UCAPAN TERIMA KASIH Om Swastyastu filePuji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha...

45
v UCAPAN TERIMA KASIH Om Swastyastu Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Pengasih, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, atas asung kertha wara nugraha-Nya disertasi yang berjudul “Alih Fungsi Lahan Persawahan dan Implikasinya pada Kehidupan Petani di Kecamatan Denpasar Selatan Kota Denpasar” ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Disertasi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar doktor pada Program Studi Kajian Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana. Disertasi ini dapat diselesaikan berkat bimbingan, motivasi, dan bantuan, baik secara moril maupun materiel dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi- tingginya kepada Prof. Dr. Ing. Ir. I Made Merta, DAA sebagai promotor, Prof. Dr. A.A.N. Anom Kumbara, M.A. sebagai kopromotor I, dan Dr. Putu Sukardja, M.Si. sebagai kopromotor II yang dengan penuh perhatian telah memberikan bimbingan, saran, dan arahan yang sangat berharga kepada penulis sejak awal rancangan hingga penelitian ini selesai. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, Sp.P.D.KEMD., atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Doktor di Universitas Udayana. Selanjutnya ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana Prof. Dr. Ni Luh Sutjiati Beratha, M.A. Kepada Ketua dan sekretaris Program Studi Doktor Kajian Budaya Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana, Prof. Dr. Phil. I Ketut Ardana, M.A.. dan Dr. I Ketut Setiawan, M.Hum. disampaikan ucapan terima kasih. Kepada Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi melalui Tim Manajemen Program Doktor, penulis menyampaikan ucapan terima kasih atas bantuan finansial berupa BPPS sehingga dapat meringankan beban penulis dalam menyelesaikan studi ini.

Transcript of UCAPAN TERIMA KASIH Om Swastyastu filePuji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha...

v

UCAPAN TERIMA KASIH

Om Swastyastu

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Pengasih,

Ida Sang Hyang Widhi Wasa, atas asung kertha wara nugraha-Nya disertasi yang

berjudul “Alih Fungsi Lahan Persawahan dan Implikasinya pada Kehidupan

Petani di Kecamatan Denpasar Selatan Kota Denpasar” ini dapat diselesaikan

tepat pada waktunya. Disertasi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat

memperoleh gelar doktor pada Program Studi Kajian Budaya, Fakultas Ilmu

Budaya, Universitas Udayana.

Disertasi ini dapat diselesaikan berkat bimbingan, motivasi, dan bantuan,

baik secara moril maupun materiel dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada

kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan

penghargaan yang setinggi- tingginya kepada Prof. Dr. Ing. Ir. I Made Merta,

DAA sebagai promotor, Prof. Dr. A.A.N. Anom Kumbara, M.A. sebagai

kopromotor I, dan Dr. Putu Sukardja, M.Si. sebagai kopromotor II yang dengan

penuh perhatian telah memberikan bimbingan, saran, dan arahan yang sangat

berharga kepada penulis sejak awal rancangan hingga penelitian ini selesai.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Rektor Universitas

Udayana, Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, Sp.P.D.KEMD., atas kesempatan dan

fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan

Program Doktor di Universitas Udayana. Selanjutnya ucapan terima kasih juga

penulis sampaikan kepada Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

Prof. Dr. Ni Luh Sutjiati Beratha, M.A. Kepada Ketua dan sekretaris Program

Studi Doktor Kajian Budaya Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana, Prof.

Dr. Phil. I Ketut Ardana, M.A.. dan Dr. I Ketut Setiawan, M.Hum. disampaikan

ucapan terima kasih. Kepada Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi melalui Tim

Manajemen Program Doktor, penulis menyampaikan ucapan terima kasih atas

bantuan finansial berupa BPPS sehingga dapat meringankan beban penulis dalam

menyelesaikan studi ini.

vi

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih

kepada para dosen pengampu mata kuliah, yaitu Prof. Dr. I Gde Widja M.A.,

Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja M.A., Prof. Dr. I Gde Parimartha, M.A., Prof.

Dr. I Gede Semadi Astra, Prof. Dr. Aron Meko Mbete, Prof. Dr. I Wayan Ardika,

M.A., Prof. Dr. Irwan Abdullah., Prof. Dr. Srhi Eddy Ahimsa Putra, Prof. Dr.

A.A. Bagus Wirawan, S.U., Prof. Dr. A.A. Ngurah Anom Kumbara M.A., Prof.

Dr. Phil. I Ketut Ardana, M.A., Prof. Dr. I Wayan Rai S., M.A., Prof. Dr. I Ketut

Nehen, M.Ec., Prof. Dr. Ing. Ir. I Made Merta D.A.A., Prof. Dr. I Made Sukarsa,

S.E., M.S., Prof, Dr. I Ketut Merta S.H., M.Hum., Prof. Dr. I Nyoman Kutha

Ratna, S.U., Dr. Putu Sukardja, M.Si., Dr. I Gede Mudana, M.Si., Dr. Ida Bagus

Gde Pujaastawa, M.A., Dr. I Nyoman Dhana, M.A., Dr. lndustri Ginting Suka,

M.S., dan Dr. Ni Made Wiasti, M.Hum., atas segala bimbingan dan ilmu

pengetahuan yang telah diwariskan kepada penulis. Tidak lupa pula penulis

mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada

semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu, yang telah membantu

baik materiel maupun nonmateriel sehingga karya ilmiah disertasi ini dapat

diselesaikan.

Kepada I Wayan Sukaryawan, S.T., Dra. Ni Luh Witari, Ni Wayan Ariyati,

S.E., I Ketut Budi Arsa, I Made Kurniawan Gria, S.E., Cok Istri Murniati, S.E., Ni

Komang Juliartini, Anak Agung Ayu Indrawati, I Nyoman Candra, Putu

Hendrawan, dan I Gst. Putu Taman, S.H. staf administrasi Program Studi Kajian

Budaya, Universitas Udayana disampaikan ucapan terima kasih atas segala

bantuan yang tulus demi kelancaran studi penulis.

Demikian pula kepada teman-teman kelompok 2012 dan teman yang

lainnya peserta karyasiswa Doktor Program Studi Kajian Budaya angkatan tahun

2012/2013 penulis sampaikan terima kasih atas segala dorongan semangat yang

diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh narasumber

yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah bersedia memberikan

informasi yang dibutuhkan dalam penulisan disertasi ini. Demikian juga kepada

semua pihak yang telah membantu sehingga penulis berhasil mewujudkan

vii

disertasi ini disampaikan ucapan terima kasih.

Semoga lda Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha kuasa

memberikan balasan yang setimpal serta selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada

semua pihak yang secara tulus memberikan bantuan sehingga disertasi ini dapat

diwujudkan.

Tidak ada gading yang tidak retak, tan hana sweta mulus (tidak ada putih

yang mulus). Demikian juga disertasi ini masih jauh dari sempurna. Hal ini

disebabkan oleh terbatasnya pengetahuan, pengalaman, dan kemampuan penulis.

Namun, penulis berharap semoga disertasi ini ada manfaatnya bagi kita semua.

Denpasar, Januari 2017

Penulis

viii

ABSTRAK

Alih fungsi lahan pertanian khususnya persawahan untuk kepentingan non-pertanian seperti industri dan permukiman termasuk perkantoran dan saranaprasarana pariwisata yang terjadi terus-menerus mempunyai konsekuensi logis.Dalam hal ini budaya pertanian dengan sistem subak yang merupakan salah satumodal dasar pariwisata budaya Bali semakin terdegradasi, termasuk para petaniyang belum siap bersaing di dunia modern dan industri yang sangat kompetitif. Disisi lain pariwisata dengan leluasa mengeksploitasi lahan pertanian untukkepentingannya.

Penelitian yang dirancang sebagai penelitian kualitatif dengan pendekatandari berbagai aspek ini bermaksud mengkaji proses terjadinya alih fungsi lahanpersawahan, ideologi yang ada di balik terjadinya alih fungsi lahan persawahan,dan implikasi terjadinya alih fungsi lahan persawahan pada kehidupan petani diKecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar. Sebagai alat analisis dalam rangkamencari jawaban atas berbagai pertanyaan yang dirumuskan dalam penelitian inidigunakan dua teori, yaitu teori hegemoni dan teori praktik. Pengumpulan datadalam penelitian ini dilakukan dengan observasi, wawancara, studi dokumen, daninternet.

Hasil penelitian menunjukkan sebagai berikut pertama, proses alih fungsilahan persawahan di Kecamatan Denpasar Selatan terjadi melalui hegemoni,negoisasi dan oposisi. Alih fungsi lahan persawahan tersebut merupakan bentukhegemoni pengusaha didukung oleh penguasa (pemerintah) yang dilakukansecara halus, canggih dan intelek melalui wacana pembangunan. Kuatnyahegemoni yang dilakukan menyebabkan petani mau bergeoisasi. Prosesselanjutnya terjadi oposisi atau perlawanan, tetapi karena kurangnya modal yangdimiliki perlawanan yang dilakukan tidak begitu berdampak pada alih fungsilahan. Kedua, ideologi yang bekerja di balik terjadinya alih fungsi lahanpersawahan tersebut adalah ideologi ekonomi kapitalis, gaya hidup terutamafatalisme dan pragmatisme . Ketiga, implikasi alih fungsi lahan persawahanterhadap kehidupan petani meliputi implikasi terhadap infrastruktur, struktursosial, dan suprastruktur. Implikasi dalam infrastruktur terlihat dari hilangnyaunsur palemahan yaitu infrastruktur sistem irigasi yang dikelola organisasi subak.Implikasi pawongan yakni struktur sosial meliputi sistem nafkah petani,kelembagaan, jejaring sosial, moral ekonomi, dan sistem nafkah ganda rumahtangga petani. Implikasi suprastruktur yang meliputi ideologi, hukum, sistempemerintahan, keluarga, dan agama dalam tri hita karana disebut parhyangan.

Temuan penelitian ini menunjukkan alih fungsi lahan persawahan diKecamatan Denpasar Selatan tidak selamanya disebabkan oleh pemilik modal,namun juga dilakukan oleh petani sendiri. Kemudian temuan lainnya PuraUlundanu tetap dilestarikan tetapi ada pergeseran yang awalnya di sungsung olehkrama subak sekarang di sungsung oleh desa pakraman.

Kata Kunci: alih fungsi lahan, persawahan, ideologi, implikasi, pragmatismepetani

ix

ABSTRACT

Conversion of agricultural land, especially paddy fields for non-agricultural interests such as industries and settlements including offices andinfrastructure of tourism that occurred constantly have a logical consequence. Inthis case, the farming culture with the Subak System as one of the authorizedcapital of Bali's cultural tourism increasingly degraded, including farmers whoare not ready to compete in the modern world and a highly competitive industry.On the other hand, tourism can freely exploit agricultural land for their owninterests.

The study was designed as a qualitative research by the approach ofvarious aspects that aimed to analyze the process of conversion of rice fields, theideology that lies behind the conversion of rice fields, and the implications of theland conversion of the paddy fields in the lives of farmers in the Sub-district ofSouthern Denpasar, Denpasar. As an analytical tool in order to find the answersto the questions formulated in the research, itwas used two theories, namely thetheory of hegemony and the practice theory. The collection of data was conductedby observation, interviews, the study of documents, and the internet.

The results showed as follows: firstly, the process of conversion of paddyfields in Southern Denpasar Sub-District occurred through hegemony, negotiationand opposition. Conversion of paddy fields is a form of hegemony of businessmensupported by the authorities (government) which is done subtly, sophisticated andin intellectual way for the sake of development. The strength of hegemony causedfarmers to be willing to negotiate. The next process occurred opposition orresistance, but because of lack of capital, then the opposition failed to stop theland conversion. Secondly, the ideology that working behind the conversion ofpaddy fields is the ideology of the capitalist economy, lifestyle, particularlyfatalism and pragmatism.Thirdly, the implications of paddy land conversion onthe lives of farmers namely the implications for infrastructure, social structures,and superstructure. Implications of infrastructure can be seen from the loss ofPalemahan elements, namely the irrigation system infrastructure, which ismanaged by Subak organization. Pawongan Implications of, namely socialstructure that includes: a living system of farmers, institutional, socialnetworking, moral, economic, and dual income system of the farmers’ households.Implications of superstructure that include ideology, laws, systems of government,family, and religion in the Tri Hita Karana called parhyangan.

The findings of the research indicated that the conversion of paddy fieldsin Southern Denpasar Sub-District is not always caused by the owners of capital,but also by the farmers themselves. Then another finding, i.e. PuraUlundanuisstill be preserved but there is a shift i.e. the temple that was originally managedby members of Subak is now managed by the Pakraman village.

Keywords: land conversion, paddy fields, ideology, implications, pragmatismfarmers

x

RINGKASAN DISERTASI

Alih fungsi lahan pertanian khususnya persawahan untuk kepentingan

non- pertanian, seperti industri dan permukiman termasuk perkantoran dan sarana

prasarana pariwisata yang terjadi terus-menerus, mempunyai konsekuensi logis.

Dalam hal ini budaya pertanian dengan sistem subak yang merupakan salah satu

modal dasar pariwisata budaya Bali semakin terdegradasi, termasuk para petani

yang belum siap bersaing di dunia modern dan industri yang sangat kompetitif. Di

sisi lain pariwisata dengan leluasa mengekploitasi lahan pertanian untuk

kepentingannya sendiri.

Alih fungsi lahan persawahan sebagai akibat adanya perkembangan

pariwisata, menandakan ambivalensi dalam realitas sosial, yaitu terjadi alih fungsi

kawasan persawahan yang tidak disadari oleh para petani di Kecamatan Denpasar

Selatan. Pariwisata disadari membawa ancaman terhadap keberlanjutan kehidupan

pertanian yang sarat dengan budaya Bali. Nalar pikiran awam atau common sense

mengiyakan segala dampak perkembangan pariwisata dengan tidak melihat atau

merasakan dampaknya atas kehidupan mereka. Akibatnya identitas “kebalian”

mereka secara kolektif dan perorangan sudah terinjak di desa kelahiran sendiri,

yang sesungguhnya memiliki akar kuat pada kultur dan nilai, khususnya kultur

dan nilai pertanian yang sudah melembaga dengan tradisi yang menyatu dengan

budaya hidup sehari-hari. Norma nilai dan pandangan hidup yang tersirat dan

terukir dalam simbol budaya atau atribut adat yang bahkan bernuansa magis dan

spiritual. Sebagai akibat dari kecenderungan inilah maka terjadi apa yang disebut

sebagai “universalisme budaya”, yaitu wajah budaya dunia dipandang menuju ke

satu arah, yaitu homogenisasi budaya modernitas dan memudarnya magis dan

tradisi lokal.

Kawasan persawahan di Kecamatan Denpasar Selatan yang sebelumnya

berfungsi sebagai lahan pertanian, cepat atau lambat beralih fungsi menjadi

kawasan perumahan, perkantoran, perguruan tinggi, perhotelan, pusat

perbelanjaan, dan fungsi-fungsi bisnis lainnya. Meskipun terkadang masih ada

lahan yang tersisa di sekitarnya, tidak lagi dapat berfungsi sebagaimana mestinya

xi

karena infrastruktur dari keberadaan subak telah banyak berubah bahkan lenyap

sama sekali. Proses bercocok tanam padi yang merupakan bagian dari

budaya petani tradisional semakin ditinggalkan dengan beralih ke sektor

pariwisata atau sektor bisnis lainnya sebagai gantinya.

Penyusutan lahan persawahan di Kecamatan Denpasar Selatan sebagai

akibat wilayah tersebut dipandang semakin strategis bagi pengembang sektor-

sektor, seperti property, usaha ekonomi nonpertanian. Wilayah tersebut relatif

dekat dengan Kota Denpasar sehingga menarik bagi pengembang hunian dan

bisnis. Atas posisinya yang strategis itulah lahan di Kecamatan Denpasar Selatan

menjadi menarik bagi para pengembang.

Karena tergiur oleh harga yang mahal, sebagian petani pemilik lahan di

Kecamatan Denpasar Selatan kemudian menjual tanahnya. Sementara sebagian

lainnya ada pula yang mengalihfungsikannya menjadi sarana penunjang kegiatan

bisnis nonpertanian, seperti dikontrakkan/disewakan, dibangun rumah-rumah

sewaan/tempat indekos, dan rumah toko (ruko). Namun, bagi petani penggarap

dan buruh tani, alih fungsi lahan menjadi bencana karena umumnya mereka tidak

memiliki akses (skill) untuk memasuki lapangan kerja formal nonpertanian. Selain

itu, semakin menurunnya minat masyarakat untuk menggeluti pekerjaan pertanian

dikhawatirkan mengancam kesinambungan tradisi agraris sistem subak di

Kecamatan Denpasar Selatan. Para petani semakin terjebak dengan semakin

sempitnya kesempatan kerja. Akibatnya, timbul masalah sosial yang pelik yang

pada gilirannya berimplikasi pada kehidupan para petani di Kecamatan Denpasar

Selatan yang semula sebagai pemilik lahan. Akan tetapi lama-kelamaan bisa

berubah menjadi buruh tani di lahannya sendiri yang telah dikuasai oleh para

investor luar.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka identifikasi permasalahan yang

dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan ke dalam tiga bentuk pertanyaan. 1),

bagaimanakah proses terjadi alih fungsi lahan persawahan di Kecamatan Denpasar

Selatan, Kota Denpasar ? 2) ideologi apakah yang bekerja dalam alih fungsi lahan

persawahan di Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar ?. 3) Apakah

implikasi terjadinya alih fungsi lahan persawahan pada kehidupan petani di

xii

Kecamatan Denpasar Selatan Kota Denpasar ? Tujuan umum penelitian ini adalah

untuk dapat mengungkap secara komprehensif proses alih fungsi lahan

persawahan, latarbelakang ideologi yang bekerja dalam alih fungsi lahan dan

implikasinya pada kehidupan petani di Kecamatan Denpasar Selatan, Kota

Denpasar. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk mengungkap tiga

aspek yang menjadi permasalahan, yaitu penyebab, ideologi, dan implikasi

terjadinya alih fungsi lahan persawahan pada kehidupan petani di Kecamatan

Denpasar Selatan, Kota Denpasar.

Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi

pengembangan ilmu yang holistik-integratif sesuai dengan keberadaannya sebagai

sebuah kajian budaya yang terkait dengan alih fungsi lahan persawahan. Selain

itu, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi para akademis karena dapat

dipakai sebagai acuan, referensi, tentang arti penting lahan pertanian khususnya

persawahan dikaitkan dengan pembangunan pariwisata yang dilaksanakan oleh

pemerintah. Manfaat praktis penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai

bahan pertimbangan dalam membuat kebijakan yang menyangkut pelestarian

persawahan dengan sistem subak pada era globalisasi, termasuk dalam

pengembangan pariwisata modern. Manfaat lainnya adalah diharapkan dapat

menambah wawasan untuk mempertahankan keberadaan lahan pertainian

khususnya persawahan agar tidak semakin termarginalkan

Sebagai alat analisis dalam rangka mencari jawaban atas berbagai

pertanyaan yang dirumuskan dalam penelitian ini digunakan dua teori bersifat

eklektik, yaitu teori hegemoni dan teori praktik. Penelitian yang dirancang sebagai

penelitian kualitatif dengan pendekatan berbagai aspek ini mengutamakan

perolehan dan pemanfaatan jenis data kuatitatif yang sumbernya digali dari

kepustakaan dan lapangan. Data lapangan diperoleh dari informan yang

ditentukan secara purposif berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu.

Sesuai dengan subjek kajiannya informan yang digunakan dalam penelitian adalah

para pelaku alih fungsi lahan persawahan yang terdiri atas pemilik modal,

pemerintah, pemuka agama, pemuka adat, dan para petani di Kecamatan Denpasar

Selatan. Dalam pengumpulan data penelitian ini peneliti sendiri bertindak sebagai

xiii

instrumen atau alat utama dibantu dengan instrumen lain sebagai pendukung,

seperti pedoman wawancara alat perekam, baik suara maupun gambar, dan

alatpencatat.

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan observasi,

wawancara, studi dokumen, dan secara online. Pada tingkat analisis data, seluruh

data disusun ke dalam pola tertentu, kategori tertentu, serta tema dan pokok

permasalahan tertentu dengan menggunakan teknik analisis kualitatif sebagai

model alir (flow model) dilakukan dengan cara (1) reduksi data, (2) penyajian

data, dan (3) penarikan simpulan.

Hasil penelitian menunjukkan sebagai berikut. Pertama, proses alih fungsi

lahan persawahan di Kecamatan Denpasar Selatan terjadi melalui hegemoni,

oposisi, dan negosiasi. Alih fungsi lahan persawahan tersebut merupakan bentuk

hegemoni pengusaha (permodalan) didukung oleh penguasa (pemerintah) yang

dilakukan secara halus, melalui wacana pembangunan. Pada awal alih fungsi

lahan petani dan kelompok desa pakraman sebenarnya melakukan perlawanan.

Karena jumlahnya sangat sedikit penolakan itu tidak berkembang menjadi suatu

perlawanan terbuka. Dengan demikian bahwa dapat dikatakan proses alih fungsi

lahan persawahan tersebut terjadi tanpa oposisi yang berarti. Kuatnya hegemoni

penguasa menyebabkan petani tidak bisa berbuat banyak dan akhirnya mereka

harus mau bernegosiasi. Alih fungsi lahan melalui negosiasi terjadi dengan dua

cara. Cara yang pertama negosiasi dilakukan pemilik modal sebagai pemilik uang

dengan pemerintah sebagai pemilik kekuasaan. Cara yang kedua negosiasi

dilakukan dengan masyarakat pemilik sawah agar mau melepaskan lahan

persawahannya untuk digunakan sesuai dengan keinginan para pemilik modal

dengan iming-iming untuk membeli lahan persawahan mereka dengan harga

tinggi. Cara inilah yang digunakan untuk mengalihfungsikan lahan persawahan di

Kecamatan Denpasar Selatan keluar dari peruntukanawalnya.

Kedua, ideologi yang bekerja di balik terjadinya alih fungsi lahan

persawahan di Kecamatan Denpasar Selatan adalah ideologi ekonomi kapitalis

dan gaya hidup terutama fatalisme serta pragmatisme. Alih fungsi lahan di

Kecamatan Denpasar Selatan tidak bisa dilepaskan dari adanya ideologi

xiv

kapitalisme. Dalam melakukan alih fungsi lahan kaum kapitalis menggunakan

dalih pembangunan sehingga mendapat restu dari pemerintah. Penyalahgunaan

wacana pembangunan disertai dengan janji yang cukup menggiurkan masyarakat,

seperti meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui penciptaan lapangan

kerja yang padat modal dan menyediakan sarana serta prasarana yang memadai

bagi masyarakat. Kenyataan itu dipercepat dengan perkembangan gaya hidup

modern yang konsumtif dan hedonis. Saat ini petani disuguhi kehidupan-

kehidupan yang instan dan citra keasyikan dunia modern. Ketika petani telah

masuk perangkap hegemoni kapitalis, maka secara tidak langsung petani akan

menerima apa yang dihegemonikan tersebut, seperti teknologi dan harga tanah

yang tinggi. Pada situasi itu petani terjebak pada sikap fatalistik, yaitu mereka

menganggap keadaan yang menimpanya merupakan nasib akibat

ketidakberdayaan petani terhadap hegemoni dan kekuasaan investor (pemodal)

dalam proses alih fungsi lahan di Kecamatan Denpasar Selatan.

Ketiga, implikasi alih fungsi lahan persawahan pada kehidupan petani di

Kecamatan Denpasar Selatan sejalan dengan pandanggan Sanderson meliputi

implikasi terhadap infrastruktur, struktur sosial dan suprastruktur. Implikasi

infrastruktur bisa dilihat dari perubahan tofografi Kecamatan Denpasar Selatan

yang awalnya dimanfaatkan untuk bertani kemudian berkembang menjadi pusat

permukiman dan industry. Situasi ini mengubah landscape permukaan dan tata

wilayah tempat itu. Implikasi perubahan itu berdampak pada hilangnya sistem

irigasi subak yang menjadi roh pertanian Bali. Infrastruktur yang lainnya adalah

lokasi pura Ulunsuwi atau pura Subak yang seharusnya ada di tengah sawah saat

ini berada di wilayah permukiman. Implikasi infrastruktur mengaruhi struktur

sosial masyarakat di daerah ini. Hal tersebut bisa dilihat dari perubahan stratifikasi

sosial petani di daerah ini. Perubahannya bisa dilihat dari pemilik tanah menjadi

petani penggarap, dari petani kaya menjadi miskin atau sebaliknya akibat dari jual

beli tanah. Selanjutnya ada perubahan komposisi masyarakat dari monoetnis ke

multietnis. Di bidang perubahan infrastruktur, struktur sosial tentunya juga

berdampak pada tataran suprastruktur yang meliputi ideologi, hukum, sistem

pemerintahan, keluarga, dan agama. Kelima aspek dalam suprastruktur

xv

masyarakat menjadi nilai-nilai yang mengaruhi perkembangan perekonomian dan

budaya masyarakat petani. Implikasi terhadap suprastruktur aspek ideologi

menunjukkan bahwa generasi muda masyarakat petani di Kecamatan Denpasar

Selatan tidak mau lagi menjadi petani.

Berdasarkan paparan menyeluruh dari hasil penelitian, maka ada dua hal

yang menjadi temuan dalam penelitian ini. Pertama, alih fungsi lahan persawahan

di Kecamatan Denpasar Selatan tidak selamanya disebabkan oleh pemilik modal,

tetapi juga dapat dilakukan oleh petani sendiri. Namun, alih fungsi lahan

persawahan yang dilakukan oleh pemilik modal secara umum memiliki dampak

yang lebih besar terhadap penurunan kapasitas produksi pangan karena mencakup

hamparan lahan persawahan yang cukup luas, terutama ditujukan untuk

pembangunan kawasan perumahan. Fenomena itu menunjukkan bahwa kuatnya

hegemoni pemodal dan pengaruh globalisme melalui gaya hidup hedonis telah

mendorong petani secara masif menjual tanahnya untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya. Temuan ini sejalan dengan ideologi kapitalisme yang ada pada

masyarakat global termasuk petani yang ada di Kecamatan Denpasar Selatan yang

menyebabkan petani sendiri pun melakukan alih fungsi lahan sebagai solusi untuk

memenuhi kebutuhannya. Kuatnya hegemoni kapitalisme telah membuat petani

terjerumus pada tindakan pragmatisme dan bergaya hidup hedonis sehingga

menerima alih fungsi sebagai suatu nasib yang harus diterima, petani terjebak

pada fatalistik. Kedua, alih fungsi lahan persawahan di Kecamatan Denpasar

Selatan tanpa disadari telah menggeser budaya dan kepercayaan masyarakatnya

yang beragama Hindu. Hal itu ditunjukkan dengan memudarnya organisasi subak

yang terkenal dengan sistem irigasinya. Subak sebagai sebuah struktur sosial tidak

bisa dilepaskan dari infrastruktur sawah. Alih fungsi lahan sawah yang terjadi di

Denpasar Selatan telah mengubah tata kehidupan masyarakat dan sistem subak

yang ada di daerah itu. Selain itu, Pura Ulundanu untuk memuja Betara Sri,

Dewi Kesuburan sebagai representasi suprastruktur kepercayaan petani juga

mengalami perubahan, yakni saat ini tidak lagi diempon/disungsung oleh petani.

Hal ini disebabkan sawah berikut petaninya semakin menghilang keberadaannya

di Kecamatan Denpasar Selatan. Temuan ini menarik karena masyarakat tetap

xvi

memilik trust kepada kekuatan Betara Sri dengan masih dijaganya Pura Ulundanu.

Artinya, perubahan di tatanan infrastruktur dan struktur sosial tidak seluruhnya

mampu mengubah suprastruktur petani di Kecamatan Denpasar Selatan.

Walaupun keberadaan sawah sangat sempit, sistem sosial subak sudah tidak ada,

masyarakat masih mercayai keberadaan Betara Sri sebagai dewi kesuburan

dengan tetap mempertahankan Pura Subak, yaitu Pura Ulundanu tersebut.

Keyakinan masyarakat terhadap konsep Betara Sri sebagai dewi kesuburan

menguatkan istilah doxa yang dikembangkan oleh Boourdieu, yaitu pengetahuan

yang ditanamkan sejak kecil membuat orang secara sukarela patuh terhadap

sesuatu yang telah dianutnya secara turun-temurun di tengah mulai hilangnya

lahan pertanian di Kecamatan Denpasar Selatan.

Saran yang bisa diberikan melalui penelitian ini ada tiga. Pertama kepada

pemerintah, pemerintah pusat, dan Pemerintah daerah diharapkan untuk ikut

serta melakukan pencegahan semakin meluasnya alih fungsi lahan persawahan

dengan cara menerbitkan regulasi yang khusus mengatur larangan adanya alih

fungsi lahan pada lahan produktif. Selain untuk menjaga kelestarian kebudayaan

dan kepercayaan agama Hindu di Bali, larangan tersebut juga dimaksudkan untuk

tercapainya ketahanan pangan. Pemerintah daerah harus tetap konsisten pada

keputusan atau peraturan perundangan yang telah dibuat agar masyarakat percaya

bahwa pemerintah benar-benar berkomitmen dalam menjaga keberadaan sawah di

daerah ini. Jika hal itu dilakukan pasti masyarakat percaya bahwa pemerintah,

baik pusat maupun daerah, akan mengembangkan daerahnya ke arah yang positif.

Oleh karena itu pemerintah dengan berpedoman pada kepercayaan itu bisa

mewujudkan arah pembangunan kearah yang baik juga. Modal kepercayaan

(trust) yang dimiliki membuat masyarakat sangat patuh kepadanya, sebagaimana

istilah panopticon yang dipopulerkan oleh Michel Foucault untuk menjelaskan

mekanisme pengawasan bahwa seseorang menyadari dirinya di dalam

pengawasan dan taat pada aturan yang telah dibuat untuk menjaga wilayah

Denpasar Selatan sebagai kawasan pertanian. Modal sosial berupa kepercayaan

yang dimiliki kepada pemerintah, baik di tingkat desa, kabupaten, maupun

provinsi, sebenarnya dapat dipakai menggerakkan masyarakat untuk menjaga

xvii

keberadaan lahan pertanian sehingga alih fungsi lahan yang terjadi tidak semakin

meluas dan menghabiskan wilayah pertanian di Denpasar Selatan.

Kedua, alih fungsi lahan secara masif yang terjadi di Kecamatan Denpasar

Selatan selama ini telah memberikan implikasi yang sangat luas bagi

perkembangan masyarakat di wilayah tersebut. Terkait dengan itu investor

sebagai pihak yang memiliki kepentingan untuk mencari keuntungan material juga

harus memperhatikan dampaknya bagi perkembangan masyarakat yang ada di

wilayah Denpasar Selatan. Hal ini penting dilakukan oleh investor karena jika

nantinya masyarakat yang ada di wilayah itu terutama masyarakat Bali tidak ada,

identitas kebaliannya akan hilang yang berakibat pada kebudayaan Bali yang

lamban laun juga memudar. Jika hal ini terjadi, pariwisata sebagai identitas yang

mendorong perkembangan investasi di kawasan Denpasar Selatan akan menurun.

Hal ini tentunya akan berimplikasi pada penanaman modal selanjutnya, dunia

investari akan melemah. Selain itu, investor juga memiliki kewajiban moral

dengan adanya cooperate social responsibility (CSR) hendaknya benar-benar ikut

memberikan kontribusi positif bagi masyarakat sekitar agar modal yang

dikembangkan juga membawa dampak yang baik bagi perkembangan

investasinya.

Ketiga, alih fungsi lahan persawahan yang terjadi di Kecamatan Denpasar

Selatan dilakukan secara sah dan legal sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku secara nasional, karena diketahui oleh desa dinas. Namun

demikian untuk mencegah meluasnya alih fungsi lahan persawahan tersebut

sebaiknya pihak desa pakraman lebih aktif lagi untuk melakukan pencegahan

terbitnya perizinan untuk menjadikan lahan persawahan menjadi fungsi

nonpertanian. Artinya pihak desa pakraman diharapkan mendata daerah- daerah

mana saja yang sawahnya termasuk lahan produktif dan menginformasikan

kepada desa dinas untuk mencegah terjadinya alih fungsi lahan pada lahan

produktif, untuk melestarikan subak dengan sistem organisasi.

xviii

Di samping itu, juga keberadaan pura ulundanu yang menurut agama

Hindu tempat batari Sri, Dewi Keseburan ber-stana. Untuk itu, disarankan kepada

desa pakraman agar dibuatkan daerah sebagai area sawah yang dilindungi

(semacam cagar alam) agar persawahan di Kecamatan Denpasar Selatan terjaga

eksistensinya. Dengan bertujuan untuk pelestarian kebudayaan dan kepercayaan

Hindu di Bali.

xix

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ................................................................................... i

PERSYARATAN GELAR DOKTOR ........................................................ ii

LEMBAR PENGESAHAN........................................................................... iii

DAFTAR TIM PENGUJI ............................................................................. iv

SURAT PERNYATAAN BEBASPLAGIAT................................................ v

UCAPAN TERIMAKASIH.......................................................................... vi

ABSTRAK ................................................................................................... x

ABSTRACT ................................................................................................. xi

RINGKASAN DISERTASI.......................................................................... xii

DAFTAR ISI ................................................................................................ xxi

DAFTAR TABEL ........................................................................................ xxv

DAFTAR GAMBAR.................................................................................... xxvi

DAFTAR LAMPIRAN................................................................................. xxvii

GLOSARIUM ............................................................................................. xxviii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ........................................................................ 1

1.2 RumusanMasalah .................................................................... 17

1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................... 17

1.3.1 Tujuan Umum............................................................... 17

1.3.2 Tujuan Khusus ............................................................. 17

xx

1.4 Manfaat Penelitian.................................................................... 17

1.4.1 Manfaat Teoretis ........................................................... 17

1.4.2 Manfaat Praktis ............................................................. 18

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DANMODEL PENELITIAN............................................................. 20

2.1 Kajian Pustaka .............................................................. 20

2.2 Konsep.......................................................................... 26

2.2.1 Lahan Persawahan.............................................. 26

2.2.2 Alih Fungsi Lahan ............................................. 28

2.2.3 Petani ................................................................. 30

2.3 Landasan Teori ............................................................ 33

2.3.1 Teori Hegemoni.................................................. 34

2.3.2 Teori Praktik ...................................................... 38

2.4 Model Penelitian ........................................................... 42

BAB III METODE PENELITIAN ......................................................... 45

3.1 Rancangan Penelitian ................................................... 45

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................ 47

3.3 Jenis dan Sumber Data .................................................. 48

3.4 Instrumen Penelitian ..................................................... 49

3.5 Teknik Penentuan Informan .......................................... 49

3.6 Teknik Pengumpulan Data ............................................ 50

3.6.1 Observasi ............................................................ 50

3.6.2 Wawancara........................................................... 51

xxi

3.6.3 Studi Dokumen ................................................... 52

3.6.4 Teknik Pengumpulan Data Internet....................... 53

3.7 Teknik Analisis Data .................................................... 53

3.8 Teknik Penyajian Hasil Penelitian ................................. 54

BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN .................. 55

4.1 Lokasi dan Geografi...................................................... 57

4.2 Demografi Kecamatan Denpasar Selatan....................... 59

4.2.1 Penduduk Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin.. 58

4.2.2 Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian/

Pekerjaan ............................................................. 60

4.2.3 Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan .......... 61

4.3 Sosial Budaya Kecamatan Denpasar Selatan ................. 62

4.3.1 Sistem Kemasyarakatan........................................ 62

4.3.2 Agama dan Kepercayaan ...................................... 70

4.4 Dinamika Alih Fungsi Lahan Pertanian di

Kecamatan Denpasar Selatan ...................................... 73

BAB V PROSES ALIH FUNGSI LAHANPERSAWAHAN DI

KECAMATAN DENPASAR SELATAN ................................. 79

5.1 Alih Fungsi Lahan Persawahan Melalui Hegemoni ....... 81

5.2 Alih Fungsi Lahan PersawahanMelalui Negoisasi ......... 118

5.3 Alih Fungsi Lahan Persawahan Melalui Oposisi............ 137

xxii

BAB VI IDEOLOGI YANG BEKERJA DI BALIK TERJADINYA

ALIH FUNGSI LAHAN PERSAWAHAN DI KECAMATAN

DENPASAR SELATAN ........................................................... 153

6.1 Ekonomi Kapitalis ........................................................ 153

6.2 Gaya Hidup................................................................... 169

6.2.1 Fatalisme Petani .................................................. 182

6.2.2 Pragmatisme Petani ............................................. 201

BAB VII IMPLIKASI ALIH FUNGSI LAHAN PERSAWAHAN PADA

KEHIDUPAN PETANI DI KECAMATAN DENPASAR

SELATAN ... ............................................................................ 209

7.1 Implikasi terhadap Infrastruktur .................................... 210

7.2 Implikasi terhadap Struktur Sosial................................. 228

7.3 Implikasi terhadap Suprastruktur................................... 275

BAB VIII PENUTUP ................................................................................ 317

8.1 Simpulan....................................................................... 317

8.2 Temuan Penelitian ........................................................ 319

8.3 Saran............................................................................. 322

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 324

LAMPIRAN-LAMPIRAN............................................................................ 336

xxiii

xxii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.1 Alih Fungsi Lahan Pertanian Menjadi Lahan NonPertanian di

Kota Denpasar, Tahun 2007-2012............................................. .. 9

Tabel 1.2 Luas Tanah Kecamatan Denpasar Selatan Menurut Jenis

Penggunaannya Tahun2012 ....................................................... 10

Tabel 4.1 Statistik GeografidanIklim......................................................... 58

Tabel 4.2 Komposisi Penduduk Berdasarkan Umur dan JenisKelamin... ... 60

Tabel 4.3 Penduduk BerdasarkanMataPencaharian/Pekerjaan ................... 61

Tabel 4.4 Penduduk Berdasarkan TingkatPendidikan ................................ 62

Tabel 4.5 Penduduk BerdasarkanAgama ................................................... 71

Tabel 4.6 Penurunan Luas Tanah Pertanian di Kecamatan Denpasar

Selatan, Tahun 2010 s.d.Tahun 2014 ......................................... 73

Tabel 5.1 Peraturan/Perundangan Terkait dengan Alih Guna Lahan

Pertanian ................................................................................... 106

Tabel 7.1 Perkembangan Infrastruktur terhadap Jumlah Penduduk di

Kecamatan Denpasar Selatan..................................................... .. 213

Tabel 7.2 Penduduk BerdasarkanMataPencaharian/Pekerjaan ................... 200

Tabel 7.3 Penurunan Rumah Tangga Miskin (RTM) di Kecamatan

Denpasar Selatan Tahun 2006 -2014.......................................... 236

Tabel 7.4 Jumlah Etnis di Desa Pedungan Tahun2012-2013...................... 237

Tabel 7.5 Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan ............................... 274

xxiv

xxiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Model Penelitian ....................................................................... 42

Gambar 4.1 Peta Wilayah Kecamatan Denpasar Selatan.......................... ...... 57

Gambar 5.1 Alih Fungsi Lahan Persawahan MenjadiNonPertanian........ ....... 95

Gambar 5.2 Alih Fungsi Lahan Persawahan di Sesetan Menjadi Tempat-tempat Usaha/Bisnis.............................................................. ...... 101

Gambar 5.3 Skema Hubungan Inputs, Process dan Outputs..................... ...... 126

Gambar 5.4 Interaksi dalam Arena yang Membentuk Process....................... 126

Gambar 5.5 Interaksi Process Terkait DiAntara Fenomena..................... ...... 127

Gambar 5.6 Process Model dengan Aktor di LuarProses................................ 127

Gambar 5.7 Model Proses dengan karakteristik pelaku yang digunakan

dalam TeoriInteraksi Kontekstual................................................ 128

Gambar 5.8 Interaksi dinamis antara karakteristik pelaku utama yangmenggerakkan proses-proses interaksi sosial dan pada

gilirannya dibentuk kembali olehprosestersebut.......................... 130

Gambar 7.1 Alih Fungsi Lahan Menjadi Infrastruktur yang MendukungPemenuhan Kebutuhan Hidup Kekinian padaEraModern........... 213

Gambar 7.2 Pembuangan Sampah pada Lahan Persawahan sebagai

Dampak Alih Fungsi Lahan Persawahan Menjadi FungsiPermukiman/Perumahan............................................................ 214

Gambar 7.3 Pelinggih Pura Subak yang sudah tidak berada di persawahan

lagi ............................................................................................ 221

Gambar 7.4 Suasana Pertokoan di Jalan Sesetan ........................................... 223

xxv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran I Daftar Informan.................................................................. 336

Lampiran II Pedoman Wawancara............................................................. 339

Lampiran III Daftar Riwayat Hidup........................................................... 345

xxvi

GLOSARIUM

asta kosala-kosali : merupakan aturan dimensi dan bahan bangunan

pada bangunan tradisional bali atau dapat juga

dikatakan sebagai arsitektur dalam perspektif

budaya bali.

atman : jiwa

awig-awig desa : sistem aturan desa adat yang dibuat dan

diberlakukan kepada segenap warga desa

bale gede : balai/ ruangan yang besar

banjar : kelompok masyarakat yang lebih kecil dari desa

dan menjadi bagian dari desa adat serta merupakan

persekutuan hidup sosial.

banjar adat : mempunyai tugas dan kewajiban khusus dalam

kaitannya dengan upacara agama hindu atau banjar

suka-duka

banjar dinas : merupakan perpanjangan tangan dari organisasi

pemerintahan negara di bawah desa dinas

bhuana agung : alam semesta

bhuana alit : alam kecil (manusia)

bhuah loka : dunianya manusia

bhur loka : dunianya tumbuh-tumbuhan, binatang, dan roh-roh

yang lebih rendah derajatnya dari manusia

buka nyuhe aijeng : seperti kelapa satu tangkai tidak ada yang sama

carik : sawah

catus patha : pertemuan empat arah mata angin umumnya ada

diperempatan pusat desa atau wilayah

celedu nginyah : pekarangan rumah yang sudut barat dayanya

bertemu dengan sudut timur lautnya pekarangan

rumah keluarga itu juga berada sebelah-menyebelah

jalan umum, ini tidak boleh.

xxvii

celebingkah batan biu,

gumi linggah ajak liu

: bumi ini luas dan ditempati banyak orang

cucupu : rahim ibu

desa-kala-patra : tempat, waktu dan keadaan

desa-mawa-cara : tata cara desa yang mana setiap wilayah desa di

Bali memiliki cara berbeda

dewata nawa sanga : sembilan dewa penjaga arah mata angin

dharma : kebajikan

don sente don pelendo,

ade kene ade keto

: ada yang begini ada yang begitu/ penghargaan

terhadap variasi sosial

hasta : ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewasa dari

pergelangan tengah tangan sampai ujung jari jari

tengah yang terbuka

ida sang hyang widhi

waca

: tuhan yang maha esa

jagadhita : kesejahteraan umat manusia, kedamaian, dan

kelestarian dunia

jineng : lumbung

kahyangan tiga : tiga tempat suci yang ada di desa pakraman yang

terdiri dari pura puseh, bale agung dan pura dalem

karang desa : pekarangan, wilayah atau tempat bangunan desa

krama : warga

krama desa : warga desa adat

krama subak : anggota subak

lebah : rendah

kaja-kangin : timur laut

kaja-kelod : utara-selatan/ ulu-hilir masyarakat Bali yang

berpedoman pada arah gunung untuk kaja dan laut

untuk kelod

kama : hawa nafsu

karang kalebon amuk : pekarangan rumah tidak boleh dijatuhi oleh cucuran

xxviii

atap dari rumah orang lain.

karang kalingkuhan : pekarangan rumah tidak boleh diapit oleh

pekarangan/rumah sebuah keluarga lain.

karang negen : pekarangan rumah sebuah keluarga tidak boleh

berada sebelah- menyebelah jalan umum dan

berpapasan.

karma phala : hukum karma/ perbuatan

kawitan : asal mula

kayika : berbuat yang baik

lebah : rendah

madya : menengah

manacika : memiliki pikiran dan pengetahuan suci

manic : janin

manik ring cucupu : rahim sebagai tempat yang memberikan kehidupan,

perlindungan dan perkembangan janin tersebut,

demikian pula halnya manusia berada, hidup,

berkembang dan berlindung pada alam semesta.

medelokan : berkunjung

metaksu : berkarisma

moksa : kebebasan atau kesempurnaan roh

mulat sarira : introspeksi diri

natah : halaman rumah

ngopin : membantu

nista : sederhana

ngeluanin pura : berada lebih tinggi atau lebih di hulu dari pura

numbak rurung/ tusuk sate : jalan lurus langsung bertemu dengan pekarangan

rumah

nyalanang jengah : mewujudkan cita-cita menjadi kenyataan

panca sradha : lima dasar keyakinan agama hindu yakni percaya

adanya tuhan, atman, punarbhawa, karmaphala,

dan moksa

xxix

palemahan : aspek hubungan manusia dengan lingkungan alam

berupa sawah, perumahan, perkantoran, dan

lainnya

pawongan : aspek sosial hubungan manusia dengan manusia

seperti anggota subak

paras paros sarpanaya : belajar seiring dan sejalan bagi kepentingan

bersama

pawon : dapur

penepi siring : perkampungan

pengijeng : pelindung

penyarikan : sekretaris

penyelam : masakan yang tidak menggunakan daging babi

prana : tenaga

punarbawa : kelahiran atau penderitaan kembali

puputan : sampai titik darah penghabisan (mati)

pura dalem : pura berstananya dewa siwa

pura puseh : pura berstananyaa desa brahma

pura ulundanu : pura tempat pemujaan batara sri atau dewi sri, dewi

kesuburan, khususnya kesuburan persawahan

rahayu : selamat

rungu : peduli

saling asah, asih lan asuh : saling belajar, saling mengasihi dan saling

mengontrol satu dengan yang lainnya

salunglung sabayantaka : baik buruk, manis pahit dirasakan bersama

samsara : terlahir kembali

sanga mandala : sembilan alam

sanggah : pura rumah tangga

sarira : unsur badan kasar

segilik seguluk

sebuyantaka

: baik dan buruk dirasakan bersama

sekaa gong : perkumpulan penabuh

xxx

sekaa pesantian : perkumpulan nyanyian keagamaan

sekaa teruna-teruni : perkumpulan muda-mudi

stula sarira : tubuh manusia

suka duka paras paros : suka duka tetap hidup rukun

suka lan mawali duka : kebahagian abadi yang tidak menyebabkan kembali

pada kesengsaraan

susila : etika

swah loka : dunianya para dewa

tatwa : filsafat

tat twam asi : rasa toleransi yang menimbulkan rasa persaudaraan

dan kerukunan hidup antar sesama manusia yang

mewarnai tata susila hindu

teben : di bawah

tegeh : tinggi

tri angga : tiga bagian badan fisik

tri hita karana : tiga penyebab kebahagiaan dalam masyarakat hindu

di bali yang terdiri dari hubungan baik dengan

tuhan (parhyangan), hubungan baik dengan sesama

manusia (pawongan) dan hubungan baik dengan

alam (palemahan)

tunggalin kawitan : satu asal muasal keluarga

tunggalin soroh wangsa : satu ikatan keluarga berdasarkan keturuanan (klien

keluarga tertentu)

umah meten : ruang yang biasanya dipakai tidur kepala keluarga

sehingga posisinya harusnya terhormat

upakara : sarana ritual agama hindu

wacika : berkata-kata yang baik

yen ngae baju sikutang di

deweke

: kalau buat pakaian ukur pada diri sendiri (falsafah

tentang segala hal harus diukur sesuai dengan

kemampuan diri

1

1

BAB I

PENDAHULUAN

Bab pendahuluan ini memuat latar belakang, rumusan masalah, tujuan

penelitian, dan manfaat penelitian. Latar belakang menguraikan fakta-fakta yang

relevan dengan masalah penelitian sebagai titik tolak merumuskan masalah

penelitian, alasan-alasan mengapa masalah yang dikemukakan dalam penelitian

itu dipandang penting untuk diteliti. Masalah yang dikemukakan dalam latar

belakang ini kemudian dirumuskan sebagai masalah penelitian (research

problem) dan dikemukakan dalam bentuk pertanyaan penelitian (research

questions). Selanjutnya dalam tujuan penelitian dikemukakan pernyataan jelas dan

singkat tentang hal-hal yang akan dicapai dalam penelitian ini. Tujuan penelitian

erat kaitannya karena rumusan masalah dan tujuan penelitian merupakan tujuan

untuk mencari jawaban dari rumusan masalah. Sementara itu manfaat penelitian

mengungkapkan secara spesifik manfaat yang dapat dicapai baik dari aspek

teoretis (keilmuan) dengan menyebutkan manfaat teoretis apa yang dapat dicapai,

dari masalah yang diteliti maupun dari aspek praktis dengan menyebutkan

manfaat apa yang dapat dicapai dari penerapan pengetahuan yang dihasilkan

penelitian ini.

1.1 Latar Belakang

Pertanian sebagai kebudayaan masih sangat berperan dalam mendukung

pengembangan pariwisata, baik dari tata nilai, religiusitas, maupun lingkungannya

serta petaninya sebagai produsen baik di lahan sawah maupun bukan sawah

1

2

2

(tegalan), karena adanya filosofi tri hita karana (keseimbangan hubungan Tuhan,

manusia dan lingkungan fisik). Ironisnya sebagai daerah tujuan wisata populer

lahan pertanian Bali rentan terhadap tekanan akibat pariwisata itu sendiri.

Kenyataannya terjadi alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian yang

difasilitasi oleh kebijakan pemerintah setempat. Selain itu, sumber daya manusia

yang semakin meningkat, kebutuhan infrastruktur sebagai akibat perkembangan kota

dan perkembangan industri yang terkait dengan pariwisata atau turisme, semakin

mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian khususnya sawah menjadi lahan

nonpertanian berupa perumahan, perkantoran, perguruan tinggi, pusat pembelanjaan,

terutama untuk sarana prasarana pendukung pariwisata, seperti hotel, restoran,

club malam, dan sebagainya.

Eksistensi sistem irigasi subak yang ada di Bali sejak beradab-abad

lamanya, yang dianggap sebagai penopang pertanian di Bali, kini dapat

digoyahkan dengan arus alih fungsi lahan yang kuat. Alih fungsi lahan

persawahan dipicu oleh pengaruh dari luar yang mengancam eksistensi sistem

irigasi tradisional termasuk di dalamnya sistem subak di Bali (Sutawan, 2008:18).

Kepadatan penduduk yang tinggi akan berdampak pada pembebasan lahan-lahan

produktif untuk daerah-daerah permukiman sehingga keberadaan kawasan

pertanian di dalam kota hampir dapat dikatakan habis, sedangkan untuk daerah

pinggiran kota keberadaannya sangat sedikit.

Fenomena alih fungsi lahan persawahan menjadi lahan nonpertanian akan

berdampak sangat jauh dalam tata budaya dan adat masyarakat Bali, fakta subak

berada pada kawasan yang eksotik dengan panorama yang indah telah menggoda

para investor baik dalam negeri maupun luar negeri, dengan berbagai modus

3

3

operandi untuk menguasai dan mendayagunakan lahan yang subur dan eksotik itu.

Para investor, baik asing maupun lokal, berebut untuk mendapatkan area

persawahan untuk menjadi sasaran akomodasi pariwisata. Menurut Dhyana (2009:

36), area persawahan di daerah Ubud sudah habis terkavling dan harga tanah pun

terus mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan ancaman terjadinya alih

fungsi lahan persawahan di daerah Ubud yang dikenal sebagai daerah persawahan.

Menurut Sutawan (2008:19), sistem pertanian di Bali, selalu akan

diidentikkan dengan sistem subak yang merupakan ciri khas sistem pertanian di

Bali. Menurutnya, subak di Bali mempunyai lima ciri, yaitu sebagai berikut.

1. Subak merupakan organisasi petani pengelola air irigasi untuk anggota-

anggotanya. Sebagai suatu organisasi, subak memiliki pengurus dan

peraturan organisasi (awig-awig), baik tertulis maupun tidaktertulis.

2. Subak mempunyai suatu sumber air bersama, berupa bendung

(empelan) di sungai, mata air, air tanah, ataupun saluran utama suatu

sistemirigasi.

3. Subak mempunyai suatu arealpersawahan.

4. Subak mempunyai otonomi, baik internal maupun eksternaldan

5. Subak mempunyai satu Pura Bedugul atau lebih atau pura yang

berhubungan denganpersubakan.

Hal inilah yang membedakan sistem pertanian di Bali diaplikasikan

melalui kegiatan gotong royong yang merupakan ciri yang kuat dari masyarakat

petani Bali. Berdasarkan gotong royong inilah kepentingan bersama yang

dilandasi rasa paras paros selunglung sebayantaka (tenggang rasa, susah dan

4

4

senang sama dirasakan/ ditanggung bersama), semua yang terkait dengan masalah

pertanian disatukan sehingga muncullah suatu organisasi sosial yang disebut

subak (Sumarta, 2008).

Kepentingan bersama subak dipadukan dengan nilai-nilai agama Hindu

menjadikan organisasi subak ini mempunyai nilai sosial yang religius. Dengan

kebersamaan, kegotongroyongannya, dan konsep tri hita karana yang diwujudkan

dalam hubungan yang harmonis dalam bentuk tiga dimensi, menyebabkan subak

dianggap oleh para pakar pertanian mampu berperan melestarikan lingkungan dan

budaya.

Melalui hubungan yang seimbang dan harmonis, yaitu keseimbangan

antara subak ke hadapan Sang Maha Pencipta, saling asah, saling asih, dan saling

asuh terhadap sesama umat manusia atau sesama petani subak, dan rungu (peduli)

terhadap alam lingkungan sekitarnya, serta upaya untuk memelihara kelangsungan

daya dukung dan daya tampung lingkungan menyebabkan jagat ini rahayu

(lestari). Menurut Sumarta (2008:41), melalui subak, di bawah kendali awig-awig

segala aktivitas yang menyangkut pertanian, khususnya pertanian lahan sawah

diatur dan dikendalikan. Aktivitas pertanian, seperti pengaturan pola tanam,

pengolahan lahan, pembagian air, penggunaan bibit, pemberantasan hama,

ataupun pemupukan selalu berdasarkan sistem subak, yang diputuskan dalam

suatu perareman (hasil keputusan bersama dalam suatu rapatsubak)

Subak sebagai pranata sosial merupakan salah satu wujud budaya, baik

ditinjau dari ide maupun gagasan yang dituangkan dalam awig-awig subak, baik

dilihat dari aktivitas maupun kegiatan mulai dari mengolah tanah pertanian

5

5

sampai padi dipanen. Di samping itu, serentetan upacara dalam konteks kegiatan

ritual, baik dilihat dari wujud fisiknya yang berupa petak-petak sawah,

bendungan, terasering, saluran irigasi, maupun tempat-tempat suci menyebabkan

peran subak mampu menjaga keseimbangan lingkungannya (Pitana, 2003:61).

Banyak kalangan yang menganggap bahwa pertanian bisa menjadi pilar

pendukung bagi perekonomian Bali. Kendatipun demikian, pertanian Bali juga

dihadapkan dengan banyak kendala. Salah satu di antaranya adalah mengenai

penyesuaian dan penggunaan lahan. Perkembangan arus pariwisata di Bali yang

sangat besar membuat lahan pertanian menjadi tertekan. Kebijakan pemerintah

dalam hal pembangunan sarana dan prasarana pendukung sektor pariwisata yang

memanfaatkan lahan pertanian membuat para investor, baik dalam maupun luar

negeri, banyak memburu lahan-lahan yang produktif di bidang pertanian berubah

menjadi lahan bidang pariwisata. Kontribusi yang besar kepada para pemilik lahan

menjadi salah satu cara untuk meluluhkan para pemilik lahan agar lahannya dapat

digunakan menjadi sektor pariwisata (Suputra dkk., 2012:62).

Nilai-nilai yang terkandung di dalam subak tidak hanya berfungsi untuk

mengatur irigasi, tetapi juga mampu menarik perhatian para ahli dari Barat untuk

digunakan sebagai bahan penelitian (Pitana, 2003). Subak sebagai salah satu dari

budaya merupakan aset daerah. Keindahan petak-petak sawah yang berterasering,

kegiatan para petani mulai dari membajak tanah sawah sampai menuai hasil

panen, dan aktivitas ritual yang penuh keunikan mampu menarik para wisatawan

mancanegara (wisman) dan wisatawan nusantara (wisnu). Semua hal itu

menyebabkan Bali terangkat menjadi daerah pariwisata yang bernapaskan budaya.

6

6

Hal ini disebabkan antara lain oleh peran subak dalam ikut melestarikan

lingkungan. Hal tersebut juga membuat sistem subak tetap ada atau terjaga sampai

kini.

Alih fungsi lahan pertanian khususnya persawahan untuk kepentingan

non- pertanian seperti industri dan permukiman termasuk perkantoran dan sarana

prasarana pariwisata yang terjadi terus-menerus mempunyai konsekuensi

logis. Dalam hal ini budaya pertanian dengan sistem subak yang merupakan salah

satu modal dasar pariwisata budaya Bali semakin terdegradasi, termasuk para

petani yang belum siap bersaing di dunia modern dan industri yang sangat

kompetitif. Di sisi lain pariwisata dengan leluasa mengeskploitasi lahan pertanian

untuk kepentingannya sendiri.

Dahulu pariwisata hanya sekadar sektor pendukung sektor utama, yaitu

pertanian dalam menopang kehidupan masyarakat Bali. Bali menjadi daerah

tujuan wisata, bukan tanpa latar belakang dari politik sampai akhirnya

berkembang menjadi kepentingan ekonomi. Bali sering mengundang decak

kagum masyarakat nasional dan internasional karena image keindahannya. Bali

the image and the magic word for the nation, for the world. Akan tetapi, sisi gelap

ditutup-tutupi demi kepentingan pariwisata. Dengan perkataan lain, demi

kepentingan bersama atas nama ekonomi pariwisata segala sesuatu yang

bertentangan dengan pencitraan atau image harus dihindari (Wingarta, 2006:60).

Jika keadaan itu berlangsung terus-menerus, tidak mustahil Bali yang

terkenal dengan berbagai julukan yang menggambarkan kesejukan alam dan

keharmonisan masyarakatnya akan berubah menjadi Bali yang gersang dan

7

7

kering. Bali merupakan pulau dengan kehidupan masyarakatnya yang unik. Bali

memiliki kebudayaan yang autentik dan menarik, dicintai dunia, menjadi idaman

orang-orang asing untuk mengunjunginy. Banyak julukan yang diberikan kepada

pulau ini. Di samping itu, jug puja dan puji datang dari tokoh dunia, misalnya

“Bali the Last Paradise” (Powell, 1930) dan “The Morning of The World”

(Vicker, 1996:5) akan menjadi Bali yang merekah tanahnya, rimbumnya

pepohonan akan digantikan dengan rimbunnya gedung-gedung yang megah. Pura

sebagai tempat suci umat Hindu, akan tercemar (leteh) oleh derasnya kapitalisme

lewat pariwisata (Radiyta, 2011:18; Wingarta, 2006:63). Semangat bisnis

merajalela dan spekulasi atas tanah mencapai dimensi yang laur biasa oleh para

spekulan dan konglomerat serta masalah ekologi lainnya, seperti polusi air, udara,

dan masalah sampah. Di sisi lain masyarakat Bali sibuk berkonflik, masyarakat

Bali makin tidak terbuka, tidak ramah, dan tidak luwes dan tidak kosmologis

(Yoga, 2006:80).

Secara umum alih fungsi lahan pertanian diakibatkan oleh beberapa faktor.

Menurut Lestari (2009:45) dan Suputra dkk (2012:62), terdapat tiga faktor penting

yang menyebabkan alih fungsi lahan pertanian. Pertama, faktor eksternal, yaitu

faktor, baik yang disebabkan oleh adanya dinamika pertumbuhan perkotaan,

demografi maupun ekonomi sebagai akibat globalisasi. Kedua, faktor internal,

yaitu faktor yang disebabkan oleh kondisi sosial ekonomi rumah tangga petani

pengguna tanah. Ketiga, faktor kebijakan, yaitu aspek regulasi yang dikeluarkan,

baik oleh pemerintah pusat maupun daerah, yang berkaitan dengan perubahan

fungsi lahan pertanian. Di sisi lain pariwisata Bali dan pariwisata di Kecamatan

8

8

Denpasar Selatan berbasis pariwisata budaya, artinya budaya Bali pada dasarnya

berbasis pertanian. Dalam hal ini perkembangan pariwisata yang telah menyedot

sumber daya pertanian baik berupa lahan maupun sumber daya manusia, pada

akhirnya akan memengaruhi budaya Bali. Akibatnya, alih fungsi lahan pertanian

khususnya persawahan akan berpengaruh terhadap kemajuan sektor pariwisata.

Sebenarnya ancaman terhadap penyusutan lahan persawahan juga merupakan

ancaman terhadap sektor pariwisata. Ancaman terhadap keberlanjutan persawahan

juga berarti ancaman terhadap keberlanjutan kebudayaan Bali yang berbasis

pertanian.

Alih fungsi lahan persawahan sebagai akibat adanya perkembangan

pariwisata menandakan ambivalensi dalam realitas sosial, yaitu terjadi alih fungsi

kawasan persawahan yang tidak disadari oleh para petani di Kecamatan Denpasar

Selatan. Di pihak lain disadari bahwa pariwisata membawa ancaman terhadap

keberlanjutan kehidupan pertanian yang sarat dengan budaya Bali. Nalar pikiran

awam atau common sense mengiyakan segala dampak perkembangan pariwisata

tanpa melihat atau merasakan dampaknya atas kehidupan mereka. Akibatnya,

identitas “kebalian” mereka secara kolektif dan perorangan terinjak di desa

kelahiran sendiri, yang sesungguhnya memiliki akar kuat pada kultur dan nilai,

khususnya kultur dan nilai pertanian yang sudah melembaga dengan tradisi yang

menyatu dengan budaya hidup sehari-hari. Norma nilai dan pandangan hidup yang

tersirat dan terukir dalam simbol budaya atau atribut adat, bahkan bernuansa

magis dan spiritual. Sebagai akibat dari kecenderungan inilah maka terjadi apa

yang disebut sebagai “universalisme budaya”, yaitu wajah budaya dunia

9

9

dipandang menuju ke satu arah. Arah yang dimaksud adalah homogenisasi budaya

modernitas serta memudarnya magis dan tradisilokal.

Alih fungsi lahan juga terjadi di Kota Denpasar. Tabel 1.1 memberikan

gambaran alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian di Kota

Denpasar tahun 2007 hingga tahun 2012.

Tabel 1.1Alih Fungsi Lahan Pertanian Menjadi Lahan NonPertanian di Kota

Denpasar Tahun 2007-2012No Kecamatan Periode Tahun

2007-2008 2008-2009 2009-2010 2010-2011 2011-20121 Denpasar Selatan 18 ha 21 ha 32 ha 25 ha 49 ha2 Denpasar Timur 5 ha 3 ha - - -3 Denpasar Barat 9 ha 10 ha 11 ha - -4 Denpasar Utara 17 ha 16 ha 18 ha 10 ha 29 ha

Total 49 ha 50 ha 61 ha 35 ha 78 haSumber: Biro Pusat Statistik Kota Denpasar (2013)

Tabel 1.1 menunjukkan bahwa luas tanah pertanian di Kota Denpasar

mengalami pengurangan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2011-2012 terjadi

pengurangan luas tanah pertanian tertinggi, yaitu sebesar 78 hektare, yaitu, dari

2.597 hektare pada tahun 2011 menjadi 2.519 hektare pada tahun 2012.

Pengurangan tanah pertanian sebesar 78 hektare tersebut terjadi di dua kecamatan,

yaitu Kecamatan Denpasar Selatan seluas 49 hektare tanah pertanian beralih

fungsi menjadi rumah, bangunan, dan halaman sekitarnya (47 hektare) dan dua

hektare beralih fungsi menjadi lainnya (jalan, sungai, tambak, lahan tandus dan

lain-lain). Sementara itu di Kecamatan Denpasar Utara terjadi pengurangan 29

hektare tanah pertanian yang beralih fungsi menjadi rumah, bangunan, dan

halaman sekitarnya (Biro Pusat Statistik, Denpasar dalam Angka, 2013). Hal ini

menunjukkan bahwa alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian di

10

10

Kota Denpasar sepanjang tahun 2007 hingga tahun 2012 yang paling besar terjadi

di Kecamatan Denpasar Selatan. Hal ini tidak mengherankan mengingat

Kecamatan Denpasar Selatan merupakan daerah/lokasi perumahan, perkantoran,

perguruan tinggi, perhotelan, pusat pembelanjaan, dan fungsi-fungsi bisnis

lainnya.

Sementara itu penggunaan tanah di Kecamatan Denpasar Selatan dapat

dilihat dalam Tabel 1.2.

Tabel 1.2Luas Tanah Kecamatan Denpasar Selatan Menurut Jenis

Penggunaannya Tahun 2014

Desa/Kelurahan

Luas(Ha)

Sawah(Ha)

Tegal/Huma (Ha)

Pekarangan(Ha)

Perkebunan(Ha)

Lainnya(Ha)

Desa Pemogan 978,86 218,00 20,00 462,11 10,00 268,75Desa Sanur Kaja 270,47 56,00 - 175,07 - 39,40Desa Sidakarya 389,80 92,00 - 239,20 - 58,60Desa Sanur Kauh 388,93 132.00 15,00 206,63 6,00 29,30Kelurahan Pedungan 737,03 215,00 11,00 389,84 5,00 116,19Kelurahan Sesetan 748,55 14,00 30,00 456,01 - 248,54Kelurahan Serangan 484,35 - 75,00 22,39 - 386,96Kelurahan Panjer 345,83 28,00 22,00 246,32 - 49,51Kelurahan Renon 247,48 92,00 - 122,14 - 33,34Kelurahan Sanur 407,68 - 10,00 357,27 - 40,41

Total 4.998,98 847,00 183,00 2.676,98 21,00 1.271,00Tanah Bukan Pertanian 3.968,98 79,40%

Tanah Pertanian 1.030,00 20,60%Tanah Sawah 847,00 82,23% % Tanah Sawah

Tanah Bukan Sawah 183,00 17,77% % Tanah Bukan SawahSumber: Biro Pusat Statistik, Kecamatan Denpasar Selatan dalam Angka, 2014

Tabel 1.2 menunjukkan luas Kecamatan Denpasar Selatan yang terdiri atas

empat desa dan enam kelurahan, luasnya hampir lima ribu hektare, tepatnya 4.998

hektare yang terdiri atas 3.968,98 hektare tanah bukan pertanian atau 79,40%

dan 1.030 hektare tanah pertanian atau 20,60%. Tanah pertanian tersebut meliputi

847 hektare atau 82,23% tanah sawah dan 183 hektare atau 17,77% tanah bukan

sawah. Penggunaan tanah di Kecamatan Denpasar Selatan ini bila dibandingkan

11

11

dengan Bali secara keseluruhan maka persentase tanah pertanian di Kecamatan

Denpasar Selatan hanya 20,60%, sedangkan tanah pertanian Bali secara

keseluruhan adalah 63%. Hal ini berarti bahwa lahan pertanian di Kecamatan

Denpasar Selatan memang semakin menyempit.

Alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian khususnya yang

terjadi di Kecamatan Denpasar Selatan seperti yang diuraikan sebelumnya secara

pasti telah mengancam kelestarian keberadaan subak. Perubahan akibat adanya

alih fungsi lahan tersebut terhadap keberadaan sistem subak pada umumnya

berawal dari aspek palemahan, yaitu sawah atau ladang beralih fungsi menjadi

perumahan, perkantoran, perguruan tinggi, perhotelan, pusat perbelanjaan, dan

fungsi-fungsi bisnis lainnya. Selanjutnya memengaruhi aspek pawongan, yaitu

anggota (krama) subak sebagai pendukung kelangsungan hidup petani, mulai

mengancam ikatan kepentingan bersama dan eksistensinya sebagai suatu

organisasi tradisional. Kondisi seperti ini akhirnya akan merembet ke aspek

parhyangan, yaitu Pura Bedugul atau Pura Ulun Suwi (Pura krama subak) mulai

kehilangan pendukungnya. Di samping itu, tri hita karana dalam lingkungan

subak di Kecamatan Denpasar Selatan secara perlahan tetapi pasti akan

mengalami kehilangan unsur pengikatnya. Ketidakseimbangan struktur ini tidak

saja secara horizontal memengaruhi kehidupan masyarakat pendukung sistem

subak, tetapi juga secara vertikal terjadi pengeseran dalam kehidupan religius

sebagai masyarakat agraris.

Kawasan persawahan di Kecamatan Denpasar Selatan yang sebelumnya

berfungsi sebagai lahan pertanian, cepat atau lambat beralih fungsi menjadi

12

12

kawasan perumahan, perkantoran, perguruan tinggi, perhotelan, pusat

perbelanjaan, dan fungsi-fungsi bisnis lainnya. Meskipun terkadang masih ada

lahan yang tersisa di sekitarnya, tidak lagi dapat berfungsi sebagaimana mestinya

karena infrastruktur dari keberadaan subak telah banyak berubah, bahkan lenyap

sama sekali. Proses bercocok tanam padi yang merupakan bagian dari budaya

petani tradisional semakin ditinggalkan dengan beralih ke sektor pariwisata atau

sektor bisnis lainnya sebagai gantinya.

Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 27, Tahun 2011 tentang Rencana

Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar Tahun 2011-2031 (selanjutnya disebut Perda

RT/RW Kota Denpasar) menyebutkan bahwa Kelurahan Sesetan, Kelurahan

Pedungan, dan Desa Pemogan berfungsi sebagai pusat kegiatan pertanian, pusat

permukiman, perdagangan dan jasa, pusat pelayanan infrastruktur kota, dan

pelabuhan laut. Ketentuan ini menimbulkan ambivalensi, yaitu di satu sisi

Kelurahan Sesetan, Kelurahan Pedungan, dan Desa Pemogan difungsikan sebagai

pusat kegiatan pertanian. Namun, di sisi lain ketiga daerah tersebut juga

difungsikan sebagai pusat permukiman, perdagangan, dan jasa.

Pertumbuhan penduduk yang tak terkendali yang diikuti dengan kebutuhan

perumahan menjadikan lahan-lahan persawahan menyusut di Kelurahan Sesetan,

Kelurahan Pedungan, dan Desa Pemogan di Kecamatan Denpasar Selatan. Lahan

yang semakin sempit, semakin terancam akibat adanya kebutuhan akan

perumahan dan tempat perdagangan. Hal ini mendapat legitimasi dari para

penguasa daerah terutama dalam pemberian izin untuk memanfaatkan lahan yang

semula diperuntukkan sebagai lahan persawahan. Hal ini diperparah lagi karena

13

13

petani lebih cenderung memilih bekerja di sektor informal daripada bertahan di

sektor pertanian. Daya tarik sektor pertanian yang terus menurun juga menjadikan

petani cenderung melepas kepemilikan lahannya. Pelepasan kepemilikan lahan

cenderung diikuti oleh terjadinya alih fungsi lahan oleh para investor untuk

menanamkan modalnya dalam bentuk pembangunan bidang properti.

Penyusutan lahan persawahan di Kecamatan Denpasar Selatan sebagai

akibat di wilayah tersebut dipandang semakin strategis bagi pengembang sektor-

sektor, seperti property dan usaha ekonomi nonpertanian. Wilayah tersebut relatif

dekat dengan Kota Denpasar sehingga menarik bagi pengembang hunian dan

bisnis. Posisinya yang strategis itulah menyebabkan lahan di Kecamatan Denpasar

Selatan menarik bagi para pengembang.

Karena tergiur oleh harga yang mahal, sebagian petani pemilik lahan di

Kecamatan Denpasar Selatan kemudian menjual tanahnya. Sementara sebagian

lainnya ada pula yang mengalihfungsikannya menjadi sarana penunjang kegiatan

bisnis nonpertanian, seperti dikontrakkan/disewakan, dibangun rumah-rumah

sewaan/tempat indekos, dan rumah toko (ruko). Namun, bagi petani penggarap

dan buruh tani, alih fungsi lahan menjadi bencana karena umumnya mereka

tidak memiliki akses (skill) untuk memasuki lapangan kerja formal nonpertanian.

Selain itu, semakin menurunnya minat masyarakat untuk menggeluti pekerjaan

pertanian dikhawatirkan mengancam kesinambungan tradisi agraris sistem subak

di Kecamatan Denpasar Selatan. Para petani semakin terjebak dengan semakin

sempitnya kesempatan kerja. Akibatnya, timbul masalah sosial yang pelik yang

pada gilirannya berimplikasi pada kehidupan para petani di Kecamatan Denpasar

14

14

Selatan yang semula sebagai pemilik lahan. Lama-kelamaan mereka bisa berubah

menjadi buruh tani di lahannya sendiri yang telah dikuasai oleh para investor luar.

Pada umumnya para petani telah tergoda dengan harga tanah yang mahal

dan berharap dengan menjual lahan sawahnya mereka akan bisa hidup

berkecukupan. Namun, petani kurang menyadari bahwa dirinya telah terhegemoni

oleh pengusaha. Hal ini sesuai dengan pandangan yang dikemukakan oleh

Gramsci bahwa hegemoni merupaukan kondisi sosial dalam semua aspek

kenyataan sosial yang didominasi atau disokong oleh kelas tertentu (Tilaar,

2003:77). Keberhasilan hegemoni ditentukan oleh terciptanya kesepakatan. Di

samping itu, kesepakatan terjadi lewat penawaran harga yangmenggiurkan.

Para pengusaha/ investor/ kaum kapitalis menyadari bahwa sasaran

mereka adalah masyarakat petani yang konsumtif dan tidak memiliki pengetahuan

tentang rencana besar kaum kapitalis. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh

Barker (2010:143) bahwa modernisasi adalah citra keasyikan yang menjanjikan,

yakni saat ini dunia mengalami kemajuan sosial dan kemajuan teknologi. Bahkan,

ada petani di Kecamatan Denpasar Selatan yang telah menjadi contoh nyata akibat

dari pengaruh globalisasi teknologi ini. Ada petani di Kecamatan Denpasar

Selatan yang menjual tiga hektare sawah. Setelah itu dia mempunyai rumah,

mobil, motor. Akan tetapi sekarang sepeda saja tidak punya. Ada juga petani di

Kecamatan Denpasar Selatan yang menjual 24 are tanah seharga 120 juta. Setelah

itu dia menyesal menjual tanahnya. Petani tersebut balik ingin membeli lagi

dengan harga 450 juta, tetapi hanya mendapat tiga are. Contoh yang dikemukakan

tersebut merupakan fatalisme yang dialami petani yaitu fatalisme yang

15

15

diakibatkan oleh gaya hidup. Gaya hidup di sini sebagai sarana yang digunakan

kaum kapitalisme yang berwujud hegemoni teknologi dan hegemoni harga sawah

yang selangit. Petani disuguhi kehidupan-kehidupan yang instan dan citra

keasyikan dunia modern saat ini (Barker, 2009:143). Ketika petani telah masuk

perangkap hegemoni kapitalis, maka secara tidak langsung petani akan menerima

apa yang dihegemonikan tersebut, seperti teknologi dan harga tanah yang tinggi.

Ketika ingin memiliki teknologi berupa kendaraan, rumah, dan teknologi lainnya

petani harus memperolehnya dengan uang. Petani tidak memiliki uang yang cukup

untuk memenuhi segala keinginannya. Sehubungan dengan itu, modal tanah

sawahnyalah yang bisa menjadi uang. Di tengah kebimbangan dan keinginan kuat

untuk memiliki gaya hidup itu, petani ditawari dengan hegemoni harga tanah yang

sepintas dapat memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Dengan demikian, petani

merelakan tanahnya diambil oleh investor lewat transaksi keuangan tanpa ada

perlawanan.

Selanjutnya, alih fungsi lahan persawahan yang terus berjalan cepat pada

pembangunan fasilitas pariwisata oleh pemerintah swasta hingga perubahan tata-

ruang, diterima sebagai sebuah pilihan atau langkah ekonomis dan kenyataan

hidup di kawasan wisata sebagaimana halnya kawasan Kecamatan Denpasar

Selatan. Peningkatan infrastruktur pariwisata bersamaan dengan realisasi

pembangunan fisik di Kecamatan Denpasar Selatan mengondisikan masyarakat

petani di kecamatan tersebut terpaksa menerima fungsi baru space and place atau

ruang dan tempat masyarakat petani sebagai akses atau infrastruktur kawasan

industri pariwisata.

16

16

Berdasarkan kondisi di atas, maka subsistem budaya yang dicerminkan

dengan pengelolaan air irigasi sistem subak yang dilandasi dengan keharmonisan

dan kebersamaan dalam sistem subak menjadi hilang. Di samping itu, subsistem

sosial yang dicerminkan dengan adanya organisasi subak akan menjadi hilang. Di

ihak lain, subsistem kebendaan yang dicerminkan dengan ketersediaan sarana

jaringan irigasi akan hilang juga. Berdasarkan hal tersebut secara spesifik penulis

ingin mengamati dan mencermati hal-hal dari alih fungsi lahan pertanian menjadi

lahan nonpertanian di Kecamatan Denpasar Selatan. Oleh karena itu, penulis

tertarik untuk merangkum dalam sebuah disertasi yang berjudul “Alih Fungsi

Lahan Persawahan dan Implikasinya pada Kehidupan Petani di Kecamatan

Denpasar Selatan, Kota Denpasar”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam

penelitian ini dikemukakan dalam bentuk research questions sebagai berikut:

1. Bagaimanakah proses terjadinya alih fungsi lahan persawahan di

Kecamatan Denpasar Selatan Kota Denpasar?

2. Ideologi apakah yang bekerja di balik terjadinya alih fungsi lahan

persawahan di Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar?

3. Apakah implikasi terjadinya alih fungsi lahan persawahan pada

kehidupan petani di Kecamatan Denpasar Selatan Kota Denpasar?

1.3 TujuanPenelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yakni sebagai berikut.

17

17

1.3.1 TujuanUmum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui secara mendalam

mengenai alih fungsi lahan persawahan dan implikasinya pada kehidupan petani

di Kecamatan Denpasar Selatan Kota Denpasar.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian dimaksudkan untuk mencari jawaban rumusan

masalah sehingga tujuan khusus penelitian adalah sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui proses terjadinya alih fungsi lahan persawahan di

Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar.

2. Untuk mengetahui ideologi yang bekerja dalam alih fungsi lahan

persawahan di Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar.

3. Untuk mengetahui implikasi terjadinya alih fungsi lahan persawahan

pada kehidupan petani di Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat, baik teoretis maupun

praktis sebagai berikut.

1.4.1 Manfaat Teoritis

Manfaat teoretis penelitian ini antara lain seperti di bawah ini.

1. Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi

pengembangan ilmu yang holistik integratif sesuai dengan

keberadaannya sebagai sebuah kajian budaya yang terkait dengan alih

fungsi lahan persawahan. Salah satu sisi penting posisi teoretis

18

18

konseptual kajian budaya adalah karateristiknya yang interdisipliner

sehingga memberikan kontribusi untuk penelitian bagi berbagai

disiplin ilmu dan kebijakan publik. Selain itu, hasil penelitian ini

diharapkan bermanfaat bagi para akademisi karena dapat dipakai

sebagai acuan, referensi tentang arti penting lahan pertanian khususnya

persawahan dikaitkan dengan pembangunan pariwisata yang

dilaksanakan oleh pemerintah. Tema penelitian ini diharapkan

bermanfaat bagi peneliti lain, yang melakukan penelitian sejenis

dengan topik permasalahan yangberbeda.

2. Hasil penelitian ini dapat merangsang minat peneliti lain untuk meneliti

hal- hal yang belum terjangkau dalam penelitian ini.

1.4.2 Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktis penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Manfaat Pemerintah

Sebagai bahan pertimbangan dalam membuat kebijakan yang

menyangkut pelestarian persawahan dengan sistem subak dalam era

globalisasi, termasuk dalam pengembangan pariwisata modern.

2. Manfaat Masyarakat Petani

Diharapkan dapat menambah wawasan untuk mempertahankan

keberadaan lahan pertainian khususnya persawahan agar tidak semakin

termarginalkan.

3. Manfaat Pembaca

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada

19

19

para pemimpin masyarakat di berbagai strata kehidupan, para penentu

kebijakan di tingkat lokal dan nasional sebagai sumber rujukan dalam

memecahkan berbagai persoalan pelestarian budaya, khususnya

pelestarian lahan pertanian, yaitu persawahan dengan sistem subak.