uji kadar air dan kadar minyak pada minyak atsiri kayu putih
-
Upload
maya-ramadhayanti -
Category
Documents
-
view
139 -
download
6
description
Transcript of uji kadar air dan kadar minyak pada minyak atsiri kayu putih
PEMBAHASAN DATA
Kadar air dan kadar minyak
Dari hasil perhitungan uji kadar air dan kadar minyak pada minyak kayu
putih didapatkan data kadar air sebesar 56%(v/b) dan kadar minyak sebesar 0.6%
(v/b). Kadar air tersebut didapat dari perhitungan volume air yang telah diperoleh
setelah proses kemudian dibagi dengan bobot sampelnya. Dari sampel awal
berupa daun kayu putih yang berjumlah 20 gram dengan total volume air yang
diperoleh sebesar 11.3 ml, sehingga didapat kadar air sebesar 56%(v/b). Cara
yang sama juga dilakukan untuk uji kadar minyak, yaitu membagi volume minyak
yang diperoleh setelah proses dengan bobot sampel. Jumlah sampel awal
sebanyak 50.2 gram dengan volume minyak hasil sebanyak 0.3 ml, sehingga
didapat kadar minyak sebesar 0.6%(v/b).
Menurut Sumitra dan Wijandi (2003), sebelum daun disuling, kadang-
kadang dilakukan proses pelayuan yang diikuti dengan proses pemotongan. Proses
pelayuan daun dilakukan untuk menurunkan kadar air pada daun. Pelayuan ini
dilakukan sampai kadar air tertentu sampai daun mempunyai elastisitas tinggi,
namun tanpa menjadi kering. Kondisi tersebut dilakukan untuk mencapai kondisi
optimum sebagai perlakuan pendahuluan sebelum penyulingan. Sehingga untuk
itulah uji kadar air ini dilakukan, yaitu untuk memeriksa daun kayu putih sudah
berada pada keadaan optimumnya atau belum sebelum disuling. Untuk daun kayu
putih, kadar air keadaan optimumnya adalah sekitar 40-50% dari kadar air awal
(daun segar). Dengan kata lain, daun kayu putih yang diuji saat praktikum
memiliki kondisi mendekati optimum untuk disuling.
Uji kadar minyak dilakukan untuk menentukan kandungan minyak yang
terdapat di dalam bagian-bagian tanaman yang akan disuling, sehingga rendemen
yang dihasilkan tidak terlalu kecil. Kadar minyak yang cukup besar tersebut
didapat berasal dari daun kayu putih, karena ranting kayu putih memiliki kadar
minyak sebesar 0.1% (Anonim, 2011). Sehingga dengan diketahuinya data
tersebut, akan lebih optimal jika bobot daun kayu putih yang disuling lebih besar
dibanding rantingnya agar menghasilkan rendemen yang besar.
Ekstraksi pelarut
Pada proses ekstraksi dengan pelarut heksana dengan bahan bunga mawar
menghasilkan warna coklat dan endapan seperti gambar terlampir, dan aroma
yang dihasilkan adalah aroma bunga mawar busuk. Sedangkan pada hasil
ekstraksi pelarut bunga melati menghasilkan warna kuning dan bercampur lilin
dengan aroma melati busuk. Ekstraksi dengan pelarut dilakukan dengan
mencampurkan 100 gram bahan awal dengan pelarutnya sampai semua bahan
tenggelam dalam pelarut, kemudian didiamkan pada suhu kamar selama semalam
lalu diambil minyaknya dengan cara menguapkan pelarutnya.
Warna yang dihasilkan pada minyak atsiri hasil ekstraksi tersebut
disebabkan oleh zat warna yang merupakan bahan non-volatil. Begitu pula
dengan endapan yang dihasilkan. Hal ini berdasarkan pada yang disebutkan oleh
Sumitra dan Wijandi (2003), bahwa pelarut organik akan berpenetrasi ke dalam
jaringan bunga-bungaan dan akan melarutkan minyak serta bahan non-volatil
yang berupa resin lilin dan beberapa macam zat warna.
Enfleurasi
Pada hasil enfleurasi atau disebut juga ekstraksi dengan lemak padat
didapat data untuk bahan bunga melati menghasilkan warna kuning keruh dan
endapan minyak, aromanya khas melati. Sedangkan untuk bahan bunga mawar
menghasilkan warna kuning keruh dan terdapat endapan minyak, serta memiliki
sedikit aroma bunga mawar. Jika dibandingkan dengan data ekstraksi pelarut hasil
ekstraksi lemak padat lebih baik. Hal ini disebabkan enfleurasi digunakan khusus
untuk mengekstraksi bunga-bungaan, dalam rangka mendapatkan mutu dan
rendemen minyak yang tinggi (Sumitra dan Wijandi, 2003). Untuk menghasilkan
rendemen dan mutu yang baik, maka selama proses ekstraksi berlangsung perlu
dijaga agar proses fisiologi dalam bunga tetap berlangsung dalam waktu selama
mungkin, sehingga bunga tetap menghasilkan minyak atsiri.
Meski memiliki rendemen dan mutu yang baik, aroma yang dihasilkan
dari proses ekstraksi pelarut umumnya lebih menyengat. Hal ini disebabkan pada
ekstraksi pelarut bahan melakukan kontak langsung dengan pelarut, sedangkan
pada proses enfleurasi menggunakan absorben lemak sebagai media penyerap
minyak. Namun hal tersebut tidak sesuai dengan yang disebutkan Guenther
(1987), bahwa proses enfleurasi menghasilkan minyak yang lebih wangi
dibandingkan dengan ekstraksi pelarut. Wahyuni dan Made (1998) menyebutkan
bahwa mentega putih dibuat dari minyak nabati seperti minyak biji kapas, minyak
kacang kedelai, minyak kacang tanah, dan lain lain. Zat penyusun tersebut
mungkin ikut terlarut saat dilarutkan bersama etanol sehingga aroma yang
dihasilkan tidak sekuat aroma yang dihasilkan oleh proses ekstraksi pelarut.
Absorben yang digunakan pada enfleurasi saat praktikum adalah mentega
putih. Winarno (1991) menyebutkan bahwa mentega putih adalah lemak padat
yang mempunyai sifat plastis dan kestabilan tertentu dan umunya berwarna putih.
Warna yang dihasilkan pada proses enfleurasi berbeda dengan hasil ekstraksi
pelarut, warna absorben ini memungkinkan ikut terlarut bersama pomade
(absorben yang telah jenuh oleh minyak) karena zat warna umumnya adalah zat
non-volatil, sehingga pada praktikum warna yang dihasilkan adalah kuning
(campuran warna asli dengan warna absorben).
KESIMPULAN DATA
Daun kayu putih yang digunakan untuk penyulingan saat praktikum cukup
optimum karena memiliki kadar air mendekati standar, dan kadar minyak tinggi
(dibandingkan dengan kadar minyak rantingnya), sehingga rendemen yang
dihasilkan akan mendekati maksimum. Warna minyak atsiri mawar dan melati
yang dihasilkan dari proses enfleurasi dan ekstraksi pelarut berbeda, sebab
perlakuannya juga berbeda. Pada enfleurasi, bahan kontak dengan absorben yang
juga memiliki susunan komponen tertentu, sedangkan pada ekstraksi pelarut
bahan langsung kontak dengan pelarut organik yang tidak berwarna. Aroma yang
dihasilkan oleh proses ekstraksi pelarut cenderung lebih kuat dibanding proses
enfleurasi, hal ini juga disebabkan oleh perlakuan berbeda. Namun, secara
keseluruhan kualitas minyak hasil enfleurasi lebih baik dibanding ekstraksi
pelarut.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2011. Penyulingan Minyak Kayu Putih. [Terhubung berkala]
http://hutdopi08.com/2011/10/penyulingan-minyak-kayu-putih.html [13
Maret 2013]
Guenther, Ernest. 1987. Minyak Atsiri Jilid I. Penerjemah Ketaren S. Jakarta:
Universitas Indonesia Press
Sumitra, Omit dan Wijandi, Soesarsono. 2003. Memproduksi Minyak Atsiri Biji
Pala. [Terhubung berkala]
http://minyakatsiriindonesia.com/atsiri-pala/omit-sumitra-dan-soesarsono-
wijandi-ed/ [13 Maret 2013]
Wahyuni dan Made. 1998. Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna.
Jakarta: Cv. Akademika Pressindo
Winarno, FG. 1991. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama