Tugas Pep Tentang Migrasi Dan Urban

download Tugas Pep Tentang Migrasi Dan Urban

of 12

Transcript of Tugas Pep Tentang Migrasi Dan Urban

TUGAS PENGANTAR EKONOMI PEMBANGUNAN TENTANG MIGRASI DAN URBANISASI

ANGGOTA KELOMPOK: 1.EFFENDI (115100455) 2.WANDIKA BUDI HARTO(115100495) 3.SHERLY CHINTYA(115100481)

Dilema Migrasi dan Urnbanisasi fokus pembahasan akan diletakkan pada satu dilema yang sangat merisaukan dalam proses pembangunan, yaitu fenomena perpindahan penduduk secara besar-besaran yang belum terjadi sebelumnya dalam sejarah, dari berbagai pelosok perdesaan ke kota-kota di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Pada tahun 2050, pernduduk dunia diperkirakan akan mencapai sekitar 9,4 miliar jiwa, meskipun perkiraan yang sedikit rendah mungkin akan lebih akurat karena adanya penurunan tingak fertilitas penduduk dunia secara keseluruhan belakangan ini. Akan tetapi, berapa pun angka total penduduk dunia secara keseluruhan akan dicapai, yang jelas ledakan atau laju pertumbuhan penduduk yang relatif paling dramatis akan terjadi di kota-kota besar di berbagai negara berkembang Urbanisasi: Kecenderungan dan Proyeksi salah satu fenomena demografi seusai perang dunia kedua yang sangat mengejutkan dan mengkhawatirkan kita semua, apalagi jika mengingat prospek permasalahannya di masa mendatang, adalah begitu cepatnya pertumbuhan penduduk di kota-kota di berbagai negara yang sedang berkembang. Pada tahun 1950, baru terdapat 275 juta orang yang tinggal di kota-kota dunia ketiga atau hanya 38 persen dari 724 juta penduduk perkotaan di seluruh dunia. Namun, menurut perkiraan perserikatan bangsa-bangsa, penduduk dunia yang tinggal di perkotaan pada tahun 1995 sudah mencapai 2,6 miliar jiwa dan 66 persen (1,7 miliar) di antaranya tinggal di kota-kota metropolitan di negara berkembang. Pada tahun 2025 nanti jumlah penduduk perkotaan di negara-negara dunia ketiga tersebut diperkirakan mencapai lebih dari 4,1 miliar jiwa atau 80 persen dari total jumlah manusia yang hidup di semua kota di seluruh dunia. Itu berarti daerah-daerah perkotaan di Afrika, Asia, dan Amerika Latin akan mendapat tambahan penduduk sebesar 178 persen atau 1,8 miliar jiwa. Jumlah penduduk kota di negara-negara dunia ketiga itu nantinya bisa lebih tinggi atau lebih rendah dari angka perkiraan yang 4,1 miliar itu,

tergantung pada sifat strategi pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah di negaranegara berkembang itu sendiri. Tabel 8.1 menunjukkan data-data mengenai pertambahan penduduk perkotaan di kawasan utama dunia antara tahun 1950 sampai tahun 1995 dan proyeksi untuk tahun 2025. Dengan pengecualian beberapa kota tertentu, secara umum tingkat pertambahan penduduk kota berkisar antara kurang dari 1 persen per tahun (yaitu, di 2 kota terbesar dunia, new york dan tokyo) sampai sekitar 6 persen per tahun, seperti yang terjadi di banyak kota di kawasan Afrika seperti Nairobi, Lagos, dan Accra. Sedangkan di Asia dan Amerika Latin, banyak kota besar yang mengalami pertumbuhan penduduk antara 4 persen sampai 5 persen per tahun.

TABEL 8.1: Populasi Perkotaan di Berbagai Kawasan Utama Dunia, 1950-2025(dalam satuan jutaan orang) KawasanDunia Kawasan maju Dunia Ketiga Afrika Amerika Latin Asia 218 342 407 596 1101 1291 2615Sumber: united nations, patterns of urban and rural population growth(new york: united nations, 1980); pii eina berghall II and the urban economy: a review of recent development and literature (helsinki: united nations university world institute for development economics research, 1995)

1950724 449 275 32 68

19601012 573 439 50 107

19701352 698 654 83 162

19801807 834 972 133 241

19952584 875 1709 250 358

20003208 965 2101 331 431

20255065 1040 4025 804 601

TABEL 8.2: Lima Belas Kota Terbesar Dunia, 1995 dan 2015 Populasi 1995Kota Peringkat Penduduk (dalam juta jiwa) Laju Pertumbuhan Rata-rata per tahun 19901995 (%) Tokyo, Jepang New York, USA Mexico city, Meksiko Bombay, India Shanghai, Cina Los Angeles, USA Beijing, Cina Kalkuta, India Seoul, Korea Selatan Jakarta, Indonesia Buenos Aires, Argentina Tianjin, Cina Osaka, Jepang Lagos, Nigeria Dhaka, Bangladesh Manila, Filipina 18 15 13 14,7 17,1 New Delhi, India 19 13 14 15 17 10,7 10,6 10,3 2,88 0,23 5,68 14 3 7 9 17,0 24,4 20,6 19,0 12 11,0 0,68 11 11,5 4,35 5 21,2 8 9 10 12,4 11,7 11,6 2,57 1,67 1,95 8 12 19,4 17,6 5 6 7 15,1 15,1 12,4 4,22 2,29 1,60 2 4 27,4 23,4 1 3 4 26,8 16,4 16,3 15,6 1,41 2,01 0,34 0,73 1 6 11 10 28,7 20,8 17,6 18,8 Sao Paulo, Brasil 2

Populasi 2015*Peringkat Penduduk (dalam juta jiwa)

Karachi, Pakistan 16

Dalam tabel 8.2 telah tersaji data-data kependudukan dari lima belas kota yang terbesar di dunia pada tahun 1995, yang dilengkapi dengan angka-angka proyeksi dari perserikatan bangsa-bangsa untuk tahun 2015 mendatang. Perhatikan bahwa pada tahun 1995 hanya empat dari kelima belas kota tersebut yang ada di negara-negara maju. Sebelas kota sisanya berlokasi di negara-negara berkembang dan secara total memiliki jumlah penduduk sebesar 141 juta jiwa. Namun demikian, kebalikan dari kota-kota di negara-negara maju dengan pertumbuhan penduduk moderat, sembilan dari kota-kota tersebut ditambah dengan 4 kota negara-negara berkembang yang baru tercantum dalam daftar 15 kota terbesar di tahun 2015 diproyeksikan akan tumbuh menjadi 244 juta jiwa, sebagai tambahan terhadap 103 juta jiwa yang ada saat ini. Jika kita lihat per kota, kota yang akan menjadi tiga dari empat kota terbesar di tahun 2015 adalah Bombay, Lagos, dan Shanghai, dengan proyeksi penduduk masing-masing sebesar 27,4 juta, 24,4 juta, dna 23,4 juta jiwa. Karachi, Dhaka, Delhin dan Manila, yang sebelumnya tidak tercantum dalam daftar tahun 1995, diproyeksikan akan menempati peringkat ketujuh, kesembilan, ketiga belas, dan kelima belas. Dari 15 kota terbesar di tahun 2015, hanya tokyo dan New york yang berasal dari negara maju. Pertanyaan inti atas lonjakan jumlah penduduk di daerah perkotaan tersebut adalah: bagaimana caranya kota-kota di negara dunia ketiga tersebut akan mengatasi aneka persoalan, baik itu yang berdimensi ekonomi, lingkungan hidup, maupun yang berdimensikan politik, atas pemusatan penduduk yang begitu banyak, barangkali lonjakan jumlah total penduduk tersebut memang akan membawa manfaat-manfaat ekonomi tertentu, misalnya terciptanya skala ekonomis raksasa yang memungkinkan penghematan unit-unit biaya untuk menyelenggarakan berbagai macam kegiatan produksi, penyelenggaraan pelayanan dan fasilitas sosial (mulai dari transportasi murah sampai dengan pasar yang potensial), sumber tenaga kerja terampil yang sangat besar, dan sebagainya. Akan tetapi biaya-biaya sosial yang akan muncul juga luar biasa

besarnya. Ledakan penduduk yang ada saat ini pada kenyataannya sudah sangat sulit diimbangi dengan penyediaan perumahan yang layak dan jasa-jasa sosial lainnya. Ini belum terhitung akan terjadinya kriminalitas, pencemaran lingkungan hidup, kemacetan lalu lintas, dan lain-lain. Pendeknya sebesar apa pun manfaat yang akan dibawa oleh ledakan penduduk itu, biaya, kerugian, dan kesulitan yang akan ditimbulkannya jauh lebih besar lagi. Mantan presiden bank dunia, Robert McNamara, secara jelas menyatakan kekhawatiran dan keprihatinannya yang mendalam atas terus melonjaknya jumlah penduduk di daerah-daerah perkotaan di berbagai negara tersebut:sebesar apa pun manfaat ekonomi yang dibawa oleh para pendatang baru itu akan nampak kerdil apabila dibandingkan dengan seluruh biaya atau masalah-masalah yang akan ditimbulkannya. Pertumbuhan penduduk di daerah perkotaan yang begitu cepat telah jauh melampaui daya dukung sarana infrastruktur manusia dan fisik yang dibutuhkan untuk menciptakan kehidupan ekonomi yang efisien berlandaskan stabilitas politik dan tata hubungan sosial yang mantap. Jangan harap kenyamanan hidup serta keramahtamahan akan terpelihara di kalangan penduduk kota-kota

Seiring terus dengan meluasnya urbanisasi, dan bias urban tumbuh subur pula kantungkantung permukiman kumuh (slum) dan kampung-kampung di tengah kota yang serba menyesakkan dan liar (shantytown). Akan semakin banyak penduduk perkotaan yang tinggal berhimpit-himpit di berbagai pusat permukiman yang sebenarnya tidak pantas dihuni oleh manusia. Namun, permukiman-permukiman serba jorok dan jauh dari standar kesehatan maupun kenyamanan hidup seperti favella di kota Rio de Janeiro, pueblos jovenes di Lima justru terus saja mendapat tambahan pemukim tetap. Jumlah total pemukim itu bahkan menjadi dua kali lipat setiap lima hingga sepuluh tahun. Sekarang ini, dari seluruh penduduk perkotaan di berbagai negara-negara dunia ketiga lebih dari sepertiganya merupakan penghuni permukiman kumuh; dalam beberapa kasus bahkan lebih dari 60 persen (lihat tabel 8.3). selama penghujung dekade 1980-an, 72 dari 100 keluarga atau rumah tangga baru yang terbentuk di kota-kota di berbagai negara-

negara dunia ketiga akan bertempat tinggal di pemukiman-pemukiman kumuh tersebut. Persentase yang paling mengerikan terdapat di negara-negara afrika secara keseluruhan, yakni 92 dari 100 keluarga baru akan hidup di kampung kumuh. Sebagian besar pemukiman kumuh tersebut sama sekali tidak dilengkapi dengan air bersih, saluran pembuangan limbah maupun sambungan listrik. Upaya penanganannya memang tidak gampang. Sebagai satu contoh, kota metropolitan kairo yang meiliki total penduduk sebanyak sepuluh juta jiwa kini sedang mencoba untuk membangun fasilitas air dan sanitasi yang kalaupun berhasil hanya akan sanggup melayani dua juta penduduk saja.

TABEL 8.3 : Persentase Penghuni Pemukiman Kumuh dan Liar terhadap Jumlah Penduduk Perkotaan Kota Amerika latin Bogota, kolombia Mexico city, meksiko Caracas, venezuela Rio de janeiro, brasil Timur tengah dan afrika Adis ababa, ethiopia Casablanca, maroko Ankara, turki Kairo, mesir Dar es salaam, tanzania asia Kalkuta, india Karachi, pakistan Manila, filipina Jakarta, indonesia 67 44 35 26 79 70 60 60 53 60 46 54 20 Persentase Penduduk Pemukiman Kumuh terhadap Total Penduduk Kota

Meskipun pertambahan penduduk dan migrasi desa-kota yang terus meningkat itu

memang penyebab utama terciptanya pemukiman-pemukiman kumuh, namun pihak pemerintah di masing negara-negara berkembang juga memikul tanggung jawab. Sadar atau tidak mereka juga turut menyebabkan kemunculan pemukiman kumuh tersebut. Kekeliuran perumusan dan/atau pelaksanaan kebijakan pemerintah dalam pengembangan daerah perkotaan memang sering terjadi. Selain itu, perencanaan tata kota juga acapkali ketinggalan jaman, mudah berubah-ubah atau dirancang secara asal jadi. Kalau secara ketat didasarkan pada peraturan tata kota yang ada, barangkalai 80 persen hingga 90 persen perumahan yang ada di daerah perkotaan sekarang ini tergolong ilegal.

TABEL 8.4: Peranan migrasi desa ke kota sebagai sumber pertumbuhan penduduk perkotaan di beberapa negara-negara berkembang Negara Argentina Brasil Kolombia India Indonesia Nigeria Filipina Sri lanka Tanzania Thailand Laju Pertumbuhan Penduduk Kota (%) 2,0 4,5 4,9 3,8 4,7 7,0 4,8 4,3 7,5 5,3 Sumbangan migrasi desa ke kota (%) 35 36 43 45 49 64 42 61 64 65

Keprihatinan pemerintah negara-negara dunia ketiga terhadap jumlah dan proyeksi pertumbuhan penduduk daerah perkotaan, yang bahkan sudah di ambang bahaya, diungkapan pada laporan PBB mengenai kebijakan-kebijakan kependudukan di berbagai negara pada tahun 1988. laporan tersebut menyatakan bahwa dari total 158 negara di dunia, 73 diantaranya yang sebagian besar adalah negara berkembang, memiliki

distribusi penduduk yang sangat tidak bisa diterima. Sisanya yang 66 negara, 42 diantaranya negara berkembang, memiliki jumlah penduduk perkotaan yang dianggap tidak bisa diterima, hanya 6 negara berkembang yang distribusi penduduknya dianggap dapat diterima. Hampir semua negara yang prihatin terhadap jumlah dan pertumbuhan penduduk di kota-kota mereka merasa bahwa migrasi internal dari desa ke kota merupakan penyebab utamanya. Data-data statistik yang ada menunjukkan bahwa migrasi penduduk dari perdesaan meliputi 35 persen hingga 60 persen dari pertumbuhan penduduk perkotaan (lihat tabel 8.4). sejalan dengan itu, 90 dari 116 negara berkembang yang menjadi responden survei yang diselenggarakan oleh PBB, berusaha keras mengatasi migrasi tersebut dengan melancarkan serangkaian kebijakan untuk memperlambat atau membalikkan kecenderungan arus migrasi dari desa-kota menjadi kota-desa. Rasa prihatin dan cemas terhadap pertumbuhan penduduk perkotaan yang terlalu cepat di negara-negara berkembang itu mengungkapkan pokok masalah yang paling penting untuk dibahas di sini, yaitu seberapa jauh pemerintah di suatu negara dapat merumuskan kebijakan pembangunan yang memiliki dampak yang pasti terhadap pertumbuhan kota. Strategi pembangunan ortodoks yang dijalankan pada beberapa dasawarsa yang lalu yang mengutamakan modernisasi industri, kecanggihan teknologi, dan pertumbuhan metropolis, jelas telah menciptakan ketimpangan geografis dalam penyebaran kesempatan atau peluang ekonomi, dan sekaligus menjadi penyebab utama perpindahan secara besar-besaran penduduk desa ke kota secara terus-menerus. Sekarang, apakah memang ada kemungkinan, atau sekedar keinginan politik, untuk mencoba membalikkan kecenderungan tersebut melalui penerapan seperangkat kebijakan kependudukan dan pembangunan yang berbeda dari sebelumnya? Karena tingkat kelahiran mulai menurun di beberapa negara-negara dunia ketiga maka masalah pertumbuhan perkotaan dan migrasi dari desa ke kota yang semakin serius akan menjadi isu demografi dan pembangunan yang paling penting menjelang abad 21 ini. Sementara

itu, dalam lingkugan atau kawasan perkotaan tidak diragukan lagi bahwa sektor informal mengalami perkembangan dan pertumbuhan yang sangat cepat, demikian pula dengan peranannya dengan segala keterbatasannya dalam menyerap tenaga kerja dan mendukung kemajuan ekonomi, sehingga sektor tersebut semakin lama semakin penting. Migrasi dan Pembangunan sampai sekarang ini, persoalan migrasi desa-kota ternyata masih dipandang sebagai suatu hal yang positif dalam kepustakaan ilmu ekonomi pembangunan pada umumnya. Migrasi internal (berlangsung dalam satu negara) dianggap sebagai proses alamiah yang akan menyalurkan surplus tenaga kerja di daerah-daerah perdesaaan ke sektor industri modern di kota-kota yang daya serapnya lebih tinggi. Proses ini dipandang positif secara sosial, karena memungkinkan berlangsungnya suatu pergeseran sumber daya manusia dari tempat-tempat yang produk marjinal sosial nol ke lokasi lain yang produk marjinal sosialnya bukan hanya positif tetapi juga akan terus meningkat sehubungan dengan adanya akumulasi modal dan kemajuan teknologi. Proses ini kemudian diformalisasikan dalam teori pembangunan lewis. Kecenderungan para ekonom tradisional tersebut dikemukakan dan dikritik secara gamblang oleh Richard Jolly, mantan direktur institute of development studies pada university of sussex sebagai berikut:bukannya berusaha mencari jalan untuk mengerem arusnya yang luar biasa deras itu, para ekonom justru berusaha untuk merumuskan kebijakan yang akan memacu arus perpindahan tersebut. Mereka bahkan menyatakan bahwa untuk meningkatkan produktivitas pertanian di daerah-daerah perdesaan, makan sebagian tenaga kerjanya harus dipindahkan ke sektor-sektor perindustrian di daerah perkotaan.

Kenyataan yang ada di berbagai negara-negara berkembang pada masa-masa sekarang ini memang sangat bertentangan dengan pandangan para ekonom tradisional tersebut. Arus perpindahan tenaga kerja dari daerah perdesaan ke kota telah jauh melampaui tingkat penciptaan atau penambahan lapangan kerja sehingga migrasi yang saat ini

berlangsung semakin deras telah jauh melampaui daya serap sektor-sektor industri maupun jasa pelayanan sosial yang ada di daerah perkotaan. Berdasarkan pengamatan terhadap kenyataan tersebut kita tidak bisa lagi memandang arus perpindahan arus tenaga kerja desa-kota sebagai faktor yang positif untuk mengatasi kelebihan permintaan tenaga kerja di daerah perkotaan. Sebaliknya, sekarang migrasi harus dilihat sebagai suatu faktor negatif yang menyebabkan surplus tenaga kerja perkotaan secara berlebihan serta sebagai suatu kekuatan yang secara terus-menerus memperburuk masalah-masalah pengangguran di berbagai daerah perkotaan yang pada awalnya bersumber dari ketidakseimbangan struktural dan ekonomi antara daerah perkotaan dan perdesaan. Migrasi memperburuk ketidakseimbangan struktural antara desa dan kota secara langsung dalam dua hal. Pertama, di sisi penawaran, migrasi internal secara berlebihan akan meningkatkan jumlah pencari kerja di perkotaan yang melampaui tingkat atau batasan pertumbuhan penduduk maksimal yang sedianya masih dapat didukung oleh segenap kegiatan ekonomi dan jasa-jasa pelayanan yang ada di daerah perkotaan. Lonjakan yang setinggi itu belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah, dan semakin lama semakin sulit diakomodasikan, apalagi karena proporsi migran berusia muda yang memiliki pendidikan dan ketrampilan memadai semakin besar. Kehadiran para pendatang tersebut cenderung melipatgandakan tingkat penawaran tenaga kerja di perkotaan, sementara persediaan tenaga kerja yang sangat bernilai di perdesaan semakin tipis. Kedua, di sisi permintaan, penciptaan kesempatan kerja di daerah perkotaan lebih sulit dan jauh lebih mahal daripada penciptaan kesempatan kerja di daerah perdesaan karena kebanyakan jenis pekerjaan sektor-sektor industri di perkotaan membutuhkan aneka input komplementer yang sangat banyak jumlah jenisnya. Disamping itu, tekanan kenaikan upah di perkotaan dan tuntutan karyawan untuk mendapatkan aneka tunjangan kesejahteraan, serta tidak tersedianya teknologi produksi canggih yang padat karya (sebaliknya metode dan teknologi produksi canggih yang hemat tenaga kerja semakin banyak) membuat para produsen enggan menambah karyawan karena sekarang

peningkatan output sektor modern tidak harus dicapai melalui peningkatan produktivitas atau jumlah tenaga kerja. Itu berarti permintaan tenaga kerja di daerah perkotaan justru cenderung menurun. Dengan demikian, sebagai akibat dari begitu cepatnya peningkatan penawaran tenaga kerja dan tertinggalnya pertumbuhan permintaan tenaga kerja, maka pada akhirnya hal tersebut akan mengubah masalah ketidakseimbangan tenaga kerja yang semula hanya bersifat jangka pendek menjadi suatu masalah yang sangat kronis dan bersifat jangka panjang melalui terciptanya surplus tenaga kerja perkotaan secara berlebihan sehingga tidak dapat diserap.