Uji potensi isolat lokal Aspergillus flavus sebagai penghasil … · peranan penting sebagai...

19
3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Aspergillus flavus Aspergillus flavus pada sistem klasifikasi yang terdahulu merupakan spesies kapang yang termasuk dalam divisi Tallophyta, sub-divisi Deuteromycotina, kelas kapang Imperfecti, ordo Moniliales, famili Moniliaceae dan genus Aspergillus (Frazier dan Westhoff 1978). Sistem klasifikasi yang lebih baru memasukkan genus Aspergillus dalam Ascomycetes berdasarkan evaluasi ultrastruktural, fisiologis, dan karakter biokimia mencakup analisis sekuen DNA. Kapang dari genus Aspergillus menyebar luas secara geografis dan bisa bersifat menguntungkan maupun merugikan bergantung pada spesies kapang tersebut dan substrat yang digunakan (Abbas 2005). Aspergillus memerlukan temperatur yang lebih tinggi, tetapi mampu beradaptasi pada a w (water activity) yang lebih rendah dan mampu berkembang lebih cepat bila dibandingkan dengan Penicillium (Hocking 2006). Genus ini, sekalipun memerlukan waktu yang lebih lama dan intensitas cahaya yang lebih untuk membentuk spora, tetapi mampu memproduksi spora yang lebih banyak sekaligus lebih tahan terhadap bahan-bahan kimia (Hocking 2006; Pitt 2006). Hampir semua anggota dari genus Aspergillus secara alami dapat ditemukan di tanah dimana kapang dari genus tersebut berkontribusi dalam degradasi substrat anorganik. Spesies Aspergillus dalam industri secara umum digunakan dalam produksi enzim dan asam organik, ekspresi protein asing serta fermentasi pangan. Koloni Aspergillus flavus pada media Czapek’s agar dapat dilihat pada gambar 1. Aspergillus flavus merupakan kapang saprofit di tanah yang umumnya memainkan peranan penting sebagai pendaur ulang nutrisi yang terdapat dalam sisa-sisa tumbuhan maupun binatang. Kapang tersebut juga ditemukan pada biji-bijian yang mengalami deteriorasi mikrobiologis selain menyerang segala jenis substrat organik dimana saja dan kapan saja jika kondisi untuk pertumbuhannya terpenuhi. Kondisi ideal tersebut mencakup kelembaban udara yang tinggi dan suhu yang tinggi (Scheidegger dan Payne 2003). Sifat morfologis Aspergillus Gambar 1. Koloni Aspergillus flavus pada media Czapek agar (Hedayati et al. 2007)

Transcript of Uji potensi isolat lokal Aspergillus flavus sebagai penghasil … · peranan penting sebagai...

Page 1: Uji potensi isolat lokal Aspergillus flavus sebagai penghasil … · peranan penting sebagai pendaur ulang nutrisi yang terdapat dalam sisa-sisa tumbuhan maupun binatang. Kapang tersebut

 

 

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Aspergillus flavus

Aspergillus flavus pada sistem klasifikasi yang terdahulu merupakan spesies kapang

yang termasuk dalam divisi Tallophyta, sub-divisi Deuteromycotina, kelas kapang Imperfecti,

ordo Moniliales, famili Moniliaceae dan genus Aspergillus (Frazier dan Westhoff 1978). Sistem

klasifikasi yang lebih baru memasukkan genus Aspergillus dalam Ascomycetes berdasarkan

evaluasi ultrastruktural, fisiologis, dan karakter biokimia mencakup analisis sekuen DNA.

Kapang dari genus Aspergillus menyebar luas secara geografis dan bisa bersifat

menguntungkan maupun merugikan bergantung pada spesies kapang tersebut dan substrat yang

digunakan (Abbas 2005). Aspergillus memerlukan temperatur yang lebih tinggi, tetapi mampu

beradaptasi pada aw (water activity) yang lebih rendah dan mampu berkembang lebih cepat bila

dibandingkan dengan Penicillium (Hocking 2006). Genus ini, sekalipun memerlukan waktu

yang lebih lama dan intensitas cahaya yang lebih untuk membentuk spora, tetapi mampu

memproduksi spora yang lebih banyak sekaligus lebih tahan terhadap bahan-bahan kimia

(Hocking 2006; Pitt 2006). Hampir semua anggota dari genus Aspergillus secara alami dapat

ditemukan di tanah dimana kapang dari genus tersebut berkontribusi dalam degradasi substrat

anorganik. Spesies Aspergillus dalam industri secara umum digunakan dalam produksi enzim

dan asam organik, ekspresi protein asing serta fermentasi pangan. Koloni Aspergillus flavus pada

media Czapek’s agar dapat dilihat pada gambar 1.

Aspergillus flavus merupakan kapang saprofit di tanah yang umumnya memainkan

peranan penting sebagai pendaur ulang nutrisi yang terdapat dalam sisa-sisa tumbuhan maupun

binatang. Kapang tersebut juga ditemukan pada biji-bijian yang mengalami deteriorasi

mikrobiologis selain menyerang segala jenis substrat organik dimana saja dan kapan saja jika

kondisi untuk pertumbuhannya terpenuhi. Kondisi ideal tersebut mencakup kelembaban udara

yang tinggi dan suhu yang tinggi (Scheidegger dan Payne 2003). Sifat morfologis Aspergillus

Gambar 1. Koloni Aspergillus flavus pada media Czapek agar (Hedayati et al. 2007)

Page 2: Uji potensi isolat lokal Aspergillus flavus sebagai penghasil … · peranan penting sebagai pendaur ulang nutrisi yang terdapat dalam sisa-sisa tumbuhan maupun binatang. Kapang tersebut

 

 

flavus yaitu bersepta, miselia bercabang biasanya tidak berwarna, konidiofor muncul dari kaki

sel, sterigmata sederhana atau kompleks dan berwarna atau tidak berwarna, konidia berbentuk

rantai berwarna hijau, coklat atau hitam (Smith dan Pateman 1977). Ruiqian et al. (2004)

menyatakan bahwa tampilan mikroskopis Aspergillus flavus memiliki konidiofor yang panjang

(400-800 µm) dan relatif kasar, bentuk kepala konidial bervariasi dari bentuk kolom, radial, dan

bentuk bola, hifa berseptum, dan koloni kompak (Gambar 2). Koloni dari Aspergillus flavus

umumnya tumbuh dengan cepat dan mencapai diameter 6-7 cm dalam 10-14 hari (Ruiqian et al.

2004). Kapang ini memiliki warna permulaan kuning yang akan berubah menjadi kuning

kehijauan atau coklat dengan warna inversi coklat keemasan atau tidak berwarna, sedangkan

koloni yang sudah tua memiliki warna hijau tua (Ruiqian et al. 2004; Hedayati et al. 2007).

Keberagaman ceruk ekologi yang dicakup oleh Aspergillus sub-genus Aspergillus bagian Flavi

(grup Aspergillus flavus) dipadukan dengan kemampuan beberapa spesiesnya untuk

memproduksi aflatoksin menjadikan grup Aspergillus flavus sebagai grup yang paling banyak

dipelajari hingga saat ini.

 

           Gambar 2. Tampilan mikroskopis dari Aspergillus flavus (Hedayati et al. 2007)

Aspergillus flavus tersebar luas di dunia. Hal ini disebabkan oleh produksi konidia yang

dapat tersebar melalui udara (airborne) dengan mudah maupun melalui serangga. Komposisi

atmosfir juga memiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan kapang dengan kelembaban

sebagai variabel yang paling penting (Hedayati et al. 2007). Tingkat penyebaran Aspergillus

flavus yang tinggi juga disebabkan oleh kemampuannya untuk bertahan dalam kondisi yang

keras sehingga kapang tersebut dapat dengan mudah mengalahkan organisme lain dalam

mengambil substrat dalam tanah maupun tanaman (Bhatnagar 2000).

Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus merupakan bagian grup Aspergillus yang

sudah sangat dikenal karena peranannya sebagai patogen pada tanaman dan kemampuannya

untuk menghasilkan aflatoksin pada tanaman yang terinfeksi (Abbas 2005). Kedua spesies

tersebut merupakan produsen toksin paling penting dalam grup Aspergillus flavus yang

Page 3: Uji potensi isolat lokal Aspergillus flavus sebagai penghasil … · peranan penting sebagai pendaur ulang nutrisi yang terdapat dalam sisa-sisa tumbuhan maupun binatang. Kapang tersebut

 

 

mengkontaminasi produk agrikultur (Yu et al. 2002). Aspergillus flavus dan Aspergillus

parasiticus mampu mengakumulasi aflatoksin pada berbagai produk pangan meskipun tipe

toksin yang dihasilkan berbeda. Aspergillus sp. umumnya mampu tumbuh pada suhu 6-60°C

dengan suhu optimum berkisar 35-38°C. Aspergillus flavus dapat tumbuh pada Rh minimum

80% (aw minimum=0.80) dengan Rh minimum untuk pembentukan aflatoksin sebesar 83% (aw

minimum pembentukan aflatoksin=0.83). Rh minimum untuk pertumbuhan dan germinasi spora

adalah 80% dan Rh mininum untuk sporulasi adalah 85%. Kenaikan suhu, pH, dan persyaratan

lingkungan lainnya akan menyebabkan aw minimum bertambah tinggi (Makfoeld 1993).

Tampilan mikroskopis Aspergillus flavus dapat dilihat lebih jelas melalui mikroskop tiga dimensi

(Gambar 3).

Vujanovic et al. (2001) berpendapat bahwa Aspergillus flavus dapat tumbuh optimal

pada aw 0.86 dan 0.96. Sauer (1986) menyatakan bahwa Aspergillus flavus tidak akan tumbuh

pada kelembaban udara relatif di bawah 85% dan kadar air di bawah 16%. Aw minimum yang

dibutuhkan Aspergillus flavus untuk tumbuh adalah 0.80 (Richard et al. 1982). Aspergillus flavus menyebabkan penyakit dengan spektrum luas pada manusia, mulai

dari reaksi hipersensitif hingga infeksi invasif yang diasosiasikan dengan angioinvasion.

Sindrom klinis yang diasosiasikan dengan kapang tersebut meliputi granulomatous sinusitis

kronis, keratitis, cutaneous aspergillosis, infeksi luka, dan osteomyelitis yang mengikuti trauma

dan inokulasi (Hedayati et al. 2007). Semntara itu, Aspergillus flavus cenderung lebih

mematikan dan tahan terhadap antifungi dibandingkan hampir semua spesies Aspergillus yang

laiinya (Hedayati et al. 2007). Selain itu, kapang tersebut juga mengkontaminasi berbagai

produk pertanian di lapangan, tempat penyimpanan, maupun pabrik pengolahan sehingga

meningkatkan potensi bahaya dari Aspergillus flavus (Ruiqian et al. 2004; Hedayati et al. 2007).

Hedayati (2007) menyatakan bahwa penyebaran Aspergillus flavus yang merata sangat

dipengaruhi oleh iklim dan faktor geografis Pertumbuhan Aspergillus flavus dipengaruhi oleh

lingkungan seperti kadar air, oksigen, unsur makro (karbon, nitrogen, fosfor, kalium dan

Gambar 3. Tampilan mikroskopis 3-D dari Aspergillus flavus (Reddy et al. 2010)

Page 4: Uji potensi isolat lokal Aspergillus flavus sebagai penghasil … · peranan penting sebagai pendaur ulang nutrisi yang terdapat dalam sisa-sisa tumbuhan maupun binatang. Kapang tersebut

 

 

magnesium) dan unsur mikro (besi, seng, tembaga, mangan dan molibdenum). Faktor lain yang

juga berpengaruh antara lain cahaya, temperatur, kelembaban dan keberadaan kapang lain.

Temperatur yang optimal untuk pertumbuhan Aspergillus flavus berkisar pada 30˚C dengan Rh ≥

95% (Onions et al. 1981). Secara umum kapang adalah organisme aerobik sehingga gas O2 dan

N2 akan menurunkan kemampuan kapang untuk membentuk aflatoksin. Efek penghambatan

oleh CO2 dipertinggi dengan menaikkan suhu atau menurunkan Rh dengan kadar O2 minimum

1% untuk pertumbuhan. Perlakuan dan analisis yang tepat sangat dibutuhkan untuk mencegah

penurunan produksi aflatoksin dalam lingkungan laboratorium.

B. Aflatoksin

Aflatoksin merupakan sekelompok toksin yang memiliki struktur molekul yang mirip

(Ruiqian et al. 2004). Aflatoksin ditemukan secara tidak sengaja pada insiden kematian seratus

ribu ekor kalkun di suatu peternakan di Inggris pada tahun 1960. Penyakit tersebut dikenal

dengan nama Turkey X Disease karena belum diketahui penyebabnya pada waktu itu (Yu et al.

2002). Penyebab penyakit tersebut ditemukan berupa sejenis toksin yang terdapat dalam tepung

kacang tanah pada ransum ternak. Pengujian yang melibatkan sampel ransum ternak

mengungkapkan keberadaan sejenis kapang (Goldbatt 1969; Ruiqian et al. 2004). Toksin

tersebut berasal dari kontaminasi Aspergillus flavus pada campuran ransum ternak tersebut.

Nama toksin tersebut diambil dari penggalan kata Aspergillus flavus toksin yang disingkat

menjadi aflatoksin karena Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus merupakan spesies

dominan yang bertanggung jawab atas kontaminasi aflatoksin pada tanaman sebelum dipanen

maupun selama penyimpanan (Yu et al. 2004; Yusrini 2005). Aflatoksin memiliki karakteristik

seperti dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik Berbagai Jenis Aflatoksina

Aflatoksin Rumus Molekul Berat Molekul Titik leleh (0C)

B1 C17H12O6 312 268-269

B2 C17H14O6 314 286-289

G1 C17H12O7 328 244-246

G2 C17H14O7 330 237-240

M1 C17H12O7 328 299

M2 C17H14O7 330 293

B2A C17H14O7 330 240

G2A C17H14O8 346 190 aSumber: http://www.icrisat.org/aflatoxin/aflatoxin.asp (2010)

Produksi aflatoksin merupakan sebuah konsekuensi dari kombinasi berbagai faktor

antara lain karakteristik biologis dan kimiawi spesies, substrat, dan lingkungan seperti iklim dan

faktor geografis. Faktor-faktor yang mempengaruhi meliputi temperatur, kelembaban, cahaya,

Page 5: Uji potensi isolat lokal Aspergillus flavus sebagai penghasil … · peranan penting sebagai pendaur ulang nutrisi yang terdapat dalam sisa-sisa tumbuhan maupun binatang. Kapang tersebut

 

 

aerasi, pH, sumber karbon dan nitrogen, faktor stress, lipida, trace metal salt, tekanan osmosis,

potensi oksidasi-reduksi, dan komposisi kimiawi dari nutrien yang diberikan (Yu et al. 2002;

Ruiqian et al. 2004; Hedayati et al. 2007; Martins et al. 2008). Beberapa faktor-faktor tersebut

bisa mempengaruhi ekspresi gen yang meregulasikan produksi aflatoksin (aflR) maupun gen

struktural kemungkinan dengan mengubah ekspresi faktor-faktor transkripsi global yang

merespons sinyal dari lingkungan dan nutrisi (Yu et al. 2002). Yu et al. (2002) menyatakan

bahwa aflatoksin disintesis dari malonyl CoA dalam dua tahap. Tahap pertama ialah

pembentukkan hexaonyl CoA dilanjutkan tahap kedua berupa pembentukkan decaketide

anthraquinone. Beberapa seri reaksi oksidasi-reduksi (Gambar 4) yang sangat terorganisir

kemudian menghasilkan aflatoksin. Skema produksi aflatoksin yang umum diterima saat ini

ialah sebagai berikut.

hexanoyl CoA precursor —> norsolorinic acid, NOR —> averantin, AVN

—> hydroxyaverantin, HAVN —> averufin, AVF —>

hydroxyversicolorone, HVN—> versiconal hemiacetal acetate, VHA —>

versi-conal, VAL —> versicolorin B, VERB —> versicolorin A, VERA —

> demethyl-sterigmatocystin, DMST —> sterigmatocystin, ST —> O-

methylsterigmatocystin, OMST—> aflatoxin B1, AFB1 and aflatoxin G1,

AFG1.

Gambar 4. Skema produksi aflatoksin (Yu et al. 2002)

Biosintesis aflatoksin merupakan proses yang sangat kompleks (Gambar 5) dan diatur

oleh gen-gen yang tersusun dalam suatu kelompok gen. Yu et al. (2002) menyatakan bahwa efek

posisi kromosomal dan juga beberapa gen regulator akan bergantung pada kontrol nutrisi dan

lingkungan. D’Mello (2002) secara singkat menyatakan bahwa aflatoksin, seperti halnya patulin

dan fumonisin, memiliki jalur biosintesis polipeptida dengan metabolit primer berupa Asetil

koenzim-A.

Page 6: Uji potensi isolat lokal Aspergillus flavus sebagai penghasil … · peranan penting sebagai pendaur ulang nutrisi yang terdapat dalam sisa-sisa tumbuhan maupun binatang. Kapang tersebut

 

 

Gambar 5. Jalur biosintesis aflatoksin dan sterigmatosistin (Yu et al. 2002)

Meskipun demikian, pentingnya produksi aflatoksin secara biologis maupun dalam

kaidah evolusi bagi kapang itu sendiri masih sangat sedikit dipahami. Aflatoksin merupakan

metabolit sekunder yang umumnya diasosiasikan dengan respon kapang terhadap lingkungan

yang membatasi pertumbuhan (Carvalho 2010).

Page 7: Uji potensi isolat lokal Aspergillus flavus sebagai penghasil … · peranan penting sebagai pendaur ulang nutrisi yang terdapat dalam sisa-sisa tumbuhan maupun binatang. Kapang tersebut

 

 

Fente et al. (2001) menyatakan aflatoksin sebagai mikotoksin dengan sifat beracun dan

karsinogenik tinggi yang dihasilkan dari beberapa strain Aspergillus flavus, Aspergillus

parasiticus, dan Aspergillus nomius. Aflatoksin yang terutama dihasilkan oleh Aspergillus

flavus dan Aspergillus parasiticus merupakan metabolit fungi yang terjadi secara alami dan telah

lama dikenal sebagai kontaminan lingkungan yang signifikan (Wang et al. 2005). Kapang-

kapang tersebut umum dijumpai pada bahan pakan atau pangan yang mengalami proses

pelapukan (Diener dan Davis 1969) atau disimpan dalam kondisi kelembaban tinggi (Winn dan

Lane 1978) meskipun tidak semua kapang tersebut menghasilkan aflatoksin. Hal tersebut

mendorong munculnya metode untuk menyeleksi kemampuan kapang untuk memproduksi

aflatoksin. Aflatoksin diberi akhiran sesuai dengan penampakan fluorosensinya dibawah sinar

UV pada lempeng kromatografi lapisan tipis dengan silika gel yang disinari ultraviolet (Syarief

et al. 2003). Penampakan fluoresensi biru diberi akhiran B (blue) dan penampakan fluorosensi

hijau diberi akhiran G (green). Berdasarkan mobilitas pada kromatografi lapisan tipis, penamaan

aflatoksin diberi indeks angka tambahan menjadi B1, B2, G1, dan G2, masing-masing dengan

struktur molekul yang berbeda namun mirip (Gambar 6).

Gambar 6. Struktur molekul berbagai jenis aflatoksin (Lee et al. 2004)

Page 8: Uji potensi isolat lokal Aspergillus flavus sebagai penghasil … · peranan penting sebagai pendaur ulang nutrisi yang terdapat dalam sisa-sisa tumbuhan maupun binatang. Kapang tersebut

10 

 

 

Semakin kecil indeks angka tambahan tersebut, semakin cepat Rf (Rate of Flow) dari

spot sehingga rasio antara jarak spot dan eluen semakin besar. Steyn (1991) dan Miller (1994)

menyatakan bahwa aflatoksin B2 merupakan turunan dihidroaflatoksin B1, sedangkan aflatoksin

G2 merupakan turunan dihidroaflatoksin G1.

Goldblatt (1969) menyatakan bahwa aflatoksin M1 adalah 4-hidroksiaflatoksin B1 dan

aflatoksin M2 adalah 4-hidroksiaflatoksin B2. AFM1 dan AFM2 pertama kali diisolasi dari susu

yang dihasilkan oleh sapi yang diberi pakan yang terkontaminasi aflatoksin (Ruiqian et al. 2004).

Ruiqian et al. (2004) menyatakan bahwa molekul aflatoksin memiliki inti coumarin yang

berikatan dengan bifuran atau pentanon seperti pada AFB1 dan AFB2, atau lakton seperti pada

AFG1 dan turunannya AFG2. Aflatoksin merupakan grup komponen heterosiklik turunan

polikeptida dari furanocoumarins yang dapat berpendar dengan setidaknya 16 jenis toksin yang

sudah terkarakterisasi memiliki kaitan struktural yang umumnya digolongkan berdasarkan residu

dihidrofuran atau tetrahidrofuran yang tergabung ke coumarin moiety tersubstitusi (D’Mello

2002; Yu et al. 2002). Pembentukan aflatoksin terjadi pada kisaran suhu 11-41°C dengan suhu

untuk pembentukan aflatoksin maksimum sedikit di bawah suhu optimum untuk pertumbuhan

kapangnya yaitu 24-30°C. Suhu dan waktu optimum untuk pembentukan aflatoksin pada

Aspergillus flavus pada kacang tanah steril adalah 25°C selama 7-9 hari (Makfoeld 1993). Suhu

pertumbuhan minimum dan maksimum ini dipengaruhi oleh faktor lain seperti konsentrasi

oksigen, kadar air, nutrien dan lain-lain (Diener dan Davis 1969).

Aflatoksin B1 merupakan aflatoksin yang paling dominan dan mempunyai sifat racun

yang tinggi dan berbahaya (Diener dan Davis 1969) serta paling banyak ditemui dalam

konsentrasi tinggi baik pada pangan maupun pakan (Lee et al. 2004). Oleh karena itu,

kebanyakan penelitian yang telah dilakukan umumnya cenderung difokuskan untuk meneliti

aflatoksin B1.

Regulasi terkait akan aflatoksin telah menjadi perhatian pemerintah. Pemerintah

menetapkan batas maksimum kandungan aflatoksin B1 dan aflatoksin total pada produk olahan

jagung dan kacang tanah adalah masing-masing sebesar 20 ppb dan 35 ppb (Keputusan Kepala

BPOM RI No. HK.00.05.1.1405 tahun 2004). Beberapa negara uni-eropa menerapkan regulasi

batas maksimum jumlah aflatoksin sebesar 5 ppb (Yu et al. 2002).Lee et al. (2004) menyatakan

bahwa nilai LD50 dari aflatoksin ialah 0,5 mg/kg berat badan sehingga aflatoksin diketahui lebih

bersifat karsonogenik dibandingkan hampir semua karsinogen lainnya dan dikategorikan sebagai

karsinogen kelas I oleh International Agency for Research on Cancer (IARC).

Aflatoksin dapat bersifat toksigenik, mutagenik, teratogenik, karsinogenik, dan

immunosuppresif pada hewan percobaan (Yu et al. 2002). Aflatoksin mampu menyebabkan

penyakit dalam jangka panjang (kronis) dan penyakit jangka pendek (akut) bergantung pada

dosis dan frekuensi paparan aflatoksin. Salah satu efek yang paling sering terjadi ialah

kehilangan sintesis protein, termasuk sintesis antibodi sesuai dengan dosis paparan (Martins et

al. 2008). Aflatoksin umumnya mempengaruhi liver dan beberapa kasus terkontaminasi

aflatoksin telah terjadi pada kelompok masyarakat di berbagai negara, terutama negara tropis.

Meskipun demikian, kasus keracunan akut masih jarang terjadi sehingga kewaspadaan

masyarakat masih terbilang rendah. Syarief et al. (2003) menyatakan bahwa aflatoksin dapat

mengakibatkan kerusakan hati, organ tubuh yang sangat penting dan juga berperan dalam

detoksifikasi aflatoksin itu sendiri. Hasil penelitian sejauh ini menunjukkan bahwa telah terdapat

cukup bukti berupa hasil penelitian in vitro dan in vivo yang mendukung pandangan bahwa

manusia memiliki proses biokimia yang dibutuhkan oleh karsinogen yang diinduksi oleh

Page 9: Uji potensi isolat lokal Aspergillus flavus sebagai penghasil … · peranan penting sebagai pendaur ulang nutrisi yang terdapat dalam sisa-sisa tumbuhan maupun binatang. Kapang tersebut

11 

 

 

aflatoksin (Verma 2004). Aflatoksin yang dikonsumsi secara terus-menerus, walaupun dalam

jumlah kecil, mampu menyebabkan kanker hati. Hedayati et al. (2007) menyebutkan bahwa

sampai saat ini obat yang diketahui dapat menyembuhkan kontaminasi Aspergillus adalah

amphotericin B (AmB) dan itraconazole. Saat ini penggunaan voriconazole, posaconazole, dan

caspofungin juga telah diterima untuk pengobatan kontaminasi Aspergillus.

Meskipun belum ada laporan terinci mengenai kerugian ekonomi dikarenakan adanya

keengganan untuk melaporkan kasus kontaminasi aflatoksin, data penelitian menunjukkan

adanya dampak aflatoksin pada produksi pertanian dan peternakan di Indonesia (Bahri et al.

2003; Lilieanny et al. 2005) termasuk pada bahan pangan dan pakan (Aryantha et al. 2007).

Kontaminasi aflatoksin pada bahan pangan dan pakan menyebabkan adanya residu dalam tubuh

yang dapat menyebabkan keracunan pada manusia dan hewan ternak (Maryam et al. 1995;

Maryam, 1996; Devegowda et al. 1998; Maryam et al. 2003; Van Eijkeren et al. 2006; Diaz et

al. 2006). Data dari LIPI mengindikasikan bahwa 47% kecap yang didistribusikan di Jawa telah

terkontaminasi aflatoksin (Aryantha et al. 2007). Pitt dan Hocking (1997) memperkirakan bahwa

setiap tahun terjadi kematian 20.000 orang penderita kanker hati di Indonesia yang disebabkan

oleh aflatoksin.

Aflatoksin merupakan salah satu mikotoksin yang menjadi perhatian bagi produsen

produk dairy diantara lebih dari 200 jenis mikotoksin yang telah diidentifikasi. Hal tersebut

mendorong adanya regulasi untuk mencegah kontaminasi aflatoksin dalam produk pangan. Sejak

tahun 2003 diperkirakan terdapat lebih 100 negara yang memiliki regulasi terkait dengan

mikotoksin dengan total populasi mencakup 87 % penduduk dunia (Egmond et al. 2005). Berikut

ini ialah beberapa regulasi yang terkait dengan aflatoksin. Secara umum konsentrasi aflatoksin

dan akibat yang ditimbulkannya dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Konsentrasi aflatoksin dan akibat yang ditimbulkana

aSumber: www.ipm.iastate.edu (2010) bpart per billion

Pengaruh aflatoksin terhadap keamanan pangan menjadi nyata terkait dengan

kemampuannya untuk terakumulasi dalam bahan pangan. Kebanyakan kasus kontaminasi

aflatoksin pada pangan dan pakan yang telah dilaporkan di Indonesia umumnya berupa produk

berbasis kacang-kacangan dengan 80% produk kacang-kacangan yang dipercontohkan dapat

mengandung aflatoksin B1 dengan jumlah rataan sebesar 30 ppm.

Potensi bahaya dari aflatoksin dan kecenderungannya untuk menjadi residu pada

berbagai bahan pangan dan pakan menimbulkan kebutuhan akan batasan yang wajar mengenai

Konsentrasi aflatoksin

(ppb)b Efek yang ditimbulkan

20 Level maksimal yang diijinkan untuk manusia

50 Level maksimal yang diijinkan untuk hewan

100 Pertumbuhan lambat pada usia muda

200-400 Pertumbuhan lambat pada usia tua

>400 Kerusakan hati dan kanker

Page 10: Uji potensi isolat lokal Aspergillus flavus sebagai penghasil … · peranan penting sebagai pendaur ulang nutrisi yang terdapat dalam sisa-sisa tumbuhan maupun binatang. Kapang tersebut

12 

 

 

jumlah aflatoksin dalam suatu bahan pakan atau pangan. Hal ini berkaitan erat dengan isu

keamanan pangan yang semakin menjadi perhatian. Seluruh pihak yang berkepentingan

(stakeholder) perlu mengetahui tingkat cemaran aflatoksin melalui pengujian aflatoksin pada

komoditi bahan pangan dan pakan yang menjadi komoditas perdagangan. yang dapat dilihat

dalam Tabel 3. Penerapan standar yang aman akan menurunkan resiko terjadinya paparan

aflatoksin dari bahan pangan maupun pakan.

Tabel 3. Konsentrasi aflatoksin maksimum untuk berbagai penggunaana

Penggunaan Konsentrasi aflatoksin

(ppb)b

Susu (perusahaan susu) Tidak terdeteksi

Jagung yang belum pasti pengolahannya 20

Jagung untuk hewan muda 20

Jagung untuk pakan ternak lembu 20

Jagung untuk pakan sapi, babi, dan unggas dewasa 100

Jagung untuk pakan babi sebelum dipotong 200

Jagung untuk pakan lembu sebelum dipotong 300 aSumber: http://www.pubs.caes.uga.edu/ (2009) bpart per billion

Lee et al. (2004) menyatakan bahwa kontaminasi aflatoksin dapat terjadi di lapangan,

selama panen dan distribusi, dan dalam kondisi dimana kapang dimungkinkan untuk tumbuh.

Aflatoksin dapat menginduksi efek akut pada manusia dan kasus di lapangan terus terjadi

meskipun kesadaran masyarakat dunia akan toksisitas dan implikasinya terhadap kesehatan telah

semakin meningkat. Beberapa masalah yang ditimbulkan memiliki kesamaan, meskipun

demikian terdapat perbedaan dalam prioritas masalah yang dikhawatirkan (Shier et al. 2005).

Permintaan untuk pemyediaan metode pemantauan kontaminasi aflatoksin yang

sederhana, cepat, dan ekonomis dengan peralatan yang sederhana dalam cakupan regional

berkembang seperti Asia Tenggara, Timur Tengah, dan Afrika terus meningkat dikarenakan

tingginya insiden kanker hati (Lee et al. 2004). D’Mello (2002) menyatakan bahwa aflatoksin

banyak dijumpai pada kacang-kacangan di daerah Afrika Timur dan Barat, India, Taiwan,

Thailand, dan Filipina yang menyebabkan kanker hati, kwashiorkor, serosis, hepatitis akut, dan

sindrom Reye’s.

Perkembangan yang ada dalam lingkup regional pada akhirnya akan mempengaruhi

lingkup internasional. Regulasi aflatoksin pada perdagangan baik regional maupun internasional

merupakan perhatian berbagai pihak terkait baik konsumen, produsen, maupun penentu

kebijakan. Seiring meningkatnya perhatian akan isu keamanan pangan, kadar aflatoksin pada

komoditi ekspor-impor pangan dan pakan saat ini merupakan salah satu parameter utama

jaminan mutu dan keamanan produk. Berbagai regulasi mengenai aflatoksin yang dikeluarkan

mengindikasikan tanggapan pemerintah yang serius akan isu keamanan pangan dan pakan yang

disebabkan oleh kontaminasi aflatoksin. Aflatoksin merupakan salah satu miktoksin yang

diregulasikan oleh US. Food and Drug Administration (FDA) seperti dapat dilihat pada Tabel 4.

Page 11: Uji potensi isolat lokal Aspergillus flavus sebagai penghasil … · peranan penting sebagai pendaur ulang nutrisi yang terdapat dalam sisa-sisa tumbuhan maupun binatang. Kapang tersebut

13 

 

 

Tabel 4. Panduan FDA mengenai level aflatoksin yang dapat diterima pada pangan dan pakan.

Kandungan Aflatoksin

(ppb)a

Komoditas Spesies

0.5 (aflatoksin M1) Susu Manusia

20.0 Semua pangan kecuali

susu

Manusia

20.0 Pakan Ternak

100.0b Jagung Ternak lembu, ternak

babi, dan unggas dewasa

200.0b Jagung Karkas babi (>100 lbs.)

300.0b Jagung Karkas sapi/lembu

300.0b Biji kapas sebagai pakan Ternak apart per billion bpengecualian

Kontaminasi aflatoksin memberikan dampak yang besar baik di negara maju

maupun negara berkembang. Berikut ini (Tabel 5) ialah perbandingan dampak kontaminasi

aflatoksin bagi negara maju dan negara berkembang.

Tabel 5. Perbandingan dampak aflatoksin bagi negara maju dan negara berkembang1.

Faktor Negara maju Negara berkembang

Periode produksi

aflatoksin

Pra-panen Pasca-panen

Tanaman yang

terkontaminasi

Jagung, kacang tanah,

kacang pohon.

Jagung, kacang, kopra, jewawut,

tepung ubi jalar, dan tepung singkong

Perhatian pertama Biaya regulator untuk

pemantauan

Keracunan kronis, meliputi

hepatokarsinoma primer, penurunan

kekebalan tubuh, dan keracunan

akut.

Perhatian kedua Yield loss pada pakan

ternak

Yield loss pada pakan ternak

1Sumber: Shier et al. (2005)

Negara-negara maju umumnya telah memiliki instrumen yang memadai untuk

memantau level kontaminasi pada pangan dan pakan (Cardwell dan Henry 2005), namun tidak

demikian halnya untuk negara berkembang, terutama daerah-daerah pertanian yang miskin.

Page 12: Uji potensi isolat lokal Aspergillus flavus sebagai penghasil … · peranan penting sebagai pendaur ulang nutrisi yang terdapat dalam sisa-sisa tumbuhan maupun binatang. Kapang tersebut

14 

 

 

Negara maju juga telah memiliki sistem pengalihan produk-produk pertanian yang

terkontaminasi aflatoksin, sebagai contoh, jagung yang terkontaminasi masih dapat digunakan

untuk pakan sapi sesuai batasan yang diregulasikan. Hal tersebut berbeda dengan negara

berkembang yang masih belum memiliki diversitas pasar yang cukup sehingga produk-produk

pertanian yang terkontaminasi masih dapat ditemukan pada produk untuk konsumsi manusia dan

mengancam keamanan pangan. Binder et al. (2007) menyatakan bahwa terdapat indikasi yang

jelas dari kontaminasi aflatoksin yang tinggi pada sampel dari wilayah Asia Selatan dengan

kontaminasi aflatoksin tertinggi ditemukan di India (275 ppb). Level kontaminasi rata-rata ialah

52 ppb dengan nilai median 24 ppb. Perhatian utama tentang aflatoksin pada negara berkembang

umumnya terpusat pada efek toksik dan dampak kesehatan melalui konsumsi langsung produk-

produk pertanian yang terkontaminasi aflatoksin, terutama permasalahan keracunan kronis,

berbeda dengan negara maju yang umumnya berupa kerugian pasar akibat komoditi yang ditolak

(Binder et al. 2007). Perhatian akan keracunan kronis semakin meningkat seiring ditemukannya

bukti bahwa aflatoksin dapat bersinergi dengan polutan dari industri maupun toksin alami dari

lingkungan (Shier et al. 2005). Aflatoksin juga dilaporkan mampu mengurangi imunitas pada

ternak ayam dan dimungkinkan untuk mengurangi imunitas pada manusia karena toksisitas

kronis ditemukan mampu memodulasi sistem imun sehingga meningkatkan kecenderungan

infeksi (Oswald, et al. 1998; D’Mello 2002). Toksisitas akut bisa terjadi tiga minggu setelah

ingesti (Omaye 2004). D’Mello (2002) mengelompokkan aflatoksin sebagai salah satu dari

miktoksin yang tersebar melalui makanan (foodborne mycotoxins) yang umum dijumpai di

kacang-kacangan dan buah yang dikeringkan. Potensi bahaya aflatoksin menimbulkan kebutuhan

akan analisis aflatoksin yang dapat dilakukan dengan cepat dan akurat. Standar yang dibutuhkan

dalam analisis aflatoksin dapat diperoleh dari isolat lokal Aspergillus flavus penghasil aflatoksin.

Reddy et al. (2009) melakukan penelitian berupa seleksi isolat Aspergillus flavus potensial yang

diisolasi dari beras yang dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Produksi aflatoksin B1 oleh Aspergillus flavus yang diisolasi dari berasa.

Isolat Asal Sampel

Kandungan Aflatoksin B1 (ppb)

YESb medium AFPAc

medium

Crude rice grain

mediumd

DRAf 002 Tamil Nadu 6400 - 62000

DRAf 006 Tamil Nadu 4500 - 13000

DRAf 009 Tamil Nadu 40000 - 415000

DRAf 012 Maharashtra 5800 - 15000

DRAf 018 Maharashtra 5000 - 36000 aSumber: Reddy et al. (2009) bYES (Yeast Extract Sucrose) agar. cAFPA (Aspergillus flavus and parasiticus agar) dRice cultivar: Pusa Basmati 1

Penelitian yang dilakukan oleh Reddy et al. (2009) bertujuan untuk melihat potensi

isolat lokal Aspergillus flavus penghasil aflatoksin. Isolat lokal yang memiliki potensi tinggi

Page 13: Uji potensi isolat lokal Aspergillus flavus sebagai penghasil … · peranan penting sebagai pendaur ulang nutrisi yang terdapat dalam sisa-sisa tumbuhan maupun binatang. Kapang tersebut

15 

 

 

akan digunakan untuk menghasilkan standar murni. Aflatoksin termasuk toksin yang stabil

dalam pengaruh panas sehingga sangat sulit untuk dihancurkan apabila sudah terbentuk (Lee et

al. 2004). Reddy et al. (2010) menyatakan bahwa kontaminasi mikotoksin merupakan hal yang

tidak bisa dihindarkan. Praktek agronomi dan produksi saat ini tidak memungkinkan pencegahan

total terhadap keberadaan kontaminasi mikotoksin selama penanaman, panen, penyimpanan,

maupun selama proses produksi. Omaye (2004) menyatakan bahwa terdapat hubungan langsung

antara konsumsi makanan yang mengandung aflatoksin dan kanker hati dimana laki-laki lebih

berpeluang untuk terserang. Insiden kontaminasi aflatoksin sangat tinggi di India dan Afrika

dimana masyarakat terpaksa mengkonsumsi biji-bijian berkapang untuk bertahan hidup.

Sementara itu, dekontaminasi mikotoksin baik melalui penggunaan perlakuan panas

maupun bahan kimia membutuhkan peralatan dan biaya yang tidak sedikit disertai kemungkinan

penurunan nilai gizi dari produk yang terkontaminasi. Oleh karena itu, aplikasi Good

Agricultural Practices (GAP) dan Good Manufacturing Practices (GMP) menjadi sangat penting

dalam berbagai upaya pencegahan kontaminasi aflatoksin.

C. Kultivasi Kapang Pada Medium Cair

Mikroorganisme membutuhkan nutrisi sebagai sumber energi dan kondisi lingkungan

tertentu untuk proses pertumbuhan dan reproduksi. Secara alamiah mikroba akan beradaptasi

pada lingkungan yang paling sesuai untuk kebutuhan mikroba tersebut. Pada laboratorium,

kebutuhan akan lingkungan hidup yang sesuai untuk mikroba harus dapat dipenuhi oleh medium

kultur (Nazari 2010). Medium sintetis untuk kultur mikroba umumnya digunakan untuk berbagai

tujuan mulai dari identifikasi mikroorganisme yang belum diketahui hingga produksi mikroba

dalam jumlah besar untuk kepentingan bioteknologi.

Aspergillus sp. penghasil aflatoksin merupakan salah satu kapang yang telah diteliti

sejak lama dalam kondisi laboratorium. Berbagai media, baik media crude, semisintetis, maupun

media sintetis telah digunakan untuk membiakan Aspergillus sp. Media yang umum digunakan

bisa berupa media padat seperti SDA (Sucrose Dextrose Agar), PKA (Palm Kernel Agar), PDA

(Potato Dextrose Agar), dan media crude dari jagung, kacang, maupun beras. Media cair yang

umum digunakan antara lain media sintetis PDB (Potato Dextrose Broth) maupun media cair

sintetis kompleks yang secara spesifik mampu meningkatkan produksi aflatoksin seperti media

GAN (Glucose Ammonium Nitrate), AM (glucose-ammonium sulfate), SH (high salt), SL

(synthetic low salt), Czapek-dox medium, YES (Yeast Extract Sucrose), dan SLS (Sucrose Low

Salt) (Davis et al. 1966; Maggon et al. 1969; Reddy et al. 1971; Saxena et al. 1988; Nazari

2010). Media sintetis kompleks umumnya mengalami modifikasi dalam komposisinya untuk

mempelajari aspek korelasi antara komposisi media dan pertumbuhan mikroba yang dibiakan

serta menemukan komposisi medium yang paling tepat untuk suatu jenis mikroba tertentu yang

ditumbuhkan.

Pemilihan media untuk kultivasi strain Aspergillus flavus lokal yang digunakan akan

mempengaruhi pertumbuhan kapang dan produksi aflatoksin yang dihasilkan. Berbagai media

sintetis maupun semisintetis menunjukkan adanya produksi aflatoksin yang tinggi terutama

media YES (Yeast Extract Sucrose) dan GAN (Glucose Ammonium Nitrate) (Davis et al. 1966;

Reddy et al. 1971).

Page 14: Uji potensi isolat lokal Aspergillus flavus sebagai penghasil … · peranan penting sebagai pendaur ulang nutrisi yang terdapat dalam sisa-sisa tumbuhan maupun binatang. Kapang tersebut

16 

 

 

Davis et al. (1966) melaporkan tentang adanya produksi aflatoksin B1 dan G1 yang

tinggi pada medium YES (Yeast Extract Sucrose) yang mengandung 20% sukrosa dan 2%

ekstrak yeast.. Hasil percobaan Davis et al. (1966) dapat dilihat pada Tabel 7 di bawah.

Tabel 7. Produksi aflatoksin dari Aspergillus flavus pada medium YESa

Periode Inkubasi

(hari)

Kandungan Aflatoksin (ppb)*

Berat miselia

kering (g/100

mL)

B1 G1

2 0,9 1000 1000

3 2,1 4000 10000

5 3,8 20000 53000

7 3,5 20000 53000

12 4,2 20000 53000

15 3,8 18000 48000

18 4,1 16000 42000 asumber: Davis et al. (1966)

Sementara itu, Maggon et al. (1969) melakukan penelitian produksi aflatoksin pada

beberapa strain Aspergillus flavus menggunaan medium GAN. Medium GAN (Glucose

Ammonium Nitrate) merupakan medium stasioner sintetis yang mampu menunjukkan hasil

produksi aflatoksin yang tinggi pada beberapa strain Aspergillus flavus (Brian et al. 1961).

Meskipun demikian medium GAN memberikan hasil yang rendah pada beberapa strain tertentu

(Maggon et al. 1969). Hasil percobaan Moggan et al. (1969) dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Produksia aflatoksin Bb pada medium GANc

Strain

Kandungan Aflatoksin (ppb)*

Medium GAN Medium GAN+ 2%

medium groundnut

DU/KR 79 A 8300 18100

DU/KR 79 C 9300 21300

DU/KR 79 D 15100 28700

DU/KR 79 E 1300 0

DU/KR 79 F 0 6800

DU/KR 79 G 10900 15000

DU/KR 79 K 0 500 aProduksi aflatoksin merupakan nilai rata-rata dari dua set percobaan yang diukur setelah inkubasi selama 7 hari dengan suhu 25˚C (pH awal=7,00) bNilai aflatoksin merupakan nilai total dari aflatoksin B1 dan B2

Page 15: Uji potensi isolat lokal Aspergillus flavus sebagai penghasil … · peranan penting sebagai pendaur ulang nutrisi yang terdapat dalam sisa-sisa tumbuhan maupun binatang. Kapang tersebut

17 

 

 

cSumber: Moggan et al. (1969)

Nazari (2010) menyatakan bahwa banyak media sintentis telah tersedia secara

komersial termasuk media yang telah ditambahkan komponen khusus sehingga dapat

meningkatkan pertumbuhan mikroba yang diinginkan atau menghambat pertumbuhan mikroba

kompetitor

Media sintetis yang umum digunakan untuk pertumbuhan fungi seperti PDB juga

menunjukkan hasil positif dalam memproduksi aflatoksin meskipun jumlahnya pada umumnya

tidak tinggi (Reddy et al. 1971; Kusumaningtyas 2007). Media sintetis kompleks dan media

dengan ekstrak crude telah direkomendasikan untuk produksi aflatoksin dalam jumlah tinggi dari

Aspergillus (Reddy et al. 1971). Meskipun media sintetis dapat menunjukkan produksi aflatoksin

yang tinggi pada suatu strain, perubahan strain maupun komposisi media dapat secara signifikan

berpengaruh terhadap produksi aflatoksin.

D. Analisis Aflatoksin

a. ELISA

Berbagai teknik analisis seperti HPLC (High Performance Liquid

Chromatography), GC (Gas Chromatography), dan TLC (Thin Layer Chromatography)

secara umum tersedia untuk analisis aflatoksin (Sekhon et al. 1996). Meskipun demikian

metode analisis diatas dinilai kurang efisien dan cukup mahal karena membutuhkan clean

up sampel yang ekstensif dan instrumen yang mahal sehingga tidak cocok untuk keperluan

seleksi yang membutuhkan metode yang cepat dan peralatan sederhana sehingga bisa

dilakukan dengan cepat di lapangan (Sekhon et al. 1996; Rachmawati 2005). Metode

ELISA sudah menjadi metode seleksi umum yang diakui sebagai metode kuantitatif

dikarenakan memiliki spesifisitas dan sensitivitas yang tinggi dengan preparasi sampel

minimal, prosedur kerja yang cepat, dan mampu menseleksi sampel dalam jumlah banyak

(Patey et al. 1992; Sekhon et al. 1996; Wilson 2000; Zahn et al. 2009). Meskipun

demikian, metode ELISA memiliki kelemahan yaitu adanya reaksi silang dengan

komponen lain yang memiliki struktur molekul yang mirip (Wilson 2000).

ELISA adalah suatu teknik deteksi yang berdasarkan atas reaksi spesifik antara

antigen dan antibodi. Metode ini, mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi

dengan enzim sebagai indikator (Burgess 1995). Prinsip dasar analisis ELISA ialah

terjadinya kompetisi antara standar AFB1 atau sampel dengan enzim konjugat untuk

berikatan dengan antibodi affinitas tinggi yang teradsorpsi secara pasif pada plat mikro.

Enzim konjugat yang tidak berikatan dengan antibodi yang terlapis pada plat mikro akan

tercuci dan enzim yang mengikat antibodi pada plat mikro akan bereaksi dengan substrat

dan memberikan warna hijau kebiruan (Burgess 1995; Rachmawati 2005; Weck dan

Vanputte, 2006). Semakin tinggi AFB1 pada sampel atau standar, semakin sedikit enzim

konjugat yang berikatan dengan antibodi, maka warna yang terbentuk akan semakin pudar

(Stanker et al. 1995). Reaksi dihentikan dengan penambahan larutan penghenti dan

intensitas warna yang terbentuk diamati. Hasil analisis ditentukan secara kualitatif dengan

pandangan mata atau kuantitatif dengan membaca optical density (OD) pada ELISA-reader

(Burgess 1995). ELISA–Kit Aflavet menunjukkan respon antibodi spesifik terhadap

Page 16: Uji potensi isolat lokal Aspergillus flavus sebagai penghasil … · peranan penting sebagai pendaur ulang nutrisi yang terdapat dalam sisa-sisa tumbuhan maupun binatang. Kapang tersebut

 

 

AFB

reak

lang

tahu

kit A

Pene

mem

spes

(AF

sam

ELI

deka

kebu

b. TL

B1, namun ma

ksi silang den

gsung dapat dil

Uji ELISA

un 1977 dengan

Aflavet dengan

elitian Veterin

miliki keuntun

sifisitas tinggi,

FB1 100%, AF

mpel (duplo) sek

SA untuk anal

ade terakhir k

utuhan analisis

C

asih terjadi se

ngan AFG1 ti

lihat pada Gam

Gambar 7

A untuk aflatok

n nilai sensitiv

n nilai sensitivi

ner (Balitvet)

ngan antara la

reprodusibel,

FB2 0,9%, AFG

kaligus atau 80

lisis aflatoksin

karena prosed

s disertai spesif

edikit reaksi s

idak begitu ny

mbar 7.

7. Format ELIS

ksin B1 pertam

vitas sebesar 4

itas 0,3 ng/mL

akan digunaka

ain waktu an

kisaran analisi

G1 3,1%, dan

0 sampel secar

n dan metabolit

durnya yang

fisitas dan sens

ilang dengan

yata. Secara

SA kompetitif l

ma kali dilaku

ng/mL sampel

sampel yang d

an dalam pene

nalisis yang c

is 0,3-30 ppb,

n AFG2 1,6%)

ra simplo (Rac

t lainnya terlah

sederhana dan

sitivitas yang ti

AFB2 dan AF

sederhana pr

langsung

ukan oleh Chu

l (Sekhon et al

dikembangkan

elitian ini. EL

cepat dengan

reaksi silang y

, dan mampu

chmawati et al.

h berkembang

n mudah bera

inggi (Lee et a

FG2, sedangk

rinsip kompet

u dan Ueno pa

l. 1996). ELISA

oleh Balai Bes

LISA kit Aflav

sensitivitas d

yang cukup ke

menganalisis

. 2004). Meto

pesat dalam d

adaptasi deng

al. 2004).

18 

kan

tisi

ada

A-

sar

vet

dan

cil

40

ode

dua

gan

Page 17: Uji potensi isolat lokal Aspergillus flavus sebagai penghasil … · peranan penting sebagai pendaur ulang nutrisi yang terdapat dalam sisa-sisa tumbuhan maupun binatang. Kapang tersebut

19 

 

 

Kromatografi didefinisikan sebagai metode analisis dimana sebuah fase gerak

bergerak melewati fase stasioner sehingga campuran senyawa dapat dipisahkan dalam

komponen-komponennya. Penggunaan istilah TLC (Thin Layer Chromatografy) dimulai

oleh E. Stahl pada tahun 1956 yang berarti proses pemisahan secara kromatografis dimana

fase stasioner yang tersusun atas lempeng tipis yang dilapisi solid absorbent setebal kira-

kira 0,25 mm diaplikasikan pada fase gerak yang berupa cairan (Fried and Sherma 1999;

Hahn-Deinstrop 2007).

Prinsip dasar TLC adalah penempatan sampel uji pada fase stasioner yang berupa

lempeng tipis dan sampel akan bergerak sampai batas tertentu dengan bantuan fase gerak

karena adanya gaya kapiler. Selama perjalanan dari titik spotting hingga batas perambatan

akan terjadi pemisahan campuran senyawa uji karena adanya perbedaan sifat antara

senyawa-senyawa tersebut ketika berinteraksi dengan fase stasioner. Metode TLC umum

digunakan dalam berbagai analisis termasuk analisis aflatoksin karena metode ini

menggunakan pelarut dalam jumlah sedikit, waktu pengembangan yang singkat, fase gerak

dapat dengan mudah diganti, dan mampu menganalisis sampel secara simultan.

Sejak penemuan aflatoksin pada tahun 1961, metode TLC telah menjadi metode

pilihan untuk menganalisis aflatoksin maupun toksin lainnya. Meskipun aplikasinya dalam

publikasi akhir-akhir ini semakin menurun, metode TLC masih digunakan secara rutin dan

ekstensif di seluruh dunia.

Analisis aflatoksin menggunakan TLC dapat dilakukan secara kuantitatif dengan

menggunakan metode perbandingan dengan standar (Jones 1972). Aflatoksin merupakan

senyawa yang dapat berpendar sehingga intensitas fluoresensi sampel pada lempeng TLC

dapat diamati di bawah UV-reader pada panjang gelombang tertentu. Analisis dilakukan

dengan membandingkan intensitas fluoresensi sampel dengan sederetan fluresensi standar

dari berbagai konsentrasi dengan batas kesalahan 10-20%.

Metode TLC merupakan metode kromatografi yang lebih sederhana, ekonomis, dan

memiliki peralatan yang kurang canggih dibandingkan metode kromatografi lainnya,

namun banyaknya waktu dan tenaga kerja yang dibutuhkan serta keterbatasan dalam tingkat

akurasi membatasi penggunaannya dalam ranah penelitian (Lee et al. 2004; Ruiqian et al.

2004). Meskipun demikian metode TLC masih sering digunakan terutama apabila sampel

yang dianalisis bisa merusak kolom pada LC (Liquid Chromatography) atau GC (Gas

Chromatograhy), sampel bersifat non-volatil atau memiliki volatilitas yang rendah, dan

sampel dalam jumlah banyak harus dianalisis secara simultan dan cost-effective dalam

periode waktu yang terbatas (Hahn-Deinstrop 2007).

c. HPLC

HPLC (High Performance Liquid Chromatography) merupakan salah satu metode

analisis yang paling sering digunakan. HPLC menggunakan fase gerak cair untuk

memisahkan komponen-komponen dalam campuran dengan fase stasioner yang bisa berupa

cairan maupun padatan. Komponen-komponen tersebut dilarutkan dalam pelarut dan

kemudian dialirkan dengan tekanan tinggi melewati kolom kromatografi. Fase stasioner

didefinisikan sebagai material yang terimobilisasi dalam kolom. Interaksi antara larutan

sampel dengan fase gerak dan fase stasioner bisa dimanipulasi melalui beragam pilihan

Page 18: Uji potensi isolat lokal Aspergillus flavus sebagai penghasil … · peranan penting sebagai pendaur ulang nutrisi yang terdapat dalam sisa-sisa tumbuhan maupun binatang. Kapang tersebut

20 

 

 

pelarut maupun fase stasioner. Hal tersebut menjadikan metode HPLC sebagai metode

dengan kegunaan yang luas dalam analisis.

HPLC pada dasarnya merupakan sebuah proses adsorpsi yang dinamis (Skoog et al.

2007). Molekul analit yang bergerak melewati packing bead yang berongga akan

berinteraksi dengan titik-titik adsorpsi permukaan. Interaksi yang terjadi umumnya

ditentukan oleh jenis HPLC. Pada HPLC Reversed Phase (RP) interaksi terjadi secara

hidrofobik. Pada HPLC Normal Phase interaksi dominan terjadi secara polar dalam bentuk

interaksi dipol-dipol dimana molekul polar akan tertahan pada fase stasioner sedangkan

molekul yang non-polar akan terbawa oleh fase gerak. Sementara itu, HPLC dengan

pertukaran ion akan terjadi interaksi ionik. Semua jenis interaksi diatas bersifat kompetitif.

Molekul analit akan berkompetisi dengan molekul eluen pada titik-titik adsoprsi.

HPLC Reversed Phase (RP) merupakan jenis yang paling banyak digunakan dalam

analisis mencakup hampir 90% dari semua aplikasi kromatografi. Metode HPLC

membutuhkan prosedur clean up yang ekstensif dan proses derivatisasi untuk

meningkatkan sensitivitas deteksi serta tenaga kerja terlatih untuk mengoperasikannya (Lee

et al. 2004).

Metode HPLC memiliki beberapa keunggulan antara lain mampu menangani

senyawa yang stabilitasnya terhadap suhu terbatas, mampu memisahkan senyawa yang

serupa dengan resolusi yang baik, waktu yang diperlukan untuk pemisahan relatif singkat,

hasil analisis kuantitatif mampu memberikan presisi yang tinggi dan teknik analisisnya

yang peka. Skema kerja alat HPLC dapat dilihat pada gambar 8.

 

Gambar 8. Skema kerja alat HPLC.

Reservoir merupakan tempat menghilangkan udara ataupun gas yang terkandung

dalam pelarut untuk menghilangkan kemungkinan terjadinya resolusi yang buruk dengan

menggunakan bantuan pompa vakum. Sistem pompa juga digunakan untuk mengalirkan

pelarut sebagai fase gerak ke seluruh sistem. Sampel uji dinjeksikan ke dalam kolom

menggunakan injektor berupa katup injeksi. Injeksi dilakukan secara langsung ke dalam

kolom menggunakan syringe untuk memperoleh efisiensi yang tinggi. Kolom merupakan

Page 19: Uji potensi isolat lokal Aspergillus flavus sebagai penghasil … · peranan penting sebagai pendaur ulang nutrisi yang terdapat dalam sisa-sisa tumbuhan maupun binatang. Kapang tersebut

21 

 

 

tempat fase stasioner terimobilisasi. Efisiensi kolom akan dipengaruhi oleh besarnya

partikel fase diam. Semakin kecil ukuran fase diam, semakin besar efisiensi kolom. Deteksi

pada alat HPLC dilakukan oleh detektor. Detektor harus memiliki sensitivitas yang tinggi,

bersifat inert untuk jangka konsentrasi tertentu dan dapat mendeteksi eluen tanpa

mempengaruhi resolusi kromatogram. Hasil deteksi kemudian diolah menjadi data

kromatogram dalam rekorder dan disimpan dalam sistem data.

Metode HPLC merupakan salah satu metode analisis aflatoksin yang paling banyak

dilakukan. Metode ini berguna dalam penentuan kemurnian dan perhitungan kandungan

aflatoksin dalam sampel secara kuantitatif, serta mampu mendeterminasi kandungan

aflatoksin dalam sejumlah sampel dengan lebih akurat (Ruiqian et al. 2004).

III. BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN