Tugas Ujian Prof A4

15
TUGAS UJIAN Rini Nindela, S.Ked (04080505007) Penguji: Prof. dr. Soenarto K, SpKK(K) Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK UNSRI/RSMH PALEMBANG 2010 1. Berbagai gambaran klinis skabies Skabies klasik Pada skabies klasik lesi biasanya muncul pertama kali pada tangan, terutama pada sela-sela jari, bilateral. Lesi juga terdapat pada pergelangan tangan bagian volar, siku, aksilla anterior, penis, genitalia, bokong, dan kaki. Pada area tersebut didapatkan papul dan nodul eritem, berskuama, dan sering disertai krusta. 1 Lesi patognomonis ditandai terowongan berupa garis pendek, bergelombang, dan berwarna gelap. Terowongan terdapat pada daerah yang sedikit atau tidak ada folikel rambut, biasanya stratum korneum tipis dan lunak. 2 Keluhan subjektif khas pada skabies adalah gatal terutama pada malam hari. 1

description

fk unib

Transcript of Tugas Ujian Prof A4

Page 1: Tugas Ujian Prof A4

TUGAS UJIANRini Nindela, S.Ked (04080505007)

Penguji: Prof. dr. Soenarto K, SpKK(K) Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

FK UNSRI/RSMH PALEMBANG2010

1. Berbagai gambaran klinis skabies

Skabies klasik

Pada skabies klasik lesi biasanya muncul pertama kali pada tangan, terutama

pada sela-sela jari, bilateral. Lesi juga terdapat pada pergelangan tangan bagian volar,

siku, aksilla anterior, penis, genitalia, bokong, dan kaki. Pada area tersebut didapatkan

papul dan nodul eritem, berskuama, dan sering disertai krusta.1 Lesi patognomonis

ditandai terowongan berupa garis pendek, bergelombang, dan berwarna gelap.

Terowongan terdapat pada daerah yang sedikit atau tidak ada folikel rambut, biasanya

stratum korneum tipis dan lunak.2 Keluhan subjektif khas pada skabies adalah gatal

terutama pada malam hari.

Skabies nodular

Skabies nodular ditemukan pada 7-10% pada penderita skabies. Skabies ini

berkarakteristik nodul berwarna coklat kemerahan yang terasa gatal, berukuran 5 mm

sampai 20 mm.3 Lesi terutama pada daerah tertutup, paling sering pada genitalia pria,

lipat paha, dan aksilla. Skabies nodular menjadi diagnosis banding bagi keluhan nodul

pada penis. Tungau jarang ditemukan dan lesi tidak menular. Apabila sembuh dapat

menimbulkan hiperpigmentasi postinflamasi yang lebih jelas terlihat setelah

pengobatan.3

1

Page 2: Tugas Ujian Prof A4

Skabies ada bayi dan anak

Prevalensi skabies tertinggi pada bayi adalah pada usia di bawah 2 tahun. Pada

kelompok usia ini, infeksi dapat terjadi pada wajah, kulit kepala, telapak tangan, dan

telapak kaki. Vesikel dan vesikulopustular bahkan bula dapat ditemukan terutama di

telapak tangan dan jari-jari.1 Kadang juga terdapat gambaran lesi nodul krusta

multipel pada trunkus dan ekstremitas.2

Skabies Pada Orang Tua

Pada kelompok usia ini, diagnosis skabies sulit ditegakkan karena perubahan-

perubahan kulit yang minimal atau atipikal. Reaksi inflamasi yang jelas pada

penderita berusia muda biasanya tidak terlihat pada pasien berusia lanjut. Gatal yang

sering dirasakan dapat disertai dengan senile pruritus, xerosis, reaksi obat-obatan,

atau psikogenik. Pada pasien-pasien tua yang menghabiskan waktu lama di tempat

tidur, gatal biasanya dirasakan di punggung. Epidemik skabies sering didapatkan pada

tempat-tempat penampungan seperti panti jompo, dimana seorang penderita skabies

dapat menularkan pasien lainnya juga para pekerja kesehatan dan keluarganya.2

2

Page 3: Tugas Ujian Prof A4

Skabies Krusta ( Norwegian Scabies )

Skabies krusta dapat berawal dari skabies biasa. Skabies ini ditemukan pada

pasien dengan keadaan umum yang lemah atau imunocompromised, termasuk pasien

dengan kelainan neuorologis, sindrom Down, transplantasi organ, penyakit graft-

versus-host, leukemia T-cell pada orang dewasa, lepra, atau AIDS.4 Skabies krusta

sangat menular karena jumlah tungau yang dapat mencapai lebih dari satu juta pada

lesi yang eksfoliasi. Lesi berupa plak hiperkeratotik difus dan/atau krusta pada regio

palmar dan plantar, dengan penebalan dan distrofi kuku tangan dan kaki. Gatal

dirasakan minimal atau tidak ada sama sekali.1 Gambaran klinis dapat menyerupai

dermatitis psoriasiorm pada tangan dan kaki, dermatitis seboroik, atau eritroderma.

Pada pasien dengan defisit neurologis, skabies krusta kadang hanya menginfestasi

pada ekstremitas yang mengalami kelainan neurologis.3

Skabies inkognito

Pengobatan kortikosteroid, baik sistemik maupun topikal, dapat menyamarkan

gejala skabies. Hal ini sering menimbulkan gambaran klinis yang tidak biasa seperti

distribusi lesi yang luas dan atipikal. Dalam beberapa kasus dapat menyerupai

penyakit lain seperti dermatitis atopik.

2. Pembagian antihistamin

Pembagian antihistamin berdasarkan reseptor:5

Antihistamin H1: memblokir resptor histamin pada otot polos (bronkus, saluran

cerna, kandung kemih, rahim), ujung saraf, dan dinding pembuluh darah. Selain

antihistamin, golongan ini juga dapat berfungsi sebagai antiinflamasi,

3

Page 4: Tugas Ujian Prof A4

antikolinergik, sedatif, antiemetis, antiserotonin dan anestesi lokal (lemah).

Contoh: klorfeniramin, setirizin, difenhidramin.

Antihistamin H2: menghambat secara selektif efek histamin terhadap reseptornya

di mukosa lambung. Contoh: simetidin, ranitidin, famotidin.

Antihistamin H3: bekerja sebagai kompetitif inhibitor terhadap histamin pada

reseptor di jaringan sistem syaraf pusat, syaraf perifer dan bronkus secara selektif.

Antihistamin Hic: bekerja sebagai messenger intraseluler dan berperan dalam

pertumbuhan sel. Penerapannya di bidang dermatologi belum diketahui.

Pembagian antihistamin H1 berdasarkan struktur kimianya:5

Alkilamin: klorfeniramin, deksklorfeniramin, dimetinden, feniramin.  

Piperazin: setirizin, homoklorsiklizin, hidroksizin, oksatomid.  

Etanolamin: difenhidramin, doksilamin, karbinoksamin,  

Etilendiamin: tripelanamin, pirilamin, antazolin,  

Piperidin: siproheptadin.  

Fenotiazin: prometazin.  

Lain-lain: loratadin, mebhidrolin, terfenadin, ketotifen, akrivastin, astemizol,

azatadin, klemastin, levokobastin

Penggolongan antihistamin H1 atas dasar efek sedatif yang ditimbulkan:5

Sedatif (Generasi I): golongan ini lebih menyebabkan sedasi dan menimbulkan

efek antikolinergik yang lebih nyata. Hal ini dikarenakan generasi pertama kurang

selektif dan mampu berpenetrasi pada sistem saraf pusat (SSP) lebih besar

dibanding golongan nonsedatif.

Nonsedatif (Generasi II dan III): golongan ini bersifat hidrofil, lebih banyak dan

lebih kuat terikat dengan protein plasma, sehingga mengurangi kemampuannya

melintasi sawar otak. Waktu paruhnya lebih panjang sehingga cukup diberikan 1-2

kali sehari. Generasi ketiga merupakan derivat dari generasi kedua, berupa 

metabolit (desloratadin dan feksofenadin)  dan enansiomer (levosetirizin). Profil

antihistamin generasi III lebih baik dengan efikasi tinggi serta efek samping lebih

minimal. Misalnya, feksofenadin memiliki risiko aritmia jantung yang lebih

rendah dibandingkan obat induknya, terfenadin.

4

Page 5: Tugas Ujian Prof A4

Dosis Antihistamin

1. Antihistamin Generasi I6,7

a. Alkilamin (klorfeniramin maleat)

a. Dewasa : 4-8mg setiap 6 jam

b. Anak anak 2-5 tahun : 2mg setiap 6 jam

c. Anak-anak 5-11 : 2-4mg setiap 6 jam (tidak boleh >12mg/hari)

b. Ethanolamin (difenhidramin hidroklorida)

a. Dewasa : 25-50 mg setiap 4 jam

5

Page 6: Tugas Ujian Prof A4

b. Anak-anak usia >12 tahun : 5mg/kgBB/24 jam dalam dosis terbagi

c. Etilendiamin (tripelenamin hidroklorida)

a. Dewasa : 25-50 mg setiap 4 jam

b. Anak-anak <12 tahun : 5mg/kgBB/24 jam dalam dosis terbagi

d. Fenotiazin (prometazine hidroklorida)

a. Dewasa : 25 mg 3 kali sehari

b. Anak-anak 6.25-12.5 mg 3 kali sehari dan 25mg malam hari

e. Piperidin (cyproheptadine hidroklorida)

a. Dewasa : 4mg 3 kali sehari

b. Anak-anak : 0,25mg/kgBB/perhari

f. Piperazin (hidroxizine hidroklorida)

a. Dewasa : 25mg 3-4 kali perhari

b. Anak-anak <6 tahun : 50mg/hari dalam dosis terbagi

2. Antihistamin Generasi II6,7

a. Terfenadine

a. Dewasa : 60 mg 2 kali sehari atau 120 mg perhari

b. Anak 2-6 tahun : 15 mg perhari atau dua kali perhari

c. Anak 6-12 tahun : 30 mg perhari atau dua kali perhari

b. Astemizole

a. Dewasa : 10 mg perhari

b. Anak-anak 2-6 tahun : 0,2mg/kg/24 jam

c. Anak-anak 6-12 tahun : 5mg/perhari

c. Cetirizine

a. Dewasa : 10 mg perhari

b. Anak-anak 6-12 tahun : 5mg perhari

d. Loratadine

a. Dewasa : 10 mg perhari

b. Anak-anak 6-12 tahun : 5mg perhari

e. Fexofenadine (metabolit aktif terfenadine): dewasa 180mg perhari

3. Antihistamin H26,7

a. Simetidin

Dewasa : 300mg 3 kali perhari, 400mg 2 kali perhari, atau 800 mg

perhari

Anak-anak : intramuskuler 2mg/kg setiap 6 jam

6

Page 7: Tugas Ujian Prof A4

b. Ranitidin: dewasa 150mg dua kali perhari, atau 300mg malam hari

c. Famotidin: dewasa 40 mg malam hari selama 1-2 bulan, dan 20 mg

setelahnya.

3. Alasan pemberian antibiotik pada pasien psoriasis tidak terlalu bermanfaat

seperti pada pasien dermatitis atopik:

Beberapa mediator dari imunitas nonspesifik (innate) diekspresikan secara

abnormal pada psoriasis. Di antaranya adalah peptida antimikrobial human β-

defensin-2 (HBD-2) dan cathelicidin (LL-37), keduanya meningkat pada psoriasis tapi

tidak pada dermatitis atopik. Ekspresi HBD-2 dan LL-37 meningkat dalam respon

terhadap sitokin tipe I/proinflamasi (TNF-α, IL-1, dan IFN-γ) dan ditekan oleh sitokin

tipe II (IL-4, IL-10, dan IL-13). Perbedaan dalam ekspresi peptida antimikrobial ini

membantu menjelaskan mengapa rata-rata 30% pasien dermatitis atopik mengalami

infeksi bakteri dan virus sedangkan pasien psoriasis hanya 7%, meskipun kedua

penyakit ini sama-sama mengalami kerusakan sistem pelindung/barrier kulit.

Perbedaan ini juga menjelaskan mengapa pasien psoriasis meskipun sering

dikolonisasi oleh Staphylococcus aureus, tidak membaik dengan dengan terapi

antibiotik sedangkan pasien dermatitis atopik sering mendapatkan keuntungan dari

terapi antibiotik. Protein S100 adalah kelompok besar dari protein dengan berat

molekul rendah yang mengikat kalsium dan kation lainnya. S100A2, S100A7

(psoriasin), dan heterodimer S100A8/A9 (calprotectin) diekspresikan secara

berlebihan pada lesi psoriasis. Protein-protein ini memicu aktivitas antimikrobial dan

kemotaktik, yang terakhir bekerja melalui sekuestrasi ion zink. Nitrit oksida

diproduksi dalam jumlah besar oleh sel dendritik pada psoriasis melalui nitrit oksida

sintase yang memicu peristiwa transduksi sinyal multipel. Akhirnya, komponen

komplemen C5a adalah kemoatraktan poten bagi netrofil dan mungkin berkontribusi

pada akumulasi netrofil dalam stratum korneum psoriasis. Yang menarik, komponen

C5a juga merupakan kemoatraktan poten bagi sel dendritik pada ekstrak skuama

psoriasis. Sebagian besar mediator-mediator ini diregulasi dalam respon terhadap

reseptor serupa Toll (Toll-like reseptors/TLRs), menyediakan mekanisme dimana

sistem imun nonspesifik dapat dengan cepat mengenali beragam patogen sesuai pola

molekular mereka.1

4. Tes Tempel

7

Page 8: Tugas Ujian Prof A4

Syarat:8,9

Dermatitis harus sudah tenang (sembuh). Bila masih dalam keadaan akut atau

berat dapat terjadi reaksi ‘angry back’ atau ‘excited skin’, reaksi positif palsu,

dapat juga menyebabkan penyakit yang sedang dideritanya memburuk.

Tes dilakukan sekurang-kurangnya satu minggu setelah pemakaian

kortikosteroid sistemik dan obat imunosupresan lain dihentikan sebab dapat

menghasilkan reaksi negatif palsu (meskipun dikatakan bahwa hal ini tidak akan

terjadi pada pemakaian prednison 20mg/hari atau prednisolon 15mg/hari).

Pemakaian kortikosteroid topikal di punggung juga dihentikan satu minggu

sebelum tes dilaksanakan.

Metode:8,9

Bahan: biasanya digunakan antigen standar buatan pabrik misalnya Finn Chamber

System Kit atau TRUE (Thin Layer Rapid Use Epicutaneus). Dapat pula

menggunakan bahan kimia murni atau campuran. Bila menggunakan bahan yang

biasa dipakai langsung seperti kosmetik dapat digunakan apa adanya. Bila

menggunakan bahan yang biasa dipakai dengan air seperti sampo harus

diencerkan dulu. Bila menggunakan potongan pakaian, sepatu atau sarung tangan

harus direndam dulu dalam air garam.

Cara: bahan ditempelkan di kulit punggung lalu ditutup dengan chamber atau

adhesive tape, dibiarkan sekurang-kurangnya 48 jam. Pasien dilarang melakukan

aktivitas yang menyebabkan penempelan bahan menjadi longgar (tidak boleh

mandi atau berkeringat yang tidak perlu) karena akan memberikan hasil negatif

palsu.

Hasil:8,9

Uji tempel dibuka setelah 48 jam kemudian dibaca. Pembacaan berikutnya

dilakukan pada hari ke-3 sampai hari ke-7 setelah aplikasi. Pembacaan kedua ini

penting untuk membantu membedakan respon alergik atau iritasi dan juga

mengidentifikasi lebih banyak lagi respons positif alergen.

Interpretasi:

+ = reaksi lemah (nonvesikular): eritema, infiltrat, papul

++ = reaksi kuat: edema atau vesikel

+++ = reaksi sangat kuat (ekstrim): bula atau ulkus

?+ = meragukan, hanya makula eritematosa

─ = negatif

8

Page 9: Tugas Ujian Prof A4

IR = iritasi: seperti terbakar, pustul, atau purpura

NT = tidak dites

5. Dosis asam mefenamat

9

Page 10: Tugas Ujian Prof A4

Tidak terdapat dosis anak untuk asam mefenamat. Dosis asam mefenamat

untuk dewasa dan remaja ≥ 14 tahun adalah 500 mg dosis inisial, dapat dilanjutkan

dengan 250 mg tiap 6 jam. Untuk analgetik anak, dapat digunakan parasetamol 4-6 x

10 mg/kgBB/oral/hari atau ibuprofen 3 x 50 mg (6-12 bulan), 3-4 x 50 mg (1-3

tahun), 3-4 x 100 mg (4-8 tahun), 3-4 x 200 mg (9-12 tahun) peroral perhari.10

DAFTAR PUSTAKA

1. Stone SP, Goldfarb JN, Bacalieri RF. Scabies, other mites, and pediculosis. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 7th ed. San Fransisco: The McGraw-Hill; 2008. p. 2029-32.

2. Burns DA. Diseases caused by Arthropod and other noxious animals. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths, editors. Rook’s textbook of dermatology. 7th ed. Massachusets: Blackwell Science; 2004. p. 33.37-33.46.

3. Fitzpatrick TB, Johnson RA, Wolff K. Insect bites and infestations. In: Fitzpatrick TB, Johnson RA, Wolff K, editors. Color atlas and synopsis of clinical dermatology. New York: Mc-Graw Hill; 1997. p. 1646-60.

4. James WD, Berger TG, Elston DM. Parasitic infestations, stings, and bites. In: James WD, Berger TG, Elston DM. editors. Andrew’s diseases of the skin clinical dermatology. 10th ed. Philadelphia: Saunders; 2006. p. 452-3.

5. Judarwanto, W. Penggunaan antihistamin pada penyakit alergi anak. [online] September 1 2009 [cited on Mei 3 2010]. Available from: URL: htpp://www. childrenallergyclinic.wordpress.com/ 

6. Katsambas AD, Goula M. Antihistamin. In: Milikan EL, editor. Drug therapy in dermatology.4th ed. New York; McGraw-Hill; 2002 p.243-51.

7. Antihistamin. In : Yaffe S J, Aranda J V, editors. Neonatal and pediatric pharmacology: therapeutic principles in practice. 3th ed. Philadelphia: Lippincott William and Willkins. 2005. p.527-42.

8. Sularsito SA, Djuanda S. Dermatitis. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editor. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi kelima. Jakarta: Penerbit FKUI; 2007. p. 136-8.

9. Beck MH, Wilkinson SM. Contact dermatitis: allergy. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths, editors. Rook’s textbook of dermatology. 7th ed. Massachusets: Blackwell Science; 2004. p. 20.97-104.

10. Tjay TH, Rahardja K. Analgetika perifer. Dalam: Obat-Obat Penting. Jakarta: Elex Media Komputindo; 2002. p. 297, 313.

10