Universitas Indonesia Library

201
UNIVERSITAS INDONESIA DRAMA-DRAMA FESTIVAL TEATER JAKARTA: MEMBACA MANUSIA DALAM LAKU SKRIPSI REBECCA KEZIA SEREFINA PALUPI 1006663240 FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI INDONESIA DEPOK JULI 2014 Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Transcript of Universitas Indonesia Library

Page 1: Universitas Indonesia Library

UNIVERSITAS INDONESIA

DRAMA-DRAMA FESTIVAL TEATER JAKARTA:

MEMBACA MANUSIA DALAM LAKU

SKRIPSI

REBECCA KEZIA SEREFINA PALUPI

1006663240

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA

PROGRAM STUDI INDONESIA

DEPOK

JULI 2014

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 2: Universitas Indonesia Library

i

UNIVERSITAS INDONESIA

DRAMA-DRAMA FESTIVAL TEATER JAKARTA: MEMBACA

MANUSIA DALAM LAKU

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Humaniora

REBECCA KEZIA SEREFINA PALUPI

1006663240

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA

PROGRAM STUDI INDONESIA

DEPOK

JULI, 2014

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 3: Universitas Indonesia Library

ii

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa

skripsi ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang

berlaku di Universitas Indonesia.

Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan tindakan plagiarisme, saya akan

bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatukan oleh Universitas

Indonesia kepada saya.

Depok, Juli 2014

Rebecca Kezia Serefina Palupi

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 4: Universitas Indonesia Library

iii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Rebecca Kezia Serefina Palupi

NPM : 1006663240

Tanda Tangan :

Tanggal : 8 Juli 2014

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 5: Universitas Indonesia Library

iv

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh :

Nama : Rebecca Kezia Serefina Palupi

NPM : 1006663240

Program Studi : Indonesia

Judul Skripsi : Drama-Drama Festival Teater Jakarta: Membaca

Manusia dalam Laku

telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian

persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Humaniora pada

Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Ketua Penguji: Nitrasattri Handayani, M.Hum. (......................................)

Pembimbing : Prof. Riris K. Toha-Sarumpaet, M.Sc., Ph.D

(......................................)

Penguji : Rasjid Sartuni, M.Hum. (......................................)

Ditetapkan di : Depok

Tanggal : Juli 2014

Oleh

Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya

Universitas Indonesia

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 6: Universitas Indonesia Library

v

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur tak akan pernah cukup untuk mengutarakan rasa terima kasih

saya pada Daya yang Maha Besar—Tuhan Allah, Yesus Kristus—atas kebaikan-Nya

menemani saya menunantaskan penulisan skripsi ini. Dari-Nya saya belajar untuk

menenun mimpi dan bersama dengan-Nya tak ada mimpi yang sia-sia. Pada akhirnya,

saya kembali ke tempat saya memulai, drama.

Penelitian ini tak akan selesai—pun dimulai—apabila Ia tak mengirimkan

orang-orang baik hati dalam hidup saya. Rasa terima kasih yang besar pada mereka,

tak dapat terukur maupun diurutkan. Terima kasih ini dituliskan untuk mengingat

kebaikan hati mereka.

Kepada Ibu Riris K. Toha Sarumpaet, terima kasih atas waktu, ilmu, dan buku

yang diberikan dengan kasih pada saya. Di sela-sela kesibukan yang padat—Tuhan

mengabulkan doa yang tak berani saya ucapkan—Ibu masih bersedia duduk dan

berdiskusi dengan saya. Maafkanlah tulisan saya yang seringkali sulit dimengerti dan

jauh dari indah ini.

Kepada Bapak Yoeseof, terima kasih atas bimbingannya yang mengawali

langkah saya. Walaupun pembicaraan dengan Bapak akhirnya harus berhenti, ‘Drama

Propaganda’ telah membantu saya menyelesaikan penelitian ini.

Kepada Ibu Nitra dan Bapak Rasjid, penguji skripsi ini, terima kasih atas

kesediaan dan waktu yang diluangkan untuk membaca tulisan saya.

Kepada dua—yang karenanya saya ada—darah, daging, dan detak jantung

saya, terima kasih. Kalian tahu bahwa tempat saya pulang ada pada pelukan kalian.

Untuk waktu dan cinta yang tiada batasnya, mama dan papa, separuh mimpi saya

adalah kalian.

Kepada adik saya, Ignatius Kevin Tigor yang jenius, terima kasih karena telah

menemani papa dan mama selama saya berkeliaran mencari mimpi. Adik perempuan

saya yang lain, Cindy Gabriella, terima kasih atas hadiah dan kemudaannya yang

membahagiakan.

Kepada keluarga besar Silalahi, Opung dengan doa dan senyumnya, Inangtua,

Tulang, Natulang, Tante, dan Om serta abang dan adik-adik sepupuku. Terima kasih

atas makan malam dan hadiah, yang selalu dapat menumbuhkan semangat. Terutama

kepada Tulang Besar, terima kasih untuk perangkat teknologi yang menjadi sumber

utama penulisan skripsi ini.

Kepada Sjors Tares, matahari yang bersinar terang, terima kasih karena tak

pernah lelah dan padam. Kamu menunggu!

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 7: Universitas Indonesia Library

vi

Kepada saudari dari rahim yang berbeda (sisters from another mother),

Testarossa, Sasya, Natya, dan Fenesha, terima kasih atas cinta yang dibagi dan

perjalanan seru. Untuk puluhan kali ‘tunda’ yang dimengerti, kalian kesayangan.

Kepada Bapak Madin Tyasawan dan Ibu Novi, saya ucapkan terima kasih atas

kesediannya memberikan saya akses mencari bahan dan data yang disimpan oleh

Komite Teater untuk penulisan skripsi ini.

Kepada Mbak Lidya, yang telah begitu baik membantu saya mencari dan

bersedia membalas pesan saya kapan saja, terima kasih banyak.

Kepada teman-teman Dewan Kesenian Jakarta, Angka (kamu baik sekali),

Maria, Sekar, Dita, terima kasih banyak atas kehangatannya menerima saya di sana.

Kepada kawan-kawan seperjuangan, khususnya mereka yang ada di Kober dan

sekitarnya, terima kasih atas tawa dan duka yang dibagi. Arkhe, Norman, Citra, Galuh,

Gadis, Chotim, Dwi, Goma, Paijo, dan Selly, terima kasih banyak. Marilah kita

bersama menyambut paduan suara di tempat pertama dulu bertemu.

Kepada Yosepha, teman sekamar yang baik, terima kasih atas buku dan

bincang-bincangnya. Seluruh kawan 2010 lainnya, terima kasih atas ruang yang dibagi,

cerita yang ditawarkan, kebodohan dan kelucuan masa muda, serta kelas-kelas yang

tiada duanya. Istimewa untuk Adeboi dan Greis, ditunggu.

Kepada keluarga besar IKSI, Vauriz, Agung, Nanto, Emon, Mas KC, Cai, Kiki

‘jin’, Anas, Tebo, Coir, Ditya, Taye, Ojah, Kiki Alik, Indras, dan Rizky, terima kasih

untuk bangku biru, Pagupon, Sasina, HHK, buku dan semua yang tak akan terganti.

Rasa syukur dan terima kasih ini jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, bagi

mereka yang tak sempat saya sebutkan namanya, semoga kebaikan kalian mendapat

ucapan terima kasih yang lebih layak dari Daya Maha Besar.

Akhirnya, saya berharap, penulisan skripsi ini akan membawa manfaat bagi

pengembangan kesusastraan Indonesia, khususnya drama. Semoga drama tetap hidup

sepanjang masa

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 8: Universitas Indonesia Library

vii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR

UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah

ini:

Nama : Rebecca Kezia Serefina Palupi

NPM : 1006663240

Program Studi : Indonesia

Fakultas : Ilmu Pengetahuan Budaya

Jenis karya : Skripsi

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada

Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-

Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

Drama-Drama Festival Teater Jakarta: Membaca Manusia dalam Laku

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti

Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,

mengalihmedia/formatkan,

mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan

memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai

penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Depok

Pada tanggal :

Yang menyatakan

( Rebecca Kezia Serefina Palupi )

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 9: Universitas Indonesia Library

viii

ABSTRAK

Nama : Rebecca Kezia Serefina Palupi

Program Studi : Indonesia

Judul : Drama-Drama Festival Teater Jakarta: Membaca

Manusia dalam Laku

Skripsi ini menganalisis masalah ‘aku’—manusia—dalam naskah drama asli yang

dihasilkan pada Festival Teater Jakarta periode 2008-2013. Kondisi ‘aku—manusia—

yang muncul melalui naskah drama memiliki keterpengaruhan dari masa transisi

politik di Indonesia. Adanya pengaruh dari masa pemerintahan Orde Baru, gerakan

reformasi, sampai pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono periode kedua terekam

dalam drama-drama ini melalui masalah tentang relasi manusia dengan diri sendiri,

kekuasaan, dan sistem masyarakat. Tiga relasi ini menghasilkan pokok-pokok

persoalan manusia masa kini, yaitu penyalahgunaan kebebasan, ketidakpercayaan

masyarakat terhadap pemerintah, serta adanya gejala disintegrasi. Persoalan tersebut

menampilkan drama-drama dengan suasana suram dan humor yang satir.

Kata kunci:

Aku, drama, festival teater jakarta, manusia, orde baru, pemerintahan, relasi, transisi

ABSTRACT

Name : Rebecca Kezia Serefina Palupi

Study Program : Indonesia

Title : Drama-Drama Festival Teater Jakarta: Membaca

Manusia dalam Laku

This thesis analyzed the problem of ‘I’—human—in the original drama of Festival

Teater Jakarta from 2008 until 2013. The condition of ‘I’—human—in the original

drama has been influenced by the transition phase of Indonesia’s politics. The

influence of Orde Baru, reformation movement until the Susilo Bambang

Yudhoyono’s last governance had been documented in the dramas of human relations

with themselves, power, and also the society. These three relations had produced main

problems of human in the recent period, that is freedom abusement, civil distrust of

government, and the symptoms of disintegration. Those problems showed a dark and

satirical humor of the dramas.

Keywords:

I, drama, festival teater jakarta, human, orde baru, governance, relation, transition

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 10: Universitas Indonesia Library

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................. … i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ....................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iv

KATA PENGANTAR ........................................................................................... v

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI .................. vii

ABSTRAK .......................................................................................................... viii

ABSTRACT ........................................................................................................ viii

DAFTAR ISI ................................................................................................... ix

DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xi

DAFTAR SKEMA ........................................................................................ xii

DAFTAR TABEL ............................................................................................. xiii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah .......................................................................... 7

1.3 Tujuan ........................................................................................... 9

1.4 Kerangka Teori............................................................................... 10

1.5 Metodelogi Penelitian ................................................................... 15

1.6 Sistematika Penyajian .................................................................... 18

BAB II TELAAH STRUKTURAL DRAM-DRAMA

FESTIVALTEATER JAKARTA ................................................................ 19

2.1 Drama tentang Relasi Manusia dengan Diri Sendiri ................... 19

2.1.1 Sinopsis Drama-Drama Relasi Manusia

dengan Diri Sendiri .................................................................... 20

2.1.2 Analisis Struktural Naskah Drama

Relasi Manusia dengan Diri Sendiri ................................. 22

2.2 Drama tentang Relasi Manusia dengan Kekuasaan ...................... 51

2.2.1 Sinopsis Drama-Drama Relasi Manusia

dengan Kekuasaan .............................................................. 51

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 11: Universitas Indonesia Library

x

2.2.2 Analisis Struktural Naskah Drama

Relasi Manusia dengan Kekuasaan .................................... 53

2.3 Drama tentang Relasi Manusia dengan Masyarakat ..................... 78

2.3.1 Sinopsis Drama-Drama Relasi

Manusia dengan Masyarakat .......................................................... 79

2.3.2 Analisis Struktural Naskah Drama

Relasi Manusia dengan Masyarakat .................................. 80

2.4 Simpulan........................................................................................110

BAB III MANUSIA DAN REALITAS SOSIAL DALAM

DRAMA-DRAMA FESTIVAL TEATER JAKARTA ................................. 112

3.1 Kenyataan dalam Naskah Drama Festival

Teater Jakarta sebagai Hasil

Perspektif Pengamatan Relasi Manusia ................................................ 113

3.2 Hubungan Tiga Pokok Masalah dalam

Drama dengan Realitas Sosial di Indonesia ........................................ 117

3.2.1 Persoalan Identifikasi Diri dalam

Drama dan Realitas Sosial ......................................................... 117

3.2.2 Persoalan Identitas Kebangsaan dalam

Drama dan Realitas Sosial ....................................................... 127

3.2.3 Persoalan Masyarakat Miskin Kota dalam

Drama dan Realitas Sosial .................................................... 140

3.4 Kecenderungan Masalah dalam Drama

Ditinjau dari Keadaan Sosiologis ........................................................ 149

3.5 Simpulan .......................................................................................... 164

BAB IV PENUTUP ......................................................................................... 166

4.1 Kesimpulan ................................................................................... 166

4.2 Saran ........................................................................................... 171

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 173

LAMPIRAN ................................................................................................... 175

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 12: Universitas Indonesia Library

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Alur Tiga Drama Relasi Manusia dengan Diri Sendiri ........ 49

Gambar 2.2 Alur Tiga Drama Relasi Manusia dengan Kekuasaan .......... 76

Gambar 2.3 Ruang Lingkup Masalah Relasi Manusia

dengan Masyarakat ....................................................................................... 81

Gambar 2.4 Alur Tiga Drama Relasi Manusia dengan Masyarakat ........ 108

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 13: Universitas Indonesia Library

xii

DAFTAR SKEMA

Skema 2.1 Alur Tiga Drama Relasi Manusia dengan Masyarakat ........... 108

Skema 3.1 Persoalan Drama FTJ dalam Konteks Realitas Sosial............. 116

Skema 3.2 Temuan Peristiwa dalam Drama

melalui Penelusuran Sosiologis ..................................................................... 151

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 14: Universitas Indonesia Library

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Naskah Drama Festival Teater Jakarta 2008-2013 ................ 16

Tabel 1.2 Naskah Drama sebagai Korpus Data Penelitian ..................... 17

Tabel 3.1 Kritik Sosial melalui Pers dan Respon Negara 1966-1974 ...... 131

Tabel 3.2 Hasil Pemilu Tahun 2004 dan 2009 .......................................... 137

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 15: Universitas Indonesia Library

1 Universitas Indonesia

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tujuan pelaksanaan Festival Teater Jakarta bertautan erat dengan tujuan utama

dibangunnya Pusat Kesenian Taman Ismail Marzuki, yaitu mewadahi kegiatan seni di

Jakarta—yang menjadi pusat kebudayaan di Indonesia. Pusat kesenian ini didirikan

atas dasar keinginan dari Gubernur DKI Jakarta saat itu, Ali Sadikin, untuk

menyediakan ruang bagi seniman kota berkarya. Sejalan dengan tujuan untuk

menjadikan Jakarta sebagai pusat peradaban dan kebudayaan Indonesia maka didirikan

pulalah sebuah lembaga yang membantu pemerintah menjalankan tujuan dari Pusat

Kesenian Taman Ismail Marzuki, yaitu Dewan Kesenian Jakarta.1 Lembaga ini, yang

pada awal didirikan diketuai oleh Trisno Sumardjo, mengatasi keenam Komite yang

secara langsung mengatur jalannya kehidupan seni di Jakarta. Keenam Komite itu

adalah Komite Teater, Komite Tari, Komite Sastra, Komite Seni Rupa, Komite Musik,

dan Komite Film. Dewan Kesenian Jakarta juga bertugas untuk memberikan bantuan

kepada para seniman dalam mewujudkan karyanya. Beberapa program dan bantuan

dana dirancang sebagai salah satu cara memfasilitasi kerja seni tersebut.

Festival Teater Jakarta merupakan salah satu program yang dibentuk oleh

Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta. Festival ini dilaksanakan pertama kali pada

tahun 1973, atas gagasan Wahyu Sihombing, Ketua Komite Teater Dewan Kesenian

Jakarta, dengan berfokus pada pembinaan kelompok-kelompok teater di Jakarta.

Tujuan utamanya adalah mencari kelompok teater yang memiliki keunggulan artistik

untuk tampil di acara kesenian Taman Ismail Marzuki. Pada perkembangannya, tujuan

festival ini tidak hanya mencari kelompok yang dapat mengisi acara di Taman Ismail

Marzuki (selanjutnya disebut TIM), tetapi juga mengembangkan kelompok tersebut

secara profesional. Oleh sebab itu, Festival Teater Jakarta (selanjutnya disebut FTJ)

1 Diambil dari Perkembangan Teater Kontemporer Indonesia 1968-2008 (2012) Achamad Syaeful

Anwar, disertasi Program Studi Sejarah, Fakultas Ilmu Pengtahuan Budaya, Universitas Indonesia.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 16: Universitas Indonesia Library

2

Universitas Indonesia

memberikan status ‘kelompok teater senior’ bagi peserta yang memenangi FTJ tiga kali

berturut-turut. Kelompok ini akan mendapat bantuan dana dari DKJ sebagai salah satu

lanjutan program pembinaan FTJ.

Namun, sejak FTJ tidak lagi berada di bawah penyelenggaraan DKJ, program

bantuan dana untuk kelompok senior tidak diteruskan. Semenjak tahun 1992, tanggung

jawab pelaksanaan FTJ dialihkan kepada Pengelola Gelanggang Remaja dan Dinas

Kebudayaan karena adanya rencana renovasi gedung Teater Arena dan Teater

Tertutup—yang biasa digunakan sebagai tempat penyelenggaraan FTJ. Oleh sebab itu,

FTJ pada periode tersebut diselenggarakan secara terpisah di beberapa wilayah di DKI

Jakarta. Pada masa itu, terjadi krisis yang datang dari pihak internal FTJ. Muncul

anggapan bahwa FTJ tidak lagi menjadi media yang efektif untuk mewadahi kegiatan

seni di Jakarta. Hal ini mengakibatkan penurunan jumlah peserta FTJ pada tahun 90-

an.

Setelah kembali diselenggarakan oleh DKJ di komplek TIM, pada tahun 2006,

krisis di dalam tubuh FTJ segara dibenahi. Secara perlahan, peserta FTJ tercatat

mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya (yang dilanda krisis internal pada tahun

1990-an). Proses kembalinya FTJ di bawah penyelenggaraan DKJ, diprakarsai oleh

kepengurusan Ratna Sarumpaet—ketua DKJ masa itu—dengan dilaksanakannya

diskusi bersama pihak asosiasi teater di masing-masing wilayah. Baru pada tahun 2006,

dicapai kesepakatan oleh stakeholder dan DKJ untuk mengembalikan penyelenggaraan

FTJ ke TIM.

Walaupun diikuti oleh peningkatan jumlah peserta yang menjanjikan, tantangan

FTJ di masa ini semakin banyak. Salah satu yang selalu menjadi masalah adalah

infrastruktur untuk memperlengkapi kebutuhan acara seni yang memadai. Infrastruktur

ini sangat mempengaruhi konsistensi para pekerja seni untuk terus berkarya. Tanpa

adanya konsistensi untuk terus menghasilkan hal-hal baru dalam kesenian, FTJ akan

kehilangan tujuannya.

Selain itu, Mudji Sutrisno (2013) juga mencatat bahwa konsistensi FTJ

mendapat tantangan dari segala sesuatu yang sifatnya serba instan. Semakin maju

teknologi membuat orang lebih suka pada hal yang cepat dan praktis sehingga kegiatan

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 17: Universitas Indonesia Library

3

Universitas Indonesia

yang memerlukan proses panjang, seperti FTJ, menjadi kurang peminatnya. Ditambah

pula dengan adanya pandangan bahwa FTJ merupakan suatu acara yang bersifat

eksklusif, hanya untuk pemuas estetika belaka. Unsur perlombaan membuat para

peserta menghasilkan karya yang terpaku pada selera juri, kemudahan penggarapan,

dan unsur hiburan.2 Padahal menurut Madin Tyasawan, FTJ ini dapat bertahan karena

adanya daya yang dihasilkan (secara konsisten, seperti yang disebutkan sebelumnya)

oleh para pekerja seni sebagai proses mereka mencari kesejatian diri. Proses ini

diwujudkan dalam bentuk kegelisahan artistik yang seharusnya dapat ditampung oleh

FTJ. Dengan begitu, FTJ akan dapat memberikan lebih dari sekadar perlombaan teater,

yaitu hasil reaksi para peserta terhadap peristiwa kehidupan.

Sayangnya, proses para peserta dalam mengolah gagasan atau kegelisahan

tersebut, masih terjebak pada bentuk-bentuk yang lama. Hal ini disebabkan oleh

penulisan naskah drama yang bersifat tidak dinamis (Benny Yohanes, 20113). Para

peserta dianggap tidak berani untuk mengangkat cerita yang kurang populer, tetapi

lebih relevan dengan masa kini. Padahal kebutuhan untuk menyajikan pementasan

yang dekat dengan masyarakat—mengingat persaingan dengan teknologi dan hal yang

serba instan—menjadi suatu hal yang dibutuhkan FTJ untuk terus hidup. Dengan

memilih atau menggunakan naskah drama yang baru, para peserta dapat lebih

mengembangkan kemampuan untuk mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan yang

dapat dipangggungkan.

Hal ini berangkat dari pemahaman bahwa drama merupakan seni yang bersifat

paradoksal. Drama yang dipanggungkan merupakan hasil tafsir dari naskah drama,

“Pementasan itu memberikan kepada drama sebuah penafsiran kedua. Sang sutradara

dan pemain menafsirkan teks” (Sumardjo dan Saini K.M 1991: 158). Ketika drama

dibicarakan sebagai teks, ia merupakan sebuah bentuk kesenian berupa bahasa yang di

dalamnya mengandung unsur-unsur sastra. Namun, sebagai bentuk seni representatif,

2 Wawancara personal dengan Madin Tyasawan, Ketua Komite Teater tahun 2010, (2014) menanggapi

tulisannya, “kita membutuhkan pedoman penyelenggaraan FTJ yang visioner dalam menjawab

tantangan jaman, yang kondusif dalam memacu kreativitas, yang memberi peluang potensi inovasi, yang

memungkinkan FTJ bukan melulu lomba dengan ukuran menang-kalah, tetapi menjadi fiesta (pesta)

kreativitas.” (Diambil dari Koran Panggung FTJ (2010) ed.2) 3 3 Wawancara personal dengan Ketua Komite Teater DKJ, Dewi Noviami, 11 Juni 2014.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 18: Universitas Indonesia Library

4

Universitas Indonesia

ia diciptakan untuk dipentaskan (Scholes 1978:731). Dalam seni teater modern,

keduanya merupakan kesatuan yang tak dapat dipisahkan,

“Because it is literature, a play can be read. But because its is representational

art, a play is meant to be witnessed. (…) The text of a play is something like the

score of symphony—a finished work, yet only potentiality untill it is performed.

Most plays, after all, are writen to be performed.” (Scholes 1978: 731)

Oleh sebab itu, ketika muncul kritik tentang stagnansi bentuk pementasan pada

FTJ, perlu pula dilihat bagaiman konsep dari gagasan tersebut dibicarakan dalam

naskah drama. Hal ini penting untuk mempelajari kesalahan dan kekurangan dari segi

konsep. Komite Teater DKJ pun menilai bahwa keberadaan naskah drama merupakan

hal yang mendesak untuk diperhatikan, terutama penulisan naskah-naskah drama baru.

Dengan adanya naskah-naskah baru, inovasi akan semakin banyak dilakukan. Tidak

hanya dari segi konsep, tetapi juga pada eksekusi di atas panggung. Naskah-naskah

baru ini juga dapat mewadahi kebutuhan para peserta untuk membicarakan tanggapan

atau pandangan mereka terhadap peristiwa dalam kehidupan pada masa tersebut. Hal

ini akan membangun sebuah interaksi yang baik antara pelaku FTJ (peserta dan

penyelenggara) dan pengunjung FTJ atau masyarakat, seperti yang diungkapkan oleh

Scholes “Drama, then, offers us a direct presentation of its imaginative reality”

(Scholes 1978: 731). Interaksi ini akan dapat memperkaya kehidupan masyarakat dan

pengembangan kegiatan seni drama pada FTJ.

Untuk mengarahkan seluruh komponen FTJ kepada tujuan yang baru ini,

Komite Teater pun menetapkan judul tema ‘Membaca Aku, Membaca Laku’ sebagai

platform penyelenggaraan FTJ. Judul tema4 ini mulai digunakan pada pelaksanaan FTJ

tahun 2010. Kemudian pada pelaksanaan tahun-tahun berikutnya, platform ini

melahirkan tema-tema yang berbeda, seperti Membaca Lingkungan (2011), Membaca

Tradisi (2012), dan Membaca Teks (2013). Sebenarnya, tujuan dari pencanangan tema

adalah mengarahkan para peserta untuk melihat ‘aku’ secara lebih dalam. Kata ‘aku’

yang digunakan ini dapat merujuk pada ‘aku peserta’ atau ‘aku masyarakat’. Pada

4 Wawancara personal dengan Ketua Komite Teater DKJ, Dewi Noviami, 11 Juni 2014.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 19: Universitas Indonesia Library

5

Universitas Indonesia

intinya, ‘aku’ ini memiliki pengertian tentang manusia dan segala hal yang terjadi

padanya di masa ini.

Semenjak diberlakukannya tema ini, jumlah produksi naskah asli mulai

mengalami peningkatan. Pada tahun tahun 2013, jumlah naskah asli tercatat lebih

banyak dari penggunaan naskah-naskah lama atau adaptasi. Hal ini disebabkan oleh

keseriusan Komite Teater untuk mengembangkan penulisan naskah drama dengan

memberikan apresiasi bagi penulis naskah terbaik. Sebenarnya, pada tahun yang sama,

Komite Teater ingin menetapkan peraturan baru terkait fokus mereka terhadap

penulisan naskah drama asli. Peraturan baru itu menetapkan bahwa para peserta FTJ

harus menggunakan naskah asli buatan grup. Akan tetapi, aturan ini ditolak oleh

sebagian besar peserta karena merasa tidak siap. Perlu diingat bahwa FTJ merupakan

program berjenjang yang pelaksanannya dimulai di tingkat wilayah dan berakhir di

tingkat pusat. Menurut Ketua Komite Teater saat ini, Dewi Noviami, pelaksanaan FTJ

di tingkat pusat baru dapat dijalankan apabila dana dari pemerintah telah cair. Oleh

sebab itu, waktu sosialisasi tentang perubahan peraturan ini dilakukan setelah

penyelenggaraan festival teater di tiap wilayah. Pemenang dari festival wilayah yang

akan maju ke FTJ menganggap bahwa waktu sosialisasi aturan baru tersebut sangat

berdekatan dengan pelaksanaan FTJ sehingga tidak semua kelompok siap untuk

memproduksi naskah baru.

Naskah-naskah drama FTJ juga memiliki manfaat bagi kesusastraan Indonesia.

Dengan melihat bahwa naskah drama memiliki peran yang sangat besar dalam

perjalanan FTJ—terutama setelah kembali diselenggarakan oleh DKJ pada tahun

2006—maka penulis ingin mengetahui persoalan ‘aku’ yang diangkat dalam naskah

drama asli FTJ. Hal ini berkaitan dengan pernyataan sebelumnya bahwa FTJ

merupakan wadah dari kegelisahan para peserta—yang adalah bagian dari

masyarakat—atas peristiwa kehidupan yang dialaminya. Kegelisahan ini timbul dari

perbedaan antara kenyataan (Das Sein) dan harapan (Das Sollen) yang dirasakan oleh

peserta—terutama pengarang drama (Sumardjo dan Saini K.M 1991: 145). Kenyataan

ini diolah melalui proses kreatif dan diciptakan kembali sebagai dunia imajiner dalam

karya (Luxemburg 1984: 17).

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 20: Universitas Indonesia Library

6

Universitas Indonesia

Namun, keinginan untuk meneliti naskah drama dari tahun 2006—tahun

kembalinya FTJ ke DKJ—tidak dapat terwujud karena naskah-naskah drama pada

tahun 2006 dan 2007 tidak disimpan oleh pihak DKJ. Sebenarnya, DKJ pun belum

memiliki penyimpanan khusus untuk semua naskah drama—baik asli maupun

adaptasi—yang digunakan pada FTJ. Hal ini menjadi keprihatinan tersendiri

mengingat adanya keinginan Komite Teater untuk memajukan penulisan naskah drama

di FTJ.

Pengumpulan naskah-naskah drama ini juga sangat penting untuk membantu

proses pengembangan pertunjukan. Peserta lain dapat melihat bentuk dan gagasan yang

telah muncul pada FTJ sebelumnya, untuk digunakan sebagai landasan berinovasi.

Dengan adanya dokumentasi naskah drama yang baik, proses pembelajaran dalam FTJ

dapat berjalan. Hal tersebut berkaitan dengan tujuan awal diselenggarakannya FTJ,

yaitu untuk mengumpulkan dan membina kelompok-kelompok teater yang ada di

Jakarta.

Selain itu, naskah-naskah drama ini tidak hanya berfungsi sebagai dokumentasi

belaka, tetapi juga dapat menjadi alat kritik, dan yang terpenting sebagai perenungan

bagi kehidupan manusia (Oemarjati 1971: 63). Gagasan pengarang yang dituangkan

melalui ‘aku’ dianggap penting untuk melihat masalah utama yang dibicarakan dalam

drama. Hal ini disebabkan oleh interaksi—aku—manusia dipandang sebagai sumber

masalah utama dalam karya drama karena menjadi tempat bertemunya berbagai

karakter di suatu tempat dalam satu masa. Drama menjadi berbeda dari bentuk seni

yang lain karena hakikatnya adalah membicarakan manusa, seperti yang diungkapkan

Swingewood (1972) bahwa “memainkan tokoh-tokoh ciptaannya itu dalam suatu

situasi rekaan agar mencari ‘nasib’ mereka sendiri—untuk selanjutnya menemukan

nilai dan makna dalam dunia sosial.” (Damono 2010: 19).

Oleh sebab itu, penelusuran naskah drama FTJ dari tahun 2008 hingga 2013,

hendak melihat ‘aku’ sebagai bagian dari manusia yang terikat oleh suatu kondisi sosial

di masa kini. Penelitian tidak hanya akan berhenti pada struktur dari drama yang ada,

tetapi juga menggunakan pendekatan sosiologi untuk mengutuhkan gambaran ‘aku’

dalam kenyataan. Dengan begitu, penulisan skripsi ini diharapkan akan memberikan

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 21: Universitas Indonesia Library

7

Universitas Indonesia

pengetahuan tentang gambaran kenyataan yang mempengaruhi kecenderungan tema

yang dibahas pada drama masa kini Hal ini dimaksudkan untuk mengawali

pembicaraan tentang drama masa kini dalam periodisasi sastra drama.

1.2 Perumusan Masalah

Pembicaraan karya sastra drama yang dihasilkan pada masa kini masih jarang

ditemukan. Penelitian yang dilakukan oleh Vauriz Bestika pada tahun 2011, tentang

drama Republik Reptil5 karya Radhar Panca Dahana yang mengangkat masalah antara

KPK dan kepolisian6, merupakan satu dari sedikit pembicaraan tentang drama masa

kini. Sedikitnya pembicaraan mengenai naskah drama pada masa kini tidak berbanding

lurus dengan jumlah naskah yang diciptakan. Secara kuantitatif, penciptaan naskah

masa kini dapat dikatakan banyak. Hal ini dibuktikan dengan munculnya pementasan-

pementasan drama yang menggunakan naskah-naskah baru, seperti pentas “Gundala

Gawat”7 oleh Teater Gandrik dan “Goyang Penasaran”8 oleh Teater Garasi. Ada pula

kegiatan yang dilangsungkan untuk memicu produktivitas naskah pada masa kini,

seperti Indonesia Dramatic Reading Festival, Bengkel Penulisan Lakon (sebagai ganti

Sayembara Penulisan Lakon DKJ), Festival Teater SMA, dan Festival Teater Jakarta.

Festival Teater Jakarta adalah festival teater terbesar di Indonesia. Festival ini

telah menjadi barometer perkembangan pertunjukan drama di Jakarta dan beberapa

daerah lain. Namun, belum ditemukan adanya pembicaraan mengenai naskah-naskah

drama yang dihasilkan pada acara ini. Hal ini menjadi sebuah keprihatinan mengingat

bahwa festival ini merupakan wadah bagi para pelaku teater untuk mengungkap

gagasannya atas kegelisahan mereka dalam melihat peristiwa kehidupan. Proses

5 Republik Reptil dan Drama-Drama Lainnya. 2010. Jakarta: Balesastra Pustaka 6 Bestika, Vauriz. “Drama “Republik Reptil”: Tanggapan terhadap Perkara KPK dan Kepolisian”. 2011.

Depok: Universitas Indonesia 7 Ditulis oleh Goenawan Mohamad dibantu oleh Agus Noor dan Whany Dharmawan berdasarkan cerita

komik Gundala Putra Petir karangan Hasmi. Naskah ini dipentaskan oleh Teater Gandrik, disutradarai

oleh Djaduk Ferianto, pada tanggal 26-27 April 2013 di Graha Bhakti Budaya TIM. 8 Ditulis oleh Naomi Srikandi dan Intan Paramaditha berdasarkan cerita pendek dengan judul yang sama

karangan Intan Paramadhita. Naskah ini pertama kali dipentaskan di Studio Teater Garasi, Yogyakarta,

pada pertengahan Desember 2011.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 22: Universitas Indonesia Library

8

Universitas Indonesia

pertemuan antara gagasan dan kenyataan yang mempengaruhinya dapat dilihat pada

naskah drama yang menjadi konsep awal dari kerja seni drama yang panjang.

Hal tersebut juga dapat menjawab masalah FTJ yang disinyalir tidak lagi

memiliki korelasi dengan kehidupan masyarakat. Berangkat dari pemahaman bahwa

drama merupakan sebuah kenyataan baru yang bertolak dari kenyataan yang ada maka

unsur pengarang/peserta yang menghasilkan karya menjadi penting. Pengarang—

sebagai tuhan dalam drama—menciptakan sebuah dunia baru sebagai hasil tanggapan

dia, yang juga bagian dari masyarakat, atas keadaan sosial yang dialaminya kepada

pembaca (Luxemburg 1984: 23). Dengan demikian pembicaraan mengenai naskah

drama tidak hanya terpaku pada bentuk-bentuk pemanggungan, tetapi juga dapat

memaknai peristiwa kemanusiaan yang dibicarakan di dalamnya.

Pentingnya peran ‘aku’—peserta/pengarang—dituangkan oleh Komite Teater

DKJ dalam platform ‘Membaca Aku, Membaca Laku’. Platform ini diharapkan dapat

membuka sudut pandang peserta mengenai masalah-masalah ‘aku’—masyarakat—

yang terdapat di dalam kehidupan masa kini. Hal ini dilakukan untuk mengarahkan

para peserta pada hal-hal yang dianggap mendesak untuk dibicarakan di dalam FTJ

sehingga akan mengembalikan tujuan awal digagasnya acara ini, yaitu sebagai bagian

dari peristiwa budaya.

Oleh sebab itu, masalah-masalah mengenai ‘aku’ pada naskah drama akan

ditelusuri secara sosiologis. Hal ini dilakukan untuk mengetahui keadaan masyarakat

saat ini yang menjadi sebuah urgensi. Masalah-masalah seputar ‘aku’—manusia—

disebabkan oleh lakuannya dalam kehidupan (Oemarjati 1971: 78). Bentuk lakuan

yang ditemukan, diasumsikan lahir dari adanya relasi manusia dengan faktor-faktor

dalam kehidupan.

Penelitian ini menggunakan perspektif pengamatan (lihat Damono 2008: 64)

relasi manusia untuk menemukan masalah seputar keadaan manusia di dalam naskah

drama. Relasi manusia yang pertama adalah manusia dengan kekuasaan. Relasi vertikal

ini dianggap dapat memberikan pengetahuan tentang bagaimana pembentukan manusia

dalam situasi bangsanya. Relasi manusia yang kedua adalah manusia dengan

masyarakat. Hal ini dianggap dapat memperlihatkan masalah manusia yang muncul

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 23: Universitas Indonesia Library

9

Universitas Indonesia

dalam interaksinya dengan keadaan sosial di sekitarnya. Yang terakhir dan bersifat

fundamental adalah relasi manusia dengan dirinya sendiri. Dari relasi ini diasumsikan

dapat memperlihatkan lakuan yang dihasilkan manusia sebagai dirinya sendiri di antara

hubungan-hubungan lainnya.

Perspektif relasi manusia ini akan ditelusuri melalui unsur-unsur yang

membangun drama. Dengan melihat unsur di dalam drama, seperti alur dan tokoh,

diharapkan gambaran atas masalah manusia yang menjadi kegelisahan para peserta FTJ

dapat dikumpulkan secara utuh. Kenyataan dalam naskah drama ini akan dibandingkan

dengan kenyataan yang ada pada kehidupan melalui pendekatan sosiologi. Pendekatan

sosiologi ini sangat penting dalam sastra, seperti yang diungkapkan Grebstein (1968):

“Karya sastra tidak dapat dipahami selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari

lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkan. Ia harus

dipelajari dari konteks yang seluas-luasnya (…) Setiap karya sastra adalah hasil

pengaruh timbal-balik yang rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural,” (Damono

2010: 6—7)

1.3 Tujuan Penelitian

Dengan melihat urgensi dari pembicaraan atas naskah drama FTJ tahun 2008-

2013 maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

a. Menjelaskan struktur intrinsik naskah-naskah drama FTJ periode 2008-2013

b. Menguraikan aspek sosiologis naskah-naskah drama Festival Teater Jakarta

periode 2008-2013.

c. Menjelaskan kecenderungan tema yang dihasilkan dari naskah-naskah Festival

Teater Jakarta dengan menyesuaikan temuan dari naskah drama dengan aspek

sosiologis yang mempengaruhinya sebagai gambaran drama masa kini.

Secara khusus penulisan skripsi ini bertujuan untuk memaknai peristiwa

kehidupan masyarakat di Indonesia pada masa kini. Hal tersebut datang dari kebutuhan

FTJ untuk melihat pula korelasinya selama ini dengan kehidupan masyarakat. Tujuan

ini berangkat dari pernyatan Jakob Sumardjo dan Saini K.M mengenai sastra sebagai

tolak ukur kualitas masyarakat.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 24: Universitas Indonesia Library

10

Universitas Indonesia

“Sebagai cabang kesenian, sastra berfungsi memperjelas, memperdalam, dan

memperkaya penghayatan manusia terhadap kehidupan mereka. Dengan

penghayatan yang lebih baik terhdap kehidupannya manusia dapat berharap

untuk dapat menciptakan kehidupan yang sejahtera.” (Sumardjo & Saini K.M

1991: 16)

1.4 Kerangka Teori

Drama adalah salah satu bentuk karya sastra yang mengandalkan dialog dan

lakuan tokoh-tokohnya untuk menyampaikan masalah yang ingin dibicarakan. Pada

hakikatnya, masalah dalam drama adalah persoalan tentang manusia yang timbul dalam

situasi dramatik sebagai hasil dari interaksinya (Oemajati 1971: 79-80). Masalah

tentang manusia yang diangkat ke dalam sebuah drama adalah gagasan pengarang yang

muncul dari pengalaman kehidupannya. Kesenjangan antara kenyataan (Das Sein) dan

harapan (Das Sollen) yang ia temukan dalam kehidupan sehari-hari menimbulkan suatu

kegelisahan dalam diri pengarang sehingga ia—sebagai bagian dari masyarakat—

memberikan tanggapan terhadap situasi tersebut. Situasi inilah yang ia bangun kembali

ke dalam sebuah drama.

A. Teeuw (2003: 188) mengatakan bahwa hubungan antara sastra—khususnya

drama—dan kenyataan merupakan hubungan yang saling mempengaruhi. Kenyataan

membentuk gagasan pengarang sehingga pengarang menciptakan sebuah karya.

Sementara itu, pada waktu yang berbeda, masyarakat membaca karya dan mendapat

masukan dari hasil bacaannya tersebut. Walaupun tidak terjadi secara langsung, hasil

pembacaan masyarakat terhadap drama dapat memberikan masukan atau pengaruh

dalam tindakan dan pola pikirnya, seperti diucapkan oleh Mochtar Lubis (1992) berikut

ini:

“membaca sastra adalah salah satu dari sekian banyak masukan yang diterima

oleh anak manusia selama hidupnya, dan menimbulkan pikiran, motivasi,

atau malahan menggerakkannya berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.”

(1992: 346)

Jauh sebelumnya, Plato telah lebih dulu menyatakan bahwa karya sastra adalah

sebuah bentuk tiruan dari kenyataan. Namun, pernyataan Plato tersebut disanggah oleh

Aristoteles yang melihat bahwa karya sastra bukanlah sebuah tiruan belaka. Ia

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 25: Universitas Indonesia Library

11

Universitas Indonesia

menambahkan pernyataan Plato dengan daya imajinasi yang dimiliki oleh pengarang

terhadap proses peniruan tersebut. Ketika seorang pengarang ingin menuliskan sebuah

karya dari pengalaman yang ia punya maka pengalam tersebut telah direkonstruksi

ulang dengan daya imajinasi serta penambahan lain yang membuat karya tidak lagi

sama dengan kenyataan. Namun, unsur-unsur dalam kenyataan tetap dapat terasa

dalam karya.

Seorang pengarang sastra bukan lagi peniru tetapi pencipta yang baru.

Pengarang drama memasukkan gagasannya tersebut ke dalam sebuah bangunan yang

menjadikan drama utuh. Berbeda dengan jenis sastra lainnya, drama bersifat

paradoksal, ia diciptakan untuk dipentaskan. Oleh sebab itu, bangunan drama lebih

kompleks dan lebih hidup dibandingkan dengan karya sastra lainnya. Hal inilah yang

disampaikan oleh Letwin dan Stockdale:

“architecture, by both connotation and definition, is the art and science, style

and method, of designing and creating something. Most commonly, that

something is thought of as a building, but it can be—indeed is—defined as any

created form, such as a systemn of government, a symphonic composition, or,

in our case, the production of dilm or stage play. (…) that there is a design to

its creation—what writer Eric Kahler described as an ‘inner organizational

coherence’—and that these methods and designs can be studied and

apprehended.” (Letwin & Stockdale 2008: xiii)

Semakin padu seorang pengarang membangun gagasannya ke dalam unsur-

unsur intrinsik drama maka semakin nyata pula dunia yang ingin digambarkannya.

Kepaduan tersebut dapat dilihat dari hubungan antarunsur yang terbangun secara indah

dan jujur (Letwin dan Stockdale 2008: xii). Unsur-unsur dalam drama, menurut Letwin

dan Stockdale, terdiri atas alur, karakter/tokoh, tema, genre, dan cara bercerita (Letwin

& Stockdale 2008: xv). Namun, ada pula yang menambahkan unsur bahasa dan dialog

sebagai bagian terpenting untuk melihat bangunan drama, seperti Jakob Sumardjo dan

Saini K.M (1991). Reaske (1996) membagi anatomi bangunan drama ke dalam tiga

fokus, yaitu alur, karakter, dan bahasa.

Pada dasarnya, pernyataan para ahli tentang unsur yang membangun drama ini

menjelaskan bahwa tubuh drama dibangun dari sebuah hubungan sebab akibat yang

tersusun dalam beberapa babak (alur) dan dimainkan oleh tokoh-tokoh berbeda

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 26: Universitas Indonesia Library

12

Universitas Indonesia

karakter dengan dialog yang mendukung situasi untuk mempersoalkan tema yang

dipilih.

Untuk melihat alur suatu drama, Sumardjo dan Saini K.M menggunakan

struktur dramatik Aristoteles yang membagi drama dalam lima bagian utama, yaitu

eksposisi, komplikasi, klimaks, resolusi, dan ditutup dengan konklusi. Lima bagian

tersebut membentuk hubungan kausal yang menjadi satu kesatuan padu tanpa dapat

diubah urutannya (Sumardjo & Saini K.M1991: 142). Freytag (1863) menggambarkan

struktur dramatik Aristoteles tersebut sebagai sebuah “struktur piramidal” (Oemarjati

1971: 70). Pada dasarnya, menurut Oemarjati, tujuan diciptakannya konvensi bagian-

bagian alur adalah untuk mempermudah penelitian tentang drama. Akan tetapi,

interpretasi terhadap alur sebaiknya disesuaikann pula dengan kebutuhan sifat drama

(Oemarjati 1971: 72). Oleh sebab itu, muncul pula pendapat lain tentang pembagian

alur, seperti pendapat Letwin dan Stockdale yang menganalisis alur dengan berfokus

pada tokoh pembawa cerita. Alur—menurut Letwin dan Stockdale (2008: 1)—dibagi

dalam tujuh komponen dasar, yaitu tokoh utama, insiden yang mengganggu

keseimbangan dunia tokoh utama, obyektif—tujuan yang ingin dicapai tokoh utama

untuk mengembalikan keseimbangan dunianya, rintangan—hal yang mencegah tujuan

tokoh utama, krisis, klimaks, dan penyelesaian.

Luxemburg mengingatkan kembali bahwa alur dalam drama tidak disajikan

secara gamblang dalam teks melainkan melalui gabungan peristiwa, tokoh,

penggarapan waktu, dan ruang (Luxemburg 1984:1967-1973). Dari pernyataannya

tersebut, alur tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya tokoh yang memainkan atau

waktu yang menjadi latar situasi. Tokoh dalam drama, umumnya berupa manusia

walaupun tidak menutup kemungkinan adanya tokoh binatang atau mahkluk fantasi

lainnya (Sumardjo & Saini K.M 1991: 144). Besar kecilnya peran mereka ditentukan

dari kebutuhan cerita dalam drama. Ada tokoh yang menggerakkan cerita (protagonis)

dan ada pula yang menentang tokoh penggerak cerita (antagonis). Di samping kedua

tokoh tersebut, muncul pula tokoh-tokoh pendukung yang perannya disesuaikan

dengan fungsi mereka dalam menunjang keutuhan cerita.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 27: Universitas Indonesia Library

13

Universitas Indonesia

Tidak seperti karya sastra lainnya, penggambaran para tokoh diwujudkan dalam

dialog dan lakuan. Dialog para tokoh menjadi bagian penting dalam drama karena

fungsinya menggantikan narasi—seperti dalam karya sastra lainnya (Scholes 1978).

Hubungan antara dialog dan tokoh saling mempengaruhi satu sama lain. Melalui

dialog, pembaca dapat melihat karakter tokoh yang bermain. Di lain sisi, dialog yang

disampaikan oleh tokoh tergantung pada karakter si tokoh tersebut (Luxemburg 1984:

160-161). Melalui gerak gerik dan interaksi para tokoh, pembaca dapat melihat hasil

dari buah pikiran pengarang (Sumardjo & Saini K.M 1991: 145).

Penggarapan waktu yang mendukung terciptanya alur, biasanya, disusun secara

kronologis (Luxemburg 1984: 169). Akan tetapi, menurutnya, dalam drama ada banyak

cara untuk menampilkan latar waktu—tidak selalu harus berurutan atau linear.

Terkadang dalam drama, ada adegan yang dapat terjadi bersamaan, ada pula yang

mundur ke belakang untuk dapat maju ke depan. Masalah pemberitaan waktu kepada

pembaca dapat diungkapkan melalui irama atau kejadian yang menimbulkan kesan

masa lalu atau masa depan.

Selain latar waktu, alur juga membutuhkan latar tempat yang dapat mendukung

terciptanya suasana yang diinginkan. Penggambaran latar juga mampu menunjukkan

pada pembaca tentang genre dan gaya yang diangkat oleh pengarang. Artinya, latar

tempat dalam drama tidak selalu harus menunjukkan suatu bangunan atau tempat,

tetapi bisa juga gambaran situasi berlangsungnya peristiwa (Scholes 1978: 743).

Aliran merupakan salah satu unsur penting dalam struktur drama. Drama-drama

absurd, sebagai salah satu aliran kontemporer penulisan drama—memiliki fokus pada

persoalan tentang hakikat manusia. Bagian dalam drama absurd memang sengaja

dibuat tidak masuk akal untuk meninggalkann pertanyaan tentang makna drama

tersebut. Keabsurdan drama-drama ini terbentuk atas dasar usahanya merubuhkan

nilai-nilai yang dianggap tak lagi memadai bagi kehidupan manusia di abad-20

(Abbotson 2003: 1). Melalui irrasionalitas dalam struktur dramanya, drama absurd

menawakan nilai baru untuk dimaknai.

Swingewood (1972) menyampaikan bahwa yang utama dalam sebuah drama

adalah persoalan atas manusia yang muncul melalui tokoh, “memainkan tokoh-tokoh

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 28: Universitas Indonesia Library

14

Universitas Indonesia

ciptaannya itu dalam suatu situasi rekaan agar mencari ‘nasib’ mereka sendiri—untuk

selanjutnya menemukan nilai dan makna dalam dunia sosial.” (Damono 2010: 19).

Oleh sebab itu, dengan menganalisis unsur alur (hubungan sebab akibat dalam

penggambaran suatu latar) dan tokoh (karakter dan dialog), dapat ditemukan gagasan

utama yang ingin disampaikan pengarang.

Persoalan timbul dari hasil interaksi manusia dengan kehidupan yang di

dalamnya terdiri atas alam, tuhan, masyarakat, dan dirinya sendiri. Hal ini kembali lagi

pada pembicaran di awal bahwa ketika kenyataan dalam naskah drama telah

diungkapkan, pendekatan sosiologis dapat dilakukan untuk melihat hubungan di antara

kenyataan dalam naskah dan realita sosial. Allan Swingewood mengingatkan beberapa

hal penting dalam kajian yang menggunakan pendekatan sosiologis,

“pendekatan sosiologis terhadap sastra dapat dilaksanakan sebaik-baiknya asal si

kritikus tidak melupakan dua hal: (a) peralatan sastra murni yang dipergunakan

pengarang besar untuk menampilkan masa sosial dalam dunia rekaannya, dan (b)

pengarang itu sendiri, lengkap dengan kesadaran dan tujuannya.” (Damono 2010:

20)

Poin mengenai pengarang dalam kutipan di atas merujuk pada dunia penciptaan

naskah drama, yang didalamnya meliputi asal usul, tujuan, dan kondisi sosial

pengarang. Proses penciptaan ini juga tidak luput dari pengaruh masyarakat

pembacanya. Selain pengaruh lingkungan yang dialami, dilihat, dan dirasakan oleh

pengarang, kehadiran pembaca atau penikmat tentu menjadi suatu aspek penting dalam

penciptaan. Keberterimaan menjadi penting, mengingat perlunya apresiasi terhadap

keberlangsung proses kreatif. Dalam sejarah drama di Indonesia, Jakob Sumardjo

mencatat bahwa perkembangannya tidak luput dari selera masyarakat penikmat.

Keberterimaan karya dalam masyarakat dapat menentukan keberlangsungan suatu

jenis kesenian. Hal ini tercatat dalam sejarah pertunjukan drama di Indonesia, ketika

komedie Stamboel mengalahkan kejayaan teater bangsawan karena masyarakat di Jawa

saat itu tidak siap menerima pertunjukan dengan gaya Bahasa Melayu tinggi (Sumardjo

1997: 103-104). Atau seperti kemunculan pementasan drama dari kaum intelek yang

meletakkan naskah drama sebagai unsur terpentingnya. Hal ini dapat terus berlangsung

bahkan berkembang hingga sekarang karena kesiapan masyarakat menerima karya-

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 29: Universitas Indonesia Library

15

Universitas Indonesia

karya tersebut. Jadi, dalam proses penciptaan, pengarang tidak hanya menempatkan

dirinya sebagai aspek yang dominan tetapi juga meraba apa yang masyarakat ingin

dengar atau nikmati.

Pada intinya, Grebstein (1968) mengatakan bahwa untuk memahami karya

secara lengkap haruslah melihat konteks yang seluas-luasnya sebab karya sastra lahir

dari sebuah hubungan kausal yang rumit antara faktor sosiokulturalnya dan karya itu

sendiri (Damono 2010: 6-7). Jadi, dari apa yang dikemukankan oleh para ahli pada

bagian ini, penelitian tentang kecenderungan suatu drama—ditinjau dari pendekatan

sosiologis—menempatkan naskah drama sebagai sebuah bahan tinjauan dengan

didukung oleh unsur-unsur di luar karya itu sendiri. Unsur-unsur intrinsik dalam

karya—seperti tokoh, tema, dan alur—akan menjadi tanda yang merepresentasi faktor-

faktor sosial. Hal inilah yang akan menjadi landasan dalam penelitian naskah drama

FTJ periode 2008-2013.

1.5 Metodologi Penelitian

Penelitian ini adalah sebuah penelitian kualitatif yang menggunakan teks drama

sebagai bahan pengkajian. Penelusuran yang dilakukan akan menggunakan pendekatan

sosiologi sastra—dengan teori strukturalisme genetik—yang mengacu pada pendapat

Piaget Goldmann,

“karya sastra itu bukanlah sesuatu yang statis, melainkan merupakan produk dari

proses sejarah yang terus berlangsung, proses strukturasi dan destrukturasi yang

hidup dan dihayati oleh masyarakat asal karya sastra yang bersangkutan.” (Faruk

1994: 12)

Atas dasar tersebut, langkah awal dalam penelitian ini adalah mengumpulkan

naskah-naskah drama FTJ periode 2008-2013. Sebelumnya, penulis hendak

menggunakan naskah drama FTJ dari tahun 2006-2013. Namun, karena keterbatasan

sumber daya yang ada, naskah-naskah drama tahun 2006 dan 2007 tidak dapat

ditemukan. Pihak penyelenggara, dalam hal ini DKJ, tidak memiliki dokumentasi yang

memadai atas naskah-naskah drama yang pernah dipentaskan pada acara tersebut,

khususnya naskah drama asli. Oleh sebab itu, penulis mengumpulkan naskah drama

asli FTJ periode 2008-2013 berdasarkan data yang diterima dari DKJ.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 30: Universitas Indonesia Library

16

Universitas Indonesia

Tabel 1.1

Naskah Drama Festival Teater Jakarta Periode 2008-2013 yang Dihimpun

Naskah yang berhasil dihimpun dari tahun 2008-2013 berjumlah 29 naskah dari

total 30 naskah drama asli sepanjang periode tersebut. Melihat latar belakang dan

rumusan masalah yang ada maka dipilihlah penggunaan sampel dalam penelitian ini.

Tahun Jakarta Utara Jakarta Timur Jakarta Barat Jakarta Selatan Jakarta Pusat

2008

Ruang Tunggu Terakhir-

Dediesputra, Sanggar

Matahari

Harta Karun-

Ibas Aragi,

Teater Legium

Gagu Ngigau Galau

Wagu Diky Soemarno, Teater Nonton

Gara-Gara Si

Manis Djumala Ridwan,

Lab. Teater Fitrah

Audisi Orang Mati

Dayo PA, Teater Indonesia

2009

Tidak ditemukan

Dari Jam Ban Ke

Speed Tank Yustiansyah

Lesmana, Teater

Ghanta

2010 Nol Karat

Roy Hakim,

Teater Trompah

Ruang Kehormatan Manahan Hutahuruk,

Teater Nonton

Siapa yang

Menyebabkannya? Djaelani Manoch,

Teater Lorong

2011

Roman

Herman Al Rasyid, Teater

Anam

Bek

Yamin Azhari,

Teater Pangkeng

Pesta Sampah

Yustiansyah

Lesmana, Teater Ghanta

TE(N)TANGGA(NG) Diky Soemarno,

Teater Nonton

Techno Ken Dedes Dadang Badoet,

Stage Corner Community

Bongkar Diding Boneng,

Teater Popcorn

2012

Oseng-Oseng

Afri Rosyadi, WULAN

D’LIMAH

Antorium

Ayak MH, Teater

Cermin

Perjalanan Hang

Juro

Echo Chotib, Teater

EL’NA’MA

Parlemen WC

Ribut Achwandi,

Kantong Teater

Ukoro

Budi Ketjil, TEater

Indonesia

Hitam Putih

Mifthuddin Palannari, Lintas

Teater Jakarta

2013

Ken O Ken Afri Rosyadi, Teater

Matahari Bersinar Terang

Stuktur Rumah

Tangga Kami Dendy Madiya,

Artery

Lima Pintu Budi Yasin

Misbach, Teater

Alamat

Paralel 45 Angga Dian, Teater

Pojok

Optimism Teater Hijau Lima

Satu

Kokology Diky Soemarno,

Teater Nonton

Diari Kematian

Edi Saputra, Teater Q

Hijrah Budi Ketjil, Teater

Indonesia

Istana Pasir Maya Azeezah,

Lintas Teater Jakarta

Tengok Djaelani Manoch,

Teater Lorong

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 31: Universitas Indonesia Library

17

Universitas Indonesia

Selain memudahkan, juga untuk memperinci uraian tentang keadaan sosiologis naskah

drama FTJ.

Langkah kedua, dipilih sembilan naskah drama dari jumlah naskah yang

berhasil dihimpun. Pemilihan kesembilan naskah drama ini berdasarkan pada jenis

relasi yang dianggap dapat menguraikan masalah utama dalam drama. Dalam tiap jenis,

akan dipilih tiga naskah yang mewakili naskah-naskah lainnya—yang diasumsikan—

memiliki kesamaan. Sembilan naskah drama ini akan menjadi korpus data dari

penelitian yang dilakukan.

Tabel 1.2

Naskah Drama sebagai Korpus Data Penelitian

Langkah ketiga, penulis akan melakukan penelusuran struktural terhadap

korpus data yang telah dipilih. Hasil dari penelitian struktural ini akan digunakan dalam

penelusuran sosiologis karya. Penelusuran struktural ini memfokuskan pada

pembicaraan tentang alur dan tokoh yang membangun masalah dalam drama.

Langkah keempat, dilakukan penelusuran sosiologis terhadap temuan dari

analisis struktural. Penelusuran ini menggunakan teori pengkajian sosiologi sastra

dengan menggunakan bahan literatur yang ada.

Relasi I Relasi II Relasi III

“Gagu Ngigau Galau

Wagu”

(2008, Diky Soemarno)

“Paralel ‘45”

(2013, Angga D.S)

“Lima Pintu”

(2012, Budi Y. Misbach)

“Ruang Tunggu

Terakhir”

(2008, Dediesputra)

“Parlemen WC”

(2012, Ribut Achwandi)

“Te(Ntangga(NG)”

(2011, Diky Soemarno)

“Ruang Kehormatan”

(2009, Manahan H.)

“Pesta Sampah”

(2011, Yustiansyah

Lesmana)

“Roman”

(2009, Herman Al

Rasyid)

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 32: Universitas Indonesia Library

18

Universitas Indonesia

1.6 Sistematika Penulisan

Penelitian ini akan dibagi ke dalam empat bab dan sistematika penulisannya

adalah sebagai berikut:

Bab pertama akan menyajikan pendahuluan yang berisi latar belakang,

perumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka teori, metode penelitian, dan

sistematika penulisan.

Bab kedua berisi analisis struktural naskah-naskah drama FTJ periode 2008-

2013 yang telah dibagi ke dalam tiga kategori.

Bab ketiga akan membahas hasil analisis struktural drama dilihat dari dunia

penciptaannya. Temuan dari analisis struktural akan dilihat dengan menggunakan

konteks sosial yang mengutuhkan gambaran tentang manusia masa kini dan masalah-

masalahnya.

Bab empat berisi kesimpulan dari penelusuran sosiologis terhadap naskah-

naskah drama FTJ 2008-2013. Kesimpulan diharapkan dapat menghasilkan gambaran

tentang manusia masa kini yang muncul serta pembicaraan awal atas kecenderungan

masalah yang diangkat dalam drama masa kini.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 33: Universitas Indonesia Library

19 Universitas Indonesia

BAB II

TELAAH STRUKTURAL DRAMA-DRAMA

FESTIVAL TEATER JAKARTA

Dari pembacaan awal, naskah-naskah drama yang telah dipilih sebagai korpus

data penelitian ini memiliki beberapa kesamaan yang patut dicurigai sebagai sebuah

semangat pada suatu periode. Kesamaan yang terdapat dalam kesembilan naskah

drama ini muncul melalui relasi manusia dengan lingkungannya. Relasi manusia

dengan faktor lingkungan tersebut menghasilkan sebuah masalah utama yang dapat

diperiksa melalui unsur-unsur yang membangun keutuhan struktur drama.

Relasi manusia yang akan dilihat dalam penulisan ini adalah relasi manusia

dengan diri sendiri, relasi manusia dengan kekuasaan, serta relasi manusia dengan

masyarakat. Dengan menggunakan perspektif relasi manusia, akan diuraikan unsur-

unsur yang membangun struktur dari kesembilan naskah drama yang telah dipilih.

Bangunan atau struktur drama terdiri atas unsur-unsur yang mengutuhkan dunia yang

dibentuk di dalamnya. Unsur-unsur tersebut terdiri atas tema, alur, tokoh, genre, dan

gaya bercerita (David Letwin & Stockdale 2008).

Hubungan di antara unsur-unsur ini saling bertautan dan menjadi cara

pengarang drama menceritakan masalah yang ingin disampaikan kepada pembacanya.

Namun, tidak seperti karya sastra lain yang menyusun unsur-unsurnya melalui narasi,

drama menguraikan unsur-unsur ini melalui interaksi tokoh-tokohnya. Ada pengarang

yang menyertakan pula petunjuk pemanggungan yang memberikan pembaca informasi

mengenai situasi dalam drama tersebut, tetapi ada pula yang benar-benar hanya

mengandalkan dialog antar tokoh sebagai sarana penyampaian cerita.9

Pada bagian berikut ini, akan diuraikan sturktur dari sembilan naskah drama

FTJ periode 2008-2013 yang telah dikategorikan menurut jenis relasi manusia yang

dibicarakan.

9 Diambil dari The Elements of Drama. Scholes 1978: 737. “Drama in its pure form uses word to create

action through the dialogue of characters talking to one another rather than to the reader…”

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 34: Universitas Indonesia Library

20

Universitas Indonesia

2.1 Drama tentang Relasi Manusia dengan Diri Sendiri

Pembicaraan mengenai relasi manusia dengan dirinya sendiri merupakan

sebuah pembicaraan mengenai eksistensi manusia. Drama-drama yang membicarakan

mengenai eksistensialimse umumnya bersifat absurd. Drama-drama ini disebut absurd

karena memaparkan suatu dunia yang sangat menggelikan dan dinilai tak masuk logika

(Scholes 1978: 752). Dunia yang menggelikan tersebut bertujuan untuk merubuhkan

pola yang membelenggu eksistensi manusia. Aliran drama ini lahir dari situasi manusia

yang menolak sistem atau konvensi lama dengan tujuan untuk membentuk norma-

norma baru yang sesuai. Tokoh-tokoh drama yang terkenal dengan drama absurdnya,

antara lain Jean Genet, Samuel Beckett, dan Iwan Simatupang.

Kekuatan drama-drama aburd ini terdapat pada dialog antar-tokohnya. Seperti

misalnya, Samuel Beckett dalam dramanya Endgame 10, memperlihatkan tokoh yang

terkungkung di antara kiamat di sekitarnya. Namun, masalah utama dalam drama ini

terletak pada reaksi tokoh-tokohnya—melalui dialog—terhadap peristiwa yang

dialaminya. Dalam drama tersebut, peristiwa kiamat dan tokohnya justru tak saling

bersinggungan dan tak ditemukan penjelasan yang rasional mengenai konflik tersebut.

Itulah mengapa drama-drama absurd memiliki kekuatan dalam dialog antar-tokohnya

yang bertujuan untuk mempertanyakan atau berceramahceramah tentang eksistensi

manusia.

2.1.1 Sinopsis Drama Relasi Manusia dengan Diri Sendiri

“Ruang Tunggu Terakhir”

Saman adalah seorang pria lanjut usia yang menjadi korban bencana alam.

Dengan keadaan yang terluka parah, Saman tiba di sebuah ruangan. Di sana, ia akan

bertemu dengan tokoh Man yang berjanji padanya untuk membawa ia pergi dari kiamat

yang terjadi. Man menjanjikan sebuah tanah baru yang subur dan dapat dipakai untuk

menata hidup baru. Dengan kondisi yang payah, Saman berusaha memegang teguh

10 Endgame merupakan drama satu babak yang ditulis oleh Samuel Beckett dalam bahasa Perancis.

Pada tahun 1957, naskah yang telah dialihbahasakan ke dalam Bahasa Inggris oleh Beckett,

dipublikasikan untuk pertama kalinya.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 35: Universitas Indonesia Library

21

Universitas Indonesia

janji Man tersebut. Dalam penantiannya, ia bertemu dengan dua tokoh lain—Maman

dan Lukman—yang juga mendapat janji yang sama dari Man. Pertemuan mereka ini

justru membawa ketegangan di masing-masing pihak. Ada kecurigaan dan rasa takut

yang menyelimuti mereka, ketika mengetahui bahwa mereka sama-sama menunggu

Man. Namun, keadaan di luar semakin gawat. Bencana alam datang silih berganti.

Tentara-tentara datang dan pergi untuk meringkus orang. Luka di tubuh mereka makin

makin parah, tetapi Man belum juga tiba. Di tengah keputusasaan mereka, muncul

tokoh Iman. Dengan membawa kabar dari Man, Iman memberikan mereka harapan

baru untuk berjalan menuju tanah yang dijanjikan.

“Gagu Ngigau Galau Wagu”

Lima orang menghuni sebuah perumahan yang terkesan ganjil. Mereka adalah

seorang guru, pengusaha, juru masak, tentara, dan seorang tukang sapu. Awalnya,

kehidupan mereka terlihat biasa saja. Namun, keadaan menjadi bertambah ganjil ketika

seorang dari mereka merasa kehidupan mereka terus-menerus berputar di tempat yang

sama. Mereka pergi bekerja di pagi hari, tetapi tak lama kemudian, kembali lagi karena

pekerjaan dibatalkan. Mereka pun menghabiskan aktivitasnya dengan bermain catur,

minum jamu bersama Mbak Mirna, dan berolahraga bersama Pak Kades. Pola itu

mereka lakukan terus-menerus, sampai suatu hari, Mbak Mirna pergi. Dunia mereka

berubah. Mereka tidak mau lagi minum jamu. Padahal Pak Kades telah mengusahakan

segala cara untuk membujuk mereka. Namun, kelima tokoh ini mengadakan aksi protes

untuk meminta Mba Mirna kembali lagi. Tiba-tiba Pak Kades marah besar, ia

menyetrum kelima tokoh tersebut. Setelah kelima orang itu dapat ditenangkan, Pak

Kades mengajari orang baru untuk berperan sebagai Mirna. Ternyata, Pak Kades

adalah seorang dokter dan kelima orang itu adalah pasiennya. Ketika Pak Kades—

dokter Bandi—mengajari orang baru tersebut untuk bekerja menjadi tukang jamu,

kelima tokoh itu keluar. Mereka terkejut ketika melihat kehadiran orang asing di

perumahan rekayasa milik Dokter Bandi.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 36: Universitas Indonesia Library

22

Universitas Indonesia

“Ruang Kehormatan”

Dokter Ivan menyiapkan sebuah keluarga baru untuk Bapak. Namun, Bapak

ragu bahwa orang-orang pilihan Dokter Ivan adalah keluarganya. Dokter Ivan terus

meyakinkan Bapak bahwa Ibu, Anak 1, Tiga Anak Kembar, Paman, dan Bibik adalah

keluarga barunya. Kelucuan timbul dari tingkah laku mereka aneh. Ternyata mereka

adalah keluarga rekayasa yang digunakan Dokter Ivan untuk sebuah penelitian. Demi

meraih kebebasan dari ruang kehormatan tersebut, mereka harus berperan sebaik

mungkin sesuai dengan arahan Dokter Ivan. Suatu hari, mereka akhirnya diajak pergi

berlibur oleh Dokter Ivan. Hal itu berarti mereka akan segera bebas, tetapi Bapak tidak

boleh ikut. Bapak dapat menerima hal itu, tetapi tidak dengan anggota keluarga yang

lain. Setelah meyakinkan keluarganya untuk pergi, Bapak menemui Dokter Ivan dan

meminta kebebasannya. Namun, Dokter Ivan menolak. Ia bahkan mengancam Bapak

untuk mengurungnya seumur hidup, jika tak mematuhi keinginannya.

2.1.2 Analisis Struktur Drama Relasi Manusia dengan Diri Sendiri

Ketiga drama ini membagi peristiwa-peristiwa penting ke dalam empat bagian.

Pada bagian pertama ditemukan sebuah pemaparan yang memperkenalkan satu per-

satu tokohnya. Bagian pertama ini penting untuk mengetahui keadaan para tokoh dalam

dunia drama. Apabila memperhatikan sinopsis ketiga naskah drama ini, tokoh-

tokohnya digambarkan sebagai sekumpulan orang depresi yang dirawat oleh seorang

dokter, orang yang hidup dalam sebuah keluarga bentukan, dan orang-orang yang putus

asa pada saat kiamat terjadi (lihat bagian 2.1.1). Namun, pada bagian pemaparan,

keadaan tersebut belum diungkapkan secara jelas. Para tokoh tidak mengetahui

keadaan mereka yang sebenarnya. Belum ada tanda-tanda yang memperlihatkan bahwa

para tokoh merupakan orang yang mengalami gangguan kejiwaan atau putus asa.

Ditemukan pula adanya sedikit kejanggalan yang diperlihatkan melalui lakuan para

tokoh, seperti yang dikutip berikut ini.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 37: Universitas Indonesia Library

23

Universitas Indonesia

“Gagu Ngigau Galau Wagu”

Setting yang terdiri dari beberapa rumah dan berbentuk perumahan dimana

terlihat juga sebuah tempat yang menyerupai pos ronda. Perumahan tersebut

terlihat seperti komplek pada umumnya namun seperti ada sesuatu yang

disembunyikan dari suasana tersebut. Tampak beberapa orang penghuni

perumahan tersebut sedang melakukan aktifitas seperti biasanya di pagi hari.

Lalu keluarlah seorang dari salah satu rumah.

Ibu Donna: (menghampiri Pak Yusuf) Tumben baru bangun pak…

Pak Julius: Kalau gurunya kesiangan bagaimana muridnya ya?

Pak Slamet: Pak Guru tadi malem begadang?

……………………………………………………………………..

Adegan 2

Di tempat yang sama hanya situasi di pagi hari. Hanya yang membedakan adalah

tidak ada orang yang sedang berkumpul.

Pak Slamet: Lho kok pak guru, Pak Marman, dan ibu donna belum

berangkat juga?

………………………………………………………………………………

Pak Slamet: Jadi tidak ada yang berangkat kerja hari ini???

Pak Yusuf: Pak Slamet??

Pak Slamet: Saya malas nyapu jalanan pak guru,

Pak Marman: Yasudah kalau begitu kita ngobrol-ngobrol saja…

Semua: Mari…

Ibu Donna: Saya merasa pagi kita selalu seperti ini ya??

Pak Slamet: Maksud ibu?

Ibu Donna: Ya saya seperti melakukan hal yang sama setiap paginya.

Begitupun dengan yang bapak-bapak lakukan… selalu

sama… (2008: 2&9)

“Ruang Kehormatan”

Dokter Ivan: Selamat siang, selamat saya ucapkan kepada bapak! Hari ini

saya mendengar kabar bahwa anak bapak menerima beasiswa

sekolah ke luar negeri selama tiga tahun.

Bapak: Anak???!! (Serius) Saya tidak pernah merasa bahwa saya

mempunyai seorang anak. Jangan kira seorang anak, seirang

istri pun saya tidak pernah punya.

………………………………………………………………………

Bapak: Masuk di akal juga! (hening sesaat) tuan, apakah anda pernah

merasakan kejadian yang sama yang berkali-kali tuan alami

dalam hidup tuan dulu?

Dokter Ivan: (gugup) oh.. tentu saja pernah! (…)

Bapak: Dan itu wajar?

Dokter Ivan: Tentu saja wajar, lumrah…

Bapak: Tapi saya merasa aneh, kejadian yang saya alami ini persis

seperti saat ini kita bicara, kejadian ini rasanya sudah 15 kali

berulang-ulang di setiap tahunnya, bukankah itu aneh? (2010:

1-2)

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 38: Universitas Indonesia Library

24

Universitas Indonesia

Kutipan di atas memperlihatkan sebuah kegiatan yang rutin dilakukan para

tokoh sehingga menimbulkan suatu pola yang secara tidak sadar menjadi bagian dari

diri mereka. Tokoh-tokoh dalam dua drama tersebut mulai merasakan sebuah

kegelisahan atas kejadian yang terus-menerus mereka alami. Dalam naskah drama

“Gagu Ngigau Galau Wagu”, kelima tokoh utama digambarkan dengan latar belakang

profesi yang berbeda-beda. Tokoh Pak Yusuf adalah seorang guru yang bersahaja dan

ramah kepada tokoh lain. Tokoh Ibu Donna, sebagai satu-satunya perempuan di tempat

itu, digambarkan sebagai seorang wanita karier yang oportunis dengan pembawaan

yang sedikit centil. Tokoh Pak Marman adalah seorang tentara yang tingkah lakunya

didasarkan pada semangat mengabdi bagi negara. Pak Julius adalah seorang koki

dengan wawasan yang kebarat-baratan. Tokoh Pak Slamet digambarkan sebagai

seorang tukang sapu jalan yang bersahaja.

Percakpaan yang terjadi di antara tokoh-tokoh ini seringkali menimbulkan

kebingungan sebab tidak memiliki topik utama yang jelas. Mereka hanya berbicara

sesuai dengan bidang yang mereka tekuni sehingga pembicaraan antara tokoh yang

satu dan yang lain tidak memilki kaitan. Adapun asal usul para tokoh dicurigai sebagai

sebuah perwakilan atas peran manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Tiap profesi

mewakili kelas sosial tertentu. Kecurigaan bahwa profesi mereka hanya sekadar nama,

disebabkan oleh tidak adanya kegiatan yang menunjukkan bahwa mereka memang

mengerjakan hal tersebut. Pada satu bagian, para tokoh diceritakan akan berangkat

kerja di pagi. Namun, selalu ada alasan ganjil yang menyebabkan mereka tidak jadi

pergi bekerja. kejanggalan ini yang membawa kecurigaan bahwa mereka tidak

melakukan profesi yang disebutkan.

Dalam kutipan yang diambil dari naskah “Ruang Kehormatan” pun ditemukan

sebuah kejanggalan asal usul tokoh Bapak. Tokoh Bapak nampak tidak yakin dengan

identitasnya sebagai seorang bapak. Ia berulang kali menanyakan pada Dokter Ivan

tentang identitasnya tersebut. Di lain pihak, Dokter Ivan seolah-olah medoktrin Bapak

dengan jawabannya. Namun, keraguan tokoh Bapak atas pernyataan Dokter Ivan justru

semakin jelas terlihat. Keraguannya digambarkan melalui reaksinya dengan tokoh-

tokoh lain—sepeti tokoh Anak 1, Ibu, Paman, dan Bibi—yang tidak dikenal, tetapi

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 39: Universitas Indonesia Library

25

Universitas Indonesia

sudah dihapal urutan kejadiannya. Reaksi para tokoh yang muncul ini pun tidak kalah

anehnya sebab mereka seolah-olah dipaksa masuk ke dalam ruangan oleh orang lain—

yang tidak dijelaskan siapa atau apa—seperti yang dikutip berikut ini.

Ibu: (berteriak) Tidak perlu berbuat kasar pada saya, tidak perlu

mendorong-dorong saya. Saya akan jalan pada arah yang saya mau,

tidak

perlu dipaksa-paksa (meracau).

Anak 1: Ibuuuuu….!!! (memeluk dan mencium) Ibu, saya tidak menyangka

ibu ada, aku mempunyai ibu.

Ibu: (senang) Aku saja tidak menyangka aku mempunyai anak

(membantu ank 1 berdiri) Anakku…!!”(berteriak dan

berpelukan).”ngomong-ngomong namu siapa, nak?

Anak 1: Namaku Leoni, bu. Masa ibu tidak tahu.

Ibu: Iya ibu tau namamu Leoni. Kan tadi, kamu sendiri yang

mengatakannya.

Anak 1: I ya ya

Bapak: (tertawa) betul-betul keluarga yang harmonis…

Dokter Ivan: Tapi keharmonisan itu tidak hadir karena setiap bagian dari

keluarga menciptakan situasi yang baik antara yang satu dengan

yang lainnya! Contohnya, hubungan komuinikasi yang baik antara

ayah dan anak harus tetap terjaga, begitu pun dengan ibu dan anak

(2010: 5)

Sedikit berbeda dengan dua drama lainnya, naskah drama “Ruang Tunggu

Terakhir” tidak secara gamblang memperlihatkan repetisi kejadian yang membentuk

suatu pola. Repetisi tersebut diuraikan melalui petunjuk pemanggungan setiap kali ada

tokoh yang akan muncul. Di bagian awal, tokoh Saman masuk setelah adanya bencana

alam dan kecelakaan dahsyat kemudian tokoh Saman bermonolog dan adegan berhenti.

Tiba-tiba di antara kesunyian selepas Saman bermonolog, bencana dan kecelakaan

dahsyat terjadi lagi dan muncullah tokoh Maman dan Lukman. Dari repetisi tersebut

terbentuklah pola kemunculan tokoh baru yang didahului dengan bencana. Tokoh

Saman pun tidak diperlihatkan mengetahui adanya pola tersebut. Bagi tokoh Saman,

tugasnya adalah menunggu. Hal tersebut menjadisuatu rutinitas yang harus dijalaninya

ketika ia berada di tempat tak bernama itu. Kerisauan tokoh Saman dipicu oleh

ketidakpastian datangnya tokoh Man yang ditunggu.

Repetisi ini tidak mengganggu para tokoh sampai pada suatu ketika, terjadi

perubahan. Setelah sekian lama melakukan hal tersebut, kegiatan itu mendarah daging.

Namun, mendadak, para tokoh merasa cemas dengan repetisi yang membentuk pola

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 40: Universitas Indonesia Library

26

Universitas Indonesia

dalam hidup mereka. Ada tokoh yang menunjukkan ketakutan, ada pula tokoh yang

menyangkal adanya keanehan di balik repetisi itu. Pola yang mereka jalani, dapat

dicurigai sebagai sebuah pertanda bahwa para tokoh hidup dalam belenggu. Pada saat

mereka menyampaikan reaksi atas pola tersebut,muncullah kesadaran individu atas

eksistensi diri.

Perlu pula digarisbawahi bahwa dua di antara naskah drama ini menggunakan

kata ‘ruang’ dalam judulnya. Yang menarik, ketiga naskah drama ini menggunakan

‘ruang’ sebagai latar peristiwa. Ruang dalam naskah drama Gagu Ngigau Galau Wagu

disulap menjadi sebuah perumahan yang dihuni oleh para tokoh. Mengapa perumahan

tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah ruang? Berdasarkan lakuan para tokoh serta

beberapa pernyataan dari tokoh lain, perumahan tersebut merupakan sebuah kamuflase

dari ruang di rumah sakit jiwa. Ruang ini digunakan oleh tokoh Dokter Bandi untuk

memperhatikan kehidupan kelima tokoh tersebut.

Lalu semuanya pun kembali ke rumah mereka masing-masing. Hanya tinggal

dokter Bandi seorang diri. Lalu ia pun menuju keluar panggung tetapi dicegah

oleh Mirna.

Mirna: Pak… sampai kapan mereka disini???

Dokter Bandi: Belum waktunya…

Mirna: Tapi mereka sudah lima tahun di sini… sudah waktunya mereka

untuk ditransmigasikan…

Dokter Bandi: Belum waktunya mirna… saya lebih mengetahui kapan mereka

harus keluar dari tempat ini…mengerti kamu?

Mirna: Iya saya tau pak, tetapi… (2008: 16)

Tidak jauh berbeda dengan naskah drama “Gagu Ngigau Galau Wagu”, naskah

drama “Ruang Kehormatan” pun mengubah rumah sakit jiwa sebagai rumah tinggal

keluarga bentukan Dokter Ivan. Sementara itu, ruang yang dimaksud dalam naskah

drama “Ruang Tunggu Terakhir” adalah sebuah tempat di mana tokoh Saman, Maman,

dan Lukman berlindung dari kiamat sambil menunggu datangnya tokoh Man. Kedua

naskah drama ini menggunakan kata ‘ruang’ dalam judulnya. Hal tersebut

menunjukkan adanya keistimewaan kata ‘ruang’, baik yang menjadi latar maupun

judul.

Pada dasarnya, ruang digunakan sebagai salah satu ungkapan rasa

terbelenggu—selain repetisi kejadian—yang dialami para tokoh. Ruang merupakan

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 41: Universitas Indonesia Library

27

Universitas Indonesia

sebuah tempat yang memiliki batasan dan memiliki kesan tertutup. Kelima tokoh

dalam naskah drama “Gagu Ngigau Galau Wagu” merasa terbelenggu dengan aktivitas

yang terus-menerus mereka lakukan tanpa mengerti makna di baliknya. Tokoh

Bapak—yang dari awal mengalami kecemasan—terbelenggu dengan identitasnya

yang terasa asing. Ia menyatakan hal tersebut secara terus terang kepada tokoh dokter

Ivan, seperti yang dikutip berikut ini.

Bapak: (baru beberapa langkah hendak keluar

ruangan).Tidak…tiiiidaaakk, saya

selalu berpikir..saya tidak akan pernah bias keluar…saya pasti

menemui tembok putih yang besar dan pintu yang

terkunci….saya mengidap penyakit…saya mengidap penyakit

apa, Nyonya??

Dokter Ivan: (tertawa) Pak…pak…!!! Itu bukan penyakit!! Itu hanya

perasaan saja, saya pun pernah mengalaminya.

Bapak: Masa???

Dokter Ivan: Iya…pasti bapak merasa terkurung kan….dipenjara.?

Bapak: Loh…kok tau??

Dokter Ivan: Pasti bapak merasa seperti seekor burung yang ditempatkan di

dalam sangkar emas.

Bapak: Betul !!! (2010: 7-8)

Dari kutipan tersebut, ditemukan tidak adanya ikatan antara tokoh Bapak

dengan ruangan yang disebut sebagai rumah milik keluarganya. Berulang kali ia

menyatakan dirinya ingin pergi dari sana, tetapi ia selalu terantuk pada tembok yang

besar. Ia menyebutkan bahwa dirinya seperti burung dalam sangkar. Hal ini secara

tidak langsung menunjukkan adanya penolakan dalam diri tokoh Bapak terhadap asal

usul yang diberikan dokter Bandi kepadanya.

Apabila dalam kedua drama tersebut latar diumpamakan sebagai sebuah

kurungan yang berkonotasi buruk, lain halnya dengan drama “Ruang Tunggu

Terakhir”. Latar yang digunakan memang sama-sama berupa ruangan. Namun,

ruangan yang digambarkan pada drama ini merupakan tempat tokoh-tokohnya

berlindung dari kiamat yang terjadi. Penggambaran latar seperti ini, memiliki

kemiripan dengan drama Samuel Beckett “Endgame” 11. Dalam drama absurd ini,

Beckett meletakkan tokohnya dalam sebuah ruangan yang melindunginya dari bencana

11 Lihat catatan kaki pada hlm.20

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 42: Universitas Indonesia Library

28

Universitas Indonesia

yang tengah terjadi di luar sana. Hingga akhir drama ini, tokoh dengan kiamat di

sekitarnya tidak bersinggungan, tetapi di situlah terdapat poin penting dari drama

Beckett. Tokoh Saman, Maman, dan Lukman pun mengalami hal yang sama. Mereka

datang ke ruangan yang merupakan satu-satunya ruangan yang masih berdiri di tengah

kehancuran kota. Dalam ruangan itu, mereka mengurung diri dari kebinasaan. Mereka

bersembunyi sambil berharap tokoh Man sang penyelemat datang.

Ruangan gelap. Pintu-pintu beraneka kelam. Botol-botol, lilin,

Sampah sisa pesta mabuk berserakan. Seorang datang. (…)

Saman: Man! ... Man?! ... Dimana kamu, Man? ... Man?! ... Aku sudah

sampai ... Dimana kamu? ... Man?! ...

Sepi. Tidak ada jawaban. Orang itu keluar-masuk entah. Kadang

Menendang sesuatu tak sengaja. Orang itu menemukan lilin

Dan menyalakannya

Saman: Man?! ... Jangan permainkan aku ... Oh, aku lelah, Man! ... Panas

sekali perjalanan ke tempat ini. Dimana kamu? ... Man ... Kita sudah

janji bertemu ‘kan? ... Tapi, dimana kamu? ... Aku sudah sampai ...

Dimana kamu, Man? ... Kamu ada dimana?! ... Man?! ... Kamu di

luar atau di dalam?...

…………………………………………………………………………..

Saman: Oh, luka. Kakiku meradang terbakar, Man... Berdarah... Oh!

Kulitnya terkelupas ... Jalan sudah jadi bara ... Angin sudah terlalu

kencang meniupnya jadi api. Bumi terbakar, Man. Menghanguskan

jalan yang tersisa. Jalan-jalan lain sudah hilang ditelan lumpur dan

banjir. Kota akan terkubur. Jalan lainnya sudah tertutup tanah

longsor dan putus, dibelah jurang yang dalam akibat gempa ... Tapi

aku pantang menyerah, Man. Walau derita perih mendera

langkahku. Meninggalkan bekas jejak darah yang segera pupus oleh

hujan, mengurai darahku jadi aroma sungai sampai ke laut. Hujan

sering turun belakangan ini, Man. Gelombang setinggi pohon

kelapa. Dan aku berhasil sampai ke tempat ini. Bagaimana kamu,

Man? ... Kita sudah berjanji bertemu ditempat ini. Tempat

keberangkatan kita menuju tanah yang dijanjikan. (…) (2011: 4)

Maman: Kita sudah sampai?

Lukman: Kita belum berangkat.

Maman : Apakah kita sudah sampai, ditempat kita akan berangkat?

Lukman: Tidak tahu.

Mereka mengamati dan mencari sesuatu untuk penerang.

Lukman: Saya juga berpikir begitu. Inilah tempat terakhir yang tersisa. Ruang

terakhir yang ada. Saya pikir kita sudah sampai.

………………………………………………………………………

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 43: Universitas Indonesia Library

29

Universitas Indonesia

Lukman: Kalau begitu, kita harus yakin. Atau keyakinan tidak dibutuhkan

lagi.

Maman: Berarti kita sudah sampai. (2008: 3-4, 9)

Bagian pertama ketiga naskah drama ini menunjukkan pemaparan yang berisi

asal usul tokoh dengan situasi yang mereka alami. Melalui penggambaran alur dan

sedikit temuan tentang karakter para tokoh, dihasilkanlah sebuah suasana yang penuh

kecemasan dan kebingungan. Para tokoh ini dipaksa merasa nyaman berada di dalam

dunia yang sebenarnya merupakan kamuflase belaka. Adapun kesadaran dalam diri

mereka—yang sesekali muncul—tentang dunia palsu yang mereka huni, ditutupi

dengan pola yang membuat mereka merasa menjalani kehidupan yang sudah

seharusnya.

Bagian kedua yang menandakan peristiwa penting dalam ketiga naskah drama

ini adalah perubahan pola pada rutinitas para tokoh. Alur kemudian menanjak naik dan

menunjukkan adanya perumitan masalah, ketika tokoh-tokoh ini diserbu dengan

masalah yang mengganggu keseimbangan dunianya. Para tokoh dipaksa untuk keluar

dari pola yang telah nyaman mereka jalani. Namun, ada sedikit pertentangan dalam

bagian ini. Pada bagian peristiwa sebelumnya, para tokoh merasakan kecemasan ketika

berpikir ulang tentang rutinitas yang mereka jalani. Namun, ketika rutinitas mereka

sedikit berubah, mereka memperlihatkan penolakan. Memang, kesadaran atas rutinitas

yang membelenggu ini, terbilang masih dalam takaran yang kecil (kecuali tokoh Bapak

dalam drama “Ruang Kehormatan) sehingga timbul pendapat bahwa hal yang membuat

mereka selama ini bertahan hidup dalam belenggu adalah munculnya. Akan tetapi, rasa

tidak nyaman ketika rutinitas mereka diubah, memaksa para tokoh untuk mulai berpikir

tentang posisi dirinya dalam pola kehidupan di tempat itu.

Dalam naskah drama “Gagu Ngigau Galau Wagu”, perubahan tersebut ditandai

dengan kemunculan tokoh Dokter Bandi dan Mirna yang tidak sesuai urutan. Kelima

tokoh ini sudah terbiasa dengan urutan kemunculan yang diawali oleh Mirna dan

dilanjutkan dengan tokoh Dokter Bandi. Namun, ketika Dokter Bandi dan Mirna

muncul bersamaan, mereka tahu ada sesuatu yang salah. Rupanya, hal ini memicu

reaksi keras dari mereka, seperti yang dikutip berikut ini.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 44: Universitas Indonesia Library

30

Universitas Indonesia

“Gagu Ngigau Galau Wagu”

Dokter Bandi: Apa kabar bapak-bapak semuanya?

Pak Julius: Lho Pak Kades…

Lalu mereka tampak diam seperti ada yang aneh.

Dokter Bandi: Lho… kenapa bapak-bapak ini pada diam semuanya? Terkejut

melihat saya?

………………………………………………………………………….

Pak Yusuf: Ada apa pak Kades menemui kami?

Ibu Donna: Iya, tidak seperti biasanya…

Pak Julius: Biasanya kan Pak Kades selalu datang setelah…

Pak Marman: Kok rasanya ada yang aneh ya…

………….………………………………………………………………

Dokter Bandi: (memotong) sudah… saya akan jelaskan ke bapak-bapak semua

bahwa hari ini adalah hari terakhir mbak mirna di sini…dia akan

ikut program TKW ke Malaysia…

Pak Marman: Maksud Pak Kades?

…………………………………………………………………………..

Ibu Donna: Jelas saja mereka tidak mau minum… wong caranya saja tidak

seperti yang biasa…

Dokter Bandi: Maksud ibu Donna?

Ibu Donna: Biasanya kan sebelum minum jamu mereka sibuk mencari

catur…lalu datanglah mbak mirna dengan membawa catur dan

goyangan-goyangan khas Banyumas, dan mbak mirna selalu

bilang (menirukan gaya Mirna) ‘ayo bapak-bapak… kalau tidak

minum jamu saya nanti tidak saya kasih caturnya lho…’ begitu

pak. (2008: 17-19)

Dari kutipan di atas, hal yang paling penting untuk menjaga keharmonisan

dalam dunia tokoh-tokoh tersebut adalah urutan dengan waktu yang tepat. Ketika

mereka menjumpai adanya pergeseran atau kejadian yang tidak biasa, para tokoh

dengan segera memberikan reaksi penolakan yang keras. Tokoh Mirna yang mereka

kenal sebagai tukang jamu, harusnya muncul sendirian ketika mereka tengah sibuk

mencari papan catur. Tokoh dokter Bandi yang berperan sebagai Kades, muncul setelah

tokoh Mirna pergi. Namun, ketika dua tokoh tersebut muncul bersamaan, kelima tokoh

nampak kebingungan. Perubahan bagi mereka adalah sesuatu hal yang baru sehingga

mereka—yang selama ini hidup dalam keadaan yang serba pasti—tak dapat

menyesuaikan diri dengan cepat.

Sementara itu, perubahan pola yang ditemukan dalam naskah drama “Ruang

Kehormatan” ditandai dengan pertengkaran tokoh Ibu dan tokoh Bapak. Pada bagian

ini, tokoh Bapak diceritakan telah menyesuaikan diri dengan kehidupan barunya

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 45: Universitas Indonesia Library

31

Universitas Indonesia

bersama anggota keluarga yang dipilih oleh Dokter Ivan. Sampai pada suatu saat, tokoh

Ibu merasa lelah berpura-pura menjadi istri yang bahagia. Ia mencoba mendapatkan

haknya—tentang kebutuhan rohani dan jasmani—dari suaminya. Ternyata hal tersebut

merupakan keadaan yang terlarang untuk dibicarakan sebab mereka semua sebenarnya

memang hanya berpura-pura. Penolakan Bapak untuk berhubungan intim dengan tokoh

Ibu sudah terjadi dari awal pertemuan. Tokoh Bapak menolaknya dengan mengatakan,

“Saya laki-laki! Saya punya hasrat sebagai seorang laki-laki. Saya bisa saja meniduri

perempuan itu! (…) saya masih punya martabat sebagai diri saya sendiri!!!” (2008: 6).

Hal ini muncul dari alam bawah sadarnya yang mengetahui bahwa tokoh Ibu bukanlah

istrinya yang sah. Sikap tersebut menunjukkan adanya kepribadian yang teguh dalam

memegang prinsip, tidak oportunis, serta secara tidak langsung mengakui bahwa

kehidupan tersebut hanyalah rekayasa. Namun, dari peristiwa itu, tokoh Bapak—dan

tokoh lain—diperlihatkan tidak berdaya untuk menolak peran yang diberikan oleh

Dokter Ivan.

Ibu: (membanting gelas dan nampan ditanganya, marah) kamu bisa

ngomong begitu pada mereka!!. Tidak perlu berpura-pura… tidak

perlu berpura-pura!!! Apa selama ini kamu tidak berpura-pura??!!

Bapak: Ssshhttt… bu!! Jangan di depan mereka…

Ibu: Biar!!! Biar mereka tau sebenarnya!!! Sebagai seorang suami

semestinya kamu tau apa kebutuhan seorang istri!!! Tidak perlu

saya harus mengejar-ngejar kamu, meminta-minta, saya ini istrimu,

ya!!! Istrimu!!! Sementara kamu, apa kamu tidak berpura-pura pada

mereka bahwa hubungan kita kelihatan baik-baik saja??!!. perasaan

saya betul-betul sakit!!! (tante menghampiri dan menenangkan ibu)

Anak 4: Kenapa yah… kenapa ayah harus berbohong pada kami, kenapa

ayah harus berpura-pura??

Anak 3: Kami menyayangi ibu sama halnya seperti kami menyayangi ayah,

mengapa ayah selama ini tega membohongi kami??

Bapak: Ayah… ayah… tidak bermaksud…

Anak 2 Ayah pembohong!!!, ayah tidak bisa dipercaya!!!

Bapak: Ayah… hanya ingin… (2008: 15-16)

Pilihan tokoh Bapak untuk melanjutkan hidup dalam kepura-puraan

mengakibatkan kekecewaan dalam diri tokoh lain yang merasa memiliki ikatan dengan

dirinya. Namun, ketika hal yang tabu tersebut dibicarakan, tokoh Bapak pun memiliki

reaksi yang sama dengan kelima tokoh dalam naskah drama “Gagu Ngigau Galau

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 46: Universitas Indonesia Library

32

Universitas Indonesia

Wagu”, yaitu tidak siap untuk menerima perubahan. Ia berusaha keras untuk

menyembunyikan hal yang dirahasiakannya selama ini, seperti yang dapat dilihat

dalam kutipan di atas. Tokoh Ibu terus mendesak tokoh Bapak dan tokoh lain nampak

pula antusias untuk mengetahui pembelaan Bapak. Namun, tokoh Bapak sepertinya

tidak dapat mengatakan hal yang ingin disampaikannya. Adanya sikap antusias tokoh

lain diduga muncul dari alam bawah sadar yang mengetahui tentang kepalsuan identitas

diri mereka masing-masing.

Pada bagian ini, ditemukan perubahan sikap dari tokoh lain—Ibu, Anak-anak,

Paman, dan Bibi—yang tidak hanya dapat menyesuaikan diri, tetapi juga telah

menjiwai peran tersebut. Perbedaan sikap mereka pada bagian ini dan bagian awal

sangat kontras. Hal ini mungkin menjadi salah satu faktor pertimbangan bagi tokoh

Bapak untuk menahan keinginannya menceritakan hal yang ia ketahui. Akan tetapi,

bagi tokoh Bapak sendiri, tekanan yang diberikan oleh tokoh Ibu juga menjadi sebuah

perubahan yang besar. Dapat dilihat dalam kutipan di atas, tokoh Bapak mengalami

kecemasan seperti yang dialaminya di bagian awal. Terlihat dari gerak-geriknya dan

gaya bicaranya yang terbata-bata. Padahal, selepas bagian pertama, tokoh Bapak sudah

mulai dapat menyesuaikan diri dengan perannya di dalam keluarga tersebut.

Sama halnya dengan tokoh bapak dalam drama “Ruang Kehormatan”, konflik

pada drama “Ruang Tunggu Terakhir” dimulai ketika tokoh Saman bertemu dengan

tokoh Maman dan Lukman. Sebelumnya, mereka secara terpisah sama-sama menanti

seorang yang bernama Man. Dalam monolog-monolog awal tokoh Saman,

diperlihatkan usahanya yang keras untuk meyakinkan dirinya akan janji Man. Ketika

ia bertemu dengan orang lain yang mengaku dijanjikan hal yang sama dengan dirinya,

keraguan itu muncul. Keraguan itu tidak hanya menyerang tokoh Saman, tetapi juga

tokoh Maman. Para tokoh merasakan keraguan karena dihadapkan pada refleksi diri

mereka—yang sama-sama menunggu Man—dalam diri tokoh lain. Nada interaksi

ketiga orang ini sedikit meninggi, ditambah lagi dengan situasi sekitar yang semakin

gawat. Munculnya tokoh petugas menandakan keadaan bahaya seperti yang dapat kita

lihat pada kutipan berikut ini.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 47: Universitas Indonesia Library

33

Universitas Indonesia

Lukman: Sejak tadi kami ada ditempat ini ... dan tidak melihat ada

siapapun.

Maman: Kami yang sedang menunggu ... Bukan kamu ! ... Pasti

kamu baru datang ‘kan ?! ... Mau apa ke tempat ini ?

Saman: Aku mau bertemu seseorang yang bernama Man ... Aku dan

Man sudah berjanji, untuk bertemu di tempat ini ... Dan aku

sudah tiba ditempat ini, ketika belum ada siapa pun di sini

(...) Dan melihat kalian ada di sini ... Aku yang lebih dulu

sampai di tempat ini ... Bukan kalian ! (...)Kenapa kalian

datangi tempat seperti ini ? ...

Lukman: Karena sudah tidak ada tempat lain ...

Maman: Ini ruang terakhir yang tersisa, yang kami temukan

Lukman: Pak ! ... Ssstt ... Kami menunggu seseorang, yang akan

menjemput ditempat ini.

Saman: Di jemput ? ... Kalian mau kemana ? ...

Maman: Kami mau berangkat, menuju harapan tanah yang

dijanjikan.

Lukman: Pak ?! ... Sssstt ! ...

Saman: Apakah orang itu bernama Man ? ...

Seorang yang luka keluar dari persembunyiannya,

Diikuti yang lain. Perlahan-lahan dan tetap curiga.

Maman: Apa ?

Saman: Apakah orang yang menjanjikan, untuk menjemput kalian

ditempat ini bernama Man ?

Lukman: Ya ! Orang itu bernama Man. Nama yang sama dengan

nama orang yang ingin bapak temui.

………………………………………………………………………

Seorang yang gusar tampak bingung dan makin gelisah.

Maman: Ya ?! Tapi, janji siapa ? ... Janji Man yang mana ?! ...

Apakah kedua Man ini orang yang sama ?! Hah ?! ... Kalau

Man ada dua, atau Man ada banyak, bagaimana ? ... Oh ! ...

(2008: 13-15)

Dari kutipan di atas, ditemukan perubahan terhadap diri tokoh Saman atas

harapannya pada tokoh Man. Ia—di bagian awal—telah berulang kali meyakinkan diri

akan janji Man. Namun, ketika bertemu dengan tokoh Maman dan Lukman yang juga

masih bergumul dengan kepercayaan atas janji Man, kepercayaan tokoh Saman

melemah. Inilah yang disebutkan sebelumnya sebagai refleksi masing-masing tokoh

pada diri tokoh yang mereka temui. Keadaan mereka yang menyedihkan baru terasa

ketika melihat tokoh lain yang mengalami hal serupa. Pertemuan ketiga tokoh—yang

sama-sama mendapat janji dari tokoh Man—justru tidak memperkuat kepercayaan

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 48: Universitas Indonesia Library

34

Universitas Indonesia

mereka terhadap janji tersebut, sebaliknya saling melemahkan. Selain melihat refleksi

diri pada tokoh lain, hal ini juga dapat disebabkan oleh kecurigaan yang timbul dari

keadaan bahaya di sekitar mereka.

Pertemuan tiga karakter yang berbeda ini saling bertabrakkan. Tokoh Saman—

diceritakan sebagai sahabat Man—memiiki karakter yang cenderung pasrah, ditambah

lagi dengan kondisi dirinya yang terluka parah. Tokoh Maman yang paling tua di antara

mereka digambarkan begitu pesimis dengan keadaan kesehatan yang buruk. Tokoh

Lukman, yang dinyatakan paling muda, nampak begitu agresif menyerang tokoh

Saman yang asing. Ada sedikit ketidakpercayaannya terhadap tokoh Saman yang

belum dikenal. Kondisi fisik mereka yang tidak sehat serta bencana di sekeliling

mereka membuat janji Man terasa sebagai satu-satunya harapan untuk bertahan hidup.

Namun, setelah melihat bahwa ada pihak lain yang juga dijanjikan hal serupa oleh

tokoh Man, masing-masing dari mereka merasa janji Man tidak lagi eksklusif. Tokoh

Maman bahkan diperlihatkan terserang kepanikan hebat ketika tokoh Saman

membicarakan janji Man. Ia tidak hanya ragu terhadap janji Man, tetapi juga

mempertanyakan keberadaan tokoh Man. Selain itu, keadaan yang terus bertambah

genting—digambarkan dengan gemuruh di luar dan gerak-gerik tokoh bersepatu lars

yang meneror—menimbulkan tekanan terhadap kondisi kejiwaan para tokoh. Adanya

tokoh Seseorang yang memvisualisasi bentuk abstrak dari rasa gusar, bingung, dan

gelisah menambah intens krisis dalam bagian ini.

Bagian berikutnya menunjukkan peristiwa yang merupakan puncak dari konflik

yang dialami para tokoh. Klimaks dari perubahan—yang terus mengarahkan para tokoh

terhadap kesadaran berpikir—akan adanya pola yang membelenggu mereka terjadi

ketika para tokoh berani mempertanyakan nasib mereka. Mereka tidak lagi

mengabaikan kenyataan bahwa selama ini mereka hidup dalam sebuah kepalsuan yang

dikendalikan oleh ‘tuhan’ dalam dunia mereka. Tokoh ‘tuhan’ ini merupakan simbol

dari kekuatan superior yang menjaga agar pola tersebut tidak hancur. Dalam naskah

drama “Gagu Ngigau Galau Wagu” dan “Ruang Kehormatan”, tokoh ‘tuhan’ adalah

para dokter yang menjadikan mereka obyek penelitian kejiwaan. Dokter Bandi dan

Dokter Ivan memiliki beberapa kesamaan—peran maupun karakter—dalam alur

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 49: Universitas Indonesia Library

35

Universitas Indonesia

drama. Selain berprofesi sebagai dokter, keduanya menggunakan tokoh-tokoh utama

sebagai obyek penelitian. Dengan segala cara, mereka berusaha untuk

mempertahankan kekuatannya atas para tokoh, misalnya dengan ancaman atau

hukuman. Sifat mereka dapat dikatakan otoriter dan absolut. Perkataan mereka menjadi

sabda yang harus dipatuhi oleh para tokoh, sebab di luar itu, tidak ada kepastian tentang

hidup bagi para tokoh. Hal ini memperlihatkan bahwa keberadaan mereka telah

membuat esensi dari keberadaan para tokoh memudar. Tidak sepenuhnya hilang, hanya

tenggelam di dalam alam bawah sadar mereka.

Begitu pula dengan naskah drama “Ruang Tunggu Terakhir”, Man adalah

“’tuhan bagi tokoh Saman, Maman, dan Lukman. Janji yang diberikan Man adalah

alasan mereka untuk bertahan hidup. Tanpa adanya janji tersebut, kehidupan mereka

yang sudah di ambang kematian mungkin tak lagi patut diperjuangankan. Namun,

harapan tersebut justru membuat mereka terkungkung dalam kenyamanan menunggu.

Sebenarnya, ada dua versi naskah “Ruang Tunggu Terakhir” yang dikumpulkan oleh

penulis. Satu versi yang menyertakan monolog tokoh Man dan versi yang lain tanpa

monolog tokoh Man. Dalam penelitian ini, digunakan versi yang menghilangkan

monolog tokoh Man. Oleh sebab itu, karakter dari tokoh Man ini tidak pernah

diketahui. Tokoh Man dan janjinya hidup melalui perkataan tokoh-tokoh lain. Cara

para tokoh membicarakan tokoh Man, seolah-olah memperlihatkan bahwa mereka

menyerahkan sepenuhnya nasib hidup kepada janji Man. Hal ini serupa dengan tokoh-

tokoh pasien dalam dua naskah drama lainnya, mereka menghilangkan kemampuan

berpikir kritis dan membiarkan Man mengendalikan hidup mereka.

Bagian ketiga atau klimaks dalam naskah drama merupakan akibat dari

perubahan yang dialami oleh para tokoh. Di setiap naskah drama, klimaks diwujudkan

dengan cara yang berbeda. Dalam naskah drama “Gagu Ngigau Galau Wagu”, para

tokoh akhirnya berani menggunakan akal mereka untuk menyatakan kesadaran bahwa

Dokter Bandi selama ini telah merekayasa kehidupan para tokoh.

Dokter Bandi: Kenapa pak?

Pak Slamet: Mbak Mirna…

Pak Julius: Iya mbak mirna…

Pak Yusuf: Kami hanya mau minum jamu dengan mbak Mirna

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 50: Universitas Indonesia Library

36

Universitas Indonesia

Perkataan mereka membuat Dokter Bandi marah.

Dokter Bandi: Baiklah kalau begitu, kalau bapak-bapak dan ibu Donna tidak

mau minum.. tidak apa-apa..

Lalu dokter Bandi langsung mengambil tindakan yang berupa stressing

kepada mereka semua. Keadaan pun menjadi kacau balau. Sampai akhirnya

mereka semua lelah dan merasa ngantuk sekali.

Dokter Bandi: Mirna itu sudah pergi…kalau kalian tidak mau minum apa yang

saya berikan...maka kalian akan terus seperti ini

selamanya…bagaimana?? Kalian mau minum??

Pak Yusuf: Saya tidak mau minum jamu, saya mau mbak Mirna…

Pak Yusuf mengucapkan kalimat tersebut berulang-ulang sampai akhirnya ia

menangis,

tapi akhirnya ditenangkan oleh teman-temannya.

…………………………………………………………………………

Pak Marman: Bapak boleh memaksa kami menari sambil menyanyi, bapak

boleh memaksa kami untuk bermeditasi, bapak boleh paksa

kami untuk berada di tempat ini, membuat kami berada seolah-

olah berada di sebuah kompleks perumahan, tapi kami tidak

bisa menembus dinding putih dan pintu biasa anda lalui ini. tapi

anda tidak bisa memaksa kami untuk minum jamu tanpa mbak

Mirna. (2008: 23-24)

Kutipan di atas memberitahukan bahwa kelima tokoh masyarakat menolak

pemberian rutinitas baru. Penolakan tersebut sebenarnya tidak terjadi secara besar-

besaran, melainkan dengan cara dan alasan yang sederhana. Alasan mereka menolak

Dokter Bandi adalah rasa rindu pada tokoh Mirna si tukang jamu. Pendekatan yang

dilakukan oleh Dokter Bandi pun terlihat tidak semulus yang dilakukan oleh Mirna

sehigga tokoh-tokoh lain merasa tidak nyaman dan memberontak. Namun, alasan yang

sederhana ini, menunjukkan bahwa para tokoh telah melakukan sebuah pilihan. Suatu

hal yang menunjukkan adanya kemampuan untuk memutuskan mana yang baik bagi

dirinya. Penolakan ini adalah hal baru yang dialami Dokter Bandi setelah ia berhasil

menciptakan pola yang harus kelima tokoh ini jalani. Oleh sebab itu, reaksi keras pun

datang dari Dokter Bandi. Ia tidak segan-segan menghukum kelima tokoh agar menurut

padanya. Hukuman yang diberikan berupa stressing kepada kelima tokoh. Stressing ini

tentu bertujuan untuk meredam emosi mereka yang meningkat.

Nampaknya, stressing itu sudah kebal bagi para tokoh sehingga tidak mampu

meredam kegelisahan mereka. Pada bagian ini, ditemukan benang merah antara

perilaku mereka yang ganjil dengan kehidupan yang terlihat normal. Unsur paksaan

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 51: Universitas Indonesia Library

37

Universitas Indonesia

membuat tingkah laku mereka terasa dibuat-buat. Pemberian stressing pun

menimbulkan pertanyaan terhadap efek samping yang diderita oleh kelima tokoh ini.

Apakah ada kaitannya perilaku mereka yang aneh dengan pemberian stressing? Pada

akhirnya, segala profesi dan latar belakang mereka menjadi sia-sia. Mereka menjalani

itu semua sebatas formalitas untuk melengkapi syarat hidup ‘normal’. Tidak ada

keistimewaan atau tokoh yang lebih menonjol karena asal usul tokoh tersebut.

Kesamaan ditemukan ketika melihat bahwa tokoh guru bertindak sama seperti tokoh

pengusaha, tokoh penyapu jalan sama seperti tokoh tentara, dan sebagainya. Kelima

tokoh tersebut tidak lain adalah manusia tanpa identitas.

Harapan Dokter Bandi untuk meredakan pemberontakan para tokoh, tidak

berbuah manis. Pak Marman, mewakili tokoh yang lain, angkat bicara mengenai

kehidupan mereka selama ini. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, ia menegaskan

pada Dokter Bandi bahwa mereka semua tahu hal yang dilakukan oleh tokoh Dokter

dan bersedia memberikan dirinya untuk melakukan hal tersebut. Namun, satu yang tak

dapat mereka kompromikan, yaitu minum jamu tanpa Mbak Mirna. Mereka menolak

untuk minum jamu kecuali jamu yang dibawa oleh tokoh Mirna. Padahal jamu yang

dibawa Mirna itu tidak lain adalah obat untuk kelima tokoh yang sebenarnya pasien

rumah sakit jiwa. Peristiwa tersebut merupakan peristiwa yang menunjukkan bahwa

para tokoh telah berani memilih sesuatu dalam hidupnya. Mereka berani menanggung

apa pun risiko di balik pilihannya tersebut.

Dalam drama “Ruang Kehormatan”, klimaks ditandai dengan keberanian tokoh

Bapak membuka kebenaran mengenai keluarga palsu yang dibentuk oleh Dokter Ivan.

Keberanian itu muncul setelah mengalami tekanan oleh anggota keluarga yang lain.

Dari bagian awal drama ini, tokoh Bapak telah memperlihatkan kecenderungan emosi

yang tidak stabil atau mudah meledak-ledak. Hal yang dapat meredakan kecemasan

dan emosi yang meledak-ledak tersebut adalah perkataan Dokter Ivan. Namun, ketika

ia dihadapkan pada konflik dengan anggota keluarga yang lain, Dokter Ivan tidak ada

di sana. Akibatnya, tokoh Bapak tidak dapat mengatasi tekanan dari luar sehingga

emosinya meledak menjadi sebuah dorongan untuk menggunakan akal sehatnya. Hal

tersebut dapat dilihat pada bagian yang dikutip berikut ini.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 52: Universitas Indonesia Library

38

Universitas Indonesia

Bapak: (hilang kesabaran) tutp (sic) mulut kalian

semuanyaaaaaa!!!.Diam!!.apa kalian tidak berfikir (sic)??.apa

kalian tidak berfikir bahwa kalian semuanya sedang berpura-

pura??!!??.

Anak 1: (menangis) apa maksud ayah??

………………………………………………………………………………

Bapak: Sekarang kalian telah mendengar sendiri… kalian semua bisa

ambil kesimpulan. Saya bukanlah ayah kalian, karna (sic) ibu

kalian itu tidak pernah melahirkan kalian. Dan kamu juga…

Jhon… Elsye…kalian bukanlah suami istri yang sebenarnya

seperti halnya aku dengan perempuan itu. Tetapi kita semua harus

tetap berpurapura!. Kita harus tetap berpura-pura bahwa kita

adalah keluarga,karna (sic) dengan jalan seperti inilah kalian

semua dapat pergi dari tempat ini. Kalian bisa kembali pulang

kepada keluarga kalian yang sebenarnya. Jika kita tetap

mempertahankan kepura-pura ini. Mereka akan menganggap

kalian sembuh dan dapat dikembalikan pada keluarga kalian

masing-masing. Hanya aku sendiri yang tidak akan pulang

menemui keluargaku. Aku adalah tumbal bagi eksperimen mereka.

Aku juga rindu pada anak-anakku dan istriku yang sebenarnya.

Aku ingin sekali jumpa mereka. Tapi mereka malu menemuiku

disini…alas an (sic) itulah yang membuat mereka tetap

menahanku disini….” (mengalihkan focus)”bagaimana, apa

kaliantidak kangen sama suami kalian?... sama… isrtimu,

Jhon??...sama kedua orang tua kalian… ayah… ibu?? (2010: 16-

18)

Dari kutipan di atas, ditemukan alasan mereka untuk berpura-pura selama ini,

yaitu keinginan untuk bebas dari tempat tersebut. Di bawah alam sadar para tokoh,

mereka tahu bahwa mereka tidak memiliki ikatan keluarga. Namun, adanya syarat

untuk bebas tersebut, membuat para tokoh memilih untuk tunduk pada Dokter Ivan.

Pada bagian selanjutnya dari kutipan di atas, dikatakan bahwa tokoh Bapak

memperlihatkan perbedaan yang disebabkan oleh tidak adanya hubungan darah di

antara mereka. Anak kembar yang tidak mirip. Paman dan Bibi yang ternyata sudah

memiliki keluarga asli di luar tempat tersebut. Dan rencana Anak 1 untuk sekolah di

luar negeri, yang tak lain adalah rekayasa Dokter Ivan. Dari kenyataan terbuka satu

persatu, usaha Dokter Ivan untuk membuat keluarga ini terlihat seperti keluarga

‘normal’ menjadi jelas. Ia menggunakan kepalsuan dan angan-angan yang besar

sebagai benang merah di antara para tokoh. Pengakuan tokoh Bapak merupakan

caranya melawan kekuasaan Dokter Ivan atas diri mereka. Walaupun tidak dilakukan

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 53: Universitas Indonesia Library

39

Universitas Indonesia

secara langsung seperti dalam naskah drama “Gagu Ngigau Galau”, tetapi keberanian

Bapak untuk mengakui bahwa mereka semua terbelenggu dalam pola yang dibuat oleh

Dokter Ivan adalah caranya untuk melawan keabsolutan tokoh ‘tuhan’ dalam dunianya.

Dalam naskah drama “Ruang Tunggu Terakhir”, kehidupan para tokoh

dibentuk dari harapan mereka atas janji Man. Ditemukan pada bagian selanjutnya,

ketiga tokoh ini bersembunyi dalam ruangan sambil menantikan kedatangan Man.

Sementara itu, di luar ancaman bencana dan petugas terus-menerus meneror kehidupan

mereka.

Maman: Kamu sendiri, bagaimana ? Hah ?! ... Bagaimana ? Jangan

berbohong ! ... Siapa Man itu ? ... Coba ceritakan siapa Man itu !

... Jangan dikurang-kurangkan ! ... Dan jangan dilebih-lebihkan !

Saman: Man adalah sahabatku sejak kecil ... Kami selalu bersama

melakukan apa pun ... Belajar, bermain, bertualang, dan kami

saling percaya pada banyak hal, sampai kami meyakini pekerjaan

yang berbeda ...

Maman: Apakah Man tidak pernah berbohong ?

Saman: Ya ! Itulah yang selalu disampaikan Man. Yang tiada henti dan

tak kenal putus asa ia perjuangkan sejak dulu. Kita harus

menyelamatkan diri kita ! Kita harus menyelamatkan

kemanusiaan kita !

Tiba-tiba ledakan dari luar, melemparkan sampah limbah

Industri & tanah, pecahan beton dan potongan kayu ke dalam.

Ada beberapa potongan tubuh manusia yang sudah membusuk.

Orang-orang terkejut dan lilin mati. Sepi. Sirine. Langka

Sepatu lars. Orang-orang terpencar bersembunyi. Silhuet

Petugas dengan sorot senter dari luar.

Mereka bertatapan.

Lukman & saman: Tidak.

Mereka diam. Sepi beberapa saat.

Saman: Kehancuran yang diramalkan Man, tidak separah kenyataan yang

terjadi ... Kenyataan sekarang ini menunjukkan, semuanya

menjadi lebih ganas dan menggila ... Dengan mata dan cakar iblis

berseringai

Lukman : Saya juga berpikir begitu. Untuk perjuangan Man yang teguh!

Kita harus mendukungnya ! Kita harus mendoakannya ! Semoga

Man dapat menghadapi semuanya! Semoga Man selamat menuju

janjinya ! (2008: 15-18)

Pada bagian kedua, terjadi peristiwa yang mempertemukan tokoh Saman

dengan tokoh Maman dan Lukman. Pada pertemuan pertama, harapan dan kepercayaan

mereka terhadap janji Man melemah. Namun, pada kutipan di atas (bagian selanjutnya

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 54: Universitas Indonesia Library

40

Universitas Indonesia

dari peristiwa bagian kedua), mereka akhirnya saling menguatkan dalam menanti

terwujudnya janji Man. Janji Man seolah menjadi kekuatan bagi mereka untuk bertahan

di dalam ruangan tersebut, walaupun di sekitar mereka ancaman terjadi. Pada titik

tersebut, mereka telah mengalami sebuah pola yang ditemukan pula dalam naskah

drama lainnya. Kehidupan yang terus berputar pada satu titik tanpa adanya

pertimbangan dari akal sehat terhadap keadaan yang sebenarnya terjadi. Mereka

terbelenggu dalam ruangan tersebut.

Dalam naskah drama “Ruang Tunggu Terakhir”, bagian ketiga yang

menunjukkan puncak dari konflik, ditemukan pada peristiwa para tokoh yang mencoba

ke luar dari ruangan tersebut. Ruangan yang selama ini melindungi mereka dari

kenyataan di luar sana, harus mereka tinggalkan demi mewujudkan kehidupan yang

lebih baik. Janji Man adalah membawa mereka untuk pergi ke tanah yang baru. Di

tempat itu, mereka dijanjikan kehidupan yang lebih baik. Namun, dalam penantian

mereka, para tokoh sadar bahwa janji Man semakin lama semakin sulit untuk terwujud

tanpa adanya usaha dari mereka. Usaha tersebut diwujudkan dengan meninggalkan

ruangan yang awalnya dijadikan tempat bertemu, agar mereka dapat melihat tanda-

tanda alam yang menunjukkan kedatangan Man.

Mereka kembali lagi terpaku.

Lukman: Kita tidak punya pilihan !

Saman: Ya ! Kita harus segera keluar dari ruangan ini ... Tapi kita harus

sangat berhati-hati ...

Lukman: Ya ! Kita harus sangat berhati-hati

Orang-orang memandang langit merah dan bulan purnama dibelakang legam

silhuet monumen nasional. Angin berhenti. Suaranya tak

terdengar lagi.

Ada klakson kapal laut akan berangkat. Dibentangan horison tampak melayari

kelam.

Saman: Inilah saatnya ...

Lukman: Saat yang dijanjikan Man untuk menemui kita ...

………………………………………………………………………………

Orang-orang menunggu. Mereka semakin lemah. Orang yang tadi gusar sudah

terkulai. Lilin hampir mati. Orang yang luka bersandar. Orang yang membawa

ransel

duduk menunduk.

Maman : Sejak masih jabang bayi, aku sudah menunggu, kapan dilahirkan.

Sejak dilahirkan, aku sudah menunggu, sampai kapan aku

dibesarkan. Selama dibesarkan aku sudah menunggu, kapan

menjadi dewasa(…) Dan kembali aku menunggu, untuk

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 55: Universitas Indonesia Library

41

Universitas Indonesia

berangkat ke tempat ini. Setelah menempuh perjalanan sangat

berat yang hampir membunuhku, aku sampai untuk menunggu

lagi. Menunggu dijemput menuju tanah yang dijanjikan itu, satu-

satunya harapan yang ada yang aku punya. Hanya itu ! Disini aku

sudah menunggu ... sampai tidak tahu lagi menunggu. Aku sudah

kehilangan ... diriku sendiri... Habis sehabis-habisnya diriku ! ...

Aku lelah ! ... Lelah ... Lelah sekali ... Apakah ... masih menunggu

? ... Apakah... kita ... masih ... menunggu ? ... Aku ... berpikir ...

sudah ... sampai ... (2008:19-26)

Monolog tokoh Maman dalam kutipan di atas merupakan sebuah pernyataan atas

keinginannya untuk menjadi manusia yang tidak terikat pada hal apa pun, termasuk

janji Man. Pada titik tersebut, para tokoh merasa lelah untuk terus berharap dan

memutuskan membebaskan diri dari segala bentuk kepasrahan mereka. Selama ini,

para tokoh mengandalkan janji Man untuk melanjutkan hidup. Namun, setelah

peristiwa tersebut, mereka memutuskan untuk pergi dan menentukan sendiri nasibnya.

Tindakan tersebut mengubah pola yang selama ini mereka jalani. Pada bagian

tersebut—secara tidak langsung—para tokoh melawan kekuatan dari tokoh Man yang

selalu mereka andalkan, seperti perlawanan tokoh Bapak dalam naskah drama “Ruang

Kehormatan”. Namun, di saat mereka memutuskan untuk meninggalkan zona nyaman

tersebut, mereka dihadapkan pada kenyataan yang buruk. Para tokoh lupa bahwa

bahaya mengincar mereka. Kiamat yang terjadi dapat menyebabkan kematian bagi

mereka. Konsekuensi dari keputusan mereka untuk ke luar dari penantian adalah

menghadapi kekacauan tersebut. Kesadaran mereka atas risiko pilihan tersebut sama

dengan yang dialami oleh kelima tokoh “Gagu Ngigau Galau Wagu”.

Saman: Man belum sampai ? ... Sampai kapan ? ... Man ! ... Jangan

mempermainkan aku, Man ! ... Hati ... ku ... bisa ... terbakar ...

kalau ... kupikir ... kau mempermainkanku ... Man ! ... Jangan,

Man ! ... Kakiku luka dan membusuk ! ... Aku akan kehilangan

kakiku, Man ! ... Aku akan kehilangan kakiku ! ... Aku akan

kehilangan kakiku ... Aku akan ... kehilangan ...

Tiba-tiba ledakan. Bom lagi. Tiang ruangan tumbang menimpa kaki orang

yang luka. Langit-langit ruangan rubuh menimpa orang yang tadi gusar dan

sudah terkulai. (…)

Sirine. Langkah sepatu lars. (2008: 27)

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 56: Universitas Indonesia Library

42

Universitas Indonesia

Bagian keempat dari rangkaian peristiwa di dalam naskah-naskah drama ini

merupakan peleraian dari konflik yang dialami para tokoh. Setelah konflik para tokoh

memuncak, alur perlahan turun dengan ditandai oleh rutinitas para tokoh yang kembali

seperti semula. Dalam naskah drama “Gagu Ngigau Galau Wagu” dan “Ruang

Kehormatan”, para tokoh terlihat kembali melakukan aktivitas yang sudah dibuat oleh

dokter mereka masing-masing. Dapat dikatakan, kegiatan para tokoh dalam bagian ini

mirip dengan adegan di bagian awal. Untuk naskah drama “Gagu Ngigau Galau

Wagu”, kesamaan tersebut muncul melalui pola dialog antartokoh.

Suasana yang sedikit aneh dari biasanya. Para penduduk tampak lemas dan tidak

bergairah. Tapi mereka tetap melakukan aktifitas seperti biasanya.

Ibu Donna: (Menghampiri Pak yusuf) baru bangun Pak Guru…

Pak Julius: Bagaimana muridnya ya?

Pak Slamet: Tadi malem begadang?

Pak Marman: disiplin

Pak yusuf: Main catur, kesiangan…

Ibu Donna: Konsultasi masalah tidur bangun pagi…ada obat…

Pak Slamet: Kesemapatan dalam kesempitan (2008: 24)

Kutipan di atas merupakan cuplikan dari adegan pada bagian keempat—setelah

klimaks—yang ternyata memiliki kesamaan pola dengan urutan dialog pada bagian

pertama dalam drama ini. Walaupun isi dialognya menunjukkan ada pengulangan dari

bagian pertama, tetapi dituliskan pula di sana bahwa suasana pada bagian tersebut

terasa aneh. Keanehan situasi tersebut dapat dibandingkan dengan bagian berikut ini.

Setting yang terdiri dari beberapa rumah dan berbentuk perumahan dimana

Terlihat juga sebuah tempat yang menyerupai pos ronda. Perumahan

tersebut terlihat seperti komplek pada umumnya namun seperti ada sesuatu

yang disembunyikan dari suasana tersebut.Tampak beberapa orang

penghuni perumahan tersebut sedang melakukan aktifitas seperti biasanya

di pagi hari. Lalu keluarlah seorang dari salah satu rumah.

Ibu Donna: (menghampiri Pak Yusuf) Tumben baru bangun pak…

Pak Julius: Kalau gurunya kesiangan bagaimana muridnya ya?

Pak Slamet: Pak Guru tadi malem begadang?

Pak Marman: Kedisiplinan itu penting lho pak!

Pak Yusuf: Saya main catur sampai larut sekali, jadi bangunnya kesiangan

begini…

Ibu Donna: Wah pak, coba konsultasi sama saya masalah susah tidur dan

susah bangun pagi…saya ada lho pak obat untuk kita yang

susah tidur dan susah bangun pagi…

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 57: Universitas Indonesia Library

43

Universitas Indonesia

Pak Slamet: Ibu donna memang tidak bisa melihat kesempatan dalam

kesempitan. (2008: 2)

Dari dua kutipan di atas, ditemukan persamaan dan perbedaan di antara dua

bagian yang berbeda dalam satu naskah. Kutipan pertama merupakan keadaan

pascaklimaks, sedangkan kutipan kedua menunjukkan keadaan praklimaks. Jika

diperhatikan dengan seksama, kutipan isi dialog pada kutipan pertama adalah inti dari

percakpaan di kutipan kedua. Perbedaannya terletak pada cara para tokoh

menyampaikan dialog tersebut. Pada kutipan kedua, para tokoh menyampaikannya

dengan bersemangat sehingga terasa ada keakraban di antara mereka. Percakpaan

tersebut adalah bentuk ramah-tamah di antara tetangga yang dilakukan untuk menjalin

tali kekerabatan di lingkungan perumahan. Namun, di kutipan pertama, semangat dan

rasa keakraban itu memudar. Dituliskan pada bagian petunjuk pemanggungan bahwa

suasana berubah, penduduk nampak lemas dan tidak bergairah. Bagian tersebut dilihat

sebagai penanda bahwa titik balik pada bagian ketiga menghasilkan rutinitas yang sama

dengan suasana yang berbeda.

Hal serupa terjadi dalam naskah drama “Ruang Kehormatan”. Para tokoh

kembali menjalankan perannya sebagai bagian dari keluarga bentukan Dokter Ivan.

Tidak ada anggota keluarga yang menunjukkan perilaku berbeda setelah terungkapnya

kepalsuan identitas mereka. Hanya tokoh Bapak yang diperlihatkan mengalami

perubahan tingkah laku, seperti yang dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.

Anak 1: Kenapa sih, nyonya? Kita sekarang mau tamassya, tapi harus

membawa semua pakaian kita?

Dokter Ivan: Oh… itu! Soalnya, kita akan jalan2 keluar kota selama 3 bulan

lebih, jadi penting dong membawa baju yang banyak!!! (mencoba

meyakinkan)

…………………………………………………………………………………

………

Bapak: kalian jangan hiraukan ayah, ayah memang harus tinggal disini,

dan kalian semua apa tidak ingin melihat pohon, gunung, pantai,

dan bintang-bintang?

Anak 3: tentu dong, yah!

Bapak: ya sudah, cepat bantu ibu, tante, dan paman kalian berkemas bantu

bawa tas mereka!!!

Semua: oke, boss…!!

…………………………………………………………………………………

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 58: Universitas Indonesia Library

44

Universitas Indonesia

Org. Gila: Angkat tangan, jangan bergerak!” (semua angkat tangan kecuali

nyonya) saya adalah perampok kelas kakap!, macem-macem, gue

dorr lu semua!!!

Dokter Ivan:Irma!!

Suster: Iya, dok!

Dokter Ivan:Kamu tolol!, kenapa dia lepas dari pandangan kamu, dan dia bisa

masuk keruangan ini!!!

Suster: Aa..eh..maaf dok..saya..salah..saya rela dihukum..potong

gaji..atau diskors..

Dokter Ivan:Persetan dengan itu semua!!!, bawa dia keluar, dan segera

bersihkan areal luar, jangan sampai keluarga ini melihat

orangorang berseragam seperti ini!. Itu akan membuat mereka

“Trauma” kembali!

Suster: Iya, Dok!!!”(membawa orang gila itu keluar, dengan lebih halus,

tidak dipaksa)

Dokter Ivan: Nah…sekarangt sudah siap berangkat?

Anak-anak:Siaaaaaap!!!!

Bapak: (menbghampiri nyonya) Nyonya izinkan saya berbicara

sebentar kepada mereka. Bukankah ini terakhir kalinya saya,

melihat mereka?

Dokter Ivan: Waktu saya sempit, (agak kesal), tapi silakan…dan tolong

dipercepat!!! (2008: 21-23)

Pada kutipan di atas, ditemukan perubahan sikap tokoh Bapak. Ia terlihat lebih

tenang dari sebelumnya. Ketika tokoh Dokter Ivan mengajak anggota keluarga yang

lain pergi, tokoh Bapak tidak terserang kepanikan seperti yang sebelumnya terlihat.

Reaksi keras justru muncul dari tokoh anggota keluarga yang lain. Mereka

menginginkan tokoh Bapak untuk ikut bersama mereka karena merasa bagian dari

keluarga tersebut. Pada bagian ini, ditemukan pula adegan yang memberitahu tentang

kondisi sebenarnya dari tempat tersebut, yaitu rumah sakit jiwa. Hal tersebut

ditunjukkan dengan kemunculan pasien lain di tengah mereka. Kemunculan tokoh Org

Gila ini seharusnya dapat memicu keributan di antara tokoh lain. Namun, tidak adanya

reaksi dari tokoh lain, menandakan bahwa mereka memang telah mengetahui rekayasa

yang dibuat oleh Dokter Ivan. Tokoh Bapak pun telah mengingatkan mereka—pada

bagian ketiga—bahwa untuk dapat pergi dari tempat tersebut, mereka harus mengikuti

peran yang diinginkan oleh Dokter Ivan kepada masing-masing tokoh. Oleh sebab itu,

tokoh lain memilih untuk mengabaikan saja kejadian tersebut agar proses kebebasan

mereka tidak terganggu.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 59: Universitas Indonesia Library

45

Universitas Indonesia

Bagian yang menyatakan peleraian konflik dalam naskah drama “Ruang

Tunggu Terakhir” ditunjukkan dengan kedatangan tokoh Iman. Iman adalah adik dari

tokoh Man yang mereka tunggu selama ini. Kedatangan tokoh Iman seolah

mengisyaratkan adanya pertanda baik dari janji Man. Para tokoh yang digambarkan

tengah terdesak dalam situasi yang gawat, dapat sedikit bernapas lega setelah Iman

muncul. Hal tersebut terlihat dalam bagian drama yang dikutip berikut ini.

Keharuan terjaga teriakan dari luar mencari-cari. Silhuet orang mencari-cari.

Memanggil-manggil perlahan, hampir berbisik. Bisikan jauh yang sampai.

Os Iman: ooii ! ... Ada orang di situ ? ... Oooii ! ...

Orang yang di dalam terkejut dan hendak bersembunyi, tapi

Tidak sanggup bergerak dan meninggalkan orang yang lain.

Orang yang diluar masuk melewati pintu-pintu, dengan tas

Selempang di pundaknya mencari.

Iman: ada orang di sini ? ... Saya membawa pesan dari man ! ... Halo

?! ...

Mereka saling menemukan dan bertatapan.

Iman: eh ! ... Bang saman !

Saman: iman ! ... Oh ! ...

Mereka berpelukan hangat. Dengan keharuan yang dalam.

………………………………………………………………………………

Iman: bang man berpesan ... Menugaskan kepadaku ... Untuk ...

Menjemput abang ... Bang man ... Minta maaf, bang ... Bang man

... Minta maaf ... Tidak ... Bisa ... Datang ...

Orang yang tidak bisa merasakan kakinya menundukkan

Kepala. Hampir tak mampu menahan tangis.

Saman: ya ! Ya ! ... Terima kasih, iman ! ... Terima kasih ! ... Oh ! ... Man

... Akhirnya ... Begitu akhirnya, man ... Tapi ... Kamu ... Atau iman

... Adalah ... Untuk janji ... Dan itu sama, man ... Dan itu janji ...

Janji itu tetap terjaga, man ... Janjimu tetap sampai... Dan ... Pribadi

... Tetap teguh ... Kamu teguh dengan janjimu, man ...

Sepi beberapa saat.

Lukman: perjuangan harus dilanjutkan ! ... Perjalanan ini harus diselesaikan,

pak ! ... Api menyala dalam dadaku ... Kita harus sampai ! ... Kita

harus sampai, pak ?! ... Kita harus sampai ...

Saman: ya ! Matahari sudah bersinar di tempat ini ! ... Ayo ! Kita berangkat

! Mengarungi jalan bersama matahari ... Untuk man yang teguh !

Kamu sudah sampai, man ! ... Kami mendoakanmu

Tiba-tiba ledakan. Bom lagi menghancurkan lebih hancur ruangan itu. Pintu

rubuh berantakan. Menimbun dan menumpuk semuanya. Ruangan terbuka

terang benderang. Ruang tunggu terakhir luluh lantak hancur rata.

(2008:29-32)

Ada tiga hal baru yang ditunjukkan dalam kutipan di atas, yaitu tak ada lagi

konflik di antara ketiga tokoh, harapan mereka atas tanah yang dijanjikan Man menjadi

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 60: Universitas Indonesia Library

46

Universitas Indonesia

nyata, dan kehancuran ruang yang selama ini mengurung mereka dari situasi di luar.

Pada bagian tersebut, terlihat bagaimana ketiga tokoh ini membangun kerja sama yang

baik dalam mewujudkan harapan mereka. Tak ada lagi kecurigaan atau keraguan di

antara mereka. Tokoh Lukman yang diceritakan paling muda dan kuat di antara

mereka, dapat membantu kedua tokoh lain untuk bertahan hidup. Saman dan Maman

yang sudah berusia lanjut pun mempercaya tokoh Lukman untuk membantu mereka

mengatasi keadaan mereka yang buruk. Pandangan negatif yang biasa dilontarkan oleh

tokoh Maman dapat dinetralisir melalui pandangan positif dari Lukman. Yang kedua,

harapan mereka atas tanah yang dijanjikan Man tak lagi diragukan. Tokoh Iman yang

datang membawa kabar kematian tokoh Man memutuskan belenggu yang membuat

para tokoh berada dalam kepasrahan. Kini, tanpa adanya tokoh Man, mereka dapat

melangkah dengan lebih pasti untuk menemukan tanah baru tersebut. Adapun ruangan

tempat mereka berlindung yang hancur menjadi sebuah simbol dari awal baru yang

harus mereka tempuh. Tak ada lagi penantian panjang, yang ada hanyalah kesempatan

untuk pergi dari tempat tersebut. Ketiga hal tersebut memberikan suasana baru bagi

alur drama ini yang dari awal digambarkan begitu kelam. Terasa ada semangat baru

dari para tokoh yang memberikan sebuah kenyataan penuh harapan. Seketika itu pula,

matahari menyinari tempat tersebut. Kemunculan matahari ini memberikan pertanda

baik bagi nasib para tokoh.

Dalam hal penyelesaian, drama-drama absurd kadang memiliki akhir yang tak

berhubungan sama sekali dengan masalah pada bagian awal. Dari ketiga naskah drama

yang diteliti, empat bagian peristiwa di dalamnya tidak mengarah pada satu kesimpulan

yang memberikan kejelasan akan nasib para tokoh. Kebingungan dan pertanyaan yang

dihasilkan, menurut Scholes, dilakukan untuk mencapai maksud dan tujuan dari

penulisan drama tentang keberadaan manusia (1978).

Naskah drama “Gagu Ngigau Galau Wagu” dan “Ruang Kehormatan” tidak

menunjukkan adanya akhir yang bahagia bagi tokoh utama mereka. Namun, hal

tersebut tidak berarti pula bahwa para tokoh berakhir tragis. Mereka hanya disebutkan

kembali melakukan kegiatan seperti di awal. Tokoh dokter yang menjadi pengendali

kehidupan mereka memberikan solusi bagi perubahan yang sempat mengganggu

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 61: Universitas Indonesia Library

47

Universitas Indonesia

rutinitas para tokoh. Tokoh Dokter Bandi (“Gagu Ngigau Galau Wagu”) mencoba

menggantikan sosok Mirna dengan orang lain. Sementara itu, tokoh Dokter Ivan

mengancam tokoh Bapak agar tetap mengikuti aturan main yang ditetapkannya. Hal

yang dilakukan oleh kedua tokoh ini tentu saja tidak dapat dikatakan menjadi

penyelesaian dari masalah yang dialami oleh para tokoh. Mereka justru membuat

masalah tersebut kembali berulang, seperti yang diperlihatkan dalam kutipan berikut

ini.

Dokter Bandi: Tugas kamu adalah menggantikan peran saya sebagai tukang

jamu…lakukan seperti apa yang saya contohkan tadi…

Asisten: Tapi saya kan laki-laki dok…

Dokter Bandi: Saya juga laki-laki…jadi menurut saya tidak ada

masalah…lagipula mereka semua juga tidak akan tau anda laki-

laki atau perempuan…

Lalu keluarlah semuanya dari dalam rumahnya masing-masing. Dan mereka

terkejut melihat bahwa ada orang baru di dalam lingkungan mereka. Adegan

tersebut mengakhiri pementasan. (2008: 26)

Dari kutipan di atas, ditemukan sebuah kenyataan bahwa identitas diri seorang

tokoh tidak penting. Hal yang membedakan satu tokoh dengan tokoh lainnya adalah

fungsi mereka dalam masyarakat. Esensi dari keberadaan diri mereka tidak diakui. Hal

tersebeut diwujudkan dengan pemeranan tokoh Mirna si tukang jamu yang dimainkan

oleh Dokter Bandi. Kelima tokoh masyarakat tidak memberikan reaksi penolakan

kepada Dokter Bandi yang berperan sebagai Mirna sebab tingkah laku, waktu

kemunculan, dan fungsinya sama seperti Mirna. Namun, di bagian akhir, ketika para

tokoh muncul dan melihat ada tokoh yang baru di dunia mereka, barulah diperlihatkan

adanya reaksi. Hal ini diduga menandakan bahwa konflik utama dalam naskah drama

ini terletak pada ketidakmampuan seorang tokoh mengidentifikasi dirinya. Akan tetapi,

bagian setelah para tokoh menemukan adanya tokoh baru, tidak lagi djelaskan. Naskah

drama ini memberi akhir yang terbuka bagi nasib para tokoh

Bapak: Tapi saya sudah merasa sehat!!!, saya punya anak dan istri sama

seperti halnya mereka!

Dokter Ivan: Kamu memang sehat!, kamu sudah pulih! Tapi kamu

membutuhkan surat keterangan sehat jika kamu mau keluar dari

tempat ini, tapi untuk itu kamu masih perlu bersandiwara selama

20 tahun lagi!!! Jika kamu membangkang, kamu bisa lebih lama

di tempat ini!!!

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 62: Universitas Indonesia Library

48

Universitas Indonesia

Bapak: Tolong saya, dokter!!! Rumah ini sudah seperti penjara bagi

saya!, saya tertekan berada disini 15 tahun lebih!!!

Dokter Ivan: Tunggu 20 tahun lagi atau tinggal selama-lamanya!?!? (pergi)

Bapak: Dokter…tolong lah dok… dokter… dokter!!!! (2010: 23-24)

Dari kutipan di atas, ditemukan kenyataan bahwa tokoh Bapak sebenarnya

tidak mengalami gangguan kejiwaan apa pun. Dengan berada di dalam ruangan

tersebut, ia justru dipaksa untuk berubah menjadi orang lain. Hal ini memicu

munculnya kemarahan dari tokoh Bapak yang menginginkan kebebasan untuk menjadi

dirinya sendiri. Akan tetapi, kekuatan Dokter Ivan mengungguli keberanian Bapak

dalam memperjuangkan kebebasannya. Pada akhirnya, masalah yang dihadapi tokoh

Bapak, tidak terjawab. Ia tetap harus menunggu di dalam ruangan itu. Tidak dijelaskan

pula bagaimana Dokter Ivan akhirnya menjawab kemauan Bapak. Satu hal yang

menghalangi langkah Bapak untuk bebas adalah ancaman yang diberikan oleh Dokter

Ivan. Dengan melakukan ancaman tersebut, ia sebenarnya tengah menyatakan kendali

atas diri tokoh Bapak.

Sementara itu, bagian penyelesaian dalam naskah drama “Ruang Tunggu

Terakhir” merupakan awal baru bagi kehidupan para tokoh. Setelah di bagian

sebelumnya, mereka mendapat pencerahan dengan kedatangan tokoh Iman, kini

mereka diberi kesempatan untuk memulai pencarian tanah yang dijanjikan Man.

Walaupun mereka kini tak lagi dapat mengandalkan tokoh Man—karena ia dikabarkan

telah mati—mereka justru terlihat lebih bersemangat dalam usaha menemukan tanah

yang baru. Tanah baru tersebut adalah harapan baru bagi mereka untuk keluar dari

keadaan yang kacau di tempat mereka sekarang.

Langit merah dan bulan purnama.

Silhuet orang-orang muncul memandang langit merah dan bulan purnama.

Kabilah orang-orang miskin dan tertindas. Para korban beragam bencana,

gelandangan, pemabuk dan manusia jalanan. Mereka yang tertindas dan

dipinggirkan yang terluka dan sembunyi.

Diam dan sepi beberapa saat. Hanya memandang langit.

Redup. Langit merah mencapai malam dan gelap. Orang-orang beranjak pergi.

Berangkat menuju harapan dan janji. Tanah para sahabat yang luhur. Tanah yang

dijanjikan.

Ruang tunggu terakhir selesai sampai di sini.

Semoga ! (2008: 34)

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 63: Universitas Indonesia Library

49

Universitas Indonesia

Dari kutipan di atas, gambaran tentang harapan diwujudkan dengan tari-tarian

oleh tokoh Orang-orang serta munculnya bulan purnama yang menjadi penanda

kedatangan Man—sebelum ia dikabarkan mati. Tokoh Maman, Lukman, dan Saman

tidak lagi menjadi pusat dari cerita tersebut. Pada bagian ini, semua yang berada di

tempat tersebut sama-sama berharap akan adanya kesempatan untuk sampai di tanah

yang dijanjikan. Namun, sama seperti dua naskah drama lainnya, nasib mereka tidak

ditentukan dalam bagian penyelesaian ini. Akhir dari alur drama merupakan akhir yang

terbuka sehingga siapa pun dapat menebak hal yang terjadi pada tokoh-tokohnya.

Jika diwujudkan melalui grafik maka ketiga alur drama-drama ini akan menjadi

seperti yang berikut ini.

Dari grafik alur di atas, dapat diperhatikan bahwa ketiga drama mencapai titik

klimaks yang sama walaupun berangkat dari tingkat ketegangan paparan yang berbeda-

beda. Pada drama “Ruang Kehormatan” sudah terasa ada ketegangan sejak di bagian

paparan. Ketegangan dalam hal ini tentu saja sifatnya sebagai eksposisi untuk

memperkenalkan tokoh dan bagian-bagian lainnya. Konflik mulai menguat pada

bagian gawatan dan ketiga drama mencapai titik yang sama. Setelah klimaks, adegan-

adgen mulai turun perlahan hingga bagian akhir mencapai titik netral kembali. Hal ini

0

2

4

6

8

10

12

14

P A P A R A N G A W A T A N K L I M A K S L E R A I A N S E L E S A I A N

GNGG RK RTT

Gambar 2.1

Alur Tiga Drama Relasi Manusia dengan Diri Sendiri

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 64: Universitas Indonesia Library

50

Universitas Indonesia

memperlihatkan bahwa ketiga drama ini sengaja menyusun pembagian alur seperti di

atas sehingga dapat mendukung terciptanya suasana dalam drama.

Adapun suasana yang nampak dalam ketiga drama, berkaitan erat dengan masalah

utama yang dibicarakan, yaitu tentang eksistensi manusia. Masalah ini muncul secara

tersirat melalui pembagian peristiwa dalam ketiga drama, dialog, serta posisi hubungan

tokoh-tokohnya. Cara dari ketiga naskah drama ini melakukan pembagian peristiwa—

yang terdiri atas paparan, perumitan, klimas, dan selesaian—merupakan sebuah

pembabakan yang sama dengan cara para tokoh superior dalam drama—Dokter Ivan,

Dokter Bandi, dan Janji man—membagi kehidupan tokoh-tokohnya. Pola ini terus

berputar sebab pada bagian selesaian, peristiwa kembali lagi ke awal. Perputaran yang

terus-menerus kemudian menjadi sebuah belenggu yang berujung pada kesia-siaan.

Para tokoh terjebak dalam kehidupan yang tidak memiliki tujuan atau garis akhir sebab

bentuk pola kehidupan mereka menyerupai lingkaran. Dalam dialog-dialog para tokoh,

disampaikanlah pemikiran dan perasaan mereka yang hidup dalam lingkaran tersebut.

Seperti pada peristiwa pertama dalam naskah drama “Gagu Ngigau Galau Wagu” (lihat

bagian 2.1.2: 5), lima tokoh pasien menyampaikan kebingungan mereka dengan

peristiwa yang selalu sama dalam kehidupan yang dijalani. Tokoh-tokoh ini merasakan

bahwa ada sesuatu yang membelenggu di balik rutinitas yang mereka jalani.

Pola tersebut diciptakan oleh tokoh superior, yaitu Dokter Bandi (“Gagu Ngigau

Galau Wagu”), Dokter Ivan (“Ruang Kehormatan”, dan Man (“Ruang Tunggu

Terakhir”). Para tokoh dipaksa untuk tunduk pada kendali mereka. Mereka hanya

menjalankan kehidupan sesuai dengan fungsi peranan tokoh di dalamnya. Hal tersebut

menimbulkan suasana yang sepi. Para tokoh terasing dari dirinya dan melebur dalam

suatu pemeranan yang massal (Hassan 1989: 36). Inilah titik di mana terjadi perdebatan

tentang esensi keberadaan mereka sebagai individu atau eksistensialisme 12para tokoh.

Ketika para tokoh dihadapkan pada pilihan, mereka tak dapat memilih bagi diri mereka

sendiri karena hilangnya ke-aku-an dalam diri para tokoh.

12 Lihat Fuad Hassan 1989: 31-37, Berkenalan dengan Eksistensialisme. Bab 1: Pemikiran Soren

Kierkegaard tentang Eksistensialisme.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 65: Universitas Indonesia Library

51

Universitas Indonesia

2.2 Drama tentang Relasi Manusia dengan Kekuasaan

Drama-drama yang berbicara mengenai kekuasaan isinya dekat dengan protes,

sindiran, dan perenungan atas ketimpangan sosial yang menjadi akibat dari kekuasaan

yang lalim (Damono 2012: 62). Hal ini dapat timbul dari masalah sehari-hari, seperti

kemiskinan, kelaparan, dan ketidaksejahteraan kehidupan masyarakat. Drama-drama

yang ditulis oleh Ratna Sarumpaet atau Nano Riantiarno, isinya banyak berbicara

tentang perjuangan kelas, kritik sosial, dan protes keras terhadap kesalahan-kesalahan

yang timbul dari konsep kekuasaan. Menurut Kuntowijaya, konsep kekuasaan dapat

diwujudkan dalam berbagai bentuk dan dijadikan sihir yang membelenggu manusia

(Damono 2012: 62).

Dalam ketiga drama yang dipilih ini, konsep kekuasaan dekat sistem

pemerintahan. Mereka bercerita tentang penderitaan masyarakat di bawah sistem

pemerintahan yang kacau atau masyarakat yang kacau karena tersihir hasrat untuk

berkuasa. Hal tersebut digambarkan melalui suasana yang kelam, satir, dan terkadang

sinis. Cara-cara ini ditempuh untuk mengajak pembaca melihat dan merasakan pula

kegetiran dalam drama-drama tersebut.

2.2.1 Sinopsis Drama Relasi Manusia dengan Kekuasaan

“Parlemen WC”

WC menjadi kebutuhan yang sangat utama bagi masyarakat di kampung itu.

Dengan membangun sebuah WC yang layak, seseorang dapat menjadi penguasa

kampung. Oleh sebab itu, rakyat berlomba-lomba mendirikan WC yang lebih baik. Di

antara orang-orang yang serakah, muncul tokoh Parmin yang cerdas dan jenaka. Ia

tidak memiliki ambisi untuk menguasai kampung. Keinginannya adalah menjaga

keseimbangan hidup bersama. Namun, karena dibutakan oleh hasrat kekuasaan, orang-

orang di kampung menjadi gila. Dari sebuah WC, muncullah bencana besar yang

merusak kampung.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 66: Universitas Indonesia Library

52

Universitas Indonesia

“Paralel ‘45”

Warga Timur tidak setuju dengan terpilihnya Pemimpin di Barat. Untuk

mencegah pemberontakan, Pemimpin Barat mendirikan sebuah tembok pemisah kedua

wilayah, yang disebut Paralel ’45. Warga Timur dilarang memasuki wilayah Barat dan

begitu pula sebaliknya. Adanya peraturan tersebut menimbulkan huru-hura karena

memecah belah persatuan sebuah negara. Pasangan suami istri, Marni dan Rasyid,

menjadi korban dari pemimpin yang diktator. Mereka tinggal terpisah sehingga setiap

hari mereka bertemu di tembok tersebut. Namun, pertemuan mereka terganggu oleh

keluarnya keputusan bahwa Barat telah menjadi negara yang sah. Timur yang tidak

memiliki kekuataan hukum apa pun, akhirnya kembali dijajah. Kerusuhan terjadi di

Timur. Semenjak itu, Marni tidak pernah lagi datang ke Paralel ’45. Rasyid yang

merana memikirkan nasib Marni, terus mengunjungi Paralel ’45 walaupun Marni tidak

lagi datang. Sampai suatu hari, mereka memutuskan untuk bertemu yang terakhir

kalinya. Oleh karena rasa rindu yang besar dan putus asa melihat situasi yang ada,

mereka pun nekat menyebrangi tembok perbatasan. Tentara penjaga yang telah

berulang kali memperingatkan tak dapat berbuat apa-apa. Mereka harus menjalankan

tugasnya. Di atas Paralel ’45, Marni dan Rasyid bertemu dalam kematian.

“Pesta Sampah”

Di negeri antah berantah, orang-orang mengumpulkan sampah. Mereka hidup

dalam kemiskinan. Pulung, tokoh yang selalu optimis menunggu mutiaranya, bertemu

dengan seorang pengusaha asing. Ia ditawarkan sebuah jalan yang dipercaya dapat

mempertemukan ia dengan mutiara dambaannya. Sayang, nasib berkata lain. Alih-alih

mendekatkan Pulung dengan mutiaranya, ia kehilangan Mulung, kekasihnya.

Akhirnya, Pulung harus rela menerima kenyataan bahwa ia hanya diperbudak oleh tuan

tersebut supaya tanah mereka dapat dijajah dan dijadikan negeri beton. Keadaan

bertambah kacau ketika Pejabat menjual semua aset negara kepada Pakdir. Kini,

manusia-manusi diperbudak oleh Pakdir. Mereka dijadikan binatang. Moral dan

kemanusiaan telah lenyap. Pulung pun harus rela melihat manusia-manusia lain

kehilangan jiwanya di tengah bising dan keterasingan arus globalisasi itu.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 67: Universitas Indonesia Library

53

Universitas Indonesia

2.2.2 Analisis Struktur Drama Relasi Manusia dengan Kekuasaan

Ketiga naskah drama ini berfokus pada masalah yang timbul akibat hubungan

antara manusia dengan konsep kekuasaan. Bentuk-bentuk dari kekuasaan muncul

dalam wujud yang berbeda di tiap naskah drama. Hal ini tentu saja dipengaruhi oleh

kebutuhan penceritaan dalam drama. Namun, konsep kekuasaan yang dibicarakan

dalam ketiga naskah drama ini memiliki makna yang buruk. Kekuasaan ditempatkan

sebagai tokoh antagonis dalam alur drama. Penyalahgunaan konsep kekuasaan tersebut

merupakan awal dari masalah yang terjadi dalam ketiga naskah drama. Secara umum,

alur dari ketiga naskah drama tersebut tersusun atas bagian pemaparan masalah,

perumitan masalah, klimaks, peleraian, dan penyelesaian. Pada dasarnya, masalah

utama dalam ketiga naskah drama ini dibagi ke dalam tahapan yang sama dengan

naskah drama tentang relasi manusia dan diri sendiri (lihat bagian 1.2.2). Akan tetapi,

ditemukan perbedaan penyajian peristiwa di dalam drama tentang relasi manusia

dengan kekuasaan, misalnya petunjuk pemanggungan yang lebih dominan

menggambarkan peristiwa penting.

Dalam naskah drama “Paralel ‘45”, pemaparan masalah digambarkan melalui

adegan penembakan seorang anak perempuan yang tidak diketahui asal usulnya. Ia,

dijelaskan, ditembak karena melanggar batas wilayah Timur dan Barat. Kematian anak

perempuan tersebut menjadi penanda adanya masalah antara kekuasaan dan rakyat.

Masalah tersebut menimbulkan bentuk komunikasi yang tidak harmonis sehingga

suasana yang diperlihatkan cenderung suram dan terasa mencekam.

(anak perempuan masuk panggung, mendekat perlahan menuju dinding

pembatas)

Herman: hey apa yang kau lakukan, jangan mendekat. Pergi dari tembok

itu. Hey, kau jangan main-main! Kembali ke timur menjadi dari

sini, atau aku akan menembakmu. Aku tidak main-main,

kuhitung sampai tiga. Satu dua…

Anak perempuan: aku sudah tidak tahan dengan seluruh keadaan ini. aku ingin

bertemu ayahku, saudara-saudaraku, wargaku. Aku tidak

memiliki masalah apapun. Timur dan barat hanyalah tembok

yang harus ku tembus, dan aku percaya Negara ini akan satu

kembali. Aku hanya butuh persatuan dan kesatuan. Lagi!

(Percakapan tumpang tindih antar Ibu, Anak, dan Herman. Herman yang tak

Tega menembak terus memerintahkan orang itu agar menjauh, tapi orang iu

uterus melangkah seperti sudah siap mati. Baru dihitungan kedua, anak

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 68: Universitas Indonesia Library

54

Universitas Indonesia

perempuan itu tertembak senapan dari prajurit wilayah barat. Ia pun tumbang

tepat diatas dinding pembatas, kemudian prajurit barat mendatangi dan

menarik jenazahnya. Menggotong lalu membawanya keluar panggung.

(2013: 1)

Kutipan di atas menunjukkan situasi dua wilayah yang bersitegang. Secara

geografis, keduanya merupakan satu wilayah yang sama. Namun, secara politik,

wilayah Timur menolak pemimpin yang terpilih sehingga akhirnya memisahkan diri

dari wilayah Barat. Tembok tersebut dibangun sebagai penanda perbatasan dua

wilayah. Hukum yang berlaku di sana merupakan hasil dari kepentingan politik

sepihak. Rakyat digambarkan menolak adanya pemisahan tersebut—diwakili oleh

tindakan tokoh Anak Perempuan yang hendak menyeberang ke wilayah Barat.

Kutipan tersebut akan dilanjutkan dengan adegan pembacaan undang-undang

yang mengatur masalah perbatasan wilayah dan fungsi dinding pembatas yang

selanjutnya akan disebut Paralel ‘45. Paralel ‘45 menjadi bentuk kekuasaan yang

konkret dalam kehidupan masyarakat di wilayah Timur dan Barat. Kehadiran tembok

Paralel ‘45 melambangkan hal yang bersifat keras, terbatas, dan meneror. Ditambah

pula dengan kejadian berdarah yang membuka drama ini, menegaskan bahwa terdapat

dua kubu yang saling bertentangan, yaitu tembok Paralel 45—sebagai lambang

kekuasaan—dan rakyat yang menolak kebijakan pemerintah.

Berbeda dengan naskah drama “Paralel ‘45”, pemaparan masalah yang ada

pada dua naskah drama lainnya disajikan dengan lebih santai. Masalah tidak diajukan

dengan cara yang meneror, tetapi dengan pendekatan yang jenaka atau puitis. Dari

kedua judul naskah drama tersebut, “Parlemen WC” dan “Pesta Sampah”,

mengindikasikan suasana yang ceria dan meriah dibandingkan dengan suasana yang

dihasilkan dari judul “Paralel ‘45”. Kata ’45 identik dengan peristiwa kemerdekaan

Indonesia sehingga memberi kesan yang heroik, patriotik, atau berbau perjuangan.

Berbeda dengan kata ‘WC’ atau ‘sampah’ yang dikonotasikan dengan hal yang bersifat

buruk, sepele, dan kotor. Namun, dengan menggabungkan kata lain pada dua kata

tersebut, dapat memperluas pemaknaannya. Kata ‘parlemen’ yang bersanding dengan

kata ‘wc’ menjadi terkesan konyol. Kata ‘pesta’ bersanding dengan kata ‘sampah’,

terkesan meriah sekaligus kumuh.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 69: Universitas Indonesia Library

55

Universitas Indonesia

Nampaknya, hal itulah yang sengaja dilakukan untuk mendukung suasana yang

hendak dibawa dalam alur cerita drama. Pada bagian pemaparan masalah, naskah

drama “Parlemen WC” dibuka dengan sebuah monolog santai di sebuah bilik WC

umum. Tokoh Parmin membuka drama dengan menceritakan panjang lebar mengenai

aktivitasnya di dalam WC. Dari monolog-monolog tokoh Parmin, diketahui bahwa wc

ini merupakan sebuah barang penting dalam kehidupan di kampungnya, seperti yang

dikatakannya berikut ini.

Parmin: (mendekat ke arah WC) Dan inilah dia itu. Dia yang lugu dan sangat

lugu sekali. Inilah sarana milik bersama. Ya, milik rakyat. Milik kita

semua. Sederhana, ringkes, dan hemat. Tanpa butuh banyak biaya.

Tanpa harus ada proposal yang diteken. Tanpa harus ada siding

untuk membahasnya. Tapi ingat, dari sebuah WC umum seseorang

bisa jadi ketua RT dari sebuah WC umum pula seorang RT bisa

dipecat. (Menutup mulut dan melirik kanan kiri. Takut ketahuan)

mungkin saya harus menyudahi dulu omongan saya ini sebab rasa-

rasanya ada sesuatu yang harus saya kerjakan dengan segera. Kalau

orang rumah sakit bilang ini adalah seusatu yang gawat darurat,

perlu penanganan khusus. Dan saya takut nanti akan terjadi

pemberontakan yang amat dahsyat. Pemberontakan yang membuat

diri saya sendiri tersiksa karena malu (Tangan kanannya memegang

perut dan tangan kirinya menutup pantatnya sembari melongok ke

arah pantatnya. Lalu masuk ke dalam WC). (2012: 1-2)

Kutipan monolog tokoh Parmin menjelaskan alasan sebuah WC menjadi wujud

yang berarti. Tidak hanya itu, WC—di kampung Parmin—adalah bentuk kekuasaan

yang sah. Tidak hanya secara filosofis—seperti yang diutarakan dalam monolog

Parmin—tetapi juga pada praktiknya. Masa jabatan seorang Ketua RT ditentukan dari

kemampuannya menyediakan dan mengelola WC yang layak pakai bagi seluruh

masyarakat. Keseriusan Parmin dalam menyampaikan hal tersebut memberi sebuah

kelucuan. Sebuah WC menjadi bagian vital dalam kehidupan masyarakat sehingga

dapat mengendalikan orang yang berkuasa di kampung tersebut. Sebuah WC yang

menjadi lambang kekuasaan dapat berarti dua hal, (1)kuasa tidak bicara tentang

superioritas, tetapi kesediaan melayani serta milik bersama; (2) kekuasaan memiliki

citra yang buruk dan berisi hal-hal kotor.

Sementara itu, suasana dalam naskah drama “Pesta Sampah” dibangun melalui

sebuah komposisi gerakan tubuh dan formasi tokoh yang menghasilkan keindahan.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 70: Universitas Indonesia Library

56

Universitas Indonesia

Suasana sengaja tetap dipertahankan kumuh untuk mewakili kawasan para pemulung.

Komposisi gerakan yang dipadu dengan suasana kumuh tersebut adalah simbol untuk

menyampaikan masalah dari naskah drama ini. Para tokoh yang merupakan pemulung,

bergerak-gerak dengan memainkan keranjang dan sampah, menghibur diri mereka di

tengah suasana yang didominasi oleh warna batu, coklat, dan hitam. Selain itu,

pengaturan gerak dan eksplorasi tubuh yang disertai dengan barisan syair membuat

bagian pemaparan ini terasa meriah, seperti dalam sebuah pesta. Penggambaran ini

diceritakan secara detail melalui teks petunjuk pemanggungan dalam naskah drama.

Selain itu, terdapat sebuah barisan kata yang mirip seperti mantera, diucapkan berulang

kali pada bagian pembuka. Teks ini nampaknya merupakan moto hidup yang dipegang

teguh oleh para pemulung, terutama tokoh Pulung.

Utara, Selatan, Barat, Timur (berulang-ulang) Ngin angina ingin ngun bangun

ba’ba;hus hus dimana…mutiara hus!

Mutiara adalah kesabaran

Kesabaran adalah keikhalsan

Keikhlasan adalah meneriman, menerima dan terus menerima

Kapan memberinya (2011: 1)

Bagian tersebut kemudian disusul dengan munculnya tokoh Pulung, Rombeng,

dan Polong. Mereka adalah pemulung yang tinggal di daerah tersebut. Dari percakapan

mereka, dapat dilihat kondisi masyarakat yang miskin dan serba kekurangan. Namun,

kesulitan ini tidak disampaikan melalui nada percakapan yang putus asa, menderita,

dan depresi. Sejauh pengataman dalam bagian pemaparan ini, para tokoh membuat

kondisi mereka yang sulit menjadi lebih mudah dengan dihiasi tawa dan sesekali

berangan-angan untuk hidup berkecukupan. Ada pula tokoh Mulung, kekasih Pulung,

yang memberikan warna segar dalam interaksi ini melalui lakuannya yang manja dan

manis terhadap Pulung.

Pada bagian perumitan masalah, ketiga naskah drama ini menunjukkan

interaksi para tokoh utama dengan tokoh di sekitarnya untuk memperlihatkan efek

samping dari disharmoni hubungan kekuasaan dengan manusia. Naskah drama “Paralel

‘45” yang telah sejak awal memberikan ketegangan melalui adegan penembakan,

menggunakan tokoh Marni dan Rasyid untuk memicu tokoh lain memperlihatkan

kondisi mereka pasca-pembangunan Paralel ’45. Seperti halnya dengan tokoh Marni

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 71: Universitas Indonesia Library

57

Universitas Indonesia

dan Rasyid, tokoh Pulung pun muncul sebagai korban keadaan yang disharmonis

dalam naskah drama “Pesta Sampah”. Kedua tokoh utama dalam drama yang berbeda

ini memiliki kesamaan bentuk hubungan antara kekuasaan dengan manusia. Sementara

itu, dalam naskah drama “Parlemen WC”, perumitan masalah ditunjukkan melalui

tokoh-tokoh yang ingin merebut kekuasaan melalui proyek pembangunan WC baru.

Dalam drama ini, para tokoh telah tersihir dengan iming-iming kekuasaan yang hidup

berkelimpahan dalam harta dan kekuatan.

Pada bagian perumitan masalah dalam naskah drama “Paralel ‘45”, pasangan

Marni dan Rasyid digambarkan sebagai tokoh yang tidak berurusan secara langsung

dengan pergolakan politik di negaranya. Masalah mereka hanya satu, yaitu cinta yang

terhalang oleh Paralel ’45. Persoalan cinta ini sebenarnya hanyalah efek samping dari

masalah utama. Keharuan yang ditimbulkan dari adegan romantis antara Marni dan

Rasyid dapat dikatakan sebagai bumbu penyedap.

Diantara para prajurit yang berjaga (Widodo di menara barat. Herman di menara

timur),

Rasyid yang berada di barat dan Marni yang berada di timur menyuarakan

kegelisahan

mereka menjadi seorang sepasang suami istri yang terpisah karena krisis politik

wilayah

tersebut. Lampu spot 2 titik di depan.

Marni: ini bukan keinginanku

Rasyid: ini bukan keinginanku

…………………………………………………………………………

(kemudian Marni dan Rasyid mendekat kearah dinding. Marni terlihat lebih

semangat ketimbang Rasyid. Marni menangis sedang Rasyid

menenangkan)

Rasyid: bagaimana keadaan timur?

Marni: uruslah kependudukanmu, pindah ke timur bersamaku Rasyid

Rasyid: aku tidak bisa Marni

Marni: kenapa? Apa kau mulai nyaman bercinta dengan tembok ini?!

membayangkan seolah-olah dinding ini terukir wajahku?

Rasyid: kau butuh pemimpin!

Marni: kau lah pemimpinku rasyid. Kau imamku!

Rasyid: bukan marni, timur butuh pemimpin!

Marni: pindahlah rasyid, aku mohon. Aku rindu padamu.

…………………………………………………………………………

(Marni dan Rasyid saling bersandar di tembok. Kemudian jatuh terududk.

Masing-masing

saling meratapi). (2013: 2-3)

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 72: Universitas Indonesia Library

58

Universitas Indonesia

Kutipan di atas menunjukkan suasana yang haru ketika pasangan suami istri ini

menumpahkan kerinduan mereka. Rasa rindu mereka terhadap satu sama lain dapat

ditangkap dengan melihat gerak-gerik, posisi tubuh, dan pembawaan mereka ketika

mengatakannya. Kepasrahan mereka menimbulkan rasa simpati sekaligus rasa benci

terhadap kekuasaan yang membuat mereka menjadi menderita. Pertemuan mereka

terjadi berulang kali tanpa ada solusi yang pasti selama tembok tersebut masih berdiri.

Suatu hari, konflik semakin memanas ketika seorang tentara baru dengan cepat

menembakan peluru ke arah Rasyid. Peluru itu memang meleset dan tidak melukai

Rasyid, tetapi tembakan tersebut segera menyulut emosi Rasyid yang sudah memanas.

Pada bagian tersebut, terungkap pula masalah-masalah yang dihadapi oleh tokoh lain.

Hal tersebut dipicu oleh kehadiran Marni dan Rasyid yang berada di tengah polemik

politik dua wilayah.

Rasyid: Hey apa-apaan kau ini? Jangan main tembak sembarangan

Marni: Ada apa di sana? Kamu baik-baik saja?

(munir turun menara mendekati Rasyid yang masih tercengang dan emosi)

Munir: Sudah kubilang jangan mendekat!

Rasyid Ya tapi jangan main tembak begitu, kau hampir saja

membunuhku!

Marni: (mulai panik) Apa? Siapa yang mau menembakmu? Rasyid kau

baik-baik saja kan?

………………………………………………………………………………

Munir: Hey mau apa kamu?

Marni: Rasid, apa yang terjadi? Rasyid, jangan main-main dengan

prajurit barat!

(Rasyid tak merespon ucapan Marni. Terus berjalan mendakti Munir)

Rasyid: Bunuh aku, Bunuh!! Kalian itu bertugas untuk mengamankan

negara, bukan untuk mengurangi populasi manusia dengan

senapan yang kalian punya. (2013: 7-8).

Tentara tersebut merupakan perpanjangan tangan dari kekuasaan yang

dilambangkan melalui Paralel ’45. Mereka diminta untuk siap sedia menghalau orang

yang berusaha melewati batas wilayah. Namun, ada pengecualian tertentu yang berlaku

bagi pasangan Marni dan Rasyid selama ini. Sayangnya, tokoh Munir—tentara baru—

tidak mengetahui hal tersebut. Sebagai orang baru di sana, ia hanya tahu peraturan yang

selama ini mendoktrinnya. Rasa kemanusiaan Munir telah terkikis dengan

kesetiaannya pada tugas. Tokoh Munir pun tak dapat disalahkan jika mencoba

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 73: Universitas Indonesia Library

59

Universitas Indonesia

melaksanakan tugasnya. Dengan kehadiran tokoh Munir, tekanan yang dihasilkan dari

sistem kekuasaan yang salah justru semakin nyata. Di bawah alam sadar para tokoh

tentara penjaga perbatasan, mereka mempertanyakan pula posisi mereka di tengah

kecamuk politik negerinya, seperti yang terlihat dalam kutipan berikut ini.

Herman: hey, kau tahu Negara ini sedang terpecah? Kau tau

penyebabnya? Cuma ketidakpercayaan rakyat pada seorang

pemimpin, juga kediktatoran pemimpin itu sendiri. sungguh

kombinasi yang cocok untuk sebuah kehancuran Negara. (munir

terus mendengarkan)

Herman: Kau pikir pemimpinmu itu melakukan hal yang benar dengan

mengisolasi seluruh warga yang tidak memilihnya pada

pemilihan 2045 lalu? (…) Tapi apa harus semua ini ia lakukan?

Apa adil perpecahan ini untuk orang-orang sepertiku? Seperti

Marni? Orang-orang yang hanya menggunakan hak pilihnya dan

tidak begitu peduli dengan apa yang terjadi setelah itu. Yang aku

perdulikan (sic) hanya hidup yang lebih baik, siapapun

pemimpinku. (…) Dia tidak kalah jahat dari seorang iblis yang

tega memisahkan seorang suami dengan istrinya. Apa kau sadar

seberapa panjang perjalanan mereka? apa kau sadar apa yang

mereka lakukan selama ini? kau sadar apa yang bisa menyatukan

negara kita kembali? (Munir terdiam berpikir)

Herman: kau tahu bagaiman caranya? Dengan apa? (munir mencari

jawaban). (2013: 10-11)

Dari kutipan di atas diketahui bahwa kekuasaan yang lalim menimbulkan

masalah yang kompleks. Masalah tersebut tidak hanya menyangkut kesejahteraan

hidup rakyat, tetapi juga meliputi kualitas manusia yang dihasilkan. Dengan adanya

perpecahan, masyarakat dihadapkan pada perubahan yang terjadi secara cepat dan

besar-besaran. Nilai moral tergerus karena tidak adanya kesempatan bagi masyarakat

untuk menata kehidupan yang baik. Di tengah perpecahan, manusia dipaksa untuk

bertahan hidup. Hal tersebut dinyatakan dengan jelas oleh tokoh Herman—tentara

penjaga menara Timur—melalui monolognya yang dihasilkan dari kekalutan ia sebagai

tentara sekaligus juga bagian dari masyarakat. Hal tersebut menandakan bahwa

keraguan terhadap pemimpin dirasakan oleh seluruh golongan masyarakat. Pemimpin

yang diharapkan dapat membawa perubahan baik, justru memecahbelah kesatuan

bangsa dan menempatkan dirinya sebagai penguasa.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 74: Universitas Indonesia Library

60

Universitas Indonesia

Dalam naskah drama “Pesta Sampah”, perumitan masalah ditunjukkan melalui

adegan Pulung yang mulai merasa putus asa dengan keadaannya.

Pulung terpojok. Ia tak menyangka bahwa teman-temannya akan

meninggalkannya.

Music ngehe! Pergi meninggalkan Pulung.

Pulung: Kalian harusnya eling! Telapak kaki kalian itu sudah jebrag!

Melepuh! Nggak pantes nginjek keramik. Itulah, kalo nggak punya

wawasan dan harapan yang maju. Jebrag! (…)

Mutiara adalah kesabara…aku sendiri juga tak tau dimana

kesabaran kita bersembunyi..Long..beng…

Pulung seperti hilang diri ditinggal temannya. Ia goyah. Hanya tinggal Mulung

yang setia.

Mulung: Lung…sabar ya…masih ada aku lung

Pulung: Utara, selatan, barat, timur (berulang-ulang) ngin angina ingin

ngung bangun ba’ba; hush us dimana… mutiara!

Mulung: Mulai…mulai…deh, kembali pake acara percaya tahayul, bid’ad,

khurofat lagi. Sudah apa lung. Itu nggak nambah pahal kita. Udah

ya… yuk kita main drama-dramaan lagi(…)

Pulung semakin hilang diri. Ia tak terkendali. Pikirannya seperti sepi.

Menangis! Ia bicara sendiri. memandang jauh kesegala arah. Suasana pelan

pelan berubah (…) Mungkin di sebuah layar ada gambar yang bergerak

memvisiualkan ikon produk secara abstrak bisa cepat atau pun lambat. Penuh

warna-warna. Seorang penari membelah belah ruang menidurkan pulung

dalam mimpinya. Kemudian hilang bersambung.

Pulung: Kita harus berubah, kalu kita tidak berubah siapa yang akan

merubah kita?!!!

Mulung: Siapa kamu?

Pulung: Aku pulung…. (2011: 9)

Awalnya, tokoh Pulung ini diperlihatkan sebagai seorang yang optimis

menghadapi kesulitan hidup. Ia menjadi panutan teman-teman sesama pemulung—

Rombeng dan Polong—dengan motivasi “mencari mutiara kehidupan” (lihat “Pesta

Sampah”: 1-2). Namun, keadaan mereka semakin sulit. Tokoh Rombeng dan Pulung

pun akhirnya meninggalkan Pulung. Mereka merasa bahwa Pulung terlalu naif dalam

melihat kenyataan hidup. Tokoh Rombeng dan Polong tak mau lagi berada di rantai

kehidupan manusia yang paling bawah. Pada bagian sebelumnya, tokoh Pulung

menjelaskan bahwa orang-orang yang berada di rantai kehidupan terendah juga dapat

bermanfaat bagi sesama (“Pesta Sampah”: 2). Namun, kenyataan berbanding terbalik

dengan idealisme Pulung. Tokoh Rombeng dan Polong merasa para pemimpin yang di

atas tidak mempedulikan keadaan mereka yang di bawah. Tidak ada hubungan saling

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 75: Universitas Indonesia Library

61

Universitas Indonesia

menguntungkan dari posisi tersebut. Akibat dari kesalahan sistem kekuasaan, mereka

harus terus-menerus menderita. Penolakan teman-temannya menjadi pukulan keras

bagi tokoh Pulung. Padahal tokoh Pulung disebutkan memiliki kualitas sebagai

manusia yang idealis, seperti dalam kutipan berikut ini

Pulung: Ikut aku? Hahaha, kamu nda salah lung? Aku ini siapa? Orang

sampah! Kemukan enak sudah hidupnya. Buat apa? Lucu..

Mulung: Iya, tapi aku suka dengan sikap kamu yang keras dalam meyakini

sesuatu. Kamu beda lung. Aku pengen ikut kamu aja. Kamu lebih

meredeka dari aku. Aku cinta kamu lung. (2011: 6)

Akan tetapi, idealismenya sirna setelah ia dihadapkan pada realitas. Ia menjadi

hilang akal dan terlihat kebingungan. Keadaan tokoh Pulung yang semakin sulit

tersebut dimanfaatkan oleh tokoh Pakdir yang datang tiba-tiba. Tokoh ini

berpenampilan seperti seorang pengusaha yang kaya raya. Dari nama tokoh ini,

‘Pakdir’, diduga merupakan singkatan dari ‘Pak Direktur’. Tokoh Pak Dir ini datang

dengan membawa jawaban yang nampaknya mampu mengatasi masalah tokoh Pulung,

seperti dalam kutipan berikut ini.

Mereka terkejut.

Pakdir: Saya Pak Dir, tim survey lahan basah bebas susah yang merupakan

tim kilat dalam memberikan jasa secara (…) Di peruntungan saya,

anda bisa jadi kaget lantaran benda-benda ternyata lebih bagus dan

lebih pintar dari anda. Kita dilayani oleh benda-benda. Asyik,

tinggal pencet semua berubah. Lampu-lamu warna yang kemilau di

hati.

Pulung: semuanya betulan Bapake Dir?

Pakdir: Pak dir! Bukan! Lilin… ya iyalah!!

Pulung: Saya kira imajiner kaya saya sama si Mulung

Pak dir: Nyata, ga pake Tanya, ha … you ini gembel yang naif.

Pulung: Maksud anda? Anda jangan menghina saya ya pak. Gini-gini juga

saya punya alasan mutiara. (2011: 10-11)

Dari kutipan tersebut, tokoh Pulung tetap terlihat polos walaupun sudah mulai

ada ketertarikannya terhadap penawaran dari Pakdir. Sebelumnya, tokoh Pulung

digambarkan cukup puas dengan kehidupannya (“Pesta Sampah”: 2-3). Namun setelah

ditinggal pergi oleh teman-temannya, Pulung nampaknya berpikir ulang tentang

keadaan dirinya. Ia melihat adanya kesempatan yang ditawarkan oleh tokoh Pakdir.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 76: Universitas Indonesia Library

62

Universitas Indonesia

Dari sanalah, ia akahirnya berani mengambil tawaran tersebut demi perubahan

kesejahteraan hidupnya.

Kesempatan untuk memperbaiki kehidupan menjadi lebih baik, juga ditemukan

sebagai motif bagi tokoh-tokoh dalam naskah drama “Parlemen WC” untuk merebut

kekuasaan di kampung tersebut. Dari interaksi dan penyataan tokoh-tokoh yang

terobsesi untuk berkuasa ini, ditemukan adanya kesalahan pengertian atas konsep dari

menjadi pemimpin dan penguasa.

Gimin: Sudah-sudah! Malah gentian situ yang rebut. Saya mau

mengaspirasikan ide saya yang tersisa, kalau mau rebut jangan di

sini. Bukan tempatnya untuk ribut!

Parmin: Wah, mentang-mentang sudah dapat jatah jadi sok ngatur orang.

Demonya kan sudah kepalang berjalan. Kenapa baru bekerja? Ya,

pekerjaan yang paling sia-sia. Paling-paling tinggal sisa-sisanya.

Dan tidak butuh Konsentrasi.

Gimin: Ini juga gara-gara Karjo yang nggak mau turun tahta juga!

Surip: Wah sampeyan itu pada kaya ya rupanya. Belum apa-apa sudah

rebutan Tahta segala.

Parmin: Hus! Ngerti apa kamu bocah ingusan? Ini adalah tahta yang

menampung tambang emas. Jangan lho. Setidaknya siapa yang

paling banyak menyumbang dia akan mendapat hasilnya.

Surip: Hasil yang bagaimana?

Parmin: Hasilnya ya, tanggung jawab dia untuk membangung WC ini. dan

itu kesempatan untuk jadi ketua RT sangat besar.

Surip: Hanya untuk sebuah jamban ini setiap orang bisa jadi ketua RT ?

EDAN!

Parmin: Ini soal hegemoni. Bukan soal yang sederhana. Kamu belum

nyandak, le.

Surip: Hegemoni yang seperti apa?

Parmin: Wah, kamu ini payah! Kamu tahu ketua RT sekarang sudah hampir

tidak menjabat lagi. Sudah saatnya diganti. Nah, orang-orang

kampong yang biasanya buang air di jamban beramai-ramai untuk

ikut serta balapan buang air di jamban ini. kalau nanti sampai

roboh itu sudah risiko. Tapi, di balik robohnya jamban itu ada

khikmahnya.

Dari percakapan tersebut, terlihat adanya niatan khusus dari tokoh Surip dan

Gimin terhadap tahta di kampung itu. Mereka diam-diam mengamati dan menghitung

keuntungan yang dapat diperoleh, jika mereka mampu memperbaiki WC dan menjadi

Ketua RT. Yang lebih mengejutkan lagi, perhitungan tersebut ternyata dilakukan untuk

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 77: Universitas Indonesia Library

63

Universitas Indonesia

memenuhi kepentingan pribadi tanpa ada pemikiran tentang kesejahteraan rakyat,

seperti yang terlihat dalam kutipan berikut ini.

Ijah: Lantas nabung apa?

Karjo: Ya, nabung uang!

Ijah: Uang? Mana mungkin sampeyan dapet uang. Dari mana uang-

uang itu sampeyan dapet?

Karjo: Dari narik becak! Lalu aku tabung.

Ijah: Untuk apa?

Karjo: Ya untuk persiapan membangun WC itu!

Ijah: Apa ada yang nggak lebih penting dari sebuah jamban?

Karjo: Ini sangat penting! Lebih penting dari yang terpenting!

Ijah: Bagaimana bisa?

Karjo: Sebentar lagi Pak RT habis masa jabatannya. Sebab, jamban yang

ia bangun sebentar lagi akan roboh. Maka aku mulai menabung

untuk membangun jamban.

Ijah: Sampeyan pengen jadi ketua RT toh? Lha kok lucu. Wong ngurus

anak-anak saja nggak becus kok mau-maunya ngurus orang

sekampung! Sampyean itu edan! (2012: 19)

Pada bagian tersebut, tokoh Karjo diperlihatkan terobsesi untuk menjadi

penguasa di kampung. Padahal menurut interaksi dengan istrinya, mereka bukanlah

keluarga yang berkecukupan. Uang dari hasil bekerka Karjo saja tidak cukup untuk

membiayai hidup mereka. Apalagi semenjak Karjo terobsesi membangun WC, istrinya

jadi kerepotan mengurusi rumah tangga bahkan ia mengira Karjo selingkuh. Perkataan

istrinya tentang kelayakan Karjo sebagai seorang Ketua RT telah menjelaskan bahwa

ia sama sekali tidak memiliki kapabilitas yang memadai. Namun, Karjo tetap

bersikeras.

Di lain pihak, muncul pula tokoh yang sama seperti Karjo. Ia ingin menguasai

kampung tersebut dengan membangun WC. Namun, antara Karjo dan pihak lain ini

tidak saling mengetahui. Bahkan pihak baru tersebut, diperlihatkan lebih cerdik

daripada Karjo. Ia tak hanya menghamburkan uang milikinya, tetapi juga

memanfaatkan warga lain untuk mewujudkan mimpinya menjadi penguasa. Tentu saja,

niatnya yang sebenarnya tak dikatakan kepada orang lain.

Perempuan 1: Maksudku kita bikin WC umum dengan fasilitas yang serba

canggih dan tidak lagi mampu disaingi oleh siapa pun. Itu akan

segera menyelesaikan masalah. Ditambah lagi dengan fasilitas

gratis. Cuma-Cuma!

Perempuan 3: Modalnya?

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 78: Universitas Indonesia Library

64

Universitas Indonesia

Perempuan 1: Modal bersama dan sebagaian kita ambil dari kontribusi

kebersihan yang biasanya ditarik tiap pembayaran rekening

listrik. Juga dana arisan ibu-ibu kampung

………………………………………

Perempuan 1: Ya kami kaum perempan yang selama ini ditindas. Kaum yang

selam ii dilecehkan. Kkaum yang selalu tak masuk hitungan

dalam peta politik di negeri ini. kaum yang hanya pelengkap. Atas

nama HAM aku bersumpah akan aku tunjukan pada dunia,

perempuan tidaklah selemah itu, tidak serendah yang mereka

pikir, tidak sebodoh yang mereka kira. Kini saatnya para pria

membudak di bawah duli perempuan. (perempuan 1 berlalu,

perempuan 5 masuk lagi)

Perempuan 5: Sudah aku duga, dia wanita yang penuh dengan ambisi! Kenapa

tidak aku sadari sejak mula kalau pembangunan WC umum itu

akan berbuntut pada perebutan kuasa. (2012: 28-30)

Tokoh Perempuan 1, dalam kutipan di atas, memang memiliki maksud yang

lain dari tokoh Karjo. Tokoh Karjo menginginkan kekuasaan untuk kehidupan ekonomi

yang lebih baik, sedangkan tokoh Perempuan 1 ini menginginkan kekuasaan sebagai

pembuktian diri. Ada sedikit simpat bagi tokoh Perempuan 1 yang dianggap mencoba

untuk mengangkat posisi perempuan melalui kekuasaannya. Namun, jika dilihat lebih

mendalam, tujuan tersebut tak seluhur yang dibicarakannya. Dari dialognya, terlihat

lebih banyak penekanan pada ambisi pribadi tokoh Perempuan 1 daripada maksudnya

untuk membela perempuan. Tindakan tersebut dinilai dapat merusak keseimbangan

hidup antarmanusia.

Kekuasaan yang buruk, selain menimbulkan degradasi moral dan hilangnya

rasa kemanusiaan, juga memunculkan perpecahan di antara masyarakat. Dalam naskah

“Paralel ‘45”, perpecahan itu telah jelas dibuat dengan hadirnya tembok Paralel ’45.

Namun, perpecahan yang lebih besar, sebagai saudara setanah air, diungkapkan melalui

keputusan Pemimpin Barat untuk mengadakan usaha pemisahaan wilayah secara

hukum. Selama ini, wilayah Timur masih berada di bawah otoritas Barat. Dengan

adanya, putusan tersebut maka perpecahan menjadi sah. Harapan bagi pasangan Marni

dan Rasyid, serta seluruh masyarakat yang hidupnya terpisah semenjak munculnya

ketegangan politik tersebut, sudah sirna. Hilangnya harapan tersebut menimbulkan

reaksi keras dari masyarakat yang selama ini memperjuangkan keadilan bagi

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 79: Universitas Indonesia Library

65

Universitas Indonesia

kehidupan mereka. Suasana menjadi semakin tegang dan terlihat adanya kemungkinan

kerusuhan besar. Hal tersebut nampak dalam bagian berikut ini.

Berita: Penolakan hasil pemilihan pemimpin di tahun 2045 masih

berlangsung hingga saat ini. sejumlah demo dan aksi kerusuhan

membuat republic ini mengalami krisis politik berkepanjangan.

Dampaknya, parallel 45 menjadi batas keras yang seakan

memisahkan sebuah republic seperti air dan api yang tidak akan

pernah bisa menyatu kembali.

Bambang: Saudara-saudara, Sudah terlalu sering kita melihat kematian di

perbatasan ini. Samapi kapanpun kitatuntut agar perbatasan ini

dihancurkan (…)

Hanif: Mari kita semua menolak segala aturan perbatasan terkutuk ini!

Mari kita semua menolak pemimpin bajingan itu! (…)

(Yang lain bersorak seolah setuju. Disisi barat tampak pula seorang pria

berwibawa.Timur tetap berdemo, statis, pemimpin barat masuk)

Pemimpin barat: Kalian harus berjaga lebih ketat. Semakin banyak warga timur

yang memanjat dinding ii, tanyanya semakin terancam wilayah

barat.

Malik: Turunkan pemimpin barat! Turunkan pemimpn barat! Dia itu

adalah musuh Negara!

Pemimpin barat:Ahh aku bingung kenapa mereka masih keras kepala seperti ini,

padahal aku bisa membuat mereka jadi lebih sejahtera.

Dimas: Pembual! Sejak dulu dia itu pembual. Sampai kapanpun kami

akan terus menentang terpilihnya kau jadi pemimpin republic

ini. kami tau mana pemimmpin yang dan tidak! Kami ingin kau

hancurkan tembok ini, dan lawanlah kami kalau berani! (2013:

11-12)

Munculnya berita tentang usaha pemisahan diri yang dilakukan oleh Pemimpin

Barat memicu munculnya demonstrasi dari masyarakat, terutama di Timur. Mereka,

orang-orang Timur yang tidak menghendaki pemimpin tersebut, merasa sudah

waktunya rakyat untuk merebut kekuasaan kembali. Namun, Pemimpin Barat telah

bersiaga untuk memusnahkan siapa saja yang melawannya. Dari kutipan di atas,

ditemukan bahwa sifat-sifat pemimpin Barat ini menunjukkan adanya praktik politik

yang fasis. Ia menggunakan kekuataan militer untuk membungkam rakyat yang

memberontak. Namun, ia—secara pribadi—tidak berani untuk berkonfrontasi secara

langsung dengan masyarakat yang menolaknya. Tidak ditemukan adanya usaha untuk

menyatukan kembali wilayah tersebut oleh Pemimpin Barat. Ia disebutkan lebih

memilih untuk mempertahankan kekuasaannya daripada persatuan negaranya. Hal ini

memicu konflik di Timur dan keputusasaan di Barat.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 80: Universitas Indonesia Library

66

Universitas Indonesia

Perpecahan juga terjadi dalam naskah “Pesta Sampah” yang diwakili oleh tokoh

Pulung. Setelah ia menerima tawaraan dari Pakdir, ia pun mengikuti perintah Pakdir

untuk bersalin diri. Pakdir memperlengkapinya dengan segala macam kebutuhan untuk

memperbaiki tampilan Pulung yang kumuh. Namun, dengan tampilan baru tersebut,

sifat Pulung ikut berubah. Mulung, kekasihnya, tak lagi melihat diri Pulung yang dulu

ia banggakan. Kekecewaan Mulung tidak ditanggapi dengan serius oleh tokoh Pulung,

seperti yanga ada dalam kutipan berikut ini.

Pakdir: Yang pertama, kalian harus dandan yang cakep!

Pulung: Ayo lung, kita mau didandani…

Mulung: Lung, aku ikut kamu bukan untuk seperti ini. aku tinggalkan

rumahku, hidupku untuk bersama kamu karena aku memilih kamu

sebagai orang yang memiliki sikap lebih. Aku percaya sama kamu.

Tapi kenapa kamu sekarang berubah? Kamu jadi sama dengan…

Pulung terpojok dengan pernyataan mulu

Pulung: Katanya kamu cinta! Kalau memang itu benar, kamu harus ikut

aku…

Mulung: Cinta…cinta…

Pulung: Ayo.

Mereka didandani

…………………………………………………………………………..

Di pusat kota, di tengah niaga, orang-orang belanja, narsis; memajang diri

membuat iri. Gedung-gedung bergerak., bayangan menari, keranjang penuh

diisi. Pulung mengira itu mutiara, silau kemudia ia berlari mengejarnya.

SPG menjual barang dan dirinya.

…………………………………………………………………………

Datang rombongan perusahaan pelacur keliling. Mulung diangkut . ia

dipaksa menjadi wanita peliharaan bayaran lelaki belang. (2011: 12-18)

Pada bagian yang diperlihatkan dalam kutipan di atas, tokoh Pulung sudah

menjadi boneka milik Pakdir. Ia dimabukkan oleh kemewahan yang selama ini tak

didapatnya. Ketika tokoh Mulung mengingatkan prinsip-prinsip kehidupannya dulu,

tokoh Pulung menunjukkan pembelaan diri. Ia tidak terima dikriitik oleh Mulung.

Seperti orang mabuk, Pulung tak lagi menggunakan akal sehat dan hati nuraninya. Ia

lupa pada idealismenya. Sementara tokoh Pulung sibuk dengan dunia barunya, tokoh

Mulung diangkut secara paksa oleh rombongan pelacur keliling. Namun, Mulung tak

dapat berbuat apa-apa. Semua orang di sana, semenjak hadirnya tokoh Pakdir, sudah

kehilangan hati nurani. Perbuatan menjual diri sudah sangat umum. Akhirnya, Pulung

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 81: Universitas Indonesia Library

67

Universitas Indonesia

dan Mulung berpisah. Tidak hanya itu, perpisahan dengan Mulung juga menandakan

perpisahan tokoh Pulung dengan idealisme kehidupannya yang dulu.

Bagian ini juga menunjukkan bahwa tokoh Mulung merupakan satu-satunya

orang yang masih menggunakan hati nurani untuk melihat keadaan. Kekayaan yang

ditawarkan Pakdir tidak mampu mengubah dirinya. Ia masih percaya dengan apa yang

selama ini ia pegang teguh. Hal tersebut diperlihatkan melalui adegan soliloqui tokoh

Mulung. Ia berbicara kepada dirinya sendiri tentang kesabaran dan ketekunan yang

akan membawa hasil lebih besar. Di antara kegemerlapan hidup di kota yang

dipromotori oleh tokoh Pakdir, adegan Mulung ini menjadi sumber harapan.

Kesederhanaannya tentang kualitas hidup manusia begitu menyentuh sampai membuat

dunia gemerlap Pakdir terasa tak berarti.

Seperti halnya naskah drama “Pesta Sampah”, tokoh Parmin dalam drama

“Parlemen WC” juga menjadi penawar dari perpecahan yang timbul akibat

keserakahan. Semua orang di kampung itu nampaknya telah tersihir dengan ambisi

untuk berkuasa. Namun, tokoh Parmin—yang tahu segala hal tentang politik di

kampung tersebut—digambarkan konsisten sebagai seorang rakyat kecil yang hidup

sesuai perannya. Ia tak terlihat ikut menginginkan jabatan sebagai Ketua RT. Padahal,

jika dicermati, tokoh Parmin sangat memiliki peluang untuk menjadi Ketua RT. Ia tahu

segala hal tentang politik WC tersebut dan pengguna setia WC. Ia pun sadar akan

hakikat WC tersebut bagi kehidupan di kampungnya. Dengan adanya tokoh Parmin

yang netral, keserakahan tokoh lain justru jadi lebih terasa. Sifat mereka sangat kontras

dengan tokoh Parmin.

Selain adanya tokoh yang memperlihatkan keserakahan dan ambisi untuk

menguasai, muncul pula tokoh Orang 1, 2, dan 3 yang apatis terhadap keadaan di

kampung tersebut. Sejak awal drama, mereka digambarkan ada di tiap tempat kejadian.

Kehadiran mereka juga memberi warna bagi kehidupan politik di kampung tersebut.

Di antara persaingan politik yang kotor, sikap dan pandangan mereka yang apatis

terlihat lebih mulia dibandingkan dengan mereka yang peduli. Sebenarnya, ketiga

tokoh ini digambarkan mengetahui banyak kebusukan yang terjadi seputar politik WC,

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 82: Universitas Indonesia Library

68

Universitas Indonesia

tetapi mereka tidak mau melakukan apa pun. Keputusan untuk tidak bertindak itu pun

membuat perpecahan menjadi nyata di kampung tersebut.

Orang 3: Dan kamu pun akan turut andil membangunnya? Atau dengan kata

lain kamu akan memperalat kami sebagai batu loncatan agar kamu

jadi ketua RT? Tak usahlah yau! (genit)

Orang 1: Kami ini rombongan orang-orang apatis dengan hal-hal semacam

itu. Bagi kami perut terasa kenyang itu sudah cukup. Kami tidak

mau neko-neko.

………………………………………………………………………………

Orang 3: Sampeyan selalu saja mengkang hak kami. Itu hubungannya!

Parmin: Mengekang? Saya rasa justru kalian ini yang telah membuat

kericuhan di kampung ini. terutama dengan nyanyian-nyanyian itu.

Orang 2: Nyanyiann kami membuat ricuh? Bagaimana bisa?

Orang 3: Itu masih mending dari bau entut sampeyan yang selalu bikin

kisruh teangga.

Parmin: Nyanyian kalian itu berbau propaganda. Harus dibumihanguskan

sebelum didengar banyak orang!

Orang 2: O rupanya sampeyan merasa tersaingi. Lalu sampeyan berusaha

menghalangi kami. Begitu?

Orang 1: rupanya ada orang yang bermain politik di sini. Ada VOC gaya

baru di kampung ini! (tertawa)

Parmin: Saya tidak merasa tersaingi, dan saya juga tidak sedang bermain

politik. Saya hanya mengingatkan kalau nyanyian kalian itu bisa

mengganggu stabilitas kampung ini. (2012: 35-36)

Pada kutipan di atas, tokoh Orang 1,2, dan 3 mengaku tidak ada kepentingan

luhur, sebab bagi mereka hidup hanya sementara (“Parlemen WC”: 34). Mereka

menjadi semakin agresif menyerang warga lain karena melihat begitu banyak

kebusukan yang terjadi. Bahkan dengan tokoh Parmin—yang disebut sangat luhur dan

sederhana—mereka tidak menaruh rasa percaya. Padahal tokoh Parmin dengan tegas

menyatakan tak mau menjadi Ketua RT. Namun, pernyataan Parmin tersebut justru

dinilai memiliki suatu tendensi yang buruk.

Pada dasarnya, dari adegan tersebut, tokoh Parmin dan Orang 1,2, dan 3 berada

di posisi yang sama. Mereka tidak ingin ambil bagian dari politik WC yang kotor.

Namun, pandangan mereka berbeda. Parmin digambarkan masih memiliki kepedulian

terhadap sistem demokrasi yang diwakili oleh WC tersebut, sedangkan tokoh Orang-

Orang itu tidak lagi percaya pada apa pun.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 83: Universitas Indonesia Library

69

Universitas Indonesia

Kepedulian tokoh Parmin diwujudkan melalui usahanya mencegah tokoh

Pejabat untuk merubuhkan WC di kampung tersebut. Pada adegan yang

memperlihatkan kemunculan tokoh pejabat, digambarkan sifat dan karakter pejabat

yang sekotor air comberan. Mereka ingin merubuhkan WC agar mencegah bencana

yang disebabkan dari WC tersebut. Akan tetapi, Parmin menolak pendapat tersebut.

Sebagai seorang yang digambarkan optimis dan selalu berpikir positif, Parmin tidak

setuju jika WC yang berguna bagi orang banyak tersebut dijadikan alasan bencana.

Akhirnya, kedua belah pihak tersebut—Parmin dan para Pejabat—terlihat beradu

mulut. Sesuai dengan suasana yang dibawa sejak awal, sindiran dan kritik terhadap

sifat-sifat Pejabat yang lalim ini digambarkan dengan kelucuan. Adanya perumpamaan

yang sederhana, tetapi tepat sasaran, justru mengungkapkan keburukan tokoh Pejabat.

Di akhir debat mereka, terbukalah niat sebenarnya dari pembongkaran WC tersebut.

Ternyata, tokoh Pejabat 2 tidak ingin menghilangkan WC, tetapi merubuhkannya dan

membangun kembali supaya ia dapat berkuasa di sana (“Parlemen WC”: 38-45).

Kekuasaan yang timbul dari hubungan kompleks antara kebutuhan masyarakat

dan kepentingan individu telah mencapai puncaknya. Ketidakpercayaan, perpecahan,

serta rusaknya moral mencapai titik klimaks dengan munuclnya kerusuhan besar-

besaran. Masyarakat menolak adanya kekuasaan yang lalim mengatur hidup mereka.

Kealpaan pemimpin untuk membawa mereka pada kehidupan yang lebih baik, telah

menghilangkan harapan dan logika untuk memperjuangkan hidup dalam kedamaian.

Tindak anarkis dan konfrontasi langsung menjadi pilihan untuk merebut kembali apa

yang menjadi hak mereka.

Dalam naskah drama “Paralel ‘45”, klimaks ditandai dengan keluarnya kabar

bahwa wilayah Barat telah menjadi sebuah negara yang sah dan terpisah dari Timur.

Timur tidak lagi memiliki kekuataan hukum apa pun dan tidak dijaga oleh siapa pun.

Segera setelah kabar itu keluar, kerusuhan di Timur terjadi. Bangsa lain pun segera

datang ke Timur untuk melakukan penjajahan karena tidak adanya lembaga sah yang

menanungi wilayah Timur. Hal ini berdampak besar terhadap tokoh Marni dan Rasyid.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 84: Universitas Indonesia Library

70

Universitas Indonesia

Adegan 6

Dimulai dengan suara sebuah berita menunjukkan kekacauan yang terjadi di

timur. Perpecahan timur dan barat sudah semakin parah. Bahkan barat

menyatakan wilayahnya berdiri sendiri. Kemudian lampu menyala, disana

ada Rasyid yang sedang berjalan menuju paralel ’45. Hari itu adalah hari ia

biasa bertemu Marni.

Munir: Hey sampai kapan kau mau begini. Dia bukan lagi warga republik

ini.

Rasyid: Tapi dia tetap istriku.

Munir: kau membahayakan nyawamu dan nyawa istrimu kalau kau t

etap kesini

(Rasyid semakin dekat dengan paralel. Hatinya seakan hancur mengetahui

berita yang terjadi di timur)

Rasyid: Marni, Ku dengar timur semakin kacau. Apa yang bisa kulakukan

untukmu. Kita benar-benar sudah tidak bisa bersatu lagi, ini sudah

hukum alam marni. Akupun tak tau kenapa kisah kita jadi serumit

ini. Tapi aku akan tetap mencintaimu, aku akan tetap terus kemari

mendengar suaramu. Apa kau juga akan melakukan hal yang sama

marni? (Tak terdengar suara siapapun di sana)

…………………………………………………….

Rasyid: Marni, jangan main-main. Aku benar-benar minta maaf… Marni,

kau disana kan? Marni… Marni… kau tidak datang? Marni

ucapkan satu kata saja… Marni! Kau benar-benar tidak datang?

Kenapa?

(transisi seakan Rasyid mengunjungi tembok itu setiap hari, tetapi Marni tak

pernah lagi datang)

Adegan 7

Suara berita menyuarakan kericuhan yang terjadi di timur, juga berita yang

memberitahu bahwa pemipin barat telah mendelegasikan kepada bangsa luar

kalau negaranya terpecah belah dan memutuskan untuk menjadi wilayah yang

berdiri sendiri. berita juga tersiar kalau timur kembali dijajah warga asing

karena tidak memiliki kekuatan hukum dan politik.

Spot rasyid dan marni, seolah mereka mendengar berita wilayah seberang.

Marni terlihat sangat terpukul dan tak berdaya karena timur terjajah. Rasyid

merasakan penderitaan marni ketika mendengar berita soal wilayah timur,

tapi ia tak dapat berbuat apa-apa. Suara berita itupun berhenti.

Marni: Rasyid, aku cinta negaraku, tapi negara tidak mencitai ku. Aku

matipun negara ini tidak akan membaik. Aku ingin menyentuhmu

untuk yang terakhir kali. (2013: 13-14)

Bagian yang dikutip tersbeut, menunjukkan bahwa titik balik dari masalah yang

dibicarakan dalam naskah drama “Paralel ‘45” diwakili oleh kisah Marni dan Rasyid

yang akhirnya tak dapat bertemu lagi. Rasyid, di wilayah Barat, lebih bebas untuk pergi

ke daerah perbatasan tersebut, sedangkan nasib Marni lebih tak menentu di wilayah

Timur. Rasyid tak lagi mendengar kabar Marni secara personal. Ia hanya tahu bahwa

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 85: Universitas Indonesia Library

71

Universitas Indonesia

wilayah di Timur benar-benar hancur akibat pernyataan Pemimpin Barat. Nasib Marni

dan warga di Timur sudah tak lagi dapat diperjuangkan oleh saudara setanah air mereka

dulu di Barat. Rasa putus asa dan kekelaman menyelimuti bagian klimaks dalam drama

ini melalui dialog-dialog yang diucapkan oleh tokoh Rasyid. Suara berita yang

mengabarkan kekacauan menjadi latar, sementara, kesedihan Rasyid dituangkan

melalui gerak-gerik dan kata-kata yang memohon-mohon untuk dapat bertemu lagi

dengan istrinya. Hal tersebut membuat alur terasa mencekam sekaligus menyayat hati.

Kerusuhan yang disebabkan oleh WC dalam naskah drama “Parlemen WC”,

digambarkan terjadi karena adanya dua kelompok yang saling berkepentingan. Mereka

yang membutuhkan WC untuk merebut kekuasaan dan mereka yang menginginkan

WC tersebut untuk dihancurkan demi kesejahteraan bersama. Tokoh Parmin yang tidak

terlibat dalam dua kubu tersebut, tidak dapat melakukan tindakan apa pun untuk

mencegah perseteruaan. Massa dari masing-masing kubu telah menetapkan

pendiriannya dan menolak untuk bermusyawarah mengatasi konflik tersebut. Mereka

bahkan memanggil orang sakti untuk memecahkan masalah tersebut.

Orang 1: Lihatlah saudaraku. Mereka semua menjadi gila!

Orang 3: Ya! Gila pada seonggok jamban! (tertawa)

Orang 2: Ah, kalian masih saja buta! Lihatlah! Hukum adalah permainan,

barang dagangan yang begitu mudahnya diperjualbelikan dan

ditawar-tawarkan dengan harga obral besar (…)

Orang 1: (…) Tanyakan saja pada Parmin! Dia tahu segalanya.

Semuanya menengok ke arah Parmin yang kebingungan

Parmin: Tidak…saya tidak pernah tahu. Tapi jika kalian meminta sesuatu

yang aku tahu akan aku berikan. Mereka hanya kasut. Provokator.

Mereka wabah maut. Pagebluk!

Mbah Satimin: Jangan Ngger, jangan itu bahaya. Itu berarti kalian akan

menantang maut.

Orang 1: Tak peduli. Inilah yang sebenarnya kalian minta. Maka kami

penuhi. Dan tak akan ada pagebluk seperti yang kalian ributkan.

Bohong besar jika kalian harus terkungkung oleh ketakutan kalian.

Inilah kesesatan kalian, kecongkakan kampung ini, dan kedaulatan

kampung kalian. (…) Kalianlah saksi! Ya kalian saksi kebutaan

kalian sendiri!

(Orang 1, 2, dan 3 merusak WC yang menjadi monumen itu)

Semua menjadi chaos yang tak lagi mampu terbendung. Pagebluk itu pun

akhirnya datang tanpa menyisakan tawa sedikit pun. (2012: 48-50)

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 86: Universitas Indonesia Library

72

Universitas Indonesia

Suasana santai dengan kelucuan para tokohnya, yang dibangun sejak awal,

berubah secara drastis pada bagian klimaks. Ketegangan muncul di antara dialog dan

lakuan para tokoh. Tidak ada lagi tokoh-tokoh yang dengan polosnya berinteraksi,

mereka telah menunjukkan taring masing. Karjo dengan kepercayaan mistisnya

terhadap peruntungan WC tersebut. Tokoh Perempuan 1 digugat oleh tokoh Perempuan

lainnya karena mereka merasa telah ditipu oleh tokoh Perempuan 1 yang berambisi.

Tokoh Orang 1, 2, dan 3 menyebutkan satu persatu dosa orang-orang di kampung

tersebut. Mereka yang mengetahui segala kebusukan itu membukanya di hadapan

semua orang. Walaupun pada bagian sebelumnya mereka digambarkan berseteru

dengan tokoh Parmin, di bagian kutipan tersebut dapat dilihat bahwa mereka percaya

tokoh Parmin tahu mana yang buruk dan benar. Sayangnya, tokoh Parmin yang

memang digambarkan tidak memiliki kepentingan tertentu di sana, menjadi ciut

nyalinya dan takut jika sikapnya memperburuk keadaan. Oleh sebab itu, tokoh Orang

1, 2, dan 3 mengambil langkah keras untuk menunjukkan keserakahan atas kekuasaan

yang membelenggu mereka. Ketiga tokoh tersebut menghancurkan lambang kekuasaan

di perpecahan itu. Segera setelahnya, reaksi keras datang dari mereka yang memiliki

kepentingan atas nama kekuasaan, mereka yang membutuhkan WC, dan mereka yang

menjadi korban belaka. Kerusuhan antarsesama warga terjadi. Tak ada lagi rasa

persaudaraan yang dari awal kental terasa dalam naskah drama ini.

Kekacauan besar segera terjadi pula dalam naskah drama “Pesta Sampah”,

setelah semua manusia berubah menjadi boneka milik Pakdir. Dalam kutipan berikut

ini, peristiwa besar yang menyangkut nasib hidup rakyat dipertaruhkan di atas meja

judi oleh tokoh Pejabat. Ia—selama ini disebutkan—terlibat bisnis gelap dengan tokoh

Pakdir. Bisnis yang ia gunakan untuk meraup keuntungan pribadi dari aset negara.

Tukang kocok: pasang!

Pakdir: satu gedung!

Pejabat: lahan basah

Kartu dibagikan

Tukang kocok: kik

Pakdir: pabrik…

Pejabat: tambang minyak…

Kartu dibagikan

Pakdir: qiu pe’…

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 87: Universitas Indonesia Library

73

Universitas Indonesia

Pejabat: qiu tujuh…

…………………………………………………………………………

Tukang kocok: pakdir menang. Pasang!

Pakdir: 80% saham dunia, berani?

Pejabat: semua asset…Negara!

Kartu dibagikan

Tukang kocok: kik…

Pakdir: qiu enam

Pejabat: jebot

Pakdir: aku memang beurntung… Pakdir! Masih berani… ayo main

terus, aku pasang anjing-anjingku semuanya

…………………………………………………………………………

Pulung mulai tak tega. Ia merasa itu tidak lagi manusiawi. Pakdir terus

Mempermainkan pejabat…pulung coba menutup mata

Pakdir: sekarang kita pesta, nyalakan lampu dan music. Panggil para

penghibur sejati. Kita menuju kota besi

Musikal masuk. Mereka menari dan bernyanyi. Mereka adalah boneka

berbedak tebal. Seketika panggung berubah menjadi pesta yang megah. Kota

dengan segala isinya tumpah berhamburan. Ramai sekali.Musik syahdu

biola.Pakdir berdansa. Di sudut lain ada barisan pelacur. Pembununhan,

berkelahi, teriakan-teriakan histeria, tarian histeria. Perampasan, perjudian.

Konser musik. Dugem. Suasana demikian kacau dan krodit. Ditengah itu

semua pulung menyaksikan sebuah kebinatangan yang liar memenuhi

Seisi kota. Ia menggugat dirinya. Ia bimbang. Kepalanya hampir pecah.

Terlebih saat ia melihat Mulung menjadi seorang pelacur.

Pulung: Aaaarrggh!!! (2011: 18—23)

Pejabat itu akhirnya dikalahkan oleh Pakdir di meja judi. Semua aset negara,

yang merupakan milik rakyat, dihabiskannya untuk kepentingan pribadi tanpa ada

pertimbangan yang masak. Di atas meja judi—sebuah permainan yang cepat dan

membuat seseorang menjadi ketagihan—tokoh Pejabat menjual negara dan hartanya.

Sosok penguasa yang diperlihatkan drama itu tak memikirkan kepentingan umum.

Segera setelah kekalahannya, Pakdir mendapatkan hal yang diinginkannya. Ia

menguasai seluruh isi negeri itu. Ia tidak hanya mengadakan ekspansi kekuasaan atas

lahan dan sumber daya alam negara itu, tetapi juga mengeksploitasi manusia yang

tinggal di sana. Tak ada lagi nilai moral yang menjaga keharmonisan hidup bersama.

Pada titik tersebut, tokoh Pulung sadar bahwa ia telah melakukan kesalahan besar. Ia

telah menyerahkan dirinya, seperti juga tokoh Pejabat, untuk dikuasai oleh Pakdir.

Musik dan tari-tarian yang memeriahkan suasana membuat kesedihan tokoh Pulung

menjadi hal yang tragis. Terlebih, ketika tokoh Mulung muncul sebagai seorang

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 88: Universitas Indonesia Library

74

Universitas Indonesia

pelacur. Hal tersebut menjadi pukulan keras bagi tokoh Pulung. Ia teringat kembali

dengan idealismenya di masa lalu.

Untuk mencoba menyelesaikan masalah ini, yang juga menjadi bagian

peleraian dalam naskah drama “Pesta Sampah”, tokoh Pulung berbicara pada Pakdir.

Ia mengungkapkan nilai-nilai yang dipercayainya. Dalam pidatonya kepada tokoh

Pakdir, ia berharap pula orang-orang menjadi sadar bahwa mereka telah dikuasai oleh

uang. Kekuasaan kapitalisme mengalahkan kemanusiaan. Teknologi mematikan nurani

mereka (“Pesta Sampah”: 24). Alih-alih menjadi sadar, orang-orang di sekitar tempat

itu malah menertawakan ucapan Pulung. Mereka sudah tak lagi menjadi manusia yang

memiliki hati sehingga perkataan Pulung terdengar seperti bualan sia-sia. Tokoh Pakdir

dengan segera meringkus Pulung yang dianggap mengganggu ‘pesta’ tersebut. Tak

ada lagi tempat bagi Pulung di sana sebab semuanya telah digerakkan oleh kekuasaan

Pakdir yang menguntungkan dirinya sendiri.

Peleraian dalam naskah drama “Paralel ‘45” ditunjukkan dengan tindakan

tokoh Marni dan Rasyid. Mereka tak lagi mampu mengatasi ketidakadilan dan

kekacauan di wilayah masing-masing, terlebih lagi mengatasi jarak yang memisahkan

cinta mereka. Tak lama kemudian, dengan niat untuk bertemu satu sama lain yang

terakhir kalinya, mereka pun pergi ke tembok Paralel ’45. Namun, keadaan sudah tak

sama lagi seperti dulu. Tak ada lagi kompromi bagi siapa pun yang mendekat, seperti

yang terlihat pada bagian kutipan berikut ini.

Marni: Rasyid, aku cinta negaraku, tapi negara ini tidak mencintaiku. Aku

matipun negara ini tidak akan membaik. Aku ingin menyentuhmu

untuk yang terakhir kali.

Rasyid: Marni, aku cinta negaraku, tapi negara ini tidak mencintaiku. Aku

matipun negara ini tidak akan membaik. Aku ingin menyentuhmu

untuk yang terakhir kali.

Adegan 8

Di barat dan timur masih dijaga oleh Herman, Munir, Widodo, dan penjaga

lain yang bertambah. Kemudian Marni dan Rasyid berlari ke arah paralel.

Semua penjaga meneriaki mereka, menodong senjata.

Herman: hey, jangan bertindak bodoh. Mau apa kau, menjauhlah. Kau bisa

mati. Menjauh atau ku tembak kau dan mati sebagai pengkhianat.

Ku bilang berhenti.

Munir: Mau apa kau? Hey, kali ini aku akan benar-benar menembakmu

kalau mendekat. Dinding itu berbahaya. Berhentiiii!!

(tapi Marni dan Rasyid tidak menghiraukannya, mereka terus berlari sampai

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 89: Universitas Indonesia Library

75

Universitas Indonesia

akhirnya mereka berhasil memanjat dinding paralel dan berhasil menyentuh

satu sama lain. Setelah baru saja bertemu di atas dinding, peluru panas

menembus tubuh mereka. (2013: 14-15)

Dengan kematian, Marni dan Rasyid menyimbolkan leraian dari masalah yang

pelik antara kekuasaan dan manusia. Tindakan yang memilih mati dapat berarti bahwa

mereka tak lagi menemukan alasan untuk hidup atau dapat pula mengisyaratkan bahwa

masalah kekuasaan yang sejak awal menjadi isu utama dalam drama ini, berujung

buntu. Dalam proses kematian Marni dan Rasyid, ada banyak hal—seputar masalah

yang sejak awal dibicarakan—terjadi. Masalah kemanusiaan yang muncul pada diri

Herman dan Munir—tentara masing-masing wilayah—yang dihadapkan pada pilihan

sulit. Bagi Marni dan Rasyid, lompatan mereka yang berujung tembakan, merupakan

terakhir kali mereka bertaruh atas nasib dan kepercayaan terhadap cinta. Mereka telah

diperingatkan oleh tentara kedua belah pihak. Peringatan tersebut menjadi semacam

wujud hati nurani Herman dan Munir yang terucapkan. Untuk yang terakhir kalinya,

mereka merasakan rasa kemanusiaan dalam diri mereka. Akan tetapi, bagi Marni dan

Rasyid, peringatan itu adalah sebuah tiket menuju kebebasan yang kekal.

Ketidakpedulian mereka menandakan bahwa mereka telah siap menghadapi risiko

terburuk sekali pun. Hal tersebut melerai segala konflik yang mungkin akan lebih parah

lagi terjadi karena kesewenang-wenangan penguasa.

Sementara itu, dalam naskah drama “Parlemen WC”, tidak ditemukan adanya

bagian peleraian masalah utama. Setelah kekacauan terjadi, kehancuran merupakan

akhir bagi riwayat kampung tersebut. Tak ada lagi hal yang dapat diceritakan sebab

semuanya telah musnah bersama dengan keserakahan dan kelaliman dari sihir

kekuasaan. Semua tokoh telah hilang dalam kekacauan yang sebelumnya terjadi hingga

tak bersisa sama sekali. Suasana akhir dalam drama tersebut terasa hampa sama seperti

keadaan kampung setelah kerusuhan. WC yang selama ini diibaratkan sebagai bentuk

kekuasaan dan pernah berdiri kokoh di kampung tersebut, kini terlihat mirip seperti

tempat sampah yang rusak. Fungsinya telah hilang bersama dengan esensinya yang

disalahgunakan oleh warga kampung tersebut (“Parlemen WC”: 50)

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 90: Universitas Indonesia Library

76

Universitas Indonesia

Serupa dengan naskah drama “Parlemen WC”, kedua drama lainnya pun

berakhir dengan penyelesaian yang hampa. Tak ada lagi tanda kehidupan yang

ditunjukkan oleh tokoh-tokohnya. Tokoh Herman berhasil menembak Marni dan tokoh

Munir berhasil menembak Rasyid (“Paralel ‘45”). Yang tersisa dari diri mereka,

digambarkan dengan sederhana melalui petunjuk pemanggungan, hanya tatapan nanar

pertanda hilangnya rasa kemanusiaan itu.

Dalam naskah drama “Pesta Sampah”, panggung dinyatakan telah sepi dari

keramaian pesta binatang. Tokoh Pulung terlihat dibungkus plastik dengan ditemani

Mulung yang digambarkan hilang jiwanya. Sementara di kejauhan, tokoh Pakdir diarak

oleh orang banyak. Mereka berdua tak memberikan reaksi apa pun pada kejadian

tersebut. Melalui kalimat penutupnya, “Mereka ditelan cahaya gelap” (“Pesta

Sampah”: 25), drama ini berakhir tanpa adanya penegakan keadilan.

Ketiga drama ini berakhir tragis walaupun sebelumnya dibuka dengan

bermacam-macam suasana. Bahkan dua naskah—“Pesta Sampah” dan “Paralel ‘45”—

yang awalnya terlihat ceria, tak mampu memberikan akhir yang bahagia bagi tokoh-

tokohnya. Namun, melalui akhir yang tragis, kritik dan sindiran dalam ketiga drama ini

justru lebih terasa. Wajah buruk dari kekuasaan mampu digambarkan melalui

pembagian peristiwa yang bervariasi dalam alur. Selain itu, tak hanya menawarkan

hubungan vertikal antara manusia dan kekuasaan, ketiga drama ini juga

memperlihatkan bagaimana kekuasaan memakan habis mereka yang berkuasa.

Perkembangan alur dalam ketiga drama ini dapat dikatakan menyerupai sebuah

bentuk piramida. Hal tersebut dapat dilihat dalam gambar 1.2 di bawah ini. Grafik

tersebut menunjukkan bahwa perkembangan alur yang terjadi dalam ketiga drama ini

memiliki kemiripan antara yang satu dan lainnya. Hal itu dapat menandakan bahwa

dalam relasi antara manusia dan kekuasaan ditemukan sebuah pola yang sama. Pola

tersebut diwujudkan dari disharmoni hubungan manusia (rakyat) dan kekuasaan

(pemerintah, jabatan, atau pejabat). Disharmoni muncul sebagai akibat dari kesalahan

pemahaman atas konsep-konsep kekuasaan.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 91: Universitas Indonesia Library

77

Universitas Indonesia

Sebagai penanda perubahan alur, digunakan latar suasana untuk membedakan

antara peristiwa yang satu dan lainnya. Suasana pada bagian pemaparan membangun

keadaan yang ingin ditampilkan dalam naskah drama. Naskah drama “Paralel ‘45”

telah menempatkan ketegangan di bagian awal karena ingin memberikan rasa bahaya

dari situasi yang digambarkan. Dalam dua drama lainnya, suasana digambarkan lebih

santai dibandingkan dengan “Paralel ‘45”. Suasana dalam naskah drama “Parlemen

WC” dibuat lucu dengan tingkah komikal para tokohnya. Kelucuan tersebut

dipergunakan untuk memperlihatkan bentuk kekuasaan di dalam naskah drama ini,

yaitu sebuah WC. Sedang dalam naskah drama “Pesta Sampah”, ada suasana syahdu

di balik penderitaan yang diperlihatkan oleh para tokoh. Suasana ini sengaja dibangun

untuk memperlihatkan sifat dan karakter manusia yang ideal.

Pada dasarnya, drama ini memperlihatkan kondisi manusia dan kekuasaan yang

seringkali terjalin dengan penuh ketegangan, ambisi, dan kesewenang-wenangan.

Dengan memberikan akhir yang tragis, ketiga drama ini nampaknya berusaha

memberikan sebuah nasihat atau solusi untuk menyudahi kondisi seperti di dalam

naskah drama. Namun, nasihat ini tidak disampaikan secara eksplisit melainkan dengan

kesunyian dari bentuk kehancuran dan kematian rakyat di tangan penguasa.

Gambar 2.2

Alur Tiga Drama Relasi Manusia dengan Kekuasaan

0

2

4

6

8

10

12

paparan perumitan klimaks peleraian penyelesaian

Parlemen WC Paralel 45 Pesta Sampah

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 92: Universitas Indonesia Library

78

Universitas Indonesia

2.3 Drama tentang Relasi Manusia dengan Masyarakat

Membicarakan mengenai manusia dan lingkungan sosialnya, sebenarnya

merupakan sebuah area pembahasan yang sangat luas. Ada banyak satuan kecil yang

membentuk sebuah lingkungan sosial. Dalam tiap satuan kecil tersebut terdapat

masalah. Masalah-masalah dari satuan-satuan tersebutlah yang banyak ditemukan

dalam ketiga drama ini. Masalah disfungsi suami istri dan perselingkuhan dalam

lingkup rumah tangga, masalah pengkhianatan dan rasa bersalah dalam kehidupan

bertetangga sampai pada pembentukan paradigma yang salah. Hal-hal tersebut saling

mengisi di dalam drama sehingga menimbulkan warna-warni tersendiri untuk masalah

ini.

Masalah-masalah tersebut ada yang sudah sering sekali dibahas13 dalam drama

lainnya, ada pula yang benar-benar baru. Hal-hal baru tersebut biasanya datang dari

perkembangan zaman. Misalnya, keadaan istri meninggalkan suami yang sebelumnya

dianggap suatu hal luar biasa, dalam drama ini sudah menjadi suatu hal yang biasa saja.

Ada juga penggambaran tindak kriminal yang identik dengan masyarakat kelas

menengah bawah. Pada lapisan masyarakat ini, hal tersebut sudah menjadi bagian dari

kehidupan mereka yang biasa. Keunikan-keunikan tersebut dibawa oleh tiap pengarang

ke dalam dramanya. Ada yang bernada menyindir, ada pula yang secara terang-

terangan berceramah tentang baik dan buruknya dalam situasi-situasi tersebut.

Dalam ketiga drama ini, lingkungan sosial yang diciptakan tentu berkiblat pada

kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Oleh sebab itu, muncul pula kebiasaan dan

tradisi-tradisi dalam drama ini. Corak kedaerahan juga dimunculkan melalui identitas

tokoh atau cara tokoh membawakan dirinya. Pada intinya, drama-drama ini

memunculkan realitas kehidupan yang dapat dialami oleh siapa saja yang

membacanya.

13 Zen Hae menuliskan dalam artikel “Sejumlah Masalah dalam Naskah dan Lakon” bahwa potret

kemiskinan merupakan salah satu masalah yang sudah berulang kali diangkat ke dalam naskah drama.

Mulai dari drama “Kapai-Kapai” karangan Arifin C. Noer, “Sobrat” karangan Arthur S. Nalan sampai

drama “Opera Kecoa” karangan Nano Riantiarno , masalah kemiskinan hadir dalam berbagai bentuk di

sepanjang masa. (Panggung: Majalah Festival Teater Jakarta, 2011: 18).

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 93: Universitas Indonesia Library

79

Universitas Indonesia

2.3.1 Sinopsis Drama Relasi Manusia dengan Masyarakat

“Roman”

Roman dan Atun terpaksa meninggalkan anak mereka di desa karena harus

mencari uang di tempat ini. Roman yang buta bekerja sebagai tukang urut dan Atun

membuka usaha warung. Walaupun Roman buta dan mereka hidup dalam ekonomi

yang sulit, pasangan tersebut saling mencintai. Sampai suatu ketika, Roman diberitahu

oleh para tetangga tentang perubahan sikap Atun yang semakin suka berdandan. Oleh

karena itu Roman curiga dan cemburu pada seorang tetangga mereka yang baru saja

menduda, yaitu Bambang. Ternyata Bambang merupakan kekasih Atun yang dulu. Ia

dan Atun harus berpisah karena keluarga Atun berhutang budi pada keluarga Roman

sehingga Atun terpaksa menikah dengan Roman. Sampai suatu ketika, Roman yang

gelap mata, melabrak Bambang yang dicurigai tengah berselingkuh dengan istrinya.

Akhirnya, Roman kehilangan istrinya. Ia pun hidup semakin menderita tanpa istri

“Te(N)tangga(NG)”

Risti yang baru saja pindah ke rumah kontrakan barunya mendapati kejanggalan

dalam komunitas barunya. Suatu malam, ia melihat seorang laki-laki marah-marah,

seorang pelacur, seorang calon wisudawan gila, anak muda bergaya metal, dan Pak RT

yang ketus. Siangnya, ia mendapati orang-orang tersebut berubah 180 derajat menjadi

berbeda. Laki-laki yang marah tersebut ternyata adalah seorang bapak agen asuransi.

Yang semalam menjadi pelacur, ternyata adalah istri bapak tersebut dan bekerja

sebagai wanita karier sukses. Dua pemuda semalam ternyata adalah anak mereka, si

wisudawan adalah mahasiswa yang kerjanya demo dan anak metal ternyata seorang

anak muda rajin beribadah. Keanehan ini mengusik Risti sampai akhirnya ia

memutuskan sendiri melakukan suatu pembongkaran identitas. Ia akhirnya tahu bahwa

memang begitulah keadaan keluarga tersebut. Di siang hari yang tampak oleh semua

orang, mereka orang baik. Dan di malam yang gelap, mereka menunjukkan sisi lain

diri mereka.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 94: Universitas Indonesia Library

80

Universitas Indonesia

“Lima Pintu”

Ada lima pintu dalam sebuah kontrakan. Pintu pertama dihuni oleh suami-istri

pintu satu yang belum juga dikaruniai anak. Pintu dua dihuni oleh seorang janda dengan

dua orang anak gadis. Pintu tiga dihuni oleh suami-istri pintu tiga yang dikaruniai

seorang anak yang masih kecil. Pintu empat dihuni tiga gadis muda yang sudah bekerja.

Pintu lima merupakan ruangan dapur yang digunakan bersama. Setiap hari, suami pintu

satu dan pintu tiga berjaga di depan untuk melihat anak pertama ibu pintu dua berangkat

kerja. Hal itu kemudian disusul dengan kemarahan istri-istri mereka dan pertengkaran

kecil lainnya. Namun, setiap kali tukang sayur lewat, para istri seolah lupa dengan

suaminya dan langsung menyerbu si tukang sayur. Akibatnya , para suami mengamuk.

Ada juga kejadian lain, seperti pamer-pameran antara para istri perihal harta. Si kecil

yang terus menangis karena sakit, suami pintu tiga yang diusir, sampai pacar Lela yang

datang berkunjung. Suatu malam, Lela yang kalut karena terus dipersalahkan atas

polemik rumah tangga di sana, duduk sendirian di luar. Tiba-tiba ia disekap oleh

seorang pemuda asing dan dibawa paksa ke pintu lima. Paginya, kampung itu geger

karena Lela ditemukan telah meninggal. Dari surat yang ditinggalkan, diketahui bahwa

pelakunya adalah si tukang sayur yang cemburu melihat Lela dikunjungi lelaki lain

setelah Lela menolak cintanya.

2.3.2 Analisis Struktur Drama Relasi Manusia dengan Masyarakat

Berdasarkan sinopsis ketiga naskah drama yang berbicara tentang relasi

manusia dengan masyarakat, ditemukan ada banyak masalah seputar kehidupan

bertetangga. Beberapa masalah kecil, seperti ketidakharmonisan rumah tangga

antarpasangan dan kesulitan ekonomi masing-masing penghuni, menjadi kesulitan

untuk melihat inti dari masalah-masalah tersebut. Hal ini disebabkan oleh

keanekaragaman karakter tokoh yang menjadi fokus pembicaraan relasi manusia ini.

Namun, dengan merunutkan masalah-masalah turunan yang muncul, akan ditemukan

satu masalah utama tentang relasi manusia dan masyarakat di tiap drama. Perunutan

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 95: Universitas Indonesia Library

81

Universitas Indonesia

masalah-masalah tersebut dapat dimasukkan ke dalam tiga bagian yang tergambar

dalam bagan berikut ini.

Peristiwa dalam ketiga naskah drama ini terbagi ke dalam tiga bagian besar.

Bagian luar melingkupi pemaparan masalah dan perumitan masalah yang berisi

peristiwa-peristiwa masalah tokoh utama dengan tetangga. Bagian tengah dari masalah

ini—yang melingkupi klimaks—merupakan bagian yang mengerucut ke hal yang

bersifat personal. Bagian terakhir dari pembagian peristiwa dalam ketiga naskah drama

ini, melingkupi peleraian dan penyelesaian masalah, yaitu bagian personal yang

memantul kembali ke luar. Pada bagian akhir tersebut, konflik yang dialami oleh tokoh

utama akan menjadi refleksi dalam kehidupan bermasyarakat.

Ketiga naskah drama ini memiliki kesamaan cara untuk memaparkan masalah

utama yang dialami oleh para tokoh. Pemaparan dalam naskah drama “Lima Pintu”,

“Te(N)tangga(NG)”, dan “Roman” memberikan gambaran tentang situasi masyarakat

Skema 2.1

Ruang Lingkup Masalah Relasi Manusia dengan Masyarakat

masalah yang dibawa dari

anggota masyarakat

lain

masalah personal

tokoh

masalah personal

tokoh dalam lingkup

masyarakat

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 96: Universitas Indonesia Library

82

Universitas Indonesia

yang akan diangkat dalam alur drama. Bagian ini menunjukkan latar tempat dan

beberapa tokoh yang menonjol sehingga dapat dilihat bahwa drama-drama ini

menggunakan potret masyarakat kelas menengah ke bawah. Hal tersebut nampak

dalam pemilihan tempat tinggal serta gaya berinteraksi para tokoh.

“Te(N)tangga(NG)”

Adegan 1

Setting adalah sebuah gang kecil yang hanya muat dilewati satu kendaraan.

Rumah yang saling berdempetan memperlihatkan kekerabatan

yang kuat antar penghuni gang tersebut. Kala itu malam hari dan

tampak seorang pria paruh baya yang sedang berdiri menatap ke

suatu rumah di ujung gang.

Amir: (berteriak marah) dasar perempuan jalang!!! Kau bisa saja

bertingkah seperti santri di hadapan orang tua dan keluargamu, tapi

tidak di depanku!! Kau aku tidak tahu apa yang akan selama ini

kamu lakukan, berlagak seperti wanita elegan tapi punya otak

kampungan… dasar wanita keparat!!!

Seuara teriakan Amir tampak membahana di seluruh gang tersebut hingga

memaksa Risti, seorang mahasiswa yang baru mengontrak di sebuah kontrakan

kecil di gang itu keluar dan mengintip apa yang sebenarnya terjadi. (2011: 1)

“Lima Pintu”

Bagian ke Satu

Rumah petak berderet. Lima buah pintu. Pintu paling kiri pasangan suami istri

yang lima tahun menikah, tapi belum memiliki anak. Pintu ketiganya juga

pasangan keluarga, memiliki satu anak yang masih bayi. Dan pintu atau tepatnya,

yang paling tengah menghuni antara pasangan pintu satu dan tiga seorang janda

dengan dua orang anak yang sudah cukup besar. Seorang (…) di pintu keempat,

tiga anak perempuan yang semuanya bekerja di sebuah pabrik. Rata-rata berusia

sekitar dua puluh tahun. Dan yang terakhir, atau pintu ke-lima, kontrakannya

masih kosong. (…) dan di areal paling pojok juga ada kamar mandi bersama.

Suara di pintu satu.

Istri pintu satu: Kang, buruan mandinya! Sudah jam tujuh nih. Nanti alasan

terlambat lagi. Dah dua hari gak masuk kerja, kan sayang gajimu

dipotong terus.

Suami pintu satu:Iya, sabar. Sebentar lagi juga selesai. Lagi beres-beres…

Istri pintu tiga: Yang antri banyak lho…

………………………………………………………………..

Seorang wanita dengan seragam sekolah keluar dari pintu dua.

Neneng: Maaa, aku berangkat! (berteriak)

Ibu pintu dua: Iya, hati-hati! (dari dalam rumah) (2013: 2-3)

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 97: Universitas Indonesia Library

83

Universitas Indonesia

“Roman” Babak II

Terdengar sebuah lagu yang dinyanyikan oleh beberapa. Orang yang duduk

di bale didepan rumah Roman. Tampak, Ning sedang mencuci dan tanpa

menyadari sedang diperhatikan oleh salah seorang dari mereka. Tidak lama

kemudian Juned, suami Ning, keluar dari rumahnya.

…………………………………………………………………..

Kemudian Roman keluar dari rumahnya dan mendekati Ning

Roman: Juned punya simpanan lagi, Ning?

Ning: Kalau saya dengar dari teman-temannya di posko, memang begitu.

Tapi saya juga belum pernah mergokin, Mas.

Roman: Kamu percaya?

………………………………………………………………………….

Bambang datang membawa sebuah tas dan kardus. (2011: 1-6)

Pada tiga kutipan di atas, ditemukan gambaran tentang lingkungan tempat

tinggal mereka yang berdekatan satu sama lain. Kehidupan bertetangga yang erat

disebabkan oleh jarak yang dekat serta sifat-sifat dari masyarakatnya yang masih

membuka diri satu sama lain. Kedekatan tersebut, selain menimbulkan keakraban,

ternyata juga memicu konflik. Masalah satu rumah dapat diketahui oleh penghuni

rumah lain karena jarak yang dekat. Dari keinginan untuk membantu sampai berubah

menjadi sekadar ingin tahu pun menjadi mungkin terjadi di lingkungan seperti itu.

Masalah ekonomi juga menjadi penyebab kemampuan mereka mengusahakan lahan

tinggal yang layak. Tingkat ekonomi yang rendah menimbulkan pilihan area tempat

tinggal dan rumah pun menjadi sangat kecil jangkauannya. Mereka diperlihatkan

tinggal di daerah padat penduduk, gang, atau rumah kontrakan yang kumuh. Para

penghuni pun digambarkan tidak asli dari kota, tetapi ada yang merupakan pendatang

dari desa. Perbedaan asal usul ini juga menambah kerumitan dalam hubungan yang

terjalin di antara para tokoh. Walaupun demikian, tetap ada kedekatan yang hangat dan

akrab di antara mereka.

Perlu diperhatikan perbedaan antara pemaparan masalah dalam naskah drama

“Roman” dengan dua naskah drama lainnya. Naskah drama “Roman” tidak meletakkan

bagian pemaparan ini di adegan pertama. Adegan pertama justru dibuka dengan

kejadian yang terjadi sekarang, yaitu sebuah monolog tokoh Roman yang seolah

merahasiakan sesuatu. Alur kemudian mundur ke belakang untuk menjelaskan maksud

dari adegan tokoh Roman tersebut. Hal ini menandakan bahwa alur drama akan

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 98: Universitas Indonesia Library

84

Universitas Indonesia

berfokus pada tokoh Roman sehingga perlu diperhatikan hal-hal yang mungkin

mengarah pada rahasia tersebut. Selebihnya, cara dan suasana pemaparan dalam drama

ini sama dengan yang lainnya.

Untuk mencari tahu masalah utama dalam drama, dapat pula diperhatikan dari

pemilihan judulnya. Dari judul naskah drama “Te(N)tangga(NG)” dan “Lima Pintu”,

terdapat kesan bahwa masalah yang diangkat berhubungan dengan orang banyak. Hal

ini disebakan pada pemilihan kata yang bersifat komunal, tetangga dan lima pintu.

Judul “Te(N)tangga(NG)” dapat terbaca menjadi dua, ‘tentang gang’ dan ‘tetangga’,

keduanya-sama-sama merujuk kehidupan bersosial manusia. Judul drama “Lima

Pintu” memunculkan bayangan tentang bangunan berpintu banyak atau ruangan yang

dihuni oleh lebih dari satu orang. Oleh sebab itu, pernyataan kuantitas tersebut

mematahkan kemungkinan bahwa naskah ini berfokus pada satu orang saja. Untuk

naskah drama “Roman”, kata tersebut merujuk pada tokoh utama yang menjadi fokus

dalam drama. Seperti diungkapkan pada paragraf sebelumnya, bagian monolog Roman

mengindikasikan bahwa ia akan menjadi fokus utama dalam drama maka judul tersebut

memang berarti nama tokoh utama.

Masalah mulai muncul ketika satu persatu tokohnya terlibat dalam sebuah

interaksi yang intens. Karakter dari masing-masing tokoh diperlihatkan mulai nampak

melalui gerak-gerik, bahasa tubuh, serta deskripsi penampilan. Seperti dalam naskah

“Te(N)tangga(NG)”, tokoh Risti yang baru saja pindah ke rumah kontrakannya yang

baru, tiba-tiba dikejutkan oleh kehadiran beberapa tokoh lain yang sangat mengganggu

ketenangan. Ia segera ke luar dari kamarnya dan melihat keributan yang terjadi di

lingkungan barunya tersebut. Risti digambarkan begitu terkejut ketika pertama kali

bertemu dengan tetangga-tetangga barunya yang berkepribadian sedikit ‘tak biasa’,

seperti dalam kutipan adegan berikut ini.

Amir: (berteriak marah) Dasar perempuan jalang!!! Kau bisa saja

bertingkah seperti santri di hadapan orang tua dan keluargamu, tapi

tidak di depanku!! Kau aku tidak tahu apa yang akan selama ini

kamu lakukan, berlagak seperti wanita elegan tapi punya otak

kampungan… dasar wanita keparat!!!

Suara teriakan Amir tampak membahana di seluruh gang tersebut hingga

memaksa Risti, seorang mahasiswa yang baru mengontrak di sebuah

kontrakan kecil di gang itu keluar dan mengintip apa yang sebenarnya terjadi.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 99: Universitas Indonesia Library

85

Universitas Indonesia

………………………………………………………………………………

Tami: Taik juga ya lo.. panggil gue Tami.. trus ngomongnya pake gue elo

aja, gak usah saya.. kaya di kantor kelurahan aja pake saya-sayaan

segala…Kuliah apa kerja?

Risti: Kuliah..

Lalu terdengar suara ribut dari kejauhan. Risti pun mendengar dan sempat

memberikan tanda kepada Tami, namun Tami hanya diam saja. Lalu

beberapa saat kemudian datanglah seorang anak muda mengenakan pakaian

toga selayaknya orang yang baru diwisuda.

………………………………………………………………………………

Lalu Tami pun bergegas keluar panggung.

Risti: Kuliah di mana mas Ritus??

Ritus: Gak usah pake mas, gue bukan orang Jawa.. gue kuliah di UNJ

ambil Teknik Industri..

Belum selesai Ritus berbicara sudah ada seorang lelaki yang masuk ke dalam

panggung.

Ferry: Ahh tai nih nyokap.. masa orang mau ngeband aja gak boleh,

anaknya mau jadi musisi malah dilarang-larang.. tai

Risti semakin bingung melihat situasi yang terjadi di gang ini. (2011: 2-6)

Dari kutipan di atas, Risti digambarkan kebingungan menghadapi tetangga

barunya yang bersikap sedikit berbeda. Awalnya, ia dikejutkan dengan suara seorang

bapak memaki-maki, sampai mengancam untuk membunuh, kepada seseorang yang

tidak jelas siapa. Tak lama kemudian, masuklah seorang wanita dewasa yang bekerja

sebagai pekerja seks komersial (PSK). Belum sempat Risti memahami apa yang

sebenarnya terjadi di lingkungan baru tersebut, muncul tokoh anak muda yang baru

diwisuda. Menurut keterangan dari tokoh Tami, pemuda bernama Ritus itu mengalami

gangguan jiwa. Setelah Ritus, muncul pemuda lain yang terobsesi menjadi anak band

tetapi digambarkan bergaya norak. Terjadilah adu mulut antara Ritus dan anak band

yang bernama Ferry sehingga berujung pada perkelahian. Risti yang belum dapat

memahami situasi tersebut, kesulitan untuk memisahkan mereka sampai akhirnya

tokoh Ketua RT datang. Mereka dibubarkan dari tempat tersebut oleh Ketua RT.

Maksud hati Risti ingin mengadukan hal yang dilihatnya kepada Pak Herri, reaksi Pak

Herri justru menambah kebingungan tokoh Risti.

Hal yang lebih mengejutkan dari peristiwa tersebut adalah ketika tokoh Risti

bertemu dengan keempat tetangga barunya tersebut di suatu siang. Mereka berubah

menjadi orang yang sama sekali berbeda. Tokoh bapak, yang bernama Amir, ternyata

adalah seorang agen asuransi. Ia sangat ramah kepada Risti. Perilakunya yang ramah

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 100: Universitas Indonesia Library

86

Universitas Indonesia

cenderung persuasif disebabkan oleh pekerjaannya sebagai seorang penjaja asuransi.

Lalu ada pula tokoh Tami, yang di malam sebelumnya digambarkan sebagai seorang

PSK, kini ia muncul dengan penampilan sebagai seorang wanita karier. Tuturnya

lembut dan sikapnya keibuan, sangat berbeda dari yang dilihatnya tempo hari. Tokoh

Ritus yang disebutkan gila, muncul sebagai seorang aktivis kampus yang memiliki

dedikasi tinggi terhadap reformasi. Muncul pula tokoh Ferri, anak band yang norak,

berubah menjadi seorang pemuda mesjid yang religius. Sifat dan perilaku mereka yang

berbeda di malam dan siang hari membuat tokoh Risti mengalami kepanikan. Pada

malam hari, sifat dan perilaku mereka berasosiasi dengan segala hal yang dianggap

buruk dan salah oleh masyarakat. Sementara itu, pada siang hari, mereka berubah

menjadi orang-orang yang normal dan mengerjakan kebaikan.

Tokoh Risti yang digambarkan masih duduk di bangku kuliah, merasa

terpanggil untuk memecahkan keanehan tersebut. Ia pun mengundang sahabatnya

untuk datang ke lingkungan barunya tersebut sehingga dapat menyaksikan peristiwa

yang luar biasa itu. Tidak ada tokoh lain yang percaya dengan apa yang dibicarakan

tokoh Risti. Selain itu, hanya Risti seorang yang melihat dualisme dalam diri tetangga-

tetangga barunya. Temannya, Dina, bahkan sama sekali tidak menemukan peristiwa

yang dikatakan Risti. Semenjak Dina menginap, keempat tokoh yang berkepribadian

ganda14 tersebut tidak muncul seperti biasanya. Hal ini menimbulkan kekalutan

sekaligus juga tantangan bagi jiwa muda Risti yang masih bergejolak dengan rasa ingin

tahu.

Masih dalam setting yang sama dengan waktu yang berbeda. Suasana malam

kembali terlihat di atas panggung. Tampak Risti bersama temannya Dina

sedang duduk di kamarnya. Mereka tampak membicarakan sesuatu.

Dina: Mana Ris? Udah tiga hari gue di kontrakan lu, kayaknya gak ada

yang aneh…

Risti: Tunggu aja Dina… biasanya keanehan itu terjadi tiap hari, tapi ini

gak tau kenapa sejak lo ada disni kok keanehan itu malah gak

ada… gue juga bingung..

Dina: Jangan ngada-ngada deh lo Ris (…)

14 Gangguan identitasi disosiatif yang timbul karena adanya kejadian pada masa lalu yang

mengakibatkan trauma pada penderita. Penderita gangguan penyakit kejiwaan ini biasanya memiliki

lebih dari satu kepribadian yang memegang kendali atas diri mereka.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 101: Universitas Indonesia Library

87

Universitas Indonesia

Risti: (memohon-mohon) sebentar lagi Din… Sebentar lagi… (melihat

ke arah jam) sebentar lagi seorang pria keluar dari gang itu sambil

marah-marah

Dina: (memotong) setelahnya seorang wanita berlagak seperti pelacur

murahan, lalu anak kulihan dan seterusnya anak metal… ya tapi

mana buktinya Ris? Uda jam berapa sekarang?? Lagian keadaan

kaya begitu kayaknya biasa deh,

…………………………………………………………………………..

Risti: (tertawa) hahaha… ini sebenernya yang aneh gua apa tetangga itu

sih?? Gua masih waras kan? Masih waras kan??? (berteriak)

ahhhh…. Kenapa sih sama gue????!!! (sesekali memukul

kepalanya sendiri) normal… normal…normal…. Normal…

normal…. Ayo dong normal!!! Gue gak sakit!!!! Mereka yang

sakit!!! (menangis) gua normal… gue gak sakit… gue normal…

gak sakit…. (seperti tersadar akan sesuatu) ya… gua mesti cari tau

apa yang terjadi sama tetangga gue itu… gang itu…. Semua orang

yang ada di lingkungan ini… gua harus cari tahu…. (diam

memikirkan sesuatu) besok gue bongkar semuanya, gua mau

buktiin sama dina kalau yang gua ini benar…

Hal yang menarik dari kutipan di atas, selain fakta bahwa keempat tokoh itu

hanya muncul di hadapan Risti, adalah pernyataan Dina tentang penyimpangan

perilaku manusia di dalam masyarakat. Dina seolah-olah menegaskan bahwa

kriminalitas, prostitusi, dan fenomena sosial lain merupakan hal yang biasa terjadi di

dalam sebuah lingkungan tempat tinggal. Tidak ada yang aneh dengan keberadaan

orang-orang tersebut. Hal ini menarik, mengingat perilaku mereka pasti berbeda

dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Perbedaan tersebut biasanya memaksa orang

yang menyimpang dari konvensi nilai sosial yang ada, seperti nilai-nilai yang melarang

adanya tindakan maksiat, untuk berubah atau justru secara langsung mengalami

alienasi dari kelompok sosialnya. Kenyataan yang disebutkan oleh Dina dapat berarti

dua hal, adanya pergeseran nilai sehinggal hal seperti itu menjadi biasa saja atau

lingkungan tempat tinggal masyarakat kelas menengah bawah memang identik dengan

hal seperti itu. Hal yang kedua mungkin terjadi, jika faktor ekonomi telah demikian

buruk menekan masyarakat sehingga mereka dapat melakukan apa saja untuk bertahan

hidup. Namun, perilaku tersebut tidak terbawa dalam kehidupan bertetangga sehingga

dimaklumi saja oleh orang-orang sekitarnya.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 102: Universitas Indonesia Library

88

Universitas Indonesia

Faktor ekonomi yang menentukan kualitas manusia dalam suatu kelas sosial

memang muncul dalam naskah-naskah drama ini. Hal ini disebabkan oleh pemilihan

potret masyarakat menengah ke bawah yang memiliki konsentrasi lebih besar dalam

hal ekonomi. Kesulitan ekonomi tersebut berdampak pula pada minimnya pendidikan

yang didapat. Faktor pendidikan tersebut mempengaruhi pemilihan bahasa, aktivitas,

serta perilaku para tokoh. Hal ini terlihat dalam pemaparan masalah naskah drama

“Lima Pintu” yang mengupas kehidupan bertetangga empat penghuni di kontrakan

tersebut.

Keempat penghuni kontrakan itu adalah keluarga kecil atau beberapa orang

yang secara ekonomi memang terbilang kurang. Penghuni pintu satu adalah suami istri

yang belum memiliki anak. Penghuni pintu dua adalah seorang janda yang telah

memiliki dua anak gadis, yaitu Lela dan Neneng. Penghuni pintu tiga adalah pasangan

suami istri dan bayinya. Penghuni pintu empat adalah tiga orang karyawati yang masih

muda. Selanjutnya, para tokoh ini akan disebut sesuai dengan status mereka dan nomer

kamar yang dihuni, misalnya Istri Pintu Satu.

Masalah di antara mereka mulai tercium ketika tokoh-tokoh ini mulai

mengeluarkan karakter mereka yang khas. Para istri digambarkan senang membangga-

banggakan apa yang tidak dimiliki oleh tetanggganya, seperti Istri Pintu Tiga

(selanjutnya disebut IPT) suka membanggakan anaknya kepada Istri Pintu Satu

(selanjutnya disebut IPS) yang belum memiliki anak. Akan tetapi, mereka akan

menjadi kompak ketika menghadapi suaminya masing-masing yang cuci mata dengan

anak Ibu Pintu Dua (selanjutnya disebut IPD), Lela. Para suami ini ditampilkan sebagai

laki-laki pekerja yang menafkahi keluarga, tetapi sering berada di bawah tekanan istri-

istri mereka yang galak. Para istri juga digambarkan sebagai ibu rumah tangga yang

menunggu suaminya pulang sambil mengurus rumah sehingga jadi bosan dan sering

kali melakukan pekerjaan yang tidak berguna, seperti adu gengsi ke tetangga atau

marah kepada suami. Stereotip-stereotip itu muncul untuk menandakan adanya

masalah dalam relasi gender di dalam rumah tangga Suami Istri Pintu Satu dan Tiga.

Masalah seputar gender tersebut memang tidak secara spesifik disebutkan,

tetapi dapat ditangkap adanya tendensi untuk menyindir perilaku pasangan suami istri

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 103: Universitas Indonesia Library

89

Universitas Indonesia

yang tidak membagi perannya secara adil. Akibatnya, para istri—dalam naskah drama

ini—digambarkan sering merasa kecewa dan melampiaskannya lewat kemarahan.

Tokoh suami yang pusing menerima perlakuan istrinya, berubah menjadi laki-laki mata

keranjang. Namun, yang menarik, tokoh Suami tidak antusias menggoda penghuni

pintu empat—yang berisi karyawati muda—padahal mereka begitu giat menggoda

Lela. Jadi, para suami ini tidak sekadar main mata sembarangan dan asal tembak

perempuan mana saja, tetapi lebih terlihat memberi kekaguman pada Lela. Hanya saja,

melalui interaksi dengan istrinya yang kurang baik, perilaku mereka dianggap

berselingkuh. Padahal jika diperhatikan, ada pula adegan para istri yang terlalu ‘akrab’

dengan tukang sayur sehingga menyebabkan para suami marah.

Kemarahan para istri ini tidak sama dengan yang dialami para suami, yang

langsung memecahkan masalah dan berhenti di titik tersebut. Para istri yang marah

setiap kali suami mereka memperhatikan Lela, akhirnya menjadikan tokoh Lela

kambing hitam dari masalah-masalah lain yang timbul karena hubungan komunikasi

yang buruk. IPD yang berada di tengah mereka pun, mau tak mau mendengar

pembicaraan miring tentang anak gadisnya. Ada kemarahan yang dirasakannya, setiap

kali Lela dijadikan kambing hitam. Namun, tokoh IPD tidak berdaya menghadapi

tetangga-tetangganya. Melihat caranya bertutur dan bersikap, mungkin juga ia tidak

menyerang tetangganya yang menyalahkan Lela karena keengganannya untuk

memperuncing konflik. Lagipula, kemarahan para istri yang menyeret nama Lela,

terkadang dilakukan di dalam rumah sehingga IPD menjaga sikapnya.

Sementara dari pintu satu, suami pintu satu keluar dari kamarnya berbarengan

dengan suami pintu tiga. Yang keluar dari kamar mandi. Tidak lain mereka

berdua memang sengaja ingin melihat wajah dan tubuh Lela.

………………………………………………………………………….

Sementara istri pintu satu sedang berdiri dipintu sambil memegang piring

karena sedang sarapan. Dan istri pintu tiga menggendong bayi.

IPS: mau sarapan nasi uduk, apa sop pinggul baju merah!!

Suami pintu satu (SPS): nasi uduk…

IPS: Emang nasi uduk ada di sono (sambil menunjuk jalan yang dilalui

Lela)

IPS & IPT: Dasar laki-laki!!! Disuruh ambil air malah ngeliatin pantat orang!!!

Masuk ke rumah masing-masing. Tapi tak lama kemudian istri pintu satu dan

Tiga melongok lewat jendela berbarengan karena mendengar teriakan tukang

sayur.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 104: Universitas Indonesia Library

90

Universitas Indonesia

………………………………………………………………………….

IPS: kan disimpan di kulkas. Baru kemaren suami saya ngebeliin kulkas

baru. Dua pintu…

Tukang sayur (TS):oh sudah punya kulkas baru toh…

IPT: Kang! Uang saya seratus ribuan. Ada kembaliannya gak? Gak ada

uang kecil nih. (keluar) tuh liat aja, uangnya seratus ribuan semua,

suami saya baru ngambil uang di atm, kemaren dapet bonus dari

bosnya, kerjaan kelar sebelum waktunya, jadi dia kebagian

keuntungan. Lumayan, dua juta setengah. Yah, kalau buat beli

kulkas yang tiga pintu aja mah kebeli.

TS: Kenapa gak beli aja?

………………………………………………………………………

Saat istri pintu satu dan tiga masuk kerumah masing-masing, keluar suami

pintu satu dan dua. Keduanya sama-sama menatap ke arah tukang sayur.

Tukang sayur yang ditatap oleh kedua suami itu tampak kebingungan.

Koor suami: Aut!

TS: Maksudnya?

Koor suami: Aauuttt!!! (keduanya mengacungkan tangan) (2013: 3-7)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa tokoh para Istri bisa bekerja sama dengan

baik jika mereka berbagi musuh yang sama. Hal yang serupa ditemukan pada diri para

Suami yang terlihat kompak jika berbagi keadaan yang senasib. Para Suami bahkan

mengusir teman laki-laki Lela, yang datang di malam hari, dengan cara yang

tersembunyi. Perkataan mereka ketus sambil sesekali menasehati dengan tendensi

mengusir (lihat 2013: 9-10). Dari pemaparan masalah tersebut, dapat dikatakan bahwa

di balik kedekatan mereka—yang pada bagian awal digambarkan dengan ceria—ada

masalah yang tersimpan rapat. Masalah tersebut dapat meledak jadi besar, jika

pemicunya ditarik. Namun, di balik ketegangan itu, ada tokoh penghuni pintu empat

yang selalu tampil dengan ceria. Selain mencairkan suasana, mereka juga menjadi

pihak netral di antara ketegangan pintu satu, dua, dan tiga. Beberapa kali memang

diperlihatkan ada teguran dan sindiran dari penghuni pintu satu dan tiga kepada mereka

karena seringkali dirasa mengganggu ketenangan hunian. Namun, penghuni empat ini

tidak mengambil pusing teguran tersebut. Dengan santai, mereka mematuhi teguran itu.

Hal ini mungkin muncul karena usia muda mereka yang memiliki gaya hidup dan

pandangan berbeda—melalui tingkah laku—di rumah kontrakan tersebut.

Pemaparan masalah di dalam naskah drama “Roman” pun kurang lebih sama

dengan dua naskah drama yang lain. Drama dibuka dengan suasana kekerabatan antar

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 105: Universitas Indonesia Library

91

Universitas Indonesia

penghuni daerah pinggiran di kota yang hangat. Adanya konflik-konflik kecil menjadi

bahan pembicaraan yang berujung pada masalah utama tokoh Roman. Terlihat di

bagian awal, konflik rumah tangga tokoh Juned dan Ning yang berbicara seputar

keadaan ekonomi keluarga hingga ke masalah kesetiaan Juned. Tokoh Ning yang

digambarkan kesal dengan sikap suaminya yang genit, menumpahkan isi hatinya

kepada Roman. Dari sana timbul pembicaraan yang merembet pula ke masalah rumah

tangga Roman, seperti terlihat dalam kutipan berikut ini.

Bambang: Iya deh, mudah-mudahan saya cepat dapat jodoh lagi. (kepada

Roman) Mbak Atunnya ke mana, Mas?

Ning : Kok nanyain mbak Atun?

Bambang: Enggak! Cuma nanya aja. Biasanya kan ada di warung…

……………………………………………………

Ning: Saya heran sama si Bambang itu…

Roman: Kenapa?

Ning: Dia kan orang baru ngontrak di sini. Tapi, mungkin karena

memang supel, ya. Cepat akrab. Cepat banyak temannya, termasuk

sama mas Roman dan…

Roman: Dan siapa?

Ning: Mbak Atun…

…………………………………………………………

Ning: Sejak si Bambang tinggal disini, istri mas Roman berubah.

Roman: Berubah gimana?

Ning: Sekarang mbak Atun suka berdandan!

Roman: Kamu curiga sama istri saya?

Ning: Bukannya curiga mas…

Roman: Tapi hampir setiap hari semua orang membicarakan istri saya.

Memangnya Atun enggak boleh berdandan?

Ning: (…) Saya dan orang-orang di sini hanya heran melihat perubahan

mbak Atun. (2009: 6-10)

Kutipan di atas menunjukkan bagaimana tokoh Ning dengan mudah

membicarakan orang lain. Ia bahkan membicarakan tokoh Atun kepada Roman, yang

adalah suami Atun, tanpa adanya pemikiran panjang akan baik dan buruknya hal yang

dikatakan. Terlihat dari tutur katanya bahwa ia merefleksikan kondisi rumah tangganya

ke dalam perubahan sikap Atun. Suaminya, Juned, yang genit berulang kali

dibandingkan dengan tokoh Atun. Seolah-olah perubahan Atun tersebut dilakukan

untuk orang lain. Ia juga memberikan penekanan pada perilaku tokoh Bambang, yang

menurutnya memiliki tendensi tertentu kepada tokoh Atun. Padahal sebelumnya, tokoh

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 106: Universitas Indonesia Library

92

Universitas Indonesia

Ning bersikap sangat ramah pada tokoh Bambang. Seolah-olah perkataan dan

tindakannya tidak keluar dari orang yang sama. Roman yang mendengar itu semua,

awalnya, membantah ucapan Ning. Namun, ketika tokoh Ning membanding-

bandingkannya dengan kenyataan rumah tangganya dan Juned, Roman mulai

mencerna perkataan Ning tersebut, “Roman hanya terdiam.” (2009: 10).

Ketika tokoh Atun datang, tokoh Ning langsung menghentikan

pembicaraannya dan menyapa tokoh Ning. Sapaannya sangat manis seolah

pembicaraan sebelumnya tidak pernah ada. Setelah Ning pergi, Atun dan Roman

terlihat membicarakan keadaan ekonomi mereka. Dijelaskan di sana bahwa Atun dan

Roman merantau ke kota untuk mencari nafkah bagi anak mereka di desa. Pembicaraan

tersebut kemudian berubah menjadi canggung ketika Roman tiba-tiba meminta maaf

pada Atun. Namun, hal yang mendorong permintaan maaf tersebut tidak dijelaskan

karena segera disela oleh kedatangan pelanggan Atun. Hal tersebut nampaknya

mempunyai kaitan dengan masa lalu mereka di desa, jauh sebelum menikah.

Dari interaksi Roman dan Atun, terlihat bahwa tokoh Roman memiliki

keengganan yang tidak biasa kepada istrinya. Ia memang digambarkan buta. Oleh

sebab itulah, ketika Atun sering berdandan, tokoh Ning mencurigai perubahan tersebut.

Mungkin karena ia menganggap bahwa perubahan Ning tidak mungkin untuk menarik

perhatian Roman. Selain dari interaksi dengan tokoh Atun, interaksi Roman dan tokoh

lain yang menyangkut masalah Atun pun menimbulkan reaksi yang serupa. Roman

tidak menampakkan banyak perlawanan, jika berurusan dengan istrinya. Ia seolah

menahan diri untuk tidak mencampuri kehidupan yang dipilih oleh Atun, sekali pun ia

sebenarnya berhak pula untuk menasihati Atun. Oleh sebab itulah, tokoh Roman

memilih untuk menyimpan rapat hal yang diucapkan oleh Ning.

Namun, pergunjingan Ning tentang Atun ternyata telah menjadi topik

pembicaraan di daerah tempat tinggal mereka. Tokoh Tarno, pelanggan pijat Roman,

juga mengutarakan hal yang serupa. Hal tersebut memaksa tokoh Roman untuk

berpikir ulang tentang perubahan yang dilakukan oleh istrinya. Tidak diketahui dengan

pasti tendensi orang-orang di sana dalam membicarakan tokoh Ning. Nampaknya,

bergunjing merupakan salah satu kebiasaan yang mereka lakukan untuk mengisi waktu.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 107: Universitas Indonesia Library

93

Universitas Indonesia

Hal ini berkaitan pula dengan faktor ekonomi dan pendidikan yang disebutkan

sebelumnya. Akibat minimnya kedua hal tersebut, pilihan para tokoh dalam

beraktivitas pun menjadi lebih sedikit sehingga banyak hal sia-sia—seperti

membicarakan orang atau duduk di warung—ditemukan sebagai bagian dari kebiasaan

di sana. Namun, bagi tokoh Roman, bahan pergunjingan ini bukanlah hal sederhana.

Ada kemungkinan, hal ini berkaitan dengan masa lalu Roman yang belum terbukakan.

Karakter-karakter para tokoh yang saling bersinggungan memunculkan

masalah yang dibangun untuk menyampaikan gagasan utama dalam drama, tentang

relasi manusia dengan masyarakat. Masih dalam suasana hidup bertetangga yang dekat

satu sama lain, masalah-masalah tersebut semakin meruncing ketika tidak ada

kesadaran untuk menjaga perasaan antarsesama. Masalah bagi Risti—dalam naskah

drama “Te(N)tangga(NG)”—semakin rumit, ketika tokoh Tami menegurnya secara

kasar. Antara Tami yang berperan sebagai wanita karier dan bagian dirinya yang

bekerja sebagai PSK, keluar bersamaan ketika menegur Risti. Ia gusar mengetahui

tokoh Risti mencoba mengetahui identitasnya—serta ketiga tokoh lain—kepada para

penghuni di gang tersebut. Risti tidak berdaya menghadapi reaksi Tami yang tak

terduga ini.

Tami: (…) lo ngomong apaan sama orang-orang kampung??!!

Risti terkejut mendengar ucapan Tami. Dia hanya diam terbujur kaku.

Tami: (menarik baju Risti) Jawab!! Lo ngomong apa sama orang-orang

kampung??

Risti : (…) Memangnya salah gua menceritakan keresahan gua sama

orang-orang disini??

Tami: Salah! Lo gak tau siapa gue!! Lo gak tau kehidupan gue… lagipula

apa urusan lo sama hidup gue? Gua mau jadi apa kek, kerja apa

kek… bukan urusan lo juga kan?? Jadi anak bau kencur gak usah

sok tau deh…

Risti: Emang dasar aneh lo!! Gue berhak buat tau apa yang terjadi di

lingkungan gue… gue juga punya kepentingan…

Tami: Kepentingan lo bilang ??

Risti: Iya kepentingan !! kenapa emang ?? lo baru sadar kalau lo tuh aneh

sama sekeluarga lo ??!! iya ??

Tami diam. (2011: 16)

Nampak tokoh Tami tak dapat berkutik ketika Risti menyampaikan kenyataan

tentang keluarganya. Ternyata Risti telah menemukan satu fakta baru bahwa keempat

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 108: Universitas Indonesia Library

94

Universitas Indonesia

orang yang berperilaku aneh tersebut adalah satu keluarga. Tami yang sebelumnya

keras kepada Risti tak mampu berkata-kata lagi. Terlihat dari kutipan di atas, sikap

Tami dan Risti, sama-sama mendahulukan kepentingan individu. Mereka tidak mau

saling memahami dan hidup berdampingan. Baik Risti yang merasa perlu mengetahui

kehidupan tetangganya, maupun Tami yang menolak sikap Risti yang dianggap

mencampuri masalah pribadinya, membuat keduanya terlibat dalam masalah yang

rumit.

Hal yang sama terjadi pula dalam naskah drama “Lima Pintu”. Tokoh IPD yang

selama ini menahan diri untuk tidak terlibat dalam cekcok tetangganya, tak dapat diam

lagi ketika akhirnya Lela disalahkan atas pertengkaran hebat Suami Istri Pintu Satu.

Padahal sebelumnya, Suami Istri Pintu Tiga baru saja ribut besar ketika anaknya sakit.

IPD nampak iba dan bersedia membantu IPT untuk membawa anak mereka ke klinik,

sementara suaminya pergi dari rumah. Namun, kebaikan hati IPD itu tak

mempengaruhi perilaku istri-istri yang suka menyalahkan Lela atas perilaku suami

mereka. Ketika Suami Istri Pintu Satu bertengkar, IPD mendengar Lela ikut terbawa

dalam masalah mereka bahkan sampai dieksploitasi secara verbal. Hal tersebut nampak

dalam kutipan berikut ini.

IPD: Mas. Mbak, ada apa sebenarnya ini? kok bawa –bawa anak saya.

Apa yang diperbuat anak saya, sampai mas dan mbak ribut

begini? Tolong dijelasin salahnya apa, biar saya peringatin dia

kalau emang dia berbuat kurang sopan disini!

Koor suami istri: Gak, gak ada apa-apa kok…

IPD: Tadi bawa-bawa nama anak saya kenapa? Sampe ngomongin

soal pantat segala! Emang pantatnya si Lela kenapa? Apa emang

gak suka keluarga saya tinggal disini. Mentang-mentang saya

gak punya apa-apa, setiap hari keluarga saya selalu disinggung

terus, anak saya gak pernah ngapa-ngapain disini, pagi kerja,

malam baru pulang, dan langsung tidur. Emang pernah

ngegodain suami Mba? Kalau ngomong jaga dong, jangan

nyingggung perasaan orang.

(Jendela pintu tiga terbuka, suami istri pintu tiga mengintip.)

Masing-masing aja urus keluarga sendiri. Mas juga sebagai

orang yang sudah beristri, jaga tuh mata, jangan ngelayap ke

mana-mana. Supaya istrinya setiap hari gak cemburu sama anak

orang. Selama ini saya diem aja, tiap kali nama anak saya

disebut-sebut terus kalau Mas dan Mbak lagi ribut. Tapi sabar

kan ada batasnya, lama-lama panas juga kuping saya

ngedengerinnya.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 109: Universitas Indonesia Library

95

Universitas Indonesia

…………………………………………………..

Suami pintu satu (SPS): jangan saya terus dong yang disalahin!

IPS: Emang gitu kan Kang?!

SPS: Kamu juga begitu kalau ada tukang sayur!

IPD: Kalau dua-duanya gak mau disalahin, terus mau nyalahin siapa?

Si Lela, lagi?! Anak saya lagi yang dijadiin kambing hitam?

Enak saja! Mas sama Mbak introspeksi dong, lihat diri sendiri

beneran ga selama ini? (2013: 18—19)

Masalah di rumah kontrakan semakin runcing, manakala, IPD akhirnya

menyuarakan kekesalannya. Di awal kutipan, terlihat IPD masih berusaha menghadapi

pasangan suami istri ini secara baik-baik. Ia berusaha menyabarkan diri ketika

menyampaikan kekesalannya atas sikap tetanggannya tersebut. Namun, masalah tidak

kunjung selesai karena pasangan suami istri ini masih berkutat dengan urusan rumah

tangganya sendiri dan kehadiran IPD menambah buruk masalah mereka. Namun, dari

pihak suami istri ini tidak ada bentuk permintaan maaf kepada IPD. Padahal, IPD telah

menyampaikan maksud dan keresahannya selama ini kepada tetangganya tersebut.

Terlihat pula pasangan Suami Istri Pintu Tiga yang mencuri dengar pertengkaran

tersebut dari kamar mereka. Namun, mereka tidak keluar dan berusaha melakukan

sesuatu. Mereka hanya menjadi pendengar dari dalam kamar.

Perkataan IPD yang secara langsung menyoroti kesalahan Suami dan Istri—

secara personal—Pintu Satu, membuat mereka berbalik marah pada IPD. Namun,

segera IPD mengeluarkan jurus pamungkas dengan membawa perasaannya sebagai

orang tua. Dari sanalah terlihat bahwa pasangan ini membutuhkan kehadiran seorang

anak untuk mempererat rumah tangga mereka. Pasangan Suami Istri yang tadinya

nyaris bercerai , diselamatkan oleh perkataan IPD tentang kehadiran seorang anak.

Mereka jadi kembali membuka diri satu sama lain sehingga hubungan komunikasi

menjadi lancar. Namun, bagi IPD, masalahnya terkait Lela, belum juga ditanggapi

dengan baik oleh tetangganya. Tidak ada kata maaf atau terima kasih atas perbuatan

IPD kepada mereka. IPD hanya dapat menerima dengan sabar situasi tersebut.

Suasana di kontrakan tersebut, yang sebelumnya panas akibat pertengkaran

pasangan suami istri ini, berubah menjadi ceria kembali dengan berkumandangnya lagu

dangut “Mandul”. Lagu tersebut seolah dikumandangkan untuk menanggapi keadaan

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 110: Universitas Indonesia Library

96

Universitas Indonesia

pasangan suami istri yang tadi beradu mulut. Walaupun demikian, masalah di antara

penghuni rumah kontrakan tersebut—secara umum—belum dapat dikatakan selesai.

Hubungan di antara para penghuni berubah menjadi dingin, terutama sejak IPD

menyuarakan kekesalannya.

Dalam naskah drama “Roman”, perumitan masalah diperlihatkan melalui reaksi

Roman atas pergunjingan tetangganya tentang perubahan Atun. Ia akhirnya membuka

rahasia kelam yang menyelimuti rumah tangganya pada Tarno. Tarno berhasil

membuat Roman bicara setelah ia bercerita pula tentang keresahannya atas istrinya

yang tinggal jauh.

Roman: Saya takut istri saya tersinggung.

Tarno: Kok takut?

Roman: Dia sudah banyak berkorban.

Tarno: Maksud, Mas?

Roman: Kami berasal dari satu kampung yang sama. Orang tuanya

penggarap sawah milik orang tua saya. Saat puting beliung

datang, semuanya hancur, termasuk rumah orang tuanya Atun.

Sambil menunggu diperbaiki, mereka tinggal di rumah saya.

Tarno: Berarti dari kecil sudah kenal sama Mba Atun?

Roman: Iya. Atun sangat perhatian, bahkan setelah dia kembali ke

rumahnya. Saya merasa senang setiap kali dia datang. Kami

berteman sampai dewasa. Jujur, saya sangat menyukainya. Dan

itu tersimpan rapat.

Tarno: Kenapa?

Roman: Siapa mau berjodoh dengan orang buta? (2009: 16)

Dari kutipan di atas, diketahui bahwa tokoh Roman menyimpan kerendahan

diri yang luar biasa atas kekurangannya. Ia bahkan merasa tidak pantas menjadi suami

Atun. Rasa sukanya pada Atun terbalas ketika orangtuanya dan orangtua Atun

menjodohkan mereka berdua. Namun, selama ini, Roman tetap merasa tidak percaya

diri, jika berhadapan dengan Atun. Itulah sebabnya, ia selalu menyangkal segala hal

yang dibicarakan orang tentang istrinya. Lagipula, menurut Roman, mereka telah

berkeluarga cukup lama dan dikaruniai buah cinta. Hal itu cukup bagi Roman.

Sayangnya, pembicaraan antara Tarno dan Roman, telah membuat kecurigaan

Roman menjadi tidak masuk akal. Ia tidak lagi berpikir sehat. Rasa rendah diri dan

takut kehilangan istrinya membuat ia menaruh curiga pada tokoh Bambang. Hal itulah

yang membuat perilaku Roman kepada Atun berubah. Padahal tokoh Atun disebutkan

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 111: Universitas Indonesia Library

97

Universitas Indonesia

tidak tahu apa-apa. Ia baru saja pulang dari mencari rezeki bagi keluarganya. Tiba-tiba

Roman menuduh Bambang—yang kebetulan mampir—dan istrinya berbuat serong.

Hal tersebut memang tidak langsung diucapkan Roman di hadapan Bambang. Namun,

dari lakuannya, diketahui Roman menolak kehadiran Bambang di rumah itu.

Bambang: Ada apa Mas? Apa salah saya?

Atun: Kenapa mas Roman tiba-tiba saja berubah seperti ini? Mas

Bambang salah apa? Selama ini dia baik. Sering membantu kita.

…………………………………………………………………………

Atun: Mas benar-benar keterlaluan. Ada apa, Mas?

Roman hanya diam.

Atun: Berubah? Apa yang berubah? Apa karena saya adalah istri Mas

Roman, lantas saya tidak boleh berdandan? Sejak saya

memutuskan untuk menikah. Saya menganggap sudah menjadi

takdir yang harus saya jalani.

Roman: Jadi kamu menyesal?

Atun: Kenapa baru sekarang Mas bertanya? Kenapa tidak pada saat kita

akan menikah. Padahal Mas tahu saat itu saya sudah punya pacar.

Bahkan saya selalu bercerita setiap saya habis bertemu dengan

orang yang saya cintai. Tapi kebahagiaan itu hilang karena orang

tua saya meminta agar saya menikah dengan orang yang tidak saya

cintai. Pada awalnya saya menolak, tidak mungkin saya menikah

dengan Mas Roman. Tapi karena ingin berbakti kepada orang tua

saya yang telah banyak menerima kebaikan dari orang tua Mas

Roman saya pun menerima permintaan mereka untuk menikah

dengan orang yang sudah saya anggap sebagai kakak dan sahabat.

Roman: Kamu juga tidak pernah bisa mencintai saya?

Atun: Mas tidak akan pernah mengerti bagaimana perasaaan saya. (2009:

20-22)

Selama ini tokoh Roman digambarkan menyimpan rasa tidak percaya dirinya

sendiri. Pada kutipan di atas, ia akhirnya berani menyatakan perasaan tersebut kepada

Atun. Namun, reaksi Atun membuat Roman menjadi semakin rendah diri. Ia merasa

bersalah telah membuat Atun meninggalkan hidupnya untuk menjadi istrinya.

Perkataan Roman ini keluar karena dipicu oleh rasa cemburu yang tidak beralasan. Ia

bahkan tidak tahu jenis hubungan antara istrinya dan Bambang. Hal yang ia bayangkan

atas hubungan Atun dan Bambang adalah hasil kumpulan pergunjingan tetangganya

yang tidak tahu-menahu kehidupan Roman. Untungnya, pertengkaran Roman dan Atun

dihentikan sejenak oleh panggilan dari Pak Haji. Roman pergi dengan rasa gusar dan

gelisah, sementara Atun, ia dibayangi-bayangi tuduhan Roman tentang Bambang.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 112: Universitas Indonesia Library

98

Universitas Indonesia

Atun dan Bambang sebenarnya tidak memiliki hubungan seperti yang

dituduhkan Roman. Memang, dari percakapan selanjutnya, Bambang diketahui sebagai

kekasih masa lalu Atun. Namun, dari percakapan mereka, jelas dikatakan bahwa

hubungan mereka selama ini hanya sebatas masa lalu, “Lalu Bambang mengungkapkan

perasaannya yang selama ini dia pendam” (2009: 24). Kutipan tersebut menekankan

bahwa, sebelum hari itu, Bambang tak pernah bicara kepada Atun tentang masa lalu

mereka dan perasaannya. Bagian ini juga membuktikan bahwa kabar yang didengar

dari para tetangga, tentang Atun dan Bambang, hanyalah isapan jempol belaka. Namun,

karena perkataan Roman, celah bagi Bambang untuk masuk dalam hidup Atun, terbuka

kembali. Di sanalah Bambang memanfaatkannya untuk menghadirkan kembali suasana

romantis dari kisah masa lalu mereka. Atun yang tengah mengalami kekecewaan—

ditambah lagi sebelumnya, kehidupan mereka bertambah sulit—merasa disegarkan

dengan perlakuan Bambang. Apalagi Bambang memberinya sebuah hadiah. Di tengah

kesulitan dan pergolakan masalah rumah tangganya, Atun jadi berpikir dua kali tentang

keputusannya untuk hidup dengan Roman.

Pada bagian tersebut, intervensi tetangga Roman mulai berdampak pada

kehidupan rumah tangga Atun dan Roman. Tanpa mereka ketahui, perkataan mereka

telah mendorong keluar sisi kelam diri Roman. Sisi kelam dari diri Roman telah

menghancurkan keikhlasan tokoh Atun untuk menerima perjodohannya dengan

Roman. Kini, masalah tersebut menjadi sangat rumit. Alur yang bergerak cepat dan

kata-kata penuh emosi antara Roman, Bambang, dan Atun membuat drama ini terasa

semakin gawat.

Intervensi dari bagian luar masalah telah mempengaruhi keadaan personal para

tokoh. Masalah yang semakin rumit tersebut mencapai titik balik ketika tokoh utama

diperlihatkan bergumul dengan pemikiran dan perasaannya. Dalam naskah

“Te(N)tangga(NG)”, konflik yang dialami Risti setelah Tami datang menegurnya

berubah menjadi panjang saat diketahui bahwa tetangganya tersebut mengalami

masalah dualisme identitas. Perilaku Risti telah mendorong perpecahan di dalam

keluarga tersebut. Ternyata mereka adalah sekumpulan orang yang kesulitan untuk

menentukan sikap dan identitasnya secara konsisten. Bahkan dalam suatu bagian,

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 113: Universitas Indonesia Library

99

Universitas Indonesia

mereka digambarkan megnalami kerusakan hubungan komunikasi sebagai sebuah

keluarga.

Tami: (menghampiri Risti dan hendak memukulnya) ahhhh… lo masih

baru disini, banyak yang gak lo tau tentang gue, anak-anak gue dan

suami gue sekalipun!!!

Amir: (berteriak) Tami…biarkan dia bicara apa yang diinginkan… itu

haknya…

Tami: Hak Mas bilang?? Hak?? Lalu bagaimana dengan hak saya??

(menangis) hak saya sebagai seorang istri yang tidak pernah

diperlakukan selayaknya seorang istri pada umumnya Mas??

…………………………………………………………………………

Ferry: (menghampiri Ibu Tami) lho ibu Tami kenapa?? Jangan nangis

Bu… kalau ibu nangis saya bisa ikut nangis…nyebut Bu..

nyebut… pasti gara-gara tetangga yang baru itu!! (menghampiri

Risti) Eh anjing!! Lo apain ibu Tami sampe nangis kaya begitu??

Amir: (menahan tangis) bukan salahnya… saya yang salah. Saya yang

buat bu Tami menangis… maafkan saya… saya yang buat ibu

kalian menangis… saya!! Jangan kalian mencari kambing hitam

atas apa yang terjadi sama ibu kalian, sama keluarga kalian… saya

yang salah!!

Ritus: Pak Amir???!!! Jangan menangis…

Amir: (marah) berhenti memanggilku dengan sebutan Pak Amir!!

Panggil aku ayah!!! Aku ayah kalian, hentikan kepura-puraan

kalian selama ini… sudah cukup!! (berteriak) cukup… tidak ada

lagi rasa tidak peduli diantara anggota keluarga ini…

…………………………………………….

Risti: (merasa semakin bingung) sebenarnya apa sih yang terjadi sama

keluarga kalian ini?? Apa?? Kalian satu keluarga… terkadang

terlihat seperti keluarga yang harmonis, keluarga yang bahagia,..

tapi sering terlihat seperti bukan sebuah keluarga yang utuh..

Amir: Kami nyaman dengan keadaan yang kami jalani… kami senang

berada di posisi seperti ini… jadi apa salahnya kalau kami

menjalani apa yang kami senangi selama kami masih bisa

berbahagia… kami tetap tersenyum… (2011: 17-19)

Dari kutipan di atas, terlihat bahwa intervensi Risti telah membawa keluarga

tersebut pada keadaan yang tidak pernah berani mereka hadapi. Mereka dihadapkan

pada kenyataan bahwa mereka terikat hubungan darah. Sebagai sebuah keluarga,

mereka telah gagal mengelola hubungan intim itu. Hal ini disebabkan karena secara

individu pun, mereka mengalami gangguan kejiwaan. Fungsi mereka dalam

masyarakat berubah mengikuti tuntutan yang diinginkan oleh masyarakat. Tidak

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 114: Universitas Indonesia Library

100

Universitas Indonesia

dijelaskan, karakter mana yang sebenarnya merupakan karakter asli mereka. Namun,

karena adanya tuntutan dari masyarakat, identitas mereka pun selalu berubah-ubah.

Puncak dari masalah tersebut adalah kepergian Ferry dari tempat itu. Di antara

semua tokoh, ia yang diperlihatkan mengalami kepanikan paling besar. Nampaknya, ia

belum dapat menerima kenyataan tersebut. Selain itu, terlihat dari sikap dan perkataan

tokoh Ferry bahwa ia memendam kekecewaan kepada anggota keluarganya yang lain.

Suasana yang sebelumnya tegang karena pertikaian antara tokoh Tami dan Risti,

berubah menjadi emosional. Kesedihan yang ditampakan oleh para tokoh bukanlah

kesedihan yang sama seperti ketika seseorang ditinggal mati keluarganya atau bentuk

kesedihan lain. Rasa sedih yang hadir di sini lebih mengarah pada rasa iba. Tokoh-

tokoh ini terlihat kebingungan untuk menanggapi situasi yang terjadi. Secara tidak

langsung, perilaku mereka seolah meneriakkan permohonan kepada siapa saja yang

dapat membantu mereka. Tokoh Risti yang awalnya terlihat seperti korban, sekarang

justru berbalik menjadi jahat karena perbuatannya pada keluarga tokoh Amir.

Dalam naskah drama “Lima Pintu”, titik balik masalah terjadi ketika tokoh Lela

duduk sendiri dan mencoba mencerna semua masalah yang dihadapinya di rumah

kontrakan tersebut. Sebelumnya, sikap dan perilaku tokoh Lela hanya dibahas melalui

percakapan tokoh lain. Kini, ia diperlihatkan menanggung semua beban itu seorang

diri. Ibunya, IPD, baru saja mengeluhkan rasa tidak nyamannya untuk tetap tinggal di

rumah kontrakan tersebut. Tokoh Lela pun baru saja ditinggal pergi teman laki-lakinya

yang tidak berani main ke rumah kontrakan tersebut akibat perlakuan para suami.

Digambarkan dalam situasi tersebut, masalah yang timbul dari kehidupan bertetangga

telah membuat kehidupan Lela—khususnya—menjadi sulit. Hal tersebut diwujudkan

melalui adegan berikut ini.

Lela: kenapa Lela terus sih Mak yang jadi sasaran. Apa salah Lela?

Makanya Lela udah gak betah tinggal disini Mak, pengen cepet-

cepet pindah aja dari tempat ini. Lela sakit, Mak ngedengernya.

Padahal Lela gak pernah macem-macem di depan mereka…

Ibu Pintu Dua: sabar aja, kalau uda waktunya, dan uang kita cukup buat pindah

ke tempat lain.

Lela: belum lagi Lela sebel ngeliat tukang sayur itu, setiap hari matanya

nyeremin kalau ngeliat Lela. Diem, tapi matanya nyorot terus…

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 115: Universitas Indonesia Library

101

Universitas Indonesia

Lela takut Mak. Dia dulu pernah ngomong suka sama Lela, tapi

Lela tolak.

…………………………………………………………………………..

Ibu Pintu Dua: gimana lagi yah Lela, emak juga jadi bingung… mau pindah

belum cukup duitnya, uang yang kemaren dari kamu itu, untuk

bayaran si Eneng… sabar aja ya. Kita ngumpulin dikit-dikit. Ayu

kita masuk, uda malam sekali…

Lela: Emak tidur aja dulu. Lela mau ngadem.. Lagian belum ngantuk…

tadi sempet tidur di kerjaan.

Lela sangat menikmati musik yang didengarkannya lewat hp. Tanpa sadar

sosok bayangan mengintip dibalik tembok pintu kelima. Sosok dengan kain

sarung yang menutupi separuh tubuhnya, hanya sebaris mata yang tampak

terlihat. Malam semakin cepat memburu gejolak sosok dengan kain sarung.

Yang terus mengawasi Lela yang tak sadar dirinya sedang diperhatikan. Lela

mulai tampak mengantuk, ia mematikan ponselnya, dan beranjak ke kamar

mandi. Suara air terdengar memecah sunyi. Sosok dengan kain

sarung mengendap-endap dan mengintip di celah kamar mandi, saat Lela

keluar dari kamar mandi,sosok itu kembali bersembunyi. Dan tepat pada saat

Lela hendak melangkah menuju rumahnya, sosok itu langsung membekap

Lela. Lela gelagapan dan berusaha berontak, tapi bekapan sosok bersarung

itu semakin kuat, hingga Lela tidak berdaya, dan langsung diseret ke pintu

kelima. Pintu kelima tertutup dan rapat kembali.Sempat terdengar suara

benda terjatuh, dan membangunkan penghuni pintu ketiga. (2013: 24)

Dari kutipan di atas, ketegangan dihasilkan ketika tokoh Lela yang kalut tiba-

tiba disekap oleh seorang asing. Karena sibuk dengan isi kepalanya sendiri, Lela tidak

sadar bahwa ada orang yang mengawasinya. Dengan cepat, orang tersebut menarik

Lela. Sayang, usaha Lela untuk memberontak sia-sia. Nampaknya, orang ini telah

mengenal Lela sebelumnya sehingga ia telah memperhitungkan reaksi Lela. Terlihat

pula bahwa orang tersebut mengenal lingkungan rumah konrakan. Ia tahu bahwa pintu

kelima tidak berpenghuni. Kutipan di atas sebenarnya menunjukkan pula bahwa bunyi-

bunyian bising dari dapur (pintu kelima) sempat membangunkan penghuni pintu

ketiga. Namun, mereka memutuskan untuk melanjutkan tidur. Ketidakpedulian

terhadap lingkungan ini berakibat fatal.

Proses penyekapan Lela ini tidak hanya menimbulkan ketegangan, tetapi juga

praduga tentang pelaku. Selain itu, timbul rasa benci pada pelaku karena tokoh Lela

digambarkan sebagai orang yang baik, lurus, dan ramah kepada siapa saja. Simpati

yang sebelumnya terbangun dari masalah Lela dan ibunya pun membuat rasa dalam

adegan ini menjadi lebih kompleks. Tidak hanya takut, marah, benci, ingin tahu, dan

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 116: Universitas Indonesia Library

102

Universitas Indonesia

tegang, tetapi juga ada kesadaran akan ketidakadilan yang seringkali disebabkan oleh

perbuatan sesama. Klimaks yang terjadi dalam waktu yang cukup singkat ini hadir

seperti pukulan keras di antara suasana yang sebelumnya haru dan melankolis. Adegan

ini dapat dikatakan tak terduga sama sekali.

Dalam naskah drama “Roman”, masalah antara Roman, Atun, dan Bambang

memuncak ketika Roman kembali dan tidak mendapati istrinya di rumah. Mengingat

kejadian terakhir sebelum ia pergi, Atun bimbang dengan ungkapan rasa cinta dari

Roman. Belum lagi tuduhan Roman terhadap Bambang yang diluruskan, membuat

Roman panik ketika tidak menemukan istrinya di rumah. Dengan perasaan yang

bercampur aduk, Roman mencari Atun.

Tarno: Kabur kali Mas

Roman: Kamu jangan becanda, No.

Tarno: Lagi pergi, Mas. Bilangnya sih, cuma sebentar.

Roman semakin gelisah dan semakin gelisah. Lalu Roman berjalan ke arah

Atun pergi. (…) Sambil memanggil-manggil Juned dan Tarno. Roman keluar

dengan membawa sebuah kaos.

Juned: Ada apa, Mas?

Tarno: Iya, Mas. Ada apa?

Roman: Si Atun…

Juned: Kenapa si Atun?

Roman: Si Atun… si Atun…

Narti: Mbak Atunnya kenapa, Mas?

Roman: Atun… Atun…

Ning: Iya, kenapa sama Mbak Atun?

Roman: Si Atun selingkuh sama Bambang!!!!

Berempat: Yang benar?!!

Roman: Benar! Saya sendiri yang ngegrebek di tempat si Bambang. Ini

buktinya!! Ini kaos Bambang yang saya tarik waktu dia mau lari

dan menabrak saya.

Juned: Ikut saya NO!

Tarno: Kita enggak nyalahin. Tapi kalau cuma dengar dari Mas Roman,

kita juga bingung

…………………………………………………………………………..

Roman: Mata saya memang buta. Tapi telinga dan perasaaan saya, tidak!

Dari mendengar suaranya, saya tahu orang itu lagi ngapain…

Tarno: Saya percaya. Tapi itu saja enggak cukup.

Ning: Betul Mas

Juned: Apalagi sekarang orangnya uda kabur.

Roman: Tapi kaosnya Bambang bisa jadi bukti. Kalau mereka enggak

berbuat laknat, kenapa harus lari? Kenapa musti kabur? Takut

sama saya? Enggak mungkin! Sudah. Sekarang. Anterin saya!

(2009: 28-37)

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 117: Universitas Indonesia Library

103

Universitas Indonesia

Dalam kutipan tersebut, ditemukan Roman yang terserang kepanikan ketika

mendapati istrinya berada di rumah Bambang. Ia kembali membawa baju Bambang

yang tidak sengaja terobek. Sambil menunggu Roman, para tetangga yang sebelumnya

mempersuasi kecurigaan Roman terhadap Atun, tengah sibuk membicarakan masalah

keluarga Roman. Mereka dengan santai membandingkan masalah Roman dengan

kehidupan sendiri, seolah-olah mereka lebih baik daripada Roman. Ketika Roman

mengadukan temuannya tersebut, para tetangga laki-laki segera pergi mencari

Bambang. Roman yang kalut ditemani oleh Marni dan Ning. Sebentar kemudian, Tarno

dan Juned kembali dengan tangan kosong. Tidak hanya itu, mereka juga jadi

meragukan soal perselingkuhan Atun dan Bambang.

Keraguan mereka disebabkan oleh ketidakmampuan Roman melihat. Mereka

yang tadinya membicarakan tingkah Atun, kini berbalik menuduh bahwa Romanlah

yang salah. Konflik dalam diri Roman yang sudah memuncak akibat perlakuan istri

dan pergunjingan tetangganya, meledak. Ia tak dapat lagi menahan rasa rendah dirinya

akibat kebutaannya tersebut sehingga secara membabi buta menyerang para tetangga

dengan perkatannya. Namun, di bagian tersebut, para tetangga diperlihatkan tetap

meragukan Roman.

Dilihat kembali dari pemaparan masalah, para tetangga ini sebenarnya yang

memicu sisi kelam dalam diri Roman muncul. Mereka dengan santainya membicarakan

kecurigaan terhadap perubahan Atun di depan Roman. Roman yang tidak dapat melihat

itu, mengandalkan kemampuannya mendengar untuk mencoba mereka-reka peristiwa

yang sebenarnya.

Dalam diri tokoh Roman, telah tertanam suatu sikap yang selalu memojokkan

diri sendiri ketika masalah datang ke dalam rumah tangganya. Anggapan para tetangga

tersebut membuat Roman menjadi lebih rendah diri sehingga ketika berhadapan

dengan Atun, Roman tak mampu menguasai dirinya. Ia keluar menjadi pribadi yang

sama sekali berbeda dari yang di awal digambarkan. Perilaku tetangganya yang

sebelumnya mendorong Roman untuk curiga terhadap istrinya, tidak

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 118: Universitas Indonesia Library

104

Universitas Indonesia

dipertanggungjawabkan sampai akhir. Mereka dengan mudah melupakan pergunjingan

yang menjadi sebab dari segala masalah tersebut.

Dalam kutipan tersebut, tidak dijelaskan secara nyata tentang peristiwa di

rumah Bambang. Diketahui dari perkataan Roman bahwa telah terjadi sesuatu. Namun,

memang sulit mempercayai hal yang dikatakannya, setelah melihat reaksi Roman yang

tidak rasional menanggapi pergunjingan tetangganya. Walaupun Roman berulang kali

mengatakan tentang kemampuannya untuk melihat melebihi kemampuan mata

manusia biasa, mereka tetapi sulit mempercayai kata-kata Roman. Oleh sebab itu,

ketika Roman meminta diantar ke kantor polisi untuk melaporkan hal tersebut, mereka

membujuk Roman untuk mengurungkan niatnya. Namun, bagi Roman, semuanya telah

meledak dan hancur berantakan. Ada sedikit penyesalan yang timbul dari lakuannya.

Roman tidak punya pillihan selain berusaha untuk menemukan kembali istrinya.

Bagian terakhir dari rangkaian peristiwa dalam ketiga drama ini adalah ketika

masalah mulai terlerai dan menemukan penyelesaiannya. Seperti yang diungkapkan

pada bagian awal, setelah masalah datang dari luar dan memuncak di dalam diri tiap

tokoh, masalah terlerai ketika memantul ke dalam kehidupan bermasyarakat (lapisan

luar, lihat bagan 2). Pada bagian ini, alur perlahan turun untuk menandakan pergantian

suasana dan masalah yang mengalir menuju ke titik penyelesaian.

Ditemukan beberapa cara dari ketiga naskah drama ini untuk menguraikan

bagian peleraian dan penyelesaian masalah. Naskah “Lima Pintu” dan “Roman”

menunjukkan situasi pascaklimaks dengan menggambarkan keadaan tokoh yang

mengenaskan. Penyelesaian masalah tidak secara jelas terfokus pada tokoh utama,

tetapi lebih mengacu pada masalah yang dihadapi secara umum di antara para

penghuni/tetangga. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.

“Roman”

Ning: Jangan diingat-ingat terus atuh, Mas!

Roman: Kasihan mereka…

Ning: Iya Mas saya ngerti.

Roman: Saya harus bilang apa sama mereka?

Ning: Nggak tahu juga, ya. Mungkin ini ujian buat Mas Roman..

Roman: Tapi ini terlalu berat

Ning: Saya, Mas. Saya ke pasar dulu ya…

(Ning pergi. Roman hanya diam dan kembali sesenggukan.)

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 119: Universitas Indonesia Library

105

Universitas Indonesia

Roman: Tun…Atun…

(2009: 37—38)

“Lima Pintu”

IPD: Yah Tuhan, Lela!!! Tolong… tolong… ada pembunuhan…

Para penghuni pintu kontrakan semuanya terbangun, mereka mneuju ke arah

suara teriakan tadi. Rupanya telah terjadi pembunuhan terhadap lela anak ibu

pintu dua. Orang-orang makin ramai ke tempat terjadinya pembunuhan

tersebut. Ibu pintu dua dan adiknya lela menangis histeris. Tubuh lela dibawa

keluar., dibaringkan di teras rumahnya. Ibu lela memangku anaknya yang

sudah terbujur tak berdaya.

IPD: Ya Tuhan, siapa yang melakukan ini, tega-teganya membunuh

anak saya. Lela, salah apa kamu nak? Sampai teganya orang

melakukann ini. (2012: 25—26)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa masalah terlerai dengan ditemukannya

mayat Lela dan tokoh Roman yang ditinggal pergi istrinya. Bagi tokoh IPD dan Roman

sendiri, masalah memang tidak begitu saja selesai. Mereka masuk lagi ke dalam

masalah yang baru. Namun, jika diperhatikan, masalah utama dalam kehidupan

bersosial di dalam kedua naskah tersebut disebabkan oleh adanya tokoh Lela dan Atun.

Terlepas dari benar atau tidaknya mereka melakukan apa yang dituduhkan, keberadaan

mereka telah memicu timbulnya pergunjingan, masalah rumah, dan keharmonisan

hidup bertetangga. Setidaknya, dengan kematian Lela, tidak akan ada lagi pertengkaran

suami istri di rumah kontrakan tersebut. Tak ada pula beban untuk mendengarkan

anaknya menjadi kambing hitam di konflik rumah tangga orang lain. Bagi tetangga

Roman, dengan tidak adanya Atun, Ning dan Tarno tidak perlu merasa iri dengan

keharmonisan rumah tangga Roman sehingga mereka tak akan bergunjing lagi tentang

Atun.

Sebenarnya, melihat peleraian dan penyelesaian dari sudut pandang tersebut

terasa kejam. Namun, rasa itu mungkin yang ingin ditunjukkan melalui cerita dalam

kedua naskah drama ini. Semua orang selalu memiliki sudut pandang yang meletakkan

kepentingan pribadi di atas kepentingan bersama, walaupun akan menyebabkan

kericuhan. Ketika tokoh Ning dan Tarno mulai bergunjing, mereka tidak memikirkan

efek samping gunjingannya bagi tokoh Roman. Mereka membicarakannya seperti

membicarakan hal remeh-temeh, padahal dalam diri Roman ada rahasia yang kelam.

Keinginan mereka untuk membicarakan tentang Atun pun berangkat dari rasa tidak

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 120: Universitas Indonesia Library

106

Universitas Indonesia

puas mereka terhadap kehidupan rumah tangga masing-masing. Ning, yang memiliki

suami genit, awalnya membuka pembicaraan tentang Atun karena merasa bahwa Atun

beruntung memiliki Roman yang berkelakuan lurus. Dari sana, ia memperluas

pembicaraan menjadi masalah kepercayaan, yang sebenarnya hanyalah pantulan

masalah dalam rumah tangganya. Begitu pula dengan Tarno yang memiliki istri bekerja

di lain kota. Peringatannya tentang kemungkinan istri berselingkuh, datang dari

kebutuhan dirinya untuk meyakinkan bahwa istrinya setia. Jadi, kedua tokoh ini, tidak

benar-benar peduli pada perubahan Atun. Mereka hanya melihat refleksi masalahnya

yang diasosiasikan dengan sikap Atun.

Dalam drama “Lima Pintu”, pelaku pembunuhann Lela adalah tukang sayur.

Terungkapnya pelaku pembunuhan ini menandakan bahwa dalam kehidupan

bertetangga, tidak ada lagi orang yang benar-benar dapat dipercaya. Jika seseorang

tidak mampu memisahkan kepentingan pribadi dengan kepentingan bersama maka

yang timbul adalah konflik seperti yang ditemukan dalam rumah kontrakan ini. Dengan

kematian, nama baik Lela pun ikut menjadi bersih kembali. Para tetangganya akan

melihatnya sebagai korban dan berhenti menyalahkan Lela atas masalah yang terjadi

dalam rumah tangga mereka.

SPS : (membaca surat) (…) tiba-tiba saja saya terpikir untuk

melakukannya. Apa yang saya lakukan mungkin karena perasaaan

saya yang sakit hati, karena Lela telah menolak cinta saya, dan

dengan mata kepala saya sendiri saya melihat dirinya bersama

seorang lelaki. (…) meskipun saya setiap hari selalu digoda oleh

dua orang wanita yang keduanya sudah bersuami. Tetapi cinta saya

hanya untuk Lela!! Mas Juki dan Mas Jono, sampaikan salam saya

pada mereka. (…) saya sudah cukup mendapatkan kesucian Lela

meskipun tidak dengan rasa cinta darinya, dan saya merenggutnya

dengan paksaan. Saya minta maaf kepada semuanya!

Koor suami: Tukang sayur!!! Bangsaat!!!!!

Tangis keluarga Lela pecah, amarah para warga memuncak. Suami pintu dan

tiga keluar, bersama beberapa orang. Tangis tak berhenti. Caci maki Ibu Pintu

Dua pun terus terdengar. (2012: 26)

Peleraian dan penyelesaian masalah yang ditemukan dalam naskah drama

“Te(N)tangga(NG)” lebih berfokus kepada tokoh Risti. Tokoh Risti di sini merupakan

saksi atas masalah yang muncul dalam kehidupan bersosial, seperti yang dialami tokoh

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 121: Universitas Indonesia Library

107

Universitas Indonesia

Amir, Tami, Ferry, dan Ritus. Memang, ada pula masalah yang melibatkan tokoh Risti

di dalamnya, tetapi keempat tokoh tersebut adalah contoh bagaimana manusia

melakukan adaptasi untuk bertahan hidup. Tema adaptasi inilah yang hendak

disampaikan dalam bagian terakhir drama. Seperti yang tertulis pada tagline judul

drama, “…Kalauenggaksuka, enggakusahdiikutin, tinggalinaja..gampangkan..” (lihat

halaman sampul naskah drama), dualisme identitas keempat tokoh ini harus dapat

diterima oleh Risti. Apabila Risti merasa tidak dapat menerimanya maka ia tidak perlu

berusaha mengubahnya, walaupun mungkin pendapat Ristilah yang benar. Hal tersebut

diwujudkan dalam bagian yang dikutip berikut ini.

Risti: Mana nih Ferry? Harusnya dia uda nongol,,,

Amir: (dingin) Ferry sudah pergi…

Risti: Pergi? Maksudnya?? Tapi siklusnya kan…

Amir: Dia sudah pergi dari rumah… dia marah… dia lupa sama

ayahnya…ibunya bahkan kakaknya…

Risti: Dia pergi kemana?

Amir: Entahlah…

Risti: (tertawa) hahaha… ini sebenernya yang aneh gue apa tetangga gue

sih? Gue masih waras kan? Masih waras??? (berteriak)

Ahhhhhh…. Kenapa sih sama gue???? (sesekali memukul

kepalanya sendiri) normal… normal… normal…. Normal…

normal… ayo dong normal!!!! Gue gak sakit!!!! Mereka yang

sakit!!!! (menangis) gua normal gua gak sakit… gue normal… gue

gak sakit… (seperti teringat sesuatu) ya… siklus ini harus terus

berjalan… seperti rantai makanan…. (2011: 22)

Setelah masalah mencapai klimaks—terungkapnya dualisme identitas keempat

tokoh, diikuti dengan kepergian Ferry—Risti mencoba untuk mengikuti aturan main di

tempat tersebut. Pada suatu malam ia datang dan merekonstruksi aktivitas tetangganya

tersebut. Namun, tokoh Ferry telah meninggalkan keluarga itu. Kepergiannya

menyadarkan semua tokoh yang ada bahwa mereka memiliki pilihan untuk

menentukan kehidupan dalam masyarakat. Mereka dapat mengikuti tuntutan konvensi

yang ada—tentang penampilan, pekerjaan, keadaan keluarga—atau pergi dan menjadi

diri sendiri, seperti tokoh Ferry. Nampaknya hal tersebut yang selama ini hilang dari

pengertian Risti. Ketika ia mencoba mengintervensi kehidupan tetangganya, ia tidak

sadar bahwa perlahan-lahan kepribadiannya pun berubah.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 122: Universitas Indonesia Library

108

Universitas Indonesia

Di titik itulah, tokoh Risti terlihat menyatukan kembali dirinya dan mulai

menata pemikiran yang logis untuk menghadapi situasi tersebut. Dari kejauhan muncul

tokoh Pak Herri dan Hansip menyerukan tagline drama ini, “Kalau tidak suka, ya tidak

usah diikutin, tinggalin aja.. gampang kan…” (2011: 23). Seruan tersebut menjadi

solusi yang ditawarkan kepada Risti sekaligus juga penyelesaian.

Jika diwujudkan dalam sebuah grafik maka perkembangan alur pada ketiga

drama ini akan terlihat seperti berikut ini.

Grafik di atas memberikan indikasi bahwa bangunan alur dalam ketiga drama

ini kurang lebih sama. Hal tersebut disebabkan oleh konflik yang hadir dalam ruang

lingkup yang sama, yaitu masyarakat. Adanya persamaan latar belakang tempat dan

para tokoh dalam ketiga drama ini, membuat alur terbanguan atas bagian-bagian yang

sama. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, dalam ketiga drama ini peristiwa

terbagi menjadi tiga tahapan (lihat Bagan 3). Tahapan ini mencakup daerah luar, dalam,

dan kembali lagi ke luar. Proses tersebut merupakan hasil dari relasi antara manusia

dan masyarakat.

02468

10121416

Lima Pintu Te(N)tangga(NG) Roman

Gambar 2.4

Alur Tiga Drama Relasi Manusia dengan Masyarakat

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 123: Universitas Indonesia Library

109

Universitas Indonesia

Ketika tokoh dihadapkan pada sebuah lingkungan kehidupan bermasyarakat,

yang memiliki keragaman asal usul, maka konflik akan dimulai dari persinggungan

antara manusia dengan manusia lain sebagai bagian dari sebuah sistem masyarakat. Hal

tersebut didorong oleh adanya kebutuhan masing-masing individu untuk bertahan

hidup. Kepentingan tiap individu yang tidak disertai dengan pemahaman untuk hidup

berdampingan—seperti yang digambarkan dalam ketiga naskah drama—mendorong

timbulnya gesekan antarsatu individu dengan yang lain. Pada ketiga naskah drama ini,

terdapat satu tokoh yang dipilih untuk menyatakan akibat dari persinggungan

antarmasyarakat. Tokoh Lela (“Lima Pintu”, Risti (“TeNtanggaNG”), dan Roman

(“Roman”) merupakan perwakilan dari masyarakat—yang dalam masing-masing

drama—diberi ruang untuk memperlihatkan konflik personal yang dipicu oleh konflik

dalam bersosial.

Ketika konflik personal para tokoh mencapai titik klimaks dalam alur drama

maka secara individu para tokoh akan mencoba untuk menyelesaikannya. Namun,

konflik personal tokoh utama tidak dapat terelakkan dari ruang publik. Penyebab

munculnya konflik personal ini adalah keadaan di ruang publik, seperti tokoh Roman

yang bertengkar dengan istrinya karena pergunjingan tetangga atau tokoh Lela yang

menjadi korban fitnah tetangganya. Oleh sebab itu, untuk menyelesaikannya, para

tokoh akan kembali lagi ke tengah masyarakat untuk meminta ‘pertanggungjawaban’

dalam menyelesaikan konflik. Namun, ketika para tokoh melakukan konfrontasi

dengan masyarakat, ditemukan bahwa masyarakat tersebut tidak dapat memberi

jawaban. Telah ditemukan adanya pergeseran nilai-nilai yang dianut sebagai sebuah

masyarakat komunal dengan nilai-nilai ideal yang diharapkan oleh tiap individu,

seperti misalnya yang terjadi pada tokoh Risti. Ia berusaha memperbaiki kemunafikan

tetangganya dengan menyatakan kebenaran yang didasarkan pada integritas diri.

Namun, masyarakatnya tidak siap menerima idealisme yang dibawa Risti sehingga ia

pun harus mengalami keterasingan. Masyarakat dalam ketiga drama ini digambarkan

sebagai kumpulan manusia yang dipaksa untuk meleburkan sifat-sifat individu karena

kebutuhan untuk berbagi tempat tinggal. Padahal sebenarnya, mereka tidak siap untuk

melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai bagian dari masyarakat majemuk.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 124: Universitas Indonesia Library

110

Universitas Indonesia

2.4 Simpulan

Naskah-naskah drama tentang relasi manusia dengan dirinya sendiri, umumnya

berbicara tentang eksistensi manusia dalam dunia. Hal tersebut diwujdukan dalam hal-

hal yang tidak masuk dalam alur dan tokoh, untuk memperlihatkan nilai-nilai baru yang

mereka usung dan ketiadaan pola dalam eksistensi manusia. Namun, ketiga naskah

drama FTJ ini justru memperlihatkan hal yang sama sekali berlainan dari kebiasaan

drama-drama bertema eksistensial tersebut. Usaha penggambaran kondisi yang

berlawanan ini, penulis lihat, adalah bentuk dari keabsurdan dan cerminan manusia

masa kini yang terjebak pada alam bawah sadar mereka. Para tokoh yang ditunjukkan

bahagia dengan kepalsuan identitas mereka dalam sebuah kelompok adalah cerminan

ketiadaan diri yang otentik.

Naskah-naskah drama yang berbicara tentang relasi manusia dengan

kekuasaan, menempatkan kekuasaan dalam gambaran yang abstrak. Kekuasaan dalam

drama-drama ini diwujudkan dalam benda-benda yang ditemui sehari-hari, yang telah

mengalami pergeseran makna. Hal tersebut menandakan adanya kritik terhadap

pengertian yang salah terhadap kekuasaan. Para tokoh digambarkan terlibat dengan

konsep kekuasaan itu sebagai oposisi atau sebagai orang yang berhasrat terhadapnya.

Dalam ketiga drama ini, kekuasaan menjadi semacam sihir yang membelenggu para

tokoh dalam keserakahan, keegoisan, dan kematian hati nurani, karena

menyalahartikan esensi dari kekuasaan. Kekuasaan dalam ketiga naskah drama ini

mengakibatkan kematian dan kehancuran secara fisik dan mental manusia.

Naskah drama yang mengangkat relasi manusia dengan masyarakat tersusun

atas banyak karakter, yang masing-masing karakter, memainkan peranan mereka dalam

proses bersosialisasi. Ketiga drama ini membagi peristiwa menjadi tiga bagian. Bagian

pertama adalah pemaparan dan perumitan masalah yang disebabkan kehidupan di

ruang publik. Bagian kedua adalah klimaks dari masalah yang melibatkan kehidupan

personal salah seorang tokohnya. Dan bagian yang terakhir, konflik personal tokoh

tersebut dibawa kembali ke ruang publik untuk diselesaikan secara kolektif. Namun,

dari hasil analisis alur, diperlihatkan bahwa publik hanya dapat memicu terjadinya

masalah, tetapi tidak mampu memberikan solusi atas masalah yang mereka mulai.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 125: Universitas Indonesia Library

111

Universitas Indonesia

Nampak pula dalam ketiga drama bahwa salah satu pemicu masalah di ruang publik

adalah adanya tuntutan terhadap hal-hal baik yang terjadi di antara sesama mereka.

Akan tetapi, tuntutan baik dan buruk dalam masyarakat, sudah tidak lagi relevan untuk

menjawab tantangan hidup yang makin sulit.

Secara umum, naskah-naskah ini memiliki persamaan masalah yang menjadi

benang merah di antaranya. Persamaan tersebut menyangkut kehidupan manusia di

kota dengan tuntutan manusia urban yang berada dalam kondisi sosial-politik tak sehat

sehingga menyebabkan mereka secara individu kehilangan identitasnya. Masalah

kemiskinan, ketidakadilan, dan pendidikan yang terbelakang dalam masyarakatnya,

masih menjadi suatu isu penting dalam tiap naskah drama. Melihat uraian masalah

dalam tiap drama yang ada maka dapat disimpulkan bahwa masalah utama yang

dihadapi oleh manusia di dalam drama, berbicara tentang identfikasi diri (drama relasi

manusia dengan diri sendiri), identitas kebangsaan (drama relasi manusia dengan

kekuasaan), serta pola kehidupan masyarakat miskin kita (drama relasi manusia dengan

masyarakat). Hal-hal inilah yang menjadi masalah utama dalam naskah drama FTJ

2008-2013.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 126: Universitas Indonesia Library

112 Universitas Indonesia

BAB III

MANUSIA DAN REALITAS SOSIAL DALAM DRAMA-DRAMA

FESTIVAL TEATER JAKARTA

Di balik gencarnya arus media massa yang muncul, jarak antara masyarakat dan

refleksi realitas-sosialnya semakin merenggang. Namun, melalui kesenian, manusia

diberikan ruang untuk membicarakan kehidupan yang terjadi secara langsung antara

pelaku dan penikmat. Salah satu bentuk kesenian yang memungkinkan terjadinya

interaksi langsung adalah drama15, baik dalam bentuk pemanggungan maupun teks.

Hal ini disampaikan oleh Afrizal Malna (201116) dalam ulasannya tentang Festival

Teater Jakarta (selanjutnya akan disebut FTJ). Naskah-naskah drama yang dihasilkan

pada FTJ—tidak hanya mendokumentasikan tetapi juga—membicarakan realitas

dengan nada mengkritik, menyindir, atau menasihati. Hal tersebut diperlukan,

mengingat sebuah karya sastra adalah salah satu alat untuk menjaga kualitas kehidupan

manusianya.

Bertolak dari teori mimesis Aristoteles17 yang melihat karya sastra sebagai

sebuah cerminan kenyataan maka pengarang—yang juga adalah bagian dari

masyarakat—dan karyanya berfungsi untuk menyampaikan tanggapan atas kenyataan.

Namun, mengingat karya tersebut merupakan rekonstruksi kenyataan dalam kehidupan

yang telah melalui proses kreatif pengarang, peristiwa dalam naskah dengan realitas

sosial tidak dapat sekadar dicari kesamaannya. Menanggapi hal tersebut, A. Teeuw

15 Afrizal Malna menulis kaleidoskop tentang FTJ tersebut dengan menggunakan kata ‘teater’. Namun,

untuk mengikuti kebutuhan penelitian ini maka penulis mengganti kata ‘teater’ dengan ‘drama’—yang

memiliki arti lebih luas dari kata teater—sebab dapat berarti di atas panggung maupun di dalam teks. 16 “Teater adalah kita, merupakan pernyataan yang memang melibatkan ruang dan waktu. Teaterlah yang

membuat jembatan antara waktu di sana dengan waktu di sini, antara ruang di sana dengan ruang di sini.

Cara yang paling dekat untuk melihat kehidupan sebuah kota, adalah menonton salah satu kelompok

teater yang hidup di kota itu. Juga sebaliknya, cara dekat untuk melihat pencapaian estetika teater, adalah

dengan membandingkan pertunjukan sebuah teater dengan perkembangan kota tempat teater itu berada”

(“Kaleidoskop Teataer 2011: Semua Aku dan Semua Kamu dari Kita” Afrizal Malna. 17 Aristoteles meneruskan gagasan yang sama dengan Plato tentang karya seni sebagai sebuah mimesis

kehidupan, tetapi di dalamnya teorinya ia menambahkan hal yang tidak diungkapkan oleh Plato. Hal

tersebut adalah proses kreatif yang menjadi sebuah karya tidak sekadar sebagai tiruan kehidupan tetapi

telah menjadi kenyataan baru bentukan pengarang. Hal inilah yang membedakan sudut pandang

Aristoteles dengan Plato. (diambil dari Pengantar Ilmu Sastra (1984) Luxemburg, Bal, dan Weststeijn

serta dari buku Apresiasi Kesusastraan (1991) Saini K.M. dan Jakob Sumardjo.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 127: Universitas Indonesia Library

113

Universitas Indonesia

(2003: 190) mengatakan bahwa unsur fiksi dalam karya justru memperlihatkan pada

pembaca, kelihaian pengarang dalam mengutarakan sebuah gagasan yang bertolak dari

kehidupan nyata.

Mengenai relasi antara karya sastra dengan masyarakatnya, hubungan di antara

keduanya bersifat saling mempengaruhi, seperti yang diungkapkan oleh A.Teeuw:

“hubungan itu selalu merupakan interaksi yang kompleks dan tak langsung;

ditentukan oleh tiga macam atau saringan kelir: kelir konvensi bahasa, kelir

konvensi sosio-budaya, dan kelir konvensi sastra yang menyaring dan

menentukan kesan kita dan mengarahkan pengamatan dan penfasiran kita

terhadap kenyataan. Hubungan ini memang merupakan interaksi, saling

mempengaruhi, atau kaitan dwiarah (…) Dunia nyata dan dunia rekaan selalu

saling berjalinan, yang satu tidak bermakna tanpa yang lain. Sudah tentu, secara

faktual kaitan antara kenyataan dan rekaan mungkin sangat berbeda-beda.” (hlm.

188-190)

Jadi, pengamatan tentang kecenderungan sosial yang muncul melalui naskah-

naskah drama FTJ ini, perlu dilakukan dengan pendekatan yang tepat. Untuk itulah,

pada bagian dalam penulisan ini, hasil temuan dari analisis struktural yang telah

dilakukan sebelumnya, akan digunakan sebagai data untuk melihat adanya

keterpengaruhan dari realitas sosial yang ada dalam kehidupan.

3.1 Kenyataan dalam Naskah Drama FTJ sebagai Hasil Perspektif Pengamatan

Relasi Manusia

Struktur naskah-naskah drama FTJ telah ditelusuri dengan menggunakan

perspektif relasi untuk mencari tahu masalah utama yang terekam di dalamnya. Pada

bagian kesimpulan analisis struktural, ditemukan masalah pokok dari naskah-naskah

drama ini, yaitu persoalan manusia yang menyangkut masalah identifikasi diri (relasi

dengan diri sendiri), sifat kebangsaan (relasi manusia dengan kekuasaan), serta

masyarakat miskin kota (relasi manusia dengan masyarakat). 18

Masalah identifikasi diri, yang ditemukan dalam tiga naskah drama tentang

relasi manusia dengan diri sendiri, muncul melalui keadaan jiwa para tokoh

18 Lihat bagian 2.4

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 128: Universitas Indonesia Library

114

Universitas Indonesia

protagonis19 yang gelisah. Identitas tokoh Bapak dan Kelima tokoh masyarakat

ditentukan oleh peran yang mereka jalani sehari-hari dalam sebuah dunia bentukan.

Tokoh Maman, Lukman, dan Saman menjalani kehidupan di ambang maut, dalam

sebuah penantian yang memberi mereka alasan untuk terus hidup. Kehidupan mereka

dikendalikan oleh tokoh antagonis dalam sebuah tempat yang menyerupai kurungan.

Dalam analisis struktural, tempat tersebut diwujudkan sebagai sebuah ruangan yang

mengungkung mereka. Tanpa sadar, ruang yang mengungkung itu telah menciptakan

suatu zona nyaman bagi para tokoh sehingga mereka tidak merasakan bahwa

kehidupan mereka terbelenggu. Namun, sebagai manusia yang memiliki akal budi,

mereka terus-menerus merasakan sebuah kegelisahan.

Dalam drama, kegelisahan tersebut diungkapkan dengan pernyataan para tokoh

tentang kehidupan mereka yang terasa datar. Kegelisahan ini tidak dapat diatasi karena

keterikatan mereka pada peran yang mengisi dunia tersebut. Namun, ketika zona

nyaman mereka ini diusik dari luar, kegelisahan mereka berubah menjadi sebuah

kesadaran yang mendorong adanya pertanyaan-pertanyaan atas rutinitas tersebut.

Walaupun pada akhirnya para tokoh tidak dapat membebaskan diri dari belenggu

tersebut, mereka telah membuka ruang kesadaran mereka terhadap kepalsuan yang

dijalani.

Masalah identitas kebangsaan yang muncul dalam drama-drama tentang relasi

manusia dan kekuasaan20, ditemukan melalui kemarahan yang terpendam dalam diri

para tokoh, seperti Marni dan Rasyid (“Paralel ‘45”), Pulung (“Pesta Sampah”, dan

Parmin (“Parlemen WC”). Kemarahan tersebut diwujudkan melalui ekspresi diri yang

berbeda di tiap karya, seperti pemberontakan, ketidaktaatan, rasa syukur yang palsu,

serta keserakahan. Hal ini muncul karena adanya bentuk kekuasaan yang dianggap

gagal mengatur bagian-bagian dalam kehidupan sosial politik.

Munculnya eksploitasi terhadap kebebasan—karena tidak didukung oleh

kepiawaian penguasa dalam mengaturnya—memicu munculnya masalah kepentingan

19 tokoh Bapak (“Ruang Kehormatan”), tokoh Saman, Maman, dan Lukman (“Ruang Tunggu

Terakhir”), serta Kelima Tokoh Masyarakat (“Gagu Ngigau Galau Wagu”) 20 Naskah drama “Paralel ‘45”, “Pesta Sampah”, dan “Parlemen WC”.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 129: Universitas Indonesia Library

115

Universitas Indonesia

pribadi di tengah kepentingan publik. Penguasa yang merasa terancam dengan

perlakuan mereka, mempertahankan diri dengan cara mengeluarkan kebijakan yang

memaksa rakyatnya untuk tunduk. Kekuatan yang dimiliki oleh pengusa (disimbolkan

dalam drama sebagai tokoh pejabat) disalahgunakan untuk kepentingan pribadi dengan

jalan mengeksploitasi fasilitas publik. Hal ini memicu perpecahan di antara

masyarakat.

Akibat dari sistem pemerintahan yang dianggap gagal menjalankan tugasnya

dan adanya ekspolitasi kebebasan publik, muncul tkoh-tokoh apatis pesimis yang tidak

percaya akan adanya keadilan sosial. Langkah mereka untuk mendapatkan keadilan

tersebut adalah dengan menghancurkan kekuasaan. Orang-orang yang masih

memegang teguh dan berharap pada demokrasi dalam kehidupan sosial politik justru

menjadi tumbal. Puncaknya adalah disintegrasi negara dan perpecahan di antara

masyarakat.

Masalah mengenai individualitas masyarakat kota yang muncul dalam drama-

drama tentang relasi manusia dengan masyarakat, seperti “Lima Pintu”,

“Te(N)tangga(NG)”, dan “Roman”, merupakan efek domino21 dari kegagalan sebuah

sistem kekuasaan. Penguasa yang vakum melakukan tugasnya sebagai pemimpin

(seperti dalam tiga drama tentang relasi manusia dan kekuasaan), membuat mereka—

tokoh rakyat kecil dalam drama-drama relasi manusia dan masyarakat—terasing dari

perhatian pemerintah. Hal itu menimbulkan kehidupan di bawah garis kemiskinan,

penderitaan, dan terjadi kemerosotan nilai moral, seperti yang dialami oleh tokoh Ibu

Pintu Dua dan Lela (“Lima Pintu”), Roman dan Atun (“Roman”), serta Risti dan

Keluarga Pak Amir (“Te(N)tangga(NG)”). Mereka tidak merasa sebagai bagian dalam

keberlangsungan negara sehingga tidak ada usaha untuk mewujudkan kehidupan

bersosial yang harmonis. Sikap tersebut timbul dari degradasi nilai moral dan usaha

tiap individu untuk bertahan hidup.

21 Istilah yang digunakan oleh Presiden Amerika Serikat, Dwight D. Eisenhower, dalam Perang Dunia

II bagi kekalahan Perancis atas wilayah Vietnam ke tangan komunis. Hal ini akan berdampak ke seluruh

wilayah selatan Asia. Efek domino diberikan untuk menggambarkan suatu kejadian yang sifatnya

berantai, seperti anggapan Eisenhower mengenai komunis di Asia

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 130: Universitas Indonesia Library

116

Universitas Indonesia

Di dalam kehidupan antarmasyarakat, terjadi proses pengasingan bagi mereka

yang tidak dapat mengikuti konvensi sosial yang ada, seperti yang dilakukan pada

tokoh Risti atau tokoh Atun. Kehidupan yang jauh dari harapan ideal, mendorong

beberapa tokoh untuk melakukan gangguan sosial di dalam kehidupan antarmasyarakat

sehingga timbul kecurigaan (“Roman), persaingan sosial (“Lima Pintu”), dan tindak

kriminal (“Te(N)tangga(NG)”) yang menjadi klimaks dalam drama-drama tersebut.

Persoalan-persoalan tersebut merupakan gambaran secara umum hasil analisis

struktural yang telah dilakukan atas naskah-naskah drama FTJ periode 2008-2013.

Adanya kesamaan tempat dan kurun waktu penciptaan karya—Jakarta tahun 2000

hingga kini—memungkinkan adanya hubungan yang saling mempengaruhi di antara

temuan pada karya dan realitas sosial di masa itu. Oleh sebab itu, persoalan yang telah

dijelaskan sebelumnya, harus diuraikan sesuai dengan kondisi zaman pada masanya.

Pemetaan hubungan22 masalah dalam karya dengan realitas sosial masa kini dapat

dilihat dalam bagan berikut ini.

22 Hubungan tersebut merupakan intisari dari pemikiran Sapardi tentang hubungan sosiologi dalam

karya, seperti yang dikutip berikut ini: “(…) menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh khayali dan

situasi penciptaan pengarang itu dengan keadaan sejarah yang merupakan asal-usulnya/ tema dan gaya

Skema 3.1

Persoalan dalam Naskah Drama FTJ dalam Konteks Realitas Soial

Perspektif

Pengamatan

Relasi

Manusia

KEKUASAAN

Rasa kesatuan sebagai

bangsa

DIRI SENDIRI

Identifikasi diri

MASYARAKAT

Pola masyarakat

miskin kota

Dunia dalam

Drama

REALITAS SOSIAL

pascarefromasi

Keterangan: : Keadaan sosial tahun 2000-

kini

: Dunia dalam karya drama

: temuan masalah

: menghasilkan

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 131: Universitas Indonesia Library

117

Universitas Indonesia

Pada bagan di atas, ditunjukkan bahwa relasi manusia menghasilkan persoalan

yang membentuk kenyataan pada naskah drama. Gambaran dari kenyataan dalam

naskah drama berada di dalam realitas sosial. Hal ini menandakan bahwa gambaran

pada dunia dalam drama adalah juga bagian di dalam kenyataan yang ada, seperti yang

diungkapkan oleh Luxemburg (1984: 17) bahwa pengarang mengambil beberapa hal

dari unsur-unsur dalam kenyataan untuk menyusun suatu gambaran (karya) yang

mencipta ‘kodrat manusia yang langgeng’. Oleh sebab itu, temuan masalah dalam

naskah drama pun memiliki bagian yang beririsan dengan realitas sosial. Hubungan di

antara ketiganya bersifat saling mempengaruhi, seperti teori A. Teeuw tentang

hubungan karya dan kenyataan yang dibahas pada bagian awal bab ini.

Hasil dari relasi ketiganya inilah yang akan menjelaskan hubungan di antara

dunia dalam naskah dengan realitas sosial yang ada. Oleh sebab itulah, penguraian

masalah dalam karya-karya ini akan diawali dengan melihat temuan dalam naskah

drama yang beririsan pula dengan realitas sosial. Setelah itu, hasil uraian dari

penelusuran sosiologis atas kenyataan dalam drama akan dihubungkan satu sama lain

untuk melihat gambaran tentang peristiwa ‘aku’—manusia—pada masa kini (seperti

yang diungkapkan pada bagian pendahuluan).

3.2 Hubungan Tiga Pokok Masalah pada Naskah Drama FTJ dengan Realitas

Sosial

3.2.1 Persoalan Identifikasi Diri dalam Drama dan Realitas Sosial

Persoalan identifikasi diri yang ditemukan dalam naskah drama “Gagu Ngigau

Galau Wagu”, “Ruang Kehormatan”, dan “Ruang Tunggu Terakhir”, disimbolkan

melalui tokoh-tokoh yang mengalami masalah kejiwaan atau korban bencana (lihat

bagian 2.1.2). Keadaan tersebut menempatkan mereka dalam posisi yang lemah

sehingga terbelenggu oleh kendali pihak lain. Pihak yang mengendalikan mereka ini—

atau ‘tuhan’ dalam dunia mereka—merupakan tokoh dengan posisi superior yang

bersifat antagonis di dalam drama. Namun, pada bagian pemaparan masalah, para

yang ada dalam karya sastra, yang bersifat pribadi itu, harus diubah menjadi hal-hal yang sosial

sifatnya.” (Sapardi Djoko Damono (2010) Sosiologi Sastra: Pengantar Ringkas

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 132: Universitas Indonesia Library

118

Universitas Indonesia

tokoh belum diceritakan menyadari keadaan diri mereka yang terbelenggu.

Pengetahuan tentang keadaan diri yang tidak bebas ini tersimpan rapat dalam

keteraturan yang menghasilkan suatu rasa nyaman bagi para tokoh. Bagi mereka,

identitas diri adalah peranan yang diberikan oleh tokoh ‘tuhan’ dalam dunia yang

mereka geluti. Peran tersebut diciptakan sesuai dengan kebutuhan ‘tuhan’ atas diri

mereka. Seperti misalnya, tokoh ‘tuhan’ yang diwujudkan dalam peran dokter dalam

drama “Gagu Ngigau Galau Wagu” dan “Ruang Kehormatan”, mereka menggunakan

kelima tokoh masyarakat dan tokoh Bapak untuk menjalankan penelitian. Oleh sebab

itu, tokoh-tokoh yang lemah secara kejiwaan dipaksa mengemban peran yang bukan

diri mereka sebenarnya.

Konsep penyamarataan peran manusia—atau sama saja dengan penghilangan

identitas— pernah dilakukan pada masa pemerintahan Orde Baru sehingga

memunculkan sebuah wajah masyarakat massa. Penyamarataan peran sesuai dengan

kebutuhan pembangunan yang dilakukan pada masa itu adalah dengan membuat mata

pelajaran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) sebagai fokus utama dalam

pendidikan formal23. Hal ini dilakukan untuk menunjang kebijakan pemerintah yang

hendak memajukan bidang ekonomi industri. Meminjam istilah yang digunakan oleh

Saini K.M. (2004: 82), proses ini menjadikan manusia yang dicetak oleh lembaga

pendidikan formal sebagai sebuah ‘baut-baut yang cocok bagi mesin industri’.

Mereka tidak diberi kesempatan untuk mencari identitas diri—pada usia yang

muda dan seharusnya digunakan untuk mencari ilmu sebanyak-banyaknya—melalui

pendidikan tentang sastra, seni, bahasa, atau filsafat yang mampu mengajarkan tata

nilai luhur. Mereka yang lahir dan dibesarkan dalam generasi ini, dikatakan oleh Saini

K.M., sebagai manusia yang mengalami dehumanisasi. Seperti juga para tokoh dalam

dua drama tersebut, “Gagu Ngigau Galau Wagu” dan “Ruang Kehormatan”, mereka

23 Saini K.M. menuliskan tentang ideologi pembangunan yang dicanangkan oleh Orde Baru, pada

penggalan pertama kekuasaannya (tahun 1967), melalui pembentukan manusia sebagai bagian dari

economic animal. Pada penggalan kedua, ia mengatakan, bahwa manusia dicetak sebagai baut-baut yang

dipergunakan untuk memajukan sektor ekonomi industri. Salah satu jalan yang ditempuh oleh Orde Baru

adalah melalui rekayasa pendidikan formal. (diambil dari buku Krisis Kebudayaan (2004) Saini K.M.)

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 133: Universitas Indonesia Library

119

Universitas Indonesia

dicetak sebagai produk massal yang berguna apabila menjalankan peran yang

diberikan.

Posisi para tokoh protagonis dalam dunia drama ini adalah sebagai obyek dari

kegiatan penelitian atau kegiatan lainnya (karena tokoh Man tidak diceritakan asal-

usulnya maka tidak diketahui dengan pasti motif dari janjinya tersebut). Sebagai obyek,

keberadaan diri para tokoh dikendalikan oleh esensi dari dirinya sebagai peran yang

dikehendaki dalam penelitian. Kondisi tersebut bertentangan dengan hal yang

diujarkan oleh kaum eksistensialis mengenai manusia. Seperti Sartre24, ia menyatakan

dengan tegas bahwa identitas diri manusia harus didapatkan melalui pilihannya sendiri

dan bukan berdasarkan apa yang disebut sebagai sifat alamiah manusia. Kondisi para

tokoh bertentangan dengan idealisme dari konsep eksistensialisme karena para tokoh

tidak memilih dirinya untuk menjadi hal tersebut, tetapi keberadaannya justru dihargai

melalui peran yang dimasukkan dalam dirinya.

Keadaan konkret dari peran yang menentukan identitas seseorang dan bukan

sebaliknya, ditemukan pada masa Orde Baru. Mereka yang tidak menjalankan atau

mengambil peran dalam rencana pembangunan ekonomi industri, akan tersingkirkan

atau dalam hal ini tidak berarti apa-apa dalam proses pembangunan. Hal itulah yang

banyak terjadi pada, khususnya, kaum agraris di daerah-daerah25. Oleh karena program

pemerintah yang memajukan sektor industri, mereka yang berada di sektor pertanian

semakin kesulitan untuk mengembangkan dirinya sehingga tersisih dari kepentingan

politik pemerintah. Sementara itu, untuk menyambung kehidupan, mereka terpaksa

mengisi bagian-bagian kosong dalam sektor industri dan meninggalkan diri mereka

sebagai petani.

Identitas palsu yang diemban oleh para tokoh, muncul melalui pernyataan tokoh

Bapak serta aktivitas profesi yang tidak nyata oleh kelima tokoh dalam naskah drama

24 “Satrre has expressed it by saying that man’s existence precedes his essence (pp. 438-9); we have not

been created for any purpose, neither by Godn or evolution nor anything else.” (Pemikiran Sartre tentang

eksistensialisme manusia ini diambil dari karya Leslie Stevenson (1987) Seven Theories of Human

Nature. “Sartre’s Theory of Man”: 93-94) 25 Diambil dari bahan ajar perkuliahan “Dampak Urabnisasi dan Kemiskinan” (2013) Almasdi Syahza

(pengajar mata kuliah Ekonomi Pembangunan di Universitas Riau).

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 134: Universitas Indonesia Library

120

Universitas Indonesia

“Gagu Ngigau Galau Wagu”. Pernyataan tokoh Bapak26 ketika menjawab salam dari

tokoh Dokter Ivan mengungkapkan penolakannya terhadap peran yang dinyatakan

dalam dialog Dokter Ivan. Namun, secara tidak sadar, Bapak perlahan-lahan menerima

peran yang ditanamkan oleh Dokter Ivan melalui dialog-dialognya yang konsisten.

Pengetahuan yang masuk ke alam bawah sadar tokoh Bapak, pada akhirnya

membentuk identitas dirinya dalam ruangan tersebut. Dalam naskah drama “Gagu

Ngigau Galau Wagu”, yang diperlihatkan bukanlah proses obyektifikasi, tetapi hasil

dari proses tersebut. Hasil dari proses obyektifikasi—yang dalam drama tidak

diceritakan—menunjukkan bahwa para tokoh mampu mengidentifikasi dirinya sebagai

sesuatu, tetapi tidak memiliki kapasitas untuk menjalaninya. Kelima tokoh tersebut—

dalam bagian pemaparan masalah—tidak pernah sekalipun melakukan profesi yang

mereka akui.

Hal ini menunjukkan kesamaan dengan peran para petani di masa Orde Baru,

yang harus melakukan kerja di sektor industri demi mendapat bagian dalam dunia saat

itu. Namun, kerja mereka itu sifatnya tidak mewakili identitas mereka yang

sebenarnya. Identitas mereka sebagai petani telah digantikan dengan peran baru yang

memunculkan identitas semu, seperti yang dialami para tokoh. Hal seperti itu, masih

sering ditemukan dalam kehidupan manusia pascareformasi. Mereka, dengan

kebutuhan untuk bertahan hidup, dipaksa mengambil peran yang sebenarnya tidak

mencerminkan diri mereka, seperti pekerja yang beradaptasi dengan keadaan ekonomi

kapitalis. Hal ini menurut Goenawan Mohamad (2001: 1410) merupakan suatu proses

alienasi diri terhadap apa yang dikerjakan dan identitas si pekerja itu sendiri27. Baik

petani pada masa Orde Baru, maupun para buruh di masa ekonomi kapitalis kini,

keduanya sama-sama meleburkan dirinya dalam kerja yang menjadikan ia sebagai

obyek.

26 “Anak???!! (Serius) Saya tidak pernah merasa bahwa saya mempunyai seorang anak. Jangan kira

seorang anak, seirang istri pun saya tidak pernah punya.” (“Ruang Kehormatan”, tokoh Bapak 2012: 1) 27 Goenawan Mohammad menuliskan pemikiran Marx, pada catatan pinggir tanggal 27 Agustus 2000,

tentang terjemahan kata ‘bildung’ oleh Berman sebagai sebuah ‘subyektivitas’. Artinya, kapitalisme

meringkung itu dan membuat manusia ‘merasa dirinya hadir di luar kerjanya, dan kerjanya… berada di

luar diirnya’. Proses yang membuat manusia kehilangan martabatnya. (diambil dari buku Kata, Waktu:

Esai-esai Goenawan Mohamad 1960-2001 (2001) Goenawan Mohamad)

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 135: Universitas Indonesia Library

121

Universitas Indonesia

Pada masa Orde Baru, diadakan pula sebuah operasi yang dikenal dengan nama

Penembak Misterius. Ribuan orang yang diduga terkait jaringan Gabungan anak liar

(Gali) yang merupakan preman-preman dengan kekhasan bertato di sekujur tubuh,

dibunuh dengan mengenaskan tanpa proses pengadilan yang jelas. Mereka dibunuh

karena dianggap telah menimbulkan keresahan. Dan untuk mengatasi situasi yang

mengganggu keamanan, pemerintah ‘diam-diam’ mengadakan operasi penembakan

misterius. Komnas HAM28 telah menetapkan bahwa peristiwa ‘petrus’ merupakan

pelanggaran HAM berat yang ditemukan selama Orde Baru—di samping pelanggaran-

pelanggaran lainnya. Mereka yang ditembak dalam operasi ‘petrus’ diidentifikasi

dengan tato. Tidak jarang, mereka yang menjadi korban sebenarnya bukanlah

gabungan anak liar (Gali), tetapi hanya kebetulan memiliki tato di tubuhnya.

Identifikasi yang dilakukan semacam ini juga merupakan suatu bentuk dari

penyamarataan manusia. Mereka digolongkan menurut keadaan fisik atau ciri tertentu

tanpa melihat dulu identitas yang sebenarnya. Toni29, seorang warga yang tidak

bersalah, ditangkap karena kesalahan identifikasi. Namanya sama dengan orang yang

masuk daftar target ‘petrus’. Ia kemudian ditangkap dan diasingkan jauh dari

rumahnya. Proses ini tidak hanya salah dalam hal mengidentifikasi, tetapi juga telah

mencederai hal paling dasar dari eksistensi manusia, yaitu hidup. Mereka, para

penembak misterius ini, telah mengambil hak manusia untuk hidup dengan alasan

kestabilan keamanan nasional.

Sementara itu, pembahasan masalah dalam naskah drama “Ruang Tunggu

Terakhir”, lebih mengarah pada keadaan psikologis para tokoh yang muncul dari rasa

terbelenggu. Memang, dalam semua karya, terdapat pula gambaran dari keadaan

psikologis para tokoh. Namun, dalam analisis struktural terhadap drama “Ruang

Tunggu Terakhir”, ditemukan lebih banyak eksplorasi keadaan psikologis tokoh

daripada wujud-wujud dari pemahaman eksistensialisme. Tentu saja, keadaan

psikologis ini lahir dari pemahaman eksistensialisme yang ditemukan dalam tema

28 Diambil dari artikel berita “Ini Kisah Pelaku Petrus Orde Baru” (2012) Roffiudin. Diunduh dari

website www.tempo.com, pada tanggal 14 Juni 2014, pkl.04.15. 29 Diambil dari artikel berita “Kisah Mereka yang Lolos dari Petrus di Zaman Soeharto” (2013) Didi

Syafrudi. Diunduh dari website www.merdeka.com pada tanggal 14 Juni, pk.04.17

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 136: Universitas Indonesia Library

122

Universitas Indonesia

utama drama “Ruang Tunggu Terakhir”. Secara menyeluruh, keadaan psikologis tiga

tokoh utama dipengaruhi oleh tekanan yang menghimpit mereka dan menghilangkan

kemampuan akal sehat bekerja. Tekanan tersebut datang dari keadaan fisik mereka

yang terluka parah. Keadaan sakit yang digambarkan dengan sangat penuh derita

ditambah pula dengan harapan atas datangnya janji Man yang sebenarnya tak pasti,

membuat para tokoh terbelenggu oleh isi kepala yang terus berdengung lewat monolog

mereka, yang diceritakan dalam drama sebagai sebuah penyangkalan pada hal

mustahil. Diceritakan dalam drama (lihat 2.1.2: 12), tokoh Saman—yang pertama kali

muncul—adalah korban selamat dari tsunami. Kedua tokoh yang muncul

belakangan—Maman dan Lukman—pun merupakan korban bencana alam lain.

Maman adalah korban selamat tanah longsor dan Lukman adalah korban selamat dari

bencana lumpur. Dari kondisi tersebut, tak hanya fisik mereka yang lemah, tetapi

secara mental, mereka pun tak lagi punya gairah untuk hidup. Namun, dalam kondisi

yang begitu buruknya, para tokoh diceritakan tetap berusaha dengan segala cara untuk

dapat bertahan. Pada analisis pemaparan masalah disebutkan bahwa pertahanan diri

mereka datang dari harapan atas janji tokoh Man.

Kepercayaan para tokoh terhadap janji Man telah mengendalikan tingkah laku

mereka tanpa disadari. Janji Man untuk menemui para tokoh di ruang tersebut,

membuat mereka patuh menunggu. Hal ini diperlihatkan oleh tokoh Saman yang

menolak berpindah tempat ketika ia terluka parah. Dengan kesadaran30 para tokoh

terhadap Janji Man, mereka memutuskan untuk tinggal di tempat tersebut yang

merupakan titik temu yang dijanjikan Man. Namun, secara tidak sadar, tekanan

keadaan yang buruk itulah justru yang memampukan mereka untuk tetap percaya akan

janji Man dan—seperti yang dikatakan sebelumnya—merasuki diri serta

mengendalikan tingkah laku. Jadi, bukan karena janji Man semata yang membuat

30 “Nothing which a person does or says is really haphazard or accidental; everything can in principle be

traced to causes which are somehow in the person mind” (Freud’s Theory of man, Leslie Stevenson

d(1987) Seven Theories of Human Nature)

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 137: Universitas Indonesia Library

123

Universitas Indonesia

mereka tinggal, tetapi justru penderitaan itu yang membuat mereka tinggal31 dan

percaya bahwa janji Man itu pasti terkabul—walaupun tidak ada kepastian tanda.

Tekanan dan penderitaan menghilangkan akal mereka akan adanya kehendak

bebas yang dimiliki oleh manusia, seperti yang diusung dalam semangat

eksistensialisme. Janji Man—sebagai satu-satunya harapan di tengah penderitaan—

membentuk suatu pola pada perilaku para tokoh, sama seperti tokoh Bapak atau kelima

tokoh utama masyarakat, sehingga mereka bertindak tidak berdasarkan apa yang

mereka kehendaki. Para tokoh tidak dapat mencari tempat lain yang bebas dari

ancaman para tentara bersepatu lars karena mereka terikat oleh janji Man. Belenggu

yang mengikat para tokoh ini adalah munculnya rasa keraguan, kecemasan, dan

ketakutan, tetapi mereka tidak—atau berkehendak—untuk mengatasinya, seperti yang

ditunjukkan oleh tokoh Saman berikut ini.

Saman: Oh, luka. Kakiku meradang terbakar, Man... Berdarah... Oh!

Kulitnya terkelupas ... Jalan sudah jadi bara ... Angin sudah terlalu

kencang meniupnya jadi api. Bumi terbakar, Man. Menghanguskan

jalan yang tersisa. Jalan-jalan lain sudah hilang ditelan lumpur dan

banjir. Kota akan terkubur. Jalan lainnya sudah tertutup tanah

longsor dan putus, dibelah jurang yang dalam akibat gempa ... Tapi

aku pantang menyerah, Man. Walau derita perih mendera

langkahku. Meninggalkan bekas jejak darah yang segera pupus oleh

hujan, mengurai darahku jadi aroma sungai sampai ke laut. Hujan

sering turun belakangan ini, Man. Gelombang setinggi pohon

kelapa. Dan aku berhasil sampai ke tempat ini. Bagaimana kamu,

Man? ... Kita sudah berjanji bertemu ditempat ini. Tempat

keberangkatan kita menuju tanah yang dijanjikan. (…) (2011: 4)

Perasaan semacam itu tidak hanya ditunjukkan oleh tokoh Saman, pada analisis

struktural karya drama, tokoh Maman dan Lukman pun dikemukakan mengalami hal

serupa. Sementara itu, pada dua naskah drama lainnya, para tokoh memang tidak

diperlihatkan melakukan soliloqui, seperti yang banyak ditemui pada naskah drama

“Ruang Tunggu Terakhir”. Adegan semacam ini ditunjukkan melalui interaksi kelima

31 Keadaan ini seperti yang diungkapkan oleh Gunter Grass bahwa “melankoli dan utopia adalah dua sisi

dari gobang yang sama? Harapan tentang hidup yang sempurna justru hanya hadir dalam kesedihan, dan

selalu ada yang sayu dalam tiap harapan bahwa yang mustahil akan datang.” (diambil dari buku Kata,

Waktu: Esai-Esai Goenawan Mohamad 1960-2001 (2001). Goenawan Mohamad)

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 138: Universitas Indonesia Library

124

Universitas Indonesia

tokoh masyarakat (“Gagu Ngigau Galau Wagu”) satu sama lain atau interaksi tokoh

Bapak dengan Dokter Ivan. Memunculkan perasaan dan pemikiran para tokoh dengan

cara yang dilakukan dalam naskah drama “Ruang Tunggu Terakhir”, memang terasa

lebih tajam dibandingkan dengan cara lainnya. Namun, dalam penempatan yang tepat,

interaksi juga dapat memunculkan perasaan tersebut.

Konsistensi tokoh Bapak dalam mencecar Dokter Ivan dengan pertanyaan

seputar dirinya, sebenarnya adalah wujud dari pencarian identitas diri. Walaupun

pertanyaan dan reaksi tokoh Bapak seringkali sulit untuk diterangkan dengan logika,

tetapi bentuk kecemasan tersebut adalah pergolakan dirinya dengan keadaan yang ia

hadapi. Kondisi Bapak mengacu pada tiga konsentrasi utama dalam eksistensialisme

yang dikemukan oleh Sartre. Pertanyaan seputar ‘siapa dirinya?’ dan ‘apa tujuan dari

dirinya ada?’ mengarahkan tokoh Bapak menuju identifikasi diri secara individual

yang lepas dari perannya dalam ruang tersebut.

Tokoh Bapak dengan pertanyaan dan tokoh Dokter Ivan dengan reaksinya,

mungkin adalah sebuah perwujudan dari yang dikatakan oleh Goenawan Mohamad

(2001: 1135) sebagai sebuah rekasi kekuasaan yang tak menginginkan manusia

mandiri. Bentuk superioritas itu, dikatakannya, takut akan segala daya yang diciptakan

pada kehidupan. Tokoh Bapak ini, seperti juga orang-orang di dalam ruang sidang yang

menunggu putusan hakim tentang kasus ‘Tempo’, ingin mendengar pertanyaannya

dijawab. Pertanyaan tokoh Bapak adalah hasil dari tekanan yang selama ini mencoba

membungkamnya. Seperti juga tokoh Bapak, dalam banyak peristiwa di masa Orde

Baru, masyarakat yang bertanya dibungkam. Tentang segala aturan yang

menyamaratakan keberadaan mereka dan menekan kebebasan, mereka—mahasiswa,

jurnalis, sastrawan, dan seniman—bertanya-tanya tentang arti dari semua itu. Dan

ketika putusan MA 32tentang majalah ‘Tempo’ yang dibredel keluar, mereka tidak lagi

peduli dengan hasilnya karena tahu bahwa belenggu itu belum dapat dibebaskan karena

memang tidak mau dilepaskan oleh sang pembelenggu.

32 Tempo dibredel pada tanggal 21 Juni 1994 dan keputusan tentang kasus tersebut keluar pada tanggal

16 Juni 1996. Sidang tersebut dipimpin oleh Soerjono di ruang Mochtar Kusumaatmadja, di Gedung

Mahkamah Agung. (diambil dari buku Kata, Waktu: Esai-Esai Goenawan Mohamad 1960-2001 (2001)

Goenawan Mohamad)

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 139: Universitas Indonesia Library

125

Universitas Indonesia

Beberapa eksistensialis menggunakan rujukan kata Tuhan sebagai bentuk

belenggu yang paling absolut. Dalam drama “Ruang Kehormatan”, jenis

eksistensialisme yang ditunjukkan lebih mengarah pada jenis yang tidak mengakui

adanya Ketuhanan. Dengan munculnya Dokter Ivan sebagai wujud ‘tuhan’ dalam dunia

tersebut maka keinginan Bapak untuk bebas dari peran yang terberi itu sulit dicapai.

Adanya Tuhan, dalam pandangan kaum eksistensialis yang bersifat atheis, berarti

manusia selamanya harus berlaku sebagai tawanan33 yang bertindak sesuai dengan

perintahNya.

Konsep Tuhan sebagai belenggu dalam hidup manusia, juga muncul dalam

naskah drama “Ruang Tunggu Terakhir. Pada awalnya, penulis melihat bahwa naskah

drama ini lebih condong berbicara tentang eksistensialisme yang bersifat theis. Hal ini

disebabkan oleh munculnya tokoh Man yang dicurigai serupa dengan gambaran Yesus,

Tuhan dalam wujud manusia (dalam bahasa Inggris, ‘man’ berarti manusia)34. Karena

kehadiran Tuhan itu, ketiga tokoh utama dapat terbebas dari kiamat dan menjalani

hidup baru di tanah yang dijanjikan.

Penghayatan ketiganya terhadap janji Man ini seolah mendengungkan ujaran

Kierkegaard (Hassan 1989: 33) mengenai “kedekatan pada Tuhan sebagai penghayatan

eksistensial karena Tuhan sebagai kebenaran yang dihayati adalah subyektif”. Namun,

ketika ditemukan bahwa kabar kematian Man justru mendorong mereka untuk

menentukan sendiri nasibnya—pergi dan mencari sendiri tanah yang baru—

membukakan kemungkinan sisi lain untuk melihat eksistensialisme dalam karya

tersebut. Dalam karya ini pun, eksistensialisme yang dibicarakan menggugat peran

Tuhan (atheis) dalam kehidupan manusia. Dengan kematian Tuhan (Man), telah

membuat manusia (Saman, Maman, dan Lukman) dapat menentukan sendiri caranya

untuk hidup. Oleh sebab itulah, pada akhirnya yang ditemukan dalam analisis

33 “prisoners they are to me, and marked men. He whom they call Redeemer has put them in fetters; in

fetters of false values and delusive words.” (Nietzsche dalam buku Berkenalan dengan Eksistensialisme

(1989), Fuad Hassan. 34 “But it is in the New Testament, in the life and work of Jesus, that we find the distinctively Christian

(rather than Jewish) idea of salvation. The central claim is that God was uniquely present in the particular

human being Jesus, and that God uses his life (…)” (Chritianity: God’s Salvation, Leslie Stevenson

(1987) Seven Theories of Human Nature)

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 140: Universitas Indonesia Library

126

Universitas Indonesia

struktural, dua naskah lainnya tidak dapat menyatakan bahwa tokohnya telah bebas

karena tokoh ‘tuhan’ dalam dunia tersebut masih ada.

Satu-satunya cara yang harus ditempuh oleh para tokoh untuk dapat

menemukan identitas diri yang sejati adalah dengan melakukan pilihan berdasarkan

kehendak bebasnya. Dengan melakukan pilihan, mereka telah membebaskan dirinya

dari proses penyamarataan (Hassan 2989: 35) yang telah menghilangkan identitas

individu sejati35. Proses penyamarataan tersebutlah yang telah menempatkan asal usul

kelima tokoh dalam naskah drama “Gagu Ngigau Galau Wagu” tidak menunjukkan

perbedaan ciri apapun (“Tidak ada keistimewaan atau tokoh yang lebih menonjol” lihat

bagian 2.1.2: 19-20). Tokoh-tokoh ini hanya dilihat sebagai bagian dari sebuah sistem

penelitian, seperti yang disampaikan pada awal pembicaraan bagian ini, sehingga tidak

diperlukan adanya mutu kualitatif perseorangan.

Dalam analisis (lihat bagian 2.1.2: 27-31) yang menunjukkan proses antara

klimaks dan peleraian, diperlihatkan bahwa para tokoh akhirnya memutuskan untuk

memilih keluar dari zona nyaman dalam kehiduapan di ruangan tersebut. Tokoh Bapak

diperlihatkan menuntut haknya untuk bebas dari ruangan tersebut. Kelima tokoh

masyarakat, yang diwakili oleh tokoh Pak Marman, angkat bicara atas keadaannya

selama ini. Tokoh Saman, Maman, dan Lukman, akhirnya memutuskan untuk pergi

dari ruangan penantian mereka. Namun, dari ketiga naskah drama yang ada, hanya

dalam drama “Ruang Tunggu Terakhir”, tokoh-tokohnya dapat menjalani keputusan

yang diambilnya. Hal ini berkaitan dengan keterangan sebelumnya bahwa kematian

tokoh Man adalah pembebasan bagi para tokoh, sedangkan dalam dua drama lainnya,

para tokoh masih terikat di bawah kendali ‘tuhan’ mereka. Walaupun dapat dikatakan,

tokoh Saman, Maman, dan Lukman telah berhasil memilih kebebasannya, tetapi tidak

dijelaskan lebih lanjut mengenai sikap mereka atas kebebasan mereka tersebut. Apakah

tindakan mereka selanjutnya masih didasarkan pada tujuan mencapai tanah yang

35 Sartre dan Kierkegaard sama-sama mengemukakan bahwa pilihan adalah sebuah cara yang haru

ditempuh untuk menjalani penghayatan yang subyektif sehingga individualitas, kualitas perseorangan

dan ketunggalan pribadi dapat muncul (Fuad Hassan 1989: 34-35). Sartre menambahkan bahwa pilihan

tersebut tidak berkaitan sama sekali dengan pengalamannya di masa lampau. Piilhan tersebut tidak

bersifat historis, tetapi momentum (Leslie Stevenson (1987: 95)

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 141: Universitas Indonesia Library

127

Universitas Indonesia

dijanjikan? Jawaban itu tidak diberikan di dalam naskah drama. Ketiga naskah drama,

seperti yang disampaikan dalam bagian analisis, memberikan akhir sebagai awal yang

baru bagi para tokoh.

Uraian masalah dalam karya relasi manusia dengan dirinya sendiri—dilihat dari

sudut pandang eksistensialisme—belum menemukan titik terang, disebabkan oleh

adanya hubungan yang lebih luas dengan keadaan berbangsa (drama relasi manusia

dengan kekuasaan) serta jenis kekerabatan (drama relasi manusia dengan masyarakat),

dalam menentukan gambaran manusia secara menyeluruh. Hal yang ditemukan dalam

karya-karya ini merupakan titik tolak untuk melihat persoalan yang memiliki ruang

lingkup lebih luas (kekuasaan dan masyarakat) sebab relasi dalam karya ini merupakan

bagian inti dari manusia.

3.2.2 Persoalan Identitas Kebangsaan dalam Drama dan Realitas Sosial

Persoalaan kebangsaan yang muncul dalam naskah drama “Pesta Sampah”,

“Parlemen WC”, dan “Paralel ‘45”, merupakan hasil dari penelusuran relasi manusia

dengan konsep kekuasaan. Bagi para tokoh, kekuasaan merupakan sebuah konsep yang

maknanya telah dikorupsi oleh individu-individu yang tidak bertanggung jawab.

Kekuasaan dalam naskah drama ini dibedakan dari kepemimpinan. Tokoh atau simbol

yang berkuasa tidak menunjukkan adanya kapabilitas untuk mengatur, menjaga,

apalagi memimpin. Permainan kepentingan muncul dalam semua karya drama,

terutama naskah drama “Pesta Sampah”. Dalam bagian analisis struktural, “Pesta

Sampah” telah memperlihatkan bahwa setiap tokohnya memiliki kepentingan pribadi,

mulai dari memenuhi kebutuhan primer hidup sampai memuaskan nafsu. Tokoh seperti

Rombeng dan Polong pun—sahabat seprofesi Pulung—memiliki kepentingan untuk

bebas dari derita kemiskinan maka dari itu mereka meninggalkan Pulung.

Di dalam naskah drama “Parlemen WC”, permainan kepentingan ini sangat

jelas terlihat dalam usaha beberapa tokoh untuk merebut kekuasaan di kampung itu.

Hal tersebut dapat dilihat pada analisis struktural (bagian 2.2.2) yang menunjukkan

tokoh Karjo yang ingin membangun WC demi kepentingannya untuk memperbaiki

keadaan ekonomi keluarga dan tokoh Perempuan 1 yang berambisi membawa

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 142: Universitas Indonesia Library

128

Universitas Indonesia

kepentingan kelompok. Dalam karya ini, kepentingan para tokoh tidak dapat

dikendalikan karena absennya sosok pemimpin yang mengatur kehidupan politik

mereka. Sementara itu, di dalam naskah drama “Paralel ‘45”, kemunculan tokoh

pemimpin yang menyalahgunakan kekuasaannya, justru menjadi penyebab dari

kekacauan kehidupan berbangsa di wilayah Timur dan Barat.

Apabila kejadian dalam naskah drama ini dilihat dari ruang dan waktu

penciptaannya—Jakarta, tahun 2000-an—maka proses politik yang terjadi di negara

ini, dapat dipertimbangkan sebagai dasar perumusan masalah utama dalam naskah

drama. Secara umum, ketiga drama ini mempersoalkan kesewenang-wenangan dari

bentuk kekuasaan dalam kaitannya dengan hidup berbangsa. Seperti yang dikatakan

sebelumnya, hal ini muncul karena tidak adanya sosok pemimpin yang mengatur dan

menjaga keharmonisan hidup berbangsa (Kartodirdjo 1984: vi). Masalah kepentingan

yang muncul, seperti dalam naskah drama “Pesta Sampah” atau “Parlemen WC”,

merupakan indikasi kebobrokan sistem pemerintahan dalam relasi antara pemimpin

dan yang dipimpin.36 Apabila hal ini dijelaskan melalui keadaan sosial politik di

Indonesia maka perlulah diuraikan tentang kebangsaan di masa kini, yaitu masa

transisi37 dari pemerintah Orde baru menuju bentuk pemerintahan anti-Orde Baru.

Pemerintahan anti-Orde Baru ini mengusung semangat demokrasi yang membuka

kesempatan seluas-luasnya bagi partisipasi publik dalam pemerintahan38. Munculnya

tokoh seperti Parmin adalah wujud dari sikap positif terhadap gerakan reformasi

pemerintahan tersebut. Pada bagian pemaparan masalah, ditemukan pemikiran dan

sikap Parmin yang menjunjung tinggi kebebasan beraspirasi di dalam WC umum—

36 Sistem sosial kolektif yang dianut oleh bangsa ini melahirkan interaksi antara pemimpin dengan yang

dipimpin. Untuk memolakan perilaku yang sama dalam suatu kaidah berbangsa maka peran pemimpin

diharapkan dapat mempengerahu dan mengarahkan pada tujuan koketif berdasarkan nilai tertentu

(Kartodirdjo (1984) Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial) 37 Diambil dari tulisan Henk Schulte Nordholt “Renegotiating Boundaries: Acces, Agency, and Identity

in Post-Soeharto Indonesia” yang mencatat perkembangan Indonesia setelah krisis moneter dan politik

tahun 1997 dan 1998 yang memasuki fase transisi dari kekuasaan otoriter oleh pemerintah yang absolut

menuju sistem pemerintahan dengan demokrasi yang baru. Proses ini ditandai dengan peningkatan

otonomi daerah dan usaha membuat pemerintahan yang lebih transparan bagi publik. (Bijdragen tot de

Taal--, en Volkenkunde, Vol. 159, No.4 (2003) h.550) 38 “Recently the proces of decentralization in Indonesia has been equated with a proces of

democratization amd the rise of civil society.” (lihat Nordholt 2003: 551)

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 143: Universitas Indonesia Library

129

Universitas Indonesia

yang merupakan simbol kekuasaan pemerintahan kampungnya. Keadaan tokoh Parmin

tersebut merupakan antitesis dari situasi sosial politik yang selama masa Orde Baru

mengalami sentralisasi kekuasaan (Kritik Sosial dalam Masaa Pembangunan 1999”

428). Publik—pada masa itu—tidak memiliki akses untuk berpendapat dalam

keputusan pemerintah. Oleh sebab itu, ketika Orde Baru tumbang, kebebasan

berpendapat menjadi semacam pemicu semangat.

Namun, proses reformasi dengan segala bentuk kebebasannya, dilihat dengan

perspektif yang negatif, yaitu sebagai bentuk ketidakteraturan. Oleh sebab itu,

muncullah dalam naskah keadaan yang memperlihatkan tokoh-tokoh bersaing bebas

dan tidak sehat, seperti pada bagian perumitan masalah drama “Parlemen WC” atau

keberadaan tokoh Pakdir dalam drama “Pesta Sampah”. Hal tersebut dipicu oleh

eksploitasi manusia terhadap kondisi yang bebas dan—kembali lagi seperti yang

diucapkan sebelumnya—ketiadaan pemimpin yang menjaga keteraturan dari keadaan

yang bebas tersebut.

Dalam naskah drama “Pesta Sampah” dan “Parlemen WC”, ditemukan tokoh

pejabat (lihat bagian 2.2.2: 51-54) yang menyalahgunakan jabatannya demi

kepentingan pribadi. Tokoh pejabat dalam drama “Pesta Sampah”, diperlihatkan

berjudi dengan tokoh Pakdir sambil mempertaruhkan aset negara (lihat h.54-55).

Sementara itu, tokoh pejabat di dalam drama “Parlemen WC”, justru ingin

menghancurkan WC—yang adalah lambang kekuasaan demokrasi—untuk menguasai

kampung tersebut. Dua tindakan yang dilakukan dalam dua drama berbeda ini

merupakan simbol permainan kepentingan yang menyalahgunakan kekuasaan.

Hal ini menunjukkan bahwa warisan dari sistem politik yang didasarkan pada

birokratik otoriterien39—yang banyak terjadi di masa Orde Baru—masih belum dapat

benar-benar dihilangkan. Praktik birokrasi politik yang tertutup ini tidak hanya dibawa

39 “Sebagai suatu sistem politik birokratik otoriterien, demikian menurut apa yang kita pahami dari

mereka dan kita saksikan dari praktik politik Orde Baru selama ini, sistem politik Orde Baru sangat kuat

ditandai oleh konsentrasi kekuasaaan dan keputusan nasional hampir sepenuhnya berada di (…) tangan

birokrat, kelompok militer dan kelompok wiraswastawan oligopolistik yang bersama-sama dengan

pemerintah bekerjsama dengan masyarakat bisnis internasional” (Nasikun, “Reformasi, Jalan Berliku

Menuju Transisi Demokrasi” di dalam buku Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan (1999) h.428-

429)

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 144: Universitas Indonesia Library

130

Universitas Indonesia

oleh pemerintahan Orde Baru, tapi jauh sebelum itu, ditemukan pada masa kolonial.

Pada masa kolonial, pihak penjajah melakukan kerja sama dengan sejumlah tokoh

pribumi untuk menjalankan pemerintahan. Bentuk kerja sama tertutup ini, digunakan

untuk kepentingan kolonialisme di Nusantara sehingga masyarakat saat itu merasakan

penderitaan.

Di masa Orde Baru, praktik politik birokratik-otoriterien melibatkan pihak

militer dan kaum wiraswastawan (elite). Praktik politik tersebut menimbulkan banyak

kasus yang mengganggu kestabilan kehidupan rakyat, misalnya penyalahgunaan akses

dalam pemerintahan, salah satunya, dengan penyalahgunaan dana penyelenggaraan

pemerintah atau korupsi, seperti kasus korupsi Pertamina dan pembangunan Taman

Mini Indonesia Indah. Kasus korupsi Pertamina menyeruak ketika harga bahan bakar

minyak naik. Protes dari rakyat tentang kenaikan harga tersebut menuntun pada fakta

penyelewengan dana di perusahaan milik negara tersebut. 40.

Namun, protes terhadap kebijakan-kebijakan yang dianggap merugikan publik,

tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah karena menyangkut kepentingan pihak-pihak elit

dan asing. Hal inilah mungkin yang coba diilustrasikan dalam karya drama “Pesta

Sampah”, yaitu ketika tokoh Pejabat mengadakan kerja sama dengan pihak Pakdir.

Tokoh Pakdir ini dijelaskan dalam bagian analisis struktural sebagai seorang

pengusaha asing (lihat 2.2.2). Ia, dengan modal yang besar, mendapatkan akses dari

tokoh Pejabat untuk membangun industri dan teknologi yang mengubah kota menjadi

‘rimba beton’.

Apabila hal tersebut terus dilaksanakan maka masalah ketidakadilan sosial akan

semakin membesar. Ketidakadilan sosial ini akan mendorong publik semakin jauh dari

rasa percaya terhadap pemerintah, seperti yang dilihat pada perumitan masalah dalam

drama “Paralel ‘45”. Pada bagian analisis struktural, ditemukan bahwa bentuk

pemerintahan wilayah Timur dan Barat adalah demokrasi, dibuktikan dengan

40 Ibnu Sutowo, mantan Direktur Utama PN Pertamina menyangkal adanya tindak korupsi di dalam

Pertamina. Padahal team Pekuneg telah melaporkan adanya manipulasi dengan ekspor minyak mentah,

manipulasi harga, cara pemakaian keuangan oleh Dirut Pertamina tanpa pengawasan, pemesanan kapal

lewat broker Jepang, dan puluhan lagi contoh-contoh salah urus dan penyelewengan. (Dikutip dari harian

Indonesia Raya, 22 April dalam tulisan “Pura-pura Tak Mengerti, Jendral Ibnu?” Tulisan ini diambil

dari Kritik Sosial, Pers, dan Politik Indonesia (1999) Akhmad Zaini Akbar, h. 54-55.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 145: Universitas Indonesia Library

131

Universitas Indonesia

diselenggarakannya pemilihan umum. Namun, proses demokrasi di kedua wilayah—

yang dulunya merupakan satu negara—tidak berlangsung dengan baik. Akibat dari

penolakan wilayah Timur terhadap keputusan pemilu, pemimpin yang terpilih

mengasingkan Timur dari wilayah Barat. Ia pun membangun sebuah tembok pembatas

wilayah, yang selanjutnya disebut Paralel ’45.

Peristiwa berdirinya tembok Paralel ‘45 ini, selain dimaksudkan untuk menjaga

wibawa pemimpin negara, juga diharapkan dapat mengalahkan pemberontakan rakyat

yang menolak hasil pemilu. Di satu sisi, drama ini juga menampilkan dialog Pemimpin

Barat yang menunjukkan cita-citanya sebagai seorang kepala negara, “Ahh aku

bingung kenapa mereka masih keras kepala seperti ini, padahal aku bisa membuat

mereka jadi lebih sejahtera” (Pemimpin Barat, 2013: 11-12). Dengan mimpinya

tersebut, ia memaksa rakyat tunduk pada otoritasnya.

Pada masa Orde Baru, ada berbagai macam cara pemerintah untuk mengekang

rakyat yang hendak melakukan protes terhadap kebijakan pemerintah. Proyek yang

mendapat penolakan dari rakyat disebabkan oleh munculnya dugaan bahwa realisasi

proyek yang memakan banyak uang negara itu hanya untuk kepentingan perseorangan

atau tertentu. Hal tersebut dapat dilihat dalam skema kritik sosial41 melalui pers selama

tahun 1966-1974 berikut ini.

Tabel 3.1

Kritik Sosial Melalui Pers dan Respon Negara

Tahun 1966-1974 Tema Kritik Reaksi Positif Negara Reaksi Negatif Negara Hasil

Berantas korupsi

(1967-1968)

Pembentukan TP dan

Task Force

Tuduhan Merongrong

Kewibawaan Negara

Tidak Sesuai dengan

Harapan Masyarakat-

penangkapan Korupsi

Kelas Teri.

Berantas Korupsi

(1969-1970)

Pembentukan Komisi 4

dan UU No. 3/1971

tentang PTPK

Tuduhan Merongrong

Kewibawaan Negara

Tidak Ada Hasil Nyata

Memorandum Pansus

DPR

Penangkapan, Penahanan

Mahasiswa dan

interograsi

wartawan/redaktur.

Gagal” Proyek TMII

Jalan terus

41 Tabel ini diambil dari Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan (1999: 59) untuk memberikan

ilustrasi tentang ketidakacuhan pemerintah terhadap protes dari masyarakat.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 146: Universitas Indonesia Library

132

Universitas Indonesia

Reaksi keras dari masyarakat terhadap bentuk kesewenangan-wenangan

pemerintah, memunculkan reaksi balik dari pemerintah yang memukul rakyat hingga

tak berkutik. Tindak mengabaikan sampai pada aksi keras, seperti penculikan atau

pencabutan izin terbit media massa, dilakukan oleh pemerintah Orde Baru untuk

menahan intervensi publik dalam penyelenggaran pemerintah. Terjadi beberapa kali

kasus pencabutan surat izin terbit kepada surat kabar atau media massa yang

melakukan aksi ‘pemberotakan’ lewat berita. Salah satu kasus penutupan media massa

yang sempat mengguncangkan publik adalah pada tahun 1974. Tepatnya tanggal 22

Januari, Laksus Pangkopkamtibda mencabut surat izin terbit—dengan disusul

penarikan surat izin keesokan harinya oleh Departemen Penerangan—untuk enam

surat kabar, termasuk di antaranya surat kabar Indonesia Raya42. Beberapa tahun

kemudian, tepatnya 21 Juni 1994, majalah Tempo dibredel. Ketika kasusnya diajukan

ke Mahkamah Agung, pada tanggal 13 Juni 1996, Tempo dinyatakan kalah dalam

proses pengadilan tersebut. Para pendukung, mereka yang bekerja dan rakyat yang

mendukung, merasa marah dan kecewa dengan putusan hakim tersebut. Goenawan

Mohamad (2001: 1135-1136) pun mencatat bahwa hal yang paling tak pantas

sepanjang proses peradilan itu mungkin tertuju pada pola laku jaksa penutut umum,

Singgih, yang menyindir para pendukung Tempo dengan mengganti slogan majalah itu

untuk menanggapi putusan pengadilan, “Enak didengar dan perlu”.

Selain itu, adapula kasus peradilan yang dianggap sebagai sebuah pemaksaan

belaka tanpa unsur kebenaran di baliknya, ketika seorang pesuruh yang bekerja di

Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Danang (19 tahun), dijatuhi hukuman penjara

selama 1 tahun 8 bulan.43 Ia dituduh membantu mengedarkan “Forum Wartawan

Independen” yang dianggap telah menyebarkan kebencian terhadap pemerintah.

42 Diambil dari tulisan Alex A. Rachim, “Apakah Ia Akan Ditangkap Begitu Turun di Kemayoran?”.

Alex adalah salah satu orang yang bekerja di harian Indonesia Raya, di bawah kepemimpinan Mochtar

Lubis. (diambil dari buku Mochtar Lubis: Wartawan Jihad (1992) Atmakusumah) 43 Goenawan Mohamad menuliskan kasus tentang Danang, pada tanggal 27 Agustus 1995 di Media

Indonesia. Pengadilan itu disebutnya liar karena mengabaikan pengakuan dari saksi yang membela

Danang. Danang Kukuh W. bekerja di AJI sebagai pengurus harian rumah tangga, bukan pada kegiatan

jurnalistik AJI. Seminggu setelahnya, dibuka kasus pengadilan dua wartawan, Taufik dan Item, yang

berujung pada putusan bersalah. (diambil dari buku Kata, Waktu: Esai-Esai Goenawan Mohamad 1960-

2001 (2001) Goenawan Mohamad)

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 147: Universitas Indonesia Library

133

Universitas Indonesia

Majalah tersebut memuat sebuah tulisan tentang saham-saham yang dimiliki Menteri

Penerangan Harmoko di berbagai penerbitan. Tak masuk akal dan sungguh sebagai

sebuah langkap represi belaka, menghukum Danang yang tak memiliki sangkut paut

dengan isi maupun keberadaan tulisan tersebut. Sepekan kemudian, dua wartawan dari

majalah yang sama dijatuhi hukuman penjara selama 32 bulan.

Beberapa golongan orang menganggap bahwa penyaringan pendapat publik

dapat membawa suatu keteraturan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan

sedikitnya intervensi, pemerintah dapat menyelenggarakan program-program yang

dirasanya baik. Program pembangunan ini bertujuan untuk menyejahterakan dan

mengangkat Indonesia ke mata dunia, tetapi nilai-nilai kebaikan itu sangat subyektif.

Baik bagi golongan tertentu, belum tentu baik bagi golongan yang lain. Seperti pada

drama “Paralel ‘45”, kehadiran tembok tersebut baik bagi kedaulatan pemerintah,

tetapi menyengsarakan rakyat yang diwakili oleh tokoh Marni dan Rasyid.

Namun, baik itu pembredelan surat kabar sampai pendirian tembok Paralel ’45

seperti dalam drama, tindakan yang menghentikan aspirasi rakyat sebenarnya adalah

sebuah tindakan yang takut terhadap daya kehidupan (Goenawan Mohamad 2001:

1135). Penguasa tahu bahwa daya yang lahir dari sebuah keadaan tertekan dapat keluar

dengan kekuatan yang luar biasa. Pertanyaan rakyat atas keadilan adalah sebuah

panggilan yang menakutkan bagi kekuasaan lalim, seperti yang ditunjukkan oleh sikap

tokoh Parmin dalam drama “Parlemen WC”. Kekhusyukannya dalam menghayati tiap

‘ritual buang hajat’ (lihat bagian 2.2.2) sebagai kesempatan menyuarakan aspirasinya,

tidak dapat mentolerir bentuk gangguan apa pun terhadap kegiatannya tersebut. Ia

bahkan sampai terlibat adu mulut dengan tokoh Orang 1, 2, dan 3. Dalam bagian

pemaparan masalah diperlihatkan tokoh Parmin dan teman-temannya berebut untuk

menyalurkan aspirasi di dalam WC tersebut. Dan kemarahan tokoh Parmin ketika

tokoh Pejabat datang hendak menghancurkan WC tersebut, menandakan bahwa

penyaluran aspirasi adalah salah satu dari hakikat hidup masyarakat sebagai bagian dari

pemerintahan.

Alasan pemersatu bagi bangsa yang terdiri atas berbagai macam etnis adalah

kesamaan pengalaman dan tekad untuk bersatu padu menuju sebuah keadaan yang baik

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 148: Universitas Indonesia Library

134

Universitas Indonesia

(Suseno 2003: 48). Hal tersebut menempatkan kepentingan masyarakat kolektif

sebagai suatu syarat utama untuk mengadakan pembangunan. Apabila hal tersebut

tidak dilakukan maka akan muncul ketidakadilan sosial. Menurut Franz-Magnis

Suseno,44 situasi yang merugikan kepentingan publik—dengan membungkam,

membunuh, dan menyingkirkan rakyat dari program-program utama pemerintah—

dapat mengancam rasa kebangsaaan masyarakat pluralis ini.

Oleh sebab itu, ketika reformasi tiba dan Orde Baru berlalu, jaminan atas hak

asasi manusia, keadilan sosial, dan solidaritas masyarakat sebagai suatu kesatuan

adalah tantangan yang harus dijawab oleh pemerintah. Masa kelam selama Orde Baru

berkuasa, mau tak mau harus diakui telah menimbulkan dorongan bagi orang-orang

untuk memisahkan dirinya dari negara yang telah mengorbankan kepentingannya.

Sikap primordialisme ini akan membuat kesatuan sebagai bangsa terancam. Tidak

heran, jika pascareformasi, muncul banyak gerakan separatisme atau radikal yang

memisahkan diri dan kelompoknya dari masyarakat lain.

Kekhawatiran akan adanya perpecahan itulah yang ditangkap oleh “Paralel

‘45”. Dalam drama “Parlemen WC”, yang lebih ditunjukkan adalah keadaan masa

transisi--setelah Orde Baru tumbang—tentang kebebasan publik yang harus tetap

diatur sedemikian rupa agar primordialisme dapat dicegah. Dalam karya tersebut,

tokoh Perempuan 1 telah menunjukkan adanya usaha-usaha untuk membawa

kepentingan kelompoknya sebagai motif untuk menguasai kampung. Apabila

kepentingan tokoh 1 atau tokoh Pejabat terpenuhi maka makin dekatlah kampung

tersebut pada kehancuran. Pada bagian analisis peleraian masalah, kehancuran bentuk

kekuasaan, menyebabkan rakyat saling serang. Kekacauan terjadi sehingga

menghancurkan kampung tersebut.

Temuan masalah pada karya-karya drama ini mengarah pada situasi perpecahan

dan kekacauan yang terjadi di antara masyarakat. Banyak dari peristiwa di dalam

naskah yang menunjukkan bahwa kekuasan perlu dibenahi untuk menyejahterakan

44 Ia adalah guru besar Filsafat Sosial di Sekolah Tinggi Filsafat Driyakora, Jakarta dan dosen luar biasa

di Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Tulisan ini diambil dari esai “Mencari Makna

Kebangsaan” yang ditulis pada tahun 1994 untuk sebuah harian (dari buku Mencari Makna Kebangsaan

(1998: 48) Frans Magnis-Suseno).

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 149: Universitas Indonesia Library

135

Universitas Indonesia

kehidupan masyarakatnya. Namun, di dalam naskah tuntutan tersebut tidak juga

terwujud hingga akhir drama berlangsung. Oleh sebab itu, akhir dari drama-drama ini

berbicara tentang kehancuran (“Parlemen WC”), kematian (“Paralel ’45), dan

keterasingan (“Pesta Sampah”). Pertanyaannya, apakah hal tersebut menandakan

bahwa impian tentang kehidupan demokratis yang menyejahterakan rakyat memang

tidak terwujud atau belum terwujud?

Keadaan pada naskah drama ini menunjukkan bahwa bentuk-bentuk kekuasaan

masa Orde Baru memang begitu kuat mengakar bahkan hingga kini.45 Masalah yang

dihadapi oleh pemerintah masa kini adalah mengatasi masalah yang sifatnya serba

struktural. Oleh sebab itu, pemerintah masih terus mencoba mencari bentuk dari

kekuasaan yang paling ideal untuk menyembuhkan keadaan bangsa pasca-Orde Baru.

Ketika dulu Bung Karno menyuarakan tentang semangat nasionalisme, itu baik.

Namun, pada masa sesudahnya, kegemerlapan nasionalisme itu tak lagi dianggap

sesuai untuk menjawab perkembangan zaman yang datang. Sama halnya dengan

sekarang, ketakutan bahwa demokrasi telah membawa bentuk kehancuran yang baru,

dirasakan dalam konflik-konflik dalam drama “Parlemen WC” dan “Paralel ‘45”.

Keadaan yang diuraikan dalam bagian pemaparan masalah menunjukkan bahwa sistem

demokrasi yang menjamin partisipasi dari semua golongan dapat disertakan dalam

penyelenggaran pemerintahan, justru menimbulkan kekacauan.

Rakyat di Timur, dalam drama “Paralel ‘45” mengamuk ketika Pemimpin

Barat telah diputuskan sebagai pemimpin negara baru lewat pemungutan suara.

Pemungutan suara atau pemilihan umum seperti yang dirayakan bangsa ini sebagai

sebuah pesta demokrasi terbesar, diceritakan dalam drama tersebut, justru menjadi

senjata yang memecahbelah negara menjadi wilayah Timur dan Barat. Pada taraf

tersebut, pihak mana yang benar dan yang salah sudah tak lagi menjadi penting, sebab

dampaknya lebih besar dari proses demokrasi itu sendiri, yaitu persatuan sebagai

45 Bentuk pemerintahan yang dipusatkan pada satu titik menjadi ciri pemerintahan pada masa Orde Baru.

Hal ini mendapat pengaruh dari sistem kekuasaan kolonial selama berada di Indonesia. Oleh sebab itu,

negara tidak hanya berkewenangan untuk mengurusi perihal faktor pendukung pemerintah, tetapi juga

mengintervensi kehidupan masyarakatnya. (lihat Henk Schulte Nordholt (2003) “Renegotiating

boundaries: Access, agency and identity in post-Soeharto Indonesia”)

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 150: Universitas Indonesia Library

136

Universitas Indonesia

sebuah negara. Sama halnya dengan di Indonesia, pada tahun 1999, ketika pemilu

pertama digelar setelah tiga dekade berada dalam pemilu rekayasa Orde Baru, rakyat

datang berduyun-duyun ke tempat pemilihan. Antusiasme mereka untuk ikut

merayakan proses demokrasi yang adil telah memicu tumbuhnya kepedulian untuk

menentukan nasib bangsa. Hal ini yang disebut oleh Goenawan Mohamad (2001: 1405)

sebagai pemulihan modal sosial.

Sebelumnya, rakyat telah dibuat tak simpati dengan segala hal yang berbau

pemerintahan. Bukan karena ketidakpedulian mereka pada bangsa ini, tetapi karena

penyingkiran yang dilakukan oleh politik elit zaman Orde Baru, telah berhasil

membuat mereka tak lagi merasa sebagai bagian dari bangsa ini. Apatur negara yang

harusnya bertugas untuk melayani dan melindungi publik, dianggap lebih

mementingkan urusan pribadinya. Kerusuhan Mei 1998, menjadi titik balik yang

paling mengenaskan dari kehancuran modal sosial di tanah air. Goenawan Mohamad

(2001: 1404) mencatat bahwa untuk sebuah jaminan dan perlindungan keamanan,

rakyat harus membayar mahal kepada negara. Padahal mereka membayar pajak dan

telah melakukan bagiannya untuk mendapat perlakuan yang adil dari pemerintah.

Tak ketinggalan pula, kemunculan individu maupun kelompok yang merasa

dirinya mampu untuk memikul beban sebagai kepala negara, kepala daerah, atau para

legislatif yang mengatasnamakan kepentingan rakyat. Timbul partai-partai baru yang

meramaikan pemilihan umum tersebut, setelah sebelumnya bursa pemilihan dikuasai

oleh satu partai milik Orde Baru.46 Dengan kebebasan yang diberikan, kelompok

maupun perseorangan maju dengan membawa pemikiran dan visi-misinya yang

bertujuan untuk mengembalikan harapan rakyat terhadap bangsa ini. Kemunculan

partai-partai dengan sifat dan pandangan politik yang bervariasi menunjukkan adanya

kemajuan dalam proses demokrasi di negara ini, seperti yang dilihat pada tabel berikut

ini.

46 Pemerintahan Habibie dianggap telah berhasil menyelenggarakan pesta demokrasi terbesar pertama

pasca-Orde Baru. Pemilu pertama yang diadakan secara adil (lihat Greg Barton (2008) “Indonesia’s Year

of Living Normally: Taking the Long View of Indonesia’s Progress”)

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 151: Universitas Indonesia Library

137

Universitas Indonesia

Tabel 3.2

Hasil Pemilu Tahun 2004 dan 200947

Dari data yang ditunjukkan tabel tersebut, terlihat bahwa geliat demokrasi

semakin maju dengan tercatatnya peningkatan partai baru yang muncul. Kebebasan

dalam demokrasi, tidak hanya menjamin kebebasan bersuara, tetapi juga memberikan

kesempatan bagi siapa saja untuk turut berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara.

Termasuk juga, menjadi bagian dari penyelenggara negara, seperti legislatif dan

eksekutif. Hal ini yang nampak dalam drama “Parlemen WC”. Semua orang di

kampung Parmin dapat menjadi pemimpin, asalkan menjamin tempat mengeluarkan

aspirasi—atau WC umum—tetap dapat terjaga kelayakannya. Mereka dapat merebut

kekuasaan yang dipegang oleh orang lain, dengan cara memberikan fasilitas WC yang

lebih baik.

47 Data Komisi Pemilihan Umum, Jakarta (diambil dari makalah Marcus Mietzner (2010) “Indonesia

in 2009: Electoral Contestation and Economic Resilience”

Political Party

2004 2009

votes

(%)

Seats Votes (%)

Seats

PD

7.50 55 20.85 148

Golkar (Functional Groups) 21.58

129 14.45 106

PDIP (Indonesian Democratic

Party of Struggle)

18.53

109 14.03 94

PKS (Prosperous Justice Party) 7.34

45 7.88 94

PAN (National Mandate Party) 6.40

53 6.01 45

PPP (United Development Party) 8.15

58 6.01 45

PKB (National Awakening Party) 10.57

52 4.94 28

Gerindra (Great Indonesia

Movement)

- - 4.46 26

Hanura (People’s Conscience

Party)

- - 3.77 18

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 152: Universitas Indonesia Library

138

Universitas Indonesia

Kekuasaan yang diberikan pada rakyat ini, dalam drama “Parlemen WC”,

berujung pada penyalahgunaan kebebasan. Munculnya tokoh Perempuan 1 dan

Karjo—seperti yang telah disebutkan sebelumnya—menandakan bahwa masih ada

sisa-sisa dari ambisi yang dibawa karena mementingkan dirinya sendiri. Tujuan untuk

memiliki kekuasaan tidak didasarkan pada motivasi yang benar. Hal tersebut,

diumpamakan oleh Goenawan Mohamad (2001: 1398-1399) dengan kemunculan

orang-orang seperti Suta—tokoh yang diceritakan tak pernah lulus SMA—yang demi

pemerataan kekuasaan mendapat bagian menjadi pemimpin. Ia sama sekali tidak tahu

dengan hal-hal yang menyangkut kewajiban barunya, apalagi memiliki visi-misi

membangun bangsa. Hal seperti ini masih banyak dijumpai sekarang, dengan

maraknya para artis atau golongan olaharagawan yang terjun ke bursa pemilihan

legislatif. Mereka yang tidak memiliki kompetensi atau pengalaman, dimasukkan

dalam partai politik untuk meningkatkan suara pemilih. Dengan asumsi, mereka

sebagai public figure, dikenal luas oleh masyarakat dan akan membantu

memenangkann pemilu.

Hal seperti itu tentu memberikan sebuah pemerintahan yang sifatnya jangka

pendek dengan program-program yang tidak terjamin kesuksesannya. Namun, menurut

pengamatan De Tcqueville, itulah hebatnya sebuah sistem yang bernama demokrasi

(Goenawan Mohamad 2001: 1398). Dalam demokrasi, setiap orang tetap berhak untuk

mendapat kesempatan dan kekuatan yang sama. Proses belajar bersama adalah hal yang

dijunjung dalam demokrasi. Namun, sehebat apa pun sebuah ideologi atau sistem, pada

akhirnya kebutuhan zaman akan memberikan jawaban yang paling tepat tentang

relevansi penerapan nilai dari ideologi atau sistem tersebut.

Dalam drama-drama ini, demokrasi telah memberikan kekuatan pada publik

untuk bergerak bersama tanpa adanya kepemimpinan yang kuat. Seperti masalah dalam

drama “Parlemen WC”, semua warga mengamuk dan saling menghancurkan. Atau

pada drama “Pesta Sampah”, tokoh pejabat menyalahgunakan wewenang dan

membuka celah bagi nilai-nilai baru untuk merusak nilai-nilai kemanusiaan, seperti

yang terlihat dalam kutipan analisis struktural berikut ini.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 153: Universitas Indonesia Library

139

Universitas Indonesia

Pulung mulai tak tega. Ia merasa itu tidak lagi manusiawi. Pakdir terus

Mempermainkan pejabat…Pulung coba menutup mata

Pakdir: sekarang kita pesta, nyalakan lampu dan musik Panggil para penghibur

sejati. Kita menuju kota besi

(Musikal masuk. Mereka menari dan bernyanyi. Mereka adalah boneka

berbedak tebal. Seketika panggung berubah menjadi pesta yang megah.

Kota dengan segala isinya tumpah berhamburan. Ramai sekali.Musik

syahdu biola.Pakdir berdansa. Di sudut lain ada barisan pelacur.

Pembunuhan,berkelahi, teriakan-teriakan histeria, tarian histeria.

Perampasan, perjudian.Konser musik. Dugem. Suasana demikian kacau dan

krodit. Ditengah itu semua pulung menyaksikan sebuah kebinatangan yang

liar memenuhi seisi kota. Ia menggugat dirinya. Ia bimbang. Kepalanya

hampir pecah.

Terlebih saat ia melihat Mulung menjadi seorang pelacur)

Pejabat itu akhirnya dikalahkan oleh Pakdir di meja judi. Semua aset

negara, yang merupakan milik rakyat, dihabiskannya untuk kepentingan pribadi

tanpa ada pertimbangan yang masak. (…) Pakdir mendapatkan hal yang

diinginkannya. Ia menguasai seluruh isi negeri itu. Manusia-manusia dieksploitasi

dengan lebih lagi. Daerah tersebut sudah menjadi kebun manusia yang seperti

binatang. Tak ada lagi nilai moral yang menjaga keharmonisan hidup bersama.

(lihat bagian 2.2.2: 55)

Celah yang dibuka oleh tokoh Pejabat pada drama “Pesta Sampah” adalah suatu

bentuk kerja sama dengan pihak asing dalam hal investasi. Investasi menjadi salah satu

tolak ukur kesehatan keadaan ekonomi bangsa. Keadaan ekonomi yang stabil membuat

para investor asing tertarik untuk menanamkan sahamnya di negara ini, seperti yang

terlihat pada peningkatan ekonomi tahun 2008.48 Mietzner (2009) juga mencatat bahwa

angkan penurunan kemiskinan serta pengangguran di tahun 2008 adalah prestasi

terbesar yang dicapai pasca-1998. Ditambah pula dengan keluarnya kebijakan

penurunan harga bahan bakar minyak, bebeapa bulan sebelum Pemilu 2009. Terlepas

dari kebutuhan politik Susilo Bambang Yudhoyono (saat itu menjabat presiden periode

48 “otherwise have been an extraordinarily successful year for the Indonesian economy. Continuing

several years of strong growth, Indonesia's GDP expanded by a very healthy 6.4 per cent in the second

quarter of 2008. Investment grew 12.8 per cent in comparison to the previous year, with the transport

and communication sectors even recording growth rates of 39.9 per cent and 36.7 per cent, respectively.

Exports were also stronger than in 2007, increasing by 15.5 per cent in the first quarter and 16.1 per cent

in the second. Most importantly, there were clear indications that middle-income earners profited from

the overall expansion of the economy, with motorcycle sales growing by 44 per cent. In the same vein,

domestic car sales increased by around half to almost 300,000, making Indonesia the largest car market

in the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) in June and July 2008.” (Indonesia in 2008:

Democracy Consolidation in Soeharto’s Shadow (2009: 116) Marcus Mietzner)

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 154: Universitas Indonesia Library

140

Universitas Indonesia

2004/2009), prestasi di bidang ekonomi membuktikan adanya perkembangan yang

baik di tahun-tahun tersebut. Namun, pelaku investasi di negara ini, tidak hanya datang

dari pihak asing. Ada pula koperasi dan badan usaha milik negara (BUMN) yang

seharusnya mampu bersaing dengan para investor asing dalam dunia perekonomian.

Namun, pemerintahan SBY—seperti yang diungkapkan Mietzner (2009)—lebih

terkenal dengan kebijakan-kebijakan ekonomi yang menguntungkan pihak asing,

seperti peningkatan sektor industri.

3.2.3 Persoalan Masyarakat Miskin Kota dalam Drama dan Realitas Sosial

Drama-drama yang berbicara tentang relasi manusia dan masyarakat memiliki

persoalan yang berhubungan erat dengan masalah manusia dengan kekuasaan. Hal ini

disebabkan oleh keberadaan masyarakat sebagai salah satu komponen dalam

kehidupan berbangsa yang diatur oleh pemerintah. Seperti contoh di bagian

sebelumnya, pemerintahan SBY memfokuskan pembangunan ekonomi di sektor

industri. Kebijakan tersebut telah menghasilkan sebuah perubahan besar terhadap

hubung sistem masyarakatnya.

Kebijakan pemerintah SBY di bidang ekonomi industri dianggap mematikan

bidang-bidang lain, seperti pertanian. Akibat dari kebijakan tersebut, harga hasil tani

menurun dan para petani semakin sulit mempertahankan mutu panen mereka. Hal ini

menyebabkan, mereka—masyarakat agraris yang kebanyakan ditemukan di daerah

pinggiran (rural)—berduyun-duyun melakukan urbanisasi sebagai bentuk pertahanan

diri terhadap perubahan zaman. Ketika mereka tiba di kota, mereka tidak menyiapkan

diri untuk menghadapi tata nilai dan kebutuhan yang berbeda sama sekali dengan yang

biasa mereka temukan di desa. Masyarakat kota pun yang sebelumnya telah

menetapkan sejumlah konvensi untuk mengatur kehidupan bermasyarakat yang ada,

harus melakukan semacam evaluasi ulang terhadap konvensi tersebut. Tujuan

dilakukannya evaluasi ulang adalah menyiasati kelompok masyarakat urban yang

jumlah begitu besar, untuk dapat hidup harmonis bersama mereka.

Gambaran tersebutlah yang ditemukan dalam ketiga drama tentang relasi

manusia dengan masyarakat. Drama-drama ini, “Lima Pintu”, “Te(N)tangga(NG)”,

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 155: Universitas Indonesia Library

141

Universitas Indonesia

dan “Roman” mencoba mengangkat masalah tentang masyarakat kota yang terdiri atas

beranekaragam suku, bangsa, agama, dan budaya. Pada bagian penelusuran struktural

(lihat 2.3.2), ditemukan sebuah kesamaan yang diangkat oleh ketiga drama ini, yaitu

potret masyarakat kelas menengah bawah yang tinggal di daerah kumuh padat

penduduk, seperti di gang-gang atau rumah kontrakan. Dalam drama “Roman”,

diperlihatkan gambaran masyarakat yang melakukan urbanisasi untuk memperbaiki

nasib di kota. Tokoh utama dalam drama ini, Roman dan Atun, adalah sepasang suami

istri yang baru saja mengalami musibah di kampungnya. Mereka kehilangan rumah dan

tanah mereka karena tidak memiliki surat-surat. Oleh sebab itu, demi menafkahi

kehidupan keluarganya, Roman dan Atun pindah ke kota untuk mencari pekerjaan

(lihat bagian 2.3.2). Namun, kenyataan yang mereka temui di kota, berbanding terbalik

dengan harapan yang mereka bawa. Akhirnya, kehidupan mereka di kota pun tidak

memberikan pencerahan atas masalah ekonomi yang membelit keluarga Roman.

Dalam suatu bagian, mereka digambarkan kesulitan untuk menyambung hidup di kota

sehingga tidak mampu mengirim uang untuk anak mereka di kampung. Jalan satu-

satunya yang dapat mereka tempuh adalah dengan berutang, seperti yang dikutip

berikut ini.

Atun: Kapan kita mau ngirim uang buat anak kita di kampung?

Roman: Ada duit simpanan, enggak?

Atun: Kurang, Sudah dipakai buat belanja.

Roman: saya coba cari pinjaman lagi. Ngurut juga lagi sepi.

Atun: Jangan lama-lama. Memangnya mau pinjam siapa lagi?

Roman: Saya juga bingung mau pinjam sama siapa?

Atun: Coba pinjam sama pak Haji.

Roman: yang lama saja belum dibayar, mosok mau pinjem lagi?

Seandainya rumah kita dulu enggak dibongkar oleh pemiliknya,

hidup kita pasti tidak seperti sekarang… (2009: 10-11)

Keadaan yang dihadapi Roman muncul karena adanya daya tarik ekonomis

yang dimiliki oleh kehidupa kota (Saini K.M 2004: 104). Sebagai sebuah daerah yang

memiliki banyak pusat perbelanjaan, kegemerlapan cahaya yang tak pernah padam,

perkantoran, dan—khususnya Jakarta—sebagai pusat pemerintahan, kota seolah

memberikan janji akan kehidupan yang lebih baik. Menurut Saini K.M. (2004),

marginalisasi terhadap pertanian dengan fokus ekonomi di bidang industri merupakan

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 156: Universitas Indonesia Library

142

Universitas Indonesia

salah satu faktor paling berpengaruh dalam pembentukan paradigma tentang kota.

Orang-orang seperti Roman, Atun, dan Bambang, datang ke kota untuk mencari

penghidupan yang layak bagi diri sendiri atau keluarga mereka di kampung. Namun,

mereka tak menyadari bahwa dengan segala kemajuan ekonomi dan hal lainnya, kota

juga merupakan sebuah tempat yang amat terbatas.

Mereka yang datang ke kota harus bersaing dengan mereka yang sudah lebih

dulu menghuni tempat tersebut. Belum lagi ditambah dengan masalah penyesuaian diri

terhadap kebutuhan hidup di kota, lebih rumit dibandingkan dengan di desa. Hal ini

membuat masyarakat desa yang pindah ke kota berakhir sebagai masyarakat miskin

kota, seperti yang muncul dalam drama “Roman” dan “Lima Pintu”. Persaingan untuk

memenuhi kebutuhan hidup di kota yang melonjak naik, menimbulkan situasi Bellum

Omni contra Omnes (Perang antar semua melawan semua) dan Homo homini lupus

(Seseorang menjadi serigala bagi yang lain).49

Situasi ‘perang antar semua melawan semua’ dapat ditemukan dalam naskah

drama “Lima Pintu”. Dari judul naskah drama ini, sudah dapat dibayangkan kondisi

para tokoh yang harus berbagi sebuah ruang terbatas untuk digunakan bersama-sama.

Masalah-masalah pun timbul karena keterbatasan ruang yang mereka miliki untuk

menjalani kehidupan. Belum lagi ditambah dengan masalah-masalah ekonomi, rumah

tangga, dan perilaku antartetangga, menimbulkan sebuah tekanan besar dalam

kehidupan di rumah kontrakan tersebut. Situasi ‘perang antar semua melawan semua’

muncul ketika masalah rumah tangga suami istri pintu satu dan tiga, dengan sengaja,

mengikutsertakan anak Ibu Pintu Dua (lihat bagian 2.3.2 bagian perumitan masalah).

Awal masalahnya adalah kecemburuan para istri atas sikap suami mereka yang acuh

tak acuh dengan keluarga. Karena melihat rutinitas para suami yang memperhatikan

Lela tiap ia pergi kerja, para istri pun menyalahkan Lela—walaupun tidak secara

langsung mengatakan hal ini pada Lela—sebagai biang keladi ketidakharmonisan

rumah tangga mereka. Padahal, Lela digambarkan sebagai seorang gadis yang pergi

49 Keadaan ini muncul karena beban demografik yang melampaui batas. Hal ini bahkan menyerang kota

dengan keadaan pemerintahan yang sangat baik sekali pun karena pada dasarnya sifat kota memang

terbatas—baik secara wilayah maupun sumber daya. (diambil dari buku Krisis Identitas (2004) Saini

K.M.)

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 157: Universitas Indonesia Library

143

Universitas Indonesia

bekerja di pagi hari dan pulang malah hari karena menjadi tulang punggung

keluarganya.

Sikap para istri yang menyerang Lela, berbalik menjadi perlawanan para suami

yang menyerang para istri dengan tuduhan ‘bergenit-genit’ kepada tukang sayur.

Pertengkaran di antara suami istri pintu satu, berbalik menyerang keluarga Ibu Pintu

Dua dan memaksa Ibu Pintu Dua untuk menyerang balik pasangan tersebut demi

membela anaknya yang tidak bersalah. Adapula sikap para istri yang diam-diam saling

menyerang karena persaingan gengsi, seperti misalnya memamerkan barang mahal

atau Istri Pintu Tiga menyindir Istri Pintu Satu yang belum juga dikaruniai anak. Hal

tersebut menciptakan kehidupan bermasyarakat yang tidak kondusif. Mereka nampak

akrab, tetapi sebenarnya saling menyimpan rasa curiga. Secara tidak langsung, kondisi

yang tidak kondusif tersebut menghambat produktivitas masyarakat, yang sebenarnya

lebih utama dilakukan untuk memperbaiki taraf hidup mereka.

Kemandekan masyarakat dalam kehidupan sosialnya, ditunjukkan secara lebih

ekstrim pada naskah drama “Te(N)tangga(NG)”. Risti, yang diceritakan baru pindah

ke gang tersebut, harus menghadapi tetangganya yang aneh. Tetangga barunya ini

memiliki kebiasaan untuk bertukar peran pada waktu siang dan malam hari. Pada waktu

siang, tetangganya hidup dengan pekerjaan dan tingkah laku yang normal. Namun,

pada malam hari, mereka berubah menjadi seorang pelacur, preman, anak muda gila,

dan anak muda alay50—kehidupan yang dianggap menyimpang dari standar

masyarakat. Kepribadian ganda yang dimiliki oleh tetangganya ini muncul akibat

adanya tekanan ekspektasi sosial yang mengharuskan mereka untuk tampil ‘sempurna’

sehingga mereka menanggulangi kekurangan mereka dengan memiliki dua

kepribadian. Walaupun tidak dijelaskan kepribadian mana yang sebenarnya adalah

milik mereka, tetapi dalam drama tersebut, diisyaratkan bahwa yang baik dan sesuai

norma tampil di siang hari dan yang menyimpang dari norma muncul di malam hari.

50 Alay adalah singkatan dari anak layangan. Istilah ini awalnya merujuk pada anak-anak berambut

merah karena terbakar matahari. Namun, mengalami pergeseran makna menjadi sebutan untuk mereka

yang bersifat urban, kampungan, atau norak.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 158: Universitas Indonesia Library

144

Universitas Indonesia

Sikap atau perilaku masyarakat seperti ini, menurut Saini K.M. (2004: 120)

ditimbulkan dari proses penanaman nilai-nilai yang tercerabut dari akarnya sehingga

perkembangan karakter mereka tidak normal. Adanya pergeseran nilai dari nilai

luhur—seperti kebenaran, keindahan, kebaikan, dan kesucian—menjadi nilai-nilai

dasar yang mementingkan materi, seperti konsumtif, hedonisme, dan gengsi, telah

membuat masyarakat mampu melakukan hal-hal buruk untuk bertahan hidup. Hal-hal

yang buruk itu dapat berupa tindak kriminal, seperti mencuri, merampok, memalak,

bahkan membunuh, dapat pula berupa tindakan mengasingkan diri dengan kelompok

yang lain.

Hal ini sangat berkaitan erat dengan proses dehumanisasi yang terjadi pada

masa Orde Baru—seperti yang telah diuraikan sebelumnya—pada satu generasi di

masa itu. Pendidikan yang mengesampingkan ajaran tentang bahasa, sastra, seni, dan

filsafat, mencetak manusia-manusia yang lebih mementingkan kepentingan individual

daripada menjaga kemasyarakatan yang terdiri atas berbagai macam suku, ras, dan

agama. Sebuah kota merupakan kesatuan yang terdiri atas berbagai macam latar

belakang, tujuan, dan kepentingan yang disatukan dalam sebuah konvensi sosial.

Konvensi inilah yang bertugas menjaga keharmonisan kehdiupan di antara begitu

banyaknya perbedaan.

Konvensi ini pulalah yang bertugas menjaga hubungan antara mayoritas dan

minoritas yang muncul di dalam masyarakat majemuk, seperti di kota. Kelompok

masyarakat mayoritas, umumnya berisi kekuatan yang lebih dominan menguasai suatu

daerah, seperti suku asli setempat atau penganut agama besar. Masalah suku dan agama

adalah salah satu pemicu konflik terbesar di Indonesia, khususnya Jakarta yang

menampung masyarakat dari berbagai macam daerah dan tradisi.

Pada tahun 2012, meletus konflik di Poso dan Lampung karena persoalan

agama. Konflik di Poso ini telah berlangsung sejak tahun 1998 dan sampai saat ini

keadaan di sana belum dapat dikatakan stabil. Di tahun yang sama, tahun 2012, terjadi

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 159: Universitas Indonesia Library

145

Universitas Indonesia

penyerangan ke beberapa masjid Ahmadiyah di daerah Bandung dan Tasikmalaya.51

Jemaat Ahmadiyah dianggap telah melakukan penyimpangan agama sehingga memicu

kemarahan umat Islam di berbagai tempat. Adapula konflik agama antara umat Islam

dan Kristen di daerah kepulauan Maluku, yang telah dimulai sejak tahun 1999 dan

masih berlanjut hingga kini. Di daerah Kalimantan Tengah, tepatnya di kota Sampit,

pernah terjadi perang etnis yang menelan korban jiwa. Tepatnya pada tanggal 18

Februari 2001, sejumlah penduduk asli Sampit menyerang penduduk pendatang dari

Madura. Puluhan rumah dibakar, puluhan toko dijarah, dan korban jiwa terus

berjatuhan, tercatat ada 20.000 orang Madura yang mengungsi di Kantor Pemerintah

Daerah dan DPRD Kotawaringin Timur.52

Konflik yang mendera beberapa daerah di Indonesia merupakan akumulasi dari

sejumlah konflik yang terjadi di antara masyarakat yang memiliki perbedaan latar

belakang. Misalnya di Jakarta, konflik dimulai dari tawuran antarpelajar sekolah A dan

sekolah B, berkembang menjadi kasus pembunuhan di luar arena tawuran akibat

dendam. Hal ini sangat mengkhawatirkan, mengingat bahwa para pelajar merupakan

generasi yang dipersiapkan untuk melanjutkan pemerintahan bangsa ini. Hal ini

kembali lagi melihat pada pergeseran nilai dan pendidikan yang telah diubah demi

mendukung kebijakan pemerintah. Dehumanisasi ini menjadi ancaman bagi

masyarakat plural di Indonesia.

Adanya generasi yang mengalami dehumanisasi dapat menyebabkan

masyarakat massal yang berkonotasi buruk. Masyarakat massal ini terbentuk karena

adanya nilai-nilai yang tidak berkembang secara sempurna, misalnya mereka dipaksa

pindah ke kota dan menghadapi tatanan nilai yang sama sekali baru (Saini K.M. 2004:

120-122). Untuk menghadapi proses adaptasi besar-besaran, belum lagi dengan adanya

gegar budaya yang sering terjadi ketika seseorang melakukan perpindahan daerah

tinggal, maka mereka pun menggabungkan diri dengan yang orang-orang yang berbagi

51 Diambil dari artikel “Kronologi Penyerangan Masjid Ahmadiyah di Bandung” (26 Oktober 2012)

Hadi Suprapto dan Ita Lismawati F. Malau. http://nasional.news.viva.co.id/ Diunduh pada tanggal 16

Juni 2014 52 Diambil dari artikel “20.000 Pengungsi Terkurung di Sampit” (23 Februari 2001) diunduh dari

http://www.library.ohiou.edu/ pada tanggal 16 Juni 2014.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 160: Universitas Indonesia Library

146

Universitas Indonesia

kesamaan atau mudah diajak untuk ikut masuk dalam kelompok-kelompok radikal dan

semacamnya. Hal inilah kemudian yang membentuk peristiwa tawuran antarsesama

geng motor, tawuran pelajar, serta hooligan yang mengamuk seusai pertandingan atau

konser.

Konvensi sosial yang menentukan pola perilaku masyarakat menjadi suatu hal

penting dalam perkembangan konflik ketiga naskah drama ini. Konvensi ini merupakan

sebuah perjanjian bersama yang dipakai untuk mengatur kehidupan masyarakat dalam

sebuah lingkungan. Munculnya semacam konvensi ini disebabkan oleh faktor

masyarakat yang bersifat kolektif. Konvensi ini baik, tetapi secara tidak langsung

menekan masyarakat untuk hidup dalam kesamaan-kesamaan. Mereka yang tidak

dapat mengikutinya, secara tidak langsung akan terasing dari pemetaan masyarakat.

Hal tersebut membuat kehidupan satu anggota masyarakat menjadi perhatian dari

anggota yang lain, seperti dalam naskah drama “Roamn”. Konflik bagi Roman muncul

ketika para tetangganya bergunjing atas perubahan Atun. Pergunjingan ini timbul

karena dorongan dari tingkah laku yang Atun yang berbeda. Apabila perubahan drastis

semacam itu terjadi pada tokoh lain, mungkin reaksi dari masyarakat tidak akan

menjadi serumit itu. Dengan mengingat bahwa tokoh Roman buta, perubahan cara

berdandan Atun menjadi keanehan di lingkungan tersebut. Dalam perumitan masalah,

dijelaskan bahwa kecurigaan masyarakat mendorong sikap posesif Roman pada

istrinya. Yang sebenarnya, sikap tersebut lahir dari gosip belaka dan tidak dapat

dibuktikan kebenarannya.

Bambang: Ada apa mas? Apa salah saya?

Atun: Kenapa mas Roman tiba-tiba saja berubah seperti ini? Mas

Bambang salah apa? Selama ini dia baik. Sering membantu kita.

…………………………………………………………………………

Atun: Mas benar-benar keterlaluan. Ada apa, Mas?

Roman hanya diam.

Atun: Berubah? Apa yang berubah? Apa karena saya adalah isteri Mas

Roman, lantas saya tidak boleh berdandan? Sejak saya

memutuskan untuk menikah. Saya menganggap sudah menjadi

takdir yang harus saya jalani.

Roman: Jadi kamu menyesal?

Atun: Kenapa baru sekarang Mas bertanya? Kenapa tidak pada saat kita

akan menikah. Padahal Mas tahu saat itu saya sudah punya pacar.

Bahkan saya selalu bercerita setiap saya habis bertemu dengan

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 161: Universitas Indonesia Library

147

Universitas Indonesia

orang yang saya cintai. Tapi kebahagiaan itu hilang karena orang

tua saya meminta agar saya menikah dengan orang yang tidak saya

cintai. Pada awalnya saya menolak, tidak mungkin saya menikah

dengan Mas Roman. Tapi karena ingin berbakti kepada orang tua

saya yang telah banyak menerima kebaikan dari orang tua Mas

Roman saya pun menerima permintaan mereka untuk menikah

dengan orang yang sudah saya anggap sebagai kakak dan sahabat.

Roman: Kamu juga tidak pernah bisa mencintai saya?

Atun: Mas tidak akan pernah mengerti bagaimana perasaaan saya. (2009:

20-22)

Kecurigaan para tetangga yang tidak terbukti sampai pada sikap Roman yang

dianggap Atun tidak beralasan, memicu masalah lain yang selama ini tidak dibicarakan.

Kerelaan Atun untuk menikahi tokoh Roman yang memiliki keterbatasan jadi

mempengaruhi sikapnya sebagai istri. Bahkan lebih jauh lagi, kesulitan ekonomi yang

dialaminya bersama Roman menjadi kesempatan terbuka bagi tokoh Bambang untuk

mengulik kehidupan masa lalu mereka. Hal ini mejadi sebuah rangkaian yang rumit

dalam kehidupan rumah tangga Roman. Namun, bagi para tetangga, mereka hanya

perlu mengomentari perubahan Atun dan tidak peduli pada efek samping yang mereka

buat.

Nilai-nilai dalam kehidupan bermasyarakat yang dikatakan Saini K.M. pada

bagian sebelumnya, terutama dalam lingkup masyarakat miskin kota, merupakan

penyebab munculnya konflik yang digambarkan dalam drama-drama ini. Keengganan

masyarakat untuk menyadari bahwa kota atau daerah tempat mereka tinggal

mengalami perubahan, dengan masuknya orang-orang baru yang membawa adat

istiadat masing-masing, menimbulkan sikap hidup bertetangga yang saling menyerang.

Mereka semua menginginkan bentuk ideal dari kebahagiaan, tetapi menolak kenyataan

bahwa kesempurnaan itu tidak mungkin ada (Goenawan Mohamad 2001: 1453).

Akibatnya, mereka tidak mau menyesuaikan diri dan memaksakan pandangan-

pandangan usang untuk digunakan dalam tata masyarakat yang selalu berubah.

Timbullah dari sana konflik yang dialami Roman, kebingungan tokoh Risti, dan

keributan antarsesama penghuni di rumah kontrakan.

Yang paling hebat dari semua konflik yang digambarkan adalah pembunuhan

tokoh Lela yang dilakukan oleh tokoh tukang sayur (lihat bagian 2.3.2). Tokoh yang

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 162: Universitas Indonesia Library

148

Universitas Indonesia

sepanjang alur tidak diceritakan berinteraksi sedikit pun dengan tokoh Lela, hanya dari

dialog Lela saja diketahui bahwa ia sempat menyatakan cinta pada Lela, tiba-tiba

muncul sebagai ‘serigala yang menyerang sesama’.53 Tindakannya tersebut muncul

dari kekecewaan terhadap kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan idealnya. Ia

menolak untuk menerima dan menghargai bahwa tidak semua hal dapat berjalan sesuai

dengan harapannya. Tindakan tersebut tidak hanya melahirkan penderitaan bagi

keluarga Lela, tetapi juga menandakan suatu peradaban kota yang hancur karena

ketidaktaatan hukum dan pelanggaran hak asasi manusia untuk hidup.

Kenyataan bahwa kota, khususnya di Jakarta, telah mengalami beban

demografik yang melampau batas sehingga pengaturan hidup bermasyarakat di

dalamnya tidak lagi kondusif. Dapat dikatakan bahwa pola masyarakat yang timbul

termasuk dalam jenis masyarakat yang tidak menghasilkan dan tidak aman.54 Hal ini

seharusnya dapat diantisipasi dengan kerja sama yang baik antara pemerintah pusat dan

kota/daerah untuk melakukan pemerataan penduduk sehingga tidak ada lagi beban

sosial yang terlalu berat dipikul oleh satu daerah. Yang mengenaskan adalah kenyataan

bahwa pemerintah belum juga melakukan tindakan nyata untuk mengatasi beban

demografik dan sosial budaya yang menimpa kota-kota besar.

Pada tahun 2012, Departemen Keuangan melaporkan bahwa tiga departemen

yang tercatat paling banyak melakukan korupsi adalah Departemen Agama,

Departemen Pendidikan, dan Departemen Kesehatan (Saini K.M. 2004: 78).55 Ketiga

53 Homo homini lupus (seorang menjadi serigala bagi orang lain) adalah situasi yang dikatakan oleh

Saini K.M. muncul dalam kehidupan kota yang tidak lagi manusiawi dengan ambruknya kesadaran

hukum dan peradaban (diambil dari Krisis Kebudayaan (2004) Saini K.M.) 54 John S. Nimpoeno (1980) mengklasifikasi persepsi sosial terhadap lingkungannya (Lihat Sapei Rusin,

“Penguatan Organisasi Rakyat: Upaya merebut Hak yang Terampas” (2003). Makalah ini disampaikan

dalam Forum Diskusi Interseksi, “Civil Rights dan Demokratisasi: Pengalaman Indonesia II”, (27-29

Januari 2003, Kuningan, Jawa Barat)

55 Penangkapan Mantan Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kementerian Agama,

Ahmad Jauhari, didakwa atas tuduhan tindak korupsi dalam proyek pengadaan kitab suci Al-Quran.

(diambil dari artikel “Pejabat Kementerian Agama Didakwa Korupsi” (7 Januari 2014) diunduh dari

http://kpk.go.id/ pada tanggal 16 Juni 2014). Pada tahun yang sama, KPK menetapan Mantan Mentri

Agama sebagai tersangka atas tindak korupsi pengadaan barang dan jasa haji pada 2012-2013 di

Kementerian Agama. (diambil dari artikel “KPK Tetapkan Mentri Agama sebagai Tersangka” (22 Mei

2014) diunduh dari http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/ pada tanggal 16 Juni 2014)

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 163: Universitas Indonesia Library

149

Universitas Indonesia

departemen yang paling dibutuhkan oleh masyarakat saat ini—khususnya kota—untuk

memulihkan akar masalah dari konflik sosial yang ada.

3.3 Kecenderungan Masalah dalam Drama FTJ Ditinjau dari Keadaan Sosiologis

Benang merah antara keadaan dalam naskah drama dengan kenyataan sosial

yang mempengaruhinya adalah ruang lingkup penciptaan naskah-naskah drama, yaitu

FTJ. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, drama-drama ini diciptakan untuk

mengikuti festival teater yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Naskah-

naskah ini diciptaka pada masa pasca-Orde Baru, yaitu tahun 1999 hingga 2013, tetapi

baru diikutkan pada ajang FTJ mulai dari tahun 2008-2013.

Dari wawancara personal yang penulis lakukan, didapatkan informasi bahwa

hampir semua drama-drama ini diciptakan di Jakarta oleh pengarang yang berdomisili

di kota yang sama. Beberapa yang tidak diketahui tempat penciptaannya disebabkan

oleh kesulitan penulis menemukan pengarang drama tersebut. Dengan melihat bahwa

para pengarang drama-drama ini tinggal dan menghabiskan waktunya di Jakarta maka

ada kemungkinan bahwa drama-drama ini adalah hasil keterpengaruhan pengarang

terhadap kondisi dan peristiwa yang dialami di kota ini.

Hal tersebut berkaitan erat dengan platform ‘Membaca Aku, Membaca Laku’

yang digunakan dalam penyelenggaraan FTJ. Seperti yang telah disinggung pada

bagian pendahuluan, platform ini diharapkan dapat membawa FTJ, tidak hanya sebagai

sebuah perlombaan, tetapi juga salah satu peristiwa budaya. Oleh sebab itu, dengan

melihat waktu dan tempat penciptaan naskah-naskah drama ini, penulis beranggapan

bahwa gagasan pengarang merupakan perwujudan dari platform FTJ tentang lakuan

aku—manusia pada masa kini.

Aku dalam drama diwujdukan melalui para tokoh yang membawa sebuah

persoalan untuk dibicarakan. Sesuai dengan temuan yang dihasilkan pada bagian

analisis struktural, naskah-naskah drama FTJ telah menghasilkan tiga pokok

permasalahan manusia yang menyangkut identitas personal, identitas kebangsaan, dan

pola masyarakat yang ada.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 164: Universitas Indonesia Library

150

Universitas Indonesia

Dengan menjadikan tiga pokok permasalahan dalam tiap kategori naskah

drama, penulis merangkainya ke dalam sebuah peristiwa besar yang memperlihatkan

keadaan manusia di sebuah masa transisi, dari keadaan yang terbelenggu (sesuai

dengan hasil analisis struktural, pemaparan masalah dalam naskah drama “Gagu

Ngigau Galau Wagu” dan “Ruang Kehormatan”) menuju kebebasan untuk meraih

kehidupan yang bahagia.

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, masalah fundamental yang dialami

manusia masa kini—dalam drama-drama FTJ—adalah tentang pencarian identitas.

Menemukan sebuah legitimasi diri mereka di dalam sebuah kelompok masyarakat yang

lebih luas adalah sebuah kegelisahan yang ditangkap dalam drama tentang relasi

manusia dengan dirinya sendiri. Namun, keadaan personal manusia mendapat banyak

pengaruh dari keadaan di luar dirinya, seperti pemerintahan yang memimpinnya dan

sistem masyarakat yang mengelilinginya. Keadaan pemerintahan dan sistem

masyarakat tidak hanya menentukan identitas diri masing-masing, tetapi juga

mendapat pengaruh dari setiap individu yang terlibat di dalamnya. Sehingga dapat

dikatakan, hubungan manusia (sebagai individu) dan lingkungan di luar dirinya

(bangsa dan masyarakat) adalah suatu bentuk hubungan yang saling mempengaruhi.

Dari penelusuran masalah utama dalam tiap drama dengan persoalan sosialnya,

ditemukan penjelasan tentang keadaan manusia pada masa kini. Hal tersebut

menunjukkan bahwa masalah manusia kini berkaitan dengan warisan sosial-politik

Orde Baru. Kebijakan yang mengatur kehidupan manusia dalam konteks berbangsa

dan bernegara telah membawa pengaruh pada sikap dan pandangan manusia—terutama

manusia kota Jakarta. Walaupun pemerintahan Orde Baru telah berakhir sejak 16 tahun

yang lalu, manusia masa kini masih hidup di bawah bayang-bayang penguasan pada

masa itu. Hal inilah yang menyebabkan masa transisi Indonesia terbilang panjang.

Belum ada suatu bentuk kekuasaan baru yang mampu mengubah kehidupan manusia

masa kini, seperti yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru.

Dilihat dari ruang lingkup terjadinya masalah ini maka penulis menyusunnya

ke dalam sebuah skema yang menjelaskan urutan masalah tersebut. Skema masalah-

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 165: Universitas Indonesia Library

151

Universitas Indonesia

masalah yang timbul mengenai ‘aku’—manusia—masa kini dapat dilihat pada gambar

berikut ini.

Perebutan kekuasaan dengan

motif kepentingan pribadi

Timbul kelompok-

kelompok massa

Jaminan kebebasan

(demokrasi)

Masyarakat tidak percaya

pada pemerintah

Optimisme dunia

ideal Mencari kebebasan

Disintegrasi

mengancam

Mencari pengakuan

Masyarakat saling

menyerang

Pergeseran nilai

Masyarakat miskin

bertambah miskin

Pemerintah sibuk

mempertahankan jabatan,

masyarakat diabaikan

Kebebasan

disalahgunakan Pemerintah gagal

menjawab masalah

KETERANGAN

Lapisan masalah manusia dengan diri sendiri

Lapisan masalah manusia dengan kekuasaan

Lapisan masalah manusia dengan masyarakat

Keadaan yang ditimbulkan dari masalah

manusia pada umumnya

Skema 3.2

Temuan Peristiwa dalam Drama melalui Penelusuran Sosiologis

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 166: Universitas Indonesia Library

152

Universitas Indonesia

Dari bagan di atas dapat dilihat bahwa awal mula dari masalah yang timbul

dalam drama adalah keinginan para tokoh untuk bebas. Hasil penelusuran struktural

telah memperlihatkan bahwa para tokoh telah hidup dalam sebuah pola, yang tidak

hanya mengatur tingkah laku mereka, tetapi juga menentukan identitas mereka, seperti

yang terjadi pada kelima tokoh dalam naskah drama “Gagu Ngigau Galau Wagu” dan

tokoh Bapak dalam drama “Ruang Kehormatan”. Hal tersebut nampak dalam analisis

struktural naskah drama relasi manusia dengan dirinya sendiri, yang menunjukkan

adanya kegelisahan para tokoh menjalani rutinitas harian mereka. Ketika muncul

perubahan di dalam dunia mereka yang terpola, tumbuh harapan tentang kehidupan

yang ideal. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut ini.

Gelap. Orang-orang muncul dan melangkah ke sudut melingkari tong. Orang-

orang menyalakan api dalam tong. Orang-orang dingin dan luka. Sembunyi.

Ekstase nyanyi menari-nari. Seorang membawa lilin menyala dan menjaganya

Nyala api. Orang-orang melingkar di tong api. Orang-orang di sudut. Nyala lilin,

rokok, mabuk dan kopi cangkir timah. Orang-orang luka sembunyi.

Tiba tembakan dan peringatan. Derap langkah lari dan derap sepatu lars cepat

dan melompat. Sorot senter-senter razia orang-orang pinggiran dan terlantar.

Mereka kocar-kacir menyelamatkan diri. Memburu dan diburu. Api dimatikan

dan gelap. Orang-orang menjauh dan hilang.

………………………………………………………………………………

Langit merah dan bulan purnama.

Silhuet orang-orang muncul memandang langit merah dan bulan purnama.

Kabilah orang-orang miskin dan tertindas. Para korban beragam bencana,

gelandangan, pemabuk dan manusia jalanan. Mereka yang tertindas dan

dipinggirkan yang terluka dan sembunyi.

Diam dan sepi beberapa saat. Hanya memandang langit.

Redup. Langit merah mencapai malam dan gelap. Orang-orang beranjak pergi.

Berangkat menuju harapan dan janji. Tanah para sahabat yang luhur. Tanah yang

dijanjikan.

Ruang tunggu terakhir selesai sampai di sini.

Semoga ! (2008: 34)

Menurut pengamatan penulis, para tokoh yang berada di fase menyambut

datangnya kebebasan dalam hidup mereka adalah sebuah rasa yang dihadirkan oleh

pengarang dalam menyusun peristiwa bangsa ini pascareformasi. Para pengarang, yang

berhasil diwawancarai, pernah merasakan hidup di bawah kekuasaan Orde Baru.

Mereka melihat dan mengalami masa-masa kebebasan sebagai individu dipenjarakan

di balik kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah pada masa Orde Baru, menuntut

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 167: Universitas Indonesia Library

153

Universitas Indonesia

adanya kestabilan demi terwujudnya rencana pembangunan nasional. Kebebasan

individu dianggap sebagai sebuah celah yang dapat menggagalkan usaha tersebut. Oleh

sebab itu, muncullah berbagai peraturan dan hukum yang dibuat secara sepihak, seperti

pembatasan jumlah anak dan tugas perempuan dalam rumah tangga yang diatur dalam

Undang-Undang (Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan 1999: xiv). Masyarakat

dilepaskan dari partisipasi penyelenggaraan negara. Padahal masa Orde Baru

menjunjung tinggi ideologi Pancasila, yang di dalamnya berbicara tentang musyawarah

dan keadilan sosial. Secara tidak langsung, pemerintah Orde Baru telah menyimpang

dari ideologi yang ditanamkannya dengan melakukan praktik politik tertutup.

Kebebasan rakyat direnggut dengan cara-cara yang seolah menghargai adanya

kebebasan tersebut, seperti muncul istilah ‘bebas tapi bertanggung jawab’ serta

‘stabilitas yang dinamis’.56 Hal ini dibuat untuk memberi batasan-batasan terhadap

kehendak rakyat melalui cara-cara yang seolah menertibkan kehidupan. Akan tetapi,

dalam masyarakat majemuk seperti yang ada di Indonesia, pemaksaan manusia untuk

menjadi seragam adalah salah satu bentuk ketidakadilan sosial. Salah satu yang

ketidakadilan sosial yang jelas terlihat pada masa Orde Baru adalah sikap pemerintah

dalam mengatur kebebasan berpendapat. Sejumlah media mengalami pencabutan izin

terbit karena dianggap menyebarkan kebencian terhadap pemerintah lewat tulisan-

tulisan yang bernada mengkritik atau memprotes. Kasus pembredelan media cetak—

seperti yang telah disebutkan sebelumnya—terjadi pada tahun 1974, enam surat

dihentikan secara paksa, dan tahun 1994 yang membawa majalah Tempo masuk ke

pengadilan.

Dalam pengadilan itu pun, tuduhan ‘menyebarkan kebencian’ atau tindak

subversif diputuskan secara tidak adil. Tuntutan seperti itu, ‘Haartzai Artikelen’

seharusnya ditempuh dengan pembuktian yang nyata bahwa pemerintah memang

mendapat pengaruh buruk dari pemberitaan atau pendapat-pendapat yang dikeluarkan

(Goenawan Mohamad 2001: 1130). Dalam beberapa sidang yang mengadili kasus

tentang tindakan penyebaran kebencian atau tindak penyerangan terhadap pemerintah

56 Diambil dari “Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan (1999) Moh. Mahfud MD, Edy Suandi H,

Suparman Marzuki & Eko Prasetyo.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 168: Universitas Indonesia Library

154

Universitas Indonesia

melalui berita, seperti Tempo, tidak melaksanaan penyelidikan yang lebih lanjut

tentang bukti-bukti yang ada. Hal ini merupakan sebuah kenyataan yang menyimpang

dari istilah ‘bebas tapi bertanggung jawab’ yang dikeluarkan oleh Soeharto. Kebebasan

pada masa itu haruslah sesuai dengan hal yang diinginkan oleh pemerintah.

Setelah mereka akhirnya lepas dari belenggu dunia yang lama, mereka pun

menjadi manusia baru yang memiliki kebebasan dalam bertindak. Mereka, sebagai

individu yang berasal dari bermacam-macam golongan, dipersatukan oleh semangat

untuk bersama-sama menemukan tanah baru yang menjadi simbol atas harapan untuk

hidup lebih baik (dapat dilihat naskah drama “Ruang Tunggu Terakhir”). Janji utopis

ini, selain menjadi perekat di antara mereka, juga menjadi dorongan kuat yang

membuat mereka terus berusaha mewujudkan impian tersebut.

Sebagai individu, mereka harus memimpin dirinya sendiri dalam memutuskan

pilihan. Akan tetapi, sebagai sebuah kelompok yang telah dipersatukan oleh tekad dan

tujuan yang sama, mereka membutuhkan sosok pemimpin dengan visi dan misi yang

sama. Kehadiran pemimpin ini berfungsi untuk mengarahkan langkah mereka dan

mengatur kebebasan yang telah menjadi hak perseorangan. Mengenai kebebasan untuk

berpartisipasi dalam jalannya suatu kepemimpinan, diperlihatkan dalam pemparan

masalah drama “Parlemen WC” yang diwujudkan ke dalam bentuk monolog tokoh

Parmin. Pada bagian analisis struktural, hal tersebut disampaikan sebagai wujud

deklarasi kebebasan yang dijunjung oleh pemimpin maupun mereka yang dipimpin,

seperti dikutip dalam bagian ini.

Parmin: (mendekat ke arah WC) Dan inilah dia itu. Dia yang lugu dan sangat

lugu sekali. Inilah sarana milik bersama. Ya, milik rakyat. Milik kita

semua. Sederhana, ringkes, dan hemat. Tanpa butuh banyak biaya.

Tanpa harus ada proposal yang diteken. Tanpa harus ada siding

untuk membahasnya. Tapi ingat, dari sebuah WC umum seseorang

bisa jadi ketua RT dari sebuah WC umum pula seorang RT bisa

dipecat. (Menutup mulut dan melirik kanan kiri. Takut ketahuan)

mungkin saya harus menyudahi dulu omongan saya ini sebab rasa-

rasanya ada sesuatu yang harus saya kerjakan dengan segera. Kalau

orang rumah sakit bilang ini adalah seusatu yang gawat darurat,

perlu penanganan khusus. Dan saya takut nanti akan terjadi

pemberontakan yang amat dahsyat. Pemberontakan yang membuat

diri saya sendiri tersiksa karena malu (Tangan kanannya memegang

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 169: Universitas Indonesia Library

155

Universitas Indonesia

perut dan tangan kirinya menutup pantatnya sembari melongok ke

arah pantatnya. Lalu masuk ke dalam WC). (2012: 1-2)

Hal yang paling dominan dibicarakan dalam drama-drama ini adalah persoalan

kebebasan yang didapat setelah pemerintahan Orde Baru tumbang. Baik secara tersurat

maupun tersirat, harapan tentang kebebasan yang sempurna didengungkan terus-

menerus sehingga menjadi sihir di dalam drama. Melalui adegan Parmin dan Orang 1,

2, dan 3 yang dengan antusias memperdebatkan arti kebebasan dalam sebuah

pemerintahan, menunjukkan bahwa belenggu yang dititipkan oleh Orde Baru kepada

bangsa ini telah menjadi cerita horor yang harus dihilangkan dengan semangat

demokrasi. Demokrasi yang menjamin adanya kebebasan yang adil bagi setiap orang

adalah dasar dari keberanian masyarakat untuk melawan Orde Baru (Nordholt 2003:

550).

Harapan yang disampaikan tokoh Parmin dalam monolognya adalah tindak

lanjut dari kebebasan yang telah diraih. Ketika bangsa ini keluar dari sebuah kotak

pemerintahan Orde Baru, mereka mengalami masa transisi. Masa ini digunakan untuk

merehabilitasi kerusakan yang timbul dari pemerintahan sebelumnya, dari segi politik,

sosial, ekonomi, dan unsur-unsur pemerintahan lainnya. Seperti yang disebutkan dalam

bagian 3.2 bahwa salah satu upaya untuk membenahi kerusakan yang ditinggalkan oleh

Orde Baru adalah dengan mengadakan pesta demokrasi terbesar, pemilu, secara adil

dan jujur. Pemilu pertama setelah Orde Baru tumbang, menetapkan Abdurrahman

Wahid sebagai presiden terpilih (Philip J. Vermonet 2014).

Dari pemerintahan Habibie hingga Susilo Bambang Yudhoyono, saat ini, belum

ada satu pun yang dianggap mampu mencanangkan bentuk pemerintahan yang kuat

bagi masyarakat. Pada satu titik, kekewaan masyarakat terhadap ketiadaan perubahan

yang konkret atas gerakan reformasi menimbulkan eksploitasi terhadap kebebasan.

Kebebasan tersebut dipergunakan oleh sebagian orang untuk menyelamatkan diri

sendiri dari keadaan yang semakin sulit. Padahal, fungsi dari kebebasan tersebut adalah

menjamin adanya perwujudan keadilan bagi semua untuk mencapai tanah yang baru.

Dengan melihat bahwa kemiskinan dan ketidakadilan masih terjadi, timbullah

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 170: Universitas Indonesia Library

156

Universitas Indonesia

keraguan pada sosok pemimpin, seperti yang diperlihatkan dalam naskah drama

“Paralel ‘45”. Rakyat Timur, yang dikatakan dalam bagian analisis struktural, menolak

adanya putusan pemilu tentang pemilihan Pemimpin Barat. Aksi protes tersebut

memang menjadi hak dari masyarakat. Namun, tokoh pemimpin merasa berhak pula

untuk menggunakan kekuasaannya dalam menertibkan tingkah pola para tokoh yang

memberontak. Oleh sebab itu, Pemimpin Barat mendirikan tembok Paralel ’45 untuk

menjaga kestabilan pemerintahan yang dipimpinnya. Namun, kebijakan yang

dirasanya baik ini, ternyata telah melukai nilai-nilai kemanusiaan.

Tokoh lain yang merasa haknya dirampas, menunjukkan reaksi keras. Reaksi

tersebut berupa aksi militan (seperti protes dan penghancuran lambang kekuasaan

sepertid dalam drama “Paralel ‘45” dan “Parlemen WC”, lihat bagian 2.2.2) atau

perebutan kekuasaan. Kekuasaan seolah telah menjadi sihir bagi para tokoh untuk

mengendalikan hidup mereka. Hal ini ditemukan pada tokoh Karjo dan Perempuan 1

dalam naskah drama “Parlemen WC”, yang berusaha merebut kekuasaan dengan motif

memenuhi kepentingan pribadinya. Adapula tokoh Pejabat--yang diperlihatkan dalam

drama “Pesta Sampah”—yang menjual aset dan kekayaan negara pada pengusaha asing

demi keuntungan pribadi. Adapula tokoh Pejabat dalam drama “Parlemen WC” yang

datang bukan untuk mengurus kekacauan sistem demokrasi di kampung Parmin, tetapi

untuk melihat kesempatan mereka menguasai kampung tersebut. Hal ini semakin

menyulut api di antara tokoh yang dipimpin dan tokoh yang memimpin.

Bagian inilah yang—dalam skema di atas—merupakan hasil dari

penyalahgunaan. Kebebasan yang muncul dalam drama, lebih tepat disebut sebagai

kekacauan sebab tidak lagi terarah pada tujuan awal yang mulia. Dalam sebuah seminar

pada tahun 2002 di Den Haag, Ben Mboi57 membandingkan masa transisi Indonesia

dengan tenggelamnya kapal Titanic yaitu Titanci sudah tenggelam dan Indonesia masih

terus tenggelam. Artinya, Titanic sudah mencapai titik akhir dari perubahan yang

dialaminya, sedangkan Indonesia masih terus bergerak menuju titik tersebut, tetapi

pergerakan itu menuju ke bawah. Indonesia masa kini masih berada di antara masa lalu

57 Mantan Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur yang mengisi seminar Clingendael, pada bulan Juni

2002, di Den Haag. (lihat Henk Schulte Nordholt 2003: 551)

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 171: Universitas Indonesia Library

157

Universitas Indonesia

dan masa depan yang semakin tak jelas arahnya karena keadaan pemerintahan yang

semakin kacau.

Dalam drama, kekacauan transisi Indonesia menuju negara yang maju,

diperlihatkan melalui sikap pemimpin yang tidak lagi mengatur dan mempedulikan

mereka yang dipimpin, tetapi sibuk mempertahankan wibabawanya (lihat skema 3.2).

Yang dipimpin tidak lagi peduli dengan keputusan pemimpin, sebab mereka hanya

melihat kekuasaan yang telah merugikan kehidupan. Sementara itu, para tokoh sebagai

individu semakin jauh dari keberhasilan untuk menemukan arti keberadaann dirinya

karena dimabukkan oleh keadaan yang bebas. Mereka tidak lagi bertanggung jawab

atas pilihannya tersebut. Seperti pada akhir naskah drama “Pesta Sampah”, manusia

dalam naskah-naskah drama ini, kini hanya dapat melihat bayangan tanah baru tersebut

semakin menjauh dan kemanusiaan mereka perlahan hilang. Masa transisi yang

ditangkap dalam naskah drama ini, berbicara tentang keputusasaan dan keluh kesah

panjang terhadap janji yang tidak kunjung terwujud.

Keputusasaan manusia menghadapi masa transisi yang panjang dan tak lagi

terang jalannya, ditunjukkan melalui dialog-dialog tokoh Pulung. Di tengah

keputusasaanya terhadap harapan dunia yang ideal, ia menjual dirinya pada tokoh

Pakdir dengan mengatasnamakan modernisasi. Tokoh Pulung ini mengingatkan pada

tokoh Garga yang ditulis oleh Brecht dalam drama “Di Belantara Kota-kota” (lihat

Goenawan Mohamad 2001: 1406). Prinsip-prinsip dan pandangan hidup yang

dipegang oleh Garga mirip dengan lakuan yang dimunculkan oleh Pulung. Pada

akhirnya, ketika dalam gelap datang sebuah sinar, keduanya tak langsung menarik diri

pada sinar tersebut, tetapi memantulkannya dengan pertanyaan yang keluar dari prinsip

yang dipegang teguh. Pertanyaannya kemudian, ketika tawaran atas sinar tersebut

diberikan secara cuma-cuma—tanpa syarat—apakah keduanya tetap mempertahankan

prinsipnya? Bagi Pulung, prinsip itu sudah mati ketika ia bertanya. Sebab di dalam

dirinya, keputusasaan lebih besar menguasai, dibandingkan dengan cinta yang katanya

mampu membuat ia bertahan

Beban inilah yang ditanggung oleh masyarakat—khususnya Jakarta—saat ini.

Sebelum muncul gerakan reformasi, mereka telah menderita dengan kemiskinan,

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 172: Universitas Indonesia Library

158

Universitas Indonesia

ketidakadilan, dan kebodohan. Sekarang, setelah reformasi—yang menjanjikan diri

mereka pada dunia utopis—tiba, mereka justru bertambah miskin. Seperti yang

disebutkan sebelumnya, kebijakan pemerintah SBY yang memperlihatkan hasil

peningkatan dalam bidang ekonomi, ternyata tidak dirasakan oleh semua orang. Hal ini

disebabkan karena peningkatan ekonomi tersebut tidak merata di semua sektor, hanya

sektor industri—terutama otomotif—yang mengalami peningkatan signifikan. Oleh

sebab itu, kenaikan harga bahan bakar minya (BBM) yang dilakukan atas dasar

peningkatan ekonomi masyarakat—dilihat dari tingkat penjualan mobil—yang

dianggap mampu, tetap saja dirasa sebagai kebijakan yang memiskinkan masyarakat

miskin.58

Seperti yang sebelumnya dikatakan bahwa masyarakat miskin yang tercermin

dalam naskah, pada khususnya merujuk pada masyarakat miskin kota Jakarta.

Kemiskinan merupakan masalah yang sudah banyak dibahas dalam karya sastra,

seperti “Opera Kecoa” (Riantiarno, 1985) dan “HAH” (Putu Wijaya, 1987) yang secara

khusus mengangkat masyarakat miskin kota. Kemiskinan di kota yang bertambah

buruk menjadi sebuah ironi, mengingat bahwa kota—khususnya Jakarta—merupakan

daerah yang lebih maju dibandingkan daerah lainnya. Terutama kota Jakarta, yang

merupakan pusat pemerintahan, digunakan sebagai barometer kesuksesan pemerintah

dalam mengatur kehidupan masyarakat, tetapi justru memperlihatkan kemiskinan yang

bertambah buruk. Maka sulit rasanya membayangkan, kemiskinan di tempat lain yang

jauh dari akses pemerintahan.

Kemiskinan yang bertambah buruk di dalam sebuah masyarakat plural, seperti

di kota, membuat manusia di dalamnya harus bersaing dengan sesama anggota

masyarakat yang lain. Hal ini disebabkan oleh sumber daya kota yang sangat terbatas

maka istilah ‘siapa kuat, dia yang bertahan’ menjadi semacam semboyan manusia kota.

Akhirnya, nilai-nilai luhur yang terjalin dalam konvensi sosial—yang dikatakan

sebelumnya sebagai alat pemersatu masyarakat majemuk—menjadi hilang maknanya.

Tidak hanya itu, nilai-nilai tersebut tergantikan oleh nilai-nilai baru yang dibentuk pada

58 Lihat “Indonesia in 2008: Democracy Consolidation in Soeharto’s Shadow (2009) h. 116. Marcus

Mietzner

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 173: Universitas Indonesia Library

159

Universitas Indonesia

masa pemerintahan Orde Baru dan nilai-nilai lain yang dibawa masuk oleh

perkembangan teknologi informasi. Saini K.M. (2004: 82-83) menyebutnya sebagai

dehumanisasi dengan mencetak manusia yang tidak berakhlak.

Nilai-nilai yang baru ini timbul dari adanya bentuk pemikiran adaptasi manusia

di masa modern. Hal-hal yang berbau modern, telah sejak lama dianggap sama dengan

usaha westernisasi atau segala hal yang merujuk pada nilai kebarat-baratan. Polemik

mengenai pemahaman ini telah berlangsung lama bahkan ditemui pula dalam karya-

karya sastra. Nilai-nilai masyarakat modern yang dianggap berisi hal-hal sekuler,

seperti individualisme dan materialisme (konsumtif, hedonis, dan prestise), telah

merusak nilai-nilai Timur yang sifatnya lebih spiritual. Namun, Sutan Takdir

Alisjahbana membantah pendapat tentang nilai-nilai dalam modernitas yang sifatnya

sekuler. Menurutnya, nilai-nilai tersebut memiliki sisi yang spiritual pula seperti halnya

nilai-nilai Timur. Masalah yang penting dalam polemik ini adalah memahami dulu

bahwa modernisme adalah suatu paham yang mengajak masyarakat menuju

pembaharuan dari masa yang sebelumnya. Oleh sebab itu, menurutnya tentang

anggapan pergeseran nilai di masa modern, harus dilihat dengan cermat. Modernisasi

harus dimulai dengan pikiran dan pendekatan yang rasional tentang pembangunan

bangsan menuju keadaan yang lebih baik, bukan untuk merusak hal yang baik (Mochtar

Lubis 1992: 453).

Sayangnya, bagi masyarakt di kota, yang kebanyakan datang dari daerah lain,

nilai-nilai baru yang ada di kota menjadi sebuah kejutan-budaya bagi mereka (Saini

K.M. 2004: 120). Saini K.M. memberikan contoh dengan menunjukkan bagaimana

seorang pemuda desa dengan latar belakang yang dekat dengan pesantren dan kegiatan

sehari-hari yang rutin, datang ke kota dan menemukan masyarakat yang dinamis—

dengan lampu jalan yang tak pernah padam, pakaian yang berbeda, pusat perbelanjaan,

dan lain-lain. Ia dipaksa secara alami untuk beradaptasi dengan situasi tersebut. Proses

adaptasi membuat nilai-nilai yang tertanam dalam dirinya menjadi tidak sempurna.

Muncullah dalam drama tokoh-tokoh, seperti keluarga Pak Amir yang berusaha

beradaptasi sampai harus kehilangan jati diri yang sebenarnya.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 174: Universitas Indonesia Library

160

Universitas Indonesia

Kehidupan yang bertambah miskin, pergesaran nilai, dan kebutuhan yang harus

segera dipenuhi membuat manusia dalam sebuah masyarakat tidak lagi mempedulikan

konvensi yang berlaku. Pada bagian sebelumnya, disebutkan bahwa manusia kota

mengalami sakit dan tidak menyadari hal tersebut sehingga timbullah situasi ‘semua

menyerang semua’. Rasa curiga, cemburu sosial, dan kejahatan mulai timbul dalam

masyarakat. Tak heran bila dalam drama ditemukan pula adanya sikap yang menuju ke

arah perpecahan di dalam masyarakat, misalnya drama “Lima Pintu”, “Parlemen WC”,

dan lain-lain.

Apabila sikap masyarakat yang mulai menjurus ke perpecahan ini tidak

ditanggulangi oleh pemerintah maka persatuan dan kesatuan sebagai bangsa akan

terkena imbasnya. Frans-Magniz Susesno (1998: 154) telah mengingatkan akan adanya

tantangan dari publik terkait isu perpecahan selepas Orde Baru. Gerakan

primordialisme ini timbul dari adanya eksklusivitas golongan orang tertentu di dalam

masyarakat. Hal ini, seperti yang disampaikan pada bagian sebelumnya, timbul dari

sikap radikal etnis atau agama tertentu yang mendominasi suatu daerah. Kebencian

yang ditanamkan melalui sikap mereka yang merugikan masyarakat dapat membuat

persatuan di dalam masyarakat Indonesia yang majemuk terancam. Tidak hanya,

kekecewaan rakyat terhadap keadaan selepas reformasi yang tak juga kunjung memberi

titik terang bagi individu dan masyarakat, akan mengarahkan mereka pada tindakan

separtisme, seperti yang terjadi pada Timor Timur.

Pada masa pemerintahan Habibie, langkahnya memberikan otonomi seluas-

luasnya bagi Timor Timur ternyata berujung pada pemisahan Timor Timur dari

Indonesia di tahun 1999. Dengan kebijakan luar negeri lain yang ia hasilkan, pamor

Habibie menuruh di mata masyarakat. Pada pemilu berikutnya, ia tidak lagi terpilih dan

digantikan oleh Abdurarhaman Wahid. Di masa pemerintahannya, gerakan separatisme

juga masih menjadi isu utama bagi pemerintah. Gerakan pemisahan diri seperti ini

muncul darinya adanya keengganan masyarakat untuk bersatu mengingat trauma yang

dihasilkan pada pemerintahaan sebelumnya.

Berdasarkan data dari Wahid Institut pada bulan Desember, 2008, peningkatan

jumlah kekerasan, intimidasi dan diskriminasi tercatat dari 197 menjadi 232 di tahun

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 175: Universitas Indonesia Library

161

Universitas Indonesia

2007. Kebanyakan dari kasus ini menyangkut masalah agama. Salah satu kasus

kekerasan terhadap kaum minoritas, dilakukan oleh FPI (Forum Pembela Islam)

kepada sejumlah pengikut Ahmadiyah sehingga menyebabkan 70 orang terluka. (lihat

Marcus Mietzner, 2008). Konflik terkait SARA (suku, agama, dan ras) juga masih

berkembang di beberapa daerah, seperti Poso, Nangroe Aceh Darussalam, dan

beberapa wilayah di Maluku.

Masalah primordialisme dan gerakan separatis di negara ini, memiliki

hubungan dengan keadaan sejarah bangsa. Bangsa ini tidak dipersatukan oleh

kesamaan masyarakat yang bernaung di dalamnya, tetapi justru bersatu dalam

perbedaan suku, agama, dan ras manusia yang ada. Hal yang mempersatukan bangsa

ini adalah kesamaan pengalaman (penjajahan) dan cita-cita yang dimiliki. Sejarah

mencatat bahwa Soekarno, sebagai pendiri bangsa, telah menggunakan Pancasila

sebagai dasar persatuan bangsa ini. Pancasila digunakan untuk memberikan

perlindungan dan keadilan bagi semua rakyat Indonesia tanpa mengenal perbedaan

suku, bangsa, dan agama. Walaupun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa selalu ada

kelompok atau ideologi mayoritas di dalam sebuah masyarakat majemuk. Untuk

menjaga agar keadaan sosial politik tetap berjalan sesuai koridor Pancasila maka

golongan yang mendominasi ini harus mau menyingkirkan pandangan dan sikap yang

hanya mengutamakan kepentingan kelompoknya.

Usaha untuk mempertahankan persatuan yang dilakukan oleh pemerintah Orde

Baru pada tahun 1975, telah mencederai kesepakatan yang dibuat berdasarkan

Pancasila. Dengan mengatasnamakan Pancasila, pemerintah Orde Baru mengeluarkan

larangan untuk menggunakan identitas etnis dan hal-hal yang berhubungan dengan

negara atau kebudayaan asal etnis tersebut.59 Penulisan nama Cina dan ekspresi

kebudayaannya dilarang oleh pemerintah dengan alasan menyatukan semua golongan

ke dalam satu identitas kebangsaan. Hal ini kemudian berkembang menjadi tindak

represi bagi masyarakat keturunan Cina yang ada di Indoensia.

59 “ A policy guideline urged those with Chinese names to change tmen to Indonesian-sounding ones.

These violations of basic human rights to equal treatement and cultural freedom have occurred within

the context of what has been termed ‘New Order accomodation’.” (Amyn B. Sajoo, Pluralisme in “Old

Societies and New States” (1994) h.38)

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 176: Universitas Indonesia Library

162

Universitas Indonesia

Namun, pada tahun 1985, pemerintah telah mengesahkan sejumlah kelompok-

Islam yang kemudian menguasai pemetaan ideologi berdasarkan politis-Islam.60

Timbul beberapa peristiwa yang melibatkan kelompok-kelompok Islam tersebut dalam

perseteruan akibat adanya kekuataan yang dilegitimasi oleh pemerintah. Keputusan ini

bertentangan dengan kebijakan yang diatur pemerintah terhadap masyarakat Cina di

Indonesia. Pemberian hak-hak khusus bagi salah satu golongan merupakan tindakan

yang tak hanya mencederai kebebasan manusia lain, tetapi juga bertentangan dengan

Pancasila. Sentimen terhadap salah satu etnis serta dominasi dalam masyarakat

majemuk di Indonesia—seperti kasus FPI di atas—adalah akibat dari kebijakan yang

dikeluarkan pada masa pemerintahan Orde Baru.

Penulis melihat bahwa drama-drama ini menyelipkan pula ketakutan dan

kecemasan mereka di balik kemeriahan demokrasi selepas masa Orde Baru. Bahkan

dapat dikatakan—dengan melihat faktor sosial yang telah diuraikan menurut peristiwa

dalam drama—ketakutan dan kecemasan justru lebih mendominasi di dalam drama

dibandingkan dengan kemeriahan pascareformasi. Drama-drama ini menangkap

keadaan pilu yang dihasilkan dari kenyataan bahwa bangsa Indonesia belum juga

sampai pada cita-cita reformasi. Tiga kali kegagalan besar, yaitu Soekarno dengan

revolusinya, Soeharto dengan pembangunan ekonomi, dan reformasi yang menjunjung

tinggi demokrasi, ternyata belum dapat mengantarkan bangsa ini menuju suatu keadaan

ideal yang dicita-citakan pada masa kemerdekaan.61 Terbukti dengan sikap rakyat yang

tidak lagi percaya pada pemerintahan karena kebijakan-kebijakan yang memberikan

dampak buruk bagi masyarakat. Masyarakat masih mengeluhkan bahwa perubahan-

perubahan tersebut hanya mementingkan pihak tertentu dan belum bisa dirasakan

manfaat bagi rakyat banyak. Kekecewaan yang berubah menjadi perlawanan—dalam

bentuk yang berbeda dengan yang dilakukan pada masa Orde Baru—tercermin melalui

sikap para tokoh menanggapi kekuasaan. Salah satu gejala yang muncul untuk

60 (Amyn B. Sajoo, Pluralisme in “Old Societies and New States” (1994) h.38-39). 61 Goenawan Mohamad mengutip puisi Chairil Anwar ‘kerja yang belum selesai, belum apa-apa’ untuk

menunjukkan apa yang disebutnya sebagai koreksi di tiap masa. Revolusi Soekarno yang beurjung pada

keambrukan ekonomi, kemacetan politik, dan konflik yang meledak menjadi pembantaian. Soeharto

dengan pembangunan ekonomi yang menghasilkan penindasan. Serta reformasi yang dibiarkannya

kosong. (lihat Kata, Waktu 2001: 1424)

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 177: Universitas Indonesia Library

163

Universitas Indonesia

menunjukkan sikap ini, di beberapa drama, adalah dengan mempertanyakan identitas

yang menyangkut rasa kepemilikan atas bangsa ini—secara luas—juga sebagai

individu.

Pada akhirnya, drama-drama ini bertanya tentang identitas diri yang

berhubungan pula dengan identitas sebagai bangsa pada masa transisi pemerintahan.

Kuatnya pengaruh masa Orde Baru dalam kehidupan manusia masa kini masih terlihat

jelas dalam pandangan, sikap, dan situasi sosial yang ditemukan. Pertanyaan ini

disampaikan dalam suasana yang diliputi kegelisahan, akibat optimisme akan keadaan

dunia yang ideal, dan kekecewaan—akibat harapan yang tak kunjung menjadi nyata.

Sehingga penulis melihat, ada kebingungan yang terasa dari keanehan lakuan tokoh

dan dialog-dialog yang mengambang. Lakuan yang terasa canggung dapat dilihat

dalam bagian perumitan masalah drama “Pesta Sampah”, peristiwa lima tokoh

masyarakat dalam drama “Gagu Ngigau Galau Wagu” yang tak menyelesaikan

pekerjaan hari itu, atau misteri perselingkuhan Atun dalam drama “Roman”. Adanya

dialog yang sengaja dibiarkan mengambang untuk menimbulkan satu kebingungan ke

kebingungan lainnya adalah pertanyaan kemanusiaan yang dilomtarkan para tentara

penjaga perbatasan dalam drama “Paralel ‘45”, kaum apatis di dalam drama “Parlemen

WC”, atau tokoh Risti yang tidak juga mengerti apa yang terjadi di gang tersebut dalam

drama “Te(N)tangga(NG)”.

Dari semua masalah yang dibicarakan—peristiwa dalam naskah dan kenyataan-

kenyataan yang mempengaruhi gagasan pengarang—ditemukan sebuah semangat yang

dapat mewakili zaman ini dalam salah satu judul naskah drama, yaitu “Gagu Ngigau

Galau Wagu”. Kata ‘gagu’, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, memiliki arti sulit

bicara. Kata ‘ngigau’ adalah bentuk nonformal dari kata mengigau, yang memiliki kata

dasar ‘igau’, yang memiliki arti berkata-kata tanpa sadar. Kata ‘galau’ berarti ramai

sekali atau tidak beraturan. Kata ‘wagu’ adalah kata yang diambil dari Bahasa Jawa,

yang berarti tidak lazim atau aneh. Kata ‘wagu’ memiliki kadar keanehan yang lebih

rendah ‘edan’ dalam penggunaan Bahasa Jawa. Apabila digabungkan maka akan

menjadi ‘susah bicara tapi bicara tanpa sadar tentang keadaan yang kacau dan aneh’.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 178: Universitas Indonesia Library

164

Universitas Indonesia

Suasana tersebutlah yang membedakan masalah pada naskah drama FTJ

periode ini dengan naskah-naskah drama pada masa yang lain. Depresi yang dialami

manusia dan kesulitan hidup yang diuraikan berbeda karena adanya pengaruh dari masa

keadaan politik pemerintahan sebelumnya dan ditambah dengan keadaan

pascareformasi. Hal tersebut memunculkan naskah drama yang sarat dengan

pertanyaan dan kebimbangan dalam mencapai tujuan hidup manusia yang ideal, yaitu

kebahagiaan.

3.4 Simpulan

Persoalan-persoalan dalam naskah drama FTJ dapat dirumuskan dalam tiga

bagian besar, yaitu identitas diri (relasi manusia dengan dirinya sendiri), identitas

kebangsaan (relasi manusia dengan kekuasaan), serta pola masyarakat yang ada

(identitas manusia dan masyarakatnya). Ketiga persoalan ini merupakan bagian dari

sebuah gagasan utama yang dihasilkan dari pemaparan pengarang terhadap kenyataan

yang dialaminya. Kenyataan tersebut menguraikan kondisi manusia masa kini melalui

kacamata masyarakat urban di Jakarta.

Pada intinya, kenyataan yang mempengaruhi terciptanya karya adalah masa

transisi Indonesia dari suatu bentuk pemerintahan yang teratur ke dalam sebuah bentuk

kebebasana yang dinamis. Perubahan ini dibawa oleh cita-cita reformasi untuk menuju

pada sebuah bangsa yang menjunjung tinggi demokrasi dan memperlihatkan kemajuan

dalam segala bidang. Dalam naskah drama, situasi ini diwakili oleh drama “Ruang

Tunggu Terakhir”, yang menceritakan penantian para tokoh untuk sampai pada tanah

yang dijanjikan penyelamat mereka.

Di masa transisi yang panjang, drama-drama ini menangkap adanya

kegelisahan, kecemasan, kekecewaan, dan ketakutan yang dihadapi manusia masa kini.

Penyebab utamanya adalah bentuk kebebasan yang perlahan menimbulkan kekacauan

sehingga kondisi masyarakat tidak juga membaik. Janji-janji reformasi menjadi

semacam utopia yang semakin hari semakin jauh dari kenyataan. Hal ini disebabkan

oleh munculnya jarak antara pemimpin dan yang dipimpin serta sistem yang merusak

nilai-nilai luhur masyarakat. Kota menjadi sebuah tempat yang menampung

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 179: Universitas Indonesia Library

165

Universitas Indonesia

kemiskinan dan penderitaan. Karena keterbatasan secara geografis dan demografik

maka kota menimbulkan masyarakat yang tidak sehat.

Tanpa disadari kebebasan yang mereka raih di masa reformasi, telah menjadi

belenggu baru yang membuat kehidupan terasa lebih berat. Masyarakat miskin semakin

miskin, rakyat tidak percaya pada pemimpin, dan munculnya perpecahan yang timbul

karena usaha untuk mempertahankan diri. Individualisme muncul di tengah masyarakat

majemuk dan mengubah pola kehidupan mereka.

Pada akhirnya, kerja keras reformasi belum selesai karena masih banyak

penyimpangan yang terjadi. Rakyat masih berteriak minta tolong pada pemimpin dan

pemimpin sibuk dengan urusan elit politiknya. Kekacauan ini berujung pada rasa

kebersamaan mereka sebagai sebuah bangsa dan kebutuhan untuk dapat diakui sebagai

sebuah individu dalam kelompok yang besar. Keadaan ini tercermin melalui judul

naskah drama , “Gagu Ngigau Galau Wagu”, yang berarto ‘susah bicara tetapi akhirnya

bicara tanpa sadar tentang keadaan yang kacau dan aneh’.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 180: Universitas Indonesia Library

166 Universitas Indonesia

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Festival Teater Jakarta adalah salah satu acara seni yang secara konsisten—

selama lebih dari empat dekade—memberikan wadah bagi para seniman, khususnya

para dramawan, untuk mengekspresikan kegelisahan dan pencarian diri yang sejati.

Sesuai dengan tujuan diselenggarakannya acara ini maka sejak bergabung kembali di

bawah penyelenggaraan Dewan Kesenian Jakarta, FTJ berusaha untuk mengarahkan

para dramawan untuk berbicara sesuai konteks zamannya. Tujuannya agar festival ini

tidak hanya dipandang sebagai perlombaan, tetapi juga telah menjadi sarana bagi

masyarakat kota menghayati hidup di tengah derasnya informasi instan dan teknologi.

Berita, dengan caranya, memberikan pengetahuan terhadap suatu peristiwa sedangkan

karya seni memberikan cara bagi manusia untuk memaknai peristiwa tersebut.

Berangkat dari hal itulah, penelitian atas naskah drama asli pada FTJ periode 2008-

2013 dilakukan. Penelitian ini menguraiakan gagasan utama para pengarang drama

yang dianggap memiliki keterpengaruhan dari realitas sosial ‘aku’—manusia.

Ada tiga jenis relasi yang dipergunakan oleh penulis untuk mengetahui masalah

utama ‘aku’—manusia—yaitu relasi manusia dengan dirinya sendiri, relasi manusia

dengan kekuasaan, dan relasi manusia dengan masyarakat. Ketiga jenis relasi ini

dianggap paling tepat untuk melihat masalah manusia, baik secara individu atau pun

sebagai sebuah kesatuan. Untuk drama yang berbicara tentang relasi manusia dan diri

sendiri, ada tiga drama yang diambil dari jumlah tujuh naskah, yaitu “Gagu Ngigau

Galau Wagu”, “Ruang Kehormatan”, dan “Ruang Tunggu Terakhir”. Untuk drama

yang berbicara tentang relasi manusia dengan kekuasaan, ada tiga drama yang diambil

dari sembilan naskah drama, yaitu “Paralel ‘45”, “Parlemen WC”, dan “Pesta Sampah”.

Relasi manusia dengan kekuasaan, diwakili oleh drama “Lima Pintu”,

“Te(N)tangga(NG)”, dan”Roman”.

Relasi ini digunakan dalam analisis struktural untuk mencari tahu masalah yang

yang dialami oleh tokoh-tokohnya. Melalui unsur-unsur yang membangun drama,

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 181: Universitas Indonesia Library

167

Universitas Indonesia

seperti alur, penokohan, suasana, dan aliran, penulis menemukan pokok permasalahan

di tiap relasi. Drama-drama dalam satu kategori relasi memperlihatkan adanya

kesamaan yang signifikan antara satu dan lainnya. Drama yang membicarakan tentang

manusia dan diri sendiri memperlihatkan kesamaan latar, yaitu sebuah ruang, yang

disulap menjadi kurungan tempat para tokoh tinggal. Tidak hanya itu, tokoh-tokoh

dalam drama ini memiliki kesamaan keadaan jiwa yang tidak sehat sehingga dua di

antara drama yang lain menunjukkan bahwa latar ruang tersebut adalah bagian dari

sebuah rumah sakit jiwa. Temuan atas sebuah ruang dengan kondisi kejiwaan yang

tidak sehat dari tokoh-tokoh yang tinggal di dalamnya, menunjukkan adanya tekanan

dari rutinitas yang membelenggu mereka. Dalam drama ini, masalah terbesar yang

dihadapi para tokoh adalah kebebasan untuk mencari jati diri mereka.

Kesamaan unsur-unsur dalam tiga drama juga muncul dalam drama tentang

relasi manusia dan kekuasaan. Tiga drama tersebut, “Paralel ‘45”, “Parlemen WC”,

dan “Pesta Sampah”, menunjukkan sebuah konsep kekuasaan tanpa merujuk pada

bentuk manusia. Ada konsep kekuasaan yang digambarkan melalui sebuah WC umum

yang dianggap sakral sebab dapat menjatuhkan atau menaikan pemimpin di kampung

tersebut. Ada pula kekuasaan yang ditampilkan kokoh, tetapi terasa dingin dan

membatasi, seperti tembok perbatasan wilayah dalam drama “Paralel ‘45”. Drama

“Pesta Sampah”, menunjukkan kekuasaan sebagai suatu daya yang menghilangkan

kemanusiaan di dalam kegemerlapan rimba industri. Pada intinya, drama-drama ini

mempermasalah tentang hubungan antara pemerintah dan masyarakat yang tidak

kunjung membaik. Penyalahgunaan kebebasan yang digunakan oleh tokoh rakyat atau

pun pemimpinnya, dalam ketiga drama ini, berujung pada kehancuran.

Drama yang berbicara tentang relasi manusia dan masyarakat, “Lima Pintu”,

“Te(N)tangga(NG)”, dan”Roman”, memperlihatkan potret kehidupan masyarakat

kelas menengah bawah. Dari peristiwa-peristiwa yang ada, menunjukkan bahwa

masalah utama masyarakat kelas sosial ini adalah pergumulan ekonomi. Masalah

kemiskinan adalah suatu tema yang sudah banyak dibicarakan bahkan dapat dikatakann

setiap masa memiliki contoh karya yang membicarakan masalah ini. Namun, masalah

kemiskinan yang dimunculkan dalam drama-drama ini, tidak hanya berfokus pada

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 182: Universitas Indonesia Library

168

Universitas Indonesia

kesulitan mendapatkan uang atau perjuangan untuk mendapatkan uang, tetapi efek

domino dari ekonomi yang buruk. Pergeseran nilai dalam kehidupan bertetangga dipicu

oleh adanya perhatian lebih kepada nilai-nilai dasar yang bersifat material, seperti

gengsi antartetangga, perilaku konsumtif, dan kepribadian ganda yang harus dilakukan

demi bertahan hidup. Hal ini dibicarakan dalam keadaan tempat tinggal yang padat,

bertumpuk, kumuh, dan tidak sehat. Sehingga masalah yang sebenarnya terjadi pada

tokoh utama, juga menjadi masalah bersama di dalam lingkungan tempat tinggal

tersebut.

Hasil analisis struktural yang dilakukan atas drama-drama FTJ menunjukkan

ada tiga masalah utama ‘aku’—manusia—yang meliputi masalah identifikasi diri

(drama relasi manusia dengan diri sendiri), identitas kebangsaan (drama relasi manusia

dengan kekuasaan), serta pola masyarakat di kota (relasi manusia dengan masyarakat).

Ketiga pokok persoalan ini adalah inti dari masalah tentang manusia yang terjadi di

dalam drama. Hal ini diperlihatkan melalui alur, tokoh, dan suasana yang membangun

tubuh drama. Tiga pokok masalah ini dipandang sebagai sebuah bentuk tanggapan

pengarang terhadap situasi di dalam kehidupan nyata..

Hasil penelusurann sosiologi terhadap masalah manusia dan identifikasi dirinya

menghasilkan sebuah temuan bahwa hal tersebut sangat erat kaitannya dengan sejarah

masa lalu bangsa Indonesia. Masa lalu yang paling dekat dengan waktu penciptaann

naskah drama ini adalah pemerintahan Orde Baru yang berkuasa selama lebih dari tiga

dekade. Kekuasaan Orde Baru di Indonesia menyerupai keberadaan tokoh ‘tuhan’

dalam dunia para tokoh utama di dalam drama. Orde Baru seolah memberikan

keteraturan melalui kebijakan dan ideologinya, tetapi sebenarnya seperti juga rutinitas

yang dihadapi para tokoh, hal tersebut adalah belenggu bagi manusia pada masa itu.

Kenyamanan mereka hidup dalam kondisi teratur, mulai terusik ketika akan sehat

mengalahkan ketidaksadaran manusia. Adanya dorongan untuk mencari kebebasan

merupakan sebuah kerja panjang yang tak akan pernah selesai. Oleh sebab itu, para

tokoh pun mulai mencari kebebasana ketika tekanan semakin kuat menghimpit dan

menimbulkan pemberontakan di dalam diri manusia. Hal yang sama terjadi pula

dengan manusia-manusia yang telah merasa bosan berada di bawah aturan-aturan Orde

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 183: Universitas Indonesia Library

169

Universitas Indonesia

Baru yang semakin terasa berat. Dengan kesadaran dan kehendak untuk bebas,

reformasi pun dilakukan.

Sebagai sebuah masyarakat yang terdiri atas berbagai macam suku bangsa,

agama, dan ras, masyarakat Indoensia pernah disatukan di bawah tekad yang dilahirkan

atas kesamaan penderitaan. Pada masa Orde Baru, masyarakat sekali lagi berjuang

bersama melawan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan penguasa. Pascareformasi

terjadi, pemerintah yang baru memberlakukan demokrasi dalam pemerintahan dengan

membuka akses seluas-luasnya bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam pemerintahan.

Pemerintah pusat juga memberikan otonomi daerah yang ditujukan untuk pemerataan

kekuasaan. Namun, di antara euforia kebebasan manusia pasca-Orde Baru, timbul

masalah terkait hubungan antara pemerintah dan rakayat. Masalah inilah yang

ditemukan dalam drama-drama tentang relasi manusia dengan kekuasaan yang

membicarakan tentang identitas kebangsaan.

Ketika pemerintahan kembali berada di tangan rakyat dan kebebasan

berpendapat dijamin oleh negara, beberapa pihak mempergunakan hal tersebut demi

kepentingan pribadinya. Oleh sebab itu, muncul dalam drama polemik tentang

kekuasaan di kampung Parmin (dalam drama “Parlemen WC”) atau kerusuhan yang

memisahkan wilayah Timur dan Barat (dalam drama “Paralel ‘45”). Kebebasan

menjadi barang murah yang dapat digunakan oleh siapa saja demi mencapai ambisinya

masing-masing. Hal ini disebabkan pula oleh adanya kekecewaan terhadap

pemeriintahan pascareformasi yang tak kunjung memberikan bukti nyata terhadap

perubahan baik bagi masyarakat. Peningkatan ekonomi tidak merata bahkan prestasi

peningkatan investasi di negara, tidak dirasakan oleh rakyat. Kekecewaan inilah yang

dibicarakan dalam drama, seperti “Pesta Sampah”, yang menunjukkan amarah

terpendam dari rakyat kecil yang tidak berdaya. Oleh sebab itu, muncullah Pulung yang

menjadi budak asing di tanahnya sendiri. Sementara itu, penguasa yang korup, lebih

suka bermain dengan pihak-pihak yang membawa keuntungan pribadi daripada

mengurus nasib rakyat seperti Parmin atau Pulung.

Dalam drama yang berbicara tentang relasi manusia dengan masyarakat,

masalah utama yang timbul adalah beban kemiskinan masyarakat di kota sebagai akibat

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 184: Universitas Indonesia Library

170

Universitas Indonesia

dari sistem pemerintahan yang gagal membawa perubahan. Otonomi daerah yang

diberlakukan oleh pemerintah pusat ternyata justru menjadikan kekuatan tidak merata.

Kota semakin padat dengan jumlah pendatang yang mencari penghidupan, sementara

itu desa dan daerah pinggiran lainnya makin ditinggalkan. Masyarakat miskin kota

nampak dalam kehidupan para tokoh, seperti di dalam drama “Lima Pintu”,

“Te(N)tangga(NG)”, dan”Roman”. Para tokoh hidup dalam suatu lingkungan yang

tidak hanya padat, tetapi juga terdiri atas berbagai macam latar belakang. Ada yang

pendatang dari daerah lain, ada pula yang memang berasal dari kota. Hal tersebut

diperlihatkan melalui dialog antartokoh. Namun, yang paling jelas terlihat adalah

perbedaan ini tidak lagi dapat direkatkan dengan konvensi sosial yang selama ini

menjaga keharmonisan di antara mereka. Hal tersebut disebabkan oleh begitu tingginya

ekspektasi sosial atas kehidupan yang ideal di kota. Ekspektasi tersebut berbanding

terbalik dengan keadaan yang ada sebab kota yang memang terbatas, telah mencapai

titik lebih dari beban demografik yang seharusnya ditanggung. Persaingan

antarmasyarakat menjadi tidak sehat dan menimbulkan sikap saling menyerang. Hal

ini adalah efek samping dari kegagalan pemerintah mengadakan kehidupan yang

dicita-citakan ketika reformasi dilakukan. Dengan tekanan yang begitu hebat, membuat

masyarakat yang majemuk ini berubah menjadi masyarakat dengan sikap

individualistis sehingga menimbulkan konflik di antara mereka.

Keadaan pascareformasi atau yang dikenal sebagai fase transisi ternyata

menimbulkan kekecewaan dan kekhawatiran manusia terhadap masa depan. Sebagai

langkah preventif, mereka mendahulukan kepentingan pribadi di atas kepentingan

bersama. Pandangan dan sikap yang seperti ini memiliki sumbangan dari masa

pemerintahan sebelumnya, yang telah melakukann dehumanisasi sebuah generasa pada

masanya. Pergeseran nilai dan ketidakberdayaan pemerintah dalam mengatur

kehidupan berbangsa dan bernegara menyebabkan timbulnya gerakan primordialisme

di antara masyarakat Indonesia saat ini. Konflik agama dan etnis di beberapa daerah

masih berlangsung hingga kini. Kelompok-kelompok yang ingin memisahkan diri dari

bangsa Indonesia, juga masih ditemui di wilayah Aceh, Irian, dan Maluku.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 185: Universitas Indonesia Library

171

Universitas Indonesia

Pada akhrinya, pengarang merekam peristiwa dan masalah yang dihadpi oleh

manusia masa kini, khususnya di Jakarta. Drama-drama FTJ menampilkan kegelisahan

dan kekalutan manusia di masa transisi melalui tokoh-tokoh yang dekat dengan

kehidupan sehari-hari. Masalah dan konflik yang mereka hadapi merupakan sebuah

bentuk dramatisasi dari kenyataan yang semakin mengarah ke situasi tersebut. Melalui

humor yang gelap dan kekacauan yang mendominasi, drama-drama ini hadir sebagai

bahan refleksi untuk melihat tantangan zaman yang dihadapi sebagai individu di dalam

masyarakat yang lebih luas, yaitu kesatuan Indonesia. Penulis menangkap bahwa hal

ini dilakukan para pengarang untuk mencegah timbulnya kehancuran yang mulai

terlihat dari sikap, penghayatan nilai, dan kondisi sosial politik bangsa ini. Sehingga

dapat dikatakan, ‘aku’—manusia—yang terekam di dalam drama-drama ini adalah

manusia yang gelisah dan khawatir menghadapi kesemerawutan serta tidak mampu

menjelaskan inti dari kelangsungan hidupnya.

4.2 Saran

Sebagai sebuah pembicaraan awal tentang drama-drama yang dihasilkan pada

masa kini, penulis menyadari bahwa masih ada banyak kekurangan yang ditemukan

dalam pembahasan. Kurangnya kesempatan untuk melakukan penelitian langsung

terhadap penyelenggaraan Festival Teater Jakarta, menjadi salah satu kekuarangan

dalam penelitian ini. Pembicaraan tentang manusia yang terekam dalam drama-drama

ini dapat berkembang secara luas apabila penelitian mengenai bentuk panggungnya

pun diikutsertakan menjadi salah satu tahapan penelitian. Bentuk teks yang

diterjemahkan ke dalam panggung, dapat memperlihatkan gambaran konkret dari

masalah yang diciptakan pada tahun terkait. Hal ini meliputi seluruh unsur

pemanggungan yang tertera dalam teks. Cara para peserta membicarakan isi teks drama

ke dalam panggung akan memperkaya sudut pandang dalam penelitian tentang

manusia.

Masalah tentang drama dan manusia masih terlalu luas untuk disimpulkan

melalui penelitian ini. Oleh karena sifat manusia yang dinamis maka kesempatan untuk

melihat persoalan dalam drama masa kini masih sangat terbuka. Hal lain yang dirasa

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 186: Universitas Indonesia Library

172

Universitas Indonesia

dapat menambah kekuatan dalam penelitian tentang manusia masa kini dalam drama

adalah dengan membandingkan hasil temua dari naskah drama Festival Teataer Jakarta

dengan drama-drama lain yang dihasilkan pada periode yang sama di tempat yang

berbeda. Hal ini akan memberi gambaran yang lebih lengkap tentang masalah yang ada

pada manusia masa kini. Apabila masalah yang ditemukan kurang lebih menunjukkan

kesamaan berarti ada sebuah fenomena yang terjadi secara nasional.

Pembicaraan mengenai drama masa kini sebagai sebuah produk peninggalan

Orde Baru, pun dapat dikembangkan menjadi sebuah topik tersendiri sehingga

pembahasannya lebih mendalam. Penelitian ini masih sangat kurang dalam

menjelaskan drama-drama yang dihasilkan pada masa Orde Baru. Drama-drama dari

masa tersebut dapat dibandingkan denga drama yang dibahas pada penelitian ini supaya

dapat ditemukan perbedaaan dan persamaan di dalamnya. Hal ini penting untuk

dilakukan karena dapat memberikan perenungan bagi manusia masa kini tentang hal-

hal yang baik dan buruk dalam kehidupan sebelumnya.

Pada akhirnya, harapan terbesar dari penelitian ini adalah terbukanya jalan bagi

apresiasi naskah drama, khususnya naskah-naskah yang dihasilkan pada masa kini.

Dengan memberikan tanggapan secara konsisten terhadap karya drama yang ada maka

akan meningkatkan pula kualitas dan kuantitas karya yang dihasilkan, khususnya

drama di Indonesia. Hal ini menjadi penting, mengingat sastra adalah perangkat

manusia untuk menghayati dan memberikan refleksi atas kehidupan yang mereka

jalani.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 187: Universitas Indonesia Library

173

Universitas Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Achamad Syaeful. “Perkembangan Teater Kontemporer Indonesia 1968-2008”

(2012). Disertasi Program Studi Sejarah, Fakultas Ilmu Pengtahuan Budaya,

Universitas Indonesia.

Arsuka, Nirwan Ahmad. (2001). Kata, Waktu: Esai-Esai Goenawan Mohamad 1960-

2001. Jakarta: Pusat Data dan Analisa TEMPO.

Atmakusumah. (1992). Mochtar Lubis: Wartawan Jihad. Jakarta: Harian Kompas.

Damono, Sapardi Djoko . (2010). Sosiologi Sastra: Pengantar Ringkas (ed). Jakarta:

Editum.

____________ (ed). (2012). Drama Indonesia. Jakarta: Editum

Esslin, Martin (ed). (1968). The Theatre of the Absurd. England: a Pelican Book.

Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Hardjana, Andre. (1981). Kritik Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT Gramedia.

Hassan, Fuad. (1989). Berkenalan dengan Eksistensialisme (ed.4). Jakarta: Pustaka

Jaya.

Jassin, H.B. (2013). Pujangga Baru (ed.3). Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.

K.M, Saini. (2004). Krisis Kebudayaan. Bandung: Kelir.

“KPK Tetapkan Mentri Agama sebagai Tersangka” (22 Mei 2014) diunduh dari

http://www.bbc.co.uk / pada tanggal 16 Juni 2014.

Letwin, David, Joe Stockdale, dan Robin Stockdale. 2008. The Architecture of Drama:

Plot, Character, Theme, Genre, and Style. United Kingdom: The Scarecrow

Press, Inc.

Luxemburg, Jan van, Mieke Bal, dan Willem G. Westsjein. (1981). Pengantar Ilmu

Sastra. (Dick Hartono, Penerjemah). Jakarta: PT Gramedia.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 188: Universitas Indonesia Library

174

Universitas Indonesia

Mughis, Abdil. “Studi Indonesia Pasca-Soeharto: Dari Otoriterianisme Menuju

Demokratisasi”. Diunduh dari http://www.interseksi.org/publications/essays.

Pada tanggal 6 Juni 2014, pukul 02.16.

Michelson. (1970). Man and His Urban Enviroment; A Sociological Approach. United

State of America: Addison-Wesley Publishing Company.

Mahfud, Moh., dkk (editor). (1990). Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan (ed.2).

Yogyakarta: UII Press.

Mietzner, Marcus. (January/February 2010). Indonesia in 2009: Electoral Contestation

and Economic Resilience. Asian Survey, Vol. 50, 1, 185-194. Juni 4, 2014.

USA: University of California PressStable. http://www.jstor.org.

______________. (2009). Indonesia in 2008: Democratic Consolidation in Soeharto's

Shadow Southeast Asian Affairs, 105-123. Juni 4, 2014. Institute of Southeast

Asian Studies (ISEAS). http://www.jstor.org.

Mihardja, Achdiat K. (ed). (1998). Polemik Kebudayaan. Jakarta: Balai Pustaka.

____________.1991. Tentang Sastra. Jakarta: Intermasa.

Nordholt, Henk Schulte. (2003). Renegotiating boundaries: Access, agency and

Identity in post-Soeharto Indonesia. Bijdragen tot de Taal-, Land- en

Volkenkunde, Vol. 159, No. 4, h. 550-589. Juni 4, 2014. KITLV, Royal

Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean StudiesStable.

www.jstor.org.

Oemarjati, Boen S. (1971). Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Gunung

Agung.

“Pejabat Kementerian Agama Didakwa Korupsi”. (7 Januari 2014). diunduh dari

http://www.kpk.go.id/. tanggal 16 Juni 2014.

Ratna, Nyoman Kutha. (2004). Teori, Metodi, dan Teknik Penelitian Sastra.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 189: Universitas Indonesia Library

175

Universitas Indonesia

Reaske, Christopher Russel. 1984. How To Analyze Drama. USA: Monarch Press.

Sastrowardoyo, Subagio. (1999). Sekilas Soal Sastra dan Budaya (ed. 3). Jakarta: Balai

Pustaka.

Schechner, Richard. (2004)s. Performance Theory. Taylor & Francis e-Library.

Scholes, Robert; Michael Silverman & Carl H. Klaus. (1978). Elements of Literature.

New York: Oxford University Press.

Stevenson, Leslie. (1987). Seven Theories of Human Nature. New York: Oxford

University Press.

Sumardjo, Jakob. (1997). Perkembangan Teater dan Drama Indonesia. Bandung: STSI

PRESS.

_______________. (1982). Masyarakat dan Sastra Indonesia (ed. 2). Yogyakarta: Nur

Cahaya.

_____________& Saini K.M. (1991). Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama.

Suprapto, Hadi & Ita Lismawati. (2012). “Kronologi Penyerangan Masjid Ahmadiyah di

Bandung”. Diunduh dari http://nasional.news.viva.co.id/ , pada tanggal 16 Juni 2014.

Suseno, Franz-Magnis. (2003). Mencari Makna Kebangsaan (ed. 7). Yogyakarta:

Penerbit Kanisius.

Teeuw, Andrias. (2003). Sastra dan Ilmu Sastra (ed. 3). Jakarta: Pustaka Jaya.

Vermonte, Philips J. “Demokratisasi dan Politik Luar Negeri Indonesia”. Diunduh dari

http://www.interseksi.org/publications/essays/articles/demokratisasi_politik_l

uar_negeri.html, pada tanggal 6 Juni 2014, pukul 12.05.

Wellek, Rene & Austin Warren. (2010). Teori Kesusastraan (ed. 5). (Melani Budianta,

Penerjemah). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 190: Universitas Indonesia Library

176

Universitas Indonesia

Sajoo, Amyn B. (1994) Pluralism in ‘Old Societies and New States’. Singapore:

Institute of Southeast Asian Studies.

Syahza, Almasdi. (2013). “Dampak Urbanisasi dan Kemiskinan”. Bahan Ajar Mata

Kuliah Ekonomi Pembangunan UNRI, Riau.

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 191: Universitas Indonesia Library

177

Universitas Indonesia

Lampiran I : Artikel tentang Penyelenggaraan Festival Teater Jakarta

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 192: Universitas Indonesia Library

178

Universitas Indonesia

Lanjutan Lampiran I

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 193: Universitas Indonesia Library

179

Universitas Indonesia

Lanjutan Lampiran I

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 194: Universitas Indonesia Library

180

Universitas Indonesia

Lanjutan Lampiran I

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 195: Universitas Indonesia Library

181

Universitas Indonesia

Lampiran II : Ulasan Pertunjukan Drama-Drama Festival Teater Jakarta

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 196: Universitas Indonesia Library

182

Universitas Indonesia

Lanjutan Lampiran II

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 197: Universitas Indonesia Library

183

Universitas Indonesia

Lanjutan Lampiran II

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 198: Universitas Indonesia Library

184

Universitas Indonesia

Lampiran III: Naskah Drama Festival Teater Jakarta

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 199: Universitas Indonesia Library

185

Universitas Indonesia

Lanjutan lampiran III

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 200: Universitas Indonesia Library

186

Universitas Indonesia

Lanjutan Lampiran III

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014

Page 201: Universitas Indonesia Library

187

Universitas Indonesia

Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014