Tugas Responsi Kgd

15
TUGAS RESPONSI KGD NAMA : GIGIH SANJAYA PUTRA NIM : 22020114210033 DOSEN : Ns. Nana Rochana, S.Kep.MNS 1. Lokasi perdarahan di otak ? Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur cranium dan lesi intrakranial. a. Fraktur cranium Fraktur cranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak dan dapat berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup.Fraktur dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan dengan dengan teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci. Tanda-tanda tersebut antara lain ekimosis periorbital (raccoon eye sign), ekimosis retroauikular (battle sign), kebocoran CSS (Rhinorrhea, otorrhea) dan paresis nervus fasialis (Bernath, 2009). Fraktur cranium terbuka atau

description

keperawatan

Transcript of Tugas Responsi Kgd

TUGAS RESPONSI KGD

NAMA : GIGIH SANJAYA PUTRANIM : 22020114210033DOSEN : Ns. Nana Rochana, S.Kep.MNS

1. Lokasi perdarahan di otak ?Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur cranium dan lesi intrakranial.a. Fraktur craniumFraktur cranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak dan dapat berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup.Fraktur dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan dengan dengan teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya.Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci. Tanda-tanda tersebut antara lain ekimosis periorbital (raccoon eye sign), ekimosis retroauikular (battle sign), kebocoran CSS (Rhinorrhea, otorrhea) dan paresis nervus fasialis (Bernath, 2009). Fraktur cranium terbuka atau komplikata mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit kepala dan permukaan otak karena robeknya selaput duramater. Keadaan ini membutuhkan tindakan dengan segera. Adanya fraktur tengkorak merupakan petunjuk bahwa benturan yang terjadi cukup berat, sehingga mengakibatkan retaknya tulang tengkorak. Frekuensi fraktur tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktur ditemukan bila penelitian dilakukan pada populasi yang lebih banyak mempunyai cedera berat. Fraktur kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Fraktur kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktur tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah sakit untuk pengamatan (Davidh, 2009). b. Lesi IntrakranialLesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difus,walau kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau hematoma intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difus,secara umum, menunjukkan CT scan normal, namun menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan koma dalam keadaan klinis(Bernath,2009). 1) Hematoma EpiduralEpidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk diruang potensial antara tabula interna dan duramater dengan ciri berbentuk bikonvek atau menyerupai lensa cembung. Paling sering terletak diregio temporal atau temporoparietal dan sering akibat robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap berasal arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma epidural akibat robeknya sinus vena, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa posterior.Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu diingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena penekan gumpalan darah yang terjadi tidak berlangsung lama. Keberhasilan pada penderita pendarahan epidural berkaitan langsung denggan status neurologis penderita sebelum pembedahan. Penderita dengan pendarahan epidural dapat menunjukan adanya lucid interval yang klasik dimana penderita yang semula mampu bicara lalu tiba-tiba meningggal (talk and die), keputusan perlunya tindakan bedah memang tidak mudah dan memerlukan pendapat dari seorang ahli bedah saraf (Harga Daniel, 2009). Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens yang tidak selalu homogeny, bentuknya biconvex sampai planoconvex, melekat pada tabula interna dan mendesak ventrikel ke sisi kontralateral (tanda space occupying lesion). Batas dengan corteks licin, densitas duramater biasanya jelas, bila meragukan dapat diberikan injeksi media kontras secara intravena sehingga tampak lebih jelas (Gazali,2007).2) Hematom SubduralHematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi diantara duramater dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat robeknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus draining. Namun, ini juga dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak (American college of surgeon, 1997). Selain itu, kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akut biasanya sangat lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis agresif. Subdural hematom terbagi menjadi akut dan kronis. a) SDH AkutPada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle (seperti bulan sabit) dekat tabula interna, terkadang sulit dibedakan dengan epidural hematom. Batas medial hematom seperti bergerigi. Adanya hematom di daerah fissure interhemisfer dan tentorium juga menunjukan adanya hematom subdural (Bernath, 2009). b) SDH KronisPada CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi, klasifikasi yang disebabkan oleh bermacam- macam perubahan, oleh karenanya tidak ada pola tertentu. Pada CT Scan akan tampak area hipodens, isodens, atau sedikit hiperdens, berbentuk bikonveks, berbatas tegas melekat pada tabula. Jadi pada prinsipnya, gambaran hematom subdural akut adalah hiperdens, yang semakin lama densitas ini semakin menurun, sehingga terjadi isodens, bahkan akhirnya menjadi hipodens (Ghazali, 2007).3) Kontusi dan hematoma intraserebral.Kontusi serebral murni bisanya jarang terjadi. Selanjutnya, kontusi otak hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural akut. Mayoritas terbesar kontusi terjadi dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada setiap tempat termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan antara kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya. Bagaimanapun,terdapat zona peralihan dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa hari. Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan(parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainnya (countre coup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas perdarahan (Hafidh, 2007).

4) Cedera difusCedar otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera akselerasi dan deselerasi dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi pada cedera kepala. Komosio cerebri ringan adalah keadaan cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu, namun terjadi disfungsi neurologis yang bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi, namun karena ringan kerap kali tidak diperhatikan. Bentuk yang paling ringan dari komosio ini adalah keadaan bingung dan disorientasi tanpa amnesia. Sindroma ini pulih kembali tanpa gejala sisa sama sekali.cedera komosio yang lebih berat menyebabkan keadaan binggung disertai amnesia retrograde dan amnesia antegrade (American college of surgeon, 1997). Komosio cerebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunnya atau hilangnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cidera. Dalam beberapa penderita dapat timbul defisist neurologis untuk beberapa waktu. Defisit neurologis itu misalnya kesulitan mengingat, pusing, mual, anosmia dan depresi serta gejala lain. Gejala-gajala ini dikenal sebagai sindroma pascakomosio yang dapat cukup berat. Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan dimana penderita mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama dan tidak diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan iskemik. Biasanya penderita dalam keadaan koma yang dalam dan tetap koma selama beberapa waktu. Penderita sering menunjukan gejala dekortikasi atau deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita sering menunjukan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedeera aksonal difus dan cedera otak karena hipoksia secara klinis tidak mudah dan memang dua keadaan tersebut sering terjadi bersamaan (American college of surgeon,1997).

2. Bagaimana mekanisme muntah proyektil ?Mekanisme muntah proyektil Pada saat terjadi peningkatan tekanan intrakranial karena adanya edema akibat cedera kepala, selanjutnya akan merangsang resseptor tekanan intrakranial. Ketika reseptor tekanan intrakranial terangsang akan mengakibatkan pusat muntah di dorsolateral formatio reticularis terangsang. Selanjutnya formatio retikularis akan menyalurkan rangsang motorik melalui nervus vagus. Selanjutnya nervus vagus akan menyebabkan kontraksi duodenum dan antrum lambung dan terjadi peningkatan tekanan intraabdomen, selain itu nervus vagus juga membuat spicnter esofagus membuka. Oleh karena itu terjadi muntah menyemprot (corwin,2001).

Gambar 1. Patofisiologi muntah proyektil (Corwin, 2001)

3. Bagaimana pemeriksaan papil edema ?Papil edema adalah kongesti diskus optikus akibat peningkatan tekanan intracranial yang paling sering disebabkan oleh tumor serebrum, abses, hematom subdural, malformasi arteriovenosa, perdarahan subaraknoid, hidrosefalus, meningitis dan ensefalitis.Klasifikasi papil edema ada 2, yaitu :a. Papil edema akutPada papil edema akut, fungsi nervus optikus sering kali normal. Ketajaman penglihatan biasanya normal, seperti penglihatan warna (kecuali jika pada macula terdapat eksudat, edema atau perdarahan). Respon pupil juga biasanya normal. Pada papil edema akut kemungkinan terjadi akibat peningkatan tekanan intracranial yang cepat atau bermakna, terdapat perdarahan dan bercak cotton wool di diskus opticus dan sekitarnya yang menandai suatu dekompesasi vascular dan aksonal disertai risiko kerusakan nervus opticus dan defek lapangan pandang , edema peripapillar, eksudat retina, lipatan-lipatan koroid.b. Papil edema kronisPada pasien peningkatan TIK kronik dan papil edema lama (tumor yang tidak terdeteksi atau dengan pengobatan yang tidak adekuat, pseudotumor serebri, infeksi SSP), fungsi nervus optikus dapat memburuk. Dengan menetapnya peningkatan tekanan intracranial secara perlahan-lahan, diskus yang meninggi dan hiperemis menjadi putih kelabu sebagai akibat gliosis astrositik dan atrofi neuron dengan konstriksi sekunder dengan pembuluh-pembuluh darah retina dan masuk pada stadium papiledema atrofik. Mungkin juga terdapat kolatera-kolateral retinokoroidal yang menghubungkan vena centralis retinae dan vena-vena choroid peripapilar, kolateral-kolateral ini timbul bila sirkulasi retina terhambat di daerah pralaminar nervus opticus.Etiologi : Setiap tumor atau space-occupying lesions (SOL) pada SSP Hipertensi intrakranial idiopatik Penurunan resorbsi LCS (thrombosis sinus venosus, proses peradangan, meningitis, perdarahan subarachnoid) Peningkatan produksi LCS (tumor) Obstruksi pada sistem ventricular Edema serebri/encephalitis CraniosynostosisPemeriksaan papil edema dapat dilakukan dengan fundoskopi dengan alat oftalmoskop. Cara kerja oftalmoskop, sebagai berikut :a. Memegang oftalmoskop dengan tangan kanan atau kiri dan untuk memeriksa mata kanan atau kiri orang percobaan dengan posisi jari telunjuk terletak pada pengatur lensa.b. Menyalakan oftalmoskop, memegang dengan menempel pada matanya pada jarak 30 cm di depan penderita dan mengarahkan sinar oftalmoskop ke pupil penderita untuk menilai reflex fundus(positif/negatif).c. Sambil tetap memegang oftalmoskop menempel pada mata, lalu perlahan bergerak maju mendekati orang percobaan dengan oftalmoskop diposisikan pada sisi temporal penderita hingga gambaran fundus terlihat.d. Jari telunjuk yang terletak pada pengatur lensa mengatur besarnya dioptri yang diperlukan untk menyesuaikan focus sehingga detail fundus dapat terlihat jelas(bila diperlukan).e. Mengamati yang terlihat.Hasil yang dapat dilihat keadaan normal dan patologik pada fundus mata kelainan, sebagai berikut :a. Pada papil saraf optic1) Papiledema (normal C/D ratio 0,3-0,5)2) Hilangnya pulsasi vena saraf optic3) Ekskavasi papil saraf optik pada glaucoma4) Atrofi saraf optikb. Pada retina1) Perdarahan subhialoid2) Perdarahan intra retina, lidah api, dots, blots3) Edema retina4) Edema maculac. Pembuluh darah retina1) Perbandingan atau rasio arteri vena (normal=2:3)2) Perdarahan dari arteri atau vena3) Adanya mikroaneurisma dari venaDAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeons. 1997. Advance Trauma Life Suport. United States of America: First Impression.Bernath David. 2009. Head Injury.www.e-medicine.com. Corwin, E.J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.Ghazali Malueka. 2007. Radiologi Diagnostik. Yogyakarta : Pustaka Cendekia.Hafid A. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah : Edisi Kedua, Jong W.D. Jakarta : EGC.Ilyas Sidharta. 2008. Pemeriksaan Pupil. Dalam : Ilmu Penyakit Mata. Edisi Ketiga. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Hal 31 33.