uas mpkual
-
Upload
nana-eri-sofiana -
Category
Documents
-
view
154 -
download
1
Transcript of uas mpkual
2. varian-varian riset fenomenologi komunikasi 1. interaksionisme simbolik : - Pendekatan interaksi simbolik. Dalam pendekatan interaksi simbolik diasumsikan bahwa objek orang, situasi dan peristiwa tidak memiliki pengertian sendiri, sebaliknya pengertian itu diberikan kepada mereka. Pengertian yang dlberikan orang pada pengalaman dan proses penafsirannya bersifat esensial serta menentukan Herbert Blumer dan George Herbert Mead adalah yang pertama-tama mendefinisikan teori symbolic interactionism atau teori interaksionisme simbolik. Blumer mengutarakan tentang tiga prinsip utama interaksionisme simbolik, yaitu tentang pemaknaan (meaning), bahasa (language), dan pikiran (thought). Premis ini nantinya mengantarkan kepada konsep diri seseorang dan sosialisasinya kepada komunitas yang lebih besar, masyarakat. Blumer mengajukan premis pertama, manusia bertindak atau bersikap terhadap manusia yang lainnya pada dasarnya dilandasi atas pemaknaan yang mereka kenakan kepada pihak lain tersebut.Sebagai contoh, dalam film Kabayan, tokoh Kabayan sebenarnya akan memiliki makna yang berbeda-beda berpulang kepada siapa atau bagaimana memandang tokoh tersebut. Ketika Kabayan pergi ke kota besar, maka masyakat kota besar tersebut mungkin akan memaknai Kabayan sebagai orang kampung, yang kesannya adalah norak, kampungan. Nah, interaksi antara orang kota dengan Kabayan dilandasi pikiran seperti ini. Padahal jika di desa tempat dia tinggal, masyakarat di sana memperlakukan Kabayan dengan cara yang berbeda, dengan perlakuan lebih yang ramah. Interaksi ini dilandasi pemikiran bahwa Kabayan bukanlah sosok orang kampung yang norak. Pemaknaan tentang apa yang nyata bagi kita pada hakikatnya berasal dari apa yang kita yakini sebagai kenyataan itu sendiri. Karena kita yakin bahwa hal tersebut nyata, maka kita mempercayainya sebagai kenyataan.Dalam contoh yang sama, ketika kita memaknai Kabayan sebagai orang yang kampungan, maka kita menganggap pada kenyataannya Kabayan memang adalah orang yang kampungan. Begitu pula sebaliknya. Premis kedua Blumer adalah Pemaknaan muncul dari interaksi sosial yang dipertukarkan di antara mereka. Makna bukan muncul atau melekat pada sesuatu atau suatu objek secara alamiah. Makna tidak bisa muncul dari sananya. Makna berasal dari hasil proses negosiasi melalui penggunaan bahasa (language)dalam perspektif interaksionisme simbolik.Di sini, Blumer menegaskan tentang pentingnya penamaan dalam proses pemaknaan. Sementara itu Mead juga meyakini bahwa penamaan simbolik ini adalah dasar bagi masyarakat manusiawi (human society).Ketika kita menyebut Kabayan tadi dengan bahasa kampungan, konsekuensinya adalah kita menarik pemaknaan dari penggunaan bahasa kampungan tadi. Kita memperoleh pemaknaan dari proses negosiasi bahasa tentang kata kampungan. Makna dari kata kampungan tidaklah memiliki arti sebelum dia mengalami negosiasi di dalam masyarakat sosial di mana simbolisasi bahasa tersebut hidup. Makna kata kampungan tidak muncul secara sendiri, tidak
muncul secara alamiah. Pemaknaan dari suatu bahasa pada hakikatnya terkonstruksi secara sosial.
Premis ketiga Blumer adalah Interaksionisme simbolik menggambarkan proses berpikir sebagai perbincangan dengan diri sendiri. Proses berpikir ini sendiri bersifat refleksif. Nah, masalahnya menurut Mead adalah sebelum manusia bisa berpikir, kita butuh bahasa. Kita perlu untuk dapat berkomunikasi secara simbolik. Bahasa pada dasarnya ibarat software yang dapat menggerakkan pikiran kita.Cara bagaimana manusia berpikir banyak ditentukan oleh praktek bahasa. Bahasa sebenarnya bukan sekedar dilihat sebagai alat pertukaran pesan semata, tapi interaksionisme simbolik melihat posisi bahasa lebih sebagai seperangkat ide yang dipertukarkan kepada pihak lain secara simbolik. Komunikasi secara simbolik. b. Perspektif Fenomenologi Jika positivisme amat gila terhadap penyusunan teori, fenomenologi boleh dikatakan menolak teori. Fenomenologi sedikit alergi teori. Pendekatan ini lebih menekankan rasionalisme dan realitas budaya yang ada. Hal ini sejalan dengan penelitian etnografi yang menitikberatkan pandangan warga setempat. Realitas dipandang lebih penting dan dominan dibanding teori-teori melulu. Fenomenologi berusaha memahami budaya lewat pandangan pemilik budaya atau pelakunya. Menurut paham fenomenologi, ilmu bukanlah values free, bebas nilai dari apa pun, melainkan values bound, memiliki hubungan dengan nilai. Aksioma dasar fenomenologi adalah: (a) kenyataan ada dalam diri manusia baik sebagai indiividu maupun kelompok selalu bersifat majemuk atau ganda yang tersusun secara kompleks, dengan demikian hanya bisa diteliti secara holistik dan tidak terlepas-lepas; (b) hubungan antara peneliti dan subyek inkuiri saling mempengaruhi, keduanya sulit dipisahkan; (c) lebih ke arah pada kasus-kasus, bukan untuk menggeneralisasi hasil penelitian; (d) sulit membedakan sebab dan akibat, karena situasi berlangsung secara simultan; (e) inkuiri terikat nilai, bukan values free. Dalam pandangan Natanton (Mulyana, 2002:59) fenomenologi merupakan istilah generik yang merujuk kepada semua pandangan ilmu sosial yang menganggap bahwa kesadaran manusia dan makna subjektif sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial. Tentu saja, dalam kaitannya dengan penelitian budaya pun pandangan subjektif informan sangat diperlukan. Subjektif akan menjadi sahih apabila ada proses intersubjektif antara peneliti budaya dengan informan.
Wawasan utama fenomenologi adalah pengertian dan penjelasan dari suatu realitas harus dibuahkan dari gejala realitas itu sendiri (Aminuddin, 1990:108).
Dalam perkembangannya, fenomenologi memang ada beberapa macam, antara lain: (a) fenomenologi Edidetik dalam linguistik, (b) fenomenologi Ingarden dalam sastra, artinya pengertian murni ditentukan melalui penentuan gejala utama, penandaan dan pemilahan, penyaringan untuk menentukan keberadaan, penggambaran gejala (refleksi), (c) fenomenologi transendental, dan (d) fenomenologi eksistnsial. C.ANALISA DRAMATURGI ristoteles mengungkapkan Dramaturgi dalam artian seni. Maka, Goffman mendalami dramaturgi dari segi sosiologi. Seperti yang kita ketahui, Goffman memperkenalkan dramaturgi pertama kali dalam kajian sosial psikologis dan sosiologi melalui bukunya, The Presentation of Self In Everyday Life. Buku tersebut menggali segala macam perilaku interaksi yang kita lakukan dalam pertunjukan kehidupan kita sehari-hari yang menampilkan diri kita sendiri dalam cara yang sama dengan cara seorang aktor menampilkan karakter orang lain dalam sebuah pertunjukan drama. Cara yang sama ini berarti mengacu kepada kesamaan yang berarti ada pertunjukan yang ditampilkan. Pertunjukan yang terjadi di masyarakat untuk memberi kesan yang baik untuk mencapai tujuan. Tujuan dari presentasi dari Diri Goffman ini adalah penerimaan penonton akan manipulasi. Bila seorang aktor berhasil, maka penonton akan melihat aktor sesuai sudut yang memang ingin diperlihatkan oleh aktor tersebut. Aktor akan semakin mudah untuk membawa penonton untuk mencapai tujuan dari pertunjukan tersebut. Ini dapat dikatakan sebagai bentuk lain dari komunikasi, Karena komunikasi sebenarnya adalah alat untuk mencapai tujuan. Bila dalam komunikasi konvensional manusia berbicara tentang bagaimana memaksimalkan indera verbal dan non-verbal untuk mencapai tujuan akhir komunikasi, agar orang lain mengikuti kemauan kita. Maka dalam dramaturgis, yang diperhitungkan adalah konsep menyeluruh bagaimana kita menghayati peran sehingga dapat memberikan feedback sesuai yang kita mau. Perlu diingat, dramatugis mempelajari konteks dari perilaku manusia dalam mencapai tujuannya dan bukan untuk mempelajari hasil dari perilakunya tersebut. Dramaturgi memahami bahwa dalam interaksi antar manusia ada kesepakatan perilaku yang disetujui yang dapat mengantarkan kepada tujuan akhir dari maksud interaksi sosial tersebut. Bermain peran merupakan salah satu alat yang dapat mengacu kepada tercapainya kesepakatan tersebut. Bukti nyata bahwa terjadi permainan peran dalam kehidupan manusia dapat dilihat pada masyarakat kita sendiri. Manusia menciptakan sebuah mekanisme tersendiri, dimana dengan permainan peran tersebut ia bisa tampil sebagai sosok-sosok tertentu.
Dramaturgis dianggap masuk ke dalam perspektif obyektif karena teori ini cenderung melihat manusia sebagai makhluk pasif (berserah). Meskipun, pada awal ingin memasuki peran tertentu manusia memiliki kemampuan untuk menjadi subyektif (kemampuan untuk memilih) namun pada saat menjalankan peran
tersebut manusia berlaku objektif, berlaku natural, mengikuti alur. Seperti telah dijabarkan diatas, Dramaturgis merupakan teori yang mempelajari proses dari perilaku dan bukan hasil dari perilaku. Ini merupakan asas dasar dari penelitianpenelitian yang menggunakan pendekatan scientific. Pendekatan scientific ada 5, yaitu :
[1] Frase ini berasal dari bahasa Latin yang secara bahasa berarti Tuhan keluar membantu. Hal ini menunjuk pada karakter buatan, imajiner, alat ataupun peristiwa yang tiba-tiba saja terjadi atau ada dalam sebuah pertunjukan fiksi atau drama sebagai jalan keluar dari sebuah situasi atau plot yang sulit (contohnya, tiba-tiba ada ibu peri yang muncul untuk menolong Cinderella supaya bisa datang ke pesta dansa di istana).
[2] Aristoteles mengartikan kata ini sebagai perubahan perilaku dari acuh menjadi butuh karena perkembangan cerita (mengetahui yang sesungguhnnya), tumbuhnya rasa cinta atau benci yang timbul antar karakter yang ditakdirkan oleh alur cerita. Contohnya, pangeran dalam cerita Cinderella sebelum tidak peduli pada gadis-gadis yang memiliki sepatu kaca, tapi begitu ia mengetahui bahwa gadis misteriusnya memakai sepatu kaca, maka ia mencari gadis-gadis yang muat dengan sepatu kacanya.
[3] Kata ini mengacu kepada sensasi, atau efek turut terbawanya alur cerita ke dalam hati. Perasaan ini seyogyanya muncul di hati para penonton seusai menonton drama yang mengena. (contohnya, turut menangis,tertawa, atau perasaan iba terhadap karakter drama).
[4] Positifisme dirunut dari asalnya berasal dari pemikiran Auguste Comte pada abad ke 19. Comte berpendapat, positivisme adalah cara pandang dalam memahami dunia dengan berdasarkan sains.
[5] Menurut pandangan ini ilmu diasosiasikan dengan objektivitas. Objektivitas yang dimaksudkan di sini adalah objektivitas yang menekankan prinsip standardisasu observasi dan kosistensi. Landasan filosofisnya adalah bahwa dunia ini pada dasarnya mempunyai bentuk dan struktur.
3. a. analisis framing :
Konstruksi citra politikus dalam film ( analisis framing terhadap film wakil rakyat ) oleh chery p.sulistyo (F1C005059 )mahasiswa ilmu komunikasi universitas jenderal soedirman b. analisis wacana: analisis wacana pragramatik iklan dua bahasa tv ( sebuah analisis pragmatik fungsi ungkapan bahasa inggris dalam iklan bahasa Indonesia di RCTI, SCTV, dan INDOSIAR ) oleh alex trioso ( F1C0099079 )
SOALA A 1.metode penelitian tidak lepas dengansejauhmana peneliti memahami ontology, epistomologi dan aksiologi dari suatu ilmu ( ilmu komunikasi ), metodologi penelitian kualitatif berkaitan dengan tiga hal tersebut karena Penelitian kualitatif adalah satu model penelitian humanistik, yang menempatkan manusia sebagai subyek utama dalam peristiwa sosial/budaya. Jenis penelitian ini berlandaskan pada filsafat fenomenologis dari Edmund Husserl (1859-1928) dan kemudian dikembangkan oleh Max Weber (1864-1920) ke dalam sosiologi. Sifat humanis dari aliran pemikiran ini terlihat dari pandangan tentang posisi manusia sebagai penentu utama perilaku individu dan gejala sosial. Dalam pandangan Weber, tingkah laku manusia yang tampak merupakan konsekwensi-konsekwensi dari sejumlah pandangan atau doktrin yang hidup di kepala manusia pelakunya. Jadi, ada sejumlah pengertian, batasan-batasan, atau kompleksitas makna yang hidup di kepala manusia pelaku, yang membentuk tingkah laku yang terkspresi secara eksplisit[13].
Terdapat sejumlah aliran filsafat yang mendasari penelitian kualitatif, seperti Fenomenologi, Interaksionisme simbolik, dan Etnometodologi. Harus diakui bahwa aliran-aliran tersebut memiliki perbedaan-perbedaan, namun demikian ada satu
benang merah yang mempertemuan mereka, yaitu pandangan yang sama tentang hakikat manusia sebagai subyek yang mempunyai kebebasan menentukan pilihan atas dasar sistem makna yang membudaya dalam diri masing-masing pelaku[14].
Bertolak dari proposisi di atas, secara ontologis, paradigma kualitatif berpandangan bahwa fenomena sosial, budaya dan tingkah laku manusia tidak cukup dengan merekam hal-hal yang tampak secara nyata, melainkan juga harus mencermati secara keseluruhan dalam totalitas konteksnya. Sebab tingkah laku (sebagai fakta) tidak dapat dilepaskan atau dipisahkan begitu saja dari setiap konteks yang melatarbelakanginya, serta tidak dapat disederhanakan ke dalam hukum-hukum tunggal yang deterministik dan bebas konteks.
Dalam Interaksionisme simbolis, sebagai salah satu rujukan penelitian kualitatif, lebih dipertegas lagi tentang batasan tingkah laku manusia sebagai obyek studi. Di sini ditekankankan perspektif pandangan sosio-psikologis, yang sasaran utamanya adalah pada individu dengan kepribadian diri pribadi dan pada interaksi antara pendapat intern dan emosi seseorang dengan tingkah laku sosialnya[15].
Paradigma kualitatif meyakini bahwa di dalam masyarakat terdapat keteraturan. Keteraturan itu terbentuk secara natural, karena itu tugas peneliti adalah menemukan keteraturan itu, bukan menciptakan atau membuat sendiri batasan-batasannya berdasarkan teori yang ada. Atas dasar itu, pada hakikatnya penelitian kualitatif adalah satu kegiatan sistematis untuk menemukan teori dari kancah bukan untuk menguji teori atau hipotesis. Karenanya, secara epistemologis, paradigma kualitatif tetap mengakui fakta empiris sebagai sumber pengetahuan tetapi tidak menggunakan teori yang ada sebagai bahan dasar untuk melakukan verifikasi.
Dalam penelitian kualitatif, proses penelitian merupakan sesuatu yang lebih penting dibanding dengan hasil yang diperoleh. Karena itu peneliti sebagai instrumen pengumpul data merupakan satu prinsip utama. Hanya dengan keterlibatan peneliti alam proses pengumpulan datalah hasil penelitian dapat dipertanggungjawakan.
Khusus dalam proses analisis dan pengambilan kesimpulan, paradigma kualitatif menggunakan induksi analitis (analytic induction) dan ekstrapolasi (extrpolation). Induksi analitis adalah satu pendekatan pengolahan data ke dalam konsep-konsep
dan kateori-kategori (bukan frekuensi). Jadi simbol-simbol yang digunakan tidak dalam bentuk numerik, melainkan dalam bentuk deskripsi, yang ditempuh dengan cara merubah data ke formulasi. Sedangkan ekstrapolasi adalah suatu cara pengambilan kesimpulan yang dilakukan simultan pada saat proses induksi analitis dan dilakukan secara bertahap dari satu kasus ke kasus lainnya, kemudian dari proses analisis itu--dirumuskan suatu pernyataan teoritis[16].
2. A. etnografi adalah Etnografi berasal dari kata ethos, yaitu bangsa atau suku bangsa dan graphein yaitu tulisan atau uraian.
Etnografi adalah kajian tentang kehidupan dan kebudayaan suatu masyarakat atau etnik, misalnya tentang adat-istiadat, kebiasaan, hukum, seni, religi, bahasa. Bidang kajian vang sangat berdekatan dengan etnografi adalah etnologi, yaitu kajian perbandingan tentang kebudayaan dari berbagai masyarakat atau kelompok (Richards dkk.,1985).
Istilah etnografi sebenarnya merupakan istilah antropologi, etnografi merupakan embrio dari antropologi, lahir pada tahap pertama dari perkembangannya sebelum tahun 1800 an. Etnogarafi juga merupakan hasil catatan penjelajah eropa tatkala mencari rempah-rempah ke Indonesia. Koentjaraningrat, 1989:1 : Mereka mencatat semua fenomena menarik yang dijumpai selama perjalanannya, antara lain berisi entang adapt istiastiadat,susunan masyarakat,bahasa dan cirri-ciri fisik dari suku-suku bangsa tersebut.
Etnografi yang akarnya antropologi pada dasarnya merupakan kegiatan peneliti untuk memahami cara orang-orang berinteraksi dan bekerjasama melalui fenomena teramati kehidupan sehari-hari. Etnogarafi adalah pelukisan yang sistematis dan analisis suatu kebudayaan kelompok, masyarakat atau suku bangsa yang dihimpun dari lapangan dalam kurun waktu yang sama. . Etnografi adalah
usaha untuk menjelaskan suatu budaya atau suatu aspek dari budaya. Secara lebih khusus, etnografi berusaha memahami tingkah laku manusia ketika mereka berinteraksi dengan sesamanya di suatu komunitas. Singkatnya, etnografer berusaha memahami budaya atau as-pek budaya melalui serangkaian pengamatan dan interpretasi perilaku manusia, yang berinteraksi dengan manusia lain
Etnografi komunikasi : Menurut Hymes(1974), istilah etnografi komunikasi sendiri menunjukkan cakupan kajian berlandaskan etnografi dan komunikasi.. Cakupan kajian tidak dapat dipisahpisahkan, misalnya hanya mengambil hasil-hasil kajian dari linguistik, psikologi, sosiologi, etnologi, lalu menghubung-hubungkannya. Fokus kajiannya hendaknya meneliti secara langsung terhadap penggunaan bahasa dalam konteks situasi tertentu, sehingga dapat mengamati dengan jelas pola-pola aktivitas tutur, dan kajiannya diupayakan tidak terlepas (secara terpisah-pisah), misalnya tentang gramatika (seperti dilakukan oleh linguis), tentang kepribadian (seperti psikologi), tentang struktur sosial (seperti sosiologi), tentang religi (seperti etnologi), dan sebagainya. Dalam kaitan dengan landasan itu, seorang peneliti tidak dapat membentuk bahasa, atau bahkan tutur, sebagai kerangka acuan yang sempit. Peneliti harus mengambil konteks suatu komunitas (community), atau jaringan orang-orang, lalu meneliti kegiatan komunikasinya secara menyeluruh, sehingga tiap penggunaan saluran atau kode komunikasi selalu merupakan bagian dari khasanah komunitas yang diambil oleh para penutur ketika dibutuhkan. ya atau cara hidup orang-orang dalam sebuah komunitas tertentu. Etnografi adalah usaha untuk menjelaskan suatu budaya atau suatu aspek dari budaya. Secara lebih khusus, etnografi berusaha memahami tingkah laku
manusia ketika mereka berinteraksi dengan sesamanya di suatu komunitas. Singkatnya, etnografer berusaha memahami budaya atau as-pek budaya melalui serangkaian pengamatan dan interpretasi perilaku manusia, yang berinteraksi dengan manusia lain. Frey et al (1992) berpendapat etnografi digunakan untuk meneliti perilaku manusi dalam lingkungan spesifik alamiah. Etnografer berusaha menangkap sepenuh mungkin, dan berdasarkan perspektif orang yang diteliti, cara orang menggunakan simbul dalam konteks spesifik. Etnografi sering dikaitkan dengan hidup secara intim dan untuk waktu yang lama dengan suatu komunitas pribumi yang diteliti yang bahasanya dikuasai peneliti. Sarantakos (1993) mengemukakan bahwa budaya merupakan konsep sentral dari etnografi. Budaya dipelajari sebagai sebuah kesatuan. Entitas budaya adalah sistem yang digunakan bersama oleh komunitas. Para anggota budaya ini mempelajari unsur-unsur dan konfigurasinya melalui interaksi, serta dengan cara hidup dalam budaya lain. Guna mencapai hal itu, kerja etnografer tak dapat
dilakukan di tataran permukaan, ia perlu melakukan
in-depth studies. Cara ini menjadi jaminan kedalaman informasi yang diperoleh peneliti, sekaligus kedalaman penghayatan atas pengalaman budaya yang dimiliki oleh subjek penelitian. Etnografi yang akarnya antropologi pada dasarnya adalah kegiatan penelitian untuk
memahami cara orang-orang berinteraksi dan bekerjasama melalui fenomena teramati kehidupan sehari-hari (Symon dan Cassell,1998). Ini berarti, sebagai sebuah disiplin
riset, etnografi didasarkan pada kultur konsep
yang
tersusun, menggunakan kombinasi teknik-teknik pengamatan,
wawancara, dan ana79
lisis dokumen, untuk merekam komunikasi dan perilaku orang-orang dalam latar sosial tertentu. Etnografi menekankan pada budaya dan kekhasan orang-orang di dalamnya, yaitu apa yang menjadi karakteristik dasar sebuah kelompok dan apa yang membedakan mereka dari kelompok lain. Disamping itu, etnografi mengandalkan keterlibatan peneliti dalam kelompok
atau komunitas selama jangka waktu tertentu di lapangan. Lama tidaknya penelitian etnografi
ini bergantung pada pemahaman terhadap gejala yang diteliti. Penelitian bisa berlangsung dalam kurun waktu singkat bila hanya meliputi satu peristiwa, misalnya meneliti
tentang tata cara upacara perkawinan adat Betawi. Sebaliknya, akan berlangsung dalam waktu yang lama bila hendak meneliti a single cociety, masyarakat yang kompleks. Spradley(1979) menyarankan penggunaan etnografi
dilakukan bila peneliti ingin memahami
dan belajar pada masyarakat. Namun, tidak sekedar itu, masyarakat tersebut memiliki
pola-pola perilaku dan pola-pola untuk berperilaku tertentu yang membedakan masyarakat
lain. Artinya, budaya harus diberi makna yang lebih luas, sehingga etnografi bisa juga digunakan dalam masyarakat yang kompleks, seperti kelompok-kelompok dalam
masyarakat kota yang memiliki subkultur tersendiri. Kelompok-kelompok itu bisa
didasarkan atas latar belakang etnis, agama,
umur, atau profesi dan kelas sosial.
Para etnografer mengamati dan mengajukan
pertanyaan ihwal cara orang-orang berinteraksi, bekerjasama, dan berkomunikasi
termasuk dengan peneliti secara alamiah dalam konteks kehidupan sehari-hari. Dalam etnografi, suatu kelompok (seperti organisasi, departemen, tim proyek atau konsultan, maupun
kelompok sosial) digambarkan sebagai agregasi atau satuan sosial yang anggotanya bersama-sama menciptakan realitas sosial mereka, dan memiliki serangkaian tindakan yang dikoordinasikan di seputar realitas tersebut.
Etnografi membawa peneliti membenamkan
diri ke dalam sebuah kelompok, organisasi,
atau komunitas di lapangan dalam jangka waktu yang lebih panjang. Etnografi bertujuan menguraikan suatu budaya secara menyeluruh, yakni semua aspek budaya, baik yang bersifat material seperti artefak budaya (alat-alat, pakaian, bangunan dan sebagainya) dan yang bersifat abstrak, seperti pengala80 man, kepercayaan, norma, dan sistem nilai kelompok yang diteliti. Uraian tebal (thick description) merupakan ciri utama etnografi (Clifford Geertz, 1973 dan Lindlof, 1995). Etnografi memanfaatkan beberapa teknik pengumpulan data, meskipun teknik utamanya adalah pengamatan berperan-serta (participant observation). Lindlof(1995) mengemukakan
etnografer tidak mengingkari teknik penelitian kuantitatif; mereka juga sering
menggunakan sensus dan prosedur statistik
untuk menganalisis pola-pola atau menentukan
siapa yang menjadi sampel penelitian. Etnografer juga terkadang menggunakan
tes diagnostik, inventori kepribadian, dan alat
pengukuran
lainnya. Pendeknya, etnografer akan memanfaatkan metode apapun yang membantu mereka mencapai tujuan etnografi yang baik. Etnografi modern muncul pada tahun 1920-an dan 1930-an, ketika para ahli antropologi
seperti Malinowski (1922), Boas (1928), dan Mead (1953) menyelidiki berbagai
budaya non-Barat dan cara-cara hidup
orang-orangnya. Sosiologi mazhab chicago belakangan mempunyai pengaruh pada metode
etnografi melalui kajian-kajian anggotanya
terhadap budaya pinggiran dan subkultur-subkultur
yang asing secara kultural (socially strange), seperti perkampungan kumuh, ghetto-ghetto Yahudi, dan geng-geng perkotaan. Dibidang komunikasi terencana, riset etnografi telah mengeksplorasi topiktopik
besar seperti Hubungan Masyarakat di Bangalore, India (Sriramesh, 1996), pengalaman
konsumsi pada etnis minoritas, kelompok
orang-orang Pakistan di Inggris (Jamal dan Chapman,2000), identitas profesi di sebuah
biro iklan Swedia (Alvesson, 1994), dan penafsiran iklan oleh siswa-siswa sekolah di Inggris (Ritson
dan Elliott, 1999).
. Etnografi sebagai Metode Penelitian Etnografi merupakan metode yang memiliki posisi yang cukup penting di antara metode-metode kualitatif. Posisi penting etnografi
dalam kajian antropologi antara lain dinyatakan oleh James Spradley : ethnographic
fieldwork is the hallmark of cultural anthropology. Penilaian serupa juga dikemukakan
oleh Clifford Geertz: in anthropology, or anyway social anthropoKOMUNIKASI MASSA Volume 5 Nomor 1, 2009
logy, what the practitioners do is ethnography.
Ada 2 (dua) pijakan teoritis yang memberikan penjelasan tentang model etnografi,
yaitu interaksi simbolik dan aliran fenomenologi,
termasuk konstruksi sosial dan etnometodologi. Teori interaksi simbolik, budaya
dipandang sebagai sistem simbolik dimana makna tidak berada dalam benak manusia, tetapi simbol dan makna itu terbagi dalam aktor sosial di antara, bukan di dalam, dan mereka adalah umum, tidak mempribadi. Budaya adalah lambang-lambang makna yang terbagi (bersama). Budaya juga merupakan
pengetahuan yang didapat seseorang untuk menginterpretasikan pengalaman dan menyimpulkan perilaku sosial (Spradley,1979).
Penelitian etnografi dengan landasan
pemikiran fenomenologi adalah inti dari proses mediasi kerangka pemaknaan. Hakekat dari suatu mediasi tertentu akan bergantung
dari hakekat tradisi dimana terjadi kontak selama penelitian lapangan (Michael H. Agar, 1986 dan Giddens 1976). Etnometodologi adalah kajian terhadap proses yang dilakukan
oleh individu-individu manusia untuk
membangun dan memahami kehidupannya sehari-hari (Bogdan & Biklen, 1982).
Penelitian etnografi tidak saja berbentuk
etnografi lengkap (comprehensive ethnography)
dimana mencatat satu total way of
life atau memberikan satu deskripsi utuh, lengkap dan mendetail tentang sistem sosial dan sistem kebudayaan suatu suku bangsa dan topic oriented ethnography (monografi) yang terfokuskan pada satu aspek tertentu, melainkan mulai beranjak kearah hyphothesis oriented ethnography yang bertujuan untuk menguji hipotesa dan tidak sekedar mendeskripsikan. Langkah-langkah etnografi menurut
pemikiran James Spradley dikenal sebagai
alur maju bertahap (Developmental Research Sequences) terdiri atas dua belas langkah: (1) Menetapkan informan; (2) Mewawancarai
informan;(3) Membuat catatan etnografis; (4) Mengajukan pertanyaan Deskriptif;
(5) Menganalisis hasil wawancara; (6) Membuat analisis domain; (7) Mengajukan
pertanyaan struktural; (8) Membuat analisis taksonomik; (9) Mengajukan pertanyaan
kontras; (10) Membuat analisis komponen;
(11) Menemukan tema-tema budaya; (12) Menulis laporan etnografi. Sementara KOMUNIKASI MASSA Volume 5 Nomor 1, 2009 itu riset LeCompte dan Schensul (1999) menuangkan langkah-langkah umum yang dapat
diterapkan
sebagian besar tipe etnografi: (1) Temukan informan yang tepat dan layak dalam kelompok yang dikaji; (2) Definsikan permasalahan, isu, atau fenomena yang akan dieksplorasi; (3) Teliti bagaimana masingmasing
individu menafsirkan situasi dan makna yang diberikan bagi mereka; (4) Uraikan
apa yang dilakukan orang-orang dan bagaimana
mereka mengomunikasikannya; (5)
Dokumentasikan proses etnografi; (6) Pantau implementasi proses tersebut; (7) Sediakan informasi yang membantu menjelaskan hasilhasil riset.
Teknik pengumpulan data lapangan dapat menggunakan salah satu atau lebih yang termasuk dalam metode etnografi, yaitu observasi partisipatif, in-depth interview, focus group discussion (FGD), dan life history (Rejeki, 2004). Tampilan hasil penelitian etnografi yang dibantu oleh perterjemah dalam mengartikan
makna dari satu budaya kedalam suatu bentuk yang tepat pada budaya yang lain dalam pengumpulan datanya menghasilkan
6 (enam) bentuk paparan, yakni (1) ethnocentric descriptions adalah studi yang dibentuk dengan tidak menggunakan bahasa asli dan mengabaikan makna yang ada. Masyarakat
dan cara berperilaku dikarakteristikkan
secara stereotipe; (2) social science
descriptions digunakan untuk studi yang terfokus secara teoritis pada uji hipotesis; (3) standard ethnographies menggambarkan variasi luas yang ada pada penutur asli dan menjelaskan konsep asli. Studi ini juga menyesuaikan
kategori analitisnya pada budaya lain; (4) monolingual ethnographies, seorang anggota masyarakat yang dibudayakan menulis
etnografi dalam bahasa aslinya. Etnografer
secara hati-hati membawa sistem semantik
bahasanya dan menterjemahkan ke dalam bahasanya; (5) life histories adalah salah
satu bentuk deskripsi yang menawarkan pemahaman terhadap budaya lain. Mereka yang melakukan studi ini akan mengamati secara mendetail kehidupan seseorang dan proses yang menunjukkan bagian penting dari budaya tersebut. Semua dicatat dalam bahasa asli, kemudian diterjemahkan dan disajikan dalam bentuk yang sama sesuai 81
dengan pencatatan; serta (6) ethnographic novels. Penelitian etnografis dapat dibedakan dari karakteristiknya: (1) Deskriptif (konvensional,
interpretatif) dan (2) kritikal (mempertanyakan, emansipatif), yang diteliti adalah praktek-praktek sosial dalam kaitannya
dengan sistem dan budaya makro (Poerwandari, 2001). Etnografi deskriptif mengungkap pola, tipologi, dan kategori. Salah
satu karakteristik laporan etnografi deskripsi
padat (thick description) tidak hanya didapat dari merekam apa saja yang dilakukan
partisipan. Thick description merupakan catatan pangalaman yang padat dan mendetail terhadap pengalaman, pola, dan koneksi
hubungan sosial yang menyatukan orangorang.
Geertz, 1973 menyatakan, tujuan dari deskripsi yang padat adalah untuk menarik
kesimpulan yang luas dari fakta-fakta yang kecil, namun memiliki struktur yang sangat padat. Deskripsi yang padat melampaui
hal-hal
faktual Artinya, deskripsinya bersifat
analitis sekaligus teoritis. Etnografi deskriptif berfokus pada deskripsi tentang komunitas
atau kelompok. Melalui analisis, etnografi
deskriptif mengungkapkan pola, tipologi,
dan kategori. Pada etnografi kritis kajian terhadap faktor-faktor sosial-makro seperti kekuasaan, dan meliputi asumsi-asumsi akal sehat serta agenda-agenda tersembunyi. Etnografi
kritis dimaksudkan untuk menghasilkan
perubahan pada latar yang diteliti. Misalnya, menyuarakan pihak-pihak yang lemah.
Contoh : mengangkat masalah yang berhubungan dengan sebuah kelompok atau komunitas, membantu mereka mengklarifikasi kebutuhannya, kemudian memberi informasi
yang memungkinkan mereka mampu memfasilitasi perubahan tersebut setelahnya. Seiring perkembangan antropologi yang kian spesifik dan kelahiran disiplindisiplin
turunan yang baru, etnografi kemudian
tidak lagi memonopoli trade mark antropologi, namun tetap ikut mewarnai kajiankajian di lapangan baru
yang tumbuh belakangan.
Dengan demikian etnografi dapat dimaknai sebagai metode penelitian.
Etnogafi diperlakukan sebagai metode
penelitian berpayung di bawah paradigma konstruktivisme dan di dalam
perspektif
teoritik interpretivisme. Hal ini dapat dilihat dalam tabel 1.
82
TABEL 1. Perspektif Teoritik dan Metode Penelitian dalam Konstruktivisme Sumber : Hidayat(2002) diolah oleh Birowo (2004)
Persepktif Teoritik Metode Penelitian
Interpretivisme: 1. Etnografi 1. Interaksionisme Simbolik 2. Fenomenologis 2. Fenomenologi 3. Grounded Research 3. Hermeneutik 4. Heuristik Inguiry Di dalam melakukan penelitian, peneliti etnografi perlu
memiliki landasan berfikir
sesuai dengan paradigmanya, yakni konstruktivisme
(Birowo, 2004). Menurut paradigma konstruktivisme, pengetahuan harus dibangun,
diketemukan. Konstruktivisme dikembangkan
oleh ilmuwan-ilmuwan seperti Piaget (1977), Glaserfeld (1984,1992), Fosnot
(1989), Vygotsky, Leontev,Bathkin (1991) dkk. Dengan mengajukan pertanyaanpertanyaan
kepada subjek penelitian, peneliti konstruktivis mencoba menangkap apa yang terdapat dalam benak subjek, dan kemudian
mengkonstruksinya menjadi suatu
konsep ilmu pengetahuan. Ada dua cabang konstruktivisme, yaitu konstruktivisme individual
dan konstruktivisme sosio-kultural. Pada konstruktivisme individual, peneliti menggali potensi pengetahuan yang ada di benak subyek. Pada konstruktivisme sosiokultural,
peneliti membimbing subjek untuk mengkonstruk realita yang ada di masyarakat (di luar diri subjek). Ada beberapa karakteristik yang membedakan penelitian konstruktivisme dengan
penelitian lainnya (klasik dan kritis), pertama, dalam dimensi ontologis (asumsi tentang realitas), realitas diasumsikan peneliti sebagai konstruksi sosial. Dan kebenaran atas realitas itu sifatnya relatif, ia berlaku dalam konteks spesifik yang dinilai relevan oleh para pelaku sosial yang diteliti. Oleh karena itu dikenal prinsip relativisme dalam memahami
suatu realitas. Kedua, dalam dimensi epistemologis (asumsi tentang relasi antara peneliti dan yang diteliti), interaksi antara
peneliti dan yang diteliti diasumsikan ada. Melalui interaksi ini akan diperoleh pemahaKOMUNIKASI MASSA Volume 5 Nomor 1, 2009
man tentang realitas sebagai temuan penelitian. Peran peneliti dalam kerangka ini adalah
sebagai transaksionalis atau subjektivis. Ketiga, dalam dimensi aksiologis (asumsi tentang
nilai-nilai),
peneliti berberan sebagai fasilitator
yang menjembatani keragaman subjektivitas
para pelaku sosial. Nilai, etika, dan pilihan moral peneliti dalam kerangka ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam proses penelitian. Dengan kata lain peneliti akan memainkan peran sebagai interested scientist. Keempat, dalam dimensi metodologis
(asumsi tentang cara memperoleh pengetahuan),
penelitian dilakukan dengan cara reflektif/dialektik. Melakukan penelitian secara
reflektif berarti peneliti akan melakukan memberi tekanan pada cara-cara empatik dan interaksi dialektis antara ia sebagai peneliti dan mereka yang diteliti.
Etnografi dalam Penelitian Komunikasi. Metode etnografi dapat diterapkan dalam penelitian komunikasi. Penerapan dalam
tataran kajian etnografi komunikasi merupakan
metode etnografi yang diterapkan untuk melihat pola-pola komunkasi kelompok.
Kelompok dalam kerangka ini memiliki pengertian sebagai kelompok sosiologis (sociological group). Oleh karena itu dapat pula dikemukakan sebagai penerapan metode etnografi untuk melihat pola-pola komunikasi
komunitas (community). Etnografi bukan semata-mata pekerjaan lapangan. Etnografi juga merupakan sebuah deskripsi-kisah atau laporan tertulis-mengenai suatu kelompok masyarakat yang dihasilkan oleh (para) peneliti
yang melewatkan periode waktu cukup panjang, guna membenamkan diri dalam konteks kelompok atau komunitas yang diteliti.
Tujuannya adalah menggambarkan realitas
sosial sebuah kelompok, sehingga dapat dipahami oleh para pembaca etnografi. Etnografi komunikasi dalam organisasi
bertujuan untuk mengungkapkan struktur
makna dalam latar penelitian, menyintesiskan gambaran mengenai realitas kelompok yang mencirikan dan memisahkan mereka, menyajikannya secara luas untuk memicu pertimbangan-pertimbangan
yang lebih mendalam (Whitney, 1994). Ada empat asumsi etnografi komunikasi,
pertama, para anggota budaya akan menciptakan makna yang digunakan bersaKOMUNIKASI MASSA Volume 5 Nomor 1, 2009 ma. Mereka menggunakan kode-kode yang memiliki derajat pemahaman yang sama. Kedua, para komunikator dalam sebuah komunitas budaya harus mengkordinasikan tindakan-tindakannya. Oleh karena itu di dalam
komunitas itu akan terdapat aturan atau sistem dalam komunikasi. Ketiga, makna dan tindakan bersifat spesifik dalam sebuah komunitas, sehingga antara komunitas yang
satu dan lainnya akan memiliki perbedaan dalam hal makna dan tindakan tersebut. Keempat, selain memiliki kekhususan dalam hal makna dan tindakan, setiap komunitas juga memiliki kekhususan dalam hal cara memahami kode-kode makna dan tindakan (Gerry Phillipsen dalam Littlejohn, 2002). Adanya perbedaan dalam pemahaman budaya dari komunitas yang satu dan komunitas
lainnya, (Dell Hymes dalam Littlejohn, 2002) membuat kategori yang dapat digunakan
untuk membandingkan budaya-budaya yang berbeda, sebagai berikut : (1) Ways of speaking. Dalam kategori ini peneliti dapat melihat pola-pola komunikasi komunitas; (2) Ideal of the fluent speaker. Sesuatu yang menunjukkan hal-hal yang pantas dicontoh/dilakukan
oleh seorang komunikator; (3) Speech community. Komunitas ujaran itu sendiri, berikut batas-batasnya; (4) Speech situation. Situasi ketika sebuah bentuk ujuran dipandang sesuai dengan komunitasnnya; (5) Speech event. Peristiwa-peristiwa ujaran
yang dipertimbangkan merupakan bentuk komunikasi
yang layak bagi para anggota komunitas budaya; (6) Speech act. Seperangkat
perilaku khusus yang dianggap komunikasi dalam sebuah peristiwa ujaran; (7) Component of speech acts. Komponen tindak ujaran;
(8) The rules of spaking in the community.
Garis-garis pedoman yang menjadi sasaran penilaian perilaku komunikatif; (9) The function of speech in the community. Fungsi komunikasi dalam sebuah komunitas. Dalam kerangka ini, menyangkut kepercayaan
bahwa sebuah tindakan ujaran dapat menyelesaikan
masalah yang terjadi dalam komunitas budaya.
Adapun unit analisis utama adalah interpretasi
dari para pelaku sosial, terutama mereka yang termasuk ke dalam golongan lapisan
pertama (first order), yang terdiri dari para anggota komunitas kebanyakan. Selain interpretasi, unit analisis lainnya adalah tin83
dakan dan interaksi. Tekniknya adalah teknik kualitatif melalui tahap-tahap pengkajian data, mereduksi data, mengategorikan data, dan
memeriksa
keabsahan data. Setelah data dikumpulkan,
dianalisis, kemudian dilakukan interpretasi data. Tujuan interpretasi data adalah, pertama, mendeskripsikan fakta yang ada. Kedua, mendeskripsikan fakta secara analitik, dan ketiga, menyusun teori substantif atau teori yang disusun dari dasar atau dari
data (Moleong, 1994)
Selain kemampuan etnografi komunikasi
dapat melihat variabilitas komunikasi tersebut, juga memiliki kelebihan untuk pertama,
mengungkap jenis identitas yang digunakan
bersama oleh anggota komunitas budaya.
Identitas tersebut diciptakan oleh komunikasi dalam sebuah komunitas budaya. Identitas
itu sendiri pada hakekatnya merupakan perasaan anggota budaya tentang diri mereka sebagai komunitas. Kedua, mengungkap makna kinerja publik yang digunakan bersama
dalam komunitas. Ketiga, mengungkap kontradiksi atau paradoks-paradoks yang terdapat dalam sebuah komunitas budaya (Donal Carbaugh dalam Littlejohn, 2002). Untuk mengungkap aspek-aspek tersebut, ada tiga pertanyaan yang harus dikejar, yaitu pertanyaan tentang (1) norma; (2) bentuk; dan (3) kode-kode budaya. Pertanyaan tentang
norma adalah pertanyaan yang menyangkut
dengan pencarian cara-cara komunikasi
yang digunakan untuk memantapkan seperangkat patokan dan gagasan tentang benar
dan salah yang mempengaruhi pola-pola komunikasi. Pertanyaan tentang bentuk adalah
pertanyaan yang terkait dengan jenis komunikasi
yang digunakan dalam komunitas, yaitu menyangkut suatu perilaku yang dapat dikategorikan sebagai komunikasi. Selain itu pertanyaan tersebut juga menyangkut tentang cara pengorganisasian perilaku komunikasi tersebut. Sementara pertanyaan tentang kodekode
budaya memberikan perhatian pada makna simbol dan perilaku yang digunakan sebagai komunikasi dalam komunitas budaya.
Dalam disiplin ilmu public relations
dan komunikasi pemasaran, pendekatan etnografi mempunyai potensi untuk mengungkapkan
bagaimana pertukaran komunikasi dan interaksi dipengaruhi oleh budaya. Di dunia periklanan, Mark Ritson dan Richard Elliott 84 (1999) melakukan riset etnografi di sebuah sekolah menengah: Pengaruh Iklan terhadap Interaksi Keseharian para Siswa Sekolah Menengah di Inggris Bagian Utara. Ia menghabiskan
waktu enam minggu mengamati serangkaian (perilaku) komunikasi yang berhubungan dengan iklan, serta pertukaran sosial di antara para siswa. Ia membuat catatan-catatan detail dan melakukan wawancara
kelompok. Temuannya, pilihan siswa terhadap iklan favoritnya memiliki hubungan derajat tinggi dengan faktor signifikansi budaya.
Sebagai contoh, siswa-siswa yang
diteliti secara berkesinambungan memperbarui
portofolio pribadi mengenai iklan favorit mereka yang dievaluasi dan dipromosikan oleh kelompok yang lebih besar. Melalui pengetahuan dan penafsiran bersama terhadap
teks iklan, anggota-anggota kelompok menguatkan citra pribadinya lewat ikatanikatan
kuat pada kelompok sosial yang berinteraksi
dengan mereka.. Ritson dan Elliott menyimpulkan bahwa perbedaan konteks sosial
kemungkinan sama saja dengan perbedaan
konteks media dalam memengaruhi efek iklan. Oleh karena itu, mereka menyarankan
agar riset konsumen semestinya diarahkan
lebih banyak lagi pada penerimaan dan eksplorasi konteks sosial yang mengandung, menghambat, sekaligus
menyampaikan
makna teks-teks iklan.
Mats Alvesson (1994) melakukan kajian
etnografi menghabiskan waktu beberapa bulan di sebuah biro iklan kecil di Swedia, guna meneliti bagaimana para praktisi periklanan
menggambarkan diri mereka, pekerjaan
dan organisasi mereka, profesi serta klien mereka. Proses risetnya dicirikan oleh: (1) Observasi terencana maupun observasi spontan; (2) Wawancara terencana dan percakapan-percakapan
spontan; (3) Analisis dokumen; dan (4) wawancara formal dengan anggota senior dari biro iklan lain, guna menyediakan
profil yang lebih luas mengenai biro-biro iklan, dan mencegah agar tidak terjebak pada pola yang lebih eksentrik dari biro iklan yang diteliti. Kajiannya menyimpulkan
bahwa industri periklanan di Swedia bersifat relatif homogen, karena sebagian besar temuannya di satu organisasi juga ditemukan dalam organisasi lainnya. Di dunia maya, riset etnografi menarik
untuk dilakukan adalah kajian terhadap KOMUNIKASI MASSA Volume 5 Nomor 1, 2009
komunitas virtual, seperti kelompokkelompok
yang berkumpul atau berkomunikasi
melalui media komputer. Ward(1999) meneliti komunitas-komunitas virtual menggunakan
metode etnografi yang diadaptasinya
untuk riset internet. Ward berupaya mengeksplorasi makna bersama yang dimiliki
oleh para partisipan website. Seperti dalam
metode
etnografi, ia menerapkan metode observasi berperanserta,
wawancara, dan diskusi
kelompok terarah (focus group), tetap dengan
mengingat fakta bahwa peneliti media online tidak memiliki kontrol terhadap proses wawancara sebesar wawancara langsung. Dalam wawancara online, terdapat distribusi kekuasaan yang lebih merata. Para partisipan, seperti halnya peneliti, mengajukan pertanyaan-pertanyaan.
Sementara itu, penafsiran akhir data tetap terbuka bagi negosiasi ulang antara peneliti dan yang diteliti.Ward (1999)
berpendapat bahwa komunitas seperti itu tidak perlu harus didasarkan pada kesamaan lokasi geografis (misalnya kantor atau daerah pinggir kota). Kesamaan minat dapat mengganti kesamaan lokasi geografis. Pengamatan
berperanserta
yang dilakukan Ward terhadap interaksi antara dua media buletin perempuan menunjukkan bahwa para partisipan merasakan
pemahaman yang sama, yang ditransfer dari dunia virtual ke dalam wilayah fisik mereka. Temuannya menyipulkan : Situs Cybergirl
merupakan tempat yang sangat positif bagi perempuan untuk mengeksplorasi internet dan
ambil bagian dalam penciptaan sebuah komunitas.
Dalam konteks kajian Komunikasi Antar Budaya (KAB), khususnya dalam kawasan komunikasi silang budaya, etnografi komunikasi bermanfaat untuk melihat variabilitas
komunikasi silang budaya. Budaya mencakup keseluruhan sistem komunikasi yang terdiri dari perilaku manusia baik secara verbal maupun nonverbal. Pemahaman akan perbedaan budaya dalam kerangka komunikasi silang budaya dari para partisipan komunikasi
menjadi aspek signifikan dalam kajian KAB. Komunikasi silang budaya merupakan kawasan kajian KAB yang mempelajari bagaimana
komunikasi berbeda secara silang budaya (across culture). Sebagai bagian integral dari KAB, pemahaman akan komunikasi
silang budaya akan dapat mengantarkan pada
pemahaman
terhadap aspek kontak dan koKOMUNIKASI MASSA Volume 5 Nomor 1, 2009 munikasi, dimana kedua aspek tersebut merupakan thema sentral
KAB.(Rejeki, 2004).
Gudykunst (2002) mengemukakan komunikasi silang budaya dengan analisis emik
diperlukan
untuk mempelajari KAB. Pendekatan
emik, sebaiknya membangun kerangka teoritik dari bawah (grounded), dalam konteks (lokus) budaya tertentu, dan karena itu sifatnya sangat spesifik, eksklusif, kasuistis,
non generalisasi. Dengan pendekatan inilah, seorang peneliti malah didorong untuk membebaskan diri dari berbagai teori dan penjelasan ilmiah yang berkenaan dengan fokus penelitiaannya. Analisis emik dalam kaitannya dengan penelitian budaya merupakan
suatu upaya menguraikan aspek-aspek budaya dengan bertolak dari sudut pandang para anggota komunitas pemilik budaya (the natives point of view), namun tanpa harus mengabaikan analisis ilmiah peneliti, sedangkan
prinsip nonjudgmental (orientasi yang tidak menilai) sesungguhnya merupakan prinsip tidak menyatakan pendapat atas realitas
yang diamati. Prinsip ini mendorong peneliti untuk melakukan eksplorasi tanpa menilai. Oleh karena itu pemahaman (verstehen) peneliti terhadap suatu budaya pada akhirnya merupakan pemahaman budaya
seperti yang dipahami oleh para anggota budaya. Dalam kaitannya dengan pengumpulan data, maka analisis emik pun memerlukan
teknik
pengumpulan data
yang bersifat emik. Baik pengumpulan data maupun analisisnya yang bersifat emik. Apabila seorang peneliti akan menguraikan
perilaku manusia, ada 2 (dua) titik tolak
yaitu pendekatan etik dan emik yang dianut dan bermanfaat
menurut situasi tertentu. Jika peneliti menggunakan pendekatan emik merupakan esensi yang sahih untuk satu bahasa
atau satu kebudayaan pada satu waktu tertentu. Pendekatan emik merupakan usaha untuk mengungkapkan dan menguraikan pola suatu bahasa atau kebudayaan tertentu dari cara unsur-unsur bahasa atau kebudayaan itu berkaitan satu dengan lainnya dalam melakukan
fungsi sesuai dengan pola tersebut. Pendekatan
emik tidak berusaha menguraikan segi generalisasi ke dalam klasifikasi yang diperoleh sebelum studi suatu kebudayaan dilakukan.
Ciri-ciri pendekatan emik adalah struktural yang berarti peneliti berasumsi bahwa perilaku manusia terpola dalam sistem 85
pola itu sendiri. Satuan-satuan dari sistem terpola tersebut bersama-sama dengan satuan-satuan
kelompok struktur itu membentuk masyarakat tertentu melalui aksi dan reaksi para anggotanya. Jadi, bukan terdiri dari tindakan
analis untuk mencapai konstruk yang dapat diterapkan pada data itu. Dengan demikian
tujuan pendekatan emik ialah mengungkapkan
dan menguraikan sistem perilaku bersama satuan strukturnya dan kelompok struktur satuan-satuan itu. Tetapi pada kenyataannya, peneliti
kualitatif cenderung menggunakan gabungan kedua pendekatan etik dan emik. Pendekatan etik, peneliti mencermati teori yang relevan dengan fokus penelitiaannya, dan membuat sintesis (menyatukan) berbagai teori itu menjadi
kerangka teori. Moleong (1994) mengemukakan
ada empat langkah dasar dalam pendekatan etik, yaitu peneliti: (1) mengelompokkan
secara sistematis seluruh data yang dapat diperbandingkan, seluruh kebudayaan dunia, ke dalam sistem tunggal; (2) menyediakan
seperangkat kriteria untuk mengklasifikasikan
setiap unsur data; (3) mengorganisasikan
data yang telah diklasifikasikan
ke dalam tipe-tipe; (4) mempelajari, menemukan,
dan menguraikan setiap data baru yang ditemukan ke dalam kerangka sistem yang telah dibuatnya sebelum mempelajari kebudayaan dari data yang ditemukan. Peneliti kualitatif mulanya membangun kerangka
teoritiknya dengan pendekatan etik. Kerangka ini bersifat tentatif. Kemudian, ketika ia melakukan pengumpulan data lapangan
membangun kerangka teoritiknya dengan
pendekatan emik. Dengan demikian, peneliti kualitatif tidak sepenuhnya bebas dari
teori-teori lain, tetapi memanfaatkan teoriteori
yang relevan sebagai pemandu untuk membangun teorinya sendiri.
Kesimpulan Penelitian dengan menggunakan metode etnografi
merupakan kajian terhadap cara
hidup suatu kelompok (budaya), komunitas tertentu atau organisasi. Waktu yang digunakan
relatif cukup lama. Pengumpulan data melalui etnografi atau kerja lapangan (fieldwork), berlangsung terutama melalui observasi terencana maupun spontan, wawancara,
analisis dokumen, maupun hasil riset itu sendiri, merupakan deskripsi tertulis 86 yang padat bersifat analitis dan teoritis mengenai
suatu kebudayaan. Teori muncul dari perpaduan antara perspektif emik (orang dalam) dan etik (kerangka konseptual ilmiah
yang dikembangkan dari bacaan dan riset primer)
DAFTAR PUSTAKA
Birowo, M. Antonius (2004). Meode Penelitian Komunikasi: Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Gitanyali. Bungin, Burhan (2003). Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis Ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Daymon, Holloway (2008). Metode-Metode Riset Kualitatif dalam Public Relations & Marketing Communications. Yogyakarta: Benteng. Irawan, Prasetya (2006). Penelitian Kualitatif & Kuantitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial.
Depok: FISIP UI. Maryaeni (2005). Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta: Bumi Aksara Moleong, Lexy J. (2001). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya Mulyana, Deddy (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya. Poerwandari, Kristi (2001). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta: LPSP3 UI Salim, Agus (2006). Teori & Paradigma Penelitian Sosial: Buku Sumber untuk Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Tiara Wacana. Sugiyono (2005). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: ALFABETA. Suyanto&Sutinah (2006). Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta: Kencana.
* Penulis adalah Peneliti Bidang Studi Komunikasi dan Media pada BPPKI KOMUNIKASI MASSA Volume 5 Nomor 1, 2009
Jakarta, Badan Litbang SDM Depkominfo RI. KOMUNIKASI MASSA Volume 5 Nomor 1, 2009 87