Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman...

84
89 J. Agron. Indonesia 42 (2) : 89 - 95 (2014) * Penulis untuk korespondensi. e-mail: [email protected] PENDAHULUAN Anomali iklim global yang saat ini kerap terjadi berdampak terhadap sulitnya memprediksi intensitas banjir yang melanda pertanaman padi di lahan rawan banjir, baik durasi terendamnya tanaman maupun ketinggian permukaan airnya. Pada lahan sawah rawan banjir, tanaman padi biasanya terendam keseluruhan bagian tanaman dan durasi cekaman terjadi sesaat (kurang dari 14 hari). Salah satu cara untuk mengantisipasi masalah tersebut adalah dengan penanaman varietas padi yang toleran terhadap cekaman rendaman. Akan tetapi sampai saat ini varietas toleran tersebut masih sangat terbatas jumlahnya, antara lain Inpara 3, 4 dan 5. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk memperoleh galur-galur harapan padi lainnya yang toleran terhadap berbagai kondisi cekaman rendaman. Selain durasi dan ketinggian permukaan air, hasil penelitian Ikhwani et al. Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman Rendaman pada Fase Vegetatif Rapid Screening for Rice Tolerance to Submergence on Vegetative Phase Yullianida 1 , Suwarno 1 , Sintho Wahyuning Ardie 2 , dan Hajrial Aswidinnoor 2* 1 Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (Indonesia Center for Rice Research) Kebun Percobaan Muara, Jl. Raya Ciapus No. 25A Bogor Barat 16119, Indonesia 2 Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Bogor Agricultural University), Jl. Meranti, Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680, Indonesia Diterima 10 Januari 2014/Disetujui 23 Mei 2014 ABSTRACT The major constraint of rice cultivation in the flood-prone area is the lack of tolerant varieties. A rapid screening method have to be developed under controlled environments, such as a green house, to improve the effectiveness and efficiency of the selection under submergence condition. The aim of this research was to study the correlation beetween selection methods in greenhouse and in the field. This experiment was conducted at a green house of Muara Experimental Station, Bogor in 2011/2012. The experimental designs used were randomized complete design for greenhouse experiment and randomized complete block design for field experiment, with three replicates respectively. There were four sub-experiments in the greenhouse experiment, grouped based on seedling age (10 days and 35 days after seeding) and duration of submergence (10 days and 14 days). Those sub-experiments in the green house were compared with the experiment in the field. The results showed that there was strong correlation between recovery percentage in the green house and percentage recovery in the field. The same correlation indeed happen between recovery percentage in the green house to grain yield. Complete submergence at 10-day-old seedlings in green house could be developed as rapid selection method for submergence tolerant rice. Keywords: aciotic stress, correlation, flooding, Oryza sativa ABSTRAK Kendala utama pengembangan tanaman padi di daerah rawan banjir adalah terbatasnya varietas yang toleran terhadap cekaman rendaman. Metode uji cepat pada lingkungan terkontrol, seperti rumah kaca, perlu dikembangkan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi seleksi awal genotipe padi terhadap cekaman rendaman. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari korelasi antara metode seleksi di rumah kaca dan di lapang. Apabila keduanya berkorelasi kuat, maka metode seleksi di rumah kaca dapat dijadikan sebagai metode seleksi cepat tanaman padi terhadap cekaman rendaman. Percobaan ini dilakukan di Kebun Percobaan Muara-Bogor pada musim tanam 2011/2012. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan kelompok lengkap teracak untuk percobaan di rumah kaca dan rancangan acak lengkap untuk percobaan lapang, masing-masing tiga ulangan. Terdapat empat sub-percobaan di rumah kaca, dikelompokkan berdasarkan umur bibit (10 dan 35 hari setelah semai/HSS) dan durasi cekaman rendaman (10 dan 14 hari). Hasil skrining di rumah kaca dibandingkan dengan hasil skrining di lapang. Hasil penelitian menunjukkan persentase daya pulih tanaman di rumah kaca berkorelasi kuat dengan persentase daya pulih dan hasil di lapang. Penggunaan bibit berumur 10 HSS pada skrining di rumah kaca dapat dijadikan sebagai metode uji cepat untuk toleransi tanaman padi terhadap cekaman rendaman sesaat. Kata kunci: banjir, cekaman abiotik, korelasi, Oryza sativa

Transcript of Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman...

Page 1: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

89Uji Cepat Toleransi Tanaman......

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 89 - 95 (2014)

* Penulis untuk korespondensi. e-mail: [email protected]

PENDAHULUAN

Anomali iklim global yang saat ini kerap terjadi berdampak terhadap sulitnya memprediksi intensitas banjir yang melanda pertanaman padi di lahan rawan banjir, baik durasi terendamnya tanaman maupun ketinggian permukaan airnya. Pada lahan sawah rawan banjir, tanaman

padi biasanya terendam keseluruhan bagian tanaman dan durasi cekaman terjadi sesaat (kurang dari 14 hari). Salah satu cara untuk mengantisipasi masalah tersebut adalah dengan penanaman varietas padi yang toleran terhadap cekaman rendaman. Akan tetapi sampai saat ini varietas toleran tersebut masih sangat terbatas jumlahnya, antara lain Inpara 3, 4 dan 5. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk memperoleh galur-galur harapan padi lainnya yang toleran terhadap berbagai kondisi cekaman rendaman. Selain durasi dan ketinggian permukaan air, hasil penelitian Ikhwani et al.

Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman Rendaman pada Fase Vegetatif

Rapid Screening for Rice Tolerance to Submergence on Vegetative Phase

Yullianida1, Suwarno1, Sintho Wahyuning Ardie2, dan Hajrial Aswidinnoor2*

1Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (Indonesia Center for Rice Research)Kebun Percobaan Muara, Jl. Raya Ciapus No. 25A Bogor Barat 16119, Indonesia

2Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Bogor Agricultural University), Jl. Meranti, Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680, Indonesia

Diterima 10 Januari 2014/Disetujui 23 Mei 2014

ABSTRACT

The major constraint of rice cultivation in the flood-prone area is the lack of tolerant varieties. A rapid screening method have to be developed under controlled environments, such as a green house, to improve the effectiveness and efficiency of the selection under submergence condition. The aim of this research was to study the correlation beetween selection methods in greenhouse and in the field. This experiment was conducted at a green house of Muara Experimental Station, Bogor in 2011/2012. The experimental designs used were randomized complete design for greenhouse experiment and randomized complete block design for field experiment, with three replicates respectively. There were four sub-experiments in the greenhouse experiment, grouped based on seedling age (10 days and 35 days after seeding) and duration of submergence (10 days and 14 days). Those sub-experiments in the green house were compared with the experiment in the field. The results showed that there was strong correlation between recovery percentage in the green house and percentage recovery in the field. The same correlation indeed happen between recovery percentage in the green house to grain yield. Complete submergence at 10-day-old seedlings in green house could be developed as rapid selection method for submergence tolerant rice.

Keywords: aciotic stress, correlation, flooding, Oryza sativa

ABSTRAK

Kendala utama pengembangan tanaman padi di daerah rawan banjir adalah terbatasnya varietas yang toleran terhadap cekaman rendaman. Metode uji cepat pada lingkungan terkontrol, seperti rumah kaca, perlu dikembangkan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi seleksi awal genotipe padi terhadap cekaman rendaman. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari korelasi antara metode seleksi di rumah kaca dan di lapang. Apabila keduanya berkorelasi kuat, maka metode seleksi di rumah kaca dapat dijadikan sebagai metode seleksi cepat tanaman padi terhadap cekaman rendaman. Percobaan ini dilakukan di Kebun Percobaan Muara-Bogor pada musim tanam 2011/2012. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan kelompok lengkap teracak untuk percobaan di rumah kaca dan rancangan acak lengkap untuk percobaan lapang, masing-masing tiga ulangan. Terdapat empat sub-percobaan di rumah kaca, dikelompokkan berdasarkan umur bibit (10 dan 35 hari setelah semai/HSS) dan durasi cekaman rendaman (10 dan 14 hari). Hasil skrining di rumah kaca dibandingkan dengan hasil skrining di lapang. Hasil penelitian menunjukkan persentase daya pulih tanaman di rumah kaca berkorelasi kuat dengan persentase daya pulih dan hasil di lapang. Penggunaan bibit berumur 10 HSS pada skrining di rumah kaca dapat dijadikan sebagai metode uji cepat untuk toleransi tanaman padi terhadap cekaman rendaman sesaat.

Kata kunci: banjir, cekaman abiotik, korelasi, Oryza sativa

Page 2: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

90 Yullianida, Suwarno, Sintho Wahyuning Ardie, dan Hajrial Aswidinnoor

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 89 - 95 (2014)

(2010) menunjukkan kekeruhan air rendaman berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

Pembentukan varietas unggul padi toleran cekaman rendaman dilakukan melalui pendekatan penggabungan sifat-sifat baik yang diinginkan ke dalam suatu varietas. Penggabungan sifat-sifat tersebut dilakukan dengan melakukan persilangan antar genotipe yang telah teridentifikasi sebagai sumber sifat yang diinginkan, kemudian menseleksi dan memfiksasi rekombinan yang merupakan gabungan dari sifat-sifat baik yang diinginkan tersebut. Strategi yang ditempuh dalam pembentukan varietas unggul padi toleran rendaman adalah dengan pembentukan populasi bahan pemuliaan, kemudian menseleksi galur-galur yang memiliki sifat agronomi baik sekaligus toleran cekaman rendaman, serta mengevaluasi daya hasil galur-galur harapan di lingkungan target.

Fluktuasi kondisi cekaman rendaman di lapangan akan menyulitkan kegiatan seleksi apabila langsung dilakukan di lahan target, sehingga diperlukan metode seleksi yang terkendali dalam menggambarkan suatu kondisi cekaman rendaman tertentu. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan seleksi terhadap target sifat yang diinginkan di rumah kaca maupun laboratorium. Seleksi di rumah kaca atau laboratorium merupakan seleksi dengan lingkungan terkendali, yaitu mengurangi pengaruh lingkungan di luar faktor yang diinginkan, taraf cekaman dapat diatur sesuai kebutuhan dan dapat mencakup ratusan genotipe yang meliputi varietas lokal, introduksi dan hasil persilangan.

Metode uji cepat untuk mengetahui toleransi tanaman padi terhadap cekaman rendaman sudah dilakukan oleh Manangkil et al. (2008) melalui pengamatan vigor kecambah dalam tabung. Hanya saja, metode tersebut dinilai kurang efisien dan efektif karena hanya dapat menguji sedikit sampel dalam satu genotipe (kurang representatif) dan jumlah genotipe yang diuji pun terbatas mengingat diperlukannya tabung reaksi dalam jumlah banyak (test tube method), sehingga diperlukan metode yang lebih sederhana. Uji cepat di rumah kaca dengan kondisi yang lebih mendekati kondisi lapangan, yaitu menggunakan pot plastik berisi tanah lumpur/sawah, diharapkan dapat menunjukkan hasil yang lebih akurat. Sebagaimana yang dilakukan dalam uji cepat untuk kemampuan berkecambah dalam kondisi anaerobik (anaerobic germination), Manigbas et al. (2008) mengemukakan bahwa media tanah berlumpur (sawah) yang dikombinasikan dengan berbagai durasi rendaman dan ketinggian permukaan air dapat dijadikan metode uji cepat dibanding penggunaan media air saja, seperti halnya test tube method.

Beberapa penelitian lain terkait pengembangan metode uji cepat untuk penentuan tingkat toleransi tanaman padi terhadap cekaman abiotik antara lain toleransi terhadap naungan atau intensitas cahaya rendah dilakukan dengan metode uji cepat fase bibit dan metode uji paranet (Sasmita 2008). Metode ini kemudian dibandingkan dengan seleksi langsung di lahan target yaitu di pertanaman padi gogo sebagai tanaman sela pohon kelapa atau kelapa sawit. Uji cepat toleransi tanaman padi terhadap keracunan besi (Fe)

juga telah dilakukan oleh Suhartini dan Makarim (2009) Penelitian tersebut menunjukkan bahwa penggunaan larutan media hara makro dengan penambahan larutan FeSO4 dapat dijadikan sebagai media dalam uji cepat di rumah kaca dan hasilnya berkorelasi dengan hasil seleksi di lahan target di Lampung Timur.

Penapisan di rumah kaca perlu dibandingkan dengan hasil seleksi di lapangan. Pencerminan kondisi lapangan sebaiknya langsung dilakukan di lahan target, seperti penapisan genotipe padi terhadap salinitas yang dilakukan di lahan rawa Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat (Utama et al., 2009) atau seleksi galur kacang tanah adaptif lahan kering masam langsung dilakukan di Lampung Selatan (Kasno et al., 2012). Namun sayangnya untuk mendapatkan kondisi cekaman rendaman di lahan sawah rawan banjir sulit diprediksi karena kejadiannya sering berupa banjir rob yang tiba-tiba datang, sehingga diperlukan penapisan di rumah kaca sebagai langkah awal dan simulasi banjir pada percobaan lapangan sehingga dapat diperoleh galur-galur harapan yang siap diuji multilokasi. Kedua percobaan tersebut, baik rumah kaca maupun lapangan, dilakukan pada penelitian ini.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan metode yang tepat, cepat dan mudah untuk pengujian toleransi tanaman padi terhadap cekaman rendaman pada fase vegetatif. Selain itu dipelajari juga korelasi antara metode seleksi di rumah kaca dan di lapangan. Apabila keduanya berkorelasi kuat, maka metode seleksi di rumah kaca dapat dijadikan sebagai metode uji cepat tanaman padi terhadap cekaman rendaman.

BAHAN DAN METODE

Materi genetik yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas 15 genotipe padi (Tabel 1), dengan satu genotipe merupakan genotipe padi mengandung gen Sub1 (Ciherang Sub1), enam genotipe dari Balai Besar Penelitian Tanaman Padi dan enam genotipe lainnya dari Institut Pertanian Bogor. Varietas pembanding yang digunakan adalah FR13A sebagai pembanding toleran dan IR42 sebagai pembanding peka.

Percobaan di lapang dilaksanakan selama dua musim tanam berturut-turut, pada musim hujan (MH) 2011/2012 yaitu bulan Oktober 2011 hingga Januari 2012 dan musim kemarau (MK) 2012 yaitu bulan April hingga Juli 2012 menggunakan kolam khusus untuk mensimulasi banjir atau cekaman rendaman. Lokasi percobaan yaitu di Kebun Percobaan Muara, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Bogor. Rancangan yang digunakan adalah rancangan kelompok lengkap teracak dengan tiga ulangan. Perlakuan rendaman dilakukan pada fase vegetatif, yaitu dua minggu sesudah tanam pindah atau 35 hari sesudah semai (HSS) dengan seluruh bagian tanaman terendam (complete submergence). Durasi cekaman rendaman di lapangan dihentikan apabila varietas pembanding peka IR42 sudah menunjukkan gejala mati (skor 9). Pada penelitian ini cekaman rendaman diberikan selama 10 hari. Karakter yang diamati adalah persentase daya pulih tanaman dan

Page 3: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

91Uji Cepat Toleransi Tanaman......

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 89 - 95 (2014)

pertambahan tinggi tanaman setelah tercekam rendaman. Selain itu diamati juga rata-rata hasil gabah di dua musim tanam pada lingkungan tercekam rendaman.

Percobaan di rumah kaca dilakukan menggunakan metode direct seeded in trays in green house (IRRI, 2002). Perendaman dilakukan menggunakan bak air berukuran panjang 150 cm, lebar 150 cm, dan tinggi 140 cm. percobaan ini terdiri atas empat sub-percobaan yang dikelompokkan berdasarkan umur bibit mulai direndam dan durasi rendaman, yaitu umur bibit 10 HSS dengan durasi rendaman selama 10 hari (UB10R10), umur bibit 10 HSS dengan durasi rendaman selama 14 hari (UB10R14), umur bibit 35 HSS dengan durasi rendaman selama 10 hari (UB35R10) dan umur bibit 35 HSS dengan durasi rendaman selama 14 hari (UB35R14). Durasi rendaman 10 hari di rumah kaca diberikan agar sama dengan durasi rendaman yang diberikan di percobaan lapangan, sedangkan durasi rendaman 14 hari diberikan dengan pertimbangan bahwa sampai saat ini durasi maksimal tanaman padi toleran rendaman adalah selama 14 hari, yaitu untuk varietas Inpara 4 dan 5 (BB Padi, 2013).

Pengisian air ke dalam bak dilakukan secara perlahan dan aliran air yang masuk tidak langsung mengenai tanaman agar tidak merusak bibit tanaman yang masih muda. Ketinggian air dipertahankan pada kisaran 110-120 cm agar tidak ada bagian tanaman yang muncul di atas permukaan air selama durasi rendam.

Pengamatan di rumah kaca dilakukan pada saat sebelum dan lima hari sesudah rendaman dihentikan. Tingkat toleransi tanaman padi terhadap cekaman rendaman ditentukan berdasarkan perhitungan persentase daya pulih genotipe-genotipe yang diuji dibandingkan dengan persentase daya pulih pembanding toleran, yaitu sangat toleran (100%), toleran (95-99%), moderat (75-94%), peka (50-74%) dan sangat peka (0-49%) (IRRI, 2002).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengamatan terhadap persentase daya pulih tanaman di rumah kaca menunjukkan tidak ada perbedaan skor antar sub-percobaan dengan durasi rendaman yang sama, walaupun umur bibitnya berbeda. Persentase daya pulih tanaman di lapangan menunjukkan fluktuasi skor yang sama dengan di rumah kaca untuk durasi rendaman yang sama (Tabel 2). Durasi rendaman di lapangan adalah 10 hari, sehingga terlihat bahwa pada sub percobaan UB10R14 dan UB35R14 memiliki skor yang berbeda dengan skor di lapangan. Semakin lama durasi rendaman maka tingkat toleransi genotipe yang diuji akan semakin menurun (Tabel 2), kecuali untuk genotipe toleran dan moderat masih dapat mempertahankan skornya karena penurunan persentase daya pulih tanamannya lebih kecil dibandingkan genotipe peka. Tingkat toleransi di lapangan menunjukkan skor yang sama dengan percobaan di rumah kaca yang memiliki durasi rendaman 10 hari. Hal ini dikarenakan durasi cekaman rendaman yang diberikan di lapang pun selama 10 hari.

Berdasarkan standard evaluation system (IRRI, 2002), skoring toleransi terhadap cekaman rendaman dilakukan lima hari sesudah cekaman rendaman dihentikan. Hal ini disebabkan sesaat sesudah cekaman rendaman dihentikan hampir semua genotipe menunjukkan gejala layu sehingga sulit apabila langsung dilakukan skoring dan pengamatan tinggi tanaman.

Hasil analisis korelasi menunjukkan korelasi yang kuat antara metode seleksi di rumah kaca dengan di lapang. Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi yang tinggi pada semua sub-percobaan rumah kaca dengan lapang. Begitu pula dengan korelasinya terhadap hasil gabah, keempat sub-percobaan yang dilakukan di rumah kaca menunjukkan korelasi yang tinggi dan sangat nyata (Tabel 2). Genotipe yang teridentifikasi toleran cekaman

Genotipe Tetua persilangan Ciherang Sub1 Ciherang/IR64 Sub1//Ciherang B11586F-MR-11-2-2 Mesir/IR600-80-23 B13132-8-MR-1-KA-1 Kapuas/IR73571-3B-R-2-2-3-1//IR69502-6-SKN-UBN-1-B-1-3/CNA2903 B13134-4-MR-1-KA-1 Kapuas/IR73571-3B-R-2-2-3-1 //Dendang / KAL9418F-MR-2 B13135-1-MR-2-KA-1 Mahsuri/Cimelati//IR69502-6-SKN-UBN-1-B-1-3/Bondoyudo B13138-7-MR-2-KA-1 IR69502-6-SKN-UBN-1-B-1-3/KAL9418F //Pokhali/Angke B13138-7-MR-2-KA-2 IR69502-6-SKN-UBN-1-B-1-3/KAL9418F //Pokhali/Angke IPB107-F-16-2-1 Siam Sapat/Fatmawati IPB107-F-5-1-1 Siam Sapat/Fatmawati IPB107-F-60-1-1 Siam Sapat/Fatmawati IPB107-F-95-1-1 Siam Sapat/Fatmawati IPB107-F-127-3-1 Siam Sapat/Fatmawati IPB 107-F-13-1-1 Siam Sapat/Fatmawati FR13A (cek toleran) Varietas lokal dari Tamil Nandu, India IR42 (cek peka) IR1561-228-1-2/IR1737//CR94-13

Tabel 1. Materi genetik yang digunakan dalam uji cepat tanaman padi terhadap cekaman rendaman, K.P. Muara, 2012

Page 4: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

92 Yullianida, Suwarno, Sintho Wahyuning Ardie, dan Hajrial Aswidinnoor

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 89 - 95 (2014)

rendaman, yaitu B13138-7-MR-2-KA-1 menunjukkan rata-rata hasil gabah tertinggi (4.73 ton ha-1), setara dengan rata-rata hasil gabah varietas pembanding toleran (FR13A) yaitu sebesar 4.69 ton ha-1. Galur yang moderat terhadap cekaman rendaman, yaitu Ciherang Sub1 memiliki rata-rata hasil gabah sebesar 3.69 ton ha-1. Galur-galur lainnya yang tergolong peka memiliki kisaran rata-rata hasil gabah antara 2.13-3.61 ton ha-1, sedangkan varietas pembanding peka (IR42) memiliki rata-rata hasil gabah terendah, yaitu hanya sebesar 0.78 ton ha -1. Hal ini membuktikan terdapat korelasi yang kuat antara persentase daya pulih tanaman, baik di rumah kaca maupun lapang, dengan hasil gabah.

Tabel 3 menunjukkan perbandingan rata-rata persentase daya pulih tanaman berdasarkan umur bibit yang sama. Selisih antara penggunaan umur bibit 10 hari dan umur bibit 35 hari dapat dikatakan cukup rendah, walaupun dengan durasi rendaman yang berbeda. Lain halnya dengan perbandingan rata-rata persentase daya pulih tanaman berdasarkan durasi rendaman yang sama (Tabel 4). Terlihat bahwa selisih persentase daya pulih tanaman dengan durasi rendaman 10 hari dan 14 hari cukup tinggi, kecuali pada genotipe toleran. Semakin lama durasi rendaman, maka persentase daya pulih tanaman akan semakin rendah, walaupun dengan penggunaan umur bibit yang sama.

Faktor utama penyebab kerusakan tanaman akibat cekaman rendaman adalah (1) terganggunya pertukaran gas CO2 dan O2 antara tanaman dan lingkungannya, (2) berkurangnya penetrasi cahaya matahari dan (3) adanya gen pengendali toleransi terhadap cekaman rendaman. Ketiga faktor tersebut menyebabkan terhambatnya proses respirasi dan fotosintesis tanaman selama tercekam rendaman. Semua respon fisiologis dalam mengatasi cekaman rendaman diatur oleh gen Sub1 atau lebih spesifik lagi gen Sub1A, merupakan tipe gen ethylene-response factor like genes (Xu et al., 2006). Adanya gen tersebut mengurangi sensitivitas tanaman padi terhadap etilen, yaitu hormon tanaman yang mendorong proses pemanjangan tanaman, pelepasan energi yang disimpan dan penguraian klorofil.

Sampai saat ini hanya ada satu varietas yang sangat toleran (skor 1) terhadap cekaman rendaman, yaitu varietas FR13A. Varietas ini memiliki toleransi yang tinggi terhadap rendaman lebih dari 14 hari. FR13A merespon terhadap cekaman rendaman dengan tidak mengalami pemanjangan. Pemanjangan batang merupakan respon morfologi paling umum pada tanaman yang tercekam rendaman air (Harada et al., 2005; Ookawara et al., 2005), namun toleransi tanaman padi terhadap rendaman berkorelasi negatif dengan kemampuan pemanjangan batang. Mekanisme toleransi

GenotipeUB10R10 UB35R10 UB10R14 UB35R14 Lapang Hasil

(ton ha-1)DPT skor DPT skor DPT skor DPT skor DPT skor pada LTR

Ciherang Sub1 80 5 80 5 77 5 77 5 82 5 3.69 B11586F-MR-11-2-2 50 7 50 7 30 9 43 9 68 7 3.61 B13132-8-MR-1-KA-1 50 7 70 7 43 9 47 9 56 7 2.57 B13134-4-MR-1-KA-1 53 7 67 7 30 9 37 9 66 7 3.36 B13135-1-MR-2-KA-1 53 7 50 7 53 7 57 7 64 7 2.69 B13138-7-MR-2-KA-1 97 3 97 3 97 3 97 3 95 3 4.73 B13138-7-MR-2-KA-2 53 7 50 7 53 7 57 7 62 7 2.92 IPB107-F-16-2-1 50 7 50 7 40 9 40 9 65 7 2.13 IPB107-F-5-1-1 50 7 50 7 40 9 40 9 63 7 2.23 IPB107-F-60-1-1 50 7 50 7 40 9 40 9 60 7 2.81 IPB107-F-95-1-1 50 7 53 7 40 9 40 9 62 7 2.61 IPB107-F-127-3-1 50 7 53 7 40 9 40 9 64 7 3.3 IPB 107-F-13-1-1 50 7 57 7 40 9 40 9 64 7 2.88 FR13A (cek toleran) 100 1 100 1 100 1 100 1 99 3 4.69 IR42 (cek peka) 0 9 0 9 0 9 0 9 25 9 0.78r DPT Lapang 0.96** 0.92** 0.91** 0.92** 1r Hasil 0.87** 0.85** 0.83** 0.85** 0.86**

Tabel 2. Rata-rata persentase daya pulih tanaman (DPT) padi sesudah cekaman rendaman pada empat sub-percobaan di rumah kaca dan lapangan dan rata-rata hasil gabah di dua musim tanam pada lingkungan tercekam rendaman

Keterangan: DPT = Daya Pulih Tanaman; LTR = Lingkungan Tercekam Rendaman; r DPT Lapang = koefissien korelasi terhadap daya pulih tanaman di lapang; rHasil = koefisien korelasi terhadap hasil gabah; **=nyata pada taraf α 1%; UB10R10 = umur bibit 10 HSS dengan durasi rendaman 10 hari, UB35R10 = umur bibit 35 HSS dengan durasi rendaman 10 hari, UB10R14 = umur bibit 10 HSS dengan durasi rendaman 14 hari, dan UB35R14 = umur bibit 35 HSS dengan durasi rendaman 14 hari

Page 5: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

93Uji Cepat Toleransi Tanaman......

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 89 - 95 (2014)

GenotipeUmur bibit 10 hari Umur bibit 35 hari

UB10R10 UB10R14 Rata-rata UB35R10 UB35R14 Rata-rataCiherang Sub1 80 77 79b 80 77 79bB11586F-MR-11-2-2 50 30 40e 50 43 47efB13132-8-MR-1-KA-1 50 43 47d 50 47 49cB13134-4-MR-1-KA-1 53 30 42de 53 37 45deB13135-1-MR-2-KA-1 53 53 53c 53 57 55cdB13138-7-MR-2-KA-1 97 97 97a 97 97 97aB13138-7-MR-2-KA-2 53 53 53c 53 57 55cdIPB107-F-16-2-1 50 40 45de 50 40 45fIPB107-F-5-1-1 50 40 45de 50 40 45fIPB107-F-60-1-1 50 40 45de 50 40 45fIPB107-F-95-1-1 50 40 45de 53 40 47efIPB107-F-127-3-1 50 40 45de 53 40 47efIPB 107-F-13-1-1 50 40 45de 57 40 49defFR13A (cek toleran) 100 100 100a 100 100 100aIR42 (cek peka) 0 0 0 0 0 0g

Tabel 3 . Daya pulih tanaman (DPT) pada sub-percobaan di rumah kaca berdasarkan umur bibit yang sama

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%

GenotipeRendam 10 hari Rendam 14 hari

UB10R10 UB35R10 Rata-rata UB10R14 UB35R14 Rata-rataCiherang Sub 1 80 80 80b 77 77 77bB11586F-MR-11-2-2 50 50 50d 30 43 37efB13132-8-MR-1-KA-1 50 50 50c 43 47 45dB13134-4-MR-1-KA-1 53 53 53c 30 37 34fB13135-1-MR-2-KA-1 53 53 53d 53 57 55cB13138-7-MR-2-KA-1 97 97 97a 97 97 97aB13138-7-MR-2-KA-2 53 53 53d 53 57 55cIPB107-F-16-2-1 50 50 50d 40 40 40deIPB107-F-5-1-1 50 50 50d 40 40 40deIPB107-F-60-1-1 50 50 50d 40 40 40deIPB107-F-95-1-1 50 53 52d 40 40 40deIPB107-F-127-3-1 50 53 52d 40 40 40deIPB 107-F-13-1-1 50 57 54d 40 40 40deFR13A (cek toleran) 100 100 100a 100 100 100aIR42 (cek peka) 0 0 0e 0 0 0g

Tabel 4. Daya pulih tanaman (DPT) pada sub-percobaan di rumah kaca berdasarkan durasi rendaman yang sama

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%

tanaman padi terhadap cekaman rendaman keseluruhan dengan memperlambat laju pertumbuhan tanaman selama rendaman diperkuat juga dengan hasil analisis korelasi yang negatif nyata antara persentase daya pulih tanaman dengan pertambahan tinggi tanaman. Koefisien korelasi antara tinggi tanaman dengan persentase daya pulih tanaman di rumah

kaca, yaitu r = -0.83** (UB10R10), r = -0.69** (UB35R10), r = -0.50* (UB10R14) dan r = -0.72** (UB35R14). Tabel 5 menunjukkan bahwa genotipe toleran B13138-7-MR-2-KA-1 memiliki pertambahan tinggi tanaman terendah dan tidak berbeda nyata dengan varietas pembanding toleran (FR13A). Pertambahan tinggi tanaman atau pemanjangan

Page 6: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

94 Yullianida, Suwarno, Sintho Wahyuning Ardie, dan Hajrial Aswidinnoor

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 89 - 95 (2014)

batang tidak diinginkan pada kondisi cekaman rendaman keseluruhan karena dapat mengakibatkan diremobilisasinya karbohidrat yang tersimpan (Nugraha et al., 2011). Ketika air surut, tanaman yang menggunakan cadangan energi untuk pemanjangan batang sudah tidak memiliki energi yang cukup untuk melakukan pemulihan.

Hal yang sama terlihat pada mekanisme toleransi di lapang (Tabel 6). Cekaman rendaman selama 10 hari menyebabkan rata-rata pertambahan tinggi tanaman lebih dari 20 cm, kecuali pada genotipe toleran. Apabila dibandingkan dengan lingkungan optimumnya maka terlihat selisih pertambahan tinggi tanaman pada genotipe toleran paling rendah.

GenotipeTinggi tanaman (cm) Rata-rata

(cm)UB10R10 UB35R10 UB10R14 UB35R14Ciherang Sub1 5.7 11.2 5.8 7.7 8hB11586F-MR-11-2-2 8.3 12.8 3.8 12.6 9efgB13132-8-MR-1-KA-1 13.9 11.7 10.2 6.9 11eB13134-4-MR-1-KA-1 11.7 13.0 4.0 7.4 9fgB13135-1-MR-2-KA-1 13.2 11.6 2.2 5.4 8ghB13138-7-MR-2-KA-1 4.5 4.1 3.1 2.4 4iB13138-7-MR-2-KA-2 9.1 7.7 6.7 6.7 8hIPB107-F-16-2-1 12.6 13.4 23.6 5.3 14dIPB107-F-5-1-1 14.2 10.9 19.4 6.5 13dIPB107-F-60-1-1 10.4 10.9 9.1 10.7 10efIPB107-F-95-1-1 13.4 19.7 15.3 17.7 17cIPB107-F-127-3-1 15.5 16.4 18.3 15.2 16cIPB 107-F-13-1-1 18.1 20.7 20.8 14.7 19bFR13A (cek) 1.9 5.3 3.0 2.3 3iIR42 (cek) 18.7 22.0 18.9 20.2 20a

Tabel 5. Pertambahan tinggi tanaman padi sesudah cekaman rendaman pada keempat sub-percobaan di rumah kaca

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%

GenotipeLingkungan tercekam rendaman Lingkungan optimum

SelisihMH MK Rata-rata MH MK Rata-rata

Ciherang Sub 1 23.6 20.2 21.9bcd 22.3 20.7 21.5abcde 0.4B11586F-MR-11-2-2 25.9 22.7 24.3b 14.9 24.5 19.7cde 4.6B13132-8-MR-1-KA-1 19.4 20.8 20.1cd 13.8 25.7 19.7cde 0.3B13134-4-MR-1-KA-1 21.6 17.9 19.7cd 17.6 23.0 20.3cde -0.5B13135-1-MR-2-KA-1 20.0 23.4 21.7bcd 14.9 22.6 18.7de 3.0B13138-7-MR-2-KA-1 15.4 12.4 13.9f 17.4 22.4 19.9cde -6.0B13138-7-MR-2-KA-2 18.3 14.2 16.2ef 20.4 24.3 22.4abcd -6.2IPB107-F-16-2-1 20.1 17.5 18.8de 16.8 26.7 21.8abcde -3.0IPB107-F-5-1-1 26.3 16.6 21.5bcd 21.4 23.8 22.6abc -1.1IPB107-F-60-1-1 25.8 20.3 23.0bc 18.0 23.3 20.6cde 2.4IPB107-F-95-1-1 25.2 22.1 23.6b 20.2 18.8 19.5cde 4.1IPB107-F-127-3-1 25.8 19.8 22.8bc 19.2 23.0 21.1cde 1.7IPB 107-F-13-1-1 25.9 18.5 22.2bc 25.2 23.6 24.4ab -2.2FR13A (cek) toleran 10.5 7.1 8.8g 23.8 25.7 24.7a -15.9IR42 (cek) peka 35.9 30.6 33.3a 14.8 22.0 18.4e 14.9

Tabel 6. Pertambahan tinggi tanaman padi (cm) sebelum dan sesudah cekaman rendaman sesaat di lapang

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%; MH = musim hujan; MK = musim kemarau

Page 7: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

95Uji Cepat Toleransi Tanaman......

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 89 - 95 (2014)

Informasi ini menunjukkan bahwa seleksi di rumah kaca dengan umur bibit yang berbeda dengan di lapang, namun mengalami durasi rendaman yang sama dapat dijadikan sebagai metode uji cepat terhadap cekaman rendaman yang terjadi pada fase vegetatif. Diharapkan dengan adanya metode uji cepat, maka seleksi dapat dilakukan lebih efektif dan efisien, baik dalam hal waktu maupun biaya.

KESIMPULAN

Metode seleksi di rumah kaca pada bibit umur 10 hari dapat dijadikan sebagai metode uji cepat tanaman padi terhadap cekaman rendaman pada fase vegetatif berdasarkan korelasi yang tinggi dan sangat nyata antara daya pulih tanaman di rumah kaca dengan di lapang (r > 0.90**), begitu pula dengan korelasi antara daya pulih tanaman, baik di rumah kaca maupun di lapang, terhadap hasil gabah (r > 0.80**). Berdasarkan hasil penapisan di rumah kaca dan simulasi banjir di lapang, galur B13138-7-MR-2-KA-1 teridentifikasi toleran terhadap cekaman rendaman keseluruhan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan dana penelitian dari Badan Litbang Pertanian-Kementrian Pertanian RI; Hibah Kompetensi, Ditjen Pendidikan Tinggi-Kementrian Pendidikan Nasional tahun 2011 no. 375/SP2H/PP/Dit.Litabmas/ IV/2011 kepada Dr. Ir. Hajrial Aswidinnoor, M.Sc; dan I-MHERE B.2.C. IPB tahun 2011 no. 12/13.24.4/SPP/I-MHERE/2011 kepada Dr. Ir. Hajrial Aswidinnoor, M.Sc.

DAFTAR PUSTAKA

BB Padi 2013. Deskripsi Varietas Unggul Baru Padi. Kementerian Pertanian.

Harada, T., S. Satoh, T. Yoshioka, K. Ishizawa. 2005. Expression of sucrose synthase genes involved in enhanced elongation of pondweed (Potamogeton distinctus) turions under anoxia. Ann. Bot. 96:683-692.

Ikhwani, E. Suhartatik, A.K. Makarim. 2010. Pengaruh waktu, lama dan kekeruhan air rendaman terhadap pertumbuhan dan hasil padi sawah IR64-sub1. J. Penelitian Pertanian 29:63-71.

IRRI. 2002 Standard Evaluation System for Rice (SES). IRRI. Los Banos, Philippines.

Kasno, A., Trustinah, A.A. Rahmiana. 2012. Seleksi galur kacang tanah adaptif pada lahan kering masam. J. Penelitian Pertanian 32:16-24.

Manangkil O.E, Vu H.T., Yoshida S. 2008. A simple, rapid and reliable bioassay for evaluating seedling vigor under submergence in indica and japonica rice. Euphytica 163:1-8.

Manigbas, N.L., R.O. Solis, W.V. Barroga, A.J. Noriel, E.C. Arocena, T.F. Padolina, R.T. Cruz. 2008. Development of screening methods for anaerobic germination and seedling vigor in direct wet-seeded rice culture. Phil. J. Crop Sci. 33:34-44.

Nugraha, Y., G.V. Vergara, D.J. Mackil, A.B. Ismail. 2011. Status karbohidrat pada batang bibit padi pada kondisi rendaman keseluruhan dan parsial. hal. 753-764. Dalam S. Abdulrachman, A. Gani, Z. Susanti (Eds.). Prosiding Seminar Ilmiah Hasil Penelitian Padi Nasional. Sukamandi 24 November 2010.

Ookawara, R., S. Satoh, T. Yoshioka, K. Ishizawa. 2005. Expression of-expansin and xyloglucan endotransglucosylase/hydrolase genes associated with shoot elongation enhanced by anoxia, ethylene and carbon dioxide in arrowhead (Sagittaria pygmaea Miq.) tubers. Ann. Bot. 96:693-702.

Sasmita, P. 2008. Skrining ex situ genotipe padi gogo haploid ganda toleran intensitas cahaya rendah. J. Agrikultura 19:75-82.

Suhartini, T., A.K. Makarim. 2009. Teknik seleksi genotipe padi toleran keracunan besi. J. Penel. Perta. 28:125-130.

Utama, M.Z.H, W. Haryoko, R. Munir. 2009. Penapisan varietas padi terhadap salinitas pada lahan rawa di Kabupaten Pesisir Selatan. J. Agron. Indonesia 37: 101-106.

Xu, K., X. Xu, T. Fukao, P. Canlas, R. Maghirang-Rodriguez, S. Heuer, A.M. Ismai, J. Bailey-Serres, P.C. Ronald, D.J. Mackill. 2006. Sub1A is an ethylene-response-factor-like gene that confers submergence tolerance to rice. Nature 442:705-708.

Page 8: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 96 - 102 (2014)

Ida Widiyawati, Sugiyanta, Ahmad Junaedi, dan Rahayu Widyastuti96

* Penulis untuk korespondensi. e-mail: [email protected]

PENDAHULUAN

Beras merupakan bahan pangan pokok bagi 95% penduduk Indonesia (Swastika et al., 2007). Laju pertumbuhan penduduk Indonesia sebesar 1.49% per tahun

Peran Bakteri Penambat Nitrogen untuk Mengurangi Dosis Pupuk Nitrogen Anorganik pada Padi Sawah

The Role of Nitrogen-Fixing Bacteria to Reduce the Rate of Inorganic Nitrogen Fertilizer on Lowland Rice

Ida Widiyawati1*, Sugiyanta1, Ahmad Junaedi1, dan Rahayu Widyastuti2

1Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Bogor Agricultural University), Jl. Meranti, Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680, Indonesia

2Departemen Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Bogor Agricultural University), Jl. Meranti, Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680, Indonesia

Diterima 19 September 2013/Disetujui 22 Januari 2014

ABSTRACT

The availability of nitrogen in the soil is one of the limiting factors to support growth and rice productivity. Nitrogen-fixing bacteria have the ability to utilize air nitrogen so it becomes available in the soil. The use of nitrogen-fixing bacteria could potentially reduce application of nitrogen fertilizer. The aim of the experiment was to determine the role of nitrogen-fixing bacteria in reducing inorganic N fertilizer on lowland rice. The research was conducted in April-August 2012 at the plastic house of Babakan Sawah Baru Experimental Station, IPB. The experiment was arranged in a randomized block design with were two factors, namely nitrogen fertilizer and type of bacteria. The dosage of N fertilizer (urea) were 0, 50, 75 and 100 kg N ha-1. The types of bacteria were without bacteria, Azotobacter-like, Azospirillum-like, and consortium. The result of the experiment showed that N fertilization significantly affected all variables except the percentage of empty grains per panicle, 1,000 grain weight, and N content of the plant. The types of bacteria significantly affected root dry weight, number of filled grain per panicle, greenness of leaf, uptake and content of nitrogen (shoot and grain), grain weight per plot. The consortium bacteria was able to reduce 25% recommended dosage of N inorganic fertilizer (100 kg N ha-1), based on agronomic effectiveness.

Keywords: Azospirillum-like, Azotobacter-like, consortium of bacteria

ABSTRAK

Ketersediaan unsur hara nitrogen dalam tanah adalah salah satu faktor pembatas untuk mendukung pertumbuhan dan produktivitas tanaman padi. Bakteri penambat nitrogen memiliki kemampuan untuk memanfaatkan nitrogen udara menjadi tersedia dalam tanah. Penggunaan bakteri penambat N berpotensi mengurangi aplikasi pupuk nitrogen. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui peranan bakteri penambat N dalam mengurangi penggunaan pupuk N anorganik pada padi sawah. Penelitian dilaksanakan bulan April-Agustus 2012 di rumah plastik Kebun Percobaan Babakan Sawah Baru, IPB. Penelitian disusun dalam rancangan acak kelompok dengan dua faktor, yaitu dosis pemupukan nitrogen dan jenis bakteri. Faktor dosis pemupukan N (urea) terdiri atas 4 taraf, yaitu 0, 50, 75, dan 100 kg N ha-1. Faktor jenis bakteri terdiri atas 4 taraf, yaitu tanpa bakteri, Azotobacter-like, Azospirillum-like, dan konsorsium. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis pemupukan N berpengaruh nyata terhadap semua peubah kecuali persentase gabah hampa per malai, bobot 1,000 butir, dan kandungan N tanaman. Jenis bakteri berpengaruh nyata terhadap bobot kering akar, jumlah gabah isi per malai, kehijauan daun, serapan dan kandungan N (tajuk dan gabah), bobot gabah per petak. Konsorsium bakteri mampu mengurangi 25% penggunaan pupuk N anorganik dari dosis rekomendasi (100 kg N ha-1) berdasarkan pada efektivitas agronomi relatif.

Kata kunci: Azospirillum-like, Azotobacter-like, konsorsium bakteri

menyebabkan kebutuhan beras meningkat. Perubahan fungsi lahan sawah menjadi lahan non pertanian akan mengurangi produksi beras sehingga kebutuhan beras meningkat. Upaya peningkatan produktivitas padi sawah terus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan beras dalam rangka menunjang target pemerintah agar Indonesia mencapai surplus beras 10 juta ton tahun 2014 (Setyawati, 2012). Strategi peningkatan produksi dapat melalui penerapan teknologi pengelolaan tanaman terpadu (PTT) pada lahan sawah (Swastika et al.,

Page 9: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 96 - 102 (2014)

Peran Bakteri Penambat Nitrogen...... 97

2007). Upaya lain peningkatan produktivitas padi sawah adalah dengan pemupukan. Namun, bila penggunaannya berlebihan atau tidak sesuai maka dalam jangka panjang dapat mengganggu lingkungan.

Ketersediaan unsur N dalam tanah merupakan salah satu faktor penting untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan padi. Udara mengandung sekitar 78% N, tetapi tanaman tidak dapat menggunakan secara langsung karena berbentuk gas N2 yang “innert”, sehingga pupuk N selalu ditambahkan sebagai input produksi tanaman (Hindersah dan Tualar, 2004). Sejak tahun 1800-an diketahui terdapat sekelompok bakteri tanah baik yang bersimbiosis ataupun hidup bebas yang mempunyai kemampuan memfiksasi N dari udara. Pilihan penyedia nitrogen secara hayati adalah dengan memanfaatkan bakteri penambat nitrogen bebas seperti Azotobacter dan Azospirillum (Ekawati dan Syekhfani, 2005). Bakteri tersebut hidup bebas pada daerah perakaran dan jaringan tanaman. Bakteri penambat N sering disebut bakteri diazotrof yang mampu menggunakan N udara sebagai sumber N untuk pertumbuhannya. Peranan bakteri dalam memfiksasi nitrogen udara besar pengaruhnya terhadap nilai ekonomi tanah pertanian (Ristiati et al., 2008). Penggunaan bakteri ini berpotensi mengurangi kebutuhan N sintetik, meningkatkan produksi dan pendapatan usaha tani dengan masukan yang lebih murah. Eckert et al. (2001) melaporkan bahwa Azospirillum digunakan sebagai biofertilizer karena mampu menambat nitrogen (N2) 30% N dari total N pada jagung.

Penelitian ini mendasarkan pada kerangka pemikiran perlunya peran bakteri tanah dalam meningkatkan penyediaan unsur hara N untuk tanaman padi. Bakteri menyediakan nutrisi tanaman melalui pemecahan bahan organik, mengubah N udara ke dalam bentuk tersedia. Isolat yang unggul diperlukan sebagai bahan inokulasi karena keberhasilan bakteri tergantung kepada kemampuan isolat yang diintroduksi untuk bertahan hidup dan berkembangbiak di tanah secara cepat. Penerapan PTT dengan pengairan berselang yang dapat mengaktifkan mikroba bermanfaat seperti Azotobacter dan Azospirillum diharapkan dapat mereduksi penggunaan pupuk N sintetik pada padi dan berkontribusi terhadap pertanian berkelanjutan. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh dosis pemupukan dan bakteri penambat N dalam mengurangi penggunaan pupuk N pada padi sawah.

BAHAN DAN METODE

Isolasi dan Seleksi Bakteri

Isolasi dan seleksi bakteri dilaksanakan bulan September 2011 sampai Maret 2012. Isolasi dan analisis aktivitas bakteri dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, IPB. Sumber isolat yang digunakan yaitu pupuk hayati komersial (tiga jenis bentuk cair dan satu jenis bentuk padat), serta tanah sawah Kebun Percobaan Sawah Baru. Media tumbuh yang digunakan untuk mikroba adalah nitrogen free mannitol (NFM) dan nitrogen free bromthymol blue (NFB), nutrient agar (NA).

Azotobacter-like diisolasi menggunakan metode cawan hitung pada media NFM, sedangkan Azospirillum-like menggunakan metode enrichment pada media NFB. Seleksi kemampuan penambatan N dilakukan berdasarkan pengukuran kelarutan amonium berdasarkan metode destilasi dan titrasi. Uji antagonistik dilakukan pada isolat Azotobacter-like dan Azospirillum-like dengan menumbuhkan bersama dalam satu cawan pada media NA. Berdasarkan hasil uji yang telah dilakukan dipilih 1 bakteri Azotobacter-like dan Azospirillum-like, yaitu At523 dan Ap533 yang keduanya tidak saling antagonis dan daya tumbuhnya cepat. Mekanisme antagonis meliputi kompetisi nutrisi, antibiosis sebagai hasil pelepasan antibiotika atau senyawa kimia, dan predasi (Gultom 2008). Populasi total isolat yang diinokulasikan adalah 7.88x109 cfu ml-1 m-2 untuk Azotobacter-like dan 7.95x109 cfu ml-1 m-2 untuk Azospirillum-like (Tabel 1).

Persiapan Tanam dan Pengamatan

Penelitian dilaksanakan bulan April sampai Agustus 2012 di rumah plastik Kebun Percobaan Babakan Sawah Baru, IPB. Analisis pupuk dan sifat tanah dilaksanakan di Laboratorium Tanah, Balai Penelitian Tanah, sedangkan analisis jaringan tanaman dilaksanakan di Laboratorium Kesuburan Tanah, IPB. Bahan yang digunakan, yaitu padi varietas Ciherang, pupuk urea (sesuai dosis perlakuan), 50 kg SP-36 ha-1, 100 kg KCl ha-1, isolat Azotobacter-like (At523) dan Azospirillum-like (Ap533).

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok dua faktor dengan tiga ulangan.

Uraian informasiKode isolat

(Azotobacter-like) At523 (Azospirillum-like) Ap533Sumber isolat Tanah sawah baru Tanah sawah baruKandungan penambatan N2 di laboratorium 3.0 ppm 1) 4.8 ppm 2)

Hasil uji antagonistik Tidak bersifat antagonis Tidak bersifat antagonisPopulasi yang diaplikasikan ke dalam tanah 7.88x109 cfu ml-1 m-2 7.95x109 cfu ml-1 m-2

Tabel 1. Informasi sumber dan aktifitas isolat bakteri untuk aplikasi

Keterangan: 1) Isolat Azotobacter-like diukur kandungan amonium yang ditumbuhkan pada nitrogen free mannitol cair 2) Isolat Azospirillum-like diukur kandungan amonium yang ditumbuhkan pada nitrogen free bromthymol blue cair

Page 10: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 96 - 102 (2014)

Ida Widiyawati, Sugiyanta, Ahmad Junaedi, dan Rahayu Widyastuti98

Faktor yang dicoba, yaitu pemupukan nitrogen dan jenis bakteri. Faktor dosis pemupukan nitrogen terdiri atas 4 dosis, yaitu 0, 50, 75, dan 100 kg N ha-1 (dosis rekomendasi). Pupuk N yang digunakan adalah urea. Faktor jenis bakteri terdiri atas 4 taraf, yaitu tanpa bakteri, Azotobacter-like, Azospirillum-like, konsorsium (Azotobacter-like dan Azospirillum-like).

Unit percobaan menggunakan petakan terpal berukuran 1.25 m x 0.8 m x 0.5 m. Kedalaman tanah yang telah dilakukan pelumpuran tiga kali adalah 0.3 m. Bibit padi berumur 17 hari setelah semai (HSS) ditanam di petakan terpal dengan jarak tanam jajar legowo 2:1 (25 cm x 50 cm x 12.5 cm). Pupuk SP-36 dan KCl diberikan sekaligus pada saat tanam, pupuk urea sebagai perlakuan diberikan dua kali, yaitu setengah dosis pada umur 7 hari setelah tanam (HST) dan setengah dosis pada 30 HST. Inokulasi bakteri diberikan tiga kali dengan cara menyiramkan larutan bakteri di sekitar akar tanaman per petak, yaitu saat tanam, 2 minggu setelah tanam (MST), dan 4 MST. Pengairan yang digunakan adalah intermittent irrigation dengan frekuensi 3-4 hari sekali.

Peubah yang diamati yaitu tinggi tanaman, jumlah anakan, bobot kering tajuk dan akar, jumlah gabah per malai (isi dan hampa), persentase gabah hampa per malai, bobot 1,000 butir, kehijauan daun, kandungan dan serapan N (gabah dan tajuk), bobot gabah per petak, serta nilai efektivitas agronomi relatif (EAR). Nilai EAR dihitung dengan rumus: EAR dimana, Pp = produksi akibat pupuk dan atau bakteri yang diteliti; Pk = produksi tanaman tanpa pupuk dan tanpa bakteri; Pa= produksi akibat pupuk anjuran tanpa bakteri. Data dianalisis menggunakan sidik ragam untuk mengetahui pengaruh perlakuan. Apabila analisis ragam menunjukkan keragaman nyata dilanjutkan dengan Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) taraf 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ciri Awal Tanah Penelitian

Tanah yang digunakan dalam penelitian termasuk dalam jenis liat berdebu (silty clay). Nilai pH tanah tergolong masam dengan kandungan bahan organik rendah (C/N ratio 9%). Status kandungan N termasuk sedang (0.31%), P2O5 (HCl 25%) sangat tinggi (148 mg 100 g-1), dan K2O (HCl 25%) sangat rendah (9 mg 100 g-1).

Pertumbuhan Vegetatif

Dosis pemupukan N berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman dan jumlah anakan, tetapi jenis bakteri dan interaksinya tidak berpengaruh nyata terhadap peubah tersebut (Tabel 2). Peningkatan dosis pemupukan N meningkatkan tinggi tanaman dan jumlah anakan dibandingkan tanpa pemupukan. Tinggi tanaman dan jumlah anakan tertinggi diperoleh pada dosis pemupukan N rekomendasi, tetapi tidak berbeda nyata sampai pemupukan 50 kg N ha-1, yang berarti bahwa pengurangan dosis sampai

50% dosis rekomendasi tidak mengurangi tinggi tanaman dan jumlah anakan.

Pemupukan N meningkatkan tinggi tanaman karena N berfungsi membentuk protoplasma, memperbanyak dan memperpanjang sel tanaman termasuk bagian batang tanaman, sehingga meningkatkan tinggi tanaman. Menurut Endrizal dan Bobihoe (2004), N berperan dalam pertumbuhan vegetatif dan merangsang jumlah anakan padi. Jumlah anakan yang banyak akan mendukung pembentukan anakan produktif karena fotosintat yang dihasilkan juga tinggi. Pemberian bakteri pada penelitian ini belum terlihat pengaruhnya pada parameter pertumbuhan vegetatif.

Bobot kering tajuk dan akar tertinggi terdapat pada pemupukan 100 kg N ha-1, tetapi tidak berbeda nyata sampai dosis pemupukan 50 kg N ha-1. Pengurangan dosis pemupukan sampai 50% dosis rekomendasi tidak menurunkan bobot kering tajuk dan akar. Jenis bakteri tidak berpengaruh nyata terhadap bobot kering tajuk, tetapi berpengaruh terhadap bobot kering akar (Tabel 3). Secara statistik konsorsium bakteri meningkatkan bobot kering akar. Peningkatan bobot kering akar diduga disebabkan peranan bakteri sebagai pemacu pertumbuhan tanaman yaitu penghasil hormon pertumbuhan. Azotobacter selain dapat mengikat N2 udara, juga menghasilkan indole acetic acid (IAA) dalam jumlah yang berbanding lurus dengan kepadatan populasinya (Isminarni et al., 2007). Azospirillum juga memiliki kemampuan dalam menghasilkan IAA (Lestari et al., 2007). Kandungan IAA berguna merangsang pertumbuhan akar melalui pertambahan panjang atau luas permukaan, sehingga akar mampu mengikat air dan menambah bobot basah (Razie dan Anas, 2005).

Pemberian Azospirillum sp. pada padi yang ditanam di pot dan kultur invitro memberikan pengaruh signifikan pada jumlah anakan, bobot kering tajuk dan akar (Lestari et

Perlakuan Tinggi tanaman (cm)

Jumlah anakan

Dosis pemupukan N (kg N ha-1)0 101b 7.3b50 105a 10.6a75 106a 11.4a100 108a 12.3a

Jenis bakteriTanpa bakteri 105 10.4Azotobacter-like 104 9.5Azospirillum-like 105 10.7Konsorsium 107 11.1

Tabel 2. Pengaruh dosis pemupukan N dan jenis bakteri terhadap tinggi tanaman dan jumlah anakan pada 9 MST

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan faktor perlakuan yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada α= 5%

= 𝑃𝑃𝑝𝑝−𝑃𝑃𝑘𝑘𝑃𝑃𝑎𝑎−𝑃𝑃𝑘𝑘 𝑥𝑥 100%,

Page 11: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 96 - 102 (2014)

Peran Bakteri Penambat Nitrogen...... 99

al., 2007). Faktor lingkungan yang baik juga berpengaruh pada ketersediaan bakteri dalam tanah, sehingga diharapkan mampu meningkatkan bobot kering akar yang akhirnya akan meningkatkan bobot kering tajuk.

Komponen Hasil dan Hasil

Dosis pemupukan N berpengaruh nyata terhadap jumlah gabah isi dan hampa per malai, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap persentase gabah hampa per malai dan bobot 1,000 butir. Jenis bakteri hanya berpengaruh

nyata terhadap jumlah gabah isi per malai. Interaksi antara dosis pemupukan N dan jenis bakteri tidak berpengaruh nyata terhadap parameter hasil dan hasil (Tabel 4).

Persentase gabah hampa per malai meningkat seiring dengan peningkatan jumlah gabah isi dan gabah hampa per malai. Lu et al. (2008) menyebutkan bahwa berkurangnya persentase gabah isi lebih ditentukan oleh kekurangan pasokan input (source) dan faktor genetik. Dosis pemupukan N tidak berpengaruh terhadap bobot 1,000 butir, karena adanya faktor proses pengisian gabah dan genetik tanaman padi (ukuran palea dan lemma). Jumlah gabah isi dan hampa per malai tertinggi pada pemupukan 100 kg N ha-1 dan terendah pada dosis pemupukan 0 kg N ha-1. Jumlah gabah isi yang meningkat disebabkan adanya hasil fotosintat dan asimilat yang cukup untuk membentuknya. Jumlah gabah per malai yang tidak diikuti dengan kapasitas source yang cukup menyebabkan distribusi fotosintat untuk pengisian gabah tidak merata dan banyaknya gabah hampa yang dihasilkan. Akbari et al. (2007) menyatakan bahwa bakteri menghasilkan hormon pertumbuhan hingga 285.51 mg L-1 dari total medium kultur, sehingga dapat meningkatkan efisiensi pemupukan.

Jumlah gabah isi per malai tertinggi pada perlakuan konsorsium, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan tunggal, dan terendah pada perlakuan tanpa bakteri. Penambatan N oleh bakteri terutama bakteri konsorsium dapat menambah dan mencukupi kebutuhan N, sehingga jumlah gabah isi meningkat. Menurut Munarso (2011), jumlah gabah per malai juga dipengaruhi oleh faktor percabangan, eksersi, dan banyaknya malai, diferensiasi bulir selama antesis, serta intensitas radiasi surya.

Analisis Hara Jaringan Tanaman

Perlakuan dosis pemupukan N dan jenis bakteri berpengaruh nyata terhadap kehijauan daun dan serapan N tanaman. Perlakuan dosis pemupukan N tidak berpengaruh

PerlakuanBobot kering

tajuk (g)

Bobot kering akar

(g)Dosis pemupukan N (kg N ha-1)

0 13.9b 1.62b50 22.5a 2.47ab75 22.8a 3.01ab100 24.0a 3.72a

Jenis bakteriTanpa bakteri 21.2 1.53bAzotobacter-like 18.7 2.13bAzospirillum-like 20.3 2.90abKonsorsium 23.0 4.26a

Tabel 3. Pengaruh dosis pemupukan nitrogen dan jenis bakteri terhadap bobot kering tajuk dan bobot kering akar

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan faktor perlakuan yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada α= 5%

PerlakuanJumlah gabah isi

per malai (butir)

Jumlah gabah hampa per malai

(butir)

Persentase gabah hampa per malai

(%)

Bobot 1,000 butir (g)

Dosis pemupukan N (kg N ha-1)0 76.4b 49.1b 40.1 23.750 82.0ab 56.2ab 40.4 22.775 89.9ab 62.1ab 40.9 23.3100 94.8a 71.7a 42.3 23.2

Jenis bakteriTanpa bakteri 76.0b 55.8 42.4 23.6Azotobacter-like 90.5ab 65.6 41.5 23.2Azospirillum-like 83.2ab 60.4 42.3 22.9Konsorsium 93.4a 57.2 37.5 23.2

Tabel 4. Pengaruh dosis pemupukan N dan jenis bakteri terhadap jumlah gabah isi, hampa, persentase gabah hampa per malai, dan bobot 1,000 butir

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan faktor perlakuan yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada α= 5%

Page 12: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 96 - 102 (2014)

Ida Widiyawati, Sugiyanta, Ahmad Junaedi, dan Rahayu Widyastuti100

nyata terhadap kandungan N, tetapi jenis bakteri berpengaruh nyata terhadap kandungan N (tajuk dan gabah). Interaksi antara dosis pemupukan N dan jenis bakteri tidak berpengaruh nyata terhadap parameter tersebut (Tabel 5).

Penurunan dosis pemupukan N sampai 25% dosis rekomendasi tidak menurunkan kehijauan daun, sedangkan penurunan 50% dosis rekomendasi tidak menurunkan serapan N tanaman. Pemupukan N menyebabkan peningkatan kehijauan daun dan serapan N dibandingkan tanpa pemupukan N. Peningkatan dosis pemupukan N akan meningkatkan kandungan klorofil daun sehingga akan membuat bagian tanaman menjadi lebih hijau. Serapan hara N oleh tanaman padi salah satunya dipengaruhi oleh faktor ketersediaan unsur hara N. Semakin tinggi nilai serapan N tanaman, maka semakin tinggi pula kandungan N dalam tanaman. Tingginya serapan N gabah dibandingkan tajuk diduga karena kemampuan tanaman dalam mentranslokasikan N dari organ vegetatif ke generatif.

Pemberian bakteri pada media tanam memperbesar kemungkinan meningkatnya ketersediaan N karena peran bakteri dalam membantu penyediaan hara tanaman yaitu sebagai penambat N. Peubah kehijauan daun, kandungan, dan serapan N lebih tinggi pada pemberian konsorsium bakteri dibandingkan tanpa bakteri. Hal tersebut menunjukkan konsorsium bakteri berpotensi meningkatkan peubah tersebut. Menurut Lestari et al. (2007), Azospirillum menghasilkan hormon IAA yang berpengaruh terhadap panjang akar padi, mempermudah serapan hara. Konsorsium bakteri lebih meningkatkan dibandingkan jenis tunggal, karena kombinasi isolat bakteri dapat mengaktivasi dan meningkatkan kinerja bakteri lain yang diaplikasi bersamaan.

Efektivitas Agronomi dan Bobot Gabah per Petak (g m-2)

Perlakuan dosis pemupukan N dan jenis bakteri berpengaruh nyata terhadap bobot gabah kering giling

per petak, tetapi interaksi antara dosis pemupukan N dan jenis bakteri tidak berpengaruh (Tabel 6). Bobot gabah per petak tertinggi pada dosis pemupukan 100 kg N ha-1, tetapi tidak berbeda nyata dengan 75 kg N ha-1. Bobot gabah per petak tertinggi pada konsorsium bakteri tetapi tidak berbeda nyata dengan tanpa bakteri dan Azospirillum-like, dan terendah pada Azotobacter-like. Azotobacter-like tunggal belum mampu meningkatkan bobot gabah per petak, tetapi berpotensi jika dikonsorsiumkan dengan Azospirillum-like. Jenis bakteri yang diaplikasikan belum terlihat pengaruhnya karena merupakan musim tanam pertama dan diduga bakteri yang diaplikasikan kalah bersaing dengan bakteri indigenous. Menurut Simanungkalit et al. (2006), perbedaan jumlah N yang ditambat bakteri dan perkembangbiakannya tergantung kemampuannya bersaing dengan mikroba lain yang hidup. Selain itu diduga karena tertekan oleh genangan air, walaupun sudah dilakukan pengairan intermitten. Namun demikian, konsorsium bakteri berpotensi meningkatkan bobot gabah per petak.

Banyaknya anakan yang terbentuk akan meningkatkan jumlah gabah yang terbentuk pada malai, sehingga menyebabkan peningkatan bobot gabah per petak. Hasil fotosintat dan asimilat sebagian ditranslokasikan untuk pembentukan biji, sehingga semakin banyak fotosintat dan asimilat yang dihasilkan, kemungkinan translokasi fotosintat dan asimilat untuk pembentukan biji semakin tinggi. Menurut Khan et al. (2009), hasil gabah per petak berhubungan dengan hasil gabah per tanaman.

Efektivitas agronomi relatif (EAR) adalah perbandingan antara kenaikan hasil karena penggunaan suatu pupuk dengan kenaikan hasil penggunaan pupuk standar dikalikan 100 (Suriadikarta et al., 2004). Nilai EAR penelitian ini dihitung dari peubah bobot gabah per petak (Tabel 7). Pupuk dinyatakan efektif secara agronomi apabila memiliki nilai EAR>100, yang berarti pupuk tersebut dapat meningkatkan hasil lebih besar dibandingkan dengan peningkatan hasil pupuk pembanding terhadap kontrol.

PerlakuanKehijauan daun Kandungan N

(% g-1)Serapan N tanaman

(%)Vegetatif Generatif Tajuk Gabah Tajuk Gabah

Dosis pemupukan N (kg N ha-1)0 39.5c 36.9b 2.03 2.20 29.3b 32.6b50 39.6bc 38.3b 2.07 2.43 48.4a 50.5a75 40.9ab 40.6a 2.01 2.52 47.0a 62.6a100 41.9a 40.4a 2.13 2.46 53.1a 56.6a

Jenis bakteriTanpa bakteri 39.0b 37.1c 1.97b 2.41ab 43.2b 55.9abAzotobacter-like 40.8a 39.1b 1.70b 2.15b 32.2b 36.9cAzospirillum-like 40.4a 39.4ab 1.97b 2.35b 40.8b 47.4bcKonsorsium 41.6a 40.7a 2.61a 2.70a 61.6a 61.7a

Tabel 5. Pengaruh dosis pemupukan nitrogen dan jenis bakteri terhadap kehijauan daun, kandungan N, dan serapan N tanaman

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan faktor perlakuan yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada α= 5%

Page 13: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 96 - 102 (2014)

Peran Bakteri Penambat Nitrogen...... 101

Perlakuan dosis pemupukan 75 kg N ha-1 dan konsorsium bakteri efektif secara agronomi karena menghasilkan nilai EAR>100. Perlakuan 75 kg N ha-1 dan konsorsium bakteri dikatakan efektif karena meningkatkan hasil hingga 1.17 kali lipat (117.01%) dibandingkan peningkatan hasil oleh perlakuan pembanding terhadap kontrol.

KESIMPULAN

Dosis pemupukan N berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah anakan, bobot kering tajuk dan akar, jumlah gabah per malai (isi dan hampa), kehijauan daun, serapan N tanaman, dan bobot gabah per petak. Jenis bakteri berpengaruh nyata terhadap bobot kering akar, jumlah gabah isi per malai, kehijauan daun, serapan dan kandungan N (tajuk dan gabah), bobot gabah per petak. Konsorsium bakteri mampu mengurangi 25% penggunaan pupuk N anorganik dari dosis rekomendasi (100 kg N ha-1) berdasarkan pada efektivitas agronomi relatif.

DAFTAR PUSTAKA

Akbari, Gh. A., S.M. Arab, H.A. Alikhani, I. Allahdadi, M.H. Arzanesh. 2007. Isolation and selection of indigenous Azospirillum spp. and IAA of Superior strain on wheat roots. World J. Agric. Sci. 3:523-529.

Eckert, B., O.B. Weber, G. Kirchhof, A. Halbritter, M. Stoffels, A. Hartmann. 2001. Azospirillum doebereinerae sp. nov., A nitrogen-fixing bacterium associated with the C4-grass Miscanthus. International J. of Systematic and Evolutionary Microbiology 51:17-26.

Endrizal, J. Bobihoe. 2004. Efisiensi Penggunaan Pupuk Nitrogen dengan Penggunaan Pupuk Organik pada Tanaman Padi Sawah. J. Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 7:118-124.

Ekawati, I., Syekhfani. 2005. Dekomposisi tajuk padi oleh biakan campuran bakteri selulolisis dan penambat nitrogen. J. Pembangunan Pedesaan 5:120-128.

Gultom, J.M. 2008. Pengaruh pemberian beberapa jamur antagonis dengan berbagai tingkat konsentrasi untuk menekan perkembangan jamur Phytium sp. penyebab rebah kecambah pada tanaman tembakau (Nicotiana tabaccum L). http://repository.usu.ac.id.pdf [9 Januari 2013].

Hindersah, R., S. Tualar. 2004. Potensi rizobakteri Azotobacter dalam meningkatkan kesehatan tanah. J. Natur Indonesia 5:127-133.

Isminarni, F., S. Wedhastri, J. Widada, B.H. Purwanto. 2007. Penambatan nitrogen dan penghasilan indol asam asetat oleh isolat-isolat Azotobacter pada pH rendah dan aluminium tinggi. J. Ilmu Tanah dan Lingkungan. 7:23-30.

Khan, A.S., M. Imran, M. Ashfaq. 2009. Estimation of genetic variability and correlation for grain yield component in rice (Oryza sativa L.). J. Agric. Environ. Sci. 6:585-590.

Perlakuan Bobot gabah per petak (g m-2)

Dosis pemupukan N (kg N ha-1)0 236c50 314b75 409a100 401a

Jenis bakteriTanpa bakteri 347abAzotobacter-like 282bAzospirillum-like 347abKonsorsium 384a

Tabel 6. Pengaruh dosis pemupukan nitrogen dan jenis bakteri terhadap bobot gabah kering panen per petak

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan faktor perlakuan yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada α= 5%

Perlakuan Nilai efektivitas agronomi relatif (%)

Kontrol (N0B0) 0Pembanding (N3B0) 100.00 + Azotobacter-like -20.60 + Azospirillum-like 25.00 + konsorsium 34.650 + tanpa bakteri 53.550 + Azotobacter-like 29.150 + Azospirillum-like 20.550 + konsorsium 77.975 + tanpa bakteri 88.775 + Azotobacter-like 51.575 + Azospirillum-like 99.275 + konsorsium 117.0100 + Azotobacter-like 64.0100 + Azospirillum-like 97.2100 + konsorsium 79.7

Tabel 7. Nilai efektivitas agronomi relatif terhadap produksi (bobot gabah)

Keterangan: Dosis pemupukan N (0, 50, 75, 100 kg ha-1)

Page 14: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 96 - 102 (2014)

Ida Widiyawati, Sugiyanta, Ahmad Junaedi, dan Rahayu Widyastuti102

Lestari, P., D.N. Susilowati, E.I. Riyanti. 2007. Pengaruh hormon asam indol asetat yang dihasilkan Azospirillum sp. terhadap perkembangan akar padi. J. Agrobiogen. 3:66-72.

Lu, Y., X.J. Wang, H.C. Zhang, Z.Y. Huo, Q.G. Dai, K. Xu. 2008. A study on the yielding mechanism of different rice cultivars under-different planting density conditions. J. Agric. Sci. 1:18-20.

Munarso, Y.P. 2011. Keragaan hasil beberapa varietas padi hibrida pada beberapa teknik pengairan. J. Agron. Indonesia 39:147-152.

Razie, F., I. Anas. 2005. Potensi Azotobacter spp. (dari lahan pasang surut Kalimantan Selatan) dalam menghasilkan indole acetic acid (IAA). J. Tanah dan Lingkungan 7:35-39.

Ristiati, N.P., S. Muliadihardja, F. Nurlita. 2008. Isolasi dan identifikasi bakteri penambat nitrogen non simbiosis dari dalam tanah. J. Penelitian dan Pengembangan Sains & Humaniora. 2:68-80.

Setyawati, T. 2012. Dinamika Produksi Padi di Jawa Timur vs Target Surplus 10 Juta Ton Beras Nasional 2014. Seminar Nasional: Kedaulatan Pangan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura.

Simanungkalit, R.D.M., R. Saraswati, R.D. Hastuti, E. Husen. 2006. Bakteri Penambat Nitrogen, Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Penelitian Tanah, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

Suriadikarta, D.A., D. Setyorini, W. Hartatik. 2004. Petunjuk Teknis Uji Mutu dan Efektivitas Pupuk Alternatif Anorganik. Balai Penelitian Tanah, Puslitbangtanak, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

Swastika, D.K.S., Wargiono, J. Hasanuddin, A. 2007. Analisis kebijakan peningkatan produksi padi melalui efisiensi pemanfaatan lahan sawah di Indonesia. J. Analisis Kebijakan Pertanian 5:36-52.

Page 15: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 103 - 109 (2014)

Evaluasi Daya Simpan Benih..... 103

* Penulis untuk korespondensi. e-mail: [email protected]

PENDAHULUAN Kedelai merupakan salah satu bahan pangan yang

banyak dikonsumsi dan permintaannya sangat tinggi di Indonesia. Peningkatan produktivitas kedelai setiap tahunnya hanya sedikit. Salah satu penyebab rendahnya produksi

kedelai di Indonesia adalah belum dikuasainya teknologi produksi oleh petani dan sarana produksi yang mahal. Salah satu input produksi yang memperoleh perhatian besar dalam dekade terakhir adalah penggunaan inokulan mikroba yang mampu meningkatkan efisiensi pemupukan dan menekan penggunaan pupuk kimia sintesis (Goenadi et al., 1995). Cendawan mikoriza arbuskular (CMA) merupakan cendawan yang bersimbiosis dengan akar tanaman dan memiliki peran yang penting dalam penyerapan unsur hara.

Evaluasi Daya Simpan Benih Kedelai yang diberi Perlakuan Pelapisan Benih dengan Cendawan Mikoriza Arbuskula

Evaluation of Soybean Seed Storability Coated with Arbuscular Mycorrhizal Fungi

Raden Enen Rindi Manggung1, Satriyas Ilyas1*, dan Yenni Bakhtiar2

1Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Bogor Agricultural University), Jl. Meranti, Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680, Indonesia

2Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT, PUSPIPTEK, Serpong, Indonesia

Diterima 6 November 2013/Disetujui 22 Mei 2014

ABSTRACT The objective of this study was to evaluate the effect of seed coating with arbuscular mychorrhizal fungi (AMF) on

viability and vigor of soybean seeds during 6 month storage. This study consisted of two experiments conducted at ambient room and air-conditioned room from May through December 2011. The experiments were arranged in randomized complete block design with two factors. The first factor was seed coating i.e. untreated control and seed coating using AMF while the second factor was storage period i.e. 0, 1, 2, 3, 4, 5, and 6 months. Results of experiments showed that soybean seeds maintained the viability > 88% after 2 months stored in ambient room and >85% after 4 months stored in air-conditioned room. The viability of untreated and coated seeds did not show significant differences in both experiments. Untreated seeds indicated higher vigor either stored in ambient room (index vigor) or in air-conditoned room (speed of germination). Seeds coated with AMF showed the rate of increase in moisture content slower than the untreated ones during 6 month storage in ambient room. After 6 month storage in air-conditioned room, the coated seeds had lower moisture content than the untreated. The viability of AMF spores coated on seeds was maintained during 6 month storage in both experiments.

Keyword: seed storage, storage room, storage period, viability, vigor

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh pelapisan benih dengan cendawan mikoriza arbuskula (CMA)terhadap viabilitas dan vigor benih kedelai selama penyimpanan 6 bulan. Penelitian terdiri atas dua percobaan suhu ruang simpan berbeda yaitu suhu kamar dan AC, yang dilaksanakan pada bulan Mei hingga Desember 2011. Kedua percobaan menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak yang terdiri atas dua faktor. Faktor pertama adalah pelapisan benih yaitu tanpa pelapisan (kontrol) dan pelapisan benih dengan CMA, sedangkan faktor kedua adalah periode simpan 0, 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa benih kedelai yang disimpan pada suhu kamar mampu mempertahankan viabilitas > 88% hingga periode simpan 2 bulan, sedangkan pada suhu AC > 85% hingga periode simpan 4 bulan. Viabilitas benih kontrol dan benih yang dilapisi CMA tidak berbeda nyata pada kedua percobaan. Benih yang tidak dilapisi CMA menunjukkan vigor benih yang lebih tinggi, baik yang disimpan pada suhu kamar (tolok ukur indeks vigor) maupun pada suhu AC (tolok ukur kecepatan tumbuh). Benih yang dilapisi dengan CMA menunjukkan laju peningkatan kadar air yang lebih lambat dibandingkan kontrol selama penyimpanan 6 bulan pada suhu kamar. Kadar air benih yang dilapisi CMA lebih rendah dibanding kontrol setelah disimpan selama 6 bulan pada suhu AC. Viabilitas spora CMA yang dilapiskan pada benih kedelai dapat dipertahankan selama penyimpanan 6 bulan pada kedua percobaan.

Kata kunci: penyimpanan benih, periode simpan, ruang simpan, viabilitas, vigor

Page 16: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 103 - 109 (2014)

104 Raden Enen Rindi Manggung, Satriyas Ilyas, dan Yenni Bakhtiar

Menurut Musfal (2010) CMA dapat mengefisienkan penggunaan pupuk terbukti dengan penggunaan 50% pupuk NPK dan CMA 15 g tanaman-1 memberikan hasil 9.40 ton ha-1 jagung yang tidak berbeda nyata dengan pemberian 100% pupuk NPK. Kecepatan masuknya hara P ke dalam hifa CMA dapat mencapai enam kali lebih cepat pada akar tanaman yang terinfeksi CMA dibandingkan dengan yang tidak terinfeksi CMA (Bolan, 1991). Menurut Zuhri dan Puspita (2008) pemberian CMA dengan dosis 40 g tanaman-1 pada tanah podsolik merah kuning dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi kedelai. Cendawan ini juga dapat meningkatkan ketahanan tanaman kedelai terhadap cekaman kekeringan terlihat dengan meningkatnya bobot biji kering pada genotipe Lokon sebesar 76.42%, Sindoro sebesar 36.68% dan MLG 3474 sebesar 34.21% (Hapsoh et al., 2005).

Khodijah (2009) memanfaatkan teknik invigorasi pelapisan benih kedelai untuk mengaplikasikan inokulum CMA di lapangan agar lebih efisien dalam waktu, tenaga dan biaya. Bahan pelapis (gambut-gipsum) dan perekat (tapioka) digunakan sebagai agens pembawa inokulum spora CMA yang akan dilapiskan pada benih kedelai. Penyediaan benih bermikoriza sebelum tanam mempermudah dalam proses transportasi. Hasil penelitian Rahayu (2010) menunjukkan bahwa pelapisan benih dengan bahan perekat tapioka 5% dan bahan pelapis gambut-gipsum (50:50) dengan CMA yang dikombinasikan dengan dosis pemupukan 100 kg SP 18 ha-1 mampu meningkatkan produktivitas kedelai varietas Wilis sampai dengan 3.97 ton ha-1 lebih tinggi dibandingkan kombinasi pemberian pupuk dosis 400 kg SP 18 ha-1 tanpa aplikasi CMA yang hanya mencapai 3.76 ton ha-1.

Besarnya manfaat CMA dalam meningkatkan produktivitas kedelai, sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai daya simpan benih kedelai yang telah dilapisi CMA. Pengadaan benih kedelai bermikoriza untuk musim tanam berikutnya mengharuskan dilakukannya penyimpanan benih. Benih kedelai cepat sekali mengalami penurunan viabilitas dan vigor terutama apabila disimpan pada kondisi simpan yang kurang optimum, selain itu jumlah dan viabilitas spora CMA harus tetap tinggi pada saat diaplikasikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh pelapisan benih dengan CMA terhadap viabilitas dan vigor benih kedelai serta viabilitas spora CMA setelah penyimpanan.

BAHAN DAN METODE Penelitian ini terdiri atas dua percobaan suhu ruang

simpan (kamar dan AC), masing-masing menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT) dua faktor, yaitu perlakuan pelapisan benih (tanpa pelapisan dan pelapisan benih dengan CMA) dan periode simpan (0, 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 bulan). Data hasil percobaan dianalisis menggunakan uji F dengan uji lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf nyata 5%.

Tahapan percobaan dimulai dengan membersihkan permukaan benih kedelai (varietas Wilis) menggunakan kertas merang lembab, kemudian dikering-anginkan

menggunakan kipas angin selama 15 menit. Inokulum CMA yang digunakan berupa spora dengan spesies Glomus sp. yang kerapatannya dihitung dengan mengambil sampel zeolit berisi spora CMA sebanyak 0.1 gram, kemudian dihitung jumlah spora di bawah mikroskop stereo. Jumlah spora CMA yang diaplikasikan pada benih ditentukan sebanyak 50 spora per benih. Benih dilapisi dengan bahan perekat yang dicampur dengan zeolit sebagai pembawa spora CMA, kemudian diberi bahan pelapis gambut dan gipsum. Proses pelapisan benih (benih : perekat : pelapis adalah 10 : 1 : 1) dilakukan di dalam drum granulator yang telah dimodifikasi selama 20-30 menit. Benih yang telah terlapisi oleh bahan pelapis, kemudian dilapisi kembali dengan gipsum, selanjutnya dikering-anginkan selama 7 hari pada suhu kamar (28-30 °C) hingga kadar air ± 9%. Untuk memastikan jumlah spora yang menempel pada benih adalah sebanyak 50 spora, maka dilakukan penghitungan jumlah spora CMA dengan mengambil sampel benih sebanyak 10 ulangan masing-masing dua butir untuk satu ulangan, kemudian dihitung jumlah spora di bawah mikroskop stereo.

Benih yang telah dilapisi CMA dikemas dengan plastik polypropylene sebanyak 200 butir tiap kemasan. Penyimpanan benih dilakukan pada suhu AC (17-18 °C) dan suhu kamar (27-29 °C) di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih IPB selama 6 bulan. Pengecambahan benih dilakukan dengan menggunakan media tanam campuran kompos dan arang sekam (1 : 1) di rumah kaca Kebun Percobaan Cikabayan IPB selama 8 hari dengan rata-rata suhu selama perkecambahan adalah 21.8-36 °C. Pengamatan dilakukan terhadap tolok ukur daya berkecambah (DB), kecepatan tumbuh (KCT), indeks vigor (IV), keserempakan tumbuh (KST), dan waktu untuk mencapai 50% dari perkecambahan total (T50). Pengujian viabilitas CMA menggunakan modifikasi metode Azcón-Aguilar. Spora CMA disterilisasi dengan dua tahap yaitu sterilisasi spora di dalam larutan chloramine-T (2%) dan Tween 20 (0.05%) selama 2 menit, kemudian dalam larutan streptomycin (200 mg L-1) dan gentamycin (100 ml L-1) selama 10 menit. Spora diletakkan di atas media bacto agar dalam cawan petri dan diinkubasi pada suhu kamar selama 16 hari, kemudian dihitung persentase perkecambahan spora menggunakan mikroskop konfokal.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penyimpanan pada Suhu Kamar Kadar air benih setelah disimpan selama 6 bulan pada

suhu kamar mengalami peningkatan (Tabel 1). Hal ini diduga karena kondisi ruang simpan selama penelitian memiliki suhu dan kelembaban udara yang berfluktuatif (suhu pagi hari 27-28 °C dengan RH 70-85%, suhu sore hari 28-29 °C dengan RH 60-90%), serta benih yang bersifat higroskopis. Kadar air pada perlakuan pelapisan benih dengan CMA lebih rendah dibandingkan kontrol setelah disimpan selama 6 bulan yaitu sebesar 9.5%. Hal ini diduga karena bahan pelapis gambut-gipsum yang digunakan pada penelitian mampu menahan masuknya uap air ke dalam benih.

Page 17: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 103 - 109 (2014)

Evaluasi Daya Simpan Benih..... 105

Viabilitas dan vigor benih kedelai telah mengalami penurunan setelah disimpan selama 6 bulan pada suhu kamar (Tabel 2). Nilai daya berkecambah maupun keserempakan tumbuh masih tinggi (> 85%) hingga periode simpan 2 bulan, kemudian menurun hingga akhir periode penyimpanan. Hal ini diduga karena benih kedelai mengalami kemunduran seiring berjalannya waktu yang ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah kecambah abnormal. Penyimpanan benih kedelai pada suhu tinggi menyebabkan aktivitas respirasi meningkat, sehingga panas dan uap air yang dihasilkan dapat menyebabkan viabilitas dan vigor benih menurun. Vigor benih yang turun juga ditandai dengan kebocoran membran sel pada benih tinggi. Menurut Purwanti (2004) kebocoran membran sel akibat kemunduran menyebabkan penurunan vigor dipercepat, semakin lama benih disimpan semakin bertambah tua sel-sel dalam benih.

Indeks vigor benih kedelai mengalami penurunan hingga akhir periode simpan 6 bulan dari semula 88.6% menjadi 18.1% (Tabel 2). Nilai rata-rata indeks vigor benih

yang dilapisi CMA (55.8%) lebih rendah dibandingkan kontrol (61.6%). Kekerasan bahan pelapis gipsum diduga dapat memperlambat munculnya kecambah. Menurut Palupi et al. (2012) formula coating alginat 3% + gipsum 1% yang digunakan untuk melapisi benih padi merupakan formula yang paling menunjukkan pengaruh negatif terhadap mutu coated seed dilihat dari indeks vigor yakni hanya 20%. Hal ini diduga karena setelah pengeringan formula alginat 3% + gipsum 1% yang terbentuk cukup keras, akibatnya radikula sulit untuk menembus bahan coating sehingga indeks vigor benih menjadi menurun, dan waktu untuk tumbuh menjadi lebih lama dibandingkan tanpa coating.

Nilai kecepatan tumbuh tertinggi pada perlakuan kontrol sebelum disimpan yaitu sebesar 23.3% etmal-1 kemudian mengalami penurunan hingga akhir periode simpan 6 bulan (Tabel 3). Menurut Tatipata (2010) peningkatan kadar air dalam penyimpanan menyebabkan peningkatan asam lemak bebas yang menyebabkan daya berkecambah dan kecepatan tumbuh benih kedelai menurun. Hasil penelitian Hartawan et al. (2011) menunjukkan bahwa

Perlakuan benihPeriode simpan (bulan)

Rata-rata0 1 2 3 4 5 6

Kontrol 8.8 9.4 9.6 9.7 9.7 11.4 11.1 10.0aPelapisan benih dengan CMA 8.8 9.7 9.3 9.2 9.2 10.5 9.9 9.5bRata-rata 8.8b 9.5b 9.5b 9.4b 9.4b 10.9a 10.5a

Tabel 1. Pengaruh pelapisan benih dan periode simpan terhadap kadar air benih kedelai (%) pada suhu kamar

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom atau baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5% dengan KK = 6.37%

Perlakuan benihPeriode simpan (bulan)

Rata-rata0 1 2 3 4 5 6

.....................................Daya berkecambah (%).....................................Kontrol 97.6 92.3 91.0 77.0 70.3 54.6 44.0 75.2Pelapisan benih dengan CMA 96.6 82.9 85.0 80.6 73.6 56.6 46.0 74.5Rata-rata 97.1a 87.6b 88.0b 78.8c 72.0c 55.6d 45.0e

........................................Indeks vigor (%)...........................................Kontrol 93.0 85.6 79.6 67.0 65.0 24.0 17.3 61.6aPelapisan benih dengan CMA 84.3 62.4 73.0 75.0 59.6 17.3 19.0 55.8bRata-rata 88.6a 74.0b 76.3b 71.0bc 62.3c 20.6d 18.1d

....................................Keserempakan tumbuh (%)....................................Kontrol 97.0 91.3 90.0 75.6 69.3 47.6 35.3 72.3Pelapisan benih dengan CMA 95.0 81.6 83.6 79.6 73.6 46.6 39.3 71.3Rata-rata 96.0a 86.4b 86.8b 77.6c 71.5c 47.1d 37.3e

Tabel 2. Pengaruh pelapisan benih dan periode simpan terhadap daya berkecambah (%), indeks vigor (%), dan keserempakan tumbuh (%) benih kedelai pada suhu kamar

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom atau baris yang sama pada setiap tolok ukur menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5%; KK = 9.23% untuk tolok ukur daya berkecambah; KK = 13.24% indeks vigor; KK = 9.34% keserempakan tumbuh

Page 18: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 103 - 109 (2014)

106 Raden Enen Rindi Manggung, Satriyas Ilyas, dan Yenni Bakhtiar

kecepatan tumbuh benih kedelai setelah disimpan 90 hari pada suhu kamar berhubungan dengan persentase cadangan makanan dan kualitas benih lainnya.

Perlakuan kontrol secara nyata menghasilkan waktu untuk mencapai 50 % dari total perkecambahan benih (T50) lebih singkat dibandingkan benih yang telah dilapisi dengan CMA hingga periode simpan 2 bulan (Tabel 4). Semakin rendah nilai T50 menunjukkan semakin tinggi kecepatan tumbuh benih. Pada periode simpan 3 hingga 6 bulan tidak ada perbedaan yang nyata T50 antara kontrol dan benih yang dilapisi CMA. Hal ini diduga pada periode simpan 3 hingga 6 bulan vigor benih telah mengalami kemunduran terlihat pada tolok ukur indeks vigor dan keserempakan tumbuh benih yang juga mengalami penurunan (Tabel 2).

Viabilitas spora CMA yang dilapisi pada benih selama penyimpanan pada suhu kamar perlu diketahui. Menurut Direktorat Jenderal Perkebunan (2010) inokulum CMA dengan bahan pembawa (carrier) zeolit dapat disimpan selama 12-18 bulan dan kemampuan CMA menginfeksi dan mengkolonisasi akar tanaman tetap tinggi. Viabilitas CMA dihitung berdasarkan persentase spora yang berkecambah. Menurut Mathius et al. (2007) perkecambahan spora berperan penting dalam infeksi akar karena menghasilkan pertumbuhan hifa yang akan membantu akar tanaman menyerap hara, memperbanyak infeksi akar, dan perbanyakan CMA. Selama periode simpan 6 bulan pada suhu kamar terjadi penurunan persentase perkecambahan spora CMA meskipun tidak berbeda nyata dengan sebelum simpan (Tabel 5). Penurunan persentase perkecambahan spora CMA diduga spora membutuhkan waktu untuk berkecambah yang berkaitan dengan sifat dormansi. Menurut Widiastuti dan Sukarno (2005) spora CMA memiliki beberapa kelemahan, yaitu memerlukan waktu untuk perkecambahan dan spora memiliki sifat dorman pada beberapa spesies. Dalpé et al. (2005) menyatakan bahwa perkecambahan spora Glomus sp. membutuhkan waktu beberapa hari hingga 6 bulan untuk berkecambah dengan rata-rata perkecambahan spora paling rendah sebesar 2-10%.

Penyimpanan pada Suhu AC Kadar air benih kontrol mengalami peningkatan dari

semula 9.0% menjadi 10.7% pada akhir penyimpanan 6 bulan (Tabel 6). Kadar air benih yang dilapisi CMA tidak berbeda nyata baik sebelum maupun setelah disimpan selama 6 bulan. Pada awal penyimpanan kadar air perlakuan pelapisan benih dengan CMA nyata lebih tinggi dibanding kontrol. Hal ini diduga karena setelah proses pelapisan benih, pengeringan yang dilakukan kurang sempurna sehingga kandungan air benih maupun bahan pelapis belum menguap secara maksimal. Kadar air perlakuan pelapisan benih dengan CMA pada akhir periode simpan nyata lebih rendah dibanding kontrol. Hal ini diduga karena bahan pelapis gambut-gipsum yang mampu mempertahankan kadar air benih selama penyimpanan. Bahan pelapis gambut dapat menahan air, selain itu dalam keadaan kering bersifat hidrofobik (sulit menyerap air).

Pada awal penyimpanan hingga periode simpan 4 bulan penurunan viabilitas dan vigor benih tidak berbeda nyata, kemudian mengalami penurunan yang nyata hingga akhir periode simpan 6 bulan (Tabel 7). Daya berkecambah benih kedelai masih tinggi (>85%) hingga periode simpan 4 bulan. Pada suhu rendah respirasi berjalan lambat dibanding suhu tinggi, sehingga viabilitas benih dapat dipertahankan lebih lama. Menurut Indartono (2011) pada suhu rendah dihasilkan daya berkecambah benih kedelai yang lebih baik dan konstan dibandingkan suhu kamar. Aktivitas enzim pada suhu rendah terutama enzim respirasi dapat ditekan, kematian sel-sel meristematis, dan menurunnya cadangan makanan serta degradasi enzim dapat diperlambat sehingga viabilitas benih lebih tinggi.

Benih kedelai yang dilapisi CMA menghasilkan nilai kecepatan tumbuh (17.1% etmal-1) yang lebih rendah dibanding kontrol (18.8% etmal-1). Hal ini diduga karena bahan pelapis (gambut-gipsum) yang melapisi benih tidak larut sempurna ketika terkena air karena butiran granul yang terlalu keras, sehingga menghambat proses perkecambahan

Perlakuan benihPeriode simpan (bulan)

0 1 2 3 4 5 6Kontrol 23.3a 20.7abc 21.1ab 17.7c-f 16.0f 11.0g 7.9gPelapisan benih dengan CMA 20.3a-d 16.2ef 17.1def 19.4b-e 16.2ef 10.1g 8.4g

Tabel 3. Pengaruh interaksi pelapisan benih dan periode simpan terhadap kecepatan tumbuh benih kedelai (% etmal-1) pada suhu kamar

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5%; KK = 10.94%

Perlakuan benihPeriode simpan (bulan)

0 1 2 3 4 5 6Kontrol 3.7d 3.9d 3.7d 3.8d 3.8d 5.2b 5.5bPelapisan benih dengan CMA 4.3c 4.7c 4.5c 3.6d 3.8d 5.9a 5.3b

Tabel 4. Pengaruh interaksi pelapisan benih dan periode simpan terhadap T50 benih kedelai (hari) pada suhu kamar

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5% dengan KK = 5.08%

Page 19: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 103 - 109 (2014)

Evaluasi Daya Simpan Benih..... 107

dengan periode simpan terhadap kecepatan tumbuh benih. Kecepatan tumbuh benih masih tinggi dan tidak berbeda nyata sampai periode simpan 4 bulan, kemudian mengalami penurunan pada periode simpan 5 dan 6 bulan.

Selama penyimpanan nilai indeks vigor mengalami penurunan dari semula 85.3% menjadi 24.8% hingga akhir periode simpan (6 bulan). Menurut Tatipata et al. (2004) benih kedelai cepat mengalami kemunduran dalam penyimpanan karena kandungan lemak dan protein yang relatif tinggi sehingga perlu ditangani secara serius sebelum simpan. Penurunan nilai keserempakan tumbuh tidak berbeda nyata hingga periode simpan 4 bulan, sedangkan pada periode simpan 5 dan 6 bulan penurunannya nyata. Hal ini diduga karena terjadinya peningkatan kadar air benih (lihat Tabel 6), sehingga mempercepat kemunduran benih.

Nilai T50 kontrol maupun benih yang dilapisi CMA mengalami peningkatan yang nyata dari sebelum simpan dan setelah benih disimpan selama 6 bulan (Tabel 8). Menurut Tatipata et al. (2004) terlambatnya perkecambahan benih berkaitan dengan penurunan aktivitas suksinat

Perlakuan benihPeriode simpan (bulan)

0 1 2 3 4 5 6Kontrol 9.0de 8.4e 8.4e 8.4e 8.6de 9.7bc 10.7aPelapisan benih dengan CMA 9.6bc 9.2cd 8.8de 8.4e 9.0de 9.6bc 9.9b

Tabel 6. Pengaruh interaksi pelapisan benih dan periode simpan terhadap kadar air benih kedelai (%) pada suhu AC

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris maupun kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5% dengan KK = 3.56%

Perlakuan benihPeriode simpan (bulan)

Rata-rata0 1 2 3 4 5 6

................................................Daya berkecambah (%)................................................Kontrol 95.7 97.3 88.3 85.0 81.6 67.0 51.6 80.9Pelapisan benih dengan CMA 96.3 80.7 91.1 87.3 89.0 65.0 49.6 79.8Rata-rata 96.0a 89.0a 89.7a 86.1a 85.3a 66.0b 50.6c

..............................................Kecepatan tumbuh (% etmal-1).......................................Kontrol 21.2 23.5 20.9 20.6 20.0 14.7 10.5 18.8aPelapisan benih dengan CMA 20.2 15.5 19.2 20.9 21.1 13.0 9.9 17.1bRata-rata 20.7a 19.5a 20.1a 20.8a 20.5a 13.9b 10.2c

................................................Indeks vigor (%)................................................Kontrol 87.3 90.3 80.7 81.7 77.7 40.3 23.6 68.8Pelapisan benih dengan CMA 83.3 52.0 83.9 79.3 79.3 39.0 26.0 63.2Rata-rata 85.3a 71.1a 82.3a 80.5a 78.5a 39.6b 24.8c

..............................................Keserempakan tumbuh (%)............................................Kontrol 95.3 97.0 87.6 84.3 81.6 61.6 43.6 78.7Pelapisan benih dengan CMA 95.0 78.6 90.1 86.0 87.3 55.0 43.6 76.5Rata-rata 95.1a 87.8a 88.9a 85.1a 84.5a 58.3b 43.6c

Tabel 7. Pengaruh pelapisan benih dan periode simpan terhadap daya berkecambah (%), kecepatan tumbuh (% etmal-1), indeks vigor (%), dan keserempakan tumbuh (%) benih kedelai pada suhu AC

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom atau baris yang sama pada setiap tolok ukur menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5% dengan KK = 12.06% untuk tolok ukur daya berkecambah, KK = 13.64% kecepatan tumbuh, KK = 17.69% indeks vigor, dan KK = 12.99% keserempakan tumbuh

Periode simpan Persentase perkecambahan (%)

0 bulan 75.01 bulan 70.82 bulan 83.33 bulan 83.34 bulan 91.65 bulan 70.86 bulan 62.5

Tabel 5. Pengaruh periode simpan pada suhu kamar terhadap persentase perkecambahan spora CMA

terutama proses pemunculan plumula. Oleh karena itu, ketika benih telah terlapisi oleh bahan pelapis gambut-gipsum sebaiknya tidak dilakukan pelapisan kembali dengan gipsum. Tidak ada interaksi antara perlakuan pelapisan benih

Page 20: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 103 - 109 (2014)

108 Raden Enen Rindi Manggung, Satriyas Ilyas, dan Yenni Bakhtiar

dehidrogenase dan sitokrom oksidase yang menyebabkan laju respirasi menurun akibat peningkatan kadar air benih. Perlakuan kontrol menghasilkan benih dengan T50 lebih singkat dibanding perlakuan pelapisan benih dengan CMA pada periode simpan 1 dan 2 bulan, kemudian T50 kedua perlakuan tidak berbeda nyata hingga akhir periode simpan. Bahan pelapis yang terlalu keras diduga menghambat proses perkecambahan benih terutama pemunculan plumula.

Selama penyimpanan 6 bulan terjadi peningkatan persentase perkecambahan spora CMA walaupun tidak berbeda nyata dengan sebelum simpan (Tabel 9). Hal ini menunjukkan bahwa viabilitas spora CMA dapat dipertahankan selama penyimpanan 6 bulan. Menurut Irianto (2009) spora dapat bertahan lama sampai keadaan

lingkungan sekitarnya memungkinkan spora untuk berkecambah, sehingga proses kelangsungan hidup CMA tersebut dapat berkesinambungan. Adanya bahan perekat tapioka dan pelapis gambut-gipsum pada pelapisan benih diduga memberikan tambahan nutrisi bagi perkecambahan spora CMA selama penyimpanan. Menurut Bakhtiar (2002) spora CMA yang berkecambah akan menginfeksi dan mengkolonisasi akar berbagai spesies tanaman, namun tanaman yang lebih disukai CMA akan memperlihatkan respon kolonisasi akar maksimum. Rajapakse dan Miller (1992) menyatakan bahwa kriteria persentase CMA mengkolonisasi akar tanaman yaitu sangat rendah (< 5%), rendah (6-25%), sedang (26-50%), tinggi (51-75%), dan sangat tinggi (> 75%).

KESIMPULAN Perlakuan pelapisan benih kedelai dengan bahan

pelapis gambut-gipsum mampu mempertahankan kadar air benih selama penyimpanan dibandingkan tanpa pelapisan. Kadar air benih yang dilapisi gambut-gipsum setelah penyimpanan 6 bulan lebih rendah yaitu 9.9% (suhu kamar dan AC) dibandingkan benih tanpa pelapisan 11.1% (suhu kamar) dan 10.7% (suhu AC) dengan kadar air awal 8-9%. Bahan pelapis gambut-gipsum mampu menahan masuknya uap air ke dalam benih. Benih yang diberi pelapisan gambut-gipsum mampu mempertahankan viabilitas spora CMA tetap tinggi (>50%) selama penyimpanan 6 bulan baik pada suhu kamar maupun AC. Benih kedelai yang disimpan pada suhu kamar mampu mempertahankan daya berkecambah 88% hingga periode simpan 2 bulan, sedangkan pada suhu

AC 85% hingga periode simpan 4 bulan (daya berkecambah awal simpan 96-97%).

DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Y. 2002. Selection of vascular mycorrhiza (VAM) fungi, host plants, and spore numbers for producing inoculums. Jurnal Biosains dan Bioteknologi Indonesia 2:36-40.

Bolan, N.S. 1991. A critical review on the role of mycorrhizal fungi in the uptake of phosphorus by plants. Plant Soil 134:189-207.

Dalpé, Y., F.A. De Souza, S. Declerck. 2005. Life cycle of Glomus species in monoxenic culture, p. 49-71. In S. Declerck, D.G. Strullu, J.A. Fortin (Eds.). In Vitro Culture of Mycorrhizas. Springer. Berlin.

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2010. Pengembangan Metode Formulasi Jamur Mikoriza. http://ditjenbun/deptan.go.id. [5 Febuari 2012].

Goenadi, D.H., R. Saraswati, N.N. Nganro, J.A.S. Adiningsih. 1995. Nutrient solubilizing and aggregate-stabilizing microbes isolate from selected humic tropic soil. Menara Perkebunan 63:133-185.

Hapsoh, S. Yahya, B.S. Purwoko, A.S. Hanafiah.2005. Hasil beberapa genotip kedelai yang diinokulasi MVA pada berbagai tingkat cekaman kekeringan tanah ultisol. Jurnal Ilmiah 40:77-83.

Perlakuan benihPeriode simpan (bulan)

0 1 2 3 4 5 6Kontrol 4.1d 3.6e 3.6e 3.6e 3.6e 4.3cd 5.4aPelapisan benih dengan CMA 4.3cd 4.7bc 4.4cd 3.6e 3.6e 4.7bc 5.0ab

Tabel 8. Pengaruh interaksi pelapisan benih dan periode simpan terhadap T50 benih kedelai (hari) pada suhu AC

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5% dengan KK = 6.37%

Periode simpan Persentase perkecambahan (%)0 bulan 50.21 bulan 75.02 bulan 66.63 bulan 83.34 bulan 75.05 bulan 79.16 bulan 62.5

Tabel 9. Pengaruh periode simpan pada suhu AC terhadap persentase perkecambahan spora CMA

Page 21: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 103 - 109 (2014)

Evaluasi Daya Simpan Benih..... 109

Hartawan, R., Z.R. Djafar, Z.P. Negara, M. Hasmeda, Zulkarnain. 2011. Pengaruh panjang hari, asam indol asetat, dan fosfor terhadap tanaman kedelai dan kualitas benih dalam penyimpanan. J. Agron. Indonesia 39:7-12.

Indartono. 2011. Pengkajian suhu ruang penyimpanan dan teknik pengemasan terhadap kualitas benih kedelai. Gema Teknologi 16:158-163.

Irianto, R.S.B. 2009. Teknik produksi spora fungi mikoriza arbuskula Glomus etunicatum pada tanaman sorgum dan pueraria. Info Hutan 4:83-87.

Khodijah, S. 2009. Evaluasi efektivitas bahan perekat dan pelapis untuk pelapisan benih kedelai (Glycine max (L.) Merr) dengan cendawan mikoriza arbuskula. Skripsi. Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Mathius, N.T., S. Chalimah, M.L. Aznam, S. Haran. 2007. Kultur akar rambut in vitro serta pemanfaatan kultur ganda untuk pertumbuhan dan perkembangan endomikoriza (Gigaspora sp. dan Acaulospora sp.). Menara Perkebunan 75:20-31.

Musfal, 2010. Potensi cendawan mikoriza arbuskula untuk meningkatkan hasil tanaman jagung. Jurnal Litbang Pertanian 29:154-158.

Palupi, T., S. Ilyas, M. Machmud, E. Widajati. 2012. Pengaruh formula coating terhadap viabilitas dan vigor serta daya simpan benih padi (Oryza sativa L.). J. Agron. Indonesia 40:21-28.

Purwanti, S. 2004. Kajian suhu ruang simpan terhadap kualitas benih kedelai hitam dan kedelai kuning. Jurnal Ilmu Pertanian 11:22-31.

Rahayu, A.Y. 2010. Pengaruh perlakuan benih dengan cendawan mikoriza arbuskula dan dosis pupuk fosfat terhadap pertumbuhan tanaman dan hasil kedelai. Skripsi. Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Rajapakse, S., Jr.J.C. Miller. 1992. Methods for studying vesicular–arbuscular mycorrhizal root colonization and related root physical properties. Methods Microbiol 24:302-316.

Tatipata, A., P. Yudono, A. Purwantoro, W. Mangoendidjojo. 2004. Kajian aspek fisiologi dan biokimia deteriorasi benih kedelai dalam penyimpanan. Jurnal Ilmu Pertanian 11:76-87.

Tatipata, A. 2010. Perubahan asam lemak bebas selama penyimpanan benih kedelai dan hubungannya dengan viabilitas benih. J. Agron. Indonesia 38:30-35.

Widiastuti, H., N. Sukarno. 2005. Penggunaan spora cendawan mikoriza arbuskula sebagai inokulum untuk meningkatkan pertumbuhan dan serapan hara bibit kelapa sawit. Menara Perkebunan 73:26-34.

Zuhri, E., F. Puspita. 2008. Pemberian cendawan mikoriza arbuskula pada tanah podzolik merah kuning terhadap pertumbuhan dan poduksi kedelai (Glycine max (L.) Merril). Sagu 7:25-29.

Page 22: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 110 - 117 (2014)

110 Yaya Hasanah dan Nini Rahmawati

* Penulis untuk korespondensi. e-mail: [email protected]

Produksi dan Fisiologi Kedelai pada Kondisi Cekaman Kekeringan dengan Aplikasi Bradyrhizobium japonicum yang Diberi Penginduksi Genistein

Production and Physiological Characters of Soybean Under Drought Stress with the Application of Bradyrhizobium japonicum Induced by Genistein

Yaya Hasanah* dan Nini Rahmawati

Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara Jl. Prof. A. Sofyan No. 3 Kampus USU Medan 20155, Sumatera Utara, Indonesia

Diterima 2 Januari 2014/Disetujui 6 Juni 2014

ABSTRACT

Mutualism symbiosis between B. japonicum and soybean root is a complex case and managed by molecular signal exchange. Genistein is one of the main isoflavones in soybean root exudates which is responsive to nod gen induction in B. japonicum. Drought stress could give negative effect on the symbiosis. The aim of the research was to study the role of B. japonicum induced by genistein on production and physiological characters of soybean under drought stress. The experiment was conducted in a green house, Faculty of Agriculture, University of Sumatera Utara, using a randomized complete block design with three factors. The first factor was genistein induction, consisted of with and without genistein. The second factor was B. japonicum inoculation consisted of without B. japonicum, isolate 1, isolate 2 and isolate 3. The third factor was soil water content condition, consisted of 40%, 60% and 80% of field capacity. The parameters observed were shoot dry weight, root dry weight, net assimilation rate, dry weight per plant, 50 seeds weight and proline content. The result showed that increasing drought stress conditions decreased shoot dry weight, root dry weight, net assimilation rate, effective nodules number, seeds dry weight per plant and 50 seeds weight. The result showed that as an inducer of B. japonicum in drought stress condition, genistein reduced the effects of water stress on root nodulation of soybean. Proline acts as osmoregulator for increasing tolerance to drought stress in plants.

Keywords: drought, genistein, soybean, root nodulation

ABSTRAK

Simbiosis mutualisme antara B. japonicum dan akar kedelai merupakan hal kompleks dan terkoordinasi yang diatur oleh pertukaran sinyal molekul. Genistein merupakan jenis isoflavon utama pada eksudat akar kedelai yang responsif terhadap induksi gen nod pada B. japonicum. Kondisi cekaman kekeringan dapat berpengaruh negatif terhadap simbiosis tersebut. Tujuan percobaan untuk mengetahui peran B. japonicum yang diberi penginduksi genistein terhadap produksi dan fisiologis kedelai pada kondisi cekaman kekeringan. Percobaan dilakukan di rumah kaca Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara menggunakan Rancangan acak kelompok dengan tiga faktor dan tiga ulangan. Faktor pertama yaitu induksi genistein terdiri atas tanpa dan dengan induksi 50 µM genistein. Faktor kedua yaitu inokulasi B. japonicum terdiri atas tanpa B. japonicum, isolat 1, isolat 2 dan isolat 3. Faktor ketiga yaitu kondisi lengas tanah terdiri atas 40%, 60% dan 80% kapasitas lapang. Peubah yang diamati yaitu bobot kering tajuk, bobot kering akar, laju asimilasi bersih, bobot biji per tanaman, bobot kering 50 biji dan kandungan prolin daun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kondisi cekaman kekeringan menurunkan bobot kering akar, bobot kering tajuk, laju asimilasi bersih, jumlah bintil akar efektif, bobot kering biji per tanaman dan bobot 50 biji. Genistein sebagai penginduksi bagi B. japonicum pada kondisi cekaman kekeringan berperan dalam mereduksi efek cekaman air pada nodulasi bintil akar kedelai. Prolin berperan sebagai osmoregulator dalam meningkatkan toleransi terhadap cekaman kekeringan.

Kata kunci: genistein, kekeringan, kedelai, bintil akar

PENDAHULUAN

Kedelai merupakan legum yang dapat bersimbiose mutualistis dengan bakteri rhizobia. Simbiosis ini terlihat

dari terbentuknya bintil akar yang berisi bakteri Rhizobium yang mampu memfiksasi N2 dari atmosfer (Morgan et al., 2005). Kondisi lingkungan seperti suhu rendah, salinitas tinggi, pH rendah dan kekeringan dapat berpengaruh negatif terhadap simbiosis antara legum dan rhizobia (Napoles et al., 2009). Cekaman kekeringan merupakan faktor utama yang berpengaruh terhadap simbiosis dan menurunkan

Page 23: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 110 - 117 (2014)

Produksi dan Fisiologis Kedelai..... 111

pembentukan bintil akar, mengurangi ukuran bintil akar dan fiksasi N (Serraj and Sinclair, 2003; Streester, 2003; Tajima et al., 2004; Sinclair et al., 2007).

Simbiosis antara B. japonicum dan akar kedelai merupakan hal kompleks, terkoordinasi dan diatur oleh pertukaran sinyal molekul. Flavonoid, baik dalam eksudat akar maupun yang dilepaskan dari kulit biji saat perkecambahan, bertindak sebagai penginduksi gen spesifik untuk ekspresi nod (nodulation) gen dalam rhizobia yang kompatibel (Subramanian et al., 2006; Sugiyama et al., 2008; Brechenmacher et al., 2010). Genistein merupakan jenis isoflavon utama pada eksudat akar kedelai yang sangat penting dalam simbiosis antara legume dengan bakteri B. japonicum karena berperan sebagai penginduksi pada beberapa sistem nod gen bakteri (Kosslak et al., 1987; Dolatabadian et al., 2012; Lang et al., 2008). Sebagai hasilnya, bakteri memproduksi lipo-oligosakarida nod factors yang mempresisi struktur yang menentukan rentang inang dan spesifikasi asosiasi dan induksi respons tanaman sehingga pembentukan bintil akar menjadi lengkap (Geurts et al., 2005; Napoles, et al., 2009; Lee et al., 2012).

Penambahan genistein terhadap inokulan Bradyrhizobium telah terbukti meningkatkan jumlah dan bobot kering bintil akar serta fiksasi N pada kedelai pada suhu rendah (Zhang dan Smith, 1996). Duzan et al. (2004) telah mengevaluasi aktivitas biologis nod faktor dari B. japonicum yang ditambahkan ke akar kedelai di bawah stress abiotik, melaporkan bahwa penambahan level tinggi nod faktor mampu mengatasi efek pH yang rendah dan stres suhu, tetapi tidak untuk salinitas.

Penelitian peran B. japonicum yang diinduksi genistein pada kedelai dalam kondisi cekaman kekeringan belum banyak diteliti. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran B. japonicum yang diinduksi genistein pada produksi dan fisiologi kedelai dalam kondisi cekaman kekeringan.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2011 di rumah kaca Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan (USU). Analisis prolin daun dilakukan di Laboratorium Pengujian Litbang Pertanian Cimanggu Bogor. Sebelum penelitian dilakukan perbanyakan ketiga isolat B. japonicum di Laboratorium Biologi Tanah Fakultas Pertanian USU, masing-masing menggunakan media yeast extract manitol dalam labu 500 mL yang dikocok 150 rpm pada suhu ruangan selama 48 jam.

Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok yang terdiri atas 3 faktor dengan 3 ulangan. Faktor pertama yaitu perlakuan genistein terdiri atas (1) tanpa perlakuan genistein, (2) dengan perlakuan genistein (50 µM). Faktor kedua yaitu perlakuan B. japonicum terdiri atas (1) tanpa B. japonicum, (2) B. japonicum isolat 1 (3) B. japonicum isolat 2, dan (4) B. japonicum isolat 3. Faktor ketiga yaitu kondisi lengas tanah terdiri atas (1) 40%, (2) 60%, dan (3) 80% kapasitas lapang (KL). Dengan demikian terdapat 72 satuan percobaan.

Tanah untuk penelitian diambil dari lahan kering Desa Sambirejo, Kecamatan Binjei, Kabupaten Langkat. Sebelum tanam dilakukan pengapuran dengan dolomit 500 kg ha-1 dan diinkubasi selama 3 minggu. Sebanyak 10 kg tanah kering udara dimasukkan ke dalam polibag ukuran 30 cm x 40 cm. Polibag sebelumnya telah dialasi dengan plastik. Kedelai yang digunakan varietas Anjasmoro. Isolat B. japonicum yang digunakan merupakan isolat indigenous asal lahan kering Desa Sambirejo, penamaan kode isolat berdasarkan asal isolat di lahan kering. Inokulasi isolat B. japonicum dilakukan sesuai dengan perlakuan, dengan cara isolat dicampur dengan benih kedelai sesaat sebelum tanam di tempat teduh pada pagi hari. Isolat bakteri (kerapatan 108 sel mL-1) sebanyak 1 mL polibag-1 juga diberikan kepada tanah dalam polibag. Larutan genistein sebanyak 50 µM digunakan untuk pre-inkubasi bakteri. Genistein steril ditambahkan ke kultur bakteri B. japonicum 24 jam sebelum bakteri diinokulasi pada benih kedelai.

Benih kedelai yang telah dicampur isolat B. japonicum sesuai perlakuan ditanam pada polibag sebanyak 2 benih. Penjarangan dilakukan pada 1 minggu setelah tanam (MST) dengan cara menggunting tanaman yang pertumbuhannya kurang baik sehingga terdapat 1 tanaman per polibag. Penetapan kadar air tanah untuk menentukan bobot tanah kering udara yang akan dimasukkan ke dalam polibag dilakukan dengan metode pengeringan (Foth, 2004) sedangkan penetapan kadar air pada kapasitas lapang (KL) dilakukan dengan metode hidrometer Bouyoucos (Foth, 2004). Perlakuan 80% KL dilakukan sejak waktu tanam hingga panen. Pada perlakuan 60% dan 40% KL, pemberian air mula-mula sebanyak 80% KL dilakukan masing-masing sampai 4 MST, setelah itu, tanaman pada polibag disiram dengan volume tertentu sekali sehari untuk mempertahankan kadar air dalam pot hingga mencapai masing-masing perlakuan % KL kembali dengan metode penimbangan. Pemberian pupuk P dan K dengan dosis 150 kg P2O5 ha-1 dan 75 kg K2O ha-1 untuk semua tanaman pada saat tanam. Penyiangan dilakukan secara manual dengan mencabut gulma sesuai dengan kondisi lapangan. Pengendalian serangan hama dan penyakit dilakukan dengan pestisida organik berbahan aktif Azadirachtin, Ricin (asam ricin), Polifenol, Alkaloid, Sitral, Eugenol, Annonain, Nikotin, dengan konsentrasi 10 mL L-1 air, dilakukan sore hari pada 4, 6 dan 8 MST. Panen dilakukan setelah kedelai menunjukkan kriteria panen yaitu kulit polong telah berwarna kecoklatan dan batang serta daun telah mengering pada umur 82 hari setelah tanam (HST).

Peubah yang diamati terdiri atas bobot kering tajuk dan akar 6 MST (fase vegetatif akhir), laju asimilasi bersih, jumlah bintil akar efektif, bobot 100 biji kering, bobot biji per tanaman dan kandungan prolin daun. Bobot kering tajuk dan akar merupakan sampel destruktif dengan 3 ulangan sejumlah 1 tanaman setiap perlakuan di luar 3 ulangan yang menjadi tanaman sampel yang tidak didestruktif. Laju asimilasi bersih (LAB) adalah hasil bersih asimilasi (Gardner et al, 1991) dihitung pada 5-6 MST berdasarkan rumus:

Page 24: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 110 - 117 (2014)

112 Yaya Hasanah dan Nini Rahmawati

LAB =

Keterangan :LAB = Laju asimilasi bersihL1 = Luas daun pada pengamatan awal (cm2)L2 = Luas daun pada pengamatan akhir (cm2)W1 = Bobot kering tanaman pada pengamatan awal (g)W2 = Bobot kering tanaman pada pengamatan akhir (g)T1 = Waktu pada pengamatan awal (hari)T2 = Waktu pada pengamatan akhir (hari)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bobot Kering Tajuk dan Akar Bobot kering tajuk dan akar dipengaruhi oleh interaksi

induksi genistein, kondisi lengas tanah dan inokulasi B. japonicum. Pemberian genistein (50 µM) pada 80% KL dan tanpa inokulasi B. japonicum meningkatkan bobot kering tajuk (159.38%) dibandingkan tanpa induksi genistein dan inokulasi B. japonicum pada kondisi lengas tanah 80%. Hal ini mengindikasikan peran genistein dalam meningkatkan bobot kering tajuk pada kadar lengas tanah ideal (80% KL) dan tanpa inokulasi B. japonicum. Induksi genistein (50 µM) terlihat berperan meningkatkan toleransi terhadap kekeringan karena pada kondisi lengas tanah 80% dan 60% KL dengan inokulasi B. japonicum B3 memberikan bobot kering tajuk yang lebih tinggi dibandingkan tanpa genistein pada kondisi kadar lengas tanah yang sama (Tabel 1).

Interaksi induksi genistein (50 µM) pada 80% KL dan inokulasi B. japonicum isolat 3 (0.188 g) meningkatkan bobot kering akar 172.48% dibandingkan tanpa induksi genistein, tanpa inokulasi B. japonicum pada 40% KL yang hanya menghasilkan 0.109 g (Tabel 2). Cekaman kekeringan menekan perkembangan tajuk lebih besar dibandingkan perkembangan akar, diduga berkaitan dengan upaya tanaman mempertahankan status air dalam tubuhnya. Sesuai dengan pendapat Hamim et al. (1996)

bahwa dalam upaya mempertahankan status air di dalam tubuhnya, tanaman mengurangi kehilangan air melalui daun, sehingga tanaman mengurangi ukuran kanopinya dan tetap mempertahankan perkembangan akarnya sehingga mampu mensuplai air dengan cukup. Cekaman kekeringan menyebabkan tanaman memendek, menekan perkembangan akar dan tajuk kedelai (Hamim et al., 1996; Soepandi et al., 1997). Genistein berperan dalam meningkatkan toleransi terhadap kekeringan, sehingga pertumbuhan tanaman membaik yang diindikasikan dengan peningkatan bobot kering tajuk dan akar (Tabel 1 dan 2). Hal ini sejalan dengan penelitian Sumunar (2003) bahwa induksi isoflavon (genistein) meningkatkan toleransi kekeringan pada lahan kering masam dengan adanya peningkatan bobot kering tajuk dan bobot kering akar.

Jumlah Bintil Akar Efektif Jumlah bintil akar dipengaruhi secara nyata oleh B.

japonicum, tanpa inokulasi B. japonicum jumlah bintil akar yang terbentuk lebih rendah (Tabel 3). Induksi genistein dan kondisi lengas tanah berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah bintil akar efektif. Pemberian induksi genistein dengan peningkatan kondisi lengas tanah cenderung meningkatkan jumlah bintil akar efektif. Hal ini mengindikasikan peran genistein dalam mereduksi efek cekaman air pada nodulasi bintil akar kedelai. Napoles (2009) juga melaporkan bahwa genistein sebagai penginduksi bagi B. japonicum pada kondisi cekaman kekeringan berperan penting dalam mereduksi efek cekaman air pada nodulasi bintil akar kedelai. Bakteri B. japonicum B2 memberikan bintil akar terbanyak (13 bintil) dibandingkan dengan perlakuan B. japonicum lainnya (Tabel 3).

Laju Asimilasi Bersih

Laju asimilasi bersih dipengaruhi secara nyata oleh induksi genistein, inokulasi B. japonicum dan kondisi lengas

W2 – W1 x ln L2 – ln L1 L2 – L1 T2 – T1

W2 – W1 x ln L2 – ln L1 L2 – L1 T2 – T1

W2 – W1 x ln L2 – ln L1 L2 – L1 T2 – T1

Tabel 1. Bobot kering tajuk kedelai 6 MST karena pengaruh induksi genistein, kondisi lengas tanah dan inokulasi B. japonicum

Genistein(µM)

Cekaman kekeringan(% KL)

B. japonicum (B)Rata-rata

B0 B1 B2 B3 ……….……………………g…….…………………………

0 40% 1.305jk 1.388ij 1.377ij 1.356ij 1.35760% 1.196k 1.551gh 1.253jk 1.657fg 1.41480% 1.049l 1.531gh 2.048d 1.546gh 1.543

50 40% 1.763ef 1.720f 1.567gh 1.449hi 1.62560% 1.886e 1.797ef 2.473b 2.549b 2.17680% 2.721a 2.476b 2.618ab 2.298c 2.528

Rata-rata 1.653 1.744 1.889 1.809

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf berbeda menunjukkan berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf = 5%. B0 = tanpa inokulasi B. japonicum; B1 = inokulasi B. japonicum isolat 1; B2 = inokulasi B. japonicum isolat 2; B3 = inokulasi B. japonicum isolat 3; KL = kapasitas lapang

Page 25: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 110 - 117 (2014)

Produksi dan Fisiologis Kedelai..... 113

tanah. Interaksi antara induksi genistein 50 µM, inokulasi B. japonicum isolat 2 pada 60% KL memberikan laju asimilasi bersih tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya dan tidak berbeda nyata ketika kadar air ditingkatkan hingga 80% KL (Tabel 4). Secara umum, perlakuan tanpa genistein pada kondisi lengas tanah yang rendah (40% dan 60% KL) dan inokulasi ketiga macam isolat B. japonicum menurunkan laju asimilasi bersih. Hal ini mengindikasikan adanya peran genistein bagi kedelai dalam meningkatkan toleransi terhadap kekeringan hingga 60% KL (Tabel 4).

Peningkatan kadar lengas tanah memberikan jaminan semakin membaiknya pertumbuhan kedelai yang diindikasikan dengan peningkatan laju asimilasi bersih, dan keberhasilan proses ini ditunjang oleh induksi genistein.

Bobot Kering Biji per Tanaman

Induksi genistein, inokulasi B. japonicum dan kondisi lengas tanah berpengaruh tidak nyata terhadap bobot kering

biji per tanaman. Secara umum, terlihat bahwa induksi genistein dan inokulasi B. japonicum pada peningkatan kadar lengas tanah yang lebih besar relatif meningkatkan bobot kering biji per tanaman dibandingkan tanpa induksi genistein, tanpa inokulasi B. japonicum pada peningkatan kadar lengas tanah yang sama (Tabel 5). Kondisi ini diduga berkaitan erat dengan fungsi genistein sebagai penginduksi pada simbiosis antara B. japonicum dan akar kedelai dan mentoleransi cekaman kekeringan. Efektivitas simbiosis ini berakibat pada peningkatan ketersediaan N yang dibutuhkan tanaman untuk proses pertumbuhan sehingga pembentukan bunga, polong dan biji berlangsung dengan baik. Sadeghipour dan Abbasi (2012); Serraj dan Sinclair (2003) melaporkan bahwa kekeringan menurunkan aktivitas bakteri, walaupun respons tiap spesies bakteri berbeda. Pembentukan bintil akar dan fiksasi N pada kedelai sensitif terhadap kekeringan dan berakibat negatif terhadap hasil kedelai.

Genistein (µM)

Cekaman kekeringan(% KL)

B. japonicum (B)Rata-rata

B0 B1 B2 B3 ……….……………………g…….…………………………..

0 40% 0.109l 0.135ijk 0.168bc 0.126k 0.13560% 0.141hij 0.138hij 0.133jk 0.148fgh 0.14080% 0.136ijk 0.144fghi 0.139hij 0.178ab 0.149

50 40% 0.154def 0.127k 0.153efg 0.134ijk 0.14260% 0.133jk 0.142hij 0.138hij 0.133jk 0.13780% 0.161cde 0.143ghij 0.164cd 0.188a 0.164

Rata-rata 0.139 0.138 0.149 0.151

Tabel 2. Bobot kering akar kedelai 6 MST karena pengaruh induksi genistein, kondisi lengas tanah dan inokulasi B. japonicum

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf berbeda menunjukkan berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf = 5%. B0 = tanpa inokulasi B. japonicum; B1 = inokulasi B. japonicum isolat 1; B2 = inokulasi B. japonicum isolat 2; B3 = inokulasi B. japonicum isolat 3; KL = kapasitas lapang

Genistein(µM)

Cekaman kekeringan(% KL)

B. japonicum (B)Rata-rata

B0 B1 B2 B3……………………………..bintil……………………..………

0 40% 3.33 10.33 11.33 10.11 8.7760% 3.67 10.67 11.67 10.67 9.1280% 3.67 11.33 12.00 12.00 9.75

50 40% 3.67 12.33 13.33 11.00 10.0860% 4.00 11.67 14.00 12.67 10.5980% 4.00 13.00 15.67 13.22 11.47

Rata-rata 3.72c 11.56b 13.00a 11.61b

Tabel 3. Jumlah bintil akar efektif karena pengaruh induksi genistein, kondisi lengas tanah dan inokulasi B. japonicum

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf berbeda menunjukkan berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf = 5%. B0 = tanpa inokulasi B. japonicum; B1 = inokulasi B. japonicum isolat 1; B2 = inokulasi B. japonicum isolat 2; B3 = inokulasi B. japonicum isolat 3; KL = kapasitas lapang

Page 26: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 110 - 117 (2014)

114 Yaya Hasanah dan Nini Rahmawati

Ukuran Biji Kondisi lengas tanah berpengaruh nyata terhadap

ukuran biji yang diekspresikan dengan bobot 50 biji kering. Induksi genistein dan inokulasi B. japonicum tidak berpengaruh nyata terhadap ukuran biji. Penurunan kondisi lengas tanah dari 80% hingga 40% nyata menurunkan ukuran biji. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sadeghipour dan Abbasi (2012); Manalavan et al. (2009) bahwa bobot 100 biji menurun seiring dengan peningkatan intensitas cekaman kekeringan (penurunan kondisi lengas tanah). Pemberian genistein pada kondisi lengas tanah yang meningkat cenderung meningkatkan bobot 50 biji kering (Tabel 6). Hal ini berkaitan erat dengan peran air dalam fase reproduktif kedelai. Hasil biji kedelai paling sensitif terhadap kekurangan air selama fase reproduktif. Cekaman air mengurangi laju asimilasi bersih, panjang akar, berat kering akar, nisbah akar-tajuk, jumlah akar, tinggi tanaman, berat kering tanaman, jumlah polong dan berat 100 biji (Kiyatno, 1993). Kedelai sangat sensitif terhadap kondisi kekeringan

yang mengakibatkan penurunan hasil dan kualitas biji (Misoumi et al., 2011 dan Shafii et al., 2011), mempercepat mengurangi jumlah polong berisi serta menurunkan hasil biji kedelai (Soepandi et al., 1997).

Kandungan Prolin Daun

Kadar prolin daun cenderung mengalami peningkatan dengan penurunan kondisi lengas tanah yang dialami tanaman kedelai (Tabel 7). Pada kondisi lengas tanah 40% KL, kedelai cenderung meningkatkan kandungan prolin daun sehingga kandungan prolin daun tertinggi terdapat pada kombinasi perlakuan induksi genistein, B. japonicum B3 dan kondisi lengas tanah 40% KL yaitu 234.95 ppm.

Peningkatan kandungan prolin daun pada kedelai dengan cekaman kekeringan yang lebih tinggi berkaitan erat dengan peran besar prolin sebagai osmoregulator. Produksi senyawa tersebut secara berlebihan dapat menghasilkan peningkatan toleransi terhadap cekaman kekeringan pada tanaman. Kishor et al. (1995) melaporkan bahwa

Genistein (µM)

Cekaman kekeringan (% KL)

B. japonicum (B)Rata-rata

B0 B1 B2 B3..................……………….g cm-2 hari-1………………....................

0 40% 0.00793cd 0.00590de 0.00025g 0.00256efg 0.00460% 0.00633de 0.00091g 0.00764cd 0.00002g 0.00480% 0.00073g 0.00111fg 0.00474def 0.00245efg 0.002

50 40% 0.00320efg 0.00486def 0.00381efg 0.00248efg 0.00460% 0.00145fg 0.00207efg 0.01345a 0.00814bcd 0.00680% 0.01252ab 0.00359efg 0.01081abc 0.00261efg 0.007

Rata-rata 0.00536 0.00307 0.00678 0.00304

Tabel 4. Laju asimilasi bersih karena pengaruh induksi genistein, kondisi lengas tanah dan inokulasi B. japonicum

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf berbeda menunjukkan berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf = 5%. B0 = tanpa inokulasi B. japonicum; B1 = inokulasi B. japonicum isolat 1; B2 = inokulasi B. japonicum isolat 2; B3 = inokulasi B. japonicum isolat 3; KL = kapasitas lapang

Genistein (µM)

Cekaman kekeringan (% KL)

B. japonicum (B)Rata-rata

B0 B1 B2 B3..……………………………g……………………………...

0 40 % 2.23 2.68 2.75 2.47 2.5360 % 2.65 2.49 2.90 2.56 2.6580 % 2.40 2.90 3.13 3.17 2.90

50 40 % 2.42 2.53 2.97 2.86 2.6960 % 2.78 2.82 2.58 2.90 2.7780 % 2.76 3.67 4.12 3.41 3.49

Rata-rata 2.54 2.85 3.07 2.89

Tabel 5. Bobot kering biji per tanaman karena pengaruh induksi genistein, kondisi lengas tanah dan inokulasi B. japonicum

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf berbeda menunjukkan berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf = 5%. B0 = tanpa inokulasi B. japonicum; B1 = inokulasi B. japonicum isolat 1; B2 = inokulasi B. japonicum isolat 2; B3 = inokulasi B. japonicum isolat 3; KL = kapasitas lapang

Page 27: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 110 - 117 (2014)

Produksi dan Fisiologis Kedelai..... 115

prolin merupakan salah satu osmolite yang kompatibel dan banyak dipelajari dalam hubungannya dengan osmoregulasi tumbuhan terhadap stres air. Widoretno dan Winarsih (2010) menyatakan bahwa akumulasi prolin dapat digunakan sebagai indikator toleransi kekeringan. Akumulasi protein pada kondisi dehidrasi disebabkan oleh aktivitas biosintesis prolin dan inaktivitas degradasi

prolin. Senyawa osmoprotektan prolin, glisin betain dan osmotikum lainnya dapat digunakan sebagai pembeda tingkat toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan. Tanaman yang mempunyai peningkatan osmotikum yang lebih tinggi diduga lebih toleran dibandingkan tanaman yang peningkatan osmotikumnya lebih rendah.

KESIMPULAN

Penurunan kondisi lengas tanah dari 80% KL menjadi 40% KL cenderung menurunkan bobot kering akar, bobot kering tajuk, laju asimilasi bersih, jumlah bintil akar efektif, bobot kering biji per tanaman dan ukuran biji, tetapi kadar prolin daun cenderung meningkat dengan penurunan kondisi lengas tanah. Interaksi induksi genistein, kondisi lengas tanah dan inokulasi B. japonicum meningkatkan bobot kering tajuk dan akar. Peningkatan kadar lengas tanah memberikan jaminan semakin membaiknya pertumbuhan kedelai yang

diindikasikan dengan peningkatan laju asimilasi bersih, dan keberhasilan proses ini ditunjang oleh induksi genistein. Perlakuan tanpa genistein pada kondisi lengas tanah yang rendah (40% dan 60% KL) dan inokulasi ketiga macam isolat B. japonicum menurunkan laju asimilasi bersih.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini merupakan sebagian dari penelitian Hibah Bersaing. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Direktorat Jenderal Pendidikan

Genistein(µM)

Cekaman kekeringan (% KL)

B. japonicum (B)Rata-rata

B0 B1 B2 B3..……………………………g……………………………..

0 40% 5.02 5.62 5.41 5.15 5.3060% 6.15 6.25 6.02 5.82 6.0680% 5.23 6.46 6.66 6.17 6.13

50 40% 5.35 5.24 5.53 5.17 5.3260% 6.44 6.15 5.56 6.25 6.1080% 6.66 6.34 6.44 5.95 6.35

Rata-rata 40% 5.19 5.43 5.47 5.16 5.31b60% 6.30 6.20 5.79 6.04 6.08a80% 5.95 6.40 6.55 6.06 6.24a

Rata-rata 5.81 6.01 5.94 5.75

Tabel 6. Bobot 50 biji kering karena pengaruh induksi genistein, kondisi lengas tanah dan inokulasi B. japonicum

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf berbeda menunjukkan berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf = 5%. B0 = tanpa inokulasi B. japonicum; B1 = inokulasi B. japonicum isolat 1; B2 = inokulasi B. japonicum isolat 2; B3 = inokulasi B. japonicum isolat 3; KL = kapasitas lapang

Genistein(µM)

Cekaman kekeringan (% KL)

B. japonicum (B)Rata-rata

B0 B1 B2 B3..……….……………………ppm …….………………….…...

0 40% 149.11 215.63 214.13 166.47 186.3460% 119.43 204.95 142.74 159.68 156.7080% 117.41 142.06 118.51 107.62 121.40

50 40% 141.40 201.73 223.41 234.95 200.3760% 116.57 185.16 162.51 182.96 161.8080% 110.52 132.94 129.18 164.27 134.23

Rata-rata 125.74 180.41 165.08 169.33

Tabel 7. Kadar prolin daun karena pengaruh induksi genistein, kondisi lengas tanah dan inokulasi B. japonicum

Page 28: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 110 - 117 (2014)

116 Yaya Hasanah dan Nini Rahmawati

Tinggi yang telah membiayai penelitian ini melalui Surat Perjanjian Pelaksanaan Penugasan Penelitian Hibah Bersaing Tahun Anggaran 2011 Nomor 003/SP2H/PL/E5.2/DITLITABMAS/IV/2011 tanggal 14 April 2011.

DAFTAR PUSTAKA

Brechenmacher, L., L. Zhentian, L. Marc, F. Seth, S. Masayuki, J.S. Michael, W.S. Lloyd, S. Gary. 2010. Soybean metabolites regulated in root hairs in response to the symbiotic bacterium Bradyrhizobium japonicum. Plant Physiol. 153:1808-1822.

Dolatabadian, A., S.A.M.M. Sanavy, F. Ghanati, P.M. Gresshoff. 2012. Morphological and physiological response of soybean treated with the microsymbiont Bradyrhizobium japonicum pre-incubated with genistein. South African J. of. Bot. 79:9-18.

Duzan, H.M., X. Zhou, A. Souleimanov, D. Smith. 2004. Perception of Bradyrhizobium japonicum nod factor by soybean [Glycine max (L.) Merr.] root hairs under abiotic stress conditions. J. Exp. Bot. 55:2641-2646.

Foth, H.D. 2004. Fundamentals of Soil Science. J. Willey and Sons. Inc. N.Y.

Gardner, F.P., R.B. Pearce, R.L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Penerjemah: Susilo, H. Jakarta: UI Press.

Geurts, R., E. Fedorova, T. Bisseling. 2005. Nod factor

signaling genes and their function in early stages of Rhizobium infection. Curr. Opin. Plant Biol 8:346-352.

Hamim, D. Soepandi, M. Jusuf. 1996. Beberapa karakteristik morfologi dan fisiologi kedelai toleran dan peka terhadap cekaman kekeringan. Hayati J. Biosci. 3:30-34.

Kishor, P.B.K., Z. Hong, G.H. Miao, C.A.A. Hu, P.S. Verma. 1995. Over expression of proline-5-carboxylate synthetase increase proline production and confers osmotolerance in transgenic plants. Plant Physiol. 108:1387-1394.

Kiyatno, 1993. Pengaruh hara kalium atas daya adaptasi tanaman kedelai terhadap stress air pada tanah latosol. Tesis. Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Kosslak, R.M., R. Bookland, J. Barkei, H.E. Paaren, E.R. Appelbaum. 1987. Induction of Bradyrhizobium

japonicum common nod genes by isoflavones isolated from Glycine max. Proc. Natl. Acad. Sci. 84:7428-7432.

Lang, K., A. Lindemann, F. Hauser, M. Gottfert. 2008. The genistein stimulon of Bradyrhizobium japonicum. Mol. Genet. Genomics 279:203-211.

Lee, H.I., J.H. Lee, K.H. Park, D. Sangurdekar, W.S. Chang. 2012. Effect of soybean coumestrol on Bradyrhizobium japonicum nodulation ability, biofilm formation, and transcriptional profile. Appl. Env. Microbiol. 78:2896-2903.

Manalavan, L.P., K.G. Satish, L.S.P. Tran, H.T. Nguyen. 2009. Physiological and molecular approaches to improve drought resistance in soybean. Plant Cell Physiol. 50:1260-1276.

Misoumi, H., F. Darvish, J. Daneshian, G. Normohammadi, D. Habibi, 2011. Effects of water deficit stress on seed yield and antioxidants content in soybean (Glycine max L.) cultivars. Afr. J. Agric. Res., 6: 1209-1218.

Morgan, J., G. Bending G., P. White. 2005. Biological costs and benefits to plant-microbe interactions in the rhizosphere. J. Exp. Bot. 56:729-1739.

Napoles, M.C., E. Guevara, F. Montero, A. Rossi, A. Ferreira. 2009. Role of Bradyrhizobium japonicum induced by genistein on soybean stressed by water deficit. Spanish J. of Agric. Research 7:665-671.

Sadeghipour, O., S. Abbasi. 2012. Soybean response to drought and seed inoculation World Appl. Sci. J. 17:55-60.

Serraj, R., T.R. Sinclair. 2003. Effects of drought stress on legume symbiotic nitrogen fixation : Physiological mechanisms. Indian J. Exp. Biol. 41:1136-1141.

Shafii, F., A. Ebadi, K.S. Golloje, A. Eshghi Gharib. 2011. Soybean response to nitrogen fertilizer under water deficit conditions. Afr. J. Biotechnol. 10:3112-3120.

Sinclair, T.R., L.C. Purcell, C.A. King, C.H. Sneller, P. Chen, V. Vadez. 2007. Drought tolerance and yield increase of soybean resulting from improved symbiotic N fixation. Field Crops Res. 101:68-71.

Soepandi, D. Hamim, M. Jusuf, Supijatno. 1997. Toleransi tanaman kedelai terhadap cekaman air: uji lapang beberapa genotipe toleran. Bul. Agron. 25:10-14.

Page 29: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 110 - 117 (2014)

Produksi dan Fisiologis Kedelai..... 117

Streester, J.G. 2003. Effect of drought on nitrogen fixation in soybean root nodules. Plant Cell Environ. 26:1199-1204.

Subramanian, S., G. Stacey, O. Yu. 2006. Endogenous isoflavones are essential for the establishment of symbiosis between soybean and Bradyrhizobium japonicum. Plant J. 48:261-273.

Sumunar, A.I. 2003. Kompatibilitas dan daya kompetisi Rhizobium yang diberi penginduksi gen nod pada berbagai varietas kedelai di lahan kering masam. Warta Balitbio No. 21, April 2003.

Sugiyama, A., N. Shitan, K. Yazaki. 2008. Signaling from soybean roots to rhizobium, an ATP-inding

casette-type transporter mediates genistein secretion. Adendum. Plant Signal. Behav. 3:38-40.

Tajima, S., M. Nomura, H. Kouchi. 2004. Ureide biosynthesis in legume nodules. Front Biosci. 9:374-1381.

Widoretno, W., L. Winarsih. 2010. Pengaruh stres kekeringan pada fase vegetatif terhadap kandungan prolin, gula total terlarut pada beberapa genotip kedelai [Glycine max (L.) Merr.] J. Ilmu-ilmu Hayati (Life Sciences) 22:1-7.

Zhang, F., D. Smith. 1996. Genistein accumulation in soybean [Glycine max (L) Merr.] root system under suboptimal root zone temperature. J. Exp. Bot. 47:785-792.

Page 30: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 118 - 123 (2014)

Edi Santosa, Sigit Pramono, Yoko Mine, and Nobuo Sugiyama118

* Corresponding author. e-mail: [email protected]

INTRODUCTION Amorphophallus muelleri Blume (synonym

Amorphophallus oncophyllus), locally called iles-iles or porang is a new promising carbohydrate source in many Asian countries. Corm of A. muelleri contains large amount of glucomannan. Clinical study indicates that glucomannan is responsible for lowering lipids and glycemia (Sood et al., 2008). Glucomannan flour is used as food to relieve constipation and a raw material for many industries (Sugiyama and Santosa, 2008). In tropical climates, A. muelleri cultivation is preferable than A. konjac cultivation

Gamma Irradiation on Growth and Development of Amorphophallus muelleri Blume.

Edi Santosa1*, Sigit Pramono1, Yoko Mine2, and Nobuo Sugiyama2

1Department of Agronomy and Horticulture, Bogor Agricultural UniversityJl. Meranti, Kampus IPB Dramaga, Bogor 16168, Indonesia

2Faculty of Agriculture, Tokyo University of Agriculture, Funako, Atsugi, Kanagawa 243-0034, Japan

Received 20 August 2013/Accepted 17 January 2014

ABSTRACT

Iles-iles (Amorphophallus muelleri Blume) produces apomictic seeds lead to low genetic variation. In order to induce genetic variation, germinated seeds were exposed to Gamma irradiation (Co-60) at doses of 10 to 100 Gy. Seed irradiation was conducted at Center for the Application of Isotope and Irradiation Technology -National Nuclear Energy Agency (CAIRT), Indonesia. Morphology and yield of M1 generation were observed. Results showed that irradiation at a dose of 10 Gy close to LD50 with survival rate 56%. Gamma irradiation at a dose of 10 Gy delayed seeds germination. Germination rates gradually increased and reached maximum at 4 weeks after planting (WAP) for control plants, and 14 WAP of irradiated plants. At 16 WAP, germination rate of 10 Gy irradiated plants was 56% and 84% for those of control plants. Irradiation induced chimera as indicated by short petiole, variegated and abnornal shape of leaflets. Some irradiated plants entered dormancy at 8-10 weeks later than control ones. Prolong vegetative periode lead the plants to produce heavier corms. This study revealed the possibility to induce variation of A. muelleri by using gamma irradition.

Keywords: Amorphophallus muelleri, gamma irradiation (Co-60), morphological variation, mutation breeding

ABSTRAK

Iles-iles (Amorphophallus muelleri Blume) menghasilkan biji apomiksis yang menyebabkan keragaman genetik tanaman rendah. Dalam upaya meningkatkkan keragaman genetik, maka digunakan iradiasi sinar gamma (Co-60) dengan rentang dari 10-100 Gy. Iradiasi benih dilakukan pada Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi-BATAN, Indonesia. Tanaman M1 hasil iradiasi diamati pertumbuhan hingga panen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis iradiasi 10 Gy hampir mendekati LD50 karena survival rate 56%. Iradiasi sinar gamma menyebabkan benih lambat berkecambah. Pertumbuhan tunas pada tanaman kontrol telah maksimal pada 4 MST, sedangkan pada tanaman iradiasi pada 14 MST. Pada minggu ke 16 setelah tanam, persentase tanaman tumbuh dari perlakukan 10 Gy adalah 56%, sedangkan pada kontrol mencapai 84%. Kimera muncul pada tanaman hasil iradiasi, berupa petiol yang memendek, varigata dan bentuk leaflet abnormal. Beberapa tanaman hasil iradiasi memasuki masa dorman 8-10 minggu, yang lebih lambat dibandingkan dengan kontrol. Lambatnya tanaman iradiasi memasuki dorman diduga menjadi penyebab meningkatnya bobot umbi pada tanaman tersebut. Penelitian ini menunjukkan adanya peluang penggunaan iradiasi sinar gamma untuk meningkatkan variasi pada tanaman iles-iles.

Kata kunci: Amorphophallus muelleri, iradiasi gamma (Co-60), keragaman morfologi, pemuliaan mutasi

because A. muelleri is more tolerant to soil-borne diseases, viruses and shading, thus A. muelleri grow well in agroforests (Santosa et al., 2003; Sugiyama and Santosa, 2008).

Apomictic seeds and vegetative aerial bulbils are main propagation materials in A. muelleri, lead to low genetic variation (Sugiyama and Santosa, 2008). A. muelleri requires three years from seedlings to harvest of marketable corm size, ca. 1.5 kg or more (Sugiyama and Santosa, 2008). In spite of the high value of the crop in Indonesia, little research has been done to improve this species. Current productivity is considered low as compared with its potential yields ca. 3.5-4.0 kg plant-1. Mine et al. (2010) stated that intraspecific competition on A. muelleri has contributed to low productivity. Low productivity and long cultivation period are main constrain for government

Page 31: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 118 - 123 (2014)

Gamma Irradiation on Growth...... 119

to promote A. muelleri to farmers as commercial crop. Thus, breeding programs should be carried out in order to increase productivity.

Gamma irradiation is one of common practices to induce genetic variation in many plants species (de Micco et al., 2011) including tuberous crops. Gamma ray is an electromagnetic short wave with high energy. Mutation breeding using gamma irradiation has been applied in many food crops such as sorghum (Human and Sihono, 2010), upland rice (Ishak, 2012), lowland rice (Sobrizal, 2007), banana (Indrayanti et al., 2011), and in some Araceae such as Anthurium (Puchooa, 2005), and Xanthosoma sp (Blay et al., 2004), but till now no report about mutation breeding has been conducted on Amorphophallus species.

It is well known that sensitivity of plants to irradiation are dependent on many factors such as plant species or varieties, plant parts and irradiation dose (Esnault et al., 2010; de Micco et al., 2011). The optimum dose of gamma irradiation was 5 to 7.5 Gy for callus of Anthurium (Puchooa, 2005), and about 40 Gy for seed of Anthurium andreanum (Wegadara, 2008). The objective of this experiment was to study the effect of gamma irradiation on growth of A. muelleri seedlings.

MATERIAL AND METHODS

Gamma Irradiation

Application of gamma irradiation from Cobalt-60 (Gamma Chamber 4000A-USA) was conducted at Center for the Application of Isotope and Radiation Technology, National Nuclear Energy Agency (CAIRT), Indonesia on November 20, 2009. Field experiment was conducted at the Cikabayan Experimental Farm Bogor Agricultural University, Bogor (250 m above sea level) during November 2009-July 2010. The soil type was Latosol, with a pH 5.0, low total N (0.09%), medium phosphorus (18.0 ppm) and medium potassium (17.0 ppm) availability. Temperature during experiment was 25.7 oC (ranging from 20 to 34 oC) with relative humidity 84-86%.

Seed of A. muelleri from mother plants originated from Saradan Forest, East Java (planted in Bogor in 2002) was harvested on July 2009. Seeds were imbibed on moist paper at room temperature. Seeds with protruded leaf bud ca 2.0 mm were selected for treatment. Weight of selected seed was 20 g for 100 seeds. Gamma irradiation was applied for 10 levels with dose of 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90, and 100 Gy, and non-irradiated seeds were used as control (0 Gy). One hundred seeds (±2.0 mm visual bud) were kept in a paper bag with three replicates per treatment. Seed is considered germinated when leaf bud had elongated ca 10.0 mm. Experimental procedure was presented in Figure 1.

Germination of Irradiated Seeds Seedling bed was shaded with artificial shading net

to reduce the light intensity by 50%. Growing media were composed of soil, goat manure and sand at ratio 4:2:1 (v/v). They were mixed well a week prior to planting. Seeds were

planted on November 21, 2009 at distance 10 cm x 10 cm, 3-4 cm under soil surface. Carbofuran pesticide (Furadan 3G) was applied after planting at a rate of 2 kg ha-1 to prevent soil-borne diseases. Additional NPK (2:1:1) was applied at one month after planting at a rate of 200 kg ha-1. Watering was carried out regularly by using overhead sprayers when rainfall below 10 mm per day. Weed and pest controls using fungicide Dithane M45 were carried out twice a month.

Variable data of germination, leaf size and morphology, the number of leaves, and yield were collected from M1 generation. Harvest was carried out individually after plant entered dormancy period, it was judged by leaf senescence. Outlier data was analyzed separately. Normal data was analyzed using F test; and significant variable was analysed Duncan’s multiple range test at level 1% and 5%. Lethal dose 50% (LD50) was calculated based on curve-fit analysis.

RESULTS AND DISCUSSION

Percentage of Germination

Gamma irradiation at dose of 10 Gy significantly delayed seed germination. At dose of 10 Gy irradiation, germination percentage of seedling increased steadily from 6 weeks after planting (WAP) until 14 WAP, and attained maximum at 56.3%. No seed germinated at a dose of 20 Gy and higher until 16 week after planting (WAP) (Table 1). In control plants without irradiation, germination rates attained its maximum within 4 (WAP). Most of non germinated seeds produced callus on its main bud, but failed to produce any leaf and roots. After 12 WAP, non developed callus and the seed died. According to Esnault et al. (2010), and Legue and Chanal (2010), exposure to irradiation causes the ionization of water, an integral component of living tissues, produces free radicals in addition to secondary reactive oxygen species (ROS), which triggers the activity of detoxifying enzymes to resist oxidative stress.

Figure 1. Experimental procedure

Page 32: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 118 - 123 (2014)

Edi Santosa, Sigit Pramono, Yoko Mine, and Nobuo Sugiyama120

Irradiation at dose higher than 10 Gy and below 20 Gy is considered the lethal dosage (LD50) for A. muelleri seedlings (Table 1; Figure 2). Similarly reported by Blay et al. (2004) mentioned that LD50 of plantlets of cocoyam is between 10-15 Gy, but it is lower than those doses for seeds of Anthurium andreanum (40 Gy) (Wegadara, 2008).

Morphological Variation

When seeds of A. muelleri were exposed to 10 Gy, 92% of seeds were germinated as indicated by elongation of their buds at 4 WAP. However, visual checking showed that some elongated buds were filled by a callus-like mass. Of these seeds, therefore, a total 43.7% of them died gradually up to 13 WAP, and 56.3% developed into seedlings at 14 WAP. Of the developed seedlings, 80.1% exhibited abnormalities in the first and the second leaves. The rest of seedlings had normal leaves. The most common abnormalities were stunted petiole, i.e., 94.2% of total abnormal plants. Petiole was classified as stunted when it was at least 50% shorter than those of control plants. The stunted petioles were also had malformed leaves such as twisted and cup shaped leaflets.

Variegate or chimera indicated by discoloration of leaflets was rarely found in irradiated plants, i.e., 4.3% of abnormal plants. The pattern of discoloration varies and

appeared randomly from tiny white spot to half of leaflets or white stripe along the edge of leaflet or petioles. Loss of chlorophyll is common in plants after exposed to of high levels of irradiation (Kim et al., 2004; Abu et al., 2006; Ling et al., 2008; Al-Enezi and Al-Khayri, 2012). The effects of gamma rays on photosynthetic pigments vary among plant species and among cultivars (Kim et al., 2005), where carotenoid pigments are more sensitive than chlorophylls. Al-Enezi and Al-Khayri (2012) stated that in date palm (Phoenix dactilyfera) chlorophyll-a and carotenoids are more sensitive to irradiation than chlorophyll-b. Conversely, Abu et al. (2006) reported that an increase in chlorophyll-a and -b after irradiated gamma of cowpea (Vigna unguiculata), while in sweet orange (Citrus sinensis). Ling et al. (2008) obtained chlorophyll content was virtually insensitive to low doses of gamma irradiation. In A. muelleri, however, abnormalities including variegated in the first and second leaves resumed in the third and subsequent leaves. It is likely that variegated in A. muelleri is non permanent phenomenon. Puchooa (2005) stated that gamma irradiation leads to metabolism disturbance that causes the abnormal growth or necrosis. In Dianthus, Aisyah et al. (2009) reported that abnormal symptom of variegated flowers resumed in subsquence generation. It is speculated that the reversible symtom of variegated flowers is caused by diplontic selection where normal cells develop faster that those of abnormal ones.

Irradiation level (Gy)

Weeks after planting (WAP)4 6 8 10 12 14 16

Control 83.7a 83.7a 83.7a 83.7a 83.7a 83.7a 83.7a10 0b 1.0b 10.0b 29.8b 39.0b 56.3b 56.3b20 to 100X 0b 0c 0c 0c 0c 0c 0c

Figure 2. LD50, 50% plants survive after gamma irradiation treatment

Table 1. Percentage of germination of A. muelleri plants grown from seeds expossed to different level of gamma irradiation

Means followed by the same alphabeth within a column were not significantly different by Duncan test at 1%. XLevel irradiation on the basis of ten: 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90 and 100 Gy; Control-no treatment

Page 33: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 118 - 123 (2014)

Gamma Irradiation on Growth...... 121

Leaf Characteristics

Number of leaf was affected by gamma irradiation (Table 2). Prior to dorman, control plants produced 2.6 leaves (2 to 4) while irradiated plants produced 2.8 leaves (1 to 5) on average. Leaves of irradiated plants were still green at 26 WAP (dorman at 27.3 WAP), while most control plants had entered dormancy at 18 WAP and leaves had withered. It is likely that leaves of irradiated plants stand longer than those of control plants. In A. muelleri, leaf life span was ca. 25 weeks and 18 weeks for irradiated and control plants, respectively. Longer leaf life span is desirable trait for A. muelleri because longer period of growing season may force plants to accumulate larger assimilates. This research implies that gamma irradiation is applicable to induce morphological variation in A. muelleri.

Petiole length and diameter, leaflets number and rachis width of the final leaf were larger on irradiated plants compared to control (Table 3). On average, first leaves of irradiated plants had smaller petiole (length and diameter), and rachis width. Santosa and Sugiyama (2007) reported that first leaf size is determined by corm size in A. paeoniifolius. It is probably that smaller size of first leaves of irradiated A. muelleri is caused by disturbance on nutrient mobilization from seed to growing point.

Merged and smooth (less serrate) leaflets were found, i.e., 11.5% and 10.0% of total abnormal leaves, respectively. Some abnormal leaflets also showed discoloration or excessive red color on the edges. Abnormal leaflets had reported in trifoliate white clover (Trifolium repens L) irradiated with gamma rays (Song et al., 2009). The abnormal

leaves also included three leaflets with unusual angle, four to seven leaflets, and degenerated, merged and cup shaped leaflets that those were different from control plants.

Similar to discoloration, all abnormal leaflets recovered as of control plants in the third and subsquence leaves. It was likely that abnormal leaflets were temporary effect of gamma irradiation. It is probably that leaf of A. muelleri showed phenotypic plasticity. Song et al. (2009) stated that mutant phenotype of trifoliate white clover was not generated by genes that directly control leaf number because white clover shows morphological plasticity in response to various environmental stresses, in which those phenotypes were non heritable traits. Sugiyama and Santosa (2008) stated that normally A. muelleri seedling has 5 leaflets which distribute in all direction. Reduction of leaflets in seedling was possible because soil impedance during its emergence. Santosa and Sugiyama (2007) stated that diametral dissection main bud caused A. paeoniifolius produced abnormal initial leaf or flower. Nevertheless, physical soil impedance and bud damage were minimized in this experiment.

In irradiated plants, first leaf tended to have fewer leaflet than those of control plant (Table 3). However, many irradiated plants had larger leaf area because average leaflets width did not statistically different. Average ratio of leaflet (length to width) was 2:1 in control plants, but 3:1 in irradiated plants. Elongated leaflets of irradiated plants were thicker than those of control. Thus, larger size of the final leaves of irradiated plants was likely to have larger photosynthetic capacity, although number of leaf in early growth was significantly lower.

Irradiation level (Gy)

Week after planting (WAP)X

8 10 12 14 16 18 20 22Control 1.0a 1.5a 1.9a 2.0a 2.4a 2.6a - -10 1.0a 1.0b 1.1b 1.2b 1.6b 2.2b 2.5a 2.8a20 to 100Z - Y - - - - - - -

Table 2. Number of leaf of A. muelleri plants grown from seeds exposed to different level of Gamma irradiation

Means followed by the same alphabeth within a column were not significantly different by Duncan test at 1%; XMeasured from ten germinated sample plants; YNo germinated plant was found; ZLevel irradiation on the basis of ten: 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90 and 100 Gy; Control-no treatment

Irradiation level (Gy)

Petiole length (cm) Petiole diameter (cm) Leaflets number Rachis width (cm)First LastY First Last First Last First Last

Control 3.5±0.5a 23.0±0.8b 0.3±0.01a 0.9±0.02a 5.7±0.5a 13.7±0.7b 4.8±0.2a 11.5±0.7b10 2.6±0.5b 27.2±2.9a 0.2±0.03b 1.0±0.22a 5.5±0.5a 18.8±2.8a 3.5±0.6b 16.6±2.9a20 to 100X -Z - - - - - - -

Table 3. Leaf characteristics of A. muelleri plants grown from seeds expossed to different level of Gamma irradiation

Means ±SD followed by the same alphabeth within a column were not significantly different by Duncan test at 1%; XLevel irradiation on the basis of ten: 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90 and 100 Gy; Control-no treatment; YFirst leaves measured at 6 weeks after emergence (WAE). Measured from third or fourth leaf for control plants at 16 WAE; from fourth or fifth leaf for 10 Gray irradiation at 21 WAE; Zno leaf emerged

Page 34: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 118 - 123 (2014)

Edi Santosa, Sigit Pramono, Yoko Mine, and Nobuo Sugiyama122

Corm Yield

Control plants were harvested at 18 WAP, while some irradiated plants were harvested at 28 WAP, indicated that gamma irradiation prolonged vegetative period. Sugiyama and Santosa (2008) suggest that in order to enhance productivity of A. muelleri, agronomic treatments is aimed to extend vegetative period in a growing cycle or to prevent dormancy.

Since vegetative periode determined accumulation of assimililates, therefore, longer vegetative period in this experiment was desirable trait in A. muelleri growing. This confirmed by production of large corm from irradiated plant than control plant Table 4). Beside longer vegetative period, it was probably that heavier of corm from irradiated plants was due to longer leaf life span and larger leaf size (Table 3). According to Sugiyama and Santosa (2008), A. muelleri with larger number of leaf and longer leaf life span of each leaves produced larger corm.

Although, no corms abnormalities were found of irradiated plants, however corm diameter of gamma irradiated plants was smaller than that of control plants (Table 4). It was unclear whether the diameter was affected by gamma irradiation. Sugiyama and Santosa (2008) and Mine et al. (2010) stated that planting depth and limited rooting volume determine corm shape and diameter of A. muelleri.

This research implied that gamma irradiation enable to induce morphological variation in A. muelleri. However, it was unclear whether the morphological variation of irradiated plants would also present in M2 generation. In the field, one vegetative cycle generally resumed in 6 months followed by dorman period for another 6 months, and plants start to produce seeds after 3 to 4 years. Therefore, it would be interesting to investigate the production of second generation (M2) of promising lines in the field in the near future.

Table 4. Corm size of A. muelleri plants grown from seeds exposed to different level of Gamma irradiation

Irradiation level (Gy)

Fresh weight (g)

Diameter (cm)

Control 14.2b 3.1a10 20.4a 2.6b20 to 100X - Y -

Means followed by the same alphabeth within a column were not significantly different by Duncan test at 1%; XLevel irradiation on the basis of ten: 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90 and 100 Gy; Control-no treatment; Yno leaf emerged

seeds had LD50 close to 10 Gy, and irradiation at doses of 20 Gy and higher caused lethal effect. Gamma irradiation delayed plant germination, and induced leaf abnormalities of first and second leaves, i.e., variegated, merged and elongate leaflets, and stunted. Abnormalities mostly recovered in third and fourth leaves. Some accessions from 10 Gy extended the vegetative period up to 8 weeks longer than control plants, leading to production of heavier doughter corms.

ACKNOWLEDGEMENT

This research was funded by Ministry of Science and Technology, Republic of Indonesia FY 2010. Thanks to National Nuclear Agency (BATAN) and Ir Ismiati Sutarto, to facilitate irradiation. Thanks also to Dr. Fred Rumawas and Mr Haryanto for their assistance in this experiment.

REFFERENCES

Abu, J.O., K. Muller, K.G. Duodu, A. Minnaar. 2006. Gamma irradiation of cowpea (Vigna unguiculata L. Walp) flours and pastes: effects on fuctional, thermal and molecular properties of isolated proteins. Food Chem. 95:138-147.

Aisyah, S.I., H. Aswidinnoor, A. Saefuddin, B. Marwoto, S. Sastrosumarjo. 2009. Induced mutations in cutting of carnation (Dianthus caryophyllus Linn.) through gamma rays irradiation. J. Agron. Indonesia 37:62-70.

Al-Enezi, N.A., J.M. Al-Khayri. 2012. Alterations of DNA, ions and photosynthetic pigments content in date palm seedlings induced by X-irradiation. Int. J. Agric. Biol. 14:329-336.

Blay, E.T., S.K. Offei, E.Y. Danquah, H.A. Amoatey, E. Asare. 2004. Improvement of cocoyam (Xanthosoma sagittifolium) using Gamma irradiation and tissue culture. p. 127-130. In Proceeding on “Genetic Improvement of Under-Utilized and Neglected Crops in Low Income Food Deficit Countries Through Irradiation and Related Techniques”. Joint FAO/IAEA Division of Nuclear Techniques in Food and Agriculture, Pretoria, South Africa, 19-23 May 2003.

De Micco, V., C. Arena. D. Pignalosa, M. Durante. 2011. Effects of sparsely and densely ionizing radiation on plants. Radiat. Environ. Biophys. 50:1-19.

Esnault, M.A., F. Legue, C. Chenal. 2010. Ionizing radiation: Advances in plant response. Environ. Exp. Bot. 68:231-237.

Human, S., Sihono. 2010. Sorghum breeding for improved drought tolerance using induced mutation with gamma irradiation. J. Agron. Indonesia 38:95-99.

CONCLUSION

Gamma irradiation induced morphological variations in A. muelleri at M1 seedlings, e.g., leaf shape, number of leaves, time to harvest and daughter corm size. A. muelleri

Page 35: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 118 - 123 (2014)

Gamma Irradiation on Growth...... 123

Santosa, E., N. Sugiyama. 2007. Growth and production of Amorphophallus paeoniifolius Dennst. Nicolson from different corm weights. Bul. Agron. 35:23-35.

Sobrizal. 2007. Rice mutation on candidate of restorer mutant lines. J. Agron. Indonesia 35:75-80.

Song, I.J., H.G. Kang, J.Y. Kang, H.D. Kim, T.W. Bae, S.Y. Kang, P.O. Lim, T. Adachi, H.Y. Lee. 2009. Breeding of four-leaf white clover (Trifolium repens L.) through 60Co gamma-ray irradiation. Plant Biotechnol. Rep. 3:191-197.

Sood, N., W.L. Baker, C.I. Coleman. 2008. Effect of glucomannan on plasma lipid and glucose concentrations, body weight, and blood pressure: systematic review and meta-analysis. Am. J. Clin. Nutr. 88:1167-1175.

Sugiyama, N., E. Santosa. 2008. Edible Amorphophallus in Indonesia-Potential Crops in Agroforestry. GMU Press, Yogyakarta. Indonesia.

Wegadara, M. 2008. Effect gamma irradiation on seed of anthurium (Anthurium andreanum). Skripsi. Plant Breeding and Seed Technology Study Program. Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University.

Indrayanti, R., N.A. Mattjik, A. Setiawan, Sudarsono. 2011. Radiosensitivity of banana cv. Ampyang and potential application of gamma irradiation for variant induction. J. Agron. Indonesia 39:112-118.

Ishak. 2012. Agronomic traits, heritability and G x E interaction of upland rice (Oryza sativa L.) mutant lines. J. Agron. Indonesia 40:105-111.

Kim, J.H., B.Y. Chung, J.S. Kim, S.G. Wi. 2005. Effects of in planta gamma-irradiation on growth, photosynthesis, and antioxidative capacity of red pepper. J. Plant Biol. 48:47-56.

Ling, A.P.K., J.Y. Chia, S. Hussein, A. Harun. 2008. Physiological responses of Citrus sinensis to gamma irradiation. World Appl. Sci. J. 5:12-19.

Mine, Y., E. Santosa, W. Amaki, N. Sugiyama. 2010. Effects of pot sizes and the number of plants per pot on the growth of Amorphophallus muelleri Blume. J. Agron. Indonesia 38:238-242.

Puchooa, D. 2005. In vitro mutation breeding of Anthurium by gamma radiation. Int. J. Agri. Biol. 7:11-20.

Santosa, E., N. Sugiyama, S. Hikosaka, S. Kawabata. 2003. Cultivation of Amorphophallus muelleri Blume in timber forests of East Java, Indonesia. Jpn. J. Trop. Agric. 47:190-197.

Page 36: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 124 - 129 (2014)

124 Muhammad Ridha Alfarabi Istiqlal, Muhamad Syukur, dan Yudiwanti Wahyu

* Penulis untuk korespondensi. e-mail: [email protected]

PENDAHULUAN

Cabai merupakan satu di antara komoditas hortikultura unggulan yang bernilai tinggi dan sangat dikenal oleh masyarakat Indonesia. Cabai terdiri atas beberapa tipe berdasarkan ukuran buahnya, di antaranya adalah cabai rawit, cabai besar, cabai keriting, dan paprika (Berke, 2000). Berdasarkan data BPS (2011) produktivitas cabai nasional hanya mencapai 6.18 ton ha-1 pada tahun 2011 dan jauh di bawah potensinya, yaitu lebih dari 20 ton ha-1 (Syukur et al., 2010a).

Perbedaan kebiasaan masyarakat di Indonesia dalam hal menanam dan mengonsumsi tipe cabai berdasarkan ukurannya dapat menjadi salah satu faktor rendahnya produktivitas cabai secara nasional. Umumnya cabai keriting memiliki produktivitas yang lebih rendah dari pada cabai besar (Berke, 2000). Kegiatan pemuliaan tanaman dalam rangka perakitan varietas unggul baru cabai dengan ukuran buah tertentu sangat diperlukan untuk upaya peningkatan produktivitasnya (Syukur et al., 2010b). Salah satu metode dalam kegiatan pemuliaan tanaman yang dapat dilakukan adalah menggunakan metode analisis silang dialel.

Metode analisis silang dialel dikembangkan untuk memperoleh informasi mekanisme genetik yang terlibat

Analisis Dialel untuk Pendugaan Parameter Genetik Komponen Hasil pada Cabai (Capsicum annuum L.) menggunakan Metode Hayman

Diallel Analysis for Genetic Parameters Study of Yield Component in Pepper (Capsicum annuum L.) using Hayman Method

Muhammad Ridha Alfarabi Istiqlal1, Muhamad Syukur2*, dan Yudiwanti Wahyu2

1Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman, Sekolah Pascasarjana IPB, Jl. Meranti, Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680, Indonesia

2Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Bogor Agricultural University), Jl. Meranti, Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680, Indonesia

Diterima 24 Juli 2013/Disetujui 2 Januari 2014

ABSTRACT

The diallel cross analysis method was developed to obtain genetic information involved in a population formed closely to Hardy-Wienberg equilibrium. The objective of this research was to study the genetic parameters on yield component of crossing on big and curly species of red pepper using Hayman approach for dialel cross-analysis method. This approach used 6 parental genotypes and 30 full-diallel cross combinations F1 hybrids. Appearance of the character was controlled by one up to two groups of positive additive genes. Each character observed has a partial dominance. Dominant genes were found much more in the parental characters of weight per plant (IPBC120), flesh thickness of fruit (IPBC2), fruit diameter (IPBC159), and fruit length (IPBC2). The broad sense heritability values on each character was high. Whereas, narrow sense heritability value for some characters were also high, except for character of weight per plant which were moderate.

Keywords: additive effects, dominant effects, gene, heritability

ABSTRAK

Metode analisis silang dialel dikembangkan untuk memperoleh informasi genetik dalam suatu populasi yang terbentuk mendekati keseimbangan Hardy-Wienberg. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari parameter genetik komponen hasil persilangan cabai besar dan cabai keriting menggunakan metode analisis silang dialel pendekatan Hayman. Pendekatan ini menggunakan 6 genotipe tetua dan 30 F1 hasil kombinasi persilangan dialel lengkap. Penampilan dari karakter yang diamati dikendalikan oleh satu hingga dua kelompok gen positif yang bersifat aditif. Setiap karakter yang diamati memiliki tingkat dominansi parsial. Gen-gen dominan lebih banyak terdapat di dalam tetua pada karakter bobot buah per tanaman (IPBC120), tebal daging buah (IPBC2), diameter buah (IPBC159) dan panjang buah (IPBC2). Nilai heritabilitas arti luas h2

bs pada setiap karakter yang diamati termasuk dalam kategori tinggi. Selain itu, nilai duga heritabilitas arti sempit h2ns

beberapa karakter yang diamati juga termasuk kedalam kategori tinggi kecuali karakter bobot buah per tanaman termasuk ke dalam kategori sedang.

Kata kunci: efek aditif, efek dominan, gen, heritabilitas

Page 37: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 124 - 129 (2014)

125Analisis Dialel untuk Pendugaan......

dalam generasi awal (Hasanuzzaman dan Golam, 2011). Persilangan dialel lengkap akan membentuk populasi yang mendekati keseimbangan Hardy-Wienberg dari suatu populasi kawin acak. Hal ini memungkinkan untuk dilakukannya analisis genetik yang sistematik dan lengkap (Roy, 2000). Metode analisis ini dapat digunakan untuk menduga ragam aditif, dominan, variabilitas genetik, dan nilai heritabilitas setiap karakter pada populasi yang diamati. Analisis ini bermanfaat dalam menentukan potensi seleksi terbaik pada awal generasi yang pada akhirnya akan membantu pemulia dalam menghasilkan tipe cabai berdaya hasil tinggi berdasarkan ukuran tertentu.

Analisis silang dialel dengan pendekatan Hayman ini telah banyak dimanfaatkan untuk mempelajari dasar genetik suatu karakter pada tanaman cabai, antara lain daya hasil (Marame et al., 2009; Sujiprihati et al., 2007; Somashekhar et al., 2008; Syukur et al., 2010b; Hasanuzzaman dan Golam, 2011; Sood dan Kumar, 2011), umur panen (do Rego, et al., 2012), kadar asam capsaicin (Pandey et al., 2012), kadar vitamin C (Pandey et al., 2012), padatan total terlarut (Geleta dan Labuschagne, 2006), laju fotosintesis (Zou, 2007), ketahanan terhadap tobacco mosaic virus (Hou, 2005), ketahanan terhadap virus keriting (Anandhi dan Khader, 2011), dan ketahanan terhadap Phytopthora capsici Leonian (Yunianti et al., 2011).

Pendekatan Hayman dalam analisis dialel dapat digunakan untuk menduga beberapa parameter genetik setiap karakter yang diamati, meliputi interaksi gen, pengaruh aditif dan dominansi, distribusi gen di dalam tetua, tingkat dominansi, simpangan rerata F1 dari rerata tetua, arah dan urutan dominansi, jumlah gen pengendali karakter dan nilai hertabilitas arti luas serta sempit (Hayman, 1954). Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mempelajari parameter genetik karakter komponen hasil cabai menggunakan metode analisis silang dialel pendekatan Hayman.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan Leuwikopo Departemen Agonomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor mulai bulan Oktober 2012 sampai April 2013. Materi genetik yang digunakan adalah 6 genotipe tetua dan 30 hibrid F1 hasil kombinasi persilangan dialel lengkapnya dari cabai koleksi Laboratorium Pendidikan Pemuliaan Tanaman, Departemen Agonomi dan

Hortikultura, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, yaitu cabai semi keriting (IPBC2), cabai besar (IPBC5 dan IPBC19), dan cabai keriting (IPBC111, IPBC120 dan IPBC159). Percobaan dilakukan dengan menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT) satu faktor, yaitu 6 genotipe tetua dan 30 F1 dengan 3 ulangan. Setiap satuan percobaan terdiri atas 20 tanaman dengan 10 tanaman contoh.

Kegiatan percobaan diawali dengan kegiatan penyemaian. Pemupukan dilakukan setelah bibit berumur 2 minggu setelah semai menggunakan pupuk NPK 15:15:15 (10 g L-1 air). Penanaman dilakukan setelah bibit cabai berumur 30 hari setelah semai. Bedengan berukuran 1 m x 5 m dengan jarak antar bedengan 50 cm. Bedengan ditutup dengan mulsa plastik hitam perak dan dibuat lubang tanam dengan jarak 50 cm x 50 cm. Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan, meliputi penyiraman pada pagi dan sore hari, pemupukan setiap satu minggu sekali menggunakan pupuk NPK 15:15:15 (10 g L-1 air) sebanyak 250 mL per tanaman, penyemprotan pestisida dilakukan 2 minggu sekali menggunakan fungisida berbahan aktif Mankozeb (2 g L-1) dan insektisida berbahan aktif Prefonofos (2 mL L-1). Pemanenan dilakukan saat cabai telah mencapai tingkat kematangan 75% yang dilakukan setiap minggu selama 8 minggu.

Pengamatan yang dilakukan meliputi: bobot buah per tanaman, bobot per buah, tebal daging buah, diameter buah, dan panjang buah. Pendugaan parameter genetik diperoleh dari analisis dialel menggunakan pendekatan Hayman (Singh and Chaudhary, 1979).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis ragam menunjukkan perbedaan nyata pada taraf 1% untuk karakter bobot buah per tanaman, bobot per buah, tebal daging buah, diameter buah, dan panjang buah (Tabel 1). Pendugaan parameter genetik menggunakan analisis silang dialel dapat dilakukan jika hasil bagi kuadrat tengah genotipe dan kuadrat tengah galat pada karakter yang diamati memiliki peluang dibawah 0.01 (Singh dan Chaudhary, 1979).

Interaksi Gen

Hasil uji t untuk menguji nilai koefisien regresi b (Wr, Vr) menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (Tabel 2)

Sumber keragaman dbKuadrat tengah

Bobot buah per tanaman Bobot per buah Tebal daging

buah Diameter buah Panjang buah

Ulangan 2 1,154.8742tn 0.2442tn 0.0017tn 1.8584tn 0.7104tn

Genotipe 35 11,462.2556** 23.8584** 0.4025** 51.3397** 21.5592**

Galat 70 2,121.1149 0.8250 0.0211 0.8552 1.7329

Tabel 1. Kuadrat tengah karakter komponen hasil tanaman cabai

Keterangan: * = berpengaruh; ** = berpengaruh nyata pada taraf α = 1%; tn = tidak nyata

Page 38: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 124 - 129 (2014)

126 Muhammad Ridha Alfarabi Istiqlal, Muhamad Syukur, dan Yudiwanti Wahyu

untuk setiap karakter yang diamati. Kondisi ini menunjukkan tidak adanya interaksi antar gen non alelik (aksi gen epistasis) pada setiap gen yang terlibat (Yunianti et al., 2011). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Syukur et al. (2010b), memperlihatkan nilai koefisien regresi b yang tidak berbeda nyata dengan satu dan tidak terdapat aksi gen epistasis yang berperan dalam penampilan bobot buah per tanaman, bobot per buah, diameter buah dan panjang buah pada tanaman cabai. Nilai koefisien regresi b (Wr, Vr) yang tidak berbeda nyata membuat salah satu asumsi dari analisis silang dialel dapat terpenuhi (Roy, 2000).

Pengaruh Aditif (D) dan Dominansi (H1) Setiap karakter yang diamati memiliki nilai pengaruh

aditif (D) dan dominansi (H1) yang nyata (Tabel 2). Pengaruh aditif (D) memiliki nilai yang lebih besar dari nilai pengaruh dominansi (H1) (Tabel 2). Pengaruh aksi gen aditif yang lebih besar dari aksi gen dominan pada setiap karakter memberikan informasi bahwa karakter dapat terwariskan kepada zuriatnya dan dapat disimpulkan bahwa penampilan setiap karakter yang diamati dipengaruhi oleh aksi gen aditif (Anandhi dan Khader, 2011).

Distribusi Gen di dalam Tetua

Nilai H2 merupakan representasi dari distribusi gen pada masing-masing tetua. Karakter bobot buah per tanaman, bobot per buah, tebal daging buah dan diameter buah memiliki distribusi gen yang tidak menyebar merata di dalam tetua, terlihat dari nilai H2 yang nyata (Tabel 2).

Besarnya nilai H1 dibandingkan nilai H2 menunjukkan banyaknya proporsi gen-gen positif yang tersebar pada tetua (Yunianti et al., 2011). Percobaan ini menunjukkan gen-gen positif terlibat lebih banyak dari pada gen-gen negatif dalam menentukan setiap karakter yang diamati, terlihat dari nilai H1 yang lebih besar dari nilai H2 (Tabel 2).

Tingkat Dominansi

Besarnya pengaruh dominansi terlihat dari nilai (H1/D)1/2.. Apabila nilai (H1/D)1/2 antara nol dan satu menunjukkan adanya dominansi parsial (resesif parsial atau dominan parsial), namun bila nilai (H1/D)1/2 lebih dari satu menunjukkan adanya over dominansi (Hayman, 1954). Setiap karakter yang diamati pada percobaan ini memiliki nilai (H1/D)1/2 antara nol dan satu (Tabel 2), dengan demikian setiap karakter yang diamati memiliki tingkat dominansi parsial. Aksi gen aditif yang mempengaruhi setiap karakter mengakibatkan tampilan setiap karakter memiliki kecendrungan mendekati nilai MP (mid-parent) dan tidak overdominan yang melebih tetua terbaik.

Banyaknya gen dominan di dalam tetua juga tercermin dari nilai F yang positif (Yunianti et al., 2011). Karakter bobot per buah memiliki nilai F yang negatif (-5.5274), hal ini menunjukkan bahwa gen-gen dominan tidak terdapat banyak di dalam tetua. Sebaliknya, karakter bobot buah per tanaman, tebal daging buah, diameter buah dan panjang tangkai buah memiliki nilai F yang positif (5,687.2143, 0.2355, 1.6419, dan 10.3722), menunjukkan bahwa banyaknya gen-gen dominan yang terdapat dalam tetua.

Parameter genetik

Bobot buah per tanaman Bobot per buah Tebal daging buah Diameter buah Panjang buah

b (Wr,Vr) 0.9007tn 0.3919tn 1.3308tn 0.7336tn 0.7884tn

D 7,422.6623** 9.4497** 0.4382** 35.3067** 22.1284**

F 5,687.2143** -5.5274tn 0.2355** 1.6419tn 10.3722**

H1 6,395.0622** 3.6734** 0.1343** 7.0980** 5.8022**

H2 4,610.4352** 2.9966** 0.0969** 5.0813** 4.3310tn

h2 78.6786tn 5.9729** 0.0267tn 0.1308tn 7.7591**

E 698.0916** 0.2696tn 0.0068tn 0.2944tn 0.5682tn

(H1/D)1/2 0.9282 0.6235 0.5537 0.4484 0.5121H2/4H1 0.1802 0.2039 0.1804 0.1790 0.1866Kd/Kr 2.4056 0.3614 2.8859 1.1094 2.6879h2/H2 0.0171 1.9932 0.2759 0.0257 1.7915h2

bs 0.8067 0.9695 0.9547 0.9848 0.9313h2

ns 0.4874 0.8848 0.7944 0.9194 0.8002

Tabel 2. Pendugaan parameter genetik komponen hasil tanaman cabai

Keterangan: b (Wr, Vr) = nilai koefisien regresi peragam-ragam, D = pengaruh aditif, F = banyaknya gen dominan, H1 = pengaruh dominansi, H2 = distribusi gen pada tetua, h2 = simpang baku hasil persilangan dari nilai tengah tetua, E = pengaruh lingkungan, (H1/D)1/2 = besarnya pengaruh dsominansi, H2/4H1 = proporsi gen-gen positif terhadap gen-gen negatif, h2/H2 = jumlah kelompok gen pengendali, h2

bs = heritabilitas arti luas, h2ns = heritabilitas arti sempit,* = berpengaruh; ** = berpengaruh nyata pada taraf

α = 1%; tn = tidak nyata

Page 39: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 124 - 129 (2014)

127Analisis Dialel untuk Pendugaan......

Arah dan Urutan Dominansi Urutan dominansi genotipe untuk karakter bobot

buah per tanaman adalah IPBC120 (28.7460), IPBC5 (3,131.0347), IPBC159 (5,476.4094), IPBC2 (5,726.9740), IPBC111 (5,783.3344), dan IPBC19 (8,927.8449) (Tabel 3). Posisi genotipe yang semakin dekat dengan titik nol, menunjukkan genotipe tersebut paling banyak memiliki gen dominan, sebaliknya jika semakin jauh dengan titik nol maka genotipe tersebut paling banyak mengandung gen resesif (Novita et al., 2007). Karakter bobot per buah genotipe IPBC120 mengandung gen dominan terbanyak (Gambar 1) karena terletak paling dekat dari titik nol.

Urutan dominansi genotipe untuk bobot per buah adalah IPBC159 (8.6195), IPBC111 (9.2713), IPBC19 (11.4181), IPBC2 (11.5844), IPBC5 (12.0468) dan IPBC120 (12.8890) (Tabel 3). Posisi genotipe IPBC159 dan IPBC111 pada karakter ini mengelompok pada satu titik, hal ini menunjukkan bahwa kandungan gen dominan dan resesif memiliki kecendungan sama pada kedua genotipe tersebut, selain itu genotipe IPBC19, IPBC2, IPBC2, IPBC5 dan IPBC120 juga mengelompok pada satu titik yang menunjukkan bahwa kandungan gen dominan dan gen resesif pada genotipe tersebut mirip (Gambar 2).

Karakter tebal daging buah memiliki urutan dominansi genotipe sebagai berikut: IPBC2 (0.0852), IPBC19 (0.1995), IPBC159 (0.2366), IPBC120 (0.2851), IPBC5

(0.3451), dan IPBC111 (0.3462) (Tabel 3). Genotipe IPBC2 pada karakter ini merupakan genotipe yang paling banyak mengandung gen dominan, karena paling dekat dengan titik nol (Gambar 3).

Karakter diameter buah memiliki komposisi urutan dominansi genotipe yang berbeda dengan karakter sebelumnya. Urutan dominansinya adalah IPB 159 (17.7451), IPBC111 (23.3565), IPBC19 (27.3768), IPBC5 (30.9036), IPBC120 (32.9361), dan IPBC2 (33.6078) (Tabel 3). Posisi genotipe IPBC159 pada karakter ini paling dekat dengan titik nol, hal ini menunjukkan bahwa kandungan gen dominannya paling banyak, selanjutnya posisi genotipe IPBC2 paling jauh dengan titik nol menunjukkan kandungan gen resesif yang banyak (Gambar 4) pada karakter diameter buah.

Urutan dominansi genotipe untuk karakter panjang buah adalah IPBC2 (7.8672), IPBC120 (11.9580), IPBC5 (12.1140), IPBC159 (12.7334), IPBC19 (13.7562), dan IPBC111 (22.8087) (Tabel 3). Genotipe terkelompok menjadi 2 bagian pada karakter ini berdasarkan kandungan gen dominan dan resesifnya. Genotipe IPBC2 mengandung gen dominan paling banyak karena terletak paling dekat dengan titik nol, selanjutnya bagian kedua genotipe IPBC120, IPBC5, IPBC159, IPBC19, dan IPBC111 merupakan genotipe yang memiliki gen dominan paling sedikit, ditandai dengan posisi yang saling berdekatan dan paling jauh dengan titik nol pada Gambar 5.

Genotipe Bobot buah per tanaman Bobot per buah Tebal daging buah Diameter buah Panjang buah

IPBC2 5,726.9740 11.5844 0.0852 33.6078 8.4663IPBC5 3,131.0347 12.0468 0.3451 30.9036 12.6025IPBC19 8,927.8449 11.4181 0.1995 27.3768 14.7215IPBC111 5,783.3344 9.2713 0.3462 23.3565 15.5717IPBC120 28.7460 12.8890 0.2851 32.9361 14.8476IPBC159 5,476.4094 8.6195 0.2366 17.7451 13.5115

Tabel 3. Distribusi peragam + ragam (Wr + Vr)

Gambar 1. Hubungan peragam (Wr) dan ragam (Vr) untuk karakter bobot buah per tanaman

Gambar 2. Hubungan peragam (Wr) dan ragam (Vr) untuk karakter bobot per buah

Page 40: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 124 - 129 (2014)

128 Muhammad Ridha Alfarabi Istiqlal, Muhamad Syukur, dan Yudiwanti Wahyu

Jumlah Kelompok Gen Pengendali Karakter Nilai h2/H2 menunjukkan jumlah kelompok gen yang

mengendalikan suatu karakter pada suatu tanaman. Karakter bobot buah per tanaman, tebal daging buah dan diameter buah pada percobaan ini memiliki nilai h2/H2 sebesar 0.0171, 0.2759, dan 0.0257 dengan demikian jumlah kelompok gen yang mengendalikan ketiga karakter ini sebanyak satu kelompok gen (pembualatan ke atas). Sementara itu, karakter bobot per buah dan panjang buah memiliki nilai h2/H2 sebesar 1.9932 dan 1.7915 (Tabel 2), hal ini menunjukkan bahwa kedua karakter tersebut dikendalikan oleh dua kelompok gen.

Heritabilitas Pendugaan nilai heritabilitas arti luas (h2

bs) pada setiap karakter yang diamati termasuk dalam kategori tinggi, yaitu bobot buah per tanaman sebesar 0.8067, bobot per buah sebesar 0.9695, tebal daging buah sebesar 0.9547, diameter buah sebesar 0.9848, dan panjang buah sebesar 0.9313. Hal ini menunjukkan bahwa karakter yang diamati dikendalikan oleh faktor genetik (Geleta dan Labuschagne, 2006). Penelitian cabai sebelumnya menunjukkan bahwa nilai heritabilitas arti luas yang tinggi pada karakter berat buah per tanaman (Marame et al., 2008), bobot per buah (Mishra et al., 2004), panjang buah (Sreelathakumary dan Rajamony, 2004), dan diameter buah (Lestari et al., 2006; Tembhume dan Rao, 2012). Selain itu, pada nilai duga heritabilitas arti sempit (h2

ns) pada beberapa karakter termasuk kedalam

kategori tinggi, yaitu bobot per buah sebesar 0.8848, tebal daging buah sebesar 0.7944, diameter buah sebesar 0.9194, dan panjang buah sebesar 0.8002. Nilai duga heritabilitas arti luas (h2

bs) pada beberapa karakter juga tergolong tinggi. Kondisi ini menunjukkan bahwa proporsi ragam aditif setiap karakter yang diamati tergolong tinggi. Sementara itu, nilai duga heritabilitas arti sempit h2

ns, karakter bobot buah per tanaman yang diamati termasuk sedang, yaitu sebesar 0.4874.

KESIMPULAN

Karakter bobot buah per tanaman, tebal daging buah dan diameter buah dikendalikan oleh satu kelompok gen positif yang tidak saling berinteraksi dan memiliki aksi gen aditif, sedangkan karakter panjang buah dikendalikan oleh dua kelompok gen positif yang tidak saling berinteraksi dan juga memiliki aksi gen aditif. Setiap karakter yang diamati memiliki tingkat dominansi parsial. Gen-gen dominan lebih banyak terdapat di dalam genotipe IPBC120 pada karakter bobot buah per tanaman, IPBC2 pada karakter tebal daging buah, IPBC159 pada karakter diameter buah, dan IPBC2 pada karakter panjang buah. Nilai heritabilitas arti luas h2

bs pada setiap karakter yang diamati termasuk dalam kategori tinggi. Nilai duga heritabilitas arti sempit h2

ns beberapa karakter yang diamati juga termasuk kedalam kategori tinggi kecuali karakter bobot buah per tanaman yang diamati termasuk kedalam kategori sedang.

UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada DIKTI

Kemendikbud yang telah membiayai penelitian ini melalui Hibah PEKERTI Tahun 2012 dan Kemenristek yang telah membiayai penelitian ini melalui Hibah Insentif Riset SINas Tahun 2013.

DAFTAR PUSTAKA

Anandhi, K., K.M.A. Khader. 2011. Gene effect of fruit yield and leaf curl virus resistance in interspecific crosses of chilli (Capsicum annuum L. and C. frutescens L.). J. Trop. Agric. 49:107-109.

Gambar 3. Hubungan peragam (Wr) dan ragam (Vr) untuk karakter tebal daging buah

Gambar 4. Hubungan peragam (Wr) dan ragam (Vr) untuk karakter diameter buah

Gambar 5. Hubungan peragam (Wr) dan ragam (Vr) untuk karakter panjang buah

Page 41: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 124 - 129 (2014)

129Analisis Dialel untuk Pendugaan......

Berke, T.G. 2000. Hybrid seed production in capsicum. In Basra (Eds.). Hybrid Seed Production In Vegetables: Rationale and Methods In Selected Crops. Food Products Press. 49-67.

Badan Pusat Statistik. 2011. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Cabai, 2009-2011. http://www.bps.go.id/ [10 September 2012].

do Rego, E.R., F.L.G. Fortunato, M.F. Nascimento, N.F.F. do Nascimento, M.M. do Rego, F.L. Finger. 2012. Inheritance for earliness in ornamental peppers (Capsicum annuum). Acta Hort. (ISHS) 961:405-410.

Geleta, F.L., T.M. Labuschagne. 2006. Combining ability and heritability for vitamin C and total soluble solids in pepper (Capsicum annuum L.). J. Sci. Food Agric. 86:1317-1320.

Hasanuzzaman, H., F. Golam. 2011. Gene action involved in yield and yield contributing trait of chilli (Capsicum annuum L.). Aust. J. Crop. Sci. 5:1868-1875.

Hayman, B.I. 1954. The theory and analysis of diallel cross. Genetics 39:789-809.

Hou, X.L. 2005. Diallel crossing analyses of resistance to main diseases in pepper (Capsicum annuum L.). Agric. Sci. China. 4:589-593.

Lestari, A.D., W. Dewi, W.A. Qosim, M. Rahardja, N. Rostini, R. Setiamihardja. 2006. Variabilitas genetic dan heritabilitas karakter komponen hasil dan hasil lima belas genotip cabai merah. Zuriat 17:94-102.

Marame, F., L. Desalegne, S. Harjit, C. Fininsa, R. Sgvald. 2008. Genetic components and heritability of yield and yield related traits in hot pepper. Res. J. Agric. Biol. Sci. 4:803-809.

Marame, F., L. Desalegne, S. Harjit, C. Fininsa, R. Sgvald. 2009. Genetic analysis for some plant and fruit traits, and its implication for a breeding program of hot pepper (Capsicum annuum var annuum L.). Hetereditas 146:131-140.

Mishra, A.C.M., R.V. Singh, H.H. Ram. 2004. Studies on genetic variability in capsicum (Capsicum annuum L.) under mid hills of Uttaranchal. Capsicum Eggplant News. 23:41-44.

Novita, N., Soemartono, W. Mangoendidjojo, M. Machmud. 2007. Analisis dialel ketahanan kacang tanah (Arachis hypogea L.) terhadap peyakit layu bakteri Ralstonia solanacearum. Zuriat 18:1-9.

Pandey, V., A. Chura, H.K. Pandey, H.S. Meena, M.C. Arya, Z. Ahmed. 2012. Diallel analysis for yiled and yield attributing traits in capsicum (Capsicum annuum L. var. grossum Sendt). Vegetable Sci. 39:136-139.

Roy, D. 2000. Plant Breeding, Analysis and Exploitation of Variation. Narosa. New Delhi.

Singh, R.K., B.D. Chaudhary. 1979. Biometrical Methods in Quantitaive Genetic Analysis. Revised Edition. Kalyani. New Delhi.

Somashekhar, S.A., Patil, P.M. Salimath. 2008. Estimation of gene effect for fruit yield and its components in chilli (Capsicum annuum L.). Karnataka J. Agric. Sci. 21:181-183.

Sujiprihati, S., R. Yunianti, M. Syukur, Undang. 2007. Pendugaan nilai heterosis dan daya gabung beberapa komponen hasil pada persilangan full dialel enam genotipe cabai (Capsicum annuum L.). Bul. Agron. 35:28-35.

Sreelathakumary, I., L. Rajamony. 2004. Variability, heritability and genetic parameters of hot pepper (Capsicum annuum L.). J. Trop. Agric. 42:35-37.

Syukur, M., S. Sujiprihati, R. Yunianti, D.A. Kusumah. 2010a. Yield evaluation of pepper hybrids and their adaption at four location in two years. J. Agron. Indonesia 38:43-51.

Syukur, M., S. Sujiprihati, R. Yunianti, Undang. 2010b. Diallel analysis using hayman method to study genetic parameters of yield components in pepper (Capsicum annuum L.). Hayati J. Biosci. 17:183-188.

Tembhume, B.V., S.K. Rao. 2012. Heterosis and combining ability in CMS based hybrid chilli (Capsicum annuum L.). J. Agric. Sci. 4(10).

Yunianti, R., S. Sastrosumarjo, S. Sujiprihati, M. Surahman, S.H. Hidayat. 2011. Diallel analysis of chilli (Capsicum annuum L.) resistance to Phytophthora capsici Leonian. J. Agron. Indonesia. 39:168-172.

Zou, X.X. 2007. Combining ability analyses of net photosynthesis rate in pepper (Capsicum annuum L.). Agric. Sci. China. 6:159-166.

Page 42: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 130 - 135 (2014)

130 Raisa Baharuddin, M.A. Chozin, dan Muhamad Syukur

* Penulis untuk korespondensi. e-mail: [email protected]

PENDAHULUAN

Tomat merupakan salah satu komoditas pertanian yang bernilai ekonomi tinggi dan banyak diusahakan secara komersial. Produksi tomat Indonesia tahun 2012 mengalami penurunan dibandingkan tahun 2011 yaitu dari 954.046 ton menjadi 887.556 ton (BPS, 2012). Penurunan produksi ini disebabkan oleh dua faktor, yaitu penurunan luas panen dan penurunan produktivitas tanaman.

Berdasarkan data statistik BPS (2012) penurunan produksi disebabkan oleh penurunan luas panen tanaman tomat sebesar 2.20%. Upaya peningkatan produksi tomat antara lain dapat dicapai melalui perluasan areal. Namun, konversi lahan pertanian semakin meningkat dan beralih fungsi menjadi lahan non pertanian (pemukiman, perkotaan dan infrastruktur, serta kawasan industri). Oleh karena itu, pemanfaatan lahan di bawah tegakan pohon secara tumpang sari atau tanaman sela pada tanaman kehutanan, perkebunan, maupun pekarangan dapat dijadikan alternatif pengembangan budidaya tomat. Tanaman tomat memiliki potensi untuk dikembangkan dengan sistem pertanaman berganda sebagai tanaman sela di bawah tegakan (Manurung

Toleransi 20 Genotipe Tanaman Tomat terhadap Naungan

Shade Tolerance of 20 Genotypes of Tomato (Lycopersicon esculentum Mill)

Raisa Baharuddin1*, M.A. Chozin2, dan Muhamad Syukur2

1Program Studi Agronomi dan Hortikultura, Sekolah Pascasarjana IPBJl. Meranti, Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680, Indonesia

1Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Bogor Agricultural University), Jl. Meranti, Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680, Indonesia

Diterima 6 November 2013/Disetujui 2 April 2014

ABSTRACT

Low light intensity is a limiting factor in the intercropping system. The aim of this study was to evaluate the production and fruit quality of 20 tomato genotypes under shading condition. This study was conducted at Cikabayan experimental station-University Farm of IPB from January to April 2013. The research was arranged in a nested design with three replicates. The main plot was shading intensity consisted of four levels, i.e., 0, 25, 50, and 75%, while the sub plot was 20 genotypes of tomato. Results of this study showed that the number and weight of fruit per plant under 25% shade were increased for most of the tested genotypes, while under 50% shade showed a high diversity among genotypes. Based on relative production under 50% shade, genotypes can be grouped into four, i.e: sensitive, tolerant, moderate, and shade-ecotype-like genotypes. 50% shade significantly affected total soluble solids and total titrated acid, but did not significantly the firmness of fruit of shade-ecotype-like genotypes.

Keywords: intercropping, production, shade, quality

ABSTRAK

Intensitas cahaya rendah merupakan faktor pembatas dalam budidaya tumpang sari. Sampai saat ini belum banyak dilaporkan varietas unggul tomat toleran terhadap naungan. Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi produksi dan kualitas buah 20 genotipe tomat terhadap tingkat naungan. Penelitian ini dilaksanakan bulan Januari-April 2013 di Kebun Percobaan Cikabayan, IPB. Penelitian disusun dalam rancangan tersarang dengan petak utama dan anak petak adalah naungan dan genotipe tomat. Faktor naungan terdiri atas 4 taraf, yaitu 0, 25, 50, dan 75%. Faktor genotipe terdiri atas 20 genotipe. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah dan bobot buah per tanaman pada sebagian besar genotipe meningkat pada naungan 25%, sementara di bawah naungan 50% menunjukkan keragaman tinggi antar genotipe. Berdasarkan produksi relatif pada naungan 50%, genotipe tersebut dapat dikelompokan menjadi empat yaitu genotipe peka, toleran, moderat, dan senang naungan. Pemberian naungan 50% memberikan pengaruh nyata terhadap padatan total terlarut dan total asam tertitrasi buah tomat, namun tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kekerasan buah pada genotipe senang naungan.

Kata kunci: kualitas, naungan, produksi, tumpang sari

Page 43: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 130 - 135 (2014)

131Toleransi 20 Genotipe Tanaman......

et al., 2008). Sistem pertanaman berganda dapat mengurangi resiko kegagalan panen, memanfaatkan lahan dan energi sinar matahari secara efesien, mengurangi cekaman biotik dan meningkatkan produktivitas tanaman (Adiyoga et al., 2004).

Kendala yang dihadapi pada sistem pertanaman berganda ataupun pola pertanaman di bawah tegakan pepohonan adalah penurunan intensitas cahaya yang diterima oleh tanaman. Kekurangan cahaya pada tanaman tomat yang ditanam di bawah tegakan pohon ataupun sebagai tanaman sela, menyebabkan terganggunya proses fotosintesis yang berimplikasi pada turunnya metabolisme dan rendahnya sintesis karbohidrat yang dihasilkan. Akibatnya laju pertumbuhan dan produktivitas tomat di bawah naungan menjadi rendah. Menurut Manurung et al. (2008), pada sistem agroforestri dengan cekaman cahaya rendah (32-174*1,000 lux) menurunkan produksi tomat per tanaman sebesar 26.6% dibandingkan dengan cahaya penuh. Oleh karena itu perlu dipelajari respon genotipe-genotipe tomat yang digunakan terhadap kondisi cekaman naungan.

Penggunaan varietas yang mampu tumbuh dan berkembang serta berproduksi dengan baik pada cekaman naungan sangat penting untuk dapat memanfaatkan lahan di bawah tegakan tanaman perkebunan (Sopandie et al., 2003). Namun, sampai saat ini masih sangat sedikit hasil penelitian mengenai potensi pengembangan tomat terhadap naungan, sehingga varietas unggul tomat toleran terhadap naungan belum tersedia. Penentuan varietas unggul tomat toleran naungan dapat dilihat dari produksi relatif (Djukri dan Purwoko, 2003), sehingga perlu dilakukan evaluasi hasil tomat terhadap berbagai tingkat naungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi produksi dan kualitas hasil 20 genotipe tanaman tomat terhadap tingkat naungan.

BAHAN DAN METODE

Bahan genetik yang digunakan adalah 20 genotipe tomat koleksi bagian Genetika dan Pemuliaan Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB. Bahan genetik tersebut berasal dari varietas lokal, komersial dan introduksi. Bahan lainnya adalah NPK 16-16-16, insektisida, dan polibag ukuran 35 x 35 cm (6 kg tanah).

Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai April 2013 di kebun percobaan Cikabayan, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Rancangan yang digunakan adalah rancangan tersarang (nested design) dengan tiga ulangan. Faktor yang diuji adalah taraf naungan dan genotipe tomat. Faktor naungan terdiri atas 4 taraf yaitu naungan 0%, 25%, 50%, dan 75%. Faktor genotipe tomat terdiri atas 20 genotipe yaitu: Intan, GIK, SSH 3, Karina, Roma, Rempai, Apel, SSH 9, SSH 10, M4HH, Bogor, Medan 4, Kediri 1, Papua 2, Montero, Fatma, Ratna, Delana, Palupi, dan Mawar. Setiap satuan percobaan terdiri atas 5 tanaman.

Benih tomat dikecambahkan terlebih dahulu di atas kertas tissue yang telah dibasahi dan disimpan di tempat yang tidak terkena cahaya langsung selama 4 hari. Benih yang telah berkecambah dipindahkan ke media semai. Media semai berupa campuran tanah dan kascing dengan

perbandingan 1:1. Perlakuan naungan dilaksanakan dengan memasang paranet hitam pada semua sisi rangka naungan dengan tinggi naungan 1.8 m di atas permukaan tanah. Rangka terbuat dari bambu dengan arah pemasangan dari timur ke barat untuk mendapatkan sinar matahari yang maksimum. Bibit tomat yang berumur empat minggu dipindah tanam ke polibag. Media tanam yang digunakan adalah tanah dan pupuk kandang (1:1/v:v). Polibag ditempatkan dengan jarak 50 cm x 70 cm. Penanaman sesuai dengan standar teknik budidaya tomat.

Karakter yang diamati pada percobaan ini meliputi jumlah buah per tanaman, produksi, dan kualitas hasil. Komponen kualitas hasil meliputi kekerasan buah, padatan total terlarut (PTT), dan total asam tertitrasi (TAT). Tingkat toleransi ditentukan berdasarkan produksi relatif buah tomat pada tingkat naungan yang menghasilkan keragaman yang tertinggi (Djukri dan Purwoko, 2003). Pengelompokan tingkat toleransi tanaman ditetapkan berdasarkan persentase produksi relatif tanaman (Elfarisna, 2000). Produksi relatif adalah persen terhadap kontrol. Produksi relatif <60% (genotipe peka), 60-80% (genotipe moderat), >80% (genotipe toleran), dan >100% (genotipe senang naungan). Analisis antar perlakuan diuji menggunakan Beda Nyata Jujur (BNJ) taraf α = 0.05 menggunakan SAS 9.0.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi antar genotipe dan naungan berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah buah per tanaman, produksi, kekerasan buah, padatan total terlarut, dan total asam tertitrasi (Tabel 1). Naungan 25% menyebabkan peningkatan produksi tomat pada sebagian besar genotipe yang diuji dengan peningkatan tertinggi dihasilkan oleh genotipe Roma sebesar 210% dari kontrol (Tabel 2). Pemberian naungan 0%-50% menghasilkan produksi yang lebih tinggi dibanding naungan 75%. Hal ini karena intensitas cahaya matahari yang diterima tanaman lebih tinggi sehingga akan mempengaruhi ketersediaan energi cahaya yang diubah menjadi energi kimia (Pantilu et al., 2012). Energi kimia tersebut adalah proses fotosintesis yang menghasilkan karbohidrat untuk digunakan tanaman dalam proses pertumbuhan dan produksinya. Berdasarkan data hasil pengamatan di lapangan, rata-rata intensitas cahaya yang diterima pada masing-masing naungan sebesar 1,417*1,000 lux pada naungan 0%, 1,064*1,000 lux pada naungan 25%, 646*1,000 lux pada naungan 50%, dan 428*1,000 lux pada naungan 75%. Manurung et al. (2008) menyatakan bahwa pertumbuhan tomat optimal pada areal terbuka sebesar 482-540*1,000 lux.

Produksi relatif pada setiap naungan merupakan salah satu dasar penentuan genotipe tomat kelompok toleran, moderat, peka, atau senang naungan. Pemberian naungan 25% meningkatkan produksi relatif pada semua genotipe kecuali genotipe GIK, Karina, SSH 10, dan Ratna. Sedangkan naungan 75% menurunkan produksi relatif 10-97%. Berdasarkan produksi relatif, pemberian naungan 50% menghasilkan keragaman yang tinggi antar genotipe yaitu sebesar 32%. Nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan

Page 44: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 130 - 135 (2014)

132 Raisa Baharuddin, M.A. Chozin, dan Muhamad Syukur

dengan keragaman pada naungan 25% (16%) dan 75% (6%). Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka pada penelitian ini naungan 50% dijadikan dasar penentuan toleransi

tanaman tomat. Djukri dan Purwoko (2003) menyatakan bahwa naungan 50% dipilih untuk menyaring klon talas toleran naungan.

PeubahNaungan Genotipe Interaksi

KT F-hitung KT F-hitung KT F-hitungProduksi per tanaman 2,134,075.00 143.95** 49,315.00 3.33** 32667 2.20**Jumlah buah per tanaman 18,040.00 181.75** 335.65 10.14** 70.91 2.14**Kekerasan buah 0.10 93.46** 0.06 54.04** 0.02 19.10**PTT 38.72 179.40** 4.91 22.79** 3.94 18.27**TAT 39,130.00 70.22** 69,878.00 125.39** 43175 77.48**

Tabel 1. Analisis ragam pengaruh naungan dan genotipe terhadap peubah yang diamati

Keterangan: KT = Kuadrat Tengah; PTT = Padatan Total Terlarut; TAT = Total Asam Teritrasi; ** = berpengaruh nyata pada taraf 1%

GenotipeNaungan

0% 25% 50% 75%Peka ..............................................................................g......................................................................................Rempai 228.98a 331.43a (145) 135.17a (59) 7.75a (3)Delana 455.43a 558.87a (123) 261.66a (57) 0.00b (0)Rata-rata 342.21 445.15 (130) 198.41(58) 3.87 (1)ModeratIntan 325.98 470.83 (144) 241.37 (74) 45.00 (14)ToleranGIK 356.89a 319.88b (90) 296.33a (83) 62.87a (18)Roma 326.33a 685.25ab (210) 302.45a (93) 0.00b (0)SSH 9 429.04a 670.28ab (156) 396.95a (93) 37.08a (9)SSH 10 413.37a 337.58b (82) 374.85a (91) 87.51a (21)Bogor 233.70a 324.68b (139) 214.63a (92) 83.62a (36)Kediri 1 300.44a 358.38b (119) 253.43a (84) 22.88a (8)Montero 499.77a 816.94a (163) 443.96a (89) 25.25a (5)Ratna 526.02a 391.92b (75) 488.38a (93) 0.00b (0)Mawar 355.81a 515.68ab (145) 333.41a (94) 35.06a (90)Rata-rata 382.37 491.18 (128) 344.93 (90) 39.36 (10)Senang naunganSSH 3 280.60a 544.21a (193) 343.58a (122) 0.00b (0)Karina 338.68a 331.04a (98) 362.57a (107) 30.08b (9)Apel 298.49a 457.75a (153) 366.25a (123) 23.52b (8)M4HH 229.20a 308.96a (135) 411.67a (180) 35.48b (15)Medan 4 315.65a 475.84a (151) 323.23a (102) 43.05ab (14)Papua 2 349.32a 509.19a (146) 490.69a (140) 30.60b (9)Fatma 324.95a 406.79a (125) 511.86a (158) 0.00b (0)Palupi 214.20a 391.45a (183) 330.88a (154) 108.98a (51)Rata-rata 293.89 428.15 (145) 392.59 (133) 33.96 (12)

Tabel 2. Produksi per tanaman dengan beberapa intensitas naungan pada 20 genotipe tomat

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama pada kelompok tingkat toleransi menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata menurut BNJ pada α= 5%. Angka di dalam kurung menunjukkan persentase relatif terhadap kontrol

Page 45: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 130 - 135 (2014)

133Toleransi 20 Genotipe Tanaman......

Berdasarkan produksi relatif keduapuluh genotipe dapat dibedakan menjadi kelompok genotipe peka, moderat, dan senang naungan (Tabel 2). Pemberian naungan 50% dapat meningkatkan produksi per tanaman pada genotipe senang naungan hingga 33%. Genotipe peka, moderat, dan toleran menunjukkan penurunan produksi relatif masing-masing 42%, 26%, dan 10% pada naungan 50%. Peningkatan produksi relatif tertinggi pada taraf naungan 50% ditunjukkan oleh genotipe M4HH yaitu 80%, sedangkan genotipe Delana mengalami penurunan produksi relatif tertinggi yaitu 43%.

Peningkatan produksi pada genotipe senang naungan diduga karena pemberian naungan 50% menurunkan suhu sampai pada titik yang mungkin dapat mengurangi tingkat respirasi. Pemberian naungan 50% mengakibatkan suhu yang didapat tanaman lebih rendah (27 oC) dibandingkan dengan perlakuan tanpa naungan (29 oC). Menurunnya tingkat respirasi akan menurunkan proses pembakaran karbohidrat, sehingga akan lebih banyak terakumulasi pada buah. Hasil tersebut sesuai dengan Khattak et al. (2007), yang menyatakan bahwa produksi tomat meningkat sebesar 25% dengan pemberian naungan 55%.

Selain faktor lingkungan, faktor genotipe berpengaruh terhadap respon tanaman. Genotipe toleran memiliki kemampuan aktivitas fotosintesis yang relatif tinggi pada kondisi ternaungi sehingga dapat menghasilkan fotosintat yang memadai untuk pertumbuhan dan produksi tanaman. Sopandie et al. (2003), Sasmita et al. (2006), dan Soverda (2011) melaporkan bahwa genotipe padi gogo dan kedelai toleran pada naungan 50% menghasilkan produksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe peka.

Produksi per tanaman dipengaruhi oleh jumlah buah (Muhsanati et al., 2009) dan ukuran buah (Sandra et al., 2003) yang dihasilkan. Hubungan jumlah buah dengan produksi per tanaman berkorelasi positif namun tidak nyata.

Pemberian naungan 25% meningkatkan jumlah buah per tanaman pada semua kelompok genotipe. Genotipe moderat yaitu Intan memberikan peningkatan jumlah buah tertinggi yaitu 82% kontrol (Gambar 1). Namun pada naungan 50%, jumlah buah per tanaman mengalami penurunan pada semua genotipe kecuali genotipe senang naungan mengalami peningkatan sebesar 5%. Kondisi naungan 75% menurunkan jumlah buah per tanaman pada semua genotipe terutama pada genotipe peka sebesar 97%. Genotipe senang naungan mampu menghasilkan jumlah buah per tanaman yang lebih tinggi dibanding dengan genotipe peka. Hal ini diduga karena kemampuan genotipe tersebut untuk membentuk jumlah buah yang lebih banyak dan mampu mengefesienkan cahaya yang diterima.

Pemberian naungan juga mempengaruhi kualitas buah tomat (Wada et al., 2006; Gent, 2007). Hasil analisis menunjukkan bahwa genotipe toleran, moderat, dan senang naungan tidak berbeda nyata menurunkan nilai kekerasan buah pada naungan 50% (Tabel 3), berbeda dengan genotipe peka yang nyata menurunkan nilai kekerasan buah dengan meningkatnya naungan. Nilai kekerasan buah pada genotipe peka dengan kondisi tanpa naungan sebesar 0.38 mm g-1 s-1 dan dengan pemberian naungan 50% sebesar 0.31 mm g-1 s-1 (Tabel 3).

Nilai kekerasan buah menunjukkan tingkat kedalaman jarum yang ditusukkan ke buah. Semakin dalam tusukan atau semakin besar nilai kekerasan buah menunjukkan buah tersebut semakin lunak. Hal ini dikarenakan jumlah buah per tanaman pada genotipe peka lebih rendah dibandingkan genotipe lainnya. Genotipe peka dengan pemberian naungan 50% menurunkan jumlah buah hingga 51%. Menurut Setyorini et al. (2009) terjadi korelasi negatif antara kekerasan buah dengan jumlah buah per tanaman. Semakin sedikit jumlah buah per tanaman akan semakin tebal daging buah tomat dan semakin keras buah tomat yang dihasilkan.

Gambar 1. Perubahan jumlah buah per tanaman terhadap naungan 0%

Page 46: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 130 - 135 (2014)

134 Raisa Baharuddin, M.A. Chozin, dan Muhamad Syukur

Pemberian naungan 50% pada genotipe peka, toleran, dan senang naungan nyata menurunkan nilai kandungan padatan total terlarut (Tabel 3). PTT adalah indeks yang menunjukkan proporsi refraktometrik (Brixo) dari padatan terlarut dalam suatu larutan. Ini adalah jumlah dari gula (sukrosa dan heksosa, 65%), asam (sitrat dan malat, 13%) dan komponen kecil lainnya (fenol, asam amino, pektin larut, asam askorbat dan mineral) dalam daging buah tomat (Balibrea et al., 2006; Kader, 2008).

Penurunan nilai padatan total terlarut buah tomat dengan pemberian naungan, sesuai dengan penelitian Dussi et al. (2005) dan Ilić et al. (2012) yang menunjukkan naungan menurunkan nilai padatan total terlarut pada buah apel dan tomat. Penurunan nilai padatan total terlarut pada kondisi ternaungi disebabkan oleh menurunnya kandungan gula pada tomat (Ilić et al., 2012). Dengan demikian, naungan menjadi faktor penghambat tanaman dalam mensintesis sukrosa (aktivitas fotosintesis) sehingga

menurunkan akumulasi glukosa dan fruktosa dalam buah-buahan, dan mengubah padatan total terlarut buah (Caliman et al., 2010).

Pemberian naungan 50% pada genotipe peka tidak menyebabkan perbedaan yang nyata terhadap nilai total tertitrasi buah (Tabel 3). Genotipe moderat dan toleran menurunkan total asam tertitrasi buah, sedangkan genotipe senang naungan meningkatkan nilai total asam tertitrasi pada naungan 50%. Nilai total asam tertitrasi dipengaruhi oleh asam organik buah. Kandungan asam organik yang diproduksi dalam buah berasal dari karbohidrat yang tersimpan. Caliman et al. (2010) menambahkan bahwa asam organik buah dapat dipengaruhi juga oleh faktor lingkungan. Kondisi yang ternaungi dapat menurunkan laju fotosintesis tanaman sehingga akumulasi karbohidrat pada buah rendah. Perbedaan nilai total asam tertitrasi pada penelitian ini, diduga lebih dipengaruhi oleh kandungan asam organik pada buah tersebut dibandingkan faktor lingkungan (naungan).

DAFTAR PUSTAKA

Adiyoga, W., R. Suherman, N. Gunadi, A. Hidayat. 2004. Aspek nonteknis dan indikator efisiensi sistem pertanaman tumpang sari sayuran dataran tinggi. J. Hortikultura 14:217-227.

Badan Pusat Statistika. 2012. Produksi Sayuran Indonesia 1998-2012. http://www.bps.go.id.html [10 Juni 2013].

Balibrea, M.E., C. Martinez-Andujar, J. Cuartero, M.C.

Bolarin, F. Perez-Alfocea. 2006. The high fruit soluble sugar content in wild Lycopersicon species and their hybrids with cultivars depends on sucrose import during ripening rather than on sucrose metabolism. Funct. Plant Biol. 33:279-288.

Caliman, F.B.R, D.J. Henriques da Silva, P.C. Stringheta, P.C.R. Fontes, G.R. Moreira, E.C. Mantovani. 2010. Quality of tomatoes grown under a protected environment and field conditions. IDESIA. 28:75-82.

GenotipeKekerasan buah (mm g-1 s-1) PTT (oBrix) TAT (%)

0% 50% 0% 50% 0% 50%Peka 0.38a 0.31b 4.43a 3.63b 0.20a 0.22aModerat 0.27a 0.30a 5.00a 5.00a 0.33a 0.17bToleran 0.32a 0.35a 4.77a 4.03b 0.22a 0.20bSenang naungan 0.30a 0.29a 5.53a 4.27b 0.18b 0.19a

Tabel 3. Nilai kekerasan buah, padatan total terlarut dan total asam tertitrasi buah tomat pada naungan 0 dan 50%

Keterangan: Angka pada baris yang sama pada masing-masing komponen kualitas buah yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata menurut uji kontras (α = 5%); PTT = padatan total terlarut; TAT = total asam tertitrasi

KESIMPULAN

Sebagian besar genotipe yang diuji menunjukkan peningkatan jumlah dan bobot buah per tanaman dengan naungan 25%, sedangkan pada naungan 50% terdapat keragaman yang tinggi antar genotipe. Berdasarkan produksi relatif, pada tingkat naungan 50%, 20 genotipe yang diuji dapat dikelompokkan menjadi 4 kelompok yaitu, genotipe peka (Rempai dan Delana), toleran (GIK, Roma, SSH 9, SSH 10, Bogor, Kediri 1, Montero, Ratna, Mawar), moderat (Intan) dan senang naungan (SSH 3, Karina, Apel, M4HH, Medan 4, Papua 2, Fatma, Palupi). Pemberian naungan tidak mempengaruhi kekerasan dan total asam tertitrasi buah, namun menurunkan nilai padatan total terlarut buah tomat pada pada genotipe senang naungan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih disampaikan kepada Kementerian Riset dan Teknologi yang telah membiayai penelitian ini melalui Hibah Insentif SINAS tahun 2013.

Page 47: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 130 - 135 (2014)

135Toleransi 20 Genotipe Tanaman......

Djukri, B.S. Purwoko. 2003. Pengaruh naungan paranet terhadap sifat toleransi tanaman talas (Colocasia esculenta (L.) Schott). Ilmu Pertanian. 10:17-25.

Dussi, M.C., G. Giardina, D. Sosa, R. González Junyent, A. Zecca, P. Reeb. 2005. Shade nets effect on canopy light distribution and quality of fruit and spur leaf on apple cv. Fuji. Span J. Agr Research. 3:253-260.

Elfarisna. 2000. Adaptasi kedelai terhadap naungan: Studi morfologi dan anatomi. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Gent, M.P.N. 2007. Effect of degree and duration of shade on quality of greenhouse tomato. Hortscience 42:514-520.

Ilic, Z.S., L. Milenkovic, L. Sunic, L. Stanojevic, M.B. Solarov, D. Marinković. 2012. Tomato fruits quality as affected by light intensity using color shade nets. Page 414-418. Proceedings. 47th Croatian and 7th International Symposium on Agriculture. Croatia.

Kader, A.A. 2008. Flavor quality of fruits and vegetables. J. Sci. Food Agric. 88:1863-1868.

Khattak, A.M, A. Salam, K. Nawab. 2007. Response of exotic tomato lines to different light intensities. Sarhad J. Agric. 23:927-932.

Manurung, G.E.S., A.D. Susila, J. Roshetko, M.C. Palada. 2008. Findings and challenges: can vegetables be productive under tree shade management in West Java? SANREM-TMPEGS Publication.Virginia. 8:2-17.

Muhsanati, R. Mayerni, T.G.P. Sari. 2009. Pengaruh pemberian naungan terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman stroberi (Fragaria x annasa). Jerami 2:31-34.

Pantilu, L.I., F.R. Mantiri, N. Song Ai, D. Pandiangan. 2012. Respon morfologi dan anatomi kecambah kacang kedelai (Glycine max (L.) Merill) terhadap intensitas cahaya yang berbeda. J. Bioslogos. 2:79-87.

Sandra, M.A., J.L. Andriolo, M. Witter, T.D. Ross. 2003. Effect of shading on tomato plants grown under greenhouse. Hort. Brasilias. 21:642-645.

Sasmita, P., B.S. Purwoko, S. Sujiprihati, I. Hanarida, I.S. Dewi, M.A Chozin. 2006. Evaluasi pertumbuhan dan produksi padi gogo haploid ganda toleran naungan dalam sistem tumpang sari. Bul. Agron. 34:79-86.

Setyorini, D., D. Indradewa, E. Sulistyaningsih. 2009. Kualitas buah tomat pada pertanaman dengan mulsa plastik berbeda. J. Hort. 19:407-412.

Sopandie, D., M.A. Chozin, S. Sastrosumarjo, T. Juhaet, Sahardi. 2003. Toleransi padi gogo terhadap naungan. Hayati. 10:71-75.

Soverda, N. 2011. Studi karakteristik fisiologi fotosintetik tanaman kedelai toleran terhadap naungan. Jurnal Ilmu Pertanian Kultivar. 5:42-52.

Wada, T., H. Ikeda, K. Matsushita, A. Kambara, H. Hirai, K. Abe. 2006. Effects of shading in summer on yield and quality of tomatoes grown on a single-truss system. J. Japan. Soc. Hort. Sci. 75:51-58.

Page 48: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 136 - 141 (2014)

136 Siti Kurniawati, Nurul Khumaida, Sintho Wahyuning Ardie, N. Sri Hartati, dan Enny Sudarmonowati

* Penulis untuk korespondensi. e-mail: [email protected]

Pola Akumulasi Prolin dan Poliamin Beberapa Aksesi Tanaman Terung pada Cekaman Kekeringan

Proline and Polyamine Accumulation Patterns of Eggplant Accessions in Respond to Drought Stress

Siti Kurniawati1*, Nurul Khumaida2, Sintho Wahyuning Ardie2, N. Sri Hartati1, dan Enny Sudarmonowati1

1Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan IndonesiaJl. Raya Bogor Km 46, Cibinong, Bogor 16911, Indonesia

2Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Bogor Agricultural University), Jl. Meranti, Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680, Indonesia

Diterima 28 Agustus 2013/Disetujui 24 Januari 2014

ABSTRACT Drought stress is one of the major limiting factors for plant growth and production. Therefore, the mechanism of

drought tolerance is important to be studied. Eggplant (Solanum spp.) is relatively tolerant to drought stress compared to other member of Solanaceae family. The objective of this study was to study the mechanism of drought tolerance in eggplant related to accumulation pattern of proline and polyamines. Seven eggplant accessions were drought stressed for 21 days and rewatered for the following next 7 days. Drought stress treatment significantly decreased the soil water content and reduced plant height of all accessions. Eggplant responded the drought stress by reducing stomatal density and stomatal opening to reduce transpiration rate. Drought stress also induced proline and polyamine (PA) accumulation in the leaf tissues. These accumulations started at 14-days after drought stress period when soil water content less than 20% and reached their peaks at 21 days after drought stress. The highest level of proline (134.70 μmol g-1) and that of putrescine (20.836 ng g-1) could be used as indicators for eggplant drought stress condition.

Keywords: physiological responses, polyamine (PA), proline, putrescine, stomata

ABSTRAK

Kekeringan merupakan salah satu faktor lingkungan utama yang dapat menghambat pertumbuhan dan produksi tanaman. Oleh karena itu, mempelajari mekanisme adaptasi tanaman terhadap cekaman kekeringan menjadi topik penelitian yang sangat penting. Terung (Solanum spp.) termasuk salah satu tanaman sayuran yang cukup memiliki ketahanan terhadap kekeringan jika dibandingkan dengan anggota dari keluarga Solanaceae lainnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari mekanisme adaptasi beberapa aksesi tanaman terung terhadap cekaman kekeringan terutama pola akumulasi senyawa osmotikum prolin dan poliamin. Penelitian ini menggunakan 7 aksesi terung yang mendapatkan perlakuan cekaman kekeringan selama 21 hari dan 7 hari pengairan kembali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cekaman kekeringan secara nyata menurunkan kadar air media yang menyebabkan penghambatan pertumbuhan tanaman pada semua aksesi terung. Respon tanaman terung ketika tercekam kekeringan ditunjukkan dengan penurunan kerapatan jumlah stomata dan persentasi stomata terbuka untuk mengurangi laju transpirasi yang berlebihan. Kekeringan juga menyebabkan terjadinya akumulasi senyawa prolin dan poliamin (PA) pada jaringan daun terung. Akumulasi prolin terjadi sejak 14 HSP cekaman kekeringan ketika kadar air media mencapai kurang dari 20% dan akumulasi meningkat pada 21 HSP cekaman kekeringan. Kadar prolin tertinggi (134.70 μmol g-1) dan kadar putresin tertinggi (20.836 ng g-1) dapat dijadikan indikator tercekamnya terung terhadap kekeringan.

Kata kunci: respon fisiologi, poliamin (PA), prolin, putresin, stomata

PENDAHULUAN

Terung (Solanum melongena L., Solanaceae) merupakan salah satu tanaman sayuran yang tumbuh pada iklim hangat, mempunyai manfaat luas sebagai sumber vitamin dan mineral (Demir et al., 2010), khususnya

kandungan zat besi yang lebih baik jika dibandingkan dengan tomat (Kashyap et al., 2002). Tanaman ini dapat tumbuh di daerah tropis dan subtropis. Produksi terung di Indonesia tahun 2012 (518,448 ton) jauh lebih rendah jika dibandingkan produksi tomat (887,556 ton) dan kentang (1,068,800 ton) (BPS, 2013). Namun berdasarkan data FAO tahun 2011, Indonesia merupakan negara penghasil terung ke enam dunia setelah China, India, Iran, Mesir dan Turki meski masih dalam jumlah yang jauh lebih kecil dari China

Page 49: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 136 - 141 (2014)

137Pola Akumulasi Prolin dan......

dan India. Perhatian terhadap komoditas terung di Indonesia terutama dalam pemuliaan tanaman masih sangat kurang. Oleh karena itu perbaikan tanaman terung perlu dilakukan.

Selain kandungan nutrisi, menurut Behboudian (1977) tanaman terung memiliki sifat ketahanan terhadap kekeringan yang tinggi dibandingkan tanaman sayuran lainnya. Tanaman terung lebih tahan terhadap kekeringan dan curah hujan yang tinggi jika dibandingkan dengan tomat, tetapi pertumbuhannya akan terhambat pada kondisi suhu tinggi yang dapat menyebabkan kekerdilan tanaman (Chen dan Li, 1996). Kekeringan merupakan faktor lingkungan utama yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan stabilitas produksi tanaman. Tanaman dengan sifat toleransi yang baik terhadap berbagai cekaman abiotik dan salah satunya adalah kekeringan menjadi topik yang menarik untuk dipelajari.

Pada dasarnya, tanaman memiliki mekanisme tertentu untuk mempertahankan diri terhadap cekaman kekeringan dan cekaman lain yang ditimbulkan oleh cekaman kekeringan. Respon morfologi dan struktur anatomi daun terkait dengan mekanisme adaptasi terhadap kekeringan pada terung telah diteliti oleh Fu et al. (2013), diperoleh hasil bahwa kerapatan dan jumlah trikom bagian atas daun terung lebih tinggi serta meningkat sekitar 20% pada kondisi tercekam sedangkan jumlah kloroplas per sel lebih rendah dan bentuknya menjadi bulat dengan struktrur membran yang rusak, jumlah granul osmiophilic meningkat dan jumlah butir pati menurun. Menurut Radwan (2007), cekaman dapat memacu tanaman untuk beradaptasi secara morfologi dan anatomi.

Mekanisme toleransi terhadap kekeringan selain berkurangnya kerapatan dan pembukaan stomata untuk meminimalisir kehilangan air di bawah kondisi cahaya berlebihan yaitu dengan mengakumulasi senyawa prolin yang berfungsi untuk pengaturan tekanan osmotik sel (osmotic adjustment). Akumulasi prolin dapat menurunkan potensial osmotik sehingga menurunkan potensial air dalam sel tanpa membatasi fungsi enzim dan menjaga turgor sel (Tuasamu, 2009). Senyawa terlarut lain yang terakumulasi dan berperan dalam proses pengaturan tekanan osmotik adalah fruktan, trehalosa, manitol, ononitol, myo-inositol, glisin betain dan poliamin (Krasensky dan Jonak, 2012). Poliamin (putresin, spermidin dan spermin) mempunyai peran yang sangat penting sebagai respon pertahanan tanaman dari cekaman abiotik terutama terkait dengan jalur metabolisme hormon saat tercekam dan sinyal reactive oxygen species (ROS) (Alcázar et al., 2012).

Penelitian terkini telah banyak dipelajari mengenai peranan poliamin yang dapat meningkatkan toleransi tanaman terhadap berbagai macam cekaman abiotik seperti cekaman osmotik (salinitas), kekeringan, intensitas cahaya tinggi, logam berat, defisiensi mineral, variasi pH dan radiasi sinar UV. Peningkatan toleransi tersebut diduga karena sifat polikationik dari poliamin yang dapat mengikat kuat asam nukleat, protein dan fosfolipid sehingga akumulasinya dapat memodulasi keseimbangan jalur biosintesis (Gupta et al., 2013). Penelitian dengan pemberian kombinasi perlakuan poliamin dan inhibitor biosintesisnya pada tanaman kedelai menunjukkan bahwa penurunan pemberian poliamin menyebabkan terjadinya penurunan persentase

perkecambahan, serta pertumbuhan panjang akar dan tunas (Amooaghaie, 2011). Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pola akumulasi senyawa osmotikum prolin dan poliamin beberapa aksesi tanaman terung sebagai respon terhadap cekaman kekeringan.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Januari 2012 sampai dengan Maret 2013 di Rumah Kaca dan Laboratorium Genetika Molekuler Tanaman dan Modifikasi Jalur Biosintesa, Pusat Penelitian Bioteknologi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong-Bogor. Bahan tanaman yang digunakan adalah enam (6) aksesi terung yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia dan varietas Panjalu F1 sebagai aksesi pembanding. Percobaan disusun berdasarkan rancangan acak kelompok dengan 2 faktor dan 3 kelompok. Faktor pertama adalah aksesi terung yang terdiri atas 7 taraf, yaitu Panjalu F1 sebagai aksesi pembanding, aksesi 098, aksesi 155, aksesi 414, aksesi 754, aksesi 772, dan aksesi 827. Faktor kedua adalah kondisi cekaman kekeringan yang terdiri atas 2 taraf, yaitu kontrol (tanaman disiram sesuai volume kebutuhan pada kondisi kadar air media awal) dan cekaman kekeringan (tanaman tidak disiram dan dibiarkan mendapat cekaman kekeringan selama 21 hari). Perlakuan cekaman kekeringan merujuk pada metode Yue et al. (2006) yang dimodifikasi serta metode Easlon dan Richards (2009) pada tanaman tomat yaitu penghentian penyiraman dilakukan ketika tanaman memiliki 6 lembar daun dengan luas daun penuh dan seragam. Kapasitas pulih tanaman dilakukan dengan cara menghentikan cekaman kekeringan setelah 21 hari berdasarkan penelitian pendahuluan dengan dugaan bahwa kadar air media sudah mengalami penurunan sampai 10% air tersedia. Penyiraman tanaman (rewatering) dilakukan sesuai volume pada kondisi kadar air media awal hingga 7 hari berikutnya.

Penurunan status kadar air media (KAM) dan kadar air relatif (KAR) daun diukur pada 0, 7, 14, 21 hari setelah perlakuan (HSP) dan 7 hari setelah rewatering. Pertambahan tinggi tanaman diukur pada hari ke 0 dan 21 HSP sedangkan kerapatan stomata dan pembukaan stomata diamati pada 21 HSP cekaman kekeringan. Bobot kering tajuk dan akar ditimbang pada 21 HSP. Pengukuran prolin dilakukan berdasarkan metode Bates et al. (1973) yang dimodifikasi menggunakan spektrofotometer selama periode cekaman yaitu pada 0, 7, 14, 21 HSP dan 7 hari setelah rewatering. Kandungan poliamin daun pada 21 HSP dianalisis menggunakan HPLC berdasarkan metode Flores dan Galston (1984) yang dimodifikasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Respon Tanaman Terung terhadap Cekaman Kekeringan

Penentuan periode perlakuan cekaman kekeringan pada tujuh aksesi tanaman terung dilakukan berdasarkan percobaan pendahuluan, dimana penundaan penyiraman selama 21 hari merupakan waktu yang tepat ketika kadar

Page 50: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 136 - 141 (2014)

138 Siti Kurniawati, Nurul Khumaida, Sintho Wahyuning Ardie, N. Sri Hartati, dan Enny Sudarmonowati

air media diperkirakan berada di antara kapasitas lapang dan titik layu permanen. Hal ini ditandai dengan tanaman perlakuan yang mampu pulih dan segar kembali (recover) seperti tanaman kontrol setelah dilakukan penyiraman (rewatering) mencapai 80%. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa ketujuh aksesi hanya mengalami layu sementara selama 21 HSP dan belum mencapai titik layu permanen meskipun KAM rata-rata perlakuan cekaman kekeringan hampir mencapai 10% (Gambar 1).

Penurunan status kadar air media (KAM) pada cekaman kekeringan nyata lebih rendah dibandingkan KAM kontrol 7 sampai dengan 21 HSP. Bahkan setelah dilakukan penyiraman kembali 7 hari setelah perlakuan cekaman, status KAM pada cekaman kekeringan masih lebih rendah dibandingkan kontrol. Penelitian ini menunjukkan bahwa pada media campuran tanah: pasir: kompos (1:1:1 v/v/v), nilai KAM sebesar 13% dapat menghambat pertumbuhan tanaman terung. Menurut Hanafiah (2005), untuk memenuhi kebutuhan air, tanaman harus tumbuh pada media tanam dengan kisaran kadar air tanah sebesar 55% (tanah liat), 40% (tanah lempung), dan 15% (tanah berpasir). Jika kadar air media kurang dari kisaran tersebut, maka media harus diairi karena kebutuhan tanaman tidak terpenuhi.

Aksesi 827 mengalami penurunan KAM terbesar, sedangkan aksesi 098 mengalami penurunan KAM terkecil. Kondisi ini berlangsung sampai akhir periode cekaman yaitu pada 21 HSP. Penurunan KAM pada aksesi 827 pada 21 HSP kekeringan mencapai 73% dibandingkan kontrol (kondisi tanpa cekaman) (Gambar 1). Penurunan KAM yang tajam pada aksesi 827 diduga terkait dengan keragaan dan pertumbuhan tanaman. Aksesi 827 memiliki pertumbuhan tajuk tertinggi dibandingkan dengan aksesi lainnya (Gambar

2). Tinggi tajuk berkorelasi positif dengan KAM yang menunjukkan bahwa keragaan tanaman yang besar diduga berimplikasi pada kebutuhan air yang lebih tinggi. Panjalu F1 yang merupakan aksesi pembanding juga memiliki tajuk yang tinggi. Tinggi tajuk antar aksesi yang digunakan dalam penelitian berbeda nyata, sehingga pertambahan (∆) tinggi tanaman sejak 0 hingga 21 HSP dihitung untuk melihat pengaruh cekaman kekeringan pada pertumbuhan tanaman terung. Cekaman kekeringan yang secara nyata menurunkan pertambahan tinggi tajuk menunjukkan bahwa cekaman kekeringan menghambat pertumbuhan tanaman pada fase vegetatif.

Cekaman kekeringan juga menghambat pertumbuhan akar namun tidak berbeda nyata dengan kondisi optimum (Tabel 1). Walaupun cekaman kekeringan menyebabkan hambatan pertumbuhan tajuk dan perpanjangan akar pada tanaman terung, cekaman kekeringan tidak menyebabkan penurunan bobot kering tajuk dan akar seluruh aksesi terung yang diuji (Tabel 1). Penelitian Khan et al. (2012) pada tanaman cabai (Capsicum annuum L.) menunjukkan bahwa cekaman kekeringan menyebabkan penurunan bobot kering tajuk dan bobot kering total. Penelitian Rezaei et al. (2012) pada tanaman tomat menunjukkan bahwa penambahan glycinebetain (osmotic adjustment) dengan konsentrasi tertentu (5-10 mM) pada kondisi cekaman kekeringan dapat meningkatkan bobot kering daun secara signifikan. Kemampuan tanaman terung untuk mempertahankan bobot kering pada kondisi cekaman kekeringan memberi indikasi bahwa tanaman terung relatif toleran terhadap cekaman kekeringan dibandingkan anggota famili Solanaceae lainnya. Penelitian yang dilakukan Sarker dan Hara (2009), tanaman terung (Solanum melongena L.) yang diberi kombinasi

Gambar 1. Perubahan kadar air media selama 21 hari perlakuan cekaman kekeringan pada terung; Rew = rewatering

Perlakuan Panjang akar (cm) Bobot kering tajuk (g) Bobot kering akar (g)Kontrol 21.36 1.16 1.03Cekaman 18.97 1.10 1.02Uji F tn tn tn

Tabel 1. Rata-rata panjang akar, bobot kering tajuk dan bobot kering akar aksesi terung pada 21 HSP cekaman kekeringan

Keterangan : tn = tidak berpengaruh nyata pada = 0.05

Gambar 2. Rata-rata pertambahan tinggi tajuk tujuh aksesi terung pada 21 HSP kontrol ( ) dan cekaman kekeringan ( )

Page 51: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 136 - 141 (2014)

139Pola Akumulasi Prolin dan......

perlakuan cekaman kekeringan dan peningkatan konsentrasi CO2 menunjukkan terjadinya perubahan struktur pada sel akar tanaman terung. Cekaman kekeringan berkontribusi terhadap akumulasi lemak suberin pada bagian lapisan endodermis dan eksodermis yang menyebabkan penurunan konduktansi hidrolik. Konduktansi hidrolik yang rendah sangat diharapkan ketika terjadi defisit air karena dapat meminimalkan terjadinya transpirasi atau penguapan yang berlebihan.

Perlakuan cekaman kekeringan pada terung sangat nyata menurunkan kerapatan dan persentase stomata terbuka pada 21 HSP serta secara nyata menurunkan kadar air relatif daun menjadi 39.7% (Tabel 2). Dengan demikian, penurunan kerapatan stomata dan persentase stomata terbuka merupakan respon adaptasi tanaman terung untuk mengurangi kehilangan air melalui transpirasi. Menurut penelitian Benesova et al. (2012) genotipe jagung yang toleran mempunyai kemampuan untuk mempertahankan stomata tetap dalam kondisi terbuka dan aktif berfotosintesis meskipun berada dalam kondisi dehidrasi. Meskipun pada penelitian ini terjadi penurunan persentase stomata terbuka, namun dalam penelitiannya Sarker et al. (2004) menunjukkan bahwa tanaman terung memiliki kemampuan efisiensi pemanfaatan air yang lebih baik jika dibandingkan tanaman tomat terutama pada kemampuannya pulih kembali setelah penyiraman (rewatering).

Akumulasi Senyawa Prolin dan Poliamin

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa cekaman kekeringan berpengaruh sangat nyata terhadap akumulasi senyawa prolin pada 14 HSP (28.97 μmol g-1) dan 21 HSP (89.77 μmol g-1) (Gambar 3). Konsentrasi prolin meningkat tajam pada 21 HSP. Meskipun tidak ada interaksi antara ketujuh aksesi dengan perlakuan cekaman kekeringan selama 21 HSP, namun terlihat kecenderungan bahwa aksesi 827 sudah mengalami akumulasi tajam pada 14 HSP dan kemudian terjadi penurunan pada 21 HSP. Aksesi 827 merespon lebih cepat kondisi kekeringan dengan peningkatan senyawa prolin sebagai osmoprotektan untuk mempertahankan potensial osmotik dalam tanaman. Peningkatan prolin tertinggi terjadi pada aksesi pembanding yaitu Panjalu F1 dan aksesi 155 masing-masing sebesar 134.70 μmol g-1 dan 101.18 μmol g-1 yaitu 10-13 kali lebih tinggi dibanding kontrol dan yang terendah pada aksesi 754 sebesar 40.07 μmol g-1 atau 3 kali lebih tinggi dari kontrol (Tabel 3). Peningkatan prolin secara tajam pada akhir periode kekeringan menunjukkan bahwa tanaman dalam

keadaan tercekam sangat berat. Hal ini diduga disebabkan oleh penurunan KAM selama periode cekaman. Peningkatan akumulasi prolin pada akhir periode cekaman (21 HSP) berkorelasi negatif dengan penurunan KAM (0.20).

Ketika tanaman mengalami cekaman kekeringan, karbohidrat dan bahan organik lain akan dirombak untuk mempertahankan potensial osmotik lebih negatif (Mostajeran dan Rahimi-Eichi, 2009) sehingga hal tersebut berpengaruh terhadap penurunan bobot kering tanaman. Menjaga kestabilan potensial osmotik dilakukan dengan mengakumulasi prolin yang berperan sebagai senyawa osmoregulator (osmotic adjustment) dan osmoprotektan bagi membran dan enzim tanaman menghadapi cekaman kekeringan (Hamim et al., 1996). Menurut Alcázar et al., (2011) defisit air dapat memodulasi sinyal kimia dari akar salah satunya adalah asam absisat (ABA) yang dikirim ke tajuk, sehingga menginduksi akumulasi prolin di daun dan menginduksi gen yang berperan dalam biosintesis poliamin (Alcázar et al., 2012), salah satunya adalah gen ADC2 yang terekspresi up-regulation sehingga meningkatkan akumulasi putresin yang dapat membuat tanaman menjadi lebih toleran terhadap cekaman kekeringan (Bitrian et al., 2012). Tingkat toleransi tanaman terhadap cekaman dapat berubah tergantung pada tingkat cekaman dan mekanisme adaptasi yang dilakukan tanaman tersebut (Hapsoh et al., 2004). Prolin yang terakumulasi di daun sebagian digunakan sebagai senyawa pelindung terhadap senyawa makromolekul dan enzim dari kerusakan akibat cekaman kekeringan dan sebagian ditanspor ke akar untuk merangsang pertumbuhan akar (Tuasamu, 2009).

Selain prolin, cekaman kekeringan pada aksesi terung juga mengakibatkan peningkatan akumulasi poliamin-bebas (putresin, spermidin dan spermin) pada 21 HSP (Tabel 3). Aksesi yang mengalami peningkatan kandungan poliamin

Perlakuan Kadar air relatif daun (%) Kerapatan stomata (mm2) Stomata terbuka (%)Kontrol 50.32 631.36 46.67Cekaman 39.70 506.24 22.94Uji F ** ** **

Tabel 2. Rata-rata kadar air relatif daun, kerapatan stomata, dan persentase stomata terbuka aksesi terung pada 21 HSP cekaman kekeringan

Keterangan : ** = berpengaruh nyata pada = 0.05

Gambar 3. Rata-rata akumulasi prolin ketujuh aksesi terung pada 0-21 Hari Setelah Perlakuan (HSP) cekaman kekeringan ( ) dan kontrol ( )

Page 52: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 136 - 141 (2014)

140 Siti Kurniawati, Nurul Khumaida, Sintho Wahyuning Ardie, N. Sri Hartati, dan Enny Sudarmonowati

yaitu Panjalu F1, 098, 155, 414, 754, dan 772. Aksesi 827 tidak mengalami peningkatan kandungan poliamin-bebas. Aksesi 155 menunjukkan peningkatan kandungan poliamin terutama putresin hingga mencapai 10 kali dari putresin kontrol. Walaupun tidak terjadi akumulasi putresin pada aksesi 772, tetapi terjadi peningkatan spermidin pada kondisi tercekam. Diduga telah terjadi konversi senyawa putresin menjadi spermidin dengan penambahan aminopropyl dari aktivitas spermidine sintase (Alcázar et al., 2011).

Kondisi tercekam kekeringan menyebabkan Panjalu F1 yang merupakan aksesi pembanding mengakumulasi prolin paling tinggi (Tabel 3) dan mengalami peningkatan konsentrasi putresin 5x lipat, spermidin 1.5x lipat dan spermin 3x lipat lebih tinggi pada kondisi tercekam kekeringan dibandingkan pada kondisi kontrol (Tabel 3).

Meskipun aksesi 754 tidak mengakumulasi prolin setinggi aksesi lainnya, tetapi pada aksesi 754 terjadi peningkatan putresin yang tinggi hampir mencapai 5x lipat dari kontrol (Tabel 3). Akumulasi senyawa-senyawa tersebut merupakan mekanisme adaptasi tanaman terung ketika tercekam kekeringan.

Menurut Gill dan Tuteja (2010), poliamin merupakan polycation sederhana yang sangat berperan sebagai antioksidan ketika terjadi cekaman oksidatif karena dapat menetralisir radikal oksigen bebas, mempunyai kemampuan melindungi membran dan dinding sel serta berperan sebagai anti-senescence. Biosintesis putresin yang tinggi diduga merupakan peranan dari aktivitas enzim arginine decarboxylase yang dikode oleh gen ADC (arginine decarboxylase) (Alcázar et al., 2011).

Aksesi

Prolin Putresin Spermidin Spermin...............µmol g-1 ............... ........................................................ng g-1........................................................

Bobot segar jaringan daunKontrol Cekaman Kontrol Cekaman Kontrol Cekaman Kontrol Cekaman

Panjalu F1 7.83±5.31 134.70±21.21 2.848 14.673 6.397 9.886 1.831 6.17198 4.64±3.16 90.28±47.36 4.714 8.916 6.615 6.333 0.870 1.236155 4.25±3.19 101.18±16.55 1.976 20.836 2.951 9.752 tt 1.700414 4.27±1.74 86.96±97.11 3.046 10.144 6.426 6.254 tt 1.609754 6.47±4.55 40.07±17.55 3.683 17.902 4.376 6.451 tt tt772 3.41±2.01 96.35±92.03 8.398 7.152 4.864 7.662 tt tt827 5.21±2.03 78.85±11.92 22.018 6.740 12.946 4.529 tt tt

Tabel 3. Akumulasi poliamin tujuh aksesi terung pada 21 HSP cekaman kekeringan

Keterangan: tt = tidak terukur

KESIMPULAN

Cekaman kekeringan secara nyata menurunkan pertumbuhan tinggi tajuk, kerapatan stomata dan persentase stomata terbuka pada tanaman terung. Akumulasi senyawa prolin dan/atau poliamin berperan penting dalam mekanisme adaptasi tanaman terung terhadap cekaman kekeringan. Prolin maupun poliamin dapat dijadikan indikator bahwa tanaman terung dalam kondisi tercekam kekeringan terutama setelah periode cekaman mencapai 14 sampai 21 hari dengan tingkat akumulasi prolin mencapai di atas 10 kali kondisi tidak tercekam dan kandungan putresin mencapai 10 kali dari kondisi tidak tercekam.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih disampaikan kepada Kementerian Negara Riset dan Teknologi (KNRT) yang telah membiayai penelitian ini melalui beasiswa Pasca Sarjana Tahun 2010, serta M. Ussen yang telah membantu selama melakukan penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Alcázar, R., M. Bitrián, D. Bartels, C. Koncz, T. Altabella, A.F. Tiburcio. 2011. Polyamine metabolic canalization in response to drought stress in Arabidopsis and the resurrection plant Craterostigma plantagineum. Plant Signal Behav. 6:243-250.

Alcázar, R., M. Bitrián, X. Zarza, A. F. Tiburcio. 2012. Polyamine metabolism and signaling in plant abiotic stress protection. Recent advances in Pharmaceutical Sciences 2:29-47.

Amooaghaie, R. 2011. Role of polyamines in the tolerance of soybean to water defisit stress. World Academy of Science, Engineering and Technology 56:498-502.

Bates, L.S., R.P. Waldorn, I.D. Teare. 1973. Rapid determination of free proline for water stress studies. Plant Soil. 39:205-208.

Page 53: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 136 - 141 (2014)

141Pola Akumulasi Prolin dan......

Behboudian, M.H. 1977. Responses of eggplant to drought. II. Gas exchange parameters. Sci. Hort. 7:311-317.

Benesova, M., D. Hola, L. Fischer, P.L. Jedelsky, F. Hnilicka, N. Wilhelmova, O. Rothova, M. Kocova, D. Prochazkova, J. Honnerova, L. Fridrichova, H. Hnilickova. 2012. The physiology and proteimic of drought tolerance in maize : early stomatal closure as a cause of lower tolerance to short-term dehydration? PLoS ONE 7:e38017.

Bitrian, M., X. Zarza, T. Altabella, A.F. Tiburcio, R. Alcázar. 2012. Polyamines under abiotic stress: metabolic crossroads and hormonal crosstalks in plants. Metabolites 2:516-528.

Badan Pusat Statistik. 2013. Statistik Indonesia. Jakarta.

Chen, N.C., H. M. Li. 1996. Cultivation and breeding of eggplant. Report by Asian Vegetable Research and Development Center.

Demir, K., M. Bakir, G. Sarıkamıs, S. Acunalp. 2010. Genetic diversity of eggplant (Solanum melongena) germplasm from Turkey assessed by SSR and RAPD markers. Genet. Mol. Res. 9:1568-1576.

Easlon, H.M., J.H. Richards. 2009. Drought response in self-compatible species of tomato (Solanaceae). Am. J. Bot. 96:605-611.

Food and Agriculture Organization. 2011. FAOSTAT Production of crop. Food and Agriculture Organization of the United Nations.

Flores, H.E., A.W. Galston. 1984. Osmotic stress-induced polyamine accumulation in cereal leaves. Plant Physiol. 75:102-109.

Fu, Q. S., R.C. Yang, H.S. Wang, B. Zhao, C.L. Zhou, S.X. Ren, Y.D. Guo. 2013. Leaf morphological and ultrastructural performance of eggplant (Solanum melongena L.) in response to water stress. Photosynthetica 51:109-114.

Gill, S.S., N. Tuteja. 2010. Polyamines and abiotic stress tolerance in plants. Plant Signal. Behav. 5: 26-33.

Gupta, K., A. Dey, B. Gupta. 2013. Plant polymines in abiotic stress responses. Acta. Physiol. Plant. 35: 2015-2036.

Hanafiah, K.A. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Hamim, D. Sopandie, M. Jusup. 1996. Beberapa karakteristik morfologi dan fisiologi kedelai toleran dan peka cekaman kekeringan. Hayati. 3:30-34.

Hapsoh, S. Yahya, T.M.H. Oelim, D. Soepandie. 2004. Respon beberapa genotipe kedelai terhadap tingkat cekaman kekeringan tanah Utilisol. Bul.Agron. 32:1-8.

Kashyap, V., S. V. Kumar, C. Collonnier, F. Fusari, R. Haicour, G. L. Rotino, D. Sihachakr, M. V. Rajam. 2002. Biotechnology of eggplant. Sci. Hort. 1846: 1-25.

Khan, M.A.I., M.A. Hoque, A.M. Farooque, U. Habiba, M.A. Rahim. 2012. Physio-morphological features of chilli accessions under moisture stress conditions. Bangladesh J. Agri. Res. 37:263-269.

Krasensky, J., C. Jonak. 2012. Drought, salt, and temperature stress-induced metabolic rearrangements and regulatory networks. J. Exp. Bot. 63: 1593-1608.

Mostajeran, A., V. Rahimi-Eichi. 2009. Effect of drought stress on growth and yield of rice (Oryza sativa L.) cultivars and accumulation of proline and soluble sugars in sheath and blades of their different ages leaves. American J. Agric. & Environ. Sci. 5:264-272.

Radwan, A.A.U. 2007. Plant water relations, stomatal behavior, photosynthetic pigments and anatomical characteristics of Solenostemma arghel (Del.) hayne under hyper environmental conditions. Sci. Res. 2: 80-92.

Rezaei, M.A., I. Jokar, M. Ghorbanli, B. Kaviani, A. Kharabian-Masouleh. 2012. Morpho-physiological improving effects of exogenous glycine betaine on tomato (Lycopersicum esculentum Mill) cv. PS under drought stress conditions. Plant Omics J. 5:79-86.

Sarker, B.C., M. Hara, M. Uemura. 2004. Comparison of response of two C3 species to leaf water relation, proline synthesis, gas exchange and water use under periodic water stress. J. Plant. Bio. 47:33-41.

Sarker, B. C., M. Hara. 2009. Effects of elevated CO2 and water stress on root structure and hydraulic conductance of Solanum melongena L. Bangladesh J. Bot. 38:55-63.

Tuasamu, Y. 2009. Toleransi hotong (Setaria italica l. Beauv) pada berbagai cekaman kekeringan: pendekatan anatomi dan fisiologi. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Yue, B., W. Xue, L. Xiong, X. Yu, L. Luo, K. Cui, D. Jin, Y. Xing, Q. Zhang. 2006. Genetic basis of drought resistance at reproductive stage in rice: separation of drought tolerance from drought avoidance. Genetics 172:1213-1228.

Page 54: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 150 - 157 (2014)

150 Irni Furnawanthi Hindaningrum, Ni Made Armini Wiendi, dan Winarso Drajad Widodo

* Penulis untuk korespondensi. e-mail: [email protected]

Pembentukan Embrio Endospermik Sekunder Mangga (Mangifera indica L.) Gedong Gincu Klon 289

Secondary Endospermic Embryos Formation in Mango (Mangifera indica L.) Gedong Gincu Clone 289

Irni Furnawanthi Hindaningrum1, Ni Made Armini Wiendi2*, dan Winarso Drajad Widodo2

1Balai Pengkajian Bioteknologi, BPPTKawasan Puspiptek Gedung 630, Serpong, Tangerang Selatan 15320, Indonesia

2Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Bogor Agricultural University), Jl. Meranti, Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680, Indonesia

Diterima 8 Oktober 2013/Disetujui 17 Februari 2014

ABSTRACT

The improvement of Mangifera indica L. by conventional breeding approaches has been confounded by the long generation cycle, low fruit set, single seed per fruit and high degree of cross pollination. Biotechnology complements conventional breeding and expedite the mango improvement programs. Endosperm culture is a direct method to produce triploid plants. This study aimed to obtain embryo from endosperm culture. The system of secondary somatic embriogenesis in mango described here represents a source of embryogenic material may be used for mass propagation and genetic manipulation of this crop. The method consisted of induction, proliferation, maturation, germination, and histological analysis of the obtaimed embryos. A protocol for plantlet regeneration was developed for Gedong Gincu mango clone 289 through secondary somatic embryogenesis. Primary somatic embryos (proembryo and cotyledonary embryos) were cultured in induction medium to induce the secondary somatic embryos. The best proliferation rate was 0.22 in medium with 1 g L-1 Poly Vinyl Pyrrolidone (PVP) for multiplication of secondary somatic embryos. Maturation of inoculum derived from the proliferation medium supplemented with 2 g L-1 of activated charcoal on medium containing 0.4 mg L-1 BAP provides the average 2.39 embryo formation of cotyledonari phase. The highest germination frequency (20%) was obtained in media with GA3 1.5 mg L-1.

Keywords: endosperm, Gedong Gincu, Mangifera indica L, secondary endospermic embrio

ABSTRAK

Pemuliaan tanaman mangga (Mangifera indica L.) secara konvensional terkendala oleh fase juvenil tanaman yang panjang, sedikitnya benih yang diperoleh dan tingkat penyerbukan silang yang tinggi. Bioteknologi merupakan solusi dalam pengembangan buah mangga untuk menghasilkan klon unggul melalui teknik kultur in vitro sel endosperma. Penelitian ini bertujuan untuk pengembangan tanaman mangga melalui perbanyakan embrio endospermik sekunder mangga gedong gincu klon 289 untuk menghasilkan tanaman triploid dengan ukuran biji yang lebih kecil. Embriogenesis mangga dapat digunakan untuk perbanyakan embrio dengan tujuan produksi massal dan manipulasi genetik dari tanaman ini. Metode penelitian meliputi tahapan induksi, proliferasi, maturasi, perkecambahan, dan analisis histologi terhadap embrio yang dihasilkan. Penelitian menghasilkan media proliferasi terbaik untuk pembentukan embrio endospermik sekunder pada fase kotiledon adalah media dengan penambahan Poly Vinyl Pyrrolidone (PVP) 1 g L-1 sebanyak 0.22. Maturasi pada media dengan penambahan BAP 0.4 mg L-1 dengan inokulum yang berasal dari media proliferasi dengan penambahan arang aktif (AA) 2 g L-1 memberikan rata-rata pembentukan embrio fase kotiledonari sebesar 2.39. Perkecambahan embrio sebesar 20% terjadi pada media dengan penambahan GA3 dengan konsentrasi 1.5 mg L-1.

Kata kunci: embrio endospermik sekunder, endosperma, Gedong Gincu, Mangifera indica L.

Page 55: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 150 - 157 (2014)

151Pembentukan Embrio Endospermik......

PENDAHULUAN

Mangga (Mangifera indica L.) varietas Gedong Gincu merupakan salah satu komoditas buah unggulan ekspor Indonesia. Pemuliaan tanaman ini secara konvensional terkendala oleh fase juvenil tanaman yang panjang, jumlah benih yang diperoleh sedikit, penyerbukan silang tinggi, poliembrioni, heterozigositas, sifat panikula dan bunga yang kompleks dan memerlukan area luas untuk mengevaluasi hibrida (Iyer dan Degani, 2009). Hal tersebut menyebabkan lamanya siklus seleksi dan evaluasi tanaman hasil penyilangan, sehingga tanaman dengan sifat dan kemampuan yang baru akan diperoleh tidak kurang dari 20 tahun. Program pemuliaan paling efektif untuk mengembangkan varietas mangga dengan cara pemuliaan non konvensional melalui bioteknologi. Pengembangan kultivar mangga dengan bioteknologi dapat mempercepat perolehan klon yang diinginkan dan memperbaiki kekurangan genetik dari varietas yang ada (Krishna dan Singh, 2007).

Regenerasi tanaman mangga dengan kultur in vitro dapat dilakukan melalui proses organogenesis (pembentukan tunas ganda dan atau tunas adventif) serta proses embriogenesis (pembentukan embrio). Embriogenesis somatik memiliki potensi yang sangat besar untuk perbanyakan klonal tanaman secara massal, transformasi gen dan produksi benih sintetik. Embriogenesis sel somatik secara umum dapat dibagi menjadi empat fase yaitu (1) induksi kalus embriogenik, (2) induksi dan proliferasi embrio somatik, (3) pematangan embrio, dan (4) perkecambahan embrio.

Induksi kalus dan pembentukan embrio pada mangga dapat dilakukan dengan ekpslan embrio zigotik (Xiao et al., 2004), nuselus (Ermayanti dan Deritha, 2009), atau endosperma (Hanayanti, 2011). Keunggulan kultur endosperma dapat menghasilkan tanaman triploid yang memiliki buah tidak berbiji atau berbiji tapi steril. Endosperma adalah jaringan triploid yang terdapat pada biji, hasil dari penyatuan dua inti polar gametofit betina dengan satu inti gamet jantan, yang berbeda dengan embrio dalam jumlah kromosomnya (Sukamto, 2010). Pengembangan tanaman mangga melalui kultur endosperm diharapkan dapat menghasilkan tanaman triploid (2n=3x) yang memiliki buah dengan ukuran biji lebih kecil atau tidak berbiji. Pembentukan embrio secara berkelanjutan melalui pembentukan embrio endospermik sekunder (EES) dilakukan dari kalus embriogenik embrio endospermik primer (EEP). Pembentukan EEP mangga Gedong Gincu menggunakan media dengan komposisi hara makro media Gamborg, hara mikro media MS dengan penambahan zat pengatur tumbuh NAA, BAP, dan GA3 (Hanayanti, 2011). Keberhasilan pengembangan teknik in vitro untuk menginduksi pembentukan EES akan mendukung usaha perbanyakan klonal tanaman yang dihasilkan (Kim et al., 2012).

Keberhasilan kultur endosperma dipengaruhi oleh umur endosperma, formulasi media, perkecambahan embrio yang dihasilkan dan umur kultur (Sukamto, 2010). Keberhasilan regenerasi embrio mangga menjadi plantlet

masih terkendala oleh adanya pengeluaran senyawa fenolik yang berlebihan, nekrosis pada inokulum, kurangnya embrio yang bipolar dan perkecambahan yang terlalu cepat. Frekuensi keberhasilan masih relatif rendah untuk mendukung penggunaan teknik in vitro dengan tujuan produksi bibit secara komersial dan mendapatkan varian somaklonal dengan sifat unggul tertentu. Evaluasi teknik in vitro yang dapat meregenerasikan plantlet dengan frekuensi keberhasilan yang lebih tinggi perlu dilakukan.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari tahapan perkembangan embrio endospermik sekunder (EES), daya proliferasi EES, maturasi EES, dan frekuensi perkecambahan dalam pembentukan plantlet dari EES dan analisis histologi perkembangan EES mangga Gedong Gincu klon 289.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, dari bulan November 2011 sampai dengan Mei 2013.

Bahan tanaman adalah embrio endospermik primer (EEP) mangga Gedong Gincu klon 289 (Hanayanti, 2011). Bahan kimia yaitu media dasar M3 (komposisi hara makro B5, hara mikro dan vitamin MS), benzyl amino purine (BAP), naphtalene acetic acid (NAA), gibberelic acid (GA3), poly vinyl pyrrolidone (PVP), arang aktif (AA), asam amino glutamin, air kelapa, sukrosa, agar, alkohol 96%, dan 70% (v/v). Peralatan yang digunakan adalah peralatan gelas, peralatan diseksi, bunsen, hand sprayer, laminar air flow cabinet, autoclave, oven pengering, timbangan analitik, pH meter, kamera, rak kultur, dan lampu.

Induksi Embrio Endospermik Sekunder

Inokulum yang digunakan adalah dua tipe EEP mangga Gedong Gincu klon 289 yaitu embrio fase proembryo dan embrio fase kotiledon (cotiledonary stage), dikulturkan dalam media dasar M3 dengan penambahan Benzyl Amino Purine (BAP), Naphtalene Acetic Acid (NAA) dan Gibberelic Acid (GA3), diinkubasi di ruang thermostatik gelap dengan suhu antara 21-22 oC selama delapan minggu setelah dikulturkan (MSK).

Pengaruh Jenis Absorban Senyawa Fenolik terhadap Daya Proliferasi Embrio Endospermik Sekunder

Percobaan disusun dalam rancangan acak lengkap satu faktor yaitu jenis media dengan penambahan senyawa absorban fenolik PVP dan AA. Perlakuan dari tujuh jenis media dengan komposisi media dasar M3 tanpa penambahan senyawa absorban fenolik (MP1), tiga taraf dengan penambahan PVP yaitu 0.5 g L-1 (MP2), 1 g L-1 (MP3), dan 2 g L-1 (MP4), tiga taraf dengan penambahan AA yaitu 0.5 g L-1 (MP5), 1 g L-1 (MP6), dan 2 g L-1 (MP7). Kultur diinkubasi di ruang thermostatik gelap pada suhu 22±3 oC selama 4 MSK. Inokulum berupa proembryo sebanyak lima ulangan, setiap ulangan terdiri dari lima

Page 56: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 150 - 157 (2014)

152 Irni Furnawanthi Hindaningrum, Ni Made Armini Wiendi, dan Winarso Drajad Widodo

belas clumps berukuran 4-5 mg per clumps. Peubah meliputi persentase pembentukan EES, warna dan struktur kalus, bobot kalus, frekuensi proliferasi, dan jumlah embrio yang terbentuk pada berbagai fase.

Maturasi dan Perkecambahan Embrio Endospermik Sekunder

Percobaan disusun dalam rancangan acak lengkap dua faktor. Faktor pertama adalah media asal inokulum (media proliferasi EES yaitu media MP1 – MP7), faktor kedua media maturasi yaitu media dasar M3 dengan penambahan BAP 0, 0.2, dan 0.4 mg L-1 media, sehingga terdapat 21 kombinasi perlakuan, tiga ulangan, setiap ulangan terdiri dari 5 clumps proembrio. Kultur diinkubasi di ruang thermostatik gelap pada suhu 22±3 oC selama 8 MSK. Pengamatan setiap minggu terhadap waktu pembentukan embrio fase kotiledon, jumlah rata-rata embrio berkotiledon yang terbentuk dan warna embrio fase kotiledon.

Embrio hasil maturasi dikecambahkan dalam media dengan komposisi hara makro B5, hara mikro, vitamin, dan myo inositol MS, sukrosa 30 g L-1, agar 5 g L-1, air kelapa 20% (v/v), AA 1 g L-1, glutamin 400 mg L-1, dan GA3 0; 0.5; 1; 1.5, dan 2 mg L-1 media. Kultur diinkubasi di ruang thermostatik terang pada suhu 28±3 oC selama 8 MSK. Pengamatan dilakukan setiap 2 minggu sampai 8 MSK terhadap embrio fase kotiledon pada pola pertumbuhan, jumlah yang tumbuh, jumlah yang berkecambah, dan persentase perkecambahan.

Analisis Histologi Embrio Endospermik Sekunder

Analisis histologi terhadap embrio endospermik sekunder mangga Gedong Gincu pada semua fase (proembrio, globular, hati, torpedo, dan kotiledon) dengan metode parafin melalui tahapan fiksasi, dehidrasi, infiltrasi, embedding, pengirisan, dengan mikrotome Leica RM2125RT, pewarnaan dengan fast green 2%, dan pengamatan dibawah mikroskop.

Analisis Data

Data dianalisis dengan uji F. Bila hasil yang diperoleh berbeda nyata pada taraf 5%, dilakukan uji lanjut menggunakan Duncan’s Multiple Range Test (DMRT).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembentukan embrio endospermik sekunder (EES) merupakan salah satu cara untuk meningkatkan faktor perbanyakan embriogenesis mangga. Embrio yang dihasilkan dapat digunakan untuk kegiatan perbanyakan bibit secara klonal dan untuk keperluan transformasi genetik. Tahapan perkembangan EES mangga Gedong Gincu yang terbentuk dari EEP memiliki pola seperti tersaji pada Gambar 1 yaitu fase proembyro (PE), embrio fase globular (EG), embrio fase torpedo (ET), embrio fase hati (EH), dan embrio fase kotiledon (EK), dan hasil analisis sitologi fase embrio tersaji pada Gambar 2. Pola ini terjadi juga pada mangga varietas Ratnagiri (Malabadi et al., 2011).

Induksi Embrio Endospermik Sekunder

Pembentukan EES dari inokulum EEP mangga Gedong Gincu klon 289 berupa PE dan EK terjadi 4 MSK dalam media induksi. Inokulum EEP berupa EK yang dikulturkan dalam media induksi berkembang membentuk EES berwarna kuning kehijauan langsung dari inokulum, tanpa pembentukan kalus embriogenik. EES tumbuh dari pinggir kotiledon dan bagian kotiledon yang terpotong (Gambar 3A dan 3B). Menurut Kim et al. (2012), embrio somatik sekunder sebagian besar tumbuh pada bagian hipokotil ujung calon akar. Ukuran EES yang tumbuh sekitar 1-3 mm pada fase torpedo atau berbentuk seperti terompet dan telah membentuk struktur embrio lengkap yaitu fase kotiledon.

Embrio endospermik sekunder dari inokulum proembryo tumbuh sel embriogenik diatas EEP pada fase PE dan ET dengan struktur kompak, keras, dan memiliki warna putih kekuningan (Gambar 3C). Inokulum EEP yang tidak berkembang warnanya menjadi hitam dengan struktur kalus yang remah. Struktur kalus EES yang terbentuk pada penelitian ini berbeda dengan struktur kalus EEP, dimana kalus embriogenik adalah kalus dengan struktur remah, berwarna putih kekuningan, dan putih krem (Hanayanti, 2011). Kalus EES yang remah adalah kalus yang tidak embriogenik dan tidak beregenerasi ke tahap embrio selanjutnya. Rasio pembentukan EES dari PE lebih tinggi yaitu 29 PE yang membentuk EES jika dibandingkan dengan pembentukan EES dari inokulum EK yang hanya 11 embrio fase kotiledon dari 30 EEP (Tabel 1).

Gambar 1. Fase perkembangan embrio endospermik sekunder: (1A) Proembryo; (1B) embrio fase globular; (1C) embrio fase hati; (1D) embrio fase torpedo; (1E) embrio fase kotiledon

Page 57: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 150 - 157 (2014)

153Pembentukan Embrio Endospermik......

Pengaruh Jenis Absorban Senyawa Fenolik terhadap Daya Proliferasi Embrio Endospermik Sekunder

Penambahan absorban pada media proliferasi EES bertujuan untuk menyerap senyawa fenolik yang dihasilkan oleh inokulum yang ditanam, yang dapat menghambat proliferasi embrio. Jenis absorban PVP dan AA memberikan pengaruh nyata terhadap respon embrio mangga Gedong Gincu pada persentase pembentukan EES. Respon terendah terdapat pada perlakuan tanpa penambahan absorban fenolik, dimana pada 4 MSK warna kalus berubah menjadi hitam dengan struktur kalus yang remah. Toksisitas fenolik kemungkinan disebabkan oleh ikatan reversibel antara hidrogen dan protein, oksidasi fenolik berubah menjadi quinon dan senyawa lain yang sangat beracun menyebabkan pencoklatan medium dan kematian eksplan (Hutami, 2008).

Embrio endospermik sekunder dengan struktur kompak dan berwarna putih adalah embrio yang memiliki sifat embriogenik dan dapat beregenerasi menjadi fase embrio selanjutnya. Proses proliferasi satu atau sekelompok kecil sel di permukaan embrio akan membentuk embrio baru (embrio sekunder) (Pardal, 2004). Penambahan PVP 1 g L-1 pada media proliferasi memberikan struktur kalus kompak terbanyak yaitu sebesar 73.33% dengan embrio yang berwarna putih (Tabel 2).

Tingginya eksudat senyawa fenolik pada embriogenesis mangga terjadi selama proses perkembangan tanaman, menurut Krishna dan Singh (2007) senyawa ini mengaktifkan sistem enzim oksidasi dan menyebabkan perubahan warna pada media tanam dan menyebabkan respon pertumbuhan tanaman menjadi lambat. Pada penelitian ini media tanpa penambahan absorban senyawa fenolik menghasilkan bobot terendah (18.36 mg) dan sebagian embrio mengalami

Gambar 2. Analisis histologi embrio endospermik sekunder: (2A) Embrio fase globular; (2B) embrio fase hati; (2C) embrio fase torpedo; (2D) embrio fase kotiledonari

Gambar 3. Perkembangan inokulum embrio endospermik primer (EEP) pada media proliferasi: (3A) Pembentukan embrio endospermik sekunder (EES) langsung pada hipokotil; (3B) analisis histologi EEP embrio fase kotiledon; (3C) pembentukan EES dibagian atas EEP (3D) analisis histologi EEP fase proembryo

Inokulum EEP

Jumlah EEP

Jumlah EEP yang

membentuk EES

Fase EES yang terbentuk (rata-rata/EEP) Akar yang terbentuk

PE EG EH ET EK Akar Rata-rata jumlah

Rata-rata Panjang

PE 30 29 9.07 ± 0.7 - 0.33 ± 0.35 - Tidak - -EK 30 11 - - - 0.97 ± 0.7 2.4 ± 0.82 Ya 0.50 ± 0.32 0.97 ± 0.50

Tabel 1. Perkembangan embrio endospermik primer pada media induksi embrio endospermik sekunder

Keterangan: EEP = Embrio Endospermik Primer; EES = Embrio Endospermik Sekunder; PE = Proembryo, EG = Embrio Fase Globular; ET = Embrio Fase Torpedo; EH = Embrio Fase Hati dan EK = Embrio Fase Kotiledon

Page 58: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 150 - 157 (2014)

154 Irni Furnawanthi Hindaningrum, Ni Made Armini Wiendi, dan Winarso Drajad Widodo

kematian pada 4 MSK. Penambahan absorban fenolik meningkatkan pembentukan EES (Tabel 2), bobot EES (29.51-46.49 mg) dan frekuensi proliferasi (5.9-9.29 kali) (Tabel 3).

Jenis absorban (PVP dan AA) menghasilkan bobot embrio yang tidak berbeda, namun penambahan AA (1 dan 2 g L-1) meningkatkan jumlah embrio fase kotiledonari yang terbentuk (Tabel 4). Arang aktif digunakan untuk meningkatkan hasil dan kualitas pada tahap maturasi embrio, senyawa ini berperan menyerap senyawa inhibitor (asam absisat dan senyawa fenolik) dari media.

Maturasi dan Perkecambahan Embrio Endospermik Sekunder

Analisis varian menunjukkan interaksi media asal dan penambahan BAP tidak berbeda nyata, pengaruh tunggal asal media berbeda nyata pada jumlah rata-rata embrio dan persentase warna embrio fase kotiledon. Embrio endospermik sekunder (EES) berupa clumps dari

media asal dengan penambahan arang aktif 2 g L-1 (MP7) memberikan jumlah pembentukan embrio fase kotiledon terbanyak sebesar 3.29 dengan warna embrio hijau (Tabel 5). Penambahan arang aktif pada proses maturasi embrio dapat meningkatkan perkecambahan embrio (Dragosavac et al., 2010) dan meningkatkan perkembangan embrio somatik menjadi plantlet (Kim et al., 2012). Peranan sitokinin penting dalam media kultur endosperma, yaitu untuk memproduksi tunas pada endosperma.

Pembentukan embrio fase kotiledon terbagi menjadi 4 kategori yaitu sangat cepat (2-4 MSK); lambat (4-6 MSK); sangat lambat (6-8 MSK), dan tidak ada perkembangan (embrio menjadi hitam). Hasil penelitian pada waktu pembentukan embrio, penambahan BAP dan media asal inokulum berbeda nyata dengan perlakuan tanpa penambahan BAP dan senyawa absorban. Regenerasi tunas dari endosperma Actinidia deliciosa cv Hayward hanya terjadi dengan penambahan Thidiazuron 0.5 mg L-1 (Goralski et al., 2005). Penambahan BAP 0.2 mg L-1 (MP20) dan 0.4 mg L-1 (MP21) berbeda nyata terhadap maturasi

Penambahan senyawa absorban

Jumlah inokulum

awal (clumps)

Persentase pembentukan ESS

(%)

Persentase warna ESS (%) Persentase struktur ESS (%)

H PH P R KR K

Tanpa absorban 75 69b 24.44a 40.00a 35.56c 75.56a 15.56 8.89bPVP 0.5 g L-1 75 91a 15.56b 31.11a 53.33b 60.00a 26.67 15.56bPVP 1 g L-1 75 98a 0.00c 2.22b 93.33a 6.67b 20.00 73.33aPVP 2 g L-1 75 93a 0.00c 6.67b 88.89a 11.11b 33.33 55.56aAA 0.5 g L-1 75 91a 2.22c 11.11b 86.67a 11.11b 40.00 48.89aAA 1 g L-1 75 96a 2.22c 6.67b 91.11a 8.89b 40.00 51.11aAA 2 g L-1 75 96a 0.00c 2.22b 97.78a 11.11b 42.22 46.67aKK(CV) 11.17 3.87 5.84 3.94 10.89 7.86

Tabel 2. Perkembangan embrio endospermik sekunder umur 4 MSK pada media dengan absorban senyawa fenolik

Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α = 5%. PVP = Poly vinyl pyrrolidone; AA = Arang Aktif; EES = Embrio Endospermik Sekunder; H = Hitam, PH = Putih kehitaman, P = Putih; R = Remah, KR = Kompak Remah, K = Kompak

Penambahan senyawa absorban

Rata-rata bobot kalus (mg)Pertambahan bobot (%) Frekuensi proliferasi

Inokulum awal ESS pada 4 MSKTanpa absorban 5 18.36d 13.36d 3.67dPVP 0.5 g L-1 5 29.51c 24.51c 5.90cPVP 1 g L-1 5 46.49a 41.49a 9.29aPVP 2 g L-1 5 39.49b 34.49b 7.89bAA 0.5 g L-1 5 33.47c 28.47c 6.69cAA 1 g L-1 5 41.78ab 36.78ab 8.35abAA 2 g L-1 5 42.29ab 37.29ab 8.45abKK (%) 8.21 9.54 9.52

Tabel 3. Pertambahan bobot dan frekuensi proliferasi embrio endospermik primer pada 4 MSK

Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α = 5%

Page 59: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 150 - 157 (2014)

155Pembentukan Embrio Endospermik......

proembryo, menghasilkan embrio fase kotiledon berwarna hijau sebesar 31% (Tabel 5). Embrio fase kotiledon yang diinginkan adalah yang berwarna hijau untuk selanjutnya ditanam ke dalam media perkecambahan.

Embrio endospermik sekunder mangga Gedong Gincu fase kotiledon (Gambar 4E) yang ditanam pada media perkecambahan memiliki tiga pola pertumbuhan yaitu kotiledon tidak menghasilkan tunas dan akar (TdAd), tidak membentuk tunas tetapi membentuk akar (TdAy), dan membentuk tunas dan akar (TyAy) (Gambar 4F). Menurut Kumar dan Kumari 2010, pola pertumbuhan kotiledon seperti ini terjadi juga pada tahap perkecambahan tanaman kembang pulu (Carthamus tinctorius L.). Embrio yang berkecambah normal dengan pola mampu membentuk tunas

dan akar yang dapat berkembang menjadi plantlet (Avivi et al., 2010).

Embrio mangga Gedong Gincu fase kotiledon yang memiliki pola pertumbuhan TyAy mampu berkecambah pada 8 MSK. Menurut Widoretno et al. (2003), ES yang telah masak ditandai dengan terbentuknya struktur embrio lengkap dengan kotiledon dan radikula, setelah dikecambahkan selama satu minggu pada media perkecambahan, ES kedelai yang telah masak mengalami pemanjangan hipokotil dan mulai membentuk akar dan daun primer. Evaluasi yang dilakukan terhadap media perkecambahan, penambahan GA3 1.5 mg L-1 dapat mengecambahkan EES yang dikulturkan dengan persentase sebesar 20 % (Tabel 6).

Penambahan senyawa absorban

Jumlah rata-rata fase embrio yang terbentuk pada 4 MSKProembryo Globular Hati Torpedo Kotiledon Total embrio

Tanpa absorban 2.5e 0.0a 0.0b 0.1b 0.0c 2.6ePVP 0.5 g L-1 4.9d 0.1ab 0.1b 0.3a 0.0c 5.4dPVP 1 g L-1 7.0c 0.1ab 0.3a 0.4a 0.2b 8.0bcPVP 2 g L-1 7.0c 0.0b 0.1b 0.2a 0.1bc 7.5cAA 0.5 g L-1 5.6d 0.0b 0.1b 0.1b 0.0bc 5.8dAA 1 g L-1 8.6b 0.1ab 0.1b 0.1b 0.6a 9.5bAA 2 g L-1 10.6a 0.0b 0.0b 0.1b 0.7a 11.4aKK (%) 5.6 3.7 5.5 5.5 7.6 5.5

Tabel 4. Fase pembentukan embrio endospermik sekunder pada media dengan penambahan absorban fenolik

Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α = 5% (data yang dianalisis ditransformasi dengan √x + 0.5

Sumber keragamanWaktu pembentukan embrio fase kotiledon

(minggu)

Jumlah rata-rata embrio fase kotiledonari dari EES pada

Persentase warna kotiledon pada 8 MSK

2 4 6 8 Putih Putih kehijauan Hijau

Jenis absorban .....................MSK.....................Tanpa absorban 6 0.0c 0.0e 0.2e 1.1d 18ab 29e 0cPVP 0.5 g L-1 2 0.1c 0.3d 0.7d 2.0c 20a 51d 0cPVP 1 g L-1 2 0.2b 0.6bc 0.9c 1.6c 2c 73abc 22abPVP 2 g L-1 2 0.0c 0.4cd 1.2c 2.1bc 7bc 84a 7cAA 0.5 g L-1 2 0.2b 0.6b 1.9c 2.0c 9abc 82ab 2cAA 1 g L-1 2 0.5a 0.9a 1.7b 2.7b 9abc 69bc 20bAA 2 g L-1 2 0.41 0.9a 2.1a 3.3a 2c 67c 31aKonsentrasi BAP (mg L-1)BAP 0 2 0.1e 0.4g 0.9h 1.8b 11d 58f 11dBAP 0.2 2 0.2f 0.5g 1.2g 2.2a 7d 70f 13dBAP 0.4 2 0.3f 0.7f 1.4f 2.4a 11d 68f 12dKK (%) 9.1 11.1 8.3 11.1 8.95 5.96 7.16

Tabel 5. Jumlah embrio fase kotiledonari pada tahap maturasi embrio endospermik sekunder

Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α = 5% (data yang dianalisis ditransformasi dengan √x + 0.5

Page 60: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 150 - 157 (2014)

156 Irni Furnawanthi Hindaningrum, Ni Made Armini Wiendi, dan Winarso Drajad Widodo

Gambar 4. Perkembangan embrio endospermik sekunder (EES) mangga Gedong Gincu Klon 289 pada tahap maturasi dan perkecambahan: Inokulum EES yang dikulturkan ke media maturasi (4A dan 4B); Maturasi EES setelah 4 MSK (4C dan 4D); inokulum ESS yang dikecambahkan (4E); embrio yangberkecambah pada 8 msk (4F)

KESIMPULAN

Perbanyakan klonal dari sel endosperma Mangifera indica L. varietas Gedong Gincu klon 289 memerlukan tahapan induksi embrio, proliferasi, maturasi, perkecambahan dan perkembangan menjadi plantlet. Proliferasi embrio endospermik sekunder memerlukan penambahan senyawa absorban senyawa fenolik yang dapat menghambat proliferasi dan merubah warna inokulum menjadi hitam, penambahan senyawa absorban arang aktif dan Poly Vinyl Pirrolidone memberikan respon yang berbeda. Penambahan Poly Vinyl Pyrrolidone 1 g L-1 merupakan media terbaik untuk proliferasi embrio endospermik primer, dengan persentase pembentukan embrio endospermik sekunder sebesar 98% dengan struktur kalus kompak (73.3%) dan fase proembrio yang berwarna putih (93.33%). Penambahan arang aktif 2 g L-1 memberikan respon warna kalus terbaik yaitu hijau (97.78%) dan jumlah pembentukan embrio fase kotiledonari yang paling tinggi (0.71). Kalus dengan struktur kompak dan berwarna hijau merupakan embrio yang dapat berkembang ke fase selanjutnya. Media dengan penambahan arang aktif baik digunakan untuk media pemeliharaan embrio endospermik sekunder sebelum dilakukan tahap maturasi eksplan. Maturasi pada media dengan penambahan BAP 0.4 mg L-1 dengan inokulum berupa clumps yang berasal dari media proliferasi dengan penambahan arang aktif (AA) 2 g L-1 memberikan rata-rata pembentukan embrio fase kotiledon sebesar 2.39. Tahap perkecambahan embrio endospermik mangga Gedong Gincu pada media dengan penambahan Gibberellic Acid (GA3) 1.5 mg L-1 menghasilkan perkecambahan tertinggi sebesar 20% dibandingkan dengan konsentrasi GA3 lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Avivi, S.A., A. Prawoto, R.F. Oetami. 2010. Regenerasi embriogenesis somatik pada beberapa klon kakao Indonesia dari eksplan bunga. J. Agron. Indonesia 38:138-143.

Dragosavac, D.C., S.Z. Korac, B. Bohanec, L. Radojevic, B. Vinterhalter, S. Stevovic, A. Cingerl, J. Savic. 2010. Effect of activated charcoal, absisic acid and polyethylene glycol on maturation, germination and conversion of Aesculus hippocastanaum androgenic embryos. African Journal of Biotechnology 9:3786-3793.

Ermayanti, T.M., E.R. Deritha. 2009. Establishment of somatic embryogenesis of some mango cultivars (Mangifera indica L.) grown in Indonesia. J. Biotec Research in Tropical Region 2:1-5.

Goralski, G.M., M. Popielarska, H. Slesak, D. Siwinska, M. Batycka. 2005. Organogenesis in endosperm of Actinidia deliciosa cv Hayward culture in vitro. Acta Biologica Cracoviensia Series Botanica 47:121-128.

Hanayanti, O. 2011. Embriogenesis sel endosperma untuk perakitan tanaman triploid mangga (Mangifera indica L.) varietas Gedong Gincu. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Hutami, S. 2008. Masalah pencoklatan pada kultur jaringan [ulasan]. J. Agro Biogen. 4:83-88.

Media perlakuan GA3 (ppm)

Jumlah embrio yang ditanam

Pola pertumbuhan kotiledon Kotiledon yang berkecambah

Persentase perkecambahan (%)TdAd TdAy TyAy

0 15 13 2 0 0 00.5 15 14 1 0 0 01 15 13 1 1 1 61.5 15 9 3 3 3 202 15 9 4 2 2 13.3

Tabel 6. Jumlah embrio endospermik sekunder fase kotiledon yang berkecambah pada media perlakuan GA3

Keterangan: Td = Tunas tidak ada; Ty = Tunas ada; Ad = Akar tidak Ada; Ay = Akar ada

Page 61: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 150 - 157 (2014)

157Pembentukan Embrio Endospermik......

Iyer, C.P.A., C. Degani. 2009. Classical breeding and genetics. p. 67-98. Dalam R.E. Litz, (Eds.). The Mango Botany. Production and Uses, 2nd Edition. Oxfordshire (GB): MPG Books Group Bodmin.

Kim, Y.J., O.R. Lee, K.T. Kim, D.C. Yang. 2012. High frequency of plant regeneration through cyclic secondary somatic embryogenesis in Panax Ginseng. J. Ginseng Res. 36:442-448.

Krishna, H., S.K. Singh. 2007. Biotechnological advances in mango (Mangifera indica L.) and their future implication in crop improvement- a review. Biotechnology Advances 25:223-243.

Kumar, S.P., B.D.R. Kumari. 2010. Effect of primary and secondary somatic embryogenesis in safflower (Carthasmus tinctorius L.) at morphological and biochemical levels. American-Eurosian J. Agric. Environ. Sci. 8:784-792.

Malabadi, R.B., J.A. Teixera da Silva, K. Nataraja, S.Vijaykumar, S.M. Gangadhar. 2011. Induction of somatic embryogenesis in mango (Mangifera indica L.). Int. J. of Biological Technology 2:12-18.

Pardal, S.J., G.A. Wattimena, H. Aswidinnoor, M. Herman, E. Listanto, Slamet. 2004. Transfer gen proteinase inhibitor II pada kedelai melalui vektor Agrobakterium tumefaciens untuk ketahanan terhadap hama penggerek polong (Etiella zinckenella Tr.). J. Bioteknologi Pertanian 9:20-28.

Sukamto, L.A. 2010. Kultur in vitro endosperma, protokol yang efisien untuk mendapatkan tanaman triploid secara langsung. J. Agro Biogen 6:107-112.

Widoretno, W., R. Megia, Sudarsono. 2003. Respons embrio somatik terhadap polietilena glikol dan penggunaannya untuk seleksi in vitro terhadap stres kekeringan. Hayati J. Biosci. 10:134-139.

Xiao, J.N., Xue-Lin Huang, Yong-Jie Wu, Xiao-Ju li, Ming-de Zhoou, F. Engelmann. 2004. Direct somatic embryogenesis induced from cotyledons of mango immature zygotic embryos. In vitro Cell Dev.Biol-plant. 40:196-199.

Page 62: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

158

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 158 - 165 (2014)

Taopik Ridwan, Munif Ghulamahdi, dan Ani Kurniawati

* Penulis untuk korespondensi. e-mail: [email protected]

PENDAHULUAN Jintan hitam (Nigella sativa L.) merupakan salah

satu tanaman obat, termasuk famili Ranunculaceae, yang telah digunakan selama ribuan tahun sebagai obat dan rempah (Salem, 2005). Tanaman ini merupakan tanaman introduksi sehingga keberadaannya belum banyak diketahui masyarakat. Total pemakaian jintan hitam dalam industri

besar dan menengah dalam setahun adalah 144.817 kg (Wahyuni, 2009). Saat ini penelitian tentang budidaya jintan hitam di Indonesia masih kurang. Oleh sebab itu, peluang pengembangan tanaman ini di Indonesia masih sangat luas.

Upaya peningkatan produksi tanaman dapat dilakukan dengan meningkatkan bobot basah dan bobot kering tanaman terutama bobot kering kapsul dan hasil biji melalui pemupukan. Penggunaan pupuk kandang sapi dan fosfat alam pada percobaan ini diharapkan dapat memperbaiki kondisi tanah sehingga dapat menyediakan unsur hara untuk perkembangan tanaman jintan hitam. Valadabadi dan Farahani (2011) melaporkan bahwa pemberian pupuk

Laju Pertumbuhan dan Produksi Jintan Hitam (Nigella sativa L.) dengan Aplikasi Pupuk Kandang Sapi dan Fosfat Alam

Growth Rates and Production of Black Cumin (Nigella sativa L.) with Cow manure and Rock Phosphate Application

Taopik Ridwan1*, Munif Ghulamahdi2, dan Ani Kurniawati2

1Pusat Studi Biofarmaka LPPM Institut Pertanian BogorJl. Taman Kencana No 3 Kampus IPB Taman Kencana Bogor 16128, Indonesia

2Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Bogor Agricultural University), Jl. Meranti, Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680, Indonesia

Diterima 5 Desember 2013/Disetujui 20 Februari 2014

ABSTRACT Black cumin (Nigella sativa L.) is a medicinal plant and spices belongs to the Ranunculaceae family. Black cumin seed

contains some secondary compounds and rich in nutrition that are beneficial to health. The objective of this research was to investigate the effect of organic fertilizer rates on plant growth and production of black cumin (Nigella sativa L.). This research was conducted at Manoko Lembang, Bandung Barat from October 2012 to January 2013. The experiment was arranged in a randomized complete block design with three replications. The treatment consists of two factors, i.e. cow manure and rates of rock phosphate. Rates of cow manure applied were 0, 10, 20, and 30 ton ha-1, and rates of rock phosphate were 0, 40, 80, and 120 kg P2O5 ha-1. The results showed that cow manure increased plant height, leaf number, branch number, flower number, fresh weight and dry weight of branch, leaf and total plant weight. Rock phosphate fertilizer increased leaf area and leaf area index of plant. Fertilizers that can efficiently increase production was 10 tons cow manure ha-1 and 40 kg P2O5 ha-1.

Keywords: cow manure, growth, Nigella sativa L, production, rock phosphate

ABSTRAK Jintan hitam (Nigella sativa L.) merupakan tanaman obat dan rempah termasuk famili Ranunculaceae. Biji jintan hitam

mengandung beberapa senyawa sekunder dan memiliki nilai nutrisi tinggi yang bermanfaat untuk kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari respon pertumbuhan tanaman dan produksi jintan hitam pada taraf dosis pupuk organik. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Manoko Lembang, Bandung Barat. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok faktorial dengan tiga ulangan. Perlakuan terdiri atas dua faktor pemupukan yaitu pupuk kandang sapi dan fosfat alam. Pemupukan kandang sapi terdiri atas empat taraf dosis yaitu 0, 10, 20 dan 30 ton ha-1. Pemupukan fosfat alam terdiri atas empat taraf dosis yaitu 0, 40, 80, 120 kg P2O5 ha-1. Hasil percobaan menunjukkan bahwa pemberian pupuk kandang sapi mampu meningkatkan tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah cabang, jumlah bunga, bobot basah dan bobot kering batang, daun dan bobot total. Fosfat alam mampu meningkatkan luas daun dan indeks luas daun. Dosis pupuk yang efisien dapat meningkatkan produksi adalah 10 ton pupuk kandang sapi ha-1 dan 40 kg P2O5 ha-1.

Kata kunci: pupuk kandang sapi, fosfat alam, pertumbuhan, produksi, Nigella sativa L

Page 63: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

159

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 158 - 165 (2014)

Laju Pertumbuhan dan Produksi......

kandang 20 ton ha-1 dan azotobacter nyata meningkatkan tinggi tanaman, biomassa, hasil biji, bobot kering kapsul dan minyak atsiri jintan hitam. Penambahan bahan organik juga dapat meningkatkan P tersedia pada tanah dan serapan P tanaman jagung (Djuniwati et al., 2003).

Fosfat alam diharapkan dapat menjadi sumber P untuk meningkatkan produksi biji jintan hitam. Keuntungan menggunakan fosfat alam adalah mengandung hara Ca, Mg dan hara mikro sera cocok untuk tanah masam, sedangkan kelemahannya adalah kadar dan kelarutan P2O5 bervariasi, respons tanaman sangat dipengaruhi sifat tanah, tanaman, lingkungan dan cara aplikasi serta mengandung logam berat cukup tinggi (Hartatik, 2011). Unsur P secara agronomis diketahui berperan dalam pembentukan biji, percepatan pematangan biji, mempengaruhi kualitas biji dan meningkatkan ketahanan tanaman terhadap penyakit (Onasanya et al., 2009). Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari respon pertumbuhan tanaman dan produksi jintan hitam pada taraf dosis pupuk kandang dan fosfat alam yang diberikan.

BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan mulai Oktober 2012

sampai Januari 2013. Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan Balittro Manoko Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Kebun percobaan terletak pada 6o48’25,41” LS, 107o36’50,66” BT pada ketinggian 1301.5 m dpl dengan jenis tanah andosol dan suhu rata-rata 20-27 oC. Bahan yang digunakan adalah pupuk kandang sapi, fosfat alam, benih jintan hitam dan polibag serta alat ukur berupa penggaris, timbangan sartorius, LI-3100 area meter dan oven. Sumber bahan tanaman berasal dari hasil perbanyakan biji.

Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) faktorial. Perlakuan terdiri atas dua faktor yaitu pupuk kandang sapi dan fosfat alam. Pemupukan dengan pupuk kandang sapi terdiri atas empat taraf, yaitu 0, 10, 20, dan 30 ton ha-1. Pemupukan fosfat alam terdiri atas empat taraf, yaitu 0, 40, 80, dan 120 kg P2O5 ha-1 sehingga terdapat 16 kombinasi perlakuan. Tiap perlakuan diulang tiga kali sehingga terdapat 48 satuan percobaan. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan sidik ragam (uji F) pada taraf 5%. Jika perlakuan berpengaruh nyata maka dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan (Duncan’s Multiple Range Test) pada taraf 5% dengan program SAS versi 9.0.

Sebelum disemai, benih direndam terlebih dahulu dalam air selama 12 jam kemudian ditiriskan dan disemai pada bak semai yang berisi campuran tanah dan pupuk kandang (1:1) (v/v). Selama pembibitan dilakukan penyiraman secara teratur untuk menjaga kelembaban dengan menggunakan sprayer. Periode pembibitan dilakukan selama empat minggu sampai tanaman membentuk dua daun sempurna. Pupuk diberikan sesuai dengan perlakuan pada saat pengisian tanah pada polibag ukuran 20 cm x 25 cm. Pemberian perlakuan pupuk kandang sapi dan fosfat alam dilakukan dua minggu sebelum pindah tanam.

Bibit tanaman dipindahkan ke polibag yang telah diberi pupuk sesuai dengan perlakuan. Pengamatan dimulai

2 minggu setelah tanam (MST). Peubah pertumbuhan yang diamati adalah tinggi tanaman, jumlah daun, luas daun (LD) diukur dengan leaf area meter, indeks luas daun (ILD) diperoleh dengan membandingkan luas daun per satuan luas polibag, bobot basah dan bobot kering setiap pengamatan dengan cara menimbang per satuan tanaman yang dihasilkan. Analisis pertumbuhan tanaman menggunakan metode Masarovicova (1997) yaitu laju tumbuh relatif (LTR) diperoleh dengan cara membandingkan bobot kering tanaman per satuan waktu tertentu, nisbah luas daun (NLD) diperoleh dengan membandingkan luas daun terhadap bobot kering tanaman, dan laju asimilasi bersih (LAB) diperoleh dengan membandingkan bobot kering tanaman pada saat tertentu per satuan luas. Peubah hasil yang diamati pada waktu panen: jumlah biji per kapsul dan bobot 1,000 biji.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Tanah yang digunakan untuk penelitian tergolong

agak masam dengan pH (H2O) sebesar 6.19. dan KTK yang terdapat di dalamnya sangat tinggi yaitu 41.29 sehingga kekuatan mengikat atau menukarkan unsur hara sangat tinggi (Tabel 1). Sumbangan hara bagi tanaman dari pupuk kandang sapi yaitu 1.52% N, 0.64% P, 0.56% K, C/N rasio sebesar 17 sedangkan sumbangan dari fosfat alam yaitu 0.03% N, 2.87% P2O5 total dan 0.97% P2O5 larut dalam asam sitrat 2%.

Ciri-ciri tanah Kadar Kriteria *)pH (H2O) 6.19 Agak masamC Organik (%) 5.57 Sangat tinggiN Total (%) 0.50 SedangP Bray I tersedia (ppm) 10.09 Sangat rendahSusunan kation Ca (cmol kg-1) 11.85 TinggiMg (cmol kg-1) 2.19 TinggiK (cmol kg-1) 1.03 Sangat tinggiNa (cmol kg-1) 0.15 RendahKTK (cmol kg-1) 41.29 Sangat tinggiKejenuhan basa (%) 36.86 RendahAl-dd (cmol kg-1) 0.32 Sangat rendahTekstur (%)Pasir 72.29 PasirDebu 19.27Liat 8.44

Tabel 1. Karakteristik tanah yang digunakan dalam penelitian di Kebun Percobaan Balittro Manoko Lembang, Kaupaten Bandung Barat

Sumber: Hasil analisis laboratorium Balittro (2012); *) Kriteria Pusat Penelitian Tanah Bogor (1983)

Page 64: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

160

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 158 - 165 (2014)

Taopik Ridwan, Munif Ghulamahdi, dan Ani Kurniawati

Secara umum tanaman tidak mengalami serangan hama dan penyakit, sehingga tidak terlihat kerusakan pada tanaman jintan hitam. Gulma yang tumbuh dominan di sekitar tanaman jintan hitam adalah gulma teki dan semanggi. Pertumbuhan tanaman kurang seragam diduga karena tanaman belum beradaptasi.

Tinggi Tanaman dan Jumlah Daun Pemberian pupuk kandang sapi berpengaruh nyata

terhadap tinggi tanaman dan jumlah daun pada umur 6 dan 8 MST (Tabel 2). Tinggi tanaman jintan hitam ini (23 cm) belum optimal bila dibandingkan dengan tanaman yang tumbuh di kawasan Mediterania, berkisar 32.1-100 cm (Tuncturk et al., 2005; Malhotra dan Vashishtha, 2008; Valadabadi dan Farahani, 2011; Tuncturk et al., 2011; Shah

dan Tak, 2011, Hendawy et al., 2012; El-Mekawy, 2012). Serapan hara oleh jintan hitam terutama dari pupuk

kandang sapi mulai terjadi pada umur 6 MST, hal ini diduga pada saat umur 6 MST unsur hara sudah mulai tersedia untuk pertumbuhan tanaman sekaligus untuk cadangan makanan pada fase generatif karena pada umur 7-8 MST tanaman sudah mulai berbunga. Hal ini juga sejalan dengan hasil penelitian Santosa (2003) dan Tripatmasari (2008) yang menunjukkan bahwa pemberian pupuk kandang sapi nyata meningkatkan tinggi tanaman dan jumlah daun pada tanaman lidah buaya dan daun dewa. Serapan fosfat alam oleh tanaman jintan hitam tidak terlihat pengaruhnya pada pertumbuhan tinggi tanaman maupun jumlah daun. Hal tersebut karena fosfat alam sebagai sumber fosfor diduga belum tersedia bagi tanaman karena sifatnya yang lambat tersedia bagi tanaman.

PerlakuanUmur (MST)

2 4 6 8 10Tinggi tanaman (cm)

Pupuk kandang sapi (ton ha-1)0 1.5 3.92 9.13b 13.88c 20.46b10 1.6 4.38 11.07b 16.29b 21.08ab20 1.7 4.38 13.29a 17.33b 21.17ab30 1.5 4.42 13.65a 19.29a 23.00aFosfat alam (kg P2O5 ha-1)0 1.6 4.25 11.54 17.17 22.1340 1.5 4.04 11.94 16.63 20.5580 1.6 4.42 12.15 16.88 21.38120 1.6 4.38 11.50 16.13 21.05KK (%) 13.80 16.55 18.80 13.33 12.39

Jumlah daun (helai)Pupuk kandang sapi (ton ha-1)0 2.0 3.6 7.8bc 8.3c 13.210 2.1 4.1 7.3c 10.0bc 14.120 2.2 4.1 9.3a 12.2a 14.330 2.1 4.2 9.0ab 11.6ab 14.8Fosfat alam (kg P2O5 ha-1)0 2.0 3.8 7.9 9.7b 13.240 2.2 3.8 8.5 9.7b 13.280 2.2 4.1 8.7 10.9ab 14.8120 2.1 4.2 8.3 11.8a 15.3KK (%) 12.4 21.3 19.1 20.6 28.6Interaksi tn tn tn tn tn

Tabel 2. Tinggi tanaman dan jumlah daun jintan hitam pada berbagai perlakuan pemupukan pada umur 2, 4, 6, 8 dan 10 MST

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 5%; tn = tidak nyata; KK = koefisien keragaman

Page 65: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

161

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 158 - 165 (2014)

Laju Pertumbuhan dan Produksi......

ILD (0.024). Defisiensi fosfor dapat mengurangi jumlah daun dan mereduksi luas permukaan daun (Camacho et al., 2002). Nilai LD per tanaman jintan hitam hasil penelitian di atas masih sangat rendah (16.87 cm2) bila dibandingkan dengan hasil penelitian di India yang berkisar antara 170.6-692 cm2 (Shah dan Samiullah, 2007; Shah dan Tak, 2011; Shah, 2011).

Nisbah Luas Daun (NLD) Nisbah luas daun (NLD) tidak dipengaruhi oleh pupuk

kandang sapi dan fosfat alam pada pengamatan umur 4-10 MST (Tabel 5). Nilai NLD pada tanaman jintan hitam semakin menurun dengan meningkatnya umur tanaman. Penurunan NLD diduga karena pertambahan luas daun yang rendah dan efisiensi fotosintesis daun rendah sehingga menghasilkan bahan kering yang rendah. Hal yang sama terjadi pada tanaman daun dewa, nilai NLD menurun seiring dengan meningkatnya umur tanaman pada kondisi periode pencahayaan (Ghulamahdi et al., 2008). ILD meningkat dengan meningkatnya umur tanaman, sehingga daun menjadi banyak. Menurut Nirwan (2007) intensitas cahaya rendah akan menghambat peningkatan jumlah sel sehingga daun tanaman daun dewa semakin tipis.

Laju Tumbuh Relatif (LTR) dan Laju Asimilasi Bersih (LAB)

Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 6, LTR dan LAB tidak dipengaruhi pupuk kandang sapi dan fosfat alam. Peningkatan LTR dan LAB yang pesat diduga terjadi pada awal pertumbuhan mulai 2-6 MST (56-87 hari setelah semai). Menurut Halvin et al. (2005) pupuk kandang sebagai sumber N diperlukan tanaman untuk pertumbuhan vegetatif tanaman dan meningkatkan laju fotosintesis tanaman. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Shah dan Tak (2011) yang menyatakan bahwa LTR dan LAB meningkat pada 70 hari setelah semai. Nilai LTR dan LAB sejak umur 6-10 MST cenderung menurun, seiring dengan bertambahnya umur tanaman. Menurut Nirwan (2007) peningkatan asimilat pada awal pertumbuhan sangat pesat, tetapi menurun dan konstan dengan bertambahnya umur tanaman pada daun dewa.

Bobot Basah dan Bobot Kering Tanaman Peningkatan bobot basah dan bobot kering tajuk

dan bobot total tanaman pada umur 6 MST secara nyata dipengaruhi oleh perlakuan pupuk kandang sapi. Bobot basah tajuk (0.216 g), bobot kering tajuk (0.03 g), bobot basah total (0.313 g) dan bobot kering total (0.042 g) tertinggi untuk perlakuan pupuk kandang sapi dosis 30 ton ha-1 dan terendah terdapat pada perlakuan kontrol (Tabel 7). Rendahnya bobot basah dan bobot kering pada tanaman jintan hitam diduga disebabkan oleh belum teradaptasinya tanaman di iklim tropis. Menurut Hartini (2006) tanaman bisa beradaptasi apabila sudah mengalami berbagai pergantian musim sehingga dapat diyakinkan bahwa

Perlakuan Jumlah cabang Jumlah bunga........................(buah)........................

Pupuk kandang sapi (ton ha-1)0 1.9c 1.1b10 2.2bc 1.6a20 2.8ab 1.6a30 3.3a 1.7aFosfat alam (kg P2O5 ha-1)0 2.3 1.540 2.8 1.580 2.4 1.3120 2.4 1.6KK (%) 33.9 28.0Interaksi tn tn

Tabel 3. Jumlah cabang dan jumlah bunga jintan hitam pada berbagai perlakuan pada umur 8 MST

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 5%; tn = tidak nyata; KK = koefisien keragaman

Jumlah Cabang dan Jumlah Bunga

Pupuk kandang sapi mempengaruhi jumlah cabang dan jumlah bunga pada umur 8 MST. Pemberian pupuk kandang sapi 30 ton ha-1 nyata meningkatkan jumlah cabang dan jumlah bunga dibandingkan dengan kontrol (Tabel 3). Hal ini diduga pada 8 MST hara cukup tersedia terutama dari pupuk kandang sapi, sehingga mampu dimanfaatkan tanaman jintan hitam untuk pertumbuhan jumlah cabang dan jumlah bunga. Jumlah cabang dan jumlah bunga pada saat 8 MST sebanyak 1-2 buah per tanaman. Menurut Malhotra dan Vashishtha (2008) jintan hitam 50% berbunga pada 72-82 hari setelah semai. Jumlah cabang dan jumlah bunga pun sama halnya dengan tinggi tanaman memiliki jumlah belum optimal (3.33 cabang dan 1.67 buah) bila dibandingkan dengan di habitat aslinya yang berkisar antara 4-30 cabang (Tuncturk et al., 2005; Malhotra dan Vashishtha, 2008; Rabbani et al., 2011; Tuncturk et al., 2011; Hendawy et al., 2012; El-Mekawy, 2012) dan 20-34 bunga (Balakrishnan dan Gupta, 2011). Pertumbuhan dan pembungaan pada tanaman artemisia di daerah tropis akan lebih cepat karena perubahan lingkungan tumbuh antara lain tingginya suhu dan intensitas cahaya, serta penyinaran matahari yang pendek (< 13 jam/hari) (Gusmaini dan Nurhayati, 2007).

Luas Daun (LD) dan Indeks Luas Daun (ILD) Fosfat alam nyata meningkatkan LD dan ILD pada

umur 6, 8 dan 10 MST (Tabel 4). Perlakuan fosfat alam 80 kg P2O5 ha-1 memberikan nilai tertinggi pada LD (7.04 cm2) dan ILD (0.075) sedangkan terendah terdapat pada tanpa pemberian P2O5 dengan nilai LD (4.32 cm2) dan

Page 66: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

162

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 158 - 165 (2014)

Taopik Ridwan, Munif Ghulamahdi, dan Ani Kurniawati

PerlakuanUmur (MST)

4 6 8 10...................................................................................Luas daun (cm2)................................................................................

Pupuk kandang sapi (ton ha-1)0 1.50b 4.51 9.35 13.3410 1.84ab 4.97 10.09 13.7820 1.96ab 5.80 10.75 15.7930 2.64a 6.03 11.78 16.87Fosfat alam (kg P2O5 ha-1)0 1.85 4.32b 8.72b 12.39b40 2.06 4.85b 9.18b 13.20b80 2.06 7.04a 13.23a 18.50a120 1.97 5.09b 10.85ab 15.69abKK (%) 22.541) 33.59 33.68 29.97

..................................................................................Indeks luas daun..................................................................................Pupuk kandang sapi (ton ha-1)0 0.009 0.026 0.053 0.075 10 0.010 0.028 0.057 0.078 20 0.015 0.033 0.061 0.089 30 0.011 0.034 0.066 0.095 Fosfat alam (kg P2O5 ha-1)0 0.011 0.024b 0.049b 0.070b 40 0.012 0.028b 0.052b 0.074b 80 0.011 0.040a 0.075a 0.105a 120 0.011 0.029b 0.061ab 0.089ab KK (%) 0.581) 33.50 33.78 29.97Interaksi tn tn tn tn

Tabel 4. Luas daun (LD) dan indeks luas daun (ILD) jintan hitam pada berbagai perlakuan pemupukan pada umur 4, 6,8 dan 10 MST

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 5%; tn = tidak nyata; 1) = hasil transformasi √x + 0.5

PerlakuanUmur (MST)

4 6 8 10.................................................................................cm2 g-1..................................................................................

Pupuk kandang sapi (ton ha-1)0 132.64b 188.44ab 203.10 145.99 10 188.19ab 248.07a 189.56 110.83 20 233.55a 162.91b 145.98 129.18 30 158.51ab 162.95b 148.93 134.57 Fosfat alam (kg P2O5 ha-1)0 196.23 192.20 163.00 117.53 40 182.99 172.95 169.39 123.49 80 174.78 229.02 213.97 158.40 120 158.89 168.19 141.21 121.15 KK (%) 29.301) 21.281) 25.391) 34.95Interaksi tn tn tn tn

Tabel 5. Nisbah luas daun (NLD) jintan hitam pada berbagai perlakuan pemupukan pada umur 4-10 MST

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 5%; tn = tidak nyata; 1) = hasil transformasi √x + 0.5

Page 67: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

163

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 158 - 165 (2014)

Laju Pertumbuhan dan Produksi......

PerlakuanUmur (MST)

4-6 6-8 8-10.................................................................................LTR (g hari-1).................................................................................

Pupuk kandang sapi (ton ha-1)0 0.11899 0.09532 0.09428 10 0.11828 0.14463 0.10673 20 0.16153 0.11303 0.06390 30 0.15628 0.11431 0.05711 Fosfat alam (kg P2O5 ha-1)0 0.12683 0.13113 0.08036 40 0.14304 0.10913 0.08095 80 0.13818 0.09182 0.08999 120 0.14703 0.13521 0.07073 KK (%) 4.891) 5.351) 4.781)

.................................................................................LAB (g cm-2 hari-1).................................................................................Pupuk kandang sapi (ton ha-1)0 0.0008450 0.0005592 0.0006017ab 10 0.0007150 0.0008950 0.0008125a 20 0.0011467 0.0010633 0.0004758b 30 0.0011292 0.0009508 0.0004192b Fosfat alam (kg P2O5 ha-1)0 0.0007742 0.0010192ab 0.0005817 40 0.0009567 0.0009217ab 0.0006000 80 0.0009408 0.0004608b 0.0005208 120 0.0011642 0.0010667a 0.0006067 KK (%) 0.071) 0.071) 0.041)

Interaksi tn tn tn

Tabel 6. Laju tumbuh relatif (LTR) dan laju asimilasi bersih (LAB) jintan hitam pada berbagai perlakuan pemupukan pada umur 4-6 MST, 6-8 MST dan 8-10 MST

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 5%; tn = tidak nyata; 1) = hasil transformasi √x + 0.5

Perlakuan BB akar BK akar BB batang BK batang BB daun BK daun BB total BK total .................................................................................g.................................................................................

Pupuk kandang sapi (ton ha-1))0 0.078 0.011 0.065b 0.009b 0.050b 0.007b 0.193b 0.026b 10 0.055 0.007 0.072b 0.001b 0.057b 0.008b 0.185b 0.023b 20 0.090 0.012 0.108a 0.015a 0.093a 0.012a 0.292a 0.039a 30 0.088 0.012 0.111a 0.016a 0.105a 0.014a 0.313a 0.042a Fosfat alam (kg P2O5 ha-1))0 0.063 0.009 0.078 0.011 0.063 0.009 0.213 0.028 40 0.093 0.013 0.082 0.011 0.068 0.009 0.243 0.033 80 0.081 0.011 0.105 0.014 0.090 0.012 0.268 0.037 120 0.073 0.010 0.099 0.013 0.085 0.011 0.258 0.033 KK (%) 3.311) 0.531) 3.391) 0.531) 7.101) 1.391)

Interaksi tn tn tn tn tn tn

Tabel 7. Bobot basah dan bobot kering akar, batang, daun dan bobot total jintan hitam pada berbagai taraf perlakuan pemupukan pada umur 6 MST

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 5%; BB = bobot basah; BK = bobot kering; tn = tidak nyata; 1) = hasil transformasi √x + 0.5

Page 68: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

164

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 158 - 165 (2014)

Taopik Ridwan, Munif Ghulamahdi, dan Ani Kurniawati

tanaman tersebut sudah menyatu dengan lingkungan. Untuk mendukung supaya tanaman dapat beradaptasi salah satunya adalah memodifikasi lingkungan tumbuhnya. Koesmaryono et al. (2004) menyatakan bahwa salah satu upaya untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman soba yang merupakan tanaman subtropis adalah memodifikasi suhu tanah.

Jumlah Biji per Kapsul dan Bobot 1,000 Biji Jumlah biji per kapsul dan bobot 1,000 biji tidak

dipengaruhi oleh pupuk kandang sapi dan fosfat alam. Perlakuan pupuk kandang sapi 30 ton ha-1 meningkatkan produksi biji per kapsul sebesar 28.4% dan bobot 1,000 biji sebesar 5.97% terhadap kontrol (Tabel 8). Fosfat alam 80 kg P2O5 ha-1 menghasilkan produksi biji per kapsul sebesar 34.19% terhadap kontrol. Jumlah biji per kapsul dan bobot 1,000 biji tersebut belum menunjukkan hasil yang optimal bila dibandingkan dengan hasil penelitian di India, Pakistan dan Turki yang menghasilkan jumlah biji per kapsul berkisar antara 52-93 biji (Toncer dan Kizil, 2004; Talafih et al., 2007; Tuncturk et al., 2012) dan bobot 1,000 biji berkisar antara 2.26-3.21 g (Shah dan Samiullah, 2007; Rabbani et al., 2011; Tuncturk et al., 2012).

dibandingkan dengan kontrol. Untuk efisiensi pemupukan, dosis optimum pupuk kandang sapi 10 ton ha-1 dan fosfat alam 40 kg P2O5 ha-1 dapat digunakan, karena mampu meningkatkan pertumbuhan dan hasil produksi dan tidak berbeda nyata dengan dosis yang lebih tinggi. Tanaman jintan hitam menunjukkan peningkatan indeks luas daun dengan meningkatnya umur tanaman, tetapi menunjukkan penurunan nisbah luas daun, laju tumbuh relatif dan laju asimilasi bersih dengan meningkatnya umur tanaman.

DAFTAR PUSTAKA

Balakrishnan, B.R., P. Gupta. 2011. Effect of pre-sowing seed treatment with kinetin on physiological parameters of Nigella sativa Linn. Int. J. of Pharm. and Life Sci. 2:1046-1049.

Camacho, R., E. Malavolta, J.G. Alves, T. Camacho. 2002. Vegetative growth of grain sorghum in response to phosphorous nutrition. Scientica Agricola 59:771-776.

Djuniwati, S., A. Hartono, L.T. Indryati. 2003. Pengaruh bahan organik (Pueraria javanica) dan fosfat alam terhadap pertumbuhan dan serapan P tanaman jagung (Zea mays) pada andisol Pasir Sarongge. J. Tanah dan Lingkungan 5:17-22.

El-Mekawy, M.A. 2012. Growth and yield of Nigella sativa L. plant influenced by sowing date and irrigation treatments. American-Eurasian J. Agric. and Environ. Sci.12:499-505.

Ghulamahdi, M., S.A. Aziz, Nirwan. 2008. Peningkatan laju pertumbuhan dan kandungan flavonoid klon daun dewa (Gynura pseudochina (L.) DC) melalui periode pencahayaan. Bul. Agron. 36:40-48.

Gusmaini, H. Nurhayati. 2007. Potensi pengembangan budidaya Artemisia annua L. di Indonesia. Perspektif 6:57-67.

Halvin, J.L., J.D. Beaton, S.L. Tisdale, W.L. Nelson. 2005. Soil Fertility and Fertilizers: An Introduction to Nutrient Management. New Jersey (USA): Pearson Prentice Hall.

Hartatik, W. 2011. Fosfat alam sumber pupuk P yang murah. Balai Penelitian Tanah. Bogor. 33:10-12.

Hartini, S. 2006. Tumbuhan paku di Cagar Alam Sago Malintang, Sumatera Barat dan aklimatisasinya di Kebun Raya Bogor. Biodiversitas.7:230-236.

Hendawy, S.F., S.E. EL-Sherbeny, M.S. Hussein, K.A. Khalid, G.M. Ghazal. 2012. Response of two species of black cumin to foliar spray treatments. Aust. J. Basic and Appl. Sci. 6:636-642.

KESIMPULAN Pupuk kandang sapi 30 ton ha-1 pada 8 MST mampu

meningkatkan tinggi tanaman sebesar 38.97%, jumlah cabang sebesar 110.75% dan jumlah bunga sebesar 54.63% dibandingkan dengan kontrol. Fosfat alam 80 kg P2O5 ha-1 pada 6 MST mampu meningkatkan luas daun sebesar 62.96% dan indeks luas daun sebesar 66.67%

Perlakuan Jumlah (biji kapsul-1)

Bobot 1,000 biji(g)

Pupuk kandang sapi (ton ha-1)0 21.4b 2.01b 10 24.8ab 2.13ab 20 30.3a 2.29a 30 27.5ab 2.13ab Fosfat alam (kg P2O5 ha-1)0 22.4b 2.18 40 23.8ab 2.14 80 30.1a 2.12 120 27.8ab 2.11 KK (%) 28.26 11.76Interaksi tn tn

Tabel 8. Jumlah dan bobot 1,000 biji jintan hitam pada berbagai perlakuan pemupukan

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 5%; tn = tidak nyata

Page 69: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

165

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 158 - 165 (2014)

Laju Pertumbuhan dan Produksi......

Koesmaryono, Y. Fibrianty, H. Darmasetiawan. 2004. Modifikasi suhu tanah untuk kesesuaian tumbuh tanaman soba (Fagopyrum esculentum Moench) di daerah iklim tropika basah. J. Agromet. 18:21-27.

Malhotra, S.K., B.B. Vashishtha. 2008. Response of nigella (Nigella sativa L.) variety NRCSS AN 1 to different agro-techniques. J. of Spices and Aromatic Crops. 17:190-193.

Masarovicova, E. 1997. Measurement of plant photosynthetic activity. p. 769-801. In M. Pessarakli (Eds.). Hand Book of Photosynthesis. New York: Marcel Dekker, Inc.

Nirwan. 2007. Produksi flavonoid daun dewa (Gynura pseudochina (L.) DC) asal kultur in vitro pada kondisi naungan dan pemupukan. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Onasanya, R.O., O.P. Aiyelari, A. Onasanya, S. Oikeh, F.E. Nwilene, O.O. Oyelakin. 2009. Growth and yield response of maize (Zea mays L.) to different rates of nitrogen and phosphorus fertilizers in Southern Nigeria. World J. of Agric. Sci. 5:400-407.

Rabbani, M.A., A. Ghafoor, M.S. Masood. 2011. NARC-Kalonji: An early maturing and high yielding and variety of Nigella sativa released for cultivation in Pakistan. Pak. J. Bot. 43:191-195.

Salem, M.L. 2005. Immunomodulatory and therapeutic properties of the Nigella sativa L. seed. Int. Immunopharmacology 5:1749-1770.

Santosa, E. 2003. Pengaruh jenis pupuk organik dan mulsa terhadap pertumbuhan tanaman lidah buaya (Aloe vera Mill.). Bul. Agron. 31:120-125.

Shah, S.H., Samiullah. 2007. Responses of black cumin (Nigella sativa L.) to applied nitrogen without gibberellic acid spray. World J. of Agric. Sci. 3:153-158.

Shah, S.H. 2011. Giberellic acid induced amelioration of of salt stress in black cumin (Nigella sativa L.). Genetics and Plant Physiology 1:68-75.

Shah, S.H., H.I. Tak. 2011. Evaluation of soaking and spray treatments with GA3 to black cumin (Nigella sativa L.) in relation to growth, seed oil yield. Genetics and Plant Physiology 1:119-129.

Talafih, K.A., N.I. Haddad, B.I. Hattar, K. Kharallah. 2007. Effect of some agricultural practices on the productivity of black cumin (Nigella sativa L.) grown under rainfed semi-arid conditions. Jordan J. of Agric. Sci. 3:385-397.

Toncer, O., S. Kizil. 2004. Effect of seed rate on agronomic and technologic characters of Nigella sativa L. Int. J. Agri. Biol. 6:529-532.

Tripatmasari, M. 2008. Pengaruh pemupukan dan waktu pemanenan terhadap produksi antosianin daun dan kuersetin umbi tanaman daun dewa (Gynura pseudochina (L.) DC). Tesis Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Tuncturk, M., Z. Ekin, D. Turkozu. 2005. Response of black cumin (Nigella sativa L.) to different seed rates growth, yield components and essential oil content. J. Agron. 4:216-219.

Tuncturk, M., R.Tuncturk, B. Yildirim. 2011. The effects of varying phosphorus doses on yield and some yield components of black cumin (Nigella Sativa L.). Adv. in Environ. Biol. 5:371-374.

Tuncturk, R., M. Tuncturk, V. Ciftci. 2012. The effects of varying nitrogen doses on yield and some yield components of black cumin (Nigella Sativa L.). Adv. in Environ. Biol. 6:855-858.

Valadabadi, S.A., H.A. Farahani. 2011. Investigation of biofertilizers influence on quantity and quality characteristics in Nigella sativa L.. J. of Hort. and Forestry. 3:88-92.

Wahyuni, S. 2009. Peluang budidaya dan manfaat jintan hitam (Nigella sativa L.) Puslitbangbun. Bogor. 15:0853-8204.

Page 70: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 142 - 149 (2014)

142 Entit Hermawan, Sobir, dan Darda Efendi

* Penulis untuk korespondensi. e-mail: [email protected]

Analisis Genetik Sifat Ketahanan Melon (Cucumis melo L.) terhadap Virus Kuning

Genetic Analysis on Resistance of Melon (Cucumis melo L.) to Yellow Virus

Entit Hermawan1, Sobir2*, dan Darda Efendi2

1PT. BISI International, Tbk. Jl. Raya Pare-Wates KM 13Desa Sumber Agung, Kecamatan Plosoklaten, Kediri, Jawa Timur 64175, Indonesia.

2Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Bogor Agricultural Universtity), Jl Meranti, Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680, Indonesia

Diterima 11 Juli 2013/Disetujui 10 Maret 2014

ABSTRACT

Resistance to yellow virus (YV) is an important breeding trait in melon. However information regarding genetic inheritance pattern of the character are limited. This study aimed to provide information on genetic control for resistance to YV in melon caused by Tomato Yellow Leaf Curl Virus (TYLCV). Twenty genotypes from three major melon groups (dudaim, cantaloupe, and inodorous) were evaluated using controlled inoculation method. The results revealed that one line, MEV1 from the dudaim group, showed high resistance to YV; while other lines belong to cantaloupe and indororus indicated as highly susceptible lines. Screening of the F1 from crossing between resistant and susceptible parents resulted in resistant F1 after inoculation and planted in endemic location. Subsequently, evaluation on F2 population revealed a non-normal distribution for disease severity score, indicating that resistance to YV in melon was controlled by major genes. Chi-square (χ2) test resulted in 13:3 ratio and indicated that the resistance to YV was controlled by 2 genes pair with dominant and epistasis recessive actions.

Keywords: dominant and epstasis recessive action, major gene, Bemicia tabaci, Begomovirus

ABSTRAK

Ketahanan terhadap virus kuning merupakan karakter penting pada tanaman melon, akan tetapi informasi tentang pola pewarisan ini masih terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari tentang kendali genetik sifat ketahanan melon terhadap virus kuning yang disebabkan oleh Tomato Yellow Leaf Curl Virus (TYLCV). Pengujian ketahanan 20 genotipe dari tiga kelompok melon (dudaim, cantaloupe dan inodorous) terhadap virus kuning dilakukan dengan metode inokulasi terkendali. Hasil pengujian menunjukkan satu genotipe yang sangat tahan yaitu MEV1 yang tergolong kelompok dudaim, sedangkan genotipe lain dari kelompok cantaloupe dan inodorous termasuk kelompok yang sangat tidak tahan. Pengujian F1 hasil persilangan antara induk tahan dan rentan menunjukkan F1 dengan kategori tahan setelah inokulasi terkontrol dan penanaman pada lokasi endemik. Selanjutnya pengujian ketahanan pada populasi F2 menunjukkan sebaran skor keparahan penyakit yang tidak menyebar normal. Hal ini menunjukkan ketahanan terhadap virus kuning dikendalikan gen mayor. Hasil uji χ2 menunjukkan nisbah yang sesuai adalah 13:3, dimana ketahanan dikendalikan oleh dua pasang gen, dominan dan resesif epistasis.

Kata kunci: dominan dan resesif epistasis, gen mayor, Bemicia tabaci, Begomovirus

PENDAHULUAN

Penyakit virus kuning pada melon adalah salah satu penyakit yang akhir-akhir ini menjadi masalah besar bagi petani melon di Indonesia. Hal ini karena dampak serangannya sangat merugikan bahkan hingga menyebabkan gagal panen. Menurut Daryono (2006), virus yang paling banyak ditemukan di pertanaman melon di Indonesia antara

lain: Cucumber mosaic virus (CMV), Zucchini yellow mosaic virus (ZYMV), Watermelon mosaic virus (WMV), dan Papaya ringspot virus strain semangka (PRSV-W). Virus yang menyerang melon sebagian besar masuk dalam famili Geminiviridae. Famili Geminiviridae terdiri atas beberapa genus : Mastrevirus, Curtovirus, Tospovirus dan Begomovirus (ICTV, 2011).

Begomovirus (Bean golden mosaic virus) atau sering dikenal virus kuning merupakan salah satu genus dari Famili Geminiviridae yang memiliki vektor spesifik yaitu serangga kutu kebul (Bemisia tabaci). Gejala infeksi Begomovirus

Page 71: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 142 - 149 (2014)

143Analisis Genetik Sifat Ketahanan.....

antara lain adalah daun menguning (yellowing) dan keriting (curling), sehingga masyarakat mengenalnya sebagai virus kuning (Arminudin et al., 2010)

Pemuliaan tanaman untuk menghasilkan varietas melon yang secara genetik tahan serangan virus kuning sangat dibutuhkan, karena pengendalian serangan virus kuning dengan memberantas vektor dan inang lainnya serta pembersihan tanaman terserang belum mendatangkan hasil yang maksimal. Salah satu penyebabnya adalah vektor virus mempunyai sebaran inang yang luas dan berukuran kecil. Penyebab lain adalah karakter Begomovirus dimana jika menyerang tanaman tidak bisa pulih kembali dan masa inkubasinya singkat (Brown dan Czosnek, 2002).

Ketahanan terhadap virus dilaporkan terdapat pada melon, menurut Daryono et al. (2005) genotipe Mawatauri, Kohimeuri, PI 161375 and PI 371795 memiliki ketahanan terhadap Kyuri green mottle mosaic virus (KGMMV). Dua galur melon liar yang berasal dari Asia yaitu Nagata Kin Makuwa (NKM) dan PI 161375 yang termasuk dalam C. melo L. sub-spesies Agrestis memiliki ketahanan terhadap Melon yellow virus (MYV), dimana ketahanan dikendalikan oleh gen tunggal, namun memiliki pola pewarisan yang berbeda; dominan parsial pada NKM dan resesif parsial pada PI 161375 (Esteva dan Nuez, 1992).

Ketahanan tanaman terhadap penyakit dapat merupakan sifat kualitatif yang dikendalikan oleh gen mayor atau sifat kuantitatif yang dikendalikan oleh banyak gen minor. Bila ketahanan dikendalikan oleh satu atau dua gen mayor, ragam ketahanan akan menunjukkan sebaran diskontinu sehingga umumnya individu tanaman yang tahan mudah diidentifikasi. Untuk sifat yang dikendalikan oleh gen-gen yang mengikuti prinsip Mendel (disebut gen mayor) peranan ragam lingkungan relatif kecil dibandingkan peranan ragam lingkungan pada sifat yang dikendalikan oleh gen-gen minor. Karena jumlah gen mayor umumnya tidak banyak dan peranan faktor lingkungan relatif kecil, maka ragam fenotipe yang ditampilkan dalam populasi bersegregasi sebagian besar merupakan ragam genetik, bersifat diskontinu dan merupakan akibat adanya efek dominan (Russel, 1981).

Perakitan varietas melon tahan virus kuning, selain memerlukan tetua donor yang memiliki ketahanan terhadap virus kuning, memerlukan studi tentang pewarisan ketahanan guna mengetahui metode introgresi dan metode seleksi yang efektif dan efisien dalam rangka memperoleh varietas melon dengan kualitas buah yang baik serta tahan terhadap virus kuning. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi ketahanan terhadap virus kuning pada 20 genotipe melon koleksi PT BISI International Tbk, serta mempelajari parameter genetik pewarisan sifat ketahanan melon terhadap virus kuning yang disebabkan oleh TYLCV.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan sejak bulan Juli 2011 sampai dengan September 2012. Pemilihan induk tahan dan rentan

terhadap virus kuning dan uji konfirmasi dilakukan dalam rumah kaca biakan kutu kebul (Bemisia sp) di Laboratorium Bioteknologi PT BISI Internasional Tbk, Pare, Kediri. Pembentukan materi genetik dilakukan di lahan percobaan, Farm Karangploso, Malang.

Kegiatan evaluasi ketahan terhadap virus kuning di laksanakan di dua lokasi pengujian yaitu 1) Inokulasi terkendali di dalam rumah kaca biakan kutu kebul (Bemisia sp), 2) Lokasi endemik virus kuning di lahan terbuka Kencong, Kediri.

Seleksi untuk Pemilihan Tetua Tahan dan Rentan

Kegiatan ini bertujuan untuk menguji ketahan genotipe-genotipe melon terhadap virus kuning yang disebabkan oleh TYLCV. Bahan tanaman yang digunakan adalah 20 genotipe melon generasi selfing ke-6 (S-6) koleksi PT BISI International Tbk, yang terdiri dari 3 grup melon yaitu ME01 (grup Dudaim), ME02 - ME17 dan ME20 (grup Cantaloupe), dan ME18 - ME19 (grup Inodorous). Seleksi dilakukan di dalam rumah kaca biakan kutu kebul (Bemisia sp.). Percobaan menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT) faktor tunggal dengan tiga ulangan, masing-masing satuan percobaan terdiri dari 20 tanaman.

Metode penularan yang digunakan adalah metode penularan masal. Langkah pengujian diawali dengan menyiapkan serangga vektor steril (vektor tidak membawa virus), yang diperoleh dari perbanyakan serangga kutu kebul pada tanaman bukan inang virus kuning yaitu ketela rambat. Serangga vektor steril dipindahkan ke rumah kaca biakan Bemisia sp yang berisi tanaman inokulum (melon) yang positif terinfeksi virus kuning dan dibiakkan selama 2-3 minggu. Selama periode tersebut serangga melakukan akuisisi pada tanaman inokulum sehingga serangga vektor menjadi virulivirus (membawa virus) dan berkembang dalam jumlah yang mencukupi untuk inokulasi.

Bibit melon umur 10 hari setelah semai dari 20 genotipe yang akan diuji dimasukkan ke rumah kaca biakan Bemisia sp. Bibit diinokulasi dalam rumah kaca biakan Bemisia sp. selama tujuh hari. Selama periode tersebut dilakukan perataan penyebaran kutu kebul dengan menggoyang bibit dan tanaman inokulum setiap tiga jam disiang hari. Bibit selanjutnya dipindahkan ke rumah kaca evaluasi untuk dipelihara dan diamati skor indeks keparahan penyakitnya.

Intensitas serangan virus kuning diamati dengan metode nisbi yang beracuan pada tingkat keparahan penyakit (Yusnita dan Sudarsono, 2004). Skor indeks keparahan penyakit dibagi dalam empat kelas yaitu 0 = tidak ada gejala sama sekali, 1 = muncul semburat kuning disertai sedikit keriting pada tepi daun, 2 = mosaik pada daun terlihat jelas, daun keriting, dan menggulung ke bawah, dan 3 = mosaik pada permukaan daun terlihat sangat jelas, daun keriting, menggulung ke bawah, dan ukuran daun mengecil. Kategori ketahanan didasarkan pada persentase keparahan penyakit. Persentase keparahan penyakit diperoleh dari akumulasi (Σ) indeks keparahan penyakit (v) pada tiap individu tanaman

Page 72: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 142 - 149 (2014)

144 Entit Hermawan, Sobir, dan Darda Efendi

indeks keparahan penyakit pada tiap individu tanaman serta karakter kuantitatif dan kualitatif.

Analisis Data

Data percobaan evaluasi ketahanan virus pada dua lokasi pengujian yang berbeda selanjutnya dilakukan analisis sidik ragam untuk masing-masing kondisi lingkungan, uji Barlet dan analisis sidik ragam gabungan serta uji t. Data tersebut diolah dengan menggunakan program SAS for Windows 9.0.

Jumlah faktor efektif pengendali ketahanan melon terhadap virus, diduga berdasarkan pada sebaran frekuensi ketahanan virus pada populasi F2. Selanjutnya sebaran frekuensi F2 di uji normalitas untuk mengetahui nilai skweness dan kurtosisnya. Uji khi kuadrat (χ2) digunakan untuk membandingkan sebaran frekuensi F2 dengan nisbah fenotipik ketahanan terhadap penyakit yang dikendalikan oleh gen mayor (Chahal dan Ghosal, 2003).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Seleksi untuk Pemilihan Tetua Tahan dan Rentan

Hasil pengujian ketahanan terhadap virus kuning pada 20 genotipe melon dari tiga grup melon (Dudaim, Cantaloupe dan Inodorous) menunjukkan bahwa genotipe MEV1 (Dudaim) masuk dalam kategori sangat tahan dan 19 genotipe lainnya (Cantaloupe dan Inodorous) masuk dalam kategori sangat rentan (Tabel 1). Akibat serangan virus kuning pada genotipe rentan, tanaman menjadi kerdil, hal ini terlihat dari ukuran daun mengecil, jumlah ruas sedikit dan memendek serta tanaman pendek.

Ketahanan terhadap penyakit virus kuning bisa disebabkan oleh ketahanan tanaman tersebut terhadap virus itu sendiri secara langsung, atau ketahanan terhadap vektor pembawa virus, yaitu kutu kebul (Bemisia sp.). Hasil penelitian ini menunjukkan genotipe melon memiliki ketahanan terhadap virus secara langsung. Ketahanan terhadap virus secara langsung ditunjukkan pada analisis DNA dengan menggunakan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR), dengan primer universal untuk geminivirus. Hasil visualisasi PCR pada gel agarosa ditampilkan pada Gambar 1. Kontrol positif sebagai pembanding yaitu primer universal geminivirus teramplifikasi pada ukuran + 1600 bp. Sampel yang diuji dikatakan positip terinfeksi virus jika terbentuk pita DNA dengan ukuran + 1600 bp.

Hasil pengujian PCR menunjukkan sampel daun dari genotipe sangat rentan (A1, A2, A3) dan genotipe sangat tahan (B1, B2, B3) keduanya positif terinfeksi virus, meski pada genotipe sangat tahan pita DNA tampak lebih tipis. Hasil pengujian ini menunjukkan bahwa pada genotipe tahan, terdapat virus yang ditularkan oleh Bemisia sp., namun tidak muncul gejala serangan virus. Genotipe tahan mampu menghambat penyebaran virus dalam tanaman sehingga tidak mengganggu metabolisme dalam tanaman.

yang diamati (n) dibandingkan dengan jumlah keseluruhan tanaman yang diamati tiap ulangan (N) dan indeks keparahan penyakit tertinggi (V).

%100).(

).( VN

vnDS

Presentase keparahan penyakit diklasifikasikan dalam enam kelas yaitu 0 = sangat tahan, X ≤ 10 = tahan, 10 < X ≤ 20 = moderat tahan, 20 < X ≤ 30 = moderat rentan, 30 < X ≤ 50 = rentan, X > 50 = sangat rentan.

Uji konfirmasi untuk mengetahui apakah gejala yang ditimbulkan pada inokulasi masal disebabkan oleh virus yang sama dengan virus pada tanaman sumber inokulum dilakukan dengan teknik PCR Polymerase Chain Reaction (PCR), dengan primer universal untuk geminivirus.

Pembentukan Materi Genetik

Galur terpilih dari kegiatan seleksi pemilihan tetua tahan dan rentan selanjutnya digunakan dalam pembentukan materi genetik. Materi genetik yang dibentuk adalah set populasi atau generasi hasil persilangan antar satu tetua tahan MEV1 (P1) dari kelompok Dudaim sebagai tetua jantan dengan sembilan tetua rentan (P2): MEV2, MEV3,MEV4, MEV5, MEV6, MEV7, MEV8 (kelompok Cantaloupe) MEV18, MEV19 (kelompok Inodorous) sebagai tetua betina, sehingga dihasilkan sembilan turunan pertama (F1), selanjutnya turunan pertama dilakukan selfing menghasilkan sembilan turunan kedua (F2).

Evaluasi Ketahanan terhadap Virus Kuning pada Populasi P1, P2 dan F1.

Set populasi yang terdiri atas satu genotipe tahan (P1), sembilan genotipe rentan (P2), dan sembilan F1 (total 19 genotipe) ditanam pada dua lokasi pengujian yaitu 1) Inokulasi terkendali di dalam rumah kaca biakan kutu kebul (Bemisia sp.), 2) Lokasi endemik virus kuning di lahan terbuka. Percobaan di masing-masing lokasi dilakukan dengan menggunakan rancangan kelompok lengkap tercak (RKLT) faktor tunggal dengan tiga ulangan, masing-masing satuan percobaan terdiri dari 20 tanaman.

Evaluasi Ketahanan terhadap Virus pada Populasi F2

Sembilan populasi F2 hasil selfing F1 ditanam pada dua lokasi yaitu 1) Inokulasi terkendali di dalam rumah kaca biakan kutu kebul (Bemisia sp.), 2) Lokasi endemik virus kuning di lahan terbuka. Setiap genotipe F2 ditanam sebanyak 200 tanaman.

Kegiatan evaluasi di dalam rumah kaca biakan Bemisia sp. dilakukan dengan prosedur yang sama dengan screening pemilihan tetua tahan dan rentan yaitu dengan inokulasi masal, sedangkan penanaman di lokasi endemik virus kuning dilaksanakan dengan penanaman langsung genotipe di lahan terbuka, yang memungkinkan terserang virus kuning secara alami. Karakter yang diamati adalah

Page 73: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 142 - 149 (2014)

145Analisis Genetik Sifat Ketahanan.....

Pemilihan tetua dalam pembentukan materi genetik berdasarkan pada ketahanan terhadap serangan virus kuning serta berdasarkan pengelompokan jenis melon. Menurut klasifikasi CABI (Centre for Agricultural Bioscience International), tetua tahan adalah kelompok Dudaim sedangkan tetua rentan dari kelompok Cantaloupe dan Inodorous.

Evaluasi Ketahanan terhadap Virus Kuning pada Populasi P1, P2 dan F1

Intensitas serangan virus pada turunan pertama (F1) hasil persilangan tetua tahan (P1) dan tetua sangat rentan (P2) berkisar antara 3.77% sampai 7.28%. sehingga ketahanan terhadap virus kuning pada sembilan populasi F1 masuk

Grup Genotipe Tinggi tanaman (cm) Jumlah ruas Panjang daun

(cm)Intensitas serangan

virus (%) Kategori ketahanan

Dudaim MEV1 165.20a 27.87a 10.60a 0.00d Sangat tahanCantaloupe MEV2 57.80bc 15.33bcd 8.97ab 77.05abc Sangat rentanCantaloupe MEV3 38.60bcde 18.00bc 5.40e 95.87ab Sangat rentanCantaloupe MEV4 35.40bcde 10.20bcde 8.21abcd 79.94abc Sangat rentanCantaloupe MEV5 47.67bcd 12.27bcde 8.10abcde 83.81abc Sangat rentanCantaloupe MEV6 17.27e 8.33de 8.00abcde 84.85abc Sangat rentanCantaloupe MEV7 59.60b 19.33ab 8.40abc 68.39c Sangat rentanCantaloupe MEV8 37.00bcde 12.27bcde 7.37bcde 97.33a Sangat rentanCantaloupe MEV9 19.00e 10.05cde 5.43de 88.15abc Sangat rentanCantaloupe MEV10 23.83de 7.78de 5.83cde 75.28abc Sangat rentanCantaloupe MEV11 21.87de 9.28cde 5.83cde 94.64ab Sangat rentanCantaloupe MEV12 47.40bcd 14.80bcd 7.93abcde 95.66ab Sangat rentanCantaloupe MEV13 39.00bcde 11.33bcde 6.00cde 70.37bc Sangat rentanCantaloupe MEV14 29.60de 10.13bcde 6.90bcde 95.26ab Sangat rentanCantaloupe MEV15 31.13cde 12.27bcde 7.60bcde 96.03a Sangat rentanCantaloupe MEV16 33.80bcde 10.20bcde 7.83abcde 98.11a Sangat rentanCantaloupe MEV17 36.47bcde 13.07bcde 7.77bcde 97.78a Sangat rentanInodorous MEV18 25.07de 5.49e 8.06abcde 66.85c Sangat rentanInodorous MEV19 43.33bcde 14.33bcde 6.00cde 81.48abc Sangat rentanCantaloupe MEV20 37.40bcde 8.67de 8.40abc 91.14abc Sangat rentan

Tabel 1. Nilai tengah karakter agronomi dan intensitas serangan virus pada kondisi inokulasi

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji Tukey’s taraf 5%

Gambar 1. Hasil amplifikasi virus kuning menggunakan PCR: (M) marker; (K+) kontrol positif; (A1,A2,A3) MEV2: genotipe sangat rentan; (B1,B2,B3): MEV1, genotipe sangat tahan; (C1,C2,C3): sumber inokulum

Page 74: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 142 - 149 (2014)

146 Entit Hermawan, Sobir, dan Darda Efendi

kategori tahan (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa gen pengendali ketahanan terhadap virus kuning pada melon adalah dominan. Adanya gen dominan pengendali ketahanan terhadap virus pada melon juga dilaporkan oleh Daryono et al. (2003) yaitu ketahanan terhadap CMV pada genotipe melon Yamatouri dikendalikan oleh gen tunggal dominan. Ketahanan pada Cucumis melo L ’Doublon’ terhadap MNSV dikendalikan oleh dua gen yang bersifat dominan (Gimenez

et al., 2003). Hasil yang berbeda dilaporkan oleh Nieto et al. (2006); Sugiyama dan Sakata, (2004); Diaz et al. (2004) yaitu gen nsv yang berperan dalam ketahanan terhadap Melon necrotic spot virus pada melon bersifat resesif.

Berdasarkan analisis ragam gabungan dua lingkungan (inokulasi dan endemik) terlihat bahwa genotipe berpengaruh sangat nyata pada semua karakter yang diamati (Tabel 3). Tidak terdapat pengaruh lingkungan maupun pengaruh

Genotipe Jumlah buku

Panjang daun (cm)

Panjang cuping terminal

(cm)

Panjang Tangkai daun (cm)

Tinggi tanaman

(cm)

Intensitas serangan virus (%)

Kategori ketahanan

MEV 1 26.51a 14.09bcdef 2.62abc 11.06ab 145.81a 4.91b TahanMEV 2 24.93ab 10.35bcdef 2.71abc 7.71bcde 40.78b 83.48a Sangat rentanMEV 3 20.61abcd 8.36f 1.83bc 6.84e 50.32b 92.35a Sangat rentanMEV 4 15.57bcde 11.90bcdef 1.96bc 8.80abcde 46.71b 85.88a Sangat rentanMEV 5 14.26cde 9.53cdef 2.32abc 7.64cde 42.78b 94.67a Sangat rentanMEV 6 11.30de 9.35def 1.75c 7.89bcde 34.22b 98.21a Sangat rentanMEV 7 14.51cde 12.25bcdef 2.27abc 8.41abcde 43.53b 83.59a Sangat rentanMEV 8 12.63cde 9.30def 1.84bc 7.14cde 37.88b 97.36a Sangat rentanMEV 18 10.08e 9.37def 2.45abc 6.95de 37.50b 94.37a Sangat rentanMEV 19 12.54cde 9.07ef 2.32abc 7.47cde 38.11b 93.98a Sangat rentanMEV2X1 21.74abc 15.28abc 3.11ab 10.45abc 119.57a 3.77b TahanMEV3X1 21.52abcd 12.91bcdef 2.41abc 9.26abcde 118.38a 6.13b TahanMEV4X1 21.86abc 14.09bcdef 2.95abc 10.21bcde 120.22a 5.02b TahanMEV5X1 22.20abc 15.38ab 2.86abc 10.29abcd 122.13a 5.86b TahanMEV6X1 21.53abcd 15.75ab 3.35a 10.34abc 118.42a 7.28b TahanMEV7X1 22.01abc 14.29abcde 2.93abc 10.15bcde 121.05a 5.14b TahanMEV8X1 22.86abc 15.00abcd 2.48abc 11.41a 125.76a 5.18b TahanMEV18X1 26.14a 16.67a 2.60abc 9.34abcde 117.65a 5.00b TahanMEV19X1 22.07abc 13.89bcdef 2.79abc 9.23abcde 117.45a 5.68b Tahan

Tabel 2. Nilai tengah karakter agronomi dan intensitas serangan virus pada dua lokasi pengujian

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji Tukey taraf 5%

Karakter KT Genotipe KT Lokasi KT GXL KT Galat KK%Intensitas serangan virus 11806.77** 929.39tn 62.99tn 58.1 16.50Jumlah buku 164.07** 998.59* 73.29** 22.65 24.79Panjang daun 44.40** 216.49* 15.05* 7.07 21.33Lebar daun 33.94** 298.92** 15.81tn 10.18 25.12Panjang cuping terminal 1.19** 115.40** 0.93** 0.39 24.78Panjang tangkai daun 12.82** 10.20* 1.93tn 2.42 17.32Berat buah 0.21** 0.29* 0.05** 0.01 45.50Tinggi tanaman 10730.13** 8490.02tn 681.09* 371.04 22.90

Tabel 3. Sidik ragam gabungan dua lingkungan untuk intensitas serangan virus dan karakter agronomi

Keterangan: ** = berpengaruh nyata pada taraf uji 1% (P < 0.01); * = berpengaruh nyata pada taraf uji 5%; tn = tidak berpengaruh nyata; KT = Kuadrat tengah; KK = koefisien keragaman

Page 75: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 142 - 149 (2014)

147Analisis Genetik Sifat Ketahanan.....

interaksi genotipe dan lingkungan pada karakter intensitas serangan virus. Genotipe dengan kategori tahan ataupun rentan akan menunjukkan respon yang sama pada lokasi pengujian yang berbeda (inokulasi dan endemik), sehingga metode inokulasi yang dilakukan bisa digunakan untuk menduga ketahanan terhadap serangan virus kuning pada kondisi endemik.

Hasil pendugaan ragam genetik menunjukkan bahwa karakter intensitas serangan virus memiliki nilai heritabilitas arti luas terbesar yaitu 99%, artinya ragam fenotipe intensitas serangan virus sangat kecil dipengaruhi oleh lingkungan. Roy (2000) menyatakan apabila nilai heritabilitas arti luas tinggi berarti pewarisan sifat lebih banyak dipengaruhi oleh ragam genetik atau ragam genetik total dan sedikit pengaruh lingkungan.

Akibat serangan virus pada tanaman rentan adalah daun keriting, ruas memendek, tanaman menjadi kerdil, buah kecil bahkan pada beberapa tanaman tidak terbentuk buah, berbeda dengan tanaman tahan yang menunjukkan pertumbuhan normal, sehingga mudah dibedakan tanaman tahan dan tanaman rentan. Serangan virus berpengaruh terhadap karakter penting dalam pertumbuhan dan produksi tanaman, hal ini ditandai dengan tingginya nilai heritabilitas arti luas karakter produksi seperti: jumlah buku (55%), tinggi tanaman (94%) dan berat buah (78%). Karakter morfologi tidak banyak terpengaruh oleh serangan virus ditandai dengan nilai heritabilitas dengan kriteria sedang pada karakter panjang cuping terminal (22%).

Evaluasi Ketahanan terhadap Virus pada Populasi F2

Hasil pengujian ketahanan terhadap serangan virus kuning pada sembilan populasi F2 di dua lokasi pengujian menunjukkan pola sebaran frekuensi skor indeks keparahan penyakit yang sama. Pada kedua lokasi cenderung mempunyai jumlah tanaman dengan nilai skor indeks keparahan penyakit yang hampir sama yaitu didominasi skor 0 atau tidak ada gejala sama sekali, sesuai dengan pengujian ketahanan pada populasi F1 yaitu tidak terdapat pengaruh lingkungan, hanya genotipe yang berpengaruh nyata.

Sembilan populasi F2 yang terdiri atas Cantaluope x Dudaim sebanyak tujuh populasi, Inodorous x Dudaim sebanyak dua populasi dikelompokkan menjadi tiga grup berdasarkan asal persilangannya. Kelompok pertama merupakan rata-rata kelas skor indeks keparahan penyakit populasi F2 dari persilangan Cantaluope x Dudaim,

kelompok kedua merupakan rata-rata kelas skor indeks keparahan penyakit populasi F2 dari persilangan Inodorous x Dudaim, kelompok ketiga merupakan gabungan kelas skor indeks keparahan penyakit dari kedua kelompok (Tabel 4).

Sebaran populasi F2 berdasarkan indeks keparahan penyakit pada tiga grup melon menunjukkan pola sebaran yang sama, yaitu sebaran satu puncak dengan tingkat kemenjuluran yang nyata, dengan arah kemenjuluran ke kanan (Tabel 4). Frekuensi F2 tidak menyebar normal yang mengindikasikan ada pengaruh gen mayor yang mengendalikan ketahanan terhadap virus kuning.

Data uji normalitas pada sebaran F2 menunjukkan nilai skewness dari tiga kelompok berturut-turut (Cantaloupe X Dudaim), (Inodorous X Dudaim), dan gabungan adalah 2.69, 2.59 dan 2.65 sedangkan nilai kurtosis dari ketiga kelompok tersebut adalah 6.45, 6.27 dan 6.39. Ketiga kelompok memiliki nilai skewness > 0, hal ini menunjukkan sebaran data tidak normal dengan aksi gen aditif dominan-epistasis komplementer, nilai kurtosis > 3 menunjukkan karakter dipengaruhi oleh beberapa gen minor dan satu atau dua gen mayor (Roy, 2000). Jumlah gen mayor yang mengendalikan ketahanan terhadap virus dapat diketahui dengan membandingkan sebaran frekuensi F2 tersebut dengan nisbah Mendel.

Berdasarkan hasil uji χ2 pada tiga grup melon (Cantaloupe, Inodorous dan gabungan) diperoleh nisbah kesesuaian yang sama. Nisbah yang sesuai adalah 12:3:1 dan 13:3. Akan tetapi berdasarkan nilai probabilitas yang lebih tinggi, disimpulkan nisbah yang paling sesuai untuk ketiga grup melon tersebut adalah 13:3 (Tabel 5). Hal ini menunjukkan bahwa ketahanan melon terhadap virus kuning dikendalikan oleh 2 pasang gen dominan dan resesif epistasis.

Penelitian sejenis menunjukkan hasil yang berbeda, McCreight dan Liu (2008) melaporkan bahwa ketahanan terhadap Cucurbit leaf crumple virus (CuLCrV) pada melon dikendalikan oleh satu pasang gen resesif. Demikan juga hasil penelitian McCreight dan Wintermantel (2008) ketahanan terhadap CYSDV pada genotipe PI 313970 dikendalikan oleh satu pasang gen resesif. Hal ini bisa saja terjadi karena gen yang mengendalikan ketahanan pada penelitian sejenis adalah gen yang berbeda, genotipe yang berbeda atau adanya perbedaan jenis virus dan virulensinya. Menurut Opriana et al. (2012) respon ketahanan tanaman ditentukan oleh beberapa faktor di antaranya genotipe tanaman dan virulensi patogen.

Genotipe AsalSkor indeks keparahan

0 1 2 3F2-1 - F2-7 Cantaloupe x Dudaim 154 15 8 7F2-8 - F2-9 Inodorous x Dudaim 149 18 10 3F2-1 - F2-9 Gabungan 303 33 18 10

Tabel 4. Jumlah tanaman melon populasi F2 berdasarkan skor indek keparahan penyakit

Page 76: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 142 - 149 (2014)

148 Entit Hermawan, Sobir, dan Darda Efendi

KESIMPULAN

Pengujian ketahanan terhadap virus kuning pada 20 genotipe dari tiga grup melon menghasilkan satu genotipe MEV1 (grup Dudaim) dengan kategori sangat

tahan. Berdasarkan hasil uji χ2 pada populasi F2 diperoleh kesesuaian nisbah Mendel yaitu 13:3. Hal ini menunjukkan bahwa karakter ketahanan terhadap virus kuning pada melon diwariskan secara sederhana dan dikendalikan oleh dua pasang gen dengan aksi gen dominan dan resesif epistasis.

Grup Cantaloupe X DudaimPengamatan Harapan Hipotesis χ2 hit χ2 tabel

Empat kelasR MR MS S R MR MS S154 15 8 7 103 34 34 11 9:3:3:1 35.37 * 7.82

Tiga kelasR MS S R MS S154 23 7 138 34 11 12:03:01 5.56 tn 5.99

Dua kelasR S R S154 30 138 46 3:01 7.47 * 3.84154 30 149 34 13:03 0.74 tn 3.84154 30 172 11 15:01 31.42 * 3.84Grup Inodorous X Dudaim

Empat kelasR MR MS S R MR MS S149 18 10 3 101 34 34 11 9:3:3:1 30.45 * 7.82

Tiga kelasR MS S R MS S149 28 3 135 34 11 12:03:01 2.55 tn 5.99

Dua kelasR S R S149 31 135 45 3:01 5.85 * 3.84149 31 146 34 13:03 0.29 tn 3.84149 31 169 11 15:01 36.87 * 3.84Grup gabungan

Empat kelasR MR MS S R MR MS S303 33 18 10 205 68 68 23 9:3:3:1 65.35 * 7.82

Tiga kelasR MS S R MS S303 51 10 273 68 23 12:03:01 7.66 * 5.99

Dua kelasR S R S303 61 273 91 3:01 13.18 * 3.84303 61 296 68 13:03 0.95 tn 3.84303 61 341 23 15:01 68.59 * 3.84

Tabel 5. Hasil uji kesesuaian nisbah indek keparahan penyakit pada populasi F2 dengan nisbah Mendel pada tiga grup melon

Keterangan: R = resistance; MR = moderate resistance; MS = moderat susceptible; S = susceptible; * = berbeda nyata pada taraf 5%; tn = tidak berbeda nyata

Page 77: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 142 - 149 (2014)

149Analisis Genetik Sifat Ketahanan.....

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih ditujukan kepada segenap manajemen PT. BISI International, Tbk atas beasiswa pendidikan yang diberikan kepada penulis pertama.

DAFTAR PUSTAKA

Arminudin, A.T., A. Wijonarko2, Y.A. Trisyono. 2010. Populasi Bemisia tabaci (Genadius) pada tanaman cabai di Yogyakarta: Studi kasus pada daerah endemik dan non endemik penyakit keriting kuning cabai. J. Agroteknologi 1:14-18.

Brown, J.K., H. Czosnek. 2002. Whitefly transmission of plant viruses, p. 65-100. In R.T. Plumb, J.A. Callow (Eds.). Advances in Botanical Research. Academic Press, New York.

Chahal, G.S., S.S Gosal. 2003. Principle and Procedures of Plant Breeding, Biotechnological and Conventional Approaches. New Delhi:Narosa Publ House.

Daryono, B.S., S. Somowiarjo, K.T Natsuaki. 2003. New source of resistance to Cucumber mosaic virus in melon. Sabrao J. of Breeding and Genetics 35:19-26.

Daryono, B.S., S. Somowiarjo, K.T Natsuaki. 2005. Screening for resistance to Kyuri green mottle mosaic virus in various melons. Plant Breeding 124:487-490.

Daryono, B.S. 2006. Uji ketahanan serangan virus labu-labuan pada beberapa genotipe melon (Cucumis melo L.). Berkala Ilmiah Biologi 5:1-12.

Diaz, J.A., C. Nieto, E. Moriones, V. Truniger, M.A. Aranda. 2004. Molecular characterization of Melon necrotic spot virus strain that overcomes the resistance in melon and nonhost plants. MPMI 17:668-675.

Esteva, J., F. Neuz. 1992. Tolerance to a whitefly-transmitted virus causing muskmelon yellows disease in Spain. Theoretical and Applied Genetics 84:693-697.

Giménez, M., A.J.M. Álvarez, M.L. Arteaga. 2003. Inheritance of resistance to systemic symptom expression of Melon necrotic spot virus (MNSV) in Cucumis melo L. `Doublon’. Euphytica 134:319-324.

[ICTV] International Committee on Taxonomi of Viruses. 2011. http://www.ictvonline.org/virus taxonomy.asp [8 Agustus 2011].

McCreight, J.D., H.Y. Liu. 2008. Genetic resistance to Cucurbit leaf crumple virus in melon. HortScience 43:122-126.

McCreight, J.D., W.M. Wintermantel. 2011. Genetic resistance in melon PI 313970 to Cucurbit yellow stunting disorder virus. HortScience 46:1582-1587.

Nieto, C., M. Morales, G. Orjeda, C. Clepet, A. Monfort, B. Sturbois, P. Puigdomènech, C. Dogimont, M.J. García, M.A. Aranda, A. Bendahmane. 2006. An eIF4E allele confers resistance against an uncapped and non-polyadenylated RNA virus in melon. The Plant Journal 48:452-462.

Opriana, E., S. H. Hidayat, S. Sujiprihati. 2012. Ketahanan tiga genotipe cabai terhadap infeksi dua isolat Chilli veinal mottle potyvirus. J. Agron. Indonesia 40:42-47.

Roy, D. 2000. Plant Breeding, Analysis and Exploitation of Variation. Narosa Publ House. New Delhi.

Russel, G.E. 1981. Plant Breeding for Pest and Disease Resistance. Studies in the Agricultural and Food Sciences. London: Butterwoths.

Sugiyama, M., Y. Sakata. 2004. Screening for inheritance of Melon necrotic spot virus (MNSV) resistance by mechanical inoculation. J. Japan. Soc. Hort. Sci 73:558-567.

Yusnita, Sudarsono. 2004. Metode inokulasi dan reaksi ketahanan 30 genotipe kacang tanah terhadap penyakit busuk batang Sclerotium. Hayati J. Biosci. 11:53-58.

Page 78: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

166 Irwan Siallagan, Sudradjat, dan Hariyadi

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 166 - 172 (2014)

* Penulis untuk korespondensi. e-mail: [email protected]

PENDAHULUAN

Kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia,

sedangkan ketersediaan BBM semakin terbatas. Salah satu alternatif pengganti BBM adalah energi biodiesel yang bahan baku utamanya adalah minyak mentah kelapa sawit atau yang dikenal dengan Crude Palm Oil (CPO) (Chan, 2005). Konsumsi minyak kelapa sawit dunia diperkirakan akan mencapai 156 juta ton pada tahun 2050 (Corley, 2009).

Optimasi Dosis Pupuk Organik dan NPK Majemuk pada Tanaman Kelapa Sawit Belum Menghasilkan

Optimizing Rate of Organic and NPK Compound Fertilizers for Immature Oil Palm

Irwan Siallagan1*, Sudradjat2, dan Hariyadi2

1Program Studi Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Bogor Agricultural University), Jl. Meranti, Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680, Indonesia

2Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Bogor Agricultural University), Jl. Meranti, Kampuas IPB Dramaga, Bogor 16680, Indonesia

Diterima 16 Mei 2014/Disetujui 8 Juli 2014

ABSTRACT

Optimum fertilization is not only proposed for obtaining desireable quality and quantity of the plant, but also to avoid excess fertilizer causing toxicity and environmental damage. The objective of this research was to study and to determine an optimum rate of organic and NPK compound fertilizers for immature oil palm. The experiment was carried out at IPB-Cargill Oil palm Teaching Farm, Jonggol, from March 2013 to March 2014. The treatments was laid out in a factorial randomized complete block design with three replications. The first factor was organic fertilizer, i.e. 0, 15, 30 and 45 kg organic fertilizer plant-1, and the second was NPK compound fertilizer, i.e. 0, 0.65, 1.3, 1.95 and 2.6 kg NPK compound fertilizer plant-1. The result showed that vegetative growth increases with fertilizer application. The height and stem girth of plant were significantly affected by interaction between organic and NPK compound fertilizers, however there was no significant effect on frond production, frond length and leaf area. N, P leaf content of plant were affected by interaction between organic and NPK compound fertilizers, however there was no effect on K leaf content, chlorophyll and number of stomata. Based on the height and stem girth regression equation, the optimum recommendation rate of organic and NPK compound fertilizers for immature first year oil palm are 40.7 kg organic fertilizer plant-1 and 1.9 kg NPK compound plant-1

Keywords: inorganic fertilizers, nutrient level, stem girth, vegetative growth

ABSTRAK

Pemupukan yang optimum tidak hanya ditujukan untuk menghasilkan kualitas dan kuantitas tanaman yang diinginkan, namun juga untuk menghindari kelebihan pupuk yang dapat menyebabkan toksisitas dan kerusakan lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dan menentukankan dosis optimum pupuk organik dan NPK majemuk pada TBM kelapa sawit. Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Pendidikan dan Penelitian Kelapa Sawit IPB-Cargill Jonggol, mulai bulan Maret 2013 sampai Maret 2014. Rancangan yang digunakan adalah rancangan kelompok lengkap teracak faktorial dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalah pupuk organik, terdiri atas empat taraf, yaitu 0, 15, 30, dan 45 kg pupuk organik tanaman-1. Faktor kedua adalah pupuk NPK majemuk terdiri atas lima taraf, yaitu 0, 0.65, 1.3, 1.95 dan 2.6 kg NPK majemuk tanaman-1. Hasil penelitian menunjukkan pertumbuhan vegetatif meningkat dengan perlakuan pupuk organik dan NPK majemuk. Interaksi pupuk organik dan NPK majemuk berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman dan lingkar batang, namun tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah pelepah, panjang pelepah dan luas daun. Pupuk organik dan NPK majemuk berpengaruh nyata terhadap kadar N dan P daun kelapa sawit namun tidak berpengaruh nyata terhadap kadar K daun, kadar klorofil dan kerapatan stomata. Berdasarkan persamaan regresi peubah tinggi tanaman dan lingkar batang, dosis rekomendasi pupuk organik dan NPK majemuk pada tanaman belum menghasilkan kelapa sawit pada tahun pertama adalah 40.7 kg pupuk organik tanaman-1 dan 1.9 kg pupuk NPK majemuk tanaman-1.

Kata kunci: kadar hara, lingkar batang, pertumbuhan vegetatif, pupuk anorganik, TBM

Page 79: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

167Optimasi Dosis Pupuk Organik......

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 166 - 172 (2014)

Luas perkebunan kelapa sawit Indonesia mencapai 8.91 juta hektar (ha), dengan rincian luas areal perkebunan swasta 4.65 juta ha (52.22%), perkebunan rakyat 3.62 juta ha (40.63%) dan perkebunan negara 0.64 juta ha (7.15%) (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2011). Produktivitas rataan nasional CPO Indonesia adalah 2.7 ton ha-1, dengan rincian produktivitas perkebunan swasta, perkebunan rakyat dan perkebunan negara masing-masing adalah 2.6, 2.4, dan 3.1 ton ha-1 (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2011). Produktivitas CPO rendah karena rendahnya tingkat produktivitas perkebunan rakyat, sedangkan luas arealnya mencapai 40.63% dari luas perkebunan kelapa sawit Indonesia. Perkebunan rakyat sebagian besar belum mengunakan benih yang bersertifikat dan pemberian input pupuk yang rendah. Upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan produktivitas adalah dengan pemupukan sesuai kebutuhan tanaman dan karakteristik wilayah (Webb et al., 2011).

Tanaman kelapa sawit membutuhkan unsur hara dalam jumlah yang besar untuk mencapai produktivitas 30 ton tandan buah segar (TBS) ha-1 tahun-1 (Ng et al., 2011). Pupuk majemuk merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan ketersediaan unsur hara di dalam tanah. Tanaman kelapa sawit pada umur satu tahun (TBM I) menghendaki kondisi lingkungan optimal dan belum beradaptasi dengan baik sehingga memerlukan ketersediaan hara yang lengkap. Pupuk majemuk mempunyai kelarutan yang lambat (slow release) sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan efeisiensi pemupukan.

Pupuk anorganik sebaiknya disertai dengan pemberian pupuk organik sebagai pelengkap dan penyeimbang penggunaan pupuk anorganik (Wigati et al., 2006). Penggunaan pupuk organik dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah, serta membantu melepaskan unsur hara dari ikatan koloid tanah. Selain itu, unsur hara yang mudah hilang akibat penguapan atau terbawa perkolasi, dengan adanya pupuk organik unsur hara tersebut akan diikat sehingga tidak mudah tercuci dan dapat tersedia bagi tanaman (Paramananthan, 2013).

Tujuan penelitian adalah untuk mempelajari pengaruh pupuk organik dan NPK majemuk terhadap pertumbuhan (morfologi dan fisiologi) tanaman serta menentukan dosis optimum pada tanaman kelapa sawit belum menghasilkan berumur satu tahun.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret 2013 sampai dengan bulan Maret 2014 di Kebun Pendidikan dan Penelitian Kelapa Sawit IPB-Cargill Jonggol, Bogor, Jawa Barat pada ketinggian tempat 115 m di atas permukaan laut. Bahan tanam yang digunakan adalah tanaman kelapa sawit belum menghasilkan varietas tenera Damimas (Umur panen 24 bulan, TBS 12-16 ton ha-1, esktrasi minyak 25.5-30%, ekstrasi inti 9.6%, pupuk organik kotoran sapi (0.60% N, 0.98% P2O5, 0.39% K2O dan unsur mikro), pupuk NPK majemuk (15:15:15). Alat yang digunakan adalah chlorophyll meter SPAD-502Plus (Konica Minolta, Jepang).

Penelitian menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT) faktorial dengan tiga ulangan. Perlakuan terdiri atas dua faktor yaitu: pupuk organik dengan 4 taraf dan pupuk NPK majemuk dengan 5 taraf. Perlakuan pupuk organik terdiri atas 0, 15, 30, dan 45 kg tanaman-1. Pupuk NPK majemuk (M) terdiri atas 0, 0.65, 1.3, 1.95, dan 2.6 kg tanaman-1. Setiap satuan percobaan terdiri atas lima tanaman. Jarak tanam yang digunakan adalah 9.2 m x 9.2 m x 9.2 m dengan pola tanam segitiga sama sisi. Perlakuan pupuk organik diberikan satu kali yaitu bulan ke empat setelah pindah tanam dengan cara ditebar merata di piringan pohon. Perlakuan pupuk NPK majemuk diberikan tiga kali yaitu setiap empat bulan mulai bulan ke empat setelah pindah tanam dengan dosis pemupukan masing-masing sepertiga dari total dosis perlakuan dengan cara ditebar merata di piringan pohon kemudian ditimbun dengan tanah.

Peubah morfologi tanaman yang diamati adalah tinggi tanaman, jumlah pelepah, panjang pelepah ke-9, lingkar batang dan luas daun pelepah ke-9. Luas daun dihitung dengan rumus yang digunakan oleh Hardon et al. (1969):

Luas daun =

dimana p = panjang anak daun (cm), l = lebar anak daun, n = jumlah helai anak daun sebelah kiri atau kanan, k = konstanta (0.57 untuk TBM). Peubah fisiologi tanaman yang diamati adalah kadar klorofil daun (dihitung dengan rumus Y = 0.0007x - 0.0059, dimana Y = kadar klorofil dan x = nilai hasil pengukuran SPAD-502 (Farhana et al., 2007)); kerapatan stomata (dihitung dengan rumus jumlah stomata dibagi luas bidang pandang mikroskop, 0.19625 mm2); serta kadar hara jaringan daun pada pelepah ke-9. Data dianalisis dengan sidik ragam, dan apabila terdapat pengaruh nyata pada taraf 5% maka dilanjutkan dengan uji kontras polinomial ortogonal. Analisis dilakukan dengan menggunakan SAS (Statistical Analysis System) dan Microsoft Excel.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tanggap Morfologi Tanaman

Perlakuan pupuk organik berpengaruh nyata secara kuadratik terhadap tinggi tanaman pada 8 BSP, sedangkan pada 10 dan 12 bulan setelah perlakuan (BSP) berpengaruh nyata secara linier (Tabel 1). Perlakuan pupuk NPK majemuk berpengaruh sangat nyata secara kuadratik pada 12 BSP. Interaksi perlakuan pupuk organik dan NPK majemuk berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman pada umur 8 BSP dengan persamaan regresi Y = 181 + 1.63 O + 0.0130 M + 0.0232 O2 – 0.000002 M2 - 0.000278 OM dan pada umur 12 BSP dengan persamaan regresi Y = 226 + 1.17 O + 0.0431 M – 0.0092 O2 – 0.000012 M2 - 0.000286 OM dimana O adalah pupuk organik dan M adalah pupuk NPK majemuk, namun tidak terdapat interaksi pada 10 BSP. Interaksi tersebut menunjukkan adanya saling mempengaruhi antara pupuk organik dan pupuk NPK majemuk. Djazuli dan Pitono (2009) menyatakan bahwa pemberian pupuk organik tidak hanya menambah unsur hara

Page 80: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

168 Irwan Siallagan, Sudradjat, dan Hariyadi

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 166 - 172 (2014)

bagi tanaman, tetapi juga menciptakan kondisi tanah yang sesuai untuk tanaman dengan memperbaiki aerasi, kapasitas menahan air, meningkatkan pH, KTK, menurunkan Al-dd, serta struktur tanah menjadi remah. Hal tersebut akan meningkatkan serapan unsur hara yang berasal dari pupuk NPK majemuk.

Perlakuan pupuk organik dan NPK majemuk secara nyata meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman kelapa sawit. Quansah (2010) menyatakan bahwa kombinasi antara pupuk anorganik dengan organik umumnya lebih meningkatkan pertumbuhan karena bahan organik dapat memperbaiki kondisi tanah sehingga unsur hara lebih tersedia untuk tanaman. Herviyanti et al. (2012) menyatakan bahwa tanah-tanah dengan kandungan bahan organik tinggi dapat meningkatkan KTK tanah dan mampu mengikat unsur hara, sehingga efektivitas pemupukan anorganik juga meningkat. Aplikasi pupuk organik juga dapat digunakan tanaman untuk jangka panjang dan diserap secara perlahan (Ermadani dan Muzar, 2011).

Perlakuan pupuk organik berpengaruh nyata secara linier terhadap lingkar batang pada 2 dan 12 BSP, sedangkan perlakuan pupuk NPK majemuk berpengaruh nyata secara linier pada 6 dan 8 BSP dan berpengaruh sangat nyata secara kuadratik pada 10 dan 12 BSP (Tabel 2). Interaksi pupuk organik dan NPK majemuk terhadap lingkar batang terjadi pada umur 8 BSP dengan persamaan regresi Y = 38.2 - 0.165 O + 0.00351 M + 0.00274 O2 - 0.000001 M2 + 0.000025 OM dan pada 12 BSP dengan persamaan regresi Y = 46.5 - 0.089 O + 0.0106 M + 0.00124 O2 - 0.000004 M2 + 0.000106 OM, namun tidak terdapat interaksi pada 10 BSP. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Uwumarongie et al. (2012)

yang menunjukkan bahwa hasil lingkar batang kelapa sawit terbesar dapat diperoleh dengan pemberian pupuk anorganik (NPK Mg) dan pupuk organik yang berasal dari ternak. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Noor et al. (2012) yang menunjukkan bahwa lingkar batang tanaman kelapa sawit terbesar terdapat pada pemberian NPK majemuk.

Respon peubah tinggi tanaman dan lingkar batang yang dihasilkan pada perlakuan pupuk organik lebih kecil 2.6% apabila dibandingkan dengan perlakuan pupuk NPK sebesar 16.3% (Tabel 1 dan Tabel 2). Hal ini disebabkan karena rendahnya kandungan hara dari pupuk organik apabila dibandingkan dengan pupuk anorganik. Oleh karena itu, pupuk organik harus diaplikasikan dalam jumlah besar untuk menyediakan hara makro dan mikro yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan hasil tanaman yang optimal. Bahan organik juga dapat memperbaiki struktur tanah dan dalam proses penguraiannya menghasilkan CO2, air dan unsur hara (Wigati et al., 2006).

Perlakuan pupuk organik tidak berpengaruh nyata terhadap peubah jumlah pelepah kelapa sawit sedangkan perlakuan pupuk NPK berpengaruh nyata secara kuadratik terhadap peubah jumlah pelepah pada 12 BSP, tetapi tidak terdapat interaksi antara pupuk organik dan NPK majemuk terhadap jumlah pelepah (Tabel 3). Perlakuan pupuk organik dan pupuk NPK tidak berpengaruh nyata terhadap panjang pelepah (Tabel 3). Perlakuan pupuk organik tidak berpengaruh nyata terhadap luas daun tanaman kelapa sawit, sedangkan perlakuan pupuk NPK majemuk berpengaruh nyata secara kuadratik terhadap luas daun pada 10 BSP, tetapi tidak terdapat interaksi nyata antara pupuk organik dan pupuk NPK majemuk terhadap luas daun (Tabel 3).

Dosis pupuk Umur tanaman (BSP)

0 2 4 6 8 10 12……...…………...…………...Tinggi tanaman (cm)………………………...………….

Pupuk organik (kg tanaman-1)0 144.1 155.5 165.9 183.5 192.6 218.1 251.915 140.3 147.9 165.8 193.9 205.0 231.4 263.230 143.5 154.3 164.6 194.9 210.3 231.7 266.945 148.6 155.7 171.2 188.6 201.8 236.1 269.7

Pola respon ¢ tn tn tn tn Q* L* L*Pupuk NPK (kg tanaman-1)

0 142.4 151.3 160.9 186.1 197.8 218.2 243.20.65 139.0 153.3 163.8 191.7 206.9 230.5 265.31.3 148.9 153.9 169.6 184.9 198.7 231.2 276.71.95 143.9 149.7 165.6 194.6 207.1 232.9 265.02.6 146.5 158.6 174.5 193.7 201.5 233.4 264.3

Pola respon ¢ tn tn tn tn tn tn Q**Interaksi respon tn tn tn tn * tn *

Tabel 1. Respon tinggi tanaman kelapa sawit pada berbagai perlakuan pupuk organik dan NPK majemuk

Keterangan: * = berpengaruh nyata pada taraf 5%; ** = berpengaruh nyata pada taraf 1%; ¢ = uji kontras polinomial ortogonal; L = linier; Q = kuadratik; BSP = bulan setelah perlakuan; tn = tidak nyata

Page 81: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

169Optimasi Dosis Pupuk Organik......

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 166 - 172 (2014)

Tanggap Fisiologi Tanaman

Perlakuan pupuk organik berpengaruh sangat nyata terhadap kadar N dan P daun namun tidak berpengaruh terhadap kadar K daun pada 6 BSP, sedangkan perlakuan

pupuk NPK majemuk berpengaruh sangat nyata secara linier terhadap kadar N dan P daun namun tidak berpengaruh terhadap kadar K daun pada 6 BSP (Tabel 4). Perlakuan pupuk organik berpengaruh nyata terhadap kadar N dan berpengaruh nyata secara linier terhadap kadar P pada

Dosis pupuk Umur tanaman (BSP)

0 2 4 6 8 10 12………………………………Lingkar batang (cm)………………………………

Pupuk organik (kg tanaman-1 )0 21.3 24.5 29.3 36.9 39.9 41.7 49.215 22.1 25.4 28.4 35.7 38.6 40.8 51.430 22.9 26.3 29.3 35.7 38.3 40.7 51.245 22.4 25.9 31.1 36.5 39.5 41.6 54.5

Pola respon ¢ tn L* tn tn tn tn L*Pupuk NPK (kg tanaman-1)

0 21.2 25.5 28.8 33.7 36 37.2 45.30.65 22.3 25.5 28.5 37.3 40.2 41.2 51.31.3 22.7 25.7 32.2 36.8 39.8 42.8 58.81.95 21.8 25.3 28.4 35.2 39.2 40.7 50.52.6 22.8 25.5 29.6 37.9 40.2 42.9 51.8

Pola respon ¢ tn tn tn L* L* Q** Q**Interaksi respon tn tn tn tn * tn *

Tabel 2. Respon lingkar batang tanaman kelapa sawit pada berbagai perlakuan pupuk organik dan NPK majemuk

Keterangan: * = berpengaruh nyata pada taraf 5%; ** = berpengaruh nyata pada taraf 1%; ¢ = uji kontras polinomial ortogonal; L = linier; Q = kuadratik; BSP = bulan setelah perlakuan; tn = tidak nyata

Dosis pupukUmur tanaman (BSP)

10 12 10 12 10 12Pupuk organik (kg tanaman-1) Jumlah pelepah (helai) Panjang pelepah (cm) Luas daun (m2)

0 21.5 27.2 165.2 175.2 0.86 1.2315 21.7 26.9 166 169.2 0.9 1.230 20.2 26.1 177.8 167.2 0.83 1.0945 22.2 27.6 167.5 175.3 0.93 1.42

Pola respon ¢ tn tn tn tn tn tnPupuk NPK (kg tanaman-1)

0 19.7 24.6 162.5 164.5 0.73 1.070.65 21.8 27.2 187.5 172.6 0.91 1.211.3 21.7 27.9 163.7 170.9 0.95 1.231.95 22.1 27.6 166.2 174.4 0.91 1.232.6 21.7 27.4 165.7 176.4 0.92 1.43

Pola respon ¢ tn Q* tn tn Q* tnInteraksi respon tn tn tn tn tn tn

Tabel 3. Respon jumlah pelepah, panjang pelepah dan luas daun tanaman kelapa sawit pada berbagai perlakuan pupuk organik dan NPK majemuk

Keterangan: * = berpengaruh nyata pada taraf 5%; ¢ = Uji kontras polinomial ortogonal; Q = kuadratik; BSP = bulan setelah perlakuan; tn = tidak nyata

Page 82: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

170 Irwan Siallagan, Sudradjat, dan Hariyadi

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 166 - 172 (2014)

12 BSP, sedangkan perlakuan pupuk NPK majemuk berpengaruh nyata secara kuadratik terhadap kadar N daun dan berpengaruh sangat nyata secara kuadratik terhadap kadar P daun, namun tidak berpengaruh terhadap K. Interaksi pupuk organik dan NPK majemuk berpengaruh nyata pada 6 dan 12 BSP terhadap kadar N dan P daun, namun tidak berpengaruh nyata terhadap kadar hara K daun. Berdasarkan hasil analisis jaringan tanaman (leaflet) pada akhir penelitian (12 BSP) diperoleh kadar hara N, P dan K dari daun berkisar antara 2.62-2.90% N, 0.15-0.17% P dan 0.74-0.82% K, hasil ini mengindikasikan konsentrasi hara N dan P dalam jaringan sudah terpenuhi jika dibandingkan dengan status hara pada critical nutrient level pada tanaman belum menghasilkan kelapa sawit sebesar 2.50% N, 0.16% P dan 0.90% K (Ollagnier dan Ochs, 1981). Kadar K daun 0.74-0.82% pada akhir penelitian, menunjukkan adanya penurunan kadar K sebesar 32.17% jika dibandingkan dengan kadar hara K daun pada 6 BSP. Hal ini diduga unsur K tidak dapat diserap secara sempurna oleh tanaman karena terjerap pada partikel liat dan unsur K tersebut memiliki mobilitas yang lambat di dalam tanah sehingga unsur K lambat tersedia bagi tanaman (Abdul dan Zaharah, 2004; Tohiruddin et al., 2010; Wigena et al., 2006).

Perlakuan pupuk organik tidak berpengaruh nyata terhadap kadar klorofil daun, sedangkan perlakuan NPK majemuk berpengaruh nyata secara kuadratik pada 12 BSP namun tidak terdapat interaksi antara pupuk organik dan NPK majemuk (Tabel 5). Perlakuan pupuk organik dan pupuk NPK majemuk tidak berpengaruh nyata

terhadap kerapatan stomata (Tabel 5). Hal tersebut diduga karena kerapatan stomata lebih dipengaruhi oleh faktor suhu, intensitas cahaya dan adaptasi tanaman terhadap lingkungannya. Taiz dan Zeiger (2006) menyatakan bahwa kerapatan dan jumlah stomata yang tinggi sangat dipengaruhi oleh adaptasi tanaman terhadap lingkungannya. Kerapatan stomata daun dalam penelitian ini berkisar antara 192-226 mm-2. Kerapatan stomata pada daun kelapa sawit di Nigeria sebanyak 146 mm-2 dan 175 mm-2 di Malaysia. Stomata daun kelapa sawit tergolong semi xeromorfik yang memiliki struktur untuk dapat beradaptasi pada periode kering yang panjang (Corley dan Tinker, 2003).

Penentuan Dosis Optimum Penentuan kebutuhan pupuk untuk tanaman dapat

menggunakan kurva respon umum tanaman (generalized curve) terhadap pemupukan. Kebutuhan pupuk optimum dilakukan agar tanaman dapat mencapai hasil maksimum (Amisnaipa et al., 2009). Perhitungan dosis optimum dilakukan dengan menurunkan persamaan regresi kurva respon kuadratik peubah pertumbuhan dan perlakuan yang memberikan pengaruh interaksi yang nyata terhadap peubah morfologi tanaman. Dalam penelitian ini peubah morfologi tanaman yang memberikan pengaruh interaksi nyata antara pupuk organik dan NPK majemuk adalah peubah tinggi tanaman dan lingkar batang pada 8 dan 12 BSP. Hal tersebut menunjukkan bahwa pupuk organik mampu memperbaiki kondisi tanah sehingga unsur hara yang berasal dari pupuk

Dosis pupuk Kadar klorofil Kadar hara daun

6 BSP 12 BSP 6 BSP 12 BSP. N P K N P K

….mg cm-2….. ………….(%)……….. ………….(%)………..Pupuk organik (kg tanaman-1)

0 0.03 0.04 1.99 0.18 1.12 2.77 0.16 0.7715 0.03 0.04 2.34 0.18 1.16 2.85 0.16 0.7830 0.03 0.04 2.28 0.19 1.15 2.74 0.16 0.7645 0.04 0.04 2.30 0.18 1.20 2.75 0.16 0.81

Pola respon ¢ tn tn Q** Q** tn * L* tnPupuk NPK (kg tanaman-1)

0 0.03 0.04 1.98 0.18 1.1 2.62 0.15 0.740.65 0.03 0.04 2.24 0.19 1.15 2.76 0.16 0.771.3 0.04 0.05 2.24 0.18 1.17 2.77 0.17 0.761.95 0.04 0.05 2.26 0.18 1.15 2.90 0.17 0.782.6 0.03 0.05 2.42 0.19 1.20 2.85 0.17 0.82

Pola respon ¢ tn Q* L** L** tn Q* Q** tnInteraksi respon tn tn ** ** tn * * tn

Tabel 4. Respon kadar klorofil dan kadar hara daun tanaman kelapa sawit pada berbagai perlakuan pupuk organik dan NPK majemuk

Keterangan: * = berpengaruh nyata pada taraf 5%; ** = berpengaruh nyata pada taraf 1%; ¢ = uji kontras polinomial ortogonal; L = linier; Q = kuadratik; BSP = bulan setelah perlakuan; tn = tidak nyata

Page 83: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

171Optimasi Dosis Pupuk Organik......

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 166 - 172 (2014)

NPK majemuk tersedia untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Eugene et al. (2010) menyatakan bahwa bahan organik berperan penting dalam memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah, serta untuk meningkatkan produktivitas dan hasil tanaman.

Berdasarkan persamaan regresi kurva respon kuadratik peubah tinggi tanaman dan lingkar batang (Tabel 6), maka diperoleh dosis optimum untuk pupuk organik adalah 40.7 kg tanaman-1 dan untuk pupuk NPK majemuk adalah 1.9 kg tanaman-1 pada tanaman kelapa sawit belum menghasilkan umur satu tahun.

Dosis pupuk Umur tanaman (BSP)

6 12Pupuk organik (kg tanaman-1) ..................…......................Stomata (mm-2)…......................…........

0 195.6 217.615 196.9 215.030 198.6 221.245 202.2 215.2

Pola respon ¢ tn tnPupuk NPK (kg tanaman-1)

0 192.1 210.70.65 199.4 226.01.3 203.1 216.81.95 205.3 219.72.6 192.0 213.1

Pola respon ¢ tn tnInteraksi respon tn tn

Tabel 5. Respon kerapatan stomata daun tanaman kelapa sawit pada berbagai perlakuan pupuk organik dan NPK majemuk

Keterangan: ¢ = uji kontras polinomial ortogonal; BSP = bulan setelah perlakuan; tn = tidak nyata

Peubah Umur (BSP) Fungsi

Dosis optimum(kg tanaman-1)

M OTinggi tanaman

8 Y = 181 + 1.63 O + 0.0130 M + 0.0232 O2 - 0.000002 M2 - 0.000278 OM

3.2 35.1

12 Y = 226 + 1.17 O + 0.0431 M - 0.0092 O2 - 0.000012 M2 - 0.000286 OM

1.8 63.0

Lingkar batang

8 Y = 38.2 - 0.165 O + 0.00351 M + 0.00274 O2 - 0.000001M2 - 0.000025 OM

1.6 29.0

12 Y = 46.5 - 0.089 O + 0.0106 M + 0.00124 O2 - 0.000004 M2 + 0.000106 OM

1.3 35.6

Rata-rata 1.9 40.7

Tabel 6. Penentuan dosis optimum pupuk organik dan NPK majemuk pada tanaman kelapa sawit belum menghasilkan umur satu tahun berdasarkan peubah morfologi tanaman

Keterangan: BSP = bulan setelah perlakuan; M = pupuk NPK majemuk; O = pupuk organik

KESIMPULAN

Pupuk organik dan NPK majemuk meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman dan lingkar batang kelapa sawit belum menghasilkan dan berpengaruh nyata mulai 8 BSP. Interaksi pupuk organik dan NPK majemuk tidak

berpengaruh nyata terhadap peubah panjang pelepah, jumlah pelepah dan luas daun. Pupuk organik dan NPK majemuk berpengaruh nyata terhadap kadar N dan P daun kelapa sawit namun tidak berpengaruh nyata terhadap kadar K daun, kadar klorofil daun dan kerapatan stomata. Berdasarkan peubah tinggi tanaman dan lingkar batang,

Page 84: Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.2.pdfterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.

172 Irwan Siallagan, Sudradjat, dan Hariyadi

J. Agron. Indonesia 42 (2) : 166 - 172 (2014)

dosis optimum pupuk organik adalah 40.7 kg tanaman-1 dan untuk pupuk NPK majemuk adalah 1.9 kg tanaman-1 pada tanaman kelapa sawit belum menghasilkan umur satu tahun.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul, R.B., A.R. Zaharah. 2004. Evaluating urea fertilizer formulation for oil palm seedlings using the 15N isotope dilution technique. J. Oil Palm Res. 16:72-77.

Amisnaipa, A.D. Susila, R. Situmorang, D.W. Purnomo. 2009. Penentuan kebutuhan pupuk kalium untuk budidaya tomat menggunakan irigasi tetes dan mulsa polyethylen. J. Agron. Indonesia 37:115-122.

Chan, K.W. 2005. Best developed practices and sustainable development of the oil palm industry. J. Oil Palm Res. 17:124-135.

Corley, R.H.V. 2009. How much palm oil do we need? Environ. Sci. Policy 12:134-139.

Corley, R.H.V., P.B. Tinker. 2003. The Oil Palm. 4th Edition. Blackwell Sciences Ltd. Oxford, London, UK.

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2011. Luas areal dan produksi perkebunan Indonesia. http://ditjenbun.deptan.go.id [12 Agustus 2013].

Djazuli, M., J. Pitono. 2009. Pengaruh jenis dan taraf pupuk organik terhadap produksi dan mutu purwoceng. J. Littri 15:40-45.

Ermadani, A. Muzar. 2011. Pengaruh aplikasi limbah cair pabrik kelapa sawit terhadap hasil kedelai dan perubahan sifat kimia tanah Ultisol. J. Agron. Indonesia 39:160-167.

Eugene, E.E., E. Jacques, V.T. Desire, B. Paul. 2010. Effects of some physical and chemical characteristic of soil on productivity and yield of cowpea (Vigna unguiculata L. Walp.) in coastal region (Cameroon). African J. Environ. Sci. and Tech. 4:108-114.

Farhana, M.A., M.R. Yusop, M.H. Harun, A.K. Din. 2007. Performance of tenera population for the chlorophyll contents and yield component. Malaysia: Malaysia palm oil board. Pg. 701-705. in International Palm Oil Congress (Agriculture, Biotechnology & Sustainability). Proceedings of the PIPOC 2007 Vol 2; Malaysia, 26-30 Agustus 2007.

Hardon, J.J., C.N. Williams, I. Watson. 1969. Leaf area and yield in the oil palm in Malaya. Expl. Agric. 5:25-32.

Herviyanti, A. Fachri, S. Riza, Darmawan, Gusnidar, S. Amrizal. 2012. Pengaruh pemberian bahan humat dan pupuk P pada Ultisol. J. Solum 19:15-24.

Ng, P. H.C., H.H. Gan, K.J. Goh. 2011. Soil nutrient changes in ultisols under oil palm in Johor, Malaysia. J. Oil Palm Environ. 2:93-104.

Noor, J., A. Fatah, Marhannudin. 2012. Pengaruh macam dan dosis pupuk NPK majemuk terhadap pertumbuhan bibit kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq). Media Sains 4:48-53.

Ollagnier, M., R. Ochs. 1981. Management of mineral nutrition on industrial oil palm plantations. Oléagineux 36:409-421.

Paramananthan, S. 2013. Managing marginal soils for sustainabile growth of oil palms in the tropics. J. Oil Palm Environ. 4:1-16.

Quansah, G.W. 2010. Improving soil productivity through biochar amendments to soils. Africa J. Environ. Sci. and Tech. 3:34-41.

Taiz, L., E. Zeiger. 2006. Plant Physiology. 4th Edition. Sinauer Associates, Inc., Publ. Sunderland, Massachusetts, USA.

Tohiruddin, L., Tandiono, J. Abner, J. Silalahi, N.E. Prabowo, H.L. Foster. 2010. Effects of N, P and K fertilizer on leaf trace element levels of oil palm in Sumatera. J. Oil Palm Res. 22:860-877.

Uwumarongie, E.G., B.B. Sulaiman, O. Ederion, A. Imogie, B.O. Imosi, N. Garbua, M. Ugbah. 2012. Vegetative growth performance of oil palm (Elaeis guineensis) seedlings in response to inorganic and organic fertilizers. Greener J. Agric. Sci. 2:26-30.

Webb, M.J., P.N. Nelson, L.G. Rogers, G.N. Curry. 2011. Site specific fertilizer recommendations for oil palm smallholdres information from large plantations. J. Plant Nutr. Soil Sci. 174:311-320.

Wigati, E.S., S. Abdul, D.K. Bambang. 2006. Pengaruh takaran bahan organik dan tingkat kelengasan tanah terhadap serapan fosfor oleh kacang tunggak di tanah pasir pantai. J. Ilmu Tanah dan Lingkungan 6:52-58.

Wigena, I.G.P., J. Purnomo, E. Tuherkih, A. Saleh. 2006. Pengaruh pupuk “slow release” majemuk padat terhadap pertumbuhan dan produksi kelapa sawit muda pada Xanthic Hapludox di Merangin, Jambi. J. Tanah Iklim 24:10-19.