Tugas Penemuan Hukum
-
Upload
nofry-hardi -
Category
Documents
-
view
132 -
download
2
Transcript of Tugas Penemuan Hukum
MAKALAH
PENGADOPSIAN SANKSI ADAT SEBAGAI ALAT HUKUM UNTUK MEMBERANTAS ZINA
NOFRY HARDI
1220113030
DOSEN PENANGGUNG JAWAB
PROF.DR.YULIA MIRWATI, SH, MH
FAKULTAS HUKUM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sarjana hukum yang bekerja di bidang profesinya selalu dihadapkan pada
peristiwa atau konflik konkret untuk dipecahkan. Untuk itu maka harus dicari atau
diketemukan hukumnya. Hukumnya harus dicari, diketemukan bukan diciptakan.
Dikatakan harus dicari atau diketemukan bukan diciptakan, karena hukumnya memang
sudah ada. Hal ini tersurat dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi bahwa: “Hakim wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat”. Jadi hukumnya sudah ada, tinggal menggali ke permukaan. Menurut Paul
Scholten di dalam perilaku manusia tedapat hukumnya. Jadi hukum itu tidak semata-mata
terdapat di dalam peraturan perundang-undangan saja. “Penggalian” inilah yang pada
dasarnya dimaksud dengan penemuan hukum (rechtsvinding, law making) dan bukan
penciptaan hukum. 1
Memang tidak tertutup kemungkinan bahwa hakim dalam menemukan hukum
tanpa disadari, tanpa disengaja menciptakan hukum, tetapi hakim dilarang untuk
menciptakan peraturan yang mengikat secara umum. 2
Hukumnya harus diketemukan oleh karena peristiwa atau konflik konkret yang
harus dipecahkan harus dikonversi lebih dahulu menjadi peristiwa hukum, peristiwa
konkretnya harus diterjemahkan dalam bahasa hukum lebih dahulu. Kecuali itu
hukumnya harus dicari karena peraturan hukumnya tidak jelas atau tidak lengkap.
1 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, UII Press, Yogyakarta, 2006, hlm. 31. 2 Algemene Bepalingen Van Wetgeving, pasal 21.
Hukumnya harus diketemukan juga oleh karena peraturan hukumnya harus disesuaikan
dengan perkembangan keadaan.
Apa yang dicari dalam menemukan hukum pada dasarnya adalah “pengertian-
pengertian hukum” “berlaku tidaknya” dan sah tidaknya”. Dalam menemukan hukumnya
harus dicari lebih dahulu sumber hukum. Seperti diketahui sumber hukum atau sumber
penemuan hukum meliputi undang-undang, kebiasaan, putusan pengadilan, traktat,
doktrin dan perilaku serta kepentingan.
Sumber hukum mengenal hierarki, yang berarti bahwa sumber-sumber hukum itu
kedudukannya tidak sama, ada yang kedudukannya lebih tinggi dari yang lain. Hierarki
ini membuka peluang terjadinya konflik antara sumber-sumber hukum tadi. Kalau tejadi
konflik maka sumber hukum yang tertinggilah yang harus dimenangkan.
Kalau kita hendak menemukan hukum untuk suatu peristiwa atau konflik konkret,
maka kita cari terlebih dahulu hukumnya dalam undang-undang. Sumber hukum yang
tertinggi karena dibandingkan sumber-sumber hukumnya lainnnya lebih menjamin
kepastian hukum. Kalau undang-undangnya tidak mengatur maka masih harus
diupayakan menemukan hukumnya dengan penalaran atau argumentasi. 3
Menurut Undang-Undang Dasar 1945 pasal 15 c ayat 1 “presiden memegang
kekuasaam membentuk Undang-Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR), jika suatu rancangan Undang-Undang yang diajukan presiden (pemerintah) tidak
mendapat persetujuan DPR, maka rancangan tadi tidak boleh diajukan lagi dalam
persidangan DPR masa itu (pasal 20 ayat 2 Undang-Undag Dasar 1945).
Tetapi dikarenakan terlalu lamanya UU itu disahkan maka keputusan hakim juga
diakui sebagai sumber hukum formal. Dengan demikian telah diakui, bahwa pekerjaan
3 Ibid
hakim merupakan salah satu faktor pembentukan hukum. Karena undang-undang tidak
lengkap atau tidak jelas, maka hakim harus mencari atau menemukan hukumnya.
Penemuan hukum menurut Sudikno Mertokusumo, lazimnya diartikan sebagai proses
pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas
melaksanakan hukum atau menerapkan peraturan hukum umum terhadap peristiwa
hukum yang konkret. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa penemuan hukum merupakan
proses konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum
dengan mengingat akan peristiwa konkret (das sein).4
Dapat dikatakan bahwa penemuan hukum oleh hakim dan petugas-petugas hukum
disebabkan oleh ketidak jelasan suatu undang-undang. Sedangkan undang-undang harus
diketahui oleh umum, tersebar luas, dan harus jelas. Kejelasan suatu undang-undang
sangatlah penting dan oleh karena itu setiap undang-undang selalu dilengkapi dengan
penjelasan. Akan tetapi sekalipun nama dan maksudnya sebagi penjelasan, namun
seringkali terjadi, penjelasan tersebut tidak juga memberi kejelasan. Karena hanya
dinyatakan cukup jelas, padahal teks undang-undangnya tidak jelas dan masih
memerlukan penjelasan.5
Seorang ahli hukum pada dasarnya dituntut untuk melaksanakan dua tugas atau
fungsi utama, yaitu :
1. Ia senantiasa harus mampu menyesuaikan kaidah-kaidah hukum yang konkrit
(perundang-undangan) terhadap tuntutan nyata yang ada di dalam masyarakat,
dengan selalu memperhatikan kebiasaan, pandangan-pandangan yang berlaku, 4 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 22. 5 Sudikno Mertokusumo dan A.Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm. 12.
cita-cita yang hidup didalam masyarakat, serta perasaan keadilannya sendiri. Hal
ini perlu dilakukan oleh seorang ahli hukum karena peraturan perundang-
undangan pada dasarnya tidak selalu dapat ditetapkan untuk mengatur semua
kejadian yang ada didalam masyarakat. Perundang-undangan hanya dibuat untuk
mengatur hal-hal tertentu secara umum saja.
2. Seorang ahli hukum senantiasa harus dapat memberikan penjelasan, penambahan,
atau melengkapi peraturan perundang-undangan yang ada, dikaitkan dengan
perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat. Hal ini perlu dijalankan sebab
adakalanya pembuat Undang-undang (wetgever) tertinggal oleh perkembangan
perkembangan didalam masyarakat.
Penemuan hukum merupakan pembentukan hukum oleh hakim atau aparat hukum
lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum
konkrit, juga merupakan proses konkretisasi atau individualis peraturan hukum (das
sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkrit (das sein) tertentu,
jadi dalam penemuan hukum yang penting adalah bagaimana mencarikan atau
menemukan hukumnya untuk peristiwa konkit.6
Dalam penulisan makalah ini penulis mencoba memberi masukan untuk
menghindari ketidakjelasan akan suatu undang-undang dengan mempergunakan suatu
aturan yang tidak memerlukan penjelasan, yaitu dengan mempergunakan aturan dalam
hukum adat yang bersumber pada kebiasaan. Pengadopsian hukum adat dalam makalah
ini dikhususkan untuk perbuatan melanggar hukum zina (overspel) yang telah diatur
dalam pasal 284 KUHP dan Peraturan Daerah Tentang Penyakit Masyarakat. Namun
masih sulit dalam penanganannya dan penerapan hukumnya karena terdapat banyak celah
6 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2001, hlm.37-38.
dalam undang-undang tersebut yang bisa dijadikan alasan untuk menghindar dari undang-
undang tersebut.
Penulis mengambil yurisdiksi pada kompetensi Hukum Kota Padang yang akhir-
akhir ini bahkan sebelum-sebelumnya marak dengan perbuatan zina. Walaupun telah
banyak organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga masyarakat yang mencoba untuk
membahasnya. Seperti Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Padang yang
mendukung upaya DPRD Padang merampungkan Rancangan Peraturan Daerah
(Ranperda) tentang Pemberantasan Perzinaan dan Pelacuran (PPP). Perda tersebut
diharapkan bisa memperkuat Perda Ketertiban Umum yang telah disahkan sebelumnya.
Pada ranperda tersebut terdapat peran lembaga adat Kerapatan Adat Nagari
(KAN) untuk menindak tegas pezina. Tindakan tersebut diaktualisasikan dalam bentuk
sanksi. Sanksi tersebut ditetapkan KAN pada tempat kejadian perkara. Sanksi adat yang
dimaksud berupa pemberian sanksi denda material terhadap para pelaku perzinaan dan
pelacuran. Bentuk sanksi hukuman lain yang diatur dalam ranperda tersebut, berupa
kurungan singkat dua bulan dan paling lama lima bulan atau denda serendah-rendahnya
Rp 15.000.000,00 dan setinggi-tingginya Rp 40.000.000,00. 7
Dalam penulisan makalah ini penulis berpandangan bahwa penemuan hukum
yang penulis teliti mempunyai aliran soziologische rechtsschule. Aliran ini berpandangan
bahwa untuk menemuka hukum, hakim harus mencarinya pada kebiasaan-kebiasaan
dalam masyarakat dalam hali ini yang dimaksudkan adalah hukum adat. Hakim memang
harus mendasarkan putusannya pada peraturan perundang-undangan, namun tidak kurang
pentingnya, supaya putusan-putusan tersebut dapat dipertanggungjawabkan terhadap
7 Padang Ekspress, Berantas Zina Dengan Sanksi Adat, 10 Oktober 2012, hlm. 2.
asas-asas keadilan, kesadaran dan perasaaan hukum yang hidup dalam masyarakat. Maka
yang demikian itulah dapat disebutkan sebagai “hukum yang sebenarnya” (het recht der
werkelijkheid).8
Berdasarkan uraian di atas maka penulis dengan ridho Allah SWT dan bimbingan
dari Ibu Prof. Dr. Yulia Mirwati, SH, MH bermaksud hendak merangkai kaedah hukum
adat yang bisa diadopsi menjadi peraturan hukum yang bermanfaat dalam bentuk
makalah dengan judul “Pengadopsian Sanksi Adat Sebagai Alat Hukum Untuk
Memberantas Zina”.
B. Tujuan.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Guna memperoleh gambaran yang nyata tentang efektifitas penerapan undang-undang
dalam memberantas zina.
2. Guna memperoleh informasi mengenai sanksi pidana adat yang akan dijatuhkan bagi
para pelaku zina.
C. Rumusan Masalah
Dari latar belakang permasalahan tersebut maka pembatasan masalahnya adalah:
1. Apa saja yang menjadi faktor-faktor masuknya sanksi pidana adat ke dalam aturan
hukum formil dalam memberantas zina di Kota Padang ?
8 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 63.
2. Apa saja macam-macam sanksi pidana adat bagi pelaku zina dan penerapannya untuk
meminimalisir zina di Kota Padang?
D. Metodologi
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriftif, yaitu metode yang
menyelidiki dan memecahkan masalah yang berlangsung pada masa sekarang serta tertuju
pada masalah aktual, atau merupakan gejala-gejala yang nampak dewasa ini, sehingga
pemecahannya dapat dilakukan berdasarkan yang diperoleh, dianalisis dan kemudian
dikembangkan cara pemecahannya, lalu hasilnya dapat dipergunakan sebagai perbandingan
untuk menangani masalah yang sama. Sedangkan instrumen yang dipakai dalam penulisan
makalah ini menggunakan metode studi literatur, yaitu teknik yang dilakukan untuk
memperoleh data yang bersifat teoritis sebagai pendukung untuk mendasari penelitian ini
dengan cara membaca berbagai literatur yang relevan dengan penelitian. 9
E. Sistematika
Adapun sistematika dalam penulisan makalah ini adalah :
Bab I : Pendahuluan : Latar belakang, tujuan, rumusan masalah, metode penulisan, dan
sistematika penulisan.
9 Soerjono Soekanto, 2008, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, hlm.165.
Bab II : Pembahasan :
Pengadopsian sanksi adat sebagai alat hukum untuk memberantas zina
Bab III : Penutup :
Kesimpulan dan saran
BAB II
PEMBAHASAN
1. Faktor-faktor penyebab masuknya sanksi pidana adat ke dalam aturan hukum
formil
Adat di Minangkabau memiliki ciri khas tersendiri dengan adat suku-suku lain di
Indonesia. Tetapi dengan beberapa perbedaan atau kekhasan yang membedakannya.
Kekhasan itu terutama disebabkan karena masyarakat Minangkabau menganut sistem
garis keturunan menurut Ibu atau Matrilineal. Kekhasan lain yang sangat penting adalah
adat Minangkabau merata dipakai oleh setiap orang di pelosok nagari dan tidak menjadi
adat para bangsawan dan raja-raja. Setiap individu terikat dan terlibat dengan adat,
hampir semua laki-laki dewasa menyandang gelar adat, dan semua hubungan kekerabatan
diatur secara adat. Adat mengatur interaksi dan hubungan antara sesama anggota
msyarakat Minagkabau, baik dalam hubungan formal maupun yang tidak formal.10
Disamping berlakunya KUHP sebagai payung hukum pidana, juga terlihat pada
aspek-aspek tertentu dalam kehidupan bermasyarakat, penerapan hukum adat yang
bersifat pidana dalam bentuk pemberian sanksi berupa sanksi denda, diusir dari kampung,
serta dikucilkan dari pergaulan masyarakat. Masyarakat mengakui sanksi tersebut
memiliki kekuatan berlaku yang sama dengan hukum pidana dalam KUHP, sebab sanksi
tersebut merupakan kesepakatan yang telah di tetapkan oleh pemuka-pemuka adat
sebelumnya. Pemuka adat tersebut tergabung dalam suatu lembaga adat baik yang
bersifat formal seperti Kerapatan Adat Nagari, maupun yang non formal.11
Hukum pidana mempunyai fungsi retributif yaitu untuk mencegah terjadinya
tindak pidana atau mencegah terulangnya tindak pidana. 12
10 Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Paradnya Paramitha,Jakarta, 1967, hlm. 8.11 Chairul Anwar, Hukum Adat Indonesia Meninjau Hukum Adat Minangkabau, Rineka Cipta, Jakarta, 1997, hlm. 15.12 Jimly Asshiddiqie dan M,Ali,Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.
“Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” merupakan landasan dari
sistem nilai yang menjadikan Islam sebagai sumber utama dalam tata dan pola perilaku
serta melembaga dalam masyarakat Minangkabau. Artinya, Adat Bersendi Syarak,
Syarak Bersendi Kitabullah adalah kerangka filosofis orang Minangkabau dalam
memahami dan memaknai eksistensinya sebagai mahluk Allah.
Sesungguhnya Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah yang kini
menjadi identitas kultural orang Minangkabau lahir dari kesadaran sejarah masyarakatnya
melalui proses dan pergulatan yang panjang. Maka tak berlebihan jika dalam
merumuskan peraturan daerah, hukum adat juga harus diadopsi.
Hukum adat diadopsi menjadi peraturan perundang-undangan yang diharapakan
dapat menjadi senjata hukum yang ampuh sesuai dengan asas kepastian hukum, keadilan
dan kemanfaatan karena hukum adat mempunyai sifat yang bisa menjadi tolak ukur untuk
meningkatkan kesadaran masyarakat baik dalam sistematis, fungsi maupun
penerapannya.
Djojodigoeno menyebut hukum adat mempunyai sifat: statis, dinamis dan plastis :
1. Statis, hukum adat selalu ada dalam masyarakat,
2. Dinamis, karena hukum adat dapat mengikuti perkembangan masyarakat,
3. Elastis/Fleksibel, kelenturan hukum adat sesuai kebutuhan dan kemauan
masyarakat.13
13 Sunaryati Hartono, Sumbangsih Hukum Adat bagi Perkembangan Pembentukan Hukum Nasional dalam M.Syamsudin et al Editor, Hukum Adat dan Mordernisasi Hukum, FH-UII,1998, hlm.170.
Hukum adat dalam perkembangannya dewasa ini dipengaruhi oleh: Politik hukum
yang dianut oleh Negara dan metode pendekatan yang digunakan untuk menemukan
hukum adat. Hukum adat dalam tulisan ini dilihat sebagai suatu sistem. Sistem sesuai
dikemukakan oleh Scholten, disetujui Soepomo, berpendapat: bahwa tiap hukum
merupakan suatu sistem, yaitu peraturan-peraturannya merupakan suatu kebulatan
berdasarkan atas kesatuan alam pikiran.14
Sesungguhnya yang menjadi masalah dalam delik perzinahan KUHP ini tidak
semata- mata terletak pada aspek delik aduan absolut. Rumusan tentang deliknya pun
tidak sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan masyarakat Indonesia yang regilius dan
mayoritas memeluk agama Islam. Dalam agama Islam delik perzinahan dirumuskan
sebagai hubungan seksual (persetubuhan) antara pria dengan wanita yang tidak terikat
oleh perkawinan yang sah yang dilakukan secara sengaja.15
Dalam beberapa literatur dijelaskan, zina menurut pasal 284 KUHP, memiliki
pengertian yang berbeda dengan pengertian yang diberikan oleh hukum pidana adat,
menurut pasal 284 KUHP, seseorang yang melakukan perbuatan zina salah satu pihaknya
musti terikat perkawinan yang sah dengan orang lain. Sedangkan menurut hukum pidana
adat, tindak pidana zina mengandung pengertian yang lebih luas, dimana setiap orang
yang melakukan hubungan suami istri tanpa memiliki hubungan perkawinan yang sah
dikategorikan sebagai perbuatan zina, tidak perlu salah satu pihak tersebut telah menikah
atau belum.
Setiap permasalahan adat, termasuk tindak pidana zina, sebelum para pelaku
dihadapkan ke depan persidangan adat, terlebih dahulu dicari upaya penyelesaiannya
14 Soepomo. Loc cit, hlm. 10.15 Abdul Aziz Dahlan Ed, Ensiklopedi Hukum Islam, ikhtiar Baru van Houve, Jakarta, 1996, jilid 6, hlm. 20.
melalui perundingan antara kedua belah pihak. Pengadilan baru akan digelar apabila
perundingan antara kedua belah pihak tidak menemukan hasil atau terhadap pelakunya
memang kedapatan tertangkap tangan atau terjadi hamil di luar nikah. Dalam bahasa
Minang disebut bajanjang naiak batanggo turun. Dalam pengadilan adat dimana hakim
adat bertindak sebagai penengah bagi kedua pihak untuk mencapai perdamaian bagi
semua pihak. Pengadilan dilakukan dengan cara sederhana dan lebih efisien, karena
bukti-bukti yang menunjukkan terjadinya tindak pidana tersebut telah didapatkan secara
lengkap yaitu adanya dua kali peringatan dari warga, terjadi hamil di luar nikah atau
memang kedapatan tertangkap tangan oleh masyarakat.
Sanksi yang dijatuhkan oleh pengadilan adat terhadap pelaku tindak pidana zina
bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan yang telah terganggu akibat dari
perbuatan yang telah dilakukan. Hukum adat tidak mengenal adanya sanksi badan, sanksi
yang dijatuhkan oleh pengadilan adat hanya berupa denda adat dan pemenuhan
kewajiban adat dan sanksi dibuang sepanjang adat. Di samping itu, setiap putusan adat
terhadap pelaku zina juga mengharuskan pelaku untuk menikah, hal ini bertujuan untuk
memperbaiki kesalahan dan dosa yang telah mereka lakukan, karena hukum adat
berpotensi kepada agama yang dianut oleh masyarakat.
Putusan hukum pidana adat dalam tindak pidana zina diakui oleh hukum karena
dalam proses penyelesaiannya telah tercapai perdamaian dari kedua belah pihak, dan
apabila salah satu pihak yang tidak puas terhadap putusan adat tersebut maka proses
penyelesaiannya bisa dilanjutkan dengan membuat pengaduan kepada Kepolisian untuk
dimulainya tahapan penyidikan.
2. Bentuk-bentuk sanksi pidana adat bagi pelaku zina dan penerapannya untuk
meminimalisir zina di Kota Padang
Dalam Konstitusi kita sebelum amandemen tidak secara tegas menunjukkan
kepada kita pengakuan dan pemakaian istilah hukum adat. Namun bila ditelaah, maka
dapat disimpulkan ada sesungguhnya rumusan-rumusan yang ada di dalamnya
mengandung nilai luhur dan jiwa hukum adat. 16
Saat ini, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Padang, tengah
melakukan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang pemberantasan
perzinaan dan pelacuran. Pembahasan Raperda melibatkan banyak unsur terutama
kalangan perguruan tinggi, ulama, dan pemuka adat. Raperda tersebut merupakan inisiatif
DPRD Padang, dan mulai dilakukan pembahasan setelah naskah akademiknya diserahkan
oleh tim kajian dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Imam Bonjol.
Pada ranperda tersebut terdapat peran lembaga adat Kerapatan Adat Nagari
(KAN) untuk menindak tegas pezina. Tindakan tersebut diaktualisasikan dalam bentuk
sanksi. Sanksi tersebut ditetapkan KAN pada tempat kejadian perkara. Sanksi adat yang
dimaksud berupa pemberian sanksi denda material terhadap para pelaku perzinaan dan
pelacuran. Bentuk sanksi hukuman lain yang diatur dalam ranperda tersebut, berupa
kurungan singkat dua bulan dan paling lama lima bulan atau denda serendah-rendahnya
Rp 15.000.000,00 dan setinggi-tingginya Rp 40.000.000,00.17
Dalam naskah akademik Raperda tersebut tertuang 24 pasal, dari VII bab, yang
diantaranya berisikan setiap pelaku wajib menjalani rehabilitasi setelah proses hukum 16 I Gede A.B.Wiranata, Hukum Adat Indonesia, Perkembangan dari Masa Ke Masa, Citra Aditya Bakti, 2005, hlm. 40.17 dikutip dari www.padangtoday.com diakses tanggal 10 oktober 2012
berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan pemerintah daerah berkewajiban
membangun fasilitas rehabilitasi. Di sana tertuang pemberantasan perzinaan dan
pelacuran dilakukan berdasarkan kemaslahatan, pencegahan, keadilan dan kesetaraan,
partisipasi dan terpadu. Perbuatan pelacuran yang diatur dalam pasal tersebut adalah
tindakan perzinaan yang disertai imbalan jasa. Azas yang digunakan dalam Raperda ini
adalah pemberatasan perzinaan dan pelacuran berdasarkan asas, Ketuhanan Yang Maha
Esa, kemaslahatan umat, keadilan, kesetaraan, partisipatif dan terpadu.
Sedangkan tujuan Ranperda ini, untuk mencegah dan memberantas praktik
perzinaan dan pelacuran di Kota Padang untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang
agamis serta Pancasilais. Aturan ini juga akan melindungi masyarakat dari akibat
perzinaan dan pelacuran, menjaga kesakralan lembaga pernikahan dan meningkatkan
partisipasi serta sinergi komponen masyarakat dalam memberantasan perzinaan dan
pelacuran. Selain ancaman hukuman kurungan dan denda, pelaku yang terbukti
melakukan pelacuran di Padang juga dikenai sanksi adat.
Untuk menghilangkan kerancuan penerapan hukumannya, maka sanksi adat akan
diberikan oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN) di tempat kejadian perkara (TKP). Raperda
ini merupakan bagian dari 12 Raperda yang menjadi inisiatif DPRD Kota Padang yang
direncanakan dapat diselesaikan sebelum akhir tahun 2012.
Pemberantasan perzinaan dan pelacuran sendiri juga bertujuan mewujudkan
kehidupan masyarakat yang menghormati dan mengamalkan norma, aturan, dan adab
yang terkandung dalam Pancasila, ajaran agama, adat dan budaya, serta juga melindungi
masyarakat dari hal negatif, dan menjaga kesucian lembaga pernikahan. Pasal-pasal lain
juga mewajibkan setiap warga Kota Padang melaporkan kepada petugas atau pejabat
berwenang apabila mengetahui langsung atau menduga kuat adanya kegiatan perzinaan
dan pelacuran di lingkungannya. Laporan warga tersebut, wajib ditindaklanjuti oleh
petugas atau pejabat berwenang dan memberikan perlindungan kepada pelapor
sebagaimana diatur pada Pasal 12 ayat (2) Raperda yang diajukan atas inisiatif DPRD
Padang tersebut.
Sedangkan pada Pasal 13 diatur pemerintah daerah dapat membentuk tim
pemberantasan perzinaan dan pelacuran serta tim tersebut beranggota terdiri dari unsur
pemerintah, tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat dan LSM. Salah satunya Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Padang yang mendukung upaya DPRD Padang
merampungkan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Pemberantasan
Perzinaan dan Pelacuran (PPP). Perda tersebut diharapkan bisa memperkuat Perda
Ketertiban Umum yang telah disahkan sebelumnya.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari uraian yang telah penulis kemukakan diatas, ada beberapa yang dapat di tarik
sebagai kesimpulan akhir dari makalah ini, yaitu :
1. Zina menurut pasal 284 KUHP, memiliki pengertian yang berbeda dengan pengertian
yang di berikan oleh hukum pidana adat, menurut pasal 284 KUHP, seseorang yang
melakukan perbuatan zina salah satu pihaknya musti terikat perkawinan yang sah dengan
orang lain. Sedangan menurut hukum pidana adat, tindak pidana zina mengandung
pengertian yang lebih luas, dimana setiap orang yang melakukan hubungan suami istri
tanpa memiliki hubungan perkawinan yang syah di kategorikan sebagai perbuatan zina,
tidak perlu salah satu pihak tersebut telah menikah atau belum.
2. Proses penyelesaian perbuatan sumbang salah menurut hukum pidana adat di lakukan
dengan prisip bajanjang naiak batanggo turun. Setiap permasalahan adat, termasuk
tindak pidana zina, sebelum para pelaku di hadapkan kedepan persidangan adat yaitu
pada lembaga Kerapatan Adat Nagari (KAN), terlebih dahulu di cari upaya
penyelesaiannya melalui perundingan antara kedua belah pihak.
3. Sanksi yang di jatuhkan oleh pengadilan adat terhadap pelaku tindak pidana zina
bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan yang telah terganggu akibat dari
perbuatan yang telah di lakukan, sanksi tersebut diberikan sesudah adanya kesepakatan
oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN).
4. Putusan hukum pidana adat dalam tindak pidana zina diakui oleh hukum karena dalam
proses penyelesaiannya telah tercapai perdamaian dari kedua belah pihak, dan apabila
salah satu pihak yang tidak puas terhadap putusan adat tersebut maka proses
penyelesaiannya bisa di lanjutkan dengan membuat pengaduan kepada Kepolisian untuk
di mulainya tahapan penyidikan.
5. Bentuk sanksi hukuman yang diadopsi dan disesuaikan dari hukum pidana adat terhadap
pelaku perzinaan yaitu berupa kurungan singkat dua bulan dan paling lama lima bulan
atau denda serendah-rendahnya Rp 15.000.000,00 dan setinggi-tingginya Rp
40.000.000,00.
B. Saran
Setelah penelitian yang di lakukan penulis terhadap perbandingan penerapan hukum
pidana adat dalam kasus tindak pidana zina, dan juga dengan melihat kesimpulan-kesimpulan
yang dapat dari hasil penelitian tersebut, maka penulis memberikan saran-saran sebagai
berikut :
1. Untuk terciptanya pelaksanaan hukum yang sesuai dengan rasa keadilan masyarakat,
penulis menyarankan agar dalam penyusunan rancangan peraturan daerah (Raperda) Kota
Padang nantinya mengenai ketentuan tindak pidana kesusilaan khususnya perbuatan zina
seharusnya memperhatikan nilai-nilai yang berlaku di tengah-tengah masyarakat, dengan
kata lain pengertian zina tersebut sesuai dengan rumusan tindak pidana zina menurut
hukum pidana adat, kerena ketentuan mengenai perbuatan zina yang di atur di dalam
KUHP sekarang yang merupakan warisan budaya barat yang tidak sesuai budaya bangsa
Indonesia.
2. Berlakunya hukum pidana adat di samping hukum pidana nasional menyebabkan
terjadinya dualisme hukum pidana di Indonesia khususnya di Sumatra Barat. Dengan
berlakunya kedua hukum tersebut secara berdampingan akan memberikan dampak positif
dimana akan lebih menjamin setiap kejahatan dapat di jerat oleh kedua sistem hukum
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika,
Jakarta, 2010
Abdul Aziz Dahlan Ed, Ensiklopedi Hukum Islam, ikhtiar Baru van Houve, Jakarta, 1996
Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, UII Press, Yogyakarta, 2006
Chairul Anwar, Hukum Adat Indonesia Meninjau Hukum Adat Minangkabau, Rineka Cipta,
Jakarta, 1997
I Gede A.B.Wiranata, Hukum Adat Indonesia, Perkembangan dari Masa Ke Masa, Citra Aditya
Bakti, 2005
Jimly Asshiddiqie dan M,Ali,Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.
Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Paradnya Paramitha,Jakarta, 1967
Soerjono Soekanto, 2008, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2001
Sudikno Mertokusumo dan A.Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1993
Sunaryati Hartono, Sumbangsih Hukum Adat bagi Perkembangan Pembentukan Hukum
Nasional dalam M.Syamsudin et al Editor, Hukum Adat dan Mordernisasi Hukum, FH-
UII,1998
Padang Ekspress, Berantas Zina Dengan Sanksi Adat, 10 Oktober 2012
www.padangtoday.com