Tugas Sosiologi Print
-
Upload
mirza-icha-riadiany -
Category
Documents
-
view
68 -
download
3
description
Transcript of Tugas Sosiologi Print
MAKALAH RELEGI DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT DAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN
Disusun oleh :
1. Jimmy Haruman P17320312035
2. Moch Fajar Sidiq P17320312026
3. Melani Arfana P17320312039
4. Mira Rizky Yulianty P17320312040
5. Mirza Riadiani S P17320312041
6. Muhamad Mulyadi P17320312042
Tingkat 1 A
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANDUNG
PROGAM STUDI KEPERAWATAN BOGOR
Jl. Dr. Semeru No. 116 Bogor Barat, Kota Bogor
i
Kata Pengantar
Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya. Makalah ini membahas tentang RELEGI DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT
dan LEMBAGA KEMASYARAKATAN. Meskipun banyak rintangan dan hambatan yang kami
alami dalam proses pengerjaannya, tapi kami dapat menyelesaikannya dengan baik.
Tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah
membantu kami dalam mengerjakan makalah. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada
teman-teman yang juga sudah memberi kontribusi baik langsung maupun tidak langsung dalam
pembuatan makalah.
Tentunya ada hal-hal yang ingin kami berikan kepada masyarakat dari hasil makalah ini.
Karena itu kami berharap semoga makalah ini dapat menjadi sesuatu yang berguna bagi kita
bersama.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk
penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk
penyempurnaan makalah ini.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian.
Penulis
(Kelompok 4)
ii
Daftar Isi
Kata Pengantar............................................................................................................................................. i
Daftar Isi...................................................................................................................................................... ii
BAB I............................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...........................................................................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................................................1
1. Religi dalam kehidupan masyarakat.............................................................................................1
2. Lembaga kemasyarakatan............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................................................3
C. Tujuan Penulisan..........................................................................................................................3
BAB II...........................................................................................................................................................4
PEMBAHASAN.............................................................................................................................................4
A. Relegi dalam kehidupan masyarakat............................................................................................4
1. Teori religi dalam kehidupan manusia terdahulu.........................................................................4
2. Agama dalam konteks wahyu Tuhan..........................................................................................10
B. Lembaga Masyarakat.................................................................................................................13
1. Fungsi Lembaga Kemasyarakatan yang bertujuan memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok manusia......................................................................................................................................13
2. Proses Pertumbuhan Lembaga Kemasyarakatan.......................................................................14
3. Ciri-ciri Umum Lembaga Kemasyarakatan..................................................................................16
4. Tipe Lembaga Kemasyarakatan..................................................................................................17
5. Bentuk-bentuk umum Lembaga Kemasyarakatan......................................................................18
BAB III........................................................................................................................................................20
PENUTUP...................................................................................................................................................20
A. KESIMPULAN..............................................................................................................................20
B. SARAN........................................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................................21
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1. Religi dalam kehidupan masyarakat
Agama memberikan penjelasan bahwa manusia adalah mahluk yang memilki potensi
untuk berahlak baik (takwa) atau buruk (fujur) potensi fujur akan senantiasa eksis dalam diri
manusia karena terkait dengan aspek instink, naluriah, atau hawa nafsu, seperti naluri
makan/minum, seks, berkuasa dan rasa aman. Apabila potentsi takwa seseorang lemah, karena
tidak terkembangkan (melalui pendidikan), maka prilaku manusia dalam hidupnya tidak akan
berbeda dengan hewan karena didominasi oleh potensi fujurnya yang bersifat instinktif atau
implusif (seperti berjinah, membunuh, mencuri, minum-minuman keras, atau menggunakan
narkoba dan main judi).
Agar hawa nafsu itu terkendalikan (dalam arti pemenuhannya sesuai dengan ajaran
agama), maka potensi takwa itu harus dikembangkan, yaitu melalui pendidikan agama dari sejak
usia dini. Apabila nilai-nilai agama telah terinternalisasi dalam diri seseorang maka dia akan
mampu mengembangkan dirinya sebagai manusia yang bertakwa, yang salah satu
karakteristiknya adalah mampu mengendalikan diri (self contor) dari pemuasan hawa nafsu yang
tidak sesuai dengan ajaran agama.
2. Lembaga kemasyarakatan
Salah satu unsur penting dari kajian tentang struktur sosial adalah lembaga
kemasyarakatan, namun pembahasan tentang lembaga kemasyarakatan dalam bagian ini sifatnya
tidak menyeluruh, tetapi hanya sekedar pengantar yang menyangkut hal-hal pokok saja,
mengingat pada bagian berikutnya, kajian tentang lembaga kemasyarakatan ini akan dibahas
secara terperinci; maksud penulisannya yaitu untuk menggambarkan satu bagian dari struktur
sosial sehingga kajiannya menjadi utuh.
Unsur penting lain dari struktur sosial adalah apa yang disebut sebagai lembaga sosial
atau lembaga kemasyarakatan juga biasa disebut dengan institusi sosial sebagai pengertian
dari konsep awal social institutions, yaitu sebagai himpunan norma-norma segala tingkatan yang
berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat; Koentjaraningrat(1996)
mengartikan social institutions ini sebagai pranata sosial, yaitu sebagai suatu sistem norma
2
khusus yang menata serangkaian tindakan berpola mantap guna memenuhi suatu keperluan yang
khusus dalam kehidupan masyarakat. Dalam bahasa sehari-hari istilah institution sering
dikacaukan dengan institute, dalam pengertian Koentjaraningrat di atas institution diartikannya
sebagai pranata, sedangkan institute diartikan sebagai lembaga; namun dalam sosiologi,
pengertian konsep itu tidak demikian walaupun substansinya sebenarnya sama. Soerjono
Soekanto (1998) mengartikan institution sebagai lembaga dan institute sebagai asosiasi, untuk
selanjutnya buku ini lebih mengacu terhadap apa yang dikemukakan oleh Soekanto di atas.
Kalau mengacu pada apa yang dikatakan W.G. Sumner (1940) dengan karangannya yang
cukup terkenal “folkways”, dia mengatakan bahwa lembaga-lembaga kemasyarakatan tumbuh
dari kebiasaan-kebiasaan menjadi adat istiadat, yang kemudian berkembang menjadi tata
kelakuan („mores‟) dan akan bertambah matang apabila telah diadakan penjabaran terhadap
aturandan perbuatan; pada saat itu terbentuklah suatu struktur (yaitu suatu sarana atau struktur
peranan), dan sempurnalah lembaga tersebut. Kebiasaan dan tata kelakuan, merupakan cara–cara
bertingkah laku yang lebih bersifat habitual dan kadang-kadang tidak didasarkan pada penalaran.
Kemudian Sumner beranggapan, bahwa suatu lembaga bukan merupakan aksi atau kaidah, akan
tetapi suatu kristalisasi dari perangkat kaidah-kaidah, yang selanjutnya mengacu pada organisasi-
organisasi abstrak maupun konkrit; dia menganggap perkawinan sebagai lembaga yang tidak
sempurna, oleh karena tidak berstruktur, akan tetapi keluarga merupakan suatu lembaga.
Lembaga kemasyarakatan ini selalu melekat dalam kehidupan masyarakat, tidak
dipersoalkan apakah bentuk masyarakat itu masih sederhana ataupun telah maju; setiap
masyarakat sudah tentu tidak akan terlepas dengan kompleks kebutuhan atau kepentingan pokok
yang apabila dikelompok-kelompokkan, terhimpun menjadi lembaga kemasyarakatan, dan
wujud konkrit dari lembaga sosial disebut asosiasi. Sebagai contoh, Universitas merupakan
lembaga kemasyarakatan, sedangkan Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung,
Universitas Gajah Mada, atau Universitas Airlangga adalah contoh asosiasi.
3
B. Rumusan Masalah
1. Apa Religi dalam kehidupan masyarakat ?
2. Apa yang dimaksud Teori relegi dalam kehidupan manusia terdahulu ?
3. Apa saja Teori-teori agama pada kehidupan manusia ?
4. Apa yang dimaksud Agama dalam konteks wahyu tuhan ?
5. Apa Lembaga Masyarakat ?
6. Apa Fungsi lembaga kemasyarakatan yang bertujuan memenuhi kebutuhan-kebutuhan
pokok manusia ?
7. Apa Proses Pertumbuhan Lembaga Kemasyarakatan ?
8. Apa Ciri-ciri Umum Lembaga Kemasyarakatan ?
9. Apa Tipe Lembaga Kemasyarakatan ?
10. Apa Cara-cara mempelajari lembaga kemasyarakatan ?
C. Tujuan Penulisan
1. Memahami pengertian Relegi dalam kehidupan masyarakat
2. Mengetahui Teori relegi dalam kehidupan manusia terdahulu
3. Mengetahui Teori-teori agama pada kehidupan manusia
4. Mengetahui Agama dalam konteks wahyu tuhan
5. Mengetahui Pengertian Lembaga Kemasyarakatan
6. Mengetahui Fungsi lembaga kemasyarakatan yang bertujuan memenuhi kebutuhan-
kebutuhan pokok manusia
7. Mengetahui Proses Pertumbuhan Lembaga Kemasyarakatan
8. Mengetahui Ciri-ciri Umum Lembaga Kemasyarakatan
9. Mengetahui Tipe Lembaga Kemasyarakatan
10. Mengetahui Bentuk-bentuk umum Lembaga Kemasyarakatan
BAB IIPEMBAHASAN
A. Relegi dalam kehidupan masyarakat
Agama merupakan sebuah keniscayaan untuk mengembalikan manuasia pada rel dan
fitrah hidupnya sebagai manusia sekaligus citra dari Tuhan. Agama memang masih menjadi
sumber nilai, semangat dan institusi terakhir untuk membangun dan mencari makna hidup.
Dalam pandangan sosiologi, perhatian utama terhadap agama adalah pada fungsinya
terhadap masyarakat. Istilah fungsi seperti kita ketahui, menunjuk kepada sumbangan yang
diberikan agama, atau lembaga sosial yang lain, untuk mempertahankan (keutuhan) masyarakat
sebagai usaha-usaha yang aktif dan berjalan terus-menerus.
Berdasarkan keterangan ini agama sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari – hari, dan
kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa agama adalah ajaran yang berasal dari tuhan atau
hasil renungan manusia yang terkandung dalam kitab suci yang turun temurun dan diwariskan
oleh suatu generasi kegenerasi dengan tujuan untuk memberi tuntunan dan pedoman hidup bagi
manusia agar mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
1. Teori religi dalam kehidupan manusia terdahulu
Edward B Tylor (1873), dianggap sebagai bapak antropologi, mengemukakan teori tentang
jiwa; dikatakannya asal mula religi itu adalah kesadaran manusia akan faham jiwa atau soul,
kesadaran mana yang pada dasarnya disebabkan oleh dua hal :
Perbedaan yang taampak pada manusia mengenai hal-hal yang hidup dan hal-hal yang
mati; suatu mahluk pada satu saat dapat bergerak-gerak, berbicara, makan, menangis,
berlari-lari dan sebagainya, artinya mahluk itu ada dalam keadaan hidup; tetapi pada saat
yang lain mahluk itu seoalh-olah tidak melakukan aktifitas apa-apa, tidak ada tanda-tanda
gerak pada mahluk itu, artinya makluh itu telah mati. Demikian lambat laun manusia
mulai sadar bahwa gerak dalam alam itu, atau hidup itu, disebabkan oleh sesuatu hal yang
ada di samping tubuh-jasmani, dan kekuatan-kekuatan itulah yang disebut sebagi jiwa.
Peristiwa mimpi; dalam mimpinya manusia melihat dirinya di tempat-tempat lain dari
pada tempat tidurnya . Demikian, manusia mulai membedakan antara tubuh jasmaninya
yang ada di tempat tidur, dan suatu bagian lain dari dirinya yang pergi ke tempat-tempat
lain; bagian lain itulah yang disebut sebagai jiwa.
5
Sifat abstrak dari jiwa tadi menimbulkan keyakinan diantara manusia bahwa jiwa dapat
hidup langsung, lepas dari tubuh jasmani. Pada waktu hidup, jiwa masih berangkutan dengan
tubuh jasmani, dan hanya dapat meninggalkan tubuh waktu manusia tidur dan waktu manusia
tidak sadarkan diri (pingsan). Karena pada suatu saat serupa itu kekuatan hidup pergi melayang-
leyang, maka tubuh berada dalam keadaan yang lemah. Namun menurut Tylor. Walaupun
melayang, hubungan jiwa dengan jasmani pada saat-saat seperti tidar atau pingsan, tetap ada.
Hanya pada waktu seorang manusia mati, jiwa itu pergi melepaskan diri dari hubungan tubuh-
jasmani untuk selama-lamanya.
Dengan peristiwa-peristiwa di atas nyata terlihat, kalau tubuh-jasmani sudah hancur
berubah menjadi debu di dalam tanah atau hilang berganti abu didalam api upacara pembakaran
mayat, maka jiwa yang telah merdeka lepas dari jasmani itu dapat berbuat sekehendak hatinya.
Menurut keyakinan ini maka alam semesta ini penuh dengan jiwa-jiwa yang merdeka, dan tidak
disebut sebagai jiwa lagi, tetapi dikatakan sebagai mahluk halus atau spirit; demikian pikiran
manusia telah mentransformasikan kesadarannya akan adanya jiwa menjadi kepercayaan kepada
mahluk-mahluk halus.
Pada tingkat tertua di dalam evolusi religinya manusia percaya bahwa mahluk-mahluk
halus itulah yang menempati alam sekeliling tempat tinggal manusia. Mahluk-mahluk halus tadi,
yangtinggal dekat sekeliling tempat tinggal manusia, dianggap bertubuh halus sehingga tidak
dapat tertangkap oleh pancaindera manusia, yang mampu berbuat hal-hal yang tidak
dapatdeilakukan oleh manusia, mendapat suatu tempat yang amat penting di dalam kehidupan
manusia sehingga menjadi obyek penghormatan, pemujaan, dan penyembahannya, dengan
berbagai upacara keagamaan berupa doa, sajian atau korban. Pada tingkat religi semacam ini
oleh Tylor disebut sebagai animism.
Pada tingkat kedua di dalam evolusi religi manusia percaya bahwa gerak alam hidup itu
juga disebabkan oleh adanya jiwa yang ada di belakang peristiwa dan gejala alam itu; sungai-
sungai yang mengalir dan terjun dari gunung ke laut, gunung yang meletus, gempa bumi yang
merusak, angin taufan yang menderu, matahari yang menerangi bumi, berseminya tumbuh-
tumbuhan, dan sebagainya semuanya disebabkan oleh jiwa alam; dalam perkembangannya
kemudian, jiwa alam ini dipersonifikasikan, dianggap oleh manusia.Teori Agama Pada Kehidupan
Manusia
6
Teori-teori lain yang berkenaan dengan asal mula religi itu, atau dasar-dasar kepercayaan
manusia yang menganggap adanya suatu kekuatan yang lebih tinggi dari manusia, dan bentuk-
bentuk usaha manusia yang mencari hubungan dengan kekuatan-kekuatan itu telah menjadi
perhatian menarik dari orang-orang tertentu, terutama dari kalangan antropologi; teori-teori itu
mencakup :
a. Teori Batas Akal
Teori religi tentang batas akal ini dikembangkan oleh J.G. Frazer (1890) yang
berpedoman bahwa manusia dalam kehidupannya senantiasa memecahkan berbagai
persoalan hidup dengahn perantaraan akal dan ilmu pengetahuan; namun dalam
kenyataannya bahwa akal dan sistem pengetahuan itu itu sangat terbatas sekali. Makin maju
kebudayaan manusia, makin luas batas akal itu, tetapi dalam banyak kebudayaan batas akal
manusia masih amat sempit. Persoalan hidup yang tidak bisa dipecahkan dengan akal,
dicoba dipecahkannya dengan melalui magic, ialah ilmu gaib.
Magic diartikan sebagai segala perbuatan manusia untuk mencapai suatu maksud
melalui kekuatan-kekuatan yang ada pada alam, serta seluruh kompleks anggapan yang ada
di belakangnya; pada mulanya manusia hanya mempergunakan ilmu gaib untuk
memecehkan segala persoalan hidup yang ada di luar batas kemampuan dan pengetahuan
akalnya. Religi waktu itu belum ada dalam kebudayaan manusia, lambat laun terbukti bahwa
banyak dari perbuatan magic itu tidak menunjukkan hasil yang diharapkan, maka pada saat
itu orang mulai percaya bahwa alam itu didiami oleh mahlu-mahluk halus yang lebih
berkuasa darinya, maka mulailah manusia mencari hubungan dengan mahluk-mahluk halus
yang mendiami alam itu, dan timbullah religi.
Menurut Frazer, memang ada suatu perbedaan yang besar antara magic dan religi;
magic adalah segala sistem perbuatan dan sikap manusia untuk mencapai suatu maksud
dengan menguasai dan mempergunakan kekuatan dan hkum-hukum gaib yang ada di dalam
alam. Sebaliknya, religi adalah segala sistem perbuatan manusia untuk mencapai suatu
maksud dengan cara menyandarkan diri kepada kemauan dan kekuasaan mahluk-mahluk
halus seperti ruh-ruh, dewa, dan sebagainya.
b. Teori masa Krisis Dalam Hidup Individu
Pandangan tentang masa-masa krisis ini disampaikan oleh M. Crawley (1905) dan
A.Van Gennep (1909); menurut ke dua orang ini, dalam jangka waktu hidupnya, manusia
7
mengalami banyak krisis yang menjadi sering obyek perhatian dan dianggap sebagai suatu
yang menakutkan. Bertapapun bahagianya hidup orang, entah sering atau jarang terjadi
bahwa orang itu akan ingat akan kemungkinan-kemungkinan timbulnya krisis dalam
hidupnya; krisis –krisis itu terutama berupa bencana-bencana sekitar sakit dan maut (mati),
suatu keadaan yang sukar bahkan tidak dapat dikuasai dengan segala kepandaian,
kekuasaan, atau harta benda kekayaan yang mungkin dimilkinya.
Dalam jangka waktu hidup manusia, ada berbagaimasa dimana kemungkinan adanya
sakit maut ini besar sekali, yaitu misalnya saat kanak-kanak, masa peralihan dari usia
pemuda ke dewasa , masa hamil, masa kelahiran, dan akhirnya maut. Van Gennep menyebut
masa-masa itu sebagai crisis rites atau rites de passage. Dalam menghadapi masa krisis
serupa itu manusia butuh melakukan perbuatan untuk memperteguh imannya dan
menguatkan dirinya; perbuatan-perbuatan serupa itu , yang berupa upacara-upacara pada
masa krisis tadi itulah yang merupakan pangkal dari religi dan bentuk-bentuk religi yang
tertua.
c. Teori Kekuatan Luar Biasa
Pendirian ini dikemukakakan oleh seorang sarjana antropologi Inggris R.R. Marett;
( 1909) salah satu dasar munculnya teori ini adalah sebagai sanggahan terhadap teori religi
yang dikemukakanoleh E.B. Tylor mengenai timbulnya kesadaran manusia akan jiwa;
menurut Marett, kesadaran tersebut adalah hal yang bersifat terlalu kompleks bagi pikiran
manusia yang baru ada pada tingkat-tingkat permulaan kehidupannya di muka bumi ini.
Menurut Marett, pangkal daripada segala kelakuan agama ditimbulkan karena suatu
perasaan rendah terhadap gejala-gejala dan peristiwa-peristiwa yang dianggap sebagai biasa
dalam kehidupan manusia. Alam, tempat gejala-gejala dan peristiwa-peristiwa itu berasal,
yang dianggap oleh manusia dahulu sebagai tempat adanya kekuatan-kekuatan yang
melebihi kekuatan-kekuatan yang telah dikenal manusia dalam alam sekelilingnya, disebut
the supernatural. Gejala-gejala, hal-hal, dan peristiwa-peristiwa yang luas biasa itu dianggap
akibat dari suatu kekuatan supernatural, atau kekuatan luar biasa atau kekuatan sakti.
Adapun kepercayaan kepada suatu kekuatan sakti yang ada dalam gejala-gejala, hal-
hal, dan peristiwa-peristiwa yang luar biasa tadi, oleh Marett dianggap sebagai suatu
kepercayaan yang ada pada mahluk manusia sebelum ia percaya kepada mahluk halus dan
8
ruh; dengan perkataan lain, sebelum ada kepercayaan animisme maka ada satu bentuk
kepercayaan lain yang oleh Marett disebutnya sebagai praeanimisme.
d. Teori Sentimen Kemasyarakatan
Teori ini berasal dari seorang sarjana ilmu filsafat dan sosiologi bangsa Perancis,
Emile Durkheim (1912), pada dasarnya sama dengan R.R. Marett adalah menyanggah teori
religi yang dikemukakan oleh Tylor; serupa dengan celaan Marett tersebut di atas, beliau
beranggapan bahwa alam pikiran manusia pada masa permulaan perkembangan kebudayaan
itu belum dapat menyadari suatu paham abstrak ‘jiwa’, sebagai suatu substansi yang berbeda
dari jasmani. Kemudian Durkheim juga berpendirian bahwa manusia pada masa itu belum
dapat menyadari faham abstrak yang lain seperti tercobaan dari jiwa menjadi ruh apabila
jiwa itu telah terlepas dari jasmani yang mati. Mendasari celaan terhadap teori animisme
Tylor itu maka beliau menyatakan suatu teori baru tentang dasar-dasar religi yang sama
sekali berbeda dengan teori-teori yang pernah dikembangkan oleh para sarjana sebelumnya.
Teori itu berpusat kepada beberapa pengertian dasar, ialah:
1) Mahluk manusia dalam kala ia baru timbul di muka bumi, mengembangkan aktivitas
religi itu tidak karena ia mempunyai di dalam alam pikirannya bayangan-bayangan
abstrak tentang jiwa, ialah suatu kekuatan yang menyebabkan hidup dan gerak di
dalam alam, tetapi karena suatu getaran jiwa, suatu emosi keagamaan, yang timbul di
dalam jiwa manusia dahulu, karena pengaruh suatu rasa sentimen kemasyarakatan.
2) Sentimen kemasyarakatan itu dalam batin manusia dahulu berupa suatu kompleks
perasaan yang mengandung rasa terikat, rasa bakti, rasa cinta, dan sebagainya,
terhadap masyarakatnya sendiri, yang merupakan seluruh alam dunia dimana ia
hidup.
3) Sentimen kemasyarakatan yang menyebabkan timbulnya emosi keagamaan, yang
sebaliknya merupakan pangkal daripada segala kelakuan keagamaan manusia itu,
tentu tidak selalu berkobar-kobar dalam alam batinnya. Apabila tidak dipelihara,
maka sentimen kemasyarakatan itu menjadi lemah dan laten, sehingga perlu
dikobarkan kembali. Salah satu cara untuk mengobarkan kembali sentimen
kemasyarakatan adalah dengan mengadakan suatu kontraksi masyarakat, artinya
dengan mengumpulkan seluruh masyarakat dalam pertemuan-pertemuan raksasa
yang bernuansa religius.
9
4) Emosi keagamaan yang timbul karena rasa sentimen kemasyarakatan, membutuhkan
suatu objek tujuan. Sifat apakah yang menyebabkan barang sesuatu hal itu menjadi
objek daripada emosi keagamaan bukan terutama sifat luar biasanya, bukan pula sifat
anaehnya, bukan sifat megahnya, bukan sifat ajaibnya, melainkan tekanan anggapan
umum dalam masyarakat. Obyek itu salah sesuatu peristiwa kebetulan di dalam
sejarah daripada kehidupan sesuatu masyarakat di dalam waktu yang lampau menarik
perhatian banyak orang di dalam masyarakat. Objek yang menjadi tujuan emosi
keagamaan itu juga mempunyai objek yang bersifat keramat, bersifat sacre (sakral),
berlawanan dengan objek lain yang tidak mendapat nilai keagamaan (ritual value)
itu, ialah objek yang tak keramat atau profane.(profan).
5) Objek keramat sebenarnya tidak lain daripada suatu lambang masyarakat. Pada suku-
suku bangsa asli benua Australia misalnya, objek keramat, pusat tujuan dari pada
sentimen-sentimen kemasyarakatan, sering juga sejenis binatang, tumbuh-tumbuhan,
tetapi sering juga objek keramat itu berupa benda. Oleh para sarjana objek keramat
itu disebut totem (jenis binatang atau lain objek) itu mengkonkritkan prinsip totem
yang ada di belakangnya, dan prinsip totem itu adalah suatu kelompok tertentu di
dalam masyarkat, berupa clan atau lain.
Pendirian-pendirian tersebut pertama di atas, ialah emosi keagamaan dan sentimen
kemasyarakatan, adalah menurut Durkheim, pengertian-pengertian dasar yang merupakan
inti dari pada tiap religi; sedangkan ketiga pengertian lainnya, ialah kontraksi masyarakat,
kesadaran akan objek keramat berlawanan dengan objek tak-keramat, dan totem sebagai
lambang masyarakat, bermaksud memelihara kehidupan daripada inti. Kontraksi
masyarakat, obyek keramat dan totem akan menjelmakan (a) upacara, (b) kepercayaan dan
(c) mitologi. Ketiga unsur tersebut terakhir ini menentukan bentuk lahir daripada sesuatu
religi di dalam sesuatu masyarakat tertentu.
Susunan tiap masyarakat dari beribu-ribu suku bangsa di muka bumi yang berbeda-
beda ini telah menentukan adanya beribu-ribu bentuk religi yang perbedaan-perbedaanya
tampak lahir pada upacara, kepercayaan, atau mitologinya.
10
2. Agama dalam konteks wahyu Tuhan
Disamping tinjauan ilmiah yang dilakukan antropologi terhadap manusia, terdapat pula
tinjauan lain terhadap manusia ini, yaitu tinjauan agama. Berbeda dengan tinjauan ilmiah yang
berpangkal pada pengamatan empirik, maka tinjauan agama terhadap manusia ini berpangkal
pada kepercayaan, kepada dogma-dogma, dan memberikan penafsiran pada dogma-dogma
tersebut sesuai dengan ketetapan-ketetapan lainnya, yang tidak diragukan lagi kebenarannya.
Dilihat dari sudut asal-usul manusia misalnya, agama-agama besar khususnya agama Islam dan
agama Nasrani agama-agama yang relatif tradisional, mengatakan bahwa manusia itu diciptakan
sekali saja oleh Tuhan dan umat manusia yang ada sekarang ini adalah keturunan dari manusia
yang pertama itu. Dalam rangka peninjauan tersebut, manusia berbeda dengan mahluk-mahluk
ciptaan Tuhan lainnya; manusia berbeda secara hakekat dan secara prinsip dengan hewan.
Seorang ahli antropologi, Ralph Linton (1984), mengatakan bahwa apabila kita membuat
perbandingan antara tinjauan agama dengan tinjauan ilmiah terhadap keberadaan manusia,
memang masing-masing berbeda tetapi bukan berarti bertentangan. ‘Prediksi’ asal mula manusia
dari bentuk yang sangat sederhana sampai bentuk yang sempurna seperti sekarang ini. Teori
evolusi manusia yang pernah menggemparkan dunia ini akhirnya runtuh juga, salah satu sosok
yang meruntuhkannya adalah serangan dari para agamawan yang menolak bahwa manusia
pertama yang digambarkannya tidak mungkin serendah itu, manusia adalah manusia, bukan
mahluk lain.
Bila kita lihat lebih dalam lagi, kita akan mengetahui bahwa tinjauan ilmu pengetahuan
tentang evolusi asal mula manusia, semata-mata merupakan penyelidikan tentang mekanisme
penciptaan; ajaran evolusionisme struktural dengan pengamatannya dapat memetakan berbagai
bentuk-bentuk baru yang secara biologis memang mungkin terjadi dan mengalami perubahan;
tetapi ilmu pengetahuan tidak dapat menetapkan kekuatan-kekuatan apakah yang menyebabkan
adanya perkembangan evolusi dari seluruh mahluk hidup, selain ketidak mampuannya untuk
meramalkan arah daripada perubahan-perubahan itu. Ilmu pengetahuan dapat membuktikan
bahwa kehidupan yang asal-usulnya tidak diketahui itu berkembang dari bentuk yang sederhana
menjadi yang lebih kompleks, tetapi ilmu pengetahuan tidak dapat menjelaskan secara empirik
11
Penggerak pertama dari segala perubahan itu, ilmu pengetahuan juga tidak dapat menguraikan
tentang Prima Causa dari segala yang hidup.
Apabila ilmu pengetahuan bertugas untuk tetnang kenyataan dan keadaan kehidupan
sebagaimana adanya sekarang dan di masa lalu, maka tugas agama atau religi adalah untuk
menunjukkkan bagaimana manusia itu harus hidup. Dalam hubungan ini Mohammad Hatta
mengemukakan mengenai hubungan antara ilmu dan agama, bahwa memang ada berlainan
keinsafan antara ilmu dan agama , tetapi bukan berarti bertentangan, lingkup ilmu yaitu berkisar
mengenai pengetahuan yang pelitanya terletak di otak manusia, sedangkan agama adalah soal
kepercayaan yang pelitanya terletak di hati.
Di Indonesia, dimana landasan kehidupan sosial, budaya , dan kenegaraan adalah
Pancasila,di mana tiap-tiap anggota masyarakat dapat memeluk agama-agamanya sendiri, orang
bebas bertanya sepanjang pertanyaan itu tidak mengingkari ajaran-ajaran agama. Di dalam
agama inilah emosi manusia menemui muara kebebasan, dan sebagai manusia yang beriman kita
percaya bahwa seluruh alam semesta ini dengan hukum-hukum alamnya yang ada dan masih
dicari-cari oleh manusia, semua adalah kreasi dari Tuhan Yang Mahaesa; bahwa dibelakang
segala fenomena alam ini terdapat Maha Penggerak yang tidak digerakkan, Gaya Ghaib, Prima
Causa, dan kita memandang isi alam semesta ini sebagai menifestasi kebesaran Tuhan.
Dalam konteks antropologi, teori Firman Tuhan pada mula-mulanya berasal dari seorang
sarjanan antropologi bangsa Austria bernama W.Schmidt (1913); Sebelum Schmidt, sebenarnya
ada sarjana lain yang pernah mengajukan juga pendirian tersebut, yaitu seorang ahli kesusateraan
bangsa inggris, bernama A.Lang (1889).
Sebagai ahli kesusasteraan, Lang telah banyak membaca tentang kesusasteraan rakyat
dari banyak suku di dunia. Di dalam dongeng-dongeng itu, Lang sering mendapatkan adanya
seorang tokoh dewa yang oleh suku-suku bangsa bersangkutan di anggap dewa tertinggi,
pencipta seluruh alam semesta serta isinya, dan penjaga ketertiban alam dan kesusilaan.
Kepercayaan kepada seorang tokoh dewa serupa itu menurut Lang terutama tanpak pada suku-
suku bangsa yang amat rendah tingkat kebudayaannya, dan yang hidup dari berburu atau
meramu, ialah misalnya suku-suku bangsa yang berburu di daerah Gurun Kalahari di Afrika
Selatan, yang biasanya disebut orang Bushman, suku-suku bangsa asli benua Australia, suku-
suku bangsa Negrito di daerah hutan rimba di Kamerun dan Kongo, Afrika Tengah, penduduk
12
kepulauan Andaman, penduduk Pegunungan Tengah di Irian Timur, dan juga beberapa bangsa
penduduk asli Benua Amerika Utara.
Berbagai hal membuktikan bahwa kepercayaan itu tidak timbul sebagai akibat pengaruh
agama Nasrani atau Islam, sebagai dua agama besar yang menyebar di seluruh dunia, maka
kepercayaan tadi malahan tampak seolah-olah terdesak kebelakang oleh kepercayaan kepada
mahluk-mahluk halus, dewa-dewa, ruh , hantu dsb. A.Lang berkesimpulan bahwa kepercayaan
kepada dewa tertinggi adalah suatu kepercayaan yang sudah amat tua, dan mungkin merupakan
bentuk religi manusia yang tertua. Angapan A.Lang terurai di atas, tak lama kemudian di olah
lebih lanjut oleh W.Schmidt. Tokoh besar dalam antropologi ini adalah gurubesar pada satu
perguruan tinggi yang pusat mula-mulanya di Australia, kemudian di Swiss, umtuk mendididk
calon-calon pendeta penyiar agama katholik dari organisasi Societas Verbi Devini. Di dalam
kedudukan serupa itu maka mudah dapat dimengerti bagaimana anggapan bahwa adanya
kepercayaan kepada dewa-dewa tertinggi di dalam alam jiwa bangsa-bangsa yang masih amat
cocok dengan dasar-dasar cara befikir W.Schmidt dan juga dengan filsafatnya sebagaia orang
pendeta agama Katholik.
Di dalam hubungan itu beliau percaya bahwa agama itu berasal dari titah Tuhan yang
diturunkan kepada mahluk manusia pada masa permulaan ia muncul di muka bumi ini. Karena
itulah, adanya tanda-tanda daripada suatu kepercayaan kepada dewa pencipta. Justru kepada
bangsa-bangsa yang lebih rendah tingkat kebudayaanya (artinya yang paling tua menurut
Schmidt) memperkuat anggapanya mengenai adanya Titah Tuhan asli, atau yang disebutnya
sebagai Uroffenbarung. Demikianlah kepercayaan yang asli yang bersih kepada Tuhan, atau
kepercayaan Urmonotheismus tadi itu malahan ada pada bangsa-bangsa lain yang tua yang hidup
pada zaman ketika tingkat kebudayaan manusia masih rendah. Di dalam zaman kemudian, ketika
makin maju kebudayaan manusia, maka makin kaburlah kepercayaan asli terhadap Tuhan; makin
banyak kebutuhan manusia, makin terdesaklah kepercayaan asli itu oleh pemujaan kepada
mahluk-mahluk halus, roh, dewa dsb.
Angapan Schmidt terurai diatas dianut oleh beberapa orang sarjana yang untuk sebagian
besar bekrja sebagai penyiar agam Nasrani dan organisasi societas verbi Divini. Disamping
menjalankan tugas sebagai penyiar agama Nasrani di dalam berbagai daerah di muka bumi,
mereka melakukan penelitian-penelitian antropologi budaya berdasarkan atas anggapan-
anggapan pokok daripada guru mereka. Demikian antara lain, sarjana-sarjana itu mencari di
13
dalam kebudayaan-kebudayaan di daerah mereka masing-masing akan adanya tanda-tanda suatu
kepercayaan kepada dewa tertinggi.
B. Lembaga Masyarakat
Lembaga masyarakat adalah lembaga yang dibentuk oleh anggota masyarakat Warga
Negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan visi, misi, profesi, fungsi dan kegiatan
untuk berperanserta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, yang terdiri dari organisasi
keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, organisasi swasta, organisasi
sosial, organisasi politik, media massa, dan bentuk organisasi lainnya.
Lembaga kemasyarakatan berasal dari istilah asing “social-institution” atau pranata-sosial
yaitu suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk
memenuhi kebutuhan khusus dalam suatu masyarakat.
Lembaga kemasyarakatan juga diartikan sebagai suatu jaringan proses-proses hubungan
antar manusia dan antar kelompok manusia yang berfungsi untuk memelihara hubungan-
hubungan tersebut serta pola-polanya, sesuai dengan kepentingan-kepentingan manusia dan
kelompoknya.
1. Fungsi Lembaga Kemasyarakatan yang bertujuan memenuhi kebutuhan-kebutuhan
pokok manusia
Lembaga kemasyarakatan yang bertujuan memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok manusia
pada dasarnya mempunyai beberapa fungsi, yaitu:
a. Memberikan pedoman kepada anggota masyarakat, bagaimana mereka harus
bertingkahlaku atau bersikap di dalam menghadapi masalah-masalah dalam
masyarakat, yang terutama menyangkut kebutuhan pokok.
b. Menjaga kebutuhan masyarakat yang bersangkutan
c. Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem
pengendalian sosial (social control), artinya, sistem pengawasan dari masyarakat
terhadap tingkah laku anggota-anggotanya.
Fungsi-fungsi di atas menyatakan bahwa apabila seseorang hendak mempelajari
kebudayaan dan masyarakat tertentu maka harus pula diperhatikan secara teliti lembaga-lembaga
kemasyarakatan di masyarakat yang bersangkutan.
14
2. Proses Pertumbuhan Lembaga Kemasyarakatan
a. Norma-norma masyarakat
Supaya hubungan antar manusia didalam suatu masyarakat terlaksana sebagaimana
dharapkan, maka dirumuskan norma-norma masyarakat. Mula-mula norma-norma tersebut
terbentuk secara tidak sengaja. Namun lama kelamaan norma-norma Contoh adalah perihal
perjanjian tertulis yang menyangkut pinjam meminjam uang yang dahulu tidak pernah
dilakukan. Norma-norma yang ada didalam masyarakat, mempunyai kekuatan mengikat
yang berbeda-beda. Ada norma yang lemah, yang sedang sampai yang kuat daya ikatnya.
Pada yang terakhir umumnya anggota-anggota masyarakat tidak berani melanggarnya.
Untuk dapat membedakan kekuatan mengikat norma-norma tersebut, secara sosiologi
dikenal adanya empat pengertian, yaitu:
Cara (Usage)
Dimana Usage lebih menonjol didalam hubungan antar individu dalam masyarakat.
Suatu penyimpangan terhadapnya tidak akan mengakibatkan hukum yang berat, akan tetapi
hanya sekedar celaan dari individu yang dihubunginya. Misalnya, orang mempunyai cara
masing-masing untuk minum pada waktu bertemu. Ada yang minum tanpa mengeluarkan
bunyi ada pula yang mengeluarkan unyi sebagai tanda kepuasannya menghilangkan
kehausannya. Dalam cara yang terakhir biasanya danggap sebagai perbuatan yang tidak
sopan. Apabila perbuatan tersebut diperlakukan juga maka paling banyak orang yang diajak
minum bersama akan merasa tersinggung dan mencela cara minum yang demikian.
Kebiasaan (Filkways)
Suatu kebiasaan mempunyai kekuatan mengikat yang lebih besar dari pada cara.
Kebiasaan diartikan sebagai perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama,
merupakan ukti bahwa orang banyak menyukai perbuatan tersebut. Sebagai contoh,
kebiasaan memberi hormat kepada orang lain yang lebih tua. Apabila perbuatan tadi tidak
dilakukan, maka akan dianggap sebagai suatu penyimpanga terhadap kebiasaan umum
dalam masyarakat. Kebiasaan mengormati orang yang lebih tua merupakan suatu kebiasaan
dalam masyarakat dan setiap orang akan menyalahkan penyimpangan terhadap kebiasaan
umum tersebut.
15
Norma-norma tersebut diatas telah mengalami suatu proses pada akhirnya akan
menjadi bagian tertantu dari lembaga kemasyarakatan. Proses tersebut dinamakan proses
pelembagaan (Institutionalization), yaitu suatu proses yang dilewatkan oleh suatu norma
yang baru untuk menjadi bagian dari salah satu lembaga kemasyarakatan. Yang dimaksud
ialah, sampai norma itu oleh masyarakat dikenal, diakui, dihargai, dan kemudian ditaati
dalam kehidupan sehari-hari.
Mengingat adanya proses termaksud diatas, dibedakan antara lembaga
kemasyarakatan sebagai peraturan (operative institutions). Lembaga kemasyarakatan
dianggap sebagai peraturan apabila norma-norma tersebut membatasi serta mengatur prilaku
orang-orang, misalnya lembaga perkawinan mengatur hubungan antara pria dengan wanita.
Lembaga kekeluargaan mengatur hubungan antara anggota keluarga didalam suatu
masyarakat.lembaga kewarisan mengatur proses beralihnya harta kekayaan dari suatu
generasi pada generasi berikutnya. Lembaga kemasyarakatan dianggap sebagai suatu yang
sungguh-sungguh berlaku, apabila norma-normanya sepenuhnya membantu pelaksanaan
pola-pola kemasyarakatan. Perilaku perseorangan yang dianggap sebagai peraturan
merupakan hal sekunder bagi lembaga kemasyarakatan.
Tata kelakuan (Mores)
Tata kelakuan mencerminkan sifat-sifat yang hidup dari kelompok manusia yang
dilaksanakan sebagai alat pengawas, secara sadar maupun tidak sadar, oleh masyarakat
terhadap anggota-anggotanya. Tata kelakuan, di satu pihak memaksakan suatu perbuatan
dan di lain pihak melarangnya, sehingga secara langsung merupakan alat agar anggota
masyarakat menyesuaikan operbuatan-perbuatannya dengan tata kelakuan tersebut.
Tata kelakuan sangat penting, karena :
1) Tata kelakuan memberikan batas-batas pada perilaku individu. Tata kelakuan juga
merupakan alat yang memerintahkan dan sekaligus melarang seseorang anggota
masyarakat melakukan suatu perbuatan. Dalam hal ini, setiap masyarakat
mempunyai tata kelakuan masing-masing yang sering kali berbeda satu dengan
lainnya, karena tata kelakuan timbul dari pengalaman masyarakat yang berbeda-beda
dari masyarakat-masyarakat yang bersangkutan.
2) Tata kelakuan mengidentifikasi individu dengan kelompoknya. Di satu pihak tata
kelakuan memaksa orang agar menyesuaikan tindakan-tindakannya dengan tata
16
kelakuan kemasyarakatan yang berlaku. Dilain pihak mengusahakan agar masyarakat
menerima seseorang oleh karena kesanggupannya untuk menyesuaikan diri.
3) Tata kelakuan menjaga solidaritas antar anggota masyarakat.
Adat-istiadat (Custom)
Adat Istiadat adalah aneka kelaziman dalam suatu negeri yang mengikuti pasang naik
dan pasang surut situasi masyarakat.
Kelaziman ini pada umumnya menyangkut pengejawatahan unjuk rasa seni budaya
masyarakat, seperti acara-acara keramaian anak negeri, seperti pertunjukan randai, saluang,
rabab, tari-tarian dan aneka kesenian yang dihubungkan dengan upacara perhelatan
perkawinan, pengangkatan penghulu maupun untuk menghormati kedatangan tamu agung.
Adat istiadat semacam ini sangat tergantung pada situasi sosial ekonomi masyarakat. Bila
sedang panen baik biasanya megah meriah, begitu pula bila keadaan sebaliknya. Adat
adalah gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai kebudayaan, norma, kebiasaan,
kelembagaan, dan hukum adat yang lazim dilakukan di suatu daerah
3. Ciri-ciri Umum Lembaga Kemasyarakatan
a. Suatu lembaga kemasyarakatan adalah organisasi pola-pola pemikiran dan pola-pola
perilaku yang terwujud melalui aktivitas kemasyarakatan dan hasil-hasilnya.
b. Lembaga kemasyarakatan terdiri dari adat-istiadat, tata-kelakuan, kebiasaan serta
unsur-unsur kebudayaan lainnya yang secara langsung maupun tidak langsung
tergabung dalam satu unit yang fungsional.
c. Suatu tingkat kekelan tertentu merupakan ciri dari semua lembaga kemasyarakatan.
Sistem-sistem kepercayaan dan aneka macam tindakan, baru akan menjadi bagian
lembaga kemasyarakatan setelah melewati waktu yang relatif lama.
d. Lembaga kemasyarakatan mempunyai satu atau beberapa tujuan tertentu.
e. Lembaga kemasyarakatan mempunyai alat-alat perlengkapan yang dipergunakan
untuk mencapai tujuan lembaga yang bersangkutan, seperti bangunan, peralatan,
mesin dan lain sebagainya. Bentuk serta penggunaan alat-alat tersebut biasanya
berlainan antara satu masyarakat dengan masyarakat lain.
f. Lambang-lambang biasanya merupakan ciri khas dari lembaga kemasyarakatan.
Lambang-lambang tersebut secara simbolis menggambarkan tujuan dan fungsi
lembaga yang bersangkutan.
17
g. Suatu Lembaga kemasyarakatan mempunyai tradisi tertulis atau yang tidak tertulis,
yang merumuskan tujuannya, tata tertib yang berlaku dan lain-lain.
4. Tipe Lembaga Kemasyarakatan
Tipe-tipe lembaga kemasyarakatan dapat diklasifikasikan dari pelbagai sudut.
Menurut Gillin dan Gillin :
a. Dari sudut perkembangannya :
1) Crescive Institutions
Bahan Ajar Pengantar Sosiologi \ Gumgum Gumilar, S.Sos., M.Si./ Program Studi
Ilmu Komunikasi Unikom
Lembaga-lembaga yang secara tidak sengaja tumbuh dari adat-istiadat masyarakat.
Contoh : hak milik, perkawinan, agama, dsb.
2) Enacted Institution
Dengan sengaja dibentuk untuk memenuhi tujuan tertentu, misalnya lembaga utang-
piutang, lembaga perdagangan, dan lembaga-lembaga pendidikan, yang kesemuanya
berakar pada kebiasaan-kebiasaan masyarakat.Dari sudut sistem nilai-nilai yang
diterima masyarakat:
Basic Institutions
Lembaga kemasyarakatan yang sangat penting untuk memelihara dan
mempertahankan tata tertib dalam masyarakat. Dalam masyarakat Indonesia,
misalnya keluarga, sekolah-sekolah, segara, dsb.
Subsidiary Institutions
Dianggap kurang penting. Misalnya kegiatan-kegiatan untuk rekreasi.
b. Dari sudut penerimaan masyarakat:
1) Approved-Socially Sanctioned Institutions
Lembaga-lembaga yang diterima masyarakat, seperti sekolah, lembaga
perdagangan, dsb.
2) Unsanctioned Institutions
Lembaga-lembaga yang ditolak masyarakat, walau masyarakat kadang-kadang tidak
berhasil memberantasnya. Misalnya kelompok penjahat, pemeras pencoleng, dsb.
c. Dari sudut penyebarannya :
18
1) General Institutions
Contoh : Agama merupakan suatu General Institutions, karena dikenal oleh hampir
semua masyarakat dunia.
2) Restricted Institutions
Agama Islam, Katolik, Protestan, Budha, dan Hindu, merupakan Restricted
Institutions, karena dianut oleh masyarakat tertentu di dunia ini.
d. Dari sudut fungsinya :
1) Operative Institutions Bahan Ajar Pengantar Sosiologi
Gumgum Gumilar, S.Sos., M.Si./ Program Studi Ilmu Komunikasi Unikom
Berfungsi sebagai lembaga yang menghimpun pola-pola atau tata cara yang
diperlukan untuk mencapai tujuan lembaga yang bersangkutan.
2) Restricted Regulative
Bertujuan untuk mengawasi adat-istiadat atau tata kelakukan yang tidak menjadi
bagian mutlak lembaga itu sendiri
5. Bentuk-bentuk umum Lembaga Kemasyarakatan
Dari sudut pandang kompleks atau sederhananya suatu lembaga kemasyarakat atau
menentukan berapa banyak atau besar lembaga-lembaga kemasyarakatan yang ada dalam satu
masyarakat, sebenarnya sukar untuk diukur, karena hal ini tergantung dari sifat kompleks atau
sederhananya kebudayaan suatu masyarakat. Makin besar dan kompleks perkembangan suatu
masyarakat, makin banyak pula jumlah lembaga kemasyarakatan yang ada. Namun untuk
menentukan lembaga–lembaga kemasyarakatan yang pokok, sekurangnya setiap masyarakat
memiliki delapan buah lembaga kemasyakatan berdasarkan fungsi untuk memenuhi keperluan
hidupnya, yaitu yang menyangkut lembaga :
a. Kekerabatan yang disebut juga sebagai kinship institutions, antara lain mencakup
lembaga perkawinan, tolong menolong antar kerabat, pengasuhan anak, sopan santun
pergaulan antar kerabat, dan lain-lain.
b. Ekonomi (produksi, mengumpulkan dan mendistribusikan hasil produksi, dan lain-lain),
antara lain mencakup pertanian, peternakan, berburu, industri, perbankan, koperasi, dan
sebagainya,
c. Pendidikan, yaitu yang menyangkut pengasuhan anak, berbagai jenjang pendidikan,
pemberantasan buta huruf, perpustakaan umum, pers, dan sebagainya.
19
d. Ilmu pengetahuan, meliputi pendidikan, penelitian, metodologi ilmiah, dan sebagainya,
e. Keindahan dan rekreasi, menyangkut berbagai cabang kesenian, olah raga, kesusateraan,
dan sebagainya,Agama, menyangkut peribadatan, upacara, semedi, penyiaran agama,
doa, kenduri, ilmu gaib, ilmu dukun, dan sebagainya,
f. Kekuasaan, menyangkut pemerintahan, kepartaian, demokrasi, ketentaraan dan
sebagainya,Kesehatan atau kenyamanan, menyangkut kecantikan dan kesehatan,
kedokteran, pengobatan tradisional, dan sebagainya.
g. Penggolongan tersebut di atas tentu belum lengkap, karena di dalamnya belum tercakup
semua jenis lembaga kemasyarakatan yang mungkin terdapat dalam suatu masyarakat.
Hal-hal seperti kejahatan, prostitusi, banditisme, dan lain-lain, juga merupakan lembaga
kemasyarakatan.Disamping itu juga ada lembaga kemasyarakatan yang memiliki sangat banyak
aspek, sehingga mereka juga dapat ditempatkan di dalam lebih dari satu golongan . Feodalisme,
yang menciptakan suatu sistem hubungan antara pemilik tanah dan penggarap, yang sebenarnya
menyebabkan terjadinya produksi dari hasil bumi, , dapat dianggap sebagai lembaga ekonomi;
tetapi sebagai suatu sistem hubungan antara pihak yang berkuasa dengan fihak yang dikuasai,
feodalisme dapat diangga sebagai lembaga politik.
Selain itu dalam suatu masyarakat terdapat banyak lembaga yang tidak secara khusus tumbuh dari dalam adat-istiadat masyarakat yang bersangkutan, melainkan yang secara tidak disadari ataupun secara terencana diambil dari masyarakat lain, seperti misalnya demokrasi parlementer, sistem kepartaian, koperasi, perguruan tinggi, dan lainnya. Lembaga asing itu pada umumnya anya dapat bertahan apabila lembaga-lembaga itu dapat diselaraskan dengan lembaga-lembaga yang ada, kecuali apabila kegunaannya dapat disadari dan difahami sepenuhnya oleh warga masyarakat yang bersangkutan.
BAB IIIPENUTUP
A. KESIMPULAN
Relegi dalam kehidupan masyarakat
Agama memberikan penjelasan bahwa manusia adalah mahluk yang memilki
potensi untuk berahlak baik (takwa) atau buruk (fujur) potensi fujur akan senantiasa eksis
dalam diri manusia karena terkait dengan aspek instink, naluriah, atau hawa nafsu, seperti
naluri makan/minum, seks, berkuasa dan rasa aman.
Lembaga Masyarakat
Lembaga masyarakat adalah lembaga yang dibentuk oleh anggota masyarakat
Warga Negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan visi, misi, profesi, fungsi
dan kegiatan untuk berperanserta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan
nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila,
yang terdiri dari organisasi keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi,
organisasi swasta, organisasi sosial, organisasi politik, media massa, dan bentuk
organisasi lainnya.
B. SARAN
1) Semoga makalah ini dapat bermamfaat bagi yang pembaca, terutama mahasiswa
keperawatan.
2) Semoga dapat menjadi bahan acuan pembelajaran khususnya untuk pembelajaran mata
kuliah Sosiologi bagi mahasiswa keperawatan.
21
DAFTAR PUSTAKA
Soekamto, Soerjono.2002.Sosiologi Suatu Pengantar.PT Raja Grafindo Persada:Jakarta
www.google.com
www.wikipedia.com