Tulisan AKATIGA

20
TOPIK PENELITIAN PERBURUHAN Ditulis Oleh: AKATIGA Persoalan perburuhan di Indonesia mengalami banyak perkembangan sejak tumbangnya rezim Soeharto. Ketidakstabilan ekonomi yang terjadi berdampak cukup jelas pada industri formal, terutama di bidang TPT (tekstil dan produk tekstil). Menurunnya kegiatan produksi di industri formal (TPT, Perkayuan & Kehutanan, BUMN) mengakibatkan maraknya kasus PHK. Penyempitan kesempatan kerja di sektor formal ini juga menjadi salah satu penyebab membengkaknya jumlah pekerja di sektor informal. Proses-proses informalisasi yang dilakukan oleh industri sebagai bentuk strategi efisiensi produksi tampaknya ikut memberikan kontribusi terhadap membesarnya sektor informal. Hal ini erat kaitannya dengan perubahan strategi modal dalam rangka mengakumulasi kapital melalui informalisasi pekerjaan yang berdampak cukup luas terhadap buruh (laki-laki, perempuan dan anak) dan semakin memperlemah posisi tawar mereka. Situasi perburuhan di Indonesia juga diperparah oleh keluarnya paket UU Perburuhan (UU Ketenagakerjaan, UU Penyelesaian Perburuhan dan UU kebebasan Berserikat) yang tidak mendukung peningkatan kondisi buruh tapi malah melegalisasi sistem kerja subkontrak, outsourcing,dan tenaga kerja kontrak tanpa memberikan perlindungan yang jelas terhadap buruh. Keluarnya kebijakan perburuhan ini erat kaitannya dengan program-program besar yang diprakarsai oleh GIAT(Growth Through Invesment and Trade) dalam rangka meningkatkan penyerapan tenaga kerja melalui investasi. Mereka mendorong pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan-kebijakan yang dianggap terlalu protektif dan kebijakan upah minimum yang kenaikannya dianggap tidak menguntungkan investor. Situasi ini membuat kondisi buruh menjadi semakin rentan. Terlebih lagi, over supply tenaga kerja dan lapangan kerja yang sempit memaksa buruh untuk masuk ke dalam industri yang sangat eksploitatif dengan upah rendah. Buruh dan organisasi buruh sedang menghadapi kesulitan besar untuk menghadapi persoalan-persoalan tersebut dengan menggunakan perangkat organisasi dan strategi yang selama ini sudah dikembangkan. Kenyataan itu menimbulkan kesadaran pada sejumlah aktivis dan organisasi perburuhan tentang perlunya memikirkan dan mengembangkan alternatif-alternatif strategi, pengorganisasian, dan kerangka pemikiran yang baru untuk mendukung perbaikan nasib dan posisi kaum pekerja di Indonesia. Dalam rangka mengembangkan alternatif-alternatif respons yang tepat, salah satu kebutuhan yang dirasakan penting oleh jaringan organisasi perburuhan adalah dilakukannya upaya-upaya untuk: Mengkaji implikasi dan dampak dinamika dan perubahan situasi terhadap kondisi kesempatan kerja, kondisi kehidupan buruh (laki-perempuan-anak), dan strategi pengorganisasian buruh di tempat kerja maupun di luar tempat kerja. Membuat evaluasi dan analisis tentang sejauh mana strategi-strategi pengorganisasian dan pemberdayaan buruh masih cukup responsif di dalam menyiasati perubahan situasi yang terjadi. Analisis ini, lebih lanjut lagi, dapat digunakan untuk membangun strategi-strategi pengorganisasian dan pemberdayaan apa yang tepat untuk dikembangkan dalam rangka merespon situasi perubahan yang terjadi. STUDI YANG DILAKUKAN 1. Studi Perubahan Situasi Perburuhan Pasca Reformasi Proyek ini merupakan kerjasama antara 3 lembaga yang memiliki perhatian terhadap isu perburuhan: (1) Yayasan AKATIGA, ornop yang bergerak di bidang penelitian dan publikasi yang konsisten menjalankan studi-studi perburuhan sejak tahun 1991 (2) LabSosio FISIP Universitas Indonesia, lembaga penelitian dibawah Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia yang mengembangkan penelitian-penelitian dan (3) TURC, Trade Union Right Centre, Ornop yang banyak bergerak di bidang advokasi hak-hak buruh dan mendorong regulasi perburuhan yang adil bagi buruh. Pertimbangan kerjasama dari awal memang ditujukan.

Transcript of Tulisan AKATIGA

Page 1: Tulisan AKATIGA

TOPIK PENELITIAN PERBURUHAN Ditulis Oleh: AKATIGA   

Persoalan perburuhan di Indonesia mengalami banyak perkembangan sejak tumbangnya rezim Soeharto. Ketidakstabilan ekonomi yang terjadi berdampak cukup jelas pada industri formal, terutama di bidang TPT (tekstil dan produk tekstil). Menurunnya kegiatan produksi di industri formal (TPT, Perkayuan & Kehutanan, BUMN) mengakibatkan maraknya kasus PHK. Penyempitan kesempatan kerja di sektor formal ini juga menjadi salah satu penyebab membengkaknya jumlah pekerja di sektor informal. Proses-proses informalisasi yang dilakukan oleh industri sebagai bentuk strategi efisiensi produksi tampaknya ikut memberikan kontribusi terhadap membesarnya sektor informal. Hal ini erat kaitannya dengan perubahan strategi modal dalam rangka mengakumulasi kapital melalui informalisasi pekerjaan yang berdampak cukup luas terhadap buruh (laki-laki, perempuan dan anak) dan semakin memperlemah posisi tawar mereka.

Situasi perburuhan di Indonesia juga diperparah oleh keluarnya paket UU Perburuhan (UU Ketenagakerjaan, UU Penyelesaian Perburuhan dan UU kebebasan Berserikat) yang tidak mendukung peningkatan kondisi buruh tapi malah melegalisasi sistem kerja subkontrak, outsourcing,dan tenaga kerja kontrak tanpa memberikan perlindungan yang jelas terhadap buruh.

Keluarnya kebijakan perburuhan ini erat kaitannya dengan program-program besar yang diprakarsai oleh GIAT(Growth Through Invesment and Trade) dalam rangka meningkatkan penyerapan tenaga kerja melalui investasi. Mereka mendorong pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan-kebijakan yang dianggap terlalu protektif dan kebijakan upah minimum yang kenaikannya dianggap tidak menguntungkan investor.  Situasi ini membuat kondisi buruh menjadi semakin rentan. Terlebih lagi, over supply tenaga kerja dan lapangan kerja yang sempit memaksa buruh untuk masuk ke dalam industri yang sangat eksploitatif dengan upah rendah.

Buruh dan organisasi buruh sedang menghadapi kesulitan besar untuk menghadapi persoalan-persoalan tersebut dengan menggunakan perangkat organisasi dan strategi yang selama ini sudah dikembangkan. Kenyataan itu menimbulkan kesadaran pada sejumlah aktivis dan organisasi perburuhan tentang perlunya memikirkan dan mengembangkan alternatif-alternatif strategi, pengorganisasian, dan kerangka pemikiran yang baru untuk mendukung perbaikan nasib dan posisi kaum pekerja di Indonesia.

Dalam rangka mengembangkan alternatif-alternatif respons yang tepat, salah satu kebutuhan yang dirasakan penting oleh jaringan organisasi perburuhan adalah dilakukannya upaya-upaya untuk:

Mengkaji implikasi dan dampak dinamika dan perubahan situasi terhadap kondisi kesempatan kerja, kondisi kehidupan buruh (laki-perempuan-anak), dan strategi pengorganisasian buruh di tempat kerja maupun di luar tempat kerja.

Membuat evaluasi dan analisis tentang sejauh mana strategi-strategi pengorganisasian dan pemberdayaan buruh masih cukup responsif di dalam menyiasati perubahan situasi yang terjadi.

Analisis ini, lebih lanjut lagi, dapat digunakan untuk membangun strategi-strategi pengorganisasian dan pemberdayaan apa yang tepat untuk dikembangkan dalam rangka merespon situasi perubahan yang terjadi.

STUDI YANG DILAKUKAN

1. Studi Perubahan Situasi Perburuhan Pasca ReformasiProyek ini merupakan kerjasama antara 3 lembaga yang memiliki perhatian terhadap isu perburuhan: (1) Yayasan AKATIGA, ornop yang bergerak di bidang penelitian dan publikasi yang konsisten menjalankan studi-studi perburuhan sejak tahun 1991 (2) LabSosio FISIP Universitas Indonesia, lembaga penelitian dibawah Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia yang mengembangkan penelitian-penelitian dan (3) TURC, Trade Union Right Centre, Ornop yang banyak bergerak di bidang advokasi hak-hak buruh dan mendorong regulasi perburuhan yang adil bagi buruh. Pertimbangan kerjasama dari awal memang ditujukan.

Tujuan dari studi ini adalah untuk melihat dampak liberalisasi dan desentralisasi terhadap hubungan dan peraturan perburuhan di Indonesia. Hal ini meliputi beberapa tahap penganalisaan, dimulai dari undang-undang perburuhan dan kebijakan mengenai desentralisasi di tingkat nasional sampai dengan dinamika pabrik dan masyarakat di tingkat lokal. Untuk mengetahui bagaimana kebijakan di tingkat nasional telah mempengaruhi dinamika di tingkat lokal, studi ini memberi fokus kepada dua lokasi industri, yaitu Tangerang di Propinsi Banten (sebelumnya merupakan bagian dari Propinsi Jawa Barat) dan Pasuruan di Propinsi Jawa Timur. Kedua daerah ini dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa perusahaan-perusahaan Eropa memegang peranan yang sangat besar di dalam perkembangan industri di daerah tersebut. Kedua daerah tersebut juga memperlihatkan konteks yang sedikit berbeda. Tangerang telah muncul sebagai pusat industri sejak tahun 1970-an; memiliki tenaga kerja yang sebagian besar merupakan para migran; dan memiliki sejarah yang lebih lama dalam melakukan berbagai tindakan kolektif buruh. Pasuruan masih baru di dalam perkembangannya sebagai daerah industri yang penting; sebagian besar tenaga kerjanya berasal dari daerah-daerah di sekitarnya; dan buruhnya pun tidak sering melakukan protes/demonstrasi. Gagasan untuk mengambil kedua daerah ini adalah untuk melihat apakah perbedaan yang terdapat di kedua daerah tersebut dicerminkan melalui jenis-jenis peraturan dan praktek yang juga berbeda; atau apakah dinamika lokal yang berbeda akan memberikan hasil yang berbeda pula. Diantara kedua daerah ini, delapan perusahaan Eropa telah dipilih untuk memberikan gambaran tentang hubungan antara perusahaan dengan komunitas; perusahaan dan buruh  dan organisasi buruh; dan hubungan antara perusahaan dengan pemerintahan lokal. Temuan penelitian akan menunjukkan bahwa perbedaan yang terdapat diantara kedua daerah ini tidaklah setajam seperti yang awalnya diperkirakan, karena di setiap daerah juga terdapat perbedaan-perbedaan internal.

Para peneliti dari ketiga organisasi tersebut melakukan wawancara, mempelajari laporan dan data-data sekunder dari pemerintah dan perusahaan untuk melihat bagaimana proses nasional maupun lokal telah membentuk pengoperasian perusahaan-perusahaan Eropa di kedua daerah ini. Tujuan utama studi ini adalah untuk melihat bagaimana para pekerja hidup dalam lingkungan seperti ini

Page 2: Tulisan AKATIGA

dan dalam rejim desentralisasi yang baru dari para pemerintah lokal setelah masa Orde Baru. Program ini sendiri telah didiseminasikan melalui beragam media untuk memastikan hasil studi ini sampai di target group (serikat buruh, pemerintah nasional dan daerah, legislatif, akademisi, dan labour-concerned groups) dan public sebagai berikut:

Seri workshop dan dialog yang diadakan di 6 kota, mengundang kalangan legislative, akademisi, buruh, serikat buruh dan pengusaha. Workshop di Tangerang dan Pasuruan dihadiri oleh sekitar 30 orang, sementara dialog di Serang dan Surabaya dihadiri oleh sekitar 75 orang. Workshop di Jakarta dihadiri oleh 30 orang sementara dialog nasional dihadiri oleh sekitar 55 orang. Setiap peserta memperoleh workshop kit yang terdiri dari tas, executive summary, poster, brosur dan buku saku. Hasil dialog dan workshop tersebut dimuat di media massa: Radar Surabaya, Kompas Jawa Timur, dan The Jakarta Post.

Pembuatan media-media cetak yaitu 2 poster, brosur (leaflet) dan buku saku. Semua media cetak tersebut dicetak sejumlah 5000 buah dan didistribusikan ke  (1) pengusaha (2) buruh dan serikat buruh di Jawa maupun Luar Jawa (3) pemerintah daerah (4) donor-donor (5) ornop-ornop lain mitra ke-3 lembaga (6) lembaga-lembaga akademisi (7) Universitas.

Radio talkshow di Radio ElShinta dan 98 Fm.

Hasil studi ini telah diterbitkan dalam bentuk buku berjudul Buruh versus Investasi pada tahun 2007.

2. Studi Identitas Buruh dan Komunitas: Hubungan Sosial Buruh dalam KomunitasKegiatan ini merupakan studi yang dilakukan dalam kerangka rakyat pekerja dan sekaligus dalam rangka memberikan alternatif strategi pengorganisasian bagi serikat buruh. Studi ini awalnya ditujukan untuk melihat dan memetakan persoalan dan realita kehidupan buruh yang terkait dengan hubungan sosial buruh dalam komuniti. Penelitian yang dilakukan telah menjadi bahan diskusi di Surabaya dalam diseminasi penelitian di Ringkut Lor Surabaya berjudul ”Ojo Njawil, Ojo Nyaduk: Hubungan Sosial Buruh dalam Komuniti Rungkut Lor, Surabaya”, bekerjasama dengan ISBS (Institut Solidaritas Buruh Surabaya), Surabaya pada 30 Januari 2006. Dihadiri oleh 30 peserta dari serikat buruh, tokoh desa, masyarakat di desa dan buruh sendiri. Hasil studi ini sendiri menjadi bahan selain untuk pengembangan alternatif strategi pengorganisasian SBR di Surabaya juga menjadi bahan tim peneliti dalam kerangka jaringan terutama di ABM, dan jaringan rakyat pekerja.

hasil studi ini telah diterbitkan dalam bentuk seri laporan penelitian dengan judul Main Otak Main Otot:Identitas dan Pengorganisasian Buruh di Komuniti pada tahun 2008.

3. Refleksi Hasil Studi Perburuhan AKATIGA  Kegiatan ini merupakan studi sekunder dengan mengolah, merefleksikan dan mencerna kembali hasil-hasil studi yang pernah dilakukan AKATIGA mengenai isu perburuhan dengan difasilitasi oleh Ratna Saptari, ahli perburuhan yang sekarang tinggal di Belanda. Dengan fasilitasi intensif selama 4 hari, disimpulkan bahwa temuan studi-studi perburuhan yang dilakukan AKATIGA hingga saat ini penting untuk dokumentasi studi-studi perburuhan karena dapat mengisi kekosongan literatur mengenai dua tema yaitu (1) Proses Buruh dan Serikat Buruh: Dampak Perubahan Struktural terhadap Hubungan Produksi dan Politik Perburuhan dan (2) Identitas dan Komunitas Buruh: Industrialiasi dan Urbanisasi terhadap Politik Komunitas.

4. Studi Jaringan Perburuhan di IndonesiaStudi ini mengidentifikasi dinamika jaringan buruh di Indonesia dalam kerangka gerakan buruh. Dengan memotret kegiatan berjaringan yang dilakukan oleh serikat buruh dan LSM perburuhan serta kalangan akademisi dalam kurun waktu yang berbeda-beda sejak dekade 80an hingga 2008 sesuai dengan arah kebijakan perburuhan di tingkat nasional maupun internasional, di peroleh berbagai informasi yang berguna untuk membantu memahami persoalan internal maupun eksternal yang dihadapi gerakan buruh dan pentingnya dukungan dari elemen masyarakat yang lebih luas terhadap gerakan buruh dalam memperjuangkan kepentingannya.

Hasil sementara studi ini telah dibahas dalam forum diskusi dengan elemen gerakan buruh di Bandung, Jakarta, Surabaya dan Batam dan laporan studi sedang dalam proses penyusunan untuk diterbitkan sebagai buku.

5. Studi Dampak Penghapusan Kuota terhadap Industri Tekstil dan Garmen di IndonesiaStudi ini bertujuan untuk memeriksa seberapa jauh penghapusan kuota ekspor produk tekstil dan garmen (ATC-Agreement on Textile and Clothing) berdampak terhadap menurunnya jumlah dan kinerja industri tekstil dan garmen Indonesia. Hasil studi menyimpulkan bahwa penghapusan kuota tidak berdampak signifikan dibandingkan dengan persoalan-persoalan domestik yang dihadapi oleh industri ini. Kenaikan biaya produksi terutama bbm dan listrik, masalah pungutan dan buruknya infrastruktur serta membanjirnya produk tekstil dan garmen selundupan dari Cina dianggap lebih menjadi penyebab turunnya kinerja industri.

Hasil studi ini didiseminasikan dalam forum konferensi nasional di Jakarta yang diikuti oleh pengusaha, pemerintah dan buruh dan mendapat liputan luas dari media massa.

Laporan studi dalam bahasa Indonesia dan Inggris dapat diperoleh dari situs kami.

TIM PENELITI PERBURUHAN:Indrasari TjandraningsihRina Herawati

Page 3: Tulisan AKATIGA

Dinamika Jaringan Perburuhan: Angin Segar Gerakan Buruh Ditulis Oleh: Indrasari Tjandraningsih dan Rina Herawati   

… that even in the storm we find some light(Looking through the eyes of Love-Melissa Manchester)

….bahwa di tengah badai sekalipun selalu akan kita temukan berkas-berkas cahaya

LATAR BELAKANG

Secara umum gerakan buruh di Indonesia diyakini telah atau tengah tidur panjang baik oleh elemen dan pendukung gerakan maupun - dan terutama - oleh kalangan yang berada di luar gerakan. Bahkan untuk sementara kalangan, gerakan buruh dianggap sudah tidak relevan dan tidak ada harapan. Pandangan semacam itu tidak sepenuhnya salah karena secara sistematis dan obyektif memang muncul fakta-fakta yang

melahirkan dan menguatkan pandangan tersebut. Sejak Orde Baru berkuasa, politik perburuhan didominasi oleh warna korporatis dengan kebijakan-kebijakan perburuhan yang represif untuk mengendalikan serikat buruh yang membuahkan serikat buruh kuning yang jinak. Meskipun ada dinamika yang memunculkan riak-riak yang berbeda, dan memandang dari permukaan, secara umum hampir sepanjang Orde Baru praktis tak ada yang dapat disebut sebagai gerakan buruh. Namun pengamatan yang sedikit lebih mendalam memperlihatkan justru dalam tekanan, bibit-bibit gerakan terus disemai dan tumbuh dan merupakan penyumbang bagi bergeliatnya gerakan buruh di masa-masa setelahnya hingga kini. Setelah Orde Baru berakhir, peluang untuk lahirnya gerakan buruh melalui dibukanya pintu berserikat secara bebas dirayakan dengan munculnya begitu banyak serikat dalam jumlah yang mencengangkan yang menghasilkan perpecahan dan persaingan antar serikat. Kebebasan berserikat juga tidak menambah jumlah buruh yang berserikat, meskipun jumlah organisasi serikat buruh menjadi sangat banyak.

Meskipun demikian, sejak paruh kedua satu decade orde reformasi, mulai muncul tunas-tunas yang tersemai untuk bangkitnya kembali gerakan buruh di tengah situasi yang sangat didominasi oleh kekuatan modal yang hampir sepenuhnya menentukan berapa luas ruang gerak yang dapat dimiliki oleh buruh.

Situasi tersebut menjadi alasan dilakukannya penelitian ini. Studi ini ingin memahami jaringan perburuhan sebagai salah satu strategi memperjuangkan kepentingan buruh dalam konteks gerakan buruh di Indonesia dengan cara memotret pergerakan dan aktivitas para pelaku gerakan melalui kegiatan berjaringan yang dilakukan, dengan mengambil rentang waktu 1980 hingga 2006.

FOKUS DAN PERTANYAAN PENELITIAN

Perkembangan dan strategi berjaringan yang dilakukan oleh elemen-elemen gerakan buruh di Indonesia, dengan memusatkan jaringan yang muncul di Jakarta dengan sedikit perbandingan pengalaman dari Bandung. Dua pertanyaan yang hendak dijawab dalam penelitian ini adalah:

1.Bagaimana profil dan dinamika jaringan perburuhan dalam kurun 1980-2006?

Page 4: Tulisan AKATIGA

2.Apa keluaran dan apa dampak kegiatan jaringan perburuhan terhadap situasi gerakan buruh saat ini?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut penelitian ini membagi pembabakan jaringan buruh dalam empat kurun waktu, masing-masing untuk periode 80an-90an, tahun 1991-1997, tahun 1998-2003 dan tahun 2004-2006. Pembabakan ini didasarkan pada kebijakan industrialisasi dan kebijakan perburuhan yang dominan yang menjadi konteks sekaligus factor penting yang mempengaruhi situasi dan dinamika jaringan buruh. Pembabakan dilakukan dalam upaya untuk dapat melihat kesinambungan, perubahan dan perkembangan yang terjadi yang menyangkut strategi berjaringan, aktor-aktor jaringan, isu utama yang diangkat yang akan memberikan gambaran mengenai perubahan strategi gerakan buruh dalam usaha menggapai kepentingannya.

SUMBER INFORMASI

Informasi dalam penelitian ini dikumpulkan secara kualitatif melalui wawancara dengan 18 orang aktivis SB, 8 orang aktivis LSM, 3 mantan aktivis perburuhan, 1 orang dari lembaga donor. Sumber lain adalah dokumen-dokumen yang dikeluarkan oleh jaringan-jaringan yang diteliti, catatan pertemuan jaringan, seminar, lokakarya yang diselenggarakan oleh elemen jaringan yang dihadiri atau dilibati oleh AKATIGA, data-data sekunder berupa dokumen-dokumen penelitian yang relevan dari AKATIGA dan dari penelitian yang dilakukan pihak lain. Sebagian dokumen juga berasal dari hasil penelitian Kosuke Mizuno dkk yang telah terbit sebagai Direktori Serikat Pekerja/Serikat Buruh Indonesia (AKATIGA-CSEAS 2007).

KERANGKA BERPIKIR

Gambar di bawah ini menggambarkan kerangka yang digunakan untuk memahami situasi dan dinamika jaringan:

DEFINISI KERJA

Gerakan buruh adalah aksi-aksi (dalam berbagai bentuk) kaum pekerja untuk mendesakkan kepentingan mereka kepada pemerintah dan pengusaha. Gerakan buruh selain terdiri dari serikat buruh, juga LSM dan mahasiswa serta anggota kelas menengah dan akademisi (warga universitas dalam hal ini dosen).

Page 5: Tulisan AKATIGA

JARINGAN PERBURUHAN

himpunan aktor-aktor perburuhan yang dibentuk untuk mempengaruhi atau mendesakkan kebijakan perburuhan tertentu.

Temuan Penelitian

Dinamika, bentuk aksi dan hasil dari strategi berjaringan dipengaruhi oleh jalinan factor internal dan eksternal yang tidak sepenuhnya dapat dikontrol oleh aktor-aktor gerakan. Dengan kata lain tidak ada factor penyebab tunggal yang bekerja yang menentukan dinamika dan keluaran dari strategi berjaringan.

Kebijakan pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi yang bertumpu pada investasi asing dan didukung oleh pengendalian serikat buruh adalah kerangka dominan yang membingkai ruang gerak gerakan buruh selama Orde Baru berkuasa hingga senjakalanya. Ketika rezim Orde Baru berganti, tumpuan pada investasi asing semakin besar meskipun pengendalian terhadap serikat buruh sangat dikendurkan oleh Negara akan tetapi secara sistematis dilemahkan oleh modal dengan difasilitasi oleh pemerintah. Dengan kata lain modal adalah penentu utama, bila tidak satu-satunya, setting arena gerakan buruh di Indonesia sejak awalnya.

Mencermati perkembangan situasi perburuhan selama empat periode, berikut ini adalah ciri-ciri yang muncul:

1. Pada periode 80-90 dalam iklim SB tunggal jaringan perburuhan beranggota hanya serikat buruh dan dibentuk oleh sebagian serikat buruh lapangan kerja yang menolak unitarisme dari FBSI menjadi SPSI yang menghapus otoritas dan kewenangan SBLP dalam mengurus anggotanya dan mengalihkannya ke pengurus pusat SPSI. Aksi jaringan SBLP menghasilkan dikembalikannya kewenangan sector dan metode pendidikan untuk penguatan basis di tingkat pabrik sebagai ujung tombak kekuatan serikat. Keluaran dari metode pendidikan tersebut adalah aktivis-aktivis tingkat basis yang kritis terhadap SPSI dan pemerintah yang kelak menjadi tokoh serikat buruh alternatif.

Di masa ini dikeluarkan kebijakan yang mengizinkan militer secara legal melakukan intervensi dan terlibat dalam kasus perselisihan perburuhan serta penempatan militer pensiun maupun aktif dalam jajaran manajemen maupun pengurus serikat merupakan hal yang jamak. Semua ini menandai rezim perburuhan yang sangat represif tetapi sekaligus memunculkan tokoh-tokoh perlawanan dari SPSI yang menjadi motor jaringan untuk melawan keterlibatan militer dalam urusan perburuhan.

Akhir periode ini juga ditandai oleh munculnya LSM perburuhan yang bergerak untuk melakukan pembelaan terhadap eksploitasi dan kondisi kerja buruk yang dialami oleh buruh pabrik-pabrik padat karya yang menghasilkan garmen dan sepatu untuk pasar ekspor, ketika SPSI praktis tidak melakukan apa-apa. Selain melakukan pembelaan, LSM perburuhan juga melakukan pendidikan organisasi dan hak-hak buruh kepada para buruh di tingkat pabrik.

2. Periode 90-97 ditandai oleh SB tunggal federatif dan dibukanya kebebasan untuk mendirikan SB tingkat basis meskipun tetap hanya satu serikat yang diakui pemerintah.

Page 6: Tulisan AKATIGA

SPSI yang tetap mandul di masa ini melahirkan jaringan perburuhan yang dimotori LSM dengan aksi-aksi menolak militerisme dan menolak UU Ketenagakerjaan 25/1997. Di masa ini pula lahir dua serikat buruh alternative yang juga dimotori oleh LSM. Sangat jelas dalam periode ini LSM memegang peran penting dalam membangun jaringan dan menggerakkan (isu-isu) buruh. Gerakan LSM perburuhan ini sama sekali terpisah dari SPSI sebagai institusi akan tetapi berjaringan dengan aktivis-aktivisnya yang tidak puas terhadap kinerja SPSI.

Intervensi militer dalam urusan perburuhan semakin meresahkan dan menjadi isu utama yang diangkat oleh jaringan perburuhan yang dimotori oleh LSM. Iklim perlindungan HAM di tingkat internasional berhembus pula di Indonesia yang menyebabkan munculnya banyak LSM perburuhan dan kegiatan beberapa tokoh LSM tersebut antara lain adalah dibentuknya SB alternative. Pendirian SBSI dan pendeklarasiannya yang dihadiri oleh LSM perburuhan dan kelompok-kelompok buruh dampingan LSM dari Jawa dan Sumatera Utara menunjukkan sentralnya peran LSM dalam gerakan buruh di Indonesia.

Kasus Marsinah tahun 1993 yang menghebohkan yang menjadi bukti intervensi militer melahirkan berbagai jaringan LSM dan mahasiswa untuk menggalang solidaritas dan memprotes keras kasus tersebut. Tekanan jaringan terhadap kasus ini cukup efektif juga karena didukung oleh media massa. Kasus ini diusut secara sangat berliku dan para pelakunya dijatuhi hukuman.

Aksi buruh yang fenomenal yang dimotori oleh ketua SBSI yang mantan aktivis LSM, Mohtar Pakpahan terjadi di Medan tahun 1994 yang berhasil mengerahkan ribuan buruh untuk menuntut besaran upah minimum.

LSM pula yang menjadi roh gerakan menolak UU Ketenagakerjaan tahun 25/97 di akhir senjakala Orde Baru. 12 LSM perburuhan bergabung dalam jaringan yang dinamai KPHP (Komisi Pembaruan Hukum Perburuhan) secara sistematis dan substansial melakukan aksi penolakan UU tersebut ditandai dengan dikeluarkannya buku yang berisi pemikiran para ahli mengenai mengapa UU itu harus ditolak. Dalam pandangan KPHP UU tersebut belum memuat hak-hak dasar buruh seperti jaminan atas pekerjaan, kebebasan berorganisasi dan mogok, lembaga penyelesaian perselisihan perburuhan yang adil. Aksi penolakan UU 25/97 juga dilengkapi dengan aksi massa oleh kelompok-kelompok buruh. Situasi politik yang rentan, awal krisis ekonomi dan aksi-aksi penolakan yang konsisten yang menyebabkan kepala-kepala pemerintahan yang silih berganti dalam kurun waktu amat pendek mengambil sikap aman dengan penundaan pemberlakuan UU tersebut menunjukkan penolakan ini sangat berhasil. Dan selama lima tahun UU untuk mengatur perburuhan kembali ke UU lama sebelum akhirnya dikeluarkan UU 13/2003.

Dalam periode ini dikeluarkan kebijakan upah minimum dan untuk selanjutnya tuntutan upah minimum menjadi agenda aksi pokok dalam aksi-aksi buruh disamping agenda menolak kebijakan-kebijakan lain yang merugikan buruh.

LSM juga membentuk jaringan untuk mengangkat isu perempuan dalam perburuhan yang selama ini selalu terpisah. Jaringan ini beranggotakan aktivis perempuan LSM yang mengurus isu perempuan dan kelompok-kelompok buruh perempuan serta berusaha memasukkan isu perempuan dalam jaringan LSM dan buruh yang menangani

Page 7: Tulisan AKATIGA

isu buruh secara umum. Kegiatan jaringan untuk isu buruh perempuan ini berhasil memasukkan gagasan tentang persoalan kesehatan reproduksi dan K3 dalam RUU PPK dan PHI melalui jaringan yang beranggotakan LSM dan buruh untuk isu buruh yang lebih umum meskipun kemudian karena jaringan tersebut bubar tak ada kelanjutan gagasan itu untuk diakomodasi dalam UU Ketenagakerjaan. Dalam kaitannya dengan pengangkatan isu perempuan, dibentuk jaringan buruh dan LSM yang bertujuan meningkatkan kapasitas kepemimpinan perempuan untuk mengurus organisasi buruh.

Jaringan-jaringan perburuhan di masa ini dimotori oleh LSM perburuhan yang bekerja sama dengan kelompok-kelompok buruh di tingkat basis baik yang merupakan anggota SPSI maupun bukan, yang kritis. Penting dicatat bahwa SPSI sebagai sebuah organisasi tidak pernah terlibat dalam jaringan dan aksi-aksinya karena menganggap LSM perburuhan tidak memiliki kewenangan atau urusan dalam persoalan perburuhan. Pertautan hubungan yang intensif di antara LSM dengan kelompok buruh mengalami pasang surut dan menghasilkan sifat hubungan semacam ‘benci tapi rindu’ di antara keduanya. Beberapa pertemuan dilakukan di antara keduanya maupun internal masing-masing mengenai bagaimana sebaiknya peran LSM : menjadi serikat atau menjadi pendukung serikat. Perdebatan mengenai hal ini ternyata cukup tajam dan mampu menyebabkan perpecahan dalam jaringan. Di kalangan buruh LSM acap dianggap sebagai penjual buruh kepada para donor akan tetapi pada saat yang sama berbagai kebutuhan dana kelompok buruh dipenuhi melalui jaringannya dengan LSM yang secara langsung mempunyai hubungan dan akses kepada donor. Perdebatan ini tetap berlangsung di masa-masa setelahnya bahkan hingga saat ini (lihat misalnya indoprogress.blogspot.com/2007/10 dan /2008/03/).

Patut dicatat di sini bahwa LBH adalah LSM yang sangat sentral dalam dinamika jaringan dan aksi buruh di Jakarta dan sekitarnya. Disanalah digagas dan dilaksanakan berbagai pembentukan dan aksi-aksi jaringan buruh. Bagaimanapun, peran LSM dalam membentuk jaringan dan menggerakkan aksi-aksi buruh di masa ini tak dapat disangkal. Demikian juga peran LSM dalam mendorong munculnya dua serikat buruh baru yang fenomenal di tengah rezim yang represif.

Periode 1998-2003 ditandai dengan keragaman serikat buruh dengan munculnya kebebasan berserikat. Segera muncul puluhan serikat dan secara garis besar terdapat empat kelompok serikat buruh yakni kelompok SPSI, kelompok pecahan SPSI, kelompok serikat yang tak ada latar belakang serikat buruh dan kelompok SB dukungan atau bentukan LSM. Lima tahun pertama masa kebebasan berserikat memperlihatkan situasi yang memprihatinkan karena serikat buruh yang menjadi elemen utama gerakan selain sangat banyak ternyata juga sangat rentan terhadap perpecahan, SPSI mengalami perpecahan yang intensif. Tiga kelompok serikat lain juga tak kebal terhadap perpecahan yang parah dan merisaukan .

Di tengah bermunculannya serikat, jaringan perburuhan yang dimotori oleh LSM dan kelompok serikat buruh independent serta kelompok serikat pecahan SPSI tetap aktif, berdampingan dengan kegiatan jaringan buruh yang dimotori dan beranggotakan para aktivis serikat pekerja kelompok pecahan SPSI dan serikat yang baru sama sekali. Jaringan-jaringan tersebut dibentuk untuk merespon peraturan mengenai pesangon dan proses kebijakan perumusan paket 3 UU Perburuhan dengan strategi masing-masing. Jaringan untuk menolak perubahan ketentuan pesangon sebagaimana

Page 8: Tulisan AKATIGA

dicantumkan dalam keputusan menteri no.78 tahun 2001 dan no.111 tahun 2001 dibentuk oleh SB dan LSM dengan melakukan tekanan melalui aksi massa yang dilakukan serentak di berbagai daerah di seluruh Indonesia. Aksi penolakan ini kemudian tidak berlanjut karena perhatian dialihkan kepada isu RUU PPI dan PPK yang kelak menjadi UU Ketenagakerjaan dan UU PPHI.

Jaringan yang digerakkan oleh LSM melakukan serangkaian kegiatan advokasi dengan konferensi pers, diskusi-diskusi pembahasan RUU, rapat dengar pendapat dengan parlemen yang dilengkapi dengan aksi massa dan permintaan peninjauan kembali UU 13/2003. Jaringan serikat kelompok pecahan SPSI mengambil strategi yang mirip dengan strategi jaringan LSM tetapi tanpa aksi massa dan wakil-wakil mereka dipilih oleh parlemen untuk membahas RUU 13/2003 dan 04/2004. Jaringan kelompok ini juga mendapatkan fasilitas dari pemerintah dalam berbagai bentuk antara lain penggunaan gedung Depnaker untuk mengadakan pertemuan-pertemuannya.

Jaringan lain yang muncul masa ini adalah jaringan yang dibentuk untuk mendesak pemerintah agar secara resmi 1 Mei diakui sebagai hari buruh dan diperingati. Jaringan ini mendesakkan tuntutannya melalui aksi-aksi massa yang diorganisir dengan rapi dan memperluas anggota jaringan dengan merangkul media massa, mahasiswa, aktivis etnis Cina dan LSM miskin kota dan melakukan aksinya di setiap peringatan 1 Mei. Hingga kini 1 Mei memang dapat diperingati oleh buruh dengan berbagai aksi dan kegiatan.

Muncul pula jaringan yang difasilitasi oleh donor antara lain jaringan untuk memantau pelaksanaan Code of Conduct dengan anggota para aktivis serikat dan LSM perburuhan.

Di periode ini peran LSM sebagai penggerak jaringan menyurut dibandingkan periode sebelumnya dan serikat mulai memimpin dan mengambil inisiatif. Tampaknya ini semacam konsekuensi logis dari munculnya organisasi-organisasi buruh karena iklim kebebasan berserikat. Dan secara alamiah hal ini juga merupakan hasil dari proses-proses pendidikan dan pengkaderan yang selama ini dilakukan oleh para aktivis perburuhan.

PERIODE 2004-2006

Situasi kebijakan yang memberlakukan praktek buruh kontrak dan outsourcing melalui UU 13/2003 menjadi agenda utama jaringan-jaringan buruh yang di masa ini lebih banyak digerakkan oleh serikat. Strategi aksi massa untuk menolak praktek hubungan kerja yang sangat merugikan buruh itu dilakukan oleh berbagai jaringan buruh tidak saja di Jakarta tetapi juga di kota-kota lain. Peringatan 1 Mei menjadi saat yang selalu digunakan untuk mengangkat isu ini. Isu ini juga menyatukan buruh dari berbagai serikat dan dari berbagai sector termasuk sector jasa dan kerah putih yang selama ini tidak menjadi anggota jaringan.

Masa ini muncul tanda-tanda serikat menjadi semakin solid setidaknya dengan dilakukannya aksi massa yang menggabungkan hampir semua kelompok serikat buruh. Satu aksi besar yang sangat berhasil yang dilakukan pada 1 Mei 2006 harus dicatat dalam sejarah gerakan buruh kita karena berhasil membatalkan rencana pemerintah

Page 9: Tulisan AKATIGA

untuk melakukan revisi terhadap UU 13/2003. Aksi ini seperti mengulang keberhasilan aksi jaringan yang menolak UU 25/1997.

Dengan melihat jaringan-jaringan yang pernah ada dalam periode ini, dapat dikatakan bahwa dibandingkan pada periode sebelumnya, meski aktornya relatif tetap, jumlah jaringan yang terbentuk makin menyusut. Dalam jaringan-jaringan di periode ini, peran SB makin besar sementara peran LSM makin berkurang. Isu upah masih terus menjadi isu jaringan, sementara isu perempuan masih tetap marginal dan sulit untuk sinergi dengan isu yang dominan.

Perkembangan terakhir menunjukkan sedang mulai terjadinya kristalisasi kekuatan serikat di tengah fragmentasi yang masih terus terjadi. Kristalisasi serikat terjadi dengan dibentuknya jaringan antar serikat dari keempat kelompok yang berusaha menyatukan agenda aksi untuk memberikan artikulasi yang lebih kuat terhadap persoalan-persoalan perburuhan yang paling meresahkan dan harus menjadi prioritas.

KESIMPULAN

• Gerakan buruh di Indonesia tak pernah mati. Aksi-aksi buruh yang dilakukan dengan strategi berjaringan yang melibatkan elemen-elemen gerakan terus dilakukan baik secara berkesinambungan maupun secara independent. Kegiatan berjaringan sebagai upaya mengartikulasikan kepentingan buruh merupakan sebuah cara yang efektif untuk menjaga denyut gerakan buruh.

• Dinamika, bentuk aksi dan hasil dari strategi berjaringan dipengaruhi oleh jalinan factor internal dan eksternal yang tidak sepenuhnya dapat dikontrol oleh aktor-aktor gerakan. Dengan kata lain tidak ada factor penyebab tunggal yang bekerja yang menentukan dinamika dan keluaran dari strategi berjaringan.

• Terdapat kesinambungan kegiatan jaringan dari periode ke periode terutama dari sisi actor. Sebagian actor penggerak jaringan mempunyai kaitan sejarah dengan periode 80an baik sebagai pelaku maupun sebagai hasil kaderisasi yang terjadi dalam setiap periode. Usaha-usaha penguatan basis melalui kegiatan pendidikan keorganisasian dan hak-hak buruh yang terus-menerus dilakukan sangat bermanfaat dalam menyiapkan kader-kader pemimpin buruh dan gerakan saat ini.

• LSM berperan penting dalam pembentukan jaringan-jaringan perburuhan khususnya di periode ketika serikat masih tunggal. Perannya menyurut seiring dengan munculnya serikat-serikat buruh yang semakin kuat dan berpengaruh.

• Terdapat perkembangan strategi aksi jaringan dari yang berciri reaktif menjadi proaktif, dari hanya merespon situasi atau kebijakan yang tidak menguntungkan, berkembang menjadi mendesakkan kebijakan atau mengusulkan konsep-konsep baru.

• Ditengah persaingan dan perpecahan serikat serta persoalan internal yang terus dihadapi baik oleh LSM maupun serikat, kemunculan jaringan-jaringan buruh menyiratkan bahwa hal-hal positif lah yang dibawa oleh masing-masing anggota jaringan sehingga tujuan pembentukan berbagai jaringan relative mencapai tujuannya. Dinamika jaringan juga menunjukkan adanya kesadaran bahwa aksi bersama akan

Page 10: Tulisan AKATIGA

lebih kuat pengaruhnya dibandingkan aksi individual dan hal ini melahirkan potensi kristalisasi kekuatan buruh di tengah situasi fragmentasi.

• Terdapat kristalisasi kekuatan serikat buruh di tengah fragmentasi yang masih terus terjadi. Kristalisasi ini merupakan bukti bagaimana serikat buruh belajar bahwa perpecahan bersifat kontraproduktif terhadap gerakan dan kepentingan buruh, dan bahwa hanya pihak ‘musuh’ yang akan diuntungkan dari perpecahan itu.

Page 11: Tulisan AKATIGA

Penghapusan Kuota Industri Tekstil dan Garmen Indonesia: dimana Kita Berada? Ditulis Oleh: AKATIGA   

STUDI AKATIGA

Tim Studi:

Indrasari TjandraningsihRizal SidikYulia Indrawati SariMaria Dona

RINGKASAN EKSEKUTIF

Studi ini bertujuan untuk memeriksa apakah berakhirnya perjanjian Tekstil dan Garmen (Agreement on Textile and Clothing-ATC) berdampak besar terhadap kinerja industri tekstil dan garmen (T&G) Indonesia sebagaimana yang telah diperkirakan oleh banyak studi sebelumnya , atau apakah sebenarnya ada hal-hal yang lebih berpengaruh terhadap kinerja industri ini. Studi ini menyajikan tinjauan komprehensif mengenai

perkembangan industri T&G setelah berakhirnya system kuota dengan menggunakan data makro. Selanjutnya tinjauan ini dilengkapi dengan analisis data mikro yang lebih rinci dengan menggunakan survey terhadap perusahaan serta analisis situasi secara kualitatif.

Analisis data makro menyajikan profil industri T&G di dalam kerangka ekonomi Indonesia, dinamikanya dan hambatan-hambatan yang menghalangi daya tahan dan daya ekspansi industri. Analisis ini juga akan mencoba memahami peran industri ini dalam kerangka ekonomi yang lebih luas dengan perhatian khusus terhadap perannya sebagai penyerap tenaga kerja dan kinerja ekspor secara menyeluruh. Analisis makro dilengkapi dengan survey mengenai perspektif pelaku bisnis di Kota dan Kabupaten Bandung – dua lokasi utama industri T&G di Indonesia – untuk memahami secara lebih dalam kondisi riil perusahaan-perusahaan setempat dan mengidentifikasi kendala dari sisi permintaan yang mereka alami. Secara khusus kendala tersebut meliputi infrastruktur, buruh, tata pemerintahan, regulasi perdagangan dan akses financial. Wawancara kualitatif akan melengkapi informasi secara rinci berbagai persoalan yang dihadapi industri T&G dan terutama akan berfokus pada dampaknya terhadap buruh. Akan diuraikan gambaran kondisi kerja dan standar kehidupan buruh T&G dan bagaimana mereka menyiasati makin meningkatnya ketidakpastian di pasar tenaga kerja. Dalam wawancara ini kami juga menyoroti langkah-langkah yang telah ditempuh oleh pengusaha, serikat buruh dan pemerintah dalam menghadapi berbagai persoalan industri T&G.

Studi ini menemukan bahwa setidaknya dalam periode pasca penghapusan kuota, tetapi masih dalam periode safeguard dengan kuota untuk produk Negara Cina untuk tujuan pasar Amerika Serikat, Indonesia masih memperlihatkan kemampuan untuk bersaing di pasar global terutama bila hambatan industri yang berasal dari dalam negeri dapat diatasi. Dalam jangka lima tahun periode 2000-2005 ekspor T&G Indonesia tumbuh lebih cepat dibandingkan angka ekspor dunia dan dalam semester pertama 2006 Indonesia telah meningkatkan meingkatkan nilai ekspor dan memperluas pasarnya. Meskipun demikian, analisis makro juga memperlihatkan bahwa setelah krisis 1997 pertumbuhan industri menurun terutama karena rendahnya investasi modal yang berpengaruh terhadap rendahnya produktivitas, dan secara umum karena permasalahan yang menyangkut sisi penawaran domestic. Selain itu ada indikasi awal bahwa industri ini bergerak ke arah industri hilir garmen.

Analisis mikro memperlihatkan persoalan perusahaan T&G skala besar dan menengah di Bandung yang sebagian besar berproduksi untuk pasar domestic, kecil kaitannya dengan berakhirnya kuota. Survei kami mengonfirmasi kesimpulan berbagai studi tentang iklim usaha di Indonesia yang diganggu oleh pungutan dan korupsi dan bahwa persoalan utama yang dihadapi oleh perusahaan adalah tata pemerintahan. Pungutan legal dan illegal di daerah baik oleh pemerintah maupun nonpemerintah semakin marak di masa otonomi daerah dan besar perannya dalam meningkatnya total biaya produksi.

Studi ini menunjukkan bahwa persoalan yang dihadapi industri T&G Indonesia bersifat serius: dihapusnya kuota, membanjirnya impor illegal produk-produk Cina dan iklim berusaha yang kurang kondusif banyak menghambat kinerja dan data saingnya. Di samping itu hambatan internal industri juga dihadapi karena mesin dan teknologinya berusia tua sehingga tidak mampu secara efisien merespon perubahan permintaan pasar yang sangat cepat. Terlebih lagi pabrik-pabrik T&G di Bandung terletak di lokasi dengan kelengkapan infrastruktur yang buruk yang membutuhkan perbaikan total terhadap sarana jalan raya, saluran air dan saluran pembuangan limbah. Di wilayah lokasi konsentrasi industri T&G di Bandung Selatan, banjir merupakan musibah tahunan yang menimbulkan kerugian yang besar bagi industri dan buruhnya. Masalah lain yangdihadapi adalah meningkatnya biaya produksi karena kenaikan bahan bakar minyak dan tariff listrik.

Berbagai persoalan tersebut berdampak langsung terhadap kondisi buruh. Survei kami menunjukkan bahwa sebagian besar perusahaan melakukan penyesuaian terhadap biaya-biaya tenaga kerja dengan rasionalisasi buruh dan menunda kenaikan upah sebagai langkah untuk menghadapi hambatan-hambatan tersebut. Studi kualitatif menunjukkan bahwa pergeseran dari mempekerjakan buruh tetap menjadi buruh kontrak yang difasilitasi dan dilegalkan oleh UU Ketenagakerjaan no.13/2003 untuk praktek pasar kerja yang fleksibel , merupakan strategi utama dalam menekan biaya tenaga kerja.

Beberapa perusahaan T&G yang memproduksi untuk pasar local tidak mampu bertahan terhadap kenaikan biaya produksi dan membanjirnya produk Cina, sehingga mereka menutup pabriknya dan menyumbang pengangguran dalam jumlah besar. Perusahaan-perusahaan yang masih mencoba bertahan mengurangi jumlah tenaga kerjanya secara drastic atau mengubah status

Page 12: Tulisan AKATIGA

hubungan kerja dari tetap menjadi tidak tetap (kontrak). Strategi ini bisa secara signifikan mengurangi biaya buruh hingga 40%-60%. Ketika persaingan di pasar tenaga kerja semakin meningkat, perempuan lebih memiliki kesempatan kerja dibandingkan laki-laki. Para pengusaha T&G masih memilih perempuan untuk melaksanakan proses produksi sehingga buruh perempuan yang ter PHK memiliki lebih banyak kesempatan untuk memperoleh pekerjaan baru, meskipun hanya sebagai buruh kontrak. Dalam prakteknya status sebagai buruh kontrak berdampak langsung terhadap menurunnya kesejahteraan dan kepastian kerja.

Dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat, pengusaha juga menggunakan berbagai strategi lain mulai dari diversifikasi pembeli, meningkatkan mutu produk, mengimpor produk Cina dan memberi label local untuk dijual dai pasar local, menyesuaikan proses produksi sebagaimana diminta oleh pihak pembeli hingga mengembangkan rencana pembangunan kawasan industri T&G baru yang terintegrasi. Di samping itu dikembangkan juga strategi individual maupun kolektif dari pengusaha T&G. Termasuk strategi individual adalah inovasi produk, mencari pasar yang baru, modifikasi mesin; strategi kolektif berkaitan dengan usaha untuk menghadapi kebijakan pemerintah local dan pusat yang berdampak negative terhadap operasi bisnis, dalam hal ini berkaitan dengan tariff energi, infrastruktur, biaya tenaga kerja dan pungutan.

Pemerintah pusat telah mengambil serangkaian langkah untuk membantu perkembangan industri T&G misalnya dengan meluncurkan kredit untuk peningkatan mesin-mesin dalam usaha mengatasi problem rendahnya akses kredit yang selama beberapa waktu menghambat kegiatan industri. Di sisi lain pemerintah local belum mengeluarkan kebijakan yang sungguh-sungguh untuk mendukung industri T&G karena industri ini dianggap tidak lagi strategis untuk mendatangkan Pendapatan Asli Daerah maupun untuk menyerap tenaga kerja local. Dalam era otonomi daerah industri sering diperlakukan sebagai sumber pendapatan daerah melalui berbagai pajak dan pungutan.

Serikat buruh secara umum meyakini bahwa persoalan industri T&G muncul bukan karena berakhirnya kuota tetapi karena beban pungutan dan pajak. Dalam upaya mengatasi hal itu beberapa serikat melakukan dialog dengan parlemen local untuk membahas peraturan-peraturan daerah yang merugikan industri dan buruh T&G. Serikat buruh lain bekerja sama dengan pengusaha untuk meningkatkan produktivitas buruh. PHK akibat penutupan pabrik atau akibat rasionalisasi dihadapi dengan mengorganisasi dan mendampingi buruh untuk mendapatkan hak pesangon mereka. Bagaimanapun, serikat buruh belum atau tidak dapat berbuat banyak terhadap isu pokok mengenai pergeseran buruh tetap menjadi buruh kontrak , terutama ketika buruh sendiri di tengah situasi yang sulit menyimpulkan bahwa bisa bekerja jauh lebih penting daripada status pekerjaannya itu sendiri. Dengan kata lain, buruh sendiri terpaksa tidak memperdulikan status sebagai buruh kontrak daripada tidak dapat bekerja samasekali.

Page 13: Tulisan AKATIGA

Bagaimana Memenangkan Persaingan? Ditulis Oleh: Indrasari Tjandraningsih   

Laporan Pelaksanaan KONFRENSI NASIONAL TEKSTIL DAN GARMEN INDONESIAAKATIGA - FES, Hotel Sultan Jakarta

PENGANTAR

Konferensi ini merupakan tindak lanjut dari sebuah kegiatan studi mengenai dampak berakhirnya kuota ekspor tekstil dan garmen terhadap industri ini di Indonesia. Studi dampak berakhirnya kuota dilakukan dalam sebuah proyek bersama di tingkat regional untuk dua negara yakni Indonesia dan Kamboja dan dikembangkan sebagai proyek bersama antara FES, Sudwind, AKATIGA (Indonesia) dan CIDS – Cambodian Institute of Development Studies (Kamboja).

Konferensi ini merupakan rangkaian dari studi yang dilakukan di Indonesia, yang dilaksanakan pada tahun 2007. Studi yang disusun dalam laporan berjudul Penghapusan Kuota dan Industri Tekstil dan Garmen Indonesia:Di Mana Kita Berada? menemukan bahwa kondisi suram yang dialami industri tekstil dan garmen bukan disebabkan oleh penghapusan kuota melainkan oleh hambatan2 berusaha dan berinvestasi dari dalam negeri, baik yang disebabkan oleh pemerintah maupun oleh para pelaku industri itu sendiri. Hasil studi telah diseminarkan di Bandung bulan Desember 2007 yang dihadiri pula oleh partner studi dari Kamboja, para pengurus serikat pekerja/serikat buruh, aparat pemerintah terkait dan LSM serta wakil2 dari serikat tekstil internasional (ITGLWF) dan Clean Clothes Campaign.

Telaah lebih lanjut dari hasil studi tersebut memperlihatkan kaitan yang sangat erat antara temuan-temuan studi dengan realitas perkembangan industri Tekstil dan Garmen nasional, serta memberikan berbagai peluang untuk melakukan kegiatan mendukung industri ini dan para pemainnya, terutama serikat buruh dan pemerintah. Salah satu temuan studi berkaitan dengan gempuran produk tekstil dan garmen Cina yang masuk baik secara legal maupun ilegal yang dianggap sangat mengancam produk tekstil dan garmen Indonesia. Temuan ini mendorong AKATIGA untuk melakukan analisis lebih lanjut untuk mengetahui seberapa besar ancaman Cina terhadap produk Indonesia di pasar Amerika sebagai pasar utama ekspor tekstil dan garmen Indonesia. Tahun 2008 AKATIGA melakukan studi analisis data sekunder mengenai persiangan produk Cina dan Indonesia di pasar AS dan hasilnya disusun dalam laporan studi berjudul Assesing the Performance of Indonesian Textile and Clothing Industry under the Agreement on Textile and Clothing Phase-Out . Studi ini menemukan bahwa di pasar AS meskipun berhadapan langsung dengan produk Cina, produk Indonesia tetap memiliki keunggulan dan peluang untuk terus unggul sebab ada beberapa kategori produk Indonesia yang sangat kompetitif dan tak dapat dikalahkan oleh Cina.

Temuan-temuan dari kedua studi tersebut menyediakan data yang penting yang intinya menyatakan bahwa industri tekstil dan garmen Indonesia masih memiliki banyak peluang dan dapat didorong untuk menjadi lebih berdaya saing serta samasekali bukan sebuah ‘sunset industry’ sebagaimana yang banyak didengungkan oleh berbagai pihak. Temuan-temuan studi juga menjadi faktor pendorong bagi AKATIGA dan FES untuk melakukan upaya menyebarkan gagasan kepada para pemangku kepentingan industri ini -serikat pekerja, pengusaha dan pemerintah serta para pemilik merk dunia - untuk mempertahankan dan memperkuat industri ini agar perannya sebagai penyerap tenaga kerja industri manufaktur dapat tetap dipertahankan.

PERSIAPAN KONFERENSI

Mempertahankan dan memperkuat daya saing industri tekstil dan garmen Indonesia menjadi gagasan utama yang akan disebarkan melalui konferensi nasional ini. Untuk membawa efek yang lebih luas, konferensi ini dipersiapkan dengan seksama. Persiapan yang seksama ini dilakukan karena FES dan AKATIGA sepakat bahwa kegiatan ini lebih dari sekedar mempresentasikan hasil studi akan tetapi menggunakan hasil studi untuk membangun kesadaran dan pemahaman bagaimana industri tekstil dan garmen dapat dan perlu dipertahankan.

Upaya pertama adalah meminta bantuan dari ITGLWF untuk menyempurnakan konsep acara untuk keperluan meyakinkan para pembeli dari kantor-kantor pusat mereka untuk berpartisipasi dalam acara ini. Strategi ini cukup efektif karena para buyer yang diundang memberikan respon dengan segera meskipun tak dapat mengirim wakil dari kantor pusat karena alasan kesibukan. Meskipun demikian ditugaskan para manajer regional untuk berpartisipasi dalam acara ini.

Serangkaian pertemuan dengan para pemangku kepentingan industri ini dilakukan untuk menganggap aspirasi dan tanggapan mereka terhadap gagasan pokok tersebut. Seri pertemuan pertama dilakukan dengan SENADA – sebuah proyek USAID untuk meningkatkan antara lain industri garmen Indonesia – dan Indotextiles – sebuah lembaga penyedia informasi dan promosi industri tekstil dan garmen Indonesia. Seri pertemuan pertama ini bertujuan menggagas kemasan acara dan titik masuk upaya meningkatkan daya saing industri. Semula konferensi ini akan diselenggarakan sebagai sebuah kerjasama antara empat lembaga yakni AKATIGA-FES-SENADA-Indotextiles. Akan tetapi pada satu titik SENADA dan Indotextiles mengundurkan diri dari kerjasama, meskipun pada akhirnya Indotextiles kembali bergabung sebagai penyelenggara. Diskusi dalam seri pertemuan pertama untuk mendapatkan titik masuk cara meningkatkan daya saing menyepakati bahwa mutu keterampilan tenaga kerja adalah adalah kuncinya.

Seri pertemuan kedua dilakukan dengan pengusaha, serikat pekerja dan tiga departemen yang terkait yakni Departemen Tenaga Kerja, Departemen Perindustrian dan Departemen Pendidikan Nasional untuk mempertajam titik masuk tersebut dan mengundang mereka sebagai narasumber dalam konferensi. Pengusaha dan Departemen Perindustrian memberikan sambutan yang sangat positif dan bersedia bekerjasama sebagai narasumber. Departemen Perindustrian diwakili oleh direktur tekstil dan produk tekstil

Page 14: Tulisan AKATIGA

sebagai narasumber dan pada awalnya Menteri Perindustrian juga akan memberikan sambutan kuncinya, tetapi di saat acara kehadirannya diwakilkan kepada dirjen ILMTA.

Seri pertemuan ketiga dilakukan dengan para wartawan dan moderator serta pelapor. Akses kepada wartawan dibuka dengan bantuan Indotextiles. Pertemuan dengan wartawan bertujuan untuk mengundang peliputan acara dan dengan para moderator dan pelapor untuk menjaga fokus, target dan koherensi acara. Dua moderator masing-masing dari pengurus API DKI dan dari The Jakarta Post bersedia membantu. Pelapor yang semula akan dibantu dari The Jakarta Post pada hari H digantikan oleh wakil dari SENADA.

Persiapan yang seksama juga dilakukan dalam menyebarkan undangan. Kategori undangan adalah: serikat pekerja, pengusaha – antara lain juga mendapat bantuan daftar nama dan alamat yang komprehensif dari SENADA - individu, wakil asosiasi :APINDO, API, Kadin pusat dan daerah, wakil-wakil pemerintah pusat dan daerah (Depnaker, Depperin, Diknas dan dinas2 di 4 provinsi masing-masing DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, BKPM dan KPMD serta Bappeda) LSM, lembaga penelitian, wartawan. Dari undangan kepada pemerintah2 daerah sambutan positif terutama datang dari pemda Jawa Tengah yang hadir diwakili oleh BPMD propinsi dan disnakertrans, kemudian DKI oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan Pemkot Bandung. Dari sekitar 150 undangan yang disebarkan, 82 hadir dalam acara ini.

PELAKSANAAN KONFERENSI

Sesi pertama dibuka oleh sambutan dari Direktur kantor FES Indonesia Erwin Schweisshelm dan dirjen ILMTA Departemen Perindustrian Ir. Anshary Bukhari. Dirjen ILMTA antara lain menegaskan keseriusan instansinya dalam mendukung industri tekstil dan garmen dengan mengalokasikan 70% anggaran direktoratnya untuk industri tekstil dan produk tekstil dan upaya memfasilitasi kerjasama tiga departemen yang telah disebut di atas untuk menyelenggarakan dan mengaktifkan pusat-pusat pelatihan tenaga kerja di daerah-daerah pusat industri tekstil dan garmen. Dirjen juga menyediakan waktu untuk menjawab beberapa pertanyaan dari hadirin dan mendengarkan presentasi hasil studi AKATIGA.

Sesi kedua berjudul Bagaimana Memenangkan Persaingan yang diisi dengan presentasi hasil studi AKATIGA oleh Indrasari Tjandraningsih yang diteruskan dengan tanya jawab dengan hadirin dan presentasi hasil studi SENADA ”End-Market Analysis for Garment Industry” oleh Henrietta Lake yang dibahas oleh wakil dari Adidas dan Gap. Nada dasar kedua presentasi maupun tanggapan dari kedua pembahas adalah terbukanya peluang peningkatan daya saing yang akan dapat direbut jika dilakukan pembenahan peningkatan mutu tenaga kerja dan memperbaiki pengelolaan proses produksi tekstil dan garmen serta menghilangkan hambatan-hambatan berusaha.

Sesi ketiga dengan judul Peta bagi Industri Tekstil dan Garmen Indonesia diisi dengan presentasi dari wakil ketua DPP API dan ketua DPD API Jawa Barat Ade Sudrajat dengan paparannya mengenai ”Perkembangan Global Industri TPT Indonesia”, Direktur Tekstil dan Produk Tekstil Departemen Perindustrian Ir. Arryanto Sagala dengan paparan mengenai ”Upaya-Upaya Nyata yang Telah dan Akan Dilakukan Departemen Perindustrian dalam rangga Peningkatan Daya Saing Industri Tekstil dan Produk Tekstil” serta Karel Sahetapy dari DPP SPN. Sesi ini memperlihatkan kondisi obyektif industri dan langkah nyata yang sedang dan akan dilakukan untuk mendorong industri tekstil dan garmen, melalui dua pembicara pertama. Pembicara dari wakil serikat tidak memberikan pandangan serikat mengenai bagaimana dan apa yang dapat dilakukan oleh serikat pekerja untuk mendorong industri ini, sebagaimana yang diharapkan.

Sesi keempat berjudul Peta bagi Terciptanya Tenaga Kerja Terampil di Industri Tekstil dan Garmen diisi oleh ketua Lembaga Sertifikasi Profesi Garmen Heru Setiawan dengan judul presentasi sama dengan judul sesi dan direktur International Garment Training Center Till Freyer yang mempresentasikan ”Exploring Opportunities in Global Market”. Kedua pembicara ini adalah orang-orang yang bergerak di bidang peningkatan keterampilan tenaga kerja garmen dengan mendorong pemberian sertifikasi keterampilan dan pelatihan untuk meningkatkan daya saing produk garmen Indonesia.

Sesi terakhir diberi judul Meningkatkan Kesempatan Kerja di Industri Tekstil dan Garmen – Rekomendasi bagi Pembuat Kebijakan. Tujuan sesi ini adalah mengajak para hadirin untuk memikirkan dan melakukan tindak lanjut konkrit dari konferensi ini. Gagasan tindak lanjut yang dilontarkan kepada hadirin adalah dibentuknya sebuah gugus kerja untuk memikirkan kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan bersama agar persoalan ini tetap mendapat perhatian dari para pemangku kepentingan dan masyarakat luas. Sayang sekali lontaran ini tidak mendapat sambutan dari sisa hadirin yang masih bertahan. Sesi ini tinggal diikuti oleh tak lebih dari 20 undangan.

Lepas dari itu, secara umum konferensi ini dapat dianggap berhasil mencapai tujuan dan mendapatkan perhatian dari pihak-pihak yang diharapkan.

INDIKATOR PELAKSANAAN KONFERENSI

Kehadiran dirjen ILMTA Departemen Perindustrian, kehadiran seluruh narasumber yang diundang dan jumlah undangan yang hadir dari semua kategori undangan dapat dijadikan indikator acara ini dianggap penting oleh pihak yang diundang. Demikian juga bertahannya sebagian besar undangan hingga sesi setelah makan siang menunjukkan acara ini cukup diminati.

Kehadiran wartawan yang cukup banyak (12 media), liputan yang muncul setidaknya dari 2 media nasional (Media Indonesia dan The Jakarta Post) dan mengangkat topik konferensi dalam sebuah rubrik analisis seperti yang dilakukan oleh Media Indonesia dapat dijadikan indikator lain bagi keberhasilan acara ini.

Page 15: Tulisan AKATIGA

Konferensi ini juga menjadi arena untuk promosi institusi-institusi yang hadir dan mempertemukan pihak-pihak yang sama memiliki keperdulian terhadap kelangsungan industri ini dan menjadi awal bagi terbangunnya jaringan untuk bekerja sama mendukung keberlangsungan industri ini.

RENCANA TINDAK LANJUT

Pertemuan internal segera yang dilakukan oleh FES dan AKATIGA setelah acara selesai mengidentifikasi beberapa kegiatan tindak lanjut:

1. Mengirimkan surat terimakasih kepada Dirjen ILMTA Departemen Perindustrian dan meminta naskah sambutannya untuk dokumen penyelenggara

2. Mengundang kembali para pembicara dan moderator untuk mendapatkan pandangan mereka mengenai acara yang telah dilangsungkan dan merumuskan kemungkinan tindak lanjut yang dapat dilakukan

3. Mengundang serikat-serikat pekerja/buruh sektor tekstil dan garmen untuk mengetahui keseriusan mereka melakukan upaya-upaya mendorong dan mempertahankan industri tekstil dan garmen dan bersama-sama merumuskan kegiatan konkrit yang dapat dilakukan bersama

4.Melaksanakan konferensi serupa tahun depan

Rencana tindak lanjut ini perlu direalisasikan dan untuk itu sebaiknya diadakan pertemuan antara FES dan AKATIGA untuk membahas pelaksanaan tindak lanjut tersebut.

Bandung, 17 September 2008Indrasari TjandraningsihAKATIGA- Pusat Analisis Sosial, Bandung

Page 16: Tulisan AKATIGA