uhiu

download uhiu

of 13

description

yguy

Transcript of uhiu

42

47

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

1.Gambaran Histopatologi Tubulus Proksimal Ginjal Mencit

Hasil penelitian berupa preparat histopatologi tubulus proksimal ginjal mencit dianalisis secara mikroskopik menggunakan mikroskop cahaya perbesaran 400x dengan metode double blinded. Gambaran mikroskopik yang diamati berupa penyempitan lumen tubulus proksimal. Masing-masing preparat difoto menggunakan kamera digital. Setiap preparat diambil 5 lapang pandang. Foto hasil preparat tiap perlakuan tampak pada gambar 11.

Mencit dibagi 4 kelompok antara lain kelompok 1 sebagai kontrol normal (K), kelompok perlakuan 1 (P1) diberi seduhan kelopak bunga Rosella dengan dosis 9,28 mg/ 20g BB, kelompok perlakuan 2 (P2) dengan dosis 18,57 mg/ 20g BB, kelompok perlakuan 3 (P3) dengan dosis 37,14 mg/ 20g BB.

4113

23 A B

441 C D

Gambar 12. Gambaran histopatologi tubulus proksimal ginjal mencit K, P1, P2 dan P3 dengan pewarnaan H.E serta perbesaran 400x

Keterangan: A : K, B : P1, C : P2, D : P3. 1. Tubulus Proksimal 2. Tubulus Distal 3. Brush border 4. Penyempitan lumen

a.Kelompok Kontrol Normal

Pada kelompok kontrol normal (Gambar 11.A) didapatkan bahwa tubulus proksimal berbeda dari tubulus distal karena memiliki brush border dan ukuran sel yang lebih besar. Tidak terdapat adanya penyempitan pada lumen tubulus proksimal.

b.Kelompok Perlakuan 1

Pada kelompok perlakuan 1 (Gambar 11.B) yaitu kelompok perlakuan dengan dosis 9,28 mg/ 20g BB didapatkan bahwa lumen tubulus proksimal masih tampak melebar dengan brush border, walaupun ada juga terjadi penyempitan lumen yang belum seutuhnya.

c.Kelompok Perlakuan 2

Pada kelompok perlakuan 2 (Gambar 11.C) yaitu kelompok perlakuan dengan dosis 18,57 mg/ 20g BB didapatkan bahwa lumen tubulus proksimal dengan brush border mulai menjorok ke tengah yang manandakan terdapat penyempitan lumen. Masih ditemukan sedikit lumen tubulus proksimal normal.

d.Kelompok Perlakuan 3

Pada kelompok perlakuan 3 (Gambar 11.D) yaitu kelompok perlakuan dengan dosis 37,14 mg/ 20g BB didapatkan bahwa lumen tubulus proksimal menyempit dengan gambaran dinding lumen sisi yang berlawanan hampir menyatu.

2. Analisis Mikroskopik Gambaran Histopatologi Tubulus Proksimal Ginjal Mencit

Rata-rata gambaran histopatologi berupa penyempitan lumen tubulus proksimal ginjal mencit pada setiap kelompok tampak pada tabel berikut :

Tabel 3. Rata-rata gambaran histopatologi tubulus proksimal ginjal mencitMencitRata-rata Penyempitan LumenRata-rata (x)

LP1LP2LP3LP4 LP5

K

P12

P2

P31000100,20

2200000,40

3101010,60

4000120,60

5110000,40

6010100,40

1444123,00

2262433,40

3422112,00

4322653,60

5242322,60

6657786,60

1576856,20

2888767,40

3577856,40

4656676,00

51266397,20

6925444,80

1181416151315,20

2171417181616,40

316151412712,80

4191715131916,60

5131511151714,20

6121715141915,40

Keterangan : LP (1-5) : Lapang PandangK : Kelompok Kontrol Mencit P (1-3) : Kelompok Perlakuan Mencit

Tabel 4.Hasil rata-rata gambaran penyempitan lumen pada kelompok ujiKelompok UjiRata-rata Gambaran Penyempitan Lumen (X SD)K0,43 0,150P13,53 1,608P26,33 0,935P315,10 1,424

Dari hasil analisis mikroskopik gambaran penyempitan lumen mencit, didapatkan hasil rata-rata yang dihitung pada kelompok kontrol normal (K) yaitu sebesar 0,43, kelompok perlakuan 1 (P1) dengan dosis 9,28 mg/ 20g BB yaitu sebesar 3,53, kelompok perlakuan 2 (P2) dengan dosis 18,57 mg/ 20g BB yaitu sebesar 6,33 dan kelompok perlakuan 3 (P3) dengan dosis 37,14 mg/ 20g BB yaitu sebesar 15,10. Grafik perbandingan rata-rata lumen yang mengalami penyempitan tampak pada gambar 12, sedangkan untuk melihat grafik rata-rata sekaligus gambaran sebaran data dari masing-masing kelompok terdapat pada boxplot yang terlampir.

Gambar 13. Grafik perbandingan rata-rata lumen yang mengalami penyempitan

Keterangan : K : kontrol normal (akuades)P1 : seduhan kelopak bunga Rosella 9,28 mg/ 20g BBP2 : seduhan kelopak bunga Rosella 18,57 mg/ 20g BBP3 : seduhan kelopak bunga Rosella 37,14 mg/ 20g BB.

Hasil analisis gambaran lumen yang mengalami penyempitan pada tubulus proksimal ginjal mencit kemudian dianalisis dengan menggunakan uji one way ANOVA dan didapatkan nilai p=0,000 yang berarti terdapat perbedaan gambaran penyempitan lumen pada setiap antar kelompok. Untuk mengetahui kelompok mana yang memiliki perbedaan gambaran penyempitan lumen yang bermakna, maka dilakukan analisis Post Hoc LSD seperti tampak pada tabel 4.

Tabel 5. Analisis Post Hoc LSD gambaran penyempitan lumen antar kelompok

Kelompok UjiP value

KP10,001*P20,000*P30,000*

P1K0,001*P20,003*P30,000*

P2K0,000*P10,003*P30,000*

P3K0,000*P10,000*P20,000*Keterangan: * = p0,05Hasil perbandingan antar kelompok dengan uji Post Hoc LSD membuktikan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna (p0,05) pada seluruh kelompok sebagai berikut : K dan P1; K dan P2; K dan P3; P1 dan P2; P1 dan P3; P2 dan P3.

B. Pembahasan

Berdasarkan penelitian ini, ternyata pemberian seduhan kelopak bunga Rosella secara oral selama 14 hari menyebabkan kerusakan tubulus proksimal ginjal mencit pada semua kelompok secara mikroskopis, berupa penyempitan lumen tubulus proksimal yang jumlahnya sebanding dengan meningkatnya dosis yang diberikan. Seharusnya pada kelompok kontrol normal tidak didapatkan kerusakan pada tubulus karena pada dasarnya akuades bukanlah bahan iritan. Hal ini bisa disebabkan oleh karena adanya variabel luar yang tidak bisa dikendalikan, seperti kondisi psikologis mencit maupun kondisi awal ginjal mencit sebelum diberikan perlakuan (Khakim, 2007). Menurut Sanchez et al., (2002) aktivitas enzim sitosol dapat meningkat ketika mencit mengalami stress sehingga dapat menimbulkan jejas pada sel misalnya pada jantung dan ginjal.

Terjadinya kerusakan tubulus proksimal mencit setelah pemberian seduhan kelopak bunga Rosella sesuai dengan teori bahwa proses ekskresi obat yang berlangsung di ginjal dapat menimbulkan dampak buruk bagi ginjal itu sendiri (Robbins et al., 1995). Hal tersebut disebabkan oleh beberapa macam faktor yang salah satunya adalah walaupun berat ginjal hanya sekitar 0,4% dari berat badan, tetapi ginjal menerima darah sebesar 20% dari curah jantung melalui arteri renalis. Tingginya aliran darah yang menuju ginjal inilah yang menyebabkan berbagai macam obat dan bahan-bahan kimia dalam sirkulasi sistemik dikirim ke ginjal dalam jumlah yang besar. Zat-zat toksik ini akan terakumulasi di ginjal dan menyebabkan kerusakan bagi ginjal tersebut (Hodgson et al., 2001).

Faktor predisposisi lain yang mengakibatkan sel tubulus mudah rusak adalah luasnya bidang permukaan reabsorbsi tubulus, metabolic rate yang tinggi, tingginya konsumsi oksigen untuk melakukan fungsi transpor dan reabsorbsi juga kemampuan tubulus untuk mengkonsentrasi zat. Selain itu, sistem transpor aktif untuk ion, asam-asam organik, protein dengan berat molekul rendah, peptida dan logam-logam berat sebagian besar terjadi di tubulus proksimal sehingga menyebabkan toksisitas dan akumulasi tubulus proksimal yang pada akhirnya mengakibatkan kerusakan tubulus proksimal. Epitel tubulus proksimal yang longgar mempermudah masuknya berbagai macam komponen ke dalam sel tubulus juga diduga sebagai hal yang turut mempengaruhi kerusakan tubulus (Wijaya, 2005).

Komposisi dari seduhan kelopak bunga Rosella diduga mengandung zat-zat toksik yang merusak ginjal (nephrotoxic agent). Zat-zat nefrotoksik ini merusak ginjal melalui dua mekanisme yaitu merusak tubulus ginjal secara langsung maupun melalui perubahan hemodinamik.

Pemeliharaan integritas tubulus tergantung pada adhesi dari sel dengan sel maupun sel dengan matriks yang diperantarai oleh integrins dan cell adhesion molecules. Apabila ikatan-ikatan tersebut terpapar oleh zat-zat toksik maka menyebabkan adhesi dari sel-sel rusak, apoptosis dan sel-sel pada membrana basalis mengalami onkosis. Hal-hal tersebut akan mengakibatkan sel-sel terlepas dari membrana basalis dan masuk ke dalam lumen tubulus. Selain itu, dapat pula menyebabkan timbulnya celah antar sel yang mengakibatkan kebocoran hasil filtrasi yang pada akhirnya menurunkan glomerulus filtration rate (GFR). Kumpulan sel-sel yang lepas tadi akan beragregasi dalam lumen tubulus (adhesi antar sel) atau melekat kembali pada sel yang masih melekat pada membrana basalis sehingga menyebabkan terbentuknya hyaline cast dan obstruksi tubulus (Wijaya, 2005).Selain menimbulkan kerusakan tubulus secara langsung, zat-zat toksik juga memiliki kemampuan untuk merusak tubulus dengan cara mempengaruhi sistem hemodinamik. Beberapa zat toksik dapat merubah hemodinamik intrarenal yang memicu terjadinya vasokontriksi. Vasokontriksi yang berkepanjangan mengakibatkan hipoksia pada medula yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan tubulus, penurunan tekanan perfusi, penurunan tekanan hidrostatik glomerulus dan penurunan GFR (Wijaya, 2005).

Konstriksi arteriol dan obstruksi tubulus dapat menyebabkan nekrosis tubuler akut (NTA) (Hodgson et al., 2001). Terdapat dua jenis NTA yaitu NTA iskemik dan NTA nefrotoksik. Baik NTA iskemik maupun nefrotoksik pada dasarnya memiliki kejadian kritis yang sama yaitu melalui jejas tubuler dan gangguan aliran darah yang persisten (Wijaya, 2005).

Morfologi NTA iskemik ditandai dengan nekrosis fokal sel epitel tubulus di berbagai tempat sepanjang nefron yang sering disertai dengan robekan membrana basalis (tubuloreksis) dan sumbatan hyaline cast pada lumen tubulus distal. Kebanyakan lesi terlihat pada bagian lurus dari tubulus proksimal dan segmen tebal Henle asendens, tetapi lesi fokal mungkin juga terjadi pada tubulus distal yang sering bersama-sama dengan hyaline cast. Secara bertentangan, sindroma klinik NTA bukan merupakan manifestasi dari nekrosis tubuler yang nyata, tetapi seringkali terjadi pada derajat yang lebih rendah yaitu pada jejas tubuler. Jejas tubuler ini meliputi hilangnya brush border pada tubulus proksimal, pembengkakan sel dan vakuolisasi juga pelepasan dari sel-sel non nekrotik menuju lumen tubulus (Wijaya, 2005).

Pembengkakan sel atau yang lazim dikenal dengan sebutan degenerasi albuminosa (cloudy swelling) inilah yang mungkin menyebabkan lumen tubulus proksimal mengalami penyempitan seperti yang tampak pada penelitian ini. Derajat keparahan pada temuan secara mikroskopis seringkali tidak berkorelasi dengan derajat keparahan pada temuan klinik. NTA nefrotoksik digambarkan dengan adanya jejas epitel akut yang mencolok pada tubulus proksimal. Gambaran histologis nekrosis tubuler mungkin secara keseluruhan tidak spesifik, tetapi pada zat-zat beracun jenis tertentu memberikan gambaran yang khas. Pada NTA nefrotoksik ini didapatkan gambaran membrana basalis yang masih baik (Wijaya, 2005).Pada penelitian didapatkan perbedaan bermakna antara K dengan P1, K dengan P2, K dengan P3, P1 dengan P2, P1 dengan P3 dan P2 dengan P3. Hal ini diduga karena kemampuan dari ginjal untuk memekatkan atau mengkonsentrasikan berbagai macam zat. Pertama, karena garam dan air yang berasal dari filtrasi glomerulus direabsorbsi oleh tubulus sehingga zat-zat yang tersisa dalam cairan tubulus menjadi lebih pekat. Hal inilah yang mengakibatkan konsentrasi suatu zat termasuk seduhan kelopak bunga Rosella yang tidak toksik di dalam plasma menjadi toksik di dalam cairan tubulus. Kedua, karakteristik dari transpor ginjal adalah kemampuannya untuk mengkonsentrasi substansi xenobiotik di dalam sel. Jika suatu zat kimia disekresi secara aktif dari darah ke urin, zat kimia ini terlebih dahulu diakumulasikan dalam tubulus proksimal atau jika substansi kimia ini direabsorbsi dari urin maka melalui sel epitel tubulus dengan konsentrasi tinggi (Hodgson et al., 2001).

Sel epitel tubulus proksimal mempunyai kemampuan untuk melakukan perbaikan selnya sendiri. Apabila terpapar zat toksik sel-sel yang tidak rusak dapat mengkompensasi kerusakan dengan melakukan hipertrofi, adaptasi dan proliferasi sel kemudian dilanjutkan dengan re-epitelisasi dan diferensiasi. Sama halnya dengan sel yang tidak rusak, sel yang rusak tetapi belum mengalami nekrosis akan melakukan perbaikan dan adaptasi sel. Akan tetapi zat toksik dengan dosis tertentu yang terakumulasi pada sel epitel dapat menyebabkan terganggunya proses perbaikan sel, migrasi dan proliferasi sehingga sel tidak dapat mengkompensasi kerusakan. Hal inilah yang mengakibatkan jumlah tubulus yang mengalami kerusakan meningkat sebanding dengan peningkatan dosis yang diberikan (Wijaya, 2005).

Berdasarkan penelitian didapatkan bahwa pemakaian seduhan kelopak bunga Rosella per oral dengan dosis lazim di masyarakat sudah menimbulkan kerusakan tubulus proksimal ginjal yang berbeda bermakna terhadap kelompok kontrol normal dan masing-masing kelompok perlakuan. Ditemukan pula adanya peningkatan jumlah kerusakan tubulus proksimal ginjal yang sebanding dengan dosis yang diberikan, sehingga seduhan kelopak bunga Rosella tidak aman apabila dikonsumsi oleh penderita penyakit ginjal dan perlu diadakan penyesuaian dosis yang aman bagi ginjal.