa pasar yang
berbeda di tiap daerah. Penguasaan pasar semen oleh pabrikan di
suatu wilayah, hal itu semata-mata karena pertimbangan ekonomi
demi efisiensi biaya angkut.255
Terdapat beberapa bukti lain yang menunjukan adanya
jumlah ekspor semen yang meningkat ke luar negeri. Namun jika
melihat sistem produksi semen maka hal tersebut dapat menjadi
255
Ibid.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
142
Universitas Indonesia
suatu alasan ekspor semen dilakukan. Menurunkan produksi semen
berarti menghentikan tanur semen yang memiliki suhu 1.450-2.000
derajat Celcius. Apabila tanur ini ingin diaktifkan lagi, dibutuhkan
bahan bakar yang sangat banyak untuk kembali mencapai suhu
tersebut, dan ini berarti biaya yang sangat tinggi. Oleh karena itu,
apabila pasar dalam negeri melemah, produsen tetap berproduksi
sesuai dengan kapasitas yang ada dan kelebihan semen hasil
produksi ini terpaksa dijual atau diekspor, meskipun tidak
menguntungkan karena besarnya biaya distribusi.256
Indikasi ketiga, jika terjadi eksploitasi harga, maka
profitabilitas dari perusahaan-perusahaan produsen cenderung
tinggi. Untuk itu perlu dilihat perbandingan laba usaha terhadap
pendapatan perusahaan produsen, seperti Malaysia dan Pakistan.
Dalam hal ini, digunakan rasio laba usaha terhadap penjualan
untuk mengukur profitabilitas. Di Malaysia, yang memiliki
pendapatan per kapita USD 6.668, tingkat profitabilitas perusahaan
semennya, yakni Cement Industries of Malaysia Berhad, sebesar
15,5%. Sementara di Pakistan, dengan pendapatan per kapita USD
884,22, tingkat profitabilitas perusahaan semennya, yakni
Dadabhoy Cement Industries Limited, hanya 2,73%. Adapun di
Indonesia, yang pendapatan per kapitanya USD 2.377, tingkat
profitabilitas tiga besar produsen semennya berada di atas 10
persen. Indocement memiliki tingkat profitabilitas 21,76%, Holcim
13,86% dan Semen Gresik 18,49%. Jika dilihat dari perbandingan
tersebut dapat disimpulkan bahwa Indonesia mengalami anomali
dari rasio perbedaan pendapatan per kapita dengan profitabilitas
perusahaan. Profitabilitas yang diperoleh dari tiga perusahaan
semen tersebut tidak sebanding dengan tingkat pendapatan per
256
Ibid.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
143
Universitas Indonesia
kapita di Indonesia. seharusnya rasio profitabilitas ketiga
perusahaan berkisar antara 7% – 10%.257
Tolak ukur konsentrasi pasar umumnya digunakan rasio
konsentrasi empat perusahaan terbesar (CR4) dan indeks
Herfindahl-Hirschman (HHI). Jika CR4 merupakan jumlah pangsa
pasar empat perusahaan terbesar, maka HHI merupakan jumlah
kuadrat dari pangsa pasar seluruh perusahaan dalam industri. CR4
industri semen di Indonesia sejak tahun 1998 cenderung stagnan
pada kisaran 80%. Begitu pula HHI bertahan di angka 1900-2000
sejak tahun 1998. Angka ini akan naik cukup tinggi jika Semen
Gresik yang sebenarnya telah menjadi suatu kendali dengan Semen
Padang dan Semen Tonasa dianggap sebagai satu entitas bisnis.
Dengan asumsi ini maka CR4 akan naik menjadi sekitar
91% dari HHI menjadi 3.100-an. Padahal, lembaga pengawas
persaingan pada umumnya menganggap CR4 di atas 70% atau HHI
diatas 1.800 merupakan indikator terkonsentrasinya suatu pasar.
dengan kata lain, besar kemungkinan terjadi oligopoli dengan
kekuatan terkonsentrasi pada di pasar bersangkutan.
Selain struktur pasar yang cenderung terkonsentrasi dan
oligopoli, industri semen di Indonesia juga ditandai oleh
meningkatnya operating profit sebagai proxy Price Cost Margin
(PCM/Lemer Index) yang merupakan indikator kekuatan pasar
para pelaku industri. Memang meningkatnya operating profit juga
dapat disebabkan oleh meningkatnya efisiensi industri. Namun,
khusus di industri semen, data yang ada menunjukkan peningkatan
operating profit lebih disebabkan peningkatan harga sebagai bukti
peningkatan kekuatan pasar.
Analisis terhadap biaya produksi dua industri semen
terbesar, yaitu Indocement dan Semen Gresik sampai tahun 2008,
juga menunjukkan kecenderungan peningkatan biaya yang cukup
signifikan sejalan dengan peningkatan harga minyak dunia. Hal ini
257
Ibid.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
144
Universitas Indonesia
memperkuat dugaan bahwa naiknya operating profit bukan karena
semakin efisiensinya produksi semen di Tanah Air. Indikasi kartel
juga dapat dilihat dari angka koefisien korelasi harga rata-rata per
unit dari tiga produsen semen terbesar, yaitu Indocement, Semen
Gresik, dan Holcim Indonesia (Semen Cibinong). Analisis
terhadap data dari tahun 1998-2007 menunjukkan koefisien
korelasi harga produk rata-rata per unit dari ketiga pabrik semen
tersebut berkisar 0,94 sampai dengan 0,95. Angka ini mendekati
korelasi sempurna yaitu 1,0. Tingginya penyelerasan dalam
penetapan harga di pasar tentu saja masih harus dibuktikan apakah
terjadi kartel.
Dengan adanya hal tersebut, pelaku industri semen dapat
dikatakan memperoleh keuntungan yang besar dalam penjualan
semennya. Apabila perusahaan semen masih mengatakan bahwa
tingkat harga produksi yang ada tidak sebanding dengan harga jual,
maka hal tersebut tidak beralasan mengingat perolehan keuntungan
yang cukup besar jika dinilai dari besarnya rasio profitabilitas.258
Keempat, bisa dilihat pula dari kapasitas produksi masing-
masing produsen. Jika utilisasinya sudah maksimal, maka biaya
produksinya cenderung menjadi murah. Artinya, harga semen akan
murah karena telah mencapai skala ekonomis. Berdasarkan data
ASI, utilisasi masing-masing pabrik semen saat ini rata-rata sudah
diatas 80 persen. Untuk itu, perlu dilakukan perbandingan dengan
negara lain. Berdasarkan data KPPU untuk harga semen pada 2007,
Indonesia merupakan negara keempat termahal setelah Singapura,
Brunei Darussalam, dan Filipina.
Beberapa indikator lainnya juga dapat dipakai sebagai tolak
ukur ada atau tidaknya kartel semen. Di antaranya adalah ada atau
tidaknya kesepakatan antar produsen menetapkan harga produk
yang tinggi. Indikator teknisnya adalah kenaikan harga pada satu
258
Ibid.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
145
Universitas Indonesia
perusahaan produsen diikuti oleh perusahaan produsen lainnya.
Kenaikan harga itu terjadi bersamaan dan rentang harganya tidak
terlalu jauh. Data pada tahun 2008 menunjukan harga semen dari
tiga produsen semen utama sama-sama naik dibanding 2007
dengan selisih kenaikan harga yang tidak terlalu jauh, yaitu diatas
Rp 100.000 per ton.259
Indikasi-indikasi yang telah diuraikan di atas memang
cukup untuk dilakukan suatu pemeriksaan yang lebih mendalam
bagi KPPU. Namun demikian ini bukan berarti para pelaku usaha
industri semen di Indonesia sudah pasti bersalah. Jika memang
tidak ada komunikasi dan koordinasi di antara mereka dalam
menentukan harga, tidak serta merta telah terjadi praktek kartel.
b. Pembuktian yang digunakan KPPU
Dalam melakukan pembuktian terhadap kasus praktik kartel
industri semen, KPPU menggunakan alat bukti berupa Notulen
rapat ASI dan Laporan Tahunan ASI yang merupakan metode
pembuktian langsung (direct evidence). Kemudian dapat
disimpulkan hal ini merupakan fasilitas untuk mengatur pasokan
dan menentukan harga yang dibuktikan dengan adanya surat
undangan rapat, daftar hadir dan notulensi rapat ASI Bidang
Ekonomi dan Bisnis yang dihadiri oleh wakil dari Pemerintah yaitu
dari Kementerian Perindustrian (Sebelumnya Departemen
Perindustrian) dan Kementerian Perdagangan (Sebelumnya
Departemen Perdagangan) yang secara rutin mengagendakan
evaluasi mengenai distribusi semen disetiap daerah pemasaran
berkaitan dengan masalah kelancaran pasokan dan stok, konfirmasi
realisasi pengadaan semen per pabrik dan per daerah, kinerja
masing-masing unit pabrik, evaluasi pengadaan semen, dan
proyeksi sementara pengadaan semen nasional.
259
Ibid.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
146
Universitas Indonesia
KPPU juga melihat adanya indikasi harga paralel dalam
biaya per ton untuk semua jenis semen yang di produksi.
Perhitungan biaya produksi per ton di dasarkan pada volume
produksi dan beban pokok pendapatan (Cost of Goods Sold/COGS)
kecuali Terlapor IV yang telah memberikan perhitungan biaya per
ton.
Gambar 4.12. Biaya Per Ton Semua Jenis Semen Diproduksi (2004-2009)
Berdasarkan perbandingan biaya per ton di atas, maka
dalam kurun waktu tahun 2004 sampai dengan tahun 2009,
Terlapor IV memiliki biaya per ton yang paling rendah. Terlapor V
dan Terlapor VIII tidak kompetitif untuk memasarkan hasilnya di
luar wilayah produksinya. Dapat dilihat pergerakan harga hampir
bersamaan dan paralel serta dengan selisih harga yang relatif tipis.
Hal ini menunjukkan bahwa dalam hal harga, tidak linear dengan
biaya per ton sehingga di duga terdapat upaya untuk mengatur
harga sehingga masing-masing perusahaan tetap dapat
mempertahankan pangsa pasar dan kelangsungan usaha
pesaingnya.
Namun dalam pertimbangan hukumnya KPPU menyatakan
dengan diketahuinya informasi mengenai data realisasi produksi
masing-masing Terlapor sebagaimana dapat dibuktikan
berdasarkan notulen rapat ASI dan Laporan Tahunan ASI, maka
secara individual, masing-masing Terlapor dengan difasilitasi oleh
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
147
Universitas Indonesia
ASI, dapat mengatur harga, produksi dan pemasaran dengan
mempertimbangkan data realisasi produksi dan harga per Propinsi
dari Terlapor lain yang merupakan pesaingnya dan pemerintah,
sehingga hal ini berdampak pada terjadinya perilaku yang
terkoordinasi (concerted actions) dan perilaku tersebut bukan
dalam rangka menetapkan harga, oleh karena itu pembuktian unsur
Pasal 5 dalam perjanjian penetapan harga tidak terbukti.
Dalam putusan ini Majelis Komisi berpendapat indikasi ada
tidaknya kartel dan penetapan harga sekurang-kurangnya harus
memenuhi kriteria harga yang paralel dan eksesif, pengaturan
produksi dan pemasaran, dan keuntungan yang eksesif. Untuk
membuktikan adanya price parallelism KPPU menggunakan
metode Uji Korelasi Pearson dan Uji Homogenity of Varians. Uji
Korelasi Pearson digunakan untuk melihat derajat korelasi antara
dua variabel (harga semen Terlapor tertentu dengan Terlapor lain)
untuk dapat diindikasikan ada tidaknya kemiripan harga secara
statistik. Angka korelasi Pearson dalam statistik diukur berkisar
antara -1 < 0 < 1. Semakin mendekati angka 1 maka dapat
dikatakan harga tersebut berkorelasi positif, dengan kata lain jika
salah satu variabel maka variabel lain cenderung naik atau
sebaliknya. Sedangkan mengenai Uji Homogenity of Varians
dengan pendekatan Bartlett bertujuan untuk melihat apakah
beberapa sample harga yang diuji memiliki varian yang homogen
atau tidak.
Dari hasil uji dengan menggunakan kedua metode diatas
terhadap harga semen franco pabrik yang merupakan harga jual
pabrikan di lokasi produksi/pabrik, terdapat variasi harga yang
paralel di 14 Propinsi di Indonesia dan terdapat price parallelism.
Selain itu untuk membuktikan harga eksesif (excessive price)
digunakan metode perbandingan antara harga semen domestik
dengan harga semen internasional dan hasilnya menyatakan tidak
terbuktinya harga semen para Terlapor adalah eksesif dikarenakan
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
148
Universitas Indonesia
terdapat perbedaan harga rata-rata franco pabrik yang lebih rendah
daripada harga rata-rata ritel di Indonesia dan perbedaan harga
harga ini belum termasuk ongkos angkut dan biaya pemasaran
lainnya.
Kemudian untuk membuktikan pengaturan produksi dan
pemasaran menggunakan metode perbandingan antara kapasitas
produksi dengan volume produksi dan volume penjualan. Hal ini
juga tidak terbukti karena peningkatan produksi sejalan dengan
peningkatan permintaan semen sehingga tidak ada upaya untuk
mengurangi/membatasi produksi/pasokan dari para Terlapor.
Sedangkan untuk membuktikan adanya keuntungan
(excessive profit) dilakukan perbandingan rasio keuangan Return
On Investment (ROI) para Terlapor dengan suatu angka
pembanding yaitu rata-rata kupon (bunga variabel) obligasi negara
berjangka 10 tahun ditambah dengan insentif bagi perusahaan
investor untuk melakukan investasi atau ekspansi usaha diluar
obligasi negara. Hal ini juga tidak terbukti dikarenakan keuntungan
yang diperoleh oleh para Terlapor tidak dapat dikatakan sebagai
keuntungan yang eksesif atau besarnya keuntungan yang
diindikasikan angka ROI dari masing-masing Terlapor masih
dalam batas keuntungan yang wajar. Dari ketiga hal diatas maka
dapat disimpulkan tidak terdapat petunjuk adanya kartel.
Dalam pembuktian unsur Pasal 5, KPPU tidak menemukan
adanya perilaku yang terkoordinasi untuk menetapkan harga.
KPPU menilai diketahuinya informasi mengenai data realisasi
produksi masing-masing Terlapor sebagaimana dapat dibuktikan
berdasarkan notulen rapat ASI dan laporan Tahunan ASI, maka
secara individual, masing-masing Terlapor dengan difasilitasi oleh
ASI, dapat mengatur harga, produksi dan harga per Propinsi dari
Terlapor lain yang merupakan pesaingnya dan Pemerintah,
sehingga berdampak pada terjadinya perilaku yang terkoordinasi
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
149
Universitas Indonesia
(concerted actions), tidak cukup untuk dapat membuktikan
terpenuhinya unsur Perjanjian untuk Menetapkan Harga.
Sedangkan dalam pembuktian unsur Pasal 11, KPPU
menilai berdasarkan pertimbangan terhadap harga paralel (price
parallelism), harga yang eksesif (excessive price), pengaturan
produksi dan pemasaran, dan keuntungan yang eksesif (excessive
profit), tidak cukup alasan untuk menyatakan terdapat petunjuk
adanya kartel. Sehingga unsur Perjanjian untuk Mempengaruhi
Harga dengan Mengatur Produksi dan atau Pemasaran tidak
terpenuhi.
c. Putusan Perkara
1. Menyatakan Terlapor I (ITP), Terlapor II (HI), Terlapor III (SB),
Terlapor IV (SG), Terlapor V (Lafarge), Terlapor VI (ST), Terlapor
VII (SP) dan Terlapor VIII (SBM) tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan melanggar Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1999;
2. Menyatakan Terlapor I (ITP), Terlapor II (HI), Terlapor III (SB),
Terlapor IV (SG), Terlapor V (Lafarge), Terlapor VI (ST), Terlapor
VII (SP) dan Terlapor VIII (SBM) tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan melanggar Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999.
4.1.4 Perkara Industri Farmasi Kelas Terapi Amlodipine260
a. Kasus Posisi
Perkara ini berawal dari monitoring yang dilakukan KPPU
mengingat industri farmasi merupakan sektor yang strategis bagi
perekonomian nasional ditinjau dari potensi pengembangan pasar
domestik. Sehingga KPPU akhirnya memutuskan untuk menangani
perkara nomor 17/KPPU-I/2010 terkait kartel obat yang dilakukan
oleh beberapa pelaku usaha yaitu PT. Pfizer Indonesia; PT. Dexa
Medica; Pfizer Inc; Pfizer Overseas LLC (d/h. Pfizer Overseas Inc;
Pfizer Global Trading (co Pfizer) dan Pfizer Corporation Panama.
Dalam perkara Nomor 17/KPPU-I/2010, KPPU membidik
perdagangan obat kelas amlodipine (obat untuk penyakit jantung).
260
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Putusan Perkara Nomor: 17/KPPU-I/2010.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
150
Universitas Indonesia
Dugaan kartel muncul lantaran setelah masa paten obat berakhir
pada 2007, harga obat tetap tinggi. Karena obat yang diproduksi
adalah obat paten, konsentrasi pasar atas obat di kelas amlodipine
itu menjadi tinggi. Sampai pada kuartal pertama 2009, harga obat
masih tinggi, padahal obat generik di kelas yang sama semakin
mengalami penurunan. Menurut KPPU, seharusnya setelah paten
berakhir semua pihak bisa memproduksi obat tersebut sehingga
harga sepatutnya turun.261
Dalam dugaan pelanggaran KPPU, kelompok usaha Pfizer
dengan PT Dexa Medica diduga melakukan pelanggaran Pasal 5
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yaitu menetapkan harga
obat Anti Hipertensi dengan Zat Aktif Amlodipine Besylate,
pelanggaran Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yaitu
secara bersama melakukan pengaturan produksi dan pengaturan
pemasaran obat anti hipertensi dengan Zat Aktif Amlodipine
Besylate, kelompok usaha Pfizer diduga melakukan pelanggaran
pasal 25 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yaitu
menyalahgunakan posisi dominannya untuk mempengaruhi dokter
dan/atau apotek agar hanya meresepkan obat dengan merek
Norvask dan PT Dexa Medica bersama dengan pelaku usaha asing
yang berakibat terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha
tidak sehat.
KPPU menjadwalkan untuk memeriksa Pfizer Indonesia
terkait dugaan kartel obat kelas amlodipine yang dilakukan PT
Pfizer dan PT Dexa Medica, akan tetapi pemeriksaan ini ditunda
karena PT Pfizer meminta penundaan jadwal akibat dari kesibukan
manajemen dan jadwal yang padat. Sebagaimana dikatakan oleh
Public Affairs & Communications Director PT Pfizer Indonesia,
Chrisma Albandjar, bahwa penundaan waktu pemeriksaan kepada
KPPU dikarenakan manajemen memiliki kesibukan yang padat.
261NN, “Dua Perusahaan Farmasi Besar Diduga Lakukan Kartel Obat”
http://www.menitiriau.com/headline.php?go=news&id=1364, diunduh 17 September
2012
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
151
Universitas Indonesia
Aksi meminta pengunduran jadwal ini menurut PT Pfizer bukan
karena perseroan takut akan tudingan kartel karena mereka tidak
merasa melakukan kartel dan PT Pfizer menganggap
perusahaannya selalu patuh dengan perundangan maupun kode etik
hukum yang berlaku.
Pembelaan yang dilakukan PT Pfizer mengenai dugaan
kartel, penyalahgunaan posisi dominan dan penetapan harga yang
diberikan oleh KPPU adalah bahwa PT Pfizer merupakan
perusahaan pertama yang mematenkan obat amlodipine sehingga
wajar jika menjadi pemimpin pasar. Pada 2007, masa paten oleh
PT Pfizer telah habis dan telah muncul banyak pesaing baru.
Berakhirnya masa paten obat ini tidak membuat PT Pfizer
melakukan penurunan harga terhadap obatnya, melainkan tetap
menjaga kebijakan harga yang ditawarkan ke pengguna dan
beralasan hanya merupakan strategi harga saja.262
Pemain kategori obat untuk jenis penyakit jantung dan
pembuluh darah itu (kardiovaskular) sudah cukup banyak dan
terdapat puluhan merek. PT Pfizer juga beralasan bahwa mengenai
tudingan harga obat tidak turun meskipun zat aktif amlodipine
yang merupakan kandungan generik mengalami penurunan harga
dari range Rp. 120.000,- menjadi Rp. 90.000,- beberapa tahun lalu
merupakan bagian dari strategi harga untuk memenangi
persaingan.
b. Pembuktian yang digunakan KPPU
Alat bukti yang ditemukan oleh KPPU yaitu adanya bukti
perintah untuk melakukan komunikasi diantara para pesaing dalam
Supply Agreement. Implementasi komunikasi diantara para pihak
melalui email dan korespondensi pemesanan bahan baku,
pengaturan produksi melalui forecast dan pencantuman merek
Pfizer dalam kemasan Tensivask.
262
Ibid.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
152
Universitas Indonesia
Majelis Komisi berpendapat Supply Agreement mengarah
pada pengaturan produksi dengan fakta-fakta seperti penyampaian
rencana (forecast) pembelian bahan baku serta prosedur pemesanan
bahan baku oleh Terlapor Dexa Medica, kewenangan inspeksi
kelompok usaha Pfizer, pencantuman kalimat “dibuat dengan zat
aktif dari Pfizer” dalam setiap kemasan Tensivask, adanya opsi
bagi Kelompok Usaha Pfizer untuk menghentikan perjanjian secara
sepihak apabila dijumpai produk Tensivask yang beredar di pasar
melebihi dari kuantitas yang dapat diproduksi dengan bahan baku
yang dibeli dari kelompok usaha Pfizer, serta pemberitauan,
persetujuan dan berbagai bentuk komunikasi sebagai pelaksanaan
dari Supply Agreement yang melibatkan Terlapor Dexa Medica
dengan Supplier Terlapor Pfizer Overseas LLC yang juga harus
disampaikan melalui tembusan kepada Terlapor Pfizer Indonesia
dalam jangka waktu yang telah ditentukan.
Selain itu Majelis Komisi juga membuktikan adanya
parallel pricing dimana terdapat kenaikan harga yang sama antara
Pfizer dengan Dexa Medica terhadap produk Norvask dan
Tensivask yang seharusnya bersaing di pasar.
Gambar 4.13. Pergerakan Harga Norvask dan Tensivask 5 mg Per Unit
Berdasarkan grafik tersebut terlihat bahwa harga Norvask
kemasan 5mg mengalami kenaikan harga secara berkala, sementara
harga Tensivask tercatat mengalami kenaikan harga 7x selama
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
153
Universitas Indonesia
periode 2000-awal 2010. Secara umum, untuk kemasan 5mg, angka
rata-rata perubahan harga Tensivask adalah sekitar 5.8% sementara
rata-rata perubahan harga Norvask 6.1%. Sehigga dapat diketahui
kenaikan harga selalu dilakukan terlebih dahulu oleh PT Pfizer
Indonesia atas produk Norvask sebelum diikuti oleh PT Dexa
Medica atas produk Tensivask.
Gambar 4.14. Pergerakan Harga Norvask dan Tensivask 10 mg Per Unit
Berdasarkan grafik tersebut terlihat bahwa selama periode
pertengahan 2002 sampai awal 2010, pergerakan harga dari kedua
produk juga mengalami kenaikan. Pola pergerakan harga antara
kedua produksi ini tidak mencerminkan adanya persaingan usaha
yang sehat. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa telah terjadi
pola kenaikan harga dan pergerakan harga secara parallel (parallel
pricing).
Dengan demikian dalam putusan kartel industri farmasi ini
KPPU menggunakan metode pembuktian berdasarkan keadaan
(circumstantial evidence) untuk membuktikan kasus tersebut, hal
ini dikarenakan KPPU menganggap adanya koordinasi sistematis
untuk saling menyesuaikan harga diantara kedua pelaku usaha
yaitu Pfizer dan Dexa Medica.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
154
Universitas Indonesia
c. Putusan Perkara
1. Menyatakan bahwa Terlapor I/PT Pfizer Indonesia, Terlapor
III/Pfizer Inc., Terlapor IV/Pfizer Overseas LLC, Terlapor V/Pfizer
Global Trading dan VI/PT Pfizer Corporation Panama terbukti
secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5, Pasal 11, Pasal 16,
Pasal 25 ayat (1) huruf a UU No 5 Tahun 1999;
2. Menyatakan bahwa Terlapor II/PT. Dexa Medica terbukti secara
sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5, Pasal 11, Pasal 16, UU No
5 Tahun 1999; 3. Menyatakan Pasal 5, Pasal 13 huruf c angka IV, Pasal 18 dalam
Supply Agreement antara Terlapor III/Pfizer Overseas LLC dengan
Terlapor II/PT. Dexa Medica batal demi hukum ;
4. Menyatakan Pasal 9.1 angka (V) dalam Pfizer Distribution
Agreement antara Terlapor I/PT Pfizer Indonesia dengan PT.
Anugrah Argon Medika batal demi hukum;
5. Memerintahkan kepada Terlapor I/PT Pfizer Indonesia, Terlapor
II/PT Dexa Medica, Terlapor III/Pfizer Inc., Terlapor IV/Pfizer
Overseas LLC, Terlapor V/Pfizer Global Trading dan VI/PT Pfizer
Corporation Panama menghentikan komunikasi yang berisi
informasi harga, jumlah produksi dan rencana produksi kepada
pesaing;
6. Memerintahkan kepada PT Pfizer Indonesia untuk menurunkan
harga obat Norvask sebesar 65% dari HNA sampai saat putusan
berkekuatan hukum tetap;
7. Memerintahkan kepada PT Dexa Medica untuk menurunkan harga
obat Tensivask sebesar 60% dari HNA sampai saat putusan
berkekuatan hukum tetap;
8. Memerintahkan PT. Pfizer Indonesia untuk tidak melibatkan Dokter
dalam program Health Care Compliance Program (HCCP);
9. Memerintahkan Terlapor I/PT Pfizer Indonesia dan Terlapor II/PT
Dexa Medica untuk menurunkan biaya promosi sebesar 60 %;
10. Memerintahkan Terlapor I/PT Pfizer Indonesia dan Terlapor II/PT
Dexa Medica untuk membatasi kegiatan sponsorship kepada dokter
sesuai dengan kode etik yang berlaku;
11.Menghukum Terlapor I/PT Pfizer Indonesia membayar denda
sebesar Rp. 25.000.000.000,- (dua puluh lima miliar rupiah) yang
harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda
pelanggaran di bidang persaingan usaha Departemen Perdagangan
Sekretariat Jenderal Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan
Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755
(Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);
12. Menghukum Terlapor II/PT Dexa Medica membayar denda sebesar
Rp 20.000.000.000,- (dua puluh miliar rupiah) yang harus disetor
ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di
bidang persaingan usaha Departemen Perdagangan Sekretariat
Jenderal Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
155
Universitas Indonesia
bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan
Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);
13. Menghukum Terlapor III/Pfizer Inc. membayar denda sebesar Rp.
25.000.000.000,- (dua puluh lima miliar rupiah) yang harus disetor
ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di
bidang persaingan usaha Departemen Perdagangan Sekretariat
Jenderal Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui
bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan
Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);
14.Menghukum Terlapor IV/Pfizer Overseas LLC (d/h. Pfizer
Overseas Inc) membayar denda sebesar Rp. 25.000.000.000,- (dua
puluh lima miliar rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai
setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha
Departemen Perdagangan Sekretariat Jenderal Satuan Kerja Komisi
Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode
penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang
Persaingan Usaha);
15. Menghukum Terlapor V, Pfizer Global Trading ( c/o Pfizer Service
Company) : membayar denda sebesar Rp. 25.000.000.000,- (dua
puluh lima miliar rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai
setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha
Departemen Perdagangan Sekretariat Jenderal Satuan Kerja Komisi
Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode
penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang
Persaingan Usaha);
16. Menghukum Terlapor VI, Pfizer Corporation Panama: membayar
denda sebesar Rp. 25.000.000.000,- (dua puluh lima miliar rupiah)
yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan
denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Departemen
Perdagangan Sekretariat Jenderal Satuan Kerja Komisi Pengawas
Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode
penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang
Persaingan Usaha);
4.2 Karakteristik dan Analisis Terhadap Putusan KPPU Tentang
Perjanjian Penetapan Harga dan Kartel di Indonesia Pada Tahun
2009 Hingga 2010
Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 diharapkan
menjadi peraturan persaingan antar pelaku usaha untuk berlaku secara
sehat, transparan, akuntabilitas untuk menjadikan perekonomian yang
bersifat efisien. Dari gambaran umum 4 (empat) putusan Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) tentang perjanjian penetapan harga
dan kartel di Indonesia, yang menjadi fokus analisa untuk mengetahui
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
156
Universitas Indonesia
karakteristik adalah pada aspek formal dan aspek material dari putusan-
putusan tersebut. Penulis juga menganalisis indikasi awal dalam setiap
kasus yang berkorelasi pada unsur persaingan usaha tidak sehat.
Dari 4 (empat) putusan perkara perjanjian penetapan harga dan
kartel yang diputuskan KPPU pada periode 2009 hingga 2010, terdapat 3
(tiga) putusan terbukti perjanjian penetapan harga, 2 (dua) putusan terbukti
terjadi kartel dan 1 (satu) putusan tidak terbukti adanya perjanjian
penetapan harga dan kartel.
Tabel 4.3. Perjanjian Penetapan Harga dan Kartel
Terbukti dan Tidak Terbukti
Putusan Perkara Pasal yang
digunakan
Terbukti atau
Tidak Terbukti
1. 24/KPPU-I/2009
Kartel Industri Minyak Goreng
Sawit di Indonesia
Pasal 4, Pasal
5 dan Pasal 11
Terbukti Perjanjian
Penetapan Harga
dan Kartel
2. 25/KPPU-I/2009
Kartel Biaya Tambahan Bahan
Bakar dalam Industri Jasa
Penerbangan Domestik (Fuel
Surcharge)
Pasal 5 dan
Pasal 21
Terbukti Perjanjian
Penetapan Harga
3. 01/KPPU-I/2010
Kartel dalam Industri Semen
Pasal 5 dan
Pasal 11
Tidak Terbukti
Perjanjian
Penetapan Harga
dan Kartel
4. 17/KPPU-I/2010
Kartel dalam Industri Farmasi
Kelas Terapi Amlodipine
Pasal 5, Pasal
11, Pasal 16,
dan Pasal 25
ayat (1) huruf
a
Terbukti Perjanjian
Penetapan Harga
dan Kartel
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
157
Universitas Indonesia
4.2.1 Aspek Formal Putusan KPPU dalam Perkara Perjanjian
Penetapan Harga dan Kartel
4.2.1.1 Indikasi Awal Pelanggaran
Untuk membuat korelasi yang baik dalam menganalisis putusan,
perlu dianalisis indikasi awal perkara perjanjian penetapan harga dan
kartel. Dalam penelitian putusan ini, hampir semua perkara yang muncul
disebabkan adanya pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 dan Pasal 11
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Indikasi awal dalam Putusan Nomor: 24/KPPU-I/2009 dimulai dari
faktor struktural yaitu terdapatnya perbedaan kapasitas produksi antara
perusahaan yang sebagai market leader dengan perusahaan yang menjadi
follower pada masing-masing segment produk minyak goreng curah dan
minyak goreng kemasan. Pada segment minyak goreng curah, kapasitas
produksi rata-rata pertahun antara Musim Mas Group dan Wilmar Group
selaku market leader relatif sama yang produknya tersebar hampir di
seluruh wilayah Indonesia. Sedangkan pada segment minyak goreng
kemasan, kapasitas produksi rata-rata pertahun PT Salim Ivomas Pratama,
Wilmar Group, PT Smart, Tbk dan PT Bina Karya Prima selaku market
leader relatif sama. Besaran produksi tersebut terpisah antara perusahaan
yang menjadi market leader tidak akan dianalisis sama dengan perusahaan
yang menjadi market follower. Sehingga analisis untuk perusahaan market
leader akan berbeda terhadap perusahaan yang menjadi market follower.
Hal ini didukung dari keterangan perusahaan follower yang menyatakan
bahwa kebijakan harga akan selalu mengikuti kebijakan harga perusahaan
market leader. Hal ini menunjukkan bahwa ukuran perusahaan minyak
goreng relatif setara/sama pada di tingkat sesama perusahaan market
leader mempermudah terjadinya kartel antar perusahaan minyak goreng
yang menjadi market leader, yang diikuti oleh perusahaan follower.
Karakteristik industri minyak goreng sawit yang cenderung
terintegrasi menimbulkan kekuatan tersendiri dalam rangka pengendalian
terhadap input maupun output produk karena memiliki kekuatan untuk
menjadi pemasok atas produknya sendiri dan menjadi penjual untuk
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
158
Universitas Indonesia
produknya sendiri. Selain itu, Perusahaan minyak goreng yang terintegrasi
memiliki kekuatan pembelian (buying power) dan kekuatan penjualan
(selling power) dibandingkan perusahaan yang tidak terintegrasi.
Oleh karena itu, faktor perilaku yang digunakan yaitu transparansi
harga bahan baku minyak goreng dan didukung oleh transparansi harga
jual minyak goreng terutama minyak goreng curah di pasar sangat
memudahkan bagi perusahaan market leader untuk melakukan koordinasi
harga jual. Pergerakan harga CPO dan fluktuasi harga minyak goreng yang
ada di pasar digunakan oleh para perusahaan baik yang memiliki posisi
market leader maupun follower sebagai sinyal harga (price signaling).
Sedangkan untuk minyak goreng kemasan, pola distribusi dari semua
minyak goreng kemasan salah satunya dilakukan melalui retail modern
yang tersebar di seluruh Indonesia. Sehingga perusahaan minyak goreng
kemasan melakukan penyesuaian harga berkala melalui media promosi
yang dikeluarkan oleh retail modern. Media promosi dari retail modern ini
diiklankan di media nasional sehingga memberikan sinyal kepada
perusahaan pesaing dalam menyesuaikan harga. Sedangkan untuk
perusahaan follower, akan menyesuaikan harga sesuai dengan harga yang
ditetapkan oleh perusahaan market leader. Price signaling dalam kegiatan
promosi ini dilakukan melalui pertemuan-pertemuan atau komunikasi
antar pesaing melalui asosiasi.
Kartel merupakan sekelompok pelaku usaha dalam satu industri
yang sama yang seharusnya saling bersaing namun justru saling
berkolaborasi menentukan harga.263
Aliansi ini membuat perjanjian kerja
sama yang sifatnya anti persaingan usaha. Perjanjian yang dilarang ini
pada dasarnya merupakan perbuatan mengikatkan diri atau kolusi, yang
dilakukan baik tertulis maupun tidak tertulis diantara para pelaku usaha
yang seharusnya saling bersaing justru menciptakan koordinasi.264
263
Eleanor M. Fox, “End of Antitrust Isolationism: The Vision of One World,” 1992
University of Chicago Legal Forum 221 (1992), hlm. 228.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
159
Universitas Indonesia
Putusan Perkara Nomor: 25/KPPU-I/2009 terdapat indikasi
pelanggaran awal penetapan harga melalui Perubahan Fuel Surcharge di
antara para Terlapor pada Periode I (Mei 2006 – Maret 2008) dengan
adanya kecenderungan yang sama namun hal tersebut tidak dapat
dijustifikasi dari pertimbangan ekonomi masing-masing. kecenderungan
perubahan Fuel Surcharge tersebut didasarkan pada suatu perjanjian di
antara para Terlapor. Hal tersebut di atas didukung dengan fakta adanya
perjanjian di antara Terlapor untuk menetapkan besaran Fuel Surcharge
Rp 20.000,- (dua puluh ribu rupiah) yang mulai diberlakukan pada tanggal
10 Mei 2006 yang diwadahi oleh INACA. Meskipun INACA kemudian
menyatakan menyerahkan besaran Fuel Surcharge pada masing-masing
maskapai pada tanggal 30 Mei 2006, namun secara faktual pergerakan
Fuel Surcharge masing-masing Terlapor masih menunjukkan
kecenderungan yang sama sampai dengan Maret 2008.
Fakta tersebut di atas telah cukup sebagai bukti adanya perjanjian
untuk menetapkan besaran Fuel Surcharge secara bersama-sama yang
dilakukan oleh para Terlapor (PT Garuda Indonesia (Tbk), PT Sriwijaya
Air, PT Merpati Nusantara Airlines (Persero), PT Mandala Airlines, PT
Riau Airlines, PT Travel Express Aviation Services, PT Lion Mentari
Airlines, PT Wings Abadi Airlines, PT Metro Batavia, PT Kartika
Airlines, PT Trigana Air Service dan PT Indonesia Air Asia) pada Periode
I (Mei 2006 sampai dengan Maret 2008) untuk zona penerbangan dengan
waktu tempuh 0 sampai dengan 1 jam, 1 sampai dengan 2 jam dan 2
sampai dengan 3 jam. Namun demikian, tidak ditemukan adanya
kesamaan perubahan harga Fuel Surcharge yang ditetapkan oleh para
Terlapor (PT Garuda Indonesia (Tbk), PT Sriwijaya Air, PT Merpati
Nusantara Airlines (Persero), PT Mandala Airlines, PT Riau Airlines, PT
Travel Express Aviation Services, PT Lion Mentari Airlines, PT Wings
Abadi Airlines, PT Metro Batavia, PT Kartika Airlines, PT Trigana Air
Service dan PT Indonesia Air Asia) pada Periode II (April 2008 sampai
264Kieran A. Lasater, “A Survey of the Domestic Approaches to Antitrust Taken by the
Opec Member Nations: Do They Practice What They Preach?,” 23 Penn State International Law
Review 413 (2004), hlm. 414.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
160
Universitas Indonesia
dengan Desember 2009) untuk zona penerbangan dengan waktu tempuh 0
sampai dengan 1 jam, 1 sampai dengan 2 jam dan 2 sampai dengan 3 jam.
Indikasi awal pada Putusan Nomor: 01/KPPU-I/2010, dugaan
terjadinya kartel dan penetapan harga adalah dengan mempertimbangkan
adanya rapat-rapat di ASI yang menyajikan laporan realisasi produksi dan
pemasaran dari masing-masing Terlapor serta adanya presentasi dari
pemerintah terkait dengan harga pada masing-masing wilayah Ibukota
Propinsi. Faktor perilaku ini diduga merupakan fasilitas untuk mengatur
pasokan dan menentukan harga. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984
tentang Perindustrian mewajibkan pelaku usaha melaporkan kegiatan
usahanya kepada pemerintah dan bukan kepada Asosiasi. Permintaan
Pemerintah agar Asosiasi Semen Indonesia membantu melaporkan
perkembangan kegiatan usaha anggotanya setiap bulan tidak menentukan
bentuk pelaporan tersebut sehingga rapat-rapat yang dilaksanakan oleh
ASI diduga hanya sebagai fasilitas untuk mengatur pasokan dan harga.
Jika dilihat dari bentuk struktur pasar yang terdiri dari hanya
beberapa pelaku usaha saja maka dapat dikatakan bahwa pasar semen
nasional saat ini berbentuk oligopoli. Dengan terbatasnya kemampuan
setiap pelaku usaha untuk memasuki pasar, maka pelaku usaha yang ada
dapat memanfaatkan keuntungan dari hal tersebut untuk membuat adanya
barrier to entry. Dengan adanya halangan tersebut, pelaku usaha yang
memiliki modal sedikit maka secara alami akan tersisih dari persaingan
yang disebabkan ketidakmampuan keuangannya.
Dari petunjuk ada/ tidaknya kartel diketahui dari para Terlapor
yang diduga mempertahankan pangsa pasarnya di Propinsi-Propinsi
wilayah pemasarannya yang ditunjukkan dengan pergerakan pangsa pasar
yang tidak berubah untuk market leader. Para Terlapor juga diduga
mempertahankan pangsa pasarnya dengan mengatur pasokan semen
meskipun memiliki kemampuan mengambil alih pangsa pasar pelaku
usaha pesaingnya. Grafik pergerakan harga di Propinsi yang telah dianalisa
oleh Tim Pemeriksa juga menunjukkan adanya pergerakan harga yang
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
161
Universitas Indonesia
paralel.265
Selain itu, keuntungan para Terlapor cukup tinggi dan
meningkat secara bersama-sama kecuali PT. Semen Bosowa Maros karena
terdapat perbedaan biaya yang cukup tinggi sehingga diduga terdapat
upaya mengatur harga pada harga tertentu untuk mempertahankan
kelangsungan usaha.
Sedangkan pada Putusan Perkara Nomor 17/KPPU-I/2010,
pergerakan pola harga menunjukkan adanya gejala atau indikasi
persaingan tidak sehat diantara kedua merk tersebut yaitu Norvask dan
Tensivask. Hal tersebut diindikasikan dengan adanya faktor struktural
trend kenaikan harga yang sama-sama dilakukan oleh kedua perusahaan
tersebut terhadap kedua produk yang seharusnya bersaing di pasar.
Dimana kenaikan harga selalu dilakukan terlebih dahulu oleh PT Pfizer
Indonesia atas produk Norvask sebelum diikuti oleh PT Dexa Medica atas
produk Tensivask. Pola pergerakan harga antara kedua produki ini tidak
mencerminkan adanya persaingan usaha yang sehat. Dengan
mempertimbangkan pola pergerakan harga untuk kemasan 5mg dan 10mg,
maka telah terjadi kesamaan pola kenaikan harga dan pergerakan harga
secara parallel (parallel pricing).
Dalam persaingan antara PT Dexa Medica dan PT Pfizer Indonesia,
pertukaran informasi sensitif terjadi secara intensif. Kartel menggunakan
sejumlah mekanisme untuk mengkoordinasikan kegiatan para pelaku,
termasuk dengan cara penetapan harga, pembagian wilayah, pembagian
pelanggan, dan perjanjian wilayah pasar.266
Integrasi horizontal ini
merugikan karena menyebabkan inefisiensi dimana konsumen membeli
barang dan/atau jasa para pelaku usaha dengan harga di atas harga
normal.267
Faktor perilaku dilakukan PT Dexa Medica dengan memberikan
265
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Putusan Perkara Nomor: 01/KPPU-I/2010, hlm.
79. 266
Jonathan T. Schmidt, “Keeping U.S. Courts Open to Foreign Antitrust Plaintiffs: A
Hybrid Approach to the Effective Deterrence of International Cartels,” 31 Yale Journal of
International Law 211 (2006), hlm. 218.
267
Christopher R. Leslie, “Trust, Distrust, and Antitrust,” 82 Texas Law Review 515
(2004), hlm 518.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
162
Universitas Indonesia
informasi ke PT Pfizer Indonesia baik secara tidak langsung melalui
kelompok usaha Pfizer maupun secara langsung ke PT Pfizer Indonesia.
Informasi tersebut berkenaan dengan informasi jumlah pemesanan bahan
baku Amlodipine Besylate yang dilakukan oleh PT Dexa Medica ke Pfizer
Global Trading. Informasi tentang jumlah bahan baku zat aktif yang
dipesan dapat dengan mudah diubah menjadi informasi rencana jumlah
obat yang diproduksi. Suatu informasi yang dapat dipergunakan oleh PT
Pfizer Indonesia untuk menyesuaikan strategi jumlah produksi dan/atau
pemasaran obatnya. Dengan demikian informasi ini menjadi faktor yang
mengurangi independensi antar pesaing dalam memilih strategi. Selain itu,
berdasarkan perjanjian pemasokan, kelompok usaha Pfizer memiliki hak
untuk melakukan inspeksi dan penghitungan kesesuaian atas jumlah
produk PT Dexa Medica yang diedarkan di pasar. Informasi tersebut dan
kewenangan untuk melakukan inspeksi bagi kelompok usaha Pfizer
mengkibatkan PT Pfizer Indonesia sebagai pesaing dengan mudah
memantau sekaligus mengatur jumlah produksi obat anti hipertensi dengan
zat aktif Amlodipine Besylate khususnya Tensivask serta jumlah
peredarannya di pasar. Pengaturan tersebut berguna bagi pelaku usaha
untuk memaksimumkan tingkat profit, meningkatkan harga jual di pasar
maupun untuk menyiapkan strategi menahan pelaku usaha baru untuk
masuk ke dalam pasar.
Kerjasama juga melibatkan jalur distribusi dimana perjanjian
distribusi antara PT Pfizer Indonesia dengan PT Anugrah Argon Medica
ditandatangani oleh Presiden Direktur Pfizer Indonesia, yaitu Mr. H. Sidi
Said sementara dalam perjanjian Supply Agreement, yang mewakili Pfizer
Overseas Inc adalah Mr. M. Sidi Said selaku Vice President. Dari hal ini
dapat dilihat terdapat hubungan keluarga antara M. Sidi Said dengan H.
Sidi Said. Hubungan tersebut memperkuat fakta mengenai adanya
keterkaitan PT. Pfizer Indonesia dalam sebuah kesatuan entitas bisnis dari
Pfizer Overseas Inc dan keduanya merupakan anak perusahaan dari Pfizer
Inc. Sedangkan dugaan kartel didapat dari adanya kesatuan entitas Pfizer
yang mencakup PT Pfizer Indonesia, maka perjanjian Supply Agreement
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
163
Universitas Indonesia
Amlodipine Besylate yang dilakukan oleh PT Dexa Medica adalah
perjanjian yang dilakukan sesama pesaing di pasar Bersangkutan. PT
Pfizer Indonesia diakui secara faktual adalah afiliasi dari Pfizer Inc dan
Pfizer Overseas, sekaligus merupakan pelaku usaha yang berada dalam
pasar bersangkutan yang sama dengan PT Dexa Medica. Hubungan antar
pihak yang terjalin melalui Supply Agreement mengarah kepada koordinasi
serta pengaturan produksi dan penjualan antara Dexa Medica dengan
kelompok usaha Pfizer dalam hal ini yaitu Pfizer overseas-Pfizer
Indonesia. Kondisi ini dilandasi fakta bahwa walaupun Pfizer Overseas Inc
bertindak sebagai pemasok dan PT Dexa Medica sebagai pembeli bahan
baku, namun karena dalam butir-butir perjanjian selalu disebutkan dalam
mekanisme implementasi dan pengawasan selalu melibatkan Pfizer
Overseas dan pihak yang ditunjuk (designee).
Dari analisis terhadap putusan KPPU, terdapat beberapa
karakteristik indikasi awal perkara perjanjian penetapan harga dan kartel
dalam putusan KPPU yaitu:
Tabel 4.4. Indikasi Awal Pelanggaran
Perkara Nomor
24/KPPU-I/2009
Perkara Nomor
25/KPPU-I/2009
Perkara Nomor
01/KPPU-I/2010
Perkara Nomor
17/KPPU-I/2010
- Terdapat
perbedaan
kapasitas
produksi antara
perusahaan yang
market leader
dengan
perusahaan yang
menjadi follower
pada masing-
masing segment
- Terdapat
perubahan Fuel
Surcharge di
antara para
Terlapor pada
Periode I (Mei
2006 – Maret
2008) dengan
adanya
kecenderungan
yang sama
- Adanya rapat-
rapat di ASI
(Asosiasi
Semen
Indonesia)
yang
menyajikan
laporan
realisasi
produksi dan
pemasaran dari
- Adanya tren
kenaikan harga
yang sama-
sama dilakukan
oleh kedua
perusahaan
tersebut
terhadap kedua
produk yang
seharusnya
bersaing di
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
164
Universitas Indonesia
produk minyak
goreng curah dan
minyak goreng
kemasan. Pada
segment minyak
goreng curah,
kapasitas
produksi rata-
rata pertahun
antara Musim
Mas Group dan
Wilmar Group
selaku market
leader relatif
sama yang
produknya
tersebar hampir
di seluruh
wilayah
Indonesia.
Sedangkan pada
segment minyak
goreng kemasan,
kapasitas
produksi rata-
rata pertahun PT
Salim Ivomas
Pratama, Wilmar
Group, PT
Smart, Tbk dan
PT Bina Karya
namun hal
tersebut tidak
dapat
dijustifikasi dari
pertimbangan
ekonomi
masing-masing.
kecenderungan
perubahan Fuel
Surcharge
tersebut
didasarkan pada
suatu perjanjian
di antara para
Terlapor.
- Adanya
perjanjian di
antara Terlapor
untuk
menetapkan
besaran Fuel
Surcharge Rp
20.000,- (dua
puluh ribu
rupiah) yang
mulai
diberlakukan
pada tanggal 10
Mei 2006 yang
diwadahi oleh
INACA.
masing-masing
Terlapor serta
adanya
presentasi dari
pemerintah
terkait dengan
harga
dimasing-
masing
wilayah
Ibukota
Propinsi. Hal
ini diduga
merupakan
fasilitas untuk
mengatur
pasokan dan
menentukan
harga.
- Para Terlapor
diduga
mempertahan
kan pangsa
pasarnya di
Propinsi-
Propinsi
wilayah
pemasarannya
yang
ditunjukkan
dengan
pasar. Dimana
kenaikan harga
selalu
dilakukan
terlebih dahulu
oleh PT Pfizer
Indonesia atas
produk Norvask
sebelum diikuti
oleh PT Dexa
Medica atas
produk
Tensivask.
- Pertukaran
informasi
sensitif terjadi
secara intensif
antara PT Dexa
Medica dan PT
Pfizer
Indonesia,
dimana
informasi
diberikan oleh
PT Dexa
Medica ke PT
Pfizer
Indonesia baik
secara tidak
langsung
melalui
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
165
Universitas Indonesia
Prima selaku
market leader
relatif sama.
- Transparansi
harga bahan
baku minyak
goreng dan
didukung oleh
transparansi
harga jual
minyak goreng
terutama minyak
goreng curah di
pasar sangat
memudahkan
bagi perusahaan
market leader
untuk melakukan
koordinasi harga
jual.
- Pergerakan harga
CPO dan
fluktuasi harga
minyak goreng
yang ada di pasar
digunakan oleh
para perusahaan
baik yang
memiliki posisi
market leader
maupun follower
pergerakan
pangsa pasar
yang tidak
berubah untuk
market leader.
- Para Terlapor
juga diduga
mempertahan
kan pangsa
pasarnya
dengan
mengatur
pasokan semen
meskipun
memiliki
kemampuan
mengambil alih
pangsa pasar
pelaku usaha
pesaingnya.
kelompok
usaha Pfizer
maupun secara
langsung ke PT
Pfizer
Indonesia.
- Kerjasama juga
melibatkan
jalur distribusi
dimana
perjanjian
distribusi antara
PT Pfizer
Indonesia
dengan PT
Anugrah Argon
Medica
ditandatangani
oleh Presiden
Direktur Pfizer
Indonesia, yaitu
Mr. H. Sidi
Said sementara
dalam
perjanjian
Supply
Agreement,
yang mewakili
Pfizer Overseas
Inc adalah Mr.
M. Sidi Said
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
166
Universitas Indonesia
sebagai sinyal
harga (price
signaling)
dimana
dilakukan
melalui
pertemuan-
pertemuan atau
komunikasi antar
pesaing melalui
asosiasi.
selaku Vice
President.
4.2.1.2 Struktur Putusan
Setelah melakukan penelitian mengenai struktur putusan, dapat
diperoleh kesimpulan bahwa struktur putusan KPPU pada intinya memiliki
karakteristik yang hampir sama. Namun dalam mengelaborasi struktur
pasal yang digunakan dan juga pembuktian untuk membuktikan pasal-
pasal yang dikenakan, terdapat sedikit perbedaan antara perkara yang satu
dengan yang lain.
Struktur putusan KPPU diawali dengan Identitas Terlapor yang
terdiri dari nama, alamat, kota dengan negara tempat Terlapor berada.
Kemudian Analisa Tim Pemeriksa terkait perkara yang dilaporkan dan
diikuti dengan pertimbangan dan alasan-alasan hukum yang diakhiri
dengan Amar dan Diktum Putusan.
Tabel 4.5. Struktur Putusan Perjanjian Penetapan Harga dan Kartel pada
Periode 2009 hingga 2010
Perkara Nomor
24/KPPU-I/2009
Perkara Nomor
25/KPPU-I/2009
Perkara Nomor
01/KPPU-I/2010
Perkara Nomor
17/KPPU-I/2010
1.Tentang Duduk
Perkara
1. Tentang
Duduk Perkara
1. Tentang Duduk
Perkara
1. Tentang
Duduk Perkara
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
167
Universitas Indonesia
1.1 Laporan hasil
Pemeriksaan
Lanjutan (LHPL):
1.1.1 Duduk
Perkara dan
Dugaan
Pelanggaran
1.1.2 Fakta:
1.1.2.1 Industri
Kelapa sawit dan
Pengolahannya
1.1.2.2 Industri
Minyak Goreng
1.1.2.3 Pelaku
Usaha (Terlapor
Perkara Nomor:
24/KPPU-I/2009)
dan Perilakunya
1.1.2.4 Sistem
Pemasaran Minyak
Goreng
1.1.2.5 Fakta Lain:
Program
Pemerintah
MINYAKITA.
1.1.3 Kerangka
Teori
1.1.3.1 Indikator
Identifikasi Kartel
1.1.3.1.1 Faktor
Struktural
1.1 Laporan hasil
Pemeriksaan
Lanjutan (LHPL):
1.1.1 Fakta:
1.1.1.1 Profil dan
Pangsa Pasar Para
Terlapor
1.1.1.2
Kronologis
Pemberlakuan
Fuel Surcharge
1.1.1.3 Formula
Perhitungan
Harga Tiket
1.1.1.4 Formula
Perhitungan Fuel
Surcharge
1.1.1.5 Avtur,
Harga Avtur dan
Konsumsi Avtur
1.1.1.6 Load
Factor
1.1.1.7
Pergerakan Fuel
Surcharge
1.1.1.8
Perhitungan
Pendapatan Fuel
Surcharge dalam
Laporan
Keuangan
1.1 Laporan hasil
Pemeriksaan
Lanjutan (LHPL):
1.1.1. Terlapor
1.1.2 Dugaan
Pelanggaran
1.1.3 Fakta:
1.1.3.1 Konsumsi
Semen Nasional
1.1.3.2 Para
Terlapor
1.1.3.3 Asosiasi
Semen Indonesia
1.1.3.4 Peran Serta
Pemerintah
1.1.3.5 Pendapat
Ahli
1.1.3.6 Fakta lain
1.2 Analisis:
1.2.1 Pangsa Pasar
1.2.2 Analisis
Pasokan
1.2.3 Harga Paralel
1.2.4 Analisis
Keuangan
1.2.5 Analisa
Hukum
1.3 Pembelaan dan
Tanggapan
Terlapor terhadap
LHPL (Para
1.1 Laporan hasil
Pemeriksaan
Lanjutan
(LHPL):
1.1.1. Identitas
Terlapor
1.1.2 Dugaan
Pelanggaran
1.1.3 Hak Paten,
Perjanjian Lisensi
dan Sengketa
Paten
1.1.4 Sengketa
Paten
1.1.5 Obat Anti
Hipertensi
dengan
Kandungan
Amlodipine
Besylate
1.1.6 Perjanjian
Pemasokan
Bahan Baku
(Supply
Agreement)
1.1.7 Perjanjian
Distribusi
1.1.8 Harga dan
Struktur Biaya
1.1.9 Penjualan
Amlodipine
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
168
Universitas Indonesia
1.1.3.1.2 Faktor
Perilaku
1.1.4 Analisa
1.1.4.1 Pasar
Bersangkutan
1.1.4.2 Tingkat
Konsentrasi Pasar
Minyak Goreng
1.1.4.3 Ukuran
Perusahaan
Produsen Minyak
Goreng Sawit
1.1.4.4
Homogenitas
Produk
1.1.4.5
Kemudahan Masuk
Pasar
1.1.4.6
Karakteristik
Permintaan
1.1.4.7
Transparansi dan
Pertukaran
Informasi Harga
Minyak Goreng
1.1.4.8 Parallel
Pricing
1.1.4.8.1 Uji
Homogenity of
Varians
1.1.1.9
Perhitungan Pajak
atas Fuel
Surcharge
1.1.1.10 INACA
dan Komunikasi
di antara Para
Terlapor
1.2 Analisis Tim
Pemeriksa
1.2.1 Pelaku
Usaha dan
Pesaingya
1.2.2 Pasar
Bersangkutan
1.2.3 Dugaan
Penetapan Harga
1.2.3.1 Uji
Korelasi Varians
Bartlette dan
Levene test
1.2.4 Dugaan
Kecurangan
dalam
menciptakan Fuel
Surcharge
1.3 Pembelaan
dan Tanggapan
Terlapor terhadap
LHPL (Para
Terlapor)
Terlapor)
2. Tentang
Hukum
2.1 LHPL
2.2 Identitas Para
Terlapor
2.3 Pasar
Bersangkutan dan
Pangsa Pasar
2.4 Pelaku Usaha
dan Pelaku Usaha
Pesaing
2.5 Petunjuk
Ada/Tidaknya
Kartel
2.6 Perjanjian
untuk
menetapkan/mem
pengaruhi Harga
2.7 Dampak
2.8 Pemenuhan
Unsur Pasal 5
a)Pelaku Usaha
dan Pelaku
Usaha
Pesaing;
b)Perjanjian
untuk
menetapkan
harga.
Besylate
1.1.10 Bahan
Baku
1.1.11 Fakta Lain
1.2 Analisis:
1.2.1 Pasar
Bersangkutan
1.2.2 Kelompok
Usaha Pfizer
1.2.3 Pengaturan
Harga
1.2.4 Pengaturan
Produksi
1.2.5 Pengaturan
Distribusi
1.2.6 Perjanjian
dengan Pihak
Luar Negeri
1.2.7 Kartel
1.2.8 Analisis
Perjanjian
Distribusi
1.2.9 Indikator
kartel:
1.2.9.1 Faktor
Struktural
1.2.9.2 Faktor
Perilaku
1.2.10 Dampak
Terhadap
Persaingan
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
169
Universitas Indonesia
2. Tentang
Hukum
2.1 Kesimpulan
Majelis Komisi
2.1.1 Identitas Para
Terlapor
2.1.2 Pasar
Bersangkutan
2.1.3 Produsen dan
Karakteristik
Industri Minyak
Goreng Sawit di
Indonesia
2.1.4 Tingkat
Konsentrasi Pasar
2.1.5 Price
Parallelism
2.2 Indirect
Evidence
2.2.1 Bukti
Komunikasi
2.2.2 Bukti
Ekonomi
2.2.3 Facilitating
Practices
2.3 Kerugian
Konsumen
2.4 Pertimbangan
Unsur Pasal 4
2.5 Pemenuhan
2. Tentang
Hukum
2.1 Dugaan
Pelanggaran
2.2 Identitas Para
Terlapor
2.3 Hak Formil
2.4 Klarifikasi
Fakta-Fakta
dalam LHPL
2.5 Pelaku Usaha
dan Pelaku Usaha
Pesaing
2.6 Pasar
Bersangkutan
2.7 Perjanjian
2.8 Penetapan
Harga
2.9 Penetapan
Biaya Secara
Curang
2.10 Dampak
2.11 Pemenuhan
Unsur Pasal 5
a) Pelaku Usaha
dan Pelaku
Usaha
Pesaing;
b) Perjanjian;
c) Penetapan
2.9 Pemenuhan
Unsur Pasal 11
a) Pelaku Usaha
dan Pelaku
Usaha
Pesaingnya;
b) Perjanjian
untuk
Mempengaruhi
Harga dengan
Mengatur
Produksi dan
atau Pemasaran.
2.10 Kesimpulan
2.11Pertimbangan
Majelis Komisi
Sebelum Memutus
2.12 Saran dan
Pertimbangan
kepada Pemerintah
2.13 Diktum
Putusan dan
Penutup
1.2.11
Penyalahgunaan
Posisi Dominan
1.2.12 Excessive
Pricing
1.3 Pembelaan
dan Tanggapan
Terlapor terhadap
LHPL (Para
Terlapor)
2. Tentang
Hukum
2.1 LHPL
mengenai
Pelanggaran
2.2 Identitas Para
Terlapor
2.3 Aspek Formil
2.4 Pasar
Bersangkutan dan
Pangsa Pasar
2.5 Kelompok
Pelaku Usaha
Pfizer
2.6 Perjanjian
Antar Pesaing
2.7 Pfizer
Distribution
Agreement
sebagai
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
170
Universitas Indonesia
Unsur Pasal 5
a) Pelaku Usaha;
b) Perjanjian
dengan pelaku
usaha
pesaingnya
untuk
menetapkan
harga atas
suatu barang
dan atau jasa
yang harus
dibayar oleh
konsumen atau
pelanggan
pada pasar
bersangkutan
yang sama.
2.6 Pemenuhan
Unsur Pasal 11
a) Pelaku Usaha;
b) Perjanjian
dengan pelaku
usaha
pesaingnya,
yang
bermaksud
untuk
mempengaruhi
harga dengan
Harga;
d) Pasar
Bersangkutan.
2.12 Pemenuhan
Unsur Pasal 21
2.13 Kesimpulan
2.14
Pertimbangan
Majelis Komisi
Sebelum
Memutus
2.15 Perhitungan
Denda
2.16 Perhitungan
Ganti Rugi
2.17 Saran dan
Pertimbangan
kepada
Pemerintah
2.18 Diktum
Putusan dan
Penutup
Penyelesaian
Sengketa Antar
Pesaing.
2.8 Isi Perjanjian
Mengarah Kartel
2.9 Komunikasi
Antar Pesaing
2.10 Indikator
Kartel
2.11 Dampak
Kartel
2.12 Dampak
Akhir Bagi
Konsumen dan
Pesaing
2.13 Posisi
Dominan
2.14 Aspek
Materiil
2.14.1
Pemenuhan
Unsur Pasal 5
a)Pelaku
Usaha;
b)Perjanjian
dengan pelaku
usaha
pesaingnya
untuk
menetapkan
harga atas
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
171
Universitas Indonesia
mengatur
produksi dan
atau
pemasaran
suatu barang
dan atau jasa;
c) Praktek
Monopoli
dan/atau
Persaingan
Usaha Tidak
Sehat.
2.7 Saran dan
Pertimbangan
kepada Pemerintah
2.8 Diktum
Putusan dan
Penutup
suatu barang
dan atau jasa
yang harus
dibayar oleh
konsumen
atau
pelanggan
pada pasar
bersangkutan
yang sama.
2.14.2
Pemenuhan
Unsur Pasal 11
a) Pelaku
Usaha;
b) Perjanjian
dengan
pelaku usaha
pesaingnya,
yang
bermaksud
untuk
mempengaru
hi harga
dengan
mengatur
produksi dan
atau
pemasaran
suatu barang
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
172
Universitas Indonesia
dan atau
jasa.
2.14.3
Pemenuhan
Unsur Pasal 16
2.14.4
Pemenuhan
Unsur Pasal 25
ayat (1)
2.15 Kesimpulan
2.16
Pertimbangan
Majelis Komisi
Sebelum
Memutus
2.17 Saran dan
Pertimbangan
kepada
Pemerintah
2.18 Diktum
Putusan dan
Penutup
Setelah menganalisis keempat struktur putusan diatas, dapat
diperoleh kesimpulan bahwa KPPU tidak secara konsisten menerapkan
cara atau metode pembuktian secara formal.
Dalam Putusan Perkara Nomor 24/KPPU-I/2009 tentang kartel
minyak goreng, KPPU tidak mencantumkan adanya Pembelaan dan
Tanggapan Terlapor terhadap LHPL (Para Terlapor), dimana hal ini
berbeda dengan ketiga putusan lainnya yang mencantumkan hal tersebut.
Adanya Pembelaan dan Tanggapan Terlapor terhadap LHPL (Para
Terlapor) berimplikasi pada diketahuinya alasan-alasan yang berdasar,
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
173
Universitas Indonesia
fakta-fakta atau informasi dari Pihak Terlapor. Tanggapan Terlapor dapat
berupa pengakuan atau bantahan. Pengakuan ialah jawaban yang
membenarkan apa yang dilaporkan, artinya apa yang dilaporkan terhadap
Terlapor diakui kebenarannya. Lain halnya dengan penyangkalan atau
bantahan. Penyangkalan atau bantahan ialah pernyataan yang tidak
membenarkan atau tidak mengakui apa yang dilaporkan terhadap Terlapor.
Jika pihak Terlapor mengajukan bantahan, maka bantahannya itu harus
disertai dengan alasan-alasan yang berdasar. Bantahan secara umum
dengan mengatakan bahwa keterangan yang dilaporkan itu adalah tidak
benar sama sekali tanpa menyebutkan alasan-alasannya, tidak akan ada
artinya dan dianggap majelis hakim sebagai tidak membantah.
Putusan Perkara Nomor 25/KPPU-I/2009 tentang Fuel Surcharge
mencantumkan Klarifikasi Fakta-Fakta dalam LHPL dalam aspek hukum.
Hal ini penting guna melengkapi dan mengklarifikasi validitas data-data
yang telah ditemukan oleh Tim Pemeriksa di lapangan. Harga merupakan
hal yang mendasar dalam persaingan usaha.268
Klarifikasi Fakta-Fakta
dalam LHPL ini sebenarnya merupakan elaborasi dari tanggapan atau
bantahan dari pihak Terlapor, namun KPPU dalam putusan ini
menjadikannya sebagai satu hal tersendiri. Berbeda dengan halnya pada
Putusan Perkara Nomor 01/KPPU-I/2010 tentang kartel semen dan
Putusan Perkara Nomor 17/KPPU-I/2010 tentang kartel industri farmasi
yang dielaborasi dalam unsur-unsur untuk membuktikan adanya kartel atau
tidak. Alasan mendasar mempertahankan persaingan usaha sehat dalam
pasar adalah untuk menjamin efisiensi maksimum yang akhirnya tentu saja
memberikan harga terendah bagi konsumen. oleh karena itu, hak untuk
menentukan harga pada pelaku usaha juga merupakan hal yang esensial
dalam mencapai pasar yang kompetitif269
dan hal-hal tersebut diklarifikasi
dalam tanggapan pihak Terlapor.
268
David H. Marks, “The Anti-Trust Implications of Relationships Between
Competitors,” European Competition Law Review 7(3) 299-326 (1986), hlm. 315. 269
Julian Maitland and Walker, “Constraints on Competitive Pricing,” European
Competition Law Review 17(8) 423-427 (1996), hlm. 423.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
174
Universitas Indonesia
Dalam Putusan Perkara Nomor 01/KPPU-I/2010 tentang kartel
industri semen, ditemukan adanya pendapat ahli.270
Hal ini dapat dikatakan
berbeda dengan ketiga putusan lainnya yang tidak mencantumkan adanya
pendapat ahli. Keterangan ahli itu mengikat dan sama nilainya dengan
keterangan saksi atau surat dan dokumen sebab keterangan ahli itu alat
bukti pemeriksaan. Hal ini berbeda dengan makna keterangan ahli dalam
perkara pidana yang boleh digunakan atau tidak oleh Hakim, karena
keterangan ahli tidak mengikat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 184
KUHAP dan bukan merupakan alat bukti pemeriksaan.
Mengingat pemeriksaan oleh KPPU pada prinsipnya bertujuan
mencari kebenaran yang materiil, sebagaimana halnya dalam perkara
pidana, maka KPPU dalam proses pemeriksaan tidak dapat hanya
bertindak sebagai sole prosecutor sebab KPPU juga mempunyai
kewenangan dalam memutus perkara dan faktanya KPPU juga yang
memutus satu perkara sehingga seluruh bukti-bukti yang ada, baik yang
memberatkan ataupun meringankan serta seluruh saksi yang diajukan baik
saksi a charge dan ad charge harus pula turut dipertimbangkan di dalam
mengambil keputusan.
Sepanjang yang terbaca dari tanggapan para Terlapor dalam
putusan ini, dapat ditemukan adanya keterangan ahli yang dijadikan
sebagai bukti antara lain keterangan ahli Prof. Hikmahanto Juwana271
dan
Prof. Ine S. Ruki272
. Tetapi tidak ada tanggapan atau sangkalan lebih lanjut
dari KPPU atas keterangan dari ahli-ahli ini. Hal ini menunjukkan bahwa
Majelis dalam memutus perkara ini telah mengabaikan kewajiban mereka
untuk mempertimbangkan secara adil keterangan ahli meskipun terhadap
keterangan ahli yang tidak mereka setujui.
270
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Putusan Perkara Nomor: 01/KPPU-I/2010, hlm.
53. 271
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Putusan Perkara Nomor: 01/KPPU-I/2010, hlm.
208. 272
Ibid, hlm. 244.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
175
Universitas Indonesia
Sedangkan Putusan Perkara Nomor 17/KPPU-I/2010 tentang kartel
industri farmasi hanya satu orang ahli yang disebut pendapatnya yang
dirujuk oleh PT Pfizer Indonesia dan tidak disetujui oleh Majelis, yaitu
pendapat Prof. Hikmahanto Juwana.273
Sedangkan dari tanggapan para
Terlapor dalam putusan dapat ditemukan adanya keterangan ahli lain yang
dijadikan sebagai bukti, antara lain keterangan ahli Prof Dr. Harmani
Kalim, Dr. Pranawa, Sp.PD, K-GH, Dr. Nunuk Mardhiana, Sp.PD, K-GH,
Dr. Marulam Panggabean, Sp.PD, KKV, Sp.JP, Dr. Hasyim Kasim,
Sp.PD-KGH dari PT Pfizer Indonesia,274
Prahasto W. Pamungkas, S.H.,
LL.M dan Prof Dr. Rianto Setiabudy, Sp. FK dari PT Dexa Medica275
tidak ada tanggapan atau sangkalan lebih lanjut dari KPPU atas keterangan
dari ahli-ahli ini.
Mencermati format Putusan Perkara Nomor 17/KPPU-I/2010,
menurut Penulis agak tidak lazim jika dibandingkan dengan Putusan
Pengadilan Negeri. Khusus dalam tanggapan atau pembelaan yang
disampaikan oleh PT Pfizer Indonesia yang tertera dalam putusan mulai
dari halaman 90 – 92 yang berupa seperti jawaban atas sejumlah
pertanyaan, atau dapat juga dikatakan sebagai penjelasan atas beberapa
pertanyaan. Atau mungkin juga jawaban ini berasal dari Berita Acara
Pemeriksaan.
Jawaban-jawaban tersebut, sayangnya tidak dicatat secara
bersamaan dengan pertanyaannya. Hal ini bagi pembaca putusan yang
tidak melakukan inzage (hasil pemeriksaan berkas) terhadap perkara
secara utuh, pasti akan menimbulkan masalah dan akan sulit untuk
mengikuti arah dari jawaban tersebut dan sebab musabab dari jawaban
yang disampaikan. Sepatutnya jawaban yang dimasukkan sebagai bagian
dari putusan disampaikan dengan suatu standard yang baku. Hal ini bukan
hanya untuk memudahkan orang untuk membacanya, akan tetapi agar ada
273
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Putusan Perkara Nomor: 17/KPPU-I/2010, hlm.
244. 274
Ibid, hlm. 90-91. 275
Ibid, hlm. 156 dan 178.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
176
Universitas Indonesia
standar yang baku dan berkesamaan yang digunakan (konsisten) dalam
menyusun putusan.
4.2.2 Aspek Material Putusan KPPU dalam Perkara Perjanjian
Penetapan Harga dan Kartel
4.2.2.1 Pembuktian Perilaku Pelaku Usaha
Eksistensi perjanjian untuk membuktikan kartel bukanlah syarat
utama, karena dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
menghendaki adanya dampak pada persaingan usaha. Oleh karena itu
digunakan Indirect Evidence, berdasarkan faktor struktur dan faktor
perilaku. Untuk mendapatkan Indirect Evidence ini, KPPU
mempertimbangkan analisis ekonomi yang digunakan untuk membuktikan
dampak kartel pada persaingan usaha. Kedudukan Indirect Evidence ini
sangat penting manakala Direct Evidence tidak tersedia.
Dalam membuktikan perilaku pelaku usaha, KPPU menggunakan
Uji Korelasi sebagai bagian dari Bukti Ekonomi (Economic Evidence).
KPPU menyertakan perhitungan statistik sebagai bagian dari bukti
ekonomi yang begitu kompleks sebagai metode pembuktian yaitu tingkat
konsentrasi pasar, Uji Homogenitas Varians, dan penghitungan kerugian
konsumen. Dari ketiga metode pembuktian diatas, Penulis akan menyoroti
Uji Homogenitas Varians yang telah digunakan oleh KPPU secara
inkonsisten di dalam 4 (empat) putusan yang dianalisis oleh Penulis yaitu
Putusan Nomor 24/KPPU-I/2009, Nomor 25/KPPU-I/2009, Nomor
01/KPPU-I/2010 dan Nomor 17/KPPU-I/2010.
Pada Perkara Nomor 24/KPPU-I/2009, kartel yang dilakukan oleh
para produsen minyak goreng dilakukan dengan cara melakukan price
signaling, yaitu praktek yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan
memberikan signal untuk mempengaruhi harga dan praktek tersebut
mempengaruhi kegiatan yang dilakukan oleh pelaku usaha lainnya. KPPU
tidak menemukan adanya perjanjian yang dilakukan antara para pelaku
usaha untuk melakukan kartel dalam kasus ini. Akan tetapi, KPPU
menemukan keganjilan dengan adanya kesamaan harga antara berbagai
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
177
Universitas Indonesia
produk minyak goreng. Jika dilihat dari grafis, harga dari produk minyak
goreng antara yang satu dengan yang lain hampir sama.276
Hal tersebut
dapat dibuktikan dalam uji Homogenity of Varians, yaitu uji statistik yang
dilakukan untuk membandingkan varians harga minyak goreng dari
masing-masing perusahaan sehingga bisa mengetahui kesamaan pola
pergerakan harga dari setiap pelaku usaha memiliki probabilitas dibawah
5% maka tidak ada price parallelism. Dalam hasil uji probabilitas
dinyatakan bahwa nilai probabilitas lebih dari 5%, dengan demikian telah
terjadi price parallelism.277
Sebuah kartel bertujuan untuk menaikkan harga di atas level
dengan maksud untuk meningkatkan keuntungan.278
Price signaling dapat
dilihat dari data berupa fluktuasi harga CPO sebagai penentu harga minyak
goreng digunakan oleh para produsen minyak goreng baik yang sebagai
market leader ataupun follower. Transparansi harga bahan baku minyak
goreng dan didukung oleh transparansi harga jual minyak goreng
memudahkan bagi perusahaan market leader untuk melakukan koordinasi
harga jual dengan perusahaan perusahaan follower. Harga yang diambil
oleh market leader segera diikuti oleh follower. Sehingga dalam suatu
pasar yang biasanya suatu produk barang yang satu dengan yang lain tidak
sama, kebetulan di dalam industri minyak goreng hampir sama semua.
Untuk pasar minyak goreng curah yang menjadi market leader adalah
Musim Mas Group dan Wilmar Group, sedangkan untuk minyak goreng
kemasan yang menjadi market leader adalah PT. Salim Ivomas Pratama,
Wilmar Group, PT. Smart, Tbk dan PT. Bina Karya.
Perilaku pelaku usaha juga dapat dilihat pada hubungan harga CPO
di beberapa institusi (Rotterdam, Malaysia, Tender KPB, dan Tender PT
Astra Agro Lestari) dengan harga minyak goreng yang ditetapkan oleh
276
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Putusan Perkara Nomor: 24/KPPU-I/2009, hlm.
39.
277
Ibid., hlm. 57. 278
M. Alfter and J. Young, “Economic Analysis of Cartels – Theory and Practice,”
European Competition Law Review 546-557 (2005), hlm. 547.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
178
Universitas Indonesia
para Telapor. Hal tersebut terjadi karena setiap transaksi minyak goreng
yang dilakukan oleh para Terlapor selalu mempertimbangkan pergerakan
harga CPO di beberapa institusi tersebut. Transparansi harga bahan baku
minyak goreng dan didukung oleh transparansi harga jual minyak goreng
terutama minyak goreng curah di pasar sangat memudahkan bagi
perusahaan market leader untuk melakukan koordinasi harga jual.
Pergerakan harga CPO dan fluktuasi harga minyak goreng yang ada di
pasar digunakan oleh para perusahaan baik yang memiliki posisi market
leader maupun follower sebagai sinyal harga (price signaling). Khusus
untuk minyak goreng kemasan, pola distribusi dari semua minyak goreng
kemasan salah satunya dilakukan melalui retail modern yang tersebar di
seluruh Indonesia. Sehingga perusahaan minyak goreng kemasan
melakukan penyesuaian harga berkala melalui media promosi yang
dikeluarkan oleh retail modern. Media promosi dari retail modern ini
diiklankan di media nasional sehingga memberikan sinyal kepada
perusahaan pesaing dalam menyesuaikan harga. Sedangkan untuk
perusahaan follower, akan menyesuaikan harga sesuai dengan harga yang
ditetapkan oleh perusahaan market leader. Price signaling dalam kegiatan
promosi ini dilakukan melalui pertemuan-pertemuan atau komunikasi
antar pesaing melalui asosiasi.
Berbeda lagi dalam pembuktian perilaku pelaku usaha penetapan
harga Fuel Surcharge pada Perkara Nomor 25/KPPU-I/2009. Penetapan
harga atau kartel harga terjadi apabila beberapa perusahaan dalam industri
sejenis membuat perjanjian untuk mengatur harga secara bersama-sama
atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen. Untuk
membuktikan ada tidaknya perjanjian tersebut, dapat dilihat apakah terjadi
komunikasi di antara para Terlapor terkait dengan penetapan Fuel
Surcharge baik secara langsung melalui INACA maupun secara tidak
langsung dengan cara price signaling yang dilakukan oleh perusahaan
yang dominan. Dari putusan tersebut dapat dilihat terdapat komunikasi
secara internal dalam INACA terkait dengan pembahasan Fuel Surcharge
yaitu pada tanggal 04 Mei 2006. Memang diakui pernah terjadi
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
179
Universitas Indonesia
kesepakatan antara anggota INACA untuk menetapkan besarnya Fuel
Surcharge. Namun perjanjian tersebut telah dibatalkan setelahnya dan para
maskapai diberi wewenang untuk menetapkan sendiri besarnya Fuel
Surcharge.
Kemudian KPPU menguji kembali apakah setelah tanggal 30 Mei
2006 Fuel Surcharge sudah ditetapkan masing-masing oleh para Terlapor
tanpa melakukan koordinasi satu sama lainnya. Maka KPPU menggunakan
economic evidence untuk melakukan pembuktian dimana tidak
ditemukannya suatu perjanjian diantara para pelaku usaha tersebut.
Berdasarkan Uji Homogenity of Variances menunjukkan adanya trend
yang sama diantara para Terlapor yaitu PT Garuda Indonesia (Tbk), PT
Sriwijaya Air, PT Merpati Nusantara Airlines (Persero), PT Mandala
Airlines, PT Riau Airlines, PT Travel Express Aviation Services, PT Lion
Mentari Airlines, PT Wings Abadi Airlines, PT Metro Batavia, PT Kartika
Airlines, PT Trigana Air Service dan PT Indonesia Air Asia dalam
menetapkan besaran Fuel Surcharge pada Periode I (Mei 2006 sampai
dengan Maret 2008) untuk zona penerbangan dengan waktu tempuh 0
sampai dengan 1 jam, 1 sampai dengan 2 jam dan 2 sampai dengan 3 jam.
Meskipun formula perhitungan Fuel Surcharge, asumsi harga avtur,
asumsi konsumsi avtur dan asumsi load factor yang dibuat oleh masing-
masing Terlapor berbeda-beda. Oleh karena hal tersebut tidak dapat
dijustifikasi dari pertimbangan ekonomi masing-masing Terlapor, maka
kecenderungan perubahan Fuel Surcharge tersebut didasarkan pada suatu
perjanjian di antara para Terlapor.
Untuk menganalisis pergerakan Fuel Surcharge digunakan uji
korelasi dan Bartlett Test untuk masing-masing periode yaitu Periode I
(Mei 2006 sampai dengan Maret 2008) dan Periode II (April 2008 sampai
dengan Desember 2009) yang masing-masing terbagi dalam tiga zona
yaitu penerbangan dengan waktu tempuh antara 0 sampai dengan 1 jam, 1
sampai dengan 2 jam dan 2 sampai dengan 3 jam.
Jika dibandingkan dengan Putusan Nomor 24/KPPU-I/2009 yang
hanya menggunakan uji nilai probabilitas dalam menentukan price
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
180
Universitas Indonesia
parallelism, KPPU pada Putusan Nomor 25/KPPU-I/2009 cenderung
menggunakan Bartlett Test untuk menentukan adanya pergerakan harga
pada pasar bersangkutan yang sama. Hasil output dari kedua putusan pun
berbeda dimana Putusan Nomor 24/KPPU-I/2009 mengedepankan
perhitungan statistik sedangkan Putusan Nomor 25/KPPU-I/2009 tidak
hanya dengan statistik namun juga dibandingan dengan grafik pergerakan
harga yang berkorelasi positif dengan adanya price parallelism.
Dalam Putusan Perkara Nomor 01/KPPU-I/2010, perilaku pelaku
usaha dilihat dengan mempertimbangkan adanya rapat-rapat di Asosiasi
Semen Indonesia (selanjutnya disebut ASI) yang menyajikan laporan
realisasi produksi dan pemasaran dari masing-masing Terlapor serta
adanya presentasi dari pemerintah terkait dengan harga dimasing-masing
wilayah Ibukota Propinsi. Hal ini diduga merupakan fasilitas untuk
mengatur pasokan dan menentukan Harga. Berdasarkan analisa tentang
tingkat keuntungan untuk masing-masing Terlapor dan dengan dikaitkan
dengan tujuan dari kartel adalah memaksimalkan keuntungan, maka
dengan memperhatikan perbandingan biaya per ton, sejak tahun 2007
sampai dengan tahun 2009 diduga terjadi upaya untuk mengatur harga
pada level yang cukup tinggi untuk mempertahankan tingkat keuntungan.
Cara terbaik menunjukkan keberadaan kartel normalnya adalah
didasarkan direct evidence.279
Namun, sangat penting untuk menemukan
unsur pembuktian atau indikasi yang lain. Implementasi yang dilakukan
oleh beberapa pelaku usaha secara simultan menaikkan harga yang identik
pada saat yang bersamaan maka akan sangat beralasan untuk menduga
telah terjadi perjanjian di antara para pelaku usaha.280
Untuk membuktikan ada tidaknya harga paralel (price parallelism),
KPPU menggunakan metode Uji Homogenity of Varians dan Uji Korelasi
Pearson. Dari hasil uji tersebut diketemukan variasi harga yang paralel di
14 propinsi di Indonesia. Sedangkan untuk melihat harga eksesif
279
Maurice Guerrin and Georgios Kyriazis, “Cartels: Proof and Procedural Issues,” 16
Fordham International Law Journal 226 (1993), hlm. 301-302. 280
Ibid.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
181
Universitas Indonesia
digunakan metode perbandingan antara harga semen domestik dengan
harga semen internasional dan hasilnya tidak terdapat cukup alasan untuk
menyatakan harga semen para Terlapor adalah eksesif. KPPU juga
membuktikan adanya pengaturan pasokan dengan menggunakan metode
perbandingan antara kapasitas produksi dengan volume produksi dan
volume penjualan. Hasilnya memang ada peningkatan produksi namun hal
ini sejalan dengan peningkatan permintaan semen sehingga tidak ada
upaya untuk mengurangi atau membatasi produksi atau pasokan dari para
Terlapor.
Pada putusan ini terdapat Uji Korelasi Pearson yang digunakan
untuk melihat derajat korelasi antara dua variabel untuk dapat
diindikasikan ada tidaknya kemiripan harga secara statistik. Angka
korelasi Pearson dalam statistik diukur berkisar antara -1 < 0 < 1. Semakin
mendekati angka 1 maka dapat dikatakan berkorelasi positif. Dapat
dikatakan KPPU menambah satu lagi jenis Uji Korelasi yakni Uji Korelasi
Pearson, dimana pada Putusan Nomor 24/KPPU-I/2009 dan Putusan
Nomor 25/KPPU-I/2009 sebelumnya KPPU hanya menggunakan Uji
Homogenity of Varians dalam membuktikan adanya price parallelism.
Disamping itu KPPU tetap menggunakan pendekatan Bartlett Test untuk
dapat melihat produk yang diuji memiliki varian yang homogen atau tidak.
Meskipun KPPU tidak menemukan adanya bukti dokumen
mengenai pengaturan produksi maupun harga secara eksplisit yang
dilakukan oleh para Terlapor. Dengan diketahuinya informasi mengenai
data realisasi produksi masing-masing Terlapor sebagaimana dapat
dibuktikan berdasarkan notulen rapat ASI dan Laporan Tahunan ASI,
maka secara individual, masing-masing Terlapor dengan difasilitasi oleh
ASI, dapat mengatur harga, produksi dan pemasaran dengan
mempertimbangkan data realisasi produksi dan harga per Propinsi dari
Terlapor lain yang merupakan pesaingnya dan Pemerintah, sehingga
berdampak pada terjadinya perilaku yang terkoordinasi (concerted
actions).
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
182
Universitas Indonesia
Pembuktian perilaku usaha yang dilakukan oleh KPPU pada
Putusan Nomor 17/KPPU-I/2010, diketahui pertukaran informasi sensitif
terjadi secara intensif. Dimana informasi diberikan oleh PT Dexa Medica
ke PT Pfizer Indonesia baik secara tidak langsung melalui kelompok usaha
Pfizer maupun secara langsung ke PT Pfizer Indonesia. Informasi tersebut
berkenaan dengan informasi jumlah pemesanan bahan baku Amlodipine
Besylate yang dilakukan oleh PT Dexa Medica ke Pfizer Global Trading.
Informasi tentang jumlah bahan baku zat aktif yang dipesan dapat dengan
mudah diubah menjadi informasi rencana jumlah obat yang diproduksi.
Suatu informasi yang dapat dipergunakan oleh PT Pfizer Indonesia untuk
menyesuaikan strategi jumlah produksi dan/atau pemasaran obatnya.
Dengan demikian informasi ini menjadi faktor yang mengurangi
independensi antar pesaing dalam memilih strategi.
Dalam perkara ini sesama pelaku usaha produsen obat memiliki
transparansi informasi yang mencakup harga jual dan nilai penjualan.
Transparansi tersebut disediakan oleh perusahaan penyedia data IMS.
Selain itu, antar terlapor PT Dexa Medica dan PT Pfizer Indonesia,
informasi tersedia secara transparan karena PT Dexa selalu
menginformasikan jumlah pembelian bahan baku kepada PT Pfizer
Indonesia. Selain itu PT Dexa dan PT Pfizer Indonesia menunjuk PT
Anugrah Argon Medica (PT AAM) untuk menjadi distributor dalam
menyalurkan Tensivask dan Norvask dua produk yang bersaing di pasar.
Dalam perjanjian distribusi, PT AAM memiliki kewajiban untuk
menginformasikan kondisi pasar termasuk aktivitas pesaing terhadap
prinsipal.
Untuk membuktikan dampaknya terhadap persaingan KPPU
menggunakan Uji Homogenity of Varians. Dalam putusan ini KPPU
menggunakan dengan pendekatan Levenne dimana digunakan karena data
volume penjualan Norvask dan Tensivask yang didapat tidak mendekati
distribusi normal. Sedangkan terhadap data penjualan total untuk melihat
fluktuasi harga pada saat masa sebelum dan sesudah paten KPPU
menggunakan pendekatan Bartlett karena mendekati normal. Output dari
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
183
Universitas Indonesia
test ini dapat dilihat data yang diperoleh memiliki varians atau fluktuasi
yang sama atau tidak berbeda secara statistik.
Dari keempat hasil penggunaan Uji Homogenity of Varians,
kedepannya KPPU perlu secara konsisten menjelaskan dalam putusan-
putusannya penggunaan pendekatan Bartlett dan Levenne Test karena hasil
output dari adanya penggunaan test tersebut digunakan untuk
membuktikan adanya harga yang parallel atau tidak. Apabila KPPU ingin
menambahkan suatu uji korelasi baru selain Homogenity of Varians maka
juga harus diperhatikan tingkat konsistensi penggunaannya karena
keselarasan antara output antara statistik dengan perbandingan grafik yang
digunakan juga menentukan dalam fluktuasi varians harga yang sama atau
tidak, oleh karena itu perlu diperhatikan kembali dan harus presisi atau
tepat dengan data yang sebenarnya dimiliki oleh para pelaku usaha.
Tabel 4.6. Perilaku Pelaku Usaha dalam Perjanjian Penetapan Harga dan
Kartel
Perkara Nomor
24/KPPU-I/2009
Perkara Nomor
25/KPPU-I/2009
Perkara Nomor
01/KPPU-I/2010
Perkara Nomor
17/KPPU-I/2010
- Kartel yang
dilakukan oleh
para produsen
minyak goreng
dilakukan
dengan cara
melakukan
price signaling,
yaitu praktek
yang dilakukan
oleh pelaku
usaha dengan
memberikan
- Komunikasi di
antara para
Terlapor terkait
dengan
penetapan Fuel
Surcharge baik
secara langsung
melalui INACA
maupun secara
tidak langsung
dengan cara
price signaling
yang dilakukan
- Adanya rapat-
rapat di
Asosiasi
Semen
Indonesia
(selanjutnya
disebut ASI)
yang
menyajikan
laporan
realisasi
produksi dan
pemasaran dari
- Pertukaran
informasi
sensitif terjadi
secara intensif.
Dimana
informasi
diberikan oleh
PT Dexa
Medica ke PT
Pfizer
Indonesia baik
secara tidak
langsung
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
184
Universitas Indonesia
signal untuk
mempengaruhi
harga dan
praktek
tersebut
mempengaruhi
kegiatan yang
dilakukan oleh
pelaku usaha
lainnya.
oleh perusahaan
yang dominan.
- Adanya
komunikasi
secara internal
dalam INACA
terkait dengan
pembahasan
Fuel Surcharge
yaitu pada
tanggal 04 Mei
2006.
masing-masing
Terlapor serta
adanya
presentasi dari
pemerintah
terkait dengan
harga
dimasing-
masing
wilayah
Ibukota
Propinsi. Hal
ini diduga
merupakan
fasilitas untuk
mengatur
pasokan dan
menentukan
Harga.
melalui
kelompok
usaha Pfizer
maupun secara
langsung ke PT
Pfizer
Indonesia.
Informasi
tersebut
berkenaan
dengan
informasi
jumlah
pemesanan
bahan baku
Amlodipine
Besylate yang
dilakukan oleh
PT Dexa
Medica ke
Pfizer Global
Trading.
4.2.2.2 Pembuktian Unsur-Unsur dalam Pasal yang digunakan oleh
KPPU
Terdapat 2 (dua) model Putusan KPPU dalam memutus perkara
yang terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perjanjian penetapan
harga dan juga kartel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 11
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Pertama, memutuskan perkara
dengan tidak menganalisis secara keseluruhan unsur-unsur dalam Pasal 5
dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, model ini terdapat
pada Putusan Nomor: 01/KPPU-I/2010. Pada Putusan Nomor: 01/KPPU-
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
185
Universitas Indonesia
I/2010 hanya menggunakan 2 (dua) unsur dari Pasal 5 dan Pasal 11 yakni
pada Pasal 5 (unsur pelaku usaha dan pelaku usaha pesaing dengan unsur
perjanjian untuk menetapakan harga) dan pada Pasal 11 (unsur pelaku
usaha dan pelaku usaha pesaingnya dengan unsur perjanjian untuk
mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran),
sedangkan unsur pasar bersangkutan pada Pasal 5 dan unsur praktek
monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat dalam Pasal 11 tidak
terdapat dalam pertimbangan Majelis Hakim KPPU.
Melihat pertimbangan yang disampaikan oleh Majelis dalam
Putusan Nomor: 01/KPPU-I/2010 tentang kartel industri semen yang
dinyatakan tidak terbukti melakukan perjanjian penetapan harga dan
kartel, Majelis tidak menggunakan seluruh unsur dari pasal 5 dan pasal 11.
Khusus pada unsur Pasal 11 Majelis tidak menggunakan unsur terjadinya
persaingan usaha tidak sehat. Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 menggunakan pendekatan Rule of Reason. Hal ini jelas terlihat dalam
kalimat Pasal 11, “pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan
pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga
dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa,
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat”. Kalimat “...mengakibatkan terjadinya
persaingan usaha tidak sehat” menunjukkan bahwa pasal ini menggunakan
pendekatan Rule of Reason.
Ketentuan ini memaksa pihak Komisi (KPPU) untuk menggunakan
pendekatan Rule of Reason dalam menganalisis kartel, sehingga
membutuhkan penyelidikan yang mendalam. Berbeda halnya dengan
larangan penetapan harga (Pasal 5) yang menggunakan pendekatan Per se
Illegal, padahal sesungguhnya perjanjian penetapan harga termasuk
kategori kartel.
Kedua, dengan menggunakan seluruh unsur-unsur yang ada pada
Pasal 5 dan Pasal 11 seperti pada Perkara Nomor 24/KPPU-I/2009. Namun
disini terdapat perbedaan dengan penjabaran unsur Pasal 5 dalam perkara
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
186
Universitas Indonesia
Nomor 25/KPPU-I/2009 dimana unsur perjanjian di pisah dengan unsur
menetapkan harga yang tidak seperti perkara lain.
Selain itu, terdapat pemenggalan kata dari unsur Pasal 5 dan Pasal
11 yang berbeda-beda dari setiap putusan. Seperti pada Putusan KPPU
Nomor 24/KPPU-I/2009 tentang kartel minyak goreng dan Putusan KPPU
Nomor 17/KPPU-I/2010 tentang kartel industri farmasi yang membuktikan
unsur “perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan
harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayarkan oleh
konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama” dalam satu
kalimat. Sedangkan dalam Putusan KPPU Nomor 25/KPPU-I/2009 tentang
kartel Fuel Surcharge, KPPU tidak menjadikan unsur-unsur tersebut
dalam satu kalimat melainkan menjadi 4 (empat) unsur yakni pelaku usaha
dan pelaku usaha pesaing; perjanjian; penetapan harga; dan pasar
bersangkutan. Selain itu, Putusan KPPU Nomor 01/KPPU-I/2010 tentang
kartel semen juga tidak mencantumkan unsur “suatu barang dan atau jasa”
yang terdapat dalam unsur Pasal 11 mengenai kartel.
Tidak dicantumkan unsur “suatu barang dan atau jasa” dalam suatu
pembuktian Pasal 11 dapat berdampak pada tidak terbuktinya suatu
perbuatan kartel karena tidak diketahuinya jenis atau produk yang
dijadikan pelanggaran dalam Pasal 11. Pembaca putusan juga tidak
mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai barang dan atau jasa apa
yang dijadikan sebagai objek kartel karena sesungguhnya dari barang dan
atau jasa ini dapat diketahui mengenai struktur pasar, tingkat konsentrasi,
jumlah perusahaan, dan ukuran perusahaan terkait barang dan atau jasa
yang menjadi objek kartel mendukung adanya praktek kartel atau tidak.
Perbedaan pemenggalan atau pembuktian unsur Pasal 5 juga
terdapat pada perkara Nomor: 24/KPPU-I/2009 yang berbeda dengan
perkara Nomor: 01/KPPU-I/2010. Dalam perkara Nomor: 24/KPPU-
I/2009 unsur pelaku usaha dibuktikan secara tersendiri dimana hal ini
berbeda dengan perkara Nomor: 01/KPPU-I/2010 yang dicantumkan
dengan unsur pelaku usaha pesaingnya. Sedangkan unsur pelaku usaha
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
187
Universitas Indonesia
pesaing pada perkara Nomor: 24/KPPU-I/2009 dijadikan satu dengan
unsur perjanjian menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa.
Pembuktian unsur pelaku usaha apabila dijadikan satu dengan
unsur pelaku usaha pesaing dapat mempermudah masyarakat awam dalam
mengerti bahwa telah terjadi hambatan horizontal (horizontal restraint) di
dalam pasar bersangkutan tersebut. Sebaliknya apabila unsur pelaku usaha
pesaing dijadikan satu dengan unsur perjanjian maka pengertian lebih
melekat pada bentuk perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya. Tentu
hal ini dapat menimbulkan perbedaan perspektif dalam membuktian unsur-
unsur di dalam pasal yang digunakan untuk menjerat pelaku usaha yang
terbukti bersalah atau tidak.
Tabel 4.7. Unsur-Unsur Pasal yang digunakan oleh KPPU dalam
menjatuhkan Putusan
Putusan Perkara Unsur-Unsur yang digunakan
dalam Pertimbangan Putusan
KPPU
1. Putusan Nomor: 24/KPPU-I/2009 1. Pasal 5:
a) Pelaku Usaha;
b) Perjanjian dengan pelaku
usaha pesaingnya untuk
menetapkan harga atas suatu
barang dan atau jasa yang
harus dibayar oleh konsumen
atau pelanggan pada pasar
bersangkutan yang sama.
2. Pasal 11:
a) Pelaku Usaha;
b) Perjanjian dengan pelaku
usaha pesaingnya, yang
bermaksud untuk
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
188
Universitas Indonesia
mempengaruhi harga dengan
mengatur produksi dan atau
pemasaran suatu barang dan
atau jasa;
c) Praktek Monopoli dan/atau
Persaingan Usaha Tidak
Sehat.
2. Putusan Nomor: 25/KPPU-I/2009 Pasal 5:
a) Pelaku Usaha dan Pelaku
Usaha Pesaing;
b) Perjanjian;
c) Penetapan Harga;
d) Pasar Bersangkutan.
3. Putusan Nomor: 01/KPPU-I/2010 1. Pasal 5:
a) Pelaku Usaha dan Pelaku
Usaha Pesaing;
b) Perjanjian untuk menetapkan
harga.
2. Pasal 11:
a) Pelaku Usaha dan Pelaku
Usaha Pesaingnya;
b) Perjanjian untuk
Mempengaruhi Harga
dengan Mengatur Produksi
dan atau Pemasaran.
4. Putusan Nomor: 17/KPPU-I/2010 1. Pasal 5:
a) Pelaku Usaha;
b) Perjanjian dengan pelaku
usaha pesaingnya untuk
menetapkan harga atas suatu
barang dan atau jasa yang
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
189
Universitas Indonesia
harus dibayar oleh konsumen
atau pelanggan pada pasar
bersangkutan yang sama.
2. Pasal 11:
a) Pelaku Usaha;
b) Perjanjian dengan pelaku
usaha pesaingnya, yang
bermaksud untuk
mempengaruhi harga dengan
mengatur produksi dan atau
pemasaran suatu barang dan
atau jasa;
c) Mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.
Setelah menganalisis unsur-unsur pada Pasal 5 dan Pasal 11
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 di dalam keempat putusan yang
dianalisa, didapat beberapa karakteristik putusan KPPU dalam
memutuskan perkara yaitu pertama, dalam memutuskan perkara perjanjian
penetapan harga dan kartel (perkara yang tidak terbukti), majelis tidak
menggunakan unsur pasar bersangkutan (relevant market) pada Pasal 5
dan unsur praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat dalam
Pasal 11. Sebab jika majelis tidak dapat membuktikan perjanjian untuk
menetapkan harga dan unsur perjanjian untuk mempengaruhi harga dengan
mengatur produksi dan/atau pemasaran, maka unsur lain dalam Pasal 5 dan
Pasal 11 tidak digunakan lagi, walaupun di dalam Pasal 11 terdapat
Praktek Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat. Hal ini
bertentangan dengan pendekatan Rule of Reason sebagai pendekatan yang
digunakan dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Kedua,
Majelis tidak menggunakan unsur terjadinya persaingan usaha tidak sehat
dalam memutus perkara apabila unsur-unsur lain tidak terbukti.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
190
Universitas Indonesia
Pelanggaran terhadap ketentuan berarti terdapat unsur melawan hukum
yang merupakan unsur terjadinya persaingan usaha tidak sehat dimana
sesungguhnya persaingan usaha tidak sehat ini yang menjadi objek dari
pembuktian apakah telah terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan
di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
4.2.2.3 Pendekatan Hukum yang digunakan oleh KPPU
Dihampir semua negara, kartel diuji dengan pendekatan secara Per
se Illegal. Namun di Indonesia, kartel diuji dengan pendekatan hukum
secara Rule of Reason. Sedangkan larangan penetapan harga (Price Fixing)
digunakan pendekatan Per se Illegal, padahal sesungguhnya perjanjian
Price Fixing termasuk dalam kategori kartel.281
Hal ini dapat diartikan
bahwa di Indonesia sepertinya ingin membedakan antara perjanjian
penetapan harga yang menggunakan Per se Illegal (dimana penekanan
utamanya mengenai instrument harga), dengan perjanjian kartel yang
menggunakan Rule of Reason (dimana penekanan utamanya mengenai
pengaturan produksi dan/atau pemasaran dengan tujuan mempengaruhi
harga).
Dalam menganalisa kasus Kartel Minyak Goreng, perlu terlebih
dahulu kita melihat pasar bersangkutan (relevant market) baik pasar
produk dan pasar geografis. Di dalam Perkara Nomor 24/KPPU-I/2009
pasar produk terdapat dua macam yaitu minyak goreng curah dan kemasan
(bermerek). Meskipun demikian, atas kedua produk tersebut memiliki
fungsi yang sama yaitu sebagai komponen pendukung dalam pembuat
makanan. Adapun pasar geografis meliputi seluruh wilayah Indonesia
tanpa adanya hambatan regulasi.
Pendekatan yang paling tepat dalam menganalisa kasus Kartel
Minyak Goreng adalah pendekatan Rule of Reason, karena jelas terdapat
tujuan dan alasan persaingan tidak sehat dalam pengaturan kartel
berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Ketika
menggunakan pendekatan Rule of Reason, terdapat dua aspek pokok yaitu
281
A.M. Tri Anggraini, Op.Cit., hlm.20.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
191
Universitas Indonesia
aspek “dampak” suatu perjanjian atau kegiatan dan aspek “cara”
pembuatan perjanjian atau kegiatan tersebut dijalankan. Aspek “dampak”
dari adanya Kartel Minyak Goreng adalah terjadinya hambatan persaingan
yang berakibat hilang atau berkurangnya persaingan dalam sisi harga
sehingga mengakibatkan timbulnya kerugian pada konsumen. Sedangkan
dari aspek “cara”, para pelaku usaha minyak goreng jelas secara melawan
hukum mengadakan pengaturan harga dan pemasaran produk minyak
goreng kemasan (bermerek), dengan menciptakan persaingan usaha tidak
sehat.
KPPU boleh membatalkan perjanjian apabila perjanjian tersebut
menghambat persaingan. Dalam hal ini terdapat 2 (dua) unsur
menghambat persaingan, yaitu unsur praktik monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat, dua-duanya menjadi isi dari reason. Kalau persaingan
tersebut masuk dalam unsur praktik monopoli, maka KPPU harus
menghitung terlebih dahulu pangsa pasar. KPPU harus membuktikan
market power, lalu menghitung apakah market power itu menghambat
persaingan usaha. Menghambat yang kedua adalah unsur persaingan usaha
tidak sehat, tidak mengharuskan KPPU untuk menghitung pangsa pasar,
artinya menciptakan hambatan persaingan apabila mereka tidak menguasai
pasar.
Dalam perkara ini, adanya pertemuan dan/atau komunikasi baik
secara langsung maupun tidak langsung dilakukan oleh para Terlapor pada
tanggal 29 Februari 2008 dan tanggal 9 Februari 2009. Bahkan dalam
dalam pertemuan dan/atau komunikasi tersebut dibahas antara lain
mengenai harga, kapasitas produksi, dan struktur biaya produksi telah
melakukan tindakan yang meniadakan persaingan usaha antar anggota
kartel.
Pada akhirnya dengan tidak responsifnya harga minyak goreng
yang ditetapkan para Terlapor terhadap penurunan harga CPO, maka
konsumen kehilangan kesempatan untuk menikmati manfaat adanya pasar
yang kompetitif yakni harga yang lebih rendah karena kontribusi CPO
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
192
Universitas Indonesia
sebagai bahan baku utama adalah 87% dari total biaya produksi minyak
goreng.
Dengan struktur pasar minyak goreng baik curah maupun kemasan
(bermerek) yang bersifat oligopolistik karena hanya dikuasai oleh
beberapa pelaku usaha yaitu Wilmar Group, Musim Mas Group, PT Smart,
Tbk dan PT Asian Agro Agung Jaya (2007) atau PT Berlian Eka Sakti
Tangguh (2008) untuk minyak goreng curah, PT Salim Ivomas Pratama,
Wilmar Group, PT Smart, Tbk, dan PT Bina Karya Prima untuk minyak
goreng kemasan (bermerek), maka mengakibatkan tidak mungkin ada
pesaing baru di pasar bersangkutan. Akibatnya konsumen tidak memiliki
pilihan lain untuk mendapatkan bahan baku yang bersaing baik dari sisi
harga maupun kualitas. Dampak bagi konsumen tersebut juga
mengakibatkan kerugian bagi kepentingan umum.
Dalam Rule of Reason, perilaku di evaluasi menggunakan analisis
berdasarkan detail faktanya, sedangkan dalam Per se Rule pelaku usaha
tidak diberikan kesempatan untuk memberikan justifikasi atas
perilakunya.282
Sementara itu, de minimise rule akan membolehkan suatu
perilaku kartel bila kartel tadi tidak mengganggu persaingan usaha karena
pangsa pasar yang dikuasainya sangat kecil, dan kurang dari persyaratan
yang ditentukan dalam kebijakan persaingan suatu negara, misalnya 5%.283
Oleh karena itu, dengan penerapan Rule of Reason ini maka terhadap
perilaku kartel tidak akan secara serta merta dinyatakan melanggar
ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, walaupun
sudah memenuhi unsur-unsur pelanggaran yang diatur dalam pasal
tersebut. Selain pemenuhan terhadap unsur-unsur pelanggaran dalam Pasal
11, masih perlu dilakukan penilaian-penilaian terlebih dulu apakah
perilaku tersebut menimbulkan dampak terhadap terjadinya praktik
monopoli serta persaingan usaha tidak sehat.284
282
Supreme Court 2009 Term Leading Cases, “Quick Look Rule of Reason,” 124
Harvard Law Review. 400 (2010), hlm. 4. 283
Knud Hansen, Op. Cit., hlm. 153.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
193
Universitas Indonesia
Kasus Kartel Fuel Surcharge lebih tepat menggunakan pendekatan
Rule of Reason. Tindakan penetapan harga dalam di bidang angkutan
penumpang udara tersebut tidak selalu tepat dilarang melalui pendekatan
Per se Illegal. Hal ini karena penetapan harga tersebut tidak selalu
menghambat persaingan antar pelaku usaha. Oleh karena itu, tindakan
penetapan harga lebih tepat menggunakan pendekatan Rule of Reason.
Melalui pendekatan Rule of Reason, akan diketahui apakah penetapan
harga biaya tambahan bahan bakar tersebut akan menghambat persaingan
atau tidak.
Di dalam Perkara Nomor 25/KPPU-I/2009 pasar produk adalah
layanan jasa penerbangan penumpang berjadwal dari satu titik
keberangkatan ke titik kedatangan. Dari sisi harga, penerbangan berjadwal
merupakan pasar tersendiri yang terpisah dibanding dengan moda
transportasi lainnya dan dari sisi kegunaan penerbangan juga memiliki
banyak substitusi. Adapun pasar geografis pada perkara ini adalah meliputi
layanan jasa penerbangan penumpang berjadwal dari satu titik
keberangkatan ke titik kedatangan di catchment area pada setiap bandar
udara .
Pada Perkara Nomor 25/KPPU-I/2009, Aspek “dampak” dari
adanya Kartel Fuel Surcharge adalah terjadinya hambatan persaingan yang
berakibat hilang atau berkurangnya persaingan dalam sisi harga sehingga
mengakibatkan timbulnya kerugian pada konsumen. Sedangkan dari aspek
“cara”, para pelaku usaha di jasa penerbangan jelas secara melawan
hukum mengadakan pengaturan harga, dengan menciptakan persaingan
usaha tidak sehat. Berdasarkan analisis Rule of Reason, bagaimanapun
juga penetapan harga biaya tambahan bahan bakar tersebut akan
menghambat persaingan dan merugikan konsumen.
Terkait Perkara Nomor 01/KPPU-I/2010 KPPU menggunakan
pendekatan Rule of Reason dalam membuktikan unsur-unsur kartel (Pasal
11). Pemahaman terhadap Rule of Reason dalam Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1999 memiliki penafsiran yang berbeda. Secara umum Rule of
284
Ibid.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
194
Universitas Indonesia
Reason diartikan sebagai suatu pendekatan yang dilakukan oleh lembaga
otoritas persaingan usaha untuk membuat evaluasi mengenai akibat
perjanjian atau kegiatan usaha tertentu, guna menentukan apakah suatu
perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat menghambat atau mendukung
persaingan. Penulis berpendapat bahwa KPPU tidak melihat unsur
menghambat persaingan sebagai reason dalam memutus perkara. Hal ini
tidak menyentuh terhadap substansi Undang-Undang Anti Monopoli yaitu
menghilangkan hambatan persaingan usaha serta merugikan kepentingan
umum.
Menurut Posner,285
karakteristik kartel adalah jika hanya terdapat
sedikit penjual dengan pembagian wilayah yang sangat tinggi. Semakin
banyak pelaku usaha di pasar, semakin sulit untuk terbentuknya kartel.
Kartel akan jauh lebih mudah terbentuk dan berjalan efektif apabila jumlah
pelaku usaha sedikit atau adanya konsentrasi pasar. Akan tetapi, kartel
dapat juga terjadi pada banyak penjual dengan pembagian wilayah yang
rendah.
Sektor semen dimanapun secara inheren memberikan suatu dilema
bagi kebijakan persaingan. Karena penyebaran geografis dari pasar semen
elastisitas permintaan terhadap harga agregat yang rendah, biaya keluar,
dan masuk yang tinggi dari dan ke industri ini, relatif penting biaya
transport dan potensi untuk mendapatkan skala ekonomi yang berarti,
produksi semen dianggap memiliki kecenderungan “alamiah” untuk
menghasilkan industri yang terkonsentrasi secara geografis dan
oligopolistik.
Dalam putusan KPPU ini juga KPPU tidak tepat dalam
menerapkan definisi “pasar bersangkutan” karena pada faktanya PT
Holcim Indonesia hanya memasarkan produk semennya di 22 propinsi di
Indonesia. Jumlah propinsi yang yang dianalisa oleh Tim Pemeriksa KPPU
dalam LHPL adalah hanya 13 (tiga belas) propinsi yang berarti kurang dari
setengah propinsi yang ada di Indonesia yaitu 33 (tiga puluh tiga) propinsi.
285
Richard Posner, “Oligopoly and the Antitrust Laws: A Suggested Approach,” 21
Stanford Law Review 1562 (1969), hlm. 1603-1604.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
195
Universitas Indonesia
Selain itu KPPU juga tidak konsisten dalam menetapkan definisi relevant
market dapat dilihat dimana pada saat tahap pemeriksaan pendahuluan
pasar bersangkutan yang ditetapkan adalah “pemasaran semen diseluruh
wilayah Indonesia”, sedangkan pada tahap pemeriksaan lanjutan KPPU
merubah definisi pasar bersangkutan menjadi “pasar semen dengan jenis
OPC, PPC, dan PCC yang dijual dalam cakupan propinsi di seluruh
wilayah Indonesia”. Ketidakkonsistenan ini dapat menimbulkan dampak
pada hasil pemeriksaan itu sendiri karena pelaku usaha seperti PT Holcim
Indonesia tidak menjual jenis produk semen PPC.
Memahami pasar sangat diperlukan dalam menganalisa keberadaan
kartel. Maka dengan itu, dalam kartel industri farmasi kelas terapi
amlodipine ini perlu dipahami pasar relevan baik pasar produk dan pasar
geografisnya. Dalam Perkara Nomor 17/KPPU-I/2010 yang menjadi pasar
produk adalah obat anti hipertensi dengan zat aktif Amlodipine Besylate.
Obat tersebut masuk ke dalam kelas terapi calcium channel blocker
(berdasarkan metode klasifikasi ATC WHO) atau calcium antagonist plain
(berdasarkan metode klasifikasi EPHMRA) dengan zat aktif amlodipine.
Penggunaan obat anti hipertensi dengan zat aktif tertentu (non amlodipine
besylate) dan kelas terapi lain tidak bersifat substitusi namun lebih bersifat
komplementer karena dapat dikombinasikan dengan obat yang
mengandung zat aktif amlodipine besylate untuk meningkatkan efektifitas
pengobatan. Adapun pasar geografis meliputi wilayah Indonesia secara
nasional.
Pendekatan yang paling tepat dalam menganalisa kasus Kartel
Industri Farmasi ini adalah pendekatan Rule of Reason, karena jelas
terdapat tujuan dan alasan persaingan tidak sehat dalam pengaturan kartel
berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Aspek
“dampak” dari adanya Kartel Industri Farmasi adalah terjadinya hambatan
persaingan yang berakibat hilang atau berkurangnya persaingan dalam sisi
harga sehingga mengakibatkan timbulnya kerugian pada konsumen.
Sedangkan dari aspek “cara”, para pelaku usaha Pfizer dan Dexa Medica
jelas secara melawan hukum mengadakan pengaturan harga dan
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
196
Universitas Indonesia
pengaturan produksi Norvask dan Tensivask, dengan menciptakan
persaingan usaha tidak sehat.
Dari hasil penelitian pendekatan yang digunakan oleh KPPU di
atas, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
Tabel 4.8. Pendekatan yang digunakan oleh KPPU pada Putusan mengenai
Perjanjian Penetapan Harga dan Kartel
Putusan
Perkara
Pendekatan
yang
digunakan
Aspek Dampak dan Aspek Cara
Putusan
Perkara Nomor
24/KPPU-
I/2009
Rule of Reason (1) Aspek “dampak” dari adanya Kartel
Minyak Goreng adalah terjadinya
hambatan persaingan yang berakibat
hilang atau berkurangnya persaingan
dalam sisi harga sehingga
mengakibatkan timbulnya kerugian pada
konsumen.
(2) Sedangkan dari aspek “cara”, para
pelaku usaha minyak goreng jelas secara
melawan hukum mengadakan
pengaturan harga dan pemasaran produk
minyak goreng kemasan (bermerek),
dengan menciptakan persaingan usaha
tidak sehat.
Putusan
Perkara Nomor
25/KPPU-
I/2009
Rule of Reason (1) Aspek “dampak” dari adanya Kartel
Fuel Surcharge adalah terjadinya
hambatan persaingan yang berakibat
pada hilang atau berkurangnya
persaingan dalam sisi harga sehingga
mengakibatkan timbulnya kerugian pada
konsumen.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
197
Universitas Indonesia
(2) Sedangkan dari aspek “cara”, para
pelaku usaha di jasa penerbangan jelas
secara melawan hukum mengadakan
pengaturan harga, dengan menciptakan
persaingan usaha tidak sehat.
Berdasarkan analisis Rule of Reason,
bagaimanapun juga penetapan harga
biaya tambahan bahan bakar tersebut
akan menghambat persaingan dan
merugikan konsumen.
Putusan
Perkara Nomor
01/KPPU-
I/2010
Rule of Reason KPPU tidak melihat adanya unsur menghambat
persaingan sebagai reason dalam memutus
perkara. Dikarenakan hal ini tidak menyentuh
terhadap substansi Undang-Undang Anti
Monopoli yaitu menghilangkan hambatan
persaingan usaha serta merugikan kepentingan
umum.
Putusan
Perkara Nomor
17/KPPU-
I/2010
Rule of Reason (1) Aspek “dampak” dari adanya Kartel
Industri Farmasi adalah terjadinya
hambatan persaingan yang berakibat
hilang atau berkurangnya persaingan
dalam sisi harga sehingga
mengakibatkan timbulnya kerugian pada
konsumen.
(2) Sedangkan dari aspek “cara”, para
pelaku usaha Pfizer dan Dexa Medica
jelas secara melawan hukum
mengadakan pengaturan harga dan
pengaturan produksi Norvask dan
Tensivask, dengan menciptakan
persaingan usaha tidak sehat.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
198
Universitas Indonesia
4.2.2.4 Pengenaan Sanksi
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, KPPU
berwenang untuk menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha
yang melanggar ketentuan Pasal 19 huruf a-d. Ketentuan yang mengatur
tentang sanksi administratif dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
adalah Pasal 47. Pasal 47 tentang Tindakan Administratif berbunyi:
1. Komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan
administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan
Undang-Undang ini.
2. Tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dapat berupa:
a. Penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 13, Pasal 15 dan Pasal
16; dan atau
b. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi
vertikal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; dan atau
c. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan
yang terbukti menimbulkan praktik monopoli dan atau
menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan atau
merugikan masyarakat; dan atau
d. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan
penyalahgunaan posisi dominan; dan atau
e. penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan
badan usaha dan pengambilan saham sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28; dan atau
f. Penetapan pembayaran ganti rugi; dan atau
g. Pengenaan denda serendah-rendahnya Rp. 1.000.000.000
(satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp.
25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah).
Setiap pelanggaran hukum persaingan dapat berakibat pada
hilangnya kesejahteraan dari sebagian konsumen dan/atau pelaku usaha
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
199
Universitas Indonesia
lainnya. KPPU sebagai lembaga penegak hukum persaingan diberikan
tugas mengambil langkah hukum untuk mencegah dan/atau
mengembalikan kesejahteraan yang hilang tersebut, hal ini sesuai dengan
tugas KPPU yang tercantum dalam Pasal 35 huruf b Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999.
Untuk itu dalam penetapan sanksi tindakan administratif, KPPU
perlu mempertimbangkan kerugian ekonomis dari menurunnya
kesejahteraan akibat tindakan persaingan tersebut.
Berdasarkan ketentuan Pasal 47 ayat (2) di atas, terdapat 3 (tiga)
sifat sanksi administratif yang bisa dijatuhkan oleh KPPU, antara lain:286
1. Sanksi administratif yang bersifat penghentian pelanggaran;
huruf a-e
2. Sanksi administratif yang bersifat pembayaran ganti rugi; huruf
f
3. Sanksi administratif yang bersifat pengenaan denda; huruf g
Terkait dengan hal tersebut, terdapat 3 kategori tindakan-tindakan
yang dilarang berdasar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yaitu (1)
perjanjian yang dilarang, (2) kegiatan yang dilarang dan (3) posisi
dominan.287
Perilaku perjanjian penetapan harga dan kartel sebagaimana
yang tertera dalam Pasal 5 dan Pasal 11 digolongkan ke dalam “perjanjian
yang dilarang” oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Penggolongan perjanjian penetapan harga ke dalam “perjanjian
yang dilarang” menyebabakan pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat
dikenai sanksi administratif yang bersifat pembatalan perjanjian dan sanksi
yang bersifat pengenaan denda sebagaimana tercantum dalam Pasal 47
ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terutama a dan g.
Sedangkan penggolongan perilaku kartel ke dalam “perjanjian
yang dilarang” menyebabakan pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat
286
Tim Penyusun Guideline Pasal 47 Subdirektorat Pranata Hukum, Draft Guideline
Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 (sementara), (Jakarta: Direktorat Kebijakan
Persaingan KPPU, 2007), hlm. 4. 287
Arie Siswanto., Op. Cit.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
200
Universitas Indonesia
dikenai sanksi administratif yang bersifat penghentian pelanggaran dan
sanksi yang bersifat pengenaan denda sebagaimana tercantum dalam Pasal
47 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terutama c dan g.288
Dari penelitian mengenai 4 (empat) putusan perjanjian penetapan
harga dan kartel yang telah diteliti oleh Penulis, maka dapat diperoleh
informasi ataupun kesimpulan mengenai pengenaan tindakan administratif
yang tidak konsisten sebagai berikut:
Tabel 4.9. Pengenaan Tindakan Administratif pada Putusan mengenai
Perjanjian Penetapan Harga dan Kartel
Putusan
Perkara
Tindakan Administratif Unsur/Point yang
digunakan dalam
Pasal 47 ayat (2)
Undang-Undang
Nomor 5 Tahun
1999
Putusan Nomor:
24/KPPU-I/2009
1. Denda sebesar:
a. Rp.25.000.000.000,00 (dua
puluh lima miliar rupiah)
terhadap PT Multimas Nabati
Asahan;
b. Rp. 20.000.000.000,00 (dua
puluh miliar rupiah) terhadap
PT Sinar Alam Permai;
c. Rp. 1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah) terhadap PT
Wilmar Nabati Indonesia;
d. Rp. 25.000.000.000,00 (dua
Unsur/Point (g)
Pengenaan denda
serendah-rendahnya
Rp. 1.000.000.000
(satu miliar rupiah)
dan setinggi-
tingginya Rp.
25.000.000.000 (dua
puluh lima miliar
rupiah).
288
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Peraturan Komisi Pengawas Persaingan
Usaha tentang Pedoman Tindakan Administratif Sesuai Ketentuan Pasal 47 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,
Peraturan Komisi Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2009, (Jakarta: Komisi Pengawas Persaingan
Usaha, 2009), hlm. 5 dan 8.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
201
Universitas Indonesia
puluh lima miliar rupiah)
terhadap PT Multi Nabati
Sulawesi;
e. Rp. 25.000.000.000,00 (dua
puluh lima miliar rupiah)
terhadap PT Agrindo Indah
Persada;
f. Rp. 15.000.000.000,00 (lima
belas miliar rupiah) terhadap
PT Musim Mas;
g. Rp. 2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah) terhadap PT
Intibenua Perkasatama;
h. Rp. 15.000.000.000,00 (lima
belas miliar rupiah) terhadap
PT Megasurya Mas;
i. Rp. 5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah) terhadap PT
Agro Makmur Raya;
j. Rp. 20.000.000.000,00 (dua
puluh miliar rupiah) terhadap
PT Mikie Oleo Nabati
Industri;
k. Rp. 15.000.000.000,00 (lima
belas miliar rupiah) terhadap
PT Indo Karya Internusa;
l. Rp. 5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah) terhadap PT
Permata Hijau Sawit;
m. Rp. 2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah) terhadap PT
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
202
Universitas Indonesia
Nubika Jaya;
n. Rp. 25.000.000.000,00 (dua
puluh lima miliar rupiah)
terhadap PT Smart, Tbk;
o. Rp. 25.000.000.000,00 (dua
puluh lima miliar rupiah)
terhadap PT Salim Ivomas
Pratama;
p. Rp. 25.000.000.000,00 (dua
puluh lima miliar rupiah)
terhadap PT Bina Karya
Prima;
q. Rp. 10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah)
terhadap PT Tunas Baru
Lampung, Tbk;
r. Rp. 10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah)
terhadap PT Berlian Eka Sakti
Tangguh;
s. Rp. 10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah)
terhadap PT Pacific Palmindo
Industri;
t. Rp. 10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah)
terhadap PT Asian Agro
Agung Jaya.
Putusan Nomor:
25/KPPU-I/2009
1. Pembatalan perjanjian penetapan
fuel surcharge baik secara tertulis
maupun tidak tertulis;
1. Unsur/Point (a)
Penetapan
pembatalan
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
203
Universitas Indonesia
2. Penetapan pembayaran ganti rugi
terhadap:
a. PT Garuda Indonesia
(Persero) sebesar Rp.
162.000.000.000;
b. PT Sriwijaya Air sebesar Rp.
60.000.000.000 (enam puluh
milyar rupiah);
c. PT Merpati Nusantara Airlines
(Persero) sebesar Rp.
53.000.000.000 (lima puluh
tiga milyar rupiah);
d. PT Mandala Airlines sebesar
Rp. 31.000.000.000 (tiga puluh
satu milyar rupiah);
e. PT Travel Express Aviation
Service sebesar
Rp.1.900.000.000 (satu milyar
sembilan ratus juta rupiah);
f. PT Lion Mentari Airlines
sebesar Rp. 107.000.000.000
(seratus tujuh milyar rupiah);
g. PT Wings Abadi Airlines
sebesar Rp. 32.500.000.000
(tiga puluh dua milyar lima
ratus juta rupiah);
h. PT Metro Batavia sebesar Rp.
56.000.000.000 (lima puluh
enam milyar rupiah);
i. PT Kartika Airlines sebesar
perjanjian
sebagaimana
dimaksud dalam
Pasal 4 sampai
dengan Pasal 13,
Pasal 15 dan
Pasal 16;
2. Unsur/Point (f)
Penetapan
pembayaran
ganti rugi;
3. Unsur/Point (g)
Pengenaan
denda serendah-
rendahnya Rp.
1.000.000.000
(satu miliar
rupiah) dan
setinggi-
tingginya Rp.
25.000.000.000
(dua puluh lima
miliar rupiah).
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
204
Universitas Indonesia
Rp. 1.600.000.000 (satu milyar
enam ratus juta rupiah).
3. Denda sebesar:
a. Rp. 25.000.000.000,00 (dua
puluh lima miliar rupiah)
terhadap PT Garuda Indonesia
(Persero);
b. Rp. 9.000.000.000,00
(sembilan miliar rupiah)
terhadap PT Sriwijaya Air;
c. Rp. 8.000.000.000,00 (delapan
miliar rupiah) terhadap PT
Merpati Nusantara Airlines
(Persero);
d. Rp. 5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah) terhadap PT
Mandala Airlines;
e. Rp. 1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah) terhadap PT
Travel Express Aviation
Service;
f. Rp. 17.000.000.000,00 (tujuh
belas miliar rupiah) terhadap
PT Lion Mentari Airlines;
g. Rp. 5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah) terhadap PT
Wings Abadi Airlines;
h. Rp. 9.000.000.000,00
(sembilan miliar rupiah)
terhadap PT Metro Batavia;
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
205
Universitas Indonesia
i. Rp. 1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah) terhadap PT
Kartika Airlines. Rp.
1.600.000.000 (satu milyar
enam ratus juta rupiah) oleh
PT Kartika Airlines.
Putusan Nomor:
01/KPPU-I/2010
Tidak ada Tindakan Administratif
yang dikenakan
Tidak ada
Unsur/Point dalam
Pasal 47 ayat (2)
yang digunakan
Putusan Nomor:
17/KPPU-I/2010
1. Penetapan pembatalan beberapa
Pasal di dalam Perjanjian meliputi:
a. Pasal 5, Pasal 13 huruf c angka
IV, Pasal 18 dalam Supply
Agreement antara Terlapor
III/Pfizer Overseas LLC
dengan Terlapor II/PT. Dexa
Medica batal demi hukum;
b. Pasal 9.1 angka (V) dalam
Pfizer Distribution Agreement
antara Terlapor I/PT Pfizer
Indonesia dengan PT. Anugrah
Argon Medika batal demi
hukum;
2. Perintah kepada Terlapor I/PT
Pfizer Indonesia, Terlapor II/PT
Dexa Medica, Terlapor III/Pfizer
Inc., Terlapor IV/Pfizer Overseas
LLC, Terlapor V/Pfizer Global
Trading dan VI/PT Pfizer
Corporation Panama menghentikan
1. Unsur/Point (a)
Penetapan
pembatalan
perjanjian
sebagaimana
dimaksud dalam
Pasal 4 sampai
dengan Pasal 13,
Pasal 15 dan
Pasal 16;
2. Unsur/Point (c)
Perintah kepada
pelaku usaha
untuk
menghentikan
kegiatan yang
terbukti
menimbulkan
praktik monopoli
dan atau
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
206
Universitas Indonesia
komunikasi yang berisi informasi
harga, jumlah produksi dan rencana
produksi kepada pesaing;
3. Denda sebesar
a. Rp. 25.000.000.000,00 (dua
puluh lima miliar rupiah)
terhadap PT Pfizer Indonesia;
b. Rp. 20.000.000.000,00 (dua
puluh miliar rupiah) terhadap
PT Dexa Medica;
c. Rp. 25.000.000.000,00 (dua
puluh lima miliar rupiah)
terhadap Pfizer Inc.;
d. Rp. 25.000.000.000,00 (dua
puluh lima miliar rupiah)
terhadap Pfizer Overseas LLC;
e. Rp. 25.000.000.000,00 (dua
puluh lima miliar rupiah)
terhadap Pfizer Global Trading
(c/o Pfizer Service Company);
f. Rp. 25.000.000.000,00 (dua
puluh lima miliar rupiah)
terhadap Pfizer Corporation
Panama.
menyebabkan
persaingan usaha
tidak sehat dan
atau merugikan
masyarakat;
3. Unsur/Point (g)
Pengenaan denda
serendah-
rendahnya Rp.
1.000.000.000
(satu miliar
rupiah) dan
setinggi-
tingginya Rp.
25.000.000.000
(dua puluh lima
miliar rupiah).
Pengertian dari Pasal 47 ayat 2 huruf c Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 adalah KPPU berwenang untuk menjatuhkan sanksi
administratif berupa perintah penghentian kegiatan yang dapat
menimbulkan:289
289
Tim Penyusun Guideline Pasal 47 Subdirektorat Pranata Hukum, Op. Cit., hlm. 7.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
207
Universitas Indonesia
1. Praktik Monopoli:
Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 9,
Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 16, Pasal 17 ayat
(1), Pasal 18 ayat (1), Pasal 19, Pasal 20, Pasal 26 huruf c dan
Pasal 28 ayat (1) dan (2).
2. Persaingan Usaha Tidak Sehat:
Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 7,
Pasal 8, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14,
Pasal 16, Pasal 17 ayat (1), Pasal 18 ayat (1), Pasal 19, Pasal
20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 26 huruf c dan Pasal 28
ayat (1) dan (2).
3. Kerugian bagi masyarakat: sebagaimana yang tercantum dalam
Pasal 14.
Putusan ditinjau dari Sifatnya terbagi menjadi 3 (tiga) jenis yaitu
Putusan Deklarator, Putusan Konstitutif, dan Putusan Kondemnator.
Putusan declatoir, selanjutnya ditulis deklarator yang bersifat deklaratif
(declatoir vonnis) adalah yang berisi pernyataan atau penegasan tentang
suatu keadaan atau kedudukan hukum semata-mata. Putusan constitutief
atau konstitutif (constitutief vonnis) adalah putusan yang memastikan suatu
keadaan hukum, baik yang bersifat meniadakan suatu keadaan hukum
maupun yang menimbulkan keadaan hukum baru. Sedangkan putusan
condemnatoir atau kondemnator adalah putusan yang memuat amar
menghukum salah satu pihak yang berperkara. Putusan yang bersifat
kondemnator merupakan bagian yang tidak terpisah dari amar deklaratif
atau konstitutif. 290
Dari keempat putusan yang ada, Putusan KPPU Nomor 24/KPPU-
I/2009 bersifat deklarator dengan kondemnator. Putusan KPPU Nomor
25/KPPU-I/2009 bersifat deklarator, konstitutif, dan kondemnator. Putusan
KPPU Nomor 01/KPPU-I/2010 hanya bersifat deklarator. Sedangkan
290
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, cet. 9, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm.
876-877.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
208
Universitas Indonesia
Putusan KPPU Nomor 17/KPPU-I/2010 bersifat deklarator, konstitutif,
dan kondemnator. Dapat dilihat pada Putusan KPPU Nomor 25/KPPU-
I/2009 dan Putusan KPPU Nomor 17/KPPU-I/2010 memiliki sifat
ketiganya karena tidak hanya ada pernyataan hukum dan hukuman bagi
pelaku namun juga adanya perjanjian atau pasal yang dibatalkan dimana
hal ini dikemudian hari dapat menimbulkan keadaan hukum baru.
Pada Putusan KPPU Nomor 24/KPPU-I/2009 tentang kartel
minyak goreng, sanksi yang dijatuhkan pada Para Terlapor secara efektif
mampu memberikan efek jera. Hal ini menunjukkan bahwa sanksi yang
dijatuhkan oleh KPPU berupa denda administratif , dapat menimbulkan
efek jera bagi para pelaku usaha yang melanggar ketentuan di dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Dengan demikian, penerapan
hukuman denda kepada para pihak yang dianggap bersalah telah mampu
memberikan perubahan terhadap konsep hukum persaingan di Indonesia.
Sanksi berupa penetapan pembatalan perjanjian terkait dengan
putusan KPPU yang dibahas oleh Penulis terdapat dalam Putusan KPPU
Nomor 25/KPPU-I/2009 tentang kartel Fuel Surcharge. Dalam putusan
tersebut, Majelis Komisi KPPU menjatuhkan sanksi administratif berupa
pembatalan perjanjian yang dianggap oleh Majelis Komisi merupakan
sebuah instrumen usaha yang anti persaingan. Tidak hanya itu saja, para
Terlapor juga dikenakan pembayaran ganti rugi dan juga sanksi berupa
pengenaan denda.
Perhitungan mengenai jumlah denda oleh KPPU didasarkan pada
Pedoman Pasal 47 yang dikeluarkan oleh KPPU mengenai sanksi
administratif. KPPU tidak pernah menjelaskan tentang cara perhitungan
denda. Namun dapat diketahui bahwa Pedoman KPPU Pasal 47 tentang
tindakan administratif menyatakan:
“Dalam konteks ganti rugi yang dapat ditetapkan oleh KPPU ialah
jenis ganti rugi aktual (actual damages). Besar kecilnya ganti rugi
ditetapkan oleh KPPU berdasarkan pada kerugian senyatanya yang
dialami penderita.”
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
209
Universitas Indonesia
Perlu diketahui disini yang dimaksud dengan actual damages ialah
kerugian yang benar-benar diderita secara aktual dan dapat dihitung
dengan mudah sampai ke nilai rupiah.
Dalam perkara Nomor 25/KPPU-I/2009 mengenai Fuel Surcharge
terdapat Dissenting Opinion dari Majelis Hakim yaitu Dr. A.M. Tri
Anggraini, S.H., M.H., dimana seharusnya KPPU tidak membebankan
pembayaran ganti rugi oleh Terlapor kepada Masyarakat dengan cara
menetapkan pembayaran ganti rugi tersebut kepada negara. Ganti rugi
berdasarkan Pasal 47 adalah jenis ganti rugi aktual berdasarkan prinsip-
prinsip ganti rugi dalam KUHPerdata, dimana beban pembuktian
diletakkan pada pihak yang dirugikan (masyarakat/konsumen).
Pembayaran ganti rugi seharusnya ditujukan kepada masyarakat/konsumen
sebagai pihak yang dirugikan akibat terjadinya pelanggaran Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 dan bukan kepada negara.
Selain itu, prosedur mengenai ganti rugi kepada pihak yang
dirugikan sebagai akibat terjadinya pelanggaran terhadap Undang-Undang
diatur dalam Pasal 38 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang
menyatakan bahwa:
“Pihak yang dirugikan sebagai akibat terjadinya pelanggaran
terhadap undang-undang ini dapat melaporkan secara tertulis
kepada Komisi dengan keterangan yang lengkap dan jelas tentang
telah terjadinya pelanggaran serta kerugian yang ditimbulkan,
dengan menyertakan identitas Terlapor.”
Ketentuan ini menunjukkan bahwa penetapan ganti rugi yang
diakui dalam Undang-Undang tersebut adalah ganti rugi terhadap pihak
yang dirugikan sebagai akibat pelanggaran atas Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999. Oleh karena itu, penetapan dan pembayaran ganti rugi adalah
ditujukan kepada pihak yang dirugikan, dimana dalam kasus ini jelas
bahwa pihak yang dirugikan adalah konsumen.
Pemikiran yang ada didalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 ini karena adanya sanksi ini dimaksudkan untuk mengakomodasikan
seandainya ada pelaku usaha lain atau pihak lain yang karena adanya
tindakan pelaku usaha tertentu menyebabkan kerugian. Kegiatan-kegiatan
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
210
Universitas Indonesia
pengenaan sanksi ini seharusnya ada yang dirugikan dan yang dirugikan
itu menuntut ganti rugi atas kerugian yang diderita.
Dalam Putusan KPPU Nomor 17/KPPU-I/2010, selain terdapat
pembatalan beberapa Pasal dalam perjanjian terkait dan juga pengenaan
denda, KPPU juga memerintahkan kepada PT Pfizer Indonesia, PT Dexa
Medica, Pfizer Inc., Pfizer Overseas LLC, Pfizer Global Trading dan PT
Pfizer Corporation Panama untuk menghentikan komunikasi yang berisi
informasi harga, jumlah produksi dan rencana produksi kepada pesaing.
Hal ini dimaksudkan agar dapat menghentikan kegiatan yang terbukti
menimbulkan praktik monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha
tidak sehat dan atau merugikan masyarakat.
KPPU memutuskan Pasal 5, Pasal 13 huruf c angka IV, Pasal 18
dalam Supply Agreement antara Terlapor III/Pfizer Overseas LLC dengan
Terlapor II/PT Dexa Medica batal demi hukum terkait komunikasi
diantara pesaing dan juga Pasal 9.1 angka (V) dalam Pfizer Distribution
Agreement antara Terlapor I/PT Pfizer Indonesia dengan PT. Anugrah
Argon Medika batal demi hukum terkait pengaturan pemberian informasi.
Batal demi hukum (null and void) dapat dikatakan secara yuridis dari
semula tidak ada.
Dalam hal syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian, apabila
suatu syarat objektif tidak terpenuhi (hal tertentu atau causa yang halal),
maka perjanjiannya adalah batal demi hukum (null and void). Dalam hal
yang demikian, secara yuridis dari semula tidak ada suatu perjanjian dan
tidak ada pula suatu perikatan antara orang-orang yang bermaksud
membuat perjanjian itu.291
Hal ini menurut Penulis kurang efektif karena isi dari pasal tersebut
berimplikasi pada pelaksanaan perjanjian tersebut di kemudian hari secara
keseluruhan. Meskipun hanya satu pasal yang dihilangkan, belum tentu
dapat mengembalikan persaingan itu sendiri karena terkait dengan pasal
lainnya yang ada di dalam Supply Agreement dan Distribution Agreement.
291
Subekti, Hukum Perjanjian, cet. 29, (Jakarta: Intermasa, 2001), hlm. 22.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
211
Universitas Indonesia
Hal ini pun diluar dari yang diatur dalam Pasal 47 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Berdasarkan ketentuan Pasal 47 ayat (2) huruf g Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 mengenai penetapan sanksi berupa pengenaan
denda, KPPU menempuh dua langkah, yaitu:292
1. KPPU akan menentukan besaran Nilai Dasar; dan
2. KPPU akan menyesuaikan dengan menambahkan atau
mengurangi besaran Nilai Dasar tersebut.
Dalam menghitung besaran Nilai Dasar KPPU menggunakan tipe
metodologi, antara lain:293
1. Penghitungan terhadap Nilai Penjualan / pembelian barang atau
jasa pelaku usaha pada pasar bersangkutan.
Pada umumnya Nilai penjualan akan dihitung berdasarkan nilai
keseluruhan penjualan pada tahun sebelum pelanggaran
dilakukan. Hal ini bertujuan untuk memudahkan estimasi nilai
penjualan pelaku usaha yang terlibat pelanggaran pada saat
data penjualan tahunannya belum tersedia. Pada pelanggaran
yang dilakukan oleh sekelompok pelaku usaha, maka nilai
penjualan akan dihitung sebagai penjumlahan dari seluruh nilai
penjualan anggotanya.
2. Penentuan terhadap Nilai Dasar Denda
Nilai Dasar Denda terkait dengan proporsi dari nilai penjualan,
tergantung dari tingkat pelanggaran dan dikalikan dengan
jumlah tahun pelanggaran. Proporsi nilai penjualan yang
diperhitungkan adalah sampai dengan batas 10% dari nilai
penjualan tersebut.
Pertimbangan KPPU untuk menentukan proporsi nilai penjualan
tersebut berada pada titik tertinggi atau terendah antara lain meliputi
faktor-faktor:294
292
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Op. Cit., hlm. 8-9.
293
Ibid., hlm. 9.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
212
Universitas Indonesia
1. Skala perusahaan;
2. Jenis pelanggaran;
3. Gabungan pangsa pasar dari para Terlapor;
4. Cakupan wilayah geografis pelanggaran; dan
5. Telah atau belum dilaksanakannya pelanggaran tersebut.
Setelah dilakukan penghitungan besar Nilai Dasar Denda, KPPU
juga melakukan penyesuaian terhadap denda yang telah ditetapkan, bisa
ditambah atau malah dikurangi berdasarkan penilaian secara keseluruhan
dengan tetap memperhatikan seluruh aspek-aspek terkait.
Hal-hal yang dapat membuat Nilai Dasar Denda ditambah ialah
apabila KPPU menemukan hal-hal yang memberatkan berupa:295
1. Terlapor tetap melanjutkan atau mengulangi pelanggaran yang
sama. Perbuatan seperti ini bisa dikenakan penambahan sampai
dengan 100% dari Nilai Denda untuk setiap pelanggaran yang
dilakukan.
2. Menolak diperiksa, menolak memberikan informasi yang
diperlukan dalam penyelidikan dan/atau pemeriksaan, atau
menghambat proses penyelidikan dan/atau pemeriksaan.
3. Adanya tindakan dari penggagas atau pemimpin dari pelanggan
yang menekan atau mengancam pihak lain untuk melancarkan
pelanggaran tersebut.
Hal-hal yang dapat membuat Nilai Dasar Denda dikurangi ialah
apabila KPPU menemukan hal-hal yang meringankan berupa:296
1. Terlapor memberikan bukti bahwa telah menghentikan tindakan
pelanggaran segera setelah KPPU melakukan penyelidikan.
2. Terlapor menunjukkan bukti bahwa pelanggaran tersebut
dilakukan secara tidak sengaja.
294
Ibid., hlm. 10. 295
Ibid.
296
Ibid.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
213
Universitas Indonesia
3. Terlapor menunjukkan bukti bahwa keterlibatannya dalam
pelanggaran tersebut adalah minimal.
4. Terlapor bersikap baik dan kooperatif dalam proses
penyelidikan dan/atau pemeriksaan.
5. Apabila tindakan tersebut merupakan perintah perundang-
undangan atau persetujuan instansi yang berwenang, dan
6. Adanya pernyataan kesediaan untuk melakukan perubahan
perilaku dari pelaku usaha.
Dalam hal penambahan Nilai Dasar Denda ini, KPPU memberikan
perhatian khusus terhadap 2 hal, yaitu:
1. Kebutuhan untuk menjamin bahwa denda bisa mengakibatkan
efek penjara yang cukup dimana pada akhirnya hal tersebut
akan mendapatkan keuntungan lebih besar dari proses
pelanggaran tersebut dibandingkan dengan penjualan barang
atau jasa Terlapor itu sendiri.
2. Kebutuhan untuk melebihi jumlah nilai keuntungan yang
diperoleh Terlapor dari pelanggaran tersebut.
Sedangkan dalam hal pengurangan Nilai Dasar Denda, KPPU
memberikan perhatian khusus terhadap permintaan dari pihak Terlapor
untuk mempertimbangkan kamampuan membayar dari Terlapor pada
konteks sosial ekonomi tertentu, tetapi pengurangan akan diberikan secara
individu berdasar pada bukti objektif yaitu apabila denda tersebut bisa
berakibat pada bangkrutnya perusahaan Terlapor.297
Dari hasil analisis keempat putusan diatas, KPPU tidak
menguraikan secara rinci di dalam putusan kartel minyak goreng dan
kartel industri farmasi mengenai mekanisme perhitungan dalam pengenaan
sanksi denda, sesuai dengan pedoman yang terdapat di dalam Peraturan
Komisi Nomor 4 Tahun 2009, karena di dalam kedua putusan tersebut
tidak dijelaskan bagaimana mekanisme penghitungan denda yang
dikenakan kepada para pelaku usaha.
297
Ibid., hlm. 10-11.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
214
Universitas Indonesia
Berdasarkan penjelasan di atas, Penulis berkesimpulan bahwa
substansi Pasal 11 termasuk ke dalam kategori “perjanjian yang dilarang”
oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dimana pelanggaran
terhadapnya dapat mengakibatkan “praktik monopoli”, “persaingan usaha
tidak sehat” dan “merugikan masyarakat” sehingga sanksi yang dijatuhkan
atas pelanggaran terhadapnya bisa berupa kewajiban “pembatalan
perjanjian” sesuai dengan Pasal 47 ayat (2) huruf a Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 dan “pembayaran ganti rugi” ataupun “pengenaan
denda” sesuai dengan Pasal 47 ayat (2) huruf c dan g Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
215
Universitas Indonesia
BAB 5
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
1. Perjanjian penetapan harga mempunyai hubungan yang sangat
signifikan dengan Kartel. Hal ini bisa dilihat dari kedua bentuk
perjanjian inilah yang hanya menguntungkan para anggota kartel
yang bersangkutan. Sekilas Pasal 5 tentang penetapan harga
memiliki kesamaan dengan Pasal 11 yang mengatur mengenai
kartel. Perbedaan antara Pasal 11 dengan Pasal 5 adalah bahwa
dalam Pasal 5 pelaku usaha sepakat untuk menetapkan harga,
sedangkan pada kartel yang disepakati oleh anggota adalah
mempengaruhi harga dengan jalan mengatur produksi dan atau
pemasaran barang atau jasa. Jadi pada kartel para pelaku usaha
sepakat mengenai jumlah produksi dan atau pemasaran barang atau
jasa, yang melalui kesepakatan ini akan berpengaruh terhadap
harga barang atau jasa yang mereka produksi. Sementara itu Pasal
5 pada hakikatnya juga merupakan pengaturan tentang kartel,
hanya saja kartel yang dimaksud adalah kartel harga. Kartel dalam
Pasal 11 yang dilarang adalah kartel produksi dan pemasaran yang
tujuan akhirnya mempengaruhi harga. Jadi kalau Pasal 5 mengatur
secara langsung larangan pengaturan harga, maka dalam Pasal 11
yang dilarang adalah kartel produksi dan pemasaran yang akhirnya
berpengaruh pada harga produk. Selain itu perjanjian penetapan
harga merupakan salah satu bentuk kartel. Hal ini disebabkan
dalam pengaturan mengenai kartel (Pasal 11) meliputi penetapan
harga, kolusi tender, alokasi pelanggan dan wilayah serta
pembatasan atau pengaturan produksi (kuota).
2. Karakteristik putusan KPPU atas perjanjian penetapan harga dan
kartel di Indonesia selama tahun 2009 sampai dengan 2010 adalah
215
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
216
Universitas Indonesia
terdapat pada indikasi awal perkara, struktur putusan KPPU,
pembuktian perilaku pelaku usaha, pembuktian unsur-unsur yang
digunakan oleh KPPU, pendekatan hukum dan pengenaan sanksi.
a. Dalam Indikasi Awal Perkara adalah adanya perjanjian
penetapan harga dan kartel yang dilihat dari produk yang
bersifat homogen, seperti minyak goreng, semen atau
obat. Adanya kesamaan produk mempermudah
bekerjanya suatu kartel harga. Asosiasi masih menjadi
wadah bagi para pelaku usaha untuk berkomunikasi,
bertukar informasi, dan saling melakukan kerjasama
diantara pelaku usaha dalam industri yang sama dan
berpengaruh dalam penentuan kebijakan anggota dan
industri mereka. Hal tersebut terlihat pada Putusan KPPU
Nomor 01/KPPU-I/2010. Selain itu kemudahan
berkomunikasi biasanya terakomodasi secara efektif
dalam asosiasi tersebut sangat dimungkinkan melakukan
transparansi harga serta kesepakatan-kesepakatan lainnya
seperti yang terjadi pada asosiasi minyak goreng dan
semen.
b. Pada Struktur Putusan KPPU masih terdapat putusan
yang tidak mencantumkan pembelaan atau tanggapan dari
Pihak Terlapor. Hal ini dapat dilihat pada Putusan KPPU
Nomor 24/KPPU-I/2009 tentang kartel minyak goreng.
Selain itu, masih terdapat inkonsistensi dalam
mempertimbangkan secara adil keterangan ahli meskipun
terhadap keterangan ahli yang tidak disetujui oleh Majelis
seperti pada Putusan KPPU Nomor 01/KPPU-I/2010 dan
Putusan KPPU Nomor 17/KPPU-I/2010. Belum adanya
satu standard yang baku mengenai format putusan juga
mempersulit pembaca putusan yang tidak melakukan
inzage (hasil pemeriksaan berkas) terhadap perkara secara
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
217
Universitas Indonesia
utuh dimana dapat terlihat pada Putusan KPPU Nomor
17/KPPU-I/2010.
c. Dalam membuktikan perilaku pelaku usaha, KPPU
menggunakan Uji Korelasi sebagai bagian dari Bukti
Ekonomi (Economic Evidence). KPPU menyertakan
perhitungan statistik sebagai bagian dari bukti ekonomi
yang begitu kompleks sebagai metode pembuktian yaitu
tingkat konsentrasi pasar, uji homogenitas varians, dan
penghitungan kerugian konsumen. Dari hasil uji
homogenitas varians keempat putusan, diketahui bahwa
masih terdapat inkonsistensi dalam penggunaan uji
homogenitas varians.
d. Dalam pembuktian Unsur-Unsur dalam Pasal yang
digunakan oleh KPPU pada perkara perjanjian penetapan
harga dan kartel (perkara yang tidak terbukti), Majelis
tidak menggunakan unsur pasar bersangkutan pada Pasal
5 dan unsur praktek monopoli dan/atau persaingan usaha
tidak sehat dalam Pasal 11. Sebab jika majelis tidak dapat
membuktikan perjanjian untuk menetapan harga dan
unsur perjanjian untuk mempengaruhi harga dengan
mengatur produksi dan/atau pemasaran, maka unsur lain
dalam Pasal 5 dan Pasal 11 tidak digunakan lagi,
walaupun di dalam Pasal 11 terdapat Praktek Monopoli
dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat. Hal ini
bertentangan dengan pendekatan Rule of Reason sebagai
pendekatan yang digunakan dalam Pasal 11 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999. Selain itu, Majelis tidak
menggunakan unsur terjadinya persaingan usaha tidak
sehat dalam memutus perkara apabila unsur-unsur lain
tidak terbukti. Pelanggaran terhadap ketentuan ini berarti
terdapat unsur melawan hukum yang merupakan unsur
terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
218
Universitas Indonesia
e. Berdasarkan ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1999, maka larangan kartel dideteksi dengan
pendekatan Rule of Reason, hal ini dapat terlihat dari anak
kalimat dalam ketentuan tersebut, yang berbunyi: “...yang
bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur
produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa
dari pasar bersangkutan.”. Demikian halnya dalam
perkara kartel minyak goreng, kartel Fuel Surcharge,
kartel semen, dan kartel industri farmasi. KPPU lebih
memilih menerapkan Rule of Reason pada kasus kartel
Fuel Surcharge daripada Per se Illegal karena adanya
dampak yang ditimbulkan oleh adanya kartel tersebut.
f. Tidak semua putusan KPPU dalam memutus perkara
perjanjian penetapan harga dan kartel dijatuhi sanksi ganti
kerugian. Dapat diketahui bahwa Pasal 47 mengenai
tindakan administratif dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tidak bersifat limitatif dalam perkara
perjanjian penetapan harga dan kartel. Hal ini dapat
dilihat dari Putusan KPPU Nomor 17/KPPU-I/2010
tentang kartel industri farmasi dimana terdapat
pembatalan pasal atau isi dari Pasal 5, Pasal 13 huruf c
angka IV, Pasal 18 dalam Supply Agreement antara Pfizer
Overseas LLC dengan PT. Dexa Medica dan juga Pasal
9.1 angka (V) dalam Pfizer Distribution Agreement antara
PT Pfizer Indonesia dengan PT. Anugrah Argon Medika.
Karakteristik lainnya yaitu KPPU tidak menguraikan
secara rinci di dalam putusan kartel minyak goreng dan
kartel industri farmasi mengenai mekanisme perhitungan
dalam pengenaan sanksi denda, sesuai dengan pedoman
yang terdapat di dalam Peraturan Komisi Nomor 4 Tahun
2009, karena di dalam putusan-putusan tersebut tidak
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
219
Universitas Indonesia
dijelaskan bagaimana mekanisme penghitungan denda
yang dikenakan kepada para pelaku usaha.
5.2 Saran
1. Pada umumnya baik penetapan harga maupun kartel sangat efektif
dilakukan dalam wadah asosiasi. Karena itu KPPU perlu membuat
pedoman bagi pelaku usaha tentang hal-hal yang dapat atau tidak
dapat dilakukan dalam sebuah asosiasi dagang.
2. Pembuktian penetapan harga dan kartel diketahui sangat sulit,
terutama dalam hal tidak ditemukan bukti langsung (direct
evidence) berupa perjanjian tertulis atau dokumen. Oleh karena itu,
diperlukan adanya terobosan baru dalam metode pembuktian yang
menggunakan bukti tidak langsung yang dapat diterima stake
holders, seperti pengadilan dan pengacara atau advokat.
3. KPPU perlu meningkatkan konsistensi dalam pembuatan putusan
agar kesalahan atau kekurangan seperti pada putusan kartel minyak
goreng, kartel pengenaan biaya tambahan Fuel Surcharge dalam
industri jasa penerbangan domestik, kartel industri semen dan
kartel industri farmasi tidak terjadi lagi.
4. KPPU dapat menguraikan secara rinci di dalam putusannya
mengenai mekanisme perhitungan dalam pengenaan sanksi denda,
sesuai dengan pedoman yang terdapat di dalam Peraturan Komisi
Nomor 4 Tahun 2009, karena di dalam beberapa putusannya,
KPPU tidak dijelaskan bagaimana mekanisme penghitungan denda
yang dikenakan kepada para pelaku usaha.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
220
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
A. Ganner B. Black’s Law Dictionary. St. Paul Minn: West Group, 1999.
Agee, James L. Ed. III. Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya di
Indonesia. Jakarta: Elips, 1999.
Alfter, M. and J. Young, “Economic Analysis of Cartels – Theory and Practice.”
European Competition Law Review 546-557 (2005). Hlm. 547.
Anggraini, A. M. Tri. Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat, Per Se Illegal atau Rule of Reason. Jakarta: Program Pasca
Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003.
_________. “Perspektif Perjanjian Penetapan Harga Menurut Hukum Persaingan
Usaha” Dalam Ridwan Khairandy. Masalah-Masalah Hukum Ekonomi
Kontemporer. Ed. Cet.1. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi, 2006.
Areeda, Phillip. “Hukum Antitrust Amerika.” Dalam Ceramah Tentang Hukum
Amerika Serikat. Jakarta: PT. Tata Nusa, 1996.
Arifin, T dan Sandi Hambali. “Undang-Undang Antitrust Di Amerika Serikat.”
Jurnal Hukum Bisnis (Volume 5 Tahun 1990). Hlm. 29.
Atmadja, Arifin P. Soeria. Mekanisme Pertanggungjawaban Keuangan Negara.
Jakarta: Gramedia, 1986.
Azhary. Negara Hukum Indonesia: Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-
unsurnya. Jakarta: Universitas Indonesia, 1995.
Bertents. Pengantar Etika Bisnis. Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Bos, Jacqueline. “Antitrust treatment of Cartels, A Comparative Survey of
Competition Law Exemptions in The United States, The European
Union, Australia and Japan.” 1 Wash. U. Global Stud. L. Rev. 415
(Washington University, 2002).
Briggs, A. “The Welfare State in Historical Perspective” Dalam Donald J. Moon,
Ed., Responsibility Rights & Welfare, The theory of the Welfare State.
Colorado: Westview Press Inc., Boulder, 1988.
Carlton, Dennis W and Jeffrey M. Perioff. Modern Industrial Organization.
Harper Collins Publisher, 1994.
Cides. Undang-Undang Persaingan: Suatu Upaya mendorong persaingan sehat.
Jakarta: Center for Information and Developments Studies-Konrad
Adenauer Stiftung, 1997.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
221
Universitas Indonesia
Davidso, Daniel V. Et al. Comprehensif Business Law, Principles and Cases.
London: Kent Publishing Company, 2001.
Fuady, Munir. Hukum Anti Monopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat.
Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999.
Fox, Eleanor M. “End of Antitrust Isolationism: The Vision of One World.” 1992
University of Chicago Legal Forum 221 (1992). Hlm. 228.
G. Shepherd W. The Economics of Industrial Organization. Fourth Eds. New
Jersey: Prentice Hall, 1997.
Gaffar, Firoz. “Hukum Acara Persaingan Usaha: Telaah Kritis Atas Sejumlah
Problem.” Jurnal Hukum Bisnis (Januari 2006). Hlm. 60.
Gautama, Soedargo. Hukum Perdata Internasional Indonesia. Bandung: Bina
Cipta, 1987.
Ginting, Elyta Ras. Hukum Anti Monopoli di Indonesia, Analisis dan
Perbandingan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2001.
Goodin, Robert E. “Reason for Welfare, Economic, Sociological and Political but
Ultimately Moral” Dalam Donald J. Moon, Ed., Responsibility Rights &
Welfare, The theory of the Welfare State. Colorado: Westview Press Inc.,
Boulder, 1988.
Guerrin, Maurice and Georgios Kyriazis. “Cartels: Proof and Procedural Issues.”
16 Fordham International Law Journal 226 (1993). Hlm. 301-302.
Gujarati, Damodar N. Basic Econometrics 4th Edition. McGraw Hill, 2003.
Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sapta Artha Jaya, 1996.
Hansen, Knud. Et al. Law Concerning Prohibition of Monopolistic Practices and
Unfair Business Competition. Berlin: GTZ-Katalis Publishing Media
Services, 2001.
Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata. Cet. 9. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Harding, Christopher and Julian Joshua. “Regulating Cartels In Europe – A Study
Of Legal Control Of Corporate Delinquency.” European Law Review
(Sweet & Maxwell Limited and Contributors, 2004).
Hazlett, Thomas W. “Is Antitrust Anticompetitive?.” 9 Harvard Journal of Law &
Public Policy 277 (1986). Hlm. 283.
Heidenhain, Martin. Et al., German Antitrust Law. Frankfurt am Main: Verlap
Fritz Knapp Gmbh, 1999.
Hermansyah. Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Jakarta:
Kencana, 2008.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
222
Universitas Indonesia
Hovenkamp, Herbert. Antitrust. St. Paul Minnesota: West Publishing, Co., 1993.
Irianto, Sulistyo dan Shidarta. Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi.
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011.
Juwana, Hikmahanto. “Sekilas tentang Hukum Persaingan dan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999,” Jurnal Magister Hukum (September 1999). Hlm.
32.
Kagramanto, L. Budi. Larangan Persekongkolan Tender (Perspektif Hukum
Persaingan Usaha). Surabaya: Srikandi, 2007.
Khairandy, Ridwan. “Membudayakan Persaingan Sehat.” Jurnal Hukum Bisnis
(19 Juni 2002). Hlm. 4.
_________. “Analisis Putusan KPPU dan Pengadilan Negeri dalam
Persekongkolan Tender PT. Indomobil.” Jurnal Hukum Bisnis (Volume
24, Tahun 2005). Hlm. 6.
Khemani, R.S. and D.M. Shapiro. Glossary of Industrial Organization Economics
and Competition Law. Paris: Organization for Economic Co-Operation
and Development, 1990.
Khemani, R. Syam. A Framework for The Design and Implementation of
Competition Law and Policy. Washington DC: World Bank, OECD,
1998.
KPPU. Laporan Lima Tahun Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Jakarta:
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, 2005.
Kusumaatmadja, Mochtar dan B. Arief Sidharta. Pengantar Ilmu Hukum Suatu
Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum (Buku 1).
Bandung: Alumni, 1999.
Lasater, Kieran A. “A Survey of the Domestic Approaches to Antitrust Taken by
the Opec Member Nations: Do They Practice What They Preach?.” 23
Penn State International Law Review 413 (2004). Hlm. 414.
Leslie, Christopher R. “Trust, Distrust, and Antitrust.” 82 Texas Law Review 515
(2004). Hlm 518.
Lubis, Andi Fahmi. Et al. Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks.
Jakarta: KPPU bersama GTZ, 2009.
Maarif, Syamsul. “Perjanjian Penetapan Harga Dalam Perspektif UU No. 5 Tahun
1999 tentang larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat.” Dalam Prosiding UU No. 5 Tahun 1999 dan KPPU. Cet. II.
Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005.
_________. “Persaingan Usaha dalam Perspektif Hukum.” Makalah dalam
Seminar Anti Monopoli dan Persaigan Usaha, diselenggarakan oleh
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
223
Universitas Indonesia
Asosiasi Advokat Indonesia (AAI)- Komisi Pengawas Persaingan Usaha,
Jakarta: 21 April 2005.
Maitland, Julian and Walker. “Constraints on Competitive Pricing.” European
Competition Law Review 17(8) 423-427 (1996). Hlm. 423.
Margono, Sayud. Hukum Anti Monopoli. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Marks, David H. “The Anti-Trust Implications of Relationships Between
Competitors.” European Competition Law Review 7(3) 299-326 (1986).
Hlm. 315.
Matsushita. introduction to Japanese Antimonopoly Law. Japan: Yuhikaku
Publishing Co. Ltd, 1990.
Maulana, Insan Budi. Catatan Singkat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.
Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Penerbit
Liberty, 1998.
_________. Penemuan Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty, 2003.
Mertokusumo, Sudikno dan A. Pitlo. Bab-bab tentang Penemuan Hukum.
Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993.
Nadapdap, Binoto. Hukum Acara Persaingan Usaha. Jakarta: Jala Permata
Aksara, 2009.
Nugroho, Susanti Adi. Pengaturan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia.
Jakarta: Puslitbang Mahkamah Agung, 2001.
Nurhayati, Irna. “Kajian Hukum Persaingan Usaha: Kartel Antara Teori dan
Praktik.” Jurnal Hukum Bisnis (Volume 30, Nomor 2 Tahun 2011). Hlm.
6.
Nusantara, Abdul Hakim G. dan Benny K. Harman. Analisa dan Perbandingan
Undang-Undang Anti Monopoli. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo,
1999.
OECD. “Prosecuting Cartels without Direct Evidence of Agreement.” Policy Brief
(Juni 2008).
Opi, Sergio Baches. “Merger Control in the United States and European Union:
How Should the United States Experience Influence the Enforcement of
the Council Merger Regulation?.” 6 Journal of Transnational Law &
Policy 223 (1997). Hlm. 278.
Pakpahan, Norman S. Pokok-Pokok Pikiran tentang Hukum Persaingan Usaha.
Jakarta: ELIPS, 1994.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
224
Universitas Indonesia
Posner, Richard. “Oligopoly and the Antitrust Laws: A Suggested Approach.” 21
Stanford Law Review 1562 (1969). Hlm. 1603-1604.
Prayoga, Ayudha D. Ed. Persaingan Usaha dan Hukum Yang Mengaturnya di
Indonesia. Jakarta: Partnership for Business Competition, 2001.
_________. Peran Lembaga Peradilan dalam Menangani Perkara Persaingan
Usaha. Jakarta: Partnership for Business Competition, 2001.
Rachbini, Didik J. “Cartel and Merger in Control in Indonesia.” Jurnal Hukum
Bisnis (Volume 19 Mei-Juni 2002). Hlm. 11-12.
Radjagukguk, Erman. Peranan Hukum di Indonesia: Menjaga Persatuan Bangsa
Memulihkan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial. Jakarta:
Universitas Indonesia, 2000.
_________. “Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dan KPPU”, Prosiding 2004.
Cet. 1. Jakarta: Pusat Pengkajian hukum, 2005.
Rahardja, Prahatma. dan Mandala Manurung. Teori Ekonomi Mikro: Suatu
Pengantar. Ed. II. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia,
2001.
Ramdani, Dendi. “Analisis Persaingan Usaha Industri Penerbangan.” Jurnal
Hukum Persaingan Usaha, Lembaga Kajian Persaingan dan Kebijakan
Usaha Fakultas Hukum Universitas Indonesia (Volume 1, mei 2004).
Hlm. 10.
Rokan, Mustafa Kemal. Hukum Persaingan Usaha : Teori dan Praktinya di
Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010.
Schmidt, Jonathan T. “Keeping U.S. Courts Open to Foreign Antitrust Plaintiffs:
A Hybrid Approach to the Effective Deterrence of International Cartels.”
31 Yale Journal of International Law 211 (2006). Hlm. 218.
Sirait, Ningrum Natasya. Hukum Persaingan di Indonesia. Medan: Pustaka
Bangsa Press, 2004.
Siswanto, Arie. Hukum Persaingan Usaha. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002.
Sjahdeni, Sutan Remy. “Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat.” Jurnal Hukum Bisnis (Volume 10, Tahun 2000). Hlm. 11.
_________. “Latar Belakang, Sejarah, dan Tujuan UU Larangan Monopoli.”
Jurnal Hukum Bisnis (Mei-Juni 2002). Hlm. 5.
Soekanto, Soerdjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Pers, 2008.
Stucke, Maurice E. “Behavioral Economists At The Gate: Antitrust In the
Twenty-First Century.” 38 Loyola University Chicago Law Journal 513
(2007). Hlm. 552.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
225
Universitas Indonesia
Subekti. Hukum Perjanjian. Cet. 29. Jakarta: Intermasa, 2001.
Sukarni. Regulasi Antidumping di Bawah Bayang-Bayang Pasar Bebas. Cet. 1.
Jakarta: Sinar Grafika: 2002.
Sulistia, Teguh. “Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Dalam Ekonomi Pasar Bebas.” Jurnal Hukum Bisnis (Volume 22, Nomor
5 Tahun 2003). Hlm. 64.
Sullivan, E. Thomas dan Jeffrey L. Harrison. Understanding and Its Economic
Implication. New York: Matthew Bender & Co., 1994.
Sullivan, Lawrence Anthony. Antitrust. St. Paul Minnesota: West Publishing, Co.,
1977.
Suparmoko, M. Et al. Pokok-Pokok Ekonomika. Yogyakarta: BPFE, 2000.
Supreme Court 2009 Term Leading Cases. “Quick Look Rule of Reason.” 124
Harvard Law Review. 400 (2010). Hlm. 4.
Syamsudin, M. Operasionalisasi Penelitian Hukum. Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada, 2007.
Tineo, Luis and Maria Coppola. Competition Policy and Economic Growth in
Indonesia: A Report on Issues and Options. Washington DC: World
Bank, 2001.
Toha, Kurnia. “Implikasi UU No. 5 Tahun 1999 terhadap Hukum Acara Pidana.”
Jurnal Hukum Bisnis (Volume 19, Mei - Juni 2002). Hlm. 21.
Usman, Rachmadi. Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2004.
Vaska, Michael K. “Conscious Parallelism and Price Fixing: Defining The
Boundary.” University of Chicago Law Review (Volume 52, Tahun
1985). Hlm 508.
Wie, Thee Kian. “Aspek-Aspek Ekonomi Yang Perlu Diperhatikan Dalam
Implementasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.” Jurnal Hukum
Bisnis (Volume 7, Tahun 1999). Hlm. 67.
Wignjosoebroto, Soetandyo. Hukum: Paradigma, Metode, dan Masalahnya.
Jakarta: ELSAM dan Huma, 2002.
Wiradiputra, Ditha. Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesia. Depok:
FHUI, 2003.
Yardley, DCM. Introduction to British Constitutional Law. Seventh ed. London:
Butterworths, 1990.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
226
Universitas Indonesia
Yuhassarie, Emmy dan Tri Harnowo. Ed. Filosofi dan Latar Belakang UU No.
5/1999 (secara ekonomis) dan Status/Kelembagaan, Wewenang & Tugas
KPPU. Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2004.
Zwarensteyn, H. Some Aspects of the Extraterritorial Reach of the American
Antitrust Law. The Netherlands: Kluwer-Deventer, 1970.
B. Internet
BANI. “Prosedur Bani” http://www.bani-arb.org/bani_prosedur_ind.html.
Diunduh 7 Oktober 2012.
Iwantono, Sutrisno. “Sulitnya Membuktikan Praktek Kartel”
http://www.kppu.go.id/id/sulitnya-membuktikan-praktik-kartel/. Diunduh
25 April 2012.
Isharyanto, “Makalah Seminar Saksi Ahli UNTAG” http://isharyanto-
hukum.com/makalah_seminar/isharyanto
MAKALAH_SEMINAR_AHLI_UNTAG.doc. Diunduh 6 Oktober 2012.
NN, “Dua Perusahaan Farmasi Besar Diduga Lakukan Kartel Obat”
http://www.menitiriau.com/headline.php?go=news&id=1364. Diunduh
17 September 2012
Sari, Wahyu Retno Dwi. “Kartel: Upaya Damai Untuk meredam Konfrontasi
Dalam Persaingan Usaha”, Jurnal KPPU (Edisi 1 Tahun 2009)
http://www.kppu.go.id/docs/Jurnal_edisi_1_th_09.pdf. Diunduh 6 Mei
2010.
Serikat Karyawan TRISAKTI. Dalam A.M. Tri Anggraini, “Mekanisme
Mendeteksi dan Mungungkap Kartel Dalam Hukum Persaingan”,
http://www.sekartrisakti.wordpress.com/2011/06/08/mekanisme-
mendeteksi-dan-mengungkap-kartel-dalam-hukum-persaingan/. Diunduh
6 November 2012.
C. Peraturan Dasar dan Peraturan Perundang-undangan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sekretariat Jenderal
MPR RI, 2002.
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat. UU Nomor 5 Tahun 1999, LN Nomor 33
Tahun 1999, TLN Nomor 3817.
_________. Keputusan Presiden tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
Keppres Nomor 75 Tahun 1999.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013
227
Universitas Indonesia
Mahkamah Agung Republik Indonesia. Peraturan Mahkamah Agung tentang Tata
Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan terhadap Putusan KPPU.
Perma Nomor 3 Tahun 2005.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Peraturan Komisi Pengawas
Persaingan Usaha tentang Pedoman Tindakan Administratif Sesuai
Ketentuan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,
Peraturan Komisi Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2009. Jakarta:
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, 2009.
_________, Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha tentang Pedoman
Pelaksanaan Pasal 11 tentang Kartel Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat, Peraturan Komisi Persaingan Usaha
Nomor 4 Tahun 2010. Jakarta: Komisi Pengawas Persaingan Usaha,
2010.
_________, Peraturan Komisi Pengawa Persaingan Usaha tentang Pedoman Pasal
5 (Penetapan Harga) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,
Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2011.
Jakarta: Komisi Pengawas Persaingan Usaha, 2011.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) diterjemahkan oleh
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. Cet. 40. Jakarta: Pradya Paramita, 2009.
D. Putusan-Putusan
Putusan Perkara Nomor : 24/KPPU-I/2009 tentang Kartel Harga pada Industri
Minyak Goreng Sawit di Indonesia.
Putusan Perkara Nomor : 25/KPPU-I/2009 tentang Kartel Biaya Tambahan Bahan
Bakar di Industri Jasa Penerbangan Domestik (Fuel Surcharge)
Putusan Perkara Nomor : 01/KPPU-I/2010 tentang Kartel pada Industri Semen di
Indonesia.
Putusan Perkara Nomor : 17/KPPU-I/2010 tentang Kartel dalam Industri Farmasi
Kelas Terapi Amlodipine.
Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013