Typus Abdominalis

23
MAKALAH MIKROBIOLOGI DAN VIROLOGI Salmonella thyphi Penyebab Penyakit Demam Tifoid (TYPHUS ABDOMINALIS) Oleh: Nama : Anggy Anggraeni Wahyudhie Nim : 0808505002 JURUSAN FARMASI

Transcript of Typus Abdominalis

Page 1: Typus Abdominalis

MAKALAH MIKROBIOLOGI DAN VIROLOGI

Salmonella thyphi Penyebab Penyakit Demam Tifoid

(TYPHUS ABDOMINALIS)

Oleh:

Nama : Anggy Anggraeni Wahyudhie

Nim : 0808505002

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS UDAYANA

2010

Page 2: Typus Abdominalis

Salmonella thyphi Penyebab Penyakit Demam Tifoid

(Typhus Abdominalis)

I. Pendahuluan

Bakteri atau eubakteria temasuk subdivisi utama dari Prokariota. Eubakteria terdiri dari

bakteri-bakteri yang lebih umum, seperti kebanyakan orang telah mengenalnya. Selain

eubakteria terdapat juga archaebakteria, namun tidak mendapat perhatian yang besar dari para

peneliti disebabkan sangat sulit dipelajari di laboratorium karena lingkungan hidup

archaebakteria sangat ekstrim, sebagai contoh archaebakteria akan mati jika ada oksigen, hanya

dapat tumbuh pada temperatur tinggi (diatas suhu titik didih air), kadar garamnya tinggi, pH

rendah dan melangsungkan reaksi metabolisme yang tidak biasa, misalnya pembentukan

methane (Jawetz et al., 2005).

Kelompok besar bakteri dibagi ke dalam empat kategori utama berdasarkan pada dinding

selnya, yaitu:

1. Eubakteria Gram Negatif yang Memiliki Dinding Sel

Bakteri yang memiliki selubung sel yang kompleks (tipa gram-negatif) yang terdiri dari

membran luar, membran dalam, lapisan peptidoglikan tipis (yang terdiri dari asam muramik

dan terdapat hampir pada semua organisme, hanya beberapa organisme saja yang telah

kehilangan bagian dari selubung sel ini) dan membran sitoplasma yang merupakan kelompok

yang sangat heterogen. Sel ini mungkin berbentuk bulat, lonjong, batang lurus atau lengkung,

heliks dan filamen (seperti tali); beberapa bentuk ini mungkin berkapsul atau berselubung.

Perkembangbiakan dilakukan dengan pembelahan ganda, tetapi beberapa kelompok

berkembangbiak dengan cara tunas. Untuk badan buah dan myxospore dibentuk oleh

myxobacteria. Pergerakannya dapat disebabkan oleh flagella atau dengan bergerak

bebas/terbang. Anggota dari bakteri ini adalah bakteri fototrof atau nonfototrof dan termasuk

spesies aerobik, anaerobik, anaerobik fakultatif dan mikroaerofilik, beberapa anggota

merupakan parasit intraseluler obligat. Bakteri Salmonella termasuk ke dalam spesies

anaerobik fakultatif (Jawetz et al., 2005).

2

Page 3: Typus Abdominalis

2. Eubakteria Gram Positif yang Memiliki Dinding Sel

Bakteri ini memiliki profil dinding sel tipe gram-positif. Sel berbentuk sferis, batang atau

filamen bercabang maupun tidak bercabang. Reproduksi pada umumnya dengan pembelahan

biner. Beberapa bakteri dari kategori ini memproduksi spora sebagai bentuk dormannya

(endospora). Organisme ini umumnya khemosintesis heterotrof yang termasuk di dalamnya

adalah spesies aerobik, anaerobik dan anaerobik fakultatif. Kelompok dalam kategori ini

meliputi bakteri asporogeneous dan sporogeneous sederhana yang strukturnya seperti

actinomycetes kompleks (Jawetz et al., 2005).

3. Eubakteria Tanpa Dinding Sel

Mikroorganisme yang tidak memiliki dinding sel sering disebut mikoplasma, termasuk

dalam kelas mollicutes dan tidak dapat mensintesis prekusor peptidoglikan. Mikoplasma

diselubungi dengan sebuah unit membran, yaitu membran plasma. Enam genus telah ditandai

sebagai mikoplasma berdasarkan habitatnya dan kebutuhan kolesterolnya, bagaimanapun

hanya dua genus yang mengandung patogen binatang. Mikoplasma adalah organisme yang

bervariasi ukurannya, dari seukuran vesikel yang sangat kecil (0,2 µm) sehingga dapat lolos

filtrasi. Reproduksi dengan tunas, fragmentasi atau pembelahan biner, tunggal ataupun

kombinasi. Kebanyakan spesies membutuhkan medium kompleks untuk pertumbuhan dan

menyebar membentuk koloni pada medium padat. Karateristik unik dari mollicutes adalah

bahwa beberapa spesies membutuhkan kolesterol untuk pertumbuhannya.Kolesterol tanpa ester

ini merupakan komponen unik pada membran bakteri yang membutuhkan sterol dan tidak

membutuhkan sterol bila berada pada medium (Jawetz et al., 2005).

4. Archaebakteria

Organisme prokariota ini merupakan penghuni yang mendominasi daerah teristerial

ekstrim dan lingkungan aquatik (kadar garam tinggi, temperatur tinggi, anaerobik). Beberapa

organisme bersimbiosis pada saluran pencernaan binatang. Archaebakteria terdiri atas aerobik,

anaerobik, aerobik fakultatif yang merupakan khemolitotrof, heterotrof, atau heterotrof

fakultatif. Beberapa spesies merupakan mesofil sedangkan yang lain mempu tumbuh pada

temperatur di atas 1000 C. Archaebakteria hipertermofil ini beradaptasi sangat unik untuk dapat

tumbuh dan bereproduksi pada temperatur tinggi. Hampir semua enzim yang diisolasi dari

3

Page 4: Typus Abdominalis

organisme ini secara intrinsik lebih bersifat termostabil daripada yang diambil dari organisme

mesofil. Beberapa enzim termostabil ini misalnya DNA polimerase yang merupakan

komponen penting dalam metode peningkatan DNA, seperti polymerase chain reaction

(PCR). Archaebakteria dapat dibedakan dari eubakteria dengan tidak adanya dinding sel

peptidoglikan mereka, posisi dari isoprenoid dieter atau digliserol tetrameter lipid dan

karateristik susunan RNA ribosom. Namun archaebakteria juga memiliki kesamaa dengan

eukariota seperti sel yang berbentuk sferis, pipih atau batang, bentuk uniselular dan

multiselular pada filamen atau agregat yang ditemukan. Perbanyakan archaebakteria terjadi

dengan pembelahan biner, tunas, penggabungan, fragmentasi atau dengan mekanisme lain yang

belum diketahui (Jawetz et al., 2005).

Pada makalah ini akan lebih difokuskan untuk menjelaskan eubakteria gram negatif yang

memiliki dinding sel yaitu spesies Salmonella thyphi yang dapat menyebabkan penyakit demam

tifoid (typhus abdominalis).

II. Bakteri Penyebab Penyakit

Salmonella merupakan bakteri batang gram negatif yang bersifat motil, tidak membentuk

spora, tidak berkapsul, mempunyai flagel, fakultatif anaerob, ukuran 2 - 4 mikrometer x 0.5 -

0.8 mikrometer dan bergerak, pada biakan agar darah koloninya besar bergaris tengah 2 sampai

3 millimeter, bulat, agak cembung, jernih, licin dan tidak menyebabkan hemolisis dan bersifat

patogen baik pada manusia maupun hewan (Rasmilah, 2009). Kebanyakan strain meragikan

glukosa, manosa dan manitol untuk menghasilkan asam dan gas, tetapi tidak meragikan laktosa

dan sukrosa. Organisme salmonella tumbuh secara aerob dan mampu tumbuh secara anaerob

fakultatif. pada suhu 15 - 41o C (suhu pertumbuhan optimum 37o C) dan pH pertumbuhan 6 – 8)

4

Page 5: Typus Abdominalis

(Rasmilah, 2009). Kebanyakan spesies resisten terhadap agen fisik namun dapat dibunuh dengan

pemanasan sampai 54,4º C (130º F) selama 1 jam atau 60 º C (140 º F) selama 15 menit.

Salmonella tetap dapat hidup pada suhu ruang dan suhu yang rendah selama beberapa hari dan

dapat bertahan hidup selama berminggu-minggu dalam sampah, bahan makanan kering, dan

tinja. Salmonella memiliki antigen somatik O dan antigen flagella HH. Antigen O adalah

komponen lipopolisakarida dinding sel yang stabil terhadap panas sedangkan antigen H adalah

protein labil panas. Mempunyai makromolekuler lipopolisakarida kompleks yang membentuk

lapisan luar dari dinding sel dinamakan endotoksin (Anonim a, 2010). Salmonella sp adalah

indikator keamanan pangan. Oleh karena standar itu, air minum maupun makanan siap santap

mensyaratkan tidak ada Salmonella dalam air minum atau 25 gram sampel makanan (Anonim b,

2010).

III. Penyakit Demam Tifoid

Ada tiga spesies utama Salmonella sp yaitu Salmonella typhi, Salmonella choleraesuis

dan Salmonella enteristidis. Deman tifoid atau typhus abdominalis disebabkan oleh Salmonella

typhi, sedangkan demam paratifoid disebabkan oleh Salmonella enteristidis (Tambayong, 2000).

Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh kuman Salmonella typhi

dengan masa tunas 6-14 hari. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi dalam sel

fagositik mononuklear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah yang mencakup

seluruh tubuh dan menyerang pada usus halus (Anonim c, 2010).

Demam tifoid atau tifus ini merupakan penyakit endemis di Indonesia dengan angka

kejadian yang tertinggi di dunia, antara 358-810/100.000 penduduk per tahun (Rasmilah, 2009).

Menurut hasil SKRT tahun 1986 bahwa 3 % dari seluruh kematian (50.000 kematian)

disebabkan oleh demam tifoid. Tingkat kematian demam tifoid ini mencapai 10%, cukup tinggi

jika dibandingkan dengan infeksi yang ditimbulkan oleh bakteri Salmonella lainnya yang hanya

mencapai 1%. Namun, infeksi yang ditimbulkan Salmonella dublin dapat memiliki tingkat

kematian hingga 15% jika septicemia (tercemarnya darah oleh bakteri) pada manusia yang

berusia lanjut (Anonim d, 2009).

5

Page 6: Typus Abdominalis

Penyakit ini meskipun sudah dinyatakan sembuh, namun penderita belum dikatakan

sembuh total karena mereka masih dapat menularkan penyakitnya kepada orang lain (bersifat

carrier). Penyakit ini sering dialami anak-anak hingga dewasa muda. Pada perempuan

kemungkinan untuk menjadi carrier 3 kali lebih besar dibandingkan pada laki-laki. Penularannya

melalui makanan yang tidak higienis dan sanitasi yang rendah. Makanan dan minuman yang

tercemar oleh kotoran atau tinja dari pengidap tifoid sangat besar menularkan kuman itu ke orang

yang memiliki daya tahan tubuh tidak baik (Anonim e, 2010).

IV. Invansi Bakteri

Penularan salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal dengan 5

F yaitu Food (makanan), Fingers (jari tangan / kuku), Fomitus (muntah), Fly (lalat), dan melalui

Feses. Feses dan muntah pada penderita typhoid dapat menularkan kuman salmonella thypi

kepada orang lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui perantara lalat (kaki-kaki lalat),

dimana lalat akan hinggap dimakanan yang akan dimakan oleh orang yang sehat. Apabila orang

tersebut kurang memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan makanan yang

tercemar kuman salmonella thypi masuk ke tubuh orang yang sehat melalui mulut. Kemudian

kuman masuk ke dalam lambung, sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung dan

sebagian lagi masuk ke usus halus bagian distal dan mencapai jaringan limpoid. Di dalam

jaringan limpoid ini kuman berkembang biak, lalu masuk ke aliran darah dan mencapai sel-sel

retikuloendotelial. Sel-sel retikuloendotelial ini kemudian melepaskan kuman ke dalam sirkulasi

darah dan menimbulkan bakterimia, kuman selanjutnya masuk limpa, usus halus dan kandung

empedu (Anonim f, 2009). Hal ini akan diikuti oleh terjadinya peradangan pada usus halus dan

usus besar. Pada kasus yang berat, yang bisa berakibat fatal, jaringan yang terkena bisa

mengalami perdarahan dan perforasi (perlubangan) (Anonim g, 2010).

6

Page 7: Typus Abdominalis

V. Gejala Klinis (Reaksi Tubuh)

Pada demam tifoid ini, ada beberapa masa ketika bakteri masuk ke dalam tubuh

penderita, yaitu:

1. Masa Inkubasi

Masa inkubasi adalah masa disaat pertama kali bakteri masuk ke dalam tubuh dan mengalami

masa dormansi sementara. Masa inkubasi dapat berlangsung 7-21 hari, walaupun pada

umumnya adalah 10-12 hari. Pada awal penyakit keluhan dan gejala penyakit tidak khas,

berupa: anorexia (tidak nafsu makan), rasa malas, sakit kepala bagian depan, lidah kotor, nyeri

otot, kadang disertai batuk dan gangguan perut (perut kram dan sakit) (Rasmilah, 2009).

2. Masa Minggu Pertama (awal terinfeksi)

Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu pada awalnya sama dengan

penyakit infeksi akut yang lain, seperti demam tinggi yang berpanjangan yaitu setinggi 39ºc

hingga 40ºc, sakit kepala, pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual, muntah, batuk, dengan nadi

antara 80-100 kali permenit, denyut lemah, pernapasan semakin cepat dengan gambaran

bronkitis kataral, perut kembung dan merasa tak enak,sedangkan diare dan sembelit silih

berganti (Anonim h, 2009).

Pada akhir minggu pertama,diare lebih sering terjadi. Khas lidah pada penderita adalah kotor di

tengah, tepi dan ujung merah serta bergetar atau tremor. Episteksis dapat dialami oleh

penderita sedangkan tenggorokan terasa kering dan beradang. Jika penderita ke dokter pada

periode tersebut, akan menemukan demam dengan gejala-gejala di atas yang bisa saja terjadi

pada penyakit-penyakit lain juga (Anonim h, 2009).

Ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada abdomen disalah satu

sisi dan tidak merata, bercak-bercak ros (roseola) berlangsung 3-5 hari, kemudian hilang

dengan sempurna. Roseola terjadi terutama pada penderita golongan kulit putih yaitu berupa

makula merah tua ukuran 2-4 mm, berkelompok, timbul paling sering pada kulit perut, lengan

atas atau dada bagian bawah, kelihatan memucat bila ditekan. Pada infeksi yang berat, purpura

7

Page 8: Typus Abdominalis

kulit yang difus dapat dijumpai. Limpa menjadi teraba dan abdomen mengalami distensi

(Anonim h, 2009).

3. Masa Minggu Kedua

Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, yang biasanya

menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam hari. Karena itu, pada

minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan tinggi (demam). Suhu badan

yang tinggi, dengan penurunan sedikit pada pagi hari berlangsung. Terjadi perlambatan relatif

nadi penderita. Yang semestinya nadi meningkat bersama dengan peningkatan suhu, saat ini

relatif nadi lebih lambat dibandingkan peningkatan suhu tubuh (Anonim h, 2009).

Gejala toksemia (ketika kuman sudah masuhk aliran darah) semakin berat yang ditandai

dengan keadaan penderita yang mengalami delirium. Gangguan pendengaran umumnya

terjadi. Lidah tampak kering,merah mengkilat. Nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah

menurun, sedangkan diare menjadi lebih sering yang kadang-kadang berwarna gelap akibat

terjadi perdarahan. Pembesaran hati dan limpa. Perut kembung dan sering berbunyi. Gangguan

kesadaran. Mengantuk terus menerus, mulai kacau jika berkomunikasi dan lain-lain

(Anonim h, 2009).

4. Masa Minggu Ketiga

Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir minggu. Hal itu jika terjadi

tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Bila keadaan membaik, gejala-gejala akan berkurang

dan temperatur mulai turun. Meskipun demikian justru pada saat ini komplikasi perdarahan dan

perforasi cenderung untuk terjadi, akibat lepasnya kerak dari ulkus. Sebaliknya jika keadaan

makin memburuk, dimana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa

delirium atau stupor,otot-otot bergerak terus, inkontinensia alvi dan inkontinensia urin

(Anonim h, 2009).

Meteorisme dan timpani masih terjadi, juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti dengan

nyeri perut. Penderita kemudian mengalami kolaps. Jika denyut nadi sangat meningkat disertai

oleh peritonitis lokal maupun umum, maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus

8

Page 9: Typus Abdominalis

sedangkan keringat dingin,gelisah,sukar bernapas dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya

memberi gambaran adanya perdarahan. Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab

umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga (Anonim h, 2009).

5. Masa Minggu Keempat

Merupakan stadium penyembuhan meskipun pada awal minggu ini dapat dijumpai adanya

pneumonia lobar atau tromboflebitis vena femoralis. Pada mereka yang mendapatkan infeksi

ringan dengan demikian juga hanya menghasilkan kekebalan yang lemah,kekambuhan dapat

terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendek.Kekambuhan dapat lebih ringan dari

serangan primer tetapi dapat menimbulkan gejala lebih berat daripada infeksi primer

tersebut.Sepuluh persen dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya

relaps (kekambuhan) (Anonim h, 2009).

VI. Diagnosa Penyakit

Pemeriksaan Laboratorium :

a.Uji Widal

Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang

spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien dengan typhoid juga terdapat

pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah

suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini

adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita

typhoid. Akibat infeksi oleh salmonella thypi, klien membuat antibodi atau aglutinin yaitu :

1. Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh kuman).

2. Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel kuman).

3. Aglutinin Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman).

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk

diagnosa, makin tinggi titernya makin besar klien menderita typhoid (Anonim f, 2009).

9

Page 10: Typus Abdominalis

b.Pemeriksaan SGOT DAN SGPT

SGOT dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat kembali normal

setelah sembuhnya typhoid (Anonim f, 2009).

VII. Pengobatan

1. Perawatan Umum

Pasien demam tifoid perlu dirawat dirumah sakit untuk isolasi, observasi dan pengobatan.

Paasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih

selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi perdarahan

usus atau perforasi usus. Mobilisasi pesien harus dilakukan secara bertahap,sesuai dengan

pulihnya kekuatan pasien. Pasien dengan kesadaran menurun, posisi tubuhnya harus diubah-

ubah pada waktu-waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan

dekubitus (Anonim h, 2009).

Defekasi dan buang air kecil harus diperhatikan karena kadang-kadang terjadi obstipasi dan

retensi air kemih. Pengobatan simtomik diberikan untuk menekan gejala-gejala simtomatik

yang dijumpai seperti demam, diare, sembelit, mual, muntah, dan meteorismus. Sembelit bila

lebih dari 3 hari perlu dibantu dengan paraffin atau lavase dengan glistering. Obat bentuk

laksan ataupun enema tidak dianjurkan karena dapat memberikan akibat perdarahan maupun

perforasi intestinal (Anonim h, 2009).

Pengobatan suportif dimaksudkan untuk memperbaiki keadaan penderita, misalnya pemberian

cairan, elektrolit, bila terjadi gangguan keseimbangan cairan, vitamin, dan mineral yang

dibutuhkan oleh tubuh dan kortikosteroid untuk mempercepat penurunan demam (Anonim h,

2009).

2. Diet

Di masa lampau, pasien demam tifoid diberi bubur saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya

diberi nasi. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini,yaitu nasi

dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan

aman pada pasien demam tifoid (Anonim h, 2009).

10

Page 11: Typus Abdominalis

3. Obat-obat antimikroba yang sering digunakan adalah:

A. Kloramfenikol

Kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama pada pasien demam tifoid.

Dosis untuk orang dewasa adalah 4 kali 500 mg perhari oral atau intravena,sampai 7 hari

bebas demam. Penyuntikan kloramfenikol siuksinat intramuskuler tidak dianjurkan

karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri.

Dengan kloramfenikol, demam pada demam tifoid dapat turun rata-rata 5 hari (Anonim h,

2009).

B. Tiamfenikol

Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid sama dengan kloramfenikol.

Komplikasi hematologis pada penggunaan tiamfenikol lebih jarang daripada

kloramfenikol. Dengan penggunaan tiamfenikol demam pada demam tiofoid dapat turun

rata-rata 5-6 hari (Anonim h, 2009).

C. Ko-trimoksazol (Kombinasi Trimetoprim dan Sulfametoksazol)

Efektivitas ko-trimoksazol kurang lebih sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk

orang dewasa, 2 kali 2 tablet sehari, digunakan sampai 7 hari bebas demam (1 tablet

mengandung 80 mg trimetoprim dan 400 mg sulfametoksazol). Dengan ko-trimoksazol

demam rata-rata turun setelah 5-6 hari (Anonim h, 2009).

D. Ampislin dan Amoksisilin

Dalam hal kemampuan menurunkan demam, efektivitas ampisilin dan amoksisilin

lebih kecil dibandingkan dengan kloramfenikol. Indikasi mutlak penggunannnya adalah

pasien demam tifoid dengan leukopenia. Dosis yang dianjurkan berkisar antara 75-150

mg/kgBB sehari, digunakan sampai 7 hari bebas demam. Dengan Amoksisilin dan

Ampisilin, demam rata-rata turun 7-9 hari (Anonim h, 2009).

11

Page 12: Typus Abdominalis

E. Sefalosporin generasi ketiga

Beberapa uji klinis menunjukkan bahwa sefalosporin generasi ketiga antara lain

Sefoperazon,seftriakson, dan sefotaksim efektif untuk demam tifoid, tetapi dosis dan

lama pemberian yang optimal belum diketahui dengan pasti (Anonim h, 2009).

F. Fluorokinolon

Fluorokinolon efektif untuk demam tifoid tetapi dosis dan lama pemberian belum

diketahui dengan pasti (Anonim h, 2009).

G. Furazolidon (Anonim h, 2009)

VIII. Komplikasi

Komplikasi demam tifoid dapat dibagi di dalam :

1. Komplikasi intestinal

1. Perdarahan usus

2. Perforasi usus

3. Ileus paralitik

2. Komplikasi ekstraintetstinal

1. Komplikasi kardiovaskular: kegagalan sirkulasi perifer (renjatan/sepsis),

miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.

2. Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia dan atau koagulasi

intravaskular diseminata dan sindrom uremia hemoltilik.

3. Komplikasi paru: penuomonia, empiema dan peluritis.

12

Page 13: Typus Abdominalis

4. Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolelitiasis.

5. Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis dan perinefritis.

6. Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis dan artritis.

7. Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, mengingismus, meningitis, polineuritis

perifer, sindrim Guillain-Barre, psikosis dan sindrom katatonia.

Pada anak-anak dengan demam paratifoid, komplikasi lebih jarang terjadi. Komplikasi lebih

sering terjadi pada keadaan toksemia berat dan kelemahan umum, bila perawatan pasien

kurang sempurna (Anonim a, 2010).

IX. Pencegahan

Pencegahan demam tifoid diupayakan melalui berbagai cara: umum dan

khusus/imunisasi. Termasuk cara umum antara lain adalah peningkatan higiene dan sanitasi,

karena perbaikan higiene dan sanitasi saja dapat menurunkan insidensi demam tifoid.

(penyediaan air bersih, pembuangan dan pengelolaan sampah). Menjaga kebersihan pribadi dan

menjaga apa yang masuk mulut (diminum atau dimakan) tidak tercemar Salmonella typhi.

Pemutusan rantai transmisi juga penting yaitu pengawasan terhadap penjual (keliling)

minuman/makanan (Anonim a, 2010).

Ada dua vaksin untuk mencegah demam tifoid. Yang pertama adalah vaksin yang

diinaktivasi (kuman yang mati) yang diberikan secara injeksi. Yang kedua adalah vaksin yang

dilemahkan (attenuated) yang diberikan secara oral. Pemberian vaksin tifoid secara rutin tidak

direkomendasikan, vaksin tifoid hanta direkomendasikan untuk pelancong yang berkunjung ke

tempat-tempat yang demam tifoid sering terjadi, orang yang kontak dengan penderita karier

tifoid dan pekerja laboratorium (Anonim a, 2010).

Vaksin tifoid yang diinaktivasi (per injeksi) tidak boleh diberikan kepada anak-anak

kurang dari dua tahun. Satu dosis sudah menyediakan proteksi, oleh karena itu haruslah

diberikan sekurang-kurangnya 2 minggu sebelum bepergian supaya memberikan waktu kepada

13

Page 14: Typus Abdominalis

vaksin untuk bekerja. Dosis ulangan diperlukan setiap dua tahun untuk orang-orang yang

memiliki resiko terjangkit (Anonim a, 2010).

Vaksin tifoid yang dilemahkan (per oral) tidak boleh diberikan kepada anak-anak kurang

dari 6 tahun. Empat dosis yang diberikan dua hari secara terpisah diperlukan untuk proteksi.

Dosis terakhir harus diberikan sekurang-kurangnya satu minggu sebelum bepergian supaya

memberikan waktu kepada vaksin untuk bekerja. Dosis ulangan diperlukan setiap 5 tahun untuk

orang-orang yang masih memiliki resiko terjangkit (Anonim a, 2010).

Ada beberapa orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid atau harus menunggu.

Yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid diinaktivasi (per injeksi) adalah orang yang

memiliki reaksi yang berbahaya saat diberi dosis vaksin sebelumnya, maka ia tidak boleh

mendapatkan vaksin dengan dosis lainnya. Orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid

yang dilemahkan (per oral) adalah orang yang mengalami reaksi berbahaya saat diberi vaksin

sebelumnya maka tidak boleh mendapatkan dosis lainnya, orang yang memiliki sistem imunitas

yang lemah maka tidak boleh mendapatkan vaksin ini, mereka hanya boleh mendapatkan vaksin

tifoid yang diinaktifasi, diantara mereka adalah penderita HIV/AIDS atau penyakit lain yang

menyerang sistem imunitas, orang yang sedang mengalami pengobatan dengan obat-obatan yang

mempengaruhi sistem imunitas tubuh semisal steroid selama 2 minggu atau lebih, penderita

kanker dan orang yang mendapatkan perawatan kanker dengan sinar X atau obat-obatan. Vaksin

tifoid oral tidak boleh diberikan dalam waktu 24 jam bersamaan dengan pemberian antibiotik

(Anonim a, 2010).

Suatu vaksin, sebagaimana obat-obatan lainnya, bisa menyebabkan problem serius seperti

reaksi alergi yang parah. Resiko suatu vaksin yang menyebabkan bahaya serius atau kematian

sangatlah jarang terjadi. Problem serius dari kedua jenis vaksin tifoid sangatlah jarang. Pada

vaksin tifoid yang diinaktivasi, reaksi ringan yang dapat terjadi adalah : demam (sekitar 1 orang

per 100), sakit kepada (sekitar 3 orang per 100) kemerahan atau pembengkakan pada lokasi

injeksi (sekitar 7 orang per 100). Pada vaksin tifoid yang dilemahkan, reaksi ringan yang dapat

terjadi adalah demam atau sakit kepada (5 orang per 100), perut tidak enak, mual, muntah-

muntah atau ruam-ruam (jarang terjadi) (Anonim a, 2010).

14

Page 15: Typus Abdominalis

DAFTAR PUSTAKA

Anonim a. 2010. Demam Tifoid

Available at : http:// UmmuSalmaal_Atsariyah.html/

Opened at : 22 Maret 2010

Anonim b. 2010. Salmonella

Available at : http://one.indoskripsi.com/

Opened at : 22 Maret 2010

Anonim c. 2010. Demam Tifoid

Available at : http://forum.detik.com/

Opened at : 23 Maret 2010

Anonim d. 2009. Analisa Bakteri Salmonella

Available at : http://uptlaboratkesehatankabupatenwonogiri.blogspot.com/

Opened at : 23 Maret 2010

Anonim e. 2010. Daerah Epidemik Thypus

Available at : http://suaramerdeka.com/

Opened at : 23 Maret 2010

Anonim f. 2009. Asuhan Keperawatan dengan Thypoid

Available at : http://kumpulan-asuhan-keperawatan.blogspot.com/

Opened at : 25 Maret 2010

Anonim g. 2010. Demam Thypoid

Available at : http://medicastore.com/

15

Page 16: Typus Abdominalis

Opened at : 22 Maret 2010

Anonim h. 2009. Gejala Demam Tifoid

Available at : http:// acehforum.or.id/

Opened at : 29 Maret 2010

Jawetz, Melnick, Adelberg’s. 2005. Mikrobiologi Kedokteran. Salemba Medika. Jakarta

Rasmilah. 2009. Thypus

Available at : http://library.usu.ac.id/fkm-rasmaliah5.pdf/

Opened at : 28 Maret 2010

Tambayong, Jan. 2000. Mikrobiologi untuk Keperawatan. Widya Medika. Jakarta

16