Unand Tesis Fita Peternakan

26
PENGARUH PEMBERIAN Carboxymethyl Cellulose DAN SORBITOL PADA PEMBUATAN EDIBLE FILM DENGAN BAHAN DASAR WHEY TERHADAP KADAR AIR, pH, KETEBALAN DAN WAKTU KELARUTAN Oleh : TIARA NOFITA 05 163 020 USULAN PENELITIAN PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS ANDALAS PADANG, 2011

Transcript of Unand Tesis Fita Peternakan

Page 1: Unand Tesis Fita Peternakan

PENGARUH PEMBERIAN Carboxymethyl Cellulose DAN SORBITOL PADA

PEMBUATAN EDIBLE FILM DENGAN BAHAN DASAR WHEY

TERHADAP KADAR AIR, pH, KETEBALAN DAN WAKTU KELARUTAN

Oleh :

TIARA NOFITA

05 163 020

USULAN PENELITIAN

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG, 2011

Page 2: Unand Tesis Fita Peternakan

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Susu salah satu produk hasil peternakan yang memiliki kandungan zat gizi yang

lengkap. Konsumsi susu sudah lama menjadi kebiasaan di masyarakat dari berbagai

kalangan dengan berbagai proses pemanfaatannya menjadi produk pangan siap makan

atau dikonsumsi dalam keadaan segar. Namun, aplikasi susu sebagai bahan kemasan

masih belum berkembang saat ini.

Whey merupakan hasil ikutan dari olahan susu, seperti yoghurt, mentega, dan keju

yang jarang dimanfaatkan. Whey masih mengandung zat gizi tetapi dalam jumlah yang

kecil. Whey menurut Soeparno (1996) masih mengandung nutrisi seperti air 93.2%,

protein 0.8%, lemak 0.6%, laktosa 4.7% dan abu 0.5%, sehingga whey dapat

dimanfaatkan dan tidak terbuang, serta dapat meningkatkan nilai ekonomisnya. Salah

satu cara untuk memanfaatkan whey adalah dengan menjadikannya sebagai bahan dasar

untuk kemasan yang dapat dimakan yang dikenal dengan edible film.

Teknologi pengemasan berkembang dengan pesat sejalan dengan perkembangan

ilmu pengetahuan dan peradaban manusia. Berbagai jenis kemasan dengan berbagai

corak, warna, dan fungsinya terus berkembang seiring dengan tuntutan kebutuhan akan

produk pangan yang berkualitas di pasaran. Namun, sejauh ini dapat dikatakan bahwa

sebagian fokus pengembangan lebih banyak terarah kepada pengembangan kemasan

yang belum ramah lingkungan.

Edible film merupakan salah satu jenis kemasan yang masih belum berkembang

seperti plastik dan sejenisnya. Meskipun berbeda dengan kemasan yang telah umum

selama ini, perannya sangat penting dalam mempertahankan mutu produk pangan dan

mengurangi pencemaran lingkungan. Sejauh ini aplikasi edible film dapat ditemukan

Page 3: Unand Tesis Fita Peternakan

sebagai pelapis pada berbagai jenis buah-buahan. Bahan dasar utama untuk produksi

edible film masih didominasi oleh sumber-sumber pertanian seperti tepung ubi, kedelai,

gandum dan lain sebagainya. Sementara itu, sumber bahan baku edible film dari produk

peternakan masih belum berkembang. Susu sebagai produk hasil peternakan dapat

menjadi sebuah pilihan dalam rangka penganekaragam edible film.

Dalam pembuatan edible film diperlukan adanya plasticizer yang dapat

menghindari keretakan selama proses penanganan dan penyimpanan. Penambahan

plasticizer berguna untuk mengatasi sifat rapuh, mudah patah, dan kurang elastis film

(Krochta, Baldwin dan Nisperos-Carriedo, 1994). Plasticizer yang sudah biasa

digunakan adalah sorbitol. Berdasarkan penelitian sebelumnya konsentrasi sorbitol yang

digunakan dalam pembuatan edible film dari bungkil kacang tanah adalah 0.25%.

Sorbitol sebagai pengganti gula dapat bermanfaat dalam menyediakan berbagai

variasi produk rendah kalori dan rendah gula serta memberikan pilihan bebas yang lebih

luas bagi penderita diabetes (Darmawan, 2005). Pemanfaatan sorbitol pada pembuatan

edibel film berbahan dasar susu dirasa perlu dalam rangka pengembangan edible film.

Selain plasticizer, pada pembuatan edible film ini biasanya juga ditambahkan

bahan-bahan lain yang berperan sebagai stabilizer (Syarief, Koswara, Haryadi, Adjaya

dan Arpah, 2002). Stabilizer adalah bahan tambahan makanan yang dibatasi

penggunaanya dan biasanya dalam jumlah sedikit. Stabilizer umumnya digunakan untuk

menstabilkan, memekatkan, dan mengentalkan makanan yang dicampur dengan air

untuk membentuk kekentalan tertentu. Stabilizer yang biasa digunakan adalah

carboxymethyl cellulose (CMC).

Carboxymethyl celluloce merupakan satu jenis stabilizer yang selama ini sudah

banyak diaplikasikan pada produk pangan, aplikasi carboxymethyl cellulose dapat

Page 4: Unand Tesis Fita Peternakan

dijumpai pada pembuatan es krim. Penggunaan carboxymethyl cellulose sebagai

stabilizer pada pembuatan edible film berbahan dasar whey diharapkan juga mampu

memberikan efek yang positif nantinya. Carboxymethyl cellulose yang biasa digunakan

pada pembuatan edible film dengan konsentrasi 1.0%.

Terkait dengan hal tersebut diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian

yang berjudul ”Pengaruh Pemberian Carboxymethyl Cellulose dan Sorbitol pada

Pembuatan Edible Film dengan Bahan Dasar Whey Terhadap Kadar Air, pH,

Ketebalan, dan Waktu Kelarutan”.

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana pengaruh interaksi pemberian carboxymethyl cellulose dan sorbitol

terhadap edible film yang terbuat dari whey?

2. Bagaimana konsentrasi yang tepat pemberian carboxymethyl cellulose dan sorbitol

dalam pembuatan edible film yang berasal dari whey?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh interaksi penggunaan

carboxymethyl cellulose dan sorbitol pada pembuatan edible film dari whey terhadap

kadar air, pH, ketebalan dan waktu kelarutan.

Penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai acuan dalam menentukan

pemberian carboxymethyl cellulose dan sorbitol yang tepat untuk menghasilkan edible

film yang elastis dan tidak mudah patah, sehingga dapat digunakan untuk membungkus

sosis dan bahan pangan lainnya. Disamping itu juga kemasan edible film ini merupakan

kemasan yang ramah lingkungan karena dapat dimakan bersama produk yang dikemas.

Page 5: Unand Tesis Fita Peternakan

D. Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian ini adalah terdapat interaksi antara carboxymethyl cellulose

dan sorbitol terhadap kualitas edible film berbahan dasar whey terhadap kadar air, pH,

ketebalan dan waktu kelarutan.

Page 6: Unand Tesis Fita Peternakan

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Whey

Whey menurut Soeparno (1996) adalah produk yang tinggal setelah pemisahan

sebagian besar kasein dan lemak dari susu. Whey adalah hasil ikutan dalam pembuatan

keju dan kasein yang jarang dimanfaatkan. LP POM MUI (2009) whey adalah limbah

dari pembuatan keju atau limbah dalam pembuatan mentega, whey dikatakan juga

sebagai serum susu yang komponen utamanya terdiri dari laktosa 4-7 % dan protein

0.6-1.0 %.

Menurut Adnan (1991) zat-zat yang dapat menyebabkan pemisahan whey dari

kasein susu adalah basa, alkohol, radiasi dan garam. Ditambahkan oleh Sardjoko (1991)

whey dapat juga dipisahkan dengan cara ultrafiltrasi sebelum fermentasi atau

penggumpalan dengan asam dan panas. Kisaran kandungan kasein juga berperan pada

pembentukan gel karena pada pengasaman golongan protein ini menggumpal pada titik

isoelektriknya yaitu pada pH 4.6. Protein whey mengalami denaturasi dan menjadi tidak

larut pada pemanasan sebelum pengolahan.

Buckle, Edward, Fleet dan Wouton (1987) menyatakan bahwa protein whey dapat

mengalami denaturasi oleh panas pada suhu 65 ºC. Kira-kira 0.5-0.7% dari bahan

protein yang larut dalam whey terdiri dari laktalbumin dan laktoglobulin. Laktalbumin

berjumlah 10% dari protein susu seluruhnya, di mana laktalbumin mudah

dikoagulasikan oleh panas. Sardjoko (1991) whey biasanya digunakan dalam bentuk

dikeringkan sebagai pakan ternak, tetapi gizinya kurang sesuai karena banyak

mengandung mineral dan laktosa. Protein yang masih terdapat di dalam whey juga bisa

dimanfaatkan sebagai bahan dasar pengemasan primer makanan yang ramah

lingkungan.

Page 7: Unand Tesis Fita Peternakan

Krochta. dkk (1994) bahwa protein whey terdiri dari 5 tipe yaitu α-Lactalbumin,

β-Lactoglobulin, Bovine Serum Albumin (BSA), Immunoglobulin (Ig), dan Pepton

Protease. β-Lactoglobulin adalah protein susu yang jumlahnya sedikit di dalam protein

whey. Konsentrasi β-Lactoglobulin dalam susu kira-kira 3.7 g/L, sedangkan konsentrasi

α-Lactalbumin kira-kira 25% dari protein whey yang merupakan protein globular

dengan berat molekul 14 000. BSA merupakan protein globular dengan berat molekul

yang paling berat yaitu 66 000 serta Immunoglobulin dan Pepton Protease adalah sisa

dari protein whey. Protein whey dapat digunakan untuk pembuatan film yang

transparan, elastis, tanpa rasa, sehingga dimanfaatkan untuk membuat kemasan yang

dapat dimakan (edible film).

Buckle dkk. (1987) menyebutkan perbandingan unsur susu dalam whey dan tahu

susu adalah seperti yang tampak pada Tabel 1.

Tabel 1. Perbandingan Antara Unsur-Unsur Susu dalam Whey dan Tahu Susu

UNSUR DALAM WHEY

(%)

DALAM TAHU SUSU

(%)

Air

Lemak

Proten yang larut

(Laktalbumin dan Laktoglobulin)

Laktosa

94

6

96

94

6

94

4

6

Sumber : Buckle dkk. (1987)

B. Pengemasan

Buckle dkk. (1987) menyatakan bahwa pengemasan merupakan suatu cara dalam

memberikan kondisi keliling yang tepat bagi bahan pangan. Secara nyata pengemasan

berperan penting dalam mempertahankan bahan tersebut dalam keadaan bersih dan

dalam keadaan yang higienis. Tidak perlu diragukan lagi bahwa tanpa pengemasan

banyak bahan pangan yang akan terbuang atau berkurang gizinya dan kurang higienis

Page 8: Unand Tesis Fita Peternakan

selama distribusi. Menurut Julianti dan Nurminah (2006) pengemasan disebut juga

pembungkusan, pewadahan atau pengepakan, dan merupakan salah satu cara

pengewetan bahan hasil pertanian, karena pengemasan dapat memperpanjang umur

simpan bahan. Pengemasan adalah wadah atau pembungkus yang dapat membantu

mencegah atau mengurangi terjadinya kerusakan-kerusakan pada bahan yang dikemas

atau dibungkus.

Syarief, Santausa dan Isyana (1989) menyatakan bahwa kemasan mempunyai

enam fungsi utama yaitu:

a. Menjaga produk bahan pangan agar tetap bersih dan merupakan pelindung terhadap

kotoran dan kontaminasi lain.

b. Melindungi makanan terhadap kerusakan fisik, perubahan kadar air dan penyinaran

cahaya.

c. Mempunyai fungsi yang baik, efisien dan ekonomis khususnya selama proses

penempatan makanan ke dalam wadah kemasan.

d. Mempunyai kemudahan dalam membuka atau menutup dan juga memudahkan

dalam tahap-tahap penanganan, pengangkutan, dan distribusi.

e. Mempunyai ukuran, bentuk dan bobot yang sesuai dengan norma atau standar yang

ada, mudah dibuang, dan mudah dibentuk atau dicetak.

f. Menampakan identifikasi, informasi dan penampilan yang jelas agar dapat

membantu promosi atau penjualan.

Winarno (1993) menjelaskan dalam pengemasan ada dua macam wadah, yaitu

wadah utama atau wadah yang lansung berhubungan dengan bahan pangan, dan wadah

kedua atau wadah yang tidak lansung berhubungan dengan bahan pangan. Adapun

Page 9: Unand Tesis Fita Peternakan

menurut Julianti dan Nurminah (2006) bahwa kemasan yang lansung mewadahi atau

membungkus bahan pangan disebut dengan kemasan primer.

C. Edible Film

Menurut Krochta (1992) dalam Julianti dan Nurminah (2006) edible film adalah

lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang dapat dimakan, dibentuk di atas komponen

makanan yang berfungsi sebagai penghambat transfer massa (misalnya kelembaban,

oksigen, lemak dan zat terlarut) dan atau sebagai carrier bahan makanan atau aditif dan

untuk meningkatkan penanganan makanan. Ditambahkan oleh Heriadi (2007) edible

film adalah lapisan tipis dan kontinyu yang terbuat dari bahan-bahan yang dapat

dimakan, dibentuk melapisi komponen makanan (coating) atau diletakan diantara

komponen makanan (film).

Penggunaan edible film untuk pengemasan produk-produk pangan seperti

sosis, buah-buahan dan sayuran segar dapat memperlambat penurunan mutu, karena

edible film dapat berfungsi sebagai penahan difusi oksigen, karbondioksida dan uap air

serta komponen flavor, sehingga mampu menciptakan kondisi atmosfer internal yang

sesuai dengan kebutuhan produk yang dikemas (Julianti dan Nurminah, 2006).

Krochta dkk. (1994) menyatakan bahwa edible film selalu menjadi alternatif pada

bahan kemasan komersial yang digunakan untuk membungkus produk makanan. Tujuan

dari penggunaan edible film ini untuk mengurangi pencemaran akibat kemasan yang

setelah digunakan selalu dibuang sehingga menimbulkan dampak buruk pada

lingkungan. Lebih lanjut dikemukakan bahwa komponen edible film dapat dibagi

menjadi tiga kategori yaitu hidrokoloid, lipid dan komposit. Hidrokoloid seperti protein,

pektin dan pati, dapat digunakan dalam pengendalian migrasi penguapan air yang tidak

objektif. Hidrokoloid yang digunakan untuk film berdasarkan komposisinya dapat

Page 10: Unand Tesis Fita Peternakan

dibagi dua, yaitu karbohidrat (alginate, pektin dan strac) dan protein (kasein dan whey

protein). Film dengan komposisi hidrokoloid kurang resisten terhadap penguapan air

karena bersifat hidrophilik akan tetapi larut dalam air. Lipid digunakan sebagai barrier

jika terjadi penguapan air. Lipid berupa lilin, gliserol, dan asam lemak, sedangkan pada

komposit antara komponen hidrokoloid dengan komponen lipid. Film yang termasuk

kategori komposit ini bilayer dimana satu layar hidrokoloid dan yang lainnya lipid,

sedangkan film yang hidrokoloid dapat mengatur migrasi penguapan air dan merupakan

barrier yang bagus terhadap oksigen, karbondioksida dan lipid.

Menurut Biquiet dan Labuza (1988) yang dikutip dari Melia (1997) bahwa

hidrokoloid termasuk dalam protein dan polisakarida. Polisakarida dalam hal ini

selulosa dan turunananya merupakan sumber daya organik, memiliki sifat mekanik yang

baik dalam pembuatan film. Selulosa sebagai bahan yang untuk pembuatan film sangat

efisien sebagai barrier terhadap uap air oksigen dan hidrokarbon dan sifatnya sebagai

barrier terhadap uap air dapat dibuktikan dengan penambahan lipid.

D. Proses Pembuatan Edible Film

Proses pembuatan edible film menurut Syarief dkk. (2002) meliputi pembuatan

suspensi komponen utama baik pati, protein, lipid atau campurannya. Pencampuran

larutan pembentuk film yaitu suspensi pati, carboxymethyl cellulose, gliserol,

pemanasan campuran pembentukan film, penghilangan gas terlarut, pencetakan, dan

perataan film serta pengeringan edible film. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pada masing-

masing konsentrasi carboxymethyl cellulose dilarutkan dalam whey dan etanol dengan

perbandingan 1:1 untuk menghindari atau mengurangi sifat rapuh film maka digunakan

plasticizer yaitu gliserol. Larutan film dituang pada pelat kaca dan diratakan untuk

menjaga agar ketebalan film tetap sama. Pelat kaca dikeringkan dalam oven pada suhu

Page 11: Unand Tesis Fita Peternakan

50ºC selama 18-24 jam. Lapisan film yang telah kering dikelupaskan dari kaca dan

dikemas dalam aluminium foil.

E. Carboxymethyl Cellulose sebagai Stabilizer

Winarno (1991) menyatakan bahwa emulsi adalah suatu dispersi atau suspensi

suatu cairan dalam cairan lain, yang molekul-molekul kedua cairan tersebut tidak saling

berbaur tetapi saling antagonistik. Ditambahkan oleh Soeparno (1994) fungsi

pengemulsi dalam pengolahan pangan adalah untuk meningkatkan stabilitas emulsi dan

memperbaiki tekstur produk.

Winarno (1991) menyatakan bahwa turunan selulosa yang dikenal sebagai

carboxymethyl cellulose (CMC) sering digunakan dalam industri makanan untuk

mendapatkan tekstur yang baik, misalnya pada pembuatan es krim. Pemakaian

carboxymethyl celulose dalam bahan makanan dapat mencegah terjadinya retrogradasi.

Carboxymethyl cellulose yang dipakai pada industri makanan adalah garam Na

carboxymethyl cellulose yang disingkat CMC yang dalam bentuk murninya disebut gum

selulosa. Pembuatan carboxymethyl cellulose ini adalah dengan cara mereaksikan

NaOH dengan selulosa murni, kemudian ditambahkan Na kloroasetat.

ROH + NaOH R-ONa + HOH

R-ONa + ClCH2COONa R-CH2COONa + NaCl

Gambar 1. Rangkaian Reaksi Carboxymethyl Cellulose

Karena carboxymethyl cellulose mempunyai gugus karboksil maka viskositas larutan

carboxymethyl cellulose dipengaruhi oleh pH larutan, pH optimumnya adalah 5, dan

bila pH terlalu rendah (pH<3), carboxymethyl cellulose akan mengendap.

Menurut Krochta dkk. (1994) carboxymethyl cellulose merupakan hasil perlakuan

antara cellulose bersifat alkali dengan monochloro acetic sodium. Carboxymethyl

Page 12: Unand Tesis Fita Peternakan

cellulose dapat larut dalam air panas atau dalam air dingin tetapi tidak dapat pecah

dalam larutan organik, dimana carboxymethyl cellulose stabil pada pH 7-9. Pada pH>10

kekentalan akan sedikit berkurang sedangkan pada pH<4 carboxymethyl cellulose

kurang larut sehingga kekentalan meningkat.

Tekstur dan konsistensi suatu bahan akan mempengaruhi cita rasa yang

ditimbulkan oleh bahan tersebut . Semakin kental suatu bahan, penerimaan terhadap

intensitas rasa, bau, dan cita rasa akan semakin berkurang. Penambahan zat-zat

pengental atau stabilizer seperti carboxymethyl cellulose dapat mengurangi asam sitrat,

rasa pahit kasein atau rasa manis sukrosa, sebaliknya akan meningkatkan rasa asin NaCl

dan rasa manis sakarin (Winarno, 1991). Syarif dkk. (2002) menyatakan bahwa

carboxymethyl cellulose yang biasa digunakan 1.0% dalam pembuatan edible film.

F. Sorbitol sebagai Plasticizer

Menurut Banker (1966) yang dikutip oleh Ananta (2002) bahwa pemberian

plasticizer, secara teoritis dapat menurunkan kekuatan intermolekuler sepanjang rantai

polimer, meningkatkan fleksibilitas film dan pada saat yang sama dapat menurunkan

sifat barrier film. Plasticizer didefenisikan sebagai zat nonvolatile, bertitik didih tinggi,

yang pada saat ditambahkan pada material lain mengubah sifat fisik dari material

tersebut.

Plasticizer merupakan bahan yang tidak mudah menguap , dapat merubah struktur

dimensi objek, menurunkan ikatan rantai antar protein dan mengisi ruang-ruang yang

kosong pada produk (Banker, 1966) yang dikutip oleh Yoshida dan Antunes (2003).

Ditambahkan oleh Coupland dkk. (2000) yang dikutip oleh Yoshida dan Antunes

(2003) bahwa edible film yang terbuat dari protein dan polisakarida bersifat rapuh,

sehingga membutuhkan plasticizer untuk meningkatkan elastisitas film. Molekul

Page 13: Unand Tesis Fita Peternakan

plasticizer mengurangi daya ikat rantai protein serta meningkatkan elastisitas dan

fleksibilitas bahan film. Plasticizer yang umum digunakan untuk hal ini adalah gliserol

dan sorbitol.

Sorbitol mempunyai rumus molekul C6H12O6, menurut fungsi umum dan

pengelompokannya (gliserin, gum acacia, gula invert, propilen glikol, mannitol) sering

digunakan sebagai agen pengontrol kelembaban sedangkan untuk fungsi spesifiknya

sebagai plasticizer. Konsentrasi sorbitol yang dipakai dalam pembuatan edible film dari

bungkil kacang tanah adalah 0.25% (Ananta, 2002).

Darmawan (2005) mengungkapkan bahwa sorbitol merupakan suatu poliol

(alkohol gula) bahan pemanis yang ditemukan dalam berbagai produk makanan,

kemanisan sorbitol sekitar 60% dari kemanisan sukrosa (gula tebu) dengan ukuran

kalori sekitar sepertiganya. Lebih lanjut dikemukakan bahwa sorbitol bersifat

nonkarsinogenik (tidak menyebabkan kanker) dan dapat berguna bagi orang-orang

penderita diabetes, secara kimiawi sorbitol sangat reaktif dan stabil. Sorbitol dapat

berada pada suhu tinggi dan tidak mengalami reaksi Maillard (pencoklatan).

CH2OH

HCOH

HOCH

HCOH

HCOH

CH2OH

Gambar 2. Rumus Bangun Sorbitol (Ananta, 2002)

Page 14: Unand Tesis Fita Peternakan

G. Kadar Air

Buckle dkk. (1987) kadar air erat kaitannya dengan sifat fisik dari bahan pangan.

Meskipun sering diabaikan, air merupakan salah satu unsur penting dalam bahan

makanan. Air sendiri bukan merupakan sumber nutrien seperti bahan makanan lain,

hanya saja air berperan dalam membentuk tekstur dari edible film. Kadar air berperan

dalam menentukan tekstur suatu produk. Ditambahkan oleh Winarno (1991) air

merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi

penampakan, tekstur serta cita rasa makanan.

Winarno (1991) mengungkapkan bahwa air dalam bahan makanan atau air terikat

(bound water) dibagi menjadi dua yaitu air imbibisi dan air kristal. Air imbibisi

merupakan air yang masuk ke dalam bahan pangan dan akan menyebabkan

pengembangan volume, tetapi air ini tidak merupakan komponen penyusun bahan

tersebut. Air kristal adalah air terikat dalam semua bahan, baik bahan pangan maupun

nonpangan yang berbentuk kristal, seperti gula, garam, CuSO4 dan lain-lain. Menurut

Sudarmadji, Haryono dan Suhardi (1997) air yang terdapat dalam bentuk bebas dapat

membantu terjadinya proses kerusakan bahan makanan misalkan proses mikrobiologis,

kimiawi, enzimatik, bahkan oleh aktivitas serangga perusak.

H. pH

Krochta dkk. (1994) mengemukakan bahwa pH pada edible film erat kaitannya

dengan carboxymethyl cellulose yang ditambahkan dalam larutan. Carboxymethyl

cellulose stabil pada pH 7-9, pada pH >10 kekentalan akan sedikit berkurang,

sedangkan pada pH < 4 carboxymethyl cellulose kurang larut sehingga kekentalan

meningkat. Ditambahkan oleh Winarno (1997) carboxymethyl cellulose mempunyai

gugus karboksil, maka viskositas larutan carboxymethyl cellulose dipengaruhi oleh pH

Page 15: Unand Tesis Fita Peternakan

larutan, pH optimumnya adalah 5, dan bila pH terlalu rendah (<3) carboxymethyl

cellulose akan mengendap.

I. Ketebalan

Menurut Mawarwati, Widjanarko dan Susanto (2001) ketebalan edible film

tergantung pada total padatan yang terkandung dalam larutan film dan jumlah larutan

yang dituangkan pada plat kaca. Edible film yang dibuat dengan bahan dasar

germ gandum membentuk suatu lapisan dengan ketebalan berkisar antara

0.384 mm sampai dengan 0.541 mm. Ananta (2002) menyatakan bahwa ketebalan

edible film berkisar 0.15 mm sampai dengan 0.17 mm pada edible film berbahan

dasar bungkil kacang tanah.

J. Waktu Kelarutan

Waktu kelarutan merupakan waktu yang dibutuhkan air untuk melarutkan lapisan

edible film. Waktu kelarutan edible film tergantung pada pH-nya. Kelarutan ini

dikarenakan pada pH titik isoelektrik komplek protein polisakarida lebih polar, sehingga

mudah larut. Kepolaran ini disebabkan oleh adanya kombinasi antara ion positif dengan

ion negatif polisakarida (Yoshida dan Antunes, 2004).

Page 16: Unand Tesis Fita Peternakan

III. MATERI DAN METODA PENELITIAN

A. Materi Penelitian

Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah whey sebanyak 1 620 ml yang

berasal dari 3 240 ml air susu segar, yang didapat dari UPT Fakultas Peternakan

Universitas Andalas Padang. Susu-susu ini berasal dari sapi jenis Fresian Holstein

(FH).

Bahan-bahan yang digunakan dan jumlah per perlakuan yang diperlukan adalah

asam asetat 25% yang digunakan untuk memisahkan antara curd dan whey pada susu,

etanol 96% sebanyak 1 620 ml, carboxymethyl cellulose sebanyak 32.4 gr, dan sorbitol

sebanyak 4.86 gr.

Peralatan yang digunakan adalah : (1) peralatan untuk memisahkan kasein dan

whey seperti : panci, kompor, sendok masak, saringan, baskom (2) peralatan yang

digunakan untuk pembuatan edible film, termasuk diantaranya gelas piala 1 L, gelas

ukur, thermometer, pelat kaca berukuran 20 cm x 20 cm x 2 mm sebanyak 9 buah

(3) peralatan untuk kadar air seperti : cawan porselen, oven, desikator, penjepit

cawan, dan neraca analitik (4) peralatan untuk mengukur pH seperti : pH meter,

gelas piala, kapas, dan tisu (5) peralatan untuk mengukur daya larut seperti :

kompor, gelas piala, stopwatch (6) peralatan untuk mengukur ketebalan seperti :

mikrometer sekrup dengan ketelitian 0.01 mm.

B. Metoda Penelitian

1. Rancangan Penelitian

Metoda yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental dengan

menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan pola faktorial 3x3 dengan tiga

kelompok sebagai ulangan, dengan perlakuan sebagai berikut :

Page 17: Unand Tesis Fita Peternakan

Faktor A :

A1 : Penambahan carboxymethyl cellulose dengan konsentrasi 0.75%

A2 : Penambahan carboxymethyl cellulose dengan konsentrasi 1.00%

A3 : Penambahan carboxymethyl cellulose dengan konsentrasi 1.25%

Faktor B :

B1 : Penambahan sorbitol dengan konsentrasi 0.10%

B2 : Penambahan sorbitol dengan konsentrasi 0.15%

B3: : Penambahan sorbitol dengan konsentrasi 0.20%

Model matematika yang digunakan dalam rancangan ini menurut Steel dan Torrie

(1995) adalah sebagai berikut :

Yij = µ + αi +βj +(αβ)ij + Kk + ∑ijk

Di mana :

Yij =Nilai pengamatan pada satuan percobaan yang memperoleh perlakuan

faktor A taraf ke-I faktor B taraf ke-j dan ulangan ke-k

µ = Nilai tengah umum

αi = Pengaruh faktor A taraf ke-i

βj = Pengaruh faktor B taraf ke-j

αβij = Pengaruh interaksi faktor A taraf ke-I, faktor B taraf ke-j

Kk = Pengaruh kelompok ke-k

∑ijk = Pengaruh galat pada satuan percobaan yang mendapat perlakuan A taraf ke I,

faktor B taraf ke-j dan ulangan ke-k

Page 18: Unand Tesis Fita Peternakan

Table 2. Bagan Pengamatan Untuk Setiap Perlakuan

PERLAKUAN KELOMPOK RATA-

RATA

TOTAL

Faktor A

(CMC)

Faktor B

(Sorbitol)

1 2 3

0.75%

0.10% Y

(A1B1)1

Y

(A2B1)2

Y

(A3B1)3

Y AB Σ Y A1B1

0.15% Y

(A1B2)1

Y

(A2B2)2

Y

(A3B2)3

Y AB Σ Y A1B2

0.20% Y

(A1B3)1

Y

(A2B3)2

Y

(A3B3)3

Y AB Σ Y A1B3

Rata-rata

Total

Y AB

Σ Y A1B

Y AB

Σ Y A1B

Y AB

Σ Y A1B

1.00%

0.10% Y

(A2B1)1

Y

(A2B1)2

Y

(A2B1)3

Y AB Σ Y A2B1

0.15% Y

(A2B2)1

Y

(A2B2)2

Y

(A2B2)3

Y AB Σ Y A2B2

0.20% Y

(A2B3)1

Y

(A2B3)2

Y

(A2B3)3

Y AB Σ Y A2B3

Rata-rata

Total

Y AB

Σ Y A2B

Y AB

Σ Y A2B

Y AB

Σ Y A2B

1.25%

0.10% Y

(A3B1)1

Y

(A3B1)2

Y

(A3B1)3

Y AB Σ Y A3B1

0.15% Y

(A3B2)1

Y

(A3B2)2

Y

(A3B2)3

Y AB Σ Y A3B2

0.20% Y

(A3B3)1

Y

(A3B3)2

Y

(A3B3)3

Y AB Σ Y A3B1

Rata-rata

Total

Y AB

Σ Y A3B

Y AB

Σ Y A3B

Y AB

Σ Y A3B

Rata-rata seluruhnya

Total seluruhnya

Y AB

Σ Y AB

Y AB

Σ Y AB

Y AB

Σ Y AB

Table 3. Analisa Sidik Ragam

SK DB JK KT F HITUNG F TABEL

0.05 0.01

Kelompok

A

B

AB

Sisa

Total

(r – 1)

(a – 1)

(b – 1)

(ab – 1)

(r-1)(ab-1)

(abr – 1)

JKK

JKA

JKB

JKAB

JKS

JKT

JKK/dbK

JKA/dbA

JKB/dbB

JKAB/dbAB

JKS/dbS

KTK/KTS

KTA/KTS

KTB/KTS

KTAB/KTS

Page 19: Unand Tesis Fita Peternakan

Jika perlakuan menunjukan hasil yang berbeda nyata (P < 0.05) maka analisis

dilanjutkan dengan menggunakan uji lanjut Duncan’s Multiple Range Test (DMRT)

(Steel dan Torrie, 1989).

2. Prosedur Kerja

a) Persiapan Whey Milk

Pembuatan whey milk menurut Modifikasi Hadiwiyoto (1994) dengan langkah

kerja sebagai berikut :

1. Untuk setiap kelompok pengerjaan dibutuhkan susu sebanyak 3 240 ml yang

dipasteurisasi pada suhu 63°C selama 30 menit.

2. Setelah 30 menit, asam asetat 25% dicampurkan ke dalam susu sebanyak

12 ml/l air susu.

3. Dibiarkan sampai kasein menggumpal dengan sempurna sehingga terpisah

antara whey dan kasein.

4. Whey yang terbentuk sekitar 1 620 ml (50 – 60% dari total susu) disaring dan

ditampung sebagai filtrat untuk setiap perlakuannya.

Gambar 3. Diagram Alir Pemisahan Antara Curd dan Whey pada Susu Sapi

Segar (Modifikasi Hadiwiyoto, 1983)

Dipasteurisasi susu (63°C) sambil diaduk-aduk 30 menit

Susu segar

Terjadi pemisahan antara kasein dan whey

Ditambahkan asam asetat 25% sebanyak 12 ml/l air susu

Penyaringan

Whey

Page 20: Unand Tesis Fita Peternakan

b) Pembuatan Edibel Film

Pembuatan edible film menurut Modifikasi Syarief dkk. (2002) dengan langkah

kerja sebagai berikut :

1. Untuk setiap kelompok dibutuhkan sebanyak 540 ml whey milk ditambah

dengan etanol 96 % (1:1) dan dipanaskan sampai suhu 60°C.

2. Ditambah dengan carboxymethyl cellulose sesuai dengan perlakuan (0.75%,

1.00% dan 1.25%) dan diaduk cepat selama 10 menit.

3. Ditambah sorbitol sesuai dengan perlakuan (0.10%, 0.15% dan 0.20%) dan suhu

dipertahankan sekitar 60°C selama 30 menit sambil diaduk.

4. Larutan film dituang pada cetakan pelat kaca berukuran 20 cmx 20 cmx 2 mm.

5. Dikeringkan dengan oven pada suhu 50°C selama 24 jam.

6. Prosedur diatas diulang sebanyak 3 kali.

Gambar 4. Diagram Alir Pembuatan Edible Film Whey Milk (Modifikasi

Syarif dkk., 2002)

Whey + Etanol

Dipanaskan pada suhu 60°C

Ditambah carboxymethyl cellulose sesuai dengan perlakuan ( 0.75%, 1.00% dan 1.25%)

Pengadukan cepat

Ditambahkan sorbitol sesuai dengan perlakuan (0.10%, 0.15% dan 0.20%)

Pemanasan 60°C, 30 menit

Dituang pada pelat kaca

Pengeringan di oven ( 50°C, 18-24 jam)

Edibel Film

Page 21: Unand Tesis Fita Peternakan

3. Variabel yang Diukur

a) Kadar Air

Kadar air ditentukan berdasarkan pedoman Apriyantono, Fardiaz, Puspitasari,

Sedarnawati dan Budiyantono (1989) dengan metode oven. Prosedur kerja sebagai

berikut :

1. Cawan kosong dan tutupnya dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan

dinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang (untuk cawan aluminium

didinginkan selama 10 menit dan cawan porselen didinginkan selama 20 menit).

2. Kemudian 5 gr sampel yang sudah dihomogenkan di timbang dengan cepat.

3. Tutup cawan diangkat lalu cawan beserta isi dan tutupnya diletakan dalam oven

selama 6 jam. Untuk produk yang tidak mengalami dekomposisi dengan

pengeringan yang lama, dapat dikeringkan selama 1 malam (16 jam).

4. Selanjutnya cawan dipindahkan kedalam desikator, ditutup dengan penutup cawan,

lalu dinginkan, setelah dingin cawan ditimbang kembali.

5. Kemudian cawan tadi dikeringkan lagi sampai mendapat berat yang tetap.

Perhitungan :

Persen kadar air (dry basis) = W3 x 100%

W2

Persen kadar air (wet basis) = W3 x 100%

W1

Keterangan:

W1 = Berat sample (gr)

W2 = Berat sampel setelah dikeringkan (gr)

W3 = Kehilangan berat (gr)

Page 22: Unand Tesis Fita Peternakan

b) pH

Penetapan pH berdasarkan Apriyantono, Fardiaz, Puspitasari, Sedarnawati dan

Budiyanto (1989) adalah sebagi berikut:

1. Suhu sampel diukur, kemudian pengatur suhu pH meter diset pada suhu terukur.

2. pH meter dinyalakan, biarkan sampai stabil (15-30 menit).

3. Setelah itu, elektroda dibilas dengan aquades, kemudian dikeringkan dengan

kertas tisu.

4. Elektroda dicelupkan dalam larutan sampel, pengukuran pH diset.

5. Selanjutnya elektroda dibiarkan tercelup beberapa saat sampai diperoleh

pembacaan stabil, kemudian dicatat pH sampel.

c) Ketebalan

Pengukuran ketebalan dilakukan dengan jangka sorong dengan ketelitian

0.01 mm, nilai ketebalan yang didapat merupakan rataan dari pengukuran pada lima

tempat yang berbeda yaitu pada masing-masing ujung segi empat dan pada bagian

tengahnya (Yoshida and Antunes, 2004).

d) Waktu kelarutan

Pengukuran waktu kelarutan dengan menggunakan metode Galieta, Gioia,

Guilbert, dan Cuq (1998) yang dilakukan dengan cara memasukan sampel kedalam air

yang bersuhu 100°C. Setelah itu dicatat waktu pada saat sampel dimasukan sampai

sampel larut dan tidak bersisa lagi didalam air tersebut.

Page 23: Unand Tesis Fita Peternakan

4. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas

Peternakan Universitas Andalas, mulai dari ……..sampai dengan……..

Page 24: Unand Tesis Fita Peternakan

DAFTAR PUSTAKA

Adnan, M. 1991. Kimia dan Teknologi Pengolahan Air Susu. Andi Offset, Yogyakarta.

Ananta, R. 2002. Karakteristik Edible Film dari Bungkil Kacang Tanah dengan

Plasticizer Gliserol dan Sorbitol. Tesis Teknologi Industri Pertanian. Universitas

Andalas, Padang.

Apryantono, A., D. Fardiaz, N. L. Puspitasari, Sedarnawati dan S. Budiyanto. 1989.

Analisis Pangan. PAU Pangan dan Gizi. IPB, Bogor.

Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet, dan M. Wooton. 1987. Ilmu Pangan.

Terjemahan Hari Purnomo dan Adiono. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

Darmawan, A. 2005. Sorbitol, Pemanis untuk Penderita Diabetes. Artikel.

Tersedia:http://www.suaramerdeka.com/ harian/0502/28/ragam4.htm. Diakses

7 Januari 2009, 19:13 WIB.

Galieta, G., L. Di Gioia, S. Guilbert, and B. Cuq. 1998. Mechanical and

Thermomechanical Properties of Film Based on Whey Protein as Affected by

Plasticizer and Crosslinking Agent. Fakultad de Agronomia, Universidad de Ia

Republikca, Montevideo, Uruguway.

Hadiwiyoto, S. 1983. Hasil-Hasil Olahan Susu, Ikan, Daging dan Telur. Edisi II.

Liberty, Yogyakarta.

____________. 1994. Teori dan Prosedur Pengujian Mutu Susu dan Hasil Olahannya.

Liberty, Yogyakarta.

Heriadi, A. T. J. 2007. Biodegradabel Plastik yang Dapat Dimakan. Artikel.

Tersedia:http://newspaper.pikiranrakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=2

4357. Diakses Jumat, 9 Januari 2009, 19:52 WIB.

Julianti, E., dan M. Nurminah. 2006. Buku Ajar Teknologi Pengemasan. Departemen

Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Krochta, J. M., E. A. Baldwin, and M. O. Nisperos-Carriedo. 1994. Edible Coating and

Film Food Quality. Technomic Public. Co. Inc., Lancaster, Pennsylvania.

LP POM MUI. 2009. Apa Itu Whey. Tersedia :

http://www.halalguide.info/2009/03/04/apa-itu-whey/. Diakses Senin, 2 Maret

2009, 20:10 WIB.

Mawarwati, S., S. B. Widjanarko, dan T. Susanto. 2001. Mempelajari Karakteristik

Edible Film Berantioksidan dari Germ Gandum (Tetricum aestivum L.) dan

Pengaruhnya dalam Pengendalian Pencoklatan pada Irisan Apel. J. Biosain, Vol

1 No. 1.

Page 25: Unand Tesis Fita Peternakan

Melia, S. 1997. Pengaruh Penambahan Beeswax dan Methyl cellulose dengan

Plasticizer Gliserol terhadap Karakteristik Edible Film Bungkil Kacang Kedelai.

Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian. IPB, Bogor.

Sardjoko. 1991. Bioteknologi : Latar Belakang dan Beberapa Penerapannya. PT

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Soeparno. 1996. Pengolahan Hasil Ternak. Universitas Terbuka, Jakarta.

Steel, R. G. D., dan J. H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan

Biometrik. Terjemahan Bambang Sumantri. PT Gramedia Pustaka Utama,

Jakarta.

Sudarmadji, S., B. Haryono., dan Suhardi. 1997. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian.

Liberty Yogyakarta Bekerjasama dengan Pusat Antar Universitas Pangan dan

Gizi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Syarief, R., S. Koswara, Y. Haryadi, C. C. N Andajaya, M. Arpah. 2002. Penuntun

Praktikum Pengemasan Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB, Bogor.

Syarief, R., S. Santausa, dan St. Isyana. B. 1989. Teknologi Pengemasan Pangan. Buku

dan Monograf. Laboratorium Rekayasa Proses Pangan. Pusat Antara Universitas

Pangan dan Gizi. IPB, Bogor.

Winarno, F. G. 1991. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

___________. 1993. Pangan Gizi, Teknologi, dan Konsumen. PT Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta.

Yoshida, C. M. P., dan A. J. Antunes. 2004. Charakterization of Whey Protein

Emulsion Film. Brazilian Journal of Chemical Engineering. Vol 21, No.2.

Page 26: Unand Tesis Fita Peternakan