ULTISOL

28
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nama podsolik merah kuning yang menjadi sangat terkenal di Indonesia diperkenalkan untuk pertama kali dalam pustaka ilmu tanah Indonesia oleh Dudal dan Soepraptohardjo (1957). Nama ini digunakan dalam sistem klasifikasi tanah susunan Baldwin dkk., (1938). Sebelum nama podsolik merah kuning masuk ke Indonesia, tanah ini termasuk dalam golongan tanah lateritik. Van der Voort (1950) lebih suka menyebutnya tanah laterik terdegradasi, yang menunjukkan persepsinya bahwa tanah itu telah mengalami kerusakan berat. Dames (1955) memakai nama tanah laterik terdegradasi, yang juga mencerminkan suatu pendapat bahwa tanah tersebut telah mengalami proses pemunduran kesuburan. Dalam sistem klasifikasi tanah USDA terbaru (1975, 1985) yang masih terus dikembangkan dengan kerjasama internasional untuk kesempurnaannya, tanah podsolik merah kuning secara umum masuk dalam ordo Ultisol. Dikatakan secara umum karena pada dasarnya nama tanah yang berasal dari sistem klasifikasi yang berbeda tidak mungkin dipadankan secara langsung dengan lengkap. Hal ini disebabkan

Transcript of ULTISOL

Page 1: ULTISOL

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Nama podsolik merah kuning yang menjadi sangat terkenal di

Indonesia diperkenalkan untuk pertama kali dalam pustaka ilmu tanah

Indonesia oleh Dudal dan Soepraptohardjo (1957). Nama ini digunakan

dalam sistem klasifikasi tanah susunan Baldwin dkk., (1938).

Sebelum nama podsolik merah kuning masuk ke Indonesia, tanah ini

termasuk dalam golongan tanah lateritik. Van der Voort (1950) lebih suka

menyebutnya tanah laterik terdegradasi, yang menunjukkan persepsinya

bahwa tanah itu telah mengalami kerusakan berat. Dames (1955) memakai

nama tanah laterik terdegradasi, yang juga mencerminkan suatu pendapat

bahwa tanah tersebut telah mengalami proses pemunduran kesuburan.

Dalam sistem klasifikasi tanah USDA terbaru (1975, 1985) yang

masih terus dikembangkan dengan kerjasama internasional untuk

kesempurnaannya, tanah podsolik merah kuning secara umum masuk dalam

ordo Ultisol. Dikatakan secara umum karena pada dasarnya nama tanah

yang berasal dari sistem klasifikasi yang berbeda tidak mungkin dipadankan

secara langsung dengan lengkap. Hal ini disebabkan karena setiap sistem

klasifikasi menggunakan seperangkat kriteria kelas yang berbeda. Andaipn

kriteria sama akan tetapi hirarki penerapannya berbeda. Hasil pembentukkan

kelas berbeda pula. Dalam sistem FAO/UNESCO tanah yang disebut ultisol

terpilihkan menjadi dua satuan tanah utama, yaitu Acrisol dan Nitosol.

Acrisol ialah kelompok yang lebih buruk, sedang Nitosol ialah yang lebih

baik.

Penggantian nama tanah dan pemakaian nama tanah baru karena

perubahan sistem klasifikasi, bukan sekedar pengubah sebutan menuruti

mode atau selera, atau suatu ulah akademik, melainkan suatu kenyataan

pembaharuan persepsi dan konsepsi tentang tanah. Perbaikan sistem

klasifikasi membawa peningkatan kecermatan, kejelasan, pemberian, dan

Page 2: ULTISOL

keterandalan penjabaran gejala tanah. Pengertian tentang tanah sebagai

faktor dan pemanfaatan lahan menjadi lebih baik dan ekstrapolusi.

Tanah berordo Ultisols kebanyakan memiliki sifat tanah yang

masam, karena material di dalam profil tanah banyak mengandung mineral

kuarsa dan seskuioksida besi (Fe) dan aluminium (Al), sementara mineral-

mineral lainnya amat sedikit. Berdasarkan hal ini ditambah beberapa ciri

lainnya. Mineral-mineral tersebut memiliki kapasitas menahan hara (KTK)

yang rendah, demikian pula potensi kandungan hara rendah.

Pada kondisi demikian, tanaman pada umumnya mengalami

kekurungan unsur hara. Dipihak lain kandungan unsur Al sangat tinggi,

sehingga mengakibatkan terjadinya keracunan bagi tanaman yang tumbuh di

daerah ini. Terkikisnya lapisan tanah atas karena erosi akan menambah

seriusnya masalah keracunan Al, karena lapisan bawah memiliki kandungan

Al lebih tinggi.

1.2 Tujuan

Untuk mengetahui karakteristik tanah Ultisol.

Untuk mengetahui penyebaran Ultisol di wilayah Indonesia.

Untuk mengetahui komposisi mineral tanah Ultisol.

Untuk mengetahui sifat kimia dari tanah Ultisol.

Untuk mengetahui cara pengelolaan tanah Ultisol yang baik dan benar.

Page 3: ULTISOL

BAB II

ISI DAN PEMBAHASAN

Ultisols dapat berkembang dari berbagai bahan induk, dari yang bersifat

masam hingga basa. Namun sebagian besar bahan induk tanah ini adalah batuan

sedimen masam. Di antara grup Ultisol, Hapludults mempunyai sebaran terluas

(tabel 1). Hal ini karena persyaratan klasifikasinya hanya didasarkan pada nilai

kejenuhan basa yaitu < 35% dan adanya horizon argilik, tanpa ada syarat

tambahan lainnya.

Tabel 1. Luas tanah Ultisol pada tingkat grup berdasarkan batuan pembentuk

tanah.

Tanah Ultisol memiliki kemasaman kurang dari 5,5 sesuai dengan sifat

kimia, komponen kimia tanah yang berperan terbesar dalam menentukan sifat dan

ciri tanah umumnya pada kesuburan tanah. Nilai pH yang mendekati minimun

dapat ditemui sampai pada kedalaman beberapa cm dari dari batuan yang utuh

(belum melapuk). Tanah-tanah ini kurang lapuk atau pada daerah-daerah yang

kaya akan basa-basa dari air tanah pH meningkat pada dan di bagian lebih bawah

solum (Hakim,dkk. 1986).

Tanah Ultisol sering diidentikkan dengan tanah yang tidak subur, tetapi

sesungguhnya bisa dimanfaatkan untuk lahan pertanian potensial, asalkan

dilakukan pengelolaan yang memperhatikan kendala (constrain) yang ada pada

Ultisol ternyata dapat merupakan lahan potensial apabila iklimnya mendukung.

Tanah Ultisol memiliki tingkat kemasaman sekitar 5,5  (Munir, 1996).

Page 4: ULTISOL

Tanah ini umumnya berkembang dari bahan induk tua. Di Indonesia

banyak ditemukan di daerah dengan bahan induk batuan liat. Tanah ini merupakan

bagian terluas dari lahan kering di Indonesia yang belum dipergunakan untuk

pertanian. Problem tanah ini adalah reaksi masam, kadar Al tinggi sehingga

menjadi racun tanaman dan menyebabkan fiksasi P, unsur hara rendah, diperlukan

tindakan pengapuran dan pemupukan, keadaan tanah yang sangat masam sangat

menyebabkan tanah kehilangan kapasitas tukar kation dan kemampuan

menyimpan hara kation dalam bentuk dapat tukar, karena perkembangan muatan

positif, dan dicirikan dengan warna tanah yang merah-kuning.

(Hardjowigeno,1993).

Senyawa-senyawa Al monomerik dan Al –hidroksi merupakan sumber

utama kemasaman dapat tukar dan kemasaman tertitrasi pada Ultisol. Sumber-

sumber lain adalah kation-kation ampoter dapat tukar atau senyawa-senyawa

hidroksinya, bahan organik dan hidrogen dapat tukar (Lopulisa,2004).

Ultisol dicirikan oleh adanya akumulasi liat pada horizon bawah

permukaan sehingga mengurangi daya resap air dan meningkatkan aliran

permukaan dan erosi tanah. Erosi merupakan salah satu kendala fisik pada tanah

Ultisol dan sangat merugikan karena dapat mengurangi kesuburan tanah. Hal ini

karena kesuburan tanah Ultisol sering kali hanya ditentukan oleh kandungan

bahan organik pada lapisan atas. Bila lapisan ini tererosi maka tanah menjadi

miskin bahan organik dan hara.

Tanah Ultisol mempunyai tingkat perkembangan yang cukup lanjut,

dicirikan oleh penampang tanah yang dalam, kenaikan fraksi liat seiring dengan

kedalaman tanah, reaksi tanah masam, dan kejenuhan basa rendah. Pada

umumnya tanah ini mempunyai potensi keracunan Al dan miskin kandungan

bahan organik. Tanah ini juga miskin kandungan hara terutama P dan kation-

kation dapat ditukar seperti Ca, Mg, Na, dan K, kadar Al tinggi, kapasitas tukar

kation rendah, dan peka terhadap erosi (Sri Adiningsih dan Mulyadi 1993).

Di Indonesia, Ultisol umumnya belum tertangani dengan baik. Dalam

skala besar, tanah ini telah dimanfaatkan untuk perkebunan kelapa sawit, karet

dan hutan tanaman industri, tetapi pada skala petani kendala ekonomi merupakan

salah satu penyebab tidak terkelolanya tanah ini dengan baik.

Page 5: ULTISOL

Penyebaran Ultisol di Indonesia

Ultisol merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai

sebaran luas, mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan

Indonesia (Subagyo et al. 2004). Sebaran terluas terdapat di Kalimantan

(21.938.000 ha), diikuti di Sumatera (9.469.000 ha), Maluku dan Papua

(8.859.000 ha), Sulawesi (4.303.000 ha), Jawa (1.172.000 ha), dan Nusa Tenggara

(53.000 ha). Tanah ini dapat dijumpai pada berbagai relief, mulai dari datar

hingga bergunung.

Gambar1. Lanscape Ultisol

Ciri morfologi tanah Ultisol

Pada umumnya Ultisol berwarna kuning kecoklatan hingga merah. Pada

klasifikasi lama menurut Soepraptohardjo (1961), Ultisol diklasifikasikan sebagai

Podsolik Merah Kuning (PMK). Warna tanah pada horizon argilik sangat

bervariasi dengan hue dari 10YR hingga 10R, nilai 3−6 dan kroma 4−8 (Subagyo

et al. 1986; Suharta dan Prasetyo 1986; Rachim et al. 1997; Suhardjo dan Prasetyo

1998; Alkusuma 2000; Isa et al. 2004; Prasetyo et al. 2005).

Warna tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain bahan organik

yang menyebabkan warna gelap atau hitam, kandungan mineral primer fraksi

ringan seperti kuarsa dan plagioklas yang memberikan warna putih keabuan, serta

oksida besi seperti goethit dan hematit yang memberikan warna kecoklatan hingga

merah. Makin coklat warna tanah umumnya makin tinggi kandungan goethit, dan

makin merah warna tanah makin tinggi kandungan hematit (Eswaran dan Sys

1970; Allen dan Hajek 1989; Schwertmann dan Taylor 1989).

Page 6: ULTISOL

Gambar 2. Profil tanah Ultisol

Tekstur tanah Ultisol bervariasi dan dipengaruhi oleh bahan induk

tanahnya. Tanah Ultisol dari granit yang kaya akan mineral kuarsa umumnya

mempunyai tekstur yang kasar seperti liat berpasir (Suharta dan Prasetyo 1986),

sedangkan tanah Ultisol dari batu kapur, batuan andesit, dan tufa cenderung

mempunyai tekstur yang halus seperti liat dan liat halus (Subardja 1986; Subagyo

et al. 1987; Isa et al. 2004; Prasetyo et al. 2005). Ultisol umumnya mempunyai

struktur sedang hingga kuat, dengan bentuk gumpal bersudut (Rachim et al. 1997;

Isa et al. 2004; Prasetyo et al. 2005).

Komposisi mineral pada bahan induk tanah mempengaruhi tekstur Ultisol.

Bahan induk yang didominasi mineral tahan lapuk kuarsa, seperti pada batuan

granit dan batu pasir, cenderung mempunyai tekstur yang kasar. Bahan induk

yang kaya akan mineral mudah lapuk seperti batuan andesit, napal, dan batu kapur

cenderung menghasilkan tanah dengan tekstur yang halus.

Ciri morfologi yang penting pada Ultisol adalah adanya peningkatan fraksi

liat dalam jumlah tertentu pada horizon seperti yang disyaratkan dalam Soil

Taxonomy (Soil Survey Staff 2003). Horizon tanah dengan peningkatan liat

tersebut dikenal sebagai horizon argilik. Horizon tersebut dapat dikenali dari

fraksi liat hasil analisis di laboratorium maupun dari penampang profil tanah.

Horizon argilik umumnya kaya akan Al sehingga peka terhadap perkembangan

akar tanaman, yang menyebabkan akar tanaman tidak dapat menembus horizon ini

dan hanya berkembang di atas horizon argilik (Soekardi et al. 1993).

Page 7: ULTISOL

Sifat kimia tanah Ultisol

Tanah Ultisol umumnya mempunyai nilai kejenuhan basa < 35%, karena

batas ini merupakan salah satu syarat untuk klasifikasi tanah Ultisol menurut Soil

Taxonomy. Beberapa jenis tanah Ultisol mempunyai kapasitas tukar kation < 16

cmol/kg liat, yaitu Ultisol yang mempunyai horizon kandik.

Reaksi tanah Ultisol pada umumnya masam hingga sangat masam (pH

5−3,10), kecuali tanah Ultisol dari batu gamping ang mempunyai reaksi netral

hingga agak masam (pH 6,80−6,50). Kapasitas tukar kation pada tanah Ultisol

dari granit, sedimen, dan tufa tergolong rendah masing-masing berkisar antara

2,90−7,50 cmol/kg, 6,11−13,68 cmol/kg, dan 6,10−6,80 cmol/kg, sedangkan yang

dari bahan volkan andesitik dan batu gamping tergolong tinggi (>17 cmol/kg).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa tanah Ultisol dari bahan volkan,

tufa berkapur, dan batu gamping mempunyai kapasitas tukar kation yang tinggi

(Prasetyo et al. 2000; Prasetyo et al. 2005; Tabel 2).

Sumber : 1) Prasetyo dan Suharta (2000), 2) Prasetyo et al. (2005), 3) Subagyo et

al. (1986), 4) Suharta dan Prasetyo (1986), 5) Subardja (1986).

Tabel 2.Beberapa sifat kimia tanah Ultisol yang terbentuk dari berbagai bahan

induk tanah.

Page 8: ULTISOL

Nilai kejenuhan Al yang tinggi terdapat pada tanah Ultisol dari bahan

sedimen dan granit (> 60%), dan nilai yang rendah pada tanah Ultisol dari bahan

volkan andesitik dan gamping (0%). Ultisol dari bahan tufa mempunyai

kejenuhan Al yang rendah pada lapisan atas (5−8%), tetapi tinggi pada lapisan

bawah (37−78%). Tampaknya kejenuhan Al pada tanah Ultisol berhubungan erat

dengan pH tanah.

Kandungan hara pada tanah Ultisol umumnya rendah karena pencucian

basa berlangsung intensif, sedangkan kandungan bahan organik rendah karena

proses dekomposisi berjalan cepat dan sebagian terbawa erosi. Pada tanah Ultisol

yang mempunyai horizon kandik, kesuburan alaminya hanya bergantung pada

bahan organik di lapisan atas. Dominasi kaolinit pada tanah ini tidak memberi

kontribusi pada kapasitas tukar kation tanah, sehingga kapasitas tukar kation

hanya bergantung pada kandungan bahan organik dan fraksi liat. Oleh karena itu,

peningkatan produktivitas tanah Ultisol dapat dilakukan melalui perbaikan tanah

(ameliorasi), pemupukan, dan pemberian bahan organik.

Peningkatan fraksi liat yang membentuk horizon argilik pada tanah Ultisol

cukup merugikan karena horizon ini akan menghalangi aliran air secara vertikal,

sebaliknya aliran horizontal meningkat sehingga memperbesar daya erosivitas.

Pembentukan horizon argilik merupakan proses alami yang sulit dicegah, namun

erosi yang terjadi dapat dihindari atau dikurangi dampaknya. Masalah Al

umumnya terjadi pada tanah Ultisol dari bahan sedimen. Bahan sedimen

merupakan hasil dari proses pelapukan (weathering) dan pencucian (leaching),

baik pelapukan dari bahan volkan, batuan beku, batuan metamorf maupun

campuran dari berbagai jenis batuan sehingga mineral penyusunnya sangat

bergantung pada asal bahan yang melapuk.

Oleh karena itu, tanah Ultisol dari bahan sedimen sudah mengalami dua

kali pelapukan, yang pertama pada waktu pembentukan batuan sedimen dan yang

kedua pada waktu pembentukan tanah. Dengan demikian ada kemungkinan bahwa

kandungan Al pada batuan sedimen sudah sangat tinggi. Kondisi ini akan berbeda

bila tanah Ultisol terbentuk dari bahan volkan dan batuan beku. Pada tanah

tersebut Al hanya berasal dari pelapukan batuan bahan induknya. Kondisi ini juga

masih dipengaruhi oleh pH. Pada bahan induk yang bersifat basa, pelepasan Al

Page 9: ULTISOL

tidak sebanyak pada batuan masam, karena pH tanah yang tinggi dapat

mengurangi kelarutan hidroksida Al.

Ultisol dari bahan sedimen mempunyai kesuburan alami yang lebih rendah

daripada Ultisol dari bahan volkan atau batu kapur, karena bahan sedimen sudah

merupakan hasil perombakan bahan lain sehingga kandungan unsur haranya pun

rendah. Ultisol dari Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur yang berkembang

dari batuan sedimen batu pasir dan batu liat mempunyai nilai kapasitas tukar

kation tanah 3−18 cmol (+) /kg, kejenuhan basa 3− 9%, kejenuhan Al 33−95%,

dan pH 3,70−5 (Prasetyo dan Suharta 2000; Yatno et al. 2000; Prasetyo et al.

2001). Sementara itu tanah Ultisol dari bahan volkan mempunyai nilai kapasitas

tukar kation 13,80−25,49 cmol (+) /kg tanah, kejenuhan basa 4−35%, kandungan

Al 0−16%, dan pH tanah 4,60−5,70 (Subagyo et al. 1987; Prasetyo et al. 2005).

Komposisi mineral tanah Ultisol

Susunan mineral primer yang dominan pada Ultisol dengan bahan induk

yang berbeda disajikan pada Tabel 3. Kuarsa yang dominan terdapat pada Ultisol

yang terbentuk dari tufa berkapur dan dari batuan granit (Pedon 3, Typic

Haplohumults dan Pedon 1, Typic Kandiudults). Pada Ultisol yang berkembang

dari batuan tufa masam ( Pedon 2, Typic Paleudults), kuarsa dan opak

mendominasi susunan mineral pasir, sedangkan pada Ultisol dari bahan volkan

intermedier (Pedon 4, Typic Paleudults), opak merupakan mineral yang dominant

pada fraksi pasir. Yatno et al. (2000) menyatakan Ultisol dari batuan liat dan

pasir didominasi oleh mineral kuarsa.

Page 10: ULTISOL

Tabel 3. Komposisi mineral primer yang dominan pada horizon argilik tanah

Ultisol dari beberapa bahan induk.

Kandungan mineral mudah lapuk (weatherable mineral) seperti orthoklas,

biotit, epidot, gelas volkan olivin, sanidin amfibol, augit, dan hiperstin pada tanah

Ultisol umumnya rendah bahkan sering tidak ada (Subardja 1986; Suharta dan

Prasetyo 1986; Prasetyo et al. 1998; Prasetyo et al. 2005). Dengan demikian

Ultisol tergolong tanah yang miskin akan unsur hara.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa bahan induk tanah Ultisol

menentukan komposisi mineralnya. Pada tanah yang berbahan induk batuan

masam, mineral primer didominasi oleh kuarsa, sedangkan pada tanah dari bahan

volkan didominasi oleh opak. Tufa masam merupakan jenis batuan sedimen

masam dari bahan volkan sehingga komposisi mineral primernya didominasi oleh

campuran opak dan kuarsa.

Komposisi mineral liat Ultisol didominasi oleh kaolinit (Suharta dan

Prasetyo 1986; Setyawan 1997; Prasetyo et al. 2001; Alkusuma dan Badayos

2003; Prasetyo et al. 2005). Gambar 3 memperlihatkan komposisi mineral liat dari

Ultisol berbahan induk batuan granit. Pada gambar tersebut kaolinit ditunjukkan

oleh puncak difraksi 7,18A, dan 3,56A. Mineral liat lainnya adalah vermikulit

Page 11: ULTISOL

dengan puncak difraksi 14,2A dan gibsit dengan puncak difraksi 4,83A. Puncak

difraksi 11A pada perlakuan pemanasan K+ hingga 550° C menunjukkan adanya

interlayer hidroksi Al.

Gambar 3.Difaktogram XRD dari Ultisol berbahan induk batuan granit (Suharta

dan Prasetyo 1986).

Ultisol merupakan tanah masam yang telah mengalami pencucian basa-

basa yang intensif dan umumnya dijumpai pada lingkungan dengan drainase baik.

Kondisi tersebut sangat menunjang untuk pembentukan mineral kaolinit. Namun,

dominasi kaolinit tersebut tidak mempunyai kontribusi yang nyata pada sifat

kimia tanah, karena kapasitas tukar kation kaolinit sangat rendah, berkisar

1,20−12,50 cmol/kg liat (Briendly et al. 1986; Prasetyo dan Gilkes 1997). Mineral

liat lainnya yang sering dijumpai adalah haloisit dan gibsit (Subagyo et al. 1986).

Adanya mineral smektit pada tanah Ultisol pernah dilaporkan oleh

Subagyo et al. (1986) pada Ultisol dari batuan gamping di daerah Tuban, Jawa

Timur dan oleh Prasetyo et al. (2000) pada Ultisol dari bahan tufa berkapur di

daerah Pametikarata, Sumba Timur. Smektit merupakan jenis mineral 2:1 yang

kehadirannya dalam tanah akan sangat menentukan sifat fisik dan kimia tanah.

Pembentukan mineral ini memerlukan lingkungan dengan pH netral dan terjadi

akumulasi basa-basa dan silika. Pada kedua jenis tanah Ultisol tersebut, smektit

berasal dari bahan induk tanah (inherited) yang terbentuk melalui proses geologi

(geogenic), bukan melalui proses pembentukan tanah (pedogenic). Smektit pada

Page 12: ULTISOL

Ultisol umumnya sedang dalam proses pelapukan, yang dicirikan oleh tingginya

Al dapat ditukar dan nilai kapasitas tukar kation yang rendah.

Teknologi pengelolaan Ultisol

Ditinjau dari luasnya, tanah Ultisol mempunyai potensi yang tinggi untuk

pengembangan pertanian lahan kering. Namun demikian, pemanfaatan tanah ini

menghadapi kendala karakteristik tanah yang dapat menghambat pertumbuhan

tanaman terutama tanaman pangan bila tidak dikelola dengan baik. Beberapa

kendala yang umum pada tanah Ultisol adalah kemasaman tanah tinggi, pH rata-

rata < 4,50, kejenuhan Al tinggi, miskin kandungan hara makro terutama P, K, Ca,

dan Mg, dan kandungan bahan organik rendah. Untuk mengatasi kendala tersebut

dapat diterapkan teknologi pengapuran, pemupukan P dan K, dan pemberian

bahan organik. Penerapan teknologi tersebut dapat meningkatkan hasil tanaman

jagung (Tabel 4).

Tabel 4. Hasil jagung pada tanah Ultisol dengan pemupukan P, pengapuran,

dan pemberian bahan organik.

a. Pengapuran

Untuk mengatasi kendala kemasaman dan kejenuhan Al yang tinggi

dapat dilakukan pengapuran. Reaksi tanah masam dengan kejenuhan Al tinggi

sudah menjadi merek dari tanah ini. Kemasaman tanah berhubungan erat

dengan kejenuhan Al, seperti yang dilaporkan oleh Abruna et al. (1975), %

kejenuhan Al = 516,10−163,97, kemasaman tanah + 12,70 (kemasaman tanah)

2 dengan r = 0,90.

Page 13: ULTISOL

Kandungan Al yang tinggi berasal dari pelapukan mineral mudah

lapuk. Kemasaman dan kejenuhan Al yang tinggi dapat dinetralisir dengan

pengapuran. Pemberian kapur bertujuan untuk meningkatkan pH tanah dari

sangat masam atau masam ke pH agak netral atau netral, serta menurunkan

kadar Al. Untuk menaikkan kadar Ca dan Mg dapat diberikan dolomit,

walaupun pemberian kapur selain meningkatkan pH tanah juga dapat

meningkatkan kadar Ca dan kejenuhan basa.

Terdapat hubungan yang sangat nyata antara takaran kapur dengan Al

dan kejenuhan Al (Sri Adiningsih dan Prihatini 1986). Pengapuran efektif

mereduksi kemasaman (Wade et al. 1986), dan pemberian kapur setara dengan

l x Aldd dapat menurunkan kejenuhan Al dari 87% menjadi < 20% (Sri

Adiningsih dan Prihatini 1986). Pada tanaman kedelai, pemberian kapur

hingga kedalaman 30 cm dapat memberikan hasil tertinggi, tetapi residu kapur

tidak mempengaruhi tinggi tanaman jagung yang ditanam setelah kedelai, dan

hanya berpengaruh pada bobot tongkol basah (Suriadikarta et al. 1987a;

1987b). Pemberian kapur dapat mengatasi masalah kemasaman tanah dan juga

menjamin tanaman dapat bertahan hidup dan berproduksi bila terjadi

kekeringan (Amien et al. 1990). Takaran kapur didasarkan pada Aldd atau

persentase kejenuhan Al, karena setiap jenis tanaman khususnya tanaman

pangan mempunyai toleransi yang berbeda terhadap kejenuhan Al (Tabel 5).

Makin besar persentase kejenuhan Al dalam tanah, makin banyak kapur yang

harus diberikan ke dalam tanah untuk mencapai pH agak netral sampai netral.

Tabel 5.Toleransi beberapa jenis tanaman terhadap kejenuhan aluminium.

Page 14: ULTISOL

Pengapuran tampaknya dapat mengatasi masalah kejenuhan Al dan

kemasaman pada tanah Ultisol. Namun di beberapa daerah seperti di

Kalimantan dan Sumatera, ketersediaan kapur relatif terbatas, dan bila tersedia

harganya belum tentu terjangkau oleh petani. Pengapuran sebaiknya hanya

dilakukan bila pH tanah di bawah 5 karena pada pH di atas 5,50, respons Al

rendah karena sudah mengendap menjadi Al (OH)3.

b. Pemupukan Fosfat dan Kalium

Pemupukan fosfat merupakan salah satu cara mengelola tanah Ultisol,

karena di samping kadar P rendah, juga terdapat unsur-unsur yang dapat

meretensi fosfat yang ditambahkan. Kekurangan P pada tanah Ultisol dapat

disebabkan oleh kandungan P dari bahan induk tanah yang memang sudah

rendah, atau kandungan P sebetulnya tinggi tetapi tidak tersedia untuk

tanaman karena diserap oleh unsur lain seperti Al dan Fe. Ultisol pada

umumnya memberikan respons yang baik terhadap pemupukan fosfat.

Penggunaan pupuk P dari TSP lebih efisien dibanding P alam (Hakim

dan Sediyarsa 1986), namun pengaruh takaran P terhadap hasil tidak nyata.

Pemberian P 200−250 ppm P2O5 pada tanah Ultisol dari Lampung dan Banten

dapat menghasilkan bahan kering 3−4 kali lebih tinggi dari perlakuan tanpa

fosfat (Sediyarsa et al. 1986). Di samping itu pengaruh residu pemupukan P

masih terlihat walaupun hasil tanaman lebih rendah dari pertanaman

sebelumnya (Sugiyono et al. 1986). Respons tanaman jagung terhadap

pemupukan P dan N pada tanah Typic Paleudults sangat tinggi karena status

kesuburan Typic Paleudults sangat rendah. Penelitian lanjutan menunjukkan

bahwa takaran pupuk P dan N untuk pertanaman jagung kedua lebih kecil dari

pertanaman pertama (Soepartini dan Sholeh 1986).

Residu pupuk P pada tanah Ultisol memberikan pengaruh yang nyata

terhadap pertumbuhan dan hasil kedelai (Suriadikarta dan Widjaja-Adhi

1986), bahkan residu P sebesar 3 x 60 kg P/ha dapat menaikkan ketersediaan P

dalam tanah dari 3,30 menjadi 10,10 ppm P2 O5 . Pupuk K dalam bentuk KCl

diberikan dengan takaran 100−130 kg KCl/ha.

Page 15: ULTISOL

c. Bahan Organik

Tanah Ultisol umumnya peka terhadap erosi serta mempunyai pori

aerasi dan indeks stabilitas rendah sehingga tanah mudah menjadi padat.

Akibatnya pertumbuhan akar tanaman terhambat karena daya tembus akar ke

dalam tanah menjadi berkurang.

Bahan organik selain dapat meningkatkan kesuburan tanah juga

mempunyai peran penting dalam memperbaiki sifat fisik tanah. Bahan organik

dapat meningkatkan agregasi tanah, memperbaiki aerasi dan perkolasi, serta

membuat struktur tanah menjadi lebih remah dan mudah diolah. Bahan

organik tanah melalui fraksi-fraksinya mempunyai pengaruh nyata terhadap

pergerakan dan pencucian hara. Asam fulvat berkorelasi positif dan nyata

dengan kadar dan jumlah ion yang tercuci, sedangkan asam humat berkorelasi

negatif dengan kadar dan jumlah ion yang tercuci (Subowo et al. 1990).

Pengelolaan bahan organik dengan penanaman Mucuna sp. selama 3

bulan dan pengembalian serasah + pupuk kandang 10 t/ha pada guludan dapat

meningkatkan pori tanah, dan pori air tersedia, serta menurunkan kepadatan

tanah (Erfandi et al. 2001). Pada Ultisol dari Sitiung, pemberian bahan organik

berupa kotoran sapi, jerami, dan Flemingia congesta dapat meningkatkan

kandungan bahan organik dan kapasitas tukar kation serta menghalangi

serapan P dan Mg dalam tanah (Nursyamsi et al. 1997). Pengelolaan tanah

dan bahan organik berupa sisa tanaman jagung, F. congesta, dan Mucuna sp.

sebagai mulsa sangat efektif mencegah erosi serta mengurangi konsentrasi

sedimen dan aliran permukaan (Kurnia et al. 2000). Pemberian berbagai jenis

dan takaran pupuk kandang (sapi, ayam, dan kambing) dapat memperbaiki

sifat fisik tanah, yaitu menurunkan bobot isi serta meningkatkan porositas

tanah dan laju permeabilitas (Adimihardja et al. 2000).

Penambahan bahan organik dari pupuk kandang maupun sisa-sisa

tanaman atau hasil penanaman seperti Mucuna sp. dan F. congesta dapat

memperbaiki sifat fisik tanah seperti pori air tersedia, indeks stabilitas agregat,

dan kepadatan tanah. Pemberian bahan organik baik dari sisa-sisa tanaman

maupun yang sengaja ditanam tidak menimbulkan masalah bagi petani, tetapi

Page 16: ULTISOL

pemberian pupuk kandang dengan takaran hingga 10 t/ha akan sangat sulit

diterapkan oleh petani.

Penyediaan bahan organik dapat pula diusahakan melalui pertanaman

lorong (alley cropping). Selain pangkasan tanaman dapat menjadi sumber

bahan organik tanah, cara ini juga dapat mengendalikan erosi. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa penanaman Flemingia sp. dapat meningkatkan pH tanah

dan kapasitas tukar kation serta menurunkan kejenuhan Al (Hafif et al. 1993;

Irianto et al. 1993; Suhardjo et al. 1997). Penerapan pola tanam tumpang gilir

di produksi dengan pemberian mulsa setiap panen pada tanah Ultisol dapat

menekan erosi pada lereng 15% hingga di bawah nilai erosi yang dapat

diabaikan (Barus et al. 1986). Pada lereng sekitar 4%, penggunaan mulsa

untuk mencegah erosi cukup baik asalkan diikuti pengelolaan tanah yang baik

pula (Suwardjo et al. 1987).

Page 17: ULTISOL

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pada umumnya Ultisol mempunyai penampang tanah yang dalam

sehingga merupakan media yang baik bagi pertumbuhan tanaman. Kecuali

Ultisol yang mempunyai horizon kandik, semua tanah Ultisol mempunyai

kapasitas tukar kation sedang hingga tinggi (> 16 cmol/kg) sehingga sangat

menunjang dalam pemupukan. Penampang tanah yang dalam dengan kapasitas

tukar kation sedang hingga tinggi menjadikan tanah Ultisol dapat

dimanfaatkan untuk berbagai jenis tanaman. Namun demikian, faktor iklim

dan relief perlu diperhatikan.

Kendala pemanfaatan tanah Ultisol untuk pengembangan pertanian

adalah kemasaman dan kejenuhan Al yang tinggi, kandungan hara dan bahan

organik rendah, dan tanah peka terhadap erosi. Berbagai kendala tersebut

dapat diatasi dengan penerapan teknologi seperti pengapuran, pemupukan, dan

pengelolaan bahan organik. Pemanfaatan tanah Ultisol untuk pengembangan

tanaman pangan lebih banyak menghadapi kendala dibandingkan dengan

untuk tanaman perkebunan. Oleh karena itu, tanah ini banyak dimanfaatkan

untuk tanaman perkebunan kelapa sawit, karet, dan hutan tanaman industri,

terutama di Sumatera dan Kalimantan.

Masalah dalam penerapan hasil-hasil penelitian pengelolaan tanah

Ultisol oleh petani adalah rendahnya pengetahuan dan sumber pembiayaan

mereka, terutama untuk pengadaan pupuk P, kapur, dan pupuk kandang.

3.2 Saran

Untuk memanfaatkan tanah Ultisol yang memiliki kemasaman tinggi,

kandungan bahan organik yang rendah, dan erodibilitas tinggi maka harus

dilakukan pengelolaan dan konservasi tanah yang baik dan benar.

Tanah-tanah Ultisol baiknya di tanami oleh tanaman-tanaman perkebunan

seperti kelapa sawit, karet, dan hutan tanaman industri.

Page 18: ULTISOL

DAFTAR PUSTAKA

http://bbsdlp.litbang.deptan.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=19:tanah-merahkuning&catid=45:klasifikasi-tanah&Itemid=151(Diakses pada 20 Februari 2010, jam 11.11 WIB)

http://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&ct=res&cd=2&ved=0CAwQFjAB&url=http%3A%2F%2Fsoil.faperta.ugm.ac.id%2Ftj%2F1981%2F1986%2520ULTISOL.pdf&rct=j&q=ultisol&ei=cHN_S7aoHo-5rAfVqoyyDw&usg=AFQjCNE4cu6dtyL1IAFyQFQEiexyFz458g (Diakses pada 20 Februari 2010, jam 10.49 WIB)

http://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&ct=res&cd=11&ved=0CCQQFjAK&url=http%3A%2F%2Fbdpunib.org%2Fjipi%2Fartikeljipi%2F2001%2F89.PDF&rct=j&q=ultisol&ei=E4h_S7rwK8yfrAfBstHPBw&usg=AFQjCNFCOGdoB3xfrdhru0qsSzCdsucwOA (Diakses pada 20 Februari 2010, jam 11.17 WIB)

http://wahyuaskari.wordpress.com/literatur/tanah-ultisol/ (Diakses pada 20 Februari 2010, jam 11.20 WIB)