UKL-UPL TPI.pdf

139
SUPLEMEN UKL – UPL DAMPAK RENCANA PEMBANGUNAN TPI BUNGKU TERHADAP EKOSISTEM MANGROVE

Transcript of UKL-UPL TPI.pdf

  • SUPLEMEN UKL UPL

    DAMPAK RENCANA PEMBANGUNAN

    TPI BUNGKU TERHADAP EKOSISTEM

    MANGROVE

  • KATA PENGANTAR

    Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas bimbingan dan rahmat-Nya sehingga penyusunan suplemen UKL-UPL dampak pembangunan TPI Bungku terhadap

    ekosistem mangrove ini dapat selesai sebagaimana harapan kita bersama. Kami menyadari

    bahwa dalam penyajian suplemen UKL-UPL ini masih perlu penyempurnaan yang paripurna

    sehingga resiko dampak yang ditimbulkan dari rencana pembangunan TPI Bungku terhadap

    ekosistem mangrove dapat diperkecil dan tertangani dengan baik dan benar.

    Olehnya itu kami sangat membutuhkan saran dan masukan yang konstruktif serta

    penyempurnaan atas kemungkiinan adanya kekeliruan dalam penulisan suplemen ini dari

    berbagai pihak, bagi rampungnya dokumen suplemen UKL-UPL TPI Bungku yang

    komprehensif. Kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan suplemen ini

    khususnya Tim Kerja Penyusunan Suplemen UKL-UPL TPI Bungku saya mengucapkan

    penghargaan dan terima kasih yang setinggi-tingginya atas upaya dan dedikasi kita sekalian

    dalam menyelesaikan suplemen ini.

    Harapan kami, laporan ini akan sangat bermanfaat bagi Tim Kerja, PMU dan PIU-USDRP

    Morowali dalam proses pemantauan dan pengelolaan lingkungan baik pra-konstruksi,

    konstruksi dan pasca-konstruksi pembangunan TPI Bungku.

    Tim Penyusun

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1.Latar Belakang

    Rencana kegiatan pembangunan TPI Bungku selain akan memberikan manfaat positif

    secara ekonomi bagi masyarakat nelayan dan Pemda Morowali, juga perlu

    memperhatikan aspek kelayakan lingkungan mengingat lokasinya yang berada di

    kawasan perkotaan dan masih ditumbuhi tanaman bakau (mangrove). Keberadaan

    mangrove memiliki nilai ekologi, ekonomi dan sosial sangat penting bagi ekosistem

    mangrove, padang lamun dan terumbu karang. Untuk itu perlu dikelola dan dilindungi

    keberadaannya mengacu kepada UU No.5 Tahun 1990, UU No,27 Tahun 2007, RAMSAR

    Convention, dan ketentuan Bank Dunia mengenai sumber daya alami (Natural Habitat)

    (lihat di OP.04. Natural Habitat di www.worldbank.org).

    Dokumen UKL-UPL belum secara komprehensif mengkaji dampak pembangunan TPI

    Bungku terhadap keberadaan ekosistem mangrove, satwa langka, biota laut dan sebaran

    terumbu karang di sekitar lokasi TPI, dan timbulnya abrasi pantai. Selain itu kajian

    prasarana lingkungan seperti pembuatan sistem saluran pembuangan limbah dan

    saluran drainase juga belum dilakukan secara komprehensif. Olehnya itu diperlukan

    suplemen UKL-UPL untuk melengkapi kajian yang belum termuat di dalam dokumen UKL-

    UPL, sehingga kemungkinan terjadinya berbagai dampak negatif dengan adanya

    pembangunan TPI Bungku dapat terkelola dengan baik dan benar. Berdasarkan hasil

    kunjungan lapangan yang dilakukan pada misi supervisi Bank Dunia, rencana lokasi

    pembangunan TPI Bungku sudah pada tahap kegiatan pematangan lahan dan hasil

    koordinasi dengan SKPD terkait lokasi tersebut berada pada Area Penggunaan Lain

    (APL) sesuai dengan Peta Kawasan Hutan dan Perairan Kabupaten Morowali SK.Menhut

    No.575 tahun 1999.

    1.2. Landasan Hukum

    1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati

    dan Ekosistemnya (pasal 8 jo pasal 27 Keppres Nomor 32 Tahun 1990 tentang

    Pengelolaan Kawasan Lindung

    2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Pokok Pokok Kesehatan

    3. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (pasal 43)

    4. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan

    Beracun

    5. Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian dan/atau

    Pengrusakan Laut (pasal 8)

    6. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 05 Tahun 2000 tentang Penyusunan

    AMDAL Kegiatan Pembangunan di Daerah Lahan Basah

    7. Undang-undang Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan

  • Pengendalian Pencemaran Air

    8. Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir

    9. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah

    10. Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan

    dan Satwa

    11. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang

    Pengendalian Pencemaran Udara.

    12. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 45/PRT/M/2007 tentang Pedoman

    Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara

    13. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 50 Tahun 1996 Tentang Baku

    Tingkat Kebauan.

    14. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku

    dan Penentuan Kerusakan Mangrove

    15. Surat Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor : 47 Tahun

    2001, Tentang Pedoman Pengukuran Kondisi Terumbu Karang.

    16. Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Sulawesi Tengah Tahun 2009 (masih dalam

    tahap pembahasan di daerah)

    17. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Morowali Tahun 2003 - 2013

    18. Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kota Bungku Tahun 2006 - 2016

    19. RAMSAR Convention of Wetland Tahun 1971

    20. Ketentuan Bank Dunia tentang Natural Habitat (op. 4.04 Natural Habitat) untuk kajian

    dan pengelolaan mangrove, biota laut, terumbu karang, dan satwa langka.

    1.2. Maksud dan Tujuan

    Maksud dan Tujuan penyusunan Suplemen UKL-UPL untuk masing-masing kajian yang

    dilakukan adalah sebagai berikut :

    1. Melakukan kajian tentang keberadaan ekosistem mangrove dan satwa langka lainnya

    di lokasi TPI Bungku.

    2. Melakukan kajian tentang keberadaan biota laut dan sebaran terumbu karang/padang

    lamun di sekitar lokasi TPI Bungku.

    3. Melakukan kajian tentang sistem drainase dan sistem pembuangan limbah di sekitar

    lokasi TPI Bungku.

    4. Melakukan kajian dampak pada tahapan pra-konstruksi, konstruksi dan pasca-

    konstruksi pembangunan TPI Bungku terhadap ekosistem mangrove, biota laut, satwa

    langka, terumbu karang/padang lamun, abrasi pantai dan sistem drainase serta

    pembuangan limbah.

    1.4. Kegunaan Studi

    1. Sebagai pedoman dalam pengelolaan lingkungan pembangunan TPI Bungku secara

    berkelanjutan dan berjangka panjang bagi keberadaan ekosistem mangrove, satwa

    langka, terumbu karang, padang lamun dan sistem pembuangan limbah serta saluran

    drainase TPI Bungku.

  • 2. Untuk memenuhi dan menyempurnakan rekomendasi dokumen UKL-UPL TPI Bungku

    1.5. Wilayah Studi

    1.5.1. Batas wilayah Administratif

    Wilayah study berada di Wialayh Administrasi Pemerintahan Kelurahan Matano,

    Kecamatan Bungku Tengah, Kabupaten Morowali Propinsi Sulawesi Tengah. Batas

    Wilayah lokasi TPI Menempati areal sisi barat laut Dermaga Bungku (eksisting) seluas

    10.997 M2, Dengan batas-batas areal lokasi sebagai berikut :

    Sebelah Utara : Permukiman penduduk

    Sebelah Timur : Perairan Teluk Tolo

    Sebelah Selatan : Dermaga Bungku dan Permukiman penduduk

    Sebelah Barat : Pasar Tradisional Bungku dan Permukiman penduduk

    Jarak lokasi TPI Dengan Kota Bungku sekitar 0,5 Km, waktu tempuh ke ke lokasi 5 Menit

    dari Kota Bungku dan Pusat pemerintahan/Kantor Bupati 10 Menit. Jarak lokasi Areal

    lokasi Pembangunan TPI dari tepi pantai/Garis pantai 150 M

    1.5.2. Kondisi Area

    Sesuai dengan kajian Tim Kerja yang dibentuk berdasarkan SK. PMU, untuk Suplemen

    UKL/UPL menunjukkan bahwa status wilayah study ;

    1) Sesuai dengan Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) Provinsi Sulawesi Tengah

    berdasarkan SK, Menteri Kehutanan No. 575 Tahun 1999 areal lokasi yang dimaksud

    Adalah status Areal Penggunaan Lain (APL).

    2) Sesuai dengan Peta Hutan dan Perairan Kabupaten Morowali areal lokasi yang

    dimaksud adalah status Areal Penggunaan Lain (APL).

    3) Sesuai dengan Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK).tahun 2003-

    2013 Areal yang dimaksud adalah wilayah peruntukan Kawasan perdagangan dan

    Industri

    4) Sesuai dengan Peta Detil Tata Ruang Kota Bungku adalah 2006-2016 kawasan

    Pengembangan Perdagangan dan indutri, Permukiman penduduk.

    Maka berdasarkan hal-hal tersebut diatas hasil kajian ini menunjukkan bahwa Areal lokasi

    pembangunan TPI Bungku Kecamatan Bungku Tengah Kabupaten Morowali Propinsi

    Sulawesi Tengah bukan Areal Kawasan Hutan atau Kawasan Konservasi yang dilindungi.

    1.6. Identitas dan Susunan Tim Penyusun

    Sesuai Surat Keputusan Ketua PMU-USDRP Morowali Nomor 188.45/84/PMU-

    USDRP/V/2011 tentang Pembentukan Tim Kerja Penyusunan Suplemen Dokumen UKL-UPL

    TPI Bungku yang susunan keanggotaannya adalah sebagai berikut :

    1. KOORDINATOR : Drs. YULIZAR Nip. 19570310 199103 1 003

  • (Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali)

    2. ANGGOTA : I KADEK WISNUADA,S.Hut Nip.197412052002121004

    (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Morowali)

    RAMLAN, ST, M.Si. Nip.

    (Dinas Kelautan dan Perikanan Morowali)

    ANWAR SAIMU, ST Nip. 19740115 200110 1 006

    (Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali)

    HENGKY F. PADANG, ST Nip.

    (Dinas Pekerjaan Umum Daerah Morowali)

    ARIFUDIN, SE Nip. 19730210 200701 1 023

    (Bappeda Kabupaten Morowali)

    Peta-peta yang diperlukan terdiri dari ; Peta Kawasan Hutan dan Perairan (APL)

    Kab.Morowali, Rencana Tata Ruang Wilayah Kab.Morowali (terlampir)

  • BAB II

    RENCANA KEGIATAN

    2.1. Rencana Kegiatan Tahap Pra-Konstruksi

    Pada tahap pra-konstruksi akan dilakukan kegiatan sosialisasi rencana usaha dan/atau

    kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku sehingga rencana kegiatan/usaha pada

    tahapan ini tidak menimbulkan dampak besar dan penting secara spesifik terhadap

    komponen lingkungan Geo-Fisik Kimia (abrasi pantai) dan komponen lingkungan biologi

    yang terdiri vegetasi mangrove, terumbu karang, biota laut dan satwa langka.

    Pada tahapan ini hanya menimbulkan dampak terhadap komponen lingkungan sosial

    ekonomi dan budaya yang meliputi keresahan pedagang, perubahan sikap dan presepsi

    masyarakat atas rencana pembangunan TPI.

    2.2. Rencana Kegiatan Tahap Konstruksi

    Ditahapan konstruksi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern

    Bungku terdiri dari :

    1. Pembangunan dan pengoperasian base camp

    2. Pembukaan dan pematangan lahan

    3. Konstruksi fisik TPI berikut sarana dan prasarana pendukungnya yang terdiri dari :

    a. Pembangunan mushollah

    b. Pembangunan tempat wudhu dan kamar mandi/wc

    c. Pembangunan kantor pengelola

    d. Pembangunan gedung cold storage

    e. Pembangunan gedung TPI

    f. Pembangunan gudang TPI

    g. Pembangunan lantai penjemuran

    h. Pembangunan warung dan toko

    i. Pembangunan kamar mandi/wc umum

    j. Pembangunan rumah genset

    k. Pembangunan tower air

    l. Pembangunan stasiun pompa bahan bakar

    m.Pembangunan jalan lingkungan

    n. Pembangunan sistem drainase tertutup

    o. Pembangunan IPAL

    p. Pembangunan kolam/dermaga

    q. Pembangunan kanal

    r. Pembangunan pagar TPI

    s. Pembangunan taman dan landscape TPI

  • 4. Mobilisasi material dan alat berat

    5. Penerimaan tenaga kerja dan terbukanya kesempatan kerja

    6. Penanaman kembali mangrove/revegetasi

    Rencana kegiatan/usaha pada tahapan ini menimbulkan dampak besar dan penting

    secara spesifik terhadap komponen lingkungan Geo-Fisik Kimia (abrasi pantai) akibat

    terjadinya perubahan bentang alam di pesisir pantai yang dilalui alat berat serta material

    pengerukan jalur kanal dan kolam. Sedangkan komponen lingkungan biologi yang

    terganggu terdiri dari vegetasi mangrove, terumbu karang, biota laut dan satwa langka,

    akibat dari aktifitas mobilisasi material dan alat berat serta aktifitas pembangunan sarana

    dan prasarana fisik TPI. Terhadap komponen lingkungan sosial ekonomi dan budaya

    terjadi keresahan pedagang, perubahan sikap dan presepsi masyarakat. Untuk komponen

    kesehatan lingkungan dan masyarakat terjadinya gangguan kesehatan masyarakat

    sekitar dan keselamatan kerja seluruh komponen yang terlibat dalam proses konstruksi

    TPI.

    2.3. Rencana Kegiatan Tahap Pasca-Konstruksi

    Rencana kegiatan pada tahapan pasca-konstruksi adalah meliputi :

    1. Kegiatan operasional dan pemeliharaan TPI Modern Bungku

    2. Kegiatan operasional dan pemeliharaan IPAL TPI Modern Bungku

    3. Kegiatan operasional dan pemeliharaan rumah genset TPI Modern Bungku

    4. Kegiatan operasional dan pemeliharaan sarana dan prasarana TPI Modern Bungku

    5. Kegiatan operasional dan pemeliharaan jalan ruas di sekitar TPI Modern Bungku

    6. Kegiatan penerimaan tenaga kerja oleh Badan Pengelola TPI Modern Bungku

    7. Kegiatan penyediaan barang kebutuhan kapal penangkap ikan yang beroperasi di TPI

    Modern Bungku

    8. Kegiatan pembayaran kewajiban pelaku TPI Modern Bungku

    Rencana kegiatan/usaha pada tahapan ini menimbulkan dampak besar dan penting

    secara spesifik terhadap komponen lingkungan Geo-Fisik Kimia (abrasi pantai) akibat

    terjadinya perubahan bentang alam daerah pesisir pantai yang menjadi kanal TPI Bungku.

    Terganggunya komponen lingkungan biologi yang terdiri dari vegetasi mangrove, terumbu

    karang, biota laut dan satwa langka akibat dari aktifitas kegiatan operasional dan

    pemeliharaan sarana dan prasarana TPI Bungku. Sedangkan terganggunya komponen

    lingkungan sosial ekonomi dan budaya meliputi keresahan pencari kerja, perubahan sikap

    dan presepsi masyarakat, kewajiban para pelaku/pengguna fasilitas TPI, ketersediaan

    barang kebutuhan kapal penangkap ikan dan kurang sempurnanya penanganan

    operasional serta pemeliharaan sarpras TPI. Terhadap komponen kesehatan lingkungan

    dan masyarakat meliputi terjadinya penurunan nilai estetika akibat penyebaran dan

    penumpukan sampah secara serampangan yang mengganggu kenyamanan dan kerapian

    lingkungan.

  • BAB III

    RONA LINGKUNGAN

    Rona lingkungan meiputi : komponen lingkungan Geo-Fisik Kimia, lingkungan biologi,

    komponen sosial ekonomi dan budaya serta komponen kesehatan lingkungan dan

    masyarakat

    3.1. Komponen Lingkungan Geo-Fisik Kimia

    3.1.1. Iklim

    Menurut data Stasiun Meteorologi BMG Poso Tahun 1996-2006. Khusus data hari hujan

    dan curah hujan di lokasi TPI diperoleh Stasiun Pengamatan PPL Kecamatan Bungku

    Tengah Tahun 2005 sebagai berikut :

    a. Curah Hujan Dan Tipe Iklim

    Hari hujan tercatat hari hujan rata-rata setiap bulan 11 hari dengan curah hujan sebesar

    135 mm. Hari hujan tertinggi bulan Mei, Juli dan Agustus yaitu 15 hari dan hari hujan

    terendah bulan Maret dan September yaitu 15 hari. Curah hujan tertinggi pada bulan Mei

    yaitu sebesar 311 mm dan curah hujan terendah pada bulan Desember yaitu sebesar 31

    mm. Menurut klasifikasi iklim Koppen (dalam Schmitt dan Forguson, 1951) lokasi studi

    tergolong pada tipe iklim Af (hujan tropik basah) yang dicirikan oleh curah hujan bulanan

    terkering >60 mm dan suhu rata-rata bulanan >18C, areal studi masuk klasifikasi iklim

    tipe A yang dicirikan oleh 0-1 bulan kering, dengan curah hujan 200 mm/bln, areal studi mempunyai pola

    curah hujan yang merata sepanjang tahun tanpa adanya bulan relatif kering yang jelas.

    b. Temperatur Udara

    Temperatur udara di areal studi relatif tinggi dengan ketinggian tempat 0-50 m dpl. Suhu

    udara rata-rata bulanan 25,50C, rata-rata suhu udara maksimum berkisar 29,3-31,90C

    dan rata-rata suhu udara minimum berkisar 22,6-23,30C. Suhu maksimum mencapai

    32,70C terjadi pada bulan Maret dan Nopember dan suhu minimum sebesar 22,60C

    terjadi pada bulan Januari.

    c. Kelembaban Dan Lama Penyinaran Matahari

    Kelembaban udara relatif pada areal studi, relatif tinggi yang polanya hampir merata

    sepanjang tahun. Kelembaban udara relatif rata-rata tahunan 85,3%, tertinggi 93% pada

    bulan Juni dan terendah 80% yang terjadi pada bulan Agustus. Lama penyinaran

    matahari penuh dihitung selama 12 jam, yaitu dari jam 06.00-18.00 yang setara dengan

    100%. Lama penyinaran matahari rata-rata bulanan adalah 80,5%, penyinaran matahari

    tertinggi 89,4% terjadi pada bulan Februari dan terendah 75,3% pada bulan Juli.

  • d. Arah Dan Kecepatan Angin

    Kecepatan angin bulanan pada lokasi studi rata-rata 5,5 knot, dengan kecepatan

    maksimum 7,3 knot dan minimum 4,6 knot. Arah angin terbanyak adalah arah Tenggara

    yang terjadi selama 7 bulan dari bulan Mei sampai bulan November, disusul arah Barat

    yang terjadi selama 3 bulan yaitu pada bulan Desember, Maret dan April dan arah Utara

    terjadi selama 2 bulan yaitu pada bulan Januari dan Februari.

    3.1.2. Morfologi Dan Bentuk Wilayah

    a. Morfologi Daerah Studi

    Daerah Bungku dan sebahagian besar wilayah di bagian Timur Kabupaten Morowali

    memiliki morfologi yang relatif homogen, yaitu berupa dataran rendah dengan topografi

    datar hingga hampir rata dengan ketinggian 0 9 m dari permukaan laut. Daerah yang

    menempati bagian Barat memiliki topografi rendah/landai (kemiringan 215%).

    b. Fisiografi Dan Bentuk Wilayah

    Daerah Bungku merupakan daerah dengan ketinggian dominan 3,1 m dari permukaan

    laut dan kemiringan lereng 215% yang cenderung datar dan landai yang memungkinkan

    untuk pengembangan kota. Namun sebagian lagi mempunyai bentuk morfologi yang

    berbukit dan bergelombang, yang terletak pada ketinggian 59 m dari permukaan laut

    dengan kemiringan 1540%. Morfologi bergelombang ini merupakan daerah pergunungan

    dan lebih diprioritaskan sebagai kawasan konservasi. Gambaran mengenai morfologi

    lokasi studi dapat dilihat pada Peta Topografi dalam Gambar 1.

    3.1.3. Geologi Dan Batuan Induk

    Formasi geologi yang terdapat di daerah Bungku sebagai pembentuk struktur batuan di

    wilayah Bungku antara lain dari :

    Kompleks Ultramafik (Ku) berumur Kapur berupa batuan harzburgit, herzolit, wehrlit, websterit, serpentinit, dunit, diabas dan gabro. Kelompok batuan ini dijumpai di sebelah

    barat, memanjang utara-selatan.

    Formasi Matano (Km) yang juga berumur Kapur berupa blok batuan di sebelah barat-barat laut Bungku, terdiri dari kalsilutit, napal dan serpih dengan sisipan rijang

    radiolaria.

    Formasi Salodik (Tems) berumur Eosen-Miosen Tengah yang tersusun oleh kalsilutit, batugamping pasiran, napal, batupasir dan sisipan rijang. Kelompok batuan ini

    menempati bagian tengah dan mendominasi batuan di daerah Bungku dan sekitarnya.

    Formasi Pandua (Tmpp) berumur Miosen Akhir Pliosen, yang terdiri dari konglomerat, batupasir dan batulempung dan menempati daerah Bungku dan menyebar ke selatan

    sepanjang pantai Bungku, juga di bagian selatan berupa blok batuan terpisah, juga di

    daerah pantai.

    Dari hasil pengamatan lapangan, fisiografi wilayah Bungku secara garis besar dapat

    dikelompokkan menjadi dua kelompok utama, yakni Dataran Rendah dan Perbukitan.

  • a. Dataran Rendah

    Dari aspek morfogenetik bentuk lahan dataran rendah di daerah Bungku dan sekitarnya

    disusun oleh batuan dari Formasi Pandua berupa konglomerat dan batuan sedimen

    klastik halus. Resistensi rendah dengan proses denudasi yang kuat membentuk wilayah

    pedataran dekat pantai. Pembentukannya sangat kuat dipengaruhi oleh faktor eksternal

    berupa pelapukan dan erosi yang kuat.

    b. Perbukitan

    Bahan induk kelompok perbukitan adalah batuan dari Kompleks Ultramafik, Formasi

    Matano, Formasi Salodik dan Formasi Pandua dengan tingkat resistensi batuan yang

    lebih kuat serta proses endogen kuat yang membentuk fisiografi akibat tektonisme.

    Proses endogen dan eksogen mengubah bentuk awal menjadi perbukitan yaitu melalui

    proses pengangkatan, erosi, gradasi, deposisi dan pergerakan massa, sehingga terbentuk

    morfologi perbukitan dengan amplitude kurang dari 200 m dibanding daerah sekitarnya

    dan membentuk bukit-bukit kecil dengan pola acak. Variasinya ke dalam bentuk lahan

    ditentukan oleh kemiringan lereng. Bentuk-bentuk lahan yang tergolong kedalam

    kelompok perbukitan di daerah Bungku adalah perbukitan pola acak berlereng 8-15%,

    berlereng 15-25%, berlereng25-40% dan lebih dari 40%. Penyebaran formasi geologi

    yang melingkupi lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan pembangunan TPI Modern

    Bungku.

    3.1.4. Hidrooseanografi

    a. Topografi Dasar Laut (Bathimetri)

    Batimetri di perairan Teluk Tolo pantai sekitar lokasi studi berkisar antara 510 m. Dari

    peta batimetri Dinas Hidrooseonografi TNI Angkatan Laut, topografi dasar laut di perairan

    Teluk Tolo mempunyai kedalaman diatas 20 m sehingga cukup aman untuk dilayari dan

    beroperasinya kapal penumpang maupun barang. Walaupun demikian, di perairan dekat

    lokasi rencana usaha atau kegiatan masih perlu diwaspadai adanya karang-karang

    dangkal yang mempunyai kedalaman 3,0 LWS.

    b. Pasang Surut

    Jenis pasang surut yang dijumpai merupakan pasang surut campuran yang bahkan

    cenderung ganda, yang terjadi dua kali sehari. Menurut Triatmojo, jenis pasang surut

    yang ada adalah pasang surut condong harian ganda. Kisaran pasang surut maksimal

    dan minimal terukur 90 cm. Dari hasil perhitungan bilangan Formzahl (F), diperoleh

    bahwa nilai F di perairan ini antara 0,80-1,082. Hasil ini menunjukkan bahwa tipe pasang

    surut diperairan sekitar Teluk Tolo adalah campuran cenderung harian ganda (semi

    diurnal). Kisaran pasang surut antara muka air tertinggi dan muka air terendah adalah

    sebesar 90 cm.

  • c. Arus

    Pola arus Laut Teluk Tolo di beberapa lokasi perairan Kabupaten Morowali adalah berupa

    arus susur, pengalihan massa air yang menuju pantai dan momentum selama penjalaran

    menimbulkan arus di kawasan depat pantai. Pada beberapa kawasan yang dilintasi

    memiliki kecepatan antara 0,02 s/d 0,1 m/detik. Pola pergerakan arus yang terjadi pada

    umumnya dominan arah Utara dan Baratlaut menuju ke Selatan dan Baratdaya. Pada

    musim Timur kecepatan arus menurun karena arah angin yang bertiup dari arah

    Tenggara dan Selatan, sehingga arus oleh angin yang berasal dari Laut Jawa akan

    dibelokkan ke arah inner zone perairan Teluk Tolo. Pada musim barat arus dari Teluk

    Tolo bertemu dengan arus yang bergerak dari Laut Jawa sehingga terjadi arus putar di

    sekitar perairan Teluk Tolo bagian Selatan (Lemsaa, 2000).

    d. Angin

    Data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Morowali, diketahui bahwa musim

    peralihan yakni dari Timur ke Barat menunjukkan bahwa arah datangnya angin dominan

    dari Utara dengan persentase 26,6% diikuti dari Baratlaut, Barat dan Tenggara sebanyak

    20% dan dari Timur 13,3%. Hal itu disebabkan pola angin yang mengalami perubahan

    dari musim Timur yang didominasi oleh angin dari Timur menuju musim Barat. Secara

    keseluruhan tiap tahun angin yang bertiup lebih didominasi dari Barat, Baratlaut dan

    Utara,

    dibanding dari Timur, Timurlaut, Tenggara, apalagi dari Selatan yang hampir tidak

    menunjukkan adanya angin.

    e. Gelombang Laut

    Prosentase gelombang di Teluk Tolo didominasi dari arah Barat dibanding dari arah

    lainnya. Dinamika ombak tersebut secara tidak langsung berpengaruh terhadap

    gelombang ke arah pantai. Menurut Triatmojo,1999 di daerah pantai sering terjadi refraksi

    gelombang yang disebabkan oleh perubahan kedalaman laut dan keberadaan tanjung.

    Frekuensi kejadian gelombang musim barat dominan dari Timur (2,6- 10,4%) dan Utara

    (4,7-7,9%) dengan tinggi gelombang signifikan (Hs) dominan antara 0-0,5 meter. Selama

    musim timur, gelombang juga dominan dari Utara dengan frekuesi kejadian 3,8-6,6% dan

    dari Timur dengan frekuensi kejadian 3,7-7%. Frekuensi kejadian gelombang selama

    musim barat lebih besar dibandingkan dengan musim timur, namun demikian ternyata

    kondisi "calm" lebih dominan lagi yaitu dengan frekuensi kejadian 77,7-87,3%.

    3.1.5. Hidrologi

    a. Air Permukaan

    Sumber air permukaan di daerah Bungku Tengah yang melingkupi lokasi studi berasal

    dari aliran air sungai yang melintasi wilayah Kecamatan ini dengan sungai utama yaitu

    Sungai Matauso. Sungai ini mengalir dari Barat atau dari perbukitan ke arah Timur dan

    akhirnya bermuara di Teluk Tolo dengan panjang sungai 18 Km. Selain itu juga terdapat

    beberapa sungai lainnya yang merupakan salah satu potensi yang dimiliki Kecamatan

  • Bungku Tengah dan dimanfaatkan sebagai sumber air baku untuk pengelolaan air bersih

    dan untuk pengairan/irigasi sawah penduduk. Sumber air baku yang berasal dari air

    permukaan Sungai Matauso mempunyai daya dukung debit air yang semakin menurun

    terutama di musim kemarau. Kapasitas air baku yang dapat diambil melalui intake yang

    terpasang di sungai tersebut sangat bervariasi tergantung dari kondisi iklim. Disamping itu

    juga terdapat penggunaan air yang besumber dari air tanah dangkal (sumur terbuka).

    b. Air Tanah Dalam

    Selain air permukaan, sumber air lainnya yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat

    Bungku Tengah secara keseluruhan adalah air tanah dalam. Data tentang air tanah dalam

    terutama tentang kemampuan produksi serta kualitas airnya yang layak untuk

    dikembangkan, hanya dapat diketahui melalui penelitian terhadap kondisi geografis dan

    hidrogeologis wilayah bersangkutan. Dari informasi Hidrologi diketahui bahwa kondisi air

    tanah di wilayah Kecamatan Bungku Tengah adalah sebagai berikut :

    Daerah sekitar pantai, kondisi air tanahnya tidak layak konsumsi (air tanah asin).

    Daerah bagian atas yang dibatasi oleh rute Jalan Poros Palu Kendari, kondisi air

    tanahnya cukup layak untuk dikembangkan dan dikonsumsi terutama di kawasan yang

    memiliki kawasan lahan hijau (hutan).

    Sumber air tanah tersebut dapat berupa sumur terbuka, atau mata air seperti yang

    dijumpai di Desa Bungi. Daerah bagian atas yang telah dimanfaatkan secara maksimal

    sebagai lahan perumahan dapat memperoleh air tanah dengan menggunakan sumur bor

    dengan kedalaman yang bervariasi tergantung ketinggian permukaan tanah dan kondisi

    vegetasi sekitarnya.

    3.1.6. Kualitas Air

    a. Sifat Fisika Air

    i.) Warna, Kebauan Dan Rasa

    Hasil pengamatan dan analisis pada 3 (tiga) lokasi pengambilan sampel air Laut Teluk

    Tolo di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan, menunjukkan baik warna,

    kebauan dan rasa air secara organoleptif memberikan gambaran yang baik, masing-

    masing terlihat jernih, tidak berbau dan tidak berasa (normal). Lokasi studi masih bersih

    dari benda-benda terapung, walaupun ada benda terapung masih merupakan benda-

    benda alami yang berasal dari perairan itu sendiri dan tidak bersifat berbahaya dengan

    jumlah yang sedikit. Hasil analisis kebauan memenuhi baku mutu air laut untuk perairan

    pelabuhan berdasarkan Lampiran I Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup

    Nomor 51 Tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut, yaitu alami atau tidak berbau.

    Hasil analisis bau pada air tanah/sumur dangkal di lokasi rencana pembangunan TPI

    Modern Bungku atau di lokasi sekitar dermaga Bungku eksisting masing-masing adalah

    tidak berbau atau alami, memenuhi persyaratan kualitas air minum berdasarkan Lampiran

    1 Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 907/MENKES/SK/VII/2002,

    Tentang Syarat-Syarat Dan Pengawasan Kualitas Air Minum, yaitu alami atau tidak

    berbau. Analisa warna pada air tanah/sumur masing-masing di bawah baku mutu yang

  • ditetapkan yaitu 50 Pt-Co. Analisa rasa pada air tanah/sumur masing-masing adalah tidak

    berasa, memenuhi bawah baku mutu yaitu tidak berasa.

    ii.) Zat Padat Tersuspensi (TSS)

    TSS dapat terdiri dari partikel organik, anorganik atau campurannya. Tingginya nilai TSS

    dalam suatu perairan dapat mempengaruhi kehidupan organisme yang hidup di perairan

    tersebut, terutama jenis Benthos dan Ikan. Hasil pengukuran TSS air Laut Teluk Tolo

    pada stasiun 1 terukur 13 mg/l, stasiun 2 terukur 12 mg/l dan pada stasiun 3 terukur 10

    mg/l, masih di bawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 80 mg/l.

    iii.) Zat Padat Terlarut (TDS)

    Hasil pengukuran TDS pada pada air tanah/sumur stasiun 1 terukur 368 mg/l dan pada

    stasiun 2 terukur 625 mg/l. Kadar TDS untuk ke-dua lokasi pengambilan sampel air tanah

    ini di bawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 1500 mg/l.

    iv.) Kekeruhan

    Kekeruhan air umumnya dipengaruhi oleh nilai padatan tersuspensi, semakin tinggi

    kandungan padatan tersuspensi semakin tinggi pula kekeruhan dan semakin rendah

    tingkat kecerahan perairan. Hasil analisa kekeruhan pada air tanah/sumur stasiun 1

    terukur 3 NTU dan pada stasiun 2 terukur 3,5 NTU, masih di bawah baku mutu yang

    ditetapkan, yaitu 25 NTU.

    v.) Kecerahan

    Hasil pengukuran kecerahan air Laut Teluk Tolo pada ke-tiga stasiun pengambilan

    sampel adalah terlihat dasar, masing-masing memenuhi baku mutu yang ditetapkan yaitu

    22 m.

    vi.) Lapisan Minyak

    Hasil pengukuran lapisan minyak pada air Laut Teluk Tolo dari 3 stasiun pengambilan

    sampel terukur negatif/nihil, memenuhi baku mutu yang ditetapkan yaitu nihil.

    vii.) Suhu

    Suhu merupakan indikator yang penting untuk menentukan efek selanjutnya terhadap nilai

    parameter air lainnya, seperti mempercepat terjadinya rekasi kimia, reduksi kelarutan gas-

    gas dalam air atau dapat memperbesar bau atau rasa. Suhu alami untuk perairan tropis

    yang layak untuk kehidupan organisme berkisar antara 25-32C. Hasil pengukuran suhu

    udara di lokasi studi berkisar antara 2635C dengan rata-rata 29C sedangkan hasil

    pengukuran suhu air Laut Teluk Tolo secara langsung di lapangan pada stasiun 1, 2 dan

    3 terukur 29C, memenuhi mutu yang ditetapkan yaitu 28-32C. Hal ini menunjukkan suhu

    air di lokasi studi tergolong baik dan berada di dalam kisaran suhu air normal yang

    umumnya terdapat di wilayah perairan. Hasil pengukuran suhu air tanah/sumur pada

  • stasiun 1 dan 2 terukur 27C, juga memenuhi di bawah baku mutu yang ditetapkan yaitu

    26-32C.

    b. Sifat Kimia Air

    Dari hasil analisa parameter kualitas kimia air yang terdapat di lokasi rencana usaha,

    secara umum diketahui kondisi perairan di lokasi studi masih dalam keadaan baik, masih

    memiliki kadar yang jauh di bawah standar nilai baku mutu yang telah ditetapkan oleh

    pemerintah. Parameter kualitas kimia tersebut meliputi :

    i.) Derajat Keasaman

    Derajat keasaman (pH) air dapat memberikan gambaran tentang keseimbangan asam

    dan basa yang secara mutlak ditentukan oleh besarnya konsentrasi ion hidrogen (H+)

    yang dalam perairan. Perairan laut umumnya mempunyai pH berkisar antara 6,5-9,0.

    Derajat keasaman sangat penting dalam menentukan nilai guna perairan untuk kehidupan

    organisme dan keperluan lainnya, umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti

    aktifitas fotosintesa, suhu dan adanya anion kation. Berubahnya nilai pH menimbulkan

    perubahan terhadap keseimbangan kandungan karbon dioksida, bikarbonat dan karbonat

    di dalam air. Ikan dan biota akuatik lainnya masih dapat mentoleransi lingkungan perairan

    yang mempunyai nilai pH antara 4,011,0 (Jones, 1964 dan Swingle, 1968). Derajat

    keasaman (pH) yang ideal untuk kehidupan akuatik adalah berkisar 6,58,5 (NTAC, 1964

    dan Swingle, 1968). Hasil pengukuran pH air Laut Teluk Tolo pada stasiun 1 terukur 7,6

    dan pada stasiun 2 dan 3 terukur 7,5 untuk ke-tiga lokasi pengambilan sampel pH

    memenuhi baku mutu yang ditetapkan yaitu 7-8,5. Hal ini memberikan gambaran bahwa

    kondisi perairan tersebut tergolong baik atau netral. Hasil pengukuran pH air tanah/sumur

    pada stasiun 1 terukur 7,5 dan pada stasiun 2 terukur 7,0 untuk ke-dua lokasi

    pengambilan sampel air tanah ini memenuhi baku mutu yang ditetapkan yaitu 6,5-9,0.

    ii.) Salinitas

    Hasil pengukuran salinitas air Laut Teluk Tolo pada stasiun 1, 2 dan 3 masing-masing

    terukur 29o/oo, memenuhi baku mutu yang ditetapkan yaitu alami.

    iii.) Amoniak Total (NH3-N)

    Amoniak total merupakan salah satu bentuk senyawa Nitrogen yang dijumpai dalam

    badan air sebagai senyawa tereduksi, dalam air senyawa ini dapat berada dalam bentuk

    senyawa NH3 atau NH4. Amoniak merupakan hasil utama penguraian protein dalam

    keadaan an-aerobik dan bersifat toksik terhadap organisme perairan, kandungan amoniak

    yang meningkat dapat disebabkan oleh adanya kegiatan rumah tangga, pertanian dan

    industri. Beberapa literatur menganjurkan bahwa kandungan amoniak sebaiknya tidak

    melebihi 1,5 mg/l. Analisis amoniak total (NH3-N) air Laut Teluk Tolo pada stasiun 1, 3

    dan 3 terukur

  • iv.) Logam Berat Terlarut

    Logam-logam berat dalam air laut secara alami umumnya terdapat dalam jumlah yang

    rendah, kecenderungan adanya logam berat dalam jumlah yang melampaui batas

    terutama berasal dari kegiatan ontroposentris (manusia) berupa limbah industri yang

    masuk ke perairan laut. Hasil pengukuran logam berat terlarut pada perairan Laut Teluk

    Tolo maupun pada air tanah/sumur di sekitar lokasi studi untuk semua parameter yang

    dianalisis menunjukkan bahwa ; Air raksa (Hg), Arsen (As); Nikel (Ni); Kadmium (Cd);

    Khromium VI (Cr 6+); Seng (Zn); Tembaga (Cu); Besi (Fe), Mangan (Mn), Selenium (Se)

    dan Timbal (Pb) memenuhi baku mutu yang ditetapkan dan memberikan gambaran

    bahwa kondisi perairan tersebut tergolong baik. Air raksa (Hg) pada ke-3 stasiun

    pengambilan sampel air Laut Teluk Tolo terukur

  • vi.) Minyak Dan Lemak

    Parameter minyak dan lemak air Laut Teluk Tolo pada stasiun 1 terukur

  • xiv.) Khlorida (Cl)

    Hasil analisa kadar Khlorida (Cl) pada air tanah/sumur stasiun 1 terukur 3,8 mg/l, pada

    stasiun 2 terukur 25,4 mg/l, untuk ke-dua lokasi pengambilan sampel air tanah ini kadar

    Khlorida di bawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 600 mg/l.

    xv.) Nilai Permanganat (KMnO4)

    Hasil analisa kadar zat organik nilai permanganate (KMnO4) pada air tanah/sumur stasiun

    1 terukur 0,7 mg/l dan pada stasiun 2 terukur 2,5 mg/l, di bawah baku mutu yang

    ditetapkan yaitu 10 mg/l.

    xvi.) Surfactan Anion/Deterjen (MBAS)

    Analisa surfactan anion/deterjen (MBAS) air Laut Teluk Tolo pada stasiun 1, 2 dan 3

    masing-masing terukur

  • Dari hasil pengujian terhadap beberapa parameter tingkat kebauan berdasarkan lampiran

    Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 50 Tahun 1996 Tentang Baku Tingkat

    Kebauan. Hasil pengukuran untuk parameter Amonia (NH3) pada stasiun 1 terukur 0,0165

    ppm dan pada stasiun 2 terukur 0,0092 ppm, untuk ke-dua lokasi pengukuran masih

    dibawah baku mutu yang ditetapkan yaitu sebesar 2 ppm. Hasil pengukuran untuk

    parameter Hidrogen Sulfida (H2S) pada stasiun 1 terukur kecil dari 0,00084 ppm dan

    stasiun 2 terukur kecil dari 0,00077 ppm, untuk ke-dua lokasi pengukuran masih dibawah

    baku mutu yang ditetapkan yaitu sebesar 0,02 ppm.

    3.1.8. Kebisingan

    Kondisi rona awal intensitas kebisingan di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan, baik di

    lingkungan rencana pembangunan TPI Modern Bungku maupun di pinggir jalan di

    belakang lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan masih cukup nyaman, terutama karena

    sedikitnya sumber kebisingan berupa aktifitas operasional dermaga dan transportasi darat

    sekitar dermaga masih tergolong sedikit. Hasil terukur 50 db(A), pengukuran tersebut

    masih dibawah baku mutu tingkat kebisingan untuk peruntukan kawasan khusus

    pelabuhan laut berdasarkan lampiran I Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan

    Hidup No.48 Tahun 1996 Tentang : Baku Tingkat Kebisingan, yaitu sebesar 70 db(A).

    3.1.9. Ruang, Tanah Dan Lahan

    a. Jenis Tanah

    Areal sekitar rencana usaha atau kegiatan pembangunan TPI Modern Bungku yang

    melingkupi lokasi studi, memiliki 2 grup fisiografi, yaitu : Aluvial (A) dan Dataran (P). Dari

    grup Aluvial (A) menurunkan 1 satuan lahan (Au 1.3.) sedangkan grup dataran (P)

    menurunkan 2 satuan lahan (Pq 2.1. dan Pq 3.1.).

    b. Sifat Tanah

    Tanah yang terdapat di lokasi penelitian termasuk Inceptisol (USDA Soil Taxonomy,

    1975). Kesetaraannya menurut sistem klasifikasi Pusat Penelitian Tanah (1980) adalah

    Gleisol. Drainase tanah terhambat, permukaan air tanah dangkal, kedalaman efektif

    dangkal dan permukaan tanah relatif datar. Tanah berkembang dari bahan endapan

    kuarter baru (bahan aluvial) yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Pada tanah

    lapisan atas bertekstur liat berpasir sampai liat, berwarna hitam (10YR2/1), berstruktur

    lemah, remah sampai pejal, agak lekat dan agak plastis. Lapisan bawah bertekstur liat,

    berwarna abu-abu hitam (10YR3/1), agak lekat dan agak plastis. Reaksi tanah netral

    sampai agak masam. Kandungan C-organik sedang sampai agak tinggi. Nitrogen terdapat

    dalam jumlah rendah demikian pula nilai bandingan C/N tergolong rendah. Posfat dan

    kalium umumnya sedang. Kationkation umumnya terdapat dalam jumlah rendah.

    Kejenuhan basa dan kapasitas tukar kation tergolong sedang sampai tinggi.

  • c. Tata Guna Lahan

    Penggunaan lahan secara keseluruhan di Kecamatan Bungku Tengah didominasi oleh

    hutan areal penggunaan lain, areal sementara tidak diusahakan dan

    pengembalaan/padang rumput. Hutan yang dimaksud adalah berupa areal hutan

    sekunder yang didominasi pohon-pohon dengan tinggi 5-10 m dan diameter kurang dari

    50 cm, dengan penutupan lahan yang tidak terlalu rapat, sebahagian besar bercampur

    dengan tumbuhan bawah, perdu dan belukar yang cukup rapat. Areal hutan sekunder ini

    menyebar di sebelah Timur yang menempati areal perbukitan wilayah kecamatan ini.

    Tanaman utama di kawasan ini adalah berupa kayu hutan dari kelompok

    Dipterocarpaceae. Padang rumput didominasi oleh alang-alang dengan semak dan perdu

    tumbuhan rendah. Areal perkebunan umumnya ditanami jambu mete, kelapa, kopi, kemiri,

    cengkeh, tembakau, kakao, pala dan tanaman perkebunan dataran rendah lain.

    Penggunaan lain adalah mencakup beberapa penggunaan lahan yang terdiri dari lahan

    yang dimanfaatkan untuk perkarangan/pemukiman, tegalan/kebun, ladang/huma,

    kolam/tambak dan lainnya.

    d. Tata Ruang Wilayah

    Berdasarkan rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten Morowali tahun 2003-2013

    yang telah tertuang Peraturan Daerah Kabupaten Morowali Tentang Rencana Tata Ruang

    Wilayah Kabupaten Morowali, jenis penggunaan lahan di sekitar lokasi rencana usaha

    dan/atau kegiatan pembangunan TPI Modern Bungku adalah berupa kawasan pelabuhan

    dan pemukiman, pengembangan kawasan ini diarahkan menjadi kawasan pemukiman

    yang memiliki kegiatan utama bagi pengembangan kelautan dan perikanan. Dengan

    demikian kawasan ini akan dikembangkan menjadi lokasi pemukiman, sarana dan

    prasarana sosial, budaya dan ekonomi termasuk di dalamnya infrastruktur lingkungan

    yang mencakup sistem jaringan jalan listrik, telekomunikasi, air minum, drainase dan

    limbah serta persampahan. Berdasarkan fungsi kawasan, skala pelayanan dan

    pertimbangan potensi sumberdaya dalam kaitan dengan nilai strategis yang dimiliki

    wilayah Kecamatan Bungku Tengah masuk ke dalam Kawasan Andalan Bungku dan

    sekitarnya dengan pusat kawasan di Bungku. Kawasan ini diarahkan sebagai pusat

    pengembangan kelautan dan perikanan, palawija dan hortikultura.

    e. Pola Pemanfaatan Lahan

    Daerah Kelurahan Matano - Bungku maupun wilayah Kecamatan Bungku Tengah yang

    melingkupi lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan sebagaimana umumnya wilayah pada

    sebahagian besar bagian Timur wilayah Kabupaten Morowali memiliki morfologi yang

    relatif homogen, yakni berupa dataran rendah dengan topografi datar hingga hampir rata.

    Kawasan yang dimaksud dimanfaatan penduduk sebagai areal pertanian khususnya

    sebagai areal persawahan, tanaman pangan dan perikanan darat. Selain jenis

    pemanfaatan tersebut, wilayah barat dimanfaatkan pula sebagai lokasi pemukiman

    dengan kapadatan yang bervariasi. Secara garis besar, sebaran pemukiman di

    Kabupaten Morowali membentuk pola linier dan pola grid. Pola linier (linear pattern)

  • tersebar di sepanjang pantai Timur Pulau Sulawesi mengikuti ruas jalan utama, yakni

    Jalan Poros Palu-Kendari, sedangkan pola grid/gridion terbentuk beberapa pusat

    pemukiman di ibukota Kecamatan atau Kabupaten. Beberapa Kelurahan yang merupakan

    wilayah Kecamatan ini, diantaranya adalah : Kelurahan Matano, Kelurahan Marsaoleh,

    Kelurahan Bungi, Kelurahan Lamberea, Kelurahan Tofoiso, Kelurahan Mendui dan Desa

    Matansala.

    3.1.10. Hubungan Lokasi Kegiatan Dengan Kegiatan Lain Yang Terkait

    a. Kegiatan Permukiman Penduduk

    Kegiatan pemukiman penduduk yang terdapat di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau

    kegiatan adalah pemukiman penduduk yang termasuk dalam wilayah Kelurahan Matano,

    Kelurahan Marsaoleh, Kelurahan Bungi, Desa Matansala, Desa Bahoruru, Desa Ipi dan

    Desa Bente Kecamatan Bungku Pusat Perdagangan (pasar tradisionil) dan Terminal

    berada di sebelah Barat Laut lokasi TPI Modern Bungku dengan jarak 200m. Demikian

    pula pemukiman tersebar menempati pantai Timur Pulau Sulawesi di sisi kanan dan kiri

    lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku dan di

    seberang Jalan Bungi Lokasi TPI dan Jalan Poros Palu Bungku sebagai jalan utama

    untuk menuju lokasi TPI Modern Bungku. Perumahan penduduk di sekitar lokasi rencana

    usaha dan/atau kegiatan berbentuk permanen dan semi semi permanen. Di lokasi

    perumahan penduduk juga terdapat warung untuk kebutuhan sehari-hari. Mengingat jarak

    lokasi perumahan penduduk ke lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan relatif dekat, jika

    sampah domestik tidak ditangani dengan benar dapat mencemari lingkungan di sekitar

    lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan. Hal ini akan memberikan dampak penurunan

    kualitas udara, selanjutnya akan mengganggu kehidupan masyarakat. Selain itu, sampah

    juga merupakan salah satu tempat berkembang biaknya vektor penular penyakit,

    sehingga akan memberikan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat.

    b. Perairan Teluk Tolo

    Rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku berbatasan secara

    langsung dengan perairan Teluk Tolo, membatasi rencana usaha dan/atau kegiatan yang

    menempati pantai Timur Pulau Sulawesi. Di sepanjang pantai juga dimanfaatan oleh

    masyarakat nelayan dan penduduk di pulau-pulau kecil di sekitar wilayah Kabupaten

    Morowali untuk menuju ke wilayah Bungku atau melabuhkan perahu/kapal kecil berikut

    hasil tangkapannya untuk dipasarkan di TPI Modern Bungku. Intensitas perahu yang

    berlabuh di disepanjang pantai ini terbatas pada perahu dan kapal-kapal nelayan

    tradisional. Bentang pantai di perairan Teluk Tolo di sekitar lokasi studi dan gususan

    pulau-pulau kecil lebih dominan ditumbuhi oleh ekosistem mangrove dengan kondisi yang

    masih baik. Disamping itu baik di Utara dan Selatan berdekatan dengan gugusan pulau-

    pulau kecil terdapat ekosistem terumbu karang dan padang lamun dengan kondisi yang

    masih sangat baik.

  • c. Kegiatan Penangkapan Ikan Oleh Nelayan

    Areal kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan terdapat di Utara dan Selatan lokasi

    rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku, yaitu pada perairan

    Teluk Tolo dengan jarak sekitar 400 m dari lokasi pelabuhan. Informasi dari para nelayan

    wilayah utara di permukiman penduduk Desa Salonsa, Emea, Moahino dan Karaupa

    (Kecamatan Wita Ponda), Desa Pebotoa, Bahonsuai, Parilangke dan Wata (Kecamatan

    Bumi Raya), Desa Ambunu, Umpanga, Larobenu, Wosu, Bahoea Reko-Reko (Kecamatan

    Bungku Barat), Desa Lanona, Bahomoleo, Bahomohoni, Bente, Ipi, Bahoruru, Matansala,

    Kelurahan Matano, Marsaoleh, Tofoiso, Desa Tofuti, Bahontobungku, Puungkoilu,

    Lahuafu, Unsongi, Nambo, Koburu, Geresa dan Kolono (Kecamatan Bungku Tengah),

    serta informasi pada nelayan wilayah selatan di permukiman penduduk Desa Bete-bete,

    Kurisa, Lailiya, Bahodopi dan Siumbatu (Kecamatan Bahodopi) yang merupakan

    permukiman penduduk nelayan terdekat dengan lokasi kegiatan, diketahui bahwa

    penangkapan ikan hanya dilakukan pada areal sejaul 3 mil dan umumnya berada di areal

    perairan laut yang berhadapan dengan vegetasi mangrove di sekitar gugusan pulau-pulau

    kecil di arah timur lokasi studi terutama pada perairan yang merupakan habitat dari

    terumbu karang dan cukup jauh dari perairan yang dijadikan sebagai alur pelayaran.

    d. Kegiatan Transportasi Umum

    Lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku akan

    dilengkapi dengan keberadaan aksesibilitas berupa pembangunan jalan yang

    menghubungkan rencana usaha dan/atau kegiatan dengan ruas Jalan Lintas Timur

    Sulawesi yang menghubungkan Kota Palu Kendari dengan persimpangan di Desa

    Bungi (Ruas Jalan Bungku Palu), sepanjang 516 Km memanjang dari lokasi rencana

    usaha dan/atau kegiatan ke arah Utara. Sampai dengan saat penyusunan UKL dan UPL

    ini dilakukan pelaksanaan pembangunan ruas jalan ini sudah memasuki tahap

    penyelesaian.

    e. Kegiatan Dermaga Bungku

    Lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku adalah

    menempati areal di sisi Utara Dermaga Bungku. Dermaga Bungku melayani kapal-kapal

    kecil sebagai pintu masuk ke daerah Bungku, juga merupakan pelabuhan dari kapal-kapal

    penangkap ikan milik penduduk sekitar.

    3.1.11. Transportasi

    Lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku dilewati oleh

    ruas jalan Poros Palu Kendari, merupakan jalan lintas Sulawesi (Jalan Nasional) yang

    menyusuri bagian Timur Sulawesi Tengah yang menghubungkan Kota Palu sebagai

    Ibukota Provinsi Sulawesi Tengah dengan Kota Palu sebagai Ibukota Provinsi Sulawesi

    Tengah, yang terdapat 516 Km di barat laut lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan,

    berupa jalan aspal dengan aksesibilitas yang cukup baik. Dari ruas jalan Poros Palu

  • Kendari sedang dibangun jalan akses ke lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan

    Pembangunan TPI Modern Bungku (Ruas Jalan Bungi - Matano).

    a. Volume Lalulintas Harian Rata-rata (LHR)

    Volume arus lalulintas kendaraan pada ruas jalan Poros Palu Kendari di sekitar lokasi

    rencana usaha dan/atau kegiatan dihitung dari hasil pencacahan setiap kendaraan yang

    melewati lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan. Pencacahan dilakukan setiap interval

    waktu 15 menit pada jam sibuk pagi, siang dan sore hari. Kendaraan yang dicacah

    dibedakan menjadi 4 (empat) golongan, yaitu : 1.) Kendaraan berat (Truck berat dan

    ringan), 2.) Bis, 3.) Kendaraan ringan (Sedan, mikrobus, pick-up dan Mikrotruck) dan 4.)

    Sepeda motor. Volume arus lalu lintas sangat terkait dengan aktifitas yang dilakukan oleh

    penduduk di sekitar ruas jalan, hal ini terlihat dari hasil perhitungan yang telah dilakukan.

    Volume arus lalu lintas pada pagi hari lebih ramai dibanding dengan volume arus lalu

    lintas pada siang dan sore hari. Pada pagi hari tercatat jumlah kendaraan yang melewati

    ruas jalan baik dari arah Palu (Utara) maupun yang datang dari arah Kendari (Selatan)

    mencapai 167,5 SMP (Satuan Mobil Penumpang) per jam. Volume ini berkurang pada

    siang hari menjadi 1.298 SMP per jam dan kembali menurun pada sore hari yang menjadi

    240,5 SMP per jam. Sesuai dengan informasi dan hasil pengamatan terhadap kehidupan

    masyarakat di lokasi studi, besarnya volume lalulintas di pagi hari berhubungan dengan

    aktifitas atau keseharian masyarakat, yaitu pada pagi hari merupakan waktu untuk

    berangkat menuju tempat kerja/kantor, sekolah dan kegiatan lainnya, yang umumnya

    banyak terdapat di arah Kota Palu (Utara). Pada pagi hari volume arus lalulintas lebih

    besar dari arah Kota Kendari (Selatan) dan Sore hari adalah sebaliknya disebabkan oleh

    adanya kecenderungan kegiatan masyarakat yang bekerja di beberapa perusahaan

    industri, yang tinggal atau menetap di arah Kota Kendari dan melakukan aktifitas di arah

    Kota Palu. Sebahagian besar penggunaan ruas jalan Poros Palu Kendari pada lokasi

    rencana usaha dan/atau kegiatan, didominasi oleh kendaraan sepeda motor, masing-

    masing terhitung pada pagi hari 87%, siang dan sore hari 85%.

    b. Tingkat Pelayanan Jalan atau Volume per Capacity Ratio (VCR)

    Tingkat Pelayanan Jalan (VCR) merupakan nilai dari lintas harian rata-rata dibagi dengan

    kapasitas jalannya, makin tinggi nilai VCR berarti makin padat lalu lintas jalannya dan

    makin kurang nyaman, dimana kecepatan kendaraan yang lewat pada jalan tersebut

    menjadi makin pelan untuk berkendara secara nyaman. Dari hasil pengukuran tingkat

    pelayanan jalan dan kecepatan optimum lalulintas pada ruas jalan Poros Palu - Kendari

    diketahui : Volume lalulintas adalah sebesar 167,5 240,5 SMP per jam dengan

    kapasitas jalan adalah sebesar 750 SMP/jam dapat dicari nilai VCR untuk ruas jalan ini,

    yaitu sebesar 47,86% - 68,71% dan kecepatan optimun kendaraan adalah 41,29 62,14

    Km/jam. Kondisi ini menunjukkan tingkat kepadatan jalan di lokasi rencana usaha

    dan/atau kegiatan pembangunan TPI Modern Bungku tergolong rendah sampai sedang

    karena VCR jalan masih dibawah 75%. Ruas jalan Poros Palu Kendari yang melewati

    lokasi kegiatan adalah berupa jalan aspal dengan kondisi yang cukup baik, dengan lebar

  • median 6 m dan bahu jalan di kanan dan kiri jalan 1 sampai 2 m. Jalan Provinsi ini

    didesign untuk pelayanan 750 SMP per jam. Rata-rata kecepatan perjalanan kendaraan

    yang melewati ruas jalan ini mencapai 70 Km/jam.

    c. Kecepatan Kendaraan Optimum (Nyaman)

    Kecepatan optimum merupakan kecepatan kendaraan yang dianggap nyaman pada

    tingkat LHR tertentu sesuai dengan kapasitas disain jalan yang direncanakan. Makin

    rendah LHR lalulintas dan makin besar kapasitas jalannya, maka makin tinggi kecepatan

    kendaraan yang dapat dikendarai dengan nyaman pada kondisi jalan tersebut. Dari data

    LHR dan perhitungan yang telah dilakukan diketahui bahwa kecepatan kendaraan yang

    nyaman di lokasi studi berkisar antara 41,2962,14 Km/jam. Hal ini menunjukkan bahwa

    kegiatan berkendara lalulintas di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan

    TPI Modern Bungku relatif nyaman bila dikendarai dengan kecepatan sekitar 40 Km/jam

    3.2. Lingkungan Biologi

    3.2.1. Vegetasi Mangrove

    Pada kawasan lokasi studi ditemukan beberapa jenis vegetasi, berupa vegetasi hutan

    mangrove, vegetasi hutan produksi/hutan sekunder, semak belukar dan vegetasi

    budidaya. Pada kawasan pemukiman penduduk yang umumnya berada di pinggir pantai

    dengan jarak 4-5 Km dari lokasi kegiatan dijumpai vegetasi budidaya berupa tanaman

    pangan dan perkebunan. Vegetasi hutan menurut fungsi atau peruntukan lahan dalam

    rencana tata ruang/TGHK di wilayah ini terdiri dari vegetasi mangrove, hutan

    produksi/hutan sekunder, areal penggunaan lain dan semak belukar. Areal studi yang

    menempati vegetasi mangrove seluruhnya merupakan hutan APL yang dapat dikonversi.

    Vegetasi tanaman pada areal studi dibagi ke dalam 2 (dua) kelompok/zonasi sesuai

    dengan kondisi lahan tempat tumbuhnya/type habitat vegetasi, yaitu : Hutan sekunder

    (Hs) yang berupa vegetasi mangrove dan areal semak belukar.

    Vegetasi bakau/mangrove di wilayah studi tergolong kepada tanaman magrove pesisir

    (coastal mangrove forest) yang setiap harinya menerima pengaruh dari pasang surut,

    hempasan ombak dan arus laut. Umumnya vegetasi ini hanya mempunyai satu stratum

    tajuk. Tanaman mangrove ini mempunyai peranan penting sebagai pelindung pantai dari

    hempasan ombak. Komposisi jenis vegetasi bakau di lokasi studi ini hampir seragam,

    tersusun dari asosiasi berbagai suku tumbuhan seperti suku Verbenaceace, Rhizophora

    spp. dan Sonneratia spp., selain itu sering terdapat juga tumbuhan jenis lain yang bukan

    tumbuhan bakau seperti : Excoecaria agallocha., Acanthus illicifolius., Wedelia

    biflora. Pembentukan formasi mangrove sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor

    lingkungan setempat, seperti faktor edafis, salinitas dan lamanya genangan air.

    Jenis Avicenia, Rhizophora dan Sonneratia adalah tumbuhan pionir dari arah laut ke darat

    tergantung pada kedalaman pantai, proses pelumpuran dan besarnya ombak.

    Rhizophora spp. umumnya tumbuh di daerah rawa-rawa pantai yang berlumpur dalam

    dan tebal, sedangkan Avicenia spp. dan Sonneratia spp. sering menjadi tumbuhan

    pelopor yang tumbuh di pantai berlumpur datar atau lembek.

  • Habitat mangrove pada kawasan lokasi studi umumnya menempati wilayah pesisir pantai,

    lebar rata-rata 30-50 m dan sepanjang 3-4,5 km, yang terletak disekitar muara sungai

    atau daerah pantai dengan jalur sempit. Kerapatan tergolong rendah tetapi kodisi habitat

    mangrove ini cukup baik. Hasil analisa vegetasi dengan menggunakan transek untuk

    setiap tingkatan tropik pada masing-masing stasiun pengamatan adalah sebagai berikut :

    i.) Stasiun pengamatan I

    Pada stasiun pengamatan I yang berlokasi di pinggir pantai Teluk Tolo dengan jarak

    sekitar 3 Km di Utara lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan pembangunan TPI Modern

    Bungku teridentifikasi 5 jenis mangrove yaitu Rhizophora apiculata., Avicenia alba.,

    Avicenia officinalis., Bruguira cylindrica dan Sonneratia sp.. Untuk tingkat pohon

    (trees) dengan diameter batang diatas 10 cm tercatat 5 jenis pohon, kepadatan 53 pohon

    per ha., ketinggian rata-rata 8-15 m dan diameter batang rata-rata 32 cm. Indek nilai

    penting (INP) terbesar adalah jenis Rhizophora apiculata., sebesar 100,89. Tingkat

    pancang (sampling) dengan tinggi di atas 1,5 m dan diameter batang dibawah 10 cm

    tercatat 5 jenis tiang, kepadatan 402 tiang per ha., ketinggian rata-rata 5-7 m dan

    diameter batang rata-rata 12-15 cm. Indek nilai penting (INP) terbesar adalah jenis

    Rhizophora apiculata., sebesar 109,76. Tingkat semai (seedling) dengan tinggi di bawah

    1,5 m tercatat 5 jenis anakan, kepadatan 2.919 semai per ha, ketinggian rata-rata 0,5-1

    m, juga didominasi oleh jenis Rhizophora apiculata., dengan INP sebesar 102,68.

    ii.) Stasiun pengamatan II

    Pada stasiun pengamatan II yang berlokasi di pinggir pantai di Selatan Pulau Waru-waru

    yang berhadapan dengan lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan pembangunan TPI

    Modern Bungku, juga teridentifikasi 5 jenis mangrove yaitu Rhizophora apiculata.,

    Avicenia alba., Avicenia officinalis., Bruguiera cylindrica dan Sonneratia sp.. Untuk

    tingkat pohon (trees) dengan diameter >20 cm tercatat 5 jenis pohon, dengan kepadatan

    70 pohon per ha., ketinggian ratarata 10-15 m dan diameter batang rata-rata 34 cm. Indek

    nilai penting (INP) terbesar adalah jenis Rhizophora apiculata., sebesar 129,50. Tingkat

    pancang (sampling) dengan tinggi >1,5 m dan diameter batang

  • cm tercatat 6 jenis pohon, kepadatan 71 pohon per ha., ketinggian rata-rata 8-15 m dan

    diameter batang rata-rata 34 cm. Indek nilai penting (INP) terbesar adalah Rhizophora

    apiculata., sebesar 75,25. Tingkat pancang (sampling) dengan tinggi >1,5 m dan

    diameter batang

  • genera dari 3 Kelas Fitoplankton. Fitoplankton yang ditemukan adalah : 12 genera kelas

    Chrysophyta, 1 genera kelas Dinophyta dan 1 genera dari kelas Rhodophyta, dengan

    kelimpahan 25 individu/liter, indeks keanekaragaman (H) 2,49 dan indeks keseragaman

    (E) 0,87. Kelimpahan Fitoplankton yang paling banyak ditemukan adalah genera Surirella

    sp. dari Kelas Chrysophyta masing-masing sebanyak 7 individu/liter.

    ii). Zoooplankton

    Berdasarkan hasil deskripsi dan identifikasi yang dilakukan di laboratorium terhadap

    sampel plankton yang diambil di lapangan, pada perairan Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi

    studi ditemukan 4 Kelas Zooplankton yaitu : Kelas Crustacea, Mollusca, Rhizopoda dan

    Tintinnida. Seluruhnya terdiri atas 16 genera, dengan kelimpahan 19-24 individu/m3 dan

    memiliki indeks keanekaragaman antara 2,00- 2,10. Pada perairan Laut Teluk Tolo di

    Utara lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan (Stasiun 1; BA-1) ditemukan 11 genera dari

    4 Kelas Zooplankton. Zooplankton yang ditemukan adalah : 6 genera kelas Crustacea, 1

    genera kelas Mollusca, 1 genera kelas Rhizopoda dan 3 genera kelas Tintinnida, dengan

    kelimpahan 19 individu/liter, indeks keanekaragaman (H) 2,00 dan indeks keseragaman

    (E) 0,85. Kelimpahan Zooplankton yang paling banyak ditemukan adalah genera

    Eutintinnus sp.12 dari Kelas Tintinnida sebanyak 5 individu/liter. Pada perairan Laut

    Teluk Tolo di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan (Stasiun 2; BA-2) ditemukan

    10 genera dari 4 Kelas Zooplankton. Zooplankton yang ditemukan adalah : 6 genera kelas

    Crustacea, 1 genera kelas Mollusca, 1 genera kelas Rhizopoda dan 3 genera kelas

    Tintinnida, dengan kelimpahan 21 individu/liter, indeks keanekaragaman (H) 2,10 dan

    indeks keseragaman (E) 0,89. Kelimpahan Zooplankton yang paling banyak ditemukan

    adalah genera Bivalvia sp. dari Kelas Mollusca sebanyak 7 individu/liter. Pada perairan

    Laut Teluk Tolo di Selatan lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan (Stasiun 3; BA-3)

    ditemukan 12 genera dari 4 Kelas Zooplankton. Zooplankton yang ditemukan adalah : 5

    genera kelas Crustacea, 1 genera kelas Mollusca, 2 genera kelas Rhizopoda dan 4

    genera kelas Tintinnida, dengan kelimpahan 24 individu/liter, indeks keanekaragaman (H)

    2,03 dan indeks keseragaman (E) 0,90. Kelimpahan Zooplankton yang paling banyak

    ditemukan adalah genera Rhizopoda sp. 2 dari Kelas Rhizopoha sebanyak 5

    individu/liter.

    b. Benthos

    Benthos adalah organisme hewani maupun tumbuhan yang hidup di permukaan dasar

    perairan atau dalam dasar perairan. Benthos yang teridentifikasi adalah dari kelompok

    makrozoobenthos, yang merupakan jenis benthos yang tertahan pada saringan dengan

    mata jaring 1 mm2. Berdasarkan hasil deskripsi dan identifikasi yang dilakukan di

    laboratorium terhadap sampel Benthos yang diambil di lapangan, pada perairan Laut

    Teluk Tolo di sekitar lokasi studi ditemukan 5 Kelas Benthos yaitu : Kelas Bivalvia,

    Gastropoda, Crustacea, Foraminifera dan Annelida. Seluruhnya terdiri atas 18 genera,

    dengan kelimpahan 26-29 individu/sampel dan indeks keanekaragaman antara 2,24

    2,36. Pada perairan Laut Teluk Tolo di Utara lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan

  • (Stasiun 1; BA-1) ditemukan 13 genera dari 5 Kelas Benthos. Benthos yang ditemukan

    adalah : 2 Genera Kelas Bivalvia, 7 genera kelas Gastropoda, 1 genera Kelas Crustacea,

    2 genera dari Kelas Foraminifera dan 1 genera dari Kelas Annelida, dengan kelimpahan

    27 individu/sampel, indeks keanekaragaman (H) 2,24 dan indeks keseragaman (E) 0,77

    Jenis yang yang paling banyak ditemukan adalah genera Gastropoda sp. 1 dari Kelas

    Gastropoda dengan kelimpahan 5 individu/sampel. Pada perairan Laut Teluk Tolo di

    sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan (Stasiun 2; BA-2) ditemukan 14 genera

    dari 4 Kelas Benthos. Benthos yang ditemukan adalah : 3 genera Kelas Bivalvia, 7 genera

    kelas Gastropoda, 3 genera dari Kelas Foraminifera dan 1 genera dari Kelas Annelida,

    dengan kelimpahan 26 individu/sampel, indeks keanekaragaman (H) 2,27 dan indeks

    keseragaman (E) 0,86 Jenis yang yang paling banyak ditemukan adalah genera

    Cavarotalia sp. dari Kelas Foraminifera dengan kelimpahan 5 individu/sampel. Pada

    perairan Laut Teluk Tolo di Selatan lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan (Stasiun 3;

    BA-3) ditemukan 13 genera dari 4 Kelas Benthos. Benthos yang ditemukan adalah : 3

    genera Kelas Bivalvia, 7 genera kelas Gastropoda, 2 genera dari Kelas Foraminifera dan

    1 genera dari Kelas Annelida, dengan kelimpahan 29 individu/sampel, indeks

    keanekaragaman (H) 2,36 dan indeks keseragaman (E) 0,82 Jenis yang yang paling

    banyak ditemukan adalah genera Natica sp. dari Kelas Gastropoda dengan kelimpahan 5

    individu/sampel.

    c. Nekton

    Nekton adalah mahluk air yang mampu bergerak melawan arus, hidup di kolom perairan

    dan beberapa di dasar perairan. Berdasarkan pengamatan di lapangan dan wawancara

    dengan masyarakat nelayan diketahui jenis-jenis ikan kecil dan besar yang tertangkap

    atau hidup di perairan lokasi studi, hasil penangkapan nelayan ini dikonsumsi untuk

    mencukupi makan sehari-hari dan selebihnya ada yang dipasarkan sendiri ke desa atau

    sekitar lokasi pemukiman atau dijual ke pedagang/toke pengumpul ikan disekitar

    tempat/pemukiman mereka yang selanjutnya oleh para pedagang di pasarkan ke pasar

    ikan. Pada wilayah perairan lokasi studi teridentifikasi 24 jenis ikan dan 11 jenis

    Avertebrata. Dari data potensi perikanan laut Kabupaten Morowali diketahui bahwa

    penangkapan ikan di perairan antar pulau dilakukan dengan menggunakan : pukat pantai,

    tangkul, bangan tancap, serok, sero, jermal, bubu, pancing, alat pengumpul kerang dan

    alat penangkapan lain. Penangkapan ini didukung oleh perahu sederhana baik bermotor

    maupun perahu-perahu kecil, yang dikenal dengan nama Kater. Sedangkan para nelayan

    umumnya mempergunakan kapal kayu dengan kapasitas mesin kecil, kemampuan jelajah

    3 mil dari perairan pantai Kecamatan Bungku Tengah, Bumi Raya, Bungku Barat,

    Bahodopi, Bungku Selatan dan Kecamatan Menui Kepulauan hingga ke ZEE, terutama

    perairan pantai yang berhadapan dengan hutan mangrove. Alat penangkapan ikan yang

    digunakan nelayan adalah : Dogol, purse seine, rawai hanyut, rawai tetap, jaring insang

    hanyut, jaring insang tetap, jaring klitik, trammel net, pancing dan beberapa jenis alat

    penangkap lainnya. Dari hasil wawancara dengan para nelayan di lokasi studi diketahui

    bahwa hasil tangkapan yang mereka peroleh, yang dapat berupa ikan, udang, kepiting,

  • cumi dan sebagainya untuk satu orang nelayan rata-rata dapat menangkap 10-50 Kg/hari.

    Dari hasil penangkapan ini sudah mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-

    hari.

    3.2.3. Terumbu Karang dan Padang Lamun

    a. Terumbu Karang

    Terumbu karang merupakan suatu ekosistem khas daerah tropis yang mempunyai

    keanekaragaman dan produktifitas yang tinggi. Nilai produktifitas dan keanekaragaman

    yang tinggi tersebut dibuktikan dengan banyaknya biota laut yang ditemui dalam ekosistem

    mereka, baik ikan, moluska, crustacea, echinodermata ataupun rumput laut. Sehubungan

    dengan hal ini Brown (1982) mengemukakan tingkatan produktifitas primer terumbu karang

    adalah sepuluh kali lebih besar dibandingkan dengan lautan tropis terbuka, Ini terbukti

    dengan efisiensinya perputaran kembali unsur organik dan anorganik dalam sistem

    terumbu karang itu sendiri. Secara mendasar ekosistem terumbu karang dibentuk dari hasil

    kalsifikasi oleh kelompok hewan Coelenterata yang bermorfologi polip. Bentukan

    ekosistemnya dilandasi oleh kemampuan biota ini untuk membentuk CaCO3 dengan

    bantuan simbion Zooxanthellae. Berkaitan dengan hal ini, maka kebutuhan hidup yang

    substansial dari snidarian (coral) terhadap faktor lingkungan berimpit dengan simbionnya.

    Keberimpitan kebutuhan lingkungan antara keduanya ternyata tidak saja terkait dengan

    upaya-upaya mempertahankan hidup semata, akan tetapi juga menyangkut aspek transfer

    energi. Umumnya terumbu karang dijumpai sampai kedalaman laut 25 m, tetapi pada

    perairan yang jernih di sekitar samudera dapat dijumpai sampai kedalaman 80 m.

    Beberapa faktor pembatas kehidupan, distribusi dan stabilitas komunitas terumbu karang

    adalah suhu perairan, penetrasi cahaya matahari, salinitas, kejernihan air, arus/pergerakan

    air dan nutrien yang tersedia. Agar tetap hidup hewan karang memerlukan air laut yang

    bersih dari kotoran, karena kotoran (sedimen) akan menghalangi masuknya cahaya

    matahari bagi aktifitas fisiologis untuk keperluan fotosintesa algae yang bersimbiose

    dengan karang, selain itu sedimen/endapan dapat menutupi pori serta mulut hewan karang

    untuk respirasi, karena secara morfologis karang berbentuk polip yang melekat pada

    substrat keras dengan mulut menghadap ke atas.

    Untuk mengetahui kondisi ekosistem terumbu karang berpedoman kepada kriteria

    berdasarkan Surat Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor :

    47 Tahun 2001, Tentang Pedoman Pengukuran Kondisi Terumbu Karang. Kriteria yang

    dikembangkan adalah berupa tutupan karang, dengan adanya kemampuan biota ini

    membentuk struktur ekosistem. Gomez dan Alcala (1984) memberikan kriteria evaluasi

    ekosistem terumbu karang sebagai berikut : Ekosistem dinyatakan buruk apabila

    mempunyai tutupan karang hidup sebesar 0-24,9%, sedang apabila mempunyai tutupan

    karang hidup sebesar 25-49,9%., bagus apabila mempunyai tutupan karang hidup 50-

    74,9% dan sangat bagus apabila mempunyai tutupan karang hidup >75%. Hasil

    inventarisasi terumbu karang di daerah perairan Laut Teluk Tolo di sekitar wilayah Bungku

    dan sekitarnya yang dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu, diperoleh keterangan

    bahwa terumbu karang di perairan sekitar lokasi studi lebih dari 74% mempunyai kondisi

  • jelek sampai sedang. Dikemukakan juga hal ini terjadi akibat kombinasi adanya kegiatan

    penangkapan ikan karang dengan menggunakan bahan peledak dan penggunaan alat

    tangkap yang tidak selektif, adanya pencemaran air karena keluhan dari darat akibat

    kegiatan konstruksi di darat dan sebagai tambahan diperkirakan tidak dimungkinkan oleh

    sebab adanya logam berat dan eutrifikasi. Pada lokasi sekitar rencana usaha dan/atau

    kegiatan ditemukan adanya penyebaran terumbu karang yang menutupi permukaan

    perairan, terumbu karang ini ditemukan pada lokasi yang berdekatan dengan pinggir pantai

    Timur. Jenis karang yang terdapat di perairan laut sekitar lokasi studi dapat digolongkan

    berdasarkan jenis karang dan karakter habitatnya didominasi oleh Hard coral (23%), soft

    coral (12,5%) dan karang mati (20,5%) serta lainnya adalah berupa pecahan karang, batu

    dan pasir. Berdasarkan koloni karang sebahagian besar adalah berupa encrusting (24%),

    massive (20%), sub-massive (18%), braching (15%), digitate (10%) dan koloni lain berupa

    mushroom, folose dan cup. Dari beberapa penelitian yang pernah dilakukan beberapa jenis

    karang yang teridentifikasi hidup di perairan lokasi studi adalah : Acropora humilis.,

    Acropora sp., Alveopora sp., Diploria sp., Echinopora sp., Fungia sp., Galaxea sp.,

    Hidnopora sp., Millepora sp., Pachiceris sp., Pavia sp., Pavites sp., Porites sp.,

    Seriatopora sp. dan jenis karang massive lainnya.

    b. Padang Lamun

    Lamun (sea grass) adalah berupa tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang sepenuhnya

    sudah beradaptasi dalam lingkungan laut. Tumbuhan ini terdiri dari rizhoma, daun dan

    akar. Lamun hidup di perairan dangkal yang agak berpasir. Kadang-kadang padang lamun

    membentuk komunitas yang lebat hingga menempati areal yang cukup luas. Padang lamun

    merupakan ekosistem yang memiliki produktifitas organik yang tinggi. Ekosistem lamun

    hidup bersama bermacam-macam organisme seperti : Crustacea, Molusca, cacing dan

    ikan. Biota laut tersebut ada yang hidupnya menetap di kawasan padang lamun dan ada

    pula sebagai pengunjung daerah lamun, Kawasan padang lamun juga sering dijadikan

    sebagai kawasan asuhan oleh jenis biota seperti Ikan Baronang dan juga beberapa jenis

    burung yang hinggap pada saat air laut surut. Kondisi padang lamun di perairan Laut Teluk

    Tolo di sekitar wilayah Bungku terlihat masih cukup baik, ekosistem padang lamun ini

    ditemukan di Utara lokasi studi seluas 0,023 ha dan Selatan lokasi studi seluas 0,023 ha

    dan pada perairan di sekitar gugusan pulau-pulau kecil di Timur lokasi, sekitar Pulau Dua

    Laut seluas 0,023 ha, sekitar Pulau Sainoa seluas 0,025 ha dan sekitar Pulau Waru-waru

    seluas 0,005 ha. Beberapa jenis lamun yang dapat diidentifikasi hidup di lokasi studi adalah

    : Enhalus sp., Thalassia sp., Halophila sp. dan Cymodaceae sp.

    3.2.4. Satwa Langka

    1. Hewan Liar

    a. Mamalia

    Umumnya hewan liar dari kelompok Mamalia ini populasinya sudah sedikit, beberapa

    jenis masih terdapat di dalam jumlah yang cukup banyak hidup pada lokasi hutan areal

    studi. Diantara jenis hewan ini tidak terdapat satwa yang dilindungi yang diperkirakan

  • populasinya sudah sedikit sekali. Pada waktu-waktu tertentu beberapa jenis dari

    kelompok hewan ini masih menampakkan diri atau melintas dilokasi pemukiman ataupun

    perladangan penduduk. Pada lokasi studi diidentifikasi 8 jenis Mamalia, yang tidak

    dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999

    Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa

    Tabel 3.1. Jenis Mamalia Di Lokasi Studi

    No. Nama Daerah Nama Ilmiah Status

    1. Babi hutan Sus sp. Tidak dilindungi

    2 Bajing Terbang Helactrus malayanus. Tidak dilindungi

    3. Berang-berang Aonyx cinerea. Tidak dilindungi

    4. Kalong Pteropus affinis. Tidak dilindungi

    5. Kelelawar Luira sumatrana. Tidak dilindungi

    6. Kera Macaca sp. Tidak dilindungi

    7. Musang Macrogalidia mushenbroeki. Tidak dilindungi

    8. Tupai Sciurus notatus. Tidak dilindungi

    Sumber : Informasi Masyarakat Sekitar dan Pengamatan Lapangan Tim Konsultan, 2007.

    b. Reptilia Dan Amphibia

    Kelompok hewan melata ini umumnya juga hidup pada areal sekitar lokasi studi dan

    beberapa jenis bermanfaat sebagai pemakan Serangga. Pada lokasi studi diidentifikasi 9

    jenis Reptilia dan 2 jenis Amphibia, semuanya tergolong hewan yang tidak dilindungi

    berdasarkan : Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 Tentang

    Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa. Secara ringkas jenis Reptilia dan Amphibia

    yang teridentifikasi di sekitar lokasi studi dapat dilihat pada Tabel 22.

    Tabel 3.2. Jenis Reptil Dan Amphibia Di Sekitar Lokasi Studi

    No. Nama Daerah Nama Ilmiah Status

    REPTIL

    1. Ular air Nastrix sp. Tidak dilindungi

    2. Ular hitam Bungarus sp. Tidak dilindungi

    3. Ular tanah Maticora bivirgata. Tidak dilindungi

    4. Ular Lidi Ptyas korros. Tidak dilindungi

    5. Kadal Mabuya multifaciarum. Tidak dilindungi

    6. Buaya Crocodilus sp. Tidak dilindungi

    7. Bunglon Calotes sp. Tidak dilindungi

    8. Kura-kura Orlitia sp. Tidak dilindungi

    9. Labi-labi Chitra indica. Tidak dilindungi

    AMPHIBIA

    1. Kodok darat Bufo sp. Tidak dilindungi

    2. Kodok air Rana cangcrifora. Tidak dilindungi

    Sumber : Informasi Masyarakat Sekitar dan Pengamatan Lapangan Tim Konsultan, 2007.

  • c. Aves (Burung)

    Pada kawasan sekitar lokasi studi ditemukan beberapa jenis burung yang umumnya

    terdiri dari kelompok Herbivora (pemakan biji/daun), Insectivora (pemakan serangga).

    Hasil pengamatan dan informasi dari masyarakat sekitar serta data sekunder lainnya

    pada lokasi studi diidentifikasi 25 jenis Burung dan jenis yang tidak dilindungi berdasarkan

    : Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan

    Jenis Tumbuhan Dan Satwa. Secara ringkas jenis burung yang teridentifikasi dapat dilihat

    pada Tabel 3.3.

    Tabel 3.3. Jenis Burung Di Kawasan Sekitar Lokasi Studi

    No. Nama Daerah Nama Ilmiah Status

    1. Balam. Streptopolia sp. Tidak dilindungi.

    2. Bangau. Ardeola sp. Tidak dilindungi

    3. Belibis. Dendrocygna sp. Tidak dilindungi.

    4. Belekok. Ardeola spiciosa. Tidak dilindungi.

    5. Burung Hantu. Bubo sp. Tidak dilindungi.

    6. Camar. Sterna sp. Tidak dilindungi.

    7. Gereja. Paser domesticus. Tidak dilindungi

    8. Ibis. Ardeola Ibis. Tidak dilindungi.

    9. Jalak. Pericocratus hammene. Tidak dilindungi.

    10. Jalak Suren. Sturnus contra. Tidak dilindungi.

    11. Kapinis laut. Apus pacificus. Tidak dilindungi.

    12. Kutilang. Picnotus aurigaster. Tidak dilindungi.

    13. Layang-layang. Hirundo tahitica. Tidak dilindungi.

    14. Mandar. Porzana fusca. Tidak dilindungi.

    15. Manyar. Ploceus philiTPInus. Tidak dilindungi.

    16. Perkutut. Geopelia striata. Tidak dilindungi.

    17. Pipit. Lonchura leucogastroide. Tidak dilindungi.

    18. Punai. Treron vernaus. Tidak dilindungi.

    19. Puyuh. Turnik suscicator. Tidak dilindungi.

    20. Ruak-ruak. Paizona persila. Tidak dilindungi.

    21. Tekukur. Streptopolia chinensis. Tidak dilindungi.

    22. Trinil. Actitis hypoleucos. Tidak dilindungi.

    23. Walet sapi. Colocalia esculenta. Tidak dilindungi.

    24. Walet sarang hitam. Colocalia maxima. Tidak dilindungi.

    25. Walet sarang putih. Colocalia fuciphaga. Tidak dilindungi.

    Sumber : Informasi Masyarakat Sekitar dan Pengamatan Lapangan Tim Konsultan, 2007.

    3.2.5. Kondisi Eksisting Abrasi Pantai di Sekitar TPI

    Di bagian Timur rencana kegiatan tepatnya di Kelurahan Matano sebagian besar abrasi

    pantai yang mengancam jalan Kabupaten telah tertangani dengan baik dengan cara

    pembuatan tanggul penahan ombak disepanjang jalur yang dilalui jalan sepanjang 1 KM.

    Namun demikian masih tersisa sekitar 400 M daerah pesisir pantai di Kelurahan Matano

    yang belum memiliki tanggul di sebabkan daerah sepanjang +1,4 KM ini tidak di tumbuhi

    bakau yang berfungsi menahan laju ombak sehingga pengikisan tanah daerah garis

    pantai dapat diminimalisir. Sedangkan garis pantai yang berada di Desa Matansala

    hingga muara sungai yang nantinya menjadi jalur kanal TPI seluruhnya ditumbuhi

    mangrove, sehingga daerah ini aman dari kemungkinan terjadinya abrasi pantai.

  • 3.2.6. Kondisi Eksisting Sistem Pembuangan Limbah dan Saluran Drainase di Sekitar TPI

    a. Deskripsi Infrastruktur

    Luas lokasi perencanaan pembangunan TPI Bungku 9500 cm x 9000 cm atau

    kurang lebih 1 Ha. Ketinggian kontur alur sungai 5,5m dpl untuk yang terendah,

    dan yang tertinggi 6,5m dpl. Direncanakan ketinggian saluran drainase dalam

    lokasi TPI dari permukaan jalan 70-130cm, musholla 80cm, dermaga/kolam 130cm,

    saluran pembuangan limbah berupa water tank treatment kapasitas 15m3 (seatlle

    pond) -70cm. Konteiner sampah/amroll 1 unit, TPS 13 buah,Jaringan penerangan

    listrik 8 titik(sisa dalam/sisi luar), Jalan berupa Rabat beton t = 10

    cm,Conblok,Concreate K 225,t = 15 cm, Hidran 1 buah, pelataran P1,P2,P3,P4.

    b. Sistem Jaringan Drainase dan pembuangan Air Limbah

    Kajian Rencana Induk Drainase dan air Limbah meliputi aspek Teknis,Lingkungan

    dan Kelembagaan.

    1.) Aspek Teknis

    Jaringan Drainase : pengembangan system jaringan drainase untuk mengalirkan air hujan dan air buangan sebelum sampai

    kepembuangan akhir.

    Drainase Primer : mengikuti jalan utama(kolektor) sungai sebagai saluran pembuang utama.

    Drainase Sekunder : Jaringan drainase yang bermuara pada drainase primer penempatan jaringan pada kedua sisi

    jalan utama dan jalan kolektor.

    Drainase Tersier : jaringan drainase yang bermuara pada drainase sekunder, berhubungan langsung pada saluran dan pembuang umah

    tangga,dll. Penempatan jaringan diarahkan pada kedua

    sisi jalan Kolektor dan sekunder dan jalan lokal.

    Sistem jaringan drainase TPI Bungku mengikuti alur kontur yakni alur-alur sungai

    yang ada. Jaringan drainase, masih merupakan saluran pembuang air hujan dan

    air buangan limbah dalam system drainase tertutup melalui pipa PVC, sedangkan

    untuk jaringan drainase permanent sebagian besar mengikuti jaringan jalan primer

    dan jalan Kolektor yang ada disekitar lokasi TPI Bungku kecamatan Bungku

    Tengah. Kajian pengelolaan saluran drainase TPI Bungku mengunakan sistem

    saluran drainase tertutup dan saluran drainase terbuka meliputi : Lokasi TPI,

    kondisi, dimensi, panjang arah aliran awal sampai aliran akhir dan zona kawasan

    service area (gambar desain terlampir).

    i.) Kondisi : dimensi, panjang, arah aliran, zona kawasan service area saluran ;

    Lebar saluran Primer 150 cm dan saluran sekunder 100 cm; Kemiringan saluran 200 250 cm; Kedalaman saluran Primer 150 cm dan kedalaman saluran sekunder 100 cm;

  • Panjang saluran (sesuai gambar desain); Panjang saluran drainase tertutup (air kotor) pipa - 4" = 71,60 m. Aliran air (run off) dominan dari barat ke timur; Zone kawasan service Desain gambar (terlampir).

    ii.) Sistem Pembuangan Limbah

    Air buangan limbah yang dihasilkan TPI Bungku bersumber dari : rumah genset,

    kantor pengelola, Musholla, warung, Cold storage, wc/km, pangkalan minyak, air

    buangan Pabrik es, Limbah Ikan, sampah basah, sampah kering, dll. Seluruh air

    buangan tersebut ditampung melalui Water Treatment dengan Capacity = 15 m,

    dimensi ukuran ( 2000 x 5100), Inlet 6", outlet 4".Data gambar desain

    (terlampir). Kolam Pengendap = 35 m

    iii.) Pengelolaan dan cara kerja

    Aliran awal jaringan saluran drainase Tempat pelelangan ikan dari ketinggian 130

    cm,kemudian mengalir dan tertampung pada ketinggian blok 100cm dan 80 cm,

    dan seterusnya ketempat penampungan water treatment melalui saluran drainase

    tertutup lokasi TPI dengan ketinggian 70 cm. Air tersebut ditampung pada water

    treatment masuk melalui pipa inlet 6" ke fiber dengan 4(empat) ruang

    penyaringan sesuai fungsinya dan cara kerja, dimana lumpur yang tertampung

    dibersihkan setiap bulannya melalui Diffuser saluran pembuangan yang ada pada

    water treatment yaitu ruangan I,II : untuk ruangan III digunakan media berupa

    pasir,batu koral,ijuk untuk menyaring dan kemudian masuk ke ruangan IV(settler)

    dan seterusnya air limbah yang sudah bersih dikeluarkan melalui outlet 4" .

    Untuk meningkatkan kejernihan air yang keluar melalui water treatment, maka air

    tersebut cukup layak untuk dibuang ke saluran drainase sekunder. Apabila kualitas

    air belum baik belum sesuai dengan baku mutu lingkungan, maka perlu dilakukan

    pengelolaan lanjutan kembali dipompa kedalam water treatment untuk dilakukan

    pemprosesan kembali. Mengingat air buangan maka diperlukan dan disarankan

    disiapkan kolam pengendap sebelum dialirkan ke saluran drainase sekunder disisi

    jalan Kolektor, Kolam pengendap untuk mengecek kualitas mutu baku air sudah

    tercapai atau sesuai mencapai mutu baku kualitas air bersih sehingga dapat

    digunakan kembali.

    iv.) Dukungan infrastruktur / Sanitasi

    Kondisi pekerjaan sanitasi berupa: km/wc, septik tank, fiber glas, kran air, wastafel,

    pipa PVC 3/4" dan 4", Dimensi pekerjaan sanitasi : floor drain = 16 buah,kran

    air (future unit) = 8 buah,Pipa PVC 3/4" (air bersih panjang = 94,19 m), PVC 4"

    (saluran tertutup air kotor) panjang = 71,60 m, Water treatment = 15 m.

    Penerangan Listrik = 8 buah lampu (sisi dalam/taman = 2 buah, sisi luar kompleks

    = 6 buah); Saluran drainase TPI Bungku menggunakan saluran drainase tertutup

  • berupa pipa PVC dan saluran drainase terbuka terbuat dari campuran semen dan

    pasir yang kemudian dialirkan pada sisi jalan Kolektor TPI .

    v.) Sampah basah dan kering

    Sampah basah dan kering ditampung melalui TPS sebanyak 13 buah sebelum di

    masukan dalam container, lalu dibuang ke tempat pembuangan akhir/TPA., yang

    telah ditentukan lokasinya oleh pemda. Dengan menggunakan Dump truck ,mobil

    motor untuk mengangkut sampah basah dan kering ke lokasi TPA.

    2.) Aspek LIngkungan

    Kegiatan TPI Bungku harus memenuhi persyaratan yang disyaratkan. Sehingga

    output nantinya akan tepat sasaran,tepat waktu,tepat biaya baik segi Kuantitas

    maupun Kualitas. Sehingga pemanfaatan dan peruntukannya sesuai dan

    berkelanjutan serta berwawasan lingkungan.

    3.) Aspek Kelembagaan

    Aspek kelembagaan meliputi penanganan dan pengawasan sistem drainase dan

    pembuangan limbah melalui Dinas Teknis terkait memerlukan Koordinasi,

    Monitoring dan Evaluasi secara berkala dan berkelanjutan (komprehensif) dan

    berwawasan lingkungan, oleh semua steakholder. Dengan kondisi yang ada baik

    Pra-Pasca Konstruksi baik cara pengelolaan dan pemanfaatan berupa drainase,air

    limbah dan infrastruktur penunjang lainnya dapat dikelola secara benar dan

    diharapkan peran serta masyarakat dan seluruh stakeholders yang ada di

    Kabupaten Morowali, sehingga dapat memanfaatkan hasil (outcomes)

    Pembangunan TPI Bungku. Dampak beruntun (multiplayer effect) berupa laju

    pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat nelayan tumbuh dan

    berkembang secara simultan.

    c. Rincian Dukungan Dana Kajian sistem Drainase dan pembuangan Limbah TPI

    Bungku

    1.) Biaya Operasional dan Pemeliharaan Sanitasi dan Limbah sebesar

    Rp.95.654.938,- (sembilan puluh lima juta enam ratus lima puluh empat ribu

    sembilan ratus tiga puluh delapan rupiah)

    2.) Biaya Pengawasan, MONEV adalah sebesar Rp. 29.600.000,-(dua puluh

    sembilan juta enam ratus ribu rupiah)

    3.) Biaya Pengawasan dan Operasional dan Pemeliharaan Sanitasi dan Limbah

    TPI Bungku diperlukan dana sebesar Rp.137.780.431.020,-(seratus tiga puluh

    tujuh juta tujuh ratus delapan puluh ribu empat ratus tiga puluh satu ribu dua puluh

    rupiah) bersumber dari dana APBDII. Rincian Anggaran Biaya (terlampir).

  • 3.7. Peta dan Gambar Rona Lingkungan

    Gambar 3.1 Peta Topografi Daerah Matano dan Sekitarnya

    Gambar 3.2. Peta Geologi Matano dan Sekitarnya

  • Gambar 3.3. Peta Pengelolaan Lingkungan

  • BAB IV

    DAMPAK LINGKUNGAN YANG AKAN TERJADI

    4.1 Tahap Pra-Konstruksi

    4.1.1. Komponen Lingkungan Geo-Fisik Kimia

    Kegiatan pada tahap pra-konstruksi tidak menimbulkan dampak besar dan penting

    terhadap komponen lingkungan Geo-Fisik Kimia.

    4.1.2. Komponen Lingkungan Biologi

    Kegiatan pada tahap pra-konstruksi tidak menimbulkan dampak besar dan penting

    terhadap komponen lingkungan Biologi.

    4.1.3. Komponen Lingkungan Sosial Ekonomi Dan Budaya

    a. Keresahan Pedagang

    b. Perubahan Sikap Dan Persepsi Masyarakat

    Dampak penting dan besar dari kedua komponen lingkungan sosial ekonomi dan budaya

    diatas secara rinci sudah ada dalam dokumen UKL-UPL TPI Bungku

    4.1.4. Komponen Kesehatan Lingkungan Dan Masyarakat

    Kegiatan pada tahap pra-konstruksi tidak menimbulkan dampak besar dan penting

    terhadap komponen lingkungan Kesehatan Lingkungan dan Masyarakat.

    4.2. Tahap Konstruksi

    4.2.1. Komponen Lingkungan Geo-Fisik Kimia

    a. Penurunan Kualitas Air Laut Teluk Tolo

    Dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo pada tahap konstruksi dapat berupa

    dampak langsung atau dampak turunan/sekunder. Dampak langsung terjadi dari

    kemungkinan buangan limbah cair dari aktifitas kegiatan yang dilakukan di lokasi

    pelaksanaan pembangunan TPI Modern Bungku ke badan air Laut Teluk Tolo di sekitar

    lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan. Rangkaian kegiatan pada tahap konstruksi ini,

    terutama pada saat dilakukan pekerjaan tanah, berupa galian dan penimbunan

    menyebabkan peningkatan air larian (run off) yang menghanyutkan partikel tanah lapisan

    atas (top soil), meningkatkan laju erosi dan sedimentasi ke badan air Laut Teluk Tolo di

    sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan. Air larian akan membawa lapisan

    permukaan tanah sehingga menyebabkan pelumpuran di badan perairan, peningkatan

    padatan tersuspensi dan kekeruhan air permukaan di lokasi rencana usaha dan/atau

    kegiatan dan menyebar ke sekitarnya. Lamanya dampak peningkatan padatan

    tersuspensi dan kekeruhan air ini terjadi tergantung dari ukuran butir dan kuat arus yang

    membawanya. Perubahan substrat dan kejernihan ini mempengaruhi mahluk hidup baik

    vegetasi, satwa yang ada di dasar maupun dalam perairan. Dengan terjadinya perubahan

  • substrat dasar, zat hara yang terdapat dalam sedimen menjadi larut di dalam perairan

    menyebabkan kandungan nitrat-N dan ortopfosfat-P meningkat, hal ini dapat mengurangi

    kesuburan perairan. Pengendapan lumpur mengakibatkan pendangkalan (sedimentasi) di

    dasar perairan, menyebabkan terganggunya ekosistem perairan, terutama sekali

    ekosistem dan habitat biota perairan, berupa : Plankton, Benthos, Nekton, padang lamun,

    terumbu karang, bakau/mangrove dan ekosistem biota laut lainnya.

    b. Abrasi Pantai

    Dampak sekunder terjadi dari peningkatan volume daratan/penampang kanal maupun

    erosi dan sedimentasi ke perairan Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi rencana usaha

    dan/atau kegiatan, yang disebabkan oleh kegiatan pembukaan dan pematangan lahan

    yang dilanjutkan dengan kegiatan pembangunan TPI berikut sarana dan prasarana

    pendukung. Sehingga terjadi penurunan kualitas air laut yang dapat menyebar ke

    sekitarnya, menimbulkan dampak terhadap ekosistem biota perairan, aktifitas

    penangkapan ikan yang dilakukan nelayan di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau

    kegiatan dan bahkan abrasi pantai. Penyebaran dampak akibat pembangunan kanal dari

    aktifitas pembangunan TPI membuat massa air laut akan menempati ruang baru di

    daerah pesisir pantai sekitar lokasi TPI sehingga terjadi pengerusan garis pantai..

    Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa dampak ini bersifat langsung dan

    berbalik kembali. Atau sebaliknya dampak terhadap abrasi pantai ini akan bersifat jangka

    pendek, yaitu selama dilaksanakan kegiatan pembukaan dan pematangan lahan dan

    dapat berbalik setelah pelaksanaan konstruksi rencana usaha dan/atau kegiatan selesai.

    Intensitas dampak dapat dikurangi dengan melakukan upaya pengelolaan terhadap

    pelaksanaan kegiatan penyebab dampak. Misalnya : Pembukaan lahan dilakukan secara

    bertahap dan hanya dilaksanakan pada mu