Tugas Prioritas Rezim Baru Menghentikan Ekspansi ... file24| Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014...

12
25 Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 | Edisi No. 4 | April 2014 Tugas Prioritas Rezim Baru Menghentikan Ekspansi Perkebunan Sawit!

Transcript of Tugas Prioritas Rezim Baru Menghentikan Ekspansi ... file24| Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014...

Page 1: Tugas Prioritas Rezim Baru Menghentikan Ekspansi ... file24| Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 | 25 Edisi No. 4 | April 2014 Tugas Prioritas

24 | Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 25Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 |

Edisi No. 4 | April 2014

Tugas Prioritas Rezim BaruMenghentikan EkspansiPerkebunan Sawit!

Page 2: Tugas Prioritas Rezim Baru Menghentikan Ekspansi ... file24| Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 | 25 Edisi No. 4 | April 2014 Tugas Prioritas

2 | Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 3Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 |

Tugas Mendesak Legislator Dan Presiden Baru: Stop Perluasan Kebun Sawit, Selamatkan Hutan Tersisa

Pemilu legislatif baru saja usai. Pesta “demokrasi” ini menjadi momentum tepat menciptakan

pemerintahan pro rakyat dan ling-kungan. Seharusnya, pemilu legislatif ini menjadi titik balik untuk meny-elamatkan kawasan hutan tersisa dari jarahan pemilik modal besar. Masa depan rakyat dan hutan sedang dipertaruhkan.

Selama lima tahun terakhir, pemerintah dan DPR dapat dikatakan gagal dalam melestarikan kawasan hutan. Luas kawasan hutan berkurang drastis karena keluarnya izin-izin konversi kawasan hutan untuk perkebunan sawit. Reforma agraria yang dikampanyekan Susilo Bambang Yudhoyono saat kampanye Pilpres tak dijalankan. Reforma Agraria malah diartikan sebagai bagi-bagi tanah kepada para pemodal, bukan buat rakyat. Faktanya bisa dilihat dari trend kepemilikan tanah dimana terjadi kosentrasi kepemilikan tanah secara massif ke segelintir pemilik modal.

Salah satu sektor yang berkon-tribusi besar atas penghancuran hutan dan lingkungan adalah sektor perkebunan sawit. Perjalanan sektor perkebunan sawit ini penting untuk diperbincangkan seiring terjadinya berbagai letupan kasus lingkungan dan konflik agraria dalam 5 tahun ter-

akhir. Ada beragam topik yang lazim muncul dalam perdebatan mengenai sawit, antara lain problem lingkungan dan konflik lahan.

Problem lingkungan biasanya ter-kait karakter sawit yang monokultur dan menuntut lahan massif. Kebun sawit tidak seperti hutan tropis alami yang memberi ruang atas keragaman makhluk untuk hidup di ekosistem yang sama. Demi hasil panen yang maksimum, makhluk hidup lain tak boleh ada di areal kebun sawit. Beberapa perusahaan bahkan melaku-kan jurus ekstrem untuk memurnikan kebun sawit yakni dengan memburu serta membantai monyet, gajah, ular dan orang utan. Satwa-satwa ini dianggap hama sehingga harus dimusnahkan untuk memaksimalkan hasil panen. Bahkan pihak perusa-haan sawit dengan keji melibatkan masyarakat untuk memburu satwa-satwa yang dilindungi tersebut. Pihak perusahaan akan membayar penduduk yang berhasil menangkap satwa. Padahal satwa tersebut adalah penghuni kawasan hutan yang digusur untuk kepentingan perkebunan sawit.

Selain itu, konflik lahan juga sangat marak terjadi dalam 5 tahun terakhir. Inilah persoalan kronis, yang menumpuk dan menumpuk selama puluhan tahun, yang siap meledak di ratusan titik di wilayah Indonesia.

Data olahan Sawit Watch menunjuk-kan bahwa kurang lebih sekitar 396 komunitas berkonflik dengan peru-sahaan perkebunan di 8 provinsi. Kon-flik terjadi umumnya karena tumpang tindih kepemilikan lahan antara izin konsesi perusahaan dengan wilayah kelola rakyat. Sementara itu data KPA memperlihatkan dalam dua periode kepemimpinan SBY, konflik agraria cenderung mengalami peningkatan. Sepanjang 2013, KPA mencatat 369 konflik agraria dengan luasan la-han mencapai 1. 281.660.09 hektar melibatkan 139.874 keluarga. Konflik perkebunan di peringkat teratas dengan 180 kasus (48,78%), disusul infrastruktur 105 kasus (28,46%), per-tambangan 38 (10,3%), kehutanan 31 (8,4%), pesisir kelautan 9 (2,44%) dan lain-lain enama kasus (1,63%). Jadi, setiap hari terjadi lebih dari satu konflik agraria melibatkan 383 kelu-arga atau 1.532 jiwa dengan luasan wilayah sekiar 3.512 hektar.

Sektor kehutanan, area konflik agraria terluas sekitar 545.258 hektar disusul perkebunan 527.939,27 hektar dan pertambangan 197.365,90 hektar. Dibandingkan 2012, ada peningkatan areal konflik 318.248,89 atau naik 33,03 persen. Dari sisi jumlah kasus naik 198 atau 86,36 persen.

Selama lima tahun terakhir (2009-2013) terjadi peningkatan kon-flik sebanyak 314% atau tiga kali lipat jika dibandingkan 2009. Areal konflik meningkat drastis mencapai 861% dan keluarga terlibat konflik naik tajam sebesar 1.744%.

Pada masa orde baru, kegelisahan petani dalam sengketa lahan nyaris tak pernah naik ke permukaan. Hal ini disebabkan pendekatan represif rezim Soeharto dalam meredam per-lawanan rakyat. Mobilisasi pasukan tentara disertai dengan ancaman terror dan intimidasi cukup efektif dalam membungkam suara-suara kritis di akar rumput. Penjara dengan tuduhan subversif atau makar adalah senjata ampuh rezin orde baru untuk meredam perlawanan rakyat.

Orde baru runtuh, rakyat Indo-nesia menyongsong orde reformasi. Cara represif mulai ditinggalkan,

Penggundulan Hutan Untuk Perluasan Perkebunan Sawit Makin Marak

Tandan Sawit Edisi No. 4

Penanggung JawabJefri Gideon Saragih

Pemimpin RedaksiJopi Peranginangin

Dewan RedaksiBondan Andriyanu, Jefri

Gideon Saragih, Nurhanudin Ahmad, Ratri K, Yoka Eryono,

Jumadi Jaya, Y. Hadiana, Jopi Peranginangin, Ronald

Siahaan, Eep Saifulloh, Harizuddin, Carlo Lumban

Raja, Sukardi, Monang Sirait, Maryo Saputra

Tata LetakJopi Peranginangin

Alamat RedaksiPerkumpulan Sawit Watch

Perumahan Bogor Baru Blok C1 No 10 kota Bogor, Jawa Barat. 17629 | Telp 0251-8352171 | Faks 0251-8352047 | Website:

www.sawitwatch.or.id | Twitter: @SawitWatch

Tandan Sawit ini diterbitkan atas dukungan Yayasan TIFA

Editorial

Indonesia negeri kaya. Sejak kecil kita tumbuh dengan memuja keberlimpahan alam pertiwi seperti dalam syair lagu Rayuan Pulau Kelapa. Lagu yang menu-tup siaran resmi layar TVRI saban malam. Nyiur melambai, mengiringi gunung, lembah, lautan, dan daratan di segala penjuru. Emas, tembaga, nikel, minyak,

sawit, karet, semua ada. Indonesia negeri sarat paradoks. Negeri kaya ini seolah berjalan tanpa rencana

yang jauh menjangkau ke masa depan. Tak ada kesadaran bahwa keberlimpahan itu pasti akan menipis dan berakhir. Alih-alih memiliki sense of urgency dan keberpi-hakan pada rakyat luas, sumber daya alam cenderung diobral dan dikelola sembro-no. Walhasil, sumber daya alam yang melimpah itu, ironisnya, kerap menorehkan luka dan disharmoni sosial. Berkah dan kutukan alam yang kaya, celakanya, sering hanya berjarak tipis.

Paradoks pekat melingkupi sawit. Komoditas yang satu ini memiliki pamor yang begitu cemerlang. Dia membawa janji sebagai sumber energi zaman baru, biofuel. Elaeis guinensis, nama ilmiahnya, juga menjanjikan “tiket” menuju kedaulatan ekonomi. Tiket yang bukannya mustahil dikejar. Syaratnya, sawit dikelola dengan benar: proses perizinan yang transparan dan akuntabel, memajukan petani sebagai ujung tombak, menghormati hak ulayat, ramah lingkungan, dan memperlakukan buruh dengan baik.

Teramat sayang jika pengembangan sawit sebagai komoditas yang menjanjikan, dengan posisi Indonesia sebagai produsen terbesar di dunia, harus diwarnai dengan kepahitan yang ditanggung petani dan masyarakat. Kami yakin, dunia juga berke-pentingan terhadap sustainabilitas dan perbaikan perkebunan sawit di Indonesia. Sebab, bersama Malaysia, Indonesia adalah pemasok utama komoditas yang amat strategis dan dibutuhkan dunia ini.

Menulis tentang sawit itu seperti tersesat di antara labirin informasi dunia per-sawitan. Setiap soal membutuhkan perhatian tersendiri. Karakter kebun sawit yang masih muda berbeda dengan kebun yang sudah melewati usia 20-30 tahun. Di kebun yang masih muda, sawit belum bertandan dan petani belum bisa menuai hasil. Di kebun yang sudah tua, petani butuh dana peremajaan yang tidak sedikit. Labirin yang paling membikin pusing kepala tentunya adalah sengketa kepemilikan lahan, izin hak guna usaha yang berpindahpindah tangan, dan juga relasi antara petani plasma dan perusahaan yang timpang.

Setiap persoalan terkait dengan persoalan lain, kadang dalam jalinan yang susah diurai. Itulah pekerjaan rumah raksasa yang harus dikerjakan penguasa baru negeri galau ini.

Salam Redaksi

Redaksi menerima sumbangan tulisan atau artikel yang sesuai dengan misi penerbitan. Redaksi berhak mengubah isi tulisan tanpa mengubah maksud dan substansi. Artikel atau tulisan yang dimuat bersifat sukarela dan tidak mendapatkan honor. Ketentuan ini diberlakukan karena media Tanda Sawit bukan media komersil.

Daftar Isi � Tugas Mendesak Legislator Dan Presiden Baru.... Halaman 03 � Buruh Perkebunan Sawit Harus Sejahtera..... Halaman 07 � Pemerintahan Baru Harus Memperkuat Moratorium Penebangan Hutan..... Halaman 08 � Kebijakan Pangan Hanya Angan-Angan.... Halaman 10 � Nestapa Buruh Dibawah Tandan Sawit..... Halaman 12 � Bencana Asap Tak Kunjung Berakhir Di Riau ..... Halaman 15 � Buruh Sawit Susah Makan..... Halaman 16 � Surat Terbuka SPKS Dan Sawit Watch...... Halaman 18 � Konspirasi Pemerintah Dan Investor Terhadap Hak Adat........ Halaman 20 � Reportase Konsultasi Publik Intepretasi Nasional Prinsip Dan Kriteria RSPO........ Halaman 22

LaporanUtama

Page 3: Tugas Prioritas Rezim Baru Menghentikan Ekspansi ... file24| Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 | 25 Edisi No. 4 | April 2014 Tugas Prioritas

4 | Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 5Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 |

LaporanUtama LaporanUtama

rakyat mulai mengorgansir diri men-jajal daya tawar ke pemerintah, dan menuntut hak. Dan bagaikan bara api dalam sekam, sengketa kepemilikan lahan ini siap menjadi bahan bakar utama yang memaksa rakyat berha-dapan dengan perusahaan dan aparat keamanan.

Konflik lahan kian menjadi karena pemerintah dan DPR tak melirik UUPA 1960 sebagai solusi penyelesaian konflik lahan. UUPA adalah satu-satunya perundangan yang mengatur pertanahan. Setengah abad berlalu sejak UUPA disahkan, pemerintah dan para politisi di gedung DPR tidak juga menempatkan persoalan agraria sebagai agenda legislasi dengan ur-gensi tinggi. Sebuah paradoks getir di negeri yang katanya negeri agraris.

Rezim SBY hanya menggunakan isu reforma agraria sebagai komoditi politik untuk menggalang dukungan terkait pencapresan dirinya. Tak ada tindakan konkrit dan nyata untuk melakukan reforma agraria. Letupan demi letupan terkait dengan konflik

lahan antara masyarakat dengan perkebunan sawit berlangsung. Con-tohnya adalah kasus Mesuji dan Suku Anak Dalam di Jambi.

Nah, sejauh UUPA belum terganti-kan, ada baiknya para legislator yang baru terpilih pada pileg 2014 merujuk kembali spirit utama dalam produk legislasi tersebut. UUPA jelas menye-butkan batasan kepemilikan lahan, ketentuan Hak Guna Usaha, hak pakai, hak ulayat dan hak memungut hasil hutan. Semangat reformasi dan perlindungan pada rakyat jelas terasa dalam UUPA. Adalah tugas parlemen dan pemerintah untuk secara serius membuat revisi perundangan dan turunannya secara jelas mengatur teknis kepemilikan tanah, air dan udara seperti dimaksud UUPA.

Memperpanjang Moratorium Hutan dan Gambut

Dari berbagai kompleksitas pen-gelolaan hutan, ternyata masih ada warisan pemerintahan SBY yang patut

di apresiasi terkait dengan pengelo-laan hutan, yakni kebijakan Morato-rium Hutan. Setelah dihantam banyak pihak terkait persoalan sosial, ling-kungan dan pemanasan global yang muncul akibat penggunaan lahan, perubahan peruntukan lahan, hutan, rezim SBY pun merespons tuntutan tadi dengan melakukan perbaikan terkait pengelolaan hutan. Khusus di sektor sawit, tekanan banyak pihak terhadap pengelolaan kebun yang amburadul bahkan sampai mendapat-kan sanksi berupa pemutusan kontrak oleh pembelinya.

Menghadapi semua tekanan itu, Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhono (SBY), pada tahun 2009 di Pittsburg, Amerika Serikat, mengumumkan komitmen Indonesia menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 26%. Bila mendapat dukungan dari negara-negara lain, angka penurunan tadi masih bisa ditingkatkan hingga 41%.

Demi mewujudkan tekad itu, pemerintahan SBY membuat serang-kaian kebijakan dan program pen-gurangan emisi. Setidaknya ada satu hal yang dilakukan yakni penerbitan Instruksi Presiden (Inpres) No.10 Tahun 2011 tentang Moratorium (Penundaan) Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut, pada bulan Mei 2011. Kemudian Inpres ini diperpanjang hingga tahun 2015. Dalam instruksi itu disebutkan soal moratorium izin baru konsesi hutan primer dan lahan gambut selama dua tahun, kecuali di sektor minyak dan gas, geothermal, padi dan tebu. Juga disebutkan, terbitnya satu peta indikatif hutan Indonesia.

Dengan penghentian sementara perizinan selama itu, banyak ahli memperkirakan Indonesia setidaknya menyelamatkan 64 juta ha sisa hu-tannya. Selain itu banyak pihak juga optimis bahwa dalam kurun waktu 2 tahun, pemerintah akan memiliki waktu yang cukup untuk memperbaiki sistem pengelolaan hutan.

Secara implisit Instruksi Presiden itu jelas mensyaratkan penghentian ekspansi perkebunan kelapa sawit selama dua tahun. Merasa dirugikan, Inpres tersebut langsung diprotes Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI). Bagi penulis, moratorium ini merupakan awal

positif dan harus dijadikan moment bagi perbaikan mekanisme dan manajemen perkebunan sawit. Juga merupakan waktu yang tepat bagi penegakan hukum terkait penyelang-garaan perkebunan sawit. Ini warisan kebijakan yang harus dipertahankan oleh pemimpin Indonesia baru yang terpilih dalam Pilpres 2014.

Program Prioritas Menata Ruang Selain melanjutkan inpres terse-

but di atas, anggota parlemen dan pemerintahan baru terpilih harus turut menyelesaikan persoalan pena-taan ruang. Di dalam UU No. 27 Ta-hun 2007 tentang penataan ruang itu disebutkan beberapa hal pokok soal perencanaan dan pengaturan wilayah demi penentuan arah pembangunan Indonesia yang memperhatikan pert-ambahan penduduk dan daya dukung alam. Salah satu bagian penting yang tertulis dalam UU tersebut adalah penyediaan ruang konservasi (lind-ung) di setiap wilayah yang besaran-nya mencapai 30% dari luas suatu kawasan itu. Artinya harus segera dibuat rencana tata ruang wilayah secara nasional sebagai rencana induk (master plan). UU inilah yang seharusnya menjadi UU payung bagi penyelesaian semua konflik keruan-gan dan juga dasar dari pembangunan berkelanjutan di Indonesia.

Persoalan tata ruang ini harus menjadi prioritas penguasa baru Indonesia. Jika tidak, maka benturan pasti akan terjadi yang berujung pada konflik. Penyelesaian penataan ruang ini untuk mengantisipasi benturan sebagai berikut:

Pertumbuhan penduduk vs Ketersedi-aan Pangan.

Tingkat kelahiran yang masih tergolong tinggi dan faktor migrasi penduduk dari wilayah lain ke suatu wilayah tertentu dipastikan akan menyebabkanketidakseimbangan ketersediaan pangan dan kebutuhan orang yang mengonsumsinya.

Pengangguran vs lapangan pekerjaan.Tingkat pengangguran yang sema-

kin meningkat sepanjang tahun 2008 akibat krisis global membuat banyak tenaga kerja kembali ke kampung asal mengadu nasib dengan bertani/kebun sekedarnya. Kepulangan para pekerja ini diyakini memunculkan

benturan, baik dengan perusahaan atau dengan pengelola kawasan konservasi, karena kelompok buruh ini juga membutuhkan lahan garapan setelah terkenan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja).

Pemenuhan kebutuhan dasar vs krisis air dan energy.

Penyempitan areal pertanian aki-bat konversi lahan menjadi perkebu-nan monokultur skala besar menye-babkan sumber Air untuk kebutuhan hidup rumah tangga dan energy mengalami penurunan kualitas dan kuantitas.

Kebutuhan lahan antara masyarakat vs dunia usaha.

Kebijakan pemerintah yang terus memacu pertumbuhan ekonomi makro dengan memberikan kemu-dahan-kemudahan bagi dunia bisnis untuk berinvestasi menyebabkan sebagian besar lahan-lahan produktif dikuasai dunia bisnis (Perkebunan, HTI, Migas).

Perambahan besar-besaran terhadap kawasan konservasi atau lindung

Dampak langsung penyempitan lahan kelola masyarakat menyebab-kan kawasan-kawasan konservasi atau lindung menjadi terancam karena menjadi sasaran ekspansi pertanian/perkebunan masyarakat juga dunia industry. Selain konflik antar ma-nusia, konflik dengan satwa juga semakin tinggi dan rentan terhadap bencana alam.

Menurut Sawit Watch, untuk

mengantisipasi potensi konflik besar di atas, setidaknya ada beberapa ke-menterian yang mesti duduk bersama membangun sinegisitas dalam pem-buatan tata ruang wilayah nasional tersebut. Tentu saja dibutuhkan niat, kerja keras dan yang kuat antar dan inter kementerian tadi dalam pem-buatan tata ruang nasional.

Khusus di sektor perkebunan sawit, penulis sangat berkeyakinan bahwa pembuatan dan penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang dimulai dari tingkat wilayah dan pemerintahan terendah sampai tertinggi, terutama bupati, akan membuat aparat pemerintah (khu-susnya yang berkordinasi dibawah kementerian dalam negeri) akan lebih berhati-hati dalam memberi-kan ijin lokasi kepada dunia usaha di wilayah kekuasaannya. Apabila yang bersangkutan melakukan pelanggaran terhadap tata ruang tersebut, maka dia bisa dikenakan sanksi pidana dan perdata.

Selama ini ketiadaan peta tata ruang Kabupaten, Provinsi dan Nasional menyebabkan mutu, cara pemanfaatan dan pengendalian ruang yang tersambung dengan daya dukung keruangan itu sendiri membuat pola pembangunan dan pengelolaan negeri ini karut-marut. Selain itu, benturan kepentingan sektoral di internal pemerintah menyebabkan kaburnya substansi pengendalian pemban-gunan. Juga tak terselesaikannya berbagai masalah- masalah yang di seputar keruangan.

Setelah menyelesaikan pembua-

Page 4: Tugas Prioritas Rezim Baru Menghentikan Ekspansi ... file24| Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 | 25 Edisi No. 4 | April 2014 Tugas Prioritas

6 | Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 7Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 |

LaporanUtama LaporanUtama

tan perencanaan tata ruang wilayah nasional di atas, tugas lanjutan bagi parlemen dan pemerintahan baru adalah segera membuat peraturan teknis terkait pelaksanaan dan pengawasan jalannya UU tersebut, sebagaimana yang telah diamanat-kannya. Hal ini sangat penting dan mendesak demi menghindari multi-tafsir dan kebingungan di masyarakat soal hak dan kewajibaan berkenaan dengan penataan ruang.

Penerapan Kajian Lingkungan Hidup Strategis

Setelah membuat dan melakukan sinergisitas terkait Penataan Ruang, hal strategis yang harus segera di-lakukan parlemen dan pemerintahan baru terpilih adalah menerapkan pelaksanaan UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelo-laan Lingkungan Hidup. UU baru dini-lai banyak pihak sudah cukup lengkap dengan segala prasyarat lingkungan terhadap model pembangunan dan pengembangan atas satu kawasan berikut sanksi hukumnya.

Di pengantar UU No. 32 Tahun 2009 ini disebutkan bahwa hal yang dipertimbangkan sehingga peraturan hukum ini mesti segera diimplemen-tasikan adalah:

1. Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga Negara Indonesia 2. Pembangunan ekonomi nasional diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.3. Semangat otonomi daerah telah membawa perubahan hubungan dan kewenangan antara Pemerintah dan pemerintah daerah, termasuk di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.4. kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguhsungguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan;5. Pemanasan global yang semakin meningkat mengakibatkan peruba-han iklim sehingga memperparah penurunan kualitas lingkungan hidup karena itu perlu dilakukan perlind-ungan dan pengelolaan lingkungan hidup.6. Agar lebih menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindun-gan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari

perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem.

Demi pencapaian banyak hal di atas, UU No.32 Tahun 2009 ten-tang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup jelas-jelas men-syaratkan dilakukan Kajian Ling-kungan Hidup Strategis (KLHS) yang sangat mendukung dan bertalian erat dengan UU No.27 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Namun UU ini harus diperkuat dengan aturan tegas yang membatasi jumlah perusahaan yang beroperasi. Karena sejak UU ini diberlakukan, tidak ada aturan dalam KLHS yang membatasi berapa banyak perusa-haan skala besar yang berbasis lahan boleh ada dalam satu kabupaten. Hal ini, harus diatur dengan jelas agar pembukaan lahan bagi perusahaan besar bisa ditekan.

Jika merujuk pada persoalan di atas, sudah saatnya parlemen dan pemerintah baru mengubah para-digm tentang hutan. Tantangan wakil rakyat yang terpilih adalah mengubah paradigma tidak menjadikan hutan sebagai sumberdaya yang dikeruk habis-habisan. Juga pembenahan managemen hutan yang saat ini tidak efektif. Pemimpin terpilih harus men-gubah manajemen pengelolaan hutan agar lebih baik dari yang dijalankan Kemenhut saat ini.

Selama ini, hutan dianggap seb-agai penggerak mesin uang kalangan politisi. Mereka membentuk rantai korupsi dan kolusi dengan pengusaha industri ekstraktif yang merusak dan mengeruk kekayaan alam tanpa mempedulikan kelestarian. Kerusakan alam karena salah kelola imbas dari kebijakan politik tak pro lingkungan. Persoalan hutan harus masuk ke dalam ranah politik. Hal itu penting, karena masalah hutan sangat serius. Pada 1960-an, eksploitasi hutan sebagai sumber penggerak ekonomi. Ketika masuk era reformasi, sudah ti-dak lagi mengikuti rezim itu. Namun masih belum juga membuat pengelo-laan hutan yang baik menjadi agenda utama pemerintah. Hutan Indonesia, yang tersisa tinggal sedikit. Sebagian besar, sudah diberikan izin pengelo-laannya kepada swasta maupun asing. Hutan berubah menjadi perkebunan sawit, tambang dan lain-lain. Selamat bekerja.***

Saat ini, Indonesia menjadi salah satu negara terbesar pengek-sport minyak kelapa sawit di

dunia, dan sekaligus menjadi negara terluas perkebunan kelapa sawitnya. Luas perkebunan kelapa sawit di In-donesia sekitar 13,194,813 Ha (Sawit Watch, 2013) dan memasok 43 % CPO kebutuhan dunia (MP3EI, 2011). Sekitar 4,9 juta warga Indonesia bekerja di perkebunan kelapa sawit, ini merupakan pekerja lapangan di industri sawit, angka tersebut belum termasuk jumlah pekerja dilevel manajemen.

Indonesia pun menjadikan perkebunan sebagai salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia, karena dianggap mampu berkontribusi besar kepada pen-ingkatan Produk Domestik Bruto (PDB), penyerapan tenaga kerja, dan kesejahteraan. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, produksi kelapa sawit meraup keuntungan Rp 205 Trilyun pada 2012, meningkat 160 trilyun dari 2011.

Perusahaan perkebunan sawit meraup untung besar dari booming minyak sawit. Keuntungan yang diraih dari bisnis minyak sawit ini telah menempatkan beberapa pengusaha sawit masuk dalam daftar orang-orang terkaya di Indonesia. Namun pada sisi lain, keuntungan yang di-raup perusahaan perkebunan tersebut belum dinikmati buruh di perkebu-nan. Buruh perkebunan yang terse-bar diberbagai wilayah di Indonesia bertahan hidup dengan upah jauh di bawah standard kehidupan layak.

Menurut Jefrie Gideon Saragih, hasil riset Sawit Watch tahun 2013 menunjukkan data bahwa besaran upah maksimal yang diterima buruh SKU (Buruh Tetap) setiap bulannya sekitar 1,2 juta – 1,4 juta rupiah, atau sekitar Rp 65 ribu setiap hari. Sementara pengeluaran buruh se-dikitnya 1,2 juta - 1,5 juta rupiah per bulan hanya untuk biaya makan saja, belum dihitung biaya anak sekolah, biaya transport buruh ke tempat kerja, sandang, kesehatan dan ke-butuhan lainnya. Buruh di salah satu perkebunan swasta asing di Kaliman-tan Tengah mengaku rata-rata buruh di perkebunan itu memiliki hutang 1 hingga 2 bulan gaji.

hubungan kerja antara buruh dan pengusaha perkebunan. Jikapun ada, kontrak itu dipegang oleh ‘agen’ mer-eka, sehingga mereka tidak pernah melihat kontrak dan tidak tau isinya. Oleh karena itu tidak ada jaminan keberlangsungan kerja bagi buruh. Tidak ada dokumen yang menandakan mereka adalah Buruh di perkebunan.

Menurut Bondan Andriyanu, eksploitasi juga dilakukan melalui, sistem kerja. Perusahaan mem-berlakukan sistem tujuh jam kerja dengan target. Dengan sistem kerja ini, buruh harus terus bekerja untuk mencapai target walau sudah bekerja selama 7 jam. Tidak ada uang lembur.

“Eksploitasi terhadap buruh perkebunan semakin terbuka lebar karena posisi kuat pengusaha dalam perkebunan. Kekuasaannya mencakup pembuatan peraturan, penetapan sangsi atas peraturan tersebut, hingga mengatur kehidupan pribadi buruh. Sementara itu, posisi buruh perkebunan sangat lemah karena menggantungkan hidup sepenuhnya kepada perkebunan,” lanjut kepala departemen kampanye Sawit Watch tersebut.

Dari praktek perburuhan di perkebunan sawit tersebut dan berte-patan dengan momentum perayaan hari buruh sedunia pada 1 Mei 2014, Sawit Watch mengharapkan kepada Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono untuk mengeluarkan kebijakan yang berpihak pada buruh perkebunan sawit. Kebijakan tersebut harus menjamin hak-hak buruh serta ber-dampak pada kesejahteraan buruh perkebunan. Ini akan menjadi sebuah catatan manis yang diwariskan Pres-iden SBY di akhir kekuasaannya.

“Sawit Watch meminta kepada Presiden SBY untuk menindak tegas perusahaan yang memperlakukan buruh secara semena mena. Serta mendesak pemerintah untuk men-gawasi praktek-praktek perburuhan yang ada di perkebunan sawit, dari mulai perekrutan hingga sistem peng-gajian. Dan juga memberikan kebe-basan atas buruh untuk berserikat dan berkumpul untuk menentukan masa depan yang lebih baik, pungkas Jefrie Saragih.

Buruh Perkebunan Sawit Harus Sejahtera!Siaran Pers Sawit Watch Dalam Perayaan Hari Buruh Sedunia, 1 Mei 2014

“Untuk mensiasati kekurangan ini, buruh terpaksa memperpanjang jam kerjanya agar memperoleh uang tambahan berupa premi. Sementara harga premi biasanya kecil, dan biasanya ditentukan sepihak oleh pe-rusahaan. Agar premi yang di peroleh lebih banyak, buruh melibatkan istri dan anaknya bekerja. Cara lain buruh mensiasati upah yang kurang ini adalah dengan mengurangi kualitas menu dan gizi makanan sehari-hari. Keuntungan berlimpah yang diraih perusahaan perkebunan sawit seakan menguap dan malah meninggalkan jejak kemiskinan pada hidup buruh perkebunan. Kelapa sawit yang dinilai telah menyerap banyak tenaga kerja ternyata belum mampu mensejahter-akan buruh, petani dan masyarakat adat,” kata Direktur Sawit Watch tersebut.

Selain itu, pembangunan indus-tri kelapa sawit telah mengubah dinamika perekonomian lokal, mengubah pemilik lahan menjadi tenaga upahan. Keterbatasan pilihan pekerjaan dan tidak adanya perlind-ungan negara mengakibatkan buruh perkebunan terpaksa bekerja dengan bayaran minimal, standar kesehatan dan keselamatan kerja yang buruk dan hubungan kerja yang berbasis eksploitatif. Selain menghisap buruh, pembangunan industri kelapa sawit juga berdampak pada lingkungan dan mengancam kedaulatan pangan.

Besarnya kekuasaan perusahaan perkebunan akibat dari lemahnya pengawasan Negara menempatkan buruh pada posisi tak berdaya. Upah murah, buruh kontrak (outsourc-ing), minim fasilitas, rentan atas kecelakaan kerja adalah wajah dari industri perkebunan di Indonesia.

Berdasarkan beberapa riset yang dilakukan oleh Sawit Watch, terlihat bahwa situasi yang dihadapi buruh-buruh di perkebunan adalah bentuk lain dari perbudakan modern. Eksploitasi terjadi secara sistematis dan sudah terjadi sejak dari rek-rutmen, sistem kerja, hubungan kerja, struktur perusahaan, hingga minimnya penyediaan fasilitan kerja, fasilitas hidup dan kebutuhan pokok lainnya.

Buruh bekerja tanpa kontrak, tidak ada dokumen apa pun dalam

Page 5: Tugas Prioritas Rezim Baru Menghentikan Ekspansi ... file24| Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 | 25 Edisi No. 4 | April 2014 Tugas Prioritas

8 | Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 9Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 |

Dengan produksi 23,5 juta ton minyak kelapa sawit mentah pada tahun lalu, Indonesia

sebetulnya sudah sulit disaingi siapa pun. Namun, angka ini tampaknya masih ingin digenjot lebih dahsyat lagi. Untuk 2020, misalnya, target yang dipatok adalah 40 juta ton. Target itu di satu sisi sah-sah saja. Persoalannya, untuk meningkatkan produksi pengusaha Indonesia lebih condong kepada ekspansi ketimbang intensifikasi lahan. Bila pola ini diper-tahankan, laju ekspansi lahan kelapa sawit bisa mencapai 450 ribu hektare per tahunnya. Ini bukan kabar yang menggembirakan, utamanya pada keberlangsungan hutan kita.

Laju ekspansi ini sebetulnya sudah coba direm dengan morato-rium penebangan hutan selama tiga tahun terakhir. Langkah ini dilakukan bukan untuk gagah-gagahan, melain-kan dengan jualan oksigen melalui skema REDD (reduced emissions from deforestation and forest degrada-tion) Indonesia mendapatkan dana dari Norwegia sampai US$ 1 miliar selama kurun 7-8 tahun sejak perjan-jian diteken. Dana ini adalah bentuk dukungan negara Skandinavia ini atas tekad Indonesia mengurangi emisi atau buangan zat asam arang (CO) sampai 26 persen pada 2020.

Terkait dengan Moratorium terse-but, Presiden Susilo Bambang Yudhoy-ono (SBY) menghimbau kepada pres-iden baru nanti untuk meneruskan moratorium konsesi hutan. Presiden menyampaikan himbauan itu ketika memberikan pidato kunci sekaligus membuka Forests Asia Summit 2014 atau Pertemuan Puncak Hutan Asia, di Shangri – la Hotel, Jakarta, Senin (5/5).

Presiden SBY mengklaim bahwa kebijakan moratorium penebangan hutan tersebut telah menurunkan tingkat penggundulan hutan dari 1,2 juta hektar menjadi 450 hingga 600 ribu hektar per tahun selama periode

moratorium, terhitung sejak inpres Moratorium dirilis pada 2011. Keber-hasilan menurunkan angka dorestasi tersebut telah mengurangi pelepsan 211 juta ton CO2.

Guna memperkuat upaya mora-torium konsensi hutan itu, Presiden SBY telah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2013 yang sifatnya sebagai penguatan dan koreksi atas moratorium sebelum-nya, misalnya penyelesaian tumpang tindih perizinan.

Inpres Nomor 6 Tahun 2013 ten-tang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hu-tan Alam Primer dan Lahan Gambut merupakan perpanjangan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 atau yang lebih dikenal dengan Inpres Moratorium Hutan yang seharusnya berakhir pada 20 Mei 2013.

Namun di lapangan, pemerintah daerah dan berbagai intansi terkait, menerjemahkan moratorium secara berbeda lain lagi dengan kehendak resmi pemerintah pusat. Sebelum tanggal moratorium jatuh, pengusaha sekuat tenaga, bahkan mungkin kalap, membebaskan lahan. Bila dengan moratorium saja pelanggaran

di lapangan masih terjadi, skenario yang kurang menggembirakan untuk lingkungan dan ekonomi rakyat bakal menanti setelah moratorium diang-kat.

Sawit memang komoditas yang penting bagi perekonomian Indone-sia. Namun, yang menikmati harum dan gurihnya hanya kalangan terba-tas. Sebagian besar petani rakyat dan warga sekitar perkebunan besar yang seharusnya bisa sejahtera karena komoditas unggulan ini justru menjadi pihak yang paling sering dirugikan dengan pertumbuhan kebun yang kian menggila. Selama puluhan tahun, maraknya kebun sawit sejalan dengan tumbuhnya konflik di sana-sini. Sumatera dan Kalimantan sudah merasakan imbas pahit dari agresivi-tas ekspansi sawit.

Kini sawit merambah tapal batas baru: Papua. Pada tahun 2007, sekitar 10 juta hektar hutan di Tanah Papua telah dialokasikan untuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan sekitar 1,6 juta hektar dialokasikan untuk Hutan Tanaman Industri (HTI). Sementara khusus untuk perluasan (ekspansi) perkebunan kelapa sawit mencapai 7 juta hektar yakni 5

Pemerintahan Baru Harus Memperkuat Moratorium Penebangan Hutan

juta hektar di provinsi Papua dan 2 juta hektar di provinsi Papua Barat. Rencana ekspansi perkebunan sawit ini menjadi ancaman besar bagi masyarakat adat Papua juga karena hutan adatnya akan diklaim atas izin pemerintah oleh perusahaan. Hutan alam juga akan habis ditebang untuk industri minyak sawit, sementara sekitar 80% penduduk asli Papua masih hidup bergantung pada hasil hutannya sebagai peramu dan petani subsisten.

Banyak konflik yang terjadi di Papua karena masalah tanah. Bagaimana pun, rencana pemer-intah untuk membuka perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran di Tanah Papua berpotensi menjadi sumber konflik baru. Karena itu sudah saatnya, para legislator dan Presiden baru hasil pemilihan legislative dan pemilihan presiden baru mendorong perpanjangan moratorium peneban-gan dan sekaligus memperkuat mora-torium itu sendiri. Seperti dijelaskan diatas, dengan moratorium saja tidak cukup untuk menurunkan trend deforestasi, tapi harus diperkuat dengan instrument-instrumen hukum untuk memperkuat moratorium.*** Pembukaan lahan gambut dan hutan alam untuk perkebunan sawit

Peta Indikatif Moratorium Yang dibuat CSO

LaporanUtama LaporanUtama

Page 6: Tugas Prioritas Rezim Baru Menghentikan Ekspansi ... file24| Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 | 25 Edisi No. 4 | April 2014 Tugas Prioritas

10 | Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 11Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 |

Rezim Susilo Bambang Yudhoyono yang sudah berjalan selama sepuluh tahun ini hampir

berakhir. Banyak yang menilai rezim ini berhasil, banyak pula yang me-nilainya gagal total. Khususnya dalam soal kebijakan pangan. Kebijakan pangan rezim SBY memang paling layak disorot, karena pasca Orde Baru, di era SBY inilah sebenarnya janji memperkuat ketahanan pangan dan melakukan revitalisasi pertanian kembali diwacanakan.

Pada awal pemerintahannya di tahun 2004 lalu, SBY sebenarnya sudah menyusun sebuah Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) selama 20 tahun ke depan. Dalam rencana pembangunan yang meru-pakan pengganti GBHN Orde Baru itu, SBY sebenarnya sudah dengan jitu memetakan berbagai masalah yang akan dihadapi Indonesia ke depan. Dalam rancangan itu sudah disebut-kan, Indonesia akan menghadapi masalah seperti krisis air, krisis energi dan krisis pangan.

Pemerintahan SBY sendiri dalam RPJP sudah menyebutkan berbagai ancaman krisis itu harus diantisi-pasi sejak dini. Khusus soal pangan, dalam rancangan itu juga disebutkan

bahwa perekonomian Indonesia akan ditopang oleh sektor pertanian. Satu tulang punggung lagi adalah sektor pertambangan. Sayangnya, meski SBY sejak awal sudah menyadari akan adanya krisis pangan dan sudah mencanangkan salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia adalah pertanian, dalam kebijakan-nya kemudian, idealisme itu bak jauh panggang dari api.

Kesalahan pertama dimulai ketika SBY menyusun 11 program priori-tas pembangunan nasional. Dalam daftar ini yang menjadi prioritas utama adalah reformasi birokrasi dan tata kelola disusul pendidikan dan penanggulangan kemiskinan. Semen-tara ketahanan pangan dan masalah pertanian ditaruh pada posisi nomor lima. Akibatnya perhatian pemerintah terhadap pertanian sangat kecil.

Karena bukan merupakan pri-oritas pertama, maka eksekutif dan legislatif hanya bisa memberikan budget sekitar 6-7% dari total APBN. Ini sangat jauh dari saran lembaga pangan dunia FAO yang menyatakan negara hendaknya menyisihkan 20 persen anggaran untuk memenuhi hak atas pangan rakyatnya di tengah situ-asi pangan yang bergejolak. Prioritas

yang rendah ini juga mengakibatkan lemahnya implementasi kebijakan pangan di lapangan.

Salah satunya adalah lemahnya perlindungan terhadap produsen pan-gan skala kecil meliputi lahan, sarana dan prasarana serta tata niaganya. Demikian pula dari sisi konsumen tidak dibangun upaya yang sistematis dan serius sehingga mereka men-jadi pelindung pertanian. Alih-alih membangun kedaulatan pangan, kebijakan pemerintahan SBY malah mengandalkan pangan impor dengan membebaskan keran impor sebesar-besarnya. Padahal semua harusnya berbasis pada lokalitas dan produsen pangan skala kecil.

Hal ini, menunjukkan adanya paradoks dimana pada satu sisi SBY sangat sadar akan adanya anca-man krisis pangan, tetapi di sisi lain tidak memprioritaskan pembangunan pertanian. Akibatnya bisa dilihat dari buramnya potret implementasi kebi-jakan pangan, khususnya pertanian di Indonesia pada masa pemerintahan SBY selama 10 tahun ini. Sampai jelang akhir periode kedua pemerin-tahan SBY, kondisi pangan Indonesia tidak membaik. Bahkan Indonesia terperosok kedalam jurang darurat

pangan.Potret buram gagalnya kebijakan

pangan pemerintahan SBY ini, bisa dilihat dari beberapa indikator. Per-tama, dari sisi jumlah rumah tangga pertanian. Selama sepuluh tahun belakangan ini dari tahun 2003-2013, jumlah rumah tangga petani meng-hilang sebesar 5 juta rumah tangga. Mereka mayoritas adalah petani dengan lahan kurang dari 1000 m2. Jika di tahun 2003 masih ada sekitar 31,17 juta rumah tangga, maka di tahun 2013 hanya tersisa 26,13 juta rumah tangga.

Selain itu, lahan pertanian juga menyusut rata-rata seluas 110.000 hektare setiap tahunnya. Padahal di satu sisi untuk hal ini pemerintah telah menerbitkan UU Nomor 14/2009 tentang Perlindungan Lahan Perta-nian Pangan Berkelanjutan. Hanya saja implementasinya sangat lemah karena diserahkan kepada provinsi dan kabupaten tanpa ada koordinasi dan rencana yang berkesinambungan.

Berkurangnya rumah tangga per-tanian ini diakibatkan karena semakin menurunnya kesejahteraan petani yang tercermin dari nilai tukar petani (NTP) yang dimiliki petani. NTP digu-nakan sebagai salah satu alat untuk mengukur tingkat kesejahteraan den-gan membandingkan antara indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayar petani.

Kajian Indef (Institute for Devel-opment of Economics and Finance) yang dipublikasikan pada April 2014 menunjukkan terjadinya penurunan NTP dari 117 poin pada tahun 2004 menjadi 107 poin pada tahun 2013. Kesejahteraan yang rendah menye-babkan petani terus bergelut dengan kemiskinan sepanjang waktu. Bahwa benar terjadi perubahan dalam jumlah penduduk miskin, namun pada kenyataannya masih banyak petani yang miskin.

Pemerintah menargetkan kemiski-nan turun hingga 8 persen pada ke-nyataannya angka kemiskinan masih relatif tinggi terutama di pedesaan dimana sebagain besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan. Pada tahun 2013 angka kemiskinan mencapai 11,4 persen atau 28,1 juta orang.

Pertanian kini tidak lagi menjadi penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi dimana sumbangannya sejak 2007-2013 hanya sebesar rata-rata

3-4 persen. Bandingkan dengan sektor jasa dan properti yang menyumbang pertumbuhan hingga 8-9 persen.

Semakin tersisihnya sektor pertanian ini bukan saja berdampak pada berkurangnya jumlah petani dan lahan tetapi juga menjadi fak-tor terjadinya kemandegan produksi pangan. Padahal di satu sisi jumlah penduduk terus meningkat. Alhasil untuk menutupi gap tersebut, pemer-intah pun menggenjot impor pangan. Hal itu bisa dilihat dari jumlah impor yang terus meningkat setiap tahun.

Berdasarkan data di atas, terlihat impor pangan Indonesia sejak tahun 2009-2012 cenderung meningkat. Angka tertinggi dicapai pada tahun 2011 dengan volume mencapai 22,9 juta ton dan nilai impor mencapai US$20,58 miliar. Hal ini jelas menun-jukkan pemerintah tidak berpihak pada produsen pangan skala kecil sebagai tulang punggung ketahanan pangan nasional.

Dalam konteks lahan, pertanian pangan di Indonesia juga mengha-dapi problema besar dengan semakin massifnya perkembangan perkebunan sawit. Achmad Surambo mengatakan, ada kontestasi yang tidak seimbang antara pertanian pangan dan sawit dalam penguasaan lahan. Pemerin-tah cenderung memberikan konsesi besar-besaran terhadap perkebunan kelapa sawit tanpa mempertimbang-kan daya dukung dan daya tampung. “Hal ini menyebabkan alih fungsi lahan pangan,” ujarnya kepada.

Dengan begini target rezim SBY untuk perluasan lahan pangan seluas 2 juta hektare dipastikan tidak berhasil. Bahkan izin bagi alih

Kebijakan Pangan Hanya Angan-AnganRefleksi Atas Kebijakan Pangan Pemerintahan SBY

Kedaulatan Pangan Terancam Perluasan Perkebunan Sawit di Merauke

fungsi pangan terus diberikan. Lahan yang tidak dikonversi untuk perke-bunan sawit tetap terkena dampak pembangunan kanal dan jalan untuk mendukung industri sawit. Rambo mencontohkan di wilayah pantai timur Sumatera dimana seluruh lahan pertanian sudah terkonversi menjadi lahan sawit.

Karena itu ke depan Indonesia memang membutuhkan pemimpin yang menghormati, melindungi dan memenuhi kebutuhan pangan rakyat yang merupakan hak asasi manusia. Pangan harus menjadi prioritas utama pemerintahan mendatang. Mengalo-kasikan sumber daya termasuk ang-garan untuk menciptakan kedaulatan pangan bukan mencari jalan mudah dengan melakukan impor pangan. Ini merupakan pilihan politik dan strategi pemerintah yang seharusnya dan segera dilaksanakan.

Untuk itu Sawit Watch sendiri memberikan solusi berupa tujuh lang-kah strategis yang harus dilakukan pemerintahan baru mendatang. Per-tama adalah memulihkan kemampuan produsen pangan skala kecil dengan menata sumber-sumber agraria. Kedua meningkatkan investasi publik untuk pangan. Ketiga melindungi pasar pangan lokal dari liberalisasi. Keempat, menghentikan pemberian lahan kepada perusahaan besar dan konversi lahan pangan. Kelima mem-perbaiki tata kelola pangan nasional. Keenam melakukan diversifikasi pangan sesuai potensi lokal. Ketujuh, pemanfaatan inovasi dan teknologi yang bisa dikuasai penghasil pangan skala kecil.***

LaporanUtama LaporanUtama

Lahan-Lahan Sawah Terancam Ekspansi Sawit di Parimo

Page 7: Tugas Prioritas Rezim Baru Menghentikan Ekspansi ... file24| Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 | 25 Edisi No. 4 | April 2014 Tugas Prioritas

12 | Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 13Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 |

Perjalanan kami mulai dari Palangkaraya, Ibukota Provinsi Kalimantan Tengah. Kota ini

berpenduduk hanya 220.962 jiwa. Padahal luasnya 2.400 kilometer persegi. Itu setara 3,6 kali luasnya dari Jakarta yang berpenduduk lebih dari 10 juta jiwa. Singgah sebentar di kantor Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, organisasi nirlaba yang memusatkan perhatian pada advokasi masyarakat dan lingkungan hidup. Mengumpulkan banyak remah infor-masi dari tempat itu lalu menempuh perjalanan lebih dari 70 kilometer menuju Paranggean, salah satu wilayah Kecamatan di Kabupaten

Kotawaringin Timur.Paranggean bolehlah disebut

kecamatan sawit. Bayangkan total luas lahan perkebunan besar sawit di wilayah ini mencapai 130 hektare. Itu setara dengan 60 persen luas wilayahnya. Tidak kurang dari 13 perusahaan perkebunan besar sudah menyulap lahan dan hutan di sana menjadi hamparan kebun sawit. Itu barulah di Kecamatan Paranggean. Di seluruh Kabupaten Kota Waringin Timur tercatat tidak kurang 77 peru-sahaan perkebunan besar sawit den-gan luasan lahan mencapai 646.017 hektare.

Dengan rata-rata lebih dari 1.000

buruh yang bekerja pada perusa-haan perkebunan itu, pikirkan saja berapa banyak warganya yang meng-gantungkan nasib di tandan sawit. Bahkan ada yang rela meninggalkan kebun-kebun palawija mereka dan pekerjaan lainnya, lalu memburuh di perkebunan besar. Maklumlah, iming-iming gaji tinggi memantik minat. Padahal, harapan tidaklah selalu sama dengan kenyataan.

Di Parenggean setelah didera lelah semalaman melewati jalanan berlumpur, licin dan curam, kami menumpang istirahat di rumah pang-gung milik Hendrikus, Ketua Serikat Pekerja Anak Sawit Indonesia. Spasi adalah salah satu organisasi buruh yang berbasis di wilayah itu. Rata-rata anggotanya bekerja di PT. SPMN (Sapta Prima Multi Niaga).

Barulah keesokan pagi, mengalir-lah kisah-kisah nestapa para buruh perkebunan besar kelapa sawit di wilayah itu dalam sebuah pertemuan tak resmi serikat pekerja ini.

Denti Bakti, (43), anggota Spasi membuka pembicaraan, “saya ini dulu mandor kebun. Tapi kemudian dipindahkan ke pekerjaan lain. Tidak menentu. Lantaran saya bergabung dengan serikat pekerja. Meski cuma anggota biasa.”

Pada titik ini, Affandi, pegiat Walhi Kalteng menyebutkan bahwa perusahaan sejatinya telah melang-gar hak-hak pekerja untuk berseri-kat. Kata dia, “tentu itu melanggar undang-undang. Melanggar kebebasan warga Negara untuk berserikat dan berkumpul.”

Karena itu, menurut Denti, wajar bila hanya 96 orang dan 1000 buruh di perkebunan mereka berani men-jadi anggota serikat.

“Padahal dengan berserikat, mereka akan menjadi lebih kuat. Mereka akan lebih mudah menuntut hak-haknya karena punya wadah yang bisa menyatukan suara mereka,” pan-dang Jopi Peranginangin, pegiat Sawit Watch yang menemani saya.

Para buruh tahu, kata Denti, “banyak masalah yang mereka hadapi

Nestapa Buruh di Bawah Tandan SawitBekerja Keras dan Berserikat untuk Hidup Layak

Buruh Perkebunan Sawit Sedang Istirahat

dan tidak tahu harus bagaimana. Kalau saya rinci satu demi satu masalahnya, itu banyak. Salah sa-tunya yang penting adalah masalah kesehatan. Asuransi memang ada, tapi pengurusannya sangat berbe-lit. Bahkan bila manajemen men-gatakan salah prosedur, klaim kita tidak dibayarkan. Nah, yang begitu kalo kita berserikat bisa diselesaikan bersama-sama. Menjadi masalah bersama.”

“Coba kita lihat bila ada gang-guan kesehatan atau ada kecelakaan kerja atau berhubungan dengan itu, kita mesti melewati prosedur pan-jang. Sementara biasanya ini kondisi darurat atau kejadiannya terjadi di malam hari,” sambung Hendrikus, ketua Spasi.

Prosedur panjang yang dimaksud Hendrikus itu, adalah bila mereka sakit atau mengalami kecelakaan kerja, yang pertama mereka harus mendapat surat pengantar dari tena-ga medis perusahaan, apakah akan diarahkan ke klinik perusahaan atau tempat lain. Lalu dari situ kemudian klinik mengeluarkan surat rujukan ke rumah sakit setempat. Terkadang, masih bisa ditenggang, tapi bila dalam keadaan darurat, berbelitnya pengurusan pelayanan kesehatan menyulitkan mereka.

“Sementara kalo kita berobat sendiri, susah klaimnya. Karena perusahaan menggangap kita lalai tidak mengikuti prosedur yang ada. Padahal siapapun tahu, siapa yang paling bekerja keras di perkebunan itu kalau bukan para buruh. Semen-tara untuk menuntut haknya saja, buruh susahnya bukan main,” tukas Denti kemudian.

“Sebenarnya, kita tidak berharap yang muluk-muluk. Kita hanya bermo-hon hak kita dipenuhi saja, sesuai dengan beban kerja kita. Kita sudah bekerja keras, tentu kita bisa hidup dengan layak sesuai hasil kerja,” sambung Hendrikus lagi.

Ada lagi yang menjadi kerisauan para buruh di sini, angsuran asuransi kesehatan mereka ke jamsostek—yang sekarang kita lebih kenal seb-agai Badan Penyelenggara Jasa Sosial – Kesejatan (BPJS Kesehatan)—kerap baru dibayarkan perusahaan setelah 3 – 4 bulan. Padahal mestinya setiap tanggal 15 bulan berjalan. Itu pun dipotong dari upah mereka sebesar Rp38 ribu tiap bulannya.

“Kami takut nanti ada apa-apa, asuransi tidak mau melayani kami, karena selalu lambat membayar ang-suran,” sebut Denti.

***

Sawit Watch melansir data bahwa saat ini, Indonesia menjadi salah satu negara terbesar pengeksport minyak kelapa sawit di dunia. Indonesia juga menjadi negara terluas perkebunan kelapa sawitnya. Luasannya lebih dari 13 juta Hektare. Dan, kita menjadi pemasok 43 persen dari kebuthan minyak sawit dunia. Lalu, ada sekitar 4,9 juta jiwa yang menjadi buruh di perkebunan-perkebunan sawit dari Sumatera, Kalimantan sampai Su-lawesi. Itu belum termasuk pekerja di tingkat manajemen. Di pasaran dunia 1 barrel minyak sawit bisa mencapai US $803. Nilai 1 barrel sekitar 158 liter.

Coba kita lihat hitungan seder-hana produksi minyat sawit; dari sekitar 1 hektare kelapa sawit bisa dipanen paling kurang 1,5 ton tandan buah sawit segar. Itu bisa menghasil-kan sekitar 300 liter minyak sawit. Maka hitunglah dengan harga per barrel tadi. Lupakan dulu berapa biaya produksi dan sarana produksi yang dikeluarkan semasa tanam, perawatan hingga panen, tapi coba pikirkan berapa besar keuntungan perusahaan sawit skala besar itu? Apalagi mereka mempekerjakan buruh dengan harga murah. Tentu itu penghematan luar biasa bagi perusa-haan, namun penghisapan peluh para

Saya baru saja menyusuri jalur selatan dari Palangkaraya menuju Sampit, Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Tujuan utamanya melihat dari dekat kehidupan buruh perkebunan sawit di wilayah itu. Saya ditemani Jopi Perangi-nangin, pegiat Sawit Watch, lembaga nirlaba yang memusatkan perhatian-nya pada advokasi lingkungan dan buruh pada perkebunan sawit skala besar. Banyak cerita yang bisa dicatat. Berikut beberapa di antaranya.

Laporan: Jafar G Bua, Kalimantan Tengah

KabarWilayah KabarWilayah

Page 8: Tugas Prioritas Rezim Baru Menghentikan Ekspansi ... file24| Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 | 25 Edisi No. 4 | April 2014 Tugas Prioritas

14 | Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 15Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 |

Geger asap yang terjadi perten-gahan tahun lalu ternyata masih berlanjut. Belakangan

ini propinsi Riau dan sekitarnya kembali dihantui kabut asap akibat operasi perkebunan sawit skala besar. Kali ini serangan kabut asap bukan hanya dihasilkan dari kebakaran hutan skala besar. Berdasarkan pen-gamatan dan hasil riset Sawit Watch dan beberapa aktivis di Riau, titik api kali ini banyak berada di lahan gambut. Sebagian besar dari lahan gambut tersebut adalah konsesi milik empat perusahaan sawit: PT. Bukit Nusa Reksa, PT. Jatim Jaya Perkasa milik (Ganda Group) di Kabupaten Bengkalis, PT. Adei (KLK Group) di Kabupaten Bengkalis, PT. LIH (Ganda Group) di Kabupaten Palalawan.

Menurut Koordinator Sawit Watch, Jefrie Gideon Saragih bahwa gambut adalah kumpulan unsur hara yang terkumpul sejak ratusan bahkan ribuan tahun lamanya. Lahan gambut dikelola secara besar-besaran dan mengalami proses pengeringan akan menyebabkan lahan tersebut mudah terbakar.

“Hasil dari temuan lapangan kamidi Riau menunjukanbahwa akar permasalahan adalah kebakaran hasil dari pembukaan dan pengelolaan la-han gambut untuk perkebunan skala besar, kata Jefrie.

“Pemerintah daerah seakaan “mengobral” izin-izin perluasan perkebunan sawit skala besar di Riau, celakanya izin-izin tersebut diberikan ditas lahan gambut. Sampai saat ini telah ada ratusan ijin yang diberikan kepada perusahaan sawit untuk mem-buka lahan gambut,” lanjut Jefrie.

Peristiwa terbakarnya lahan gambut yang mengakibatkan ka-but asap masif di Riau seharusnya mampu menjadi peringatan besar bagi pemerintah. Terutama jika dikaitkan dengan Instruksi Presiden tentang Moratorium Pemberian ijin di Kawasan Hutan Primer dan Lahan Gambut, memang sudah saatnya

pemerintah berhenti memberikan ijin pembukaan lahan di dua area terse-but. Namun Inpres yang mendapatkan dukungan dari berbagai pihak ini dipatahkan oleh Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPP Gambut) yang akan ditandatangani oleh Presiden dalam waktu dekat. Selain itu terdapat juga Peraturan Menteri Pertanian No. 14 tahun 2009 Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budidaya Kelapa Sawit.

Selain berhasil menemukan be-berapa titik api, Sawit Watch ber-sama aktivis lingkungan di Riau juga menemukan pola baru yang digu-nakan oleh pemodal. Sering kali para pemodal ini membakar lahan baik lahan baru maupun hutan yang sudah ada tanam tumbuh milik masyarakat setempat, sehingga dengan terjadin-ya kebakaran di lahan masyarakat, maka perusahaan akan mememinta ke masyarakat supaya di jual saja dengan harga sesuai dengan yang di inginkan oleh pihak perusahaan. Serta ada dugaan membayar oknum “militer”. Setelah lahan selesai dibakar oleh oknum-oknum tersebut, maka lahan yang sudah tidak dikelola lagi akan dijual ke perkebunan sawit. Ini menjadi bukti bahwa Inpres Mora-torium tidak berhasil bahkan fungsi kontrol dan pengawasannya tidak berjalan dengan baik. Sawit Watch juga menemukan banyak titik api di area moratorium.

Peristiwa kebakaran ini sepatut-nya menjadi peringatan bagi pemer-intah untuk menghentikan pembe-rian ijin pembukaan lahan di lahan gambut, sekaligus meninjau kembali ijin perkebunan kelapa sawit yang telah dikeluarkan. Kebakaran ini merupakan bukti bahwa pemberi ijin telah menyalahi prosedur pem-berian ijin dan pelepasan kawasan gambut. Selain itu, peristiwa ini juga menjadi bahan pertimbangan untuk mengesahkan RPP Gambut. Disahkan-nya RPP Gambut akan memperbesar

peluangan kebakaran hutan akibat pembukaan lahan gambut. Pemerin-tah masih perlu meninjau ulang draft RPP Gambut dalam rangka mencegah kejadian yang sama terulang kembali.

Terkait dengan tindak kejahatan pembakaran lahan yang sudah dan tengah berlangsung, kepala departe-men kampanye sawit Watch, Bondan Adriyanu menjelaskan bahwa perlu segera dilakukan tindakan penyelidi-kan dan penyidikan hingga menuntut perusahaan-perusahaan “nakal” yang terbukti melakukan pembakaran lahan.

“Kami mendesak kementrian Lingkungan Hidup untuk segera melakukan penyelidikan dan penyidi-kan terhadap perusahaan-perusahaan yang didalam konsesinya terdapat ti-tik api sebagai penyebab terjadi asap yang merusak lingkungan. Dan segera dilakukan audit lingkungan terha-dap perusahaan-perusahaan yang terdapat titik api didalam konsesi-nya, dan selanjutnya memberikan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku, seperti pencabutan izin dan pembayaran denda serta ganti keru-gian,” pungkas Bondan.***

Buruh Perkebunan di Kalteng Sedang Berdiskusi Untuk Membentuk Serikat Buruh Tingkat Pabrik

KabarWilayah KabarWilayah

buruh.Di Paranggean, per Januari

upah minimum yang berlaku sebe-sar Rp1.090.825 juta per bulan. Itu mengikuti upah minimum provinsi. Paranggean, berada di wilayah Kabu-paten Kotawaringin Timur, Kaliman-tan Tengah.

Bagaimana cara perusahaan mendapatkan buruh murah? “Pe-rusahaan memperkerjakan buruh harian lepas yang tidak terikat kontrak. Mereka diupah tidak layak. Upah tidak sesuai dengan kebutuhan mereka dan biaya-biaya lain. Per hari mereka mendapatkan 45 ribu sampai 60 ribu rupiah. Belum lagi mereka dituntut oleh perusahaan untuk bisa memenuhi target 1 ton per hektare per panennya. Bila tidak mencapai target, tentu upah yang mereka dapat makin berkurang,” papar Arie Rompas, Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Kalimantan Tengah.

Soal target itu menimbulkan masalah baru. Untuk mencapainya, seperti riset Walhi Kalteng, para buruh mempekerjakan istri dan anak-anaknya. Akibatnya, “banyak anak-anak buruh yang terpaksa tidak sekolah hanya untuk mendapatkan tambahan penghasilan bagi keluarg-anya,” sambung lelaki penyuka motor trail ini.

“Sementara perusahaan ter-

kadang abai memenuhi hak-hak nor-matif para buruh. Pelayanan kese-hatan dan perlindungan keselamatan kerja kerap tidak dipenuhi,” sambung lelaki berdarah Manado-Dayak ini.

Adapun menurut Jefrie Gideon Saragih, Direktur Sawit Watch, pada 2013 upah buruh tetap di perkebu-nan sawit setiap bulannya sekitar Rp1,2 juta – Rp1,4 juta. Sementara pengeluaran buruh sedikitnya Rp1,2 juta – Rp1,5 juta, hanya untuk biaya makan.

“Belum lagi bila ditambah biaya anak sekolah, biaya transport buruh ke tempat kerja, sandang, kesehatan dan kebutuhan lainnya. Buruh di salah satu perkebunan swasta asing di Kalimantan Tengah mengaku rata-rata buruh di perkebunan itu memi-liki hutang 1 hingga 2 bulan gaji,” sebut Jefrie dalam sebuah siaran berita lembaga nirlaba itu.

Denti Bakti, anggota Serikat Pe-kerja Sawit Indonesia yang bekerja di PT. SPMN (Sarana Prima Multi Niaga) memperjelas soal target panen para buruh itu. Per 1 ton yang dipanen oleh buruh harian lepas, mereka dihargai Rp45 ribu oleh perusahaan. Bila sawitnya dari kebun mereka sendiri untuk bantuan tukang timbang mereka harus merogoh kocek lagi sebesar Rp30 ribu tiap tonnya. Jadi pikirkanlah sendiri.

Meski gaji sudah disesuaikan upah minimum provinsi itu, Denti teta-plah mengeluh, “itu kan pokoknya, mas. Itu tentu tidak cukup. Kita mau makan pakai apa? Mau bayar listrik pakai apa? Belum lagi kalo anak seko-lah. Makanya kita mengambil kerja lemburan, yang biasanya juga tidak dibayarkan sesuai lemburannya.”

Hendrikus, Ketua Spasi menegas-kan lagi soal hak-hak normatif tadi. “Buruh punya hak atas tunjangan kesehatan atau tunjangan-tunjangan lain sesuai kebutuhan buruh. Peru-sahaan kan untung besar bila harga minyak sawit naik, tentu kami yang sudah bekerja keras mesti kecip-ratan juga,” sebut Hendrikus yang sempat menjamu saya dan Jopi di rumah panggung sangat sederhana di Paranggean.

Memang, kata Hendrikus, per-temuan dengan pihak Dinas Tenaga Kerja, Perusahaan dan perwakilan buruh sudah dilakukan. Perusahaan sudah menjanjikan kesejahteraan buruh diperhatikan. Tapi yang ada, kata dia, “sampai sekarang tiada realisasi. Ada pula pemangkasan hak kami. Tidak jelas alasannya kenapa dipangkas. Memang upah pokok kami naik, tapi anehnya hak-hak lemburan dipangkas. Padahal beban pekerjaan tidak berbeda.”

Bencana Asap Yang Tak Kunjung Berakhir

Di Riau

Page 9: Tugas Prioritas Rezim Baru Menghentikan Ekspansi ... file24| Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 | 25 Edisi No. 4 | April 2014 Tugas Prioritas

16 | Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 17Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 |

Tak berapa lama setelah tiba di Jakarta awal bulan ini, tiba-ti-ba telepon genggam berdering.

Ponidi, rekan dari organisasi Menapak di Berau, Kalimantan Timur, dengan tergesa mengabarkan kondisi darurat. Seorang buruh di perkebunan sawit kecelakaan patah tangan.

Pasalnya remeh saja. Rantai motor karatan milik buruh tersebut tiba-tiba putus, saat dipaksa menan-jak bukit, menuju pabrik pengolahan sawit tempat ia bekerja.

Sulaiman, nama pekerja terse-but, hingga Senin (7/4), terbujur ke-sakitan di rumah sakit daerah Berau. Malam sebelumnya, ia harus berjuang bisa keluar dari perkebunan untuk mendapatkan fasilitas pengobatan.

“Perusahaan baru bayar biaya pen untuk patah tulang sebesar Rp 8 juta. Namun, obat untuk operasi belum dibayar. Sekarang pekerja itu ditinggalkan di rumah sakit tanpa pesan apa pun dan tak ada pihak perusahaan yang menemani,” kata Ponidi.

Untungnya dengan berbagai desakan, akhirnya pihak rumah sakit mau memberikan obat tersebut. Operasi kemudian dilakukan dengan kebimbangan mengenai biaya kes-ehatan yang akan dikenakan.

Teringat beberapa waktu sebe-lumnya, saat berhasil menyinggahi salah satu daerah pedalaman di Kali-mantan Timur (Kaltim), di pertemuan Sungai Malinau dengan Segah tepat-nya. Di sana rumah-rumah suku Dayak Kenyah dan Punan berjejer.

Bing, Kepala Adat Desa Malinau dengan ramah menyambut. Dari beberapa penduduk sekitar disebut-kan, perkebunan sawit telah menge-pung desa mereka. Bahkan, ada yang mencapai pinggir-pinggir sungai, melabrak peraturan tentang banta-ran sungai yang seharusnya dibiarkan alami.

Tak Makan Malam Satu hal yang paling mengenas-

kan adalah kondisi buruh harian lepas

perkebunan sawit. Salah satunya be-rada dalam konsesi PT Natura Pacific Nusantara (NPN). Dalam kunjungan yang dilakukan SH, terungkap berb-agai kehidupan miris harus dihadapi para buruh sawit, terutama yang berstatus buruh harian lepas.

“Banyak buruh yang kabur karena tak kuat dengan kondisi di perkebu-nan sawit,” kata Sammy Tamunuk, buruh yang telah bekerja dua tahun di sana.

Sammy lahir di Rote, Nusa Tenggara Timur. Ia memutuskan menyeberang ke Kalimantan dengan harapan pekerjaan yang lebih baik. Namun, ia akhirnya terdampar di pedalaman perkebunan sawit terse-but.

Menurut Sammy, banyak hal yang menyebabkan buruh bisa kabur. Kon-disi kamp buruh yang tidak memadai, sanitasi yang buruk, lokasi kerja yang berat dan jauh, ketidakpastian jaminan kesehatan, serta upah yang dianggap tidak memadai.

Gara-gara upah kecil itu juga, Dorci Fanggidae, seorang buruh perempuan harus berpuasa bila malam hari. “Saya tidak makan malam karena tidak ada lauk. Mau beli lauk uangnya kurang. Nanti tak ada yang dikirimkan ke anak saya di Kupang sana,” ucap Dorci, saat dite-

mui di kamp beratap terpal miliknya. Kebanyakan buruh harian lepas

sawit di daerah itu berasal dari dae-rah timur Nusa Tenggara. Sebagian besar datang dengan iming-iming pekerjaan dan tempat tinggal yang layak. Namun kenyataannya, tidur beratap terpal dengan lantai tanah, dan mengais kayu-kayu bangunan un-tuk menutupi dinding kamp mereka.

Saat pagi hari, mereka harus ber-bondong-bondong berjalan mendaki dan menuruni bukit, menuju lokasi kerja. Perjalanan itu bisa memakan waktu berjam-jam lamanya. Tanpa dukungan fasilitas transportasi dari perusahaan, mereka membopong tangki-tangki penyemprot hama dan peralatan kerja.

Sampai di lokasi kerja, bukan selesai begitu saja. Khusus untuk pe-nyemprot, mereka harus mencari air untuk dicampur dengan cairan anti-hama. Padahal, tidak mudah mencari air di perkebunan sawit yang gersang. Setelah air penuh, harus berjalan lagi mencari pohon yang akan disemprot.

“Sarung tangan, kacamata, dan sepatu karet ini harus kami mo-dali sendiri. Tak ada yang diberikan perusahaan,” ujar Willy Anselmus, salah seorang buruh penyemprot yang sempat ditemui. Ia biasa menyemprot tanpa penutup pernapasan. Bau pem-

basmi hama yang menyengat, sesaat bisa membuat pusing kepala. Apabila terus-menerus diisap dalam jangka panjang, orang bisa keracunan dan berujung kematian.

Persoalan para buruh itu men-jadi contoh nyata betapa buruknya manajemen perkebunan sawit dalam menangani berbagai kasus kese-jahteraan buruh. Kasus itu sepertinya hanya satu cermin bisu, dari pantulan berbagai masalah lain para buruh sawit di Kaltim.

“Buruh-buruh BHL (buruh har-ian lepas) yang mengerjakan pemu-pukan, pemanenan, pembersihan piringan, dan lain-lain adalah buruh yang paling marginal posisinya. Kita bisa temukan posisi mereka sama di semua wilayah di perkebunan,” kata Achmad Surambo, dari Sawit Watch menanggapi masalah ini melalui surat elektronik.

Menurutnya, memang terjadi ketidakadilan dalam perlakuan buruh sawit di lapangan. “Kondisi yang berbeda bila mereka disebut dengan karyawan, biasanya mereka yang di kantor atau emplasemen,” tuturnya.

Setengah-setengah Bila ditilik secara kondisi riil, sep-

ertinya masalah buruh dan lingkungan perkebunan sawit, berpotensi besar

terjadi pada perusahaan menen-gah dan kecil. Dalam perbincangan dengan para pakar industri kelapa sawit, ditemukan adanya indikasi perusahaan menengah dan kecil paling berpotensi membakar hutan untuk minimalkan biaya produksi, membayar buruh dengan murah, serta tak menutupi berbagai jaminan karyawan.

“Untuk menjalankan perkebunan sawit memang tidak bisa setengah-setengah. Banyak biaya yang harus dikeluarkan. Sebaiknya perusahaan sawit kecil dan menengah bergabung menjadi satu agar banyak masalah tidak berkembang dan merugikan pe-rusahaan,” ujar Basuki Sumawinata, pakar ilmu tanah dari Institut Perta-nian Bogor (IPB).

Basuki, yang ditemui saat lo-kakarya “Pengelolaan Bisnis dan Dampak Lingkungan pada Perkebunan Sawit” di Denpasar, Bali (28/3), juga menjelaskan perhitungan biaya mahal perkebunan sawit bisa terlihat dari pengelolaan tanah perkebunan.

Perkebunan di lahan gambut, misalnya saja, memerlukan biaya be-sar karena gambut tak bisa didiamkan begitu saja tanpa dirangsang untuk melakukan dekomposisi. “Gambut itu miskin, bakteri dan jamur sedikit, hanya hidup di permukaan. Dekompo-

sisi sulit terjadi,” katanya.Minimnya dekomposisi akan me-

mengaruhi kesuburan lahan. Bila hal tersebut terus didiamkan, produksi perusahaan akan terkena dampak karena pohon sawit tidak berbuah biji sesuai yang diharapkan.

Namun, Joko Supriyono, Sekre-taris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), membantah kondisi hidup miris yang dialami buruh petani sawit.

Menurutnya, kini ada peraturan kelapa sawit berkelanjutan di Indone-sia (ISPO). Dalam peraturan tersebut, termaktub parameter-parameter bagi perusahaan untuk memenuhi kewa-jiban kepada seluruh karyawan. “Se-tahu saya tak ada anggota Gapki yang masih menggaji karyawan di bawah standar gaji UMR daerah,” ucap Joko.

Ia mengatakan, jika ada pe-rusahaan kelapa sawit yang masih menggaji buruh di bawah UMR, Gapki bisa memberikan peringatan. Bah-kan, perusahaan tersebut juga bisa dikeluarkan dari keanggotaan Gapki. Sementara itu, seperti yang tertera pada keterangan daftar anggota di si-tus daring Gapki, PT NPN tidak masuk sebagai anggota Gapki.****

Penulis: Sulung Prasetyo

Buruh Sawit Susah Makan Malam

Willy Anselmus, buruh semprot yang bekerja di perusahaan kebun sawit di Berau Perumahan Buruh Perkebunan di Sebuah Kebun Sawit di Berau

KabarWilayah KabarWilayah

Page 10: Tugas Prioritas Rezim Baru Menghentikan Ekspansi ... file24| Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 | 25 Edisi No. 4 | April 2014 Tugas Prioritas

18 | Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 19Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 |

Darurat Darurat

Kepada Pemerintah Indonesia dan Komisi Eropa, Parlemen Eropa dan saudara kami warga Eropa, Organisasi global Non Pemerintah, khususnya mereka yang peduli dalam masalah Palm Oil, Masyarakat global dan lokal yang bersangkutan dan terkena dam-pak oleh Pengelola Palm Oil, serta para pemerhati masalah Palm Oil. Semoga surat terbuka ini menjumpai kita dalam keadaan baik.

SPKS dan Sawit Watch membaca bahwa neraca perdagangan Indonesia Februari 2014 masih

mencatat kinerja ekspor yang luar biasa dari minyak sawit mentah (CPO) dengan Uni Eropa sebagai tujuan ekspor utama. Demikian juga, perda-gangan bilateral antara kedua negara tetap mekar. Hubungan perdagangan bilateral Indonesia dan Uni Eropa diperkuat dengan upaya pengurangan hambatan perdagangan, menciptakan iklim investasi yang semakin ramah berikut agenda pembangunan yang lebih kuat dari sebelumnya.

Ekspor Indonesia ke Uni Eropa pada tahun 2013 tercatat sebesar USD18.1 miliar, atau meningkat 0,6% dibandingkan tahun 2012, dengan produk minyak sawit sebagai komo-ditas utama ekspor. 28 negara di Uni Eropa merupakan pasar tujuan kedua terbesar minyak sawit Indonesia, dengan volume ekspor minyak sawit 3.730.000 metrik ton dan nilai ekspor sebesar USD2.85 miliar.

Impor Indonesia dari Uni Eropa sepanjang tahun 2013 mendokumen-tasikan nilai USD13,7 miliar, atau menurun 2,8% dari kinerja impor tahun 2012. Impor Indonesia dari Uni Eropa terutama mesin, peralatan komunikasi dan teknologi informasi. Singkatnya, selama lima tahun tera-khir (2009-2013) hubungan perdagan-gan bilateral Indonesia dan Uni Eropa meningkat 8,5% per tahun .

SPKS dan SW mengamati bahwa selama kuartal pertama 2014, pemer-intah Indonesia khususnya delegasi

dagang yang dipimpin oleh Wakil Menteri Perdagangan, telah kembali intensif mendekati Komisi Eropa, Parlemen Eropa, dan Organisasi Swa-daya berbasis di Eropa untuk mem-bahas hambatan ekspor minyak sawit Indonesia ke Uni Eropa. Para pejabat dari kedua pemerintah mengadakan seminar dengan tema “Sustainable Palm Oil: Menciptakan Keseimbangan antara Kebutuhan Konsumen dan Lingkungan” di Parlemen Eropa pada tanggal 18 Maret 2014. Agenda diplo-masi minyak sawit Indonesia segera ditindaklanjuti dengan pertemuan bilateral ke-6 Kelompok Kerja Perda-gangan dan Investasi antara delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Direktur Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagan-gan dengan delegasi perdagangan dari Komisi Eropa. Sekali lagi, ekspor minyak sawit Indonesia ke Uni Eropa adalah isu kunci dalam negosiasi poli-tik perdagangan ini.

SPKS dan SW memahami betapa minyak sawit menjadi isu utama dalam pertemuan perdagangan dan negosiasi bilateral, termasuk antar pebisnis Indonesia dan Uni Eropa. Di atas semua itu, adalah kepentingan kita semua untuk memastikan bahwa

minyak sawit dapat dipasarkan ke mana saja di dunia ini, dan bahwa tidak ada satu negara pun yang mela-rang perdagangan minyak sawit.

Untuk itu mari kita membuat pemahaman bersama tentang menga-pa SPKS dan SW harus membunyikan lonceng terutama kepada Uni Eropa dan pemerintah Indonesia menge-nai kesenjangan akut antara teori, strategi global, dan praktek minyak sawit berkelanjutan di balik semua konsultasi, dialog, debat, dan konfer-ensi perdagangan:1. Sustainable Palm Oil adalah slogan yang akrab dikenal seluruh pemangku kepentingan kelapa sawit termasuk pemerintah, pelaku usaha, produsen dan pasar minyak sawit. Terlepas dari pertempuran masing-masing kelom-pok lobi perdagangan minyak sawit berkelanjutan, semua akhirnya hanya menjadi pembicaraan kosong jika tidak ada komitmen yang mengikat untuk memperbaiki keadaan di sektor hulu.2. Kesaksian dari pekerja di dalam perkebunan besar kelapa sawit serta masyarakat sipil atas konflik sosial yang semakin intens, masalah kepemilikan lahan yang terutama dimiliki oleh perusahaan-perusahaan

besar, penderitaan buruh perkebunan, pengrusakan lingkungan dan ekologi yang kebanyakan dipraktekkan oleh perusahaan kelapa sawit, selama ini sepi dan jauh dari pembicaraan perdagangan antara delegasi perda-gangan Indonesia dan Komisi Eropa. Semua masalah ini dinyatakan sebagai bullshits dan kampanye hitam oleh pemerintah Indonesia. Karenanya, negosiasi antara del-egasi perdagangan Indonesia dan Komisi Eropa mengenai minyak sawit hanyalah pertemuan diplomatik yang mahal dan tidak bertujuan untuk menyelesaikan masalah-ma-salah mendasar yang menghambat minyak sawit menjadi berkelanjutan.3. Tidak hanya pemerintah Indonesia, sebelum melaku-kan negosiasi mengenai hambatan perdagangan minyak sawit, jelas sekali pemerintah Uni Eropa telah kehilangan integritas, kedaulatan, dan kemanusiaan dalam menim-bang segenap permasalahan tersebut yang terjadi dalam industri minyak sawit Indonesia. Penderitaan abadi ke-lompok marjinal di sektor ini semakin jauh disembunyikan karena kedua pemerintah dengan bangga memuji bebera-pa perusahaan kelapa sawit besar yang meluncurkan apa yang disebut “Komitmen keberlanjutan”. Tidak tampak ada niat baik dari pemerintah Indonesia dan Uni Eropa un-tuk bertindak wajar, tanpa bias, dan jernih akal terhadap produksi minyak sawi. Tidak ada keinginan kedua pemer-intah untuk mempertanyakan kebijakan keberlanjutan korporasi ini dengan membuktikan fakta-fakta pengru-sakan lingkungan, sosial dan ekonomi yang masih terus dialami oleh kaum minoritas dalam industri minyak sawit. Diplomasi perdagangan minyak sawit antara pemerintah Indonesia dan Uni Eropa sampai saat ini tidak menjadi-kan pemerintah Uni Eropa –khususnya- berani memprotes kejahatan terhadap kemanusiaan dan lingkungan di balik perilaku diskriminatif bisnis minyak sawit pada tataran domestik dan global.4. Pertemuan di bawah Kelompok Kerja Perdagangan dan Investasi antara Indonesia dan Uni Eropa tidak lain hany-alah kepura-puraan berharga mahal untuk dan dari para pejabat kedua negara, karena anggaran nasional untuk menerbangkan delegasi ke sana dan ke sini akan jauh lebih bermanfaat, lebih efektif, dan lebih berharga jika disumbangkan kepada petani melalui bimbingan Good Agricultural Practices dan Input Pertanian gratis.5. Kontra - kampanye yang terus bersahutan antara pemerintah Indonesia dan Uni Eropa mengenai kebutuhan pasar akan Sustainable Palm Oil telah menafikan ke-beradaan para petani kelapa sawit, masyarakat adat, eko-sistem dan lingkungan Indonesia. Jelas bahwa pemerintah Indonesia dan Uni Eropa tidak sungguh-sungguh bermak-sud membeli hanya Sustainable Palm Oil yang diproduksi secara berkelanjutan dan berbasis pada masyarakat dan petani kecil.6. Karena belum ada ruang yang signifikan bagi para petani, buruh, masyarakat adat, dan ekosistem untuk mengambil bagian dalam kegiatan formal nan mewah dari pemerintah Indonesia dan Uni Eropa demi menyelamat-kan hidup mereka akibat ulah pelaku usaha kelapa sawit berskala besar, masa depan Sustainable Palm Oil Indone-sia tampak gelap gulita di antara tayangan komedi tingkat tinggi dari delegasi perdagangan Indonesia dan Uni Eropa.7. Selain itu, ketahanan pangan semakin terhambat aki-bat ekspansi berulang dari perusahaan perkebunan besar.

Jaminan negara akan kehidupan yang sehat, ramah sosial dengan konsep hijau pun musnah, terutama melalui bru-talisme pemberian ijin usaha perkebunan dari pemerintah Indonesia, alih kepemilikan lahan yang makin merajalela, serta buruknya praktek perburuhan di perkebunan kelapa sawit. Seharusnya ini menjadi posisi tawar kunci bagi pemerintah Uni Eropa untuk mengedepankan agenda ket-ahanan pangan Uni Eropa dan Indonesia serta menyuara-kan kebutuhan akan minyak sawit berkelanjutan termasuk minyak nabati alternatif lainnya.

8. Sebagai importir besar minyak sawit Indonesia, pemerintah Uni Eropa seharusnya dapat menjadikan kebijakannya memaksa pemerintah Indonesia mengop-timalkan produksi Sustainable Palm Oil berbasis petani dan bukan perusahaan perkebunan besar yang dilindungi oleh pemerintah Indonesia. Mengingat bahwa misi dagang diplomatik yang dipimpin oleh Wakil Menteri Perdagan-gan Indonesia melibatkan beberapa petani kelapa sawit, itu sama sekali tidak membuktikan bahwa misi dagang Indonesia mempromosikan minyak sawit berkelanjutan. Kenyataannya, ada sejumlah besar petani kecil kelapa sawit yang diabaikan dan dibiarkan oleh pemerintah Indo-nesia. Mereka menghargai dan mengharapkan pemerintah Uni Eropa untuk bertindak non-diskriminatif, rasional, dan berkeadilan dalam menangkap strategi politik pemerintah Indonesia tersebut. Sampai saat ini belum ada road map minyak sawit berkelanjutan yang benar-benar berbicara atas nama seluruh pemangku kepentingan kelapa sawit, khususnya petani kecil dan buruh, kecuali kalangan indus-tri. Pemerintah Uni Eropa harusnya mengenakan sanksi dagang atas segala bentuk promosi ekspor yang memasar-kan produk yang mengusung kejahatan lingkungan, sosial, dan ekonomi sebagaimana dijalankan oleh perusahaan besar perkebunan kelapa sawit yang disajikan dalam diplomasi perdagangan Indonesia.

SPKS dan SW menganalisis dengan seksama bahwa pertemuan bilateral antar pemerintah dan pebisnis men-genai Palm Oil sama sekali bukan mengenai masa depan Sustainable Palm Oil Indonesia, karena tidak ada posisi perdagangan masing-masing pihak yang menyoroti pent-ingnya pengaturan praktek-praktek berkelanjutan yang nyata dalam produksi minyak sawit di Indonesia. Semua itu hanyalah KTT politik dan reuni bisnis dari para badut birokrasi yang memainkan lakon drama mengenai industri kelapa sawit di Indonesia.

SPKS dan SW menggarisbawahi bahwa Minyak Sawit Berkelanjutan harus memperkuat kapasitas dan integritas pekerja kelapa sawit, petani kecil dan masyarakat adat, serta memberikan akses menuju Good Agriculture Practic-es dan Ketahanan Pangan untuk kepentingan lingkungan dan ekosistem.

SPKS dan SW mengajak semua pihak untuk memantau, mempertanyakan, mengkritik, menantang, dan mengam-bil pandangan tegas mengenai negosiasi perdagangan Indonesia dan Uni Eropa terkait Minyak Sawit, karena sesungguhnya tidak ada seorang pun dalam misi bilateral kedua negara yang berkomitmen, setia, dan sepenuh hati memperjuangkan Sustainable Palm Oil yang dihasilkan melalui cara-cara yang berkelanjutan tanpa latar be-lakang konflik sosial, masalah hukum, kerusakan ekologi dan lingkungan.***

Surat Terbuka Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) dan Sawit Watch (SW)

Kesenjangan Antara Teori, Strategi Global Dan Praktek Minyak Sawit Berkelanjutan

Page 11: Tugas Prioritas Rezim Baru Menghentikan Ekspansi ... file24| Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 | 25 Edisi No. 4 | April 2014 Tugas Prioritas

20 | Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 21Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 |

Kondisi di Lokasi Perkebunan PT. Nabire Baru

MedanJuang MedanJuang

Nabire dan Paniai adalah daerah yang lahir dari se-buah kandungan yang sama, daerah yang mempu-nyai satu mata rumah, Nabire tanpa Paniai bukan

Nabire dan Paniai tanpa Nabire adalah bukan Paniai, tulisan ini tulisan saya anak NAPAN (Nabire Paniai) bukan orang dari daerah lain, saya juga punya tanggung jawab untuk bicara untuk masalah ini, tanpa niat apapua tetapi lebih karena melihat penderitaan, tangisan saudara saya; dan juga sebagai salahsatu Pimpinan Dewan Adat Papua, hal ini penting saya katakana diawal untuk menangkis sebuah pandangan yang akan menilai bahwa saya tidak berhak bicara atas persoalan ini.

Menurut Tabloit Jubi, Edisi II, Sekitar tahun 2007, PT JDI yang telah mengantongi izin hingga 2017 tadi, meng-gandeng PT.Harvest Raya dari Korea untuk membuka ke-bun Kelapa Sawit di wilayah ini. Saat itu PT.Harvest Raya ditolak masyarakat karena dianggap akan mengancam hu-tan dan masa depan anak cucu mereka. Tetapi penolakan menyisakan polemik ada marga yang menolak tetapi ada keluarganya yang menerima. Penolakan itu didasarkan oleh karena pengalaman perkebunan kelapa sawit di Arso dan Lereh yang juga belum mensejahterahkan masyarakat

Dalam situasi ini PT. Nabire Baru dengan menggu-nakan pendekatan lain kepada masyarakat setempat dan Tokoh-tokoh Masyarakat lain yang mengatasnamakan masyarakat pemilik tanah, puncak dari pendekatan ini dilakukan Doa Bersama untuk membuka lahan lahan

perkebunan kelapa sawit, dalam Doa Adat itu disepakati uang gantirugi lahan sebesar Rp.6 Milyar, yang sebelum-nya adalah wilayah HPH milik PT.Jati Darma Indah (JDI) yang memperoleh ijin yang berakhir pada tahun 2017

Diduga juga akibat dari pendekatan yang gencar di-mainkan oleh beberapa Tokoh Masyarakat Papua di Nabire (bukan pemilik hak ulayat) terhadap pemilik tanah

Banyak cara dilakukan untuk mendapatkan lahan kelapa sawit ini, antara lain dengan memberikan harapan-harapan akan hidup yang lebih baik, mengadudomba an-tara masyarakat, juga dengan terror-teror mental, intimi-dasi dari oknum aparat yang ditempatkan sebagai security didalam perusahaan sehingga pemilik hak ulayat merasa takut dan tidak akan melawan perusahaan dan melakukan pendekatan jalan mengajak minum minuman keras dan pesta pora, akhirnya lahan HPH Jati Dharma Indah telah berubah menjadi lahan kelapa sawit dari PT Nabire Baru seluas 17.000 Hektar dan PT. Sariwana Adhi Perkasa serta pengambilan kayu dari PT.Sariwana Unggul Mandiri.

Perkebunan Tanpa AmdalSelama satu tahun belakangan ini, tentang persoalan

Masyarakat Pribumi Suku Besar Yerisiam, atas exploitasi, pembalakan liar dan proses pembiaran yang dilakukan oleh dua perusahan kelapa sawit PT. Nabire Baru dan PT.Sariwana Adhi Perkasa bersama PT. Sariwana Unggul Mandiri di atas lahan Adat Masyarakat Pribumi Suku Besar

Yerisiam sudah sangat memprihat-inkan, kayu, rotan dan mahluk hidup yang ada di atas areal tersebut digu-sur dan mati tanpa ada pertanggung-jawaban. Padahal aktivitas perkebu-nan tersebut sarat dengan persoalan, mulai sengketa pemilik ulayat antara pihak pro dan kontra perkebunan kelapa sawit, klaim HPH yang belum usai, dan persoalan ijin Amdal dari BABEDALDA Privinsi Papua. Namun kegiatan aktivitas perusahaan terus dilakukan. Penebangan sudah masuk hingga areal-arel keramat, dusun-du-sun sagu dan pinggiran pantai. Ribuan pohon kayu putih dan rotan yang memiliki nilai komersial diterlantakan dan dikuburkan begitu saja. Sedan-gkan kayu merbau/kayu besi terus menjadi buruan dan incaran kedua perusahan tersebut.

Amdal sebagai payung/pagar un-tuk menentukan kelayakan aktivitas sebuah areal kerja investasi. Tidak diterbitkan, dengan alasan kedua perusahan telah melakukan aktivitas pembukaan lahan sebelum adanya sosialisasi dan investigasi amdal di areal oleh bapedalda, sehingga kami tegaskan bahwa PT.Nabire Baru dan PT, Sariwana Adhi Perkasa telah melakukan Usaha Perkebunan sebelum adanya Sidang AMDAL dan dokumen AMDAL. Dalam banyak hal masyarakat biasanya meminta agar dibuat MoU dulu barulah ditandatan-

gani AMDAL.

Pembahasan AMDAL yang meleceh-kan

Dalam Harian Cendrawasih Pos, Edisi Sabtu, 12 April 2014, Hal 10 ter-muat pengumuman BAPESDALH Papua yang isinya meminta saran dan masu-kan bagi rencana usaha PT.Sariwana Adhi Perkasa,d/a. Menara Global Lt.16. Jln. Jend.Gatot Subroto, Kav.27. Jakarta, 12950. Tlp.021-52892260,52892259 e.mail [email protected] hal ini merupakan sebuah langkah maju tetapi juga sebuah langkah yang gegabah. Masih segar dalam ingatan kita pada tang-gal 3 maret 2014, seorang pemuda dituduh kurir TPN/OPM Korban, Titus Money (22 Th) dan Herman Money se-hingga mengalami sebuah kekerasan fisik dari Oknum Anggota Brimob yang melakukan pengamanan di lahan ke-lapa sawit ini, hal ini sangat penting menjadi pegangan untuk mengambil langkah strategis, mereka masyarakat asli tidak mungkin mereka akan pergi ke tempat lain, daerah orang lain, dikhwatirkan stigma ini akan selalu diberikan kepada oknum-okunum masyarakat suku yerisiam, stigma ini juga dikhawatirkan dijadikan sebagai alasan untuk menjustifikasi keha-diran Brimob dilahan kelapa sawit, yang secara implicit untuk memper-cepat proses pengrusakan lingkungan

melalui perkebunan kelapa sawit; Pemerintah Papua dan Nabire tidak mungkin dapat melarang aparat disana sehingga hal ini harus men-jadi perhatian, AMDAL penting tetapi keselamatan jiwa pemilik hak ulayat jauh lebih penting, PAD penting namun kompensasi hak masyarakat adat yang kehilangan lahan berburu, tempat keramat, kebun buah-buah-an, burung-burung dan perlindungan tempat keramat jauh lebih penting, pejabat pemerintah punya gaji serta tunjangan lainnya tetapi masyara-kat yerisiam hanya akan hidup dari tanah, hutan dan laut yang telah dan akan diambil oleh PT. Sariwana Adhi Perkasa, OTSUS Papua yang digem-bargemborkan pemerintah provinsi papua termasuk BAPESDLH adalah untuk menghormati Hak Masyarakat Adat bukan hanya melayani kepent-ingan Investor (PT.Sariwana Adhi Perkasa). Menanggapi pembahasan amdal, dalam sebuah wawancara 12/4, Kepala Suku Besar Yerisiam mengatakan pekerjaan Bapesdalh provinsi papua, sangat semrawut. Diperlukan adanya sebuah itikat baik semua pihak untuk menghargai pemi-lik hak ulayat masyarakat adat suku yerisiam.

Agar tidak terjadi kesalahpaha-man antara masyarakat Yerisiam dan Pemda Papua, Pemda Nabire, dan PT.Sariwana Adhi Perkasa serta sesama masyarakat adat maka kami merekomendasikan agar:1. Dalam semangat OTSUS Papua, PT.Nabire Baru dan PT.Sariwana Adhi Perkasa harus mau membuka pe-rundingan dengan pemilik hak ulayat dalam hal ini Suku Yerisiam dan Suku Mee, untuk membicarakan kompen-sasi strategis;2. Gubernur Papua, PANGDAM, KAPOLDA Papua, Bupati Nabire, KA-POLRES Nabire agar segera menang-guhkan pembahasan dan penan-datanganan dokumen AMDAL serta memfasilitasi adanya pertemuan antara perusahaan dengan masyara-kat agar dapat dibicarakan tentang kompensasi jangka panjang dan kon-tinyu yang dapat di tuangkan dalam MoU yang legal.****

Pembahasan AMDAL PT. Sariwana Adhi PerksanaKonspirasi Pemerintah dan Investor Terhadap Hak Adat

John NR Gobai(Sekretaris I Dewan Adat Papua/ Ketua Dewan Adat Paniyai)

PT. Nabire Baru Membuka Areal Hutan Untuk Perkebunan Sawit

Page 12: Tugas Prioritas Rezim Baru Menghentikan Ekspansi ... file24| Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 | 25 Edisi No. 4 | April 2014 Tugas Prioritas

22 | Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 23Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 |

Peningkatan jumlah dan populasi penduduk dunia secara sig-nifikan, dimana dalam sebuah

laporan hasil studi yang dilakukan oleh PBB pada tahun 2011, jumlah penduduk dunia telah berjumlah lebih dari 7 miliar orang, dan di ta-hun 2025 populasi ini akan meningkat 2 kali lipatnya. Situasi ini berakibat pada tingginya permintaan dunia terhadap pemenuhan bahan pangan yang salah satunya adalah minyak na-bati. Berdasarkan berbagai hasil studi dan penelitian yang telah dilakukan, salah satu bahan baku minyak nabati yang paling diminati berasal dari kelapa sawit dengan melihat bahwa biaya produksi minyak sawit yang jauh lebih murah dari biaya produksi bahan baku minyak nabati lainnya. Selain itu, kelapa sawit melalui produk turunannya diyakini sebagai salah satu pengganti bahan bakar yang berasal dari bahan bakar fosil. Kondisi ini tentunya berdampak pada semakin meluasnya ekspansi perke-bunan kelapa sawit tidak hanya di In-donesia, namun juga di seluruh dunia terutama di Afrika, Latin Amerika. serta benua Asia termasuk India dan Asia Tenggara.

Indonesia merupakan salah satu Negara terbesar yang memproduksi dan memiliki luasan perkebunan kelapa sawit terbesar di dunia. Berdasarkan data Sawit Watch 2014, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah 13 juta ha dengan produksi CPO sebesar 27,1 juta ton/tahun (GAPKI,2013). Dari total hasil produksi ini, sebesar 80 % di ekspor dan sisanya sebesar 20 % dialoka-sikan bagi pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Angka ini tentunya sangat menggembirakan di satu sisi dan disisi lain terdapat banyak per-soalan serta konflik yang masih belum terselesaikan sampai saat ini.

RSPO adalah salah satu organisasi yang dibangun atas dasar perhatian yang serius terhadap isu lingkungan

dalam rantai pasok kelapa sawit. Dan dalam perkembangannya, isu social juga menjadi isu lain yang menjadi prioritas dalam segala rantai pa-soknya. Kepastian untuk menghasil-kan produk kelapa sawit yang ramah lingkungan dan ramah social meru-pakan tujuan dari RSPO. Selain itu, kepastian untuk menhasilkan produk dari kelapa sawit yang lestari dan berkelanjutan menjadi domain utama dalam organisasi ini.

Proses kerja dalam memastikan produknya lestari dan berkelanjutan adalah melalui Prinsip dan Kriteria. Prinsip dan Kriteria adalah pedoman bagi setiap perusahaan maupun pet-ani kelapa sawit dalam menjalankan usaha perkebunan kelapa sawit. PRinsip dan Kriteria ini menjadi dasar bagi RSPO dalam menjamin bahwa produk yang dihasilkan oleh anggot-anya (produsen kelapa sawit) adalah lestari dan berkelanjutan atau ramah social dan ramah lingkungan.

Refleksi Terhadap Implementasi Hasil evaluasi yang dilakukan ter-

hadap implementasi dari prinsip dan kriteria yang telah berjalan selama lima tahun, pada tahun 2012-2013 RSPO melakukan review terhadap Prinsip dan Kriteria yang sudah ber-laku. Dalam prosesnya, pada tahun 2013, RSPO kemudian menyusun hasil perbaikan yang kemudian disahkan sebagai Prinsip dan Kriteria baru pada tanggal 25 April 2013.Empat kriteria baru dalam prinsip dan kriteria ini adalah:1. kriteria baru tentang mengha-ruskan growers (perusahaan) memi-nimalisir emisi gas rumah kaca dari perkebunan yang baru, 2. kriteria baru terkait praktik bisnis yang etis, dimana mengharuskan perusahaan-perusahaan memiliki dan menjalankan kebijakan yang menen-tang korupsi.3. kriteria baru yang mengharuskan kebijakan hak asasi manusia diber-

lakukan dan dikomunikasikan ke seluruh struktur perusahaan. 4. mengenai kriteria yang menen-tang kerja paksa (Force labour).

Harapannya, dari proses revisi dan perbaikan pada prinsip dan kri-teria RSPO yang baru ini akan mampu menjawab tantangan dan kebutuhan serta desakan pasar yang lebih luas dalam rangka memastikan produksi minyak sawit yang dihasilkan oleh anggota RSPO benar-benar memenuhi prinsip dan nilai-nilai keberlanjutan.

Dalam proses dan implementa-sinya, Prinsip dan Kriteria yang telah disusun oleh RPSO ini memerlukan adanya terjemahan dalam secara terperinci dalam skala nasional untuk memastikan prinsip dan kriteria ini mampu di aplikasikan secara optimal di tingkat Nasional.

Dalam penerapannya di In-donesia, prinsip dan criteria ini perlu dilakukan penyesuaian dengan peraturan nasional yang berlaku di Indonesia, untuk menjamin tidak adanya tumpang tindih secara aturan dalam proses penerapannya. Proses pembahasan di Indonesia menjadi tanggung jawab National Interpreta-tion Task Force (NI-TF) dan dalam kerangka teknisnya dilakukan oleh Forum Minyak Sawit Berkelanjutan Indonesia (FORMISBI). Keanggotaan dalam FORMISBI ini terdiri dari berb-agai pemangku kepentingan, dimana salah satunya adalah Sawit Watch.

Proses pembahasan dalam in-ternal FORMISBI telah menghasilkan draft akhir yang kemudian dilakukan proses konsultasi publik pada tang-gal 5 Maret 2014 yang lalu di Bogor, dimana forum konsultasi publik ini didominasi oleh kelompok perusahaan dan sektor privat lainnya. Tujuannya adalah untuk mendapatkan masu-kan yang lebih luas dari masyarakat terkait dengan hasil interpretasi yang telah di buat.

Dalam proses pembahasan interpretasi dalam FORMISBI serta

pertemuan pembahasan draft akhir ini, keterlibatan komunitas masyara-kat sipil secara luas masih sangat minim, terutama dari masyarakat adat, petani kelapa sawit, buruh dan lain sebagainya. Disisi lain, kelompok masyarakat inilah yang pada akh-irnya akan menerima dan merasakan dampak langsung di tingkat imple-mentasi dari P&K ketika diterapkan. Untuk itu, keterlibatan langsung dari masyarakat sipil untuk memberikan masukan dan usulan konkrit terhadap draft akhirnya dari P&K ini.

Berangkat dari persoalan terse-but, Sawit Watch mempunyai inisiatif untuk melakukan konsultasi publik di beberapa daerah untuk mendapat-kan masukan langsung terkait dengan interpretasi yang sudah ada. Hal ini karena diyakini bahwa, hasil inter-pretasi yang sudah selesai dilakukan masih memiliki banyak kekurangan dan belum secara utuh menampung usulan dari masyarakat yang akan terkena dampak langsung dari perke-bunan kelapa sawit.

Kosultasi Publik Lima WilayahKonsultasi publik Ina NI Prinsip

dan Kriteria RSPO merupakan satu inisiatif dari Sawit Watch dalam meningkatkan peran masyarakat sipil untuk mengetahui secara dini segala hal yang berkaitan dengan prinsip dan criteria ini. Hal ini juga didasari oleh terbatasnya keterlibatan masyarakat sipil pada proses pembahasan inter-pretasi nasional prinsip dan criteria ini. Sedangakn disisi lain, pihak yang akan terkena dampak langsung dalam implementasinya adalah masyarakat yang memiliki perkebunan kelapa sawit, masyarakat adat, atau ma-syarakat sipil lainnya yang terkena dampak langsung dari industri perke-bunan kelapa sawit ini.

Pada konsuiltasi public yang dilakukan di lima wilayah ini, fokus Sawit Watch adalah terkait prisnip dan criteria yang mencantumkan masalah social. Beberapa prinsip tersebut adalah prinsip 1,2,4, dan 6.

Prinsip 6 tentang tanggung jawab kepada pekerja, individu-individu dan komunitas dari kebun dan pabrik ke-lapa sawit. Dalam prisnip ini banyak membahas persoalan masyarakat, buruh, pekerja, dan kesejahteraan.

Persoalan ini adalah sumber konflik yang sering terjadi di perkebunan kelapa sawit karena persoalan ini kurang mendapatkan perhatian serius dari perusahaan. Akan menjadi per-hatian serius oleh perusahaan ketika apa yang dilakukan masyarakat dalam menuntut haknya sudah menggangu jalannya bisnis kelapa sawitnya.

Persoalan komitmen terhadap transparansi (prinsip 1) dan keta-atan terhadap hokum yang berlaku (prinsip 2) juga menjadi isu penting lainnya yang menjadi pokok pemba-hasan dalam konsultasi publik yang dilakukan. Hal ini berangkat dari fakta lapangan yang terjadi dimana persoalan transparansi dan ketaatan pada hukum dan peraturan yang berlaku seringkali diabaikan oleh hamper semua perusahaan kelapa sawit yang ada di Indonesia. Sehingga dalam konsultasi public yang dilakuka kritikan dan masukan terhadap dua prinsip ini mendapatkan sorotan tajam dari peserta yang hadir dalam konsultasi public di lima wilayah.

Sedangkan dalam prinsip 4 yang membahas tentang penggunaan praktik terbaik oleh perusahaan dan pabrik. Hal ini menjadi menarik dibahas karena dalam prinsip ini, beberapa indicator menyebutkan tentang kewajiban perusahaan untuk memberikan pelatihan kepada setiap pekerja yang ada di perkebunan dan penyediaan alat kerja yang baik. Namun dalam fakta di lapangan yang terjadi adalah, pelatihan kerja hanya diberikan kepada beberapa pekerja saja. Sedangkan pekerja lain sangat jarang mendapatkan pelatihan dan mengandalkan pengalaman atau sekedar melihat orang lain yang sudah lebih berpengalaman.. Hal ini seperti pelatihan mengambil buah (dodos) yang baik agar tidak mencel-akakan diri sendiri atau pelatihan tata cara pemupukan yang benar jika menggunakan pestisida.

Selain kesemuanya itu, isu ling-kungan juga dibahas dalam konsultasi public terutama yang terkait dengan Analisis Dampak Lingkungan (AM-DAL), Social Impact Assesment, High Conservation Value, dan penggunaan pestisida di perkebunan kelapa sawit.

Konsultasi yang telah dilakukan Sawit Watch dilakukan sejak tanggal

27 Maret – 14 April 2014 dan meliputi lima wilayah yaitu : � Sumatera Utara dengan melibat-

kan masyarakat dari Riau, Sumatera Barat, Aceh dan MedanKonsultasi public yang dilakukan di Medan, fokus pada prinsip dan crite-ria yang berkaitan dengan isu buruh. Hal ini terdapat dalam prinsip 4 yang membahas tentang proses pelati-han yang mewajibkan perusahaan memberikan pelatihan kepada setiap pekerjanya. Sedangkan dalam prinsip 6 membahas tentang persoalan social yang ada di perkebunan kelapa sawit terutama pada indicator yang terkait dengan buruh. � Jambi dengan melibatkan NGO

nassional, petani kelapa sawit Jambi, Kalimantan Barat dan beberapa NGO local di JambiKonsultasi public di Jambi fokus pada isu social dan lingkungan. Hampir semua prinsip dan criteria di bahas dalam konsultasi ini. Poin penting dalam konsultasi public ini adalah pada prinsip 6 dan 7 yang membahas isu social dan lingkungan. � Sumatera Selatan, dengan meli-

batkan masyarakat dari Palembang Jambi, Lampung, Bengkulu dan Bang-ka Belitung dan pemerintah local.Dalam konsultasi ini, pokok pemba-hasan yang paling menonjol adalah pada prinsip 6 yang terkait dengan isu social dan persoalan penyelesaian konflik di perkebunan kelapa sawit. Selain itu, fokus lain adalah pada prinsip 4 yang membahas tentang Sosial Impact Assesment, AMDAL dan persoalan penggunaan pestisida. � Kalimantan Barat

Dalam konsultasi ini, pembahasan-nya difokuskan pada prinsip 6 yang membahas tentang persoalan sosil terutama yang berhubungan lang-sung dengan isu petani kelapa sawit. Sekain itu juga membahas prinsip 7 tentang lingkungan terutama yang terkait dengan isu High Consevation Value. � Kalimantan Tengah

Dalam konsultasi yang dilakukan di Kalimantan Tengah, fokus pem-bahasan adalah pada prinsip 6 dan 7 sama dengan yang dilakukan di Jambi.***

Meningkatkan Peran Masyarakat Sipil Dalam Sistem Sertifikasi Minyak Sawit Berkelanjutan

Reportase Konsultasi Publik Interpretasi Nasional Prinsip dan Kriteria RSPO di Lima Wilayah

Politika Politika