Tugas Pedsos kelompok 1

23
Tugas Pediatri Sosial SEJARAH, KEBERHASILAN, DAN TANTANGAN DALAM PERKEMBANGAN VAKSINASI Disusun Oleh : Gita Vania D G0007078 C/12/2012 Irine Puspita S G0007090 C/13/2012 Pembimbing : dr. Hari W.N., SpA, M.Kes KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI SURAKARTA 2012

Transcript of Tugas Pedsos kelompok 1

Tugas Pediatri Sosial

SEJARAH, KEBERHASILAN, DAN TANTANGAN DALAM PERKEMBANGAN VAKSINASI

Disusun Oleh :

Gita Vania D Irine Puspita S

G0007078 G0007090

C/12/2012 C/13/2012

Pembimbing : dr. Hari W.N., SpA, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI SURAKARTA 2012

PENDAHULUAN

Vaksninasi merupakan suatu upaya yang sengaja dilakukan untuk melindungi manusia dari suatu penyakit. Perkembangan dari keberadaan vaksin sejak pertama kali diteliti oleh Edward Jenners pada akhir abad ke-18 kini hampir memasuki 4 abad. Vaksinasi memiliki sejata yang panjang dalam proses perkembangannya hingga kini setidaknya 12 macam penyakit dapat dikontrol sejak adanya vaksin, antara lain chikenpox, difteri, tetanus, yellow fever, pertusis, penyakit Haemophilus influenzae type b, poliomielitis, campak, rubella, tifoid, dan rabies. Eradikasi penyakit telah banyak mengalami keberhasilan, penyakit chikenpox telah menghilang di seluruh bagian dunia. Penyakit poliomileitis juga mengalami penurunan sebesar 99% berkat vaksinasi. Dalam proses perkembangannya, pembuatan vaksin dengan

mempergunakan komponen mikroorganisme kini telah berkembang seiring kemajuan peralatan dan pengetahuan dibidang mikrobiologi. Sejumlah vaksin yang sukses diciptakan telah banyak dipergunakan. Namun masih banyak daftar penyakit yang belum ditemukan vaksinnya. Beberapa kendala yang ditemukan antara lain kendala prioritas pembiayaan dan sulitnya mendapatkan susunan antigen yang tepat. Vaksin yang ada saat ini didapatkan dengan cara antara lain melemahkan, menginaktifkan, atau mengambil protein maipun polisakarida dari mikroorganisme patogen. Dalam pencapaiannya hingga kini, hambatan dan tantangan yang dihadapi sungguh sangat beragam. Sampai saat ini tidak semua orang didunia dapat menerima dan melakukan vaksinasi akibat efek samping yang ditimbulkannya. Selanjutnya, tulisan ini akan membahas mengenai sejarah vaksinasi, serta keberhasilan dan hambatan serta tantangan yang dihadapi dalam proses perkembangannya.

I. SEJARAH VAKSINASI Awal Perkembangan Percobaan penemuan vaksin tidak hanya diawali oleh Edward Jenners menemukan vaksin smallpox. Pada abad ke-7, beberapa orang Indian Buddhist meminum racun ular agar menjadi kebal terhadap bisa ular. Selain itu, suatu artikel di Cina menyatakan bahwa satu abad sebelum proyek Jenner terjadi, ada yang menggunakan kutu dari sapi putih untuk menncegah smallpox. Kutu tersebut ditumbuk an dijadikan pil. Variolasi merupakan tindakan mengoleskan pus dari pustul smallpox pada kulit pasien. Hal tersebt umum dilakukan oleh masyarakat kasta Brahma di India pada abad ke 16. Namun vaksinasi cara tersebut tidak dilakukan lagi hingga ditemukannya vaksin smallpox oleh Jenner. Pada abad ke-18, masyarakat Skotlandia mencoba untuk menginokulasi campak dan

mempublikasikan hasil kerjanya. Metode variolasi dengan metode engrafting dipublikasikan oleh Lady Mary Wortley Montagu pada tahun 1721 setelah ia kembali dari Konstantinopel. Adik dari Montagu meninggal akibat penyakit cacar. Kemudian setelah ia tinggal di Turki, Montagu menuliskan artikel bahwa smallpox sangatlah berbahaya namun ada sebuah metode yang disebut engrafting yang bisa mencegahnya. Dr Charles Maitland merupakan orang yang melakukan prosedur engrafting pada anaknya paatahun 1721 di Konstantinopel dan juga pada anak perempuan Montagu. Secara umum, pengobatan tersebut berhasil, namun 2-3% ari pasien yang diobati meninggal dunia. Di saat yang sama, seorang kebangsaan Amerika bernama Cotton Maher juga melakukan variolasi. Pada tahun 1774 di Yetminster Inggris, seorang peternak sapi bernama Benjamin Jesty, memiliki imunitas dari penyakit smallpox setelah terinfeksi cowpox dari lembu peliharaannya. Kemudian ia secara sengaja menginfeksi anak dan istrinya dengan cowpox agar terhindar dari smallpox. Kemudian Benjamin Jesty membawa anak dan istrinya pindah ke sebuah peternakan dimana ia mudah mendapatkan cowpox dan melakukan

penelitian. Penelitiannya sukses dan kedua naknya masih kebal terhadap smallpox hingga 15 tahun kemudian. Kisah Jesty menarik perhatian para dokter dan peneliti. Oleh karena, fakta juga menyatakan bahwa wanita yang bekerja sebagai pemerah susu di peternakan umumnya kebal terhadap smallpox. Hal tersebut diduga karena mereka telah terinfeksi cowpox sebelumnya. Tindakan yang dilakukan oleh Benjamin Jesty tergolong dalam vaksinasi, yaitu menggunakan cowpox untuk mencegah infeksi smallpox. Namun Benjamin Edward tidak mendapat pengakuan akan

eksperimen yang dilakukannya seperti yang diperoleh Edward Jenner. Edward Jenner tetap dikenal sebagai ilmuwan pertama yang menemukan vaksinasi cowpox dan mampu mengendalikan infeksi smallpox dalam skala besar. Cowpox bukanlah penyakit yang gampang menyebar, ia menyebar secara sporadik di beberapa daerah di Inggris. Jenner berkonsultasi dengan John Hunter yang merupakan gurunya di London. Tahun 1976 ia mennerbitkan makalah pertamanya mengenai vaksinasi namun ditolak karena sampel tidak mencukupi. Dalam dua tahun, ia berhasil memperluas sampel dan membuktikan bahwa cowpox dapat berpindah dari satu manusia ke manusia lain. Oleh karena itu inokulasi cowpox dapat dilakukan pada manusia dalam jumlah banyak tanpa menunggu infeksi atau penyebaran cowpox secara natural. Tahun 1810, Jenner menyadari bahwa variolasi dari cowpox tidak dapat bertahan seumur hidup namun ia tidak mengetahui kenapa. Tahun 1836, Edward Ballard tertarik untuk mencoba strain baru dari cowpox untuk di jadikan vaksin karena strain yang lama terlalu lemah. Di akhir tahun 1870, Louis Pasteur sedang mencoba melemahkan bakteri chiken cholera. Cerita bermula saat pasteur meninggalkan kultur dari bakteri chiken cholera diudara bebas untuk berlibur panjang. Kemudian saat ia kembali ia mendapati bakwa bakteri tersebut menjadi lemah akibat pajanan udara. Dengan demikian dapat digunakan untuk memicu imunitas dalam

melawan virulensi bakteri patogen. Prinsip yang dipergunakan sebenarnya serupa dengan eksperima Jesty yaitu menggunakan bagian yang dilemahkan dari mikroba untuk membentuk imunitas. Hanya saja, metode untuk melemahkan bakteri diperoleh dengan cara berbeda. Hasil ini dipublikasikan pada tahun 1880 dan menarik banyak perhatian. Pada tahun 1877 Pasteur kembali melakukan penelitian untuk menemukan vaksin anthrak. Pada bulan Juni, ia berhasil memberikan kekebalan pada subjek peneltiannya yaitu domba, kambing dan sapi dari bahaya anthrax. Eksperiment Pasteur ini diumumkan sebagai awal era perkembangan imunisasi ke seluruh dunia. Seiring perkembangan, vaksin rabies berkembang padatahun 1885. Para peneliti mulai meneliti kemungkinan ditemukannya vaksin baru dengn bantuan hewan sebagai objek percobaan. Para dokter dan meneliti lain menentang adanya penggunaan manusia sebagai objek penelitian. Ratusan orang dapat diselamatkan dari penyakit rabies, namun beberapa meninggal akibat vaksinasi. Perkembangan selanjutnya dari vaksinasi terjadi di Inggris pada

tahun 1886. Penelitian melibatkan suatu inovasi baru yaitu menggunakan vaksin dari organisme mati. Pada akhir abad ke-19, hasil penelitian dari yahun 1870 dan 1880 dapat dilihat dengan adanya perkembangan vaksin berupa vaksin mati untuk penyakit tifoid, pes, dan cholera. John Snow menunjukkan pada tahun 1848 bahwa kolera

ditransmisikan melalui perantara air walaupun mereka tidak mengetahui etiologinya. Teka-teki ini terjawab oleh Robert Koch yang berhasil mengisilasi Vibrio Cholerae sebagai bakteri penyebab di tahun 1883. Teori Ehrlichs reseptor yang berkaitan dengan imunitas memiliki kontribusi besar dalam perkembangan vaksin. Sejak pertama kali ditemukan tahun 1897, teori ini bermanfaat untuk menjelaskan interaksi toksinantitoksin dan mengenai hubungan antigen dan antibodi. Kontribusi lain Ehrlich adalah menemukan perbedaan imunisasi aktif dan imunisasi pasif.

Dengan demikian, pada awal abad-20, terdapat lima vaksin yang telah digunakan antara lain vaksin variola, vaksin rabies, vaksin tifoid, vaksin cholera, dan vaksin plague/pes).

Pertengahan Abad 20 Almoerth Wright mengajukan imunisasi tifoid masal pada pasukan tentara Inggris selama perang Boer di tahun 1899. Namun karena perlawanan beberapa orang penting, misi tersebut gagal dan Wright hanya berhasil melakukan vaksinasi pada 14.000 tentara. Dan bencana pun terjadi, lebih dari 58 ribu kasus tifoid dan 9000 kematian terjadi pada pasukan tentara Inggris. Pada awal perang dunia I di tahun 1914, Wright memiliki jasa besar dengan melakukan vaksinasi pada tentara Inggris walaupun tanpaperintah resmi. Roux dan Yersin pada tahun 1888 menyatakan bahwa bacil difteri menghasilkan suatu toksin yang kuat. Dua tahun kemudian Emil Von Behring dan Kitasato menyempurnakan penelitian sebelumnya dan mempublikasikan bahwa telah diciptakan suatu antitoksin dari serum hewan yang disuntik dengan toksin tetanus dan difteri dosis rendah. Antitoksin ini menetralisir toksin dari difteri dan tetanus. Perkembangan dari eksperimen ini berlangsung cepat. Satu tahun kemudian pada tahin 1891, seorang anak telah divaksin dengan antitoksin tersebut. Kemudian antitoksin ini diproduksi secara komersial. Pada awal adad ke-20 telah berhasil diperkenalkan suatuperkembangan terbaru yaitu vaksin toksoid. Vaksin untuk mencegah tuberkulosis yaitu BCG (Bacille CalmetteGuerin) merupakan temuan vaksin kedua dari bakteri yang dilemahkan

setelah rabies oleh Pasteur. Calmette dan Camille Guerin, para bangsawan melakukan kultur dari Mycobacterium bovis. Mereka mungkin salah mengira bahwa Mycobacterium bovis sebagai Mycobacterium tuberculosis. Setelah 13 tahun penelitian, strain BCG akhirnya ditemukan. Padatahun 1921, percobaan klinis dilakukan pada manusia dan tahun 1927 vaksin ini tersedia untuk manusia.

Pada tahun 1927, virus demam kuning berhasil diisolasi oleh 2 organisasi yang berbeda yaitu Asibi strain di Nigeria dan French strain di Senegal. Strain French diteliti kemabali di Harvard. Media yang digunakan adlah otak dari tikus. Namun ada beberapa bahaya yang ditimbulkan dari penggunaan strain ini. Strain Asibi yaitu strain 17D yang dibiakkan dari telur ayam betina yang fertil. Strain Asibi jauh lebih aman walaupun tidak seefektif strain French. Wilson Smith, Cristoper Andrewes, dan Patrick Laidlaw berhasil mengisolasi virus influenza A di tahun 1993. Pada tahun yang sama di tahun 1936, terdapat 2 penemuan vaksin influenza A yaitu yang vaksin hidup berasal dari embrio telur oleh Wilson Smith dan vaksin inaktif oleh Thomas Francis dan Thomas Magill. Namun sampai saat ini vaksin yang diinaktifkan lebih banyak digunakan. Pada tahun 1906 Jules Bordet dan Octave Gengou pertama kali menemukan organisme penyebab pertusis. Maka percobaan pembuatan vaksin banyak dilakukan. Thorvald Madsen melakukan trial pertama dari vaksin pertusis yang dibuat dari inaktivasi organisme. Namun selama 19231924, Madsen melaporkan bahwa vaksin tersebut tidak mencegah penyakit namun mengurangi keparahan dan kematian akibat penyakit tersebut. Vaksin whole-pertusis digunakan di akhir tahun 1940. Vaksin kombinasi DPT (Difteri, Pertusi, Tetanus) ditemukan di tahun 1948.

Pertengahan Abad ke-20 Polio paralitik bukan merupakan problem epidemih hingga

pertengahan abad 19. Setelah keberhasilan isolasi virus oleh Landsteiner dan Popper, dilakukan usaha penemuan vaksin pada tahun 1930-an. Vaksin polio pertama yang berhasil dikembangkan dari virus hidup ditemukan di tahun 1950 dan telah dicobakan pada manusia. Kemudian di tahun 1954, National Foundation menemukan vaksin polio salk dari virus yang dimatikan. Namun seiring perkembangananya, banyak kejadian polio paralitik yang menyerang para penerima vaksin. Penilaian kembali kontaminasi vaksin, efek samping

dan tingkat keamanan kembali dilakukan. Sabin bersama peneliti dari Rusia terus meneliti tentang vaksin polio dari virus hidup yang dilemahkan dengan anggapan efektifitas yang dicapai akan lebih tinggi dari virus yang dimatikan. Hingga akhirnya vaksin polio hidup berupa OPV ditemukan dan banyak digunakan hingga saat ini. Pada tahun 1950-an telah ditemukan strain dari penyakit campak. Kemudian dibuatla vaksin dengan membiakkan strain tersebut pada embrio ayam. Vaksin varisela ditemukan di tahun 1970-an oleh Michiaki Takahashi dan mendapat pengakuan di Eropa dan Jepang. Hingga tahun 2005 dinyatakan terjadi pengurangan sebesar 75% dari kasus varisela. Di tahun 1979, Hielman dan Phil berhasil mengkultur virus Hepatitis A dari proses kultur sel. Kemudian mereka berhasil membuat vaksinHepatitis A di tahun 1986. Hingga tahun 2004, angka kejadian hepatitis A didunia terus menurun. Selama tahun 1970-1980, vaksin dari polisakarida berhasil

dikembangkan diantaranya meningococcal polisakarida grup A dan C. Vaksin pneumococcal dikembangkan oleh Robert Austrian. Seiring dengan

berkembangnya teknologi, ditemukan suatu rekombinan vaksin di tahun 1986. Sampai saat ini, sejarah perkembangan vaksin berlanjut ke penemuan teknolohi yang mampu menawarkan efektifitas dan meningkatkan tingkat keamanan vaksin. Para peneliti terus melakukan inovasi dalam perkembangan keberhasilan vaksin.

II. KEBERHASILAN DAN TANTANGAN Perkembangan vaksin dalam dua ratus tahun pertama sejak masa Jenner telah berhasil mengurangi infeksi dan penyakit yang terkait vaksinasi. Sekarang ini, pemurnian elemen mikrobial, teknik genetik dan peningkatan pengetahuan mengenai perlidungan vaksin menghasilkan kreasi langsung dari mutan yang dilemahkan, ekspresi protein vaksin dalam vektor yang hidup, pemurnian dan bahkan sintesis antigen mikrobial, dan indukasi berbagai

macam respon imun selama manipulasi DNA, RNA, protein dan polisakarida. Baik penyakit infeksi maupun noninfeksi sekarang bersama bidang vaksinologi. Melimpahnya vaksin baru menyebabkan populasi baru bisa ditargetkan untuk vaksinasi dan memerlukan perkembangan jalan pemberian tambahan suntikan. Dengan adanya hal ini, muncul masalah baru dalam produksi, regulasi dan distribusi vaksin. Keberhasilan Awal Pada permulaan vaksinasi, yang ditetapkan sebagai usaha yang nyata untuk menggunakan bagian atau seluruh bagian mikrobial patogen untuk berlindung terhadap mikroba tersebut, hilang ditelan waktu. Vaksinasi mungkin berasal dari kepercayaan homeopathic mengenai dosis kecil perlindunga penyakit terhadap penyakit berat, dibuktikan secara empiris dengan mencerna sedikit dosis racun untuk mencegah para penguasa diracuni secara sengaja oleh saingannya. Dari abad kedelapan terdapat petunjuk di literatur China mengenai penggunaan keropeng variola ke dalam hidung untuk memberikan perlindungan terhadap cacar. Hal ini mungkin berdasarkan pengamatan bahwa cacar sebelumnya memberikan perlindungan terhadap pajanan berikutnya. Mengingat orang-orang China pada umumnya diberikan penghargaan untuk penemuan variola, dukungan terhadap hal tersebut hanya datang dari tulisan pada abad ketujuh belas. Negara kandidat lain untuk asal variolasi adalah India, dimana prosedur scarifikasi ditemukan secara terpisah ataupun didatangkan dari China. Dari sana, variolasi kutaneus menyebar ke Timur Tengah dan Afrika, dan sebagaimana diketahui terkenal, dari Turki sampai Inggris, serta seluruh Eropa, sebagai prasasti dari saran Voltaire. Meskipun variolasi adalah sebuah keberhasilan (sebagai contoh, sebagaimana ditetapkan selama Revolusi Amerika dengan imunitas pasukan Inggris terhadap wabah cacar dan keputusan Washington kemudian untuk menginokulasi tentaranya), reaksi yang penting dan bahkan fatal digunakan

sebagai rem untuk penggunaannya. Tidak diragukan lagi, ini merupakan dorongan untuk pengamatan pada jaman Jenner bahwa cacar pada sapi, yang merupakan penyakit ringan pada manusia, dapat mencegah cacar. Penemuan ini tidak hanya membawa pada eradikasi cacar pada abad 20, tetapi juga memberikan cap terhadap ide perlindungan yang sengaja diberikan untuk melawan pajanan terhadap penyakit infeksius. Revolusi Kultur Sel Pada pertengahan abad 20, kultur sel diadaptasi untuk pertumbuhan virus, dan itu tidak lama sebelum diketahui bahwa perjalanan dalam kultur sel juga berarti pelemahan, hal ini sepertinya diketahui dari seleksi yang tidak disengaja dari mutan lebih baik diadaptasikan ke replikasi in vitro daripada ke host yang hidup. Kultur sel juga memperkenankan seleksi secara sengaja dari mutan dengan mengisolasi klon tunggal dan diinkubasi pada suhu dibawah suhu normal host. Dengan demikian, periode antara 1950-1980 menunjukkan perkembangan banyaknya vaksin virus yang dilemahkan, termasuk polio (sabin oral), campak, rubella, gondongan dan varisela. Teknologi penting yang dapat digunakan untuk virus dengan genom yang terbagi telah tercampur dalam kultur sel. Perkembangan vaksin influenza dan rotavirus sangat dibantu oleh kemampuan untuk mencampur segmen RNA dari strain yang dilemahkan dengan RNA yang mengkode antigen protektif dari sirkulasi strain yang ganas. Baik vaksin influenza yang hidup maupun yang mati tergantung pada reassortment: vaksin hidup mengandung replicating reassortants, dimana vaksin yang diinaktvasi dibuat dari benih reassotants yang hidup. Dua dari tiga vaksin rotavirus yang dikembangkan sejauh ini bergantung pada reassortants yang mengandung gen vp7 dari strain manusia dengan gen dari rotavirus binatang yang tidak patogen terhadap manusia.

Vaksin yang Diinaktivasi Gagasan mengenai inaktivasi komplit dalam perkembangan vaksin juga dimulai pada abad 19, tidak lama setelah penemuan Pasteur. Prioritas disini sepertinya diberikan kepada Danel Salmon dan Theobald Smith d Amerika Serikat, meskipun tim Pasteur, yang dipimpin oleh Emile Roux, membuat penemuan sendiri dari prinsip yang sama. Tabel 1 menggarisbawahi strategi berikutnya untuk perkembangan vaksin yang diinaktivasi, yang pertama dibuat untuk melawan typhoid dan basil kolera. Akhir-akhir ini, vaksin polio yang diinaktivasi (jenis Salk), yang bersama dengan vaksin oral hampir mengeradikasi polio dari dunia. Tabel 1. Vaksin inaktivasi dan perkiraan waktu tersedianya Strategi Vaksin Inactivated whole organisms Tahun 1896 1896 1897 1926 1938 1955 1995 Penggunaan ekstak dan subunit 1944 1970-an 1960 1976 Penggunaan toksoid 1923 1927 2008 (?) Penggunaan polisakarida kapsuler 1977 1974 1995 Vaksin atau Target Typhoid Kolera Plague Whole-cell pertussis Influenza IPV Hepatitits A Japanese Encephalitis Influenza Anthrax Kultur sel rabies Difteri Tetanus Anthrax baru Pneumococcal Meningococcal Typhoid

Penggunaan protein-conjugated capsular polysacharides

1987 2002 Masa

H. influenza tipe b Pneumococcal Meningococcala

mendatang Staphylococcal Penggunaan protein rekombinan atau yang dimurnikan 1986 1996 1998a

Hepatitis B

Pertusis aselulerb Lyme disease

Plasma-derived vaksin pada tahun 1981. bLebih awal di Jepang. IPV, inactivated

polio vaccine Pengenalan toksin bakteri ekstraseluler oleh Roux, Yersin, Behring dan Kitasato mengijinkan perkembangan toksoid (vaksin yang diinaktivasi) oleh Ramon untuk difteri dan tetanus. Dengan perkembangan teknologi, hal tersebut menjadi mungkin untuk memisahkan dan menggunakan subunit organisme dalam bentuk ekstrak dari jaringan yang terinfeksi (misalnya rabies), kapsul polisakarida (misalnya typhoid Vi dan pneumococci) dan protein (misalnya pertusis aseluler). Kemudian pada abad 20, konjugasi protein oleh polisakarida menjadi senjata yang ampuh untuk melawan bakteri yang tidak berkapsul (misalnya Haemophilus influenza tipe b), keika disadarai bahwa bayi tidak akan merespon terhadap stimulasi sel B tanpa adanya stimulasi sel T. Penggunaan peptida sebagai vaksin diperlambat oleh kebutuhan adjuvan yang kuat, tetapi peptida sungguh-sungguh berperan dalam vaksin kanker secara eksperimental. Teknik Genetik Munculnya biologi molekuler dan teknik genetik, sebagaimana pada setiap domain biologi lain, mempunyai efek yang dramatis terhadap perkembangan vaksin, dimana hal tersebut memberikan kesempatan yang lebih besar untuk pembuatan antigen yang diinaktivasi dan pelemahan organisme yang rasional selama proses mutasi langsung. Tabel 2 mendata beberapa strategi baru yang tergantung pada biologi molekuler.

Tabel 2. Strategi yang lebih baru untuk perkembangan vaksin mulai dari mikrobial DNA, cDNA atau RNA Strategi Produksi protein rekombinan Contoh Target Patogen Hepatitis B SAg, toksin pertusis, permukaan luar protein A Lyme, protein CMW gB Rekombinan hidup yang +2 gen pada parainfluenza 3, gen M. tuberculosis pada BCG HIV, CMV HIV, demam berdarah HPV, SARS HIV dan banyak lainnya HIV, malaria, tuberkulosis Prime boost menggunakan DNA dan/atau vektor Reverse vaccinology Microarrays virulensi gen Peptida sintetik untuk ekspresi Kanker, vaksin CTL (cytotoxic T lymphocyte) Hib Polisakarida kapsuler sintetik Reverse genetics Influenza, parainfluenza, RSV Meningococcus B Sebagian besar bakteri

membawa gen dari agen yang bersangkutan Replicons virus alfa Replication-defective particle Plasmid DNA telanjang

Kesuksesan pertama dari teknik genetik adalah vaksin hepatitis B yang dibuat dalam rekombinan ragi yang membawa gen untuk protein S, yang menggantikan vaksin berdasarkan pemurnian partikel S dari plasma individu yang terinfeksi. Selanjutnya, insersi gen ke dalam ragi, Escherichia coli atau sel ovarium hamster China mampu memproduksi berbagai macam protein rekombinan seperti Lyme OspA, stomegalovirus gB dan toksin pertusis.

Rekombinan virus dan bakteri juga dapat digunakan sebagai vaksin hdup, dengan catatan bahwa merepa apatogenik. Sebagai contoh, virus parainfluenza 3 sapi atau manusia yang dilemahkan dapat digunakan sebagai tulang punggung untuk insersi gen dari virus parainfluenza lain atau dari respiratory syncytial virus, dan virus demam kuning yang dilemahkan dapat digunakan sebagai pembawa untuk gen dari virus dengue atau virus West Nile. Ekpresi protein oleh gen yang diinsersi memberikan perlindungan. Istilah vactored vaccine sering digunakan untuk rekombinan hidup, karena kunci persoalannya adalah untuk mempunyai vektor atau pembawa, yang akan menggabungkan dan mengkespresikan gen untuk patogen tanpa menyebabkan penyakit pada dirinya sendiri. Banyak vektor viral dan bakterial yang telah diajukan, tetapi yang paling bisa diterima adalah poxvirus, adenovirus dan Bacille Calmette-Guerin (BCG). Semua virus ini, sebagaimana yang lainnya, yang telah digunakan dalam usaha untuk mengembangkan vaksin HIV dan malaria, sering berada dalam konfigurasi tambahan prima, disebut demikian karena sistem imun didasari oleh ekspresi protein dengan menginjeksikan plasmid DNA atau vektor, dan kemudian ditambah dengan protein yang sama dalam bentuk terlarut. Replicon alphavirus merupakan vektor khusus, yang mana partikel repliconnya tidak membawa genome viral tetapi mengekspresikan gen asing dalam lingkaran replikasi tunggal. Produksi beberapa protein virus in vitro menghasilkan kumpulan diri dari struktur tiruan keseluruhan virus, yang disebut virus-like-particles. Partikel tersebut lebih imunogenik dari protein terlarut dan menghasilkan vaksin papilomavirus yang efektif dan vaksin lain yang masih diujikan pada manusia, seperti virus SARS. Penggunaan telnologi secara luas dalam vaksinologi modern, baik untuk penemuan antigen dan perkembangan vaksin merupakan buah keberhasilan dari penemuan Pasteur; bahwa plasmid DNA bakteri yang mengandung gen dari viral patogen akan mengekspresikan protein yang cocok setelah injeksi intramuskular atau intradermal secara in vivo. Antigen yang diproduksi dibawa ke sumsum tulang, dimana antibodi dan

imunitas seluler diproduksi. Sayangnya, teknologi ini belum terbukti dapat dipercaya pada manusia, meskipun induksi imunitas seluler lebih serng daripada antibodi. Meskipun demikian, plasmid DNA memiliki properti yang menarik, seperti kemampuan untuk menginduksi respons mun disamping munculnya antibodi maternal pasif. Satu penerapan khusus dari plasmid DNA adalah reverse genetics, yang membiarkan pembentukan novel negative-strand segmented RNA viruses dengan mutasi dari cDNA mereka dan kemudian pengenalan dari plasmid multipel cDNA yang mengandung seluruh genome virus ke dalam kultur sel, bersama dengan plasmid lain mengeskpresikan enzim untuk rekonstruksi virus. Teknik ini sekarang digabungkan ke dalam pembuatan vaksin influenza dan akan mengijinkan, sebagai contoh, produksi yang lebih cepat dari benih virus untuk vaksin H5 avian influenza. Kemampuan untuk merangkai genom mikrobial menyebabkan

teridentifikasinya faktor protektif yang baru. Gen yang diprediksi dari rantai nukleotida diekspresikan pada E.coli dan protein yang dihasilkan digunakan untuk mengimunisasi anak tikus, khususnya bakterisidal dan antibodi yang melawan strain yang luas strain, protein menjadi sesuatu yang menarik untuk perkembangan ke depan. Proses ini disebut reverse vaccinology. Imunologi pada akhirnya membantu vaksinologi Harus diakui bahwa sampai sekarang imunologi belum berkontribusi banyak dalam perkembangan vaksin. Seperti ditekankan dalam artikel yang mendampingi, keberhasilan dalam imunisasi dimediasi oleh induksi dari antibodi yang protektif, dimana tantangan utamanya yang sekarang harus kita hadapi (misalnya HIV, malaria, tuberkulosis) akan memerlukan induksi dari imunitas sel T. Untungnya, beberapa strategi baru, termasuk vektor, plasmid DNA dan lipidated peptides mampu menginduksi respon seluler dari CD4+ dan CD8+. Selain itu, kekurangan adjuvan untuk vaksin, sampai sekarang ini secara esensial terbatas pada garam alumunium yang menstimulasi respon sel

T helper tipe 2 (TH2), pada akhirnya dikoreksi oleh pembentukan emulsi minyak dalam air yang baru, liposom, agonis Toll-like reseptor, sitokin dan substansi lain yang mendorong sistem imun ke arah T helper tipe 1 (TH1). Selain itu, ahli imunologi sekarang ini telah menyediakan tes untuk imunitas seluler yang dapat dilakukan pada skala yang luas seperti ELISPOT assay untuk induksi sitokin dan pewarnaan tetramer untuk spesifisitas sel peptida CD8+. Penemuan sekarang ini mengenai sel T regulator juga mempunyai pengaruh pada vaksin untuk patogen yang mencoba menyerang sistem imun. Cara Baru dan Akhir yang Baru Pada awal abad 21, seseorang dapat melihat beberapa kecenderungan yang bisa diamati dalam perkembangan vaksin. Kombinasi vaksin menjadi lebih perlu karena komponen baru menjadi bagian dalam vaksinasi rutin. Sudah ada kombinasi heksalen yang mengandung difteri, tetanus, pertusis, H. influenza tipe b (Hib), hepatitis B dan inactivated polio vaccine yang digunakan di Eropa, dan kombinasi pentavalen di banyak bagian lain di dunia. Vaksin varisela telah digabungkan dengan vaksin measles-mumps-rubella (MMR) dan berbagai kombinasi dari vaksin yang dikonjugasi dengan polisakarida bakteri H.i nfluenza tipe b, pneumococcal, meningococcal juga akan tersedia. Mengingat vaksinasi biasanya dipertimbangkan sebagai profilaksis, dilakukan usaha yang serius untuk mengembangkan vaksin terapetik untuk infeksi kronis. Pikiran dasarnya adalah untuk menginduksi respon imun seluler yang menekan infeksi, bahkan saat host sudah tidak memberikan respon tersebut secara alami. Contohnya termasuk imunisasi melawan onkogen E6 dan E7 dari papiloma virus untuk pengobatan kanker serviks dan melawan gen gag dan tat dari HIV untuk menekan replikasi virus pada AIDS.

Bagian yang sangat penting dari masa depan adalah perluasan jalur imunisasi. Kebanyakan vaksin sekarang ini diberikan secara injeksi parenteral, yang menginduksi respon imun sistemik yang diekspresikan oleh sel B dan sel T di darah. Tetapi kebutuhan akan respon imun mukosal menjadi meningkat secara nyata. Hidup baru, vaksin influenza yang dilemahkan diberikan secara intranasal, menginduksi baik respon lokal maupun sistemik dan memberikan perlindungan yang lebih luas terhadap strain antigen. Pemberian vaksin campak dan rubella secara aerosol membuat virus yang dilemahkan berada dalam bentuk replikasi alaminya dan memberikan imunitas yang sebanding dengan pemberian secara injeksi. Imunisasi oral telah digunakan selama beberapa waktu untuk memberikan kekebalan terhadap organisme hidup yang bereplikasi di usus, seperti vaksin polio oral dan typhoid Ty2 1a. Percobaan sekarang dibuat untuk menginduksi respon mukosal dengan antigen yang tidak hidup. Salah satu pendekatannya adalah untuk mengembangkan vaksin oral dari tanaman yang dibuat secara transgenik untuk antigen vaksin. Imunisasi melalui rektal dan vagina juga masih dibawah penelitian. Penggunaan terkini yang paling dekat adalah vaksinasi yang diberikan secara transdermal. Banyak alat telah dikembangkan untuk mengirim antigen melintasi kulit. Ini termasuk potongan yang mengandung adjuvan yang diaplikasikan secara tipis pada kulit yang mengelupas dan jarum mikro untuk melubangi stratum korneum. Sekali melewati layer superfisial, antigen akan kontak dengan dendritic antigen-presenting cells, yang akan berjalan ke limfonodi dan merangsang respon imun. Jika imunisasi transdermal berjalan dengan baik, maka vaksinasi dapat direvolusi. Perluasan ke Penyakit Noninfeksi Imunisasi aktif secara luas telah membatasi penyakit infeksius, dengan beberapa penggunaan desensitisasi untuk mengobati alergi. Pertimbangan sekarang diberikan untuk imunisasi terhadap berbagai macam penyakit noninfeksi. Usaha paling besar diberikan untuk melawan kanker, yang sering

muncul pada antigen seluler baru. Vaksin yang digabungkan dengan protein atau peptidan dari antigen kanker sedang dalam percobaan lebih lanjut. Dengan hasil yang menjajikan yang diukur dari perpanjangan hidup. Hal tersebut juga menggugah rasa ingin tahu apakah individu yang mewarisi mutasi dengan prediksi kanker dapat diberikan imunisasi profilaksis sebelum kanker berkembang. Toleransi kepada antigen dicobakan pada banyak penyakit autoimun, seperti multipel sklerosis dan diabetes melitus. Antigen yang lebih baik untuk menginduksi IgG daripada IgE terhadap alergen sedang dalam perkembangan. Aterosklerosis dan penyakit Alheimer mungkin dapat dikontrol dengan imunisasi terhadap fraksi kolesterol atau amiloid. Akhirnya, tambahan obat, termasuk nikotin, metamfetamin dan kokain dapat dikontrol dengan menginduksi antibodi yang secara cepat menyingkirkan obat tersebut dari tubuh. Target Baru Populasi baru ditargetkan untuk vaksinasi, yang dirangkum dalam tabel 3. Sampai sekarang, kebanyakn vaksinasi diberikan pada bayi dan anakanak; tetapi sekarang juga semakin jelas bahwa remaja dan rang dewasa juga memerlukan imunisasi universal. Disamping rekomendasi baru untuk imunisasi booster yang dengan vaksin dari difteri-tetanus-acelluler vaksin terhadap pertussis,

penggabungan

mungkin

meningococci,

papilomavirus, Herpes simplex, dan sitomegalovirus ke dalam vaksinasi rutin akan memerlukan waktu imunisasi saar remaja untuk mencegah sepsis, kanker serviks, herpes genital dan infeksi kongenital. Sekarang ini orang dewasa mendapatkan vaksin influenza dan pneumococcal, tetapi vaksinasi terhadap virus varisela juga harus tetap diberikan untuk mencegah reaktivasi dalam bentuk zooster. Dan juga, selama masa hidupnya, orang dewasa juga perlu vaksinasi selama hamil, perawatan di rumah sakt dan saat melakukan perjalanan. Vaksin ekperimental dari streptococcal grup B telah tersedia untuk

mencegah transmisi bakteri dari ibu ke janin dan wanita hamil dapat diiumisasi terhadap sejumlah patogen lain (misalnya pneumococci, RSV) untuk menyalurkan antibodi yang akan melindungi bayi mereka selama beberapa bulan. Bakteri nosokomial yang resisten terhadap antibiotik menjadi masalah yang meningkat dan vaksin polsakarida kapsular staphylosoccal telah berada dalam tingkat akhir perkembangan untuk pasien yang rentan terhadap infeksi sekunder. Tabel 3. Kelompok terget baru untuk vaksinasi Kelompok Bayi (vaksin kombinasi) Target Vaksin Difteri, tetanus, acellular pertussis, Haemophilus influenza tipe b, hepatitis B, inactivated polio vaccine Remaja Tetanus, dosis dewasa difteri, acellular pertussis, CMV, HPV, HSV-2 Dewasa Pasien rawat inap Pekerja pertahanan sipil Individu dengan penyakit noninfeksi Zooster, HSV-2 Staphylosoccal, Candida Streptococcus grup B, RSV Kanker, penyakit Alzheimer, karies gigi, kelainan autoimun,

ketergantungan obat Individu dengan infeksi kronis HIV, HPV

(vaksin terapetik)

Masalah Baru Prospek untuk mengontrol penyakit dengan vaksinasi cukup cerah, tetapi harus diakui bahwa beberapa masalah tetap ada. Pertama, penyediaan vaksin yang tidak cukup. Bahkan di negara industri, terjadi kekurangan vaksin karena terlalu sedikitnya pembuat vaksin dan tekanan peraturan membuat produksi vaksin menjadi lebih sulit. Dalam keadaan emergensi, seperti

pandemi influenza, sangat sulit untuk melihat bagaimana tuntutan dapat dipenuhi dan akses yang disediakan untuk negara berkembang. Pertumbuhan pembuat vaksin baru di negara berkembang seperti India, China, Indonesia dan Brazil mungkin bisa menutup celah ini, tetapi solusi untuk memenuhi kekurangan vaksin masih belum ditemukan. Harga vaksin sekarang juga menjadi masalah, karena vaksin baru membutuhkan 300-800 juta dolar untuk mengembangkan dan perusahaan yang melakukan penelitian dan perkembangan harus menutup biayanya. Jika vaksin akan diaplikasikan secara luas ke seluruh dunia, beberapa keadaan harus dipertahankan: harga yang lebih tinggi dinegara yang mengembangkan, pengenalan pemerintah bahwa tabungan finansial karena vaksinasi memberi alasan untuk membeli vaksin, dan dukungan dari angensi pendonor vaksin membayar untuk negara miskin. Jika target vaksin hanya ditujukan untuk negara berkembang, masalahnya menjadi semakin sulit. Dukungan dari Bill and Melinda Gates Foundation untuk perkembangan vaksin terhadap target tersebut sangatlah krusial, tetapi pada poin tertentu membuat pabrik atau industri vaksin juga diperlukan. Hal ini akan memerlukan fasilitas produksi vaksin di luar negara yang mengembangkan atau fasilitas yang disubsidi oleh pembuat utama (major manufacturers). Terdapat peningkatan permintaan menganai keamanan vaksin. Karena penyakit berkurang, kebutuhan akan vaksinasi menjadi kurang jelas pada masyarakat, dan lebih banyak orang memilih keluar dari kontrak sosial untuk divaksinasi, dan malah bergantung pada imunitas kelompok dari orang-orang disekitarnya yang telah divaksinasi. Tentu saja, imunitas kelompok akan gagal jika terlalu banyak yang menolak untuk divaksinasi. Tetapi ada masalah keamanan yang nyata berhubungan dengan vaksin, seperti paralisis setelah pemberian vaksin polio oral dan penyebaran infeksi setelah pemberian BCG. Untuk alasan tersebut, vaksin yang terdahulu harus diuji ulang untuk melihat apakah keamanan dapat ditingkatkan, seperti yang telah berhasil dilakukan dengan mengganti whole-cell pertussis vaccine dengan acelullar pertussis

vaccine dan penggantian vaksin rabies yang dibuat di otak dengan vaksin yang dibuat pada kultur sel. Dalam waktu dekat, Jenners vaccinia akan digantikan oleh vaksin yang dilemahkan lebih lanjut dan BCG oleh engineered vaccin untuk tuberkulosis. Tentu saja, salah satu keuntungan dari teknologi molekuler terbaru adalah peningkatan keamanan. Karena rasio untung-rugi menjadi lebih kontroversial saat keberadaan penyakt menurun, maka penting untuk meminimalisasi kemungkinan timbulnya reaksi yang berhubungan dengan vaskinasi. Di lain pihak, risiko nol todak mungkin dicapai dan akan selalu ada tegangan antara kebutuhan kesehatan masyarakat dengan peraturan untuk melidungi terhadap risiko yang kecil sekalipun. Kecenderungan akhir bertindak sebagai rem pada aplikasi cepat dari ukuran kesehatan masyarakat yang baru. Meskipun demikian, terdapat ketidaksetujuan apakah untuk kesalahan pada sisi keamanan atau pencegahan penyakit. Karena vaksin merupakan alat kunci untuk mempertahankan kesehatan masyarakat, pemerintah mempunyai peran utama dalam penyebaran vaksin melalui rekomendasi dan pembelian. Meskipun agensi pemerintahan (khususnya US National Institute of Health) secara penting mendukung penelitian dasar yang menyediakan kandidat vaksin, keterlibatan langsung mereka dalam perkembangan industrial dan produksi telah menurun. Hal tersebut memastikan lebih efisien untuk industri mengambil vaksin dari konsep ke lisensi, tetapi pemerintah harus memberi saran mengenai pilihan target untuk perkembangan vaksin dan jaminan pemasaran untuk produk yang dikembangkan sesuai dengan permintaan mereka. Terlebih lagi, hal tersebut semakin nyata bahwa pemerintah harus proaktif dalam mencegah tetjadinya kekurangan vaksin dengan membujuk lebih banyak supplier. Ada banyak penyakit yang belum dapat dikontrol dengan vaksinasi, dan penyakit baru tentu saja timbul selama evolusi dengan mutasi dan

perubahan gen, transfer antarspesies atau pajanan manusia terhadap lingkungan baru. Untungnya, kita memiliki banyak alat baru yang mana digunakan untuk memproduksi antigen protektif. Dua ratus tahun penelitian

telah membuat kita mampu mengubah sistem imun untuk keuntungan kita sendiri, dan meningkatkan pemahaman mengenai patogenesis mikrobial dan respon host harus membuat kita mampu untuk memperluas kontrol penyakit dengan vaksinasi.

DAFTAR PUSTAKA

Plotkin SL, Plotkin SA. A Short History of Vaccination in: Vaccine. Elsevier. 2008, pp:1-17. Plokin SA. Vaccines: past, present and future. Nature Medicine Supplement Vol. 1 No. 4, 2005 (55-59).