UI tidak perlu melirik Jurnal Pemangsa kira-kira hukumnya haram. Namun untuk menembus top-tier...
Transcript of UI tidak perlu melirik Jurnal Pemangsa kira-kira hukumnya haram. Namun untuk menembus top-tier...
Topik Utama
2 i DRPM gazette i vol. 06 No. 03 JUli 13
UI tidak perlu melirik Jurnal Pemangsa
oleh Hamdi Muluk
vol. 06 No. 03 JUli 13 i DRPM gazette i 3
AAda tiga fakta penting dalam dunia publikasi ilmiah di dunia ini yang harus
dipertimbangkan oleh Universitas Indonesia jika UI ingin serius menjadi world
class university. Fakta pertama: jumlah jurnal ilmiah yang terkelola dengan
tingkat profesionalitas yang baik serta terjaga kualitasnya tidaklah terlalu banyak.
Hal tersebut dikarenakan jumlah ilmuwan yang qualified untuk mengelolanya (editor dan
dewan editor) juga pada kenyataannya terbatas. Dengan tingkat submisi artikel yang terus
bertambah, persaingan bagi artikel ilmiah diterima menjadi sangat ketat. Implikasi dari hal ini
adalah: jurnal yang terus tinggi tingkat persaingannya akan secara alamiah menyaring hanya
artikel dengan kualitas terbaik pula yang bisa diterima. Dengan kenyataan seperti ini jurnal-
jurnal yang ada secara alamiah juga akan terseleksi dan akan mempunyai peringkat, dari
peringkat 1 sampai peringkat terburuk, berdasarkan kualitas dan tingkat kekompetitifannya.
Oleh karena itu, pemeringkatan jurnal-jurnal ilmiah oleh beberapa lembaga pemeringkat
jurnal dengan memakai pelbagai macam indikator (impact factor, Eigen factor, SCImago Journal
Rank, h-index, expert survey, publication power approach (PPA) menjadi sesuatu yang masuk akal
saja. Kita mengenal istilah “top-tier” journal untuk merujuk kepada jurnal dengan kualitas yang
sangat baik dan sangat kompetitif (biasanya peringkat 1 sampai 20). Selanjutnya masih ada
jurnal yang tetap dianggap baik walaupun peringkatnya berada di urutan 20 keatas, bahkan
sampai urutan 100 dari top journal ranking tersebut.
Fakta kedua, seiring dengan bertambahnya juga jumlah para scholar di dunia yang juga
berminat kepada publikasi, namun karena jurnal-jurnal papan atas (“top-tier”) yang pada
umumnya sudah merasa mapan dan agak enggan menambah jumlah artikel per-terbitan,
maka muncul inisiatif dari komunitas keilmuan untuk menerbitkan jurnal baru. Jurnal baru
ini memang masih di luar top ranking, karena biasanya perlu waktu bagi jurnal komunitas
ini untuk menembus top ranking dengan sederet kriteria seperti yang telah disebutkan di
atas. Tapi, kita bisa mencermati dari segi pengelolaan, etika, dan penjagaan kualitas, jurnal ini
sepenuhnya taat pada aturan-aturan jurnal ilmiah yang baku. Dengan begitu jurnal ini bisa
dikategorikan kepada jurnal yang baik, meskipun peringkat tidak di top ranking.
Kriteria yang dengan mudah dapat kita cermati adalah; pertama, dikelola oleh ilmuwan
(editor) yang jelas reputasi ilmiahnya di dunia internasional, termasuk juga deretan mitra
bestari yang akan mereview artikel. Kedua, melewati proses peer review yang ketat untuk
Prof. Hamdi Mulik tengah menyampaikan materi pada seminar Jurnal Pemangsa pada tanggal 18 April 2013 di Balai Sidang UI
maka muncul kreativitas “pasar” untuk menangkap kebutuhan
ini. Gejala marak bermunculannya jurnal ‘abal-abal’ ini yang
dinamakan oleh Jeffrey Beall, pustakawan di Universitas Colorado,
AS sebagai gejala: Jurnal Pemangsa (predatory journal), jurnal
yang motifnya hanya sekedar komersil semata. Daftar-daftar
panjang jurnal pemangsa ini berikut list of publisher nya bisa
dilihat di laman Beall di internet. Saya tidak akan membahas
panjang lebar tentang hal ini karena sudah banyak bahasan
tentang hal ini. Daftar ini memang menimbulkan pro dan kotra,
yang sebagian besar mungkin berasal dari ketidakcermatan Beall
untuk memasukkan jurnal baru yang potensial, namun belum
berperingkat, kedalam daftar ini. Tapi secara umum temuan Terry
Mart ('Jurnal Pemangsa: Jurnal Negara Berkembang' dalam edisi
ini) bisa memberi petunjuk yang jelas bahwa 90% jurnal tersebut
memang ‘abal-abal’.
4 i DRPM gazette i vol. 06 No. 03 JUli 13
sampai bisa dinyatakan diterima. Dalam jangka panjang, proses
yang ketat ini akan berimplikasi kepada kualitas artikel yang
bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, dan yang dengan
sendirinya akan dibaca (sisi visibilitas) oleh kalangan ilmuwan,
yang akan berujung juga pada kemungkinan karya tersebut
disitasi (cited) oleh para scholar. Sitasi ini dalam jangka panjang
secara langsung berpengaruh kepada impact factor.
Fakta ketiga, seiring dengan terus bertambahnya juga jumlah
submisi jurnal seperti yang disebutkan diatas, tapi si pengarang
tidak bersungguh-sungguh termotivasi oleh keinginan untuk
disitasi oleh ilmuwan yang lain, dan mungkin didorong oleh
kebutuhan pragmatis, misalnya persyaratan kenaikan pangkat—
dilain pihak tidak diikuti juga dengan tersedianya komunitas
ilmuwan yang qualified untuk mengelola jurnal ilmiah yang bagus,
Dilema UIDalam konteks ketiga fakta ini, dilema yang dihadapi adalah
bagaimana menjaga keseimbangan antara keinginan untuk
publikasi pada jurnal “top-tier’, dengan resiko jumlah publikasi
akan sangat kecil (sangat sedikit ilmuwan Indonesia yang bisa
menembusnya), atau keinginan untuk mengejar kuantitas
walaupun itu dipublikasi pada jurnal kelas bawah atau bahkan
pada jurnal pemangsa.
Pilihan bagi UI tentu kita menghindar dulu dari kemungkinan
civitas akademikanya untuk publikasi pada Jurnal pemangsa
tersebut. Karena ini akan sangat memalukan bagi UI yang
mengklaim dirinya sebagai world class university. Dalam bahasa
fiqih, kira-kira hukumnya haram. Namun untuk menembus top-
tier journal juga mungkin akan sangat ‘berdarah-darah’, dan akan
memperlambat penambahan guru besar, yang akan merugikan
institusi UI pula.
Beberapa pilihan untuk publikasi yang paling masuk akal adalah
dengan membuat skala priotitas. Ilmuwan UI (diasumsikan sudah
guru besar) yang sudah masuk papan atas dunia, kita dorong
menembus top-tier journal. Staf pengajar yang masih bergelar
doktor dan memerlukan jumlah publikasi yang cukup banyak
untuk naik pangkat disarankan untuk menulis di jurnal papan
tengah (mungkin antara peringkat 40 sampai peringkat 100
dunia).
Tidak terlalu sulit bagi kita untuk melihat peringkat top 100
journal dunia, tinggal cari di google (misalnya: Thomson-Reuters,
Micosoft Academic search, ISI-web, Google Scholar dan lain-
lain). Bahkan komunitas kelimuan, misal: American Psychological
Association (APA), dan/atau universitas juga mempublikasikan
daftar peringkat-peringkat jurnal di dunia. Secara umum, top
100 jurnal di dunia aman dari kemungkinan Jurnal pemangsa.
Kita juga bisa mengenali apakah jurnal-jurnal tesebut termasuk
pemangsa atau tidak dengan melihat apakah jurnal tersebut
diindeks oleh database keilmuan (misal PsycInfo untuk psikologi,
Pubmed untuk ilmu kesehatan dan lain sebagainya).
Peran FakultasDengan asumsi kurang lebih terdapat 100 jurnal ilmiah yang
aman dari unsur “haram” untuk bidang psikologi saja dimana
setiap jurnal kurang lebih terbit 5 edisi setahun dan setiap edisi
sekitar 15 artikel, kurang lebih tersedia 7.500 slot untuk artikel
setahun, maka pertanyaannya, masak UI tidak bisa menembus
kurang lebih 4 atau 5 artikel per tahun? Dengan asumsi seperti
ini, seharusnya UI memang melarang civitas akademikanya untuk publikasi ke jurnal pemangsa.
Hamdi Muluk adalah adalah guru besar bidang psikologi sosial dan politik di Fakultas Psikologi UI. Pendidikan M.Sc. dalam bidang psikologi sosial dan Doktor di bidang psikologi politik diselesaikan di Universitas Indonesia. Saat ini, Beliau menjabat sebagai ketua program doktoral di Fakultas Psikologi UI. Dalam posisinya sebagai penasihat pemerintah, Beliau telah melaksanakan beberapa riset berbasis kebijakan atas isu konflik/kerusuhan etnis, fundamentalisme agama, terorisme, dan profil politik kandidat presiden. Beliau telah mempublikasikan lebih dari 30 artikel dalam Indonesian psychological journal, lima buku dan dua bab buku terkini dalam C. J. Montiel, & N. M. Noor (Eds.), Peace psychology in Asia. New York, NY, US: Springer. Dua artikel terakhirnya terbit dalam Archive for the Psychology of Religion, 32, 1-22 dengan judul ‘Intratextual fundamentalism and the desire for simple cognitive structure: The moderating effect of the ability to achieve cognitive structure’ dan dalam Asian Journal of Social Psychology, 16, 101-111 dengan judul ‘Jihad as justification: National survey evidence of belief in violent jihad as a mediating factor for sacred violence among Muslims in Indonesia’. Kontak: [email protected]
Untuk memperjelas jurnal mana yang “haram” (pemangsa) dan
mana yang halal, dan yang mana masuk peringkat top 100, top
200, maka tiap-tiap fakultas seharusnya perlu mengerahkan
semua civitas akademikanya mengindentifikasi daftar jurnal
tersebut dan mensosialisasikan kepada seluruh staff pengajar
UI.n
vol. 06 No. 03 JUli 13 i DRPM gazette i 5