Uji model kelembagaan sistem peringatan dini banjir
-
Upload
muammar-groupiest -
Category
Documents
-
view
699 -
download
0
description
Transcript of Uji model kelembagaan sistem peringatan dini banjir
Ringkasan Eksekutif 1
EXECUTIVE SUMMARY
TAHUN ANGGARAN 2011
UJI MODEL KELEMBAGAAN SISTEM PERINGATAN DINI BANJIR
DEBRIS BERBASIS MASYARAKAT
Ringkasan Eksekutif 2
1.1 Latar Belakang
Peristiwa mega longsor Kaldera Gunung Bawakaraeng yang terjadi tahun
2004 telah menghancurkan daerah sepanjang hulu Sungai Jeneberang (6 km)
yang dilalui material debris. Peristiwa ini telah menimbulkan kerugian jiwa, harta
dan kerusakan lingkungan.
Segera setelah terjadi bencana tersebut, pada tahun 2004, dibentuk suatu
konsorsium antara kementerian PU dengan universitas Hasanuddin, yaitu : antara
Proyek Pengembangan Daerah Aliran Sungai Jeneberang, Proyek Irigasi Bili-bili,
Sabo Technical Center (STC) Yogyakarta dengan Universitas Hasanuddin untuk
melakukan kegiatan mitigasi bencana aliran sedimen dengan memberdayakan
Komunitas Sabo yang berasal dari paguyuban-paguyuban masyarakat yang
tinggal di sepanjang hulu sungai. Pada tahun 2007 terjadi lagi bencana debris
yang menghancurkan Jembatan Daraha sehingga jalan yang menghubungkan
desa-desa Majannang, Jonjo, Tamalate, Lonjoboko dan Lengkese di Kecamatan
Parigi menjadi terputus dan desa-desa menjadi terisolir, namun tidak ada korban
jiwa.
Menurut studi yang dilakukan oleh pihak JICA bekerjasama dengan Balai
Besar Wilayah Sungai Pompengan-Jeneberang (BBWS P-J), masih terdapat
potensi sedimen gunung Bawakaraeng sebesar 100 juta m3, yang sewaktu-waktu
dapat meluncur. Bahaya ini mengancam manusia di sepanjang hulu Sungai
Jeneberang dan Waduk Bili-bili .
Mengingat pentingnya hal ini maka, pihak Balitbang Kementerian PU mulai
terlibat dalam penanggulangan bencana ini pada tahun 2007, dimana Balai Sabo
(Puslibang SDA, Yogyakarta) melakukan penelitian untuk mengidentifikasi
daerah-daerah rawan bencana dan memberikan peringatan kepada masyarakat
akan adanya potensi bencana. Kemudian pada tahun 2008 digagas system
peringatan dini berbasis masyarakat, dilengkapi dengan peralatan-peralatan
sederhana seperti HT, sirene dan kentongan yang melibatkan Kelompok
Komunitas Sabo.
Pada tahun 2009, pihak Balai Sosekling Bidang SDA (Puslitbang
Sosekling, Jakarta) mulai terlibat bersama-sama dengan Balai Sabo. Balai Sabo
menguji keandalan system peringatan dini berbasis masyarakat dari segi teknis,
sedangkan Balai Sosek Bidang SDA melakukan studi tentang kesiapan
masyarakat dalam menjalankan system peringatan dini tersebut. Hasil yang
Ringkasan Eksekutif 3
didapat oleh Balai Sabo adalah bahwa system peringatan dini berbasis
masyarakat cukup handal untuk digunakan dalam memberi peringatan kepada
masyarakat.
Tahun 2009, Balai Sosek Bidang SDA Puslitbang Sosekling
mengidentifikasi berbagai permasalahan sosek yang terjadi, pada Komunitas
Sabo. Pada kenyataannya dari hasil penelitian, bahwa sejak tahun 2007 sistem
peringatan dini berbasis masyarakat ini tidak berjalan. Penyebabnya adalah faktor
internal yaitu ketidakmampuan menggunakan sumber daya dan eksternal
kurangnya dukungan aktor terutama dari lembaga pemerintah. Pada penelitian
tahun 2011 dilakukan penelitian yang berfokus untuk perkuatan atau peningkatan
kemampuan lembaga komunitas yang hasilnya adalah model peningkatan
kemampuan komunitas. Model ini adalah model diagram sederhana yaitu model
Input-Proses-Output peningkatan kemampuan lembaga komunitas dalam
menjalankan sistem peringatan dini.
Model peningkatan kemampuan komunitas dalam sistem peringatan dini
banjir debris berbasis masyarakat di Sungai Jeneberang belum dapat diterapkan
di tempat lain, oleh karena itu perlu dilakukan pengujian model tersebut.
Penelitian pada tahun 2011 ini berfokus pada uji Model Jeneberang agar dapat
diterapkan ditempat lain yang mempunyai kesetaraan dengan di Jeneberang,
dalam hal ini terpilih di Provinsi DI. Yogyakarta dan Jawa tengah.
Permasalahannya adalah, apa saja kelebihan dan kekurangan masing-masing
model , bagaimana cara mengatasi mengatasi kekurangan masing-masing model
sehingga didapat suatu model yang lebih lebih sempurna dan dapat diaplikasikan
ditempat lain?
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuannya adalah untuk menyempurnakan model peningkatan
kemampuan komunitas dalam sistem peringatan dini penanggulangan bencana
banjir debris berbasis masyarakat .
1.3 Keluaran Penelitian
Ringkasan Eksekutif 4
Keluaran penelitian ini adalah terwujudnya model peningkatan kemampuan
komunitas dalam sistem peringatan dini penanggulangan bencana banjir debris
berbasis masyarakat yang lebih aplikatif.
I.4 Hasil
Sasaran yang hendak dicapai setelah dihasilkan model peningkatan
kemampuan komunitas dalam sistem peringatan dini penanggulangan bencana
banjir debris berbasis masyarakat ini adalah model yang dapat diaplikasikan di
tempat lain.
1.5 Manfaat
Model peningkatan kemampuan lembaga ini komunitas ini bermanfaat
bagi aktor-aktor dalam mengembangkan sistem peringatan dini sperti lembaga
komunitas, lembaga pemerintah, pihak akademisi, LSM/NGO dan pihak swasta.
Sehingga melalui penggunaan sumber daya yang optimal dan kontribusi masing-
masing aktor diharapkan komunitas menjadi mandiri dan berkelanjutan yang pada
gilirannya akan mengurangi beban pemerintah dalam upaya penanggulanhgan
bencana.
2. KAJIAN PUSTAKA
Ringkasan Eksekutif 5
2.1 Peningkatan Kemampuan Komunitas Untuk Mengurangi Resiko
Dalam istilah manajemen bencana, suatu upaya Peringatan Dini Berbasis
Masyarakat/Komunitas pada prinsipnya adalah suatu upaya yang dilakukan untuk
meningkatkan kemampuan masyarakat/komunitas yang rentan melalui
peningkatan kapasitas/kemampuan sehingga resiko bencana dapat dikurangi.
Hubungan tersebut dinyatakan dalam persamaan berikut :
Semakin tinggi ancaman bahaya disuatu daerah maka semakin tinggi
tingkat resiko bencana terjadi pada daerah tersebut. Demikian juga semakin tinggi
tingkat kerentanan masyarakat atau penduduk maka semakin tinggi pula tingkat
resikonya, tetapi sebaliknya semakin tinggi tingkat kemampuan komunitas
tersebut maka akan makin rendah resiko bencana yang dihadapi.
Resiko bencana adalah prakiraan atau kemungkinan potensi kerugian yang
ditimbulkan oleh bencana pada suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu seperti :
kerugian jiwa, harta dan kerusakan lingkungan. Upaya peringatan dini adalah
suatu upaya yang dalam hal ini dilakukan oleh komunitas untuk mengurangi
resiko bencana pada saat sebelum terjadi bencana dengan menaikkan
kemampuan dalam menjalankan prinsip-prinsip peringatan dini tersebut. Bencana
adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh factor alam
dan/atau factor non alam maupun manusia sehingga menimbulkan korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Faktor ancaman adalah kejadian-kejadian atau gejala atau kegiatan
manusia yang berpotensi untuk menimbulkan kerugian jiwa, harta atau
lingkungan, baik yang disebabkan oleh alam atau non alam. Ancaman dapat
mencakup kondisi-kondisi laten yang bisa mewakili ancaman di masa depan.
Setiap ancaman dicirikan dengan lokasi, sifat, cakupan dan keseringan muncul.
Ancaman bahaya pada Komunitas Sabo Jeneberang adalah adanya potensi 100
juta m3 lahar dingin/debris yang berada di puncak gunung Bawakaraeng dan di
Komunitas Merapi adalah awan panas dan lahar dingin yang juga besarnya sama
yaitu kira-kira 100 juta m3.
Ringkasan Eksekutif 6
Kerentanan (vulnerability) adalah suatu keadaan sifat/perilaku manusia
atau masyarakat yang menyebabkan ketidakmampuan menghadapi bahaya atau
ancaman, yang dapat berupa kerentanan fisik, ekonomi, social dan lingkungan,
sedangkan kemampuan masyarakat adalah suatu penguasaan sumber daya dan
kekuatan yang dimiliki masyarakat/komunitas, sehingga memungkinkan untuk
mengurangi tingkat resiko bencana dengan cara mempertahankan dan
mempersiapkan diri, mencegah, mengurangi, meredam, serta dengan cepat
memulihkan diri dari akibat bencana, sedangkan kapasitas mencakup cara-cara
fisik, kelembagaan, social dan ekonomi serta karakteristik ketrampilan pribadi.
Kapasitas juga dapat di gambarkan sebagai kemampuan.
2.2 Model Peningkatan Kemampuan Lembaga Komunitas
Model yang merepresentasikan bagaimana masukan-masukan (input)
dan tahapan-tahapan (proses) yang dilalui dan hasil (output) untuk meningkatkan
kemampuan komunitas dalam menjalankan sistem peringatan dini adalah model
diagramatik Input-Proses-Output.
Ambar (2004:118) menjelaskan bahwa input adalah seluruh potensi
internal maupun ekternal yang dimiliki oleh komunitas yang berkaitan dengan
peningkatan kemampuan untuk memberikan kontribusi pada proses menuju
lembaga komunitas yang mandiri. Segenap potensi input tersebut adalah sumber
daya komunitas. Sumber daya komunitas intern meliputi sumber daya manusia,
peralatan, ekonomi, social teknologi, sedangkan factor ektern meliputi lingkungan
bencana dan hubungan komunitas dengan pelaku lain yaitu lembaga pemerintah,
pihak akademisi, LSM/NGO dan pihak swasta. Hubungan dengan actor lain
maksudnya adalah sejauhmana komunitas dapat menjalin hubungan/relasi
Digram Model Peningkatan Kemampuan Lembaga Komunitas
SUMBER DAYA
TAHAPAN
PENINGKATAN
KEMAMPUAN
LEMBAGA
KOMUNITAS YANG
MANDIRI DAN
BERKELANJUTAN
INPUT PROSES OUTPUT
Ringkasan Eksekutif 7
kerjasama actor tersebut dalam upaya peningkatan kemampuan komunitas dalam
upaya pengurangan resiko bencana menuju suatu komunitas yang mandiri dan
berkelanjutan. Proses adalah seluruh kegiatan/langkah-langka secara bertahap
yang dilakukan dalam rangka/upaya peningkatan kemampuan komunitas,
sedangkan bagian output adalah terkait dengan hasil setiap proses yaitu tingkat
ketercapaian tingkat kemandirian dan keberlanjutan.
2.3 Kerangka Pikir Uji Model
Uji model ini dimulai dengan identifikasi model peningkatan kemampuan
komunitas dalam menjalankan sistem peringatan dini banjir debris berbasis
masyarakat di lokasi Sungai Jeneberang. Agar model ini dapat di uji perlu ada
suatu baseline atau tolok ukur model yang ada di tempat lain yang dalam ini
adalah model peningkatan kemampuan komunitas di lokasi rawan bencana yang
lain yaitu di Merapi, yang dapat disetarakan dengan Model Jeneberang. Maksud
uji pembandingan dan kesetaraan ini adalah menilai kemungkinan penerapan
model di tempat lain, mengingat adanya kesetaraan seperti dalam bentuk atau
jenis ancaman yaitu debris, kesamaan adanya potensi bencana material lahar
dingin/debris yang besar, kesaman adanya komunitas yang terbentuk untuk
penanggulangan bencana , kesamaan sistem peringatan dini dan adanya
kesamaan dalam hubungan/relasi kerjasama anatara komunitas dengan aktor-
aktor lain yang terlibat seperti: pihak pemerintah, akademisi, LSM/NGO dan
Swasta (Korporasi).
Uji aplikabilitas model adalah uji untuk menentukan apakah model
Jeneberang dapat diterapkan atau tidak di lokasi Merapi . Bagian yang diuji
adalah tahapan-tahapan proses model, apakah tahapan proses dalam Model
Jeneberang ini ada kesesuaian dengan yang dilaksanakan di Merapi. Uji model
berikutnya adalah uji reliabilitas. Uji reliabilitas model mencakup penilaian hasil
setiap tahap proses, sehingga penerapan model tersebut dipercaya hasilnya. Uji
selanjutnya adalah uji relevansi, efisiensi, dan efektivitas model. Uji efisiensi
model terkait dengan termanfaatkannya sumber daya atau potensi
komunitas/lokal pada model atau dengan kata lain model sudah mengakomodir
sumber daya local. Lebih lanjut dijelaskan efektivitas adalah kinerja atau prestasi
yang dicapai. Hal ini berarti bahwa efektifitas suatu model adalah pencapaian
hasil yang telah dirasakan oleh komunitas dengan diterapkannya model tersebut.
Ringkasan Eksekutif 8
Selanjutnya dari hasil uji relevansi, efisiensi dan efektivitas pada masing-
masing model Jenenerang dan Merapi didapat suatu model yang paling relevan,
efisien dan paling efektif, namun uji ini belum mengungkapkan lebih detail
pengaruh input/sumberdaya terhadap proses dan output. Hasil uji relevansi,
efisiensi, dan efektifitas model adalah angka-angka yang belum memberikan
gambaran lebih detail mengapa dan bagaimana suatu model dapat berhasil,
sedangkan yang lain tidak.
Gambar Skema Uji Model Kelembagaan Komunitas Peringatan Dini
Uji detail pengaruh input pada proses dan output dilanjutkan setelah uji
relevansi, efisiensi dan efektifitas. Uji pengaruh input terhadap proses dan output
membawakan suatu kesimpulan masing-masing kelebihan-kelebihan dan
kekurangan-kekurangan dari masing-masing model. Model terpilih adalah model
yang lebih banyak kelebihan-kelebihannya serta lebih kecil kekurangan-
kekuranganya, dengan tingkat kemampuan dan kemandirian komunitas yang
lebih besar adalah model terbaik yang dipilih menjadi sehingga model yang di
dapat dari uji ini adalah model yang lebih sempurna. Penerapan model yang lebih
sempurna ini akan lebih berhasil pada lokasi-lokasi lain yang kondisinya setara
dengan kondisi Jeneberang atau Merapi.
3. METODOLOGI METELITIAN
3.1 Jenis dan Pendekatan Penelitian
Model
Peningkatan
Kemampuan
Komunitas Sabo
Jeneberang
Model
Peningkatan
Kemampuan
Komunitas
Merapi
Uji
Pembandin
gan dan
Kesetaraan
Model
Uji Relevansi,
Efisiensi dan
Efektivitas,
Reabilitas,
Applikabilitas
masing-masing
Model
Alokasi Sumber
Daya
Komunitas
Capaian Hasil
Model
Pilih
Model
Terbaik
Memenusi
Syarat Kriteria
Lokasi?
Tidak
Ok
Pindah lokasi
Uji Detail
Pengaruh
Input Pada
Proses dan
Output
Kelebihan
dan
Kekurangan
Model
Peningkatan
Kemampuan
Terbesar/
Resiko
Terkecil
Ringkasan Eksekutif 9
Berdasarkan pendekatannya, penelitian ini digolongkan penelitian
menggunakan pendekatan kualitatif. Metode pengambilan data dan analisis data
menggunakan baik metode kualitatif maupun kuantitatif. Untuk mendapatkan hasil
uji kemamputerapan model dilakukan uji aplikabilitas, reliabilitas, relevasi,
efisiensi dan efektivitas dengan metode kualitatif yang di kuantitatifkan. Analisis
kekurangan dan kelebihan masing-masing model secara holistik menggunakan
analisis kualitatif.
3.2 Kriteria Lokasi Penelitian
Lokasi uji Model Kelembagaan Sistem Peringatan Dini Banjir Debris
Berbasis Masyarakat ini berada di Provinsi DI. Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Lokasi DI. Yogyakarta dan Jawa Tengah ini dipilih dengan beberapa
pertimbangan sebagai berikut : Adanya kemiripan bencana dan ancaman yang
dialami oleh komunitas yaitu: sama-sama terancam bencana lahar dingin/debris
dengan potensi yang cukup besar.
Adanya sistem peringatan dini yang sama-sama diterpkan baik yang
tradisional maupun yang modern. Ikatan yang serupa yaitu adanya kepentingan
bersama (community of interest) tentang bencana dan adanya aktor-aktor yang
terlibat dalam pengembangan sistem peringatan dini penanggulangan bencana
dengan masing-masing peran sesuai dengan tugas, fungsi, tanggungjawab,
wewenang dan perhatian dari lembaga yang terlibat tersebut seperti : lembaga
pemerintah, pihak akademisi, LSM/NGO dan pihak swasta.
3.3 Metode Pengumpulan Data
Data uji model Peningkatan Kemampuan Komunitas ada dua yaitu data
sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh melalui studi dokumentasi
tentang laporan-laporan penelitian yang ada sebelumnya yang terkait dengan
komunitas Merapi seperti studi tentang Pasag Merapi, dokumen tentang akta
pendirian komunitas dan profil komunitas. Data dari dokumen pemerintah
mencakup data dari laporan penanggulangan bencana, dan program
penanggulangan bencana serta rencana aksi dalam penanggulangan bencana
daerah. Data primer diperoleh melalui wawancara biasa dan wawancara
mendalam (Indepth Interview), penyebaran kuesioner, dan melalui observasi
langsung peneliti.
Ringkasan Eksekutif 10
3.4. Metode Analisis
Analisis hasil uji kemamputerapan aplikabilitas dan reliabilitas model
dengan cara membuat matriks tabulasi silang dengan mencantumkan tahapan-
tahapan dan hasilnya yang tercantum pada proses model. Uji kemamputerapan
relevansi, efisiensi, dan efektivitas model dilakukan dengan cara yang sama
dengan uji kemamputerapan aplikabilitas dan reliabilitas, namun karena uji ini
dilakukan dengan cara kuantitatif maka dibuat suatu indikator. Model yang
memenuhi indicator antara (55%-75%) dianggap sudah memenuhi criteria
standar pelayanan minimum model tersebut pada komunitas dan lebih dari 75%
dianggap baik, Pamekas & Retno (2011).
Setelah didapat angka-angka sebagai tolok ukur uji kemamputerapan
model, maka persyaratan uji sudah terpenuhi dan dilanjutkan dengan
dilakukannya analisis uji model lebih mendalam untuk mengetahui kelebihan-
kelebihan dan kekurangan-kekurangan masing-masing model . Berikut adalah
diagram analisis
Diagram Analisis Uji Model Jeneberang dan Merapi
Teknik analisis menggunakan matriks tabulasi silang antara antara input
dengan proses dan input dengan output dalam kolom mendatar dan variabel yang
dinilai pada kolom vertical untuk masing-masing komunitas Jeneberang dan
Merapi. Matriks tabulasi silang ini digunakan untuk membandingkan kelebihan
dan kekurangan dari masing-masing komunitas.
INPUT OUTPUT PROSES
SUBER DAYA LOKAL : MANUSIA,
PERALATAN, EKONOMI, SOSIAL,
TEKNOLOGI, DAN HUBUNGAN/RELASI
KERJASAMA LEMBAGA KOMUNITAS
DENGAN AKTOR LAINNYA YANG
MEMPENGARUH KEBERHASILAN MODEL
Ringkasan Eksekutif 11
4. HASIL TEMUAN PENELITIAN
4.1 Gambaran Umum Lokasi
Lokasi studi di Jeneberang ada pada Komunitas Sabo Jeneberang yang
tinggal di dua kecamatan yaitu kecamatan Tinggi Moncong dan Kecamatan Parigi
Kab. Gowa Provinsi Sulawesi Selatan. Ancaman debris berasal dari Gunung
Bawakaraeng yang merupakan hulu dari Sungai Jeneberang. Berikut adalah
gambar lokasi studi aliran debris di Sungai Jeneberang
Lokasi studi di DI. Yogyakarta adalah pada Komunitas yang tinggal
sepanjang aliran sungai Gendol seperti Komunitas Sabo Wukirsari dan SKSB,
sedangkan Komunitas Pasag Merapi disekitar Kali Kuning.
4.2 Lembaga Komunitas
4.2.1 Struktur Organisasi Lembaga Komunitas
Struktur organisasi lembaga komunitas dipimpin oleh seorang ketua, satu
orang sekretaris dan bendahara. Di bawah ketua ada beberapa seksi yang
melaksanakan berbagai tugas lembaga antara lain Seksi Pelatihan, Seksi Usaha,
Seksi Humas, Seksi Bina Teknik, Seksi Transportasi, Seksi Kesehatan, Seksi
Konsumsi dan Seksi Operasional. Gambar berikut adalalah Skema struktur
organisasi lembaga komunitas :
Lokasi Stdudi Bencana Debris Sungai Jeneberang
Aliran Debris Sungai Jeneberang
Sabo Dam Sungai Jeneberang
Ringkasan Eksekutif 12
Gambar Struktur Organisasi Lembaga Komunitas
URAIAN TUGAS
1. Ketua : Mengkoordinir kegiatan komunitas,melaporkan segala kegiatan yang
dilaksanakan kepada Lurah,membagi tugas tim kedua untuk mengkoordinasi
masing- masing seksi, mengkontrol, mengawasi dan memberi arahan kepada
masing-masing seksi,melakukan koordinasi dengan instansi terkait.
2. Sekretaris : Mencatat dan mengarsipkan segala kegiatan yang dilaksanakan
oleh komunitas, membuat undangan dan menjadwalkan rencana pertemuan yang
dilaksanakan oleh komunitas dan membuat daftar hadir, mencatat hasil rapat
yang dilaksanakan oleh komunitas, mendata warga di daerah rawan bencana
banjir lahar sungai, mencatat dan mendata para pengungsi apabila terjadi banjir
lahar.
3. Bendahara : Mencatat segala pengeluaran uang tentang kegiatan komunitas,
mencatat segala kekayaan yang dimiliki oleh komunitas
SEKSI
1. Seksi Pelatihan : Memberikan sosialisasi kepada masyarakat rawan bencana
tentang ancaman bahaya banjir lahar sungai, menyelenggarakan pelatihan
kepada masyarakat cara - cara pengungsian ( evacuation drill ) apabila akan
terjadi banjir lahar sungai, menyelenggarakan pelatihan kepada masyarakat
tentang Sistim Informasi ( Warning System )
2. Seksi Usaha : Mencari dana untuk kegiatan komunitas sabo, mencari dana
apabila terjadi bencana, banjir lahar dan pelaksanaan pengungsian.
KETUA
SEKSI
PELATIHAN
SEKSI
USAHA
SEKSI
HUMAS
SEKSI
KONSUMSI
SEKSI
KESEHATAN
SEKSI
OPERASIONAL
SEKSI
TRANSPORTASI
SEKSI BINA
TEKNIK
SEKRETARIS BENDAHARA
Ringkasan Eksekutif 13
3. Seksi Humas : Menyebar luaskan tentang penting dan perlunya komunitas
sabo kepada masyarakat, memberikan keterangan apabila diperlukan kepada
pihak luar yang memerlukan informasi.
4. Seksi Bina Teknik : Memberi dan mengarahkan masyarakat disekitar tanggul
pengamanan tentang cara – cara memelihara dan mengamankan tanggul,
membina dan mengarahkan masyarakat tentang cara – cara memelihara tebing
dan alur sungai, memberi arahan cara – cara penambangan pasir yang
diperbolehkan dan tidak membahayakan konstruksi tanggul dan bangunan Sabo
lainnya.
5. Seksi Transportasi : Menyediakan transportasi untuk kegiatan komunitas
Sabo, menyediakan transportasi untuk pengungsian apabila ada bencana banjir.
6. Seksi Kesehatan : Membantu menangani masalah kesehatan pengungsi
apabila terjadi bencana banjir dan warga harus mengungsi, mencatat dan
melaporkan ke pemerintah Desa dst, apabila terjadi korban bila terjadi bencana.
7. Seksi Konsumsi : Menyiapkan dan menyediakan konsumsi dalam kegiatan
komunitas Sabo, menyiapkan dan menyediakan konsumsi untuk para pengungsi
apabila terjadi bencana banjir lahar.
8. Seksi Operasional : Membantu kegiatan komunitas Sabo dalam segala
kegiatan baik pengurus harian maupun seksi-seksi.
4.2.2 Sumber Daya Lembaga Komunitas
1. Manusia
Sumber daya manusia yang bertugas harus yang sudah mendapat
pelatihan dan mempunyai kemampuan untuk melaksanakan tugas sehari-hari.
Sumber daya manusia yang terampil tersebut meliputi 2 orang pemegang HT
yaitu 1 orang yang mampu melakukan pengamatan visual atau mengintepretasi
informasi tentang hujan, pergerakan lahar dingin, dan kondisi cuaca. 1 orang yang
mampu menerima dan menyampaikan informasi baik dengan kode penyampaian
atau tidak. Satu orang terampil menggerakkan sirene dengan pola-pola tertentu,
dan satu orang lagi trampil memukul kentongan.
Dari pihak masyarakat, komunitas harus mampu mengenal kode-kode dan
tanda-tanda bunyi yang disampaikan melalui kentongan atau sirene dan mampu
Ringkasan Eksekutif 14
mengenal jalur-jalur evakuasi dan tempat-tempat aman sehingga komnitas
mampu mengantisipasi tanda-tanda peringatan yang diberikan dan melakukan
penyelamatan dngan tepat waktu.
2. Peralatan
Sistem peringatan dini banjir debris berbasis masyarakat mempunyai
peralatan dalam satu pos paling tidak : 1 (satu) buah radio rig untuk
memancarkan informasi kembali kepada penerima. Dua buah alat komunikasi HT
yang diperlukan untuk pengamat dan pemantau visual aliran debris 1 (satu), dan
untuk yang menerima dan menyampaikan informasi 1 (satu) buah setiap posko,
Sirene manual 1 (satu) buah dengan 1 (satu) buah Megaphone, dan kentongan
besar masing-masing satu buah setiap posko.
3. Ekonomi
Sumber pembiayaan untuk mendukung operasi dan pemeliharaan
peralatan sistem peringatan dini banjir debris berbasis masyarakat ini bersumber
dari pemerintah dan dengan mendorong peran atau kontribusi dari masyarakat
atau komunitas. Sumber pembiayaan dari pemerintah berasal dari pembiayaan
APBN atau APBD sedangkan sumber pembiayaan dari komunitas dari iuran wajib
atau sukarela komunitas. Sumber pembiayaan lain dapat dari pihak swasta
melalui rogram CSR.
4. Sosial
Dalam sistem peringatan dini banjir debris berbasis masyarakat, sebuah
komunitas dapat diartikan sebagai sebuah kelompok masyarakat yang dapat
mempunyai satu atau dua kesamaan seperti misalnya tinggal di lingkungan yang
sama, terpapar ke risiko bencana yang sama, atau sama-sama telah terkena
dampak suatu bencana, namun tingkat kerentanan mereka dapat berbeda-beda
misalnya antara laki-laki dan perempuan, orang dewasa dan anak-anak dan
lansia. Komunitas yang hidup di kawasan rawan bencana dipandang mempunyai
masalalah, kekuatiran dan harapan yang sama terhadap bencana oleh karena itu
sangat penting untuk mengidentifikasi sejauhmana tingakat iatan social ini.
Macam-macam ikatan social yang dapat terjadi di daerah rawan bencana
misalnya ikatan berdasarkan ketetanggaan (Neighborhood), ikatan berdasarkan
Ringkasan Eksekutif 15
solidaritas (solidarity), dan kepentingan (interest). Ikatan social pada yang hampir
dapat dipastikan ada dan sangat menentukan keberhasilan sistem peringatan dini
banjir debris ini adalah iatan social yang didasarkan kepentingan yaitu
kepentingan bersama untuk selamat dari ancaman bencana lahar dingin. Ikatan
social yang didasarkan kepentingan bersama ini dapat memperkuat kerjasama
komunitas untuk secara bersama-sama menjalankan peringatan dini.
5. Teknologi
Dalam sistem peringatan dini banjir debris berbasis masyarakat ini terdapat
dua teknologi sitem peringatan yaitu teknologi peringatan dini tradisional dan
teknologi modern. Dalam sistem peringatan dini banjir debris berbasis
masyarakat, teknologi yang perlu diperhatikan adalah teknologi-teknologi sistem
peringatan yang dimiliki komunitas agar digunakan semaksimal mungkin dan
dapat kompatibel denganteknologi yang modern. Teknologi tradisional
mengunakan alat-alat tradisional dan keraifan local. Alat-alat peringatan
tradisional baik di Jeneberang menggunakan kentongan, kitiran atau bendi dan
juga beduk. Teknologi ini menggunakan bahan local yang mampu dihasilkan
komunitas sendiri dan hamper semua komunitas akrab dengan teknologi ini.
Mereka mengetahui kode dan tanda-tanda bunyi yang dihasilkannya dan juga
sebagian komunitas mampu menjalankannya. Teknologi modern seperti sistem
telemetri dan wire sensor perlu disambungkan dengan mengirim pemeberitahuan
pada komunitas lewat HT atau HP. Kemudian pemberitahuan ini diteruskan pada
komunitas dengan teknologi tradisional untuk membunyikan kentongan atau
kitiran atau bendi sehingga informasi sampai kepada masyarakat. Dalam sistem
peringatan dini ini adalah harus ada integrasi sistem peringatan dini tradisional
perlu
6. Lingkungan
Bencana tidak dapat dipastikan kapan akan datang, namun kemungkinan
kejadiannya perlu disikapi dengan berbagai upaya. Upaya penanggulangan
bencana merupakan upaya yang komprehensip dan berkesinambungan,
komunitas perlu diberitahu tentang detail bencana seperti kawasan berbahaya
sifat, cakupan dan karakteristik bencana. Sifat bencana adalah jenis bencana
yang dihadapi, apakah bencana lahar dingin atau awan panas atau bencana
lainnya. Cakupan bencana menyangkut luas daerah jangkauan yang terkena
Ringkasan Eksekutif 16
dampak, hal ini dapat dilihat pada peta rawan bencana yang diterbitkan oleh
pemerintah, sedangkan karakteristik bencana yang mencakup tanda-tanda terjadi
bencana dan besar bencana. Dengan adanya pengetahuan lingkungan bencana
ini maka komunitas sadar akan perlunya suatu sistem peringatan dini untuk
pemberitahuan segera jika terjadi bahaya. Disamping itu periode kemunculan
bencana perlu diketahui karena periode kemunculan bencana ini akan
mempengaruhi kesiapsiagaan komunitas. Komunitas Merapi dengan periode
kemunculan bencana yang relative pendek (3-7) tahun akan lebih siap
dibandingkan dengan komunitas Jeneberang dengan periode kemunculan
bencana yang belum diketahui. Periode kemunculan bencana yang tidak jelas
mengakibatkan komunitas menjadi lengah, sedangkan periode kemunculan
bencana yang pendek dan jelas akan menyebabkan komunitas lebih siap. Untuk
mendesain peringatan dini berbasis masyarakat adalah perlu untuk menggali
kearifan-kearifan local komunitas tentang lingkungan. Prinsip-prinsip dan
semboyan-semboyan untuk pelestarian lingkungan adalah sangat membantu
untuk mengurangi terjadinya bencana, misalnya di Jeneberang, masyarakat
diajarkan untuk menanam pohon satu buah saat akan menikah.
4.2.3 Teknis Penyampaian Informasi Sistem Peringatan Dini
Penyampaian informasi sistem peringatan banjir debris dapat dimulai dari
sumber informasi resmi dari pemerintah dan dari Balai Pengkajian dan Penerapan
Teknik Kegunungapian (BPPTK) untuk awan panas atau dari pos pengamat hujan
yang dibangun oleh Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) secara telemetri atau
dari Badan Meteorologi dan Geofisika. Disamping sumber informasi resmi ini,
komunitas juga mempunyai pos-pos pengamat utama yang mereka bangun
sendiri dengan petugas-petugas dari relawan-relawan.
Ringkasan Eksekutif 17
Gambar Skema Penyampaian Informasi Sistem Peringatan Dini
Informasi-informasi baik dari lembaga resmi pemerintah maupun dari
relawan disampaikan lewat komunikasi Handy Talky (HT). Informasi dari lembaga
resmi pemerintah disampaikan pada pos penerima informasi (pos induk) yang
mana petugasnya dapat terdiri dari komunitas dan dari pihak pemerintah. Dari pos
informasi ini kemudian disampaikan kepada pos komunitas untuk memerintahkan
membunyikan sirene atau kentongan kepada masyarakat. Informasi dari pos
induk kepada pos komunitas disampaikan melalui HT, sedangkan informasi dari
pos komunitas kepada masyarakat disampaikan melaui Sirene dengan
Megahonenya dan juga Kentongan. Informasi resmi pada masyarkat juga
disampaikan lewat lembaga pemerintah secara berturut-turut dari bupati, camat,
lurah sampai pada desa dan terakhir dengan masyarakat. Masyarakat yang
mendengar tanda peringatan kemudian mengantisipasi sesuai dengan informasi
yang diberikan. Informasi kepada masyarakat dapat dilakukan melalui pos
pengamatan yang dibangun oleh komunitas sendiri maupun dari pos yang
dibangun oleh pemerintah.
4.3 Keberhasilan Penerapan Model
4.3.1 Pengaruh Input Pada Proses
Model peningkatan kemampuan komunitas untuk menjalankan system
peringatan dini pada prinsipnya adalah suatu tahapan atau proses yang ditempuh
untuk meningkatan kapasitas komunitas agar dapat mengelola bencana sehingga
POS PENERIMA
INFORMASI
POS INFORMASI
(RELAWAN)
KALI GENDOL
POS INFORMASI
(RELAWAN)
KALI KUNING
POS INFORMASI
(RELAWAN)
KALI OPAK
LOAD
SPEAKER/
SIRENE
KENTONGAN
BPPTK dan POS
PENGAMAT
HUJAN
BUPATI
CAMAT
DESA
MASYARAKAT
Informasi
Bagian Hulu
(Desa Kepuharjo)
Bagian Hilir
(Desa Wukirsari)
Ringkasan Eksekutif 18
akan mengurangi kerentanan mereka yang pada akhirnya akan mengurangi
resiko bencana. Keberhasilan peningkatan kemampuan masyarakat tersebut
sangat tergantung pada sumber daya atau potensi yang dimiliki komunitas ( input)
untuk digunakan pada proses peningkatan kemampuan komunitas dan pada
output yaitu suatu komunitas yang mandiri. Sabo Jeneberang maupun Merapi
memperlihatkan kemampuan komunitas yang tinggi sampai sangat tinggi. Namun
komunitas Sabo Wukirsari dan SKSB tidak mampu melakukan evaluasi dan
penguatan kelembagaan, diseminasi/ penyebarluasan dan juga tidak mampu
menjadi lembaga yang diakui baik oleh pihak pemerintah atau institusi lain. Model
Jeneberang tidak mampu melakukan diseminasi dan juga tidak mampu menjadi
lembaga yang diakui.
4.3.2 Pengaruh Input pada Output
Dari aspek sumber daya manusia, komunitas Sabo Jeneberang maupun
Merapi adalah baik dari segi jumlah maupun kualitas dalam menunjang
kemandirian komunitas untuk menjalankan peringatan dini. Dari segi sumber daya
manusia terlihat adanya kecukupan tenaga manusia yang menjaga pos-pos
pengamatan dan pemantauan, walaupun disetiap pos komunitas tersebut
jumlahnya bervariasi, tetapi syarat minimal sudah terpenuhi yaitu : satu orang
untuk menerima informasi, satu orang untuk menyebarluaskan informasi tersebut
dan satu orang lagi untuk menghidupkan sirene atau kentongan. Sumberdaya
manusia ini juga mendapat pelatihan rutin minimal satu tahun 1 kali baik di
komunitas Sabo Jeneberang maupun Merapi. Hasil pelatihan terlihat bahwa
komunitas mampu mengenal tanda bunyi, kode dan juga dapat merespon dengan
baik jika ada tanda bahaya.
Sumber daya peralatan, Komunitas Jeneberang lebih baik dibandingkan
Merapi karean di Jeneberang ada bantuan stimulan peralatan HT dan kentongan
oleh Balai Sosek Bidang SDA Puslitbang Sosekling pada tahun 2010. Peralatan
itu dapat difungsikan, namun belum tersambungkan dengan sistem telemetri yang
dibangun oleh pemerintah tetapi sistem peringatan dini dapat dijalanan oleh
komunitas dengan teknologi sederhana HT, sire, dan kentongan, walupun belum
tersambung dengan sistem telemetri . Sebaliknya pada komunitas Merapi,
peralatan seperti megaphone dan sirene telah rusak terkena erupsi tahun Merapi
Ringkasan Eksekutif 19
tahun 2010. Sekarang informasi disampaikan lewat HT dan HP yang kondisinya
masih baik setelah terjadi erupsi tahun 2010. Dari segi peralatan terlihat juga
bahwa Komunitas Jeneberang tidak mempunyai sistem inventarisasi jumlah dan
kondisi peralatan, sebaliknya komunitas Merapi mempunyai sistem inventarisasi
jumlah dan kondisi alat ada, sehingga model Jeneberang perlu diperbaiki untuk
sistem inventarisasi peralatan ini.
Dari aspek Ekonomi, baik Komunitas Sabo Jeneberang maupun Komunitas
Merapi, mayoritas hidup dari sector pertanian dengan penghasilan rendah.
Penghasilan rendah ini tidak menunjang kemampuan komunitas untuk bersedia
dalam berkontribusi dalam operasi dan pemeliharaan peralatan sistem peringatan
dini. Namun demikian pihak pemerintah memberi bantuan berupa mesin conblock
dan tumbuhan produktif di komunitas Sabo Jeneberang untuk menambah
penghasilan, demikan juga dengan Komunitas Sabo Wukirsari, SKSB dan Pasag
diberi pemerintah bantuan ternak, tumbuhan jamur dan mesin conblock. Terlihat
bahwa komunitas Sabo Jeneberang tidak berhasil menambah pendapatan dari
pembuatan conblock tersebut dan sekarang sudah terhenti operasinya karena
rusak dan terlantar sehingga iuran untuk operasi dan pemeliharaan peralatan
yang diharapkan dengan adanya bantuan mesin produksi conblock ini peringatan
dini tidak berjalan. Demikan juga dengan komunitas Sabo Wukirsari di Merapi,
walaupun komunitas ini mampu mengembangkan ternak dan tumbuhan jamur
yang diberikan oleh pemerintah, tetapi komunitas ini tidak bersedia memberikan
iuran untuk operasi dan pemeliharaan alat. Baik Komunitas Sabo Jeneberang
maupun Komunitas Sabo Wukirsari berpendapat bahwa tanggungjawab dalam
operasi dan pemeliharaan alat peringatan dini adalah tanggungjwab pemerintah.
Berbeda dengan Komunitas Sabo Wukirsari, komunitas SKSB dan Pasag sudah
mempunyai iuran untuk pembiayaan operasi dan pemeliharaan peralatan
peringatan dini. Terlihat juga bahwa komunitas yang pembentukannya diinisiasi
oleh pemerintah menimbulkan ketergantungan pada pemerintah dari segi
pembiayaan operasi dan pemeliharaan peralatan sistem peringatan dini,
sebaliknya komunitas yang dibentuk atas inisiasi sendiri komunitas cenderung
lebih mandiri dari segi pembiayaan operasi dan pemeliharaan alat sistem
peringatan dini tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh komunitas SKSB dan Pasag
Merapi. Satu lagi perbaikan Model Jenebarang adalah komunitas perlu
disadarkan bahwa bencana adalah tanggungjawab bersama bukan hanya
Ringkasan Eksekutif 20
tanggungjawab pihak pemerintah tetapi smua pihak juga komunitas sendiri,
sehingga mereka dapat merawat peralatan produksi yang diberikan pemerintah,
yang pada gilirannya, mereka akan dapat merawat alat tersebut dan juga
bersedia berkontribusi atau member iuran untuk operasi dan pemeliharaan
peralatan sistem peringatan dini.
Dari aspek ikatan social, terlihat bahwa ikatan social antara kelompok
komunitas cukup kuat dalam menunjang keberhasilan sistem peringatan dini. Baik
komunitas Jeneberang dan Merapi diikat oleh suatu ikatan social berdasarkan
perhatian yang sama yaitu agar dapat selamat dari ancaman bencana debris.
Ikatan social yang cukup kuat ini terlihat dari segi kebersamaan komunitas untuk
saling tolong-menolong dan kesiapsiagaan mereka secara bersama-sama dalam
memberikan peringatan dini.
Dari aspek teknologi, baik komunitas Sabo Jeneberang maupun Merapi
telah dengan baik memanfaatkan teknologi sederhana seperti kentongan, kitiran,
bendi yang dapat terintegrasi dengan teknologi modern.
Dari aspek lingkungan, terlihat bahwa sebagian besar komunitas hidup
pada kawasan rawan bencana aliran debris yang ancamanya cukup besar yaitu
antara 90 juta m3 sampai 100 juta m3. Kehancuran lingkungan juga hampir sama.
Sungai Jeneberang sudah sangat dangkal kalau bisa dikatakan sudah sebagian
tertimbun oleh debris dan juga lahan pertaniannya, begitu juga dengan komunitas
Merapi. Dalam hal ini Komunitas Jeneberang dan Merapi hanya berbeda dalam
hal periode kemunculan bencana. Di daerah Jeneberang tidak ada peripode
kemunculan , hanya duakali terjadi bencana debris yaitu pada tahun 2004 dan
tahun 2007 setelah itu tidak ada lagi, sedangkan di Merapi periode kemunculan
bencana cukup pendek yaitu berkisar antara (3-7) tahun. Hal ini menyebabkan
komunitas Merapi lebih akrab dengan bencana sehingga dalam beberapa hal
Komunitas Merapi lebih siap dibandingkan Komunitas Jeneberang dalam
menghadapi bencana.
Keberhasilan sistem peringatan dini komunitas juga tidak terlepas dari
hubungannya dengan actor lain yang berperan baik karena tugas, tanggung
jawab maupun wewenangng serta perhatian pada sistem peringatan dini
penanggulangan bencana. Dukungan Pihak pemerintah terlihat cukup kuat untuk
Ringkasan Eksekutif 21
mengintegrasikan peringatan dini tradisional komunitas dengan sistem peringatan
dini tradisional baik di Komunitas Sabo Jeneberang maupun Merapi. Namun
sistem komando yang dijalankan pihak pemerintah untuk Komunitas Jeneberang
tidak berhasil karena tidak adanya komando dari pihak pemerintah untuk
menggerakkan masyarakat yang menjalankan sistem peringatan dini, namun
pada komunitas Sabo Merapi sistem komando ini cukup baik diterapkan oleh
pihak pemerintah. Hal ini ditunjukkan dengan adanya kerjasama antara personil
pihak pemerintah dan komunitas yang direkrut oleh pemerintah yang sama-sama
menjalankan tugas secara sinergis di pos-pos pengamatan dan pemantauan. Dari
segi fasilitasi peralatan oleh pemerintah, baik Komunitas Sabo Jeneberang
mapun Merapi, peran pemerintah terlihat kurang mampu memfasilitasi peralatan.
Sehingga peran pemerintah perlu lebih ditingkatkan dalam hal ini. Pemerintah
berhasil memberikan petunjuk atau standar oparasional prosedur dalam sistem
peringatan dini, baik untuk Komunitas Sabo Jeneberang maupun Merapi. Namun
pada Komunitas Sabo Merapi SOP ini dibentuk berdasarkan desain komunitas
sendiri.
Hubungan pihak akademisi cukup berhasil, baik untuk Komunitas Sabo
Jeneberang maupun Merapi. Hal ini ditunjukkan dengan peran pihak akademisi
dalam hal membantu komunitas dalam mengaplikasian ilmu pengetahuan sistem
peringatan dini, menerjemahkan informasi bahaya atau tanda-tanda bahaya dan
menyadarkan komunitas. Pada komunitas Sabo Jeneberang terlihat peran pihak
akademisi UNHAS, sedangkan pada komunitas Pasag adalah UPN.
Hubungan dengan pihak LSM cukup baik dilakukan oleh komunitas Sabo
Jeneberang yaitu dengan LSM Wakil dan Yayasan Pelangi dimana, LSM ini
sudah membantu Komunitas Sabo Jeneberang dalam hal memasukkan
permasalahan komunitas dalam agenda pembangunan Pemkab Kabupaten
Gowa, dan dalam hal menyiapkan komunitas Sabo Jeneberang untuk dapat
melaksanakan sistem peringatan dini. Pada komunitas Sabo Wukirsari, dan
Pasag bantuan ini juga dapat dirasakan oleh komunitas. Pada komunitas Pasag ,
peran Yayasan Kappala dan NGO Oxfam GB cukup besar dalam hal penyiapan
komunitas, sedangkan pada komunitas SKSB peran pihak LSM tidak ada.
Hubungan komunitas dengan pihak swasta terlihat belum banyak
dimanfaatkan, sebagai contoh, pihak swasta yang menambang pasir di sekitar
Ringkasan Eksekutif 22
Sungai Jeneberang terutama Perusda Gowa Mandiri belum sama sekali
mendukung Komunitas Jeneberang dalam program CSRnya walaupun hasil
penambangan pasir ini cukup besar. Namun pihak swasta di Komunitas Merapi
sebagian membantu yaitu pada komunitas Sabo Wukirsari dan Pasag Merapi.
Model Jenebarang perlu mengembangkan bantuan dari pihak swasta ini lewat
program CSR
4.4 Kelebihan, Kekurangan Masing-masing Model dan Usulan Solusi
Komunitas Pasag Merapi cukup baik dibandingkan dengan model
komunitas lainnya. Hal ini ditunjukkan dengan nilai aplikabilitasnya yang tinggi, ini
berarti model komunitas Jeneberang dapat diterapkan di komunitas Merapi
dengan tingkat kesesuaian yang tinggi. Demikian juga dengan reliabilitas model
menunjukkan nilai reliabilitas yang tinggi baik untuk komunitas Jenebarang
maupun Merapi.
Baik Komunitas Sabo Jeneberang maupun Komunitas Merapi mampu
menggunakan sumber daya manusia secara efektif dengan hasil yang cukup
bermanfaat dirasakan oleh komunitas. Hal ini ditandai dengan kecukupan sumber
daya manusia yang tersedia untuk menjalankan peringatan dini, baik dari segi
jumlah maupun kualitas yang dimiliki mereka juga mampu mengenal kode dan
tanda bunyi sistem peringatan dini serta dapat merespon dengan cepat adanya
sistem peringatan, tetapi untuk Komunitas Sabo Jeneberang pelatihan simulasi 1
kali dalam setahun masih dirasakan kurang, sedangkan untuk komunitas Merapi
ini dirasakan cukup. Hal ini disebabkan bahwa komunitas Sabo Jeneberang tidak
terbiasa dengan bencana karena periode munculnya bencana banjir debris di
Sungai Jeneberang hanya dua kali saja, sedangkan pada Komunitas Merapi,
sudah mempunyai pengalaman yang panjang tentang bencana sehingga, mereka
sudah lama belajar dari bencana tersebut atau dapat dikatakan akrab dengan
bencana dimana periode kemunculan bencananya pendek, yang mengakibatkan
mereka merasakan pelatihan 1 tahun sekali adalah sudah cukup.
Dalam aspek ekonomi, terlihat bahwa komunitas yang pembentukannya
diinisiasi oleh lembaga pemerintah kurang mandiri dibandingkan dengan
komunitas yang pembentukannya diinisiasi oleh komunitas sendiri. Hal ini terlihat
pada Komunitas Sabo Jeneberang dan Komunitas Sabo Wukirsari di Merapi,
Ringkasan Eksekutif 23
yang mana pembentukan komunitas ini diinisiasi oleh lembaga pemerintah,
mereka tidak mempunyai iuran untuk operasi dan pemeliharaan peralatan, yang
lebih parah lagi, walaupun pemerintah telah mencoba berusaha meningkatkan
perekonomian komunitas lewat pemberian bantuan mesin pembuat conblock
pada Komunitas Sabo Jeneberang, namun hal ini juga tidak berlanjut dan
sekarang terlantarkan, tetapi sebaliknya untuk Komunitas Merapi peningkatan
ekonomi mikro yang diberikan pemerintah cukup berhasil untuk meningkatkan
kemampuan ekonomi komunitas. Disisi lain komunitas SKSB dan Pasag telah
mempunyai iuran walaupun dirasakan belum cukup untuk operasi dan
pemeriharaan alat komunikasi. Tetapi kelebihan komunitas Pasag adalah cukup
baik dari segi ini yaitu kemampuan mereka menjadi komunitas yang sering
diundang menjadi fasilitator sehingga mereka mendapat honor dan adanya orang
/lembaga dari daerah lain yang melakukan studi di tempat ini dan mereka
memberi sumbangan kepada Komunitas Pasag. Untuk Komunitas yang dibentuk
oleh inisiasi pemerintah diperlukan suatu upaya penyadaran kepada masyarakat
bahwa bencana bukan hanya menjadi tanggungjawab pemerintah tetapi menjadi
tanggungjawab komunitas atau individu, diri sendiri dan masyarakat.
Dari aspek penggunaan peralatan dan teknologi, terlihat adanya efektivitas
yang cukup tinggi yaitu dengan penggunaan/pemanfaatan sistem peringatan dini
tradisional dengan yang modern pada komunitas Merapi, namun pada Komunitas
Sabo Jeneberang walaupun sistem peringatan dini tradisional ada dan digunakan
pada masyarakat tetapi belum terintegrasi dengan sistem peringatan dini modern.
Pada komunitas Sabo Jeneberang perlu dibuat suatu cara untuk mengkoneksikan
hal ini melalui penyelesaian bersama antara pelaku pemda dan masyarakat serta
pemerintah pusat.
Dari Hubungan/relasi kerjasama dengan pemerintah, peran pemerintah,
terlihat bahwa pemerintah belum cukup untuk memfasilitasi peratan peringatan
dini dimasyarakat, baik pada Komunitas Sabo Jeneberang maupun pada
Komunitas Merapi. Salah satu kebijakan pemerintah Kabupaten Sleman adalah
mendorong komunitas untuk mau berkontribusi dalam pembiayaan operasi dan
pemeliharaan alat komunikasi yang bersifat kecil dan rutin, sedangkan untuk
pembiayaan yang lebih besar dapat dilakukan oleh pemerintah.
Ringkasan Eksekutif 24
Dari hubungan/relasi kerjasama dengan pihak akademisi, peran pihak
akademisi terlihat cukup baik pada Komunitas Sabo Jeneberang maupun
Komunitas Merapi. Pada Komunitas Sabo Jeneberang terlihat besarna peran
Universitas Hasanuddin, UNM Makassar dalam peningkatan pengetahuan dan
kesadaran komunitas dalam penanggulangan bencana, demikian juga di
Komunitas Merapi peran UGM, UPN, UII juga cukup besar dalam upaya
peningkatan pengetahuan dan kesadaran Komunitas dalam penanggulangan
bencana.
Dari hubungan/relasi kerjasama dengan pihak LSM/NGO, peran pihak
LSM/NGO juga terasa cukup besar pada terutama pada Komunitas Sabo
Jeneberang dan Komunitas Pasag di Merapi. Peran LSM sebagai mediator,
advokator dan penyiapan komunitas sangat dirasakan oleh Komunitas Sabo
Jeneberang yaitu Yayasan Pelangi dan LSM Wakil. Yayasan Pelangi menjadi
mediator anta Pemerintah Jepang dan Komunitas dalam Upaya pemberian
bantuan peralatan dan pelatihan sistem peringatan dini komunitas, sedangkan
LSM wakil berkali-kali sudah menyiapkan komunitas untuk bersama-sama dengan
pemerintah menjalankan pelatihan dan silmulasi. Demikan juga peran Yayasan
Kappala yang bersama dengan komunitas Pasag yang membantu dalam
pembentuk komunitas dan melakukan pendampingan, sedangkan NGO
internasioanal seperti Oxfam GB sudah memberikan fasilitasi berupa panduan
untuk peningkatan kemampuan Pasag dari segi teknis dan managerial bencana.
Dari hubungan/relasi dengan pihak Swasta, peran Swasta (korporasi)
untuk memberikan bantuan baik berupa tenaga ahli, material dan financial belum
ada di pada Komunitas Jeneberang. Hal ini sangat disesalkan, karena beberapa
penambang pasir hasil dari endapan debris yang ada baik yang dikelola oleh
pemerintah melalui (Perusda) maupun yang dikelola oleh perusahaan swasta
lainnya belum berkontribusi kapada komunitas. Pada Komunitas Sabo
Jeneberang diperlukan suatu pengembangan Corporate Social Responsibility
(CSR) antara komunitas yang difasilitasi oleh LSM sehingga swasta ini mampu
berkontribusi pada kemampuan sistem peringatan dini Komunitas Sabo
Jeneberang. Disisi lain pada komunitas Merapi yaitu pada Komunitas Sabo
Wukirsari dan Pasag, bantuan Swasta cukup dirasakan, tetapi untuk SKSB tidak
Ringkasan Eksekutif 25
ada. Hal ini dapat dipahami karena komunitas SKSB mendapat hasil dari material
pasir yang mereka usakan/tambang bersama.
Model berikut adalah model yang lebih disempurnakan dari hasil uji model
di Merapi dan Jawa tengah.
Berikut adalah keterangan model :
1. Koordinasi dan Diskusi , kegiatan ini dapat diinisiasi oleh pihak pemerintah
dengan mengundang pelaku-pelaku untuk bersama-sama menentukan
kelompok-kelompok komunitas sasaran yang telah teridentifikasi. Kegiatan ini
dapat juga diinisiasi oleh unsur-unsur masyarakat sendiri seperti perkumpulan-
perkumpulan yang ada di masyarakat desa. Topik yang dibahas adalah
sasaran kelompok yang rentan.
2. Sosialisasi, kegiatan ini dilakukan dengan mengumpulkan penduduk dan
mensosialisasikan bahwa bencana disebabkan karena ketidakmampuan dan
bencana dapat diolah jika komunitas mampu. Tahap ini ditujukan untuk
membangun hubungan dan kepercayaan antara lembaga pemerintah dengan
komunitas dan membina hubungan antar komunitas agar komunitas dapat
terbentuk.
3. Pembentukan Komunitas dan Pengurus, Kegiatan ini dilakukan melalui
pertemuan antara pelaku dan pemerintah. Pada kegiatan ini ditentukan juga
dipilih pengurus komunitas.
4. Pemetaan Situasi dan Kondisi dan Profil, pada kegiatan ini dilakukan suatu
analisis untuk memprediksi kebutuhan dalam system peringatan dini yang
Digram Model Peningkatan Kemampuan Lembaga Komunitas dalam Sistem Peringatan Dini
Koordinasi
dan Diskusi
Sosialisasi
Kegiatan
Pembentukan
Komunitas
dan Pengurus
Analisis
Situasi dan
Kondisi dan
Profil
Sumber
Daya
Analisis
Resiko dan
Dampak
Pelatihan dan
Simulasi
Komunitasyang
Siap
menjalankan
Sistem
Peringatan Dini
OUTPUT
Pengamatan
dan
Pemantauan
Bencana
Evaluasi dan
Umpan Balik
Perkuatan
Kelembagaan
Perencanaan
program/
kegiatan
input PROSES
Diseminasi/
Penyebarluas
an
Pelembagaan
dan
Konsultatif
a
b
b
a
Ringkasan Eksekutif 26
termasuk dalam kegiatan ini adalah : penyusunan profil, informasi historis
bencana, ciri-ciri fisik, keruangan, social ekonomi dan kelompok rentan
5. Analisis Resiko dan Dampak, pada kegiatan ini komunitas melakukan kajian
mengenai keterpaan komunitas terhadap bahaya dan analisis kerentanan
yang merupakan dasar semua aktivitas mencakup sifat, luas dan cakupan
6. Pelatihan dan Simulasi, Kegiatan ini meliputi pelatihan dan simulasi, berbagi
pengalaman, advokasi kebijakan, dan peningkatan pendapatan melalui
ekonomi mikro.
7. Perencanaan Program dan Kegiatan, kegiatan ini mencakup
memformulasikan rencana berdasarkan analisis resiko, memformulasikan
tujuan pengurangan resiko, pemanfaatan hasil pengurangan resiko,
merencanakan kegiatan penting, dukungan financial, dan rencana kegiatan.
8. Pengamatan dan Pemantauan, tahapan ini mencakup upaya menjalankan
kesepakatan program yang telah disusun (pengorganisasian pelaksanaan
kegiatan, memobilisasi sumber daya, dan pemantauan untuk perbaikan
9. Evaluasi dan Umpan Balik, tahapan ini menilai hasil yang dicapai dengan hasil
yang diharapkan (efektifitas peringatan dini yang dilakukan).
10. Penguatan Kelembagaan, Kegiatan ini dilakukan sebagai hasil dari upaya
perbaikan atau umpan balik .
11. Diseminasi/Peyebarluasan, Pada tahap ini dilakukan proses pembelajaran dan
penyebarluasan praktek-praktek sukses ke masyarakat dan kewilayah lain bai
lintas geografi maupun sektoral sehingga komunitas dapat berkembang dan
sekaligus menghindari adanya tumpang tindih dengan komunitas lain. Pada
tahap ini juga terjadi pengintegrasian sistem peringatan dengan komunitas
lain.
12. Pelembagaan dan Konsultatif, tahap ini adalah komunitas menjadi agen
pembaruan dimana, pada tahap ini komunitas sudah menjadi komunitas yang
diakui oleh lembaga pemerintah dan menjadi mitra yang berpartisipasi dalam
Ringkasan Eksekutif 27
5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1 Kesimpulan
1. Model Peningkatan Kemampuan Komunitas Jeneberang mampu diterapkan di
Merapi, hal ini ditunjukkan dengan tingkat aplikabilitas dan reliabelitas pada uji
model yang tinggi, Model Peningkatan Kemampuan Pasag secara umum
mempunyai relevansi, efisiensi dan efektifitas yang lebih tinggi dibandingkan
dengan Model Sabo Jeneberang, Sabo Wukirsari dan Merapi, namun model ini
masih perlu memperhatikan kebutuhan-kebutuhannya komunitasnya agar
model ini lebih relevan. Model Komunitas yang pembentukannya diinisiasi oleh
pihak pemerintah seperti model Komunitas Sabo Jeneberang dan Komunitas
Sabo Wukirsari perlu lebih diperhatikan kebutuhan-kebutuhan komunitas agar
program dapat berhasil.
Baik komunitas Sabo Jeneberang maupun Merapi mampu
menggunakan sumber daya mereka secara efisien dan efektif. Hal ini ditandai
kemampuan penggunaan sumber daya manusia, peralatan dan teknologi
peringatan dini tradicional seperti kentongan, bendi atau titiran dengan baik
ikatan sosial mereka yang tinggi, namun kelemahan model Jeneberang
maupun Merapi (pembentukannya sama-sama diinisiasi oleh pihak pemerintah)
akan menimbulkan ketergantungan dari segi ekonomi . Hal ini ditandai dengan
tidak adanya iuran dalam hal operasi dan pemeliharaan peralatan komunikasi
peringatan dini, walaupun pihak pemerintah sudah membantu mereka dalam
peningkatan ekonomi mikro melalui pemberian mesin pembuat conblock (di
Jeneberang), pemberian bantuan tumbuhan jamur dan ternak (di Komunitas
Wukirsari).
2. Disamping kelebihan dari segi penggunaan sumber daya local, kelebihan
Komunitas Pasag dibandingkan dengan Komunitas Sabo Jeneberang, dan
SKSB adalah dalam hal kemampuan komunitas Pasag menjalin hubungan
yang kuat dengan aktor-aktor lain seperti pihak pemerintah, akademisi,
LSM/NGO dan pihak Swasta, sehingga dalam proses model, lembaga
komunitas ini terlihat lebih mampu menjalankan proses secara lengkap
dengan hasil setiap proses baik dan dari output modelnya terlihat bahwa
Lembaga Komunitas Pasag lebih mampu dalam hal penyebarluasan
pengetahuan dan kemampuan lintas geografi dan sektor dan menjadi suatu
komunitas yang diakui oleh Pemda dan lembaga lain. Berikut adalah model
Ringkasan Eksekutif 28
umum yang dihasilkan dari perbaikan model Jeneberang setelah di uji dan
mendapat masukan dari model komunitas di Komunitas Merapi.
3. Baik Komunitas Sabo Jeneberang, dan Komunitas Merapi (Komunitas Sabo
Wukirsari, dan SKSB) mempunyai kelebihan yaitu mampu menjalankan
peringatan dini sampai tingkat pengamatan dan pemantauan dengan baik
tetapi untuk melakukan evaluasi, dan penguatan kelembagaan Komunitas
Sabo Wukirsari dan SKSB tidak mampu, sedangkan Komunitas Sabo
Jeneberang mampu melakukan evaluasi dan kegiatan penguatan
kelembagaan. Perlu dicatat bahwa kemampuan Komunitas Sabo Jeneberang
untuk melakukan evaluasi dan perkuatan komunitas disebabkan oleh adanya
bantuan pihak Balai Penelitian Sosekling Bidang SDA bersama LSM Wakil,
sedangakan Komunitas Sabo Wukirsari dan SKSB tidak mampu karena tidak
ada pelaku lain seperti LSM/NGO atau pihak akademisi yang membantu.
Model Peningkatan Kemampuan Lembaga Komunitas dalam Sistem Peringatan Dini Hasil Perbaikan
Koordinasi
dan Diskusi
Sosialisasi
Kegiatan
Pembentukan
Komunitas
dan Pengurus
Analisis
Situasi dan
Kondisi dan
Profil
Sumber
Daya
Analisis
Resiko dan
Dampak
Pelatihan dan
Simulasi
Komunitasyang
Siap
menjalankan
Sistem
Peringatan Dini
OUTPUT
Pengamatan
dan
Pemantauan
Bencana
Evaluasi dan
Umpan Balik
Perkuatan
Kelembagaan
Perencanaan
program/
kegiatan
input PROSES
Diseminasi/
Penyebarluas
an
Pelembagaan
dan
Konsultatif
a
b
b
a