Tumpek Wayang Dan Tatwa )
-
Upload
nikomangdhanagitaiswari -
Category
Documents
-
view
225 -
download
8
description
Transcript of Tumpek Wayang Dan Tatwa )
LAPORAN BULANANPELAKSANAAN PENYULUHAN AGAMA HINDU
TANGGAL/ BULAN : 15 FEBRUARI 2014 .
I . DATA PENYULUH AGAMA 1. Nama lengkap : Dra.Ni Ketut Miasih 2. Tempat / Tgl Lahir : Singapadu , Tahun 1963 3. Jabatan Penyuluh : Penyuluh Non PNS 4. Unit Kerja : Kanwil Kemenag Prov. Nusa Tenggara Barat
II. PELAKSANAAN BIMBINGAN DAN PENYULUHAN A. METODE
a. Ceramah. b.Tanya jawab. c.Diskusi. d.Bermain Peran ( Drama ).B. ALAT BANTU
a. Papan Tulis. b.Flit chart. c.OHP. d.Tape Recorder. e.Sound Sistem. f. Buku RefrensiC. MATERI BIMBINGAN DAN PENYULUHAN
a. Topik / Thema : Purnama dan tumpek landepb. Butir – Butir Bahasan : Pengertian dan makna Purnama dan TumpekLandep
III . PESERTA a. Laki –laki : 20 Orang b. Perempuan : 15 Orang .
IV. PENYELENGGARAN A. Waktu : 17.30 s/d . 19.00 wita B. Tempat : Banjar Dharma Bhakti BTN. Pagesangan Indah Mataram.C. Pelaksana : Pimpinan Banjar Dharma Bhakti.
V . EVALUASI a. Materi : Aktual .b. Peserta : Sangat Responsif .c. Pelaksanaan : Sangat Positif .
VI. MASALAH YANG DITEMUKAN : Kurangnya pemahaman makna tumpek landep dan purnama dikalangan Umat Hindu.
VII. ALTERNATIF PEMECAHAN : Mantapkan Pembinaan dan Penyuluhan serta sosialisasi makna Tumpek landep dan Purnama
Mengetahui,An. KepalaKepala Bidang Bimas Hindu Penyuluh Agama Hindu
I Wayan Widra, S.Ag, M.Pd.H Dra. Ni Ketut MiasihNip. 19651122199203 1 003
LAPORAN BULANANPELAKSANAAN PENYULUHAN AGAMA HINDU
TANGGAL/ BULAN : 25 FEBRUARI 2014 .
I . DATA PENYULUH AGAMA 1. Nama lengkap : Dra.Ni Ketut Miasih 2. Tempat / Tgl Lahir : Singapadu , Tahun 1963 3. Jabatan Penyuluh : Penyuluh Non PNS 4. Unit Kerja : Kanwil Kemenag Prov. Nusa Tenggara Barat
II. PELAKSANAAN BIMBINGAN DAN PENYULUHAN A. METODE
a. Ceramah. b.Tanya jawab. c.Diskusi. d.Bermain Peran ( Drama ).B. ALAT BANTU
a.Papan Tulis. b.Flit chart. c.OHP. d.Tape Recorder. e.Sound Sistem. f. Buku RefrensiC. MATERI BIMBINGAN DAN PENYULUHAN
a. Topik / Thema : Memahami Tatwa Dalam Yadnya di Era Modernb. Butir – Butir Bahasan : Pengertian dan makna Tatwa dalam yadya.
III . PESERTA b. Laki –laki : 25 Orang b. Perempuan : 21 Orang .
IV. PENYELENGGARAN c. Waktu : 17.30 s/d . 18.30 wita d. Tempat : Banjar Wira Bhakti BTN. Pepabri Mataram.e. Pelaksana : Pimpinan Banjar Wira Bhakti.
V . EVALUASI a. Materi : Aktual .b. Peserta : Sangat Responsif .c. Pelaksanaan : Sangat Positif .
VI. MASALAH YANG DITEMUKAN : Kurangnya pemahaman makna tatwa dikalangan Umat Hindu.
VII. ALTERNATIF PEMECAHAN : Mantapkan Pembinaan dan Penyuluhan serta sosialisasi makna Tatwa dalam yadnya..
Mengetahui,An. KepalaKepala Bidang Bimas Hindu Penyuluh Agama Hindu
I Wayan Widra, S.Ag, M.Pd.H Dra. Ni Ketut MiasihNip. 19651122199203 1 003
Makna Purnama dan Tumpek LandepOleh : Ni Ketut Miasih
Hari suci Tumpek Landep yang diperingati setiap enam bulan pawukon memiliki makna
penyucian sarwa sanjata yang menunjang kehidupan manusia. Dalam perkembangannya sarva
sanjata tidak hanya diartikan seperti: tombak, keris, panah, kampak dan lain-lainnya. Akan tetapi
semua peralatan yang menunjang kehidupan manusia termasuk sarana dan prasarana jasa dan
transportasi.
Secara lebih mendalam Tumpek Landep memiliki makna sebagai penyucian dan
peningkatan rohani spiritual diantaranya pikiran dan hati yang suci. Melalui penyucian ini
diharapkan manusia memiliki ketajaman pikiran setajam senjata dan kesucian hati sejernih air
salju, sehingga apa yang dikatakan dan diperbuat berdampak pada kepekaan dan kepedulian
yang tinggi terhadap semua ciptaan Sang Hyang Widhi. Dengan demikian ketajaman dalam
berpikir yang disertai etika dalam berkata dari berbuat harus sesuai dengan ajaran agama Hindu
yaitu Dharma. Tumpek Landep mengajarkan kepada umat manusia agar senantiasa merawat dan
memelihara segala perlengkapan dan sarana yang menunjang kehidupan manusia, agar mampu
menghadapi perkembangan modernisasi yang serba cepat, tepat dan akurat.
Pada era globalisasi seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
informasi, manusia dalam arti dan fungsi yang kecil dituntut mengambil peran berkarya dalam
segala aspek kehidupan baik sebagai pencipta, pemelihara maupun pelebur. Apa yang diciptakan
manusia, dipelihara dan dilebur oleh kekuatan serta kemampuan manusia tetapi sifatnya hanya
terbatas. Karena itu manusia senantiasa mawas diri dan interospeksi diri terhadap berbagai
kelemahan dan keterbatasannya.
Dengan demikian sebagai manusia tidak menjadi sombong dan angkuh bilamana
memiliki kemampuan dan kekuatan yang lebih diantara ciptaan Hyang Widhi. Justru sbagai
manusia lebih menyadari akan hakikat dan jati dirinya guna meningkatkan rohani spiritual
menuju kepada Brahman sang Pencipta. Empu Kuturan menyatakan :
Ikang citta hetu nikang atma pamukti swarga, citta hetu ning atma tibeng naraka, citta hetu
nimittanyan pangdadi tiryak, citta hetunyan pengjanma manusia, citta hetunya
pananggihaken kamoksan mwang kalepasan, nimitanya nihan
Arti :
Pikiranlah yang menyebabkan sang pribadi menikmati sorga, pikiranlah yang menyebabkan sang
pribadi jatuh kedalam neraka, pikiranlah yang menyebabkan menjadi binatang, pikiranlah yang
menyebabkan menjelma menjadi manusia. Pikiranlah yang menyebabkan orang mendapatkan
kamoksan dan kelepasan, sebabnya demikian
Apabila sattwika yang dominan menyebabkan mencapai moksa
Apabila rajah yang dominan menyebabkan neraka,
Apabila tamah yang dominan menyebabkan menjelma menjadi binatang
Apabila sattwam dan rajah yang dominan menyebabkan sorga
Apabila sattwam, rajah dan tamah yang dominan menyebabkan menjelma menjadi manusia
Secara lahiriah senjata memiliki ketajaman pada mata pisau dan ujungnya dan secara rohani
ketajaman senjata dalam diri manusia terletak pada Tri Kaya Parisudha. Karena itu bagian
manusia yang paling tajam adalah pikiran dan mata hati. Kemudian ketika diaplikasikan melalui
mulut maka yang paling tajam adalah lidah dan ketika digunakan melalui perbuatan maka yang
paling tajam adalah tangan dan kaki. Ketajaman itu perlu dikendalikan agar pikiran, mata hati,
lidah, tangan dan kaki dapat berfungsi dengan baik untuk kesejahteraan dan kebahagiaan umat
manusia. Tidak ada saling menyakiti dan tidak ada tindakan kekerasan fisik dan psikis.
Semuanya dapat diharmoniskan keberadaannya masing-masing sehingga tumbuh sikap saling
menghormati dan menghargai satu sama lain.
Tumpek Landep juga mengajarkan untuk merawat dan memelihara segala sarana dan
prasarana yang ada didalam tempat suci (pura, kuil dan candi) seperti senjata Dewata Nawa
Sanga. Karena itu makna piodalan Pura dikaitkan dengan Tumpek Landep sebagai peringatan
berdirinya Pura dan hari penyucian segala sarana dan prasarana perlengkapan upacara agama
hindu termasuk senajata Dewata Nawa Sanga.
Disamping itu hari suci Tumpek Landep jatuhnya bersamaan dengan hari suci Purnama,
maka dikenal dengan istilah piodalan Nadi. Jadi ada tiga peristiwa peringatan hari suci
keagamaan Hindu. Ibarat pepatah : sekali dayung tiga pulau terlampaui, upakaranyapun dalam
tingkatan tertentu sesuai aturan sastra suci. Upakaranya berbeda dibandingkan dengan piodalan
biasa. Melaksanakan persembahyangan dan menghaturkan upakara yajna pada ketiga hari suci
tersebut masing-masing memiliki makna sebagai berikut :
1. Pada hari Piodalan Pura bermakna peringatan berdirinya pura dan meningkatkan
kesucian pura.
2. Pada hari Tumpek Landep bermakna penyucian sarwa senjata yang menunjang
kehidupan manusia
3. Pada hari Purnama bermakna ber ‘Yoga’ nya Hyang Candra, prabawa Hyang Widhi
yang menganugrahkan kedamaian.
Makna hari suci itu sebagai motivasi bagaimana umat manusia bisa menghadirkan vibrasi
kesucian ketiga hari suci tersebut kedalam diri dan dapat direfleksikan dalam kehidupan sehari-
hari. Vibrasi kesucian yang didapatkan sangat berguna bagi terciptanya ketentraman,
ketenangan, kedamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan yang mendalam bagi umat manusia.
Inilah makna yang paling mendalam dari piodalan pura. Tumpek Landep dan hari Purnama
sebagai momentum untuk saling asah, asih, dan asuh antar semua ciptaan Hyang Widhi.
Intisari dari piodalan Tumpek Landep adalah: ketajaman itu perlu dikendalikan agar pikiran,
mata hati, lidah, tangan dan kaki dapat berfungsi dengan baik untuk kesejahteraan dan
kebahagiaan umat manusia tidak ada saling menyakiti dan tidak ada tindakan kekerasan pisik
dan psikis semuanya dapat diharmonisasikan keberadaan masing-masing sehingga tumbuh sikap
saling menghormati dan menghargai satu sama lain.
MEMAHAMI TATWA DALAM YADNYA DI ERA MODERN
Oleh : Dra. Ni Ketut Miasih
Om Swastyastu
Om Anobhadrah krtavoyanthu visvataha ; semoga pikiran yang baik datang dari segala
penjuru
Umat Hindu sedharma yang berbahagia, atas karunia Ida Sang Hyang Widhi Wasa,
Tuhan Yang Maha Esa kita diberikan kesempatan berkumpul ditempat ini dengan limpahan
kesehatan dan tidak kurang sesuatu apapun. Rasa bahagia yang tidak terkira manakala pada
kesempatan ini, saya bisa menyampaikan Dharma Wacana dengan topik “Memahami Tattwa
Dalam Yadnya Di Era Modern”. Lebih bahagianya lagi berada didepan umat sedharma yang
begitu antusias mengikuti dharmawacana ini dengan wajah yang berseri laksana teja sang surya
yang bersinar cemerlang, Tidak tampak oleh saya kesedihan yang tersirat menandakan para umat
sedharma dilimpahkan kebahagian.
Umat sedharma yang berbahagia, kata yadnya seperti yang kita ketahui sudah lama
populer, tetapi masih banyak umat yang memberi arti sempit pada kata yadnya tersebut. Bagi
umat yang masih awam setiap mendengar kata yadnya dalam benaknya selalu terbayang bahwa
di suatu tempat ada berbagai jenis sesajen, asap dupa mengepul, bau bunga dan wangi kemenyan
yang semerbak, ada puja stawa sulinggih atau pemangku, ada suara tabuh, kidung, gambelan
yang meriah dan berbagai atraksi seni religious. Bayangan tersebut tidaklah salah, namun ada
kekeliruan anggapan kalau yadnya diidentikkan dengan kegiatan upacara keagamaan, yang
sesungguhnya pengertian yadnya tidak sesempit itu.
Kata yajnya sesungguhnya berasal dari bahasa sanskerta.Yadnya secara etimologi
berasal dari akar kata Yaj artinya : “korban”. Dengan demikian yadnya dapat diartikan korban
suci dengan tulus iklas. Pengorbanan dalam konteks ini cakupanya sangat luas dan bukan saja
dalam bentuk ritual, upakara tetapi dapat juga dipahami sebagai pengorbanan dalam bentuk
pikiran, tindakan dan yang lainya. Dalam kitab Bhagavadgita IV.33 dinyatakan sebagai berikut:
Sreyaan dravyamayaad yadnyaaj.
Jnyanayadnyaah paramtapa.
Sarvam karmaa'khilam paartha.
Jnyaane parsamaapyate
(Bhagavad Gita IV.33)
Artinya:
Lebih utama persembahan dengan Jnyana Yadnya daripada persembahan materi dalam wujud
apa pun. Sebab, segala pekerjaan apa pun seharusnya berdasarkan ilmu pengetahuan suci
(Jnyana).
Umat sedharma yang terkasih, dijaman yang modern seperti sekarang ini yang mana
kehidupan masyarakat yang serba praktis pola hidup masyarakat cendrung konsomtif (serba
instan) dan hedonisme. Masyarakat pada umumnya melakoni hidup dengan rutinitas yang padat,
terkadang sampai lupa waktu, terutama masyarakat yang hidup di kota-kota besar. Jika umat
tidak memahami tatwa yadnya yang sesungguhnya , sudah pasti umat akan beranggapan bahwa
beryadnya khuusnya di Hindu akan sangat memberatkan umat kerena penuh dengan ritual
upacara dengan berbagai sesajen atau banten yang begitu banyak. Sesungguhnya jika umat
memahami tatwa atau esensi dari yadnya, maka umat akan dapat memahami kalau beryadnya
tidak hanya dengan ritual semata tetapi dapat pula dilakukan dengan melaksanakan ajaran
dharma. Jika segala sesuatu atau perbuatan yang kita lakukan berdasarkan atas dharma dengan
tulus ikhlas dapat disebut yadnya.
Dalam Bhagavadgita dikatakan belajar dan mengajar yang didasari oleh keiklasan serta
penuh pengabdian untuk memuja nama Tuhan maka itu pun tergolong kedalam yadnya.
Memelihara alam dan lingkungan sekitar pun tergolong kedalam yadnya. Mengendalikan hawa
nafsu dan panca indra adalah yadnya. Selain itu menolong orang sakit, mengentaskan
kemiskinan, menghibur orang yang sedang tertimpa musibah pun adalah yadnya. Jadi jelaslah
yadnya itu bukan terbatas pada kegiatan upacara keagamaan saja.
Umat sedharma yang berbahagia jika umat telah memahami tatwa yadnya yang
sesungguhnya maka umat tidak akan beranggapan kalau yadnya yang setiap hari kita lakukan
hanya berkutat dengan ritual upacara semata yang penuh dengan sesajen. Hal tersebut terkadang
dapat memberatkan umat sehingga muncul anggapan kalau beryadnya itu rumit dan terkesan ada
unsur pemaksaan. Sesungguhnya jika dipahami, Hindu itu merupakan Agama yang fleksibel.
Hindu adalah “cara hidup” kata S Radhakrisnan. Dan, “Hindu disetiap aktifitasnya menunjukan
elastisitasnya (fleksibel) tidak kaku” ujar MK Gandhi. Demikian juga “Hindu fleksibel tidak
membunh budaya setempat dimana Hindu itu berkembang, seperti ibarat bola karet yang
mengelinding. Menggelinding di pasir ia akan menjadi pasir, menggelinding dirumput ia akan
menjadi rumput”. Ujar guru agung Svami Vivekananda. Jadi ajaran Hindu tidak kaku, demikian
juga kaitanya dalam melakukan ritual yadnya Hindu tidak mengharuskan beryadnya dengan
kemegahan dan kemewahan serta mengeluarkan uang banyak.
Umat sedharma yang berbahagia, jika ditinjau dari tiga kerangka dasar Agama Hindu
yaitu Tatwa, Etika, dan Upakara atau Upacara, dimana kerangka ini merupakan cerminan dari
“Tri Angga Sarira” dari manusia diantaranya ada badan Atma yang bermanifestasi sebagai
“Mahat” dan tercermin sebagai Tatwa. Kedua adalah badan Antakarana (jiwa) bermanifestasi
sebagai “Budhi” dan tercermin sebagai perilaku atau etika. Ketiga adalah adanya jasad tubuh
“Panca Maha Butha” bermanifestasi sebagai “Ahamkara” dan merupakan cerminan upakara atau
upacara (bersifat material). Sesungguhnya yadnya yang kita lalukan adalah cerminan dari diri
sendiri, dikatakan dalam Upanisad; sesungguhnya tuhan berada dalam diri kita sendiri. Jika kita
ingin memiliki atau mempersembahkan yadnya yang berkualitas hendaknya kita mampu
mengendalikan diri sendiri terutama mengendalikan pikiran.
Manawa Dharmasastra II.92 dikatakan bahwa ; “pikiran adalah indra yang kesebelas,
pikiran itu disebut rajendrya atau raja-raja indria”. Jadi jika ingin yadnya yang kita
persembahkan berkualitas, maka kita harus dapat memahami bahwa sebenarnya Tuhan ada
dalam diri serta mampu untuk mengendalikan pikiran. Sebab pikiran merupakan penyebab dari
kehancuran.
Demikian untuk dipahami umat sedharma, beryadnya yang berkualitas bukan diukur
dari kemegahan dan besar kecilnya upacara. Sesungguhnya kualitas dari yadnya tersebut berada
dalam diri sendiri. Jika sudah mampu untuk mengendalikan pikiran, tindakan dan nafsu dalam
diri maka apapun perbuatan yang kita lakukan adalah yadnya yang berkualitas. Umat sedharma
yang berbahagia sesungguhnya tatwa atau esensi dari yadnya yang kita lakukan adalah bertolak
ukur dari diri sendiri. Selain itu jika dikaitkan dengan kehidupan dijaman yang modern ini tatwa
yadnya itu sendiri, bilamana kita mampu untuk mengendalikan pikiran dan tindakan serta dapat
menolong orang yang sedang kesusahan adalah besar yadnya tersebut. Harapan saya dari apa
yang telah saya sampaikan dapat bermanfaat bagi kita semua, jika kita menghargai ciptaan
Tuhan maka kita secara tidak langsung telah melakukan yadnya yang utama. Seperti dalam
Hindu dikatakan dalam konsep Tat Twam Asi, aku adalah kamu yang artinya jika kita
menyayangi dan memelihara ciptaan Tuhan maka sama artinya kita mempersembahkan bhakti
kepada-Nya. Jika ada kekurangan dalam penyampaian dharma wacana ini saya mohon maaf.
Karena tidak ada manusia yang sempurna, tiada gading yang tak retak. Akhir kata saya tutup
dengan paramasantih.
Om Santih, Santih, Santih Om