Tugas_Infrastruktur
-
Upload
sukardi-ardi -
Category
Documents
-
view
13 -
download
0
description
Transcript of Tugas_Infrastruktur
-
Pengembangan dan Perbaikan Infrastruktur Air Bersih dan Sanitasi Lingkungan 1
TUGAS MATA KULIAH
PERENCANAAN SISTEM INFRASTRUKTUR WILAYAH DAN KOTA
PENGEMBANGAN DAN PERBAIKAN INFRASTRUKTUR AIR BERSIH,
SANITASI LINGKUNGAN
Disusun oleh
SUKARDI
Disusun oleh
SUKARDI
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS 45 MAKASSAR
PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA
MAKASSAR
2015
-
Pengembangan dan Perbaikan Infrastruktur Air Bersih dan Sanitasi Lingkungan 2
PENGEMBANGAN DAN PERBAIKAN INFRASTRUKTUR AIR BERSIH,
SANITASI LINGKUNGAN
Disusun oleh
Sukardi
I. LATAR BELAKANG
Lingkungan hidup yang sehat tergantung pada sanitasi yang layak. Tanpa
sistem sanitasi, limbah manusia memasuki air tanah dan air permukaan. Tinja
yang mengendap di tempat terbuka mengontaminasi tanah. Akumulasi tinja yang
dibuang dari ember atau kakus di lapangan, kali atau sungai membahayakan
lingkungan. Hal ini sering kali disertai oleh sistem pembuangan air limbah yang
tak memadai melalui pipa dan melalui rembesan dari kakus cemplung. Di negara-
negara berkembang, sekitar 90 persen dari air limbah dibuang tanpa diproses
dahulu ke sungai, danau dan area pesisir, sehingga berdampak negatif yang luas
terhadap kesehatan. Setiap tahun, diestimasi 300.000 kasus diare terjadi pada
anak-anak balita di Asia Selatan. Intervensi air dan sanitasi dapat mengurangi
diare sebesar 88 persen.
Krisis sanitasi terutama yang parah terjadi pada permukiman informal
yang sangat padat di seluruh dunia. Tidak adanya cara yang aman untuk
membuang tinja atau sampah, sekitar satu miliar penghuni liar memilih
menggunakan toilet terbang, yaitu pemakaian kantong plastik yang kemudian dibuang, dan membuang limbah manusia di tempat umum.
Sanitasi merupakan salah satu komponen dari kesehatan lingkungan,
yaitu perilaku yang disengaja untuk membudayakan hidup bersih untuk
mencegah manusia kena langsung dengan kotoran dan bahan buangan
berbahaya lainnya, dengan harapan dapat menjaga dan meningkatkan kesehatan
manusia. Kondisi sanitasi di Indonesia memang tertinggal cukup jauh dari Negara
negara tetangga. Dengan Vietnam saja Indonesia hampir hampir sejajar atau
bahkan akan didahului, apalagi dibandingkan dengan Malaysia atau Singapura
yang memiliki komitmen tinggiterhadap kesehatan lingkungan di negaranya.
Jakarta hanya menduduki posisi nomor 2 dari bawah setelah Laos dalam
pencapaian cakupan sanitasinya.
Salah satu contoh dari kondisi sanitasi yang buruk di Indonesia
adalah sanitasi lingkungan pasar, khususnya pasar tradisional. Pasar
tradisional merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli serta ditandai
dengan adanya transaksi penjual pembeli secara langsung dan biasanya ada proses
tawar-menawar, bangunan biasanya terdiri dari kios- kios atau gerai, los dan
pasar terbuka yang dibuka oleh penjual maupun suatu pengelola pasar. Disamping
itu, sanitasi sangat menentukan keberhasilan dari paradigma pembangunan
-
Pengembangan dan Perbaikan Infrastruktur Air Bersih dan Sanitasi Lingkungan 3
kesehatan lingkungan lima tahun ke depan yang lebih menekankan pada aspek
pencegahan dari aspek pengobatan. Sehingga adanya upaya perbaikan sanitasi
sejak dini kususnya pada pasar tradisional dapat membantu dalam peningkatan
kualitas kesehatan masyarakat disamping ada perbaikan sanitasi lingkungan pasar
tradisional.
Situasi ini tidak terbatas pada permukiman perkotaan dan dapat dijumpai
di pinggiran kota miskin, kota dagang kecil, desa besar, permukiman peri-urban
dan tempat lainnya di negara-negara berkembang. Di Asia, lebih dari 750 juta
orang masih melakukan buang air besar di tempat terbuka, sehingga
meninggalkan tinja mereka di tanah yang kemudian mengontaminasi lingkungan
sekitarnya, memasuki perairan dan pada akhirnya, berdampak pada mata
pencaharian dan kesehatan seluruh masyarakat.
Tinggal di lingkungan yang jorok membahayakan kesehatan fisik dan
psikologis. Hal ini menciptakan stigma, yang sering kali menghadirkan tantangan
untuk lapangan kerja dan memperdalam tingkat kemiskinan. Sanitasi yang buruk
menimbulkan berbagai bahaya kesehatan, serta pemandangan visual yang suram
dan mengecilkan hati. Jalanan penuh lumpur, genangan air dan tumpukan sampah
dan puing, beserta serangga pembawa penyakit, mikroba dan hewan pengerat.
Bau yang tidak sedap yang terkadang sangat kuat tercium.
II. ATURAN SERTA KEBIJAKAN MENGENAI SANITASI
LINGKUNGAN
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
852/Menkes/SK/IX/2008 yang berbunyi :
Pertama : keputusan menteri kesehatan tentang strategi nasional sanitasi total berbasis masyarakat.
Kedua : Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan ini.
Ketiga : Strategi sebagaimana dimaksud dalam Diktum Kedua menjadi acuan bagi petugas kesehatan dan instansi yang terkait dalam penyusunan
perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi terkait dengan sanitasi
total berbasis masyarakat.
Keempat : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
A. Undang-Undang
1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1966 Tentang Hygiene;
2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan pemukiman;
3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang;
4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
-
Pengembangan dan Perbaikan Infrastruktur Air Bersih dan Sanitasi Lingkungan 4
5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air;
6) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah;
7) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antar Pemerintah Pusat dan Daerah;
8) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025;
9) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah;
10) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2009 Tentang Pengesahan Stockholm Convention On Persisten Organic Pollutants.
B. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1982 Tentang Pengaturan Air;
2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1990 Tentang Pengendalian Pencemaran Air;
3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1991 Tentang Sungai;
4) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan;
5) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air;
6) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1996 Tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta
Masyarakat dalam Penataan Ruang.
C. Peraturan Presiden Republik Indonesia
1) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional (RPJM)
Tahun 2004-2009;
D. Keputusan Presiden Republik Indonesia
1) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2000 Tentang Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
2) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 123 Tahun 2001 Tentang Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air;
3) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2002 Tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 123 Tahun
2001 Tentang Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air;
4) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2000 Tentang Koordinasi Penataan Ruang.
-
Pengembangan dan Perbaikan Infrastruktur Air Bersih dan Sanitasi Lingkungan 5
III. ISSU ISSU KONTEMPORER
1. Sanitasi dan perilaku kebersihan yang buruk serta air minum yang tidak aman berkontribusi terhadap 88 persen kematian anak akibat diare di
seluruh dunia.
Bagi anak-anak yang bertahan hidup, seringnya menderita diare berkontribusi
terhadap masalah gizi, sehingga menghalangi anak-anak untuk dapat mencapai
potensi maksimal mereka. Kondisi ini selanjutnya menimbulkan implikasi
serius terhadap kualitas sumber daya manusia dan kemampuan produktif suatu
bangsa di masa yang akan datang.
2. Di Indonesia, diare masih merupakan penyebab utama kematian anak berusia di bawah lima tahun.
Laporan Riskesdas 2007 menunjukkan diare sebagai penyebab 31 persen
kematian anak usia antara 1 bulan hingga satu tahun, dan 25 persen kematian
anak usia antara satu sampai empat tahun. Angka diare pada anak-anak dari
rumah tangga yang menggunakan sumur terbuka untuk air minum tercatat 34
persen lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak dari rumah tangga yang
menggunakan air ledeng, Selain itu, angka diare lebih tinggi sebesar 66 persen
pada anak-anak dari keluarga yang melakukan buang air besar di sungai atau
selokan dibandingkan mereka pada rumah tangga dengan fasilitas toilet
pribadi dan septik tank.
3. Peran penting kebersihan sering diabaikan.
Kematian dan penyakit yang disebabkan oleh diare pada umumnya dapat
dicegah. Bahkan tanpa perbaikan pada sistem pengairandan sanitasi, mencuci
tangan secara tepat dengan menggunakan sabun dapat mengurangi resiko
penyakit diare sebesar 42 sampai 47 persen
4. Situasi masyarakat miskin perkotaan perlu mendapatkan perhatian segera.
Di daerah-daerah kumuh perkotaan, sanitasi yang tidak memadai, praktek
kebersihan yang buruk, kepadatan penduduk yang berlebihan, serta air yang
terkontaminasi secara sekaligus dapat menciptakan kondisi yang tidak sehat.
Penyakit-penyakit terkait dengan ini meliputi disentri, kolera dan penyakit
diare lainnya, tipus, hepatitis, leptospirosis, malaria, demam berdarah, kudis,
penyakit pernapasan kronis dan infeksi parasit usus. Selain itu, keluarga
miskin yang kurang berpendidikan cenderung melakukan praktek-praktek
kebersihan yang buruk, yang berkontribusi terhadap penyebaran penyakit dan
peningkatan resiko kematian anak. Studi tentang mega-kota Jakarta (yang disebut Jabotabek),i Bandung dan Surabaya pada tahun 2000 menunjukkan
bahwa penduduk miskin yang tinggal di daerah pinggiran kota Jakarta kurang
berpendidikan dibandingkan warga Jakarta sendiri, dan memiliki tingkat tamat
sekolah menengah hanya seperempat dari mereka yang tinggal di pusat kota.
Studi yang sama menghitung angka kematian anak sampai lima kali lebih
tinggi di kecamatan-kecamatan miskin di pinggiran kota Jabotabek daripada di
pusat kota Jakarta.
-
Pengembangan dan Perbaikan Infrastruktur Air Bersih dan Sanitasi Lingkungan 6
IV. POLA DAN KECENDERUNGAN
Pada dekade-dekade sebelumnya, Indonesia telah menunjukkan kemajuan
signifikan dalam meningkatkan akses terhadap persediaan air bersih dan
pelayanan sanitasi. Air bersih dan
sanitasi merupakan sasaran Tujuan
Pembangunan Milenium (MDG)
yang ketujuh dan pada tahun 2015
diharapkan sampai dengan setengah
jumlah penduduk yang tanpa akses
ke air bersih yang layak minum dan
sanitasi dasar dapat berkurang. Bagi
Indonesia, ini berarti Indonesia perlu
mencapai angka peningkatan akses
air bersih hingga 68,9 persen dan
62,4 persen, untuk sanitasi.
Saat ini, Indonesia tidak
berada pada arah yang tepat untuk
mencapai target MDG untuk masalah
air bersih MDG pada tahun 2015.
Perhitungan dengan menggunakan
kriteria MDG nasional Indonesia
untuk air bersih dan data dari sensus
tahun 2010 menunjukkan bahwa
Indonesia harus mencapai tambahan
56,8 juta orang dengan persediaan air
bersih pada tahun 2015. Di sisi lain,
jika kriteria Program Pemantauan
Bersama WHO-UNICEF (JMP) untuk
air bersihii akan digunakan, Indonesia
harus mencapai tambahan 36,3 juta
orang pada tahun 2015. Saat ini,
bahkan di provinsi-provinsi yang
berkinerja lebih baik (Jawa Tengah
dan DI Yogyakarta), sekitar satu dari
tiga rumah tangga tidak memiliki
akses ke persediaan air bersih
(Gambar 1).
Perbandingan dengan tahun
2007 menunjukkan akses air bersih
pada tahun 2010 telah mengalami
penurunan kira-kira sebesar tujuh
persen. Kondisi terbalik ini pada
umumnya disebabkan oleh penurunan
di daerah perkotaan (sebesar 23 persen sejak tahun 2007, Gambar 2). Akses ke air
bersih di Jakarta telah mengalami penurunan dari 63 persen pada 2010 menjadi 28
persen pada tahun 2007, menurut Riskesdas. Yang mengherankan, dua kelompok
-
Pengembangan dan Perbaikan Infrastruktur Air Bersih dan Sanitasi Lingkungan 7
kuintil tertinggi juga
mengalami penurunan
aksesterhadap air bersih
masing-masing sebesar 8
dan 32 persen
dibandingkan dengan
tahun 2007. Mereka yang
berasal dari kelompok
mampu membeli air
minum kemasan atau
botol: sepertiga rumah
tangga perkotaan di
Indonesia melakukannya
pada tahun 2010.
Sejak tahun 1993,
Indonesia telah
menunjukkan peningkatan
dua kali lipat prosentase
rumah tangga dengan
akses ke fasilitas sanitasi
yang lebih baik, tetapi
masih berada pada arah
yang belum tepat untuk
mencapai target sanitasi
MDG 2015. Untuk
mencapai target sanitasi
nasional MDG, diperlukan pencapaian tambahan 26 juta orang dengan sanitasi
yang lebih baik pada tahun 2015. Perencanaan pada jangka panjang memerlukan
pencapaian angka-angka yang lebih besar: Data Riskesdas 2010 menunjukkan
bahwa secara keseluruhan, kira-kira 116 juta orang masih kekurangan sanitasi
yang memadai.
Buang air besar di tempat terbuka merupakan masalah kesehatan dan
sosial yang perlu mendapatkan perhatian segera. Sekitar 17 persen rumah tangga
pada tahun 2010 atau sekitar 41 juta orang masih buang air besar di tempat
terbuka. Ini meliputi lebih dari sepertiga penduduk di Gorontalo, Sulawesi Barat,
Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan Barat. Praktek tersebut
bahkan ditemukan di provinsi-provinsi dengan cakupan sanitasi yang relatif
tinggi, dan pada penduduk perkotaan dan di seluruh kuintil (Gambar 3 dan 4).
-
Pengembangan dan Perbaikan Infrastruktur Air Bersih dan Sanitasi Lingkungan 8
Cakupan sanitasi pada kelompok-kelompok yang berbeda menunjukkan
perbedaan yang jauh lebih kuat daripada cakupan untuk air bersih (Gambar 4).
Proporsi rumah tangga perkotaan dengan akses ke fasilitas sanitasi yang lebih
baik hampir dua kali lipat
dari proporsi rumah tangga
perdesaan. Proporsi rumah
tangga yang memiliki
fasilitas sanitasi yang lebih
baik pada kuintil tertinggi
adalah 2,6 kali proporsi
kuintil terendah. Perbedaan
geografis juga terlihat jelas.
Tingkat akses ke sanitasi
yang lebih baik di provinsi
yang berkinerja terbaik
(69,8 persen, DKI Jakarta)
adalah tiga kali lebih tinggi
daripada tingkat akses di
provinsi yang berkinerja
terburuk (22,4 persen, Nusa
Tenggara Timur).
Kontaminasi feses
terhadap tanah dan air
merupakan hal yang umum
di daerahh perkotaan, hal ini
diakibatkan oleh kepadatan
penduduk yang berlebihan, toilet yang kurang sehat dan pembuangan limbah
mentah ke tempat terbuka tanpa diolah. Sebagian besar rumah tangga di perkotaan
yang menggunakan pompa, sumur atau mata air untuk persediaan air bersih
mereka memiliki sumber-sumber air ini dengan jarak 10 meter dari septik tank
atau pembuangan toilet. Di Jakarta, Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Daerah (BPLHD) Jakarta menunjukkan bahwa 41 persen sumur gali yang
digunakan oleh rumah tangga berjarak kurang dari 10 meter dari septik tank.
Septik tank jarang disedot dan kotoran merembes ke tanah dan air tanah
sekitarnya. Laporan Bank Dunia tahun 2007 menyebutkan bahwa hanya 1,3
persen penduduk memiliki sistem pembuangan kotoran. Sistem pipa rentan
terhadap kontaminasi akibat kebocoran dan tekanan negatif yang disebabkan oleh
pasokan yang tidak teratur. Ini merupakan masalah khusus dimana konsumen
menggunakan pompa hisap untuk mendapatkan air bersih dari sistem perariran
kota.
Dibandingkan dengan kelompok kaya, kaum miskin perkotaan
mengeluarkan biaya yang lebih besar dari pendapatan mereka untuk air yang
berkualitas lebih buruk. Misalnya, sistem pipa kota Jakarta hanya mencakup
sebagian kecil penduduk, karena perluasan pelayanan tidak dapat mengimbangi
perkembangan penduduk di daerah perkotaan. Penduduk lainnya tergantung pada
-
Pengembangan dan Perbaikan Infrastruktur Air Bersih dan Sanitasi Lingkungan 9
berbagai sumber lain, termasuk sumur dangkal, penjual air keliling dan jaringan
privat yang terhubung dengan sumur yang dalam. Banyak dari sumber-sumber
alternatif ini memerlukan biaya yang lebih besar per satuan volume daripada
pasokan air ledeng dan sering digunakan oleh masyarakat miskin.
V. HAMBATAN PENGEMBANGAN
Diperlukan investasi yang lebih banyak di sektor air bersih dan sanitasi.
Investasi pemerintah di sektor tersebut kurang dari satu persen dari PDB.
Pemerintah sedang melakukan upaya untuk mengatasi masalah ini. Setelah
dimulainya PPSP (Program Percepatan Sanitasi Nasional) tahun 2010, alokasi
anggaran sanitasi oleh pemerintah daerah meningkat sebesar 4 sampai 7 persen
pada tahun 2011.
Beberapa kementerian dan lembaga yang terlibat dalam sektor air bersih
dan sanitasi memerlukan koordinasi yang lebih kuat. Misalnya, kontraktor yang
membangun sistem perairan perdesaan lebih bertanggung jawab kepada lembaga
pemerintah, bukan pada pengguna jasa. Tanggung jawab pemeliharaan sistem ini
tidak jelas dan struktur manajemen masyarakat masih lemah. Dalam tahun-tahun
terakhir, koordinasi tersebut telah meningkat dengan terbentuknya kelompok kerja
yang disebut Pokja AMPL di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten untuk air
bersih dan sanitasi lingkungan.
Setelah masa desentralisasi, banyak pemerintah kabupaten terhambat oleh
kurangnya keahlian di sektor perairan dan kapasitas kelembagaan. Kabupaten-
kabupaten terpencil mengalami kesulitan untuk merekrut tenaga terampil, yang
pada umumnya lebih memilih untuk tinggal dan bekerja di daerah perkotaan.
Masyarakat perlu meningkatkan kesadaran dan perilaku kebersihan mereka.
Situasi kebersihan seringkali buruk di pusat-pusat kesehatan dan tempat-tempat
umum lainnya, seperti pasar lokal dan di antara para penjual makanan jalanan.
Sebuah survei di enam provinsi, yang dilakukan oleh Universitas Indonesia pada
tahun 2005 untuk USAID, menyatakan bahwa kurang dari 15 persen ibu
menyatakan mencuci tangan mereka dengan sabun setelah buang air besar,
sebelum menyiapkan makanan, sebelum menyuapi anak mereka, sebelum makan,
atau sebelum membersihkan pantat anak.
Kunjungan lapangan menunjukkan perlunya meningkatkan kebersihan, air
bersih dan sanitasi sekolah, tetapi tidak ada data yang memadaai tentang hal ini.
Data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan bahwa 77
persen sekolah menengah pertama dilengkapi dengan persediaan air bersih dari
sumur ledeng, yang berarti bahwa lebih dari 10.000 SMP tidak memiliki fasilitas
tersebut. Perhitungan proporsi untuk semua 234.711 sekolah dasar dan menengah
(2009) di Indonesia menunjukkan skala aksi yang diperlukan. Lebih dari 50.000
sekolah mungkin memerlukan persediaan air bersih.
Pemanfaatan air bersih di perkotaan tidak diatur dengan baik dan secara
umum cakupannya kecil. Dari 402 perusahaan daerah air minum (PDAM), yang
melayani sebagian besar daerah perkotaan, hanya 31 yang memiliki lebih dari
50.000 sambungan pada tahun 2009. Ukuran yang lebih kecil dari optimal
menyebabkan biaya operasi yang tinggi. Pada tahun 2010, angka air bersih yang
tidak dipertanggungjawabkan adalah antara 38-40 persen dan hanya 30 PDAM
-
Pengembangan dan Perbaikan Infrastruktur Air Bersih dan Sanitasi Lingkungan 10
mampu menutup biaya operasional dan pemeliharaan secara penuh. PDAM
mengalihkan sebagian pendapatan diperkirakan sebesar 40 persen - kepada pemerintah kabupaten dengan sedikit tanggung jawab, dan memiliki sedikit atau
tidak ada dana tersisa untuk operasi dan pemeliharaan. Tidak mengherankan,
sistem persediaan air bersih perkotaan pada umumnya tidak terawat dan rusak.
Beberapa PDAM telah mengadakan Kemitraan Publik-Publik, tetapi kompleksitas
negosiasi antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten telah menyebabkan
pembatalan dan penundaan. Sistem pembuangan kotoran dan air limbah di
perkotaan pada umumnya kurang berkembang dan tidak ditangani dengan baik.
Studi Bank Dunia memperkirakan bahwa setiap tahun, rumah tangga tanpa
fasilitas sanitasi yang layak di Jakarta dan di seluruh Indonesia membuang
masing-masing sebesar 260.731 ton dan 6,4 juta ton kotoran manusia ke
pengumpulan-pengumpulan air tanpa diolah.
Pengelolaan limbah padat di perkotaan dilakukan sedikit demi sedikit dan
tidak diatur dengan baik. Badan yang secara resmi bertanggung jawab terhadap
sektor tersebut mengadakan kontrak dengan pengusaha-pengusaha swasta kecil
yang mengumpulkan dan membawa sampah dari rumah tangga ke fasilitas
penyimpanan sementara untuk selanjutnya diangkut oleh badan tersebut. Rumah
tangga membayar pelayanan ini melalui tukang sampah lokal. Penimbunan tanah
sedang dikembangkan, tetapi tidak banyak mengalami kemajuan. Fasilitas,
peralatan dan transportasi untuk pengelolaan limbah padat tetap terbatas
VI. PELUANG PENGEMBANGAN
Kebijakan Nasional untuk Persediaan Air Bersih dan Sanitasi Lingkungan
Berbasis Masyarakat memberikan kerangka kerja yang memungkinkan. Kebijakan
tersebut memanfaatkan dengan baik pengalaman yang diperoleh di bidang air
bersih dan sanitasi di Indonesia dan negara-negara lain. Kebijakan ini mengikuti
prinsip-prinsip kuat yang responsif terhadap permintaan, menggunakan
pendekatan berbasis masyarakat, dan menekankan perlunya keterlibatan
perempuan serta memfokuskan pada prinsip-prinsip operasional , pemeliharaan
dan pembiayaan yang berkesinambungan.
Program Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) dan lima
pilarnya merupakan kerangka kerja yang penting. Kelima pilar tersebut adalah
penghapusan buang air besar di tempat terbuka, mencuci tangan dengan sabun,
pengolahan air rumah tangga, pengelolaan sampah padat dan pengelolaan limbah
cair. Kepemimpinan Kementerian Kesehatan sangat penting dalam meningkatkan
STBM. Kabupaten dan provinsi perlu mempercepat upaya-upayanya, sesuai
dengan standar dan pedoman nasional. Kelompok masyarakat termiskin perlu
memiliki akses ke pembiayaan untuk memulai STBM.
STBM memerlukan pendekatan pemasaran sosial yang memobilisasi
sejumlah besar penduduk dan meningkatkan permintaan fasilitas sanitasi yang
lebih baik. Revitalisasi air bersih dan sanitasi sekolah dengan tema-tema
kesehatan dan sosial akan memberikan beberapa peluang. Para siswa dapat
menjadi agen perubahan dalam masyarakat dalam hal STBM dan praktek-praktek
kesehatan dan kebersihan yang baik, yang sebaiknya juga mencakup penanganan
tempat penggunaan air bersih, penyimpanan air bersih yang layak, penurunan
-
Pengembangan dan Perbaikan Infrastruktur Air Bersih dan Sanitasi Lingkungan 11
diare, dan penanggulangan demam berdarah dan malaria. Advokasi yang
berhubungan dengan gizi, pengembangan anak usia dini dan kinerja pendidikan
akan lebih kuat daripada pesan-pesan tentang kesehatan preventif saja. Studi di
tempat lain menunjukkan tingkat sifat persuasive dari alasan sosial, seperti
keinginan untuk merasakan dan mencium sesuatu yang bersih dan mengikuti
norma-norma sosial, dan penggunaan sabun sebagai produk konsumen yang
diinginkan.
Sistem data perlu diperkuat. Pemerintah telah menunjukkan perhatiannya
dalam mengembangkan program STBM Nasional di Sekolah. Program ini
memerlukan sistem pengumpulan dan pemantauan data yang lebih baik daripada
yang ada saat ini untuk air bersih dan sanitasi sekolah. Selain itu, sistem untuk
pengujian dan pelaporan kualitas air perlu diperkuat dan data tersebut diumumkan
kepada masyarakat.
Keterlibatan baik pemerintah daerah maupun sektor swasta sangat penting
untuk meningkatkan sistem perkotaan dan pinggiran kota. Untuk daerah
perkotaan, teknologi inovatif dalam penyediaan sanitasi dan air bersih perlu
dikaji. Sistem sanitasi dan pembuangan kotoran di perkotaan memberikan
tantangan yang lebih besar, karena teknologi sanitasi standar tidak dapat bekerja
karena kepadatan penduduk yang berlebihan, kurangnya ruang, dan dekatnya
jarak sumber air. Dalam penyediaan air, desentralisasi teknologi dan pendekatan,
seperti pengolahan tempat penggunaan air bersih, akan jauh lebih efektif
dibandingkan dengan sistem sentralisasi, karena berbagai sumber yang berbeda
dan banyaknya penyedia.
Untuk memperkuat tata kelola dan kapasitas PDAM, diperlukan
pengkajian ulang terhadap berbagai tugas, proses dan akuntabilitas kelembagaan,
khususnya kepala PDAM. Tingkat pusat harus menetapkan standar minimal
kinerja untuk PDAM, dengan mekanisme pemantauan, penegakan dan insentif.
Lembaga-lembaga tingkat kabupaten memerlukan perencanaan dan sasaran yang
tepat untuk membuat sistem perdesaan lebih berkesinambungan. Dalam proses
perencanaan mereka, lembaga-lembaga tingkat kabupaten yang berbeda
(pekerjaan umum, pemberdayaan desa, dinas kesehatan kabupaten dan dinas
perencanaan kabupaten) harus menetapkan sasaran masyarakat yang sama,
sehingga mobilisasi masyarakat dan pelatihan berlangsung dalam komunitas yang
sama dimana infrastruktur dibangun. Ini akan mengoptimalkan peran serta
masyarakat dalam perencanaan, pembangunan dan pengelolaan pelayanan sanitasi
dan pasokan air bersih.
Kesinambungan dan keberlanjutan persediaan air bersih perlu
mendapatkan perhatian yang lebih besar. Satu dari sepuluh rumah tangga
mengalami kekurangan persediaan air bersih, khususnya pada musim kemarau.
Optimalisasi kualitas, kuantitas dan kesinambungan air bersih memerlukan
pengelolaan sumber air yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
Pemerintah telah memulai diskusi kebijakan tentang Rencana Keamanan Air
Bersih, yang bertujuan untuk memastikan kualitas, kuantitas, kontinuitas dan
keterjangkauan pelayanan air bersih.
-
Pengembangan dan Perbaikan Infrastruktur Air Bersih dan Sanitasi Lingkungan 12
VII. PERAN SERTA MASYARAKAT
Dalam pengelolaan kualitas lingkungan, terdapat 5 aspek yang harus
diperhatikan, yaitu (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2003) :
1. Aspek legal/peraturan. Merupakan aspek yang menjadi dasar hukum yang mengatur semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan lingkungan, baik yang
terintegrasi/sektoral.
2. Aspek institusi. Merupakan aspek yang terkait dengan peran kelembagaan dalam pengelolaan lingkungan, dalam hal ini termasuk juga LSM.
3. Aspek teknik operasional. Merupakan aspek yang terkait dengan keberjalanan teknik operasional dari suatu pengelolaan lingkungan, termasuk di dalamnya
bentuk fisik teknologi dan bagaimana mengoperasikannya.
4. Aspek pembiayaan/retribusi. Merupakan aspek yang terkait dengan pembiayaan dari suatu operasi pengelolaan lingkungan, siapa yang
membiayainya, dari mana asal dananya, serta besar biaya yang harus
dikeluarkan untuk mengelola lingkungan.
5. Aspek peran serta masyarakat. Merupakan aspek penting dalam pengelolaan lingkungan. Pada dasarnya, seperti apa kualitas lingkungan yang diperoleh
akan sangat tergantung pada kualitas peran serta masyarakat dalam
mengelolanya.
Kelima aspek di atas tidak dapat berdiri sendiri untuk menghasilkan
kualitas lingkungan yang diharapkan, sebaliknya dibutuhkan keterpaduan.
Namun, kondisi riil yang sering terjadi, keterpaduannya masih belum optimal.
Kekurangoptimalan ini seringkali terjadi karena masih kurangnya kesadaran
masyarakat dalam mengelola lingkungan. Kurangnya kesadaran masyarakat akan
sangat terkait pula dengan tingkat pengetahuan dan pemahaman mereka (kondisi
sosial, budaya, dan ekonomi) terhadap faktor-faktor pengaruh dalam pengelolaan
lingkungan.
Begitu banyak kasus yang terjadi di mana fasilitas-fasilitas yang telah
dibangun menjadi suatu bangunan yang ditinggalkan begitu saja oleh pemakai
disebabkan pendekatan top down yang terlalu dominan dengan suatu kajian yang
hanya melihat pada sudut pandang teknis tanpa memperhatikan faktor-faktor
sosial. Pada kenyataannya, ternyata faktor-faktor sosial memegang peranan yang
sangat penting dalam menentukan keberhasilan suatu program peningkatan
sanitasi lingkungan sehingga peran serta masyarakat menjadi kunci keberhasilan
program.
Dalam melakukan berbagai upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat
dengan cara memperbaiki kondisi sanitasi di lingkungannya, beberapa hal yang
harus menjadi perhatian di antaranya adalah bagaimana tingkat perkembangan dan
kemajuan suatu desa, kondisi topopgrafi, dan mata pencaharian. Tingkat
kemajuan suatu desa dapat diklasifikasikan menjadi sebagai berikut (Kunaefi,
1999) yaitu :
-
Pengembangan dan Perbaikan Infrastruktur Air Bersih dan Sanitasi Lingkungan 13
Pra-desa : kemajuan rendah, tertutup
Swadaya : prasarana kurang, ekonomi sederhana, gotong-royong, modal dan pemasukan belum terpikirkan
Swakarsa : prasarana ada, modal kecil, tenaga kerja, tersedia, pemasaran hasil ada, administrasi desa ada, pembagian kerja ada
Swasembada : prasarana baik, modal ada, motivasi ada
Tinjauan terhadap kondisi eksisting suatu daerah dapat menjadi masukan
penting dalam melakukan perbaikan-perbaikan sanitasi sebagai dasar penilaian
dalam melakukan langkah-langkah yang disesuaikan dengan tingkat daya
penerimaan masyarakat setempat agar apa yang diupayakan dapat mencapai
sasaran sebagaimana yang diharapkan. Perbedaan lokasi geografis ternyata
memberikan ciri khas yang berbeda-beda yang kemudian hal ini akan menuntut
suatu pendekatan yang berbeda pula. Penerapan suatu teknologi tepat guna
menjadi pendekatan sebagai bagian dari upaya peningkatan kondisi sanitasi
lingkungan yang memiliki ciri-ciri efektif, menyenangkan, dapat diterima
pemakai, menggunakan bahan lokal, mudah dirawat, dapat ditingkatkan, dan
harga terjangkau.
A. Pengertian Peran Serta Masyarakat dalam Kesehatan
Menurut Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung (2001), peran serta
masyarakat adalah proses di mana individu dan keluarga serta swadaya
masyarakat termasuk swasta, mengambil peran sebagai berikut :
Mengambil tanggung jawab atas kesehatan dan kesejahteraan dirinya sendiri, keluarga, serta masyarakat
Mengembangkan kemampuan untuk berkontribusi dalam pengembangan kesehatan mereka sendiri dan masyarakat sehingga termotivasi untuk
memecahkan berbagai kesehatan yang dihadapi
Menjadi agen/perintis pengembangan kesehatan dan pemimpin dalam penggerakan peran serta masyarakat di bidang kesehatan yang dilandasi
semangat gotong royong
B. Tahap-Tahap Peran Serta Masyarakat
Dalam suatu masyarakat bagaimanapun sederhananya, selalu ada suatu
mekanisme untuk bereaksi terhadap suatu stimulasi. Mekanisme ini disebut
mekanisme pemecahan atau proses pemecahan masalah. Mengembangkan dan
membina peran serta masyarakat sebenarnya tidak lain merupakan upaya
mengembangkan mekanisme atau proses pemecahan masalah tersebut agar
terdapat kesesuaian antara keinginan pemrakarsa dengan keinginan masyarakat.
Terdapatnya perbedaan persepsi menyebabkan hambatan dan berkembangnya
mekanisme atau proses pemecahan masalah tersebut, sehingga berpengaruh pula
terhadap perkembangan dan pembinaan peran serta masyarakat itu sendiri. Sesuai
dengan tahap-tahap pemecahan masalah, maka tahap-tahap peran serta dapat
dikelompokkan menjadi :
-
Pengembangan dan Perbaikan Infrastruktur Air Bersih dan Sanitasi Lingkungan 14
Peran serta dalam tahap pengenalan dan penentuan prioritas masalah
Peran serta dalam tahap penentuan cara pemecahan masalah (tahap perencanaan)
Peran serta dalam tahap pelaksanaan, termasuk penyediaan sumber daya
Peran serta dalam tahap penilaian dan pemantapan
Dari tahap-tahap peran serta tersebut, jelas bahwa pada setiap tahapan,
bentuk peran serta masyarakat berbeda, bisa turut bertanggung jawab dalam
pengenalan masalah dan penentuan prioritas masalah, bisa turut bertanggung
jawab dalam perencanaan, maupun turut bertanggung jawab dalam pelaksanaan
serta penilaian. Pada dasarnya peran serta yang ideal mencakup semua tahap,
mulai tahap pengenalan masalah hingga tahap penilaian dan pemantapan. Dengan
kata lain, peran serta masyarakat adalah keadaan keterlibatannya masyarakat
secara aktif dalam pengenalan masalah, perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan
pemantapan. Tahap-tahap peran serta masyarakat tergantung pada persepsi
masing-masing. Yang paling banyak kita jumpai adalah bahwa peran serta
masyarakat dianggap sebagai kegiatan yang disponsori oleh pihak provider.
Dalam suatu kegiatan, umumnya masyarakat menyumbangkan tenaga dan
atau sumberdaya masyarakat lainnya seperti biaya, fasilitas, dan sumberdaya
lainnya. Ini merupakan peran serta masyarakat hanya pada tahap pelaksanaan dan
penyediaan sumberdaya, sedangkan tahap pengenalan masalah dan perencanaan,
sepenuhnya dilaksanakan oleh pihak provider. Keadaan seperti ini jelas sulit
untuk menciptakan rasa turut memiliki dan bertanggung jawab di lingkungan
masyarakat, karena mereka tidak terlibat sejak permulaan. Masyarakat akan
merasa bahwa kegiatan ini adalah demi kepentingan provider, bukan untuk
kepentingan masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan rendahnya tingkat peran
serta masyarakat.
C. Bentuk-Bentuk Peran Serta Masyarakat
Di dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) dikemukakan beberapa
bentuk peran serta masyarakat, yaitu meliputi :
Peran serta perorangan dan keluarga. Ini dilaksanakan oleh setiap anggota
keluarga dan anggota masyarakat dalam menolong dirinya sendiri dan keluarga
untuk dapat hidup sehat. Hal ini dicerminkan dengan kemampuan untuk
mengatasi masalah kesehatan, masalah lingkungan, dan masalah perilaku sesuai
dengan kemampuan perorangan, termasuk mencari pertolongan rujukan
Peran serta masyarakat umum. Ini meliputi kegiatan untuk menjalin hubungan yang erat dan dinamis antara pemerintah dan masyarakat dengan
cara mengembangkan dan membina komunikasi timbal balik terutama dalam
hal memberikan masukan, memberikan umpan balik, dan menyebarluaskan
informasi tentang kesehatan. Di samping itu, masyarakat diminta agar turut
secara aktif dalam mengenal dan merumuskan masalah, menentukan prioritas
merencanakan kegiatan-kegiatan yang perlu dilaksanakan untuk mengatasi
masalah tersebut, menggerakkan pelaksanaan, dan menyediakan sumberdaya.
Dengan demikian, masyarakat bukan saja diperlakukan sebagai objek
pembangunan. Dalam peran serta masyarakat umum ini termasuk pula peran
-
Pengembangan dan Perbaikan Infrastruktur Air Bersih dan Sanitasi Lingkungan 15
serta kelompok-kelompok khusus di masyarakat, seperti para kader kelompok
PKK, kelompok agama, dan sebagainya.
Peran serta masyarakat penyelenggara upaya kesehatan. Yang dimaksud dengan kelompok penyelenggara upaya kesehatan adalah seperti yayasan-
yayasan yang memberikan pelayanan kesehatan, praktek-praktek profesi, serta
lainnya. Kegiatannya meliputi kegiatan yang dilaksanakan baik secara
perorangan maupun secara kelompok, berupa :
Penyelenggaraan pelayanan kesehatan, seperti balai pengobatan swasta, rumah bersalin swasta, dokter praktek-praktek profesi, dan lainnya
Penyelenggaraan pendidikan dan latihan tenaga kesehatan, baik tenaga kesehatan formal maupun tenaga kesehatan yang berasal dari masyarakat
(kader)
Usaha menghimpun dana secara gotong royong
Peran serta masyarakat profesi kesehatan. Kelompok profesi meliputi kelompok dokter, dokter gigi, sanitarian, apoteker, bidan, perawat, dan
sejenisnya. Kegiatannya berupa :
Pelayanan kesehatan
Upaya meningkatkan sikap positif dan perilaku yang mendukung upaya pemerintah dalam menyelenggarakan upaya kesehatan
Membantu pemerintah dalam hal pengaturan profesi kesehatan tanpa mengurangi kewenangan pemerintah dalam fungsi pengaturan profesi, dan
lain-lain
Berbagai upaya lain yang berhubungan dengan kesehatan
D. Tingkat Peran Serta Masyarakat
Masyarakat mempunyai peranan penting dalam memelihara dan
meningkatkan kesehatan dari dan lingkungannya oleh karena kesehatan di
samping merupakan hak juga menjadi kewajiban dan tanggung jawab setiap
orang. Tanggapan atau tafsiran masyarakat mengenai kewajiban dan tanggung
jawab tentang kesehatan masih berbeda-beda, sehingga mempengaruhi
keikutsertaan dalam tanggung jawab dan memberikan kontribusi dalam
pembangunan kesehatan. Peran serta masyarakat mempunyai arti yang sangat luas
yang pada dasarnya bertolak dari masalah sikap dan perilaku.
Peran serta masyarakat mempunyai lingkup dan tingkatannya sendiri,
tergantung dari sudut pandang dan harapan yang ada mengenai peran serta yang
dikehendaki, peran serta dapat bersifat semu, parsial, dan lengkap. Peran serta
semu adalah bentuk peran serta yang bersifat sementara dan sangat jauh dari yang
diharapkan atau tidak disertai dengan kesediaan yang sesungguhnya. Peran serta
disebut parsial bila perilaku yang ditampilkan hanya sebagian saja dari
sesungguhnya yang diharapkan, tetapi dapat juga menjadi lengkap bila sesuai atau
mendekati yang diharapkan. Semakin kompleks perilaku yang kita harapkan
semakin sulit kita mendapatkan peran serta yang lengkap karena semakin banyak
pula faktor yang mempengaruhinya.
-
Pengembangan dan Perbaikan Infrastruktur Air Bersih dan Sanitasi Lingkungan 16
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa peran serta masyarakat dapat
terjadi dalam berbagai tingkat yang mencerminkan mutu dari masing-masing
tingkatnya, yaitu :
Tingkat peran serta karena imbalan/insentif
Tingkat peran serta karena perintah/pelaksanaan
Tingkat peran serta karena identifikasi
Tingkat peran serta karena kesadaran
Tingkat peran serta karena tuntutan akan hak asasi dan tanggung jawab
Tingkat peran serta yang disertai kreasi dan daya cipta
E. Strategi Pelaksanaan Program Peran serta Masyarakat
Beberapa hal penting dalam tinjauan peran serta masyarakat dalam
peningkatan sanitasi lingkungan adalah bahwa partisipasi masyarakat tidak terjadi
dengan sendirinya, tetapi melalui berbagai pendekatan dan tahapan-tahapan.
Tahapan-tahapan yang harus menjadi perhatian adalah seberapa jauh keinginan
masyarakat akan sarana yang akan dibangun, apakah aspirasi-aspirasi yang
muncul menjadi keinginan perorangan, kelompok, ataupun masyarakat secara
umum, ketersediaan biaya dari masyarakat, bahan dan tenaga lokal, waktu yang
dapat disediakan masyarakat, keterampilan masyarakat yang dapat dimanfaatkan,
tingkat penerimaan masyarakat tentang teknologi yang akan diterapkan.
Hal yang menjadi perhatian adalah bagaimana menumbuhkan rasa
memiliki (sense of belonging) pada masyarakat agar seluruh tahapan yang dijalani
benar-benar mendapatkan perhatian penuh dan mendapat dukungan dari
masyarakat sehingga keberhasilan program secara keselurhan dapat tercapai.
Untuk dapat mengidentifikasi aspek-aspek di atas, maka perlu dilakukan survey
sosio-ekonomi.
Dalam pelaksanaan peran serta pemakai beberapa tahapan : penilaian
peran serta, komunikasi dengan masyarakat, dan strategi pelaksanaan. Yang perlu
diperhatikan dalam penilaian dan kelayakan adalah pengetahuan tentang
perbedaan struktur, pengambilan keputusan, komposisi penduduk, pendekatan
sosiologis terkait, penggunaan peran serta, studi masyarakat. Berikut detail
masing-masing faktor yang harus diperhatikan dalam pengambilan keputusan
(Kunaefi, 1999) :
Perbedaan struktur : misalnya perbedaan dalam hal struktur sosial, ekonomi, dan budaya.
Pengambilan keputusan : dalam hal pengambilan keputusan, adakalanya suatu keputusan yang diambil murni hasil pemikiran pemuka di daerah tersebut.
Namun, selain itu, ada juga jalan pengambilan keputusan berdasarkan
kompromi para pemuka dengan masyarakat setempat
Komposisi penduduk : dapat dilihat berdasarkan tingkat keterampilan, meliputi terampil, tidak terampil.
-
Pengembangan dan Perbaikan Infrastruktur Air Bersih dan Sanitasi Lingkungan 17
Pendekatan sosiologis terkait : dapat dilihat berdasarkan agama, budaya, dan lain sebagainya.
Penggunaan peran serta : dengan langsung melibatkan masyarakat
Studi masyarakat : meliputi studi kesehatan masyarakat, tingkat kesadaran akan water borne disease, pola kepemimpinan, bahan bangunan yang tersedia,
kemampuan membiayai
Persiapan pelaksanaan proyek meliputi tahapan Identification, Preparation,
Approval, Implementation, Operation dan Maintenance, Evaluation, dan
Pengembangan. Tabel 1 .berikut menjelaskan secara rinci mengenai deskripsi
tahapan pelaksanaan proyek pengembangan sanitasi lingkungan :
Tabel 1. Tahapan Pelaksanaan Proyek (Kunaefi, 1999)
Tahapan Deskripsi
Identifikasi Sadar akan kebutuhan pelayanan
Tanggung jawab tugas perencanaan
Laporan identifikasi
Persiapan Laporan pra-studi kelayakan
Penilaian
Keputusan
Operasi dan Pemeliharaan Operasi, pemeliharaan
Kesinambungan rencana pelayanan
Penerapan
Pembangunan sarana
Kegiatan penunjang
Evaluasi Pemantauan hasil proyek
Umpan balik
Pengembangan Pilihan teknologi
Peran serta masyarakat
Pendidikan kesehatan masyarakat
Metode konstruksi
Manajemen
Pembiayaan
-
Pengembangan dan Perbaikan Infrastruktur Air Bersih dan Sanitasi Lingkungan 18
F. Pengembangan dan Pembinaan Peran Serta Masyarakat
Dalam mengembangkan dan membina peran serta masyarakat di bidang
kesehatan di Indonesia, perlu diterapkan pendekatan edukatif dengan strategi dua
tahap, yaitu pengembangan provider dan pengembangan masyarakat. Kunci pada
pengembanganprovider adalah keterbukaan dan pengembangan komunikasi
timbal balik yang horisontal maupun vertikal, sedangkan kunci pada
pengembangan masyarakat adalah mengembangkan persepsi antara masyarakat
dan provider agar masyarakat mampu mengenal masalah dan potensinya dalam
memecahkan masalah.
Dengan demikian, mengembangkan peran serta masyarakat yang baik
adalah upaya memicu dan menghidupkan proses pemecahan masalah, haruslah
selalu diusahakan agar sumberdaya untuk pemecahan masalah selalu merupakan
sumberdaya setempat yang ada setempat atau yang terjangkau oleh masyarakat.
Untuk penyelenggara pelayanan (provider) dalam mengembangkan dan
membina peran serta masyarakat, beberapa hal yang dapat diperankan adalah
sebagai berikut :
Membina dan memelihara hubungan baik
Bertindak sebagai katalisator
Penasehat teknis
Membantu langsung atau membantu masyarakat menggali sumur
Memberikan dorongan (reinforcement)
G. Peran serta Wanita
Wanita sangat berperan dalam pendidikan di dalam rumah. Kaum wanita
berperan besar dalam menanamkan kebiasaan bagi anak-anaknya serta menjadi
panutan bagi generasi yang akan datang tentang perlakuan terhadap lingkungan.
Dengan demikian, wanita merupakan salah satu kunci utama yang dapat
menentukan kualitas lingkungan. Peranan wanita, dalam hal ini ibu rumah tangga
dalam keluarga cukup besar untuk mengatur dan mengurus segala kepentingan
dan keperluan keluarga. Hal ini salah satunya digambarkan oleh hasil penelitian
yang pernah dilakukan di mana peran seorang istri dalam pengambilan keputusan
rumah tangga yakni kebutuhan sehari-hari (75,7%) belanja sehari-hari (82,4%)
mengganti perabot rumah tangga (56,2%) (Wiludjeng, et al., 2005).
Demikian pula halnya, untuk dapat mencapai tujuan kesehatan lingkungan
air, maka pihak-pihak yang sangat berkepentingan dengan penyediaan air bersih
dan sanitasi perlu diikutsertakan. Pihak yang paling berperan tersebut adalah
kaum wanita. Setiap harinya kaum wanita dan anak-anaklah yang sangat
membutuhkan air. Kaum wanita-lah yang mengurus ketersediaan air minuman,
makanan, air untuk mandi, cuci, dan seterusnya. Keberadaan sumber air bersih
-
Pengembangan dan Perbaikan Infrastruktur Air Bersih dan Sanitasi Lingkungan 19
yang dapat diterima masyarakat akan sangat membantu dan mempermudah serta
memperingan beban kehidupan masyarakat, khususnya kaum wanita (Slamet,
1994).
Bagaimana seorang ibu memilih, mengambil, menyimpan, memelihara,
dan memanfaatkan air, secara tidak langsung akan menjadi kebiasaan yang ditiru
oleh anak-anaknya. Seorang ibu yang memiliki kebiasaan baik, maka umumnya
akan menurun pula pada anak-anaknya. Di sinilah pentingnya seorang ibu untuk
terus meningkatkan pengetahuan dan keterampilan praktis yang terkait dengan
upaya meningkatkan kesehatan lingkungan, khususnya kesehatan lingkungan
keluarganya.
VIII. METODE PENDEKATAN DALAM PENGEMBANGAN DAN
PERBAIKAN INFRASTRUKTUR AIR BERSIH DAN SANITASI
LINGKUNGAN
Terdapat banyak pendekatan yang sudah digunakan oleh pihak-pihak yang
menangani masalah air bersih dan sanitasi dalam upaya optimalisasi hasil proyek
yang dilakukannya, terutama pendekatan terkait dengan peningkatan peran serta
masyarakat sebagai pemakai dan pendekatan yang bersifat memicu kesadaran
masyarakat akan pentingnya sanitasi.
Di antara pendekatan-pendekatan tersebut adalah Demand Responsive
Approach (DRA),Methodology Participatory Assesments (MPA), Community-
Led Total Sanitation (CLTS) yang dibuat oleh Water Supply and Sanitation
Policy Formulation and Action Planning(WASPOLA).
Berikut akan dipaparkan gambaran masing-masing metode tersebut
(Dokumen Kebijakan Nasional Pembangunan Air Minum dan Penyehatan
Lingkungan Berbasis Masyarakat) :
A. Demand Responsive Approach (DRA)
Pendekatan tanggap kebutuhan (Demand Responsive Approach) adalah
suatu pendekatan yang menempatkan kebutuhan masyarakat sebagai faktor yang
menentukan dalam pengambilan keputusan, termasuk di dalamnya masalah
pendanaan. Hal ini menjadikan keterlibatan masyarakat berlangsung dalam
keseluruhan tahapan mulai dari tahap perencanaan, pembiayaan, pelaksanaan, dan
pengelolaan sistem yang sesuai dengan kebutuhan dan kesediaan membayar
masyarakat. Pendekatan ini memerlukan perubahan dalam penanganan kegiatan
dari seluruh pihak yang berkepentingan, baik masyarakat, LSM, sektor swasta,
-
Pengembangan dan Perbaikan Infrastruktur Air Bersih dan Sanitasi Lingkungan 20
maupun pemerintah. Karakteristik utama dari pendekatan ini adalah sebagai
berikut :
Masyarakat menyusun pilihan-pilihannya tentang :
Apakah ingin berpartisipasi atau tidak dalam kegiatan;
Pilihan-pilihan terhadap teknologi dan cakupan pelayanan berdasar
kesediaan membayar;
Kapan dan bagaimana bentuk pelayanan;
Bagaimana dana akan dikelola dan dipertanggungjawabkan;
Bagaimana bentuk pengoperasian dan pengelolaan pelayanan;
Pemerintah memegang peran sebagai fasilitator, dengan menetapkan
kebijakan dan strategi nasional yang jelas, mendorong konsultasi yang
melibatkan keseluruhan pihak yang berkepentingan dan memfasilitasi
peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan pembelajaran
Kondisi yang kondusif bagi terjadinya partisipasi dari beragam pihak yang
berkepentingan terhadap kegiatan yang dilakukan masyarakat.
Informasi yang memadai diberikan kepada masyarakat dan prosedur baku
disiapkan untuk membantu proses pengambilan keputusan bersama oleh
masyarakat.
B. Methodology Participatory Assesments (MPA)
MPA merupakan sebuah metodologi yang bersifat partisipatif,
menggunakan pendekatan Participatory Rural Appraisal (PRA) dan Self esteem,
Associate strength, Resourcefulness, Action Planning, Responsibility (SARAR).
Metodologi ini mengungkapkan cara-cara kaum perempuan dan keluarga kurang
mampu berpartisipasi dan mengambil manfaat atas suatu sarana bersama-sama
kaum lelaki dan keluarga berada. Selain itu, dalam metode ini diperlihatkan juga
faktor-faktor kunci menuju keberhasilan dalam suatu proyek air bersih dan
sanitasi yang dikelola masyarakat.
MPA ditujukan kepada dinas pelaksana maupun masyarakat untuk mencapai
sarana yang dikelola secara berkesinambungan dan digunakan secara efektif
MPA dirancang melibatkan semua stakeholder utama dan menganalisis
keberadaan empat komponen penting masyarakat : lelaki miskin, perempuan
miskin, lelaki kaya, dan perempuan kaya. Jadi, MPA mengoperasionalkan
-
Pengembangan dan Perbaikan Infrastruktur Air Bersih dan Sanitasi Lingkungan 21
kerangka analisis gender dan kemiskinan untuk menaksir kesinambungan
sarana air bersih dan sanitasi.
MPA menggunakan satu set indikator yang sector specific untuk mengukur
kesinambungan sarana air bersih dan sanitasi.
MPA menghasilkan sejumlah data kualitatif tingkat desa, sebagian darinya
dapat dikuantitatifkan yang dapat dianalisis secara statistik.
Dengan cara tersebut, kita dapat menganalisis antarmasyarakat, antarproyek,
antarwaktu, serta pada tingkat program. Dengan demikian, MPA dapat
menghasilkan informasi manajemen untuk proyek skala besar dan data sesuai
untuk analisis program.
C. Community-Led Total Sanitation (CLTS)
Masalah sanitasi dapat disebabkan oleh budaya, terbatasnya dana, dan
rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya sanitasi. CLTS merupakan
sebuah metode pendekatan untuk mengubah kesadaran, dengan cara
menginisiasi/memicu (ignite trigger) rasa jijik dan malu masyarakat atas kondisi
sanitasi, di mana mereka buang air besar di tempat terbuka (open
defecation) sehingga pada akhirnya mereka mencari solusi bersama untuk
mengubah kondisi mereka. Asumsi dasar yang digunakan adalah bahwa tidak ada
seorangpun yang tidak tergerak apabila mereka mengetahui bahwa mereka telah
saling memakan kotoran mereka satu sama lain (eating each other shit). Selain itu,
CLTS memicu masyarakat untuk menyadari bahwa masalah sanitasi merupakan
tanggung jawab mereka sehingga akan selesai dengan kesadaran dan usaha
mereka sendiri, tidak ada hubungan dengan dana/subsidi. Target dari penerapan
CLTS pun tidak didasarkan pada indikator jumlah jamban yang berhasil
dibangun, melainkan berubahnya kebiasaan masyarakat untuk tidak buang air di
tempat terbuka. Melalui CLTS diperkenalkan suatu perubahan pendekatan :
Dari pendekatan hardware menjadi hygiene change behaviour
Dari subsidi menjadi solidaritas sosial
Dari pendekatan yang mengutamakan pembangunan jamban (counting latrine)
menjadi tidak ada Membuang Tinja (BAB) di tempat terbuka
Dari pelaksanaan proyek top-down menjadi pendekatan bottom-up
Dari pendekatan mengutamakan blueprint proyek menjadi pendekatan yang
lebih fleksibel
-
Pengembangan dan Perbaikan Infrastruktur Air Bersih dan Sanitasi Lingkungan 22
Pada dasarnya ada tiga faktor yang mendasari pendekatan CLTS, yaitu : changing
attitudedan behaviour (perubahan perilaku dan sikap pengambil keputusan),
sharing (berbagi) antara fasilitator dan masyarakat, dan penggunaan
tools (diagram, peta, dan lain-lain).
REFERENSI
Chandra, Budiman. 2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Aboejowono, A.(1985). Pengelolaan Sampah Menuju ke Sanitasi Lingkungan dan
Permasalahannya: Wilayah DKI Jakarta Sebagai Suatu Kasus.Jakarta
Berry.David. (1995) Pokok-Pokok Pikiran Dalam Sosiologi.Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada.
Budiman, Arief, (1996). Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama.
Daniel, T.S, Hasan, P dan Vonny ,S (1965) Teknologi Pemamfaatan Sampah Kota
dan Peran Pemulung Sampah : Suatu Pendekatan Konseptual. Bandung :
PPLH ITB.
Dinas Kebersihan Kota DKI Jakarta. (1965). Permasalahan dan Pengelolaan
Sampah Kota Jakarta. Jakarta
Djadjadiningrat SurnaT. (1992) Membangun Tanpa Merusak Lingkungan ,
Jakarta : Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup
http://creasoft.wordpress.com/2008/04/15/sanitasi-lingkungan/
Mahajoeno, Edwi. (2003) Pengelolaan Sampah Terpadu. Bogor: IPB Press
Menteri Negara Lingkungan Hidup. 2003 .Kapan Internasional Cooperation
Agency (JICA). Draft Naskah Akademis Peraturan Perundang-Undangan
Pengelolaan Sampah . Yayasan Pesantren Islam AL-AZHAR.
Mukono, H.J. 2006. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan: Edisi Kedua.
Surabaya: Airlangga University Press.
Moenir, 1995 Manajemen Pelayanan Umum, Bandung : Bina Aksara
Murthado,D dan Said, E.G (1998) Penanganan Pemanfaatan Limbah Padat
Jakarta: Sarana Perkasan.
Prihandarini, Ririen. (2004) Manajemen Sampah. Jakarta
Pujosukanto, Kristiadi. (1997) Dimensi Praktis Manajemen Pembangunan di
Indonesia, Jakarta : STIA LAN
Soeparman & Suparmin. 2002. Pembuangan Tinja & Limbah Cair: Suatu
Pengantar. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.