Tugas Referat Stemi

28
TUGAS REFERAT PATOFISIOLOGI DAN PENATALAKSAAN PADA STEMI Oleh : Asri Paramytha Pembimbing : dr. Ismi Purnawan, SpJP, FIHA(K) 1

description

free

Transcript of Tugas Referat Stemi

TUGAS REFERATPATOFISIOLOGI DAN PENATALAKSAAN PADA STEMI

Oleh :Asri Paramytha

Pembimbing :dr. Ismi Purnawan, SpJP, FIHA(K)

KEPANITRAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM (KARDIOLOGI)RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT SUBROTO JAKARTA2015 BAB IPENDAHULUANPenyakit kardiovaskuler adalah penyebab kematian nomor satu di dunia. Acute Coronary Syndrome (ACS) adalah suatu istilah atau terminologi yang digunakan untuk menggambarkan spektrum keadaan atau kumpulan proses penyakit yang meliputi angina pektoris tidak stabil (unstable angina/UA), infark miokard tanpa elevasi segmen ST (non-ST elevation myocardial infarction/NSTEMI), dan infark miokard dengan elevasi segmen ST (ST elevation myocardial infarction/STEMI) (Douglas,2010).

Setiap tahun, lebih dari satu juta penduduk Amerika menderita Acute Coronary Syndrome(ACS). Faktor risiko Acute Coronary Syndrome (ACS) meliputi jenis kelamin (pria sedikit lebih tinggi risikonya), usia (pria > 45 tahun dan wanita > 55 tahun), riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskuler, dan faktor risiko yang dimodifikasi. Faktor risiko yang dimodifikasi meliputi hipertensi, hiperlipidemia, diabetes melitus, gaya hidup sedentari, dan merokok (Jeff C,2010).

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

I. Patofisiologi STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada plak arterosklerosik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injury vaskular, dimana injury ini di cetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok,hipertensi dan akumulasi lipid. Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak arterosklerosis mengalami fisur, ruptur atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologis menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous cap yang tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberikan respon terhadap terapi trombolitik. Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, efinefrin, serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboxan A2 (vasokontriktor lokal yang poten). Selain aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan fibrinogen, dimana keduanya adalah molekul multivalen yang dapat mengikat 2 platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelets dan agregasi. Kaskade koagulasi di aktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel yang rusak. Faktor VII dan X di aktivasi, mengakibatkan konversi protrombin menjadi trombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat kemudian akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri agregat trombosit dan fibrin. Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital, spasme koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik (Alwi, 2006).

PEMBENTUKAN PLAK ATEROSKLEROTIK Pada saat ini, proses terjadinya plak aterosklerotik dipahami bukan proses sederhana karena penumpukan kolesterol, tetapi telah diketahui bahwa disfungsi endotel dan proses infl amasi juga berperan penting. Proses pembentukan plak dimulai dengan adanya disfungsi endotel karena faktor-faktor tertentu. Pada tingkat seluler, plak terbentuk karena adanya sinyal-sinyal yang menyebabkan sel darah, seperti monosit, melekat ke lumen pembuluh darah.1. Inisiasi proses aterosklerosis: Peran endotel Aterosklerosis merupakan proses pembentukan plak di tunika intima arteri besar dan arteri sedang. Proses ini berlangsung terus selama hidup sampai akhirnya bermanifestasi sebagai SKA. Proses aterosklerosis ini terjadi melalui 4 tahap, yaitu kerusakan endotel, migrasi kolesterol LDL (low-density lipoprotein) ke dalam tunika intima, respons infl amatorik, dan pembentukan kapsul fi brosis.Beberapa faktor risiko koroner turut berperan dalam proses aterosklerosis, antara lain hipertensi, hiperkolesterolemia, diabetes, dan merokok. Adanya infeksi dan stres oksidatif juga menyebabkan kerusakan endotel. Faktor faktor risiko ini dapat menyebabkan kerusakan endotel dan selanjutnya menyebabkan disfungsi endotel. Disfungsi endotel memegang peranan penting dalam terjadinya proses aterosklerosis. Jejas endotel mengaktifkan proses infl amasi, migrasi dan proliferasi sel, kerusakan jaringan lalu terjadi perbaikan, dan akhirnya menyebabkan pertumbuhan plak. Endotel yang mengalami disfungsi ditandai hal-hal sebagai berikut:a. Berkurangnya bioavailabilitas nitrit oksida dan produksi endothelin-1 yang berlebihan, yang mengganggu fungsi hemostasis vaskuler b. Peningkatan ekspresi molekul adhesif (misalnya P-selektin, molekul adhesif antarsel, dan molekul adhesif sel pembuluh darah, seperti Vascular Cell Adhesion Molecules-1 [VCAM-1]) c. Peningkatan trombogenisitas darah melalui sekresi beberapa substansi aktif lokal.2. Perkembangan proses aterosklerosis: Peran proses inflamasi Jika endotel rusak, sel-sel inflamatorik, terutama monosit, bermigrasi menuju ke lapisan subendotel dengan cara berikatan dengan molekul adhesif endotel. Jika sudah berada pada lapisan subendotel, sel-sel ini mengalami diff erensiasi menjadi makrofag. Makrofag akan mencerna LDL teroksidasi yang juga berpenetrasi ke dinding arteri, berubah menjadi sel foam dan selanjutnya membentuk fatty streaks. Makrofag yang teraktivasi ini melepaskan zat-zat kemoatraktan dan sitokin (misalnya monocyte chemoattractant protein-1, tumor necrosis factor , IL-1, IL-6, CD40, dan c-reactive protein) yang makin mengaktifkan proses ini dengan merekrut lebih banyak makrofag, sel T, dan sel otot polos pembuluh darah (yang mensintesis komponen matriks ekstraseluler) pada tempat terjadinya plak. Sel otot polos pembuluh darah bermigrasi dari tunika media menuju tunika intima, lalu mensintesis kolagen, membentuk kapsul fi brosis yang menstabilisasi plak dengan cara membungkus inti lipid dari aliran pembuluh darah. Makrofag juga menghasilkan matriks metaloproteinase (MMPs), enzim yang mencerna matriks ekstraseluler dan menyebabkan terjadinya disrupsi plak.

Peningkatan adhesivitas endotel

Peningkatan permeabilitas endotel ( memudahkan migrasi LDL dan monosit ke tunika intima pembuluh darah)

Migrasi dan proliferasi sel otot polos dan makrofag

Pelepasan enzim hidrolitik, sitokin dan faktor pertumbuhan

Nekrosis fokal dinding pembuluh darah

Perbaikan jaringan dengan fibrosis

Tabel 1. Komponen primer pembentukan plak aterosklerosis karena disfungsi endotel

3. Stabilitas plak dan kecenderungan mengalami rupturStabilitas plak aterosklerosis bervariasi. Perbandingan antara sel otot polos dan makrofag memegang peranan penting dalam stabilitas plak dan kecenderungan untuk mengalami ruptur. LDL yang termodifi kasi meningkatkan respons infl amasi oleh makrofag. Respons inflamasi ini memberikan umpan balik, menyebabkan lebih banyak migrasi LDL menuju tunika intima, yang selanjutnya mengalami modifikasi lagi, dan seterusnya. Makrofag yang terstimulasi akan memproduksi matriks metaloproteinase yang mendegradasi kolagen. Di sisi lain, sel otot pembuluh darah pada tunika intima, yang membentuk kapsul fibrosis, merupakan subjek apoptosis. Jika kapsul fi brosis menipis, ruptur plak mudah terjadi, menyebabkan paparan aliran darah terhadap zat-zat trombogenik pada plak. Hal ini menyebabkan terbentuknya bekuan. Proses pro-inflamatorik ini menyebabkan pembentukan plak dan instabilitas. Sebaliknya ada proses antiinflamatorik yang membatasi pertumbuhan plak dan mendukung stabilitas plak. Sitokin seperti IL-4 dan TGF- bekerja mengurangi proses inflamasi yang terjadi pada plak. Hal ini terjadi secara seimbang seperti pada proses penyembuhan luka. Keseimbangan ini bisa bergeser ke salah satu arah. Jika bergeser ke arah pertumbuhan plak, maka plak semakin besar menutupi lumen pembuluh darah dan menjadi rentan mengalami ruptur.4. Disrupsi plak, trombosis, dan SKA Kebanyakan plak aterosklerotik akan berkembang perlahan-lahan seiring berjalannya waktu. Kebanyakan akan tetap stabil. Gejala muncul bila stenosis lumen mencapai 70-80%. Mayoritas kasus SKA terjadi karena ruptur plak aterosklerotik. Plak yang ruptur ini kebanyakan hanya menyumbat kurang dari 50% diameter lumen. Mengapa ada plak yang ruptur dan ada plak yang tetap stabil belum diketahui secara pasti. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa inti lipid yang besar, kapsul fi brosa yang tipis, dan infl amasi dalam plak merupakan predisposisi untuk terjadinya ruptur.Setelah terjadi ruptur plak maupun erosi endotel, matriks subendotelial akan terpapar darah yang ada di sirkulasi. Hal ini menyebabkan adhesi trombosit yang diikuti aktivasi dan agregasi trombosit, selanjutnya terbentuk trombus. Trombosit berperan dalam proses hemostasis primer. Selain trombosit, pembentukan trombus juga melibatkan sistem koagulasi plasma. Sistem koagulasi plasma merupakan jalur hemostasis sekunder. Kaskade koagulasi ini diaktifkan bersamaan dengan sistem hemostasis primer yang dimediasi trombosit. Ada 2 macam trombus yang dapat terbentuk : a. Trombus putih: merupakan bekuan yang kaya trombosit. Hanya menyebabkan oklusi sebagian. b. Trombus merah: merupakan bekuan yang kaya fi brin. Terbentuk karena aktivasi kaskade koagulasi dan penurunan perfusi pada arteri. Bekuan ini bersuperimposisi dengan trombus putih, menyebabkan terjadinya oklusi total.GAMBARAN KLINIS ISKEMIA SKA merupakan suatu kontinuum. Gejala muncul apabila terjadi ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan kebutuhan oksigen jantung. Angina stabil ditandai dengan adanya plak ateroskerosis dengan stenosis permanen. Gejala klinis muncul apabila kebutuhan oksigen melebihi suplai oksigen ke jantung (latihan, stres). Jika terjadi dalam jangka waktu lama, biasanya didapatkan aliran darah kolateral yang signifi kan. Angina tak-stabil terjadi karena menurunnya perfusi ke jantung (disrupsi plak menyebabkan terbentuknya trom bus dan penurunan perfusi) atau peningkatan kebutuhan oksigen (oxygen mismatch). Trombus biasanya bersifat labil dengan oklusi tidak menetap. Pada angina tak stabil, miokardium mengalami stres tetapi bisa membaik kembali. NSTEMI terjadi bila perfusi miokardium mengalami disrupsi karena oklusi trombus persisten atau vasospasme. Adanya trombolisis spontan, berhentinya vasokonstriksi, atau adanya sirkulasi kolateral membatasi kerusakan miokardium yang terjadi. Sedangkan STEMI terjadi bila disrupsi plak dan trombosis menyebabkan oklusi total sehingga terjadi iskemia transmural dan nekrosis.IMPLIKASI PADA TERAPI SKA Patogenesis SKA melibatkan peranan endotel, sel infl amatorik, dan trombogenisitas darah. Dengan memahami patofisiologinya, terapi SKA mudah dipahami. Pada angina tidak stabil dan NSTEMI, hanya didapatkan trombus putih. Sedangkan pada STEMI, selain trombus putih, juga didapatkan trombus merah. Pada angina tak-stabil maupun NSTEMI, tujuan terapi antitrombotik adalah untuk mencegah terjadinya trombosis lebih lanjut. Revaskularisasi sering digunakan untuk meningkatkan perfusi dan mencegah reoklusi atau iskemia rekuren. Pada STEMI diperlukan reperfusi farmakologi atau dengan kateter secepatnya, supaya dapat mempertahankan perfusi koroner. Terapi fi brinolisis hanya dilakukan pada STEMI dan merupakan kontraindikasi pada angina tidak stabil maupun NSTEMI.

Gambar 1.

II. Penatalaksanaan Tujuan penatalaksan dari STEMI adalah Reperfusi. Terapi reperfusi harus dilakukan sesegera mungkin dalam waktu 12 jam setelah onset gejala dari STEMI.1 Tujuan pengobatan pasien miokard infark akut dengan STEMI (termasuk mereka yang diduga mengalami onset baru blok berkas cabang kiri (LBBB) adalah untuk memulihkan oksigenasi dan suplai substrat metabolik akibat oklusi trombotik persisten di arteri koroner. Reperfusi merupakan pilihan strategi utama dalam tatalaksana STEMI di menit-menit awal kontak pasien pertamakali ke unit pelayanan medis terdekat. Hingga saat ini laporan-laporan uji coba klinik reperfusi awal jam-jam pertama serangan STEMI menunjukkan bahwa reperfusi koroner secara intervensi koroner perkutan (selanjutnya disingkat IKP) mampu mengurangi angka kejadian re-infark, stroke dan mortalitas lebih baik dibandingkan reperfusi koroner dengan menggunakan fibrinolitik. Beberapa strategi reperfusi koroner yang sudah lama kita kenal yaitu reperfusi farmakologik (dengan obat-obatan fibrinolitik), intervensi koroner perkutan primer (selanjutnya disingkat IKPP), intervensi koroner perkutan fasilitasi (fascilitated PCI), intervensi koroner perkutan penyelamatan (rescue PCI), dan stretegi reperfusi yang baru-baru ini mulai dijalankan di beberapa senter adalah strategi farmako-invasif. 2Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalisir derajat disfungsi dan dilatasi vetrikel, serta mengurangi kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang maligna. Sasaran terapi reperfusi adalah door to needle time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door to balloon time untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit. Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan prediktor penting terhadap luas infark dan outcome pasien. Efektivitas obat fibrinolitik dalam menghancurkan trombus tergantung waktu. Terapi fibrinolitik yang diberikan dalam 2 jam pertama (terutama dalam jam pertama) dapat menghentikan infark miokard dan menurunkan angka kematian. Pemilihan terapi reperfusi dapat melibatkan risiko perdarahan pada pasien. Jika terapi reperfusi bersama-sama (tersedia PCI dan fibrinolitik), semakin tinggi risiko perdarahan dengan terapi fibrinolitik, maka semakin kuat keputusan untuk memilih PCI. Jika PCI tidak tersedia, maka terapi reperfusi farmakologis harus mempertimbangkan manfaat dan risiko. Adanya fasilitas kardiologi intervensi merupakan penentu utama apakah PCI dapat dikerjakan 3Oklusi total arteri koroner pada STEMI memerlukan tindakan reperfusi sesegera mungkin, dapat berupa terapi fibrinolitik maupun Percutaneous Coronary Intervention (PCI), yang diberikan pada pasien STEMI dengan onset gejala 12 jam) dapat dilakukan terapi reperfusi jika pasien masih mengeluh nyeri dada yang khas infark (ongoing chest pain). PCI efektif dalam mengembalikan perfusi pada STEMI jika dilakukan beberapa jam pertama infark miokard akut. Percutaneous Coronary Interventions (PCI) merupakan intervensi koroner perkutan (angioplasti atau stenting).1. PCI primer : yang tidak didahului terapi trombolitik sebelumnya selama 12 jam setelah gejala awal disebut PCI primer (primary PCI). PCI primer lebih efektif dari fibrinolitik untuk membuka arteri koroner yang tersumbat dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka pendek dan jangka panjang yang lebih baik. PCI primer lebih dipilih jika terdapat syok kardiogenik (terutama pada pasien < 75 tahun), risiko perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam jika bekuan darah lebih matur dan kurang mudah hancur dengan obat fibrinolitik. Namun, PCI lebih mahal dalam hal personil dan fasilitas, dan aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya sarana, hanya di beberapa rumah sakit. 3American College of Cardiology/American Heart Association dan European Society of Cardiology merekomendasikan dalam penatalaksanaan pasien dengan STEMI selain diberikan terapi reperfusi, juga diberikan terapi lain seperti anti-platelet (aspirin, clopidogrel, thienopyridin), anti-koagulan seperti Unfractionated Heparin (UFH) / Low Molecular Weight Heparin (LMWH), nitrat, penyekat beta, ACE-inhibitor, dan Angiotensin Receptor Blocker 4

Bagan No.2

1. Antiplatelet Anti platelet yang digunakan selama fase awal STEMI berperan dalam mempertahankan patensi arteri koroner yang terkena infark. Baik aspirin maupun clopidogrel harus segera diberikan pada pasien STEMI ketika masuk ruangan emergensi. 1.1. Aspirin Aspirin merupakan antiplatelet standar pada STEMI. Aspirin terbukti dapat menurunkan angka kematian, mencegah reoklusi coronary dan menurunkan kejadian iskemik berulang pada pasien dengan Infark Miokard Akut. Aspirin harus segera diberikan kepada pasien STEMI setelah sampai di departemen emergensi. 1 Pemberian aspirin menurunkan mortalitas vaskuler sebesar 23% dan infark non fatal sebesar 49%. Aspirin merupakan golongan anti platelet yang merupakan rekomendasi dari ACC/AHA untuk terapi STEMI. Pada STEMI Kelas I yaitu aspirin harus dikunyah oleh pasien dan perawat tidak boleh memberikan aspirin sebelum menunjukkan adanya diagnosa STEMI. Dosis awal yang harus diberikan adalah 162 mg (Level of Evidence : A) sampai 325 mg (Level of Evidence : C). Walaupun begitu beberapa penelitian menggunakan enteric-coated aspirin untuk dosis awal, namun dengan menggunakan aspirin dalam bentuk non enteric coated lebih cepat asorbsinya melalui buccal. Dengan pemberian dosis aspirin 162 mg atau lebih, aspirin akan menghasilkan efek klinis antithrombotic dengan cepat hal ini disebabkan oleh produksi inhibitor total thromboxan A2. Aspirin sekarang merupakan bagian dari manajemen awal untuk seluruh pasien yang dicurigari STEMI dan harus segera diberikan dan diberikan dalam 24 jam pertama dengan dosis antara 162 325 mg dan dilanjutkan dalam jangka waktu tidak terbatas dengan dosis harian 75 162 mg. Walaupun dalam beberapa penelitian menggunakan enteric coated aspirin untuk dosis awal, namun dengan menggunakan aspirin dalam bentuk non enteric coated lebih cepat asorbsinya melalui buccal.5 Kontraindikasi dalam pemberian aspirin meliputi pasien yang mengalami hipersensitivitas, perdarahan aktif pada saluran pencernaan atau penyakit hepatic kronis. 1Analisis observasional dari studi CURE menunjukkan hasil serupa tingkat kematian kardiovaskuler, Miokard Infark maupun stroke pada pasien dengan sindrom koroner akut (ACS) yang menerima dosis tinggi (> 200 mg), dosis sedang (110-199 mg) maupun dosis rendah (< 100 mg) aspirin per hari. Dimana dari hasil studi tersebut menyebutkan bahwa tingkat perdarahan mayor meningkat secara signifikan pada pasien ACS yang menerima aspirin dosis tinggi 1 Walaupun begitu, agen antiplatelet lain juga direkomendasikan untuk diberikan pada pasien dengan STEMI jika pasien menunjukkan alergi atau intoleransi terhadap aspirin, dapat digantikan dengan clopidogrel5. 1.2. ClopidogrelClopidogrel (thienopiridin) berguna sebagai pengganti aspirin untuk pasien dengan hipersensitivitas aspirin dan dianjurkan untuk pasien dengan STEMI yang menjalani reperfusi primer atau fibrinolitik. Clopidogrel (Plavix; sano aventis/Bristol-Myers Squibb) merupakan thienopyridine yang dimetabolisme melalui cytochrome P450 didalam hepar. Clopidogrel aktif dimetabolisme secara irreversible oleh reseptor antagonis P2Y126. Penelitian Acute Coronary Syndrome (ACOS) registry investigators mempelajari pengaruh clopidogrel di samping aspirin pada pasien STEMI yang mendapat perawatan dengan atau tanpa terapi reperfusi, menunjukkan penurunan kejadian kasus jantung dan pembuluh darah serebral (kematian, reinfark non fatal, dan stroke non fatal). Manfaat dalam penurunan kematian terbesar pada kelompok pasien tanpa terapi reperfusi awal (8%), yang memiliki angka kematian 1 tahun tertinggi (18%) (Firdaus, 2011). Sedangkan penelitian COMMIT-CCS-2 yang dilakukan di Cina pada pasien dengan Miokard Infark dengan 93 % pasien mengalami STEMI atau bundle branch block dan 54 % pasien dengan thrombolysis. Penelitian tersebut dengan menggunakan clopidogrel yang bertujuan untuk menurunkan angka kematian, reinfarksi atau mencegah terjadinya stroke. CLARITY-TIMI melalui 28 penelitian, dimana clopidogrel mengurangi efikasi titik akhir primer komposit dari sumbatan arteri infark pada angiografi, menurunkan angka kematian atau mencegah terjadinya Miokard Infark berulang pada pasien STEMI yang menerima terapi trombolitik. Pengobatan dengan clopidogrel sebelum dan setelah PCI secara signifikan dapat mengurangi insiden/ kejadian kematian kardiovaskuler atau komplikasi iskemik1. Clopidogrel direkomendasikan pada seluruh pasien STEMI dengan pemberian secara oral dengan dosis loading awal segera yaitu 300 mg yang dilanjutkan dengan dosis harian sebesar 75 mg. Pada pasien dengan PCI, disarankan untuk pemberian dosis loading sebesar 600 mg bertujuan untuk mencapai lebih cepat penghambatan fungsi trombosit. Pemberian clopidogrel secara maintenance selama 12 bulan kecuali jika didapatkan adanya resiko perdarahan massif 72. Obat antiplatelet baruInhibitor P2Y2 terbaru, pasugrel dan ticagrelor, merupakan agregrasi platelet inhibitor terbesar dan memiliki manfaat lebih besar dari pada clopidegrol untuk terapi STEMI. Penelitian TRITON-TIMI 38 trial membandingkan pasugrel dengan clopidegrol pada 3534 pasien STEMI yang menjalani PCI. Pasugrel signifikan menurunkan primary endpoint, meliputi kematian kardiovaskuler, non fatal MI, atau non fatal stroke selama 30 hari. Namun, pemberian pasugrel harus dihindari pada pasien dengan riwayat stroke iskemia atau transient ischemic attack, pasien dengan usia lebih dari 75 tahun dan pasien dengan berat badan kurang dari 60 kg karena analisis pada subgroup 38 percobaan TRITON TIMI tidak menemukan manfaat yang lebih besar dari pasugrel karena memiliki resiko perdarahan lebih besar pada subgroup tersebut. Saat ini, pasugrel dapat digunakan sebagai alternatif clopidogrel pada pasien STEMI yang menjalani Primary PCI. Ticagrelor merupakan obat aktif dan tidak memerlukan transformasi metabolik. Penelitian PLATO membandingkan ticagrecol dengan clopidogrel pada 7544 pasien STEMI yang sedang menjalani Primary PCI. Dari hasil penelitian menunjukkan kecenderungan dapat menurunkan primary endpoint dari kematian kardiovaskuler, Miokard infark atau stroke [hazard ratio (HR), 0.87; 95% confidence interval, 0.75 to 1.01; p = 0.07]. Tetapi, tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap perdarahan mayor diantara dua kelompok 1.3. Anti KoagulanTerapi antikoagulan pada pasien STEMI diberikan salah satu tujuannya adalah mendukung terapi Primary PCI. Pada pasien STEMI yang sedang menjalani terapi trombolitik, antikoagulan biasanya diperlukan untuk meningkatkan pantensi awal koroner dan mengurangi reoklusi. 3.1. Unfractionated Heparin (UFH)Heparin merupakan mukopolisakarida heterogen yang berinteraksi dengan antitrombin III dengan meningkatkan efek penghambatan terhadap thrombin. Unfractionated Heparin (UFH) dianggap sebagai terapi anti koagulan standart untuk pengobatan pasien ST Elevasi Miokard Infark (STEMI), termasuk pasien yang diobati dengan menggunakan Percutaneous Coronary Intervention (PCI). Menurut Guidelines from the American College of Cardiology and European Society of Cardiology merekomendasikan penggunaan UFH dengan level evidence C 8 UFH intravena yang diberikan sebagai tambahan terapi regimen aspirin dan obat trombolitik spesifik fibrin relatif, membantu trombolisis dan memantapkan serta mempertahankan patensi arteri yang terkait infark. Dosis yang direkomendasikan adalah bolus 60 U/kg (maksimum 4000U) dilanjutkan infus inisial 12 U/kg perjam (maksimum 1000 U/jam). Activated partial thromboplastin time selama terapi pemeliharaan harus mencapai 1,5-2 kali. Pasien dengan infark anterior, disfungsi ventrikel kiri berat, gagal jantung kongestif, riwayat emboli, trombus mural pada ekokardiografi 2 dimensi atau fibrilasi atrial merupakan risiko tinggi tromboemboli paru sistemik dan harus mendapatkan terapi antitrombin kadar terapetik penuh (UFH atau LMWH) selama dirawat dilanjutkan terapi warfarin minimal 3 bulan 2.Pada pasien yang mendapatkan pengobatan agen spesifik fibrin (Alteplase, t-PA), pemberian intravena UFH harus dilanjutkan selama 48 jam. Namun, peran UFH menjadi kurang penting ketika sedikit agen trombolitik spesifik fibrin misal streptokinase digunakan. Karena agen tersebut membentuk sistemik koagulopati dan membuat agen tersebut membuat sendiri agen antikoagulan kuat. Pada pasien yang menjalani pengobatan Primary PCI, tambahan bolus UFH harus diberikan dimana UFH diperlukan selama prosedur PCI untuk menjaga ACT (activated clotting time) sekitar 250-350 detik ( 200-250 detik jika GP IIb/IIIa inhibitor digunakan). Pemberian UFH dapat dilanjutkan selama 24 48 jam setelah tindakan Primary PCI atau dipertimbangkan untuk menghentikan pemberian jika sirkulasi koroner kembali dan tidak ada resiko tinggi seperti anterior miokard infark, atrial fibrilasi, embolisme sebelumnya atau LV (left ventricle) thrombus. Untuk pasien tanpa terapi reperfusi, pemberian UFH harus dengan durasi yang optimal dengan pemberian UFH selama 48 jam jika tidak ada kontraindikasi dan penggunaan UFH harus diberikan secara individual dan sesuai dengan kondisi klinis pasien 13.2. Enoxaparin (Low Molecular Weight Heparin/ LMWH)Enoxaparin merupakan heparin dengan berat molekul rendah (Low Molecular Weight Heparin/ LMWH) yang memiliki biovailabilitas yang bagus dan preferential aktivitas anti Xa. Pada penelitian ExTRACT-TIMI 25 trial, pasien STEMI mendapatkan terapi trombolisis dan aspirin secara random diberikan enoxaparin IV 30 mg bolus di ikuti dengan pemberian 1 mg/kg 2 kali perhari secara subkutan selama 8 hari atau intravena bolus UFH 60 IU/kg di ikuti dengan infus 12 IU/kg/jam selama 48 jam. Hasil penelitian tersebut didapatkan bahwa secara signifikan enoxaparin lebih efektif dibandingkan dengan UFH dalam penurunan primary composite endpoint of death atau reinfark selama 30 hari. Sedangkan untuk tingkat perdarahan mayor lebih sering dengan enoxaparin selama 30 hari, namun terjadinya perdarahan intracranial hampir sama penggunaan enoxaparin dengan UFH. Walaupun begitu, enoxaparin dapat digunakan sebagai alternative pengganti UFH pada pasien STEMI yang mendapatkan terapi trombolitik. Pada pasien STEMI yang tidak menerima terapi reperfusi, efek dari enoxaparin dan UFH hampir sama. Penelitian lain yang dilakukan TETAMI, membandingkan enoxaparin 30 mg IV bolus, di ikuti dengan 1 mg/kg subkutan 2 kali perhari selama 2-8 hari dengan intravena UFH pada pasien STEMI yang tidak mendapatkan terapi reperfusi. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan tidak adanya perbedaan yang signifikan antara enoxaparin dan UFH dalam menimbulkan combined end point of death, reinfarksi atau serangan angina kembali selama 30 hari. Karena memiliki profil manfaat yang hampir sama dengan UFH, enoxaparin dapat dijadikan sebagai alternatif pengobatan pada pasien STEMI non reperfusi. Jika pasien awalnya diobati dengan enoxaparin tetapi kemudian membutuhkan tindakan PCI, maka dosis 0,3 mg/kg enoxaparin dapat diberikan secara IV untuk PCI jika dosis sub kutan terakhir adalah 8-12 jam sebelumnya. Jika dosis subkatan yang lalu telah diberikan 8 jam sebelumnya, maka tidak diperlukan enoxaparin tambahan untuk PCI 1. Penelitian lain yang dilakukan oleh Murphy, Et al (2007) dengan membandingkan enoxaparin dengan UFH pada pasien ACS baik STEMI maupun NSTE-ACS yang berjumlah 49.088 pasien secara meta analisis. Dari hasil pembahasan didapatkan bahwa enoxaparin dikaitkan dengan manfaat yang besar sebagai terapi adjunctive antithrombin diantara lebih dari 49.000 pasien diseluruh spectrum ACS. Walaupun perdarahan mayor meningkat dengan menggunakan enoxaparin, tetapi peningkatan ini di imbangi dengan penurunan yang signifikan dalam kematian non-fatal miokard infark. 3.3. New Anticoagulan DrugBivalirudinBivalirudin merupakan direk inhibitor thrombin yang di indikasikan untuk digunakan selama Percutaneous Coronary Intervention (PCI) meliputi pasien dengan STEMI maupun Unstable angina/ NSTEMI. Dari hasil penelitian penggunaan bivalirudin menurunkan resiko perdarahan dan gejala klinis. Selain itu, pemberian bivalirudin juga menurunkan resiko kematian, reinfraksi, serta perdarahan mayor 9 Dosis awal yang diberikan IV melalui bolus 0,75 mg/kgBB/jam selama durasi prosedur PCI serta dapat dilanjutkan sampai 4 jam post PCI dengan dosis 1,75 mg/kgBB . Kontraindikasi pemberian bivalirudin yaitu pada pasien dengan perdarahan aktif atau meningkatnya resiko perdarahan akibat kelainan haemostasis atau irreversible coagulation disorder, hipertensi berat yang tidak terkontrol, endokarditis dan gagal ginjal kronik (GFR < 30 ml/mnt). Selain itu, harus diperhatikan efek samping dari pemberian terapi bivalirudin yaitu terjadinya perdarahan minor maupun mayor (Sani, 2010). Sehingga diperlukan peran perawat selama pemberian obat tersebut dalam memonitor proses pemberian obat serta efek samping yang ditimbulkan . Dalam penelitian yang dilakukan oleh Pinto, Et al (2010) membandingkan hasil klinis dan ekonomis pada pasien ST-Elevasi Miokard Infark (STEMI) yang menjalani tindakan klinis rutin Primary Percutaneous Coronary Intervention (PPCI), dengan memberikan terapi bivalirudin dengan heparin dan glycoprotein IIb/IIIa receptor inhibition (GPI) sepktrum luas. Pasien dikelompokkan menjadi 2 kelompok pengobatan, yaitu bivalirudin dan heparin dengan GPI. Dari hasil studi tersebut disimpulkan bahwa pemberian bivalirudin dibandingkan dengan heparin dan glycoprotein IIb/IIIa receptor inhibition (GPI) pada pasien yang sedang menjalani PCI menunjukkan hasil yaitu angka kematian yang lebih rendah (3,2 % vs 4,0 %), rendahnya resiko perdarahan (16,9% vs 10,5%), perdarahan setelah transfusi ( 1,6 % vs 3,0 %) dan pemberian transfusi ( 5,9 % vs 7,6 %). Pasien yang mendapatkan terapi bivalirudin memiliki rata-rata perawatan lebih pendek ( rata-rata 4,3 hari vs 4,5 hari) serta biaya perawatan yang lebih rendah (rata-rata $ 18.640 vs $19.967). Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberian bivalirudin selama tindakan PCI menurunkan resiko kematian dan perdarahan, dan menurunkan biaya perawatan rumah sakit. Percobaan HORIZON-AMI, bivalirudin dibandingan dengan UFH plus GP IIb/IIIa inhibitor pada pasien STEMI yang sedang menjalani primary PCI. Bivalirudin memiliki tingkat yang lebih rendah terhadap kejadian klinis, meliputi perdarahan mayor, kematian, urgent target vessel revascularization, Miokard Infark dan stroke selama 30 hari. Manfaat paling signifikan adalah mengurangi komplikasi dari perdarahan mayor. Oleh karena itu, bivalirudin dapat digunakan sebagai alternatif terapi pasien STEMI yang sedang menjalani tindakan invasif 1. FondaparinuxFondapariniux merupakan sintetik factor Xa inhibitor yang terikat pada antitrombin III dan meningkatkan antitrombin III-mediated factor Xa inhibition. OASIS melakukan 6 percobaan, Efek fondaparinux yang diujikan pada pasien STEMI yang sedang menjalani terapi trombolisis, Primary PCI, atau tidak ada terapi reperfusi dan dibagi menjadi dua kelompok yang tergantung pada kebutuhan terhadap UFH selama 30 hari. Secara keseluruhan, fondaparinux signifikan dalam menurunkan kejadian primary efficacy outcome (kematian atau Miokard Infark berulang). Manfaat signifikan didapatkan pada pasien yang menerima terapi trombolisis atau tidak ada terapi reperfusi tetapi tidak pada pasien yang sedang menjalani primary PCI. Dengan demikian. Fondaparinux dianjurkan sebagai alternatif antikoagulan pada pasien STEMI yang dirawat secara konservatif, tetapi tidak pada pasien yang menjalani primary PCI 3C) Penyekat Beta / Beta BlockersPenyekat beta pada pasien STEMI dapat memberikan manfaat yaitu manfaat yang terjadi segera jika obat diberikan secara akut dan yang diberikan dalam jangka panjang jika obat diberikan untuk pencegahan sekunder setelah infark. Penyekat beta intravena memperbaiki hubungan suplai dan kebutuhan oksigen miokard, mengurangi nyeri, mengurangi luasnya infark, dan menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang serius. Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk sebagian besar pasien termasuk yang mendapatkan terapi inhibitor ACE, kecuali pada pasien dengan kontraindikasi (pasien dengan gagal jantung atau fungsi sistolik ventrikel kiri sangat menurun, blok jantung, hipotensi ortostatik, atau riwayat asma). Regimen yang biasa diberikan adalah metoprolol 5 mg tiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung > 60 kali permenit, tekanan darah sistolik > 100 mmHg, interval PR < 0,24 detik dan ronki tidak lebih dari 10 cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam, dan dilanjutkan dengan 100 mg tiap 12 jam 3

DAFTAR PUSTAKA

1. ACC/AHA. 2004. ACC/AHA Guidelines for the Management of Patients With ST-Elevation Myocardial Infarction. http://circ.ahajournals.org/cgi/reprint/110/9/e82.pdf2. Heng Li, Et al. (2012). 2012 Guidelines of the Taiwan Society of Cardiology (TSOC) for the Management of ST-Segment Elevation Myocardial Infarction. Vol. 28. (63-89). Diakses dari http://www.tsoc.org/3. Firdaus, (2011). Pharmacoinvasive Strategy in Acute STEMI Jurnal Kardiologi Indonesia. 2011;32:266-71 ISSN 0126/3773. 4. Firman, (2010). Intervensi Koroner Perkutan Primer.Jurnal Kardiologi Indonesia. Jurnal Kardiologi Indonesia. 2010; 31:112-117ISSN 0126/37735. Farissa, I.P. (2012). Komplikasi Pada Pasien Infark Miokard Akut ST- Elevasi (STEMI) yang Mendapat Maupun Tidak Mendapat Terapi Reperfusi. Studi di RSUP Dr.Kariadi Semarang.6. Antman, Et al. (2013). ACC/AHA Guidelines for the Management of Patients With ST-Elevation Myocardial InfarctionExecutive Summary. Diakses dari http://circ.ahajournals.org/content/110/5/588.full.pdf.7. Hoekstra, (2010). Optimal Anti Platelet and anti thrombosic therapi in the Emergency Department. Advancing Standard of Care : Cardiovascular and Neurovascular Emergencies. Diakses dari http://www.emcreg.org.8. Daga, Et al. (2011). Approach to STEMI and NSTEMI. Vol 59. (19-25).9. Navarese, Et al. (2011). Low-molecular-weight heparins vs. unfractionated heparin in the setting of percutaneous coronary intervention for ST-elevation myocardial infarction: a meta-analysis. Journal of Thrombosis and Haemostasis. Vol 9, (19021915). Diakses dari http://web.ebscohost.com/ehost/pdfviewer.10. Pinto, Et al. (2010). Intervention: Results From an Observational Database in ST-Elevation Myocardial Infarction Patients Undergoing Percutaneous Coronary Bivalirudin Therapy Is Associated With Improved Clinical and Economic Outcomes. Journal Of American Hearth Association. Vol 5. (52-61). Diakses dari http://circoutcomes.ahajournals.org/. 11. Kleinschmidt KC. Epidemiology and Patophysiology of Acute Coronary Syndrome. Adv Stud Med. 2006;6(6B):S477-S482. http://www.jhasim.com/files/articlefi les/pdf/ASIM_6_6Bp477_482_ R1.pdf.

12. Antman EM, Braunwald E. ST-Elevation Myocardial Infarction: Pathology, Pathophysiology, and Clinical Features. Dalam: Braunwald E. ed. Braunwalds Heart Disease. 8th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2008. Pp: 1207-31. 13. Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI. Pedoman Praktis Tatalaksana Sindroma Koroner Akut. 2008. Jakarta: FKU

1