UCAPAN TERIMA KASIH Om Swastyastu filePuji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha...
Transcript of UCAPAN TERIMA KASIH Om Swastyastu filePuji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha...
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Om Swastyastu
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Pengasih,
Ida Sang Hyang Widhi Wasa, atas asung kertha wara nugraha-Nya disertasi yang
berjudul “Alih Fungsi Lahan Persawahan dan Implikasinya pada Kehidupan
Petani di Kecamatan Denpasar Selatan Kota Denpasar” ini dapat diselesaikan
tepat pada waktunya. Disertasi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat
memperoleh gelar doktor pada Program Studi Kajian Budaya, Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Udayana.
Disertasi ini dapat diselesaikan berkat bimbingan, motivasi, dan bantuan,
baik secara moril maupun materiel dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi- tingginya kepada Prof. Dr. Ing. Ir. I Made Merta,
DAA sebagai promotor, Prof. Dr. A.A.N. Anom Kumbara, M.A. sebagai
kopromotor I, dan Dr. Putu Sukardja, M.Si. sebagai kopromotor II yang dengan
penuh perhatian telah memberikan bimbingan, saran, dan arahan yang sangat
berharga kepada penulis sejak awal rancangan hingga penelitian ini selesai.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Rektor Universitas
Udayana, Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, Sp.P.D.KEMD., atas kesempatan dan
fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan
Program Doktor di Universitas Udayana. Selanjutnya ucapan terima kasih juga
penulis sampaikan kepada Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
Prof. Dr. Ni Luh Sutjiati Beratha, M.A. Kepada Ketua dan sekretaris Program
Studi Doktor Kajian Budaya Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana, Prof.
Dr. Phil. I Ketut Ardana, M.A.. dan Dr. I Ketut Setiawan, M.Hum. disampaikan
ucapan terima kasih. Kepada Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi melalui Tim
Manajemen Program Doktor, penulis menyampaikan ucapan terima kasih atas
bantuan finansial berupa BPPS sehingga dapat meringankan beban penulis dalam
menyelesaikan studi ini.
vi
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada para dosen pengampu mata kuliah, yaitu Prof. Dr. I Gde Widja M.A.,
Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja M.A., Prof. Dr. I Gde Parimartha, M.A., Prof.
Dr. I Gede Semadi Astra, Prof. Dr. Aron Meko Mbete, Prof. Dr. I Wayan Ardika,
M.A., Prof. Dr. Irwan Abdullah., Prof. Dr. Srhi Eddy Ahimsa Putra, Prof. Dr.
A.A. Bagus Wirawan, S.U., Prof. Dr. A.A. Ngurah Anom Kumbara M.A., Prof.
Dr. Phil. I Ketut Ardana, M.A., Prof. Dr. I Wayan Rai S., M.A., Prof. Dr. I Ketut
Nehen, M.Ec., Prof. Dr. Ing. Ir. I Made Merta D.A.A., Prof. Dr. I Made Sukarsa,
S.E., M.S., Prof, Dr. I Ketut Merta S.H., M.Hum., Prof. Dr. I Nyoman Kutha
Ratna, S.U., Dr. Putu Sukardja, M.Si., Dr. I Gede Mudana, M.Si., Dr. Ida Bagus
Gde Pujaastawa, M.A., Dr. I Nyoman Dhana, M.A., Dr. lndustri Ginting Suka,
M.S., dan Dr. Ni Made Wiasti, M.Hum., atas segala bimbingan dan ilmu
pengetahuan yang telah diwariskan kepada penulis. Tidak lupa pula penulis
mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada
semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu, yang telah membantu
baik materiel maupun nonmateriel sehingga karya ilmiah disertasi ini dapat
diselesaikan.
Kepada I Wayan Sukaryawan, S.T., Dra. Ni Luh Witari, Ni Wayan Ariyati,
S.E., I Ketut Budi Arsa, I Made Kurniawan Gria, S.E., Cok Istri Murniati, S.E., Ni
Komang Juliartini, Anak Agung Ayu Indrawati, I Nyoman Candra, Putu
Hendrawan, dan I Gst. Putu Taman, S.H. staf administrasi Program Studi Kajian
Budaya, Universitas Udayana disampaikan ucapan terima kasih atas segala
bantuan yang tulus demi kelancaran studi penulis.
Demikian pula kepada teman-teman kelompok 2012 dan teman yang
lainnya peserta karyasiswa Doktor Program Studi Kajian Budaya angkatan tahun
2012/2013 penulis sampaikan terima kasih atas segala dorongan semangat yang
diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh narasumber
yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah bersedia memberikan
informasi yang dibutuhkan dalam penulisan disertasi ini. Demikian juga kepada
semua pihak yang telah membantu sehingga penulis berhasil mewujudkan
vii
disertasi ini disampaikan ucapan terima kasih.
Semoga lda Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha kuasa
memberikan balasan yang setimpal serta selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada
semua pihak yang secara tulus memberikan bantuan sehingga disertasi ini dapat
diwujudkan.
Tidak ada gading yang tidak retak, tan hana sweta mulus (tidak ada putih
yang mulus). Demikian juga disertasi ini masih jauh dari sempurna. Hal ini
disebabkan oleh terbatasnya pengetahuan, pengalaman, dan kemampuan penulis.
Namun, penulis berharap semoga disertasi ini ada manfaatnya bagi kita semua.
Denpasar, Januari 2017
Penulis
viii
ABSTRAK
Alih fungsi lahan pertanian khususnya persawahan untuk kepentingan non-pertanian seperti industri dan permukiman termasuk perkantoran dan saranaprasarana pariwisata yang terjadi terus-menerus mempunyai konsekuensi logis.Dalam hal ini budaya pertanian dengan sistem subak yang merupakan salah satumodal dasar pariwisata budaya Bali semakin terdegradasi, termasuk para petaniyang belum siap bersaing di dunia modern dan industri yang sangat kompetitif. Disisi lain pariwisata dengan leluasa mengeksploitasi lahan pertanian untukkepentingannya.
Penelitian yang dirancang sebagai penelitian kualitatif dengan pendekatandari berbagai aspek ini bermaksud mengkaji proses terjadinya alih fungsi lahanpersawahan, ideologi yang ada di balik terjadinya alih fungsi lahan persawahan,dan implikasi terjadinya alih fungsi lahan persawahan pada kehidupan petani diKecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar. Sebagai alat analisis dalam rangkamencari jawaban atas berbagai pertanyaan yang dirumuskan dalam penelitian inidigunakan dua teori, yaitu teori hegemoni dan teori praktik. Pengumpulan datadalam penelitian ini dilakukan dengan observasi, wawancara, studi dokumen, daninternet.
Hasil penelitian menunjukkan sebagai berikut pertama, proses alih fungsilahan persawahan di Kecamatan Denpasar Selatan terjadi melalui hegemoni,negoisasi dan oposisi. Alih fungsi lahan persawahan tersebut merupakan bentukhegemoni pengusaha didukung oleh penguasa (pemerintah) yang dilakukansecara halus, canggih dan intelek melalui wacana pembangunan. Kuatnyahegemoni yang dilakukan menyebabkan petani mau bergeoisasi. Prosesselanjutnya terjadi oposisi atau perlawanan, tetapi karena kurangnya modal yangdimiliki perlawanan yang dilakukan tidak begitu berdampak pada alih fungsilahan. Kedua, ideologi yang bekerja di balik terjadinya alih fungsi lahanpersawahan tersebut adalah ideologi ekonomi kapitalis, gaya hidup terutamafatalisme dan pragmatisme . Ketiga, implikasi alih fungsi lahan persawahanterhadap kehidupan petani meliputi implikasi terhadap infrastruktur, struktursosial, dan suprastruktur. Implikasi dalam infrastruktur terlihat dari hilangnyaunsur palemahan yaitu infrastruktur sistem irigasi yang dikelola organisasi subak.Implikasi pawongan yakni struktur sosial meliputi sistem nafkah petani,kelembagaan, jejaring sosial, moral ekonomi, dan sistem nafkah ganda rumahtangga petani. Implikasi suprastruktur yang meliputi ideologi, hukum, sistempemerintahan, keluarga, dan agama dalam tri hita karana disebut parhyangan.
Temuan penelitian ini menunjukkan alih fungsi lahan persawahan diKecamatan Denpasar Selatan tidak selamanya disebabkan oleh pemilik modal,namun juga dilakukan oleh petani sendiri. Kemudian temuan lainnya PuraUlundanu tetap dilestarikan tetapi ada pergeseran yang awalnya di sungsung olehkrama subak sekarang di sungsung oleh desa pakraman.
Kata Kunci: alih fungsi lahan, persawahan, ideologi, implikasi, pragmatismepetani
ix
ABSTRACT
Conversion of agricultural land, especially paddy fields for non-agricultural interests such as industries and settlements including offices andinfrastructure of tourism that occurred constantly have a logical consequence. Inthis case, the farming culture with the Subak System as one of the authorizedcapital of Bali's cultural tourism increasingly degraded, including farmers whoare not ready to compete in the modern world and a highly competitive industry.On the other hand, tourism can freely exploit agricultural land for their owninterests.
The study was designed as a qualitative research by the approach ofvarious aspects that aimed to analyze the process of conversion of rice fields, theideology that lies behind the conversion of rice fields, and the implications of theland conversion of the paddy fields in the lives of farmers in the Sub-district ofSouthern Denpasar, Denpasar. As an analytical tool in order to find the answersto the questions formulated in the research, itwas used two theories, namely thetheory of hegemony and the practice theory. The collection of data was conductedby observation, interviews, the study of documents, and the internet.
The results showed as follows: firstly, the process of conversion of paddyfields in Southern Denpasar Sub-District occurred through hegemony, negotiationand opposition. Conversion of paddy fields is a form of hegemony of businessmensupported by the authorities (government) which is done subtly, sophisticated andin intellectual way for the sake of development. The strength of hegemony causedfarmers to be willing to negotiate. The next process occurred opposition orresistance, but because of lack of capital, then the opposition failed to stop theland conversion. Secondly, the ideology that working behind the conversion ofpaddy fields is the ideology of the capitalist economy, lifestyle, particularlyfatalism and pragmatism.Thirdly, the implications of paddy land conversion onthe lives of farmers namely the implications for infrastructure, social structures,and superstructure. Implications of infrastructure can be seen from the loss ofPalemahan elements, namely the irrigation system infrastructure, which ismanaged by Subak organization. Pawongan Implications of, namely socialstructure that includes: a living system of farmers, institutional, socialnetworking, moral, economic, and dual income system of the farmers’ households.Implications of superstructure that include ideology, laws, systems of government,family, and religion in the Tri Hita Karana called parhyangan.
The findings of the research indicated that the conversion of paddy fieldsin Southern Denpasar Sub-District is not always caused by the owners of capital,but also by the farmers themselves. Then another finding, i.e. PuraUlundanuisstill be preserved but there is a shift i.e. the temple that was originally managedby members of Subak is now managed by the Pakraman village.
Keywords: land conversion, paddy fields, ideology, implications, pragmatismfarmers
x
RINGKASAN DISERTASI
Alih fungsi lahan pertanian khususnya persawahan untuk kepentingan
non- pertanian, seperti industri dan permukiman termasuk perkantoran dan sarana
prasarana pariwisata yang terjadi terus-menerus, mempunyai konsekuensi logis.
Dalam hal ini budaya pertanian dengan sistem subak yang merupakan salah satu
modal dasar pariwisata budaya Bali semakin terdegradasi, termasuk para petani
yang belum siap bersaing di dunia modern dan industri yang sangat kompetitif. Di
sisi lain pariwisata dengan leluasa mengekploitasi lahan pertanian untuk
kepentingannya sendiri.
Alih fungsi lahan persawahan sebagai akibat adanya perkembangan
pariwisata, menandakan ambivalensi dalam realitas sosial, yaitu terjadi alih fungsi
kawasan persawahan yang tidak disadari oleh para petani di Kecamatan Denpasar
Selatan. Pariwisata disadari membawa ancaman terhadap keberlanjutan kehidupan
pertanian yang sarat dengan budaya Bali. Nalar pikiran awam atau common sense
mengiyakan segala dampak perkembangan pariwisata dengan tidak melihat atau
merasakan dampaknya atas kehidupan mereka. Akibatnya identitas “kebalian”
mereka secara kolektif dan perorangan sudah terinjak di desa kelahiran sendiri,
yang sesungguhnya memiliki akar kuat pada kultur dan nilai, khususnya kultur
dan nilai pertanian yang sudah melembaga dengan tradisi yang menyatu dengan
budaya hidup sehari-hari. Norma nilai dan pandangan hidup yang tersirat dan
terukir dalam simbol budaya atau atribut adat yang bahkan bernuansa magis dan
spiritual. Sebagai akibat dari kecenderungan inilah maka terjadi apa yang disebut
sebagai “universalisme budaya”, yaitu wajah budaya dunia dipandang menuju ke
satu arah, yaitu homogenisasi budaya modernitas dan memudarnya magis dan
tradisi lokal.
Kawasan persawahan di Kecamatan Denpasar Selatan yang sebelumnya
berfungsi sebagai lahan pertanian, cepat atau lambat beralih fungsi menjadi
kawasan perumahan, perkantoran, perguruan tinggi, perhotelan, pusat
perbelanjaan, dan fungsi-fungsi bisnis lainnya. Meskipun terkadang masih ada
lahan yang tersisa di sekitarnya, tidak lagi dapat berfungsi sebagaimana mestinya
xi
karena infrastruktur dari keberadaan subak telah banyak berubah bahkan lenyap
sama sekali. Proses bercocok tanam padi yang merupakan bagian dari
budaya petani tradisional semakin ditinggalkan dengan beralih ke sektor
pariwisata atau sektor bisnis lainnya sebagai gantinya.
Penyusutan lahan persawahan di Kecamatan Denpasar Selatan sebagai
akibat wilayah tersebut dipandang semakin strategis bagi pengembang sektor-
sektor, seperti property, usaha ekonomi nonpertanian. Wilayah tersebut relatif
dekat dengan Kota Denpasar sehingga menarik bagi pengembang hunian dan
bisnis. Atas posisinya yang strategis itulah lahan di Kecamatan Denpasar Selatan
menjadi menarik bagi para pengembang.
Karena tergiur oleh harga yang mahal, sebagian petani pemilik lahan di
Kecamatan Denpasar Selatan kemudian menjual tanahnya. Sementara sebagian
lainnya ada pula yang mengalihfungsikannya menjadi sarana penunjang kegiatan
bisnis nonpertanian, seperti dikontrakkan/disewakan, dibangun rumah-rumah
sewaan/tempat indekos, dan rumah toko (ruko). Namun, bagi petani penggarap
dan buruh tani, alih fungsi lahan menjadi bencana karena umumnya mereka tidak
memiliki akses (skill) untuk memasuki lapangan kerja formal nonpertanian. Selain
itu, semakin menurunnya minat masyarakat untuk menggeluti pekerjaan pertanian
dikhawatirkan mengancam kesinambungan tradisi agraris sistem subak di
Kecamatan Denpasar Selatan. Para petani semakin terjebak dengan semakin
sempitnya kesempatan kerja. Akibatnya, timbul masalah sosial yang pelik yang
pada gilirannya berimplikasi pada kehidupan para petani di Kecamatan Denpasar
Selatan yang semula sebagai pemilik lahan. Akan tetapi lama-kelamaan bisa
berubah menjadi buruh tani di lahannya sendiri yang telah dikuasai oleh para
investor luar.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka identifikasi permasalahan yang
dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan ke dalam tiga bentuk pertanyaan. 1),
bagaimanakah proses terjadi alih fungsi lahan persawahan di Kecamatan Denpasar
Selatan, Kota Denpasar ? 2) ideologi apakah yang bekerja dalam alih fungsi lahan
persawahan di Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar ?. 3) Apakah
implikasi terjadinya alih fungsi lahan persawahan pada kehidupan petani di
xii
Kecamatan Denpasar Selatan Kota Denpasar ? Tujuan umum penelitian ini adalah
untuk dapat mengungkap secara komprehensif proses alih fungsi lahan
persawahan, latarbelakang ideologi yang bekerja dalam alih fungsi lahan dan
implikasinya pada kehidupan petani di Kecamatan Denpasar Selatan, Kota
Denpasar. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk mengungkap tiga
aspek yang menjadi permasalahan, yaitu penyebab, ideologi, dan implikasi
terjadinya alih fungsi lahan persawahan pada kehidupan petani di Kecamatan
Denpasar Selatan, Kota Denpasar.
Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi
pengembangan ilmu yang holistik-integratif sesuai dengan keberadaannya sebagai
sebuah kajian budaya yang terkait dengan alih fungsi lahan persawahan. Selain
itu, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi para akademis karena dapat
dipakai sebagai acuan, referensi, tentang arti penting lahan pertanian khususnya
persawahan dikaitkan dengan pembangunan pariwisata yang dilaksanakan oleh
pemerintah. Manfaat praktis penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
bahan pertimbangan dalam membuat kebijakan yang menyangkut pelestarian
persawahan dengan sistem subak pada era globalisasi, termasuk dalam
pengembangan pariwisata modern. Manfaat lainnya adalah diharapkan dapat
menambah wawasan untuk mempertahankan keberadaan lahan pertainian
khususnya persawahan agar tidak semakin termarginalkan
Sebagai alat analisis dalam rangka mencari jawaban atas berbagai
pertanyaan yang dirumuskan dalam penelitian ini digunakan dua teori bersifat
eklektik, yaitu teori hegemoni dan teori praktik. Penelitian yang dirancang sebagai
penelitian kualitatif dengan pendekatan berbagai aspek ini mengutamakan
perolehan dan pemanfaatan jenis data kuatitatif yang sumbernya digali dari
kepustakaan dan lapangan. Data lapangan diperoleh dari informan yang
ditentukan secara purposif berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu.
Sesuai dengan subjek kajiannya informan yang digunakan dalam penelitian adalah
para pelaku alih fungsi lahan persawahan yang terdiri atas pemilik modal,
pemerintah, pemuka agama, pemuka adat, dan para petani di Kecamatan Denpasar
Selatan. Dalam pengumpulan data penelitian ini peneliti sendiri bertindak sebagai
xiii
instrumen atau alat utama dibantu dengan instrumen lain sebagai pendukung,
seperti pedoman wawancara alat perekam, baik suara maupun gambar, dan
alatpencatat.
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan observasi,
wawancara, studi dokumen, dan secara online. Pada tingkat analisis data, seluruh
data disusun ke dalam pola tertentu, kategori tertentu, serta tema dan pokok
permasalahan tertentu dengan menggunakan teknik analisis kualitatif sebagai
model alir (flow model) dilakukan dengan cara (1) reduksi data, (2) penyajian
data, dan (3) penarikan simpulan.
Hasil penelitian menunjukkan sebagai berikut. Pertama, proses alih fungsi
lahan persawahan di Kecamatan Denpasar Selatan terjadi melalui hegemoni,
oposisi, dan negosiasi. Alih fungsi lahan persawahan tersebut merupakan bentuk
hegemoni pengusaha (permodalan) didukung oleh penguasa (pemerintah) yang
dilakukan secara halus, melalui wacana pembangunan. Pada awal alih fungsi
lahan petani dan kelompok desa pakraman sebenarnya melakukan perlawanan.
Karena jumlahnya sangat sedikit penolakan itu tidak berkembang menjadi suatu
perlawanan terbuka. Dengan demikian bahwa dapat dikatakan proses alih fungsi
lahan persawahan tersebut terjadi tanpa oposisi yang berarti. Kuatnya hegemoni
penguasa menyebabkan petani tidak bisa berbuat banyak dan akhirnya mereka
harus mau bernegosiasi. Alih fungsi lahan melalui negosiasi terjadi dengan dua
cara. Cara yang pertama negosiasi dilakukan pemilik modal sebagai pemilik uang
dengan pemerintah sebagai pemilik kekuasaan. Cara yang kedua negosiasi
dilakukan dengan masyarakat pemilik sawah agar mau melepaskan lahan
persawahannya untuk digunakan sesuai dengan keinginan para pemilik modal
dengan iming-iming untuk membeli lahan persawahan mereka dengan harga
tinggi. Cara inilah yang digunakan untuk mengalihfungsikan lahan persawahan di
Kecamatan Denpasar Selatan keluar dari peruntukanawalnya.
Kedua, ideologi yang bekerja di balik terjadinya alih fungsi lahan
persawahan di Kecamatan Denpasar Selatan adalah ideologi ekonomi kapitalis
dan gaya hidup terutama fatalisme serta pragmatisme. Alih fungsi lahan di
Kecamatan Denpasar Selatan tidak bisa dilepaskan dari adanya ideologi
xiv
kapitalisme. Dalam melakukan alih fungsi lahan kaum kapitalis menggunakan
dalih pembangunan sehingga mendapat restu dari pemerintah. Penyalahgunaan
wacana pembangunan disertai dengan janji yang cukup menggiurkan masyarakat,
seperti meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui penciptaan lapangan
kerja yang padat modal dan menyediakan sarana serta prasarana yang memadai
bagi masyarakat. Kenyataan itu dipercepat dengan perkembangan gaya hidup
modern yang konsumtif dan hedonis. Saat ini petani disuguhi kehidupan-
kehidupan yang instan dan citra keasyikan dunia modern. Ketika petani telah
masuk perangkap hegemoni kapitalis, maka secara tidak langsung petani akan
menerima apa yang dihegemonikan tersebut, seperti teknologi dan harga tanah
yang tinggi. Pada situasi itu petani terjebak pada sikap fatalistik, yaitu mereka
menganggap keadaan yang menimpanya merupakan nasib akibat
ketidakberdayaan petani terhadap hegemoni dan kekuasaan investor (pemodal)
dalam proses alih fungsi lahan di Kecamatan Denpasar Selatan.
Ketiga, implikasi alih fungsi lahan persawahan pada kehidupan petani di
Kecamatan Denpasar Selatan sejalan dengan pandanggan Sanderson meliputi
implikasi terhadap infrastruktur, struktur sosial dan suprastruktur. Implikasi
infrastruktur bisa dilihat dari perubahan tofografi Kecamatan Denpasar Selatan
yang awalnya dimanfaatkan untuk bertani kemudian berkembang menjadi pusat
permukiman dan industry. Situasi ini mengubah landscape permukaan dan tata
wilayah tempat itu. Implikasi perubahan itu berdampak pada hilangnya sistem
irigasi subak yang menjadi roh pertanian Bali. Infrastruktur yang lainnya adalah
lokasi pura Ulunsuwi atau pura Subak yang seharusnya ada di tengah sawah saat
ini berada di wilayah permukiman. Implikasi infrastruktur mengaruhi struktur
sosial masyarakat di daerah ini. Hal tersebut bisa dilihat dari perubahan stratifikasi
sosial petani di daerah ini. Perubahannya bisa dilihat dari pemilik tanah menjadi
petani penggarap, dari petani kaya menjadi miskin atau sebaliknya akibat dari jual
beli tanah. Selanjutnya ada perubahan komposisi masyarakat dari monoetnis ke
multietnis. Di bidang perubahan infrastruktur, struktur sosial tentunya juga
berdampak pada tataran suprastruktur yang meliputi ideologi, hukum, sistem
pemerintahan, keluarga, dan agama. Kelima aspek dalam suprastruktur
xv
masyarakat menjadi nilai-nilai yang mengaruhi perkembangan perekonomian dan
budaya masyarakat petani. Implikasi terhadap suprastruktur aspek ideologi
menunjukkan bahwa generasi muda masyarakat petani di Kecamatan Denpasar
Selatan tidak mau lagi menjadi petani.
Berdasarkan paparan menyeluruh dari hasil penelitian, maka ada dua hal
yang menjadi temuan dalam penelitian ini. Pertama, alih fungsi lahan persawahan
di Kecamatan Denpasar Selatan tidak selamanya disebabkan oleh pemilik modal,
tetapi juga dapat dilakukan oleh petani sendiri. Namun, alih fungsi lahan
persawahan yang dilakukan oleh pemilik modal secara umum memiliki dampak
yang lebih besar terhadap penurunan kapasitas produksi pangan karena mencakup
hamparan lahan persawahan yang cukup luas, terutama ditujukan untuk
pembangunan kawasan perumahan. Fenomena itu menunjukkan bahwa kuatnya
hegemoni pemodal dan pengaruh globalisme melalui gaya hidup hedonis telah
mendorong petani secara masif menjual tanahnya untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Temuan ini sejalan dengan ideologi kapitalisme yang ada pada
masyarakat global termasuk petani yang ada di Kecamatan Denpasar Selatan yang
menyebabkan petani sendiri pun melakukan alih fungsi lahan sebagai solusi untuk
memenuhi kebutuhannya. Kuatnya hegemoni kapitalisme telah membuat petani
terjerumus pada tindakan pragmatisme dan bergaya hidup hedonis sehingga
menerima alih fungsi sebagai suatu nasib yang harus diterima, petani terjebak
pada fatalistik. Kedua, alih fungsi lahan persawahan di Kecamatan Denpasar
Selatan tanpa disadari telah menggeser budaya dan kepercayaan masyarakatnya
yang beragama Hindu. Hal itu ditunjukkan dengan memudarnya organisasi subak
yang terkenal dengan sistem irigasinya. Subak sebagai sebuah struktur sosial tidak
bisa dilepaskan dari infrastruktur sawah. Alih fungsi lahan sawah yang terjadi di
Denpasar Selatan telah mengubah tata kehidupan masyarakat dan sistem subak
yang ada di daerah itu. Selain itu, Pura Ulundanu untuk memuja Betara Sri,
Dewi Kesuburan sebagai representasi suprastruktur kepercayaan petani juga
mengalami perubahan, yakni saat ini tidak lagi diempon/disungsung oleh petani.
Hal ini disebabkan sawah berikut petaninya semakin menghilang keberadaannya
di Kecamatan Denpasar Selatan. Temuan ini menarik karena masyarakat tetap
xvi
memilik trust kepada kekuatan Betara Sri dengan masih dijaganya Pura Ulundanu.
Artinya, perubahan di tatanan infrastruktur dan struktur sosial tidak seluruhnya
mampu mengubah suprastruktur petani di Kecamatan Denpasar Selatan.
Walaupun keberadaan sawah sangat sempit, sistem sosial subak sudah tidak ada,
masyarakat masih mercayai keberadaan Betara Sri sebagai dewi kesuburan
dengan tetap mempertahankan Pura Subak, yaitu Pura Ulundanu tersebut.
Keyakinan masyarakat terhadap konsep Betara Sri sebagai dewi kesuburan
menguatkan istilah doxa yang dikembangkan oleh Boourdieu, yaitu pengetahuan
yang ditanamkan sejak kecil membuat orang secara sukarela patuh terhadap
sesuatu yang telah dianutnya secara turun-temurun di tengah mulai hilangnya
lahan pertanian di Kecamatan Denpasar Selatan.
Saran yang bisa diberikan melalui penelitian ini ada tiga. Pertama kepada
pemerintah, pemerintah pusat, dan Pemerintah daerah diharapkan untuk ikut
serta melakukan pencegahan semakin meluasnya alih fungsi lahan persawahan
dengan cara menerbitkan regulasi yang khusus mengatur larangan adanya alih
fungsi lahan pada lahan produktif. Selain untuk menjaga kelestarian kebudayaan
dan kepercayaan agama Hindu di Bali, larangan tersebut juga dimaksudkan untuk
tercapainya ketahanan pangan. Pemerintah daerah harus tetap konsisten pada
keputusan atau peraturan perundangan yang telah dibuat agar masyarakat percaya
bahwa pemerintah benar-benar berkomitmen dalam menjaga keberadaan sawah di
daerah ini. Jika hal itu dilakukan pasti masyarakat percaya bahwa pemerintah,
baik pusat maupun daerah, akan mengembangkan daerahnya ke arah yang positif.
Oleh karena itu pemerintah dengan berpedoman pada kepercayaan itu bisa
mewujudkan arah pembangunan kearah yang baik juga. Modal kepercayaan
(trust) yang dimiliki membuat masyarakat sangat patuh kepadanya, sebagaimana
istilah panopticon yang dipopulerkan oleh Michel Foucault untuk menjelaskan
mekanisme pengawasan bahwa seseorang menyadari dirinya di dalam
pengawasan dan taat pada aturan yang telah dibuat untuk menjaga wilayah
Denpasar Selatan sebagai kawasan pertanian. Modal sosial berupa kepercayaan
yang dimiliki kepada pemerintah, baik di tingkat desa, kabupaten, maupun
provinsi, sebenarnya dapat dipakai menggerakkan masyarakat untuk menjaga
xvii
keberadaan lahan pertanian sehingga alih fungsi lahan yang terjadi tidak semakin
meluas dan menghabiskan wilayah pertanian di Denpasar Selatan.
Kedua, alih fungsi lahan secara masif yang terjadi di Kecamatan Denpasar
Selatan selama ini telah memberikan implikasi yang sangat luas bagi
perkembangan masyarakat di wilayah tersebut. Terkait dengan itu investor
sebagai pihak yang memiliki kepentingan untuk mencari keuntungan material juga
harus memperhatikan dampaknya bagi perkembangan masyarakat yang ada di
wilayah Denpasar Selatan. Hal ini penting dilakukan oleh investor karena jika
nantinya masyarakat yang ada di wilayah itu terutama masyarakat Bali tidak ada,
identitas kebaliannya akan hilang yang berakibat pada kebudayaan Bali yang
lamban laun juga memudar. Jika hal ini terjadi, pariwisata sebagai identitas yang
mendorong perkembangan investasi di kawasan Denpasar Selatan akan menurun.
Hal ini tentunya akan berimplikasi pada penanaman modal selanjutnya, dunia
investari akan melemah. Selain itu, investor juga memiliki kewajiban moral
dengan adanya cooperate social responsibility (CSR) hendaknya benar-benar ikut
memberikan kontribusi positif bagi masyarakat sekitar agar modal yang
dikembangkan juga membawa dampak yang baik bagi perkembangan
investasinya.
Ketiga, alih fungsi lahan persawahan yang terjadi di Kecamatan Denpasar
Selatan dilakukan secara sah dan legal sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku secara nasional, karena diketahui oleh desa dinas. Namun
demikian untuk mencegah meluasnya alih fungsi lahan persawahan tersebut
sebaiknya pihak desa pakraman lebih aktif lagi untuk melakukan pencegahan
terbitnya perizinan untuk menjadikan lahan persawahan menjadi fungsi
nonpertanian. Artinya pihak desa pakraman diharapkan mendata daerah- daerah
mana saja yang sawahnya termasuk lahan produktif dan menginformasikan
kepada desa dinas untuk mencegah terjadinya alih fungsi lahan pada lahan
produktif, untuk melestarikan subak dengan sistem organisasi.
xviii
Di samping itu, juga keberadaan pura ulundanu yang menurut agama
Hindu tempat batari Sri, Dewi Keseburan ber-stana. Untuk itu, disarankan kepada
desa pakraman agar dibuatkan daerah sebagai area sawah yang dilindungi
(semacam cagar alam) agar persawahan di Kecamatan Denpasar Selatan terjaga
eksistensinya. Dengan bertujuan untuk pelestarian kebudayaan dan kepercayaan
Hindu di Bali.
xix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
PERSYARATAN GELAR DOKTOR ........................................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN........................................................................... iii
DAFTAR TIM PENGUJI ............................................................................. iv
SURAT PERNYATAAN BEBASPLAGIAT................................................ v
UCAPAN TERIMAKASIH.......................................................................... vi
ABSTRAK ................................................................................................... x
ABSTRACT ................................................................................................. xi
RINGKASAN DISERTASI.......................................................................... xii
DAFTAR ISI ................................................................................................ xxi
DAFTAR TABEL ........................................................................................ xxv
DAFTAR GAMBAR.................................................................................... xxvi
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................. xxvii
GLOSARIUM ............................................................................................. xxviii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................ 1
1.2 RumusanMasalah .................................................................... 17
1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................... 17
1.3.1 Tujuan Umum............................................................... 17
1.3.2 Tujuan Khusus ............................................................. 17
xx
1.4 Manfaat Penelitian.................................................................... 17
1.4.1 Manfaat Teoretis ........................................................... 17
1.4.2 Manfaat Praktis ............................................................. 18
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DANMODEL PENELITIAN............................................................. 20
2.1 Kajian Pustaka .............................................................. 20
2.2 Konsep.......................................................................... 26
2.2.1 Lahan Persawahan.............................................. 26
2.2.2 Alih Fungsi Lahan ............................................. 28
2.2.3 Petani ................................................................. 30
2.3 Landasan Teori ............................................................ 33
2.3.1 Teori Hegemoni.................................................. 34
2.3.2 Teori Praktik ...................................................... 38
2.4 Model Penelitian ........................................................... 42
BAB III METODE PENELITIAN ......................................................... 45
3.1 Rancangan Penelitian ................................................... 45
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................ 47
3.3 Jenis dan Sumber Data .................................................. 48
3.4 Instrumen Penelitian ..................................................... 49
3.5 Teknik Penentuan Informan .......................................... 49
3.6 Teknik Pengumpulan Data ............................................ 50
3.6.1 Observasi ............................................................ 50
3.6.2 Wawancara........................................................... 51
xxi
3.6.3 Studi Dokumen ................................................... 52
3.6.4 Teknik Pengumpulan Data Internet....................... 53
3.7 Teknik Analisis Data .................................................... 53
3.8 Teknik Penyajian Hasil Penelitian ................................. 54
BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN .................. 55
4.1 Lokasi dan Geografi...................................................... 57
4.2 Demografi Kecamatan Denpasar Selatan....................... 59
4.2.1 Penduduk Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin.. 58
4.2.2 Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian/
Pekerjaan ............................................................. 60
4.2.3 Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan .......... 61
4.3 Sosial Budaya Kecamatan Denpasar Selatan ................. 62
4.3.1 Sistem Kemasyarakatan........................................ 62
4.3.2 Agama dan Kepercayaan ...................................... 70
4.4 Dinamika Alih Fungsi Lahan Pertanian di
Kecamatan Denpasar Selatan ...................................... 73
BAB V PROSES ALIH FUNGSI LAHANPERSAWAHAN DI
KECAMATAN DENPASAR SELATAN ................................. 79
5.1 Alih Fungsi Lahan Persawahan Melalui Hegemoni ....... 81
5.2 Alih Fungsi Lahan PersawahanMelalui Negoisasi ......... 118
5.3 Alih Fungsi Lahan Persawahan Melalui Oposisi............ 137
xxii
BAB VI IDEOLOGI YANG BEKERJA DI BALIK TERJADINYA
ALIH FUNGSI LAHAN PERSAWAHAN DI KECAMATAN
DENPASAR SELATAN ........................................................... 153
6.1 Ekonomi Kapitalis ........................................................ 153
6.2 Gaya Hidup................................................................... 169
6.2.1 Fatalisme Petani .................................................. 182
6.2.2 Pragmatisme Petani ............................................. 201
BAB VII IMPLIKASI ALIH FUNGSI LAHAN PERSAWAHAN PADA
KEHIDUPAN PETANI DI KECAMATAN DENPASAR
SELATAN ... ............................................................................ 209
7.1 Implikasi terhadap Infrastruktur .................................... 210
7.2 Implikasi terhadap Struktur Sosial................................. 228
7.3 Implikasi terhadap Suprastruktur................................... 275
BAB VIII PENUTUP ................................................................................ 317
8.1 Simpulan....................................................................... 317
8.2 Temuan Penelitian ........................................................ 319
8.3 Saran............................................................................. 322
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 324
LAMPIRAN-LAMPIRAN............................................................................ 336
xxiii
xxii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1.1 Alih Fungsi Lahan Pertanian Menjadi Lahan NonPertanian di
Kota Denpasar, Tahun 2007-2012............................................. .. 9
Tabel 1.2 Luas Tanah Kecamatan Denpasar Selatan Menurut Jenis
Penggunaannya Tahun2012 ....................................................... 10
Tabel 4.1 Statistik GeografidanIklim......................................................... 58
Tabel 4.2 Komposisi Penduduk Berdasarkan Umur dan JenisKelamin... ... 60
Tabel 4.3 Penduduk BerdasarkanMataPencaharian/Pekerjaan ................... 61
Tabel 4.4 Penduduk Berdasarkan TingkatPendidikan ................................ 62
Tabel 4.5 Penduduk BerdasarkanAgama ................................................... 71
Tabel 4.6 Penurunan Luas Tanah Pertanian di Kecamatan Denpasar
Selatan, Tahun 2010 s.d.Tahun 2014 ......................................... 73
Tabel 5.1 Peraturan/Perundangan Terkait dengan Alih Guna Lahan
Pertanian ................................................................................... 106
Tabel 7.1 Perkembangan Infrastruktur terhadap Jumlah Penduduk di
Kecamatan Denpasar Selatan..................................................... .. 213
Tabel 7.2 Penduduk BerdasarkanMataPencaharian/Pekerjaan ................... 200
Tabel 7.3 Penurunan Rumah Tangga Miskin (RTM) di Kecamatan
Denpasar Selatan Tahun 2006 -2014.......................................... 236
Tabel 7.4 Jumlah Etnis di Desa Pedungan Tahun2012-2013...................... 237
Tabel 7.5 Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan ............................... 274
xxiv
xxiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Model Penelitian ....................................................................... 42
Gambar 4.1 Peta Wilayah Kecamatan Denpasar Selatan.......................... ...... 57
Gambar 5.1 Alih Fungsi Lahan Persawahan MenjadiNonPertanian........ ....... 95
Gambar 5.2 Alih Fungsi Lahan Persawahan di Sesetan Menjadi Tempat-tempat Usaha/Bisnis.............................................................. ...... 101
Gambar 5.3 Skema Hubungan Inputs, Process dan Outputs..................... ...... 126
Gambar 5.4 Interaksi dalam Arena yang Membentuk Process....................... 126
Gambar 5.5 Interaksi Process Terkait DiAntara Fenomena..................... ...... 127
Gambar 5.6 Process Model dengan Aktor di LuarProses................................ 127
Gambar 5.7 Model Proses dengan karakteristik pelaku yang digunakan
dalam TeoriInteraksi Kontekstual................................................ 128
Gambar 5.8 Interaksi dinamis antara karakteristik pelaku utama yangmenggerakkan proses-proses interaksi sosial dan pada
gilirannya dibentuk kembali olehprosestersebut.......................... 130
Gambar 7.1 Alih Fungsi Lahan Menjadi Infrastruktur yang MendukungPemenuhan Kebutuhan Hidup Kekinian padaEraModern........... 213
Gambar 7.2 Pembuangan Sampah pada Lahan Persawahan sebagai
Dampak Alih Fungsi Lahan Persawahan Menjadi FungsiPermukiman/Perumahan............................................................ 214
Gambar 7.3 Pelinggih Pura Subak yang sudah tidak berada di persawahan
lagi ............................................................................................ 221
Gambar 7.4 Suasana Pertokoan di Jalan Sesetan ........................................... 223
xxv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran I Daftar Informan.................................................................. 336
Lampiran II Pedoman Wawancara............................................................. 339
Lampiran III Daftar Riwayat Hidup........................................................... 345
xxvi
GLOSARIUM
asta kosala-kosali : merupakan aturan dimensi dan bahan bangunan
pada bangunan tradisional bali atau dapat juga
dikatakan sebagai arsitektur dalam perspektif
budaya bali.
atman : jiwa
awig-awig desa : sistem aturan desa adat yang dibuat dan
diberlakukan kepada segenap warga desa
bale gede : balai/ ruangan yang besar
banjar : kelompok masyarakat yang lebih kecil dari desa
dan menjadi bagian dari desa adat serta merupakan
persekutuan hidup sosial.
banjar adat : mempunyai tugas dan kewajiban khusus dalam
kaitannya dengan upacara agama hindu atau banjar
suka-duka
banjar dinas : merupakan perpanjangan tangan dari organisasi
pemerintahan negara di bawah desa dinas
bhuana agung : alam semesta
bhuana alit : alam kecil (manusia)
bhuah loka : dunianya manusia
bhur loka : dunianya tumbuh-tumbuhan, binatang, dan roh-roh
yang lebih rendah derajatnya dari manusia
buka nyuhe aijeng : seperti kelapa satu tangkai tidak ada yang sama
carik : sawah
catus patha : pertemuan empat arah mata angin umumnya ada
diperempatan pusat desa atau wilayah
celedu nginyah : pekarangan rumah yang sudut barat dayanya
bertemu dengan sudut timur lautnya pekarangan
rumah keluarga itu juga berada sebelah-menyebelah
jalan umum, ini tidak boleh.
xxvii
celebingkah batan biu,
gumi linggah ajak liu
: bumi ini luas dan ditempati banyak orang
cucupu : rahim ibu
desa-kala-patra : tempat, waktu dan keadaan
desa-mawa-cara : tata cara desa yang mana setiap wilayah desa di
Bali memiliki cara berbeda
dewata nawa sanga : sembilan dewa penjaga arah mata angin
dharma : kebajikan
don sente don pelendo,
ade kene ade keto
: ada yang begini ada yang begitu/ penghargaan
terhadap variasi sosial
hasta : ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewasa dari
pergelangan tengah tangan sampai ujung jari jari
tengah yang terbuka
ida sang hyang widhi
waca
: tuhan yang maha esa
jagadhita : kesejahteraan umat manusia, kedamaian, dan
kelestarian dunia
jineng : lumbung
kahyangan tiga : tiga tempat suci yang ada di desa pakraman yang
terdiri dari pura puseh, bale agung dan pura dalem
karang desa : pekarangan, wilayah atau tempat bangunan desa
krama : warga
krama desa : warga desa adat
krama subak : anggota subak
lebah : rendah
kaja-kangin : timur laut
kaja-kelod : utara-selatan/ ulu-hilir masyarakat Bali yang
berpedoman pada arah gunung untuk kaja dan laut
untuk kelod
kama : hawa nafsu
karang kalebon amuk : pekarangan rumah tidak boleh dijatuhi oleh cucuran
xxviii
atap dari rumah orang lain.
karang kalingkuhan : pekarangan rumah tidak boleh diapit oleh
pekarangan/rumah sebuah keluarga lain.
karang negen : pekarangan rumah sebuah keluarga tidak boleh
berada sebelah- menyebelah jalan umum dan
berpapasan.
karma phala : hukum karma/ perbuatan
kawitan : asal mula
kayika : berbuat yang baik
lebah : rendah
madya : menengah
manacika : memiliki pikiran dan pengetahuan suci
manic : janin
manik ring cucupu : rahim sebagai tempat yang memberikan kehidupan,
perlindungan dan perkembangan janin tersebut,
demikian pula halnya manusia berada, hidup,
berkembang dan berlindung pada alam semesta.
medelokan : berkunjung
metaksu : berkarisma
moksa : kebebasan atau kesempurnaan roh
mulat sarira : introspeksi diri
natah : halaman rumah
ngopin : membantu
nista : sederhana
ngeluanin pura : berada lebih tinggi atau lebih di hulu dari pura
numbak rurung/ tusuk sate : jalan lurus langsung bertemu dengan pekarangan
rumah
nyalanang jengah : mewujudkan cita-cita menjadi kenyataan
panca sradha : lima dasar keyakinan agama hindu yakni percaya
adanya tuhan, atman, punarbhawa, karmaphala,
dan moksa
xxix
palemahan : aspek hubungan manusia dengan lingkungan alam
berupa sawah, perumahan, perkantoran, dan
lainnya
pawongan : aspek sosial hubungan manusia dengan manusia
seperti anggota subak
paras paros sarpanaya : belajar seiring dan sejalan bagi kepentingan
bersama
pawon : dapur
penepi siring : perkampungan
pengijeng : pelindung
penyarikan : sekretaris
penyelam : masakan yang tidak menggunakan daging babi
prana : tenaga
punarbawa : kelahiran atau penderitaan kembali
puputan : sampai titik darah penghabisan (mati)
pura dalem : pura berstananya dewa siwa
pura puseh : pura berstananyaa desa brahma
pura ulundanu : pura tempat pemujaan batara sri atau dewi sri, dewi
kesuburan, khususnya kesuburan persawahan
rahayu : selamat
rungu : peduli
saling asah, asih lan asuh : saling belajar, saling mengasihi dan saling
mengontrol satu dengan yang lainnya
salunglung sabayantaka : baik buruk, manis pahit dirasakan bersama
samsara : terlahir kembali
sanga mandala : sembilan alam
sanggah : pura rumah tangga
sarira : unsur badan kasar
segilik seguluk
sebuyantaka
: baik dan buruk dirasakan bersama
sekaa gong : perkumpulan penabuh
xxx
sekaa pesantian : perkumpulan nyanyian keagamaan
sekaa teruna-teruni : perkumpulan muda-mudi
stula sarira : tubuh manusia
suka duka paras paros : suka duka tetap hidup rukun
suka lan mawali duka : kebahagian abadi yang tidak menyebabkan kembali
pada kesengsaraan
susila : etika
swah loka : dunianya para dewa
tatwa : filsafat
tat twam asi : rasa toleransi yang menimbulkan rasa persaudaraan
dan kerukunan hidup antar sesama manusia yang
mewarnai tata susila hindu
teben : di bawah
tegeh : tinggi
tri angga : tiga bagian badan fisik
tri hita karana : tiga penyebab kebahagiaan dalam masyarakat hindu
di bali yang terdiri dari hubungan baik dengan
tuhan (parhyangan), hubungan baik dengan sesama
manusia (pawongan) dan hubungan baik dengan
alam (palemahan)
tunggalin kawitan : satu asal muasal keluarga
tunggalin soroh wangsa : satu ikatan keluarga berdasarkan keturuanan (klien
keluarga tertentu)
umah meten : ruang yang biasanya dipakai tidur kepala keluarga
sehingga posisinya harusnya terhormat
upakara : sarana ritual agama hindu
wacika : berkata-kata yang baik
yen ngae baju sikutang di
deweke
: kalau buat pakaian ukur pada diri sendiri (falsafah
tentang segala hal harus diukur sesuai dengan
kemampuan diri
1
1
BAB I
PENDAHULUAN
Bab pendahuluan ini memuat latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penelitian, dan manfaat penelitian. Latar belakang menguraikan fakta-fakta yang
relevan dengan masalah penelitian sebagai titik tolak merumuskan masalah
penelitian, alasan-alasan mengapa masalah yang dikemukakan dalam penelitian
itu dipandang penting untuk diteliti. Masalah yang dikemukakan dalam latar
belakang ini kemudian dirumuskan sebagai masalah penelitian (research
problem) dan dikemukakan dalam bentuk pertanyaan penelitian (research
questions). Selanjutnya dalam tujuan penelitian dikemukakan pernyataan jelas dan
singkat tentang hal-hal yang akan dicapai dalam penelitian ini. Tujuan penelitian
erat kaitannya karena rumusan masalah dan tujuan penelitian merupakan tujuan
untuk mencari jawaban dari rumusan masalah. Sementara itu manfaat penelitian
mengungkapkan secara spesifik manfaat yang dapat dicapai baik dari aspek
teoretis (keilmuan) dengan menyebutkan manfaat teoretis apa yang dapat dicapai,
dari masalah yang diteliti maupun dari aspek praktis dengan menyebutkan
manfaat apa yang dapat dicapai dari penerapan pengetahuan yang dihasilkan
penelitian ini.
1.1 Latar Belakang
Pertanian sebagai kebudayaan masih sangat berperan dalam mendukung
pengembangan pariwisata, baik dari tata nilai, religiusitas, maupun lingkungannya
serta petaninya sebagai produsen baik di lahan sawah maupun bukan sawah
1
2
2
(tegalan), karena adanya filosofi tri hita karana (keseimbangan hubungan Tuhan,
manusia dan lingkungan fisik). Ironisnya sebagai daerah tujuan wisata populer
lahan pertanian Bali rentan terhadap tekanan akibat pariwisata itu sendiri.
Kenyataannya terjadi alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian yang
difasilitasi oleh kebijakan pemerintah setempat. Selain itu, sumber daya manusia
yang semakin meningkat, kebutuhan infrastruktur sebagai akibat perkembangan kota
dan perkembangan industri yang terkait dengan pariwisata atau turisme, semakin
mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian khususnya sawah menjadi lahan
nonpertanian berupa perumahan, perkantoran, perguruan tinggi, pusat pembelanjaan,
terutama untuk sarana prasarana pendukung pariwisata, seperti hotel, restoran,
club malam, dan sebagainya.
Eksistensi sistem irigasi subak yang ada di Bali sejak beradab-abad
lamanya, yang dianggap sebagai penopang pertanian di Bali, kini dapat
digoyahkan dengan arus alih fungsi lahan yang kuat. Alih fungsi lahan
persawahan dipicu oleh pengaruh dari luar yang mengancam eksistensi sistem
irigasi tradisional termasuk di dalamnya sistem subak di Bali (Sutawan, 2008:18).
Kepadatan penduduk yang tinggi akan berdampak pada pembebasan lahan-lahan
produktif untuk daerah-daerah permukiman sehingga keberadaan kawasan
pertanian di dalam kota hampir dapat dikatakan habis, sedangkan untuk daerah
pinggiran kota keberadaannya sangat sedikit.
Fenomena alih fungsi lahan persawahan menjadi lahan nonpertanian akan
berdampak sangat jauh dalam tata budaya dan adat masyarakat Bali, fakta subak
berada pada kawasan yang eksotik dengan panorama yang indah telah menggoda
para investor baik dalam negeri maupun luar negeri, dengan berbagai modus
3
3
operandi untuk menguasai dan mendayagunakan lahan yang subur dan eksotik itu.
Para investor, baik asing maupun lokal, berebut untuk mendapatkan area
persawahan untuk menjadi sasaran akomodasi pariwisata. Menurut Dhyana (2009:
36), area persawahan di daerah Ubud sudah habis terkavling dan harga tanah pun
terus mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan ancaman terjadinya alih
fungsi lahan persawahan di daerah Ubud yang dikenal sebagai daerah persawahan.
Menurut Sutawan (2008:19), sistem pertanian di Bali, selalu akan
diidentikkan dengan sistem subak yang merupakan ciri khas sistem pertanian di
Bali. Menurutnya, subak di Bali mempunyai lima ciri, yaitu sebagai berikut.
1. Subak merupakan organisasi petani pengelola air irigasi untuk anggota-
anggotanya. Sebagai suatu organisasi, subak memiliki pengurus dan
peraturan organisasi (awig-awig), baik tertulis maupun tidaktertulis.
2. Subak mempunyai suatu sumber air bersama, berupa bendung
(empelan) di sungai, mata air, air tanah, ataupun saluran utama suatu
sistemirigasi.
3. Subak mempunyai suatu arealpersawahan.
4. Subak mempunyai otonomi, baik internal maupun eksternaldan
5. Subak mempunyai satu Pura Bedugul atau lebih atau pura yang
berhubungan denganpersubakan.
Hal inilah yang membedakan sistem pertanian di Bali diaplikasikan
melalui kegiatan gotong royong yang merupakan ciri yang kuat dari masyarakat
petani Bali. Berdasarkan gotong royong inilah kepentingan bersama yang
dilandasi rasa paras paros selunglung sebayantaka (tenggang rasa, susah dan
4
4
senang sama dirasakan/ ditanggung bersama), semua yang terkait dengan masalah
pertanian disatukan sehingga muncullah suatu organisasi sosial yang disebut
subak (Sumarta, 2008).
Kepentingan bersama subak dipadukan dengan nilai-nilai agama Hindu
menjadikan organisasi subak ini mempunyai nilai sosial yang religius. Dengan
kebersamaan, kegotongroyongannya, dan konsep tri hita karana yang diwujudkan
dalam hubungan yang harmonis dalam bentuk tiga dimensi, menyebabkan subak
dianggap oleh para pakar pertanian mampu berperan melestarikan lingkungan dan
budaya.
Melalui hubungan yang seimbang dan harmonis, yaitu keseimbangan
antara subak ke hadapan Sang Maha Pencipta, saling asah, saling asih, dan saling
asuh terhadap sesama umat manusia atau sesama petani subak, dan rungu (peduli)
terhadap alam lingkungan sekitarnya, serta upaya untuk memelihara kelangsungan
daya dukung dan daya tampung lingkungan menyebabkan jagat ini rahayu
(lestari). Menurut Sumarta (2008:41), melalui subak, di bawah kendali awig-awig
segala aktivitas yang menyangkut pertanian, khususnya pertanian lahan sawah
diatur dan dikendalikan. Aktivitas pertanian, seperti pengaturan pola tanam,
pengolahan lahan, pembagian air, penggunaan bibit, pemberantasan hama,
ataupun pemupukan selalu berdasarkan sistem subak, yang diputuskan dalam
suatu perareman (hasil keputusan bersama dalam suatu rapatsubak)
Subak sebagai pranata sosial merupakan salah satu wujud budaya, baik
ditinjau dari ide maupun gagasan yang dituangkan dalam awig-awig subak, baik
dilihat dari aktivitas maupun kegiatan mulai dari mengolah tanah pertanian
5
5
sampai padi dipanen. Di samping itu, serentetan upacara dalam konteks kegiatan
ritual, baik dilihat dari wujud fisiknya yang berupa petak-petak sawah,
bendungan, terasering, saluran irigasi, maupun tempat-tempat suci menyebabkan
peran subak mampu menjaga keseimbangan lingkungannya (Pitana, 2003:61).
Banyak kalangan yang menganggap bahwa pertanian bisa menjadi pilar
pendukung bagi perekonomian Bali. Kendatipun demikian, pertanian Bali juga
dihadapkan dengan banyak kendala. Salah satu di antaranya adalah mengenai
penyesuaian dan penggunaan lahan. Perkembangan arus pariwisata di Bali yang
sangat besar membuat lahan pertanian menjadi tertekan. Kebijakan pemerintah
dalam hal pembangunan sarana dan prasarana pendukung sektor pariwisata yang
memanfaatkan lahan pertanian membuat para investor, baik dalam maupun luar
negeri, banyak memburu lahan-lahan yang produktif di bidang pertanian berubah
menjadi lahan bidang pariwisata. Kontribusi yang besar kepada para pemilik lahan
menjadi salah satu cara untuk meluluhkan para pemilik lahan agar lahannya dapat
digunakan menjadi sektor pariwisata (Suputra dkk., 2012:62).
Nilai-nilai yang terkandung di dalam subak tidak hanya berfungsi untuk
mengatur irigasi, tetapi juga mampu menarik perhatian para ahli dari Barat untuk
digunakan sebagai bahan penelitian (Pitana, 2003). Subak sebagai salah satu dari
budaya merupakan aset daerah. Keindahan petak-petak sawah yang berterasering,
kegiatan para petani mulai dari membajak tanah sawah sampai menuai hasil
panen, dan aktivitas ritual yang penuh keunikan mampu menarik para wisatawan
mancanegara (wisman) dan wisatawan nusantara (wisnu). Semua hal itu
menyebabkan Bali terangkat menjadi daerah pariwisata yang bernapaskan budaya.
6
6
Hal ini disebabkan antara lain oleh peran subak dalam ikut melestarikan
lingkungan. Hal tersebut juga membuat sistem subak tetap ada atau terjaga sampai
kini.
Alih fungsi lahan pertanian khususnya persawahan untuk kepentingan
non- pertanian seperti industri dan permukiman termasuk perkantoran dan sarana
prasarana pariwisata yang terjadi terus-menerus mempunyai konsekuensi
logis. Dalam hal ini budaya pertanian dengan sistem subak yang merupakan salah
satu modal dasar pariwisata budaya Bali semakin terdegradasi, termasuk para
petani yang belum siap bersaing di dunia modern dan industri yang sangat
kompetitif. Di sisi lain pariwisata dengan leluasa mengeskploitasi lahan pertanian
untuk kepentingannya sendiri.
Dahulu pariwisata hanya sekadar sektor pendukung sektor utama, yaitu
pertanian dalam menopang kehidupan masyarakat Bali. Bali menjadi daerah
tujuan wisata, bukan tanpa latar belakang dari politik sampai akhirnya
berkembang menjadi kepentingan ekonomi. Bali sering mengundang decak
kagum masyarakat nasional dan internasional karena image keindahannya. Bali
the image and the magic word for the nation, for the world. Akan tetapi, sisi gelap
ditutup-tutupi demi kepentingan pariwisata. Dengan perkataan lain, demi
kepentingan bersama atas nama ekonomi pariwisata segala sesuatu yang
bertentangan dengan pencitraan atau image harus dihindari (Wingarta, 2006:60).
Jika keadaan itu berlangsung terus-menerus, tidak mustahil Bali yang
terkenal dengan berbagai julukan yang menggambarkan kesejukan alam dan
keharmonisan masyarakatnya akan berubah menjadi Bali yang gersang dan
7
7
kering. Bali merupakan pulau dengan kehidupan masyarakatnya yang unik. Bali
memiliki kebudayaan yang autentik dan menarik, dicintai dunia, menjadi idaman
orang-orang asing untuk mengunjunginy. Banyak julukan yang diberikan kepada
pulau ini. Di samping itu, jug puja dan puji datang dari tokoh dunia, misalnya
“Bali the Last Paradise” (Powell, 1930) dan “The Morning of The World”
(Vicker, 1996:5) akan menjadi Bali yang merekah tanahnya, rimbumnya
pepohonan akan digantikan dengan rimbunnya gedung-gedung yang megah. Pura
sebagai tempat suci umat Hindu, akan tercemar (leteh) oleh derasnya kapitalisme
lewat pariwisata (Radiyta, 2011:18; Wingarta, 2006:63). Semangat bisnis
merajalela dan spekulasi atas tanah mencapai dimensi yang laur biasa oleh para
spekulan dan konglomerat serta masalah ekologi lainnya, seperti polusi air, udara,
dan masalah sampah. Di sisi lain masyarakat Bali sibuk berkonflik, masyarakat
Bali makin tidak terbuka, tidak ramah, dan tidak luwes dan tidak kosmologis
(Yoga, 2006:80).
Secara umum alih fungsi lahan pertanian diakibatkan oleh beberapa faktor.
Menurut Lestari (2009:45) dan Suputra dkk (2012:62), terdapat tiga faktor penting
yang menyebabkan alih fungsi lahan pertanian. Pertama, faktor eksternal, yaitu
faktor, baik yang disebabkan oleh adanya dinamika pertumbuhan perkotaan,
demografi maupun ekonomi sebagai akibat globalisasi. Kedua, faktor internal,
yaitu faktor yang disebabkan oleh kondisi sosial ekonomi rumah tangga petani
pengguna tanah. Ketiga, faktor kebijakan, yaitu aspek regulasi yang dikeluarkan,
baik oleh pemerintah pusat maupun daerah, yang berkaitan dengan perubahan
fungsi lahan pertanian. Di sisi lain pariwisata Bali dan pariwisata di Kecamatan
8
8
Denpasar Selatan berbasis pariwisata budaya, artinya budaya Bali pada dasarnya
berbasis pertanian. Dalam hal ini perkembangan pariwisata yang telah menyedot
sumber daya pertanian baik berupa lahan maupun sumber daya manusia, pada
akhirnya akan memengaruhi budaya Bali. Akibatnya, alih fungsi lahan pertanian
khususnya persawahan akan berpengaruh terhadap kemajuan sektor pariwisata.
Sebenarnya ancaman terhadap penyusutan lahan persawahan juga merupakan
ancaman terhadap sektor pariwisata. Ancaman terhadap keberlanjutan persawahan
juga berarti ancaman terhadap keberlanjutan kebudayaan Bali yang berbasis
pertanian.
Alih fungsi lahan persawahan sebagai akibat adanya perkembangan
pariwisata menandakan ambivalensi dalam realitas sosial, yaitu terjadi alih fungsi
kawasan persawahan yang tidak disadari oleh para petani di Kecamatan Denpasar
Selatan. Di pihak lain disadari bahwa pariwisata membawa ancaman terhadap
keberlanjutan kehidupan pertanian yang sarat dengan budaya Bali. Nalar pikiran
awam atau common sense mengiyakan segala dampak perkembangan pariwisata
tanpa melihat atau merasakan dampaknya atas kehidupan mereka. Akibatnya,
identitas “kebalian” mereka secara kolektif dan perorangan terinjak di desa
kelahiran sendiri, yang sesungguhnya memiliki akar kuat pada kultur dan nilai,
khususnya kultur dan nilai pertanian yang sudah melembaga dengan tradisi yang
menyatu dengan budaya hidup sehari-hari. Norma nilai dan pandangan hidup yang
tersirat dan terukir dalam simbol budaya atau atribut adat, bahkan bernuansa
magis dan spiritual. Sebagai akibat dari kecenderungan inilah maka terjadi apa
yang disebut sebagai “universalisme budaya”, yaitu wajah budaya dunia
9
9
dipandang menuju ke satu arah. Arah yang dimaksud adalah homogenisasi budaya
modernitas serta memudarnya magis dan tradisilokal.
Alih fungsi lahan juga terjadi di Kota Denpasar. Tabel 1.1 memberikan
gambaran alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian di Kota
Denpasar tahun 2007 hingga tahun 2012.
Tabel 1.1Alih Fungsi Lahan Pertanian Menjadi Lahan NonPertanian di Kota
Denpasar Tahun 2007-2012No Kecamatan Periode Tahun
2007-2008 2008-2009 2009-2010 2010-2011 2011-20121 Denpasar Selatan 18 ha 21 ha 32 ha 25 ha 49 ha2 Denpasar Timur 5 ha 3 ha - - -3 Denpasar Barat 9 ha 10 ha 11 ha - -4 Denpasar Utara 17 ha 16 ha 18 ha 10 ha 29 ha
Total 49 ha 50 ha 61 ha 35 ha 78 haSumber: Biro Pusat Statistik Kota Denpasar (2013)
Tabel 1.1 menunjukkan bahwa luas tanah pertanian di Kota Denpasar
mengalami pengurangan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2011-2012 terjadi
pengurangan luas tanah pertanian tertinggi, yaitu sebesar 78 hektare, yaitu, dari
2.597 hektare pada tahun 2011 menjadi 2.519 hektare pada tahun 2012.
Pengurangan tanah pertanian sebesar 78 hektare tersebut terjadi di dua kecamatan,
yaitu Kecamatan Denpasar Selatan seluas 49 hektare tanah pertanian beralih
fungsi menjadi rumah, bangunan, dan halaman sekitarnya (47 hektare) dan dua
hektare beralih fungsi menjadi lainnya (jalan, sungai, tambak, lahan tandus dan
lain-lain). Sementara itu di Kecamatan Denpasar Utara terjadi pengurangan 29
hektare tanah pertanian yang beralih fungsi menjadi rumah, bangunan, dan
halaman sekitarnya (Biro Pusat Statistik, Denpasar dalam Angka, 2013). Hal ini
menunjukkan bahwa alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian di
10
10
Kota Denpasar sepanjang tahun 2007 hingga tahun 2012 yang paling besar terjadi
di Kecamatan Denpasar Selatan. Hal ini tidak mengherankan mengingat
Kecamatan Denpasar Selatan merupakan daerah/lokasi perumahan, perkantoran,
perguruan tinggi, perhotelan, pusat pembelanjaan, dan fungsi-fungsi bisnis
lainnya.
Sementara itu penggunaan tanah di Kecamatan Denpasar Selatan dapat
dilihat dalam Tabel 1.2.
Tabel 1.2Luas Tanah Kecamatan Denpasar Selatan Menurut Jenis
Penggunaannya Tahun 2014
Desa/Kelurahan
Luas(Ha)
Sawah(Ha)
Tegal/Huma (Ha)
Pekarangan(Ha)
Perkebunan(Ha)
Lainnya(Ha)
Desa Pemogan 978,86 218,00 20,00 462,11 10,00 268,75Desa Sanur Kaja 270,47 56,00 - 175,07 - 39,40Desa Sidakarya 389,80 92,00 - 239,20 - 58,60Desa Sanur Kauh 388,93 132.00 15,00 206,63 6,00 29,30Kelurahan Pedungan 737,03 215,00 11,00 389,84 5,00 116,19Kelurahan Sesetan 748,55 14,00 30,00 456,01 - 248,54Kelurahan Serangan 484,35 - 75,00 22,39 - 386,96Kelurahan Panjer 345,83 28,00 22,00 246,32 - 49,51Kelurahan Renon 247,48 92,00 - 122,14 - 33,34Kelurahan Sanur 407,68 - 10,00 357,27 - 40,41
Total 4.998,98 847,00 183,00 2.676,98 21,00 1.271,00Tanah Bukan Pertanian 3.968,98 79,40%
Tanah Pertanian 1.030,00 20,60%Tanah Sawah 847,00 82,23% % Tanah Sawah
Tanah Bukan Sawah 183,00 17,77% % Tanah Bukan SawahSumber: Biro Pusat Statistik, Kecamatan Denpasar Selatan dalam Angka, 2014
Tabel 1.2 menunjukkan luas Kecamatan Denpasar Selatan yang terdiri atas
empat desa dan enam kelurahan, luasnya hampir lima ribu hektare, tepatnya 4.998
hektare yang terdiri atas 3.968,98 hektare tanah bukan pertanian atau 79,40%
dan 1.030 hektare tanah pertanian atau 20,60%. Tanah pertanian tersebut meliputi
847 hektare atau 82,23% tanah sawah dan 183 hektare atau 17,77% tanah bukan
sawah. Penggunaan tanah di Kecamatan Denpasar Selatan ini bila dibandingkan
11
11
dengan Bali secara keseluruhan maka persentase tanah pertanian di Kecamatan
Denpasar Selatan hanya 20,60%, sedangkan tanah pertanian Bali secara
keseluruhan adalah 63%. Hal ini berarti bahwa lahan pertanian di Kecamatan
Denpasar Selatan memang semakin menyempit.
Alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian khususnya yang
terjadi di Kecamatan Denpasar Selatan seperti yang diuraikan sebelumnya secara
pasti telah mengancam kelestarian keberadaan subak. Perubahan akibat adanya
alih fungsi lahan tersebut terhadap keberadaan sistem subak pada umumnya
berawal dari aspek palemahan, yaitu sawah atau ladang beralih fungsi menjadi
perumahan, perkantoran, perguruan tinggi, perhotelan, pusat perbelanjaan, dan
fungsi-fungsi bisnis lainnya. Selanjutnya memengaruhi aspek pawongan, yaitu
anggota (krama) subak sebagai pendukung kelangsungan hidup petani, mulai
mengancam ikatan kepentingan bersama dan eksistensinya sebagai suatu
organisasi tradisional. Kondisi seperti ini akhirnya akan merembet ke aspek
parhyangan, yaitu Pura Bedugul atau Pura Ulun Suwi (Pura krama subak) mulai
kehilangan pendukungnya. Di samping itu, tri hita karana dalam lingkungan
subak di Kecamatan Denpasar Selatan secara perlahan tetapi pasti akan
mengalami kehilangan unsur pengikatnya. Ketidakseimbangan struktur ini tidak
saja secara horizontal memengaruhi kehidupan masyarakat pendukung sistem
subak, tetapi juga secara vertikal terjadi pengeseran dalam kehidupan religius
sebagai masyarakat agraris.
Kawasan persawahan di Kecamatan Denpasar Selatan yang sebelumnya
berfungsi sebagai lahan pertanian, cepat atau lambat beralih fungsi menjadi
12
12
kawasan perumahan, perkantoran, perguruan tinggi, perhotelan, pusat
perbelanjaan, dan fungsi-fungsi bisnis lainnya. Meskipun terkadang masih ada
lahan yang tersisa di sekitarnya, tidak lagi dapat berfungsi sebagaimana mestinya
karena infrastruktur dari keberadaan subak telah banyak berubah, bahkan lenyap
sama sekali. Proses bercocok tanam padi yang merupakan bagian dari budaya
petani tradisional semakin ditinggalkan dengan beralih ke sektor pariwisata atau
sektor bisnis lainnya sebagai gantinya.
Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 27, Tahun 2011 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar Tahun 2011-2031 (selanjutnya disebut Perda
RT/RW Kota Denpasar) menyebutkan bahwa Kelurahan Sesetan, Kelurahan
Pedungan, dan Desa Pemogan berfungsi sebagai pusat kegiatan pertanian, pusat
permukiman, perdagangan dan jasa, pusat pelayanan infrastruktur kota, dan
pelabuhan laut. Ketentuan ini menimbulkan ambivalensi, yaitu di satu sisi
Kelurahan Sesetan, Kelurahan Pedungan, dan Desa Pemogan difungsikan sebagai
pusat kegiatan pertanian. Namun, di sisi lain ketiga daerah tersebut juga
difungsikan sebagai pusat permukiman, perdagangan, dan jasa.
Pertumbuhan penduduk yang tak terkendali yang diikuti dengan kebutuhan
perumahan menjadikan lahan-lahan persawahan menyusut di Kelurahan Sesetan,
Kelurahan Pedungan, dan Desa Pemogan di Kecamatan Denpasar Selatan. Lahan
yang semakin sempit, semakin terancam akibat adanya kebutuhan akan
perumahan dan tempat perdagangan. Hal ini mendapat legitimasi dari para
penguasa daerah terutama dalam pemberian izin untuk memanfaatkan lahan yang
semula diperuntukkan sebagai lahan persawahan. Hal ini diperparah lagi karena
13
13
petani lebih cenderung memilih bekerja di sektor informal daripada bertahan di
sektor pertanian. Daya tarik sektor pertanian yang terus menurun juga menjadikan
petani cenderung melepas kepemilikan lahannya. Pelepasan kepemilikan lahan
cenderung diikuti oleh terjadinya alih fungsi lahan oleh para investor untuk
menanamkan modalnya dalam bentuk pembangunan bidang properti.
Penyusutan lahan persawahan di Kecamatan Denpasar Selatan sebagai
akibat di wilayah tersebut dipandang semakin strategis bagi pengembang sektor-
sektor, seperti property dan usaha ekonomi nonpertanian. Wilayah tersebut relatif
dekat dengan Kota Denpasar sehingga menarik bagi pengembang hunian dan
bisnis. Posisinya yang strategis itulah menyebabkan lahan di Kecamatan Denpasar
Selatan menarik bagi para pengembang.
Karena tergiur oleh harga yang mahal, sebagian petani pemilik lahan di
Kecamatan Denpasar Selatan kemudian menjual tanahnya. Sementara sebagian
lainnya ada pula yang mengalihfungsikannya menjadi sarana penunjang kegiatan
bisnis nonpertanian, seperti dikontrakkan/disewakan, dibangun rumah-rumah
sewaan/tempat indekos, dan rumah toko (ruko). Namun, bagi petani penggarap
dan buruh tani, alih fungsi lahan menjadi bencana karena umumnya mereka
tidak memiliki akses (skill) untuk memasuki lapangan kerja formal nonpertanian.
Selain itu, semakin menurunnya minat masyarakat untuk menggeluti pekerjaan
pertanian dikhawatirkan mengancam kesinambungan tradisi agraris sistem subak
di Kecamatan Denpasar Selatan. Para petani semakin terjebak dengan semakin
sempitnya kesempatan kerja. Akibatnya, timbul masalah sosial yang pelik yang
pada gilirannya berimplikasi pada kehidupan para petani di Kecamatan Denpasar
14
14
Selatan yang semula sebagai pemilik lahan. Lama-kelamaan mereka bisa berubah
menjadi buruh tani di lahannya sendiri yang telah dikuasai oleh para investor luar.
Pada umumnya para petani telah tergoda dengan harga tanah yang mahal
dan berharap dengan menjual lahan sawahnya mereka akan bisa hidup
berkecukupan. Namun, petani kurang menyadari bahwa dirinya telah terhegemoni
oleh pengusaha. Hal ini sesuai dengan pandangan yang dikemukakan oleh
Gramsci bahwa hegemoni merupaukan kondisi sosial dalam semua aspek
kenyataan sosial yang didominasi atau disokong oleh kelas tertentu (Tilaar,
2003:77). Keberhasilan hegemoni ditentukan oleh terciptanya kesepakatan. Di
samping itu, kesepakatan terjadi lewat penawaran harga yangmenggiurkan.
Para pengusaha/ investor/ kaum kapitalis menyadari bahwa sasaran
mereka adalah masyarakat petani yang konsumtif dan tidak memiliki pengetahuan
tentang rencana besar kaum kapitalis. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh
Barker (2010:143) bahwa modernisasi adalah citra keasyikan yang menjanjikan,
yakni saat ini dunia mengalami kemajuan sosial dan kemajuan teknologi. Bahkan,
ada petani di Kecamatan Denpasar Selatan yang telah menjadi contoh nyata akibat
dari pengaruh globalisasi teknologi ini. Ada petani di Kecamatan Denpasar
Selatan yang menjual tiga hektare sawah. Setelah itu dia mempunyai rumah,
mobil, motor. Akan tetapi sekarang sepeda saja tidak punya. Ada juga petani di
Kecamatan Denpasar Selatan yang menjual 24 are tanah seharga 120 juta. Setelah
itu dia menyesal menjual tanahnya. Petani tersebut balik ingin membeli lagi
dengan harga 450 juta, tetapi hanya mendapat tiga are. Contoh yang dikemukakan
tersebut merupakan fatalisme yang dialami petani yaitu fatalisme yang
15
15
diakibatkan oleh gaya hidup. Gaya hidup di sini sebagai sarana yang digunakan
kaum kapitalisme yang berwujud hegemoni teknologi dan hegemoni harga sawah
yang selangit. Petani disuguhi kehidupan-kehidupan yang instan dan citra
keasyikan dunia modern saat ini (Barker, 2009:143). Ketika petani telah masuk
perangkap hegemoni kapitalis, maka secara tidak langsung petani akan menerima
apa yang dihegemonikan tersebut, seperti teknologi dan harga tanah yang tinggi.
Ketika ingin memiliki teknologi berupa kendaraan, rumah, dan teknologi lainnya
petani harus memperolehnya dengan uang. Petani tidak memiliki uang yang cukup
untuk memenuhi segala keinginannya. Sehubungan dengan itu, modal tanah
sawahnyalah yang bisa menjadi uang. Di tengah kebimbangan dan keinginan kuat
untuk memiliki gaya hidup itu, petani ditawari dengan hegemoni harga tanah yang
sepintas dapat memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Dengan demikian, petani
merelakan tanahnya diambil oleh investor lewat transaksi keuangan tanpa ada
perlawanan.
Selanjutnya, alih fungsi lahan persawahan yang terus berjalan cepat pada
pembangunan fasilitas pariwisata oleh pemerintah swasta hingga perubahan tata-
ruang, diterima sebagai sebuah pilihan atau langkah ekonomis dan kenyataan
hidup di kawasan wisata sebagaimana halnya kawasan Kecamatan Denpasar
Selatan. Peningkatan infrastruktur pariwisata bersamaan dengan realisasi
pembangunan fisik di Kecamatan Denpasar Selatan mengondisikan masyarakat
petani di kecamatan tersebut terpaksa menerima fungsi baru space and place atau
ruang dan tempat masyarakat petani sebagai akses atau infrastruktur kawasan
industri pariwisata.
16
16
Berdasarkan kondisi di atas, maka subsistem budaya yang dicerminkan
dengan pengelolaan air irigasi sistem subak yang dilandasi dengan keharmonisan
dan kebersamaan dalam sistem subak menjadi hilang. Di samping itu, subsistem
sosial yang dicerminkan dengan adanya organisasi subak akan menjadi hilang. Di
ihak lain, subsistem kebendaan yang dicerminkan dengan ketersediaan sarana
jaringan irigasi akan hilang juga. Berdasarkan hal tersebut secara spesifik penulis
ingin mengamati dan mencermati hal-hal dari alih fungsi lahan pertanian menjadi
lahan nonpertanian di Kecamatan Denpasar Selatan. Oleh karena itu, penulis
tertarik untuk merangkum dalam sebuah disertasi yang berjudul “Alih Fungsi
Lahan Persawahan dan Implikasinya pada Kehidupan Petani di Kecamatan
Denpasar Selatan, Kota Denpasar”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam
penelitian ini dikemukakan dalam bentuk research questions sebagai berikut:
1. Bagaimanakah proses terjadinya alih fungsi lahan persawahan di
Kecamatan Denpasar Selatan Kota Denpasar?
2. Ideologi apakah yang bekerja di balik terjadinya alih fungsi lahan
persawahan di Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar?
3. Apakah implikasi terjadinya alih fungsi lahan persawahan pada
kehidupan petani di Kecamatan Denpasar Selatan Kota Denpasar?
1.3 TujuanPenelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yakni sebagai berikut.
17
17
1.3.1 TujuanUmum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui secara mendalam
mengenai alih fungsi lahan persawahan dan implikasinya pada kehidupan petani
di Kecamatan Denpasar Selatan Kota Denpasar.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian dimaksudkan untuk mencari jawaban rumusan
masalah sehingga tujuan khusus penelitian adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui proses terjadinya alih fungsi lahan persawahan di
Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar.
2. Untuk mengetahui ideologi yang bekerja dalam alih fungsi lahan
persawahan di Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar.
3. Untuk mengetahui implikasi terjadinya alih fungsi lahan persawahan
pada kehidupan petani di Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat, baik teoretis maupun
praktis sebagai berikut.
1.4.1 Manfaat Teoritis
Manfaat teoretis penelitian ini antara lain seperti di bawah ini.
1. Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi
pengembangan ilmu yang holistik integratif sesuai dengan
keberadaannya sebagai sebuah kajian budaya yang terkait dengan alih
fungsi lahan persawahan. Salah satu sisi penting posisi teoretis
18
18
konseptual kajian budaya adalah karateristiknya yang interdisipliner
sehingga memberikan kontribusi untuk penelitian bagi berbagai
disiplin ilmu dan kebijakan publik. Selain itu, hasil penelitian ini
diharapkan bermanfaat bagi para akademisi karena dapat dipakai
sebagai acuan, referensi tentang arti penting lahan pertanian khususnya
persawahan dikaitkan dengan pembangunan pariwisata yang
dilaksanakan oleh pemerintah. Tema penelitian ini diharapkan
bermanfaat bagi peneliti lain, yang melakukan penelitian sejenis
dengan topik permasalahan yangberbeda.
2. Hasil penelitian ini dapat merangsang minat peneliti lain untuk meneliti
hal- hal yang belum terjangkau dalam penelitian ini.
1.4.2 Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Manfaat Pemerintah
Sebagai bahan pertimbangan dalam membuat kebijakan yang
menyangkut pelestarian persawahan dengan sistem subak dalam era
globalisasi, termasuk dalam pengembangan pariwisata modern.
2. Manfaat Masyarakat Petani
Diharapkan dapat menambah wawasan untuk mempertahankan
keberadaan lahan pertainian khususnya persawahan agar tidak semakin
termarginalkan.
3. Manfaat Pembaca
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada