TUGAS REFARAT 2003.doc

27
TUGAS REFARAT PENYAKIT PARU KERJA DISUSUN OLEH : VIVI SRIMA DEWI - 100100030 VALENSIA PUTRA - 100100047 SINDRY JOHNSON - 100100051 DIXIE TRI SUSANTI - 100100087 FARIZAN NURMUSHOFFA - 100100234 NANDA PASHA - 100100033 INDHI VAVIRYA MESTIKA - 100100238 M AGA FIRZA DIANDRA - 100100334 TRI WIDI WIBOWO - 100100358 CUT PUTRI PUSPITA SARI - 100100362

Transcript of TUGAS REFARAT 2003.doc

Page 1: TUGAS REFARAT 2003.doc

TUGAS REFARAT

PENYAKIT PARU KERJA

DISUSUN OLEH : VIVI SRIMA DEWI - 100100030

VALENSIA PUTRA - 100100047

SINDRY JOHNSON - 100100051

DIXIE TRI SUSANTI - 100100087

FARIZAN NURMUSHOFFA - 100100234

NANDA PASHA - 100100033

INDHI VAVIRYA MESTIKA - 100100238

M AGA FIRZA DIANDRA - 100100334

TRI WIDI WIBOWO - 100100358

CUT PUTRI PUSPITA SARI - 100100362

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 2: TUGAS REFARAT 2003.doc

BAB 1

PENDAHULUAN

Perkembangan teknologi dan industri berdampak pula pada kesehatan. Industri

menimbulkan polusi udara baik di dalam maupun di luar lingkungan kerja sehingga mempe-

ngaruhi sistem respirasi. Berbagai kelainan saluran napas dan paru pada pekerja dapat terjadi

akibat pengaruh debu, gas ataupun asap yang timbul dari proses industri.1

Pneumokoniosis merupakan salah satu penyakit utama akibat kerja, terjadi hampir di seluruh

dunia dan merupakan masalah yang mengancam para pekerja. Data World Health Organi-

zation(WHO) tahun 1999 menunjukkan bahwa terdapat 1,1 juta kematian oleh penyakit akibat

kerja di seluruh dunia, 5% dari angka tersebut adalah pneumokoniosis. Pada survei yang

dilakukan di Inggris secara rutin yaitu surveillance of work-related and occupational respiratory

disease (SWORD) menunjukkan pneumokoniosis hampir selalu menduduki peringkat 3-4 setiap

tahun.2

Pneumokoniosis sudah dikenal lama sejak manusia mengenal proses penambangan

mineral. Berbagai jenis debu mineral dapat menimbulkan pneumokoniosis.3-5

Debu asbes dan silika serta batubara merupakan penyebab utama pneumokoniosis. Debu mineral

lainnya dapat juga me-nyebabkan pneumokoniosis. Pneumokoniosis baru tampak secara klinis

dan radiologis setelah pajanan debu ber-langsung 20-30 tahun. 2,5

BAB 2

Page 3: TUGAS REFARAT 2003.doc

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Istilah pneumokoniosis berasal dari bahasa yunani yaitu “pneumo” berarti paru dan

“konis” berarti debu. Terminologi pneumokoniosis pertama kali digunakan untuk menggam-

barkan penyakit paru yang berhubungan dengan inhalasi debu mineral.3 Pneumokoniosis

digunakan untuk menyatakan berbagai keadaan berikut: 6,7

1. Kelainan yang terjadi akibat pajanan debu anorganik seperti silika (silikosis), asbes

(asbestosis) dan timah (stannosis)

2. Kelainan yang terjadi akibat pekerjaan seperti pneumoko-niosis batubara

3. Kelainan yang ditimbulkan oleh debu organik seperti kapas (bisinosis)

Istilah pneumokoniosis seringkali hanya dihubungkan dengan inhalasi debu anorganik.

Definisi pneumoconiosis adalah deposisi debu di dalam paru dan terjadinya reaksi jaringan paru

akibat deposisi debu tersebut.4,8 International Labour Organization (ILO) mendefinisikan

pneumokonio-sis sebagai suatu kelainan yang terjadi akibat penumpukan debu dalam paru yang

menyebabkan reaksi jaringan terhadap debu tersebut. Reaksi utama akibat pajanan debu di paru

adalah fibrosis. Istilah pneumokoniosis ini dibatasi pada kelainan reaksi non-neoplasma akibat

debu tanpa memasukkan asma, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dan pneumonitis

hipersensitif walaupun kelainan tersebut dapat terjadi akibat pajanan debu dalam jangka lama.3

2.2 Epidemiologi

Page 4: TUGAS REFARAT 2003.doc

Data prevalensi pneumokoniosis bervariasi pada tiap negara di dunia. Data SWORD

di Inggris tahun 1990-1998 menunjukkan kasus pneumokoniosis sebesar 10%. Di Kanada, kasus

pneumokoniosis pada tahun 1992-1993 sebesar 10%, sedangkan data di Afrika Selatan tahun

1996-1999 sebesar 61%.9 Jumlah kasus kumulatif pneumokoniosis di Cina dari tahun 1949-2001

mencapai 569 129 dan sampai tahun 2008 mencapai 10 963 kasus.10 Di Amerika Serikat,

kematian akibat pneumokoniosis tahun 1968-2004 mengalami penurunan, pada tahun 2004

ditemukan sebanyak 2 531 kasus kematian.11

Silikosis, asbestosis dan pneumokoniosis batubara merupakan jenis pneumokoniosis

terbanyak. Data di Aus-tralia tahun 1979-2002 menyebutkan, terdapat >1000 kasus

pneumokoniosis terdiri atas 56% asbestosis, 38% silicosis dan 6% pneumokoniosis batubara.12

Prevalensi pneumoko-niosis batubara di berbagai pertambangan di Amerika Serikat dan Inggris

bervariasi (2,5-30%) tergantung besarnya kandungan batubara pada daerah pertambangan

tersebut. Studi surveilans yang dilakukan di Michigan, Amerika Serikat, antara tahun 1987

hingga 1995 menunjukkan bahwa 60% lebih dari 577 pekerja pabrik/ pertambangan yang telah

bekerja selama minimal 20 tahun menderita silikosis. Tahun 1996 silikosis dilaporkan terjadi

pada 60 orang dari 1072 pekerja pabrik mobil. Risiko penyakit ini meningkat seiring dengan

lama pajanan terhadap partikel silika. Sebanyak 12% pekerja dengan masa kerja lebih dari 30

tahun menderita silikosis.9

Page 5: TUGAS REFARAT 2003.doc

Data prevalensi pneumokoniosis nasional di Indonesia belum ada. Data yang ada

adalah penelitian-penelitian berskala kecil pada berbagai industri yang berisiko terjadi

pneumoko-niosis. Dari beberapa penelitian tersebut ditemukan prevalensi pneumokoniosis

bervariasi 0,5-9,8% (gambar 1). Penelitian Darmanto et al.di tambang batubara tahun 1989

menemukan prevalensi pneumokoniosis batubara sebesar 1,15%.13 Data penelitian di Bandung

tahun 1990 pada pekerja tambang batu menemukan kasus pneu-mokoniosis sebesar 3,1%.

Penelitian oleh Bangun et al.tahun 1998 pada pertambangan batu di Bandung menemukan kasus

pneumokoniosis sebesar 9,8%.14 Kasmara (1998) pada pekerja semen menemukan kecurigaan

pneumokoniosis 1,7%. Penelitian OSH centertahun 2000 pada pekerja keramik menemukan

silikosis sebesar 1,5%.15 Penelitian Pandu et al di pabrik pisau baja tahun 2002 menemukan 5%

gambaran radiologis yang diduga pneumoko-niosis. Damayanti et al.pada pabrik semen

menemukan kecurigaan pneumokoniosis secara radiologis sebesar 0,5%.13

Page 6: TUGAS REFARAT 2003.doc

2.3 Sifat Debu dan Hubungannya dengan Penyakit Paru

Debu adalah aerosol yang tersusun dari partikel-partikel padat yang bukan termasuk

benda hidup. Respons jaringan tubuh seseorang terhadap debu yang terinhalasi dipengaruhi oleh

beberapa faktor antara lain sifat fisik, kimia dan faktor pejamu.4,7,17 Efek debu terhadap paru

dipengaruhi oleh tingkat pajanan debu. Tingkat pajanan debu ditentukan oleh kadar debu rata-

rata di udara dan waktu pajanan terhadap debu tersebut. 3,4,16

2.3.1 Sifat fisik

Beberapa sifat fisik agen/bahan yang terinhalasi sangat mempengaruhi respons

jaringan paru. Keadaan fisik seperti bentuk partikel uap atau gas, ukuran dan densitas partikel,

bentuk dan kemampuan penetrasi mempengaruhi sifat migrasi dan reaksi tubuh. Sifat kelarutan

partikel juga berpengaruh, contohnya partikel tidak larut seperti asbestos dan silica menyebabkan

reaksi lokal sedangkan zat yang larut seperti mangan dan berryliummempunyai efek sistemik.

Gas dan uap yang relatif tidak larut seperti nitrogen oksida terinhalasi sampai saluran napas kecil

sedangkan yang larut seperti amonia dan sulfur dioksida seringkali mengendap di hidung dan

nasofaring. Sifat higroskopis partikel meningkatkan ukurannya bila melalui saluran napas bawah.

Sifat elek-triksitas partikel juga menentukan letak deposisi di saluran napas.

2.3.2 Sifat Kimia

Beberapa sifat kimia yang penting adalah sifat asam atau basa, interaksi atau ikatan

dengan substansi lain, sifat fibrogenisitas dan sifat antigenisitas. Sifat asam atau basa suatu

bahan berhubungan dengan efek toksik pada silia, sel-sel dan enzim. Beberapa bahan

Page 7: TUGAS REFARAT 2003.doc

mempunyai kecen-derungan berinteraksi dengan substansi dalam paru dan jaringan.

Karbonmonoksida dan asam sianida mempunyai efek sistemik sedangkan komponen fluorin

mungkin mempunyai efek lokal dan sistemik. Sifat fibrogenisitas merupakan sifat suatu bahan

menimbulkan fibrosis jaringan. Debu fibrogenik adalah debu yang dapat menimbulkan reaksi

jaringan paru (fibrosis) seperti batubara, silika bebas dan asbes. Contoh debu nonfibrogenik

adalah debu besi, kapur, karbon dan timah. Sifat antigenisitas merupakan sifat bahan untuk dapat

merangsang antibodi, contohnya spora jamur bila terinhalasi dapat merangsang respons

imunologi.

2.3.3 Faktor Pejamu (host)

Faktor pejamu (host) berperan penting pada respons jaringan terhadap agen/bahan

terinhalasi. Gangguan system pertahanan paru alami seperti kelainan genetik akan mengganggu

kerja silia, kecepatan bersihan dan fungsi makrofag. Kecepatan dan rerata bersihan adalah

karakteristik bawaan. Gangguan sistem pertahanan paru didapat contohnya karena obat-obatan,

asap rokok, temperatur dan alkohol mempengaruhi fungsi silia dan fungsi makrofag. Kondisi

anatomi dan fisiologi saluran napas dan paru mempengaruhi pola pernapasan yang pada akhirnya

mempengaruhi deposisi agen/bahan terinhalasi. Keadaan imunologi contohnya alergi atau atopi

mempengaruhi respons terhadap suatu agen.

2.4 Mekanisme Deposisi Partikel di Saluran Napas

Tingkat deposisi partikel seperti debu di saluran napas dan paru dipengaruhi oleh konsentrasi debu, ukuran debu, waktu pajanan, rerata pernapasan dan volume tidal. Kon-sentrasi debu yang berhubungan dengan pneumoconiosis diperkirakan >5000o/cc udara.4 Debu yang mudah dihirup berukuran 0,1 sampai 10 mikron.7 Deposisi partikel debu di saluran napas dan paru terjadi melalui mekanisme impaksi, sedimentasi dan difusi atau gerak Brown.

2.4.1 Impaksi

Mekanisme impaksi adalah kecenderungan partikel tidak dapat berubah arah pada percabangan saluran napas. Akibat hal tersebut banyak partikel tertahan di mukosa hidung, far-ing ataupun percabangan saluran napas besar . Sebagian besar partikel berukuran lebih besar dari 5 mm tertahan di nasofaring. Mekanisme impaksi juga terjadi bila partikel tertahan di percabangan bronkus karena tidak bisa berubah arah.4,18

Page 8: TUGAS REFARAT 2003.doc

2.4.2 Sedimentasi

Sedimentasi adalah deposisi partikel secara bertahap sesuai dengan berat partikel terutama berlaku untuk partikel berukuran sedang (1-5 mm). Umumnya partikel tertahan di saluran napas kecil seperti bronkiolus terminal dan bronkiolus respiratorius.4,18 Debu ukuran 3-5 mikron akan menempel pada mukosa bronkioli sedangkan ukuran 1-3 mikron (debu respirabel) akan langsung ke permukaan alveoli paru. Mekanisme terjadi karena kecepatan aliran udara sangat berkurang pada saluran napas tengah.4,7 Sekitar 90% dari konsentrasi 1000 partikel per cc akan dikeluarkan dari alveoli, 10% sisanya diretensi dan secara lambat dapat menyebabkan pneumokoniosis.7,17

2.4.3 Difusi

Difusi adalah gerakan acak partikel akibat kecepatan aliran udara. T erjadi hanya pada partikel dengan ukuran kecil. Debu dengan ukuran 0,1 mm sampai 0,5 mm keluar masuk alveoli, membentur alveoli sehingga akan tertimbun di dinding alveoli (gerak Brown). 4,7,18

2.5 Mekanisme Pertahanan Paru terhadap Partikel Terinhalasi

Sebagian besar debu yang terinhalasi akan difiltrasi oleh saluran napas atas atau dibersihkan oleh silia di saluran napas besar.5 Pada prinsipnya sistem pertahanan tubuh terhadap partikel atau debu yang terinhalasi terdiri atas tiga system pertahanan yang saling berkaitan dan bekerja sama yaitu:

Garis pertahanan pertama adalah filtrasi mekanik udara inspirasi di saluran napas atas dan bawah.4,17 Filter saluran napas atas terdiri atas rambut-rambut dan lipatan mukosa (konka) yang menimbulkan turbulensi udara sehingga partikel tertahan di saluran napas atas.5 Efektivitas filtrasi tersebut menentukan deposit partikel pada saluran napas. Reseptor saluran napas berperan dalam menimbulkan konstriksi otot polos bronkus terhadap iritasi kimia dan fisik, menurunkan penetrasi partikel dan gas berbahaya serta mencetuskan bersin dan batuk.4,17

Garis pertahanan ke-2 yaitu cairan yang melapisi saluran napas dan alveoli serta mekanisme bersihan silia (bersihan mukosiliar). Cairan tersebut berfungsi sebagai pertahanan fisik dan kimia berisi bahan yang mempunyai sifat bakterisidal dan detoksifikasi. 4,17 Mekanisme bersihan mukosiliar (mukus disekresi oleh sel goblet dan kelenjar submukosa) membuat partikel dikeluarkan kembali ke laring dan akhirnya ditelan.5

Garis pertahanan ke-3 adalah pertahanan spesifik paru yang terbagi atas 2 sistem utama yaitu imunitas humoral (produksi antibodi) dan imunitas seluler (limfosit T).4,17

Page 9: TUGAS REFARAT 2003.doc

Makrofag merupakan sistem pertahanan seluler yang membersihkan semua partikel kecil. Makrofag alveolar membersihkan partikel yang terdeposit dengan meka-nisme fagositosis.5

2.6 Patogenesis Pneumokoniosis

Faktor utama yang berperan pada patogenesis pneumokoniosis adalah partikel debu

dan respons tubuh khususnya saluran napas terhadap partikel debu tersebut. Komposisi

kimia, sifat fisis, dosis dan lama pajanan menentukan dapat atau mudah tidaknya terjadi

pneumokoniosis. Sitotoksisitas partikel debu terhadap makrofag alveo-lar memegang

peranan penting dalam patogenesis pneumokoniosis. Debu berbentuk quartz lebih sitotoksik

dibandingkan yang sulit larut. Sifat kimiawi permukaan partikel debu yaitu aktivitas radikal

bebas dan kandungan besi juga merupakan hal yang terpenting pada pathogenesis

pneumokoniosis.2 Patogenesis pneumokoniosis dimulai dari respons makrofag alveolar

terhadap debu yang masuk ke unit respirasi paru. Terjadi fagositosis debu oleh makrofag dan

proses selanjutnya sangat tergantung pada sifat toksisitas partikel debu.2 Reaksi jaringan

terhadap debu bervariasi menurut aktivitas biologi debu. Jika pajanan terhadap debu

anorganik cukup lama maka timbul reaksi inflamasi awal.

Gambaran utama inflamasi ini adalah pengumpulan sel di saluran napas bawah.

Alveolitis dapat melibatkan bronkiolus bahkan saluran napas besar karena dapat

menimbulkan luka dan fi-brosis pada unit alveolar yang secara klinis tidak diketahui.

Sebagian debu seperti debu batubara tampak relatif inert dan menumpuk dalam jumlah

relatif banyak di paru dengan reaksi jaringan yang minimal.6,7 Debu inertakan tetap berada di

makrofag sampai terjadi kematian oleh makrofag karena umurnya, selanjutnya debu akan

keluar dan difagositosis lagi oleh makrofag lainnya, makrofag dengan debu di dalamnya

Page 10: TUGAS REFARAT 2003.doc

dapat bermigrasi ke jaringan limfoid atau ke bronkiolus dan dikeluarkan melalui saluran

napas.

Pada debu yang bersifat sitoktoksik, partikel debu yang difagositosis makrofag akan

menyebabkan kehancuran makrofag tersebut yang diikuti dengan fibrositosis.2 Menurut

Lipscomb,2 partikel debu akan merangsang makrofag alveolar untuk mengeluarkan produk

yang merupakan mediator suatu respons peradangan dan memulai proses proliferasi fibro-

blast dan deposisi kolagen. Mediator yang paling banyak berperan pada patogenesis

pneumokoniosis adalah Tumor Necrosis Factor(TNF)-α, Interleukin(IL)-6, IL-8, platelet

derived growth factor dan transforming growth factor (TGF)-β. Sebagian besar mediator

tersebut sangat penting untuk proses fibrogenesis.5

Mediator makrofag penting yang bertanggung jawab terhadap kerusakan jaringan, pengum-

pulan sel dan stimulasi pertumbuhan fibroblast adalah2 :

Radikal oksigen/spesies oksigen reaktif dan protease.

Leukotrien L TB4 dan IL-8 yang bersifat kemotaksis terhadap leukosit.

Sitokin IL-1, TNF-α, fibronektin, PDGF dan IGF-1 yang berperan dalam

fibrogenesis.

Sitokin telah terbukti berperan dalam pathogenesis pneumokoniosis. Pappas2

merangkum sitokin yang diha-silkan oleh makrofag alveolar dalam merespons partikel debu

yang masuk ke paru yang selanjutnya menyebabkan fibro-sis pada jaringan interstitial paru.

Sitokin ini terdiri atas faktor fibrogenesis seperti TNF-α, PDGF , IGF-1 dan fibronektin serta

faktor proinflamasi seperti LBT4, IL-8, IL-6, MIP1a. Disamping proses fagositosis debu oleh

makrofag alveolar, yang lebih penting adalah interstisialisasi partikel debu tersebut. Bila

partikel debu telah difagositosis oleh makrofag dan ditransfer ke sistem mukosilier maka

proses pembersihan debu yang masuk dalam saluran napas dikategorikan berhasil.Hilangnya

integritas epitel akibat mediator inflamasi yang dilepaskan makrofag alveolar merupakan

kejadian awal proses fibrogenesis di interstitial paru.

Bila partikel debu telah masuk dalam interstitial maka nasibnya ditentukan oleh

makrofag interstitial, difagositosis untuk kemudian di transfer ke kelenjar getah bening

mediastinum atau terjadi sekresi me-diator inflamasi kronik pada interstitial. Sitokin yang

Page 11: TUGAS REFARAT 2003.doc

dilepaskan di interstitial seperti PDGF , TGF , TNF , IL-1 menyebabkan proliferasi

fibroblas dan terjadilah pneumoko-niosis.2 Sifat toksisitas debu menentukan reaksi jaringan

yang terjadi pada pneumokoniosis.2 Debu silika dan asbes mempunyai efek biologis yang

sangat kuat. Reaksi parenkim dapat berupa fibrosis nodular yaitu contoh klasik dari silikosis,

fibrosis difus pada asbestosis dan pembentukan makula dengan emfisema fokal akibat debu

batubara. Gambaran fibrotik campuran dan tidak beraturan terjadi pada pajanan debu

campuran.6,7 Empat gambaran respons patologi terlihat pada pneumokoniosis yaitu fibrosis

interstisial, fi-brosis nodular , fibrosis nodular dan interstisial serta emfisema fokal dan

pembentukan makula.4

2.7 Jenis Pneumokoniosis

Penamaan pneumokoniosis tergantung pada debu penyebabnya, pajanan asbes

menyebabkan asbestosis, debu silika berhubungan dengan silikosis, debu batubara menye-

babkan pneumokoniosis batubara dan lain-lain.3 Secara ringkas beberapa yang dikategorikan

pneumoconiosis berdasarkan jenis debu penyebabnya terlihat pada tabel 1.

Page 12: TUGAS REFARAT 2003.doc

2.8 Diagnosis

Diagnosis pneumokoniosis tidak dapat ditegakkan hanya dengan gejala klinis. Ada

tiga kriteria mayor yang dapat membantu untuk diagnosis pneumokoniosis. Pertama pajanan

yang signifikan dengan debu mineral yang dicurigai dapat menyebabkan pneumokoniosis

dan disertai dengan periode laten yang mendukung. Oleh karena itu, diperlukan anamnesis

yang teliti mengenai kadar debu di lingkungan kerja, lama pajanan dan penggunaan alat

pelindung diri serta kadang diperlukan pemeriksaan kadar debu di lingkungan kerja. Gejala

seringkali timbul sebelum kelainan radiologis , seperti batuk produktif yang menetap dan

atau sesak napas saat aktivitas yang mungkin timbul 10-20 tahun setelah pajanan. Kedua,

gambaran spesifik penyakit terutama pada kelainan radiologi dapat membantu menentukan

jenis pneumokoniosis.

Gejala dan tanda gangguan respirasi serta abnormalitas faal paru sering ditemukan

pada pneumoko-niosis tetapi tidak spesifik untuk mendiagnosis pneumoko-niosis. Ketiga,

tidak dapat dibuktikan ada penyakit lain yang menyerupai pneumokoniosis. Pneumokoniosis

kemungkinan mirip dengan penyakit interstisial paru difus seperti sarkoidosis, idiophatic

pulmonary fibrosis(IPF) atau inter-stitial lung disease(ILD) yang berhubungan dengan

penyakit kolagen vaskular.5

Beberapa pemeriksaan penunjang diperlukan untuk membantu dalam diagnosis

pneumokoniosis yaitu pemeriksaan radiologi, pemeriksaan faal paru dan analisis debu

penyebab.

2.8.1 Pemeriksaan Radiologi

Foto Thoraks

Pada pneumokoniosis digunakan klasifikasi standar menurut International Labour

Organization(ILO) untuk interpretasi gambaran radiologi kelainan parenkim difus yang

terjadi. Klasifikasi ini digunakan untuk keperluan epide-miologik penyakit paru akibat kerja

Page 13: TUGAS REFARAT 2003.doc

dan mungkin untuk mem-bantu interpretasi klinis.3 Perselubungan pada pneumoko-niosis

dibagi dua golongan yaitu perselubungan halus dan kasar . Klasifikasi standar ILO tersebut

dapat dilihat pada tabel 2. 20

Computed Tomography (CT) scan

Computed tomography(CT) scanbukan merupakan bagian dari klasifikasi pneumokoniosis

secara radiologi. Pemeriksaan CT mungkin sangat bermanfaat secara indi-vidual untuk

memperkirakan beratnya fibrosis interstisial yang terjadi, menilai luasnya emfisema dan

perubahan pleura atau menilai ada tidaknya nekrosis atau abses yang bersamaan dengan

opasiti yang ada.5 High resolutionCT (HRCT) lebih sensitif dibanding radiologi konvensional

untuk evaluasi abnormalitas parenkim pada asbestosis, silikosis dan pneumokoniosis lainnya.

Gambaran paling sering HRCT pada pneumokoniosis adalah nodular sentrilobular atau high

at-tenuationpada area percabangan seperti gambaran lesi bronkiolar . Fibrosis interstisial

mungkin bermanifestasi bron-kiektasis traksi, sarang tawon/honey combatau hyperatte-

nuation.

Gambaran HRCT yang khas pada silikosis, pneumokoniosis batubara dan asbestosis

adalah terdapat opasitas halus (small nodular opacities) yang predominan pada zona paru atas

(upper zone). Gambaran opasitas halus pada HRCT ada 2 karakteristik (1) ill-defined fine

branching linesdan (2) well-defined discrete nodules. Asbestosis menunjukkan gambaran

garis penebalan interlobular dan in-tralobular, opasitas subpleura atau curvilinierdan honey

comb, predominan terdistribusi pada basal paru. Gambaran HRCT pada jenis

pneumokoniosis lainnya bervariasi dan tidak spesifik, masing-masing mempunyai

karakteristik sendiri.21

Page 14: TUGAS REFARAT 2003.doc

2.8.2 Pemeriksaan Faal Paru

Pemeriksaan faal paru diperlukan untuk 2 tujuan yaitu studi epidemiologi pekerja

yang terpajan debu dan diagno-sis penyakit paru akibat kerja. Pemeriksaan faal paru

memerlukan pemeriksaan volume paru dengan spirometri dan pemeriksaan kapasitas difusi

(DLco),5 namun tidak selalu tersedia. Pemeriksaan faal paru juga diperlukan untuk menilai

hendaya yang telah terjadi. 3,5 Pada pneumokoniosis dapat ditemukan nilai faal paru normal

atau bisa juga terjadi obstruksi, restriksi ataupun campuran.3

Sebagian besar penyakit paru difus yang disebabkan debu mineral berhubungan

dengan kelainan restriksi karena terjadi fibrosis di parenkim paru. Pada kasus dengan fibrosis

interstisial yang luas umumnya terjadi penurunan kapasitas difusi.10,22 Inflamasi, fibrosis dan

distorsi pada saluran napas dengan konsekuensi terjadi obstruksi saluran napas dapat

Page 15: TUGAS REFARAT 2003.doc

ditemukan pada beberapa kondisi. Karena tingginya prevalensi perokok pada populasi

pekerja industri, sering sulit dibedakan apakah obstruksi yang terjadi karena efek debu

terinhalasi atau efek rokok. 8

Analisis Debu Penyebab

Pada kondisi tertentu, diperlukan diagnosis pasti pajanan bahan di lingkungan kerja

dengan analisis bahan biologi (sputum, bronchoalveolar lavage/BAL, biopsy ransbronkial

atau biopsi paru terbuka) untuk melihat debu mineral atau produk metabolismenya.3

Pemeriksaan BAL membantu menegakkan diagnosis. Pada pemeriksaan BAL dapat terlihat

debu di dalam makrofag dan jenis debu kemungkinan dapat diidentifikasi menggunakan

mikroskop elektron. Pada kasus asbestosis dapat ditemukan serat asbes dan asbestos

body(AB) pada pemeriksaan BAL.5,23 AB adalah bahan yang terbentuk secara intraselular dan

berasal dari satu atau lebih makrofag alveolar yang bereaksi dengan serat asbes.

Penemuan AB menjadi stándar baku emas penegakkan diagnosis asbestosis. 23 Pada

silikosis, makrofag yang ditemukan dalam BAL berisi partikel granit yang semakin lama

riwayat pajanan terhadap debu granit maka akan semakin banyak ditemukan makrofag

tersebut. Selain itu, nodul silikotik dapat ditemukan pada pemeriksaan histopatologi

silikosis.23,24

BAB 3

PEMBAHASAN

Pneumokoniosis tidak akan mengalami regresi, menghilang ataupun berkurang

progresivitasnya hanya dengan menjauhi pajanan. Tata laksana medis umumnya terbatas

hanya pengobatan simptomatik. 3 Tidak ada pengobatan yang efektif yang dapat menginduksi

regresi kelainan ataupun menghentikan progesivitas pneumokonio-sis. Pencegahan

merupakan tindakan yang paling penting. Regulasi dalam pekerjaan dan kontrol pajanan

debu telah dilakukan sejak lama terutama di negara industri dan terus dilakukan dengan

perbaikan-perbaikan.

Page 16: TUGAS REFARAT 2003.doc

Pada bentuk pneumokoniosis subakut dengan manfaat yang didapat untuk efek jangka

panjangnya terutama jika bahan penyebab masih ada di paru. Menjaga kesehatan dapat

dilakukan seperti berhenti merokok, pengobatan adekuat dilakukan bila dicurigai terdapat

penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dan pence-gahan infeksi dengan vaksinasi dapat

dipertimbangkan.5

Daftar Pustaka

1. Mangunnegoro H, Yunus F. Diagnosis penyakit paru kerja. In: Y unus F , Rasmin M,

Hudoyo A, Mulawarman A, Swidarmoko B, editor. Pulmonologi klinik. 1st Ed. Jakarta:

Balai Penerbit FKUI; 1992. p. 05-42.

2. Ngurah Rai IB. Pneumokoniosis. Patogenesis dan gangguan fungsi. In: Abdullah A, Patau

J, Susilo HJ, Saleh K, Tabri NA, Mappangara, et al. Naskah lengkap pertemuan ilmiah

khusus (PIK) X Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Makassar: Sub-bagian paru Bagian

Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin; 2003. p. 183-216.

3. Cowie RL, Murray JF , Becklake MR. Pneumoconiosis. In: Mason RJ, Broaddus VC,

Murray JF, Nadel JA, editors. Textbook of Respiratory Medicine. 4 th Ed. Philadelphia:

Elsevier Saunders;2005. p. 1748-82.

Page 17: TUGAS REFARAT 2003.doc

4. Morgan WKC. The depotition and clearance of dust from the lungs. Their role in etiology

of occupational lung disease. In: Morgan WKC, Seaton A, editors. Occupational lung

disease. 3rd ed. Philadelphia: WB Saunders Company; 1995. p. 111-26.

5. Demedts M, Nemey B, Elnes P . Pneumoconioses. In: Gibson GJ, Gedder DM, Costales

U, Sterk PJ, Cervin B, editor . Respiratory Medicine. 3rd ed. London: Elsevier Science; 2003.

p. 675-92.

6. Becklake MR. Pneumoconiosis. In: Muray, Nadel, editor. Text-book of respiratory

medicine. 1st Ed.Philadelphia: WB Saunders Company; 1988. p. 1556-92.

7. Yunus F. Pneumokoniosis. Paru. 1994;22-8.

8. Mapel D, Coultas D. Disorders due to minerals other than silica, coal and asbestos and to

metals. In: Hendrick DJ, Burge PS, Beckett WS, Churg A, editors. Occupational disorders

of the lung: recognition, management and prevention. 1st ed. London: WB Saunders

Company: 2002. p. 163-90.

9. Meredith S, Blanc PD. Surveillance: clinical and epidemiological perspectives. In:

Hendrick DJ, Burge PS, Beckett WS, Churg A. Occupational disorders of the lung;

Recognition, management, and prevention. London: WB Saunders; 2002. p. 7-24.

10. Liang ZX, Wong O, Fu H, Hu TX, Xue SZ. The economic burden of pneumoconiosis in

Cina. [Cited 2014 Aug. 5]. Available from: www.ocenvmed.com.

11. Center for Disease Control and Prevention (CDC). Changing patterns of pneumoconiosis

mortality-United States, 1968-2000. MMWR Morb Mortal Wkly Rep. 2004;53:627-32.

12. Smith DR, Leggat PA. 24 years of pneumoconiosis mortality surveillance in Australia. J

Occup Health. 2006; 48:309-13.

13. Menaldi Rasmin. Kedokteran respirasi, pemahaman sebuah perjalanan. Pidato pada

upacara pengukuhan sebagai guru besar tetap dalam bidang Pulmonologi dan Ilmu

Kedokteran Respirasi FKUI. FKUI: Jakarta: 2008.

Page 18: TUGAS REFARAT 2003.doc

14. Bangun U, Widjaya M. Analisis epidemiologis pneumoconiosis berdasarkan X ray paru

klasifikasi standar international labour organization (ILO) pada pekerja tambang batu P .T .

Adi Bandung Jawa Barat [Thesis]. Jakarta: Universitas Indonesia; 1998.

15. National and Occupational Safety and Health Center. Pneumo-coniosis in Indonesia.

Presented at: The ILO/OSH Center na-tional training workshop. Prevention of

pneumoconiosis. Using the ILO International Classification of radiographs of pneumo-

coniosis, 2000. Jakarta, 19-22 November 2007.

16. Peter JM, Murphy RL, Ferris BG , Buryess WA. Pulmonary func-tion in shippyard

welders. Arch Environt Health. 1993;6:26-8.

17. Gregory J. Asurvey of pneumoconiosis at a Sheffield steei foundry . Arch Environt

Health. 1993;6:29-34.

18. West JB. Enviromental and other diseases. In: West JB. Pulmo-nary pathopysiology.

The essentials. 6th ed. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins; 2003. p. 123-41.

19. Morgan WKC. Other pneumoconiosis. In: Morgan WKC, Seaton A. Occupational lung

disease. 3rd Ed. Philadelphia: WB Saunders Company; 1995. p. 407-56.

20. International Labour Organization. Guidelines for the use of the ILO International

Classification of Radiographs of pneumoco-niosis. Revised edition 2000. Geneva;

International Labour Of-fice, 2002.

21. Akira M. High-resolution CT in evaluation of occupational and environmental disease.

Rad Clin North Am. 2002;40:1-13.

22. American Association for Respiratory Care. AARC Clinical prac-tice guideline: single

breath carbon monoxide diffusing capacity-1999 update. Respir Care. 1999;44:539-46.

23. Cordeiro CR, Jones JC, Alfaro T, Ferreira AJ. Bronchoalveolar lavage in occupational

lung diseases. Semin Respir Crit Care Med. 2007;28:504-13.

Page 19: TUGAS REFARAT 2003.doc

24. Christman JW, Emerson RJ, Graham WGB, Davis GS. Mineral dust and cell recovery

from the bronchoalveolar lavage of healthy vermont granite workers. Am Rev Resp Dis.

1985;132:393-9.