Tumor Hidung & Sinus Paranasal

24
Tumor Hidung dan Sinus Paranasal Tumor hidung dan sinus paranasal pada umumnya jarang ditemukan, baik yang jinak maupun yang ganas. Di Indonesia dan di luar negeri, insiden jenis yang ganas hanya sekitar 1% dari keganasan seluruh tubuh atau 3% dari seluruh keganasan di kepala dan leher. Hidung dan sinus paranasal atau juga disebut sinonasal merupakan rongga yang dibatasi oleh tulang-tulang wajah yang merupakan daerah yang terlindung sehingga tumor yang timbul di daerah ini sulit diketahui secara dini. Asal tumor primer juga sulit ditentukan, apakah dari hidung atau sinus karena biasanya pasien berobat dalam keadaan penyakit telah lanjut dan tumor sudah memenuhi rongga hidung dan seluruh sinus. 1 Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran 1996 yang diadakan oleh Binkesmas bekerja sama dengan PERHATI dan Bagian THT RSCM mendapatkan data penyakit hidung dari 7 propinsi. Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435 pasien. Dari jumlah tersebut 30% mempunyai indikasi operasi. 1 Definisi 1 Tumor hidung adalah pertumbuhan ke arah ganas yang mengenai hidung dan lesi yang menyerupai tumor pada rongga hidung, termasuk kulit dari hidung luar dan vestibulum nasi.

Transcript of Tumor Hidung & Sinus Paranasal

Page 1: Tumor Hidung & Sinus Paranasal

Tumor Hidung dan Sinus Paranasal

Tumor hidung dan sinus paranasal pada umumnya jarang ditemukan, baik yang jinak

maupun yang ganas. Di Indonesia dan di luar negeri, insiden jenis yang ganas hanya sekitar

1% dari keganasan seluruh tubuh atau 3% dari seluruh keganasan di kepala dan leher. Hidung

dan sinus paranasal atau juga disebut sinonasal merupakan rongga yang dibatasi oleh tulang-

tulang wajah yang merupakan daerah yang terlindung sehingga tumor yang timbul di daerah

ini sulit diketahui secara dini. Asal tumor primer juga sulit ditentukan, apakah dari hidung

atau sinus karena biasanya pasien berobat dalam keadaan penyakit telah lanjut dan tumor

sudah memenuhi rongga hidung dan seluruh sinus.1

Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus

berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817

penderita rawat jalan di rumah sakit. Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran

1996 yang diadakan oleh Binkesmas bekerja sama dengan PERHATI dan Bagian THT

RSCM mendapatkan data penyakit hidung dari 7 propinsi. Data dari Divisi Rinologi

Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada

kurun waktu tersebut adalah 435 pasien. Dari jumlah tersebut 30% mempunyai indikasi

operasi.1

Definisi1

Tumor hidung adalah pertumbuhan ke arah ganas yang mengenai hidung dan lesi

yang menyerupai tumor pada rongga hidung, termasuk kulit dari hidung luar dan vestibulum

nasi.

Epidemiologi1,2,3

Insiden tertinggi tumor ganas hidung dan sinus ditemukan di Jepang yaitu 2 per

10.000 penduduk pertahun. Di bagian THT FKUI-RSCM, keganasan ini ditemukan pada

10,1% dari seluruh tumor ganas THT. Rasio penderita laki-laki banding wanita sebesar 2:1.

Keganasan jenis ini sekitar 0,2 hingga 0,8% dari total keseluruhan karsinoma dan

sekitar 3% dari keganasan yang mengenai saluran aerodigestif atas. Secara demografi, tumor

ini mengenai usia antara 50 hingga 90 tahun. Frekuensi pada usia muda rendah, sekitar 0,1

hingga 0,3 per 100.000 pada dekade pertama kehidupan. Sedangkan, pada dekade kedelapan,

Page 2: Tumor Hidung & Sinus Paranasal

frekuensinya meningkat menjadi 7 per 100.000. Tumor ini mengenai segala jenis ras, dan

tidak ada predileksi jenis kelamin.

Diagnosis banding secara histologis dari tumor sinus paranasal sangat banyak.

Namun, karsinoma sel skuamosa adalah keganasan yang paling sering, berdasarkan sebuah

studi diperkirakan sekitar 80 %. Selanjutnya diikuti oleh tumor kelenjar ludah (4–15%) dan

sarkoma (4-6%). Sedangkan sisanya seperti limfoma, esthesioneuroblastoma, dan melanoma.

Sedangkan berdasarkan lokasinya, sinus maksilaris paling sering sebagai lokasi primer

sekitar 55-80%, diikuti oleh rongga hidung (27-33%), sinus ethmoid (9-10%), sinus frontal

dan sphenoid (1-2%). Faktor lingkungan berperan penting dalam perkembangan keganasan

sinus paranasal. Sekitar 44% dari tumor ini disebabkan karena paparan pekerjaan, yang sudah

diketahui dengan baik adalah hubungan antara debu kayu dengan adenokarsinoma. Terpapar

debu kayu meningkatkan resiko relatif adenokarsinoma menjadi 540 kali lipat. Selain itu,

karsinoma sel skuamosa juga diduga memiliki hubungan dengan paparan debu kayu, karena

terpapar debu kayu meningkatkan risiko relatif 21 kali lipat.

Hasil industri lain yang diduga menyebabkan tumor ganas hidung antara lain nikel,

kulit, formaldehid, kromium, minyak isopropyl dan lain-lain. Pekerja di bidang ini mendapat

kemungkinan terjadi keganasan hidung dan sinus jauh lebih besar. Banyak laporan mengenai

kasus adenokarsinoma sinus etmoid pada pekerja-pekerja industri penggergajian kayu dan

pembuatan mebel. Alkohol, asap rokok, makanan yang diasin atau diasap diduga

meningkatkan kemungkinan terjadi keganasan, sebaliknya buah-buahan dan sayuran

mengurangi kemungkinan terjadi keganasan.

Di Jepang dan Uganda, frekuensi tumor ini dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan

Amerika Serikat. Kecuali untuk tumor non-epitel, tumor hidung ganas hampir tidak

ditemukan pada anak-anak.

Rousch (1999) memperkirakan bahwa lebih dari 80% dari semua tumor ganas pada

manusia berhubungkan dengan lingkungan. Bagaimanapun perkiraan ini mungkin dengan

bukti adanya penyebab lingkungan dari tumor hidung terutama pada pasien-pasien yang

terpapar nikel, chromium, hydrocarbon dan isopropyl oils.

Risiko kanker meningkat pada tukang kayu, tukang sepatu dan boot, dan pembuat

furniture karena kompleksnya paparan faktor lingkungan pada kelompok ini, agen yang

berperan sulit diidentifikasi. Paparan hidrokarbon juga meningkatkan kanker hidung.

Page 3: Tumor Hidung & Sinus Paranasal

Environmental Factors Associated with Nasal and Paranasal Sinus Malignancy3

Klasifikasi Tumor1,2

1. Tumor Jinak

Tumor jinak tersering adalah papiloma skuamosa. Secara makroskopis mirip dengan polip,

tetapi lebih vaskuler, padat, dan tidak mengkilap. Ada 2 jenis papiloma, pertama eksofitik

atau fungiform dan yang kedua endofitik disebut papiloma inverted. Papiloma inverted ini

bersifat sangat invasif, dapat merusak jaringan sekitarnya. Tumor ini sangat cenderung untuk

residif dan dapat berubah menjadi ganas. Lebih sering dijumpai pada anak laki-laki usia tua.

Terapi adalah bedah radikal misalnya rinotomi lateral atau maksilektomi media. Tumor jinak

angiofibroma nasofaring sering bermanifestasi sebagai massa yang mengisi rongga hidung

bahkan juga mengisi seluruh rongga sinus paranasal dan mendorong bola mata ke anterior.

2. Tumor Ganas

Tumor ganas yang tersering adalah karsinoma sel skuamosa (70%), disusul oleh karsinoma

yang berdeferensiasi dan tumor kelenjar. Metastasis ke kelenjar leher jarang terjadi (kurang

dari 5%) karena rongga sinus sangat miskin dengan sistem limfa kecuali bila tumor sudah

menginfiltrasi jaringan lunak hidung dan pipi yang kaya akan sistem limfatik. Metastasis jauh

juga jarang ditemukan (kurang dari 10%) dan organ yang sering terkena metastasis jauh

adalah hati dan paru.

Page 4: Tumor Hidung & Sinus Paranasal

Neoplasms of the Nose and Paranasal Sinuses3

Histopatologi11,2,3

Hampir seluruh jenis histopatologi tumor jinak dan ganas dapat tumbuh di daerah

sinonasal. Termasuk tumor jinak epitelial yaitu adenoma dan papiloma, yang non-epitelial

yaitu fibroma, angiofibroma, hemangioma, neurilemomma, osteoma, displasia fibrosa dan

lain-lain. Disamping itu ada tumor odontogenik misalnya ameloblastoma atau adamantinoma,

kista tulang dan lain-lain. 

Tumor ganas epitelial adalah karsinoma sel skuamosa, kanker kelenjar liur,

adenokarsinoma, karsinoma tanpa diferensiasi dan lain-lain. Jenis non epitelial ganas adalah

hemangioperisitoma, bermacam-macam sarkoma termasuk rabdomiosarkoma dan osteogenik

sarcoma ataupun keganasan limfoproliferatif seperti limfoma maligna, plasmasitoma atau pun

polimorfik retikulosis sering juga ditemukan di daerah ini. 

Beberapa jenis tumor jinak ada yang mudah kambuh atau secara klinis bersifat ganas

karena tumbuh agresif mendestruksi tulang, misalnya papiloma inverted, displasia fibrosa

atau pun ameloblastoma. Pada jenis-jenis ini tindakan operasi harus radikal.

Kebanyakan neoplasma sinus bersifat maligna, sedangkan di cavum nasi terdapat

neoplasma yang bersifat jinak dan ganas. Sebagian besar lesi jinak ini adalah papiloma, yang

terbagi menjadi tiga kategori: fungiform (50%), inverted (45%), and cylindrical cell (5%).

Page 5: Tumor Hidung & Sinus Paranasal

Papiloma fungiform muncul sebagai lesi septal eksofitik. Secara histologis, terdapat

epitelium squamosa nonkeratin yang melapisi stroma fibrovaskular. Kebalikan dengan

papiloma jenis lain, papiloma fungiform tidak berdegenerasi menjadi ganas.

Inverted papillomas (IPs) dicirikan dengan epitelium sel squamosa atau transisional di

sekitar stroma fibrovaskular dengan pertumbuhan endofitik. Papiloma ini paling sering

ditemukan di dinding lateral nasal dan dilaporkan berhubungan dengan karsinoma sel

squamosa pada 5-15% pasien.

Papiloma sel silindris, dikenal sebagai oncocytic schneiderian papillomas, berlokasi di

dinding lateral nasal dan berhubungan dengan keganasan. Secara patologis, lapisan epitel

mengandung lapisan multipel sel eosinofilik, sel goblet, dan microkista yang penuh dengan

mucin.Tumor jinak tambahan yang berasal dari epitelial adalah adenoma, kolesteatoma, dan

dermoid. Adenoma dari traktus sinonasal secara histologis identik dengan adenoma yang

muncul di bagian tubuh lainnya. Biasanya terjadi pada dekade keempat sampai ketujuh dan

biasanya mengenai septum nasal. Eksisi merupakan tindakan kuratif pada 90% kasus. Sama

juga dengan kolesteatoma dan dermoid, secara patologi sama dengan yang terdapat pada

bagian tubuh lainnya dan jarang terdapat di regio sinonasal.

Kolesteatoma terdiri atas epitelium deskuamasi, sedangkan tumor dermoid

mengandung bagian dermal. Jika terdapat di sinus, biasanya mengenai sinus frontal atau

etmoid.

Fibrous dysplasia dapat tumbuh di maxilla. Ada dua bentuk, yakni poliostotik dan

monostotik, dengan monostotik yang lebih sering terjadi. Pertumbuhannya lambat, dan

pengobatannya dengan eksisi lokal lesi yang bersifat obstruktif dan mengganggu kosmetik.

Operasinya bersifat konservatif.

Neoplasma epitelial maligna merupakan mayoritas tumor sinonasal, mewakili 45-80%

dari seluruh neoplasia sinus. Karsinoma sel squamosa yang paling sering terjadi. 60% dari

neoplasma ini terdapat di sinus maxillaris, 20-30% di cavum nasi, 10-15% di sinus etmoid,

dan 1% di sinus frontal dan sinus spenoid. Seperti di daerah lain dari kepala dan leher, tumor

ini dapat muncul dengan derajat diferensiasi yang bervariasi.

Karsinoma kelenjar adalah tumor tersering yang kedua, mewakili 4-15% dari seluruh

neoplasma sinus. Dari karsinoma kelenjar ini, adenokarsinoma adalah yang paling sering,

mewakili 5-19% dari tumor nasal dan paranasal. Secara umum, tumor ini diklasifikasikan

sebagai low grade dan high grade. Prognostik dari kedua tipe ini masih diperdebatkan, tetapi

Page 6: Tumor Hidung & Sinus Paranasal

diperkirakan low grade adenokarsinoma lebih jarang bermetastasis dari high grade yang

bermetastasis jauh.

Karsinoma kistik adenoid lebih jarang terjadi daripada adenokarsinoma. Tumor ini

terdiri dari sekelompok sel kecil yang membentuk pola tubular, cribriform, dan solid.

Karsinoma kista adenoid low grade didefinisikan sebagai kista adenoid dengan

komponen solid yang kurang dari 30%. Sebaliknya, karsinoma high grade terdiri atas

komponen solid lebih dari 30%. Karsinoma high grade dicirikan dengan periode survival

yang lebih pendek dan lebih sering terjadi metastasis jauh. Kedua subtipe ini memiliki

predileksi terjadinya invasi perineural.

Photomicrograph of adenoid cystic carcinoma showing low-grade histology and cribriform and tubular

architecture with nerve, demonstrating perineural invasion3

Karsinoma Mukoepidermoid adalah bentuk yang sangat jarang dari karsinoma

kelenjar. Terdiri atas kombinasi sel squamosa dan kelenjar, produksi mukus, dan sel basal.

Karsinoma ini dapat bermetastasis jauh.

Photomicrograph of low-grade mucoepidermoid carcinoma showing cystic spaces filled with mucus lined by

mucus-producing cells and central epithelioid cells.3

Page 7: Tumor Hidung & Sinus Paranasal

Walaupun jarang, dua tumor yang berasal dari neuroektodermal dapat terjadi. Ini

adalah melanoma sinonasal dan olfaktori neuroblastoma (esthesioneurocytoma,

esthesioneuroblastoma).

Melanoma dari sinus mewakili kurang dari 7% seluruh keganasan sinonasal.

Melanoma ini tidak berbeda jauh dari melanoma yang terdapat pada bagian tubuh lainnya,

walaupun 30% dapat menjadi amelanotik. Melanoma dapat memiliki gambaran plasmasitoid,

sel spindel, atau sitologi epiteloid. Sebagai tambahan, bentuknya bervariasi dan dapat

menyerupai sarkoma, epiteloid, atau pleomorfik. Pewarnaan imunohistokimia dapat

membantu.

Neuroblastoma olfaktori adalah jenis tumor kedua yang berasal dari neuroektodermal

yang dapat muncul di regio paranasal. Keganasan jenis ini memiliki satu dari dua pola sel.

Dapat berupa pola jaring – jaring sel kecil yang dikelilingi oleh stroma atau sel tumor difus

dengan sedikit stroma. Pemeriksaan imunohistokimia bermanfaat, pada

esthesioneuroblastoma memberikan gambaran pola sel sustentakular dari staining S-100 yang

memberikan hasil positif seperti pada protein neurofilament, enolase neuron spesifik, dan

sinaptopsin 2,12,14. Mikroskop elektron dapat membantu menegakkan diagnosis tumor ini

dengan menemukan sel yang mengandung mikrotubule dan neurofilament yang spesifik

untuk jenis keganasan ini.

Limfoma terjadi pada 18% dari seluruh keganasan nonsquamosa pada sinus paranasal.

Yang paling sering terjadi adalah limfoma sel-B difus, walaupun limfoma sel-T atau natural

killer juga cukup sering terjadi.

Berbagai macam neoplasma, baik jinak maupun ganas, dapat ditemukan pada nasal

dan sinus paranasal. Proses jinak mempunyai konsekuensi menyebabkan invasi lokal atau

destruksi dari struktur vital disekitarnya. Sedangkan tumor ganas memiliki prognosis yang

lebih buruk.

Gejala dan Tanda1,3

Gejala tergantung dari asal primer tumor serta arah dan perluasannya. Tumor di dalam

sinus maksila biasanya tanpa gejala. Gejala timbul setelah tumor besar, sehingga mendesak

atau menembus dinding tulang meluas ke rongga hidung, rongga mulut, pipi, orbita atau

intrakranial.

Tergantung dari perluasan tumor, gejala dapat dikategorikan sebagai berikut:

Page 8: Tumor Hidung & Sinus Paranasal

1. Gejala nasal. Gejala nasal berupa obstruksi hidung unilateral dan rinorea. Sekretnya

sering bercampur darah atau terjadi epistaksis. Tumor yang besar dapat mendesak tulang

hidung sehingga terjadi deformitas hidung. Khas pada tumor ganas ingusnya berbau karena

mengandung jaringan nekrotik.

2. Gejala orbital. Perluasan tumor kearah orbita menimbulkan gejala diplopia, proptosis atau

penonjolan bola mata, oftalmoplegia, gangguan visus dan epifora.

3. Gejala oral. Perluasan tumor ke rongga mulut menyebabkan penonjolan atau ulkus di

palatum atau di prosesus alveolaris. Pasien megeluh gigi palsunya tidak pas lagi atau gigi

geligi goyah. Seringkali pasien datang ke dokter gigi karena nyeri di gigi, tetapi tidak sembuh

meskipun gigi yang sakit telah dicabut.

4. Gejala fasial. Perluasan tumor ke depan akan menyebabkan penonjolan pipi. Disertai

nyeri, anesthesia atau parestesia muka jika mengenai nervus trigeminus.

5. Gejala intrakranial. Perluasan tumor ke intrakranial menyebabkan sakit kepala hebat,

oftalmoplegia dan gangguan visus. Dapat disertai likuorea, yaitu cairan otak yang keluar

melalui hidung. Jika perluasan sampai ke fossa kranii media maka saraf otak lainnya bisa

terkena. Jika tumor meluas ke belakang, terjadi trismus akibat terkenanya muskulus

pterigoideus disertai anestesia dan parestesia daerah yang dipersarafi nervus maksilaris dan

mandibularis.

Symptoms of Nasal and Paranasal3

Pemeriksaan Fisik1,2

Saat memeriksa pasien, pertama-tama perhatikan wajah pasien apakah terdapat

asimetri atau tidak. Selanjutnya periksa dengan seksama kavum nasi dan nasofaring melalui

rinoskopi anterior dan posterior. Permukaan yang licin merupakan pertanda tumor jinak

sedangkan permukaan yang berbenjol-benjol, rapuh dan mudah berdarah merupakan pertanda

Page 9: Tumor Hidung & Sinus Paranasal

tumor ganas. Jika dinding lateral kavum nasi terdorong ke medial berarti tumor berada di

sinus maksila.

Pemeriksaan nasoendoskopi dan sinuskopi dapat membantu menemukan tumor pada

stadium dini. Adanya pembesaran kelenjar leher juga perlu dicari meskipun tumor ini jarang

bermetastasis ke kelenjar leher.

Pemeriksaan Penunjang1,2,3

- Foto Polos

Foto polos berfungsi sebagai diagnosis awal, terutama jika ada erosi tulang dan

perselubungan padat unilateral, harus dicurigai keganasan.

Foto polos toraks diperlukan untuk melihat adanya metastasis tumor di paru.

- CT Scan

Pada CT Scan, keganasan sinus paranasal dan rongga hidung memberikan gambaran

padat, homogen, dan massa destruktif.

Coronal computed tomographic scan of the posterior part of the nasal cavity and the skull base showing tumor eroding the face of the right sphenoid sinus. One cannot

differentiate retained mucus from tumor.

- MRI

Pemeriksaan MRI dapat membedakan jaringan tumor dengan jaringan normal tetapi

kurang begitu baik dalam memperlihatkan destruksi tulang.

Page 10: Tumor Hidung & Sinus Paranasal

T2-weighted coronal MRI showing a tumor in the left nasal cavity and ethmoid sinus with retained mucus (high signal intensity) above the tumor.3

- Angiografi

Dilakukan pada pasien yang diduga adanya keterlibatan arteri karotis interna. Indikasi

dilakukan angiografi konvensional (1) persiapan untuk dilakukan embolisasi lesi

vaskular, (2) untuk mengindentifikasi anatomi arteri intrakranial pada pasien yang

akan dilakukan bypass arteri, dan (3) Uji oklusi balon pada pasien yang kemungkinan

ateri karotis sudah tidak berfungsi.

Diagnosis1

Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi. Jika tumor tampak

di rongga hidung atau rongga mulut, maka biopsi mudah dan harus segera dilakukan. Biopsi

tumor sinus maksila, dapat dilakukan melalui tindakan sinoskopi atau melalui operasi

Caldwel-Luc yang insisinya melalui sulkus ginggivo-bukal.

Jika dicurigai tumor vaskuler, misalnya angofibroma, jangan lakukan biopsi karena

akan sangat sulit menghentikan perdarahan yang terjadi. Diagnosis adalah dengan angiografi.

Stadium1,3

Bermacam-macam klasifikasi untuk menentukan stadium yang digunakan di

Indonesia adalah klasifikasi UICC dan AJCC yang hanya berlaku untuk karsinoma di sinus

maksila, etmoid, dan rongga hidung sedangkan untuk sinus sphenoid dan frontal tidak

termasuk dalam klasifikasi ini karena sangat jarang ditemukan. Perlu diingat bahwa

keganasan yang tumbuh seperti basalioma dan melanoma maligna di kulit sekitar hidung dan

sinus paranasal tidak termasuk dalam klasifikasi tumor hidung dan sinus paranasal.

Perluasan tumor primer dikatagorikan dalam T1, T2, T3, dan T4. Paling ringan T1,

tumor terbatas di mukosa sinus, paling berat T4, tumor meluas ke orbita, sinus sphenoid dan

frontal dan atau rongga intrakranial.

Page 11: Tumor Hidung & Sinus Paranasal

Metastasis kelenjar ke limfa leher regional dikategorikan dengan N0 (tidak

diketemukan metastasis ke kelenjar limfa leher regional), N1 (metastasis ke kelenjar limfa

leher dengan ukuran diameter terbesar kurang atau sama dengan 3 centimeter (cm), N2

(diameter terbesar lebih dari 3 cm dan kurang dari 6 cm) dan N3 (diameter terbesar lebih dari

6 cm). metastasis jauh dikategorikan sebagai M0 (tidak ada metastasis) dan M1 (ada

metastasis).

Pembagian sistem TNM menurut Simson sebagai berikut:

T : Tumor.

T—1 :

a. Tumor pada dinding anterior antrum.

b. Tumor pada dinding nasoantral inferior.

c. Tumor pada palatum bagian anteromedial.

T—2 :

a. Invasi ke dinding lateral tanpa mengenai otot.

b. Invasi ke dinding superior tanpa mengenai orbita.

T—3 :

a. Invasi ke m. pterigoid.

b. Invasi ke orbita

c. Invasi ke selule etmoid anterior tanpa mengenai lamina kribrosa.

d. Invasi ke dinding anterior dan kulit diatasnya.

T—4 :

a. Invasi ke lamina kribrosa.

b. Invasi ke fosa pterigoid.

c. Invasi ke rongga hidung atau sinus maksila kontralateral.

d. Invasi ke lamina pterigoid.

e. Invasi ke selule etmoid posterior.

f. Ekstensi ke resesus etmo-sfenoid.

N : Kelenjar getah bening regional.

N—1 : Klinis teraba kelenjar, dapat digerakkan.

N—2 : Tidak dapat digerakkan.

M : Metastasis.

M—1 : Stadium dini, tumor terbatas di sinus.

M—2 : Stadium lanjut, tumor meluas ke struktur yang berdekatan.

Page 12: Tumor Hidung & Sinus Paranasal

Berdasarkan TNM ini dapat ditentukan stadium yaitu stadium dini (stadium 1 dan 2),

stadium lanjut (stadium 3 dan 4). Lebih dari 90 % pasien datang dalam stadium lanjut dan

sulit menentukan asal tumor primernya karena hampir seluruh hidung dan sinus paranasal

sudah terkena tumor.

 Stadium :

Stadium 0 T1s N0 M0

Stadium I T1 N0 M0

Stadium IIA T2a N0 M0

Stadium IIB T1

T2a

T2b

N1

N1

N0,N1

M0

M0

M0

Stadium III T1

T2a,T2b

N2

N2

M0

M0

Page 13: Tumor Hidung & Sinus Paranasal

T3 N2 M0

Stadium IV a T4 N0,N1,N2 M0

Stadium IV b Semua T N3 M0

Stadium IV c Semua T Semua N M1

Tatalaksana1,2,3

Bedah tumor endonasal terdiri dari reseksi tumor dibawah kendali endoskop, diikuti

dengan eksisi jaringan tumor dari jaringan sehat sekitarnya. Semua ini memerlukan

diagnostik yang adekuat sebelum operasi, diagnostik histologi, dan instrumentasi operasi

yang tepat. Sangat diperlukan seorang operator yang sangat menguasai anatomi lokal dan

pengalaman yang komprehensif dalam melakukan bedah endoskopik. Sebelumnya pasien

harus diberi penjelasan tentang prosedur yang akan dijalankan dan telah membuat informed

consent, termasuk juga bila dibutuhkan perluasan pembedahan baik melalui rute bedah

eksternal maupun transoral.

Dalam memilih terapi bedah yang optimal, seorang ahli harus mempertimbangkan

dengan seksama dalam memilih pendekatan endonasal daripada prosedur klasik yaitu melalui

pendekatan transfasial, transoral, dan midfacial degloving. Pendekatan endonasal

menghindari insisi eksternal dan internal serta mobilisasi jaringan, sehingga menghindari

pembentukan parut yang tidak diinginkan, stenosis duktus lakrimalis, mukokel, dan

neuralgia. Komplikasi dan gejala ikutan yang dapat merugikan pasien lebih rendah, sehingga

metode ini dapat diterima dengan baik.

Operatif

Kriteria untuk lesi yang tidak dapat dioperasi adalah (1) perluasan transdura, (2)

invasi ke fasia prevertebral, (3) mengenai nervus optikus bilateral, dan (4) invasi menyeluruh

pada sinus kavernosus. Terdapat beberapa macam prosedur tergantung dari ukuran dan

lokasi tumor dan dimana akan dilakukan eksisi. Prosedur yang dapat dilakukan seperti

pendekatan endoskopi, midfasial degloving, rinotomi lateral, pendekatan fasial lateral ( Fisch-

Mattox ), kraniotomi, dan gabungan prosedur kraniofasial.

Operasi Sinus Endoskopik

Prosedur endoskopik pada keganasan sinus paranasal adalah terapi pilihan untuk

tumor dengan stadium awal atau tumor jinak yang melibatkan dinding hidung lateral, sinus

ethmoid, atau sinus sphenoid. Keuntungan utama dari jenis prosedur ini adalah sedikitnya

insisi yang dilakukan pada wajah. Prosedur jenis ini memberikan hasil yang baik pada

Page 14: Tumor Hidung & Sinus Paranasal

hemangioma, esthesioneuroblastoma, karsinoma kistik adenoid, adenokarsinoma, dan bahkan

karsinoma sel skuamosa. Kontraindikasi untu dilakukan perosedur endoskopik adalah sudah

menginvasi kedaerah yang tidak dapat dijangkau dengan endoskopi, termasuk bagian lateral

dari sinus maksilaris, periorbita, sakus lakrimal, sel supraorbital ethmoid, sinus frontal, dan

basis kranium. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah kebocoran dari cairan serebrospinal,

cedera orbita/visual, sinekia, dan perubahan dari kemampuan pembau.

Diagram of intranasal tumor sites that can be considered for endoscopic intranasal resection: A, middle meatus;

B, inferior meatus; C, middle turbinate; D, anterior ethmoid cells.

Prosedur Midfacial Degloving

Midfacial degloving adalah salah satu dari beberapa jenis prosedur terbuka yang dapat

digunakan untuk tumor endoasal. Proseudr ini melakukan (1) insisi interkartilaginosa

bilateral, (2) insisi septokolumellar transfiksasi komplit, (3) insisi sublabial bilateral, dan (4)

insisi apertura piriformis bilateral. Ini adalah pendekatan yang dapat memberikan akses pada

daerah yang luas, termasuk rongga hidung, nasofaring, antrum maksilaris, dasar orbita, dan

zigoma. Dapat juga dikombinasikan dengan kraniotomi untuk tumor yang melibatkan basis

kranium bagian naterior. Beberapa tipe eksisi dapat dilakukan pada prosedur ini seperti

maksilektomi medial, maksilektomi total dengan atau tanpa pengangkatan orbita,

ethoidektomi, sphenoidektomi, dan reseksi tumor yang menginvasi basis kranium bagian

Page 15: Tumor Hidung & Sinus Paranasal

anterior yang dikobinasikan dngan kraniotomi. Keuntungan utama dari prosedur ini adalah

insisi pada wajah yang luas sedikit dan memberikan akses yang baik untuk tumor yang

terletak inferior. Sebagai tambahan, kemungkinan komplikasi dari prosedur ini lebih sedikit,

komplikasi yang mungkin terjadi seperti baal pada bibir, stenosis vestibular, dan fistula

oroantral. Sedangkan kerugian dari prosedur ini adalah kesulitan untuk mengakses tumor

yang terletak superior

Rinotomi Lateral

Rinotomi lateral adalah dasar dari kebanyakan prosedur transfasial. Pada prosedur ini

awalnya dilakukan insisi curvilinear pada aspek inferomedial dari alis mata dan meluas ke

inferior di tengah – tengah melalui antara dorsum nasal dan canthus medial. Bagian paling

bawah insisi harus mengikuti lipatan nasofasial agar didapatkan hasil estetik yang optimal.

Prosedur ini memberikan akses yang luas untuk tumor yang sudah melibatkan daerah

supraorbital ethmoid, duktus frontal, fossa lakrimal, mata, atau cribriformis. Keuntungan

utama dari prosedur ini adalah akses yang luas dan juga insisi cukup mudah dilakukan

modifikasi untuk mendapatkan akses yang lebih baik. Sedangkan kerugian dari prosedur ini

dalah komplikasi pada mata seperti blefaritis, epifora, dan dakriosistitis intermiten akibat

transeksi pada duktus nasolakrimal. Kerugian lainnya adalah dilakukannya insisi pada wajah.

Page 16: Tumor Hidung & Sinus Paranasal

A, Lateral rhinotomy incision; intraoperative view of incision extending from the inferomedial eyebrow to the midpoint between the medial canthus and the nasal dorsum

and to the junction of the alar base with the upper lip. B, Lateral rhinotomy incision appearance; early postoperative view. Note that the incision should ascend beyond the nasofacial groove in the middle third of the nose to the junction with the thinner nasal

skin.

Radioterapi

Radioterapi berperan penting dalam tatalaksana pasien dengan tumor sinus paranasal.

Karena kebanyakan pasien ketika didiagnosis sudah dalam stadium lanjut, sehingga sulit

untuk dilakukan tindakan operatif dan diperlukan terapi multimodal. Beberapa jenis

keganasan seperti limfoma, plasmositoma, dan esthesioneuroblastoma bersifat radiosensitif.

Radiasi postoperatif saat ini menjadi pilihan yang paling banyak dilakukan untuk beberapa

alasan. Sama seperti tindakan operatif, radioterapi memiliki beberapa risiko, yang paling

sering adaah cedera pada mata dan otak. Komplikasi yang pernah dilaporkan adalah

kebutaan, sekuele dari sistem saraf pusat, otitis media, obstruksi duktus nasolakrimal,

sinusitis, destruksi tulang hidung, nyeri mata kronik, osteoradionekrosis, retinopati, dan

fistula kantus medial. Kebutaan unilateral 33%, kebutaan bilateral 10%. Angka komplikasi

ini semakin menurun dengan digunakannya CT scan dalam perencanaan terapi.

Page 17: Tumor Hidung & Sinus Paranasal

Kemoterapi

Kemoterapi dengan bahan dasar platinum telah menunjukkan efektif untuk

esthesioneuroblastoma dan tumor sinus paranasal lainnya. Sebgai alternatif, Sakai dkk

menggunakan 5-fluorourasil ( 5-FU ) yang dikombinasikan dengan radiasi dan operasi

kuretase yang cukup efektif dengan angka kematian yang minimal.

Prognosis3

Secara keseluruhan angka bertahan hidup dalam 5 tahun pada

pasien dengan keganasan sinus paranasal bervariasi dari 40 hingga 50 %,

pasien dengan kategori T1 dan T2 memiliki angka bertahan hidup dalam 5

tahun sekitar 70%. Sebaliknya, pasien dengan kategori tumor T3 atau T4

memiliki angka bertahan hidup dalam 5 tahun sekitar 30 %. Tumor yang

sudah melibatkan basis kranium anterior memiliki prognosis yang paling

buruk.

Page 18: Tumor Hidung & Sinus Paranasal

DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi, Efiaty Arsyad; Iskandar, Nurbaiti; Bashiruddin, Jenny; Restuti, Ratna Dwi.

Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: Gaya Baru; 2007; 178-81.

2. Cummings, Charles W; et al. Cummings Otolaryngology Head&Neck Surgery, Fourth

Edition. Pennsylvania:Elsevier Mosby; 2005.

3. Chalian, A Ara; Litman, David. Chapter 36:Neoplasms of the Nose and Paranasal

Sinuses. In:Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery, Sixteenth

Edition. Canada: BC Decker Inc; 2003.