Tugas Sejarah, Kerjasama Int.

download Tugas Sejarah, Kerjasama Int.

of 27

Transcript of Tugas Sejarah, Kerjasama Int.

Fernando fransisco XII IA Absen 10

KERJASAMA MULTILATERALWorld Tourism Organization (WTO)Latar Belakang Asal mula WTO adalah International Union of Official Tourist Publicity Organization, yang berdiri pada tahun 1925 dengan markas besar di Den Haag, Belanda. Setelah berakhirnya Perang Dunia II, nama organisasi diubah menjadi Internation Union for Official Tourism Organization (IUOTO), sementara markas besarnya dipindahkan ke Jenewa, Swiss. IUOTO sendiri adalah sebuah organisasi non pemerintah, yang menghimpun badan-badan kepariwisataan negara-negara. Baru pada tahun 1967, IUOTO mengeluarkan rekomendasi untuk mengubah dirinya menjadi suatu organisasi antar pemerintah. Menindaklanjuti rekomendasi ini, WTO didirikan pada tahun 1974, dengan markas besar terletak di Madrid, Spanyol. Dalam sidang Executive Council WTO di Jordania, bulan Juni 2002 lalu, dicapai kesepakatan untuk menjadikan WTO sebagai specialized agencies (badan khusus) PBB. menjadi anggota WTO sejak tahun 1970. Tujuan Tujuan pokok WTO adalah untuk meningkatkan dan membangun pariwisata sebagai kontributor bagi pembangunan ekonomi, saling pengertian internasional, perdamaian, kemakmuran universal, HAM dan kebebasan dasar untuk semua tanpa memandang perbedaan ras, kelamin, bahasa dan agama. Dalam mendukung tujuan pokok ini, organisasi memberikan perhatian atas pembangunan negara-negara dalam bidang pariwisata. WTO telah membantu para anggotanya dalam industri pariwisata dunia, di mana diyakini pentingnya sektor tersebut untuk merangsang pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja, menyediakan insentif untuk melindungi lingkungan dan warisan sejarah serta mempromosikan perdamaian dan saling pengertian di antara negara-negara. Peranan dan Kepentingan Indonesia Saat ini WTO sedang mempromosikan ekoturisme, sebagai salah satu obyek penarik turis sekaligus sebagai program pelestarian alam. Rangkaian kegiatan yang dilakukan termasuk seminar, lokakarya, publikasi dll. Mengingat memiliki banyak lokasi wisata alam, ekoturisme dapat menjadi salah satu bidang kerjasama antara dengan WTO. WTO pun memfokuskan diri pada pemanfaatan situs-situs budaya untuk mendukung pariwisata. Untuk itu WTO melakukan serangkaian kegiatan seperti penelitian di situs-situs budaya, seminar dan publikasi untuk mempromosikan situs budaya serta penelitian lapangan untuk membantu pemerintah setempat memanfaatkan situs budayanya. Mengingat pariwisata merupakan salah satu andalan untuk mendatangkan devisa, kerjasama di forum internasional dan regional seperti WTO dan PATA sangat penting, terutama untuk menjalin kerjasama pelatihan, penanaman modal dan tukar menukar pengalaman. Khusus untuk WTO, organisasi ini memiliki Business Council yang beranggotakan badan-badan pariwisata nonpemerintah. Departemen Luar Negeri menyambut baik dukungan Executive Council WTO agar Masyarakat Pariwisata menjadi anggota WTO Business Council, mengingat pariwisata adalah bisnis yang sangat kompleks sehingga peran serta swasta dan masyarakat sangat vital untuk keberhasilannya. Selain itu, dalam Sidang Dewan Eksekutif ke-70 di Madrid bulan Juni 2003, wakil Indonesia yaitu Prof. Dr. Emil Salim dikukuhkan sebagai anggota World Committee on Tourism Ethics tahun 2003-2005. Focal point untuk kegiatan WTO adalah Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Yang layak untuk dikaji dan ditindaklanjuti oleh adalah program ekoturisme yang dikembangkan WTO. Program ini sejalan dengan ide sustainable development di mana obyek wisata alam harus dijaga sedapat mungkin kelestariannya, terutama mengingat keberadaannya untuk memelihara keseimbangan alam. Selain itu, pun dapat menjalin kerjasama program wisata budaya, melengkapi kerjasama yang sudah terjalin dengan UNESCO, untuk menjaga kelestarian situssitus budaya kita.

Gerakan Non-BlokKonferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung tahun 1955 merupakan proses awal lahirnya GNB. KAA diselenggarakan pada tanggal 18-24 April 1955 dan dihadiri oleh 29 Kepala Negara dan Kepala Pemerintah dari benua Asia dan Afrika yang baru saja mencapai kemerdekaannya. KAA ditujukan

untuk mengidentifikasi dan mendalami masalah-masalah dunia waktu itu dan berupaya menformulasikan kebijakan bersama negara-negara baru tersebut pada tataran hubungan internasional. KAA menyepakati Dasa Sila Bandung yang dirumuskan sebagai prinsip-prinsip dasar bagi penyelenggaraan hubungan dan kerjasama antara bangsa-bangsa. Sejak saat itu proses pendirian GNB semakin mendekati kenyataan, dan dalam proses ini tokoh-tokoh yang memegang peran kunci sejak awal adalah Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser, Presiden Ghana Kwame Nkrumah, Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru, Presiden Indonesia Soekarno, dan Presiden Yugoslavia Josip Broz Tito. Kelima tokoh dunia ini kemudian dikenal sebagai para pendiri GNB. GNB berdiri saat diselenggarakannya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) I GNB di Beograd, Yugoslavia, 1-6 September 1961. KTT I GNB dihadiri oleh 25 negara yakni Afghanistan, Algeria, Yeman, Myanmar, Cambodia, Srilanka, Congo, Cuba, Cyprus, Mesir, Ethiopia, Ghana, Guinea, India, Indonesia, Iraq, Lebanon, Mali, Morocco, Nepal, Arab Saudi, Somalia, Sudan, Suriah, Tunisia dan Yugoslavia. Dalam KTT I tersebut, negara-negara pendiri GNB ini berketetapan untuk mendirikan suatu gerakan dan bukan suatu organisasi untuk menghindarkan diri dari implikasi birokratik dalam membangun upaya kerjasama di antara mereka. Pada KTT I juga ditegaskan bahwa GNB tidak diarahkan pada suatu peran pasif dalam politik internasional, tetapi untuk memformulasikan posisi sendiri secara independen yang merefleksikan kepentingan negaranegara anggotanya. GNB menempati posisi khusus dalam politik luar negeri Indonesia karena Indonesia sejak awal memiliki peran sentral dalam pendirian GNB. KAA tahun 1955 yang diselenggarakan di Bandung dan menghasilkan Dasa Sila Bandung yang menjadi prinsip-prinsip utama GNB, merupakan bukti peran dan kontribusi penting Indonesia dalam mengawali pendirian GNB. Secara khusus, Presiden Soekarno juga diakui sebagai tokoh penggagas dan pendiri GNB. Indonesia menilai penting GNB tidak sekedar dari peran yang selama ini dikontribusikan, tetapi terlebih-lebih mengingat prinsip dan tujuan GNB merupakan refleksi dari perjuangan dan tujuan kebangsaan Indonesia sebagaimana tertuang dalam UUD 1945. Tujuan utama GNB semula difokuskan pada upaya dukungan bagi hak menentukan nasib sendiri, kemerdekaan nasional, kedaulatan dan integritas nasional negara-negara anggota. Tujuan penting lainnya adalah penentangan terhadap apartheid; tidak memihak pada pakta militer multilateral; perjuangan menentang segala bentuk dan manifestasi imperialisme; perjuangan menentang kolonialisme, neo-kolonialisme, rasisme, pendudukan dan dominasi asing; perlucutan senjata; tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain dan hidup berdampingan secara damai; penolakan terhadap penggunaan atau ancaman kekuatan dalam hubungan internasional; pembangunan ekonomi-sosial dan restrukturisasi sistem perekonomian internasional; serta kerjasama internasional berdasarkan persamaan hak. Sejak pertengahan 1970-an, isu-isu ekonomi mulai menjadi perhatian utama negara-negara anggota GNB. Untuk itu, GNB dan Kelompok 77 (Group of 77/G-77) telah mengadakan serangkaian pertemuan guna membahas masalah-masalah ekonomi dunia dan pembentukan Tata Ekonomi Dunia Baru (New International Economic Order). Menyusul runtuhnya Tembok Berlin pada tahun 1989 dan kekuatan militer-politik komunisme di Eropa Timur, muncul perdebatan mengenai relevansi, manfaat dan keberadaan GNB. Muncul pendapat yang menyatakan bahwa dengan berakhirnya sistem bipolar, eksistensi GNB telah tidak bermakna. Namun, sebagian besar negara mengusulkan agar GNB menyalurkan energinya untuk menghadapi tantangan-tantangan baru dunia pasca Perang Dingin, di mana ketegangan Utara-Selatan kembali mengemuka dan jurang pemisah antara negara maju dan negara berkembang menjadi krisis dalam hubungan internasional. Perhatian GNB pada masalahmasalah terkait dengan pembangunan ekonomi negara berkembang, pengentasan kemiskinan dan lingkungan hidup, telah menjadi fokus perjuangan GNB di berbagai forum internasional pada dekade 90-an. Dalam KTT GNB ke-10 di Jakarta, pada tahun 1992, sebagian besar ketidakpastian dan keraguraguan mengenai peran dan masa depan GNB berhasil ditanggulangi. Pesan Jakarta, yang disepakati dalam KTT GNB ke-10 di Jakarta, adalah dokumen penting yang dihasilkan pada periode kepemimpinan Indonesia dan memuat visi baru GNB, antara lain: Mengenai relevansi GNB setelah Perang Dingin dan meningkatkan kerjasama konstruktif sebagai komponen integral hubungan internasional; Menekankan pada kerjasama ekonomi internasional dalam mengisi kemerdekaan yang berhasil dicapai melalui perjuangan GNB sebelumnya; Meningkatkan potensi ekonomi anggota GNB melalui peningkatan kerjasama Selatan-Selatan. Selaku ketua GNB waktu itu, Indonesia juga menghidupkan kembali dialog konstruktif UtaraSelatan berdasarkan saling ketergantungan yang setara (genuine interdependence), kesamaan

kepentingan dan manfaat, dan tanggung jawab bersama. Selain itu, Indonesia juga mengupayakan penyelesaian masalah hutang luar negeri negara-negara berkembang miskin (HIPCs/ Heavily Indebted Poor Countries) yang terpadu, berkesinambungan dan komprehensif. Sementara guna memperkuat kerjasama Selatan-Selatan, KTT GNB ke-10 di Jakarta sepakat untuk mengintensifkan kerjasama Selatan-Selatan berdasarkan prinsip collective self-reliance. Sebagai tindak lanjutnya, sesuai mandat KTT Cartagena, Indonesia bersama Brunei Darussalam mendirikan Pusat Kerjasama Teknik Selatan-Selatan GNB. Dalam kaitan dengan upaya pembangunan kapasitas negara-negara anggota GNB, sesuai mandat KTT GNB Ke-11, di Cartagena tahun 1995, telah didirikan Pusat Kerjasama Teknik Selatan-Selatan GNB (NAM CSSTC) di Jakarta, yang didukung secara bersama oleh Pemerintah Brunei Darussalam dan Pemerintah Indonesia. NAM CSSTC telah menyelenggarakan berbagai bidang program dan kegiatan pelatihan, kajian dan lokakarya/seminar yang diikuti negaranegara anggota GNB. Bentuk program kegiatan NAM CSSTC difokuskan pada bidang pengentasan kemiskinan, memajukan usaha kecil dan menengah, penerapan teknologi informasi dan komunikasi. Dalam masa mendatang diharapkan negara-negara anggota GNB, non-anggota, sektor swasta dan organisasi internasional terdorong untuk terlibat dan berperan serta dalam meningkatkan kerjasama Selatan-Selatan melalui NAM CSSTC. Upaya mengaktifkan kembali kerjasama Selatan-Selatan ini merupakan tantangan bagi GNB antara lain untuk menjadikan dirinya tetap relevan saat ini dan di waktu mendatang. Munculnya tantangan-tantangan global baru sejak awal abad ke-21 telah memaksa GNB terus mengembangkan kapasitas dan arah kebijakannya, agar sepenuhnya mampu menjadikan keberadaannya tetap relevan tidak hanya bagi negara-negara anggotanya tetapi lebih terkait dengan kontribusinya dalam menghadapi tantangan-tantangan tersebut. Isu-isu menonjol terkait dengan masalah terorisme, merebaknya konflik intra dan antar negara, perlucutan senjata dan senjata pemusnah massal, serta dampak gobalisasi di bidang ekonomi dan informasi teknologi, telah menjadikan GNB perlu menyesuaikan kebijakan dan perjuangannya. Dalam konteks ini, GNB memandang perannya tidak hanya sebagai obyek tetapi sebagai mitra seimbang bagi pemeran global lainnya. Dalam kaitan ini, KTT ke-15 GNB di Sharm El-Sheikh, Mesir, yang diselenggarakan tanggal 11-16 Juli 2009 telah menghasilkan sebuah Final Document yang merupakan sikap, pandangan dan posisi GNB tentang semua isu dan permasalahan internasional dewasa ini. KTT ke-15 GNB menegaskan perhatian GNB atas krisis ekonomi dan moneter global, perlunya komunitas internasional kembali pada komitmen menjunjung prinsip-prinsip pada Piagam PBB, hukum internasional, peningkatan kerja sama antara negara maju dan berkembang untuk mengatasi berbagai krisis saat ini. Terkait dengan dampak negatif krisis moneter global terhadap negara-negara berkembang, KTT ke-15 menegaskan pula perlunya GNB bekerja sama lebih erat dengan Kelompok G-77 dan China. Suatu reformasi mendasar terhadap sistem dan fondasi perekonomian dan moneter global perlu dilakukan dengan memperkuat peran negara-negara berkembang dalam proses pengambilan keputusan dan penguatan peran PBB. KTT ke-15 GNB menyatakan bahwa GNB mendukung hak menentukan sendiri bagi rakyat, termasuk rakyat di wilayah yang masih di bawah pendudukan. Dalam konteks itu, GNB mendukung hak-hak rakyat Palestina dalam menentukan nasibnya sendiri, untuk mendirikan negara Palestina merdeka dan berdaulat dengan Jerusalem Timur sebagai ibu kota, serta solusi adil atas hak kembali pengungsi Palestina sesuai Resolusi PBB Nomor 194. GNB juga menolak segala bentuk pembangunan permukiman Yahudi di Tepi Barat dan Jerusalem Timur untuk tujuan mengubah peta demografis di dua wilayah tersebut. GNB juga meminta Israel melaksanakan resolusi Dewan Keamanan PBB dengan mundur dari Dataran Tinggi Golan hingga perbatasan 4 Juni 1967 dan mundur total dari sisa tanah Lebanon yang masih diduduki. Dalam bidang politik, Indonesia selalu berperan dalam upaya peningkatan peran GNB untuk menyerukan perdamaian dan keamanan internasional, proses dialog dan kerjasama dalam upaya penyelesaian damai konflik-konflik intra dan antar negara, dan upaya penanganan isu-isu dan ancaman keamanan global baru. Indonesia saat ini menjadi Ketua Komite Ekonomi dan Social, Ketua Kelompok Kerja Perlucutan Senjata pada Komite Politik, dan anggota Komite Palestina. Pada tanggal 17-18 Maret 2010 telah diselenggarakan Pertemuan Special Non-Aligned Movement Ministerial Meeting (SNAMMM) on Interfaith Dialogue and Cooperation for Peace and Development di Manila. Pertemuan dihadiri oleh Presiden Filipina, Gloria Macapagal Arroyo; Presiden Sidang Majelis Umum PBB (SMU-PBB), Dr. Ali Abdussalam Treki; Menlu Filipina, Alberto

Romulo; dan Menteri Agama Mesir, Dr. Mahmoud Hamdy Zakzouk, dalam kapasitasnya sebagai Ketua GNB; serta delegasi dari 105 negara anggota GNB. Secara umum, para delegasi anggota GNB yang hadir pada pertemuan tersebut sepakat, bahwa konflik di dunia saat ini banyak diakibatkan oleh kurangnya rasa toleransi. Disamping itu banyak negara anggota GNB menjelaskan berbagai aspek ketidakadilan politik, ekonomi dan sosial yang dapat memicu timbulnya ekstrimisme dan radikalisme. Menlu RI dalam pertemuan tersebut menyampaikan capaian yang dilakukan Pemri dalam diskursus tersebut. Menlu RI juga menjelaskan bahwa saat ini dunia tengah menghadapi berbagai tantangan global. Untuk itu, dengan tekad yang kuat serta didasarkan atas kesamaan nilai yang dianut, diharapkan negara anggota GNB dapat memberikan kontribusi bagi masyarakat internasional dalam membangun global resilience untuk menghadapi berbagai tantangan di dunia. Menlu RI lebih lanjut menjelaskan pentingnya dialog antar peradaban dan lintas agama untuk meningkatkan people to people contact, menjembatani berbagai perbedaan melalui dialog dan menciptakan situasi yang kondusif pagi perdamaian, keamanan dan harmonisasi atas dasar saling pengertian, saling percaya dan saling menghormati. Untuk itu, GNB seyogyanya terus melakukan berbagai upaya dan inisiatif konkrit dalam mempromosikan dialog dan kerjasama untuk perdamaian dan pembangunan. Dari pengalaman Indonesia memprakarsai berbagai kegiatan dialog lintas agama di berbagai tingkatkan, diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi upaya global dalam mempromosikan keharmonisan dan perdamaian di dunia. Pertemuan SNAMMM mengesahkan beberapa dokumen sebagai hasil akhir yaitu: Report of the Rapporteur-General of the SNAMMM on Interfaith Dialogue and Cooperation for Peace and evelopment, dan Manila Declaration and Programme of Action on Interfaith Dialogue and Cooperation for Peace and Development. Indonesia akan menyelenggarakan 16th Ministerial Conference and Commemorative Meeting of the Non-Aligned Movement/Konferensi Tingkat Menteri ke-16 Gerakan Non Blok (KTM ke-16 GNB) dan sekaligus Pertemuan Peringatan 50 Tahun GNB di Bali pada tanggal 23 27 Mei 2011. Keistimewaan KTM ke-16 GNB adalah pelaksanaannya yang bertepatan dengan 50 tahun berdirinya GNB sejak terselenggaranya pada bulan September 1961 di Beograd, Yugoslavia. Oleh karena itu, pelaksanaan KTM akan pula diikuti dengan Pertemuan Peringatan 50 tahun berdirinya GNB (Commemorative Meeting). KTM ke-16 GNB yang mengangkat tema Shared Vision on the Contribution of NAM for the Next 50 Years merupakan pertemuan paruh waktu antar dua KTT dan agenda utamanya adalah mengulas perjalanan GNB pasca KTT di Sharm El Sheik, Mesir pada bulan Juli 2009. KTM ini akan menghasilkan dokumen akhir yang menjadi rujukan terkini bagi anggota GNB dalam pelaksanaan hubungan internasionalnya, sedangkan Commemorative Meeting akan menghasilkan Bali Commemorative Declaration (BCD) yang berisi visi GNB ke depan. KTM ke-16 GNB kali ini mengundang partisipasi para Menteri Luar Negeri dari 118 negara anggota GNB dan 2 (dua) negara calon anggota, yaitu Fiji dan Azerbaijan yang akan dikukuhkan keanggotaannya pada acara tersebut. Selain Menteri Luar Negeri, turut diundang pula kehadiran delegasi dari 18 negara dan 10 organisasi pengamat, serta 26 negara dan 23 organisasi undangan.

Organisasi Konferensi Islam (OKI)Organisasi Konperensi Islam (OKI) dibentuk setelah para pemimpin sejumlah negara Islam mengadakan Konperensi di Rabat, Maroko, pada tanggal 22-25 September 1969, dan menyepakati Deklarasi Rabat yang menegaskan keyakinan atas agama Islam, penghormatan pada Piagam PBB dan hak azasi manusia. Pembentukan OKI semula didorong oleh keprihatinan negara-negara Islam atas berbagai masalah yang diahadapi umat Islam, khususnya setelah unsur Zionis membakar bagian dari Masjid suci Al-Aqsa pada tanggal 21 Agustus 1969. Pembentukan OKI antara lain ditujukan untuk meningkatkan solidaritas Islam di antara negara anggota, mengkoordinasikan kerjasama antara negara anggota, mendukung perdamaian dan keamanan internasional, serta melindungi tempat-tempat suci Islam dan membantu perjuangan pembentukan negara Palestina yang merdeka dan berdaulat. OKI saat ini beranggotakan 57 negara Islam atau berpenduduk mayoritas Muslim di kawasan Asia dan Afrika. Sebagai organisasi internasional yang pada awalnya lebih banyak menekankan pada masalah politik, terutama masalah Palestina, dalam perkembangannya OKI menjelma sebagai suatu

organisasi internasional yang menjadi wadah kerjasama di berbagai bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan ilmu pengetahuan antar negara-negara muslim di seluruh dunia. Untuk menjawab berbagai tantangan yang mengemuka, negara-negara anggota OKI memandang revitalisasi OKI sebagai permasalahan yang mendesak. Semangat dan dukungan terhadap perlunya revitalisasi OKI dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa struktur dan kinerja organisasi OKI dinilai belum efisien dan efektif. Dalam kaitan ini, telah diadakan rangkaian pertemuan yang berhasil mengkaji dan melakukan finalisasi TOR restrukturisasi OKI yang disiapkan oleh Malaysia. Pada pertemuan tingkat Kepala Negara/Kepala Pemerintahan (KTT) ke-10 di Putrajaya, Malaysia, 11-17 Oktober 2003, OKI sepakat untuk memulai upaya kongkrit dalam merestrukturisasi Sekretariat OKI terutama pada empat aspek: perampingan struktur, metodologi, peningkatan kemampuan keuangan dan sumber daya manusia. KTT Luar Biasa OKI ke-3 di Mekkah, Arab Saudi pada 7-8 Desember 2005 telah mengakomodir keinginan tersebut dan dituangkan dalam bentuk Macca Declaration dan OIC 10-years Program of Actions yang meliputi restrukturisasi dan reformasi OKI, termasuk perumusan Statuta OKI baru yang diharapkan dapat dilaksanakan sebelum tahun 2015. OIC 10-years Program of Actions merupakan awal perubahan OKI yang tidak hanya menfokuskan pada masalah politik tetapi juga ekonomi perdagangan. Program Aksi 10 tahun OKI mencakup isu-isu politik dan intelektual, isu-isu pembangunan, sosial, ekonomi dan ilmu pengetahuan yang diharapkan dapat menjawab kesenjangan kesejahteraan umat. Di bidang politik dan intelektual, dalam 10 tahun OKI diharapkan mampu menangani berbagai isu seperti upaya membangun nilai-nilai moderasi dan toleransi; membasmi ekstrimisme, kekerasan dan terorisme; menentang Islamophobia; meningkatkan solidaritas dan kerjasama antar negara anggota, conflict prevention, peanganan masalah Filipina, hak-hak kelompok minoritas dan komunitas muslim, dan masalah-masalah yang dialami Afrika. KTT OKI ke-11 berlangsung antara tanggal 13-14 Maret dan bertemakan The Islamic Ummah in the 21st Century menghasilkan dokumen utama, yaitu: Piagam OKI, Final Communiqu dan sejumlah resolusi. Final Communiqu mengangkat isu antara lain mengenai politik, keamanan, Palestina, minoritas muslim seperti Kosovo, terorisme, ekonomi, sosial budaya, hukum, iptek dan sosial budaya. Sedangkan resolusi terkait yang berhubungan dengan keamanan global/ regional antara lain: Resolutions on the Cause of palestine, the City of Al-Quds Al Sharif, and the ArabIsrael Conflict, Resolutions on Political Affairs, Resolutions on Muslim Communities and Minorities in Non-OIC Member States. Piagam Baru tersebut pada intinya merupakan penegasan bagi OKI untuk mengeksplorasi bentuk kerjasama yang lain dan tidak hanya terbatas pada kerjasama politik saja. Dalam kesempatan menghadiri KTT OKI ke-14, 13-14 Maret 2008, Presiden RI dalam pidatonya menyampaikan antara lain (a) dukungan terhadap OICs Ten-Year Plan of Action yang merupakan cerminan pragmatisme OKI dalam menghadapi tantangan dan permasalahan umat (b) konflik Palestina-Israel merupakan penyebab utama krisis di Timur Tengah dan juga merupakan tantangan serius perdamaian dan keamanan internasional. Terkait dengan hal ini, Presiden Indonesia menyambut baik hasil Konferensi Annapolis pada bulan Desember 2007, terutama mengingat adanya joint understanding untuk mendirikan negara Palestina pada akhir tahun 2008 (c) potensi kapasitas negara-negara anggota OKI dapat diberdayakan dalam memainkan perannya dalam upaya memelihara perdamaian dan keamanan global, pemberantasan kemiskinan dan percepatan pembangunan (d) Islam, demokrasi, dan modernitas maupun HAM adalah compatible (e) Islam adalah agama perdamaian dan toleran. Upaya interfaith dan inter-civilization dialogue perlu didukung dalam mengurangi persepsi yang salah dan ketakutan terhadap Islam (Islamophobia) di kalangan Barat (f) pembangunan umat Islam harus memperhatikan aspek lingkungan. Dapat disampaikan bahwa wakil Asia, Afrika, dan Arab juga memiliki pandangan yang kurang lebih sama. Selanjutnya, dalam KTM ke-35 OKI dengan tema Prosperity and Development di Kampala, Uganda, tanggal 18-20 Juni 2008, telah dilakukan penandatanganan Piagam Baru OKI oleh para Menteri Luar Negeri, termasuk Menteri Luar Negeri RI. Indonesia sangat mendukung proses revitalisasi OKI dan menginginkan agar OKI dapat semakin efektif dalam menanggapi berbagai perubahan dan tantangan global sesuai dengan tujuan pembentukannya. Sebagai negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia, Indonesia senantiasa berpartisipasi aktif dalam OKI dengan tujuan akhir untuk mendorong proses good governance di dunia Islam untuk menjadikan OKI sebagai organisasi yang kredibel, kompeten, dan diakui perannya di dunia internasional. Pertemuan ke-36 Dewan Menteri Luar Negeri OKI (PTM ke-36 OKI) yang dilaksanakan di Damaskus, tanggal 23-25 Mei 2009 membahas isu-isu kerjasama yang menjadi perhatian

bersama seperti politik; komunitas muslim di negara bukan anggota OKI; kemanusiaan (humanitarian affairs); hukum; masalah-masalah umum dan keorganisasian; informasi; ekonomi; ilmu pengetahuan dan teknologi; dawah; sosial budaya; dan administrasi serta keuangan. Dalam kesempatan tersebut Menlu RI menyampaikan pokok-pokok pidato antara lain mengenai perlunya diintensifkan pelaksanaan reformasi OKI, khususnya di bidang demokrasi, good governance, dan HAM termasuk hak-hak wanita, sesuai dengan mandat Program Aksi 10 Tahun OKI (TYPOA) dan Piagam Baru OKI, disamping isu Palestina, kerjasama perdagangan dan pelibatan sektor swasta di antara negara anggota, serta,sebagai Ketua PCSP-OIC, melaporkan perkembangan proses perdamaian di Filipina Selatan terkait dengan pelaksanaan pertemuan Tripartite antara Pemerintah Filipina-MNLF-OKI yang merundingkan implementasi sepenuhnya Perjanjian Damai 1996; Peran Pemri yang menonjol lainnya dalam OKI adalah dalam rangka memfasilitasi upaya penyelesaian konflik antara Pemerintah Filipina (GRP) dengan Moro National Liberation Front (MNLF) dengan mengacu kepada Final Peace Agreement / Perjanjian Damai 1996. Peran Indonesia saat ini adalah sebagai Ketua Organization Islamic Conference Peace Committee for the Southern Philippines (PCSP-OIC). Adapun hasil penting terakhir adalah diadakannya Pertemuan JWGs ke-2 antara GRP dan MNLF difasilitasi PCSP-OIC pada tgl. 19-28 Agustus 2008, bertempat di KBRI-Manila. Sebagai tindaklanjutnya, Pertemuan Tripartite ke-3 antara GRP, MNLF dan PCSP-OIC direncanakan diselenggarakan pada bulan Januari ataupun Februari 2009. Dengan pelaksanaan proses-proses sebagaimana dimaksud, diharapkan akan membantu tercapainya proses pencapaian penyelesaian konflik secara damai di kawasan Filipina Selatan dan memberikan situasi aman dan bebas dari konflik di kawasan dimaksud. Indonesia selaku Ketua Peace Committee for the Southern Philippines (OIC-PCSP) 2009-2011 berkunjung ke Manila pada tanggal 3-6 November 2009 guna mengadakan serangkaian konsultasi informal dengan para pihak yang terkait dalam proses Tripartite Meeting untuk Filipina Selatan. Kunjungan tersebut diperlukan untuk mendorong agar proses yang diamanatkan di dalam Communiqu 3rd Session of the Tripartite Meeting between the GRP, MNLF and OICPCSP di Manila pada 11-13 Maret 2009, termasuk proses Legal Panel antara Government of the Republic of the Philippines (GRP) dengan Moro National Liberation Front (MNLF) yang sedang macet, dapat berjalan kembali. Selaku Ketua PCSP, Indonesia mengadakan tukar pandangan dengan wakil-wakil negara anggota OIC-PCPS yang memiliki perwakilan di Manila dalam upaya kolektif untuk mendorong kembali kelanjutan proses perdamaian GRP-MNLF. Juga dilakukan pertemuan secara terpisah dengan MNLF baik faksi Nur Misuari maupun faksi Muslimin Sema, serta dengan GRP, yaitu dengan Under-Secretary Office of the Presidential Adviser on the Peace Process (OPAPP) Nabil Tan; Under-Secretary Kemlu Rafael Seguis; dan Ketua OPAPP yang baru Secretary Annabelle Tescon Abaya. Pada Akhir pertemuan konsultasi informal tersebut dicapai kesediaan kedua pihak untuk bertemu kembali di dalam Legal Panel merupakan suatu peluang yang perlu dimanfaatkan (to be seized) bagi kelanjutan proses Tripartite. Pada tanggal 17 Desember 2009, Indonesia telah menfasilitasi Pertemuan Pendahuluan Legal Panel GRP-MNLF di KBRI Manila, yang dihadiri pula oleh para wakil negara-negara OIC-PCSP. Pertemuan diadakan untuk membahas agenda, tanggal dan tempat Pertemuan Legal Panel mendatang. Pertemuan telah menghasilkan joint statement yang intinya menyatakan bahwa Pertemuan Legal Panel berikutnya akan dilangsungkan tanggal 11-15 Januari 2010. Sedangkan mengenai tempat Pertemuan yang diusulkan di Tripoli, Libya, masih menunggu konfirmasi dari Libya. Lebih lanjut, dalam berbagai forum internasional, termasuk OKI, Indonesia telah memberikan dukungan bagi berdirinya Negara Palestina yang merdeka dan berdaulat dengan Yerusalem sebagai ibukotanya. Realisasi dari dukungan tersebut diwujudkan dalam bentuk dukungan diplomatik, yaitu pengakuan terhadap keputusan Dewan Nasional Palestina (Palestinian National Council) untuk memproklamirkan Negara Palestina pada tanggal 15 Nopember 1988. Dukungan kemudian dilanjutkan dengan pembukaan hubungan diplomatik antara Pemerintah RI dan Palestina pada tanggal 19 Oktober 1989. Di samping itu, Indonesia adalah anggota Committee on Al Quds (Yerusalem) yang dibentuk pada tahun 1975. Selain itu, Isu terorisme juga telah menjadi perhatian utama OKI. Komitmen OKI untuk mengatasi masalah terorisme terlihat antara lain pada The Extraordinary Session of the Islamic Conference of Foreign Ministers on Terrorism di Kuala Lumpur, Malaysia, 1-3 April 2002 yang menghasilkan Kuala Lumpur Declaration on International Terrorism. Deklarasi tersebut pada intinya menekankan posisi negara-negara anggota OKI dalam upaya untuk memerangi terorisme dan upaya-upaya untuk mengkaitkan Islam dengan terorisme. Terorisme merupakan salah satu isu di mana OKI memiliki sikap bersama pada pembahasan di forum SMU PBB. Hal ini terkait dengan implementasi UN Global Counter-Terrorism Strategy dan penyelesaian draft konvensi

komprehensif anti terorisme internasional di mana menyisakan outstanding issue pada definisi terorisme. Inti posisi OKI menekankan perlunya dibedakan antara kejahatan terorisme dengan hak sah perlawanan rakyat Palestina untuk merdeka. Dalam kaitan ini maka penyelesaian politik konflik Palestina secara adil akan memberikan sumbangan bagi pemberantasan the root causes of terrorism. Pertemuan ke-37 Dewan Menteri Luar Negeri Organisasi Konferensi Islam (KTM ke-37 OKI) telah dilaksanakan di Dushanbe, Tajikistan, tgl 18-20 Mei 2010. Pertemuan merupakan KTM OKI pertama yang diadakan di Asia Tengah, dengan tema Shared Vision of a More Secure and Prosperous Islamic World. Pertemuan KTM yang pertama kali diadakan di Asia Tengah ini merupakan momentum khusus bagi kawasan tersebut, dalam rangka meningkatkan kerjasamanya dengan negara-negara anggota OKI lain, dan diharapkan dapat menjadi bagian dari upaya OKI dalam menjawab berbagai tantangan yang dihadapi. Dalam pertemuan tersebut, Menlu RI menekankan kembali mengenai proses reformasi OKI yang tengah berjalan saat ini dan keperluan untuk negara-negara anggota OKI mendukung proses tersebut antara lain melalui implementasi Charter OKI dan Program Aksi 10 Tahun (TYPOA. Disampaikan pula bahwa Pemri mendukung upaya OKI bagi realisasi pembentukan Komisi HAM OKI dan terhadap statuta Organisasi Pembangunan Perempuan OKI yang telah disahkan. Kedepan, pembentukan kedua badan dimaksud akan semakin memperjelas posisi OKI dalam mempromosikan dan mengembangkan HAM dan isu perempuan di dunia internasional. Pemri juga menyatakan sikapnya atas upaya terciptanya dunia yang bebas dari senjata nuklir berdasarkan 3 pilar utama yaitu: nuclear disarmament, non proliferasi nuklir dan penggunaan nuklir untuk tujuan damai. Untuk itu, Pemri menyambut baik tercapainya kesepakatan antara Iran, Turki dan Brazil dalam hal pengaturan penggunaan enerji nuklir. Hal ini diharapkan akan membantu penyelesaian isu nuklir Iran. Disamping itu, pada kesempatan yang sama Pemri juga menyatakan dukungannya atas berdirinya negara Palestina yang merdeka dan ajakan kepada komunitas internasional untuk secara bersama memberikan bantuan yang diperlukan guna meningkatkan taraf hidup masyarakat Palestina. Indonesia telah memberikan prioritas pada pengembangan capacity building bagi rakyat palestina pembangunan sosial, pemerintahan, ekonomi, infrastruktur dan keuangan untuk periode 2008-2013. Berkenaan dengan isu Islamophobia, Pemri menekankan mengenai perlunya untuk mengajak pihak Barat dalam proses penciptaan proses dialogis lintas agama dan kebudayaan yang konstruktif guna memperkecil timbulnya pemahaman yang keliru atas Islam, disamping memperkenalkan Islam sebagai agama yang mengedepankan toleransi dalam menjawab tantangan global saat ini. Di dalam pembahasan resolusi tentang OIC Strategy Paper on Combating Defamation of Religion, Pemri menekankan kembali perlunya untuk menjaga kesatuan sikap dan posisi Kelompok OKI terhadap isu-isu yang bersifat prinsipil dan juga menghimbau kiranya Kelompok OKI dapat lebih menunjukkan fleksibilitas melalui engagement yang lebih bersifat konstruktif kepada pihak dan kelompok lain. KTM OKI ke-37 telah mengesahkan apa yang disebut Deklarasi Dushanbe. Deklarasi tersebut menggaris-bawahi mengenai beberapa isu seperti Perdamaian di Timur Tengah; Afghanistan; pengutukan agresi Armenia terhadap Azerbaijan; menyambut baik kesepakatan pertukaran bahan bakar nuklir oleh Iran, Turki dan Brazil; terorisme; perlucutan senjata nuklir dan senjata pemusnah massal; pengembangan SDM dan pendidikan; mendorong kelancaran barang, jasa diantara Negara OKI; dialog antar peradaban dan Islamophibia. Disela-sela pelaksanaan KTM, selaku Ketua Komite Perdamaian OKI untuk Filipina Selatan (OICPCSP Peace Committee for the Southern Philippines), Indonesia mengadakan pertemuan Komite pada tanggal 20 Mei 2010. Pertemuan dipimpin oleh Dirjen Multilateral Kemlu selaku Ketua PCSP dan dihadiri oleh anggota Komite, yaitu Arab Saudi, Brunei Darussalam, Libya, Malaysia, Mesir, Tajikistan, Turki, Senegal, serta Utusan Khusus Sekretaris Jenderal OKI untuk Filipina Selatan, Dubes Sayyed El-Masry. Bangladesh tidak hadir dalam pertemuan tersebut. Dalam kesempatan tersebut, selaku Ketua Komite, Indonesia menyampaikan laporan perkembangan implementasi dari Perjanjian Damai 1996, khususnya pasca Pertemuan Tripartite (GRP - OKI - MNLF) Maret 2009 hingga pertemuan di Tripoli, Libya, 20 Mei 2010.

Kelompok 77 dan ChinaKelompok 77 dibentuk pada tanggal 15 Juni 1964 melalui pengesahan Joint Declaration dari 77 anggota negara berkembang pada saat berlangsungnya sidang Sesi Pertama United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) di Jenewa. Sampai saat ini, Kelompok 77 dan China telah beranggotakan 133 negara. Kelompok 77 dan China merupakan forum yang memiliki tujuan utama untuk mendorong kerjasama internasional di bidang pembangunan. Pada perkembangannya Kegiatan Kelompok 77 dan China ditujukan tidak saja untuk memberikan dorongan dan arah baru bagi pelaksanaan kerjasama Utara-Selatan di berbagai bidang pembangunan internasional, akan tetapi juga dimaksudkan untuk memperluas kerjasama dalam memantapkan hubungan yang saling menguntungkan dan saling mengisi antara sesama negara berkembang melalui Kerjasama Selatan-Selatan. Kegiatan-kegiatan penting Kelompok 77 dan China dalam kerangka PBB terutama untuk merundingkan berbagai isu dan keputusan/resolusi yang akan dijadikan pedoman dalam pelaksanaan kegiatan PBB, antara lain tindak-lanjut pelaksanaan Program Aksi KTT Pembangunan Sosial di Kopenhagen, KTT Wanita di Beijing, Sidang Khusus SMU PBB mengenai obat-obat terlarang, modalitas penyelenggaraan Konperensi Internasional mengenai Pendanaan untuk Pembangunan, Pengkajian Tiga Tahunan Kegiatan Operasional PBB untuk Pembangunan, Pelaksanaan Dialog di SMU PBB mengenai Globalisasi, Pertemuan Interim Development Committee IMF/Bank Dunia, ECOSOC, dan usulan reformasi PBB di bidang ekonomi dan sosial. Untuk menyatukan komitmen diantara pemimpin dari negara anggota Kelompok 77 dan China, Kelompok 77 dan China memiliki Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Selatan merupakan pertemuan tertinggi di antara negara anggota Kelompok 77 dan China. KTT Selatan telah dua kali diselenggarakan yakni di Havana pada tahun 2000 dan di Doha pada tahun 2005. Hasil KTT Selatan ke-2 di Doha, Qatar pada bulan Juni 2005 adalah Doha Declaration dan Doha Plan of Action. Deklarasi Doha secara umum memuat komitmen politik anggota Kelompok 77 dan China untuk meningkatkan kerjasama Selatan-Selatan antara lain isu dimensi pembangunan dalam agenda internasional, ruang kebijakan nasional, penguatan multilateralisme, dialog antar peradaban, ketatalaksanaan yang baik, masyarakat madani, geografi baru hubungan ekonomi internasional, transfer teknologi, reformasi PBB dan globalisasi. Atas usul Indonesia Deklarasi Doha juga mencantumkan New Asian African Strategic Partnership (NAASP) sebagai pengakuan pentingnya kerjasama regional dan inter-regional dalam mendorong Kerjasama Selatan-Selatan. Sementara, Doha Plan of Action memuat rencana aksi sebagai tindak lanjut pelaksanaan komitmen yang tercantum dalam Havana Plan of Action (HPA) tahun 2000. Doha Plan of Action memuat empat bagian utama yakni: globalisasi, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Kerjasama Selatan-Selatan, dan Kerjasama Utara-Selatan. Untuk menindaklanjuti kesepakatan-kesepakatan yang dicapai pada South Summit ke-2, Kelompok 77 dan China memiliki sebuah instrumen yaitu Intergovernmental Follow-up and Coordination Committee on Economic Cooperation among Developing Countries (IFCC) yang merupakan komite utama dari Kelompok 77 dan China yang menangani isu kerjasama SelatanSelatan. Sebagai upaya untuk melakukan review terhadap perkembangan kerjasama SelatanSelatan sejak KTT Selatan di Doha, Kelompok 77 dan China telah menyelenggarakan IFCC ke-12 pada bulan Juni tahun 2008 di Pantai Gading. Bagi Indonesia, kerjasama dalam wadah Kelompok 77 dan China merupakan sarana untuk penguatan kerjasama Selatan-Selatan secara efektif. Keberadaan Kelompok 77 dan China juga telah memberikan dukungan dalam bentuk lobbying support dari seluruh 133 negara berkembang anggotanya untuk kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia di PBB, seperti ketika Indonesia menjabat sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.

G-15Pada KTT ke-9 Gerakan Non Blok (GNB) di Beograd bulan September 1989, 15 negara berkembang menghasilkan kesepakatan untuk membentuk Kelompok Tingkat Tinggi untuk Konsultasi dan Kerjasama Selatan-Selatan (Summit Level Consultative Group on World Economic Crisis and Development/SLCG) yang kemudian lebih dikenal dengan nama G-15. Meskipun diumumkan pada kesempatan KTT GNB, G-15 secara organisasi bukan bagian dari GNB. G-15 bertujuan sebagai wadah kerjasama ekonomi dan pembangunan negara-negara berkembang yang terdiri dari Aljazair, Argentina, Brazil, Chile, Kolombia, India, Indonesia, Iran, Jamaika, Kenya, Malaysia, Mesir, Meksiko, Nigeria, Peru, Senegal, Sri Lanka, Venezuela dan Zimbabwe. G-15 diharapkan dapat mendayagunakan potensi kerjasama diantara negara berkembang. Melalui peningkatan kerjasama Selatan-Selatan tersebut pada gilirannya akan menunjang kredibilitas negara-negara berkembang dalam upayanya untuk mengaktifkan

kembali dialog Utara-Selatan. G-15 juga dapat dimanfaatkan sebagai mekanisme untuk menyampaikan kepentingan negara berkembang dalam forum G-20. Untuk mencapai tujuannya, G-15 telah mencanangkan berbagai macam proyek pembangunan dan kerjasama teknis dalam berbagai bidang antara lain di bidang perdagangan, usaha kecil dan menengah (SMEs), energi, pertambangan, investasi, pembiayaan perbankan dan perdagangan, teknologi informasi, pertanian, pendidikan, dan pembangunan kapasitas sumber daya manusia. Pada KTT ke-3 G-15 pada tanggal 11-14 September 2006, di Havana, Cuba, telah dilakukan serah terima keketuaan G-15 dari Aljazair kepada Iran. KTT tersebut telah menyepakati sebuah Joint Communique yang memuat komitmen bersama negara-negara anggota G-15 dalam menghadapi berbagai tantangan global, meningkatkan kerjasama di berbagai bidang dan upaya revitalisasi dan konsolidasi internal sehingga kerjasama G-15 lebih efektif dalam membantu pembangunan negara-negara anggota. Indonesia melihat bahwa G-15 memiliki berbagai potensi dalam meningkatkan kerjasama saling menguntungkan antar negara anggotanya, antara lain karena sebagian besar negara anggota G15 memiliki sumber daya alam dan tenaga kerja yang melimpah, dan beberapa diantaranya merupakan negara yang tingkat ekonominya relatif sudah sangat berkembang dengan beragam kemajuan di bidang industri, infrastruktur dan teknologi. Keuntungan G-15 yang lain adalah beberapa negara anggotanya telah memiliki atau menjalin hubungan dengan lembaga-lembaga negara maju seperti OECD dan G-8, maupun dengan kelompok regional lainnya yang terlibat dalam pembuatan kebijakan ekonomi global, dimana hal ini sangat menguntungkan secara ekonomi bagi kepentingan organisasi umumnya dan Indonesia khususnya. KTT G-15 ke-14 telah diselenggarakan di Tehran, Iran pada tanggal 17 Mei 2010. Konferensi ini didahului oleh pertemuan Personal Representative Meeting (PRM), dan Pertemuan Tingkat Menteri (PTM) pada tanggal 14 dan 15 Mei 2010. Pada kesempatan tersebut, Delri pada PRM dipimpin oleh Watapri Jenewa, sementara pada PTM dipimpin oleh Dirjen Multilateral. Di tingkat KTT, Delri dipimpin oleh Menteri Perindustrian selaku Utusan Khusus Presiden RI. Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad berkesempatan untuk membuka KTT G-15 ke -17 dan menyampaikan opening remarks di hadapan delegasi dari 16 negara yaitu: Aljazair, Brazil, India, Indonesia, Kenya, Malaysia, Meksiko, Mesir, Nigeria, Srilanka, Senegal, dan Venezuela. Selain itu, Iran juga mengundang Turki, Belarusia dan Qatar untuk hadir. Dalam KTT kali ini salah satu negara anggota G-15, Jamaika, tidak mengirimkan delegasinya ke Tehran. Sebagai hasil akhir, KTT G-15 ke-14 berhasil menyepakati Draft Joint Communique yang mencakup 11 isu utama, yaitu: a) krisis keuangan/moneter internasional; b) fasilitasi bagi pekerja migran; c) pencapaian MDGs; d) penyelesaian Putaran Doha WTO; e) penanganan perubahan iklim; f) isu HAKI dan GRTKF; g) keamanan enegi; h) kesehatan masyarakat; i)Kerjasama Selatan-Selatan; j) situasi palestina; dan k) pembentukan High Level Task Force (HLTF) untuk mengkaji progress dan prospek G-15. Selain itu, dalam KTT ini, Presiden Iran juga telah menyerahkan jabatan keketuaan G-15 kepada Srilanka untuk periode berikutnya.

G-20Krisis ekonomi dan keuangan global yang terjadi pada tahun 2007 merupakan dampak dari sistem arsitektur ekonomi dan keuangan internasional yang tidak berimbang terutama dalam hal regulasi sektor keuangan yang kurang accountable. Berawal dari krisis kredit perumahan (subprime mortgage crisis) di AS, lemahnya regulasi keuangan dan tingginya keterikatan sektor keuangan antar negara, khususnya produk derivatif keuangan, menyebabkan menjalarnya krisis negara maju ke negara berkembang lainnya. Efek domino krisis ekonomi tersebut turut menyeret sektor riil dan mengakibatkan terpuruknya perekonomian negara-negara di dunia. Krisis ekonomi serupa pernah dialami kawasan Asia tahun 1997. Namun, krisis kali ini memiliki pengaruh yang lebih besar sehingga memerlukan penanganan yang lebih menyeluruh dan kerjasama negara-negara di dunia. Krisis ekonomi dan keuangan global telah menghambat proses pembangunan terutama negara Least Developed Countries serta telah menyebabkan kemunduran pencapaian MDGs. Namun, seiring dengan diberlakukannya berbagai kebijakan untuk menyelamatkan perekonomian oleh pemerintah masing-masing negara, perekonomian global telah mulai menunjukkan tanda-tanda perbaikan awal 2010, walaupun proses recovery diprediksi masih berjalan lambat mengingat sistem finansial yang masih lemah. Proses pemulihan juga tidak akan merata dirasakan per kawasan. Selain itu, terdapat kecenderungan di perekonomian negara maju bahwa perbaikan di sektor finansial kurang sejalan paralel dengan perbaikan di sektor riil

dengan salah satu indikator utama yang memprihatinkan adalah semakin meningkatnya angka pengangguran. Untuk mengatasi krisis tersebut, Pemerintah AS berinisiatif menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi (G20 Summit) bagi para pemimpin/kepala negara G20 yang diadakan di Washington DC tanggal 15 November 2008. Krisis ekonomi global menyadarkan otoritas keuangan dan bank sentral berbagai negara bahwa integrasi sistem keuangan yang semakin erat membutuhkan adanya forum diskusi permanen yang intensif dalam rangka menciptakan stabilitas keuangan global melalui upaya pencegahan dan penyelesaian krisis keuangan internasional. Keanggotaan G20 terdiri dari Kanada, Perancis, Jerman, Itali, Jepang, Inggris, Amerika Serikat, Argentina, Australia, Brazil, Cina, India, Indonesia, Meksiko, Korea Selatan, Rusia, Arab Saudi, Afrika Selatan, dan Turki. Peran Indonesia dalam setiap KTT G20 senantiasa memajukan kepentingan negara berkembang dan menjaga terciptanya sistem perekonomian global yang inklusif dan berkelanjutan (antara lain: usulan pembentukan global expenditure support fund, menghindari pembahasan exit strategy paket stimulus fiskal yang dapat merugikan negara berkembang, dan mendorong tercapainya konsensus selaku bridge builder). Lebih lanjut peran tersebut antara lain: a. Indonesia dapat mengedepankan pendekatan konstruktif pembahasan isu di G20. b. Semangat G20 yang mendorong equlity, trust building dan berorentasi solusi menjadikan forum G20 menjadi forum yang demokratis di mana semua negara mempunyai kesempatan untuk speaking on equal footing dengan negara manapun. Indonesia perlu terus menjaga karakteristik dasar G20 tersebut dari desakan dominasi ataupun pengerasan sikap/posisi dari negara-negara anggota G20. c. Pergeseran posisi Indonesia dari negara low income menjadi negara middle income countries serta dari negara penerima bantuan menjadi negara penerima sekaligus negara donor, membutuhkan penyesuaian profile Indonesia di dunia luar. Untuk itu, peran aktif Indonesia di menjadi penting karena G20 dapat dijadikan sebagai wadah untuk instrumen politik luar negeri RI mendukung upaya Indonesia menjadi negara maju pada tahun 2025. d. Mengingat Indonesia mempunyai cukup banyak success stories dalam program pembangunan, partisipasi Indonesia dalam G20 dapat digunakan untuk mengedepankan pengalaman Indonesia sebagai kontribusi global Indonesia dalam pembahasan forum G20. Pada KTT Pittsburgh, misalnya, Indonesia menjadi contoh sukses pengalihan subsidi BBM tidak langsung menjadi subsidi langsung (program BLT). Indonesia dapat bekerjasama dengan Bank Dunia dan OECD untuk mengangkat berbagai success stories Indonesia. Selama berlangsungnya krisis ekonomi global, secara umum kawasan Asia menunjukkan ketahanan yang lebih baik. Beberapa negara berkembang di kawasan ini bahkan tetap dapat mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi pada tingkat moderat yang kemudian menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi global. Untuk itu, Indonesia bersama-sama negara di kawasan Asia Pasifik, perlu terus mendorong peran penting kawasan dalam proses recovery dan pertumbuhan ekonomi global. KTT G20 terakhir diadakan di Seoul, Korea Selatan, tanggal 11-12 November 2010. Para Leaders berhasil menyepakati G20 Seoul Summit Leaders Declaration serta Seoul Summit Document yang berisi Seoul Action Plan serta 3 tiga annexes (Seoul Development Consensus for Shared Growth; Multi-Year Action Plan on Development; Anti-Corruption Action Plan). Sebagai dokumen pendukung juga disertakan Policy Commitments by G20 Members sebagai bagian pencapaian G20 Framework for Strong, Sustainable and Balanced Growth KTT G20 selanjutnya akan diadakan pada tanggal 3-4 November 2011 di Cannes, Perancis, dengan tiga isu utama yang meliputi: 1) international monetary reform; 2) reducing excessive volatility; 3) improving global governance (institutions and standards).

Sedang prioritas yang dibangun dari keketuaan Korea Selatan pada tahun 2010: 1) Framework for Strong, Sustainable and Balanced Growth; 2) financial regulatory reform; 3) development. Perhatian khusus akan diberikan pada isu food security, infrastructure, private sector development, financial inclusion and inclusive growth.

World Trade Organization (WTO)World Trade Organization (WTO) merupakan satu-satunya organisasi internasional yang mengatur perdagangan internasional. Terbentuk sejak tahun 1995 dan berjalan berdasarkan serangkaian perjanjian, yang dinegosiasikan dan disepakati oleh sejumlah besar Negara di dunia dan diratifikasi melalui parlemen. Tujuan dari perjanjian-perjanjian WTO adalah untuk membantu produsen barang dan jasa, eksportir dan importer dalam melakukan kegiatannya. Pendirian WTO berawal dari negosiasi yang dikenal dengan Uruguay Round (1986-1994) serta perundingan sebelumnya di bawah General Agreement on Tariffs and Trade (GATT). WTO saat ini terdiri atas 153 negara anggota, dimana 117 di antaranya merupakan Negara berkembang atau wilayah kepabeanan terpisah. Saat ini, WTO menjadi wadah negosiasi sejumlah perjanjian baru di bawah Doha Development Agenda (DDA) yang dimulai tahun 2001. Pengambilan keputusan di WTO umumnya dilakukan berdasarkan consensus oleh seluruh Negara anggota. Badan tertinggi di WTO adalah Konferensi Tingkat Menteri (KTM) yang dilaksanakan setiap dua tahun sekali. Di antara KT, kegiatan-kegiatan pengambilan keputusan WTO dilakukan oleh General Council. Di bawahnya terdapat badan-badan subside yang meliputi dewa, komite dan sub-komite, yang bertugas untuk melaksanakan dan mengawasi penerapan perjanjian-perjanjian WTO oleh negara anggota. Prinsip pembentukan dan dasar WTO adalah untuk mengupayakan keterbukaan batas wilayah, memberikan jaminan atas most-favored-nation principle (MFN) dan perlakuan non-diskriminasi oleh dan di antara Negara anggota, serta komitmen terhadap transparansi dalam semua kegiatannya. Terbukanya pasar nasional terhadap perdagangan internasional, dengan pengecualian yang patut atau fleksibilitas yang memadai, dipandang akan mendorong dan membantu pembangunan yang berkesinambungan, meningkatkan kesejahteraan, mengurangi kemiskinan, dan membangun perdamaian dan stabilitas. Pada saat yang bersamaan, keterbukaan pasar harus disertai dengan kebijakan nasional dan internasional yang sesuai dan yang dapat memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi setiap Negara anggota. Terkait dengan DDA, KTM Doha pada tahun 2001 memandatkan Negara anggota untuk melakukan putaran perundingan dengan tujuan membentuk tata perdagangan multilateral yang berdimensi pembangunan. Tata perdagangan ini akan memberikan kesempatan bagi Negara berkembang dan LDCs untuk dapat memanfaatkan perdagangan internasional sebagai sumber pendanaan bagi pembangunan. Isu-isu utama yang dibahas mencakup isu pertanian, akses pasar produk bukan pertanian (Non-Agricultural Market Access NAMA), perdagangan sektor jasa dan Rules. Dalam perkembangannya, isu pertanian khususnya terkait penurunan subsidi domestic dan tariff produk pertanian, menjadi isu yang sangat menentukan jalannya proses perundingan. Bagi sebagian besar negara berkembang, isu pertanian sangat terkait dengan permasalahan sosial ekonomi (antara lain food security, livelihood security dan rural development). Sementara bagi Negara maju, pemberian subsidi domestic mempunyai dimensi politis yang penting dalam kebijakan pertanian mereka. Proses perundingan DDA tidak berjalan mulus. Hal ini diakibatkan oleh perbedaan posisi runding di antara Negara anggota terkait isu-isu sensitive, khususnya pertanian dan NAMA. Setelah mengalami sejumlah kegagalan hingga dilakukan suspension pada bulan Juni 2006, proses perundingan secara penuh dilaksanakan kembali awal Februari 2007. Pada bulan Juli 2008, diadakan perundingan tingkat menteri dengan harapan dapat menyepakati modalitas pertanian dan NAMA, dan menggunakan isu-si single-undertaking seperti isu jasa, kekayaan intelektual, pembangunan dan penyelesaian sengketa. Namun perundingan Juli 2008 juga mengalami kegagalan. KM-7 WTO yang dilaksanakan pada bulan November 2009 menginstruksikan negara anggota untuk segera menyelesaikan putaran perundingan sebelum akhir tahun 2010. Dalam hal ini, Negara anggota memperbaharui komitmen untuk melanjutkan perundingan secara aktif dan konstruktif, serta mewujudkan komitmen politis ke dalam aksi-aksi nyata. Dalam pidato Dirjen WTO, Pascal Lamy, pada tanggal 22 Maret 2011 dalam Annual Session of the Parliamentary Conference mengatakan bahwa WTO harus secepatnya menyelesaikan Putaran Doha. Perundingan Putaran Doha yang telah diluncurkan sejak tahun 2001 sudah

memasuki fase kritis yang disebut juga dengan last window of opportunity. Beliau menekankan bahwa rules based component adalah sama pentingnya dengan elemen market access, walaupun yang pertama disebut kurang mendapat perhatian media. Hal ini bisa disimpulkan dari kasus-kasus sengketa dagang yang dibawa ke WTO rata-rata berdasarkan pada rules of trade bukan pada komitmen subsidi atau tarif. Sebagai upaya untuk menyelesaikan Putaran Doha, sudah ditentukan langkah-langkah strategis, yakni mengarahkan Ketua untuk masing-masing grup negosiasi (Trade Negotiations Committee/TNC) untuk mengetahui level perkembangan yang telah diperoleh dengan cara melakukan tabulasi draft teks kompromi. Hal ini diharapkan akan terjadi sekitar akhir April. Informasi level perkembangan ini memiliki 2 tujuan dasar yakni memberikan masukan mengeni jurang pemisah yang harus diselesaikan pada akhir Perundingan Doha dan juga sebagai alat untuk mendorong fase negosiasi Doha menuju fase yang lebih horizontal atau sejajar. Dirjen WTO, Pascal Lamy, mengulangi komitmennya untuk mendorong teks final negosiasi perdagangan Putaran Doha (seperti dilaporkan pada WTD pada tanggal 28 Maret 2011). Beliau mengatakan bahwa diskusi sektoral terkait tarif barang industri bisa menjadi pintu untuk menyelesaikan Putaran Doha. Namun dengan perbedaan substantif diantara negara-negara anggota, beberapa anggota yakni Argentina, Australia, Amerika Serikat, Mauritius, Norwegia, Brazil, Kanada, India dan Afrika Selatan mengusulkan kepada Dirjen WTO untuk tidak mengeluarkan teks dahulu. Dalam pertemuan informal Trade Negotiations Committee pada tanggal 29 Maret 2011, Dirjen WTO menyampaikan bahwa kemajuan dalam perundingan sektoral Non Agricultural Market Access (NAMA) telah menjadi tantangan utama. Oleh karena itu, Dirjen WTO telah berkomitmen mulai tanggal 4 April 2011 akan mengadakan konsultasi dengan beberapa negara anggota WTO untuk memahami besarnya jurang pemisah di dalam akses pasar NAMA. Setelah konsultasi ini selesai dilaksanakan, Beliau berniat melaporkan hasilnya di hadapan seluruh anggota WTO. Indonesia di WTO Keterlibatan dan posisi Indonesia dalam proses perundingan DDA didasarkan pada kepentingan nasional dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Dalam kaitan ini, untuk memperkuat posisi runding, Indonesia bergabung dengan koalisi Negara berkembang seperti G-33, G-20, NAMA-11, yang kurang lebih memiliki kepentingan yang sama. Indonesia terlibat aktif dalam kelompok-kelompok tersebut dalam merumuskan posisi bersama yang mengedepankan pencapaian development objectives dari DDA. Indonesia selaku coordinator G-33 juga terus melaksanakan komitmen dan peran kepemimpinannya dengan mengadakan serangkaian pertemuan tingkat pejabat teknis dan Duta Besar / Head of Delegations, Senior Official Meeting dan Pertemuan Tingkat Menteri, baik secara rutin di Jenewa maupun di luar Jenewa, demi tercapainya kesepakatan yang memberikan ruang bagi Negara berkembang untuk melindungi petani kecil dan miskin. Sebagai koalisi Negara berkembang, G-33 tumbuh menjadi kelompok yang memiliki pengaruh besar dalam perundingan pertanian dan anggotanya saat ini bertambah menjadi 46 negara.

Developing Eight (D-8)D-8 didirikan melalui Deklarasi Istanbul yang dihasilkan pada Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) D8 yang ke-1 pada 15 Juni 1997 di Istanbul, Turki. D-8 terdiri dari 8 (delapan) negara berkembang, yaitu Bangladesh, Mesir, Indonesia, Iran, Malaysia, Nigeria, Pakistan dan Turki. Dasar pendirian D-8 adalah Deklarasi Istanbul yang memuat tujuan, prinsip-prinsip dasar dan bidang-bidang kerjasama D-8. Adapun prinsip-prinsip dasar D-8 adalah peace instead of conflict, dialogue instead of confrontation, justice instead of double-standards, equality instead of discrimination, and democracy instead of oppression. Awalnya pembentukan D-8 dimaksudkan untuk menghimpun kekuatan negara-negara Islam yang semuanya anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) guna menghadapi ketidakadilan dan sikap mendua negara-negara Barat. Namun, dalam perkembangannya, D-8 ditetapkan sebagai kelompok yang tidak bersifat eksklusif keagamaan dan ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat negara anggotanya melalui pembangunan sosial dan ekonomi. Untuk mencapai tujuan tersebut, kerjasama D-8 difokuskan pada peningkatan intra-trade di antara negara-negara anggotanya. Sejak tahun 1999 - 2007, nilai intra-trade antara negara D-8 telah meningkat lebih dari 200 persen dari US $ 14.5 Milyar menjadi US $ 49 Milyar. Walau cukup signifikan, namun jumlah ini belum melebihi 5 persen dari total perdagangan negara anggota D8 dengan dunia. Maka diharapkan pada akhir dekade kedua kerjasamanya (2018), intra-trade D-

8 dapat meningkat menjadi 15-20 persen dari total perdagangan negara anggotanya dengan dunia, atau mencapai US $ 100 Milyar. Tujuan kerjasama D-8 adalah sbb: Untuk meningkatkan posisi negara anggotanya dalam perekonomian dunia; Untuk memperluas dan menciptakan peluang-peluang baru dalam bidang perdagangan khususnya intra trade D-8; Untuk memperkuat tercapainya aspirasi negara anggotanya dalam proses pembuatan keputusan pada tingkat global, dan; Meningkatkan taraf hidup masyarakat negara anggota D-8. Pada KTT D-8 ke-5 tahun 2006 di Bali, Indonesia telah menerima keketuaan D-8 dari Iran untuk periode 2006-2008. Pada kesempatan KTT tersebut, negara-negara D-8 juga telah membubuhkan tanda tangan pada 2 naskah Persetujuan yang dimaksudkan untuk memfasilitasi perdagangan di antara negara anggota yaitu D-8 Preferential Trade Agreement (PTA), dan Multilateral Agreement among D-8 Member Countries on Administrative Assistance in Customs Matters (AACM). Hingga saat ini, PTA belum berlaku efektif karena baru 2 negara yaitu Iran dan Malaysia yang menyelesaikan proses ratifikasi Persetujuan tersebut. Sementara itu, Indonesia masih menunggu pengumpulan offer list of products sebagai salah satu annexes PTA D-8 oleh seluruh negara D-8 sebelum menyelesaikan proses ratifikasi. Sedangkan untuk AACM, Persetujuan ini belum dapat berjalan karena baru Indonesia yang menyelesaikan proses ratifikasi. Sebagai ketua D-8 periode 2006-2008, Indonesia telah berhasil dalam melakukan revitalisasi D-8 yang antara lain ditandai dengan meningkatnya jumlah kegiatan dalam kerangka D-8 secara signifikan dengan diselenggarakannya 31 kegiatan D-8 dimana 15 diantaranya diadakan oleh Indonesia. Tiga hal yang dapat dianggap sebagai pencapaian utama pada masa keketuaan Indonesia adalah upaya peningkatan status Sekretariat D-8 dari Office of Executive Director melalui interim arrangement Sekretariat D-8 dimana 3 negara anggota D-8 masing-masing mengirimkan Sekjen (Indonesia), Direktur (Iran), dan Ahli Ekonomi (Turki); Perumusan Roadmap D-8 (2008-2018) yang difasilitasi oleh Indonesia di Bangka Belitung, bulan April 2008; serta Penyelesaian pembahasan PTA D-8 beserta annexes-nya secara menyeluruh. Pada KTT D-8 ke-6 di Kuala Lumpur, Malaysia, tanggal 4-8 Juli 2009, Indonesia telah melakukan serah terima keketuaan D-8 kepada Malaysia. KTT tersebut menyepakati finalisasi pembentukan Sekretariat Permanen D-8 yang akan dibiayai oleh seluruh negara anggota melalui kontribusi tahunan dan dipimpin oleh Sekretaris Jenderal yang pertama dari Indonesia yakni Dr. Dipo Alam mulai 1 Januari 2009 31 Desember 2012. KTT tersebut juga telah mengadopsi Roadmap D-8 yang akan berfungsi sebagai guidelines kerjasama D-8 untuk dekade kedua kerjasamanya (2008-2018). D-8 memiliki bidang-bidang kerjasama yang kesemuanya diarahkan untuk menghasilkan capaian-capaian konkrit di bidang perdagangan, industri, perhubungan udara, energi, pertambangan dan mineral, kepabeanan, pariwisata, pertanian, kelautan dan perikanan, dan kredit mikro. Dalam bidang Perhubungan Udara, pada 3rd D-8 Working Group Meeting on Civil Aviation and Directors General Meeting (WGCA ke-3) pada Juni 2008, negara-negara D-8 telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) for the Establishment of D-8 Working Group on the Co-operation in Civil Aviation yang ditujukan untuk memfasilitasi pergerakan para pejabat pemerintah, kalangan pebisnis dan masyarakat negara-negara D-8. Pada Pertemuan tersebut, beberapa MoU dan kesepakatan lainnya secara bilateral juga telah ditandatangani oleh Indonesia dan negara-negara D-8 yakni: MoU antara Garuda Airlines dan Turkish Airlines ; MoU on Maintenance, Repair, and Overhaul antara GMF Aero Asia and MNG Airlines Turkey. Letter of Intent (LoI) antara PT Angkasa Pura II dan TAV Airports Holding Turki dalam bidang Airport Development LoI di bidang perhubungan udara antara Dirjen Perhubungan Udara Indonesia dengan Dirjen Perhubungan Udara Turki. Di bidang kerjasama industri D-8, pada 4th D-8 Working Group Meeting on Industrial Cooperation di Bali bulan November 2008, Indonesia telah ditunjuk sebagai prime mover aktivitas industri D-8 periode 2008-2010. Pada kesempatan pertemuan tersebut, Indonesia, Iran dan Turki juga telah membubuhkan tanda tangan pada naskah Minutes of Meeting (MoM) yang bertujuan untuk memfasilitasi program kerjasama jangka panjang di bidang industri otomotif dan pembentukan Joint Working Group untuk mengembangkan pelaksanaan kerjasama tersebut. Selain kerjasama dalam bidang-bidang tersebut di atas, D-8 juga melakukan kerjasama dalam menghadapi tantangan krisis pangan yang sedang dihadapi oleh negara-negara berkembang

khususnya negara-negara D-8, melalui Pertemuan Tingkat Menteri D-8 (PTM) mengenai Ketahanan Pangan yang diselenggarakan tanggal 25-27 Pebruari 2009 di Kuala Lumpur, Malaysia. PTM mengupayakan pembentukan kerjasama konkrit di bidang pertanian antara negara-negara D-8, dengan meliputi pembahasan 3 isu pokok yaitu produksi dan suplai pupuk berkualitas (Fertilizer), produksi dan suplai pakan ternak (Animal Feed), dan penyediaan benih berkualitas (Seed Bank). Selain mengadopsi Kuala Lumpur Initiative to Address Food Security by D-8 Countries, PTM juga telah menyepakati penunjukan prime movers untuk mewujudkan inisiatif Kuala Lumpur sbb: Seed Bank (Turki dan Iran); Animal Feed (Malaysia dan Indonesia); Fertilizer (Mesir); Standards and Trade Issues (Iran dan Turki); Marine and Fisheries (Indonesia). Semua kesepakatan antara negara-negara D-8 yang telah dituangkan dalam bentuk Persetujuan, MoU, LoI ataupun MoM seperti disebutkan di atas berpotensi mendorong peningkatan intra-trade D-8 guna mencapai target pada akhir dekade kedua kerjasamanya. Sedangkan posisi-posisi strategis Indonesia sebagai prime mover berbagai aktivitas D-8 turut berpotensi meningkatkan kontribusi D-8 terhadap pembangunan sosial dan ekonomi negara anggotanya yang sejalan dengan kepentingan nasional Indonesia yaitu untuk meningkatkan taraf hidup rakyatnya. Secara politis, keikutsertaan Indonesia pada kerjasama D-8 merupakan wujud solidaritas Indonesia terhadap negara berkembang lainnya dalam rangka memperjuangkan kepentingannya di tingkat internasional. Semua anggota D-8 juga merupakan negara anggota OKI namun secara organisatoris D-8 tidak merupakan sub-ordinasi OKI. Sebagai wujud komitmen Indonesia terhadap kerjasama Selatan-Selatan, Indonesia memandang penting forum D-8 karena keterlibatannya dalam kerjasama Kelompok D-8 dapat membuka peluang untuk memperluas dan meningkatkan kerjasama ekonomi dan perdagangan dengan negara-negara tujuan ekspor non-tradisional. Melalui kerjasama D-8, Indonesia dapat menggalang dukungan dari negara-negara anggota D-8 bagi kepentingan Indonesia misalnya dalam pencalonan di fora kerjasama internasional lainnya.

Colombo PlanColombo Plan didirikan tahun 1951, pada awalnya bernama Colombo Plan for Cooperative Economic Development in South and Southeast Asia. Kini Colombo Plan, yang semula beranggotakan 7 negara anggota Persemakmuran, telah berkembang menjadi suatu organisasi internasional dengan 25 negara anggota terdiri dari negara berkembang dan negara maju yaitu, Afghanistan, Australia, Bangladesh, Bhutan, Fiji, India, Indonesia, Iran, Jepang, Korea Selatan, Laos, Malaysia, Maladewa, Mongolia, Myanmar, Nepal, Selandia Baru, Pakistan, Papua New Guinea, Filipina, Singapura, Sri Lanka, Thailand, Amerika Serikat dan Vietnam. Seiring dengan perkembangan tersebut, nama Colombo Plan juga berubah menjadi The Colombo Plan for Cooperative Economic and Social Development in Asia and Pacific untuk mencerminkan komposisi geografis keanggotaan dan ruang lingkup aktifitasnya yang semakin luas. Pada saat ini fokus kegiatan Colombo Plan adalah pembangunan sumber daya manusia di kawasan Asia dan Pasifik. Indonesia menjadi anggota Colombo Plan tahun 1953. Tujuan utama Colombo Plan adalah mendukung pembangunan ekonomi dan sosial negara anggota, memajukan kerjasama teknik serta membantu alih teknologi antar negara anggota, memfasilitasi transfer dan berbagi pengalaman pembangunan antar negara anggota sekawasan dengan penekanan pada konsep kerjasama Selatan-Selatan. Struktur Organisasi Colombo Plan terdiri dari Consultative Committee yang merupakan badan utama dan bertemu sekali dalam dua tahun, Colombo Plan Council merupakan bandan pelaksana keputusan Consultative Committee, dan Colombo Plan Secretariat. Biaya administrasi Sekretariat Colombo Plan dan Dewan Colombo Plan ditanggung secara rata oleh semua negara anggota melalui kontribusi tahunan. Sementara biaya pelatihan dan pendidikan didanai secara sukarela oleh negara donor baik anggota maupun non-anggota Colombo Plan. Sekretariat CP memiliki lima program yaitu: Programme for Public Administration (PPA) Program ini bertujuan untuk pembangunan human capital sektor publik di negara anggota melalui program pelatihan dan Lokakarya.

Programme for Private Sector Development (PPSD) Program ini difokuskan pada pembangunan sosial dan ekonomi negara anggota melalui capacity building of small and medium enterprises yang meliputi pelatihan transfer of technology, business management, WTO Trade Policies, dan isu-isu perdagangan internasional. Drug Advisory Programme (DAP) Dimulai sejak tahun 1973, program ini merupakan program pertama yang menangani drug abuse di kawasan Asia Pasifik. Program ini memberikan kontribusi signifikan kepada para negara anggota dengan peningkatan capacity building staf pemerintah dan organisasi masyarakat yang berhubungan dengan penanganan drug abuse. Long-term Fellowship Programme (LFP) Program pendidikan jangka panjang baik untuk master degree atau non-degree untuk sektor pemerintah negara anggota. Programme on Environment (ENV) Program ini disetujui pembentukannya pada tahun 2005 dan pemerintah Thailand telah memberikan komitmen untuk memberikan dana awal kegiatan selama 3 tahun pertama (20052008). Program ini akan memberikan pelatihan jangka panjang dan pendek di bidang lingkungan. Indonesia telah menerima banyak bantuan pendidikan dan pelatihan yang ditawarkan oleh CP. Berdasarkan data Sekretariat Colombo Plan, selama kurun waktu 1995-2007, jumlah peserta Indonesia dalam berbagai program Colombo Plan tercatat sekitar 1131 orang, yang menjadikan Indonesia sebagai negara kedua terbesar (setelah Afghanistan), yang menerima bantuan Colombo Plan. Dalam beberapa tahun terakhir kegiatan yang menonjol antara Indonesia dan CP adalah program pelatihan penanganan Drug Abuse yang dikordinasikan oleh Badan Narkotika Nasional bekerjasama dengan beberapa pesantren di Indonesia dibawah organisasi masyarakat Nahdlatul Ulama (NU). Pada Colombo Plan Consultative Committee Meeting ke-41 yang diselenggarakan bulan Agustus 2008 di Kuala Lumpur, telah disepakati Colombo Plans Strategic Vision 2025 yang dituangkan dalam suatu rencana kerja tahunan Colombo Plan. Indonesia telah menyampaikan kesediaan bekerjasama dengan Colombo Plan dalam pelatihan di bidang Economic and Social Studies, yang mencakup Local Economic Development, Poverty Reduction, Micro Finance serta Family Planning yang akan dilaksanakan pada tahun 2010.

KERJASAMA BILATERALASEAN Regional Forum (ARF)Latar Belakang ASEAN Regional Forum (ARF) merupakan suatu forum yang dibentuk oleh ASEAN pada tahun 1994 sebagai suatu wahana bagi dialog dan konsultasi mengenai hal-hal yang terkait dengan politik dan keamanan di kawasan, serta untuk membahas dan menyamakan pandangan antara negara-negara peserta ARF untuk memperkecil ancaman terhadap stabilitas dan keamanan kawasan. Dalam kaitan tersebut, ASEAN merupakan penggerak utama dalam ARF. ARF merupakan satu-satunya forum di level pemerintahan yang dihadiri oleh seluruh negaranegara kuat di kawasan Asia Pasifik dan kawasan lain seperti Amerika Serikat, Republik Rakyat China, Jepang, Rusia dan Uni Eropa (UE). ARF menyepakati bawa konsep keamanan menyeluruh (comprehensive security) tidak hanya mencakup aspek-aspek militer dan isu keamanan tradisional namun juga terkait dengan aspek politik, ekonomi, sosial dan isu lainnya seperti isu keamanan non-tradisional. Peserta ARF berjumlah 27 negara yang terdiri atas seluruh negara anggota ASEAN (Indonesia, Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Vietnam, Myanmar, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina), 10 negara Mitra Wicara ASEAN (Amerika Serikat, Kanada, China, India, Jepang, Korea Selatan, Rusia, Selandia Baru, dan Uni Eropa) serta beberapa negara di kawasan yaitu: Papua Nugini, Mongolia, Korea Utara, Pakistan, Timor-Leste, Bangladesh dan Sri Lanka. Sebagai suatu wahana utama dalam mewujudkan tujuan ASEAN dalam menciptakan dan menjaga stabilitas serta keharmonisan kawasan, ARF menetapkan dua tujuan utama yang terdiri atas: Mengembangkan dialog dan konsultasi konstruktif mengenai isu-isu politik dan keamanan yang menjadi kepentingan dan perhatian bersama, dan Memberikan kontribusi positif dalam berbagai upaya untuk mewujdkan confidence building dan preventive diplomacy di kawasan Asia Pasifik. Dalam Pertemuan Tingkat Meneri ke-27 ASEAN tahun 1994, para Menteri Luar Negeri menyetujui ARF could become an effective consultative Asia-Pacific Forum for promoting open dialogue on political and security cooperation in the region. In this context, ASEAN should work with its ARF partners to bring about a more predictable and constructive pattern of relations in the Asia Pacific. Meskipun ARF masih relatif baru, namun ia telah menjadi kontributor yang berharga bagi pemeliharaan harmoni dan stabilitas di kawasan Asia Pasifik. Kinerja ARF dilengkapi oleh aktivitas Track 2 yang dilakukan oleh entitas non-pemerintah dalam lingkup ARF. Metode dan Pendekatan Partisipasi dan kerjasama yang aktif, penuh serta seimbang merupakan syarat mutlak bagi semua partisipan ARF, dengan ASEAN tetap merupakan penggerak utama bagi ARF. Proses ARF berjalan dalam suatu kecapatan at the pace comfortable to all bagi semua peserta ARF, dengan mempertimbangkan sensitivitas terhadap berbagai isu terkait dengan peserta tertentu. Pendekatan yang dianut oleh ARF bersifat evolusioner dan berlangsung dalam tiga tahap besar, yaitu Confidence Building, Preventive Diplomacy dan Conflict Resolution. Keputusan ARF harus diambil melalui suatu konsensus setelah melalui konsultasi yang mendalam antar para peserta ARF. Semenjak pendirianya di Bangkok pada bulan Juli 1994, ARF telah mengalami suatu proses evolusi yang terdiri atas: pemajuan peningkatan kepercayaan antar negara peserta; pengembangan diplomasi pencegahan; dan elaborasi mengenai pendekatan untuk pencegahan konflik. Pendekatan tersebut telah memungkinkan para peserta ARF untuk menghadapi secara konstruktif berbagai isu politik dan keamanan yang dihadapi oleh kawasan, termasuk isu-isu baru yang muncul sebagai akibat globalisasi. Sebagai suatu forum dialog, ARF memiliki peran instrumental bagi penciptaan dan pengembangan transparansi, peningkatan kepercayaan dan pengertian sehingga dapat menghindarkan atau mengurangi rasa saling curiga dan salah pengertian antara negara peserta. Hal ini akan semakin meningkatkan perdamaian, keamanan dan stabilitas nasional. Penguatan perdamaian dan keamanan kawasan akan memberikan lingkungan yang kondusif yang esensial bagi suksesnya pembangunan nasional di masing-masing negara peserta. Hal ini pada akhirnya akan mendorong peningkatan masyarakat di kawasan.

Dalam fase CBM and PD saat ini, ARF dapat memainkan peran penting bagi pencegahan munculnya konflik dan meningkatnya situasi konflik. ARF juga dapat memainkan peran untuk menghindari penggunaan kekuatan dan ancaman penggunaan kekerasan. Di masa mendatang, ARF juga diarahkan untuk menjadi sarana bagi penyelesaian konflik. Dengan demikian, ARF dapat menjadi wahana utama untuk meningkatkan suatu budaya dialog, pengertian dan tolerasni dengan cara damai. Manfaat ARF bagi Indonesia Mengembangkan profil internasionalnya melalui peran dan kepemimpinannya dalam ASEAN sebagai penggerak utama dalam ARF. Menetapkan agenda dialog dan konsultasi ARF dengan pandangan untuk menjaga dan mengembangkan kepentingan nasionalnya di berbagai isu penting politik dan keamanan. Menggalang dukungan dari para peserta ARF bagi keutuhan dan kedaulatan teritorialnya. Mendorong komitmen kawasan untuk mengembangkan kerjasama di berbagai isu yang menjadi perhatian bersama seperti perang melawan terorisme dan kejahatan lintas negara lainnya. Memajukan budaya damai, toleransi, dan dialog antara negara-negara di kawasan Asia Pasifik. Uni Eropa Kebijaksanaan Umum dan Politik Luar Negeri RI - Uni Eropa (UE) Perkembangan hubungan bilateral RI-UE tidak terlepas dari dinamika domestik dan regional yang berkembang di UE dan di Indonesia. Di satu pihak, perluasan UE menjadi 27 negara pada tanggal 1 Januari 2007 merupakan suatu keberhasilan yang signifikan bagi peranannya untuk turut menentukan peta tatanan global. Di lain pihak, situasi dalam negeri Indonesia yang diwarnai oleh kegiatan pemulihan ekonomi, perkembangan proses demokrasi dan munculnya gangguan keamanan separatisme serta ancaman terorisme, tidak dipungkiri berdampak terhadap kebijakan strategis politik luar negeri masing-masing. Berkaitan dengan perluasan anggota Uni Eropa, Indonesia berharap hal tersebut tidak akan mendorong orientasi Uni Eropa menjadi inward-looking dan mengurangi kerjasamanya dengan negara-negara berkembang, terutama dengan ASEAN dan lebih khusus lagi dengan Indonesia. Indonesia mengharapkan perluasan keanggotaan Uni Eropa tersebut justru dapat memberikan manfaat yang lebih besar terhadap mitra eksternalnya. Mantapnya Uni Eropa juga merupakan faktor konstruktif dalam kerjasama regional, baik dalam konteks hubungan ASEAN Uni Eropa maupun antara Asia dan Eropa dalam format ASEM. Dalam hubungan RI-UE, terdapat beberapa tema pokok yang menjadi prioritas bagi RI, yakni: PCA (Partnership Cooperation Agreement), kasus pelarangan terbang maskapai Indonesia, CSP (Country Strategy Paper) dan kondisi perdagangan dan investasi secara bilateral RI UE. Perkembangan Hubungan RI UE Hubungan bilateral RI-UE dirintis sejak tahun 1967 di bawah kerangka ASEAN ketika UE masih berbentuk Masyarakat Ekonomi Eropa (European Economic Community). Perkembangan hubungan RI UE tidak terlepas dari dinamika yang berkembang di UE dan di Indonesia. Di sisi UE, perkembangan UE yang selalu disibukkan oleh kegiatan-kegiatan perluasan UE sejak 1957 hingga tercapainya ambisi UE dalam menyatukan seluruh negara di Eropa di bawah payung UE (UE-29) dan perkembangan situasi keamanan global menjadikan UE lebih memfokuskan perhatiannya terhadap kepentingan bersama Eropa. Dalam kaitannya dengan perkembangan di Indonesia, proses demokrasi di Indonesia disambut dengan baik oleh UE yang memandang Indonesia sebagai a voice of democracy. Pandangan UE tersebut menunjukkan apresiasi UE terhadap proses demokrasi di Indonesia. Peningkatan hubungan RI UE secara substansi juga terlihat dalam pernyataan yang disampaikan oleh Menlu RI dan Menlu Belanda/Presidensi dalam pertemuan di Jakarta, Agustus 2004. Kedua Menlu tersebut menyatakan bahwa kedua pihak mempunyai common agenda yaitu demokrasi, HAM, lingkungan hidup, good governance, dan anti-terorisme. Dalam pertemuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Komisi Eropa, Jose Manuel Barroso di Jakarta pada bulan November 2007 juga ditegaskan bahwa hubungan Indonesia dan Uni Eropa merupakan hubungan kemitraan yang strategis dalam memainkan peran yang penting dalam penciptaan perdamaian, stabilitas dan perkembangan wilayah regional dan dunia secara keseluruhan. Hubungan RI UE menunjukkan perkembangan penting pada tahun 2005, ditandai oleh tanggapan UE yang sangat cepat dalam memberikan bantuan kemanusiaan untuk korban bencana tsunami di Aceh dan Nias. UE juga mendukung proses perdamaian di Aceh yang menghasilkan Nota Kesepahaman yang ditandatangani oleh wakil dari Pemerintah Indonesia dan GAM di Helsinki, Finlandia, tanggal 15 Agustus 2005. Dukungan UE terhadap implementasi Nota Kesepahaman juga ditunjukkan dengan partisipasi UE dalam Aceh Monitoring Mission (AMM) bersama dengan beberapa negara

anggota ASEAN (Malaysia, Singapura, Thailand, Brunei Darussalam) dan terhadap program reintegrasi mantan anggota GAM. UE juga berpartisipasi dalam pemantauan Pilkada Aceh tanggal 11 Desember 2005 dengan mengirimkan EU Election Observation Mission (EOM). Sekjen Dewan Uni Eropa menyatakan bahwa The AMM is a new departure for the EU in more ways than one. Not only is it the first time that the European Union has deployed a mission in Asia, it is also the first time that we have worked in partnership with countries from the Association of South East Asian Nations (ASEAN). Five ASEAN countries: Brunei, Malaysia, the Philippines, Singapore and Thailand, provided monitors alongside the participating European Countries. Sejak tahun 2000 UE telah menunjukkan keinginan untuk meningkatkan hubungan bilateral dengan Indonesia. Hal tersebut dinyatakan dalam Komunikasi UE tahun 2000 berjudul Developing Closer Relations between Indonesia and the European Union yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari strateginya di Asia, yang dituangkan dalam Komunikasi EC berjudul Europe and Asia: A Strategic Framework for Enhanced Partnership. Indonesia menyambut baik keinginan UE tersebut sebagai pengakuan terhadap perkembangan di Indonesia. Kesepakatan kedua pihak untuk meningkatkan hubungan juga tercermin dalam RI EU Joint Declaration pertemuan Menlu RI Komisioner Hubungan Eksternal (EC) di Luxembourg tanggal 14 Juni 2000, yang menyepakati peningkatan dialog RI UE melalui Bilateral Consultative Forum (Forum Konsultasi Bilateral/FKB). Forum tersebut memprioritaskan pembahasan pada masalah-masalah bilateral, utamanya upaya bersama untuk meningkatkan perdagangan, investasi dan kerjasama pembangunan serta dialog politik. Masuknya mata acara dialog politik tersebut yang memberikan warna baru dalam hubungan RI UE. UE menilai hubungannya dengan ASEAN dan Indonesia masih dapat ditingkatkan. Dalam kerangka ini, UE membuat suatu pendekatan baru yang komprehensif untuk meningkatkan hubungan bilateral dengan negara-negara di Asia Tenggara di berbagai bidang, termasuk politik, ekonomi, dan aspek kebudayaan. Keinginan UE untuk membentuk perjanjian bilateral tersebut dapat dipahami mengingat selama ini kerjasama bilateral UE dengan negara-negara di kawasan masih berdasarkan perjanjian kerjasama dalam kerangka ASEAN, yaitu EU Indonesia, Malaysia, the Philipinnes, Singapore, and Thailand Cooperation Agreement (ASEAN member countries)" yang ditandatangani di Kuala Lumpur tanggal 7 Maret 1980. Pengukuhan kemitraan komprehensif tersebut kemudian dibahas oleh kedua pihak dalam pertemuan Menteri Luar Negeri RI dengan Menteri Luar Negeri Troika UE di Jakarta bulan Maret 2005 yang merupakan perwujudan dari Resolusi Dewan UE tersebut di atas. Dalam pertemuan tersebut, kedua pihak sepakat untuk membentuk suatu framework agreement on comprehensive partnership and cooperation (PCA) akan menjadi dasar hukum yang kokoh bagi pengembangan dan peningkatan kerjasama RI UE masa mendatang. Sejalan dengan perkembangan kerjasama RI UE yang telah meluas ke dialog politik, maka tepatlah jika dikatakan bahwa kemitraan diantara kedua pihak bersifat komprehensif, di berbagai sektor. Oleh karena itu, substansi perjanjian dimaksud tidak hanya mengenai bidangbidang kerjasama di sektor teknis dan kerjasama pembangunan, tetapi juga di sektor politik seperti promosi HAM, legal cooperation, non-proliferasi senjata pemusnah massal dan keamanan khususnya penanggulangan terorisme. Perundingan PCA terakhir dilaksanakan di Hamburg, Jerman, 28 Mei 2007 dan dilanjutkan dengan pembicaraan jalur diplomatik tanggal 12 Juni 2007 yang menyepakati final version. Namun demikian, proses penandatanganan PCA RI-UE belum sesuai dengan yang diharapkan karena adanya keputusan Aviation Safety Committee UE yang mengeluarkan larangan bagi penerbangan Indonesia untuk beroperasi di wilayah negara anggota berlaku sejak tanggal 6 Juli 2007, beberapa hari menjelang jadwal pemarafan dokumen PCA yang sedianya diadakan di Jakarta tanggal 17 Juli 2007. Keputusan pelarangan tersebut efektif diberlakukan tanggal 6 Juli 2007 melalui Commission Regulation (EC) No. 787/2007 tanggal 4 Juli 2007. Setelah melalui upaya negosiasi dan usahausaha perbaikan yang dilakukan oleh Departemen Perhubungan RI, dalam pertemuan ASC (Air Safety Committee) tanggal 30 Juni-2 Juli 2009 di Brussels telah ditetapkan rekomendasi untuk mencabut secara parsial larangan terbang di Eropa bagi 4 maskapai nasional Indonesia, yaitu Garuda Indonesia, Mandala Airlines, Premiair dan Airfast Indonesia. Melalui regulasi No.619/2009 tanggal 13 Juli 2009 yang telah dipublikasikan dalam Official Journal of the European Union dan mulai berlaku tanggal 16 Juli 2009, Uni Eropa secara resmi telah mencabut pelarangan terbang terhadap 4 (empat) maskapai penerbangan Indonesia tersebut. Hasil yang menggembirakan dari rekomendasi ASC tersebut di Brussels mengakibatkan setelah tertunda selama 2 tahun, Indonesia dan Uni Eropa akhirnya telah sepakat untuk melakukan pemarafan terhadap Dokumen Kemitraan Komprehensif (Comprehensive Partnership and Cooperation Agreement) pada tanggal 14 Juli 2009 dalam akhir acara Forum Konsultasi Bilateral (FKB) RI-UE ke-8 di Yogyakarta.

Kemitraan Komprehensif merupakan dokumen yang berisi komitmen kedua pihak untuk meningkatkan hubungan bilateral secara lebih terancang dan terukur melalui penetapan prioritas dan modalitas kerjasama dalam upaya mencapai target yang ditetapkan bersama. Partnership and Cooperation Agreement (PCA) antara Indonesia dengan Uni Eropa (UE) akhirnya telah ditandatangani pada tanggal 9 November 2009 oleh Menteri Luar Negeri RI dan Menteri Luar Negeri Swedia (selaku presidensi UE). Struktur perjanjian ini terdiri atas 7 Bab dan 50 Pasal yang mencakup kerjasama di berbagai bidang, antara lain bidang politik (hak asasi manusia, penanggulangan terorisme, pelarangan proliferasi senjata pemusnah massal, penanggulangan korupsi, hukum, dll.) serta kerjasama teknis (seperti ekonomi, perdagangan dan investasi, industri, kehutanan, lingkungan hidup, transportasi, kesehatan, iptek, pendidikan, pariwisata, dll.) dalam rangka mengembangkan dan meningkatkan hubungan kerjasama RI-UE sebagai mitra yang komprehensif. Penandatanganan PCA adalah salah satu capaian penting dalam hubungan bilateral RI-UE, mengingat bahwa Indonesia adalah negara pertama di ASEAN yang memiliki perjanjian komprehensif dengan UE ini. Saat ini, UE masih melakukan proses negosiasi antara lain dengan Thailand, Filipina, Singapura, Vietnam, dan Malaysia. Pada dokumen RI-EU Joint Statement yang dikeluarkan setelah penandatanganan PCA, tercantum 4 (empat) prioritas kerjasama jangka pendek yang dimulai pada tahun 2010, yaitu : a. perdagangan dan investasi; mengeksplorasi lebih lanjut lingkup kerjasama baru termasuk di dalamnya proyek penelitian dan pengembangan. b. lingkungan hidup; meningkatkan kerjasama lingkungan pada isu-isu sensitif seperti kehutanan dan perikanan dan dalam rangka membangun komitmen bersama berbasiskan pada pertemuan UNFCCC. c. pendidikan; memberdayakan program-program pendidikan yang sudah ada seperti Beasiswa Erasmus Mundus dan proyek-proyek penelitian d. hak-hak asasi manusia dan demokrasi; membahas perkembangan hak asasi manusia yang menjadi perhatian bersama pada tingkat pejabat tinggi (SOM). Perjanjian PCA akan menjadi dokumen yang mengikat secara hukum (legally binding) setelah diratifikasi bersama oleh seluruh pihak sebelum dapat diberlakukan secara penuh (entry into force), sebagaimana tercantum dalam Pasal 48. PCA RI-UE melibatkan 29 pihak dalam proses ratifikasinya, yaitu Indonesia, Parlemen Eropa dan seluruh 27 negara anggota UE. Kemitraan Komprehensif juga merefleksikan semakin mantapnya hubungan bilateral Indonesia dan Uni Eropa. Bilateral Consultative Forum (RI EC SOM) Upaya bersama RI UE untuk meningkatkan kerjasama bilateral di bidang perdagangan, investasi dan kerjasama pembangunan dilakukan melalui Pertemuan Tingkat Pejabat Tinggi Forum Konsultasi Bilateral (FKB) Indonesia Komisi Eropa. Indonesia memandang penting FKB sebagai sarana untuk membahas secara lebih fokus berbagai upaya untuk meningkatkan hubungan dan kerjasama Indonesia EU. Pada tanggal 7 Desember 2010 telah diselenggarakan Pertemuan ke-9 FKB RI-UE di Brussel yang membahas berbagai isu yang dicapai selama setahun sebelumnya (dari pertemuan FKB/SOM ke -8 ke FKB/SOM ke-9), pertemuan juga mengidentifikasi beberapa prioritas untuk tahun 2011, antara lain penyelesaian Horizontal Agreement on Air Services dan penyelesaian FLEGT/VPA serta pelaksanaan MIP 2011-2013. Kerjasama Pembangunan RI UE Kerjasama pembangunan RI - UE merupakan salah satu pilar utama hubungan bilateral RI UE. Perkembangan hubungan Indonesia UE juga tercermin dalam fokus kerjasama pembangunan RI UE yang bersifat recipient driven dan disesuaikan dengan program pembangunan nasional Indonesia. UE menggarisbawahi perlunya membangun hubungan baru yang lebih erat dengan Indonesia melalui peningkatan program kerjasama pembangunan yang mendukung proses demokrasi, good governance, pembangunan sosial dan ekonomi berkelanjutan serta mengikis kemiskinan. Hubungan baik RI UE ini tercermin dalam kerjasama pembangunan yang tertuang dalam Country Strategy Paper (CSP) yang memuat strategi bersama guna menunjang pembangunan nasional. CSP tahun 2002-2006 ditujukan untuk memperkuat demokrasi dan meningkatkan good governance melalui dukungan terhadap pembangunan ekonomi, sosial dan lingkungan hidup. CSP 2002-2006 dituangkan dalam National Indicative Program (NIP) yang terdiri dari program kerjasama dua tahunan. Dalam NIP 2005-2006, terdapat tiga prioritas kerjasama yaitu pendidikan, penegakan hukum dan keamanan, kerjasama ekonomi khususnya manajemen pendanaan publik, dengan nilai proyek sebesar 72 juta Euro. Sebagai tindak lanjut berakhirnya program CSP perode 2002-2006, UE telah mengadopsi program CSP periode tahun 2007-2013 yang menitik beratkan pada sektor pendidikan, perdagangan dan investasi, serta penegakan hukum dan good governance. Komisoner Hubungan Luar Negeri UE, Ms. Bennita Ferrero Waldner pada tanggal 15 Mei 2007 telah mengirim surat kepada Menlu RI bahwa Komisi Eropa telah menyetujui penyusunan CSP 20072013 untuk Indonesia serta Multi-annual Indicative Programme 2007-2010.

Dalam pernyataannya, Ferrero menyatakan bahwa Komisi Eropa akan meningkatkan bantuan finansial dalam kerjasama pembangunan ini sebesar 494 juta Euro dalam program CSP 20072013 serta 248 juta Euro dalam program Multi-annual Indicative Programme 2007-2010. CSP 2007-2013 telah ditandatangani pada kunjungan Presiden Komisi Eropa Jose Manuel Barroso tanggal 23 Nopember 2007 di Jakarta. Pada periode 2007-2010 disepakati tiga bidang Multiannual Indicative Programme (MIP) yang menjadi prioritas, dengan total bantuan sebesar 248 juta. Kerjasama-kerjasama tersebut antara lain adalah Basic Education (198 juta), Economic Development (30 juta), dan Law Enforcement and Judicial Reform (20 juta). Sebagai hasil pertemuan Working Group on Development Cooperation (WGDC) di Brussel, tanggal 6 Desember 2010, telah ditandatangani dokumen Multiannual Indicative Programme (MIP) yang ke-II (periode 2011-2013) senilai 200 juta Euro. Kedua belah pihak menyetujui pentingnya pelaksanaan prinsip Aid Effectiveness dalam proyek-proyek kerjasama seperti yang tertuang dalam Paris Declaration dan Jakarta Commitment Multiannual Indicative Programme (MIP) ke-2 (2011-2013) memfokuskan bantuan pada sektor pendidikan ( 144 juta), perdagangan dan investasi ( 25 juta), penegakan hukum ( 16 juta), dan perubahan iklim ( 15 juta). Secara garis besar, bidang-bidang kerjasama pembangunan yang dilakukan dengan Uni Eropa mendukung setiap poin tujuan pencapaian Millenium Development Goals (government and civil society, education, health, environment and climate change, water supply and sanitation, trade and economic cooperation). Peran dan Kepentingan Indonesia di UE UE sebagai bentuk kerjasama regional kawasan Eropa dengan 27 negara anggota, jumlah penduduk 499 juta, GDP 16,8 trilyun euro (28% GDP dunia) telah menjadi kekuatan utama ekonomi dan politik global. Saat ini UE merupakan kekuatan dagang terbesar dunia yang menguasai 20% nilai ekspor-impor global. Negara anggota Uni Eropa terdiri dari Austria, Belgia, Rep. Ceska, Denmark, Estonia, Finlandia, Perancis, Jerman, Yunani, Hongaria, Irlandia, Italia, Latvia, Lithuania, Luksemburg, Malta, Belanda, Polandia, Portugal, Siprus, Slowakia, Slovenia, Spanyol, Swedia, Inggris, Bulgaria dan Rumania. Bagi Indonesia, UE masih merupakan pasar penting dan salah satu sumber penanaman modal asing utama di Indonesia. Perdagangan bilateral kedua negara pada tahun 2010 mencapai USD 28,20 milyar dan terus menunjukkan kecenderungan peningkatan dari tahun ke tahun. UE adalah pasar tujuan ekspor Indonesia yang potensial. UE merupakan pasar utama terbesar bagi Indonesia setelah Amerika Serikat dan Jepang. Total perdagangan Indonesia dan UE tahun 2010 sebesar US$ 26,8 milyar (ekspor US$ 17,1 milyar dan impor US$ 9,8 milyar), atau naik sebesar 21,35% dibanding tahun 2009 sebesar US$ 22,1 milyar. Tren total perdagangan kedua negara selama 5 tahun terakhir (2005-2010) menunjukkan angka positif sebesar 10,4%. Perkembangan hubungan bilateral RI-UE tidak terlepas dari dinamika perkembang yang terjadi di Uni Eropa (UE) dan Indonesia. UE yang telah berhasill sebagai a solid regional grouping, terus melaksanakan konsolidasi melalui proses integrasi di bidang politik dan ekonomi untuk mencapai ambisinya dalam menyatukan seluruh negara di Eropa di bawah payung UE. Demikian pula Indonesia yang demokrasi, stabil dan diakui oleh masyarakat internasional sebagai mitra penting di kawasan, keduanya merupakan aktor penting yang terus saling mendekat untuk memperkuat kemitraan agar dapat lebih mampu menanggapi tantangantantan