Tugas Prof. Didik_edit
-
Upload
reza-maulana -
Category
Documents
-
view
127 -
download
0
Transcript of Tugas Prof. Didik_edit
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di Indonesia, Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) atau Demam
Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit akibat virus yang masih
menjadi masalah kesehatan di masyarakat. Departemen Kementrian Kesehatan
melaporkan sampai pertengahan tahun 2011 penyakit DBD telah menjadi
masalah endemik di 122 kecamatan, 1800 desa dan menjadi kejadian luar
biasa (KLB) pada tahun 2005 dengan angka kematian sekitar 2%. Pada tahun
2006, kasus DBD sekitar 104.656 kasus dengan angka kematian 1,03% dan
pada tahun 2007 jumlah kasus mencapai 140.000 dengan angka kematian 1%
(Depkes, 2008).
Menurut Depkes, pada tahun 2008 jumlah kasus Demam Berdarah
Dengue (DBD) di Indonesia sebanyak 136.256 orang dan yang meninggal
sebanyak 1.170 orang serta dengan Incidence Rate 60,02 per 100 penduduk.
Jumlah penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) diperkirakan akan terus
meningkat karena masih tingginya curah hujan (Depkes, 2009)
Demam Berdarah Dengue merupakan penyakit endemik di provinsi
Aceh dengan jumlah kasus di tahun 2003 sebanyak 2,76 per 100.000
penduduk yang naik secara signifikan menjadi 56,40 per 100.000 penduduk
pada tahun 2011, padahal target renstra pada tahun 2011 Incidence Rate DBD
< 54 per 100.000 penduduk. Hal ini menunjukkan bahwa masih adanya
kesenjangan antara keadaan di lapangan dengan apa yang diharapkan (Profil
Kesehatan Provinsi Aceh Tahun 2011).
Berbeda dengan Incidence Rate DBD, angka kematian akibat DBD
selama kurun waktu antara 2003 – 2011 mengalami penurunan yang cukup
drastis, hanya saja pada tahun 2004 terjadi kenaikan sebesar 1, 27 per 100.000
penduduk dari tahun sebelumnya, dimana pada tahun (2003) Angka kematian
sebesar 3,10 per 100.000 penduduk dan pada tahun (2004) meningkat menjadi
4,37 per 100.000 penduduk (Profil Kesehatan Provinsi Aceh Tahun 2011).
1
Data-data di atas menginformasikan bahwa masih diperlukan upaya-
upaya dan strategi untuk mengurangi Incidence Rate DBD di Provinsi Aceh
walaupun angka kematian akibat DBD selama kurun waktu 2003 – 2011
mengalami penurunan. Upaya-upaya dan strategi ini akan berhasil apabila ada
kerjasama yang baik antara pemerintah, tenaga kesehatan maupun masyarakat.
Peran serta masyarakat dalam membantu pemberantasan vektor penyakit DBD
sangat diperlukan dalam menjaga lingkungan yang sehat dan bersih, karena
dengan menjaga kebersihan lingkungan dan melakukan upaya pencegahan dan
Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue itu dapat secara
langsung memusnahkan tempat hidup/sarang nyamuk demam berdarah karena
mengingat Provinsi Aceh sangat cocok bagi tempat berkembangbiaknya
nyamuk Aedes aegepty sebagai nyamuk penyebar virus DBD. Data Dinas
Kesehatan Propinsi Aceh didapatkan data bahwa hanya 39,22% dari rumah
tangga yang bebas dari nyamuk ini (Riskesdas, 2008).
Adanya perbedaan fenomena antara Incidence Rate yang kian
meningkat sejak tahun 2003 hingga tahun 2011 dengan Angka kematian yang
cenderung menurun dari tahun ke tahun inilah maka penyusun tertarik untuk
mengangkat makalah mengenai gambaran terjadinya DBD di Provinsi Aceh
pada Tahun 2003 – 2011.
1.2 Tujuan Penyusunan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui Case Fatality Rate (CFR) DBD di Provinsi Aceh antara
tahun 2003 – 2011.
2. Untuk mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi terjadinya
penurunan angka kematian walaupun Incidence Rate DBD masih cukup
tinggi di Provinsi Aceh antara tahun 2003 – 2011.
3. Untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah Manajemen Pelayanan
Kesehatan Program Pasca Sarjana Kedokteran Keluarga Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
2
1.3 Manfaat Penyusunan
1.3.1 Institusi Pendidikan
Dapat digunakan sebagai masukan dan menambah kepustakaan serta
dijadikan dasar penelitian mahasiswa di bidang kesehatan.
1.3.2 Instansi Pelayanan Kesehatan
Makalah ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber informasi dalam
meningkatkan pelayanan kesehatan terutama dalam pencegahan dan
pemberantasan DBD.
1.3.3 Penyusun
Diharapkan dapat menjadi pengalaman belajar dalam meningkatkan
pengetahuan dan menambah wawasan.
1.3.4 Masyarakat
Diharapkan dari makalah ini dapat meningkatkan pemahaman dan
kesadaran masyarakat tentang berbagai upaya yang dapat dilakukan
dalam mencegah DBD serta meminimalisir angka kematian akibat
DBD.
3
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Demam Berdarah Dengue ( DBD )
2.1.1 Pengertian
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) {bahasa medisnya disebut
Dengue Hemorrhagic Fever (DHF)} adalah penyakit yang disebabkan oleh virus
dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes
albopictus, yang mana menyebabkan gangguan pada pembuluh darah kapiler dan
pada sistem pembekuan darah, sehingga mengakibatkan perdarahan-perdarahan.
(Koesharto,2010)
Penyakit ini banyak ditemukan di daerah tropis seperti Asia Tenggara,
India, Brazil, Amerika termasuk di seluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat-
tempat ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan air laut. Dokter dan
tenaga kesehatan lainnya seperti Bidan dan Mantri seringkali salah dalam
penegakkan diagnosa, karena kecenderungan gejala awal yang menyerupai
penyakit lain seperti Flu dan Tipes (Typhoid).(Koesharto,2010)
Gambar 1. Nyamuk A.aegypti (kiri) dan A. albopictus (kanan) (Sumber : Koesharto,2010).
2.1.2 Tanda dan Gejala Penyakit Demam Berdarah Dengue
Masa inkubasi selama 3 - 15 hari sejak seseorang terserang virus dengue,
Selanjutnya penderita akan menampakkan berbagai tanda dan gejala demam
berdarah sebagai berikut :
4
a. Demam tinggi yang mendadak 2-7 hari (38-40 derajat Celsius).
b. Pada pemeriksaan uji torniquet, tampak adanya jentik (puspura) perdarahan.
c. Adanya bentuk perdarahan dikelopak mata bagian dalam (konjungtiva),
mimisan (epitaksis), buang air besar dengan kotoran (Peaces) berupa lendir
bercampur darah (melena), dan lain-lainnya.
d. Terjadi pembesaran hati (hepatomegali).
e. Tekanan darah menurun sehingga menyebabkan syok.
f. Pada pemeriksaan laboratorium (darah) hari ke 3 - 7 terjadi penurunan
trombosit dibawah 100.000 /mm3 (trombositopeni), terjadi peningkatan nilai
hematokrit diatas 20% dari nilai normal (hemokonsentrasi).
g. Timbulnya beberapa gejala klinik yang menyertai seperti mual, muntah,
penurunan nafsu makan (anoreksia), sakit perut, diare, menggigil, kejang dan
sakit kepala.
h. Mengalami perdarahan pada hidung (mimisan) dan gusi.
i. Demam yang dirasakan penderita menyebabkan keluhan pegal/sakit pada
persendian.
j. Munculnya bintik-bintik merah pada kulit akibat pecahnya pembuluh darah.
(Syamsuddin,2011)
2.1.3 Proses Penularan Penyakit Demam Berdarah Dengue
Penyebaran penyakit DBD ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes
aegypti dan Aedes albopictus, sehingga pada wilayah yang sudah diketahui
adanya serangan penyakit DBD akan mungkin ada penderita lainnya bahkan akan
dapat menyebabkan wabah yang luar biasa bagi penduduk disekitarnya. Infeksi
virus dengue melalui vektor nyamuk Aedes aegypti ditunjukkan pada gambar 2,
dimana komponen pada siklus transmisi adalah :
a. Inang vertebrata mengembangkan tingkat infeksi yang menyediakan sumber
infeksi kepada vektor.
b. Inang antropoda atau vektor mampu melakukan transmisi.
c. Satu atau lebih inang vertebrata terinfeksi setelah digigit vector.
(Koesharto,2011)
5
Gambar 2. Infeksi virus dengue melalui vektor nyamuk A. aegypti (Sumber :Koesharto,2010)
2.1.4 Pengobatan Penyakit Demam Berdarah
Fokus pengobatan pada penderita penyakit DBD adalah mengatasi
perdarahan, mencegah atau mengatasi keadaan syok/presyok, yaitu dengan
mengusahakan agar penderita banyak minum sekitar 1,5 sampai 2 liter air dalam
24 jam (air teh dan gula sirup atau susu).(Syamsuddin,2011)
Penambahan cairan tubuh melalui infus (intravena) mungkin diperlukan
untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi yang berlebihan. Transfusi
platelet dilakukan jika jumlah platelet menurun drastis. Selanjutnya adalah
pemberian obat-obatan terhadap keluhan yang timbul, misalnya:
a. Paracetamol membantu menurunkan demam
b. Garam elektrolit (oralit) jika disertai diare
c. Antibiotik berguna untuk mencegah infeksi sekunder
6
Manusia
Nyamuk Ae. Aegypti
Manusia
Nyamuk Ae. Aegypti
Transmisivektor
Manusia sebagaiinang dan sumber
Belumterinfeksi
terinfeksi
Terinfeksi padavektor
Inkubasiekstrinsik
Manusia sebagaiinang dan sumber
Terinfeksi padavektor
d. Lakukan kompres dingin, tidak perlu dengan es karena bisa berdampak syok.
Bahkan beberapa tim medis menyarankan kompres dapat dilakukan dengan
alkohol.
e. Pengobatan alternatif yang umum dikenal adalah dengan meminum jus jambu
biji bangkok, namun khasiatnya belum pernah dibuktikan secara medik, akan
tetapi jambu biji kenyataannya dapat mengembalikan cairan intravena dan
peningkatan nilai trombosit darah.(Koesharto,2010)
2.1.5 Pencegahan Penyakit Demam Berdarah
Pencegahan dilakukan dengan menghindari gigitan nyamuk diwaktu pagi
sampai sore, karena nyamuk Aedes aktif di siang hari (bukan malam hari).
Misalnya hindarkan berada di lokasi yang banyak nyamuknya di siang hari,
terutama di daerah yang ada penderita DBD nya. Beberapa cara yang paling
efektif dalam mencegah penyakit DBD melalui metode pengontrolan atau
pengendalian vektornya adalah:
a. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), pengelolaan sampah padat, modifikasi
tempat dan perbaikan desain rumah.
b. Pemeliharaan ikan pemakan jentik (ikan adu/ikan cupang) pada tempat air
kolam, dan bakteri (Bt.H-14).
c. Pengasapan/fogging (dengan menggunakan malathion dan fenthion).
d. Memberikan bubuk abate (temephos) pada tempat-tempat penampungan air
seperti, gentong air, vas bunga, kolam, dan lain-lain. (Koesharto,2010)
2.2 Geografis dan Demografis Provinsi Aceh
2.2.1 Karakteristik Lokasi dan Wilayah
Provinsi Aceh terletak di ujung Barat Laut Sumatera dengan Ibu kota
Banda Aceh, memiliki luas wilayah 56.758,85 km2 atau 5.675.850 Ha (12,26 %
dari luas pulau Sumatera), wilayah lautan sejauh 12 mil seluas 7.479.802 Ha
dengan garis pantai 2.666,27 km2. Secara administratif pada tahun 2009, Provinsi
Aceh memiliki 23 kabupaten/kota yang terdiri dari 18 kabupaten dan 5 kota, 276
kecamatan, 755 mukim dan 6.423 gampong atau desa (RPJP Aceh, 2005).
7
Provinsi Aceh memiliki posisi strategis sebagai pintu gerbang lalu lintas
perdagangan Nasional dan Internasional yang menghubungkan belahan dunia
timur dan barat dengan batas wilayahnya: sebelah utara berbatasan dengan Selat
Malaka dan Teluk Benggala, sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi
Sumatera Utara dan Samudera Hindia, sebelah Barat berbatasan dengan Samudera
Hindia dan sebelah Timur berbatasan dengan Selat Malaka dan Provinsi Sumatera
Utara (RPJP Aceh, 2005).
2.2.2 Kondisi Topografi
Provinsi Aceh memiliki topografi datar hingga bergunung. Wilayah
dengan topografi daerah datar dan landai sekitar 32 persen dari luas wilayah,
sedangkan berbukit hingga bergunung mencapai sekitar 68 persen dari luas
wilayah. Daerah dengan topografi bergunung terdapat di bagian tengah Aceh yang
merupakan gugusan pegunungan bukit barisan dan daerah dengan topografi
berbukit dan landai terdapat di bagian utara dan timur Aceh. Berdasarkan kelas
topografi wilayah Provinsi Aceh yang memiliki topografi datar (0 - 2%) tersebar
di sepanjang pantai barat-selatan dan pantai utara-timur sebesar 25 persen dari
total wilayah; landai (2 – 15%) tersebar di antara pegunungan Seulawah dengan
Sungai Krueng Aceh, di bagian pantai barat - selatan dan pantai utara - timur
sebesar 11,29 persen dari total wilayah; agak curam (15 - 40%) sebesar 25,82
persen dan sangat curam (> 40%) yang merupakan punggung pegunungan
Seulawah, gunung Leuser, dan bahu dari sungai - sungai yang ada sebesar 38,06
persen dari total wilayah (RPJMA, 2007).
Provinsi Aceh memiliki ketinggian rata-rata 125 m diatas permukaan laut.
Persentase wilayah berdasarkan ketinggiannya yaitu: (1) Daerah berketinggian 0-
25 m dpl merupakan 22,62 persen luas wilayah, (2) Daerah berketinggian 25-
1.000 m dpl sebesar 54,22 persen luas wilayah dan (3) Daerah berketinggian di
atas 1.000 m dpl sebesar 23,16 persen luas wilayah (RPJMA, 2007).
2.2.3 Wilayah Rawan Bencana
Potensi ancaman bencana di Aceh tidak akan berkurang secara signifikan
dalam tahun-tahun ke depan. Mengingat kondisi geografis, geologis, hidrologis
8
dan demografis Aceh maka diperlukan suatu upaya menyeluruh dalam upaya
penanggulangan bencana, baik ketika bencana itu terjadi, sudah terjadi, maupun
potensi bencana di masa yang akan datang. Konsekuensi dari kondisi
geomorfologis dan klimatologis serta demografis, maka ancaman bahaya (hazard)
di Aceh mencakup ancaman geologis, hidro-meteorologis, serta sosial dan
kesehatan (RPJP Aceh, 2005).
Secara geologis, Aceh berada di jalur pertemuan lempeng Asia dan
Australia, serta berada di bagian ujung patahan besar Sumatera (sumatera
fault/transform) yang membelah pulau Sumatera dari Aceh sampai Selat Sunda
yang dikenal dengan Patahan Semangko. Zona patahan aktif yang terdapat di
wilayah Aceh adalah wilayah bagian tengah, yaitu di Kabupaten Aceh Besar,
Pidie, Pidie Jaya, Aceh Tengah, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Aceh Barat, Nagan
Raya, Aceh Barat Daya, dan Aceh Selatan. Hal ini dapat menyebabkan Aceh
mengalami bencana geologis yang cukup panjang (RPJP Aceh, 2005).
Berdasarkan catatan bencana geologis, tsunami pernah terjadi pada tahun
1797, 1891, 1907 dan tanggal 26 Desember tahun 2004 adalah catatan kejadian
ekstrim terakhir yang menimbulkan begitu banyak korban jiwa dan harta.
Kawasan dengan potensi rawan tsunami yaitu di sepanjang pesisir pantai wilayah
Aceh yang berhadapan dengan perairan laut yang potensial mengalami tsunami
seperti Samudera Hindia di sebelah barat (Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya,
Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Singkil, dan Simeulue), perairan Laut
Andaman di sebelah utara (Banda Aceh, Aceh Besar, dan Sabang), dan perairan
Selat Malaka di sebelah utara dan timur (Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Utara,
Lhokseumawe, Aceh Timur, Langsa, dan Aceh Tamiang). (RPJP Aceh, 2005).
Gempa bumi yang terjadi selama kurun waktu 2007-2010 di Aceh
sebanyak 97 kali dengan kekuatan > 5 sampai dengan 7,5 Skala Richter. Kejadian
diprediksi akan berulang karena Aceh berada diatas tumbukan lempeng dan
patahan. Dampak yang ditimbulkan selama kurun waktu tersebut yaitu korban
jiwa sebanyak 62 orang, kerusakan harta benda diperkirakan mencapai 25–50
Milyar rupiah, kerusakan sarana dan prasarana 20–40 persen, sedangkan cakupan
wilayah yang terkena gempa sekitar 60–80 persen, dan 5 persen berpengaruh
9
terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat (terganggunya mata pencaharian)
(RPJMA, 2007).
Potensi bencana tanah longsor biasa terjadi di sekitar kawasan pegunungan
atau bukit dimana dipengaruhi oleh kemiringan lereng yang curam pada tanah
yang basah dan bebatuan yang lapuk, curah hujan yang tinggi, gempa bumi atau
letusan gunung berapi yang menyebabkan lapisan bumi paling atas dan bebatuan
berlapis terlepas dari bagian utama gunung atau bukit. Tanda - tanda terjadinya
longsor dapat ditandai dengan beberapa parameter antara lain keretakan pada
tanah, runtuhnya bagian-bagian tanah dalam jumlah besar, perubahan cuaca secara
ekstrim dan adanya penurunan kualitas landskap dan ekosistem. Dimensi alam
menyebabkan Aceh mengalami hampir semua jenis bencana hidro-meteorologis
seperti puting beliung, banjir, abrasi dan sedimentasi, badai siklon tropis serta
kekeringan (RPJMA, 2007).
Selain bencana yang disebabkan oleh fenomena alam, bencana juga dapat
disebabkan oleh perilaku manusia antara lain karena kelalaian, ketidaktahuan,
maupun sempitnya wawasan dari sekelompok masyarakat atau disebut bencana
sosial. Bencana sosial dapat terjadi dalam bentuk kebakaran, pencemaran
lingkungan (polusi udara dan limbah industri) dan kerusuhan/konflik sosial.
Bencana sosial dapat juga muncul sebagai akibat bencana alam, baik yang
disebabkan oleh faktor alam maupun faktor manusia dalam memandang dan
memanfaatkan sumberdaya alam (faktor antropogenik). Kejadian bencana sosial
yang menonjol di Aceh adalah konflik yang berlatar belakang ideologi dan
ekonomi, serta Kejadian Luar Biasa (KLB) seperti penyakit menular dan atau
tidak menular yang dipicu oleh perilaku manusia itu sendiri (RPJMA, 2007).
Bencana lain dapat juga diakibatkan oleh kelalaian manusia (man-made
disaster) akibat dari tidak sesuainya perencanaan dan implementasi suatu industri
pengolahan sumberdaya alam, sehingga diperlukan suatu penelitian yang
berkesinambungan dengan melibatkan multi-displin dan multi-sektoral untuk
mengantisipasi dan memberikan solusi terhadap dampak bencana (RPJP Aceh,
2005).
2.2.4 Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana
10
Konflik berkepanjangan dan bencana gempa bumi dan tsunami tanggal 26
Desember 2004 telah menempatkan Aceh pada jurang ketertinggalan yang jauh
dan Aceh kembali ke titik nol. Akibat konflik ekonomi Aceh menjadi tersendat,
Aceh menjadi satu-satunya Provinsi di Indonesia yang terus-menerus mengalami
tingkat pertumbuhan yang rendah atau negatif. Bencana alam melengkapi
penderitaan dengan banyaknya korban nyawa selain kerusakan infrastruktur fisik,
ekonomi dan sosial pada skala masif. Wilayah pesisir sepanjang tidak kurang dari
800 km, dari Kabupaten Singkil ke selatan, memutar ke Banda Aceh di utara
hingga ke Aceh Timur terkena dampak bencana (RPJP Aceh, 2005).
Capaian Kegiatan Rehabilitasi dan Rekonstruksi
NO Dampak bencana Capaian 4 tahun RR1 635.384 orang kehilangan
tempat tinggal2 127.720 orang meninggal dan
93.285 orang hilang3 104.500 Usaha Kecil dan
Menengah (UKM) lumpuh155.182 tenaga kerja terlatih, 195.726 UKM menerima bantuan
4 139.195 rumah rusak atau hancur
140.304 rumah permanen dibangun
5 73.869 hektare lahan pertanian hancur
69.979 hektare lahan pertanian direhabilitasi
6 1.927 tenaga kesehatan meninggal
39.663 tenaga kesehatan dilatih
7 13.828 kapal nelayan hancur 7.109 kapal nelayan dibangun atau dibagikan
8 1.089 sarana ibadah rusak 3.781 sarana ibadah dibangun atau diperbaiki
9 2.618 kilometer jalan rusak 3.696 kilometer jalan dibangun10 3.415 sekolah rusak 1.759 sekolah dibangun11 517 sarana kesehatan rusak 1.115 sarana kesehatan dibangun12 669 bangunan pemerintah rusak 996 bangunan pemerintah
dibangun13 119 jembatan rusak 363 jembatan dibangun14 22 pelabuhan rusak 23 pelabuhan dibangun15 8 bandara atau airstrip rusak 13 bandara atau airstrip
dibangunSumber (RPJP Aceh, 2005)
2.2.5 Demografi
11
Jumlah penduduk Aceh pada akhir 2009 adalah 4.363.477 jiwa, dengan
total jumlah kepala keluarga atau rumah tangga adalah 1.073.481
kepalakeluarga/rumah tangga. Laju pertumbuhan penduduk Aceh selama 5 tahun
(2006-2009) terakhir sebesar 1,66 persen. Kota Sabang memiliki laju
pertumbuhan penduduk yang terendah dibandingkan kabupaten/kota lain di Aceh
yakni sebesar 0,10 persen, sedangkan yang tertinggi adalah Kabupaten Aceh Jaya
yakni sebesar 7,90 persen. Sebaran penduduk di wilayah aceh masih belum
merata. Kabupaten/kota yang memiliki jumlah penduduk terbesar adalah
Kabupaten Aceh Utara (532.535 jiwa) dan jumlah penduduk terkecil adalah Kota
Sabang (RPJP Aceh, 2005).
2.2.6 Kondisi Kesehatan Lingkungan
Menilai keadaan lingkungan sehat ada 4 (empat) indikator yaitu (1)
persentase keluarga yang memiliki persediaan air minum sehat, (2) keluarga yang
memiliki jamban sehat, (3) persentase keluarga yang mengelola sampah dan (4)
keluarga yang mengelola air limbahnya dengan baik. Keadaan ini masih jauh dari
yang diharapkan karena situasi lingkungan yang kurang sehat dan perilaku hidup
sehat yang masih perlu mendapat perhatian serta kerusakan lingkungan akibat
bencana yang demikian parah sehingga indikator keberhasilan program ini belum
mencapai target. Sampai tahun 2012 pembenahan kondisi ini telah diawali dengan
penyuluhan, pergerakan masyarakat serta peningkatan sarana dan prasarana yang
memadai, dengan demikian diharapkan akan terbentuk desa sehat mandiri
sekaligus sebagai cikal bakal kabupaten/kota sehat (Riskesdas, 2008).
2.2.7 Bencana Sosial dan Kesehatan
Kejadian bencana sosial yang menonjol di Aceh adalah konflik yang
berlatar belakang ideologi dan ekonomi, serta permasalahan dalam bidang
kesehatan yaitu terjadinya beban ganda penyakit baik penyakit menular dan atau
tidak menular yang dipicu oleh perilaku manusia itu sendiri. Salah satu penyakit
yang sering terjadi dan merenggut nyawa adalah penyakit Demam Berdarah
Dengue (DBD). Jumlah kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) pada tahun 2009
dijumpai 35,36 per 100.000 penduduk sedangkan pada tahun 2010 meningkat
12
drastis menjadi 63,71 per 100.000 penduduk. Angka kematian DBD tahun 2009
sebesar 1,27 per 100.000 penduduk sedangkan pada tahun 2010 turun menjadi
0,92 per 100.000 penduduk. Kasus DBD tertinggi di 3 kabupaten/kota, yaitu;
Banda Aceh, Lhokseumawe, dan Aceh Besar. Di Kota Banda Aceh, kasus DBD
pada tahun 2007 mencapai 834 kasus, namun pada tahun 2008 menurun menjadi
593 kasus. Hal ini disebabkan program DBD Watch yang dilaksanakan
Pemerintah Kota Banda Aceh yang didukung oleh masyarakat. Sedangkan di Kota
Lhokseumawe dari hanya 255 kasus pada tahun 2007 meningkat menjadi 632
kasus pada tahun 2008, sementara di Kabupaten Aceh Besar terjadi peningkatan
dari 160 kasus tahun 2007 menjadi 391 kasus tahun 2008 (Profil Kesehatan
Provinsi Aceh Tahun 2011).
Terjadinya peningkatan kasus disebabkan karena kondisi lingkungan yang
tidak memadai sebagai akibat dari bencana alam, Selain kondisi geografis dan
musim yang tidak menentu juga sumber perindukan nyamuk yang tidak
dimusnahkan secara cepat oleh penduduk maupun petugas diduga sebagai faktor
pencetus berkembangnya vektor. Dengan mempertimbangkan faktor lingkungan
fisik dan biologis, keterbukaan daerah (transportasi yang memadai) dan mobilitas
penduduk yang tinggi maka pada tahun 2012 ditargetkan semua fasilitas
pelayanan kesehatan mampu meminimalisir kasus kematian dan terlaksananya
kegiatan sistim kewaspadaan dini di masyarakat. Sehingga angka kesakitan dan
kematian bisa diturunkan (Dinkes Aceh, 2011).
Perlu keseimbangan pemanfaatan sumber daya alam dalam pembangunan
fasilitas infrastruktur, transportasi umum, permukiman dengan melihat sejarah
kebencanaan, sehingga didapatkan efisiensi ekonomi dalam mengantisipasi
Millenium Development Goals (MDGs) 2015 (Riskesdass, 2008).
Pembangunan kesehatan di Aceh merupakan bagian dari pembangunan
kesehatan nasional. Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan
kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang untuk
mewujudkan derajat kesehatan masyarakat Aceh setinggi-tingginya.
Pembangunan kesehatan Aceh merupakan program berkelanjutan yang bertujuan
meningkatkan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan sosial. Dari data terkini
mengenai kondisi penyakit menular maupun penyakit tidak menular ternyata
13
memberi gambaran peningkatan yang terjadi pada kedua jenis penyakit tersebut.
Pemerintah sebenarnya telah menentukan strategi dan arah kebijakan untuk
menurunkan Incidence Rate dan angka kematian akibat DBD antara lain:
melakukan deteksi dini dan pengobatan segera terhadap penderita, penting
dilakukan tindakan yang lebih proaktif dari pemerintah dan masyarakat untuk
menjaga kebersihan lingkungan berupa kegiatan pembersihan lingkungan bersama
secara teratur, upaya promosi kesehatan lingkungan perlu dikembangkan melalui
media massa seperti poster yang diletakkan di tempat yang menjadi pusat kegiatan
masyarakat. Namun pencapaian masih belum maksimal seperti yang diharapkan.
Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhi belum tercapainya
target tersebut. Masih tingginya penderita penyakit yang disebabkan oleh vektor
nyamuk yaitu filariasis, DBD dan malaria yang menggambarkan kondisi
lingkungan yang belum bebas dari nyamuk (Syamsuddin: 2011).
14
BAB III
DATA DAN PEMBAHASAN
3.1 Data Penyakit Demam Berdarah Dengue Provinsi Aceh
3.1.1 Incidence Rate DBD Penduduk Provinsi Aceh
Grafik 1. Incidence Rate penyakit Demam Berdarah Dengue per 100.000
penduduk Provinsi Aceh tahun 2003 – 2011. (Sumber : Pusat Data dan Informasi
Kemenkes RI)
Interpretasi Data:
Grafik di atas menunjukkan bahwa pada tahun 2003 terjadi Incidence Rate
penyakit Demam Berdarah Dengue sebesar 2,76 per 100.000 penduduk, dan hal
ini terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan hingga pada periode tahun
15
2008 yaitu sebesar 54,76 per 100.000 penduduk. Data tahun 2009 menunjukkan
Incidence Rate penyakit Demam Berdarah Dengue menurun menjadi 35,36 per
100.000 penduduk. Pada tahun 2010 kembali terjadi peningkatan yang cukup
drastis yaitu sebesar 63,71 per 100.000 penduduk dan kemudian kembali
mengalami penurunan pada tahun 2011 yaitu sebesar 56,40 per 100.000
penduduk.
3.1.2 Mortality Rate DBD Penduduk Provinsi Aceh
Grafik 2. Angka Kematian Penyakit Demam Berdarah Dengue Provinsi Aceh
Tahun 2003 – 2011. (Sumber : Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI)
Interpretasi data:
Grafik di atas menunjukkan angka kematian akibat penyakit Demam
Berdarah Dengue dari tahun 2003 ke 2004 meningkat sebesar 2,76 kematian per
100.000 penduduk dan terus mengalami penurunan yang signifikan hingga pada
tahun 2011 dimana angka kematian sebesar 0,58 per 100.000 penduduk.
3.2 Pembahasan
3.2.1 Case Fatality Rate (CFR) DBD di Provinsi Aceh antara Tahun 2003 –
2011
16
Case Fatality Rate (CFR) adalah perbandingan antara jumlah kematian
terhadap penyakit tertentu yang terjadi dalam 1 tahun dengan jumlah penduduk
yang menderita penyakit tersebut pada tahun yang sama.
Rumus:
Keterangan:
P= Jumlah kematian terhadap penyakit tertentu
T= jumlah penduduk yang menderita penyakit tersebut pada tahun yang sama.
Berdasarkan data yang kami peroleh dari Pusat Data dan Informasi
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia di atas maka berikut ini dapat kami
sajikan dalam tabel besarnya angka Case Fatality Rate (CFR) DBD di Provinsi
Aceh antara tahun 2003 – 2011:
Tahun Jumlah kematian(per 100.000 penduduk)
Jumlah penduduk yang menderita penyakit tersebut pada tahun yang sama (per
100.000 penduduk)
CFR=(P/T)k(dalam %)
2003 2,76 3,10 89
2004 4,37 5,43 80,47
2005 1,59 14,86 10,69
2006 1,98 19,43 10,19
2007 0,83 38,92 2,13
2008 1,31 54,76 2,39
2009 1,27 35,36 3,59
2010 0,92 63,71 1,44
2011 0,58 56,40 1,02
17
CFR=(P/T)k
Tabel 1. Case Fatality Rate penyakit DBD di Provinsi Aceh tahun 2003-2011
Diagram 1. Case Fatality Rate penyakit DBD di Provinsi Aceh tahun 2003-2011
Berdasarkan data tersebut di atas dapat diketahui bahwasanya dari tahun
ke tahun angka Case Fatality Rate (CFR) penyakit DBD ini cenderung
mengalami penurunan yang cukup signifikan. Angka yang sangat tinggi pada
periode tahun 2003 dan 2004 dapat difahami sebagai ekses dari situasi
perekonomian Aceh pada saat konflik yang cenderung tidak stabil disertai dengan
situasi sosial dan politik yang sangat rawan sehingga masyarakatpun cenderung
enggan untuk keluar rumah walaupun hanya sekedar untuk berobat pada instansi
kesehatan, begitupula halnya dengan para petugas kesehatan yang sulit untuk
menjangkau daerah – daerah tertentu pada kurun waktu tersebut sehingga upaya
promotif dan kuratif dirasakan kurang. Hal ini diperparah pada saat terjadinya
tsunami dimana sebagian besar infrastruktur kesehatan rusak berat, selain itu juga
banyak petugas medis yang hilang ataupun meninggal dunia akibat bencana
gempa dan tsunami tersebut. Akan tetapi seiring bertambahnya waktu dimana
begitu banyaknya bantuan baik itu dari pemerintah melalui BRR (Badan
18
Rekonstruksi dan Rehabilitasi) maupun dari NGO (Non Goverment Organization)
dari negara-negara asing, maka perlahan dan pasti infrastruktur kesehatan di Aceh
mulai diperbaiki, seiring dengan mulai kondusifnya situasi keamanan daerah dan
mulai bergeliatnya perekonomian di Aceh hal ini berimbas pula pada CFR DBD
yang kian tahun kian membaik. Dapat dilihat pada diagram batang di atas pada
tahun 2005 telah terjadi penurunan angka CFR sebesar 69,78% dari tahun
sebelumnya dan meskipun selisihnya tidaklah banyak namun pada tahun 2006
juga mengalami penurunan sebesar 0,5%. Penurunan angka CFR DBD di Provinsi
Aceh kembali menggembirakan pada tahun 2007 yang mengalami penurunan
sebesar 8,06% dari tahun sebelumnya dan prestasi ini terus berlanjut hingga tahun
2011.
3.2.2 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Penurunan Mortality Rate
Walaupun Incidence Rate DBD Cukup Tinggi di Provinsi Aceh Antara
Tahun 2003 – 2011
Banyak hal yang melatarbelakangi penurunan Mortality Rate walaupun
Incidence Rate DBD di Provinsi Aceh masih cukup tinggi antara lain yaitu dengan
berakhirnya konflik pada tahun 2005 yang disertai dengan adanya aktivitas
rehabilitasi dan rekonstruksi maka tingkat kemiskinan di Aceh terus menurun
secara signifikan sehingga masyarakat mempunyai biaya untuk berobat apabila
menderita penyakit DBD, selain itu capaian 4 tahun rehabilitasi dan rekonstruksi
memperlihatkan hasil yang baik yaitu 1.115 sarana kesehatan dibangun dan
39.663 tenaga kesehatan dilatih, sehingga masyarakat dapat dengan mudah
menjangkau fasilitas kesehatan terdekat dan cepat mendapatkan pertolongan yang
memadai dari tenaga kesehatan yang kompeten dan terlatih.
Sejalan dengan Profil Kesehatan Aceh (2011) yang mempertimbangkan
faktor lingkungan fisik, biologis dan mobilitas penduduk yang tinggi maka pada
tahun 2012 Dinas Kesehatan Provinsi Aceh menargetkan semua fasilitas
pelayanan kesehatan mampu meminimalisir kasus kematian dan terlaksananya
kegiatan sistim kewaspadaan dini di masyarakat. Menurunnya angka kematian
akibat DBD tidak terlepas dari strategi dan arah kebijakan pemerintah antara lain
dengan melakukan deteksi dini dan pengobatan segera terhadap penderita.
19
(Syamsuddin, 2011). Selain itu yang paling penting adalah meningkatnya
pengetahuan masyarakat tentang ciri-ciri DBD dan adanya kesadaran terhadap
dampak yang dapat terjadi apabila menderita DBD sehingga masyarakat akan
cepat mencari pertolongan medis. Kesadaran masyarakat akan pentingnya
melakukan pengobatan yang sungguh – sungguh pada keluarganya yang
menderita DBD pun mulai meningkat karena hal ini dipicu dengan kemudahan
yang kini difasilitasi oleh Pemerintah Aceh dengan adanya JKA (Jaminan
Kesehatan Aceh) yang berlaku sejak tahun 2010 sehingga setiap warga Aceh yang
memiliki KTP Aceh berhak untuk mendapatkan pelayanan yang gratis pada
instansi kesehatan milik pemerintah maupun beberapa rumah sakit swasta yang
telah bekerja sama dengan Pemerintah Aceh. Sehingga kini dengan adanya sistem
pengobatan gratis ini mendorong banyak masyarakat Aceh yang memeriksakan
kesehatannya secara mudah tanpa harus memikirkan mahalnya biaya pemeriksaan
maupun biaya obat.
Tidak sejalan dengan angka kematian akibat Demam Berdarah Dengue
(DBD) yang cenderung menurun, angka Incidence Rate DBD di Aceh dari tahun
ke tahun cenderung meningkat. Terjadinya peningkatan kasus disebabkan karena
kondisi lingkungan yang tidak memadai sebagai akibat dari bencana alam, selain
kondisi geografis dan musim yang tidak menentu juga sumber perindukan
nyamuk yang tidak dimusnahkan secara cepat oleh penduduk maupun petugas
diduga sebagai faktor pencetus berkembangnya vektor. (Dinkes Aceh, 2011).
Pada dasarnya Demam Berdarah Dengue merupakan penyakit endemik di
provinsi Aceh. Wilayah yang sudah diketahui adanya serangan penyakit DBD
akan mungkin ada penderita lainnya bahkan akan dapat menyebabkan wabah yang
luar biasa bagi penduduk di sekitarnya (Koesharto, 2010). Penyakit Demam
Berdarah Dengue banyak ditemukan di daerah tropis seperti Asia Tenggara, India,
Brazil, Amerika termasuk di seluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat-tempat
ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan air laut. Provinsi Aceh
memiliki ketinggian rata-rata 125 m diatas permukaan laut. Persentase wilayah
berdasarkan ketinggiannya yaitu: (1) Daerah berketinggian 0-25 m dpl merupakan
22,62 persen luas wilayah, (2) Daerah berketinggian 25-1.000 m dpl sebesar 54,22
persen luas wilayah dan (3) Daerah berketinggian di atas 1.000 m dpl sebesar
20
23,16 persen luas wilayah. Kondisi topografi ini merupakan salah satu faktor
pencetus tingginya angka kejadian DBD di Aceh (RPJMA, 2007-2012).
Data di atas juga didukung hasil publikasi yang dituangkan dalam RPJM
2007-2012 yang mengatakan bahwa kualitas lingkungan masyarakat Aceh masih
rendah. Hal ini ditandai dengan masih banyaknya sampah yang berserakan di
lingkungan sekitar yang memungkinkan menjadi tempat perindukan nyamuk
Aedes aegypty yang merupakan nyamuk penular DBD. Di samping itu terbatasnya
dana dan sumberdaya untuk melakukan pemantauan jentik, pelaksanaan fogging
dan sistem surveilans yang belum optimal juga menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi tetap tingginya Incidence Rate DBD di Aceh. Riskesdas (2008)
mengatakan bahwa Provinsi Aceh sangat cocok bagi tempat berkembangbiaknya
nyamuk Aedes aegepty. Dari data Dinas Kesehatan Propinsi Aceh (2011)
didapatkan bahwa hanya terdapat 39,22% rumah tangga yang terbebas dari
nyamuk ini. Faktor inilah yang menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah kasus
DBD dalam masyarakat.
21
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa:
1. Case Fatality Rate (CFR) penyakit DBD sejak tahun 2003 hingga 2011
cenderung mengalami penurunan yang cukup signifikan.
2. Incidence Rate DBD di Provinsi Aceh selama tahun 2003 - 2011
cenderung meningkat akan tetapi angka kematian akibat DBD
mengalami penurunan yang cukup drastis.
3. Faktor – faktor yang mempengaruhi terjadinya penurunan angka
kematian yaitu berakhirnya konflik pada tahun 2005 yang disertai dengan
adanya aktivitas rehabilitasi dan rekonstruksi yang diikuti dengan
penurunan tingkat kemiskinan masyarakat Aceh, meningkatnya
pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang ciri-ciri dan dampak
yang terjadi apabila menderita DBD, strategi dan arah kebijakan
pemerintah antara lain dengan melakukan deteksi dini dan pengobatan
segera terhadap penderita, serta berlakunya program asuransi kesehatan
gratis bagi masyarakat Aceh (JKA).
4.2 Saran
1. Instansi Pelayanan Kesehatan
a. Meningkatkan sosialisasi program 3M-Plus yang terdiri atas
menguras, menutup dan mengubur tempat-tempat yang bisa
digenangi air. Sebagai tambahannya adalah memelihara ikan
pemakan jentik atau menebar larvasida.
b. Melakukan pengasapan di daerah yang dianggap rawan
berkembangnya nyamuk Aedes aegypti.
22
c. Upaya promosi kesehatan lingkungan perlu dikembangkan melalui
media massa seperti poster yang diletakkan di tempat yang menjadi
pusat kegiatan masyarakat.
2. Masyarakat
Masyarakat harus memiliki kesadaran untuk membersihkan
lingkungan sekitar seperti: gotong royong membersihkan selokan
yang kotor, jika ada kaleng-kaleng bekas harus dikuburkan agar
tidak tergenang air sehingga tidak terjadi genangan air yang dapat
menambah populasi jentik nyamuk Aedes aegypti.
23