UJI SITOTOKSISITAS BAGIAN Pandanus conoideus Lam. …/Uji... · kecoklatan dibungkus daging tipis...
Transcript of UJI SITOTOKSISITAS BAGIAN Pandanus conoideus Lam. …/Uji... · kecoklatan dibungkus daging tipis...
UJI SITOTOKSISITAS BAGIAN Pandanus conoideus Lam. VARIETAS BUAH KUNING TERHADAP PERTUMBUHAN SEL HeLa SECARA IN VITRO DAN PROFIL KANDUNGAN KIMIA BAGIAN TERAKTIF
Skripsi
Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna memperoleh gelar Sarjana Sains
Oleh: Muslihah Nur Hidayati
NIM. M0406010
JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2010
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kanker merupakan penyakit yang menempati peringkat kedua sebagai
penyebab kematian di dunia. Salah satu jenis kanker yang memiliki potensi
menimbulkan resiko kematian adalah kanker leher rahim. Kanker leher rahim
(kanker serviks) adalah kanker yang terjadi pada serviks uterus, suatu daerah pada
organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah rahim yang terletak
antara rahim (uterus) dengan liang senggama (vagina). Kanker leher rahim terjadi
karena adanya infeksi virus yang dikenal dengan Human Papiloma Virus (HPV).
Telah terbukti bahwa HPV (Human Papiloma Virus) merupakan sebab mutlak
terjadinya kanker serviks. Angka prevalensi di dunia mengenai karsinoma serviks
adalah 99,7 % (Yohanes, 2008).
Kanker serviks merupakan jenis kanker yang terbanyak diderita wanita-
wanita di negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Di negara maju
kanker ini menduduki urutan ke-10. Hal ini menyebabkan penelitian untuk
menemukan obat-obat baru terus berkembang, bahkan dari bahan alampun kini
banyak diteliti untuk pengobatan penyakit kanker ini (Sukardiman et al., 2005).
Dewasa ini penelitian karsinogenesis banyak diarahkan pada salah satu
gen supresor tumor yang dikenal sebagai gen supresor tumor p53 atau disingkat
sebagai gen p53. Mutasi gen p53 menyebabkan terjadinya penurunan mekanisme
apoptosis sel. Sebagian besar sel kanker serviks mempunyai gen p53 dan p105Rb
(retinoblastoma tumor suppressor gene product) dalam bentuk wild type. Gen
pengatur pertumbuhan yang aktif dalam sel normal ini juga terdapat dalam sel
kanker leher rahim. Namun, aktivitasnya dihambat oleh ekspresi protein E6 dan
E7 dari HPV. Hal inilah yang menyebabkan munculnya kanker pada tubuh dan
pertumbuhan sel menjadi tidak terkendali. Apabila ekspresi onkogen E6 dan E7
dihambat, maka protein tumor supresor p53 dan retinoblastoma aktif dan sel
kanker serviks mengalami senescence yang kemudian menyebabkan apoptosis.
(Meiyanto et al., 2007).
Obat-obatan yang digunakan dalam penyembuhan penyakit kanker
biasanya berupa obat kimia yang bekerja dengan system cycle dependent drug
yang membunuh kanker secara selektif pada fase-fase pertumbuhannya (Robin
dan Kumar, 1997) dengan mekanisme MDR (multidrug resistance) (Conze,
2001). Kebanyakan obat-obat kemoterapi mempunyai efek samping dan
komplikasi berupa kerusakan-kerusakan pada jaringan yang masih sehat. Oleh
karena itu mulai banyak dilakukan penelitian tentang bahan obat dari alam yang
dapat berfungsi sebagai antikanker (Wahyuningsih dan Yustina, 1999).
Beberapa penelitian mulai diarahkan pada pengujian potensi bahan alam
sebagai agen kemoprevensi yang berpotensi sebagai agen pendamping
kemoterapi. Tujuannya adalah untuk memperkecil efek negatif yang ditimbulkan
oleh agen kemoterapi. Agen kemoprevensi yang dimaksud disini umumnya
memiliki aktivitas menghambat pertumbuhan tumor melalui mekanisme cell cycle
arrest (Saphiro and Harper, 1999), pemacuan apoptosis (Fisher, 1994) ataupun
menghambat ekspresi protein yang berperan dalam Multi Drug Resistance
(Meiyanto et al., 2006).
Masalah utama dalam pengembangan obat tradisional untuk tujuan
pengobatan penyakit di Indonesia adalah kurangnya bukti ilmiah sehingga perlu
dilakukan penelitian dan pengujian yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah. Salah satu obat tradisional yang sekarang banyak beredar di masyarakat
untuk pengobatan penyakit kanker adalah buah kuning (Pandanus conoideus
Lam. varietas buah kuning). Menurut Budi (2005) senyawa yang terkandung
dalam sari P. conoideus Lam. varietas buah kuning adalah α-tokoferol, karoten,
dan betakaroten yang memiliki kemampuan menyebabkan cell cycle arrest,
sehingga dapat menghambat proliferasi sel kanker. Hal ini juga sesuai dengan
penelitian Albright et al. (2004) yang menyatakan bahwa kombinasi antara
tokoferol dengan vitamin A terbukti mampu menghambat pertumbuhan dan
metastasis sel kanker payudara pada mencit transgenik. Kombinasi penggunaan
betakaroten dan α-tokoferol juga terbukti memiliki aktivitas kemopreventif dan
penghambatan tumorigenesis secara in vivo pada kanker paru-paru (King, 2000).
Hasil uji sitotoksisitas yang telah dilakukan oleh Pratiwi (2009)
menunjukkan bahwa LC50 sari P. conoideus Lam. varietas buah kuning terhadap
sel kanker payudara T47D secara in vitro adalah 0,25 µl/ml. Menurut Ueda et al.
(2002) ekstrak tanaman yang memiliki LC50 < 100 g/ml berpotensi untuk
dikembangkan sebagai agen anti kanker. Untuk itulah diperlukan kajian lebih
lanjut tentang efek sitotoksik dari sari P. conoideus Lam. varietas buah kuning
terhadap sel kanker.
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana efek sitotoksik bagian Pandanus conoideus Lam. varietas buah
kuning terhadap sel HeLa secara in vitro?
2. Bagaimanakah profil kandungan kimia bagian Pandanus conoideus Lam.
varietas buah kuning yang toksik terhadap sel HeLa secara in vitro?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengkaji efek sitotoksik bagian Pandanus conoideus Lam. varietas buah
kuning terhadap sel HeLa secara in vitro dengan menggunakan uji doubling
time.
2. Mengkaji profil kandungan senyawa kimia bagian Pandanus conoideus Lam.
varietas buah kuning yang toksik terhadap sel HeLa secara in vitro.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian uji sitotoksisitas bagian
Pandanus conoideus Lam. varietas buah kuning terhadap pertumbuhan sel HeLa
secara in vitro dan profil kandungan kimia bagian teraktif adalah:
1. Memberikan kontribusi dalam perkembangan ilmu pengobatan mengenai
penggunaan P. conoideus Lam. varietas buah kuning sebagai agen anti kanker.
2. Memberikan informasi mengenai besarnya pengaruh yang ditimbulkan oleh
bagian P. conoideus Lam. varietas buah kuning terhadap pertumbuhan sel
HeLa secara in vitro.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Pandanus conoideus Lam.
Pandanus conoideus Lam. merupakan tanaman endemik Papua yang
termasuk ke dalam famili Pandanaceae. Secara umum habitat asal tanaman ini
adalah hutan sekunder dengan kondisi tanah lembab. Tanaman ini ditemukan
tumbuh liar di wilayah Papua dan Papua New Guinea. Di wilayah Papua, P.
conoideus Lam. ditemukan tumbuh di daerah dengan ketinggian antara 2-2300
meter di atas permukaan laut (dpl). Hal ini berarti bahwa tanaman ini dapat
tumbuh di mana saja di wilayah Papua, mulai dataran rendah hingga dataran
tinggi. Pandanus conoideus Lam. di Papua ditemukan pada daerah-daerah yang
berada di sepanjang lereng pegunungan Jayawijaya. Diantaranya Kelia,
Bokondini, Karubaga, Kobakma, Kenyam, dan Pasema (Budi, 2000).
Pada dasarnya terdapat lebih dari 30 jenis atau kultivar P. conoideus
Lam. di Papua. Namun, secara garis besar diketahui ada 4 kultivar yang
dikembangkan karena memiliki nilai ekonomis, yakni kultivar merah panjang,
merah pendek, cokelat dan kuning. Warna, bentuk, dan ukuran buah masing-
masing jenis berbeda-beda (Budi dan Paimin, 2005).
a. Klasifikasi
Adapun klasifikasi dari P. conoideus Lam. varietas buah kuning
menurut Sadsoeitoboen (1999) adalah:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Angiospermae
Sub kelas : Monocotyledoneae
Ordo : Pandanales
Famili : Pandanaceae
Genus : Pandanus
Spesies : Pandanus conoideus Lam. varietas buah kuning
b. Deskripsi
Pandanus conoideus Lam. termasuk terna berbentuk semak, perdu
atau pohon. Daun tunggal berbentuk lanset sungsang berwarna hijau tua dan
letaknya berseling. Ujung daun runcing, pangkal daun memeluk batang.
Permukaan daun licin, dengan tepi daun berduri atau tidak berduri,
tergantung jenisnya. Batang bercabang banyak, tegak, bergetah, dan
berwarna coklat berbercak putih. Tinggi tanaman mencapai 16 m dengan
tinggi batang bebas cabang 5-8 m diatas permukaan tanah. Akar tanaman
tergolong akar serabut dengan tipe perakaran diangkat. Akar cenderung
masuk hingga kedalaman tanah ± 94 cm. Akar-akar tunjang muncul dari
bagian batang dekat permukaan tanah. Tanaman ini berbuah saat berumur
tiga tahun sejak ditanam. Buah tersusun dari ribuan biji yang bebas tapi
membentuk kulit buah. Biji kecil memanjang 9-13 mm dengan bagian atas
meruncing. Bagian pangkal biji menempel pada bagian jantung. Sedangkan
ujungnya membentuk totol-totol di bagian kulit buah. Biji berwarna hitam
kecoklatan dibungkus daging tipis berupa lemak. Daging buah dapat
berwarna kuning, coklat, atau merah bata tergantung jenisnya (Budi dan
Paimin, 2005).
Buah dari P. conoideus Lam. varietas buah kuning berbentuk
silindris, ujung tumpul dengan pangkal menjantung. Panjang buah 35-42
cm dan berdiameter 11-12 cm. Daun pelindung buah melancip. Tulang
utama berduri sepanjang 1/3 bagian dari pangkalnya. Buah muda berwarna
hijau, matang berwarna kuning dengan berat 2-3 kg (Budi dan Paimin,
2005).
Gambar 1. Habitus P.conoideus Lam. (Budi dan Paimin, 2005)
c. Kandungan Senyawa Aktif
Hasil analisis oleh I Made Budi menunjukkan kandungan gizi P.
conoideus Lam. varietas buah kuning adalah karoten (9500 ppm),
betakaroten (240 ppm), tokoferol (10400 ppm). Selain itu juga mengandung
asam oleat, asam linoleat dan dekonat, omega 3 dan omega 9 yang berperan
sebagai senyawa anti radikal bebas pengendali beragam penyakit antara lain
kanker (Astirin, 2008).
1. Karoten dan Betakaroten
Istilah karoten digunakan untuk menunjuk ke beberapa zat
yang berhubungan yang memiliki formula C4OH56. Secara kimia,
karoten adalah terpena, disintesis secara biokimia dari delapan satuan
isoprena, dan terbagi dalam dua bentuk utama yaitu α-karoten dan β-
karoten (Mun’im, 2008).
Karotenoid berperan penting bagi kesehatan dan
kelangsungan hidup manusia. Karotenoid diasosiasikan dengan respon
imun yang lebih baik terhadap serangan penyakit, perlindungan
terhadap kanker, dan juga berfungsi sebagai antioksidan. Karotenoid, β-
karoten dan α-karoten, secara umum dikenal untuk mengurangi radikal
bebas. Radikal bebas dapat menyebabkan kerusakan sel yang mungkin
bersifat karsinogenik. Aktivitas antioksidan dari karotenoid adalah
alasan di balik efek antikanker dan peningkatan sistem kekebalan tubuh
(Wyeth, 2008)
Betakaroten yang berfungsi sebagai antioksidan merupakan
penangkal yang kuat untuk oksigen reaktif. Suatu penelitian
epidemiologi menyebutkan bahwa orang yang banyak makan buah dan
sayuran yang banyak mengandung karotenoid atau memiliki kadar
betakaroten yang tinggi pada serum memiliki resiko rendah terhadap
serangan kanker (Russel, 2002). β-karoten dapat membantu mencegah
kerusakan jaringan dan DNA. β-karoten juga berperan sebagai
stimulator enzim penghancur karsinogen (zat penyebab kanker) dan
menstimulasi kemampuan tubuh mengubah substansi toksik menjadi
senyawa tak berbahaya (Winarto, 2007). Adapun struktur kimia β-
karoten dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur kimia β- karoten (FAO, 2006)
2. Tokoferol
Analisis kandungan gizi buah kuning menunjukkan
kandungan tokoferolnya lebih tinggi daripada varietas lain P.conoideus
yang telah teranalisis kandungan gizinya. Tokoferol merupakan bentuk
vitamin yang larut dalam lemak yang berperan penting dalam proses
reproduksi. Tokoferol juga merupakan antioksidan penting yang dapat
menetralisir radikal bebas di dalam tubuh (Pratiwi, 2009). Struktur
kimia tokoferol tersaji pada Gambar 3.
Gambar 3. Struktur kimia Tokoferol (FAO, 2006)
α-tokoferol merupakan senyawa 6-hidroksikromana (tokol).
Berperan dalam pertahanan terhadap peroksidasi asam lemak dan
sebagai antioksidan dengan memutuskan berbagai reaksi rantai radikal
bebas (Murray et al., 2003). Vitamin E juga dikenal sebagai tokoferol,
khususnya molekul α-tokoferol (Brock, 1993).
3. Asam – asam lemak
Buah P. conoideus mengandung asam–asam lemak antara
lain berupa asam Oleat, asam Palmitoleat dan asam Alfalinolenat.
Asam lemak berperan sebagai inhibitor pertumbuhan dan
perkembangan tumor. Asam lemak yang memiliki lebih dari delapan
atom karbon memiliki aktivitas sitolitik yang menyebabkan disrupsi
dan disintegrasi sel. Saat asam lemak dimasukkan ke dalam membran
inti, asam lemak tersebut akan memicu pemecahan sel. Apabila asam
lemak diberikan pada sel tumor dalam konsentrasi tinggi akan
menyebabkan lisis sel tumor tersebut, hanya dengan sedikit atau sama
sekali tidak terjadi kerusakan pada sel normal (Mun’im, 2008).
2. Kanker
Kanker merupakan penyakit yang menempati peringkat kedua sebagai
penyebab kematian. Hal ini menyebabkan pengembangan penelitian untuk
menemukan obat-obat baru terus berkembang, bahkan dari bahan alampun kini
banyak diteliti untuk pengobatan penyakit kanker ini. Kanker serviks merupakan
kanker yang terbanyak diderita wanita-wanita di negara yang sedang
berkembang termasuk Indonesia. Di negara maju kanker ini menduduki urutan
ke-10 sebagai penyakit penyebab kematian. Hal ini menyebabkan
pengembangan penelitian untuk menemukan obat-obat baru terus berkembang,
bahkan dari bahan alampun kini banyak diteliti untuk pengobatan penyakit
kanker ini (Meiyanto et al., 2008).
Salah satu pemicu terjadinya kanker adalah adanya radikal bebas dalam
tubuh. Radikal bebas (free radical) didefinisikan sebagai suatu atom atau
molekul yang mempunyai satu elektron atau lebih yang tanpa pasangan
(Halliwel, 1985). Radikal bebas dianggap berbahaya karena menjadi sangat
reaktif dalam upaya mendapatkan pasangan elektronnya, dapat pula terbentuk
radikal bebas baru dari atom atau molekul yang elektronnya terambil untuk
berpasangan dengan radikal bebas baru yang akhirnya bertambah banyak yang
selanjutnya akan menyerang sel-sel tubuh dan menyebabkan kerusakan jaringan.
Radikal bebas secara alami sudah terbentuk di dalam tubuh melalui berbagai
proses kimiawi yang kompleks. Reactive Oxygen Species (ROS) merupakan
radikal bebas yang umumnya terdapat dalam tubuh yang terbentuk melalui
berbagai aktivitas metabolisme (Pratiwi, 2009).
Radikal bebas akan dinetralkan oleh senyawa antioksidan menjadi
senyawa yang tidak berbahaya. Penelitian in vitro yang telah dilakukan
menjelaskan bahwa radikal bebas berperan dalam kerusakan DNA (Phillip,
1956). Penelitian menggunakan kultur sel menunjukkan bahwa molekul yang
mengalami kerusakan akibat radikal bebas tidak hanya DNA, molekul protein
seperti enzim DNA repair, yang mencakup modulator apoptosis dan protein p53
juga akan mengalami modifikasi apabila terpapar radikal bebas (Marshall,
2000). Namun, karena kompleksitas pada radikal bebas, maka sulit untuk
menentukan peran spesifik dari tiap radikal bebas dalam karsinogenesis (Syah,
2005).
Salah satu senyawa yang berpotensi untuk menghambat kerja radikal
bebas adalah antioksidan. Antioksidan akan menghambat oksidasi dengan cara
bereaksi dengan radikal bebas reaktif membentuk radikal bebas tak reaktif yang
relatif stabil. Antioksidan melawan radikal bebas dengan cara memberikan satu
elektron untuk menutupi satu elektron yang dibutuhkan radikal bebas.
Antioksidan terbagi menjadi antioksidan enzim dan antioksidan vitamin.
Antioksidan golongan vitamin lebih populer dibandingkan antioksidan enzim.
Antioksidan vitamin mencakup asam askorbat (vitamin C), α-tokoferol (vitamin
E), dan β-karoten (Winarto, 2007).
Interaksi betakaroten dan tokoferol dengan protein meningkatkan
produksi antibodi, hingga meningkatkan jumlah sel pembunuh alami dan
memperbanyak aktifitas T helpers dan limfosit. Tokoferol, α-tokoferol, dan β-
karoten yang terkandung dalam buah merah dan kuning berfungsi sebagai
antioksidan yang mampu menangkal radikal bebas. Ketiga senyawa inilah yang
diduga membantu proses penyembuhan kanker dan juga HIV/AIDS (Astirin et
al., 2008).
3. Kanker Serviks
Kanker leher rahim adalah tumor ganas (karsinoma) yang tumbuh di
dalam leher rahim (serviks), yaitu suatu daerah pada organ reproduksi wanita
yang merupakan pintu masuk ke arah rahim yang terletak antara rahim (uterus)
dengan liang senggama (vagina). Kanker ini biasanya terjadi pada wanita yang
telah berumur, tetapi bukti statistik menunjukan bahwa kanker leher rahim dapat
juga menyerang wanita yang berumur antara 20 sampai 30 tahun (Meiyanto,
2005).
Penyebab paling utama kanker serviks adalah anggota famili Papovirida
yaitu HPV (Human Papiloma Virus) yang mempunyai diameter 55 µm dan
virus ini ditularkan secara seksual. HPV memiliki kapsul isohedral yang
telanjang dengan 72 kapsomer, serta mengandung DNA circular double
stranded dengan panjang kira-kira 8000 pasang basa (La Russo, 2004;
Sjamsuddin, 2001). Berdasarkan penelitian Sjamsuddin (2001), disimpulkan
bahwa terdapat 3 golongan tipe HPV dalam hubungannya dengan kanker
serviks, yaitu : 1) HPV resiko rendah, yaitu HPV tipe 6, 11, dan 46 yang jarang
ditemukan pada karsinoma invasif ; 2) HPV resiko sedang, yaitu HPV 33, 35,
40, 43, 51, 56, dan 58 ; 3) HPV resiko tinggi, yaitu HPV tipe 16, 18, dan 31.
Ketiga jenis HPV ini dapat menyebabkan pertumbuhan sel yang abnormal,
namun hanya tipe 2 dan 3 yang menyebabkan kanker (Syah, 2005).
Untuk tumbuh menjadi kanker leher rahim dibutuhkan beberapa tahun
sejak sel-sel leher rahim mengalami perubahan. Sel-sel leher rahim abnormal
yang bukan merupakan sel kanker namun dapat berkembang menjadi kanker
disebut dengan cervical intra-epithelial neoplasia (CIN). CIN juga disebut
sebagai sel-sel prekanker yang jika tidak ditangani lebih lanjut akan berpotensi
untuk berkembang menjadi kanker. Namun tidak semua wanita yang memiliki
CIN akan menderita kanker. Keberadaan CIN identik dengan displasia (Hidayat,
2002).
Perkembangan kanker serviks meliputi displasia ringan (5 tahun),
displasia sedang (3 tahun), displasia berat (1 tahun) sampai menjadi kanker
stadium 0. Tahap pra kanker ini sering tidak menimbulkan gejala (92%),
selanjutnya masuk tahap kanker invasif berupa kanker stadium I sampai stadium
IV (DeFilippis et. al., 2007).
4. Sel HeLa
Sel yang sering dijumpai pada kanker serviks adalah sel HeLa. Kultur sel
HeLa atau HeLa cell line merupakan continuous cell line yang diturunkan dari
sel epitel kanker leher rahim (cervix) seorang wanita penderita kanker leher
rahim bernama Henrietta Lacks yang meninggal akibat kanker pada tahun 1951.
Kultur sel ini memiliki sifat semi melekat dan digunakan sebagai model sel
kanker dan untuk mempelajari sinyal transduksi seluler. Sel HeLa ini cukup
aman dan merupakan sel manusia yang umum digunakan untuk kepentingan
kultur sel (Syaifuddin, 2007).
HeLa bersifat imortal yang artinya tidak dapat mati karena tua dan dapat
membelah secara tidak terbatas selama kondisi dasar bagi sel untuk tetap hidup
masih terpenuhi. Strain-strain baru dari sel HeLa telah dikembangkan dalam
berbagai macam kultur sel, tapi semua sel HeLa berasal dari keturunan yang
sama. Sel HeLa telah mengalami transformasi akibat infeksi Human Papiloma
Virus 18 (HPV 18) dan berbeda dengan sel leher rahim yang normal (Parhardian
et al., 2004).
Sel HeLa dapat tumbuh dengan agresif dalam media kultur. Media yang
digunakan adalah media RPMI 1640-serum. Di dalamnya terkandung nutrisi
yang cukup untuk pertumbuhan, yaitu asam amino, vitamin, garam-garam
anorganik, dan glukosa. Serum yang ditambahkan mengandung hormon-hormon
yang mampu memacu pertumbuhan sel. Albumin berfungsi sebagai protein
transport, lipid diperlukan untuk pertumbuhan sel, dan mineral berfungsi
sebagai kofaktor enzim (Freshney, 2000).
Sel HeLa adalah sel kanker leher rahim akibat infeksi HPV sehingga
mempunyai sifat yang berbeda dengan sel leher rahim normal. Sel kanker leher
rahim yang diinfeksi HPV diketahui mengekspresikan 2 onkogen, yaitu E6 dan
E7. Protein E6 dan E7 terbukti dapat menyebabkan sifat imortal pada kultur
primer keratinosit manusia, namun sel yang imortal ini tidak bersifat
tumorigenik hingga suatu proses genetik terjadi. Jadi, viral onkogen tersebut
tidak secara langsung menginduksi pembentukan tumor, tetapi menginduksi
serangkaian proses yang pada akhirnya dapat menyebabkan sifat kanker
(Hussain et. al., 2003).
Sebagian besar sel kanker leher rahim, termasuk sel HeLa, mempunyai
gen p53 dan p105Rb dalam bentuk wild type. Kedua gen pengatur pertumbuhan
yang aktif dalam sel normal ini juga terdapat dalam sel kanker leher rahim.
Namun, aktivitasnya dihambat oleh ekspresi protein E6 dan E7 dari HPV
(Parhardian et. al., 2004).
5. Gen p53
Gen p53 dikenal juga sebagai TP53 atau tumor protein adalah sebuah
gen yang berperan dalam regulasi siklus sel dan termasuk golongan tumor
suppressor gen. Sedemikian penting perannya bagi organisme multisel untuk
mencegah keganasan sehingga dia dijuluki “the guardian of the genome”,
sehubungan dengan perannya dalam menjaga stabilitas sel dan mencegah mutasi
genome (Pecorino, 2004). Pada tahun 1979, gen p53 ditemukan berupa
fosfoprotein dengan berat molekul 53 kD (Foulkes, 2007).
Dikenal ada 2 tipe protein p53 yaitu protein p53 tipe wild dan tipe
mutan. Gen p53 tipe wild berperan menghambat proliferasi sel, transkripsi sel,
reparasi DNA dan apoptosis, sedangkan protein p53 tipe mutan berfungsi
menghambat protein p53 tipe wild sehingga proliferasi sel kehilangan
hambatannya (Brock, 1993).
Protein P53 merupakan protein tumor regulator checkpoint yang
diaktivasi oleh adanya kerusakan DNA atau adanya stress tertentu pada sel.
Protein ini dapat memacu proses apoptosis melalui peningkatan ekspresi Bax,
gen yang menyandi suatu protein Bax yang berperan dalam apoptosis. Namun
demikian ekspresi Bax oleh p53 masih belum cukup untuk memacu proses
apoptosis sendirian sehingga masih diperlukan pemacu lainnya. Dalam hal ini
Bax bersama-sama dengan protein lainnya akan mengaktifkan sitokrom c yang
dilepas dari mitokondria dan selanjutnya akan terjadi aktivasi berantai terhadap
caspase 9 dan caspase 3 hingga apoptosis terjadi (Meiyanto, 2008).
Sebagian besar sel kanker serviks mempunyai gen p53 dan p105Rb
dalam bentuk wild type. Kadar protein P53 tipe wild dalam inti sangat sedikit,
bersifat labil dan mempunyai waktu paruh yang pendek sehingga tidak
terdeteksi dengan teknik pewarnaan immunositokimia. Protein ini berperan
menghambat proliferasi sel, transkripsi sel, reparasi DNA, dan apoptosis.
Sedangkan protein P53 tipe mutan berperan menghambat protein P53 tipe wild
sehingga proliferasi sel kehilangan hambatannya (Brock, 1993). Terjadinya p53
mutan menyebabkan terganggunya fungsi kontrol terhadap adanya kerusakan
DNA sehingga mengakibatkan tidak teraktivasinya jalur caspase (Hanahan dan
Weinberg and Hanahan, 2000).
Gen p53 menghasilkan produk yang berfungsi sebagai aktivator
transkripsi yang berperan mengatur siklus sel pada titik tertentu, khususnya fase
G1 dan G2. Sebagian besar mutasi gen p53 terletak antara codon 120 dan 290
pada exon 5-9 (DBD). Bagian ini disebut “hot-spot” mutasi p53. Pada manusia
paling tidak terdapat 4 hotspot (daerah rawan mutasi) dalam gen p53, yaitu
terletak pada kodon yang menyandi asam amino nomor 175, 248, 273, dan 282.
Mutasi kodon-kodon hotspot tersebut diperkirakan mencapai 30% dari semua
bentuk mutasi gen p53 (Sherman cit Syaifuddin, 2007).
6. Uji Sitotoksisitas
Penelitian terkait pengobatan kanker serviks terus dilakukan. Salah satu
metode yang sering digunakan adalah melalui uji sitotoksisitas senyawa yang
diduga berpotensi sebagai senyawa antikanker. Uji sitotoksisitas dilakukan
untuk konfirmasi dari kemampuan sitotoksik fraksi uji terhadap sel HeLa. Dari
morfologi sel Hela dapat diketahui adanya efek toksik yang ditimbulkan oleh
fraksi uji. Efek toksik terlihat melalui adanya fenomena dose dependent yang
menunjukkan korelasi antara konsentrasi fraksi uji dengan sitotoksisitasnya.
Seiring dengan bertambahnya konsentrasi, jumlah sel yang mati semakin
banyak. Hal ini mengakibatkan semakin tinggi konsentrasi fraksi uji, semakin
rendah absorbansi sumuran sehingga persen kehidupannya semakin kecil.
Sedangkan pada kontrol, tidak terdapat korelasi yang signifikan antara
konsentrasi dan persen kehidupan sel (Meiyanto et. al., 2005).
Sitotoksisitas adalah sifat toksik atau beracun yang dimiliki suatu
senyawa terhadap suatu sel hidup. Uji sitotoksisitas adalah suatu uji yang secara
in vitro dilaksanakan menggunakan kultur sel dalam mengevaluasi keamanan
suatu obat, makanan, kosmetik, maupun bahan-bahan kimia lainnya. Uji ini
selain menggunakan kultur sel juga uji farmakokinetika in vitro untuk
mengembangkan obat-obat terapeutik dan mengamati toksisitas baik akut
maupun kronik (Freshney, 2000).
Dari sejumlah data eksperimental terbukti bahwa sebagian besar
tanaman yang memiliki aktivitas antimikroba pada umumnya menunjukkan
potensi sebagai antikanker karena sifat toksisitas yang dimilikinya tersebut
dapat pula bekerja terhadap fase tertentu dari siklus sel tumor (Nursid et al.,
2006).
7. Uji Doubling Time
Doubling time adalah waktu yang diperlukan sel untuk menggandakan
diri menjadi dua kali dari jumlah sel semula. Setiap sel kanker memiliki waktu
yang berbeda dalam menggandakan diri. Doubling time juga dapat digunakan
untuk membandingkan karakteristik biologi antara cell line serta
mendeskripsikan pola pertumbuhan sel (Kim, 1995). Proliferasi sel dapat
digunakan untuk menjelaskan respon sel terhadap pengaruh stimulasi atau
senyawa toksik. Hal ini berguna untuk melihat konsistensi sel dan mengetahui
waktu subkultur sel yang terbaik (Freshney, 2000). Meiyanto et al. (2007)
menyampaikan bahwa senyawa yang mampu memperpanjang waktu doubling
time menunjukkan kemampuan senyawa tersebut untuk menghambat proliferasi
sel kanker melalui mekanisme cell cycle arrest.
Mekanisme yang terjadi dalam penghambatan doubling time ini dapat
dijelaskan melalui sinyal tranduksi dalam cell cycle arrest yang diduga dimulai
dari penghambatan kerja enzim oksidasi yang berperan dalam produksi ATP
oleh α-tokoferol, sehingga energi yang digunakan untuk pembelahan sel kurang
tersedia (Kawai et al., 1974), selain itu juga dikarenakan adanya penghambatan
protein kinase C (Prasad et al., 1999). Protein kinase C berfungsi dalam
fosforilasi pRb. Saat pRb menjadi hipofosforilasi maka pRb akan mengikat E2F
sehingga menghambat aktivitas dari E2F yang merupakan faktor transkripsi.
Penghambatan E2F ini akan menyebabkan cell cycle arrest (Guasconi et al. cit
Pratiwi, 2009).
8. Apoptosis
Apoptosis adalah tipe kematian terprogram melalui serangkaian
perubahan struktural sebagai hasil dari rangsang fisiologis atau patologis. Ciri
morfologi apoptosis adalah pengerutan sel, penonjolan membran (membrane
blebbing), kondensasi kromatin, dan fragmentasi inti sel (Suryadi et. al., 2004).
Dalam kaitannya dengan pengendalian tumorigenesis, apoptosis
merupakan mekanisme penting untuk mencegah proliferasi sel yang mengalami
kerusakan DNA, agar sel-sel dengan lesi DNA tersebut tidak dilipatgandakan,
sehingga dalam hal ini apoptosis berfungsi sebagai salah satu kontrol checkpoint
dalam siklus sel. Kegagalan sel-sel tumor untuk melaksanakan mekanisme
apoptosis merupakan salah satu faktor yang mendasari pertumbuhan tumor yang
makin lama makin besar, instabilitas genetik sel-sel bersangkutan dan resistensi
terhadap kemoterapi (Weinberg and Hanahan, 1996). Tidak adanya mekanisme
apoptosis dapat meningkatkan ketahanan hidup sel dan menambah kemungkinan
ekspansi sel ganas. Selain itu, tidak adanya mekanisme apoptosis akan
memperbesar kemungkinan terjadinya keganasan sel akibat instabilitas genetik
dan akumulasi kelainan genetik dan merupakan akibat dari ketidaktaatan
terhadap aturan yang ditentukan pada checkpoint siklus sel untuk menginduksi
apoptosis (Reed, 1997).
9. Penelitian Bahan Alam
Uji eksperimental secara in vitro dengan menggunakan kultur sel tumor
yang diberi perlakuan ekstrak tanaman obat tradisional merupakan model yang
bisa dikembangkan sebagai dasar dalam mempelajari efek molekul anti kanker
yang ditampilkan. Hal ini sangat diperlukan guna menjawab dan memastikan
potensi anti kanker dari suatu tanaman obat. Penggunaan human cell lines
sebagai model dalam eksperimental biomedik sering dijumpai. Keutamaan
penggunaan cell lines atau galur sel didapatkan homogenitas genetik dan fenotip
sampel yang cukup tinggi, serta tidak dijumpainya variasi individual. Selain hal
tersebut cancer cell lines memiliki sifat specific accumulate multiple genetic
change, khususnya pada proto-oncogenes dan tumor suppressor genes
(Wozniak and Keely, 2005).
Penggunaan bahan-bahan alam dalam pengobatan kanker didasari oleh
sistem kerja obat kimia secara system cycle dependent drug yang membunuh
kanker secara selektif pada fase-fase pertumbuhannya seperti pada tahap mitosis
sel (Robin dan Kumar, 1997). Kebanyakan obat-obat kemoterapi mempunyai
efek samping dan komplikasi berupa kerusakan-kerusakan pada jaringan yang
masih sehat, oleh karena itu mulai banyak dilakukan penelitian tentang bahan
obat dari alam yang dapat berfungsi sebagai antikanker (Wahyuningsih dan
Yustina, 1999).
10. Pemisahan Kandungan Senyawa Kimia
Pemanfaatan bahan alam sebagai agen terapi kanker yang sering
dijumpai adalah melalui senyawa aktif yang dikandung suatu tumbuhan.
Senyawa aktif tumbuhan dapat diperoleh melalui beberapa metode pemisahan.
Salah satunya adalah dengan metode partisi dan fraksinasi untuk memperoleh
senyawa spesifik yang potensinya paling besar terhadap penghambatan
proliferasi sel kanker (Nursid et al., 2006).
Untuk identifikasi senyawa hasil pemisahan sering digunakan metode
KLT (Kromatografi Lapis Tipis). Prinsip metode ini adalah pemisahan senyawa
berdasarkan tingkat polaritasnya. Dua fase yang berperan di dalamnya adalah
fase diam dan fase gerak. Senyawa yang dipisahkan akan terelusi oleh pelarut
yang digunakan sebagai fase gerak sehingga dapat diidentifikasi golongannya
(Bogoriani et. al., 2007).
Data yang diperoleh dari KLT adalah nilai Rf (Retardation factor) yang
berguna untuk identifikasi senyawa. Nilai Rf untuk senyawa murni dapat
dibandingkan dengan nilai Rf dari senyawa standar. Nilai Rf dapat didefinisikan
sebagai jarak yang ditempuh oleh senyawa dari titik asal dibagi dengan jarak
yang ditempuh oleh pelarut dari titik asal. Oleh karena itu bilangan Rf selalu
lebih kecil dari 1,0 (Rossaria, 2007).
Kanker Serviks dengan gen p53 termutasi (Parhardian et. al., 2004)
B. Kerangka Pemikiran
Gambar 4. Bagan alir proses penelitian
Setiap tahun diperkirakan terdapat 500.000 kasus kanker serviks baru di
seluruh dunia. Kanker serviks terjadi karena adanya infeksi dari Human Papiloma
Virus (HPV) dengan gen p53 yang termutasi. Angka kematiannya yang cukup
Angka kematian tinggi (Yohanes, 2008)
Kemoterapi menimbulkan efek negatif (Wahyuningsih, 1999)
Bahan alam sebagai antikanker
Sari Pandanus conoideus Lam. Varietas buah kuning
Berpotensi senyawa antikanker payudara
Pemisahan kandungan senyawa kimia
Uji doubling time
Uji sitotoksisitas sel HeLa terhadap 2 bagian hasil pemisahan
Penentuan golongan senyawa kimia
Bagian teraktif terhadap sel HeLa
tinggi mendorong para peneliti untuk menemukan alternatif senyawa antikanker
dari bahan alam. Mengingat penggunaan bahan-bahan kimia sebagai agen
kemoterapi terbukti menimbulkan efek negatif bagi sistem tubuh.
Salah satu bahan alam yang mulai dikembangkan sebagai senyawa
antikanker adalah Pandanus conoideus Lam. varietas buah kuning. Hasil
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Pratiwi (2009) menunjukkan bahwa
sari Pandanus conoideus Lam. varietas buah kuning terbukti memiliki sifat
sitotoksik terhadap penghambatan aktivitas pertumbuhan sel kanker payudara.
Berdasarkan data di atas maka akan dilakukan uji sitotoksisitas sari
Pandanus conoideus Lam. varietas buah kuning terhadap sel HeLa yang
diturunkan dari kanker serviks. Penelitian diawali dengan pemisahan kandungan
senyawa kimia, dilanjutkan dengan uji sitotoksisitas hasil pemisahan terhadap
kultur sel HeLa kemudian dilakukan penentuan golongan senyawa kimia dan uji
doubling time untuk mengetahui waktu penggandaan dari sel tersebut terhadap
bagian teraktif.
C. Hipotesis
1. Bagian Pandanus conoideus Lam. varietas buah kuning diduga memiliki
efek sitotoksik terhadap kultur sel HeLa dan mampu menghambat laju
pertumbuhan sel setelah dilakukan uji doubling time.
2. Bagian Pandanus conoideus Lam. varietas buah kuning diduga
mengandung senyawa aktif yang berpotensi sebagai senyawa antikanker.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat penelitian
Penelitian dilakukan mulai bulan Juni-Agustus 2009 di Laboratorium
Pusat MIPA Universitas Sebelas Maret dan Laboratorium Penelitian dan
Pengujian Terpadu (LPPT) Universitas Gadjah Mada.
B. Alat dan Bahan
1. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Laminer air flow cabinet,
timbangan digital, inkubator CO2, refrigerator, mikroskop cahaya, mikroskop
inverted, mikroplate 96 sumuran, mikroplate 24 sumuran, kamera digital, pipet
mikro, sentrifuse, pipet pastur, hemasitometer, tissue culture flask 40 ml,
vortex, alat gelas, filtermikro (milipore 0,22 µm), conical tube, deck glass,
obyek glass yang dilapisi poly L-lysine, coverslip plastik Ф 12 mm, tabung
eppendorf, bunzen buchner, corong pisah, pipa kapiler, chamber, pipet tetes,
penyemprot dan oven.
2. Bahan
a. Bahan Utama
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian adalah sari
Pandanus conoideus Lam. varietas buah kuning yang diperoleh dari I
Made Budi, peneliti bahan alam dari Jurusan Biologi FMIPA Universitas
Cendrawasih (UNCEN) Papua.
b. Bahan untuk Pemisahan Kandungan Senyawa Kimia
Bahan yang digunakan untuk pemisahan kandungan senyawa
kimia adalah MeOH 100% (Brataco), eter (Brataco) dan KOH 30%
(Brataco) (dalam aquades).
c. Bahan untuk Penentuan Golongan Senyawa Kimia
Bahan yang digunakan untuk penentuan golongan senyawa kimia
adalah SiOH, alumina, wash benzena, eter, pereaksi semprot FeCl3,
pereaksi semprot Lieberman Burchard, pereaksi semprot dragendorf, dan
pereaksi semprot vanilin-H2SO4 pekat.
d. Bahan untuk uji Sitotoksisitas
Bahan yang digunakan untuk uji sitotoksisitas adalah bagian P.
conoideus Lam. varietas buah kuning hasil pemisahan, kultur sel HeLa,
Media RPMI 1640, Aquades, alkohol 70% HCl, NaOH, Phosphate Buffer
Saline (PBS), Fetal Bovine Serum (FBS), Penicillin / Streptomycin,
Fungizon, Hepes, Natrium bicarbonate, Tryphan blue, dan Tripsin.
C. Cara Kerja
1. Pemisahan Kandungan Senyawa Kimia
Sari buah kuning dipartisi menjadi dua bagian. Pelarut yang
digunakan adalah MeOH : eter : KOH 30% (dalam aquades) dengan
perbandingan 1:1:1. Setelah diperoleh dua bagian, profil kandungan senyawa
kimia dimonitor menggunakan metode Kromatografi Lapis Tipis Preparatif
dengan fase diam silika : alumina (3:2 b/b) dan fase gerak wash benzena : eter
(1:1 v/v). Hasil pemisahan kemudian dideteksi di bawah UV 254 dan 366 serta
pereaksi semprot Serium (IV) Sulfat (Sr IV SO4).
2. Uji Sitotoksisitas
Sel HeLa diambil dari tangki nitrogen cair, segera dicairkan dalam
penangas air pada suhu 37°C, kemudian ampul disemprot dengan etanol 70 %.
Selanjutnya sel dipindahkan ke dalam tabung conical steril berisi media RPMI.
Suspensi sel kemudian disentrifugasi 325 g selama ± 5 menit. Supernatan
dibuang sedangkan endapan ditambah 1 mL medium penumbuh yang
mengandung 20 % PBS dan diresuspensi perlahan hingga homogen, kemudian
sel ditumbuhkan pada tissue culture flask kecil dan diinkubasi pada inkubator
CO2 suhu 37°C dengan aliran 5% CO2. Setelah 24 jam media diganti dan sel
ditumbuhkan hingga konfluen dan jumlahnya cukup untuk penelitian.
Setelah jumlah sel cukup, dilakukan pemanenan sel. Sel HeLa
dicuci dengan PBS pH 7,2 sebanyak 5 mL. Selanjutnya sel yang melekat pada
dinding tissue culture flask dilepas dengan tripsin. Sel dipindahkan ke dalam
tabung konikal steril, diberi 10 mL media RPMI dan disentrifugasi 325 g
selama 5 menit. Dihitung jumlah selnya menggunakan hemasitometer tanpa
penambahan tryphan blue. Suspensi sel ditambah 100 µl medium RPMI
komplit (FBS, Pen-Strep, Fungizon ®) sehingga diperoleh konsentrasi sel 2 x
104 sel / 100 mL.
Suspensi sel yang telah disiapkan kemudian dimasukkan ke dalam
mikrokultur 96 sumuran. Ditambahkan bagian buah kuning hasil partisi
sebanyak 100 µl pada peringkat konsentrasi yang berbeda secara triplet.
Variasi konsentrasi yang digunakan adalah 10 µl/ml; 5 µl/ml; 2,5 µl/ml; 1,25
µl/ml; 0,625 µl/ml; 0,3125 µl/ml; 0,15625 µl/ml, 0,078125 µl/ml; 0,0390625
µl/ml; 0,01953125 µl/ml; 0,009765625 µl/ml; 0,0048828125 µl/ml;
0,00244140625 µl/ml; 0,001220703125 µl/ml dan 0,0006103515625 µl/ml.
Dengan menggunakan mikropipet masing-masing konsentrasi ekstrak sampel
uji yang telah disiapkan dalam eppendorf steril dipindahkan ke sumuran.
Disiapkan pula kontrol negatif media RPMI 1640 dan kultur sel
kemudian diinkubasi selama 24 jam dalam inkubator CO2 37°C dengan kadar
CO2 5%. Setelah 24 jam media RPMI 1640 dibuang dan diresuspensi dengan
100 µl tripsin-EDTA 0,25%, didiamkan hingga sel terlepas dari dasar sumuran
±3-5 menit. Selanjutnya pada setiap sumuran ditambahkan 100 µl trypan blue,
kemudian diambil kira-kira 10 µl diletakkan pada hemasitometer dan dihitung
jumlah sel mati maupun sel hidup di bawah mikroskop cahaya dengan
perbesaran 100 kali.
3. Uji Doubling Time (waktu penggandaan)
Uji doubling time dilakukan dengan menstarvasi sel selama 24 jam
dalam media kultur yang mengandung FBS 5%, streptomisin 2%, penisilin 2%
dan fungizon 0,5% kemudian sel HeLa dengan kerapatan sekitar 2x104 sel/mL
dimasukkan dalam microplate 96 sumuran sebanyak 100 µl. Selanjutnya sel
diinkubasi dalam inkubator CO2 selama semalam. Setelah semalam media
RPMI 1640 diganti baru dan ditambahkan larutan uji hasil pemisahan masing-
masing sebanyak 100 µl dalam biakan sel kultur, dengan ulangan sebanyak 3
untuk tiap perlakuan. Konsentrasi larutan uji yang digunakan adalah 4
konsentrasi di bawah LC50 hasil uji sitotoksisitas. Pengambilan sampel
dilakukan pada jam ke 0, 24, 48 dan 72. Selanjutnya media RPMI 1640
dibuang dan ditambahkan tripsin sebanyak 100 µl, diinkubasi 10 menit
kemudian ditambahkan 100 µl tryphan blue. Suspensi sel dari masing-masing
perlakuan diambil 10 µl untuk dihitung menggunakan hemasitometer. Hasil
perhitungan kemudian ditampilkan dalam kurva jumlah sel dan waktu
inkubasi.
4. Penentuan Golongan Senyawa Kimia
Penentuan golongan senyawa kimia dilakukan pada bagian yang
menunjukkan nilai sitotoksisitas yang tinggi terhadap sel HeLa dengan
menggunakan beberapa pereaksi semprot kimia spesifik. Deteksi golongan
senyawa kimia dilakukan dengan mengelusi bagian hasil partisi menggunakan
silika alumina (3:2 b/b) sebagai fase diam dan wash benzena : eter ( 1:1 v/v)
sebagai fase gerak serta pereaksi semprot besi (III) klorida untuk deteksi
keberadaan senyawa fenolik, pereaksi semprot dragendorf untuk deteksi
senyawa alkaloid, pereaksi semprot vanilin-H2SO4 pekat untuk deteksi
terpenoid dan pereaksi semprot Lieberman Burchard untuk deteksi senyawa
steroid.
D. Analisis Data
1. Uji Sitotoksisitas
Hasil pengamatan kematian sel uji ditampilkan dalam bentuk
persentase kematian sel dengan rumus:
% kematian sel = 100% - % viabel sel
dimana, % viabel sel =
Signifikansi data dianalisis menggunakan analisis probit. Data
ditampilkan dalam bentuk kurva hubungan konsentrasi senyawa uji dengan
persentase kematian sel uji. Aktivitas sitotoksik dinyatakan dengan LC50 yang
ditetapkan melalui hasil perhitungan direct counting.
2. Uji doubling time
Masing-masing sumuran dihitung jumlah sel hidup dengan
hemasitometer lalu dibuat kurva antara jumlah sel dengan waktu inkubasi
(Mursyidi, 1985). Perhitungan jumlah sel hidup dihitung dengan rumus sebagai
berikut :
(Doyle and Griffith, 2000)
x 100% Jumlah sel hidup total sel
N =
Dimana,
N : Jumlah sel hidup
4 : Jumlah bilik hitung yang digunakan
A : Jumlah suspensi sel yang diambil (misal 10µl)
B : Pengenceran (misal 100 µl tripsin dan 100 µl tryphan blue)
Perbedaan waktu penggandaan sel dihitung dari slope pada kurva dari
persamaan grafik log antara jumlah sel hidup dan waktu pengamatan.
3. Profil Kandungan Kimia Bagian Teraktif
Senyawa kimia yang terkandung dalam bagian dengan aktifitas
sitotoksik lebih tinggi dianalisa berdasarkan reaksi positif yang ditunjukkan
oleh reagen yang digunakan sebagai pereaksi semprot spesifik.
N 4
x A x B
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kanker serviks merupakan salah satu jenis penyakit dengan angka
kematian yang cukup tinggi bagi seluruh wanita di dunia. Menurut data yang
disampaikan oleh Yohanes (2008) angka prevalensinya di dunia mencapai 99,7%.
Oleh karena itu penelitian terkait pengobatan kanker serviks terus saja
dikembangkan. Salah satunya adalah melalui penelitian bahan alam. Hal ini
didukung oleh adanya efek negatif yang ditimbulkan dari penggunaan agen
kemoterapi. Sebagaimana disebutkan oleh Wahyuningsih dan Yustina (1999)
kebanyakan agen kemoterapi mempunyai efek samping dan komplikasi pada
jaringan yang masih sehat.
Salah satu jenis bahan alam yang mulai dikembangkan sebagai senyawa
anti kanker adalah Pandanus conoideus Lam. varietas buah kuning. Menurut
Pratiwi (2009) sari P. conoideus Lam. varietas buah kuning yang diujikan secara
in vitro pada sel kanker payudara T47D memberikan aktivitas sitotoksik dengan
nilai LC50 sebesar 0,25 µl/ml. Selain itu, Wibowo et. al. (2007) dan Astirin (2008)
juga menyampaikan bahwa P. conoideus Lam. varietas buah kuning diduga
berperan dalam penghambatan pertumbuhan dan toksisitas terhadap sel kanker
karena di dalamnya terkandung beberapa komponen diantaranya karoten, β-
karoten, tokoferol, dan asam lemak yang memiliki potensi sitotoksis terhadap cell
line T47D, MCF7, HT29, Raji, dan HeLa.
Hal tersebut di atas melatarbelakangi dilaksanakannya penelitian ini yang
bertujuan untuk mengkaji efek sitotoksik serta profil kandungan kimia bagian P.
conoideus Lam. varietas buah kuning terhadap sel HeLa secara in vitro. Dalam
penelitian ini dilakukan uji sitotoksisitas untuk mendapatkan nilai LC50 dari
bagian hasil partisi serta uji waktu penggandaan (doubling time) untuk
mengetahui aktivitas penghambatan terhadap pertumbuhan sel kanker.
A. Pemisahan Kandungan Senyawa Kimia
Langkah pertama yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pemisahan
kandungan kimia terhadap sari P. conoideus Lam. varietas buah kuning yang akan
digunakan sebagai bahan uji. Hal ini bertujuan untuk menyederhanakan
kandungan senyawa kimia yang ada sehingga akan diperoleh dua bagian dengan
aktivitas sitotoksik yang berbeda. Pemisahan dilakukan menggunakan corong
pisah dengan melarutkan sari P. conoideus Lam. varietas buah kuning ke dalam
metanol, eter dan KOH 30% (dalam aquades).
Salah satu komponen yang terdapat dalam sari P. conoideus Lam. varietas
buah kuning adalah karotenoid. Karotenoid yang ada ini kemungkinan masih
terikat dengan ester (misalnya karotenol ester) sehingga diperlukan tahap
penyabunan untuk memisahkannya secara optimal. Dalam penelitian ini
penyabunan dilakukan dengan memasukkan sari P. conoideus Lam. varietas buah
kuning ke dalam campuran metanol serta eter yang telah ditambah dengan KOH
30% (dilarutkan dalam aquades).
Setelah dilakukan proses pencampuran dan dilanjutkan dengan
penggojogan dalam corong pisah, maka diperoleh dua lapisan. Lapisan atas
berwarna kuning keruh sedangkan lapisan bawah berwarna kuning cerah,
sebagaimana terlihat pada Gambar 5. Lapisan atas merupakan bagian yang larut
dalam eter dan KOH 30% sehingga dimungkinkan mengandung lebih banyak
karotenoid karena eter dan KOH 30% memiliki kemampuan untuk menarik
karotenoid. Hal ini terlihat dari warna lapisan atas yang tampak lebih keruh. Hasil
pemisahan kemudian diuapkan di atas penangas air dengan tujuan untuk
mempurifikasi hasil pemisahan dari pelarut yang digunakan.
Gambar 5. Hasil pemisahan terbentuk dua lapisan dengan warna yang berbeda. (a) bagian atas berwarna coklat kehitaman; (b) bagian bawah berwarna kuning cerah.
Hasil pemisahan yang telah dipurifikasi kemudian dimonitor
pemisahannya menggunakan metode Kromatografi Lapis Tipis Preparatif. Fase
diam yang digunakan adalah silika : alumina (3:2 b/b) sedangkan fase geraknya
adalah wash benzena : eter (1:1 v/v). Modifikasi fase diam bertujuan untuk
mengoptimalkan deteksi hasil pemisahan. Hal ini disebabkan karena plat alumina
mampu menghasilkan jumlah spot yang lebih banyak daripada plat silika. Namun,
plat alumina bersifat sangat rapuh karena tidak menggunakan binder (perekat),
a
b
sedangkan plat silika lebih rekat dan tidak mudah rapuh karena menggunakan
binder sehingga dilakukan pencampuran keduanya.
Hasil pemisahan ini dideteksi di bawah sinar UV pada panjang gelombang
354 dan 366 nm serta menggunakan pereaksi semprot Serium (IV) Sulfat. Sinar
UV digunakan untuk mendeteksi keberadaan ikatan rangkap terkonjugasi
sedangkan Sr (IV) Sulfat untuk mendeteksi keberadaan senyawa organik dalam
bagian hasil pemisahan. Hasil deteksi UV terlihat pada Gambar 6. Sedangkan
hasil deteksi menggunakan pereaksi semprot Se (IV) Sulfat ditunjukkan pada
Gambar 7.
a b Gambar 6. Hasil deteksi bagian P. conoideus Lam. varietas buah kuning di
bawah sinar UV: 254 nm (a), 366 nm (b). Keduanya menunjukkan hasil negatif (tidak muncul peredaman).
Deteksi UV 254 dan 366 nm memberikan reaksi negatif yang ditunjukkan
dengan tidak adanya peredaman. Hal ini terjadi karena bagian hasil pemisahan
tidak mengandung senyawa yang memiliki ikatan rangkap terkonjugasi.
Sedangkan hasil deteksi dengan pereaksi semprot Se (IV) Sulfat menunjukkan
terbentuknya dua spot yang berbeda. Ini menunjukkan bahwa senyawa organik
Bagian atas
Bagian bawah
Bagian atas
Bagian bawah
yang terkandung dalam sari P. conoideus Lam. varietas buah kuning telah
mengalami pemisahan sehingga memunculkan dua bagian yang masing-masing
menunjukkan bercak dengan profil yang berbeda. Bagian bawah memberikan nilai
Rf sebesar 0,05 sedangkan bagian atas memberikan nilai Rf 1 sebesar 0,03, Rf 2
sebesar 0,24 dan Rf 3 sebesar 0,97.
a b
Gambar 7. Hasil deteksi bagian P. conoideus Lam. varietas buah kuning dengan pereaksi semprot Sr (IV) Sulfat menunjukkan bercak yang berbeda: bagian bawah (a), bagian atas (b). Fase diam : silika alumina (3:2 b/b), Fase gerak : wash benzena dan eter (1:1 v/v).
B. Uji Sitotoksisitas
Setelah diperoleh dua bagian uji hasil pemisahan, yaitu bagian atas dan
bawah kemudian dilanjutkan dengan uji sitotoksisitas. Langkah ini bertujuan
untuk mengetahui efek sitotoksik dari masing-masing bagian hasil pemisahan
terhadap kultur sel HeLa sehingga dapat ditentukan besarnya nilai LC50 dari tiap
bagian untuk selanjutnya dijadikan sebagai dasar untuk menentukan bagian
teraktif.
Rf
0,05
Rf 0,97
0,24
0,03
Tahap uji sitotoksisitas dan doubling time dilaksanakan dengan
menggunakan metode direct counting. Untuk mengetahui jumlah sel digunakan
hemasitometer sebagai media hitung dan tryphan blue sebagai counterstain.
Metode ini dipilih karena senyawa uji yang digunakan merupakan senyawa
berwarna. Pada beberapa kasus ditemukan bahwa senyawa berwarna akan
menimbulkan bias jika menggunakan metode ELISA reader dengan prinsip kerja
menggunakan absorbansi. Theiszova et al. (2005) juga menyebutkan bahwa
metode direct counting memiliki sensitivitas yang lebih tinggi terhadap
penghambatan pertumbuhan sel fibroblast NIH-3T3 dibandingkan dengan
pengukuran yang dilakukan menggunakan metode MTT (3-(4,5-dimethylthiazol-
2yl)-2,5-diphenyltetrazolium bromide). Metode MTT merupakan salah satu
metode uji sitotoksik yang prinsipnya didasarkan pada kemampuan sel hidup
untuk mereduksi garam MTT menjadi kristal formazan.
Menurut Rode et al. (2004) apabila menggunakan metode direct counting
sel yang mati akan terpulas biru karena tryphan blue berikatan dengan protein
intraseluler pada sel yang rusak akibat permeabilitas membran selnya terganggu
(Rode et al., 2004), sedangkan sel hidup masih memiliki membran sel yang utuh
sehingga tryphan blue tidak dapat masuk ke dalam sel dan sel tampak transparan.
Menurut Syaifuddin (2007) kultur sel HeLa sering digunakan sebagai
model dalam penelitian karena tumbuh lebih cepat sehingga mampu memproduksi
lebih banyak sel dalam satu flask dan merupakan sel manusia yang umum
digunakan untuk kepentingan kultur sel. Kultur sel HeLa memiliki sifat semi
melekat. Hal ini disebabkan karena sel kultur melepas suatu protein matriks
ekstraseluler sehingga menyebabkan sel–sel tersebut menempel satu sama lain dan
menempel pada dasar microplate. Oleh karena itu diperlukan penambahan Tripsin
untuk melepas sel-sel tersebut dari dasar microplate. Menurut Freshney (2000)
Tripsin merupakan protease yang akan mendigesti ekstraselular matriks tersebut
sehingga sel dapat terpisah satu sama lain dari dasar microplate. Sel–sel yang
telah terlepas dari dasar microplate akan tampak berbentuk bulat–bulat, seperti
terlihat pada Gambar 8.
a b Gambar 8. Sel HeLa sebelum ditambahkan tripsin (a), sel HeLa setelah
penambahan tripsin (b). Keterangan: 1a. sel hidup (berbentuk lonjong seperti daun), 2a. sel mati (berbentuk bulat), 1b. Sel hidup (tampak bercahaya), 2b. Sel mati (berbentuk bulat tidak bercahaya)
Uji sitotoksisitas diawali dengan menumbuhkan sel HeLa hingga konfluen
pada medium RPMI 1640-serum. Menurut Freshney (2000) dalam medium ini
terkandung nutrisi yang cukup untuk pertumbuhan, yaitu asam amino, vitamin,
garam-garam anorganik, dan glukosa. Serum yang ditambahkan mengandung
hormon-hormon yang mampu memacu pertumbuhan sel. Albumin berfungsi
sebagai protein transport, lipid diperlukan untuk pertumbuhan sel, dan mineral
berfungsi sebagai kofaktor enzim. Komposisi medium RPMI 1640 secara lengkap
dapat dilihat pada Lampiran 1.
1a
2a
1b 2b
Setelah sel yang akan digunakan sebagai model uji jumlahnya cukup
kemudian dilakukan pemanenan sel yang dilanjutkan dengan pencucian
menggunakan PBS. Hal ini bertujuan untuk membersihkan serum yang
terkandung dalam medium RPMI karena serum ini dapat menghambat kerja
tripsin. Selanjutnya dilakukan penambahan tripsin untuk melepas sel dari dasar
tabung dan dilanjutkan dengan penambahan medium RPMI sehingga diperoleh
suspensi sel yang dapat langsung dipindahkan ke dalam microplate.
Setelah sel dalam microplate siap kemudian dilakukan penambahan bagian
uji hasil pemisahan dengan konsentrasi yang berbeda. Variasi konsentrasi yang
digunakan adalah 10 µl/ml; 5 µl/ml; 2,5 µl/ml; 1,25 µl/ml; 0,625 µl/ml; 0,3125
µl/ml; 0,15625 µl/ml, 0,078125 µl/ml; 0,0390625 µl/ml; 0,01953125 µl/ml;
0,009765625 µl/ml; 0,0048828125 µl/ml; 0,00244140625 µl/ml; 0,001220703125
µl/ml dan 0,0006103515625 µl/ml. Selain itu dibuat pula kontrol negatif berupa
kultur sel dalam medium RPMI 1640.
Setelah inkubasi 24 jam dan diamati di bawah mikroskop maka terlihat
adanya perubahan dari morfologi sel. Morfologi sel kontrol dan setelah perlakuan
dapat dilihat pada Gambar 9. Sedangkan gambar lengkap untuk morfologi sel
tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 6. Pengamatan mikroskopis
menunjukkan adanya perbedaan morfologi pada sel HeLa kontrol dan perlakuan
(Gambar 9). Sel kontrol tampak berbentuk seperti daun, menempel di dasar
sumuran, sedangkan sel dengan perlakuan konsentrasi 2,5 µl/ml untuk bagian
bawah dan 0,15625 µl/ml untuk bagian atas tampak banyak yang mati. Sel yang
mati tampak berubah bentuknya, keruh dan mengapung.
Dari pengamatan terlihat bahwa penambahan konsentrasi bagian uji
menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah kematian sel. Jumlah sel hidup yang
ada pada kontrol jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah sel hidup
yang ada pada sumuran dengan penambahan konsentrasi bagian uji. Data hasil
penghitungan direct counting jumlah sel yang hidup maupun yang mati disajikan
pada Lampiran 2.
a b c
Gambar 9. Kenampakan morfologi sel HeLa pada perbesaran 100x setelah penambahan bagian P. conoideus Lam. varietas buah kuning pada perlakuan (a) kontrol, (b) LC50 bagian atas (konsentrasi 0,15625 µl/ml), (c) LC50 bagian bawah (konsentrasi 2,5 µl/ml).
Keterangan: : sel hidup, : sel mati.
Selanjutnya ditentukan persentase kematian sel dan dihitung nilai rata-
ratanya untuk menentukan nilai LC50 dari masing-masing bagian yang diujikan.
LC50 merupakan konsentrasi yang menyebabkan kematian sel sebesar 50% dari
populasi sel. Berdasarkan hasil analisa probit maupun direct counting yang
dilakukan didapatkan nilai LC50 sebesar 0,15625 µl/ml untuk bagian atas dan 2,5
µl/ml untuk bagian bawah.
Perhitungan probit secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 3. Hasil
analisa probit ini diperoleh dengan mengubah persentase kematian menjadi angka
probit dengan menggunakan tabel probit (Lampiran 3), kemudian dibuat grafik
persamaan regresi linier probit dan log konsentrasi. Menurut Ueda et al. (2002)
ekstrak tanaman yang memiliki LC50 < 100 g/ml berpotensi untuk dikembangkan
sebagai agen anti kanker. Dari hasil perhitungan LC50 ini terlihat bahwa bagian
atas merupakan bagian yang lebih aktif karena menunjukkan nilai LC50 yang lebih
kecil. Hubungan tingkat kematian sel dengan konsentrasi bagian P. conoideus
Lam. varietas buah kuning dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Rata-rata persentase kematian sel HeLa setelah perlakuan dengan bagian P. conoideus Lam. varietas buah kuning.
No. Konsentrasi
(µl/ml)
Rata-rata kematian sel
(%) ± SD bagian atas
Rata-rata kematian sel
(%) ± SD bagian bawah
1. 10 100%±0,00 77,87%±0,32
2. 5 96,47%±1,50 64,22%±1,41
3. 2,5 78,90%±0,29 50,00%±0,00
4. 1,25 66,91%±0,42 43,87%±0,63
5. 0,625 61,65%±0,74 37,97%±0,42
6. 0,3125 56,57%±0,50 34,75%±0,37
7. 0,15625 50,00%±0,00 29,40%±0,72
8. 0,078125 46,02%±0,49 25,28%±0,66
9. 0,0390625 39,89%±0,40 22,03%±0,00
10. 0,01953125 33,90%±0,57 17,51%±0,73
11. 0,009765625 29,67%±0,28 13,11%±0,00
12. 0,0048828125 23,65% ± 0,64 7,52%±0,83
13. 0,00244140625 21,24%±0,83 3,82%±0,89
14. 0,001220703125 21,50%±0,79 3,66%±0,89
15. 0,0006103515625 18,41%±0,86 3,55%±0,86
Dari Tabel 1 terlihat bahwa kenaikan persentase kematian sel HeLa
sebanding dengan kenaikan konsentrasi bagian P. conoideus Lam. varietas buah
kuning yang diberikan, peningkatan konsentrasi secara linier juga menyebabkan
meningkatnya persentase kematian. Apabila disajikan dalam grafik (Lampiran 3),
maka akan diperoleh nilai R2 yang mendekati satu dan menunjukkan kedekatan
hubungan antara konsentrasi sari P. conoideus Lam. varietas buah kuning yang
digunakan dengan persentase kematian sel, kematian sel benar-benar disebabkan
oleh adanya perlakuan sari P. conoideus Lam. varietas buah kuning.
Menurut Budi dan Paimin (2005) sari P. conoideus Lam. varietas buah
kuning mengandung senyawa yang diduga memiliki efek sitotoksik pada sel
kanker, yaitu karoten, betakaroten, dan α-tokoferol. Ketiga senyawa ini bersifat
sebagai antioksidan yang dapat menangkal radikal bebas. Antioksidan melawan
radikal bebas dengan cara memberikan satu elektron untuk menutupi satu elektron
yang dibutuhkan radikal bebas.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi (2009) menyatakan bahwa
ketiga senyawa tersebut berinteraksi dengan sel kanker dimulai dari membran sel.
Karoten, α-tokoferol, dan betakaroten merupakan senyawa yang larut dalam
lemak sehingga dapat berdifusi melalui membran sel, kemudian masuk ke dalam
sitoplasma. Alfa tokoferol di dalam membran sel maupun membran mitokondria
akan menghambat aktivitas Na dan K ATPase sehingga α-tokoferol dapat
mengganggu aktivitas pertukaran ion melalui Na dan K channel. Alfa tokoferol
juga telah terbukti menghambat aktivitas beberapa enzim oksidasi, diantaranya
adalah enzim-enzim yang terlibat dalam proses glikolisis dan fosforilasi oksidatif
ADP menjadi ATP, sehingga akan menurunkan produksi ATP dalam sel.
Penurunan produksi ATP akan berpengaruh terhadap penurunan aktivitas sel
untuk melakukan pembelahan (Kawai et al., 1974).
Penelitian Prasad et al. (1999) juga menyebutkan bahwa α-tokoferol
terbukti menghambat protein kinase C, meningkatkan sintesis dan transformasi
growth factor B yang merupakan salah satu sinyal penghambat pertumbuhan
termasuk di dalamnya pembelahan sel. Bagian P. conoideus Lam. varietas buah
kuning yang mengandung α-tokoferol diduga dapat menghambat proliferasi sel
HeLa. Hasil uji sitotoksisitas yang menunjukkan bahwa bagian atas P. conoideus
Lam. varietas buah kuning merupakan bagian teraktif dengan nilai LC50 sebesar
0,15625 µl/ml selanjutnya digunakan untuk menentukan dosis yang akan
digunakan untuk uji doubling time, yaitu dipilih 4 dosis di bawah LC50 bagian
teraktif.
C. Uji Doubling Time
Uji doubling time dilakukan untuk mengetahui efek penghambatan
proliferasi sel HeLa oleh bagian teraktif P. conoideus Lam. varietas buah kuning.
Moeljoprawiro et al. (2007) menyebutkan bahwa kemampuan proliferasi sel dapat
diartikan sebagai kemampuan sel untuk tumbuh membelah dan berkembang.
Apabila proliferasi sel kanker dihambat melalui mekanisme cell cycle arrest maka
sel akan berhenti membelah, sehingga pengaruh hambatan ini berupa kematian
sel.
Proses kematian sel yang terjadi dapat melalui dua proses yaitu apoptosis
dan nekrosis. Apoptosis adalah kematian sel per sel, sedangkan nekrosis
melibatkan sekelompok sel. Membran sel yang mengalami apoptosis akan
mengalami penonjolan-penonjolan ke luar tanpa disertai hilangnya integritas
membran. Sel yang mengalami nekrosis mengalami kehilangan integritas
membran. Sel yang mengalami apoptosis terlihat menciut, dan akan membentuk
badan apoptosis. Sel yang mengalami nekrosis akan terlihat membengkak untuk
kemudian mengalami lisis. Sel yang mengalami apoptosis lisosomnya utuh,
sedangkan sel yang mengalami nekrosis terjadi kebocoran lisosom (Iswanto et al.,
2002).
Uji doubling time ini dilakukan dengan menghitung jumlah sel yang hidup
dan mati oleh masing-masing bagian teraktif P. conoideus Lam. varietas buah
kuning setiap satuan waktu. Doubling time sendiri merupakan waktu yang
diperlukan oleh sel untuk menggandakan dirinya menjadi dua kali jumlah semula.
Senyawa yang mampu memperpanjang waktu doubling time menunjukkan
kemampuan senyawa tersebut untuk menghambat proliferasi sel kanker melalui
mekanisme cell cycle arrest (Meiyanto et al., 2007).
Doubling time dilakukan dengan menstarvasi sel dalam media RPMI 1640
yang ditambah FBS (Fetal Buffer Serum). Hal ini dimaksudkan agar sel–sel yang
akan diberi perlakuan berada dalam kondisi yang sama. Starvasi dilakukan selama
semalam (over night) dalam inkubator CO. Setelah starvasi, sel–sel yang telah
diberi perlakuan diinkubasi selama 24, 48, dan 72 jam, kemudian jumlah sel hidup
dan sel mati dihitung dengan bantuan haemositometer dan tryphan blue sebagai
counterstain.
Dosis yang digunakan dalam uji doubling time adalah 4 dosis di bawah
LC50. Hal ini dikarenakan uji doubling time dilakukan sampai jam ke-72 sehingga
diperlukan dosis yang relatif tidak mematikan sel. Selain itu juga untuk
memastikan bahwa apabila terjadi kematian sel adalah benar-benar karena bagian
teraktif bersifat toksik terhadap sel, bukan karena konsentrasi yang terlalu besar
sehingga dapat mengganggu kesetimbangan media. Hasil perhitungan jumlah sel
setelah inkubasi ditampilkan pada Gambar 10.
Dari Gambar 10 terlihat bahwa jumlah sel HeLa setelah diinkubasi akan
mengalami perubahan. Peningkatan jumlah sel terbesar terlihat pada kontrol
sedangkan pada perlakuan bagian teraktif P. conoideus Lam. varietas buah
kuning, peningkatan jumlah sel berbanding terbalik dengan besarnya konsentrasi
yang diberikan. Semakin besar konsentrasi bagian uji maka peningkatan jumlah
sel akan lebih kecil.
0
50
100
150
200
250
300
350
400
0 10 20 30 40 50 60 70 80
Waktu Inkubasi (jam)
Jum
lah
sel
kontrol0.0781250.03096250.019531250.0097656
Gambar 10. Grafik hubungan jumlah sel dan waktu inkubasi pada uji doubling time bagian aktif P. conoideus Lam. varietas buah kuning konsentrasi 0,078125 µl/ml; 0,0309625 µl/ml; 0,01953125; dan 0,0097656 µl/ml yang dilakukan perhitungan pada waktu inkubasi 0, 24, 48, dan 72 jam.
Menurut Astirin, et. al (2009) nilai uji doubling time dapat ditentukan
melalui persamaan regresi linier antara log jumlah sel dengan waktu inkubasi
sehingga diperoleh nilai slope yang merupakan parameter kinetika proliferasi
(Tabel 2). Semakin tinggi nilai slope maka semakin cepat waktu doubling time
yang diperlukan. Kontrol dengan nilai slope tertinggi 0,0129 memiliki waktu
doubling time tercepat yaitu 23,23 jam, sedangkan konsentrasi 0,078125 µl/ml
memiliki nilai slope terendah senilai 0,01 dengan waktu doubling time paling
lama yaitu 32,97 jam.
Tabel 2. Persamaan garis regresi dari waktu inkubasi dan jumlah sel, serta nilai doubling time
Konsentrasi (µl/ml)
Persamaan garis waktu inkubasi dan jumlah sel
Nilai slope
R2 Nilai doubling time (jam)
Kontrol Y=0,0129x +1,6033 0,0129 0,999 23,23 0,078125 Y=0,01x + 1,5733 0,01 0,998 32,97 0,0309625 Y=0,0115x + 1,56 0,0115 0,999 29,82 0,01953125 Y=0,0115x + 1,5967 0,0115 0,999 26,63 0,0097656 Y=0,0117x + 1,6133 0,0117 0,998 24,76
Hasil uji doubling time menunjukkan bahwa bagian teraktif P. conoideus
Lam. varietas buah kuning pada konsentrasi 0,078125 µl/ml membuat waktu
penggandaan sel menjadi 1,42 kali dibandingkan dengan kontrol, sedangkan pada
konsentrasi 0,0309625 µl/ml waktu penggandaan sel menjadi 1,28 kali dari
kontrol. Pada konsentrasi 0,01953125 µl/ml waktu penggandaan sel menjadi 1,15
kali dari kontrol dan pada konsentrasi 0,0097656 µl/ml membuat waktu
penggandaan sel lebih lama 1,06 kali dibandingkan dengan sel kontrol. Hal ini
menunjukkan bahwa nilai doubling time berbanding lurus dengan besarnya variasi
konsentrasi yang diberikan. Semakin besar konsentrasi bagian teraktif maka
semakin besar pula waktu yang diperlukan oleh sel untuk menggandakan
jumlahnya.
Hasil uji doubling time menunjukkan bahwa kandungan senyawa yang
terdapat pada bagian teraktif P. conoideus Lam. varietas buah kuning dalam hal
ini α-tokoferol, karoten, dan betakaroten dapat menyebabkan cell cycle arrest,
sehingga dapat menghambat proliferasi sel kanker. Hal ini sesuai dengan
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Astirin, et. al (2009) yang
menunjukkan bahwa nilai LC50 dari sari P. conoideus Lam. varietas buah kuning
yang diujikan pada sel kanker payudara T47D berpotensi untuk dikembangkan
sebagai anti kanker.
Mekanisme yang terjadi dalam penghambatan doubling time ini dapat
dijelaskan melalui sinyal tranduksi dalam cell cycle arrest yang diduga dimulai
dari penghambatan kerja enzim oksidasi yang berperan dalam produksi ATP oleh
α-tokoferol, sehingga energi yang digunakan untuk pembelahan sel kurang
tersedia (Kawai et al., 1974), selain itu juga dikarenakan adanya penghambatan
protein kinase C (Prasad et al., 1999). Protein kinase C berfungsi dalam fosforilasi
pRb, dimana pRb akan menjadi hipoposforilasi sehingga akan mengikat E2F dan
menghambat aktivitas dari E2F yang merupakan faktor transkripsi. Penghambatan
E2F ini akan menyebabkan cell cycle arrest (Guasconi et al. cit Pratiwi, 2009).
Pada saat siklus sel terhenti inilah dimungkinkan adanya kesempatan sel
kanker untuk melakukan DNA repair. Penghambatan aktivitas dari E2F ini
kemungkinan dapat mengatur ekspresi gen p53 tipe wild sebagai salah satu tumor
suppressor gen pada fase G1/S dan menginduksi apoptosis (Pacifico and Leone,
2007). Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Carlisle et al. (2000) dimana
tokoferol terbukti mampu menginduksi apoptosis dan meningkatkan ekspresi gen
p53 tipe wild pada kanker paru-paru (HLF cell).
Sebagai antioksidan di dalam sel kanker, kemungkinan aktivitas α-
tokoferol akan menurunkan konsentrasi ROS penyebab kerusakan oksidatif
sehingga akan dapat meningkatkan kemampuan sel untuk melakukan DNA
repair. Konsentrasi ROS di dalam sel yang menurun dapat memaicu keluarnya
sitokrom C dari mitokondria, sitokrom C dapat memacu aktivitas gen-gen
pengatur apoptosis. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Salganik
(2001).
Menurut Bohm et. al (1997) interaksi antara α-tokoferol dan betakaroten
bersifat sinergis. α-tokoferol yang telah mendonorkan elektronnya pada senyawa
radikal bebas akan berubah menjadi α-tokoferoksil radikal yang tidak reaktif
apabila dibandingkan dengan ROS. Alfa tokoferoksil radikal ini kemudian akan
menerima elektron dari betakaroten sehingga menjadi α-tokoferol kembali,
selanjutnya betakaroten radikal akan dihilangkan oleh adanya aktivitas anti
oksidan endogen seperti superoxside dismutase dan gluthation peroksidase dari
sel.
D. Penentuan Golongan Senyawa Kimia
Penentuan golongan senyawa kimia dilakukan pada bagian teraktif P.
conoideus Lam. varietas buah kuning terhadap sel HeLa dengan menggunakan
beberapa pereaksi semprot kimia spesifik. Deteksi golongan senyawa kimia
dilakukan dengan mengelusi bagian teraktif menggunakan silika alumina (3:2 b/b)
sebagai fase diam dan wash benzena : eter ( 1:1 ) sebagai fase gerak serta pereaksi
semprot besi (III) klorida untuk deteksi keberadaan senyawa fenolik, pereaksi
semprot Dragendorf untuk deteksi senyawa alkaloid, pereaksi semprot Vanilin-
H2SO4 pekat untuk deteksi terpenoid dan pereaksi semprot Lieberman Burchard
untuk deteksi senyawa steroid.
a b c d Gambar 11. Profil kromatografi preparatif bagian teraktif P. conoideus
Lam. varietas buah kuning hasil deteksi dengan pereaksi semprot spesifik : (a) Dragendorf; (b) Lieberman Burchard; (c) vanilin-H2SO4 dan (d) FeCl3.
Fase diam : silika alumina (3 : 2 b/b) Fase gerak : wash benzena dan eter (1:1 v/v).
Hasil dari deteksi golongan senyawa kimia dapat dilihat pada Gambar 11.
Reaksi positif ditunjukkan oleh pereaksi Lieberman Burchard yang memberikan
warna hijau kebiruan dan pereaksi vanilin-H2SO4 yang memberikan warna coklat.
Sedangkan reaksi negatif ditunjukkan oleh pereaksi Dragendorf yang seharusnya
menunjukkan bercak berwarna orange serta pereaksi FeCl3 yang seharusnya
menunjukkan warna merah. Hasil deteksi menunjukkan bahwa bagian teraktif P.
conoideus Lam. varietas buah kuning mengandung senyawa kimia yang masuk ke
dalam golongan terpenoid dan steroid.
Selain itu, dari profil Kromatografi Lapis Tipis Preparatif yang dilakukan
pada bagian teraktif P. conoideus Lam. varietas buah kuning juga diperoleh nilai
Rf 1 sebesar 0,03, Rf 2 sebesar 0,24 dan Rf 3 sebesar 0,97. Nilai Rf diperoleh
dengan membandingkan jarak yang ditempuh oleh bagian teraktif P. conoideus
Lam. varietas buah kuning yang dielusikan dengan jarak yang ditempuh oleh fase
gerak dari titik awal penotolan.
Hasil deteksi ini sesuai dengan penelitian yang disampaikan oleh I Made
Budi (2005) bahwa senyawa yang terkandung dalam P. conoideus Lam. varietas
buah kuning diantaranya adalah karoten, betakaroten, tokoferol serta asam-asam
lemak. Karoten merupakan senyawa yang masuk ke dalam golongan terpenoid
karena disintesis secara biokimia dari delapan satuan isoprena, dan terbagi dalam
dua bentuk utama yaitu α-karoten dan β-karoten (Mun’im et. al., 2008).
Karoten merupakan senyawa yang mengandung pigmen warna merah dan
kuning bersifat larut dalam lipid serta merupakan salah satu komponen minyak
atsiri. Karoten selain berperan dalam proses fotosintesis tumbuhan juga
merupakan senyawa yang memberi warna pada bunga maupun buah. Oleh karena
itulah bagian teraktif P. conoideus Lam. varietas buah kuning dinyatakan
mengandung karoten karena menunjukkan warna kuning dan masuk ke dalam
golongan senyawa terpenoid. Sedangkan tokoferol serta asam-asam lemak
merupakan bagian dari golongan steroid (Harborne, 1987).
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Bagian atas Pandanus conoideus Lam. varietas buah kuning hasil pemisahan
merupakan bagian teraktif yang memiliki efek sitotoksik terhadap sel HeLa
dengan menunjukkan LC50 sebesar 0,15625 µl/ml dan mampu menghambat
laju pertumbuhan sel HeLa menjadi 1,42 kali dibandingkan kontrol dengan
waktu penggandaan sel sebesar 32,97 jam pada konsentrasi 0,078125 µl/ml.
2. Bagian teraktif Pandanus conoideus Lam. varietas buah kuning mengandung
senyawa aktif golongan terpenoid dan steroid sehingga berpotensi sebagai
senyawa antikanker.
B. Saran
1. Perlu dilakukan pemisahan komponen kandungan kimia yang lebih lanjut
terhadap bagian teraktif Pandanus conoideus Lam. varietas buah kuning untuk
menentukan senyawa yang menunjukkan efek sitotoksisitas.
2. Perlu dilakukan penelitian mengenai efektivitas Pandanus conoideus Lam.
varietas buah kuning sebagai agen antikanker secara in vivo.
DAFTAR PUSTAKA
Albright, C. D., R. I., Salganik, and T. V., Dyke. 2004. Dietary Depletion of Vitamin E and Vitamin A Inhibits Mammary Tumor Growth and Metastasis in Transgenic Mice. Journal of Nutrition 134:1139-1144.
Astirin, O. P., M. Harini, dan N. S. Handajani. 2009. The Effect of Crude Extract of Pandanus conoideus Lamb. Var Yellow Fruit on Apoptotic Expression of The Breast Cancer Cell Line (T47D). Journal of Biological Diversity. 10 (1).
Astirin, O. P. 2008. Efek Potensiasi Ekstrak Buah Kuning (Pandanus conoideus. Lam.) dan Komponen VCO terhadap Ekspresi P53 Mutan Galur Sel Kanker Payudara T47D. Laporan Penelitian. Hibah Riset Grant PHK A2 Jurusan Biologi FMIPA UNS.
Astirin, O. P., D. R. Budiani, dan F. R. Wibowo. 2008. Ekspresi P53 pada Kultur Sel T47D sesudah Pemberian Buah Merah sebagai Kandidat Antikanker. Makalah Seminar disampaikan dalam Seminar Biodiversitas UNAIR 2008 [13 April 2009].
Bohm F., R. Edge, E. J. Land, D. McGarvey, and T. G. Truscott. 1997. Carotenoids Enhance Vitamin E Antioxidant Efficiency. J Am Chem Soc. 119:621–622.
Brock, D. H. J. 1993. Molecular for The Clinician. University Press, Chambridge.
Budi, I. M. 2000. Kajian Kandungan Zat Gizi dan Sifat Fisika Kimia Berbagai Jenis Minyak Buah Merah (Pandanus conoideus Lam.) Hasil Ekstraksi secara Tradisional di Kabupaten Jayawijaya Propinsi Irian Jaya. Tesis Program Pasca Sarjana. IPB-Bogor.
Budi, I. M., dan F. R. Paimin. 2005. Buah Merah. Seri Agrisehat. Penebar Swadaya. h:20-48, Jakarta.
Carlisle, D. L., D. E. Pritchard, J. Singh, B. M. Owens, L. J. Blakenship, J. M. Orestein, and S. R. Patieno. 2000. Apoptosis and p53 Induction in Human Lung Fibroblast Exposed to Chromium (VI): Effect of Ascorbate and Tocopherol. Toxicological Science 55:55-68.
DeFilippis, R. A., E. C. Goodwin, W. Lingling, and D. DiMaio. 2007. Endogenous Human Papillomavirus E6 and E7 Proteins Differentially Regulate Proliferation, Senescence, and Apoptosis in HeLa Cervical Carcinoma Cells. Journal of Virology. 77 (2): 1551-1563.
Doyle, A., and J. B. Griffith. 1988. Cell and Tissue Culture for Medical Research. Chichester: John Willey and Sons LTD. p.12-16.
FAO. 2006. Composition of Dietary Fat. www.fao.org/docrep/V4700E /V4700E07.htm [22 April 2009].
Foulkes, W. D. 2007. Gene p53 Master and Commander. The New England Journal of Medecine 357: 2539-2541.
Freshney, R. 2000. Culture of Animal Cells: A Manual of Basic Technique 4th Edition. John Wiley and Sons. Inc, New York.
Harborne, J. B. 1987. Metode Fitokimia. Penerbit ITB, Bandung.
Hidayat, M.A. 2002. Uji Aktivitas Antikanker Ekstrak Heksana Daun Eupatorium triplinerve Vahl. terhadap Kultur Sel Meioloma. Jurnal Ilmu Dasar. 3 (2).
Hussain, S. P., L. J. Hofseth, and C. C. Harris. 2003. Radical Causes Cancer. Journal of Nature (3):1-5.
Iswanto, J., A. Turchan, dan J. Wahyuhadi. 2002. Apoptosis. Kajian Multi Trauma RSUD. Dr. Soetomo Vol. XV No. 2.
Kawai, K., M. Nakao, T. Nakao, and G. Katsu. 1974. Inhibition of Membrane Cell Adenosine Triphosphatase By Alpha-tokopherol and Its Derivates. J. Clin. Nutr. 27:987 -994.
Kim, Y., N. Chongviriyaphan, C. Liu, R. M. Russel, and X. D. Wang. 2006. Combined Antioxsidan (β-Carotene, α-Tocopherol, and Ascorbic Acid) Suplementation in Increase The Level of Lung Retinoic Acid and Inhibits The Activation of Mitogen-Activated Protein Kinase in The Ferret Lung Cancer Model. Carcinogenesis 27(7):1410-1419
King, R. J. B. 2000. Cancer Biology 2nd edition. Pearson Education Limited, London.
Meiyanto, Susidarti, Handayani, Rahmi. 2008. Ekstrak Etanolik Biji Buah Pinang (Areca catechu L.) mampu Menghambat Proliferasi dan Memacu Apoptosis Sel MCF-7. Majalah Farmasi Indonesia, 19(1), 12 – 19, Yogyakarta.
Meiyanto, E., F. Rahmi, dan S. Riyanto. 2007. Efek Sitotoksik Fraksi Semipolar Ekstrak Metanolik Kulit Batang Cangkring (Erythrina fusca Lour) terhadap Sel HeLa. Majalah Obat Tradisional, 11(41): 1-11.
Meiyanto, E., Supardjan, M. Da'i, dan D. Agustina. 2006. Efek Antiproliferatif Pentagamavunon-0 terhadap Sel Kanker Payudara T47D. Jurnal Kedokteran Yarsi, 14 (1) : 011-015.
Meiyanto, E., R. I. Jenie, F. Rahmi, dan E. P. Septisetyani. 2005. Aktivitas Antikanker Minyak Buah Merah terhadap Sel Kanker Plasma Darah, Sel
Kanker Payudara, dan Sel Kanker Leher Rahim. Laporan Penelitian Kerjasama UGM dengan Bernard T. Wahyu Wiryanta.
Murray, R. K., M. L. Rand, and E. J. Harferints. 2003. Biokimia Harper. Diterjemahkan oleh: dr. Andry Hartono. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Mun‘im, A., R. Andrajati, dan H. Susilowati. 2008. Uji Hambatan Tumorigenesis Sari Buah Merah (Pandanus conoideus Lam.) terhadap Tikus Putih Betina yang Diinduksi 7,12 Dimetilbenz (a) Antrasen (DMBA). Majalah Ilmu Kefarmasian. Vol. III, No. 3: 153 – 161.
Mursyidi, A. 1985. Statistika Farmasi dan Biologi. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Nursid, M., T. Wikanta, N. Fajarningsih, dan E. Marraskuranto, 2006. Aktifitas Sitotoksik, Induksi Apoptosis dan Ekspresi Gen p53 Fraksi Metanol Spons Petrosia cf.nigricans terhadap Sel Tumor HeLa. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Vol.1 No.2.
Pacifico, A., dan G. Leone. 2007. Role of p53 and CDKN2A Inaktivation in Human Squamus Cell Carcinoma. Journal of Biomedicine and Biotechnology. http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=1874671 [Mei 2009].
Parhardian, Sudjadi, dan Mubarika. 2004. Selektivitas Antikanker Ekstrak Kasar dan Fraksi Kolom Biji Momordica charantica L. terhadap Sel Raji, HeLa dan T47D. Berkala llmu Kedokteran Vol. 36, No. 2.
Prasad, K. N., A. Kumar, V. Kochupillai, and W. C. Cole. 1999. High Doses of Multiple Antioxidant Vitamins: Essential Ingredients in Improving the Efficacy of Standard Cancer Therapy. Journal of the American College of Nutrition, 18(1):13–25.
Pratiwi, A. P. 2009. Uji Sitotoksissitas Campuran Ekstrak Pandanus conoideus Lam. Varietas Buah Kuning dan Asam Laurat dari VCO terhadap Sel Kanker Payudara T47D secara In Vitro. Skripsi Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Pratiwi, D. I. 2009. Uji Sitotoksisitas dan Efek Antproliferasi Sari Pandanus conoideus Lam. Varietas Buah Kuning pada Sel Kanker Payudara T47D secara In Vitro. Skripsi Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Radji, Sumiati, dan I. Nuning. 2004. Uji Mutagenitas dan Antikanker Ekstrak Aseton dan n-heksana dari Kulit Batang Sesoot (Garcinia picrorrhiza
Miq.). Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. I, No.2, Agustus 2004, 69 – 78. Departemen Farmasi, FMIPA Universitas Indonesia.
Reed, J. C. 1997. Bcl2 family proteins: Regulators of Apoptosis and Chemoresistance in Hematologic Malignancies. Semin in Hematol; 34: 9-19.
Rode, H. D., D. Eisel, and I. Frost. 2004. Apoptosis, Cell Death and Cell Proliferaton Manual, 3rd ed. Roche Applied Science.
Rossaria, N. 2007. Kajian Antiproliferatif Ekstrak Daun Benalu Duku (Loranthaceae dendropthoe species) terhadap Sel Meiloma secara InVitro. FKH Universitas Airlangga, Surabaya.
Russel, R. M. 2002. Beta Carotene and Lung Cancer. IUPAC Pure Applied Chemistry 74(8):1461-1467.
Sadsoeitoboen, dan M. Justina. 1999. Pandanaceae: Aspek Botani dan Etnobotani
dalam Kehidupan Suku Arfak Irian Jaya. Tesis Program Pasca Sarjana. IPB-Bogor.
Salganik, R. I. 2001. The Benefits and Hazards of Antioxidants: Controlling Apoptosis and Other Protective Mechanisms in Cancer Patients and the Human Population. Journal of the American College of Nutrition 20(5):464S–472S.
Sukardiman, A. Rahman, W. Ekasari, dan Sismindari. 2005. Induksi Apoptosis Senyawa Andrografolida dari Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) terhadap Kultur Sel Kanker. Majalah Kedokteran Hewan Universitas Gajah Mada Vol. 21, No. 3.
Suryadi, H., S. G. Malik, H. Sudoyo, dan S. Marzuki. 2004. Mitochondrial Medicine. Eijkmann Lecture Series 2. Lembaga Eijkmann h: 145-64. Jakarta.
Syah, A. N. A. 2005. Perpaduan Sang Penakluk VCO Penyakit VCO dan Minyak Buah Merah. Agromedia Pustaka, Depok.
Syaifuddin, M. 2007. Gen Penekan Tumor p53, Kanker dan Radiasi Pengion. Buletin Alara, Volume 8 Nomor 3,119 – 128.
Theiszova, M., S. Jantova, J. Dragunova, P. Grznarova, and M. Palou. 2005. Comparison The Cytotoxicity of Hidroxyapatite Measured by Direct Cell Counting and MTT Test in Murine Fibroblast NIH-3T3 Cells. Biomed Pap Med 149(2): 393-396.
Ueda, Y., Y. Tezuka, A. H. Banskota, Q. L. Tran, Q. K. Tran, Y. Harimaya, I. Saiki, and S. Kadota. 2002. Antiproliferatif Activity of Vietnamese Medicinal Plants. Biol.Pharm Bull 25 (6): 753-760.
Wahyuningsih, dan A. Yustina. 1999. Effect of Benalu (Dendrophtoe sp.) Leaves Extract on The Male Rat (Rattus Norvegicus) Benzidine Induced Hepatotoxicity. Jurnal Kedokteran Yarsi 7 (1) : 121-132.
Weinberg, R. A., and D. Hanahan. 2000. The molecular pathogenesis of cancer. In: BishopJM and Weinberg RA (eds). Molecular oncology. Scientific American 1996; 179-204, New York.
Wibowo F. R., O. P. Astirin, dan D. R. Budiani. 2007. Sitotoksisitas buah Merah (Pandanus conoideus Lam.) terhadap Sel Kanker, in-press.
Winarto. 2007. Pengaruh Minyak Buah Merah (Pandanus conoideus Lam.) terhadap Gambaran Sel β-Pankreas dan Efek Hipoglikemik Glibenklamid pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Galur Wistar Diabetik. Tesis Program Studi Ilmu Kedokteran Dasar dan Biomedis Minat utama Histologi dan Biologi Sel Universitas Gajah Mada.
Wozniak, M. A., and P. J. Keely. 2005. Use of Three-Dimensional Collagen Gels To Study Mechanotransduction in T47D Breast Epithelial Cell. Biol. Proced. Online 7(1):144-161.
Wyeth. 2008. Antioksidan. http://wyethindonesia.com/$$Anti%20Oksidan.html [11 April 2009].
Yohanes, R. 2008. The Evaluation of Cervix Cancer. Australia Ltd.co.al., New South Wales.