UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki...

241
UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA PERJANJIAN PENETAPAN HARGA DENGAN KARTEL DALAM PRAKTEK PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT (Studi Terhadap Putusan-Putusan KPPU Pada Tahun 2009 Hingga 2010) TESIS RIZKI AFRIADI WIBOWO NPM : 1006829151 FAKULTAS HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS INDONESIA JAKARTA 2013 Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Transcript of UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki...

Page 1: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

UNIVERSITAS INDONESIA

RELEVANSI ANTARA PERJANJIAN PENETAPAN HARGA

DENGAN KARTEL DALAM PRAKTEK PERSAINGAN

USAHA TIDAK SEHAT

(Studi Terhadap Putusan-Putusan KPPU Pada Tahun 2009 Hingga 2010)

TESIS

RIZKI AFRIADI WIBOWO

NPM : 1006829151

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS INDONESIA

JAKARTA

2013

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 2: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

UNIVERSITAS INDONESIA

RELEVANSI ANTARA PERJANJIAN PENETAPAN HARGA

DENGAN KARTEL DALAM PRAKTEK PERSAINGAN

USAHA TIDAK SEHAT

(Studi Terhadap Putusan-Putusan KPPU Pada Tahun 2009 Hingga 2010)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

Guna Memperoleh Gelar Magister Hukum (M.H)

RIZKI AFRIADI WIBOWO

NPM : 1006829151

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA

JAKARTA

JANUARI 2013

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 3: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya sendiri,

Dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

Telah saya nyatakan dengan benar

Nama : Rizki Afriadi Wibowo, S.H.

NPM : 1006829151

Tanda Tangan :

Tanggal : 21 Januari 2013

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 4: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

iii

HALAMAN PENGESAHAN

Tesis ini diajukan oleh :

Nama : Rizki Afriadi Wibowo, S.H.

NPM : 1006829151

Program Studi : Hukum Ekonomi

Judul Tesis : Relevansi Antara Perjanjian Penetapan Harga Dengan

Kartel Dalam Praktek Persaingan Usaha Tidak Sehat (Studi

Terhadap Putusan-Putusan KPPU Pada Tahun 2009 Hingga

2010)

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima

sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar

Magister Hukum pada Program Studi Hukum Ekonomi Fakultas Hukum

Universitas Indonesia

DEWAN PENGUJI

Pembimbing : Dr. A.M. Tri Anggraini, S.H., M.H.

Penguji : Dr. Tri Hayati, S.H., M.H

Penguji : Teddy Anggoro, S.H., M.H

Ditetapkan di : Jakarta

Tanggal : 21 Januari 2013

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 5: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

iv

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan

rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis dalam rangka memenuhi

persyaratan guna memperoleh gelar magister Ilmu Hukum di Universitas

Indonesia. Tesis ini berjudul “Relevansi Antara Perjanjian Penetapan Harga

Dengan Kartel Dalam Praktek Persaingan Usaha Tidak Sehat (Studi Terhadap

Putusan-Putusan KPPU Pada Tahun 2009 Hingga 2010)”. Penulis menyadari

sepenuhnya tanpa bantuan, masukan, semangat dan dorongan dari berbagai pihak

maka tidaklah mungkin tesis ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu Penulis tidak

lupa mengucapkan terima kasih.

Ucapan terima kasih yang khusus penulis berikan kepada Ibu Dr. A.M. Tri

Anggraini, S.H., M.H., yang telah memberikan waktunya untuk membimbing

Penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Saran, kritik, dan masukan untuk tesis ini

sangat berguna sehingga tesis ini dapat selesai tepat waktu.

Selanjutnya ucapan terima kasih Penulis haturkan kepada para penguji Ibu

Dr. Tri Hayati, S.H., M.H., dan Bapak Teddy Anggoro, S.H., M.H., yang telah

memberikan banyak kritik dan saran yang sangat berguna untuk perbaikan tesis

ini.

Tidak lupa ucapan terima kasih Penulis berikan kepada Dosen-dosen yang

telah mengajar dan mencurahkan ilmunya selama Penulis menempuh studi, serta

kepada karyawan sekretariat Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas

Indonesia yang telah banyak membantu selama proses studi.

Kepada teman-teman seperjuangan satu angkatan di Program Magister

Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Margie, Devina, Ibrahim, Axel, Bang Ramon,

Cornel, Jandi, Indra, Candra, Grace, Rini, Mbak Lucky, Mbak Nana, Mas Alpha,

Mas Ibnu, Mas Simon, Mas Gunawan, Mas Hermawanto, Mas Andiko, Mas

Asep, Mas Ian, Anita, Rado, Yunan, Cory, Djun, dan Niko, terima kasih atas

kebersamaannya yang sarat makna dalam suka dan duka selama 4 semester,

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 6: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

v

terutama Omar, Yurista dan Mas Arif yang selalu memberi semangat, motivasi,

bantuan, saran, dan kritik, mulai dari awal semester hingga akhir penulisan tesis

ini, dari kalian aku belajar banyak hal baru tentang kehiduan, terima kasih.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Mas Andri, Mbak

Monique, Mas Basori, Nenny, Irma, Fajar, karena sudah memberi motivasi dan

membantu Penulis.

Teristimewa Penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak, Ibu, Adikku

tersayang, Eyang Uti, dan Alm. Eyang Kakung yang menjadi sumber inspirasi,

kebanggaan, pengabdian diri Penulis dan juga telah memberikan kesempatan yang

seluas-luasnya untuk beraktivitas positif. Insya Allah yang selama ini dilakukan

adalah demi kebaikan diri Penulis.

Akhirnya Penulis menyadari kekurangan yang terdapat dalam tesis ini,

kritik dan saran sangat Penulis harapkan untuk kesempurnaan tesis ini. Semoga

penulisan hukum ini bermanfaat.

Jakarta, 21 Januari 2013

Rizki Afriadi Wibowo

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 7: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

vi

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di

bawah ini:

Nama : Rizki Afriadi Wibowo

NPM : 1006829151

Program Studi : Hukum Ekonomi

Fakultas : Hukum

Jenis Karya : Tesis

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada

Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non-exclusive Royalty-

Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

“Relevansi Antara Perjanjian Penetapan Harga Dengan Kartel Dalam

Praktek Persaingan Usaha Tidak Sehat (Studi Terhadap Putusan-Putusan

KPPU Pada Tahun 2009 Hingga 2010)”

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti

Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,

mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),

merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama

saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di: Jakarta

Pada Tanggal : 21 Januari 2013

Yang Menyatakan

(Rizki Afriadi Wibowo)

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 8: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

vii

ABSTRAK

Nama : Rizki Afriadi Wibowo

Program Studi : Hukum Ekonomi

Judul : Relevansi Antara Perjanjian Penetapan Harga Dengan

Kartel Dalam Praktek Persaingan Usaha Tidak Sehat

(Studi Terhadap Putusan-Putusan KPPU Pada Tahun 2009

Hingga 2010)

Hukum Persaingan Usaha melindungi persaingan dan proses persaingan yang

sehat dengan mencegah dan memberikan sanksi terhadap tindakan-tindakan yang

anti-persaingan. Kartel sangat merugikan perekonomian karena para pelaku usaha

anggota kartel akan setuju untuk melakukan kegiatan yang berdampak pada

pengendalian harga, seperti pembatasan jumlah produksi yang akan menyebabkan

inefisiensi alokasi. Kartel juga dapat menyebabkan inefisiensi dalam produksi

ketika mereka melindungi pabrik yang tidak efisien, sehingga menaikkan biaya

rata-rata produksi suatu barang atau jasa dalam suatu industri. Penelitian dalam

penyusunan tesis ini mengacu pada teori tentang campur tangan negara dalam

bidang perekonomian, khususnya pengaturan pasar dalam konsep negara

kesejahteraan (welfare state). Metode penelitian yang digunakan dalam tesis ini

adalah normatif dengan teknik pengumpulan data sekunder dan metode analisis

data kualitatif serta metode penalaran deduktif. Pengaturan tentang larangan

perjanjian penetapan harga di Indonesia dicantumkan dalam Pasal 5 sedangkan

larangan perjanjian kartel di Indonesia dicantumkan dalam Pasal 11 Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat. Penetapan harga termasuk bentuk kartel dan

sesungguhnya Pasal 5 pada hakikatnya juga merupakan pengaturan tentang kartel,

hanya saja kartel yang dimaksud adalah kartel harga. Sementara kartel dalam

Pasal 11 yang diatur adalah kartel produksi dan pemasaran yang tujuan akhirnya

mempengaruhi harga. Jadi kalau Pasal 5 mengatur secara langsung larangan

pengaturan harga, maka dalam Pasal 11 yang diatur adalah kartel produksi dan

pemasaran yang akhirnya berpengaruh pada harga produk. Putusan KPPU yang

berkaitan dengan perjanjian penetapan harga dan kartel pada tahun 2009 hingga

2010 terdapat 4 (empat). Dari 4 (empat) putusan KPPU tersebut memiliki

karakter yang berbeda-beda. Untuk itulah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

berserta Peraturan KPPU mengenai Pedoman Pasal 5 dan Pasal 11 menjadi sangat

penting dalam penegakan hukum persaingan usaha di Indonesia.

Kata Kunci : Perjanjian Penetapan Harga, Kartel, Komisi Pengawas Persaingan

Usaha

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 9: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

viii

ABSTRACT

Name : Rizki Afriadi Wibowo

Study Program : Economic Law

Title : Relevance between Price Determination Agreement and

Cartels in the Unhealthy Business Competition Practice

(The Study of KPPU Decisions from 2009 to 2010)

The Business Competition Law protects competition and the healthy competition

process by preventing and giving sanctions to the anti-competition acts. Cartels

are very detrimental to the economy because the business doers as the cartel

members will agree to do activities having impact on price control, such as the

limitation of production amount which will cause allocation inefficiency. Cartels

also can cause inefficiency in production when they protect inefficient factories so

that they increase the costs of the production in average of a product or service in

an industry. Research in this thesis refers to the theory on the state’s interference

in economy, particularly the market arrangement in the concept of welfare state.

The research method used in this thesis is normative with the secondary data

collection technique, the qualitative data analysis method, and the deductive

reasoning method. The regulation on the prohibition of the price determination

agreement in Indonesia is set forth in Article 5, while the prohibition of the cartel

agreement is set forth in Article 11 of the Law Number 5 of the Year 1999 on

Prohibition of Monopoly Practice and Unhealthy Business Competition. The price

determination includes cartels, and actually Article 5 basically is also the

regulation about cartels, but the cartels referred to here are the price cartels.

Meanwhile, cartels governed in Article 11 are production and marketing cartels

having an end goal to influence prices. Hence, if Article 5 governs directly the

prohibition of price arrangement, what is governed in Article 11 is the production

and marketing cartels which eventually influence the product prices. KPPU’s

decisions related to the price determination agreement and cartels from 2009 to

2010 consist of 4 (four) decisions. Those 4 (four) KPPU’s decisions have different

characters. Therefore, the Law Number 5 of the Year 1999 and the KPPU’s

regulation on Guidelines Article 5 and Article 11 become very significant in the

business competition law enforcement in Indonesia.

Key words: Price Determination Agreement, Cartels, Business Competition

Supervising Committee

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 10: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS.......................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ iii

KATA PENGANTAR .................................................................................... iv

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

KARYA ILMIAH........................................................................................... vi

ABSTRAK ...................................................................................................... vii

ABSTRACT .................................................................................................... viii

DAFTAR ISI ................................................................................................... ix

DAFTAR TABEL........................................................................................... xi

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xii

BAB 1 PENDAHULUAN ....................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ..................................................................... 1

1.2 Pokok Permasalahan ............................................................ 13

1.3 Tujuan Penelitian ................................................................. 14

1.4 Kegunaan Penelitian ............................................................ 14

1.5 Kerangka Teori .................................................................... 14

1.6 Kerangka Konsepsional ....................................................... 21

1.7 Metode Penelitian ................................................................ 24

1.8 Metode Pendekatan .............................................................. 25

1.9 Tipologi Penelitian ............................................................... 25

1.10 Jenis Data ............................................................................. 25

1.11 Teknik Pengumpulan Data................................................... 27

1.12 Metode Analisis Data........................................................... 27

1.13 Sistematika Penulisan .......................................................... 27

BAB 2 PERJANJIAN PENETAPAN HARGA DAN KARTEL

MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 29

2.1 Perjanjian Menurut Hukum Persaingan usaha ..................... 29

2.2 Kajian Umum tentang Penetapan Harga ............................. 36

2.3 Kajian Umum tentang Kartel ............................................... 52

2.4 Pembuktian oleh KPPU ........................................................ 65

BAB 3 RELEVANSI ANTARA PERJANJIAN PENETAPAN

HARGA DENGAN KARTEL .................................................... 81 3.1 Pendekatan Rule of Reason dan Per Se Illegal dalam

Penetapan Harga dan Kartel ................................................. 81

3.2 Regulasi Kartel di Beberapa Negara ..................................... 85

3.3 Pendeteksian Terhadap Adanya Kartel ................................. 95

3.4 Penetapan Harga Termasuk Bentuk Kartel ........................... 99

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 11: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

x

BAB 4 KARAKTERISTIK DAN ANALISIS TERHADAP

PUTUSAN KPPU TENTANG PERJANJIAN PENETAPAN

HARGA DAN KARTEL DI INDONESIA PADA TAHUN 2009

HINGGA 2010............................................................................. 107

4.1 Gambaran Umum Perkara Penetapan Harga dan Kartel

dalam Putusan KPPU Tahun 2009 hingga 2010 di Indonesia 107

4.1.1 Perkara tentang Kartel Minyak Goreng ..................... 107

4.1.2 Perkara Penetapan Harga Fuel Surcharge Dalam

Industri Jasa Penerbangan Domestik ........................ 118

4.1.3 Perkara Penetapan Harga dan Kartel dalam Industri

Semen ......................................................................... 138

4.1.4 Perkara Industri Farmasi Kelas Terapi Amlodipine...... 149

4.2 Karakteristik dan Analisis terhadap Putusan KPPU

dalam Penetapan Harga dan Kartel di Indonesia .................. 155

4.2.1 Aspek Formal Putusan KPPU dalam Perkara

Perjanjian Penetapan Harga dan Kartel ..................... 157

4.2.1.1 Indikasi Awal Pelanggaran ......................... 157

4.2.1.2 Struktur Putusan .......................................... 166

4.2.2 Aspek Material Putusan KPPU dalam Perkara

Perjanjian Penetapan Harga dan Kartel ..................... 176

4.2.2.1 Pembuktian Perilaku Pelaku Usaha............. 176

4.2.2.2 Pembuktian Unsur-Unsur dalam Pasal

yang digunakan oleh KPPU ....................... 184

4.2.2.3 Pendekatan Hukum yang digunakan oleh

KPPU ......................................................... 190

4.2.2.4 Pengenaan Sanksi ........................................ 198

BAB 5 PENUTUP .................................................................................... 215 5.1 Kesimpulan ............................................................................ 215

5.2 Saran ...................................................................................... 219

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 220

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 12: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1. Harga Avtur Penerbangan Domestik Dalam Rupiah

(Termasuk PPn 10%) Tahun 2000-2008.................................. 121

Tabel 4.2. Nilai Pungutan Fuel Surcharge ................................................ 122

Tabel 4.3. Perjanjian Penetapan Harga dan Kartel Terbukti dan

Tidak Terbukti .......................................................................... 156

Tabel 4.4. Indikasi Awal Pelanggaran....................................................... 163

Tabel 4.5. Struktur Putusan Perjanjian Penetapan Harga dan Kartel

pada Periode 2009 hingga 2010 ................................................ 166

Tabel 4.6. Perilaku Pelaku Usaha dalam Perjanjian Penetapan Harga

Dan Kartel .................................................................................. 183

Tabel 4.7. Unsur-Unsur Pasal yang digunakan oleh KPPU

dalam menjatuhkan Putusan ................................................... 187

Tabel 4.8. Pendekatan yang digunakan oleh KPPU pada Putusan

mengenai Perjanjian Penetapan Harga dan Kartel ............... 196

Tabel 4.9. Pengenaan Tindakan Administratif pada Putusan

mengenai Perjanjian Penetapan Harga dan Kartel ............... 200

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 13: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1. Pendekatan Per Se Illegal ..................................................... 84

Gambar 3.2. Pendekatan Rule of Reason .................................................. 84

Gambar 4.1. Tingkat Konsentrasi Pasar Minyak Goreng Curah .......... 111

Gambar 4.2. Tingkat Konsentrasi Pasar Minyak Goreng Kemasan ..... 112

Gambar 4.3. Pergerakan Fuel Surcharge 0 sampai dengan 1 Jam

Sriwijaya, Garuda, Mandala, Lion, Batavia, Kartika,

Merpati dan Wings Air Mei 2006 – Oktober 2009 ............ 124

Gambar 4.4. Pergerakan Fuel Surcharge 1 sampai dengan 2 Jam

Sriwijaya, Garuda Mandala, Lion, Batavia, Kartika,

Merpati, Ekspress Air dan Wings Air Mei 2006 –

Oktober 2009 ......................................................................... 125

Gambar 4.5. Pergerakan Fuel Surcharge 2 sampai dengan 3 Jam

Sriwijaya, Garuda, Mandala, Lion, Batavia, Kartika,

Merpati dan Wings AirMei 2006 – Oktober 2009 ............ 125

Gambar 4.6. Perbandingan Fuel Surcharge Aktual v.s Fuel Surcharge

Acuan Estimasi Mei 2006 sampai dengan Oktober 2009

(Penerbangan 0 sampai dengan 1 jam ............................... 126

Gambar 4.7. Perbandingan Fuel Surcharge Aktual v.s Fuel Surcharge

Acuan Estimasi Mei 2006 sampai dengan Oktober 2009

(Penerbangan 1 sampai dengan 2 jam ............................... 127

Gambar 4.8. Perbandingan Fuel Surcharge Aktual v.s Fuel Surcharge

Acuan Estimasi Mei 2006 sampai dengan Oktober 2009

(Penerbangan 2 sampai dengan 3 jam ............................... 127

Gambar 4.9. Perbandingan Fuel Surcharge Aktual v.s Fuel Surcharge

Acuan Dephub Maret 2008 sampai dengan Oktober 2009

(Penerbangan 0 sampai dengan 1 jam ............................... 128

Gambar 4.10. Perbandingan Fuel Surcharge Aktual v.s Fuel Surcharge

Acuan Dephub Maret 2008 sampai dengan Oktober 2009

(Penerbangan 1 sampai dengan 2jam) .............................. 128

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 14: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

xiii

Gambar 4.11. Perbandingan Fuel Surcharge Aktual v.s Fuel Surcharge

Acuan Dephub Maret 2008 sampai dengan Oktober 2009

(Penerbangan 2 sampai dengan 3 jam) .............................. 129

Gambar 4.12. Biaya Per Ton Semua Jenis Semen Diproduksi (2004-2009) 146

Gambar 4.13. Pergerakan Harga Norvask dan Tensivask 5 mg Per Unit 152

Gambar 4.14. Pergerakan Harga Norvask dan Tensivask 10 mg Per Unit 153

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 15: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

1

Universitas Indonesia

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan yang timbul dari proses globalisasi memunculkan

fenomena dan tantangan baru yang memerlukan solusi tersendiri, termasuk yang

berkaitan dengan bidang hukum. Pembangunan Hukum Ekonomi Indonesia pada

hakikatnya haruslah mengacu pada rumusan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945

dimana dijelaskan bahwa perekonomian disusun berdasarkan asas kekeluargaan,

dan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan masyarakat dikuasai

oleh negara, serta semua kekayaan alam dipergunakan sepenuhnya untuk

kesejahteraan rakyat banyak. Tetapi dalam pelaksanaannya banyak sekali

deregulasi di bidang pembangunan hukum ekonomi yang bersebrangan dengan

substansi dan jiwa Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.

Sebenarnya secara pragmatis, batasan-batasan yuridis terhadap praktek

persaingan usaha yang tidak sehat dapat diketemukan secara tersebar dalam

berbagai hukum positif. Namun, penulisannya belum terkodifikasi dalam satu

buku atau kitab hukum dan sifat pengaturannya masih sangat general serta

sektoral. Hal ini menyebabkan perundang-undangan tersebut menjadi sangat tidak

efektif untuk dapat memenuhi maksud dan tujuan yang hendak dicapai dengan

adanya undang-undang tersebut. Untuk itulah diperlukan sebuah undang-undang

yang secara khusus mengatur persaingan usaha tidak sehat dan antimonopoli yang

sudah sejak lama dipikirkan oleh para pakar, partai politik, lembaga swadaya

masyarakat, instansi pemerintah dan tentunya adalah pelaku usaha.1

Segala kegiatan usaha yang disertai dengan persaingan di antara para

pelaku usaha, merupakan hal yang mutlak dalam pelaksanaan kegiatan ekonomi

yang telah mengglobal pada saat ini. Wacana pelaksanaan kegiatan ekonomi

melalui persaingan usaha yang sehat merupakan sebuah fenomena yang positif

1Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama, 2004), hlm. 2.

1

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 16: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

2

Universitas Indonesia

dalam rangka perwujudan pembangunan ekonomi secara menyeluruh mencakup

efisiensi dan kesejahteraan konsumen.2

Dalam persaingan usaha yang sehat terdapat kegiatan usaha yang

mengedepankan keadilan dalam mengelola bidang usaha, sehingga secara tidak

langsung akan memberikan kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi semua

pelaku usaha. Persaingan usaha yang sehat juga akan menciptakan transparansi

serta desentralisasi pengambilan keputusan ekonomi yang membuka partisipasi

dan keterlibatan banyak pihak.3

Pengalaman di negara-negara lain membuktikan bahwa persaingan usaha

yang sehat akan mendorong sumber daya ekonomi termasuk modal menjadi lebih

meningkat dan untuk selanjutnya dapat digunakan secara produktif bagi

peningkatan pembangunan ekonomi.4

2Erman Radjagukguk, “Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dan KPPU”, Prosiding

2004, cet.1, (Jakarta: Pusat Pengkajian hukum, 2005), hlm. 14. Efisiensi berarti jika terdapat

persaingan dimana terdapat lebih dari satu pelaku usaha, maka harga akan menjadi lebih murah

output akan menjadi lebih baik kualitasnya dan mendorong dilakukannya inovasi. Jika tidak

terdapat persaingan maka harga akan semakin tinggi, kualitas hasil produksi akan rendah,

kurangnya inovasi dan terjadi pemborosan sumber daya. Selain dari segi efisiensi, konsumen

memperoleh keuntungan dalam pemilihan produk-produk yang ada di pasar, dengan adanya

pilihan maka konsumen bisa mendapatkan harga yang murah. Dengan begitu konsumen biasa

mengalokasikan dananya untuk keperluan yang lain seperti: menabung dan investasi sehingga

kesejahteraan masyarakat dapat menjadi lebih baik.

3Knud Hansen, et al., Law Concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair

Business Competition, (Berlin: GTZ-Katalis Publishing Media Services, 2001), hlm. 6. Inti dari

ekonomi pasar adalah desentralisasi keputusan berkaitan dengan “apa”, “berapa banyak”, dan

“bagaimana” dari proses-proses produksi. Ini berarti bahwa individu harus diberi ruang gerak

tertentu untuk pengambilan keputusan. Suatu proses pasar hanya dapat dikembangkan di dalam

suatu struktur pengambilan keputusan yang terdesentralisasi, artinya bahwa terdapat individu-

individu yang independent dalam jumlah secukupnya, yang menyediakan pemasokan dan

permintaan dalam suatu pasar, karena proses-proses pasar memerlukan saat-saat aksi dan reaksi

pelaku-pelaku pasar yang tidak dapat diprediksi. Ini adalah satu-satunya cara untuk menjamin

bahwa kekeliruan-kekeliruan perencananaan oleh individu tidak semakin terakumulasi sehingga

akhirnya menghentikan fungsi pasar sebagai umpan balik kibernetis.

4Cides, Undang-Undang Persaingan: Suatu Upaya mendorong persaingan sehat,

(Jakarta: Center for Information and Developments Studies-Konrad Adenauer Stiftung, 1997),

hlm. 4. Ekonomi pasar sosial di Jerman bertumpu pada konsep bahwa persaingan yang efektif

adalah proses yang paling baik untuk mencapai prestasi ekonomi. Prestasi ekonomi yang baik

merupakan persyaratan kebijaksanaan sosial yang memuaskan. Karena itu persaingan efektif

merupakan bagian sentral dalam sistem ekonomi pasar sosial. Namun persaingan tidak dapat

dibiarkan bekerja dengan sendirinya, dalam sistem ekonomi pasar sosial agar persaingan dapat

berjalan dengan fair dibutuhkan dukungan pemerintah. Perlindungan terhadap praktek-praktek

anti persaingan dapat diberikan kepada perusahaan swasta atau negara. Undang-undang

memberikan perlindungan terhadap keduanya. Jika pihak swasta merasa dirugikan oleh

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 17: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

3

Universitas Indonesia

Persaingan juga berlaku di kalangan pelaku usaha. Persaingan dilakukan

secara positif dan negatif. Persaingan usaha negatif atau tidak sehat dapat

menyebabkan timbulnya praktek monopoli di mana pasar hanya dikuasai oleh

pelaku usaha tersebut. Selain itu akibat lain yang timbul adalah kecenderungan

pelaku usaha menjual barang yang mahal tanpa kualitas yang memadai.5

Ilmu ekonomi dapat memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai

jenis perbuatan yang dapat mengakibatkan hambatan terhadap persaingan,

mengenai manfaat apabila hambatan untuk bersaing dihilangkan, dan peranan

kebijakan persaingan dalam mendapatkan manfaat tadi. Ada kesamaan pendapat

yang luas antara para ekonom dan praktisi hukum persaingan bahwa efisiensi dan

kesejahteraan konsumen merupakan tujuan utama dari kebijakan persaingan.

Dalam beberapa hal tujuan ini dapat bertentangan antara satu dengan yang

lainnya.6

Seringkali suatu industri hanya mempunyai beberapa pemain yang

mendominasi pasar. Keadaan yang demikian dapat mendorong mereka untuk

mengambil tindakan bersama dengan tujuan memperkuat kekuatan ekonomi

mereka dan mempertinggi keuntungan. Ini mendorong mereka untuk membatasi

tingkat produksi maupun tingkat harga melalui kesepakatan bersama di antara

diskriminasi atau diboikot maka ia dapat mengajukan tindakan tersebut ke pengadilan untuk

melarang praktek tersebut atau mendapatkan ganti rugi. 5Hikmahanto Juwana, “Sekilas tentang Hukum Persaingan dan Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999,” Jurnal Magister Hukum (September 1999), hlm. 32.

6Banyak pihak di Amerika Serikat percaya bahwa pendukung Mahzab Chicago seperti

Aaron Director, Henry Simons, George Stigler, Robert Bork, Richard Posner, dan yang lainnya,

adalah orang-orang pertama yang melekatkan aspek ekonomi pada tujuan Hukum Persaingan.

Bork dalam pandangan pada prosiding Kongres yang berakhir dengan diundangkannya Sherman

Act pada tahun 1890, menyimpulkan bahwa:

“…the policy the courts intended to apply is the maximization of wealth or consumer

want satisfaction. This requires courts to distinguish between agreements or activities

that increase wealth through efficiency and those that decrease it through restriction of

output.”

Banyak ekonom mendukung pendapat bahwa efisiensi adalah tujuan utama dari kebijakan

kompetisi. Tidak demikian dengan pendapat sebagian pihak maksimalisasi / kesejahteraan

konsumen, dimana pelaku usaha seharusnya tidak menaikkan harga dan sebaliknya mencoba

menurunkannya supaya lebih kompetitif, dan konsumen lebih diuntungan apabila mutu,

ketersediaan dan pilihan barang dapat ditingkatkan.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 18: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

4

Universitas Indonesia

mereka. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari persaingan yang terjadi yang

nantinya akan merugikan mereka sendiri.

Apabila persaingan secara sehat dilaksanakan, maka pelaku pasar dituntut

untuk memperbaiki produk atau jasa yang dihasilkan dan terus melakukan inovasi,

berupaya keras memberi produk atau jasa yang terbaik bagi konsumen,

menghasilkan produk atau jasa secara efisien. Di sisi lain, konsumen mempunyai

pilihan dalam membeli barang atau jasa tertentu dengan harga yang murah namun

berkualitas tinggi. Selain itu, pengaturan ini akan melindungi para konsumen

dengan harga yang bersaing dan produk alternatif yang dapat dibeli dengan mutu

tinggi di pasar.7

Sebaliknya, apabila monopoli yang berkembang, pelaku usaha menjadi

inefisien dalam menghasilkan produk atau jasa karena tidak adanya pesaing,

inovasi produk barang atau jasa tidak terjadi. Monopolistik di bidang ekonomi

menjadi sangat berbahaya dan merugikan kepentingan umum secara keseluruhan

apabila diciptakan dan didukung oleh pemerintah, mematikan jalannya

mekanisme pasar yang sehat dan kompetitif serta pada akhirnya akan dapat

melumpuhkan sistem politik demokratis.8

Persaingan usaha merupakan ekspresi kebebasan yang dimilki setiap

individu dalam rangka bertindak untuk melakukan transaksi perdagangan dipasar.

Persaingan usaha diyakini sebagai mekanisme untuk dapat mewujudkan efisiensi

dan kesejahteraan masyarakat. Bila persaingan dipelihara secara konsisten, akan

tercipta kemanfaatan bagi masyarakat konsumen, yaitu berupa pilihan produk

yang bervariatif dengan harga pasar serta dengan kualitas tinggi. Sebaliknya, bila

persaingan dibelenggu oleh peraturan-peraturan, atau dihambat oleh perilaku-

perilaku usaha tidak sehat dari perilaku pasar, maka akan muncul dampak

kerugian pada konsumen.9

7Teguh Sulistia, “Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Dalam

Ekonomi Pasar Bebas,” Jurnal Hukum Bisnis (Volume 22, Nomor 5 Tahun 2003), hlm. 64.

8Ridwan Khairandy, “Membudayakan Persaingan Sehat,” Jurnal Hukum Bisnis (19 Juni

2002), hlm. 4.

9Irna Nurhayati, “Kajian Hukum Persaingan Usaha: Kartel Antara Teori dan Praktik,”

Jurnal Hukum Bisnis (Volume 30, Nomor 2 Tahun 2011), hlm. 6.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 19: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

5

Universitas Indonesia

Hukum persaingan (hukum anti monopoli) diperlukan tidak hanya dalam

rangka menjamin kebebasan untuk bertindak seluas mungkin bagi pelaku usaha,

tetapi juga menentukan garis pembatas antara pelaksanaan kebebasan pelaku

usaha tersebut dengan penyalahgunaan kebebasannya itu (freedom paradox). Jadi

hukum anti monopoli membangun kerangka kerja dalam upaya mengatur

keseimbangan kepentingan diantara para pelaku usaha, juga keseimbangan

kepentingan pelaku usaha dengan kepentingan masyarakat konsumen. Agar

hukum anti monopoli dapat tetap terjaga keharmonisan kepentingan diantara

pelaku usaha dengan masyarakat, maka hukum anti monopoli harus dapat

menjaga efektivitas dari persaingan usaha. Hal ini patut diperhatikan Karena

seringkali kebijakan persaingan usaha justru mengancam persaingan dengan

aturan-aturan yang membelenggu dan menghambat persaingan. Ancaman

persaingan usaha lainnya juga datang dari para pelaku usaha sendiri yang secara

sengaja melakukan berbagai strategi bisnis yang menghambat persaingan.10

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 199911

tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, untuk pertama kalinya dalam

sejarah Indonesia mengundangkan hukum persaingan usaha yang komprehensif ,

tepatnya pada tanggal 5 Maret 1990, yang termuat dalam Lembaran Negara RI

Tahun 1999 Nomor 33. Secara tegas dalam substansinya, Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1999 menetapkan tujuan yang hendak dicapai dari pemberlakuannya

yaitu untuk menjamin kepentingan umum, meningkatkan efisiensi perekonomian

nasional, meningkatkan kesejahteraan rakyat, mewujudkan iklim usaha yang

kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin

adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, kecil

dan menengah, mencegah praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat

10

Ibid. 11

Undang-Undang tersebut merupakan hasil inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),

yang diundangkan pada tanggal 5 Maret 1999 dan berlaku sejak tanggal 5 Maret 2000, lihat dalam

Sutan Remy Sjahdeni, “Latar Belakang, Sejarah, dan Tujuan UU Larangan Monopoli,” Jurnal

Hukum Bisnis (Mei-Juni 2002), hlm. 5. Sebelum lahirnya Undang-Undang tersebut, pengaturan

persaingan usaha dapat kita jumpai dalam Pasal 382 bis KUHP, Pasal 1365 KUH Perdata, dan

lainnya, lihat dalam Susanti Adi Nugroho, Pengaturan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia,

(Jakarta: Puslitbang Mahkamah Agung, 2001), hlm. 13-14.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 20: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

6

Universitas Indonesia

yang ditimbulkan pelaku usaha demi terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam

kegiatan usaha.12

Pembahasan tentang persaingan tidak sehat dan tindak pidana monopoli,

selama ini diatur baik secara eksplisit maupun implisit oleh pemerintah dalam

berbagai perundang-undangan yang ada. Misalnya dalam Pasal 382 bis W.V.S.

(KUHP),13

Pasal 1365 KUHPerdata,14

Pasal 81 dan 82 Undang-Undang Nomor 19

Tahun 1992 yang telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997.15

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang perindustrian,16

Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas khususnya dalam Bab VII (Pasal

102 sampai dengan 109),17

Undang-Undang Koperasi Nomor 5 Tahun 1992.

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, Undang-Undang

12

Insan Budi Maulana, Catatan Singkat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Bandung: Citra Aditya Bakti,

2000), hlm. 12.

13

Barang siapa mendapatkan, melangsungkan atau memperluas hasil perdagangan atau

perusahaan milik sendiri atau orang lain, melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan

khalayak umum atau seseorang tertentu, diancam karena persaingan curang dengan pidana paling

lama satu (1) tahun empat bulan atau denda paling banyak Rp. 13.500,- jika hal itu dapat

menimbulkan kerugian bagi saingannya sendiri atau saingan orang lain. 14

Setiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain,

mewajibkan orang yang menimbulkan suatu kerugian tersebut karena kesalahannya untuk

mengganti kerugian tersebut. 15

Pasal 81 dan 82 pada intinya melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak

menggunakan merek yang sama dengan merek terdaftar milik orang lain atau milik badan hukum

untuk barang dan jasa sejenis yang diproduksi dan atau diperdagangkan. Menurut Pasal 82

perbuatan yang diatur dalam Pasal 81 dan 82 merupakan kejahatan. 16

Dalam Pasal 7 memuat ketentuan kewenangan pemerintah untuk melakukan

pengaturan, pembinaan dan pengembangan terhadap industri untuk: (1) mewujudkan

pengembangan industri yang lebih baik, secara sehat dan berhasil guna, (2) mengembangkan

persaingan yang baik dan sehat serta mencegah persaingan tidak jujur, (3) mencegah pemutusan

atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perorangan dalam bentuk monopoli yang

merugikan masyarakat. 17

Pasal 102 sampai dengan 109 yang mengenai penggabungan (merger), peleburan

(konsolidasi), pengambilalihan (akuisisi). Dalam Pasal 104 ayat 1 disebutkan bahwa

penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan perseroan harus memperhatikan: (a). Kepentingan

perseroan, pemegang saham minoritas, dan karyawan perusahaan. (b) kepentingan masyarakat dan

persaingan sehat dalam melakukan usaha. Ketentuan ini menegaskan bahwa penggabungan

(merger), peleburan (konsolidasi), dan pengambilalihan (akuisisi) tidak dapat dilakukan kalau

merugikan kepentingan pihak-pihak tertentu dan harus dicegah terjadinya berbagai bentuk

monopoli dan monopsoni.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 21: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

7

Universitas Indonesia

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan dalam berbagai

putusan hakim di pengadilan.

Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 maka dibentuk pula

Komisi Pengawas Persaingan Usaha. KPPU memegang peranan yang sangat

penting yang mana dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

dikatakan bahwa komisi dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang

ini. Selain melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan

terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, komisi juga

bertugas melakukan penilaian terhadap kegiatan atau aktivitas pelaku usaha yang

bertentangan dengan undang-undang.18

Tujuan hukum persaingan usaha itu hanya akan dapat dicapai jika segala

bentuk praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dapat dicegah. Sekali

lagi ditegaskan bahwa yang dilindungi dalam hukum persaingan adalah proses

persaingan itu sendiri agar dapat berjalan sehat tanpa kecurangan. Untuk itu

undang-undang melarang tindakan-tindakan dan perjanjian-perjanjian tertentu

yang anti persaingan.19

Pengertian Persaingan Usaha Tidak Sehat menurut Pasal 1 angka 6

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah Persaingan antar pelaku usaha

dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa

yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat

persaingan usaha.

Salah satu ancaman dari pelaku usaha tersebut adalah dengan melakukan

praktik kartel. Kartel merupakan jenis perjanjian yang dilakukan oleh para pelaku

usaha yang anti terhadap persaingan. Para pelaku usaha ini melakukan perjanjian

untuk mempengaruhi harga melalui pengaturan proses produksi maupun

pengaturan wilayah pemasaran produk, sebagai akibat daripada perjanjian tersebut

dapat menimbulkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang dapat

merugikan konsumen selaku pemakai barang dan jasa juga kepada pemerintah dan

terlebih bagi pelaku usaha lainnnya yang tidak termasuk dalam Cartellist. Padahal

18

Kurnia Toha, “Implikasi UU No. 5 Tahun 1999 terhadap Hukum Acara Pidana,” Jurnal

Hukum Bisnis (Volume 19, Mei - Juni 2002), hlm. 21. 19

Ibid.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 22: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

8

Universitas Indonesia

kegiatan kartel merupakan sebuah perjanjian yang jelas-jelas dilarang dalam

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Begitu juga dengan Perjanjian Penetapan Harga. Competition Law tertua

adalah Sherman Act yang diberlakukan Amerika Serikat pada tahun 1890.20

Perjanjian penetapan harga merupakan ketentuan pertama yang dilarang dalam

Sherman Act. Selengkapnya Pasal 1 Sherman Act menyatakan:“Every contract,

combination in the form of trust or otherwise, or conspiracy, in restraint of trade

or commerce among the several State, or with foreign nations, is declared to be

illegal”. Secara eksplisit, Pasal 1 dari Sherman Act tidak memunculkan

terminologi perjanjian penetapan harga. Tetapi dengan melakukan penafsiran dan

intepretasi yang luas, kita dapat melihat apakah perjanjian penetapan harga

dikategorikan sebagai ketentuan yang dilarang dalam Sherman Act yang termasuk

sebagai ketentuan yang dilarang adalah setiap perjanjian (every contract, termasuk

perjanjian penetapan harga) yang dilakukan oleh pelaku usaha, yang bersifat

menghambat dan/atau membatasi perdagangan (restraint of trade). Perjanjian

penetapan harga yang mempunyai sifat menghambat inilah yang umumnya

dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya. Isi dari perjanjian

tersebut adalah menaikkan harga atau menetapkan harga pada level tertentu yang

bertujuan untuk meningkatkan harga barang atau jasa setinggi mungkin dan

memaksimalkan keuntungan.21

Perjanjian penetapan harga memiliki potensi untuk mendistorsi pasar

karena menimbulkan kenaikan harga yang sangat tinggi. Harga yang mahal akibat

perjanjian penetapan harga dikarenakan harga yang terbentuk tidak melalui

20

Amerika Serikat merupakan negara yang konon paling tua hukum persaingan usahanya.

Pengaturan persaingan usaha di Amerika Serikat telah eksis sejak diterbitkannya Sherman Act

pada tahun 1889. Akan tetapi, Kanada sesungguhnya sudah memiliki hukum sejenis itu setahun

sebelumnya, yakni Combines Investigation Act (CIA) pada tahun 1889. Namun ketentuan

persaingan usaha yang komprehensif baru dimiliki Kanada pada saat diundangkannya Competition

Act tahun 1986 yang kemudian diperbaruhi pada tahun 1976. Lihat Firoz Gaffar, “Hukum Acara

Persaingan Usaha: Telaah Kritis Atas Sejumlah Problem,” Jurnal Hukum Bisnis (Januari 2006),

hlm. 60.

21

R.S. Khemani dan D.M. Shapiro, Glossary of Industrial Organization Economics and

Competition Law, (Paris: Organization for Economic Co-Operation and Development, 1990), hlm.

69.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 23: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

9

Universitas Indonesia

mekanisme pasar atau hukum supply dan demand sebagaimana mestinya.

Perjanjian penetapan harga mengakibatkan tidak terjadinya mekanisme

penyesuaian secara otomatis (automatic adjustment).22

Akibatnya konsumen tidak

mempunyai pilihan lain selain harus membayar pada level harga yang telah

ditentukan.23

Kartel sendiri kadangkala diartikan secara sempit, namun di sisi lain juga

diartikan secara luas. Dalam arti sempit, kartel adalah sekelompok perusahaan

yang seharusnya saling bersaing, tetapi mereka justru menyetujui satu sama lain

untuk ”menetapkan harga” guna meraih keuntungan monopolistis. Sedangkan

dalam pengertian luas, kartel meliputi perjanjian antara para pesaing untuk

membagi pasar, mengalokasikan pelanggan, dan menetapkan harga. Jenis kartel

yang paling umum terjadi di kalangan penjual adalah perjanjian penetapan harga,

perjanjian pembagian wilayah pasar atau pelanggan, dan perjanjian pembatasan

output. Sedangkan yang paling sering terjadi di kalangan pembeli adalah

perjanjian penetapan harga, perjanjian alokasi wilayah dan big rigging.24

Para

pengusaha sejenis dapat mengadakan kesepakatan untuk menyatukan perilakunya

sedemikian rupa, sehingga mereka terhadap konsumen berhadapan sebagai satu

kesatuan, yang dampaknya adalah seperti memegang monopoli. Hal yang

demikian disebut “kartel ofensif”. Pengaturan persaingan juga bisa diadakan

untuk menghindarkan diri dari cara-cara bersaing yang sudah menjurus pada

penghancuran diri sendiri, karena sudah menjurus pada perang harga dengan

harga yang lebih rendah daripada harga pokoknya. Persaingan sudah terjerumus

pada “cut throat competition“. Dalam keadaan yang demikian, semua perusahaan

22

Automatic adjustment adalah proses penyesuaian secara otomatis berdasarkan

keseimbangan penawaran dan permintaan dengan harga sebagai signal. Jika permintaan meningkat

sedangkan penawaran tetap maka akan berdampak pada kenaikan harga. Kenaikan harga inilah

yang menjadi signal bagi pendatang baru untuk masuk ke pasar. Sebaliknya, jika permintaan

berkurang sementara penawaran tetap maka akan berdampak pada penurunan harga. Penurunan

harga ini akan menjadi signal bagi produsen untuk mengurangi penawaran atau keluar dari pasar.

Lihat: Dendi Ramdani, “Analisis Persaingan Usaha Industri Penerbangan,” Jurnal Hukum

Persaingan Usaha, Lembaga Kajian Persaingan dan Kebijakan Usaha Fakultas Hukum

Universitas Indonesia (Volume 1, mei 2004), hlm. 10. 23

R.S. Khemani dan DM. Shapiro. Op. Cit., hlm. 51.

24

Ridwan Khairandy, “Analisis Putusan KPPU dan Pengadilan Negeri dalam

Persekongkolan Tender PT. Indomobil,” Jurnal Hukum Bisnis (Volume 24, Tahun 2005), hlm.

263.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 24: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

10

Universitas Indonesia

akan merugi, dan akhirnya bangkrut. Kalau pengaturan persaingan di antara

perusahaan sejenis dimaksudkan untuk menghindarkan diri dari keadaan yang

demikian, namanya adalah “kartel defensif”. Kalau kartelnya defensif, pemerintah

justru memberikan kekuatan hukum kepada kartel defensif tersebut, sehingga

yang tidak ikut di dalam kesepakatan dipaksa oleh kekuatan undang-undang untuk

ikut mematuhi kesepakatan mereka.

Kondisi yang menguntungkan kartel meliputi hambatan atau lambannya

masuk pasar, termasuk biaya terbuang (sunk cost) dan permintaan yang tidak

elastis pada harga bersaing. Biaya tinggi masuk pasar merupakan hambatan jika

pendatang baru harus memikul beban lebih tinggi dibanding dengan peserta/

anggota (kartel) yang sudah ada. Rendahnya kecepatan masuk pasar dapat

mendorong kartelisasi, walaupun jika hanya mengizinkan pelaku usaha yang ada

meraih keuntungan jangka pendek. Hambatan lain masuk pasar dapat mencakup

masalah-masalah biaya dan permintaan, termasuk paten dan perizinan, langkanya

sumber daya, dan diferensiasi produk atau kesetiaan konsumen. Kondisi lain yang

menguntungkan kartel ialah biaya pelaksanaan dan kebijakan yang rendah –

semakin sedikit pelaku usaha peserta, semakin mudah melaksanakannya.25

Hukum persaingan usaha memiliki aturan-aturan yang digunakan untuk

membatasi tingkah laku dari pelaku usaha. Pembatasan tersebut seperti perjanjian

yang dilarang, kegiatan yang dilarang dan tentang penyalahgunaan posisi

dominan. Dalam kategorisasi larangan, kartel masuk ke dalam kelompok

horizontal restraint.26

Horizontal restraint merupakan restraint of trade atau praktek persaingan

usaha tidak sehat yang berakibat merugikan sesama pelaku usaha dalam derajat

horizontal yang sama. Yang termasuk horizontal restraint adalah upaya di antara

beberapa pelaku usaha untuk membentuk kartel, sehingga memiliki kekuasaan

untuk membatasi output dan untuk mendikte harga jual. Kartel juga memiliki

kemampuan untuk mengadakan kesepakatan guna melakukan pemboikotan para

25

Luis Tineo and Maria Coppola, Competition Policy and Economic Growth in

Indonesia: A Report on Issues and Options, (Washington DC: World Bank, 2001), hlm. 13.

26

Sutan Remy Sjahdeni, “Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak

Sehat,” Jurnal Hukum Bisnis (Volume 10, Tahun 2000), hlm. 11.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 25: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

11

Universitas Indonesia

pelaku usaha pesaingnya, upaya melakukan banting harga guna mematikan usaha

pesaingnya, upaya melakukan diskriminasi harga, dan melakukan price fixing

agreement (perjanjian penetapan harga).27

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 pada Bab III bagian kedua mulai

dari Pasal 5 sampai dengan Pasal 8 menempatkan perjanjian penetapan harga

sebagai bentuk perjanjian yang dilarang. Undang-undang ini nampaknya tidak

memisahkan struktur antara perjanjian penetapan harga yang bersifat horizontal

dan vertikal, hal ini terlihat dari pemakaian judul: “penetapan harga”.28

Perjanjian yang bersifat membatasi (restrictive agreements) adalah

terlarang jika dilakukan antara pelaku usaha privat maupun publik, dengan kata

lain bahwa perjanjian tersebut disetujui oleh semua individu, rekanan

(partnership), perusahaan yang melakukan kegiatan usaha tertentu dalam hal

penjualan barang atau jasa perdagangan berkaitan dengan pelaku usaha. Namun

demikian, perjanjian di antara pelaku usaha pengawas (controlling) dan yang

diawasi (controlled), misalnya antara perusahaan induk (parent companies) dan

anak perusahaan (subsidiary companies), atau antara perusahaan-perusahaan yang

terafiliasi bukan termasuk dalam jenis perjanjian ini, karena perjanjian tersebut

termasuk kesepakatan antara dua pelaku usaha yang berbeda tingkatannya, atau

disebut juga dengan perjanjian vertikal.29

Kartel sendiri adalah salah satu dari beberapa jenis perbuatan yang

dilarang dalam hukum persaingan.30

Berdasarkan hukum anti monopoli, kartel

dilarang di hampir semua Negara. Walaupun demikian, kartel tetap ada baik

27

Ibid.

28

Knud Hansen, et al., Op. Cit., hlm. 136-137. 29

Martin Heidenhain, et al., German Antitrust Law, (Frankfurt am Main: Verlap Fritz

Knapp Gmbh, 1999), hlm. 17.

30

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 1999

Nomor 33. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817. Lihat Pasal 11 Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang menyatakan definisi Kartel adalah: suatu tindakan yang

dilakukan oleh pelaku usaha melalui perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya dengan maksud

untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan / atau pemasaran suatu barang dan atau

jasa, yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 26: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

12

Universitas Indonesia

dalam lingkup nasional maupun internasional, formal maupun informal.

Berdasarkan definisi ini, satu entitas bisnis tunggal yang memegang monopoli

tidak dapat dianggap bersalah jika menyalahgunakan monopoli yang dimilikinya.

Kartel biasanya timbul dalam kondisi oligopoli, dimana terdapat sejumlah

kecil penjual. Bila kesepakatan kartel dicapai antara pelaku usaha dan pesaingnya,

mereka dapat melakukan tindakan seperti penetapan harga, membatasi jumlah

produk (supply), pembagian wilayah dan konsumen, bergiliran menjadi pemenang

tender dan lain sebagainya.

Tidak dapat disangkal bahwa agar suatu aturan hukum dapat ditegakkan

secara baik, diperlukan organ penegak hukum yang memadai. Suatu aturan

hukum, betapapun baiknya secara substantif, tidak akan berjalan dengan baik

apabila tidak didukung oleh sistem penegak hukum yang baik pula.31

Untuk dapat terwujudnya ketentuan-ketentuan tentang anti monopoli ini ke

dalam praktek, maka dibutuhkan suatu badan yang tugas pokoknya adalah untuk

mengawasi pelaksanaan dari ketentuan-ketentuan tentang persaingan usaha. Oleh

karena itu, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 telah membentuk apa yang

disebut dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

Melewati 10 Tahun penegakan hukum persaingan usaha di Indonesia,

terdapat berbagai perkembangan yang dapat dilihat, baik dari sisi jumlah

penanganan perkara maupun dari sisi substansi persaingan yang ditangani.

Berdasarkan statistik penanganan perkara dari tahun 2000 - 2010, kasus

persaingan masih didominasi oleh kasus tender yang persentasenya mencapai 69%

dari kasus yang masuk. Sisanya sebanyak 31% berupa kasus yang terkait dengan

penyalahgunaan posisi dominan, kartel, monopoli dan kepemilikan saham. Dari

31% kasus non tender, kasus kartel yang menjadi salah satu perhatian besar dalam

hukum persaingan usaha mencapai 2,2% dari jumlah kasus yang masuk.32

Kasus kartel merupakan salah satu kasus yang sulit untuk dibuktikan.

Meskipun dari jumlah perkara yang masuk kelihatan besar, akan tetapi

pembuktian kasus kartel sendiri sulit untuk dilakukan, sehingga tidak heran hanya

31

Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hlm. 49.

32

KPPU, Laporan Lima Tahun Komisi Pengawas Persaingan Usaha, (Jakarta: Komisi

Pengawas Persaingan Usaha, 2005), hlm. 34.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 27: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

13

Universitas Indonesia

sedikit jumlah kasus kartel yang ditangani. Kartel menjadi sulit dideteksi karena

pada faktanya perusahaan yang berkolusi berusaha menyembunyikan perjanjian

antar mereka dalam rangka menghindari hukum. Jarang sekali pelaku usaha yang

secara terang-terangan membuat perjanjian antar mereka, membuat dokumen

hukum, mengabadikan pertemuan, serta mempublikasikan perjanjian, sehingga di

mata hukum persaingan dapat dijadikan bukti langsung perjanjian.

Dari kasus perjanjian penetapan harga dan kartel yang ditangani KPPU

pada tahun 2009 hingga 2010, terdapat beberapa kasus, seperti kasus Penetapan

Harga Fuel Surcharge Dalam Industri Jasa Penerbangan Domestik, kasus minyak

goreng, kasus kartel dalam industri semen, dan kasus Industri Farmasi Kelas

Terapi Amlodipine. Dalam kasus-kasus tersebut, terdapat penafsiran mengenai

kondisi di pasar yang diperkuat dengan teori ekonomi bahwa terjadi parallel

behaviour yang merujuk terjadinya suatu kolusi dan juga penafsiran penetapan

harga menjadi sebuah kartel harga.

Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana telah diuraikan di atas

maka penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut, apakah ada keterkaitan antara

perjanjian penetapan harga dengan praktek kartel di Indonesia. Untuk itu penulis

ingin menuangkannya dalam bentuk tesis yang berjudul: “Relevansi Antara

Perjanjian Penetapan Harga Dengan Kartel Dalam Praktek Persaingan

Usaha Tidak Sehat: Studi Terhadap Putusan-Putusan KPPU Pada Tahun

2009 Hingga 2010”.

1.2 Pokok Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan

beberapa pokok permasalahan yang ingin diulas oleh penulis, yaitu sebagai

berikut:

1. Apakah terdapat hubungan yang signifikan antara perjanjian penetapan

harga dengan kartel dalam praktek persaingan usaha tidak sehat di

Indonesia?

2. Bagaimanakah karakteristik putusan KPPU dalam memutus penyelesaian

perkara perjanjian penetapan harga dan kartel di Indonesia pada tahun

2009 hingga 2010?

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 28: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

14

Universitas Indonesia

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk menggambarkan dan menganalisis apakah terdapat hubungan yang

signifikan antara perjanjian penetapan harga dengan terjadinya suatu kartel

dalam persaingan usaha di Indonesia.

2. Untuk menggambarkan dan menganalisis informasi mengenai karakteristik

putusan KPPU dalam memutus penyelesaian perkara kartel di Indonesia

terkait dengan adanya perjanjian penetapan harga.

1.4 Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan kegunaan secara teoritis

maupun praktis. Kegunaan teoritis dalam arti bahwa penelitian ini bermanfaat

bagi pengkajian konseptual disiplin hukum ekonomi khususnya dalam kartel

persaingan usaha tidak sehat. Penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh para

pengemban hukum secara teoritis untuk mengkritisi model penanganan perkara

kartel yang terjadi di Indonesia. Memahami karakteristik kartel yang terjadi pada

aspek hukum dan ekonomi sehingga memberi masukan dalam menciptakan

hukum yang lebih respon terhadap persaingan usaha tidak sehat.

Sedangkan secara praktis hasil penilitian diharapkan memberikan

pemahaman yang lebih komprehensif mengenai bentuk-bentuk kartel yang terjadi

sehingga penanganan perkara kartel dapat diketahui dan dijerat untuk

menciptakan persaingan usaha yang sehat. Dalam hal ini lembaga Komisi

Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) khususnya yang mempunyai wewenang dan

peran strategis dalam menangani perkara baik secara inisiatif maupun laporan-

laporan yang diterima.

1.5 Kerangka Teori

Penelitian dalam penyusunan tesis ini mengacu pada kerangka teori

tentang campur tangan negara dalam bidang perekonomian, khususnya pengaturan

pasar dalam konsep negara kesejahteraan (welfare state).

Konsep negara kesejahteraan pada dasarnya dikembangkan dalam konteks

ekonomi pasar (market economy) dan dalam hubungannya dengan sistem ekonomi

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 29: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

15

Universitas Indonesia

campuran (mixed economy). Peranan negara dalam konsep negara kesejahteraan

menurut Briggs adalah “…to modify the play of market forces” (…

memodifikasikan berbagai kekuatan pasar)33

. Perlunya pengendalian dan

pembatasan terhadap bekerjanya kekuatan–kekuatan pasar tersebut adalah untuk

mengatasi unsur-unsur negatif yang tidak diharapkan sebagai hasil (outcome) atau

akibat bekerjanya kekuatan-kekuatan pasar tersebut. Menurut Goodin dalam

negara kesejahteraan, campur tangan negara dalam mengatur pasar dilukiskannya

sebagai “… a public intervention in private market economy” (… campur tangan

publik dalam ekonomi pasar swasta34

. Tujuannya tidak lain adalah guna

meningkatkan kesejahteraan umum (promoting public welfare) dan

memaksimumkan kesejahteraan sosial (to maximize social welfare) sehingga

memperkecil dampak kegagalan pasar (market failure) terhadap masyarakat yang

disebabkan oleh apa yang disebutnya moral hazard dan penggunaan yang keliru

terhadap berbagai sumber daya (misallocation of resources)35

Berkaitan dengan tujuan negara Indonesia, sebagaimana tercantum dalam

Penjelasan UUD 1945, yaitu:

Alinea kedua menyatakan: ... negara Indonesia, yang merdeka, bersatu,

berdaulat, adil dan makmur, dan alinea keempat menyatakan: ...

melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...

Dapat ditarik kesimpulan bahwa negara yang ingin dibentuk oleh bangsa

Indonesia ialah “Negara Kesejahteraan”. Negara Indonesia sebagai negara hukum

atau rechstaat tidak saja mengutamakan kesejahteraan rakyat sebagaimana

dimaksudkan dalam arti welfare state. Tujuan negara sebagaimana tercantum

33

A. Briggs, “The Welfare State in Historical Perspective” dalam Archives Europeenes de

Sociologie 2: 221 - 58 sebagaimana dikutip dalam Donald J. Moon, ed., Responsibility Rights &

Welfare, The theory of the Welfare State, (Colorado: Westview Press Inc., Boulder, 1988), hlm.

21. 34

Robert E. Goodin, “Reason for Welfare, Economic, Sociological and Political but

Ultimately Moral” dalam: Responsibility Right &Welfare, The Theory of the Welfare State,

Donald J. Moon (editor), Ibid., hlm. 22.

35

Ibid., hlm. 24 dan 33.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 30: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

16

Universitas Indonesia

dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut adalah untuk membentuk manusia

Indonesia seutuhnya berdasarkan Pancasila dalam alam masyarakat adil dan

makmur.36

Dari uraian di atas, baik mengenai negara hukum maupun negara

kesejahteraan secara eksplisit, terkandung makna bahwa negara atau pemerintah

mempunyai kewajiban yang mutlak untuk menyelenggarakan kesejahteraan

rakyat.

Iklim persaingan yang sehat merupakan conditio sine qua non (syarat

mutlak) bagi terselenggaranya ekonomi pasar.37

Lingkungan yang dinamis dan

kompetitif, didukung oleh undang-undang dan kebijakan yang sehat, adalah

karakteristik penting dari suatu ekonomi pasar yang berhasil. Dalam sistem

ekonomi pasar yang mengandalkan proses persaingan, maka setiap produsen atau

penjual akan berhasil bila bertindak efisien dan inovatif.38

Tetapi pada prakteknya,

pelaku pasar tidak bertindak efisien dalam upaya menguasai pasar, dimana pelaku

pasar cenderung untuk menghindari adanya persaingan dan melakukan hal-hal

yang merugikan konsumen.

Upaya penguasaan pasar dilakukan oleh pelaku pasar baik secara

independent maupun melalui kolaborasi dengan para pesaing secara bersama-

sama. Dalam kaitannya dengan persaingan yang sempurna, maka pesaing adalah

pelaku pasar potensial lainnya yang berkompetisi untuk menguasai pasar untuk

mengakomodasikan tindakan mereka, baik secara eksplisit maupun diam-diam

(tacit collusion).39

Salah satu cara untuk menguasai pasar adalah dengan cara menghambat

para pesaingnya untuk masuk di pasar bersangkutan. Hambatan dalam

36

Arifin P. Soeria Atmadja, Mekanisme Pertanggungjawaban Keuangan Negara,

(Jakarta: Gramedia, 1986), hlm. 3.

37

Norman S. Pakpahan, Pokok-Pokok Pikiran tentang Hukum Persaingan Usaha,

(Jakarta: ELIPS, 1994), hlm. 2. Lihat pula Abdul Hakim G. Nusantara dan Benny K. Harman,

Analisa dan Perbandingan Undang-Undang Anti Monopoli, (Jakarta: PT. Elex Media

Komputindo, 1999), hlm. 2. 38

Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan di Indonesia, (Medan: Pustaka Bangsa

Press, 2004), hlm. 57. 39

Ibid.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 31: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

17

Universitas Indonesia

perdagangan biasanya dilakukan untuk mencegah terjadinya proses persaingan

yang wajar,40

sehingga dapat menimbulkan kerugian yang signifikan dalam

kegiatan usaha, terutama bagi para pihak yang berkaitan langsung dengan bidang-

bidang usaha yang bersangkutan.

Dalam menentukan terjadinya hambatan dalam persaingan, mensyaratkan

terlebih dahulu adanya hubungan persaingan usaha dalam pemasaran atau

produksi barang dan atau jasa.41

Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

persaingan usaha tidak sehat hanya dapat terjadi apabila ada hubungan persaingan

usaha diantara paling sedikit dua pelaku usaha.

Di antara pelaku usaha terdapat berbagai jenis hubungan persaingan usaha,

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 memuat semua hubungan persaingan

antara pelaku usaha yang dapat dipisahkan antara horizontal dan vertikal.

Hubungan vertikal terjadi di antara pelaku usaha di tingkat pasar berlainan,

sedangkan dalam hubungan persaingan usaha horizontal ada dua pelaku usaha

yang secara nyata atau berpotensi bersaing dalam suatu pasar yang relevan dari

segi jenis yang diperdagangkan maupun dari segi wilayah.42

Jadi pada dasarnya, terdapat dua jenis hambatan dalam perdagangan, yakni

hambatan horizontal dan vertikal. Hambatan horizontal adalah suatu tindakan

dimana ketika para pesaing dalam bidang usaha sejenis terlibat dalam perjanjian

yang mempengaruhi perdagangan di wilayah tertentu.43

Berbeda dengan jenis

hambatan horizontal, hambatan vertikal adalah hambatan perdagangan yang

terjadi di antara para pelaku usaha dari tingkatan yang berbeda dalam rangkaian

40

Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menyatakan, bahwa “Persaingan usaha tidak sehat

adalah persaingan antara pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran

barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau

menghambat persaingan usaha.” 41

Knud Hansen, et al, Op. Cit., hlm. 66. 42

Ibid.

43

E. Thomas Sullivan dan Jeffrey L. Harrison, Understanding and Its Economic

Implication, (New York: Matthew Bender & Co., 1994), hlm. 75.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 32: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

18

Universitas Indonesia

produksi dan distribusi atau tingkat perdagangan yang berbeda.44

Dalam kaitan

tersebut, yang dimaksud hambatan vertikal (vertical restraint) adalah suatu garis

vertikal imaginair (imaginary vertical line) yang dapat ditarik dari mulai proses

pengolahan bahan baku dalam tahapan produksi sampai menjadi barang jadi,

kemudian sampai kepada tahap-tahap pemasaran dan akhirnya sampai kepada

konsumen.45

Dalam hambatan yang telah diuraikan di atas, salah satu hambatan adalah

mengenai perjanjian di antara pelaku usaha yang dianggap dapat membatasi atau

anti persaingan. Perjanjian tersebut dapat dilakukan secara tertulis maupun tidak

tertulis. Salah satu bentuk perjanjian yang dilarang dalam Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1999 adalah Perjanjian Penetapan Harga. Perjanjian penetapan harga

sendiri dapat berbentuk horizontal maupun vertikal.

Untuk mengetahui apakah pelaku usaha telah melanggar Undang-Undang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 menerapkan pendekatan per se illegal atau rule of reason.

Per se illegal sering juga disebut per se violation, istilah ini mengandung maksud

bahwa jenis-jenis perjanjian tertentu, misalnya penetapan harga (horizontal price

fixing) dianggap secara inheren bersifat anti kompetitif dan merugikan masyarakat

tanpa perlu ada pembuktian bahwa perbuatan tersebut secara nyata telah merusak

persaingan. Dalam mengidentifikasi perilaku pelaku usaha. Dalam pendekatan ini,

yang penting diketahui adalah pembuktian tentang perjanjian yang dilarang baik

secara tertulis maupun tidak tertulis.

Sedangkan dalam pendekatan rule of reason suatu perbuatan yang

dituduhkan melanggar hukum persaingan, pencari fakta harus mempertimbangkan

keadaan disekitar kasus untuk menentukan apakah perbuatan itu membatasi

persaingan secara tidak patut dan untuk itu disyaratkan penggugat dapat

44

Lawrence Anthony Sullivan, Antitrust, (St. Paul Minnesota: West Publishing, Co.,

1977), hlm. 657. Lihat pula pendapat yang mengatakan bahwa hambatan vertikal adalah hubungan

antara pelaku usaha dengan pelaku usaha yang merupakan suatu jaringan proses produksi, yang

dapat terjadi dalam satu perusahaan maupun antara produser dengan distributor atau dealer, dalam

Ningrum Natasya Sirait, “Pembuktian dalam Pelanggaran Hukum Persaingan”, (Makalah

disampaikan pada Seminar KPPU dan JFTC-JICA, Karawaci, 30 Agustus 2006), hlm. 3. 45

Sutan Remy Sjahdeni, “Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak

Sehat”, Loc. Cit.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 33: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

19

Universitas Indonesia

menunjukkan akibat anti kompetitif, atau kerugian yang nyata terhadap

persaingan dan tidak berupa apakah perbuatan itu tidak adil maupun melawan

hukum.46

Pada pendekatan ini diperlukan analisis ekonomi untuk mengetahui

apakah perilaku pelaku usaha telah menghambat persaingan. Dalam hal inilah

diperlukan analisa ekonomi terhadap hukum.

Selain itu, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebut bentuk-

bentuk larangan. Dalam hal ini ada beberapa bentuk, pertama adalah prinsip

larangan terhadap penguasaan (dalam jumlah presentase tertentu) struktur pasar

tertentu. Dalam hal ini undang-undang yang menentukan presentase tertentu untuk

mengkategorikan telah bertindak monopoli atau tidak. Kedua adalah prinsip

larangan terhadap prilaku dari pengusaha (behavioral practices), yakni adanya

perilaku yang menjurus kepada persaingan usaha tidak sehat atau tindak

monopoli. Dengan perilaku monopoli dan struktur pasar, maka dibutuhkan

peraturan yang dapat mengatur regulasi pasar secara fair dan terjadi persaingan

secara sehat. Secara umum, substansi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

dapat dilihat sebagai berikut:

1. Larangan terhadap yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek

monopoli atau persaingan tidak sehat. Ketentuan ini diatur dalam Pasal

4; Pasal 7 sampai dengan 9; Pasal 10 sampai dengan Pasal 14; Pasal

22; Pasal 23.

2. Penetapan harga konsumen sampai tingkat tertentu, perjanjian

eksekutif, serta perjanjian lisensi dan know how. Ketentuan ini diatur

dalam pasal 5; Pasal 6; Pasal 15; dan Pasal 50 huruf b.

3. Larangan penggabungan atau peleburan badan usaha yang

menyebabkan terjadinya posisi dominan di pasar atau persaingan usaha

tidak sehat. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 26 sampai dengan Pasal

29.

4. Larangan tindakan merugikan konsumen, pemasok atau penerima

barang dengan cara menyalahgunakan posisi dominan di pasar.

ketentuan ini diatur dalam Pasal 17 dan Pasal 18.

46

Daniel V. Davidso, et al., Comprehensif Business Law, Principles and Cases, (London:

Kent Publishing Company, 2001), hlm. 1042.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 34: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

20

Universitas Indonesia

5. Larangan menghalangi pesaing dengan tindakan diskriminasi baik

melalui harga, syarat-syarat perdagangan atau penolakan melakukan

hubungan usaha. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 7; Pasal 8; Pasal 16;

dan Pasal 19 sampai dengan 21.

6. Pengaturan tentang lembaga pengontrol persaingan usaha yang

diserahkan kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

Ketentuan ini diatur dalam Pasal 30 sampai dengan 37.

Penelitian ini dilakukan dengan terlebih dahulu memahami mengenai

konsep-konsep yang terdapat dalam kegiatan persaingan usaha, khusus

pemahaman mengenai perjanjian penetapan harga dan kartel, yang mana hal ini

dilakukan agar penggunaan landasan berpikir sesuai dengan judul yang

ditentukan. Pemahaman konsep yang dilakukan dalam penyusunan laporan

penelitian ini disesuaikan dengan pokok pikiran tentang persaingan usaha tidak

sehat.

Dari kasus kartel yang ditangani KPPU, perjanjian penetapan harga juga

pernah terbukti dilakukan pada beberapa kasus, seperti kasus Penetapan Harga

Fuel Surcharge dalam Industri Jasa Penerbangan Domestik, kasus minyak goreng

dan kasus Industri Farmasi Kelas Terapi Amlodipine. Sedangkan kasus kartel

industri semen tidak terbukti terdapat penetapan harga dan kartel. Kebanyakan

otoritas persaingan usaha di berbagai negara sangat hati-hati dalam pembuktian

kartel. Sebagai contoh, berbagai keadaan yang sering ditengarai sebagai indikator

adanya kartel sebenarnya perbedaannya sangat tipis dengan situasi dimana

persaingan secara sehat berlangsung. Misalnya, tentang indikasi harga yang

paralel (price parallelism) sering dianggap sebagai tindakan yang dilakukan

secara bersama-sama secara kolusif untuk menentukan harga (price fixing) oleh

para anggota kartel. Dalam praktiknya, terlalu banyak faktor yang menyebabkan

terjadinya parallelism harga, yang terjadi justru karena pasarnya bersaing secara

kompetitif.47

47

Sutrisno Iwantono. “Sulitnya Membuktikan Praktek Kartel”

http://www.kppu.go.id/id/sulitnya-membuktikan-praktik-kartel/, diunduh 25 April 2012.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 35: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

21

Universitas Indonesia

1.6 Kerangka Konsepsional

Untuk memudahkan dan membatasi permasalahan serta menghindari

perbedaan pengertian mengenai istilah-istilah yang dipergunakan dalam penelitian

tesis ini, dibawah ini diberikan definisi operasional dari istilah-istilah tersebut

sebagai berikut:

Monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau

atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok usaha.48

Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau pelaku

usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran barang dan

atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat

merugikan kepentingan umum.49

Pelaku usaha adalah setiap perorangan atau badan hukum baik yang berbentuk

badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan di

Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian

menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.50

Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam

menjalankan kegaiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang

dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat

persaingan usaha.51

48

Republik Indonesia, Op. Cit., Pasal 1 angka 1.

49

Ibid., Pasal 1 angka 2.

50

Ibid., Pasal 1 angka 5. 51

Ibid., Pasal 1 angka 6.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 36: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

22

Universitas Indonesia

Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan

diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apa pun, baik tertulis

maupun tidak tertulis.52

Pasar adalah lembaga ekonomi di mana para pembeli dan penjual baik secara

langsung maupun tidak langsung dapat melakukan transaksi perdagangan barang

dan atau jasa.53

Pasar bersangkutan adalah pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah

pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau

sejenis atau substitusi dari barang dan atau jasa tersebut.54

Struktur pasar adalah keadaan pasar yang memberikan petunjuk tentang aspek-

aspek yang memiliki pengaruh penting terhadap perilaku usaha dan kinerja pasar,

antara lain jumlah penjual dan pembeli, hambatan masuk dan keluar pasar,

keragaman produk, sistem distribusi, dan penguasaan pangsa pasar.55

Konsumen adalah setiap pemakai dan atau pengguna barang dan/atau jasa baik

untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan bersama.56

Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak

maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau

dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.57

52

Ibid., Pasal 1 angka 7. Lihat juga pengertian perjanjian Pasal 1313 KUHPerdata.

53

Ibid., Pasal 1 angka 9.

54

Ibid., Pasal 1 angka 10.

55

Ibid., Pasal 1 angka 11.

56

Ibid., Pasal 1 angka 15. 57

Ibid., Pasal 1 angka 16.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 37: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

23

Universitas Indonesia

Jasa adalah setiap layanan, yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang

diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau

pelaku usaha.58

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah komisi yang dibentuk untuk

mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak

melakukan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.59

Kartel adalah suatu tindakan yang dilakuakan oleh pelaku usaha melalui

perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya dengan maksud untuk mempengaruhi

harga dengan mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan atau jasa,

yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak

sehat.60

Perjanjian penetapan harga (price fixing agreement) adalah perjanjian diantara

(para) pihak penjual untuk menaikkan harga dengan tujuan membatasi persaingan

antar perusahaan dan meraih keuntungan yang lebih tinggi.61

Fuel Surcharge adalah biaya yang merupakan komponen tarif baru dalam jasa

penerbangan yang ditujukan untuk menutup biaya maskapai yang diakibatkan

oleh kenaikan avtur, yang penetapannya diserahkan kepada masing-masing

maskapai penerbangan domestik.62

58

Ibid., Pasal 1 angka 17. 59

Ibid., Pasal 1 angka 18. 60

Ibid., Pasal 1 angka 11. 61

Mustafa Kemal Rokan, Hukum Persaingan Usaha : Teori dan Praktinya di Indonesia,

(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 27. 62

Surat Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Departemen Perhubungan No.

37/DJU/V/2005 tanggal 27 Mei 2005.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 38: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

24

Universitas Indonesia

Bukti Langsung (direct evidence/hard evidence) adalah bukti yang dapat diamati

(observable elements) dan menunjukkan adanya suatu perjanjian penetapan harga

atas barang dan atau jasa oleh pelaku usaha yang bersaing. Di dalam bukti

langsung tersebut terdapat kesepakatan dan substansi dari kesepakatan tersebut.63

Bukti tidak langsung (indirect evidence/circumstantial evidence) adalah suatu

bentuk bukti yang tidak secara langsung menyatakan adanya kesepakatan

penetapan harga.64

1.7 Metode Penelitian

Menurut Soerjono Soekanto:

Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam mengembangkan ilmu

pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan, oleh karena penelitian

bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis,

metodelogis, dan konsisten melalui proses penelitian tersebut diadakan

analisa dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpul dan diolah.65

Untuk keberhasilan suatu penelitian baik dalam memberikan gambaran dan

jawaban terhadap permasalahan yang diangkat, tujuan serta manfaat penelitian

sangat ditentukan oleh metode yang dipergunakan dalam penelitian.

63

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Peraturan Komisi Pengawa Persaingan

Usaha tentang Pedoman Pasal 5 (Penetapan Harga) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Peraturan Komisi Pengawas

Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2011, (Jakarta: Komisi Pengawas Persaingan Usaha, 2011),

hlm. 16

64

Ibid. 65

Soerdjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Pers, 2008), hlm. 1.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 39: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

25

Universitas Indonesia

1. Metode Pendekatan

Penulis memilih metode penelitian normatif sebagai metode yang

dipergunakan dalam melakukan penelitian.66

2. Tipologi Penelitian

Tipologi penelitian ini bersifat deskriptif. Deskriptif artinya data hasil

penelitian diolah dan diuraikan untuk memberikan gambaran fakta-fakta

sehubungan dengan relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan

kartel.

3. Jenis Data

Penelitian ini menggunakan jenis data yang berasal dari sumber data sekunder

yang bersumber dari bahan pustaka sebagai berikut:

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat, berupa

peraturan perundang-undangan, yurisprudensi dan peraturan lainnya yang

dapat mendukung penelitian ini. Dalam hal ini peneliti menggunakan

bahan hukum primer berupa :

1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;

2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat;

3) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 1999

tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha;

4) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun

2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan

terhadap Putusan KPPU;

5) Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun

2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 47 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Tindakan Administratif.

66Metode penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal adalah penelitian-

penelitian atas hukum yang dikonsepsikan dan dikembangkan atas dasar doktrin yang dianut dan

dikembangkan dalam kajian-kajian hukum. Lihat M. Syamsudin, Operasionalisasi Penelitian

Hukum, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2007), hlm. 25.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 40: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

26

Universitas Indonesia

6) Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 04 Tahun

2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 11 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 tentang Kartel.

7) Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 04 Tahun

2011 tentang Pedoman Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999 tentang Penetapan Harga.

8) Salinan Putusan KPPU atas Perkara Nomor : 24/KPPU-I/2009;

9) Salinan Putusan KPPU atas Perkara Nomor : 25/KPPU-I/2009;

10) Salinan Putusan KPPU atas Perkara Nomor : 01/KPPU-I/2010;

11) Salinan Putusan KPPU atas Perkara Nomor : 17/KPPU-I/2010;

12) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder, berupa bahan-bahan yang erat hubungannya

dengan bahan hukum primer dan dapat dipergunakan untuk menganalisis

bahan hukum primer, seperti buku-buku, karya ilmiah, tulisan para ahli

hukum dan makalah hasil seminar, serta dokumen-dokumen yang

memiliki relevansi yang signifikan dengan penelitian. Bahan hukum

sekunder yang digunakan dalam penelitian ini yaitu buku-buku teks yang

ditulis para ahli hukum, jurnal hukum (seperti jurnal hukum bisnis), artikel

(melalui koran dan majalah yang berkaitan dengan hukum persaingan

usaha, perjanjian penetapan harga dan kartel), internet (yang diperoleh

melalui internet), dan sumber lainnya yang memiliki korelasi untuk

mendukung penelitian ini.

c. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang, berupa majalah, jurnal,

surat kabar, kamus hukum, kamus bahasa Indonesia serta bahan-bahan

yang didapat dengan cara mengakses beberapa situs website melalui

internet.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 41: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

27

Universitas Indonesia

4. Teknik Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang dipergunakan adalah studi kepustakaan dengan

cara mengumpulkan, menelaah, dan mempelajari data sekunder yang berupa

hukum positif dan kepustakaan seperti buku-buku, karya ilmiah, makalah

seminar, serta bahan-bahan terkait yang didapat dengan membaca majalah-

majalah, jurnal-jurnal, surat kabar, kamus, bahan-bahan bacaan lepas lainnya,

serta dengan mengakses beberapa situs website melalui internet.

5. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat

kualitatif. Metode kualitatif ini yaitu bentuk analisis dan penelaahan yang

mendalam, tidak semata-mata berpihak pada statistik. Namun lebih

menitikberatkan pada perhatian yang mendalam terhadap makna, interaksi,

dan perilaku berdasarkan suatu realitas yang terjadi. Pada tahap selanjutnya

diupayakan untuk menjawab pokok permasalahan serta memperoleh

kesimpulan dan saran. Pengambilan kesimpulan di dalam penelitian ini

dilakukan dengan menggunakan metode penalaran deduktif, yaitu proses

bernalar yang bermula dari statement umum untuk tiba pada suatu

kesimpulan yang khusus tentang suatu hal tertentu67

. Dalam hal ini Penulis

meneliti peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak

Sehat untuk kemudian ditarik kesimpulan yang sifatnya khusus terkait pokok

permasalahan dalam penelitian ini.

1.8 Sistematika Penulisan

Disini Penulis terlebih dahulu mengemukakan sistematika yang

dipergunakan agar yang dibahas akan tersusun sistematis serta mengarah pada

tujuan pokok permasalahan yang akan dibahas. Oleh karena itu di dalam

penyusunan tesis ini Penulis membaginya dalam 5 (lima) BAB dengan sistematika

sebagai berikut:

67

Sulistyo Irianto dan Shidarta, Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi,

(Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), hlm. 98.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 42: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

28

Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN

Di dalam bab 1 Penulis menguraikan mengenai latar belakang,

rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teori,

kerangka konsepsional, metode penelitian dan sistematika

penulisan.

BAB 2 PERJANJIAN PENETAPAN HARGA DAN KARTEL

MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999

Di dalam bab ini dibahas teori mengenai perjanjian penetapan

harga dan kartel di Indonesia berserta unsur-unsurnya menurut

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

BAB 3 RELEVANSI ANTARA PERJANJIAN PENETAPAN

HARGA DENGAN KARTEL

Dalam bab ini akan menjelaskan perjanjian penetapan harga dalam

kaitannya dengan terjadinya kartel dalam praktek persaingan usaha

tidak sehat. Di dalam bab ini juga disertai regulasi kartel di

beberapa negara yakni Jepang, Uni Eropa dan Amerika Serikat.

BAB 4 KARAKTERISTIK DAN ANALISIS TERHADAP PUTUSAN

KPPU TENTANG PENETAPAN HARGA DAN KARTEL DI

INDONESIA PADA TAHUN 2009 HINGGA 2010

Dalam bab ini akan diuraikan analisis dan karakter putusan

Perjanjian Penetapan Harga dan Kartel yang telah diputuskan oleh

KPPU pada Tahun 2009 hingga 2010. Dalam bab ini juga dapat

dilihat keterkaitan antara perjanjian penetapan harga dengan

praktek kartel yang terjadi di Indonesia.

BAB 5 PENUTUP

Bab ini akan menjelaskan mengenai kesimpulan dari relevansi

perjanjian penetapan harga dengan kartel, serta saran yang dapat

direkomendasikan dari penelitian ini.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 43: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

29

Universitas Indonesia

BAB 2

PERJANJIAN PENETAPAN HARGA DAN KARTEL MENURUT

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999

2.1 Perjanjian Menurut Hukum Persaingan Usaha

Salah satu yang diatur dalam Undang-undang Anti Monopoli adalah

dilarangnya perjanjian-perjanjian tertentu yang dianggap dapat menimbulkan

monopoli dan atau persaingan tidak sehat. Yang dimaksud dengan kata

“perjanjian” ini, tidak berbeda dengan pengertian perjanjian pada umumnya,68

yakni sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999, yang menyatakan bahwa perjanjian adalah “Suatu perbuatan satu

atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku

usaha dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis”.

Apabila diperhatikan dari pengertian tersebut di atas, maka dapat

disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:69

1. Perjanjian tersebut tanpa menyebut tujuan;

2. Perjanjian tersebut terjadi karena ada perbuatan;

3. Ada pihak-pihak di dalam perjanjian yakni pelaku usaha;

4. Perjanjian bisa tertulis dan tidak tertulis.

Definisi perjanjian menurut Pasal 1 angka 7 tersebut tidak menyebutkan

tujuan untuk apa para pihak mengadakan perjanjian. Oleh karena itu pengertian

perjanjian menurut pasal ini tidak bisa dikatakan dengan jelas tanpa dihubungkan

dengan perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan perjanjian yang diatur pada

pasal-pasal berikutnya.70

Sulit untuk dibuktikan, namun perjanjian secara lisan secara hukum dapat

dianggap sebagai suatu perjanjian yang sah dan sempurna.71

Menurut teori

68

Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat, (Bandung:

Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 51.

69

James L. Agee, III ed., Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya di Indonesia,

(Jakarta: Elips, 1999), hlm. 75.

70

Ibid.

71

Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat, Op. Cit.

29

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 44: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

30

Universitas Indonesia

persaingan usaha, perjanjian adalah strategi pasar bersama oleh beberapa pelaku

usaha.72

Esensi perjanjian adalah bahwa pesaing saling menyepakati tentang

tingkah laku pasar mereka secara keseluruhan ataupun bagian tertentu dari

keseluruhan perjanjian.73

Jika melihat definisi perjanjian dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999, maka dapat disimpulkan bahwa bentuk perjanjian dapat

tertulis maupun tidak tertulis. Perjanjian tertulis biasanya dituangkan dalam

kontrak tertulis yang berisi hal-hal yang telah disepakati diantara para pelaku

usaha secara rinci. Misalnya kesepakatan tariff All-In EMKL di Pelabuhan

Sorong.74

Perjanjian yang tidak tertulis dapat berupa kesepakatan lisan antara pelaku

usaha atau dengan praktek-praktek tertentu yang diketahui oleh peserta75

yang

dinyatakan dalam bentuk pertemuan dua pemikiran yang informal (meeting of

minds) maupun dengan melihat perubahan pada pasar secara terus menerus.76

Contoh dari perjanjian yang tidak tertulis adalah seperti yang dilakukan oleh

penjual elektronik di suatu kawasan pertokoan, pedagang-pedagang telepon

selular hingga penjual bakso yang melakukan perjanjian atau kesepakatan atas

harga jual dari produk mereka.

Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, objek perjanjian yang

dilarang untuk dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lain adalah

sebagai berikut:

a. Perjanjian Oligopoli

Perjanjian Oligopoli adalah perjanjian secara bersama-sama

melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa

yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau

persaingan usaha tidak sehat (Pasal 4 ayat 1);

72

Knud Hansen, et al, Op. Cit., hlm. 80.

73

Ibid.

74

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Putusan Nomor 32/KPPU-L/2008.

75

R. Syam Khemani, A Framework for The Design and Implementation of Competition

Law and Policy, (Washington DC: World Bank, OECD, 1998), hlm. 43.

76

Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Op,Cit., hlm 71.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 45: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

31

Universitas Indonesia

Tolak ukur yang dijadikan parameter oleh Undang-Undang untuk

menentukan apakah pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara

bersama-bersama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran

barang dan atau jasa apabila 2 atau 3 pelaku usaha atau kelompok

pelaku usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar satu jenis barang

atau jasa tertentu.

b. Perjanjian Penetapan Harga

Perjanjian penetapan harga adalah perjanjian menetapkan harga

tertentu atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh

konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama (Pasal 5

ayat 1), dengan pengecualian:

(1) Perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; dan

(2) Perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku (Pasal 5

ayat 2).

c. Perjanjian Diskriminasi Harga

Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar

dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli

lain untuk barang dan atau jasa yang sama (Pasal 6);

d. Penetapan Harga Pemangsa (Predatory Pricing)

Perjanjian penetapan harga adalah perjanjian menetapkan harga

dibawah pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha

yang tidak sehat (Pasal 7);

e. Perjanjian Penetapan Harga Jual Kembali (Resale Price Sale

Maintenance)

Perjanjian yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau

jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa

yang telah diterimanya tersebut, dengan harga yang lebih rendah

daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan

terjadinya persaingan usaha tidak sehat (Pasal 8);

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 46: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

32

Universitas Indonesia

f. Perjanjian Pembagian Wilayah

Perjanjian yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau

alokasi pasar terhadap suatu barang dan atau jasa tertentu, sehingga

dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan

usaha tidak sehat (Pasal 9);

Perjanjian ini dapat bersifat vertikal dan horizontal. Perjanjian ini

dilarang karena pelaku usaha meniadakan atau mengurangi persaingan

dengan cara membagi wilayah pasar atau lokasi pasar. Wilayah

pemasaran dapat berarti wilayah Republik Indonesia atau bagian

wilayah Negara Republik Indonesia misalnya kabupaten, provinsi, atau

wilayah regional lainnya. Membagi wilayah pemasaran atau lokasi

pasar berarti membagi wilayah untuk memperoleh atau memasok

barang, jasa atau barang dan jasa.

g. Perjanjian Pemboikotan

Perjanjian yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan

usaha yang sama, baik dengan tujuan pasar dalam negeri atau pasar

luar negeri (Pasal 10 ayat 1);

h. Perjanjian untuk menolak menjual setiap barang atau jasa dari pelaku

usaha lain yang mengakibatkan:

(1) Kerugian atau dapat diduga menerbitkan kerugian bagi pelaku

usaha lainnya; atau

(2) Pembatasan bagi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli

setiap barang dan atau jasa dari pasar bersangkutan (Pasal 10 ayat

2);

i. Perjanjian Kartel

Perjanjian yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur

produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat

mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha

tidak sehat (Pasal 11);

j. Perjanjian Trust

Perjanjian melakukan kerjasama untuk melakukan kerja sama dengan

membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar,

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 47: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

33

Universitas Indonesia

dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup

masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan

mengontrol produksi dana atau pemasaran atas barang dan jasa,

sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau

persaingan tidak sehat (Pasal 12);

k. Perjanjian Oligopsoni

Perjanjian yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai

pembelian dan penerimaan pasokan barang dan atau jasa tertentu, agar

dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa tertentu tersebut

dalam pasar yang bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya

praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat (Pasal 13 ayat

1);

l. Integrasi Vertikal

Perjanjian yang bertujuan untuk menguasai sejumlah produk yang

termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu,

dimana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau

proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak

langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak

sehat dan atau merugikan masyarakat (Pasal 14);

Yang dimaksud dengan menguasai sejumlah produk yang termasuk

dalam rangkaian produksi atau yang lazim disebut integrasi vertikal

adalah penguasaan serangkaian proses produksi atas barang tertentu

mulai dari hulu sampai hilir atau proses yang berlanjut atas suatu

layanan jasa tertentu oleh pelaku usaha tertentu. Praktek integrasi

vertikal meskipun dapat menghasilkan barang dan atau jasa dengan

harga murah, tetapi dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat

yang merusak sendi-sendi perekonomian masyarakat. Praktek seperti

ini dilarang sepanjang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan

atau merugikan masyarakat.

m. Perjanjian Tertutup

Perjanjian yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima

barang dan atau jasa hanya akan memasok kembali barang dan atau

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 48: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

34

Universitas Indonesia

jasa terebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu (Pasal

15 ayat 1);

Pengertian memasok adalah menyediakan pasokan, baik barang

maupun jasa, dalam kegiatan jual beli, sewa menyewa, sewa beli, dan

sewa guna usaha (leasing).

n. Perjanjian Tertutup

Perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak

yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli

barang dan atau jasa lain dari perilaku usaha pemasok (Pasal 15 ayat

2);

o. Perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang

dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang

menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok:

(1) Harus bersedia membeli barang dan atau jasa lebih dari pelaku

usaha pemasok; atau

(2) Tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis

dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha lain

yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok (Pasal 15 ayat 3).

p. Perjanjian dengan pihak lain di luar negeri

Perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan

yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau

persaingan usaha tidak sehat (Pasal 16).

Perjanjian tersebut dapat berbentuk horizontal maupun vertikal. Perjanjian

atau kesepakatan horizontal adalah perjanjian atau kesepakatan dua atau lebih

pelaku usaha yang bertujuan menutup persaingan usaha diantara mereka di pasar

yang bersangkutan, dimana perjanjian atau kesepakatan tersebut bersifat implisit

atau eksplisit yang membatasi kemampuan pesaing untuk bertindak sendiri.

Perjanjian atau kesepakatan tersebut mencakup jangkauan perilaku yang luas, dari

usaha patungan, iklan atau pemasaran bersama, atau kegiatan asosiasi

perdagangan sampai kepada pemasangan harga atau manipulasi lelang.77

Undang-

77

R. Syam Khemani, A Framework for the Design and Implementation of Competition

Law and Policy, Op. Cit., hlm. 24.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 49: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

35

Universitas Indonesia

Undang Nomor 5 Tahun 1999 juga mengatur mengenai larangan perjanjian

horizontal, yakni dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal

12, Pasal 13 dan Pasal 16. Indikasi adanya perjanjian horizontal adalah kata “…

pelaku usaha pesaingnya…”, yang menunjukkan para pelaku usaha tersebut

berada pada tingkat atau level perdagangan yang sama.78

Tidak semua perjanjian

atau kesepakatan di antara pesaing merugikan persaingan. Banyak kegiatan

bersama bermanfaat secara kompetitif, kegiatan-kegiatan tersebut dapat

mengembangkan efisiensi, mengurangi risiko, menciptakan produk atau metode

distribusi baru yang lebih baik, atau memperbaiki arus informasi dan dengan

demikian juga fungsi kompetitif pasar.

Sedangkan yang dimaksud dengan perjanjian vertikal adalah perjanjian

antara perusahaan hulu dan hilir yang dianggap termasuk dalam ruang lingkup

kebijakan persaingan.79

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 melarang jenis

perjanjian vertikal dalam Pasal 6, Pasal 8, Pasal 14 dan Pasal 16. Adapun salah

satu petunjuk bahwa ketentuan-ketentuan tersebut dapat dikategorikan sebagai

perjanjian vertikal adalah kata “…penerima barang…”, istilah tersebut

menunjukkan adanya tingkatan dan fungsi yang berbeda antara pemasok dan

penerima barang.80

Terlepas dari bentuk tertentu yang diambil oleh suatu perjanjian vertikal,

memperlakukan perusahaan-perusahaan hulu dan hilir yang berpartisipasi sebagai

vertikal tunggal sangat penting dalam menganalisis perjanjian tersebut secara

ekonomi.

Dari sudut pandang analisis ekonomi, bukan analisis hukum, perjanjian

vertikal dapat dianggap sebagai bentuk integrasi vertikal.81

Meskipun perusahaan-

78

A.M. Tri Anggraini, “Perspektif Perjanjian Penetapan Harga Menurut Hukum

Persaingan Usaha” dalam Ridwan Khairandy, Masalah-Masalah Hukum Ekonomi Kontemporer,

ed., cet.1, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi,

2006), hlm. 261. 79

R. Syam Khemani, A Framework for the Design and Implementation of Competition

Law and Policy, Op. Cit., hlm. 24.

80

A. M. Tri Anggraini, “Perspektif Perjanjian Penetapan Harga Menurut Hukum

Persaingan Usaha”, Op. Cit., hlm. 261.

81

R. Syam Khemani, A Framework for the Design and Implementation of Competition

Law and Policy, Op. Cit., hlm. 44.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 50: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

36

Universitas Indonesia

perusahaan tidak perlu terintegrasi dalam arti kepemilikan, perjanjian vertikal

dapat menghasilkan berbagai tingkat integrasi dan koordinasi de facto pembuatan

keputusan antara perusahaan-perusahaan hulu dan hilir.82

2.2 Kajian Umum Tentang Penetapan Harga

Salah satu perilaku dari pelaku usaha adalah mendapatkan keuntungan

(objective firm).83

Hadirnya pesaing membuat pelaku usaha akan mengubah

metode persaingan (competition method) yang dijalankan sebelumnya. Strategi

menghadapi pesaing bertujuan untuk meningkatkan atau mempertahankan

keuntungan, serta seminimal mungkin mencegah terjadinya kerugian yang

kemungkinan akan timbul.

Pelaku usaha kerap menganggap hadirnya pesaing sebagai suatu ancaman.

Pada satu sisi, kehadiran pesaing setidaknya akan mengurangi keuntungan yang

sebelumnya diperoleh. Lain halnya bagi konsumen yang diuntungkan dengan

ketersediaan barang substitusi dan variasi pilihan yang tersedia di pasar.

Anggapan seperti ini memiliki kecenderungan negatif dan berpotensi

mengarahkan para pelaku usaha untuk melakukan konspirasi, terlebih lagi apabila

struktur pasarnya monopoli atau oligopoli.84

Salah satu bentuk konspirasi yang dapat dilakukan adalah melakukan

perjanjian penetapan harga dengan pelaku usaha lain yang bertindak sebagai

pesaingnya. Khemani dan Shapiro memberikan definisi mengenai price fixing

(agreement), yaitu:

82

R. Syam Khemani, Ibid.

83

Perilaku usaha dapat dilihat dari 3 elemen, 1) tujuan perusahaan (firm objective), 2)

metode persaingan (competition method), 3) perilaku antar perusahaan (interfirm conduct). Johnny

Ibrahim, Hukum Persaingan Usaha: Filosofi, Teori dan Implikasi Penerapannya di Indonesia, cet.

II, (Malang: Bayumedia, 2007), hlm. 92. 84

Emmy Yuhassarie dan Tri Harnowo, ed., Filosofi dan Latar Belakang UU No. 5/1999

(secara ekonomis) dan Status/Kelembagaan, Wewenang & Tugas KPPU, (Jakarta: Pusat

Pengkajian Hukum, 2004), hlm 7.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 51: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

37

Universitas Indonesia

“An agreement between sellers to raise or fix prices in order to restrict

interfirm competition and earn higher profits. Price fixing agreements are

formed by firms in an attempt to collectively behave as a monopoly”85

Definisi tersebut memuat beberapa hal pokok dibawah ini, yaitu:

a. Perbuatan didahului dengan adanya kesepakatan;

b. Pihak yang melakukan kesepakatan adalah para penjual untuk

menaikkan atau menetapkan harga;

c. Tujuan dari tindakan tersebut adalah menghambat persaingan antar

perusahaan untuk mendapatkan keuntungan;

d. Tindakan tersebut digolongkan sebagai perilaku monopoli.

Aktivitas ekonomi selalu melalui proses yang bertahap dan berjenjang.

Proses itu merupakan perubahan terhadap barang yang belum jadi menjadi barang

jadi atau mengubah barang yang tidak berguna menjadi berguna. Pelaku usaha

adalah aktor yang sangat menentukan pada tiap tahapan tersebut. Tujuan utama

dari pelaku usaha tidak lain adalah mencapai keuntungan atau laba yang sebesar-

besarnya (profit maximization).86

Muculnya pesaing atau kompetitor (dengan asumsi tidak terdapat

hambatan). Membuat masing-masing pelaku usaha berkompetisi dengan cara

meningkatkan output, meningkatkan kualitas, menawarkan harga rendah dan

memperbanyak varietas barang yang ditawarkan. Apabila persaingan terjadi pada

struktur pasar yang kompetitif,87

pelaku usaha hanya bertindak sebagai penerima

harga (price taker), karena tidak bisa lagi menentukan besaran harga suatu barang

kepada konsumen. Harga suatu barang pada kondisi ini disebut harga

85

R.S. Khemani dan D.M. Shapiro, Op. Cit., hlm. 52.

86

Relativitas keuntungan dalam aktivitas bisnis adalah: 1) tolak ukur untuk menilai

kesehatan perusahaan atau efisiensi manajemen dalam perusahaan; 2) pertanda yang menunjukkan

bahwa produk atau jasanya dihargai oleh masyarakat; 3) cambuk untuk meningkatkan usaha; 4)

syarat kelangsungan perusahaan; dan 5) mengimbangi resiko dalam usaha. Lihat: Bertents,

Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm 147-167. 87

Ciri-ciri pasar yang kompetitif adalah: 1) perusahaan memproduksi barang yang

homogen (homogeneous product); 2) produsen dan konsumen memiliki pengetahuan atau

informasi sempurna (perfect knowledge); 3) output sebuah perusahaan relatif kecil di banding

output pasar (small relatively output), 4) perusahaan menerima harga yang ditentukan pasar (price

taker); 5) semua perusahaan bebas masuk dan keluar pasar (free entery and exit). Lihat: Prahatma

Rahardja dan Mandala Manurung, Teori Ekonomi Mikro: Suatu Pengantar, ed. II, (Jakarta:

Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2001), hlm. 212-213.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 52: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

38

Universitas Indonesia

keseimbangan, yaitu harga di mana baik konsumen maupun produsen sama-sama

tidak ingin menambah atau mengurangi jumlah yang dikonsumsi dan dijual.88

Perjanjian penetapan harga merupakan hambatan dalam kegiatan

perdagangan karena perjanjian yang dilakukan pelaku usaha tersebut berkaitan

langsung dengan harga yang berpotensi merugikan pelaku usaha lain sebagai

pesaing dan konsumen.

Dalam pendekatan perilaku89

, harga merupakan salah satu indikator kunci

dalam mengamati adanya potensi perilaku yang mengganggu persaingan usaha.

Seperti diisyaratkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, pengawasan terhadap

potensi penetapan harga, diskriminasi harga, jual rugi, resale price maintenance,

kartel, oligopsoni, dilakukan dengan mengamati proses penentuan harga yang

terjadi pada suatu pasar.90

Untuk memahami pasar, perlu dimengerti bahwa terdapat dua pihak yang

selalu terlibat dalam setiap transaksi suatu pasar, yakni pembeli dan penjual atau

konsumen dan produsen.91

Hasil akhir atau harga, adalah tergantung dari kekuatan

relatif yang dimiliki oleh kedua belah pihak.

Penguasaan pasar dapat diukur dengan menggunakan harga sebagai

komponen utamanya, yaitu dengan melihat kemampuan pelaku usaha dalam

mempengaruhi harga pasar.92

jika harga sebagai salah satu strategi untuk

menguasai pasar, maka para pelaku dengan berbagai cara berupaya untuk

menguasai pasar dengan menggunakan harga. Salah satu caranya adalah dengan

melakukan perjanjian penetapan harga. Selain itu perjanjian penetapan harga

88

Ibid. hlm. 45. 89

Dalam hukum persaingan usaha, terdapat dua pendekatan untuk melihat apakah pelaku

usaha atau perusahaan diduga telah melakukan pelanggaran Undang-Undang Hukum Persaingan

atau tidak, yaitu melihat pada struktur pasar dan perilaku (behaviour), dalam Ningrum Natasya

Sirait, Hukum Persaingan di Indonesia, Op. Cit. hlm. 77.

90

Ayudha D. Prayoga, ed., Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya di

Indonesia, (Jakarta: Partnership for Business Competition, 2001), hlm. 73.

91

James L. Agee, III ed., Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya di Indonesia,

Op. Cit., hlm. 99.

92

Ibid. hlm. 73.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 53: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

39

Universitas Indonesia

dilakukan dengan tujuan membatasi persaingan antar pelaku usaha (perusahaan)

dan meraih keuntungan yang lebih tinggi.93

Penyebab timbulnya penetapan harga oleh para pelaku usaha adalah untuk

menguasai pasar sehingga memperoleh laba yang jauh lebih tinggi dari apa yang

dihasilkan, dimana produsen hanya menetapkan satu harga untuk semua

konsumen sehingga terjadilah persaingan usaha yang tidak sehat. Strategi

penetapan harga yang dapat menghasilkan laba yang lebih tinggi, yang mana

strategi ini dapat juga merusak persaingan usaha dengan strategi penetapan harga

yang bertujuan mendorong maksimalisasi laba pada kelompok pasar monopoli

dan oligopoli. Untuk mencapai maksimalisasi laba, produsen akan menarik

(menyerap) sebanyak mungkin surplus konsumen dari konsumen.94

Suatu usaha dalam mengurangi perang harga dalam pasar oligopoli dengan

strategi kepemimpinan harga. Kepemimpinan harga terjadi pada saat sebuah

perusahaan besar bertindak sebagai pemimpin dan perusahaan-perusahaan kecil

lainnya menjadi pengikut.95

Praktek penetapan harga ada juga yang Anti Kompetisi, tetapi cenderung

merusak persaingan usaha, yang akhirnya dapat merugikan konsumen karena

tidak mempunyai kesempatan yang cukup untuk memperoleh harga yang lebih

baik (rendah), yaitu:

1. Penetapan Harga Dibawah Harga Marginal

Penetapan harga di bawah ini biaya rata-rata adalah penetapan

harga yang disatu sisi akan menguntungkan konsumen dalam jangka

pendek, tetapi di pihak lain akan sangat merugikan pesaing (produsen

lain). Strategi yang tidak sehat ini pada umumnya beralasan bahwa

harga yang ditawarkan adalah merupakan hasil kinerja peningkatan

efisiensi perusahaan. Oleh karena itu tidak akan segera terdeteksi

93

A. M. Tri Anggraini, Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,

Per Se Illegal atau Rule of Reason, (Jakarta: Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas

Indonesia, 2003), hlm. 19.

94

Ayudha D. Prayoga, Peran Lembaga Peradilan dalam Menangani Perkara Persaingan

Usaha, (Jakarta: Partnership for Business Competition, 2001), hlm. 84. 95

M. Suparmoko, et al., Pokok-Pokok Ekonomika, (Yogyakarta: BPFE, 2000), hlm. 144.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 54: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

40

Universitas Indonesia

sampai pesaing dapat mengukur dengan tepat berapa harga terendah

yang sesungguhnya dapat ditawarkan pada konsumen (harga = biaya

marginal).96

2. Penetapan Harga Maksimum

Strategi penetapan harga ini biasanya diterapkan oleh produsen

kepada distributor produk bersangkutan. Strategi bertujuan untuk

mengontrol distributor untuk tidak menjual diatas harga maksimum

yang ditawarkan. Hasil akhir yang diharapkan melalui strategi ini

adalah terkendalinya harga yang bersaing (sesuai keinginan produsen)

sampai pada tingkat penjualan eceran.

Sebagai contoh, beberapa pelaku usaha penerbangan udara

menerapkan harga maksimum untuk setiap tiket perjalanan udara.

Distributor diberikan fasilitas potongan sampai 30%, dari harga

maksimum tersebut. Jadi pihak biro perjalanan selaku distributor dapat

mengambil sebagian atau seluruhnya potongan 30% tapi tidak

diperkenankan untuk menjual lebih dari harga maksimum. Jika biro

perjalanan mengambil seluruhnya potongan yang diberikan, maka

konsumen akan memperoleh harga maksimum, sedangkan jika biro

perjalanan mengambil sebagian potongan misalnya 15% (dalam rangka

promosi menarik konsumen), maka konsumen akan memperoleh harga

15% lebih rendah dari harga maksimum yang ditetapkan.97

Strategi ini menguntungkan konsumen. Akan tetapi disisi lain,

strategi ini juga dapat berdampak sebagai penghalang bagi produsen

lain yang tidak dapat bersaing pada harga maksimum yang ditetapkan.

Produsen yang tidak memiliki jaringan pemasaran yang memadai tidak

akan dapat mengontrol harga akhir yang ditawarkan oleh

jaringannya.98

96

Ibid., hlm. 83. 97

Ibid., hlm. 84. 98

Ibid., hlm. 85.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 55: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

41

Universitas Indonesia

Untuk dapat menerapkan strategi ini, produsen harus dapat

menempatkan satu untuk penjualan perwakilan disetiap titik

(geografis) penjualan. Perwakilan ini akan menawarkan harga

maksimum, jadi jika terdapat distributor tidak terikat yang

menawarkan harga diatas harga maksimum, maka konsumen akan

beralih untuk memperoleh barang atau jasa bersangkutan dari

perwakilan produsen.

Akan tetapi pada prakteknya, kecenderungan distributor pada

umumnya adalah menetapkan harga sesuai dengan harga maksimum

atau dengan kata lain mengambil seluruh potongan yang disediakan

oleh produsen. Jika ini terjadi maka konsumen tentu saja akan

membayar harga yang tertinggi, setidaknya mendekati harga

maksimum yang ditetapkan untuk produk yang dimaksud.99

3. Penetapan Harga Minimum

Strategi penetapan harga ini pada umumnya memiliki dua tujuan

utama, yakni: mempertahankan nama baik (goodwill) produsen atau

merek tertentu dan untuk mencegah terjadinya persaingan tidak sehat

pada level distributor.

Produsen yang memiliki nama yang terkenal untuk produk tertentu

pada pasar tertentu, akan berusaha untuk mempertahankan nama

baiknya, tidak hanya melalui kualitas dan rancangan barang yang

diproduksinya, akan tetapi juga pada harga yang ditetapkan. Produk

yang berkelas biasanya juga memiliki kelas harga yang relatif tinggi

yang harus dipertahankan untuk menjaga citra produsen.100

Di sisi lain, pada level distributor, mereka juga bersaing untuk

memperebutkan pasar produk berkelas tersebut dari distributor

pesaing. Untuk menciptakan kesan (image) bahwa distributor

bersangkutan adalah merupakan pusat distribusi produk berkelas

tertentu. Dibutuhkan promosi yang memerlukan biaya tambahan. Hasil

99

Ibid.

100

Ibid., hlm. 87.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 56: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

42

Universitas Indonesia

akhir, distributor yang harus mengeluarkan biaya tambahan untuk

promosi sudah barang tentu akan menawarkan harga yang sedikit lebih

tinggi untuk produk berkelas yang sama dibandingkan dengan

distributor lain yang tidak melakukan upaya promosi. Akan tetapi

hampir dapat dipastikan konsumen akan lebih cenderung memilih

untuk memperoleh produk yang dimaksud dari distributor yang

menawarkan harga yang lebih rendah (karena tanpa biaya promosi).

Distributor yang memperoleh keuntungan (pangsa pasar) dalam situasi

macam ini disebut sebagai “free rider” pihak yang memperoleh

keuntungan secara cuma-cuma.

Dengan kedua alasan pokok tersebut, produsen biasanya

menetapkan harga minimum untuk produk yang dihasilkan. Strategi ini

selain dapat mengontrol bahwa produknya dijual pada tingkat harga

yang sesuai dengan kelasnya, juga untuk mencegah kemungkinan

munculnya “free rider”. Akan tetapi dipihak lain strategi ini

sesungguhnya mencegah persaingan antar distributor. Distributor yang

dapat melakukan efisiensi tidak dapat menetapkan harga yang lebih

rendah dari harga yang sudah ditetapkan oleh produsen, yang hasil

akhirnya adalah konsumen akan membayar dengan harga relatif tinggi

(melebihi biaya marjinal).101

Guna mengantisipasi terjadinya perjanjian penetapan harga, dibawah ini

terdapat karakteristik pasar guna mendukung terwujudnya penetapan harga (price

fixing):102

1. Konsentrasi Pasar (Market Concentration);

Adanya sejumlah kecil perusahaan sejenis yang beroperasi di pasar,

akan mempermudah terbentuknya kesepakatan di antara mereka.

Asumsi ini didasarkan pada dua alasan, pertama, bahwa perusahaan-

perusahaan tersebut harus melakukan pertemuan secara rahasia dan

101

Ibid.

102

Herbert Hovenkamp, Antitrust, (St. Paul Minnesota: West Publishing, Co., 1993). Hlm

71-72.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 57: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

43

Universitas Indonesia

mengkomunikasikan gagasan mereka satu sama lain. Sebaliknya,

semakin besar jumlah peserta kartel103

, akan semakin sulit melakukan

pertemuan secara rahasia, atau dengan kata lain, lebih mudah

mendeteksi pertemuan rahasia yang terdiri dari banyak anggota.

Alasan kedua, adalah bahwa berangkat dari perbedaan kondisi anggota

kartel, maka akan lebih mudah menyeragamkan harga jika kartel hanya

diikuti beberapa anggota.

2. Hambatan Masuk (Barriers to Entry);

Hambatan masuk (pasar) adalah beberapa faktor di pasar yang

membuat “biaya” melakukan kegiatan bisnis serupa bagi pelaku usaha

baru (new entrant) menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan biaya

yang dibebankan terhadap perusahaan yang telah eksis sebelumnya.

Hambatan masuk yang tinggi merupakan upaya esensial bagi kartel

yang efektif, karena ketika pasar kartel memperoleh profit yang tinggi,

hal ini akan menjadi daya tarik bagi pelaku usaha baru (new entrant)

untuk masuk pasar yang sama.

3. Metode Penjualan (Sales Methods);

Metode penjualan yang paling kondusif yang dapat mewujudkan

perjanjian penetapan harga adalah dalam suatu pelelangan, dimana

pihak penjual membuka harga melalui lelang, dan para anggota kartel

menanggapi dengan harga tertentu yang telah disepakati sebelumnya di

antara mereka.

4. Homogenitas Produk (Product Homogenity);

Adanya kesamaan produk mempermudah bekerjanya suatu kartel

harga, terutama bagi bidang-bidang usaha yang memiliki karakteristik

unik. Namum pada akhirnya konsumen akan menyangsikan produk

yang mereka beli, karena adanya keseragaman harga yang ditetapkan

oleh pelaku usaha. Sebaliknya, heterogenitas produk akan membuat

103

Kartel dalam arti sempit adalah sekelompok perusahaan yang seharusnya saling

bersaing, tetapi justru menyetujui satu sama lain untuk “menetapkan harga” guna meraih

keuntungan monopolis. Kartel yang berkaitan langsung dengan sejumlah penetapan harga disebut

juga dengan perjanjian penetapan harga, lebih jauh lihat Herbert Hovenkamp, Ibid. hlm. 71.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 58: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

44

Universitas Indonesia

konsumen mempunyai pilihan atau varian produk yang ditawarkan,

sehingga pada akhirnya mempersulit terjadinya kartel harga.

5. Adanya Sarana Fasilitasi (Facilitating Devices).

Bekerjanya suatu penetapan harga dapat secara efektif, jika terdapat

sarana untuk melakukan konspirasi, sebagai contoh adalah standarisasi

produk, integrasi vertikal dan pengaturan harga jual kembali, adanya

pengumuman harga penjualan (implisit maupun eksplisit), serta

pengiriman pola harga dasar. Kegiatan ini mudah dilakukan jika para

pengusaha tergabung dalam satu asosiasi dagang, seperti yang terjadi

pada asosiasi semen, elektronik, bahkan industri makanan yang

menguasai jenis makanan dari tingkat produksi sampai dengan

pemasarannya.

Dari penjelasan diatas, beberapa kerugian yang terjadi ketika pelaku usaha

melakukan perjanjian penetapan harga adalah pertama, harga yang dibayar oleh

konsumen lebih tinggi daripada harga pada saat pelaku usaha bersaing secara

kompetitif. Kedua, pelaku usaha berpotensi untuk mengurangi jumlah output yang

dapat menimbulkan kelangkaan. Ketiga, terjadi kerugian konsumen (consumer

loss), karena pelaku price fixing mendapat keuntungan lebih besar dengan

mengeksploitasi surplus konsumen dan surplus produsen.104

Penjatuhan sanksi dari badan pengawas persaingan di suatu negara juga

sangat menentukan. Apabila badan pengawas persaingan bersikap lemah dan

menerapkan jumlah denda yang ringan, maka potensi pelaku usaha untuk tetap

melakukan price fixing akan terus terjadi. Dengan jumlah denda yang relatif

ringan, maka hasil keuntungan pelaku usaha dari hasil price fixing lebih tinggi

dari jumlah denda yang harus dibayar, sehingga perusahaan tidak kehilangan

reputasinya.105

104

Lihat juga: Michael K. Vaska, “Conscious Parallelism and Price Fixing: Defining The

Boundary,” University of Chicago Law Review (Volume 52, Tahun 1985), hlm 508. 105

Khemani, R.S. dan D.M. Shapiro, Op. Cit.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 59: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

45

Universitas Indonesia

Perjanjian penetapan harga merupakan salah satu bentuk perjanjian yang

dilarang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, dalam Pasal 5, Pasal 6,

Pasal 7, dan Pasal 8. Dalam Pasal 5 Ayat (1) disebutkan bahwa:

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha

pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan jasa yang harus

dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang

sama.”

Dalam Pasal 5 ayat (2) dikatakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) tidak berlaku bagi:

a. Suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau

b. Suatu perjanjian yang berdasarkan undang-undang yang berlaku.

Adapun penjabaran unsur-unsur yang ada dalam Pasal 5 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 adalah sebagai berikut:106

1. Unsur Pelaku Usaha;107

2. Unsur Perjanjian;108

3. Unsur Pelaku Usaha Pesaing;109

4. Unsur Harga Pasar;110

5. Unsur Barang;111

106

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Peraturan Komisi Pengawas Persaingan

Usaha tentang Pedoman Pasal 5 (Penetapan Harga) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Peraturan Komisi Persaingan

Usaha Nomor 4 Tahun 2011, Op. Cit., hlm. 6 sampai dengan 7. 107

Sesuai dengan Pasal 1 angka 5 dalam Ketentuan Umum UU No. 5 Tahun 1999, pelaku

usaha adalah “Setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau

bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah

hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian,

menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.” 108

Sesuai dengan Pasal 1 angka 7 dalam Ketentuan Umum UU No. 5 Tahun 1999, pelaku

usaha adalah “Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan

diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apa pun, baik tertulis maupun tidak

tertulis.”

109Pelaku usaha Pesaing adalah pelaku usaha lain dalam pasar bersangkutan yang sama.

110

Harga adalah biaya yang harus dibayar dalam suatu transaksi barang dan jasa sesuai

kesepakatan antara para pihak dipasar bersangkutan.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 60: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

46

Universitas Indonesia

6. Unsur Jasa;112

7. Unsur Konsumen;113

8. Unsur Pasar Bersangkutan;114

9. Unsur Usaha Patungan.115

Sedangkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, menyatakan

bahwa:

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli

yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang

harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama.”

Adapun Pasal 7 menyatakan bahwa:

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha

pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah pasar, yang mengakibatkan

terjadinya persaingan usaha tidak sehat”

Pasal 8 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan sebagai

berikut:

111

Sesuai dengan Pasal 1 angka 16 dalam Ketentuan Umum UU No.5 Tahun 1999, pelaku

usaha adalah “Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak

maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan

oleh konsumen atau pelaku usaha”.

112

Sesuai dengan Pasal 1 angka 17 dalam Ketentuan Umum UU No.5 Tahun 1999, pelaku

usaha adalah “Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang

diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha”.

113Sesuai dengan Pasal 1 angka 15 dari UU No.5 Tahun 1999, Konsumen adalah setiap

pemakai dan atau pengguna barang dan atau jasa baik untuk kepentingan diri sendiri maupun

untuk kepentingan pihak lain.

114Pasar bersangkutan, menurut ketentuan Pasal 1 angka 10 dari UU No.5 Tahun 1999

adalah pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha

atas barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan atau jasa tersebut.

115Perusahaan patungan adalah sebuah perusahaan yang dibentuk melalui perjanjian oleh

2 (dua) pihak atau lebih untuk menjalankan aktivitas ekonomi bersama, dimana para pihak

bersepakat untuk membagi keuntungan dan menanggung kerugian yang dibagi secara proporsional

berdasarkan perjanjian tersebut.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 61: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

47

Universitas Indonesia

“pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha yang lain

yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan

menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya,

denga harga yang lebih rendah dari pada harga yang telah diperjanjikan,

sehingga mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.”

Dengan demikian, perjanjian penetapan harga yang dilarang oleh Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah sebagai berikut:116

1) Penetapan harga antar pelaku usaha;

2) Penetapan harga yang berbeda terhadap barang dan atau jasa yang

sama;

3) Penetapan harga dibawah harga pasar dengan pelaku usaha lain;

4) Penetapan harga jual kembali.

Pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut

menyiratkan bahwa terdapat dua jenis perjanjian penetapan harga dalam undang-

undang tersebut, yakni perjanjian horizontal dan perjanjian vertikal. Seperti bunyi

kalimat Pasal 5 dan Pasal 7 adalah perjanjian horizontal, karena terdapat kata

“…pelaku usaha pesaingnya…”, hal ini menunjukkan pelaku usaha dalam tingkat

perdagangan yang sama.117

Oleh karena itu, Pasal 5 tidak berlaku terhadap

perjanjian penetapan harga vertikal seperti perjanjian keagenan.118

Ketentuan dalam Pasal 6 melarang setiap pelaku usaha untuk membuat

perjanjian yang memberlakukan diskriminasi terhadap kedudukan konsumen yang

satu dengan yang lainnya, dengan memberikan harga yang berbeda-beda atas

barang dan atau jasa yang sama.

Sehingga Pasal 6 dapat dikategorikan sebagai perjanjian horizontal

maupun vertikal, karena lebih menitikberatkan kepada diskriminasi harga dan

tidak menentukan secara spesifik apakah “para pembeli” barang dan atau jasa

116

Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat, Op. Cit.,

hlm. 55.

117

A. M. Tri Anggraini, “Perspektif Perjanjian Penetapan Harga Menurut Hukum

Persaingan Usaha”, Op. Cit., hlm. 265.

118

Syamsul Maarif, “Perjanjian Penetapan Harga Dalam Perspektif UU No. 5 Tahun 1999

tentang larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat” dalam Prosiding UU No.

5 Tahun 1999 dan KPPU, cet. II, (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005), hlm. 159.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 62: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

48

Universitas Indonesia

yang sama itu menjual kembali (barang dan atau jasa) yang diterima dari

penjual.119

Diskriminasi harga selalu berdasarkan prinsip bahwa sesuatu yang sama

atau sejenis diperlakukan secara berbeda, untuk barang dan atau jasa yang sama

dikenakan harga yang berbeda.120

Sehubungan dengan pelarangan terhadap

diskriminasi harga, undang-undang anti monopoli harus secara bijak

mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:121

a. Kesamaan biaya produksi (Marginal Cost);

b. Kesamaan kualitas dan kuantitas barang yang dijual;

c. Kesamaan biaya untuk memproduksi, menjual dan mengirimkan

barang;

d. Tidak ada perubahan harga yang karena perubahan atau perbedaan

waktu;

e. Aktivitas pemasaran (Marketability) dari barang tersebut harus sama;

f. Komponen harga yang berbeda, termasuk juga jika ada tunjangan,

bonus atau kemudahan/jasa dari penjual yang diberikan berbeda-beda

kepada satu pembeli dengan pembeli yang lain.

Pasal 8 dikategorikan sebagai perjanjian vertikal, karena terdapat kalimat

yang menyatakan, bahwa “…para penerima barang dan atau jasa yang

diterimanya…”, sehingga para penerima barang dan atau jasa tersebut merupakan

pelaku usaha yang berada dalam tingkat distribusi barang dan atau jasa yang

berbeda, seperti halnya distributor dan para pengecernya.122

119

A. M. Tri Anggraini, “Perspektif Perjanjian Penetapan Harga Menurut Hukum

Persaingan Usaha”, Op. Cit., hlm. 265.

120

Knud Hansen, et al., Law Concerning Prohibition of monopolistic Practices and

Unfair Business Competition, Op. Cit., hlm. 61.

121

Sayud Margono, Hukum Anti Monopoli,(Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 85.

122

A. M. Tri Anggraini, “Perspektif Perjanjian Penetapan Harga Menurut Hukum

Persaingan Usaha”, Op. Cit., hlm. 266.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 63: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

49

Universitas Indonesia

Jadi perjanjian penetapan harga dapat berupa:123

1. Horizontal Price Fixing

Adalah perjanjian penetapan harga umum yang terjadi antara sesama

pelaku usaha yang selevel seperti produsen (produsen dengan

produsen) terhadap produk barang dan atau jasa yang sama yang

diberlakukan pada pasar bersangkutan (relevant market) yang sama.

2. Vertical Price Fixing

Adalah perjanjian penetapan harga umum yang sama terjadi antara

pelaku usaha yang tidak selevel, misalnya antara produsen dan

distributor (wholeseller) atau dengan pengecer (retailer). Akibat dari

perjanjian ini akan mengurangi atau meniadakan persaingan antara

sesama pengecer atau meniadakan persaingan antara sesama

distributor. Hal ini bisa terjadi dalam perusahaan distributor yang

menentukan harga barang yang akan dijual kepada konsumen oleh

pengecer.

Sistem pemisahan ini berbeda dengan pengaturan perjanjian tentang harga

di berbagai negara maupun model UNCTAD (United Nations Conference on

Trade and Development), karena mereka mengatur secara umum tentang

perjanjian mengenai harga.124

Di Amerika Serikat, perjanjian mengenai harga diatur dalam ketentuan

Pasal (Section) 1 The Sherman Act 1890125

yang mengatur perjanjian secara

umum:

“Every contract, combination in the form of trust or otherwise, or

conspiracy, in restrain of trade or commerce among the several States, or

with foreign nations, is hereby declared to be illegal. Every person who

shall make any contract or engage in any combination or conspiracy

declared to be illegal shall be deemed guilty or felony, and, on conviction

thereof, shall be punished by fine not exceeding one million dollars if a

corporation, or, if any other person, one hundred thousand dollars, or by

123

Elyta Ras Ginting, Hukum Anti Monopoli di Indonesia, Analisis dan Perbandingan

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 35. 124

A. M. Tri Anggraini, “Perspektif Perjanjian Penetapan Harga Menurut Hukum

Persaingan Usaha”, Op. Cit., hlm. 266.

125

The Sherman Act of 1890, 15 U.S.C.A. par. 1.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 64: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

50

Universitas Indonesia

imprisonment not exceeding three years, or by both saif punishment, in the

discretion of the court.”

Dalam Pasal (Section) 1 Sherman Act tersebut, ditentukan bahwa setiap

perjanjian yang menghambat perdagangan (trade and commerce) dinyatakan

sebagai perbuatan yang tidak sah dan dapat dikenakan sanksi denda maupun

kurungan penjara apabila terbukti.

Ketentuan ini diterapkan pertama kali pada tahun 1897 oleh Mahkamah

Agung Amerika Serikat dalam perkara yang melibatkan asosiasi perusahaan

kereta api yang mengelola perjalanan di sebelah barat Mississippi.126

Selanjutnya dalam Undang-undang Anti Monopoli Jepang, mengenai

penetapan harga masuk ke dalam kelompok hambatan tidak wajar pada

perdagangan (unreasonable of trade), yang diatur dalam Pasal 2 ayat (6) Undang-

Undang Anti Monopoli Jepang yang berbunyi:

“Such business activities by which entrepreneurs by contract, agreement,

or any other concerted activities mutually restrict or conduct their

bussines activities in such manner as to fix, maintain prenhace prices, or

to limit production, technology, products, facilities, or costumers, or

suppliers, thereby causing contrary to the public interest, a substantial

restraint of competition in any particular field of trade”

Dalam pasal tersebut, hambatan yang tidak wajar pada perdagangan dalam

Undang-Undang Anti Monopoli Jepang adalah kegiatan bisnis di mana pelaku

usaha bersama-sama membatasi atau melakukan kegiatan untuk menetapkan,

mempertahankan, atau menaikkan harga, atau membatasi produksi, teknologi,

barang, fasilitas atau konsumen atau pemasok yang bertentangan dengan

kepentingan publik dan persaingan.127

126

United States v. Trans. Missouri Freight Ass’n166 U.S. 290 (1897), dikutip dari A. M.

Tri Anggraini, Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Per Se Illegal

atau Rule of Reason, Op. Cit., hlm. 267.

127

Jacqueline Bos, Antitrust treatment of Cartels, A Comparative Survey of Competition

Law Exemptions in The United States, The European Union, Australia and Japan, 1 Wash. U.

Global Stud. L. Rev. 415, Washington University, 2002.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 65: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

51

Universitas Indonesia

Bentuk – bentuk lain atau variasi lain dalam praktik penetapan harga yaitu:

a. Resale Price Maintenance (RPM) Arrangements

RPM Arrangements merupakan praktek pemasaran dimana

seseorang (atau suatu perusahaan) pengecer atas dasar perjanjian

dengan distributor atau produsen setuju untuk menjual barang

atau jasa dengan harga tertentu atau harga minimum tertentu.128

b. Vertical Maximum Price Fixing

Mirip dengan RPM Arrangements, namun vertical maximum

price fixing terjadi dalam hal produsen atau distributor suatu

produk membuat kesepakatan dengan pengecer yang isinya

mewajibkan pengecer itu untuk menjual produk dibawah harga

maksimum yang ditetapkan oleh produsen atau

distributornya.129

c. Consignments

Praktek consignments dalam konteks usaha terjadi apabila suatu

perusahaan pengecer menjual barang yang secara legal masih

menjadi milik produsen dan sebagai imbalannya ia memperoleh

komisi penjualan. Yang menimbulkan persoalan bagi produsen

adalah untuk menentukan harga produk yang dititipkannya.

Memang salah satu prinsip hukum persaingan yang sudah

diakui, setidaknya di Amerika Serikat, adalah bahwa sekali

produsen atau distributor telah menjual produknya pada

pengecer, ia tidak bisa lagi menentukan berapa harga jual yang

harus dipasang oleh pengecer itu terhadap konsumen. Dalam

hubungan consignments prinsipnya dapat diterobos melalui

fakta bahwa meskipun secara nyata barang berada ditangan

pengecer, kepemilikan barang tersebut tidak berpindah pada si

pengecer.130

128

Arie Siswanto, Op. Cit., hlm. 40-41. 129

Ibid., hlm. 41.

130

Ibid., hlm. 41.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 66: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

52

Universitas Indonesia

Meskipun harga yang ditetapkan itu masih dalam taraf yang wajar atau

tidak terlalu mahal, namun prinsip pokok dari larangan ini adalah terjadinya

persekongkolan di atara pelaku bisnis untuk menguasai pasar barang atau jasa

tertentu. Persetujuan untuk penetapan harga ini merupakan pelanggaran, baik yang

dilakukan dengan penetapan harga tertinggi, maupun dengan penetapan harga

terendah, karena pada hakikatnya tujuan larangan ini adalah untuk menciptakan

harga yang kompetitif, bukan semata-mata harga yang paling murah. Dengan

adanya larangan ini para pelaku bisnis diharuskan untuk berhati-hati, karena

dalam prakteknya hal ini sering sekali terjadi.

2.3 Kajian Umum tentang Kartel

Dalam pandangan ekonomi, Kartel adalah bentuk khusus oligopoli suatu

extra-legal joint venture business yang dalam keadaan normal dan sendiri-sendiri,

mereka saling bersaing dalam industri pasar yang sama.131

Kartel dapat

didefinisikan:

“An association of two or more legally independent entities that explicitly

agree to coordinate their prices or output for the purpose of increasing

their collective profits”132

Definisi ini adalah definisi kartel secara luas. Kartel secara sempit adalah

sekelompok perusahaan yang seharusnya bersaing, tetapi mereka justru

menyetujui satu sama lain untuk “menetapkan harga” guna meraih keuntungan

monopolis.133

Inilah definisi kartel secara sempit yang sering membuat

kebingungan bagi pihak yang awam hukum persaingan, karena kartel harga

terlihat sangat mirip dengan penetapan harga, padahal dua hal ini diatur dalam 2

(dua) pasal yang berbeda di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Kartel

diatur di dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan

Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang berbunyi:

131

Shepherd W.G., The Economics of Industrial Organization. Fourth Eds, (New Jersey:

Prentice Hall, 1997), hlm. 28.

132

Ganner B. A. Black’s Law Dictionary, (St. Paul Minn: West Group, 1999), hlm. 206.

133

A. M. Tri Anggraini, “Perspektif Perjanjian Penetapan Harga Menurut Hukum

Persaingan Usaha”, Op. Cit., hlm. 258.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 67: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

53

Universitas Indonesia

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha

pesainganya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan

mengatur produksi dan/ atau pemasaran suatu barang dan/ atau jasa, yang

dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/ atau persaingan

usaha tidak sehat.”

Adapun penjabaran unsur-unsur yang ada dalam Pasal 11 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 adalah sebagai berikut:

1. Unsur Pelaku Usaha;134

2. Unsur Perjanjian;135

3. Unsur Pelaku Usaha Pesaingnya;136

4. Unsur Bermaksud Mempengaruhi Harga;137

5. Unsur Mengatur Produksi dan atau Pemasaran;138

6. Unsur Barang;139

7. Unsur Jasa;140

134

Pelaku usaha menurut Pasal 1 angka 5 adalah setiap orang perorangan atau badan

usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum

atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam

wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian,

menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. Dalam kartel, pelaku usaha

yang terlibat dalam perjanjian ini harus lebih dari dua pelaku usaha. Agar kartel sukses, kartel

membutuhkan keterlibatan sebagian besar pelaku usaha pada pasar yang bersangkutan.

135

Perjanjian menurut Pasal 1 angka 7 adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha

untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis

maupun tidak tertulis.

136

Pelaku usaha pesaing adalah pelaku usaha lain yang berada di dalam satu pasar

bersangkutan. Definisi pasar bersangkutan, dapat dilihat dalam Peraturan Komisi Pengawas

Persaingan Usaha Nomor 3 tahun 2009, tanggal 1 Juli 2009 mengenai Pedoman Pasal 1 angka 10

tentang Pasar Bersangkutan. 137

Sebagaimana dirumuskan dalam pasal 11 bahwa suatu kartel dimaksudkan untuk

mempengaruhi harga. Untuk mencapai tujuan tersebut anggota kartel setuju mengatur produksi

dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa.

138Mengatur produksi artinya adalah menentukan jumlah produksi baik bagi kartel secara

keseluruhan maupun bagi setiap anggota. Hal ini bisa lebih besar atau lebih kecil dari kapasitas

produksi perusahaan atau permintaan akan barang atau jasa yang bersangkutan. Sedangkan

mengatur pemasaran berarti mengatur jumlah yang akan dijual dan atau wilayah dimana para

anggota menjual produksinya.

139Barang menurut Pasal 1 angka 16 adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak

berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai,

dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 68: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

54

Universitas Indonesia

8. Unsur Dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli;141

9. Unsur Dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat.142

Harus digaris bawahi dari pasal tersebut adalah kata “mengatur produksi”,

“dan/ atau pemasaran”, “yang bertujuan untuk mempengaruhi harga”. Perjanjian

seperti ini meniadakan kesempatan pihak lawan dalam pasar untuk memilih secara

bebas di antara penawaran para angora kartel, namun selama kegiatan koordinasi

produksi serta pemasaran sering mempunyai manfaat persaingan sehingga pada

konteks kebijakan persaingan usaha sering ambivalen di mana kegiatan koordinasi

pemasaran yang murni selalu merupakan hambatan persaingan usaha yang serius.

Pasal 11 Undang-Undang Persaingan Usaha hanya mencakup produksi dan

penjualan, tidak meliputi penelitian dan pengembangan, atau pembelian.143

Kartel pada dasarnya adalah perjanjian satu pelaku usaha dengan pelaku

usaha pesaingnya untuk menghilangkan persaingan di antara keduanya. Secara

klasik, kartel dapat dilakukan melalui 3 (tiga) hal: harga, produksi, dan wilayah

pemasaran. Hal utama dari praktek kartel ini adalah pengaturan jumlah produksi

dan pemasaran secara bersama-sama dan sistematis dengan maksud untuk

mempengaruhi harga demi keuntungan para anggota-anggota kartel. Sebagai

140

Jasa menurut Pasal 1 angka 17 adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau

prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku

usaha.

141Praktek monopoli menurut Pasal 1 angka 2 adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh

satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas

barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat. Dengan kartel,

maka produksi dan pemasaran atas barang dan atau jasa akan dikuasai oleh anggota kartel. Karena

tujuan akhir dari kartel adalah untuk mendapatkan keuntungan yang besar bagi anggota kartel,

maka hal ini akan menyebabkan kerugian bagi kepentingan umum.

142

Pasal 1 angka 6 menyatakan bahwa persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan

antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa

yang dilakukan dengan cara tidak jujur. Kartel adalah suatu kolusi atau kolaborasi dari para pelaku

usaha. Oleh karena itu segala manfaat kartel hanya ditujukan untuk kepentingan para anggotanya

saja, sehingga tindakan-tindakan mereka ini dilakukan secara tidak sehat dan tidak jujur. Dalam

hal ini misalnya dengan mengurangi produksi atau melawan hukum atau menghambat persaingan

usaha, misalnya dengan penetapan harga atau pembagian wilayah. 143

Knud Hansen, et al., Law Concerning The Prohibition of Monopolistic Practices and

Unfair Competition), Op. Cit., hlm. 207.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 69: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

55

Universitas Indonesia

konsekuensi, perjanjian kartel tersebut secara tidak langsung membatasi

persaingan usaha.144

Menurut UNCTAD145

dalam Manual On The Formulation and

Application Of Competitive Law, untuk mendeteksi adanya kartel terdapat

beberapa hal yang dapat diamati, yaitu:

a. Adanya kecenderungan untuk membuat perjanjian tertulis;

b. Para peserta kartel akan secara bersama-sama mengurangi ataupun

menaikkan harga, agar tercapai tingkat harga yang sama;

c. Para pelaku usaha akan bekerjasama dengan pelaku usaha lainnya

untuk melakukan serangkaian tindakan tertentu.146

Selain itu kegiatan kartel juga dapat dideteksi dari:

a. Bukti-Bukti dari Konsumen;

b. Bukti-Bukti dari Whistleblower;

c. Bukti-Bukti dari para pelaku usaha atau pendatang baru atau pesaing

potensial;

d. Bukti-Bukti dari dokumentasi perjanjian;

e. Perilaku pasar yang bersangkutan.147

Akibat yang ditimbulkan adalah terciptanya praktek monopoli oleh para

pelaku kartel sehingga secara perekonomian mikro mengakibatkan inefisiensi

alokasi sumber daya yang dicerminkan dengan timbulnya deadweight loss. Dari

sisi konsumen, konsumen akan kehilangan hak atas pilihan harga, kualitas barang

yang bersaing, dan layanan purna jual yang baik.148

Mekanisme kartel adalah

144

Didik J. Rachbini, “Cartel and Merger in Control in Indonesia,” Jurnal Hukum Bisnis

(Volume 19 Mei-Juni 2002), hlm. 11-12. 145

United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) suatu badan dari

PBB yang dibentuk dengan tujuan: memajukan perdagangan internasional, dengan maksud untuk

mempercepat pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang; memformulasikan dan

melaksanakan prinsip-prinsip dan kebijakan-kebijakan perdagangan internasional dan masalah-

masalah pembangunan ekonomi yang terkait; dan sebagainya. 146

Wahyu Retno Dwi Sari, “Kartel: Upaya Damai Untuk meredam Konfrontasi Dalam

Persaingan Usaha,” Jurnal KPPU (Edisi 1 Tahun 2009)

http://www.kppu.go.id/docs/Jurnal_edisi_1_th_09.pdf, diunduh 6 Mei 2010.

147Ibid.

148

Didik J. Rachbini, Op. Cit., hlm. 4.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 70: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

56

Universitas Indonesia

dengan diawali kondisi dimana setiap pelaku usaha berupaya mencari keuntungan

yang maksimal dari transaksi yang dilakukannya. Sebagaimana dikatakan dalam

teori tentang harga bahwa perusahaan bermaksud mendapat keuntungan yang

maksimum, untuk memaksimumkan keuntungan. Akibatnya, produsen selalu

mengetahui biaya (cost) untuk memproduksi dalam menentukan keputusan untuk

kapan, berapa banyak, dan bagaimana memproduksinya.149

Perilaku kartel yang dilakukan oleh para pelaku usaha sebagian besar

dialasankan kerena ingin menstabilkan harga di pasar. ketidakstabilan harga

dipicu oleh timbulnya perang harga diantara perusahaan-perusahaan yang

bersaing sehingga perusahaan-perusahaan tersebut berupaya untuk mencapai

kesepakatan harga, biasanya dalam bentuk tarif minimal. Kesepakatan ini pada

umumnya terang-terangan dituangkan secara tertulis dan ditandatangani para

pelaku usaha yang menyepakatinya.

Seluruh produsen akan berupaya memperhitungkan bahan baku, biaya,

harga, dan menentukan jumlah output sesuai dengan perhitungan keuntungan

maksimum. Bila produsen bersama-sama setuju untuk menentukan harga dan

output, maka kelompok mereka akan bertindak sebagaimana seorang monopolis.

Industri akan menghadapi kendala karena jumlah output dibatasi, sementara

kebutuhan dan permintaan konsumen lebih besar dari output. Harga akan menjadi

lebih tinggi karena telah ditetapkan bersama dan mereka juga tidak menghadapi

persaingan yang berarti jenis perjanjian inilah yang disebut kartel.150

Meski begitu, ada beberapa pihak yang berpendapat bahwa dengan

terbentuknya kartel tidak selalu menimbulkan dampak yang buruk atau negatif

dalam dunia perdagangan atau dunia usaha, karena menurut mereka dalam

beberapa kasus terbentuknya kartel justru dapat menguntungkan. Menurut

mereka, kartel dapat melindungi industri tertentu dari persaingan yang

menghancurkan, dengan demikian memerlukan kemampuan untuk

memeliharanya, terutama dimana biaya tetap mempunyai prosentase yang besar

149

Ningrum Natasya Sirait, Op. Cit., hlm. 23 sebagaimana dikutip dari Buku Dennis W

Carlton and Jeffrey M. Perioff, Modern Industrial Organization, (Harper Collins Publisher, 1994),

hlm. 37 dan 66 yang mengatakan bahwa: “A Competitive firm’s objective its to maximize its profits

or equivalebtly, minimize its losses.”

150

Ningrum Natasya Sirait, Op. Cit., hlm. 79.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 71: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

57

Universitas Indonesia

dari total biaya (misalnya industri kereta api). Jika dibebaskan dari tekanan

persaingan tersebut maka perusahaan menjadi bebas untuk membiayai inovasi

yang didambakan dan mengadakan penelitian, termasuk untuk melindungi

kualitas produk agar tidak menurun.151

Dalam menilai apakah tindakan yang dilakukan oleh pelaku memiliki

karakteristik kartel atau tidak, KPPU juga menilai faktor-faktor dapat mendorong

atau memfasilitasi terjadinya kartel baik faktor struktural maupun perilaku.

Sebagian atau seluruh faktor tersebut dapat digunakan sebagai indikator dalam

melakukan identifikasi eksistensi sebuah kartel pada sektor bisnis tertentu.

Beberapa diantara faktor-faktor tersebut yaitu:

a. Faktor struktural:

1) Tingkat konsentrasi dan jumlah perusahaan

Secara prinsip, kartel akan lebih mudah jika jumlah perusahaan

tidak banyak. Pemusatan kekuatan ekonomi atau konsentrasi pasar

menunjukkan adanya pertumbuhan perusahaan dalam skala besar,

dan terjadinya penurunan tingkat kompetisi pada pasar

bersangkutan.152

Dalam hal ini indikator tingkat konsentrasi pasar

seperti misalnya CRn (jumlah pangsa pasar dan perusahaan

terbesar) dan HHI (Herfindahl-Hirschman Index) merupakan

indikator yang baik untuk melihat apakah secara struktur, pasar

tertentu mendorong eksisitensi kartel. HHI atau dikenal dengan

Herfindahl Index merupakan alat yang digunakan untuk mengukur

hubungan antara pelaku usaha dengan industri dan merupakan

indikator dari besarnya persaingan antara pelaku usaha. Penurunan

pada index Herfindahl pada umumnya menunjukkan adanya

pengurangan dalam kekuatan monopoli dalam menentukan harga

di pasar dan peningkatan persaingan yang cukup baik. Sebaliknya,

jika angka index menunjukkan kenaikan maka artinya terdapat

151

Ayudha Prayoga, et al., Op. Cit., hlm. 79.

152

Thomas W. Hazlett, “Is Antitrust Anticompetitive?,” 9 Harvard Journal of Law &

Public Policy 277 (1986), hlm. 283.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 72: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

58

Universitas Indonesia

konsentrasi yang tinggi di satu tangan pelaku usaha.153

Index HHI

bersifat manipulatif karena terlalu luas atau terlalu sempit dalam

menentukan pasar bersangkutan.154

2) Ukuran Perusahaan

Kartel akan lebih mudah terbentuk jika pendiri atau pelopornya

adalah beberapa perusahaan yang mempunyai ukuran setara.

Dengan demikian pembagian kuota produksi atau tingkat harga

yang disepakati dapat dicapai dengan lebih mudah dikarenakan

kapasitas produksi dan tingkat biaya produksi semua perusahaan

tersebut tidak berbeda jauh.

3) Homogenitas produk

Produk yang homogen, baik berupa barang atau jasa, menyebabkan

preferensi konsumen terhadap seluruh produk tidak berbeda jauh.

Hal ini menjadikan persaingan harga sebagai satu-satunya variabel

persaingan yang efektif. Dengan demikian dorongan para

pengusaha untuk bersepakat membentuk kartel akan semakin kuat

untuk menghindari perang harga yang menghancurkan tingkat laba

mereka. KPPU dapat melakukan survey kepada pelanggan produk

tertentu untuk mengetahui tingkat preferensi pelanggan dan

menyimpulkan tingkat homogenitas produk tersebut.

4) Kontak multi-pasar

Pemasaran yang luas dari suatu produk memungkinkan terjadinya

kontak multi-pasar dengan pesaingnya yang juga mempunyai

sasaran pasar yang luas. Multi-pasar dapat diartikan persaingan di

beberapa area pasar atau di beberapa segmen pasar dapat juga

kontak pada beberapa pasar bersangkutan yang berbeda. Kontak

yang berkali-kali ini dapat mendorong para pengusaha yang

seharusnya bersaing untuk melakukan kolaborasi, misalnya dengan

153

Sergio Baches Opi, “Merger Control in the United States and European Union: How

Should the United States Experience Influence the Enforcement of the Council Merger

Regulation?,” 6 Journal of Transnational Law & Policy 223 (1997), hlm. 278.

154Maurice E. Stucke, “Behavioral Economists At The Gate: Antitrust In the Twenty-First

Century,” 38 Loyola University Chicago Law Journal 513 (2007), hlm. 552.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 73: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

59

Universitas Indonesia

alokasi wilayah atau harga. Selain itu, tidak ada insentif bagi para

pelaku usaha tersebut untuk tidak ikut dalam kartel karena adanya

kekhawatiran “tindakan balasan” dari anggota kartel di seluruh

area atau segmen pasar sasaran.

5) Persediaan dan kapasitas produksi

Persediaan yang berlebihan di pasar menunjukkan telah terjadi

kelebihan penawaran (overstock). Begitu pula kapasitas terpasang

yang berada di atas permintaan menunjukkan kemampuan pasokan

berada di atas tingkat permintaan saat ini. Untuk mencegah

persaingan harga yang merugikan, pada kondisi ini para pelaku

usaha akan mudah terperangkap dalam perilaku kartel harga, yaitu

menyepakati harga tertentu atau harga minimum. Selain itu,

kelebihan pasokan ini mencegah anggota kartel untuk menyimpang

mengingat pasokan yang tersedia cukup banyak untuk

“menghukum” mereka yang menyimpang dengan membanjiri

pasar sehingga harga akan jatuh dan pengusaha akan kesulitan

memasarkan produknya. Data akan persediaan dan kapasitas

produksi dapat dijadikan indikator awal untuk mengindentifikasi

kartel.

6) Keterkaitan kepemilikan

Keterkaitan kepemilikan baik minoritas terlebih lagi mayoritas

mendorong pengusaha untuk mengoptimalkan laba melalui

keselarasan perilaku di antara perusahaan yang mereka kendalikan.

Pemegang saham dua atau lebih perusahaan yang semestinya

bersaing cenderung memanfaatkan kepemilikan silang ini untuk

memperkuat kartel dalam rangka mengoptimalkan keuntungan.

Berbagai pengaturan kartel akan berlangsung lebih mudah dengan

adanya kepemilikan silang ini.

7) Kemudahan masuk pasar

Tingginya entry barrier sebagai hambatan bagi perusahaan baru

untuk masuk pasar akan memperkuat keberadaan suatu kartel.

Peluang pendatang baru untuk mengisi kekosongan pasar akibat

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 74: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

60

Universitas Indonesia

harga kartel yang tinggi agak tertututp. Dengan demikian kartel

akan dapat bertahan dari persaingan pendatang baru. Tingginya

entry barrier dapat bersumber dari tingginya nilai investasi,

maupun teknologi.

8) Karakter permintaan: keteraturan, elastisitas, dan perubahan

Permintaan yang teratur dan inelastis dengan pertumbuhan yang

stabil akan memfasilitasi berdirinya kartel. Hal ini terjadi karena

adanya kemudahan bagi para peserta kartel untuk memprediksi dan

menghitung tingkat produksi serta tingkat harga yang dapat

mengoptimalkan keuntungan mereka. Sebaliknya jika permintaan

sangat fluktuatif, elastis dan tidak teratur akan menyulitkan

terbentuknya kartel. Selain itu permintaan yang inelastic

menunjukan bahwa konsumen sulit untuk mengurangi jumlah

permintaannya akibat kenaikan harga jual. Kondisi tersebut

mengakibatkan tindakan anti persaingan yang dilakukan oleh

pelaku usaha tidak dapat dikoreksi otomatis oleh berubahnya

pilihan konsumen. Oleh karena itu, kondisi inelastic akan

mengakibatkan tindakan kartel efektif merugikan konsumen dan

tidak dapat dikoreksi secara alamiah.

9) Lemahnya kekuatan tawar pembeli (buyer power)

Pembeli dengan posisi tawar yang kuat akan mampu melemahkan

dan akhirnya membubarkan kartel. Dengan posisi ini, pembeli akan

mudah mencari penjual yang mau memasok dengan harga rendah,

yang berarti mendorong penjual untuk tidak mematuhi harga

kesepakatan kartel. Pada akhirnya kartel tidak akan berjalan secara

efektif dan bubar dengan sendirinya. Namun sebaliknya lemahnya

kekuatan daya tawar pembeli, akan mengefektifkan tindakan anti

persaingan termasuk kartel dalam mengeksploitasi konsumen.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 75: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

61

Universitas Indonesia

b. Faktor perilaku

1) Transparansi dan Pertukaran Informasi

Kartel akan mudah terbentuk jika para pelaku usaha terbiasa

dengan pertukaran informasi dan transparansi diantara mereka.

Peran asosiasi yang kuat seringkali terlihat sebagai media

pertukaran ini. Data produksi dan harga jual yang dikirimkan ke

asosiasi secara periodik dapat digunakan sebagai sarana

pengendalian kepatuhan terhadap kesepakatan kartel. Terlebih lagi

jika ditemukan terjadinya pertukaran informasi harga dan data

produksi tanpa melalui asosiasi, yang mana akan terlihat janggal

jika sesama pelaku usaha saling memberikan harga dan data

produksi diantara mereka tanpa tujuan tertentu sehingga kecurigaan

akan eksistensi kartel akan menguat.

2) Peraturan Harga dan Kontrak

Beberapa perilaku pengaturan harga dan kontrak dapat

memperkuat dugaan adanya kartel di suatu industri. Misalnya

kebijakan one price policy dimana kesamaan harga di berbagai

daerah akan menjadi alat monitoring yang efektif antar anggota

kartel terhadap kesepakatan harga kartel. Begitu pula keharusan

memperoleh harga yang sama seperti klausul MFN (Most Favored

Nations) atau meet the competition dalam suatu kontrak akan

memudahkan kontrol terhadap anggota kartel yang menyimpang.

Oleh karena itu, walaupun bukan merupakan syarat perlu maupun

cukup dalam mengidentifikasi kartel, perilaku pengaturan harga

dan kontrak patut dicermati oleh KPPU sebagai bagian upaya

identifikasi eksistensi kartel.

Suatu kartel pada umumnya mempunyai beberapa karakteristik:155

155

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Peraturan Komisi Pengawas Persaingan

Usaha tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 11 tentang Kartel Berdasarkan Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Peraturan

Komisi Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2010, (Jakarta: Komisi Pengawas Persaingan Usaha,

2010), hlm. 9.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 76: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

62

Universitas Indonesia

a. Terdapat konspirasi diantara beberapa pelaku usaha.

b. Melibatkan para senior eksekutif dari perusahaan yang terlibat. Para

senior eksekutif inilah biasanya yang menghadiri pertemuan-

pertemuan dan membuat keputusan.

c. Biasanya dengan menggunakan asosiasi untuk menutupi kegiatan

mereka.

d. Melakukan price fixing atau penetapan harga. Agar penetapan harga

berjalan efektif, maka diikuti dengan alokasi konsumen atau

pembagian wilayah atau alokasi produksi. Biasanya kartel akan

menetapkan pengurangan produksi.

e. Adanya ancaman atau sanksi bagi anggota yang melanggar perjanjian.

Apabila tidak ada sanksi bagi pelanggar, maka suatu kartel rentan

terhadap penyelewengan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih

besar daripada anggota kartel lainnya.

f. Adanya distribusi informasi kepada seluruh anggota kartel. Bahkan

jika memungkinkan dapat menyelenggarakan audit dengan

menggunakan data laporan produksi dan penjualan pada periode

tertentu. Auditor akan membuat laporan produksi dan penjualan setiap

anggota kartel dan kemudian membagikan hasil audit tersebut kepada

seluruh anggota kartel.

g. Adanya mekanisme kompensasi dari anggota kartel yang produksinya

lebih besar atau melebihi kuota terhadap mereka yang produksinya

kecil atau mereka yang diminta untuk menghentikan kegiatan

usahanya. Sistem kompensasi ini tentu saja akan berhasil apabila para

pelaku usaha akan mendapatkan keuntungan lebih besar dibandingkan

dengan apabila mereka melakukan persaingan. Hal ini akan membuat

kepatuhan anggota kepada keputusan-keputusan kartel akan lebih

terjamin.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 77: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

63

Universitas Indonesia

Terdapat beberapa persyaratan agar suatu kartel dapat berjalan efektif,

diantaranya:156

a. Jumlah pelaku usaha. Semakin banyak pelaku usaha di pasar, semakin

sulit untuk terbentuknya suatu kartel. Kartel akan mudah dibentuk dan

berjalan lebih efektif apabila jumlah pelaku usaha sedikit atau pasar

terkonsentrasi.

b. Produk di pasar bersifat homogen. Karena produk homogen, maka

lebih mudah untuk mencapai kesepakatan mengenai harga.

c. Elastisitas terhadap permintaan barang. Permintaan akan produk

tersebut tidak berfluktuasi. Apabila permintaan sangat fluktuatif,

maka akan sulit untuk mencapai kesepakatan baik mengenai jumlah

produksi maupun harga.

d. Pencegahan masuknya pelaku usaha baru ke pasar.

e. Tindakan-tindakan anggota kartel mudah untuk diamati. Seperti telah

dijelaskan, bahwa dalam suatu kartel terdapat kecenderungan bagi

anggotanya untuk melakukan kecurangan. Apabila jumlah pelaku

usaha tidak terlalu banyak, maka mudah untuk diawasi.

f. Penyesuaian terhadap perubahan pasar dapat segera dilakukan. Kartel

membutuhkan komitmen dari anggota-anggotanya untuk menjalankan

kesepakatan kartel sesuai dengan permintaan dan penawaran di pasar.

Kartel akan semakin efektif jika dapat dengan cepat merespon kondisi

pasar dan membuat kesepakatan kartel baru jika diperlukan.

g. Investasi yang besar. Apabila suatu industri untuk masuk ke pasarnya

membutuhkan investasi yang besar, maka tidak akan banyak pelaku

usaha yang akan masuk ke pasar. Oleh karena itu, kartel diantara

pelaku usaha akan lebih mudah dilakukan.

Selain daripada itu, agar suatu kartel bisa efektif, maka para anggota kartel

harus memenuhi syarat-syarat, diantaranya adalah:157

156

Ibid., hlm. 9. 157

Ibid., hlm. 10.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 78: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

64

Universitas Indonesia

a. Anggota kartel harus setuju untuk mengurangi produksi barang dan

kemudian menaikkan harganya atau membagi wilayah. Perjanjian

kartel yang efektif dapat mengakibatkan kartel itu bertindak sebagai

monopolis yang dapat menaikkan dan atau menurunkan produksi dan

atau harga tanpa takut pangsa pasar dan keuntungannya berkurang.

b. Oleh karena kartel rentan terhadap kecurangan dari anggota kartel

untuk menjual lebih banyak dari yang disepakati atau menjual lebih

murah dari harga yang telah ditetapkan dalam kartel, maka diperlukan

monitoring atau mekanisme hukuman bagi anggota kartel yang

melakukan kecurangan.

c. Karena kartel pada prinsipnya melanggar undang-undang, maka perlu

dilakukan langkah-langkah untuk mendorong anggota kartel untuk

bekerja secara rahasia guna menghindari terungkapnya atau

diketahuinya kartel oleh otoritas pengawas persaingan usaha.

d. Agar kelangsungan kartel dapat terjaga, maka para anggota kartel

akan berupaya mencegah masuknya pelaku usaha baru yang tertarik

untuk ikut menikmati harga kartel.

Selanjutnya terdapat juga beberapa kondisi bagi para pelaku usaha

melakukan kartel antara lain:158

a. Dengan melakukan kartel, para pelaku usaha mampu menaikkan

harga. Apabila permintaan tidak elastis, maka akan menyebabkan

konsumen tidak mudah pindah ke produk atau jasa lain, hal ini akan

menyebabkan harga suatu produk atau jasa akan lebih tinggi. Begitu

pula, apabila terdapat kondisi dimana sulit bagi barang substitusi

masuk ke pasar, karena tidak ada barang atau jasa lain di pasar, maka

harga tetap akan tinggi.

b. Adanya kondisi dimana kecil kemungkinan kartel akan terungkap dan

kalaupun diketahui, maka hukuman yang akan dijatuhkan relatif

rendah, sehingga para anggota kartel masih merasa untung.

158

Ibid.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 79: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

65

Universitas Indonesia

c. Biaya yang dikeluarkan untuk terjadinya kartel dan biaya untuk

memelihara kartel lebih rendah dibandingkan dengan keuntungan

yang diharapkan.

2.4 Pembuktian oleh KPPU

Salah satu tugas Majelis Komisi adalah untuk menyelidiki apakah suatu

hubungan hukum yang menjadi dasar dari laporan dugaan mengenai pelanggaran,

benar-benar melanggar atau tidak melanggar ketentuan dari Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999.159

Adanya hubungan hukum inilah yang harus dibuktikan

apabila Pelapor menginginkan laporannya dikabulkan oleh komisi. Apabila

Pelapor tidak berhasil membuktikan dalil-dalilnya yang menjadi dasar laporannya,

hal itu bermakna bahwa laporannya akan ditolak atau tidak jadi dilanjutkan

pemeriksaannya. Sedangkan apabila berhasil membuktikan, maka laporan tersebut

akan dikabulkan oleh Majelis Komisi.

Tidak semua dalil yang menjadi dasar laporan harus dibuktikan

kebenarannya, sebab dalil-dalil yang tidak disangkal terlebih apalagi diakui

sepenuhnya oleh terlapor, maka tentu tidak perlu dibuktikan lagi.160

Dalam hal

Pelaku Usaha Terlapor mengakui kebenaran dan laporan Pelapor, hanya dengan

itu saja sudah cukup alasan bagi Majelis Komisi untuk menjatuhkan putusan

bahwa Pelaku Usaha Terlapor terbukti melakukan pelanggaran terhadap pasal

tertentu dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

Dalam pembuktian di KPPU, yang berkepentingan bukan hanya pelapor

semata. Majelis Komisi akan menentukan siapa diantara pihak-pihak yang

berperkara yang diwajibkan untuk memberikan bukti, apakah itu pihak pelapor

atau sebaliknya pihak Pelaku Usaha Terlapor. Dengan perkataan lain, Majelis

Komisi sendiri yang akan menentukan pihak mana yang akan memikul beban

pembuktian. Di dalam menjatuhkan beban pembuktian, Majelis Komisi harus

159

Menurut Pasal 36 huruf (d) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 salah satu

wewenang KPPU adalah menyimpulkan hasil penyelidikan dan pemeriksaan tentang ada atau

tidaknya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. 160

Yang perlu dibuktikan adalah apa yang disangkal oleh Terlapor, sedangkan yang sudah

diakui kebenarannya oleh Terlapor, hal itu tidak perlu lagi dibuktikan.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 80: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

66

Universitas Indonesia

bertindak arif dan bijaksana, serta tidak boleh berat sebelah.161

Semua peristiwa

dan keadaan yang konkrit harus diperhatikan secara seksama oleh Majelis Komisi.

2.4.1 Alat-Alat Bukti Di KPPU

Untuk menentukan terbukti tidaknya pelanggaran terhadap

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 berdasarkan laporan atau hasil

monitoring, alat-alat bukti yang dipergunakan Tim Pemeriksa atau Majelis

Komisi adalah:

a. Keterangan Saksi

b. Keterangan Ahli

c. Surat dan/atau dokumen

d. Petunjuk

e. Keterangan Terlapor162

Majelis Komisi menentukan sah atau tidak sahnya suatu alat bukti

dan menentukan nilai pembuktian berdasarkan kesesuaian sekurang-

kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah.163

2.4.1.1 Keterangan Saksi

Dalam laporan di KPPU, pelapor berusaha untuk mendapatkan

saksi-saksi yang dapat membenarkan atau menguatkan dalil-dalil laporan

yang diajukannya di KPPU. Sebaliknya, pelaku usaha Terlapor akan

berusaha sebisa mungkin mendapatkan saksi-saksi yang mendukung

sanggahannya atas laporan dugaan pelanggaran terhadap Undang-undang

Nomor 5 Tahun 1999. Pelaku usaha Terlapor akan berupaya semampu

mungkin untuk mematahkan ketidakbenaran dari laporan Pelapor.

161

Hal ini sesuai dengan asas dalam hukum yang mengatakan bahwa pihak yang

mengadili perkara harus mendengarkan kedua belah pihak yang berperkara secara seimbang. Audi

et alteram partem. 162

Pasal 42 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Lihat Juga Pasal 64 ayat (1) Peraturan

KPPU Nomor 1 Tahun 2006. 163

Pasal 64 ayat (2) Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun 2006.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 81: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

67

Universitas Indonesia

Saksi menurut Surat Keputusan KPPU Nomor 1 Tahun 2006

adalah setiap orang atau pihak yang mengetahui terjadinya pelanggaran

dan memberikan keterangan guna kepentingan pemeriksaan.

Saksi-saksi itu ada yang secara kebetulan melihat atau mengalami

sendiri peristiwa yang harus dibuktikan di muka Majelis Komisi, ada pula

yang memang dengan sengaja diminta menyaksikan suatu perbuatan

hukum yang sedang dilakukan, misalnya menyaksikan pembuatan akta

penggabungan atau merger perusahaan, akuisisi atau peleburan

perusahaan.

Seorang saksi diharapkan akan menerangkan tentang apa yang

diketahui, dilihat, dan dialaminya sendiri. Dan lagi tiap kesaksian itu harus

disertai dengan alasan-alasan bagaimana diketahuinya hal-hal yang

diterangkan itu. Pendapat maupun perkiraan-perkiraan yang diperoleh

dengan jalan pikiran bukanlah suatu kesaksian.164

Seorang saksi tidak boleh memberikan keterangan yang berupa

kesimpulan. Yang berwenang untuk menarik kesimpulan adalah Majelis

Komisi, bukan saksi. Misalnya seorang saksi tidak dapat menerangkan

bahwa pada waktu pelapor sedang berkunjung ke salah satu hotel

berbintang lima, pada saat itu saksi melihat dua orang pengusaha yang

diduga melakukan persekongkolan tender sedang makan malam bersama.

Beberapa saat setelah acara makan malam tersebut, kemudian salah satu

dari perusahaan Pelaku Usaha Terlapor dinyatakan sebagai pemenang

Tender yang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Hanya

dengan adanya makan malam bersama tersebut, kemudian saksi

berkesimpulan bahwa yang dibicarakan pada malam bersama tersebut

pastilah persekongkolan tender.

Pemeriksaan saksi di KPPU pada prinsipnya sama dengan

pemeriksaan saksi di Pengadilan Negeri. Sebelum saksi memberikan

keterangan, saksi bersangkutan terlebih dahulu harus mengangkat sumpah

164

Tiap-tiap kesaksian harus disertai dengan alasan-alasan bagaimana diketahuinya hal-

hal yang diterangkan. Pendapat-pendapat maupun perkiraan-perkiraan khusus, yang diperoleh

dengan jalan pikiran bukanlah kesaksian. (Pasal 1907 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 82: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

68

Universitas Indonesia

sesuai dengan agama dan kepercayaannya.165

Namun yang berbeda adalah

proses pemeriksaan saksi dalam perkara perdata di Pengadilan Negeri pada

umumnya dilaksanakan secara terbuka. Pemeriksaan saksi secara tertutup

dilakukan hanya terhadap perkara tertentu, seperti misalnya perkara

perceraian. Sedangkan pemeriksaan saksi di KPPU pada dasarnya

dilakukan secara tertutup. Pemeriksaan saksi atau saksi ahli pada

prinsipnya dilakukan secara tertutup. Pemeriksaan terhadap saksi atau

saksi ahli hanya boleh dilakukan secara terbuka apabila saksi atau saksi

ahli bersangkutan bersedia untuk menyatakan pemeriksaan terhadap

dirinya dilakukan secara terbuka.

Perlunya saksi mengangkat sumpah di KPPU adalah karena

bilamana terhadap putusan KPPU nantinya ada keberatan dari pihak

Pelaku Usaha Terlapor, Hakim tidak tidak perlu lagi melakukan

pemeriksaan terhadap saksi didahului dengan cara mengangkat sumpah.

Karena saksi sudah disumpah di KPPU, maka keterangan di depan KPPU

inilah yang akan dipertimbangkan hakim kelak bilamana terhadap putusan

KPPU ada keberatan dari Pelaku Usaha Terlapor. Dengan singkat dapat

dikatakan bahwa oleh karena pada waktu saksi memberikan keterangan di

KPPU sudah mengangkat sumpah, maka oleh karena itu pula keterangan

saksi di KPPU mengikat untuk pemeriksaan selanjutnya di Pengadilan

Negeri. Dalam memberikan kesaksian, seorang saksi tidak perlu dan tidak

pada tempatnya untuk mengangkat sumpah sebanyak dua kali di dalam

kaitannya memberikan kesaksian sebanyak 1 (satu) kali.166

2.4.1.2 Keterangan Ahli

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tidak memberikan arti atau

definisi dari ahli. Kerena itu untuk mendapatkan pemahaman yang lebih

165

Lihat Pasal 67 ayat (1) huruf d) Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor

05/KPPU/Kep/IX/2000 tanggal 8 September 2000 tentang Tata Cara Penyampaian Laporan dan

Penanganan Dugaan Pelanggaran Terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

166

Lihat pasal 5 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2005. Pemeriksan

keberatan dilakukan hanya atas dasar putusan KPPU dan berkas perkara.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 83: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

69

Universitas Indonesia

luas mengenai apa itu ahli dan keterangan ahli harus dicari dari peraturan

atau sumber lain.

Ahli menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah orang-orang

yang mahir, paham sekali disuatu ilmu; mahir benar. Saksi ahli adalah

seseorang yang memiliki keahlian khusus yang memberikan keterangan

kepada Majelis Komisi.167

Di dalam peraturan lain, yaitu di dalam

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 bahwa yang dimaksud dengan

keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang

memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat

suatu terang perkara pidana guna pemeriksaan.168

Kalau membaca struktur keterangan ahli dalam hukum positif,

maka fungsi keterangan ahli bukanlah merupakan keterangan yang final.

Karena sebagai dasar memutus laporan dugaan mengenai pelanggaran

terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 (perkara) sepenuhnya

menjadi kewenangan Majelis Komisi. Kedua, keterangan ahli merupakan

penjelasan yang bersifat transnasional, maksudnya sebagai argumentasi

pada antara pembuktian dengan penilaian perkara.169

Hal ini dikarenakan

keterangan ahli merupakan keterangan yang diberikan seseorang atas dasar

pengetahuannya dan berhubungan dengan perkara yang sedang diperiksa.

Kalau keterangan yang diberikan berbentuk pendengaran, penglihatan,

atau pengalamannya sehubungan dengan peristiwa yang terjadi, maka

sekalipun diberikan oleh ahli, tidak bernilai sebagai bukti keterangan ahli,

tapi berubah menjadi alat bukti keterangan saksi.170

167

Lihat pasal 1 ayat (20) Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor

05/KPPU/Kep/IX/2000 tanggal 8 September 2000 tentang Tata Cara Penyampaian Laporan dan

Penanganan Dugaan Pelanggaran Terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Peraturan ini

telah dicabut oleh Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun 2006. Hanya di dalam Keputusan KPPU

Nomor 1 Tahun 2006 apa yang dimaksud dengan keterangan ahli tidak diatur. 168

Lihat pasal 1 ayat (28) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981.

169

Isharyanto, “Makalah Seminar Saksi Ahli UNTAG” http://isharyanto-

hukum.com/makalah_seminar/isharyanto MAKALAH_SEMINAR_AHLI_UNTAG.doc, diunduh

6 Oktober 2012. 170

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sapta Artha Jaya, 1996),

hlm. 283.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 84: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

70

Universitas Indonesia

Sebuah keterangan ahli tidak mutlak. Ada faktor-faktor yang

mempengaruhi mengapa atas suatu peristiwa hukum konkrit satu orang

ahli hukum ekonomi, misalnya, dengan ahli yang lain dapat menghasilkan

kesimpulan yang tidak sama.171

Menurut Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati172

praktik

hukum menyangkut 2 (dua) aspek utama yaitu pembentukan hukum dan

penerapan hukum. Dengan demikian, pengetahuan hukum secara praktis

bertujuan untuk memecahkan persoalan hukum tertentu atau memberikan

jalan keluar terhadap problema hukum (legal problem solving).173

Untuk

tujuan ini maka dibutuhkan suatu argumentasi hukum (legal

argumentation) yang mana dalam hal ini seringkali harus menggunakan

logika sebagai pisau analisis.

Sementara itu, argumentasi hukum itu sendiri mempunyai 2 (dua)

kekhususan mendasar yaitu: pertama, tidak ada ahli yang mulai

berargumentasi dari suatu keadaan hampa. Argumentasi hukum selalu

dimulai dari hukum positif dan hukum positif bukan merupakan suatu

keadaan yang tertutup atau statis, akan tetapi merupakan suatu

perkembangan yang berkelanjutan.174

Orang dapat bernalar dari ketentuan

hukum positif dari asas-asas yang terdapat di dalamnya untuk mengambil

argumentasi-argumentasi yang bermacam-macam.

Kedua, argumentasi hukum berkaitan dengan kerangka prosedural

berupa argumentasi rasional berupa lapisan logika, lapisan dialektik, dan

lapisan prosedural. Dengan metode tertentu, argumentasi hukum akan

melahirkan metode intepretasi atau penafsiran dan metode

171

Ada sebuah pemeo yang mengatakan bahwa kalau dua orang sarjana hukum

berkumpul, paling sedikit ada tiga pendapat (“Twee juristen drie meningen”). Lihat Soedargo

Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, (Bandung: Bina Cipta, 1987), hlm. 1. 172

Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djamiati, Argumentasi Hukum, (Yogyakarta:Gajah

Mada University Press, 2005), hlm. 10. 173

Ibid., hlm. 12. 174

Ini khas corak hukum yang berkiblat kepada sistem Anglo Saxon. Lihat: Soetandyo

Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode, dan Masalahnya, (Jakarta: ELSAM dan Huma,

2002).

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 85: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

71

Universitas Indonesia

penalaran/konstruksi hukum. Metode intepretasi merupakan metode

penemuan hukum dalam hal peraturannya ada tetapi tidak jelas untuk

dapat diterapkan pada peristiwanya, atau bahkan sama sekali belum

diatur.175

Sementara itu penalaran/konstruksi hukum dapat berupa analogi,

penghalusan hukum (penyempitan hukum), dan metode a contrario.176

Dengan faktor diatas, maka sudah tentu dapat dimaklumi apabila

antara ahli yang satu dengan dengan ahli yang lain mempunyai pendapat

yang tidak harus sama untuk menganalisis suatu perkara hukum. Hal di

atas adalah faktor yang dilandasi alasan berpikir positif. Jangan sampai

perbedaan itu, seperti pernah diungkapkan oleh J.E. Sahetapy, karena

berlakunya asas “pendapat disesuaikan dengan pendapatan”.177

Dalam hal

ini yang menentukan pendapat dari ahli bersangkutan, buka kemampuan

atau keahliannya, akan tetapi lebih ditentukan oleh motif sosial, ekonomi

atau daya tarik kekuasaan dan pengaruh dari pihak yang meminta

bantuannya bertindak selaku saksi ahli. Disini saksi ahli bertindak sudah

seperti “tukang jahit” karena pendapatnya tergantung pada selera dan/atau

pesanan dari pihak mempergunakan pendapat atau keahliannya.

2.4.1.3 Surat dan/ atau dokumen

Alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat

tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau

untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai

pembuktian. Dengan demikian, maka segala sesuatu yang tidak memuat

175

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, (Bandung:

Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 21.

176

Lihat uraian selanjutnya dalam Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta,

Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum

(Buku 1), (Bandung: Alumni, 1999), hlm. 111-120. Lihat juga, Sudikno Mertokusumo, Penemuan

Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2003), hlm. 71.

177

Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam kesimpulannya pada perkara Temasek

mengemukakan keberatannya terhadap keterangan saksi ahli bernama Michael Montag dan

Michael Keden. KPPU menyebut kedua saksi ahli tersebut adalah “antek” Temasek. Keduanya

pernah memberikan kesaksian pada saat pemeriksaan di KPPU. Selain itu mereka juga menerima

upah dan fasilitas dari Temasek. Sehingga independensinya diragukan untuk menjadi ahli. Lihat

Hukum Online tanggal 22 April 2008.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 86: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

72

Universitas Indonesia

tanda-tanda bacaan, akan tetapi tidak mengandung buah pikiran, tidaklah

termasuk dalam pengertian alat bukti surat.

Potret atau gambar tidak memuat tanda-tanda bacaan atau buah

pikiran, demikian juga dengan denah atau peta, meskipun ada tanda

bacaannya, tetapi tidak mengandung suatu buah pikiran atau isi hati

seseorang. Itu semuanya hanya sekedar merupakan barang atau benda

untuk meyakinkan saja. Sebaliknya sepucuk surat yang berisi curahan hati

yang diajukan di muka Majelis Komisi ada kemungkinan tidak merupakan

alat bukti tertulis atau surat, tetapi sebagai sebuah benda untuk

meyakinkan saja, karena bukan kebenaran isi atau bunyi surat itu yang

harus dibuktikan atau digunakan sebagai bukti, melainkan eksistensi surat

itu menjadi bukti sebagai barang yang diperdagangkan.

Arti surat yang lebih mendetail dapat ditemukan dalam Peraturan

Prosedur Badan Nasional Indonesia. Menurut pasal 2 huruf (m) Peraturan

Prosedur BANI, yang dimaksud dengan tulisan adalah baik dibuat dalam

huruf besar atau huruf kecil, adalah dokumen-dokumen yang ditulis atau

dicetak diatas kertas, tetapi juga dokumen-dokumen yang dibuat dan/atau

dikirimkan secara elektronis, yang meliputi tidak saja perjanjian-

perjanjian, tetapi juga pertukaran korespondensi, catatan rapat, telex,

telefax, email, dan bentuk-bentuk komunikasi lainnya yang sedemikian;

dan tidak boleh ada perjanjian, dokumen korespondensi, surat

pemberitahuan atau instrumen lainnya yang dipersyaratkan untuk

diwajibkan secara tertulis ditolak secara hukum dengan alasan bahwa hal-

hal tersebut dibuat atau disampaikan secara elektronis.178

2.4.1.4 Dokumen Perusahaan

Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 dokumen

perusahaan adalah data, catatan dan atau keterangan yang dibuat dan atau

diterima oleh perusahaan dalam rangka pelaksanaan kegiatannya, baik

178

BANI, “Prosedur Bani” http://www.bani-arb.org/bani_prosedur_ind.html, diunduh 7

Oktober 2012.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 87: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

73

Universitas Indonesia

tertulis diatas kertas atau sarana lain maupun terekam dalam bentuk corak

apapun yang dapat dilihat, dibaca dan didengar.

Dokumen perusahaan terdiri dari dokumen keuangan dan dokumen

lainnya. Dokumen keuangan terdiri dari catatan, bukti pembukuan dan

data pendukung administrasi keuangan, yang merupakan bukti adanya hak

dan kewajiban serta kegiatan usaha suatu perusahaan. Sedangkan dokumen

lainnya terdiri dari data atau setiap tulisan yang berisi keterangan yang

mempunyai nilai guna bagi perusahaan meskipun tidak terkait lagsung

dengan dokumen keuangan.

Catatan terdiri dari neraca tahunan, perhitungan laba rugi tahunan,

rekening, jurnal transaksi harian, atau setiap tulisan yang berisi keterangan

mengenai hak dan kewajiban serta hal-hal lain yang berkaitan dengan

kegiatan usaha suatu perusahaan. Bukti pembukuan terdiri dari warkat-

warkat yang digunakan sebagai dasar pembukuan yang mempengaruhi

perubahan kekayaan, utang, dan modal.

Data pendukung administrasi keuangan merupakan data

administratif yang berkaitan dengan keuangan untuk digunakan sebagai

pendukung penyusunan dan pembuatan dokumen keuangan. Data

pendukung administrasi keuangan terdiri dari:179

a. Data pendukung yang merupakan bagian dari bukti

pembukuan.

b. Data pendukung yang tidak merupakan bagian dari bukti

pembukuan.

2.4.1.5 Pengalihan Bentuk Dokumen Perusahaan dan Legitimasi

Dokumen perusahaan dapat dialihkan ke dalam mikrofilm atau

media lainnya. Mikrofilm adalah film yang memuat rekaman bahan

tertulis, tercetak dan tergambar dalam ukuran yang sangat kecil. Media

lainnya adalah alat penyimpanan informasi yang bukan kertas dan

mempunyai tingkat pengamanan yang dapat menjamin keaslian dokumen

179

Binoto Nadapdap, Hukum Acara Persaingan Usaha, (Jakarta: Jala Permata Aksara,

2009), hlm. 66.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 88: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

74

Universitas Indonesia

yang dialihkan atau ditransformasikan, misalnya Compact Disk-Read Only

Memory (CD-ROM), dan Write-Once-Read-Many (WORM).

Pengalihan dokumen perusahaan atau media lainnya dapat

dilakukan sejak dokumen tersebut dibuat atau diterima oleh perusahaan

yang bersangkutan. Dalam mengalihkan dokumen perusahaan, pimpinan

perusahaan wajib mempertimbangkan kegunaan naskah asli dokumen

yang perlu tetap disimpan karena mengandung nilai tertentu demi

kepentingan perusahaan atau kepentingan nasional. Suatu dokumen

perusahaan mempunyai makna kepentingan nasional apabila dokumen

perusahaan tersebut memiliki nilai historis yang digunakan dalam rangka

kegiatan pemerintahan dan pembangunan serta kehidupan kebangsaan,

misalnya, rekening atau bukti iuran untuk pembangunan Monumen

Nasional.

Dalam hal dokumen perusahaan yang dialihkan ke dalam

mikrofilm atau media lainnya adalah naskah asli yang mempunyai

kekuatan pembuktian otentik dan masih mengandung kepentingan hukum

tertentu, pimpinan perusahaan tetap harus menyimpan naskah asli, apabila

dokumen tersebut masih mempunyai kekuatan pembuktian otentik dan

atau mengandung kepentingan hukum tertentu.

Legalisasi dilakukan oleh pimpinan perusahaan atau pejabat yang

ditunjuk dilingkungan perusahaan yang bersangkutan, dengan dibuatkan

berita acara. Berita acara sekurang-kurangnya memuat:180

a. Keterangan tempat, hari, tanggal, bulan dan tahun

dilakukannya legalisasi. Legalisasi adalah tindakan pengesahan

isi dokumen perusahaan yang dialihkan atau ditransformasikan

ke dalam mikrofilm atau media lain yang menerangkan atau

menyatakan bahwa isi dokumen perusahaan yang terkandung

di dalam mikrofilm atau media lain tersebut sesuai dengan

naskah aslinya;

180

Ibid., hlm. 67.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 89: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

75

Universitas Indonesia

b. Keterangan bahwa pengalihan dokumen perusahaan yang

dibuat diatas kertas ke dalam mikrofilm atau media lainnya

telah dilakukan sesuai dengan aslinya; dan

c. Tandatangan dan nama jelas pejabat yang bersangkutan.

Dokumen perusahaan yang telah dimuat dalam mikrofilm atau

media lainnya dan atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah.

Apabila dianggap perlu dalam hal tertentu dan untuk keperluan tertentu

dapat dilakukan legalisasi terhadap hasil cetak dokumen perusahaan yang

telah dimuat dalam mikrofilm atau media lainnya.

Kelalaian dalam melaksanakan kewajiban tersebut, pimpinan

perusahaan bertanggung jawab sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Penggunaan kata wajib dimaksudkan untuk

memberikan penekanan bahwa setiap pengalihan dokumen perusahaan

harus dilegalisasi. Legalisasi adalah tindakan pengesahan isi dokumen

perusahaan yang dialihkan atau ditransformasikan ke dalam mikrofilm

atau media lain yang menerangkan atau menyatakan bahwa isi dokumen

perusahaan yang terkandung didalam mikrofilm atau media lain tersebut

sesuai dengan naskah aslinya. Apabila pengalihan dokumen perusahaan

tidak dilegalisasi, maka dokumen perusahaan hasil pengalihan tersebut

secara hukum tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah.

2.4.1.6 Petunjuk

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 maupun Peraturan Komisi

Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2006 tidak mengatur dan

tidak memberikan penjelasan mengenai apa itu petunjuk dan bagaimana

petunjuk tersebut dipergunakan dalam pembuktian di KPPU.

Sebagai perbandingan dapat dikemukakan bahwa di dalam

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP bahwa petunjuk

adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik

antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 90: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

76

Universitas Indonesia

sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa

pelakunya.181

Petunjuk hanya dapat diperoleh dari:

a. Keterangan saksi

b. Surat

c. Keterangan Terlapor

Dengan mengacu dalam rumusan dalam Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981 tersebut diatas, maka petunjuk dalam perkara di KPPU dapat

diartikan sebagai perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena

persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan

laporan dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999, menandakan telah terjadi suatu pelanggaran Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1999 dan siapa pelakunya.

2.4.1.7 keterangan Pelaku Usaha (Terlapor)

keterangan Terlapor adalah apa yang Terlapor nyatakan di depan

Majelis Komisi tentang perjanjian, perbuatan ia lakukan sendiri, ketahui

sendiri dan alami sendiri.

2.4.2 Economic Evidence Sebagai Alat Bukti dalam Kasus Penetapan

Harga dan Kartel

Dalam melakukan pembuktian terhadap kasus penetapan harga dan

kartel, KPPU menggunakan 2 jenis alat bukti, yaitu Direct Evidence dan

Circumstantial Evidence atau disebut juga Indirect Evidence. Kedua jenis

alat bukti tersebut mempunyai peranan penting bagi KPPU dalam

melakukan pembuktian kasus penetapan harga dan kartel, dimana dalam

hal ini KPPU berpedoman pada The OECD Global Forum on Competition,

Policy Roundtables, Prosecuting Cartels Without Direct Evidence, 2006.

Seperti yang dikemukakan oleh KPPU dalam putusan terhadap perkara

Nomor 24/KPPU-I/2009 tentang kartel Minyak Goreng, mengenai Indirect

Evidence.

181

Pasal 188 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 91: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

77

Universitas Indonesia

Seperti di Indonesia, di sebagian negara, kartel (dan pelanggaran

lain dari hukum persaingan) diberlakukan hukum administratif. Prinsip

sanksi administratif yang diterapkan untuk melakukan ini adalah denda

(biasanya hanya dijatuhkan terhadap organisasi tapi kadang-kadang bisa

juga terhadap orang individu) dan perintah perbaikan. Dalam beberapa

negara, kartel dianggap tindak kriminal. Dalam kebanyakan kasus, beban

pembuktian yang dimiliki lembaga persaingan lebih tinggi dalam kasus

pidana. Akibatnya adalah penting adanya direct evidence (bukti langsung)

berupa perjanjian dalam kasus ini. Amerika serikat telah lama

menggunakan proses pidana oleh pemerintah dalam kasus-kasus kartel dan

hampir semua kasus didasari direct evidence. Namun, circumstantial

evidence tetap dapat diterima dan berguna di negara tersebut dan di

negara-negara lain.182

2.4.2.1 Pembuktian Langsung (Direct Evidence)

Jenis pembuktian langsung (direct evidence) adalah metode

pembuktian yang diarahkan pada eksistensi perjanjian dengan cara

membuktikan semua dokumen, notulen atau tempat pertemuan dari suatu

tindakan kartel. Maka sekali keberadaan pertemuan kartel para kompetitor

suatu produk barang atau jasa tertentu bisa dibuktikan, maka pengadilan

akan menetapkan bahwa telah terjadi pelanggaran ketentuan perundang-

undangan yang mengatur tentang kartel tanpa harus melihat terlebih

dahulu apakah hasil dari pertemuan yang dilaksanakan oleh para pelaku

usaha tersebut dengan para kompetitornya itu telah dilaksanakan atau tidak

dilapangan.

Jenis direct evidence dapat diklasifikasikan dalam 2 (dua) bentuk

yaitu:183

1. Dokumen mengenai perjanjian kartel dan identifikasi pihak-

pihak yang terkait (termasuk e-mail messages)

182

OECD, “Prosecuting Cartels without Direct Evidence of Agreement,” Policy Brief

(Juni 2008).

183

Ibid.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 92: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

78

Universitas Indonesia

2. Pernyataan tertulis maupun tidak tertulis dari pihak-pihak yang

terkait yang menjelaskan mengenai kegiatan perjanjian kartel

mereka dan keikutsertaan mereka didalamnya.

2.4.2.2 Pembuktian Berdasarkan Keadaan (Circumstantial Evidence)

Selain metode pembuktian secara langsung (direct evidence)

terdapat pula jenis metode pembuktian lain, yaitu metode pembuktian

berdasarkan keadaan (circumstantial evidence). Pembuktian berdasarkan

keadaan (circumstantial evidence) atau populer dengan istilah pembuktian

tidak langsung adalah pembuktian berdasarkan kesimpulan yang diambil

dari berbagai tindakan atau kondisi sistematis yang dilakukan oleh para

kompetitor komoditas barang atau jasa tertentu yang menunjukkan

keyakinan kuat bahwa telah terjadi koordinasi diantara para pelaku usaha

tersebut. Circumstantial evidence tidak kalah penting dari direct evidence.

Menurut The OECD Global Forum on Competition, Policy Roundtables,

Prosecuting Cartels Without Direct Evidence, 2006:

Circumstantial evidence is of no less value than direct evidence for

it is the general rule that the law makes no distinction between

direct and circumstantial evidence but simply requires that before

convicting a defendant the jury must be satisfied of the defendant’s

guilt beyond a reasonable doubt from all of the evidence in the

case.

In order to prove the conspiracy, it is not necessary for the

government to present proof of verbal or written agreements. Very

often in cases like this, such evidence is not available. You may find

that the required agreement or conspiracy existed from the course

of dealing between or among the individuals through the words

they exchanged or from their acts alone.

Banyak sekali kasus yang memang sulit atau tidak memiliki direct

evidence karena memang perjanjian kartel seringkali tidak dibuat

berdasarkan perjanjian tertulis diantara para pihak. Disinilah peranan

circumstantial evidence dibutuhkan untuk membuktikan adanya perjanjian

tersebut.

Circumstantial evidence terbagi menjadi dua kategori, yaitu

communication evidence (bukti komunikasi) dan economic evidence (bukti

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 93: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

79

Universitas Indonesia

ekonomi). Bukti dimana para pihak melakukan komunikasi, baik bertemu

atau berkomunikasi dengan cara lain yang membahas mengenai perjanjian

kartel disebut dengan communication evidence meskipun tidak terdapat

substansi dari pertemuan dan/atau komunikasi tersebut, mencakup:184

1. Rekaman telepon antara para pelaku usaha pesaing atau travel

dengan tempat tujuan yang sama, ataupun partisipasi dalam

meeting. Contohnya dalam suatu trade conference.

2. Bukti lain yang berhubungan dengan komunikasi antara para

pihak mengenai perjanjian tersebut, contoh note pada meeting

yang berisi diskusi mengenai penetapan harga, demand, dan

supply barang dan/atau jasa. Contoh lainnya dapat berupa

dokumen internal mengenai strategi harga dan pemasaran

pelaku usaha pesaing, seperti dokumen mengenai strategi untuk

menaikkan harga milik pelaku usaha pesaing.

Kategori yang lebih luas dalam circumstantial evidence adalah

economic evidence (bukti ekonomi). Bukti ekonomi tidak hanya

mengidentifikasi tindakan perusahaan yang mengesankan bahwa sebuah

kesepakatan dicapai, tetapi juga melakukan industri secara keseluruhan,

elemen-elemen struktur pasar yang menyatakan bahwa terdapat sebuah

perjanjian penetapan harga, dan praktek-praktek tertentu yang dapat

digunakan dalam perjanjian kartel.

Conduct evidence adalah jenis yang paling penting dalam perihal

economic evidence. Seperti disebutkan sebelumnya, berdasarkan observasi

tertentu, suatu perbuatan yang mencurigakan sering memicu investigasi

terhadap kartel. Analisis yang cermat terhadap perbuatan para pihak sangat

penting untuk mengidentifikasi tindakan yang dapat dicirikan sebagai

tindakan yang bertentangan dengan kepentingan pribadi para pihak, maka

hal tersebut menimbulkan dugaan mengenai adanya suatu perjanjian.

Conduct evidence meliputi:185

184

Ibid. 185

Ibid.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 94: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

80

Universitas Indonesia

1. Parallel pricing – perubahan harga yang identik antar para

pesaing, atau hampir identik. Ini termasuk bentuk lain dari

parallel conduct, seperti pengurangan kapasitas, adopsi

persyaratan standar penjualan, dan pola penawaran

mencurigakan. Misalnya, rotasi diprediksi memenangkan

panawar.

2. Kinerja industri juga dapat digambarkan sebagai conduct

evidence. Hal ini termasuk:

a) Tinggi laba yang tidak normal;

b) Pangsa pasar yang stabil;

c) Sejarah pelanggaran hukum persaingan.

3. Bukti yang berhubungan dengan struktur pasar juga dapat

digunakan terutama untuk membuat penemuan perjanjian kartel

lebih masuk akal, meskipun faktor struktur pasar tidak

membuktikan adanya kesepakatan tersebut. Bukti ekonomi

yang relevan dengan struktur pasar meliputi:

a) Konsentrasi tinggi;

b) Konsentrasi rendah di sisi berlawanan dari pasar;

c) Besarnya hambatan masuk;

d) Tingkat integrasi vertikal yang tinggi;

e) Produk standar atau homogen.

Jenis economic conduct evidence yang spesifik adalah facilitating

practices, yaitu kegiatan untuk memfasilitasi praktek-praktek yang dapat

mempermudah para pesaing untuk mencapai kesepakatan (perjanjian).

Penting untuk dicatat bahwa memfasilitasi praktek tidak selalu melanggar

hukum. Facilitating practices dapat dilakukan melalui price signaling

dalam kegaiatan promosi dalam waktu yang tidak bersamaan serta

pertemuan-pertemuan atau komunikasi antar pesaing melalui asosiasi.186

186

Ibid.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 95: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

81

Universitas Indonesia

BAB 3

RELEVANSI ANTARA PERJANJIAN PENETAPAN HARGA

DENGAN KARTEL

3.1 Pendekatan Rule of Reason dan Per Se Illegal dalam Penetapan Harga

dan Kartel

Hukum persaingan mengenal 2 (dua) kriteria pendekatan teori dalam

menentukan hambatan dalam suatu pasar yaitu dengan pendekatan yang disebut

per se illegal ataupun dengan pendekatan rule of reason.187

Pendekatan melalui

teori per se digunakan dalam rangka mengedepankan pembuktian atas suatu

kegiatan atau perjanjian seturut dengan ketentuan perundangan. Hal ini kemudian

lebih mengedepankan kepastian hukum, dikarenakan terdapat ketentuan jelas

mengenai pelarangan suatu tindakan atau kegiatan. Salah satu manfaat dari

pendekatan melalui per se illegal adalah terdapatnya kemudahan dalam

pelaksanaan proses administratif.188

Suatu perilaku yang ditetapkan oleh

pengadilan sebagai per se illegal, akan diadili tanpa proses penyelidikan yang

rumit. Jenis perilaku yang ditetapkan secara per se illegal hanya dilaksanakan

setelah pengadilan memiliki pemahaman atas suatu perbuatan hampir selalu

bersifat anti persaingan dan tidak pernah membawa manfaat sosial.189

Menurut Kissane and Benefore, bahwa suatu perbuatan dalam pengaturan

persaingan usaha dikatakan sebagai ilegal secara per se (per se illegal), apabila

“pengadilan telah memutuskan secara jelas adanya anti persaingan, dimana tidak

187

Ningrum Natasya Sirait, Op. Cit., hlm. 78. Dalam penanganan kasus-kasus persaingan,

penggunaan kedua pendekatan ini tidak mudah untuk diterapkan. Karena tidak semua orang

mempunyai persepsi yang sama terhadap pengertian yang menyatakan suatu tindakan dinyatakan

sama terhadap pengertian yang menyatakan sautu tindakan mutlak melanggar ataupun dapat

diputuskan setelah melihat argumentasi dan alasan rasional tindakannya.

188

Herbert Hovenkamp, Op. Cit., hlm. 106. Penggunaan pendekatan per se illegal dapat

memperpendek proses pada tingkatan tertentu dalam pelaksanaan suatu undang-undang. Suatu

proses dianggap relatif mudah dan sederhana, karena hanya meliputi identifikasi perilaku yang

tidak sah dan pembuktian atas perbuatan illegal. Dalam hal ini tidak diperlukan lagi penyelidikan

terhadap situasi serta karakteristik pasar. 189

Ibid, hlm. 21. Pendekatan per se illegal ditinjau dari proses administrasi adalah lebih

mudah. Hal ini disebabkan karena metode ini membolehkan pengadilan untuk menolak melakukan

penyelidikan secara rinci, yang biasanya memerlukan waktu lama dan biaya mahal guna mencari

fakta di pasar yang bersangkutan.

81

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 96: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

82

Universitas Indonesia

diperlukan lagi analisa terhadap fakta-fakta tertentu dari masalah yang ada guna

memutuskan, bahwa tindakan tersebut telah melanggar hukum”. Dengan demikian

dapat dikatakan, bahwa ada kategori terhadap perbuatan yang oleh pengadilan

dianggap secara konkret bersifat anti persaingan ataupun menjurus pada praktek

monopoli, sehingga analisis terhadap kenyataan yang ada di sekitar perbuatan

tersebut tidak diperlukan lagi atau tidak begitu penting untuk menentukan bahwa

perbuatan tersebut telah melanggar hukum. Sedangkan Yahya Harahap lebih

cenderung mengatakan bahwa per se illegal-pun artinya sejak semula tidak sah,

oleh karenanya perbuatan tersebut merupakan suatu perbuatan yang melanggar

hukum dan tanpa perlu adanya pembuktian.190

Jadi, per se illegal ditujukan pada suatu perbuatan atau tindakan yang

secara inheren bersifat dilarang atau ilegal, dapat diartikan juga suatu tindakan

dinyatakan melanggar hukum dan dilarang secara mutlak, serta tidak diperlukan

pembuktian apakah tindakan tersebut memiliki dampak negatif terhadap

persaingan usaha. Yang termasuk kategori per se illegal meliputi: perjanjian

penetapan harga, perjanjian pemboikotan, perjanjian pembagian wilayah,

persekongkolan untuk menghambat perdagangan, penyalahgunaan posisi

dominan, pemilikan saham mayoritas.

Rumusan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 berbunyi

bahwa: “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lainnya

untuk menetapkan harga atas suatu barang dan/ atau jasa yang harus dibayar oleh

konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama”.

Apabila dilihat dari rumusan pasalnya, maka pasal yang mengatur masalah

price fixing ini dirumuskan secara per se, sehingga secara umum para penegak

hukum dapat langsung menerapkan pasal ini kepada pelaku usaha yang

melakukan perjanjian price fixing tanpa harus menunggu munculnya akibat dari

perbuatan tersebut.191

Hal ini berarti bahwa perjanjian tersebut dilarang secara

mutlak tanpa memerlukan pembuktian apakah perbuatan tersebut menimbulkan

190

L. Budi Kagramanto. Larangan Persekongkolan Tender (Perspektif Hukum

Persaingan Usaha), (Surabaya: Srikandi, 2007), hlm. 223. 191

Ditha Wiradiputra, Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesia, (Depok: FHUI,

2003), hlm. 23.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 97: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

83

Universitas Indonesia

dampak negatif terhadap konsumen dan persaingan usaha. Pendekatan per se

dalam hal ini dianggap lebih dapat memberikan suatu kepastian hukum bagi para

pihak sehingga tidak perlu membuktikan dahulu kesalahan pelaku usaha.192

Pendekatan per se illegal, menurut Sutrisno Iwantono, dalam tulisannya

yang berjudul “Per se Illegal dan Rule of Reason” dalam Hukum Persaingan

Usaha yang dimaksud dengan per se atau per se illegal adalah suatu perbuatan

yang secara inheren bersifat dilarang atau illegal. Terhadap suatu perbuatan atau

tindakan atau praktik yang bersifat dilarang atau illegal tanpa perlu pembuktian

terhadap dampak dari perbuatan tersebut, sedangkan pendekatan rule of reason

yaitu penerapan hukum dengan mempertimbangkan alasan-alasan dilakukannya

suatu tindakan atau suatu perbuatan oleh pelaku usaha.193

Untuk menerapkan

prinsip ini tidak hanya diperlukan pengetahuan ilmu hukum, tetapi penguasaan

terhadap ilmu ekonomi. Dengan perkataan lain, melalui pendekatan rule of

reason, apabila suatu perbuatan dituduh melanggar hukum persaingan, maka

pencari fakta harus mempertimbangkan dan menentukan akibat terhadap proses

persaingan dan apakah perbuatan itu tidak adil atau mempunyai pertimbangan

lainnya. Argumentasi yang perlu dipertimbangkan antara lain adalah aspek

ekonomi, keadilan, efisiensi, perlindungan terhadap golongan ekonomi tertentu

dan fairness.194

Pendekatan per se illegal mirip dengan konsep “delik formal” di dalam

hukum pidana yang dianggap terjadi sekedar apabila unsur-unsur tindak pidana

yang dicantumkan dalam undang-undang telah terpenuhi tanpa melihat akibat

tindakan yang dilakukan. Sedangkan pendekatan rule of reason diterapkan

terhadap tindakan-tindakan yang tidak dapat secara mudah ilegalitasnya tanpa

menganalisis akibat tindakan itu terhadap kondisi persaingan. Jadi, jika di dalam

pendekatan per se illegal tidak perlu terlalu jauh melihat akibat yang ditimbulkan

suatu tindakan terhadap persaingan karena tindakan semacam itu dianggap selalu

192

Andi Fahmi Lubis, et al. Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks, (Jakarta:

KPPU bersama GTZ, 2009), hlm. 43. 193

Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Kencana,

2008), hlm. 78.

194

Ibid., hlm. 79.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 98: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

84

Universitas Indonesia

membawa akibat negatif sedangkan di dalam pendekatan rule of reason

pengadilan disyaratkan untuk mempertimbangkan faktor-faktor seperti latar

belakang dilakukannya tindakan, alasan bisnis dilakukannya tindakan serta posisi

si pelaku tindakan dalam industri tertentu. Setelah mempertimbangkan faktor-

faktor tersebut barulah dapat ditentukan apakah suatu tindakan bersifat ilegal atau

tidak.195

Selain itu, dalam hal tinggi atau rendahnya harga juga merupakan hal yang

tidak relevan. Dengan demikian, meski efek negatif dari perjanjian penetapan

harga terhadap persaingan usaha itu kecil, maka hal itu tetap saja dilarang. Hal ini

sekaligus mengandung pengertian bahwa market power para pihak juga tidak

begitu relevan untuk dipersoalkan walaupun kemungkinan terjadinya kenaikan

harga lebih besar apabila market share pelaku usaha tersebut besar.196

Berikut ini

adalah ilustrasinya:

Pendekatan Per se illegal

Gambar 3.1. Pendekatan Per Se Illegal

Pendekatan Rule of reason

Gambar 3.2. Pendekatan Rule of reason

195

Arie Siswanto, Op. Cit., hlm. 66. 196

Ayudha Prayoga, Persaingan Usaha dan Hukum yang mengaturnya di Indonesia, Op.

Cit., hlm. 80-81.

TINDAKAN TERBUKTI ILEGAL

TINDAKAN TERBUKTI FAKTOR-

FAKTOR

LAIN

UNREASO

NABLE ILEGAL

REASONABLE LEGAL

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 99: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

85

Universitas Indonesia

Sementara itu, kartel dikategorikan sebagai rule of reason dengan melihat

dari bunyi atau kalimat pasal kertel itu sendiri. Di dalam pasal yang masuk dalam

kategori per se rule biasanya terdapat kata “dilarang” tanpa ada frase “patut

diduga” atau “yang dapat mengakibatkan praktik monopoli atau persaingan usaha

tidak sehat”. Sementara itu, pasal rule of reason biasanya terdapat frase “dapat

mengakibatkan” atau “patut diduga” menimbulkakn praktik monopoli dan

persaingan usaha tidak sehat.197

Adanya frase tersebut menunjukkan perlunya

pengkajian apakah tindakan tersebut akan menimbulkan suatu dampak negatif

bagi masyarakat luas dan dunia persaingan usaha, dan dampak itu sendiri.

Tim perancang Undang-Undang memang cenderung untuk lebih

melimpahkan penerapan alternatif dari kedua pendekatan ini kepada Komisi

Pengawas Persaingan Usaha, yang dinyatakan dalam Pasal 35 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999. Pada dasarnya, tugas KPPU antara lain adalah melakukan

penilaian terhadap semua perjanjian dan atau kegiatan yang dapat mengakibatkan

terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.198

3.2 Regulasi Kartel di Beberapa Negara

3.2.1 Kartel di Jepang

Hukum persaingan di Jepang dikenal dengan istilah Antimonopoly

Law (Dokushen Kinshiho). Peraturan perundang-undangan yang utama

dalam hukum persaingan Jepang adalah Law concerning the prohibition of

Private monopoly and preservation of fair trade199

(selanjutnya disebut

dengan undang-undang Antimonopoli Jepang) yang diundangkan pada

tahun 1947.

197

Lihat A.M. Tri Anggraini, Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak

Sehat: Per Se Illgeal atau Rule of Reason, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003),

hlm. 8, lihat juga Syamsul Maarif, “Persaingan Usaha dalam Perspektif Hukum”, makalah dalam

Seminar Anti Monopoli dan Persaigan Usaha, diselenggarakan oleh Asosiasi Advokat Indonesia

(AAI)- Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Jakarta: 21 April 2005. 198

Andi Fahmi Lubis, et al., Op. Cit., hlm. 56. 199

Dalam bahasa aslinya Undang-Undang ini disebut, “Shiteki dokusen no kinshi oyobi

kosei torihiki ni kansaru horitsu”: Prayoga et al., Loc. Cit.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 100: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

86

Universitas Indonesia

Masyarakat di Negara Jepang dikenal sebagai suatu masyarakat

yang didasarkan pada kolektivitas, dan konsensus hukum persaingan

merupakan hal yang baru,200

sehingga budaya bekerja mereka dilakukan

secara berkelompok dan mementingkan keharmonisan daripada

persaingan. Masyarakat Jepang baru mengenal hukum persaingan pada

saat Jepang diduduki oleh kekuatan sekutu yang dipimpin oleh Amerika

Serikat. Pada saat itu pemerintah pendudukan merasa bahwa salah satu

penyebab agresi Jepang pada tahun 1942 adalah dukungan dari

konglomerat. Oleh karena itu tujuan dibuatnya hukum persaingan pada

saat itu adalah untuk menghilangkan konglomerasi, melakukan

dekosentrasi terhadap perusahaan-perusahaan besar dan menghilangkan

kartel-kartel yang ada pada masa sebelum perang.

Pada mulanya hukum persaingan Jepang mengadopsi hukum

persaingan Amerika Serikat, namun dalam perkembangan Undang-

Undang Antimonopoli Jepang ini mengalami beberapa kali perubahan.

Salah satu hasil dari amandemen undang-undang ini adalah hilangnya

ketentuan-ketentuan yang penting dimana salah satunya adalah ketentuan

kartel yang dianggap sebagai per se illegal.201

Dalam hukum persaingan di Jepang yang dilarang adalah monopoli

yang dilakukan oleh swasta (private monopolization), hambatan tidak

wajar pada perdagangan (unreasonable restraint of trade) dan praktek

bisnis yang tidak sehat (unfair business practices). Monopoli swasta

terdapat pada pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Antimonopoli Jepang

dimana pelaku usaha (entrepreneur) menolak kehadiran atau

mengendalikan pelaku usaha lain yang bertentangan dengan kepentingan

publik dan menghambat persaingan.202

200

Mitsuo Matsushita mengatakan “Free enterprise and free competition are relatively

new concepts in the Japanese Business Community” Lihat Matsushita, introduction to Japanese

Antimonopoly Law, (Japan: Yuhikaku Publishing Co. Ltd, 1990), hlm. 1 201

Mitsuo Matsushita, “The Antimonopoly Law of Japan”, law of Japan (1978), hlm. 57.

202

Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Antimonopoli Jepang menyebutkan, “…business

activities by which any entrepreneur, individually, by combination or conspiracy with other

entrepreneurs, or in any other manner, excludes or controls he business acitivities of

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 101: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

87

Universitas Indonesia

Selanjutnya yang dimaksud dengan hambatan yang tidak wajar

pada perdagangan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 ayat (6) Undang-

Undang Antimonopoli Jepang adalah kegiatan bisnis dimana para pelaku

usaha bersama-sama membatasi atau melakukan kegiatan untuk

menetapkan, mempertahankan atau menaikkan harga atau membatasi

produksi, teknologi, barang, fasilitas atau konsumen atau pemasok yang

bertentangan dengan kepentingan publik dan persaingan.203

Dengan kata

lain, dapat dikatakan bahwa hambatan yang tidak wajar ini adalah kartel.

Praktek kartel dilarang sesuai dengan Pasal 3 Undang-Undang

Antimonopoli. Praktek kartel dapat terjadi melalui perjanjian atau

kesepakatan asosiasi-asosiasi perdagangan diantara pelaku usaha.204

Namun di Jepang, beberapa praktek kartel diizinkan secara hukum,

misalnya kartel yang berhubungan dengan ekspor dan impor, bisnis kartel

yang sederhana, dan lain sebagainya.205

Jepang mensyaratkan adanya “substancial restraint of competition”

yang “contrary to the public interest” dalam larangan terhadap kartel206

sehingga perjanjian kartel baru dikatakan illegal jika sudah dipraktekkan.

Fair Trade Commission (FTC) di Jepang, telah mengambil jalan tengah

tentang hal ini, yaitu mengambil tindakan ketika peserta kartel telah

melakukan langkah-langkah awal untuk melaksanakan perjanjian kartel.

entrepreneurs, thereby causing contrary to the public interest, a substantial restraint of

competition in any particular field of trade”

203

Pasal 2 ayat (6) Undang-Undang Antimonopoli Jepang menjelaskan, “…business

activies by which entrepreneurs by contract, agreement, or any other concerted activities mutually

restrict or conduct their business activities in such manners as to fix, maintain or enhance prices,

or to limit production, technology, products, facilities, or customers, or suppliers, thereby causing

contrary to the public interest, a substantial restraint of competition in any particular field of

trade.” 204

Mitsuo Matsushita, Internastional Trade and Competition Law in Japan, (New York:

Oxford University Press, 1993), hlm. 87.

205

Ibid., hlm. 88. 206

Ayudha D. Prayoga, Op. Cit., hlm. 84, dalam Section2 (6) UU Antimonopoli Jepang,

Lihat Undang-Undang Persaingan Jepang, Makalah pada Kursus Singkat Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Fakultas Hukum UNHAS, Ujung Pandang, 15-16

Mei 1999, hlm. 2.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 102: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

88

Universitas Indonesia

Dengan ini terdapat suatu anggapan bahwa ketika pelaku usaha

melaksanakan kartel maka kartel itu pasti mengurangi persaingan secara

substansial seandainya tidak diberhentikan atau dilarang.207

Adapun yang dimaksud dengan praktek bisnis yang tidak sehat

sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (9) adalah tindakan-tindakan yang

dapat menghalangi persaingan yang sehat, di antaranya melakukan

diskriminasi secara tidak sah terhadap pelaku usaha lainnya, dan memaksa

konsumen untuk berhubungan dengan dirinya saja.208

Penegakan hukum persaingan di Jepang dilakukan oleh suatu

badan yang dinamakan Fair Trade Commission (FTC). Keberadaan badan

yang merupakan badan administratif independen ini terdapat pada sub 8

dari Undang-Undang Antimonopoli Jepang. Kewenangan FTC di Jepang

ini dibagi menjadi 3 (tiga) kategori, yaitu kewenangan yang bersifat

administratif, kewenangan yang bersifat quasi-legislatif dan kewenangan

yang bersifat quasi yudikatif.209

3.2.2 Kartel di Amerika Serikat

Hukum persaingan di Amerika Serikat dikenal dengan nama

“Antitrust Law”. Awalnya pembentukan hukum persaingan usaha di

Amerika Serikat adalah dalam rangka mengakomodasi keinginan akan hak

untuk bersaing (the right to compete). Peraturan yang pertama kali

mengatur tentang persaingan usaha adalah Act to Protect Trade and

Commerce Against Unlawful Restarints and Monopolies yang dikeluarkan

207

Matsushita, Op. Cit., hlm. 141-142. 208

Pasal 2 ayat (7) UU Antimonopoli Jepang menyatakan, “…any act coming any one of

the following paragraphs which tends to impede fair competition and which is designed by the

Fair Trade Commission as such: (i) Unduly discriminating against other entrepreneurs; (ii)

Dealing at undue prices; (iii) Unreasonably inducing or coercing customers of a competitor to

deal with oneself; (iv) Trading with another party on such conditions as well restrict unjustly

business activities of the said party; (v) Dealing with another party by unwarranted use of one’s

bargaining position.” 209

Ayudha D. Prayoga, Op. Cit., hlm. 36.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 103: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

89

Universitas Indonesia

oleh Kongres pada tahun 1890 yang kemudian lebih dikenal dengan nama

Sherman Act.210

Disamping Undang-Undang yang telah ada di Amerika Serikat,

perkembangan hukum persaingan usaha di negara tersebut banyak yang

berdasarkan putusan pengadilan (case law) mengingat hukum di Amerika

Serikat menganut sistem common law. Putusan-putusan pengadilan ini

berfungsi dalam menerjemahkan secara operasional ketentuan-ketentuan

dalam peraturan perundang-undangan.211

Amerika Serikat dalam berbagai peraturan perundang-undangan

dan putusan pengadilan melarang adanya praktek-praktek bisnis yang

dapat mengahambat perdagangan. Praktek-praktek bisnis yang dimaksud

dilakukan dengan menggunakan instrument perjanjian antara dua pelaku

usaha atau lebih atau hanya oleh satu pelaku usaha dengan cara melakukan

monopoli.

Dengan berdasarkan falsafah bahwa perdagangan bebas

bermanfaat bagi siapapun, maka perundang-undangan ini melarang

bentuk-bentuk pengendalian perdagangan, seperti praktek-praktek

pembatasan dan pengaturan harga serta monopoli.212

Persaingan di

Amerika Serikat merupakan cara yang paling baik untuk mencapai

pendayagunaan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan konsumen

maupun kemajuan teknis yang paling besar. Oleh karena itu, Antitrust Law

berusaha supaya pasar-pasar tetap murni dan perilaku tetap wajar. Hal ini

dilakukan dengan membatasi praktek-praktek pengekangan dari

perusahaan dan dengan menghambat pembentukan atau pemeliharaan

struktur pasar yang kurang kompetitif.

Dua puluh lima tahun setelah masa Perang Saudara, industrialisasi

yang tumbuh pesat disamping melahirkan berkah, sekaligus mendatangkan

210

Ibid., hlm. 31. 211

Ibid., hlm. 32. 212

T. Arifin dan Sandi Hambali, “Undang-Undang Antitrust Di Amerika Serikat,” Jurnal

Hukum Bisnis (Volume 5 Tahun 1990), hlm. 29.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 104: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

90

Universitas Indonesia

pula kutukan pada dunia bisnis. Pasar semakin berkembang dan

produktifitas kian tumbuh, tetapi hasil produksi melebihi jumlah

permintaan sehingga persaingan menjadi tajam. Para pesaing mencari

keamanan dan laba dengan berlindung dibawah kartel-kartel, yaitu

perjanjian diantara mereka untuk mengatur harga dan control atas output.

Perjanjian-perjanjian inilah yang menyebabkan munculnya trust.

Tanpa penyederhanaan yang berlebihan, Antitrust Law Amerika

Serikat berkenaan dengan (1) pengekangan perdagangan atau praktek yang

bersifat membatasi suatu perjanjian “mendatar” (horizontal restraint) atau

suatu perjanjian “menegak” (vertical restraint) antara pembeli dan penjual,

(2) struktur pasar yang tidak bersaing dari satu atau beberapa perusahaan

dengan cara penggabungan, dan (3) diskriminasi harga.213

Section I dari Sherman Act ditentukan bahwa setiap perjanjian yang

menghambat perdagangan (trade and commerce) dinyatakan tidak sah dan

dapat dikenai sanksi denda maupun kurungan penjara apabila terbukti.214

Pasal 2 mengatur tentang larangan melakukan monopoli yang juga dapat

dikenai sanksi denda dan atau kurungan penjara.215

Sementara Clayton Act mengatur tentang larangan terhadap

tindakan-tindakan yang mempunyai dampak terhadap persaingan. Ada

empat tindakan yang dianggap tidak sah (unlawful), yaitu diskriminasi

213

Phillip Areeda, “Hukum Antitrust Amerika,” dalam Ceramah Tentang Hukum Amerika

Serikat, (Jakarta: PT. Tata Nusa, 1996), hlm. 167.

214

Pasal 1 Sherman Act menyebutkan bahwa, “Every contract, combination in the form of

trust or otherwise, or conspiracy, in restraint of trade or commerce among several States, or with

foreign nations, is declared to be illegal. Every person who shall make any contract or engage in

any combination or conspiracy of hereby declared illegal, shall be deemed guilty of felony, and on

conviction thereof, shall be punished by fine not exceeding one million dollars if a corporation, or

if any other person, one hundred thousand dollars, or by imprisonment not exceeding three years

or by both said punishments, in the dicretion of the court.” 215 Pasal 2 Sherman Act menjelaskan bahwa, “Every person who shall monopolize, or

attempt to monopolize, or combine, or conspire with any other person or persons, to monopolize

any part of the trade or commerce among the several states, or with foreign nations, shall be

deemed guilty of felony, and on conviction there of, shall be punished by fine not exceeding one

million dollars if a corporation, or if any other person, one hundred thousand dollars, or by both

said punishments, in the discretion of the court”

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 105: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

91

Universitas Indonesia

harga (price discrimination)216

, kontrak-kontrak yang bersifat mengikat

(tying) dan tertutup (exclusive)217

, “merger” yang dilakukan oleh

perusahaan218

, dan rangkap jabatan.219

Tindakan-tindakan tersebut

dianggap tidak sah sepanjang berakibat pada berkurangnya persaingan

(lessen competition) atau menjurus kepada praktek monopoli. Sedangkan

Robinson-Patman Act mengatur lebih lanjut tentang diskriminasi harga

yang diatur dalam Pasal 2 Clayton Act.

Peraturan perundang-undangan yang ada dan kasus-kasus yang

pernah diputus oleh pengadilan dalam hukum persaingan Amerika Serikat

yang dilarang adalah praktek-praktek yang mematikan persaingan atau

persaingan tidak sehat, seperti kartel, kolusi diam-diam (tacit collusion),

usaha patungan dan penggabungan antar pesaing, monopoli dan percobaan

monopoli, harga predator (predatory pricing), integrasi vertikal, merger

vertikal, tie-ins, resiprositas, exclusive dealing, dan kontrak waralaba,

resale price maintenance, vertical nonprice restraints, refusal to deal,

merger horizontal, merger konglomerat, dan diskriminasi harga.220

Amerika Serikat menganggap kartel sebagaimana price fixing

sebagai naked restraint yang mempunyai tujuan tunggal untuk

mempengaruhi tingkat harga dan output. Oleh karena itu Section I The

Sherman Act memperlakukannya sebagai per se illegal, artinya perjanjian

kartel sendiri dilarang tanpa melihat kewajaran tingkat harga yang

disepakati, tanpa melihat apakah perjanjian tersebut sudah dilaksanakan

atau belum.

Alasan mengapa kartel diangap sebagai per se illegal yaitu karena

perbuatan seperti ini mempunyai dampak negatif terhadap harga dan

216

Pasal 2 Clayton Act. 217

Pasal 3 Clayton Act.

218

Pasal 7 Clayton Act. 219

Pasal 8 Clayton Act. 220

Ayudha D. Prayoga, Op. Cit., hlm. 33. Lihat Herbert Hovenkamp, Antitrust Edisi 2

(USA: West Publishing Co., 1993).

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 106: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

92

Universitas Indonesia

output jika dibandingkan dengan dampak pasar yang kompetitif. Kartel

sendiri jarang sekali menghasilkan efisiensi atau dengan kata lain

kemungkinan efisiensi yang dihasilkan sangat kecil dibandingkan dampak

negatif dari tindakan-tindakannya.

Badan yang memiliki wewenang untuk menangani administrasi

hukum persaingan di Amerika Serikat adalah Federal Trade Commission

(FTC). Kewenangan badan ini adalah untuk menafsirkan dan

melaksanakan ketentuan hukum persaingan, diantaranya Clayton Act,

Robinson-Patman Act, dan Unfair Trade Practices Act. Sedangkan

Sherman Act menjadi kewenangan eksklusif dari peradilan federal.221

Selain FTC, badan yang menangani masalah persaingan adalah

Departemen Kehakiman (Department of Justice).

3.2.3 Kartel di Uni Eropa

Negara-negara di Eropa memiliki hukum persaingan masing-

masing, misalnya seperti Negara Belanda yang memiliki Economic

Competition Act yang dikeluarkan pada tahun 1958.222

Di negara-negara

Eropa atau Uni Eropa menyebut hukum persaingan usaha dengan nama

Competition Law. Pengaturan terhadap masalah persaingan terdapat dalam

perjanjian UE karena dirasakan adanya kebutuhan untuk menjamin

persaingan bebas di pasar tunggal (single market) Eropa.

Perjanjian UE atau Uni Eropa sendiri didasarkan pada Treaty on

The European Union223

atau dikenal dengan nama Maastricht Treaty, yang

merupakan suatu perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 7 Februari

221

Ibid., lihat H. Zwarensteyn, Some Aspects of the Extraterritorial Reach of the

American Antitrust Law, (The Netherlands: Kluwer-Deventer, 1970), hlm. 25. 222

Ibid., hlm. 36. 223

Ibid. dalam sejarahnya perjanjian yang paling awal bagi pembentukan Uni Eropa

adalah European Coal and Steel Community Treaty atau yang dikenal dengan nama Treaty of

Paris pada tahun 1951 dan Euratom Treaty atau dikenal dengan nama Rome Treaty pada tahun

1957.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 107: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

93

Universitas Indonesia

1992 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1994. Maastricht Treaty ini

pada tanggal 1 Oktober 1997 diamandemen oleh Amsterdam Treaty.224

Sumber utama hukum persaingan di Uni Eropa adalah ketentuan

yang terdapat dalam perjanjian Uni Eropa (UE). Dalam perjanjian tersebut

terdapat pengaturan secara khusus tentang persaingan di bagian ketiga

dengan judul Policy of Community Bab 1 dengan judul Rules on

Competition dimana Section I mengatur tentang Rules Applying to

Undertakings.225

Larangan terhadap pelaku usaha (undertaking) diatur dalam Pasal

85 dan 86 perjanjian UE. Pasal 85 (1) pada intinya mengatur larangan

tentang perjanjian-perjanjian yang bersifat anti persaingan yang

mempunyai dampak (appreciable) terhadap perdagangan antar negara

anggota dan yang dapat menghalangi, membatasi atau mendistorsi

persaingan dalam pasar bersama (Common Market). Pasal 86 pada

dasarnya mengatur tentang penyalahgunaan posisi dominan oleh pelaku

usaha sepanjang hal itu mempunyai dampak terhadap perdagangan antar

negara anggota. Dalam prakteknya berdasarkan dua pasal yang terdapat

dalam Perjanjian UE, yang dilarang adalah perjanjian yang bersifat

vertikal, merger, usaha patungan dan penyalahgunaan posisi dominan.

Perjanjian yang bersifat horizontal diantaranya adalah perjanjian

pembagian wilayah (market sharing), perjanjian untuk mengalokasi kuota,

perjanjian untuk menetapkan harga (price fixing) dan perjanjian untuk

memboikot (collective boycott). Sedangkan perjanjian yang bersifat

vertikal adalah perjanjian distribusi dan pembelian ekslusif (exclusive

distribustion and exclusive purchasing), perjanjian yang mengatur resale

price maintenance, perjanjian keagenan yang ekslusif. Merger antar

perusahaan juga dilarang sepanjang merger tersebut berakibat pada

pemusatan kekuatan ekonomi. Dalam penyalahgunaan posisi dominan

224

Ibid.

225

Ibid., hlm. 37.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 108: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

94

Universitas Indonesia

yang dilarang adalah yang berkaitan dengan relevant product market,

relevant geographical market, dan dominasi.

Salah satu perbedaan antara aturan Uni Eropa dengan Amerika

Serikat adalah mengenai tindakan yang bersifat sosial. Di Uni Eropa,

tindakan yang bersifat sosial masih diperbolehkan walaupun berakibat

pada matinya persaingan. Hal ini dapat dilakukan dengan meminta

exemption atau pengecualian UE. Sedangkan di Amerika Serikat, alasan

tindakan yang bersifat sosial tidak dapat dijadikan dasar untuk

diperbolehkannya mematikan atau mengurangi persaingan.

Seperti di Amerika Serikat. Kartel di Uni Eropa juga dianggap

sebagai tindakan kejahatan. Sejarah kebijakan kartel di Uni Eropa dimulai

sejak permulaan abad ke-20, dimana beberapa pemerintah Eropa

mendorong dibentuknya kartel dengan maksud menstabilkan pasar.

beberapa kartel diizinkan dibuat tetapi diperlakukan sebagai peraturan

industri yang intinya tentang pengontrolan harga.226

Contohnya adalah kebijakan Jerman kurun waktu 1870-1945,

dimana kartel sering diperhatikan dan diberi mandat sebagai senjata negara

selama rezim Nazi. Bagi mereka lebih baik mengatur kartel daripada

melarang mereka. Ketika memasuki abad ke 20, muncul kesepakatan

tentang efek buruk kartel. Perubahan di Eropa ini diikuti setelah adanya

revolusi Amerika dan dikeluarkannya Sherman Act tahun 1890, dimana

kartel diperlakukan sebagai tindak kejahatan.

Setelah perang dunia kedua berakhir, pemerintah Eropa dari kedua

belah pihak, untuk alasan yang jauh berbeda, mulai mengatur kebijakan

kartel mereka. Pada saat itu, muncul banyak reaksi yang membawa bagian

yang signifikan dengan kenyataan bahwa sebelumnya kartel dilihat

sebagai rencana manajemen bisnis oleh negara-negara totaliter seperti

Jerman, Italia, dan Jepang. Jerman, yang pada saat itu dibawah dominasi

Amerika Serikat, mengembangkan kebijakan anti kartel yang bahkan lebih

kuat dari Inggris maupun Perancis.

226Christopher Harding and Julian Joshua, “Regulating Cartels In Europe – A Study Of

Legal Control Of Corporate Delinquency,” European Law Review (Sweet & Maxwell Limited and

Contributors, 2004).

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 109: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

95

Universitas Indonesia

3.3 Pendeteksian Terhadap Adanya Kartel

Deteksi terhadap kartel merupakan langkah awal dalam proses penegakan

hukum. Dalam hal ini diperlukan penentuan pimpinan (aktor utama) atas tindakan

kartel, karena tanpa mengetahui adanya pelaku utama, sulit melakukan investigasi

atas suatu kartel. Namun demikian, pendeteksian atas adanya pelaku utama kartel

bukanlah merupakan alat bukti yang cukup untuk menggugat suatu kartel. Guna

mendeteksi suatu kartel, paling tidak harus memenuhi prosedur berikut ini:

1. Deteksi atas pelaku utama kartel;

2. Mengumpulkan alat bukti tambahan (investigasi atas fakta);

3. Penilaian hukum atas fakta;

4. Keputusan atas lanjut atau tidak lanjutnya penyelidikan atas kartel;

5. Penanganan perkara terhadap kartel.

Penjelasan di atas menunjukkan, bahwa pencegahan yang paling ampuh atas suatu

kartel adalah mendeteksi perilaku kartel secara efektif serta menjelaskan

konsekuensi kepada pihak terkait jika terdapat tindakan kartel. Karena itu,

pertama, harus terdapat ancaman serius dari lembaga pengawas persaingan bagi

perusahaan yang tertangkap melakukan kartel. Kedua, pelaku-pelaku kartel harus

dibebani sanksi. Adanya konsekuensi yang jelas atas suatu kartel paling tidak

bermanfaat atas dua hal, yakni pertama, mencegah kartel yang terkonstruksi;

kedua, memperkuat efektivitas beberapa metode mendeteksi suatu kartel.227

Dalam mendeteksi kartel diperlukan petunjuk dan informasi atas pelopor

dalam kartel. Namun demikian, tanpa pengetahuan yang cukup tentang elemen-

elemen kunci atas kartel, yakni kemungkinan-kemungkinan cara tentang

bagaimana implementasi tindakan kartel, serta dampak negatif kartel terhadap

persaingan dan kesejahteraan konsumen. Hal ini merupakan langkah yang sangat

sulit untuk menemukan petunjuk atas tindakan kartel. Dalam hal ini, adalah suatu

keharusan dalam mendeteksi kartel, bahwa seseorang harus mengetahui tindakan

apa yang akan dicari dan bersikap hati-hati dalam menentukan perilaku mana

227

Serikat Karyawan TRISAKTI, dalam A.M. Tri Anggraini,

“Mekanisme Mendeteksi dan Mungungkap Kartel Dalam Hukum Persaingan”,

http://www.sekartrisakti.wordpress.com/2011/06/08/mekanisme-mendeteksi-dan-mengungkap-

kartel-dalam-hukum-persaingan/, diunduh 6 November 2012.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 110: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

96

Universitas Indonesia

yang dianggap illegal. Sikap dan tindakan inilah yang seharusnya dimiliki dan

dilakukan oleh otoritas persaingan.

Hal tersebut di atas selain dipahami oleh otoritas persaingan, juga

dimengerti oleh pelaku usaha, konsumen, dan stake holders lain yang

berpartisipasi dalam transaksi ekonomi. Secara umum, ketentuan ini sangat

berguna sebagai informasi terhadap otoritas persaingan dalam proses mendeteksi,

sehingga pihak-pihak terkait dapat menggugat atau paling tidak “meniupkan

peluit” (blow a whistle) tentang tindakan yang dicurigai sebagai kartel. Hal yang

paling penting untuk dipahami adalah bahwa pada hakekatnya kartel berdampak

negatif terhadap kesejahteraan konsumen, sehingga yang terpenting adalah jika

kartel dapat dideteksi dan digugat. Di samping itu, setiap orang dapat melaporkan,

atau “meniupkan peluit” atas adanya tindakan kartel terhadap otoritas persaingan.

Apabila tidak terdapat pemahaman dan pengetahuan dalam mendeteksi kartel,

juga tidak terdapat edukasi dan cara penanganan perkara yang tepat (secara

internal), serta tidak terdapat advokasi yang mencukupi terhadap stake holders

(secara eksternal), maka tidak akan tercipta suatu awareness atas tindakan kartel.

Bahkan, tindakan seperti penetapan harga atau pembagian pasar akan menjadi

praktek yang biasa dilakukan, yang pada akhirnya menjadi dilegitimasikan. Jika

hal ini terjadi, akan memakan banyak waktu untuk mengubah perilaku umum

(yang dilegitimasi) atas kartel illegal.

Guna mencapai efektivitas awareness atas kartel, otoritas persaingan dapat

melakukan langkah-langkah berikut:228

1. Mempublikasikan putusan-putusan (baik dalam website maupun majalah)

dan informasi yang relevan dengan kartel, mencakup pula press releases;

2. Membujuk warganegara, pelaku usaha pesaing, dan konsumen untuk

melaporkan tindakan yang dicurigai kartel kepada otoritas persaingan;

3. Berpartisipasi (sebagai pembicara) dalam konferensi dan seminar yang

diorganisasikan oleh industri dan sektor tertentu guna mempresentasikan

tugas otoritas persaingan;

228

Ibid.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 111: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

97

Universitas Indonesia

4. Melakukan pertemuan berkala dengan media.

Biasanya tindakan kartel dilakukan secara tertutup dan bersifat rahasia,

sehingga deteksi terhadap kartel bukanlah pekerjaan yang mudah. Dalam hal ini,

terdapat beberapa metode untuk mendeteksi penemuan atas tindakan kartel.

Namun tampaknya tergantung juga dari pengalaman masing-masing negara,

dimana terdapat tidak hanya satu pendekatan yang dapat digunakan untuk

menangani kartel dengan kondisi yang variatif. Artinya, bahwa otoritas persaingan

dapat menggunakan berbagai cara yang efektif dalam melakukan investigasi untuk

mendeteksi kartel, yang tidak hanya tergantung pada satu metode pendekatan

saja.229

Beberapa pendekatan dapat bersifat saling melengkapi satu sama lain, dan

efektivitas dari pendekatan adalah tergantung dari lebih-kurangnya kredibilitas

dan komitmen otoritas persaingan dalam penggunaan metode tersebut. Secara

umum, otoritas persaingan menggunakan kombinasi teknik dan alat (instrument)

untuk mengatur strategi yang tinggi untuk mendeteksi kartel. Sebaiknya, strategi

ini dimuat dalam aturan hukum yang mendasari kegiatan pengawasan oleh

otoritas persaingan di masing-masing negara.

Penting untuk diperhatikan, bahwa ruang lingkup tugas dan fungsi otoritas

persaingan akan mengalami perubahan yang sangat dinamis mengikuti

perkembangan dinamika ekonomi dan dunia usaha. Oleh karena itu, pelaku usaha

perlu mengantisipasi perkembangan teknik yang digunakan otoritas persaingan

untuk mendeteksi kartel. Dengan kata lain, strategi yang digunakan otoritas

persaingan dalam mendeteksi kartel harus senantiasa dikembangkan, dengan cara

mengubah kebijakan penegakan dengan menyesuaikan perubahan dan

perkembangan di dunia usaha.230

Secara umum, terdapat 2 (dua) metode pendekatan untuk mendeteksi

kartel, yakni Metode Reaktif dan Metode Proaktif. Metode Reaktif adalah metode

yang didasarkan pada beberapa kondisi eksternal yang terjadi sebelum otoritas

229

Ibid.

230

Ibid.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 112: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

98

Universitas Indonesia

persaingan menyadari beberapa kemungkinan atas issue kartel dan memulai suatu

investigasi. Dalam hal terdapat kartel yang dilakukan secara tersembunyi, maka

sangat efektif jika menggunakan informasi orang dalam (inside information)

untuk mendeteksi kartel. Informasi orang dalam dapat berasal dari perusahaan

(pelaku kartel) atau para individu yang mengetahui kartel tersebut, kemudian

melaporkannya kepada otoritas persaingan.231

Metode lainnya adalah Metode Proaktif, yakni metode pendekatan yang

diinisiasi oleh otoritas persaingan untuk mendeteksi kartel, dan tidak berkaitan

dengan peristiwa eksternal. Adapun bentuk penggunaan Metode Proaktif adalah

analisis/studi tentang ekonomi atau analisis/studi tentang pasar, penelusuran

melalui media, monitoring kegiatan industri atau sektor tertentu, serta pertukaran

pengalaman maupun best practices dari otoritas persaingan lainnya.

Terdapat berbagai alasan otoritas persaingan dalam menggunakan Metode

Proaktif. Alasan yang paling penting adalah bahwa kedudukan dan fungsi otoritas

persaingan yang independen, tidak tergantung pada kondisi atau peristiwa

eksternal, melainkan sangat mengatur dan terlibat dalam proses deteksi. Bahkan

dalam hal otoritas persaingan kekurangan atau bahkan kehilangan informasi

(inside information), yang berkaitan dengan kartel maka deteksi atas kartel masih

tetap dapat dilanjutkan. Metode Proaktif dapat menjadi pelengkap dari metode

Reaktif, seperti misalnya mendorong para pihak baik secara individual maupun

perusahaan untuk bertindak sebagai whistle blower atau bahkan untuk

menerapkan leniency.

Peraturan Komisi Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan

Pasal 11 tentang Kartel berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Pedoman

tentang Kartel) juga memberikan petunjuk tentang indikator awal dalam

mengidentifikasi kartel, baik dari sisi perilaku (conduct) maupun struktural

(structure).232

Dari aspek perilaku, indikator yang mudah dilakukan deteksi adalah

231

Ibid. 232

Peraturan Komisi Nomor 4 Tahun 2010 tentang Kartel berdasarkan Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,

hlm. 15-18.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 113: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

99

Universitas Indonesia

adanya transparansi dan kemudahan dalam melakukan pertukaran informasi

diantara anggota kartel, yang biasanya hal ini diakomodasi dalam asosiasi dagang.

Peran asosiasi akan menjadi penting ketika terdapat informasi data produksi dan

harga jual yang dikirimkan ke asosiasi secara periodik, sebagai sarana

pengendalian kepatuhan terhadap kesepakatan kartel.

Petunjuk lain dari aspek perilaku adalah pengaturan harga dalam suatu

industri, misalnya one price policy atau price parallelism dimana kesamaan

tingkat dan/atau pergerakan harga di beberapa daerah akan menjadi alat

monitoring yang efektif antar anggota atas kesepakatan kartel. Pada umumnya

harga yang ditetapkan oleh para anggota kartel adalah jauh di atas harga wajar,

dan guna mengetahui seberapa besar tingkat kewajaran harga produk tertentu,

perlu dilakukan beberapa metode pendekatan atas harga (benchmarking price).

Hal lain yang perlu diwaspadai dalam hal kebijakan harga dalam perilaku kartel

adalah pembatasan pasokan produk, yang dimaksudkan untuk menahan harga agar

tetap jauh di atas harga persaingan. Para anggota secara sengaja tidak

memproduksi barang secara optimal, sehingga akan terjadi kelangkaan yang

mengakibatkan harga eksesif, yang pada akhirnya konsumenlah yang dirugikan.

3.4 Penetapan Harga Termasuk Bentuk Kartel

Kartel dapat berarti sebagai suatu kerjasama dari pelaku usaha produk

tertentu yang bertujuan untuk mengawasi produksi, penjualan dan harga serta

untuk melakukan monopoli terhadap komoditas atau industri tertentu.233

Kerjasama para pelaku usaha sebagaimana dimaksud, biasanya dalam bentuk

asosiasi. Oleh karena itu, kartel dapat juga diartikan sebagai gabungan beberapa

perusahaan besar dalam suatu industri yang terselubung, berusaha untuk

mengendalikan pasar dimana mereka bergerak.234

Cara asosiasi mengendalikan pasar sebagaimana dimaksud antara lain:235

233

Henry Campbell, Black Law Dictionary sebagaimana dikutip oleh Munir Fuady, Op.

Cit., hlm. 63.

234

Thee Kian Wie, “Aspek-Aspek Ekonomi Yang Perlu Diperhatikan Dalam

Implementasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999,” Jurnal Hukum Bisnis (Volume 7, Tahun

1999), hlm. 67. 235

Ibid .

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 114: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

100

Universitas Indonesia

1. Penetapan harga pada suatu tingkat tertentu, oleh beberapa perusahaan

yang saling bersaing, yang berbeda dengan tingkat harga yang

terbentuk di pasar kompetitif dan yang memberikan laba lebih besar

dibandingkan dengan yang diperoleh jika hanya terbentuk pada tingkat

yang semata-mata ditentukan oleh kekuatan pasar kompetitif.

2. Pembagian pasar (market division), yaitu persetujuan yang sifatnya

rahasia di antara beberapa perusahaan yang saling bersaing untuk

membagi pasar diantara mereka.

3. Konspirasi dalam penawaran barang/jasa (bid rigging), yaitu suatu

persetujuan yang sifatnya rahasia diantara beberapa perusahaan yang

saling bersaing, untuk tidak bersaing dalam menawarkan barang

dan/atau jasa kepada pihak pembeli, tetapi menetapkan suatu harga

penawaran yang lebih tinggi daripada tingkat harga yang terbentuk di

pasar kompetitif.

Melalui kartel, anggota kartel dapat menentukan harga atau syarat-syarat

perdagangan lainnya untuk mengekang suatu persaingan sehingga hanya

menguntungkan para anggota kartel yang bersangkutan. Di sisi lain, kartel juga

dapat mengontrol atau mengekang masuknya pesaing baru dalam bisnis yang

bersangkutan.

Di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, istilah kartel digunakan

secara khusus pada Pasal 11, yaitu:

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha

pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan

mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau jasa, yang

dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan

usaha tidak sehat.”

Istilah kartel yang digunakan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999 terlalu sempit.236

Sebagai perbandingan di banyak negara , perjanjian untuk

membagi wilayah, mengalokasikan pelanggan atau menetapkan harga adalah

kartel.

236

A.M. Tri Anggraini, Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Per Se Illegal atau Rule Of Reason, Cet 1. Op. Cit., hlm. 402.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 115: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

101

Universitas Indonesia

Kartel sebenarnya memiliki pengertian yang luas. Dalam hal ini lebih

lanjut, R.S.Khemani menjelaskan bahwa Kartel adalah perjanjian formal, antara

perusahaan-perusahaan dalam sebuah industri oligopoli. Anggota kartel membuat

kesepakatan antara lain masalah harga, total produk industri, pembagian pasar,

pembagian konsumen, pembagian wilayah, persekongkolan, pembuatan agen

penjualan bersama dan pembagian keuntungan atau kombinasi hal tersebut secara

umum. Kartel atau tindakan yang mencerminkan kartel mencoba melakukan

monopoli dengan membatasi produk industri, meningkatkan atau menetapkan

harga dalam penawaran untuk memperoleh keuntungan tinggi.237

Oleh sebab itu dapat dikatakan disini bahwa pengaturan dalam Pasal 5 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang menentukan larangan terhadap

perjanjian penetapan harga secara horizontal, juga merupakan suatu bentuk kartel,

yaitu kartel harga. Dalam hal ini pelaku usaha atau produsen menetapkan harga

yang harus dibayar oleh penerima barang dan/atau jasa (konsumen) yang

diperdagangkan di pasar bersangkutan yang sama dari segi faktual dan geografis.

Penerapan perkara penetapan harga mulai dilakukan oleh KPPU238

sejak

dibentuknya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Contoh dari perjanjian penetapan

harga antara lain Putusan Nomor 02/KPPU-I/2003 tentang Penetapan Harga

Angkutan Kargo untuk Trayek Jakarta-Pontianak-Jakarta, Putusan Nomor

03/KPPU-I/2003 tentang Penetapan Tarif dan Kuota Angkutan Kapal Peti Kemas

Jalur Makassar-Surabaya-Makassar, dan Putusan Nomor 05/KPPU-I/2003 tentang

Penetapan Tarif Bus Kota Patas AC.

Perkara pertama adalah penetapan tarif kargo oleh pelaku usaha angkutan

laut khusus barang (kargo) untuk trayek Jakarta-Pontianak-Jakarta, yang

melibatkan empat (4) perusahaan, yakni PT Perusahaan Pelayaran Nusantara

Panurjwan, PT Pelayaran Tempuran Emas Tbk., PT Tanto Intim Line, dan PT

237

R.S.Khemani, Op. Cit., hlm. 7. 238

Keputusan Presiden RI Nomor 75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan

Usaha ditetapkan pada tanggal 8 Juli 1999, sedangkan pengangkatan anggota Komisi ditetapkan

pada tanggal 7 Juni 2000. Dalam Keputusan Presiden Nomor 162/M Tahun 2000 ditetapkan 11

anggota Komisi untuk menjalankan tugas serta memiliki kewenangan sesuai amanat Pasal 30

sampai dengan Pasal 37 UU Nomor 5 Tahun 1999.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 116: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

102

Universitas Indonesia

Perusahaan Pelayaran Wahana Barunakhatulistiwa. Perkara bermula dari adanya

perang tarif pada trayek Jakarta-Pontianak hingga mencapai Rp.800.000,- per-

Teus (twentieth equivalent units), di mana tingkat harga tersebut secara ekonomi

tidak lagi dapat menutupi kegiatan operasionalnya. Guna mengatasi hal ini, INSA

berinisiatif mengadakan pertemuan dengan empat perusahaan pelayaran yang

beroperasi pada trayek tersebut. Tujuan pertemuan di antara mereka adalah untuk

melakukan penyesuaian tarif secara transparan dalam hal biaya produksi, struktur

bisnis, dan lain-lain, untuk kemudian dituangkan dalam bentuk kesepakatan tarif

yang mengikat para pihak. Tarif uang tambang petikemas dari Jakarta ke

Pontianak yang disepakati bersama adalah sebesar Rp. 1.600.000,- per-Teus.

Dalam perjanjian tersebut juga diatur ketentuan mengenai sanksi apabila

melanggar kesepakatan, salah satunya adalah tidak diberikannya pelayanan

operasional di pelabuhan. Kesepakatan ini dibuat untuk jangka waktu tiga bulan,

dan dapat diadakan evaluasi serta dapat diperpanjang kembali. Berkaitan dengan

adanya kesepakatan tersebut, maka dalam Putusan Perkara Inisiatif Nomor

02/KPPU-I/2003, KPPU menyatakan pembatalan perjanjian tersebut. Perjanjian

yang dituangkan dalam bentuk Kesepakatan Bersama Tarif Uang Tambang Peti

Kemas Jakarta- Pontianak-Jakarta, ditanda-tangani oleh empat perusahaan

pelayaran, INSA, dan Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Laut sebagai pihak

regulator/fasilitator, dianggap bertentangan dengan Pasal 5 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999.

Perkara yang kedua tentang penetapan tarif di bidang pelayaran

melibatkan tujuh (7) perusahaan, yakni PT Pelayaran Meratus, PT Tempuran

Emas Tbk., PT (Persero) Djakarta Lloyd, PT Jayakusuma Perdana Lines, PT

Samudera Indonesia Tbk., PT Tanto Intim Line, dan PT Lumintu Sinar Perkasa.

Dugaan adanya penetapan tarif berawal dari adanya ketidak-seimbangan antara

biaya produksi dengan pendapatan di saat low season, sehingga untuk merebut

pasar, para pengusaha cenderung memberikan diskon tinggi, bahkan untuk

mencapai break even point hampir seluruh perusahaan pelayaran melakukan

banting harga. Melihat kondisi ini, INSA (asosiasi perusahaan pelayaran nasional)

mengambil inisiatif untuk mengusulkan kesepakatan tarif dan kuota angkutan peti

kemas untuk jalur Makassar-Surabaya-Makassar, di mana pengawasan kuota akan

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 117: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

103

Universitas Indonesia

dilakukan oleh PT Pelindo IV. Besarnya kuota ditentukan oleh besarnya pangsa

pasar masing-masing perusahaan pelayaran. Apabila terdapat perusahaan

pelayaran yang melebihi kuota, maka dikenai sanksi harus membayar 50% kepada

perusahaan yang kehilangan kuotanya. Kesepakatan tersebut ditanda-tangani para

pengusaha pelayaran, dan akan dievaluasi setiap tiga bulan. Tarif minimum untuk

jalur Makassar-Surabaya-Makassar ditetapkan sebesar Rp. 2.000.000,-, dan

pelanggaran atas penetapan tersebut akan dikenai sanksi. Kesepakatan tersebut

kemudian direvisi menjadi Rp. 1.600.000,- untuk jalur Surabaya-Makassar, dan

Rp. 1.000.000,- untuk jalur Makassar-Surabaya.

Kesepakatan untuk menetapkan tarif angkutan kargo yang dilakukan oleh

beberapa perusahaan pelayaran tersebut dianggap merupakan pelanggaran

terhadap Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Guna

menguatkan argumentasinya, para terlapor menyatakan, bahwa mereka melakukan

kesepakatan dengan mendasarkan kebiasaan penyelenggaraan angkutan pelayaran

di tingkat internasional, serta pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992

tentang Pelayaran. Namun demikian KPPU berpendapat, bahwa Pasal 74 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 hanya mengatur tentang trayek angkutan

laut dalam negeri, sehingga undang-undang tersebut tidak memberi dasar hukum

untuk membentuk kesepakatan tarif dalam trayek tetap dan teratur ataupun trayek

tidak tetap dan tidak teratur. Demikian pula dalam Pasal 63 dan 64 Peraturan

Pemerintah Nomor 82 Tahun 1992 tentang Pelayaran, serta Pasal 33 ayat (3) dan

Pasal 34 Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 33 Tahun 2001 tentang

Penyelenggaraan dan Pengusahaan Angkutan Laut tidak memberikan dasar

hukum untuk mengatur kesepakatan tarif dalam trayek tersebut.

Di samping pelanggaran atas Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 5

Tahun 1999, perusahaan yang melakukan kesepakatan juga dianggap melakukan

pelanggaran terhadap Pasal 11 tentang Kartel, yang dibuktikan melalui adanya

bukti pengikatan diri secara tertulis dalam bentuk tertulis dalam pertemuan di

sebuah hotel di Surabaya. Dengan ditetapkannya kuota bongkar muat peti kemas

tersebut, mereka dianggap telah melakukan tindakan yang meniadakan persaingan

usaha antara anggota kartel, sehingga mengakibatkan persaingan usaha tidak

sehat.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 118: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

104

Universitas Indonesia

Perkara yang ketiga adalah perkara penetapan harga yang didukung oleh

asosiasi pengusaha angkutan jalan raya (Organda DKI Jakarta), didasarkan pada

Putusan Nomor 05/KPPU-I/2003 tentang Penetapan Harga Tarif Bus Kota Patas

AC. Dugaan penetapan harga ditujukan pada penyelenggara angkutan umum,

yakni PT Steady Safe, Tbk., PT Mayasari Bakti, Perum PPD, PT Bianglala

Metropolitan, PT Pahala Kencana, dan PT AJA Putra. Dugaan berawal dari

kesepakatan di antara pengusaha angkutan jalan raya yang tergabung dalam

Organda, untuk menaikkan tarif angkutan Bus Kota Patas AC sebesar Rp. 3.300,

dengan menerbitkan Surat Keputusan Nomor Skep-115/DPD/IX/2001 tentang

Penyesuaian Tarif Angkutan Umum Bus Kota Patas AC di Wilayah DKI Jakarta.

Berdasarkan surat ini, mereka yang tergabung dalam asosiasi, yakni DPD

Organda DKI Jakarta, kemudian mengajukan surat kepada Gubernur Propinsi

DKI Jakarta untuk konsultansi tarif Bus Kota Patas AC. Sesuai dengan

permohonan tersebut, maka Gubernur mengeluarkan Surat Nomor 2640/-1.811.33

tanggal 4 September 2001 mengenai Penyesuaian Tarif Angkutan, dari Rp.

2.500,- menjadi Rp. 3.300,-.

Alasan yang digunakan oleh para pengusaha angkutan tersebut antara lain

adalah meningkatnya harga bahan bakar dan spare parts, sehingga mereka

menganggap bahwa tarif yang berlaku saat ini terlalu rendah atau di bawah biaya

pokok angkutan. Oleh karena itu, mereka sepakat untuk menaikkan tarif secara

seragam, meskipun terdapat beberapa pengusaha angkutan yang hanya memiliki

sedikit armada bus, mengaku tidak memiliki kekuatan untuk menentukan

besarnya tarif angkutan tersebut, sehingga hanya mengikuti saja kesepakatan di

antara pihak penentu. Kesepakatan mengenai penyeragaman tarif ini diakui

beberapa penyelenggara angkutan sebagai bertentangan dengan jiwa persaingan,

karena seharusnya yang berhak menentukan besarnya tarif angkutan adalah para

penyelenggara, disesuaikan dengan biaya produksi masing-masing operator bus

kota.

Berdasarkan bukti-bukti dan pengakuan para pengusaha dan saksi-saksi,

maka Komisi Pengawas Persaingan Usaha memutuskan bahwa kesepakatan di

antara para penyelenggara angkutan Bus Kota tersebut di atas melanggar Pasal 5

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, dan menetapkan pembatalan kesepakatan

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 119: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

105

Universitas Indonesia

penyesuaian tarif bus kota Patas AC dari Rp. 2.500,- menjadi Rp. 3.300,- per-

penumpang.

Dari ketiga kasus tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa para pelaku

usaha dalam perkara pertama, kedua, maupun ketiga dianggap oleh KPPU

melakukan pelanggaran terhadap Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

Digunakannya Pasal 5 sebagai dasar Putusan KPPU, disebabkan karena kasus-

kasus yang seringkali muncul di lapangan adalah penetapan harga yang difasilitasi

oleh asosiasi. Asosiasi yang merupakan gabungan dari pelaku usaha ini

merupakan unsur yang penting, mengingat perjanjian ini lebih cenderung pada

unsur perilaku (behaviour) dari pada struktur pasar itu sendiri.239

Sekilas Pasal 5 memiliki kesamaan dengan Pasal 11 yang mengatur

mengenai kartel, perbedaan antara Pasal 11 dengan Pasal 5 adalah dalam Pasal 5

pelaku usaha sepakat untuk menetapkan harga. Sedangkan pada kartel yang

disepakati oleh anggota adalah mempengaruhi harga dengan jalan mengatur

produksi dan atau pemasaran barang atau jasa. Jadi pada kartel para pelaku usaha

sepakat mengenai jumlah produksi dan atau pemasaran barang atau jasa, yang

melalui kesepakatan ini akan berpengaruh terhadap harga barang atau jasa yang

mereka produksi.240

Sesungguhnya Pasal 5 pada hakikatnya juga merupakan pengaturan

tentang kartel, hanya saja kartel yang dimaksud adalah kartel harga. Sementara

kartel dalam Pasal 11 yang diatur adalah kartel produksi dan pemasaran yang

tujuan akhirnya mempengaruhi harga. Jadi kalau Pasal 5 mengatur secara

langsung larangan pengaturan harga, maka dalam Pasal 11 yang diatur adalah

kartel produksi dan pemasaran yang akhirnya berpengaruh pada harga produk.241

239

R. S. Khemani and D. M. Shapiro, Op. Cit., hlm. 10. 240

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Peraturan Komisi Pengawas Persaingan

Usaha tentang Pedoman Pasal 11 tentang Kartel Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Peraturan Komisi

Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2010, Op. Cit., hlm. 17. 241

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Peraturan Komisi Pengawas Persaingan

Usaha tentang Pedoman Pasal 5 (Penetapan Harga) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Peraturan Komisi Persaingan

Usaha Nomor 4 Tahun 2011, Op. Cit., hlm. 9.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 120: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

106

Universitas Indonesia

Pengaruh buruk penetapan harga sudah tentu baku yaitu perjanjian

penetapan harga dapat menimbulkan harga yang terlalu tinggi. Oleh karena itu

dapat dipastikan bahwa harga tersebut pasti bukan harga pasar. Tekanan inilah

yang ditiadakan oleh suatu kartel melalui perjanjian penetapan harga. Dengan

demikian dapat mengakibatkan tidak adanya persaingan usaha.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 121: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

107

Universitas Indonesia

BAB 4

KARAKTERISTIK DAN ANALISIS TERHADAP PUTUSAN KPPU

TENTANG PERJANJIAN PENETAPAN HARGA DAN KARTEL DI

INDONESIA PADA TAHUN 2009 HINGGA 2010

4.1 Gambaran Umum Perkara Penetapan Harga dan Kartel dalam

Putusan KPPU Tahun 2009 hingga 2010 di Indonesia

4.1.1 Perkara tentang Kartel Minyak Goreng242

a. Kasus Posisi

Setelah menerima Hasil Monitoring Dugaan Kartel yang

dilakukan Pelaku Usaha di bidang industri minyak goreng, maka

Komisi Pengawas Persaingan Usaha menindaklanjuti hasil

monitoring ke tahap Pemeriksaan Pendahuluan. Berdasarkan Surat

Penetapan Nomor 135/KPPU/PEN/XI/2009 tentang Pemeriksaan

Pendahuluan Perkara Inisiatif Nomor 24/KPPU-I/2009 yang

menetapkan untuk dilakukan Pemeriksaan Pendahuluan terhitung

sejak tanggal 9 November 2009 sampai dengan tanggal 5 Februari

2010.

Industri Minyak goreng merupakan industri yang memiliki

nilai strategis karena berfungsi sebagai salah satu kebutuhan pokok

masyarakat Indonesia. Perkembangan industri minyak goreng di

Indonesia telah menempatkan minyak goreng dengan bahan baku

kelapa sawit sebagai komoditi yang paling banyak dikonsumsi oleh

masyarakat saat ini. Hal tersebut disebabkan oleh rendahnya

ketersediaan bahan baku lain selain kelapa sawit. Selain itu,

karakteristik kelapa sawit yang memiliki berbagai macam produk

turunan juga telah mempengaruhi perkembangan industri-industri

yang terkait dengan kelapa sawit dan turunannya termasuk

diantaranya adalah industri minyak goreng sawit (selanjutnya

disebut ”Minyak Goreng”). Namun demikian, struktur pasar

242

Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Putusan Perkara Nomor: 24/KPPU-I/2009.

107

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 122: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

108

Universitas Indonesia

industri minyak goreng yang oligopoli telah mendorong perilaku

beberapa pelaku usaha produsen minyak goreng untuk menentukan

harga sehingga pergerakan harganya tidak responsif dengan

pergerakan harga CPO padahal CPO merupakan bahan baku utama

dari minyak goreng. Hal tersebut tercermin dari periode waktu

tahun 2007 hingga tahun 2009. Atas dasar hal tersebut, Tim

Pemeriksa menduga adanya indikasi pelanggaran Pasal 4, Pasal 5

dan Pasal 11 UU Nomor 5 Tahun 1999 yang dilakukan oleh 21

Pelaku Usaha yaitu: PT Multimas Nabati Asahan; PT Sinar Alam

Permai; PT Wilmar Nabati Indonesia; PT Multi Nabati Sulawesi;

PT Agrindo Indah Persada; PT Musim Mas; PT Intibenua

Perkasatama; PT Megasurya Mas; PT Agro Makmur Raya; PT

Mikie Oleo Nabati Industri; PT Indo Karya Internusa; PT Permata

Hijau Sawit; PT Nagamas Palmoil Lestari; PT Nubika Jaya; PT

Smart, Tbk; PT Salim Ivomas Pratama; PT Bina Karya Prima; PT

Tunas Baru Lampung; PT Berlian Eka Sakti Tangguh; PT Pacific

Palmindo Industri dan PT Asian Agro Agung Jaya.

Sistem pemasaran dalam minyak goreng dapat dilihat dari

jenis minyak goreng yang dipasarkan dimana untuk minyak goreng

kemasan (bermerek), produsen menunjuk satu perusahaan sebagai

distributor untuk melakukan distribusi ke seluruh wilayah

pemasarannya namun tidak terbatas ke seluruh retail modern.

Pemilihan distributor tersebut dapat dilakukan terhadap perusahaan

yang merupakan afiliasinya maupun perusahaan lain yang sama

sekali tidak memiliki afiliasi. Berdasarkan pemeriksaan, diperoleh

informasi bahwa kontrol produsen terhadap harga minyak goreng

kemasan (bermerek) hanya sampai distributornya saja dimana

distributor mendapatkan marketing fee berkisar 5%. Sebaliknya hal

tersebut tidak terjadi pada sistem pemasaran minyak goreng curah,

sebagian besar produsen tidak menunjuk distributor dan melakukan

penjualan secara langsung. Hal tersebut terkait dengan karakteristik

produk itu sendiri yang sangat berfluktuasi harganya dan daya

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 123: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

109

Universitas Indonesia

tahan produk yang tidak terlalu lama. Produsen biasanya hanya

melayani pembelian dalam jumlah besar kepada konsumen antara

(pembeli besar) dengan sistem jual beli putus. Oleh karena itu,

produsen tidak memiliki kontrol harga di tingkat konsumen akhir.

Kontrol harga dilakukan produsen minyak goreng curah hanya

pada harga jual langsung pada saat minyak goreng akan dijual dan

dikeluarkan dari gudang produsen.

b. Pembuktian yang digunakan KPPU

Dalam pembuktiannya Komisi Pengawas Persaingan Usaha

menggunakan Metode Uji Statistik (Uji Homogenity of Varians)

untuk menentukan ada atau tidaknya price parallelism dalam suatu

industri. Uji statistik dilakukan untuk membandingkan varians dari

harga minyak goreng masing-masing perusahaan, sehingga bisa

mengetahui kesamaan pola pergerakan harga antar perusahaan.

Apabila perubahan harga dari setiap pelaku usaha memiliki

probabilitas dibawah 5% maka ditolak dan tidak ada price

parallelism. Namun sebaliknya jika nilai probabilitas lebih besar

dari 5% maka perubahan variasi harga antar perusahaan sama atau

ada price parallelism. Selain itu, dalam perkara ini Indirect

Evidence yang digunakan berupa:

1. Bukti Komunikasi (Communication evidence)

Yaitu berupa adanya pertemuan dan/atau komunikasi

antar pesaing meskipun tidak terdapat substansi dari

pertemuan dan/atau komunikasi tersebut. Dalam

perkara ini, pertemuan dan/atau komunikasi baik secara

langsung maupun tidak langsung dilakukan oleh para

Terlapor pada tanggal 29 Februari 2008 dan tanggal 9

Februari 2009. Bahkan dalam pertemuan dan/atau

komunikasi tersebut dibahas antara lain mengenai

harga, kapasitas produksi, dan struktur biaya produksi.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 124: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

110

Universitas Indonesia

2. Bukti Ekonomi (Economic Evidence)

Terdapat 2 (dua) tipe bukti ekonomi yaitu bukti yang

terkait dengan struktur dan perilaku. Dalam perkara ini,

industri minyak goreng baik curah dan kemasan

memiliki struktur pasar yang terkonsentrasi pada

beberapa pelaku usaha (oligopoli). Adapun bukti

ekonomi yang berupa perilaku tercermin dari adanya

price parallelism.

3. Facilitating Practices

Dilakukan melalui price signaling dalam kegiatan

promosi dalam waktu yang tidak bersamaan serta

pertemuan-pertemuan atau komunikasi antar pesaing

melalui asosiasi.

Berdasarkan penjabaran unsur-unsur pasal dalam putusan

KPPU mengenai kartel minyak goreng ini, maka dapat dikatakan

bahwa praktik kartel belum dapat dibuktikan. Untuk dapat

membuktikan adanya kartel tidak hanya dilakukan dengan cara

pembuktian langsung melainkan dapat dilakukan dengan

pembuktian berdasarkan keadaan (circumstantial evidence), yaitu

pembuktian berdasarkan kesimpulan yang diambil dari berbagai

tindakan atau jasa tertentu yang menunjukkan keyakinan kuat

bahwa telah terjadi koordinasi diantara para pelaku usaha

tersebut.243

Secara umum jumlah pelaku usaha yang ada pada suatu

pasar akan menentukan tingkat konsentrasi pada pasar tersebut.

Sedikitnya jumlah pelaku usaha yang ada dalam suatu pasar akan

meningkatkan konsentrasinya pada pasar tersebut. Meskipun

demikian, ketika suatu pasar terdapat banyak pelaku usaha namun

penguasaan pasar hanya dilakukan oleh beberapa pelaku usaha

243

Junaidi, “Pembuktian Praktik Kartel Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999”,

Kompetisi 11 tahun 2008, hlm. 9

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 125: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

111

Universitas Indonesia

maka pasar tersebut juga memiliki tingkat konsentrasi yang tinggi.

Atas dasar tersebut, tingkat konsentrasi pasar minyak goreng curah

dan kemasan dapat dilihat sebagai berikut:

Gambar 4.1. Tingkat Konsentrasi Pasar Minyak Goreng Curah

Dari grafik diatas dapat dilihat struktur pasar minyak

goreng curah di Indonesia sangat terkonsentrasi, hal ini bisa dilihat

pada grafik perkembangan rasio konsentrasi 4 perusahaan terbesar

yang relatif stabil dengan interval 86,46% - 97,57%. Secara umum

Musim Mas Group dan Wilmar Group merupakan perusahaan

dengan pangsa pasar terbesar di pasar minyak goreng curah.

Selanjutnya pangsa pasar minyak goreng curah kedua kelompok

usaha tersebut diikuti oleh PT Smart, Tbk, dan Permata Hijau

Group.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 126: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

112

Universitas Indonesia

Gambar 4.2. Tingkat Konsentrasi Pasar Minyak Goreng Kemasan

Dari grafik diatas, struktur pasar minyak goreng kemasan di

Indonesia sangat terkonsentrasi. Perkembangan rasio konsentrasi 4

perusahaan terbesar dari bulan Januari tahun 2007 sampai dengan

bulan Agustus 2009 relatif stabil berada di interval 94,08% -

98,67%. PT Salim Ivomas, Wilmar Group, PT Smart, Tbk dan PT

Bina Karya Prima merupakan perusahaan dengan pangsa pasar

terbesar di pasar minyak goreng kemasan.

Pada umumnya, perusahaan yang mempunyai pangsa pasar

yang besar mempunyai kekuatan pasar sehingga dapat menentukan

tingkat harga yang terjadi dipasar (price maker). Sedangkan

perusahaan dengan pangsa pasar yang kecil akan mempunyai

kecenderungan untuk tidak bersaing secara langsung dengan

mengikuti harga yang ditetapkan oleh perusahaan yang mempunyai

kekuatan pasar (price follower).

Dalam kasus ini, pembuktian berdasarkan keadaan

dibuktikan oleh KPPU berupa fakta adanya pertemuan dan/atau

komunikasi antar pesaing, yang dilakukan oleh para Terlapor pada

tanggal 29 Februari 2008, dan tanggal 9 Februari 2009. Dalam

pertemuan tersebut dibahas mengenai harga, kapasitas produksi

dan struktur biaya produksi. Di dalam pertemuan tersebut memang

tidak disebutkan bahwa terjadi adanya kesepakatan diantara para

pelaku usaha, akan tetapi dari tindakan yang dilakukan oleh para

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 127: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

113

Universitas Indonesia

pelaku usaha tersebut bahwa mereka membahas mengenai harga,

kapasitas produksi dan struktur biaya produksi serta fakta bahwa

adanya price parallelsim telah menunjukkan keyakinan kuat bahwa

telah terjadi koordinasi diantara para pelaku usaha tersebut.

Tidak ditemukannya bukti langsung (direct evidence) untuk

membuktikan adanya kesepakatan melakukan kartel dalam kasus

tersebut, tidak menghilangkan kevalidan pembuktian berdasarkan

keadaan, karena hubungan diantara keduanya bersifat alternatif.244

Dengan demikian, pembuktian berdasarkan keadaan yang

dibuktikan oleh KPPU seperti yang sudah Penulis paparkan diatas

tetap bersifat valid dan karena pembuktian berdasarkan keadaan

telah membuktikan adanya kartel, maka dapat dikatakan bahwa

para Terlapor telah memenuhi unsur-unsur praktek kartel.

Dalam putusan KPPU mengenai kasus minyak goreng ini

juga menyatakan bahwa uji Homogenity of Varians telah

membuktikan adanya price parallelism. Bahkan, dengan adanya

hasil dari uji statistik tersebut KPPU juga menyimpulkan bahwa

ada kartel penetapan harga oleh perusahaan minyak goreng

curah.245

c. Putusan Perkara

1. Menyatakan Terlapor I: PT Multimas Nabati Asahan, Terlapor II:

PT Sinar Alam Permai, Terlapor III: PT Wilmar Nabati Indonesia,

Terlapor IV: PT Multi Nabati Sulawesi, Terlapor V: PT Agrindo

Indah Persada, Terlapor VI: PT Musim Mas, Terlapor VII: PT

Intibenua Perkasatama, Terlapor VIII: PT Megasurya Mas,

Terlapor IX: PT Agro Makmur Raya, Terlapor X: PT Mikie Oleo

Nabati Industri, Terlapor XI: PT Indo Karya Internusa, Terlapor

XV: PT Smart, Tbk, Terlapor XIX: PT Berlian Eka Sakti Tangguh,

dan Terlapor XXI: PT Asian Agro Agung Jaya terbukti secara sah

dan meyakinkan melanggar Pasal 4 UU Nomor 5 Tahun 1999

untuk pasar minyak goreng curah;

244

Ibid. 245

Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Op. Cit., hlm. 40.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 128: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

114

Universitas Indonesia

2. Menyatakan Terlapor I: PT Multimas Nabati Asahan, Terlapor II:

PT Sinar Alam Permai, Terlapor IV: PT Multi Nabati Sulawesi,

Terlapor XV: PT Smart, Tbk, Terlapor XVI: PT Salim Ivomas

Pratama, dan Terlapor XVII: PT Bina Karya Prima terbukti secara

sah dan meyakinkan melanggar Pasal 4 UU Nomor 5 Tahun 1999

untuk pasar minyak goreng kemasan (bermerek);

3. Menyatakan Terlapor XII: PT Permata Hijau Sawit, Terlapor XIII:

PT Nagamas Palmoil Lestari, Terlapor XIV: PT Nubika Jaya,

Terlapor XVIII: PT Tunas Baru Lampung, Tbk, dan Terlapor XX:

PT Pacific Palmindo Industri tidak terbukti melanggar Pasal 4 UU

Nomor 5 Tahun 1999 dalam pasar minyak goreng curah;

4. Menyatakan Terlapor X: PT Mikie Oleo Nabati Industri, Terlapor

XVIII: PT Tunas Baru Lampung, Tbk, dan Terlapor XXI: PT

Asian Agro Agung Jaya tidak terbukti melanggar Pasal 4 UU

Nomor 5 Tahun 1999 dalam pasar minyak goreng kemasan

(bermerek);

5. Menyatakan Terlapor I: PT Multimas Nabati Asahan, Terlapor II:

PT Sinar Alam Permai, Terlapor III: PT Wilmar Nabati Indonesia,

Terlapor IV: PT Multi Nabati Sulawesi, Terlapor V: PT Agrindo

Indah Persada, Terlapor VI: PT Musim Mas, Terlapor VII: PT

Intibenua Perkasatama, Terlapor VIII: PT Megasurya Mas,

Terlapor IX: PT Agro Makmur Raya, Terlapor X: PT Mikie Oleo

Nabati Industri, Terlapor XI: PT Indo Karya Internusa, Terlapor

XII: PT Permata Hijau Sawit, Terlapor XIV: PT Nubika Jaya,

Terlapor XV: PT Smart, Tbk, Terlapor XVIII: PT Tunas Baru

Lampung, Tbk, Terlapor XIX: PT Berlian Eka Sakti Tangguh,

Terlapor XX: PT Pacific Palmindo Industri dan Terlapor XXI: PT

Asian Agro Agung Jaya terbukti secara sah dan meyakinkan

melanggar Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 untuk pasar minyak

goreng curah;

6. Menyatakan Terlapor I: PT Multimas Nabati Asahan, Terlapor II:

PT Sinar Alam Permai, Terlapor IV: PT Multi Nabati Sulawesi,

Terlapor X: PT Mikie Oleo Nabati Industri, Terlapor XV: PT

Smart, Tbk, Terlapor XVI: PT Salim Ivomas Pratama, dan

Terlapor XVII: PT Bina Karya Prima, Terlapor XVIII: PT Tunas

Baru Lampung, Tbk dan Terlapor XXI: PT Asian Agro Agung

Jaya terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5 UU

Nomor 5 Tahun 1999 untuk pasar minyak goreng kemasan

(bermerek);

7. Menyatakan Terlapor XIII: PT Nagamas Palmoil Lestari tidak

terbukti melanggar Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 untuk pasar

minyak goreng curah;

8. Menyatakan Terlapor I: PT Multimas Nabati Asahan, Terlapor II:

PT Sinar Alam Permai, Terlapor IV: PT Multi Nabati Sulawesi,

Terlapor X: PT Mikie Oleo Nabati Industri, Terlapor XV: PT

Smart, Tbk, Terlapor XVI: PT Salim Ivomas Pratama, dan

Terlapor XVII: PT Bina Karya Prima, Terlapor XVIII: PT Tunas

Baru Lampung, Tbk dan Terlapor XXI: PT Asian Agro Agung

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 129: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

115

Universitas Indonesia

Jaya terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 11 UU

Nomor 5 Tahun 1999 untuk pasar minyak goreng kemasan

(bermerek);

9. Menyatakan Terlapor I: PT Multimas Nabati Asahan, Terlapor II:

PT Sinar Alam Permai, Terlapor III: PT Wilmar Nabati Indonesia,

Terlapor IV: PT Multi Nabati Sulawesi, Terlapor V: PT Agrindo

Indah Persada, Terlapor VI: PT Musim Mas, Terlapor VII: PT

Intibenua Perkasatama, Terlapor VIII: PT Megasurya Mas,

Terlapor IX: PT Agro Makmur Raya, Terlapor X: PT Mikie Oleo

Nabati Industri, Terlapor XI: PT Indo Karya Internusa, Terlapor

XII: PT Permata Hijau Sawit, Terlapor XIII: PT Nagamas Palmoil

Lestari, Terlapor XIV: PT Nubika Jaya, Terlapor XV: PT Smart,

Tbk, Terlapor XVIII: PT Tunas Baru Lampung, Tbk, Terlapor

XIX: PT Berlian Eka Sakti Tangguh, Terlapor XX: PT Pacific

Palmindo Industri dan Terlapor XXI: PT Asian Agro Agung Jaya

tidak terbukti melanggar Pasal 11 UU Nomor 5 Tahun 1999 untuk

pasar minyak goreng curah;

10. Menghukum Terlapor I: PT Multimas Nabati Asahan untuk

membayar denda sebesar Rp. 25.000.000.000,00 (dua puluh lima

miliar rupiah) yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai

Setoran Pendapatan Denda Pelanggaran di bidang Persaingan

Usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui

Bank Pemerintah dengan Kode Penerimaan 423755 (Pendapatan

Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);

11. Menghukum Terlapor II: PT Sinar Alam Permai untuk membayar

denda sebesar Rp. 20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah)

yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai Setoran Pendapatan

Denda Pelanggaran di bidang Persaingan Usaha Satuan Kerja

Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui Bank Pemerintah

dengan Kode Penerimaan 423755 (Pendapatan Denda

Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);

12. Menghukum Terlapor III: PT Wilmar Nabati Indonesia untuk

membayar denda sebesar Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar

rupiah) yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai Setoran

Pendapatan Denda Pelanggaran di bidang Persaingan Usaha

Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui Bank

Pemerintah dengan Kode Penerimaan 423755 (Pendapatan

Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);

13. Menghukum Terlapor IV: PT Multi Nabati Sulawesi untuk

membayar denda sebesar Rp. 25.000.000.000,00 (dua puluh lima

miliar rupiah) yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai

Setoran Pendapatan Denda Pelanggaran di bidang Persaingan

Usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui

Bank Pemerintah dengan Kode Penerimaan 423755 (Pendapatan

Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);

14. Menghukum Terlapor V: PT Agrindo Indah Persada untuk

membayar denda sebesar Rp. 25.000.000.000,00 (dua puluh lima

miliar rupiah) yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 130: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

116

Universitas Indonesia

Setoran Pendapatan Denda Pelanggaran di bidang Persaingan

Usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui

Bank Pemerintah dengan Kode Penerimaan 423755 (Pendapatan

Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);

15. Menghukum Terlapor VI: PT Musim Mas untuk membayar

denda sebesar Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah)

yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai Setoran Pendapatan

Denda Pelanggaran di bidang Persaingan Usaha Satuan Kerja

Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui Bank Pemerintah

dengan Kode Penerimaan 423755 (Pendapatan Denda

Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);

16. Menghukum Terlapor VII: PT Intibenua Perkasatama untuk

membayar denda sebesar Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar

rupiah) yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai Setoran

Pendapatan Denda Pelanggaran di bidang Persaingan Usaha

Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui Bank

Pemerintah dengan Kode Penerimaan 423755 (Pendapatan

Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);

17. Menghukum Terlapor VIII: PT Megasurya Mas untuk membayar

denda sebesar Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah)

yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai Setoran Pendapatan

Denda Pelanggaran di bidang Persaingan Usaha Satuan Kerja

Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui Bank Pemerintah

dengan Kode Penerimaan 423755 (Pendapatan Denda

Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);

18. Menghukum Terlapor IX: PT Agro Makmur Raya untuk

membayar denda sebesar Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar

rupiah) yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai Setoran

Pendapatan Denda Pelanggaran di bidang Persaingan Usaha

Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui Bank

Pemerintah dengan Kode Penerimaan 423755 (Pendapatan

Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);

19. Menghukum Terlapor X: PT Mikie Oleo Nabati Industri untuk

membayar denda sebesar Rp. 20.000.000.000,00 (dua puluh

miliar rupiah) yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai

Setoran Pendapatan Denda Pelanggaran di bidang Persaingan

Usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui

Bank Pemerintah dengan Kode Penerimaan 423755 (Pendapatan

Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);

20. Menghukum Terlapor XI: PT Indo Karya Internusa untuk

membayar denda sebesar Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas

miliar rupiah) yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai

Setoran Pendapatan Denda Pelanggaran di bidang Persaingan

Usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui

Bank Pemerintah dengan Kode Penerimaan 423755 (Pendapatan

Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);

21. Menghukum Terlapor XII: PT Permata Hijau Sawit untuk

membayar denda sebesar Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 131: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

117

Universitas Indonesia

rupiah) yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai Setoran

Pendapatan Denda Pelanggaran di bidang Persaingan Usaha

Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui Bank

Pemerintah dengan Kode Penerimaan 423755 (Pendapatan

Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);

22. Menghukum Terlapor XIV: PT Nubika Jaya untuk membayar

denda sebesar Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) yang

harus disetorkan ke Kas Negara sebagai Setoran Pendapatan

Denda Pelanggaran di bidang Persaingan Usaha Satuan Kerja

Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui Bank Pemerintah

dengan Kode Penerimaan 423755 (Pendapatan Denda

Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);

23. Menghukum Terlapor XV: PT Smart, Tbk untuk membayar

denda sebesar Rp. 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar

rupiah) yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai Setoran

Pendapatan Denda Pelanggaran di bidang Persaingan Usaha

Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui Bank

Pemerintah dengan Kode Penerimaan 423755 (Pendapatan

Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);

24. Menghukum Terlapor XVI: PT Salim Ivomas Pratama untuk

membayar denda sebesar Rp. 25.000.000.000,00 (dua puluh lima

miliar rupiah) yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai

Setoran Pendapatan Denda Pelanggaran di bidang Persaingan

Usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui

Bank Pemerintah dengan Kode Penerimaan 423755 (Pendapatan

Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);

25. Menghukum Terlapor XVII: PT Bina Karya Prima untuk

membayar denda sebesar Rp. 25.000.000.000,00 (dua puluh lima

miliar rupiah) yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai

Setoran Pendapatan Denda Pelanggaran di bidang Persaingan

Usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui

Bank Pemerintah dengan Kode Penerimaan 423755 (Pendapatan

Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);

26. Menghukum Terlapor XVIII: PT Tunas Baru Lampung, Tbk

untuk membayar denda sebesar Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh

miliar rupiah) yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai

Setoran Pendapatan Denda Pelanggaran di bidang Persaingan

Usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui

Bank Pemerintah dengan Kode Penerimaan 423755 (Pendapatan

Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);

27. Menghukum Terlapor XIX: PT Berlian Eka Sakti Tangguh untuk

membayar denda sebesar Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar

rupiah) yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai Setoran

Pendapatan Denda Pelanggaran di bidang Persaingan Usaha

Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui Bank

Pemerintah dengan Kode Penerimaan 423755 (Pendapatan

Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 132: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

118

Universitas Indonesia

28. Menghukum Terlapor XX: PT Pacific Palmindo Industri untuk

membayar denda sebesar Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar

rupiah) yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai Setoran

Pendapatan Denda Pelanggaran di bidang Persaingan Usaha

Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui Bank

Pemerintah dengan Kode Penerimaan 423755 (Pendapatan

Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);

29. Menghukum Terlapor XXI: PT Asian Agro Agung Jaya untuk

membayar denda sebesar Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar

rupiah) yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai Setoran

Pendapatan Denda Pelanggaran di bidang Persaingan Usaha

Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui Bank

Pemerintah dengan Kode Penerimaan 423755 (Pendapatan

Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha).

4.1.2 Perkara Penetapan Harga Fuel Surcharge Dalam Industri Jasa

Penerbangan Domestik246

a. Kasus Posisi

Setelah menerima Hasil Monitoring dugaan pelanggaran

Pasal 5 dan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

mengenai pemberlakuan Fuel Surcharge yang dilakukan Pelaku

Usaha di bidang industri maskapai penerbangan, maka Komisi

Pengawas Persaingan Usaha menindaklanjuti hasil monitoring ke

tahap Pemeriksaan Pendahuluan. Berdasarkan Surat Penetapan

Nomor 118/KPPU/PEN/IX/2009 tentang Pemeriksaan

Pendahuluan Perkara Inisiatif Nomor 25/KPPU-I/2009 menetapkan

untuk dilakukan Pemeriksaan Pendahuluan terhitung sejak tanggal

28 September 2009 sampai dengan tanggal 6 November 2009.

Pada awal tahun 2006, maskapai penerbangan

mempertimbangkan perlunya biaya kompensasi terhadap kenaikan

avtur yang sangat signifikan. Pada saat itu, Indonesia National Air

Association (INACA) mengusulkan kepada Pemerintah agar Fuel

Surcharge menjadi komponen tarif maskapai penerbangan dan

penetapannya seharusnya dilakukan oleh pemerintah dengan

membahas angka besarannya dengan industri maskapai

246

Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Putusan Perkara Nomor: 25/KPPU-I/2009.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 133: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

119

Universitas Indonesia

penerbangan. Namun, pada kenyataannya kemudian INACA

menetapkannya sendiri. Oleh sebab itu, KPPU berinisiatif untuk

memonitoring tindakan INACA tersebut serta memberikan

berbagai masukan.

Hasilnya, setelah INACA membatalkan penetapan besaran

Fuel Surcharge, INACA menyerahkannya kepada maskapai

penerbangan. Akibat dari kondisi ini, penetapan harga avtur saat ini

dilakukan melalui mekanisme pasar.

Sesungguhnya kasus ini pertama kali dimonitor oleh KPPU

sejak awal Juli 2009. Kesimpulan awal KPPU menyatakan Fuel

Surcharge ini memang disengaja ditetapkan secara bersama-sama

oleh perusahaan maskapai penerbangan yaitu: PT Garuda

Indonesia (Persero); PT Sriwijaya Air; PT Merpati Nusantara

Airlines (Persero); PT Mandala Airlines; PT Riau Airlines; PT

Travel Express Aviation Services; PT Lion Mentari Airlines; PT

Wings Abadi Airlines; PT Metro Batavia; PT Kartika Airlines; PT

Linus Airways; PT Trigana Air Services dan PT Indonesia Air

Asia.

Dari penelusuran penetapan Fuel Surcharge, KPPU melihat

berlangsungnya penetapan harga Fuel Surcharge yang terus

menerus, terdapat indikasi memiliki fungsi lain. KPPU melihat

potensi penetapan Fuel Surcharge ini merugikan konsumen. Selain

untuk menutupi biaya yang muncul sebagai akibat kenaikan harga

avtur, dananya diduga digunakan untuk menutupi biaya lain.

Dugaan lainnya, termasuk untuk mendongkrak pendapatan para

maskapai penerbangan.

Selain konsumen, agen perjalanan yang menjual tiket

karena tarif Fuel Surcharge mengurangi komisi yang seharusnya

menjadi hak biro perjalanan. Oleh sebab itu, KPPU berupaya untuk

melakukan beberapa tindakan diantaranya penegakan hukum

apabila terbukti telah terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999. Selain itu, KPPU juga akan memberikan

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 134: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

120

Universitas Indonesia

saran dan pertimbangan kepada pemerintah agar turut serta dalam

pengaturan Fuel Surcharge.

Dari hasil pemantauan KPPU, harga Fuel Surcharge juga

terus naik, dengan presentase kenaikannya tidak sebanding dengan

presentase kenaikan harga avtur. Maskapai menetapkan besaran

Fuel Surcharge dengan melakukan perhitungan sendiri dan tidak

berlandaskan pada perhitungan yang akurat. Pemerintah kemudian

melakukan koordinasi untuk memberikan formula perhitungan

besaran Fuel Surcharge tersebut.

Fuel Surcharge merupakan sebuah komponen tarif baru

dalam maskapai penerbangan yang ditujukan untuk menutup biaya

yang diakibatkan oleh kenaikan harga avtur yang signifikan

sebagai imbas dari kenaikan harga minyak dunia. Fenomena

pemberlakuan Fuel Surcharge dalam industri penerbangan

sesungguhnya merupakan sebuah fenomena yang juga berlaku di

beberapa belahan dunia. Hal ini bisa dipahami mengingat biaya

yang diakibatkan oleh kenaikan avtur sangat signifikan bagi

maskapai penerbangan.

Semua stake holder penerbangan telah bersepakat bahwa

implementasi Fuel Surcharge sebagai komponen tarif penerbangan

merupakan sebuah hal yang bisa “dipahami”, selama Fuel

Surcharge tersebut memang ditujukan untuk menutup kenaikan

biaya yang diakibatkan oleh kenaikan harga avtur semata.

Dalam perkembangan di Indonesia, Fuel Surcharge

memperlihatkan perkembangan yang cukup mencengangkan.

Dimulai dengan harga Rp 20.000/ liter pada Mei 2006 pada saat

harga avtur Rp 5.920/liter kemudian merangkak naik dan menjadi

Rp 160.000-480.000 pada saat harga avtur Rp 8.206/liter pada

bulan Desember 2008. Kenaikan 8-24 kali, adalah sebuah kenaikan

yang luar biasa besar, sementara pada saat yang sama kenaikan

avtur tidak mencapai 2 kali lipatnya. Berikut adalah data harga

avtur dari tahun 2000-2008:

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 135: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

121

Universitas Indonesia

Tabel 4.1. Harga Avtur Penerbangan Domestik Dalam Rupiah

(Termasuk PPn 10%) Tahun 2000-2008247

Jenis

Tahun

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des

2000 1320 1485 1575 1620 1700 1700 2000 2200 2430 2800 2800 2800

2001 2400 2200 2300 2300 2500 2700 2700 2600 2100 2300 2100 1900

2002 1800 1900 1800 1900 1800 1960 2020 2020 1826 1903 2013 2233

2003 2167 2332 2563 1969 1969 1892 1826 1892 2145 2090 2167 2310

2004 2409 2519 2409 2574 2574 3014 3047 3179 3542 3674 4070 3940

2005 3563 3471 3713 4494 4930 4630 4812 5137 5516 6327 6186 5397

2006 5460 5830 5667 5597 5920 6001 6434 6480 6584 6393 6011 5907

2007 6187 5720 5734 6010 6324 6310 6374 6667 6790 7074 7412 8762

2008 8846 8740 8740 9091 9957 11240 12081 12253

Sumber: www.dephub.go.id dan telah diolah kembali

Secara teori, pungutan Fuel Surcharge seharusnya bergerak

searah dengan harga avtur tetapi dalam prakteknya, pungutan Fuel

Surcharge yang dilakukan oleh perusahaan angkutan udara

berjadwal akhir-akhir ini semakin tinggi. Sepertinya Pemerintah

lepas kendali atas praktek pungutan tambahan tersebut sejak mulai

diberlakukan oleh Indonesia National Air Association (INACA)

bersama 10 perusahaan angkutan udara niaga berjadwal pada bulan

Mei 2006 dengan pungutan sebesar Rp. 20.000,- per tiket per rute

penerbangan. Kemudian nilai pungutan tersebut bertambah sejalan

dengan naiknya harga minyak mentah dunia. Berikut adalah tarif

Fuel Surcharge yang dibebankan kepada konsumen:

247

NN, “Harga Avtur 2008”, www.dephub.go.id, diunduh 24 November 2012.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 136: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

122

Universitas Indonesia

Tabel 4.2. Nilai Pungutan Fuel Surcharge248

No. Bulan Fuel Surcharge

1 Mei 2006 Rp. 20.000,-

2 Juni 2006 Rp. 20.000,-

3 Juli 2006 Rp. 20.000,-

4 Agustus 2006 Rp. 20.000,-

5 September 2006 Rp. 20.000,-

6 Oktober 2006 Rp. 40.000,-

7 November 2006 Rp. 40.000,-

8 Desember 2006 Rp. 40.000,-

9 Januari 2007 Rp. 40.000,-

10 Februari 2007 Rp. 40.000,-

11 Maret 2007 Rp. 40.000,-

12 April 2007 Rp. 40.000,-

13 Mei 2007 Rp. 40.000,-

14 Juni 2007 Rp. 40.000,-

15 Juli 2007 Rp. 40.000,-

16 Agustus 2007 Rp. 60.000,-

17 September 2007 Rp. 60.000,-

18 Oktober 2007 Rp. 80.000,-

19 November 2007 Rp. 100.000,-

20 Desember 2007 Rp. 145.000,-

Sumber: www.ylkb.com dan telah diolah kembali

Apabila dibandingkan dengan harga avtur, maka kenaikan

tarif Fuel Surcharge memang tidak seimbang. Bisa dilihat dari

harga avtur dari bulan November 2007 ke Desember 2007,

harganya naik dari Rp. 7.412,- menjadi Rp. 8.762,- sehingga

kenaikannya menjadi sekitar 20%. Sedangkan tarif Fuel Surcharge

dari November 2007 ke Desember 2007 harganya naik dari Rp.

248

NN, “Praktek Pungutan Fuel Surcharge merugikan Negara dan Konsumen Jasa

Angkutan Udara Niaga Berjadwal”, www.ylkb.com, diunduh 24 November 2012.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 137: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

123

Universitas Indonesia

100.000,- menjadi Rp. 145.000,- sehingga kenaikannya menjadi

sekitar 45%.

Memperhatikan hal tersebut, maka KPPU kemudian

memutuskan untuk melakukan kajian dan analisa terhadap

pemberlakuan Fuel Surcharge tersebut, dengan hipotesis sangat

dimungkinkan bahwa kenaikan yang sangat signifikan tersebut dan

menyebabkan tarif yang eksesif tersebut diakibatkan oleh perilaku

pelaku usaha yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999 atau karena kebijakan yang tidak tepat.

Terdapat perjanjian tertulis terkait dengan penetapan Fuel

Surcharge pada tanggal 4 Mei 2006 yang ditandatangani oleh

Ketua Dewan INACA, Sekretaris Jenderal INACA dan 9

(sembilan) perusahaan angkutan udara niaga yaitu PT Mandala

Airlines, PT Merpati Nusantara Airlines (Persero), PT Dirgantara

Air Service, PT Sriwijaya Air, PT Pelita Air Service, PT Lion

Mentari Air, PT Batavia Air, PT Indonesia Air Transport dan PT

Garuda Indonesia (Persero), yang menyepakati pelaksanaan Fuel

Surcharge mulai diterapkan pada tanggal 10 Mei 2006 dengan

besaran yang diberlakukan pada setiap penerbangan dikenakan

rata-rata Rp 20.000,- (dua puluh ribu rupiah) per penumpang.

Awalnya Fuel Surcharge dilakukan sebagai kesepakatan

Indonesian National Air Carrier Association (INACA), dengan

menentukan besaran sebesar Rp. 20.000/penumpang pada bulan

Mei 2006. Besaran ini dibuat dengan berpatokan pada harga avtur

rata-rata yang naik ke posisi Rp 5.600/liter sejak 1 Mei 2006,

sehingga komposisi bahan bakar dalam biaya meningkat menjadi

sekitar 40%. Dasar perhitungan lainnya yang digunakan adalah tipe

pesawat Boeing 737-400 dengan tingkat isian (Load Factor) 70%.

Salah satu asumsi juga disampaikan oleh Menteri Perhubungan

saat itu, Bapak Hatta Radjasa yang menyatakan bahwa Fuel

Surcharge diterapkan dengan memperhitungkan kenaikan harga

avtur sebesar 14% dari posisi awal Rp. 4.912. Melalui asumsi ini,

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 138: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

124

Universitas Indonesia

maka disampaikan bahwa Fuel Surcharge akan hilang dengan

sendirinya apabila harga avtur kembali ke posisi tersebut.249

Menteri Perhubungan memperbolehkan pemberlakuan Fuel

Surcharge asal diterapkan secara transparan dan dipisahkan dari

harga tiket.

Majelis Komisi berpendapat bahwa setidak-tidaknya

terdapat 9 (sembilan) Terlapor yaitu PT Garuda Indonesia

(Persero), PT Sriwijaya Air, PT Merpati Nusantara Airlines

(Persero), PT Mandala Airlines, PT Travel Express Aviation

Services, PT Lion Mentari Airlines, PT Wings Abadi Airlines, PT

Metro Batavia, dan PT Kartika Airlines yang menetapkan Fuel

Surcharge secara terkoordinasi (concerted actions) dalam zona

penerbangan 0 sampai dengan 1 jam, 1 sampai dengan 2 jam dan 2

sampai dengan 3 jam sebagaimana ditunjukkan dalam Grafik-

grafik di bawah ini:

Gambar 4.3. Pergerakan Fuel Surcharge 0 sampai dengan 1 Jam Sriwijaya,

Garuda, Mandala, Lion, Batavia, Kartika, Merpati dan Wings Air

Mei 2006 – Oktober 2009

249

Positioning Paper KPPU, Loc. Cit.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 139: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

125

Universitas Indonesia

Gambar 4.4. Pergerakan Fuel Surcharge 1 sampai dengan 2 Jam Sriwijaya,

Garuda Mandala, Lion, Batavia, Kartika, Merpati, Ekspress Air dan Wings

Air Mei 2006 – Oktober 2009

Gambar 4.5. Pergerakan Fuel Surcharge 2 sampai dengan 3 Jam Sriwijaya,

Garuda, Mandala, Lion, Batavia, Kartika, Merpati dan Wings Air

Mei 2006 – Oktober 2009

Majelis Komisi berpendapat adanya penetapan Fuel

Surcharge yang eksesif berdasarkan pertimbangan-pertimbangan

seperti melakukan perbandingan Fuel Surcharge aktual dengan

Fuel Surcharge acuan estimasi untuk PT Garuda Indonesia

(Persero), PT Sriwijaya Air, PT Merpati Nusantara Airlines

(Persero), PT Mandala Airlines, PT Travel Express Aviation

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 140: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

126

Universitas Indonesia

Services, PT Lion Mentari Airlines, PT Wings Abadi Airlines dan

PT Kartika Airlines untuk tahun 2006 sampai dengan 2009 pada

penerbangan 0 sampai dengan 1 jam dan 2 sampai dengan 3 jam.

Untuk penerbangan 1 sampai dengan 2 jam, Majelis Komisi

menambahkan PT Metro Batavia karena PT Metro Batavia hanya

melayani penerbangan antara 1 sampai dengan 2 jam. Fuel

Surcharge acuan estimasi dihitung berdasarkan acuan Fuel

Surcharge yang pertama kali diberlakukan pada bulan Mei 2006

yaitu sebesar Rp 20.000,- (dua puluh ribu rupiah) dengan tingkat

harga avtur sebesar Rp 5.921,- (lima ribu sembilan ratus dua puluh

satu rupiah). Dengan demikian Fuel Surcharge acuan estimasi

bergerak sesuai dengan fluktuasi harga avtur. Perbandingan antara

Fuel Surcharge aktual dengan Fuel Surcharge acuan estimasi

menunjukkan bahwa Fuel Surcharge yang diterapkan oleh para

Terlapor memiliki kecenderungan melampaui pergerakan Fuel

Surcharge acuan estimasi sebagaimana terlihat pada grafik berikut:

Gambar 4.6. Perbandingan Fuel Surcharge Aktual v.s Fuel Surcharge Acuan

Estimasi Mei 2006 sampai dengan Oktober 2009

(Penerbangan 0 sampai dengan 1 jam)

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 141: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

127

Universitas Indonesia

Gambar 4.7. Perbandingan Fuel Surcharge Aktual v.s Fuel Surcharge Acuan

Estimasi Mei 2006 sampai dengan Oktober 2009

(Penerbangan 1 sampai dengan 2 jam)

Gambar 4.8. Perbandingan Fuel Surcharge Aktual v.s Fuel Surcharge Acuan

Estimasi Mei 2006 sampai dengan Oktober 2009

(Penerbangan 2 sampai dengan 3 jam)

Selain melakukan perbandingan antara Fuel Surcharge

aktual dengan Fuel Surcharge acuan estimasi, Majelis Komisi juga

melakukan perbandingan antara Fuel Surcharge aktual dengan

Fuel Surcharge acuan Departemen Perhubungan (Dephub) untuk

PT Garuda Indonesia (Persero), PT Sriwijaya Air, PT Merpati

Nusantara Airlines (Persero), PT Mandala Airlines, PT Travel

Express Aviation Services, PT Lion Mentari Airlines, PT Wings

Abadi Airlines dan PT Kartika Airlines untuk tahun 2008 s/d 2009

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 142: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

128

Universitas Indonesia

pada penerbangan 0 sampai dengan 1 jam dan 2 sampai dengan 3

jam. Untuk penerbangan 1 sampai dengan 2 jam, Majelis Komisi

menambahkan PT Metro Batavia karena PT Metro Batavia hanya

melayani penerbangan antara 1 sampai dengan 2 jam perbandingan

antara Fuel Surcharge aktual dengan Fuel Surcharge acuan

Dephub juga menunjukkan bahwa Fuel Surcharge yang diterapkan

oleh para Terlapor memiliki kecenderungan melampaui pergerakan

Fuel Surcharge acuan Dephub sebagaimana terlihat pada grafik

berikut:

Gambar 4.9. Perbandingan Fuel Surcharge Aktual v.s Fuel Surcharge Acuan

Dephub Maret 2008 sampai dengan Oktober 2009

(Penerbangan 0 sampai dengan 1 jam)

Gambar 4.10. Perbandingan Fuel Surcharge Aktual v.s Fuel Surcharge

Acuan Dephub Maret 2008 sampai dengan Oktober 2009

(Penerbangan 1 sampai dengan 2 jam)

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 143: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

129

Universitas Indonesia

Gambar 4.11. Perbandingan Fuel Surcharge Aktual v.s Fuel Surcharge

Acuan Dephub Maret 2008 sampai dengan Oktober 2009

(Penerbangan 2 sampai dengan 3 jam)

Berdasarkan grafik-grafik perbandingan antara Fuel

Surcharge aktual dengan Fuel Surcharge estimasi di atas, Majelis

Komisi menemukan adanya excessive pricing yang dilakukan PT

Garuda Indonesia (Persero), PT Sriwijaya Air, PT Merpati

Nusantara Airlines (Persero), PT Mandala Airlines, PT Travel

Express Aviation Services, PT Lion Mentari Airlines, PT Wings

Abadi Airlines dan PT Kartika Airlines untuk tahun 2008 sampai

dengan 2009 pada penerbangan 0 sampai dengan 1 jam dan 2

sampai dengan 3 jam.

Penetapan Fuel Surcharge oleh INACA kemudian

mendapatkan penentangan, termasuk dari KPPU karena dianggap

merupakan bentuk nyata dari kartel. Menyikapi hal ini maka

kemudian INACA menyatakan keputusan menetapkan besaran

Fuel Surcharge dibatalkan dan besaran Fuel Surcharge diserahkan

sepenuhnya kepada mekanisme pasar oleh setiap maskapai

penerbangan.250

Berdasarkan Notulen Rapat No. 9100/57/V/2006, INACA

mengadakan Rapat Anggota dan Pengurus INACA pada tanggal 30

Mei 2006 yang pada intinya menyimpulkan penerapan dan besaran

250

Ibid.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 144: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

130

Universitas Indonesia

Fuel Surcharge diserahkan kembali kepada masing-masing

perusahaan penerbangan nasional Anggota INACA. Namun

meskipun sejak 30 Mei 2006, tidak ada kesepakatan tertulis di

antara para Terlapor dalam menetapkan Fuel Surcharge, namun

berdasarkan analisis pergerakan Fuel Surcharge, baik analisis

grafik, tabel, uji korelasi dan uji varians, menunjukkan adanya

trend yang sama korelasi positif dan variasi yang sama di antara

para Terlapor dalam menetapkan besaran Fuel Surcharge untuk

periode Mei 2006 sampai dengan Maret 2008 untuk zona waktu 0

sampai dengan 1 jam, 1 sampai dengan 2 jam dan 2 sampai dengan

3 jam. Oleh karena formula perhitungan Fuel Surcharge, asumsi

harga avtur, asumsi konsumsi avtur dan asumsi load factor yang

dibuat oleh masing-masing Terlapor berbeda-beda, Tim Pemeriksa

menilai seharusnya Fuel Surcharge yang ditetapkan oleh masing-

masing Terlapor juga berbeda-beda.

Dari adanya Fuel Surcharge ini terdapat excessive Fuel

Surcharge (FS) yang dinikmati oleh 9 (sembilan) Terlapor sejak

tahun 2006 sampai dengan 2009 yang merupakan kerugian atau

kehilangan kesejahteraan (welfare losses) dari konsumen antara Rp

5 Triliun sampai dengan Rp 13,8 Triliun. Adanya dampak terhadap

kerugian konsumen setidak-tidaknya sebesar Rp

5,081,739,669,158 (Lima Triliun Delapan Puluh Satu Miliar Tujuh

Ratus Tiga Puluh Sembilan Juta Enam Ratus Enam Puluh

Sembilan Ribu Seratus Lima Puluh Delapan Rupiah) sampai

dengan Rp 13,843,165,835,099 (Tiga Belas Triliun Delapan Ratus

Empat Puluh Tiga Miliar Seratus Enam Puluh Lima Juta Delapan

Ratus Tiga Puluh Lima Ribu Sembilan Puluh Sembilan Rupiah)

selama periode 2006 sampai dengan 2009.

b. Pembuktian yang digunakan KPPU

Dalam kasus kartel biaya tambahan atau Fuel Surcharge,

metode pembuktian yang digunakan oleh KPPU dalam kasus

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 145: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

131

Universitas Indonesia

tersebut adalah menggunakan metode pembuktian langsung (direct

evidence) dan metode pembuktian tidak langsung (indirect

evidence). Dalam prakteknya, KPPU memang diberikan

kewenangan yang luas untuk menggunakan berbagai macam

metode pembuktian yang ada untuk melakukan pembuktian

terhadap suatu kasus, tergantung pada kasus tersebut.

Untuk metode pembuktian langsung (direct evidence),

terdapat alasan yang kuat mengapa KPPU menggunakan metode

pembuktian tersebut, hal ini dapat dilihat dari ditemukannya

dokumen tertulis berupa persetujuan pelaksanaan Fuel Surcharge

yang ditandatangani oleh Ketua Dewan INACA, Sekretaris

Jenderal INACA, dan 9 (sembilan) perusahaan penerbangan

nasional anggota INACA (Berita Acara No. 9100/53/V/2006

tanggal 4 Mei 2006). Hal-hal yang disetujui dalam persetujuan

tersebut adalah kenaikan harga avtur yang berakibat pada

peningkatan biaya produksi yang cukup tajam, Surat Dirjen

Perhubungan Udara kepada Sekretariat Jenderal INACA tentang

penerapan Fuel Surcharge atas kenaikan harga avtur, IATA sudah

lama menerapkan Fuel Surcharge pada harga avtur untuk

penerbangan internasional dan Fuel Surcharge tidak diterapkan

pada penerbangan perintis, besarnya biaya Fuel Surcharge Rp.

20.000/penumpang, dilaksanakan oleh operator penerbangan dan

tidak dimasukkan dalam komponen harga tiket, dan terakhir

pengenaan Fuel Surcharge berdasarkan pada flight coupon/flight

number.

Meskipun ada kesepakatan membatalkan perjanjian sejak

tanggal 30 Mei 2006 dengan Notulen Rapat INACA No.

9100/57/V/2006 yaang kesimpulannya penerapan dan besaran Fuel

Surcharge diserahkan kembali pada masing-masing perusahaan

penerbangan nasional Anggota INACA, namun perjanjian tersebut

tetap dilaksanakan oleh masing-masing maskapai penerbangan.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 146: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

132

Universitas Indonesia

Dalam putusannya ini, karena formula perhitungan Fuel

Surcharge asumsi harga avtur, asumsi konsumsi avtur dan asumsi

load factor yang dibuat oleh masing-masing Terlapor berbeda-

beda, Tim Pemeriksa menilai seharusnya Fuel Surcharge yang

ditetapkan oleh masing-masing Terlapor juga berbeda-beda.

Tim pemeriksa menilai terdapat trend yang sama atas

pergerakan Fuel Surcharge di antara para Terlapor untuk masing-

masing zona waktu penerbangan. Selain melakukan analisis

terhadap grafik pergerakan Fuel Surcharge, tabel prosentase

pergerakan Fuel Surcharge di atas, Tim Pemeriksa juga melakukan

uji korelasi terhadap pergerakan Fuel Surcharge diantara para

Terlapor tersebut.

Tools yang digunakan dalam melakukan analisis tersebut

adalah uji Korelasi dan Uji Varians Barlette dan Levene Test. Uji

korelasi bertujuan untuk menguji hubungan antara dua variabel

yang tidak menunjukkan hubungan fungsional. Korelasi dinyatakan

dalam % (persentase) keeratan hubungan antara variabel yang

dinamakan dengan koefisien korelasi, yang menunjukkan derajat

keeratan hubungan antara dua variabel dan arah hubungannya (+

atau -). Dimana jika nilai r>0 artinya telah terjadi hubungan yang

linear positif, dan jika nilai variabel r<0 artinya telah terjadi

hubungan yang linear negatif, yang makin besar nilai variabel x

makin kecil nilai variabel y dan sebaliknya. Semakin tinggi nilai r,

berarti korelasinya semakin tinggi.

Uji Varians Bartletts Test (Snedcor and Cochran, 1983)

digunakan untuk menguji apakah sample memiliki varians yang

setara. Varians yang setara diantara sample disebut dengan

Homogenity of Variances. Bartletts test dapat juga digunakan untuk

menguji apakah varians diantara kelompok samples setara atau

tidak. Variasi harga dikatakan homogen bila hasil nilai uji (P-

Value) lebih besar dari nilai 0,05.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 147: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

133

Universitas Indonesia

Levene Test memiliki tujuan yang sama dengan Bartletts

namun Levene Test cenderung lebih tidak sensitif terhadap data

yang menjauhi Normal.

Meskipun sejak 30 Mei 2006, tidak ada kesepakatan tertulis

diantara para Terlapor dalam menetapkan Fuel Surcharge, namun

berdasarkan analisis pergerakan Fuel Surcharge, baik analisis

grafik, tabel, uji korelasi dan uji varians, menunjukkan adanya

trend yang sama di antara para Terlapor dalam menetapkan besaran

Fuel Surcharge untuk periode Mei 2006 sampai dengan Maret

2008 untuk zona waktu tempuh 0 sampai dengan 1 jam, 1 sampai

dengan 2 jam dan 2 sampai dengan 3 jam.

Dalam putusan tersebut dapat dilihat KPPU menggunakan

economic evidence untuk membuktikan penetapan harga yang

dilakukan oleh para Terlapor, dimana dalam hal ini KPPU

berpedoman pada The OECD Global Forum on Competition,

Policy Roundtables, Prosecuting Cartels Without Direct Evidence,

2006. Seperti yang dikemukakan oleh KPPU dalam putusan

terhadap Perkara Nomor 24/KPPU-I/2009 tentang Kartel Minyak

Goreng, mengenai indirect evidence.

Dalam hal membuktikan penetapan harga Fuel Surcharge

oleh maskapai-maskapai penerbangan domestik Indonesia,

memang diakui pernah terjadi kesepakatan antar anggota INACA

untuk menetapkan besarnya Fuel Surcharge, namun perjanjian

tersebut telah dibatalkan dan para maskapai diberi wewenang untuk

menetapkan sendiri besarnya Fuel Surcharge. Maka KPPU

menggunakan economic evidence untuk melakukan pembuktian

dimana tidak ditemukannya suatu perjanjian diantara para pelaku

usaha tersebut.

Sebagaimana diketahui bahwa tujuan dari pembuktian itu

sendiri adalah untuk memperoleh kebenaran terhadap suatu

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 148: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

134

Universitas Indonesia

peristiwa.251

Jadi dalam hal ini KPPU, dalam kasus penetapan

harga Fuel Surcharge, mencoba untuk mendasarkan pada alat-alat

bukti sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999, dimana bukti yang digunakan adalah economic evidence

yang termasuk bukti petunjuk.

Namun perlu diingat bahwa perjanjian penetapan harga

biasanya adalah perjanjian terselubung (tacit agreement) dan

sangatlah sulit untuk dideteksi. Maka dalam hal melakukan

pembuktian penetapan harga dibutuhkan naluri ekonomi yang baik

guna menciptakan penegakan hukum yang paling kondusif.

Dalam hal meneliti suatu perjanjian penetapan harga, maka

dibutuhkan suatu batasan/ukuran yang digunakan untuk

menganalisis perjanjian yang mendukung persaingan atau bahkan

anti persaingan ataupun seimbang diantara keduanya,

batasan/ukuran analisis perjanjian penetapan harga tersebut antara

lain:252

a. Berkenaan dengan pengekangan atau pengendalian

tersebut sifatnya akan membatasi dan menetapkan

harga;

b. Berkenaan dengan pengekangan atau pengendalian

tersebut sebenarnya atau ternyata berhubungan dengan

integrasi dari sumber-sumber ekonomi yang pro

persaingan;

c. Berkenaan dengan pengekangan atau pengendalian

tersebut membatasi produksi dan menaikkan harga atau

sebaliknya menciptakan atau memfasilitasi berjalannya

kegiatan pasar;

d. Berkenaan dengan pembatasan atau pengendalian

tersebut perlu untuk mencapai tujuan-tujuan untuk

menciptakan persaingan;

e. Berkenaan dengan pembatasan atau pengendalian

tersebut lebih menguntungkan persaingan daripada

resiko anti persaingan.

251

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit

Liberty, 1998), hlm. 106. 252

Erman Radjagukguk, Peranan Hukum di Indonesia: Menjaga Persatuan Bangsa

Memulihkan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial, (Jakarta: Pidato Dies Natalis 50

Tahun Universitas Indonesia, 2000), hlm. 9.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 149: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

135

Universitas Indonesia

c. Putusan Perkara

1. Menyatakan bahwa Terlapor I, PT Garuda Indonesia (Persero);

Terlapor II, PT Sriwijaya Air; Terlapor III, PT Merpati Nusantara

Airlines (Persero); Terlapor IV, PT Mandala Airlines; Terlapor VI,

PT Travel Express Aviation Service; Terlapor VII, PT Lion

Mentari Airlines; Terlapor VIII, PT Wing Abadi Airlines; Terlapor

IX, PT Metro Batavia; Terlapor X, PT Kartika Airlines terbukti

secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5 UU No. 5 Tahun

1999; 2. Menyatakan bahwa Terlapor V, PT Riau Airlines; Terlapor XI, PT

Linus Airways; Terlapor XII, PT Trigana Air Service; dan Terlapor

XIII, PT Indonesia AirAsia tidak terbukti melanggar Pasal 5 UU

No. 5 Tahun 1999;

3. Menyatakan bahwa Terlapor I, PT Garuda Indonesia (Persero);

Terlapor II, PT Sriwijaya Air; Terlapor III, PT Merpati Nusantara

Airlines (Persero); Terlapor IV, PT Mandala Airlines; Terlapor V,

PT Riau Airlines; Terlapor VI, PT Travel Express Aviation

Services; Terlapor VII, PT Lion Mentari Airlines,; Terlapor VIII,

PT Wings Abadi Airlines; Terlapor IX, PT Metro Batavia;

Terlapor X, PT Kartika Airlines; Terlapor XI, PT Linus Airways;

Terlapor XII, PT Trigana Air Service; dan Terlapor XIII, PT

Indonesia AirAsia tidak terbukti melanggar Pasal 21 UU No. 5

Tahun 1999;

4. Menetapkan adanya kerugian masyarakat setidak-tidaknya sebesar

Rp 5.081.739.669.158,- (lima triliun delapan puluh satu miliar

tujuh ratus tiga puluh sembilan juta enam ratus enam puluh

sembilan ribu seratus lima puluh delapan rupiah) sampai dengan

Rp 13.843.165.835.099,- (tiga belas triliun delapan ratus empat

puluh tiga miliar seratus enam puluh lima juta delapan ratus tiga

puluh lima ribu sembilan puluh sembilan rupiah) selama periode

2006 s/d 2009;

5. Memerintahkan pembatalan perjanjian penetapan fuel surcharge

baik secara tertulis maupun tidak tertulis yang dilakukan oleh

Terlapor I, PT Garuda Indonesia (Persero); Terlapor II, PT

Sriwijaya Air; Terlapor III, PT Merpati Nusantara Airlines

(Persero); Terlapor IV, PT Mandala Airlines; Terlapor VI, PT

Travel Express Aviation Services; Terlapor VII, PT Lion Mentari

Airlines; Terlapor VIII, PT Wings Abadi Airlines; Terlapor IX, PT

Metro Batavia; dan Terlapor X, PT Kartika Airlines;

6. Menghukum Terlapor I, PT Garuda Indonesia (Persero) membayar

denda sebesar Rp. 25.000.000.000,- (duapuluh lima milyar rupiah)

yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan

denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja

Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah

dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran

di Bidang Persaingan Usaha);

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 150: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

136

Universitas Indonesia

7. Menghukum Terlapor II, PT Sriwijaya Air membayar denda

sebesar Rp. 9.000.000.000,- (sembilan milyar rupiah) yang harus

disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda

pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi

Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode

penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang

Persaingan Usaha);

8. Menghukum Terlapor III, PT Merpati Nusantara Airlines (Persero)

membayar denda sebesar Rp. 8.000.000.000,- (delapan milyar

rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran

pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan

Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank

Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda

Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);

9. Menghukum Terlapor IV, PT Mandala Airlines membayar denda

sebesar Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) yang harus

disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda

pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi

Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode

penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang

Persaingan Usaha);

10. Menghukum Terlapor VI, PT Travel Express Aviation Service

membayar denda sebesar Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah)

yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan

denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja

Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah

dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran

di Bidang Persaingan Usaha);

11. Menghukum Terlapor VII, PT Lion Mentari Airlines membayar

denda sebesar Rp. 17.000.000.000,- (tujuhbelas milyar rupiah)

yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan

denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja

Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah

dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran

di Bidang Persaingan Usaha);

12. Menghukum Terlapor VIII, PT Wings Abadi Airlines membayar

denda sebesar Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) yang harus

disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda

pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi

Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode

penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang

Persaingan Usaha);

13. Menghukum Terlapor IX, PT Metro Batavia membayar denda

sebesar Rp. 9.000.000.000,- (sembilan milyar rupiah) yang harus

disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda

pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi

Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 151: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

137

Universitas Indonesia

penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang

Persaingan Usaha);

14. Menghukum Terlapor X, PT Kartika Airlines membayar denda

sebesar Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) yang harus disetor

ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di

bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas

Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode

penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang

Persaingan Usaha);

15. Menghukum Terlapor I, PT Garuda Indonesia (Persero) membayar

ganti rugi sebesar Rp. 162.000.000.000,- (seratus enam puluh dua

milyar rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran

pendapatan ganti rugi pelanggaran di bidang persaingan usaha

Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank

Pemerintah dengan kode penerimaan 423755;

16. Menghukum Terlapor II, PT Sriwijaya Air membayar ganti rugi

sebesar Rp. 60.000.000.000,- (enam puluh milyar rupiah) yang

harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan ganti rugi

pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi

Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode

penerimaan 423755;

17. Menghukum Terlapor III, PT Merpati Nusantara Airlines (Persero)

membayar ganti rugi sebesar Rp. 53.000.000.000,- (lima puluh tiga

milyar rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran

pendapatan ganti rugi pelanggaran di bidang persaingan usaha

Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank

Pemerintah dengan kode penerimaan 423755;

18. Menghukum Terlapor IV, PT Mandala Airlines membayar ganti

rugi sebesar Rp. 31.000.000.000,- (tiga puluh satu milyar rupiah)

yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan ganti

rugi pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi

Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode

penerimaan 423755;

19. Menghukum Terlapor VI, PT Travel Express Aviation Service

membayar ganti rugi sebesar Rp.1.900.000.000,- (satu miliar

sembilan ratus juta rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara

sebagai setoran pendapatan ganti rugi pelanggaran di bidang

persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan

Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755;

20. Menghukum Terlapor VII, PT Lion Mentari Airlines membayar

ganti rugi sebesar Rp. 107.000.000.000,- (seratus tujuh milyar

rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran

pendapatan ganti rugi pelanggaran di bidang persaingan usaha

Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank

Pemerintah dengan kode penerimaan 423755;

21. Menghukum Terlapor VIII, PT Wings Abadi Airlines membayar

ganti rugi sebesar Rp. 32.500.000.000,- (tiga puluh dua milyar lima

ratus juta rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 152: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

138

Universitas Indonesia

pendapatan ganti rugi pelanggaran di bidang persaingan usaha

Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank

Pemerintah dengan kode penerimaan 423755;

22. Menghukum Terlapor IX, PT Metro Batavia membayar ganti rugi

sebesar Rp. 56.000.000.000,- (lima puluh enam milyar rupiah)

yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan ganti

rugi pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi

Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode

penerimaan 423755;

23. Menghukum Terlapor X, PT Kartika Airlines membayar ganti rugi

sebesar Rp 1.600.000.000,- (satu miliar enam ratus juta rupiah)

yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan ganti

rugi pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi

Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode

penerimaan 423755;

4.1.3 Perkara Penetapan Harga dan Kartel dalam Industri Semen253

a. Kasus Posisi

Setelah menerima Hasil Monitoring Dugaan Kartel yang

dilakukan Pelaku Usaha di bidang industri semen, maka Komisi

Pengawas Persaingan Usaha menindaklanjuti hasil monitoring ke

tahap Pemeriksaan Pendahuluan. Berdasarkan Surat Penetapan

Nomor 05/KPPU/PEN/I/2010 tentang Pemeriksaan Pendahuluan

Perkara Inisiatif Nomor 01/KPPU-I/2010 menetapkan untuk

dilakukan Pemeriksaan Pendahuluan terhitung sejak tanggal 14

Januari 2010 sampai dengan tanggal 24 Februari 2010. Setelah itu

Tim Pemeriksa membuat Laporan Hasil Pemeriksaan Lanjutan

yang memuat fakta-fakta yang dilakukan oleh 8 Pelaku Usaha atas

dugaan pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat yaitu: PT Indocement Tunggal Prakarsa, Tbk;

PT Holcim Indonesia, Tbk; PT Semen Baturaja (Persero); PT

Semen Gresik (Persero) Tbk; PT Semen Andalas Indonesia; PT

Semen Tonasa; PT Semen Padang dan PT Semen Bosowa Maros.

Semenjak krisis moneter pada akhir 1990-an menyebabkan

industri semen nasional saat itu dan harga saham perusahaan semen

253

Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Putusan Perkara Nomor: 01/KPPU-I/2010.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 153: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

139

Universitas Indonesia

di pasaran juga jatuh. Dengan adanya penurunan harga saham,

otomatis perusahaan-perusahaan semen menjadi undervalue

sehingga pada saat itu banyak penanaman modal asing masuk dan

mengambil alih saham perusahaan semen nasional. Saat ini,

pengusaan pasar industri semen juga ikut terpengaruh oleh para

penanam modal asing tersebut.

Permasalahan berlanjut, pada akhir tahun 2008 harga semen

sekitar Rp 38.500 per sak, pada saat itu, harga batu bara berada di

kisaran USD 150 per ton. Namun, yang menjadi pertanyaan, ketika

harga batu turun sampai pada harga USD 60 per ton, harga semen

tidak ikut turun, justru harga semen terus mengalami kenaikan dan

bahkan menembus angka Rp 50.000 lebih per sak. Mahalnya harga

semen di tanah air mengakibatkan terjadinya peningkatan terhadap

harga konstruksi bangunan yang pada akhirnya sudah tentu akan

merugikan konsumen individual, sehingga kemudian hal ini

membuat pelaku usaha sektor property dalam hal ini Real Estate

Indonesia (REI) serta Kamar Dagang dan Industri (Kadin) meminta

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk menyelidiki

dugaan persaingan tidak sehat dalam industri semen nasional.

Terus naiknya harga semen juga diduga karena dominasi

beberapa produsen semen nasional. Diantara 9 pabrik di Indonesia,

pangsa pasar dalam negeri hanya dikuasai oleh tiga pabrik, yakni

Semen Padang dan Gresik (43%), Semen Tiga Roda (31,7%), dan

Holcim (14,1%). Dengan adanya dominasi dari beberapa

perusahaan semen tersebut, dicurigai pula adanya penguasaan

pasar yang disalahgunakan serta adanya perjanjian kartel antar

pelaku usaha tersebut. 254

Ada beberapa hal yang dijadikan alasan adanya dugaan

kartel dalam industri semen nasional. Pertama, tidak adanya

disparitas harga antar satu produsen dan produsen lainnya atau

adanya keseragaman harga. Kedua, lonjakan harga yang tinggi,

254

“Kartel Semen”. Investor Daily Indonesia: 2 Desember 2009.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 154: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

140

Universitas Indonesia

khususnya pada bulai Mei sampai dengan Desember 2008. Ketiga,

perbandingan harga semen dalam negeri dengan negara tetangga.

Berdasarkan data KPPU, harga semen di beberapa negara ASEAN

selama 2007 lebih rendah dari harga semen di Indonesia. Harga

semen di Malaysia USD 62 per ton, Vietnam USD 57,75 per ton,

dan Thailand USD 67,87 per ton. Sementara itu, harga semen di

Indonesia berkisar USD 83,80 per ton.

Dalam kasus laporan adanya dugaan praktek persaingan

usaha tidak sehat industri nasional, terdapat beberapa indikasi yang

dapat menunjukan adanya hal tersebut. Pertama, berdasarkan data

Asosiasi Semen Indonesia (ASI), pada 2008, tiga produsen besar

semen menguasai 89,6% pasar semen, yakni Grup Semen Gresik

sebesar 43,8%, indocement 31,7%, dan Holcim Indonesia 14,1%.

Dalam keadaan suatu pasar seperti itu, maka banyak kemungkinan

yang dapat terjadi dan yang juga telah diatur dalam undang-

undang. Kemungkinan tersebut dapat berupa adanya oligopoli,

kartel, penyalahgunaan posisi dominan dan penguasaan pasar.

Pada suatu struktur pasar yang cenderung oligopoli seperti

pada insdustri semen nasional, terdapat larangan yang bersifat rule

of reason. Pada pasar yang berstruktur oligopoli ini ada juga

kecenderungan pelaku usaha yang ada di dalam struktur pasar

tersebut membentuk kartel. Suatu kartel juga tidak akan berjalan

secara efektif apabila tidak dibarengi dengan adanya penguasaan

pasar.

Selain kartel, dalam kondisi pasar yang memiliki keadaan

seperti kasus industri semen Indonesia, terdapat kemungkinan

terjadinya pengusaan pasar secara dominan. Penguasaan pasar

secara dominan diatur secara rule of reason pada pasal 19 Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999. Pasar industri semen yang pangsa

pasarnnya dikuasai oleh tiga pelaku usaha yakni Grup Semen

Gresik sebesar 43,8%, indocement 31,7%, dan Holcim Indonesia

14,1% dapat dikatakan memiliki posisi dominan jika dibandingkan

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 155: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

141

Universitas Indonesia

dengan sisa pangsa pasar yang ada jika dibagi kepada sisa pelaku

usaha dalam industri semen tersebut. Namun dalam Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999, selama para pelaku usaha tersebut

tidak menyalahgunakan posisi dominannya, maka hal tersebut

tidak dilarang oleh undang-undang. Hal-hal yang mungkin terjadi

dalam struktur pasar industri semen ini adalah adanya penetapan

harga, besarnya hasil produksi serta pemasaran. Apabila

berdasarkan hal di atas, maka industri semen dapat diduga telah

berada pada kondisi yang rentan terjadinya pelanggaran terhadap

ketentuan yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun

1999. Laporan yang diserahkan oleh REI dan Kadin dianggap

cukup berdasar karena dengan adanya suatu penguasaan pasar yang

besar, maka semakin besar pula kemungkinan untuk bekerja sama

demi meraup keuntungan yang sebesar-besarnya.

Dugaan terjadinya praktek anti persaingan yang diduga

dilakukan oleh perusahaan-perusahaan semen tersebut juga

dikuatkan dengan indikasi kedua, yaitu dimana dilihat dari

mekanisme pasar (supply and demand). Jika permintaannya tinggi,

sementara pasokannya kurang, maka harga akan naik. Namun jika

harga naik signifikan, namun kebutuhan menurun dan pasokan

tetap, maka diduga telah terjadi praktek kartel di dalam pasar

tersebut. Hal-hal yang mempengaruhi harga semen diantaranya

adalah biaya produksi, biaya pemasaran (jangka waktu

pembayaran), channel distribution, dan transportasi. Di setiap

daerah di Indonesia terdapat beberapa penguasa pasar yang

berbeda di tiap daerah. Penguasaan pasar semen oleh pabrikan di

suatu wilayah, hal itu semata-mata karena pertimbangan ekonomi

demi efisiensi biaya angkut.255

Terdapat beberapa bukti lain yang menunjukan adanya

jumlah ekspor semen yang meningkat ke luar negeri. Namun jika

melihat sistem produksi semen maka hal tersebut dapat menjadi

255

Ibid.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 156: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

142

Universitas Indonesia

suatu alasan ekspor semen dilakukan. Menurunkan produksi semen

berarti menghentikan tanur semen yang memiliki suhu 1.450-2.000

derajat Celcius. Apabila tanur ini ingin diaktifkan lagi, dibutuhkan

bahan bakar yang sangat banyak untuk kembali mencapai suhu

tersebut, dan ini berarti biaya yang sangat tinggi. Oleh karena itu,

apabila pasar dalam negeri melemah, produsen tetap berproduksi

sesuai dengan kapasitas yang ada dan kelebihan semen hasil

produksi ini terpaksa dijual atau diekspor, meskipun tidak

menguntungkan karena besarnya biaya distribusi.256

Indikasi ketiga, jika terjadi eksploitasi harga, maka

profitabilitas dari perusahaan-perusahaan produsen cenderung

tinggi. Untuk itu perlu dilihat perbandingan laba usaha terhadap

pendapatan perusahaan produsen, seperti Malaysia dan Pakistan.

Dalam hal ini, digunakan rasio laba usaha terhadap penjualan

untuk mengukur profitabilitas. Di Malaysia, yang memiliki

pendapatan per kapita USD 6.668, tingkat profitabilitas perusahaan

semennya, yakni Cement Industries of Malaysia Berhad, sebesar

15,5%. Sementara di Pakistan, dengan pendapatan per kapita USD

884,22, tingkat profitabilitas perusahaan semennya, yakni

Dadabhoy Cement Industries Limited, hanya 2,73%. Adapun di

Indonesia, yang pendapatan per kapitanya USD 2.377, tingkat

profitabilitas tiga besar produsen semennya berada di atas 10

persen. Indocement memiliki tingkat profitabilitas 21,76%, Holcim

13,86% dan Semen Gresik 18,49%. Jika dilihat dari perbandingan

tersebut dapat disimpulkan bahwa Indonesia mengalami anomali

dari rasio perbedaan pendapatan per kapita dengan profitabilitas

perusahaan. Profitabilitas yang diperoleh dari tiga perusahaan

semen tersebut tidak sebanding dengan tingkat pendapatan per

256

Ibid.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 157: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

143

Universitas Indonesia

kapita di Indonesia. seharusnya rasio profitabilitas ketiga

perusahaan berkisar antara 7% – 10%.257

Tolak ukur konsentrasi pasar umumnya digunakan rasio

konsentrasi empat perusahaan terbesar (CR4) dan indeks

Herfindahl-Hirschman (HHI). Jika CR4 merupakan jumlah pangsa

pasar empat perusahaan terbesar, maka HHI merupakan jumlah

kuadrat dari pangsa pasar seluruh perusahaan dalam industri. CR4

industri semen di Indonesia sejak tahun 1998 cenderung stagnan

pada kisaran 80%. Begitu pula HHI bertahan di angka 1900-2000

sejak tahun 1998. Angka ini akan naik cukup tinggi jika Semen

Gresik yang sebenarnya telah menjadi suatu kendali dengan Semen

Padang dan Semen Tonasa dianggap sebagai satu entitas bisnis.

Dengan asumsi ini maka CR4 akan naik menjadi sekitar

91% dari HHI menjadi 3.100-an. Padahal, lembaga pengawas

persaingan pada umumnya menganggap CR4 di atas 70% atau HHI

diatas 1.800 merupakan indikator terkonsentrasinya suatu pasar.

dengan kata lain, besar kemungkinan terjadi oligopoli dengan

kekuatan terkonsentrasi pada di pasar bersangkutan.

Selain struktur pasar yang cenderung terkonsentrasi dan

oligopoli, industri semen di Indonesia juga ditandai oleh

meningkatnya operating profit sebagai proxy Price Cost Margin

(PCM/Lemer Index) yang merupakan indikator kekuatan pasar

para pelaku industri. Memang meningkatnya operating profit juga

dapat disebabkan oleh meningkatnya efisiensi industri. Namun,

khusus di industri semen, data yang ada menunjukkan peningkatan

operating profit lebih disebabkan peningkatan harga sebagai bukti

peningkatan kekuatan pasar.

Analisis terhadap biaya produksi dua industri semen

terbesar, yaitu Indocement dan Semen Gresik sampai tahun 2008,

juga menunjukkan kecenderungan peningkatan biaya yang cukup

signifikan sejalan dengan peningkatan harga minyak dunia. Hal ini

257

Ibid.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 158: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

144

Universitas Indonesia

memperkuat dugaan bahwa naiknya operating profit bukan karena

semakin efisiensinya produksi semen di Tanah Air. Indikasi kartel

juga dapat dilihat dari angka koefisien korelasi harga rata-rata per

unit dari tiga produsen semen terbesar, yaitu Indocement, Semen

Gresik, dan Holcim Indonesia (Semen Cibinong). Analisis

terhadap data dari tahun 1998-2007 menunjukkan koefisien

korelasi harga produk rata-rata per unit dari ketiga pabrik semen

tersebut berkisar 0,94 sampai dengan 0,95. Angka ini mendekati

korelasi sempurna yaitu 1,0. Tingginya penyelerasan dalam

penetapan harga di pasar tentu saja masih harus dibuktikan apakah

terjadi kartel.

Dengan adanya hal tersebut, pelaku industri semen dapat

dikatakan memperoleh keuntungan yang besar dalam penjualan

semennya. Apabila perusahaan semen masih mengatakan bahwa

tingkat harga produksi yang ada tidak sebanding dengan harga jual,

maka hal tersebut tidak beralasan mengingat perolehan keuntungan

yang cukup besar jika dinilai dari besarnya rasio profitabilitas.258

Keempat, bisa dilihat pula dari kapasitas produksi masing-

masing produsen. Jika utilisasinya sudah maksimal, maka biaya

produksinya cenderung menjadi murah. Artinya, harga semen akan

murah karena telah mencapai skala ekonomis. Berdasarkan data

ASI, utilisasi masing-masing pabrik semen saat ini rata-rata sudah

diatas 80 persen. Untuk itu, perlu dilakukan perbandingan dengan

negara lain. Berdasarkan data KPPU untuk harga semen pada 2007,

Indonesia merupakan negara keempat termahal setelah Singapura,

Brunei Darussalam, dan Filipina.

Beberapa indikator lainnya juga dapat dipakai sebagai tolak

ukur ada atau tidaknya kartel semen. Di antaranya adalah ada atau

tidaknya kesepakatan antar produsen menetapkan harga produk

yang tinggi. Indikator teknisnya adalah kenaikan harga pada satu

258

Ibid.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 159: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

145

Universitas Indonesia

perusahaan produsen diikuti oleh perusahaan produsen lainnya.

Kenaikan harga itu terjadi bersamaan dan rentang harganya tidak

terlalu jauh. Data pada tahun 2008 menunjukan harga semen dari

tiga produsen semen utama sama-sama naik dibanding 2007

dengan selisih kenaikan harga yang tidak terlalu jauh, yaitu diatas

Rp 100.000 per ton.259

Indikasi-indikasi yang telah diuraikan di atas memang

cukup untuk dilakukan suatu pemeriksaan yang lebih mendalam

bagi KPPU. Namun demikian ini bukan berarti para pelaku usaha

industri semen di Indonesia sudah pasti bersalah. Jika memang

tidak ada komunikasi dan koordinasi di antara mereka dalam

menentukan harga, tidak serta merta telah terjadi praktek kartel.

b. Pembuktian yang digunakan KPPU

Dalam melakukan pembuktian terhadap kasus praktik kartel

industri semen, KPPU menggunakan alat bukti berupa Notulen

rapat ASI dan Laporan Tahunan ASI yang merupakan metode

pembuktian langsung (direct evidence). Kemudian dapat

disimpulkan hal ini merupakan fasilitas untuk mengatur pasokan

dan menentukan harga yang dibuktikan dengan adanya surat

undangan rapat, daftar hadir dan notulensi rapat ASI Bidang

Ekonomi dan Bisnis yang dihadiri oleh wakil dari Pemerintah yaitu

dari Kementerian Perindustrian (Sebelumnya Departemen

Perindustrian) dan Kementerian Perdagangan (Sebelumnya

Departemen Perdagangan) yang secara rutin mengagendakan

evaluasi mengenai distribusi semen disetiap daerah pemasaran

berkaitan dengan masalah kelancaran pasokan dan stok, konfirmasi

realisasi pengadaan semen per pabrik dan per daerah, kinerja

masing-masing unit pabrik, evaluasi pengadaan semen, dan

proyeksi sementara pengadaan semen nasional.

259

Ibid.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 160: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

146

Universitas Indonesia

KPPU juga melihat adanya indikasi harga paralel dalam

biaya per ton untuk semua jenis semen yang di produksi.

Perhitungan biaya produksi per ton di dasarkan pada volume

produksi dan beban pokok pendapatan (Cost of Goods Sold/COGS)

kecuali Terlapor IV yang telah memberikan perhitungan biaya per

ton.

Gambar 4.12. Biaya Per Ton Semua Jenis Semen Diproduksi (2004-2009)

Berdasarkan perbandingan biaya per ton di atas, maka

dalam kurun waktu tahun 2004 sampai dengan tahun 2009,

Terlapor IV memiliki biaya per ton yang paling rendah. Terlapor V

dan Terlapor VIII tidak kompetitif untuk memasarkan hasilnya di

luar wilayah produksinya. Dapat dilihat pergerakan harga hampir

bersamaan dan paralel serta dengan selisih harga yang relatif tipis.

Hal ini menunjukkan bahwa dalam hal harga, tidak linear dengan

biaya per ton sehingga di duga terdapat upaya untuk mengatur

harga sehingga masing-masing perusahaan tetap dapat

mempertahankan pangsa pasar dan kelangsungan usaha

pesaingnya.

Namun dalam pertimbangan hukumnya KPPU menyatakan

dengan diketahuinya informasi mengenai data realisasi produksi

masing-masing Terlapor sebagaimana dapat dibuktikan

berdasarkan notulen rapat ASI dan Laporan Tahunan ASI, maka

secara individual, masing-masing Terlapor dengan difasilitasi oleh

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 161: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

147

Universitas Indonesia

ASI, dapat mengatur harga, produksi dan pemasaran dengan

mempertimbangkan data realisasi produksi dan harga per Propinsi

dari Terlapor lain yang merupakan pesaingnya dan pemerintah,

sehingga hal ini berdampak pada terjadinya perilaku yang

terkoordinasi (concerted actions) dan perilaku tersebut bukan

dalam rangka menetapkan harga, oleh karena itu pembuktian unsur

Pasal 5 dalam perjanjian penetapan harga tidak terbukti.

Dalam putusan ini Majelis Komisi berpendapat indikasi ada

tidaknya kartel dan penetapan harga sekurang-kurangnya harus

memenuhi kriteria harga yang paralel dan eksesif, pengaturan

produksi dan pemasaran, dan keuntungan yang eksesif. Untuk

membuktikan adanya price parallelism KPPU menggunakan

metode Uji Korelasi Pearson dan Uji Homogenity of Varians. Uji

Korelasi Pearson digunakan untuk melihat derajat korelasi antara

dua variabel (harga semen Terlapor tertentu dengan Terlapor lain)

untuk dapat diindikasikan ada tidaknya kemiripan harga secara

statistik. Angka korelasi Pearson dalam statistik diukur berkisar

antara -1 < 0 < 1. Semakin mendekati angka 1 maka dapat

dikatakan harga tersebut berkorelasi positif, dengan kata lain jika

salah satu variabel maka variabel lain cenderung naik atau

sebaliknya. Sedangkan mengenai Uji Homogenity of Varians

dengan pendekatan Bartlett bertujuan untuk melihat apakah

beberapa sample harga yang diuji memiliki varian yang homogen

atau tidak.

Dari hasil uji dengan menggunakan kedua metode diatas

terhadap harga semen franco pabrik yang merupakan harga jual

pabrikan di lokasi produksi/pabrik, terdapat variasi harga yang

paralel di 14 Propinsi di Indonesia dan terdapat price parallelism.

Selain itu untuk membuktikan harga eksesif (excessive price)

digunakan metode perbandingan antara harga semen domestik

dengan harga semen internasional dan hasilnya menyatakan tidak

terbuktinya harga semen para Terlapor adalah eksesif dikarenakan

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 162: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

148

Universitas Indonesia

terdapat perbedaan harga rata-rata franco pabrik yang lebih rendah

daripada harga rata-rata ritel di Indonesia dan perbedaan harga

harga ini belum termasuk ongkos angkut dan biaya pemasaran

lainnya.

Kemudian untuk membuktikan pengaturan produksi dan

pemasaran menggunakan metode perbandingan antara kapasitas

produksi dengan volume produksi dan volume penjualan. Hal ini

juga tidak terbukti karena peningkatan produksi sejalan dengan

peningkatan permintaan semen sehingga tidak ada upaya untuk

mengurangi/membatasi produksi/pasokan dari para Terlapor.

Sedangkan untuk membuktikan adanya keuntungan

(excessive profit) dilakukan perbandingan rasio keuangan Return

On Investment (ROI) para Terlapor dengan suatu angka

pembanding yaitu rata-rata kupon (bunga variabel) obligasi negara

berjangka 10 tahun ditambah dengan insentif bagi perusahaan

investor untuk melakukan investasi atau ekspansi usaha diluar

obligasi negara. Hal ini juga tidak terbukti dikarenakan keuntungan

yang diperoleh oleh para Terlapor tidak dapat dikatakan sebagai

keuntungan yang eksesif atau besarnya keuntungan yang

diindikasikan angka ROI dari masing-masing Terlapor masih

dalam batas keuntungan yang wajar. Dari ketiga hal diatas maka

dapat disimpulkan tidak terdapat petunjuk adanya kartel.

Dalam pembuktian unsur Pasal 5, KPPU tidak menemukan

adanya perilaku yang terkoordinasi untuk menetapkan harga.

KPPU menilai diketahuinya informasi mengenai data realisasi

produksi masing-masing Terlapor sebagaimana dapat dibuktikan

berdasarkan notulen rapat ASI dan laporan Tahunan ASI, maka

secara individual, masing-masing Terlapor dengan difasilitasi oleh

ASI, dapat mengatur harga, produksi dan harga per Propinsi dari

Terlapor lain yang merupakan pesaingnya dan Pemerintah,

sehingga berdampak pada terjadinya perilaku yang terkoordinasi

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 163: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

149

Universitas Indonesia

(concerted actions), tidak cukup untuk dapat membuktikan

terpenuhinya unsur Perjanjian untuk Menetapkan Harga.

Sedangkan dalam pembuktian unsur Pasal 11, KPPU

menilai berdasarkan pertimbangan terhadap harga paralel (price

parallelism), harga yang eksesif (excessive price), pengaturan

produksi dan pemasaran, dan keuntungan yang eksesif (excessive

profit), tidak cukup alasan untuk menyatakan terdapat petunjuk

adanya kartel. Sehingga unsur Perjanjian untuk Mempengaruhi

Harga dengan Mengatur Produksi dan atau Pemasaran tidak

terpenuhi.

c. Putusan Perkara

1. Menyatakan Terlapor I (ITP), Terlapor II (HI), Terlapor III (SB),

Terlapor IV (SG), Terlapor V (Lafarge), Terlapor VI (ST), Terlapor

VII (SP) dan Terlapor VIII (SBM) tidak terbukti secara sah dan

meyakinkan melanggar Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1999;

2. Menyatakan Terlapor I (ITP), Terlapor II (HI), Terlapor III (SB),

Terlapor IV (SG), Terlapor V (Lafarge), Terlapor VI (ST), Terlapor

VII (SP) dan Terlapor VIII (SBM) tidak terbukti secara sah dan

meyakinkan melanggar Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999.

4.1.4 Perkara Industri Farmasi Kelas Terapi Amlodipine260

a. Kasus Posisi

Perkara ini berawal dari monitoring yang dilakukan KPPU

mengingat industri farmasi merupakan sektor yang strategis bagi

perekonomian nasional ditinjau dari potensi pengembangan pasar

domestik. Sehingga KPPU akhirnya memutuskan untuk menangani

perkara nomor 17/KPPU-I/2010 terkait kartel obat yang dilakukan

oleh beberapa pelaku usaha yaitu PT. Pfizer Indonesia; PT. Dexa

Medica; Pfizer Inc; Pfizer Overseas LLC (d/h. Pfizer Overseas Inc;

Pfizer Global Trading (co Pfizer) dan Pfizer Corporation Panama.

Dalam perkara Nomor 17/KPPU-I/2010, KPPU membidik

perdagangan obat kelas amlodipine (obat untuk penyakit jantung).

260

Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Putusan Perkara Nomor: 17/KPPU-I/2010.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 164: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

150

Universitas Indonesia

Dugaan kartel muncul lantaran setelah masa paten obat berakhir

pada 2007, harga obat tetap tinggi. Karena obat yang diproduksi

adalah obat paten, konsentrasi pasar atas obat di kelas amlodipine

itu menjadi tinggi. Sampai pada kuartal pertama 2009, harga obat

masih tinggi, padahal obat generik di kelas yang sama semakin

mengalami penurunan. Menurut KPPU, seharusnya setelah paten

berakhir semua pihak bisa memproduksi obat tersebut sehingga

harga sepatutnya turun.261

Dalam dugaan pelanggaran KPPU, kelompok usaha Pfizer

dengan PT Dexa Medica diduga melakukan pelanggaran Pasal 5

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yaitu menetapkan harga

obat Anti Hipertensi dengan Zat Aktif Amlodipine Besylate,

pelanggaran Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yaitu

secara bersama melakukan pengaturan produksi dan pengaturan

pemasaran obat anti hipertensi dengan Zat Aktif Amlodipine

Besylate, kelompok usaha Pfizer diduga melakukan pelanggaran

pasal 25 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yaitu

menyalahgunakan posisi dominannya untuk mempengaruhi dokter

dan/atau apotek agar hanya meresepkan obat dengan merek

Norvask dan PT Dexa Medica bersama dengan pelaku usaha asing

yang berakibat terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha

tidak sehat.

KPPU menjadwalkan untuk memeriksa Pfizer Indonesia

terkait dugaan kartel obat kelas amlodipine yang dilakukan PT

Pfizer dan PT Dexa Medica, akan tetapi pemeriksaan ini ditunda

karena PT Pfizer meminta penundaan jadwal akibat dari kesibukan

manajemen dan jadwal yang padat. Sebagaimana dikatakan oleh

Public Affairs & Communications Director PT Pfizer Indonesia,

Chrisma Albandjar, bahwa penundaan waktu pemeriksaan kepada

KPPU dikarenakan manajemen memiliki kesibukan yang padat.

261NN, “Dua Perusahaan Farmasi Besar Diduga Lakukan Kartel Obat”

http://www.menitiriau.com/headline.php?go=news&id=1364, diunduh 17 September

2012

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 165: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

151

Universitas Indonesia

Aksi meminta pengunduran jadwal ini menurut PT Pfizer bukan

karena perseroan takut akan tudingan kartel karena mereka tidak

merasa melakukan kartel dan PT Pfizer menganggap

perusahaannya selalu patuh dengan perundangan maupun kode etik

hukum yang berlaku.

Pembelaan yang dilakukan PT Pfizer mengenai dugaan

kartel, penyalahgunaan posisi dominan dan penetapan harga yang

diberikan oleh KPPU adalah bahwa PT Pfizer merupakan

perusahaan pertama yang mematenkan obat amlodipine sehingga

wajar jika menjadi pemimpin pasar. Pada 2007, masa paten oleh

PT Pfizer telah habis dan telah muncul banyak pesaing baru.

Berakhirnya masa paten obat ini tidak membuat PT Pfizer

melakukan penurunan harga terhadap obatnya, melainkan tetap

menjaga kebijakan harga yang ditawarkan ke pengguna dan

beralasan hanya merupakan strategi harga saja.262

Pemain kategori obat untuk jenis penyakit jantung dan

pembuluh darah itu (kardiovaskular) sudah cukup banyak dan

terdapat puluhan merek. PT Pfizer juga beralasan bahwa mengenai

tudingan harga obat tidak turun meskipun zat aktif amlodipine

yang merupakan kandungan generik mengalami penurunan harga

dari range Rp. 120.000,- menjadi Rp. 90.000,- beberapa tahun lalu

merupakan bagian dari strategi harga untuk memenangi

persaingan.

b. Pembuktian yang digunakan KPPU

Alat bukti yang ditemukan oleh KPPU yaitu adanya bukti

perintah untuk melakukan komunikasi diantara para pesaing dalam

Supply Agreement. Implementasi komunikasi diantara para pihak

melalui email dan korespondensi pemesanan bahan baku,

pengaturan produksi melalui forecast dan pencantuman merek

Pfizer dalam kemasan Tensivask.

262

Ibid.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 166: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

152

Universitas Indonesia

Majelis Komisi berpendapat Supply Agreement mengarah

pada pengaturan produksi dengan fakta-fakta seperti penyampaian

rencana (forecast) pembelian bahan baku serta prosedur pemesanan

bahan baku oleh Terlapor Dexa Medica, kewenangan inspeksi

kelompok usaha Pfizer, pencantuman kalimat “dibuat dengan zat

aktif dari Pfizer” dalam setiap kemasan Tensivask, adanya opsi

bagi Kelompok Usaha Pfizer untuk menghentikan perjanjian secara

sepihak apabila dijumpai produk Tensivask yang beredar di pasar

melebihi dari kuantitas yang dapat diproduksi dengan bahan baku

yang dibeli dari kelompok usaha Pfizer, serta pemberitauan,

persetujuan dan berbagai bentuk komunikasi sebagai pelaksanaan

dari Supply Agreement yang melibatkan Terlapor Dexa Medica

dengan Supplier Terlapor Pfizer Overseas LLC yang juga harus

disampaikan melalui tembusan kepada Terlapor Pfizer Indonesia

dalam jangka waktu yang telah ditentukan.

Selain itu Majelis Komisi juga membuktikan adanya

parallel pricing dimana terdapat kenaikan harga yang sama antara

Pfizer dengan Dexa Medica terhadap produk Norvask dan

Tensivask yang seharusnya bersaing di pasar.

Gambar 4.13. Pergerakan Harga Norvask dan Tensivask 5 mg Per Unit

Berdasarkan grafik tersebut terlihat bahwa harga Norvask

kemasan 5mg mengalami kenaikan harga secara berkala, sementara

harga Tensivask tercatat mengalami kenaikan harga 7x selama

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 167: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

153

Universitas Indonesia

periode 2000-awal 2010. Secara umum, untuk kemasan 5mg, angka

rata-rata perubahan harga Tensivask adalah sekitar 5.8% sementara

rata-rata perubahan harga Norvask 6.1%. Sehigga dapat diketahui

kenaikan harga selalu dilakukan terlebih dahulu oleh PT Pfizer

Indonesia atas produk Norvask sebelum diikuti oleh PT Dexa

Medica atas produk Tensivask.

Gambar 4.14. Pergerakan Harga Norvask dan Tensivask 10 mg Per Unit

Berdasarkan grafik tersebut terlihat bahwa selama periode

pertengahan 2002 sampai awal 2010, pergerakan harga dari kedua

produk juga mengalami kenaikan. Pola pergerakan harga antara

kedua produksi ini tidak mencerminkan adanya persaingan usaha

yang sehat. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa telah terjadi

pola kenaikan harga dan pergerakan harga secara parallel (parallel

pricing).

Dengan demikian dalam putusan kartel industri farmasi ini

KPPU menggunakan metode pembuktian berdasarkan keadaan

(circumstantial evidence) untuk membuktikan kasus tersebut, hal

ini dikarenakan KPPU menganggap adanya koordinasi sistematis

untuk saling menyesuaikan harga diantara kedua pelaku usaha

yaitu Pfizer dan Dexa Medica.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 168: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

154

Universitas Indonesia

c. Putusan Perkara

1. Menyatakan bahwa Terlapor I/PT Pfizer Indonesia, Terlapor

III/Pfizer Inc., Terlapor IV/Pfizer Overseas LLC, Terlapor V/Pfizer

Global Trading dan VI/PT Pfizer Corporation Panama terbukti

secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5, Pasal 11, Pasal 16,

Pasal 25 ayat (1) huruf a UU No 5 Tahun 1999;

2. Menyatakan bahwa Terlapor II/PT. Dexa Medica terbukti secara

sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5, Pasal 11, Pasal 16, UU No

5 Tahun 1999; 3. Menyatakan Pasal 5, Pasal 13 huruf c angka IV, Pasal 18 dalam

Supply Agreement antara Terlapor III/Pfizer Overseas LLC dengan

Terlapor II/PT. Dexa Medica batal demi hukum ;

4. Menyatakan Pasal 9.1 angka (V) dalam Pfizer Distribution

Agreement antara Terlapor I/PT Pfizer Indonesia dengan PT.

Anugrah Argon Medika batal demi hukum;

5. Memerintahkan kepada Terlapor I/PT Pfizer Indonesia, Terlapor

II/PT Dexa Medica, Terlapor III/Pfizer Inc., Terlapor IV/Pfizer

Overseas LLC, Terlapor V/Pfizer Global Trading dan VI/PT Pfizer

Corporation Panama menghentikan komunikasi yang berisi

informasi harga, jumlah produksi dan rencana produksi kepada

pesaing;

6. Memerintahkan kepada PT Pfizer Indonesia untuk menurunkan

harga obat Norvask sebesar 65% dari HNA sampai saat putusan

berkekuatan hukum tetap;

7. Memerintahkan kepada PT Dexa Medica untuk menurunkan harga

obat Tensivask sebesar 60% dari HNA sampai saat putusan

berkekuatan hukum tetap;

8. Memerintahkan PT. Pfizer Indonesia untuk tidak melibatkan Dokter

dalam program Health Care Compliance Program (HCCP);

9. Memerintahkan Terlapor I/PT Pfizer Indonesia dan Terlapor II/PT

Dexa Medica untuk menurunkan biaya promosi sebesar 60 %;

10. Memerintahkan Terlapor I/PT Pfizer Indonesia dan Terlapor II/PT

Dexa Medica untuk membatasi kegiatan sponsorship kepada dokter

sesuai dengan kode etik yang berlaku;

11.Menghukum Terlapor I/PT Pfizer Indonesia membayar denda

sebesar Rp. 25.000.000.000,- (dua puluh lima miliar rupiah) yang

harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda

pelanggaran di bidang persaingan usaha Departemen Perdagangan

Sekretariat Jenderal Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan

Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755

(Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);

12. Menghukum Terlapor II/PT Dexa Medica membayar denda sebesar

Rp 20.000.000.000,- (dua puluh miliar rupiah) yang harus disetor

ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di

bidang persaingan usaha Departemen Perdagangan Sekretariat

Jenderal Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 169: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

155

Universitas Indonesia

bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan

Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);

13. Menghukum Terlapor III/Pfizer Inc. membayar denda sebesar Rp.

25.000.000.000,- (dua puluh lima miliar rupiah) yang harus disetor

ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di

bidang persaingan usaha Departemen Perdagangan Sekretariat

Jenderal Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui

bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan

Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);

14.Menghukum Terlapor IV/Pfizer Overseas LLC (d/h. Pfizer

Overseas Inc) membayar denda sebesar Rp. 25.000.000.000,- (dua

puluh lima miliar rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai

setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha

Departemen Perdagangan Sekretariat Jenderal Satuan Kerja Komisi

Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode

penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang

Persaingan Usaha);

15. Menghukum Terlapor V, Pfizer Global Trading ( c/o Pfizer Service

Company) : membayar denda sebesar Rp. 25.000.000.000,- (dua

puluh lima miliar rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai

setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha

Departemen Perdagangan Sekretariat Jenderal Satuan Kerja Komisi

Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode

penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang

Persaingan Usaha);

16. Menghukum Terlapor VI, Pfizer Corporation Panama: membayar

denda sebesar Rp. 25.000.000.000,- (dua puluh lima miliar rupiah)

yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan

denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Departemen

Perdagangan Sekretariat Jenderal Satuan Kerja Komisi Pengawas

Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode

penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang

Persaingan Usaha);

4.2 Karakteristik dan Analisis Terhadap Putusan KPPU Tentang

Perjanjian Penetapan Harga dan Kartel di Indonesia Pada Tahun

2009 Hingga 2010

Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 diharapkan

menjadi peraturan persaingan antar pelaku usaha untuk berlaku secara

sehat, transparan, akuntabilitas untuk menjadikan perekonomian yang

bersifat efisien. Dari gambaran umum 4 (empat) putusan Komisi

Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) tentang perjanjian penetapan harga

dan kartel di Indonesia, yang menjadi fokus analisa untuk mengetahui

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 170: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

156

Universitas Indonesia

karakteristik adalah pada aspek formal dan aspek material dari putusan-

putusan tersebut. Penulis juga menganalisis indikasi awal dalam setiap

kasus yang berkorelasi pada unsur persaingan usaha tidak sehat.

Dari 4 (empat) putusan perkara perjanjian penetapan harga dan

kartel yang diputuskan KPPU pada periode 2009 hingga 2010, terdapat 3

(tiga) putusan terbukti perjanjian penetapan harga, 2 (dua) putusan terbukti

terjadi kartel dan 1 (satu) putusan tidak terbukti adanya perjanjian

penetapan harga dan kartel.

Tabel 4.3. Perjanjian Penetapan Harga dan Kartel

Terbukti dan Tidak Terbukti

Putusan Perkara Pasal yang

digunakan

Terbukti atau

Tidak Terbukti

1. 24/KPPU-I/2009

Kartel Industri Minyak Goreng

Sawit di Indonesia

Pasal 4, Pasal

5 dan Pasal 11

Terbukti Perjanjian

Penetapan Harga

dan Kartel

2. 25/KPPU-I/2009

Kartel Biaya Tambahan Bahan

Bakar dalam Industri Jasa

Penerbangan Domestik (Fuel

Surcharge)

Pasal 5 dan

Pasal 21

Terbukti Perjanjian

Penetapan Harga

3. 01/KPPU-I/2010

Kartel dalam Industri Semen

Pasal 5 dan

Pasal 11

Tidak Terbukti

Perjanjian

Penetapan Harga

dan Kartel

4. 17/KPPU-I/2010

Kartel dalam Industri Farmasi

Kelas Terapi Amlodipine

Pasal 5, Pasal

11, Pasal 16,

dan Pasal 25

ayat (1) huruf

a

Terbukti Perjanjian

Penetapan Harga

dan Kartel

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 171: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

157

Universitas Indonesia

4.2.1 Aspek Formal Putusan KPPU dalam Perkara Perjanjian

Penetapan Harga dan Kartel

4.2.1.1 Indikasi Awal Pelanggaran

Untuk membuat korelasi yang baik dalam menganalisis putusan,

perlu dianalisis indikasi awal perkara perjanjian penetapan harga dan

kartel. Dalam penelitian putusan ini, hampir semua perkara yang muncul

disebabkan adanya pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 dan Pasal 11

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

Indikasi awal dalam Putusan Nomor: 24/KPPU-I/2009 dimulai dari

faktor struktural yaitu terdapatnya perbedaan kapasitas produksi antara

perusahaan yang sebagai market leader dengan perusahaan yang menjadi

follower pada masing-masing segment produk minyak goreng curah dan

minyak goreng kemasan. Pada segment minyak goreng curah, kapasitas

produksi rata-rata pertahun antara Musim Mas Group dan Wilmar Group

selaku market leader relatif sama yang produknya tersebar hampir di

seluruh wilayah Indonesia. Sedangkan pada segment minyak goreng

kemasan, kapasitas produksi rata-rata pertahun PT Salim Ivomas Pratama,

Wilmar Group, PT Smart, Tbk dan PT Bina Karya Prima selaku market

leader relatif sama. Besaran produksi tersebut terpisah antara perusahaan

yang menjadi market leader tidak akan dianalisis sama dengan perusahaan

yang menjadi market follower. Sehingga analisis untuk perusahaan market

leader akan berbeda terhadap perusahaan yang menjadi market follower.

Hal ini didukung dari keterangan perusahaan follower yang menyatakan

bahwa kebijakan harga akan selalu mengikuti kebijakan harga perusahaan

market leader. Hal ini menunjukkan bahwa ukuran perusahaan minyak

goreng relatif setara/sama pada di tingkat sesama perusahaan market

leader mempermudah terjadinya kartel antar perusahaan minyak goreng

yang menjadi market leader, yang diikuti oleh perusahaan follower.

Karakteristik industri minyak goreng sawit yang cenderung

terintegrasi menimbulkan kekuatan tersendiri dalam rangka pengendalian

terhadap input maupun output produk karena memiliki kekuatan untuk

menjadi pemasok atas produknya sendiri dan menjadi penjual untuk

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 172: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

158

Universitas Indonesia

produknya sendiri. Selain itu, Perusahaan minyak goreng yang terintegrasi

memiliki kekuatan pembelian (buying power) dan kekuatan penjualan

(selling power) dibandingkan perusahaan yang tidak terintegrasi.

Oleh karena itu, faktor perilaku yang digunakan yaitu transparansi

harga bahan baku minyak goreng dan didukung oleh transparansi harga

jual minyak goreng terutama minyak goreng curah di pasar sangat

memudahkan bagi perusahaan market leader untuk melakukan koordinasi

harga jual. Pergerakan harga CPO dan fluktuasi harga minyak goreng yang

ada di pasar digunakan oleh para perusahaan baik yang memiliki posisi

market leader maupun follower sebagai sinyal harga (price signaling).

Sedangkan untuk minyak goreng kemasan, pola distribusi dari semua

minyak goreng kemasan salah satunya dilakukan melalui retail modern

yang tersebar di seluruh Indonesia. Sehingga perusahaan minyak goreng

kemasan melakukan penyesuaian harga berkala melalui media promosi

yang dikeluarkan oleh retail modern. Media promosi dari retail modern ini

diiklankan di media nasional sehingga memberikan sinyal kepada

perusahaan pesaing dalam menyesuaikan harga. Sedangkan untuk

perusahaan follower, akan menyesuaikan harga sesuai dengan harga yang

ditetapkan oleh perusahaan market leader. Price signaling dalam kegiatan

promosi ini dilakukan melalui pertemuan-pertemuan atau komunikasi

antar pesaing melalui asosiasi.

Kartel merupakan sekelompok pelaku usaha dalam satu industri

yang sama yang seharusnya saling bersaing namun justru saling

berkolaborasi menentukan harga.263

Aliansi ini membuat perjanjian kerja

sama yang sifatnya anti persaingan usaha. Perjanjian yang dilarang ini

pada dasarnya merupakan perbuatan mengikatkan diri atau kolusi, yang

dilakukan baik tertulis maupun tidak tertulis diantara para pelaku usaha

yang seharusnya saling bersaing justru menciptakan koordinasi.264

263

Eleanor M. Fox, “End of Antitrust Isolationism: The Vision of One World,” 1992

University of Chicago Legal Forum 221 (1992), hlm. 228.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 173: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

159

Universitas Indonesia

Putusan Perkara Nomor: 25/KPPU-I/2009 terdapat indikasi

pelanggaran awal penetapan harga melalui Perubahan Fuel Surcharge di

antara para Terlapor pada Periode I (Mei 2006 – Maret 2008) dengan

adanya kecenderungan yang sama namun hal tersebut tidak dapat

dijustifikasi dari pertimbangan ekonomi masing-masing. kecenderungan

perubahan Fuel Surcharge tersebut didasarkan pada suatu perjanjian di

antara para Terlapor. Hal tersebut di atas didukung dengan fakta adanya

perjanjian di antara Terlapor untuk menetapkan besaran Fuel Surcharge

Rp 20.000,- (dua puluh ribu rupiah) yang mulai diberlakukan pada tanggal

10 Mei 2006 yang diwadahi oleh INACA. Meskipun INACA kemudian

menyatakan menyerahkan besaran Fuel Surcharge pada masing-masing

maskapai pada tanggal 30 Mei 2006, namun secara faktual pergerakan

Fuel Surcharge masing-masing Terlapor masih menunjukkan

kecenderungan yang sama sampai dengan Maret 2008.

Fakta tersebut di atas telah cukup sebagai bukti adanya perjanjian

untuk menetapkan besaran Fuel Surcharge secara bersama-sama yang

dilakukan oleh para Terlapor (PT Garuda Indonesia (Tbk), PT Sriwijaya

Air, PT Merpati Nusantara Airlines (Persero), PT Mandala Airlines, PT

Riau Airlines, PT Travel Express Aviation Services, PT Lion Mentari

Airlines, PT Wings Abadi Airlines, PT Metro Batavia, PT Kartika

Airlines, PT Trigana Air Service dan PT Indonesia Air Asia) pada Periode

I (Mei 2006 sampai dengan Maret 2008) untuk zona penerbangan dengan

waktu tempuh 0 sampai dengan 1 jam, 1 sampai dengan 2 jam dan 2

sampai dengan 3 jam. Namun demikian, tidak ditemukan adanya

kesamaan perubahan harga Fuel Surcharge yang ditetapkan oleh para

Terlapor (PT Garuda Indonesia (Tbk), PT Sriwijaya Air, PT Merpati

Nusantara Airlines (Persero), PT Mandala Airlines, PT Riau Airlines, PT

Travel Express Aviation Services, PT Lion Mentari Airlines, PT Wings

Abadi Airlines, PT Metro Batavia, PT Kartika Airlines, PT Trigana Air

Service dan PT Indonesia Air Asia) pada Periode II (April 2008 sampai

264Kieran A. Lasater, “A Survey of the Domestic Approaches to Antitrust Taken by the

Opec Member Nations: Do They Practice What They Preach?,” 23 Penn State International Law

Review 413 (2004), hlm. 414.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 174: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

160

Universitas Indonesia

dengan Desember 2009) untuk zona penerbangan dengan waktu tempuh 0

sampai dengan 1 jam, 1 sampai dengan 2 jam dan 2 sampai dengan 3 jam.

Indikasi awal pada Putusan Nomor: 01/KPPU-I/2010, dugaan

terjadinya kartel dan penetapan harga adalah dengan mempertimbangkan

adanya rapat-rapat di ASI yang menyajikan laporan realisasi produksi dan

pemasaran dari masing-masing Terlapor serta adanya presentasi dari

pemerintah terkait dengan harga pada masing-masing wilayah Ibukota

Propinsi. Faktor perilaku ini diduga merupakan fasilitas untuk mengatur

pasokan dan menentukan harga. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984

tentang Perindustrian mewajibkan pelaku usaha melaporkan kegiatan

usahanya kepada pemerintah dan bukan kepada Asosiasi. Permintaan

Pemerintah agar Asosiasi Semen Indonesia membantu melaporkan

perkembangan kegiatan usaha anggotanya setiap bulan tidak menentukan

bentuk pelaporan tersebut sehingga rapat-rapat yang dilaksanakan oleh

ASI diduga hanya sebagai fasilitas untuk mengatur pasokan dan harga.

Jika dilihat dari bentuk struktur pasar yang terdiri dari hanya

beberapa pelaku usaha saja maka dapat dikatakan bahwa pasar semen

nasional saat ini berbentuk oligopoli. Dengan terbatasnya kemampuan

setiap pelaku usaha untuk memasuki pasar, maka pelaku usaha yang ada

dapat memanfaatkan keuntungan dari hal tersebut untuk membuat adanya

barrier to entry. Dengan adanya halangan tersebut, pelaku usaha yang

memiliki modal sedikit maka secara alami akan tersisih dari persaingan

yang disebabkan ketidakmampuan keuangannya.

Dari petunjuk ada/ tidaknya kartel diketahui dari para Terlapor

yang diduga mempertahankan pangsa pasarnya di Propinsi-Propinsi

wilayah pemasarannya yang ditunjukkan dengan pergerakan pangsa pasar

yang tidak berubah untuk market leader. Para Terlapor juga diduga

mempertahankan pangsa pasarnya dengan mengatur pasokan semen

meskipun memiliki kemampuan mengambil alih pangsa pasar pelaku

usaha pesaingnya. Grafik pergerakan harga di Propinsi yang telah dianalisa

oleh Tim Pemeriksa juga menunjukkan adanya pergerakan harga yang

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 175: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

161

Universitas Indonesia

paralel.265

Selain itu, keuntungan para Terlapor cukup tinggi dan

meningkat secara bersama-sama kecuali PT. Semen Bosowa Maros karena

terdapat perbedaan biaya yang cukup tinggi sehingga diduga terdapat

upaya mengatur harga pada harga tertentu untuk mempertahankan

kelangsungan usaha.

Sedangkan pada Putusan Perkara Nomor 17/KPPU-I/2010,

pergerakan pola harga menunjukkan adanya gejala atau indikasi

persaingan tidak sehat diantara kedua merk tersebut yaitu Norvask dan

Tensivask. Hal tersebut diindikasikan dengan adanya faktor struktural

trend kenaikan harga yang sama-sama dilakukan oleh kedua perusahaan

tersebut terhadap kedua produk yang seharusnya bersaing di pasar.

Dimana kenaikan harga selalu dilakukan terlebih dahulu oleh PT Pfizer

Indonesia atas produk Norvask sebelum diikuti oleh PT Dexa Medica atas

produk Tensivask. Pola pergerakan harga antara kedua produki ini tidak

mencerminkan adanya persaingan usaha yang sehat. Dengan

mempertimbangkan pola pergerakan harga untuk kemasan 5mg dan 10mg,

maka telah terjadi kesamaan pola kenaikan harga dan pergerakan harga

secara parallel (parallel pricing).

Dalam persaingan antara PT Dexa Medica dan PT Pfizer Indonesia,

pertukaran informasi sensitif terjadi secara intensif. Kartel menggunakan

sejumlah mekanisme untuk mengkoordinasikan kegiatan para pelaku,

termasuk dengan cara penetapan harga, pembagian wilayah, pembagian

pelanggan, dan perjanjian wilayah pasar.266

Integrasi horizontal ini

merugikan karena menyebabkan inefisiensi dimana konsumen membeli

barang dan/atau jasa para pelaku usaha dengan harga di atas harga

normal.267

Faktor perilaku dilakukan PT Dexa Medica dengan memberikan

265

Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Putusan Perkara Nomor: 01/KPPU-I/2010, hlm.

79. 266

Jonathan T. Schmidt, “Keeping U.S. Courts Open to Foreign Antitrust Plaintiffs: A

Hybrid Approach to the Effective Deterrence of International Cartels,” 31 Yale Journal of

International Law 211 (2006), hlm. 218.

267

Christopher R. Leslie, “Trust, Distrust, and Antitrust,” 82 Texas Law Review 515

(2004), hlm 518.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 176: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

162

Universitas Indonesia

informasi ke PT Pfizer Indonesia baik secara tidak langsung melalui

kelompok usaha Pfizer maupun secara langsung ke PT Pfizer Indonesia.

Informasi tersebut berkenaan dengan informasi jumlah pemesanan bahan

baku Amlodipine Besylate yang dilakukan oleh PT Dexa Medica ke Pfizer

Global Trading. Informasi tentang jumlah bahan baku zat aktif yang

dipesan dapat dengan mudah diubah menjadi informasi rencana jumlah

obat yang diproduksi. Suatu informasi yang dapat dipergunakan oleh PT

Pfizer Indonesia untuk menyesuaikan strategi jumlah produksi dan/atau

pemasaran obatnya. Dengan demikian informasi ini menjadi faktor yang

mengurangi independensi antar pesaing dalam memilih strategi. Selain itu,

berdasarkan perjanjian pemasokan, kelompok usaha Pfizer memiliki hak

untuk melakukan inspeksi dan penghitungan kesesuaian atas jumlah

produk PT Dexa Medica yang diedarkan di pasar. Informasi tersebut dan

kewenangan untuk melakukan inspeksi bagi kelompok usaha Pfizer

mengkibatkan PT Pfizer Indonesia sebagai pesaing dengan mudah

memantau sekaligus mengatur jumlah produksi obat anti hipertensi dengan

zat aktif Amlodipine Besylate khususnya Tensivask serta jumlah

peredarannya di pasar. Pengaturan tersebut berguna bagi pelaku usaha

untuk memaksimumkan tingkat profit, meningkatkan harga jual di pasar

maupun untuk menyiapkan strategi menahan pelaku usaha baru untuk

masuk ke dalam pasar.

Kerjasama juga melibatkan jalur distribusi dimana perjanjian

distribusi antara PT Pfizer Indonesia dengan PT Anugrah Argon Medica

ditandatangani oleh Presiden Direktur Pfizer Indonesia, yaitu Mr. H. Sidi

Said sementara dalam perjanjian Supply Agreement, yang mewakili Pfizer

Overseas Inc adalah Mr. M. Sidi Said selaku Vice President. Dari hal ini

dapat dilihat terdapat hubungan keluarga antara M. Sidi Said dengan H.

Sidi Said. Hubungan tersebut memperkuat fakta mengenai adanya

keterkaitan PT. Pfizer Indonesia dalam sebuah kesatuan entitas bisnis dari

Pfizer Overseas Inc dan keduanya merupakan anak perusahaan dari Pfizer

Inc. Sedangkan dugaan kartel didapat dari adanya kesatuan entitas Pfizer

yang mencakup PT Pfizer Indonesia, maka perjanjian Supply Agreement

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 177: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

163

Universitas Indonesia

Amlodipine Besylate yang dilakukan oleh PT Dexa Medica adalah

perjanjian yang dilakukan sesama pesaing di pasar Bersangkutan. PT

Pfizer Indonesia diakui secara faktual adalah afiliasi dari Pfizer Inc dan

Pfizer Overseas, sekaligus merupakan pelaku usaha yang berada dalam

pasar bersangkutan yang sama dengan PT Dexa Medica. Hubungan antar

pihak yang terjalin melalui Supply Agreement mengarah kepada koordinasi

serta pengaturan produksi dan penjualan antara Dexa Medica dengan

kelompok usaha Pfizer dalam hal ini yaitu Pfizer overseas-Pfizer

Indonesia. Kondisi ini dilandasi fakta bahwa walaupun Pfizer Overseas Inc

bertindak sebagai pemasok dan PT Dexa Medica sebagai pembeli bahan

baku, namun karena dalam butir-butir perjanjian selalu disebutkan dalam

mekanisme implementasi dan pengawasan selalu melibatkan Pfizer

Overseas dan pihak yang ditunjuk (designee).

Dari analisis terhadap putusan KPPU, terdapat beberapa

karakteristik indikasi awal perkara perjanjian penetapan harga dan kartel

dalam putusan KPPU yaitu:

Tabel 4.4. Indikasi Awal Pelanggaran

Perkara Nomor

24/KPPU-I/2009

Perkara Nomor

25/KPPU-I/2009

Perkara Nomor

01/KPPU-I/2010

Perkara Nomor

17/KPPU-I/2010

- Terdapat

perbedaan

kapasitas

produksi antara

perusahaan yang

market leader

dengan

perusahaan yang

menjadi follower

pada masing-

masing segment

- Terdapat

perubahan Fuel

Surcharge di

antara para

Terlapor pada

Periode I (Mei

2006 – Maret

2008) dengan

adanya

kecenderungan

yang sama

- Adanya rapat-

rapat di ASI

(Asosiasi

Semen

Indonesia)

yang

menyajikan

laporan

realisasi

produksi dan

pemasaran dari

- Adanya tren

kenaikan harga

yang sama-

sama dilakukan

oleh kedua

perusahaan

tersebut

terhadap kedua

produk yang

seharusnya

bersaing di

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 178: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

164

Universitas Indonesia

produk minyak

goreng curah dan

minyak goreng

kemasan. Pada

segment minyak

goreng curah,

kapasitas

produksi rata-

rata pertahun

antara Musim

Mas Group dan

Wilmar Group

selaku market

leader relatif

sama yang

produknya

tersebar hampir

di seluruh

wilayah

Indonesia.

Sedangkan pada

segment minyak

goreng kemasan,

kapasitas

produksi rata-

rata pertahun PT

Salim Ivomas

Pratama, Wilmar

Group, PT

Smart, Tbk dan

PT Bina Karya

namun hal

tersebut tidak

dapat

dijustifikasi dari

pertimbangan

ekonomi

masing-masing.

kecenderungan

perubahan Fuel

Surcharge

tersebut

didasarkan pada

suatu perjanjian

di antara para

Terlapor.

- Adanya

perjanjian di

antara Terlapor

untuk

menetapkan

besaran Fuel

Surcharge Rp

20.000,- (dua

puluh ribu

rupiah) yang

mulai

diberlakukan

pada tanggal 10

Mei 2006 yang

diwadahi oleh

INACA.

masing-masing

Terlapor serta

adanya

presentasi dari

pemerintah

terkait dengan

harga

dimasing-

masing

wilayah

Ibukota

Propinsi. Hal

ini diduga

merupakan

fasilitas untuk

mengatur

pasokan dan

menentukan

harga.

- Para Terlapor

diduga

mempertahan

kan pangsa

pasarnya di

Propinsi-

Propinsi

wilayah

pemasarannya

yang

ditunjukkan

dengan

pasar. Dimana

kenaikan harga

selalu

dilakukan

terlebih dahulu

oleh PT Pfizer

Indonesia atas

produk Norvask

sebelum diikuti

oleh PT Dexa

Medica atas

produk

Tensivask.

- Pertukaran

informasi

sensitif terjadi

secara intensif

antara PT Dexa

Medica dan PT

Pfizer

Indonesia,

dimana

informasi

diberikan oleh

PT Dexa

Medica ke PT

Pfizer

Indonesia baik

secara tidak

langsung

melalui

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 179: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

165

Universitas Indonesia

Prima selaku

market leader

relatif sama.

- Transparansi

harga bahan

baku minyak

goreng dan

didukung oleh

transparansi

harga jual

minyak goreng

terutama minyak

goreng curah di

pasar sangat

memudahkan

bagi perusahaan

market leader

untuk melakukan

koordinasi harga

jual.

- Pergerakan harga

CPO dan

fluktuasi harga

minyak goreng

yang ada di pasar

digunakan oleh

para perusahaan

baik yang

memiliki posisi

market leader

maupun follower

pergerakan

pangsa pasar

yang tidak

berubah untuk

market leader.

- Para Terlapor

juga diduga

mempertahan

kan pangsa

pasarnya

dengan

mengatur

pasokan semen

meskipun

memiliki

kemampuan

mengambil alih

pangsa pasar

pelaku usaha

pesaingnya.

kelompok

usaha Pfizer

maupun secara

langsung ke PT

Pfizer

Indonesia.

- Kerjasama juga

melibatkan

jalur distribusi

dimana

perjanjian

distribusi antara

PT Pfizer

Indonesia

dengan PT

Anugrah Argon

Medica

ditandatangani

oleh Presiden

Direktur Pfizer

Indonesia, yaitu

Mr. H. Sidi

Said sementara

dalam

perjanjian

Supply

Agreement,

yang mewakili

Pfizer Overseas

Inc adalah Mr.

M. Sidi Said

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 180: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

166

Universitas Indonesia

sebagai sinyal

harga (price

signaling)

dimana

dilakukan

melalui

pertemuan-

pertemuan atau

komunikasi antar

pesaing melalui

asosiasi.

selaku Vice

President.

4.2.1.2 Struktur Putusan

Setelah melakukan penelitian mengenai struktur putusan, dapat

diperoleh kesimpulan bahwa struktur putusan KPPU pada intinya memiliki

karakteristik yang hampir sama. Namun dalam mengelaborasi struktur

pasal yang digunakan dan juga pembuktian untuk membuktikan pasal-

pasal yang dikenakan, terdapat sedikit perbedaan antara perkara yang satu

dengan yang lain.

Struktur putusan KPPU diawali dengan Identitas Terlapor yang

terdiri dari nama, alamat, kota dengan negara tempat Terlapor berada.

Kemudian Analisa Tim Pemeriksa terkait perkara yang dilaporkan dan

diikuti dengan pertimbangan dan alasan-alasan hukum yang diakhiri

dengan Amar dan Diktum Putusan.

Tabel 4.5. Struktur Putusan Perjanjian Penetapan Harga dan Kartel pada

Periode 2009 hingga 2010

Perkara Nomor

24/KPPU-I/2009

Perkara Nomor

25/KPPU-I/2009

Perkara Nomor

01/KPPU-I/2010

Perkara Nomor

17/KPPU-I/2010

1.Tentang Duduk

Perkara

1. Tentang

Duduk Perkara

1. Tentang Duduk

Perkara

1. Tentang

Duduk Perkara

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 181: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

167

Universitas Indonesia

1.1 Laporan hasil

Pemeriksaan

Lanjutan (LHPL):

1.1.1 Duduk

Perkara dan

Dugaan

Pelanggaran

1.1.2 Fakta:

1.1.2.1 Industri

Kelapa sawit dan

Pengolahannya

1.1.2.2 Industri

Minyak Goreng

1.1.2.3 Pelaku

Usaha (Terlapor

Perkara Nomor:

24/KPPU-I/2009)

dan Perilakunya

1.1.2.4 Sistem

Pemasaran Minyak

Goreng

1.1.2.5 Fakta Lain:

Program

Pemerintah

MINYAKITA.

1.1.3 Kerangka

Teori

1.1.3.1 Indikator

Identifikasi Kartel

1.1.3.1.1 Faktor

Struktural

1.1 Laporan hasil

Pemeriksaan

Lanjutan (LHPL):

1.1.1 Fakta:

1.1.1.1 Profil dan

Pangsa Pasar Para

Terlapor

1.1.1.2

Kronologis

Pemberlakuan

Fuel Surcharge

1.1.1.3 Formula

Perhitungan

Harga Tiket

1.1.1.4 Formula

Perhitungan Fuel

Surcharge

1.1.1.5 Avtur,

Harga Avtur dan

Konsumsi Avtur

1.1.1.6 Load

Factor

1.1.1.7

Pergerakan Fuel

Surcharge

1.1.1.8

Perhitungan

Pendapatan Fuel

Surcharge dalam

Laporan

Keuangan

1.1 Laporan hasil

Pemeriksaan

Lanjutan (LHPL):

1.1.1. Terlapor

1.1.2 Dugaan

Pelanggaran

1.1.3 Fakta:

1.1.3.1 Konsumsi

Semen Nasional

1.1.3.2 Para

Terlapor

1.1.3.3 Asosiasi

Semen Indonesia

1.1.3.4 Peran Serta

Pemerintah

1.1.3.5 Pendapat

Ahli

1.1.3.6 Fakta lain

1.2 Analisis:

1.2.1 Pangsa Pasar

1.2.2 Analisis

Pasokan

1.2.3 Harga Paralel

1.2.4 Analisis

Keuangan

1.2.5 Analisa

Hukum

1.3 Pembelaan dan

Tanggapan

Terlapor terhadap

LHPL (Para

1.1 Laporan hasil

Pemeriksaan

Lanjutan

(LHPL):

1.1.1. Identitas

Terlapor

1.1.2 Dugaan

Pelanggaran

1.1.3 Hak Paten,

Perjanjian Lisensi

dan Sengketa

Paten

1.1.4 Sengketa

Paten

1.1.5 Obat Anti

Hipertensi

dengan

Kandungan

Amlodipine

Besylate

1.1.6 Perjanjian

Pemasokan

Bahan Baku

(Supply

Agreement)

1.1.7 Perjanjian

Distribusi

1.1.8 Harga dan

Struktur Biaya

1.1.9 Penjualan

Amlodipine

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 182: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

168

Universitas Indonesia

1.1.3.1.2 Faktor

Perilaku

1.1.4 Analisa

1.1.4.1 Pasar

Bersangkutan

1.1.4.2 Tingkat

Konsentrasi Pasar

Minyak Goreng

1.1.4.3 Ukuran

Perusahaan

Produsen Minyak

Goreng Sawit

1.1.4.4

Homogenitas

Produk

1.1.4.5

Kemudahan Masuk

Pasar

1.1.4.6

Karakteristik

Permintaan

1.1.4.7

Transparansi dan

Pertukaran

Informasi Harga

Minyak Goreng

1.1.4.8 Parallel

Pricing

1.1.4.8.1 Uji

Homogenity of

Varians

1.1.1.9

Perhitungan Pajak

atas Fuel

Surcharge

1.1.1.10 INACA

dan Komunikasi

di antara Para

Terlapor

1.2 Analisis Tim

Pemeriksa

1.2.1 Pelaku

Usaha dan

Pesaingya

1.2.2 Pasar

Bersangkutan

1.2.3 Dugaan

Penetapan Harga

1.2.3.1 Uji

Korelasi Varians

Bartlette dan

Levene test

1.2.4 Dugaan

Kecurangan

dalam

menciptakan Fuel

Surcharge

1.3 Pembelaan

dan Tanggapan

Terlapor terhadap

LHPL (Para

Terlapor)

Terlapor)

2. Tentang

Hukum

2.1 LHPL

2.2 Identitas Para

Terlapor

2.3 Pasar

Bersangkutan dan

Pangsa Pasar

2.4 Pelaku Usaha

dan Pelaku Usaha

Pesaing

2.5 Petunjuk

Ada/Tidaknya

Kartel

2.6 Perjanjian

untuk

menetapkan/mem

pengaruhi Harga

2.7 Dampak

2.8 Pemenuhan

Unsur Pasal 5

a)Pelaku Usaha

dan Pelaku

Usaha

Pesaing;

b)Perjanjian

untuk

menetapkan

harga.

Besylate

1.1.10 Bahan

Baku

1.1.11 Fakta Lain

1.2 Analisis:

1.2.1 Pasar

Bersangkutan

1.2.2 Kelompok

Usaha Pfizer

1.2.3 Pengaturan

Harga

1.2.4 Pengaturan

Produksi

1.2.5 Pengaturan

Distribusi

1.2.6 Perjanjian

dengan Pihak

Luar Negeri

1.2.7 Kartel

1.2.8 Analisis

Perjanjian

Distribusi

1.2.9 Indikator

kartel:

1.2.9.1 Faktor

Struktural

1.2.9.2 Faktor

Perilaku

1.2.10 Dampak

Terhadap

Persaingan

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 183: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

169

Universitas Indonesia

2. Tentang

Hukum

2.1 Kesimpulan

Majelis Komisi

2.1.1 Identitas Para

Terlapor

2.1.2 Pasar

Bersangkutan

2.1.3 Produsen dan

Karakteristik

Industri Minyak

Goreng Sawit di

Indonesia

2.1.4 Tingkat

Konsentrasi Pasar

2.1.5 Price

Parallelism

2.2 Indirect

Evidence

2.2.1 Bukti

Komunikasi

2.2.2 Bukti

Ekonomi

2.2.3 Facilitating

Practices

2.3 Kerugian

Konsumen

2.4 Pertimbangan

Unsur Pasal 4

2.5 Pemenuhan

2. Tentang

Hukum

2.1 Dugaan

Pelanggaran

2.2 Identitas Para

Terlapor

2.3 Hak Formil

2.4 Klarifikasi

Fakta-Fakta

dalam LHPL

2.5 Pelaku Usaha

dan Pelaku Usaha

Pesaing

2.6 Pasar

Bersangkutan

2.7 Perjanjian

2.8 Penetapan

Harga

2.9 Penetapan

Biaya Secara

Curang

2.10 Dampak

2.11 Pemenuhan

Unsur Pasal 5

a) Pelaku Usaha

dan Pelaku

Usaha

Pesaing;

b) Perjanjian;

c) Penetapan

2.9 Pemenuhan

Unsur Pasal 11

a) Pelaku Usaha

dan Pelaku

Usaha

Pesaingnya;

b) Perjanjian

untuk

Mempengaruhi

Harga dengan

Mengatur

Produksi dan

atau Pemasaran.

2.10 Kesimpulan

2.11Pertimbangan

Majelis Komisi

Sebelum Memutus

2.12 Saran dan

Pertimbangan

kepada Pemerintah

2.13 Diktum

Putusan dan

Penutup

1.2.11

Penyalahgunaan

Posisi Dominan

1.2.12 Excessive

Pricing

1.3 Pembelaan

dan Tanggapan

Terlapor terhadap

LHPL (Para

Terlapor)

2. Tentang

Hukum

2.1 LHPL

mengenai

Pelanggaran

2.2 Identitas Para

Terlapor

2.3 Aspek Formil

2.4 Pasar

Bersangkutan dan

Pangsa Pasar

2.5 Kelompok

Pelaku Usaha

Pfizer

2.6 Perjanjian

Antar Pesaing

2.7 Pfizer

Distribution

Agreement

sebagai

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 184: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

170

Universitas Indonesia

Unsur Pasal 5

a) Pelaku Usaha;

b) Perjanjian

dengan pelaku

usaha

pesaingnya

untuk

menetapkan

harga atas

suatu barang

dan atau jasa

yang harus

dibayar oleh

konsumen atau

pelanggan

pada pasar

bersangkutan

yang sama.

2.6 Pemenuhan

Unsur Pasal 11

a) Pelaku Usaha;

b) Perjanjian

dengan pelaku

usaha

pesaingnya,

yang

bermaksud

untuk

mempengaruhi

harga dengan

Harga;

d) Pasar

Bersangkutan.

2.12 Pemenuhan

Unsur Pasal 21

2.13 Kesimpulan

2.14

Pertimbangan

Majelis Komisi

Sebelum

Memutus

2.15 Perhitungan

Denda

2.16 Perhitungan

Ganti Rugi

2.17 Saran dan

Pertimbangan

kepada

Pemerintah

2.18 Diktum

Putusan dan

Penutup

Penyelesaian

Sengketa Antar

Pesaing.

2.8 Isi Perjanjian

Mengarah Kartel

2.9 Komunikasi

Antar Pesaing

2.10 Indikator

Kartel

2.11 Dampak

Kartel

2.12 Dampak

Akhir Bagi

Konsumen dan

Pesaing

2.13 Posisi

Dominan

2.14 Aspek

Materiil

2.14.1

Pemenuhan

Unsur Pasal 5

a)Pelaku

Usaha;

b)Perjanjian

dengan pelaku

usaha

pesaingnya

untuk

menetapkan

harga atas

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 185: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

171

Universitas Indonesia

mengatur

produksi dan

atau

pemasaran

suatu barang

dan atau jasa;

c) Praktek

Monopoli

dan/atau

Persaingan

Usaha Tidak

Sehat.

2.7 Saran dan

Pertimbangan

kepada Pemerintah

2.8 Diktum

Putusan dan

Penutup

suatu barang

dan atau jasa

yang harus

dibayar oleh

konsumen

atau

pelanggan

pada pasar

bersangkutan

yang sama.

2.14.2

Pemenuhan

Unsur Pasal 11

a) Pelaku

Usaha;

b) Perjanjian

dengan

pelaku usaha

pesaingnya,

yang

bermaksud

untuk

mempengaru

hi harga

dengan

mengatur

produksi dan

atau

pemasaran

suatu barang

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 186: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

172

Universitas Indonesia

dan atau

jasa.

2.14.3

Pemenuhan

Unsur Pasal 16

2.14.4

Pemenuhan

Unsur Pasal 25

ayat (1)

2.15 Kesimpulan

2.16

Pertimbangan

Majelis Komisi

Sebelum

Memutus

2.17 Saran dan

Pertimbangan

kepada

Pemerintah

2.18 Diktum

Putusan dan

Penutup

Setelah menganalisis keempat struktur putusan diatas, dapat

diperoleh kesimpulan bahwa KPPU tidak secara konsisten menerapkan

cara atau metode pembuktian secara formal.

Dalam Putusan Perkara Nomor 24/KPPU-I/2009 tentang kartel

minyak goreng, KPPU tidak mencantumkan adanya Pembelaan dan

Tanggapan Terlapor terhadap LHPL (Para Terlapor), dimana hal ini

berbeda dengan ketiga putusan lainnya yang mencantumkan hal tersebut.

Adanya Pembelaan dan Tanggapan Terlapor terhadap LHPL (Para

Terlapor) berimplikasi pada diketahuinya alasan-alasan yang berdasar,

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 187: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

173

Universitas Indonesia

fakta-fakta atau informasi dari Pihak Terlapor. Tanggapan Terlapor dapat

berupa pengakuan atau bantahan. Pengakuan ialah jawaban yang

membenarkan apa yang dilaporkan, artinya apa yang dilaporkan terhadap

Terlapor diakui kebenarannya. Lain halnya dengan penyangkalan atau

bantahan. Penyangkalan atau bantahan ialah pernyataan yang tidak

membenarkan atau tidak mengakui apa yang dilaporkan terhadap Terlapor.

Jika pihak Terlapor mengajukan bantahan, maka bantahannya itu harus

disertai dengan alasan-alasan yang berdasar. Bantahan secara umum

dengan mengatakan bahwa keterangan yang dilaporkan itu adalah tidak

benar sama sekali tanpa menyebutkan alasan-alasannya, tidak akan ada

artinya dan dianggap majelis hakim sebagai tidak membantah.

Putusan Perkara Nomor 25/KPPU-I/2009 tentang Fuel Surcharge

mencantumkan Klarifikasi Fakta-Fakta dalam LHPL dalam aspek hukum.

Hal ini penting guna melengkapi dan mengklarifikasi validitas data-data

yang telah ditemukan oleh Tim Pemeriksa di lapangan. Harga merupakan

hal yang mendasar dalam persaingan usaha.268

Klarifikasi Fakta-Fakta

dalam LHPL ini sebenarnya merupakan elaborasi dari tanggapan atau

bantahan dari pihak Terlapor, namun KPPU dalam putusan ini

menjadikannya sebagai satu hal tersendiri. Berbeda dengan halnya pada

Putusan Perkara Nomor 01/KPPU-I/2010 tentang kartel semen dan

Putusan Perkara Nomor 17/KPPU-I/2010 tentang kartel industri farmasi

yang dielaborasi dalam unsur-unsur untuk membuktikan adanya kartel atau

tidak. Alasan mendasar mempertahankan persaingan usaha sehat dalam

pasar adalah untuk menjamin efisiensi maksimum yang akhirnya tentu saja

memberikan harga terendah bagi konsumen. oleh karena itu, hak untuk

menentukan harga pada pelaku usaha juga merupakan hal yang esensial

dalam mencapai pasar yang kompetitif269

dan hal-hal tersebut diklarifikasi

dalam tanggapan pihak Terlapor.

268

David H. Marks, “The Anti-Trust Implications of Relationships Between

Competitors,” European Competition Law Review 7(3) 299-326 (1986), hlm. 315. 269

Julian Maitland and Walker, “Constraints on Competitive Pricing,” European

Competition Law Review 17(8) 423-427 (1996), hlm. 423.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 188: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

174

Universitas Indonesia

Dalam Putusan Perkara Nomor 01/KPPU-I/2010 tentang kartel

industri semen, ditemukan adanya pendapat ahli.270

Hal ini dapat dikatakan

berbeda dengan ketiga putusan lainnya yang tidak mencantumkan adanya

pendapat ahli. Keterangan ahli itu mengikat dan sama nilainya dengan

keterangan saksi atau surat dan dokumen sebab keterangan ahli itu alat

bukti pemeriksaan. Hal ini berbeda dengan makna keterangan ahli dalam

perkara pidana yang boleh digunakan atau tidak oleh Hakim, karena

keterangan ahli tidak mengikat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 184

KUHAP dan bukan merupakan alat bukti pemeriksaan.

Mengingat pemeriksaan oleh KPPU pada prinsipnya bertujuan

mencari kebenaran yang materiil, sebagaimana halnya dalam perkara

pidana, maka KPPU dalam proses pemeriksaan tidak dapat hanya

bertindak sebagai sole prosecutor sebab KPPU juga mempunyai

kewenangan dalam memutus perkara dan faktanya KPPU juga yang

memutus satu perkara sehingga seluruh bukti-bukti yang ada, baik yang

memberatkan ataupun meringankan serta seluruh saksi yang diajukan baik

saksi a charge dan ad charge harus pula turut dipertimbangkan di dalam

mengambil keputusan.

Sepanjang yang terbaca dari tanggapan para Terlapor dalam

putusan ini, dapat ditemukan adanya keterangan ahli yang dijadikan

sebagai bukti antara lain keterangan ahli Prof. Hikmahanto Juwana271

dan

Prof. Ine S. Ruki272

. Tetapi tidak ada tanggapan atau sangkalan lebih lanjut

dari KPPU atas keterangan dari ahli-ahli ini. Hal ini menunjukkan bahwa

Majelis dalam memutus perkara ini telah mengabaikan kewajiban mereka

untuk mempertimbangkan secara adil keterangan ahli meskipun terhadap

keterangan ahli yang tidak mereka setujui.

270

Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Putusan Perkara Nomor: 01/KPPU-I/2010, hlm.

53. 271

Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Putusan Perkara Nomor: 01/KPPU-I/2010, hlm.

208. 272

Ibid, hlm. 244.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 189: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

175

Universitas Indonesia

Sedangkan Putusan Perkara Nomor 17/KPPU-I/2010 tentang kartel

industri farmasi hanya satu orang ahli yang disebut pendapatnya yang

dirujuk oleh PT Pfizer Indonesia dan tidak disetujui oleh Majelis, yaitu

pendapat Prof. Hikmahanto Juwana.273

Sedangkan dari tanggapan para

Terlapor dalam putusan dapat ditemukan adanya keterangan ahli lain yang

dijadikan sebagai bukti, antara lain keterangan ahli Prof Dr. Harmani

Kalim, Dr. Pranawa, Sp.PD, K-GH, Dr. Nunuk Mardhiana, Sp.PD, K-GH,

Dr. Marulam Panggabean, Sp.PD, KKV, Sp.JP, Dr. Hasyim Kasim,

Sp.PD-KGH dari PT Pfizer Indonesia,274

Prahasto W. Pamungkas, S.H.,

LL.M dan Prof Dr. Rianto Setiabudy, Sp. FK dari PT Dexa Medica275

tidak ada tanggapan atau sangkalan lebih lanjut dari KPPU atas keterangan

dari ahli-ahli ini.

Mencermati format Putusan Perkara Nomor 17/KPPU-I/2010,

menurut Penulis agak tidak lazim jika dibandingkan dengan Putusan

Pengadilan Negeri. Khusus dalam tanggapan atau pembelaan yang

disampaikan oleh PT Pfizer Indonesia yang tertera dalam putusan mulai

dari halaman 90 – 92 yang berupa seperti jawaban atas sejumlah

pertanyaan, atau dapat juga dikatakan sebagai penjelasan atas beberapa

pertanyaan. Atau mungkin juga jawaban ini berasal dari Berita Acara

Pemeriksaan.

Jawaban-jawaban tersebut, sayangnya tidak dicatat secara

bersamaan dengan pertanyaannya. Hal ini bagi pembaca putusan yang

tidak melakukan inzage (hasil pemeriksaan berkas) terhadap perkara

secara utuh, pasti akan menimbulkan masalah dan akan sulit untuk

mengikuti arah dari jawaban tersebut dan sebab musabab dari jawaban

yang disampaikan. Sepatutnya jawaban yang dimasukkan sebagai bagian

dari putusan disampaikan dengan suatu standard yang baku. Hal ini bukan

hanya untuk memudahkan orang untuk membacanya, akan tetapi agar ada

273

Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Putusan Perkara Nomor: 17/KPPU-I/2010, hlm.

244. 274

Ibid, hlm. 90-91. 275

Ibid, hlm. 156 dan 178.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 190: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

176

Universitas Indonesia

standar yang baku dan berkesamaan yang digunakan (konsisten) dalam

menyusun putusan.

4.2.2 Aspek Material Putusan KPPU dalam Perkara Perjanjian

Penetapan Harga dan Kartel

4.2.2.1 Pembuktian Perilaku Pelaku Usaha

Eksistensi perjanjian untuk membuktikan kartel bukanlah syarat

utama, karena dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

menghendaki adanya dampak pada persaingan usaha. Oleh karena itu

digunakan Indirect Evidence, berdasarkan faktor struktur dan faktor

perilaku. Untuk mendapatkan Indirect Evidence ini, KPPU

mempertimbangkan analisis ekonomi yang digunakan untuk membuktikan

dampak kartel pada persaingan usaha. Kedudukan Indirect Evidence ini

sangat penting manakala Direct Evidence tidak tersedia.

Dalam membuktikan perilaku pelaku usaha, KPPU menggunakan

Uji Korelasi sebagai bagian dari Bukti Ekonomi (Economic Evidence).

KPPU menyertakan perhitungan statistik sebagai bagian dari bukti

ekonomi yang begitu kompleks sebagai metode pembuktian yaitu tingkat

konsentrasi pasar, Uji Homogenitas Varians, dan penghitungan kerugian

konsumen. Dari ketiga metode pembuktian diatas, Penulis akan menyoroti

Uji Homogenitas Varians yang telah digunakan oleh KPPU secara

inkonsisten di dalam 4 (empat) putusan yang dianalisis oleh Penulis yaitu

Putusan Nomor 24/KPPU-I/2009, Nomor 25/KPPU-I/2009, Nomor

01/KPPU-I/2010 dan Nomor 17/KPPU-I/2010.

Pada Perkara Nomor 24/KPPU-I/2009, kartel yang dilakukan oleh

para produsen minyak goreng dilakukan dengan cara melakukan price

signaling, yaitu praktek yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan

memberikan signal untuk mempengaruhi harga dan praktek tersebut

mempengaruhi kegiatan yang dilakukan oleh pelaku usaha lainnya. KPPU

tidak menemukan adanya perjanjian yang dilakukan antara para pelaku

usaha untuk melakukan kartel dalam kasus ini. Akan tetapi, KPPU

menemukan keganjilan dengan adanya kesamaan harga antara berbagai

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 191: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

177

Universitas Indonesia

produk minyak goreng. Jika dilihat dari grafis, harga dari produk minyak

goreng antara yang satu dengan yang lain hampir sama.276

Hal tersebut

dapat dibuktikan dalam uji Homogenity of Varians, yaitu uji statistik yang

dilakukan untuk membandingkan varians harga minyak goreng dari

masing-masing perusahaan sehingga bisa mengetahui kesamaan pola

pergerakan harga dari setiap pelaku usaha memiliki probabilitas dibawah

5% maka tidak ada price parallelism. Dalam hasil uji probabilitas

dinyatakan bahwa nilai probabilitas lebih dari 5%, dengan demikian telah

terjadi price parallelism.277

Sebuah kartel bertujuan untuk menaikkan harga di atas level

dengan maksud untuk meningkatkan keuntungan.278

Price signaling dapat

dilihat dari data berupa fluktuasi harga CPO sebagai penentu harga minyak

goreng digunakan oleh para produsen minyak goreng baik yang sebagai

market leader ataupun follower. Transparansi harga bahan baku minyak

goreng dan didukung oleh transparansi harga jual minyak goreng

memudahkan bagi perusahaan market leader untuk melakukan koordinasi

harga jual dengan perusahaan perusahaan follower. Harga yang diambil

oleh market leader segera diikuti oleh follower. Sehingga dalam suatu

pasar yang biasanya suatu produk barang yang satu dengan yang lain tidak

sama, kebetulan di dalam industri minyak goreng hampir sama semua.

Untuk pasar minyak goreng curah yang menjadi market leader adalah

Musim Mas Group dan Wilmar Group, sedangkan untuk minyak goreng

kemasan yang menjadi market leader adalah PT. Salim Ivomas Pratama,

Wilmar Group, PT. Smart, Tbk dan PT. Bina Karya.

Perilaku pelaku usaha juga dapat dilihat pada hubungan harga CPO

di beberapa institusi (Rotterdam, Malaysia, Tender KPB, dan Tender PT

Astra Agro Lestari) dengan harga minyak goreng yang ditetapkan oleh

276

Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Putusan Perkara Nomor: 24/KPPU-I/2009, hlm.

39.

277

Ibid., hlm. 57. 278

M. Alfter and J. Young, “Economic Analysis of Cartels – Theory and Practice,”

European Competition Law Review 546-557 (2005), hlm. 547.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 192: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

178

Universitas Indonesia

para Telapor. Hal tersebut terjadi karena setiap transaksi minyak goreng

yang dilakukan oleh para Terlapor selalu mempertimbangkan pergerakan

harga CPO di beberapa institusi tersebut. Transparansi harga bahan baku

minyak goreng dan didukung oleh transparansi harga jual minyak goreng

terutama minyak goreng curah di pasar sangat memudahkan bagi

perusahaan market leader untuk melakukan koordinasi harga jual.

Pergerakan harga CPO dan fluktuasi harga minyak goreng yang ada di

pasar digunakan oleh para perusahaan baik yang memiliki posisi market

leader maupun follower sebagai sinyal harga (price signaling). Khusus

untuk minyak goreng kemasan, pola distribusi dari semua minyak goreng

kemasan salah satunya dilakukan melalui retail modern yang tersebar di

seluruh Indonesia. Sehingga perusahaan minyak goreng kemasan

melakukan penyesuaian harga berkala melalui media promosi yang

dikeluarkan oleh retail modern. Media promosi dari retail modern ini

diiklankan di media nasional sehingga memberikan sinyal kepada

perusahaan pesaing dalam menyesuaikan harga. Sedangkan untuk

perusahaan follower, akan menyesuaikan harga sesuai dengan harga yang

ditetapkan oleh perusahaan market leader. Price signaling dalam kegiatan

promosi ini dilakukan melalui pertemuan-pertemuan atau komunikasi

antar pesaing melalui asosiasi.

Berbeda lagi dalam pembuktian perilaku pelaku usaha penetapan

harga Fuel Surcharge pada Perkara Nomor 25/KPPU-I/2009. Penetapan

harga atau kartel harga terjadi apabila beberapa perusahaan dalam industri

sejenis membuat perjanjian untuk mengatur harga secara bersama-sama

atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen. Untuk

membuktikan ada tidaknya perjanjian tersebut, dapat dilihat apakah terjadi

komunikasi di antara para Terlapor terkait dengan penetapan Fuel

Surcharge baik secara langsung melalui INACA maupun secara tidak

langsung dengan cara price signaling yang dilakukan oleh perusahaan

yang dominan. Dari putusan tersebut dapat dilihat terdapat komunikasi

secara internal dalam INACA terkait dengan pembahasan Fuel Surcharge

yaitu pada tanggal 04 Mei 2006. Memang diakui pernah terjadi

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 193: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

179

Universitas Indonesia

kesepakatan antara anggota INACA untuk menetapkan besarnya Fuel

Surcharge. Namun perjanjian tersebut telah dibatalkan setelahnya dan para

maskapai diberi wewenang untuk menetapkan sendiri besarnya Fuel

Surcharge.

Kemudian KPPU menguji kembali apakah setelah tanggal 30 Mei

2006 Fuel Surcharge sudah ditetapkan masing-masing oleh para Terlapor

tanpa melakukan koordinasi satu sama lainnya. Maka KPPU menggunakan

economic evidence untuk melakukan pembuktian dimana tidak

ditemukannya suatu perjanjian diantara para pelaku usaha tersebut.

Berdasarkan Uji Homogenity of Variances menunjukkan adanya trend

yang sama diantara para Terlapor yaitu PT Garuda Indonesia (Tbk), PT

Sriwijaya Air, PT Merpati Nusantara Airlines (Persero), PT Mandala

Airlines, PT Riau Airlines, PT Travel Express Aviation Services, PT Lion

Mentari Airlines, PT Wings Abadi Airlines, PT Metro Batavia, PT Kartika

Airlines, PT Trigana Air Service dan PT Indonesia Air Asia dalam

menetapkan besaran Fuel Surcharge pada Periode I (Mei 2006 sampai

dengan Maret 2008) untuk zona penerbangan dengan waktu tempuh 0

sampai dengan 1 jam, 1 sampai dengan 2 jam dan 2 sampai dengan 3 jam.

Meskipun formula perhitungan Fuel Surcharge, asumsi harga avtur,

asumsi konsumsi avtur dan asumsi load factor yang dibuat oleh masing-

masing Terlapor berbeda-beda. Oleh karena hal tersebut tidak dapat

dijustifikasi dari pertimbangan ekonomi masing-masing Terlapor, maka

kecenderungan perubahan Fuel Surcharge tersebut didasarkan pada suatu

perjanjian di antara para Terlapor.

Untuk menganalisis pergerakan Fuel Surcharge digunakan uji

korelasi dan Bartlett Test untuk masing-masing periode yaitu Periode I

(Mei 2006 sampai dengan Maret 2008) dan Periode II (April 2008 sampai

dengan Desember 2009) yang masing-masing terbagi dalam tiga zona

yaitu penerbangan dengan waktu tempuh antara 0 sampai dengan 1 jam, 1

sampai dengan 2 jam dan 2 sampai dengan 3 jam.

Jika dibandingkan dengan Putusan Nomor 24/KPPU-I/2009 yang

hanya menggunakan uji nilai probabilitas dalam menentukan price

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 194: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

180

Universitas Indonesia

parallelism, KPPU pada Putusan Nomor 25/KPPU-I/2009 cenderung

menggunakan Bartlett Test untuk menentukan adanya pergerakan harga

pada pasar bersangkutan yang sama. Hasil output dari kedua putusan pun

berbeda dimana Putusan Nomor 24/KPPU-I/2009 mengedepankan

perhitungan statistik sedangkan Putusan Nomor 25/KPPU-I/2009 tidak

hanya dengan statistik namun juga dibandingan dengan grafik pergerakan

harga yang berkorelasi positif dengan adanya price parallelism.

Dalam Putusan Perkara Nomor 01/KPPU-I/2010, perilaku pelaku

usaha dilihat dengan mempertimbangkan adanya rapat-rapat di Asosiasi

Semen Indonesia (selanjutnya disebut ASI) yang menyajikan laporan

realisasi produksi dan pemasaran dari masing-masing Terlapor serta

adanya presentasi dari pemerintah terkait dengan harga dimasing-masing

wilayah Ibukota Propinsi. Hal ini diduga merupakan fasilitas untuk

mengatur pasokan dan menentukan Harga. Berdasarkan analisa tentang

tingkat keuntungan untuk masing-masing Terlapor dan dengan dikaitkan

dengan tujuan dari kartel adalah memaksimalkan keuntungan, maka

dengan memperhatikan perbandingan biaya per ton, sejak tahun 2007

sampai dengan tahun 2009 diduga terjadi upaya untuk mengatur harga

pada level yang cukup tinggi untuk mempertahankan tingkat keuntungan.

Cara terbaik menunjukkan keberadaan kartel normalnya adalah

didasarkan direct evidence.279

Namun, sangat penting untuk menemukan

unsur pembuktian atau indikasi yang lain. Implementasi yang dilakukan

oleh beberapa pelaku usaha secara simultan menaikkan harga yang identik

pada saat yang bersamaan maka akan sangat beralasan untuk menduga

telah terjadi perjanjian di antara para pelaku usaha.280

Untuk membuktikan ada tidaknya harga paralel (price parallelism),

KPPU menggunakan metode Uji Homogenity of Varians dan Uji Korelasi

Pearson. Dari hasil uji tersebut diketemukan variasi harga yang paralel di

14 propinsi di Indonesia. Sedangkan untuk melihat harga eksesif

279

Maurice Guerrin and Georgios Kyriazis, “Cartels: Proof and Procedural Issues,” 16

Fordham International Law Journal 226 (1993), hlm. 301-302. 280

Ibid.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 195: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

181

Universitas Indonesia

digunakan metode perbandingan antara harga semen domestik dengan

harga semen internasional dan hasilnya tidak terdapat cukup alasan untuk

menyatakan harga semen para Terlapor adalah eksesif. KPPU juga

membuktikan adanya pengaturan pasokan dengan menggunakan metode

perbandingan antara kapasitas produksi dengan volume produksi dan

volume penjualan. Hasilnya memang ada peningkatan produksi namun hal

ini sejalan dengan peningkatan permintaan semen sehingga tidak ada

upaya untuk mengurangi atau membatasi produksi atau pasokan dari para

Terlapor.

Pada putusan ini terdapat Uji Korelasi Pearson yang digunakan

untuk melihat derajat korelasi antara dua variabel untuk dapat

diindikasikan ada tidaknya kemiripan harga secara statistik. Angka

korelasi Pearson dalam statistik diukur berkisar antara -1 < 0 < 1. Semakin

mendekati angka 1 maka dapat dikatakan berkorelasi positif. Dapat

dikatakan KPPU menambah satu lagi jenis Uji Korelasi yakni Uji Korelasi

Pearson, dimana pada Putusan Nomor 24/KPPU-I/2009 dan Putusan

Nomor 25/KPPU-I/2009 sebelumnya KPPU hanya menggunakan Uji

Homogenity of Varians dalam membuktikan adanya price parallelism.

Disamping itu KPPU tetap menggunakan pendekatan Bartlett Test untuk

dapat melihat produk yang diuji memiliki varian yang homogen atau tidak.

Meskipun KPPU tidak menemukan adanya bukti dokumen

mengenai pengaturan produksi maupun harga secara eksplisit yang

dilakukan oleh para Terlapor. Dengan diketahuinya informasi mengenai

data realisasi produksi masing-masing Terlapor sebagaimana dapat

dibuktikan berdasarkan notulen rapat ASI dan Laporan Tahunan ASI,

maka secara individual, masing-masing Terlapor dengan difasilitasi oleh

ASI, dapat mengatur harga, produksi dan pemasaran dengan

mempertimbangkan data realisasi produksi dan harga per Propinsi dari

Terlapor lain yang merupakan pesaingnya dan Pemerintah, sehingga

berdampak pada terjadinya perilaku yang terkoordinasi (concerted

actions).

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 196: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

182

Universitas Indonesia

Pembuktian perilaku usaha yang dilakukan oleh KPPU pada

Putusan Nomor 17/KPPU-I/2010, diketahui pertukaran informasi sensitif

terjadi secara intensif. Dimana informasi diberikan oleh PT Dexa Medica

ke PT Pfizer Indonesia baik secara tidak langsung melalui kelompok usaha

Pfizer maupun secara langsung ke PT Pfizer Indonesia. Informasi tersebut

berkenaan dengan informasi jumlah pemesanan bahan baku Amlodipine

Besylate yang dilakukan oleh PT Dexa Medica ke Pfizer Global Trading.

Informasi tentang jumlah bahan baku zat aktif yang dipesan dapat dengan

mudah diubah menjadi informasi rencana jumlah obat yang diproduksi.

Suatu informasi yang dapat dipergunakan oleh PT Pfizer Indonesia untuk

menyesuaikan strategi jumlah produksi dan/atau pemasaran obatnya.

Dengan demikian informasi ini menjadi faktor yang mengurangi

independensi antar pesaing dalam memilih strategi.

Dalam perkara ini sesama pelaku usaha produsen obat memiliki

transparansi informasi yang mencakup harga jual dan nilai penjualan.

Transparansi tersebut disediakan oleh perusahaan penyedia data IMS.

Selain itu, antar terlapor PT Dexa Medica dan PT Pfizer Indonesia,

informasi tersedia secara transparan karena PT Dexa selalu

menginformasikan jumlah pembelian bahan baku kepada PT Pfizer

Indonesia. Selain itu PT Dexa dan PT Pfizer Indonesia menunjuk PT

Anugrah Argon Medica (PT AAM) untuk menjadi distributor dalam

menyalurkan Tensivask dan Norvask dua produk yang bersaing di pasar.

Dalam perjanjian distribusi, PT AAM memiliki kewajiban untuk

menginformasikan kondisi pasar termasuk aktivitas pesaing terhadap

prinsipal.

Untuk membuktikan dampaknya terhadap persaingan KPPU

menggunakan Uji Homogenity of Varians. Dalam putusan ini KPPU

menggunakan dengan pendekatan Levenne dimana digunakan karena data

volume penjualan Norvask dan Tensivask yang didapat tidak mendekati

distribusi normal. Sedangkan terhadap data penjualan total untuk melihat

fluktuasi harga pada saat masa sebelum dan sesudah paten KPPU

menggunakan pendekatan Bartlett karena mendekati normal. Output dari

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 197: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

183

Universitas Indonesia

test ini dapat dilihat data yang diperoleh memiliki varians atau fluktuasi

yang sama atau tidak berbeda secara statistik.

Dari keempat hasil penggunaan Uji Homogenity of Varians,

kedepannya KPPU perlu secara konsisten menjelaskan dalam putusan-

putusannya penggunaan pendekatan Bartlett dan Levenne Test karena hasil

output dari adanya penggunaan test tersebut digunakan untuk

membuktikan adanya harga yang parallel atau tidak. Apabila KPPU ingin

menambahkan suatu uji korelasi baru selain Homogenity of Varians maka

juga harus diperhatikan tingkat konsistensi penggunaannya karena

keselarasan antara output antara statistik dengan perbandingan grafik yang

digunakan juga menentukan dalam fluktuasi varians harga yang sama atau

tidak, oleh karena itu perlu diperhatikan kembali dan harus presisi atau

tepat dengan data yang sebenarnya dimiliki oleh para pelaku usaha.

Tabel 4.6. Perilaku Pelaku Usaha dalam Perjanjian Penetapan Harga dan

Kartel

Perkara Nomor

24/KPPU-I/2009

Perkara Nomor

25/KPPU-I/2009

Perkara Nomor

01/KPPU-I/2010

Perkara Nomor

17/KPPU-I/2010

- Kartel yang

dilakukan oleh

para produsen

minyak goreng

dilakukan

dengan cara

melakukan

price signaling,

yaitu praktek

yang dilakukan

oleh pelaku

usaha dengan

memberikan

- Komunikasi di

antara para

Terlapor terkait

dengan

penetapan Fuel

Surcharge baik

secara langsung

melalui INACA

maupun secara

tidak langsung

dengan cara

price signaling

yang dilakukan

- Adanya rapat-

rapat di

Asosiasi

Semen

Indonesia

(selanjutnya

disebut ASI)

yang

menyajikan

laporan

realisasi

produksi dan

pemasaran dari

- Pertukaran

informasi

sensitif terjadi

secara intensif.

Dimana

informasi

diberikan oleh

PT Dexa

Medica ke PT

Pfizer

Indonesia baik

secara tidak

langsung

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 198: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

184

Universitas Indonesia

signal untuk

mempengaruhi

harga dan

praktek

tersebut

mempengaruhi

kegiatan yang

dilakukan oleh

pelaku usaha

lainnya.

oleh perusahaan

yang dominan.

- Adanya

komunikasi

secara internal

dalam INACA

terkait dengan

pembahasan

Fuel Surcharge

yaitu pada

tanggal 04 Mei

2006.

masing-masing

Terlapor serta

adanya

presentasi dari

pemerintah

terkait dengan

harga

dimasing-

masing

wilayah

Ibukota

Propinsi. Hal

ini diduga

merupakan

fasilitas untuk

mengatur

pasokan dan

menentukan

Harga.

melalui

kelompok

usaha Pfizer

maupun secara

langsung ke PT

Pfizer

Indonesia.

Informasi

tersebut

berkenaan

dengan

informasi

jumlah

pemesanan

bahan baku

Amlodipine

Besylate yang

dilakukan oleh

PT Dexa

Medica ke

Pfizer Global

Trading.

4.2.2.2 Pembuktian Unsur-Unsur dalam Pasal yang digunakan oleh

KPPU

Terdapat 2 (dua) model Putusan KPPU dalam memutus perkara

yang terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perjanjian penetapan

harga dan juga kartel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 11

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Pertama, memutuskan perkara

dengan tidak menganalisis secara keseluruhan unsur-unsur dalam Pasal 5

dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, model ini terdapat

pada Putusan Nomor: 01/KPPU-I/2010. Pada Putusan Nomor: 01/KPPU-

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 199: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

185

Universitas Indonesia

I/2010 hanya menggunakan 2 (dua) unsur dari Pasal 5 dan Pasal 11 yakni

pada Pasal 5 (unsur pelaku usaha dan pelaku usaha pesaing dengan unsur

perjanjian untuk menetapakan harga) dan pada Pasal 11 (unsur pelaku

usaha dan pelaku usaha pesaingnya dengan unsur perjanjian untuk

mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran),

sedangkan unsur pasar bersangkutan pada Pasal 5 dan unsur praktek

monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat dalam Pasal 11 tidak

terdapat dalam pertimbangan Majelis Hakim KPPU.

Melihat pertimbangan yang disampaikan oleh Majelis dalam

Putusan Nomor: 01/KPPU-I/2010 tentang kartel industri semen yang

dinyatakan tidak terbukti melakukan perjanjian penetapan harga dan

kartel, Majelis tidak menggunakan seluruh unsur dari pasal 5 dan pasal 11.

Khusus pada unsur Pasal 11 Majelis tidak menggunakan unsur terjadinya

persaingan usaha tidak sehat. Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999 menggunakan pendekatan Rule of Reason. Hal ini jelas terlihat dalam

kalimat Pasal 11, “pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan

pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga

dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa,

yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau

persaingan usaha tidak sehat”. Kalimat “...mengakibatkan terjadinya

persaingan usaha tidak sehat” menunjukkan bahwa pasal ini menggunakan

pendekatan Rule of Reason.

Ketentuan ini memaksa pihak Komisi (KPPU) untuk menggunakan

pendekatan Rule of Reason dalam menganalisis kartel, sehingga

membutuhkan penyelidikan yang mendalam. Berbeda halnya dengan

larangan penetapan harga (Pasal 5) yang menggunakan pendekatan Per se

Illegal, padahal sesungguhnya perjanjian penetapan harga termasuk

kategori kartel.

Kedua, dengan menggunakan seluruh unsur-unsur yang ada pada

Pasal 5 dan Pasal 11 seperti pada Perkara Nomor 24/KPPU-I/2009. Namun

disini terdapat perbedaan dengan penjabaran unsur Pasal 5 dalam perkara

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 200: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

186

Universitas Indonesia

Nomor 25/KPPU-I/2009 dimana unsur perjanjian di pisah dengan unsur

menetapkan harga yang tidak seperti perkara lain.

Selain itu, terdapat pemenggalan kata dari unsur Pasal 5 dan Pasal

11 yang berbeda-beda dari setiap putusan. Seperti pada Putusan KPPU

Nomor 24/KPPU-I/2009 tentang kartel minyak goreng dan Putusan KPPU

Nomor 17/KPPU-I/2010 tentang kartel industri farmasi yang membuktikan

unsur “perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan

harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayarkan oleh

konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama” dalam satu

kalimat. Sedangkan dalam Putusan KPPU Nomor 25/KPPU-I/2009 tentang

kartel Fuel Surcharge, KPPU tidak menjadikan unsur-unsur tersebut

dalam satu kalimat melainkan menjadi 4 (empat) unsur yakni pelaku usaha

dan pelaku usaha pesaing; perjanjian; penetapan harga; dan pasar

bersangkutan. Selain itu, Putusan KPPU Nomor 01/KPPU-I/2010 tentang

kartel semen juga tidak mencantumkan unsur “suatu barang dan atau jasa”

yang terdapat dalam unsur Pasal 11 mengenai kartel.

Tidak dicantumkan unsur “suatu barang dan atau jasa” dalam suatu

pembuktian Pasal 11 dapat berdampak pada tidak terbuktinya suatu

perbuatan kartel karena tidak diketahuinya jenis atau produk yang

dijadikan pelanggaran dalam Pasal 11. Pembaca putusan juga tidak

mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai barang dan atau jasa apa

yang dijadikan sebagai objek kartel karena sesungguhnya dari barang dan

atau jasa ini dapat diketahui mengenai struktur pasar, tingkat konsentrasi,

jumlah perusahaan, dan ukuran perusahaan terkait barang dan atau jasa

yang menjadi objek kartel mendukung adanya praktek kartel atau tidak.

Perbedaan pemenggalan atau pembuktian unsur Pasal 5 juga

terdapat pada perkara Nomor: 24/KPPU-I/2009 yang berbeda dengan

perkara Nomor: 01/KPPU-I/2010. Dalam perkara Nomor: 24/KPPU-

I/2009 unsur pelaku usaha dibuktikan secara tersendiri dimana hal ini

berbeda dengan perkara Nomor: 01/KPPU-I/2010 yang dicantumkan

dengan unsur pelaku usaha pesaingnya. Sedangkan unsur pelaku usaha

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 201: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

187

Universitas Indonesia

pesaing pada perkara Nomor: 24/KPPU-I/2009 dijadikan satu dengan

unsur perjanjian menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa.

Pembuktian unsur pelaku usaha apabila dijadikan satu dengan

unsur pelaku usaha pesaing dapat mempermudah masyarakat awam dalam

mengerti bahwa telah terjadi hambatan horizontal (horizontal restraint) di

dalam pasar bersangkutan tersebut. Sebaliknya apabila unsur pelaku usaha

pesaing dijadikan satu dengan unsur perjanjian maka pengertian lebih

melekat pada bentuk perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya. Tentu

hal ini dapat menimbulkan perbedaan perspektif dalam membuktian unsur-

unsur di dalam pasal yang digunakan untuk menjerat pelaku usaha yang

terbukti bersalah atau tidak.

Tabel 4.7. Unsur-Unsur Pasal yang digunakan oleh KPPU dalam

menjatuhkan Putusan

Putusan Perkara Unsur-Unsur yang digunakan

dalam Pertimbangan Putusan

KPPU

1. Putusan Nomor: 24/KPPU-I/2009 1. Pasal 5:

a) Pelaku Usaha;

b) Perjanjian dengan pelaku

usaha pesaingnya untuk

menetapkan harga atas suatu

barang dan atau jasa yang

harus dibayar oleh konsumen

atau pelanggan pada pasar

bersangkutan yang sama.

2. Pasal 11:

a) Pelaku Usaha;

b) Perjanjian dengan pelaku

usaha pesaingnya, yang

bermaksud untuk

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 202: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

188

Universitas Indonesia

mempengaruhi harga dengan

mengatur produksi dan atau

pemasaran suatu barang dan

atau jasa;

c) Praktek Monopoli dan/atau

Persaingan Usaha Tidak

Sehat.

2. Putusan Nomor: 25/KPPU-I/2009 Pasal 5:

a) Pelaku Usaha dan Pelaku

Usaha Pesaing;

b) Perjanjian;

c) Penetapan Harga;

d) Pasar Bersangkutan.

3. Putusan Nomor: 01/KPPU-I/2010 1. Pasal 5:

a) Pelaku Usaha dan Pelaku

Usaha Pesaing;

b) Perjanjian untuk menetapkan

harga.

2. Pasal 11:

a) Pelaku Usaha dan Pelaku

Usaha Pesaingnya;

b) Perjanjian untuk

Mempengaruhi Harga

dengan Mengatur Produksi

dan atau Pemasaran.

4. Putusan Nomor: 17/KPPU-I/2010 1. Pasal 5:

a) Pelaku Usaha;

b) Perjanjian dengan pelaku

usaha pesaingnya untuk

menetapkan harga atas suatu

barang dan atau jasa yang

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 203: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

189

Universitas Indonesia

harus dibayar oleh konsumen

atau pelanggan pada pasar

bersangkutan yang sama.

2. Pasal 11:

a) Pelaku Usaha;

b) Perjanjian dengan pelaku

usaha pesaingnya, yang

bermaksud untuk

mempengaruhi harga dengan

mengatur produksi dan atau

pemasaran suatu barang dan

atau jasa;

c) Mengakibatkan terjadinya

praktek monopoli dan atau

persaingan usaha tidak sehat.

Setelah menganalisis unsur-unsur pada Pasal 5 dan Pasal 11

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 di dalam keempat putusan yang

dianalisa, didapat beberapa karakteristik putusan KPPU dalam

memutuskan perkara yaitu pertama, dalam memutuskan perkara perjanjian

penetapan harga dan kartel (perkara yang tidak terbukti), majelis tidak

menggunakan unsur pasar bersangkutan (relevant market) pada Pasal 5

dan unsur praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat dalam

Pasal 11. Sebab jika majelis tidak dapat membuktikan perjanjian untuk

menetapkan harga dan unsur perjanjian untuk mempengaruhi harga dengan

mengatur produksi dan/atau pemasaran, maka unsur lain dalam Pasal 5 dan

Pasal 11 tidak digunakan lagi, walaupun di dalam Pasal 11 terdapat

Praktek Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat. Hal ini

bertentangan dengan pendekatan Rule of Reason sebagai pendekatan yang

digunakan dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Kedua,

Majelis tidak menggunakan unsur terjadinya persaingan usaha tidak sehat

dalam memutus perkara apabila unsur-unsur lain tidak terbukti.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 204: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

190

Universitas Indonesia

Pelanggaran terhadap ketentuan berarti terdapat unsur melawan hukum

yang merupakan unsur terjadinya persaingan usaha tidak sehat dimana

sesungguhnya persaingan usaha tidak sehat ini yang menjadi objek dari

pembuktian apakah telah terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan

di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

4.2.2.3 Pendekatan Hukum yang digunakan oleh KPPU

Dihampir semua negara, kartel diuji dengan pendekatan secara Per

se Illegal. Namun di Indonesia, kartel diuji dengan pendekatan hukum

secara Rule of Reason. Sedangkan larangan penetapan harga (Price Fixing)

digunakan pendekatan Per se Illegal, padahal sesungguhnya perjanjian

Price Fixing termasuk dalam kategori kartel.281

Hal ini dapat diartikan

bahwa di Indonesia sepertinya ingin membedakan antara perjanjian

penetapan harga yang menggunakan Per se Illegal (dimana penekanan

utamanya mengenai instrument harga), dengan perjanjian kartel yang

menggunakan Rule of Reason (dimana penekanan utamanya mengenai

pengaturan produksi dan/atau pemasaran dengan tujuan mempengaruhi

harga).

Dalam menganalisa kasus Kartel Minyak Goreng, perlu terlebih

dahulu kita melihat pasar bersangkutan (relevant market) baik pasar

produk dan pasar geografis. Di dalam Perkara Nomor 24/KPPU-I/2009

pasar produk terdapat dua macam yaitu minyak goreng curah dan kemasan

(bermerek). Meskipun demikian, atas kedua produk tersebut memiliki

fungsi yang sama yaitu sebagai komponen pendukung dalam pembuat

makanan. Adapun pasar geografis meliputi seluruh wilayah Indonesia

tanpa adanya hambatan regulasi.

Pendekatan yang paling tepat dalam menganalisa kasus Kartel

Minyak Goreng adalah pendekatan Rule of Reason, karena jelas terdapat

tujuan dan alasan persaingan tidak sehat dalam pengaturan kartel

berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Ketika

menggunakan pendekatan Rule of Reason, terdapat dua aspek pokok yaitu

281

A.M. Tri Anggraini, Op.Cit., hlm.20.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 205: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

191

Universitas Indonesia

aspek “dampak” suatu perjanjian atau kegiatan dan aspek “cara”

pembuatan perjanjian atau kegiatan tersebut dijalankan. Aspek “dampak”

dari adanya Kartel Minyak Goreng adalah terjadinya hambatan persaingan

yang berakibat hilang atau berkurangnya persaingan dalam sisi harga

sehingga mengakibatkan timbulnya kerugian pada konsumen. Sedangkan

dari aspek “cara”, para pelaku usaha minyak goreng jelas secara melawan

hukum mengadakan pengaturan harga dan pemasaran produk minyak

goreng kemasan (bermerek), dengan menciptakan persaingan usaha tidak

sehat.

KPPU boleh membatalkan perjanjian apabila perjanjian tersebut

menghambat persaingan. Dalam hal ini terdapat 2 (dua) unsur

menghambat persaingan, yaitu unsur praktik monopoli dan persaingan

usaha tidak sehat, dua-duanya menjadi isi dari reason. Kalau persaingan

tersebut masuk dalam unsur praktik monopoli, maka KPPU harus

menghitung terlebih dahulu pangsa pasar. KPPU harus membuktikan

market power, lalu menghitung apakah market power itu menghambat

persaingan usaha. Menghambat yang kedua adalah unsur persaingan usaha

tidak sehat, tidak mengharuskan KPPU untuk menghitung pangsa pasar,

artinya menciptakan hambatan persaingan apabila mereka tidak menguasai

pasar.

Dalam perkara ini, adanya pertemuan dan/atau komunikasi baik

secara langsung maupun tidak langsung dilakukan oleh para Terlapor pada

tanggal 29 Februari 2008 dan tanggal 9 Februari 2009. Bahkan dalam

dalam pertemuan dan/atau komunikasi tersebut dibahas antara lain

mengenai harga, kapasitas produksi, dan struktur biaya produksi telah

melakukan tindakan yang meniadakan persaingan usaha antar anggota

kartel.

Pada akhirnya dengan tidak responsifnya harga minyak goreng

yang ditetapkan para Terlapor terhadap penurunan harga CPO, maka

konsumen kehilangan kesempatan untuk menikmati manfaat adanya pasar

yang kompetitif yakni harga yang lebih rendah karena kontribusi CPO

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 206: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

192

Universitas Indonesia

sebagai bahan baku utama adalah 87% dari total biaya produksi minyak

goreng.

Dengan struktur pasar minyak goreng baik curah maupun kemasan

(bermerek) yang bersifat oligopolistik karena hanya dikuasai oleh

beberapa pelaku usaha yaitu Wilmar Group, Musim Mas Group, PT Smart,

Tbk dan PT Asian Agro Agung Jaya (2007) atau PT Berlian Eka Sakti

Tangguh (2008) untuk minyak goreng curah, PT Salim Ivomas Pratama,

Wilmar Group, PT Smart, Tbk, dan PT Bina Karya Prima untuk minyak

goreng kemasan (bermerek), maka mengakibatkan tidak mungkin ada

pesaing baru di pasar bersangkutan. Akibatnya konsumen tidak memiliki

pilihan lain untuk mendapatkan bahan baku yang bersaing baik dari sisi

harga maupun kualitas. Dampak bagi konsumen tersebut juga

mengakibatkan kerugian bagi kepentingan umum.

Dalam Rule of Reason, perilaku di evaluasi menggunakan analisis

berdasarkan detail faktanya, sedangkan dalam Per se Rule pelaku usaha

tidak diberikan kesempatan untuk memberikan justifikasi atas

perilakunya.282

Sementara itu, de minimise rule akan membolehkan suatu

perilaku kartel bila kartel tadi tidak mengganggu persaingan usaha karena

pangsa pasar yang dikuasainya sangat kecil, dan kurang dari persyaratan

yang ditentukan dalam kebijakan persaingan suatu negara, misalnya 5%.283

Oleh karena itu, dengan penerapan Rule of Reason ini maka terhadap

perilaku kartel tidak akan secara serta merta dinyatakan melanggar

ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, walaupun

sudah memenuhi unsur-unsur pelanggaran yang diatur dalam pasal

tersebut. Selain pemenuhan terhadap unsur-unsur pelanggaran dalam Pasal

11, masih perlu dilakukan penilaian-penilaian terlebih dulu apakah

perilaku tersebut menimbulkan dampak terhadap terjadinya praktik

monopoli serta persaingan usaha tidak sehat.284

282

Supreme Court 2009 Term Leading Cases, “Quick Look Rule of Reason,” 124

Harvard Law Review. 400 (2010), hlm. 4. 283

Knud Hansen, Op. Cit., hlm. 153.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 207: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

193

Universitas Indonesia

Kasus Kartel Fuel Surcharge lebih tepat menggunakan pendekatan

Rule of Reason. Tindakan penetapan harga dalam di bidang angkutan

penumpang udara tersebut tidak selalu tepat dilarang melalui pendekatan

Per se Illegal. Hal ini karena penetapan harga tersebut tidak selalu

menghambat persaingan antar pelaku usaha. Oleh karena itu, tindakan

penetapan harga lebih tepat menggunakan pendekatan Rule of Reason.

Melalui pendekatan Rule of Reason, akan diketahui apakah penetapan

harga biaya tambahan bahan bakar tersebut akan menghambat persaingan

atau tidak.

Di dalam Perkara Nomor 25/KPPU-I/2009 pasar produk adalah

layanan jasa penerbangan penumpang berjadwal dari satu titik

keberangkatan ke titik kedatangan. Dari sisi harga, penerbangan berjadwal

merupakan pasar tersendiri yang terpisah dibanding dengan moda

transportasi lainnya dan dari sisi kegunaan penerbangan juga memiliki

banyak substitusi. Adapun pasar geografis pada perkara ini adalah meliputi

layanan jasa penerbangan penumpang berjadwal dari satu titik

keberangkatan ke titik kedatangan di catchment area pada setiap bandar

udara .

Pada Perkara Nomor 25/KPPU-I/2009, Aspek “dampak” dari

adanya Kartel Fuel Surcharge adalah terjadinya hambatan persaingan yang

berakibat hilang atau berkurangnya persaingan dalam sisi harga sehingga

mengakibatkan timbulnya kerugian pada konsumen. Sedangkan dari aspek

“cara”, para pelaku usaha di jasa penerbangan jelas secara melawan

hukum mengadakan pengaturan harga, dengan menciptakan persaingan

usaha tidak sehat. Berdasarkan analisis Rule of Reason, bagaimanapun

juga penetapan harga biaya tambahan bahan bakar tersebut akan

menghambat persaingan dan merugikan konsumen.

Terkait Perkara Nomor 01/KPPU-I/2010 KPPU menggunakan

pendekatan Rule of Reason dalam membuktikan unsur-unsur kartel (Pasal

11). Pemahaman terhadap Rule of Reason dalam Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1999 memiliki penafsiran yang berbeda. Secara umum Rule of

284

Ibid.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 208: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

194

Universitas Indonesia

Reason diartikan sebagai suatu pendekatan yang dilakukan oleh lembaga

otoritas persaingan usaha untuk membuat evaluasi mengenai akibat

perjanjian atau kegiatan usaha tertentu, guna menentukan apakah suatu

perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat menghambat atau mendukung

persaingan. Penulis berpendapat bahwa KPPU tidak melihat unsur

menghambat persaingan sebagai reason dalam memutus perkara. Hal ini

tidak menyentuh terhadap substansi Undang-Undang Anti Monopoli yaitu

menghilangkan hambatan persaingan usaha serta merugikan kepentingan

umum.

Menurut Posner,285

karakteristik kartel adalah jika hanya terdapat

sedikit penjual dengan pembagian wilayah yang sangat tinggi. Semakin

banyak pelaku usaha di pasar, semakin sulit untuk terbentuknya kartel.

Kartel akan jauh lebih mudah terbentuk dan berjalan efektif apabila jumlah

pelaku usaha sedikit atau adanya konsentrasi pasar. Akan tetapi, kartel

dapat juga terjadi pada banyak penjual dengan pembagian wilayah yang

rendah.

Sektor semen dimanapun secara inheren memberikan suatu dilema

bagi kebijakan persaingan. Karena penyebaran geografis dari pasar semen

elastisitas permintaan terhadap harga agregat yang rendah, biaya keluar,

dan masuk yang tinggi dari dan ke industri ini, relatif penting biaya

transport dan potensi untuk mendapatkan skala ekonomi yang berarti,

produksi semen dianggap memiliki kecenderungan “alamiah” untuk

menghasilkan industri yang terkonsentrasi secara geografis dan

oligopolistik.

Dalam putusan KPPU ini juga KPPU tidak tepat dalam

menerapkan definisi “pasar bersangkutan” karena pada faktanya PT

Holcim Indonesia hanya memasarkan produk semennya di 22 propinsi di

Indonesia. Jumlah propinsi yang yang dianalisa oleh Tim Pemeriksa KPPU

dalam LHPL adalah hanya 13 (tiga belas) propinsi yang berarti kurang dari

setengah propinsi yang ada di Indonesia yaitu 33 (tiga puluh tiga) propinsi.

285

Richard Posner, “Oligopoly and the Antitrust Laws: A Suggested Approach,” 21

Stanford Law Review 1562 (1969), hlm. 1603-1604.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 209: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

195

Universitas Indonesia

Selain itu KPPU juga tidak konsisten dalam menetapkan definisi relevant

market dapat dilihat dimana pada saat tahap pemeriksaan pendahuluan

pasar bersangkutan yang ditetapkan adalah “pemasaran semen diseluruh

wilayah Indonesia”, sedangkan pada tahap pemeriksaan lanjutan KPPU

merubah definisi pasar bersangkutan menjadi “pasar semen dengan jenis

OPC, PPC, dan PCC yang dijual dalam cakupan propinsi di seluruh

wilayah Indonesia”. Ketidakkonsistenan ini dapat menimbulkan dampak

pada hasil pemeriksaan itu sendiri karena pelaku usaha seperti PT Holcim

Indonesia tidak menjual jenis produk semen PPC.

Memahami pasar sangat diperlukan dalam menganalisa keberadaan

kartel. Maka dengan itu, dalam kartel industri farmasi kelas terapi

amlodipine ini perlu dipahami pasar relevan baik pasar produk dan pasar

geografisnya. Dalam Perkara Nomor 17/KPPU-I/2010 yang menjadi pasar

produk adalah obat anti hipertensi dengan zat aktif Amlodipine Besylate.

Obat tersebut masuk ke dalam kelas terapi calcium channel blocker

(berdasarkan metode klasifikasi ATC WHO) atau calcium antagonist plain

(berdasarkan metode klasifikasi EPHMRA) dengan zat aktif amlodipine.

Penggunaan obat anti hipertensi dengan zat aktif tertentu (non amlodipine

besylate) dan kelas terapi lain tidak bersifat substitusi namun lebih bersifat

komplementer karena dapat dikombinasikan dengan obat yang

mengandung zat aktif amlodipine besylate untuk meningkatkan efektifitas

pengobatan. Adapun pasar geografis meliputi wilayah Indonesia secara

nasional.

Pendekatan yang paling tepat dalam menganalisa kasus Kartel

Industri Farmasi ini adalah pendekatan Rule of Reason, karena jelas

terdapat tujuan dan alasan persaingan tidak sehat dalam pengaturan kartel

berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Aspek

“dampak” dari adanya Kartel Industri Farmasi adalah terjadinya hambatan

persaingan yang berakibat hilang atau berkurangnya persaingan dalam sisi

harga sehingga mengakibatkan timbulnya kerugian pada konsumen.

Sedangkan dari aspek “cara”, para pelaku usaha Pfizer dan Dexa Medica

jelas secara melawan hukum mengadakan pengaturan harga dan

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 210: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

196

Universitas Indonesia

pengaturan produksi Norvask dan Tensivask, dengan menciptakan

persaingan usaha tidak sehat.

Dari hasil penelitian pendekatan yang digunakan oleh KPPU di

atas, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

Tabel 4.8. Pendekatan yang digunakan oleh KPPU pada Putusan mengenai

Perjanjian Penetapan Harga dan Kartel

Putusan

Perkara

Pendekatan

yang

digunakan

Aspek Dampak dan Aspek Cara

Putusan

Perkara Nomor

24/KPPU-

I/2009

Rule of Reason (1) Aspek “dampak” dari adanya Kartel

Minyak Goreng adalah terjadinya

hambatan persaingan yang berakibat

hilang atau berkurangnya persaingan

dalam sisi harga sehingga

mengakibatkan timbulnya kerugian pada

konsumen.

(2) Sedangkan dari aspek “cara”, para

pelaku usaha minyak goreng jelas secara

melawan hukum mengadakan

pengaturan harga dan pemasaran produk

minyak goreng kemasan (bermerek),

dengan menciptakan persaingan usaha

tidak sehat.

Putusan

Perkara Nomor

25/KPPU-

I/2009

Rule of Reason (1) Aspek “dampak” dari adanya Kartel

Fuel Surcharge adalah terjadinya

hambatan persaingan yang berakibat

pada hilang atau berkurangnya

persaingan dalam sisi harga sehingga

mengakibatkan timbulnya kerugian pada

konsumen.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 211: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

197

Universitas Indonesia

(2) Sedangkan dari aspek “cara”, para

pelaku usaha di jasa penerbangan jelas

secara melawan hukum mengadakan

pengaturan harga, dengan menciptakan

persaingan usaha tidak sehat.

Berdasarkan analisis Rule of Reason,

bagaimanapun juga penetapan harga

biaya tambahan bahan bakar tersebut

akan menghambat persaingan dan

merugikan konsumen.

Putusan

Perkara Nomor

01/KPPU-

I/2010

Rule of Reason KPPU tidak melihat adanya unsur menghambat

persaingan sebagai reason dalam memutus

perkara. Dikarenakan hal ini tidak menyentuh

terhadap substansi Undang-Undang Anti

Monopoli yaitu menghilangkan hambatan

persaingan usaha serta merugikan kepentingan

umum.

Putusan

Perkara Nomor

17/KPPU-

I/2010

Rule of Reason (1) Aspek “dampak” dari adanya Kartel

Industri Farmasi adalah terjadinya

hambatan persaingan yang berakibat

hilang atau berkurangnya persaingan

dalam sisi harga sehingga

mengakibatkan timbulnya kerugian pada

konsumen.

(2) Sedangkan dari aspek “cara”, para

pelaku usaha Pfizer dan Dexa Medica

jelas secara melawan hukum

mengadakan pengaturan harga dan

pengaturan produksi Norvask dan

Tensivask, dengan menciptakan

persaingan usaha tidak sehat.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 212: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

198

Universitas Indonesia

4.2.2.4 Pengenaan Sanksi

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, KPPU

berwenang untuk menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha

yang melanggar ketentuan Pasal 19 huruf a-d. Ketentuan yang mengatur

tentang sanksi administratif dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

adalah Pasal 47. Pasal 47 tentang Tindakan Administratif berbunyi:

1. Komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan

administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan

Undang-Undang ini.

2. Tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

dapat berupa:

a. Penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 13, Pasal 15 dan Pasal

16; dan atau

b. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi

vertikal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; dan atau

c. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan

yang terbukti menimbulkan praktik monopoli dan atau

menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan atau

merugikan masyarakat; dan atau

d. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan

penyalahgunaan posisi dominan; dan atau

e. penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan

badan usaha dan pengambilan saham sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 28; dan atau

f. Penetapan pembayaran ganti rugi; dan atau

g. Pengenaan denda serendah-rendahnya Rp. 1.000.000.000

(satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp.

25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah).

Setiap pelanggaran hukum persaingan dapat berakibat pada

hilangnya kesejahteraan dari sebagian konsumen dan/atau pelaku usaha

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 213: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

199

Universitas Indonesia

lainnya. KPPU sebagai lembaga penegak hukum persaingan diberikan

tugas mengambil langkah hukum untuk mencegah dan/atau

mengembalikan kesejahteraan yang hilang tersebut, hal ini sesuai dengan

tugas KPPU yang tercantum dalam Pasal 35 huruf b Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999.

Untuk itu dalam penetapan sanksi tindakan administratif, KPPU

perlu mempertimbangkan kerugian ekonomis dari menurunnya

kesejahteraan akibat tindakan persaingan tersebut.

Berdasarkan ketentuan Pasal 47 ayat (2) di atas, terdapat 3 (tiga)

sifat sanksi administratif yang bisa dijatuhkan oleh KPPU, antara lain:286

1. Sanksi administratif yang bersifat penghentian pelanggaran;

huruf a-e

2. Sanksi administratif yang bersifat pembayaran ganti rugi; huruf

f

3. Sanksi administratif yang bersifat pengenaan denda; huruf g

Terkait dengan hal tersebut, terdapat 3 kategori tindakan-tindakan

yang dilarang berdasar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yaitu (1)

perjanjian yang dilarang, (2) kegiatan yang dilarang dan (3) posisi

dominan.287

Perilaku perjanjian penetapan harga dan kartel sebagaimana

yang tertera dalam Pasal 5 dan Pasal 11 digolongkan ke dalam “perjanjian

yang dilarang” oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

Penggolongan perjanjian penetapan harga ke dalam “perjanjian

yang dilarang” menyebabakan pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat

dikenai sanksi administratif yang bersifat pembatalan perjanjian dan sanksi

yang bersifat pengenaan denda sebagaimana tercantum dalam Pasal 47

ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terutama a dan g.

Sedangkan penggolongan perilaku kartel ke dalam “perjanjian

yang dilarang” menyebabakan pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat

286

Tim Penyusun Guideline Pasal 47 Subdirektorat Pranata Hukum, Draft Guideline

Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 (sementara), (Jakarta: Direktorat Kebijakan

Persaingan KPPU, 2007), hlm. 4. 287

Arie Siswanto., Op. Cit.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 214: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

200

Universitas Indonesia

dikenai sanksi administratif yang bersifat penghentian pelanggaran dan

sanksi yang bersifat pengenaan denda sebagaimana tercantum dalam Pasal

47 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terutama c dan g.288

Dari penelitian mengenai 4 (empat) putusan perjanjian penetapan

harga dan kartel yang telah diteliti oleh Penulis, maka dapat diperoleh

informasi ataupun kesimpulan mengenai pengenaan tindakan administratif

yang tidak konsisten sebagai berikut:

Tabel 4.9. Pengenaan Tindakan Administratif pada Putusan mengenai

Perjanjian Penetapan Harga dan Kartel

Putusan

Perkara

Tindakan Administratif Unsur/Point yang

digunakan dalam

Pasal 47 ayat (2)

Undang-Undang

Nomor 5 Tahun

1999

Putusan Nomor:

24/KPPU-I/2009

1. Denda sebesar:

a. Rp.25.000.000.000,00 (dua

puluh lima miliar rupiah)

terhadap PT Multimas Nabati

Asahan;

b. Rp. 20.000.000.000,00 (dua

puluh miliar rupiah) terhadap

PT Sinar Alam Permai;

c. Rp. 1.000.000.000,00 (satu

miliar rupiah) terhadap PT

Wilmar Nabati Indonesia;

d. Rp. 25.000.000.000,00 (dua

Unsur/Point (g)

Pengenaan denda

serendah-rendahnya

Rp. 1.000.000.000

(satu miliar rupiah)

dan setinggi-

tingginya Rp.

25.000.000.000 (dua

puluh lima miliar

rupiah).

288

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Peraturan Komisi Pengawas Persaingan

Usaha tentang Pedoman Tindakan Administratif Sesuai Ketentuan Pasal 47 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,

Peraturan Komisi Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2009, (Jakarta: Komisi Pengawas Persaingan

Usaha, 2009), hlm. 5 dan 8.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 215: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

201

Universitas Indonesia

puluh lima miliar rupiah)

terhadap PT Multi Nabati

Sulawesi;

e. Rp. 25.000.000.000,00 (dua

puluh lima miliar rupiah)

terhadap PT Agrindo Indah

Persada;

f. Rp. 15.000.000.000,00 (lima

belas miliar rupiah) terhadap

PT Musim Mas;

g. Rp. 2.000.000.000,00 (dua

miliar rupiah) terhadap PT

Intibenua Perkasatama;

h. Rp. 15.000.000.000,00 (lima

belas miliar rupiah) terhadap

PT Megasurya Mas;

i. Rp. 5.000.000.000,00 (lima

miliar rupiah) terhadap PT

Agro Makmur Raya;

j. Rp. 20.000.000.000,00 (dua

puluh miliar rupiah) terhadap

PT Mikie Oleo Nabati

Industri;

k. Rp. 15.000.000.000,00 (lima

belas miliar rupiah) terhadap

PT Indo Karya Internusa;

l. Rp. 5.000.000.000,00 (lima

miliar rupiah) terhadap PT

Permata Hijau Sawit;

m. Rp. 2.000.000.000,00 (dua

miliar rupiah) terhadap PT

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 216: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

202

Universitas Indonesia

Nubika Jaya;

n. Rp. 25.000.000.000,00 (dua

puluh lima miliar rupiah)

terhadap PT Smart, Tbk;

o. Rp. 25.000.000.000,00 (dua

puluh lima miliar rupiah)

terhadap PT Salim Ivomas

Pratama;

p. Rp. 25.000.000.000,00 (dua

puluh lima miliar rupiah)

terhadap PT Bina Karya

Prima;

q. Rp. 10.000.000.000,00

(sepuluh miliar rupiah)

terhadap PT Tunas Baru

Lampung, Tbk;

r. Rp. 10.000.000.000,00

(sepuluh miliar rupiah)

terhadap PT Berlian Eka Sakti

Tangguh;

s. Rp. 10.000.000.000,00

(sepuluh miliar rupiah)

terhadap PT Pacific Palmindo

Industri;

t. Rp. 10.000.000.000,00

(sepuluh miliar rupiah)

terhadap PT Asian Agro

Agung Jaya.

Putusan Nomor:

25/KPPU-I/2009

1. Pembatalan perjanjian penetapan

fuel surcharge baik secara tertulis

maupun tidak tertulis;

1. Unsur/Point (a)

Penetapan

pembatalan

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 217: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

203

Universitas Indonesia

2. Penetapan pembayaran ganti rugi

terhadap:

a. PT Garuda Indonesia

(Persero) sebesar Rp.

162.000.000.000;

b. PT Sriwijaya Air sebesar Rp.

60.000.000.000 (enam puluh

milyar rupiah);

c. PT Merpati Nusantara Airlines

(Persero) sebesar Rp.

53.000.000.000 (lima puluh

tiga milyar rupiah);

d. PT Mandala Airlines sebesar

Rp. 31.000.000.000 (tiga puluh

satu milyar rupiah);

e. PT Travel Express Aviation

Service sebesar

Rp.1.900.000.000 (satu milyar

sembilan ratus juta rupiah);

f. PT Lion Mentari Airlines

sebesar Rp. 107.000.000.000

(seratus tujuh milyar rupiah);

g. PT Wings Abadi Airlines

sebesar Rp. 32.500.000.000

(tiga puluh dua milyar lima

ratus juta rupiah);

h. PT Metro Batavia sebesar Rp.

56.000.000.000 (lima puluh

enam milyar rupiah);

i. PT Kartika Airlines sebesar

perjanjian

sebagaimana

dimaksud dalam

Pasal 4 sampai

dengan Pasal 13,

Pasal 15 dan

Pasal 16;

2. Unsur/Point (f)

Penetapan

pembayaran

ganti rugi;

3. Unsur/Point (g)

Pengenaan

denda serendah-

rendahnya Rp.

1.000.000.000

(satu miliar

rupiah) dan

setinggi-

tingginya Rp.

25.000.000.000

(dua puluh lima

miliar rupiah).

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 218: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

204

Universitas Indonesia

Rp. 1.600.000.000 (satu milyar

enam ratus juta rupiah).

3. Denda sebesar:

a. Rp. 25.000.000.000,00 (dua

puluh lima miliar rupiah)

terhadap PT Garuda Indonesia

(Persero);

b. Rp. 9.000.000.000,00

(sembilan miliar rupiah)

terhadap PT Sriwijaya Air;

c. Rp. 8.000.000.000,00 (delapan

miliar rupiah) terhadap PT

Merpati Nusantara Airlines

(Persero);

d. Rp. 5.000.000.000,00 (lima

miliar rupiah) terhadap PT

Mandala Airlines;

e. Rp. 1.000.000.000,00 (satu

miliar rupiah) terhadap PT

Travel Express Aviation

Service;

f. Rp. 17.000.000.000,00 (tujuh

belas miliar rupiah) terhadap

PT Lion Mentari Airlines;

g. Rp. 5.000.000.000,00 (lima

miliar rupiah) terhadap PT

Wings Abadi Airlines;

h. Rp. 9.000.000.000,00

(sembilan miliar rupiah)

terhadap PT Metro Batavia;

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 219: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

205

Universitas Indonesia

i. Rp. 1.000.000.000,00 (satu

miliar rupiah) terhadap PT

Kartika Airlines. Rp.

1.600.000.000 (satu milyar

enam ratus juta rupiah) oleh

PT Kartika Airlines.

Putusan Nomor:

01/KPPU-I/2010

Tidak ada Tindakan Administratif

yang dikenakan

Tidak ada

Unsur/Point dalam

Pasal 47 ayat (2)

yang digunakan

Putusan Nomor:

17/KPPU-I/2010

1. Penetapan pembatalan beberapa

Pasal di dalam Perjanjian meliputi:

a. Pasal 5, Pasal 13 huruf c angka

IV, Pasal 18 dalam Supply

Agreement antara Terlapor

III/Pfizer Overseas LLC

dengan Terlapor II/PT. Dexa

Medica batal demi hukum;

b. Pasal 9.1 angka (V) dalam

Pfizer Distribution Agreement

antara Terlapor I/PT Pfizer

Indonesia dengan PT. Anugrah

Argon Medika batal demi

hukum;

2. Perintah kepada Terlapor I/PT

Pfizer Indonesia, Terlapor II/PT

Dexa Medica, Terlapor III/Pfizer

Inc., Terlapor IV/Pfizer Overseas

LLC, Terlapor V/Pfizer Global

Trading dan VI/PT Pfizer

Corporation Panama menghentikan

1. Unsur/Point (a)

Penetapan

pembatalan

perjanjian

sebagaimana

dimaksud dalam

Pasal 4 sampai

dengan Pasal 13,

Pasal 15 dan

Pasal 16;

2. Unsur/Point (c)

Perintah kepada

pelaku usaha

untuk

menghentikan

kegiatan yang

terbukti

menimbulkan

praktik monopoli

dan atau

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 220: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

206

Universitas Indonesia

komunikasi yang berisi informasi

harga, jumlah produksi dan rencana

produksi kepada pesaing;

3. Denda sebesar

a. Rp. 25.000.000.000,00 (dua

puluh lima miliar rupiah)

terhadap PT Pfizer Indonesia;

b. Rp. 20.000.000.000,00 (dua

puluh miliar rupiah) terhadap

PT Dexa Medica;

c. Rp. 25.000.000.000,00 (dua

puluh lima miliar rupiah)

terhadap Pfizer Inc.;

d. Rp. 25.000.000.000,00 (dua

puluh lima miliar rupiah)

terhadap Pfizer Overseas LLC;

e. Rp. 25.000.000.000,00 (dua

puluh lima miliar rupiah)

terhadap Pfizer Global Trading

(c/o Pfizer Service Company);

f. Rp. 25.000.000.000,00 (dua

puluh lima miliar rupiah)

terhadap Pfizer Corporation

Panama.

menyebabkan

persaingan usaha

tidak sehat dan

atau merugikan

masyarakat;

3. Unsur/Point (g)

Pengenaan denda

serendah-

rendahnya Rp.

1.000.000.000

(satu miliar

rupiah) dan

setinggi-

tingginya Rp.

25.000.000.000

(dua puluh lima

miliar rupiah).

Pengertian dari Pasal 47 ayat 2 huruf c Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999 adalah KPPU berwenang untuk menjatuhkan sanksi

administratif berupa perintah penghentian kegiatan yang dapat

menimbulkan:289

289

Tim Penyusun Guideline Pasal 47 Subdirektorat Pranata Hukum, Op. Cit., hlm. 7.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 221: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

207

Universitas Indonesia

1. Praktik Monopoli:

Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 9,

Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 16, Pasal 17 ayat

(1), Pasal 18 ayat (1), Pasal 19, Pasal 20, Pasal 26 huruf c dan

Pasal 28 ayat (1) dan (2).

2. Persaingan Usaha Tidak Sehat:

Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 7,

Pasal 8, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14,

Pasal 16, Pasal 17 ayat (1), Pasal 18 ayat (1), Pasal 19, Pasal

20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 26 huruf c dan Pasal 28

ayat (1) dan (2).

3. Kerugian bagi masyarakat: sebagaimana yang tercantum dalam

Pasal 14.

Putusan ditinjau dari Sifatnya terbagi menjadi 3 (tiga) jenis yaitu

Putusan Deklarator, Putusan Konstitutif, dan Putusan Kondemnator.

Putusan declatoir, selanjutnya ditulis deklarator yang bersifat deklaratif

(declatoir vonnis) adalah yang berisi pernyataan atau penegasan tentang

suatu keadaan atau kedudukan hukum semata-mata. Putusan constitutief

atau konstitutif (constitutief vonnis) adalah putusan yang memastikan suatu

keadaan hukum, baik yang bersifat meniadakan suatu keadaan hukum

maupun yang menimbulkan keadaan hukum baru. Sedangkan putusan

condemnatoir atau kondemnator adalah putusan yang memuat amar

menghukum salah satu pihak yang berperkara. Putusan yang bersifat

kondemnator merupakan bagian yang tidak terpisah dari amar deklaratif

atau konstitutif. 290

Dari keempat putusan yang ada, Putusan KPPU Nomor 24/KPPU-

I/2009 bersifat deklarator dengan kondemnator. Putusan KPPU Nomor

25/KPPU-I/2009 bersifat deklarator, konstitutif, dan kondemnator. Putusan

KPPU Nomor 01/KPPU-I/2010 hanya bersifat deklarator. Sedangkan

290

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, cet. 9, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm.

876-877.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 222: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

208

Universitas Indonesia

Putusan KPPU Nomor 17/KPPU-I/2010 bersifat deklarator, konstitutif,

dan kondemnator. Dapat dilihat pada Putusan KPPU Nomor 25/KPPU-

I/2009 dan Putusan KPPU Nomor 17/KPPU-I/2010 memiliki sifat

ketiganya karena tidak hanya ada pernyataan hukum dan hukuman bagi

pelaku namun juga adanya perjanjian atau pasal yang dibatalkan dimana

hal ini dikemudian hari dapat menimbulkan keadaan hukum baru.

Pada Putusan KPPU Nomor 24/KPPU-I/2009 tentang kartel

minyak goreng, sanksi yang dijatuhkan pada Para Terlapor secara efektif

mampu memberikan efek jera. Hal ini menunjukkan bahwa sanksi yang

dijatuhkan oleh KPPU berupa denda administratif , dapat menimbulkan

efek jera bagi para pelaku usaha yang melanggar ketentuan di dalam

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Dengan demikian, penerapan

hukuman denda kepada para pihak yang dianggap bersalah telah mampu

memberikan perubahan terhadap konsep hukum persaingan di Indonesia.

Sanksi berupa penetapan pembatalan perjanjian terkait dengan

putusan KPPU yang dibahas oleh Penulis terdapat dalam Putusan KPPU

Nomor 25/KPPU-I/2009 tentang kartel Fuel Surcharge. Dalam putusan

tersebut, Majelis Komisi KPPU menjatuhkan sanksi administratif berupa

pembatalan perjanjian yang dianggap oleh Majelis Komisi merupakan

sebuah instrumen usaha yang anti persaingan. Tidak hanya itu saja, para

Terlapor juga dikenakan pembayaran ganti rugi dan juga sanksi berupa

pengenaan denda.

Perhitungan mengenai jumlah denda oleh KPPU didasarkan pada

Pedoman Pasal 47 yang dikeluarkan oleh KPPU mengenai sanksi

administratif. KPPU tidak pernah menjelaskan tentang cara perhitungan

denda. Namun dapat diketahui bahwa Pedoman KPPU Pasal 47 tentang

tindakan administratif menyatakan:

“Dalam konteks ganti rugi yang dapat ditetapkan oleh KPPU ialah

jenis ganti rugi aktual (actual damages). Besar kecilnya ganti rugi

ditetapkan oleh KPPU berdasarkan pada kerugian senyatanya yang

dialami penderita.”

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 223: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

209

Universitas Indonesia

Perlu diketahui disini yang dimaksud dengan actual damages ialah

kerugian yang benar-benar diderita secara aktual dan dapat dihitung

dengan mudah sampai ke nilai rupiah.

Dalam perkara Nomor 25/KPPU-I/2009 mengenai Fuel Surcharge

terdapat Dissenting Opinion dari Majelis Hakim yaitu Dr. A.M. Tri

Anggraini, S.H., M.H., dimana seharusnya KPPU tidak membebankan

pembayaran ganti rugi oleh Terlapor kepada Masyarakat dengan cara

menetapkan pembayaran ganti rugi tersebut kepada negara. Ganti rugi

berdasarkan Pasal 47 adalah jenis ganti rugi aktual berdasarkan prinsip-

prinsip ganti rugi dalam KUHPerdata, dimana beban pembuktian

diletakkan pada pihak yang dirugikan (masyarakat/konsumen).

Pembayaran ganti rugi seharusnya ditujukan kepada masyarakat/konsumen

sebagai pihak yang dirugikan akibat terjadinya pelanggaran Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999 dan bukan kepada negara.

Selain itu, prosedur mengenai ganti rugi kepada pihak yang

dirugikan sebagai akibat terjadinya pelanggaran terhadap Undang-Undang

diatur dalam Pasal 38 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang

menyatakan bahwa:

“Pihak yang dirugikan sebagai akibat terjadinya pelanggaran

terhadap undang-undang ini dapat melaporkan secara tertulis

kepada Komisi dengan keterangan yang lengkap dan jelas tentang

telah terjadinya pelanggaran serta kerugian yang ditimbulkan,

dengan menyertakan identitas Terlapor.”

Ketentuan ini menunjukkan bahwa penetapan ganti rugi yang

diakui dalam Undang-Undang tersebut adalah ganti rugi terhadap pihak

yang dirugikan sebagai akibat pelanggaran atas Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999. Oleh karena itu, penetapan dan pembayaran ganti rugi adalah

ditujukan kepada pihak yang dirugikan, dimana dalam kasus ini jelas

bahwa pihak yang dirugikan adalah konsumen.

Pemikiran yang ada didalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999 ini karena adanya sanksi ini dimaksudkan untuk mengakomodasikan

seandainya ada pelaku usaha lain atau pihak lain yang karena adanya

tindakan pelaku usaha tertentu menyebabkan kerugian. Kegiatan-kegiatan

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 224: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

210

Universitas Indonesia

pengenaan sanksi ini seharusnya ada yang dirugikan dan yang dirugikan

itu menuntut ganti rugi atas kerugian yang diderita.

Dalam Putusan KPPU Nomor 17/KPPU-I/2010, selain terdapat

pembatalan beberapa Pasal dalam perjanjian terkait dan juga pengenaan

denda, KPPU juga memerintahkan kepada PT Pfizer Indonesia, PT Dexa

Medica, Pfizer Inc., Pfizer Overseas LLC, Pfizer Global Trading dan PT

Pfizer Corporation Panama untuk menghentikan komunikasi yang berisi

informasi harga, jumlah produksi dan rencana produksi kepada pesaing.

Hal ini dimaksudkan agar dapat menghentikan kegiatan yang terbukti

menimbulkan praktik monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha

tidak sehat dan atau merugikan masyarakat.

KPPU memutuskan Pasal 5, Pasal 13 huruf c angka IV, Pasal 18

dalam Supply Agreement antara Terlapor III/Pfizer Overseas LLC dengan

Terlapor II/PT Dexa Medica batal demi hukum terkait komunikasi

diantara pesaing dan juga Pasal 9.1 angka (V) dalam Pfizer Distribution

Agreement antara Terlapor I/PT Pfizer Indonesia dengan PT. Anugrah

Argon Medika batal demi hukum terkait pengaturan pemberian informasi.

Batal demi hukum (null and void) dapat dikatakan secara yuridis dari

semula tidak ada.

Dalam hal syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian, apabila

suatu syarat objektif tidak terpenuhi (hal tertentu atau causa yang halal),

maka perjanjiannya adalah batal demi hukum (null and void). Dalam hal

yang demikian, secara yuridis dari semula tidak ada suatu perjanjian dan

tidak ada pula suatu perikatan antara orang-orang yang bermaksud

membuat perjanjian itu.291

Hal ini menurut Penulis kurang efektif karena isi dari pasal tersebut

berimplikasi pada pelaksanaan perjanjian tersebut di kemudian hari secara

keseluruhan. Meskipun hanya satu pasal yang dihilangkan, belum tentu

dapat mengembalikan persaingan itu sendiri karena terkait dengan pasal

lainnya yang ada di dalam Supply Agreement dan Distribution Agreement.

291

Subekti, Hukum Perjanjian, cet. 29, (Jakarta: Intermasa, 2001), hlm. 22.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 225: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

211

Universitas Indonesia

Hal ini pun diluar dari yang diatur dalam Pasal 47 ayat (2) Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999.

Berdasarkan ketentuan Pasal 47 ayat (2) huruf g Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 mengenai penetapan sanksi berupa pengenaan

denda, KPPU menempuh dua langkah, yaitu:292

1. KPPU akan menentukan besaran Nilai Dasar; dan

2. KPPU akan menyesuaikan dengan menambahkan atau

mengurangi besaran Nilai Dasar tersebut.

Dalam menghitung besaran Nilai Dasar KPPU menggunakan tipe

metodologi, antara lain:293

1. Penghitungan terhadap Nilai Penjualan / pembelian barang atau

jasa pelaku usaha pada pasar bersangkutan.

Pada umumnya Nilai penjualan akan dihitung berdasarkan nilai

keseluruhan penjualan pada tahun sebelum pelanggaran

dilakukan. Hal ini bertujuan untuk memudahkan estimasi nilai

penjualan pelaku usaha yang terlibat pelanggaran pada saat

data penjualan tahunannya belum tersedia. Pada pelanggaran

yang dilakukan oleh sekelompok pelaku usaha, maka nilai

penjualan akan dihitung sebagai penjumlahan dari seluruh nilai

penjualan anggotanya.

2. Penentuan terhadap Nilai Dasar Denda

Nilai Dasar Denda terkait dengan proporsi dari nilai penjualan,

tergantung dari tingkat pelanggaran dan dikalikan dengan

jumlah tahun pelanggaran. Proporsi nilai penjualan yang

diperhitungkan adalah sampai dengan batas 10% dari nilai

penjualan tersebut.

Pertimbangan KPPU untuk menentukan proporsi nilai penjualan

tersebut berada pada titik tertinggi atau terendah antara lain meliputi

faktor-faktor:294

292

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Op. Cit., hlm. 8-9.

293

Ibid., hlm. 9.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 226: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

212

Universitas Indonesia

1. Skala perusahaan;

2. Jenis pelanggaran;

3. Gabungan pangsa pasar dari para Terlapor;

4. Cakupan wilayah geografis pelanggaran; dan

5. Telah atau belum dilaksanakannya pelanggaran tersebut.

Setelah dilakukan penghitungan besar Nilai Dasar Denda, KPPU

juga melakukan penyesuaian terhadap denda yang telah ditetapkan, bisa

ditambah atau malah dikurangi berdasarkan penilaian secara keseluruhan

dengan tetap memperhatikan seluruh aspek-aspek terkait.

Hal-hal yang dapat membuat Nilai Dasar Denda ditambah ialah

apabila KPPU menemukan hal-hal yang memberatkan berupa:295

1. Terlapor tetap melanjutkan atau mengulangi pelanggaran yang

sama. Perbuatan seperti ini bisa dikenakan penambahan sampai

dengan 100% dari Nilai Denda untuk setiap pelanggaran yang

dilakukan.

2. Menolak diperiksa, menolak memberikan informasi yang

diperlukan dalam penyelidikan dan/atau pemeriksaan, atau

menghambat proses penyelidikan dan/atau pemeriksaan.

3. Adanya tindakan dari penggagas atau pemimpin dari pelanggan

yang menekan atau mengancam pihak lain untuk melancarkan

pelanggaran tersebut.

Hal-hal yang dapat membuat Nilai Dasar Denda dikurangi ialah

apabila KPPU menemukan hal-hal yang meringankan berupa:296

1. Terlapor memberikan bukti bahwa telah menghentikan tindakan

pelanggaran segera setelah KPPU melakukan penyelidikan.

2. Terlapor menunjukkan bukti bahwa pelanggaran tersebut

dilakukan secara tidak sengaja.

294

Ibid., hlm. 10. 295

Ibid.

296

Ibid.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 227: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

213

Universitas Indonesia

3. Terlapor menunjukkan bukti bahwa keterlibatannya dalam

pelanggaran tersebut adalah minimal.

4. Terlapor bersikap baik dan kooperatif dalam proses

penyelidikan dan/atau pemeriksaan.

5. Apabila tindakan tersebut merupakan perintah perundang-

undangan atau persetujuan instansi yang berwenang, dan

6. Adanya pernyataan kesediaan untuk melakukan perubahan

perilaku dari pelaku usaha.

Dalam hal penambahan Nilai Dasar Denda ini, KPPU memberikan

perhatian khusus terhadap 2 hal, yaitu:

1. Kebutuhan untuk menjamin bahwa denda bisa mengakibatkan

efek penjara yang cukup dimana pada akhirnya hal tersebut

akan mendapatkan keuntungan lebih besar dari proses

pelanggaran tersebut dibandingkan dengan penjualan barang

atau jasa Terlapor itu sendiri.

2. Kebutuhan untuk melebihi jumlah nilai keuntungan yang

diperoleh Terlapor dari pelanggaran tersebut.

Sedangkan dalam hal pengurangan Nilai Dasar Denda, KPPU

memberikan perhatian khusus terhadap permintaan dari pihak Terlapor

untuk mempertimbangkan kamampuan membayar dari Terlapor pada

konteks sosial ekonomi tertentu, tetapi pengurangan akan diberikan secara

individu berdasar pada bukti objektif yaitu apabila denda tersebut bisa

berakibat pada bangkrutnya perusahaan Terlapor.297

Dari hasil analisis keempat putusan diatas, KPPU tidak

menguraikan secara rinci di dalam putusan kartel minyak goreng dan

kartel industri farmasi mengenai mekanisme perhitungan dalam pengenaan

sanksi denda, sesuai dengan pedoman yang terdapat di dalam Peraturan

Komisi Nomor 4 Tahun 2009, karena di dalam kedua putusan tersebut

tidak dijelaskan bagaimana mekanisme penghitungan denda yang

dikenakan kepada para pelaku usaha.

297

Ibid., hlm. 10-11.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 228: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

214

Universitas Indonesia

Berdasarkan penjelasan di atas, Penulis berkesimpulan bahwa

substansi Pasal 11 termasuk ke dalam kategori “perjanjian yang dilarang”

oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dimana pelanggaran

terhadapnya dapat mengakibatkan “praktik monopoli”, “persaingan usaha

tidak sehat” dan “merugikan masyarakat” sehingga sanksi yang dijatuhkan

atas pelanggaran terhadapnya bisa berupa kewajiban “pembatalan

perjanjian” sesuai dengan Pasal 47 ayat (2) huruf a Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 dan “pembayaran ganti rugi” ataupun “pengenaan

denda” sesuai dengan Pasal 47 ayat (2) huruf c dan g Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 229: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

215

Universitas Indonesia

BAB 5

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

1. Perjanjian penetapan harga mempunyai hubungan yang sangat

signifikan dengan Kartel. Hal ini bisa dilihat dari kedua bentuk

perjanjian inilah yang hanya menguntungkan para anggota kartel

yang bersangkutan. Sekilas Pasal 5 tentang penetapan harga

memiliki kesamaan dengan Pasal 11 yang mengatur mengenai

kartel. Perbedaan antara Pasal 11 dengan Pasal 5 adalah bahwa

dalam Pasal 5 pelaku usaha sepakat untuk menetapkan harga,

sedangkan pada kartel yang disepakati oleh anggota adalah

mempengaruhi harga dengan jalan mengatur produksi dan atau

pemasaran barang atau jasa. Jadi pada kartel para pelaku usaha

sepakat mengenai jumlah produksi dan atau pemasaran barang atau

jasa, yang melalui kesepakatan ini akan berpengaruh terhadap

harga barang atau jasa yang mereka produksi. Sementara itu Pasal

5 pada hakikatnya juga merupakan pengaturan tentang kartel,

hanya saja kartel yang dimaksud adalah kartel harga. Kartel dalam

Pasal 11 yang dilarang adalah kartel produksi dan pemasaran yang

tujuan akhirnya mempengaruhi harga. Jadi kalau Pasal 5 mengatur

secara langsung larangan pengaturan harga, maka dalam Pasal 11

yang dilarang adalah kartel produksi dan pemasaran yang akhirnya

berpengaruh pada harga produk. Selain itu perjanjian penetapan

harga merupakan salah satu bentuk kartel. Hal ini disebabkan

dalam pengaturan mengenai kartel (Pasal 11) meliputi penetapan

harga, kolusi tender, alokasi pelanggan dan wilayah serta

pembatasan atau pengaturan produksi (kuota).

2. Karakteristik putusan KPPU atas perjanjian penetapan harga dan

kartel di Indonesia selama tahun 2009 sampai dengan 2010 adalah

215

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 230: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

216

Universitas Indonesia

terdapat pada indikasi awal perkara, struktur putusan KPPU,

pembuktian perilaku pelaku usaha, pembuktian unsur-unsur yang

digunakan oleh KPPU, pendekatan hukum dan pengenaan sanksi.

a. Dalam Indikasi Awal Perkara adalah adanya perjanjian

penetapan harga dan kartel yang dilihat dari produk yang

bersifat homogen, seperti minyak goreng, semen atau

obat. Adanya kesamaan produk mempermudah

bekerjanya suatu kartel harga. Asosiasi masih menjadi

wadah bagi para pelaku usaha untuk berkomunikasi,

bertukar informasi, dan saling melakukan kerjasama

diantara pelaku usaha dalam industri yang sama dan

berpengaruh dalam penentuan kebijakan anggota dan

industri mereka. Hal tersebut terlihat pada Putusan KPPU

Nomor 01/KPPU-I/2010. Selain itu kemudahan

berkomunikasi biasanya terakomodasi secara efektif

dalam asosiasi tersebut sangat dimungkinkan melakukan

transparansi harga serta kesepakatan-kesepakatan lainnya

seperti yang terjadi pada asosiasi minyak goreng dan

semen.

b. Pada Struktur Putusan KPPU masih terdapat putusan

yang tidak mencantumkan pembelaan atau tanggapan dari

Pihak Terlapor. Hal ini dapat dilihat pada Putusan KPPU

Nomor 24/KPPU-I/2009 tentang kartel minyak goreng.

Selain itu, masih terdapat inkonsistensi dalam

mempertimbangkan secara adil keterangan ahli meskipun

terhadap keterangan ahli yang tidak disetujui oleh Majelis

seperti pada Putusan KPPU Nomor 01/KPPU-I/2010 dan

Putusan KPPU Nomor 17/KPPU-I/2010. Belum adanya

satu standard yang baku mengenai format putusan juga

mempersulit pembaca putusan yang tidak melakukan

inzage (hasil pemeriksaan berkas) terhadap perkara secara

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 231: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

217

Universitas Indonesia

utuh dimana dapat terlihat pada Putusan KPPU Nomor

17/KPPU-I/2010.

c. Dalam membuktikan perilaku pelaku usaha, KPPU

menggunakan Uji Korelasi sebagai bagian dari Bukti

Ekonomi (Economic Evidence). KPPU menyertakan

perhitungan statistik sebagai bagian dari bukti ekonomi

yang begitu kompleks sebagai metode pembuktian yaitu

tingkat konsentrasi pasar, uji homogenitas varians, dan

penghitungan kerugian konsumen. Dari hasil uji

homogenitas varians keempat putusan, diketahui bahwa

masih terdapat inkonsistensi dalam penggunaan uji

homogenitas varians.

d. Dalam pembuktian Unsur-Unsur dalam Pasal yang

digunakan oleh KPPU pada perkara perjanjian penetapan

harga dan kartel (perkara yang tidak terbukti), Majelis

tidak menggunakan unsur pasar bersangkutan pada Pasal

5 dan unsur praktek monopoli dan/atau persaingan usaha

tidak sehat dalam Pasal 11. Sebab jika majelis tidak dapat

membuktikan perjanjian untuk menetapan harga dan

unsur perjanjian untuk mempengaruhi harga dengan

mengatur produksi dan/atau pemasaran, maka unsur lain

dalam Pasal 5 dan Pasal 11 tidak digunakan lagi,

walaupun di dalam Pasal 11 terdapat Praktek Monopoli

dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat. Hal ini

bertentangan dengan pendekatan Rule of Reason sebagai

pendekatan yang digunakan dalam Pasal 11 Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999. Selain itu, Majelis tidak

menggunakan unsur terjadinya persaingan usaha tidak

sehat dalam memutus perkara apabila unsur-unsur lain

tidak terbukti. Pelanggaran terhadap ketentuan ini berarti

terdapat unsur melawan hukum yang merupakan unsur

terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 232: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

218

Universitas Indonesia

e. Berdasarkan ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1999, maka larangan kartel dideteksi dengan

pendekatan Rule of Reason, hal ini dapat terlihat dari anak

kalimat dalam ketentuan tersebut, yang berbunyi: “...yang

bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur

produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa

dari pasar bersangkutan.”. Demikian halnya dalam

perkara kartel minyak goreng, kartel Fuel Surcharge,

kartel semen, dan kartel industri farmasi. KPPU lebih

memilih menerapkan Rule of Reason pada kasus kartel

Fuel Surcharge daripada Per se Illegal karena adanya

dampak yang ditimbulkan oleh adanya kartel tersebut.

f. Tidak semua putusan KPPU dalam memutus perkara

perjanjian penetapan harga dan kartel dijatuhi sanksi ganti

kerugian. Dapat diketahui bahwa Pasal 47 mengenai

tindakan administratif dalam Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999 tidak bersifat limitatif dalam perkara

perjanjian penetapan harga dan kartel. Hal ini dapat

dilihat dari Putusan KPPU Nomor 17/KPPU-I/2010

tentang kartel industri farmasi dimana terdapat

pembatalan pasal atau isi dari Pasal 5, Pasal 13 huruf c

angka IV, Pasal 18 dalam Supply Agreement antara Pfizer

Overseas LLC dengan PT. Dexa Medica dan juga Pasal

9.1 angka (V) dalam Pfizer Distribution Agreement antara

PT Pfizer Indonesia dengan PT. Anugrah Argon Medika.

Karakteristik lainnya yaitu KPPU tidak menguraikan

secara rinci di dalam putusan kartel minyak goreng dan

kartel industri farmasi mengenai mekanisme perhitungan

dalam pengenaan sanksi denda, sesuai dengan pedoman

yang terdapat di dalam Peraturan Komisi Nomor 4 Tahun

2009, karena di dalam putusan-putusan tersebut tidak

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 233: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

219

Universitas Indonesia

dijelaskan bagaimana mekanisme penghitungan denda

yang dikenakan kepada para pelaku usaha.

5.2 Saran

1. Pada umumnya baik penetapan harga maupun kartel sangat efektif

dilakukan dalam wadah asosiasi. Karena itu KPPU perlu membuat

pedoman bagi pelaku usaha tentang hal-hal yang dapat atau tidak

dapat dilakukan dalam sebuah asosiasi dagang.

2. Pembuktian penetapan harga dan kartel diketahui sangat sulit,

terutama dalam hal tidak ditemukan bukti langsung (direct

evidence) berupa perjanjian tertulis atau dokumen. Oleh karena itu,

diperlukan adanya terobosan baru dalam metode pembuktian yang

menggunakan bukti tidak langsung yang dapat diterima stake

holders, seperti pengadilan dan pengacara atau advokat.

3. KPPU perlu meningkatkan konsistensi dalam pembuatan putusan

agar kesalahan atau kekurangan seperti pada putusan kartel minyak

goreng, kartel pengenaan biaya tambahan Fuel Surcharge dalam

industri jasa penerbangan domestik, kartel industri semen dan

kartel industri farmasi tidak terjadi lagi.

4. KPPU dapat menguraikan secara rinci di dalam putusannya

mengenai mekanisme perhitungan dalam pengenaan sanksi denda,

sesuai dengan pedoman yang terdapat di dalam Peraturan Komisi

Nomor 4 Tahun 2009, karena di dalam beberapa putusannya,

KPPU tidak dijelaskan bagaimana mekanisme penghitungan denda

yang dikenakan kepada para pelaku usaha.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 234: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

220

Universitas Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

A. Ganner B. Black’s Law Dictionary. St. Paul Minn: West Group, 1999.

Agee, James L. Ed. III. Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya di

Indonesia. Jakarta: Elips, 1999.

Alfter, M. and J. Young, “Economic Analysis of Cartels – Theory and Practice.”

European Competition Law Review 546-557 (2005). Hlm. 547.

Anggraini, A. M. Tri. Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak

Sehat, Per Se Illegal atau Rule of Reason. Jakarta: Program Pasca

Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003.

_________. “Perspektif Perjanjian Penetapan Harga Menurut Hukum Persaingan

Usaha” Dalam Ridwan Khairandy. Masalah-Masalah Hukum Ekonomi

Kontemporer. Ed. Cet.1. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia,

Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi, 2006.

Areeda, Phillip. “Hukum Antitrust Amerika.” Dalam Ceramah Tentang Hukum

Amerika Serikat. Jakarta: PT. Tata Nusa, 1996.

Arifin, T dan Sandi Hambali. “Undang-Undang Antitrust Di Amerika Serikat.”

Jurnal Hukum Bisnis (Volume 5 Tahun 1990). Hlm. 29.

Atmadja, Arifin P. Soeria. Mekanisme Pertanggungjawaban Keuangan Negara.

Jakarta: Gramedia, 1986.

Azhary. Negara Hukum Indonesia: Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-

unsurnya. Jakarta: Universitas Indonesia, 1995.

Bertents. Pengantar Etika Bisnis. Yogyakarta: Kanisius, 2000.

Bos, Jacqueline. “Antitrust treatment of Cartels, A Comparative Survey of

Competition Law Exemptions in The United States, The European

Union, Australia and Japan.” 1 Wash. U. Global Stud. L. Rev. 415

(Washington University, 2002).

Briggs, A. “The Welfare State in Historical Perspective” Dalam Donald J. Moon,

Ed., Responsibility Rights & Welfare, The theory of the Welfare State.

Colorado: Westview Press Inc., Boulder, 1988.

Carlton, Dennis W and Jeffrey M. Perioff. Modern Industrial Organization.

Harper Collins Publisher, 1994.

Cides. Undang-Undang Persaingan: Suatu Upaya mendorong persaingan sehat.

Jakarta: Center for Information and Developments Studies-Konrad

Adenauer Stiftung, 1997.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 235: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

221

Universitas Indonesia

Davidso, Daniel V. Et al. Comprehensif Business Law, Principles and Cases.

London: Kent Publishing Company, 2001.

Fuady, Munir. Hukum Anti Monopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat.

Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999.

Fox, Eleanor M. “End of Antitrust Isolationism: The Vision of One World.” 1992

University of Chicago Legal Forum 221 (1992). Hlm. 228.

G. Shepherd W. The Economics of Industrial Organization. Fourth Eds. New

Jersey: Prentice Hall, 1997.

Gaffar, Firoz. “Hukum Acara Persaingan Usaha: Telaah Kritis Atas Sejumlah

Problem.” Jurnal Hukum Bisnis (Januari 2006). Hlm. 60.

Gautama, Soedargo. Hukum Perdata Internasional Indonesia. Bandung: Bina

Cipta, 1987.

Ginting, Elyta Ras. Hukum Anti Monopoli di Indonesia, Analisis dan

Perbandingan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. Bandung: Citra

Aditya Bakti, 2001.

Goodin, Robert E. “Reason for Welfare, Economic, Sociological and Political but

Ultimately Moral” Dalam Donald J. Moon, Ed., Responsibility Rights &

Welfare, The theory of the Welfare State. Colorado: Westview Press Inc.,

Boulder, 1988.

Guerrin, Maurice and Georgios Kyriazis. “Cartels: Proof and Procedural Issues.”

16 Fordham International Law Journal 226 (1993). Hlm. 301-302.

Gujarati, Damodar N. Basic Econometrics 4th Edition. McGraw Hill, 2003.

Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sapta Artha Jaya, 1996.

Hansen, Knud. Et al. Law Concerning Prohibition of Monopolistic Practices and

Unfair Business Competition. Berlin: GTZ-Katalis Publishing Media

Services, 2001.

Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata. Cet. 9. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Harding, Christopher and Julian Joshua. “Regulating Cartels In Europe – A Study

Of Legal Control Of Corporate Delinquency.” European Law Review

(Sweet & Maxwell Limited and Contributors, 2004).

Hazlett, Thomas W. “Is Antitrust Anticompetitive?.” 9 Harvard Journal of Law &

Public Policy 277 (1986). Hlm. 283.

Heidenhain, Martin. Et al., German Antitrust Law. Frankfurt am Main: Verlap

Fritz Knapp Gmbh, 1999.

Hermansyah. Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Jakarta:

Kencana, 2008.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 236: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

222

Universitas Indonesia

Hovenkamp, Herbert. Antitrust. St. Paul Minnesota: West Publishing, Co., 1993.

Irianto, Sulistyo dan Shidarta. Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi.

Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011.

Juwana, Hikmahanto. “Sekilas tentang Hukum Persaingan dan Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999,” Jurnal Magister Hukum (September 1999). Hlm.

32.

Kagramanto, L. Budi. Larangan Persekongkolan Tender (Perspektif Hukum

Persaingan Usaha). Surabaya: Srikandi, 2007.

Khairandy, Ridwan. “Membudayakan Persaingan Sehat.” Jurnal Hukum Bisnis

(19 Juni 2002). Hlm. 4.

_________. “Analisis Putusan KPPU dan Pengadilan Negeri dalam

Persekongkolan Tender PT. Indomobil.” Jurnal Hukum Bisnis (Volume

24, Tahun 2005). Hlm. 6.

Khemani, R.S. and D.M. Shapiro. Glossary of Industrial Organization Economics

and Competition Law. Paris: Organization for Economic Co-Operation

and Development, 1990.

Khemani, R. Syam. A Framework for The Design and Implementation of

Competition Law and Policy. Washington DC: World Bank, OECD,

1998.

KPPU. Laporan Lima Tahun Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Jakarta:

Komisi Pengawas Persaingan Usaha, 2005.

Kusumaatmadja, Mochtar dan B. Arief Sidharta. Pengantar Ilmu Hukum Suatu

Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum (Buku 1).

Bandung: Alumni, 1999.

Lasater, Kieran A. “A Survey of the Domestic Approaches to Antitrust Taken by

the Opec Member Nations: Do They Practice What They Preach?.” 23

Penn State International Law Review 413 (2004). Hlm. 414.

Leslie, Christopher R. “Trust, Distrust, and Antitrust.” 82 Texas Law Review 515

(2004). Hlm 518.

Lubis, Andi Fahmi. Et al. Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks.

Jakarta: KPPU bersama GTZ, 2009.

Maarif, Syamsul. “Perjanjian Penetapan Harga Dalam Perspektif UU No. 5 Tahun

1999 tentang larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak

Sehat.” Dalam Prosiding UU No. 5 Tahun 1999 dan KPPU. Cet. II.

Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005.

_________. “Persaingan Usaha dalam Perspektif Hukum.” Makalah dalam

Seminar Anti Monopoli dan Persaigan Usaha, diselenggarakan oleh

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 237: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

223

Universitas Indonesia

Asosiasi Advokat Indonesia (AAI)- Komisi Pengawas Persaingan Usaha,

Jakarta: 21 April 2005.

Maitland, Julian and Walker. “Constraints on Competitive Pricing.” European

Competition Law Review 17(8) 423-427 (1996). Hlm. 423.

Margono, Sayud. Hukum Anti Monopoli. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Marks, David H. “The Anti-Trust Implications of Relationships Between

Competitors.” European Competition Law Review 7(3) 299-326 (1986).

Hlm. 315.

Matsushita. introduction to Japanese Antimonopoly Law. Japan: Yuhikaku

Publishing Co. Ltd, 1990.

Maulana, Insan Budi. Catatan Singkat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.

Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Penerbit

Liberty, 1998.

_________. Penemuan Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty, 2003.

Mertokusumo, Sudikno dan A. Pitlo. Bab-bab tentang Penemuan Hukum.

Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993.

Nadapdap, Binoto. Hukum Acara Persaingan Usaha. Jakarta: Jala Permata

Aksara, 2009.

Nugroho, Susanti Adi. Pengaturan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia.

Jakarta: Puslitbang Mahkamah Agung, 2001.

Nurhayati, Irna. “Kajian Hukum Persaingan Usaha: Kartel Antara Teori dan

Praktik.” Jurnal Hukum Bisnis (Volume 30, Nomor 2 Tahun 2011). Hlm.

6.

Nusantara, Abdul Hakim G. dan Benny K. Harman. Analisa dan Perbandingan

Undang-Undang Anti Monopoli. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo,

1999.

OECD. “Prosecuting Cartels without Direct Evidence of Agreement.” Policy Brief

(Juni 2008).

Opi, Sergio Baches. “Merger Control in the United States and European Union:

How Should the United States Experience Influence the Enforcement of

the Council Merger Regulation?.” 6 Journal of Transnational Law &

Policy 223 (1997). Hlm. 278.

Pakpahan, Norman S. Pokok-Pokok Pikiran tentang Hukum Persaingan Usaha.

Jakarta: ELIPS, 1994.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 238: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

224

Universitas Indonesia

Posner, Richard. “Oligopoly and the Antitrust Laws: A Suggested Approach.” 21

Stanford Law Review 1562 (1969). Hlm. 1603-1604.

Prayoga, Ayudha D. Ed. Persaingan Usaha dan Hukum Yang Mengaturnya di

Indonesia. Jakarta: Partnership for Business Competition, 2001.

_________. Peran Lembaga Peradilan dalam Menangani Perkara Persaingan

Usaha. Jakarta: Partnership for Business Competition, 2001.

Rachbini, Didik J. “Cartel and Merger in Control in Indonesia.” Jurnal Hukum

Bisnis (Volume 19 Mei-Juni 2002). Hlm. 11-12.

Radjagukguk, Erman. Peranan Hukum di Indonesia: Menjaga Persatuan Bangsa

Memulihkan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial. Jakarta:

Universitas Indonesia, 2000.

_________. “Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dan KPPU”, Prosiding 2004.

Cet. 1. Jakarta: Pusat Pengkajian hukum, 2005.

Rahardja, Prahatma. dan Mandala Manurung. Teori Ekonomi Mikro: Suatu

Pengantar. Ed. II. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia,

2001.

Ramdani, Dendi. “Analisis Persaingan Usaha Industri Penerbangan.” Jurnal

Hukum Persaingan Usaha, Lembaga Kajian Persaingan dan Kebijakan

Usaha Fakultas Hukum Universitas Indonesia (Volume 1, mei 2004).

Hlm. 10.

Rokan, Mustafa Kemal. Hukum Persaingan Usaha : Teori dan Praktinya di

Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010.

Schmidt, Jonathan T. “Keeping U.S. Courts Open to Foreign Antitrust Plaintiffs:

A Hybrid Approach to the Effective Deterrence of International Cartels.”

31 Yale Journal of International Law 211 (2006). Hlm. 218.

Sirait, Ningrum Natasya. Hukum Persaingan di Indonesia. Medan: Pustaka

Bangsa Press, 2004.

Siswanto, Arie. Hukum Persaingan Usaha. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002.

Sjahdeni, Sutan Remy. “Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak

Sehat.” Jurnal Hukum Bisnis (Volume 10, Tahun 2000). Hlm. 11.

_________. “Latar Belakang, Sejarah, dan Tujuan UU Larangan Monopoli.”

Jurnal Hukum Bisnis (Mei-Juni 2002). Hlm. 5.

Soekanto, Soerdjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Pers, 2008.

Stucke, Maurice E. “Behavioral Economists At The Gate: Antitrust In the

Twenty-First Century.” 38 Loyola University Chicago Law Journal 513

(2007). Hlm. 552.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 239: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

225

Universitas Indonesia

Subekti. Hukum Perjanjian. Cet. 29. Jakarta: Intermasa, 2001.

Sukarni. Regulasi Antidumping di Bawah Bayang-Bayang Pasar Bebas. Cet. 1.

Jakarta: Sinar Grafika: 2002.

Sulistia, Teguh. “Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Dalam Ekonomi Pasar Bebas.” Jurnal Hukum Bisnis (Volume 22, Nomor

5 Tahun 2003). Hlm. 64.

Sullivan, E. Thomas dan Jeffrey L. Harrison. Understanding and Its Economic

Implication. New York: Matthew Bender & Co., 1994.

Sullivan, Lawrence Anthony. Antitrust. St. Paul Minnesota: West Publishing, Co.,

1977.

Suparmoko, M. Et al. Pokok-Pokok Ekonomika. Yogyakarta: BPFE, 2000.

Supreme Court 2009 Term Leading Cases. “Quick Look Rule of Reason.” 124

Harvard Law Review. 400 (2010). Hlm. 4.

Syamsudin, M. Operasionalisasi Penelitian Hukum. Jakarta: PT Rajagrafindo

Persada, 2007.

Tineo, Luis and Maria Coppola. Competition Policy and Economic Growth in

Indonesia: A Report on Issues and Options. Washington DC: World

Bank, 2001.

Toha, Kurnia. “Implikasi UU No. 5 Tahun 1999 terhadap Hukum Acara Pidana.”

Jurnal Hukum Bisnis (Volume 19, Mei - Juni 2002). Hlm. 21.

Usman, Rachmadi. Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama, 2004.

Vaska, Michael K. “Conscious Parallelism and Price Fixing: Defining The

Boundary.” University of Chicago Law Review (Volume 52, Tahun

1985). Hlm 508.

Wie, Thee Kian. “Aspek-Aspek Ekonomi Yang Perlu Diperhatikan Dalam

Implementasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.” Jurnal Hukum

Bisnis (Volume 7, Tahun 1999). Hlm. 67.

Wignjosoebroto, Soetandyo. Hukum: Paradigma, Metode, dan Masalahnya.

Jakarta: ELSAM dan Huma, 2002.

Wiradiputra, Ditha. Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesia. Depok:

FHUI, 2003.

Yardley, DCM. Introduction to British Constitutional Law. Seventh ed. London:

Butterworths, 1990.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 240: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

226

Universitas Indonesia

Yuhassarie, Emmy dan Tri Harnowo. Ed. Filosofi dan Latar Belakang UU No.

5/1999 (secara ekonomis) dan Status/Kelembagaan, Wewenang & Tugas

KPPU. Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2004.

Zwarensteyn, H. Some Aspects of the Extraterritorial Reach of the American

Antitrust Law. The Netherlands: Kluwer-Deventer, 1970.

B. Internet

BANI. “Prosedur Bani” http://www.bani-arb.org/bani_prosedur_ind.html.

Diunduh 7 Oktober 2012.

Iwantono, Sutrisno. “Sulitnya Membuktikan Praktek Kartel”

http://www.kppu.go.id/id/sulitnya-membuktikan-praktik-kartel/. Diunduh

25 April 2012.

Isharyanto, “Makalah Seminar Saksi Ahli UNTAG” http://isharyanto-

hukum.com/makalah_seminar/isharyanto

MAKALAH_SEMINAR_AHLI_UNTAG.doc. Diunduh 6 Oktober 2012.

NN, “Dua Perusahaan Farmasi Besar Diduga Lakukan Kartel Obat”

http://www.menitiriau.com/headline.php?go=news&id=1364. Diunduh

17 September 2012

Sari, Wahyu Retno Dwi. “Kartel: Upaya Damai Untuk meredam Konfrontasi

Dalam Persaingan Usaha”, Jurnal KPPU (Edisi 1 Tahun 2009)

http://www.kppu.go.id/docs/Jurnal_edisi_1_th_09.pdf. Diunduh 6 Mei

2010.

Serikat Karyawan TRISAKTI. Dalam A.M. Tri Anggraini, “Mekanisme

Mendeteksi dan Mungungkap Kartel Dalam Hukum Persaingan”,

http://www.sekartrisakti.wordpress.com/2011/06/08/mekanisme-

mendeteksi-dan-mengungkap-kartel-dalam-hukum-persaingan/. Diunduh

6 November 2012.

C. Peraturan Dasar dan Peraturan Perundang-undangan

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sekretariat Jenderal

MPR RI, 2002.

Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat. UU Nomor 5 Tahun 1999, LN Nomor 33

Tahun 1999, TLN Nomor 3817.

_________. Keputusan Presiden tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha.

Keppres Nomor 75 Tahun 1999.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013

Page 241: UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI ANTARA …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334176-T32563-Rizki Afriadi... · relevansi antara perjanjian penetapan harga dengan kartel dalam praktek

227

Universitas Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia. Peraturan Mahkamah Agung tentang Tata

Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan terhadap Putusan KPPU.

Perma Nomor 3 Tahun 2005.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Peraturan Komisi Pengawas

Persaingan Usaha tentang Pedoman Tindakan Administratif Sesuai

Ketentuan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,

Peraturan Komisi Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2009. Jakarta:

Komisi Pengawas Persaingan Usaha, 2009.

_________, Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha tentang Pedoman

Pelaksanaan Pasal 11 tentang Kartel Berdasarkan Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat, Peraturan Komisi Persaingan Usaha

Nomor 4 Tahun 2010. Jakarta: Komisi Pengawas Persaingan Usaha,

2010.

_________, Peraturan Komisi Pengawa Persaingan Usaha tentang Pedoman Pasal

5 (Penetapan Harga) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,

Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2011.

Jakarta: Komisi Pengawas Persaingan Usaha, 2011.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) diterjemahkan oleh

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. Cet. 40. Jakarta: Pradya Paramita, 2009.

D. Putusan-Putusan

Putusan Perkara Nomor : 24/KPPU-I/2009 tentang Kartel Harga pada Industri

Minyak Goreng Sawit di Indonesia.

Putusan Perkara Nomor : 25/KPPU-I/2009 tentang Kartel Biaya Tambahan Bahan

Bakar di Industri Jasa Penerbangan Domestik (Fuel Surcharge)

Putusan Perkara Nomor : 01/KPPU-I/2010 tentang Kartel pada Industri Semen di

Indonesia.

Putusan Perkara Nomor : 17/KPPU-I/2010 tentang Kartel dalam Industri Farmasi

Kelas Terapi Amlodipine.

Relevansi antara..., Rizki Afriadi Wibowo, FH UI, 2013