Tugas Sarjana Teknik Material BAB IV 2008 Data dan Analisa · 3 secara termodinamika terdekomposisi...
Transcript of Tugas Sarjana Teknik Material BAB IV 2008 Data dan Analisa · 3 secara termodinamika terdekomposisi...
Tugas Sarjana Teknik Material BAB IV 2008 Data dan Analisa
Muhammad Fida Helmi 13703040 60
BAB IV DATA DAN ANALISA
IV.1 Data dan Analisa Produk Alumnium Foam Utuh
IV.1.1 Variasi Temperatur Proses Terhadap Densitas Produk
Tabel IV. 1 Data densitas aluminium foam terhadap rasio pencampuran Tahap I : Variasi rasio pencampuran pada temperatur tetap sekitar 7500C
No W Aluminium (gr)
W CaCO3 (gr)
W Al-powder (gr)
Rasio CaCO3: Al-powder
Temp proses (0C)
Densitas foam bulk (gr/cc)
1 157 4.7 0 10:0 750 2.41 2 186 5.58 0.56 10:1 763 1.16 3 187 5.61 1.68 10:3 750 0.83 4 181 5.43 2.72 10:5 753 1.04
Densitas Al Foam bulk terhadap rasio penambahan aluminium powder
0.6
1
1.4
1.8
2.2
2.6
0 1 2 3 4 5 6Rasio penambahan Al powder per sepuluh berat CaCO3
Den
sita
s A
l Foa
m b
ulk
(gr/c
c)
Gambar IV. 1 Grafik densitas aluminium foam terhadap rasio pencampuran
Hasil pengujian densitas untuk produk foam dengan variasi rasio foaming agent, yang
diperlihatkan pada tabel IV.1 dan gambar IV.1, menunjukkan tingkat denstitas paling
rendah dimiliki oleh produk dengan rasio CaCO3:aluminium powder = 10:3,. Terjadi
kecenderungan naiknya densitas pada penambahan rasio aluminium powder
terhadap CaCO3 diatas 10:3, hal yang sama juga terjadi ketika rasionya dikurangi
atau tidak dicampur dengan aluminium powder sama sekali.
Tugas Sarjana Teknik Material BAB IV 2008 Data dan Analisa
Muhammad Fida Helmi 13703040 61
Analisa Pengaruh Rasio CaCO3 : Al powder Terhadap Densitas Produk Foam Proses foaming pada pembuatan produk aluminium, didasarkan pada dekomposisi
CaCO3 membentuk CaO dan CO2. Gas karbondioksida yang dihasilkan dari proses
tersebut mempunyai tekanan yang cukup untuk menghasilkan gelembung, sampai
akhirnya terbentuklah porositas pada produk. Tingkat keberhasilan foaming salah
satunya terletak pada kemampuan foaming agent untuk terdispersi secara merata
pada aluminium cair sehingga menghasilkan porositas secara homogen disetiap
bagian produk.
Akan tetapi, CaCO3 memiliki keterbatasan untuk terbasahi oleh aluminium cair, atau
dengan kata lain memiliki wettabiliy yang rendah. Meskipun tingkat densitasnya
mendekati aluminium, dikarenakan surface energy partikel CaCO3 sudah cukup stabil
(rendah), menjadikannya tidak mudah untuk terbasahi oleh aluminium cair. Untuk itu,
diperlukan agen pendispersi (dispersant agent) berupa aluminium powder. Cara kerja
aluminium powder adalah sebagai jembatan penghubung antara partikel CaCO3
dengan aluminium cair. Partikel aluminium powder mampu menempel dan
mengelilingi partikel CaCO3 dengan baik, karena tingkat surface energy-nya terhadap
volume yang tinggi. Kemudian, perlindungan oleh lapisan serpih aluminium powder ini
memberikan kesempatan pada partikel CaCO3 untuk terdispersi secara merata,
sebelum akhirnya mencair sepenuhnya pada aluminium cair.
Melalui analisis lebih lanjut, ternyata reaksi foaming agent tidak sepenuhnya
didasarkan pada dekomposisi CaCO3(s) membentuk CaO(s) dan CO2(g) saja. Tetapi,
terdapat reaksi lain yang mengikutinya, yaitu reaksi antara CaCO3 dan aluminium
cair. Oleh karena itu, rasio pencampuran rasio foaming agent berpengaruh dalam
menentukan kontak antara keduanya.
Pada foaming agent tanpa campuran aluminium powder (10:0), tidak terjadi proses
foaming. Hal ini dikarenakan CaCO3 tidak mampu terdispersi kedalam aluminium cair.
CaCO3 yang dituangkan kedalam aluminium cair hanya menggumpal diatas
permukaan.
Pada rasio CaCO3:Al powder = 10:1, jumlah serpih aluminium powder yang sedikit
tidak sepenuhnya mampu menempel pada partikel CaCO3. Sebagai akibatnya CaCO3
akan teraglomerasi dengan partikelnya sendiri, sedangkan aluminium powder
Tugas Sarjana Teknik Material BAB IV 2008 Data dan Analisa
Muhammad Fida Helmi 13703040 62
menempel pada aglomerat tersebut. Oleh karena itu, campuran foaming agent akan
memiliki aglomerat yang lebih besar. Pada saat proses foaming, aglomerat tersebut
akan menghasilkan gas CO2 yang lebih banyak sehingga membentuk gelembung
yang juga lebih besar. Tetapi, saat pencampuran, aglomerat tersebut tidak dapat
terdispersi dengan baik kedalam aluminium cair sehingga terdapat densitas yang
tinggi pada bagian bawah produk.
Penambahan rasio CaCO3:Aluminium powder = 10:3, menghasilkan produk
aluminium fomm yang paling optimal. Melalui rasio ini, foaming agent mampu
menghasilkan porositas yang tersebar merata dan densitas yang paling rendah.
Pada penambahan rasio CaCO3:Aluminium powder = 10:5, partikel CaCO3 dapat
dikelilingi aluminium powder dengan lebih baik. Hal ini menjadikan dispersi lebih
mudah dibanding pada rasio 10:1. Tetapi perlu dicermati, bahwa lapisan aluminium
powder disekitar aglomerat CaCO3 yang terlalu tertutup, ternyata tidak cukup baik
untuk proses foaming. Lapisan tersebut justru menjadi penghalang reaksi antara
CaCO3 dengan aluminium cair. Reaksi yang kurang cepat menyebabkan campuran
foaming agent akan bergerak keatas sehingga tidak terjadi penumbuhan gelembung
yang terdistribusi merata. Hasilnya adalah densitas foaming yang tinggi dibagian
bawah foam. Berikut ini perbandingan gambaran mikro foaming agent antara rasio
10:3 dan 10:5.
a) b)
Gambar IV. 2 a) foaming agent dengan rasio campuran CaCO3 : Aluminium powder = 10:3,
b) foaming agent dengan rasio campuran = 10:5
Aluminium PowderCaCO3
Tugas Sarjana Teknik Material BAB IV 2008 Data dan Analisa
Muhammad Fida Helmi 13703040 63
IV.1.2 Variasi Temperatur Proses Terhadap Densitas Produk
Tabel IV. 2 Data densitas aluminium foam terhadap temperatur Tahap II : Variasi temperatur pada rasio pencampuran tetap 10:3
No W Aluminium (gr)
W CaCO3 (gr)
W Al-powder (gr)
Rasio CaCO3: Al-powder
Temp pouring (0C)
Densitas foam bulk (gr/cc)
5 181 5.43 1.63 10:3 795-800 1.59 3 187 5.61 1.68 10:3 750-760 0.83 6 175.5 5.27 1.58 10:3 700 0.90 7 225.27 6.76 2.07 10:3 655 1.25
Densitas Al Foam bulk terhadap temperatur proses
0
0.5
1
1.5
2
600 650 700 750 800 850
Temperatur tuang foaming agent (0C)
Dens
itas
Al F
oam
bul
k (g
r/cc
)
Gambar IV. 3 Grafik densitas aluminium foam terhadap temperatur Hasil pengujian, disajikan dalam tabel IV.2 dan gambar IV.3, memperlihatkan nilai
densitas aluminium foam utuh terkecil didapatkan saat temperatur penuangan
foaming agent adalah 7550C. Terjadi kecenderungan naiknya densitas, yaitu ketika
temperatur penuangan dilakukan pada temperatur diatas 7550C. Pengamatan proses
foaming pada temperatur 8000C memperlihatkan pengembangan yang lebih tinggi
daripada pada temperatur 7550C, namun kemudian foam mengempes secara
signifikan.
Analisa Pengaruh Temperatur Terhadap Densitas Produk Foam Proses keberhasilan foaming tergantung pada berbagai macam faktor, termasuk
diantaranya adalah tingkat viskositas. Pada proses pembuatan aluminium foam,
seperti halnya rute direct melting yang dilakukan oleh ALPORASTM, lazim
ditambahkan Ca ataupun MnO2 sebagai thickening agent untuk menambah tingkat
viskositas sebelum penambahan foaming agent[10]. Tingkat viskositas diperlukan
Tugas Sarjana Teknik Material BAB IV 2008 Data dan Analisa
Muhammad Fida Helmi 13703040 64
untuk mempertahankan bentuk gelembung agar tidak pecah dan rusak, dengan cara
memberi pengaruh pada surface tension.
Pada penuangan foaming agent di temperatur 8000C, tingginya temperatur sangat
mempengaruhi rendahnya tingkat viskositas aluminium cair. Ketika terjadi kenaikan
temperatur, maka aluminium cair akan mengembang dengan cepat. Hal ini,
disebabkan tegangan permukaan (surface tension) untuk mempertahankan bentuk
spherical dan luas area gelembung terkecil, mampu dilebihi oleh tekanan yang
dihasilkan oleh dekomposisi foaming agent. Seiring dengan itu, tingkat viskositas
tidak mampu lagi menahan tekanan sehingga terjadi pemecahan gelembung (cell
rupture). Pemecahan ini menyebabkan gas CO2 lepas keluar, diikuti oleh
memadatnya alumunium pada bagian atas produk. Selain gas CO2 yang dapat keluar
melalui permukaan atas foam, gas tersebut dapat pula menyebabkan terjadinya
penggabungan sel (cell coalescence) sehingga didapatkan pori yang lebih besar, dan
cenderung memanjang.
Gambar IV. 4 Hasil uji TGA untuk dekomposisi CaCO3 [10]
Menurut hasil uji TGA Thermogravity Analysis, yang pernah dilakukan oleh
Universitas Cambridge, dekomposisi CaCO3 menjadi CaO dan gas CO2 di atmosfer
udara terjadi pada range temperatur antara 700-8500C [10]. Akan tetapi, temperatur
dekomposisi ternyata dapat menjadi lebih rendah, ketika CaCO3 bereaksi dengan
aluminium cair.
Pada proses pembuatan alumnium foam ini, CaCO3 secara termodinamika
terdekomposisi pada temperatur cair paduan aluminium. Hal ini terjadi karena adanya
penurunan tekanan parsial CO2, akibat reaksi lain yang dibantu oleh kenaikan
Tugas Sarjana Teknik Material BAB IV 2008 Data dan Analisa
Muhammad Fida Helmi 13703040 65
temperatur. Dari penjelasan ini, maka dapat dimengeri bahwa ketika temperatur
penuangan foaming agent sekitar 8000C, maka CaCO3 akan terdekomposisi secara
spontan, yang ditandai oleh pengembangan (foaming) yang cepat.
Kombinasi antara rendahnya tingkat viskositas dan cepatnya dekomposisi CaCO3,
menyebabkan pengembangan yang lebih cepat dan tinggi pada temperatur proses
8000C. Dari kombinasi itu pula, bentuk sel tidak dapat dipertahankan lagi setelah
proses foaming mencapai tingkat maksimum, sehingga yang terjadi adalah
pengempesan foam.
Pada pembuatan sampel aluminium foam dengan temperatur 6500C dan 7000C juga
memperlihatkan adanya kecenderungan naiknya densitas. Rendahnya temperatur
membuat viskositas terlalu tinggi. Hal ini pun berperan dalam mengurangi
keseragaman distribusi foaming agent saat dimasukkan kedalam aluminium cair.
Kemudian, saat temperatur 6500C diperkirakan telah terjadi dekomposisi gas yang
ditandai dengan pengembangan aluminium cair. Meskipun saja, diakibatkan tingkat
viskositas yang terlalu tinggi, maka gelembung tidak mampu untuk membesar lebih
lanjut.
Kesimpulan sementara, pengaruh temperatur berkaitan erat dengan hubungan
terbalik antara tingkat viskositas dengan tingkat dekomposisi CaCO3. Dengan tingkat
viskositas yang tinggi dan diikuti oleh pembentukan gas yang rendah, maka densitas
yang dihasilkan menjadi lebih tinggi. Maka, dari data yang tersaji, hasil optimal
dimana densitas yang diperoleh paling rendah, didapatkan melalui proses foaming
pada temperatur 7500C.
Tugas Sarjana Teknik Material BAB IV 2008 Data dan Analisa
Muhammad Fida Helmi 13703040 66
IV.2 Gambaran Hasil Proses Foaming IV.2.1 Gambaran & Analisa Proses Foaming Pada Variasi Rasio Foaming Agent
10:0 10:1 10:3 10:5
T=7500C
Gambar IV. 5 Penampang melintang Aluminium foam pada variasi rasio foaming agent
Gambar IV.5 memperlihatkan perbandingan penampang melintang dari empat produk
dengan temperatur proses yang sama (7500C), tetapi dengan rasio pencampuran
foaming agent yang berbeda. Hanya produk dengan rasio 10:3 yang mampu
mengembangkan foam secara baik sehingga mempunyai porositas pada bagian
bawah produk. Tergambar secara jelas, terdapat bagian necking yang memisahkan
bagian produk yang mempunyai porositas dan tidak. Pada bagian necking ini, fraksi
porositas cukup kecil, dan mempunyai bentuk pori yang bulat sempurna namun
berukuran kecil.
Prediksi awal untuk produk foam dengan rasio 10:5, menjelaskan bahwa saat
pengadukan, foaming agent sempat terdispersi sampai ke bagian bawah aluminium
cair. Hal ini dibuktikan dari jejak porositas berukuran kecil dan berbentuk irregular.
Penjelasannya adalah karena granul foaming agent yang terbentuk cukup kecil, maka
meskipun dapat terdispersi mencapai bagian bawah, tetapi tidak dapat menghasilkan
gelembung yang cukup besar. Seiring dengan proses foaming, terdapat gradien
Tugas Sarjana Teknik Material BAB IV 2008 Data dan Analisa
Muhammad Fida Helmi 13703040 67
tekanan dan temperatur yang lebih besar pada bagian bawah. Ini menyebabkan
gelembung tersebut memampat dan bergerak ke atas.
Pada produk dengan rasio 10:1, partikel CaCO3 tidak terlapisi semua oleh aluminium
powder sehingga menyebabkan campuran foaming agent tidak dapat terdispersi
sampai kebagian bawah aluminium cair. Sedangkan tanpa penggunaan aluminium
powder pada campuran foaming agent, menyebabkan CaCO3 tidak dapat terdispersi
kedalam aluminium cair sehingga hanya menggumpal pada permukaan atas produk.
Pada produk dengan rasio 10:0, terlihat dengan jelas gumpalan CaCO3 yang tidak
mampu terdispersi kedalam aluminium cair. Hal ini membuktikan pentingnya
penambahan aluminium powder sebagai agen pendispersi.
Pada temperatur proses 7550C, ketiga produk yang dihasilkan tidak memperlihatkan
adanya kerusakan sel yang terlalu berat. Kerusakan sel berupa lepasnya gas keluar
yang diakibatkan cell rupture pada bagian atas, tidak terjadi secara signifkan.
Porositas pada bagian atas juga menunjukkan bahwa, proses foaming dapat terjadi
untuk mengekspansi aluminium cair menjadi foam. Pada ketiga gambaran
penampang melintang diatas, ketiga produk cukup memperlihatkan keseragaman pori
yang terbentuk.
Tugas Sarjana Teknik Material BAB IV 2008 Data dan Analisa
Muhammad Fida Helmi 13703040 68
IV.2.2 Gambaran dan Analisa Proses Foaming Pada Variasi Temperatur 6500C 7000C 7500C 8000C
Rasio = 10:3
Gambar IV. 6 Penampang melintang Aluminium foam pada variasi temperatur proses
Gambar IV.6 memperlihatkan penampang melintang dari produk foam berdasarkan
pengaruh temperatur proses. Pada produk dengan temperatur 6500C dan 8000C,
tidak terdapat pori pada bagian bawah produk, karena viskositas yang terlalu tinggi
menghambat terdispersinya foaming agent.
Pada temperatur 8000C, tidak terdapat porositas di bagian bawah foam. Pada kondisi
ini, viskositas yang terlalu tinggi justru menyebabkan pori yang telah terbentuk
menjadi rusak dan memadat. Hal ini terjadi karena porositas yang telah terbentuk,
bergerak keatas dengan mudah pada tingkat viskositas yang rendah. Pada kedua
temperatur itu pun, distribusi pori sangatlah besar, terdapat kisaran (range) yang
cukup jauh pada bagian atas, tengah dan bawah penampang produk.
Pada kedua produk 6500C dan 8000C, terjadi penumpukan aluminium padat dibagian
atas foam. Terdapat perbedaan yang mendasar dari karakteristik penumpukan
diantara keduanya. Pada produk 8000C, terlihat bekas pori besar yang sebelumnya
pernah terbentuk dan kemudian pipih memadat. Hal ini mengindikasikan terjadinya
kegagalan berupa pecahnya sel atas ataupun penggabungan sel, akibat viskositas
yang terlalu rendah dan dekomposisi yang terlalu cepat.
Tugas Sarjana Teknik Material BAB IV 2008 Data dan Analisa
Muhammad Fida Helmi 13703040 69
Sedangkan pada produk 6500C, memang terdapat bekas pori berukuran kecil yang
pernah terbentuk, namun berbentuk pipih terlipat. Pada bagian atas produk 6500C
pula ternyata masih banyak terlihat adanya foaming agent yang tidak bereaksi
dengan indikasi bercak putih yang terdapat pada celah lipatan aluminium.
Gambaran yang berbeda terjadi pada produk dengan temperatur proses sebesar
7000C dan 7500C. Keduanya secara sekilas mempunyai pori yang tersebar cukup
merata pada setiap bagian produk, juga pada bagian bawah. Meskipun saja, pada
produk dengan temperatur 7000C, porositas pada bagian bawah masih kurang
daripada pada produk dengan temperatur 7500C. Pada bagian atas, juga terdapat
pori, sehingga secara kuantitas, densitas kedua produk ini terbukti lebih rendah
daripada produk lainnya.
Tugas Sarjana Teknik Material BAB IV 2008 Data dan Analisa
Muhammad Fida Helmi 13703040 70
IV.2.3 Pola Struktur Hasil Foaming Selama tahapan holding dan cooling pada proses foaming, terdapat fenomena
pengaturan struktur sel yang kemudian akan mempengaruhi gambaran penampang
melintang produk. Pada tahapan ini, ekspansi proses foaming berada dalam keadaan
liquid state menuju solid state. Terdapat pula deformasi pada pori yang kemudian
akan menghasilkan pola struktur yang terlihat pada penampang melintang produk.
Pola struktur hasil foaming akan diwakili oleh produk dengan rasio 10:3 dan
temperatur proses 7500C, yang memperlihatkan proses foaming terbaik.
Gambar IV. 7 Pola struktur hasil foaming; a)atas, b)samping, c)tengah, d)bawah
Penampang melintang foam memperlihatkan struktur yang mewakili penyusunan
gelembung untuk menjadi sel dalam sistem foam. Gelembung berawal dari gas yang
dihasilkan oleh foaming agent yang sebelumnya terdispersi dalam keseluruhan
aluminum cair. Aluminium cair kemudian akan mengalami pengembangan, yang
Tugas Sarjana Teknik Material BAB IV 2008 Data dan Analisa
Muhammad Fida Helmi 13703040 71
merupakan fenomena pembesaran dan pergerakan gelembung. Proses foaming
memiliki arah ke atas dan dari tengah kesamping.
Bagian bawah foam, diwakili oleh gambar D, memperlihatkan sel yang berbentuk
bulat (spherical) dengan luas pori berbanding luas daerah yang relatif kecil. Dinding
sel terlihat tebal jika dibandingkan dengan luas sel yang terbentuk. Pada bagian
tengah foam, diwakili gambar C, sel berbentuk polyhedral atau tidak bulat sempurna.
Bentuk polyhedral ini juga terlihat terdistorsi atau terelongasi sesuai arah foaming.
Pada bagian ini, ukuran sel terlihat jauh lebih besar daripada yang terdapat di bagian
bawah.
Sedangkan bagian samping foam yang menempel di dinding crucible (gambar B)
menunjukkan perbedaan besar pori pada lapisan terluar dan lapisan yang lebih
dalam. Lapisan terluar yang menempel pada crucible mempunyai sel polyhedral tetapi
relatif lebih kecil daripada sel yang terletak lebih kedalam. Pada sel yang terletak lebih
dalam ini, memiliki bentuk sel polyhedral yang lebih besar namun terlihat terelongasi
sesuai arah pengembangan foam. Akibatnya, bentuk sel polyhedral mempunyai
aspek rasio yang besar (rasio diameter maks/min) >>1. Seringkali, lapisan terluar ini
cukup tipis, karena hanya memiliki satu lapisan sel saja.
Kemudian pada bagian atas foam yang digambarkan pada A, terlihat bentuk sel yang
memipih tegak lurus dengan arah foam. Lapisan kedua dibawah sel yang memipih ini,
lalu mempunyai bentuk polyhedral yang menyerupai bentuk tengah foam, akan tetapi
ukurannya lebih kecil. Seringkali terlihat bentuk polyhedral lebih mendekati equiaksial
(bulat sempurna).
Analisa Pola Struktur Hasil Foam a. Pemodelan Deformasi Sel Foam Foam memiliki kekuatan luluh geser. Dibawah titik luluh ini, deformasi yang terjadi
adalah elastis. Ketika tegangan melebihi titik luluh, maka foam akan terdeformasi
secara plastis, dan shear rate akan bergantung pada tingkat viskositas[20]. Pada
gambar IV.8, diperlihatkan model sederhana dari proses deformasi sel foam. Ketika
surface tension seragam, maka terdapat tiga lapisan yang bertemu, sehingga sudut
yang dibentuk adalah 1200. Namun, ketika regangan gesernya mencapai nilai luluh,
maka akan terdapat lapisan lain yang bertemu. Pertemuan lapisan itu juga
Tugas Sarjana Teknik Material BAB IV 2008 Data dan Analisa
Muhammad Fida Helmi 13703040 72
merupakan akibat dari terdistorsinya sel, sehingga pada skala makro akan berbentuk
polyhedral, seperti halnya terlihat pada bagian tengah produk foam.
Gambar IV. 8 Pemodelan deformasi sel [20]
Kekuatan luluh geser merupakan fungsi dari ukuran sel dan volume liquid yang
mengelilingi sel. Meskipun, memang sulit untuk menentukan kekuatan luluh yang
sebenarnya, terutama ketika batas sisi datar yang mengelilingi sel terlalu tebal, maka
kita hanya dapat memperkirakan saja.
b. Struktur Sel Pada Bagian Dinding Model deformasi sel pada bagian permukaan telah dijelaskan oleh Wenzel [20],
diperlihatkan pada gambar IV.9. Pada model ini, lapisan liquid padat (label A)
menempel pada dinding crucible. Kemudian lapisan sel selanjutnya (label B) terletak
dekat setelah lapisan A. Berdasarkan teori aliran viscous (viscous flow), kecepatan
aliran pada bagian antarmuka dengan dinding crucible adalah nol. Asumsikan bahwa
kekuatan geser pada lapisan padat ditentukan oleh aliran geser lapisan C dan bagian
antarmuka yang tidak bergerak. Maka, pergeseran lapisan B memerlukan tegangan
geser yang cukup.
Gambar IV. 9 Pemodelan deformasi dan slip pada bagian dinding[20]
Gelembung dapat bergerak dengan pergesaran sisi datar diatas lapisan liquid yang
padat. Karenanya, dari sini akan terlihat adanya gradien kecepatan. Bedasarkan
Tugas Sarjana Teknik Material BAB IV 2008 Data dan Analisa
Muhammad Fida Helmi 13703040 73
model Wenzel[20] ini, kecepatan lapisan B sangat bergantung pada ketebalan dinding
sel dan viskositas liquid. Misal ketika laju ekspansinya rendah, tarikan kisi sel yang
berikatan dengan lapisan liquid padat akan mendapat deformasi elastis. Oleh karena
itu, bentuknya menjadi polyhedral namun tidak sampai terelongasi. Sedangkan slip
kisi sel disamping lapisan liquid padat adalah pergerakan viscous. Bentuk sel pada
lapisan B ditentukan oleh tingkat viskositas lokal pada bagian kisi sel yang menempel
pada lapisan liquid padat terluar.
c. Struktur Sel Pada Permukaan Atas Gambar IV.10 memperlihatkan bagaimana permukaan baru muncul mengembang
pada permukaan atas selama ekspansi proses berlangsung. Karena pengaruh
tekanan, sel B tertekan sehingga menembus celah antara sel A dan C dengan
mekanisme inter-cell sliding.
Mekanisme inter-cell sliding terjadi karena terdapat gradien tekanan sepanjang arah
vertikal. Kemudian, karena pengaruh tekanan akibat dekompsosi foaming agent ini
pula, sel-sel pada bagian atas permukaan akan mengalami tarikan kesamping. Hal ini
menjadikan tekanan pada bagian bawah lebih besar daripada daerah diatasnya.
Maka dari itu, tekanan sel B yang lebih besar daripada sel A dan C, memaksa sel B
untuk mengisi celah tersebut.
Gambar IV. 10 Inter-cell slip pada bagian atas foam[20]
Tugas Sarjana Teknik Material BAB IV 2008 Data dan Analisa
Muhammad Fida Helmi 13703040 74
IV.3 Data dan Analisa Sampel Kubus Produk Alumnium Foam IV.3.1 Densitas Produk Kubus Aluminium Foam
Tabel IV. 3 Data densitas spesimen aluminium kubus Densitas Aluminium Foam Kubus (30 X 30 X 30 mm2)
No Rasio
CaCO3 : Al-powder Temp
pouring (0C) Densitas kubus
Aluminium foam (gr/cc)
2 10:3 750-760 0.416
5 10:3 700 0.401
6 10:3 655 0.406
Densitas Kubus Al Foam terhadap temperatur tuang foaming agent
0.35
0.375
0.4
0.425
0.45
625 650 675 700 725 750 775Temperatur tuang foaming agent
(0C)
Den
sita
s ku
bus
Al F
oam
(g
r/cc
)
Gambar IV. 11 Grafik densitas spesimen aluminium kubus
Pada preparasi sampel uji ini, bentuk kubus berdimensi 30 X 30 X 30 mm3 diambil
dari bagian tengah produk aluminium foam utuh. Hasil yang didapatkan menunjukkan
nilai densitas yang berdekatan, berbeda dengan densitas pada produk aluminium
foam secara utuh. Hal ini, menunjukkan bahwa struktur sel pada bagian tengah
produk tidak terlalu banyak berbeda dalam hal perbandingan area pori dan ketebalan
selnya.
IV.3.2 Analisa Distribusi Morfologi Sel Dari keenam produk yang dibuat berdasarkan parameter rasio foaming agent dan
temperatur, berdasarkan distribusi dan struktur selnya, maka hanya 3 produk yang
dapat dibuat sampel berbentuk kubus. Ketiga sampel kubus ini memiliki densitas yang
relatif sama, akan tetapi distribusi morfologi sel yang berbeda.
Tugas Sarjana Teknik Material BAB IV 2008 Data dan Analisa
Muhammad Fida Helmi 13703040 75
Gambar IV. 12 Morfologi sel spesimen kubus, a&d)7500C, b&e)7000C, c&f)6500C
Gambar IV.12, merupakan gambaran dua dimensi dari porositas yang terdapat pada
ketiga produk alumnium foam. Dengan nilai densitas yang relatif sama,
mengindikasikan rasio volume dinding sel dan volume kubus yang sama untuk
ketiganya. Maka dari itu, pembedaan yang mungkin adalah dari jumlah pori yang
terbentuk, diameter pori, luas pori tebal dinding sel, aspek rasio, dan arah sudut sel.
Pada sisi yang sama, tampilan distribusi morfologi disajikan dalam 4 macam kriteria,
sebagai berikut.
a. Distribusi Diameter Rata-Rata Porositas Statistik dan histogram berikut memperlihatkan distribusi garis yang melewati titik
centroid dan menghubungkan antar sisi yang dimiliki oleh setiap porositas.
Diameter Rata-rata (mm) Status T=6500C T=7000C T=7500C
Min 0.09 0.09 0.09 Max 7.71 8.47 5.98 Range 7.62 8.38 5.89 Mean 0.88 0.82 0.91 Std.Dev 1.01 1.08 0.90 Sum 429.28 406.68 513.18 Samples 486 494 562
Tugas Sarjana Teknik Material BAB IV 2008 Data dan Analisa
Muhammad Fida Helmi 13703040 76
Gambar IV. 13 Statistik dan histogram diameter rata-rata porositas
b. Distribusi Luas Area Porositas Statistik dan histogram berikut menyajikan distribusi luas area porositas, dan persen
jumlah luas porositas terhadap luas penampang kubus.
Luas Area Porositas (mm2) Status T=6500C T=7000C T=7500C
Min 0.01 0.01 0.01 Max 40.49 55.68 21.32
Range 40.48 55.67 21.31 Mean 1.31 1.35 1.22
Std.Dev 3.58 4.55 2.72 Sum 637.60 667.99 687.63
Samples 486 494 562 total area 968.00 873.30 978.13
% area 65.87 76.49 70.30
Tugas Sarjana Teknik Material BAB IV 2008 Data dan Analisa
Muhammad Fida Helmi 13703040 77
Gambar IV. 14 Statistik dan histogram luas area porositas
c. Distribusi Aspect Ratio Porositas Statisik dan histogram berikut menyajikan distribusi rasio antara diameter max /
diameter min porositas, nilainya selalu lebih besar dari 1.
Aspect Ratio Status T=6500C T=7000C T=7500C
Min 1.02 1.02 1.00 Max 6.24 12.60 10.94 Range 5.22 11.58 9.94 Mean 1.91 2.08 1.91 Std.Dev 0.79 1.06 0.93 Sum 928.65 1026.86 1075.91 Samples 486 494 562
Gambar IV. 15 Statistik dan histogram aspect ratio porositas
Tugas Sarjana Teknik Material BAB IV 2008 Data dan Analisa
Muhammad Fida Helmi 13703040 78
d. Distribusi Arah Sel Statistik dan histogram berikut menyajikan distribusi sudut yang dibentuk diameter
max porositas terhadap sumbu vertikal. Arah Sel Terhadap Sumbu
Vertikal Status T=6500C T=7000C T=7500C
Min 0.05 0.00 0.20 Max 180.00 178.85 180.00 Range 179.95 178.85 179.80 Mean 91.46 91.59 95.48 Std.Dev 48.79 46.99 48.73 Samples 486 494 562
Gambar IV. 16 Statistik dan histogram sudut sel porositas
Tugas Sarjana Teknik Material BAB IV 2008 Data dan Analisa
Muhammad Fida Helmi 13703040 79
IV.3.3 Analisa Cacat Produk Kisaran distribusi morfologi sel atau porositas produk yang terlalu besar tidak hanya
dipengaruhi oleh parameter temperatur atau rasio pencampuran foaming agent.
Terdapat berbagai hal yang juga mempengaruhi, diantaranya cacat saat proses
dilakukan, penjelasannya sebagai berikut:
Fenomena Penggabungan Sel
Gambar IV. 17 Mekanisme penggabungan sel karena pengaruh surface tension. [10]
Gambar IV.17 memperlihatkan mekanisme terjadinya penggabungan sel. Pertama
kita melihat gambar a, dimana terdapat dua gelembung yang berdekatan. Akibat
pengaruh surface tension, maka terjadi penipisan dinding sel. Surface tension
menyebabkan berpindahnya atom-atom pada permukaan dinding sel menuju daerah
pertemuan sel (plateau border). Hal ini terjadi karena efek surface tension mendorong
agar interfacial energy antara fasa gas dan liquid mempunyai nilai terkecil dengan
cara membulatkan bentuk gelembung (aspect ratio=1).
Ketika penipisan berlangsung secara kontinyu, maka terdapat batasan ketebalan
kritis. Saat ketebalan kritis, yang dipengaruhi oleh viskositasnya, dilampaui oleh efek
penipisan tadi, maka yang terjadi selanjutnya adalah pecahnya dinding sel. Terjadinya
penyatuan dua gelembung, menyebabkan surface area yang terbentuk menjadi dua
kali lipatnya. Maka, efek surface tension kembali bekerja dengan mendorong atom-
atom yang berada pada dinding sel untuk bergerak kembali ke plateau border.
Akibatnya, terjadi penggabungan dan pembulatan menjadi sebuah sel.
Pada proses foaming dengan menggunakan CaCO3, terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi penggabungan sel terjadi. Faktor utama tentunya keberadaan surface
tension dan tekanan yang dihasilkan oleh gas saat dekomposisi. Kedua faktor tadi
didukung oleh viskositas aluminium cair dan terbentuknya oksida pada dinding sel.
Viskositas berpengaruh pada tingkat surface tension, sedangkan oksidasi selain