UINSYARIFHIDAYATULLAHJAKARTA...
-
Upload
trinhxuyen -
Category
Documents
-
view
238 -
download
2
Transcript of UINSYARIFHIDAYATULLAHJAKARTA...
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
STABILITAS FISIK DAN PENETRASI GEL TRANSDERMAL
NANOPARTIKEL GLUKOSAMIN HIDROKLORIDA
SKRIPSI
PUSPITASARI
NIM : 11141020000067
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
SEPTEMBER 2018
ii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
STABILITAS FISIK DAN PENETRASI GEL TRANSDERMAL
NANOPARTIKEL GLUKOSAMIN HIDROKLORIDA
SKRIPSIDiajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
PUSPITASARI
NIM : 11141020000067
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
SEPTEMBER 2018
HALAMAN PERNYATA{N ORISINATITAS
Skripsi ini ailalah hasil karya saya sendiri,
dan semua su,mher baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar"
Nrlca
NBifi
TEnde TlsgaE
: Puspitasari
: 111.11020000067
Tanggal : 25 September 2018
iii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
EALAMAN PER.SETI] JUAI{ PE}IBIN{BING
Nama : Puspitasari
NIM : 11141020000067
Prograrn Studi : Farmasi
Judul Skripsi : Stabilitas Fisik dan Penetrasi Gel Transdermal
Nanopartikel Glukosamin Hidroklorida
Disetuiui oleh
Peilbirnblng 1 Peuihimbing 2
t
Yuni Ansgraeni. M.Farm." Apt Drs. Umar Mansur" M.Sc.. Apt
NIP. 1983 10282009012008
Mengetahui,
Ketua Program Studi Farmasi
Fakultas llmu Kesehatan
Universitas Islarn Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
NIp 1 9740730200501 2CI03
iv fiII{ Syarif .I{idayatutlah Jai*arta
IIALAN{,TN PENGESAI{AN SKRIPSI
Skrispsi ini diajukan oleh ;
Nama : Puspitasari
NIM : 1114fi20000057
Prograrn Studi : Farmasi
Judul Skripsi : Stabilitas Fisik dan Penetrasi Gel Transdennal
Nanopartikel Glukosan:rin Hiclroklorida
'T'elah berh;rsil dipertahamkan di hadapan []ewan I]enguji dan diterinrasebagai bagian persyaratan )'ang diperlukan untuk rnemper"oleh gelarSarjana F-armasi pada Frogram Stutli Farrnasi Fakultas Ilrnnr Kesehatan(FII,() flniversitas Islarn Negeri (Uf$ Syarif [Iiday,atullah .Iakarta
DEWAN PEMBIMtsff{G DAIY FEI\,iGtiJI
Pembimbing I : Yuni Anggraeni, M.Farm., Apt , $il}({ )
Pernbimbing iI : Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt , t"/A+---l
Penguji I : Marvel, M.Farm., Apt , tk_ '
,
Penguji U : Estu Mahanani, M.Farm., Apt ( Um )
\
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 25 September 2018
v tifli Syarif Hidavatullah Jakarta
vi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRAK
Nama : Puspitasari
Program Studi : Farmasi
Judul Skripsi : Stabilitas Fisik dan Penetrasi Gel Transdermal
Nanopartikel Glukosamin Hidroklorida
Glukosamin hidroklorida dibuat dalam bentuk gel untuk pemberian melalui rutetransdermal yang dilengkapi dengan carrier dalam bentuk nanopartikel gunameningkatkan bioavalibilitas dan penetrasi senyawa tersebut. Penelitian inibertujuan untuk mengetahui stabilitas fisik dan stabilitas penetrasi dari formulasisediaan gel transdermal nanopartikel glukosamin hidroklorida yang telahdisimpan selama dua bulan pada suhu kamar (27 ± 2°C) dan suhu tinggi (40 ±2°C). Parameter yang digunakan dalam penelitian ini meliputi organoleptis,homogenitas, pH, viskositas, nilai jumlah kumulatif zat terpenetrasi per luas areadan fluks. Hasil pengamatan fisik sediaan gel dilihat dari organoleptis, pH danviskositas menunjukkan adanya perubahan seiring dengan bertambahnya waktupenyimpanan. Begitu pula halnya dengan hasil penetrasi yang didapat padasediaan gel yang disimpan pada suhu kamar pada minggu ke-0, 2, 4, dan 8 berupanilai jumlah kumulatif zat terpenetrasi per luas area berturut-turut 898,9 ± 15,6μg/cm2; 890,6 ± 15,4 μg/cm2; 860,2 ± 20,6 μg/cm2; 843,2 ± 17,8 μg/cm2 dan nilaifluks berturut-turut 112,4 ± 1,9 μg/cm2jam; 111,3 ± 1,9 μg/cm2jam; 107,5 ± 2,6μg/cm2jam; dan 105,4 ± 2,2 μg/cm2jam. Demikian juga dengan sediaan gel yangdisimpan pada suhu tinggi pada minggu ke-0 dan ke-2 memiliki nilai jumlahkumulatif zat terpenetrasi per luas area berturut-turut 898,9 ± 15,6 μg/cm2 dan866,6 ± 6,1 μg/cm2; dan nilai fluks berturut-turut 112,4 ± 1,9 μg/cm2jam; dan108,3 ± 0,1 μg/cm2jam. Adanya perubahan yang terjadi pada setiap parameterpengamatan seiring dengan bertambahnya waktu penyimpanan mengindikasikanadanya ketidakstabilan pada sediaan gel transdermal nanopartikel glukosaminhidroklorida.
Kata kunci : glukosamin hidroklorida, nanopartikel, stabilitas, penetrasi
vii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRACT
Name : Puspitasari
Major : Farmasi
Title : Physical and Penetration Stability of Nanoparticle
Glucosamine Hydrochloride Transdermal Gel
Glucosamine hydrochloride has been formulated in gel dosage form fortransdermal administration route that equipped with nanoparticle carrier system toimprove its bioavailability and penetration. This study aimed to investigate thephysical and penetration stability of nanoparticle glucosamine hydrochloridetransdermal gel formulation which had been restored at room temperature (27 ±2°C) and high temperature (40 ± 2°C) for two months. The parameters used in thisstudy were organoleptic, homogeneity, pH, viscosity, value of the cumulativeamount of penetrated substances per area and flux. The organoleptic, pH, andviscosity test result showed there were changes with increasing storage time. Aswell as the cumulative amount of penetrated substances per area and fluxpenetration. The cumulative amount of penetrated substances per area and fluxpenetration for gel stored at room temperature for 0, 2, 4, and 8 weeksrespectively 898,9 ± 15,6 μg/cm2; 890,6 ± 15,4 μg/cm2; 860,2 ± 20,6 μg/cm2;843,2 ± 17,8 μg/cm2; 112,4 ± 1,9 μg/cm2h; 111,3 ± 1,9 μg/cm2h; 107,5 ± 2,6μg/cm2h; 105,4 ± 2,2 μg/cm2h. Similarly, the cumulative amount of penetratedsubstances per area and flux penetration for gel stored at high temperature for 0and 2 weeks respectively 898,9 ± 15,6 μg/cm2 and 866,6 ± 6,1 μg/cm2; 112,4 ± 1,9μg/cm2h; and 108,3 ± 0,1 μg/cm2h. The changes that occur in each parameteralong with the increase of storage time indicated that nanoparticle glucosaminehydrochloride transdermal gel was unstable.
Keywords : glucosamine hydrochloride, nanoparticle, stability, penetration
viii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat
dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Stabilitas
Fisik dan Penetrasi Gel Transdermal Nanopartikel Glukosamin HCl”.
Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi salah satu persyaratan guna memperoleh
gelar Sarjana Farmasi di Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini penulis tidak terlepas dari
bimbingan, motivasi, bantuan baik moral maupun material serta doa dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima
kasih kepada :
1. Ibu Yuni Anggraeni, M.Farm., Apt. dan Bapak Drs. Umar Mansyur, M.Sc.,
Apt., sebagai pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan
pikirannya untuk membimbing dan membantu penulis dalam penelitian
hingga penyusunan skripsi ini.
2. Bapak Prof. Dr. H. Arif Sumantri, S. KM., M. Kes., selaku Dekan Fakultas
Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Dr. Nurmeilis, M.Si., Apt., selaku ketua Program Studi Farmasi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Ofa Suzanti Betha, M.Si., Apt., sebagai pembimbing akademik yang
telah membimbing dan memberikan dukungan selama ini dalam
menghadapi permasalahan akademik.
5. Bapak dan Ibu staf pengajar, serta karyawan yang telah memberikan
bimbingan dan bantuan selama menempuh pendidikan di Program Studi
Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
6. Kedua orang tua tercinta, papa dan mama, Bapak Sarwanto dan Ibu Yulia
Suharti yang tiada henti mencurahkan cinta dan kasih sayang, doa, serta
dukungan baik moral maupun materil.
7. Kakak-kakak dan adik tersayang, Nia Haryani Septianti, Saraswati, dan Kafi
Rijal Aldinova, yang juga senantiasa mencurahkan kasih sayang, menghibur,
memberikan doa dan dukungan baik moral maupun materil kepada penulis.
ix UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
8. Keluarga besar, om, tante, uwa, bude, kakak dan adik sepupu terutama,
Tante Anti, Om Harry, Om Mury, Mas Angga, Annisa, Alysa, Satrian, yang
telah memberikan motivasi, memberikan doa dan dukungan baik moral
maupun materil kepada penulis.
9. Sahabat seperjuangan penelitian tersayang, Syifa Munika, atas kerja sama,
perhatian, dukungan, bantuan, doa, serta waktu yang diberikan selama
penelitian hingga penyusunan skripsi ini.
10. Kakak tingkat Farmasi 2013, Kak Marrisa dan Kak Asyraq, yang telah
banyak membantu penulis selama penelitian.
11. Ibu Suci Ahda M.Farm., Apt., Ibu Fitria Harya Tika, dan Ibu Fira, yang
telah membantu penulis dalam penelitian skripsi ini.
12. Teman-teman seperbimbingan, Elsa Melian, Mohamad Hadi Azmi, Mutiara
Ayu Lestari, dan Sri Sumartini yang telah saling mengingatkan, memotivasi
dan membantu selama penelitian
13. Teman-teman seperjuangan di laboratorium, Luluk Muchoyaratul, Amajida,
Inez Latanza, Khorunnisa, Ridho F. Layaly, Nada Nursetiyanti, Zakkiyah
Hamida, dan Sheila Sabrina yang telah membantu penulis selama penelitian.
14. Sahabat-sahabat seperkuliahan, Corry Priscilliana Putri, Cut Balqis
Raihatuljannah, Dea Raudya Kamal, Divya Anjani, Luluk Muchoyaratul
Hidayah, Muhaiminul Maulidza, Revy Aprillia, Syifa Munika, Fariz Agus
Mahira, Mohamad Hadi Azmi, dan Ramadhani, yang telah menghabiskan
waktu, berjuang bersama, dan saling mendukung selama perkuliahan hingga
penelitian.
15. Sahabat-sahabat di luar perkuliahan, Annisa Fatharani, Ajeng Permatasari,
Zakia Khairun Nadia Putri, Elice Putri Angelita, Lika Asifa Aulia, Azka
Viraya, Fandi Akhmad, Nurzakiah Nareska, Indri Rahmania, Luthfiyah
Aviadini, Rizkyana Novita Sari, Mareta Fitri Denia, Astrid Putri Iriawan,
Anggi Natalia, Andjena Panatagama, Amelia Saraswati, Lathifatul Ulya,
Meidi Chikita, Sri Wulandari, Jinan Khoirunnisa, dan Rahmita Sari yang
telah memberikan motivasi dan semangat kepada penulis.
16. Sahabat BPH Sachias-ku, Annisa Firdayanti dan Ni Made Shellasih, yang
telah memberi dukungan dan semangat kepada penulis.
x UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
17. Seluruh laboran, Kak Eris, Kak Yaenap, Mba Rani, Kak Walid, Pak
Rahmadi dan Kak Lisa, yang telah banyak membantu dalam penelitian ini.
18. Teman-teman seangkatan Program Studi Farmasi UIN angkatan 2014 yang
telah memberikan semangat, doa dan berjuang bersama selama ini.
19. Semua pihak yang telah membantu penulis selama melakukan penelitian
dan penulisan skrispi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan
dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun demi perbaikan skripsi ini. Penulis berdoa
semoga amal baik dari semua pihak yang telah membantu penulis mendapat
balasan dari Allah SWT. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat
bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Ciputat, 25 September
Penulis
xi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR ISI
COVER.................................................................................................................... i
HALAMAN JUDUL.............................................................................................. ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS................................................ iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING................................................. iv
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI...............................................................v
ABSTRAK............................................................................................................. vi
ABSTRACT............................................................................................................ vi
KATA PENGANTAR........................................................................................ viii
DAFTAR ISI..........................................................................................................xi
DAFTAR GAMBAR...........................................................................................xiv
DAFTAR TABEL................................................................................................ xv
DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................................xvi
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang.................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah........................................................................... 3
1.3. Tujuan Penelitian.............................................................................3
1.4. Manfaat Penelitian......................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................ 5
2.1. Osteoartritis....................................................................................5
2.2. Glukosamin HCl............................................................................ 6
2.3. Gel Transdermal.............................................................................7
2.4. Kulit............................................................................................... 9
2.4.1. Anatomi Kulit.................................................................... 10
2.4.2. Jalur Penetrasi Obat Melalui Kulit.....................................12
2.4.3. Faktor yang Mempengaruhi Absorpsi Perkutan................ 13
2.5. Nanopartikel Kitosan................................................................... 15
2.6. Kitosan......................................................................................... 15
2.7. Metode Gelasi Ionik.....................................................................17
2.8. Natrium Tripolifosfat................................................................... 18
2.9. Monografi.....................................................................................19
xii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.9.1. Tween 80............................................................................19
2.9.2. Hidroksipropil Metilselulosa..............................................19
2.9.3. Propilen Glikol...................................................................21
2.9.4. Metil Paraben.................................................................... 21
2.9.5. Propil Paraben.................................................................... 22
2.9.6. Triethanolamine (TEA)......................................................23
2.10. Uji Penetrasi.................................................................................24
2.11. Spektrofotometer UV Visibel...................................................... 25
2.11.1. Teori Spektrofotometri.....................................................25
2.11.2. Komponen Spektrofotometri UV-Vis .............................26
2.11.3. Validasi Metode Analisa..................................................27
2.12. Stabilitas Gel................................................................................ 28
BAB III METODOLOGI PENELITIAN.........................................................31
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian...................................................... 31
3.2. Bahan Penelitian.......................................................................... 31
3.3. Alat Penelitian..............................................................................31
3.4. Prosedur Kerja..............................................................................31
3.4.1. Preparasi Nanopartikel Glukosamin HCl...........................31
3.4.2. Preparasi Sediaan Gel Nanopartikel Glukosamin HCl...... 32
3.4.3.Validasi Metode Analisa Derivatisasi Glukosamin
HCl......................................................................................32
3.4.4. Uji Stabilitas Fisik Gel.......................................................34
3.4.5. Parameter Uji Stabilitas..................................................... 35
3.4.6. Analisis Data...................................................................... 38
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................39
4.1. Preparasi Nanopartikel Glukosamin HCl.....................................39
4.2. Preparasi Sediaan Gel Nanopartikel Glukosamin HCl................ 39
4.3. Validasi Metode Analisa Derivatisasi Glukosamin HCl..............40
4.3.1. Pembuatan Standar Phenyl Thiourea (PTH)......................40
4.3.2. Pemilihan Panjang Gelombang Maksimum.......................41
4.3.3. Pembuatan Kurva Standar Glukosamin............................. 41
4.3.4.Uji Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi (LOD dan LOQ).. 42
xiii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.4. Uji Stabilitas Fisik Gel.................................................................42
4.4.1 Cycling Test........................................................................ 43
4.4.2.Uji Mekanik (Sentrifugasi).................................................44
4.4.3.Uji Stabilitas pada Suhu Tinggi (40 ± 2°C) dan Suhu Kamar
(27 ± 2°C)........................................................................... 45
4.4.3.1. Pemeriksaan Organoleptik................................... 45
4.4.3.2. Pemeriksaan Homogenitas................................... 46
4.4.3.3. Pemeriksaan pH....................................................47
4.4.3.4. Pengukuran Viskositas dan Rheologi...................48
4.4.3.5. Uji Penetrasi Gel Glukosamin HCl...................... 51
4.4.3.6. Jumlah Kumulatif Zat Terpenetrasi Per Luas
Area...................................................................... 52
4.4.3.7. Fluks Penetrasi..................................................... 55
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN............................................................58
5.1. Kesimpulan.....................................................................................58
5.2. Saran............................................................................................... 58
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................59
LAMPIRAN..........................................................................................................64
xiv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Sendi Normal dan Osteoartritis...................................................... 6
Gambar 2.2 Struktur Kimia Glukosamin HCl....................................................7
Gambar 2.3 Struktur Anatomi Kulit.................................................................10
Gambar 2.4 Rute Penetrasi...............................................................................12
Gambar 2.5 Struktur Kimia Kitosan................................................................ 16
Gambar 2.6 Struktur Natrium Tripolifosfat..................................................... 18
Gambar 2.7 Struktur Kimia Tween 80............................................................. 19
Gambar 2.8 Struktur Kimia HPMC..................................................................20
Gambar 2.9 Struktur Kimia Propilen Glikol.................................................... 21
Gambar 2.10 Struktur Kimia Metil Paraben...................................................... 22
Gambar 2.11 Struktur Kimia Propil Paraben..................................................... 23
Gambar 2.12 Struktur Kimia TEA..................................................................... 23
Gambar 2.13 Sel Difusi Franz............................................................................25
Gambar 4.1 Kurva Kalibrasi Glukosamin HCl................................................ 42
Gambar 4.2 Organoleptik Glukosamin HCl.....................................................46
Gambar 4.3 Homogenitas Gel Glukosamin HCl..............................................47
Gambar 4.4 Grafik Viskositas Gel Glukosamin HCl pada Suhu Kamar dan
Suhu Tinggi..................................................................................49
Gambar 4.5 Kurva Reologi Gel Glukosamin HCl Disimpan pada Suhu
Kamar........................................................................................... 50
Gambar 4.6 Kurva Reologi Gel Glukosamin HCl Disimpan pada Suhu
Tinggi........................................................................................... 51
Gambar 4.7 Grafik Jumlah Kumulatif Difusi Glukosamin HCl Per Luas Area
(Suhu Kamar)............................................................................... 53
Gambar 4.8 Grafik Jumlah Kumulatif Difusi Glukosamin HCl Per Luas Area
(Suhu Tinggi)............................................................................... 55
Gambar 4.9 Grafik Fluks Penetrasi Glukosamin HCl Per Luas Area (Suhu
Kamar)..........................................................................................56
Gambar 4.10 Grafik Jumlah Fluks Penetrasi Glukosamin HCl Per Luas Area
(Suhu Tinggi)............................................................................... 57
xv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Formula Gel Glukosamin HCl............................................................ 32
Tabel 4.1 Organoleptik Sediaan Gel Glukosamin HCl Setelah Cycling Test..... 44
Tabel 4.2 pH Gel Glukosamin HCl Setelah Penyimpanan................................. 47
Tabel 4.3 Jumlah Kumulatif Glukosamin HCl Per Satuan Luas Area (Suhu
Kamar).................................................................................................53
Tabel 4.4 Jumlah Kumulatif Glukosamin HCl Per Satuan Luas Area (Suhu
Tinggi).................................................................................................54
Tabel 4.5 Fluks Penetrasi Glukosamin HCl Per Satuan Luas Area (Suhu
Kamar).................................................................................................55
Tabel 4.6 Fluks Penetrasi Glukosamin HCl Per Satuan Luas Area (Suhu
Tinggi).................................................................................................56
xvi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Skema Prosedur Penelitian.............................................................64
Lampiran 2. Panjang Gelombang Maksimum Phenyl Thiourea (Hasil..............65
Lampiran 3. Absorbansi Larutan Standar Glukosamin HCl...............................66
Lampiran 4. Perhitungan LOD dan LOQ........................................................... 67
Lampiran 5. Cycling Test....................................................................................68
Lampiran 6. Uji Mekanik (Sentrifugasi).............................................................70
Lampiran 7. Viskositas Glukosamin HCl ( Suhu Kamar).................................. 73
Lampiran 8. Viskositas Glukosamin HCl (Suhu Tinggi)....................................73
Lampiran 9. Persen Torque Glukosamin HCl (Suhu Kamar).............................74
Lampiran 10.Persen Torque Glukosamin HCl (Suhu Tinggi)............................. 75
Lampiran 11.Data Hasil Uji Penetrasi Sediaan Gel Glukosamin Penyimpanan..76
Lampiran 12.Data Hasil Uji Penetrasi Sediaan Gel Glukosamin Penyimpanan. 76
Lampiran 13.Data Hasil Uji Penetrasi Sediaan Gel Glukosamin Penyimpanan. 77
Lampiran 14.Data Hasil Uji Penetrasi Sediaan Gel Glukosamin Penyimpanan. 77
Lampiran 15.Data Hasil Uji Penetrasi Sediaan Gel Glukosamin Penyimpanan. 78
Lampiran 16.Data Hasil Uji Penetrasi Sediaan Gel Glukosamin Penyimpanan. 78
Lampiran 17.Data Fluks Sediaan Gel Glukosamin Penyimpanan Suhu Kamar..79
Lampiran 18.Data Fluks Sediaan Gel Glukosamin Penyimpanan Suhu Kamar..79
Lampiran 19.Data Fluks Sediaan Gel Glukosamin Penyimpanan Suhu Kamar..80
Lampiran 20.Data Fluks Sediaan Gel Glukosamin Penyimpanan Suhu Kamar..80
Lampiran 21.Data Fluks Sediaan Gel Glukosamin Penyimpanan Suhu Tinggi..81
Lampiran 22.Data Fluks Sediaan Gel Glukosamin Penyimpanan Suhu Tinggi..81
Lampiran 23.Contoh Perhitungan Penetrasi Kumulatif Glukosamin HCl Per.... 82
Lampiran 24.Contoh Perhitungan Fluks Penetrasi Kumulatif Glukosamin
HCl................................................................................................. 85
Lampiran 25.Hasil Uji Statistik Jumlah Kumulatif Glukosamin HCl
Terpenetrasi.................................................................................... 86
Lampiran 26.Hasil Uji Statistik Jumlah Kumulatif Glukosamin HCl
Terpenetrasi.................................................................................... 89
Lampiran 27.Hasil Uji Statistik Fluks Penetrasi Glukosamin HCl (Suhu
Kamar)............................................................................................91
xvii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 28.Hasil Uji Statistik Fluks Penetrasi Glukosamin HCl (Suhu
Tinggi)............................................................................................ 94
Lampiran 29. Sertifikat Analisa Glukosamin Hidroklorida................................. 96
Lampiran 30.Sertifikat Analisa Kitosan.............................................................. 97
Lampiran 31.Sertifikat Analisa Dietil Eter.......................................................... 98
Lampiran 32.Sertifikat Analisa Natrium Asetat.................................................. 98
Lampiran 33.Sertifikat Analisa TEA................................................................. 100
Lampiran 34.Sertifikat Analisa Natrium Hidroksida.........................................101
Lampiran 35.Sertifikat Analisa Tween 80......................................................... 102
Lampiran 36.Sertifikat Analisa Metil Paraben...................................................103
Lampiran 37.Sertifikat Analisa Propilparaben...................................................104
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Osteoartritis merupakan penyakit reumatik sendi yang paling banyak
dijumpai terutama pada orang-orang di atas 40 tahun di seluruh penjuru dunia
(Kalim, 1987). Penyakit ini mempengaruhi persendian yang menyebabkan rasa
nyeri dan kekakuan pada sendi. Permukaan di dalam sendi menjadi rusak
sehingga sendi tidak dapat bergerak secara halus seperti biasanya (Arthritis
Research UK, 2011).
Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa perubahan-perubahan
metabolisme tulang rawan sendi telah timbul sejak awal proses patologis
osteoartritis. Perubahan tersebut berupa peningkatan aktivitas enzim-enzim yang
merusak makromolekul matriks tulang rawan sendi (proteoglikan dan kolagen).
Hal ini menyebabkan penurunan kadar proteoglikan, perubahan sifat-sifat kolagen
dan berkurangnya kadar air tulang rawan sendi (Kalim,1987).
Salah satu pengobatan komplementer yang telah diinvestigasi untuk
penanganan osteoartritis adalah glukosamin. Glukosamin merupakan zat yang
normal ditemukan di matriks tulang rawan sendi dan cairan sendi manusia.
Glukosamin merupakan prekusor utama untuk biosintesis berbagai makromolekul
seperti asam hialuronat, proteoglikan, glikosaminoglikan (GAGs), glikolipid, dan
glikoprotein. Glukosamin terdapat di hampir semua jaringan lunak dalam tubuh
manusia, konsentrasi tertinggi terdapat di tulang rawan. Sumber utama
glukosamin eksogen adalah eksoskeleton dari cangkang hewan laut (Institute of
Medicine and National Research Council, 2005).
Glukosamin dari sumber eksogen dapat membantu pembangunan kembali
tulang rawan yang rusak dengan merangsang produksi proteoglikan dan
dimasukkan ke dalam jalur metabolisme untuk sintesis glikosaminoglikan yang
terjadi di kartilago artikular. Menurut Han dkk (2010) glukosamin yang umumnya
diberikan terdapat dalam dua bentuk, dalam bentuk hidroklorida dan dalam
bentuk sulfat, karena glukosamin dalam bentuk basis (bebas garam) tidak stabil
secara fisiko-kimia. Dalam penelitiannya juga menunjukkan bahwa glukosamin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2
sulfat sangat tidak stabil sedangkan glukosamin hidroklorida sangat stabil.
Glukosamin yang beredar di pasaran umumnya dibuat dalam bentuk sediaan tablet
ataupun kapsul sebagai suplemen persendian. Akan tetapi, glukosamin yang
diberikan secara oral memiliki bioavailabilitas yang sangat rendah (sangat kecil
yang diserap oleh darah) akibat adanya metabolisme lintas pertama di hati,
sedangkan pengobatan yang ditunjukkan untuk menangani permasalahan sendi
tidak akan berkerja secara efektif jika tidak dapat diabsorbsi dengan baik
(Eskandari dkk, 2012). Selain itu, pemberiaan glukosamin secara oral juga
memiliki efek samping berupa iritasi pada lambung, mual dan ulserasi lambung
(Hua dkk, 2011). Berdasarkan hal itu, pemberian melalui rute transdermal dapat
menjadi salah satu alternatif untuk menghindari permasalahan yang ditimbulkan
dari pemberian secara oral.
Namun, glukosamin hidroklorida memiliki permeabilitas kulit yang rendah
karena sifat hidrofil yang dimilikinya sehingga laju penetrasinya untuk dapat
menembus kulit pun rendah. Oleh karena itu, diperlukan carrier yang tepat untuk
meningkatkan efisiensi permeasi glukosamin hidroklorida agar dapat menembus
kulit. Salah satu carrier yang dapat digunakan untuk membantu penetrasi obat
adalah nanocarrier (Han dkk, 2010).
Dalam penelitian Goyal dkk (2015) dikatakan bahwa selama lebih dari satu
dekade nanopartikel (nanocarrier) telah banyak diteliti untuk berbagai
pengaplikasian biomedik. Penggunaan nanopartikel sebagai carrier memiliki
keuntungan salah satunya menghantarkan konsentrasi obat dalam jumlah yang
lebih tinggi ke sisi target obat akibat efek permeasi yang meningkat. Kitosan
menjadi salah satu polimer yang paling sering digunakan karena sifatnya yang
ideal sebagai carrier polimer untuk nanopartikel seperti biokompatibel,
biodegradable, tidak toksik, dan tidak mahal (Tiyaboonchai, 2003). Salah satu
metode untuk membentuk suatu nanopartikel adalah metode gelasi ionik, metode
ini memiliki proses yang sederhana dan juga tidak membutuhkan pelarut organik.
Pada metode ini kitosan disambung silang dengan penyambung silang ionik
seperti natrium tripolifosfat (NaTPP).
Dalam penelitian Fahruzzaman (2017), peneliti telah berhasil melakukan
pengujian penetrasi gel transdermal nanopartikel glukosamin HCl dengan variasi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3
konsentrasi kitosan. Dengan adanya variasi konsentrasi kitosan pada formula gel
tersebut dapat dilihat konsentrasi kitosan yang menghasilkan nilai % kumulatif
difusi glukosamin HCl terbaik yang mana menunjukkan jumlah glukosamin HCl
yang telah berdifusi melewati membran. Namun, dalam penelitiannya belum
dilakukan uji stabilitas untuk mengetahui stabilitas fisik dan juga pengaruh
stabilitas dari sediaan gel nanopartikel glukosamin HCl tersebut selama periode
penyimpanan dan pada suhu tertentu terhadap kemampuan penetrasi sediaan gel
nanopartikel glukosamin HCl.
Kestabilan suatu sediaan menjadi salah satu hal penting yang harus
diperhatikan. Sediaan yang stabil yaitu sediaan yang masih berada dalam batas
yang dapat diterima selama masa periode penyimpanan dan penggunaan, yaitu
sifat dan karakteristiknya tetap sama dengan yang dimilikinya pada saat dibuat
(Dewi dkk, 2014).
Uraian latar belakang tersebut mendasari akan dilakukannya penelitian uji
stabilitas fisik dan stabilitas penetrasi pada sediaan gel transdermal nanopartikel
glukosamin hidroklorida selama 8 minggu pada dua suhu penyimpanan yaitu pada
suhu 27±2°C dan suhu 40±2°C .
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana stabilitas fisik sediaan gel transdermal nanopartikel
glukosamin HCl setelah disimpan pada suhu 27±2°C dan suhu 40±2°C
selama 8 minggu?
2. Bagaimana stabilitas penetrasi gel transdermal nanopartikel
glukosamin HCl setelah penyimpanan pada suhu 27±2°C dan suhu
40±2°C selama 8 minggu?
1.3. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui stabilitas sediaan gel transdermal nanopartikel glukosamin
HCl setelah disimpan pada suhu 27±2°C dan suhu 40±2°C selama 8
minggu.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4
2. Mengetahui stabilitas penetrasi gel transdermal nanopartikel
glukosamin HCl setelah penyimpanan pada suhu 27±2°C dan suhu
40±2°C selama 8 minggu
1.4. Manfaat Penelitian
Setelah penelitian ini dilakukan diharapkan dapat memberikan manfaat
sebagai berikut:
1. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai tambahan literatur
oleh pihak pendidikan yang digunakan oleh mahasiswa/i yang
berkepentingan.
2. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh pihak peneliti dan
lainnya yang berminat di bidang penelitian lanjutan tentang
nanokitosan yang mengandung bahan aktif glukosamin HCl yang
dapat digunakan sebagai sediaan farmasi untuk osteoartritis.
3. Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh industri farmasi untuk
memproduksi sediaan farmasi osteoartritis dalam sistem
penghantaran nanokitosan yang mengandung glukosamin HCl.
5 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Osteoartritis
Osteoartritis adalah penyakit sendi yang kebanyakan menyerang tulang
rawan. Dalam Perhimpunan Reumatologi Indonesia Osteoartritis secara sederhana
didefinisikan sebagai suatu penyakit sendi degeneratif yang terjadi karena proses
inflamasi kronis pada sendi dan tulang yang ada disekitar sendi tersebut
(Hamijoyo, 2007). Pada osteoartritis, lapisan atas tulang rawan rusak dan terkikis.
Hal ini memungkinkan tulang di bawah tulang rawan untuk bergesekan. Gesekan
ini menyebabkan rasa sakit, bengkak, dan hilangnya gerak sendi. Seiring waktu,
sendi bisa kehilangan bentuk normalnya (NIAMS, 2014).
Orang dengan osteoartritis sering mengalami nyeri sendi dan
berkurangnya gerakan. Tidak seperti beberapa bentuk artritis lainnya, osteoartritis
hanya menyerang persendian dan bukan organ dalam. Osteoartritis adalah tipe
artritis yang paling umum terjadi dan paling sering terjadi pada orang tua.
Menurut WHO (2018) osteoartritis telah menjadi salah satu dari 10
penyakit yang melumpuhkan di negara-negara berkembang. Selain itu perkiraan
di seluruh dunia adalah 9,6% laki-laki dan 18% wanita berumur lebih dari 60
tahun memiliki gejala osteoartritis. 80% dari mereka yang mengalami osteoartritis
akan memiliki pergerakan yang terbatas dan 25% tidak dapat melakukan aktivitas
sehari-hari.
Secara garis besar faktor risiko untuk timbulnya OA (primer) adalah umur,
jenis kelamin, suku bangsa, genetik, kegemukan dan penyakit metabolik, cedera
sendi, pekerjaan, olahraga, dan kelainan pertumbuhan. Harus diingat bahwa
masing-masing sendi mempunyai biomekanik, cedera, dan persentase gangguan
yang berbeda, sehingga peran faktor-faktor risiko tersebut untuk masing-masing
OA tertentu berbeda. Kegemukan, faktor genetik dan jenis kelamin adalah faktor
risiko umum yang penting (Kalim, 1987).
Sampai saat ini belum ada terapi yang dapat menyembuhkan OA.
Penatalaksanaan terutama ditujukan pada pengendalian/menghilangkan nyeri,
memperbaiki gerak dan fungsi sendi serta meningkatkan kualitas hidup.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
6
Penatalaksanaan OA panggul, lutut atau OA pada tempat lain, meliputi
penatalaksanaan secara non farmakologi dan farmakologi. Operasi pengganti
sendi hanya dilakukan untuk penderita dengan OA yang berat dan tidak respons
dalam pengobatan terapi.
Gambar 2.1 Sendi Normal dan Osteoartritis[Sumber : Arthritis Research UK]
2.2. Glukosamin HCl
Glukosamin merupakan derivat dari metabolisme glukosa seluler. Selain
itu, glukosamin juga merupakan komponen dari glikosaminoglikan dan
proteoglikan pada matriks tulang rawan sendi yang membungkus bagian akhir
tulang dan asam hialur1onat yang merupakan bagian dari cairan sinovial di dalam
sendi. Sumber utama glukosamin eksogen adalah eksoskeleton dari cangkang
hewan laut (Institute of Medicine and National Research Council 2005).
Glukosamin terdapat di hampir semua jaringan manusia, sangat
terkonsentrasi pada jaringan ikat tubuh manusia dan konsentrasi tertinggi
ditemukan di tulang rawan (Dahmer & Schiller, 2008).
Glukosamin bekerja dengan menstimulasi dan memperbaiki fungsi sendi.
Hal ini secara efektif telah dibuktikan dalam berbagai penelitian ilmiah untuk
mengurangi nyeri osteoartritis, mengobati dalam pemulihan kartilago,
memperbaharui cairan sinovial, dan memperbaiki sendi yang telah rusak akibat
osteoartritis.
Glukosamin merupakan senyawa yang tidak stabil dalam bentuk basa
bebas, dan terdapat beberapa bentuk glukosamin yang lebih stabil yang tersedia
untuk konsumen. Glukosamin dapat ditemukan dalam berbagai bentuk seperti,
glukosamin sulfat, glukosamin hidroklorida, N-acetyl glucosamine, atau garam
klorohidrat, dan sebagai isomer dekstrorotatori. Senyawa kimia yang berbeda ini
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
7
memiliki beberapa kemiripan, namun mereka tidak memiliki efek yang sama
ketika dikonsumsi sebagai suplemen makanan.
Glukosamin hidroklorida memiliki nama kimia D-Glucosamine
Hydrochloride; D-Glucose, 2-amino-2-deoxy-hydrochloride dengan rumus
molekul C6H14ClNO5. HCl dan struktur kimia seperti pada gambar 2.2.
Glukosamin Hidroklorida berbentuk serbuk kristal putih yang sangat larut dalam
air dan memiliki titik leleh yaitu 190-194°C
Gambar 2.2 Struktur Kimia Glukosamin HCl[Sumber : http://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov]
2.3. Gel Transdermal
Penghantaran obat secara transdermal (melalui kulit) memberikan
beberapa keuntungan penting dibandingkan pemberian obat melalui rute oral dan
intravena. Penghantaran obat secara transdermal mencegah resiko dan
ketidaknyamanan dari terapi intravena, biasanya mengurangi terjadinya overdose
dan underdose, memudahkan terminasi, dan dapat memberikan efek terapi baik
sistemik ataupun lokal. Penghantaran obat transdermal menawarkan pelepasan
obat terkendali kepada pasien, yang dapat memberikan profil kadar darah yang
tunak, mengurangi efek samping sistemik (Jalwal P dkk, 2010).
Dalam U.S.P gel didefiniskan sebagai sistem semi padat yang
mengandung baik supensi dari partikel inorganik kecil maupun molekul organik
besar yang terpenetrasi dalam cairan. Gel merupakan formulasi semi padat
transparan dan translucent yang mengandung pelarut/gelling agent dalam
perbandingan yang besar. Ketika didispersikan dalam pelarut yang sesuai, gelling
agent bergabung untuk membentuk sebuah struktur jaringan koloidal tiga dimensi
yang membatasi aliran air dengan cara menjerap dan imobilisasi molekul pelarut.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
8
Struktur jaringan ini bertanggung jawab atas ketahanan gel terhadap deformasi
dan karenanya, bersifat viskoelastik (Kumar L, 2010). Formulasi gel memiliki
kemampuan pelepasan obat yang lebih cepat dibandingkan dengan salep dan krim
yang mana obat terdispersi sebagai partikel halus, akan tetapi kelarutannya tidak
cukup baik karena terbatasnya kandungan air dalam formulasi keduanya. Gel
memiliki jumlah air yang lebih tinggi sehingga kelarutan obatnya lebih baik, dan
juga memudahkan migrasi obat melalui pembawa yang pada dasarnya cair,
dibandingkan dengan salep atau basis krim.
Ada beberapa keuntungan yang diberikan sediaan gel transdermal yaitu
sebagai berikut (Kaur & Singh, 2015):
1. Menghindari metabolisme lintas pertama di hati
2. Penghantaran obat dapat dengan mudah terhindar dari kasus toksisitas
3. Efek sampingnya lebih sedikit karena konsentrasi obat pada plasma
juga dikurangi
4. Dosing frekuensi bisa dikurangi yang mana meningkatkan kepatuhan
pasien.
5. Melalui gel transdermal obat dihantarkan dalam laju yang stabil
selama periode waktu. yang diperpanjang
6. Bentuk sediaan konvensional mengikuti pola puncak dan lembah
kinetika pelepasan obat dalam darah dan jaringan. Sistem
penghantaran obat transdermal dirancang untuk melepaskan obat
pada tingkat yang telah ditentukan dan secara kontinyu untuk
menghindari puncak yang tinggi yang tidak diperlukan dan efek
terapeutik yang rendah dalam kadar obat plasma.
7. Meningkatkan nilai terapeutik dari banyak obat karena menghindari
masalah yang terkait dengan obat-obatan tersebut, misalnya iritasi
pada gastrointestinal, mual, muntah, mulas dan nafsu makan
meningkat setelah terapi oral.
8. Memberikan kemudahan untuk identifikasi pengobatan dengan cepat
dalam keadaan darurat, pasien yang tidak tanggap, pasien tidak sadar
atau koma.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
9
9. Efek terapi terapeutik dapat dicapai dengan dosis obat yang lebih
rendah daripada dosis yang diperlukan bila diberikan secara oral.
10. Obat-obatan yang terdegradasi oleh enzim dan asam dalam sistem
gastrointestinal dapat diadministrasikan dengan memasukkannya ke
dalam gel transdermal.
11. Kontinuitas pemberian obat menyebabkan gel transdermal cocok bagi
obat-obatan yang memiliki waktu paruh yang singkat.
Selain itu gel transdermal juga memiliki beberapa keterbatasan,
diantaranya sebagai berikut :
1. Gel transdermal tidak sesuai untuk obat-obatan yang mengiritasi
kulit
2. Gel transdermal tidak cocok untuk obat yang memiliki koefisien
partisi sangat rendah atau tinggi. Obat seharusnya memiliki koefisien
partisi yang sesuai (logP 1-3).
3. Untuk obat dengan molekul berat (> 500 Da), maka akan menembus
lapisan stratum kornea.
4. Gel transdermal tidak menguntungkan bagi obat yang dimetabolisme
secara ekstensif di kulit.
5. Hanya obat yang memang berpotensi yang cocok untuk
penghantaran transdermal karena keterbatasan alami dari obat yang
dipaksakan oleh ketidakmampuan kulit.
6. Banyak obat dengan struktur hidrofilik yang merembes ke kulit
terlalu lambat adalah efek terapeutik yang kurang.
2.4. Kulit
Kulit merupakan organ terluas pada tubuh, terhitung sekitar 15% dari
total berat badan orang dewasa. Kulit menjalankan banyak fungsi vital, termasuk
memberikan perlindungan terhadap gangguan eksternal secara fisik, kimia dan
biologi, dan juga mencegah terjadinya kekurangan air pada tubuh dan berperan
untuk mengatur suhu tubuh (Kolarsick dkk, 2011).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
10
2.4.1. Anatomi Kulit
Kulit terdiri dari tiga lapisan: epidermis, dermis, dan jaringan subkutan.
Tingkat terluar, epidermis, terdiri dari konstelasi sel tertentu yang dikenal sebagai
keratinosit, yang berfungsi untuk mensintesis keratin, protein panjang dan mirip
benang dengan peran protektif. Lapisan tengah, dermis, pada dasarnya terdiri dari
protein struktural fibrillar yang dikenal sebagai kolagen. Dermis terletak pada
jaringan subkutan, atau panniculus, yang mengandung lobus kecil sel lemak yang
dikenal sebagai lipocytes. Ketebalan lapisan ini sangat bervariasi, tergantung pada
lokasi geografis pada anatomi tubuh (Kolarsick dkk, 2011).
Gambar 2.3 Struktur Anatomi Kulit[Sumber : Kolarsick dkk, 2011]
1) Epidermis
Epidermis adalah lapisan skuaomosa epitel bertingkat yang
tersusun terutama dari dua jenis sel yaitu, keratinosit dan sel
dendritik. Keratinosit berbeda dari sel dendritik "jernih" dengan
memiliki jembatan interselular dan jumlah sitoplasma yang cukup
besar (Kolarsick dkk, 2011).
Epidermis memiliki sejumlah populasi sel lainnya, seperti
melanosit, sel Langerhans, dan sel Merkel, namun jenis sel
keratinosit meliputi dari sebagian besar sel sejauh ini. Epidermis
umumnya dibagi menjadi empat lapisan menurut morfologi
keratinosit dan posisi saat mereka berdiferensiasi menjadi sel tanduk,
termasuk lapisan sel basal (stratum germinativum), lapisan sel
skuamosa (stratum spinosum), lapisan sel granular (stratum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
11
granulosum), dan lapisan sel yang tersamar atau tersumbat (strata
korneum) (Kolarsick dkk, 2011). Tiga lapisan bawah yang
merupakan sel epidermis nukleasi yang hidup kadang disebut
stratum malpighii dan rete malpighii (Kolarsick dkk, 2011).
2) Dermis
Dermis terdiri dari tiga lapisan yang disebut dermis papiler,
dermis retikuler, dan hipodermis. Dermis atas sebagian besar terdiri
dari kolagen dan protein matriks ekstraselular lainnya, yang
diproduksi oleh fibroblas. Dermis juga terdiri dari sejumlah struktur
sekunder seperti kelenjar keringat, folikel rambut, serabut saraf, dan
pembuluh darah / limfatik. Suhu diatur oleh folikel rambut dan
kelenjar keringat yang terletak di dermis (Palmer dan DeLouise,
2017).
Struktur sekunder pada kulit dan dermis papiler, membuat alur
dan invaginasi pada kulit yang bisa menjebak obat atau
nanocarriers topikal. Struktur ini dapat bertindak sebagai reservoir
obat untuk dilepaskan perlahan ke dalam kulit, namun mungkin juga
memungkinkan peningkatan penetrasi obat karena jarak yang
menurun dari strata corneum ke dermis di daerah ini. Pembuluh
darah dan limfatik di dermis memungkinkan banyak sel imun
(makrofag, sel T, sel mast, dan sel dendritik) untuk mengisi dermis,
namun juga memberikan akses obat topikal ke sirkulasi sistemik
(Palmer dan DeLouise, 2017).
3) Hipodermis atau Subkutan
Hipodermis adalah lapisan paling bawah yang mengandung
lemak subkutan. Lapisan hIpodermis atau subkutan adalah lapisan
terdalam dari kulit dan terdiri dari jaringan sel lemak. Ini adalah
lapisan kontak antara kulit dan jaringan di bagian bawah tubuh,
seperti otot dan tulang. Oleh karena itu, fungsi utama hipodermis
adalah perlindungan terhadap kejutan fisik, insulasi panas dan
dukungan dan konduktansi sinyal vaskular dan saraf kulit. Sel lemak
hipodermis-residen menyumbang sekitar 50% lemak tubuh dengan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
12
sel predominan lainnya dari hipodermis yang terdiri dari fibroblas
dan makrofag (Palmer dan DeLouise, 2017).
2.4.2. Jalur Penetrasi Obat Melalui Kulit
Gambar 2.4 Rute Penetrasi[Sumber: Benson dan Watkinson, 2005]
Absorpsi perkutan suatu obat secara umum dihasilkan dari penetrasi obat
langsung melalui stratum korneum. Penetrasi obat atau partikulat ke dalam strata
korneum menjadi tugas terpenting dalam pengiriman transdermal. Stratum
korneum merupakan penghalang utama yang menjadi penentu kecepatan transport
transdermal. Stratum korneum merupakan lapisan tipis datar setebal 10 hingga 15
µm yang sebagian merupakan jaringan tidak hidup, tersusun dari sekitar 40%
protein dan 40% air, dalam keseimbangan lipid yang pada prinsipnya berupa
trigliserida, asam lemak bebas, kolesterol dan fosfolipid. Kandungan lipid
terkonsentrasi pada fase ekstraselular stratum korneum dan membentuk sebagian
besar membran di sekitar sel. Karena rute penetrasi obat utama melalui saluran
interselular, komponen lipid dianggap sebagai penentu yang penting dalam
langkah pertama absorpsi. Setelah melalui stratum korneum, molekul obat dapat
melintasi jaringan epidermal yang lebih dalam dan memasuki dermis. Ketika obat
mencapai lapisan dermal yang kaya pembuluh darah, obat siap untuk terabsorpsi
memasuki sirkulasi sistemik (Allen dkk, 2013).
Penetrasi obat melintasi stratum korneum dapat terjadi karena adanya
proses difusi melalui 2 cara yaitu transepidermal (interselular dan transelular)
serta jalur transppendageal :
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
13
a. Absorpsi transpidermal
Penetrasi obat melalui jalur transpidermal merupakan jalur difusi
melalui stratum korneum yang terjadi melalui dua jalur, yaitu jalur
transelular yang berarti melalui protein di dalam sel dan melewati
daerah yang kaya akan lipid (Anwar, 2012). Kemudian terdapat jalur
interselular, dimana obat menembus lapisan kulit melalui ruang antar
sel dari kulit sehingga jalurnya menjadi berliku dan lebih panjang.
Untuk jalur ini lebih cenderung untuk obat yang bersifat lipofilik
karena akan larut dalam lemak yang terdapat di antara filamen (Lund,
1994).
b. Absorpsi transappendageal
Pada jalur ini obat masuk melalui folikel rambut dan kelenjar
keringat disebabkan karena adanya pori-pori di antaranya, sehingga
memungkinkan obat berpenetrasi (Anwar, 2012). Jalur ini kurang
potensial dalam permeasi obat karena luas permukaannya yang kecil
yakni hanya mencakup 0,1% area untuk penyerapannya pada kulit
(Toitou&William, 2007).
2.4.3. Faktor yang Mempengaruhi Absorpsi Perkutan
Tidak semua senyawa obat cocok untuk dihantarkan secara transdermal.
Faktor-faktor yang berperan dalam absorpsi perkutan diantaranya sifat fisika
kimia obat, meliputi berat molekul, kelarutan, koefisien partisi, dan kondisi kulit.
Meskipun pernyataan umum yang dapat berlaku, dan kondisi kulit sukar
digambarkan sebagian besar temuan penelitian dapat diringkas sebagai berikut :
(Allen dkk, 2014).
1. Konsentrasi obat merupakan faktor penting. Umumnya, jumlah obat
yang terabsorpsi scara perkutan pada setiap unit luas permukaan tiap
interval waktu meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi
obat dalam TDDS.
2. Semakin luas area pemakaian (semakin besar TDDS), semakin
banyak jumlah obat terabsorpsi.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
14
3. Obat harus memiliki gaya tarik fisikokimia yang lebih besar
terhadap kulit dibandingkan terhadap pembawa sehingga obat akan
meninggalkan pembawa menuju kulit pada prinsipnya, kelarutan
obat dalam air menentukan konsentrasi yang ada pada daerah
absorpsi dan koefisien partisi memengaruhi kecepatan transport obat
melintasi daerah absorpsi.
4. Obat dengan berat molekul antara 100-800 dan memiliki kelarutan
dalam lemak dan air dapat melintasi kulit. Berat molekul obat yang
ideal, untuk oenghantaran transdermal, yaitu 400 atau kurang.
5. Hidrasi kulit umumnya dapat membantu absorpsi perkutan. TDDS
bertindak sebagai barrier hilangnya kelembapan oklusif yang
mengakibatkan keringat tertahan sehingga meningkatkan hidrasi
kulit.
6. Absorpsi perkutan lebih besar ketika TDDS digunakan pada daerah
dengan lapisan tanduk yang lebih tipis dibandingkan pada daerah
dengan lapisan tanduk lebih tebal.
7. Secara umum, aplikasi obat yang lebih lama memungkinkan kontak
dengan kulit yang lebih lama sehingga total obat yang diabsrpsi
semakin besar.
8. Suhu dan pH sediaan, permeasi obat meningkat sepuluh kali lipat
dengan variasi suhu. Koefisien difusi menurun saat suhu turun.
Asam lemah dan basa lemah berdisosiasi bergantung pada nilai pH
dan pKa atau pKb. Jumlah obat yang tak terion menentukan
konsentrasi obat yang terpenetrasi ke dalam kulit (Kesarwarni,
2013).
9. pH kulit, permukaan kulit memiliki pH normal, yaitu sekitar 4,5-6,5 ,
bergantung usia, jenis kelamin, genetik dan area tubuh. pH
vehikulum dan pH kulit berperan penting dalam difusi obat, karena
akan memengaruhi kelarutan, drug partitioning, dan penetrasi.
Beberapa vehikulum terbaru telah dikembangkan untuk menjaga
stabilitas obat, sehingga efektifitasnya lebih baik (Aliska, 2015).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
15
2.5. Nanopartikel Kitosan
Secara umum nanopartikel didefinisikan sebagai partikel dengan ukuran
1-100 nm. Nanopartikel dapat terbuat baik dari polimer biodegradable maupun
no-biodegradable. Obat dapat diperangkap, dienkapsulasi, atau menempel pada
matrik nanopartikel (Mohanraj & Chen, 2006). Terdapat dua tipe nanopartikel
berdasarkan proses pembuatannya yaitu nanosphere dan nanocapsules.
Nanosphere memiliki sebuah tipe struktur monolitik (matriks) dimana obat
terdispersi atau terserap kedalam permukaannya. Nanokapsul memperlihatkan
sturuktur dinding membran dan obat-obat terperangkap dalam inti dan terserap ke
dalam bagian luarnya (Tiyaboonchai, 2003).
Nanopartikel bertujuan untuk mengatasi kelarutan zat aktif yang sukar
larut, memperbaiki bioavailabilitas yang buruk, memodifikasi sistem
penghantaran obat sehingga obat dapat langsung menuju daerah yang spesifik,
meningkatkan stabilitas zat aktif dari degradasi lingkungan (penguraian enzimatis,
oksidasi, hidrolisis), memperbaiki absorbsi suatu senyawa makromolekul, dan
mengurangi efek iritasi zat aktif pada saluran cerna (Mohanraj and Chen, 2006).
Sebagian besar nanopartikel dibuat dengan menggunakan polimer tidak
larut air yang melibatkan pemanasan, pelarut organik, gaya geser yang tinggi yang
dapat mengganggu stabilitas obat. Terlebih lagi metode pembuatan seperti
polimerisasi emulsi dan evaporasi pelarut merupakan metode yang kompleks dan
membutuhkan tahapan-tahapan preparasi yang banyak dan memakan waktu dan
tenaga. Sebaliknya, polimer larut air menawarkan metode preparasi yang lebih
ringan dan simpel tanpa menggunakan pelarut organik dan gaya geser yang tinggi.
Diantara polimer-polimer larut air yang tersedia, kitosan menjadi salah satu
yang paling sering diteliti. Hal ini dikarenakan kitosan memiliki beberapa sifat
yang sesuai sebagai polimer pembawa untuk nanopartikel seperti biokompatibel,
biodegradable, tidak toksik dan tidak mahal. Terlebih lagi, kitosan memiliki
muatan positif dan dapat meningkatkan efek penyerapan (Tiyaboonchai, 2003).
2.6. Kitosan
Kitosan, dengan nama kimia poli-β-(1,4)-2-amino-2-deoksi D-glukosa,
merupakan hasil dari deasetilasi parsial kitin dan merupakan polisakarida yang
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
16
terdiri dari kopolimer glukosamin dan N-asetilglukosamin. Kitosan terdapat
dalam berbagai derajat deasetilasi dan depolimerisasi sehingga tidak mudah untuk
menentukan komposisi kimianya. Derajat deasetilasi yang dibutuhkan untuk
memperoleh produk yang larut harus lebih besar dari 80 - 85%. Berat molekul
kitosan berkisar antara 10.000 - 1.000.000 (Rowe dkk, 2009). kitosan memiliki
struktur kimia seperti yang tertera pada gambar 2.5.
Gambar 2.5 Struktur Kimia Kitosan[Sumber: Rowe dkk, 2009]
Meskipun kitin tidak larut dalam banyak pelarut, kitosan larut dalam
berbagai pelarut asam organik pada pH kurang dari 6,5 termasuk format, asetat,
tartat, dan asam sitrat. Kitosan tidak larut dalam asam fosfor dan sulfur
(Tiyaboonchai, 2003). Kitosan agak sukar larut dalam air; praktis tidak larut
dalam etanol 95%, pelarut organik lain, dan larutan netral atau basa pada pH di
atas 6,5 (Rowe dkk, 2009). Kitosan memiliki berat molekul dan derajat deasetilasi
dalam rentang yang luas. Berat molekul dan derajat deasetilasi merupakan faktor
utama yang mempengaruhi ukuran partikel, bentuk partikel dan agregasi
(Tiyaboonchai, 2003). Kelarutan juga sangat dipengaruhi oleh penambahan garam
ke dalam larutan. Semakin besar kekuatan ionik, maka kelarutan semakin kecil
akibat dari pengaruh salting-out, yang menyebabkan pengendapan kitosan. Ketika
kitosan dalam larutan, gaya tolak antara unit deasetilasi dan unit glukosamin
didekatnya menyebabkan kitosan berada dalam konformasi memanjang.
Penambahan elektrolit menurunkan efek ini dan molekul memiliki konformasi
yang lebih acak seperti kumparan. Kitosan merupakan bahan yang tidak toksik
dan tidak iritan. Kitosan biokompatibel dengan kulit baik sehat maupun terinfeksi
serta bersifat biodegradabel. Berbentuk serbuk atau serpihan berwarna putih atau
krem tidak berbau (Rowe dkk, 2009).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
17
Pembentukan serat sering terjadi selama pengendapan dan dapat terlihat
‘cottonlike’. Kitosan merupakan poliamin kationik dengan kerapatan muatan yang
tinggi pada pH < 6,5, sehingga menempel pada permukaan yang bermuatan
negatif dan mengkelat ion logam. Kitosan juga merupakan polielektrolit linier
dengan gugus amin dan hidroksil yang reaktif (tersedia untuk reaksi kimia dan
pembentukan garam). Adanya sejumlah gugus amin membuat kitosan bereaksi
secara kimia dengan sistem anionik, yang menghasilkan perubahan sifat fisiko
kimia kombinasi ini. Hampir semua sifat fungsional kitosan bergantung pada
panjang rantai, kerapatan muatan, dan distribusi muatan (Rowe dkk,, 2009).
2.7. Metode Gelasi Ionik
Metode gelasi ionik melibatkan proses sambung silang antara
polielektrolit dengan adanya pasangan ion multivalennya. Pembentukan ikatan
sambung silang ini akan memperkuat kekuatan mekanis dari partikel yang
terbentuk. Contoh pasangan polimer yang dapat digunakan untuk gelasi ionik ini
antara lain kitosan dengan tripolifosfat dan kitosan dengan karboksimetilselulosa
(Swabrick (ed.) 2007). Pembentukan ikatan sambung silang ini akan memperkuat
kekuatan mekanis dari partikel yang terbentuk (Park and Yeo, 2007).
Prinsip pembentukan partikel padametode ini adalah terjadinya interaksi
ionik antara gugus amino pada kitosan yang bermuatan positif dengan polianion
yang bermuatan negatif membentuk struktur network inter- dan/atau intramolekul
tiga dimensi (Agnihotri dkk, 20004). Crosslinker polianion yang paling banyak
digunakan adalah sodium tripolifosfat, karena berifat tidak toksis dan memiliki
multivalen. Proses crosslinking secara fisika ini tidak hanya menghindari
penggunaan pelarut organik, namun juga mencegah kemungkinan rusaknya bahan
aktif yang akan dienkapsulasi dalamnanopartikel kitosan (FAN W dkk, 2012).
Pembentukan mikropartikel dengan metode gelasi ionik dapat dilakukan
dengan pengerasan tetesan cair yang didispersikan pada fase minyak atau organik.
Prosedur meliputi pencampuran dua fase cair, fase yang satu mengandung kitosan
dan fase yang satu mengandung anion multivalen (Mohanraj and Chen, 2006).
Pada metode gelasi ionik, kitosan dilarutkan dalam larutan asam encer
untuk memperoleh kation kitosan. Larutan tersebut kemudian ditambahkan
dengan meneteskan ke dalam larutan polianionik TPP sambil diaduk. Akibat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
18
kompleksasi antara muatan yang berbeda, kitosan mengalami gelasi ionik dan
presipitasi membentuk partikel bulat seperti bola. Dengan demikian, nanopartikel
dibentuk secara spontan akibat pengadukan mekanis pada suhu kamar. Ukuran
dan muatan permukaan partikel dapat dimodifikasi dengan memvariasi rasio
kitosan terhadap bahan penstabil (stabilizer) (Tiyaboonchai, 2003).
2.8. Natrium Tripolifosfat
Natrium tripolifosfat atau dengan nama lain pentasodium trifosfat atau
pentasodium tripolifosfat merupakan suatu serbuk atau granul berwarna putih
bersifat higroskopis yang mudah larut dalam air dan tidak larut dalam etanol,
memiliki pH 9,1-10,1 dengan rumus kimia Na5O10P3 dan struktur seperti pada
gambar 2.6 Tripolifosfat ada dalam bentuk garam natrium yang terdapat dalam
bentuk anhidrat maupun heksahidratnya (FAO, 2006).
Tripolifosfat dalam nanopartikel sambung silang multi ion digunakan
sebagai pasangan ion dari kitosan. Alasan penggunaan tripolifosfat antara lain
karena sifatnya sebagai anion multivalen yang dapat membentuk ikatan sambung
silang dengan kitosan. Penggunaan tripolifosfat sebagai salah satu pasangan ion
kitosan, hasil nanopartikel yang didapat lebih stabil dan memiliki karakter
penembusan membran yang lebih baik (Yu shin dkk, 2008). Natrium tripolifosfat
lebih sering digunakan dibandingkan crosslinker lain karena tidak bersifat toksik
(Mardliyati dkk, 2012).
Gambar 2.6 Struktur Natrium Tripolifosfat[Sumber : https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov]
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
19
2.9. Monografi
2.9.1. Tween 80
Tween 80 adalah Polioksietilen sorbitan ester asam lemak (polysorbate)
yang memiliki rumus molekulnya adalah C64H124O26 dan dengan struktur kimia
seperti pada gambar 2.7.
Tween 80 memiliki bau khas dan rasa yang hangat dan pahit. Pada suhu
25°C tween 80 berwarna kuning dan berbentuk cairan minyak. Larut dalam air
dan etanol, tidak larut dalam minyak mineral.. Tween stabil dengan elektrolit dan
pada asam dan basa lemah, akan terjadi saponifikasi jika bersama dengan asam
dan basa kuat. Tween 80 bersifat higroskopis dan harus disimpan dalam wadah
tertutup rapat, terlindung dari cahaya, di tempat yang kering dan sejuk. Kegunaan
Tween 80 antara lain sebagai: zat pembasah, emulgator, dan peningkat kelarutan
(Rowe dkk, 2009).
Gambar 2.7 Struktur Kimia Tween 80[Sumber : Rowe dkk, 2009]
2.9.2. Hidroksipropil Metilselulosa
Hidroksipropil Metilselulosa atau dikenal dengan nama lain seperti
HPMC, methocel, hypromellose, dan hypromellosum merupakan serbuk berserat
dan granul yang tidak berbau dan berasa, berwarna putih atau putih krem.
Bentuk selulosa murni diperoleh dari serat kapas atau bubur kayu,
direaksikan dengan larutan natrium hidroksida akan menghasilkan alkali selulosa
yang mengembang yang secara kimiawi lebih reaktif daripada selulosa murni.
Alkali selulosa kemudian diolah dengan klorometana dan propilen oksida untuk
menghasilkan metil hidroksipropil eter selulosa. HPMC dapat direaksikan dengan
hidrogen klorida anhidrat untuk memicu terjadinya depolimerisasi, sehingga
menghasilkan nilai viskositas rendah.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
20
HPMC tersedia dalam beberapa jenis yang bervariasi dalam viskositas dan
tingkat substitusi. Jenis-jenisnya dibedakan dengan adanya penambahan angka
yang menunjukkan nilai viskositas, dalam mPa, dari 2% w/w larutan air pada suhu
20°C. Dalam larutan air 2% w/w HPMC memiliki rentang pH sebesar 5,0 - 8,0.
HPMC berubah kecoklatan pada suhu 190 - 200°C, dan menjadi abu pada
suhu 225 - 230°C. Temperature glass transition dari HPMC adalah pada suhu 170
- 180°C. HPMC tidak bercampur dengan beberapa pengoksidasi kuat. HPMC
merupakan polimer nonionik, sehingga tidak membentuk kompleks dengan garam
logam atau ion organik dan membentuk endapan yang tidak terlarut (Rowe dkk,
2009). Larutan HPMC stabil pada pH 3 - 11. HPMC mengalami perubahan yang
reversibel (dapat kembali) dari bentuk padatan ke bentuk gel dengan pemanasan
dan pendinginan secara berturut turut. HPMC digunakan sebagai bahan bioadesif,
pembentuk film, zat penyalut, zat pengontrol pelepasan obat, agen pendispersi,
peningkat disolusi, emulgator, stabilizer emulsi, zat peningkat viskositas, pengikat,
mukoadesif dan agen peningkat kelarutan (Rowe dkk, 2009).
Gambar 2.8 Struktur Kimia HPMC[Sumber : Rowe dkk, 2009]
HPMC larut dalam air dingin, dan membentuk larutan koloid kental, praktis
tidak larut dalam air panas, kloroform, etanol 95% dan eter, tetapi dapat larut
dalam campuran etanol dan diklormetan, campuran metanol dan diklormetan serta
larutan air dan alkohol. Beberapa kelas dari HPMC larut dalam larutan aseton,
campuran aseton dan propan-2-ol dan pelarut organik lainnya. Beberapa dapat
mengembang dalam etanol.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
21
2.9.3. Propilen Glikol
Propilen glikol atau 1,2-Dihydroxypropane; E1520; 2-hydroxypropanol;
methyl ethylene glycol; methyl glycol; propane-1,2-diol; propylenglycolum
merupakan cairan jernih, tidak berwarna, kental, praktis tidak berbau, dengan rasa
manis, sedikit tajam menyerupai gliserin. Selain itu, propilen glikol memiliki
rumus molekul C3H8O2 dengan struktur kimia seperti pada gambar 2.9.
Gambar 2.9 Struktur Kimia Propilen Glikol[Sumber : Rowe dkk, 2009]
Propilen glikol memiliki fungsi sebagai pengawet antimikroba;
desinfektan; humektan; plasticizer; pelarut; stabilizing agent; water-miscible
cosolvent. Dalam penggunaan topikal sebagai humektan konsentrasi propilen
glikol yang digunakan sebesar 15% sedangkan konsentrasi propilen glikol sebagai
pelarut atau kosolven sebesar 5-80%.
Propilen glikol memiliki titik didih sebesar 188°C dan titik leleh sebesar
-59°C. Propilen glikol akan larut dalam aseton, kloroform, etanol (95%), gliserin,
dan air, larut dalam 1:6 eter, tidak larur dalam minyak mineral atau minyak jenuh,
tetapi akan larut dalam beberapa minyak esensial.
Pada suhu dingin, propilen glikol stabil dalam wadah tetutup rapat, tetapi
suhu tinggi, dalam keadaan terbuka, propilen glikol cenderung teroksidasi,
menghasilkan produk seperti propionaldehid, asam laktat, asam piruvat, dan asam
asetat. Propilen glikol secara kimia stabil ketika dicampur dengan etanol (95%),
gliserin, atau air. Propilen glikol inkompatibel dengan reagen pengoksidasi seperti
kalium permanganat.
2.9.4. Metil Paraben
Metil paraben atau metil parahidroksi benzoat; metil hidroksi benzoat;
metil-4-hidroksi benzoat; atau juga dikenal dengan nama nipagin M merupakan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
22
pengawet antimikroba dengan rumus molekul C8H8O3 dan struktur kimia seperti
pada gambar 2.10.
Metil paraben digunakan secara luas sebagai pengawet antimikroba dalam
produk kosmetik, produk makanan, dan formulasi farmasetik. Biasa digunakan
baik sendiri maupun dikombinasikan dengan paraben lain atau agen pengawet
antimikroba lainnya.
Pemerian metil paraben yaitu serbuk kristal tidak berwarna atau berwarna
putih, tidak berbau atau hampir tidak berbau dan memiliki rasa sedikit membakar.
Memiliki titik leleh pada suhu 125-128°C, larut dalam 1:400 air pada suhu ruang,
1:50 air pada suhu 50°C, 1:30 air pada suhu 80°C. selain itu metil paraben juga
larut dalam 1:3 etanol 95% dan dalam 1:5 propilen glikol.
Aktivitas antimikrobanya bekerja pada pH 4-8 dan lebih aktif terhadap
kapang dan kamir dibandingkan terhadap bakteri. Selain itu paraben juga lebih
aktif melawan bakteri gram-positif dibanding melawan bakteri gram-negatif.
Selain itu aktivitasnya juga dapat ditingkatkan dengan adanya penambahan
propilen glikol (2-5%).
Gambar 2.10 Struktur Kimia Metil Paraben[Sumber : Rowe dkk, 2009]
2.9.5. Propil Paraben
Propil paraben atau propil parahidroksi benzoat; propil hidroksi benzoat;
propil-4-hidroksi benzoat; atau juga dikenal dengan nama Nipasol M merupakan
pengawet antimikroba dengan rumus molekul C10H12O3 dan struktur kimia seperti
pada gambar 2.11.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
23
Gambar 2.11 Struktur Kimia Propil Paraben[Sumber : Rowe dkk, 2009]
Propil paraben merupakan serbuk kristal, berwarna putih, tidak berbau
dan berasa. Memiliki titik didih pada suhu 295°C. Propil paraben mudah larut
dalam aseton, dan eter, larut dalam 1:1,1 bagian etanol 95%, larut dalam beberapa
bagian air pada suhu tertentu seperti, 1:4350 pada suhu 15°C, 1:2500 pada suhu
ruang, dan 1:225 pada suhu 80°C.
Sama halnya seperti metil paraben aktivitas antimikroba propil paraben
bekerja pada pH 4-8 dan lebih aktif terhadap kapang dan kamir dibandingkan
terhadap bakteri. Selain itu paraben juga lebih aktif melawan bakteri gram-positif
dibanding melawan bakteri gram-negatif. Aktivitasnya dapat ditingkatkan dengan
mengkombinasikan paraben lain.
2.9.6. Triethanolamine (TEA)
Triethanolamine atau TEA; Tealan; triethylolamine;
trihydroxytriethylamine; tris (hydroxyethyl)amine; trolaminum memiliki rumus
molekul C6H15NO3 dengan struktur seperti pada gambar 2.12.
Gambar 2.12 Struktur Kimia TEA[Sumber : Rowe dkk, 2009]
TEA memiliki pemerian berupa cairan kental yang jernih, tidak berwarna
sampai berwarna kuning pucat dengan sedikit aroma amoniak. Dengan pH 10,5
TEA dapat digunakan sebagai alkalizing agent dan juga seringkali digunakan
sebagai emulsifying agent pada sediaan topikal. TEA larut dalam beberapa pelarut
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
24
seperti aseton, metanol, dan air. Stabilitasnya dapat dipengaruhi oleh paparan
cahaya dan juga udara, TEA dapat berubah warna menjadi coklat dengan adanya
paparan cahaya dan juga udara (Rowe dkk, 2009).
.
2.10. Uji Penetrasi
Studi penetrasi kulit in vitro dilakukan untuk mengukur kecepatan dan
jumlah komponen yang melewati kulit dan jumlah komponen yang tertahan pada
kulit. Dengan pengambilan secara manual dari cairan sampel, franz static
diffusion cell system, yang memiliki area kulit yang luas dan kompartemen
reseptor statik merupakan pilihan yang cocok dalam karakterisasi penetrasi dan
deposisi obat dalam kulit dari formulasi yang memiliki tingkat permeasi yang
rendah. Alat franz diffusion cell dapat dilihat pada gambar 2.10. Alat ini terbagi
atas dua komponen, yaitu kompartemen donor dan kompartemen reseptor.
Membran yang digunakan dapat berupa kulit manusia, kulit hewan maupun kulit
sintetis. Membran diletakkan di antara kompartemen donor dan kompartemen
reseptor. Setelah pengaplikasian formulasi uji pada membran yang dipasangkan
pada sel difusi franz, cairan dalam kompartemen reseptor disampling dalam
interval waktu yang ditentukan untuk kemudian dianalisa kandungannya (Witt,
2003).
Kompartemen reseptor diisi dengan larutan penerima, biasanya digunakan
dapar fosfat. Suhu sel dijaga dengan sirkulasi air menggunakan water jacket
disekeliling kompartemen reseptor. Sediaan yang akan diuji diaplikasikan pada
membran kulit. Pada interval waktu tertentu diambil beberapa mililiter cairan dari
kompartemen reseptor dan jumlah obat yang terpenetrasi melalui kulit dapat
dianalisis dengan metode yang sesuai. Setiap pengambilan sampel cairan dari
kompartemen reseptor, harus selalu digantikan dengan cairan yang sama sejumlah
volume terambil (Anggraeni, 2008).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
25
Gambar 2.13 Sel Difusi Franz[Sumber :http://permegear.com]
2.11. Spektrofotometer UV Visibel
2.11.1. Teori Spektrofotometri
Spektrofotometri Sinar Tampak (UV-Vis) adalah pengukuran energi
cahaya oleh suatu sistem kimia pada panjang gelombang tertentu (Day, 2002).
Spektrofotometer yang sesuai untuk pengukuran di daerah spektrum ultraviolet
dan sinar tampak terdiri atas suatu sistem optik dengan kemampuan menghasilkan
sinar monokromatis dalam jangkauan panjang gelombang 200-800 nm (Gandjar
dan Rohman, 2007).
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam analisis dengan
spektrofotometri ultraviolet yaitu (Gandjar dan Rohman, 2007) :
1. Penentuan panjang gelombang serapan maksimum
Panjang gelombang yang digunakan untuk analisis kuantitatif
adalah panjang gelombang dimana terjadi absorbansi maksimum.
Untuk memperoleh panjang gelombang serapan maksimum dapat
diperoleh dengan membuat kurva hubungan antara absorbansi dengan
panjang gelombang dari suatu larutan baku dengan konsentrasi
tertentu.
2. Pembuatan kurva kalibrasi
Dilakukan dengan membuat seri larutan baku dalam berbagai
konsentrasi kemudian asorbansi tiap konsentrasi diukur lalu dibuat
kurva yang merupakan hubungan antara absorbansi dengan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
26
konsentrasi. Kurva kalibrasi yang lurus menandakan bahwa hukum
Lambert-Beer terpenuhi.
3. Pembacaan absorbansi sampel
Absorbansi yang terbaca pada spektrofotometer hendaknya antara
0,2 sampai 0,8 atau 15% sampai 70% jika dibaca sebagai transmitan.
Hal ini disebabkan karena pada kisaran nilai absorbansi tersebut
kesalahan fotometrik yang terjadi adalah paling minimal.
2.11.2. Komponen Spektrofotometri UV-Vis (Gandjar dan Rohman, 2007)
Suatu diagram sederhana spektrofotometer UV-Vis ditunjukkan dalam
gambar 2.13 dengan komponen-komponennya meliputi sumber-sumber sinar,
monokromator, dan sistem optik.
1. Sumber-sumber lampu
Lampu deuterium digunakan untuk daerah UV pada panjang
gelombang dari 190-350 nm, sementara lampu halogen kuarsa atau
lampu tungsten digunakan untuk daerah visibel (pada panjang
gelombang antara 350-900 nm).
2. Monokromator
Digunakan untuk mendispersikan sinar ke dalam
komponen-komponen panjang gelombangnya yang selanjtunya akan
dipilih oleh celah (slit). monokromator berputar sedemikian rupa
sehingga kisaran panjang gelombang dilewatkan pada sampel
sebagai scan instrumen melewati spektrum.
3. Optik-optik
Dapat didesain untuk memecah sumber sinar sehingga sumber
sinar melewati 2 kompartemen, dan sebagaimana dalam
spektrofotometer berkas ganda (double beam), suatu larutan blanko
dapat digunakan dalam satu kompartemen untuk mengkoreksi
pembacaan atau spektrum sampel. Yang paling sering digunakan
sebagai blanko dalam spektrofotometri adalah semua pelarut yang
digunakan untuk melarutkan sampel atau pereaksi.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
27
2.11.3. Validasi Metode Analisa
Validasi adalah konfirmasi melalui bukti-bukti pemeriksaan dan telah
sesuai dengan tujuan pengujian. Validasi metode analisis adalah suatu tindakan
penilaian terhadap parameter tertentu berdasarkan percobaan dari laboratorium
untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk
penggunaannya (Harmita, 2004).
Dalam validasi metode analisis, terdapat beberapa parameter analisis yang
harus dipertimbangkan antara lain meliputi ketepatan (akurasi), ketelitian (presisi),
spesifitas, linearitas, batas deteksi, batas kuantisasi, ketangguhan dan rentang.
Proses ini bukan suatu proses tunggal, namun merupakan salah satu bagian dari
prosedur analisis yang tidak dapat dipisahkan.
LOD adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat dideteksi
yang masih memberikan respon signifikan dibandingkan dengan blangko. LOD
merupakan parameter yang dapat dipengaruhi oleh perubahan kecil dalam sistem
analitis (misalnya suhu, kemurnian reagen, efek matriks, kondisi berperan). Oleh
karena itu, penting bahwa parameter ini selalu dilakukan oleh laboratorium dalam
memvalidasi metode. Batas kuantitasi merupakan konsentrasi terendah analit
dalam sampel yang dapat ditentukan dengan presisi dan akurasi yang dapat
diterima dibawah kondisi yang disepakati. Limit deteksi dan limit kuantisasi tidak
dapat dipisahkan karena diantara keduanya terdapat hubungan yang sangat kuat.
Secara praktis cara evaluasi keduanya dapat dikatakan tidak ada perbedaan yang
signifikan. Perbedaan di antara keduanya hanya pada sifat kuantitatif data yang
diperoleh (Riyanto, 2014).
Terdapat tiga cara dalam menentukan LOD dan LOQ, yaitu
signal-to-noise, penentuan blanko dan dengan kurva kalibrasi. Untuk kurva
kalibrasi linear, diasumsikan bahwa respon instrumen y berhubungan linier
dengan konsentrasi x standar untuk rentang yang terbatas konsentrasi. Hal ini
dapat dinyatakan dalam model seperti y = bx + a. Oleh karena itu LOD dan LOQ
dapat dinyatakan sebagai (Riyanto, 2014) :
LOD = 3 Sa/b
LOQ = 10 Sa/b
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
28
Keterangan :
Sa adalah standar deviasi dan b slope.
2.12. Stabilitas Gel
Stabilitas didefinisikan sebagai kemampuan suatu produk untuk bertahan
kualitasnya sesuai spesifikasi kualitas yang ditetapkan sepanjang periode waktu
penggunaan dan atau penyimpanan. Uji stabilitas dilakukan untuk menjamin
identitas, kekuatan, kualitas, dan kemurnian produk yang telah diluluskan dan
beredar di pasaran, sehingga aman digunakan oleh konsumen. Berdasarkan hasil
uji stabilitas dapat diketahui pengaruh faktor lingkungan seperti suhu dan
kelembaban terhadap parameter–parameter stabilitas produk seperti kadar zat aktif,
pH, berat jenis, bau, warna, dan lainnya sehingga dapat ditetapkan tanggal
kadaluarsa yang sebenarnya. Untuk sediaan obat dan kosmetik stabilitas lebih
ditujukan pada kemampuan produk tersebut untuk mempertahankan sifat dan
karakteristik khasiat/terapi agar sama dengan yang dimilikinya pada saat dibuat
hingga batasan yang ditetapkan sepanjang periode penyimpanan dan penggunaan
(shelf-life) (Martin A & Swarbrick J, 2008; Lachman, 1994; Depkes RI, 2005).
Untuk memperoleh nilai kestabilan suatu sediaan farmasetika atau
kosmetik dalam waktu yang singkat, maka dapat dilakukan uji stabilitas
dipercepat. Pengujian ini dimaksudkan untuk mendapatkan informasi yang
diinginkan pada waktu sesingkat mungkin dengan cara menyimpan sampel pada
kondisi yang dirancang untuk mempercepat terjadinya perubahan yang biasanya
terjadi pada kondisi normal. Jika hasil pengujian suatu sediaan pada uji dipercepat
selama 3 bulan diperoleh hasil yang stabil, hal itu menunjukkan bahwa sediaan
tersebut stabil pada penyimpanan suhu kamar selama setahun, pengujian yang
dilakukan pada uji dipercepat antara lain (Djajadisastra, 2004) :
a. Elevated Temperature
Setiap kenaikan suhu 10°C akan mempercepat reaksi 2 sampai 3
kalinya, namun secara praktis cara ini agak terbatas karena
kenyataannya suhu yang jauh di atas normal akan menyebabkan
perubahan yang tidak pernah terjadi pada suhu normal.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
29
b. Elevated Humidities
Umumnya uji ini dilakukan untuk menguji kemasan produk.
Jika terjadi perubahan pada produk dalam kemasan karena pengaruh
kelembaban, maka hal ini menandakan bahwa kemasannya tidak
memberikan perlindungan yang cukup terhadap atmosfer.
c. Cycling Test
Cycling test merupakan pengujian menggunakan perubahan
suhu dan atau kelembaban pada interval waktu tertentu sehingga
produk dan kemasannya mengalami tekanan yang bervariasi
daripada tekanan konstan yang kadangkala lebih parah daripada
penyimpanan pada satu kondisi saja (Ken, 2000).
Adapun beberapa pengujian stabilitas fisik sediaan gel yaitu:
1. Viskositas
Viskositas gel memiliki peranan penting dalam mengontrol
permeasi suatu obat. Secara umum viskositas sediaan gel
menggambarkan konsistensi sediaan gel itu sendiri (Dantas dkk,
2016). Secara umum kenaikan viskositas dapat meningkatkan
kestabilan sediaan (berdasarkan Hukum Stokes) (Manian, Anusuya,
& Siddhuraju, 2008)
2. Pengukuran pH
Pengukuran pH gel dilakukan untuk mengetahui pH gel, apakah
sesuai dengan pH kulit yaitu antara 4,5-6,5 karena jika gel memiliki
pH yang terlalu basa maka dapat menyebabkan kulit menjadi bersisik,
sedangkan jika pH terlalu asam maka akan menimbulkan iritasi kulit
(Djajadisastra, 2004).
3. Uji daya sebar
Efek terapeutik suatu sediaan gel bergantung pada kemampuan
penyebarannya. Penyebaran gel membantu dalam keseragaman
pengaplikasian dari gel terhadap kulit sehingga gel harus memiliki
daya sebar yang baik dan memiliki kualitas yang sesuai dengan
sediaan topikal (Dantas dkk, 2016).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
30
4. Homogenitas
Pemeriksaan homogenitas dilakukan dengan menggunakan dua
kaca objek. Cara pengujiannya sebagai berikut, sejumlah tertentu
sediaan dioleskan pada sekeping kaca objek dan kemudian kaca
objek yang lainnya ditempelkan pada kaca objek yang sudah diolesi
sediaan. Suatu sediaan harus menunjukkan susunan yang homogen
dan tidak terlihat adanya butiran kasar (Depkes RI, 1979)
5. Uji Mekanik (Sentrifugasi)
Uji sentrifugasi dilakukan dengan menggunakan sentrifugator
bertujuan untuk melihat adanya pemisahan fase dan mengetahui
stabilitas penyimpanan sediaan selama satu tahun oleh pengaruh
gaya gravitasi (Nisa dkk, 2017; Mitsui T, 1998).
31 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan ± 6 bulan, terhitung dari bulan Januari – Juni tahun
2018 yang dilaksanakan di Laboratorium Penelitian 2, Laboratorium Steril, dan
Laboratorium Kimia Obat FIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.2. Bahan Penelitian
Glukosamin HCl (Nutraceutical International, USA), kitosan (PT. Biotek
Surindo), natrium tripolifosfat (WAKO), hidroksipropilmetil selulosa/HPMC
60SH50, asam asetat, natrium asetat (Merck), dietil eter (Merck), metil paraben
(Bratachem), propil paraben (Bratachem), dapar fosfat 7,4, propilenglikol
(Bratachem), TEA (Brataco), aquadest, tissue, aluminium foil, dan plastic wrap.
3.3. Alat Penelitian
Timbangan analitik (AND GH-120), viskotester Haake 6+, pengaduk
magnetik, pH meter (Horiba F-52), spektrofotometri UV-Vis (U- 2900, Hitachi),
overhead stirrer, oven, refrigerator, centrifuge (5417, Appendorf), Franz
Diffusion Cell, buret (50 ml, Pyrex), vial dan alat-alat gelas yang sering dipakai di
laboratorium.
3.4. Prosedur Kerja
3.4.1. Preparasi Nanopartikel Glukosamin HCl
Nanopartikel glukosamin HCl dibuat dengan cara melarutkan 1 g
glukosamin HCl dan 0,25 g Tween 80 ke dalam 40 ml larutan kitosan 0,5%
dalam larutan asam asetat 1%. Sebanyak 10 ml larutan Na-TPP 0,1% diteteskan
ke dalam larutan kitosan untuk dilakukan sambung silang sambil diaduk
menggunakan bantuan pengaduk magnetik hingga terbentuk dispersi nanopartikel.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
32
3.4.2. Preparasi Sediaan Gel Nanopartikel Glukosamin HCl
Gel Nanopartikel glukosamin HCl dibuat dalam 2 formula seperti yang
tertera dalam Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Formula Gel Glukosamin HCl
Keterangan: DNPG = dispersi nanopartikel glukosamin, berisi 1 g glukosamin HCl
1) Nipagin dan nipasol dicampur dengan propilen glikol dan dipanaskan
dalam penangas air dengan suhu 60°C sampai larut, kemudian
didinginkan sampai suhu kamar (M1).
2) HPMC didispersikan ke dalam air menggunakan overhead stirrer
dengan kecepatan 270 rpm sampai homogen (M2).
3) M1 ditambahkan ke dalam M2 dengan menggunakan overhead stirrer
hingga homogen (M3).
4) Dispersi nanopartikel ditambahkan ke dalam M3 sampai terbentuk
massa gel yang homogen.
5) Ditambahkan larutan pengatur pH (TEA) hingga diperoleh pH yang
diinginkan.
6) Kemudian diaduk secara perlahan sampai terbentuk massa gel yang
homogen.
3.4.3. Validasi Metode Analisa Derivatisasi Glukosamin HCl (Gaonkar dkk, 2006;
Riyanto, 2014)
a) Pembuatan Standar Glukosamin
Sebanyak 100 mg glukosamin HCl standar dilarutkan dalam 100
ml natrium asetat 0,10 M dan didiamkan selama ± 24 jam sehingga
diperoleh konsentrasi akhir glukosamin HCl sebesar 1000 mg/L.
BAHAN FORMULAF1 F2
DNPG 50 ml 50 mlHPMC 4 g 4 gPropilen Glikol 10 g 10 gNipagin 0,18 g 0,18 gNipasol 0,02 g 0,02 gTEA qs ad pH 5 qs ad pH 6Aquadest Add 100 g Add 100 g
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
33
b) Pembuatan Standar Phenyl Thiourea (PTH)
Standar phenyl thiourea (PTH) diperoleh dari derivatisasi
glukosamin HCl standar dengan phenyl isothiocyanate (PITC).
Sebanyak 4 ml larutan glukosamin HCl standar dimasukkan ke dalam
labu volumetrik 25 ml dan ditambahkan 0,4 mL PITC dan 15 ml
metanol, kemudian ditambahkan dengan metanol : air (3:2) sampai
tanda batas. Sebanyak 10 ml diambil dan dimasukkan ke dalam tabung
reaksi lalu dipanaskan selama 20 menit di atas penangas air, kemudian
didinginkan dan volume dicukupkan hingga 10 ml dengan aquadest.
Larutan tersebut kemudian diekstraksi sebanyak 2 kali menggunakan
15 ml dietil eter untuk menghilangkan PITC yang tidak bereaksi, dan
bagian larutan yang mengandung PTH hasil derivatisasi glukosamin
HCl diambil.
c) Pemilihan Panjang Gelombang Maksimum
Pemilihan panjang gelombang (λ) dilakukan dengan menggunakan
larutan glukosamin HCl standar, larutan PITC, dan larutan PTH hasil
derivatisasi glukosamin HCl dengan PITC lalu dilakukan scanning
menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada rentang panjang
gelombang (λ) 200 - 400 nm.
d) Pembuatan Kurva Standar Glukosamin
Dibuat seri konsentrasi larutan standar phenyl thiourea
menggunakan aquadest dengan konsentrasi 2, 4, 6, 8, dan 10 mg/L
kemudian diukur absorbansinya dengan spektrometri UV-Vis pada
panjang gelombang maksimum. Kemudian nilai absorbansi tersebut
diplot terhadap konsentrasi untuk mendapatkan kurva standar dan
persamaan garis yang menunjukkan hubungan antara absorbansi
dengan konsentrasi glukosamin.
e) Uji Batas Deteksi dan Batas Kuantisasi (LOD dan LOQ)
LOD dan LOQ dihitung berdasarkan metode kurva kalibrasi,
dimana untuk kurva kalibrasi linier diasumsikan bahwa respon
instrumen y berhubungan linier dengan konsentrasi x standar untuk
rentang yang terbatas konsentrasi. Hal ini dapat dinyatakan dalam
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
34
model seperti y = bx + a, sehingga LOD dan LOQ dapat dinyatakan
sebagai berikut (Riyanto, 2014) :
Keterangan :
Sa : Standar deviasi
b : Slope
Di mana, Sa ditentukan dengan :
3.4.4. Uji Stabilitas Fisik Gel
1) Cycling Test
Sediaan gel sebanyak 10 gram disimpan pada suhu 4°C
selama 24 jam, kemudian dipindahkan ke dalam oven yang
bersuhu 40 ± 2°C selama 24 jam (satu siklus). Uji dilakukan
sebanyak 6 siklus, kemudian diamati apakah terjadi perubahan
secara organoleptik (Nisa dkk, 2017).
2) Uji Mekanik (Sentrifugasi) (Nisa dkk, 2017; Mahmood, 2013)
Sediaan gel sebanyak 1 gram disentrifugasi menggunakan
sentrifugator dengan kecepatan 10000 rpm selama 30 menit pada
suhu ruang pada waktu ke- 24 jam, 48 jam, 7 hari, dan 14 hari.
Kemudian diamati apakah terjadi pemisahan fase.
3) Uji Stabilitas pada Suhu Tinggi (40 ± 2°C) dan Suhu Kamar
(27 ± 2°C)
Sediaan gel sebanyak 100 gram masing-masing disimpan pada
suhu tinggi (40 ± 2°C) dan pada suhu ruang (27± 2°C) selama 8
minggu, kemudian dilakukan pengamatan organoleptis,
pemeriksaan homogenitas, pengukuran pH, pengukuran viskositas
dan rheologi, pengukuran fluks dan jumlah kumulatif zat
(3.1)
(3.2)
(3.3)
bSaLOD 3
bSaLOQ = 10
2
2
n
yi)(ySa
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
35
terpenetrasi per luas area. Uji dilakukan pada minggu ke-0, 2, 4,
dan 8.
3.4.5. Parameter Uji Stabilitas
a) Pemeriksaan Organoleptis
Pemeriksaan organoleptik dilakukan dengan mengamati
penampilan fisik sediaan, meliputi bentuk, warna, kekentalan, dan
bau (Depkes RI, 2014).
b) Pemeriksaan Homogenitas
Pemeriksaan homogenitas dilakukan dengan menggunakan dua
kaca objek. Cara pengujiannya sebagai berikut, sejumlah tertentu
sediaan dioleskan pada sekeping kaca objek dan kemudian kaca
objek yang lainnya ditempelkan pada kaca objek yang sudah diolesi
sediaan. Suatu sediaan harus menunjukkan susunan yang homogen
dan tidak terlihat adanya butiran kasar (Depkes RI, 1979).
Pemeriksaan homogenitas dilakukan pengulangan tiga kali.
c) Pengukuran pH
Pengukuran pH dilakukan menggunakan pH meter. pH meter
sebelumnya dikalibrasi dengan menggunakan larutan dapar
standar pH 4, pH 7, dan pH 9. Pada saat pengukuran pH, elektroda
pada pH meter dicelupkan ke dalam sediaan yang dibuat dan
dicatat nilai pH yang tertera pada layar (Depkes RI, 2014).
d) Pengukuran Viskositas dan Rheologi
Viskositas dan rheologi sediaan diukur menggunakan
viskometer Haake 6+. Sebanyak 200 g sediaan diukur viskositas
dan rheologi dengan menggunakan spindel nomor 3 pada
kecepatan 2, 3, 4, 5, 6, 10, 12, 20, 30, 50, 60, dan 100 rpm,
kemudian kembali lagi dengan kecepatan 60, 50, 30, 20, 12, 10, 6,
5, 4 dan 2 rpm. Setelah itu dibuat kurva rheogram untuk
mengetahui sifat alir sediaan antara % Torque (sb. x) dan rpm (sb.
y).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
36
e) Uji Penetrasi
Uji penetrasi ini dilakukan dengan menggunakan metode Franz
Diffusion Cells dengan kulit tikus sebagai membran. Tikus yang
digunakan adalah tikus betina galur Sparague Dawley berumur 2-3
bulan dengan berat ± 150-200 g. Tikus betina memiliki kulit yang
lebih tipis dibandingkan dengan kulit tikus jantan, di mana kulit
tikus jantan 40% lebih tebal dibandingkan kulit tikus betina. Tikus
yang telah dicukur bulunya memiliki permeabilitas yang mendekati
dengan permeabilitas kulit manusia dan lebih elastis sehingga
mempermudah penggunaannya ketika diletakkan pada sel difusi
franz (Dao dkk, 2007). Kulit yang digunakan adalah kulit pada
bagian abdomen. Tikus dibius dengan eter hingga mati dan bulu
tikus pada bagian abdominal dicukur secara hati-hati menggunakan
pisau cukur. Kemudian kulit tikus pada bagian abdominal disayat
dan lemak-lemak pada bagian subkutan yang menempel
dibersihkan secara hati-hati, hasil sayatan kulit yang sudah bersih
dari lemak direndam di dalam larutan medium yaitu dapar fosfat
pH 7,4.
Membran ini dipasangkan di antara kompartemen donor dan
kompartemen reseptor. Bagian stratum korneum (luar) menghadap
ke bagian atas (kompartemen donor). Medium reseptor yang
digunakan adalah dapar fosfat pH 7,4. Kompartemen reseptor
dikelilingi oleh water jacket untuk menjaga pada suhu 37°C. Cairan
reseptor diaduk menggunakan magnetic stirrer dengan kecepatan
500 rpm. Sampling dilakukan dengan mengambil 1 ml dalam
interval waktu tertentu. Setiap setelah melakukan sampling,
ditambahkan medium reseptor yang baru dengan volume dan
temperatur yang sama untuk menjaga agar volume tetap konstan.
Jumlah yang diaplikasikan untuk gel transdermal nanopartikel
glukosamin HCL sebanyak 300 mg gel. Kemudian dari
hasil sampling dihitung kadar glukosamin menggunakan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
37
spektrofotometer UV-Vis. Fluks dan jumlah kumulatif zat
terpenetrasi dihitung per luas area.
1) Perhitungan Jumlah Kumulatif dan Kecepatan Penetrasi
Zat Aktif
Jumlah kumulatif glukosamin HCl yang terpenetrasi per
luas area difusi (μg/cm2) dihitung dengan rumus (Thakker &
Chern, 2003) :
Keterangan :
Q : Jumlah kumulatif yang terpenetrasi per luas area (μg/cm2)
Cn : Konsentrasi terpenetrasi pada menit ke-n
V : Volume sel difusi (21ml)
1
1
n
iC : Jumlah konsentrasi zat pada sampling pertama (menit ke-10)
hingga sebelum menit ke-n
S : Volume sampling = 1 ml
A : Luas area membran = 3,14 cm2
Kecepatan penetrasi tiap satuan waktu (fluks)
glukosamin HCl dihitung dengan rumus :
Keterangan :
J : Fluks (μg cm-2 jam-1)
S : Luas area difusi (cm2)
M : Jumlah kumulatif zat yang melalui membran (μg)
T : waktu (jam)
Selanjutnya dibuat grafik jumlah kumulatif glukosamin
yang terpenetrasi per luas area difusi terhadap waktu dan
grafik fluks terhadap jam.
2) Analisis Kadar Glukosamin
Masing-masing sampel yang telah disimpan pada suhu
tinggi (40 ± 2°C) dan suhu kamar (27 ± 2°C) diambil
sebanyak 4 ml dan dimasukkan ke dalam labu volumetrik 25
ml kemudian ditambahkan 0,4 ml PITC dan 15 ml metanol,
(3.4)
(3.5)
ASCCnV
Qn
i
1
1.
tQ
sxtMJ
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
38
lalu ditambahkan dengan metanol : air (3:2) sampai tanda
batas. Sebanyak 10 ml diambil dan dimasukkan ke dalam
tabung reaksi lalu dipanaskan selama 20 menit di atas
penangas air, kemudian didinginkan dan volume dicukupkan
hingga 10 ml dengan aquadest. Larutan tersebut kemudian
diekstraksi sebanyak 2 kali menggunakan 15 ml dietil eter
untuk menghilangkan PITC yang tidak bereaksi, dan bagian
larutan yang mengandung PTH hasil derivatisasi glukosamin
HCl diambil. Absorbansinya diukur dengan spektrofotometer
UV-Vis pada panjang gelombang 240 nm. Hasil absorbansi
yang diperoleh kemudian dimasukkan dalam persamaan
regresi linear dari kurva standar glukosamin HCl dan
diperoleh konsentrasi sampel glukosamin HCl (Gaonkar,
2006).
3.4.6. Analisis Data
Data hasil uji penetrasi yang didapat adalah berupa data fluks dan
jumlah kumulatif zat yang terpenetrasi setelah penyimpanan selama 8 minggu
pada suhu tinggi (40 ± 2°C) dan pada suhu ruang (27 ± 2°C). Analisis data
dilanjutkan dengan analisis statistik yaitu uji parametrik, jika syarat
normalitas dan variasi data terpenuhi, untuk melihat adanya pengaruh lama
waktu penyimpanan terhadap data fluks dan jumlah kumulatif zat yang
terpenetrasi.
Uji parametrik dilakukan dengan One Way Analysis of Variance
(ANOVA) dan post hoc test. Di mana variabel terikat pada analisis ini adalah
masing-masing nilai dari jumlah kumulatif zat yang terpenetrasi dan juga
fluks. Sedangkan variabel bebas yang digunakan adalah waktu penyimpanan
sediaan gel glukosamin HCl. Data yang didapat pada minggu ke-0 menjadi
parameter pembanding untuk data-data pada minggu-minggu selanjutnya.
39 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Preparasi Nanopartikel Glukosamin HCl
Dalam penelitian ini tahap pertama yang dilakukan adalah preparasi
nanopartikel Glukosamin HCl. Pada preparasi nanopartikel Glukosamin HCl
metode yang digunakan adalah metode gelasi ionik di mana pada metode ini
terjadi interaksi ionik yang membentuk ikatan sambung silang antara gugus amino
pada kitosan yang bermuatan positif dengan polianion yaitu natrium tripolifosfat
yang bermuatan negatif. Pembentukan ikatan sambung silang ini akan
memperkuat kekuatan mekanis dari partikel yang terbentuk (Park and Yeo, 2007).
Konsentrasi kitosan dalam formula yang digunakan adalah sebesar 0,5%.
Pemilihan besarnya konsentrasi kitosan ini berdasarkan hasil penelitian
Fahruzzaman (2017), di mana dalam penelitian tersebut didapatkan besar persen
kumulatif penetrasi glukosamin HCl per satuan luas area yang menggambarkan
kemampuan penetrasi gel glukosamin HCl melewati kulit pada formula dengan
besar konsentrasi kitosan 0,5% lebih besar dibandingkan formula dengan
konsentrasi kitosan sebesar 1% dan 0,25%.
Selain kitosan dan natrium tripolifosfat, dalam pembuatan nanopartikel
ini juga menggunakan tween 80 yang berfungsi untuk meningkatkan stabilitas
fisik dengan mencegah terjadinya aglomerasi (Shafie dan Hadeel, 2013).
Sehingga tween 80 dapat menstabilkan dispersi partikel-partikel kitosan di dalam
larutan.
4.2. Preparasi Sediaan Gel Nanopartikel Glukosamin HCl
Dispersi nanopartikel glukosamin HCl yang telah terbentuk kemudian
dibuat menjadi sediaan gel. Bentuk gel dipilih karena mengingat medium
pendispersi nanopartikel glukosamin HCl adalah air sehingga formulasi sediaan
yang akan dibuat memiliki kadar air yang tinggi. Oleh karena itu, gel dianggap
lebih cocok untuk formulasi ini dibandingkan sediaan topikal lainnya. Selain itu,
gel lebih disukai karena nyaman dan terasa dingin pada kulit, tidak menyumbat
pori, dan pelepasan obatnya baik (Ansel, 2005).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
40
Dalam formulasi sediaan gel nanopartikel glukosamin HCl gelling agent
yang digunakan adalah HPMC. Pemilihan HPMC berdasarkan hasil optimasi
formula yang telah dilakukan pada uji pendahuluan, di mana gel nanopartikel
glukosamin HCl yang menggunakan basis HPMC memiliki stabilitas fisik yang
lebih baik dibandingkan dengan gel yang menggunakan kitosan sebagai basisnya.
Di samping itu, HPMC juga memiliki beberapa keunggulan sebagai gelling agent
yaitu dapat menghasilkan gel yang bening, mudah larut dalam air, dan
mempunyai ketoksikan yang rendah. Selain itu, HPMC bersifat netral,
mempunyai pH yang stabil antara 3-11, tahan terhadap asam basa, serangan
mikroba, dan panas (Setyaningrum, 2013).
Komponen lain selain gelling agent dalam formula gel adalah nipagin dan
nipasol sebagai pengawet. Pengawet diperlukan dalam formulasi gel karena gel
memiliki kandungan air yang tinggi sehingga dapat menyebabkan terjadinya
kontaminasi mikroba (Ardana dkk, 2015). Selain itu, ada pula propilen glikol
yang berfungsi sebagai pelarut untuk nipagin dan nipasol (Rowe dkk, 2009).
4.3. Validasi Metode Analisa Derivatisasi Glukosamin HCl
Validasi metode analisa derivatisasi glukosamin HCl bertujuan untuk
memastikan ketepatan metode yang digunakan untuk mengukur kadar glukosamin
HCl yang telah berhasil berpenetrasi pada uji penetrasi yang dilakukan pada
tahapan selanjutnya dalam penelitian ini.
Dalam penelitian ini metode analisa yang digunakan adalah analisa
menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Metode analisa menggunakan
spektrofotometer UV-Vis ini dipilih karena merupakan metode yang tidak
memerlukan biaya yang besar dan juga dapat digunakan untuk analisa secara rutin
dibandingkan dengan metode dengan menggunakan HPLC yang membutuhkan
biaya lebih besar dan waktu pengerjaan yang lebih lama (Gaonkar, 2006).
4.3.1. Pembuatan Standar Phenyl Thiourea (PTH)
Glukosamin HCl tidak memiliki gugus kromofor pada spektrum UV-Vis
(Harmita dkk, 2017) yang mana gugus kromofor merupakan gugus tak jenuh
kovalen yang dapat menyerap radiasi dalam daerah-daerah ultraviolet dan sinar
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
41
tampak (Retnani dkk, 2010). Oleh karena itu, perlu dilakukan proses derivatisasi
untuk membuat glukosamin HCl yang tidak memiliki gugus kromofor menjadi
senyawa berkromofor sehingga dapat terdeteksi oleh sinar UV. PTH merupakan
senyawa yang dihasilkan dari proses derivatisasi glukosamin HCl. Proses ini
menggunakan larutan PITC sebagai pereaksi. Metode derivatisasi dalam
penelitian ini mengacu pada penelitian Gaonkar (2006) yang telah divalidasi.
Validasi yang telah dilakukan dalam penelitian tersebut meliputi linearitas,
akurasi, presisi, spesifisitas, dan keterulangan.
4.3.2. Pemilihan Panjang Gelombang Maksimum
Larutan standar glukosamin HCl yang telah dibuat dengan konsentrasi
1000 ppm digunakan untuk menentukkan panjang gelombang maksimum. Hasil
dalam penelitian ini menunjukkan bahwa glukosamin HCl memiliki absorbansi
maksimum pada panjang gelombang 238 nm. Berdasarkan penelitian Gaonkar
(2006), panjang gelombang maksimum glukosamin adalah 240 nm. Perbedaan
panjang gelombang sebesar 2 nm masih dalam batas toleransi yang diperbolehkan
menurut Depkes RI (1995) yaitu lebih kurang 3 nm.
4.3.3. Pembuatan Kurva Standar Glukosamin
Kurva standar atau kurva kalibrasi dari larutan standar glukosamin HCl
digunakan untuk mendapatkan persamaan regresi linier yang dibutuhkan untuk
menghitung kadar senyawa glukosamin HCl bebas dan juga untuk menghitung
batas deteksi dan kuantitasi.
Hasil yang didapat dari pengukuran absorbansi larutan standar
glukosamin pada beberapa konsentrasi pada panjang gelombang 238 nm adalah y
= 0,0604 x - 0,019 dengan nilai r2 = 0,9956 seperti pada Gambar 4.1.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
42
Gambar 4.1 Kurva Kalibrasi Glukosamin HCl
4.3.4. Uji Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi (LOD dan LOQ)
Pengujian batas deteksi diperlukan untuk mengetahui jumlah terkecil
analit dalam sampel yang dapat dideteksi yang masih memberikan respon
signifikan dibandingkan dengan blanko, sedangkan untuk batas kuantitasi
dilakukan untuk mengetahui kuantitasi terkecil analit dalam sampel yang masih
dapat memenuhi kriteria cermat dan seksama (Harmita, 2004).
Batas deteksi (LOD) dan batas kuantitasi (LOQ) dihitung secra statistik
melalui persamaan garis regresi linier dari kurva kalibrasi larutan standar
glukosamin HCl. Berdasarkan hasil perhitungan nilai batas deteksi (LOD) dari
glukosamin HCl adalah 0,732 μg/mL dan nilai batas kuantitasinya (LOQ) adalah
2,438 μg/mL.
4.4. Uji Stabilitas Fisik Gel
Uji stabilitas fisik gel dilakukan dengan membandingkan keadaan gel
sebelum dan sesudah pengujian menggunakan beberapa parameter fisik. Dalam
penelitian ini dilakukan cycling test dan uji mekanik (sentrifugasi) terlebih dahulu
sebelum dilakukan pengujian stabilitas fisik gel selama dua bulan. Hal ini
dilakukan sebagai skrining awal untuk menentukan gel pada pH 5 atau pH 6 yang
akan dilanjutkan untuk pengujian stabilitas selama dua bulan.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
43
4.4.1 Cycling Test
Cycling test merupakan salah satu cara yang dilakukan untuk
mempercepat evaluasi kestabilan fisik gel. Pengujiannya dilakukan pada dua
kondisi suhu yang berbeda, yaitu pada suhu rendah (4±2°C) dan suhu tinggi
(40±2°C) selama 12 hari atau 6 siklus. Parameter dalam cycling test ini adalah
organoleptis dari sediaan gel transdermal nanopartikel glukosamin HCl pada dua
pH yang berbeda yaitu pada pH 5 dan pH 6.
Hasil yang diperoleh dari gel pada pH 5 dan pH 6 setelah melawati 6
siklus menunjukkan adanya perbedaan diantara keduanya. Sebelum pengujian
kedua gel tidak berwarna atau semitransparan, setelah melewati 6 siklus, gel
dengan pH 5 mengalami perubahan warna menjadi lebih keruh namun tidak
terlalu signifikan. Berbeda halnya dengan gel dengan pH 6, setelah melewati 6
siklus, gel menunjukkan perubahan warna yang signifikan menjadi warna kuning.
Begitu pula halnya dengan bau, pada gel dengan pH 5 setelah 6 siklus masih
memiliki bau yang sama seperti sebelum pengujian yaitu bau khas HPMC,
sedangkan pada gel dengan pH 6 masih berbau khas HPMC namun bercampur
dengan bau asam yang cukup kuat. Perbandingan hasil cycling test antara gel pH 5
dan pH 6 dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Dari hasil cycling test tersebut menunjukkan gel transdermal nanopartikel
Glukosamin HCl dengan pH 5 memiliki stabilitas fisik yang lebih baik jika
dibandingkan dengan gel transdermal nanopartikel Glukosamin HCl dengan pH 6.
Gambar yang menunjukkan terjadinya perubahan pada organoleptik sedian gel
glukosamin HCl setelah dilakukan cycling test dapat dilihat pada Lampiran 5.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
44
Tabel 4.1 Organoleptik Sediaan Gel Glukosamin HCl Setelah Cycling Test
4.4.2. Uji Mekanik (Sentrifugasi)
Pengamatan uji sentrifugasi dilakukan dengan dua kecepatan putar yang
berbeda, di mana perbedaan kecepatan putar (rpm) memiliki tujuan yang berbeda
pula. Pada uji sentrifugasi dengan kecepatan 5.000 rpm selama 20 menit bertujuan
untuk mempercepat terjadinya pemisahan fase dan melihat adanya partikel yang
terpisah di lapisan atas apabila pemisahan fase terjadi pada sediaan gel (Mahmood,
2013), sedangkan pengujian dengan kecepatan 10000 rpm selama 30 menit
bertujuan untuk mengetahui stabilitas penyimpanan sediaan selama satu tahun
oleh pengaruh gaya gravitasi (Nisa dkk, 2017). Uji sentrifugasi dilakukan pada
hari pertama (24 jam), hari kedua (48 jam), hari ketujuh, dan hari ke-14
(Mahmood, 2013).
Dari hasil pengamatan uji sentrifugasi pada kecepatan 5.000 rpm selama
20 menit tidak terlihat adanya pemisahan fase ataupun endapan partikel pada
sediaan gel pH 5 maupun pH 6 mulai dari hari pertama hingga hari ke-14 yang
menunjukkan bahwa antara basis dengan komponen penyusun gel lainnya yang
terbentuk stabil baik pada pH 5 maupun pH 6. Sedangkan hasil dengan
menggunakan kecepatan 10.000 rpm selama 30 menit menunjukkan adanya
Siklus pH Warna Bau
15 Putih Semitransparan Khas HPMC
6 Sedikit Kekuningan Khas HPMC
25 Putih Semitransaparan Khas HPMC
6 Kekuningan Khas HPMC dan sedikit asam
35 Putih Semitransparan Khas HPMC
6 Kekuningan Khas HPMC dan sedikit asam
45 Sedikit Kekuningan Khas HPMC dan sedikit asam
6 Kekuningan dan keruh Asam
55 Sedikit Kekuningan Khas HPMC dan sedikit asam
6 Kuning Keruh Asam
65 Kekuningan dan keruh Sedikit Asam
6 Kuning Keruh Asam dan sedikit tengik
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
45
endapan partikel pada sediaan gel pH 6 namun, hal tersebut tidak terlihat pada
sediaan gel pH 5. Hal ini menunjukkan bahwa pada gel pH 6 tidak stabil untuk
penyimpanan selama satu tahun. Gambar hasil uji sentrifugasi dapat dilihat pada
Lampiran 6.
4.4.3. Uji Stabilitas pada Suhu Tinggi (40 ± 2°C) dan Suhu Kamar
(27 ± 2°C)
Berdasarkan hasil cycling test dan uji sentrifugasi, sediaan gel dengan
pH 5 memiliki stabilitas fisik yang lebih baik dibandingkan dengan sediaan gel
pH 6. Menurut Berger dkk (2004), dalam pembuatan nanopartikel dengan metode
gelasi ionik menggunakan kitosan, kitosan lebih baik berada dalam larutan dengan
pH tidak lebih dari pH 6 karena jika pH terlalu tinggi muatan positif dari kitosan
akan ternetralisasi dan tidak akan terjadi sambung silang secara ionik tetapi akan
terbentuk kitosan yang mengendap. Oleh karena itu, sediaan gel dengan pH 5
dipilih untuk dilanjutkan pada uji stabilitas selama 2 bulan.
4.4.3.1. Pemeriksaan Organoleptik
Pemeriksaan organoleptik dilakukan dengan melihat warna, kejernihan,
bau pada sediaan gel glukosamin HCl. Pada minggu ke-0 kedua sediaan gel
glukosamin HCl yang dihasilkan tidak berwarna, semitransparan, berbau khas
HPMC dan sedikit berbau asam. Bau asam yang ditimbulkan berasal dari asam
asetat yang digunakan sebagai pelarut kitosan.
Setelah disimpan selama 2 minggu sediaan gel yang disimpan pada suhu
kamar menunjukkan adanya perubahan berupa warna yang sedikit menguning
namun masih semitransparan dan masih berbau khas HPMC. Berbeda halnya
dengan sediaan gel yang disimpan pada suhu tinggi, perubahan yang terjadi
terlihat lebih signifikan di mana warna pada gel berubah menjadi kuning dan
keruh serta bau asam yang tercium semakin kuat. Hal ini menunjukkan bahwa
sediaan gel tidak stabil secara fisik pada penyimpanan dengan suhu 40°C. Oleh
karena itu, evaluasi pada sediaan gel yang disimpan pada suhu tinggi tidak
dilanjutkan untuk minggu ke-4 dan minggu ke-8.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
46
Pada minggu ke-4 sediaan gel yang disimpan pada suhu kamar tidak
menunjukkan adanya perubahan jika dibandingkan dengan pemeriksaan
sebelumnya. Sedangkan pada minggu ke-8 warna gel terlihat lebih kuning dan
sedikit keruh dengan bau khas HPMC yang bercampur dengan bau asam yang
lebih kuat. Perubahan organoleptik yang terjadi pada sediaan gel terlihat seperti
pada Gambar 4.2.
Gambar 4.2 Organoleptik Glukosamin HCl. (A), (B), (C), dan (D) Disimpan di
Suhu Kamar berturut-turut pada Minggu ke-0, 2, 4, dan 8. (E) dan
(F) Disimpan di Suhu Tinggi pada Minggu ke-0 dan ke-2
Perubahan warna kedua gel menjadi kuning berasal dari warna kitosan
sebagai polimer yang memiliki warna sedikit kekuningan, ditambah lagi warna
kitosan akan berubah menjadi lebih gelap atau berwarna coklat apabila terpapar
panas (Szymańska & Winnicka, 2015).
4.4.3.2. Pemeriksaan Homogenitas
Hasil pemeriksaan homogenitas pada sediaan gel Glukosamin HCl baik
yang disimpan pada suhu kamar selama 8 minggu maupun pada suhu tinggi yang
disimpan selama 2 minggu menunjukkan hasil yang homogen. Seperti pada
Gambar 4.3 tidak terlihat adanya gumpalan-gumpalan polimer yang belum
terdispersi secara sempurna ataupun partikel kasar. Hanya saja pada beberapa
gambar terlihat adanya gelembung-gelembung gas.
(A) (B) (E)
(C) (D) (F)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
47
Gambar 4.3 Homogenitas Gel Glukosamin HCl. (A), (B), (C), dan (D) Disimpan
di Suhu Kamar berturut-turut pada Minggu ke-0, 2, 4, dan 8. (E) dan
(F) Disimpan di Suhu Tinggi pada Minggu ke-0 dan ke-2
4.4.3.3. Pemeriksaan pH
Sediaan gel Glukosamin HCl sebelum penyimpanan masing-masing
memiliki pH yang sama yaitu pH 5. Setelah disimpan pada dua suhu yang berbeda
dan dilakukan pengukuran pada minggu ke-2, minggu ke-4, dan minggu ke-8,
untuk sediaan gel yang disimpan pada suhu kamar, semakin lama pH sediaan
semakin menurun, walaupun tidak terlalu signifikan, dan menunjukkan sediaan
semakin bersifat asam. Sama halnya dengan sediaan gel yang disimpan pada suhu
tinggi, hasil pengukuran pH pada minggu ke-2 juga menunjukkan sediaan bersifat
lebih asam dibandingkan sebelum disimpan (minggu ke-0).
Adanya perubahan dari hasil pengukuran pH ini menunjukkan bahwa
sediaan gel memiliki pH yang tidak stabil setelah disimpan pada suhu kamar
selama 8 minggu dan pada suhu tinggi selama 2 minggu.
Tabel 4. 2 pH Gel Glukosamin HCl Setelah Penyimpanan
Suhu Suhu Kamar (25 ± 2°C) Suhu Tinggi(40 ± 2°C)
Waktu Minggu 0 Minggu 2 Minggu 4 Minggu 8 Minggu 0 Minggu 2
pH 5,06 ±0,07
4,96 ±0,02
4,96 ±0,05
4,89 ±0,01
5,02 ±0,03
4,78 ±0,06
(A) (B) (E)
(C) (D) (F)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
48
4.4.3.4. Pengukuran Viskositas dan Rheologi
Viskositas adalah suatu pernyataan tentang tahanan dari suatu cairan
untuk mengalir, semakin tinggi viskositas, semakin besar tahanan tersebut (Sinko,
2006). Viskositas sediaan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah
faktor pencampuran atau pengadukan saat proses pembuatan sediaan, pemilihan
basis gel dan humektan, serta ukuran partikel (Ansel, 1989). Dalam penelitian ini
pengukuran viskositas dilakukan menggunakan spindel R3 pada minggu ke-0,
minggu ke-2, minggu ke-4, dan minggu ke-8 untuk sediaan gel yang disimpan
pada suhu kamar, dan pada minggu ke-0 dan minggu ke-2 untuk sediaan gel yang
disimpan pada suhu tinggi.
Nilai viskositas masing-masing sediaan gel glukosamin HCl yang
disimpan pada suhu kamar dan yang disimpan pada suhu tinggi mengalami
penurunan seiring dengan bertambahnya waktu penyimpanan seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 4.4. Perubahan nilai viskositas seiring bertambahnya
waktu diduga akibat kemungkinan terjadinya degradasi yang umumnya terjadi
pada polimer sintetik yang ditunjukkan dengan penurunan nilai viskositas
(Mackenzie & Jemmet, 1971). Selain itu, untuk sediaan gel glukosamin HCl yang
disimpan pada suhu tinggi, penurunan viskositas diduga akibat pengaruh dari suhu
tinggi yang dapat memperbesar jarak antar partikel sehingga gaya antar partikel
akan berkurang. Jarak yang semakin besar menyebabkan viskositas yang semakin
menurun (Suryani, 2017).
Jika dilihat dari data viskositas sediaan gel glukosamin HCl
menunjukkan bahwa sediaan gel memiliki sifat alir non newton di mana sifat ini
tidak mengikuti hukum aliran newton yang menyebutkan bahwa laju geser (rpm)
akan berbanding lurus dengan tegangan geser (F). Hal tersebut didukung oleh
rheogram seperti pada Gambar 4.5.
Berdasarkan kurva rheologi yang didapat setelah penyimpanan selama 2
minggu baik gel yang disimpan pada suhu kamar maupun suhu tinggi
menunjukkan bahwa sediaan gel memiliki sifat pseudoplastis hal ini terlihat dari
kurva dimulai pada titik (0,0) dan tidak terdapat yield value pada kurva.
Viskositas zat pseudoplastis berkurang dengan meningkatnya rate of shear. Hal
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
49
ini terjadi pada molekul berantai panjang seperti polimer-polimer yang salah satu
diantaranya adalah HPMC (Sinko, 2006).
Gambar 4.4 Grafik Viskositas Gel Glukosamin HCl pada Suhu Kamar dan Suhu
Tinggi
Selain itu, pada rheogram seperti pada Gambar 4.5 dan 4.6 terlihat
adanya celah (loop) antara kurva menurun dan kurva menaik. Di mana posisi
kurva menurun berada di sebelah kiri kurva menaik yang menunjukkan bahwa
bahan tersebut mempunyai konsistensi lebih rendah pada satu laju geser mana pun
pada kurva menurun dibandingkan pada kurva menaik. Hal ini menunjukkan
adanya pemecahan struktur yang tidak terbentuk kembali dengan segera jika
tegangan tersebut dihilangkan atau dikurangi. Gejala tersebut dikenal sebagai
tiksotropi (Sinko, 2006). Oleh karena itu, hasil evaluasi pada minggu ke-0 dan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
50
minggu ke-2 pada sediaan gel yang disimpan pada suhu kamar dan suhu tinggi
menunjukkan gel memiliki sifat alir pseudoplastis tiksotropi.
Berbeda dengan minggu ke-0 dan minggu ke-2, rheogram yang didapat
dari hasil evaluasi yang dilakukan pada minggu ke-4 dan minggu ke-8 pada
sediaan gel yang disimpan pada suhu kamar menunjukkan bentuk yang linier, di
mana kurva menurun terlihat identik dan berhimpit dengan kurva menaik.
Rheogram tersebut menunjukkan bahwa sediaan memiliki sifat alir newton.
Umumnya polimer memiliki sifat alir non newton, namun menurut Shaw (2012)
suatu polimer dapat menunjukkan sifat newton pada beberapa kondisi, seperti
ketika pada laju geser yang rendah dan juga ketika polimer yang digunakan
memiliki viskositas yang rendah. Perubahan sifat alir yang terjadi pada sediaan
menunjukkan bahwa sediaan gel glukosamin HCl tidak stabil.
Gambar 4.5 Kurva Reologi Gel Glukosamin HCl Disimpan pada Suhu Kamar
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
51
Gambar 4.6 Kurva Reologi Gel Glukosamin HCl Disimpan pada Suhu Tinggi
4.4.3.5. Uji Penetrasi Gel Glukosamin HCl
Pengujian penetrasi sediaan gel glukosamin HCl dilakukan secara in
vitro dengan menggunakan sel difusi franz bertujuan untuk mengetahui jumlah
glukosamin HCl yang dapat berpenetrasi melalui kulit selama interval waktu
tertentu.
Membran kulit yang digunakan adalah bagian abdomen dari kulit tikus
putih (Sparague Dawley). Membran ini dipilih karena menyerupai permeabilitas
kulit manusia (Nisa dkk, 2013). Membran kulit diletakkan diantara kompartemen
reseptor dan donor, di mana membran harus kontak dengan cairan reseptor agar
sediaan yang diaplikasikan pada membran dapat berpenetrasi menembus kulit
menuju cairan reseptor.
Membran yang sudah siap digunakan dioleskan sediaan gel glukosamin
HCl sebanyak 300 mg secara merata. Banyaknya bobot sediaan yang
diaplikasikan ditentukan berdasarkan luas membran yang digunakan dan
penyebaran sediaan yang merata. Pengaplikasian sediaan dengan bobot yang
terlalu besar pada luas membran yang kecil akan menyebabkan terjadinya
penumpukan sediaan pada lapisan atas membran, sehingga zat aktif tidak
sepenuhnya terlepas dari sediaan dan hanya tertinggal di permukaan kulit
(Simanjuntak, 2005).
Cairan reseptor yang digunakan dalam penelitian ini adalah larutan dapar
fosfat dengan pH 7,4. Penggunaan dapar fosfat pH 7,4 ini diibaratkan sebagai
cairan biologis manusia yang juga memiliki pH 7,4. Selain itu, alasan penggunaan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
52
larutan dapat fosfat 7,4 ini dikarenakan glukosamin HCl dapat larut di dalamnya.
Di dalam kompartemen reseptor terdapat magnetic stirrer yang berputar pada
kecepatan 500 rpm yang berfungsi untuk menjaga agar cairan kompartemen tetap
homogen.
Uji penetrasi ini dilakukan selama 8 jam dan selama proses berlangsung
suhu air di dalam water jacket yang mengalir keluar dari termostat dijaga pada
37°C di mana suhu ini menggambarkan suhu tubuh manusia. Sampel dicuplik
sebanyak 1 ml dan digantikan dengan medium kompartemen reseptor yang baru
dengan volume yang sama untuk mempertahankan sink condition (Lachman dkk,
1994). Hasil cuplikan yang didapat selanjutnya akan diderivatisasi untuk dapat
mengukur kadar glukosamin HCl dalam sampel menggunakan spektrofotometer
UV-Vis.
4.4.3.6. Jumlah Kumulatif Zat Terpenetrasi Per Luas Area
Setelah dilakukan uji penetrasi selama delapan jam dengan pengambilan
sampel pada 11 titik interval waktu diperoleh jumlah kumulatif zat aktif
terpenetrasi per luas area baik pada sediaan gel yang disimpan pada suhu kamar
maupun suhu tinggi. Jumlah kumulatif zat aktif terpenetrasi per luas area pada
sediaan gel yang disimpan pada suhu kamar pada minggu ke-0, 2, 4, dan 8 secara
berturut-turut adalah 898,9 ± 15,6; 890,6 ± 15,4; 860,2 ± 20,6; 843,2 ± 17,8
μg/cm2. Berdasarkan hasil tersebut, jumlah glukosamin HCl yang terpenetrasi
semakin berkurang seiring dengan bertambahnya waktu penyimpanan. Sama
halnya seperti sediaan gel yang disimpan pada suhu kamar, sediaan gel yang
disimpan pada suhu tinggi pun memiliki hasil jumlah kumulatif zat aktif yang
terpenetrasi per luas area yang menurun seiring dengan bertambahnya waktu
penyimpanan. Di mana nilai jumlah kumulatif yang didapatkan pada minggu ke-0
dan ke-2 secara berturut-turut adalah sebesar 898,9 ± 15,6 dan 866,6 ± 6,1 μg/cm2.
Berdasarkan hasil pengolahan data secara statistik menggunakan SPSS
22 dengan metode uji One Way Anova untuk sediaan gel glukosamin HCl yang
disimpan pada suhu kamar, terlihat adanya perbedaan yang bermakna pada nilai
jumlah kumulatif glukosamin yang terpenetrasi di minggu ke-4 dan minggu ke-8
yang dibandingkan dengan gel pada minggu ke-0, nilai signifikansi yang
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
53
diperoleh < 0,05. Lain halnya dengan sediaan gel glukosamin HCl yang disimpan
pada suhu tinggi, hasil data statistik menggunakan SPSS 22 dengan metode uji
Wilcoxon antara jumlah kumulatif glukosamin yang terpenetrasi pada minggu
ke-0 dengan minggu ke-2 menunjukkan tidak adanya perbedaan bermakna
diantara keduanya dengan nilai signifikansi > 0,05.
Tabel 4.3 Jumlah Kumulatif Glukosamin HCl Per Satuan Luas Area (SuhuKamar)
Gambar 4.7 Grafik Jumlah Kumulatif Difusi Glukosamin HCl Per Luas Area(Suhu Kamar)
Waktu(Menit)
Jumlah Kumulatif Zat Aktif Per Satuan Luas Area(μg/cm2)
Minggu 0 Minggu 2 Minggu 4 Minggu 810 419,8 ± 30,5 453,1 ± 50,8 418,9 ± 16,2 397,7 ± 12,530 472,1 ± 26,2 499,5 ± 35,9 448,1 ± 42,6 458,2 ± 34,860 522,3 ± 41,8 550,0 ± 67,7 508,2 ± 49,7 520,6 ± 35,190 556,2 ± 17,3 579,6 ± 66,2 580,3 ± 49,7 584,1 ± 68,8120 616,6 ± 42,0 626,1 ± 33,3 623,4 ± 43,0 624,6 ± 12,8180 660,2 ± 42,3 677,3 ± 59,8 667,3 ± 75,4 674,2 ± 29,9240 718,5 ± 33,4 720,6 ± 20,6 685,5 ± 60,9 735,9 ± 24,7300 759,0 ± 37,1 754,4 ± 56,0 730,8 ± 40,2 765,2 ± 26,3360 813,1 ± 15,7 814,5 ± 42,6 785,5 ± 54,9 765,1 ± 24,6420 845,3 ± 24,4 846,5 ± 23,8 827,6 ± 33,1 812,4 ± 18,2480 898,9 ± 15,6 890,6 ± 15,4 860,2 ± 20,6 843,2 ± 17,8
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
54
Perbedaan yang bermakna pada gel yang disimpan pada suhu kamar di
minggu ke-4 dan minggu ke-8 menunjukkan bahwa pada waktu tersebut
kemampuan penetrasi gel mulai menunjukkan ketidakstabilannya. Ketidakstabilan
pada kemampuan penetrasi gel diduga dipicu oleh ketidakstabilan fisik gel secara
organoleptik yang terjadi akibat ada proses kimiawi yang terjadi. Menurut
Jonassen dkk (2012) dekomposisi secara kimia dapat mempengaruhi sifat fisik
dari nanopartikel berbasis polimer seperti merusak bentuk dan ukuran partikel, di
mana dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Fahruzzaman (2017)
menyatakan bahwa bentuk dan ukuran partikel berpengaruh terhadap kemampuan
penetrasi gel. Dalam penelitian tersebut didapatkan hasil yang menunjukkan gel
glukosamin HCl dalam bentuk nanopartikel memiliki jumlah kumulatif zat aktif
terpenetrasi lebih besar dibandingkan gel dalam bentuk non nano, di mana jumlah
kumulatif zat terpenetrasi pada formula gel nanopartikel sebesar 583,391 μg/cm2,
sedangkan pada formula gel non nano sebesar 314,150 μg/cm2.
Tabel 4. 4 Jumlah Kumulatif Glukosamin HCl Per Satuan Luas Area (SuhuTinggi)
Waktu(Menit)
Jumlah Kumulatif Zat Aktif PerSatuan Luas Area (μg/cm2)
Minggu 0 Minggu 210 419,8 ± 30,5 419,8 ± 32,130 472,1 ± 26,2 450,0 ± 13,860 522,3 ± 41,8 513,8 ± 16,690 556,2 ± 17,3 565,0 ± 19,5120 616,6 ± 42,0 588,0 ± 36,2180 660,2 ± 42,3 643,2 ± 33,6240 718,5 ± 33,4 695,3 ± 29,1300 759,0 ± 37,1 741,3 ± 16,6360 813,1 ± 15,7 787,3 ± 30,5420 845,3 ± 24,4 821,3 ± 11,2480 898,9 ± 15,6 866,6 ± 6,1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
55
Gambar 4.8 Grafik Jumlah Kumulatif Difusi Glukosamin HCl Per Luas Area(Suhu Tinggi)
4.4.3.7. Fluks Penetrasi
Fluks (kecepatan) penetrasi glukosamin HCl diperoleh dari hasil
perhitungan dengan menggunakan data jumlah kumulatif zat terpenetrasi. Data
hasil perhitungan fluks penetrasi dapat dilihat pada Tabel 4.4 dan 4.5.
Tabel 4. 5 Fluks Penetrasi Glukosamin HCl Per Satuan Luas Area (Suhu Kamar)
Waktu(Menit)
Fluks Penetrasi (μg/cm2/jam)Minggu 0 Minggu 2 Minggu 4 Minggu 8
10 2519,0 ± 183,0 2718,3 ± 304,6 2513,5 ± 97,3 2386,2 ± 74,930 944,3 ± 52,5 999,1 ± 71,8 896,2 ± 85,1 916,3 ± 69,660 522,3 ± 41,8 550,0 ± 67,7 508,2 ± 49,7 520,6 ± 35,190 370,8 ± 11,6 386,4 ± 44,2 386,8 ± 33,1 389,4 ± 45,9120 308,3 ± 21,0 313,0 ± 16,6 311,7 ± 21,5 312,3 ± 6,4180 220,1 ± 14,1 225,8 ± 19,9 222,4 ± 25,1 224,7 ± 10,0240 179,6 ± 8,4 180,1 ± 5,2 171,4 ± 15,2 184,0 ± 6,2300 151,8 ± 7,4 150,9 ± 11,2 146,2 ± 8,0 153,0 ± 5,3360 135,5 ± 2,6 135,7 ± 7,1 130,9 ± 9,1 127,5 ± 4,1420 120,8 ± 3,5 120,9 ± 3,4 118,2 ± 4,7 116,1 ± 2,6480 112,4 ± 1,9 111,3 ± 1,9 107,5 ± 2,6 105,4 ± 2,2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
56
Gambar 4.9 Grafik Fluks Penetrasi Glukosamin HCl Per Luas Area (SuhuKamar)
Tabel 4. 6 Fluks Penetrasi Glukosamin HCl Per Satuan Luas Area (Suhu Tinggi)
Waktu(Menit)
Fluks Penetrasi (μg/cm2/jam)Minggu 0 Minggu 2
10 2519,0 ± 183,0 2519 ± 192,530 944,3 ± 52,5 909,0 ± 27,660 522,3 ± 41,8 513,8 ± 16,690 370,8 ± 11,6 376,6 ± 13,0120 308,3 ± 21,0 294,0 ± 18,1180 220,1 ± 14,1 214,4 ± 11,2240 179,6 ± 8,4 173,8 ± 7,3300 151,8 ± 7,4 148,3 ± 3,3360 135,5 ± 2,6 131,2 ± 5,1420 120,8 ± 3,5 117,3 ± 1,6480 112,4 ± 1,9 108,3 ± 0,1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
57
Gambar 4.10 Grafik Jumlah Fluks Penetrasi Glukosamin HCl Per Luas Area(Suhu Tinggi)
Pada Gambar 4.8 dan 4.9 menunjukkan grafik fluks penetrasi gel
glukosamin HCl yang disimpan pada suhu kamar dan suhu tinggi. Kedua grafik
menunjukkan fluks tertinggi tercapai pada menit-menit awal dan semakin
menurun seiring dengan berjalannya waktu. Besarnya fluks penetrasi pada
menit-menit awal diduga dipengaruhi oleh efisiensi penjerapan dari nanopartikel.
Seiring dengan berjalannya waktu terjadi kesetimbangan sehingga mencapai suatu
steady state dan menyebabkan nilai fluks akan terus menurun (Martin &
Cammarata, 1983).
Data fluks penetrasi yang didapat dari sediaan gel yang disimpan pada
suhu kamar menunjukkan adanya perbedaan bermakna pada minggu ke-4 dan
minggu ke-8 yang dibandingkan dengan minggu ke-0. Perbedaan ini dikatakan
bermakna dilihat dari hasil pengolahan data statistik menggunakan SPSS 22
dengan metode uji One Way Anova yang menunjukkan nilai signifikansi < 0,05.
Sedangkan pada sediaan gel yang disimpan pada suhu tinggi menunjukkan tidak
adanya perbedaan bermakna antara nilai fluks penetrasi minggu ke-0
dibandingkan dengan nilai fluks penetrasi minggu ke-2. Hasil tersebut didukung
dari data statistik menggunakan SPSS 22 dengan metode uji Wilcoxon yang
menunjukkan nilai signifikansi > 0,05.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta58
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1) Penyimpanan pada suhu kamar (27 ± 2°C) selama dua bulan dan
pada suhu tinggi (40 ± 2°C) selama dua minggu mempengaruhi
stabilitas dari sediaan gel transdermal nanopartikel glukosamin HCl
secara fisik. Hal ini dilihat dari terjadinya perubahan pada
paramater-parameter yang digunakan yaitu organoleptik, pH, dan
viskositas seiring dengan bertambahnya waktu penyimpanan.
2) Ketidakstabilan sediaan transdermal nanopartikel glukosamin HCl
juga dibuktikan dari parameter lain yang digunakan yaitu
kemampuan penetrasinya. Dimana adanya perbedaan bermakna pada
hasil pengolahan data statistik menggunakan SPSS 22 pada jumlah
kumulatif dan fluks penetrasi sediaan gel yang telah disimpan
selama 4 minggu dan 8 minggu pada suhu kamar (27 ± 2°C).
5.2. Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengoptimasi formula gel
nanopartikel glukosamin HCl yang lebih stabil serta mengevaluasi
stabilitas ukuran partikel pada sediaan gel nanopartikel glukosamin HCl
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta59
DAFTAR PUSTAKA
Agnihotri, S.A., Aminabhavi, TM., Mallikarjuna, NN. (2004). Recent Advances
on Chitosan-Based Micro-and Nanoparticles in Drug Delivery. Journal
of Controlled Release, 100(1), 5-28.
Aliska, Gestina., Purwantyastuti., Wresti, Indriatmi. (2015). Berbagai Faktor
Yang Memengaruhi Pemberian Obat Secara Topikal. Jakarta: FK
Universitas Indonesia.
Alkilani, A. Z., Donnelly, RF., McCrudden, MT3. (2015). Transdermal Drug
Delivery: Innovative Pharmaceutical Developments Based on
Disruption of the Barrier Properties of The Stratum Corneum.
Pharmaceutics, 7, 438-470.
Allen, L. V., & Ansel H. C. (2014). Ansel’s Pharmaceutical Dosage Forms and
Drug Delivery Systems. Tenth Edition. Philadelpia: Lippincott Williams
& Wilkins. 343-344.
Anggraeni, C. A. (2008). Pengaruh Bentuk Sediaan Krim, Gel, dan Salep
Terhadap Penetrasi Aminofilin Sebagai Antiselulit Secara In Vitro
Menggunakan Sel Difusi Franz. Skripsi. Universitas Indonesia
Anwar, E. (2012). Eksipien Dalam Sediaan Farmasi. Cetakan Pertama. Jakarta:
Penerbit Dian Rakyat.
Ardana, Mirhansyah., dkk. (2015). Formulasi Dan Optimasi Basis Gel Hpmc
(Hidroxy Propyl Methyl Cellulose) dengan Berbagai Variasi
Konsentrasi. J. Trop. Pharm. Chem, 3(2), 2407-6090.
Arthritis Research UK. (2011). Diunduh pada 10 Januari 2018, dari
<http://arthritisresearchuk.org>.
Benson, H.A.E., & Watkinson, A.C. (2005). Transdermal and Topical Drug
Delivery, Principles and Practice. Canada: John Wiley & Sons, Inc.
Berger, J., dkk. (2004). Structure and Interactions in Covalently and Ionically
Cross Linked Chitosan Hidrogel for Biomedical Applications. Eur. J.
Of Pharm and Biopharmaceutics. 57, 19-34
Dahmer, S., & Schiller, R. M. (2008). Glucosamine. American Family Physician,
78(4), 471-476
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta60
Dantas, M. G. B., dkk. (2016). Development and Evaluation of Stability of a Gel
Formulation Containing the Monoterpene Borneol. The Scientific World
Journal, 2016.
Dao, Harry., dan Rebecca, A. Kazin. 2007. Gender Differences in Skin : A
Review of the Literature. Gender Medicine, 4(4),1550-8579
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1995). Farmakope Indonesia, Edisi
IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2014). Farmakope Indonesia, Edisi
V. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Dewi, R., dkk. (2014). Uji Stabilitas Fisik Formula Krim yang Mengandung
Ekstrak Kacang Kedelai (Glycine max). Pharm Sci Res.
Djajadisastra, J. (2004). Cosmetic Stability. Disampaikan pada Seminar Setengah
Hari HIKI, Slipi, Jakarta.
Eskandari, S. (2012). Arthritis and Transdermal Glucosamine (Rahamin®): A
Brief Introduction. Iranian Journal of Rheumatology.
Fahruzzaman, Asyraq. (2017). Uji Penetrasi Gel Transdermal Nanopartikel
Glukosamin Hidroklorida dengan Variasi Konsentrasi Kitosan
Menggunakan Sel Difusi Franz. Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
Fan, W., Yan, W., Xu, Z., dan Ni, H.. (2012). Formation Mechanism of
Monodisperse, Low Molecular Weight Chitosan Nanoparticles by Ionic
Gelation Technique. Colloids and Surfaces B Biointerfaces, 90, 21-27.
Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO). (2006).
Pentasodium Triphosphate. Diunduh pada tanggal 19 Februari 2018,
dari
http://www.fao.org/food/food-safety-quality/scientific-advice/jecfa/jecf
a-additives/detail/en/c/406/
Gandjar, I. G., & Rohman, A. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Goyal, R., dkk. (2016). Nanoparticles and Nanofibers for Topical Drug Delivery.
Journal of Controlled Release, 240, 77-92.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta61
Hamijoyo. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Han, I. H., dkk. (2010). Identification and Assesment of Permeability Enhanching
Vehicles for Transdermal Delivery of Glucosamine Hydrocloride.
Archives of Pharmacal Research, 33(2), 293 - 299
Harmita. (2004). Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode dan Cara Perhitungannya.
Majalah Ilmu Kefarmasian, I (3), 117-135
Hua, N. G., Lee, Yu Ming., dan Jonathan, Obaje. (2011). A Transdermal
Glucosamine Formulation Improves Osteoarthritic Symptoms in an
Open Clinical Survey. International Journal of Pharmacy and
Pharmaceutical Sciences, 3(3).
Institute of Medicine, National Research Council. (2005). Glucosamine: Prototype
Monograph Summary. In Dietary Supplements: A Framework for
Evaluating Safety. Washington DC: The National Academies, 363–6.
Jalwal, P., dkk. (2010). A Review on Transdermal Patches. The Pharma Research,
3,139-149.
Jonassen, Helene., Kjøniksen, AL., dan Hiorth, M. (2012). Stability of Chitosan
Nanoparticles Cross- Linked with Tripolyphosphate.
Biomacromolecules, 13, 3747−3756
Kalim. (1987). Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi Kedua. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI.
Kaur, D., Singh, R. (2015). A Novel Approach: Transdermal Gel. International
Journal of Pharma Research & Review, 4(10), 41-50.
Kesarwani, Arti., dkk. (2013). Theoretical Aspects Of Transdermal Drug Delivery
System. Bulletin of Pharmaceutical Research. 3(2), 78-89.
Kolarsick, P. A. J., Kolarsick, M. A., dan Goodwin, C. (2011). Anatomy and
Physiology of the Skin. Journal of the Dermatology Nurses’s
Association, 3(4), 203-213.
Kumar L., & Verma R. (2010). In Vitro Evaluation of Topical Gel Prepared Using
Natural Polymer. International Journal of Drug Delivery, 2, 58-63.
Lachman, L., Lieberman, H. A., & Kanig, J. L. (1994). Teori dan Praktek
Farmasi Indusri 1 (Siti Suyatmi, Penerjemah). Jakarta : UI Press.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta62
Lund, W. (1994). Pharmaceutical Codex, 12th Edition. London: The
Pharmaceutical Press.
Mackenzie, K., & Jemmet, A.E. (1971). Polymer Shear Stability. Wear (An
International Journal on the Science and Technology of Friction,
Lubrication and Wear), 0043-1648
Mahmood, Tariq., & Naveed, Akhtar. (2013). Stability of a Cosmetic Multiple
Emulsion Loaded with Green Tea Extract. The Scientific World Journal,
2016
Manian R., Anusuya N., Siddhuraju P. (2008). The Antioxidant Activity and Free
Radical Scavenging Potential of Two Different Solvent Extracts of
Camelia sinensis (L.) O. Kuntz, Ficus bengalensis L. and Ficus
racemosa L. Food Chemistry, 100-1007.
Mardliyati, E., dkk. (2012). Sintesis Nanopartikel Kitosan-Trypoly Phosphate
dengan Metode Gelasi Ionik: Pengaruh Konsentrasi dan Rasio Volume
Terhadap Karakteristik Partikel. Prosiding Pertemuan Ilmiah Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi Bahan, 90-93.
Martin, A., Swarbrick, J., & Commarata, A. (1993). Farmasi Fisik : Dasar-Dasar
Kimia Fisik dalam Ilmu Farmasetik (Terjemahan Yoshita), Edisi ke-3,
Jilid ke-2. Jakarta : UI-Press, hal. 845 – 847.
Mohanraj, VJ., & Chen, Y. (2006). Nanoparticles – A Review. Tropical Journal
of Pharmaceutical Research, 5(1): 561-573
National Institute of Arthritis and Musculoskeletal (NIAMS). (2014). What is
Osteoarthritis. USA : National Institute of Health
Nisa, Michrun., dkk. (2013). Uji Efektifitas Beberapa Senyawa Sebagai Peningkat
Penetrasi terhadap Laju Difusi Krim Asam Kojat Tipe Minyak dalam
Air Secara In Vitro. Pharmacy, 10(01): 1693-3591
Nisa, O. N. L., dkk. (2017). Uji Stabilitas Pada Gel Ekstrak Daun Pisang (Gelek
Usang). URECOL (University Research Colloquium), ISSN 2407-9189
Palmer, B. C., & DeLouise. L. A. (2017). Nanoparticle Enabled Transdermal
Drug Delivery Systems for Enhanced Dose Control and Tissue
Targeting. HHS Public Access, 21(12).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta63
Retnani, Nur Ida Dwi., dkk. (2010). Analisis Kuantitatif Tablet Levofloksasin
Merk dan Generik dalam Plasma Manusia Secara In Vitro dengan
Metode Spektrofotometri Ultravioletvisibel. Pharmacy, 07(01):
1693-3591
Riyanto. (2014). Validasi & Verifikasi Metode Uji. Yogyakarta: Deepublish
Rowe, C. R., dkk. 2009. Handbook of Pharmaceutical Excipients, 6th Edition.
Washington: Pharmeceutical Press.
Shaw, Montgomery T. (2012). Introduction to Polymer Rheology. New Jersey :
John Wiley & Sons, Inc.
Sinko, Patrick J. (2006). Martin Farmasi Fisika dan Ilmu Farmasetika Edisi 5.
Jakarta : EGC
Suryani, dkk. (2017). Formulasi dan Uji Stabilitas Sediaan Gel Ekstrak
Terpurifikasi Daun Paliasa (Kleinhovia Hospita L.) yang Berefek
Antioksidan. Pharmacon Jurnal Ilmiah Farmasi. 2302 - 2493
Swabrick, James (ed). (2007). Encyclopedia of Pharmaceutical Technology. 3rd
Edition. Volume 4. New York : Informa Healthcare USA Inc
Szymańska, Emilia., & Winnicka, Katarzyna. (2015). Stability of Chitosan - A
Challenge for Pharmaceutical and Biomedical Applications. Marine
Drugs, 13, 1819-1846
Tiyaboonchai W. 2003. Chitosan Nanoparticles: A Promising System for Drug
Delivery. Naresuan Univ. Journal. 11(3): 51-66
Touitou, Elka., Barry W. (2007). Enhancement In Drug Delivery. New York:
CRC Press, 220-221, 237, 246.
Witt, K., & D. Bucs. (2003). Studying In Vitro Skin Penetration and Drug Release
to Optimize Dermatological Formulations in Pharmaceutical
Technology. USA : Advanstar Communication Inc.
Yu, S. H., Wu, SJ., Wu, JY., Peng, CK., dan Mi, FL. (2013). Tripolyphosphate
Cross-Linked Macromolecular Composites for the Growth of Shape and
Size Controlled Apatites. Molecules: 18. 27-40.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta64
Lampiran 1. Skema Prosedur PenelitianLAMPIRAN
Pembuatanlarutan induk
Analisis LODdan LOQ
Uji Stabilitas pada Suhu Tinggi (40 ± 2°C) dan Suhu Kamar (27- 30°C)
Preparasi nanopartikel glukosamin HCl dengankonsentrasi kitosan 0,5%
Preparasi gel nanopartikel glukosamin HClpH 5 dan pH 6
Cycling Test
Organoleptik pHH
Homogenitas
Viskositas danRheologi
Penetapan Kadar
Penetrasi
Derivatisasi
Penentuan panjanggelombang maksimum
Pembuatan KurvaKalibrasi
Analisis Kadar Glukosamin HCl
Uji Mekanik
Preparasi gel nanopartikel
Evaluasi gel
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
65
Lampiran 2. Panjang Gelombang Maksimum Phenyl Thiourea (HasilDerivatisasi Glukosamin HCl)
PTH
λ 238 nm
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
66
Lampiran 3. Absorbansi Larutan Standar Glukosamin HCl
Konsesntrasi (μg/mL) Absorbansi
2 0,104
4 0,211
6 0,362
8 0,452
10 0,588
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
67
Lampiran 4. Perhitungan LOD dan LOQ
Persamaan regresi kurva kalibrasi :
y = 0,0604x- 0,019
Perhitungan yi
y = 0,0604x - 0,019
y = 0,0604(2) - 0,019
y = 0,1018 (nilai yi)
Rumus Standar Deviasi (Sa)
Sa =2)( 2
nyiy =
25)0006507,0( 2
= 0,014727525
Rumus Batas Deteksi
LOD =slope
Sa3 =0604,0
014727525,03x = 0,731499599
Rumus Batas Kuantitasi
LOQ =slope
Sa10 =0604,0
014727525,010x = 2,438331995
Konsentrasi(x)
Absorbansi(y) yi |y-yi| (y-yi)2
2 0,104 0,1018 0,0022 4,84E-06
4 0,211 0,2226 -0,0111 0,00012321
6 0,362 0,3434 0,0191 0,00036481
8 0,452 0,4642 -0,0122 0,00014884
10 0,588 0,585 0,003 9E-06
Σ 0,0006507
Sa 0,014727525
LOD 0,731499599
LOQ 2,438331995
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
68
Lampiran 5. Cycling Test
Waktu pH 5 pH 6
Siklus 1
Siklus 2
Siklus 3
Siklus 4
Siklus 5
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
69
Siklus 6
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
70
Lampiran 6. Uji Mekanik (Sentrifugasi)
Waktu pH 5000 rpm ; 20menit
10000 rpm ; 30menit
Hari ke-0
pH 5
pH 6
Hari ke-1(24 jam)
pH 5
pH 6
pH 5 pH 5
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
71
Hari ke-2(48 jam)
pH 5
pH 6
Hari ke-7
pH 5
pH 6
Hari ke-14 pH 5
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
72
pH 6
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
73
Lampiran 7. Viskositas Glukosamin HCl ( Suhu Kamar)
Lampiran 8. Viskositas Glukosamin HCl (Suhu Tinggi)
Rpm Minggu 0 Minggu 2 Minggu 4 Minggu 82 3620 1835 620 5803 2990 1430 610 6354 2860 1720 635 6505 2720 1610 670 6606 2640 1480 690 68510 2060 1410 700 68012 1970 1400 705 66520 1770 1345 720 70030 1710 1290 725 70550 1660 1265 715 69560 1500 1225 715 695100 830 910 710 695
Rpm Minggu 0 Minggu 22 3620 9503 2990 9704 2860 9905 2720 10206 2640 103010 2060 103012 1970 104020 1770 106030 1710 102050 1660 101060 1500 1000100 830 840
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
74
Lampiran 9. Persen Torque Glukosamin HCl (Suhu Kamar)
KecepatanPutar (Rpm)
% TorqueMinggu 0 Minggu 2 Minggu 4 Minggu 8
2 3,5 3,3 0 1,13 4,9 4,5 1,6 1,84 5,9 6,3 2,3 2,65 7,5 8 3,2 3,36 9 8,9 4 4,110 14,9 13,5 6,8 6,712 18,8 16,1 8,3 7,520 29,3 25,8 14,3 13,930 41,6 38,1 21,6 2150 70,3 51,4 35,8 34,760 85,2 71,2 43 41,8100 83,5 84,7 71,7 6960 91,85 76,6 71,7 42,350 82 65,1 43,3 35,130 56,6 39,3 36,3 21,320 43,4 28,2 22 14,212 28,4 17,5 14,6 8,410 24,6 14,7 8,7 6,96 15,8 8,8 7,2 4,15 13,6 8,1 4,2 3,34 11,4 7,4 3,5 2,63 8,9 7,2 2,7 1,92 7,2 4,1 2 1,1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
75
Lampiran 10. Persen Torque Glukosamin HCl (Suhu Tinggi)
KecepatanPutar (Rpm)
% TorqueMinggu 0 Minggu 2
2 3,5 1,93 4,9 2,94 5,9 45 7,5 4,46 9 5,410 14,9 912 18,8 10,920 29,3 18,430 41,6 27,950 70,3 45,560 85,2 53,5100 83,5 84,260 91,85 60,250 82 50,530 56,6 30,620 43,4 21,212 28,4 12,410 24,6 10,36 15,8 6,25 13,6 5,14 11,4 3,93 8,9 2,92 7,2 1,9
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
76
Lampiran 11.Data Hasil Uji Penetrasi Sediaan Gel Glukosamin PenyimpananSuhu Kamar (Minggu 0)
Waktu(Menit)
Jumlah Kumulatif Zat Aktif PerSatuan Luas Area (μg/cm2)
% Kumulatif Difusi GlukosaminHCl
I II III Rata-rata SD I II III Rata-
rata SD
10 384,8 434,6 440,1 419,8 30,5 40,3 45,5 46,1 43,9 3,230 441,9 488,5 486,0 472,1 26,2 46,2 51,1 50,9 49,4 2,760 509,1 488,6 569,1 522,3 41,8 53,3 51,1 59,6 54,7 4,490 537,0 570,8 560,9 556,2 17,3 56,2 59,7 58,7 58,2 1,8120 598,5 586,6 664,6 616,6 42,0 62,6 61,4 69,6 64,5 4,4180 642,3 629,7 708,5 660,2 42,3 67,2 65,9 74,2 69,1 4,4240 725,9 682,0 747,7 718,5 33,4 76,0 71,4 78,3 75,2 3,5300 779,0 716,3 781,8 759,0 37,1 81,5 75,0 81,8 79,4 3,9360 819,5 795,3 824,5 813,1 15,7 85,8 83,2 86,3 85,1 1,6420 830,1 832,4 873,4 845,3 24,4 86,9 87,1 91,4 88,5 2,6480 897,8 883,8 914,9 898,9 15,6 94,0 92,5 95,8 94,1 1,6
Lampiran 12.Data Hasil Uji Penetrasi Sediaan Gel Glukosamin Penyimpanan
Suhu Kamar (Minggu 2)
Waktu(Menit)
Jumlah Kumulatif Zat Aktif PerSatuan Luas Area (μg/cm2)
% Kumulatif Difusi GlukosaminHCl
I II III Rata-rata SD I II III Rata-
rata SD
10 395,8 492,7 470,6 453,1 50,8 41,4 51,6 49,3 47,4 5,330 459,0 527,3 512,4 499,5 35,9 48,0 55,2 53,6 52,3 3,860 485,5 620,5 544,0 550,0 67,7 50,8 64,9 56,9 57,6 7,190 539,9 656,1 542,8 579,6 66,2 56,5 68,7 56,8 60,7 6,9120 609,8 664,4 604,1 626,1 33,3 63,8 69,5 63,2 65,5 3,5180 745,6 652,4 634,0 677,3 59,8 78,0 68,3 66,4 70,9 6,3240 737,1 727,1 697,4 720,6 20,6 77,2 76,1 73,0 75,4 2,2300 796,0 690,7 776,5 754,4 56,0 83,3 72,3 81,3 79,0 5,9360 817,7 770,3 855,4 814,5 42,6 85,6 80,6 89,5 85,2 4,5420 863,8 819,4 856,3 846,5 23,8 90,4 85,8 89,6 88,6 2,5480 874,7 891,6 905,6 890,6 15,4 91,6 93,3 94,8 93,2 1,6
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
77
Lampiran 13. Data Hasil Uji Penetrasi Sediaan Gel Glukosamin PenyimpananSuhu Kamar (Minggu 4)
Waktu(Menit)
Jumlah Kumulatif Zat Aktif PerSatuan Luas Area (μg/cm2)
% Kumulatif Difusi GlukosaminHCl
I II III Rata-rata SD I II III Rata-
rata SD
10 437,4 412,5 406,9 418,9 16,2 45,8 43,2 42,6 43,8 1,730 413,9 495,8 434,6 448,1 42,6 43,3 51,9 45,5 46,9 4,560 496,3 562,7 465,4 508,2 49,7 51,9 58,9 48,7 53,2 5,290 556,8 637,3 546,6 580,3 49,7 58,3 66,7 57,2 60,7 5,2120 602,5 672,8 594,8 623,4 43,0 63,1 70,4 62,3 65,2 4,5180 610,6 752,9 638,5 667,3 75,4 63,9 78,8 66,8 69,8 7,9240 617,8 735,9 702,6 685,5 60,9 64,7 77,0 73,5 71,7 6,4300 685,2 761,0 746,4 730,8 40,2 71,7 79,6 78,1 76,5 4,2360 735,3 844,0 777,1 785,5 54,9 77,0 88,3 81,3 82,2 5,7420 792,1 832,8 857,7 827,6 33,1 82,9 87,2 89,8 86,6 3,5480 853,1 883,3 844,0 860,2 20,6 89,3 92,5 88,3 90,0 2,2
Lampiran 14. Data Hasil Uji Penetrasi Sediaan Gel Glukosamin PenyimpananSuhu Kamar (Minggu 8)
Waktu(Menit)
Jumlah Kumulatif Zat Aktif PerSatuan Luas Area (μg/cm2)
% Kumulatif Difusi GlukosaminHCl
I II III Rata-rata SD I II III Rata-
rata SD
10 398,6 409,7 384,8 397,7 12,5 41,7 42,9 40,3 41,6 1,330 420,4 465,2 488,9 458,2 34,8 44,0 48,7 51,2 48,0 3,660 500,4 500,2 561,1 520,6 35,1 52,4 52,4 58,7 54,5 3,790 547,3 541,5 663,4 584,1 68,8 57,3 56,7 69,4 61,1 7,2120 617,6 616,9 639,3 624,6 12,8 64,6 64,6 66,9 65,4 1,3180 706,7 647,8 668,1 674,2 29,9 74,0 67,8 69,9 70,6 3,1240 760,1 737,0 710,8 735,9 24,7 79,6 77,1 74,4 77,0 2,6300 795,3 754,5 746,0 765,2 26,3 83,2 79,0 78,1 80,1 2,8360 792,0 743,8 759,4 765,1 24,6 82,9 77,9 79,5 80,1 2,6420 831,4 795,0 810,9 812,4 18,2 87,0 83,2 84,9 85,0 1,9480 835,3 830,7 863,7 843,2 17,8 87,4 86,9 90,4 88,3 1,9
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
78
Lampiran 15. Data Hasil Uji Penetrasi Sediaan Gel Glukosamin PenyimpananSuhu Tinggi (Minggu 0)
Waktu(Menit)
Jumlah Kumulatif Zat Aktif PerSatuan Luas Area (μg/cm2)
% Kumulatif Difusi GlukosaminHCl
I II III Rata-rata SD I II III Rata-
rata SD
10 384,8 434,6 440,1 419,8 30,5 40,3 45,5 46,1 43,9 3,230 441,9 488,5 486,0 472,1 26,2 46,2 51,1 50,9 49,4 2,760 509,1 488,6 569,1 522,3 41,8 53,3 51,1 59,6 54,7 4,490 537,0 570,8 560,9 556,2 17,3 56,2 59,7 58,7 58,2 1,8120 598,5 586,6 664,6 616,6 42,0 62,6 61,4 69,6 64,5 4,4180 642,3 629,7 708,5 660,2 42,3 67,2 65,9 74,2 69,1 4,4240 725,9 682,0 747,7 718,5 33,4 76,0 71,4 78,3 75,2 3,5300 779,0 716,3 781,8 759,0 37,1 81,5 75,0 81,8 79,4 3,9360 819,5 795,3 824,5 813,1 15,7 85,8 83,2 86,3 85,1 1,6420 830,1 832,4 873,4 845,3 24,4 86,9 87,1 91,4 88,5 2,6480 897,8 883,8 914,9 898,9 15,6 94,0 92,5 95,8 94,1 1,6
Lampiran 16. Data Hasil Uji Penetrasi Sediaan Gel Glukosamin PenyimpananSuhu Tinggi (Minggu 2)
Waktu(Menit)
Jumlah Kumulatif Zat Aktif PerSatuan Luas Area (μg/cm2)
% Kumulatif Difusi GlukosaminHCl
I II III Rata-rata SD I II III Rata-
rata SD
10 398,6 456,7 404,2 419,8 32,1 41,7 47,8 42,3 43,9 3,430 448,0 464,7 437,2 450,0 13,8 46,9 48,6 45,8 47,1 1,460 501,7 532,8 507,0 513,8 16,6 52,5 55,8 53,1 53,8 1,790 559,7 586,6 548,6 565,0 19,5 58,6 61,4 57,4 59,1 2,0120 553,0 625,2 585,7 588,0 36,2 57,9 65,4 61,3 61,5 3,8180 608,5 675,6 645,5 643,2 33,6 63,7 70,7 67,6 67,3 3,5240 662,8 718,8 704,3 695,3 29,1 69,4 75,2 73,7 72,8 3,0300 724,1 757,3 742,5 741,3 16,6 75,8 79,3 77,7 77,6 1,7360 762,2 821,2 778,5 787,3 30,5 79,8 86,0 81,5 82,4 3,2420 822,9 831,5 809,4 821,3 11,2 86,1 87,0 84,7 86,0 1,2480 863,1 863,0 873,6 866,6 6,1 90,3 90,3 91,4 90,7 0,6
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
79
Lampiran 17. Data Fluks Sediaan Gel Glukosamin Penyimpanan Suhu Kamar(Minggu 0)
Lampiran 18. Data Fluks Sediaan Gel Glukosamin Penyimpanan Suhu Kamar(Minggu 2)
Waktu(Menit)
Fluks Penetrasi (μg cm-2 jam-1)
I II III Rata-rata SD
10 2308,7 2607,6 2640,8 2519 18330 883,7 977 972,0 944,3 52,560 509,1 488,6 569,1 522,3 41,890 358 380,5 373,9 370,8 11,6120 299,2 293,3 332,3 308,3 21180 214,1 209,9 236,2 220,1 14,1240 181,5 170,5 186,9 179,6 8,4300 155,8 143,3 156,4 151,8 7,4360 136,6 132,5 137,4 135,5 2,6420 118,6 118,9 124,8 120,8 3,5480 112,2 110,5 114,4 112,4 1,9
Waktu(Menit)
Fluks Penetrasi (μg cm-2 jam-1)
I II III Rata-rata SD
10 2375,1 2956,4 2823,5 2718,3 304,630 918 1054,5 1024,8 999,1 71,860 485,5 620,5 544 550 67,790 359,9 437,4 361,9 386,4 44,2120 304,9 332,2 302,1 313,0 16,6180 248,5 217,5 211,3 225,8 19,9240 184,3 181,8 174,4 180,1 5,2300 159,2 138,1 155,3 150,9 11,2360 136,3 128,4 142,6 135,7 7,1420 123,4 117,1 122,3 120,9 3,4480 109,3 111,5 113,2 111,3 1,9
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
80
Lampiran 19. Data Fluks Sediaan Gel Glukosamin Penyimpanan Suhu Kamar(Minggu 4)
Lampiran 20. Data Fluks Sediaan Gel Glukosamin Penyimpanan Suhu Kamar
(Minggu 8)
Waktu(Menit)
Fluks Penetrasi (μg cm-2 jam-1)
I II III Rata-rata SD
10 2624,2 2474,7 2441,5 2513,5 97,330 827,8 991,5 869,2 896,2 85,160 496,3 562,7 465,4 508,2 49,790 371,2 424,9 364,4 386,8 33,1120 301,3 336,4 297,4 311,7 21,5180 203,5 251 212,8 222,4 25,1240 154,5 184 175,6 171,4 15,2300 137 152,2 149,3 146,2 8360 122,5 140,7 129,5 130,9 9,1420 113,2 119 122,5 118,2 4,7480 106,6 110,4 105,5 107,5 2,6
Waktu(Menit)
Fluks Penetrasi (μg cm-2 jam-1)
I II III Rata-rata SD
10 2391,7 2458,1 2308,7 2386,2 74,930 840,7 930,4 977,8 916,3 69,660 500,4 500,2 561,1 520,6 35,190 364,9 361 442,3 389,4 45,9120 308,8 308,5 319,7 312,3 6,4180 235,6 215,9 222,7 224,7 10240 190 184,2 177,7 184 6,2300 159,1 150,9 149,2 153 5,3360 132 124 126,6 127,5 4,1420 118,8 113,6 115,8 116,1 2,6480 104,4 103,8 108 105,4 2,2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
81
Lampiran 21. Data Fluks Sediaan Gel Glukosamin Penyimpanan Suhu Tinggi(Minggu 0)
Lampiran 22. Data Fluks Sediaan Gel Glukosamin Penyimpanan Suhu Tinggi(Minggu 2)
Waktu(Menit)
Fluks Penetrasi (μg cm-2 jam-1)
I II III Rata-rata SD
10 2308,7 2607,6 2640,8 2519 18330 883,7 977 972 944,3 52,560 509,1 488,6 569,1 522,3 41,890 358 380,5 373,9 370,8 11,6120 299,2 293,3 332,3 308,3 21180 214,1 209,9 236,2 220,1 14,1240 181,5 170,5 186,9 179,6 8,4300 155,8 143,3 156,4 151,8 7,4360 136,6 132,5 137,4 135,5 2,6420 118,6 118,9 124,8 120,8 3,5480 112,2 110,5 114,4 112,4 1,9
Waktu(Menit)
Fluks Penetrasi (μg cm-2 jam-1)
I II III Rata-rata SD
10 2391,7 2740,5 2424,9 2519 192,530 896,1 929,3 874,5 900 27,660 501,7 532,8 507 513,8 16,690 373,1 391,1 365,7 376,6 13120 276,5 312,6 292,8 294 18,1180 202,8 225,2 215,2 214,4 11,2240 165,7 179,7 176,1 173,8 7,3300 144,8 151,5 148,5 148,3 3,3360 127 136,9 129,8 131,2 5,1420 117,6 118,8 115,6 117,3 1,6480 107,9 107,9 109,2 108,3 0,8
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
82
Lampiran 23. Contoh Perhitungan Penetrasi Kumulatif Glukosamin HCl PerLuas Area
Sampel Sediaan Gel Glukosamin HCl Mingguke- 0 yang Disimpan pada
Suhu Kamar pada Menit ke-10
Serapan menit ke 10 (y10) = 0,138
y = 0,0604x - 0,019
0,138 = 0,0604x - 0,019
x10 = 2,599
Faktor Pengenceran (FP) = Volume labu tentukur : Volume Sampling
= 25 ml : 1 ml
= 25 x
Konsentrasi terpenetrasi = x10 x Faktor Pengenceran
= 2,599 x 25
= 64,983 μg/ml
Rumus Jumlah Kumulatif Zat Aktif yang Terpenetrasi Per Luas Area :
Keterangan :
Q : Jumlah kumulatif yang terpenetrasi per luas area (μg/cm2)
Cn : Konsentrasi terpenetrasi pada menit ke-n (μg/ml)
V : Volume sel difusi (21ml)
1
1
n
iC : Jumlah konsentrasi zat pada sampling pertama (menit ke-10) hingga
sebelum menit ke-n (μg/ml)
S : Volume sampling = 1 ml
A : Luas area membran = 3,14 cm2
ASCCnV
Qn
i
1
1.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
83
(Lanjutan)
Q = 23,14cmml) (0x1ml) 21 x µg/ml (64,983
= 434,603 μg/cm2
%Kumulatif = (Q x A x 100%) / Kandungan zat aktif dalam sediaan
= (434,603 μg/cm2 x 3,14 cm2 x 100%) / 3000 μg
= 45,488%
Jumlah kumulatif glukosamin HCl terpenetrasi persatuan luas area pada menit ke
10 adalah 434,603 μg/cm2 dengan %kumulatif 45,488 %
Sampel Sediaan Gel Glukosamin HCl Minggu ke- 0 yang Disimpan pada
Suhu Kamar pada Menit ke-30
Serapan menit ke 10 (y30) = 0,138
y = 0,0604x - 0,019
0,150 = 0,0604x - 0,019
x30 = 2,798
Faktor Pengenceran (FP) = Volume labu tentukur : Volume Sampling
= 25 ml : 1 ml
= 25 x
Konsentrasi terpenetrasi = x10 x Faktor Pengenceran
= 2,798 x 25
= 69,950 μg/ml
Rumus Jumlah Kumulatif Zat Aktif yang Terpenetrasi Per Luas Area :
ASCCnV
Qn
i
1
1.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
84
Keterangan :
Q : Jumlah kumulatif yang terpenetrasi per luas area (μg/cm2)
Cn : Konsentrasi terpenetrasi pada menit ke-n (μg/ml)
V : Volume sel difusi (21ml)
1
1
n
iC : Jumlah konsentrasi zat pada sampling pertama (menit ke-10) hingga
sebelum menit ke-n (μg/ml)
S : Volume sampling = 1 ml
A : Luas area membran = 3,14 cm2
Q = 23,14cmml) x1µg/ml (64,983ml) 21 x µg/ml (69,950
= 488,516 μg/cm2
%Kumulatif = (Q x A x 100%) / Kandungan zat aktif dalam sediaan
= (488,516 μg/cm2 x 3,14 cm2 x 100%) / 3000 μg
= 51,131%
Jumlah kumulatif glukosamin HCl terpenetrasi persatuan luas area pada menit ke
30 adalah 488,516 μg/cm2 dengan %kumulatif 51,131 %
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
85
Lampiran 24. Contoh Perhitungan Fluks Penetrasi Kumulatif Glukosamin HCl
Sampel Sediaan Gel Glukosamin HCl Mingguke- 0 yang Disimpan pada
Suhu Kamar pada Menit ke-120
Kecepatan penetrasi glukosamin HCl (fluks, J, μg cm-2 jam-1) dihitung dengan
rumus :
Keterangan :
J : Fluks (μg cm-2 jam-1)
S : Luas area difusi (cm2)
M : Jumlah kumulatif zat yang melalui membran (μg)
T : Waktu (jam)
Diketahui :
M/S = 586,588 μg/cm2
t = 2 jam
Maka :
J = 586,588 μg/cm2 / 2 jam
= 293,294 μg cm-2 jam-1
Kecepatan penetrasi glukosamin HCl pada jam ke-2 adalah 293,294 μg cm-2 jam-1
tQ
sxtMJ
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
86
Lampiran 25. Hasil Uji Statistik Jumlah Kumulatif Glukosamin HCl TerpenetrasiPer Luas Area (Suhu Kamar)
Uji Normalitas Jumlah Kumulatif Glukosamin HCl Ter Penetrasi pada Jam
ke-8
Tests of Normality
Minggu
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Juml.Kumulatif 0 .194 3 . .997 3 .888
2 .192 3 . .997 3 .896
4 .301 3 . .912 3 .424
8 .338 3 . .853 3 .248
a. Lilliefors Significance Correction
Keterangan : Signifikansi >0,05 data terdistribusi secara normal
Uji Homogenitasi Jumlah Kumulatif Glukosamin HCl Ter Penetrasi pada
Jam ke-8
Test of Homogeneity of Variances
Juml.Kumulatif
Levene Statistic df1 df2 Sig.
.275 3 8 .842
Keterangan : Signifikansi > 0,05 data terdistribusi secara homogen
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
87
Uji ANOVA Jumlah Kumulatif Glukosamin HCl Ter Penetrasi pada Jam
ke-8
ANOVA
Juml.Kumulatif
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 6089.661 3 2029.887 6.625 .015
Within Groups 2451.273 8 306.409
Total 8540.935 11
Keterangan : Signifikansi < 0,05 data berbeda secara bermakna;
Signifikansi > 0,05 data tidak berbeda secara bermakna
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
88
Multiple Comparisons
Dependent Variable: Juml.Kumulatif
LSD
(I) Minggu (J) MingguMean Difference
(I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
0 2 8.216667 14.292403 .581 -24.74167 41.17501
4 38.666333* 14.292403 .027 5.70799 71.62467
8 55.627000* 14.292403 .005 22.66866 88.58534
2 0 -8.216667 14.292403 .581 -41.17501 24.74167
4 30.449667 14.292403 .066 -2.50867 63.40801
8 47.410333* 14.292403 .011 14.45199 80.36867
4 0 -38.666333* 14.292403 .027 -71.62467 -5.70799
2 -30.449667 14.292403 .066 -63.40801 2.50867
8 16.960667 14.292403 .269 -15.99767 49.91901
8 0 -55.627000* 14.292403 .005 -88.58534 -22.66866
2 -47.410333* 14.292403 .011 -80.36867 -14.45199
4 -16.960667 14.292403 .269 -49.91901 15.99767
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Keterangan : Signifikansi < 0,05 data berbeda secara bermakna;
Signifikansi > 0,05 data tidak berbeda secara bermakna
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
89
Lampiran 26. Hasil Uji Statistik Jumlah Kumulatif Glukosamin HCl TerpenetrasiPer Luas Area (Suhu Tinggi)
Uji Normalitas Jumlah Kumulatif Glukosamin HCl Ter Penetrasi pada Jam
ke-8
Tests of Normality
Minggu
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Juml.Kumulatif 0 .194 3 . .997 3 .888
2 .381 3 . .759 3 .021
a. Lilliefors Significance Correction
Keterangan : Signifikansi >0,05 data terdistribusi secara normal
Uji Wilcoxon Jumlah Kumulatif Glukosamin HCl Ter Penetrasi pada Jam
ke-8
Ranks
N Mean Rank Sum of Ranks
Juml.Kumulatif.2 -Juml.Kumulatif.0
Negative Ranks 3a 2.00 6.00
Positive Ranks 0b .00 .00
Ties 0c
Total 3
a. Juml.Kumulatif.2 < Juml.Kumulatif.0
b. Juml.Kumulatif.2 > Juml.Kumulatif.0
c. Juml.Kumulatif.2 = Juml.Kumulatif.0
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
90
Test Statisticsa
Juml.Kumulatif.2 -
Juml.Kumulatif.0
Z -1.604b
Asymp. Sig. (2-tailed) .109
a. Wilcoxon Signed Ranks Test
b. Based on positive ranks.
Keterangan : Signifikansi < 0,05 data berbeda secara bermakna;
Signifikansi > 0,05 data tidak berbeda secara bermakna
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
91
Lampiran 27. Hasil Uji Statistik Fluks Penetrasi Glukosamin HCl (Suhu Kamar)
Uji Normalitas Fluks Penetrasi Glukosamin HCl pada Jam ke-8Tests of Normality
Minggu
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Fluks 0 .194 3 . .997 3 .888
2 .192 3 . .997 3 .896
4 .301 3 . .912 3 .426
8 .338 3 . .853 3 .248
a. Lilliefors Significance Correction
Keterangan : Signifikansi >0,05 data terdistribusi secara normal
Uji Homogenitasi Fluks Penetrasi Glukosamin HCl pada Jam ke-8
Test of Homogeneity of Variances
Fluks
Levene Statistic df1 df2 Sig.
.271 3 8 .845
Keterangan : Signifikansi > 0,05 data terdistribusi secara homogen
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
92
Uji ANOVA Fluks Penetrasi Glukosamin HCl pada Jam ke-8
ANOVA
Fluks
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 95.204 3 31.735 6.645 .015
Within Groups 38.204 8 4.776
Total 133.408 11
Keterangan : Signifikansi < 0,05 data berbeda secara bermakna;
Signifikansi > 0,05 data tidak berbeda secara bermakna
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
93
Multiple Comparisons
Dependent Variable: Fluks
LSD
(I) Minggu (J) MingguMean Difference
(I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
0 2 1.027000 1.784287 .581 -3.08757 5.14157
4 4.838667* 1.784287 .027 .72409 8.95324
8 6.953333* 1.784287 .005 2.83876 11.06791
2 0 -1.027000 1.784287 .581 -5.14157 3.08757
4 3.811667 1.784287 .065 -.30291 7.92624
8 5.926333* 1.784287 .011 1.81176 10.04091
4 0 -4.838667* 1.784287 .027 -8.95324 -.72409
2 -3.811667 1.784287 .065 -7.92624 .30291
8 2.114667 1.784287 .270 -1.99991 6.22924
8 0 -6.953333* 1.784287 .005 -11.06791 -2.83876
2 -5.926333* 1.784287 .011 -10.04091 -1.81176
4 -2.114667 1.784287 .270 -6.22924 1.99991
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Keterangan : Signifikansi < 0,05 data berbeda secara bermakna;
Signifikansi > 0,05 data tidak berbeda secara bermakna
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
94
Lampiran 28. Hasil Uji Statistik Fluks Penetrasi Glukosamin HCl (Suhu Tinggi)
Uji Normalitas Fluks Penetrasi Glukosamin HCl pada Jam ke-8
Tests of Normality
Minggu
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Fluks 0 .194 3 . .997 3 .888
2 .381 3 . .760 3 .021
a. Lilliefors Significance Correction
Keterangan : Signifikansi >0,05 data terdistribusi secara normal
Uji Wilcoxon Fluks Penetrasi Glukosamin HCl pada Jam ke-8
Ranks
N Mean Rank Sum of Ranks
Fluks.Minggu2 -Fluks.Minggu0
Negative Ranks 3a 2.00 6.00
Positive Ranks 0b .00 .00
Ties 0c
Total 3
a. Fluks.Minggu2 < Fluks.Minggu0
b. Fluks.Minggu2 > Fluks.Minggu0
c. Fluks.Minggu2 = Fluks.Minggu0
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
95
Keterangan : Signifikansi < 0,05 data berbeda secara bermakna;
Signifikansi > 0,05 data tidak berbeda secara bermakna
Test Statisticsa
Fluks.Minggu2 -Fluks.Minggu0
Z -1.604b
Asymp. Sig. (2-tailed) .109
a. Wilcoxon Signed Ranks Test
b. Based on positive ranks.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
96
Lampiran 29. Sertifikat Analisa Glukosamin Hidroklorida
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
97
Lampiran 30. Sertifikat Analisa Kitosan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
98
Lampiran 31. Sertifikat Analisa Dietil Eter
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
99
Lampiran 32. Sertifikat Analisa Natrium Asetat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
100
Lampiran 33. Sertifikat Analisa TEA
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
101
Lampiran 34. Sertifikat Analisa Natrium Hidroksida
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
102
Lampiran 35. Sertifikat Analisa Tween 80
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
103
Lampiran 36. Sertifikat Analisa Metil Paraben
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
104
Lampiran 37. Sertifikat Analisa Propilparaben