Tugas Prof. Didik_edit

34
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di Indonesia, Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) atau Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit akibat virus yang masih menjadi masalah kesehatan di masyarakat. Departemen Kementrian Kesehatan melaporkan sampai pertengahan tahun 2011 penyakit DBD telah menjadi masalah endemik di 122 kecamatan, 1800 desa dan menjadi kejadian luar biasa (KLB) pada tahun 2005 dengan angka kematian sekitar 2%. Pada tahun 2006, kasus DBD sekitar 104.656 kasus dengan angka kematian 1,03% dan pada tahun 2007 jumlah kasus mencapai 140.000 dengan angka kematian 1% (Depkes, 2008). Menurut Depkes, pada tahun 2008 jumlah kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia sebanyak 136.256 orang dan yang meninggal sebanyak 1.170 orang serta dengan Incidence Rate 60,02 per 100 penduduk. Jumlah penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) diperkirakan akan terus meningkat karena masih tingginya curah hujan (Depkes, 2009) Demam Berdarah Dengue merupakan penyakit endemik di provinsi Aceh dengan jumlah kasus di tahun 2003 sebanyak 2,76 per 100.000 penduduk yang 1

Transcript of Tugas Prof. Didik_edit

Page 1: Tugas Prof. Didik_edit

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di Indonesia, Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) atau Demam

Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit akibat virus yang masih

menjadi masalah kesehatan di masyarakat. Departemen Kementrian Kesehatan

melaporkan sampai pertengahan tahun 2011 penyakit DBD telah menjadi

masalah endemik di 122 kecamatan, 1800 desa dan menjadi kejadian luar

biasa (KLB) pada tahun 2005 dengan angka kematian sekitar 2%. Pada tahun

2006, kasus DBD sekitar 104.656 kasus dengan angka kematian 1,03% dan

pada tahun 2007 jumlah kasus mencapai 140.000 dengan angka kematian 1%

(Depkes, 2008).

Menurut Depkes, pada tahun 2008 jumlah kasus Demam Berdarah

Dengue (DBD) di Indonesia sebanyak 136.256 orang dan yang meninggal

sebanyak 1.170 orang serta dengan Incidence Rate 60,02 per 100 penduduk.

Jumlah penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) diperkirakan akan terus

meningkat karena masih tingginya curah hujan (Depkes, 2009)

Demam Berdarah Dengue merupakan penyakit endemik di provinsi

Aceh dengan jumlah kasus di tahun 2003 sebanyak 2,76 per 100.000

penduduk yang naik secara signifikan menjadi 56,40 per 100.000 penduduk

pada tahun 2011, padahal target renstra pada tahun 2011 Incidence Rate DBD

< 54 per 100.000 penduduk. Hal ini menunjukkan bahwa masih adanya

kesenjangan antara keadaan di lapangan dengan apa yang diharapkan (Profil

Kesehatan Provinsi Aceh Tahun 2011).

Berbeda dengan Incidence Rate DBD, angka kematian akibat DBD

selama kurun waktu antara 2003 – 2011 mengalami penurunan yang cukup

drastis, hanya saja pada tahun 2004 terjadi kenaikan sebesar 1, 27 per 100.000

penduduk dari tahun sebelumnya, dimana pada tahun (2003) Angka kematian

sebesar 3,10 per 100.000 penduduk dan pada tahun (2004) meningkat menjadi

4,37 per 100.000 penduduk (Profil Kesehatan Provinsi Aceh Tahun 2011).

1

Page 2: Tugas Prof. Didik_edit

Data-data di atas menginformasikan bahwa masih diperlukan upaya-

upaya dan strategi untuk mengurangi Incidence Rate DBD di Provinsi Aceh

walaupun angka kematian akibat DBD selama kurun waktu 2003 – 2011

mengalami penurunan. Upaya-upaya dan strategi ini akan berhasil apabila ada

kerjasama yang baik antara pemerintah, tenaga kesehatan maupun masyarakat.

Peran serta masyarakat dalam membantu pemberantasan vektor penyakit DBD

sangat diperlukan dalam menjaga lingkungan yang sehat dan bersih, karena

dengan menjaga kebersihan lingkungan dan melakukan upaya pencegahan dan

Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue itu dapat secara

langsung memusnahkan tempat hidup/sarang nyamuk demam berdarah karena

mengingat Provinsi Aceh sangat cocok bagi tempat berkembangbiaknya

nyamuk Aedes aegepty sebagai nyamuk penyebar virus DBD. Data Dinas

Kesehatan Propinsi Aceh didapatkan data bahwa hanya 39,22% dari rumah

tangga yang bebas dari nyamuk ini (Riskesdas, 2008).

Adanya perbedaan fenomena antara Incidence Rate yang kian

meningkat sejak tahun 2003 hingga tahun 2011 dengan Angka kematian yang

cenderung menurun dari tahun ke tahun inilah maka penyusun tertarik untuk

mengangkat makalah mengenai gambaran terjadinya DBD di Provinsi Aceh

pada Tahun 2003 – 2011.

1.2 Tujuan Penyusunan

Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui Case Fatality Rate (CFR) DBD di Provinsi Aceh antara

tahun 2003 – 2011.

2. Untuk mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi terjadinya

penurunan angka kematian walaupun Incidence Rate DBD masih cukup

tinggi di Provinsi Aceh antara tahun 2003 – 2011.

3. Untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah Manajemen Pelayanan

Kesehatan Program Pasca Sarjana Kedokteran Keluarga Universitas

Sebelas Maret Surakarta.

2

Page 3: Tugas Prof. Didik_edit

1.3 Manfaat Penyusunan

1.3.1 Institusi Pendidikan

Dapat digunakan sebagai masukan dan menambah kepustakaan serta

dijadikan dasar penelitian mahasiswa di bidang kesehatan.

1.3.2 Instansi Pelayanan Kesehatan

Makalah ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber informasi dalam

meningkatkan pelayanan kesehatan terutama dalam pencegahan dan

pemberantasan DBD.

1.3.3 Penyusun

Diharapkan dapat menjadi pengalaman belajar dalam meningkatkan

pengetahuan dan menambah wawasan.

1.3.4 Masyarakat

Diharapkan dari makalah ini dapat meningkatkan pemahaman dan

kesadaran masyarakat tentang berbagai upaya yang dapat dilakukan

dalam mencegah DBD serta meminimalisir angka kematian akibat

DBD.

3

Page 4: Tugas Prof. Didik_edit

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Demam Berdarah Dengue ( DBD )

2.1.1 Pengertian

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) {bahasa medisnya disebut

Dengue Hemorrhagic Fever (DHF)} adalah penyakit yang disebabkan oleh virus

dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes

albopictus, yang mana menyebabkan gangguan pada pembuluh darah kapiler dan

pada sistem pembekuan darah, sehingga mengakibatkan perdarahan-perdarahan.

(Koesharto,2010)

Penyakit ini banyak ditemukan di daerah tropis seperti Asia Tenggara,

India, Brazil, Amerika termasuk di seluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat-

tempat ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan air laut. Dokter dan

tenaga kesehatan lainnya seperti Bidan dan Mantri seringkali salah dalam

penegakkan diagnosa, karena kecenderungan gejala awal yang menyerupai

penyakit lain seperti Flu dan Tipes (Typhoid).(Koesharto,2010)

Gambar 1. Nyamuk A.aegypti (kiri) dan A. albopictus (kanan) (Sumber : Koesharto,2010).

2.1.2 Tanda dan Gejala Penyakit Demam Berdarah Dengue

Masa inkubasi selama 3 - 15 hari sejak seseorang terserang virus dengue,

Selanjutnya penderita akan menampakkan berbagai tanda dan gejala demam

berdarah sebagai berikut :

4

Page 5: Tugas Prof. Didik_edit

a. Demam tinggi yang mendadak 2-7 hari (38-40 derajat Celsius).

b. Pada pemeriksaan uji torniquet, tampak adanya jentik (puspura) perdarahan.

c. Adanya bentuk perdarahan dikelopak mata bagian dalam (konjungtiva),

mimisan (epitaksis), buang air besar dengan kotoran (Peaces) berupa lendir

bercampur darah (melena), dan lain-lainnya.

d. Terjadi pembesaran hati (hepatomegali).

e. Tekanan darah menurun sehingga menyebabkan syok.

f. Pada pemeriksaan laboratorium (darah) hari ke 3 - 7 terjadi penurunan

trombosit dibawah 100.000 /mm3 (trombositopeni), terjadi peningkatan nilai

hematokrit diatas 20% dari nilai normal (hemokonsentrasi).

g. Timbulnya beberapa gejala klinik yang menyertai seperti mual, muntah,

penurunan nafsu makan (anoreksia), sakit perut, diare, menggigil, kejang dan

sakit kepala.

h. Mengalami perdarahan pada hidung (mimisan) dan gusi.

i. Demam yang dirasakan penderita menyebabkan keluhan pegal/sakit pada

persendian.

j. Munculnya bintik-bintik merah pada kulit akibat pecahnya pembuluh darah.

(Syamsuddin,2011)

2.1.3 Proses Penularan Penyakit Demam Berdarah Dengue

Penyebaran penyakit DBD ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes

aegypti dan Aedes albopictus, sehingga pada wilayah yang sudah diketahui

adanya serangan penyakit DBD akan mungkin ada penderita lainnya bahkan akan

dapat menyebabkan wabah yang luar biasa bagi penduduk disekitarnya. Infeksi

virus dengue melalui vektor nyamuk Aedes aegypti ditunjukkan pada gambar 2,

dimana komponen pada siklus transmisi adalah :

a. Inang vertebrata mengembangkan tingkat infeksi yang menyediakan sumber

infeksi kepada vektor.

b. Inang antropoda atau vektor mampu melakukan transmisi.

c. Satu atau lebih inang vertebrata terinfeksi setelah digigit vector.

(Koesharto,2011)

5

Page 6: Tugas Prof. Didik_edit

Gambar 2. Infeksi virus dengue melalui vektor nyamuk A. aegypti (Sumber :Koesharto,2010)

2.1.4 Pengobatan Penyakit Demam Berdarah

Fokus pengobatan pada penderita penyakit DBD adalah mengatasi

perdarahan, mencegah atau mengatasi keadaan syok/presyok, yaitu dengan

mengusahakan agar penderita banyak minum sekitar 1,5 sampai 2 liter air dalam

24 jam (air teh dan gula sirup atau susu).(Syamsuddin,2011)

Penambahan cairan tubuh melalui infus (intravena) mungkin diperlukan

untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi yang berlebihan. Transfusi

platelet dilakukan jika jumlah platelet menurun drastis. Selanjutnya adalah

pemberian obat-obatan terhadap keluhan yang timbul, misalnya:

a. Paracetamol membantu menurunkan demam

b. Garam elektrolit (oralit) jika disertai diare

c. Antibiotik berguna untuk mencegah infeksi sekunder

6

Manusia

Nyamuk Ae. Aegypti

Manusia

Nyamuk Ae. Aegypti

Transmisivektor

Manusia sebagaiinang dan sumber

Belumterinfeksi

terinfeksi

Terinfeksi padavektor

Inkubasiekstrinsik

Manusia sebagaiinang dan sumber

Terinfeksi padavektor

Page 7: Tugas Prof. Didik_edit

d. Lakukan kompres dingin, tidak perlu dengan es karena bisa berdampak syok.

Bahkan beberapa tim medis menyarankan kompres dapat dilakukan dengan

alkohol.

e. Pengobatan alternatif yang umum dikenal adalah dengan meminum jus jambu

biji bangkok, namun khasiatnya belum pernah dibuktikan secara medik, akan

tetapi jambu biji kenyataannya dapat mengembalikan cairan intravena dan

peningkatan nilai trombosit darah.(Koesharto,2010)

2.1.5 Pencegahan Penyakit Demam Berdarah

Pencegahan dilakukan dengan menghindari gigitan nyamuk diwaktu pagi

sampai sore, karena nyamuk Aedes aktif di siang hari (bukan malam hari).

Misalnya hindarkan berada di lokasi yang banyak nyamuknya di siang hari,

terutama di daerah yang ada penderita DBD nya. Beberapa cara yang paling

efektif dalam mencegah penyakit DBD melalui metode pengontrolan atau

pengendalian vektornya adalah:

a. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), pengelolaan sampah padat, modifikasi

tempat dan perbaikan desain rumah.

b. Pemeliharaan ikan pemakan jentik (ikan adu/ikan cupang) pada tempat air

kolam, dan bakteri (Bt.H-14).

c. Pengasapan/fogging (dengan menggunakan malathion dan fenthion).

d. Memberikan bubuk abate (temephos) pada tempat-tempat penampungan air

seperti, gentong air, vas bunga, kolam, dan lain-lain. (Koesharto,2010)

2.2 Geografis dan Demografis Provinsi Aceh

2.2.1 Karakteristik Lokasi dan Wilayah

Provinsi Aceh terletak di ujung Barat Laut Sumatera dengan Ibu kota

Banda Aceh, memiliki luas wilayah 56.758,85 km2 atau 5.675.850 Ha (12,26 %

dari luas pulau Sumatera), wilayah lautan sejauh 12 mil seluas 7.479.802 Ha

dengan garis pantai 2.666,27 km2. Secara administratif pada tahun 2009, Provinsi

Aceh memiliki 23 kabupaten/kota yang terdiri dari 18 kabupaten dan 5 kota, 276

kecamatan, 755 mukim dan 6.423 gampong atau desa (RPJP Aceh, 2005).

7

Page 8: Tugas Prof. Didik_edit

Provinsi Aceh memiliki posisi strategis sebagai pintu gerbang lalu lintas

perdagangan Nasional dan Internasional yang menghubungkan belahan dunia

timur dan barat dengan batas wilayahnya: sebelah utara berbatasan dengan Selat

Malaka dan Teluk Benggala, sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi

Sumatera Utara dan Samudera Hindia, sebelah Barat berbatasan dengan Samudera

Hindia dan sebelah Timur berbatasan dengan Selat Malaka dan Provinsi Sumatera

Utara (RPJP Aceh, 2005).

2.2.2 Kondisi Topografi

Provinsi Aceh memiliki topografi datar hingga bergunung. Wilayah

dengan topografi daerah datar dan landai sekitar 32 persen dari luas wilayah,

sedangkan berbukit hingga bergunung mencapai sekitar 68 persen dari luas

wilayah. Daerah dengan topografi bergunung terdapat di bagian tengah Aceh yang

merupakan gugusan pegunungan bukit barisan dan daerah dengan topografi

berbukit dan landai terdapat di bagian utara dan timur Aceh. Berdasarkan kelas

topografi wilayah Provinsi Aceh yang memiliki topografi datar (0 - 2%) tersebar

di sepanjang pantai barat-selatan dan pantai utara-timur sebesar 25 persen dari

total wilayah; landai (2 – 15%) tersebar di antara pegunungan Seulawah dengan

Sungai Krueng Aceh, di bagian pantai barat - selatan dan pantai utara - timur

sebesar 11,29 persen dari total wilayah; agak curam (15 - 40%) sebesar 25,82

persen dan sangat curam (> 40%) yang merupakan punggung pegunungan

Seulawah, gunung Leuser, dan bahu dari sungai - sungai yang ada sebesar 38,06

persen dari total wilayah (RPJMA, 2007).

Provinsi Aceh memiliki ketinggian rata-rata 125 m diatas permukaan laut.

Persentase wilayah berdasarkan ketinggiannya yaitu: (1) Daerah berketinggian 0-

25 m dpl merupakan 22,62 persen luas wilayah, (2) Daerah berketinggian 25-

1.000 m dpl sebesar 54,22 persen luas wilayah dan (3) Daerah berketinggian di

atas 1.000 m dpl sebesar 23,16 persen luas wilayah (RPJMA, 2007).

2.2.3 Wilayah Rawan Bencana

Potensi ancaman bencana di Aceh tidak akan berkurang secara signifikan

dalam tahun-tahun ke depan. Mengingat kondisi geografis, geologis, hidrologis

8

Page 9: Tugas Prof. Didik_edit

dan demografis Aceh maka diperlukan suatu upaya menyeluruh dalam upaya

penanggulangan bencana, baik ketika bencana itu terjadi, sudah terjadi, maupun

potensi bencana di masa yang akan datang. Konsekuensi dari kondisi

geomorfologis dan klimatologis serta demografis, maka ancaman bahaya (hazard)

di Aceh mencakup ancaman geologis, hidro-meteorologis, serta sosial dan

kesehatan (RPJP Aceh, 2005).

Secara geologis, Aceh berada di jalur pertemuan lempeng Asia dan

Australia, serta berada di bagian ujung patahan besar Sumatera (sumatera

fault/transform) yang membelah pulau Sumatera dari Aceh sampai Selat Sunda

yang dikenal dengan Patahan Semangko. Zona patahan aktif yang terdapat di

wilayah Aceh adalah wilayah bagian tengah, yaitu di Kabupaten Aceh Besar,

Pidie, Pidie Jaya, Aceh Tengah, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Aceh Barat, Nagan

Raya, Aceh Barat Daya, dan Aceh Selatan. Hal ini dapat menyebabkan Aceh

mengalami bencana geologis yang cukup panjang (RPJP Aceh, 2005).

Berdasarkan catatan bencana geologis, tsunami pernah terjadi pada tahun

1797, 1891, 1907 dan tanggal 26 Desember tahun 2004 adalah catatan kejadian

ekstrim terakhir yang menimbulkan begitu banyak korban jiwa dan harta.

Kawasan dengan potensi rawan tsunami yaitu di sepanjang pesisir pantai wilayah

Aceh yang berhadapan dengan perairan laut yang potensial mengalami tsunami

seperti Samudera Hindia di sebelah barat (Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya,

Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Singkil, dan Simeulue), perairan Laut

Andaman di sebelah utara (Banda Aceh, Aceh Besar, dan Sabang), dan perairan

Selat Malaka di sebelah utara dan timur (Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Utara,

Lhokseumawe, Aceh Timur, Langsa, dan Aceh Tamiang). (RPJP Aceh, 2005).

Gempa bumi yang terjadi selama kurun waktu 2007-2010 di Aceh

sebanyak 97 kali dengan kekuatan > 5 sampai dengan 7,5 Skala Richter. Kejadian

diprediksi akan berulang karena Aceh berada diatas tumbukan lempeng dan

patahan. Dampak yang ditimbulkan selama kurun waktu tersebut yaitu korban

jiwa sebanyak 62 orang, kerusakan harta benda diperkirakan mencapai 25–50

Milyar rupiah, kerusakan sarana dan prasarana 20–40 persen, sedangkan cakupan

wilayah yang terkena gempa sekitar 60–80 persen, dan 5 persen berpengaruh

9

Page 10: Tugas Prof. Didik_edit

terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat (terganggunya mata pencaharian)

(RPJMA, 2007).

Potensi bencana tanah longsor biasa terjadi di sekitar kawasan pegunungan

atau bukit dimana dipengaruhi oleh kemiringan lereng yang curam pada tanah

yang basah dan bebatuan yang lapuk, curah hujan yang tinggi, gempa bumi atau

letusan gunung berapi yang menyebabkan lapisan bumi paling atas dan bebatuan

berlapis terlepas dari bagian utama gunung atau bukit. Tanda - tanda terjadinya

longsor dapat ditandai dengan beberapa parameter antara lain keretakan pada

tanah, runtuhnya bagian-bagian tanah dalam jumlah besar, perubahan cuaca secara

ekstrim dan adanya penurunan kualitas landskap dan ekosistem. Dimensi alam

menyebabkan Aceh mengalami hampir semua jenis bencana hidro-meteorologis

seperti puting beliung, banjir, abrasi dan sedimentasi, badai siklon tropis serta

kekeringan (RPJMA, 2007).

Selain bencana yang disebabkan oleh fenomena alam, bencana juga dapat

disebabkan oleh perilaku manusia antara lain karena kelalaian, ketidaktahuan,

maupun sempitnya wawasan dari sekelompok masyarakat atau disebut bencana

sosial. Bencana sosial dapat terjadi dalam bentuk kebakaran, pencemaran

lingkungan (polusi udara dan limbah industri) dan kerusuhan/konflik sosial.

Bencana sosial dapat juga muncul sebagai akibat bencana alam, baik yang

disebabkan oleh faktor alam maupun faktor manusia dalam memandang dan

memanfaatkan sumberdaya alam (faktor antropogenik). Kejadian bencana sosial

yang menonjol di Aceh adalah konflik yang berlatar belakang ideologi dan

ekonomi, serta Kejadian Luar Biasa (KLB) seperti penyakit menular dan atau

tidak menular yang dipicu oleh perilaku manusia itu sendiri (RPJMA, 2007).

Bencana lain dapat juga diakibatkan oleh kelalaian manusia (man-made

disaster) akibat dari tidak sesuainya perencanaan dan implementasi suatu industri

pengolahan sumberdaya alam, sehingga diperlukan suatu penelitian yang

berkesinambungan dengan melibatkan multi-displin dan multi-sektoral untuk

mengantisipasi dan memberikan solusi terhadap dampak bencana (RPJP Aceh,

2005).

2.2.4 Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana

10

Page 11: Tugas Prof. Didik_edit

Konflik berkepanjangan dan bencana gempa bumi dan tsunami tanggal 26

Desember 2004 telah menempatkan Aceh pada jurang ketertinggalan yang jauh

dan Aceh kembali ke titik nol. Akibat konflik ekonomi Aceh menjadi tersendat,

Aceh menjadi satu-satunya Provinsi di Indonesia yang terus-menerus mengalami

tingkat pertumbuhan yang rendah atau negatif. Bencana alam melengkapi

penderitaan dengan banyaknya korban nyawa selain kerusakan infrastruktur fisik,

ekonomi dan sosial pada skala masif. Wilayah pesisir sepanjang tidak kurang dari

800 km, dari Kabupaten Singkil ke selatan, memutar ke Banda Aceh di utara

hingga ke Aceh Timur terkena dampak bencana (RPJP Aceh, 2005).

Capaian Kegiatan Rehabilitasi dan Rekonstruksi

NO Dampak bencana Capaian 4 tahun RR1 635.384 orang kehilangan

tempat tinggal2 127.720 orang meninggal dan

93.285 orang hilang3 104.500 Usaha Kecil dan

Menengah (UKM) lumpuh155.182 tenaga kerja terlatih, 195.726 UKM menerima bantuan

4 139.195 rumah rusak atau hancur

140.304 rumah permanen dibangun

5 73.869 hektare lahan pertanian hancur

69.979 hektare lahan pertanian direhabilitasi

6 1.927 tenaga kesehatan meninggal

39.663 tenaga kesehatan dilatih

7 13.828 kapal nelayan hancur 7.109 kapal nelayan dibangun atau dibagikan

8 1.089 sarana ibadah rusak 3.781 sarana ibadah dibangun atau diperbaiki

9 2.618 kilometer jalan rusak 3.696 kilometer jalan dibangun10 3.415 sekolah rusak 1.759 sekolah dibangun11 517 sarana kesehatan rusak 1.115 sarana kesehatan dibangun12 669 bangunan pemerintah rusak 996 bangunan pemerintah

dibangun13 119 jembatan rusak 363 jembatan dibangun14 22 pelabuhan rusak 23 pelabuhan dibangun15 8 bandara atau airstrip rusak 13 bandara atau airstrip

dibangunSumber (RPJP Aceh, 2005)

2.2.5 Demografi

11

Page 12: Tugas Prof. Didik_edit

Jumlah penduduk Aceh pada akhir 2009 adalah 4.363.477 jiwa, dengan

total jumlah kepala keluarga atau rumah tangga adalah 1.073.481

kepalakeluarga/rumah tangga. Laju pertumbuhan penduduk Aceh selama 5 tahun

(2006-2009) terakhir sebesar 1,66 persen. Kota Sabang memiliki laju

pertumbuhan penduduk yang terendah dibandingkan kabupaten/kota lain di Aceh

yakni sebesar 0,10 persen, sedangkan yang tertinggi adalah Kabupaten Aceh Jaya

yakni sebesar 7,90 persen. Sebaran penduduk di wilayah aceh masih belum

merata. Kabupaten/kota yang memiliki jumlah penduduk terbesar adalah

Kabupaten Aceh Utara (532.535 jiwa) dan jumlah penduduk terkecil adalah Kota

Sabang (RPJP Aceh, 2005).

2.2.6 Kondisi Kesehatan Lingkungan

Menilai keadaan lingkungan sehat ada 4 (empat) indikator yaitu (1)

persentase keluarga yang memiliki persediaan air minum sehat, (2) keluarga yang

memiliki jamban sehat, (3) persentase keluarga yang mengelola sampah dan (4)

keluarga yang mengelola air limbahnya dengan baik. Keadaan ini masih jauh dari

yang diharapkan karena situasi lingkungan yang kurang sehat dan perilaku hidup

sehat yang masih perlu mendapat perhatian serta kerusakan lingkungan akibat

bencana yang demikian parah sehingga indikator keberhasilan program ini belum

mencapai target. Sampai tahun 2012 pembenahan kondisi ini telah diawali dengan

penyuluhan, pergerakan masyarakat serta peningkatan sarana dan prasarana yang

memadai, dengan demikian diharapkan akan terbentuk desa sehat mandiri

sekaligus sebagai cikal bakal kabupaten/kota sehat (Riskesdas, 2008).

2.2.7 Bencana Sosial dan Kesehatan

Kejadian bencana sosial yang menonjol di Aceh adalah konflik yang

berlatar belakang ideologi dan ekonomi, serta permasalahan dalam bidang

kesehatan yaitu terjadinya beban ganda penyakit baik penyakit menular dan atau

tidak menular yang dipicu oleh perilaku manusia itu sendiri. Salah satu penyakit

yang sering terjadi dan merenggut nyawa adalah penyakit Demam Berdarah

Dengue (DBD). Jumlah kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) pada tahun 2009

dijumpai 35,36 per 100.000 penduduk sedangkan pada tahun 2010 meningkat

12

Page 13: Tugas Prof. Didik_edit

drastis menjadi 63,71 per 100.000 penduduk. Angka kematian DBD tahun 2009

sebesar 1,27 per 100.000 penduduk sedangkan pada tahun 2010 turun menjadi

0,92 per 100.000 penduduk. Kasus DBD tertinggi di 3 kabupaten/kota, yaitu;

Banda Aceh, Lhokseumawe, dan Aceh Besar. Di Kota Banda Aceh, kasus DBD

pada tahun 2007 mencapai 834 kasus, namun pada tahun 2008 menurun menjadi

593 kasus. Hal ini disebabkan program DBD Watch yang dilaksanakan

Pemerintah Kota Banda Aceh yang didukung oleh masyarakat. Sedangkan di Kota

Lhokseumawe dari hanya 255 kasus pada tahun 2007 meningkat menjadi 632

kasus pada tahun 2008, sementara di Kabupaten Aceh Besar terjadi peningkatan

dari 160 kasus tahun 2007 menjadi 391 kasus tahun 2008 (Profil Kesehatan

Provinsi Aceh Tahun 2011).

Terjadinya peningkatan kasus disebabkan karena kondisi lingkungan yang

tidak memadai sebagai akibat dari bencana alam, Selain kondisi geografis dan

musim yang tidak menentu juga sumber perindukan nyamuk yang tidak

dimusnahkan secara cepat oleh penduduk maupun petugas diduga sebagai faktor

pencetus berkembangnya vektor. Dengan mempertimbangkan faktor lingkungan

fisik dan biologis, keterbukaan daerah (transportasi yang memadai) dan mobilitas

penduduk yang tinggi maka pada tahun 2012 ditargetkan semua fasilitas

pelayanan kesehatan mampu meminimalisir kasus kematian dan terlaksananya

kegiatan sistim kewaspadaan dini di masyarakat. Sehingga angka kesakitan dan

kematian bisa diturunkan (Dinkes Aceh, 2011).

Perlu keseimbangan pemanfaatan sumber daya alam dalam pembangunan

fasilitas infrastruktur, transportasi umum, permukiman dengan melihat sejarah

kebencanaan, sehingga didapatkan efisiensi ekonomi dalam mengantisipasi

Millenium Development Goals (MDGs) 2015 (Riskesdass, 2008).

Pembangunan kesehatan di Aceh merupakan bagian dari pembangunan

kesehatan nasional. Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan

kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang untuk

mewujudkan derajat kesehatan masyarakat Aceh setinggi-tingginya.

Pembangunan kesehatan Aceh merupakan program berkelanjutan yang bertujuan

meningkatkan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan sosial. Dari data terkini

mengenai kondisi penyakit menular maupun penyakit tidak menular ternyata

13

Page 14: Tugas Prof. Didik_edit

memberi gambaran peningkatan yang terjadi pada kedua jenis penyakit tersebut.

Pemerintah sebenarnya telah menentukan strategi dan arah kebijakan untuk

menurunkan Incidence Rate dan angka kematian akibat DBD antara lain:

melakukan deteksi dini dan pengobatan segera terhadap penderita, penting

dilakukan tindakan yang lebih proaktif dari pemerintah dan masyarakat untuk

menjaga kebersihan lingkungan berupa kegiatan pembersihan lingkungan bersama

secara teratur, upaya promosi kesehatan lingkungan perlu dikembangkan melalui

media massa seperti poster yang diletakkan di tempat yang menjadi pusat kegiatan

masyarakat. Namun pencapaian masih belum maksimal seperti yang diharapkan.

Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhi belum tercapainya

target tersebut. Masih tingginya penderita penyakit yang disebabkan oleh vektor

nyamuk yaitu filariasis, DBD dan malaria yang menggambarkan kondisi

lingkungan yang belum bebas dari nyamuk (Syamsuddin: 2011).

14

Page 15: Tugas Prof. Didik_edit

BAB III

DATA DAN PEMBAHASAN

3.1 Data Penyakit Demam Berdarah Dengue Provinsi Aceh

3.1.1 Incidence Rate DBD Penduduk Provinsi Aceh

Grafik 1. Incidence Rate penyakit Demam Berdarah Dengue per 100.000

penduduk Provinsi Aceh tahun 2003 – 2011. (Sumber : Pusat Data dan Informasi

Kemenkes RI)

Interpretasi Data:

Grafik di atas menunjukkan bahwa pada tahun 2003 terjadi Incidence Rate

penyakit Demam Berdarah Dengue sebesar 2,76 per 100.000 penduduk, dan hal

ini terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan hingga pada periode tahun

15

Page 16: Tugas Prof. Didik_edit

2008 yaitu sebesar 54,76 per 100.000 penduduk. Data tahun 2009 menunjukkan

Incidence Rate penyakit Demam Berdarah Dengue menurun menjadi 35,36 per

100.000 penduduk. Pada tahun 2010 kembali terjadi peningkatan yang cukup

drastis yaitu sebesar 63,71 per 100.000 penduduk dan kemudian kembali

mengalami penurunan pada tahun 2011 yaitu sebesar 56,40 per 100.000

penduduk.

3.1.2 Mortality Rate DBD Penduduk Provinsi Aceh

Grafik 2. Angka Kematian Penyakit Demam Berdarah Dengue Provinsi Aceh

Tahun 2003 – 2011. (Sumber : Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI)

Interpretasi data:

Grafik di atas menunjukkan angka kematian akibat penyakit Demam

Berdarah Dengue dari tahun 2003 ke 2004 meningkat sebesar 2,76 kematian per

100.000 penduduk dan terus mengalami penurunan yang signifikan hingga pada

tahun 2011 dimana angka kematian sebesar 0,58 per 100.000 penduduk.

3.2 Pembahasan

3.2.1 Case Fatality Rate (CFR) DBD di Provinsi Aceh antara Tahun 2003 –

2011

16

Page 17: Tugas Prof. Didik_edit

Case Fatality Rate (CFR) adalah perbandingan antara jumlah kematian

terhadap penyakit tertentu yang terjadi dalam 1 tahun dengan jumlah penduduk

yang menderita penyakit tersebut pada tahun yang sama.

Rumus:

Keterangan:

P= Jumlah kematian terhadap penyakit tertentu

T= jumlah penduduk yang menderita penyakit tersebut pada tahun yang sama.

Berdasarkan data yang kami peroleh dari Pusat Data dan Informasi

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia di atas maka berikut ini dapat kami

sajikan dalam tabel besarnya angka Case Fatality Rate (CFR) DBD di Provinsi

Aceh antara tahun 2003 – 2011:

Tahun Jumlah kematian(per 100.000 penduduk)

Jumlah penduduk yang menderita penyakit tersebut pada tahun yang sama (per

100.000 penduduk)

CFR=(P/T)k(dalam %)

2003 2,76 3,10 89

2004 4,37 5,43 80,47

2005 1,59 14,86 10,69

2006 1,98 19,43 10,19

2007 0,83 38,92 2,13

2008 1,31 54,76 2,39

2009 1,27 35,36 3,59

2010 0,92 63,71 1,44

2011 0,58 56,40 1,02

17

CFR=(P/T)k

Page 18: Tugas Prof. Didik_edit

Tabel 1. Case Fatality Rate penyakit DBD di Provinsi Aceh tahun 2003-2011

Diagram 1. Case Fatality Rate penyakit DBD di Provinsi Aceh tahun 2003-2011

Berdasarkan data tersebut di atas dapat diketahui bahwasanya dari tahun

ke tahun angka Case Fatality Rate (CFR) penyakit DBD ini cenderung

mengalami penurunan yang cukup signifikan. Angka yang sangat tinggi pada

periode tahun 2003 dan 2004 dapat difahami sebagai ekses dari situasi

perekonomian Aceh pada saat konflik yang cenderung tidak stabil disertai dengan

situasi sosial dan politik yang sangat rawan sehingga masyarakatpun cenderung

enggan untuk keluar rumah walaupun hanya sekedar untuk berobat pada instansi

kesehatan, begitupula halnya dengan para petugas kesehatan yang sulit untuk

menjangkau daerah – daerah tertentu pada kurun waktu tersebut sehingga upaya

promotif dan kuratif dirasakan kurang. Hal ini diperparah pada saat terjadinya

tsunami dimana sebagian besar infrastruktur kesehatan rusak berat, selain itu juga

banyak petugas medis yang hilang ataupun meninggal dunia akibat bencana

gempa dan tsunami tersebut. Akan tetapi seiring bertambahnya waktu dimana

begitu banyaknya bantuan baik itu dari pemerintah melalui BRR (Badan

18

Page 19: Tugas Prof. Didik_edit

Rekonstruksi dan Rehabilitasi) maupun dari NGO (Non Goverment Organization)

dari negara-negara asing, maka perlahan dan pasti infrastruktur kesehatan di Aceh

mulai diperbaiki, seiring dengan mulai kondusifnya situasi keamanan daerah dan

mulai bergeliatnya perekonomian di Aceh hal ini berimbas pula pada CFR DBD

yang kian tahun kian membaik. Dapat dilihat pada diagram batang di atas pada

tahun 2005 telah terjadi penurunan angka CFR sebesar 69,78% dari tahun

sebelumnya dan meskipun selisihnya tidaklah banyak namun pada tahun 2006

juga mengalami penurunan sebesar 0,5%. Penurunan angka CFR DBD di Provinsi

Aceh kembali menggembirakan pada tahun 2007 yang mengalami penurunan

sebesar 8,06% dari tahun sebelumnya dan prestasi ini terus berlanjut hingga tahun

2011.

3.2.2 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Penurunan Mortality Rate

Walaupun Incidence Rate DBD Cukup Tinggi di Provinsi Aceh Antara

Tahun 2003 – 2011

Banyak hal yang melatarbelakangi penurunan Mortality Rate walaupun

Incidence Rate DBD di Provinsi Aceh masih cukup tinggi antara lain yaitu dengan

berakhirnya konflik pada tahun 2005 yang disertai dengan adanya aktivitas

rehabilitasi dan rekonstruksi maka tingkat kemiskinan di Aceh terus menurun

secara signifikan sehingga masyarakat mempunyai biaya untuk berobat apabila

menderita penyakit DBD, selain itu capaian 4 tahun rehabilitasi dan rekonstruksi

memperlihatkan hasil yang baik yaitu 1.115 sarana kesehatan dibangun dan

39.663 tenaga kesehatan dilatih, sehingga masyarakat dapat dengan mudah

menjangkau fasilitas kesehatan terdekat dan cepat mendapatkan pertolongan yang

memadai dari tenaga kesehatan yang kompeten dan terlatih.

Sejalan dengan Profil Kesehatan Aceh (2011) yang mempertimbangkan

faktor lingkungan fisik, biologis dan mobilitas penduduk yang tinggi maka pada

tahun 2012 Dinas Kesehatan Provinsi Aceh menargetkan semua fasilitas

pelayanan kesehatan mampu meminimalisir kasus kematian dan terlaksananya

kegiatan sistim kewaspadaan dini di masyarakat. Menurunnya angka kematian

akibat DBD tidak terlepas dari strategi dan arah kebijakan pemerintah antara lain

dengan melakukan deteksi dini dan pengobatan segera terhadap penderita.

19

Page 20: Tugas Prof. Didik_edit

(Syamsuddin, 2011). Selain itu yang paling penting adalah meningkatnya

pengetahuan masyarakat tentang ciri-ciri DBD dan adanya kesadaran terhadap

dampak yang dapat terjadi apabila menderita DBD sehingga masyarakat akan

cepat mencari pertolongan medis. Kesadaran masyarakat akan pentingnya

melakukan pengobatan yang sungguh – sungguh pada keluarganya yang

menderita DBD pun mulai meningkat karena hal ini dipicu dengan kemudahan

yang kini difasilitasi oleh Pemerintah Aceh dengan adanya JKA (Jaminan

Kesehatan Aceh) yang berlaku sejak tahun 2010 sehingga setiap warga Aceh yang

memiliki KTP Aceh berhak untuk mendapatkan pelayanan yang gratis pada

instansi kesehatan milik pemerintah maupun beberapa rumah sakit swasta yang

telah bekerja sama dengan Pemerintah Aceh. Sehingga kini dengan adanya sistem

pengobatan gratis ini mendorong banyak masyarakat Aceh yang memeriksakan

kesehatannya secara mudah tanpa harus memikirkan mahalnya biaya pemeriksaan

maupun biaya obat.

Tidak sejalan dengan angka kematian akibat Demam Berdarah Dengue

(DBD) yang cenderung menurun, angka Incidence Rate DBD di Aceh dari tahun

ke tahun cenderung meningkat. Terjadinya peningkatan kasus disebabkan karena

kondisi lingkungan yang tidak memadai sebagai akibat dari bencana alam, selain

kondisi geografis dan musim yang tidak menentu juga sumber perindukan

nyamuk yang tidak dimusnahkan secara cepat oleh penduduk maupun petugas

diduga sebagai faktor pencetus berkembangnya vektor. (Dinkes Aceh, 2011).

Pada dasarnya Demam Berdarah Dengue merupakan penyakit endemik di

provinsi Aceh. Wilayah yang sudah diketahui adanya serangan penyakit DBD

akan mungkin ada penderita lainnya bahkan akan dapat menyebabkan wabah yang

luar biasa bagi penduduk di sekitarnya (Koesharto, 2010). Penyakit Demam

Berdarah Dengue banyak ditemukan di daerah tropis seperti Asia Tenggara, India,

Brazil, Amerika termasuk di seluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat-tempat

ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan air laut. Provinsi Aceh

memiliki ketinggian rata-rata 125 m diatas permukaan laut. Persentase wilayah

berdasarkan ketinggiannya yaitu: (1) Daerah berketinggian 0-25 m dpl merupakan

22,62 persen luas wilayah, (2) Daerah berketinggian 25-1.000 m dpl sebesar 54,22

persen luas wilayah dan (3) Daerah berketinggian di atas 1.000 m dpl sebesar

20

Page 21: Tugas Prof. Didik_edit

23,16 persen luas wilayah. Kondisi topografi ini merupakan salah satu faktor

pencetus tingginya angka kejadian DBD di Aceh (RPJMA, 2007-2012).

Data di atas juga didukung hasil publikasi yang dituangkan dalam RPJM

2007-2012 yang mengatakan bahwa kualitas lingkungan masyarakat Aceh masih

rendah. Hal ini ditandai dengan masih banyaknya sampah yang berserakan di

lingkungan sekitar yang memungkinkan menjadi tempat perindukan nyamuk

Aedes aegypty yang merupakan nyamuk penular DBD. Di samping itu terbatasnya

dana dan sumberdaya untuk melakukan pemantauan jentik, pelaksanaan fogging

dan sistem surveilans yang belum optimal juga menjadi salah satu faktor yang

mempengaruhi tetap tingginya Incidence Rate DBD di Aceh. Riskesdas (2008)

mengatakan bahwa Provinsi Aceh sangat cocok bagi tempat berkembangbiaknya

nyamuk Aedes aegepty. Dari data Dinas Kesehatan Propinsi Aceh (2011)

didapatkan bahwa hanya terdapat 39,22% rumah tangga yang terbebas dari

nyamuk ini. Faktor inilah yang menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah kasus

DBD dalam masyarakat.

21

Page 22: Tugas Prof. Didik_edit

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa:

1. Case Fatality Rate (CFR) penyakit DBD sejak tahun 2003 hingga 2011

cenderung mengalami penurunan yang cukup signifikan.

2. Incidence Rate DBD di Provinsi Aceh selama tahun 2003 - 2011

cenderung meningkat akan tetapi angka kematian akibat DBD

mengalami penurunan yang cukup drastis.

3. Faktor – faktor yang mempengaruhi terjadinya penurunan angka

kematian yaitu berakhirnya konflik pada tahun 2005 yang disertai dengan

adanya aktivitas rehabilitasi dan rekonstruksi yang diikuti dengan

penurunan tingkat kemiskinan masyarakat Aceh, meningkatnya

pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang ciri-ciri dan dampak

yang terjadi apabila menderita DBD, strategi dan arah kebijakan

pemerintah antara lain dengan melakukan deteksi dini dan pengobatan

segera terhadap penderita, serta berlakunya program asuransi kesehatan

gratis bagi masyarakat Aceh (JKA).

4.2 Saran

1. Instansi Pelayanan Kesehatan

a. Meningkatkan sosialisasi program 3M-Plus yang terdiri atas

menguras, menutup dan mengubur tempat-tempat yang bisa

digenangi air. Sebagai tambahannya adalah memelihara ikan

pemakan jentik atau menebar larvasida.

b. Melakukan pengasapan di daerah yang dianggap rawan

berkembangnya nyamuk Aedes aegypti.

22

Page 23: Tugas Prof. Didik_edit

c. Upaya promosi kesehatan lingkungan perlu dikembangkan melalui

media massa seperti poster yang diletakkan di tempat yang menjadi

pusat kegiatan masyarakat.

2. Masyarakat

Masyarakat harus memiliki kesadaran untuk membersihkan

lingkungan sekitar seperti: gotong royong membersihkan selokan

yang kotor, jika ada kaleng-kaleng bekas harus dikuburkan agar

tidak tergenang air sehingga tidak terjadi genangan air yang dapat

menambah populasi jentik nyamuk Aedes aegypti.

23