Tumor Sinus Maksila

25
BAB I PENDAHULUAN Rongga hidung dikelilingi oleh sinus paranasal yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan posterior, frontal dan sphenoid. Kedelapan sinus ini bermuara ke meatus rongga hidung. Oleh sebab itu pembicaraan tentang mengenai tumor hidung tidak dapat dipisahkan dari tumor sinus paranasal karena keduanya saling mempengaruhi kecuali jika ditemukan masing-masing dalam keadaan dini (1) . Tumor hidung dan sinus paranasal pada umumnya jarang ditemukan, baik yang jinak maupun yang ganas. Di Indonesia dan di luar negeri, kekerapan jenis yang ganas hanya sekitar 1% dari keganasan seluruh tubuh atau 3% dari seluruh keganasan di kepala dan leher (2) . Berdasarkan penelitian dari rumah sakit umum di sepuluh kota besar di Indonesia bahwa frekuensi tumor hidung dan sinus adalah 9,3–25,3% dari keganasan THT dan berada pada peringkat kedua setelah tumor ganas nasofaring. Di RSUP H. Adam Malik Medan selama Januari 2002 sampai dengan Desember 2008 pasien yang dirawat dengan diagnosis karsinoma hidung dan sinus paranasal adalah sebanyak 52 kasus. Kebanyakan melibatkan sinus maksila diikuti dengan sinus etmoid, frontal dan sfenoid. Penyakit ini sering pada usia 40-60 tahun (2,3) . 1

description

Tumor Sinus Maksila

Transcript of Tumor Sinus Maksila

Page 1: Tumor Sinus Maksila

BAB I

PENDAHULUAN

Rongga hidung dikelilingi oleh sinus paranasal yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan

posterior, frontal dan sphenoid. Kedelapan sinus ini bermuara ke meatus rongga hidung. Oleh

sebab itu pembicaraan tentang mengenai tumor hidung tidak dapat dipisahkan dari tumor sinus

paranasal karena keduanya saling mempengaruhi kecuali jika ditemukan masing-masing dalam

keadaan dini(1).

Tumor hidung dan sinus paranasal pada umumnya jarang ditemukan, baik yang jinak

maupun yang ganas. Di Indonesia dan di luar negeri, kekerapan jenis yang ganas hanya sekitar

1% dari keganasan seluruh tubuh atau 3% dari seluruh keganasan di kepala dan leher(2).

Berdasarkan penelitian dari rumah sakit umum di sepuluh kota besar di Indonesia bahwa

frekuensi tumor hidung dan sinus adalah 9,3–25,3% dari keganasan THT dan berada pada

peringkat kedua setelah tumor ganas nasofaring. Di RSUP H. Adam Malik Medan selama

Januari 2002 sampai dengan Desember 2008 pasien yang dirawat dengan diagnosis karsinoma

hidung dan sinus paranasal adalah sebanyak 52 kasus. Kebanyakan melibatkan sinus maksila

diikuti dengan sinus etmoid, frontal dan sfenoid. Penyakit ini sering pada usia 40-60 tahun (2,3).

1

Page 2: Tumor Sinus Maksila

BAB II

TNJAUAN PUSTAKA

1. SINUS PARANASAL

Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit di deskripsikan

karena bentuknya sangat variasi pada setiap individu. Ada 4 pasang sinus paranasal, mulai dari

yang terbesar yaitu, 2 buah sinus maksila, 2 buah sinus frontal, 2 buah sinus ethmoid dan 2 buah

sinus sfenoid. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga

terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga

hidung(4).

Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan

berkembang dimulai fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksila

dan sinus etmoid telah ada sejak anak lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus

etmoid anterior pada anak berusia kurang lebih 8 tahun(4).

a. Anatomi Sinus Maksila

Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila

bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran

maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus maksila beberbentuk piramid. Dinding anterior sinus

ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah

permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung,

dinding superiornya adalah dasar orbita, dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan

palatum. Ostium sinus maksila berada disebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke

hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid(4).

2

Page 3: Tumor Sinus Maksila

Gambar 1. Sinus Maksila

b. Fisiologi Sinus Paranasal

Sampai saat ini belum ada penyesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal, ada

yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai fungsi apa-apa, karena

terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka(4).

Beberapa teori yang di kemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain:

a. Sebagai pengatur kondisi udara

Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara

inspirasi

b. Sebagai penahan suhu

Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan fosa serebri

dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah.

c. Membantu keseimbangan kepala

Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka.

d. Membantu resonansi suara

Sinus berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara.

3

Page 4: Tumor Sinus Maksila

e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara

Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya waktu

bersin dan membuang ingus.

f. Membantu produksi mukus

Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingakn dengan

mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk

dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling

strategis(4).

2. TUMOR SINUS MAKSILA

a. Etiologi

1. Etiologi tumor ganas sinonasal belum diketahui dengan pasti, tetapi diduga beberapa zat

kimia atau bahan industri merupakan penyebab antara lain nikel, debu kayu, kulit,

formaldehid, kromium, isopropyl oil dan lain-lain. Pekerja di bidang ini mendapat

kemungkinan terjadi keganasan sinonasal jauh lebih besar. Alkohol, asap rokok, makanan

yang diasin atau diasap diduga meningkatkan kemungkinan terjadi keganasan, sebaliknya

buah-buahan dan sayuran mengurangi kemungkinan terjadi keganasan(2).

2. Pajanan terhadap radio aktif Thorotrast dalam waktu yang lama meningkatkan resiko

tumor sinus maksila

3. Sinusitis kronis meningkatkan resiko terbentuknya tumor

4. Konsumsi tembakau meningkatkan resiko terhadap terbentuknya tumor sinus maksila

(squamous cell carcinoma), meskipun mekanisme serta pengaruh tembakau terhadap

peningkatan resiko ini belum diketahui secara pasti(5).

b. Epidemiologi

Insiden tertinggi keganasan sinonasal ditemukan di Jepang yaitu 2-3,6 per 100.000

penduduk pertahun, juga ditemukan di beberapa tempat tertentu di Cina dan India. Di

Departemen THT FKUI RS Cipto Mangunkusumo, keganasan ini ditemukan pada 10-15% dari

seluruh tumor ganas THT. Laki-laki ditemukan lebih banyak dengan rasio laki-laki banding

wanita sebesar 2:1(2).

4

Page 5: Tumor Sinus Maksila

Insidensi di India sekitar 0,44% dari seluruh keganasan di India dengan perbandingan antara

pria dan wanita adalah 0,57% banding 0,44%. Insiden pada tahun 2000 adalah 0,3 per 100.000

penduduk. Kebanyakan melibatkan sinus maksila diikuti dengan sinus etmoid, frontal dan

sfenoid. Penyakit ini sering pada usia 40-60 tahun(1).

Karsinoma sel skuamosa merupakan jenis yang paling sering ditemukan. Enam puluh

persen tumor sinonasal berkembang di dalam sinus maksilaris, 20-30% di dalam rongga nasal,

10-15% di dalam sinus etmoidalis, dan 1% di dalam sinus sfenoidalis dan frontalis. Apabila

hanya melibatkan sinus-sinus paranasal tersendiri, 77% tumor maligna muncul di dalam sinus

maksilaris, 22% di dalam sinus etmoidalis dan 1% di dalam sinus sfenoidalis dan frontalis(6).

c. Jenis Histopatologi

1. Tumor jinak epithelial : adenoma dan papiloma

2. Tumor jinak non epithelial : fibroma, angiofibroma, hemangioma, neuilemomma,

osteoma, displasia fibrosa dan lain-lain. Disamping itu ada tumor odontogenik misalnya

ameloblastoma atau adamantinoma, kista tulang dan lain-lain.

3. Tumor ganas epithelial : karsinoma sel skuamosa, kanker kelenjar liur, adenokarsinoma,

karsinoma tanpa diferensiasi dan lain-lain.

4. Tumor ganas non epithelial : hemangiperisitoma, bermacam-macam sarcoma termasuk

rabdomiosarkoma dan osteogenik sarcoma ataupun keganasan limfoproliferatif seperti

limfoma malignum, plasmasitoma ataupun polimorfik retikulosis sering juga ditemuka di

daerah.

5. Beberapa jenis tumor jinak ada yang mudah kambuh atau secara klinis bersifat ganas

karena tumbuh agresif mendestruksi tulang, misalnya papiloma inverted, displasia fibrosa

atau pun ameloblastoma(2).

d. Jenis Tumor

1. Tumor jinak

Tumor jinak tersering adalah papiloma skuamosa, secara makroskopis mirip polip, tetapi

lebih vascular, pada dan tidak mengkilat. Ada 2 jenis papiloma, pertama eksofitik atau

fungiform dan yang kedua endofitik disebut papiloma inverted yang bersifat sangat invasive

dan dapat merusak jaringan disekitarnya. Tumor ini cenderung residif dan dan dapat berubah

5

Page 6: Tumor Sinus Maksila

menjadi ganas. Lebih sering dijumpai pada laki-lakiusia tua. Terapi untu tumor ini ialah

bedah radikal, misalnya rinotomi lateral atau maksilektomi medial(2).

2. Tumor ganas

Tipe histologi utama yang sering ditemukan pada tumor ganas regio nasal dan sinonasal

terdiri dari karsinoma sel skuamosa atau karsinoma epidermoid (46%), limfoma maligna

(14%), adenokarsinoma (13%) terutama berasal dari kelenjar salivari minor atau disebut juga

Schneiderian carcinoma dan melanoma maligna (9%)(5).

e. Manifestasi Klinis

Gejala tergantung dari asal tumor primer serta arah dan perluasannya. Tumor di dalam

sinus maxilla biasanya tanpa gejala, tetapi biasanya didapatkan darah oada secret hidung dan

adanya gejala obstruksi nasal. Gejala lainnya timbul setelah tumor besar, dapat mendorong atau

menembus dinding tulang dan meluas ke rongga hidung atau mulut, pipi, atau orbita(7).

Tergantung dari perluasan tumor,gejala dapat di kategorikan sebagai berikut:

1. Gejala nasal berupa obstruksi hidung unilateral dan rhinorea. Sekretnya sering bercampur

darah atau terjadi epistaksis. Tumor yang besar dapat mendesak tulang hidung sehingga

terjadi deformitas hidung. Khas pada tumor ganas ingusnya berbau karena mengandung

jaringan nekrotik.

2. Gejala orbital. perluasan tumor ke orbita menimbulkan diplopia, proptosis, atau

penonjolan bola mata, oftalmoplegia, gangguan visus dan epifora.

3. Gejala oral. Perluasan tumor kerongga mulut dapat menyebabkan penonjolan atau ulkus

palatum atau prosesus alveolaris. Pasien mengeluh gigi geligi goyah. Seringkali pasien

datang ke dokter gigi karena nyeri gigi, tetapi tidak sembuh meskipun gigi telah dicabut.

4. Gejala fasial. Perluasan tumor kedepan akan menyebabkan penonjolan pipi, disertai

nyeri, anestesi atau parastesia muka jika mengenai nervus trigeminus.

5. Gejala Intrakranial. Perluasan tumor ke intrakranial menyebabkan sakit kepala hebat,

oftalmoplegia dan gangguan visus. Dapat disertai likuororea, yaitu cairan otak yang

6

Page 7: Tumor Sinus Maksila

keluar melalui hidung. Jika perluasan sampai ke fossa kranii media maka nervus otak

lainnya akan terkena. Jika tumor meluas kebelakang, terjadi trismus akibat terkenanya

muskulus pterigoideus disetai anestesi dan parastesi daerah yang di persarafi nervus

maxillaries dan mandibularis.

6. Penyebaran ke sistem limfatik submandibula dan deep cervical nodes (pada keadaan

tumor yang telah bermetastasis)

Saat pasien berobat biasanya tumor sudah dalam fase lanjut. Hal ini yang juga

menyebabkan diagnosis terlambat adalah karena gejala dininya mirip dengan rinitis atau

sinusitis kronik sehingga sering diabaikan pasien maupun dokter(2).

f. Pemeriksaan Fisik

1. Saat memeriksa pasien, pertama-tama perhatikan wajah pasien apakah ada asimetri atau

distorsi. Temuan lain yaitu adanya proptosis yang mendorong mata ke atas.

2. Pemeriksaan dinding lateral cavun nasi, jika terdorong ke arah medial menunjukan tumor

berada di sinus maksila.

3. Palapasi gusi rahang atas dan palatum, apakah ada nyeri tekan, penonjolan atau gigi

goyah.

4. Pemeriksaan nasoendoskopi dan sinuskopi.

5. Pembesaran kelenjar leher juga perlu dicari meskipun tumor ini jarang bermetastasi ke

kelenjar leher(2).

g. Pemeriksaan Penunjang

1. Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi. Biopsi tumor sinus

maksila, daapat dilakukan melalui operasi Caldwell-Luc yang inisisinya melalui sulcus

ginggivo-bukal

2. Foto polos sinus paranasal, untuk melihat adanya erosi tulang dan perselubungan padat

unilateral.

7

Page 8: Tumor Sinus Maksila

3. CT Scan, sarana terbaik untuk melihat perluasan tumor dan destruksi tulangtulang

4. MRI (Magnetic resonance imaging), baik untuk melihat perluasan tumor ke jaringan

padat dan untuk membedakan jaringan tumor dari jaringan norma tetapi kurang begitu

baik dalam memperlihatkan dsetruksi tulang(2).

8

Page 9: Tumor Sinus Maksila

h. Stadium Tumor Sinus Maksilaris

Cara penentuan stadium tumor sinus maksilaris yang terbaru adalah menurut American

Joint Committee on Cancer (AJCC) 2006 yaitu (8):

Tumor Primer (T)

TX Tumor primer tidak dapat ditentukan

T0 Tidak tampak tumor primer

Tis Karsinoma in situ

T1 Tumor terbatas pada mukosa sinus maksilaris tanpa erosi dan destruksi

tulang

T2 Tumor menyebabkan erosi dan destruksi tulang hingga palatum dan atau

meatus media tanpa melibatkan dinding posterior sinus maksilaris dan

fossa pterigoid

T3 Tumor menginvasi dinding posterior tulang sinus maksilaris, jaringan

subkutaneus, dinding dasar dan medial orbita, fossa pterigoid, sinus

etmoidalis

T4a Tumor menginvasi bagian anterior orbita, kulit pipi, fossa pterigoid, fossa

infratemporal, fossa kribriformis, sinus sfenoidalis atau frontal

T4b Tumor menginvasi salah satu dari apeks orbita, duramater, otak, fossa

kranial medial, nervus kranialis selain dari divisi maksilaris nervus

trigeminal V2, nasofaring atau klivus(8).

9

T1 Terbatas pada mukosa sinus maksilaris

Page 10: Tumor Sinus Maksila

10

T3 Tumor menginvasi dinding posterior tulang sinus

maksilaris, jaringan subkutaneus, dinding dasar dan

medial orbita, fossa pterigoid, sinus etmoidalis.

T2 menyebabkan erosi dan destruksi tulang hingga

palatum dan atau meatus media tanpa melibatkan

dinding posterior sinus maksilaris dan fossa pterigoid

Page 11: Tumor Sinus Maksila

11

Pandangan koronal T4b menunjukkan tumor

menginvasi apeks orbita dan atau dura, otak atau fossa

kranial medial

A.T4a menunjukkan invasi tumor pada anterior orbita. B. T4a menunjukkan

invasi tumor pada sinus sfenoidalis dan fossa kribriformis

Page 12: Tumor Sinus Maksila

Kelenjar getah bening regional (N)

NX Tidak dapat ditentukan pembesaran kelenjar

N0 Tidak ada pembesaran kelenjar

N1 Pembesaran kelenjar ipsilateral ≤3 cm

N2 Pembesaran satu kelenjar ipsilateral 3-6 cm, atau multipel kelenjar ipsilateral <6

cm atau metastasis bilateral atau kontralateral < 6 cm

N2a Metastasis satu kelenjar ipsilateral 3-6 cm

N2b Metastasis multipel kelanjar ipsilateral, tidak lebih dari 6 cm

N2c Metastasis kelenjar bilateral atau kontralateral, tidak lebih dari 6 cm

N3 Metastasis kelenjar limfe lebih dari 6 cm(8).

12

Page 13: Tumor Sinus Maksila

Metastasis Jauh (M)

MX Metastasis jauh tidak dapat dinilai

M0 Tidak ada metastasis jauh

M1 Terdapat metastasis jauh(8).

Stadium Tumor

Sinus Maksila (8)

T N M

0 Tis N0 M0

I T1 N0 M0

II T2 N0 M0

III T3 N0 M0

T1 N1 M0

T2 N1 M0

T3 N1 M0

IVA T4a N0 M0

T4a N1 M0

T1 N2 M0

T2 N2 M0

T3 N2 M0

T4a N2 M0

13

Gambar 8. Klasifikasi kelenjar getah bening regional (N) untuk seluruh

keganasan kepala dan leher kecuali karsinoma nasofaring dan tiroid

Page 14: Tumor Sinus Maksila

IVB T4b Semua N M0

Semua T N3 M0

IVC Semua T Semua N M1

i. Penatalaksanaan

1. Pembedahan

Pembedahan atau lebih sering bersama dengan modalitas terapi lainnya seperti radiasi

dan kemoterapi sebagai ajuvan sampai saat ini masih merupakan pengobatan utama untuk

keganasan dihidung dan sinus paranasal. Pembedahan dikontraindikasikan pada kasus-kasus

yang telah bermetastasis jauh, sudah meluas ke sinus kavernosus bilateral atau tumor sudah

mengenai kedua orbita. Pada tumor jinak dilakukan ekstirpasi tumor sebersih mungkin. Bila

perlu dilakukan cara pendekatan rinotomi lateral atau degloving.

Untuk tumor ganas dilakukan tindakan radikal seperti maksilektomi, dapat berupa

maksilektomi media, total dan radikal. Maksilektomi radikal biasanya di lakukan misalnya

pada tumor yang sudah infiltrasi ke orbita, terdiri dari pengangkatan maksila secara endblok

disertai eksterasi orbita, jika tumor meluas ke rongga intrakranial dilakukan reseksi

kraniofasial atau kraniotomi, tindakan dilakukan dalam tim bersama dokter bedah saraf (2).

2. Kemoterapi

Kemoterapi bermanfaat pada tumor ganas dengan metastase atau yang residif atau jenis

yang sangat baik dengan kemoterapi, misalnya limfoma malignum. Peran kemoterapi untuk

pengobatan tumor traktus sinonasal biasanya paliatif, penggunaan efek cytoreductive untuk

mengurangi rasa nyeri dan penyumbatan, atau untuk mengecilkan lesi eksternal massif.

Penggunaan cisplatin intrarterial dosis tinggi dapat digunakan secara bersamaan dengan

radiasi pada pasien dengan karsinoma sinus paranasal. Angka ketahanan hidup 5 tahun

sebesar 53%. Pasien yang menunjukkan resiko pembedahan yang buruk dan yang menolak

14

Page 15: Tumor Sinus Maksila

untuk dilakukan operasi dipertimbangkan untuk mendapatkan kombinasi radiasi dan

kemoterapi (2,9).

3. Radiasi

Radiasi digunakan sebagai metode tunggal untuk membantu pembedahan atau sebagai

terapi paliatif. Radiasi post operasi dapat mengontrol secara lokal tetapi tidak menyebabkan

kelangsungan hidup spesifik atau absolut. Sel-sel tumor yang sedikit dapat dibunuh, pinggir

tumor non radiasi dapat dibatasi sepanjang pembedahan dan penyembuhan luka post operasi

lebih dapat diperkirakan(9).

j. Rekonstruksi Dan Rehabilitasi

Sesudah maksilektomi, harus dipasang prostesis maksila sebagai tindakan-tindakan

rekonstruksi dan rehabilitasi, supaya pasien dapat menelan dan berbicara dengan baik, disamping

perbaikan kosmetik melalui operasi bedah plastik. Rehabilitasi setelah reseksi pembedahan dapat

dicapai dengan dental prosthesis atau reconstructive flap seperti flap otot temporalis dengan atau

tanpa inklusi tulang kranial, pedicled atau microvascular free myocutaneous dan cutaneous flap.

Dengan tindakan ini pasien dapat bersosialisasi kembali dalam keluarga dan masyarakat (2,9).

k. Prognosis

Pada umumnya prognosisnya kurang baik, beberapa hal yang mempengaruhi prognosis

antara lain:

a. Diagnosis terlambat dan tumor sudah meluas sehingga sulit mengangkat tumor.

b. Sulit evaluasi paska terapi karena tumor berada dalam rongga

c. Sifat tumor yang agresif dan mudah kambuh

d. Tumor ganas memiliki prognosis yang buruk, hanya 30% dari pasien yang dapat bertahan

dalam 5 tahun. Pada pasien dengan stadium T yang lanjut serta telah terjadi metastasi

regional, dapat bertahan selama 28 bulan meskipun telah mendapatkan terapi berupa

kemoterapi, pembedahan dan radioterapi(10).

15

Page 16: Tumor Sinus Maksila

BAB III

KESIMPULAN

1. Dari kasus tumor sinonasal kebanyakan melibatkan sinus maksila diikuti dengan sinus

etmoid, frontal dan sfenoid.

2. Etiologi tumor ganas sinonasal belum diketahui dengan pasti, tetapi diduga beberapa zat

kimia atau bahan industri merupakan penyebab antara lain nikel, debu kayu, kulit,

formaldehid, kromium, isopropyl oil dan lain-lain. Selain itu, Alkohol, asap rokok,

makanan yang diasinkan atau diasap diduga meningkatkan kemungkinan terjadi

keganasan, pajanan terhadap radio aktif Thorotrast dalam waktu yang lama

meningkatkan resiko tumor sinus maksila.

3. Tumor di dalam sinus maxilla biasanya tanpa gejala, tetapi biasanya didapatkan darah

pada secret hidung dan adanya gejala obstruksi nasal. Gejala lainnya timbul setelah tumor

besar, dapat mendorong atau menembus dinding tulang dan meluas ke rongga hidung

atau mulut, pipi, atau orbita.

4. Penatalaksanaan mencangkup pembedahan, kemoterapi, dan radiasi.

5. Prognosis dari tumor maksila ini buruk yaitu hanya 30% dari pasien yang dapat bertahan

dalam 5 tahun.

16

Page 17: Tumor Sinus Maksila

BAB IV

DAFTAR REFERENSI

1. Dhingra PL. Neoplasms of Nasal Cavity. In : Dhingra PL, Diseases of Ear, Nose and Throat.

3rd Elsevier, New Delhi 2007 ; p. 192-198

2. Roezin, A, Armiyanto. Tumor Hidung dan Sinonasal. Dalam Soepardi, EA et al., (Eds) Buku

Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. ed 6 Balai Penerbit

FKUI, Jakarta 2009; p.178-181

3. Tjahdewi, S, Wiratno. Tumor Ganas Hidung Dan Sinus Paranasal Analisa Klinik Pada 55

Penderita. Dalam Kumpulan Naskah Ilmiah Kongress XII. Balai Penerbit Universitas

Diponegoro, Semarang 1999; p. 984-992

4. Soetjipto, D, Mangunkusumo, E. Sinus Paranasal. Dalam Soepardi, Efiaty Arsyad, et al.,

(Eds) Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. ed 6 Balai

Penerbit FKUI, Jakarta 2009; p.145-149

5. Cancer Institute Stanford Medicine. Diagnosis and Treatment of Cancer in the Maxillary

Sinuses. Stanford Cancer Institute, California 2010. Available at :

http://cancer.stanford.edu/headneck/sinus/sinus_max.html (Accessed : April 5th 2012).

6. Barnes, L et al., Head and Neck Tumours. In : Barnes, L et al., (Eds) Tumours of the Nasal

Cavity and Paranasal Sinuses. World Health Organization Classification of Tumours.

Pathology and Genetics. Lyon, IARC Press 2005; pp. 12-25

7. Bull, PD. Carcinoma Of The Maxillary Antrum. In : Bull, PD. Diseases of the Ear, Nose and

Throat. 9th Ed Blackwell Publishing Company, UK 2002; p.95-96

17

Page 18: Tumor Sinus Maksila

8. Greene, FL et al., Nasal Cavity and Paranasal Sinuses. In: Greene, FL et al., (Eds) AJJ

Cancer Staging Atlas. American Joint Committee on Cancer, Springer. America 2006; pp.

53-60

9. Bailey JB. Neoplasms of the Nose and Paranasal Sinuses. In : Bailey Jb (Ed) Head and Neck

Surgery – Otolaryngology. 4th Ed, Volume Two, Lippincott Williams and Wilkins,

Philadephia 2006 pp: 1481-1488

10. Jham, BC et al., A case of maxillary sinus carcinoma. Department of Oral Pathology, School

of Dentistry, Universidade Federal de Minas Gerais. Elsevier, Brazil 2005; p. 159. Available

at: http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1741940905001044 (Accessed : April

5th 2012)

18