Universitas Brawijayarepository.ub.ac.id/5048/1/Rengga Bayu Widiprana.pdf · tahun 2002 -2005, dan...
Transcript of Universitas Brawijayarepository.ub.ac.id/5048/1/Rengga Bayu Widiprana.pdf · tahun 2002 -2005, dan...
v
RIWAYAT HIDUP
Rengga Bayu Widiprana, Jambi, 17 September 1984 anak dari Bapak
Tabroni Tajuddin (Alm) dan Ibu Susilawati. Menikah dengan Betha Berliana
Oktavianti, SE pada tahun 2013 dan telah dikarunia satu puteri, yaitu Axelea
Brillante Widiprana (3 tahun). SD sampai SMA di Kota Palembang, lulus SMA
Tahun 2002. Studi di Spesialisasi Kebendaharaan Negara Program Diploma III
Kebendaharaan Negara di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) Jakarta
tahun 2002-2005, dan S1 Akuntasi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Brawijaya Malang tahun 2009-2012. Pengalaman kerja sebagai Pegawai Negeri
Sipil pada Kementerian Keuangan tahun 2005-sekarang.
Malang, Agustus 2017
Penulis
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Peneliti menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnyakepada:
Prof. Dr. Ir. Mohammad Bisri, M.S. selaku Rektor Universitas Brawijaya.
Drs. Nurkholis, M.Bus (Acc)., Ph.D., Ak., CA. selaku Dekan Fakultas Ekonomidan Bisnis Universitas Brawijaya.
Dr. Roekhudin, M.Si., Ak., CSRS., CA. selaku Ketua Program Magister AkuntansiFakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya.
Prof. Dr. Unti Ludigdo, M.Si., Ak., CA. selaku Ketua Komisi Pembimbing yangditengah-tengah kesibukannya sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan IlmuPolitik Universitas Brawijaya, masih menyempatkan waktu untuk memberikandorongan, kritikan dan masukan dalam penyelesaian tesis ini.
Dr. Rosidi, MM., Ak., CA. selaku Komisi Pembimbing yang telah membimbingdan memberikan kemudahan dalam penyelesaian tesis ini.
Imam Subekti, M.Si., Ph.D., Ak., CA. selaku penguji yang memberikan masukanyang sangat bermanfaat dalam penyusunan tesis ini.
Dr. Bambang Hariadi, M.Ec., Ak., CA. selaku penguji yang memberikan kritikandan saran yang sangat berharga dalam upaya penyempurnaan tesis ini.
Orang tua penulis, Ibu Susilawati, yang selalu melimpahkan kasih sayang,perhatian dan doa kepada penulis sehingga studi ini bisa terselesaikan denganbaik.
Istri tercinta penulis, Betha Berliana Oktavianti, beserta seluruh keluarga besaryang dengan penuh cinta selalu mendukung, mendorong dan memotivasi penulisuntuk senantiasa mencari ilmu dan harta yang berharga di dunia, yaitupendidikan.
Saudara penulis, kedua adikku, Aditya W.S. Yudisthira dan Bima K.W. AdiWicaksana yang menjadi semangat penulis untuk menjadi kakak yang terbaikdan penyelesaian tesis ini.
Kepala KPPN Malang, Bapak Susanto, dan Pjs. Kepala Seksi Verifikasi danAkuntansi, Bapak Marjanto yang telah memberikan kesempatan kepada penulisuntuk melaksanakan penelitian di KPPN Malang.
vii
Para Informan di KPPN Malang yang telah berjasa dalam penyelesaian tesis ini:Bapak Slamet, Mas Ndaru, Mbak Afifah, dan Mbak Yuni.
Seluruh staf pengajar Program Studi Magister Akuntansi Pascasarjana FakultasEkonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya yang telah memberikan ilmunya yangbermanfaat kepada penulis.
Kawan-kawan STAR BPKP Batch V atas kekompakannya selama studi danbantuannya dalam memperlancar penulisan tesis ini.
Semua staf administrasi di Pascasarjana Fakultas Ekonomi dan BisnisUniversitas Brawijaya.
Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang selama initelah banyak memberikan dukungan kepada penulis.
Malang, Agustus 2017
Penulis
viii
ABSTRAK
Rengga Bayu Widiprana, Pascasarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis UniversitasBrawijaya, 2017. Implementasi Kebijakan Akuntansi Pelaporan PemerintahBerbasis Akrual (Studi Kasus Di Kantor Pelayanan Perbendaharaan NegaraMalang). Ketua Komisi Pembimbing: Unti Ludigdo. Anggota Komisi Pembimbing:Rosidi.
Penelitian ini bertujuan untuk memahami langkah-langkah implementasikebijakan pelaporan berbasis akrual, pada LKPP-KPPN Malang, dengan "TeoriImplementasi Kebijakan" dari Edward III (1980), sebagai alat dalammenganalisis faktor pendukung dan penghambat implementasi. Penelitian inimenggunakan metode penelitian kualitatif dengan model penelitian studi kasus.Hasil penelitian menunjukkan bahwa KPPN Malang menerapkan PP No. 71Tahun 2010 dan PMK No.177/PMK.05/2015 sebagai kebijakan pokok pelaporanpemerintah berbasis akrual. Dalam implementasi kebijakan, KPPN Malangmelakukan langkah-langkah: persiapan, pelaksanaan, pengukuran danpelaporan. Faktor pendukung dalam implementasi berasal dari komunikasi dansumber daya finansial. Sedangkan sumber daya manusia, sumber dayaperalatan, disposisi dan struktur birokrasi perlu dievaluasi, karena berpotensimenghambat implementasi di KPPN Malang. Penelitian menunjukkan penerapanbasis akrual telah berjalan dengan baik, dari segi kelancaran proses rekonsiliasidan pemahaman basis akrual.
Kata Kunci : Basis Akrual, Implementasi Kebijakan, LKPP, KPPN, Teori EdwardIII.
ix
ABSTRACT
Rengga Bayu Widiprana, Postraduate Economics and Business Faculty ofBrawijaya University, 2017. Implementation of Accounting Policies – AccrualBased Government Reporting (Case Study in Kantor PelayananPerbendaharaan Negara Malang). Supervisor: Unti Ludigdo. Co-Supervisor:Rosidi.
This study aims to understand the steps of implementation of accrual basedreporting policy, in LKPP-KPPN Malang, with "Theory Implementation Policy"from Edward III (1980), as a tool in analyzing the supporting and inhibiting factorsof implementation. This research uses qualitative research method with casestudy research model. The result of the research shows that KPPN Malangapplied PP No. 71 Tahun 2010 and PMK No.177/PMK.05/2015 as the mainpolicy of accrual-based government reporting. In implementing the policy, KPPNMalang undertakes the following steps: preparation, implementation,measurement and reporting. The supporting factors in implementation come fromcommunication and financial resources. While human resources, equipmentresources, disposition and bureaucratic structure need to be evaluated, becausepotentially hampering the implementation in KPPN Malang. Research shows thatthe implementation of accrual basis has gone well, in terms of the smoothness ofthe reconciliation process and the understanding of the accrual basis.
Key Words : Accrual Bases, Policy Implementation, LKPP, KPPN, Edward IIITheory.
x
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT, atas limpahan
rahmat dan hidayah-Mu penulis dapat menyajikan tulisan tesis yang berjudul:
Implementasi Kebijakan Akuntansi Pelaporan Pemerintah Berbasis Akrual
(Studi Kasus di Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Malang). Tulisan
ini bertujuan untuk memahami langkah-langkah implementasi kebijakan
pelaporan berbasis akrual, pada LKPP-KPPN Malang, dengan "Teori
Implementasi Kebijakan" dari Edward III (1980), sebagai alat dalam
menganalisis faktor pendukung dan penghambat implementasi. Sangat disadari
bahwa dengan kekurangan dan keterbatasan yang dimiliki oleh penulis,
walaupun telah dikerahkan segala kemampuan untuk meneliti, tetapi masih
dirasakan banyak kekurangan. Ibarat pepatah “tak ada gading yang tak retak”,
penulis mengharapkan saran yang membangun agar tulisan ini bermanfaat bagi
yang membutuhkan.
Malang, Agustus 2017
Penulis
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
HALAMAN IDENTITAS KOMISI PEMBIMBING DAN PENGUJI iii
PERNYATAAN ORISINALITAS TESIS iv
RIWAYAT HIDUP v
UCAPAN TERIMA KASIH vi
ABSTRAK viii
ABSTRACT ix
KATA PENGANTAR x
DAFTAR ISI xi
DAFTAR TABEL xv
DAFTAR GAMBAR xvii
DAFTAR LAMPIRAN xviii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Motivasi Penelitian 15
1.3 Rumusan Masalah 16
1.4 Tujuan Penelitian 16
1.5 Kontribusi Penelitian 16
BAB II TINJAUAN LITERATUR 18
2.1 Beberapa Teori Organisasi Terkait Dengan Kebijakan Publik 18
2.2 Teori Implementasi Kebijakan Publik Dari George Edward III
(1980) 25
xii
2.2.1 Komunikasi 26
2.2.2 Sumber Daya 28
2.2.3 Disposisi 31
2.2.4 Struktur Birokrasi 32
BAB III METODE PENELITIAN 35
3.1 Paradigma Penelitian 35
3.2 Pendekatan Penelitian 35
3.3 Lokasi Penelitian 37
3.4 Jenis dan Sumber Data 38
3.4.1 Data Primer 39
3.4.2 Data Sekunder 39
3.5 Teknik Pengumpulan Data 39
3.6 Pencermatan Keabsahan Data 42
3.7 Teknik Analisa Data 45
BAB IV IMPLEMENTASI KEBIJAKAN AKUNTANSI PELAPORAN
PEMERINTAH BERBASIS AKRUAL PADA KPPN MALANG 49
4.1 Gambaran Umum Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara
Malang 49
4.2 Kebijakan Pelaporan Pemerintah Berbasis Akrual Pada KPPN
Malang 53
4.3 Implementasi Kebijakan Pelaporan Pemerintah Berbasis Akrual
Pada KPPN Malang 57
4.3.1 Persiapan Pelaksanaan Kebijakan Pelaporan Berbasis
Akrual 58
4.3.2 Pelaksanaan Kebijakan Pelaporan Berbasis Akrual 61
xiii
4.3.3 Pengukuran Pelaksanaan Kebijakan Pelaporan Berbasis
Akrual 64
4.3.4 Pelaporan Pelaksanaan Kebijakan Pelaporan Berbasis
Akrual 67
4.4 Penilaian dan Peringkat LKPP KPPN Malang 80
BAB V ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN AKUNTANSI
PELAPORAN PEMERINTAH BERBASIS AKRUAL PADA
KPPN MALANG 84
5.1 Persiapan Pelaksanaan Kebijakan Pelaporan Berbasis Akrual 84
5.1.1 Komunikasi 84
5.1.2 Sumber Daya 89
5.1.3 Disposisi 94
5.1.4 Struktur Birokrasi 95
5.2 Pelaksanaan Kebijakan Pelaporan Berbasis Akrual 97
5.2.1 Komunikasi 97
5.2.2 Sumber Daya 98
5.2.3 Disposisi 102
5.2.4 Struktur Birokrasi 104
5.3 Pengukuran Pelaksanaan Kebijakan Pelaporan Berbasis Akrual 106
5.3.1 Komunikasi 106
5.3.2 Sumber Daya 108
5.3.3 Disposisi 114
5.3.4 Struktur Birokrasi 116
5.4 Pelaporan Pelaksanaan Kebijakan Pelaporan Berbasis Akrual 118
5.4.1 Komunikasi 118
xiv
5.4.2 Sumber Daya 120
5.4.3 Disposisi 127
5.4.4 Struktur Birokrasi 131
5.5 Ringkasan 132
BAB VI PELAPORAN PEMERINTAH BERBASIS AKRUAL:
TANTANGAN DAN PERAN KPPN MALANG 135
BAB VII SIMPULAN, SARAN, KETERBATASAN DAN IMPLIKASI
HASIL PENELITIAN 149
7.1 Simpulan 149
7.2 Saran Bagi KPPN Malang 151
7.3 Keterbatasan Penelitian 151
7.4 Implikasi Hasil Penelitian 151
7.5 Saran Bagi Penelitian Selanjutnya 152
DAFTAR PUSTAKA 153
LAMPIRAN 160
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Peringkat LKPP KPPN Malang Tingkat Nasional dan Kanwil
DJPB Propinsi Jawa Timur Tahun 2012-2015 10
Tabel 3.1 Daftar Informan Kunci Penelitian 40
Tabel 3.2 Ikhtisar Kriteria dan Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data 42
Tabel 4.1 Komposisi Sumber Daya Manusia KPPN Malang 52
Tabel 4.2 Perbedaan Laporan SAP Basis Akrual dan SAP Basis Kas
Menuju Akrual 54
Tabel 4.3 Laporan Realisasi Anggaran Tingkat KPPN Malang Untuk
Tahun Yang Berakhir 31 Desember 2015 (Audited) 69
Tabel 4.4 Laporan Operasional Tingkat KPPN Malang Untuk Tahun
Yang Berakhir 31 Desember 2015 (Audited) 71
Tabel 4.5 Neraca Tingkat KPPN Malang (Kas) Per Tanggal 31
Desember 2015 (Audited) 74
Tabel 4.6 Neraca Tingkat KPPN Malang (Akrual) Per Tanggal 31
Desember 2015 (Audited) 75
Tabel 4.7 Perbandingan Unsur Penilaian LKPP KPPN Malang Tahun
2013 dan 2015 81
Tabel 5.1 DIPA KPPN Malang Tahun 2017 91
Tabel 5.2 Rincian Dana Kegiatan LKPP Tingkat KPPN Malang Tahun
2017 91
Tabel 5.3 Komposisi Pegawai Berdasarkan Jenis Kelamin 109
Tabel 5.4 Komposisi Pegawai Berdasarkan Usia 109
Tabel 5.5 Komposisi Pegawai Berdasarkan Kepangkatan 109
Tabel 5.6 Komposisi Pegawai Berdasarkan Tingkat Pendidikan 110
xvi
Tabel 5.7 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Implementasi Pelaporan
Pemerintah Berbasis Akrual Pada LKPP Tingkat KPPN
Malang 133
xvii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Tiga Tahapan Perubahan Organisasi oleh Kurt Lewin
(1951) 19
Gambar 2.2 Faktor Penentu Keberhasilan Implementasi Kebijakan
menurut George Edward III 26
Gambar 3.1 Teknik Analisa Data 47
Gambar 4.1 Struktur Organisasi KPPN Malang 51
Gambar 4.2 Prosedur Penyusunan LKPP Tingkat KPPN 58
Gambar 4.3 Proses Aplikasi e-Rekon 63
Gambar 4.4 Tampilan Jurnal Penyesuaian Pada Aplikasi SAIBA 65
Gambar 5.1 Proses Sosialisasi dan Bimtek di KPPN Malang 93
Gambar 5.2 Pelatihan di Ruangan Mini TLC 94
Gambar 5.3 Suasana Front Office Rekonsiliasi KPPN Malang 101
Gambar 5.4 SOP Penyusunan LKPP 105
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Kertas Kerja – Penjodohan Pola 160
Lampiran 2 Sistem Informasi Kepegawaian (PBN Open) 168
Lampiran 3 Peringkat LKPP KPPN Malang Tahun 2015 170
1
BAB IPENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Reformasi pengelolaan keuangan Negara ditandai dengan lahirnya paket
undang-undang dalam pengelolaan keuangan Negara (Undang-undang No 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; Undang-undang No. 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara; dan Undang-undang No. 15 Tahun 2004
tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara).
Reformasi ini disertai juga memanfaatkan reformasi sistem akuntansi sebagai
salah satu sarananya (Carlin, 2005; Connolly & Hyndman, 2006; Christensen &
Parker, 2010).
Salah satu dari prinsip yang menjadi prioritas dalam reformasi akuntansi
adalah peningkatan akuntabilitas pengelolaan keuangan Negara. Pemerintahan
yang akuntabel akan menjamin segala informasi atau peristiwa penting kegiatan
pemerintah akan tercatat dan terekam di dalam laporan keuangan dengan baik.
Laporan keuangan yang baik akan memberikan informasi yang lebih berguna
bagi pemerintah (Daniels & Daniels, 1991; Nogueira, et al, 2013).
Dalam rangka meningkatkan akuntabilitas pengelolaan keuangan Negara
dan kegunaan laporan keuangan, paket undang-undang pengelolaan keuangan
Negara mengamanatkan implementasi akuntansi basis akrual pada laporan
keuangan di Indonesia. Akuntansi basis akrual akan menghasilkan laporan
keuangan yang lebih berguna, karena mencerminkan keadaan sebenarnya dari
aktivitas pemerintah. Hal ini akan meningkatkan kegunaan laporan keuangan
baik sebagai alat pertanggungjawaban maupun pengambil keputusan (Kim, et
al., 2005; Mack & Ryan, 2007).
2
Dalam konteks internasional, penerapan basis akrual pada pelaporan
keuangan sektor publik telah banyak dilaksanakan di berbagai negara seperti
Australia (Churchill, 1992), Selandia Baru (Cortes, 2006), Inggris (Cortes, 2006),
Nepal (Adhikari dan Mellemvik, 2011), dan beberapa negara lainnya. Negara
Indonesia telah membulatkan tekad untuk menerapkan akuntansi basis akrual di
tahun 2015. Direktur Jenderal Perbendaharaan, Bapak Marwanto Harjowiyono
bahkan menyatakan bahwa Indonesia menjadi Negara pertama di Asean yang
menerapkan akuntansi basis akrual (www.kemenkeu.go.id),
“Negara maju, New Zealand, Australia, di UK juga. Di ASEAN kita lebihdahulu. Mudah-mudahan ini bisa menimbulkan trust, khususnya investor.Bahwa ke depan kita memiiliki sebuah laporan yang menggambarkan hakdan kewajiban kita,” (Direktur Jenderal Perbendaharaan, MarwantoHarjowiyono dalam konferensi pers di Gedung Dhanapala – KementerianKeuangan RI, Jakarta 12 September 2014).
Di Negara Indonesia, Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN)
berperan dalam penyusunan Laporan Keuangan tingkat Pemerintah Pusat.
KPPN Malang, sebagai salah satu dari 181 KPPN yang ada di seluruh Indonesia,
merupakan unit vertikal dari Kementerian Keuangan – Direktorat Jenderal
Perbendaharaan yang diwajibkan menyusun Laporan Keuangan Pemerintah
Pusat (Pasal 55 ayat 1 Undang-undang No. 1 Tahun 2004). Laporan Keuangan
Pemerintah Pusat (LKPP), sebagai pertanggungjawaban keuangan pemerintah
di level Pemerintah Pusat disusun secara berjenjang dan dimulai dari level
KPPN. Mulai tahun 2015, LKPP disusun dengan menerapkan PP No. 71 Tahun
2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) berbasis akrual.
Sebagai entitas awal dalam penyusunan LKPP, dampak dari pelaporan
keuangan berbasis akrual akan langsung dirasakan oleh KPPN. Disamping
LKPP akan disusun berdasarkan basis akrual, proses penyusunan LKPP KPPN
3
berasal dari konsolidasi semua laporan keuangan satuan kerja mitranya. Untuk
ini, berbagai usaha harus dilakukan oleh KPPN untuk menerapkan akuntansi
basis akrual pada laporan keuangan.
Dalam implementasi pelaporan keuangan basis akrual, peneliti sebagai
salah satu dari pegawai KPPN telah mengalami berbagai usaha KPPN dalam
menerapkan basis akrual di laporan keuangan. KPPN di seluruh penjuru
Indonesia melakukan persiapan sebelum tahun 2015, yaitu semenjak
implementasi PP No. 24 Tahun 2005 tentang SAP berbasis kas menuju akrual.
Usaha ini secara garis besar menerapkan apa yang ada di dalam buku Transition
to Accrual Accounting dari Abdul Khan dan Stephen Mayes (2007): usaha di
bidang Sumber Daya Manusia (SDM), kebijakan dan teknologi.
Di bidang SDM, usaha yang dilakukan KPPN diantaranya
menyelenggarakan diklat Program Percepatan Akuntabilitas Kinerja Pemerintah
(PPAKP) bagi satuan kerja (satker). SDM di KPPN juga disiapkan dengan
penguatan peran customer service officer dan keahlian jabatan fungsional pada
penyuluh perbendaharaan, analis akuntansi dan laporan keuangan. Di bidang
kebijakan dilakukan dengan sosialisasi kebijakan terkait pelaporan keuangan
berbasis akrual, melakukan kegiatan focus group discussion, sampai
memberikan award kepada satker terbaik dalam menerapkan pelaporan
keuangan berbasis akrual. Di bidang teknologi, dilakukan dengan peningkatan
keahlian penerapan aplikasi SPAN (Sistem Perbendaharaan dan Anggaran
Negara) dan SAKTI (Sistem Akuntansi Tingkat Instansi) pada satker.
Namun dengan berbagai usaha maupun strategi untuk implementasi
pelaporan keuangan berbasis akrual, kendala muncul dengan belum bisa
diterapkan secara sempurna basis akrual pada laporan keuangan. Satker mitra
4
KPPN telah memenuhi kewajiban untuk menyerahkan laporan sesuai dengan
pelaporan keuangan berbasis akrual, namun belum seluruh laporan keuangan
dari satker (sebagai unsur utama penyusunan LKPP) memiliki kualitas pelaporan
yang baik. Perubahan basis akuntansi dari basis kas menuju akrual menjadi
basis akrual menurut peneliti belum terjadi. Laporan keuangan satker dan LKPP
KPPN masih berorientasi basis kas menuju akrual.
Kendala yang dilihat oleh peneliti pada awal pelaporan keuangan
berbasis akrual berasal dari berbagai faktor. Dimulai dari faktor sumber daya
manusia (SDM), seperti kualitas SDM KPPN yang kurang berkompeten
dikarenakan masih kurangnya sosialisasi, bimtek dan pelatihan akuntansi walau
persiapan telah dilakukan sejak tahun 2010. Ditambah lagi dengan latar belakang
pendidikan yang tidak sesuai, seperti ada penyusun LKPP yang bukan lulusan
Akuntansi atau Ekonomi. Pada prakteknya, pengisian pegawai penyusun LKPP
ditentukan berdasarkan keputusan Kepala KPPN. Rotasi dan mutasi pegawai
juga sering terjadi dengan melihat kebutuhan organisasi.
Masih dari faktor SDM, kendala yang ada juga terdapat pada merubah
mindset (pola pikir) para pegawai KPPN yang menunjukkan sikap resistensi
terhadap perubahan. Peneliti setuju dengan pendapat dari Hariyanto (2012) yang
menyatakan betapa sulitnya mengubah paradigma penyusun laporan keuangan
yang sudah sangat familiar dengan akuntansi basis kas.
Sikap resistensi terhadap perubahan, menjadi kendala krusial dalam
menerapkan basis akrual. Beberapa penelitian menunjukkan sikap resistensi
muncul karena perubahan basis akuntansi dikenalkan ke publik dan
operasionalisasinya tidak sesuai dengan keinginan publik (Arnaboldi & Lapsley,
2004; Siti-Nabiha & Scapens, 2005). Pada penyusunan LKPP, sikap resisten
5
ditunjukan dengan pernyataan negatif dari pejabat dan penyusun LKPP. Sikap
resistensi tersebut bahkan muncul dalam pernyataan yang ekstrem. Contohnya
pernyataan seperti: “buat apa sih akrual?”, “WDP atau WTP sama saja”.
Resistensi terhadap perubahan berasal dari adanya pertentangan akan
perlu atau tidaknya penerapan basis akrual pada pemerintahan. Penelitian
terdahulu mengenai hal ini telah diteliti oleh Daniels dan Daniels (1991), Deloitte
(2004), Van Der Hoek (2005) dan Christiaens dan Rommel (2008). Hasil
penelitian terbagi menjadi dua, yaitu mendukung dan menentang penerapan
akuntansi basis akrual pada pemerintahan.
Penelitian yang mendukung penerapan akuntansi basis akrual pada
pemerintahan adalah Daniels dan Daniels (1991), Deloitte (2004), dan Van Der
Hoek (2005). Daniels dan Daniels (1991) menemukan bahwa kegunaan laporan
keuangan akan meningkat jika informasi akrual dilampirkan pada penyusunan
laporan konsolidasian. Deloitte (2004) menyebutkan bahwa akuntansi
pemerintahan berbasis akrual secara signifikan memberikan kontribusi dalam
meningkatkan kualitas pengambilan keputusan untuk efisiensi dan efektivitas
pengeluaran publik melalui informasi keuangan yang akurat dan transparan,
serta meningkatkan alokasi sumber daya dengan menginformasikan besarnya
biaya yang ditimbulkan dari suatu kebijakan dan transparansi dari keberhasilan
suatu program. Penelitian yang dilakukan oleh Van Der Hoek (2005) menemukan
penerapan akuntansi pemerintahan berbasis akrual di berbagai negara maju
telah berhasil dan membawa manfaat, diantaranya mendukung manajemen
kinerja, memfasilitasi manajemen keuangan yang lebih baik, memperbaiki
pengertian akan biaya program, memperluas dan meningkatkan informasi alokasi
6
sumber daya, meningkatkan pelaporan keuangan, serta memfasilitasi dan
meningkatkan manajemen aset (termasuk kas).
Sedangkan hasil penelitian yang menentang penerapan akuntansi basis
akrual di pemerintahan diantaranya adalah Christiaens dan Rommel (2008).
Penelitian ini berpendapat bahwa basis akrual hanya tepat digunakan dalam
instansi pemerintahan yang memiliki sifat usaha komersil. Basis akrual tidak akan
sukses diterapkan pada instansi pemerintahan yang murni menjalankan fungsi
pelayanan publik. Penyusunan anggaran berbasis akrual juga merupakan
masalah tersendiri, selain dimensi politik yang kental dalam aktifitas instansi
pemerintahan.
Dari sisi SDM yang terakhir peneliti lihat terdapat pada dukungan dan
komitmen penuh dari pimpinan akan implementasi pelaporan keuangan berbasis
akrual. Komtmen dan dukungan dari pemimpin menjadi titik krusial dalam
perubahan basis akuntansi (Athukorala & Reid, 2003). Kementerian
Negara/lembaga masih melihat realisasi anggaran sebagai kinerja dibanding
pertanggungjawabannya. Di level KPPN, pimpinan KPPN masih menganggap
LKPP sebagai produk yang kurang vital, karena wujud nyata pelayanan KPPN
lebih kepada pelayanan pencairan dana. Hal ini mengakibatkan penyusunan
LKPP seakan-akan menjadi produk sampingan dalam rangkaian tugas pokok
dan fungsi KPPN.
Kendala lain pada implementasi laporan berbasis akrual berasal dari
faktor teknologi, dalam hal ini aplikasi penunjang pelaporan berbasis akrual.
Kesiapan aplikasi pendukung dalam hal ini SPAN (Sistem Perbendaharaan dan
Anggaran Negara) dan SAKTI (Sistem Akuntansi Tingkat Instansi) “yang belum
teruji” untuk Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual karena masih
7
dikembangkan. Belum lagi proses pengambilan data yang lama karena SPAN
menganut sistem single database dan diakses oleh 181 KPPN di seluruh
Indonesia pada waktu bersamaan (pada masa-masa penyusunan LKPP). Sistem
SPAN telah diluncurkan pada 19 Agustus 2013 sedangkan SAKTI sampai
dengan tahun 2015 belum diluncurkan. Ketidakpastian teknologi dapat membuat
ketidakpastian suatu organisasi dalam proses perubahan (March & Olsen,
1976:252).
Pemahaman akan basis akrual juga menjadi kendala dalam implementasi
pelaporan keuangan berbasis akrual. Kesulitan pemahaman basis akrual basis
akrual dapat berakibat pada penurunan kualitas laporan keuangan (Nesbakk,
2010). Hal ini terjadi apabila penyusun laporan keuangan kurang mengantisipasi
dampak penyusunan laporan keuangan berbasis akrual yang jauh lebih rumit.
Kerumitan basis akrual dimulai dari transaksi yang sangat beragam.
Pengidentifikasian transaksi berdasarkan waktu transaksi menjadi perbedaan
mendasar antara basis akrual dibandingkan basis sebelumnya (Tickell, 2010). Di
mulai dari penataan aset sampai melakukan penjurnalan penyesuaian.
Selanjutnya, kendala lagi ada pada melakukan penyesuaian yang cukup
mengalami kesulitan dalam menentukan pos-posnya (akun-akun) misalnya,
terkait pendapatan dan penyusutan.
Faktor kebijakan teknis dalam penyusunan LKPP juga menjadi kendala
dalam implementasi laporan berbasis akrual. Kebijakan yang ada terkadang
belum bisa diterapkan di lapangan karena kerumitan akuntansi basis akrual dan
perubahan yang lebih cepat. Hal ini berdampak pada bertambah banyaknya
penjelasan pada Catatan Atas Laporan Keuangan. Peneliti disini mengutip
fenomena menurut Bastian (2006) yang menyatakan kecenderungan proses
8
awal penyusunan standar akuntansi pemerintah tentang ragam dan isi laporan
keuangan lebih merupakan proses kajian pustaka, sehingga kebijakan yang ada
sulit diterapkan.
Semua kendala dalam implementasi basis akrual berakibat pada
terlambatnya penyelesaian LKPP pada awal 2015. LKPP bulanan bahkan baru
dibuat di bulan April, dalam arti LKPP Bulan Januari sampai dengan Maret
dibiarkan terbengkalai selama 4 bulan. Satuan kerja juga mengalami masa “free”
pelaporan selama 4 bulan, tanpa ada teguran dari KPPN karena kebingungan
yang luar biasa di pihak KPPN. Rapor merah pelaporan keuangan seakan-akan
memaksa semua pihak kembali ke basis cash toward accrual. Bayangan muncul
akan kegagalan penerapan basis akrual, seperti yang terjadi di Nepal yang
kekurangan sumber daya yang berkualitas (Adhikari dan Mellemvik, 2011)
Semua kendala dalam implementasi pelaporan basis akrual seakan
menjadi tantangan bagi KPPN yang juga dituntut menjadi learning organization
bagi satuan kerja Kementerian Negara/Lembaga. Proses bisnis Ditjen
Perbendaharaan periode 2015-2019 difokuskan untuk mewujudkan Ditjen
Perbendaharaan sebagai learning organization yaitu organisasi yang analitikal,
ilmiah, inovatif dan responsif terhadap perubahan (Keputusan Dirjen
Perbendaharaan No. 239/PB/2015 tentang Rencana Strategis Ditjen
Perbendaharaan Tahun 2015-2019). Dengan meneliti langsung di KPPN, peneliti
dampak melihat sejauh mana kesiapan KPPN dalam perannya sebagai learning
organization bagi satker kementerian/lembaga.
KPPN Malang sebagai objek penelitian telah menerapkan pelaporan
keuangan basis akrual semenjak tahun 2015. KPPN Malang memiliki banyak
prestasi dibandingkan KPPN lain di Indonesia. Diantaranya, KPPN ini merupakan
9
merupakan KPPN pertama yang meraih penghargaan Kantor Pelayanan
Percontohan (KPPc) tingkat Kementerian Keuangan di tahun 2013, meraih
predikat WBBM (Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani) dari Kementerian PAN
dan RB pada 2014 dan satu dari 4 (empat) KPPN yang telah memiliki sertifikat
ISO 9001:2008 di 2015. Dengan berbagai prestasi yang dimiliki, KPPN Malang
sering menjadi benchmark bagi KPPN lain dalam hal pelayanan.
Namun dengan banyaknya prestasi yang dimilikinya, kendala dari
implementasi pelaporan keuangan basis akrual ternyata terjadi juga di KPPN
Malang. KPPN Malang belum bisa berbicara banyak akan prestasinya dalam hal
LKPP, baik sebelum atau sesudah berbasis akrual. Untuk diketahui, setiap tahun
Direktorat Jenderal Perbendaharaan sebagai penyusun LKPP Nasional, juga
melakukan pemeringkatan LKPP Tingkat KPPN. Mulai tahun 2015,
pemeringkatan ini dilakukan per kantor wilayah. Adapun peringkat LKPP KPPN
Malang untuk periode 2012-2014 (masa laporan berbasis cash toward accrual)
dan periode 2015 (masa full accrual), dapat dilihat sebagai berikut:
10
Tabel 1.1Peringkat LKPP KPPN Malang Tingkat Nasional dan Kanwil DJPB Propinsi
Jawa Timur Tahun 2012 – 2015
Tingkat 2012 2013 2014 2015
Nasional152 dari 178
KPPN
148 dari 178
KPPN
140 dari 178
KPPN
(mulai 2015
pemeringkatan
LKPP hanya
per Kanwil)
Kanwil DJPB
Propinsi Jatim
15 dari 15
KPPN
11 dari 15
KPPN
10 dari 15
KPPN
14 dari 15
KPPN
Sumber : Kepdirjen Perbendaharaan No.191/PB/2013; Kepdirjen PerbendaharaanNomor 248/PB/2014; Kepdirjen Perbendaharan No.326/PB/2015; KepKanwil Perbendaharaan Prop. Jatim No.145/WPB.16/2016.
Melihat peringkat KPPN Malang terkait pelaporan keuangan basis akrual,
terlihat bahwa KPPN Malang merupakan KPPN yang berprestasi dalam
pelayanan namun belum memuaskan dalam hal penyusunan LKPP. Inilah yang
menjadi latar belakang pokok peneliti untuk melakukan penelitian di KPPN
Malang.
Melanjutkan poin kendala dalam implementasi pelaporan keuangan
berbasis akrual, ternyata kendala tersebut berdampak juga pada LKPP secara
nasional. Walau BPK memberikan opini “wajar dengan pengecualian” atas LKPP
tahun 2015, namun terjadi penurunan kualitas LKPP sebagai akibat dari
implementasi perdana PP ini, sebagaimana pernyataan Ketua BPK - Bapak Hary
Azhar Aziz berikut (www.bpk.go.id),
11
“BPK mengapresiasi pemerintah khususnya Kementerian Keuangan danjajarannya, yang telah berupaya untuk menjaga kualitas laporankeuangan yang ditunjukan tidak signifikannya penurunan kualitas laporankeuangan pada penerapan pertama kali Standar Akuntansi Pemerintah(SAP) berbasis akrual”(Ketua BPK RI, Hary Azhar Aziz, pada Sidang Paripurna DPR RI 2 Juni2016)
Selanjutnya untuk memperkuat dasar peneliti melakukan penelitian pada
LKPP dan KPPN Malang, peneliti melakukan studi riset terdahulu. Penelitian
terdahulu menunjukkan pelaporan keuangan berbasis akrual belum diterapkan
secara penuh pada laporan keuangan. Penelitian ini berasal dari Asfiansyah
(2014), Langelo (2015), Muttaqin (2015), Sari (2015) dan Rahmawati (2016).
Penelitian Asfiansyah (2014) yang dilakukan pada Pemerintah Kota
Surabaya menunjukkan strategi yang akan digunakan Pemerintah Kota
Surabaya dalam menghadapi implementasi akuntansi berbasis akrual di tahun
2015. Strategi yang akan digunakan Pemerintah Kota Surabaya untuk
menerapkan akuntansi basis akrual dalam penelitian ini adalah melakukan
assesment pegawai, melaksanakan pendidikan atau kursus singkat bagi
pegawai, memperbaiki software akuntansi, pendidikan khusus akuntansi bagi
pegawai dan melibatkan pihak eksternal sebagai konsultan pendamping.
Penelitian Langelo (2015) yang dilakukan pada Pemerintah Kota Bitung.
menunjukkan pemerintah Kota Bitung belum menerapkan PP No.71 Tahun 2010
tetapi telah sesuai dengan PP No.24 Tahun 2005 yaitu menggunakan basis kas
menuju akrual. Langelo (2015) menemukan terdapat kendala dalam kesiapan
implementasi basis akrual pada jumlah sumber daya manusia pelaksana secara
kuantitas belum cukup di setiap SKPD dan kesiapan perangkat pendukung yang
belum teruji.
12
Muttaqin (2015) yang melakukan penelitian di Pemerintah Kota
Pekalongan, menunjukkan perubahan organisasi yang terjadi pada Pemkot
Pekalongan dalam rangka implementasi SAP Basis Akrual. Persiapan dalam
rangka implementasi SAP akrual antara lain menetapkan Perwal No. 34 tahun
2014 dan Perwal No. 35 tahun 2014, membangun aplikasi SIMDA & SIMBADA
berbasis FOSS, mengadakan sosialisasi dan pelatihan, melakukan restatement
laporan keuangan 2014 dan melakukan penataan aset.
Penelitian Sari (2015) yang dilakukan pada Pemerintah Kabupaten
Situbondo, bertujuan memahami pelembagaan sistem akuntansi berbasis akrual
di lingkungan Pemerintah Kabupaten Situbondo dalam rangka menghadapi
implementasi SAP Berbasis Akrual secara penuh di tahun 2015. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pelembagaan sistem akuntansi berbasis akrual pada
Pemerintah Kabupaten Situbondo terjadi dalam bentuk: (1) melalui tekanan dan
desakan dari pemerintah pusat berupa aturan-aturan hukum yang mengikat, (2)
perbaikan pengelolaan keuangan di bagian akuntansi dan pembinaan terhadap
bendahara, Pejabat Penata Keuangan (PPK), dan Pengguna Anggaran (PA),
dan (3) penggunaan tenaga profesional melalui kerja sama antara Pemerintah
Kabupaten Situbondo dengan BPKP Perwakilan Jawa Timur, Universitas
Brawijaya, dan Universitas Negeri Jember, dan Pemerintah Kabupaten
Banyuwangi.
Penelitian Rahmawati (2016) yang dilakukan pada Sekretariat DPRD
Kabupaten Malang menunjukkan secara umum pegawai Sekretariat DPRD
Kabupaten Malang telah memahami standar akuntansi pemerintahan berbasis
akrual. Implementasi laporan keuangan berbasis akrual akan dilaksanakan
penuh oleh Sekretariat DPRD Kabupaten Malang pada tahun anggaran 2016.
13
Penelitian Asfiansyah (2014), Muttaqin (2015), Langelo (2015), Sari
(2015) dan Rahmawati (2016) di atas sudah melihat persiapan implementasi
pelaporan keuangan berbasis akrual berdasarkan PP No. 71 Tahun 2010 di
beberapa pemerintah daerah. Namun ke semua penelitian ini dilakukan pada
objek yang “belum menerapkan pelaporan keuangan basis akrual”. Celah (gap)
dari penelitian Asfiansyah (2014), Muttaqin (2015), Langelo (2015), Sari (2015)
dan Rahmawati (2016) akan diisi pada penelitian ini dengan melakukan
penelitian pada objek yang telah menerapkan pelaporan keuangan berbasis
akrual yaitu LKPP pada KPPN Malang. Selain itu, keunikan penelitian ini terdapat
pada LKPP tingkat KPPN yang merupakan konsolidasi dari semua laporan
keuangan satuan kerja yang telah mengimplementasikan pelaporan keuangan
berbasis akrual. Peneliti akan menganalisis implementasi pelaporan keuangan
berbasis akrual dari berbagai kenyataan di LKPP KPPN.
Selain itu, berbeda dengan penelitian terdahulu di atas, kebijakan
akuntansi pada implementasi pelaporan keuangan berbasis akrual dalam
penelitian ini akan dilihat sebagai kebijakan publik. Hal ini berdasarkan pendapat
Thomas R. Dye (1981) yang mendefinisikan kebijakan publik sebagai “is what
ever government chose to do or not to do” (apapun yang dipilih oleh pemerintah
untuk dilakukan atau tidak dilakukan). Kemudian implementasinya akan dianalisis
menggunakan Teori Implementasi Kebijakan Publik dari George C. Edward III
(1980).
Teori Implementasi Kebijakan Publik dari George C. Edward III (1980)
menjadi alat analisis pada penelitian ini didasari oleh pentingnya untuk melihat
kembali faktor pendukung dan penghambat dalam implementasi pelaporan
keuangan berbasis akrual dari sisi internal organisasi. Beberapa penelitian terkait
14
implementasi kebijakan publik (Wisakti, 2008; Putera, 2011; dan Putri, 2015),
melihat berbagai faktor pendukung dan penghambat implementasi kebijakan
publik dari sisi internal organisasi, diantaranya e-ktp, dana desa, dan sistem
remunerasi. Namun semua penelitian ini belum meneliti implementasi Teori
Implementasi Kebijakan Publik dari George C. Edward III pada pelaporan
keuangan berbasis akrual.
Penelitian Asfiansyah (2014), Muttaqin (2015), Langelo (2015), Sari (2015)
dan Rahmawati (2016) memang telah berhasil melihat persiapan implementasi
akuntansi basis akrual pada berbagai pemerintah daerah. Namun hasil semua
penelitian ini belum menekankan betapa pentingnya melihat kembali faktor
pendukung dan penghambat implementasi suatu kebijakan dari sisi internal
organisasi. Untuk itu, penelitian terdahulu akan dilengkapi pada penelitian ini
dengan melihat faktor pendukung dan penghambat implementasi pelaporan
basis akrual dari sisi internal organisasi sesuai Teori Edward III (1980).
Selain itu, berdasarkan kendala yang peneliti amati pada KPPN dalam
menerapkan pelaporan keuangan berbasis akrual (tingkat pemahaman dan
kesulitan implementasi pelaporan keuangan berbasis akrual oleh SDM di KPPN;
aplikasi yang masih perlu penyempurnaan; praktek dari petunjuk teknis kebijakan
yang bisa beragam), ke semua kendala ini pada dasarnya berasal dari internal
organisasi dan dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) faktor sebagaimana di
dalam Teori Edward III (1980). Implementasi pelaporan keuangan basis akrual
pada KPPN harus memperhatikan faktor pendukung dan penghambat dari
internal organisasi, yaitu komunikasi, sumber daya, sikap birokrasi/pelaksana
dan struktur organisasi termasuk tata aliran kerja birokrasi.
15
Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini akan mengisi celah
penelitian (research gap) implementasi pelaporan keuangan berbasis akrual
berdasarkan PP No. 71 Tahun 2010 dengan meneliti implementasinya pada
LKPP tingkat KPPN dengan alat analisis Teori Edward III (1980). Sebagaimana
peneliti sebutkan sebelumnya, penelitian terdahulu masih sebatas persiapan
implementasi akuntansi basis akrual dan belum meneliti implementasinya pada
objek yang telah menerapkan pelaporan basis akrual secara penuh, yaitu LKPP
pada KPPN Malang. Penelitian ini akan melihat implementasi pelaporan berbasis
akrual sebagai kebijakan akuntansi dan berbeda dari penelitian terdahulu dimana
penelitian ini akan melihat faktor pendukung dan penghambat implementasi
kebijakan dari sisi internal KPPN Malang sesuai Teori Implementasi Kebijakan
Publik dari George C. Edward III (1980).
1.2 Motivasi Penelitian
Peneliti merupakan pegawai KPPN yang pernah mengalami penyusunan
LKPP KPPN masa penerapan basis CTA dan awal implementasi basis akrual di
tahun 2015. Semasa masih aktif menyusun LKPP KPPN, peneliti merasakan
implementasi PP No. 71 Tahun 2010 menemukan banyak kendala. Walau telah
banyak upaya yang diusahakan oleh KPPN untuk implementasi basis akrual
pada laporan keuangan, namun pada prakteknya masih sulit diterapkan. Laporan
Keuangan yang dihasilkan masih berorientasi basis kas menuju akrual dengan
penambahan laporan yang diwajibkan oleh PP No. 71 Tahun 2010.
Di tahun 2017, pelaporan keuangan berbasis akrual berdasarkan PP No.
71 Tahun 2010 telah memasuki tahun ketiga. Kendala yang peneliti alami di awal
tahun 2015 (di awal implementasi PP ini) ternyata tidak hanya ada pada LKPP
KPPN. Opini BPK atas LKPP Nasional 2015 menunjukkan adanya penurunan
16
kualitas laporan keuangan, walau opininya tetap wajar dengan pengecualian.
Dengan demikian, motivasi penelitian ini adalah melihat implementasi pelaporan
keuangan berbasis akrual pada LKPP KPPN, dan ditambah analisis faktor
pendukung dan penghambat implementasi dengan alat analisis Teori Edward III
(1980).
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan motivasi penelitian, fokus penelitian ini
adalah implementasi kebijakan pelaporan berbasis akrual pada penyusunan
LKPP Tingkat KPPN Malang. Apabila dijabarkan lebih lanjut, maka rumusan
masalah penelitian adalah bagaimana implementasi kebijakan pelaporan
berbasis akrual pada penyusunan LKPP Tingkat KPPN Malang?
1.4 Tujuan Penelitian
Implementasi pelaporan keuangan berbasis akrual berdasarkan PP No.
71 Tahun 2010 telah memasuki tahun ketiga. Di awal implementasi, KPPN
banyak menemukan kendala pada penyusunan LKPP. Sesuai dengan motivasi
dan rumusan masalah, tujuan penelitian ini adalah memahami langkah-langkah
dalam implementasi kebijakan akuntansi pelaporan pemerintah berbasis akrual
pada LKPP KPPN Malang.
1.5 Kontribusi Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada
berbagai pihak, yaitu:
1. Kontribusi Praktis
Pada tahun 2015, pelaporan keuangan berbasis akrual berdasarkan PP
No. 71 Tahun 2010 telah resmi dimulai. Berbagai upaya telah dilakukan
oleh KPPN dalam mempersiapkan implementasi pelaporan ini. Walau
17
menemui banyak kendala, namun upaya dari implementasi pelaporan
keuangan basis akrual patut diapresiasi. Penelitian ini diharapkan dapat
menjadi sumbangan pemikiran dan bahan bagaimana metode terbaru
dalam penyempurnaan implementasi pelaporan keuangan berbasis akrual
pada LKPP KPPN.
2. Kontribusi Teoritis
Pemerintah telah memilih untuk mengimplementasikan basis akrual pada
laporan keuangan. Secara teoritis, hal ini bisa dikategorikan sebagai
implementasi kebijakan akuntansi. Implementasi kebijakan ini di dalam
penelitian akan dideskripsikan dengan alat analisis Teori Edward III
(1980) sehingga diharapkan dapat memberikan kontribusi pengembangan
Teori ini dalam laporan keuangan pemerintah berbasis akrual.
3. Kontribusi Kebijakan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu meningkatkan penerapan
pelaporan basis akrual. Hal ini dirasakan oleh peneliti di awal pelaporan
keuangan berbasis akrual berdasarkan PP 71 Tahun 2010. Bagi
Pemerintah Pusat sebagai pembuat aturan, hasil penelitian ini diharapkan
dapat memberikan masukan dalam menyempurnakan peraturan dan
kebijakan tentang Laporan Keuangan Pemerintah.
18
BAB IITINJAUAN LITERATUR
2.1 Beberapa Teori Organisasi Terkait Dengan Implementasi Kebijakan
Pada bagian ini akan ditampilkan Teori Implementasi Kebijakan dari
George Edward III (1980) sebagai alat analisis dalam implementasi kebijakan
akuntansi pelaporan keuangan berbasis akrual. Tapi sebelumnya, akan diberikan
beberapa teori organisasi terkait dengan kebijakan, untuk melihat latar belakang
peneliti memilih Teori Implementasi Kebijakan dari George C. Edward III dalam
menganalisis implementasi pelaporan keuangan berbasis akrual pada LKPP
KPPN. Kedudukan Teori Edward III dalam penelitian ini berada sebagai alat
analisis data dan mendukung penelitian awal.
a. Teori Perubahan Organisasi dari Kurt Lewin (1951)
Pada teori pertama, Kurt Lewin (1951) memperkenalkan Teori Perubahan
Organisasi dalam Kebijakan Publik. Lewin (1951) menyebutkan organisasi
bergerak dari satu tahap yang sudah tetap ke tahapan yang lain, melalui
serangkaian tahapan yang telah ditentukan dan bergeraknya organisasi dari
tahap yang sudah tetap ke tahapan lainnya terjadi karena adanya tekanan-
tekanan terhadap organisasi, individu, atau kelompok. Dalam Teori Perubahan
Organisasi, Lewin (1951) memberikan model tiga tahapan dalam perubahan
organisasi, yaitu tahapan awal perubahan (unfreezing), tahapan proses transisi
(movement), dan tahapan keberlanjutan (refreezing). Ketiga tahapan ini dapat
kita lihat pada gambar berikut:
19
Gambar 2.1Tiga Tahapan Perubahan Organisasi oleh Kurt Lewin (1951)
Sumber : Kurt Lewin (1951)
Tahapan awal perubahan (unfreezing) merupakan suatu proses
penyadaran tentang perlunya atau adanya kebutuhan untuk berubah. Pada
tahapan yang pertama ini Kurt Lewin mendasarkan pada teori perilaku manusia
dan perilaku organisasi, yang terbagi dalam tiga sub proses yang berhubungan
dengan kesiapan perubahan, yaitu: perubahan diperlukan karena adanya gap
yang besar antara tujuan dan kenyataan, adanya kecemasan dan mempelajari
sikap defensiveness dan resistance yang ada dalam organisasi.
Tahapan proses transisi (movement) merupakan langkah yang berupa
tindakan dengan memperkuat driving forces maupun memperlemah resistances.
Langkah yang diambil dapat juga dengan menganalisa gap antara desire status
dengan status quo dan kemudian mencermati program-program perubahan yang
sesuai untuk dilakukan agar dapat memberi solusi yang optimal untuk
mengurangi resistensi terhadap perubahan. Yang terakhir adalah tahapan
keberlanjutan (refreezing) adalah upaya membawa kembali organisasi kepada
keseimbangan yang baru dengan mengembangkan new self concept & identity
20
dan new interpersonal relationships agar perilaku yang baru tetap berjalan.
(Lewin, 1951).
Fokus utama dari teori perubahan organisasi Kurt Lewin adalah “proses”
dari perubahan organisasi, yaitu tindakan yang dilakukan selama terjadinya
perubahan organisasi yang dimaksud. Beberapa penelitian terdahulu yang
mengkaji proses perubahan dengan teori Lewin (1951) diantaranya Muttaqin
(2015) dan Maryani (2016).
Muttaqin (2015) mengkaji bagaimana “proses” dari perubahan organisasi
pada pemerintah Kota Pekalongan dalam rangka penerapan SAP akrual dan
perolehan opini WTP dengan teori Lewin (1951) dari aspek persiapan serta
strategi yang dilakukan berdasarkan tahapan movement. Strategi yang
ditemukan dalam penelitian ini antara lain menetapkan Perwal No. 34 tahun 2014
dan Perwal No. 35 tahun 2014, membangun aplikasi SIMDA & SIMBADA
berbasis FOSS, mengadakan sosialisasi dan pelatihan, melakukan restatement
laporan keuangan 2014 dan melakukan penataan aset.
Maryani (2016) meneliti proses perubahan pada APIP Kementerian Luar
Negeri sebagai akibat proses institusionalisasi Internal Audit Capability Model
(IACM) dengan teori Lewin (1951). Kementerian Luar Negeri telah melakukan
beberapa langkah pada masing-masing fase yang dilaluinya. Pada fase
Unfreezing, dimulai dengan sosialisasi dan pelatihan untuk mengkomunikasikan
maksud, tujuan dan pentingnya implementasi IACM agar mendapatkan
kesadaran dan pemahaman yang sama. Fase Movement, dengan pembentukan
Tim Self Assessment untuk memperkuat driving force yang dimiliki, bahkan
dengan transfer informasi progress self assessment dan self improvement
menjadi strategi untuk dapat mengurangi resistensi yang muncul dari individu.
21
Pada fase Refreezing, dengan menjaga komitmen bersama dan langkah
berkelanjutan untuk meningkatkan target kapabilitas level 3 melalui diklat dan
permintaan pendampingan secara intens dari BPKP.
Penelitian Muttaqin (2015) dan Maryani (2016) di atas memang telah
berhasil melihat proses perubahan organisasi sesuai dengan fokus dari teori
Lewin (1951). Namun ketika mengimplementasikan suatu sistem yang baru
sangat perlu untuk memperhatikan faktor-faktor pendukungnya. Kesuksesan
implementasi suatu sistem yang baru adalah dengan memperhatikan faktor
internal dari organisasi tersebut. Dari sisi internal inilah akan muncul faktor
pendukung dan penghambat implementasi kebijakan dan ini akan bisa dijawab
dengan menggunakan teori Edward III (1980).
b. New Institutionalism Theory (1967)
New institutionalism Theory (NIT) dalam studi organisasi terkait dengan
keberadaan struktur suatu organisasi yang yang dipengaruhi oleh tempat
organisasi berada (Carruthers, 1995). Teori ini diperkenalkan pertama kali oleh
Berger dan Luckmann di tahun 1967. Organisasi dibentuk oleh berbagai
fenomena yang terjadi di lingkungannya dan cenderung mirip (isomorphic)
dengan lingkungan tersebut. Isomorphism merupakan gejala di mana organisasi
formal menjadi mirip dengan lingkungannya karena adanya saling
ketergantungan dalam hal teknis dan pertukaran dan hubungan paralel antara
organisasi dan lingkungannya (Berger dan Luckmann, 1967 sebagaimana dirujuk
oleh Sari, 2015).
Tiga (3) mekanisme atau kondisi eksogen yang menyebabkan terjadinya
institutional isomorphism, yaitu 1).coercive isomorphism, 2).Mimetic
isomorphism, dan 3).normative isomorphism (DiMaggio dan Powell, 1983;
22
Carruthers, 1995; Lippi, 2000). Pertama, coercive (paksaan), yaitu akibat
tekanan-tekanan formal ataupun informal yang diterima suatu organsasi, yang
mana tekanan tersebut dari organisasi lain ataupun harapan masyarakat sekitar
organisasi berada. Misalnya, dalam situasi tertentu peraturan pemerintah dapat
memaksa organisasi untuk mengadopsi prosedur-prosedur dan sistem baru.
Selain adanya suatu paksaan, organisasi juga menghadapi suatu
ketidakpastian, dimana hal ini menjadi sebuah tekanan yang kuat untuk
melakukan perubahan organisasi dengan cara mengimitasi (mimetic) organisasi
lain. Ketidakpastian tersebut bisa saja bersumber dari kurangnya pemahaman
terkait teknologi, terpecahnya sasaran yang ingin dicapai, dan ketidakpastian
simbolik (March dan Olsen, 1976:252), sehingga sangat memungkinkan suatu
organisasi akan mencari bentuk atau model dari organisasi lain (lebih berhasil)
untuk dicontoh.
Normative isomorphism merupakan bentuk pendorong ketiga dimana
pengaruhnya berasal dari profesionalisasi. Profesionalisasi dapat ditingkatkan
melalui lembaga universitas dan organisasi pelatihan profesional (DiMaggio dan
Powell, 1991) dalam bentuk sosialisasi, pelatihan, pendampingan, dan kerja
sama lainnya.
Dengan melihat uraian di atas, maka NIT menghubungkan perubahan
organisasi dengan lingkungannya. Beberapa penelitian terdahulu yang meneliti
perubahan organisasi dari sisi NIT diantaranya Sari (2015) dan Maryani (2016).
Sari (2015) meneliti Pemerintah Daerah Situbondo sebagai organisasi yang
mengalami adaptasi lingkungan sebagai akibat dari proses implementasi SAP
Berbasis Akrual dengan analisis NIT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pelembagaan sistem akuntansi berbasis akrual pada Pemerintah Kabupaten
23
Situbondo menggambarkan terjadinya gejala isomorphism dalam bentuk: (1)
Coercive melalui tekanan dan desakan dari pemerintah pusat berupa aturan-
aturan hukum yang mengikat, (2) Mimetic tergambar dari perbaikan pengelolaan
keuangan di bagian akuntansi dan pembinaan terhadap bendahara, Pejabat
Penata Keuangan (PPK), dan Pengguna Anggaran (PA), dan (3) Normative
terlihat dari penggunaan tenaga profesional melalui kerja sama antara
Pemerintah Kabupaten Situbondo dengan BPKP Perwakilan Jawa Timur,
Universitas Brawijaya, dan Universitas Negeri Jember, dan Pemerintah
Kabupaten Banyuwangi.
Maryani (2016) meneliti proses perubahan pada APIP Kementerian Luar
Negeri sebagai akibat proses institusionalisasi Internal Audit Capability Model
(IACM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendorong terkuat dilakukannya
institusionalisasi IACM adalah karena tekanan dari BPKP yang merupakan Lead
Agency APIP, dan juga arahan Presiden RI yang menargetkan capaian untuk
tahun 2019. Tekanan tersebut dikuatkan dalam agenda pembangunan dan
peraturan. Dalam teori institusional gejala ini termasuk dalam coercive
isomorphism.
Penelitian Sari (2015) dan Maryani (2016) di atas memang telah berhasil
melihat proses perubahan organisasi yang erat dengan pengaruh lingkungannya.
Namun sewaktu proses perubahan masih berjalan, penelitian juga harus tetap
mengelompokkan faktor pendukung dan penghambat jalannya suatu perubahan
dan fokus pada internal organisasi. Seperti peneliti ungkapkan sebelumnya, sisi
internal organisasi merupakan titik krusial dalam perubahan. Dari sisi internal
inilah akan muncul faktor pendukung dan penghambat perubahan dan ini bisa
dijawab dengan menggunakan teori Edward III (1980).
24
c. Teori Implementasi Kebijakan dari George C. Edward III (1980)
Di dalam teori Implementasi Kebijakan dari George C. Edward III (1980),
suatu kebijakan akan sukses diimplementasikan jika melihat lebih dahulu pada
dua pertanyaan, faktor apa yang mendukung dan menghambat keberhasilan
implementasi kebijakan. Kemudian dari dua pertanyaan ini dirumuskan empat
faktor yang merupakan syarat utama keberhasilan proses implementasi, yakni
komunikasi, sumber daya, sikap birokrasi/pelaksana dan struktur organisasi
termasuk tata aliran kerja birokrasi.
Penelitian terdahulu Teori Implementasi Kebijakan Edward III (1980) masih
banyak dilakukan di bidang non-akuntansi, seperti kebijakan alokasi dana desa
oleh Wisakti (2008) dan kebijakan e-KTP oleh Putera dan Valentina (2011).
Penggunaan Teori Edward III di bidang akuntansi yang ditemukan peneliti
dilakukan oleh Putri (2015).
Putri (2015) melakukan penelitian implementasi sistem remunerasi BLU
pada Politeknik Pelayaran Surabaya dengan menggunakan teori implementasi
yang dikembangkan oleh Edward III. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
komunikasi dan sumber daya adalah unsur-unsur yang mendukung dalam
pelaksanaan sistem remunerasi BLU Politeknik Pelayaran Surabaya, sedangkan
disposisi dan struktur birokrasi adalah unsur-unsur yang perlu mendapatkan
evaluasi agar sistem remunerasi BLU pada Politeknik Pelayaran Surabaya dapat
diimplementasikan dengan lebih baik.
Penelitian Putri (2015) di atas sangat menginspirasi peneliti dalam
penelitian ini. Penelitian Putri (2015) berhasil menemukan faktor pendukung dan
penghambat dalam implementasi kebijakan sistem remunerasi dari internal
25
Politeknik Pelayaran Surabaya. Berbeda dengan penelitian Putri (2015),
penelitian ini akan melihat faktor pendukung dan penghambat implementasi
kebijakan dari internal organisasi yang sedang menerapkan pelaporan keuangan
berbasis akrual.
d. Pemilihan Teori Edward III (1980) sebagai Alat Analisis
Berdasarkan beberapa teori organisasi dalam kaitannya dengan kebijakan
pada bagian sebelumnya, peneliti tidak memilih teori Perubahan Organisasi dari
Lewin (1951) dikarenakan peneliti akan fokus pada implementasi kebijakan
bukan proses perubahan organisasi. Peneliti juga tidak memilih New Institutional
Theory, karena teori ini berfokus pada tahap pelembagaan/institusionalisasi
(Amirya, 2011; Sari, 2015; dan Maryani, 2016) bukan implementasi kebijakan.
Peneliti akan memilih Teori Implementasi Kebijakan dari Edward III (1980)
karena implementasi pelaporan keuangan basis akrual pada penelitian ini telah
memasuki tahun ketiga. Pertimbangan peneliti memilih teori Edward III (1980)
adalah teori implementasi Edward III (1980) mampu menjelaskan tentang unsur-
unsur pendukung dan penghambat keberhasilan suatu implementasi program
ditinjau dari sisi internal organisasi yang selaras dengan kajian yang ingin
dilakukan oleh peneliti. Sehingga dapat memberikan perbaikan atas
implementasi kebijakan akuntansi pelaporan keuangan berbasis akrual pada
LKPP di KPPN Malang.
2.2 Teori Implementasi Kebijakan dari George Edward III (1980)
George Edward III (1980) mengelompokkan 4 faktor yang mempengaruhi
keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan antara lain yaitu faktor (1)
komunikasi, (2) sumber daya, (3) disposisi dan (4) struktur birokrasi.
26
Gambar 2.2Faktor Penentu Keberhasilan Implementasi Kebijakan menurut George
Edward III
Sumber : Edward III, G. C. (1980). Implementing Public Policy. CongressionalQuerterly Press.
2.2.1 Komunikasi
Menurut Edward III (1980), komunikasi diartikan sebagai “proses
penyampaian informasi komunikator kepada komunikan”. Informasi mengenai
kebijakan menurut Edward III (1980) perlu disampaikan kepada pelaku kebijakan
agar para pelaku kebijakan dapat mengetahui apa yang harus mereka
persiapkan dan lakukan untuk menjalankan kebijakan tersebut sehingga tujuan
dan sasaran kebijakan dapat dicapai sesuai dengan yang diharapkan.
Menurut Edward III (1980), komunikasi kebijakan memiliki beberapa
dimensi, antara lain dimensi transmisi (trasmission), kejelasan (clarity) dan
konsistensi (consistency).
a. Dimensi transmisi menghendaki agar kebijakan disampaikan tidak hanya
disampaikan kepada pelaksana (implementors) kebijakan tetapi juga
27
disampaikan kepada kelompok sasaran kebijakan dan pihak lain yang
berkepentingan baik secara langsung maupun tidak langsung.
b. Dimensi kejelasan (clarity) menghendaki agar kebijakan yang
ditransmisikan kepada pelaksana, target grup dan pihak lain yang
berkepentingan secara jelas sehingga diantara mereka mengetahui apa
yang menjadi maksud, tujuan, sasaran, serta substansi dari kebijakan
tersebut sehingga masing-masing akan mengetahui apa yang harus
dipersiapkan serta dilaksanakan untuk mensukseskan kebijakan tersebut
secara efektif dan efisien.
c. Dimensi konsistensi (consistency) diperlukan agar kebijakan yang diambil
tidak simpang siur sehingga membingungkan pelaksana kebijakan, target
grup dan pihak-pihak yang berkepentingan.
Komunikasi menjadi faktor penting dalam implementasi suatu kebijakan.
Ketidakjelasan pesan komunikasi tentang implementasi kebijakan akan
menimbulkan interpretasi yang salah dan dapat bertentangan dengan makna
kebijakan sesungguhnya. Edward (1980) menyatakan agar suatu program dapat
diimplementasikan dengan baik, harus dipastikan bahwa petunjuk
pelaksanaannya telah diterima dan dikomunikasikan dengan baik. Faktor penting
komunikasi suatu kebijakan erat kaitannya dengan intensitas komunikasi,
kejelasan komunikasi dan konsistensi pesan (Wisakti, 2008; dan Putri, 2015).
Intensitas komunikasi dalam hal ini berkaitan dengan frekuensi komunikasi suatu
kebijakan dilakukan dan di setiap tingkatan pelaksana kebijakan. Kejelasan
informasi, menunjukkan bahwa semua dalam petunjuk teknis dari kebijakan telah
jelas diterima oleh para pelaksana kebijakan. Sedangkan konsistensi pesan,
28
memiliki arti tidak ada pesan kebijakan yang saling bertentangan antara satu
perintah kebijakan dengan perintah yang lain.
Komunikasi suatu kebijakan bisa dilakukan melalui proses
menyampaikan, mensosialisasikan dan mengkoordinasikan (Putera dan
Valentina, 2011; Puteri, 2015). Menyampaikan dilakukan dalam melakukan
penyampaian awal suatu kebijakan. Mensosialisasikan kebijakan merupakan
tingkatan lanjut dari menyampaikan kebijakan kepada masyarakat. Sedangkan
mengkoordinasikan kebijakan dilakukan untuk menjamin adanya keseragaman
dan kekonsistensian pelaksanaan kebijakan.
2.2.2 Sumber Daya
Edward III (1980) mengemukakan bahwa faktor sumber daya mempunyai
peranan penting dalam implementasi kebijakan. Menurut Edward III (1980)
sumber daya tersebut meliputi sumber daya manusia, sumber daya anggaran,
dan sumber daya peralatan dan sumber daya kewenangan.
a. Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia merupakan salah satu variabel yang
mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan kebijakan. Edward III (1980)
menyatakan bahwa “probably the most essential resources in
implementing policy is staff”. Edward III (1980) menambahkan “no matter
how clear and consistent implementation order are and no matter
accurately they are transmitted, if personnel responsible for carrying out
policies lack the resources to do an effective job, implementing will not
effective”.
29
b. Sumber Daya Anggaran
Edward III (1980) menyatakan dalam kesimpulan studinya “budgetary
limitation, and citizen opposition limit the acquisition of adequate facilities.
This is turn limit the quality of service that implementor can be provide to
public”. Menurut Edward III, terbatasnya anggaran yang tersedia
menyebabkan kualitas pelayanan yang seharusnya diberikan kepada
masyarakat juga terbatas.
Edward III (1980) menyatakan bahwa “new towns studies suggest that the
limited supply of federal incentives was a major contributor to the failure of
the program”. Menurut Edward III, terbatasnya insentif yang diberikan
kepada implementor merupakan penyebab utama gagalnya pelaksanaan
program.
Edward III (1980) menyimpulkan bahwa terbatasnya sumber daya
anggaran akan mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan kebijakan.
Disamping program tidak bisa dilaksanakan dengan optimal, keterbatasan
anggaran menyebabkan disposisi para pelaku kebijakan rendah.
c. Sumber Daya Peralatan
Edward III (1980) menyatakan bahwa sumber daya peralatan merupakan
sarana yang digunakan untuk operasionalisasi implementasi suatu
kebijakan yang meliputi gedung, tanah, dan sarana yang semuanya akan
memudahkan dalam memberikan pelayanan dalam implementasi
kebijakan.
Edward III (1980) menyatakan :
Physical facilities may also be critical resources in implementation.An implementor may have sufficient staff, may understand what hesupposed to do, may have authority to exercise his task, but
30
without the necessary building, equipment, supplies and evengreen space implementation will not succeed.
d. Sumber Daya Kewenangan
Sumber daya lain yang cukup penting dalam menentukan keberhasilan
suatu implementasi kebijakan adalah kewenangan. Menurut Edward III
(1980) menyatakan bahwa:
Kewenangan (authority) yang cukup untuk membuat keputusansendiri yang dimiliki oleh suatu lembaga akan mempengaruhilembaga itu dalam melaksanakan suatu kebijakan. Kewenanganini menjadi penting ketika mereka dihadapkan suatu masalah danmengharuskan untuk segera diselesaikan dengan suatukeputusan.
Oleh karena itu, Edward III (1980), menyatakan bahwa pelaku utama
kebijakan harus diberi wewenang yang cukup untuk membuat keputusan
sendiri untuk melaksanakan kebijakan yang menjadi kewenangannya.
Sumber daya pada umumnya dapat dibedakan menjadi dua kelompok
besar, yaitu sumber daya manusia dan sumber daya pendukung kebijakan
lainnya (Wisakti, 2008; Putera dan Valentina, 2011; dan Puteri, 2015). Walaupun
isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsistensi, tetapi apabila
implementor kekurangan sumber daya untuk melaksanakan, implementasi tidak
akan berjalan efektif. Sumber daya menjadi energi dalam pelaksanaan suatu
kebijakan (Putera dan Valentina, 2011). Sumber daya tersebut dapat berwujud
sumber daya manusia, yakni jumlah SDM yang memadai, kompetensi
implementor, kemampuan SDM di dalam mengidentifikasi menyelesaikan
masalah dengan cepat dan kemampuan untuk mendorong masyarakat. Sumber
daya pendukung lainnya bisa berupa dana, dan sarana prasarana (gedung,
mesin, ATK, mobil atau motor)
31
2.2.3 Disposisi
Pengertian disposisi menurut Edward III (1980) dikatakan sebagai
“kemauan, keinginan dan kecenderungan para perlaku kebijakan untuk
melaksanakan kebijakan tadi secara sungguh-sungguh sehingga apa yang
menjadi tujuan kebijakan dapat diwujudkan”. Edward III (1980) mengatakan
bahwa :
jika implementasi kebijakan ingin berhasil secara efektif dan efisien, parapelaksana (implementors) tidak hanya mengetahui apa yang harusdilakukan dan mempunyai kemampuan untuk melakukan kebijakantersebut, tetapi mereka juga harus mempunyai kemauan untukmelaksanakan kebijakan tersebut.
Faktor-faktor yang menjadi perhatian Edward III (1980) mengenai
disposisi dalam implementasi kebijakan terdiri dari:
a. Pengangkatan birokrasi. Disposisi atau sikap pelaksana akan
menimbulkan hambatan-hambatan yang nyata terhadap implementasi
kebijakan bila personel yang ada tidak melaksanakan kebijakan yang
diinginkan oleh pejabat-pejabat yang lebih atas. Karena itu,
pengangkatan dan pemilihan personel pelaksana kebijakan haruslah
orang-orang yang memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan,
lebih khusus lagi pada kepentingan warga masyarakat.
b. Insentif merupakan salah-satu teknik yang disarankan untuk mengatasi
masalah sikap para pelaksana kebijakan dengan memanipulasi insentif.
Pada dasarnya orang bergerak berdasarkan kepentingan dirinya sendiri,
maka memanipulasi insentif oleh para pembuat kebijakan mempengaruhi
tindakan para pelaksana kebijakan. Dengan cara menambah keuntungan
atau biaya tertentu mungkin akan menjadi faktor pendorong yang
32
membuat para pelaksana menjalankan perintah dengan baik. Hal ini
dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentingan pribadi atau organisasi.
Dalam implementasi suatu kebijakan, faktor disposisi berkaitan dengan
sikap pelaksana atau implementor terhadap implementasi kebijakan. Disposisi
merupakan watak dan karakteristik atau sikap yang dimiliki oleh implementor
seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis (Putri, 2015). Apabila implementor
memiliki disposisi yang baik, akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik
seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki
sifat atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses
implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif. Keberhasilan implementasi
kebijakan sangat bergantung pada komitmen yang kuat dari seluruh implementor
atau stakeholders untuk melaksanakan kebijakan (Putera dan Valentina, 2011).
Lebih lanjut, sikap pelaksana ini berbentuk persepsi pelaksana, respon
pelaksana dan tindakan pelaksana terhadap kebijakan (Wisakti, 2008).
2.2.4 Struktur Birokrasi
Meskipun sumber-sumber untuk mengimplementasikan suatu kebijakan
cukup dan para pelaksana (implementors) mengetahui apa dan bagaimana cara
melakukannya, serta mempunyai keinginan untuk melakukannya, namun Edward
III (1980) menyatakan bahwa “implementasi kebijakan bisa jadi masih belum
efektif karena ketidakefisienan struktur birokrasi”. Struktur birokasi ini mencakup
aspek-aspek seperti struktur birokrasi, pembagian kewenangan, hubungan
antara unit-unit organisasi dan sebagainya (Edward III, 1980; Wisakti, 2008).
Pembagian tugas yang jelas akan membuat implementor paham akan tugas dan
kewenangannya dalam pelaksanaan kebijakan.
33
Menurut Edwards III (1980) terdapat dua karakteristik utama dari birokrasi
yakni: “Standard Operational Procedure (SOP) dan fragmentasi”. Menurut
Winarno (2005:150), “Standard operational procedure (SOP) merupakan
perkembangan dari tuntutan internal akan kepastian waktu, sumber daya serta
kebutuhan penyeragaman dalam organisasi kerja yang kompleks dan luas”.
Edward III (1980) menyatakan bahwa:
demikian pula dengan jelas tidaknya standar operasi, baik menyangkutmekanisme, sistem dan prosedur pelaksanaan kebijakan, pembagiantugas pokok, fungsi dan kewenangan, dan tangggung jawab diantarapelaku, dan tidak harmonisnya hubungan diantara organisasi pelaksanasatu dengan yang lainnya ikut pula menentukan keberhasilanimplementasi kebjakan.
Salah satu dari aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah
adanya prosedur operasi yang standar (standard operating procedures) atau
SOP. SOP menjadi pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak. Struktur
organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan
menimbulkan red tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks. Ini
pada gilirannya menyebabkan aktivitas organisasi tidak fleksibel (Putri, 2015).
Berdasarkan hasil penelitian Edward III (1980) dijelaskan bahwa:
SOP sangat mungkin dapat menjadi kendala bagi implementasi kebijakanbaru yang membutuhkan cara-cara kerja baru atau tipe-tipe personil baruuntuk melaksanakan kebijakan-kebijakan. Dengan begitu, semakin besarkebijakan membutuhkan perubahan dalam cara-cara yang lazim dalamsuatu organisasi, semakin besar pula probabilitas SOP menghambatimplementasi.
Edward III (1980) menjelaskan bahwa “fragmentasi merupakan
penyebaran tanggung jawab suatu kebijakan kepada beberapa badan yang
berbeda sehingga memerlukan koordinasi”. Edward III (1980), mengatakan
bahwa:
struktur birokrasi yang terfragmentasi (terpecah-pecah atau tersebar)dapat meningkatkan gagalnya komunikasi, karena kesempatan untuk
34
instruksinya terdistorsi sangat besar. Semakin terdistorsi dalampelaksanaan kebijakan, semakin membutuhkan koordinasi yang intensif.
35
BAB IIIMETODE PENELITIAN
3.1 Paradigma Penelitian
Penelitian ini menggunakan paradigma interpretif dalam mencapai tujuan
penelitian. Tujuan dari penelitian ini adalah memahami langkah-langkah
implementasi kebijakan pelaporan pemerintah berbasis akrual pada KPPN
Malang dengan alat analisis Teori Implementasi Kebijakan dari Edward III (1980).
Alasan menggunakan paradigma interpretif didasarkan pada pemahaman secara
mendalam dalam implementasi kebijakan pelaporan basis akrual akan dapat
diperoleh dengan paradigma interpretif. Peran peneliti dalam penelitian ini sesuai
dengan paradigma interpretif, yaitu memberikan pemahaman atas fenomena
yang terjadi di tingkat individu (pelaksana KPPN Malang) maupun organisasi
(KPPN Malang) dalam proses implementasi kebijakan pelaporan basis akrual.
Selain itu pendekatan interpretif menurut peneliti lebih tepat digunakan
karena paradigma interpretif lebih menekankan pada makna dan ungkapan
seseorang terhadap label, nama, konsep atau simbol (Burrel dan Morgan, 1979).
Paradigma interpretif melihat dan memahami lingkungan apa adanya dan
memahami sifat dasar lingkungan sosial sesuai dengan pengalaman subjektif.
Interpretivisme dalam penelitian ini adalah untuk memahami implementasi
kebijakan akuntansi pelaporan pemerintah berbasis akrual pada LKPP KPPN
Malang dengan alat analisis Teori Implementasi Kebijakan dari Edward III (1980).
3.2 Pendekatan Penelitian
Penelitian ini berfokus pada pemahaman implementasi kebijakan
akuntansi pelaporan pemerintah berbasis akrual pada Laporan Keuangan
36
Pemerintah Pusat KPPN Malang dengan alat analisis Teori Implementasi
Kebijakan dari Edward III (1980). Sesuai dengan tujuan penelitian, penelitian ini
menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif
dilakukan pada suatu objek yang terkondisi secara alamiah, instrumen kunci
terdapat pada peneliti, bersifat induktif, data dikumpulkan dengan gabungan
(triangulasi) dan hasil penelitian lebih mementingkan makna. Menurut
Sarantakos (1993:36), pendekatan induktif adalah pendekatan dari sesuatu yang
khusus ke yang umum atau dari sesuatu yang konkret ke yang abstrak.
Untuk model penelitian yang digunakan, penelitian ini menggunakan
model penelitian studi kasus karena model ini melihat lebih dekat kepada objek
yang akan diteliti. Setioko (2011) sebagaimana dirujuk oleh Muttaqin (2015)
menyatakan bahwa pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus digunakan
apabila tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan pemahaman yang jelas dan
mendalam tentang suatu peristiwa yang nuansanya terikat sangat kental dengan
tempat dan waktu.
Yin (2013:1) mengungkapkan bahwa studi kasus merupakan strategi
penelitian yang cocok untuk beberapa kondisi. Pertama, pertanyaan penelitian
berkenaan dengan how atau why. Kedua, sangat sedikit peluang bagi peneliti
mengendalikan objek penelitian. Ketiga, penelitian memfokuskan pada peristiwa
terkini dalam kehidupan sehari-hari.
Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus sesuai dengan
kriteria dari Yin (2013) di atas. Pertama, penelitian berfokus pada bagaimana
implementasi pelaporan keuangan berbasis akrual pada LKPP KPPN dengan
alat analisis Teori Implementasi Kebijakan dari Edward III (1980). Kedua, sangat
sedikit peluang bagi peneliti mengendalikan implementasi pelaporan keuangan
37
berbasis akrual pada LKPP KPPN. Hal ini karena pelaporan keuangan basis
akrual telah memiliki dasar yuridis yang kuat di dalam PP No. 71 Tahun 2010.
Ketiga, implementasi pelaporan keuangan basis akrual masih menjadi topik
hangat karena baru memasuki tahun ketiga pelaksanaan.
3.3 Lokasi Penelitian
Peneliti interpretif memiliki keterkaitan langsung dan dekat dengan
kelompok yang dipelajari. Hal ini agar memungkinkan adanya interaksi dan
pemenuhan keingintahuan peneliti terhadap organisasi dan dunia sosial. Oleh
karena itu, peneliti akan memilih lokasi penelitian yang dekat dan telah dipahami.
Situs penelitian ini berada di KPPN Malang. Sebagai KPPN yang
beroperasi di wilayah Malang dan kedudukannya sebagai kuasa BUN Pusat,
KPPN Malang berperan sebagai entitas awal dalam penyusunan LKPP. Dengan
peran yang lebih dituntut sebagai learning organization bagi satuan kerja dan
berbagai prestasi yang diraih: KPPN Malang merupakan KPPN pertama yang
meraih penghargaan Kantor Pelayanan Percontohan (KPPc) di tahun 2013,
meraih predikat WBBM (Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani) pada 2014 dan
satu dari 4 (empat) KPPN yang telah memiliki sertifikat ISO 9001:2008 di 2015.
Dengan berbagai prestasi yang dimiliki, KPPN Malang sering menjadi benchmark
bagi KPPN lain dalam hal peningkatan pelayanan.
Jumlah satuan kerja yang dilayani di KPPN Malang berjumlah 222 satuan
kerja. Keunikan dari satuan kerja yang ada di KPPN Malang terletak pada
karakteristik dari satuan kerja yang dilayani KPPN Malang sangat kompleks,
yaitu semua satuan kerja dari semua Kementerian/Lembaga ada disini. Ditambah
lagi dengan adanya 7 Badan Layanan Umum (BLU) yang pelaporannya lebih
38
rumit daripada satuan kerja lain. Ketujuh dari BLU ini adalah Universitas
Brawijaya, Universitas Negeri Malang (UM), Universitas Islam Negeri (UIN)
Maulana Malik Ibrahim Malang, Rumah Sakit Jiwa UIN, Politeknik Kesehatan
(Poltekkes) Malang, Politeknik Negeri Malang (Polinema), dan Balai Besar
Inseminasi Buatan (BBIB) Malang.
Walau memiliki banyak prestasi dalam memberikan pelayanan publik,
KPPN Malang belum bisa berbicara banyak akan prestasinya dalam hal LKPP,
baik sebelum atau sesudah berbasis akrual. Untuk tahun 2015, KPPN Malang
menempati posisi ke-14 dari 15 KPPN yang ada di Propinsi Jawa Timur. Posisi
terbaik LKPP KPPN Malang ada di tahun 2014, namun itu juga hanya berada di
posisi 10 dari 15 KPPN. (Kepdirjen Perbendaharan No.326/PB/2015; Kep Kanwil
Perbendaharaan Prop. Jatim No.145/WPB.16/2016). Atas dasar ini, peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian di KPPN Malang, sebagai KPPN yang penuh
dengan prestasi namun belum bisa berprestasi di bidang pelaporan keuangan
(LKPP).
3.4 Jenis dan Sumber Data
Pada penelitian kualitiatif, Lofland dan Lofland (1984) menyatakan bahwa
jenis data utama yang digunakan adalah kata-kata dan tindakan. Selebihnya dari
dua jenis tersebut merupakan data tambahan seperti dokumen, foto, dan jenis
data lainnya.
Dalam penelitian ini, data yang dibutuhkan terdiri dari dua bentuk yaitu
data primer dan data sekunder.
39
3.4.1. Data Primer
Data primer didapat dengan melakukan wawancara dengan penyusun
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) KPPN Malang selaku Kuasa BUN
di Daerah. Dari wawancara tersebut diharapkan mendapatkan informasi yang
sebenar-benarnya mengenai penerapan pelaporan keuangan berbasis akrual
berdasarkan PP No. 71 Tahun 2010.
3.4.2. Data Sekunder
Dalam penelitian ini, data sekunder yang dipergunakan adalah LKPP
KPPN Malang. Data sekunder yang lain adalah landasan hukum pelaksanaan
Standar Akuntansi Pemerintah Pusat yang terdiri dari Peraturan Pemerintah,
Peraturan Menteri Keuangan dan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan.
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Sumber data diperoleh terutama dari pengalaman, pengamatan dan
wawancara. Dokumentasi sumber data utama dari participant observation,
wawancara, dan dokumentasi merupakan gabungan dari kegiatan melihat,
mendengar dan bertanya.
Dalam rangka memperoleh data, maka penelitian ini menggunakan
beberapa metode pengumpulan data sebagai berikut:
a. Participant observation
Dalam observasi berpartisipasi, peneliti terlibat dengan kegiatan orang
yang akan diteliti/diamati atau yang digunakan sebagai sumber data penelitian.
Sambil melakukan pengamatan, peneliti ikut melakukan apa yang dikerjakan oleh
sumber data dan ikut merasakan kejadian. Dengan observasi ini, data yang
diperoleh akan lebih lengkap dan tajam. Dan pada penelitian ini, peneliti dapat
bersikap sebagai pengamat langsung dalam lingkungan tersebut.
40
Peneliti merupakan pegawai Kementerian Keuangan yang telah bekerja
di KPPN sejak tahun 2006. Peneliti telah mengenal proses penyusunan LKPP
semenjak tahun 2007 dan secara tim telah menghasilkan LKPP KPPN Padang
Tahun 2014 dan 2015. Selain itu, peneliti juga pernah menjadi narasumber bagi
satuan kerja dalam pelatihan SAP Berbasis Akrual. Dengan pengalaman yang
menguntungkan, akan sangat menunjang untuk melakukan penelitian yang lebih
mendalam.
b. Wawancara
Proses wawancara dalam penelitian ini melibatkan wawancara dengan
semua pegawai di KPPN Malang dan rekan peneliti yang bekerja di KPPN lain
yang menunjang penelitian. Namun dalam penelitian ini terdapat informan kunci
yang akan diwawancarai dalam penelitian ini:
Tabel 3.1Daftar Informan Kunci Penelitian
No Nama Jabatan
1. Susanto Kepala KPPN Malang
2. Marjanto Kepala Seksi Verifikasi danAkuntansi
3. Ndaru Pelaksana Penyusun LKPP
Alasan dipilihnya ketiga informan kunci dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Kepala KPPN Malang
Kepala KPPN Malang berperan sebagai pejabat penandatangan
pernyataan tanggung jawab LKPP. Dengan kata lain, isi dari LKPP secara
formal merupakan tanggung jawab dari Kepala KPPN. Kepala KPPN
tentu memiliki pengetahuan seputar kebijakan umum dalam penyusunan
41
LKPP berbasis akrual. Atas dasar ini, maka Kepala KPPN memiliki peran
sebagai informan kunci dalam penelitian.
2. Kepala Seksi Verifikasi dan Akuntansi
Seksi Verifikasi dan Akuntansi merupakan bagian teknis dalam proses
penyusunan LKPP. Kepala Seksi Verifikasi dan Akuntansi bertanggung
jawab dalam pelaksanaan teknis penyusunan LKPP KPPN. Kepala seksi
di bagian ini berperan sebagai penerjemah kebijakan pelaporan
pemerintah hingga menjadi wujud teknis untuk dilaksanakan oleh
penyusun LKPP.Atas dasar ini, maka Kepala Seksi Vera dipilih sebagai
informan kunci dalam penelitian.
3. Penyusun LKPP
Penyusun LKPP pada praktek di lapangan adalah pelaksana di seksi
verifikasi dan akuntansi. Penyusun LKPP tentu akan menjadi informan
kunci dalam penelitian ini karena penyusun LKPP terlibat secara
langsung dalam proses penyusunan LKPP. Berbagai kendala maupun
pendukung dalam implementasi pelaporan berbasis akrual pada LKPP
KPPN tentunya telah dialami oleh penyusun LKPP. Atas dasar ini, maka
penyusun LKPP dipilih sebagai informan kunci dalam penelitian.
c. Dokumentasi
Digunakan untuk memperoleh informasi yang bersumber dari dokumen
dan record. Dokumen dan record yang digunakan dalam penelitian ini termasuk
dalam studi pustaka. Menurut Sutopo (2002:54) dokumen dan arsip merupakan
bahan tertulis yang berhubungan dengan suatu peristiwa atau aktivitas tertentu
dan dapa berupa gambaran atau benda peninggalan yang berhubungan dengan
suatu aktivitas atau peristiwa. Dokumen dan record dalam penelitian ini
42
mencakup: (1) LKPP KPPN Malang (2) peraturan perundang-undangan terkait
dengan keuangan negara dan pertanggungjawabannya; (3) PP No. 71 Tahun
2010 dan PP No. 24 Tahun 2005. Selain dokumen tersebut, peneliti juga
memanfaatkan dokumen yang relevan dengan fokus penelitian seperti buku,
majalah, record, dan dokumen pendukung lainnya.
3.6 Pencermatan Keabsahan Data
Pada penelitian ini, peneliti mengacu pada beberapa kriteria dan teknik
pemeriksaan keabsahan data sebagaimana dikemukakan oleh Moleong (2004)
berikut:
Tabel 3.2Ikhtisar Kriteria dan Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data
Kriteria Teknik Pemeriksaan
Kredibilitas
Perpanjangan keikutsertaanTriangulasi
Kecukupan referensialPengecekan anggota
Keteralihan Uraian rinciKebergantungan Audit kebergantungan
Kepastian Audit kepastianSumber : Moleong (2004:327)
1. Perpanjangan Keikutsertaan
Perpanjangan keikutsertaan peneliti dalam meneliti tentang implementasi
pelaporan keuangan berbasis akrual berdasarkan PP No. 71 Tahun 2010
dengan alat analisis Teori Implementasi Kebijakan dari Edward III (1980)
memungkinkan peningkatan derajat kepercayaan data yang dikumpulkan. Ini
penting untuk menguji ketidakbenaran informasi yang diperkenalkan oleh
distorsi, baik dari diri sendiri maupun responden. Keikutsertaan peneliti
dimulai pada April 2017 dan selesai pada Juli 2017.
43
2. Triangulasi
Triangulasi merupakan pengecekan kembali terhadap hasil penelitian
dengan media selain yang telah digunakan. Peneliti menggunakan
triangulasi sumber dan metode.
Triangulasi sumber dilakukan dengan cara mengecek data yang telah
diperoleh melalui beberapa sumber. Triangulasi metode dilakukan dengan
cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang
berbeda. Hal ini dilakukan dengan membandingkan data hasil wawancara
dengan data hasil pengamatan dan dokumentasi.
3. Kecukupan referensial
Selain informasi yang terekam, peneliti juga mengumpulkan beberapa
dokumen yang mendukung penelitian. Dokumen tersebut diantaranya : (1)
LKPP KPPN Malang Tahun 2015 dan 2016, (2) Peraturan Pemerintah
Nomor 71 Tahun 2010, (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor
233/PMK.05/2011, (4) Peraturan Menteri Keuangan Nomor
169/PMK.05/2012, (5) Peraturan Menteri Keuangan Nomor
177/PMK.05/2015, (6) Keputusan Dirjen Perbendaharaan No. 239/PB/2015.
4. Pengecekan anggota
Merupakan pengecekan kembali terhadap anggota yang ikut dalam proses
pengumpulan data sangat penting dalam pemeriksaan keabsahan data.
Pengecekan meliputi data, penafsiran, dan kesimpulan. Pengecekan ini
dapat dilakukan secara formal dan informal. Beberapa manfaat pengecekan
diantaranya: (1) memberikan kesempatan kepada responden untuk
memperbaiki kesalahan data dan penafsirannya, (2) memberikan
kesempatan kepada responden untuk memberikan data tambahan dan (3)
44
memberikan kesempatan kepada peneliti untuk mengikhtisarkan hasil
penelitian sementara yang memudahkannya untuk melangkah ke analisis
data
5. Uraian rinci (thick description)
Bertujuan agar orang lain memahami hasil penelitian sehingga ada
kemungkinan untuk menerapkan hasil penelitian tersebut. Peneliti
melaporkan hasil penelitiannya dengan memberikan uraian yang rinci, jelas,
sistematis dan dapat dipercaya. Peneliti dituntut untuk melaporkan uraian
seteliti dan secermat mungkin yang menggambarkan konteks tempat
penelitian diselenggarakan. Dengan demikian, pembaca menjadi jelas dalam
memahami hasil penelitian tersebut sehingga ia dapat memutuskan dapat
atau tidaknya mengaplikasikan hasil penelitian tersebut di tempat lain.
6. Audit kebergantungan
Audit kebergantungan dilakukan oleh dosen pembimbing. Dosen
pembimbing menelaah penelitian yang dilakukan peneliti dari sisi keunikan
dan perbedaan dengan penelitian sebelumnya. Penelitian ini berbeda
dengan penelitian sebelumnya karena penelitian ini berfokus pada analisis
implementasi pelaporan keuangan berbasis akrual berdasarkan PP No. 71
Tahun 2010 pada LKPP KPPN Malang dengan alat analisis Teori
Implementasi Kebijakan dari Edward III (1980).
7. Audit kepastian
Pada tahap ini, peneliti menyiapkan semua data dan hasil penelitian di
lapangan. Penilaian hasil kualitas penelitian ini dilakukan oleh Dosen
Pembimbing. Dosen melakukan uji hasil penelitian yang dikaitkan dengan
45
proses yang telah dilakukan oleh peneliti, sehingga telah memenuhi
pengujian kepastian.
3.7 Teknik Analisa Data
Setelah data terkumpul, penelitian studi kasus akan menemukan banyak
data, dan diperlukan rangkaian analisa data, terutama penentuan data mana
yang sesuai dengan tujuan penelitian penelitian. Pada tahapan ini diperlukan
analisa data sebagai tahapan selanjutnya. Analisa data kualitatif adalah proses
pengorganisasian dan mengurutkan data ke dalam pola atau kategori dan uraian
satuan dasar sehingga lebih mudah untuk dibaca dan diinterpretasikan
(Sugiyono, 2009:240).
Alasan Pemilihan Teknik Analisa Data dari Yin (2014)
Pada awal bab telah disebutkan bahwa peneliti akan menggunakan studi
kasus sesuai dengan kriteria dari Yin. Pada tahap analisa data, beberapa peneliti
terdahulu seperti Stake, Creswell dan Yin telah menemukan tahapan teknik
analisa data dalam model penelitian studi kasus. Pada penelitian ini, analisa data
yang digunakan akan mengadaptasi teknik analisa studi kasus dari Yin (2014).
Alasan peneliti menggunakan teknik analisa studi kasus dari Yin (2014)
karena teknik ini memiliki tahapan penjodohan pola. Penjodohan pola menjadi
pertimbangan utama peneliti karena pada tahapan ini peneliti melakukan
penjodohan dan perbandingan pola yang didasarkan atas data empirik (hasil
penelitian) dengan pola yang diprediksikan. Penelitian studi kasus akan
menemukan banyak data. Dengan banyaknya data yang ditemukan, maka
diperlukan rangkaian analisa data, terutama penentuan data empirik mana saja
yang sesuai dengan pola yang diprediksi (tujuan penelitian). Tujuan penelitian
adalah memahami langkah-langkah implementasi kebijakan pelaporan basis
46
akrual di KPPN Malang. Di dalam langkah-langkah implementasi itu akan
dianalisis faktor pendukung dan penghambat implementasi kebijakan. Pada
penelitian ini, faktor-faktor tersebut akan dibentuk menjadi pola yang
diprediksikan sesuai dengan Teori Implementasi Kebijakan dari Edward III
(1980).
Posisi Teori Edward III (1980) pada Analisa Data Studi Kasus Yin (2013)
Pada Bab II, peneliti telah kemukakan alasan menggunakan Teori
Edward III (1980) sebagai alat analisa data. Pada bagian ini akan dipertegas lagi
kedudukan dari Teori Edward III (1980) pada analisa data studi kasus dari Yin
(2014).
Sebagaimana telah peneliti sebutkan sebelumnya, bahwa analisa data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa studi kasus dari Yin (2014).
Teknik analisa ini memiliki tahapan penjodohan pola. Posisi teori Edward III
(1980) terdapat pada tahapan penjodohan pola. Data empirik akan dijodohkan
dengan data yang diprediksi berdasarkan operasionalisasi 4 faktor dari Teori
Edward III (1980), yakni komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur
birokrasi.
Tahapan Teknik Analisa Data
Teknik analisa data studi kasus dari Yin (2014) memiliki tiga langkah,
yaitu (a) Penjodohan Pola. Pada tahap ini, alat analisis dalam menjodohkan pola
menggunakan Teori Edward III; (b) Pembuatan Eksplanasi; dan (c) Penarikan
Kesimpulan/Verifikasi. Berikut ini akan digambarkan teknik analisa data dalam
penelitian ini dengan mengadopsi teknik analisa studi kasus dari Yin (2014):
47
Gambar 3.1Teknik Analisa Data
Sumber : Adaptasi dari Yin (2014)
Berdasarkan gambar di atas, peneliti melakukan analisis data setelah
melakukan pengumpulan data terkait penerapan pelaporan keuangan berbasis
akrual berdasarkan PP No. 71 Tahun 2010. Pengumpulan data dilakukan baik
secara participant observation, wawancara dan dokumentasi. Dalam tahapan ini
peneliti akan dengan teliti dan serius mengumpulkan data yang berfokus pada
tujuan penelitian.
Setelah semua data terkumpul, peneliti melakukan tahapan penjodohan
pola. Peneliti terlebih dahulu mengelompokkan data-data kasar di lapangan
menjadi 4 (empat) faktor utama dalam teori Implementasi Kebijakan dari George
C. Edward III (komunikasi; sumber daya; disposisi; dan struktur birokrasi).
Pengumpulan Data
(Participant Observation, Wawancara,Dokumentasi)
Penjodohan Pola
(Penjodohan Pola Berdasarkan EmpatFaktor dari Teori Implementasi
Kebijakan Publik dari Edward III)
Komunikasi SumberDaya
Disposisi StrukturBirokrasi
Pembuatan Eksplanasi
Penarikan Kesimpulan/Verifikasi
48
Selanjutnya peneliti akan menampilkan hasil riset atau pendapat dari Edward III
(1980) sebagai pola yang diprediksi. Lalu data kasar yang telah dikelompokkan
sebelumnya akan ditampilkan sebagai pola empirik (hasil penelitian). Kemudian
dilakukan penjodohan pola antara pola yang diprediksi dengan pola empirik (hasil
penelitian) dan dituangkan dalam pendeskripsian hasil penelitian. Hasil
penjodohan pola bisa menunjukkan hubungan yang mendukung atau
menghambat implementasi pelaporan basis akrual, tergantung dari data yang
ditemukan peneliti di lapangan.
Langkah selanjutnya adalah pembuatan eksplanasi atas deskripsi hasil
penelitian. Peneliti memberikan ekplanasi hasil penelitian dengan teks yang
bersifat naratif, tabel dan gambar, sesuai dengan tujuan penelitian yakni
memahami penerapan pelaporan keuangan berbasis akrual berdasarkan PP No.
71 Tahun 2010 pada LKPP KPPN. Setiap akan memulai tahapan selanjutnya,
peneliti akan senantiasa melakukan review ulang untuk menjamin konsistensi
tujuan penelitian. Lalu baru dilakukan penarikan kesimpulan/verifikasi (conclusion
drawing/verification).
49
BAB IVIMPLEMENTASI KEBIJAKAN AKUNTANSI
PELAPORAN PEMERINTAH BERBASIS AKRUAL PADAKPPN MALANG
Pada bagian ini akan ditampilkan hasil penelitian dan wawancara peneliti
dalam rangka menjawab rumusan masalah peneltian, yakni bagaimana
implementasi kebijakan pelaporan basis akrual pada KPPN Malang. Pada bagian
pertama, peneliti akan memberikan sekilas mengenai gambaran umum Kantor
Pelayanan Perbendaharaan Negara Malang.
4.1 Gambaran Umum Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Malang
Di dalam PMK No.169/PMK.01/2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan disebutkan bahwa Kantor
Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) adalah instansi vertikal Direktorat
Jenderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada
Kepala Kantor Wilayah. KPPN yang ada di Indonesia di bedakan menjadi 5 jenis
tipe, yaitu:
a. KPPN Tipe A1
b. KPPN Tipe A2
c. KPPN Khusus Pinjaman dan Hibah
d. KPPN Khusus Penerimaan
e. KPPN Khusus Investasi
Pembagian tipe KPPN A1 dan A2 didasarkan pada beban kerja/jumlah
satker yang dilayani. Sampai dengan tahun 2012, total ada 181 KPPN, di mana
KPPN Malang termasuk dalam KPPN Tipe A1. KPPN Malang memiliki beban
kerja sejumlah 222 satuan kerja di Kota Malang, Kota Pasuruan, Kota Batu,
Kabupaten Malang dan Kabupaten Pasuruan.
50
KPPN Malang berlokasi di Jalan Merdeka Selatan No 1-2 Kiduldalem,
Klojen – Malang. Sebagai salah satu instansi vertikal Direktorat Jenderal
Perbendaharaan, KPPN Malang memiliki visi dan misi yang sejalan dengan
reformasi di bidang keuangan negara, yang bertujuan untuk mewujudkan good
governance dan clean government. Visi dari KPPN Malang adalah menjadi
pengelola perbendaharaan negara di daerah yang profesional, modern,
transparan dan akuntabel. Sedangkan misi yang KPPN Malang adalah: (1)
Menjamin kelancaran pencairan dana APBN secara tepat sasaran, tepat waktu
dan tepat jumlah; (2) Mengelola penerimaan negara secara profesional dan
akuntabel; (3) Mewujudkan pelaporan pertanggungjawaban APBN yang akurat
dan tepat waktu; (4) Mendukung pelaksanaan sistem perbendaharaan yang
andal, profesional dan modern
Sebagai KPPN Tipe A1, KPPN Malang mempunyai tugas melaksanakan
kewenangan perbendaharaan dan bendahara umum negara, penyaluran
pembiayaan atas beban anggaran, serta penatausahaan penerimaan dan
pengeluaran anggaran melalui dan dari kas negara berdasarkan peraturan
perundang-undangan. Berikut akan ditampilkan struktur organisasi dari KPPN
Malang:
51
Gambar 4.1Struktur Organisasi KPPN Malang
Sumber : PMK No.169/PMK.01/2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja InstansiVertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan
Dalam implementasi kebijakan pelaporan keuangan berbasis akrual,
Seksi Verifikasi dan Akuntansi (Vera) KPPN Malang berperan dalam penyusunan
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). Di dalam PMK No.
169/PMK.01/2012 disebutkan:
“Seksi Verifikasi dan Akuntansi mempunyai tugas melakukan verifikasipembayaran, rekonsiliasi laporan akuntansi, penyusunan LaporanKeuangan tingkat Kuasa BUN, pelaporan realisasi dan analisis kinerjaanggaran serta analisis data statistik laporan keuangan”.
Jumlah sumber daya manusia yang dimiliki KPPN Malang berjumlah 46 orang
dengan komposisi sebagai berikut:
52
Tabel 4.1Komposisi Sumber Daya Manusia KPPN Malang
No Jumlah Pegawai
1. Kepala Kantor 1
2. Sub Bagian Umum 9
3. Seksi Pencairan Dana 13
4. Seksi Bank/Giro Pos 7
5. Seksi Verifikasi dan Akuntansi 7
6. Seksi Manajemen Satker & Kepatuhan
Internal
6
Jumlah 43
Sumber : Kepegawaian KPPN Malang Tahun 2017
Di dalam Rencana Strategis Ditjen Perbendaharaan 2015-2019, KPPN
Malang dan KPPN lainnya dihadapkan pada penajaman fungsi KPPN sebagai
Kuasa Bendahara Umum Negara (BUN) dalam pelaksanakan tugas pencairan
dana APBN, supervisi dan bimbingan teknis kepada satker, serta standardisasi
pengelolaan keuangan pemerintah. Di samping itu, peran KPPN juga akan
diarahkan menjadi “learning organization” bagi satuan kerja. Proses bisnis Ditjen
Perbendaharaan periode 2015-2019 difokuskan untuk mewujudkan Ditjen
Perbendaharaan sebagai learning organization yaitu organisasi yang analitikal,
ilmiah, inovatif dan responsif terhadap perubahan (Keputusan Dirjen
Perbendaharaan No. 239/PB/2015 tentang Rencana Strategis Ditjen
Perbendaharaan Tahun 2015-2019)
Untuk mendorong peningkatan kualitas, berbagai prestasi telah diraih
oleh KPPN Malang. Dikutip dari https://kppnmalang.com, KPPN Malang
53
merupakan KPPN pertama yang meraih penghargaan Kantor Pelayanan
Percontohan (KPPc) di tahun 2013; penghargaan WBBM (Wilayah Birokrasi
Bersih dan Melayai) pada tahun 2014; dan satu dari 4 (empat) KPPN yang telah
memiliki sertifikat ISO 9001:2008.
Diraihnya sertifikat berstandar internasional (ISO) 9001:2008 dengan
nomor register sertifikat FS 717139 oleh KPPN Malang menunjukkan keseriusan
KPPN dalam rangka pengelolaan keuangan negara secara profesional, efisien
dan efektif melalui penerapan quality assurance. ISO 9001:2008 merupakan
proses pengelolaan organisasi (perencanaan, penerapan, evaluasi dan
penyempurnaan) yang ditujukan untuk menghasilkan output yang sesuai dan
terstandar dengan harapan memenuhi kebutuhan stakeholder.
4.2 Kebijakan Pelaporan Pemerintah Berbasis Akrual Pada KPPN Malang
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) merupakan output utama
dari kebijakan pelaporan berbasis akrual pada KPPN Malang. Kebijakan pokok
sebagai dasar KPPN Malang dalam implementasi pelaporan berbasis akrual
adalah PP No. 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah Berbasis
Akrual dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 177/PMK.05/2015 tentang
Pedoman Penyusunan dan Penyampaian Laporan Keuangan Kementerian
Negara/Lembaga sebagai petunjuk teknisnya.
Di dalam PP No. 71 Tahun 2010 ditunjukkan perbedaan dari pelaporan
pemerintah berbasis akrual dibandingkan dengan basis sebelumnya (basis kas
dan basis kas menuju akrual). Perbedaan ini terlihat pada jenis laporan yang
dihasilkan, dimana SAP Basis Akrual menghasilkan Laporan Operasional dan
Laporan Perubahan Ekuitas sebagai laporan terbaru berbasis akrual.
54
Tabel 4.2Perbedaan Laporan SAP Basis Akrual dan SAP Basis Kas Menuju Akrual
SAP Basis Akrual SAP Basis Kas Menuju AkrualLaporan Realisasi Anggaran Laporan Realisasi Anggaran
Laporan Arus Kas Laporan Arus Kas
Neraca(“Ekuitas” tidak dirinci)
Neraca, dengan Ekuitas Dana dirinci :1. Ekuitas Dana Lancar2. Ekuitas Dana Investasi3. Ekuitas Dana Cadangan
Laporan Perubahan Saldo AnggaranLebih
Laporan Perubahan Saldo AnggaranLebih
Laporan Operasional -Laporan Perubahan Ekuitas -
Sumber : Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2010
Definisi SAP Berbasis Akrual sendiri di dalam PP No. 71 Tahun 2010 adalah,
“SAP Berbasis Akrual adalah SAP yang mengakui pendapatan, beban,aset, utang, dan ekuitas dalam pelaporan finansial berbasis akrual, sertamengakui pendapatan, belanja, dan pembiayaan dalam pelaporanpelaksanaan anggaran berdasarkan basis yang ditetapkan dalamAPBN/APBD”.
Pada PP No. 71 Tahun 2010, konsep dasar akuntansi basis akrual memiliki dua
pilar utama, yaitu:
a. Pengakuan pendapatan:
Saat pengakuan pendapatan pada basis akrual adalah pada saat instansimempunyai hak untuk melakukan penagihan dari hasil kegiatan instansi.Dalam konsep basis akrual menjadi hal yang kurang penting mengenaikapan kas benar-benar diterima. Sehingga dalam basis akrual kemudianmuncul adanya estimasi piutang tak tertagih, sebab penghasilan sudahdiakui padahal kas belum diterima.
b. Pengakuan biaya:
Pengakuan biaya dilakukan pada saat kewajiban membayar sudahterjadi. Sehingga dengan kata lain, pada saat kewajiban membayar sudahterjadi, maka saat itu pula sudah muncul biaya meskipun biaya tersebutbelum dibayar.Hasil wawancara dengan Kepala KPPN Malang (Bapak Susanto)
menyatakan bahwa kebijakan penyusunan laporan basis akrual telah diterapkan
55
pada penyusunan LKPP KPPN Malang Tahun 2015 dan 2016. Berikut kutipan
wawancara dengan Beliau:
“Sejak tahun 2015 penyusunan LKPP telah menerapkan basis akrual. Halini sesuai dengan arahan pimpinan dan Peraturan Pemerintah yangmengamanatkan penerapan basis akrual sebagai pilihan terbaik dalampertanggungjawaban keuangan negara”.
Di dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 177/PMK.05/2015 tentang
Pedoman Penyusunan dan Penyampaian Laporan Keuangan Kementerian
Negara/Lembaga diatur bahwa LKPP Tingkat KPPN dilaporkan ke Kanwil Ditjen
Perbendaharaan setiap tanggal 13 bulan berikutnya. Lampiran laporan yang ada
pada LKPP ini terdiri dari:
1. Laporan Arus Kas (Face) Tingkat KPPN;
2. Neraca Tingkat KPPN (Ledger Kas);
3. Laporan Realisasi Anggaran Tingkat KPPN (Face);
4. Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih Tingkat Kuasa BUN KPPN;
5. Laporan Operasional Tingkat Kuasa BUN KPPN;
6. Laporan Perubahan Ekuitas Tingkat KPPN;
7. Neraca Tingkat KPPN (Ledger Akrual);
8. Laporan Arus Kas Per Akun Tingkat KPPN;
9. Laporan Realisasi Pendapatan dan Hibah Tingkat KPPN Menurut Akun;
10. Laporan Realisasi Anggaran Belanja Menurut Sumber Dana, Fungsi, Sub
Fungsi, Program Kegiatan;
11. Laporan Realisasi Anggaran Belanja Menurut Bagian Anggaran, Eselon I,
Satker dan Kewenangan;
12. Laporan Realisasi Anggaran Belanja Menurut Bagian Anggaran dan Jenis
Belanja;
56
13. Laporan Realisasi Anggaran Belanja Menurut Jenis Belanja.
Kebijakan penyusunan laporan berbasis akrual terdapat pada Neraca,
Laporan Operasional dan Laporan Perubahan Ekuitas, sesuai dengan PP No. 71
Tahun 2010. Laporan Arus Kas, Laporan Realisasi Anggaran dan Laporan
Perubahan Saldo Anggaran Lebih disusun menggunakan pelaporan berbasis
kas. Laporan ini tetap masuk ke dalam SAP Basis Akrual karena laporan ini
bertujuan untuk memfasilitasi kebutuhan dari pertanggungjawaban Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara yang masih berbasis kas. Sebagaimana kita
ketahui, penyusunan anggaran di Negara Indonesia termasuk dalam kelompok
Negara yang masih menerapkan penganggaran basis kas. Sampai sekarang,
mungkin hanya Negara Selandia Baru dan Inggris yang berhasil menerapkan
anggaran berbasis akrual sebagai bagian melekat pada basis akuntansi akrual
(Athukorala dan Reid, 2003). Berikut kutipan wawancara dengan Pjs. Kepala
Seksi Vera KPPN Malang (Bapak Marjanto):
“Kita nyusun LKPP basis akrual sesuai dengan PP 71 Tahun 2010 mas.Disitu sudah ada petunjuknya dan yang pasti laporan yang sudah adaselama ini tetap berdampingan dengan laporan basis akrual (LO) karenaanggaran kita masih cash basis”.
Kebijakan tambahan yang digunakan oleh KPPN Malang adalah
penambahan informasi akrual dari satuan kerja sewaktu menyampaikan laporan
keuangan. Informasi akual ini digunakan dan mempermudah dalam analisa
laporan keuangan. Satuan kerja yang melakukan penjurnalan penyesuaian,
maka akan diberikan kebijakan tambahan yaitu permintaan informasi akrual,
sebagaimana hasil wawancara dengan Ndaru (penyusun LKPP) sebagai berikut:
“Untuk satker-satker yang melakukan adjustment (jurnal penyesuaian),kita perlu informasi akrualnya mas. Jadi mudah untuk analisalaporannya”.
57
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa output kebijakan
pelaporan basis akrual terlihat pada LKPP tingkat KPPN Malang. Kebijakan
pokok KPPN Malang dalam penerapan pelaporan basis akrual adalah PP No. 71
Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah Berbasis Akrual dan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 177/PMK.05/2015 tentang Pedoman
Penyusunan dan Penyampaian Laporan Keuangan Kementerian
Negara/Lembaga. Sedangkan kebijakan tambahan adalah permintaan informasi
akrual untuk satuan kerja yang melakukan penjurnalan penyesuaian. Walau
kebijakan penyusunan LKPP telah berbasis akrual, namun pelaporan lain yang
berbasis kas masih ada sebagai pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran.
4.3 Implementasi Kebijakan Pelaporan Pemerintah Berbasis Akrual PadaKPPN Malang
Dalam rangka implementasi kebijakan pelaporan basis akrual pada
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat, Seksi Verifikasi dan Akuntansi KPPN
Malang berperan sebagai pelaksana utama dan penyusun LKPP. LKPP pada
tingkat KPPN ini diberi nama sebagai Laporan Keuangan tingkat Kuasa BUN.
Laporan Keuangan ini merupakan konsolidasian Laporan Keuangan dari 222
satuan kerja Kementerian Negara/Lembaga mitra KPPN Malang. Definisi dari
konsolidasi di dalam PP No. 71 Tahun 2010 adalah:
“Proses penggabungan antara akun-akun yang diselenggarakan olehsuatu entitas pelaporan dengan entitas pelaporan lainnya, entitasakuntansi dengan entitas akuntansi lainnya, dengan mengeliminasi akun-akun timbal balik agar dapat disajikan sebagai satu entitas pelaporankonsolidasian”.
Gambar 4.2 berikut akan menunjukkan proses penyusunan LKPP Tingkat KPPN
berdasarkan Kepdirjen Perbendaharaan No. 287/PB/2015 tentang Standar
Operasional Prosedur KPPN:
58
Gambar 4.2Prosedur Penyusunan LKPP Tingkat KPPN
Sumber : Kepdirjen Perbendaharaan No. 287/PB/2015
Dari hasil penelitian dan berdasarkan Kepdirjen Perbendaharaan No.
287/PB/2015 tentang Standar Operasional Prosedur KPPN, KPPN Malang
melakukan beberapa langkah berikut dalam pelaksanaan kebijakan pelaporan
berbasis akrual. Pembagian langkah-langkah kegiatan berdasarkan timeline
dalam satu periode pelaporan.
4.3.1 Persiapan Pelaksanaan Kebijakan Pelaporan Berbasis Akrual
a. Pembentukan Tim Rekonsiliasi dan Penyusunan LKPP
Dalam pelaksanaan kebijakan pelaporan basis akrual, pembentukan tim
rekonsiliasi dan penyusunan LKPP dilakukan di awal tahun pelaporan. Hal ini
biasa dilakukan dengan dituangkan di dalam kontrak kinerja dari setiap pegawai.
Tim rekonsiliasi bertanggung jawab dalam pelaksanaan rekonsiliasi laporan
keuangan. Sedangkan tim penyusun LKPP bertanggung jawab dalam
melakukan rekonsiliasilaporan keuangan dari
satuan kerja
melakukan konsolidasilaporan keuangan dari
satuan kerja
mencetak dan menganalisaLAK, LRA, LO, LPE, LPSAL dan
Neraca
membandingkan saldo kaspada LAK dengan saldo kas
pada Laporan Kas Posisi
menyusun Catatan AtasLaporan Keuangan
membuat pernyataantanggung jawab
menyiapkan lampiran dalamLKPP (daftar rekening satkerbeserta saldo, rincian kas di
bendahara satker)
menjelaskan selisih saldoantara saldo Kas di
Bendahara Pengeluaranpada Neraca dan saldo di
rekening koran
membuat surat pengantarLKPP dan melaporkan LKPPke Kanwil Perbendaharaanpaling lambat tgl 13 bulan
berikutnya
59
penyelesaian pelaporan keuangan di dalam LKPP, sebagai helpdesk
permasalahan dan pelatihan satuan kerja.
Pada KPPN Malang, kedua tim ini berasal dari seksi verifikasi dan akuntansi
KPPN Malang. Jumlah tim rekonsiliasi adalah 6 orang, sedangkan tim penyusun
LKPP berjumlah 2 orang. Penyusun utama LKPP juga merangkap sebagai tim
rekonsiliasi guna meningkatkan kualitas penyusunan LKPP. Berikut kutipan
wawancara dengan Bapak Marjanto (Pjs. Kepala Seksi Vera):
“Disini setiap awal tahun ditetapkan dua tim mas. Tim rekon sama tim LKPP.Tim rekonnya 6 orang, tim LKPP nya 2 orang. Kedua tim ini lah yang jadibemper kita dalam menghadapi pelaporan basis akrual”.
b. Melakukan Sosialisasi, Bimbingan Teknis (Bimtek) dan PendidikanPelatihan (Diklat)
Pada tahap persiapan, kegiatan sosialisasi, bimtek dan diklat dilakukan
sebagai bentuk komunikasi kebijakan pelaporan basis akrual. Kegiatan ini tidak
hanya dilakukan ke pihak luar (satker) saja, namun juga melibatkan pihak dalam
(pegawai KPPN Malang). Edward III (1980) menyatakan bahwa komunikasi
kebijakan yang baik akan menjamin kesamaan implementasi kebijakan di setiap
implementor.
KPPN Malang melakukan kegiatan sosialisasi/bimtek/diklat minimal 2 kali
dalam setahun. Untuk satuan kerja, kegiatan ini dilakukan terutama pada
penyusunan laporan keuangan semesteran. Satker secara umum sudah tidak
mengalami kesulitan penerapan akrual. Proses akrual pada satker kebanyakan
terjadi pada belanja pegawai seperti rapel gaji, pada belanja barang atau modal
seperti pada pembayaran uang muka kerja. Berikut kutipan wawancara dengan
Ibu Aaz (tim penyusun LKPP/helpdesk KPPN Malang):
“sosialisasinya gak hanya satu arah mas, dua arah. Kita kasih materi, terusmereka dipersilahkan bertanya. Rata-rata udah paham kok akrual. Pokoknya
60
kita juga udah wanti-wanti di belanja pegawai, kayak rapel gaji sama uangmuka belanja modal”.
Sosialisasi/bimtek/diklat ke dalam (pegawai KPPN Malang) dilakukan
minimal 1 kali dalam setahun. Kegiatan ini dimulai sejak persiapan penerapan
basis akrual dengan mendatangkan narasumber dari Badan Diklat Keuangan
dan akademisi. Berikut kutipan wawancara dengan Kepala KPPN Malang (Bapak
Susanto):
“Dan menuju ke perbaikan dalam pelaporan kita. Kita malah harusnyabelajar dan belajar. Itu kuncinya. Kita lakukan pelatihan, sosialisasi.Kerjasama dengan BPPK, dengan akademisi, dan bukan hanya ke satker,tapi ke semua pegawai. Karena di kita lah tanggung jawab utamanya”.
c. Pelatihan kepada Satuan Kerja melalui Mini – Treasury Learning Center(TLC)
Pada tahap persiapan, untuk menjamin kesiapan satker dalam penyusunan
laporan keuangan berbasis akrual, KPPN Malang menyediakan layanan
pelatihan di ruangan mini TLC. Kegiatan ini dilakukan pada hari Senin dan
Selasa, dari pukul 08.00 sampai 15.00 WIB.
Proses pelatihan ini selalu antusias diikuti satuan kerja. Kebanyakan satuan
kerja melakukan pelatihan jurnal penyesuaian di belanja pegawai dan belanja
modal. Belanja pegawai terkait dengan rapel/kekurangan gaji, sedangkan belanja
modal terkait pembayaran uang muka kerja dan penyusutan. Berikut kutipan
wawancara dengan Bapak Marjanto (Pjs. Kepala Seksi Vera):
“Ruangan ini (mini TLC) merupakan ruangan bagi satker yang ingin privatmas. Kebanyakan disini belajar bikin laporan, ngejurnal (penyesuaian),kayak rapel gaji, uang muka. Disini pegawai seksi vera standby hari seninsama selasa”.
61
4.3.2 Pelaksanaan Kebijakan Pelaporan Berbasis Akrual
a. Rekonsiliasi sebagai Sarana Konsolidasi Pelaporan Keuangan
Seksi verifikasi dan akuntansi KPPN Malang memulai pelaksanaan kebijakan
pelaporan basis akrual dengan melakukan rekonsiliasi sebagai sarana
konsolidasi laporan dari satuan kerja Kementerian Negara/Lembaga. Di dalam
PMK No. 210/PMK.05/2013 tentang Pedoman Rekonsiliasi Dalam Rangka
Penyusunan Pelaporan Keuangan Lingkup Bendahara Umum Negara dan
Kementerian Negara/Lembaga, proses rekonsiliasi wajib dilakukan sebelum
satuan kerja dan KPPN menyampaikan laporan keuangan ke unit vertikal di
atasnya. Definisi dari rekonsiliasi di dalam PMK No. 210/PMK.05/2013 adalah:
“Proses pencocokan data transaksi keuangan yang diproses denganbeberapa sistem/subsistem yang berbeda berdasarkan dokumen sumberyang sama”.
Proses rekonsiliasi dilakukan paling lambat tanggal 10 (sepuluh) setiap akhir
bulan berkenaan. Satuan kerja menyerahkan laporan keuangan berikut untuk
dilakukan rekonsiliasi dengan KPPN: Laporan Realisasi Anggaran; Laporan
Operasional; Laporan Perubahan Ekuitas; dan Neraca. Hasil rekonsiliasi ini
nantinya akan dituangkan dalam Berita Acara Rekonsiliasi (BAR) yang
ditandatangani oleh kedua belah pihak (satuan kerja dan KPPN). Setelah tidak
ditemukan masalah dalam proses rekonsiliasi, KPPN Malang baru bisa
melakukan penyusunan LKPP.
Rekonsiliasi menjadi titik krusial awal peneliti dalam penelitian ini,
dikarenakan peneliti pernah mengalami permasalahan proses rekonsiliasi di awal
penerapan basis akrual (2015). Dari hasil wawancara dengan informan kunci
(Ndaru), diperoleh informasi bahwa proses rekonsiliasi sekarang dilakukan
melalui aplikasi e-rekon. Berikut kutipan wawancara dengan saudara Ndaru:
62
”Sekarang rekonsiliasinya sudah enak mas. Sudah mandiri, online, gak perlununggu lama lagi kayak dahulu. Namanya e-rekon. Tanggal rekonsiliasinyajuga berdasarkan hasil koordinasi pimpinan K/L dengan kantor pusat kita.Pokoknya enak udah mas”.
Aplikasi e-rekon merupakan aplikasi mandiri rekonsiliasi laporan keuangan
antara KPPN dengan satuan kerja. Kata mandiri memiliki arti aplikasi ini
dilakukan secara mandiri oleh satuan kerja, tidak perlu antri ke KPPN Malang
atau secara online. Aplikasi ini resmi dirilis setelah keluarnya surat Direktur
Jenderal Perbendaharaan nomor S-4839/PB/2016 hal Pelaksanaan Rekon
Eksternal Tingkat KPPN Bulan Januari s.d Mei 2016. Pelaksanaan rekonsiliasi ini
dilakukan berbeda-beda setiap bulan, sehingga surat Direktur Jenderal
Perbendaharaan sebagai petunjuk teknis (juknis) di dalam pelaksaan rekonsiliasi
akan selalu ditetapkan setiap bulan. Tanggal pelaksanaan rekonsiliasi berbeda-
beda setiap bulan, mengikuti hasil koordinasi antara Direktorat Akuntansi dan
Pelaporan Keuangan dengan Kementerian Negara/Lembaga. Berikut hasil
wawancara dengan petugas helpdesk KPPN Malang (Ibu AAZ):
“Sekarang ya gitu mas, rekonnya sudah enak. Lancar, mandiri, online. Terustanggalnya juga bisa diatur. Berdasarkan hasil koordinasi APK dengan KL.Biasanya antara tanggal 7 sampai 20”.
63
Gambar 4.3Proses Aplikasi e-Rekon
Sumber : e-rekon-lk.djpbn.kemenkeu.go.id
Pelaksanaan rekonsiliasi secara online melalui e-rekon, memang masih
diatur melalui Surat Dirjen Perbendaharaan. Namun e-rekon sangat membantu,
terutama dalam mengantisipasi permasalahan yang ditimbulkan dari penerapan
pelaporan berbasis akrual.
b. Koordinasi dan Layanan Konsultasi
Pada tahapan pelaksanaan kebijakan, untuk menjamin keselarasan, KPPN
Malang melakukan proses koordinasi dan layanan konsultasi dengan satuan
kerja. Koordinasi merupakan elemen komunikasi kebijakan sebagaimana di
dalam Teori Edward III (1980). KPPN Malang memanfaatkan media sosial seperti
whatsapp, facebook dan website KPPN Malang dalam melakukan koordinasi
dengan satuan kerja. Berikut kutipan wawancara dengan petugas helpdesk
KPPN Malang (Ibu AAZ):
“Kalau satker mas, koordinasinya pakai medsos. WA, FB, web. Kebanyakansih WA mas, soalnya kita punya WA grup. Hampir tiap hari lah WA grup kitagak pernah sepi”.
64
Pada proses konsultasi terkait pelaporan akrual, KPPN Malang melakukan
layanan ini di meja front office Seksi Vera. Petugas yang memberikan layanan ini
berasal dari tim helpdesk/penyusun LKPP KPPN Malang. Konsultasi ini banyak
berisi seputar permasalahan dalam melakukan penjurnalan penyesuaian dan
pelaporan. Layanan konsultasi biasanya meningkat di masa rekonsiliasi laporan
keuangan. Proses konsultasi ini memiliki dampak yang baik dengan
meningkatnya pengetahuan satker seputar penyusunan laporan basis akrual.
Berikut kutipan wawancara dengan ibu AAZ (petugas helpdesk KPPN Malang):
“Buat satker yang mengalami kendala dalam pelaporan mas, kami jugamelayani konsultasi. Konsultasinya ya disini (meja front office). Kalau lagimasa rekon, konsultasinya (lumayan) rame”.
4.3.3 Pengukuran Pelaksanaan Kebijakan Pelaporan Basis Akrual
a. Pencocokan Saldo Hasil Rekonsiliasi
Tahapan ketiga pelaksanaan pelaporan basis akrual dimulai dengan
kelanjutan proses rekonsiliasi. Proses ini terutama dilakukan dengan
mencocokkan saldo hasil rekonsiliasi. Pencocokan saldo semakin krusial di masa
akrual ini, terkait dengan hasil adjustment yang dilakukan oleh satker.
Setelah penerapan basis akrual, satker dapat melakukan penjurnalan
penyesuaian melalui menu yang ada di aplikasi Sistem Akuntasi Berbasis Akrual
(SAIBA). Setelah mendapati informasi ini, peneliti langsung intensif melanjutkan
pertanyaan seputar pelaksanaan akrual di satuan kerja.
Informan kunci (Ndaru-penyusun LKPP) memberikan keterangan bahwa
pelaksanaan basis akrual di tingkat satker telah memasuki tahun ketiga. Satker
secara umum telah memahami apa itu akrual. Aplikasi SAIBA juga telah
65
menunjang pelaksanaan akrual, karena menu jurnal penyesuaian sangat mudah
digunakan. Setiap kita akan memasukkan suatu transaksi penyesuaian, maka
akan muncul kategori jurnal penyesuaian. Daftar akun beserta lawan akunnya
akan otomatis muncul. Berikut kutipan wawancara dengan informan kunci:
“Alhamdulillah mas. Satker sudah paham kok apa itu akrual. Apalagi sudahmasuk tahun ketiga. Sosialisasi dan latihan juga sering kita kasih. AplikasiSAIBA enak pokoknya mas. Manjain bangetlah. Mau jurnal penyesuaianapa, udah ada daftarnya. Akunnya juga udah dibuat pasang-pasangan.Pokoknya enak wes”.
Gambar 4.4Tampilan Jurnal Penyesuaian Pada Aplikasi SAIBA
Sumber : Aplikasi SAIBA (diolah)
Pengawasan apakah satker telah melakukan penjurnalan penyesuaian
dengan benar dapat dilihat dari aplikasi e-rekon. Pada posisi ini, KPPN Malang
melakukan pencocokan penjurnalan penyesuaian dari satuan kerja. Apabila
terjadi kesalahan dalam penjurnalan, maka saldo akhir proses rekonsiliasi akan
menunjukkan angka yang tidak seimbang. Berikut kutipan wawancara dengan
Ndaru (penyusun LKPP):
“Tenang aja mas. Walau satker bisa menginput jurnal penyesuaian secaramandiri, tapi pengawasan tetap kita yang melakukan. Kalau mereka salahmenjurnal, pasti saldo nya gak balance”.
66
b. Pencocokan Saldo antara Seksi Verifikasi dan Akuntansi, Seksi Bankdan Seksi Pencairan Dana
Setelah melakukan pencocokan saldo hasil penjurnalan penyesuaian
dengan satuan kerja, tahapan selanjutnya adalah melakukan pencocokan saldo
di internal KPPN Malang. Proses ini dilakukan dengan mencocokkan saldo di
antara tiga seksi, yaitu Seksi Verifikasi dan Akuntansi, Seksi Bank dan Seksi
Pencairan Dana. Saldo yang dimaksudkan disini berupa saldo kas dan saldo
akun-akun yang memiliki informasi akrual.
Terkait dengan saldo kas, di masa sebelum penerapan basis akrual saldo ini
sangat jarang berbeda di antara ketiga seksi. Namun semenjak penerapan basis
akrual, saldo ini menuntut perhatian lebih, terkait adanya penjurnalan
penyesuaian dari satker. Berikut hasil wawancara dengan informan (Bapak Md –
petugas rekonsiliasi):
“sejak ada basis akrual ini mas, jadi butuh lebih hati-hati nyocokin saldo.Terutama sama seksi PD, karena kan mereka melakukan pembayaran kesatker. Nah kadang ada yang tiba-tiba diakrualin, kita nyocokin lagi.Pokoknya ya berubah semua”.
Dari hasil dokumentasi, dokumen yang diperlukan dalam pencocokan saldo kas
dan akun-akun yang memiliki informasi akrual pada ketiga seksi ini adalah:
Seksi Verifikasi dan Akuntansi : Laporan Arus Kas, Laporan Realisasi
Anggaran, Laporan Operasional dan Neraca
Seksi Bank : Laporan Kas Posisi Lengkap (sampai per Kode Akun),
Laporan Rekening Koran.
Seksi Pencairan Dana : Rincian Kas di Bendahara Pengeluaran,
Laporan Realisasi Anggaran, Kartu Pengawasan Kontrak.
67
4.3.4 Pelaporan Pelaksanaan Kebijakan Pelaporan Berbasis Akrual
a. Penyajian Laporan-Laporan pada Laporan Keuangan Pemerintah Pusat
Pada tahapan penyajian laporan, secara umum peneliti dapat menyimpulkan
laporan yang terdapat pada Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2015
dan 2016 telah melaksanakan kebijakan pelaporan berbasis akrual. Laporan ini
dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu Laporan Pelaksanaan Anggaran
(Laporan Realisasi Anggaran dan Laporan Perubahan SAL) dan Laporan
Financial (Laporan Operasional, Neraca, Laporan Perubahan Ekuitas dan
Laporan Arus Kas).
Hasil penelitian terkait penyajian laporan pada LKPP tingkat KPPN Malang
yang menarik dan titik krusial terdapat pada perbandingan LRA dan LO serta
Neraca yang menggunakan dua basis (basis kas dan basis akrual). Penggunaan
kedua basis pada Neraca bertujuan untuk memfasilitasi kedua tujuan pelaporan
yaitu laporan pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran yang berbasis kas
dan laporan financial yang berbasis akrual.
Laporan Realisasi Anggaran vs Laporan Operasional
Perbedaan yang sangat siginifikan dalam perubahan basis akuntansi
pemerintah, adalah lahirnya Laporan Operasional (LO). Sekilas antara laporan
realisasi anggaran (LRA) sama dengan laporan operasional (LO) (Hariyanto,
2012). Perbedaan yang paling mencolok dari keduanya adalah LRA
menggunakan basis kas sedangkan LO menggunakan basis akrual.
Untuk melihat perbedaan antara LRA dan LO, terlebih dahulu mari kita lihat
Laporan Realisasi Anggaran Tingkat KPPN Malang Tahun 2015 pada tabel 4.3 di
bawah ini. Pelaporan keuangan pemerintah akan selalu berisi Laporan Realisasi
68
Anggaran karena akuntansi pemerintahan merupakan pencatatan atau akuntansi
anggaran (Hariyanto, 2012). LRA merupakan bentuk pertanggungjawaban KPPN
Malang dalam melaksanakan APBN di wilayah kerjanya dan disusun dengan
menggunakan basis kas. Definisi dari Pendapatan dan Belanja pada LKPP
KPPN Malang berdasarkan PP No.71 Tahun 2010 sebagai berikut:
a. Pendapatan-LRA;
Adalah semua penerimaan Rekening Kas Umum Negara/Daerah yangmenambah Saldo Anggaran Lebih dalam periode tahun anggaran yangbersangkutan yang menjadi hak pemerintah, dan tidak perlu dibayar kembalioleh pemerintah. Pendapatan LRA diakui pada saat kas diterima di RekeningKas Umum Negara/Daerah atau oleh entitas pelaporan.
b. Belanja;
Adalah semua pengeluaran dari Rekening Kas Umum Negara/Daerah yangmengurangi Saldo Anggaran Lebih dalam periode tahun anggaranbersangkutan yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali olehpemerintah. Belanja diakui berdasarkan terjadinya pengeluaran dariRekening Kas Umum Negara/Daerah atau entitas pelaporan.
69
Tabel 4.3Laporan Realisasi Anggaran Tingkat KPPN Malang
Untuk Tahun Yang Berakhir 31 Desember 2015 (Audited)
NO URAIANREALISASI
SAMPAI DENGANTAHUN INI
A Pendapatan Negara dan HibahI. Penerimaan Perpajakan 71.422.956.338.818
1. Pajak Dalam Negeri2. Pajak Perdagangan Internasional
71.379.308.416.37343.647.922.445
II. Penerimaan Negara Bukan Pajak 1.578.347.253.957
1. Penerimaan Sumber Daya Alam2. Bagian Pemerintah atas Laba BUMN3. Penerimaan Negara Bukan Pajak Lainnya4. Pendapatan BLU
00
183.580.974.3591.394.766.279.598
III. Penerimaan Hibah 0Jumlah Pendapatan Negara dan Hibah 73.001.303.592.775
B Belanja NegaraI. Belanja Pemerintah Pusat 6.083.396.270.072
1. Belanja Pegawai2. Belanja Barang3. Belanja Modal4. Pembayaran Bunga Utang5. Subsidi6. Belanja Hibah7. Bantuan Sosial8. Belanja Lain-lain
3.106.556.080.3632.014.263.136.636
882.937.355.573000
79.639.697.5000
II. Transfer ke Daerah 0
1. Dana Perimbangan2. Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian
00
Jumlah Belanja Negara 6.083.396.270.072C Surplus (Defisit) Anggaran 66.917.907.322.703D Pembiayaan
I. Pembiayaan Dalam Negeri 0
1. Rekening Pemerintah2. Privatisasi dan Penjualan Aset Program Restrukturisasi3. Surat Berharga Negara (Neto) Penerimaan Surat BerhargaNegaraPengeluaran untuk Pembayaran / Pelunasan SuratBerharga Negara4. Pinjaman dalam negeri5. PMN/ Dana Investasi Pemerintah6. Kewajiban Penjaminan7. Dana Pengembangan Pendidikan Nasional8. Pembiayaan Lain-lain
0000
0
00000
II. Pembiayaan Luar Negeri (Neto) 0
1. Penarikan Pinjaman Luar Negeri (Bruto) 0
a. Penarikan Pinjaman Programb. Penarikan Pinjaman Proyek2. Penerusan Pinjaman3. Pembayaran Cicilan Pokok Utang Luar Negeri
0000
E SILPA (SIKPA ) 66.917.907.322.703
Sumber : LKPP Audited KPPN Malang Tahun 2015 (data diolah)
70
Dari tabel di atas bisa disimpulkan secara umum bahwa KPPN Malang
sampai dengan tahun 2015 telah berhasil mengumpulkan pendapatan sebesar
Rp.73.001.303.592.775,- merealisasikan belanja sebesar
Rp.6.083.396.270.072,- dan menghasilkan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran
sebesar Rp. 66.917.907.322.703,-.
Selanjutnya kita akan melihat Laporan Operasional Tingkat KPPN Malang.
Laporan operasional menyajikan ikhtisar sumber daya ekonomi yang menambah
ekuitas untuk kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dalam satu periode
pelaporan. Akun yang terdapat pada laporan ini adalah pendapatan, beban,
transfer dan pos-pos luar biasa. Tampilan dari Laporan Operasional Tingkat
KPPN Malang Tahun 2015 dapat dilihat pada tabel 4.4 berikut.
71
Tabel 4.4Laporan Operasional Tingkat KPPN Malang
Untuk Tahun Yang Berakhir 31 Desember 2015 (Audited)
U R A I A N
KEGIATAN OPERASIONAL
PENDAPATAN PERPAJAKANPendapatan Pajak PenghasilanPendapatan Pajak Pertambahan NilaiPendapatan Pajak Bumi dan BangunanPendapatan CukaiPendapatan Pajak LainnyaPendapatan Bea MasukPendapatan Bea KeluarJUMLAH PENDAPATAN PERPAJAKAN
PENDAPATAN NEGARA BUKAN PAJAKPendapatan PNBP LainnyaPendapatan Badan Layanan UmumJUMLAH PENDAPATAN NEGARA BUKAN PAJAK
PENDAPATAN HIBAHJUMLAH PENDAPATAN HIBAH
PENDAPATAN PENYESUAIAN
JUMLAH PENDAPATAN
BEBANBEBAN PEGAWAIBEBAN JASABEBAN PEMELIHARAANBEBAN PERJALANANBEBAN BARANG LAINNYABEBAN BANTUAN SOSIAL
JUMLAH BEBAN
SURPLUS (DEFISIT) DARI KEGIATAN OPERASIONAL
KEGIATAN NON OPERATIONALSURPLUS (DEFISIT) ASET NON LANCARJUMLAH SURPLUS (DEFISIT) DARI KEGIATAN NONOPERASIONAL
SURPLUS (DEFISIT) SEBELUM POS LUAR BIASA
POS LUAR BIASAPENDAPATAN LUAR BIASABEBAN LUAR BIASAJUMLAH POS LUAR BIASA
SURPLUS (DEFISIT) LO
4.956.457.330.01710.839.986.877.646
26.616.323.99855.492.510.639.400
63.737.245.31243.638.773.445
9.149.00071.422.956.338.818
182.664.292.8591.394.766.279.5981.577.430.572.457
0
0
73.000.386.911.275
3.106.556.080.363103.549.058.138
80.403.567.732131.894.170.500
1.698.416.340.26679.639.697.500
5.200.458.914.499
67.799.927.996.776
916.681.500
916.681.500
67.800.844.678.276
0
67.800.844.678.276
Sumber : LKPP Audited KPPN Malang Tahun 2015 (data diolah)
Dari tabel di atas dapat kita lihat bahwa LO sebagai produk dari penerapan
pelaporan pemerintah berbasis akrual hampir memiliki persamaan dengan LRA.
Perubahanistilah menjadi“beban”
72
Perbedaan yang terlihat selain dari basis akuntansi yang digunakan, juga pada
definisi dari pendapatan dan beban sesuai dengan PP No. 71 Tahun 2010
sebagai berikut:
a. Pendapatan-LO
“Adalah hak pemerintah pusat/daerah yang diakui sebagai penambah ekuitasdalam periode tahun anggaran yang bersangkutan dan tidak perlu dibayarkembali. Pendapatan-LO diakui pada saat timbulnya hak atas pendapatantersebut atau ada aliran masuk sumber daya ekonomi”.
b. Beban
“Adalah penurunan manfaat ekonomi atau potensi jasa dalam periodepelaporan yang menurunkan ekuitas, yang dapat berupa pengeluaran ataukonsumsi aset atau timbulnya kewajiban. Beban diakui pada saat timbulnyakewajiban, terjadinya konsumsi aset, atau terjadinya penurunan manfaatekonomi atau potensi jasa”.
Dikarenakan laporan operasional disusun dengan “basis akrual” dan juga
menginformasikan laporan dari kegiatan non operasional, beberapa item pada
laporan ini memiliki perbedaan nilai dengan Laporan Realisasi Anggaran.
Perbedaan ini terdapat pada:
a. Pada Laporan Realisasi Anggaran, jumlah penerimaan perpajakan (basis
kas) sebesar Rp.71.422.956.338.818,-. Jumlah ini berbeda dengan yang
tertera pada Laporan Operasional dimana jumlah pendapatan perpajakan
(basis akrual) sebesar Rp.71.422.957.625.520,-.
b. Pada Laporan Realisasi Anggaran, jumlah penerimaan negara bukan pajak
(basis kas) sebesar Rp.1.578.347.253.957,-. Jumlah ini berbeda dengan
yang tertera pada Laporan Operasional dimana jumlah pendapatan negara
bukan pajak (basis akrual) sebesar Rp.1.577.428.594.104,-.
c. Pada Laporan Realisasi Anggaran, jumlah belanja negara (basis kas)
sebesar Rp.6.083.396.270.072,-. Jumlah ini berbeda dengan yang tertera
73
pada Laporan Operasional dimana jumlah beban (basis akrual) sebesar
Rp.5.201.552.672.209,-
d. Pada Laporan Operasional terdapat laporan dari kegiatan non operasional
yaitu surplus aset non lancar sebesar Rp.916.681.500,-.
Neraca Basis Kas dan Neraca Basis Akrual
Di dalam PP No. 71 Tahun 2010 dinyatakan bahwa neraca menggambarkan
posisi keuangan suatu entitas pelaporan mengenai aset, kewajiban, dan ekuitas
pada tanggal tertentu. Penyusunan neraca dilakukan dengan menggunakan
basis akrual. Namun pada prakteknya, LKPP Tingkat KPPN Malang juga
menghasilkan Neraca dengan basis kas sebagai bentuk pertanggungjawaban
pelaksanaan anggaran. Untuk membandingkan kedua jenis neraca ini, tabel 4.5
dan 4.6 berikut akan menampilkan Neraca tingkat KPPN Malang yang diambil
dari LKPP Tahun 2015 Audited.
74
Tabel 4.5Neraca Tingkat KPPN (Kas)
Per Tanggal 31 Des 2015
NAMA PERKIRAAN 2015
ASETASET LANCARRekening Kas di KPPNKas dalam TransitoKas di Bendahara PengeluaranKas Lainnya pada Kementerian Negara/LembagaKas pada Badan Layanan UmumPiutang Lancar Kredit PemerintahJUMLAH ASET LANCARINVESTASI JANGKA PANJANGJUMLAH INVESTASI JANGKA PANJANG NON PERMANENJUMLAH INVESTASI JANGKA PANJANG PERMANENJUMLAH DANA BERGULIR DIRAGUKAN TERTAGIHJUMLAH INVESTASI JANGKA PANJANGASET TETAPJUMLAH ASET TETAPJUMLAH DANA CADANGANASET LAINNYADana Penjaminan Pihak Ketiga RetensiJUMLAH ASET LAINNYAJUMLAH ASETKEWAJIBANKEWAJIBAN JANGKA PENDEKUtang kepada Pihak KetigaJUMLAH KEWAJIBAN JANGKA PENDEKKEWAJIBAN JANGKA PANJANGPembiayaan Surat Utang Negara DitangguhkanJUMLAH KEWAJIBAN JANGKA PANJANGJUMLAH DICADANGKAN UNTUK KOMITMEN BELANJAJUMLAH KEWAJIBANEKUITASEKUITASJUMLAH KEWAJIBAN DAN EKUITAS
5.810.130.04821.462.394.991.304
(2.920.000)8.812.528.841
774.106.381.2040
22.251.121.111.397
0000
00
00
22.251.121.111.397
2.383.509.8002.383.509.800
000
2.383.509.800
22.248.737.601.59722.251.121.111.397
Sumber : LKPP KPPN Malang Tahun 2015 (Audited)
75
Tabel 4.6Neraca Tingkat KPPN (Akrual)
Per Tanggal 31 Des 2015
NAMA PERKIRAAN
ASETASET LANCARRekening Kas di KPPNKas dalam TransitoKas di Bendahara PengeluaranKas Lainnya pada Kementerian Negara/LembagaKas pada Badan Layanan UmumPiutang PerpajakanPersediaanJUMLAH ASET LANCARINVESTASI JANGKA PANJANGINVESTASI NON PERMANENJUMLAH INVESTASI NON PERMANENINVESTASI PERMANENJUMLAH INVESTASI PERMANENDANA BERGULIR DIRAGUKAN TERTAGIHJUMLAH DANA BERGULIR DIRAGUKAN TERTAGIHJUMLAH INVESTASI JANGKA PANJANGASET TETAPTanahTanah Badan Layanan UmumPeralatan dan MesinPeralatan dan Mesin Badan Layanan UmumGedung dan BangunanGedung dan Bangunan Badan Layanan UmumJalan, Irigasi dan JaringanJalan,Irigasi, dan Jaringan Badan Layanan UmumAset Tetap LainnyaAset Tetap Lainnya Badan Layanan UmumJUMLAH ASET TETAPDANA CADANGANJUMLAH DANA CADANGANASET LAINNYAJUMLAH ASET LAINNYAJUMLAH ASET
KEWAJIBANKEWAJIBAN JANGKA PENDEKUtang kepada Pihak KetigaJUMLAH KEWAJIBAN JANGKA PENDEKKEWAJIBAN JANGKA PANJANGJUMLAH KEWAJIBAN JANGKA PANJANGJUMLAH DICADANGKAN UNTUK KOMITMEN BELANJAJUMLAH KEWAJIBANEKUITASEKUITASJUMLAH KEWAJIBAN DAN EKUITAS
5.810.130.04821.462.394.991.304
(2.920.000)8.812.528.841
774.106.381.2041.109.432
113.300.00022.251.235.520.829
0
0
00
2.856.879.4346.325.397.750
223.862.547.327128.956.420.431563.663.349.468455.561.413.91743.729.992.31014.291.473.86819.305.816.150
6.641.462.5071.465.194.753.162
0
023.716.430.273.991
2.383.509.8002.383.509.800
00
2.383.509.800
23.714.046.764.19123.716.430.273.991
Sumber : LKPP KPPN Malang Tahun 2015 (Audited)
Dari tabel di atas bisa dilihat bahwa neraca basis kas dan neraca basis
akrual memiliki perbedaan, terutama pada akun yang memiliki informasi akrual.
Akun tersebut adalah akun piutang pajak, persediaan dan kelompok akun aset
tetap, sebagai berikut:
a. Pada Neraca Basis Kas, akun piutang pajak menunjukkan saldo nihil.
Jumlah ini berbeda dengan yang tertera pada Neraca Basis Akrual dimana
akun piutang pajak sebesar Rp.1.109.432,-.
76
b. Pada Neraca Basis Kas, akun Persediaan menunjukkan saldo nihil. Jumlah
ini berbeda dengan yang tertera pada Neraca Basis Akrual dimana akun
Persediaan sebesar Rp.113.300.000,-. Akun persediaan berasal dari satuan
kerja lingkup Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan,
dan Kementerian Kesehatan.
c. Pada Neraca Basis Kas, kelompok akun Aset Tetap menunjukkan saldo
nihil. Jumlah ini berbeda dengan yang tertera pada Neraca Basis Akrual
dimana akun Aset Tetap sebesar Rp. 1.465.194.753.162,-.
Perbedaan ini seiring dengan diterapkannya PP No 71 Tahun 2010 dalam
penerapan akuntansi basis akrual. Hal yang penting dalam penyusunan neraca
adalah pengakuan aset dan kewajiban yang terdapat di dalam neraca (PP No. 71
Tahun 2010):
“Aset diakui pada saat potensi manfaat ekonomi masa depan diperoleh olehpemerintah dan mempunyai nilai atau biaya yang dapat diukur denganandal. Sejalan dengan penerapan basis akrual, aset dalam bentuk piutangatau beban dibayar di muka diakui ketika hak klaim untuk mendapatkan aruskas masuk atau manfaat ekonomi lainnya dari entitas lain telah atau tetapmasih terpenuhi, dan nilai klaim tersebut dapat diukur atau diestimasi”.
Pada poin terakhir yang peneliti temui dari hasil wawancara dengan informan
kunci, peneliti menemukan bahwa neraca yang digunakan pada penyusunan
LKPP KPPN Malang masih “mengutamakan” neraca yang berbasis kas. Hal ini
dikarenakan titik berat dari neraca pada laporan keuangan pemerintah pusat
berada pada Neraca Kas Umum Negara yang berbasis kas. Neraca basis akrual
yang dihasilkan dari penerapan basis akrual berguna untuk mengetahui berapa
nilai “real” dari aset dan kewajiban. Berikut kutipan wawancara dengan informan
kunci (Ndaru):
“Kalau neraca yang digunakan masih neraca yang basis kas. Hal inidikarenakan neraca KUN membutuhkan basis kas. Alasannya karena untuk
77
lihat cash flow realnya mas. Kalau neraca yang basis akrual itu buat lihat realtotal aset dan kewajiban kita”.
b. Analisa Laporan-Laporan Pada Laporan Keuangan Pemerintah Pusat
Tahapan analisa laporan pada Laporan Keuangan Pemerintah Pusat di
KPPN Malang dilakukan untuk menjamin keparalelan dan kesamaan angka yang
ada pada laporan keuangan terkait. Tahapan analisa ini merupakan tahapan
“terlama“ dan sangat membutuhkan ketelitian dalam proses penyusunan LKPP.
Berikut kutipan wawancara dengan Ndaru (penyusun LKPP):
“ya begitu mas, kalau kerjaan LKPP itu sampe lembur-lembur. Belum lagimikirin (analisa) angkanya. Untung saya disini bulok (bujang lokal). Jadi bisanyusun sampe malam”.
Dasar hukum proses analisa laporan keuangan pada LKPP tingkat KPPN
adalah Surat Direktur Akuntansi dan Pelaporan Keuangan No.2976/PB.6/2015
hal Laporan Keuangan Tingkat UAKBUN-Daerah. Tahapan analisa laporan
keuangan pada penyusunan LKPP, dilakukan dengan mencocokkan saldo yang
ada pada Laporan Arus Kas, Neraca, Laporan Operasional, Laporan Perubahan
Ekuitas, Laporan Realisasi Anggaran dan Laporan Perubahan SAL. Langkah-
langkah analisa laporan keuangan ini sebagai berikut:
Saldo kas di KPPN pada Laporan Arus Kas = saldo rekening kas di KPPN
pada Neraca Basis Kas;
Saldo total aset pada Neraca = total kewajiban + total ekuitas pada
Neraca;
Surplus/defisit pada Laporan Operasional = surplus/defisit pada Laporan
Perubahan Ekuitas;
Saldo total ekuitas pada Neraca Basis Akrual = saldo total ekuitas pada
Laporan Perubahan Ekuitas;
SILPA/SIKPA pada LRA = SILPA/SIKPA pada Laporan Perubahan SAL;
78
Saldo akhir kas pada LAK per 31 Desember tahun 201n = saldo awal kas
pada LAK per 1 Januari tahun 201n+1.
c. Penyusunan Catatan Atas Laporan Keuangan pada LKPP
Tahapan terakhir dari pelaksanaan kebijakan pelaporan basis akrual pada
LKPP adalah penyusunan CALK. Tahapan ini juga merupakan tahapan yang
membutuhkan waktu, terkait kebijakan akuntansi yang digunakan. Disamping itu
penyusunan CALK membutuhkan narasi dan keterlibatan penuh penyusun LKPP
akan praktek akuntansi dari awal periode pelaporan. CALK yang terdapat pada
LKPP tingkat KPPN Malang Tahun 2015 dan 2016 terdiri dari:
CALK atas pos-pos pada Laporan Arus Kas;
CALK atas pos-pos pada Neraca Basis Kas; dan
CALK atas Laporan Keuangan penting lainnya.
Setelah melihat dan mengamati CALK yang ada pada LKPP, peneliti tidak
bisa menemukan CALK yang menjelaskan tentang praktek akrual di LKPP
tingkat KPPN Malang. Padahal, salah satu kebijakan penerapan basis akrual di
KPPN Malang adalah permintaan informasi akrual dari satker yang melakukan
adjustment.
Kenyataan tidak adanya CALK yang menerangkan praktik akrual di KPPN
Malang menjadi titik fokus selanjutnya bagi peneliti. Peneliti langsung
melanjutkan penelitian dengan melakukan wawancara dengan informan kunci,
yaitu Ndaru (penyusun LKPP KPPN Malang). Hasil wawancara ini menunjukkan
penerapan basis akrual pada LKPP KPPN Malang memang telah berjalan.
Namun informasi akrual belum banyak diungkapkan pada CALK, sesuai kutipan
wawancara dengan Ndaru (Penyusun LKPP) berikut:
“Memang mas penyusunan LKPP sudah full akrual, namun informasi akrualmasih belum tersedia dikarenakan CALK LO belum ada ketentuan,
79
kemungkinan tahun depan. Apalagi kalau LKPP dulu-dulu, saya gak tahumas. Saya baru nyusun tahun 2015, yang pasti sama dengan LKPP dulu,belum ada info akrualnya.
Terkait dengan adanya selisih angka pada LO dan LRA, Ndaru (penyusun
LKPP KPPN Malang) memberikan informasi bahwa ini berasal dari penjurnalan
penyesuaian dari laporan keuangan satuan kerja. Namun keterangan ini belum
bisa ditampilkan pada CALK LO karena belum ada ketentuan. Berikut kutipan
wawancaranya:
“oh angka itu ya mas. Angka-angka yang beda seperti pada LO dan LRA,saya belum bisa kasih penjelasan mas. Selain ya itu tadi, kan CALK LObelum ada. Tapi itu pasti dari LK-nya satker mas. Kan mereka punya menujurnal penyesuaian di Aplikasi SAIBA-nya. Nah dari jurnal itu langsungterposting ke LO mereka dan masuk ke LO kita juga”.
Mengenai perbedaan angka yang terdapat pada Neraca basis Akrual
dengan Neraca basis Kas, informan kunci menyatakan bahwa ini berasal dari
aset tetap dan persediaan. Perbedaan ini terutama berasal dari Belanja Modal
yang dihasilkan dari Aplikasi Barang Milik Negara. Namun CALK Neraca belum
mencantumkan informasi aktual perbedaan Neraca Basis Kas dan Neraca Basis
Akrual ini. Berikut kutipan wawancara dengan informan kunci (Ndaru):
“Tentu ada bedanya mas, antara neraca basis kas dan neraca basis akrual.Ini terutama berasal dari aset tetap dan persediaan. Kalau asalnya dariaplikasi BMN mereka. Ya seputar perolehan dan belanja modal. Kalau maujelas ya belum bisa mas, karena CALK Neraca Basis Akrual juga belum adaketentuannya. Yang pasti ini berasal dari satker”.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa KPPN Malang melakukan
langkah-langkah berikut dalam implementasi kebijakan pelaporan basis akrual di
LKPP-nya: persiapan (pembentukan tim rekonsiliasi dan penyusun LKPP,
sosialisasi kebijakan), pelaksanaan (rekonsiliasi laporan, koordinasi dengan
satuan kerja), pengukuran (pencocokan saldo hasil rekonsiliasi dan lintas seksi
80
internal KPPN) dan pelaporan (penyajian laporan, analisa laporan dan
penyusunan CALK). Terjadi peningkatan kualitas dalam penerapan basis akrual
di tahun ketiga ini (tahun 2017). Namun informasi akrual masih minim,
dikarenakan belum ada ketentuan mengenai CALK LO dan Neraca.
4.4 Penilaian dan Peringkat LKPP KPPN Malang
Dalam rangka meningkatkan kualitas penyusunan LKPP, Direktorat
Jenderal Perbendaharaan melakukan penilaian atas LKPP yang telah disusun
oleh KPPN. Penilaian ini telah dilakukan semenjak persiapan penerapan basis
akrual pada penyusunan LKPP. Dasar hukum dari penilaian ini tertuang di dalam
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.05/2013 tentang Pedoman
Rekonsiliasi dalam rangka Penyusunan Laporan Keuangan Kuasa Bendahara
Umum Negara dan Kementerian Lembaga.
Sebelum masa penerapan basis akrual, KPPN Malang telah mengalami
penilaian peringkat LKPP. Semenjak tahun 2012, peringkat LKPP KPPN Malang
terhitung masih belum memuaskan. Posisi terbaik berada di tahun 2014, yaitu
menempati posisi 140 dari 178 KPPN se-Indonesia atau 10 dari 15 KPPN se-
Jawa Timur. Tahun 2015, sebagai tahun perdana penerapan basis akrual,
peringkat ini mengalami penurunan sampai kepada peringkat 14 dari 15 KPPN
se-Jawa Timur.
Terhitung mulai tahun 2015, pemeringkatan LKPP ini dilakukan hanya
sampai pada tingkatan Kantor Wilayah. Hal ini berdasarkan Surat Direktur
Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Nomor S-1356/PB.6/2016 tentang Kriteria
Penilaian LK UAKBUN-D KPPN oleh Kanwil DJPBN. Unsur-unsur yang dinilai di
dalam surat direktur ini terdiri dari lima faktor, yaitu:
1. Ketepatan Waktu;
81
2. Akurasi Data;
3. Kelengkapan Dokumen;
4. Partisipasi; dan
5. Beban Kerja
Pada tabel berikut, akan dibandingkan penilaian LKPP KPPN Malang,
masa sebelum penerapan basis akrual (tahun 2013) dan setelah penerapan
basis akrual (2015). Pada tahun 2013, KPPN Malang menempati posisi 11 dari
15 KPPN se-Jawa Timur, sedangkan tahun 2015 menempati posisi 14 dari 15
KPPN se-Jawa Timur.
Tabel 4.7Perbandingan Unsur Penilaian LKPP KPPN Malang
Tahun 2013 dan 2015
Unsur 2013 Unsur 2015
Kualitas LKPP 92,16 Akurasi Data 97,56Kelengkapan Dokumen 100
Ketepatan Waktu 97,61 Ketepatan Waktu 100Beban Kerja 70 Beban Kerja 80
Tingkat Partisipasi 100 Tingkat Partisipasi 80TOTAL 92,74 TOTAL 95,36
Peringkat 11 Peringkat 15
Sumber : Kepdirjen Perbendaharaan Nomor 248/PB/2014; Kep KanwilPerbendaharaan Prop. Jatim No.145/WPB.16/2016.
Dari tabel di atas, bisa kita lihat perbandingan peringkat LKPP pada dua
masa basis akuntansi. Tahun 2013 masih masa penerapan basis cash toward
accrual, sedangkan tahun 2015 merupakan masa full accrual. Secara kumulatif,
nilai LKPP di tahun 2015 memiliki kenaikan dibandingkan tahun 2013. Namun
kenaikan ini “masih rendah”, jika dibandingkan dengan KPPN lain tingkat
Propinsi Jawa Timur.
Perbandingan pertama yang bisa kita lihat dari tabel di atas berasal dari
kualitas LKPP. Pada tahun 2013, kualitas LKPP KPPN Malang memiliki nilai
82
92,16. Sedangkan tahun 2015, kualitas ini dipecah menjadi dua, yaitu akurasi
data dan kelengkapan dokumen. Di tahun 2015, terjadi peningkatan kualitas
LKPP menjadi 98,78.
Perbandingan kedua yang bisa kita lihat dari tabel di atas berasal dari
ketepatan waktu. Pada tahun 2013, ketepatan waktu penyampaian LKPP KPPN
Malang memiliki nilai 97,61. Sedangkan tahun 2015, KPPN Malang memiliki
ketepatan waktu dengan nilai 100. Hal ini menunjukkan KPPN Malang lebih tepat
waktu dalam menyampaikan LKPP di tahun 2015.
Perbandingan ketiga yang bisa kita lihat dari tabel di atas berasal dari
beban kerja. Angka beban kerja ini diperoleh dari beban kerja KPPN Malang dan
telah ditentukan dari Kantor Pusat Ditjen Perbendaharaan. Tahun 2015, KPPN
Malang memiliki beban kerja yang lebih meningkat dibandingkan tahun 2013.
Tahun 2015, beban kerja ini sebesar 80, meningkat 10 poin dari tahun 2013 yang
hanya sebesar 70.
Perbandingan terakhir atau keempat yang bisa kita lihat dari tabel di atas
berasal dari partisipasi. Angka ini berasal dari jumlah satuan kerja yang
melakukan rekonsiliasi dan menyampaikan laporan keuangan ke KPPN Malang.
Pada bagian ini, terlihat bahwa penerapan basis akrual berdampak pada
menurunnya partisipasi satuan kerja dalam penyusunan LKPP. Kesulitan satuan
kerja dalam mengaplikasikan basis akrual terlihat pada penurunan tingkat
partsipasi ini. Tahun 2013, semua satuan kerja berpartisipasi dalam penyusunan
LKPP, namun tahun 2015 hanya 80 % dari satuan kerja yang menyampaikan
dan merekonsiliasi laporan keuangan mereka.
Dari sub bab ini bisa kita simpulkan bahwa penurunan peringkat LKPP
KPPN Malang di tahun 2015 terutama berasal dari menurunnya partisipasi
83
satuan kerja dalam penyusunan LKPP. Walau pada poin yang lain (kualitas
LKPP dan ketepatan waktu) mengalami peningkatan di tahun 2015, namun
peningkatan ini masih rendah dibandingkan KPPN lain yang memiliki peringkat di
atas KPPN Malang.
84
BAB VANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN AKUNTANSI
PELAPORAN PEMERINTAH BERBASIS AKRUALPADA KPPN MALANG
Pada bagian ini akan ditampilkan semua hasil wawancara dan
pengamatan yang diperoleh peneliti pada KPPN Malang terkait analisis pada
setiap tahapan implementasi kebijakan pelaporan pemerintah berbasis akrual
dengan alat bantu model implementasi Edward III (1980). Model ini
mengelompokkan faktor pendukung dan penghambat keberhasilan implementasi
pelaporan berbasis akrual dari sisi internal organisasi, yaitu : komunikasi, sumber
daya, disposisi dan struktur birokrasi pada KPPN Malang.
5.1 Analisis Tahapan Persiapan Pelaksanaan Kebijakan Pelaporan BasisAkrual
5.1.1 Komunikasi
Faktor pertama sebagai penentu keberhasilan implementasi di dalam
Teori Edward III (1980) adalah komunikasi. Menurut Edward III (1980),
komunikasi diartikan sebagai “proses penyampaian informasi komunikator
kepada komunikan”. Komunikasi yang baik, tepat tujuan dan sasaran kebijakan
dapat mengurangi distorsi informasi dalam implementasi suatu kebijakan. Hasil
penelitian menunjukkan KPPN Malang menganggap komunikasi sebagai faktor
penting dalam menunjang keberhasilan persiapan pelaksanaan kebijakan
pelaporan berbasis akrual.
Tim rekonsiliasi dan penyusunan LKPP telah menerima (tranmisi) apa itu
kebijakan pelaporan basis akrual. Petunjuk teknis pelaporan basis akrual telah
mereka pegang dan siap dipergunakan dalam menjalankan tugas sesuai dalam
kontrak kinerja masing-masing. Berikut kutipan wawancara dengan Bapak Md
(tim rekonsiliasi):
85
“oh kami sudah terima mas, “job desc” kami apa aja. Semua ada dikontrak kinerja kami, sama di sk tim juga ada. Terus ada sosialisasi samaGKM juga mas”.
Kutipan wawancara dengan Ndaru (tim penyusun LKPP) sebagai kerikut:
“Setiap awal tahun selalu dibentuk tim rekon sama penyusun LKPP.biasanya di tuangkan di kontrak kinerja, disitu ada uraian kerja samatargetnya apa saja mas”
Tahapan sosialisasi/bimtek/diklat dan pelatihan kepada satker juga telah
mentransmisi kebijakan pelaporan basis akrual. Komunikasi suatu kebijakan bisa
dilakukan melalui proses menyampaikan, mensosialisasikan dan
mengkoordinasikan (Putera dan Valentina, 2011; Puteri, 2015).
Pada proses sosialisasi, KPPN Malang melakukan sosialisasi ke satker
minimal 2 (dua) kali dalam setahun. Sosialisasi dilakukan bahkan di masa
persiapan penerapan basis akrual. Satker secara umum sudah tidak mengalami
kesulitan penerapan akrual. Proses akrual pada satker kebanyakan terjadi pada
belanja pegawai seperti rapel gaji, pada belanja barang atau modal seperti pada
pembayaran uang muka kerja. Berikut hasil wawancara dengan informan (Bapak
Md-tim rekonsiliasi) :
“Paling sering sosialisasi ke satker mas. Minimal 2 tahun sekali, malahwaktu persiapan akrual dulu bisa 4 kali. Pokoknya alhamdulillah mas,satker banyak yang antusiasi kalau diadakan sosialisasi”.
Informan lain (Ibu AAZ-helpdesk KPPN) menyatakan:
“sosialisasinya gak hanya satu arah mas, dua arah. Kita kasih materi,terus mereka dipersilahkan bertanya. Rata-rata udah paham kok akrual.Pokoknya kita juga udah wanti-wanti di belanja pegawai, kayak rapel gajisama uang muka belanja modal”.
Informan lain (Ndaru-penyusun LKPP) mengungkapkan:
“Kalau dahulu mas, kan masih hot issue-nya persiapan akrual. Kalausekarang lebih ke proses pelaporannya. Karena satker sendiri sudah
86
paham akrual. Mereka sekarang lebih banyak butuh informasi prosespelaporannya. Jadi materi sosialisasi akan selalu kita update mas”.
Sosialisasi yang dilakukan ke dalam, yaitu ke pegawai KPPN Malang
telah dilakukan semenjak persiapan akrual juga. Bahkan proses sosialisasi ini
mendatangkan narasumber dari Badan Diklat Keuangan dan akademisi. Berikut
kutipan wawancara dengan Kepala KPPN Malang (Bapak Susanto):
“Ya benar mas, tantangan pelaporan basis akrual itu dari kita sebagaipenyusun. Walau banyak yang bilang basis akrual belum perlu, takutribet, tapi ini kan perubahan. Dan menuju ke perbaikan dalam pelaporankita. Kita malah harusnya belajar dan belajar. Itu kuncinya. Kita lakukanpelatihan, sosialisasi. Kerjasama dengan BPPK, dengan akademisi, danbukan hanya ke satker, tapi ke semua pegawai. Karena di kita lahtanggung jawab utamanya”.
Hasil wawancara dengan Pjs. Kepala Seksi Vera (Bapak Marjanto)
sebagai berikut:
“Belajar dan terus belajar mas. Itu intinya. Kalau kita selalu memberikanpengarahan ke semua pegawai, tidak hanya seksi vera sebagai penyusunLKPP. Ke luar satker juga kita berikan pelatihan dan sosialisasi”.
Untuk menjamin kejelasan dan konsistensi dalam implementasi kebijakan,
Edward III (1980) menyatakan perlunya ada petunjuk teknis atau pedoman dalam
pelaksanaan kebijakan. Hasil penelitian yang dilakukan di KPPN Malang
menunjukkan bahwa semua petunjuk teknis dan pedoman dalam pelaporan
basis akrual telah disampaikan ke semua pegawai, bukan hanya pegawai di
seksi Vera sebagai penyusun LKPP. Juknis dan pedoman ini telah diberikan
dimulai dari tahapan persiapan implementasi kebijakan. Berikut hasil wawancara
dengan Pjs. Kepala Seksi Vera (Bapak Marjanto):
“Kalau peraturan kita selalu update mas. Bukan hanya saya, kepalakantor, pimpinan di kanwil, dan pegawai yang nyusun LKPP salingmengingatkan kalau ada aturan baru. Kita kayak ada grup WA gitu mas.Terus semuanya kita sosialisasikan dan dokumentasikan”.
87
Informan lain (Ndaru-penyusun LKPP) mengungkapkan:
“Petunjuk terpenting dalam pekerjaan ya peraturan atau juknis terbarumas. Peraturan terbaru apa saja kita dokumentasikan mas. Dan selalukita sharing ke semua, ke satker, ke pegawai. Kalau ke pegawai kitaadakan GKM (Gugus Kendali Mutu) mingguan, kalau satker kitasosialisasi dan wa grup juga”.
Selama melakukan penelitian di KPPN Malang, peneliti sangat kagum
dengan konsistensi KPPN Malang dalam melakukan koordinasi terkait
pelaksanaan pelaporan basis akrual. Ketika telah selesai melakukan sosialisasi,
maka tahap selanjutnya adalah memastikan konsistensi dalam pelaksanaan
kebijakan tersebut. KPPN Malang memilih menggunakan koordinasi, ke semua
pihak, yaitu satker, internal pegawai KPPN Malang, antar seksi, dan unit vertikal
di atas KPPN Malang (Kanwil Perbendaharan Propinsi Jawa Timur dan Kantor
Pusat Ditjen Perbendaharaan).
Komunikasi horizontal diperlukan sebagai pertukaran pesan diantara
orang-orang yang sama tingkatan otoritasnya di dalam organisasi (Arni,
2002:121). Pada tahapan persiapan implementasi pelaporan basis akrual, KPPN
Malang melakukan koordinasi sebagai komunikasi horizontal dengan
memanfaatkan acara Gugus Kendali Mutu (GKM) yang merupakan acara
pertemuan seluruh pegawai untuk membahas dan mengkoordinasikan kembali
hal penting/hot issue terkait pelaksaan pekerjaan. GKM dilaksanakan setiap
Rabu sore, selama 2 jam. Materi yang ada merupakan materi terupdate dan
semua diisi semua seksi secara bergiliran. Berikut hasil wawancara dengan
informan (Ndaru-penyusun LKPP):
“Koordinasi ke dalam kita lakukan dengan memanfaatkan GKM mingguanmas. GKM nya tiap rabu sore dan yang ngisi semua seksi secarabergantian. Materinya juga tergantung hot issue. Kalau dulu seksi verahampir tiap GKM isinya akrual, jurnal penyesuaian, pokoknya full akrual.Kalau sekarang ke prosedur pelaporannya. Pokoknya terupdate mas”.
88
Komunikasi ke atas diperlukan dalam rangka memberikan umpan balik
atas komunikasi dari atas dan memberikan isu-isu dan masalah terbaru yang
dihadapi (Ivancevich, et al., 2006:121). Dalam menjamin koordinasi kebijakan,
komunikasi ke atas dilakukan KPPN Malang mulai tahap persiapan implementasi
kebijakan. Setiap sebelum dan sesudah pelaksanaan sosialisasi, KPPN Malang
melakukan koordinasi ke Kanwil Perbendaharaan Propinsi Jawa Timur dan
Kantor Pusat, baik melalui rapat koordinasi dan media sosial (whatsapp).
Informan (Bapak Marjanto) mengungkapkan:
“Kalau koordinasi antar seksi baik sih mas. Soalnya kan LKPP ini kerjaanlintas seksi, seksi Bank, Seksi PD. Kalau koordinasi ke Kanwil samakanpus ya sama, pakai medsos juga. Ada WA grup juga. Kalo Kanwil jugangundang kita ke sana buat rakor, rata-rata sih semesteran. SamaKanpus juga, LKPP Tahunan manggil kita buat rakor pelaporan”.
Sedangkan komunikasi ke luar dilakukan dengan koordinasi ke satker
juga dilakukan dengan memanfaatkan media sosial, seperti whatsapp, facebook
dan website KPPN Malang. Informan Ibu AAZ – tim penyusun LKPP
mengungkapkan:
“Kalau satker mas, koordinasinya pakai medsos. WA, FB, web.Kebanyakan sih WA mas, soalnya kita punya WA grup. Hampir tiap harilah WA grup kita gak pernah sepi”.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat bahwa komunikasi menjadi
faktor internal yang mendukung pada tahapan persiapan implementasi kebijakan
pelaporan basis akrual. Proses komunikasi dilakukan dengan memperhatikan
dimensi transmisi, kejelasan dan konsistensi menurut Edward III (1980). Alur
proses komunikasi tidak hanya ke dalam (pegawai) KPPN Malang, namun juga
dilakukan ke luar (satker, Kanwil Ditjen Perbendaharaan Propinsi Jawa Timur,
dan Kantor Pusat Ditjen Perbendaharaan).
89
5.1.2 Sumber Daya
Dalam implementasi kebijakan, sumber daya memegang peranan
sebagai bahan bakar dalam pelaksanaan kebijakan tersebut. Sumber daya disini
berupa sumber daya manusia dan sumber daya pendukung kebijakan lainnya
(seperti Finansial dan Peralatan). Sumber daya menjadi faktor penting karena
ketika komunikasi kebijakan telah dilakukan, maka sumber daya memegang
peranan penting dalam pelaksanaan kebijakan. Analisis dari faktor sumber daya
pada tahapan persiapan implementasi pelaporan basis akrual sebagai berikut:
Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia merupakan salah satu variabel yang
mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan kebijakan. Edward III (1980)
menyatakan bahwa “probably the most essential resources in implementing
policy is staff”. Edward III (1980) menambahkan “no matter how clear and
consistent implementation order are and no matter accurately they are
transmitted, if personnel responsible for carrying out policies lack the resources
to do an effective job, implementing will not effective”.
Pada pelaksanaan kebijakan, sumber daya manusia KPPN Malang
memiliki peran sejak tahapan persiapan implementasi kebijakan. Kecukupan
faktor SDM tidak hanya dilihat dari sisi kuantitas, tapi juga dari sisi kualitasnya.
SDM di KPPN Malang adalah pegawai yang telah melalui serangkaian proses
assessment di tahun 2012. Hal ini sesuai dengan penetapan KPPN Malang
sebagai KPPN Percontohan Tahap VI di Tahun 2012, dimana semua SDM yang
ada telah melalui berbagai tahapan assessment. Dengan SDM yang cukup,
maka akan mendukung kesuksesan implementasi kebijakan pelaporan basis
akrual di KPPN Malang.
90
Pada tahapan persiapan ini, KPPN Malang membentuk tim rekonsiliasi
dan penyusunan LKPP. Kedua tim ini berasal dari seksi verifikasi dan akuntansi
KPPN Malang. Jumlah tim rekonsiliasi adalah 6 orang, sedangkan tim penyusun
LKPP berjumlah 2 orang. Penyusun utama LKPP juga merangkap sebagai tim
rekonsiliasi guna meningkatkan kualitas penyusunan LKPP. Berikut kutipan
wawancara dengan Bapak Susanto (Pjs. Kasi Vera):
“Di sini setiap awal tahun ditetapkan dua tim mas. Tim rekon satu samatim LKPP. tim rekonnya 6 orang, tim LKPP 2 orang”.
Pada tahapan persiapan, KPPN Malang juga melakukan sosialisasi dan
pelatihan terkait kebijakan pelaporan basis akrual. Susunan kepanitiaan dan
narasumber dalam kegiatan sosialisasi berasal dari seluruh pegawai di KPPN
Malang. Sedangkan tim pelatihan berasal dari semua pegawai di seksi vera.
Jumlah pegawai sebanyak 43 pegawai termasuk cukup dalam mendukung
kegiatan di tahapan persiapan implementasi kebijakan di KPPN Malang.
Ditambah dengan pengetahuan basis akrual yang telah dimiliki, maka dapat
disimpulkan faktor SDM merupakan faktor pendukung pada tahapan persiapan.
Sumber Daya Pendukung
a. Sumber Daya Finansial
Sebagai sumber pembiayaan, maka sumber daya finansial memiliki
peranan penting dalam implementasi pelaporan basis akrual di KPPN Malang.
Kebijakan yang tidak didukung dengan finansial akan mengalami masalah di
dalam perjalanannya. Untuk itu, KPPN Malang telah menganggarkan
implementasi pelaporan basis akrual dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran
(DIPA) mereka. Tabel 5.1 dan 5.2 berikut memperlihatkan anggaran yang
disediakan oleh KPPN Malang dalam implementasi pelaporan pemerintah.
91
Tabel 5.1DIPA KPPN Malang Tahun 2017
No Kegiatan Jumlah Dana %1 Layanan Pelaksanaan Kuasa BUN di Daerah 339.440.000 5,972 LKPP Tingkat Kuasa BUN 169.536.000 2,983 Layanan Internal 97.571.000 1,714 Layanan Perkantoran 5.084.211.000 89,34
Total Dana Dalam DIPA 5.690.758.000 100Sumber : DIPA KPPN Malang Tahun 2017 (data diolah)
Dari tabel 5.1 bisa dilihat bahwa KPPN Malang menempatkan proses
penyusunan LKPP sebagai kegiatan yang lebih membutuhkan pembiayaan
dibandingkan dengan seksi lain. Hal ini bisa dilihat dari tabel 5.1 yang
menempatkan kegiatan Seksi Vera dalam penyusunan LKPP sebesar 2,98% dari
total DIPA. Angka ini lebih besar dibandingkan kegiatan ketiga seksi lain (Seksi
Pencairan Dana, Seksi Bank dan Seksi MSKI) yang secara bersama-sama diberi
dana sebesar 5,97% dari total DIPA atau kurang lebih sebesar 1,99% per seksi.
Sebagai tambahan, kita tidak bisa membandingkan kegiatan Seksi Vera
dalam penyusunan LKPP dengan kegiatan Sub Bagian Umum yang
menyelenggarakan kegiatan perkantoran. Angka kegiatan layanan perkantoran
sebesar 89,34% dari total DIPA sudah termasuk belanja gaji dan tunjangan PNS.
Tabel 5.2Rincian Dana Kegiatan LKPP Tingkat KPPN Malang Tahun 2017
No Sub Kegiatan Jumlah Dana %1 Konsultasi dan Koordinasi 28.120.000 16,592 Rekonsiliasi Data 18.000.000 10,613 Penyusunan Laporan 27.000.000 15,934 Sosialisasi dan Bimbingan Teknis 96.416.000 56,87
Total Dana 169.536.000 100Sumber : DIPA KPPN Malang Tahun 2017 (data diolah)
Dari Tabel 5.2, kita bisa melihat unsur-unsur kegiatan dalam penyusunan
LKPP di KPPN Malang. KPPN Malang memberikan prioritas yang besar dalam
kegiatan penyusunan LKPP. Bahkan sejak tahapan persiapan implementasi
92
pelaporan basis akrual. KPPN Malang menempatkan kegiatan sosialisasi dan
bimtek sebagai kegiatan yang paling membutuhkan pembiayaan. Hal ini sesuai
dengan wawancara dengan informan, yang menyatakan KPPN Malang akan
selalu mengadakan kegiatan sosialisasi terkait pelaporan. Rekonsiliasi sebagai
kegiatan pada tahapan persiapan dan pelaksanaan pelaporan basis akrual juga
termasuk dalam kegiatan penyusunan LKPP dengan porsi dana sebesar 10,61%.
Dari kedua tabel tersebut bisa kita simpulkan, bahwa KPPN Malang telah
memberikan porsi anggaran yang lebih besar kepada Seksi Vera dalam
Penyusunan LKPP dibandingkan seksi lain (Seksi Pencairan Dana, Seksi Bank,
dan Seksi MSKI). Tahapan persiapan implementasi (sosialisasi dan bimtek)
menjadi kegiatan yang memiliki porsi dana terbesar. Dengan kata lain, KPPN
Malang telah memberikan perhatian sumber daya finansialnya mulai dari tahapan
persiapan implementasi pelaporan basis akrual.
b. Sumber Daya Peralatan
Dari hasil pengamatan, tahapan persiapan implementasi pelaporan basis
akrual telah ditunjang dengan sumber daya peralatan. Pelaksanaan kegiatan
sosialisasi dan bimtek dengan porsi dana terbesar juga didukung dengan
peralatan yang memadai. Kegiatan sosialisasi dan bimtek dilakukan di aula
KPPN Malang, dengan dilengkapi berbagai peralatan yang ada. Sebagai KPPN
yang memenangi berbagai kontes, sarana prasarana yang ada di aula KPPN
Malang terhitung masih baru.
93
Gambar 5.1Proses Sosialisasi dan Bimtek di KPPN Malang
Kegiatan pelatihan satuan kerja di ruangan mini - treasury learning center,
juga didukung dengan peralatan yang baik. Ruangan ini dihiasi dengan lukisan
KPPN Malang tempo dulu. Terdapat juga beberapa air mineral dan permen untuk
menambah kenyamanan proses belajar. Didukung dengan pendingin ruangan,
meja dan kursi yang nyaman dan banyaknya steker listrik memberikan kesan
ruangan ini terbuka untuk siapa saja. Kemudahan dan alur proses komunikasi
selama satker menjalani pelatihan di ruangan ini senantiasa terjalin dengan
dukungan internet hot spot dari provider Telkomsel. Berikut kutipan wawancara
dengan Bapak Marjanto (Pjs. Kepala Seksi Vera):
“Ruangan ini (mini TLC) merupakan ruangan bagi satker yang ingin privatmas. Kebanyakan disini belajar bikin laporan, ngejurnal (penyesuaian),kayak rapel gaji, uang muka. Disini pegawai seksi vera standby hari seninsama selasa”.
94
Gambar 5.2Pelatihan di Ruangan Mini TLC
Dari uraian dan hasil wawancara di atas, bisa kita simpulkan bahwa
sumber daya peralatan Seksi Vera KPPN Malang telah mendukung tahapan
persiapan implementasi kebijakan. KPPN Malang diuntungkan dengan berbagai
kemenangan di kontes pelayanan. Hal ini dikarenakan prasarana yang ada
dalam kegiatan sosialisasi/bimtek/pelatihan masih baru dan bisa memberikan
pelayanan optimal kepada satuan kerja.
5.1.3 Disposisi
Faktor ketiga dari internal organisasi dalam implementasi kebijakan
berasal dari disposisi. Disposisi ini berasal dari dalam diri implementor. Disposisi
bisa berupa watak dan karakteristik atau sikap yang dimiliki oleh implementor
seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Disposisi yang baik akan
mensukseskan implementasi kebijakan yang sesuai dengan arahan pembuat
kebijakan. Ketika terjadi perbedaan sifat atau perspektif dengan pembuat
kebijakan, maka proses implementasi kebijakan akan terhambat.
Pada tahapan persiapan implementasi pelaporan basis akrual, terdapat
pernyataan positif yang berasal dari pegawai di seksi Vera. Mereka menunjukkan
95
sikap yang mendukung kesuksesan implementasi kebijakan. Berikut kutipan
wawancaranya (Ndaru-penyusun LKPP):
“Pokoknya kuncinya di kita mas. Semuanya sudah paham akrual. Kalaudi kita gak paham, terus mau ngomong apa ke satker. Saya juga optimis,di tahun ke tiga ini peringkat LKPP kita akan naik. Pokoknya bisa mas”.
Informan lain mengungkapkan (Ibu AAZ):
“ini kan sudah tujuan organisasi mas. Tujuan KPPN menghasilkan LKPP.Jadi saya siap untuk membantu proses penyusunan LKPP berbasisakrual”.
Pernyataan positif juga berasal dari pejabat sementara Kasi Vera. Beliau
memberikan pernyataan positif ditengah kesibukannya menjabat dua seksi
selama lebih dari 4 bulan. Secara pribadi beliau tidak merasakan masalah dalam
menjalaninya. Berikut kutipan wawancara dengan Beliau:
“saya secara pribadi tidak ada masalah mas. Disamping saya memangdulu pernah juga kerja di seksi vera sewaktu masih pelaksana. Selain ituini juga kesempatan saya untuk belajar. Saya ingin tahu beda pelaporandi masa akrual ini. Lagian kita juga satu organisasi, jadi ini tujuan kitabersama”.
Dari hasil penelitian dan wawancara yang dilakukan oleh peneliti terkait
faktor disposisi pada tahapan persiapan implementasi pelaporan berbasis akrual
dapat disimpulkan bahwa secara umum disposisi para implementor (pelaksana
dan Kepala Seksi) ada pada tahap baik. Hal ini penting dalam memasuki tahapan
implementasi pelaporan basis akrual berikutnya.
5.1.4 Struktur Birokrasi
Dalam mengimplementasikan kebijakan, struktur birokrasi memiliki peran
dalam tahap ini. Birokrasi merupakan salah satu unsur dalam implementasi
kebijakan. Birokrasi baik secara sadar maupun tidak sadar memilih bentuk-
bentuk organisasi untuk kesepakatan kolektif dalam rangka memecahkan
96
masalah sosial dalam kehidupan modern yang terkadang sengaja dibentuk untuk
menjalankan suatu kebijakan tertentu (Edrward III, 1980).
Aspek struktur yang ada dan penting dari setiap organisasi adalah
standard operating procedures (SOP). SOP menjadi arahan bagi setiap
implementor dalam melaksanakan tugas sehari-hari. SOP sebaiknya tidak terlalu
panjang karena cenderung menimbulkan red tape, yakni prosedur birokrasi yang
rumit dan kompleks. Pada akhirnya akan menyebabkan aktivitas organisasi tidak
fleksibel (Edward III, 1980).
Pada tahapan persiapan implementasi pelaporan basis akrual, SOP tim
rekonsiliasi dan tim penyusun LKPP bisa di lihat pada kontrak kinerja setiap
anggota tim. SK penetapan kedua tim disertai dengan posisi dan tanggung jawab
setiap anggota. Kedua tim memiliki kejelasan siapa pejabat penanggung jawab
dan anggota tim.
Pada kegiatan sosialisasi/bimtek/pelatihan, uraian kerja semua tim
sosalisasi (baik kepanitiaan maupun narasumber) juga terdapat pada kontrak
kinerja pegawai. Dalam SK tim sosialisasi juga terdapat struktur kepanitiaan yang
jelas. Berikut kutipan wawancara dengan Bapak Md (tim rekonsiliasi):
“oh kami sudah terima mas, “job desc” kami apa aja. Semua ada dikontrak kinerja kami, sama di sk tim juga ada. Terus ada sosialisasi samaGKM juga mas”.
Dari paparan peneliti mengenai struktur birokrasi dan SOP dalam tahapan
persiapan implementasi pelaporan basis akrual, bisa disimpulkan bahwa struktur
birokrasi menjadi faktor pendukung. Penunjukkan anggota tim rekonsiliasi, tim
penyusun LKPP, dan tim sosialisasi/bimtek/pelatihan sangat jelas di dalam
kontrak kinerja dan SK tim. Kejelasan dalam struktur kepanitiaan dan “job desc”
ini penting untuk menunjang tahapan pelaksanaan pelaporan basis akrual.
97
5.2 Analisis Tahapan Pelaksanaan Kebijakan Pelaporan Basis Akrual
5.2.1 Komunikasi
Tantangan di awal penerapan pelaporan basis akrual tidak menyurutkan
tekad KPPN Malang sebagai entitas awal dari penyusunan LKPP. KPPN Malang
tetap melakukan proses komunikasi kebijakan pelaporan basis akrual. Temuan
peneliti menunjukkan proses komunikasi pada tahap pelaksanaan implementasi
kebijakan telah memenuhi syarat dimensi transmisi, kejelasan dan konsistensi
dari Model Edward III (1980).
Pada tahap pelaksanaan, proses transmisi kebijakan pelaporan basis
akrual telah baik dilakukan oleh KPPN Malang. Proses rekonsiliasi yang
dilakukan secara online dan mandiri tetap diiringi dengan penyaluran komunikasi
pelaporan basis akrual. Tim rekonsiliasi dan penyusunan LKPP memiliki job
description untuk memberikan informasi terbaru terkait pelaporan basis akrual
kepada satuan kerja melalui media sosial. Komunikasi suatu kebijakan sendiri
bisa dilakukan melalui proses menyampaikan, mensosialisasikan dan
mengkoordinasikan (Putera dan Valentina, 2011; Puteri, 2015).
Untuk menjamin kejelasan dan konsistensi dalam implementasi kebijakan,
Edward III (1980) menyatakan perlunya ada petunjuk teknis atau pedoman dalam
pelaksanaan kebijakan. Dalam proses rekonsiliasi, diperlukan komunikasi antar
tim rekonsiliasi dan penyusunan LKPP. Komunikasi horizontal diperlukan sebagai
pertukaran pesan diantara orang-orang yang sama tingkatan otoritasnya di
dalam organisasi (Arni, 2002:121). Sifat koordinasi ini adalah bebas, dalam artian
tidak ada waktu yang ditentukan namun “spontan” tergantung kepada
permasalahan yang tengah dihadapi. Berikut hasil wawancara dengan informan
(Ndaru-penyusun LKPP):
98
“Di dalam proses rekon itu selalu ada temuan mas. Apa masalah, apainovasi. Pokoknya spontan aja kita. Langsung di anggap hal pentingsemua. Jadi tim rekon langsung kasih tahu ke kita”.
Selama melakukan penelitian di KPPN Malang, peneliti sangat kagum
dengan konsistensi KPPN Malang dalam melakukan koordinasi ke satuan kerja
terkait pelaksanaan pelaporan basis akrual. Melalui layanan konsultasi, proses
komunikasi dilakukan di meja front office. Proses ini menjadi sarana paling efektif
dalam menemukan perkembangan terbaru dalam pelaksanaan pelaporan basis
akrual. Seiring dengan proses rekonsiliasi, maka alur komunikasi ke satker
melalui layanan konsultasi juga akan meningkat. Berikut kutipan wawancara
dengan ibu AAZ (helpdesk KPPN Malang):
“Buat satker yang mengalami kendala dalam pelaporan mas, kami jugamelayani konsultasi. Konsultasinya ya disini (meja front office). Kalau lagimasa rekon, konsultasinya (lumayan) rame. Di sini kami jadi tahu apa ajamasalahnya satker”.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat bahwa komunikasi menjadi
faktor internal yang mendukung pada tahapan pelaksanaan implementasi
kebijakan pelaporan basis akrual. Proses komunikasi dilakukan dengan
memperhatikan dimensi transmisi, kejelasan dan konsistensi menurut Edward III
(1980). Di dalam proses rekonsiliasi, alur komunikasi pelaporan basis akrual
tetap dilakukan walau proses rekon berjalan online dan mandiri. Layanan
konsultasi sewaktu proses rekon selalu menemukan perkembangan dan
permasalahan terbaru dalam pelaksanaan pelaporan basis akrual.
5.2.2 Sumber Daya
Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia KPPN Malang memiliki peran pada pelaksanaan
implementasi kebijakan. Kecukupan faktor SDM tidak hanya dilihat dari sisi
99
kuantitas, tapi juga dari sisi kualitasnya. SDM di KPPN Malang adalah pegawai
yang telah melalui serangkaian proses assessment di tahun 2012. Hal ini sesuai
dengan penetapan KPPN Malang sebagai KPPN Percontohan Tahap VI di
Tahun 2012, dimana semua SDM yang ada telah melalui berbagai tahapan
assessment. Dengan SDM yang cukup, maka akan mendukung kesuksesan
implementasi kebijakan pelaporan basis akrual di KPPN Malang.
Pada proses rekonsiliasi dan layanan konsultasi, tim rekonsiliasi
berjumlah 6 orang dan tim penyusun LKPP berjumlah 2 orang. Jumlah pelaksana
ini terbilang cukup dan menunjang pelaksanaan kebijakan. Jumlah pelaksana
yang banyak tidak otomatis mendorong implementasi yang berhasil, jika tidak
memiliki ketrampilan yang memadai. Disisi lain kurangnya personil yang memiliki
ketrampilan juga akan menghambat pelaksanaan kebijakan (Edward III, 1980).
Berikut kutipan wawancara dengan Bapak Susanto (Pjs. Kasi Vera):
“Di sini setiap awal tahun ditetapkan dua tim mas. Tim rekon satu samatim LKPP. tim rekonnya 6 orang, tim LKPP 2 orang”.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor SDM pada tahapan
pelaksanaan kebijakan pelaporan basis akrual telah mencukupi dan menunjang,
baik pada proses rekonsiliasi maupun konsultasi dan koordinasi. Ditambah
dengan pengetahuan basis akrual yang telah dimiliki, faktor sumber daya
manusia menjadi faktor pendukung pada tahapan pelaksanaan kebijakan
pelaporan basis akrual.
Sumber Daya Pendukung
a. Sumber Daya Finansial
Edward III (1980) menyatakan dalam kesimpulan studinya “budgetary
limitation, and citizen opposition limit the acquisition of adequate facilities. This is
turn limit the quality of service that implementor can be provide to public”.
100
Menurut Edward III, terbatasnya anggaran yang tersedia menyebabkan kualitas
pelayanan yang seharusnya diberikan kepada masyarakat juga terbatas. Dalam
tahapan pelaksanaan kebijakan pelaporan basis akrual, sumber daya finansial ini
tertuang dalam DIPA KPPN Malang. Seksi Vera memiliki porsi anggaran terbesar
dibandingkan seksi lain, yaitu sebesar Rp.169.536.000,- atau 2,98% dari total
DIPA (lihat Tabel 5.1)
Rekonsiliasi sebagai kegiatan pada tahapan pelaksanaan pelaporan
basis akrual memiliki porsi dana sebesar Rp.18.000.000,- atau 10,61% dari total
kegiatan penyusunan LKPP. Sedangkan kegiatan Konsultasi dan Koordinasi
memiliki porsi dana terbesar kedua setelah sosialisasi dan bimtek, yaitu sebesar
Rp.28.120.000,- atau 16,59% dari total kegiatan penyusunan LKPP (lihat Tabel
5.2).
Dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa KPPN Malang telah
memberikan porsi anggaran yang lebih besar kepada Seksi Vera dalam
Penyusunan LKPP dibandingkan seksi lain (Seksi Pencairan Dana, Seksi Bank,
dan Seksi MSKI). Tahapan pelaksanaan implementasi (konsultasi dan
koordinasi) menjadi kegiatan yang memiliki porsi dana terbesar kedua setelah
kegiatan sosialisasi/bimtek. Dengan kata lain, KPPN Malang telah memberikan
perhatian sumber daya finansialnya pada tahapan pelaksanaan kebijakan
pelaporan basis akrual.
b. Sumber Daya Peralatan
Peralatan adalah semua sarana dan prasarana yang tersedia demi
terselenggaranya pelaksanaan suatu kebijakan dan dipergunakan untuk
mendukung secara langsung dan terkait dengan tugas-tugas yang ditetapkan.
Peralatan bisa menjadi sumber penting dalam implementasi (Edward III, 1980).
101
Dari hasil pengamatan, tahapan pelaksanaan implementasi pelaporan basis
akrual telah ditunjang dengan sumber daya peralatan. Pelaksanaan kegiatan
rekonsiliasi yang dilakukan secara online juga ditunjang dengan suasana ruang
kerja front office rekonsiliasi yang nyaman. Pada KPPN Malang terdapat 2 meja
front office yang melayani proses rekonsiliasi. Dengan mayoritas warna biru,
kursi yang nyaman dan ditunjang peralatan yang canggih, memberikan layanan
rekonsiliasi pelaporan yang nyaman.
Gambar 5.3Suasana Meja Front Office Rekonsiliasi KPPN Malang
Pelaksanaan kegiatan koordinasi dan konsultasi dengan porsi dana
terbesar kedua setelah sosialisasi juga didukung dengan peralatan yang
memadai. Kegiatan ini dilakukan secara beriringan dengan kegiatan rekonsiliasi
di meja front office KPPN Malang. Sebagai KPPN yang memenangi berbagai
kontes, sarana prasarana yang ada di front office KPPN Malang terhitung masih
baru.
Pelaksanaan kegiatan rekonsiliasi secara online juga telah berjalan
secara lancar. Rekonsiliasi menjadi titik krusial dalam penelitian ini, dikarenakan
102
peneliti pernah mengalami permasalahan proses rekonsiliasi di awal penerapan
basis akrual (2015). Dari hasil wawancara dengan informan kunci (Ndaru),
diperoleh informasi berikut:
”Sekarang rekonsiliasinya sudah enak mas. Sudah mandiri, online, gakperlu nunggu lama lagi kayak dahulu. Namanya e-rekon. Tanggalrekonsiliasinya juga berdasarkan hasil koordinasi pimpinan K/L dengankantor pusat kita. Pokoknya enak udah mas”.
Hasil wawancara dengan petugas helpdesk KPPN Malang (Ibu AAZ):
“Sekarang ya gitu mas, rekonnya sudah enak. Lancar, mandiri, online.Terus tanggalnya juga bisa diatur”.
Pelaksanaan rekonsiliasi secara online, tatap muka dan dilanjutkan
dengan konsultasi sangat membantu, terutama dalam mengantisipasi
permasalahan yang ditimbulkan dari penerapan pelaporan berbasis akrual.
Dukungan lain terdapat dari sisi teknologi dan informasi. Setelah melakukan
rekonsiliasi dan konsultasi, KPPN Malang memanfaatkan sarana pada whatsapp,
facebook dan website KPPN Malang untuk menjamin kelancaran proses
koordinasi dengan satuan kerja. Dengan demikian, maka proses rekon,
konsultasi dan koordinasi bukan lagi menjadi masalah dalam tahapan
pelaksanaan kebijakan pelaporan basis akrual.
5.2.3 Disposisi
Disposisi dari para pelaksana kebijakan merupakan faktor ketiga yang
mempunyai konsekuensi penting bagi pelaksanaan kebijakan pelaporan basis
akrual. Jika para pelaksana bersikap baik, yakni memiliki pandangan yang sama
terhadap perintah, hal ini berarti adanya dukungan. Demikian pula sebaliknya,
bila tingkah laku atau perspektif para pelaksana berbeda dengan para pembuat
keputusan, maka proses pelaksanaan suatu kebijakan menjadi semakin sulit
(Edward III, 1980).
103
Pada tahapan konsultasi dan koordinasi dengan satuan kerja,
disposisi/kecenderungan dari para pelaksana adalah baik. Hal ini dapat dilihat
dari kutipan wawancara para pelaksana yang menganggap koordinasi dan
konsultasi dengan satuan kerja adalah hal yang penting. Kegiatan ini dilakukan
secara langsung di meja front office dan melalui media sosial. Berikut kutipan
wawancara dengan Ibu AAZ (helpdesk KPPN Malang):
“Buat satker yang mengalami kendala dalam pelaporan mas, kami jugamelayani konsultasi. Konsultasinya ya disini (meja front office). Kalau lagimasa rekon, konsultasinya (lumayan) rame. Di sini kami jadi tahu apa ajamasalahnya satker”.
Lebih lanjut Ibu AAZ menambahkan:
“Kalau satker mas, koordinasinya pakai medsos. WA, FB, web.Kebanyakan sih WA mas, soalnya kita punya WA grup. Hampir tiap harilah WA grup kita gak pernah sepi”.
Pada kegiatan rekonsiliasi, peneliti menemukan adanya disposisi negatif
dari pelaksana kebijakan. Para pelaksana mengeluhkan proses rekonsiliasi
sebagai awal dari konsolidasi pelaporan. Satker memang memiliki keleluasan
dalam rekonsiliasi, namun pelaksanaan rekonsiliasi dilakukan berbeda-beda
setiap bulan. Bagi petugas rekon, hal ini bisa membingungkan dalam hal cut off
pelaporan. Para pelaksana menilai penetapan proses rekonsiliasi yang berbeda
setiap bulan, menjadikan ketidakefisienan proses rekonsiliasi ini. Berikut kutipan
wawancaranya (Bapak MD):
”tanggal e-rekon itu antara 7 sampai 20. Dan tiap bulan selalu berubah-ubah, mengikuti hasil koordinasi dari Kantor Pusat dengan K/L. Bagi kamiya kadang jadi bingung mas kapan mau cut off, sama menjadwal nyusunLKPP nya”.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa disposisi pada tahap
pelaksanaan kebijakan memiliki dua versi. Pada proses konsultasi dan
104
koordinasi, sikap para pelaksana adalah mendukung secara total proses ini.
Sedangkan pada proses rekonsiliasi, para pelaksana menyatakan keberatan
jikalau proses rekonsiliasi ini dilakukan secara berubah-ubah setiap bulan.
5.2.4 Struktur Birokrasi
Dalam mengimplementasikan kebijakan, struktur birokrasi memiliki peran
dalam tahap ini. Aspek struktur yang ada dan penting dari setiap organisasi
adalah standard operating procedures atau SOP. SOP menjadi arahan bagi
setiap implementor dalam melaksanakan tugas sehari-hari. SOP sebaiknya tidak
terlalu panjang karena cenderung menimbulkan red tape, yakni prosedur
birokrasi yang rumit dan kompleks. Pada akhirnya akan menyebabkan aktivitas
organisasi tidak fleksibel (Edward III, 1980).
Proses penyusunan LKPP telah memiliki SOP sebagaimana di dalam
Kepdirjen Perbendaharaan No. 287/PB/2015 mengenai SOP KPPN. Pada SOP
ini, proses penyusunan LKPP dimulai dari proses rekonsiliasi sebagai tahapan
pelaksanaan kebijakan pelaporan basis akrual.
105
Gambar 5.4SOP Penyusunan LKPP
Sumber : Kepdirjen Perbendaharaan No. 287/PB/2015 tentang SOP KPPN.
Dari SOP di atas, peneliti akan menyoroti proses rekonsiliasi sebagai
awal dari konsolidasi pelaporan. Semenjak tahun 2016, proses rekonsiliasi telah
dilakukan secara mandiri via aplikasi e-rekon. Aplikasi ini menjadi solusi atas
permasalahan yang terjadi semenjak penerapan basis akrual. Satker memiliki
keleluasan dalam rekonsiliasi, karena dilakukan secara online. Aplikasi ini resmi
dirilis setelah keluarnya surat Direktur Jenderal Perbendaharaan nomor S-
4839/PB/2016 hal Pelaksanaan Rekon Eksternal Tingkat KPPN Bulan Januari
s.d Mei 2016.
Pada poin ini, peneliti menemukan permasalahan terkait pelaksanaan
rekonsiliasi yang dilakukan berbeda-beda setiap bulan. Surat Direktur Jenderal
Perbendaharaan sebagai petunjuk teknis (juknis) di dalam pelaksaan rekonsiliasi
akan selalu ditetapkan setiap bulan. Bagi petugas rekon, hal ini bisa
melakukan rekonsiliasilaporan keuangan dari
satuan kerja
melakukan konsolidasilaporan keuangan dari
satuan kerja
mencetak dan menganalisaLAK, LRA, LO, LPE, LPSAL dan
Neraca
membandingkan saldo kaspada LAK dengan saldo kas
pada Laporan Kas Posisi
menyusun Catatan AtasLaporan Keuangan
membuat pernyataantanggung jawab
menyiapkan lampiran dalamLKPP (daftar rekening satkerbeserta saldo, rincian kas di
bendahara satker)
menjelaskan selisih saldoantara saldo Kas di
Bendahara Pengeluaranpada Neraca dan saldo di
rekening koran
membuat surat pengantarLKPP dan melaporkan LKPPke Kanwil Perbendaharaanpaling lambat tgl 13 bulan
berikutnya
106
membingungkan dalam hal cut off pelaporan. Berikut kutipan wawancaranya
(Bapak MD):
”tanggal e-rekon itu antara 7 sampai 20. Dan tiap bulan selalu berubah-ubah, mengikuti hasil koordinasi dari Kantor Pusat dengan K/L. Bagi kamiya kadang jadi bingung mas kapan mau cut off, sama menjadwal nyusunLKPP nya. Setahu saya 2018 nanti mau dibikinkan PMK-nya. Dantanggalnya udah gak berubah-ubah lagi”.
Kebingungan dalam pelaksanaan rekon online berdasarkan wawancara di
atas menunjukkan bahwa terdapat permasalahan pada SOP proses rekonsiliasi
di KPPN Malang. Dapat disimpulkan bahwa proses rekon online belum memiliki
SOP yang mengatur tanggal pelaksanaan rekonsiliasi secara tegas. Tanggal
rekonsiliasi yang berubah-ubah bisa mengurangi keefisienan dalam penyusunan
LKPP.
5.3 Analisis Tahapan Pengukuran Kebijakan Pelaporan Basis Akrual
5.3.1 Komunikasi
Faktor komunikasi sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan
dan pelaksanaan kebijakan. Pelaksanaan yang efektif terjadi apabila para
pembuat keputusan sudah mengetahui apa yang akan dikerjakan. Pengetahuan
atas apa yang akan dikerjakan dapat berjalan apabila komunikasi berjalan
dengan baik (Edward III, 1980). Pada tahapan pengukuran kebijakan pelaporan
akrual, peneliti menemukan para pelaksana kebijakan telah mengetahui apa
yang akan dikerjakan. Hal ini menandai proses komunikasi pelaporan basis
akrual telah berjalan baik.
Pada kegiatan pencocokan saldo hasil rekonsiliasi, KPPN Malang tetap
konsisten melakukan koordinasi dengan satuan kerja. Koordinasi ini dilakukan
terutama dalam meningkatkan kualitas akrual pada laporan keuangan satuan
107
kerja. Pada bab sebelumnya dinyatakan bahwa KPPN Malang menerapkan
kebijakan penambahan informasi akrual dari satuan kerja yang melakukan
adjustment. Berikut kutipan wawancara dengan Ndaru (penyusun LKPP) sebagai
berikut:
“Untuk satker-satker yang melakukan adjustment (jurnal penyesuaian),kita perlu informasi akrualnya mas. Jadi mudah untuk analisalaporannya”.
Informasi akrual dari satuan kerja membutuhkan koordinasi yang baik
untuk menjamin kualitas laporan keuangan yang dihasilkan. Koordinasi
diperlukan untuk memenuhi dimensi kejelasan dan konsistensi dalam proses
komunikasi. Tingkat keefektifan implementasi kebijakan tergantung dari
konsistensi dan kejelasan pelaksanaannya (Edward III, 1980).
Koordinasi dengan satuan kerja diperlukan dalam menjamin kualitas
informasi akrual mereka. Terkadang satuan kerja memberikan informasi akrual
yang berbeda dengan hasil adjustment. Pada kasus ini, koordinasi dengan
satuan kerja menjadi hal penting untuk dilakukan. Koordinasi ini dilakukan
sewaktu proses rekonsiliasi berjalan dan dilanjutkan dengan memanfaatkan
media sosial (whatsapp, facebook dan website). Berikut kutipan wawancara
dengan Ndaru (penyusun LKPP):
“(masalah) klasik sih itu mas. Kadang ada satker yang bikin adjustmenttapi informasi akrualnya belum update, atau sebaliknya. Jadinya kita gaklangsung percaya dengan hasil adjustment mereka. Kita konfirm lagi, baiklewat wa atau facebook”.
Pada tahapan koordinasi dengan lintas seksi, KPPN Malang senantiasa
melakukan hal ini melalui media GKM. Koordinasi lintas seksi ini termasuk ke
dalam komunikasi horizontal. Komunikasi horizontal diperlukan sebagai
pertukaran pesan diantara orang-orang yang sama tingkatan otoritasnya di
dalam organisasi (Arni, 2002:121). Melalui Gugus Kendali Mutu (GKM) seluruh
108
pegawai di seksi vera melakukan koordinasi dengan seksi lain terkait pelaporan
basis akrual.
Setelah melakukan koordinasi melalui GKM, koordinasi dilanjutkan
dengan koordinasi “spontan” antar seksi. Koordinasi ini dilakukan pada tahapan
pencocokan saldo antara seksi vera dengan seksi Bank dan Pencairan Dana.
Proses komunikasi ini berjalan baik, karena Pjs. Kasi Vera (Bapak Marjanto)
merupakan Kasi Bank. Proses koordinasi berjalan dengan baik karena Beliau
bisa mencocokkan saldo di Seksi Vera dengan Seksi Bank secara cepat. Berikut
kutipan wawancara dengan Bapak Marjanto:
“Kalau kendala sih dari internal tidak ada kendala. Malahan karenanyusun LKPP kan perlu koordinasi dengan seksi lain, jadi saya merasamalah jadi lebih mudah karena saya kan Kasi Bank”.
Dari uraian di atas bisa dilihat bahwa faktor komunikasi menjadi faktor
pendukung pada tahapan pengukuran kebijakan pelaporan basis akrual. Proses
komunikasi dengan satuan kerja dan lintas seksi internal KPPN Malang berjalan
dengan baik. KPPN Malang secara konsisten melakukan koordinasi dengan
satker, baik secara tatap muka maupun melalui media sosial. Koordinasi lintas
seksi dilakukan dengan memanfaatkan acara GKM mingguan. Keberadaan Kasi
Bank yang menjabat dua seksi (Seksi Vera dan Seksi Bank) memudahkan
proses koordinasi antar seksi dalam penyusunan LKPP.
5.3.2 Sumber Daya
Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia merupakan salah satu variabel yang
mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan kebijakan. Edward III (1980)
menyatakan bahwa “probably the most essential resources in implementing
policy is staff”. Pada KPPN Malang, jumlah pegawai dapat dibilang cukup
109
memadai dengan 43 personel. Komposisi pegawai KPPN Malang dapat dilihat
pada tabel berikut:
Tabel 5.3Komposisi Pegawai Berdasarkan Jenis Kelamin
No Jenis Kelamin Jumlah1 Laki-laki 192 Perempuan 24
43Sumber : Kepegawaian KPPN Malang 2017 (data diolah)
Tabel 5.4Komposisi Pegawai Berdasarkan Usia
No Usia Jenis Kelamin Jumlah
1 20-29 tahun Laki-lakiPerempuan
21
2 30-39 tahun Laki-lakiPerempuan
1-
3 40-49 tahun Laki-lakiPerempuan
36
4 50-59 tahun Laki-lakiPerempuan
131743
Sumber : Kepegawaian KPPN Malang 2017 (data diolah)
Tabel 5.5Komposisi Pegawai Berdasarkan Kepangkatan
No Pangkat Golongan Jumlah1 Pengatur II/c 22 Pengatur Muda Tk. I II/d 43 Penata Muda Tk. I III/b 204 Penata III/c 55 Penata Tk. I III/d 106 Pembina IV/a 17 Pembina Tk.I IV/b 1
43Sumber : Kepegawaian KPPN Malang 2017 (data diolah)
110
Tabel 5.6Komposisi Pegawai Berdasarkan Tingkat Pendidikan
No Usia Jenis Kelamin Jumlah
1 Sekolah MenengahAtas
Laki-lakiPerempuan
1110
2 Diploma I Keuangan Laki-lakiPerempuan
-1
3 Diploma III Keuangan Laki-lakiPerempuan
24
4 Strata I/Sarjana Laki-lakiPerempuan
59
5 Strata II/Magister Laki-lakiPerempuan
1-
43Sumber : Kepegawaian KPPN Malang 2017 (data diolah)
Dari tabel-tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa SDM yang dimiliki
KPPN Malang kebanyakan adalah perempuan dengan usia di atas 50 sampai
dengan 59 tahun. Pada Seksi Vera sendiri, komposisi pegawai adalah 5
peremuan dan 2 laki-laki. Hasil penelitian dan wawancara dengan informan juga
menunjukkan bahwa KPPN Malang memang didominasi oleh pegawai
perempuan yang sudah berumur. Tingkat pendidikan juga didominasi dengan
pegawai lulusan SMA. Berikut hasil wawancara dengan informan (Ibu AAZ):
“Banyak sih yang bilang kalau sulit mau mutasi ke KPPN Malang. Tapiwajar-wajar aja sih mas untuk KPPN yang berada di Pulau Jawa. Emangdisini kebanyakan ibu-ibu. Tapi yang penting kinerjanya tidak kalah samabapak-bapak”.
Informan lain (Mbak Yuni pegawai Bagian Kepegawaian) menyatakan:
“Kalau disini kebanyakan ibu-ibu itu udah dari dulu mas. Banyak sih yangbilang pegawai titipanlah, istri pejabatlah, tapi itu semua kan yangmenentukan dari pusat. Yang penting pegawai disini kinerjanya baik”.
Informan kunci (Ndaru-penyusun LKPP) menyatakan:
“Kalau ibu-ibu disini sudah paham akrual mas. Pelatihan kita sudahberhasil kok. Itu kan yang ngerekon juga ibu-ibu semua. Terus di seksilain juga ibu-ibu semua pada paham akrual.
111
Dari informasi para informan di atas dapat disimpulkan bahwa komposisi
pegawai KPPN Malang (khususnya Seksi Vera) yang kebanyakan perempuan
berusia di atas 50 tahun masih dapat menunjang implementasi pelaporan basis
akrual. Dimulai dari tahapan persiapan yang padat dengan proses sosialisasi,
tahapan pelaksanaan yang dipenuhi dengan jadwal rekonsiliasi, sampai pada
tahapan pengukuran ini. Proses rekonsiliasi dan pencocokan saldo antar seksi
yang memerlukan koordinasi telah berjalan baik. Hal ini ditunjang oleh kinerja
semua pegawai dan tingkat pemahaman akrual yang telah berjalan dengan baik.
Sumber Daya Pendukung
a. Sumber Daya Finansial
Edward III (1980) menyimpulkan bahwa terbatasnya sumber daya
anggaran akan mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan kebijakan. Disamping
program tidak bisa dilaksanakan dengan optimal, keterbatasan anggaran
menyebabkan disposisi para pelaku kebijakan rendah. Menurut Edward III,
terbatasnya anggaran yang tersedia menyebabkan kualitas pelayanan yang
seharusnya diberikan kepada masyarakat juga terbatas. Dalam tahapan
pengukuran kebijakan pelaporan basis akrual, sumber daya finansial ini tertuang
dalam DIPA KPPN Malang. Seksi Vera memiliki porsi anggaran terbesar
dibandingkan seksi lain, yaitu sebesar Rp.169.536.000,- atau 2,98% dari total
DIPA (lihat Tabel 5.1)
Pencocokan saldo hasil rekonsiliasi sebagai kegiatan pada tahapan
pelaksanaan pelaporan basis akrual memiliki porsi dana sebesar
Rp.18.000.000,- atau 10,61% dari total kegiatan penyusunan LKPP. Sedangkan
kegiatan koordinasi memiliki porsi dana terbesar kedua setelah sosialisasi dan
112
bimtek, yaitu sebesar Rp.28.120.000,- atau 16,59% dari total kegiatan
penyusunan LKPP (lihat Tabel 5.2).
Dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa KPPN Malang telah
memberikan porsi anggaran yang lebih besar kepada Seksi Vera dalam
Penyusunan LKPP dibandingkan seksi lain (Seksi Pencairan Dana, Seksi Bank,
dan Seksi MSKI). Tahapan pengukuran implementasi (koordinasi saldo hasil
rekonsiliasi dengan satker dan koordinasi saldo antar seksi) menjadi kegiatan
yang memiliki porsi dana terbesar kedua setelah kegiatan sosialisasi/bimtek.
Dengan kata lain, KPPN Malang telah memberikan perhatian sumber daya
finansialnya pada tahapan pengukuran kebijakan pelaporan basis akrual.
b. Sumber Daya Peralatan
Peralatan adalah semua sarana dan prasarana yang tersedia demi
terselenggaranya pelaksanaan suatu kebijakan dan dipergunakan untuk
mendukung secara langsung dan terkait dengan tugas-tugas yang ditetapkan.
Peralatan bisa menjadi sumber penting dalam implementasi (Edward III, 1980).
Dari hasil pengamatan, tahapan pengukuran implementasi pelaporan basis
akrual telah ditunjang dengan sumber daya peralatan. Tahapan ini banyak
dilakukan pada ruang middle office KPPN Malang. Pelaksanaan koordinasi hasil
rekonsiliasi yang dilakukan secara online dan koordinasi saldo antar seksi
ditunjang dengan suasana middle office yang nyaman. Ruangan ini memiliki
mayoritas warna biru, kursi yang nyaman dan ditunjang peralatan yang canggih.
113
Gambar 5.5Suansana Ruang Middle Office KPPN Malang
Status KPPN Malang sebagai pemenang berbagai kontes menjadi hal
lebih pada tahapan pengukuran kebijakan pelaporan basis akrual. Hal ini
dikarenakan ruangan middle office sebagai tempat kegiatan koordinasi antar
seksi memiliki sarana prasarana yang baru dan nyaman. Susunan kursi diatur
antar seksi. Seksi Vera berdampingan dengan Seksi Bank, sehingga proses
koordinasi antar seksi berjalan baik. Berikut kutipan wawancara dengan Ndaru
(Seksi Vera):
“disini kita duduknya ngeblok per seksi mas. Seksi Vera bersebelahandengan seksi Bank, jadi enak kalo nanya2. Tinggal colek2 aja...hehhehe...”.
Pelaksanaan koordinasi hasil rekonsiliasi dilakukan dengan
memanfaatkan sarana pada whatsapp, facebook dan website KPPN Malang.
Proses ini menjamin kelancaran koordinasi dengan satuan kerja, terutama dalam
konfirmasi informasi akrual dari satker. Dengan demikian, maka proses
koordinasi hasil rekon telah ditunjang dari sisi sumber daya peralatan.
114
5.3.3 Disposisi
Faktor ketiga sebagai analisis tahapan pengukuran kebijakan pelaporan
basis akrual adalah disposisi dari implementor. Pelaksana yang memiliki
komitmen yang tinggi, kejujuran dan sikap demokratis akan senantiasa bertahan
di antara hambatan yang ditemui dalam pelaksanaan kebijakan. Komitmen tinggi
dan kejujuran mengarahkan implementor untuk tetap berada dalam arus program
yang telah digariskan (Edward III, 1980).
Praktek koordinasi antar seksi pada KPPN Malang telah ditunjang oleh
disposisi yang baik di level Kepala Seksi. Walau jabatan Kasi Vera sudah kosong
selama lebih dari 4 bulan, sikap dan perasaan Pjs. Kasi Vera (Bapak Marjanto)
selama menjadi Kepala di dua seksi berada pada tahapan yang baik. Secara
pribadi beliau tidak merasakan masalah dalam menjalaninya. Berikut kutipan
wawancara dengan Beliau:
“Saya secara pribadi tidak ada masalah mas. Disamping saya memangdulu pernah juga kerja di seksi vera sewaktu masih pelaksana. Selain ituini juga kesempatan saya untuk belajar. Saya ingin tahu beda pelaporandi masa akrual ini. Lagian kita juga satu organisasi, jadi ini tujuan kitabersama”.
Ketika ditanya seputar kendala menjabat Pjs. Kasi Vera, masalah yang
ditemui justru pada saat akan koordinasi dengan satuan kerja, yang belum
pernah dikenalnya. Hal ini mengingat jabatan Beliau di Seksi Bank hanya
berhubungan dengan pihak Bank Pemerintah. Berikut kutipan wawancaranya:
“Kalau kendala sih dari internal tidak ada kendala. Malahan karenanyusun LKPP kan perlu koordinasi dengan seksi lain, jadi saya merasamalah jadi lebih mudah karena saya kan Kasi Bank. Masalahnya justrudari luar mas, karena satkernya banyak yang belum kenal sama saya”.
Walau praktek koordinasi ini telah ditunjang oleh disposisi yang baik oleh
Kepala Seksi, namun pada level pelaksana disposisi yang ada justru sebaliknya.
115
Proses koordinasi yang melibatkan tiga seksi (Vera, Bank dan Pencairan Dana),
menjadi semakin lama semenjak penerapan basis akrual. Terdapat pertentangan
antara pegawai di seksi vera dengan seksi lain. Pegawai di seksi vera
menginginkan adanya akses langung sehingga proses koordinasi lebih cepat.
Hal ini juga ditambah dengan kenyataan pekerjaan di seksi Vera yang bersifat
“menunggu” pekerjaan di seksi lain selesai. Penelitian menemukan seksi Bank
merupakan seksi yang sering membuat keterlambatan pekerjaan di seksi Vera.
Berikut kutipan wawancaranya (Ndaru):
“Walau koordinasi dengan seksi Bank dan PD baik mas, tapi ya tetapkalau ini membutuhkan waktu. Belum lagi kalau tiba-tiba seksi iniberubah, seksi itu berubah, ya kita posting lagi, nyocokin lagi. Pengennyasih kita punya akses langsung ke mereka”.
Informan lain menambahkan (Ibu AAZ):
“ya namanya juga koordinasi dengan seksi lain mas, ya tetap aja butuhwaktu. Seringnya kita nunggu mereka (seksi Bank) selesai kerja, dan itujuga udah sore. Akhirnya lembur lagi, belum lagi kalau ada yangberubah”.
Informan lain menyampaikan (Bapak MD):
“sejak ada basis akrual ini mas, jadi butuh lebih hati-hati nyocokin saldo.Terutama sama seksi PD, karena kan mereka melakukan pembayaran kesatker. Nah kadang ada yang tiba-tiba diakrualin, kita nyocokin lagi.Pokoknya ya berubah semua”.
Informan dari seksi lain menyatakan bahwa SOP ini sudah baik, karena
lebih menekankan koordinasi. Jika seksi Vera langsung bisa mengakses, maka
dikhawatirkan akan mengurangi keakuratan data yang dihasilkan. Berikut kutipan
wawancaranya (Ibu As):
“oh proses mencocokkan saldo ya mas. Iya itu seksi vera tiap bikin LKPPemang minta saldo LKP kami buat dicocokkan. Bagus itu mas, jadi salingmengkoreksi”
Informan lain menambahkan (Ibu Nn):
116
“sejak akrual memang sering banget seksi vera jadi nanyain saldo kas dibendahara pengeluarannya satker mas. Karena terkadang ada aja satkeryang bikin akrual, tp gak kasih tahu ke seksi vera. Bagus bgt jadi kita diseksi PD juga tahu pekerjaan mereka”.
Dari uraian dan hasil wawancara di atas dapat disimpulkan, proses
koordinasi saldo antar seksi (Seksi Vera, Bank dan Pencairan Dana) memiliki
disposisi yang beragam pada implementornya. Pada level pelaksana, terdapat
pertentangan antar seksi terkait proses pencocokan saldo ini. Pelaksana seksi
vera mengingkan kemudahan akses data secara ke seksi lain, sedangkan seksi
lain menginginkan pencocokan ini tetap berjalan sebagai mekanisme check and
balance. Sedangkan Kasi Vera yang dijabat oleh Kasi Bank memiliki disposisi
yang baik karena Beliau yakin bisa melakukan koordinasi antar seksi dengan
cepat.
5.3.4 Struktur Birokrasi
Faktor keempat dalam keberhasilan suatu implementasi kebijakan
menurut Edward III (1980) adalah struktur birokrasi. Pada dasarnya pelaksana
kebijakan mungkin telah mengetahui apa yang dilakukan dan mempunyai cukup
keinginan serta sumber daya untuk melakukannya, tetapi dalam pelaksanaannya
mungkin masih dihambat oleh struktur organisasi di mana mereka menjalankan
kegiatan tersebut. Menurut Edward III (1980), diperlukan SOP dalam
pelaksanaan kebijakan.
Di dalam SOP Penyusunan LKPP berdasarkan Kepdirjen
Perbendaharaan No. 287/PB/2015, proses pencocokan saldo antar seksi
merupakan hal yang wajib dilakukan sebelum proses penyusunan LKPP. Proses
ini dilakukan dengan membandingkan saldo kas menurut LAK dengan saldo kas
menurut Laporan Kas Posisi (LKP) dan saldo kas di Bendahara Pengeluaran.
117
Namun pada prakteknya, para informan merasakan kalau koordinasi ini akan
sedikit memerlukan waktu, karena kesibukan di masing-masing seksi. Sejalan
dengan analisis faktor disposisi di atas, pada analisis struktur birokrasi para
informan juga menginginkan agar SOP ini disempurnakan. Mereka ingin Seksi
Vera bisa langsung mengakses Laporan Kas Posisi (LKP) di Seksi Bank dan
Rincian Kas di Bendahara Pengeluaran di Seksi Pencairan Dana. Berikut kutipan
wawancaranya (Ndaru):
“Walau koordinasi dengan seksi Bank dan PD baik mas, tapi ya tetapkalau ini membutuhkan waktu. Belum lagi kalau tiba-tiba seksi iniberubah, seksi itu berubah, ya kita posting lagi, nyocokin lagi. Pengennyasih kita punya akses langsung ke mereka”.
Informan lain menambahkan (Ibu AAZ):
“ya namanya juga koordinasi dengan seksi lain mas, ya tetap aja butuhwaktu. Seringnya kita nunggu mereka selesai kerja, dan itu juga udahsore. Akhirnya lembur lagi, belum lagi kalau ada yang berubah”.
Informan lain menyampaikan (Bapak MD):
“sejak ada basis akrual ini mas, jadi butuh lebih hati-hati nyocokin saldo.Terutama sama seksi PD, karena kan mereka melakukan pembayaran kesatker. Nah kadang ada yang tiba-tiba diakrualin, kita nyocokin lagi.Pokoknya ya berubah semua”.
Terkait dengan proses koordinasi lintas satker pada SOP Penyusunan
LKPP, informan dari seksi lain menyatakan bahwa SOP ini sudah baik, karena
lebih menekankan koordinasi. Jika seksi Vera langsung bisa mengakses, maka
dikhawatirkan akan mengurangi keakuratan data yang dihasilkan. Berikut kutipan
wawancaranya (Ibu As):
“oh proses mencocokkan saldo ya mas. Iya itu seksi vera tiap bikin LKPPemang minta saldo LKP kami buat dicocokkan. Bagus itu mas, jadi salingmengkoreksi”
Informan lain menambahkan (Ibu Nn):
“sejak akrual memang sering banget seksi vera jadi nanyain saldo kas dibendahara pengeluarannya satker mas. Karena terkadang ada aja satker
118
yang bikin akrual, tp gak kasih tahu ke seksi vera. Bagus bgt jadi kita diseksi PD juga tahu pekerjaan mereka”.
Pjs. Kepala Seksi Vera (Bapak Marjanto) yang juga Kepala Seksi Bank
menambahkan, bahwa pekerjaannya sebagai Kasi Bank telah membantu
sewaktu koordinasi dengan Seksi Bank. Menurut Beliau tahapan pencocokan
saldo antara kas di LAK dengan kas di LKP dan Rekening Koran tidak lagi
menjadi masalah. Berikut kutipan wawancaranya:
“Kalau kendala sih dari internal tidak ada kendala. Malahan karenanyusun LKPP kan perlu koordinasi dengan seksi lain, jadi saya merasamalah jadi lebih mudah karena saya kan Kasi Bank”.
Dari uraian dan hasil wawancara di atas bisa disimpulkan, pencocokan
saldo antar seksi selain menimbulkan disposisi beraneka ragam (mendukung dan
menghambat) pada implementor. Para implementor di seksi vera mengingkan
SOP ini digati dengan akses langsung ke data seksi lain, sedangkan seksi lain
menginginkan SOP ini tetap berjalan sebagai mekanisme check and balance.
Kasi Vera yang dijabat oleh Kasi Bank menyatakan tidak masalah terhadap SOP
ini. Beliau yakin dengan menjabat dua seksi maka SOP koordinasi antar seksi
bisa dilakukan dengan cepat.
5.4 Analisis Tahapan Pelaporan Implementasi Kebijakan Pelaporan BasisAkrual
5.4.1 Komunikasi
Analisis pertama pada tahapan pelaporan implementasi kebijakan
pelaporan basis akrual adalah faktor komunikasi. Komunikasi yang terjalin mulai
dari tahapan persiapan, pelaksanaan dan pengukuran menunjukkan faktor
komunikasi sebagai faktor pendukung implementasi pelaporan basis akrual.
Komunikasi yang dilakukan KPPN Malang telah memenuhi dimensi transmisi,
kejelasan dan konsistensi dari Edward III (1980). KPPN Malang melakukan
119
proses komunikasi dengan cara sosialisasi, bimtek, pelatihan, GKM, koordinasi
dan konsultasi.
Pada tahapan pelaporan implementasi kebijakan pelaporan basis akrual,
KPPN Malang secara konsisten tetap melakukan komunikasi kebijakan. Proses
pelaporan yang dimulai dari penyajian, analisa dan penyusunan CALK dilakukan
dengan menekankan prinsip koordinasi. Koordinasi ini dilakukan ke berbagai
pihak, diantaranya satker, Kanwil Ditjen Perbendaharaan Propinsi Jawa Timur
dan Kantor Pusat Ditjen Perbendaharaan.
Koordinasi ke satker dilakukan dengan kegiatan sosialisasi. Pada bagian
sebelumnya disebutkan bahwa sosialisasi dilakukan minimal 2 (dua) kali dalam
setahun. Masa penyusunan LKPP dimanfaatkan seksi Vera sebagai even
sosialisasi kebijakan pelaporan basis akrual.
Koordinasi yang dilakukan ke unit vertikal (Kanwil Ditjen Perbendaharaan
Propinsi Jawa Timur dan Kantor Pusat Ditjen Perbendaharaan) dilakukan secara
semesteran. Khusus untuk penyusunan LKPP Tahunan, proses ini menjadi
kegiatan “terpadat” di seksi Vera. Koordinasi bisa dilakukan dengan media sosial
(whatsapp, facebook dan website). Namun untuk LKPP Tahunan, koordinasi
dilakukan dalam acara rapat koordinasi (rakor). Berikut kutipan wawancara
dengan Pjs. Kasi Vera (Bapak Marjanto):
“Kalau koordinasi ke kanwil sama kanpus ya sama, pakai medsos juga.Ada WA grup juga. Kalo kanwil juga ngundang kita buat rakor, rata-ratasih semesteran. Sama kanpus juga, LKPP Tahunan manggil kita buatrakor pelaporan”.
Pada akhirnya, komunikasi yang dilakukan oleh KPPN Malang dalam
implementasi pelaporan pemerintah berbasis akrual cukup baik. Dapat dilihat
dengan sikap optimis dari internal KPPN Malang akan perlunya basis akrual
120
dalam pelaporan keuangan. Berikut ini hasil wawancara dengan Pjs. Kepala
Seksi Vera (Bapak Marjanto):
“Alhamdulilah mas, memasuki tahun ketiga, semua pegawai sudahoptimis kalau peringkat LKPP bisa naik. Akrual bukan hal asing lagi.Pokoknya semua perubahan akan selalu kita komunikasikan, karena kitalah yang nanti akan menularkannya ke stake holder kita”.
Hasil wawancara dengan Ndaru (penyusun KPPN) sebagai berikut:
“Pokoknya kuncinya di kita mas. Semuanya sudah paham akrual. Kalaudi kita gak paham, terus mau ngomong apa ke satker. Saya juga optimis,di tahun ke tiga ini peringkat LKPP kita akan naik. Pokoknya bisa mas”.
Dari hasil pengamatan dan wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa
faktor komunikasi menjadi faktor pendukung pada semua tahapan implementasi
pelaporan basis akrual. Komunikasi yang terjalin mulai dari tahapan persiapan,
pelaksanaan, pengukuran sampai dengan pelaporan menunjukkan faktor
komunikasi sebagai faktor pendukung implementasi pelaporan basis akrual.
Komunikasi yang dilakukan KPPN Malang telah memenuhi dimensi transmisi,
kejelasan dan konsistensi dari Edward III (1980). KPPN Malang secara konsisten
melakukan komunikasi kebijakan dengan cara sosialisasi, bimtek, pelatihan,
GKM, koordinasi dan konsultasi.
5.4.2 Sumber Daya
Sumber Daya Manusia
Analisis SDM pada implementasi kebijakan pelaporan basis akrual
menunjukkan bahwa faktor SDM di KPPN Malang dapat mendukung
implementasi kebijakan. Komposisi pegawai sebanyak 43 orang dan mayoritas
ibu-ibu berusia di atas 50 tahun tidak mengurangi tekad KPPN Malang dalam
implementasi pelaporan basis akrual. Hal ini dikarenakan SDM di KPPN Malang
adalah pegawai yang telah melalui serangkaian proses assessment di tahun
121
2012. Semua SDM di KPPN Malang memiliki kompetensi minimal pada
pemahaman peraturan dan teknologi informasi di bidang Keuangan Negara
Dari hasil wawancara pada tahapan sebelumnya (persiapan, pelaksanaan
dan perngukuran) semua pegawai di KPPN Malang memiliki kinerja dan
pemahaman pelaporan basis akrual yang baik. Beberapa informan menyatakan
tidak ada masalah dalam komposisi SDM yang kebanyakan ibu-ibu berumur di
atas 50 tahun. Namun hal ini tidak berlaku pada beberapa informan. Mereka
menyatakan, SDM yang diperlukan, terutama dalam tahapan pelaporan berbasis
akrual akan lebih baik jika diisi oleh pegawai yang lebih muda dan memiliki latar
belakang pendidikan minimal lulusan STAN atau Akuntansi.
Latar belakang pernyataan di atas dikeluarkan berkaitan dengan
pekerjaan penyusunan LKPP. Walau basis akrual telah diterapkan pada
pelaporan pemerintah, namun pada kenyataan, basis kas juga berjalan
beriringan dengan basis akrual. Hal ini berarti penyusun LKPP memiliki beban
pekerjaan dua kali lipat sejak penerapan basis akrual.
Analisis LKPP juga menjadi latar belakang dibutuhkannya SDM yang
“mumpuni” seperti pernyataan di atas. Proses analisis yang cukup memakan
waktu dan ditambah beban kerja sebanyak 222 satker dengan 7 BLU yang
memiliki karakteristik berbeda-beda. Di dalam penilaian LKPP tahun 2015,
berdasarkan Keputusan Kanwil Ditjen Perbendaharaan Propinsi Jawa Timur
No.145/WPB.162016, dapat kita lihat terjadi peningkatan angka beban kerja
pada KPPN Malang. Angka beban kerja ini diperoleh dari beban kerja KPPN
Malang dan telah ditentukan dari Kantor Pusat Ditjen Perbendaharaan. Tahun
2015, KPPN Malang memiliki beban kerja yang lebih meningkat dibandingkan
122
tahun sebeblumnya. Tahun 2015, beban kerja ini sebesar 80, meningkat 10 poin
dari tahun sebelumnya yang hanya sebesar 70.
Dengan kondisi SDM yang kebanyakan ibu-ibu berusia di atas 50 tahun,
dikhawatirkan dalam jangka panjang akan menjadi masalah dalam penyusunan
LKPP, terutama jika penyusun LKPP yang ada mengalami mutasi. Berikut
kutipan wawancara dengan Ndaru (penyusun LKPP):
“ya begitu mas, kalau kerjaan LKPP itu sampe lembur-lembur. Belum lagimikirin angkanya. Untung saya disini bulok (bujang lokal). Jadi bisanyusun sampe malam”.
Informan lain (Ibu AAZ-helpdesk KPPN Malang) menyatakan:
“Jangan saya lah mas yang nyusun, yang bujangan aja. Hehehe...soalnya nyusunnya sampe lembur. Jadi cocokan yang muda danberpengalaman”.
Pjs. Kepala Seksi Vera (Bapak Marjanto) menyatakan sebagai berikut:
“Ya mungkin kendalanya disini itu SDM ya mas, karena begini ini,kebanyakan ibu-ibu. Kalau disuruh nyusun LKPP ya kita maklum. TapiAlhamdulilah mas, SDM penyusun LKPP di KPPN Malang sudahmumpuni. Mas Ndaru ini lulusan STAN. Pokoknya terbantu banget. Tapidalam jangka panjang ya ketar-ketir juga kalau gak ada cadangannyaseumpama Mas Ndaru di mutasi”.
Melihat hal ini, maka sangat terlihat bahwa kebijakan rotasi SDM
penyusun LKPP di KPPN Malang akan berjalan kaku, dikarenakan keterbatasan
SDM. Praktik mutasi yang peneliti temukan di KPPN Malang menunjukkan
seorang pelaksana baru dimutasi setelah bekerja di atas 2 tahun pada suatu
seksi. Kepala KPPN Malang menambahkan, walau sedikit kaku tapi penularan
keahlian melalui GKM dan in house training tetap dilakukan untuk menjaga-jaga
jika ada mutasi dari kantor pusat. Berikut wawancara dengan Bapak Susanto
(Kepala KPPN Malang):
“Kebijakan rotasi di mana saja, pasti akan diselaraskan dengankebutuhan organisasinya. Termasuk disini mas. Penyusun LKPP itumemang dibutuhkan tenaga yang bisa lembur dan menganalisis angka-
123
angka. Tapi ini tidak menutup mata kita untuk tetap menularkan keahlianini kepada pegawai lain, sebagai persiapan kalau ada mutasi dari kantorpusat maupun kanwil. Bisa melalui GKM, in house training, pelatihan”.
Masih di bidang SDM, permasalahan lain yang peneliti temukan adalah
Kepala Seksi Verifikasi dan Akuntansi yang definitif telah kosong selama 4 bulan.
Sampai saat penulisan hasil penelitian ini, Kepala Seksi Vera diisi oleh Kepala
Seksi Bank (Bapak Marjanto). Beliau merasakan tidak ada masalah sewaktu
tugasnya meningkat dengan memimpin 2 seksi. Berikut hasil wawancara dengan
Beliau:
“Saya secara pribadi senang, karena ini bisa menambah pengetahuansaya dalam pekerjaan. Disamping itu, kita kan satu organisasi dan tujuansatu seksi adalah tujuan kita semua”.
Namun hasil wawancara dengan informan lain menyatakan, walau
sampai sekarang jabatan Kasi Vera diisi oleh Kepala Seksi Bank, namun
dikhawatirkan dalam jangka panjang akan mengganggu aktivitas Kepala Seksi
Bank. Hal ini karena tugas di seksi Bank juga membuat pelaporan setiap hari.
Berikut kutipan wawancara dengan informan (Bapak Md):
“Luar biasa sih Bapak Marjanto mas, soalnya di seksi Bank juga sibuk.Kerjanya sama sampai sore juga, terus lanjut di seksi Vera. Apalagi waktunyusun LKPP”.
Informan lain (Mbak Yuni Bagian Kepegawaian KPPN) menyatakan:
“Lumayan ya Mas, Kasi Vera udah kosong 4 bulan. Biasanya udah adapejabat definitifnya. Atau mas mau daftar... hehehe... pokoknya salut dehsama Bapak Marjanto yang mau lembur di dua seksi pas nyusun LKPP.Tapi ya kalau kelamaan ya kita kasihan juga”.
Dari semua hasil wawancara dan temuan hasil penelitian, dapat
disimpulkan bahwa SDM di KPPN Malang secara kuantitas dan kualitas telah
memiliki jumlah yang memadai. SDM di KPPN Malang SDM di KPPN Malang
adalah pegawai yang telah melalui serangkaian proses assessment sebagai
pegawai KPPN Percontohan Tahap VI di Tahun 2012. Namun faktor SDM di
124
KPPN Malang memiliki beberapa permasalahan jangka panjang dalam
implementasi pelaporan pemerintah basis akrual. Permasalahan ini dimulai dari
mutasi pegawai yang kaku akibat komposisi pegawai yang kebanyakan
perempuan berusia di atas 50 tahun dan jabatan Kepala Seksi Vera yang telah
kosong selama 4 bulan.
Sumber Daya Pendukung
a. Sumber Daya Finansial
Edward III (1980) menyatakan dalam kesimpulan studinya “budgetary
limitation, and citizen opposition limit the acquisition of adequate facilities. This is
turn limit the quality of service that implementor can be provide to public”.
Menurut Edward III, terbatasnya anggaran yang tersedia menyebabkan kualitas
pelayanan yang seharusnya diberikan kepada masyarakat juga terbatas.
Kebijakan yang tidak didukung dengan finansial akan mengalami masalah
di dalam perjalanannya. Untuk itu, KPPN Malang telah menganggarkan
implementasi pelaporan basis akrual dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran
(DIPA) KPPN Malang. Seksi Vera memiliki porsi anggaran terbesar dibandingkan
seksi lain, yaitu sebesar Rp.169.536.000,- atau 2,98% dari total DIPA (lihat Tabel
5.1) Penyusunan laporan sebagai kegiatan pada tahapan pelaporan basis akrual
memiliki porsi dana terbesar ketiga, yaitu sebesar Rp.27.000.000,- atau 15,93%
dari total kegiatan penyusunan LKPP. (lihat Tabel 5.2).
Dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa KPPN Malang telah
memberikan porsi anggaran yang lebih besar kepada Seksi Vera dalam
Penyusunan LKPP dibandingkan seksi lain (Seksi Pencairan Dana, Seksi Bank,
dan Seksi MSKI). Tahapan pelaporan implementasi menjadi kegiatan yang
memiliki porsi dana terbesar ketiga setelah kegiatan sosialisasi/bimtek dan
125
koordinasi/konsultasi. Dengan kata lain, KPPN Malang telah memberikan
perhatian sumber daya finansialnya pada tahapan pelaporan kebijakan
pelaporan basis akrual.
b. Sumber Daya Peralatan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, peralatan adalah sesuatu yang
dapat dipakai sebagai alat dalam mencapai maksud dan tujuan. Jadi, dapat
dikatakan bahwa peralatan kantor merupakan suatu media dalam upaya
mencapai tujuan yang diinginkan (Alwi, 2011).
Dari hasil pengamatan peneliti selama meneliti di seksi vera KPPN
sebagai seksi yang menyusun LKPP, ditemukan bahwa sumber daya peralatan
pada tahapan pelaporan LKPP di seksi Vera merupakan peralatan yang paling
canggih dibandingkan dengan seksi lain. Pada seksi vera, terdapat printer Canon
imageCLASS MF8210CN yang bisa melakukan print, fotocopy dan scan dalam
jumlah banyak. Sehingga tidak heran kalau banyak seksi lain yang menumpang
kegiatan di seksi vera karena printer ini hanya ada satu di KPPN Malang. Berikut
kutipan wawancara dengan Mas Ndaru:
“Ya ini mas, printernya paling mahal dan canggih disini. Jadi kadang seksilain numpang disini. Sub bag umum yang punya kantor juga numpangdisini. Tapi kalau lagi nyusun LKPP tak marahin. Hehehe...”.
Keberadaan printer yang canggih dan hanya satu di seksi Vera ini
sebaiknya dipikirkan dengan jangka panjang. Karena hal ini bisa sangat berisiko
jika sewaktu-waktu printer ini mengalami masalah, maka akan menghambat
kegiatan penyusunan LKPP. Edward III (1980) menyatakan fasilitas fisik dapat
menjadi sumber daya yang kritis dalam implementasi. Seorang implementor
mungkin telah memiliki SDM yang cukup, memahami langkah apa yang harus
126
dilakukan, memiliki wewenang yang cukup, namun tanpa adanya peralatan,
implementasi kebijakan tidak akan sukses.
Umur ekonomis printer di dalam Peraturan Menteri Keuangan
No.96/PMK.03/2009 mengenai Jenis-jenis Harta yang Termasuk Dalam
Kelompok Harta Berwujud Bukan Bangunan untuk Keperluan Penyusutan
dinyatakan bahwa umur ekonomis printer hanya 4 tahun. Hal ini diperparah
dengan penggunaan printer di seksi Vera secara beramai-ramai dengan seksi
lain. Oleh karena itu, diperlukan tinjauan atas minimnya sarana printer dalam
implementasi kebijakan pelaporan basis akrual di KPPN Malang.
Hasil wawancara dengan Kepala Sub Bagian Umum (Bapak Slamet
Hariyono) menyatakan bahwa di tahun 2017 telah dianggarkan kegiatan
pembelian printer baru untuk melengkapi printer yang telah ada di seksi vera.
Kutipan wawancara dengan informan Bapak Slamet (Kasubbag Umum) sebagai
berikut:
“Karena kegiatan di seksi vera juga padat di masa penyusunan LKPP, kitasudah menganggarkan pembelian printer di tahun ini mas. Lebih canggihInsya Allah kalau dananya cukup. Jadi gak rebutan lagi sama seksi vera”.
Dukungan lain di bidang peralatan terdapat dari sisi teknologi dan
informasi. Dalam tahapan pelaporan berbasis akrual, KPPN Malang
memanfaatkan sarana pada whatsapp, facebook dan website KPPN Malang.
Dengan mempercayakan kepada provider Telkomsel. Hal ini berguna dalam
menjamin kelancaran proses koordinasi dengan satuan kerja, Kanwil
Perbendaharaan Jatim, dan Kantor Pusat Ditjen Perbendaharaan.
Dari uraian dan hasil wawancara terkait sumber daya pendukung bisa kita
simpulkan bahwa Seksi Vera KPPN Malang telah memiliki printer tercanggih di
KPPN dalam menunjang proses penyusunan LKPP. Namun disayangkan,
127
keberadaan printer ini hanya ada satu di KPPN, sehingga akan berisiko jika
terjadi kerusakan. Untuk itu di tahun 2017 akan diadakan penambahan printer
satu lagi. Selain itu Seksi Vera juga menggunakan secara maksimal penggunaan
jaringan dalam kegiatan koordinasi pelaporan berbasis akrual. KPPN Malang
memiliki grup whatsapp dengan satker dan Kanwil Perbendaharan Propinsi
Jatim. KPPN Malang juga memiliki facebook dan website yang menunjang
proses komunikasi kebijakaan pelaporan berbasis akrual.
5.4.3 Disposisi
Faktor ketiga dari internal organisasi dalam implementasi kebijakan
berasal dari disposisi. Disposisi ini berasal dari dalam diri implementor. Disposisi
bisa berupa watak dan karakteristik atau sikap yang dimiliki oleh implementor
seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Disposisi yang baik akan
mensukseskan implementasi kebijakan yang sesuai dengan arahan pembuat
kebijakan. Ketika terjadi perbedaan sifat atau perspektif dengan pembuat
kebijakan, maka proses implementasi kebijakan akan terhambat.
Berdasarkan hasil wawancara dengan sejumlah informan di KPPN
Malang, terdapat pernyataan negatif dan positif terkait pelaporan berbasis akrual
di internal KPPN Malang. Pernyataan negatif ini berasal dari para pegawai yang
merupakan mantan penyusun LKPP di masa CTA dan awal 2015. Pernyataan
mereka didasari pada pelaporan berbasis akrual yang dirasa belum perlu, karena
penyusunan dan pertanggungjawaban anggaran sangat erat dengan basis kas.
Pernyataan negatif lainnya lagi berasal dari kenyataan bahwa pelaporan
pemerintah belum berbasis akrual secara penuh. Berikut kutipan wawancara
dengan informan (Ibu Sr-mantan penyusun LKPP):
128
“Ngapain ya mas repot-repot basis akrual. Lah wong anggaran aja basiskas. Dari nyusun, nyatet sampai bikin LPJ nya basis kas. Ngepasinangkanya itu yang bakalan ribet. Terus satker juga yang dilihat masihLRA yang kas banget”.
Sedangkan informan lainnya lagi mengungkapkan (Mbak Yuni-mantan
penyusun LKPP):
“Saya secara pribadi ya mas, sebagai penyusun LKPP dari masa CTA,kok ngerasa gak ada bedanya ya. Laporan kita masih basis CTA. Belumtuh akrual penuh, cuman ditambahin LO aja biar kelihatan akrual”.
Pernyataan positif berasal dari pegawai di seksi Vera sebagai penyusun
LKPP aktif. Secara umum, ketika peneliti menanyakan tekad dan niat dalam
menyusun LKPP berbasis akrual, mereka menunjukkan sikap yang mendukung
kesuksesan implementasi kebijakan. Berikut kutipan wawancaranya (Ndaru-
penyusun LKPP):
“Pokoknya kuncinya di kita mas. Semuanya sudah paham akrual. Kalaudi kita gak paham, terus mau ngomong apa ke satker. Saya juga optimis,di tahun ke tiga ini peringkat LKPP kita akan naik. Pokoknya bisa mas”.
Informan lain mengungkapkan (Ibu AAZ):
“ini kan sudah tujuan organisasi mas. Tujuan KPPN menghasilkan LKPP.Jadi saya siap untuk membantu proses penyusunan LKPP berbasisakrual”.
Namun pernyataan positif dari seksi penyusunan LKPP ini bukan tanpa
catatan. Beberapa informan merasa bahwa proses penyusunan LKPP (analisis
laporan dan penyusunan CALK) merupakan pekerjaan yang membutuhkan
waktu. Sehinga tidak jarang penyusun LKPP harus kerja sampai lembur. Peneliti
menemukan tidak adanya reward ataupun honor bagi penyusun LKPP. ketiadaan
reward ini bisa mengurangi disposisi baik dari penyusun LKPP. Implementasi
kebijakan pelaporan basis akrual akan mengalami hambatan, karena reward atau
honor ini termasuk dalam faktor insentif implementor. Insentif adalah suatu
129
sarana memotivasi berupa materi, yang diberikan sebagai suatu perangsang
ataupun pendorong dengan sengaja kepada para pekerja agar dalam diri
mereka timbul semangat yang besar untuk meningkatkan produktivitas kerjanya
dalam organisasi (Gorda, 2004:141).
Atas dasar hal tersebut, mereka merasakan perlunya perhatian yang lebih
dari pimpinan (bisa Kepala Seksi atau Kepala Kantor) sewaktu proses
penyusunan. Perhatian ini tidak hanya dalam hal materi, tapi cukup dengan
sekedar mendampingi sewaktu lembur. Berikut kutipan wawancara dengan
Ndaru (Penyusun LKPP):
“ya begitu mas, kalau kerjaan LKPP itu sampe lembur-lembur. Belum lagimikirin angkanya. Untung saya disini bulok (bujang lokal). Jadi bisanyusun sampe malam. Cuman ya kalau kerja sendirian ya kadang malasjuga mas. Untung Kepala Kantornya punya perhatian lumayan”.
Informan lain (Ibu AAZ) menyatakan:
“proses nyusun LKPP itu sampe lembur-lembur mas. Soalnya banyakyang diurusin. Semua seksi sama semua satker. Jadi ya gak bisa pulangcepat lah. Hehehe...”
Informan lain lagi (Bapak Md) mengungkapkan:
“Ya proses nyusun LKPP sama kayak seksi lain, sudah gak ada honornyamas. Tapi minimal kami kalau ditemanin kepala seksi atau kepala kantorudah terbantulah. Apalagi kalau dibawain lalapan. Hehehe... pokoknyaperhatian pimpinan akan menyemangati kami mas dalam nyusun LKPP”.
Terkait dengan perhatian pimpinan, hasil wawancara dengan informan
juga menemukan hal yang menjadi penyebab kenapa peringkat LKPP KPPN
Malang di Tahun 2015 mengalami penurunan dibandingkan tahun-tahun
sebelumnya. Pada bagian latar belakang telah peneliti kemukakan bahwa KPPN
Malang menempati peringkat ke 14 dari 15 KPPN pada Peringkat LKPP KPPN
Tahun 2015. Posisi ini mengalami penurunan dari tahun 2014 yang berhasil
menempati posisi 10 dari 15 KPPN. Penyebab dari menurunnya peringkat LKPP
130
ini berasal dari kurangnya perhatian pimpinan terhadap penyusunan LKPP di
tahun itu. Padahal tahun 2015 adalah masa awal penerapan basis akrual. Kepala
KPPN Malang saat itu lebih memperhatikan persiapan KPPN Malang untuk
mendapatkan sertifikat ISO 9001:2008 di 2015, setelah sebelumnya telah
mendapat sertifikat WBK/WBM di tahun 2014. Berikut kutipan wawancara
dengan beberapa informan (Bapak Md):
“sebenarnya sudah bagus mas, waktu di tahun 2014 sudah lumayan naikke peringkat 10. Tapi pas tahun 2015, pas mulainya basis akrual, pasbanyak-banyaknya masalah, eh pas pula Kantor ini proses sertifikasi ISO.Ya udah, Kepala Kantornya agak mengorbankan penyusunan LKPP”.
Informan lain menyatakan (Ibu AAZ):
“tahun 2014 kita udah bagus mas. Udah siap lah buat ngehadapin fullakrual di 2015. Eh kok pas pula Kantornya ikut ISO. Ya udah, agakdinomor duain lah LKPP nya. Padahal masalahnya lagi banyak”.
Informan lain lagi menyampaikan (Ndaru):
“Untung Kepala Kantornya sekarang punya perhatian lumayan. Katanyasih, yang saya dengar dari senior-senior, kepala kantor yang dulusenangnya ikutan kontes sama ISO gitu. Jadi seksi vera agakdikorbankan”.
Hal menarik lain yang peneliti temukan terkait faktor disposisi adalah
jabatan Kepala Seksi Vera sebagai Kepala Seksi penyusun LKPP ternyata
memiliki peringkat jabatan yang lebih rendah dibandingkan seksi lain. Dari hasil
wawancara ditemukan jabatan Kepala Seksi Vera memiliki Peringkat Jabatan 15.
Sedangkan Kepala Seksi lain (Seksi Pencairan Dana, Seksi Bank, Seksi MSKI
dan Sub Bagian Umum) memiliki Peringkat Jabatan 16. Hal ini berefek pada
jumlah Tunjangan Kinerja yang mereka terima setiap bulan. Terkait dengan
masalah ini, peneliti langsung mewawancarai Pjs. Kepala Seksi Vera (Bapak
Marjanto). Beliau sebagai Kasi Bank yang ditugaskan sementara sebagai Kasi
Vera mengharapkan agar Jabatan Kasi Vera bisa disamakan dengan Kasi lain,
131
mengingat beban kerjanya yang lumayan sewaktu proses penyusunan LKPP.
Kutipan wawancara sebagai berikut:
“Ya itu sudah lama mas, sejak Kemenkeu mulai menerapkan peringkatjabatan di 2008, Kepala Seksi Vera jadi berperingkat lebih rendahdibanding Kepala Seksi lain. Yang saya tahu waktu itu proses nyusunperingkatnya pakai jasa konsultan dari luar. Saya sih yakin mas, walauperingkatnya beda, ya Kepala Seksi Vera kan sudah tanggung jawabnyabikin LKPP. Ya harapan saya sebagai Kepala Seksi lain ya samakanlah.Kasihan juga sering lembur nyusun LKPP”.
Informan lain (Ndaru sebagai penyusun LKPP menyatakan):
“setahu saya sih sampai sekarang masih beda mas, peringkat Kasi Veradibanding Kasi Lain. Jadi THP nya bisa beda hampir 1jutaan. Mungkinkarena itu ya, sudah 4 bulan ini gak ada yang ngisi jabatan Kasi Vera disini. Gak ada yang mau. Hehehe...”
Dari hasil penelitian dan wawancara yang dilakukan oleh peneliti terkait
faktor disposisi dalam implementasi pelaporan berbasis akrual dapat disimpulkan
bahwa disposisi pada level pelaksana berada pada tahap kurang baik, sebagai
akibat tidak adanya reward bagi penyusun LKPP. Kendala lain yang perlu
diperhatikan berasal dari implementor tingkat Kepala Seksi Vera dimana
peringkat jabatan Kasi Vera yang lebih rendah dibandingkan Kasi lain dan
dikhawatirkan akan mengurangi disposisi baik (semangat) Kasi Vera dalam
implementasi pelaporan basis akrual. Faktor perhatian pimpinan, dalam hal ini
Kepala KPPN, memegang peran penting sewaktu LKPP KPPN Malang Tahun
2015 mengalami penurunan peringkat.
5.4.4 Struktur Birokrasi
Dalam mengimplementasikan kebijakan, struktur birokrasi memiliki peran
dalam tahap ini. Aspek struktur yang ada dan penting dari setiap organisasi
adalah standard operating procedures atau SOP. SOP menjadi arahan bagi
setiap implementor dalam melaksanakan tugas sehari-hari. SOP sebaiknya tidak
132
terlalu panjang karena cenderung menimbulkan red tape, yakni prosedur
birokrasi yang rumit dan kompleks. Pada akhirnya akan menyebabkan aktivitas
organisasi tidak fleksibel.
Prosedur penyusunan LKPP berbasis akrual, telah memiliki SOP
berdasarkan Kepdirjen Perbendaharaan No. 287/PB/2015. Tahapan pelaporan
basis akrual dimulai dari pencetakan laporan, menyusun CALK, membuat
pernyataan tanggung jawab, menyiapkan lampiran LKPP (hasil analisa LKPP,
daftar rekening satker beserta saldo dan rincian kas di bendahara pengeluaran),
sampai dengan melaporkan LKPP ke unit vertikal telah jelas tertuang di dalam
SOP ini. Adanya SOP pada penyusunan LKPP menunjukkan bahwa struktur
birokrasi pada tahapan pelaporan telah menunjang kesuksesan implementasi
kebijakan.
5.5 Ringkasan
Berdasarkan paparan mengenai implementasi pelaporan pemerintah
berbasis akrual dengan alat analisis data Model Implementasi Edward III (1980),
terdapat beberapa faktor internal yang memengaruhi pelaksanaan implementasi
di KPPN Malang. Faktor-faktor tersebut adalah:
133
Tabel 5.7Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Implementasi Pelaporan Pemerintah
Berbasis Akrual Pada LKPP Tingkat KPPN Malang
Faktor Temuan Penelitian
Komunikasi
Komunikasi yang dilakukan terkait pelaporan berbasisakrual telah baik dilakukan. KPPN Malang banyakmelakukan sosialisasi dan koordinasi dalammelakukan implementasi kebijakan. Sosialisasi dankoordinasi dilakukan tidak hanya internal pegawai, tapijuga ke luar (satuan kerja, Kanwil DitjenPerbendaharaan Propinsi Jatim dan Kantor PusatDitjen Perbendaharaan).Seksi Vera KPPN Malang telah memanfaatkan secarapenuh dukungan teknologi (whatsapp, facebook danwebsite) dalam melakukan koordinasi kebijakanpelaporan basis akrual.
Sumber Daya
Sumber Daya ManusiaKPPN Malang memiliki SDM yang cukup secarakuantitas dan kualitas serta pemahaman yang baikakan pelaporan basis akrual.Namun SDM KPPN Malang yang kebanyakanperempuan berusia di atas 50 tahun dengantingkat pendidikan SMA membuat proses mutasi diKPPN Malang berjalan kaku, sehingga dapatmenghambat implementasi pelaporan basis akrualdalam jangka panjang.Selain itu Jabatan Kepala Seksi Vera telah kosongselama 4 bulan.
Sumber Daya PendukungA. Sumber Daya Finansial
Seksi Vera KPPN Malang dalam penyusunanLKPP telah mendapatkan dana dalam DIPA yanglebih banyak dibandingkan seksi lain.
B. Sumber Daya PeralatanSebagai pemenang kontes pelayanan, KPPNMalang memiliki ruangan kerja yang nyaman danmendukung implementasi pelaporan basis akrual.Namun KPPN Malang hanya memiliki 1 printercanggih dalam penyusunan laporan dan terkadangdigunakan seksi lain. Hal ini sangat rawan sewaktupenyusunan LKPP.
Disposisi Disposisi para pelaksana kebijakan berada pada tahapkurang baik terkait proses rekonsiliasi, pencocokan
134
saldo antar seksi dan ketiadaan reward bagi pegawaidi level pelaksana.Disposisi pada level Kepala Seksi mengalami masalahjika jabatan Kepala Seksi yang dipegang oleh KepalaSeksi Bank terus dibiarkan kosong dalam jangkapanjang.Di level kepala seksi juga terdapat masalah karenaperingkat jabatan Kepala Seksi Vera yang lebihrendah satu tingkat dibandingkan Kepala Seksi Lain.
Struktur Birokrasi
SOP Penyusunan LKPP Berbasis Akrual memilikipermasalahan di bagian pencocokan saldo kas di LAKdengan saldo kas di LKP dan Rekening Koran. Hal inidikarenakan semenjak basis akrual, hal inimemerlukan koordinasi yang lebih.SOP Rekonsiliasi sebagai awal dari proses konsolidasilaporan dengan satuan kerja belum diatur denganPMK. SOP ini masih sebatas Surat DitjenPerbendaharaan yang berubah-ubah setiap bulan. Halini mengurangi keefisienan proses pelaporan berbasisakrual.
Berdasarkan tabel di atas maka bisa dilihat beberapa faktor yang menjadi
pendukung dan penghambat bagi KPPN Malang dalam implementasi pelaporan
pemerintah berbasis akrual. Faktor yang menjadi pendukung berasal dari
komunikasi dan sumber daya finansial. Sedangkan sumber daya manusia,
sumber daya pendukung (peralatan), disposisi dan struktur birokrasi perlu
mendapatkan evaluasi dan perbaikan untuk meningkatkan kesuksesan KPPN
Malang dalam penyusunan LKPP berbasis akrual.
135
BAB VIPELAPORAN PEMERINTAH BERBASIS AKRUAL :
TANTANGAN DAN PERAN KPPN MALANG
Era pelaporan pemerintah telah memasuki masa penerapan basis akrual.
Dalam satu dekade terakhir, semakin banyak Negara yang menerapkan
pelaporan pemerintah basis akrual sebagai ciri dari pengelolaan keuangan
Negara yang modern. Di antaranya Selandia Baru, Swedia, Swiss, Jepang, dan
Australia (Athukorala dan Reid, 2003). Akuntansi basis akrual akan
menghasilkan laporan keuangan yang lebih berguna, karena lebih mencerminkan
transparansi dan keadaan sebenarnya dari aktivitas pemerintah. Hal ini akan
meningkatkan kegunaan laporan keuangan baik sebagai alat
pertanggungjawaban maupun pengambil keputusan (Kim, et al., 2005; Mack &
Ryan, 2007). Negara Indonesia sendiri telah menerapkan pelaporan basis akrual
mulai tahun pelaporan 2015.
Proses perubahan pelaporan menjadi basis akrual adalah perubahan
yang besar. Perubahan ini merupakan salah satu dari kebijakan publik di bidang
akuntansi. Sebagai kebijakan akuntansi, implementasi pelaporan basis akrual
yang dilakukan KPPN Malang perlu terlebih dahulu dilakukan analisa kebijakan.
Dye di dalam Wahab (1990), menyatakan analisa kebijakan (mulai dari proses
pembuatan sampai dengan pelaksanaan) berguna untuk menjamin
keberlangsungan implementasi suatu kebijakan.
Analisa kebijakan terhadap pelaporan basis akrual menunjukkan bahwa
kebijakan ini termasuk ke dalam model kelembagaan dan model inkremental
(Wahab, 1990). Kebijakan publik menurut model kelembagaan memiliki arti
kebijakan pelaporan basis akrual didasari oleh suatu peraturan, yaitu PP No. 71
136
Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah. Implementasi pelaporan
basis akrual bersifat wajib dilaksanakan dan ditetapkan/disahkan
pemberlakuannya oleh lembaga pemerintah. Sedangkan model inkremental
memberi makna bahwa kebijakan pelaporan basis akrual dilakukan secara
bertahap dan berkelanjutan.
Perkembangan akan penerapan basis akrual pada beberapa Negara juga
diiringi dengan isu akan tuntutan merubah perilaku organisasi pemerintah dan
aparatur di dalamnya. Bunea dan Cosmina (2006:2) menyatakan bahwa sistem
akuntansi akrual tujuannya bukan untuk melayani dirinya sendiri, melainkan
terciptanya perubahan mentalitas dalam proses anggaran yang semula sangat
kaku. Khan dan Mayes (2007:4) berpendapat bahwa akuntansi akrual dapat
membantu menghasilkan perubahan perilaku bagi para pengambil keputusan
anggaran dan pimpinan. Informasi akrual akan meningkatkan kualitas
pengawasan bagi pengguna laporan, dan ini dapat memfasilitasi perubahan
sikap dan perilaku dari para aparatur karena mereka merasa diawasi dan
dievaluasi secara ketat oleh pengguna laporan. Simanjuntak (2010) menjelaskan
dengan adanya informasi akrual akan mendorong partisipasi masyarakat dalam
memantau penyelenggaraan pemerintahan. Akuntansi akrual akan
meminimalkan potensi korupsi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Seakan ingin menjawab isu akan tuntutan perubahan perilaku pada
Kementerian/Lembaga, Ditjen Perbendaharaan di dalam Rencana Strategis
Tahun 2015-2019 (Kep. Dirjen Perbendaharaan No. 239/PB/2015 tentang
Rencana Strategis Ditjen Perbendaharaan Tahun 2015-2019), merespon dengan
perubahan peran pada proses bisnis Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara
(KPPN) tahun 2015-2019. Peran yang baru ini menghadirkan KPPN sebagai
137
organisasi yang learning organization yaitu organisasi yang analitikal, ilmiah,
inovatif dan responsif terhadap perubahan. Peran ini menuntut KPPN Malang
sebagai organisasi yang tidak hanya sebatas mengkonsolidasikan laporan
keuangan dari satuan kerja, namun juga berperan sebagai “learning
organization” bagi satuan kerja dalam penyusunan laporan keuangan
(www.djpbn.kemenkeu.go.id).
Perubahan peran sebagai “learning organization” pelaporan keuangan
menjadi tantangan sekaligus menjawab peran KPPN Malang ke depan. KPPN
Malang dengan segera melakukan langkah-langkah dalam implementasi
pelaporan basis akrual. Implementasi kebijakan sendiri merupakan tindakan-
tindakan yang dilakukan oleh organisasi publik yang diarahkan untuk mencapai
tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan sebelumnya
(Van Meter dan Van Horn, 1975). Di dalam implementasi pelaporan basis akrual,
KPPN Malang melakukan langkah: persiapan (pembentukan tim rekonsiliasi dan
penyusun LKPP, sosialisasi kebijakan); pelaksanaan (rekonsiliasi laporan,
koordinasi dengan satuan kerja); pengukuran (pencocokan saldo hasil
rekonsiliasi dan lintas seksi internal KPPN); pelaporan (penyajian laporan,
analisa laporan dan penyusunan CALK).
Arah implementasi kebijakan pelaporan basis akrual pada KPPN Malang
harus diarahkan pada peranan KPPN sebagai learning organization. Sebuah
learning organization harus bisa menjadi contoh, memberikan konsultasi,
mendorong, sampai dengan memberi penghargaan dan hukuman (W.S. Winkel,
1991:110). Proses sosialisasi, pelatihan, koordinasi sampai dengan konsultasi
meneguhkan peran KPPN Malang sebagai learning organization di dalam
pelaporan keuangan pemerintah.
138
Tantangan dan peran sebagai learning organization telah dihadapi oleh
KPPN Malang dalam implementasi pelaporan basis akrual selama kurang lebih 3
(tiga) tahun. Alih-alih akan berhasil dalam pelaporan basis akrual, KPPN Malang
justru masih “belajar” menjadi learning organization, jika melihat peringkat LKPP
KPPN Malang yang hanya berada di posisi 14 dari 15 KPPN se-Jawa Timur di
tahun 2015.
Dalam proses implementasi pelaporan basis akrual, tantangan terbesar
justru berasal dari internal KPPN Malang sendiri. Hal ini didasari oleh
operasionalisasi teori Edward III (1980) pada tahapan implementasi. Penelitian
berhasil menemukan faktor pendukung (komunikasi dan sumber daya finansial)
dan faktor penghambat implementasi (sumber daya manusia, sumber daya
peralatan, disposisi dan struktur birokrasi). Namun menemukan kedua faktor ini
tidaklah cukup. Lewin (1951) menyatakan, sebuah organisasi tidak hanya dituntut
mampu mengatur secara efektif dan efisien sumber daya, unit-unit dan teknik
yang dapat mendukung pelaksanaan kebijakan, tapi juga mengelola,
mengevaluasi faktor pendukung dan penghambat implementasi kebijakan dan
mengembangkan new self concept & identity dan new interpersonal relationships
agar perubahan tetap berjalan. KPPN Malang yang masih dalam tahapan
menjadi learning organization di dalam pelaporan pemerintah harus mampu
memanjemen semua faktor pendukung dan penghambat dalam implementasi
kebijakan pelaporan basis akrual.
Menjalin Komunikasi Antar Generasi
Kegiatan komunikasi, bisa dilakukan dengan menyampaikan,
mensosialisasikan, dan mengkoordinasikan (Putera dan Valentina, 2011; Puteri,
2015). KPPN Malang memiliki keunggulan dalam proses komunikasi kebijakan.
139
Komunikasi dilakukan tidak hanya ke satuan kerja, namun juga ke dalam
(pegawai) KPPN Malang dan ke atas (Kanwil Ditjen Perbendaharaan Propinsi
Jawa Timur dan Kantor Pusat Ditjen Perbendaharaaan).
Keberhasilan dalam komunikasi pelaporan basis akrual tidak seharusnya
membuat KPPN Malang berhenti memberikan terobosan dalam hal komunikasi.
Dalam implementasi kebijakan yang mengikuti perkembangan di lapangan, pihak
pembuat kebijakan akan senantiasa melakukan evaluasi kebijakan (Winarno,
2005:34). Sifat inkremental (keberlanjutan) dalam kebijakan pelaporan basis
akrual juga harus diperhatikan (Wahab, 1990). Ditambah penyempurnaan proses
bisnis pelaporan basis akrual, komunikasi antar generasi menjadi nilai tambah
untuk penyempurnaan implementasi. Komunikasi antar generasi akan membuat
rekam jejak dari penyusunan LKPP tidak akan hilang, dan proses pelaporan akan
mendukung asumsi dasar :kesinambungan entitas (PP No. 71 Tahun 2010).
Komunikasi antar generasi yang dimaksud bukan komunikasi antara
generasi muda dan generasi tua, namun komunikasi antara penyusun LKPP
sekarang dengan penyusun LKPP terdahulu. Kecenderungan yang ada setelah
pergantian penyusun LKPP adalah perasaan “enggan” atau “cuek” untuk
memberikan sejarah terkait penyusunan LKPP. Proses komunikasi dalam hal ini
tidak berjalan baik, dimana komunikasi menurut Lexicographer (ahli kamus
bahasa) menunjuk pada suatu upaya yang bertujuan berbagi mencapai
kebersamaan (Fajar, 2009:31).
Penyusun LKPP terdahulu memberi keterangan kendala/masalah dalam
penyusunan LKPP ketika penyusun LKPP sekarang menemui kendala yang
berhubungan dengan LKPP periode terdahulu. Pada KPPN Malang, informan
kunci/penyusun LKPP sekarang selalu kebingungan dan tidak mengetahui rekam
140
jejak atau masalah pada LKPP terdahulu. Pada poin ini, Golhaber di dalam
Organizational Communication menyebutkan bahwa salah satu iklim komunikasi
yang mendukung adalah adanya keterbukaan dan keterusterangan (Muhammad,
2002:85). Diperlukan keterbukaan dan keterusterangan dalam proses penyaluran
komunikasi antar generasi. Dengan adanya komunikasi antar generasi penyusun
LKPP, maka akan meningkatkan ketepatan dan kecepatan penyusunan LKPP.
Mutasi sebagai Pengoptimalan SDM
Dalam pemenuhan peran KPPN sebagai entitas penyusun LKPP, semua
SDM KPPN Malang harus dapat dioptimalkan. Sumber daya manusia
bertanggung jawab dalam melaksanakan kebijakan secara efektif, walau
mayoritas komposisi SDM KPPN Malang adalah wanita dengan usia di atas 50
tahun dan tingkat pendidikan SMA.
Putera dan Valentina (2011) menyatakan SDM memainkan peranan di
dalam implementasi, sehingga jumlah SDM tidak hanya memadai, namun juga
melihat kompetensi implementor, kemampuan SDM di dalam mengidentifikasi,
menyelesaikan masalah dengan cepat dan kemampuan mendorong masyarakat.
Dalam meningkatkan kompetensi SDM, perlu dilakukan mutasi pada penyusun
LKPP. Dukungan proses komunikasi kebijakan yang baik seharusnya bisa
memfasilitasi proses mutasi penyusun LKPP di KPPN Malang.
Mutasi menurut Wahyudi (1995) adalah perpindahan pekerjaan
seseorang dalam suatu organisasi yang memiliki tingkat level yang sama dari
posisi perkerjaan sebelum mengalami pindah kerja. Pengoptimalan semua SDM
dapat dilakukan dengan mutasi. Edward III (1980) menyatakan perlunya
menempatkan staf yang berkualitas dalam implementasi kebijakan. Dengan
mutasi, maka staf yang berkualitas dalam penyusunan LKPP akan menjadi
141
banyak. Ditambah lagi semua SDM di KPPN Malang pada dasarnya merupakan
pegawai yang telah lulus assessment di bidang Perbendaharaan dan Keuangan
Negara. Kekhawatiran akan terjadinya mutasi pada satu pegawai utama
penyusun LKPP akan hilang jika KPPN Malang memiliki banyak pegawai
cadangan.
Mutasi yang dilakukan bisa secara internal, baik internal seksi Vera
maupun internal KPPN Malang secara keseluruhan. Periode mutasi seharusnya
bisa di bawah 2 tahun. Seorang pegawai dengan lama bekerja minimal 6 bulan
sudah bisa dimutasi. Pada akhirnya, semua pegawai KPPN Malang akan
mengalami proses penyusunan LKPP, sehingga tujuan menjadikan semua KPPN
sebagai learning organization di dalam penyusun LKPP akan tercapai.
Becoming A Leader not just A Boss
Kekosongan jabatan pada Kepala Seksi Vera seharusnya tidak dibiarkan
terlalu lama oleh unit vertikal KPPN Malang. Di dalam Keputusan Menteri Negara
PAN Nomor 63/Kep/M.PAN/7/2003 mengenai Pedoman Umum
Penyelenggaraan Publik dinyatakan bahwa salah satu dari syarat layanan publik
yang baik adalah adanya kepastian pejabat yang berwenang dan bertanggung
jawab dalam memberikan pelayanan. Kekosongan jabatan Kasi Vera selain
berbahaya dari sisi aturan, juga bisa menghambat implementasi kebijakan dalam
jangka panjang.
Darwin (1995) menyatakan terdapat hal penting dalam implementasi
kebijakan: pendayagunaan sumber; pelibatan orang atau sekelompok orang
dalam implementasi; interpretasi; dan manajemen program. Ketiadaan pejabat
pada Kasi Vera akan menghambat manajemen program dalam implementasi
142
pelaporan basis akrual. Kasi yang bertugas sementara akan kesulitan dalam
memanajemen implementasi kebijakan.
Selain itu, Kasi Vera yang definitif akan lebih bisa menjadi pemimpin bagi
stafnya. Pemimpin dapat menjadi suporter bagi pelaksananya, tapi seorang
atasan tidak perduli dengan tingkah laku pelaksananya (Tohidi dan Jabbari,
2012). Kasi Bank yang bertugas sementara memiliki kesibukan yang sama
dengan seksi vera. Sehingga wajar, jika perhatian Beliau ke bawahannya akan
terpecah. Oleh karena itu dibutuhkan segera pengisian jabatan pada Kasi Vera di
KPPN Malang.
Keberadaan pemimpin memiliki peranan penting di dalam organisasi.
Pada poin ini, peneliti mereview kembali hasil penelitian terkait komitmen
pimpinan KPPN Malang di awal penerapan basis akrual. Salah satu penyebab
peringkat LKPP KPPN Malang mengalami ”jatuh bebas” di tahun 2015 adalah
kurangnya komitmen pemimpin di saat itu. Tahun 2015 KPPN Malang disibukkan
dengan berbagai contest, seperti sertifikasi ISO 9001:2008 dan WBBM. Dapat
kita lihat, dengan kurangnya komitmen pemimpin, sangat berpengaruh pada
implementasi kebijakan. Pemimpin tidak hanya memimpin, tapi juga
menggerakkan organisasi (Tohidi dan Jabbari, 2012).
Untuk mencapai tujuan pelaporan basis akrual yang lebih baik, maka
diperlukan kepemimpinan pada level Kepala Kantor dan Kepala Seksi Vera
KPPN Malang. Warren Bunnies dalam bukunya On Becoming a Leader (1989)
menyatakan seorang pemimpin tidak hanya memperbaiki, tapi juga
mengembangkan. Seorang pemimpin tidak hanya fokus pada sistem dan
struktur, tapi juga fokus kepada pelaksana kebijakan. Seorang pemimpin tidak
143
hanya melihat keputusan dalam jangka pendek, tapi juga melihat jangka panjang
dari keputusan yang diambil (Rago, 1996).
Kepemimpinan menjadi poin dalam refleksi perubahan karena lokasi,
kondisi dan sarana prasarana KPPN Malang yang strategis. Dengan keunggulan
yang dimiliki, peluang KPPN Malang untuk mewakili Direktorat Jenderal
Perbendaharaan dalam berbagai kontes pelayanan selalu terbuka. Pembentukan
jiwa kepemimpinan di level Kasi dan Kepala Kantor KPPN Malang akan
membuat implementasi pelaporan basis akrual lebih terjamin.
Penyetaraan Peringkat Jabatan
Dampak dari sikap baik menurut Edward III (1980) adalah ada kebijakan
yang dilaksanakan secara efektif karena mendapat dukungan dari implementor,
dan ada juga yang mengalami “ketidakcuhan” karena tidak didukung oleh
implementor. Sebagai dampak dari ketidaksetaraan peringkat jabatan antara
Kasi Vera dengan Kasi Lain adalah take home pay yang berbeda. Implementasi
kebijakan pelaporan basis akrual akan mengalami hambatan, karena termasuk
dalam faktor insentif implementor.
Insentif adalah suatu sarana memotivasi berupa materi, yang diberikan
sebagai suatu perangsang ataupun pendorong dengan sengaja kepada para
pekerja agar dalam diri mereka timbul semangat yang besar untuk meningkatkan
produktivitas kerjanya dalam organisasi (Gorda, 2004:141). Insentif yang kurang
pada Kasi Vera, tentu akan menghambat implementasi kebijakan. Hal ini
berbahaya, terutama pelaporan basis akrual merupakan job description dari
Seksi Vera.
Penyetaraan peringkat jabatan seharusnya bisa dilakukan berdasarkan
beban kerja yang ada di Seksi Vera. Beban kerja ini juga meningkat
144
sebagaimana di dalam Renstra Ditjen Perbendaharaan 2015-2019. Seksi Vera
mendapat tambahan tugas di bidang Government Financial Statistics. Dengan
tambahan tugas dan tuntutan penajaman peran sebagai learning organization di
dalam pelaporan basis akrual, maka perlu ditinjau terkait peringkat jabatan Kasi
Vera oleh unit pembuat kebijakan di level pimpinan Kementerian Keuangan. para
pelaksana kebijakan. Dengan cara menambah keuntungan atau biaya tertentu,
mungkin akan menjadi faktor pendorong yang membuat para pelaksana
menjalankan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan sebagai upaya memenuhi
kepentingan pribadi atau organisasi (Edward III, 1980).
Peningkatan Solidaritas Antar Seksi
Keunggulan faktor koordinasi antar seksi yang dimiliki KPPN Malang
terbentur oleh adanya SOP pencocokan saldo antar seksi. Dilematis, karena
hasil penelitian menunjukkan perbedaan pandangan akan pentingnya
pencocokan saldo ini pada pegawai di setiap seksi. Ada pegawai yang berpikiran
praktis, dalam arti menginginkan SOP ini dihilangkan. Di sisi lain ada pegawai
yang ingin SOP ini dipertahankan sebagai mekanisme check and balance antar
seksi.
Untuk menjamin kualitas saldo pada LKPP, KPPN Malang harus mencari
terobosan dalam koordinasi saldo antar seksinya. Dalam poin ini, peneliti
menyimpulkan perlunya membangun rasa solidaritas yang tinggi di lingkungan
KPPN Malang. Solidaritas organisasi adalah perasaan di dalam organisasi yang
terbentuk dalam perasaan sepenanggungan untuk kepentingan bersama
(Partanto dan Al Barry, 1994:717).
Suatu KPPN yang solid atau memiliki rasa solidaritas yang tinggi, tidak
akan mengalami keluhan dalam proses pencocokan saldo antar seksi. Semua
145
pegawai akan merasa bahwa dirinya dan yang lain adalah satu. Mereka
melakukan tugas yang satu, yaitu tujuan organisasi. Demikian juga dengan
kendala dalam SOP pencocokan saldo di KPPN Malang, seharusnya sewaktu
ada perubahan saldo di satu seksi, akan otomatis diberitahukan ke seksi Vera
sebagai penyusun LKPP. Semua pegawai akan berpartisipasi dalam penyusunan
LKPP, tanpa menunggu permintaan data dari Seksi Vera. Pada akhirnya, iklim
organisasi akan mendukung dalam pencapaian tujuan. Golhaber dalam
Organizational Communication menyatakan bahwa salah satu dimensi yang
mendukung iklim organisasi yang baik adalah partisipasi dari semua anggota
dalam pembuatan keputusan (Muhammad, 2002:85).
Pertegas Proses Rekonsiliasi
Implementasi kebijakan berarti pelaksanaan dari suatu kebijakan
(Wibawa, 2002:5). Proses rekonsiliasi secara online merupakan tahapan dalam
pelaksanaan implementasi pelaporan basis akrual. Dampak dari penerapan
rekonsiliasi secara online di KPPN Malang bisa dikatakan sebagai dua sisi mata
uang. Di satu sisi, proses rekon sangat membantu dan menjawab kendala dalam
proses rekonsiliasi pasca pelaporan basis akrual, di sisi lain rekon online
menimbulkan kebingungan pada penyusun LKPP terkait penjadwalan
penyusunan LKPP.
Proses rekonsiliasi secara online memang belum diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan. Namun proses ini telah memiliki alur dan prosedur yang
diatur di dalam Surat Dirjen Perbendaharaan. Penetapan tanggal pelaksanaan
rekon berdasarkan “kesepakatan” antara Kementerian/Lembaga dengan
Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan. Hal ini yang akan menimbulkan
kebingungan pada penyusun LKPP, karena tanggal rekon akan berubah-ubah
146
setiap bulan. Menurut Edward III (1980), pada pelaksanaan kebijakan, SOP
merupakan sarana bagi implementor untuk memanfaatkan waktu yang tersedia.
Kelemahan dari SOP ini terlihat pada ketidakpastian tanggal pelaksanaan yang
justru menghabiskan waktu para implementor.
Selain itu, pelaksanaan rekon online yang masih diatur dengan Surat
Dirjen Perbendaharaan seharusnya ditingkatkan menjadi Peraturan Menteri
Keuangan. Di dalam Undang-undang No. 12 Tahun 2011 mengenai
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan bahwa Surat Direktur
Jenderal lebih lemah daripada Peraturan Menteri. Hal ini menunjukkan SOP
rekon online masih lemah karena SOP Rekonsiliasi sebelumnya diatur di dalam
Peraturan Menteri Keuangan, yaitu PMK No. 210/PMK.05/2013.
Di dalam PMK No. 210/PMK.05/2013 tercantum secara jelas bahwa
rekonsiliasi merupakan kewajiban bagi satuan kerja. Setiap bulan, satuan kerja
wajib melakukan rekonsiliasi ke KPPN sebelum tanggal 10. Dapat disimpulkan,
pelaksanaan rekon online melemahkan praktik terdahulu yang menekankan
sanksi bagi satuan kerja yang belum melakukan rekonsiliasi. Tanggal
pelaksanaan rekon online yang bersifat “kesepakatan” menunjukkan kelemahan
sanksi dalam proses rekonsiliasi pasca pelaporan basis akrual. Diperlukan
penetapan SOP Rekonsiliasi yang tetap tanggalnya untuk mengembalikan
kekuatan sanksi dalam rekonsiliasi sebagai tools menuju pelaporan basis akrual
yang lebih baik. Selain itu, sebuah learning organization sebagai pendidik juga
harus berusaha memberikan tindakan korektor atau hukuman (W.S. Winkel,
1991:115).
147
Pemberian Award kepada Satker Berprestasi
Keberhasilan implementasi kebijakan dilakukan dengan evaluasi
kebijakan, berupa ukuran-ukuran yang menjadi dasar dalam menilai apakah
kebijakan telah mecapai tujuan yang diinginkan (Dunn, 1998). KPPN Malang bisa
memberikan terobosan evaluasi kebijakan dengan pemberian award kepada
satker yang berhasil menjadi terbaik.
Dalam implementasi kebijakan yang baik, sering ada mekanisme insentif
dan sanksi (Subarsono, 2009:12). Dengan memanfaatkan sumber daya finansial
yang ada, KPPN Malang masih bisa menambah satu kegiatan lagi, yaitu evaluasi
dengan pemberian award kepada satker yang berprestasi. Ukuran keberhasilan
pelaporan basis akrual bisa dilakukan dengan melihat kualitas laporan satker
berdasarkan PP No. 71 Tahun 2010. Dengan mekanisme award, satuan kerja
akan lebih terpacu dalam implementasi pelaporan basis akrual.
Penambahan Informasi Akrual pada CALK LKPP
Refleksi perubahan terakhir yang seharusnya dilakukan KPPN Malang
adalah penambahan informasi akrual pada CALK LKPP. Walau aturan mengenai
CALK ini belum ada, pada praktiknya KPPN Malang telah memiliki informasi
akrual dari satker sewaktu melakukan proses rekonsiliasi.
Dengan informasi akrual yang dimiliki, KPPN Malang seharusnya bisa
melampirkan informasi ini dalam penyusunan LKPP. Keberadaan informasi
akrual akan membuat laporan lebih berguna dalam pengambilan keputusan
(Daniels & Daniels, 1991; Mack & Ryan, 2007; Cohen, et al., 2010). Kehadiran
informasi akrual yang telah diperoleh pada LKPP KPPN Malang akan menambah
mutu dan kualitas LKPP di KPPN Malang. Oleh karena itu, diperlukan
148
penambahan informasi akrual pada penyusunan LKPP di KPPN Malang pada
tahun berikutnya.
149
BAB VIISIMPULAN, SARAN, KETERBATASAN DAN
IMPLIKASI HASIL PENELITIAN
7.1 Simpulan
Sebagai entitas awal dalam penyusunan LKPP, KPPN Malang
menggunakan PP No. 71 Tahun 2010 dan PMK No.177/PMK.05/2015 sebagai
kebijakan pokok dalam pelaporan berbasis akrual di LKPP Tahun 2015 dan
2016. KPPN Malang melaksanakan langkah-langkah berikut dalam implementasi
kebijakan: 1. persiapan (pembentukan tim rekonsiliasi dan penyusun LKPP,
sosialisasi kebijakan); 2. pelaksanaan (rekonsiliasi laporan, koordinasi dengan
satuan kerja); 3. pengukuran (pencocokan saldo hasil rekonsiliasi dan lintas seksi
internal KPPN); 4. pelaporan (penyajian laporan, analisa laporan dan
penyusunan CALK).
Hasil penelitian terkait analisis implementasi kebijakan pelaporan basis
akrual dengan alat analisis Teori Edward III (1980) menunjukkan faktor
pendukung dan penghambat implementasi dari internal KPPN Malang. Faktor-
faktor ini adalah: komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi.
Faktor internal pertama berasal dari komunikasi kebijakan. Kesimpulan
terkait faktor komunikasi di semua langkah implementasi kebijakan pelaporan
basis akrual menunjukkan komunikasi telah baik dilakukan. KPPN Malang
banyak melakukan sosialisasi dan koordinasi dalam melakukan implementasi
kebijakan. Sosialisasi dan koordinasi dilakukan tidak hanya internal pegawai, tapi
juga ke luar (satuan kerja, Kanwil Ditjen Perbendaharaan Propinsi Jatim dan
Kantor Pusat Ditjen Perbendaharaan). Koordinasi dilakukan dengan
memanfaatkan secara penuh dukungan teknologi (whatsapp, facebook dan
website).
150
Melalui analisis sumber daya di semua langkah implementasi kebijakan
pelaporan basis akrual (SDM, Finansial dan Peralatan), ditemui beberapa faktor
pendukung dan penghambat. Faktor pendukung berasal dari sumber daya
finansial, dimana Seksi Vera KPPN Malang mendapatkan porsi anggaran yang
lebih besar dibandingkan seksi lain di dalam DIPA KPPN Malang. Faktor
penghambat berasal dari SDM dan Peralatan. Proses mutasi di KPPN Malang
berjalan kaku sebagai akibat komposisi SDM KPPN Malang yang kebanyakan
ibu-ibu berusia di atas 50 tahun dengan tingkat pendidikan SMA. Selain itu
Jabatan Kepala Seksi Vera telah kosong selama 4 bulan. Peralatan berupa
printer yang canggih pada seksi vera terkadang digunakan seksi lain. Faktor
SDM dan Peralatan di atas bisa menjadi rawan dalam jangka panjang
penyusunan LKPP.
Dari faktor disposisi di semua langkah implementasi kebijakan pelaporan
basis akrual, terdapat hal yang perlu diperhatikan KPPN Malang. Disposisi dari
sisi pelaksana berada pada level kurang baik terkait proses rekonsiliasi yang
berubah-ubah tiap bulan, lamanya proses pencocokan saldo antar seksi dan
tidak adanya reward bagi pelaksana. Pada level Kepala Seksi terdapat masalah
pada jabatan Kepala Seksi yang dipegang oleh Kepala Seksi Bank selama 4
bulan dan peringkat jabatan Kepala Seksi Vera yang lebih rendah satu tingkat
dibandingkan Kepala Seksi Lain.
Terkait faktor struktur birokrasi di semua langkah implementasi
kebijakan pelaporan basis akrual, masalah SOP perlu diperhatikan KPPN
Malang. SOP Penyusunan LKPP Berbasis Akrual di bagian pencocokan saldo
kas di LAK dengan saldo kas di LKP dan Rekening Koran, memerlukan
koordinasi yang lebih semenjak penerapan basis akrual. SOP rekonsiliasi yang
151
selalu berubah setiap bulan memerlukan Peraturan Menteri Keuangan untuk
meningkatkan efisiensi penyusunan pelaporan basis akrual.
7.2 Saran Bagi KPPN Malang
Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan dan sintesa yang telah
diuraikan di atas, berikut beberapa saran yang disumbangkan peneliti kepada
KPPN Malang terkait implementasi kebijakan pelaporan basis akrual:
1. Para penyusun LKPP agar meningkatkan proses komunikasi kepada
penerus dan pendahulunya untuk meningkatkan kecepatan dan
ketepatan penyusunan LKPP.
2. Pemimpin KPPN Malang agar mempertimbangkan proses mutasi internal,
terutama kepada penyusun LKPP, sehingga semua SDM yang ada di
KPPN Malang dapat diberdayakan dengan optimal.
7.3 Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan penelitian ini adalah kurang tepatnya waktu pelaksanaan
penelitian, di mana pada saat penelitian bertepatan dengan penyusunan LKPP
Audited 2016. Hal ini berdampak pada kesulitan pengumpulan data LKPP terbaru
(tahun 2016) dan peneliti hanya menggunakan LKPP Unaudited 2016 dan LKPP
Audited 2015.
7.4 Implikasi Hasil Penelitian
Implikasi hasil penelitian terhadap praktik pelaporan basis akrual adalah
temuan faktor-faktor pendukung dan penghambat implementasi kebijakan
pelaporan basis akrual pada KPPN Malang. Hal ini berguna dalam peningkatan
kualitas pelaporan basis akrual, sehingga laporan yang dihasilkan tidak sebatas
pemenuhan kewajiban, namun juga memiliki kegunaan. Implikasi hasil penelitian
dari sisi teori adalah menambah pengetahuan akan penggunaan teori
152
implementasi kebijakan Edward III (1980) dalam analisis implementasi pelaporan
basis akrual. Dalam menganalisis faktor internal pada entitas penyusun LKPP
seperti KPPN Malang, keempat faktor dari Teori Edward III (komunikasi, sumber
daya, disposisi, struktur birokrasi) masih relevan digunakan. Namun perlu
diperhatikan juga kemajuan teknologi sebagai penyempurnaan pada Teori
Edward III (1980). Implikasi terakhir yaitu terhadap kebijakan adalah temuan
penelitian yang dapat memberikan masukan kepada para pembuat kebijakan
terkait penerapan pelaporan basis akrual. Diantaranya adalah kebijakan mutasi
pegawai, peringkat jabatan dan SOP Penyusunan LKPP Tingkat KPPN Malang.
7.5 Saran Bagi Penelitian Selanjutnya
Dengan melihat pada keterbatasan penelitian, diharapkan hal ini bisa
menjadi saran bagi penelitian selanjutnya. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat
memanfaatkan waktu penelitian dengan mewawancarai satuan kerja. Informasi
dari satuan kerja dapat memperkaya hasil penelitian terkait penerapan basis
akrual pada laporan keuangan mereka. Penelitian selanjutnya juga diharapkan
dapat melihat kualitas LKPP. Hal ini bisa menjadi nilai tambah penelitian karena
pengukuran kualitas laporan keuangan pemerintah masih jarang dilakukan.
Terlebih lagi di masa penerapan basis akrual, sehingga peneliti dan pembaca
akan mengetahui kualitas dari penerapan basis akrual pada LKPP.
153
DAFTAR PUSTAKA
Adhikari, P., Mellemvik. 2011. The Rise and Falls of Accruals: A Case ofNepalese Central Government. Accounting, Auditing & AccountabilityJournal. 1 (2): 169-199.
Alwi, H. 2011. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka.
Arnaboldi, M. and Lapsley, I. 2004. Modern Costing Innovations and Legitimation:A Health Care Study. Abacus. 40(1), pp. 1–20.
Arni, M. 2002. Komunikasi Organisasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Asfiansyah, A. 2013. Strategi Implementasi Akuntansi Akrual pada PemerintahDaerah (Studi Kasus pada Pemerintah Kota “S”). Tesis. UniversitasBrawijaya. Malang.
Athukorala, S. L., and Barry R. 2003. Accrual Budgeting and Accounting inGovernment and Its Relevance for Developing Member Countries. AsianDevelopment Bank.
Badan Pemeriksa Keuangan. 2016. BPK Memberikan Opini Wajar DenganPengecualian Terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat.http://www.bpk.go.id/news/bpk-memberikan-opini-wajar-dengan-pengecualian-terhadap-laporan-keuangan-pemerintah-pusat.16Desember 2016.
Bastian, I. 2006. Akuntansi Sektor Publik: Suatu Pengantar. Erlangga. Jakarta.
Bunea, C. B., and Cosmina. 2006. Arguments for Introducing accrual basedaccounting in Public Sector, (online),(http://mpra.ub.muenchen.de/18134/I/MPRA_Paper_18134.pdf, diakses 8Agustus 2017)
Burrel, G., and Morgan, G. 1979. Sociological Paradigms and OrganizationalAnalysis: Elements of the Sociology of Corporate Life. HeinemannEducational Books, Ltd, London.
Carlin, T. M. 2005. Debating The Impact of Accrual Accounting and Reporting inThe Public Sector. Financial Accountability and Management. 21 (3):309–336.
Carruthers, B. G. 1995. Accounting, Ambiguity, and The New Institutionalism,Accounting, Organizational and Society. 20 (4): 313-328.
Christensen, M., and Parker, L. 2010. Using Ideas to Advance Professions:Public Sector Accrual Accounting. Financial Accountability andManagement. 26 (3): 246–266.
154
Christiaens, J., and Rommel, J. 2008. Accrual Accounting Reforms: Only ForBusiness like (Parts Of) Governments. Financial Accountability &Management. 24 (1). February. 0267-4424. hal. 59-74.
Churchill, M. 1992. Accrual Accounting in the Public Sector. AustralianAccountant.
Cohen, S., Kaimenakis, N., and Venieris, G. 2010. Reaping The Benefits of TwoWorlds: An Exploratory Study of The Cash and The Accrual AccountingInformation Roles in Local Governments.www.SSRN.com/sol3/Delivery.../SSRN_ID1693511_code376488.pdf?...1,23 Juni 2017.
Connolly, C., and Hyndman, N. 2006. The Actual Implementation of AccrualsAccounting: Caveats Froma Case with in The UK Public Sector.Accounting, Auditing and Accountability Journal. 19 (2): 272–290.
Cortes, J. L. 2006. The International Situation the Adoption of Accrual Budgeting.Journal of Public Budgeting, Accounting and Financial Management.
Daniels, J.D, and Daniels, C.E. 1991. Municipal Financial Reports: What UsersWant. Journal of Accounting and Public Policy. 10: 15-38.
Darwin. 1995. Implementasi Kebijakan. Yogyakarta: Pusat PenelitianKependudukan UGM.
Deloitte. 2004. Mastering the Transformation: New Public Management, AccrualAccounting, and Budgeting. Public Sector Paper.
DiMaggio, P.J., and Powell, W.W. 1991. The Iron Revisited: InstitutionalIsomorphism and Collective Rationality in Organizational Fields. DalamW. W. Powell & P. J. DiMaggio (editor). The New Institutionalism inOrganizational Analysis (p. 63-82). The University of Chicago Press.Chicago.
Direktorat Jenderal Perbendaharaan. 2016. Petunjuk Aplikasi e-Rekon online.e-rekon-lk.djpbn.kemenkeu.go.id. 16 April 2017.
Dunn, W. N. 1998. Muhadjir Darwin (Penyunting). Pengantar Analisis KebijakanPublik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Edward III, G.C. 1980. Implementing Public Policy. Congressional QuerterlyPress.
Fajar, M. 2009. Ilmu komunikasi: Teori & Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Gorda, IGN. 2004. Manajemen Sumber Daya Manusia. Singaraja: Penerbit STIESatya Dharma.
155
Grindle, M. S. 1980. Politics and Apolicy Implementation in The Third World. NewJersey: Princetown University Press.
Hariyanto, A. 2012. Penggunaan Basis Akrual dalam Akuntansi Pemerintahan diIndonesia. Dharma Ekonomi. No. 36/Th. XIX, Oktober 2012.
Ivancevich, J.M., Konopaske, Robert, Matteson, and Michael T. 2006. Perilakudan Manajemen Organisasi. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Malang. 2016. Buku Profil KPPNMalang. Malang.
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Malang. 2016. Laporan KeuanganPemerintah Pusat Tahun 2015 (Audited). Malang.
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Malang. 2017. Laporan KeuanganPemerintah Pusat Tahun 2016 (Un-Audited). Malang.
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Malang. 2015. Sekapur Sirih SejarahKPPN Malang. https://kppnmalang.com/profil/profilsekapur-sirih-sejarah-kppn-malang. 1 Januari 2017
Kementerian Keuangan RI. 2014. Indonesia jadi Negara ASEAN PertamaTerapkan Sistem Akuntansi Berbasis Akrual.http://www.kemenkeu.go.id/en/node/42843. 17 Desember 2016.
Kementerian Keuangan RI-Ditjen Perbendaharaan. 2015. PenyuluhPerbendaharaan sebagai Guru untuk K/L.http://www.djpbn.kemenkeu.go.id/portal/id/berita/129-nasional/1766-penyuluh-perbendaharaan-sebagai-guru-untuk-k-l.html. 15 Juli 2017.
Khan, A. and Mayes, S. 2007. Transition to accrual accounting. Public FinancialManagement Technical Guidance Note, Fiscal Affairs Department.
Kim, P. S., Halligan, J., Cho, N., Oh, C. and Eikenberry, A. M. 2005. TowardParticipatory and Transparent Governance: Report on The Sixth GlobalForum on Reinventing Government. Public Administration Review. 65(6),pp. 646–654.
Langelo, F., Saerang, D.P.E. and Alexander, S.W. 2015. Analisis PenerapanStandar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual dalam PenyajianLaporan Keuangan pada Pemerintah Kota Bitung. Jurnal EIMBA Vol.3No.1 Maret 2015:1-8.
Lewin, K. 1951. Field Theory in Social Science. Harper and Row. New York.
Lippi, A. 2000. One Theory, Many Practices. Institutional Allomorphism in theManagerialist Reorganization of Italian Local Governments. ScandinavianJournal of Management. 16: 455-477.
156
Lofland, J. and Lyn, H. L. 1984. Analyzing Social Settings : A Guide to QualitativeObservation and Analysis, Belmont,Cal.:Wadswoth Publishing Company.
Mack, J. and Ryan, C. 2007. Is There An Audience for Public Sector AnnualReports: Australian Evidence?. International Journal of Public SectorManagement. 20 (2): 134-146.
March, J.G., and Johan, P.O. 1976. Ambiguity and Choice in Organizations.Universitetsforlaget. Bergen.
Maryani, T. 2016. Implementasi Internal Audit Capability Model (IACM) padaAparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) Kementerian Luar Negeri.Tesis. Universitas Brawijaya. Malang.
Moleong, L.J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT Remaja Rosdakarya.Bandung.
Muttaqin, R. 2015. Upaya Penerapan SAP Akrual dan Perolehan Opini WTPpada Pemerintah Kota Pekalongan: Kajian Berdasarkan Teori PerubahanOrganisasi. Tesis. Universitas Brawijaya. Malang.
Nesbakk, L.G. 2010. Accrual Accounting Representations in The Public Sector-ACase of Autopoiesis. Critical Perspectives on Accounting. October 2010.Vol. 12.
Nogueira, S.P., Jorge, S.M., and Oliver, M.C. 2013. The Usefulness of FinancialReporting for Internal Decision-Making in Portuguese Municipalities. TheJournal of The Iberoamerican Academy of Management. 11 (2) : 178-212.Parker, L. D. 2008. Interpreting interpretive accounting research.Critical Perspectives on Accounting 19: 909-914.
Pemerintah Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 TentangKeuangan Negara.
Pemerintah Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 TentangPerbendaharaan Negara.
Pemerintah Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 TentangPembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pemerintah Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005Tentang Standar Akuntansi Pemerintah.
Pemerintah Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010Tentang Standar Akuntansi Pemerintah.
Pemerintah Republik Indonesia. Peraturan Menteri KeuanganNo.96/PMK.03/2009 Tentang Jenis-jenis Harta yang Termasuk DalamKelompok Harta Berwujud Bukan Bangunan untuk KeperluanPenyusutan.
157
Pemerintah Republik Indonesia. Peraturan Menteri Keuangan Nomor233/PMK.05/2011 Tentang Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat.
Pemerintah Republik Indonesia. Peraturan Menteri Keuangan Nomor169/PMK.05/2012 Tentang Organisasi dan Tata Laksana Instansi VertikalDirektorat Jenderal Perbendaharaan.
Pemerintah Republik Indonesia. Peraturan Menteri Keuangan Nomor210/PMK.05/2013 tentang Pedoman Rekonsiliasi Dalam RangkaPenyusunan Pelaporan Keuangan Lingkup Bendahara Umum Negaradan Kementerian Negara/Lembaga.
Pemerintah Republik Indonesia. Peraturan Menteri Keuangan Nomor177/PMK.05/2015 Tentang Pedoman Penyusunan dan PenyampaianLaporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga.
Pemerintah Republik Indonesia. Keputusan Menteri Negara PAN Nomor63/Kep/M.PAN/7/2003 Tentang Pedoman Umum PenyelenggaraanPublik.
Pemerintah Republik Indonesia. Keputusan Dirjen Perbendaharaan No.191/PB/2013 Tentang Penetapan Peringkat Penilaian Laporan KeuanganPemerintah Pusat Tingkat Kuasa Bendahara Umum Negara DaerahKantor Pelayanan Perbendaharaan Negara dan Kantor WilayahDirektorat Jenderal Perbendaharaan Tahun 2012.
Pemerintah Republik Indonesia. Keputusan Dirjen Perbendaharaan No.248/PB/2014 Tentang Penetapan Peringkat Penilaian Laporan KeuanganPemerintah Pusat Tingkat Kuasa Bendahara Umum Negara DaerahKantor Pelayanan Perbendaharaan Negara dan Kantor WilayahDirektorat Jenderal Perbendaharaan Tahun 2013.
Pemerintah Republik Indonesia. Keputusan Dirjen Perbendaharaan No.239/PB/2015 Tentang Rencana Strategis Ditjen Perbendaharaan Tahun2015-2019.
Pemerintah Republik Indonesia. Keputusan Dirjen Perbendaharaan No.326/PB/2015 Tentang Penetapan Peringkat Penilaian Laporan KeuanganPemerintah Pusat Tingkat Kuasa Bendahara Umum Negara DaerahKantor Pelayanan Perbendaharaan Negara dan Kantor WilayahDirektorat Jenderal Perbendaharaan Tahun 2014.
Pemerintah Republik Indonesia. Keputusan Dirjen Perbendaharaan No.287/PB/2015 tentang Standar Operasional Prosedur KPPN.
Pemerintah Republik Indonesia. Surat Dirjen Perbendaharaan No.4839/PB/2016hal Pelaksanaan Rekon Eksternal Tingkat KPPN Bulan Januari s.d Mei2016.
158
Pemerintah Republik Indonesia. Surat Direktur Akuntansi dan PelaporanKeuangan No.2976/PB.6/2015 hal Laporan Keuangan Tingkat UAKBUN-Daerah.
Pemerintah Republik Indonesia. Keputusan Kepala Kanwil DitjenPerbendaharaan Propinsi Jawa Timur No.145/WPB.16/2016hal Peringkat Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tingkat KPPNPropinsi Jawa Timur Tahun 2015.
Putera, R. E. dan Valentina, T. R. Implementasi Program KTP Elektronik (e-KTP)di Daerah Percontohan. 2011. Mimbar. Vol. XXVII, No. 2 (Desember2011): 193-201.
Putri, F.A.S. 2015. Implementasi Sistem Remunerasi Badan Layanan UmumPada Politeknik Pelayaran Surabaya. Tesis. Universitas Brawijaya.Malang.
Partanto, P. A. dan Dahlan A. B. 1994. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Akola.
Rago, W. V. 1996. Struggles in Transformation: A Study in TQM, Leadership, andOrganizational Culture in a Government Agency. Public AdministrationReview. Vol. 56 (3). pp. 227-234
Rahmawati, N., Made, A. dan Wirshandono, D. Implementasi Standar AkuntansiPemerintahan Berbasis Akrual di Sekretariat DPRD Kabupaten MalangBerdasar Peraturan Nomor 71 Tahun 2010. Jurnal Riset Mahasiswa.Universitas Kanjuruhan Malang. 2016.
Sarantakos, S. 1993. Social Research. Macmillan Education Australia Pty Ltd.South Melbourne.
Sari, L.P. 2015. Akrualisasi Sektor Publik: Studi Kasus Pada Pemerintah DaerahKabupaten Situbondo. Tesis. Universitas Brawijaya. Malang.
Simanjuntak, B. H. 2010. Penerapan Akuntansi Berbasis Akrual Di SektorPemerintahan Di Indonesia. Jakarta : Kongres XI Ikatan AkuntansiIndonesia.
Siti-Nabiha, A.K. and Scapens, R.W. 2005. Stability and change: aninstitutionalist study of management accounting change. Accounting,Auditing and Accountability Journal. 18(1). pp. 44–73.
Subarsono, AG. 2009. Analisis Kebijakan Publik Konsep Teori dan Aplikasi.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. CV. Alfabeta.Bandung.
Sutopo, H.B. 2002. Penelitian Kualitatif. Surakarta: Sebelas Maret UniversityPress.
159
Tickell, G. 2010. Cash to Accrual Accounting: One Nation's Dilemma. TheInternational Business & Economics Research Journal. Vol. 9, Issue. 11,pp. 71-79.
Tohidi, H. and Jabbari, M.M. 2012. Organizational Culture and Leadership.Procedia – Social and Behavioral Sciences. Vol. 31. pp. 856-860.
Van der Hoek, M.P. 2005. Accrual-Based Budgeting and Accounting in the PublicSector: The Dutch Experience. MPRA Paper. Nomor 5906. ErasmusUniversity Rotterdam.
Van Meter and Van Horn. 1975. The Policy Implementation Process: AConceptual Framework. New York: Harvester-Wheatsheft.
Wahab, S. A. 1989. Pengantar Analisis Kebijakan Negara. Jakarta: Rineka Cipta.
Wahyudi. 1995. Manajemen Personalia Perusahaan. (online), (http://mutasi-pegawai-pada-perusahaan/com, diakses tanggal 23 Juni 2017)
Wibawa, S. 2002. Evaluasi Kebijakan Publik. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Winarno, B. 2005. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Media Pressindo.Yogyakarta.
Wisakti, D. 2008. Implementasi Kebijakan Alokasi Dana Desa di WilayahKecamatan Geyer Kabupaten Grobogan. Tesis. Universitas Diponegoro.Semarang.
W.S. Winkel. 1991. Psikologi Pengajaran. Jakarta: Gramedia.
Yin, R.K. 2013. Case Study Research: Design and Methods. Mudzakir, M Djauzi(penerjemah). Studi Kasus: Desain & Metodologi. Kota Depok: PTRajagrafindo Persada.
Yin, R.K. 2014. Studi Kasus: Desain dan Metode (Mudzakir, M.D., Ed). Jakarta:PT. Raja Grafindo Perkasa.