Tugas Penemuan Hukum

32
MAKALAH PENGADOPSIAN SANKSI ADAT SEBAGAI ALAT HUKUM UNTUK MEMBERANTAS ZINA NOFRY HARDI 1220113030 DOSEN PENANGGUNG JAWAB PROF.DR.YULIA MIRWATI, SH, MH FAKULTAS HUKUM PASCA SARJANA UNIVERSITAS ANDALAS

Transcript of Tugas Penemuan Hukum

Page 1: Tugas Penemuan Hukum

MAKALAH

PENGADOPSIAN SANKSI ADAT SEBAGAI ALAT HUKUM UNTUK MEMBERANTAS ZINA

NOFRY HARDI

1220113030

DOSEN PENANGGUNG JAWAB

PROF.DR.YULIA MIRWATI, SH, MH

FAKULTAS HUKUM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2012

Page 2: Tugas Penemuan Hukum

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sarjana hukum yang bekerja di bidang profesinya selalu dihadapkan pada

peristiwa atau konflik konkret untuk dipecahkan. Untuk itu maka harus dicari atau

diketemukan hukumnya. Hukumnya harus dicari, diketemukan bukan diciptakan.

Dikatakan harus dicari atau diketemukan bukan diciptakan, karena hukumnya memang

sudah ada. Hal ini tersurat dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004

tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi bahwa: “Hakim wajib menggali,

mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam

masyarakat”. Jadi hukumnya sudah ada, tinggal menggali ke permukaan. Menurut Paul

Scholten di dalam perilaku manusia tedapat hukumnya. Jadi hukum itu tidak semata-mata

terdapat di dalam peraturan perundang-undangan saja. “Penggalian” inilah yang pada

dasarnya dimaksud dengan penemuan hukum (rechtsvinding, law making) dan bukan

penciptaan hukum. 1

Memang tidak tertutup kemungkinan bahwa hakim dalam menemukan hukum

tanpa disadari, tanpa disengaja menciptakan hukum, tetapi hakim dilarang untuk

menciptakan peraturan yang mengikat secara umum. 2

Hukumnya harus diketemukan oleh karena peristiwa atau konflik konkret yang

harus dipecahkan harus dikonversi lebih dahulu menjadi peristiwa hukum, peristiwa

konkretnya harus diterjemahkan dalam bahasa hukum lebih dahulu. Kecuali itu

hukumnya harus dicari karena peraturan hukumnya tidak jelas atau tidak lengkap.

1 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, UII Press, Yogyakarta, 2006, hlm. 31. 2 Algemene Bepalingen Van Wetgeving, pasal 21.

Page 3: Tugas Penemuan Hukum

Hukumnya harus diketemukan juga oleh karena peraturan hukumnya harus disesuaikan

dengan perkembangan keadaan.

Apa yang dicari dalam menemukan hukum pada dasarnya adalah “pengertian-

pengertian hukum” “berlaku tidaknya” dan sah tidaknya”. Dalam menemukan hukumnya

harus dicari lebih dahulu sumber hukum. Seperti diketahui sumber hukum atau sumber

penemuan hukum meliputi undang-undang, kebiasaan, putusan pengadilan, traktat,

doktrin dan perilaku serta kepentingan.

Sumber hukum mengenal hierarki, yang berarti bahwa sumber-sumber hukum itu

kedudukannya tidak sama, ada yang kedudukannya lebih tinggi dari yang lain. Hierarki

ini membuka peluang terjadinya konflik antara sumber-sumber hukum tadi. Kalau tejadi

konflik maka sumber hukum yang tertinggilah yang harus dimenangkan.

Kalau kita hendak menemukan hukum untuk suatu peristiwa atau konflik konkret,

maka kita cari terlebih dahulu hukumnya dalam undang-undang. Sumber hukum yang

tertinggi karena dibandingkan sumber-sumber hukumnya lainnnya lebih menjamin

kepastian hukum. Kalau undang-undangnya tidak mengatur maka masih harus

diupayakan menemukan hukumnya dengan penalaran atau argumentasi. 3

Menurut Undang-Undang Dasar 1945 pasal 15 c ayat 1 “presiden memegang

kekuasaam membentuk Undang-Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat

(DPR), jika suatu rancangan Undang-Undang yang diajukan presiden (pemerintah) tidak

mendapat persetujuan DPR, maka rancangan tadi tidak boleh diajukan lagi dalam

persidangan DPR masa itu (pasal 20 ayat 2 Undang-Undag Dasar 1945).

Tetapi dikarenakan terlalu lamanya UU itu disahkan maka keputusan hakim juga

diakui sebagai sumber hukum formal. Dengan demikian telah diakui, bahwa pekerjaan

3 Ibid

Page 4: Tugas Penemuan Hukum

hakim merupakan salah satu faktor pembentukan hukum. Karena undang-undang tidak

lengkap atau tidak jelas, maka hakim harus mencari atau menemukan hukumnya.

Penemuan hukum menurut Sudikno Mertokusumo, lazimnya diartikan sebagai proses

pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas

melaksanakan hukum atau menerapkan peraturan hukum umum terhadap peristiwa

hukum yang konkret. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa penemuan hukum merupakan

proses konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum

dengan mengingat akan peristiwa konkret (das sein).4

Dapat dikatakan bahwa penemuan hukum oleh hakim dan petugas-petugas hukum

disebabkan oleh ketidak jelasan suatu undang-undang. Sedangkan undang-undang harus

diketahui oleh umum, tersebar luas, dan harus jelas. Kejelasan suatu undang-undang

sangatlah penting dan oleh karena itu setiap undang-undang selalu dilengkapi dengan

penjelasan. Akan tetapi sekalipun nama dan maksudnya sebagi penjelasan, namun

seringkali terjadi, penjelasan tersebut tidak juga memberi kejelasan. Karena hanya

dinyatakan cukup jelas, padahal teks undang-undangnya tidak jelas dan masih

memerlukan penjelasan.5

Seorang ahli hukum pada dasarnya dituntut untuk melaksanakan dua tugas atau

fungsi utama, yaitu :

1. Ia senantiasa harus mampu menyesuaikan kaidah-kaidah hukum yang konkrit

(perundang-undangan) terhadap tuntutan nyata yang ada di dalam masyarakat,

dengan selalu memperhatikan kebiasaan, pandangan-pandangan yang berlaku, 4 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 22. 5 Sudikno Mertokusumo dan A.Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm. 12.

Page 5: Tugas Penemuan Hukum

cita-cita yang hidup didalam masyarakat, serta perasaan keadilannya sendiri. Hal

ini perlu dilakukan oleh seorang ahli hukum karena peraturan perundang-

undangan pada dasarnya tidak selalu dapat ditetapkan untuk mengatur semua

kejadian yang ada didalam masyarakat. Perundang-undangan hanya dibuat untuk

mengatur hal-hal tertentu secara umum saja.

2. Seorang ahli hukum senantiasa harus dapat memberikan penjelasan, penambahan,

atau melengkapi peraturan perundang-undangan yang ada, dikaitkan dengan

perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat. Hal ini perlu dijalankan sebab

adakalanya pembuat Undang-undang (wetgever) tertinggal oleh perkembangan

perkembangan didalam masyarakat.

Penemuan hukum merupakan pembentukan hukum oleh hakim atau aparat hukum

lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum

konkrit, juga merupakan proses konkretisasi atau individualis peraturan hukum (das

sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkrit (das sein) tertentu,

jadi dalam penemuan hukum yang penting adalah bagaimana mencarikan atau

menemukan hukumnya untuk peristiwa konkit.6

Dalam penulisan makalah ini penulis mencoba memberi masukan untuk

menghindari ketidakjelasan akan suatu undang-undang dengan mempergunakan suatu

aturan yang tidak memerlukan penjelasan, yaitu dengan mempergunakan aturan dalam

hukum adat yang bersumber pada kebiasaan. Pengadopsian hukum adat dalam makalah

ini dikhususkan untuk perbuatan melanggar hukum zina (overspel) yang telah diatur

dalam pasal 284 KUHP dan Peraturan Daerah Tentang Penyakit Masyarakat. Namun

masih sulit dalam penanganannya dan penerapan hukumnya karena terdapat banyak celah

6 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2001, hlm.37-38.

Page 6: Tugas Penemuan Hukum

dalam undang-undang tersebut yang bisa dijadikan alasan untuk menghindar dari undang-

undang tersebut.

Penulis mengambil yurisdiksi pada kompetensi Hukum Kota Padang yang akhir-

akhir ini bahkan sebelum-sebelumnya marak dengan perbuatan zina. Walaupun telah

banyak organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga masyarakat yang mencoba untuk

membahasnya. Seperti Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Padang yang

mendukung upaya DPRD Padang merampungkan Rancangan Peraturan Daerah

(Ranperda) tentang Pemberantasan Perzinaan dan Pelacuran (PPP). Perda tersebut

diharapkan bisa memperkuat Perda Ketertiban Umum yang telah disahkan sebelumnya.

Pada ranperda tersebut terdapat peran lembaga adat Kerapatan Adat Nagari

(KAN) untuk menindak tegas pezina. Tindakan tersebut diaktualisasikan dalam bentuk

sanksi. Sanksi tersebut ditetapkan KAN pada tempat kejadian perkara. Sanksi adat yang

dimaksud berupa pemberian sanksi denda material terhadap para pelaku perzinaan dan

pelacuran. Bentuk sanksi hukuman lain yang diatur dalam ranperda tersebut, berupa

kurungan singkat dua bulan dan paling lama lima bulan atau denda serendah-rendahnya

Rp 15.000.000,00 dan setinggi-tingginya Rp 40.000.000,00. 7

Dalam penulisan makalah ini penulis berpandangan bahwa penemuan hukum

yang penulis teliti mempunyai aliran soziologische rechtsschule. Aliran ini berpandangan

bahwa untuk menemuka hukum, hakim harus mencarinya pada kebiasaan-kebiasaan

dalam masyarakat dalam hali ini yang dimaksudkan adalah hukum adat. Hakim memang

harus mendasarkan putusannya pada peraturan perundang-undangan, namun tidak kurang

pentingnya, supaya putusan-putusan tersebut dapat dipertanggungjawabkan terhadap

7 Padang Ekspress, Berantas Zina Dengan Sanksi Adat, 10 Oktober 2012, hlm. 2.

Page 7: Tugas Penemuan Hukum

asas-asas keadilan, kesadaran dan perasaaan hukum yang hidup dalam masyarakat. Maka

yang demikian itulah dapat disebutkan sebagai “hukum yang sebenarnya” (het recht der

werkelijkheid).8

Berdasarkan uraian di atas maka penulis dengan ridho Allah SWT dan bimbingan

dari Ibu Prof. Dr. Yulia Mirwati, SH, MH bermaksud hendak merangkai kaedah hukum

adat yang bisa diadopsi menjadi peraturan hukum yang bermanfaat dalam bentuk

makalah dengan judul “Pengadopsian Sanksi Adat Sebagai Alat Hukum Untuk

Memberantas Zina”.

B. Tujuan.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:

1. Guna memperoleh gambaran yang nyata tentang efektifitas penerapan undang-undang

dalam memberantas zina.

2. Guna memperoleh informasi mengenai sanksi pidana adat yang akan dijatuhkan bagi

para pelaku zina.

C. Rumusan Masalah

Dari latar belakang permasalahan tersebut maka pembatasan masalahnya adalah:

1. Apa saja yang menjadi faktor-faktor masuknya sanksi pidana adat ke dalam aturan

hukum formil dalam memberantas zina di Kota Padang ?

8 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 63.

Page 8: Tugas Penemuan Hukum

2. Apa saja macam-macam sanksi pidana adat bagi pelaku zina dan penerapannya untuk

meminimalisir zina di Kota Padang?

D. Metodologi

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriftif, yaitu metode yang

menyelidiki dan memecahkan masalah yang berlangsung pada masa sekarang serta tertuju

pada masalah aktual, atau merupakan gejala-gejala yang nampak dewasa ini, sehingga

pemecahannya dapat dilakukan berdasarkan yang diperoleh, dianalisis dan kemudian

dikembangkan cara pemecahannya, lalu hasilnya dapat dipergunakan sebagai perbandingan

untuk menangani masalah yang sama. Sedangkan instrumen yang dipakai dalam penulisan

makalah ini menggunakan metode studi literatur, yaitu teknik yang dilakukan untuk

memperoleh data yang bersifat teoritis sebagai pendukung untuk mendasari penelitian ini

dengan cara membaca berbagai literatur yang relevan dengan penelitian. 9

E. Sistematika

Adapun sistematika dalam penulisan makalah ini adalah :

Bab I : Pendahuluan : Latar belakang, tujuan, rumusan masalah, metode penulisan, dan

sistematika penulisan.

9 Soerjono Soekanto, 2008, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, hlm.165.

Page 9: Tugas Penemuan Hukum

Bab II : Pembahasan :

Pengadopsian sanksi adat sebagai alat hukum untuk memberantas zina

Bab III : Penutup :

Kesimpulan dan saran

BAB II

PEMBAHASAN

1. Faktor-faktor penyebab masuknya sanksi pidana adat ke dalam aturan hukum

formil

Page 10: Tugas Penemuan Hukum

Adat di Minangkabau memiliki ciri khas tersendiri dengan adat suku-suku lain di

Indonesia. Tetapi dengan beberapa perbedaan atau kekhasan yang membedakannya.

Kekhasan itu terutama disebabkan karena masyarakat Minangkabau menganut sistem

garis keturunan menurut Ibu atau Matrilineal. Kekhasan lain yang sangat penting adalah

adat Minangkabau merata dipakai oleh setiap orang di pelosok nagari dan tidak menjadi

adat para bangsawan dan raja-raja. Setiap individu terikat dan terlibat dengan adat,

hampir semua laki-laki dewasa menyandang gelar adat, dan semua hubungan kekerabatan

diatur secara adat. Adat mengatur interaksi dan hubungan antara sesama anggota

msyarakat Minagkabau, baik dalam hubungan formal maupun yang tidak formal.10

Disamping berlakunya KUHP sebagai payung hukum pidana, juga terlihat pada

aspek-aspek tertentu dalam kehidupan bermasyarakat, penerapan hukum adat yang

bersifat pidana dalam bentuk pemberian sanksi berupa sanksi denda, diusir dari kampung,

serta dikucilkan dari pergaulan masyarakat. Masyarakat mengakui sanksi tersebut

memiliki kekuatan berlaku yang sama dengan hukum pidana dalam KUHP, sebab sanksi

tersebut merupakan kesepakatan yang telah di tetapkan oleh pemuka-pemuka adat

sebelumnya. Pemuka adat tersebut tergabung dalam suatu lembaga adat baik yang

bersifat formal seperti Kerapatan Adat Nagari, maupun yang non formal.11

Hukum pidana mempunyai fungsi retributif yaitu untuk mencegah terjadinya

tindak pidana atau mencegah terulangnya tindak pidana. 12

10 Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Paradnya Paramitha,Jakarta, 1967, hlm. 8.11 Chairul Anwar, Hukum Adat Indonesia Meninjau Hukum Adat Minangkabau, Rineka Cipta, Jakarta, 1997, hlm. 15.12 Jimly Asshiddiqie dan M,Ali,Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. Sekretariat Jenderal dan

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.

Page 11: Tugas Penemuan Hukum

“Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” merupakan landasan dari

sistem nilai yang menjadikan Islam sebagai sumber utama dalam tata dan pola perilaku

serta melembaga dalam masyarakat Minangkabau. Artinya, Adat Bersendi Syarak,

Syarak Bersendi Kitabullah adalah kerangka filosofis orang Minangkabau dalam

memahami dan memaknai eksistensinya sebagai mahluk Allah.

Sesungguhnya Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah yang kini

menjadi identitas kultural orang Minangkabau lahir dari kesadaran sejarah masyarakatnya

melalui proses dan pergulatan yang panjang. Maka tak berlebihan jika dalam

merumuskan peraturan daerah, hukum adat juga harus diadopsi.

Hukum adat diadopsi menjadi peraturan perundang-undangan yang diharapakan

dapat menjadi senjata hukum yang ampuh sesuai dengan asas kepastian hukum, keadilan

dan kemanfaatan karena hukum adat mempunyai sifat yang bisa menjadi tolak ukur untuk

meningkatkan kesadaran masyarakat baik dalam sistematis, fungsi maupun

penerapannya.

Djojodigoeno menyebut hukum adat mempunyai sifat: statis, dinamis dan plastis :

1. Statis, hukum adat selalu ada dalam masyarakat,

2. Dinamis, karena hukum adat dapat mengikuti perkembangan masyarakat,

3. Elastis/Fleksibel, kelenturan hukum adat sesuai kebutuhan dan kemauan

masyarakat.13

13 Sunaryati Hartono, Sumbangsih Hukum Adat bagi Perkembangan Pembentukan Hukum Nasional dalam M.Syamsudin et al Editor, Hukum Adat dan Mordernisasi Hukum, FH-UII,1998, hlm.170.

Page 12: Tugas Penemuan Hukum

Hukum adat dalam perkembangannya dewasa ini dipengaruhi oleh: Politik hukum

yang dianut oleh Negara dan metode pendekatan yang digunakan untuk menemukan

hukum adat. Hukum adat dalam tulisan ini dilihat sebagai suatu sistem. Sistem sesuai

dikemukakan oleh Scholten, disetujui Soepomo, berpendapat: bahwa tiap hukum

merupakan suatu sistem, yaitu peraturan-peraturannya merupakan suatu kebulatan

berdasarkan atas kesatuan alam pikiran.14

Sesungguhnya yang menjadi masalah dalam delik perzinahan KUHP ini tidak

semata- mata terletak pada aspek delik aduan absolut. Rumusan tentang deliknya pun

tidak sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan masyarakat Indonesia yang regilius dan

mayoritas memeluk agama Islam. Dalam agama Islam delik perzinahan dirumuskan

sebagai hubungan seksual (persetubuhan) antara pria dengan wanita yang tidak terikat

oleh perkawinan yang sah yang dilakukan secara sengaja.15

Dalam beberapa literatur dijelaskan, zina menurut pasal 284 KUHP, memiliki

pengertian yang berbeda dengan pengertian yang diberikan oleh hukum pidana adat,

menurut pasal 284 KUHP, seseorang yang melakukan perbuatan zina salah satu pihaknya

musti terikat perkawinan yang sah dengan orang lain. Sedangkan menurut hukum pidana

adat, tindak pidana zina mengandung pengertian yang lebih luas, dimana setiap orang

yang melakukan hubungan suami istri tanpa memiliki hubungan perkawinan yang sah

dikategorikan sebagai perbuatan zina, tidak perlu salah satu pihak tersebut telah menikah

atau belum.

Setiap permasalahan adat, termasuk tindak pidana zina, sebelum para pelaku

dihadapkan ke depan persidangan adat, terlebih dahulu dicari upaya penyelesaiannya

14 Soepomo. Loc cit, hlm. 10.15 Abdul Aziz Dahlan Ed, Ensiklopedi Hukum Islam, ikhtiar Baru van Houve, Jakarta, 1996, jilid 6, hlm. 20.

Page 13: Tugas Penemuan Hukum

melalui perundingan antara kedua belah pihak. Pengadilan baru akan digelar apabila

perundingan antara kedua belah pihak tidak menemukan hasil atau terhadap pelakunya

memang kedapatan tertangkap tangan atau terjadi hamil di luar nikah. Dalam bahasa

Minang disebut bajanjang naiak batanggo turun. Dalam pengadilan adat dimana hakim

adat bertindak sebagai penengah bagi kedua pihak untuk mencapai perdamaian bagi

semua pihak. Pengadilan dilakukan dengan cara sederhana dan lebih efisien, karena

bukti-bukti yang menunjukkan terjadinya tindak pidana tersebut telah didapatkan secara

lengkap yaitu adanya dua kali peringatan dari warga, terjadi hamil di luar nikah atau

memang kedapatan tertangkap tangan oleh masyarakat.

Sanksi yang dijatuhkan oleh pengadilan adat terhadap pelaku tindak pidana zina

bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan yang telah terganggu akibat dari

perbuatan yang telah dilakukan. Hukum adat tidak mengenal adanya sanksi badan, sanksi

yang dijatuhkan oleh pengadilan adat hanya berupa denda adat dan pemenuhan

kewajiban adat dan sanksi dibuang sepanjang adat. Di samping itu, setiap putusan adat

terhadap pelaku zina juga mengharuskan pelaku untuk menikah, hal ini bertujuan untuk

memperbaiki kesalahan dan dosa yang telah mereka lakukan, karena hukum adat

berpotensi kepada agama yang dianut oleh masyarakat.

Putusan hukum pidana adat dalam tindak pidana zina diakui oleh hukum karena

dalam proses penyelesaiannya telah tercapai perdamaian dari kedua belah pihak, dan

apabila salah satu pihak yang tidak puas terhadap putusan adat tersebut maka proses

penyelesaiannya bisa dilanjutkan dengan membuat pengaduan kepada Kepolisian untuk

dimulainya tahapan penyidikan.

Page 14: Tugas Penemuan Hukum

2. Bentuk-bentuk sanksi pidana adat bagi pelaku zina dan penerapannya untuk

meminimalisir zina di Kota Padang

Dalam Konstitusi kita sebelum amandemen tidak secara tegas menunjukkan

kepada kita pengakuan dan pemakaian istilah hukum adat. Namun bila ditelaah, maka

dapat disimpulkan ada sesungguhnya rumusan-rumusan yang ada di dalamnya

mengandung nilai luhur dan jiwa hukum adat. 16

Saat ini, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Padang, tengah

melakukan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang pemberantasan

perzinaan dan pelacuran. Pembahasan Raperda melibatkan banyak unsur terutama

kalangan perguruan tinggi, ulama, dan pemuka adat. Raperda tersebut merupakan inisiatif

DPRD Padang, dan mulai dilakukan pembahasan setelah naskah akademiknya diserahkan

oleh tim kajian dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Imam Bonjol.

Pada ranperda tersebut terdapat peran lembaga adat Kerapatan Adat Nagari

(KAN) untuk menindak tegas pezina. Tindakan tersebut diaktualisasikan dalam bentuk

sanksi. Sanksi tersebut ditetapkan KAN pada tempat kejadian perkara. Sanksi adat yang

dimaksud berupa pemberian sanksi denda material terhadap para pelaku perzinaan dan

pelacuran. Bentuk sanksi hukuman lain yang diatur dalam ranperda tersebut, berupa

kurungan singkat dua bulan dan paling lama lima bulan atau denda serendah-rendahnya

Rp 15.000.000,00 dan setinggi-tingginya Rp 40.000.000,00.17

Dalam naskah akademik Raperda tersebut tertuang 24 pasal, dari VII bab, yang

diantaranya berisikan setiap pelaku wajib menjalani rehabilitasi setelah proses hukum 16 I Gede A.B.Wiranata, Hukum Adat Indonesia, Perkembangan dari Masa Ke Masa, Citra Aditya Bakti, 2005, hlm. 40.17 dikutip dari www.padangtoday.com diakses tanggal 10 oktober 2012

Page 15: Tugas Penemuan Hukum

berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan pemerintah daerah berkewajiban

membangun fasilitas rehabilitasi. Di sana tertuang pemberantasan perzinaan dan

pelacuran dilakukan berdasarkan kemaslahatan, pencegahan, keadilan dan kesetaraan,

partisipasi dan terpadu. Perbuatan pelacuran yang diatur dalam pasal tersebut adalah

tindakan perzinaan yang disertai imbalan jasa. Azas yang digunakan dalam Raperda ini

adalah pemberatasan perzinaan dan pelacuran berdasarkan asas, Ketuhanan Yang Maha

Esa, kemaslahatan umat, keadilan, kesetaraan, partisipatif dan terpadu.

Sedangkan tujuan Ranperda ini, untuk mencegah dan memberantas praktik

perzinaan dan pelacuran di Kota Padang untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang

agamis serta Pancasilais. Aturan ini juga akan melindungi masyarakat dari akibat

perzinaan dan pelacuran, menjaga kesakralan lembaga pernikahan dan meningkatkan

partisipasi serta sinergi komponen masyarakat dalam memberantasan perzinaan dan

pelacuran. Selain ancaman hukuman kurungan dan denda, pelaku yang terbukti

melakukan pelacuran di Padang juga dikenai sanksi adat.

Untuk menghilangkan kerancuan penerapan hukumannya, maka sanksi adat akan

diberikan oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN) di tempat kejadian perkara (TKP). Raperda

ini merupakan bagian dari 12 Raperda yang menjadi inisiatif DPRD Kota Padang yang

direncanakan dapat diselesaikan sebelum akhir tahun 2012.

Pemberantasan perzinaan dan pelacuran sendiri juga bertujuan mewujudkan

kehidupan masyarakat yang menghormati dan mengamalkan norma, aturan, dan adab

yang terkandung dalam Pancasila, ajaran agama, adat dan budaya, serta juga melindungi

masyarakat dari hal negatif, dan menjaga kesucian lembaga pernikahan. Pasal-pasal lain

Page 16: Tugas Penemuan Hukum

juga mewajibkan setiap warga Kota Padang melaporkan kepada petugas atau pejabat

berwenang apabila mengetahui langsung atau menduga kuat adanya kegiatan perzinaan

dan pelacuran di lingkungannya. Laporan warga tersebut, wajib ditindaklanjuti oleh

petugas atau pejabat berwenang dan memberikan perlindungan kepada pelapor

sebagaimana diatur pada Pasal 12 ayat (2) Raperda yang diajukan atas inisiatif DPRD

Padang tersebut.

Sedangkan pada Pasal 13 diatur pemerintah daerah dapat membentuk tim

pemberantasan perzinaan dan pelacuran serta tim tersebut beranggota terdiri dari unsur

pemerintah, tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat dan LSM. Salah satunya Ikatan

Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Padang yang mendukung upaya DPRD Padang

merampungkan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Pemberantasan

Perzinaan dan Pelacuran (PPP). Perda tersebut diharapkan bisa memperkuat Perda

Ketertiban Umum yang telah disahkan sebelumnya.

Page 17: Tugas Penemuan Hukum

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari uraian yang telah penulis kemukakan diatas, ada beberapa yang dapat di tarik

sebagai kesimpulan akhir dari makalah ini, yaitu :

1. Zina menurut pasal 284 KUHP, memiliki pengertian yang berbeda dengan pengertian

yang di berikan oleh hukum pidana adat, menurut pasal 284 KUHP, seseorang yang

melakukan perbuatan zina salah satu pihaknya musti terikat perkawinan yang sah dengan

orang lain. Sedangan menurut hukum pidana adat, tindak pidana zina mengandung

Page 18: Tugas Penemuan Hukum

pengertian yang lebih luas, dimana setiap orang yang melakukan hubungan suami istri

tanpa memiliki hubungan perkawinan yang syah di kategorikan sebagai perbuatan zina,

tidak perlu salah satu pihak tersebut telah menikah atau belum.

2. Proses penyelesaian perbuatan sumbang salah menurut hukum pidana adat di lakukan

dengan prisip bajanjang naiak batanggo turun. Setiap permasalahan adat, termasuk

tindak pidana zina, sebelum para pelaku di hadapkan kedepan persidangan adat yaitu

pada lembaga Kerapatan Adat Nagari (KAN), terlebih dahulu di cari upaya

penyelesaiannya melalui perundingan antara kedua belah pihak.

3. Sanksi yang di jatuhkan oleh pengadilan adat terhadap pelaku tindak pidana zina

bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan yang telah terganggu akibat dari

perbuatan yang telah di lakukan, sanksi tersebut diberikan sesudah adanya kesepakatan

oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN).

4. Putusan hukum pidana adat dalam tindak pidana zina diakui oleh hukum karena dalam

proses penyelesaiannya telah tercapai perdamaian dari kedua belah pihak, dan apabila

salah satu pihak yang tidak puas terhadap putusan adat tersebut maka proses

penyelesaiannya bisa di lanjutkan dengan membuat pengaduan kepada Kepolisian untuk

di mulainya tahapan penyidikan.

5. Bentuk sanksi hukuman yang diadopsi dan disesuaikan dari hukum pidana adat terhadap

pelaku perzinaan yaitu berupa kurungan singkat dua bulan dan paling lama lima bulan

atau denda serendah-rendahnya Rp 15.000.000,00 dan setinggi-tingginya Rp

40.000.000,00.

B. Saran

Page 19: Tugas Penemuan Hukum

Setelah penelitian yang di lakukan penulis terhadap perbandingan penerapan hukum

pidana adat dalam kasus tindak pidana zina, dan juga dengan melihat kesimpulan-kesimpulan

yang dapat dari hasil penelitian tersebut, maka penulis memberikan saran-saran sebagai

berikut :

1. Untuk terciptanya pelaksanaan hukum yang sesuai dengan rasa keadilan masyarakat,

penulis menyarankan agar dalam penyusunan rancangan peraturan daerah (Raperda) Kota

Padang nantinya mengenai ketentuan tindak pidana kesusilaan khususnya perbuatan zina

seharusnya memperhatikan nilai-nilai yang berlaku di tengah-tengah masyarakat, dengan

kata lain pengertian zina tersebut sesuai dengan rumusan tindak pidana zina menurut

hukum pidana adat, kerena ketentuan mengenai perbuatan zina yang di atur di dalam

KUHP sekarang yang merupakan warisan budaya barat yang tidak sesuai budaya bangsa

Indonesia.

2. Berlakunya hukum pidana adat di samping hukum pidana nasional menyebabkan

terjadinya dualisme hukum pidana di Indonesia khususnya di Sumatra Barat. Dengan

berlakunya kedua hukum tersebut secara berdampingan akan memberikan dampak positif

dimana akan lebih menjamin setiap kejahatan dapat di jerat oleh kedua sistem hukum

tersebut.

Page 20: Tugas Penemuan Hukum

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika,

Jakarta, 2010

Abdul Aziz Dahlan Ed, Ensiklopedi Hukum Islam, ikhtiar Baru van Houve, Jakarta, 1996

Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, UII Press, Yogyakarta, 2006

Chairul Anwar, Hukum Adat Indonesia Meninjau Hukum Adat Minangkabau, Rineka Cipta,

Jakarta, 1997

I Gede A.B.Wiranata, Hukum Adat Indonesia, Perkembangan dari Masa Ke Masa, Citra Aditya

Bakti, 2005

Page 21: Tugas Penemuan Hukum

Jimly Asshiddiqie dan M,Ali,Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. Sekretariat

Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.

Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Paradnya Paramitha,Jakarta, 1967

Soerjono Soekanto, 2008, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2001

Sudikno Mertokusumo dan A.Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti,

Bandung, 1993

Sunaryati Hartono, Sumbangsih Hukum Adat bagi Perkembangan Pembentukan Hukum

Nasional dalam M.Syamsudin et al Editor, Hukum Adat dan Mordernisasi Hukum, FH-

UII,1998

Padang Ekspress, Berantas Zina Dengan Sanksi Adat, 10 Oktober 2012

www.padangtoday.com