UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS FAKTOR FAKTOR · PDF file2015 . I UNIVERSITAS ... Dinas...
-
Upload
truongdiep -
Category
Documents
-
view
221 -
download
3
Transcript of UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS FAKTOR FAKTOR · PDF file2015 . I UNIVERSITAS ... Dinas...
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BERJALANNYA KEBIJAKAN PENGAWASAN PANGAN JAJANAN
ANAK SEKOLAH DI KOTA BATAM
TESIS
AHMAD RAFQI
NPM: 1206337103
FAKULTAS ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS INDONESIA
2015
I
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BERJALANNYA KEBIJAKAN PENGAWASAN PANGAN
JAJANAN ANAK SEKOLAH DI KOTA BATAM
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar MAGISTER KESEHATAN MASYARAKAT
AHMAD RAFQI
NPM: 1206337103
FAKULTAS ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KESEHATAN ASYARAKAT
UNIVERSITAS INDONESIA
2015
V
RIWAYAT HIDUP
Nama : Ahmad Rafqi Tempat/Tanggal Lahir : Bukittinggi, 19 Agustus 1968 Alamat : Marbella Residence Blok C2-28 Batam kota, Batam Status Keluarga : Menikah
Riwayat Pendidikan:
1. SD Negeri 25 Bukittinggi , lulus tahun 1981 2. SMP Negeri I Bukittinggi, lulus tahun 1984 3. SMA Negeri 1 Bukittinggi, lulus tahun 1987 4. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Andalas Padang, Jurusan Farmasi, lulus tahun 1993 5. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Andalas Padang, Profesi Apoteker, lulus tahun 1995
Riwayat Pekerjaan.
1. April 1997 – November 2008 : PNS Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Samarinda
2. November 2008 – sekarang : PNS Balai Pengawas Obat dan Makanan di Batam
VI
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Allah swt, karena atas berkat,
rahmat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini
dilakukan dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Magister
Kesehatan Masyarakat pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia.
Dengan segala hormat, penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof.
drh.Wiku Adisasmito, MSc., PhD. selaku pembimbing yang dengan penuh
kesabaran membimbing, memberikan masukan dan saran hingga selesainya tesis
ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada:
1. Prof. dr. Anhari Achadi, SKM.DSc, selaku penguji dalam seminar proposal,
seminar hasil dan ujian tesis, serta bapak Dr. Pujianto SKM. MKes selaku
penguji dalam ujian tesis yang banyak memberikan masukan dalam tesis ini.
2. Dra . Cendikia Sri Murwani Apt. MKM dan Dra. Deksa Presiana Apt. Mkes
yang bersedia meluangkan waktu dan tenaga untuk hadir sebagai penguji luar
pada ujian tesis penulis dan telah memberikan masukan dan saran untuk
perbaikan tesis ini.
3. Seluruh pengajar program pasca sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Indonesia yang telah memberikan pendidikan dan pelajaran yang
menghantarkan penulis menyelesaikan masa pendidikan ini.
4. Informan di Badan POM RI, Balai POM di Batam, Dinas Kesehatan kota
Batam, Dinas Pendidikan kota Batam, Dinas Perindag dan ESDM kota Batam,
Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Pasar, Koperasi dan UKM kota Batam,
Bappeda kota Batam, SD 002 Batam Kota, SD 006 Sekupang, MUI kota
Batam, DPRD kota Batam, yang telah menyediakan waktu dan banyak
memberikan keterangan dalam penelitian ini.
5. Orang tua, Mertua, Kakak, Adik adik, Ipar, Uncu, Pak gaek dan Tante yang
telah banyak memberi dukungan dan doa untuk menyelesaikan pendidikan ini,
semoga Allah membalasnya dengan yang lebih baik.
6. Istri tercinta Fowpi Chaira, dan anak anakku tersayang Hanna Nabilla dan
Najwa Nur Faizah, terima kasih atas pengorbanan, doa dan dukungannya,
semoga Allah memberikan kebahagiaan buat kita semua
VII
7. Pimpinan dan rekan-rekan sekantor yang memberikan kesempatan, dukungan
moril dan dorongan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan
pendidikan ini.
8. Teman teman seperjuangan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia, dan pihak lain yang tidak dapat penulis sebut satu per satu, yang
telah banyak membantu penyelesaian tesis ini.
Akhir kata, penulis berharap Tuhan Yang Maha Kuasa berkenan
membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Kritik dan saran
sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan tesis ini. Semoga tesis ini
membawa manfaat.
Depok, Januari 2015
Penulis
ABSTRAK
Nama : Ahmad Rafqi Program Studi : Ilmu Kesehatan Masyarakat Judul : Analisis Faktor faktor yang Mempengaruhi Berjalannya
Kebijakan Pengawasan Pangan Jajanan Anak Sekolah di Kota Batam
Anak usia sekolah yang sehat merupakan asset pembangunan bangsa. Keberadaan makanan di sekolah sangat penting , karena akan memenuhi 25-36% kebutuhan energi harian anak. Kebiasaan makan yang tidak sehat (kurang gizi) dapat menyebabkan stunting (perlambatan pertumbuhan anak); penyakit kardiovaskuler, kanker, diabetes dan osteoporosis, sementara untuk jangka pendek dapat menyebabkan dental caries, anemia, overwight dan obesitas. Hasil pengujian Badan POM tahun 2008-2010, menunjukkan 40-44% jajanan anak sekolah secara nasional tidak memenuhi syarat keamanan pangan. Kebijakan Aksi Nasional menuju pangan jajanan anak sekolah (PJAS) yang aman bermutu dan bergizi, merupakan salah satu upaya meningkatkan mutu pangan jajanan anak sekolah dengan cara memberdayakan komunitas sekolah secara mandiri mengawasi pangan jajanan di lingkungannya. Penelitian ini bertujuan untuk melihat faktor faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan Aksi Nasional PJAS di kota Batam beserta efektitasnya dengan menggunakan analisa implementasi kebijakan dari Mazmanian dan Sabatier. Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif, pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam dan studi dokumen..
Hasil dari penelitian memperlihatkan bahwa implementasi kebijakan Aksi Nasional PJAS di kota Batam sudah terlaksana cukup baik namun tidak berjalan efektif, karena ketidaktepatan dalam menentukan indikator kinerja, tidak ada NSPK terkait peran, tugas dan tanggung jawab kelompok pelaksana, tidak ada strukturisasi pelaksanaan kebijakan tersebut, dan tidak ada dukungan langsung dari DPRD dan Pemerintah kota Batam. Komitmen dari pemerintah daerah kota Batam masih kurang, karena pengawasan pangan jajanan anak sekolah ini belum menjadi prioritas dalam pembangunan kota Batam.
Kata kunci : Pangan jajanan anak sekolah, efektifitas, mandiri, Batam
ABSTRACT Name : Ahmad Rafqi Study Program : Public Health Title : Analysis of Factors Affecting Progress in Food Control
Policy Snacks School Children in Batam Healthy school-age children is a nation-building assets. The presence of food in schools is very important, because it will meet 25-36% of daily energy needs children. Unhealthy eating habits (malnutrition) may cause stunting (slowing the growth of children); cardiovascular disease, cancer, diabetes and osteoporosis, while in the short term can lead to dental caries, anemia, overwight and obesity. Test results of Badan POM RI (National Agency of Drug and Food control) in 2008-2010, showed 40-44% of school children nationwide snacks do not meet food safety requirements. National Action policy toward food snacks schoolchildren (PJAS) quality safe and nutritious, is one effort to improve the quality of food hawker school children by empowering school community independently oversee hawker food in the environment. This study aims to look at the factors that influence the implementation of the National Action policy PJAS in Batam city and along efektitasnya by using analysis of policy implementation Mazmanian and Sabatier. The study was conducted with qualitative methods, data collection is done through in-depth interviews and document .. Results of the study showed that the implementation of the National Action policy PJAS in Batam city has done quite well, but is not effective, because of inaccuracy in determining the performance indicators, no NSPK related roles, duties and responsibilities of the executive, there is no structuring the implementation of the policy, and there is no direct support from the parliament and the Government of the city of Batam. The commitment of the local government of Batam city is still lacking, because the snack food supervision of school children has not been a priority in the development of the city of Batam.
Keywords: Food snacks schoolchildren, effectiveness, independence, Batam
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………. i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ………………………… ii
LEMBAR PENGESAHAN ……………………………………………… iii
SURAT PERNYATAAN ………………………………………………… iv
RIWAYAT HIDUP ……………………………………………………… v
KATA PENGANTAR …………………………………………………… vi
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ……………viii
ABSTRAK ………………………………………………………………. ix
ABSTRACT ……………………………………………………………… x
DAFTAR ISI ……………………………………………………………. xi
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………. xiv
DAFTAR TABEL ………………………………………………………. xv
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………. xvi
I PENDAHULUAN …………………………………………………… 1
1.1. Latar Belakang …………………………………………………… 1
1.2. Rumusan Masalah ……………………………………………… 10
1.3. Pertanyaan Penelitian …………………………………………… 10
1.4. Tujuan Penelitian ……………………………………………… 11
1.4.1 Tujuan Umum………………………………………………11
1.4.2. Tujuan khusus …………………………………………… 11
1.5. Manfaat Penelitian ……………………………………………… 11
1.6. Batasan Penelitian ……………………………………………… 12
II TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………… 13
2.1. Kebijakan Publik ………………………………………………… 13
2.1.1. 13
2.1.2 Sistem dan Komponen Kebijkan ………………………… 14
2.1.3 15
2.1.4 Implementasi Kebijakan Publik ………………………… 16
2.1.4.1. Teknik Implementasi …………………………… 16
2.1.4.2. Model Implementasi Kebijakan / Faktor yang
Mempengaruhi Keberhasilan Implementasi kebija 19
Definisi Kebijakan Publik ………………………………
DAFTAR ISI
Proses Perancangan Kebijakan Publik ……………………
Universitas Indonesia
2.1.4.3. Permasalahan dalam Proses Implementasi……… 23
2.2. Keamanan Pangan ……………………………………………… 25
2.2.1. Definisi Keamanan Pangan ……………………………… 25
2.2.2 Jenis Bahaya dalam Pangan ……………………..…………25
2.2.3. Determinan Keamanan Pangan …………………………… 26
2.3. Aksi Nasional Gerakan Menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah
yang Aman, Bermutu dan Bergizi (AN-PJAS)……………………28
2.3.1. Latar Belakang …………………………………………… 28
2.3.2. Tujuan Aksi Nasional PJAS ……………………………… 30
2.3.3. Pelaksanaan Aksi Nasional PJAS ………………………… 31
2.3.3.1. Pelaksanaan Aksi Nasional PJAS di Kabupaten /
Kota ……………………………………………… 34
2.3.3.2. Pelaksanaan Aksi Nasional PJAS di Provinsi …… 34
2.3.3.3. Program Kegiatan Aksi Nasional PJAS di Daerah 35
2.3.3.4. Jenis-jenis Intervensi pada SD/MI ……………… 38
2.4. Kebijakan Pangan Berbasis Sekolah …………...……………… 39
2.4.1 Paradigma makanan sekolah ……………………………… 39
2.4.2 Kebijakan Pangan di Sekolah di Negara lain …………...… 40
2.5. Penelitian Kebijakan …………………………………………… 45
2.5.1. Metode Penelitian Kebijakan …………………………… 45
2.5.2. Metode Penelitian Kualitatif ……………………………… 46
2.5.2.1. Sumber dan Jenis Data Penelitian Kualitatif …… 46
2.5.2.2 Teknik Pengumpulan Data ……………………… 47
2.5.2.3. Analisa Data Kualitatif …………………………… 49
2.5.2.4. Pemeriksaan Keabsahan Data …………………… 50
2.6. 51
III KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI
OPERASIONAL ………………………………………………………57
3.1. Kerangka Teori ………………………………………………… 57
3.2. Kerangka Konsep …………………………………………………61
3.3. Definisi Operasional …………………………………………… 65
IV METODE PENELITIAN …………………………………………… 69
4.1. Desain Penelitian ………………………………………………… 69
Hasil Penelitian Implementasi Kebijakan Makanan di Sekolah …
Universitas Indonesia
4.2. Waktu dan lokasi Penelitian …………………………………… 70
4.3. Informan / Narasumber ………………………………………… 70
4.4. Pengumpulan Data ……………………………………………… 72
4.5. Analisis Data …………………………………………………… 73
V. HASIL PENELITIAN ……………………………………………… 74
5.1. Keterbatasan Pelaksanaan Penelitian …………………………… 74
5.2. Informan ………………………………………………………… 74
5.3. Aspek Kemampuan Mengendalikan Masalah (Tractability Proble 75
5.3.1. Kesukaran teknis ………………………………………… 75
5.3.2. Keragaman prilku dari kelompok sasaran ………………… 78
5.3.3. Persentase kelompok sasaran …………………………… 79
5.3.4. Rung lingkup perubahan prilaku ………………………… 80
5.4. Aspek Variabel Statutory (Hukum) ………………………………80
5.4.1. Tujuan kebijakan yang jelas dan konsisten ……………… 81
5.4.2. Hubungan kausal yang cukup …………………………… 86
5.4.3. Ketepatan alokasi sumber dana. ………………………… 87
5.4.4. Keterpaduan hirarki lembaga pelaksana ………………… 88
5.4.5. Peraturan dari badan pelaksana …………..……………… 89
5.4.6 Rekruitmen pejabat pelaksana …………………………… 90
5.4.7. Akses formal pihak pihak luar …………………………… 91
5.5. Aspek Variabel Non-Statutory (Non-Hukum) ………………… 91
5.5.1. Kondisi Sosio-Ekonomi budaya dan Politik ……………… 91
5.5.2. Dukungan Publik ………………………………………… 92
5.5.3. Dukugan Badan / Lembaga yang Berwenang ………...… 92
5.5.4. Komitmen dan Kepemimpinan Pejabat Pelaksana ……… 94
5.6. Pencapaian Tujuan Kebijakan …………………………………… 96
VI. PEMBAHASAN ……………………………………………………… 98
VII KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………… 108
7.1. Kesimpulan ………………………………………………………108
7.2. Saran …………………………………………………………… 109
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………… 111
Universitas Indonesia
Gambar 2.1. : Hubungan komponen dalam system kebijakan…………… 14
Gambar 2.2.: Strategi Aksi Nasional Pangan Jajanan yang Aman, Bermutu
dan Bergizi………………………………………………… 32
Gambar 2.3.: Roadmap pelaksanaan Aksi Nasional PJAS ……………… 32
Gambar 3.1.: Kerangka Analisis implementasi dari Mazmanian
dan Sabatier ……………………………………………… 58
Gambar 3.2.: Kerangka Konsep Analisis Implementasi Kebijakan Aksi
Nasional Pangan Jajanan Anak Sekolah ………………… 65
DAFTAR GAMBAR
Universitas Indonesia
Tabel 2.1. Perbandingan pendekatan Top-down dan Botton-up……… 18Tabel 2.2. Hasil Pengawasan Badan POM RI terhadap sampel PJAS
Tahun 2008 - 2010 …………………………………………29Tabel 2.3. Program dan Kegiatan Aksi Nasional PJAS di Kab/Kota … 35Tabel 3.1.: Definisi operasional variabel independen ……………… 65Tabel 5.1.: Daftar Informan ………………………………………… 74
DAFTAR TABEL
Universitas Indonesia
Lampiran 1 : Matrik Rangkuman Hasil Wawancara ……………………117Lampiran 2 : Form Data Informan……………………………………… 121Lampiran 3 : Pedoman Wawancara …………………………………… 122
DAFTAR LAMPIRAN
Universitas Indonesia
1
Universitas Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Keberadaan anak usia sekolah sangat memegang peranan dalam
membangun bangsa, untuk menjadi suatu bangsa yang maju, kuat, berjaya dan
dihormati, akan bisa dicapai jika generasi penerusnya mempunyai kapasitas mutu
yang lebih baik dari generasi sebelumnya (Budiono, 2011).
Kebijakakan makanan berbasis sekolah sangat besar bagi persiapan
generasi mendatang, seperti pada negara-negara miskin (Ashe.L & Sonnino R,
2013), mereka melakukan intervensi kepada makanan sekolah untuk memerangi
kelaparan, kekurangan gizi mikro dan meningkatkan akses pedidikan seperti di
Bangladesh, Burundi (Bennett,J, 2003) Mali, Jamaika Pakistan dan Kamboja (
Bundy D, et al, 2009), sedangkan pada Negara-negara berkembang seperti Brazil,
China, Malaysia, Meksiko Afrika Selatan dan Thailand, menurut Doak.C (2003)
memanfaatkan makanan sekolah untuk mengatasi obesitas dan penyakit nutrisi
lainnya serta membangun budaya mengkonsumsi makanan sehat ( Ashe.L &
Sonnino.R, 2013).
Menurut perkiraan World Food Programme (2009), ada 400 juta anak-
anak kelaparan di dunia saat ini, dengan satu anak meninggal setiap 6 detik karena
lapar. Selanjutnya, 146 juta anak di negara-negara berkembang underweight
(Chettiparamb, Angelique, 2009). Dalam upaya pengentasan kemiskinan
internasional, maka dalam Millennium Development Goals (MDGs), makan siang
(mid day meal) , pencapaian pendidikan dasar secara universal dan
mempromosikan kesetaraan gender, dapat berkontribusi untuk pemberantasan
kemiskinan dan kelaparan (Chettiparamb, Angelique , 2009)
Pentingnya program makanan disekolah ini tercermin juga dengan
kampanye global pemberian makanan di sekolah yang dilakukan oleh World
Food Programme pada tahun 2000 untuk mengatasi kemiskinan anak
(Chettiparamb, Angelique , 2009). Beberapa negara telah menyediakan makanan
2
Universitas Indonesia
di sekolah seperti Brazil telah menjamin hak universal untuk memperoleh
makanan sekolah gratis (Sidaner et al, 2013), India juga melaksanakan program
“Mid-day Meal” (Chettiparamb, Angelique , 2009), Amerika dengan programnya
“Nasional School Lunch Program” / NSLP (Chesser.V.L, 2013 ;
http://www.fns.usda.gov/tn/local-school-wellness-policy), dan penyediaan makan
siang di sekolah di Korea (Jee-hoon.R et.al , 2011)
Pelaksanaan program penyediaan makanan di sekolah sangat tepat, dimana
anak anak dan remaja menghabiskan sekitar 6 jam perhari dan makan 1-2 kali
disekolah, banyak kebiasaan hidup yang negatif dan positif akan mempengaruhi
kesehatan individu selama bertahun tahun di sekolah (Bandura, 2004;. Koplan et
al, 2005; Veugelers & Fitzgerald, 2005a; dalam Quintalha.M (2011).
Keberadaan makanan di sekolah sangat perlu diperhatikan karena akan
memberikan kontribusi energi harian sebesar 25-33% (Anu Devi et.al, 2010) dan
menurut Guharja dkk (2004) sebesar 36% (Badan POM a, 2013) dari kebutuhan
hariannya. Hasil Uji Badan POM RI tahun 2010, menemukan makanan di sekolah
dan sekitarnya mengandung bahan berbahaya ( formalin, boraks, rhodamin B,
methanyl yellow dll) sebesar 18%, mengandung bahan tambahan pangan (BTP)
melebihi batas maksimal sebesar 23%, dan mengandung cemaran mikroba sebesar
59% (Badan POM, 2011). Indikasi bahaya ini juga terlihat dari data Badan POM
RI tahun 2009 tentang Kejadian Luar Biasa (KLB), dimana 16,35% kejadian KLB
terjadi di sekolah/kampus.
Penelitian Jee-hoon.R et.al (2011) di Korea terhadap makanan siang anak
sekolah dasar yang disediakan sekolah , menemukan bahwa 15% makanan yang
tidak dipanaskan dan 9% makanan yang dipanaskan, mengandung jumlah
koliform 2 kali lipat lebih di atas standar nasional Korea. Disamping itu
Damanik,H.D.L, (2010), juga menemukan bahwa 63,3% warung penjual jajanan,
dilingkungan sekolah di kota palembang, dikategorikan terkontaminasi E.Coli.
Disamping bahaya keamanan makanan, bahaya terhadap kandungan gizi
makanan di sekolah perlu diperhatikan. karena kebiasaan makan diwaktu usia
sekolah ini akan berpengaruh kepada usia dewasanya seperti obesitas dll.
(Scholtens.S et.al, 2010). Kebiasaan makan yang tidak sehat ini (kurang gizi)
menurut Jukes, Drake et al, (2008) dapat menyebabkan stunting atau perlambatan
3
Universitas Indonesia
pertumbuhan pada anak (Nyongani.M.M, (2012); penyakit kardiovaskuler,
kanker, diabetes dan osteoporosis, sementara untuk jangka pendek dapat
menyebabkan dental caries, anemia, overwight dan obesitas (Nelson,M& Breda,J,
2013)
Prevalensi anak-anak dengan kelebihan berat badan atau obesitas terutama
di negara maju sudah menjadi pusat perhatian dan juga akan diikuti oleh negara
berkembang. Sebagai contoh, Prevalensinya di Amerika Serikat telah meningkat
dua sampai tiga kali selama dua puluh tahun terakhir. Sebuah laporan dari Pusat
Pengendalian Penyakit menunjukkan bahwa persentase anak-anak berusia enam
hingga sebelas tahun yang obesitas meningkat dari tujuh persen pada tahun 1980
menjadi dua puluh persen pada tahun 2008 (Zainab Rida (2012)
Sebuah studi yang dilakukan oleh Whitaker, Wright, Pepe, Seidel, &
Dietz, (1997) melaporkan bahwa 55-77% dari anak-anak kelebihan berat badan
atau obesitas (usia 6-17) akan menjadi dewasa yang overweight dan atau
obesitas (Wall.R.M., 2011). Konsekuensi dari obesitas bertahan sampai dewasa,
menurut Reilly & Kelly, (2010) akan memiliki peningkatan risiko yang signifikan
dari morbiditas kardiometabolik (Diabetes Melitus type 2, Hypertensi, penyakit
jantung iskemik, dan stroke) dalam kehidupan dewasanya ( Wall.R.M, 2011).
Melihat dari besarnya pengaruh makanan di sekolah, maka sudah
selayaknya ada suatu kebijakan di sekolah untuk menjamin tersedianya makanan
yang aman, bermutu dan bergizi di sekolah. Hal ini penting mengingat kebiasaan
jajan bagi anak Indonesia sangat tinggi, dan bahkan hampir mendekati angka
100% (BPOM RI a, 2013) serta kebanyakan dari mereka membeli jajanan
disekolah tidak memperhatikan keamanan dan nutrisi makanan. Penelitian di salah
satu SD di Jakarta memperlihatkan bahwa lebih dari separuh siswa yang jajan,
beralasan hanya untuk mengisi perut supaya tidak lapar dan lebih dari
sepertiganya membeli chiki, biskuit, wafer, permen, cokelat, dan minuman
kemasan gelas aneka rasa (Yuliastuti.R, 2012). Mengkonsumsi produk makanan
rendah nutrisi ini juga meresahkan bagi Negara lain, karena dapat memicu
obesitas yang akan berimplikasi pada kesehatannya (Scholtens.S, et al, 2010)
(Nelson.M & Breda,J, 2013), bahkan pevalensi obesitas ini akan semakin
4
Universitas Indonesia
meningkat pada masyarakat dengan status social ekonomi yang rendah (Nelson.M
& Breda,J, 2013,; June M. Tester J.M, et al.,2010).
Menurut penelitian yang dilakukan di Cape Town, Afrika Selatan, yang
telah menetapkan makanan sehat dan tidak sehat disekolahnya, 70% anak
membeli makanan yang tidak sehat, sedangkan 73,2% membeli dua item atau
lebih makanan yang tidak sehat. Bahkan 84% mereka mengerti mana makanan
yang sehat dan mana yang tidak sehat ( Temple,N.et.al, 2006).
Kebiasaan makan di sekolah ini juga akan dipengaruhi oleh keberadaan
penjual makanan disekitar sekolah. Hal ini didukung oleh penelitian yang
dilakukan di Canada pada tahun 2009/10, memperlihatkan bahwa ada hubungan
yang kuat antara pedagang pengecer disekitar sekolah dengan prilaku makan siang
anak sekolah (Seliske et al., 2013), suatu penelitian lain juga menyatakan bahwa
keberadaan toko makanan berjarak sampai 800 meter atau 10 menit dari sekolah,
berperan dalam kenaikan berat badan siswa dibanding sekolah yang jauh dari toko
(Howard et.al, 2011), menurut June M. Tester dkk (2010) hal ini sangat
berpengaruh pada saat setelah jam pulang sekolah dan juga berpengaruh pada
anak anak yang pulang pergi ke sekolah dengan berjalan kaki (tingkat ekonomi
rendah).
Kebijakan makanan di sekolah juga sangat berpengaruh kepada kebiasaan
makan pada waktu remaja (Vereecken.et.al, 2005) dan juga berpengaruh pada
Praktek Keamanan Pangan Penjaja PJAS, kemungkinan penjaja PJAS
mempraktekkan keamanan pangan pada kelompok yang ada kebijakan keamanan
pangan di sekolah, 68,57 kali dibanding bila tidak ada kebijakan keamanan
pangan di sekolah” (Damayanti.S.E., 2014)
Sebagai contoh dari kebijakan yang sudah ada diantaranya adalah
pelarangan terhadap junk food di Uruguay pada jam makan siang, hal ini dapat
mengurangi berat badan pelajar yang obesitas sebanyak 18% (Steve,Smith, 2010);
Pemberlakuan Program Makan Siang atau Sarapan di sekolah di Amerika yang
dilaksanakan oleh Departemen Pertanian (U.S. Department of Agriculture /USDA)
yang sudah harus dilaksanakan sejak tahun ajaran 2006-2007 untuk semua
sekolah local, dan biaya ditanggung oleh USDA (http://www.fns.usda.gov/
tn/local-school-wellness-policy); Melaksanakan strategi “Smart Choices” di
5
Universitas Indonesia
Queensland, Australia (Dick.M et.al, 2012). Kebijakan ini dilaksanakan melalui
kerjasama antara Departemen Pendidikan dan pelatihan dan Kesehatan
Queensland, dan dilaksanakan dengan dukungan organisasi profesional, dan
organisasi non-pemerintah. Strategi bertujuan untuk memastikan bahwa semua
makanan dan minuman yang disediakan di sekolah mengikuti standar diet anak-
anak dan Remaja di Australia.
Kebijakan makanan sekolah lainnya adalah menetapkan makanan “sehat”
dan “tidak sehat” (pedoman diet berbasis pangan) di Afrika Selatan oleh
Departemen Kesehatan dan wajib dilaksanakan oleh Departemen Pendidikan
(Temple.N et.al, 2006) ; Melaksanakan kebijakan School Nutrien Policies (SNPs)
terhadap sekolah di Canada melalui issue peningkatan kualitas makanan di
sekitar sekolah, akses siswa ke makanan, keamanan pangan, dan pendidikan gizi
(Mullaly et al, 2010).
Program kebijakan makanan sehat berbasis sekolah ini harus konsisten
dengan program kesehatan yang lebih luas, program pertanian untuk
pengembangan kesehatan, sistim pangan yang berkelanjutan dan layak secara
finansial (Nelson.M,&Breda.J,2013). Pada saat ini, program makanan sekolah
tidak saja ditujukan untuk meningkatkan status gizi anak, tapi juga berperan
dalam meningkatkan program ketahanan pangan, menghubungkan pertanian
dengan program makanan sekolah, seperti penyediaan buah dan sayuran serta
pengolahan hasil alam lokal lainnya sehingga meningkatkan peluang pekerjaan,
pengelolaan sumberdaya alam yang lebih baik, dan pendapatan yang lebih tinggi
(Ashe.L &Sonnino, 2013). Diantara negara yang sudah melaksanakannya adalah
Brazil (Sidaner.E.et.al, 2013) dan juga Scotlandia (Ashe.L & Sonnino.R, 2013).
Dalam proses implementasi kebijakan makanan di sekolah, terkait dalam
usaha mencapai makanan yang aman, bermutu dan bergizi, tentu banyak faktor
yang berpengaruh, baik berpengaruh positif (mendukung pelaksanaannya)
maupun yang berpengaruh negatif (Faktor penghambat pelaksanaannya).
Dari beberapa penelitian yang sudah dilakukan, ditemukan beberapa faktor
yang berpengaruh positif dalam implementasi kebijakan makanan di sekolah,
seperti : 1) Adanya dukungan yang tinggi dari masyarakat; 2) Kesiapan pemasok
makanan ; 3) Dukungan orang tua (Taylor.J et.al, 2011; Dick.M et.al, 2012),;
6
Universitas Indonesia
4). Pemahaman dan komitmen yang tinggi dari komunitas sekolah ( Dick.M et.al,
2012), 5) Adanya kurikulum yang up to date terkait food hygiene dan food safety
(Bielby.G.et.al, 2006), 6) Memiliki dampak positif yg dapat diamati (Masse.LC.,
2013) 7). Promosi makan sehat di semua domain dari lingkungan sekolah
(Dick.M et.al, 2012), 8) Adanya standar gizi dan penggolongan makanan yang
sehat (Dick.M et.al, 2012; Anu Devi,et al, 2010), 9). Sekolah dasar memiliki
aturan tertulis untuk membatasi konsumsi makanan ringan gurih dan manis,
(Vereecken et al, 2005), 10). Adanya peraturan yang dibuat oleh pemerintah /
persetujuan legislative (Tester.J.M. 2010), 11) Adanya guideline pelaksanaan
kebijakan (Mâsse.L.C,,2013), 12) Tersedianya kantin sekolah, toko makanan dan
mesin penjual makanan dan minuman di sekolah (Taylor.J et.al, 2011; Vereecken
et al, 2005), 13) Dukungan politik dan dukungan pihak sekolah (Agron P, 2010;
McKenna ML, 2003, dalam Mâsse.L.C,,(2013)
Sedangkan faktor yang berpengaruh negatif atau menjadi penghalang
pelaksanaan kebijakan makanan di sekolah adalah : 1) Kehilangan pendapatan /
penerimaan sekolah (Taylor.J et.al, 2011; Mâsse.L.C,,2013; Maira Quintanilha.M,
2011),; 2). Mahalnya harga makanan yang sehat, 3) Tidak adanya kantin
disekolah (Taylor.J et.al, 2011), 4). Kurangnya sumber daya (staf, pendanaan,
ketersediaan program atau sumber daya pengajaran,; 5). Kurangnya koordinasi,
(Mâsse.L.C,,2013), 6). Kurangnya infrastruktur (fasilitas kantin, kemampuan staff
kantin) (Anu Devi et al,,2010), 7). Keadaan dan letak geografisnya (Chettiparamb,
Angelique , 2009,; Quintanilha.M, 2011),; 8) Orang tua (terkait tingkat
pendidikan dan income serta cara pandangnya); 9). kurangnya dukungan dari
devisi sekolah; 10). Hambatan lain ( seperti lokasi sekolah yang dekat restoran
atau toko makanan), (Quintanilha.M, 2011); 11). Masalah manajemen makanan
(terkait selera dan keinginan pelanggan, sumber daya) (Quintanilha.M, 2011;
Taylor.J et.al, 2011,; Freeze.C, 2007),; 12). Penggunaan makanan sebagai hadiah
(Freeze.C, 2007) dan lain-lain.
Isu utama kebijakan sekolah ini juga muncul dalam workshop
pengembangan evidence base untuk kebijakan berbasis makanan sekolah di
London pada Januari 2012, menyatakan bahwa ada 2 (dua) isu utama dalam
kebijakan sekolah (Nelson.M, & Breda.J, 2013) :
7
Universitas Indonesia
a. Komitmen seluruh pemerintah ( Nasional, lokal dan internasional jika
perlu) untuk memastikan bahwa hasil dari kebijakan dan intervensi benar-
benar dapat dievaluasi dampaknya terhadap penyediaan makanan sekolah,
pendidikan anak, kesehatan, pertumbuhan dan kesejahteraan
b. Isi, waktu dan pendanaan dari program penelitian, monitoring dan
evaluasi. Disamping itu ada permasalahan penting lainnya yaitu : Konteks
sosial, politik dan budaya dari kebijakan; kebutuhan stakeholder untuk
memiliki hasil penelitian yang bisa membantu mereka memahami dampak
kebijakan dari perspektif mereka; dan kesediaan untuk menilai kekuatan
dan keterbatasan kebijakan sekolah.
Pada saat ini, Indonesia sedang melaksanakan kebijakan terhadap
pengawasan terhadap mutu dan keamanan makanan di sekolah yaitu kebijakan
“Aksi nasional menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah yang aman, bermutu dan
bergizi”. Kebijakan Aksi Nasional Menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS)
yang aman, bermutu dan bergizi ini bertujuan untuk : 1).Memberdayakan
komunitas sekolah untuk menjaga keamanan, mutu, dan gizi PJAS, 2)
Menguatkan koordinasi dan jejaring kerja lintas sektor di pusat dan daerah untuk
meningkatkan PJAS yang aman, bermutu, dan bergizi, dan 3) Meningkatkan
keamanan, mutu dan gizi PJAS di Indonesia.
Program ini merupakan salah satu program pengawasan makanan,
khususnya terhadap pangan jajanan anak di sekolah oleh Badan Pengawas Obat
dan Makanan Republik Indonesia (Badan POM RI). Program ini telah
dicanangkan oleh bapak Wakil Presiden Budiono di Istana Wakil Presiden pada
31 Januari 2011, dimana dalam pengarahannya Wapres menyatakan:
“ ini adalah gerakan bersama, tidak mungkin Badan POM sendiri. Oleh sebab itu harus gerakan masyarakat di sini, gerakan yang menyangkut pemerintah. Pemerintah ini artinya pusat dan daerah, daerah harus diikutkan karena merekalah yang di ujung tombak lapangan. Didalam pemerintah sendiri ada instansi-instansi, tidak mungkin POM kita diamkan.”
Kebijakan Aksi Nasional Pangan jajanan Anak Sekolah yang aman,
bermutu dan bergizi ( Aksi nasional PJAS), dilaksanakan sejak tahun 2011
sampai tahun 2014. Sebagai pelaksana dari aksi Nasional untuk upaya
peningkatan keamanan, mutu dan gizi PJAS ini, ditingkat pusat dilaksanakan
8
Universitas Indonesia
oleh Kementerian Koordinasi Kesejahteraan Rakyat, Kementerian Pendidikan
Nasional, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pertanian,
Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi dan
Usaha Kecil Menengah, Bappenas dan Badan POM RI dan didukung oleh
stakeholder dan lembaga internasional / donor lainnya, serta Lembaga
Kemasyarakatan seperti PKK serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Sedangkan untuk kegiatan di daerah akan dikoordinir oleh Pemerintah Provinsi
atau kabupaten / kota setempat dan bekerjasama dengan pemerintah pusat dan
lembaga terkait, dan sebagai pelaksana utamanya adalah Balai POM, Dinas
Kesehatan, Dinas Pendidikan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan LSM
(Badan POM a, 2011).
Aksi Nasional ini tidak akan bisa berhasil tanpa adanya senergisitas
diantara lintas sektor terkait lainnya, terutama pada Pemerintah Daerah karena
sesuai dengan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana
urusan pendidikan dan kesehatan sudah menjadi kewenangan pemerintah daerah.
Hal inipun juga sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004
tentang Kemanan Mutu dan Gizi Pangan, bahwa Pangan siap saji pengawasan dan
pembinaannya ada pada Pemerintah Daerah.
Semenjak tahun 2011 sampai tahun 2014, dalam rangka Aksi Nasional
PJAS, Balai POM di Batam telah melakukan pengujian PJAS sebanyak 926
sampel PJAS pada 60 Sekolah Dasar (SD) yang tersebar di kota Batam, Tanjung
Pinang, Kabupaten Bintan dan Tanjung Balai Karimun. Dari hasil uji tersebut
PJAS tidak memenuhi syarat sebanyak 58 sampel (6,26%), dan yang memenuhi
syarat sebanyak 868 (93,74%). Khusus untuk kota Batam, Balai POM di Batam
sudah melaksanakan Intervensi A, B dan C pada kurang lebih 215 Sekolah Dasar
(87%) dengan tenaga pendamping dari Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan
kota Batam. Intervensi A di kota Batam dilakukan pada tahun 2012 di 15 SD ,
sedangkan tahun berikutnya di kota Tanjung Pinang dan Tanjung Balai Karimun .
Dari 15 SD yang diintervensi A tersebut, setelah dilakukan audit oleh BPOM di
Batam bersama Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan , hanya 3 SD yang dapat
memperoleh Piagam Bintang Keamanan Pangan untuk Kantin Sekolah sebagai
9
Universitas Indonesia
penghargaan atas terlaksananya keamanan pangan di kantin sekolah tersebut
(BPOM Batam, 2014).
Berdasarkan pertimbangan diatas dan mengingat belum ada penelitian
yang menganalisa implementasi dari program Aksi Nasional Menuju Pangan
Jajanan Anak Sekolah yang aman, bermutu dan bergizi di Indonesia, maka penulis
tertarik untuk melakukannya penelitian guna mengetahui keefektifan pelaksanaan
kebijakan aksi Nasional PJAS ini dan menemukan faktor faktor yang menjadi
penghambat dan mungkin akan menjadi masalah dari implementasi kebijakan ini.
Untuk menganalisa implementasi kebijakan Aksi Nasional Menuju Pangan
Jajanan Anak Sekolah yang Aman, bermutu dan Bergizi ini, penulis menggunakan
kerangka konsep analisa implementasi kebijakan dari Mazmanian dan Sabatier
(1983). Teori ini digunakan karena menurut penulis, beberapa faktor pendukung
dan penghalang implementasi kebijakan makanan di sekolah seperti diatas serta
beberapa permasalahan dalam implementasi kebijakan publik secara umum, akan
bisa dirangkum dalam 16 sub variable yang dikelompokkan kedalam 3 variabel
utama dari teori Mazmanian dan Sabatier ini.
Menurut Mazamanian dan Sabatier , untuk mengetahui keberhasilan tahap
proses implementasi, dipengaruhi oleh beberapa faktor/variabel utama,
diantaranya adalah : 1) Mudah/tidaknya permasalahan implementasi diselesaikan,
2) Kemampuan kebijakan dalam merespon masalah yang akan diselesaikan
(statutory variables), diantaranya kejelasan tujuan, dukungan sumber daya, dll 3)
Variable non kebijakan (non statutory variables), semakin baik lingkungan
kebijakan maka semakin baik keberhasilan implementasi kebijakan (Yongjin Sa,
2013; Wahab.S.A., 2012; Mary Mulhern Kincaid 2011,; Purwanto.E.A &
Sulistyastuti.D.R, 2012).
R. Kent Weaver, guru besar public policy mengatakan bahwa kegagalan
untuk mengantisipasi masalah implementasi ketika reformasi kebijakan sedang
berlaku dapat menyebabkan kegagalan untuk mencapai tujuan program, biaya
yang berlebihan, dan bahkan mungkin reaksi politik terhadap organisasi dan
pelaksana kebijakan (Gustama.D, 2013).
10
Universitas Indonesia
1.2. Rumusan Masalah
Pengawasan terhadap jajanan anak sekolah terutama tingkat Sekolah Dasar
belum optimal, hal ini dapat dilihat dari data hasil pengujian Pangan Jajanan Anak
Sekolah pada tahun 2008 sampai 2010, secara nasional memperlihatkan bahwa
40-44% Pangan Jajanan tersebut tidak memenuhi syarat kesehatan, khususnya
terkait keamanan pangan.
Selanjutnya , kecukupan gizi anak usia sekolah juga masih kurang. Data
laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 menunjukkan bahwa ,
secara nasional prevalensi anak pendek masih tinggi, yaitu di atas 30%, tertinggi
pada kelompok anak 6-12 tahun (35,8%), Status gizi pada kelompok dewasa di
atas 18 tahun didominasi dengan masalah obesitas, walaupun masalah kurus juga
masih cukup tinggi, dan masalah kekurangan konsumsi energi dan protein terjadi
pada semua kelompok umur, terutama pada anak usia sekolah (6–12 tahun), usia
pra remaja (13–15 tahun), usia remaja (16–18 tahun).
Dengan adanya kebijakan Aksi Nasional Menuju Pangan Jajanan Anak
Sekolah yang Aman, Bermutu dan Bergizi, diharapkan akan dapat mengurangi
masalah diatas dengan cara memberdayakan komunitas sekolah dalam mengawasi
makanan yang beredar di sekolah dan sekitarnya, agar makanan yang tersedia di
sekolah aman, bermutu dan bergizi untuk dikonsumsi siswa.
Dalam mengimplementasikan kebijakan itu, tentu akan melewati proses
yang kompleks dan panjang, apalagi kebijakan ini juga melibatkan banyak lintas
sektor terkait. Dalam perjalanannya tentu ada hal-hal yang berpengaruh dalam
proses implementasinya. Untuk itulah penulis mencoba untuk mengidentifikasi
variabel mana yang berpengaruh dalam proses implementasi tersebut dengan
menggunakan teori analisa implementasi kebijakan dari Mazmanian dan Sabatier.
1.3. Pertanyaan penelitian
Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi pelaksanaan proses
implementasi kebijakan Aksi Nasional Menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah
yang Aman, Bermutu dan Bergizi yang dilaksanakan di kota Batam dalam upaya
mencapai tujuan formalnya?
11
Universitas Indonesia
1.4. Tujuan penelitian
1.4.1. Tujuan umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan proses
implementasi kebijakan Aksi Nasional Menuju Pangan Jajanan Anak
Sekolah yang Aman, Bermutu dan Bergizi di kota Batam, ditinjau dari
konsep analisis implementasi kebijakan Mazmanian dan Sabatier
1.4.2. Tujuan Khusus :
a. Menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan proses
implementasi kebijakan Aksi Nasional Menuju Pangan Jajanan Anak
Sekolah yang Aman, Bermutu dan Bergizi di kota Batam dari Aspek :
1). Kemampuan pengelolaan masalah (tractability problem)
2). Kemampuan kebijakan itu menstrukturkan proses implementasi
(Statutory variables / hukum)
3). Variabel diluar kebijakan yang mempengaruhi proses
implementasi ( Non Statutory variables / non hukum)
b. Untuk mengetahui komitmen pemerintah daerah dalam mewujudkan
pangan jajanan anak sekolah yang aman, bermutu dan bergizi di kota
Batam
1.5. Manfaat Penelitian
a. Bagi Masyarakat
Untuk melindungi anak, terutama anak sekolah dari pangan yang tidak
memenuhi syarat keamanan, mutu dan gizi.
b. Bagi Pemerintah Pusat
Sebagai bahan masukan untuk mengevaluasi pelaksanaan program
Aksi Nasional-PJAS.
c. Bagi Pemerintah Daerah
Sebagai masukan untuk menindak lanjuti program Aksi Nasional-
PJAS dan memperkuat komitmen Pemerintah Daerah dalam upaya
menyediakan pangan yang aman, bermutu dan bergizi di wilayahnya.
12
Universitas Indonesia
d. Bagi para pengusaha
Untuk meningkatkan rasa tanggung jawab pengusaha terhadap apa
yang mereka buat dan perdagangkan, sehingga produk mereka aman
dikonsumsi anak sekolah dan mampu bersaing, terutama dalam
menghadapi era Masyarakat Ekonomi Asean.
1.6. Batasan penelitian
Penelitian ini hanya fokus kepada pelaksanaan kebijakan Aksi Nasional
Menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah yang Aman, Bermutu dan Bergizi, di kota
Batam.
13
Universitas Indonesia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kebijakan Publik
2.1.1. Definisi Kebijakan Publik
Definsi tentang kebijakan publik sangat beragam, dan sepertinya susah
untuk disatukan karena luasnya bidang kajian kebijakan publik itu (Wahab.S.A.,
2012). Menurut William Dunn (1994) kebijakan publik adalah suatu rangkaian
pilihan pilihan yang saling berhubungan yang dibuat oleh lembaga atau pejabat
pemerintah pada bidang-bidang yang menyangkut tugas pemerintahan seperti
pertahanan keamanan, energi, kesehatan, pendidikan, kesejahteraan masyarakat
dan lain-lain. Menurut Thomas R, Dye (1978;1987,1) Kebijakan publik adalah
“Whatever governments choose to do or not to do”, Lemieux (1995) merumuskan
kebjakan publik sebagai “ The product of activities aimed at the resolution of
public problem in the environment by political actors whose relationship are
structured. The entire process envolves over time”, (Wahab.S.A., 2012:13)
Sementara dalam Nugroho (2006,23), juga ditemukan beberapa definisi
seperti dari Harold Laswel dan Abraham Kaplan (1970) mendefinisikan kebijakan
publik sebagai a projected program of goal, value, and practise. David Easton
(1965) mendefinisikan sebagai the impact of government activity. James Lester
dan Robert steward (2000) mendefinisikan sebagai a process or a series or
pattern of governmental activities or decisions that are design to remedy some
public problem, either real or imagined. Steven A.Peterson (2003)
mendefinisikannya sebagai government action to address some problem.
B.G.Peter (1993) mendefinisikan sebagai the sum of government activities, wheter
acting directly or through agent, as it has an influence on the lives of citizens.
Dari beberapa definisi tersebut Nugroho (2006) membuat rumusan tentang
ciri- ciri dari kebijakan publik tersebut, yaitu :
a. Kebijakan publik adalah kebijakan yang dibuat oleh administrator Negara atau
administrator public
b. Kebijakan publik adalah kebijakan yang mengatur kehidupan bersama atau
kehidupan publik, bukan perorangan atau golongan
14
Universitas Indonesia
c. Dikatakan sebagai kebijakan publik apabila manfaat yang diperoleh
masyarakat yang bukan pengguna langsung dari produk yang dihasilkan jauh
lebih banyak atau lebih besar dari pengguna langsungnya
2.1.2. Sistem dan Komponen Kebijakan
Menurut Dunn (1994), Sistem kebijakan (policy system) meliputi tiga
unsur/komponen yang saling berkaitan, yaitu kebijakan publik, pelaku kebijakan,
dan lingkungan kebijakan.
Gambar 2.1.: Hubungan komponen dalam sistim kebijakan (Dunn
dalam Ayuningtyas.D, 2014)
Segitiga sistem kebijakan diatas memperlihatkan bahwa aktor kebijakan
akan mempengaruhi atau dipengaruhi oleh kebijakan publik, sementara aktor dan
kebijakan publik juga mempengaruhi dan dipengaruhi oleh keadaan lingkungan
kebijakan. Ketiga komponen diatas selanjutnya dikenal dengan sistem kebijakan
Lebih jauh komponen kebijakan itu dapat dijelaskan lebih lanjut :
1. Isi kebijakan publik (Policy Content)
Isi kebijakan publik ini merupakan respon dari berbagai masalah publik
yang meliputi : Kebijakan hak-hak sipil, pendidikan, kesejahteraan,
kesehatan, pertahanan, energi, lingkungan dan lain-lain. (Wahab.S.A,
2012) Secara umum, isi kebijakan itu dibuat dalam bentuk tertulis dan
memuat : a). Tujuan dibuatnya kebijakan dan dampak yang diharapkan, b).
Ruang lingkup kebijakan, meliputi siapa yang menjadi sasaran kebijakan
dan dan tindakan yang dipengaruhi oleh kebijakan, c). Kapan kebijakan
diberlakukan, d). Siapa yang bertanggung jawab melaksanakan kebijakan,
e). Aturan aturan khusus terhadap perilaku organisasi yang membuat
Actor / pelaku kebijakan
Lingkungan kebijakan
Isi Kebijakan publik
15
Universitas Indonesia
kebijakan itu, f). Latar belakang pembuatan kebijakan, g). Definisi dari
istilah untuk menghindari ambigu ( Ayuningtyas, 2014)
2. Pelaku kebijakan / Pemangku kepentingan kebijakan (Policy stakeholder)
Pelaku / aktor atau pemangku kepentingan dari kebijakan ini adalah
individu atau kelompok yang berhubungan langsung dengan suatu
kebijakan dan dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh kebijakan
tersebut, dapat berupa sekelompok warga, organisasi buruh, pedagang kaki
lima, komunitas wartawan, partai politik, lembaga pemerintah dan lain-
lain (Ayuningtyas, 2014). Beberapa hal dapat berpengaruh pada aktor ini
antara lain: bentuk pemerintahan, sistem birokrasi, sistim politik, pola
partisipasi, kepentingan, derajat konflik dan watak penguasa (Wahab.S.A,
2012).
3. Lingkungan kebijakan (Policy Environment)
Beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap suatu kebijakan
adalah : Kesejahteraan, Urbanisasi, Sitem ekonomi, tingkat pendidikan,
pola kebudayaan, komposisi rasial, keragaman agama dan lain-lain
(Wahab.S.A, 2012).
2.1.3. Proses Perancangan Kebijakan Publik
Menurut Walt (1994), proses perancangan kebijakan merupakan proses
linier yang dimulai dari pengenalan masalah sampai dengan aktifitas untuk
menyelesaikan masalah. Proses tersebut adalah : 1) Identifikasi masalah /
pengenalan isu, 2) Formulasi Kebijakan (perumusan), 3) Implementasi kebijakan
dan 4) Evaluasi Kebijakan (Adisasmito.W,2013).
Menurut Dunn (1994) proses perancangan kebijakan adalah : 1) Penetapan
agenda kebijakan, 2) Adopsi kebijakan, 3) Implementasi kebijakan, 4) Evaluasi
kebijakan. Menurut James Anderson (1979), proses perancangan kebijakan
publik adalah: 1) Formulasi masalah, 2) Formulasi kebijakan, 3) Penentuan
kebijakan, 4) Implementasi kebijakan, 5) Evaluasi kebijakan. Sedangkan menurut
AG.Subarsono (2004), proses perencanaan kebijakan adalah serangkaian proses
yang bersifat politis yang dimulai dari : 1) Penyusunan agenda, 2) Formulasi
kebijakan, 3) Adopsi kebijakan, 4) Implementasi kebijakan, dan 5) Evaluasi
kebijakan (Pasolong.H, 2013).
16
Universitas Indonesia
2.1.4. Implementasi Kebijakan Publik
Implementasi kebijakan merupakan suatu proses untuk mewujudkan
tujuan kebijakan. Tahapan ini adalah penting karena tahapan ini merupakan
“jembatan” antara dunia konsep dan dunia nyata (Purwanto E.A &
Sulistyastuti.D.R, 2012). Implementasi ini akan melibatkan sebuah proses yang
rasional dan emosional yang amat kompleks. Pada proses ini akan memasuki
ranah permasalahan konflik, keputusan-keputusan yang pelik, dan isu siapa yang
akan memperoleh apa, sehingga implementasi ini merupakan bagian yang penting
dari keseluruhan proses kebijakan.
Pentingnya implementasi ini juga disampaikan oleh Udoji dalam
Wahab.S.A, (2012) mengatakan bahwa, pelaksanaan kebijakan itu adalah sesuatu
hal penting bahkan mungkin jauh lebih penting daripada pembuatan kebijakan.
Kebijakan-kebijakan akan berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi
dalam arsip kalau tidak diimplementasikan.
Dalam artian luas, implementasi dianggap sebagai bentuk
penyelenggaraaan atau pengoperasionalisasian aktivitas yang sudah ditetapkan
bersama diantara para pemangku kepentingan (stakeholders), aktor, organisasi
(public atau private), prosedur dan teknik secara sinergis untuk bekerjasama
menerapkan kebijakan kearah yang dikehendaki.
Menurut Daniel A.Mazmanian dan Paul A.Sabatier dalam Wahab.S.A.
(2012), proses implementasi kebijakan itu tidak hanya menyangkut perilaku badan
administratif yang bertanggung jawab melaksanakan dan menimbulkan ketaatan
pada kelompok sasaran, melainkan juga menyangkut jaringan-jaringan politik,
ekonomi dan sosial yang secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi
perilaku pihak yang terlibat. Akhirnya akan berpengaruh kepada dampak, baik
yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan.
2.1.4.1. Teknik Implementasi
Ada dua model pendekatan/teknik dalam mengimplementasikan kebijakan
(Wahab.S.A, 2012; Agustino, 2008 ; Purwanto E.A &Sulistyastuti.D.R, 2012) :
17
Universitas Indonesia
a. Pendekatan top-down (top down approach)
Pendekatan ini sering juga disebut policy centred karena perhatian
peneliti hanya terfokus kepada kebijakan dan berusaha untuk memperoleh
fakta-fakta, apakah implementasi kebijakan itu mampu atau tidak
mencapai tujuannya (Hogwood and Gunn 1984 dalam Purwanto E.A &
Sulistyastuti.D.R, 2012). Sehingga pendekatan top-down ini sangat cocok
untuk menilai efektifitas implementasi suatu kebijakan.
P.deLeon and L,deLeon (2002), menyebut pendekatan top-down
ini sebagai pendekatan “Command and control” yang berarti memberikan
komando dan mengawasi pelaksanaannya. Dalam artian luas perintah
atasan ini berkaitan dengan kejelasan tujuan. Perintah tersebut akan
diterjemahkan detil dalam bentuk instruksi kerja dan atasan juga mampu
mengawasi pelaksanaan instruksi tersebut (Purwanto E.A &
Sulistyastuti.D.R, 2012)
Pendekatan ini juga disebut dengan pendekatan birokrasi
(bureaucratic approach) karena secara umum berbasis kepada mekanisme
birokrasi, dan dengan mekanisme yang agak memaksa.
Implementasi kebijakannya tersentralisasi dan dimulai dari tingkat pusat,
dan keputusan pun diambil di tingkat pusat. Keputusan tersebut
dilaksanakan oleh administrator atau birokrat pada level dibawahnya,
sesuai dengan tujuan yang sudah ditetapkan ditingkat pusat.
(Wahab.S.A,2012)
b. Pendekatan Bottom-Up (Bottom-up approach)
Pendekatan ini dipelopori oleh Elmore (1978), Lipsky (1971),
Berman (1978) dan Hjern, Hanf, serta Porter (1978). Pendekatan bottom-
up ini menekankan pentingnya peranan birokrat pada level bawah ( street
level bureaucrate) dan kelompok sasaran kebijakan (target group) dalam
implementasi suatu kebijakan. Bahkan mereka juga beranggapan bahwa
implementasi akan berhasil jika kelompok sasaran dilibatkan dari awal
perencanaan dan implementasinya (Purwanto E.A & Sulistyastuti.D.R,
2012)
18
Universitas Indonesia
Pendekatan bottom-up dapat dilaksanakan dengan langkah
langkah sebagai berikut:
1. Memetakan stakeholder (aktor dan organisasi) pada level terbawah
yang terlibat dalam implementasi kebijakan
2. Mencari informasi tentang pemahaman aktor tersebut terhadap
kebijakan yang mereka implementasikan, dan apa kepentingan
mereka di dalamnya.
3. Memetakan keterkaitan aktor pada level bawah dengan aktor pada
level atasnya.
4. Peneliti bergerak keatas memetakan aktor yang lebih tinggi dengan
mencari informasi yang sama.
5. Pemetaan dilakukan terus sampai level tertinggi (para policy maker)
Metode pendekatan bottom-up ini adalah untuk mengetahui
jaringan implementasi yang melibatkan banyak aktor dari berbagai level
dan memetakan motif ekonomi-politik para aktor yang terlibat dalam
implementasi kebijakan (Purwanto E.A & Sulistyastuti.D.R, 2012)
Untuk memudahkan dalam memahami perbedaan pendekatan top-down dan
bottom-up tersebut, Sabatier (1984) membuat ringkasan sebagai berikut:
Tabel 2.1. Perbandingan Pendekatan Top-down dan Bottom-up.
Top-down
Bottom-up
Fokus awal Kebijakan pemerintah (pusat) Jaringan implementasi pada level paling bawah
Identifikasi aktor utama yang terlibat dalam proses
Dari pusat (atas) dilanjutkan ke bawah sebagai konsekuensi implementasi
Dari bawah, yaitu para implementer pada level lokal ke atas
Kriteria evaluasi Berfokus pada pencapaian tujuan formal yang tertulis dalam dokumen kebijakan
Kurang begitu jelas, apa saja yang dianggap peneliti penting dan punya relevansi dengan kebijakan
Fokus secara keseluruhan
Bagaimana mekanisme implementasi bekerja untuk mencapai tujuan kebijakan
Interaksi strategis antar berbagai aktor yang terlibat dalam implementasi
( sumber: Sabatier 1984, dalam Purwanto E.A & Sulistyastuti.D.R, 2012).
19
Universitas Indonesia
2.1.4.2. Model Implementasi Kebijakan / Faktor yang Mempengaruhi
Keberhasilan Implementasi kebijakan.
Keberhasilan suatu implementasi kebijakan dapat dilihat dari proses dan
pencapaian tujuan akhir kebijakan (output), hal ini juga didukung oleh Merrile
Grindle dalam Agustino (2008) yang mengatakan bahwa “pengukuran
keberhasilan implementasi dapat dilihat dari prosesnya dengan mempertanyakan
apakah pelaksanaan program sesuai dengan yang telah ditentukan yaitu melihat
kepada action program dari individual project dan yang kedua apakah tujuan
program tersebut tercapai”.
Suatu model implementasi kebijakan merupakan suatu upaya
menyederhanakan realitas implementasi kebijakan yang rumit menjadi lebih
sederhana yaitu sebagai hubungan sebab akibat antara keberhasilan implementasi
dengan faktor yang diduga mempengaruhi keberhasilan implementasi tersebut
(Purwanto E.A & Sulistyastuti.D.R, 2012).
Diantara model implementasi kebijakan tersebut adalah :
a. Implementasi Kebijakan Publik Model Donal Van Metter dan Carl Van Horn.
Kedua pakar ini mencoba menghubungkan antara isu kebijakan dengan
implementasi dan membuat suatu model konseptual yang menghubungkan
kebijakan dengan kinerja (performance). Kedua ahli ini juga menegaskan
bahwa perubahan, kontrol dan kepatuhan bertindak merupakan konsep yang
penting dalam prosedur-prosedur implementasi. (Wahab.S.A, 2012).
Ada 6 Variable menurut Van Meter dan Van Horn yng mempengaruhi
kinerja kebijakan publik :
1. Ukuran dan tujuan kebijakan
2. Sumberdaya
3. Karakteristk agen pelaksana
4. Sikap/kecendrungan (Disposition) para pelaksana
5. Komunikasi Antar Organisasi dan Aktivitas Pelaksana
6. Lingkungan Ekonomi, Sosial dan Politik
b. Implementasi Kebijakan Pulik Model Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier
Model kebijakan publik yang disampaikan Mazmanian dan Sabatier
disebut dengan A Framework for Policy Implementation Analysis. Mereka
20
Universitas Indonesia
berpendapat bahwa peran penting dalam implementasi kebijakan publik
adalah kemampuannya dalam mengidentifikasi variable-variabel yang
mempengaruhi tercapainya tujuan tujuan formal pada keseluruhan proses
implementasi.
Menurut teori ini ada 16 variable yang dibagi kedalam 3 faktor utama
(independen variable) yang dapat berpengaruh pada proses implementasi.:
1. Mudah atau tidaknya masalah yang akan digarap (tractability), meliputi
: a). Kesukaran kesukaran teknis, b). Keberagaman perilaku yang
diatur, c). Persentase totalitas penduduk yang tercakup dalam kelompok
sasaran, d) Tingkat dan ruang lingkup perubahan perilaku yang
dikehendaki.
2. Kemampuan kebijakan menstruktur proses implementasi secara tepat
(Statutory). Para pembuat kebijakan akan menggunakan wewenang
yang dimilikinya untuk menstruktur proses implementasi secara tepat
melalui beberapa cara : a). Kecermatan dan kejelasan penjenjangan
tujuan-tujuan resmi yang akan dicapai, b). Keterandalan teori kausalitas
yang diperlukan, c) Ketepatan alokasi sumber dana, d) Keterpaduan
hirarki di dalam lingkungan dan diantara lembaga-lembaga atau
instansi-instansi pelaksana, e). Aturan-aturan pembuat keputusan dari
badan-badan pelaksana, f). Kesepakatan para pejabat terhadap tujuan
yang termaktub dalam undang-undang, dan g). Akses formal pihak-
pihak luar
3. Variabel-variabel di luar Undang-undang / kebijakan yang
mempengaruhi implementasi (Non Statutory), seperti : a).Kondisi
sosial-ekonomi dan teknologi, b). Dukungan publik, c). Sikap dan
sumber-sumber yang dimiliki kelompok masyarakat, d). Kesepakatan
dan kemampuan kepemimpinan para pejabat pelaksana.
c. Implementasi Kebijakan Publik Model George C. Edward III (1980)
Edward III menamakan kebijakan publiknya dengan Direct and
Indirect Impact on Implementation. Dalam pendekatan ini Edward III
mengemukakan 4 variabel yang sangat menentukan keberhasilan
implementasi suatu kebijakan, yaitu :
21
Universitas Indonesia
1. Komunikasi
Terdapat 3 indikator keberhasilan komunikasi ini yaitu : a).
Transmisi, b) Kejelasan, dan c). Konsistensi,.
2. Sumberdaya .
Menurut Edward III, sumberdaya terdiri dari beberapa elemen
yaitu : a) Staf, staf harus mencukupi, memadai dan kompeten
dibidangnya, b). Informasi, informasi tentang cara melaksanakan
kegitan dan juga informasi mengenai data kepatuhan dari para
pelaksana terhadap peraturan dan regulasi pemerintah , c) Wewenang,
kewenangan harus bersifat formal, dan d). Fasilitas (sarana dan
prasarana)
3. Disposisi / sikap dari pelaksana kebijakan
Pelaksanaan kebijakan publik bisa berjalan efektif, maka para
pelaksana kebijakan harus mengetahui apa yang akan dikerjakannya
dan harus memiliki kemampuan untuk mengerjakannya, sehingga
dalam prakteknya tidak terjadi bias. Hal-hal yang perlu dicermati
dalam variable ini menurut Edward III adalah : a) Pengangkatan
Birokrat, dan b) Insentif
4. Struktur Birokrasi
Menurut Edward III, dua faktor yang dapat menaikkan kinerja
struktur birokrasi / organisasi kearah yang lebih baik adalah : a).
melakukan Standard Operating Procedures (SOPs) dan b).
melaksanakan Fragmentasi
d. Implementasi Kebijakan Publik Model Merilee S. Grindle.
Grindle (1980), mengemukakan model implementasi kebijakan yang
dikenal dengan Implementation as A Political and Administrative Process.
Keberhasilan implementasi kebijakan publik dapat diukur dari proses
pencapaian hasil akhir (outcomes), pengukuran keberhasilan imlementasi ini
dapat dilihat dari 2 hal, yaitu:
1. Dilihat dari prosesnya, apakah pelaksanaan kebijakan itu sesuai
dengan yang sudah ditentukan (design), dengan merujuk kepada aksi
kebijakannya.
22
Universitas Indonesia
2. Apakah tujuan kebijakan tercapai?, diukur dengan melihat impack
atau efeknya pada masyarakat secara individual ataupun kelompok,
dan tingkat perubahan yang terjadi serta penerimaan kelompok
sasaran dan perubahan yang terjadi.
Keberhasilan implementasi menurut Grindle ditentukan oleh tingkat
implementability yang terdiri dari Content of policy dan Contex of policy
1) Content of policy menurut Grindle adalah : a). Interest Affected (
kepentingan – kepentingan yang mempengaruhi, b). Type of Benefits
(Tipe manfaat), c). Extent of Change Envision (derajat perubahan
yang ingin dicapai), d).Site of Decission Making (letak pengambilan
keputusan), e).Program Implementation (Pelaksana program), dan f).
Resources Committed (sumber-sumber daya yang digunakan).
2) Context of policy menurut Grindle adalah : a). Power, Interest, and
Strategy of actor Involved (Kekuasaan, kepentingan, dan strategi dari
actor yang terlibat), b). Institution and Regime Characteristic (
Karakteristik lembaga dan rezim yang berkuasa), dan c). Compliance
and Responsivness ( tingkat kepatuhan dan adanya respon pelaksana)
Disamping itu dalam Purwanto E.A & Sulistyastuti.D.R, (2012) juga ada
pendapat dari Sabatier (1986). Sabatier mengatakan ada 6 variable yang dianggap
memberikan kontribusi terhadap keberhasian dan kegagalan implementasi
kebijakan, yaitu :
1. Tujuan atau sasaran kebijakan harus jelas dan konsisten,
2. Dukungan teory yang kuat dalam merumuskan kebijakan,
3. Proses imlementasi mempunyai dasar hokum yang jelas untuk menjamin
kepatuhan petugas dilapangan dan kelompok sasaran,
4. Komitmen dan keahlian para pelaksana kebijakan,
5. Dukungan para stakeholder,
6. Stabilitas kondisi sosial, ekonomi dan politik.
23
Universitas Indonesia
2.1.4.3. Permasalahan Proses Implementasi.
a. Ketidaksempurnaan Proses Implementasi.
Menurut Hogwood dan Gunn dalam Purwanto E.A & Sulistyastuti.D.R,
(2012), suatu implementasi yang sangat sempurna (perfect implementation)
tidak akan pernah terwujud karena :
1. Ada hambatan Eksternal. Hambatan ini berasal dari luar organisasi seperti
krisis moneter, bencana alam, dll.hal ini sulit dikontrol oleh para pembuat
kebijakan maupun imlementatornya.
2. Waktu dan sumberdaya tidak tersedia secara memadai
3. Kebijakan tidak didasarkan pada landasan pemikiran (teoritis) yang kuat
tentang hubungan kausalitas antara kebijakan dan hasil yang akan dicapai.
Akibatnya pembuat kebijakan keliru dalam merumuskan kebijakan untuk
mengatasi masalah publik.
4. Hubungan sebab akibat antara kebijakan dan hasilnya, jarang bersifat
langsung
5. Lembaga pelaksana jarang yang bisa mandiri, tersebarnya sumber daya
pada lembaga lain seperti finansial, teknologi, politik, informasi dan
sumberdaya manusia yang berkualitas dll.
6. Jarang ada kesepakatan yang bersifat umum diantara pelaksana tentang
tujuan kebijakan dan cara kencapainya. Banyak kebijakan yang
dirumuskan, menghendaki struktur implementer multi agencies.
7. Jarang ada suatu kondisi terjadinya komunikasi dan koordinasi yang
sempurna.
b. Kegagalan Implementasi Kebijakan Publik di Negara Lain
Makinde (2005) dalam (Purwanto E.A & Sulistyastuti.D.R, 2012) telah
mengidentifikasi permasalahan yang timbul dalam proses implementasi,
sehingga menimbulkan kegagalan, seperti penelitiannya di Nigeria
mengidentifikasi gagalnya implementasi kebijakan di Nigeria disebabkan oleh :
1) Kelompok sasaran (target beneficiaries) tidak terlibat dalam implementasi
program, 2) program yang diimplementasikan tidak memperhitungkan kondisi
lingkungan seperti sosial, ekonomi dan politik, 3) Adanya korupsi, 4) Sumber
24
Universitas Indonesia
Daya Manusia yang rendah kualitasnya, 5) Tidak adanya koordinasi dan
monitoring. Sementara itu faktor kelangkaan teknologi dan SDM (Sumberdaya
Manusia) yang tidak berkapasitas, merupakan temuannya terhadap penyebab
kegagalan proses implementasi kebijakan di Ghana.
Pada penelitiannya di Pakistan, Makinde juga menemukan beberapa faktor
yang menyebabkan kegagalan proses implementasi kebijakan, yaitu : 1)
Ketidakjelasan tujuan kebijakan, 2) Komitmen politik, 3) Struktur
pemerintahan, 4) Sentralisasi kewenangan, 5) Sumberdaya, dan 6)
Ketergantungan pada bantuan asing.
Sejalan dengan yang ditulis Makinde diatas, Omoniyi Victor Ajulor (2013)
juga menuliskan kegagalan implementasi kebijakan dan penurunan kemiskinan
di pedesaan di Nigeria. Faktor penyebabnya adalah : 1) Tujuan yang tidak
realistis, 2) Korupsi, 3) Politik (dana digunakan untuk politisasi),4) Kurang
mempertimbangkan keadaan sosial, politik dan ekonomi dari penerima manfaat
sebelum membuat kebijakan (program kemiskinan tidak berbasis lokal), 5)
Kurangnya partisipasi kelompok sasaran ( proses kebijakan publiknya selalu
top-down dalam konsepsi, desain, perumusan, pelaksanaan dan evaluasi)
c. Kegagalan Implementasi Kebijakan Publik di Indonesia
Kegagalan implementasi kebijakan di Indonesia hampir sama dengan
kegagalan yang ditemukan di Negara lain, setidaknya ada 6 faktor yang
menetukan berhasil atau tidaknya proses implementasi (Purwanto E.A &
Sulistyastuti.D.R, 2012) yaitu :
1. Kualitas kebijakan itu sendiri. Kualitas disini terkait dengan kejelasan
tujuan, kejelasan implementer atau penanggung jawab implementasi,
dll.
2. Kecukupan input kebijakan (terutama anggaran). Menurut Wildavsky,
besarnya anggaran yang dialokasikan terhadap suatu kebijakan atau
program, menunjukkan seberapa besar political will / komitmen
pemerintah terhadap persoalan yang akan diselesaikan.
3. Ketepatan intrumen yang akan dipakai untuk mencapai tujuan
kebijakan. Instrumen tersebut misalnya pemberian layanan gratis,
hibah peralatan/barang tertentu, subsidi, dll
25
Universitas Indonesia
4. Kapasitas implementor (struktur organisasi, dukungan SDM,
pengawasan, koordinasi, dll).
5. Karakteristik dan dukungan kelompok sasaran ( apakah individu,
kelompok, laki atau perempuan, terdidik atau tidak, dll).
6. Kondisi lingkungan geografi, sosial, ekonomi dan politik dimana
implementasi tersebut dilakukan.
2.2. Keamanan Pangan
Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk
pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik
yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau
minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku
pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan,
dan/atau pembuatan makanan atau minuman (Pemerintah RI, 2012).
Pada Konferensi Internasional FAO/WHO tahun 1992 tentang gizi,
dideklarasikan bahwa masalah keamanan pangan telah menjadi keprihatinan
dunia, ratusan juta manusia di dunia menderita penyakit menular maupun tidak
menular karena pangan yang tercemar, dan perlu diingat bahwa “memperoleh
pangan yang cukup, bergizi dan aman dikonsumsi adalah hak setiap orang”
(Badan POM RI a, 2011).
2.2.1. Definisi Keamanan Pangan
Menurut UU No 18 Tahun 2012 tentang pangan, kemanan pangan adalah
kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan
cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan
membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama,
keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi.
Menurut FAO/WHO (1997) Keamanan pangan adalah jaminan bahwa
pangan tidak akan menyebabkan bahaya bagi konsumen saat disiapkan dan atau
dikonsumsi sesuai dengan penggunaannya. Sedangkan menurut Codex
Alimentarius Commission (CAC), Kemanan pangan adalah semua kondisi dan
tindakan yang diperlukan untuk menjamin keamanan dan kelayakan pada semua
tahap dalam rantai makanan (Badan POM RI&FKM UI, 2011).
26
Universitas Indonesia
2.2.2. Jenis Bahaya Dalam Pangan
Jenis bahaya dalam pangan yang dapat mengancam kesehatan pada
manusia secara garis besar dibagi atas 3 golongan, yaitu:
1. Bahaya Fisik
Bahaya fisik adalah bahaya yang berasal dari benda-benda yang
tidak boleh ada dalam pangan dan tidak layak untuk dimakan seperti
rambut, kuku, anak steples, kerikil, pecahan kayu, plastik, serangga mati
dan lain-lain.
2. Bahaya Kimia
Bahaya kimia adalah bahaya yang ditimbulkan oleh bahan kimia.
Bahan kimia berbahaya ini dapat berasal dari :
a. Penyalahgunaan bahan berbahaya dalam pengolahan pangan seperti
penggunaan boraks untuk pengenyal bakso, pempek, perenyah pada
kerupuk; penggunaan formalin untuk pengawet pada ikan, tahu, mie
basah; dll.; penggunaan Pewarna bukan untuk makanan seperti
Rhodamin B sebagai pewarna merah, methanyi yellow untuk pewarna
kuning dll.
b. Racun alami yang ada dalam pangan, seperti jamur beracun, ikan
buntal yang mengandung tetrodotoksin, singkong yang menangdung
Cianida, jengkol yang mengandung asam jengkolat, ikan yang
mengandung histamine dll.
c. Cemaran kimia yang berasal dari lingkungan, seperti limbah industry
yang diserap tanah, sisa pestisida pada buah dan sayur, cat pada
peralatan masak, makan dan minum, asap kendaraan bermotor,
penggunaan kemasan pangan yang dilarang, dll.
d. Pengunaan Bahan Tambahan Pangan yang melebihi kadar maksimum
yang diperbolehkan. Bahan tambahan ini diperlukan pada pangan
olahan untuk memperbaiki sifat dan mutu serta daya simpannya.
3. Bahaya Biologi
Bahaya ini berasal dari mikroba yang muncul pada pengolahan
pangan yang tidak baik, seperti tidak menjaga kebersihan baik dari
penjamah makanan sendiri, lingkungan tempat bekerja, peralatan maupun
27
Universitas Indonesia
dari makanan yang kotor.Mikroba bisa berupa bakteri, kapang, khamir
ataupun virus. Pertumbuhan mikroba ini sangat dipengaruhi oleh jenis
makanannya, suhu penyimpanan, kadar air, tingkat keasaman dan waktu
penyimpanan.
2.2.3. Determinan Keamanan Pangan
Dalam buku promosi Kemanan Pangan yang disusun oleh Badan POM RI
bersama FKM UI (2011), keamanan pangan dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu :
1. Faktor prilaku (sanitasi dan higiene pangan)
Sanitasi Pangan adalah upaya untuk mencegah kemungkinan
tumbuhnya jasad renik dan pathogen dalam makanan atau usaha untuk
mencegah pencemaran pada pangan.. Sedangkan hygiene pangan adalah
kondisi dan tindakan yag diperlukan untuk menjamin pangan tersebut
aman dan layak pada semua rantai makanan.
Higiene dan sanitasi pangan menyangkut Higiene pribadi ,
ruangan, pakaian , dan pangan sendiri. Beberapa contoh adalah tidak
mencuci tangan, kebiasaan mengobrol dan merokok sambil bekerja, tidak
menggunakan masker dan tutup rambut, dll.
Faktor prilaku ini juga terkait dengan faktor prilaku dari konsumen,
dimana konsumen tidak mengenal bagaimana mengetahui pangan yang
aman seperti tidak memperhatikan label, hanya membeli pangan dengan
pertimbangan harga murah tanpa memperhatikan kemanannya dan
sebagainya.
2. Faktor Lingkungan
Untuk mendapatkan pangan yang aman, juga perlu memperhatikan
faktor lingkungannya, seperti bangunan beserta konstruksinya, peralatan
yang digunakan. Lingkungan yang tidak baik akan cendrung mencemari
pangan, seperti pencemaran fisik, kimia dan biologi.
3. Faktor Sosial ekonomi
Keamanan pangan juga terkait dengan keadaan sosial ekonomi
yang meliputi pengetahuan dan kemauan, pendidikan, pekerjaan,
lingkungan sosial dan budaya.
28
Universitas Indonesia
Pengetahuan sangat memegang peranan penting, karena dengan
pengetahuan akan bisa memperbaiki sikap dan prilaku. Diantara
pengetahuannya adalah bagaimana cara mencuci buah dan sayuran,
bagaimana cara mengolah pangan yang baik, cara memilih makanan yang
aman, dll. Pendidikan keamanan pangan juga diperlukan bagi konsumen
agar kesadaran masyarakat akan keamanan pangan meningkat.
Lingkungan sosial seperti sekolah, tempat bekerja dan tempat
tinggal, juga akan bisa mempengaruhi kemanan pangan, karena disinilah
mereka berkumpul dan dengan berbagai kepentingan. Kebanyakan dari
masyarakat kita masih banyak yang permisif, sehingga kurang teliti dalam
memilih pangan yang aman untuk dikonsumsi dan tergiur dengan harga
yang murah.
2.3. Kebijakan Aksi Nasional Gerakan Menuju Pangan Jajanan Anak
Sekolah yang Aman, Bermutu dan Bergizi (AN-PJAS)
2.3.1. Latar Belakang
Berdasarkan hasil pengawasan rutin yang dilakukan oleh Badan POM
tahun 2008 sampai tahun 2010 terhadap pangan jajanan anak sekolah (PJAS)
menunjukkan bahwa 40 – 44% Pangan jajanan sekolah tidak memenuhi syarat
(TMS) keamanan pangan, diantaranya mengandung bahan berbahaya yang
digunakan untuk pangan seperti formalin, boraks, zat warna tekstil rhodamin B
dan methanyl yellow, mengandung Bahan Tambahan Pangan (BTP) yang
melebihi ketentuan seperti pada pemanis buatan, pengawet dan lain-lain, serta
kandungan mikroba yang diluar persyaratan untuk kesehatan akibat buruknya
hygiene dan sanitasi pangan. Hasil pengawasan ini dapat dilihat pada table 2.2
dibawah.
Tingkat keamanan PJAS yang masih rendah merupakan masalah serius
karena terkait dengan pembangunan sumber daya manusia Indonesia. Rendahnya
kualitas PJAS dapat memperburuk status gizi anak sekolah akibat terganggunya
asupan gizi. Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh
ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang
memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang prima, serta
29
Universitas Indonesia
tangkas dan cerdas. Bukti empiris menunjukkan bahwa hal ini sangat ditentukan
oleh status gizi yang baik, dan status gizi yang baik ditentukan oleh jumlah dan
kualitas asupan pangan yang dikonsumsi (Bappenas, 2011).
Tabel 2.2 : Hasil pengawasan Badan POM RI terhadap sampel PJAS tahun
2008-2010
Tahun Total
Sampel
Sampel MS
Sampel TMS
Sampel Mengan
dung BB
Sampel Mengan
dung BTP
Berlebih
Sampel Mengand
ung Cemaran Mikroba
Jumlah Sampel Sekolah Dasar
2008 2029 1208 (60%)
821 (40 %)
153 (13%)
180 (15%)
847 (72%)
408
2009 2976 1707 (57%)
1269 (43%)
170 (12%)
299 (21%)
950 (67%)
558
2010 3372 1872 (56%)
1500 (44%)
275 (18 %)
337 (23 %)
888 (59%)
585
( Sumber : Badan POM, 2011)
Beberapa penelitian di luar negeripun seperti di Hungaria, memperlihatkan
bahwa nutrisi yang kurang dari PJAS ini merupakan penyebab menaiknya
penderita overweight (obesitas) pada remaja, yang akan berimplikasi kepada
penyakit pembuluh darah (cardiovascular) dan juga diabetes mellitus, Gaya hidup
anak-anak akan sangat menentukan terhadap kebiasaan yang beresiko (Peter.S,et
al, 2007).
Selain Badan POM, sejumlah program kegiatan keamanan pangan di
sekolah, misalnya program kantin sekolah sehat, telah diinisiasi oleh institusi lain
seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta industri pangan swasta.
Program peningkatan keamanan pangan di sekolah belum sepenuhnya terstruktur
dengan baik. Keterbatasan sumber daya instansi berwenang dirasa tidak
sebanding dengan jumlah Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang
perlu diawasi dan dibina keamanan PJAS-nya. Sekitar 143.000 Sekolah Dasar
(Data Statistik Sekolah Dasar 2009-2010, Kemdikbud) dan 22.000 Madrasah
Ibtidaiyah (Profil Statistik Pendidikan Islam 2009-2010, Kemenag) tersebar
hingga seluruh pelosok Indonesia. Oleh karena itu, suatu gerakan bersama secara
nasional diharapkan dapat menggalang komitmen dan partisipasi seluruh pihak
30
Universitas Indonesia
serta alokasi sumberdaya dengan lebih baik dalam upaya yang sinergis untuk
meningkatkan PJAS yang aman, bermutu, dan bergizi.
Badan POM sebagai ketua tim pelaksana Jejaring Keamanan Pangan
Nasional (JKPN) bersama lintas sektor terkait memprakarsai Gerakan Menuju
Pangan Jajanan Anak Sekolah yang Aman, Bemutu, dan Bergizi. Pencanangan
Gerakan ini dilakukan oleh Bapak Wakil Presiden RI Budiono pada tanggal 31
Januari 2011. Implementasi Gerakan ini menjadi satu program unggulan Sistem
Keamanan Pangan Terpadu (SKPT) yang diharapkan melibatkan Pemerintah,
produsen, masyarakat, dan elemen masyarakat lainnya. Indikator Kinerja Utama
(IKU) yang ingin dicapai melalui Aksi Nasional ini adalah persentase PJAS yang
memenuhi syarat keamanan, mutu dan gizi pada tahun anggaran 2012, 2013 dan
2014 masing-masing 70, 80 dan 90% di SD/MI yang mendapat intervensi.
Strategi Aksi Nasional PJAS sebagai realisasi gerakan tersebut dapat dilihat pada
Gambar 1. Secara umum, program Aksi Nasional PJAS ini merupakan program
pro rakyat yang hasilnya dapat berkontribusi untuk mencapai Millenium
Development Goals (MDGs). Secara khusus, program ini menjadi isu strategis
pada pembangunan di daerah, terutama pembangunan SDM anak sekolah.
2.3.2. Tujuan Aksi Nasional PJAS
Tujuan yang hendak dicapai dari Aksi Nasional menuju PJAS yang aman,
bermutu, dan bergizi adalah:
1. Memberdayakan komunitas sekolah untuk menjaga keamanan, mutu, dan
gizi PJAS
2. Menguatkan koordinasi dan jejaring kerja lintas sektor di pusat dan
daerah untuk meningkatkan PJAS yang aman, bermutu, dan bergizi
3. Meningkatkan keamanan, mutu dan gizi PJAS di Indonesia.
Sementara itu luaran yang diharapkan dari Gerakan Nasional PJAS ini adalah :
a. Kemandirian komunitas sekolah di daerah untuk mengawasi PJAS di
lingkungan sekolahnya
b. Komitmen dan koordinasi pelaksanaan kegiatan Aksi Nasional PJAS di
daerah yang sinergis dan komprehensif
c. Keamanan, mutu, dan gizi PJAS yang meningkat di daerah
31
Universitas Indonesia
2.3.3. Palaksanaan Aksi Nasional PJAS
Gerakan Nasional PJAS ini merupakan salah satu program Badan POM
bersama stakeholder terkait dalam Sistem Keamanan Pangan Terpadu (SKPT).
Dalam SKPT, peningkatan keamanan pangan dilaksanakan secara kemitraan oleh
pemerintah dan dunia usaha/masyarakat (public-private-partnership). Oleh karena
itu, komitmen yang kuat dan partisipasi aktif stakeholder merupakan kunci sukses
upaya peningkatan keamanan, mutu dan gizi PJAS.
Sebagai pelaksana utama dari upaya peningkatan keamanan, mutu dan gizi
PJAS di tingkat nasional adalah Kementerian Koordinasi Kesejahteraan Rakyat,
Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Kesehatan, Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Dalam Negeri,
Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan,
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Bappenas, dan Badan POM
RI, didukung oleh stakeholder kunci dan lembaga internasional/donor lainnya,
Lembaga Kemasyarakatan, seperti PKK, serta Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM). ( BPOM a, 2011).
Sedangkan untuk pelaksanaan di daerah, program peningkatan keamanan,
mutu dan gizi PJAS akan dikoordinir oleh Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota
setempat dan bekerjasama dengan pemerintah Pusat dan lembaga terkait. Dalam
program PJAS di daerah, stakeholder diharapkan terlibat secara aktif, antara lain
Balai Besar/Balai POM, Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Dinas Perindustrian
dan Perdagangan dan LSM. ( BPOM a. 2011)
Dalam Pelaksanaan aksi nasional PJAS ini, Ada lima strategi yang
dilakukan, yaitu :
1. Mengembangkan program PJAS
2. Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang PJAS
3. Mengembangkan Capacity Building,
4. Mengembangkan Fasilitas PJAS
5. Monitoring dan Evaluasi Program PJAS.
Kelima strategi ini akan dicapai dengan serangkaian kegiatan dengan
strategi sebagaimana yang digambarkan dalam gambar 2.2. Dimana Badan POM
adalah penanggung jawab dari Aksi Nasional PJAS ini
32
Universitas Indonesia
Gambar 2.2. : Strategi Aksi Nasional Pangan Jajanan yang Aman, Bermutu
dan Bergizi (sumber BPOM,2013)
Dalam pelaksanaan Aksi Nasional PJAS ini akan dilakukan intervensi
terhadap 18.000 Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI) diseluruh Indonesia
sampai akhir kegiatannya pada tahun 2014, sebagaimana terlihat pada
roadmapnya pada gambar 2.3. di bawah
Gambar 2.3 : Road map pelaksanaan Aksi Nasional PJAS (BPOM RI b,2013)
Dengan demikian diharapkan Aksi Nasional PJAS ini akan memberi perlindungan
terhadap asumsi sekitar 3 juta anak dari PJAS yang tidak aman, serta peningkatan
33
Universitas Indonesia
kesadaran dan perubahan prilaku 6 juta orang tua siswa, 180.000 orang guru
SD/MI, 180.000 orang pedagang PJAS dan 54.000 orang pengelola kantin
sekolah untuk peningkatan mutu PJAS di seluruh Indonesia (BPOM (2), 2013).
Dalam pelaksanaan aksi Nasional PJAS ini diharapkan sejalan dengan
Rencana Aksi Nasional Pangan Gizi (RAN-PG) yang dilaksanakan oleh Bappenas
untuk tahun 2011-2015. Dalam RAN-PG, kebijakannya akan dicapai dalam 5
strategi. Salah satu strateginya pada poin ke III adalah “Peningkatan pengawasan
mutu dan keamanan pangan” melalui peningkatan pengawasan keamanan pangan
yang difokuskan pada makanan jajanan yang memenuhi syarat dan produk
industri rumah tangga (PIRT) tersertifikasi. Badan POM RI ditunjuk sebagai
ketua pelaksana dari strategi ke III ini yaitu “Peningkatan Pengawasan Mutu dan
Keamanan Pangan”.(Bappenas 2011). Pelaksanaan dari RAN-PG ini sudah
ditindak lanjuti dengan Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi (RAD-PG) untuk
tingkat daerah, dimana Balai POM di daerah ditunjuk sebagai ketua pelaksana
dari strategi peningkatan mutu dan Keamanan Pangan ini.
Keberhasilan Aksi Nasional PJAS sangat tergantung pada komitmen dan
kontribusi nyata dari seluruh pemangku kepentingan terkait baik di pusat maupun
daerah. Kementerian/ lembaga di pusat hingga pemerintah daerah di
kabupaten/kota. Instansi daerah dapat membentuk Gugus Tugas Aksi Nasional
PJAS di daerah untuk menggalang komitmen, mengembangkan program bersama
untuk Aksi Nasional PJAS serta menyinergiskan program kegiatan yang ada
untuk berkontribusi pada Aksi Nasional PJAS. Pemerintah Daerah harus
berkontribusi pada Aksi Nasional PJAS karena program aksi ini, langsung atau
tidak langsung, masalah kesehatan, pemberdayaan perempuan dan perlindungan
anak, dan ketahanan pangan sangat terkait erat dengan urusan pemerintah yang
wajib diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, sebagaimana amanah PP 38/2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi dan Pemerintah Daerah Kaupaten/Kota. Partisipasi aktif dan kontribusi
nyata Pemerintah Daerah dalam Aksi Nasional PJAS diperlukan untuk pembinaan
dan pengawasan keamanan PJAS sekaligus produsen, penjaja, serta konsumen
PJAS yang menyeluruh dan terpadu sehingga peningkatan keamanan, mutu, dan
gizi PJAS di seluruh Indonesia dapat tercapai.
34
Universitas Indonesia
2.3.3.1. Pelaksanaan Aksi Nasional PJAS di Kabupaten/ Kota
Dalam Petunjuk teknis Pelaksanaan Aksi Nasional PJAS untuk
kabupaten/Kota tahun 2012, Implementasi Aksi Nasional PJAS di daerah
dikoordinir oleh Gugus Tugas PJAS tingkat kab/kota. Gugus tugas ini dapat
mengoptimalkan jejaring kerja yang sudah ada di daerah, misalnya Tim Pembina
UKS, atau dibentuk baru oleh Pemerintah Daerah setempat dengan melibatkan
instansi terkait. Pemerintah kab/kota dapat berkonsultasi dan berkoordinasi
dengan Balai Besar/ Balai POM di provinsinya terkait dengan pembentukan gugus
tugas maupun pelaksanaan dan pelaporan Aksi Nasional PJAS di kab/kota. Gugus
tugas Aksi Nasional PJAS di kab/kota ini diminta untuk mengirim laporan
pelaksanaannya kepada Balai /Balai Besar POM setempat.
Secara garis besar, peranan Gugus Tugas PJAS di Kabupaten/Kota adalah :
1. Mengembangkan masterplan program kegiatan Aksi Nasional PJAS
sesuai kebutuhan spesifik lokal di kab/kota serta menyiapkan pedoman
yang diperlukannya
2. Memperkuat manajemen pelaksanaan Aksi Nasional PJAS di kab/kota
3. Menyinergiskan perencanaan dan pelaksanaan program Aksi Nasional
PJAS di kab/kota
4. Monitoring, evaluasi, dan pelaporan program Aksi Nasional PJAS di
kab/kota
2.3.3.2. Manajemen dan Pelaksanaan Aksi Nasional PJAS di Provinsi
Dalam Petunjuk teknis Pelaksanaan Aksi Nasional PJAS untuk
kabupaten/Kota tahun 2012, diharapkan terbentuknya Gugus Tugas Aksi PJAS di
tingkat provinsi difasilitasi oleh Kepala Balai Besar/ Balai POM selaku Ketua
Pokja III Mutu dan Keamanan Pangan dalam Rencana Aksi Daerah Pangan dan
Gizi (RAD-PG). Gugus tugas PJAS di provinsi berkoordinasi dengan gugus tugas
PJAS di kab/kota untuk sinkronisasi kegiatan dan pembagian tugas dalam
pelaksanaan kegiatan Aksi Nasional PJAS di daerah sesuai kewenangannya
masing-masing. Peranan Gugus Tugas PJAS di provinsi adalah :
1. Mengembangkan masterplan program kegiatan Aksi Nasional PJAS
sesuai kebutuhan spesifik lokal skala provinsi serta menyiapkan pedoman
yang diperlukannya
35
Universitas Indonesia
2. Memperkuat manajemen pelaksanaan Aksi Nasional PJAS di provinsi
3. Menyinergiskan perencanaan, pelaksanaan, monitoring, evaluasi, dan
pelaporan program Aksi Nasional PJAS di provinsi
4. Mengoordinir hasil monitoring, evaluasi, dan pelaporan program Aksi
Nasional PJAS dari kab/kota
2.3.3.3. Program Kegiatan Aksi Nasional PJAS di Daerah
Target utama dari kegitan Aksi Nasonl PJAS ini adalah komunitas sekolah
(SD/MI) yang terdiri dari kepala sekolah, guru, komite sekolah (orang tua siswa),
siswa, dan pengelola kantin. Diharapkan natinya mereka secara mandiri berperan
nyata dalam menyediakan PJAS yang aman, bermutu dan bergizi sekaligus
menjaga diri serta mengawasi PJAS yang tidak memenuhi syarat di sekitarnya.
Disamping itu juga perlu melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap
penjaja PJAS di lingkungan sekolah agar mereka hanya menyediakan PJAS yang
memenuhi syarat untuk dikonsumsi. Dampak dari intervensi terhadap PJAS ini
akan diverifikasi dengan pengujian PJAS melalui sampling dan pengujian
terhadap sekolah yang dibina
Badan POM telah memberikan beberapa contoh kegiatan yang bisa
menjadi acuan bagi pemerintah daerah terkait pelaksanaan Aksi Nasional PJAS
ini sebagaimana pada table 2.3, dan memberikan keluasan bagi daerah untuk
mengkoordinasikan diantara institusi mereka yang ada sesuai dengan kempauan
masing-masing daerah.
Tabel 2.3.: Program dan Kegiatan Aksi Nasional PJAS di kab/kota Program Contoh Kegiatan InstansiPelaksana di
Daerah
Strategi 1: Perkuatan Program PJAS
1. Peningkatan advokasi komitmen Pemda dalam Aksi Nasional PJAS di daerah
• Sosialisasi program Aksi Nasional PJAS kepada pemangku kepentingan di prov dan kab/kota
• Pembentukan Gugus Tugas Aksi Nasional PJAS di prov dan kab/kota
• Focus Group Discussion Program Aksi Nasional PJAS di prov dan kab/kota
Balai Besar/ Balai POM, Dinas Kesehatan, ….
2. Regulasi terkait PJAS di daerah
Penyusunan kebijakan untuk program Aksi Nasional PJAS di daerah (misal Perda, SK Bupati/ Walikota, dsb)
Balai Besar/ Balai POM, Dinas Kesehatan, ….
36
Universitas Indonesia
Program Contoh Kegiatan InstansiPelaksana di Daerah
3. Program pengawasan keamanan PJAS
Mengembangkan program pengawasan PJAS spesifik daerah:
• pendataan PJAS yang beredar di daerah, pemetaan sarana dan jalur produksi dan distribusi PJAS di daerah, identifikasi potensi masalah PJAS, sampling dan pengujian PJAS dalam rangka pengawasan di kab/kota
• pengawasan jalur distribusi bahan berbahaya yang sering disalahgunakan pada PJAS (misal formalin, boraks, pewarna terlarang)agar tidak ‘bocor’ ke jalur produksi PJAS
Balai Besar/ Balai POM, Dinkes,Dinas UMKM, ….
Balai Besar/ Balai POM, Disperindag, …..
4. Penyediaan rapid test kit
Penyediaan rapid test kituntuk ‘pengawasan’ keamanan PJAS secara mandiri oleh komunitas sekolah atau identifikasi awal pengawasan keamanan PJAS oleh Dinas berwenang di daerah
Disperindag, ….
5. Mobil laboratorium keliling
• Operasionalisasi sarana mobil keliling untuk pengawasan dan pembinaan terkait keamanan, mutu, dan gizi PJAS di daerah
• Pengembangan pedoman operasionalisasi mobil keliling di daerah
• Operasionalisasi mobil keliling di daerah secara terarah dan sistematis
Balai Besar/ Balai POM Dinkes, Din‐UMKM, ….
Strategi 2: Peningkatan awareness komunitas PJAS
1. Sistem jaringan informasi dan komunikasi
Pertemuan peningkatan akses jaringan informasi dan komunikasi dalam program Aksi Nasional PJAS di daerah
Dinas Komunikasi dan Informatika, …
2. Perilaku Hidup Bersih Sehat di sekolah
• Pembinaan tim UKS di sekolah
• Penyediaan sumber air bersih di sekolah
Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Dinas Kementerian Agama, Dinas Pertanian, …..Dinas PU
3. Program pembinaan keamanan, mutu, dan gizi PJAS
• Pencetakan dan distribusi materi promosi dan penyuluhan keamanan, mutu, dan gizi PJAS untuk sekolah di kab/kota
• Kegiatan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) tentang keamanan, mutu, dan gizi PJAS untuk komunitas sekolah dan penjaja PJAS
Balai Besar/ Balai POM,Dinas Pendidikan, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan, …..
37
Universitas Indonesia
Program Contoh Kegiatan InstansiPelaksana di Daerah
• Lomba kantin sehat sekolah
• Pengembangan materi dan penayangan iklan layanan masyarakat di media massa lokal (misalnya koran, televisi, radio)
• Talkshow di media massa elektronik (TV lokal, radio lokal)
• Pameran keamanan, mutu, dan gizi PJAS di daerah
Strategi 3: Peningkatan kapasitas sumber daya PJAS
1. Pengembangan pengetahuan dan keterampilan
• Mengembangkan program dan kurikulum untuk peningkatan kapasitas komunitas sekolah dan penjaja PJAS dalam meningkatkan keamanan, mutu, dan gizi PJAS
• Pelatihan: praktek yang baik untuk PJAS yang aman, bermutu, dan bergizi (misalnya Cara Produksi Pangan Siap Saji yang Baik, dsb), pelatihan inspektur cilik, audit internal kantin sekolah dsb
Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Balai Besar/ Balai POM, …
2. Pengelolaan kegiatan Aksi Nasional PJAS oleh komunitas sekolah
Bimbingan teknis untuk komunitas sekolah dalam pelaksanaan kegiatan pengawasan dan peningkatan keamanan, mutu, dan gizi PJAS di sekolah
Balai Besar/ Balai POM, Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, …..
3. Penyuluhan keamanan PJAS
Penyuluhan keamanan pangan untuk komunitas sekolah di kab/kota
Dinas Kesehatan, Balai Besar/ Balai POM, …
Strategi 4: Modeling dan Replikasi Kantin Sekolah
1. Pengembangan pengelolaan kantin sehat sekolah
• Replikasi model kantin sehat sekolah di kab/kota
• Piagam Bintang Keamanan Pangan Kantin Sekolah
• Menggalang sumber daya melalui kemitraan dengan sektor lain untuk kantin sehat sekolah
• Penyediaan paket bantuan penyediaan atau perbaikan fasilitas kantin sehat sekolah
Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas Pengelolaan Persampahan dan Pertamanan, Balai POM, …
Strategi 5: Optimalisasi Manajemen Aksi Nasional PJAS
1. Optimalisasi pelaksanaan program Aksi Nasional PJAS
Fasilitasi, koordinasi, dan komunikasi dengan lintas sektor dalam pelaksanaan program Aksi Nasional PJAS di daerah
Dinas Kesehatan, ….
38
Universitas Indonesia
Program Contoh Kegiatan InstansiPelaksana di Daerah
2. Monitoring, evaluasi, dan pelaporan
• Perencanaan kegiatan dan persiapan strategi manajemen Aksi Nasional PJAS di kab/kota
• Penyusunan kerangka kerja monitoring dan evaluasi kegiatan
• Penyusunan laporan kemajuan dan laporan akhir kegiatan Aksi Nasional PJAS di kab/kota
• Koordinasi pelaporan Aksi Nasional PJAS di kab/kota kepada koordinator propinsi (Balai Besar/ Balai POM)
Balai Besar/ Balai POM, Bappeda, Dinas Kesehatan, …
(Sumber : Badan POM, 2012)
2.3.3.4. Jenis jenis intervensi pada SD/MI
Untuk mencapai tujuan program AN PJAS ini, dilakukan intervensi ke
sekolah-sekolah dasar(SD) dan Madarasah Ibtidaiyah (MI) sebagai target
kegiatan. Intervensi ini dikelompokkan atas kategori pengawasan, pembinaan dan
pengawalan dan dibagi atas 4 jenis :
1. Intervensi A, ( pengawasan), dimana SD/MI mendapatkan :
a. Sampling dan pengujian PJAS
b. Bimbingan teknis Komunikasi, Informasi dan edukasi (KIE) keamanan
PJAS dan KIE lainnya sepeti mobil keliling dan Penyebaran Informasi
c. Distribusi informasi keamanan pangan (poster, CD, leaflet, buku,
komik, dll)
d. Piagam Bintang Keamanan Pangan Kantin Sekolah (PBKP-KS)
2. Intervensi B, ( Pembinaan level 1), Dimana SD/MI akan mendapatkan:
a. Kegiatan KIE langsung, tanpa bimbingan teknis. Hanya berupa
penyebaran informasi, mobil keliling, roadshow kemanan pangan
sekolah, petualangan pompi, dll)
b. Distribusi informasi keamanan pangan (poster, CD, leaflet, buku,
komik, dll)
3. Intervensi C, (Pembinaan level 2), Dimana SD/MI akan
mendapatkanDistribusi informasi keamanan pangan (poster, CD, leaflet,
buku, komik, dll) untuk dimanfaatkan secara mandiri
39
Universitas Indonesia
4. Intervensi D (Pengawalan), intervensi ini berupa pengawalan SD/MI yang
telah mendapatkan intervensi pada tahun sebelumnya.
2.4. Kebijakan Pangan Berbasis Sekolah
2.4.1. Paradigma makanan sekolah
Ada berbagai paradigma tentang kebijakan makanan di sekolah seperti
yang ditulis oleh Ashe.L & Sonnino R (2013), bahwa negara-negara
berpenghasilan rendah menggunakan intervensi makan di sekolah sebagai
bagian dari jaring pengaman sosial untuk memerangi kelaparan dan kekurangan
gizi mikro terkait, dan untuk meningkatkan akses pendidikan . hal ini telah
dialami oleh banyak negara seperti Bangladesh, Burundi (Bennett J (2003 ),
Mali, Jamaika, Pakistan dan Kamboja (Bundy D et.al,2009)
Sementara itu, menurut Doak C (2002), pada negara-negara
berpenghasilan rendah dan menengah, mereka menggunakan kebijakan
makanan sekolah untuk mengatasi timbulnya obesitas dan penyakit terkait
nutrisi lainnya terutama melalui pendekatan menyeluruh dan membangun
budaya mengkonsumsi makanan sehat, beberapa negara tersebut diantaranya
seperti Brazil, Cina, Korea Selatan, Malaysia, Meksiko, Afrika Selatan dan
Thailand (Ashe.L & Sonnino R, 2013).
Pada negara-negara kaya, Ashe.L & Sonnino R, (2013) juga menuliskan
bahwa mereka telah menggunakan kebijakan makanan sekolah untuk mengatasi
dinamika kerawanan pangan, dan beberapa penelitian-penelitian telah
memperlihatkan efektivitas dampaknya seperti tren penurunan kelebihan berat
badan (Sanchez-Vaznaugh EV , Sánchez BN , Baek J et al. (2010) dan
meningkatnya konsumsi buah-buahan dan sayuran. (Haroun D , Harper C ,
Wood L et al. (2011) . Dalam konteks ini, upaya upaya dari multi sektor dan
multi stakeholder ditujukan untuk mengembangkan potensi transformasi
perubahan makanan sekolah yang berfokus untuk meningkatkan produksi
pertanian lokal. Data menunjukkan bahwa makanan sekolah berkontribusi
penting untuk menciptakan dan menstimulasi ekonomi lokal. Sebagai contoh
East Ayrshire (Skotlandia), reformasi pada makanan sekolah telah
menghasilkan Index Investment Return Sosial (SROI) di atas 6 , yang berarti
40
Universitas Indonesia
bahwa, 'untuk setiap £ 1 yang diinvestasikan, lebih dari £ 6 nilai yang dibuat
dalam ekonomi, sosial, lingkungan dan lainnya (Footprint Consulting, 2008 ) ,
Demikian pula, di Albania, pembelian makanan yang diproduksi secara lokal
untuk proyek pemberian makanan di sekolah telah meningkatkan penghasilan
petani lokal dan tukang roti (Bennett J (2003 ).
2.4.2. Kebijakan pangan di sekolah pada negara lain
1. Amerika
Di Amerika, setiap lembaga pendidikan lokal (local educational
agencies /LEAs) diwajibkan oleh undang-undang berpartisipasi dalam Program
Nasional Makan siang di Sekolah atau program Gizi Anak Federal lainnya
dan wajib menetapkan kebijakan kesehatan di sekolahnya.
Pada tahun 2004, Kongres meloloskan Gizi Anak dan Program Khusus
Tambahan Nutrisi untuk Wanita, Bayi dan Anak ( Child Nutrition and WIC
Reauthorization Act 2004). Inilah yang menjadi dasar hukum bahwa semua
LEA berpartisipasi dalam Program Nasional Makan siang dan/atau sarapan
pagi di Sekolah. Ketentuan ini diperkuat lagi dengan Undang-undang
Kesehatan, Hunger-Free Kids 2010. Pelaksanaan Makan siang dan atau sarapan
pagi sekolah ini sudah harus dilaksananakan pada tahun ajaran 2006-2007 di
semua lembaga pendidikan lokal
Tanggung jawab untuk pengembangan kebijakan kesehatan sekolah
setempat ditempatkan di tingkat lokal sehingga kebutuhan spesifik dari
masing-masing sekolah di bawah yurisdiksi lembaga pendidikan local (LEA)
dapat diatasi.
Pengaturan Program Nasional Makan siang (National School Lunch
Program/NSLP) dan atau program sarapan pagi (School Brakfast
Program/SBP) dilaksanakan oleh Departemen Pertanian (U.S. Department of
Agriculture /USDA), dan mengacu kepada standard terkini dari Dietary
Guidelines for Americans.
USDA membayar tunai sekolah umum, sekolah swasta non profit, dan
lembaga pengasuhan anak untuk makan dan snack untuk anak-anak pre sekolah
sampai kelas 12.
41
Universitas Indonesia
Makanan yang disajikan itu bisa gratis ataupun dengan harga yang
dikurangi (subsidi), tergantung dari tingkat pendapatan rumah tangga. Sebagai
contoh, anak yang dari keluarga dengan penghasilan dibawah 130% dari level
kemiskinan, gratis mendapat makan siang; anak dengan penghasilan keluarga
antara 130 %-185% dari level kemiskinan, mendapat pengurangan harga
(subsidi) dan mereka membayar tidak lebih dari 40%.
(http://www.fns.usda.gov/tn/local-school-wellness-policy)
Disamping itu ada kebijakan untuk pedagang makanan keliling di
Amerika, sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Tester et.al,(2010)
diantaranya dengan menganugerahkan “penjaja makanan sehat” terhadap
pedagang makanan yang memenuhi standar gizi oleh Departemen
Kesehatannya, sehingga menciptakan kategori pedagang yang memenuhi
syarat dan layak. Syarat untuk makanan sehat ditentukan oleh FDA, seperti
untuk 1 porsi makanan memiliki rendah lemak (3g atau kurang) lemak jenuh (
tidak lebih 1g), mengandung Natrium dan kolesterol terbatas, dan menyediakan
10% nilai harian dari Vitamin A, Vitamin C, Besi, kalsiun, protein dan serat
(21 CFR 101.65(d)(2) (2008), (Nutritional Labeling: General Guidelines.
Crookston, MN: Agricultural Utilization Research Institute; 1996)
Pemerintah daerah menetapkan bahwa setiap pedagang makanan
keliling harus mempunyai izin. Untuk mendapkan izin, pedagang harus lulus
dalam pemeriksaan oleh Departemen Kesehatan atau intansi berwenang lainnya
dan ini memerlukan biaya. Dalam hal ini beberapa Pemerintah Daerah dapat
mensubsidi, melepaskan atau mengurangi biaya perijinan ini, jika makanan
yang mereka jual memenuhi persyaratan gizi (Tester et.al,2010).
Pendekatan lain adalah dengan pengaturan lokasi berdagang,
sebagaimana ditulis oleh Tester et.al,(2010), sebagai contoh Phoenix, Arizona;
San Antonio, Texas; and San Diego, California, membatasi pedagang keliling
yang berjualan dekat sekolah pada jam-jam sekolah, sedangkan San Jose,
California, melarang pedagang makanan keliling berjualan dekat sekolah.
Penjual ''penjaja makanan sehat'' diberi keuntungan lokasi yang lebih baik
dibanding penjaja makanan yang kurang bergizi. Di Kansas City, untuk
pedagang '' sangat sehat'' diberikan izin khusus yang memungkinkan mereka
42
Universitas Indonesia
untuk berjualan di 3 taman bukan hanya 1 taman saja (Kansas City Parks and
Recreation Vending Policy, 2010). Kebijakan ini juga diterapkan untuk
memberikan keuntungan geografis untuk meningkatkan penjualan makanan
bergizi dekat sekolah.
2. Australia
Daerah Queensland, Australia telah mengimplementasikan Strategi
“Smart Choices” dalam menurunkan obesitas dikalangan siswa di sekolah..
Menurut Abbott R et.a;,(2006) dalam Dick.M,et.al (2012) Pada tahun 2006,
19,4% anak laki-laki dan 22,8% anak perempuan pada usia ini memiliki
kelebihan berat badan atau obese . Salah satu penyebab ini adalah karena
mereka mengkonsumsi lebih banyak makanan tinggi energy dan miskin gizi
(energy-dense nutrient-poor / EDNP) (Bell AC, Swinburn BA.,2005)
Menurut Queensland Government (2011), Queensland, Autralia
mengembangkan strategi “Smart Choices” atau pemilihan smart pasokan
makanan dan minuman yang sehat dan diimplementasikan di seluruh Sekolah
dasar negeri dan menengah di seluruh negara (Dick.M et al,2012)
Menurut Dick.M et.al, (2012), Strategi Pilihan Smart pasokan
makanan sehat dan pasokan minuman untuk Sekolah (Smart Choices) ini
dikembangkan melalui kerjasama antara Departemen Pendidikan dan pelatihan
dan Kesehatan Queensland, dan dilaksanakan dengan dukungan organisasi
profesional, dan organisasi non-pemerintah. Strategi bertujuan untuk
memastikan bahwa semua makanan dan minuman yang disediakan di sekolah
mengikuti standard diet Anak-anak dan Remaja di Australia (National Health
and Medical Research Council, 2003) dengan target komunitas sekolah dan
lingkungannya secara menyeluruh (Briggs M,et.al,2003 ; J Am Diet Assoc
2003)
Pada Queensland Government (2011), “Smart Choices” didasarkan
pada pendekatan yang dikembangkan di New South Wales, untuk memisahkan
makanan dan minuman ke dalam tiga kategori: 'hijau' (pilihan yang banyak
/disarankan); 'Kuning' (pilih dengan hati-hati); dan 'merah' (sesekali). Makanan
kategori “hijau” diantaranya adalah produk susu rendah lemak , air putih,
buah , sayuran dan makanan gandum . Penentuan makanan tersebut termasuk
43
Universitas Indonesia
kategori “kuning” atau “merah” dengan memperhitungkan jumlah energi,
lemak jenuh, sodium dan serat dalam makanan. Pada strategi “smart Choice”
ini, memastikan bahwa makanan dan minuman kategori “merah”, dikeluarkan
dari makanan sekolah , dan hanya boleh disediakan hanya dua kali , seperti
pada perayaan sekolah atau acara penggalangan dana (Dick.M.et al, 2012)
Prinsip Smart Choices berlaku untuk semua situasi yang menyediakan
makanan dan minuman di lingkungan sekolah, seperti warung makanan, mesin
penjual makanan, kunjungan sekolah, acara penggalangan dana, penghargaan
kelas, hari olahraga, program sarapan, acara sekolah, pesta kelas, dan lain-lain.
Implementasi kebijakan ini wajib dilaksanakan di semua sekolah negeri (1.275
sekolah) di Queensland pada tanggal 1 Januari 2007. Sedangkan untuk sekolah
yang tidak dikelola pemerintah tidak diwajibkan (Dick.M et.al, 2012)
3. Brazil
Brazil telah memberikan contoh program pemberian makanan di sekolah
yang menghubungkan produksi pangan, makanan sekolah dan pendidikan gizi
melalui program dan kebijakan yang komprehensif. Programnya disebut
“Brazilian School Feeding Program (PNAE)”. dan telah menjadi contoh
integrasi antara pendidikan, pertanian, kesehatan dan perlindungan sosial untuk
meningkatkan program diet sehat di sekolah sekaligus memperkuat pertanian
keluarga.
Menurut Burlandy L , Rocha C , Maluf R (2010 ), Kepemimpinan
pemerintah yang kuat, proses pengambilan keputusan lintas sektoral dan
tekanan politik dari organisasi masyarakat sipil merupakan faktor kunci dalam
proses ini. Pemerintah memainkan kepemimpinan dan dukungan peran penting
dalam mewujudkan tujuan tersebut, khususnya melalui perluasan undang-
undang dan norma-norma (Sidaner.E.et.al, 2013).
Penerapan UU 11,947 pada tahun 2009 (Governo Federal Brasileiro,
2009 ), yang dikenal sebagai “School feeding law”, merupakan tonggak yang
melegalkan makanan di sekolah di tingkat federal. Konstitusi 1988 menjamin
hak universal untuk makanan sekolah gratis untuk siswa yang terdaftar di
sekolah dasar negeri. Peraturan 2009 diperluas untuk semua siswa yang
terdaftar di pendidikan dasar dari usia 6 bulan. Agar mencapai semua siswa,
44
Universitas Indonesia
termasuk sekolah pinggiran, sekolah menengah, sekolah adat masyarakat,
pendidikan khusus, dan siswa yang mengikuti pendidikan pemuda dan orang
dewasa (Sidaner.E.et.al, 2013).
Dalam tulisannnya Sidaner.E.et.al, (2013) juga mengatakan bahwa
pelaksanaan PNAE sangat diatur. Makanan di sekolah adalah tanggung jawab
Dana Nasional untuk Pembangunan Pendidikan (FNDE), yaitu suatu struktur
yang terkait dengan Departemen Pendidikan. Resolusi FNDE no. 38/2009
mengatur standar administrasi dan teknis untuk pelaksanaan peraturan
pemberian makanan di sekolah (School Feeding) (Ministerio da Educaçaõ -
Fundo Nacional de Desenvolvimento da Educação, 2009 ), diantaranya
spesifikasi rinci gizi makanan sekolah. Makanan sekolah harus memenuhi
minimal 20% dari kebutuhan gizi harian siswa yang sekolah paruh waktu di
pendidikan dasar bila satu makanan yang ditawarkan; dan minimal 30% dari
kebutuhan gizi harian ketika dua atau lebih makanan yang ditawarkan. Jumlah
tersebut naik 70% untuk anak-anak terdaftar di pendidikan dasar penuh waktu
(full time), selain 4 jam wajib belajar, siswa tetap di sekolah untuk kegiatan
pendukung, dengan total 8 jam di sekolah.
Sejak adopsi pada tahun 2009, 30% dari sumber daya keuangan yang
ditransfer oleh FNDE harus digunakan untuk pengadaan makanan dari keluarga
petani dan perusahaan keluarga pedesaan, dengan prioritas diberikan kepada
produk organik (Sidaner.E.et.al, 2013).
Untuk tahun 2011, anggaran PNAE itu sekitar US$ 1,94 miliar untuk 44,
8 juta siswa setiap hari ( rata-rata US$ 44 per siswa per tahun) (Fundo Nacional
de Desenvolvimento da Educação, 2011 ) dan untuk tahun 2010 , anggaran
PNAE 11,6% dari anggaran nasional untuk program ketahanan pangan dan
gizi (Conselho Nacional de Segurança Alimentar e Nutricional ,2011 ).
Sebagai dampak dari kegiatan ini, ketersediaan dan konsumsi buah dan
sayuaran meningkat, pada tahun 2004 dari 28% dan 57%, maka tahun 2006
menjadi 62% dan 80%. (Campbell U, 2007 ); persentase rumah tangga yang
tinggal di daerah rawan pangan turun mencapai 30,5% tahun 2009 (Ministério
do Planejamento, Orçamento e Gestão, Ministério da Saúde, 2010 ) dari 34,8%
tahun 2004 (Instituto Brasileiro de Geografia e Estatística (2006 ); Prevalensi
45
Universitas Indonesia
anak stunting didaerah miskin menurun drastis, Di Timur Laut, prevalensi
stunting anak turun sepertiga antara tahun 1986 dan 1996 (dari 33,9% menjadi
22, 2%) dan hampir tiga perempat antara tahun 1996 dan 2006 (dari 22,2%
menjadi 5,9%) (Sidaner.E.et.al, 2013).
2.5. Penelitian Kebijakan
Penelitian kebijakan (policy research) ditujukan untuk pembuat
kebijakan dalam menyusun rencana kebijakan dengan cara memberikan
informasi atau pendapat yang mereka perlukan dalam memecahkan suatu
masalah (Danim,2005), sehingga penelitian kebijakan ini selalu berorientasi
kepada tujuan.
2.5.1 Metode Penelitian Kebijakan
Dalam melakukan penelitian kebijakan ada beberapa pendekatan
metode yang dapat dilakukan (Danim, 2005), yaitu :
1. Sintesis terfokus, yang merupakan penggabungan dari sumber pustaka
terbaru, pengalaman peneliti dan hasil-hasil diskusi sehingga dihasilkan
rekomendasi untuk kebijakan
2. Analisis data sekunder, yaitu analisis terhadap data-data yang telah
diperoleh pihak lain ataupun dokumen (bukan data primer)
3. Eksperimen lapangan, yaitu metode mengumpulkan data primer dengan
cara melakukan eksperimen lapangan. Bertujuan untuk menyelidiki
kemungkinan hubungan sebab dan akibat
4. Metode kualitatif, bertujuan untuk mencari data primer (Patton,1980) Ciri
dari penelitian kulitatif ini adalah menggunakan setting alami, bersifat
deskriptif, menekankan pada proses kerja, menggunakan pendekatan
induktif, dan memberikan fokus pada makna.
5. Metode Survai, yaitu metode mengumpulkan data primer baik secara
sensus maupun sampling.
6. Penelitian kasus, sering juga disebut penelitian lapangan, yaitu penelitian
yang ditujukan untuk mempelajari secara mendalam tentng latar belakang,
posisi saat ini dan interaksi lingkungan unit social tertentu (individu,
kelompok, institusi atau masyarakat) tujunnya adalah memberikan
rekomendasi untuk implementasi kebijakan di masa depan
46
Universitas Indonesia
7. Analisis Biaya Keuntungan (cost benefit analysis), sering disebut analisis
untung rugi, yaitu metode yang menbandingkan biaya (cost) dengan
keuntungan yang akan didapat oleh masyarakat.
8. Analisis Keefektifan Biaya, yaitu metode yang menghitung biaya yang
dikeluarkan untuk implementasi kebijakan.
9. Analisis Kombinasi, yaitu kombinasi antara analisis biaya keuntungan
dengan analisis keefektifitas biaya.
10. Penelitian Tindakan, yaitu penelitian yang bertujuan untuk
mengembangkan pendekatan-pendekatan baru dalam memecahkan
masalah. Penelitian ini mengkombinasikan dua sisi yaitu, penelitian yang
dilakukan peneliti dan tindakan yang dilakukan oleh pembuat kebijakan
untuk mencapai tujuannya.
11. Penelitian Grounded, Merupakan proses pencarian data yang sebanyak-
banyaknya, sehingaa akan makan waktu yang lama.
2.5.2. Metode Penelitian Kualitatif
Penelitian kualitatif digunakan untuk mencari jawaban atas suatu masalah
melalui penggalian terhadap pengalaman orang-orang yang berhubungan dengan
masalah itu. Pendekatan ilmiah secara kualitaif ini disebut juga dengan penalaran
induktif, dimana peneliti memulai dari proses menyimpulkan hasil hasil
penelitiannya yang bersifat khusus, dan dipergunakan untuk mendukung
kesimpulan yang lebih umum. (Wibowo, 2014).
Dalam penelitian kualitatif ini, peneliti merupakan instrument utamanya,
dan berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber
data, melakukan pengumpulan data, menganalisisnya, menafsirkannya dan
membuat kesimpulan atas temuannya.
2.5.2.1. Sumber dan Jenis Data Penelitian Kualitatif
Menurut Lofland dalam Moleong (2013), sumber data utama untuk
penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, sedangkan yang lainnya adalah
data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Berkaitan dengan itu, Moleong
membagi jenis data tersebut atas :
47
Universitas Indonesia
1. Kata-kata dan tindakan
Kata-kata dan tindakan orang yang diamati atau diawancarai, merupakan
sumber data utama. Sumber data ini dicatat melalui catatan tertulis, alat
perekam (tape atau video), atau pengambilan foto.
2. Sumber tertulis
Sumber tertulis ini dapat berupa buku, majalah ilmiah, sumber dan arsip,
dokumen pribadi ataupun resmi, dan lain-lain.
3. Foto
Penggunaan foto dalam melengkapi sumber data sangat bermanfaat, foto
menghasilkan data deskriptif yang sangat berharga. Dianjurkan agar foto
dianalisis bersama sumber lainnya, dan dibuat catatan khusus tentang
keadaan dalam foto.
4. Data Statistik
Data statistik dapat membantu memberi gambaran tentang kecenderungan
subyek pada latar belakang penelitiannya.
2.5.2.2. Teknik Pengumpulan Data
Beberapa teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut:
1. Wawancara (Interview)
Wawancara merupakan teknik pengumpulan data secara langsung dari
responden melalui suatu pertemuan atau percakapan. Wawancara
dilakukan peneliti untuk melakukan studi pendahuluan untuk mencari
masalah penelitian dan juga untuk mengetahui hal-hal yang lebih
mendalam dari responden.
Penentuan informan untuk diwawancarai ini bisa mengacu kepada
empat kriteria yang dikemukakan oleh Neuman dalam Susilawati.N
(2012;70), yaitu :
a. The informant who is totally familiar with the culture and is
position to witness significant events makes a good informant
b. The individual is currently involed in the field
48
Universitas Indonesia
c. The person can spend time with the researcher
d. Non analytic individuals make better informants.
Sementara itu, menurut Esterberg (2002) dalam Sugiyono (2011),
ada beberapa jenis wawancara, yaitu:
a. Wawancara terstruktur (structure Interview)
Digunakan apabila peneliti sudah mengetahui dengan pasti
informasi yang akan diperoleh, peneliti sudah menyiapkan
instrument penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis dan
alternative jawabannya. Dengan wawancara terstruktur ini setiap
responden diberi pertanyaan yang sama, dan jawabannya dicatat
oleh peneliti atau pengumpul data.
b. Wawancara Semi tersruktur (Semistructure Interview)
Jenis wawancara ini sudah termasuk dalam kategori In dept
Interview, pelaksanaannya lebih bebas dari wawancara
terstruktur. Tujuannya adalah untuk menemukan permasalahan
dengan lebih terbuka, dimana pihak yang diwawancarai dimintai
pendapat dan ide-idenya.
c. Wawancara Tidak tersruktur (unstructured Interview)
Pada wawancara ini peneliti tidak menggunakan pedoman
wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap.
Dalam wawancara tidak terstruktur ini peneliti belum mengatahui
apa yang akan diperoleh, sehingga peneliti lebih banyak
mendengar. Berdasarkan analisis dari respondennya, maka
peneliti dapat melanjutkan pertanyaan yang lebih terarah pada
suatu tujuan.
2. Pengamatan (Observasi)
Observasi merupakan suatu prosedur pengumpulan data yang
terencana, yang antara lain meliputi melihat, mendengar, dan mencatat
sejumlah aktivitas tertentu yang ada hubungannya dengan masalah yang
sedang diteliti. Teknik ini digunakan bila penelitian berkenaan dengan
perilaku manusia, proses kerja, gejala-gejala alam dan bila responden tidak
terlalu banyak.
49
Universitas Indonesia
Pengamatan oleh peneliti sering dilakukan untuk meyakinkan
peneliti dengan keabsahan data yang telah diperoleh
Dari segi pelaksanaannya, pengamatan dapat dibedakan atas:
a. Pengamatan terlibat ( Participant observation)
b. Pengamatan tidak terlibat (Non participant observation)
3. Penggunaan Dokumen
Studi Dokumen merupakan pelengkap dari penggunaan metode
observasi dan wawanara. Dokumen merupakan catatan peristiwa yang
sudah berlalu, dapat berupa tulisan, gambar, atau karya monumental dari
seseorang, biografi, peraturan, kebijakan, dll.
2.5.2.3. Analisis Data Kualitatif
Analisis data kualitatif menurut Bogdan dan Biklen (1982) adalah upaya
yang dilakukan dengan cara bekerja dengan data, mengorganisasikan data,
memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesakannya,
mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang
diteliti, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain (
Moleong, 2013).
Model analisis data menurut Moleong (2013) :
a. Metode perbandingan tetap (constant coparative method)
Model ini dikemukakan oleh Glasser & Strauss, pada metode ini
secara tetap membandingkan satu data dengan data lain dan kemudian
membandingkan kategori dengan kategori lainnya.
Secara umum proses analisis datanya meliputi :
Reduksi data
Kategorisasi
Sintesisasi
Menyusun “hypotesa kerja”
b. Analisis data Model Spradley
Analisis data menurut model ini adalah tidak terlepas dari
keseluruhan proses penelitian, meliputi pengamatan deskriptif, analisis
domain, pengamatan terfokus, analisis taksonomi, pengamatan terpilih,
analisis komponensial, dan diakhiri dengan analisis tema. Hal ini
50
Universitas Indonesia
menunjukkan bahwa penyelenggaraan penelitian dilakukan secara
bergantian antara pengumpulan data dengan analisis data sampai
masalah penelitian terjawab.
c. Analisis data model Miles dan Huberman
Analisis ini didasarkan pada pandangan paradigmanya yang
positivisme. Sebelum menganalisa data peneliti memetakan terlebih
dahulu data dari situs situs yang ada, kemudian dianalisis dengan
menggunakan matriks. Dari matriks yang ada, peneliti menganalisis,
apakah membandingkan melihat urutan, ataukah menelaah hubungan
sebab akibat sekaligus.
2.5.2.4. Pemeriksaan Keabsahan Data
Tujuan dari pemeriksaan keabsahan data ini adalah agar temuan-temuan
penelitian dapat diterima atau dapat dipertimbangkan.
Beberapa teknik pemeriksaan keabsahan data pada penelitian kualitatif
(Moleong, 2013), adalah :
a. Perpanjangan keikutsertaan, dimana peneliti tinggal lebih lama
dilapangan sampai terjadi kejenuhan pengumpulan data. Hal ini berguna
untuk mendeteksi dan memperhitungkan distorsi yang mungkin
mengotori data serta membangun kepercayaan subyek terhadap peneliti
dan menambah kepercayaan diri peneliti.
b. Ketekunan pengamatan, berarti mencari interpretasi dengan berbagai cara
dalam kaitannya dengan proses analisis yang konstan.
Ketekunan pengamatan ini bermaksud untuk mencari ciri-ciri dan unsur-
unsur yang relevan dengan persoalan, kemudian memusatkan diri pada
temuan itu secara rinci (menyediakan kedalaman makna)
c. Triangulasi, merupakan teknik pemeriksaan data yang memanfaatkan
sesuatu yang lain untuk keperluan pengecekan data atau pembanding
terhadap data itu.
Danzin membedakan triangulasi dalam 4 kelompok, yaitu :
1) Triangulasi dengan sumber, yaitu membandingkan informasi yang
diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda
51
Universitas Indonesia
2).Triangulasi dengan metode, yaitu pengecekan derajat kepercayaan
dengan membandingkan terhadap hasil penelitian dengan
beberapa metode pengumpulan data.
3).Triangulasi penyidik, yaitu pengecekan data dengan memanfaatkan
peneliti atau pengamat lainnya.
4).Triangulasi dengan teori, yaitu memeriksa kebenaran data dengan
teori lain. Menurut Patton (1987), hal ini dapat dilaksanakan dan
dinamakan penjelasan pembanding ( rival explanation)
d. Pemeriksaan sejawat melalui diskusi, dilakukan dengan cara mengekspos
hasil sementara atau hasil akhir yang diperoleh dengan teman sejawat
dalam bentuk diskusi.
e. Analisa kasus negatif, dilakukan dengan cara mengumpulkan contoh dan
kasus yang tidak sesuai dengan pola dan kecenderungan informasi yang
diperoleh dan digunakan sebagai pembanding.
f. Pengecekan anggota, dengan melibatkan semua anggota yang ikut dalam
pengumpulan data
g. Uraian rinci, peneliti dituntut untuk melaporkan hasil penelitiannya
secermat mungkin yang menggambarkan konteks tempat penelitian
dilaksanakan.
h. Auditing, proses ini dapat dilaksanakan apabila ada pencatatan dari
seluruh proses dan hasil studi.
2.6. Hasil Penelitian Implementasi Kebijakan Makanan di Sekolah
Beberapa hasil penelitian terkait implementasi kebijakan makanan di
sekolah ini dapat dikelompokkan dalam 3 kelompok utama, yaitu :
1. Dampak Positif Implementasi Kebijakan Makanan di Sekolah
Suatu studi Universitas Nebraska-Lincoln memperlihatkan bahwa
dengan keijakan nutrisi disekolah dan pelarangan terhadap junk food pada
jam makan siang, telah berhasil menurunkan berat badan 18% pada siswa
yang obesitas (McGarvey M.G., 2010)
Kebijakan makanan di sekolah sangat penting dan akan berdampak
kepada kebiasaan makan diwaktu remaja, sebagaimana temuan dari
52
Universitas Indonesia
CA.Vereecken dkk (2004) di Belgia. Kebijakan makanan di sekolah ini juga
akan berpengaruh kepada Praktek Keamanan Pangan Penjaja Jajanan Anak
Sekolah (Damayanti.S.E., 2014).
Contoh lain adalah dengan diwajibkannya sekolah dasar menerapkan
kebijakan nutrisi di sekolah ( School Nutrition Policies/SNP) tahun 2006 di
Prince Edward Island/PEI, yang menunjukkan penurunan signifikan secara
statistik terhadap proporsi makanan yang rendah gizi (LNDF) dan
peningkatan proporsi Susu dan Alternatifnya (MA) serta Sayur dan buah
(VF) antara 2001/02 dan 2007 (Mullally,M.L,et.al, 2010).
2. Faktor yang Menunjang Keberhasilan Implementasi Kebijakan
Makanan di Sekolah
a. Adanya dukungan masyarakat
Dukungan untuk pelaksanaan pedoman yang diberikan oleh
kelompok relawan (dari masyarakat kota) dan pemangku kepentingan
(misalnya perwakilan divisi sekolah) memfasilitasi kerja guru, jaringan
dan kemitraan di seluruh kota adalah komponen kunci dari membangun
dukungan masyarakat. Dukungan ini diberikan melalui kas dan
sumbangan makanan, dan melalui kerja sukarela (Quintanilha.M, 2011)
b. Adanya dukungan pemerintah
Salah satu keberhasilan pelaksanaan program makanan sekolah di
Kodungallur, India, tidak terlepas dari peranan subsidi pemerintah pusat,
disamping adanya kerjasama yang baik dari tingkat pusat sampai lokal.
Pelaksanaan program makan di sekolah diterjemahkan sebagai salah satu
yang harus adi secara geografis, target pada daerah yang terpinggir
melalui penyediaan langsung, dilaksanakan dengan transparansi dan
akuntabilitas, dan sadar preferensi makanan lokal yang mengarah ke
produksi lokal dan tenaga kerja dan meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan (Chettiparamb, Angelique.,2009)
Dukungan pemerintah mempertimbangkan, penyusunan, dan
pelaksanaan undang-undang pencegahan obesitas adalah dukungan yang
signifikan dalam keberhasilan program untuk mengurangi prevalensi
obesitas ini. Dengan adanya undang-undang ini akan mendukung
53
Universitas Indonesia
penyediaan biaya terkait dengan intervensi kesehatan dalam anggaran
sekolah (Katy Lee Cook, 2013). Sebagai contoh Penerapan UU 11,947
pada tahun 2009 (Governo Federal Brasileiro, 2009 ) di Brazil yang
dikenal sebagai “School feeding law”, merupakan tonggak yang
melegalkan makanan di sekolah di tingkat federal. Konstitusi 1988
menjamin hak universal untuk makanan sekolah gratis untuk siswa yang
terdaftar di sekolah dasar negeri (Sidaner.E.et.al, 2013).
Sebagai contoh lain keterlibatan pemerintah adalah mewajibkan
seluruh sekolah dasar di Prince Edward Island/PEI) menerapkan
kebijakan nutrisi sekolah ( School Nutrition Policies/SNP) tahun 2006
yang mengacu kepada “PEI School Nutrition Policies/ PEI SNP”.
(Mullally,M.L,et.al, 2010)
c. Peranan “Working Group”
Peranan kelompok pekerja ini sangat besar dalam mampu
menjembatani dunia sekolah dengan dunia gizi dengan cara yang
memungkinkan pengembangan kebijakan gizi di sekolah (Freeze.C,
2007)
d. Dukungan sekolah
Dukungan kepala sekolah sangat berperan dalam keberhasilan
implementasi kebijakan makanan di sekolah dan dapat bertindak sebagai
katalis untuk membantu perubahan serta filosofi pribadi kepala sekolah
tentang gizi di sekolah adalah kekuatan yang berpotensi kuat untuk
membentuk apa yang mungkin dan apa yang akan terjadi di sekolah
(Freeze.C, 2007)
Dukungan Guru dan staf sekolah lainnya juga memungkinkan
pengembangan kebijakan dengan mendukung keputusan kepala sekolah
untuk memperbaiki gizi sekolah melalui tindakan mereka di dalam kelas
(Freeze.C, 2007,; Quintanilha.M, 2011).
Terkait dengan metode implementasi, maka penggunaan sekolah
percontohan dan Pengembangan kebijakan Bottom-up juga dinilai sebagai
proses optimal dalam mengembangkan kebijakan gizi di sekolah.
(Freeze.C, 2007)
54
Universitas Indonesia
Keberadaan penanggung jawab terhadap gizi secara formal, juga
sangat penting di sekolah. Penelitian yang dilakukan oleh Rideout, Karen
et.al (2007), terkait pengembangan nutrisi di sekolah di Britis Columbia,
menemukan ada sekitar 25% sekolah yang punya kelompok formal yang
bertanggung jawab terhadap gizi, dan ini akan memberikan dampak
positif terhadap implementasi kebijakan gizi
e. "Waktu Tepat" (right timming)
Informan kunci percaya bahwa usia anak-anak sekolah menengah
memberikan kontribusi terhadap perubahan perilaku siswa, terutama
ketika guru terus-menerus berusaha untuk menjadi panutan, dan
mendorong kebiasaan sehat melalui beberapa inisiatif mereka
(Quintanilha.M, 2011).
f. Adanya manager jasa makanan yang berpengalaman
pengalaman manager jasa makanan sebagai Red Seal koki, di
samping pelatihan sebelumnya, mendukung peningkatan makanan yang
disajikan di kantin sekolah. Latar belakang profesional membuat dia lebih
sadar pilihan yang sehat dan lebih berkualitas untuk merencanakan dan
menyiapkan makanan seimbang dan sehat (Quintanilha.M, 2011).
3. Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan Makanan di Sekolah
a. Kesulitan dalam merubah perilaku
Penelitian di Afrika Selatan oleh Temple,Norman dkk (2006),
meskipun sudah ditetapkan makanan yang sehat dan tidak sehat di
sekolah, namun masih ada 70% siswa tidak membeli makanan yang
sehat dan 73,2% membeli dua atau lebih makanan yang tidak sehat. Hal
ini sejalan dengan temuan Anu Devi.et.al.(2010) yang mengatakan
bahwa siswa dalam menentukan pilihan makanan akan
mempertimbangkan biaya/harga dan kenyamanan serta sangat
ditentukan oleh pilihan individu. staf dan murid mengkritik inisiatif
untuk membatasi makanan yang tidak sehat
Kenyataan lain memperlihatkan bahwa setelah kebijakan
dijalankan, maka ada beberapa makanan yang masuk kedalam daftar,
55
Universitas Indonesia
tapi tidak disukai oleh kebanyakan siswa, hal ini akan merepotkan bagi
penyedia jasa makanan sehat, kondisi ini akan dipersulit lagi dengan
kurangnya kualitas dan jumlah staf penyedia jasa (Quintanilha.M, 2011).
b. Kendala struktur
Kendala infrastruktur seperti sarana dan prasarana kantin yang
masih kurang, meningkatnya jumlah murid, antrian panjang dan
kemampuan staf kantin untuk melayani makanan dengan cepat dan
nyaman (Anu Devi.et.al.(2010) dapat juga menjadi kendala bagi
berhasilnya implementasi kebijakan makanan di sekolah.
c. Kendala finansial
Penelitian di Malawi memperlihatkan bahwa adanya
ketergantungan pada pendanaan eksternal dan kurangnya struktur
dukungan lokal untuk program pemberian makanan di sekolah
(Nyongani.M.M, 2012).
Sementara itu disisi internal sekolah ada kekhawatiran bahwa
mengimplemtasikan kebijakan makanan disekolah akan dapat
mengurangi income sekolah, karena berkurangnya jenis makanan yang
berkontribusi dalam acara penggalangan dana sekolah (Freeze.C, 2007).
Dari sisi penyedia makanan juga ditemukan penurunan
pendapatan dan mengatakan bahwa perubahan mendadak yang tidak
akan memuaskan konsumen tidak dapat dilakukan karena kantin kecil,
dan hilangnya pendapatan substansial dapat mempengaruhi input jasa
makanan , Sementara itu faktor biaya / harga makanan sehat lebih mahal
daripada makanan tidak sehat (Quintanilha.M, 2011).
d. Kehadiran pedagang makanan di sekitar sekolah
Seliske.L,et.al (2013) menyimpulkan bahwa ada hubungan yang
kuat antara kehadiran penjaja makanan disekitar sekolah dengan perilaku
makan siang anak. Hal inipun juga dipertegas oleh hasil penelitian
Howard.P.H et.al (2011) yang mengatakan bahwa kehadiran toko yang
berjarak 10 menit berjalan kaki dari sekolah akan berpengaruh pada
kenaikan berat badan siswa. Ini juga didukung oleh adanya restoran
56
Universitas Indonesia
cepat saji dan toko toko yang menyediakan “junk food” di sekitar
sekolah (Quintanilha.M, 2011).
e. Pengawasan yang kurang
Sebagai contoh pada makanan siang anak sekolah yang disajikan
oleh sekolah di Korea, masih ditemukan 15% dari makanan yang tidak
dipanaskan dan 9% dari makanan yang dipanaskan mengandung >6%
log CFU bakteri aerob per g, serta kehadiran E.Coli O157:H7 pada
makanan tersebut. Hal ini menunjukkan pengawasan kemanan yang
masih kurang. ( Jee Hoon.R et.al, 2011).
f. Menggunakan makanan sebagai hadiah
55% dari responden melaporkan penggunaan makanan sebagai
hadiah di sekolah. Ketika makanan ini adalah pilihan yang kurang sehat,
ini dapat menciptakan ketidakcocokan antara pelajaran dalam kurikulum
yang menginstruksikan anak-anak untuk memilih makanan sehat dan
perilaku yang dimodelkan di dalam kelas (Freeze.C, 2007).
g. Penolakan orang tua
Faktor penghasilan dan tingkat pendidikan orang tua yang rendah
akan menghalangi penerapan strategi makan sehat di sekolah-sekolah,
disamping sudut pandang orang tua yang beranggapan bahwa dengan
mengubah lingkungan makanan sekolah, mereka akan menghilangkan
kebebasan siswa untuk memilih dan membeli makanan dari mesin
penjual otomatis (Quintanilha.M, 2011)
57
Universitas Indonesia
BAB III
KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP DAN
DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Teori
Dalam melakukan analisa implementasi Kebijakan Badan POM RI dalam
pengawasan Pangan Jajanan Anak Sekolah, khususnya tentang Aksi Nasional
Menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah yang Aman, Bermutu dan Begizi, penulis
menggunakan teori analisa implementasi kebijakan dari Mazmanian dan Sabatier.
(1989).
O'Toole, (2000); dan Goggin et al, (1990) dalam Yongjin Sa (2013),
memasukkan teori implementasi kebijakan dari Mazmanian dan Sabatier (1989)
ini kedalam generasi terakhir pada kelompok generasi kedua dari pengelompokan
tentang studi implementasi kebijakan. Menurut mereka generasi kedua ini fokus
dalam memberikan dan mengembangkan kerangka kerja analitis dan konseptual
untuk analisis implementasi kebijakan.
Mazmanian dan Sabatier menggunakan 3 (tiga) variable independen utama
yang berpengaruh terhadap kelangsungan proses implementasi kebijakan (Wahab,
2012.; Yongjin Sa, 2013; Kincaid.M,2011), yaitu
a. Mudah tidaknya masalah yang dihadapi untuk dikendalikan
b. Kemampuan keputusan kebijakan untuk menstrukturkan secara tepat
proses implementasinya dan
c. Pengaruh langsung barbagai variable politik terhadap keseimbangan
dukungan bagi tujuan yang termuat dalam keputusan kebijakan
tersebut.
Menurut mereka, peran dari analisis implementasi kebijakan adalah
berupaya mengidentifikasi variabel-variabel yang berpengaruh dalam pencapaian
tujuan dari proses implementasi kebijakan.
Kerangka konsep implementasi ini dapat dilihat pada gambar 3.1. dimana
ketiga variabel bebas itu akan memberikan pengaruh pada lima tahap proses
implementasi (variabel dependen) yaitu: (1) output kebijakan (keputusan) dari
lembaga pelaksana, (2) kepatuhan kelompok sasaran terhadap keputusan tersebut,
58
Universitas Indonesia
(3) dampak sebenarnya dari keputusan lembaga, (4) dampak yang dirasakan dari
keputusan, dan (5) evaluasi sistem politik dari undang-undang dalam hal revisi
atau perbaikan isinya.
Gambar 3.1 : Kerangka analisis implementasi dari Mazmanian dan
Sabatier (Wahab.SA.,2012)
Keefektifan implementasi suatu kebijakan, menurut Mazmanian dan
Sabatier dalam Kincaid (2011), dapat dilihat dari 6 (enam) kondisi, yaitu:
Mudah/tidaknya masalah dikendalikan Kesukaran-kesukaran teknis Keragaman prilaku kelompok sasaran Presentase kelompok sasaran disbanding jumlah penduduk Ruang lingkup perubahan yang diinginkan
Kemampuan Kebijakan menstrukturkan proses implementasi Kejelasan dan konsistensi tujuan Digunakannya teori kausal yg memadai Ketepatan alokasi sumber dana Keterpaduan hirarki dalam dan diantara lembaga pelaksana Aturan-aturan keputusan dari badan pelaksana Rekruitmen pejabat pelaksana Akses formal pihak luar
Variable di luar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi Kondisi Sosio-ekonomi dan teknologi Dukungan public Sikap dan sumber-sumber yang dimilki kelompok-kelompok Dukungan dari pejabat atasan Komitmen dan kemampuan kepemimpinan pejabat-pejabat pelaksana
Output kebijakan Badan-badan pelaksana
Kesediaan kelompok sasaran dalam mematuhi output kebijakan
Dampak nyata output kebijakan
Dampak output kebijakan sebagai dispersepsi
Perbaikan mendasar dalam undang-undang
Tahap-tahap dalam proses implementasi (variable dependen)
59
Universitas Indonesia
a. Adanya undang-undang atau legalitas lainnya dari arah kebijaksanaan
yang jelas dan konsisten, atau setidaknya memberikan kriteria
substantif untuk menyelesaikan permasalahan tujuan.
b. Memungkinkan adanya legalitas yang mengidentifikasi prinsip utama
dan hubungan kausal (sebab akibat) intervensi yang mempengaruhi
tujuan kebijakan dan menerapkan pada kelompok sasaran serta adanya
yurisdiksi pejabat untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
c. Membuat struktur proses implementasi yang resmi sehingga dapat
memaksimalkan pejabat pelaksana dan dan kelompok sasaran untuk
berlaku seperti yang diinginkan.
d. Para pemimpin badan pelaksana memiliki keterampilan manajerial
dan politik yang substansial dan berkomitmen untuk tujuan kebijakan.
e. Program secara aktif didukung oleh kelompok konstituen yang
terorganisasi dan oleh legislator selama proses implementasi, dengan
pengadilan yang netral atau mendukung.
f. Konsistensi terhadap tujuan dari waktu ke waktu, tidak dirusak oleh
kebijakan yang baru yang bertentangan atau akibat perubahan sosial
ekonomi yang melemahkan dukungan politik.
Disamping itu menurut Mazmanian dan Sabatier, untuk menguji
implementasi kebijakan melalui pendekatan top-down, kita dapat mengguna-
kan 4 pertanyaan kunci (Kincaid, 2011), yaitu:
a. Sejauh mana konsistensi pejabat dan kelompok sasaran dalam menjalankan
kebijakan (dalam tujuan dan prosedur)?
b. Sejauh mana tujuan dari waktu kewaktu tercapai (sejauh mana dampak
konsisten dengan tujuan?
c. Apa faktor yang mempengaruhi output kebijakan dan dampaknya, baik
yang terkait dengan kebiakannya sendiri ataupun politik lainnya?
d. Bagaimana kebijakan dirumuskan dari waktu ke waktu berdasarkan
pengalaman?
Teori dari Mazmanian dan Sabatier sampai saat ini sering digunakan
dalam penelitian untuk menganalisa implementasi kebijakan publik, diantaranya
oleh Yongjin Sa (2013) yang meneliti tentang implementasi Flex-Working
60
Universitas Indonesia
Programs di Korea Selatan pada sektor publik (Policy Implementation
Framework and Family-Friendly Work Policy: Evidence from Flex-Working
Programs in South Korea’s Public Sectors). Yongjin Sa dalam penelitiannya
mengeksplorasi sejauh mana masing masing variabel independen tersebut
berpengaruh dalam pelaksanaan program flex-working di sektor publik di Korea
Selatan. Yongjin Sa menyimpulkan bahwa 1) permasalahan flex-working ini
sangat rumit dan dan susah untuk dikelola, 2) Kementerian Administrasi Publik
dan keamanan ((MOPAS) dan Kementerian tenaga kerja (MOEL) tidak berhasil
mengidentifikasi hubungan sebab akibat yang jelas antara input, output atau
tujuan jangka panjang dan pendek yang relevan dengan pelaksanaan program flex-
working pada instansi pelaksana. Kedua instansi penggagas diatas juga tidak
mengerahkan kepemimpinan hirarkis dan wewenang sebagai desaigner kebijakan.
3) Pejabat dalam organisasi publik di Korea Selatan tidak berkomitmen untuk
mewujudkan keseimbangan kerja dan keluarga bagi karyawan melalui program
flex-working
Peneliti lain yang menggunakan kerangka analisis implementasi dari
Mazmanian dan Sabatier ini adalah Mary Mulhern Kincaid (2011) yang
menggunakan teori dari Mazmanian dan Sabatier ini untuk menganalisa
implementasi kebijakan untuk menilai efektifitas kebijakan yang berkaitan dengan
gender yang berlaku pada program sektor kesehatan USAID. (Gender Integration
Case Study: A Policy Implementation Analysis of USAID Health Sector
Programming )
Kincaid meneliti terhadap 3 kebijakan yaitu peraturan administrasi yang
berlaku untuk program USAID (ADS/Automatic Directive System), peraturan
untuk program HIV (PEPFAR) dan Percy Amandemen UU Bantuan Luar Negeri
AS. Data dikumpulkan juga dari wawancara dengan petugas USAID. Hasil
penelitiannya bahwa dari segi variabel hukum (Statutory Variables) menunjukkan
bahwa peringkat ADS dan Percy Amandemen “rendah” atau ”rendah/moderat”,
sedangkan PEPFAR sedikit lebih kuat dengan peringkat “moderat” atau
rendah/moderat” . Dari sisi non hukum ( Non statutory variable), menunjukkan
bahwa regulasi ADS dan Percy Amandemen mempunyai struktur hukum yang
lebih lemah dibanding kebijakan PEPFAR. Dari data tersebut diperkirakan
61
Universitas Indonesia
variable non statutory memainkan peranan utama dalam keberhasilan ADS dan
Percy Amandemen dalam mencapai tujuannya, tapi dalam implementasinya akan
sangat rentan terhadap perubahan lingkungan politik. Responden juga khawatir
tentang kerentanan PEPFAR terhadap perubahan lingkungan politik, strategi
gender PEPFAR telah mendapat manfaat untuk kondisi saat ini, namun bisa
berubah sewaktu-waktu (Kincaid.M, 2011).
3.2. Kerangka Konsep
Untuk melihat sejauh mana efektifitas kebijakan Badan POM RI dalam
pengawasan Makanan Jajanan Anak Sekolah, khususnya efektifitas pelaksanaan
program Aksi Nasional menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah yang aman,
bermutu dan bergizi (Aksi Nasional PJAS), dalam penelitian ini digunakan
kerangka analisis implementasi kebijakan dari Mazmanian dan Sabatier (1989).
Teori Implementasi kebijakan dari Mazmanian dan Sabatier sangat cocok untuk
menilai efektifitas implementasi Aksi Nasional PJAS, disamping itu teori ini
banyak dipakai di dunia international untuk menilai keefektifan implementasi
suatu kebijakan .
Mazmanian dan Sabatier mengemukakan 3 (tiga) variabel independen
yang nantinya akan berpengaruh pada variabel dependennya yaitu :
1. Mudah atau tidaknya permasalahan kegiatan Aksi Nasional Menuju
Pangan Jajanan Anak Sekolah yang Aman, Bermutu dan Bergizi ini
dikelola. Permasalahan ini dapat dilihat dari dimensi :
a. Kesukaran-kesukaran teknis yang dihadapi dalam pelaksanaannya,
seperti masalah biaya dan dukungan teknologi dll .
b. Keragaman prilaku dari kelompok sasaran, semakin beragam perilaku
yang akan diatur, semakin beragam pula pelayanan yang akan
diberikan, semakin sulit untuk membuat peraturan yang tegas dan
jelas.
c. Persentase kelompok sasaran dibanding jumlah penduduk / populasi,
semakin kecil dan semakin jelas dibedakan dari kelompok lain dari
kelompok sasaran yang akan diubah, semakin besar peluang untuk
mencapai tujuan kebijakan
62
Universitas Indonesia
d. Ruang lingkup perubahan perilaku yang diinginkan. Semakin besar
jumlah perubahan perilaku yang diinginkan, semakin sukar untuk
memperoleh keberhasilan implementasinya.
2. Kemampuan Kebijakan program Aksi Nasional PJAS menstrukturkan
proses implementasi, dll. (Statutory variables)
Menurut Mazmanian dan Sabatier, keberhasilan implementasi aksi
nasional PJAS apabila ditinjau dari sisi kebijakannya sediri dapat
dipengaruhi oleh :
a. Tujuan kebijakan yang jelas dan konsisten. Kelompok sasaran tahu apa
yang diharapkan dari mereka, evaluator tahu apa yang akan diukur dan
advokasi dapat merujuk pada bahasa kebijakan yang tidak
membingungkan.
b. Adanya teori kausal yang cukup untuk pejabat pelaksana. Memahami
jalur kausal antara intervensi pemerintah dan tujuan kebijakan , dan
memastikan pejabat pelaksana punya yurisdiksi yang cukup dalam
hubungan itu. Untuk mengubah perilaku, pejabat harus mengetahui
faktor yang mempengaruhi tujuan dan bagaimana mereka berinteraksi
dan dapat mempengaruhi mereka melalui intervensi.
c. Ketepatan alokasi sumber dana dan mencukupi untuk pelaksanaan
kebijakan
d. Keterpaduan hirarki dalam lingkungan dan diantara lembaga
pelaksana.(adanya kontrol hirarkhis pada instansi pelaksana). Seorang
aktor mempunyai kemampuan untuk menghalangi (memveto)
pencapaian tujuan formal yang sudah ditetapkan, namun penolakan dari
pihak-pihak tertentu dapat diatasi jika keputusan kebijakan dibekali
dengan wewenang yang cukup untuk memberikan sanksi atau
pengaruh-pengaruh tertentu, guna meyakinkan para aktor pelaksana
maupun kelompok sasaran untuk merubah perilaku mereka.
e. Aturan-aturan keputusan dari badan pelaksana. Proses implementasi
juga dapat dipengaruhi oleh adanya aturan-aturan pembuatan keputusan
63
Universitas Indonesia
dari badan-badan pelaksana secara formal yang harus konsisten dengan
tujuan formal.
f. Rekruitmen pejabat pelaksana yang harus memiliki komitmen yang
tinggi terhadap pencapaian tujuan dari Aksi Nasional PJAS ini. Selain
itu, implementasi ini juga dapat ditugaskan kepada badan yang sudah
ada yang memiliki orientasi yang sejalan dengan tujuan dari program
ini.
g. Akses formal pihak-pihak luar. Proses implementasi dari Aksi Nasional
PJAS ini juga dapat dipengaruhi oleh partisipasi terbuka bagi para aktor
diluar badan / lembaga pelaksana.
3. Variabel di luar kebijakan (Non Statutory variables) yang mempengaruhi
proses implementasi
Berasarkan pendapat Mazmanian dan Sabatier, variabel non statuory
memiliki peran penting dalam mempengaruhi proses pelaksanaan dan
pencapaian tujuan Aksi Nasional PJAS ini. Diantara faktor Non Statuory
tersebut adalah :
a. Kondisi Sosio-Ekonomi budaya dan politik. Perbedaan kondisi ini
dari masing masing wilayah hukum pemerintahan akan
berpengaruh kepada proses implementasi kebijakan secara
keseluruhan. Pergeseran dalam kondisi sosiel ekonomi seperti
resesi, dapat mengubah isu yang ditangani dan mengurangi
dukungan politik untuk pendanaan pelaksanannya
b. Dukungan Publik. Perhatian publik, sikap kelompok masyarakat
dan juga media, akan berpengaruh pada proses implementasi
kebijakan Aksi Nasional PJAS ini.
c. Dukungan dari Badan-Badan / Lembaga-Lembaga atasan yang
berwenang. Lembaga yang dimaksud disini adalah lembaga yang
mempunyai wewenang dalam mengontrol terhadap kewenangan
hukum dan sumber-sumber keuangan badan pelaksana tersebut.
Salah satu kesulitan terbesar dalam implementasi yang melibatkan
antar lembaga adalah badan pelaksana bertanggung jawab kepada
lembaga atasan yang berbeda, yang masing-masing ingin
64
Universitas Indonesia
melaksanakan kebijakan yang berlainan pula. Cenderung badan
pelaksana akan mengikuti atasan yang mempunyai kewenangan
hukum dan sumber keuangan mereka.
d. Komitmen dan kemampuan kepemimpinan para pejabat pelaksana.
Komotmen ini akan berhasil apabila pejabat pelaksana ini
menunjukkan kemampuannya dalam memanfaatkan sumber
sumber yang tersedia untuk mencapainya.
Keterangan : objek penelitian
Gambar 3.2.: Kerangka Konsep penelitian Analisis Implementasi Kebijakan
Aksi Nasional Pangan Jajanan Anak Sekolah
Aksi Nasional menuju PJAS yang aman, bermutu dan bergizi
Tahapan Proses Implementasi Aksi Nasional PJAS
Kemandirian komunitas sekolah dalam mengawasi pangan jajanan di sekolah
Faktor yang mempengaruhi proses implementasi Aksi Nasional PJAS 1.Tractability masalah (Mudah/tidaknya
masalah dikendalikan) 2. Variabel Statutory (Kemampuan
kebijakan menstrukturkan proses implementasi)
3. Variabel Non-Statutory (Faktor diluar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi)
Tersedianya PJAS yang aman, bermutu & bergizi
65
Universitas Indonesia
3.3. Definisi Operasional
Tabel 3.1.: Definisi operasional variable independen
No Variable /sub
variable
Definisi operasional Pengumpu lan data
Hasil
Variabel Independen
A Tractability problem
Mudah / tidaknya masalah yang timbul dalam implementasi Aksi Nasional PJAS itu dikendalikan /dikelola
Telaah dokumen dan wawancara mendalam
Mudah/sulit dikelola, dengan penjelasan
1 Kesukaran-kesukaran teknis
Persyaratan teknis yang mempe ngaruhi pencapaian tujuan kebija kan termasuk biaya penentuan indikator, dan pemahaman teori kausal, serta penggunaan teknologi
Dokumen & Wawancara mendalam
Ada / tidak, dengan penjelasan
2. Keragaman perilaku yang akan diatur
Semakin beragam perilaku yang diatur/ layanan yang diberikan, semakin sulit membat peraturan yang tegas dan jelas.
Dokumen & Wawancara mendalam
Banyak/sedikit, dengan penjelasan
3 % kelompok sasaran
Persentase jumlah kelompok sasaran diabanding jumlah penduduk. Semakin kecil jumlahnya semakin mudah dikelola
Dokumen & Wawancara mendalam
Besar /sedikit dengan penjelasan
4 Lingkup perubahan
adalah jumlah total orang yg menjadi kelompok sasaran dan jumlah perubahan yg dituntut dari mereka.
Dokumen & Wawancara mendalam
Bisa/tidak dikelola dengan penjelasan
B. Statutory Variables
Faktor yang mengacu kepada kebijakan itu sendiri seperti kemampuan kebijakan menstrukturkan proses implementasinya,
Telaah dokumen dan wawancara mendalam
Ada/tidak, dengan penjelasan
1 kejelasan dan konsis
Tujuan tujuan resmi yang dirumuskan secara cermat dan
Dokumen & Wawancara
Jelas/tidak ,dengan
66
Universitas Indonesia
tensi tujuan jelas sesuai urutan kepentingannya
mendalam penjelasan
2. Hubungan kausal yang memadai
Hubungan timbal balik antara intervensi yang dilakukan pemerintah dengan pencapaian tujuan kebijakan yang dapat dipahami dengan jelas
Dokumen & Wawancara mendalam
Jelas/tidak ,dengan penjelasan
3 Ketepatan alokasi dana
Keputusan yang menetapkan tingkat batas ambang penyediaan dana untuk pencapaian tujuan
Dokumen & Wawancara mendalam
Tepat/tidak dengan penjelasan
4. Keterpadu an hirarki
Kemampuan untuk memadukan hirarki badan-badan pelaksana (koordinasi) dan wewenang memberikan sanksi
Dokumen & Wawancara mendalam
Ada/tidak, dengan penjelasan
5. Rekruitmen pejabat pelaksana
Pejabat memiliki komitmen yang tinggi terhadap upaya pencapaian tujuan
Dokumen & Wawancara mendalam
sesuai/tidak, dengan penjelasan
6. Peraturan badan pelaksana
Menggariskan secara formal aturan aturan pembuatan keputusan dari badan pelaksana dalam pencapaian tujuan
Dokumen & Wawancara mendalam
Ada/tidak, dengan penjelasan
7 Akses pihak luar
Sejauh mana peluang untuk berpartisipasi terbuka bagi para aktor di luar badan badan pelaksana mempengaruhi para pendukung tujuan resmi
Dokumen & Wawancara mendalam
Ada/tidak, dengan penjelasan
C. Non Statutory variables
Faktor di luar kebijakan yang dapat mempengaruhi proses implementasi kebijakan
Wawancara mendalam dan telaah dokumen
Berpengaruh/tidak, dengan penjelasan
1 Kondisi Sosio-ekonomi, politik dan teknologi
Keadaan sosial, ekonomi, politik dan teknologi tempat kebjakan dilaksanakan
Dokumen & Wawancara mendalam
Berpengaruh/tidak, dengan penjelasan
2 Dukungan publik
Adanya dukungan publik terhadap tujuan kebijakan
Dokumen & Wawancara mendalam
Ada/tidak , dengan penjelasan
67
Universitas Indonesia
3. Sikap dan sumber kelompok-kelompok
Perubahan perubahan dalam sum ber dan sikap kelompok masya rakat di tempat pelaksanaan kebi jakan terhadap tujuan kebijakan
Dokumen & Wawancara mendalam
Berpengaruh/tidak ,dengan penjelasan
4. Dukungan dari pejabat atasan
Dukungan lembaga yang punya wewenang kontrol terhadap kewenangan hukum dan sumber keuangan badan pelaksana
Dokumen & Wawancara mendalam
Ada/tidak ,dengan penjelasan
5 Komitmen dan kepemimpinan pejabat pelaksana
Komitmen pejabat badan pelaksana untuk mewujudkan tujuan kebijakan dan Kemampuan kepemimpinan dalam membina hubungan kerja dengan lembaga lembaga atasan dan meyakinkan kelompok sasaran serta kemampuan manejerialnya
Dokumen & Wawancara mendalam
Ada/tidak, dengan penjelasan
- Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) adalah semua pangan; baik berupa
pangan segar, pangan olahan, maupun pangan siap saji; yang ditemui dan
dijual di lingkungan sekolah serta secara rutin dibeli dan dikonsumsi oleh
sebagian besar anak sekolah
- Pangan segar adalah pangan yang belum mengalami pengolahan yang
dapat dikonsumsi langsung dan/ atau yang dapat menjadi bahan baku
pengolahan pangan
- Pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara
atau metode tertentu, dengan atau tanpa bahan tambahan
- Pangan siap saji adalah makanan dan/atau minuman yang sudah diolah
dan siap untuk langsung disajikan di tempat usaha atau di luar tempat
usaha atas dasar pesanan
- Komunitas sekolah adalah kumpulan individu;termasuk kepala sekolah,
guru, siswa, orang tua siswa, dokter dan petugas klinik sekolah, pengelola
kantin, penjaja PJAS, serta karyawan lain di sekolah; yang secara langsung
atau tidak langsung beraktivitas dan berinteraksi di lingkungan sekolah.
68
Universitas Indonesia
- Kemandirian komunitas dalam mengawasi PJAS dilingkungannya sendiri
adalah kemampuan komunitas sekolah untuk mengawasi PJAS di
lingkungan sekolahnya sendiri yang mencerminkan kesadaran komunitas
sekolah untuk memenuhi kebutuhannya akan PJAS yang aman, bermutu
dan Bergizi.
69
Universitas Indonesia
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1. Desain Penelitian
Untuk melihat berjalannya implementasi program Aksi Nasional Menuju
Pangan Jajanan Anak Sekolah yang Aman, Bermutu dan Bergizi, digunakan
pendekatan penelitian kualitatif. Karena penelitian kualitataif dapat menggali
secara dalam apa yang menjadi faktor-faktor yang menghambat terjadinya
perubahan perilaku dan alasan mengapa perubahan itu tidak terjadi. Metode
kualitatif ini juga sangat berguna dalam melakukan penelitian yang kompleks dan
melibatkan banyak institusi.
Maira Quintanilha (2011) dalam tesisnya menuliskan bahwa penggunaan
desain penelitian kualitatif dapat memberikan peneliti kesempatan unik untuk
mengatasi kompleksitas pedoman gizi di lingkungan sekolah karena
memperhitungkan bagaimana faktor-faktor sosial, politik dan ekonomi
mempengaruhi pengalaman dan perilaku makan orang (Jack, 2006; Ramanathan
et al., 2008).
Penelitian kualitatif bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa
yang dialami oleh subyek penelitian dan berada pada tatanan yang abstrak dan ada
dalam fikiran manusia, misalnya pendapat, kepercayaan, perilaku, persepsi,
motivasi, tindakan dan lain-lain secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam
bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah. Dalam hal
ini peneliti sendiri sebagai instrumen kunci, analisa data lebih bersifat induktif dan
hasil penelitiannya lebih menekankan kepada makna (Sugiyono, 2011).
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah menganalisa
faktor faktor yang mempengaruhi pelaksanaan implementasi program Aksi
Nasional Menuju Pangan Jajajan Anak Sekolah yang Aman, Bermutu dan Bergizi
di Kota Batam ditinjau dari kerangka konsep analisa implementasi kebijakan
Mazmanian dan Sabatier..
Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam dengan
informan dan studi literatur / analisa dokumen. Penentuan sumber informasi atau
narasumber dilakukan secara purposive dan snowballing, menggunakan pedoman
70
Universitas Indonesia
wawancara, serta berkembang selama proses penelitian. Pedoman wawancara
mengacu juga kepada 6 kondisi yang memperlihatkan keefektifan implementasi
suatu kebijakan dari Mazmanian dan Sabatier seperti pada BAB III dan juga 4
pertanyaan kunci terhadap kebijakan yang bersifat top-down oleh Mazmanian dan
Sabatier juga seperti pada BAB III. Setiap wawancara dilakukan dalam waktu
kurang lebih 1 jam.
4.2. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Oktober sampai Desember 2014 , dengan
mengambil lokasi di Jakarta dan Batam pada beberapa intansi pemerintah seperi
Badan POM RI (Direktorat Surveilan dan Keamanan Pangan), sebagai penggagas
dan pelaksana, kemudian Dinas Pendidikan Kota Batam, Dinas Kesehatan Kota
Batam, Dinas perdagangan perindustrian dan ESDM Kota Batam, Balai POM di
Batam sebagai kelompok pelaksana dan pada kelompok sasaran yaitu Sekolah
Dasar serta Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Batam sebagai pihak luar, serta
DPRD kota Batam
4.3. Informan / Narasumber
Untuk memperoleh informasi tentang evaluasi sementara implementasi
kebijakan Aksi Nasional PJAS secara Nasional, informasi terkait kebijakannya itu
sendiri seperti pengorganisasiannya dan lain lain, digali dari informan kelompok
penggagas kebijakan Aksi Nasional PJAS, diantaranya:
a. Direktur surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan Badan POM RI
b. Kasubdit Penyuluhan Pangan Siap Saji dan Industri rumah Tangga, Dir
Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan Badan POM RI.
Untuk memperoleh informasi tentang pelaksanaan Aksi Nasional PJAS di
tingkat kota, seperti kendala , koordinasi, penganggaran dan lain-lain diperoleh
dari informan pejabat dan pelaksana lapangan dari instansi terkait yang langsung
berhubungan dengan kelompok sasaran, Instansi instansi ini sudah tercantum
dalam roadmap pelaksanaan Aksi Nasional PJAS di Daerah, yaitu :
a. Kepala Dinas Kesehatan Kota Batam,
b. Staf Seksi Farmakmin Dinas Kesehtan Kota Batam
c. Kepala Balai Pengawas Obat dan makanan di Batam
71
Universitas Indonesia
d. Staf Seksi Pemeriksaan, Penyidikan, sertifikasi dan Layanan Infomansi
Konsumen Balai POM di Batam
e. Kepala Dinas Pendidikan Kota Batam
f. Staf bagian Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Kota Batam
g. Kepala Dinas Perdagangan, perindustrian dan ESDM Kota Batam
h. Kasie BIna Usaha dan Produksi, Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Pasar,
Koperasi dan UKM kota Batam
Untuk memperoleh informasi tentang penganggaran terutama terkait
dengan Rencana Aksi Daerah Pangan Gizi (RAD-PG) di kota Batam yang juga
ada keterkaitan dengan Aksi Nasional PJAS, diperoleh informasi dari Bappeda
Kota Batam, atau bagian terkait. Dalam RAD-PG sudah ada sebagian kegiatan
yang dirancang pada Pokja III terkait pembinaan terhadap Industri Pangan Rumah
Tangga (IRTP) dan peningkatan SDM petugas untuk Pangan Jajanan anak
sekolah.
Untuk mendapatkan informasi terkait pelaksanaan Aksi Nasional PJAS di
tingkat kelompok sasaran, terkait kendala, kepatuhan, pembinaan, penganggaran
dan lain-lain, diperoleh dari sekolah yang sudah mendapatkan intervensi A
sebelumnya. Untuk mengetahui output dari Aksi Nasional PJAS ini ditingkat
kelompok sasaran dilakukan di 2 sekolah yang diambil secara acak, dan dilakukan
wawancara mendalam dengan :
a. Kepala Sekolah Dasar No. 006 Sekupang Batam
b. Guru Pembina UKS / penanggung jawab keamanan pangan di SD 006
Sekupang, Batam
c. Kepala Sekolah Dasar No. 002 Batam
d. Guru Pembina UKS / penanggung jawab keamanan pangan di SD 002
Batam
Sementara itu, untuk melihat pandangan dan keterlibatan pihak luar
terkait Implementasi Aksi Nasional PJAS ini, akan diminta informasi dari Ketua
Majelis Ulama Indonesia Kota Batam yang juga memiliki kepedulian dengan
keamanan makanan di sekolah ini.
72
Universitas Indonesia
Untuk melihat keterlibatan dan dukungan dari pihak legislative, juga
dilakukan wawancara dengan ketua Komisi IV DPRD kota Batam, karena
pendidikan dan kesehatan berada pada komisi tersebut.
Untuk menggali informasi dan menangkap variasi informasi yang ada,
teknik pengambilan data yang digunakan adalah wawancara mendalam (in depth
interview), telaah dokumen, dan pengamatan tentang kepatuhan kelompok
sasaran terhadap intervensi yang sudah dilakukan.
4.4. Pengumpulan Data
Pada Penelitian ini, data-data yang digunakan adalah:
a. Data primer,
Merupakan data yang diperoleh dari hasil wawancara secara mendalam
terhadap beberapa informan yang terlibat langsung dalam
implementasi kebijakan Aksi Nasional PJAS ini dan juga instansi yang
menyediakan dana di daerah yang diharapkan mendukung kegiatan
tersebut
b. Data sekunder, merupakan data yang dikumpulkan dari hasil telaahan
dokumen tentang hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan Aksi
Nasional PJAS ini seperti roadmap kegiatannya ataupun laporan-
laporan kegiatan yang berlangsung dll.
Teknik pengumpulan data dilakukan berdasarkan:
a. Studi lapangan (field research)
Studi ini dilakukan dengan wawancara mendalam (in depth interview),
studi dokumentasi dan triangulasi. Jenis wawancara yang akan digunakan
adalah wawancara terbuka. Hasil wawancara akan dikonfirmasi melalui
studi dokumen dan triangulasi sumber maupun data, serta hasil observasi
terhadap kepatuhan sekolah pada pelaksanaan kebijakan Aksi Nasional
PJAS ini.
b. Studi kepustakaan (Library research)
Studi ini dilakukan dengan membaca dan mengumpulkan data dan
informasi, baik memalui buku-buku teks, hasil-hasil penelitian, majalah
ilmiah, rencana dan laporan-laporan kegiatan dan penelusuran dari internet
73
Universitas Indonesia
dan pustaka untuk mendapatkan data dan informasi yang relevan dengan
penelitian ini.
4.5. Analisis Data
Analisis data dilakukan sejak sebelum memasuki lapangan dan setelah
selesai di lapangan, sebagaimana diungkapkan oleh Nasution (1988) dalam
Sugiono (2011;245) bahwa “Analisa sudah dimulai sejak merumuskan dan
menjelaskan masalah, sebelum terjun ke lapangan dan berlangsung terus sampai
penulisan hasil penelitian dan pada saat setelah selesai. Pendapat ini juga
didukung oleh Miles dan Huberman dalam Sugiono (2011; 334)
. Dalam analisa data dilakukan reduksi data, mengkategorikan data,
mensintesa data/menarik kesimpulan, dan selanjutnya membuat suatu hypotesa
kerja. Peneliti membuat catatan penelitian dalam bentuk transkrip data yang
disertai dengan kategorisasi data. Peneliti melakukan reduksi data lapangan
sehingga data data yang ada relevan untuk membantu memecahkan masalah
penelitian. Data ini akan dikelompokkan kedalam variabel dan sub variabel yang
ada dalam teori Mazmanian dan Sabatier.
Untuk validasi data, peneliti juga melakukan triangulasi yaitu proses
check dan recheck antara satu sumber dengan sumber lainnya, serta
mencocokkan dengan data dokumentasi yang ada, terkait implementasi kebijakan
Aksi Nasional PJAS ini, serta data hasil pengamatan terhadap kepatuhan
kelompok sasaran terhadap intervensi yang sudah dilakukan . Data yang
terkumpul disajikan dalam bentuk tabel dan kutipan-kutipan langsung atau
penjelasan dari hasil wawancara dengan informan,dan data observasi pada
akhirnya ditarik suatu kesimpulan.
74
Universitas Indonesia
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1. Keterbatasan Pelaksanaan Penelitian
Dalam melaksanakan pengumpulan data dan wawancara terdapat beberapa
keterbatasan yang mungkin bisa menyebabkan biasnya hasil yang diperoleh. Hal
ini disebabkan oleh :
a. Subyektifitas peneliti yang juga pernah ikut sebagai pelaksana kegiatan
Aksi Nasional PJAS ini, sehingga dalam melaksanakan wawancara,
kadang juga berperan sebagai staf Balai POM, akan tetapi bias ini dapat
dikurangi dengan adanya pedoman wawancara.
b. Kurang terbukanya informan dalam menyampaikan informasi
c. Beberapa informan sudah berganti dan tidak ikut terlibat dalam kegiatan
Aksi Nasional PJAS ini pada saat itu.
5.2. Informan
Informan yang terlibat dalam penelitian ini berjumlah 17 orang yang
berasal dari kelompok penggagas, kelompok pelaksana, dan kelompok sasaran
kebijakan Aksi Nasional PJAS di Pusat dan di kota Batam. Informasi ini juga
dilengkapi oleh informan dari pihak luar/LSM serta legislatif di kota Batam.
Informan yang memberikan informasi mempunyai masa kerja paling rendah 5
tahun dan paling lama 32 tahun. Sedangkan untuk menjaga kerahasiaan identitas
informan, maka dalam penulisan identitas informan digunakan nomor ID dari 01
sampai 17. Selengkapnya data Informan yang terlibat dalam penelitian ini dapat
dilihat pada tabel 5.1.
Tabel 5.1 : Data informan penelitian
No*) Jabatan Lama menjabat
Masa kerja
1. Kepala Dinas Kesehatan Kota Batam 4 tahun 25 tahun
2. Staf Seksi Farmakmin DinKes Kota Batam 4 tahun 5 tahun
3. Kepala Dinas Pendidikan Kota Batam 7 tahun 27 tahun
4 Staf Dikdas Dinas Pendidikan Kota Batam 4 tahun 26 tahun
75
Universitas Indonesia
5 Ketua MUI Kota Batam 9 tahun 9 tahun
6 Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan dan ESDM Kota Batam
2 tahun 17 tahun
7 Kasi Bina Usaha dan Produksi, Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Pasar, Koperasi dan UKM Kota Batam
5 tahun 24 tahun
8 Ketua Komisi IV DPRD Kota Batam 4 bulan 5 tahun 4 bulan
9. Kasubdit Penelitian dan Kerjasama Pembangunan, Bappeda Kota Batam
6 tahun 14 tahun
10 Kepala Sekolah SD 002 Batam Kota 2 tahun 25 tahun
11 Guru UKS SD 002 Batam Kota 1 tahun 17 tahun
12 Kepala Sekolah SD 006 Sekupang 3 tahun 24 tahun
13 Penanggung jawab UKS SD 006 Sekupang 18 tahun 30 tahun
14 Kepala Balai POM di Batam 1 tahun 11 bulan
23 tahun 8 bulan
15 Staf Seksi Pemdik-Serlik Balai POM di Batam
5 tahun 5 tahun
16 Kasubdit Penyuluhan Pangan Siap Saji dan Industri Rumah tangga , Badan POM RI, Jakarta
2 tahun 21 tahun
17 Direktur Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan Badan POM RI, Jakarta
3 tahun 32 tahun
Keterangan : *) No urut tidak menggambarkan nomor ID informan
5.3. Aspek Kemampuan Mengendalikan Masalah (Tractability Problem)
Tractability problem merupakan mudah atau tidaknya masalah masalah
yang timbul dalam implementasi kebijakan Aksi Nasional PJAS ini untuk
dikendalikan atau dikelola.
5.3.1. Kesukaran teknis
Sebagai titik tolak dari kesukaran teknis ini adalah tidak tersedianya
ketentuan yang detail mengenai peranan dan tanggung jawab instansi lintas sektor
dalam mengimplementasikan pada awal kebijakan Aksi Nasional PJAS ini, serta
belum terbentuknya Jejaring Keamanan Pangan Daerah (JKPD) maupun Gugus
Tugas PJAS di kota Batam yang bisa diharapkan sebagai tempat berkumpulnya
beberapa instansi terkait untuk membicarakan hal hal terkait keamanan PJAS. Hal
ini mengakibatkan tidak ikut sertanya beberapa stakeholder terkait, sehingga
koordinasi diantara instansi terlibat kurang berjalan dengan baik.
76
Universitas Indonesia
Terdapat beberapa masalah teknis dalam mengimplementasikan kebijakan
Aksi Nasional PJAS ini di kota Batam, diantaranya:
a. Tidak optimalnya sosialisasi Aksi Nasional ini pada instansi lintas sektor,
sehingga ada beberapa stakeholder yang tidak mengetahui kegiatan tersebut.
sebagaimana disampaikan informan:
“kok di Batam ndak ada gaung?”(12),
“Belum pak! waktu saya di Batu Aji pun juga belum.”(10),
“Belum pernah! saya malah belum pernah dengar itu”(13),
“a…. ini saya belum, belum dengar” (14),
a.. itu …, kayaknya belum pernah saya dengar. Kalau mungkin ada, mungkin disekolah lain barangkali”(07),
b. Instansi / stakeholder lain tidak mengetahui peranan mereka dalam Aksi
Nasional PJAS di Kota Batam ini
Ketidak tahuan peranan ini disebabkan karena tidak ada pedoman kerja
pelaksanaan aksi nasional untuk lintas sektor (NSPK) ditingkat daerah, terkait
peranan dan tangung jawab lintas sektor dalam program ini. meskipun pusat
sudah memberikan beberapa usulan kegiatan didaerah seperti pada tabel 2.3 ,
akan tetapi di kota Batam tidak ada forum seperti JKPD maupun Gugus tugas
PJAS sebagai wadah tempat berkumpul dan mengkoordinasikan kegiatan
terkait keamanan pangan di daerah. Uraian selengkapnya dapat dilihat pada
poin 5.4.2. “Adanya teori kausal yang cukup untuk pejabat pelaksana”.
c. Kurangnya koordinasi dalam pelaksanaannya
Kurangnya koordinasi ini dikarenakan tidak adanya forum tempat
berkumpulnya instansi pelaksana (JKPD maupun Gugus Tugas PJAS) di kota
Batam (selanjutnya bisa dilihat pada poin 5.4.4. “Keterpaduan hirarki lembaga
pelaksana”) sebagaimana disampaikan oleh informan :
“Kendala yang paling tinggi sebenarnya kan bagaimana memberdayakan pemdanya” (01)
“kalau yang eksternal, koordinasi dengan Dinkes belum optimal ya, (03)”
“Mungkin dalam pelaksannan semuanya harus bekerjasama semua guru gurunya, tidak saya sendiri saja (09)”.
77
Universitas Indonesia
d. Keterbatasan jumlah SDM
Keterbatasan SDM akan berpengaruh pada proses implementasi untuk
mencapai tujuan kebijakan. Kekurangan ini ditemui pada kelompok pelaksana
kebijakan, maupun pada kelompok sasaran dalam melaksanakan kegiatan Aksi
Nasonal PJAS ini, sebagaimanan disampaikan informan:
“ Kalau dari kita sendiri yaitu terutama ya biasalah SDM terbatas, Serlik tenaganya terbatas”(03).
“Sebenarnya harus khusus ada yang ngurus UKS, karena sangat banyak kegiatan”(09).
“Memang ini tugas kita dalam pengawasan, tapi tidak mungkin juga, sangat banyak yang diawasi, sementara orang kita terbatas”(17).
e. Keterbatasan dana
Keterbatasan dana/anggaran juga menjadi masalah bagi beberapa instansi
pelaksana daerah maupun kelompok sasaran, namun ada juga instansi yang
merasa dana yang ada sudah cukup, terutama instansi Balai POM dan Dinas
Pendidikan. Selengkapnya dapat dilihat dibawah pada poin 5.4.3. “Ketepatan
alokasi sumber dana”.
f. Keterbatasan sarana dan prasarana
Sarana dan prasarana yang kurang akan menimbulkan masalah dalam
implementasi Aksi Nasional PJAS ini, diantaranya dalam melakukan
penyuluhan dan dalam penerapan keamanan pangan di sekolah. Hal ini
diungkapkan oleh informan :
“kesulitan juga dalam mencari sekolah, tertama yang berada di pulau, juga kekurangan dalam prasarana seperti LCD”(04).
“Mereka punya kantin tapi tak ada pagar…. (05)”.
“….. trus fasilitas cuci tangannya tidak ada”(06).
“Nah disini, jangankan ruangan untuk itu pak, pustaka aja, kami ndak punya ruangannya. Makanya terkendalanya kami ya disitu untuk membentuk kantin sehat itu”(10).
“Websitenya kadang kadang down pak. Kalau yang klub pompi kadang tidak bisa dibuka, tampilannya itu ituuu aja (04)”.
“…untuk UKS itu yang tidak bisa pak, ruangannya nggak ada. Jadi kami kalaupun komite mau bikin, tanahnya itu yang tidak ada pak (10)”.
78
Universitas Indonesia
g. Keberadaan penjual pangan di luar lingkungan sekolah
Keberadaan penjual makanan di luar lingkungan sekolah juga menjadi
kendala dalam mewujudkan PJAS yang aman, bermutu dan bergizi di sekolah,
karena pihak sekolah agak susah mengontrolnya. Pihak sekolah tidak punya
kemampuan untuk mengintervensi mereka, karena alasan kemanusiaan /
mencari nafkah, sebagaimana disampaikan informan:
“Tapi kadang kan yang merusak itu pedagang di luar sekolahnya (06)”.
“ Ini juga permasalahan, artinya.., dari segi keamanan pihak sekolah misalkan jajan diluar yang tiba tiba terjadi, kita ndak tau, apakah dia belanja diluar atau didalam, itu akan jadi masalah juga (07)”.
“Itulah pak yang jadi boomerang buat kami, kalau kita panggil, kita tegur, alasannya sedikit aja, “saya Cuma mau numpang cari hidup”, ini yang repot, jadi kami kalah secara sosial. (10)”. ,
“Cuma kalau jajanan yang di luar, itu diluar kemampuan saya, Karena kalau mengontrol makanan yang diluar saya sudah berlawanan dengan hak azazi orang untuk mencari makan, gitu (08)”.
“Berpengaruh, kan bebas itu pak,….nggak berani kita pak, kecuali yang kita ini yang didalam kantin yang bisa kita (09)”.
. 5.3.2. Keragaman prilaku dari kelompok sasaran,
Dalam upaya pencapaian tujuan Aksi Nasional PJAS ini sangat
diperlukan kesadaaran, kedisiplinan dan komitmen komunitas sekolah. Beberapa
dimensi dari sikap ini adalah dengan mewujudkan kantin sehat, diantaranya hidup
bersih dan sehat, tidak menggunakan bahan berbahaya dalam pangannya,
menutup makanan, memakai japit untuk mengambil makanan , meningkatkan
kepedulian kepala sekolah terhadap kemanan PJAS disekolah, dll. Beberapa
tentang prilaku ini disampaikan oleh informan :
“Kalau penggunaan bahan berbahaya kalau saya bilang disini berhasil, karena kita nggak nemu lagikan dari sampling. Tapi program misalnya kantinnya harus lebih bagus, jadi bersih, masih belum menurut saya”(03).
”pada audit surveillance kemaren di SD 8, mereka disekolah itu sudah pakai japit untuk ambil makanannya, sudah ditutup meskipun dengan plastik, penjualnya juga pakai sarung tangan, terus yang di SD 06, sama sekali tidak boleh ada steryfoam pak. Jadi mereka pakainya piring yang dicuci (04)”.
79
Universitas Indonesia
“Tempat sampah dekat dengan kantinnya, terus juga tempat masaknya dikantin itu berminyak kayaknya, trus fasilitas cuci tangannya tidak ada”(06)
“Ya, pikiran mereka guru pengen untung dengan melarang anak anak jajan diluar sekolah. Persepsinya dengan melarang anak anak belanja diluar, takut makanan di kantin tidak habis (15)”.
“saya hanya minta dua saja, pakai tutup kepala dan celemek, gitu. Mengolah makanan pakai sarung tangan, minimal tangan kiri kan? dan pakai penjepit. Yang itu mereka patuhi, tapi kalau masker, belum! (08)”.
“……. Sebenarnya karena kita belum ada kejadian (07)”.
“Biasa orang tua yang kelas ekonomi menengah ke bawah kadang kurang faham. Anggapan jajan di luar lebih murah dibandingkan di dalam, saya kira itu masalahnya. Padahal yang murah belum tentu sehat (15)”.
“Tidak semua kepala sekolah yang ngeh dengan kantin, kurang lebih 10-20% (15)”.
5.3.3. Persentase kelompok sasaran.
Berdasarkan rencana awal, jumlah sekolah yang menjadi sasaran adalah
18.000 Sekolah Dasar /Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI). target ini sama dengan 10%
jumlah SD/MI di Indonesia. Ini bukanlah target yang sulit sebagaimana
disampaikan oleh informan:
“Nggak sih menurut saya, Kalau menurut saya sih, itu 18000 ya!?, itupun
untuk seluruh Indonesia, (01)”.
Untuk kota Batam, berdasarkan sensus tahun 2010, murid SD/MI
berjumlah 8,5% dari total penduduk, dengan jumlah SD/MI 247 sekolah. Akan
tetapi dalam melaksanakan pengawalan terhadap sekolah yang sudah diintervensi
tahun sebelum nya, ada informan mengatakan kewalahan, karena kekurangan
SDM dan banyaknya kegiatan lain yang menjadi tanggung jawab mereka. Sekolah
yang sudah diintervensi di kota Batam sebanyak 215 SD/MI (87,04% dari SD/MI
yang ada), sebagaimana disampaikan informan:
“Tahun 2012, 100 SD, tahun 2013, 85 SD, tahun 2014, 30 SD. Tahun 2014 intervensi B, 2013 intervensi B dan C, tahun 2012, intervensi A, B dan C (04)”.
“Kalau kita melakukan pengawalan terhadap tiap sekolah susah pak, nanti kerjanya cuma ngawalin SD aja pak! He,he (04)”.
80
Universitas Indonesia
“Mungkin yang dimau dari pusat itu pengawalan dengan kita melihat tingkah laku mereka, tapi nggak begitu bisa juga dengan 40 sekolah dengan kita turun satu satu, kita kekurangan orang pak.(04)”.
“Karena sekolah di Batam sangat banyak pak, jadi kalau mereka tidak mandiri, nanti yang ngawasinya yang kesulitan pak (06)”.
5.3.4. Ruang lingkup perubahan perilaku.
Ruang lingkup perubahan yang diinginkan adalah memandirikan sekolah
dengan cara memberdayakan komunitas sekolah dalam mengawasi pangan
jajanan dilingkungannya sendiri. Sebagian besar informan mengatakan bahwa ini
bukanlah hal yang sulit untuk dicapai , sebagaimana disampaikan informan
“Tidak, karena, terutama tergantung kepala sekolahnya sendiri ya! (05)”
“.Mungkin kalau pihak sekolah mau berperan aktif dan Dinas Kesehatn dan Balai POM mau berperan aktif mendidik mereka supaya mandiri, kemungkinan besar kemandirian itu bisa tercapai (06)”.
“Ya…. Kalau dibebankan, saya rasa mampu (07)”.
“Bisa…, bisa. Nanti kedepan kita akan lebih fokus lagi (08)”.
“Sanggup, tapi harus ada daftar makanannya tadi. Harus ada regulasi, ya pedomannya itulah (09)”.
“Ini masalah komunikasi, menurut saya ini bisa asal dikomunikaskan. (12)”
hanya dua informan yang mengatakan sulit karena harus mengawasi setiap hari
dan belum berubahnya kebiasaan puskesmas dalam membina UKS di sekolah.
Hal ini diungkapkan informan:
“Nggak bisa dicapai pak, itu maunya kemauan, itu kita tugaskan puskesmas dengan program UKS nya, kadang pukesmas belum mantap, masih berkutat dengan imunisasi, lingkungan, itu itu aja tuh (17)”.
“Kayaknya berat pak, itu artinya setiap hari kita harus kontrol itu, kalau itu mau kita jalankan, setiap hari kita harus kontrol itu. Kita tidak bisa percaya pada penjual di warung aja (10)”.
5.4. Aspek Variabel Statutory (Hukum)
Variabel ini berkaitan dengan kemampuan kebijakan program Aksi
Nasional PJAS menstrukturkan proses implementasinya, dll., sehingga bisa
dilaksanakan dengan baik untuk mencapai tujuannya.
81
Universitas Indonesia
5.4.1. Tujuan kebijakan yang jelas dan konsisten.
Dari hasil wawancara, beberapa informan yang terlibat langsung
mengetahui tujuan kebijakan ini, akan tetapi dari penelusuran dokumen, terdapat
beberapa penulisan yang berbeda, dengan indikator kinerja utama adalah
peningkatan persentase PJAS yang memenuhi syarat. Untuk pelaporan kegiatan
dari instansi tekait di kota Batam tidak berjalan seperti yang diharapkan, karena
tidak ada petunjuk bagi instansi lintas sektor tersebut, meskipun pelaporan
ditingkat pusat berjalan secara rutin. Untuk monitoring dan evaluasi juga tidak
dilakukan ditingkat daerah karena kekurangan tenaga (SDM).
a. Kejelasan tujuan pelaksanaannya.
Beberapa informan menyatakan bahwa mereka cukup jelas dengan
tujuan kebijakan Aksi Nasional PJAS ini, sebagaimana disampaikan :
“Kalau PJAS menurut saya sudah jelas. Jelas juknisnya….. (03)”.
“Jelas, juknisnya ada, (04)”.
“Jelas sih pak, kan ada targetnya. Mereka Balai pom sendiri punya target. Apa yang akan dicapai ada tingkat-tingkatnya (06)”.
“Ada, ada di petunjuk teknisnya. Yang didapat waktu pelatihan dulu (09)”.
Berdasarkan penelusuran dokumen, ada terdapat perbedaan penulisan
tujuan kebijakan Aksi Nasional PJAS, diantaranya adalah:
a. Pada buku “Rencana Aksi Gerakan menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah
yang Aman, Bermutu dan Bergizi” (BPOM, 2011) menyatakan tujuannya
adalah : “Meningkatnya PJAS yang Aman, Bermutu, dan Bergizi”
sedangkan Maksud Aksi Nasional PJAS ini adalah “Memberdayakan
komunitas sekolah dalam penyediaan PJAS yang aman, bermutu dan
bergizi”. Kerangka kerja logis dari program meliputi indikator kinerja dan
rujukan untuk pemantauan, meliputi:
• Monitoring kegiatan dengan cara menelusuri pelaksanaan program dan
dibandingkan dengan program yang telah direncanakan;
82
Universitas Indonesia
• Indikator fisik dari berbagai kegiatan dan keluaran yang
terindentifikasi, misalnya laporan, rencana, data dan jumlah orang
yang telah dilatih dalam suatu pelatihan
b. Pada Proposal New inisisatif PJAS ini, tujuannya adalah 1)
Memberdayakan komunitas sekolah untuk meningkatkan Pangan jajanan
Anak Sekolah yang Aman, Bermutu dan Bergizi. 2). Mensinergiskan
kegiatan pengawasan dan pembinaan terkait kemanan PJAS antar
stakeholder di Indonesia, seperti jajaran pemerintah pusat dan daerah,
lembaga donor, pihak swasta dan stakeholder kunci lainnya. Dengan
Indikator kinerjanya adalah “Peningkatan persentase PJAS yang
memenuhi persyaratan kemanan, mutu dan gizi”.
c. Pada buku “Disain dan Petunjuk Teknis Kegiatan Aksi Nasional Pangan
Jajanan Anak Sekolah (PJAS) yang Aman, Bermutu, dan Bergizi tahun
2013”, mengatakan bahwa tujuan kegiatan ini adalah : 1)
Memberdayakan komunitas sekolah untuk menjaga keamanan, mutu, dan
gizi PJAS, 2). Menguatkan koordinasi dan jejaring kerja lintas sektor di
pusat dan daerah untuk meningkatkan PJAS yang aman, bermutu, dan
bergizi, 3). Meningkatkan keamanan, mutu dan gizi PJAS di Indonesia.
Dengan Indikator Kinerja Utama (IKU) yang ingin dicapai yaitu
persentase PJAS yang memenuhi syarat keamanan, mutu dan gizi pada
tahun anggaran 2012,2013 dan 2014 masing-masing 70, 80 dan 90%.
d. Pada laporan Aksi Nasional Gerakan Menuju PJAS yang aman, bermutu
dan bergizi tahun 2013, tercantum tujuan utama Aksi Nasional PJAS
adalah “peningkatan keamanan, mutu dan gizi PJAS melalui kemandirian
komunitas sekolah dalam mengawasi PJAS dilingkungannya.” Dan
indikator kinerjanya adalah persentase PJAS yang memenuhi syarat pada
tahun 2012, 2013 dan 2014, masing masing 70, 80 dan 90% di SD/MI.
b. Pelaporan
Ditingkat pusat pelaporan tersebut berjalan secara rutin, sebagaimana
disampaikan informan :
83
Universitas Indonesia
“..ada monev tiga bulanan dan 6 bulanan. Kalau pusat dilaporkan ke presiden dan wakil presiden dan ke UKP4 , mereka menagih terus”(01)
namun di kota Batam pelaporan ini tidak jalan, hanya Balai POM saja yang
membuat laporan ke pusat.
“Saya kira untuk beberapa balai berjalan ya, karena datanya ada itu berapa kegiatan yang dilaksanakan oleh instansi, SKPD didaerahnya ada dilaporkan, tapi tidak 100% sih”(01).
“Nggak ada pak, kita aja yang lapor (04)”.
Ketiadaan laporan di daerah ini dikarenakan kelompok sasaran dan lintas sektor
terkait tidak mengetahui pedomannya. sebagaimana disampaikan informan ::
“Belum pak, kita juga nggak ada intrumennya, nggak tau, nggak ada petunjuknya.(05)”.
“Kalau pelaporannya, kayaknya saya belum pernah lihat pak. Nggak ada bikin pelaporan kayaknya. Formatnya pun saya belum lihat seperti apa. saya belum pernah juga dengar teman teman bikin pak (06)”.
“Tidak ada pelaporan kemana mana, hanya saya selalu yang menegur dari hasil pemeriksaan anak anak yang dilaporkan kepada guru UKS nya (08)”.
“Nggak ada pak, kita tidak ada ketentuan untuk melapor setiap tahunnya
(09)”.
c. Monitoring dan Evaluasi kegiatan,
Monitoring dan evaluasi tidak dilakukan secara rutin, kegiatan berupa
pengawalan pun, tidak dilakukan di kota Batam karena kekurangan SDM yang
harus mengawal sekitar 215 SD yang sudah diintervensi, dan juga belum
mengertinya petugas tentang pelaksanaan pengawalan tersebut, sebagaimana
disampaikan :
”Ndak, tidak didatangi lagi, Kalau kita melakukan pengawalan terhadap tiap sekolah susah pak, nanti kerjanya cuma ngawalin SD aja pak! He,he (04)”.
“Makanya pak, pengawalan itu apakah dalam bentuk kita terjun langsung ke sekolahnya itu, atau ooo…. Kalau pengawalan yang kemaren itu kan kita ngasih brosur aja pak, ngasih promosi pak. Mungkin yang dimau dari pusat itu pengawalan dengan kita melihat tingkah laku mereka, tapi nggak begitu bisa juga dengan 40 sekolah dengan kita turun satu satu, kita kekurangan orang pak (04)”
84
Universitas Indonesia
“Kalau jajanan anak sekolah itu jarang ya pak, paling sekali sekali ada dengan orang PL karena yang punya reagen orang PL. paling kita koordinasi dan turun bareng (06)”.
“Nggak ada,kita pertemuan itu hanya mau audit saja, jadi nggak ada yang rutin pak, (04)”.
d. Konsistensi pelaksana dan kepatuhan kelompok sasaran.
Sebagai hasil dari kegiatan ini, beberapa dari kelompok sasaran telah
melakukan beberapa perubahan, seperti memindahkan kantin ketempat yang
lebih baik, menggunakan penjapit makanan, memakai celemek, menutup
makanan, pengawasan oleh dokter kecil disekolah, dll. Sebagaimana
disampaikannya :
“Ada pak, malah mereka menyediakan jepitan, tidak boleh pakai tangan langsung. Makanan makanan basah macam kue itu masuk kemasan, kalau air, tidak anak anak yang langsung ambil, ada petugasnya. Kalau makanan kayak goreng pisang, bakwan dimasukkan dalam wadah tertutup (05)”.
“usahanya memindahkan kantin, dan yang tadinya kurang sehat, kita arahkan kesehatannya dan dari segi kebersihannya kami minta kepada kantin itu untuk tidak ada tong sampah dekat makanan (07)”.
“Jadi kontrolnya dari pengurus kantin, guru UKS dan anak anak yang ditugaskan oleh bu ida. Jadi ada anak-anak dokter kecil itu ditugaskan oleh bu ida seminggu atau sebulan sekali saya lupa untuk mencatat dan memantau . Nanti mereka akan lapor ke bu ida dan bu ida akan lapor ke saya (08)”.
“…. saya hanya minta dua saja, pakai tutup kepala dan celemek, gitu. Mengolah makanan pakai sarung tangan, minimal tangan kiri kan? Dan pakai penjepit. Yang itu mereka patuhi, tapi kalau masker, belum (08)”.
“Kalau untuk pengelola kantin saya kasih soal dulu pak, nah ini selama ini yang dilakukan, yang menjual itu harus pakai jilbab, trus pakai celemek, cuci tangan, kan sekarang ibu kantinnya baru pak, yang dulu sudah pindah (09)”.
“Banyak manfaatnya, dan saya juga ke bagian kurikulum, memasukkan aja di….., program kan ada, ya dimasukkan aja. Jadi tahulah apa itu PJAS.(09)”.
Akan tetapi ada juga kelompok sasaran yang tidak konsisten lagi seperti tidak
mengetahui lagi keberadaan buku buku maupun CD dan brosur yang pernah
diberikan, bahkan semangatnya menurun seperti yang disampaikan informan:
85
Universitas Indonesia
“Itu yang saya kurang tahu pak , hehe . kebetulan saya juga infentaris barang juga, kondisi sekarang ini yang tadinya ruang pustaka dijadikan ruang penjaga sekolah, akirnya pustaka itu berantakan pak, ha ha ha.,(07)”.
“……lama kelamaan kamipun ndak bisa kontrol sangat, mau kontrol alasannya itu tadi, “anak yang minta” (10)”.
Sehubungan dengan pembentukan tim keamanan pangan di sekolah,
yang melibatkan komunitas sekolah sebagai suatu komponen dalam
kemandirian sekolah mengawasi PJAS nya, beberapa informan mengatakan
belum ada yang terstruktur, walaupun sudah ada melaksanakan fungsinya.
Akan tetapi ada juga sekolah yang tidak ada tim keamanan pangannya karena
kurangnya perhatian dari kepala sekolah, sebagaimana disampaikan informan:
“Masih tetap bagus, Cuma tim keamanan pangannya yang terseok seok pak (04)”.
“Selama ini kayaknya belum kami lakukan pak. Karena warung itu tidak kita olah sangat gitu (10)”.
“… Hanya ada kerjasama saja dari petugas kantin sekolah bersama petugas koperasi, .. ya kami.. istilahnya memantau se.. sekilas sajalaaahhh (07)”.
“Yang ada hanya pembagian tugas, Tapi dari UKS nya jalan pak, saya bisa pastikan, karena komitmennya kuat. Dan anak anak saya lihat masih aktif mengontrol makanannya (08)”.
“Ada, ada kawan itu bu des… tidak ada terstruktur.(09)”.
Sebagian besar dari kelompok pelaksana kebijakan banyak yang konsistens
dengan tujuan kebijakan ini seperti dikatakan :
“ bahkan setiap saya sidak kesekolah, pasti yang saya lihat kantin dahulu. Ini tugas saya setiap sabtu, paling tidak 3-4 sekolah saya datangi. Itu program rutin saya (15)”.
“…..mengenai jajanan anak sekolah ini. Kemaren kita dan dapat alat kit nya itu kan? Untuk memeriksa makanan di sekolah (17)”.
“Beberapa sekolah sekarang kita jadikan kantin sehat, dalam artian setiap orang yang mau membuka jajanan di sekolah, harus ada ijin dari kita dulu, ijin dari dinas pendidikan bekerjasama dengan dinas kesehatan, diantaranya di SMA 3, SMP 20, dan SD 07 tiban (15)”.
“Kita kan ada program UKS di sekolah (17)”.
86
Universitas Indonesia
“Tidak efektif pak, kalau hanya sekedar mendampingi sebeberapa lama?, sementara mereka tidak diberi pemahaman tentang itu. harus dilatih! (15)”.
Akan tetapi ada juga kelompok pelaksana yang kurang konsisten, seperti disampaikan informan:
“Tidak semua kepala sekolah yang ngeh dengan kantin, kurang lebih 10-20% (15)”
“Pengarahan untuk penjaja makanan belum pak, paling menjaga kesehatan aja pak. Kalau makanan belum deh (06)”.
5.4.2. Hubungan kausal yang cukup.
Secara umum teori kausalitas ini sudah ada dalam pedoman
pelaksanaannya serta Rencana Aksi Nasional PJAS, pada Grand Design
pelaksanaanya. Dalam buku “Gerakan Menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah
yang Aman, Bermutu dan Bergizi” juga memberikan panduan kepada
stakeholder yang terlibat dalam upaya peningkatan keamanan, mutu dan gizi
PJAS di Indonesia. Diantaranya berisi latar belakang kegiatan, tujuan, strategi
pelaksanaan, kegiatan kegiatan yang akan dilaksanakan dll.
Akan tetapi ada salah satu kegiatan penting yang belum terlaksana penuh
yaitu penyusunan NSPK. NSPK diperlukan untuk memperjelas peran, tugas,
tanggungjawab dan target masing-masing unit/instansi dalam rangka pelaksanaan
Rencana Aksi Nasional Gerakan menuju PJAS yang Aman, Bermutu dan Bergizi,
agar dapat berjalan lebih efektif dan efisien. Beberapa petunjuk teknis dan standar
sudah diterbitkan, akan tetapi kebanyakan fokus kepada petugas BPOM dan
kelompok sasaran saja. Tidak ada NSPK untuk instansi terkait lintas sector ini
disampaikan oleh informan :
“Ya itu yang belum jelas. dan jadi kendala. Apalagi kepala Balainya yang baru. Itu penting banget panduan itu”(03).
“ Yang PJAS sih… nggak ya, kalau pjas itu kan kebijakan yang secara makro, kalau kedaerahnya ya justru malah itu belum ada (02)”.
“a.. belum ada, memang kemaren saya minta sama buk wid (05)”.
87
Universitas Indonesia
5.4.3. Ketepatan alokasi sumber dana
Secara umum untuk Badan POM dan Balai POM di Batam, pendanaan
tidak menjadi masalah, sebagaimana disampaikan informan :
“Tidak ada masalah, berlebih malah.(03)”.
“Saya kira cukup. Anggaran sebenarnya cukup, tinggal mekanisme kerjanya (01)”.
akan tetapi instansi ditingkat daerah dan kelompok sasaran, ketersediaan dana ini
masih menjadi masalah, sebagaimana disampaikan informan:
“Kalau penganggaran…… untuk ke SD itu belum kayaknya, kalau di kami itu tidak ada (06)”.
“Tidak ada pak , karena sekolah ini yang kita kelola dana bos saja pak, dana bos itu tidak ada dialokasikan ke sana (10)”.
“kantin itu kan orang luar. Nggak ada anggaran khusus. Sifatnya mereka menyewa, dari sewa itu untuk bayar hutang, karena bangun kantin itu masih hutang pak!(08)”.
meskipun ada 1 instansi daerah yang menyatakan anggaran sebenarnya cukup,
sebagaimana disampaikan :
“Sejauh ini tidak ada masalah, saya kira anggaran cukup (15)”.
“Menurut saya bisa (Sharing Anggaran) asal kegiatannya jelas dan diusulkan jauh jauh hari. Kalau program jelas, pasti didukung sih. Kalau di pemko nggak ada masalah (15)”.
Pelaksanakan Aksi Nasional PJAS ini, direncanakan juga akan didukung
dengan program Rencana Aksi Nasional Pangan Gizi (RAN PG) yang
dikoordinasikan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)
bersama lintas sektor di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Dalam RAD
PG (Rencana Aksi Daerah Pangan Gizi) sebagai tindak lanjut dari RAN PG,
sudah dibuatkan beberapa kegiatan terkait keamanan pangan beserta instansi
pelaksananya untuk daerah, serta pendanaannya, sebagaimana juga disampaikan
informan :
“Kita kemaren sudah diikutkan sampai pembuatan RPJM, kita dikasih usulan apa yang mau dimasukkan kesitu, di bagian pendidikan, bagian kesehatan. Dibagian pendidikan kita masukkan kantinnya disitu, di bagian pjas nya, dibagian kesehatan pembentukan PKP dan DFI, membentuk tenaga tenaga itu, kemudian pengawasan IRTP, itu kita diikutkan….(03)
88
Universitas Indonesia
“Kita sudah punya RAD PG, RAD PG itu sudah ada kesepakatan nanti untuk melakukan dengan dinas kesehatan sekian-sekian, sudah ada dari Bappenas…..”(01).
“Ya satu paket, dan menunya itu AN PJAS (Aksi Nasional PJAS), tenaga PKP (Penyuluh Kemanan Pangan) dan DFI (District Food Inspectur)(01)”.
Untuk kota Batam, sampai saat ini masih belum mengadopt pelaksanaan
RAD PG tersebut., karena menurut mereka RAD PG ini masih bersifat himbauan,
bukan perintah (sesuai dengan laporan pertemun mereka ditingkat propinsi).
Sedangkan kegiatan untuk pangan dan gizi sendiri sudah dianggarkan dalam
RPJM, walaupun agak kecil. Sebagaimana disampaikan oleh informan :
“RAD PG ini masih berbentuk himbauan, kalau RAD nya nggak ada, tapi kalau kegiatannya sudah ada, dibagian Farmakmin dinas kesehatan, Cuma anggarannya memang kecil sekitar 60 jutaan. Belum suatu unggulan”(11)
“Belum, belum sampai itu (RAD-PG nya). kita biasanya buat perencanaan itu dari renstra kota, Dinas Propinsi dan Kementerian Kesehatan (17)”.
5.4.4. Keterpaduan hirarki lembaga pelaksana.
Secara umum dalam pelaksanaan implementasi Aksi Nasional PJAS di
kota Batam tidak ditemukan hirarki pengorganisasiannya, sehingga keterpaduan
pengorganisasaiannya masih kurang, meskipun ada juga informan yang
mengatakan kerjasamanya baik. hal ini disebabkan oleh instansi daerah belum
memahami peranannya, belum ada wadah seperti Jejaring Keamanan Pangan
Daerah (JKPD) ataupun Gugus Tugas PJAS di Kota Batam sebagai tempat
berkumpulnya instansi dan stakeholder terkait kemanan pangan.
Dalam rencana awal Aksi Nasional PJAS ini, pada BAB II poin 2.3.3.
sudah digariskan bahwa kegiatan di daerah akan dikoordinir oleh Pemerintah
Provinsi/Kabupaten/Kota setempat dan bekerjasama dengan pemerintah Pusat dan
lembaga terkait, dengan hirarki pelaksanaannya dapat dilihat pada BAB II poin
2.3.3.1.
Kurangnya keterpaduan ini bisa disebabkan karena tidak adanya tim
Jejaring Kemanan Pangan Daerah (JKPD) maupun Gugus Tugas PJAS sebagai
wadah tempat berkumpul dan dikoordinirnya kegiatan ini. Ketiadaaan ini
89
Universitas Indonesia
kemungkinan disebabkan oleh karena karena kedudukan Instansi Balai POM di
Batam setingkat Eselon III, sedangkan Dinas-dinas terkait (SKPD) di Kota Batam
sudah setingkat Eselon II, sementara itu dalam tim ini diharapkan Balai POM
yang menjadi ketuanya.
Kurangnya keterpaduan hirarkhi pelaksanaan Aksi Nasional PJAS di kota
Batam ini akan mengakibatkan instansi terkait tidak mengetahui peranannya, dan
juga menurunkan kepatuhan kelompok sasaran, sebagaimana diungkapkan
beberapa informan :
“Saya kira Badan POM kan tidak akan memerintahkan. Wadah itu kan kita sudah bangun, kita sudah punya jejaringan keamanan pangan di daerah untuk membahas itu, dari segi anggaran, Gubernur menunjuk Kepala Balai Besar/Balai POM setempat untuk menjadi ketua Pokja III”(01).
“Kayaknya nggak ada reward and punishmennya pak, kalau misalnya nggak ada ini, nanti nggak dapatin ini, merekapun nggak dapat piagam bintang juga nggak pa pa, gitu pak! (04)”.
“Nggak ada pak (JKPD ataupun Gugus Tugas PJAS). Kayaknya nggak ada lho pak (04)”.
“Dari Dinas Pendidikan itu mereka ikut kalau penyuluhan pak, ikut ngantar ke Galang dan ke Belakang Padang juga pak, terus untuk audit mereka datang juga pak Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan (04)”.
“kalau yang eksternal, koordinasi dengan Dinkes belum optimal ya, (03)”.
akan tetapi ada juga informan yang mengatakan bahwa koordinasi yang terbentuk
selama ini sudah baik :
“Kerjasamanya baik,(05)”.
5.4.5. Peraturan dari badan pelaksana.
Beberapa peraturan mendukung pelaksanaan Aksi Nasional ini,
diantaranya : 1). PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
pasal 42 ayat 2 bahwa setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana dan
prasarana antara lain ruang kantin, 2). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kegiatan Pembinaan
Kesiswaan yang menyatakan bahwa melaksanakan pengamanan jajanan anak
sekolah, 3). PP No 28 tahun 2004 tentang Keamanan Mutu dan Gizi Pangan,
90
Universitas Indonesia
bahwa Pangan siap saji pengawasan dan pembinaannya ada pada Pemerintah
Daerah.
”Kalau sesuai PP 28 kan sudah jelas tugas merekakan? Melakukan pengawasan dan pembinaan makanan siap saji. Teman teman kita di kementerian kesehatan juga sudah menyediakan NSPK nya (01)”
“….jadi peraturan ini sudah ada lho pak semua!. Aksi Nasional ini kan hanya sebagai trigger aja, ya trigger bagaimana untuk mereka melakukan tugas itu yang selama ini tidak, tapi kalau secara peraturan sudah jelas ini sebagai tugasnya”(01)
Akan tetapi peraturan yang spesifik mengatur tentang Jajanan anak sekolah belum
ada, sebagaimana disampaikan informan:
“Sebenarnya secara spesifik tidak ada regulasi yang mengatur makanan jajanan anak sekolah itu, sepanjang yang saya tahu (13).
5.4.6. Rekruitmen pejabat pelaksana
Dalam rencana awal sudah ditentukan instansi yang terlibat dalam
pelaksanaan kegiatan Aksi Nasional ini, sebagaimana tercantum pada BAB II,
poin 2.3.3. yang akan dikoordinir oleh Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota
setempat dan bekerjasama dengan pemerintah Pusat dan lembaga terkait.
Sebagai pejabat pelaksana dari kebijakan Aksi Nasional PJAS ini Balai
POM di Batam menugaskan kepada seksi Pemeriksaan ,Penyidikan, Sertifikasi
dan Layanan Konsumen, Kepala Dinas Pendidikan Kota Batam menunjuk bagian
pendidikan dasar untuk mendukung kegiatan ini, sementara Kepala Dinas
Kesehatan menunjuk Seksi Farmasi, Makanan dan Minuman (Farmakmin).
Semua pejabat ini dirasa kompeten dan sesuai dengan tupoksinya sehari-hari dan
dan diharapkan bisa menampung semua aspirasi dan mengembangkan tujuan
Kebijakan Aksi Nasional PJAS ini.
Namun yang banyak menjadi masalah adalah jumlah tenaga yang
bersangkutan yang masih kurang jumlahnya, sehingga tidak bisa fokus 100%
untuk kegiatan Aksi Nasional PJAS ini, sebagaimana diungkapkan informan pada
poin 5.3.1.d. diatas.
91
Universitas Indonesia
5.4.7. Akses formal pihak-pihak luar.
Dalam implementasi Aksi Nasional PJAS ini juga membuka partisipasi
bagi pihak ketiga, ini dapat kita lihat dalam laporan kegiatannya dan juga seperti
yang disampaikan informan :
“Dari CSR, banyak yang sudah minta dan banyak yang terlibat kan? Industri industry, tapi tidak terkecuali yang tidak terkait pangan pun juga ada yang bantu (01)”.
akan tetapi untuk kota Batam, belum ada aksi nyata yang langsung dari pihak
ketiga (LSM), namun MUI sering memberikan himbauan terkait pangan jajanan
anak sekolah ini. Hal ini diungkapkan oleh informan :
” Nggak ada sih pak (04)”.
“Kalau LSM untuk jajanan anak sekolah sendiri belum ada, dan belum ada juga yang nanya nanya kekami (06)”.
“Kita minta kebersamaanlah, BPOM punya gebrakan gebrakan seperti ini, kami mendukung sepenuhnya, apalagi Undang Undang halal mau diketok (14)”.
“MUI memang ada himbauan kepada kita, pertama makanan halal sangat menjadi prioritas, makanan halal pasti sehat (15)”.
5.5. Aspek Variable Non Statutory (di luar kebijakan/ Non hukum)
5.5.1. Kondisi Sosio-Ekonomi budaya dan politik.
Secara umum semua informan mengatakan bahwa perbedaan kondisi
sosial ekonomi orang tua maupun sekolah berpengaruh dalam implementasi
kebijakan Aksi Nasional PJAS ini.
“Saya kira pasti berpengaruh pak (01)
“Pasti sih pak, yang menengah keatas, anak anak dan gurunya cepat sadar pak.”(15)
“ ….antara anak anak yang berduit dan tidak, daya serapnya akan berbeda pak, dan juga fasilitasnya yang berbeda. Kalau di sekolah sekolah seperti ini air bersihnya tentu tersedia, tapi kalau di sekolah lain mungkin belum tersedia” (01),
“Ya pak jelas beda, mungkin kita bisa lihat dari fasilitasnya pak,… penyampaiannya itu enak ditempat yang disediakan aula /ruang khusus, rasa ingin tahunya lebih banyak pada sekolah yang sosial ekonominya
92
Universitas Indonesia
bagus , tapi kalau di SD Negeri yang biasa biasa itu,mereka sudah selesai, ya.. sudah,.. gitu (04)”.
akan tetapi perbedaan ini tidak mengurangi penerimaan komunitas sekolah
terhadap apa yang dikomunikasikan, mereka tetap antusias. Hal ini sebagaimana
diungkapkan informan :
“menurut saya materi materinya informative ya, baik untuk high class sama yang biasa. Nggak masalah. Masih bisa diterima semua masyarakat,…. Karena interaksi saat kita memberikan materi cukup antusias mereka, (03)”.
Disamping itu juga ada informan yang mengatakan bahwa proses politik
terkait dengan mutasi pegawai, juga mempengaruhi kinerja stafnya dalam
mendukung implementasi Aksi Nasional PJAS ini:
“Sebenarnya tenaga kita cukup pak, cuma dipindah ke puskesmas, lurah, sekretaris lurah, kasi trantib di kelurahan, padahal mereka SDM kesehatan. Itulah kalau politik, susahkan?(17)”.
5.5.2. Dukungan Publik.
Perhatian masyarakat cukup besar, diantaranya antusias pemirsa pada
dialog interaktif di Batam TV oleh BPOM di Batam, dan dukungan media massa
dalam pemberitaan serta pameran pameran yang diikuti oleh BPOM. Tidak ada
informan yang menyatakan penolakan dari masyarakat, bahkan dukungan banyak
dari pihak sekolah untuk di intervensi, sebagaimana disampaikan oleh informan :
“….ada sekolah yang minta kita untuk narasumber memberi materi PJAS , mungkin mereka dapat info sekolah lain dapat penyuluhan tentang PJAS, tapi mereka tidak, gitu (03)”.
“Ada sekolah yang minta.. “sekolah kami diperiksa dong buk..tahun kemaren kan sudah, tapi tahun ini belum” “saya bayar nggak papa”katanya (04)”.
“Mereka semua mendukung dan senang didatangin. “ ya buk, tolong dilihat apa yang kurang dari kantin kami ini?”. Gitu pak (06)”.
5.5.3. Dukungan Badan / Lembaga yang Berwenang.
Salah satu dukungan ditingkat pusat datang dari DPR, dimana DPR turun
kedaerah bersama dengan Badan POM RI dan juga melakukan presentasi, sera
berencana meningkatkan penganggaran untuk KIE, sebagaimana disampaikan
informan:
93
Universitas Indonesia
” Dengan turun kemaren mereka merasakan bahwa tugas Balai POM sangat grass root, sangat merakyat dan salah satu upaya mereka mengatakan itu, itu KIE anggarannya harus ditingkatkan, jadi ada dapat peningkatan anggaran kemaren itu, mereka strik benar dan berharap kegiatan PJAS ini diteruskan”(01).
Sementara itu, DPRD Kota Batam selama ini belum terlibat secara langsung,
sebagaimana disampaikan informan :
“Tidak ada pak.”(04).
Hal ini bisa disebabkan tidak adanya komunikasi dengan DPRD, sehingga mereka
tidak mengetahui adanya kegiatan Aksi Nasional PJAS ini, sebagaimana
diungkapkan informan
“Belum pak, sama sekali belum. Karena di mediapun nggak ada kan? Kalau kita mau mengakses, webnya dimana pak?(12)”.
“Kalau bisa, kami minta kalau Balai POM mengadakan acara baik yang khusus maupun yang umum ini, tolong undang kami pak, karena mitra kami jarang mengundang kami, mungkin mereka ada, tapi kami tidak pernah ter “up date” masalah ini (12)”.
Dari hasil wawancara dengan ketua komisi IV DPRD kota Batam,
sebenarnya mereka sangat terbuka dan mendukung kegiatan ini, bahkan
merencanakan untuk mengadakan rapid test kit makanan untuk puskesmas,
sebagaimana rencana dalam Aksi Nasional PJAS ini. Hal ini terungkap ketika
wawancara dan menyampaikan:
“Kami pun kalau perlu mungkin kita sama sama kesekolah, paling tidak akan menjadi kampanye daerah barangkali (12)”.
“Saya kira ini suatu langkah yang mesti kita dukung di level kebijakan, memang kami harus terlibat disini, anak anak kami juga itu! (12)”
” Berarti di puskesmas perlu test kit. Artinya test kit ini bisa saja jadi inventaris puskesmas dianggaran sekarang, gitu,… dan kami akan menambah lagi puskesmas ini tidak hanya di online kan, ini bisa juga jadi bidikan kita, test kit ini bisa jadi bidikan kami untuk jadi inventaris puskesmas. Terutama untuk puskesmas yang padat daerah pelajarnya (12)”.
94
Universitas Indonesia
5.5.4. Komitmen dan kepemimpinan pejabat pelaksana.
Secara pribadi, hampir semua pejabat pelaksana komitmennya baik untuk
melanjutkan kegiatan ini. Ketika penulis menanyakan apa yang akan dilakukan
jika Aksi Nasional PJAS ini berakhir pada tahun 2014 ini? Mereka menjawab :
“…., saya akan ambil waktu untuk menindak lanjuti hasil saya dengan BPOM kemaren….. saya selalu sambilkan turun kekantinnya juga., meskipun sekolah itu belum dikunjungi oleh BPOM …. Kami masih berpikiran bahwa dasar anak cerdas itu dari makanan. Itu intinya pak (05)”.
“Kalau bisa lanjut ya pak? Jadi yang mandiri itu lebih banyak, gitu, Karena sekolah dibatam sangat banyak pak, jadi kalau mereka tidak mandiri, nanti yang ngawasinya yang kesulitan pak (06)”.
“Saya pikir pekerjaan ini belum selesai gitu, kalau ini memang jadi kerja daerah, SKPD apa saja yang terlibat? Memang idealnya pedagang kaki lima ini deregister. Sepertinya pemerintah wajib ambil andil (12)”.
“Saya kira kalau itu memang ada arahan , kita akan coba dengan kita pak, kalau perlu kita undang dari Balai POM untuk memberikan penyuluhan kepada anggota kita. Kita siap mengundang itu pak (15)”.
“Kita lanjut sendiri, kalau terkait kesehatan, kesehatan yang laksanakan, Kita nanti paling berupa penyuluhan penyuluhan aja kali. Ke sekolah sekolah melalui UKS (17)”.
“Bahkan kami sudah berpikir bahwa promotif dan preventif ini tidak mesti Dinas Kesehatan leading sektornya, camat lurah kita beban kan ini, mereka melakukan pembinaan pembinaan ke kader posyandu (12)”
” Kalau memang BPOM mau gandeng majelis ulama,ormas, kami siap! kami lihat tenaganya sangat terbatas sekali (14)”.
“ Saya kira dinas perlu lanjut pak. Bangsa kita ini kan kan tidak setahun dua tahun pak, tapi teruuuusss gitu. Kita tidak bisa kata kan 80% sudah, o o tidak saya belum yakin , karena pola pikIr masyarakat kita tidak secepat itu sih. Tidak boleh berhenti pak , merubah main set tidak bisa dalam waktu 4 tahun, apalagi orang orang pulau yang tingkat ekonominya terbatas (15)”.
sedangkan ditingkat pusat, mereka berencana untuk mengadakan kegiatan lanjutan
untuk SMP dan SMA serta Food Safety Masuk Desa
”Jadi untuk AN PJAS ini kita masukkan dalam satu paket dengan food safety masuk desa pak. jadi nanti SD ini kan ada di desa juga dan ini jadi target kita juga nantinya. Jadi bukannya 2014 selesai, nggak!. Akan
95
Universitas Indonesia
diteruskan dan Badan POM juga sudah mengajukan new inisiatif untuk SMP dan SMA”(01).
Akan tetapi komitmen ini belum ditindak lanjuti untuk menjadikan
program ini menjadi prioritas pada program kerja SKPD tahun berikutnya. Dalam
RPJM kota Batam, keamanan pangan merupakan bagian dari pembangunan
dibidang kesehatan, akan tetapi kegiatan ini belum menjadi prioritas, sebagaimana
disampaikan informan :
“Kita tidak menyatakan belum prioritas, tapi setiap rapat, selalu disampaikan , bahkan setiap saya sidak ke sekolah, pasti yang saya lihat kantin dahulu (15)”
“Di RPJM ada prioritas pembangunan Kota Batam, salah satunya kesehatan , cuma didalamnya makanan belum menjadi prioritas (11)”.
“RAD PG ini masih berbentuk himbauan, kalau RAD nya nggak ada, tapi kalau kegiatannya sudah ada,di bagian Farmakmin Dinas Kesehatan, Cuma anggarannya memang kecil sekitar 60 jutaan. Belum suatu unggulan”(11)
Prioritasnya masih terfokus kepada pembangun fisik seperti puskesmas, Pustu,
Polindes, Ambulan, penambahan tenaga kesehatan dll., mengikuti renstranya
Pusat dan Renstranya Kota Batam. sebagaimana diungkapkan oleh informan :
“Kalau yang makanan itu nggak, paling bagian daripada RPJM . Di renstra kita, kita ngikutin pusat dan juga ngikutin RPJMnya pemko, misalnya membangun puskesmas, postu, polindes, ambulan, pengangkatan tenaga dll. (17)”.
“Kita belum bisa memperbesar kebutuhan non fisik ini karena memang kebutuhan membangunnya masih tinggi (12)”
“Kalau di Jogja mereka sudah sampai kesitu pak, Bappedanya sudah mengakomodir kebutuhan Dinas Kesehatan untuk PJAS pada tahun 2015. Tapi kalau disini saya kurang tahu kalau di Bappedanya seperti apa gitu (04)”
Terkait dengan kepemimpinan pejabat pelaksana, hampir semua informan
menyatakan baik, sebagaimana diungkapkan informan :
”Mendukung pak, bagus! (04)”.
” Bagus, beliau tak ada hambatan bagi beliau, itu kita pandang baik, jalan!. Empuk sekali beliau. Kalau untuk pendidikan itu, tidak ada kata tidak untuk beliau (05)”.
96
Universitas Indonesia
” Kalau dari kasi, mereka bilang juga, kalau sekolah kita perlu jamah (06)”.
cuma ada 1 informan yang agak ragu-ragu dengan kepemimpinan atasannya /
pejabat pelaksana, sebagaimana yang informan sampaikan:
“Kalau dari kabid, kalau tidak menyalahiii ini ya silahkan!, kalau kabid kita mah…ehm.ehm…, gimana ya?...... kalau kepala dinas…… yang penting aman,… itu aja intinya (06)”.
5.6. Pencapaian tujuan kebijakan
Dari laporan tahunan Balai POM di Batam, Sejak tahun 2011 sampai
2014, BPOM di Batam sudah menguji sampel PJAS sebanyak 926 sampel yang
disampling di kota Batam, Tanjung Pinang, kabupaten Karimun dan Bintan
dengan jumlah sekolah kurang lebih 62 Sekolah Dasar (SD). Hasil uji
memperlihatkan bahwa PJAS yang tidak memenuhi syarat adalah 58 (6,26%) dan
yang memenuhi syarat sebanyak 868 sample (93,74%).
Berdasarkan laporan laporan Aksi Nasional Gerakan Menuju PJAS yang
aman, bermutu dan bergizi tahun 2013, hasil pengujian secara nasional
menunjukkan bahwa 12.859 sampel (80,79%) memenuhi syarat, sehingga
Indikator kinerja utama untuk tahun 2013 bisa dicapai. Namun beberapa informan
mengatakan bahwa pencapaian IKU 80% tersebut belum menggambarkan
pencapaian kemandirian pengawasan PJAS oleh komunitas sekolah, sebagaimana
diungkapakan informan:
” Jadi kalu untuk target penurunan , 80%, 90% kita capai gitu. Tapi untuk meneruskan ini menjadi satu kegiatan yang memang harusnya dikerjakan oleh pemerintah daerah,kelihatannya harus punya effort yang berbeda lagi gitu (01)”.
”Jadi….. menurut saya kondisi yang di lapangan itu masih jauh. Kantin aja, kita lihat kondisi kantinnya, mungkin ada sekolah sekolah yang kelas internasional, kelas yang di kota, mungkin kebersihannya sudah terjaga, coba kalau di desa desa, di kecamatan kita lihat kondisi kantinnya mereka, hygiene sanitasi mereka…. Menurut saya sih.. belum. (03)”.
“Kita tidak bisa kata kan 80% sudah, o.. o.. tidak saya belum yakin , karena pola pikir masyarakat kita tidak secepat itu sih (15)”.
meskipun ada 2 informan yang menyatakan sudah sesuai, dan 1 ragu ragu,
sebagaimana diungkapkan informan :
97
Universitas Indonesia
“saya ragu ragu juga nih, tapi menurut pantauan saya bagus bagus aja, kenapa? Karena kalau tidak bagus pasti ada laporan, anak sakit perut. Tapi selama ini bagus bagus saja, kita beranggapan kita pernah mengasih penyuluhan kepada guru guruUKS. Itu saja indikatornya (17)”.
“Sudah !(05)”.
“Kalau untuk didalam kantin sekolahnya sendiri, mungkin iya pak ya? 80% itu tercapai. Tapi kadang kan yang merusak itu pedagang diluaar sekolahnya (06)”.
“Nggak bisa dilihat pak, dari 2012 ke 2014 saja sekolahnya sudah beda beda dan kita juga nggak ada kesana lagi (04)”.
Untuk kebih memudahkan dalam pemahaman, kesimpulan hasil
wawancara tersebut dapat dilihat lampiran 1 Matriks Kesimpulan Hasil
Wawancara.
98
Universitas Indonesia
BAB VI
PEMBAHASAN
Pelaksanaan “Aksi Nasional Menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah yang
Aman, Bermutu dan Bergizi” berlangsung selama tahun 2011 sampai tahun 2014.
Tujuan utama Aksi Nasional PJAS adalah peningkatan keamanan, mutu dan gizi
PJAS melalui kemandirian komunitas sekolah dalam mengawasi PJAS
dilingkungannya. indikator kinerjanya adalah persentase PJAS yang memenuhi
syarat pada tahun 2012, 2013 dan 2014, masing masing 70, 80 dan 90% di SD/MI.
Untuk mengidentifikasi variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya
tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi Aksi Nasional PJAS ini,
digunakan model analisa implementasi kebijakan publik yang disampaikan
Mazmanian dan Sabatier disebut dengan A Framework for Policy Implementation
Analysis
Teori dari Mazmanian dan Sabatier merupakan salah satu dari teknik
implementasi dengan pendekatan “Top down”. Pada pendekatan ini peneliti
terfokus kepada kebijakan dan berusaha untuk memperoleh fakta fakta, apakah
implementasi kebijakan itu mampu atau tidak mencapai tujuannya (Hogwood and
Gunn 1984 dalam Purwanto E.A & Sulistyastuti.D.R, 2012). Sehingga pendekatan
ini sangat cocok untuk menilai efektifitas implementasi suatu kebijakan.
Menurut Gibson dkk (1996) efektifitas adalah pencapaian sasaran dari
upaya bersama. Derajat pencapaian sasaran menunjukkan derajat efektifitas.
Menurut Tjokroamidjojo (1987), mengatakan bahwa efektifitas adalah agar
pelaksanaan administrasi lebih mencapai hasil seperti direncanakan, mencapai
tujuan dan sasaran yang ingin dicapai dan lebih berdaya hasil (Paselong.H, 2013).
Untuk menganalisa proses implementasi kebijakan Aksi Nasional PJAS
dalam mencapai tujuannya (efektifitas) di kota Batam, Mazmanian dan Sabatier
mengemukakan 6 (enam) faktor / kondisi implementasi yang efektif
(Kincaid.M.2011). yaitu :
1. Adanya tujuan yang jelas dan konsisten dalam kebijakan (Incorporating
clear and consistent objectives in the policy )
2. Memahami hubungan kausal (Understanding the causal pathways)
99
Universitas Indonesia
3. Strukturisasi proses implementasi (Structuring the implementation
process)
4. Komitmen dan kepemimpinan pejabat pelaksana (The level of commitment
and leadership skills of top implementing officials)
5. Dukungan yang konsisten dari kelompok konstituen (Consistent support
from organized constituency groups)
6. Ketahanan kebijakan untuk perubahan lingkungan eksternal (The resilience
of a policy to changes in the external environment)
Keenam kondisi ini tersebar dalam 2 variabel besar, 3 (tiga) kondisi pada
variable Statutory (hukum) dan 3 kondisi pada variabel non statutory (non-
hukum). Dua kondisi ditempatkan sebagai yang lebih penting daripada yang lain,
yaitu: a) tujuan kebijakan yang jelas dan konsisten, b). hubungan kausal, harus
dipenuhi (Kincaid.M, 2011).
Untuk menemukan fakta fakta terhadap kemampuan implementasi
kebijakan Aksi Nasional PJAS mencapai tujuannya (Efektifitas) , akan dibahas
sesuai dengan variabel yang dikemukakan oleh Mazmanian dan Sabatier, yaitu:
A. Kelompok Variabel Statutory (Hukum).
Pada variable hukum ini mengacu kepada kebijakannya itu sendiri, seperti
bahasa, pemikiran dan struktur pelaksanaannya. Dalam kelompok hukum ini,
mencakup 3 variabel/kondisi terkait efektifitas implementasi kebijakan, yaitu :
1. Adanya tujuan yang jelas dan konsisten dalam kebijakan (Incorporating
clear and consistent objectives in the policy )
Adanya tujuan yang jelas dan konsisten ini akan meningkatkan
keberhasilan pelaksanaan (kelompok sasaran /target akan tahu persis apa
yang diharapkan dari mereka), memudahkan dalam evaluasi (evaluator tahu
bagaimana mengukurnya), dan mendukung dalam advokasi (petugas akan
dapat merujuk pada bahasa yang jelas dan tidak ambigu).
Berdasarkan hasil wawancara, tujuan dari Kebijakan Aksi Nasional
PJAS ini sudah jelas (03),(04),(05),(06),(09). Akan tetapi dari analisa
dokumen, ditemukan ada perbedaan dalam penulisannya seperti dapat dilihat
pada BAB V, poin 5.4.1.a. Namun kebanyakan dari tujuan itu ditulis adalah
1) Memberdayakan komunitas sekolah untuk meningkatkan pangan jajanan
100
Universitas Indonesia
anak sekolah yang aman, bermutu dan bergizi, 2) Menguatkan koordinasi
dan jejaring kerja lintas sektor di pusat dan daerah untuk meningkatkan
PJAS yang aman, bermutu, dan bergizi. Sementara itu indikator kinerjanya
adalah “Peningkatan persentase PJAS yang memenuhi persyaratan kemanan,
mutu dan gizi”
Berdasarkan hasil pengujian PJAS tahun 2013, secara nasional
ditemukan 80,79% PJAS sudah memenuhi syarat, berarti IKU untuk tahun
2013 bisa dicapai. Akan tetapi beberapa informan mengatakan bahwa
pencapaian PJAS yang memenuhi syarat/IKU 80% tersebut belum
menggambarkan kondisi yang sebenarnya dilapangan termasuk juga
kemandirian sekolah dalam mengawasi PJAS nya (01,03,04,15).
Data di kota Batam memperlihatkan bahwa beberapa kelompok
sasaran sudah melakukan perubahan prilaku sebagai hasil dari program ini,
namun jumlahnya masih kecil. Sekolah yang memperoleh intervensi A di
kota Batam baru 15 SD (6,07%) dan diantaranya yang dapat piagam bintang
satu keamanan pangan kantin sekolah baru 3 SD (1,2%) dari total SD/MI
yang ada, sehingga menurut peneliti yang bisa dianggab mandiri baru 1,2%,
(karena belum ada indikator yang menentukan sekolah itu sudah mandiri
atau belum). Untuk hasil uji PJAS oleh Balai POM di Batam dari tahun
2011 sampai 2014, menunjukkan bahwa 93,74% PJAS tersebut memenuhi
syarat keamanan pangan /sudah diatas rata-rata Nasional (Balai POM b,
2014).
Dalam lampiran Rencana Aksi Nasional PJAS (RAN PJAS) tentang
indikator dan alat verifikasi RAN PJAS, Maksud program ini adalah
“Memberdayakan Komunitas Sekolah dalam Penyediaan PJAS yang Aman,
Bermutu dan Bergizi” dengan indikatornya ”Diberdayakannya Komunitas
Sekolah dalam Penyediaan PJAS yang Aman, Bermutu dan Bergizi”. Akan
tetapi indikator ini sepertinya kurang tersosialisasi karena indikator yang
banyak muncul dalam dokumen dan laporan laporan kegiatan hanyalah IKU.
yaitu peningkatan PJAS yang memenuhi syarat. Akibatnya petugas didaerah
tidak mengerti apa ukuran dari pencapaian tujuan Aksi Nasional ini terutama
dalam melakukan monitoring dan evaluasinya, sebagaimana juga
101
Universitas Indonesia
diungkapkan oleh informan (04). Sementara itu kebanyakan dokumen lain,
menuliskan bahwa ”maksud program” pada Rencana Aksi Nasional PJAS
itu sebagai tujuan kegiatannya. Dalam Rencana Aksi Nasional PJAS tahun
2011 ini tujuannya adalah ”Meningkatkan PJAS yang Aman, Bermutu dan
Bergizi” dengan indikatornya Meningkatnya PJAS yang Aman, Bermutu
dan Bergizi.
Dengan demikian bisa diambil suatu kesimpulan bahwa terjadi
ketidak konsistenan dalam menuliskan tujuan program, sehingga Indikator
kinerja yang terkait dengan pemberdayaan komunitas sekolah tidak ada
muncul dalam laporan laporan kegiatan seperti laporan Aksi Nasional PJAS
tahun 2013. Untuk menentukan/ mengukur kemandirian sekolah dalam
mengawasi PJAS di lingkungannya sebagai output kegiatan ini juga belum
ada pedoman yang jelas.
Dari sisi pelaporan yang bisa digunakan sebagai kontrol dari
pelaksanaan kegiatan, untuk pelaksanaan di tingkat pusat sudah baik, namun
untuk tingkat kota Batam, masih lemah, karena kelompok pelaksana maupun
kelompok sasaran dari kebijakan ini tidak mengetahui bagaimana teknis dan
bentuk pelaporan yang akan mereka sampaikan (05),(06),(08),(09),
disamping itu juga tidak ada pertemuan rutin yang dilakukan untuk
mengevaluasi kegiatan ini (04). Tidak adanya pelaporan ini bisa juga
disebabkan karena belum ada pembagian tugas, peran dan tanggung jawab
yang resmi dari masing masing stakeholder terkait kegiatan ini.
Sementara ditingkat pusat selalu dilakukan monitoring dan evaluasi, ada
yang dibuat per 3 bulan dan per 6 bulan untuk membuat laporan tahunan
terkait kegiatan tersebut dan dilaporkan ke presiden, wakil presiden dan
UKP4 (01).
Petugas penyuluh, khususnya dari Balai POM di Batam sudah
dibekali dengan pelatihan pelatihan dan juga dilengkapi dengan sarana dan
prasarana lainnya seperti buku terkait juknis, bahan bahan dan alat untuk
presentasi, dll untuk menjaga konsistensi penyampaian tujuan kebijakan
tersebut. Dari hasil penyuluhan dan pembinaan oleh Balai POM dan Dinas
Kesehatan serta Dinas Pendidikan kota Batam,ini sudah ada beberapa
102
Universitas Indonesia
perubahan prilaku dari kelompok sasaran, diantaranya: sudah memindahkan
lokasi kantin sekolah ketempat yang lebih baik, sudah memakai jepitan
untuk mengambil makanan, tidak menggunakan sterifoam untuk makanan,
memakai celemek dan tutup kepala (jilbab) bagi penjual makanan, menutup
makanan dll (07), (08),(09).
2. Memahami hubungan kausal (Understanding the causal pathways)
Teori/hubungan kausalitas ini mendasari untuk pemahaman bagi
kelompok pelaksana menghadapi persoalan yang akan ditanggulangi, sebab
sebab timbulnya masalah dan cara pemecahannya, peluang yang tersedia
untuk mangatasi masalah, sifat permasalahannya dan apa yang diperlukan
untuk memanfaatkan peluang tersebut (Wahab, S.A.,2012).
Secara umum teori kausalitas dalam kebijakan Aksi Nasional PJAS
ini sudah ada, dan cukup jelas. Hal ini dapat dilihat dalam dokumen-
dokumen seperti Rencana Aksi Nasional PJAS tahun 2011 yang merupakan
panduan bagi instansi dan lintas sektor terkait untuk mengambil bagian
dalam Aksi Nasional tersebut, dalam grand design kegiatan Aksi Nasional
PJAS dll.
Akan tetapi masih ada kegiatan pentig yang belum terlaksana,
diantaranya adalah pembuatan NSPK terkait tugas, peran dan tanggung
jawab kelompok kelompok pelaksana kebijakan. NSPK terkait Program
PJAS Nasional diperlukan oleh Pemerintah Daerah guna melandasi
keefektifan pelaksanaan program PJAS (Badan POM, 2011)
Dengan tidak tersedianya NSPK ini beberapa instansi dan
stakeholder di daerah tidak mengerti peranan mereka dalam Aksi Nasional
PJAS ini (02,03,04), sehingga yang banyak mengambil peran aktif adalah
Balai POM setempat, sedangkan instansi lain cenderung hanya sebagai
pendamping (04).
Peranan instansi terkait itu sudah ada dalam aturan yang lebih tinggi
yaitu pada PP 28 tahun 2004 tentang Kemanan Mutu dan Gizi Pangan,
bahwa Pangan siap saji pengawasan dan pembinaannya ada pada
pemerintah daerah (01, 02). Sehingga dalam hal ini program Aksi Nasional
PJAS ini hanya merupakan “Trigger” saja dan nantinya akan dilanjutkan
103
Universitas Indonesia
oleh Pemerintah Daerah (01). Untuk pembagian peranan sebenarnya bisa
dilakukan dalam wadah Jejaring Kemanan Pangan Daerah (JKPD) (01)
maupun Gugus Tugas PJAS di Kabupaten / kota, namun di Batam
keberadaan wadah ini belum ada (04).
Sepertinya ketiadaan NSPK ini bukan sebagai penghalang utama,
karena masih ada juga daerah lain seperti Jogja, dimana Bappedanya sudah
mengakomidir kebutuhan Dinas Kesehatan untuk PJAS pada tahun 2015
(04).
Dari analisis dokumen yang ada, juga terlihat beberapa aturan yang
menyatakan bahwa pemerintah daerah punya kewajiban dalam mengawasi
pangan jajanan anak sekolah ini, karena sesuai UU No 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, dimana urusan pendidikan dan kesehatan
sudah menjadi kewenangan pemerintah daerah, tidak terkecuali Kota
Batam. Beberapa aturan terkait keamanan PJAS ini diantaranya : 1). PP
Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 42 ayat 2
bahwa setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana dan prasarana antara
lain ruang kantin, 2). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kegiatan Pembinaan Kesiswaan
yang menyatakan bahwa melaksanakan pengamanan jajanan anak sekolah,
dan 3). Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004 tentang Keamanan
Mutu dan Gizi Pangan . Disamping itu juga ada Nota Kesepahaman antara
Kementerian Diknas dengan Badan POM tentang Program Pembinaan
Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah pada tanggal 11 Februari 2010.
3. Strukturisasi proses implementasi (Structuring the implementation process)
Strukturisasi proses implementasi yang baik dengan menetapkan
tanggung jawab atas kebijakan organisasi / lembaga yang bersimpati kepada
masalah, menyediakan dana yang cukup, meminimalkan jumlah titik veto
(kesempatan untuk menghambat pelaksanaan), dan termasuk sanksi dan
bujukan untuk mengubah perilaku, untuk meningkatkan kemungkinan
bahwa audiens target akan melakukan apa yang diharapkan dari kebijakan
untuk mereka lakukan merupakan bagian yang penting dalam berhasilnya
implementasi suatu kebijakan.
104
Universitas Indonesia
Strukturisasi dalam pelaksanaan Kebijakan Aksi Nasional PJAS ini
sudah pernah diusulkan pada Rencana Aksi Nasional PJAS tahun 2011, juga
sudah dibuatkan acuan kegiatannya, namun kolom untuk Pemerintah Daerah
belum diisi dengan pengharapan diisi oleh pemerintah setempat seperti
dalam forum JKPD, karena hanya pemerintah setempat yang mengerti apa
yang diperlukan untuk daerah mereka. Usulan strukturisasi itu juga ada
dalam surat edaran bersama antara Kementerian Pendidikan Nasional dan
Badan Pengawas Obat dan Makanan tanggal 24 April 2012, yang ditujukan
kepada Kepala Dinas Pendidikan Provinsi dan Kepala Dinas Pendidikan
Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia dengan tegas mengharapkan
partisipasi aktifnya dalam mendukung kegiatan aksi Nasional PJAS ini, akan
tetapi tidak ditindak lanjuti oleh dinas bersangkutan. Surat ini pernah
diterima oleh dinas pendidikan di Batam (05), namun mereka hanya
menunggu aksi dari Balai POM di Batam.
Strukturisasi dan penganggaran ini sudah ditindak lanjuti dalam
RAD PG (Rencana Aksi Daerah Pangan Gizi) yang dilaksananakan oleh
Bappeda,sebagai tindak lanjut dari Rencana aksi Nasional Pangan Gizi
(RAN PG) dari Bappenas, dimana Balai POM ditunjuk sebagai Ketua pada
Pokja III. Dalam RAD PG ini sudah diatur peranan dari instansi terkait,
kegiatan dan juga penganggarannya.(01),(03). Akan tetapi untuk kota Batam
masih belum ada realisasinya. Instansi terkait di kota Batam mengatakan
bahwa RAD PG ini bersifat himbauan dan ini didukung oleh laporan
pertemuan terakhir di tingkat propinsi pada tanggal 30 Oktober 2014 (11).
Tidak adanya sanksi terhadap penyelenggaraan Aksi Nasional PJAS
ini juga dirasakan menjadi kendala bagi kelompok pelaksana kebijakan,
sehingga kepeduliannya dalam merealisasikan tujuan Aksi Nasional PJAS
ini pun juga kurang.(04).
Beberapa permasalahan tersebut kemungkinan bisa ditindak lanjuti
dengan membuat suatu Peraturan Daerah , sehingga ada dasar hukum bagi
sekolah sebagai kelompok sasaran untuk melaksanakannya, dan juga ada
dasar yang kuat bagi kelompok pelaksana untuk membuat aturan aturan
105
Universitas Indonesia
terkait upaya mewujudkan PJAS yang aman, bermutu dan bergizi. Hal ini
didukung oleh sebagian besar informan
B. Kelompok Variabel Non Hukum (Non Statutory)
Variabel non hukum merupakan variable / faktor diluar kebijakan itu
sendiri, diantaranya terkait dengan komitmen dan kepemimpinan pejabat
pelaksana, advokat dan kerentanan kebijakan terhadap perubahan lingkungan
politik, sosial dan ekonomi.
Beberapa hal yang berpengaruh negatif dalam implementasi Aksi
Nasional PJAS di kota Batam ini adalah belum menjadi prioritasnya keamanan
pangan dalam pembangunan kota Batam karena renstra bidang kesehatan
mengikuti renstra Pusat, Propinsi dan RPJM daerah yang sebagian besar masih
tertuju pada pembangunan fisik seperti puskesmas ,pustu, ambulan dll..
Kondisi berikutnya dari variable ini adalah kurangnya dukungan dari Legislatif
dan Kepala pemerintahan kota Batam.
1. Komitmen dan kepemimpinan pejabat pelaksana (The level of commitment
and leadership skills of top implementing officials)
Komitmen dan keterampilan kepemimpinan pejabat pelaksana adalah
penentu variable non-hukum yang paling penting. Pejabat yang mempunyai
komitmen dan keterampilan politik serta manajerial yang memadai dapat
mempengaruhi kelompok sasaran untuk bertindak sesuai dengan tujuan
kebijakan (Wahab.S.A, 2012).
Berdasarkan hasil wawancara dengan para informan, dalam hal ini
pimpinan instansi dan stakeholder terkait lainnya, secara umum semua
mempunyai komitmen yang kuat dalam melaksanakan dan melanjutkan
kegiatan untuk mewujudkan pangan jajanan anak sekolah yang aman,
bermutu dan bergizi.
Akan tetapi semangat yang kuat dari pimpinan ini belum dibarengi
dengan memasukkan kegiatan keamanan pangan ini dalam prioritas kerjanya
serta belum didukung oleh penganggaran tahun berikutnya. Bahkan program
keamanan pangan ini belum menjadi prioritas dalam RPJM Kota Batam
106
Universitas Indonesia
(11),(15),(17),(06),(04), Meskipun ada kegiatan untuk pengawasan pangan
ini, anggarannya sangat kecil (11).
Terkait dengan kepemimpinan dari pejabat pelaksana, hampir
semua stafnya mengatakan baik dan mendukung kegiatan ataupun usulan
kegiatan terkait dengan pengawasan jajanan anak sekolah ini.
2. Dukungan yang konsisten dari kelompok konstituen (Consistent support
from organized constituency groups)
Penguasa, seperti legislator atau pemimpin politik lainnya, dapat
mempengaruhi pelaksanaan kebijakan melalui tingkat pengawasan yang
mereka berikan serta penyediaan sumber daya keuangan untuk lembaga
pelaksana (Wahab.S.A., 2012)
Untuk pelaksanaan Aksi Nasional PJAS di kota Batam, dukungan dari
legislatif dan penguasa sepertinya secara langsung belum ada (04), karena
tidak terbangunnya komunikasi dengan legislatif (DPRD) selama
pelaksanaannya sehingga legislatif pun belum mengetahui ada kegiatan
tersebut (12).
Upaya untuk melibatkan pihak penguasa dalam kegiatan ini sudah
dilaksanakan diantaranya pada kegiatan Gebyar PJAS di salah satu Mall di
Kota Batam tahun 2013 yang dihadiri oleh Walikota dan beberapa Kepala
Dinas terkait. Dalam kegiatan ini, Walikota meresmikan mobil
laboratorium keliling Balai POM di Batam, disamping kegiatan lain seperti
lomba menggambar, pemutaran film Pompi yang merupakan icon untuk
PJAS,dll. (03),(04).
Disamping pendekatan dengan kepala daerah, Balai POM di Batam
juga aktif dalam penyusunan kegiatan Rencana Aksi Daerah Pangan Gizi
(RAD PG) di Bappeda tingkat propinsi, terkait penyusunan rencana
kegiatan yang akan dilaksanakan oleh pemda propinsi dan
kabupaten/kota.(03).
Upaya dengan legislatif, sepertinya belum dilaksanakan selama ini,
karena sewaktu dikonfirmasi di DPRD, mereka malah tidak tahu ada
kegiatan Aksi Nasional PJAS ini, termasuk juga kegiatan RAD PG dari
Bappenas.
107
Universitas Indonesia
c. Ketahanan kebijakan untuk perubahan lingkungan eksternal (The resilience
of a policy to changes in the external environment)
Ketahanan kebijakan untuk perubahan lingkungan eksternal seperti
kondisi sosial ekonomi atau sosial budaya, dapat menjadi faktor kunci dalam
menentukan keberhasilan dari waktu ke waktu dan di seluruh lokasi
pelaksanaan (Kincaid, 2011) Pergeseran dalam kondisi sosial ekonomi,
seperti resesi, dapat mengubah pendapat orang tentang isu ditangani oleh
kebijakan dan bisa mengurangi dukungan politik untuk pendanaan
pelaksanaannya.
Selama kurun waktu pelaksanaan Aksi Nasional PJAS ini di kota
Batam, dari tahun 2011 -2014, tidak ada terjadi pergeseran dalam kondisi
kondisi sosial ekonomi maupun sosial budaya yang signifikan.
Menurut Mazmanian dan Sabatier, Interaksi dari kedua set variabel di atas
akan menentukan output kebijakan. Pelaksanaan kebijakan dengan struktur hukum
yang lemah akan sangat bergantung pada variasi dukungan politik dari setiap
waktu dengan pengaturan lokal, sedangkan undang-undang yang disusun dapat
memberikan arah kebijakan yang memadai dan sumber daya hukum untuk
menahan perubahan jangka pendek"(Mazmanian & Kincaid (2011).
Dilihat dari variabel kemampuan pengelolaan masalah (tractability
problem), bisa disimpulkan bahwa permasalahan implementasi Aksi Nasional
Menuju PJAS yang Aman, Bermutu dan Bergizi yang dilaksanakan untuk kota
Batam cukup berat dan perlu waktu lebih untuk menyelesaikannya (tidak bisa
dikelola dalam waktu pendek). Disamping beberapa faktor diatas, juga ada
beberapa faktor teknis yang berpengaruh terhadap proses implementasi kebijakan
ini seperti kurang nya SDM di beberapa instansi pelaksana sehingga monitoring,
evaluasi dan pengawalan tidak bisa dilaksanakan; kurangnya sarana dan prasarana
penunjang untuk melaksanakan kegiatan; keterbatasan anggaran; pengaruh
penjual diluar lingkungan sekolah, dan belum mampu untuk menjadikan
permasalahan keamanan, mutu dan gizi PJAS ini menjadi isu utama dalam
pembangunan kota Batam, sehingga belum menjadi prioritas.
108
Universitas Indonesia
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan
1. Selama Pelaksanaan Aksi Nasional Menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah
yang Aman, Bermutu dan Bergizi (Aksi Nasional PJAS), Balai POM di
Batam telah menguji sampel PJAS sebanyak 926 sampel, dengan hasil
memenuhi syarat sebanyak 868 sample ( 93,74%).
2. Untuk kota Batam telah dilakukan Intervensi A, B dan C terhadap 215
sekolah dasar sebagai pelaksanaan aksi Nasional PJAS, dan yang
mendapat penghargaan Piagam Bintang Satu Kemaman Pangan untuk
Kantin Sekolah sebanyak 3 Sekolah
3. Pelaksanaan Implementasi Kebijakan Aksi Nasional Gerakan Menuju
Pangan Jajanan Anak Sekolah yang Aman, Bermutu dan Bergizi di kota
Batam tidak berjalan secara efektif, karena ada kelemahan dalam variabel
hukum (Statutory) dan juga pada variabel non hukum (Non Statutory)
dari pelaksanaan kebijakan tersebut.
4. Faktor penghambat pelaksanaan Kebijakan Aksi Nasional PJAS di kota
Batam terkait variabel Statutory ( hukum), diantaranya adalah :
a. Tidak ditentukannya indikator kinerja terukur yang langsung
berkaitan dengan output kebijakan yaitu kemadirian sekolah dalam
mengawasi PJAS di lingkungannya, sehingga sulit untuk mengukur
keberhasilan pencapaian tujuan kebijakan tersebut.
b. Tidak ada NSPK yang resmi untuk daerah terkait tugas, peran dan
tanggung jawab instansi terkait dalam mendukung pelaksanaan
Aksi Nasional PJAS ini di daerah.
c. Tidak ada strukturisasi proses implementasi Aksi Nasional PJAS di
kota Batam dan tidak ada wadah untuk mengkoordinasikannya
seperti forum Jejaring Keamanan Pangan Daerah (JKPD) maupun
Gugus Tugas PJAS di kota Batam.
109
Universitas Indonesia
5. Faktor yang menjadi kendala pelaksanaan Aksi Nasional PJAS di kota
Batam terkait variabel Non Statutory (non hukum) adalah :
Tidak adanya dukungan langsung dari Pimpinan Daerah dan DPRD
dalam implementasi kebijakan Aksi Nasional PJAS di kota Batam.
Hal ini dapat dilihat dari belum menjadi prioritasnya Keamanan
pangan khususnya Pangan Jajanan Anak Sekolah dalam
pembangunan daerah kota Batam,
6. Masih kurangnya komitmen pemerintah daerah kota Batam dalam
membangun kemanan pangan khususnya mewujudkan pangan jajanan
anak sekolah yang aman, bermutu dan bergizi. Hal ini terlihat dengan
belum menjadi prioritasnya kegiatan ini dalam program kerja mereka,
serta dukungan dana yang kecil, meskipun komitmen dari pimpinan
pejabat pelaksana cukup baik.
7.2. Saran :
1. Sebelum suatu kebijakan diimplementasikan, diharapkan sejak awal sudah
ditentukan tujuan pelaksanaan yang rinci dan konsisten, serta menentukan
indikator kinerja yang terukur dan langsung berkaitan dengan tujuan
tersebut, sehingga memudahkan dalam pelaksanaan, mengukur
keberhasilan serta advokasi kebijakan tersebut.
2. Dalam mengimplementasikan suatu kebijakan harus jelas strukturisasi /
pengorganisasiannya, terutama dalam kegiatan yang melibatkan banyak
instansi atau lintas sektor.
3. Dalam mengimplementasikan suatu kebijakan, terutama untuk
memberdayakan masyarakat dan melibatkan lintas sektor, dukungan
Pemerintah Daerah dan Legislatif sangat diperlukan.
4. Sebagai pembanding, sebaiknya dilakukan penelitian serupa di daerah lain
yang sudah memasukkan kegiatan pengawasan pangan jajanan anak
sekolah ini dalam prioritas kerja mereka seperti Jogjakarta dll,.
110
Universitas Indonesia
5. Agar diberikan pelatihan pelatihan terkait pengawasan PJAS secara
mandiri bagi tenaga di instansi lintas sektor terkait, sehingga mereka juga
punya kompetensi khusus untuk kegiatan tersebut.
6. Mengingat tingginya harapan dari SKPD dan Stakeholder yang terlibat
dalam kegiatan Aksi Nasional PJAS di kota Batam ini, diharapkan DPRD
kota Batam bersama Pemerintah Daerah bisa membuat Peraturan Daerah
(Perda,) terkait Kemanan pangan, khususnya penyediaan PJAS yang aman,
bermutu dan bergizi di sekolah,
111
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Acosta, Ines (2012, Oct 10), Health : Uruguayan Schools Slowly Say GoodBye to
Junk Food, Global Information Network, New York,
http://search.proquest.com/docview/1095572934/48554871DCB44A07PQ
/21?accountid=17242, diunduh 7 feb 2014
Adisasmito.W, 2013, Perancangan Naskah Akademik & Kebijakan Kesehatan.
Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta
Ajulor.O.V.(2013), “Policy Implementation and Rural Poverty Reduction In
Nigeria (An Analysis of the National Poverty Eradication Programe
(NAPEP) In Ado-Odo Ota Local Gevernment Area, Ogun State)”, Annual
International Interdisciplinary Conference, AIIC 2013, 24-26 April,
Proceedings , Portugal
Agustino.L, (2008), Dasar-Dasar Kebijakan Publik, Alfabeta,Bandung.
Ashe, L M & Sonnino.R, 2013, At the crossroads: new paradigms of food
security, public health nutrition and school food, Public Health Nutrition
Volume: 16 pages 1020-7, United Kingdom, http://search.proquest.com/
docview/1353373130?accountid=17242
Ayuningtyas,D.,(2014), Kebijakan Kesehatan : prinsip dan praktik , RajaGrafindo
Persada, Jakarta
Badan POM RI a, (2013), Disain dan Petunjuk Teknis Kegiatan Aksi Nasional
Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) yang Aman, Bermutu, dan Bergizi,
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Badan POM RI, Jakarta
Badan POM RI a, (2011), Rencana Aksi Nasional Gerakan Menuju Pangan
Jajanan Anak Sekolah yang Aman, Bermutu, dan Bergizi, ___, Jakarta
Badan POM RI b, (2013), Laporan Aksi Nasional Gerakan Menuju Pangan
Jajajan Anak Sekolah yang Aman, Bermutu dan Bergizi, ___, Jakarta.
Badan POM RI dan FKM UI, (2011), Promosi Kemanan Pangan, ____, Jakarta.
Badan POM RI, (2012), Surat Edaran Bersama Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan, Nomor
1801/C/TU/2012 dan HK.05.01.1.54.04.12.2549. Badan POM RI, Jakarta
112
Universitas Indonesia
BPOM Batam, (2014), Laporan Hasil Pengujian Pangan Jajanan Anak Sekolah
Tahun 2011-2014,_____, Batam.
BPOM Batam b, (2014), Laporan Tahunan Balai POM di Batam tahun 2011-
2013, _____, Batam.
Budiono, (2011), Pengarahan Wakil Presiden RI Prof Dr. Budiono Pada saat
Pencanangan Gerakan Menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) yang
Aman, Bermutu dan Bergizi dan Satuan Tugas Pemberantasan Obat Illegal
di Istana Wakil Presiden RI Jakarta, 31 Januari 2011.
Chettiparamb, Angelique, (2009), Policy Build-Up' in Implementation: The Case
of School Meals Provision in Kodungallur, Kerala, India,
http://search.proquest.com/docview/215616813?accountid=17242
Chavez.R,(2003), The Utilization of The Mazmanian and Sabatier Model As A
Tool For Implementation Of eGovernment For Fresno County, California,
thesis California State University, (httpsearch.proquest.comdocview
305223459accountid=17242)
Cullen. Et al, (2009), The Impact of the Texas Public School Nutrition Policy on
Student Food Selection and Sales in Texas, American Journal of Public
Health 99.4 (Apr.2009):706-12. http://search.proquest.com/docview/
215085743/60A82A93654F4C63PQ/22?accountid=17242
Damanik, H.D.L, (2010), Faktor Dominan Kontaminasi Escherecia coli Pada
Makanan Jajanan di Warung Lingkungan Sekolah Dasar Kota Palembang
Tahun 2010, Thesis UI, Jakarta
Damayanti.S.E, (2014), Faktor-faktor yang Mempengaruhi Praktek Kemanan
Pangan Penjaja pangan Jajanan Anak Sekolah di Sekolah Dasar Negeri di
Kota Tangerang Selatan tahun 2013, Thesis UI, Jakarta
Danim.S., (2005), Pengantar Studi Penelitian Kebijakan, Ed.III, PT Bumi Aksara,
Jakarta
Devi.A, Surender.R., and Rayner.M,, (2010), Improving the food environment in
UK schools: Policy opportunities and challenges, Journal of Public Health
Policy,31,212–226, httpsearch.proquest.comdocview
366152546A7D519FE08B64805PQ15accountid=17242, diunduh 5 feb
2014
113
Universitas Indonesia
Dick et al, (2012), Evaluation of implementation of a healthy food and drink
supply strategy throughout the whole school environment in Queensland
state schools, Australia, European Journal of Clinical Nutrition (2012)
66, 1124–1129 & 2012 (httpsearch.proquest.comdocview
1081910568A7D519FE08B64805PQ19accountid=17242, diunduh 5 feb
2014)
Freeze.C, (2007), Enabling and Barrier Factors in the Development of
Elementary and Consolidated School Nutrition Policies on Prince Edward
Island, Thesis, University of Prince Edward Island, Canada,
(httpsearch.proquest.comdocview304717115previewPDFFCC0FC78EEC
C485FPQ9accountid=17242)
Gustama, D, (2013), Fragmenting Values : Exploring Policy Implementation
Problems and Solutions, Thesis, Washington DC, (Published by ProQuest
LLC (2013) UMI Number: 1536596).
Gill.B. et al, (2006), “Food hygiene education in UK primary schools: a nation-
wide survey of teachers' views”, British Food Journal 108.9 (2006): 721-
731. http://search.proquest.com/docview/225141014?accountid=17242
Howard et al. (2011), Proximity of food retailers to schools and rates of
overweight ninth grade students: an ecological study in California, BMC
Public Health 2011, 11:68 httpsearch.proquest.comdocview
902197508A7D519FE08B64805PQ10accountid=17242
http//batamkota.bps.go.id/publikasi/110?title=Batam-Dalam-Angka-2013 diunduh
22 Maret 2014
Kementerian Kesehatan, (2010), Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, Balai
Penelitian dan Pengambangan Kesehatan, _____, Jakarta
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (BAPPENAS), (2011), Rencana Aksi Nasional
Pangan dan Gizi 2011-2015, Jakarta.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Badan POM RI, (2012), Surat
Edaran Bersama,___, Jakarta.
Kincaid.MM. (2011),Gender Integration Case Study: A Policy Implementation
Analysis of USAID Health Sector Programming, UMI Dissertations, The
114
Universitas Indonesia
University of North Carolina at Chapel Hill, 2011,
(http://search.proquest.com/docview/923618435?accountid=17242)
Maira Quintanilha.M, (2011), Barriers and facilitators to the implementation of
healthy eating strategies in schools in Alberta, Thesis, University of
Alberta, (httpsearch.proquest.comdocview1170759750B4AC
B71565C54BB8PQ38accountid=17242)
Masse, Naiman.D, and Naylor P.J, (2013), From policy to practice:
implementation of physical activity and food policies in schools,
International Journal of Behavioral Nutrition and Physical Activity, 10:71
httpsearch.proquest.comdocview1369004803A7D519FE08B64805PQ82ac
countid=17242), diunduh 5 feb 2014
Moleong,L.J, (2013), Metodologi Penelitian Kualitatif , ed. Revisi, Remaja
Rosdakarya, Bandung
Muliani.Y, (2012), Hubungan Antara Promosi Keamanan Pangan dengan Sikap
Memilih Pangan Jajanan Anak Sekolah yang Aman, Thesis UI, Jakarta
Mullally, et al, (2010), “A Province-wide School Nutrition Policy and Food
Consumtion in Elementary School Children in Prince Edward Island”,
Canadian Journal of Public Health ,101, 40-3, http://search.proquest.com
/docview/232007886?accountid=1724) diunduh 3 April 2014
Nelson, M; Breda,J, (2013), School food research: building the evidence base for
policy, Journal Article, Public Health Nutrition Volume: 16 Pages: 958-
67, Cambridge, United Kingdom, 2013.
Nugroho D, ( 2006), Kebijakan Publik Untuk Negara-Negara Berkembang,
Jakarta, Gramedia
Nyongani.M.M, (2012), Mitigating Negative Axternalities Affecting Access and
Equity of education in Low- Resource Countries: A Study Exploring
Social Marketting as A Potential Strategy for Planning School Food
Programs in Malawi, Dissertation, University of Malawi
Parsons,Wayne, (2008), ‘Public Policy: Pengantar Teori & Praktik Analisis
Kebijakan’, Ed. 1, Jakarta, Kencana
Pasolong.H, (2013), Teori Administrasi Publik, Bandung, Alfabeta.
115
Universitas Indonesia
Pemerintah Republik Indonesia, 2004,’Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan,
Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004, Jakarta.
Pemerintah Republik Indonesia, 2012, ‘Undang-Undang tentang Pangan’,
undang-undang nomor 18 Tahun 2012, Jakarta
Peter.S. et al, (2007), Lifestyle of School Children: Representative Survey in
Metropolitan Elementary Schools – Part One, Ann Nutr Metab
2007;51:448–453, livestyle of school children, httpsearch.proquest.
comdocview232111088AE571036CA2A4CE5PQ17accountid=17242,
diunduh 8 Feb 2014
Purwanto.E.A & Sulistyastuti.D.R., (2012), Implementasi Kebijakan Publik
Konsep dan Aplikasinya Di Indonesia, Gava Media, Yogyakarta.
Scholtens.S. et al, (2010), “Differences in school environment, school policy and
actions regarding overweight prevention between Dutch schools. A
nationwide survey”, BMC Public Health 2010, 10:42
http://www.biomedcentral.com/1471-2458/10/42
Seliske, et al. (2009), “Association between the food retail environment
surrounding schools and overweight in Canadian youth”, Public Health
Nutrition12.9 (Sep 2009): 1384-91. http://search.proquest.com/docview/
223086414/A7D519FE08B64805PQ/9?accountid=17242, diunduh5 feb
2014
Sidaner.E et.al, 2013, “The Brazilian school feeding programme: an example of
an integrated programme in support of food and nutrition security”,
Public Health Nutrition 16.6 (Jun 2013): 989-94.
http://search.proquest.com/docview/1353372754?accountid=17242
Steve Smith , (2010, Oct 28), UNL Study: Schools that Ban Junk Food at
Mealtime are 18% Lighter, Targeted News Service , Washington, D.C,
http://search.proquest.com/docview/761010148/48554871DCB44A07PQ/
9?accountid=17242, diunduh 7 feb 2014
Sugiyono, (2011), Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, Alfabeta,
Bandung.
Susilawati.N, (2012), Implementasi Kebijakan Pengeluaran Pada Kawasan
Agropolitan Kota Baru, Tesis UI, Jakarta.
116
Universitas Indonesia
Taylor.J.P et al, (2011), “Implementing Elementary School Nutrition Policy:
Principals' Perspectives”, Canadian Journal of Dietetic Practice and
Research 72.4 (Winter 2011): 176. http://search.proquest.com/docview/
912207983?accountid=17242
Tester et al, (2010), An Analysis of Public Health Policy and Legal Issues
Relevant to Mobile Food Vending American Journal of Public Health
100.11 2038-46.
http://search.proquest.com/docview/759010228?accountid=17242
Tester.J.M,Palis.L.C, Laraia.B.A, (2011), “Healthy food availability and
participation in WIC (Special Supplemental Nutrition Program for
Women, Infants, and Children) in food stores around lower- and higher-
income elementary schools”. Public Health Nutrition 14.6 (Jun 2011):
960-4.( http://search.proquest.com/docview/865877942?accountid=17242
Usda gov, Team Nutrition-Local Shcool Wellness Policy,
http://www.fns.usda.gov/tn/local-school-wellness-policy, diunduh 19 April
2014
Vereecken CA, , K Bobelijn1.K, dan L Maes. L. (2005), School food policy at
primary and secondary schools in Belgium-Flanders: does it influence
young people’s food habits?, European Journal of Clinical Nutrition
59,271–277,
httpsearch.proquest.comdocview219664034A7D519FE08B64805PQ1acco
untid=17242, diunduh 5 feb 2014
Wahab,S.A, (2012), ‘Analisis Kebijakan : Dari Formulasi ke Penyusunan model-
model Implementasi Kebijakan Publik’, Bumi Aksara, Jakarta.
Yongjin Sa, (2013), Policy Implementation Framework and Family-Friendly
Work Policy: Evidence from Flex-Working Programs in South Korea’s
Public Sectors, Asian Social Science; Vol. 9, No. 15; 2013,
(httpsearch.proquest.comdocview1470883473accountid=17242)
Yuliastuti.R, (2012), Analisis Karakteristik Siswa, Karakteristik Orang Tua dan
Perilaku Konsumsi Jajanan pada Siswa-Siswi SDN Rambutan 04 Pagi
Jakarta Timur Tahun 2011, Skripsi UI, Jakarta.
117
Universitas Indonesia
Variabel I n f o r m a n
01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17
A. Kemampuan mengendalikan masalah (Tractability Problem)
1. Masalah teknis
- tidak mengetahui kegiatan AN-PJAS- Kekurangan SDM - Kurang koordinasi - Tidak ada NSPK terkait lintas sektor - Keterbatasan dana - Kurang sarana dan prasarana (keterbatasan LCD, tidak ada pagar sekolah, tidak ada ruang UKS dan pustaka)
- Keberadaan penjual di luar sekolah
+
+
+ + +
+ +
+ + +
+ + +
+ +
+
+ + +
+ + +
+ + ++ +
2. Keragaman prilaku dari kelompok sasaran
- Penggunaan bahan berbahaya sudah menurun - Kebersihan dan tempat cuci tangan di kantin masih kurang, dekat tempat sampah.
- Penggunaan penjapit makanan, celemek, menutup makanan,
- Orang tua kurang paham - Belum diperhatikan karena belum ada kejadian - Kepala sekolah kurang peduli
+ + +
+
+
+
+
+
+ +
Lampiran 1 :. Matrik Rangkuman Hasil Wawancara
118
Universitas Indonesia
3. . Persentase kelompok sasaran - Bisa dilaksanakan, hanya 10 % dari total SD di Indonesia - Susah mengawalnya, kurang SDM
+ +
4. Ruang lingkup perubahan yang diinginkan
- Bisa mewujudkan kemandirian di sekolah - Susah untuk memandirikan sekolah
+ + + + + +
+ +
B. Variabel Statutory (hukum)
1. Tujuan kebijakan yang jelas dan konsisten
- Tujuan pelaksanaan jelas - Pelaporan ditingkat pusat jalan - Pelaporan di tingkat kota Batam tidak ada - Monev di kota Batam tidak dilakukan - Beberapa kelompok sasaran sudah melakukan perubahan prilaku
- Memasukkan ke bagian kurikulum - Belum ada tim keamanan pangan di sekolah - Sudah ada, tapi belum terstruktur - Ada konsistensi pejabat pelaksana - Harus ada pelatihan buat tenaga daerah
+ + +
+ + +
+ + +
+ + + +
+
+ + +
+ + + + +
+
+ +
+
2. Tersedia teori kausal yang jelas
- NSPK tidak ada
+ +
Lanjutan lampiran 1 …….
119
Universitas Indonesia
3. Ketepatan alokasi sumber dana
- Anggaran kurang / bermasalah - Anggaran cukup / tidak bermasalah - Anggaran dan kegiatan sudah ada di RAD-PG - RAD-PG belum di adopt kota Batam
+ +
+ +
+ + + + +
+
+ +
4. Keterpaduan hirarki pada lembaga pelaksana
- Diharapkan adanya JKPD/Gugus tugas PJAS sebagai empat berkoordinasi
- Di kota Batam belum ada JKPD - Instansi daerah belum paham peranannya - Kerjasama dalam pelaksanaannya baik
+ +
+ +
+
5. Aturan dan keputusan dari badan pelaksana
- Sudah ada PP 28/2004 sebagai acuan Pemda, Badan POM sebagai “trigger” saja
- Aturan spesifik tentang PJAS tidak ada - Selalu disampaikan disetiap rapat
+ +
+
6. . Akses formal pihak-pihak luar.
- Dari CSR - Tidak ada keterlibatan LSM di Batam
++ + +
+
C. Variabel Non Statutory (non hokum)
1. Kondisi Sosio-Ekonomi budaya dan politik.
- Ada pengaruh Sosial ekonomi terhadap + + + +
Lanjutan lampiran 1 …….
120
Universitas Indonesia
penerimaan informasi - Materinya informative, bisa untuk semua
kelas ekonomi dan budaya - Pemindahan SDM karena politik
+ +
2. Dukungan Publik.
- Banyak dukungan dari sekolah sekolah
+ + +
3. Dukungan dari Badan / Lembaga atasan yang berwenang
- DPR mendukung - Tidak ada dukungan DPRD Kota Batam - Setelah dapat penjelasan, DPRD sangat
mendukung - DPRD ingin dilibatkan
+ +
+ +
4. Komitmen dan kepemimpinan pejabat pelaksana.
- Secara pribadi punya komitmenmewujudkan PJAS yang aman dan bermutu
- Kegiatan ini belum jadi prioritas di Batam - Kepemimpinan pejabat pelaksana bagus
+ + +
+ +
+ +
+ +
+ + + +
+ +
D. Pencapaian tujuan kebijakan - Belum sesuai dengan pencapaian IKU - Sudah sesuai dengan pencapaian IKU - Ragu ragu
+ + + +
+
+ +
Lanjutan lampiran 1 …….
121
Universitas Indonesia
Lampiran 2 : Form Data Informan
Form Wawancara Mendalam
Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Berjalannya Kebijakan Pengawasan Pangan Jajanan Anak Sekolah di Kota
Batam
ID Informan:
Waktu Pelaksanaan
1. Tanggal Wawancara : …………………………………………………………………
2. Tempat Wawancara : …………………………………………………………………
Data Informan
1. Nama : …………………………………………………………….…………
2. Jenis kelamin : Laki-laki / perempuan
3. BIdang/ Unit : ………………………………………………………………………..
4. Jabatan / posisi : ………………………………………………………………………..
5. Lama menjabat : …………………………………………………………………………
6. Masa Kerja : ………………………………………………………………………..
7. No Telp / Hp. : ………………………………………………………………………..
8. Email : ………………………………………………………………………..
Informan
ttd
( …………………………………………….)
122
Universitas Indonesia
Lampiran 3 : Pedoman wawancara
PEDOMAN WAWANCARA (Pusat)
1. Apa permasalahan yang paling berat dalam pelaksanaan AN-PJAS? apakah
bisa diatasi ?
2. Salah satu strategi pada pengembangan keadaran masyarakat adalah
Pengembangan Sistem Jaringan Informasi dan Komunikasi. Sistim seperti
apakah yang telah dilaksanakan? Apakah terlakasana baik?
3. Perilaku apa saja yang diharapkan berubah? Bagaimana pelaksanaannya ?
(susah/mudah)
4. Dengan target 10%, apakah ini mudah dicapai? Bagaimana dengan ruang
lingkup komunitas sekolah ( guru, siswa, orang tua, penjual makanan dll)
bagimana permasalahannya?
5. Bagaimana kejelasan tujuan (jangka panjang dan jangka pendek/setiap
langkah/strategi), Bagaimana dengan juknis untuk aktor pelaksana lainnya?
6. Bagaimana pengorganisasian pelaksanaa AN PJAS, adakah peraturan
peraturan yang mengikat atau NSPK? Bagaimana penentuan keterlibatan
Instansi lain? Bagaimana dengan pendanaannya?
7. Bagaimana peranan pihak ketiga? Bagaimana akses mereka?
8. Adakah pengaruh perbedaan sosial ekonomi daerah terhadap
implementasinya?
9. Bagaimana penerimaan masyarakat?
10. Bagaimana pelaporan kegiatan? Apakah rutin dan kemana?
11. Apakah PJAS masih jadi priorotas setelah tahun 2014?
12. Bagaimana pecapaian IKU ? Apakah ini sudah menggambarkan keberhasilan
dalam capaian tujuan (kemandirian komunitas sekolah).
13. Apakah semua strategi dalam aksi Nasional PJAs ini bisa terlaksana semua?
Tambahan untuk staf / pelaksana
14. Bagaimana pelaporan? Apakah rutin dan kemana? Bagaimana yang dari
daerah?
15. Bagaimana managerial pimpinan ( bagaimana hubungannya keluar dan
hubungannya kedalam)
123
Universitas Indonesia
PEDOMAN WAWANCARA (intansi daerah)
1. Bagaimana pendapat bapak/ibu tentang keamanan dan gizi makanan jajajan
anak sekolah saat ini?
2. Bagaimaa peranan institusi yang bapak/ibu pimpin dalam meningkatkan mutu
dan kemanan PJAS ?
3. Bagaimana pendapat bapak/ibu tentang kebijakan program Aksi Nasional
Gerakan menuju Pangan jajanan anak sekolah yang aman, bermutu dan
bergizi?, bagaimana pelaksanaannya? Dan keterlibatan instansi bapak/ibu?
4. Bagaimana menurut bapak/ibu pelaksanaan Aksi Nasional PJAS? Apa yang
menjadi penghambat ataupun yang mendukung pelaksanaannya
5. Bagaimana menurut bapak/ibu, apakah intervensi (A, B dan C) yang
dilakukan dapat mencapai tujuan yang diharapkan?
6. Bagaimana menurut bapak/ibu, apakah ini bisa diterima / dilaksanakan
disekolah, ? perilaku seperti apa yang harusnya dirubah?
7. Bagaimana kerjasama dengan instansi lain / pengorganisasiannya?
8. Apakah dalam pelaksanaan Aksi Nasional PJAS ada perintah atau petunjuk
dari atasan, misalnya dinas propinsi, ataupun pusat ataupun dari pemerintah
daerah? Bagaimana perintahnya?
9. Bagaimana penganggarannya? Pengalokasiannya? Apakah ada bantuan dari
instansi atau pihak lain terkait Aksi Nasional PJAS ini?
10. Bagaimana menurut pendapat bapak/ibu, apakah program aksi nasional PJAS
ini bisa dilaksanakan untuk semua sekolah dasar, khususnya di kota Batam
ini.? (terkait kondisi ekonomi, sosial dan politik).
11. Bagaimana menurut bapak tentang peranan dari pihak luar seperti LSM dll?
12. Program ini akan berakhir tahun ini, bagaimana menurut pendapat bapak/ibu
setelah ini, terkait dengan pelaksanaan pengawasan makanan anak sekolah.
13. Bagaiamana pendapat bapak/ibu, kalau untuk pngawasan PJAS ini dibuat
dalam bentuk Perda?
124
Universitas Indonesia
PEDOMAN WAWANCARA (sekolah)
1. Bagaimana pendapat bapak/ibu tentang kemanan pangan jajajan anak
sekolah saat ini?
2. Apa usaha yang sudah dan akan dilakukan pihak sekolah terhadap
permasalahan ini?
3. Apakah bapak pernah mendenganr program Aksi Nasional Gerakan
menuju Pangan jajanan anak sekolah yang aman, bermutu dan bergizi?,
bagaimana keterlibatan instansi bapak/ibu?
4. Apa yang bapak ketahui dari program aksi nasional PJAS tersebut?
5. Pada tahun-tahun lalu, sekolah bapak/ibu telah diikutkan kegiatan Aksi
NAsional PJAS dengan intervensi A ( dapat penyuluhan, bahan bahan
promosi, pengujian PJAS dan bimtek kantin sekolah), Apa manfaat yang
didapatkan? Apa ada erjadi peningkatan setelah diintrvensi?
6. Siapa yang ditugaslkan untuk melakukan pembinaan dan pengawsan
terhadap kantin sekolah? (sebagai ketua dari tim kemanan pangan sekolah)
7. Bagaimana kesiapan SDM ybs dalam menerima tugas tersebut?
8. Menurut bapak, bagaimana SDM yang bapak miliki untuk membina
kemanan pangan di sekolah? Apakah sudah memiliki keterampilan, atau
masih perlu dilatih? Dalam bidang apa?
9. Apakah dalam melaksanakan tugas, staf yang ditugaskan diberi
kewenangan penuh dan dilengkai SK (surat keputusan)?
10. Bagaimana tugas dari tim kemanan pangan sekolah tersebut?
11. Bagaimana penganggaran untuk kegiatan tersebut?
12. Apakah bapak/ibu pernah mendapat pembinaan ataupun pedoman dari
pelaksanaan kegiatan Aksi Nasional PJAS itu ? Bagaimana koordinasi
dengan lintas sector
13. Apa kendala dalam melaksanakan program Aksi Nasional PJAS ini,
mengapa?
14. Bagaiamana pendapat bapak/ibu, kalau untuk pngawasan PJAS ini dibuat
dalam bentuk Perda?
15. Program Aksi nasonal ini akan berakhir tahun 2014 ini, bagaimana
pendapat bapak/ ibu?
125
Universitas Indonesia
PEDOMAN WAWANCARA (Bappeda)
1. Bagaimana kesiapan bappeda dalam upaya meningkatkan kemanan dan mutu
gizi makanan jajanan anak sekolah ?
2. Bagaimana pelaksanaan RAD-PG? apakah Bappeda kota Batam ikut terlibat?,
sejauh mana keterlibatannya?
3. Bagaimana penganggaran yang dilakukan bappeda dalam melaksanakan RAD
PG tersebut.?, sejak kapan penganggaran tersebut dimulai.?
4. Apakah ada kendala dalam pelaksanaan RAD-PG ?
5. Bagaimana pengalokasian dana untuk RAD-PG di kota batam?
6. Bagaimana pendapat bapak dengan kegiatan untuk meningkatkan
kemandirian sekolah dalam mengawasi PJAS di sekolahnya.
7. Apakah dalam penyusunan RAD-PG, khususnya di kelompok kerja III , ada
permintaan dari pusat atau propinsi? Bagaimana intervensinya?